Pengaruh tingkat pengangguran dan tingkat UMP terhadap tingkat kemiskinan Provinsi Riau
-
Upload
vinny-ariva -
Category
Education
-
view
4.183 -
download
5
description
Transcript of Pengaruh tingkat pengangguran dan tingkat UMP terhadap tingkat kemiskinan Provinsi Riau
A. PENGARUH TINGKAT PENGANGGURAN DAN TINGKAT UPAH MINIMUM PROVINSI TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI RIAU
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Untuk mengatasi permasalah pembangunan dan sosial kemasyarakatan
seperti kemiskinan, pembangunan ekonomi dapat dilaksanakan dengan
mewujudkan kemakmuran masyarakat melalui pengambangan perekonomian
dengan cara menyelesaikan permasalahan yang ada seperti menciptakan lapangan
kerja. Kemiskinan merupakan masalah yang diakibatkan oleh kondisi nasional
suatu negara dan situasi global yang sedang berlangsung.
Menurut Todaro (2000), bahwa pandangan ekonomi baru menganggap
tujuan utama pembangunan ekonomi bukan hanya pertumbuhan PDB semata, tapi
juga pengentasan kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan dan
penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang.
Hal tersebut dapat dimaknai bahwa kemiskinan menjadi salah satu masalah yang
harus diatasi dalam konteks pembangunan ekonomi sesuai pandangan ekonomi
baru. Keberhasilan suatu perekonomian tidak lagi hanya diukur melalui
peningkatan PDB, melainkan juga kemampuan suatu negara dalam mengatasi
masalah kemiskinan.
Globalisasi ekonomi dan bertambahnya ketergantungan antar negara, tidak
hanya merupakan tantangan dan kesempatan bagi pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan suatu negara, tetapi juga mengandung resiko dan ketidakpastian
masa depan perekonomian dunia sehingga dapat mempengaruhi tingkat
kemiskinan disuatu wilayah.
1
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi
utama suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan. Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun yang
dengan sendirinya kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun,
maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun (Tulus T.H.
Tambunan,2009).
Pembangunan merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan hidup suatu
negara. Menciptakan pembangunan yang berkesinambungan adalah hal penting
yang harus dilakukan oleh sebuah Negara dengan tujuan untuk menciptakan
kondisi bagi masyarakat untuk dapat menikmati lingkungan yang menunjang bagi
hidup sehat, umur panjang dan menjalankan kehidupan yang produktif.
Lanjouw dalam Ginting, dalam jurnal Deni Mirza (2012) menyatakan
pembangunan manusia di Indonesia adalah identik dengan pengurangan kemiski-
nan. Investasi di bidang pendidikan dan kesehatan akan lebih berarti bagi
penduduk miskin dibandingkan penduduk tidak miskin, karena aset utama
penduduk miskin adalah tenaga kasar mereka. Tersedianya fasilitas pendidikan
dan kesehatan murah akan sangat membantu untuk meningkatkan produktifitas,
dan pada gilirannya meningkatkan pendapatan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pembangunan manusia belum secara optimal dilakukan karena hanya
terfokus pada pengurangan kemiskinan,
Kemiskinan merupakan gambaran kehidupan negara berkembang, salah
satunya Indonesia. Seperti yang telah banyak diketahui, telah banyak kebijakan
dan program-program pemerintah untuk mengatasi kemiskinan namun tetap saja
2
penanggulangan kemiskinan tidak sesuai harapan karena terkendala dengan
kondisi masyarakat yang ada.
Bicara tentang kemiskinan, pada dasarnya dapat didefinisikan secara
sederhana maupun dalam arti luas. Dalam pengertian yang sederhana kemiskinan
dapat diterangkan sebagai kurangnya pemilikan materi atau ketidakcukupan
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sementara itu dalam arti yang lebih
luas kemiskinan dapat meliputi ketidakcukupan yang lain seperti rendahnya
tingkat pendidikan, rendahnya kesempatan kerja dan berusaha, keterbatasan akses
terhadap berbagai hal, dan lain-lain.
Karakteristik penduduk miskin secara lebih spesifik, di antaranya dicirikan
oleh beberapa hal sebagai berikut : (a) masyarakat miskin sebagian besar tinggal
di pedesaan dengan mata pencaharian dominan berusaha sendiri di sektor
pertanian (60,0 %); (b) sebagian besar (60 %) penduduk berpenghasilan rendah
mengkonsumsi energi kurang dari 2.100 kkal/ hari; (c) berdasarkan indikator
silang proporsi pengeluaran pangan (> 60 %) dan kecukupan gizi (energi < 80%),
diperoleh proporsi rumah tangga rawan pangan nasional mencapai sekitar 30,0 %;
dan (d) penduduk miskin dengan tingkat SDM yang rendah, umumnya tinggal di
wilayah dengan karakteristik marjinal, dukungan infrastruktur terbatas, dan
tingkat adopsi teknologi rendah (Asiah Hamzah, 2012).
Dari sekian banyak penduduk miskin, masyarakat yang berprofesi sebagai
petani merupakan jumlah terbanyak dari kelompok masyarakat miskin. Data
statistik indonesia tahun 2010 menunjukkan bahwa penduduk miskin berjumlah
31 juta jiwa dengan jumlah perkotaan 11 juta jiwa dan pedesaan yang mayoritas
masyarakatnya berprofesi sebagai petani sebanyak 19 juta jiwa. Kondisi ini
3
disebabkan oleh faktor penduduk desanya yang mengalami ketidakmerataan
pendistribusian hasil-hasil pembangunan, selain itu kemisinan di pedesaan juga
merupakan sikap mental penduduknya yang mengalami kemiskinan alamiah dan
kultural, keadaan ini dapat dilihat dari ketidakberdayaan mereka dalam
penguasaan modal, keterampilan, teknologi serta hambatan struktur yang
membuat mereka berada dalam lingkaran kemiskinan yang tidak ada ujungnya
selama turun-temurun.
Kemiskinan berpengaruh besar terhadap angka pengangguran. Salah satu
cara untuk keluar dari lingkaran kemiskinan adalah dengan menawarkan diri
untuk masuk kedalam pasar kerja, dengan bergabungnya seseorang dalam pasar
kerja tentu saja kesejahteraan seseorang tersebut meningkat, sehingga seseorang
tersebut bebas dari kemiskinan.
Secara umum pengertian pengangguran adalah seseorang yang tidak
memiliki pekerjaan atau sedang mencari kerja dan belum memiliki pekerjaan.
Pengangguran merupakan salah satu masalah pembangunan ekonomi yang
dialami oleh banyak negara berkembang karena seperti yang kita tahu negara
berkembang mempunyai masalah dengan jumlah penduduk sehingga sering kali
negara berkembang mengalami ledakan penduduk. Kebijakan-kebijakan untuk
mengatasi ledakan penduduk sudah dilaksanakan namun tetap saja penduduk
setiap tahunnya selalu bertambah.
Adapun faktor–faktor yang mempengaruhi perluasan kesempatan kerja
antara lain: perkembangan jumlah penduduk dan angkatan kerja, pertumbuhan
ekonomi dan kebijaksanaan mengenai perluasan kesempatan kerja itu sendiri.
Namun jika perkembangan jumlah penduduk melebihi peluang kesempatan kerja
4
tentu saja menyebabkan sebagian orang tidak mendapatkan pekerjaan. Tenaga
kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting disamping
sumber alam, modal dan teknologi. Tenaga kerja mempunyai peranan yang sangat
penting dalam pembangunan, yaitu sebagai pelaku pembangunan.
Masalah ketenagakerjaan merupakan masalah yang begitu nyata dan dekat
dengan lingkungan kita. Bahkan, masalah ketenagakerjaan dapat menimbulkan
masalah-masalah baru di bidang ekonomi maupun nonekonomi. Tingkat
pengangguran yang tinggi menyebabkan rendahnya pendapatan yang selanjutnya
memicu munculnya kemiskinan.
Indeks kemiskinan di Provinsi Riau dan kabupaten/kota terlihat menurun
pada tahun belakangan, hal ini terlihat dari urutan 24 tahun 1999, menjadi urutan
20 tahun 2002. Keberhasilan penurunan Indeks kemiskinan di Provinsi Riau tidak
terlepas dari semakin membaiknya akses penduduk terhadap air bersih dan
fasilitas kesehatan serta adanya perbaikan gizi balita. Keberhasilan menurunkan
nilai Indeks kemiskinan di kabupaten/kota merupakan hasil dari peningkatan
penyediaan pendidikan dasar, perbaikan akses terhadap air bersih dan perbaikan
gizi balita.
Kemiskinan dari sudut pandang pendapatan tidak selalu sejalan dengan
Indeks kemiskinan, karena kedua ukuran tersebut mengukur aspek kemiskinan
yang berbeda. Kemiskinan pendapatan yang dinyatakan dalam bentuk proporsi
penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan (angka kemiskinan) mengukur
deprivasi relatif pada standar kehidupan yang sudah tercapai, sedangkan indeks
kemiskinan mengukur deprivasi yang dapat menghambat kesempatan yang
dimiliki penduduk untuk mencapai standar kehidupan yang lebih baik.
5
Tabel dibawah ini menunjukkan jumlah penduduk miskin mengalami
penurunan setiap tahunnya. Menurut indikator kemiskinan BPS, terlihat pada
tahun 2002 jumlah penduduk miskin 722.410 jiwa menjadi 482.050 jiwa pada
tahun 2011, ini berarti kebijakan-kebijakan dilaksanakan dengan baik meskipun
tetap saja angka kemiskinan Provinsi Riau masih tergolong tinggi dan tidak
mendorong pembangunan lebih baik sama sekali.
Tabel B.1: Jumlah Penduduk, Jumlah Penduduk Miskin, dan Jumlah Pengangguran di Provinsi Riau Tahun 2002-2011
TahunJumlah
Penduduk (Jiwa)
Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa)
Jumlah Pengangguran Terbuka (Jiwa)
2002 4.125.295 722.410 215.1572003 4.413.432 751.300 250.2862004 4.491.393 744.400 364.5942005 4.614.930 600.400 307.8622006 4.764.205 564.900 202.3872007 4.984.304 574.500 207.1382008 5.189.154 566.700 183.5222009 5.306.533 527.500 193.5052010 5.538.367 500.300 207.2472011 5.738.543 482.050 136.222
Sumber: Riau dalam angka 2002-2011, Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/ Kota 2002-2011
Sementara pada jumlah pengangguran terbuka mengalami fluktuasi dari
tahun ke tahun. Ini dapat dilihat pada tahun 2002 angka pengangguran sebesar
215.157 jiwa dan mengalami kenaikan pada tahun berikutnya yaitu 250.286 jiwa.
Angka ini terus mengalami kenaikan hingga pada tahun 2006 mengalami
penurunan sebanyak 202.387 jiwa hingga tahun 2010 kembali angka
pengangguran kembali naik sebanyak 207.247 jiwa. Namun dari sekian tahun,
angka pengangguran yang paling besar terdapat pada tahun 2004 dimana pada
tahun tersebut tercatat sebesar 364.594 jiwa. Jumlah penduduk miskin di Provinsi
6
Riau relatif besar yang tersebar pada daerah pesisir, aliran sungai, kepulauan dan
daerah pedalaman yang terisolir.
Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang
tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai
kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Dalam arti sempit kemiskinan
dapat diartikan sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin
kelangsungan hidup. Menurut BPS (2007), seseorang masuk dikategorikan miskin
jika pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan. Harga kebutuhan yang
semakin naik membuat orang berpikir bahwa jika ingin mendapatkan pekerjaan
harus dengan upah yang sesuai sehingga kebutuhannya tercukupi dan terbebas
dari kemiskinan, sehingga pemerintah menetapkan upah minimum sebagai salah
satu cara untuk menanggulangi kemiskinan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-01/Men/1999,
Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah
pokok termasuk tunjangan tetap. Menurut UU No. 13/2003, upah minimum
diarahkan pada pencapaian kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu kebijakan upah minimum
adalah salah satu strategi pemerintah menanggulangi kemiskinan, dengan
menghitung kebutuhan dasar, seperti: pangan, sandang, dan perumahan, sekaligus
sebagai jaring pengaman sosial dengan menghitung kebutuhan pendidikan dasar
dan jasa transportasi.
Kebijakan upah minimum juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan.
Gagasan upah minimum yang sudah dimulai dan dikembangkan sejak awal
tahun1970-an bertujuan untuk mengusahakan agar dalam jangka panjang besarnya
7
upah minimum paling sedikit dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum
(KHM), sehingga diharapkan dapat menjamin tenaga kerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup beserta keluarga dan sekaligus dapat mendorong peningkatan
produktivitas kerja dan kesejahteraan buruh (Sonny Sumarsono, 2003).
Riau merupakan salah satu provinsi dengan upah minimum yang tinggi. Ini
menjadi salah satu daya tarik para pencari kerja dari luar provinsi masuk dan
bergabung dalam pasar tenaga kerja di Provinsi Riau. kebijakan pemerintah untuk
meningkatkan upah minimum di suatu daerah akan berdampak terhadap
peningkatan upah rata-rata buruh Provinsi Riau. Semakin tinggi peningkatan upah
minimum, semakin rendah peningkatan tingkat kemiskinan di Riau.
Tabel B.2: Jumlah Upah Minimum Provinsi (UMP) Riau 2002-2011
Tahun Upah Minimum Provinsi (Rp)2002 394.0002003 437.5002004 476.9002005 551.5002006 637.0002007 710.0002008 800.0002009 901.6002010 1.016.0002011 1.120.000
Sumber: Riau Dalam Angka 2002-2011
Tingkat upah minimum meningkat dari tahun ke tahun, terlihat pada tahun
2002 sebesar Rp. 394.000,- dan menjadi Rp. 1.120.000,- pada tahun 2011. Ini
menunjukkan bahwa pemerintah Provinsi Riau mengambil langkah kebijakan
yang tepat untuk mengurangi pengangguran yang memicu pada menurunnya
angka kemiskinan Provinsi Riau.
8
Dengan tingkat upah minimum yang meningkat setiap tahunnya, hanya
sebagian saja yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. Terbukti dari masih
meningkatnya angka kemiskinan dan angka pengangguran yang masih tinggi.
C. RUMUSAN MASALAH
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang melekat dan sulit
untuk ditanggulangi. untuk menanggulangi masalah kemiskinan tentu harus
ditanggulangi dari dasar. Seperti menaikkan upah minimum dan perluasan
kesempatan kerja sehingga masyarakat mampu mencukupi kebutuhan pokoknya.
Dari latar belakang yang dikemukakan, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di
Provinsi Riau.
2. Bagaimana pengaruh tingkat upah minimum provinsi terhadap tingkat
kemiskinan di Provinsi Riau.
D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan uraian latar belakang serta perumusan masalah, dapat
disimpulkan tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tujuan penelitian:
1. Menganalisis pengaruh jumlah pengangguran terbuka terhadap tingkat
kemiskinan di Provinsi Riau.
2. Menganalisis pengaruh upah terhadap tingkat kemiskinan di provinsi
Riau.
Manfaat penelitian:
9
1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dalam berfikir terutama menyangkut masalah yang sedang diteliti.
2. Bagi pengambil kebijakan, sebagai bahan pertimbangan dalam
menetapak kebijakan pembangunan daerah.
3. Sebagai bahan referensi dan informasi bagi pihak-pihak yang
melakukan studi terkait.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
BAB III : METODE PENELITIAN
BAB IV : GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
BAB V : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
F. TELAAH PUSTAKA
1. Konsep kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa yang selalu hadir
ditengah masyarak khususnya negara berkembang dalam konteks masyarakat
Indonesia. Masalah kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa
relevan untuk terus dikaji.
Kemiskinan tidak hanya berkenaan dengan pendapatan tapi juga dari aspek
sosial, lingkungan dan tingkat partisipasi. Sen (1995) menyatakan bahwa
kemiskinan jangan dianggap hanya sebagai pendapatan rendah (low income),
tetapi harus dianggap sebagai ketidakmampuan kapabilitas (capability handicap).
kemiskinan dapat menjadi penentu dan faktor dominan yang mempengaruhi
10
persoalan kemanusiaan seperti keterbelakangan, kebodohan, ketelantaran,
kriminalitas, kekerasan, perdagangan manusia, buta huruf, putus sekolah, anak
jalanan, pekerja anak. Dengan demikian kemiskinan tidak bisa hanya dipandang
dari satu sisi rendahnya pendapatan tetapi harus dari banyak aspek yang saling
terkait sehingga bersifat multidimensi.
Menurut Chambers dalam Nanga (2006) dalam junal Yarlina Yakub (2012)
menyatakan, kemiskinan terutama di daerah pedesaan (rural poverty) adalah
masalah ketidakberdayaan (powerlessness), keterisolasian (isolation), kerentanan
(vulnarability) dan kelemahan fisik (physical weakness), dimana satu sama lain
saling terkait dan mempengaruhi. Namun demikian, kemiskinan merupakan faktor
penentu yang memiliki pengaruh paling kuat dari pada yang lainnya.
Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena
dikehendaki miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari kekuatan yang ada
pada-Nya. (Bellinger, 2007) mengatakan konsep kemiskinan melibatkan
multidimensi, multidefinisi dan alternatif pengukuran. Kemiskinan merupakan
satu dari masalah yang sulit untuk didefinisikan dan dijelaskan. Secara umum,
kemiskinan dapat diukur dalam dua dimensi yaitu dimensi income atau kekayaan
dan dimensi non-faktor keuangan. Kemiskinan dalam dimensi income atau
kekayaan tidak hanya diukur dari rendahnya pendapatan yang diterima karena
pendapatan rendah biasanya bersifat sementara, tetapi juga diukur melalui
kepemilikan harta kekayaan seperti lahan bagi petani kecil dan melalui akses jasa
pelayanan publik. Sedangkan dari dimensi non-faktor keuangan ditandai dengan
adanya keputusasaan atau ketidakberdayaan yang juga dapat menimpa berbagai
rumah tangga berpenghasilan rendah.
11
Menurut Suparlan dalam Juwanita (2004) mengatakan bahwa kemiskinan
adalah suatu standar hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan
materi pada sejumlah atau segolongan yang dibandingkan dengan standar
kehidupan yang umum berlaku dalam kehidupan masyarakat bersangkutan.
Standar hidup rendah ini secara langsung nampak mempengaruhi terhadap tingkat
kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong
miskin.
Suparlan mendefinisikan penduduk miskin antara lain:
1. Konsep kemiskinan terkait dengan kemampuan seseorang atau rumah
tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik untuk makanan maupun
non-makanan.
2. Seseorang atau rumah tangga dikatakan miskin bila kehidupannya
dalam kondisi serba kekurangan, sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya.
3. Batas kebutuhan dasar minimal dinyatakan melalui ukuran garis
kemiskinan yang disertakan dengan jumlah rupiah yang dibutuhkan.
Menurut Puji Hardiyanti (2006), secara teoritis kemiskinan menurut
penyebabnya dapat dibedakan menjadi dua kategori:
1. Kemiskinan natural atau alamiah
Kemiskinan natural atau alamiah adalah kemiskinan yang timbul sebagai
akibat terbatasnya jumlah sumber daya atau karena tingkat perkembangan
teknologi yang sangat rendah. Artinya faktor-faktor yang menyebabkan
masyarakat menjadi miskin secara alami memang ada, dan bukan bahwa akan ada
kelompok atau individu dalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang
12
lain. Mungkin saja dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut akan terdapat
perbedaan kekayaan tetapi dampak perbedaan tersebut akan diperlunak oleh
adanya pranata-pranata sosial untuk meredam kemungkinan timbulnya
kecemburuan sosial.
2. Kemiskinan struktural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial
yang ada membuat anggota membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak
menguasai sarana atau fasilitas yang ada. Dengan demikian sebagian sebagian
anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang
dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua
anggota masyarakat dalam kemiskinan.
Ada beberapa isu sentral yang menjadi fokus perhatian bagi upaya
penanggulangan kemiskinan (Beni, 2001), yaitu sebagai berikut:
1. Upaya penanggulangan kemiskinan harus bersifat local spesific.
Maksudnya bahwa penanggulangan kemiskinan harus dapat
dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat lokal sesuai dengan
kondisi daerah tersebut.
2. Upaya pengentasan kemiskinan dalam era otonomi daerah harus diikuti
dengan perbaikan faktor-faktor produksi, antara lain: (a) melalui
penetapan kebijakan land reform melaluiperaturan daerah; (b)
terbentuknya lembaga keuangan mikro untuk membiayai usaha rakyat.
3. Program penanggulan kemiskinan harus merupakan program
pembangunan yang produktif dan memberi sumbangan terhadap
13
peningkatan pendapatan masyarakat miskin di tingkat akar rumput
secara berkelanjutan dan dengan pendampingan yang intensif.
4. Dalam suasana demokratisasi dan desentralisasi, upaya penanggulangan
kemiskinan secara berkelanjutan tidak lepas dari berbagai hal yang
terkait, yaitu (a) terselenggaranya praktik pemerintahan yang baik (good
governance); (b) pembagian peran yang jelas antara pemerintah pusat
dan daerah; (c) kerja sama (partnership) antara pemerintah, swasta, dan
masyarakat sipil (civil society) dalam penanggulangan kemiskinan; dan
(d) upaya pemberdayaan masyarakat yang bertumpu pada kekuatan
setempat.
1.1 Indikator Kemiskinan
Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau
sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat.
Indikator kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bappenas mempunyai makna
yang relatif luas, yaitu dari berbagai sisi kebutuhan kehidupan, antara lain adalah;
(1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya
mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya
perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses
layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8)
lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi
lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat
14
terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya
partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya
tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang
menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya
korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Indikator kemiskinan yang umum digunakan di Indonesia adalah garis
kemiskinan (poverty line). BPS (Badan Pusat Statistik) menentukan batas garis
kemiskinan di Indonesia berdasarkan besaran rupiah yang digunakan untuk
dibelanjakan per bulan untuk memenuhi kebutuhan minimu makanan dan bukan
makanan. Indikator menurut BPS adalah:
1. Tidak miskin. adalah mereka yang pengeluaran per orang per bulan
lebih dari Rp 350.610,-
2. Hampir tidak miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala antara
Rp 280.488,- sampai Rp 350.610,- atau sekitar antara Rp 9.350,-
sampai Rp11.687,- per orang per hari.
3. Hampir miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp
233.740,- sampai Rp 280.488,- atau sekitar antara Rp 7.780,- sampai
Rp 9.350,- per orang per hari.
4. Miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala Rp 233.740,-
kebawah atau sekitar Rp 7.780,- kebawah per orang per hari.
5. Sangat miskin (kronis) tidak ada kriteria berapa pengeluaran per orang
per hari. Tidak diketahui dengan pasti berapa jumlas pastinya.
15
Kebutuhan minimum makanan digunakan standar 2.100 kalori per hari,
sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan mencakup
pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dalam upaya pengidentifikasian penduduk miskin, indikator kemiskinan
yang digunakan BKKBN Provinsi Riau yang dikombinasikan dengan indikator
yang digunakan Badan Kesejahteraan Sosial Provinsi Riau yaitu:
1. Frekuensi makanan minimal 2 kali sehari.
2. Konsumsi lauk paku berprotein tinggi.
3. Memiliki pakaian yang berbeda untuk kegiatan yang berbeda.
4. Kepemilikan aset.
5. Luas lantai perkapita.
6. Jenis lantai
7. Ketersediaan air bersih
8. Kepemilikan jamban
2. Teori pengangguran
Pengangguran adalah masalah makroekonomi yang mempengaruhi manusia
secara tidak langsung dan paling berat. Bagi kebanyakan orang, kehilangan
pekrjaan berarti menurunnya standar kehidupan dan tekanan psikologis (Mankiw,
2000)
Efek buruk dari pengangguran adalah mengurangi pendapatan masyarakat
yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran yang dicapai seseorang.
Semakin turunnya kesejahteraan masyarakat karena menganggur tentunya akan
meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki
pendapatan (Sadono Sukirno, 2004)
16
Menurut Badan Pusat Statistik (2010) pengangguran adalah penduduk yang
tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu
usaha atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan atau yang sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum
memulai bekerja.
Menurut BPS pengangguran di Indonesia diklasifikan kedalam dua jenis
kelompok besar. Pertama, pengangguran terbuka, yaitu seluruh angkatan kerja
yang mencari kerja, baik para pencari kerja baru (first time job) maupun mereka
yang sebelumnya pernah bekerja. Kedua, setengah menganggur, yaitu mereka
yang bekerja dibawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam dalam seminggu) dan
masih mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan.
Menurut Kuncoro (2000) dengan menggunakan pendekatan angkatan kerja,
pengangguran terbagi menjadi tiga jenis yaitu pertama, pengangguran friksional.
Pengangguran jenis ini adalah pengangguran yang muncul karena pekerja masih
masih mencari pekerjaan yang sesuai jadi ia menganggur bukan karena bukan
karena tidak adak ada pekerjaan. Pengagguran ini tidak menimbulkan masalah dan
bisa diselesaikan dengan pertumbuhan ekonomi. Kedua, pengangguran struktural,
yaitu pengagguran yang muncul karena perubahan struktur dan kondisi
perekonomian. Pengangguran ini sulit diatasi karena terkait dengan strategi
pembangunan sebuah negara. Meskipun demikian pengagguran ini dapat diatasi
dengan melakukan pelatihan agar tercipta tenaga kerja terampil. Ketiga,
pengangguran musiman, yaitu pengangguran yang terjadi karena faktor musim.
Misalnya para pekerja industri yang mengandalkan hidupnya dari pesanan.
17
Pengagguran ini juga tidak menimbulkan masalah, meskipun belum ada bukti
empirik yang mendukung.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran menurut
Marhaeni dan Manuati (2004) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat pengangguran, yaitu sebagai berikut:
1. Tingkat upah; dimana tingkat upah memegang peranan penting atau
sangat berpengaruh besar dalam kondisi ketenagakerjaan.
2. Teknologi; penggunaan teknologi yang tepat guna akan mengurangi
permintaan tenaga kerja sehingga akan meningkatkan jumlah
pengangguran.
3. Fasilitas modal; fasilitas modal mempengaruhi permintaan tenaga kerja
melalui dua sisi. Pengaruh substitutif, dimana bertambahnya modal
akan mengurangi permintaan tenaga kerja. Pengaruh komplementer,
dimana bertambahnya modal akan membutuhkan tenaga kerja yang
lebih banyak untuk mengelola modal yang tersedia.
4. Struktur perekonomian; perubahan struktur ekonomi menyebabkan
penurunan permintaan tenaga kerja.
Adapun secara dasar penyebab terjadinya pengangguran adalah karena
terjadinya ketidak seimbangan antara faktor-faktor penyebab terjadinya
pengangguran sebagaimana diketahui secara umum (Sugiyanto,2006), antara lain:
1. Rendahnya tingkat pendidikan
2. Rendahnya keterampilan dan pengalaman yang dimiliki
3. Tidak sebandingnya antara kerja dan lahan pekerjaan
4. Faktor-faktor lain (misalnya pilih-pilih pekerjaan)
18
6. Teori upah
Besaran upah dapat memiliki hubungan positif atau negatif dengan tingkat
pengangguran. Hal ini terjadi karena upah minimum yang diterima adalah upah
terendah yang akan diterima oleh pencari kerja. Hal tersebut memiliki hubungan
antara seseorang untuk menganggur dalam waktu tertentu untuk mencari
pekerjaan terbaik dan tentunya upah yang tinggi. Jika tenaga kerja menetapkan
upah tertentu sebagai upah minimum yang diterima dan seluruh upah yang
ditawarkan besarnya dibawah besaran upah tersebut maka seseorang akan
menolak mendapatkan upah tersebut. Pada pihak pengusaha, penetapan upah
minimum yang tinggi akan menyebabkan tingkat pengangguran yang bertambah.
Hal ini dikarenakan perusahaan mengambil kebijakan efisiensi biaya produksi
dengan mengurangi tenaga kerja. Besaran yang digunakan untuk mengukur
tingkat pengangguran yang dilakukan adalah dengan besaran upah rata-rata per
propinsi dalam satu tahun (Ronny. P dan Bannatul, 2012)
Kebijakan upah minimum merupakan sistem pengupahan yang telah banyak
diterapkan di beberapa negara, yang pada dasarnya bisa dilihat dari dua sisi.
Pertama, upah minimum merupakan alat proteksi bagi pekerja untuk
mempertahankan agar nilai upah yang diterima tidak menurun dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Kedua, sebagai alat proteksi bagi perusahaan untuk
mempertahankan produktivitas pekerja (Simanjuntak, 1992)
Studi Waisgrais (2003) dalam Rini Sulistiawati (2011) menemukan bahwa
kebijakan upah minimum menghasilkan efek positif dalam hal mengurangi
kesenjangan upah yang terjadi pasar tenaga kerja. Studi Askenazy (2003) juga
menunjukkan bahwa upah minimum memberikan dampak positif terhadap
19
pertumbuhan ekonomi melalui akumulasi modal manusia. Implikasi upah
minimum terhadap kesejahteraan akan terwujud dalam perekonomian yang
kompetitif.
(Ricardo dalam Deliarnov, 2009) nilai tukar suatu barang ditentukan oleh
biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan barang tersebut, yaitu biaya bahan
mentah dan upah buruh yang besarnya hanya untuk bertahan hidup bagi buruh
yang bersangkutan. Upah sebesar ini disebut sebagai upah alami (natural wage).
Besarnya tingkat upah alami ini ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan
setempat. Tingkat upah alami naik proporsional dengan standar hidup masyarakat.
Sama halnya dengan harga-harga lainnya, harga tenaga kerja (upah) ditentukan
oleh permintaan dan penawaran, maka dalam kondisi ekuilibrium , secara teoritis
para pekerja akan menerima upah yang sama besarnya dengan nilai kontribusi
mereka dalam produksi barang dan jasa (Mankiw, 2003).
Gambar 1: Model Pasar Bebas Kompetitif Tradisional
DL SL
W2 F G
We
W1 SL DL
Le
Titik We melambangkan tingkat upah ekuilibrium (equilibrium wage rate),
pada tingkat upah yang lebih tinggi seperti pada W2 , penawaran tenaga kerja
melebihi permintaan sehingga persaingan di antara individu dalam rangka
20
memperebutkan pekerjaan akan mendorong turunnya tingkat upah mendekati atau
tepat ke titik ekuilibriumnya, yakni We. Sebaliknya pada upah yang lebih rendah
seperti W1, jumlah total tenaga kerja yang akan diminta oleh produsen akan
melebihi kuantitas penawaran yang ada sehingga terjadi persaingan diantara para
pengusaha dalam memperebutkan tenaga kerja dan mendorong kenaikan tingkat
upah mendekati atau tepat ke titik ekulibrium, We. Kelemahan dari model Pasar
Bebas Kompetitif Tradisional adalah kurang memberikan petunjuk yang berarti
mengenai kenyataan determinasi upah dan lapangan kerja khususnya di negara
berkembang. Mekanisme penyesuaian otomatis dalam pasar tidak akan mampu
mendorong tingkat upah riil sampai pada tingkat We yang merupakan tingkat
upah ekuilibrium (Todaro, 2000)
Kebijakan upah minimum harus diintegrasikan dengan kebijakan lain agar
upaya peningkatan kesejahteraan buruh dapat lebih efektif. Kewajiban negara ini
dapat dilakukan diantaranya melalui penyediaan akses terhadap pelayanan publik
(seperti perumahan, pelayanan kesehatan, tranportasi, pendidikan untuk anak),
subsidi dan pengelolaan jaminan sosial bagi buruh, penegakan hukum dalam
masalah jaminan sosial, insentif pajak bagi perusahaan yang memberikan opsi
kepemilikan saham, serta upaya peningkatan kesejahteraan buruh secara lokal
dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah (M. Adriani Kappatari, 2002).
Pengertian upah menurut Undang-Undang Tenaga Kerja (No.13 Tahun
2000, Bab I, pasal 1, Ayat 30): "Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha / pemberi kerja
kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan di bayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi
21
pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan
dilakukan."
7. Penelitian terdahulu
Penelitian oleh Yarlina Yacoub (2012) berjudul “Pengaruh Tingkat
Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan Kabupaten/ Kota di Provinsi
Kalimantan Barat”. Penelitian ini ingin menguji hubungan antara tingkat
pengangguran dan tingkat kemiskinan. Penelitian ini berbasis pada penelitian
deskriptif dan explanatory, dengan teknik analisis regresi melalui bantuan SPSS.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
dari BPS yang merupakan pooled the data yaitu gabungan antara time series
(tahun 2005 - tahun 2010, selama 6 tahun dengan cross section 12 kabupaten/kota
di Provinsi Kalimantan Barat. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah
bahwa penganggur yang ada di rumahtangga tersebut tidak secara otomatis
menjadi miskin karena ada anggota keluarga lain yang memiliki pendapatan yang
cukup untuk mempertahankan keluarganya hidup berada di atas garis kemiskinan.
Ini terutama terjadi pada pengangguran terdidik dan total pengangguran terbuka di
Provinsi Kalimantan Barat yang tersebar di seluruh kabupaten/kota, sebanyak
47,86% adalah pengangguran terbuka dengan tingkat pendidikan Tamat SLTA ke
atas (pengangguran terdidik). Tingkat pengangguran berpengaruh signifikan
terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/ Kota Provinsi Kalimantan Barat.
Penelitian yang dilakukan oleh Denni Sulistio Mirza (2012) yang berjudul
“Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal terhadap IPM
di Jawa Tengah tahun 2006-2009”. Data yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan data sekunder yang bersumber pada laporan badan pusat statistik (BPS
22
Jateng) khususnya data tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 dengan Jenis data
yang digunakan adalah data panel yaitu gabungan time series dan cross section.
Data time series periode tahun 2006 – 2009 sedangkan data cross section adalah
35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan Indeks Pembangunan Manusia
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 2006-2009 mengalami
peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 0,49. Analisis regresi dengan
panel data pengaruh kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan belanja modal
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 2006-
2009 diperoleh hasil bahwa kemiskinan mempunyai pengaruh negatif dan
signifikan pada taraf 5% terhadap IPM di Provinsi Jawa Tengah yang berarti
kemiskinan yang semakin menurun maka Indeks Pembangunan Manusia semakin
meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Nano Prawoto (2009) dengan judul
“Memahami Kemiskinan dan Strategi Penanggulangannya”. Hasil penelitian
menyimpulkan strategi untuk meningkatkan kemampuan dan mendorong
produktivitas agar terhindar dari kemiskinan adalah peningkatan kemampuan
dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan, melibatkan masyarakat
miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan strategi
pemberdayaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Maulana Tufan Permana, Hasbi Yasin, dan
Agus Rusgiyono yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Tingkat Kemiskinan di
Kabupaten Wonosobo dengan Pendekatan Geographically Weighted Regression”.
Penelitian ini mencoba menganalisis persentase banyaknya penduduk miskin di
23
Kabupaten Wonosobo dengan membandingkan model regresi global dengan
geographically weighted regressin (GWR) yaitu adalah metode statistika yang
digunakan untuk menganalisis heterogenitas spasial. Model GWR hanya sedikit
menaikkan nilai R2. yaitu hanya 0.18%. Jadi model yang cocok digunakan untuk
persentase rumah tangga miskin di Kabupaten Wonosobo adalah Model Regresi
Global yang mampu menerangkan keragaman tingkat kemiskinan (Y) sebesar
58.07% dengan nilai jumlah kuadrat errornya 23.1494 dan nilai AIC 101.7120.
Faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kabupaten
Wonosobo adalah Persentase banyaknya keluarga yang memiliki permukiman
kumuh, Persentase banyaknya keluarga penderita gizi buruk, dan Persentase
banyaknya keluarga yang memiliki lahan pertanian.
Penelitian yang dilakukan oleh Rini Sulistiawati (2012) dengan judul
“Pengaruh Upah Minimum Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan
Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia”. Penelitian ini termasuk dalam
jenis penelitian eksplanatori, yaitu suatu penelitian yang menjelaskan hubungan kausal
antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis. Penelitian ini dilakukan secara
sensus dengan data berbentuk times series dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010,
dan data cross-section yang terdiri atas 33 provinsi, sehingga merupakan data panel atau
pooled the data yaitu gabungan antara data times series (tahun 2006 s.d 2010 = 5 tahun)
dengan data cross-section (33 provinsi) oleh karena itu tidak diperlukan pengujian data.
Berdasarkan hasil pengujian koeffisien jalur sesuai persamaan struktur 1 dan struktur 2
diperoleh hasil bahwa variabel Upah Minimum (X1) berpengaruh signifikan terhadap
Penyerapan Tenaga Kerja, sedangkan variabel Penyerapan Tenaga kerja (Y1) mempunyai
pengaruh yang tidak signifikan terhadap variabel Kesejahteraan Masyarakat (Y2).
24
Agi Ridzki Darajat (2012) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2001-
2010”. Penelitian ini mencoba menganalisis hubungan kemiskinan, pertumbuhan
ekonomi, upah minimum, dan tingkat pengangguran dengan alat analisis yang digunakan
adalah Analisis Koefisien Determinasi (R²), Uji t-statistik, Uji F-statistik, Uji
Multikolinearitas, Uji Autokorelasi, Uji Heterokedastis, dan Uji Normalitas analisis
deskriptif yaitu menganalisis masalah dengan cara mendeskripsikannya melalui tabel,
dengan menggunakan software Eviews dan analisis kuantitatif. Hasil pengukuran
pengukuran statistik diperoleh bahwa pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan
upah minimum secara bersama memiliki pengaruh sebesar kuat 95,79% terhadap
kemiskinan. Namun secara parsial untuk pertumbuhan ekonomi tidak kuat hal ini
diduga laju pertumbuhan ekonomi belum mencerminkan pemerataan pembangunan di
Kota Tasikmalaya sehingga berkontribusi terjadinya kemiskinan. Sedangkan untuk
pengangguran dan upah minimum sangatlah berpengaruh kuat terhadap kemiskinan
di Kota Tasikmalaya dengan arah hubungan yang berlawanan.
G. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan dari penjelasan dari latar belakang dan landasan teori yang ada
maka kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah pengangguran dan tingkat
upah minimum merupakan factor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Riau.
Berikut gambar kerangka penelitian :
25
Tingkat Pengangguran
Upah Minimum Provinsi
Tingkat Kemiskinan
Penelitian ini mencoba mendeskripsikan hubungan antara tingkat
pengangguran dengan tingkat kemiskinan. Selain itu, penelitian ini melihat
hubungan upah minimum provinsi dengan tingkat kemiskinan di Provinsi Riau.
HIPOTESIS.
Hipotesis adalah kesimpulan atau pemikiran sementara yang masih perlu
diuji kebenarannya untuk menjawab permasalahan yang diajukan didalam
penelitian. Dengan mengacu pada dasar pemikiran yang bersifat teoritis dan
berdasarkan studi empiris yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian
dibidang ini, maka akan diajukan hipotesis sebagai berikut :
1 : Tingkat pengangguran terbuka berpengaruh positif terhadap
tingkat kemiskinan di Provinsi Riau.
2 : Upah minimum berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan
di Provinsi Riau.
H. METODE PENELITIAN
1. Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di provinsi Riau, karena penulis melihat sebagai
provinsi yang tergolong pesat kemajuannya serta perkembangannya. Selain itu
memiliki sumber daya manusia yang cukup banyak dan memiliki letak yang
strategis untuk jalur perdagangan. Akan tetapi jumlah penduduk miskin masih
relatif besar.
2. Jenis dan sumber data
Jenis data yang digunakan didalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu
data yang telah disusun secara teratur dan berupa laporan-laporan yang telah
diterbitkan oleh instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik maupun publikasi,
26
jurnal-jurnal maupun brosur-brosur serta buku referensi dan kepustakaan yang
dianggap relevan dengan maksud dan tujuan penelitian.
3. Teknik pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis pakai yaitu pengumpulan
data langsung kepada Badan Pusat Statistik dan instansi terkait lainnya guna
memperoleh informasi dan data-data yang diperlukan seperti data jumlah
pengangguran, upah minimum provinsi dan jumlah penduduk miskin, serta studi
kepustakaan yaitu mencari, mempelajari serta memahami buku-buku dan jurnal-
jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Definisi operasional dan indikator variabel
Kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidak mampuan dalam memenuhi
kebutuhan dasar. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah jumlah
penduduk miskin tahun 2002-2011 dalam satuan jiwa.
Jumlah Pengangguran merupakan jumlah penduduk yang sudah masuk
sebagai angkatan kerja tetapi belum mendapat perkerjaan atau sedang mencari
pekerjaan baik pencari kerja baru atau yang sebelumnya pernah bekerja. Dalam
penelitian ini data yang digunakan adalah jumlah pengangguran terbuka tahun
2002-2011.
Upah yaitu suatu balas jasa yang diterima oleh para pekerja sebagai imbalan
atau balas jasa yang diberikan oleh para pemberi kerja. Didalam penelitian ini
upah yang digunakan adalah Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2002-2011
dalam satuan rupiah.
27
5. Metode analisis
Metode analisis yang digunakan adalah menggunakan metode yang bersifat
kuantitatif yaitu untuk melihat seberapa besar dan bagaimana hubungan antara
tingkat pengangguran dan tingkat upah terhadap tingkat kemiskinan di Riau.
Dalam penelitian ini menggunakan metode linear regresi berganda untuk
mengetahui seberapa besar hubungan antara variabel independent yaitu jumlah
pengangguran dan tingkat upah terhadap variabel dependent yaitu tingkat
kemiskinan di Riau. Hubungan antara variabel tersebut dapat ditulis sebagai
berikut :
Y=f ( X1 , X2 , …, Xn)
Dengan menggunakan persamaan regresi liner berganda persamaan diatas
dapat ditulis sebaai berikut :
Y=β0+β1 X1+β2 X2+μ
Dimana :
Y = Jumlah penduduk miskin (orang)
β0 = Konstanta
β1, β2 , β3 = Koefisian regresi
X1 = Jumlah pengangguran (orang)
X2 = Tingkat Upah Minimum (Rp)
µ = Disturbance Error atau kesalahan pengganggu
pada persamaan linier
Pengujian Hipotesis dilakukan beberapa uji koefisien regresi secara
simultan (uji F) parsial atau individual (uji T), uji koefisien korelasi (r), dan uji
koefisien determinasi (R2).
28
1. Uji Simultan ( Uji F ), Uji simultan menunjukkan bahwa apakah
terdapat pengaruh dari variabel bebas/prediktor terhadap variabel
terikat/respon secara simultan. Hipotesis pada uji F yaitu :
- H0 : Seluruh variabel bebas tidak mempengaruhi variabel terikat
secara simultan
- H1 : Seluruh variabel bebas mempengaruhi variabel terikat secara
simultan.
Pada regresi linier berganda, kondisi yang diharapkan adalah
menerima hipotesis H1. Hipotesis H1 diterima apabila nilai F hitung
lebih besar dari nilai F tabel ( Fdf1,df2 (α)) atau nilai signifikansi lebih
kecil dari alpha 5% (0.050).
2. Uji Parsial ( Uji T ), Uji parsial menunjukkan bahwa apakah setiap
variabel bebas dapat memberikan pengaruh pada variabel terikat.
3. Koefisien Korelasi (r), digunakan untuk mengukur keeratan
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
semakin besar nilai koefisien korelasi maka semakin erat hubungan
antara variabel independen dan variabel dependen atau sebaliknya.
4. Determinasi Berganda (R2) dari suatu perhitungan berkisar antara
+1 dan -1, koefisien korelasi yang bertanda (+) menunjukkan arah
korelasi yang positif, sedangkan yang bertanda (-) menunjukan arah
yang negatif. Sementara itu bila koefisien korelasi bernilai 0, berarti
tidak ada hubungan antara variabel satu dengan variabel lainnya.
Koefisien korelasi bernilai 1, berarti hubungan antara variabel satu
dengan yang lainnya kuat.
29
I. DAFTAR PUSTAKA
Adioetomo, Sri Moertiningsih dan Omas Bulan Samosir. 2010. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Salemba Empat.
Badan Pusat Statistik. 2002-2011. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/ Kota. Pekanbaru: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2002-2011. Keadaan Angkatan Kerja Provinsi Riau. Pekanbaru: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2005. Pendataan Penduduk/ Keluarga Miskin Provinsi Riau 2004. Pekanbaru: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2011. Perhitungan dan Analisis Kemiskinan Provinsi Riau. Pekanbaru: Badan Pusat Statistik.
Basriman. 2013. Profil Masyarakat Riau, http://distan.riau.go.id/index.php/profil-riau/masyarakat. (diakses 22 Januari 2013)
30
Darajat, Agi Ridzki. 2012. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kota Tasikmalaya Periode Tahun 2001-2010”. Journal Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Tasikmalaya.
Hasan, Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara.
Jhingan, M.L. 2003. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Raja Grafindo Pustaka.
Mankiw, N. Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi: edisi keempat. Jakarta: Erlangga.
Mirza, Sulistio Deni. 2012. “ Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Jawa Tengah Tahun 2006-2009”. Economics Development Analysis Journal. Semarang.
Mubiyarto. 1999. Reformasi Sistem Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Mulyadi, S. 2003. “Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembangunan”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nursetyo, Dody, Yekti Hapsoro, Gunanto. 2013. “Analisis Pengaruh Variabel Makroekonomi Regional Terhadap Tingkat Kemiskinan Perkotaan (Studi Kasus 44 Kota di Indonesia tahun 2007-2010).” Diponegoro Journall of Economics Vol. 2 No. 2, 2011. Semarang.
Prawoto, Nano. 2009. “Memahami Kemiskinan dan Strategi Penanggulangannya”. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan Vol. 9 No. 1, 2009. Yogyakarta.
Purwanto. 2005. “Menanggulangi Masalah Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia dalam Perspektif Ekonomi”. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan vol. 2 No. 3, 2005. Yogyakarta.
Republik Indonesia. 1999. Peraturan Menteri tentang Upah Minimum. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Upah Minimum. Jakarta: Sekretariat Negara.
Sukirno, Sadono. 2000. Ekonomi Pembangunan Proses dan Masalah Dasar. Jakarta : LPFE-UI.
Sukirno, Sadono. 2002. Makro Ekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sukirno, Sadono. 2004. Pengantar Makro Ekonomi. Jakarta: Rajawali Press.
31
Sulistiawati, Rini. 2012. “Pengaruh Upah Minimum terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi di Indonesia”. Jurnal EKSOS Vol. 8 No. 3, 2012. Pontianak.
Tambunan, Tulus T. H. 2001. Transformasi Ekonomi di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat.
Todaro, Michael. P. 2006. Economic Development. Jakarta: Erlangga.
Usmaliadanti, Christina. 2011. Analisis Pengaruh Tingkat Kemiskinan, Pengeluaran Pemerintah Sekor Pendidikan Dan Kesehatan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2009. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang.
Yacoub, Yarlina. 2012. “Pengaruh Tingkat Pengangguran Terhadap Tingkat Kemiskinan Kabupaten/ Kota di Provinsi Kalimantan Barat”. Jurnal EKSOS Vol. 8 No. 3. 2010. Pontianak.
32