PENGARUH SOSIALA EKONOMI ORANG TUA TERHADAP … · *) dosen fkip universitas jabal ghafur pengaruh...
Transcript of PENGARUH SOSIALA EKONOMI ORANG TUA TERHADAP … · *) dosen fkip universitas jabal ghafur pengaruh...
*) Dosen FKIP Universitas Jabal Ghafur
PENGARUH SOSIALA EKONOMI ORANG TUA TERHADAP KELENGKAPAN FASILITAS BELAJAR SISWA
SUB BIDANG STUDI SEJARAH PADA SLTP DARUSSA'ADAH RAYA
KABUPATEN PIDIE
Oleh : Amiruddin *)
Abstrak. Keadaan sosial ekonomi pada orang tua mempunyai pengaruh terhadap kemampuan orang tua memenuhi fasilitas belajar anaknya. Orang tua yang baik keadaan sosial ekonominya mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk melengkapi fasilitas anaknya dan dengan demikian ikut membantu anak atau siswa meningkatkan prestasi belajar secara maksimal. Namun demikian, keadaan sosial ekonomi orang tua yang lebih dan fasilitas belajar yang memadai, bukan merupakan faktor satu-satunya penunjang keberhasilan pendidikan seorang siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat sosial ekonomi orang tua siswa SLTP Darussa'adah Teupin Raya Kabupaten Pidie, dan bagaimanakah pengaruh tingkat sosial ekonomi orang tua terhadap pengadaan fasilitas belajar siswa SLTP Darussa'adah Teupin Raya Kabupaten Pidie. Methoda penelitian yang dipergunakan adalah methoda penelitian kepustakaan (library researc) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan menelaah buku-buku, artikel ataupun karangan ilmiah lainnya yang dikarang oleh para ahli, sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan cara mengedarkan angket, wawancara dan pengamatan dilapangan mengenai masalah yang dikemukakan dalam skripsi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara faktor sosial ekonomi orang tua dengan fasilitas belajar. Pekerjaan pokok sebagian besar orang tua adalah petani yang mempunyai tanah relatif terbatas. Oleh karena itu pula pendapatan mereka terbatas, sehingga kehidupan sosial ekonomi mereka rendah. Siswa mengandalkan pemenuhan fasilitas belajar pada orang tua, sedangkan pada sisi lain keadaan sosial ekonomi orang tua rendah, sehingga kurang mampu memenuhi semua fasilitas untuk anaknya. Disarankan agar orang tua dapat mencari terobosan-terobosan baru dalam meningkatkan pendapatannya dan disamping itu orang tua dapat bekerjasama dengan pimpinan sekolah dalam melengkapi secara bertahap kebutuhan fasilitas belajar siswa khususnya dalam pengadaan buku-buku dan lain-lainnya. Kata Kunci : Sosial Ekonomi, Fasilitas Belajar
PENDAHULUAN
Orang Tua sangat berpagaruh
terhadap keberhasilan siswa terutama pada tingkat pendidikan dasar dan menengah , tanpa dorongan dan pemberian orang tua sangat sedikit siswa yang berhasil dalam berlajar, lebih banyak yang mengalami kegagalan dalam pendidikan
Sejalan dengan uraian di atas, Henry N , Siahaan ( 1986 : 86 ) menyatakan sebagai berikut :
Tidak dapat di sangkal lagi bahwa bila semakin tinggi perhatian orang tua terhadap pretasi belajar anak – anaknya, maka semakin tinggi pula prestasi yang akan di capai anak- anak itu. Dan sebaliknya akan terjadi, bila semakin berkurang perhatian orang tua terhadap prestasi belajar anak –
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
2
anaknya , maka semakin rendah pulalah pretasi yang di capai anak sekolahnya.
Perhatian orang tua terhadap prestasi belajar anaknya dapat dipegaruhi oleh beberapa faktor diantaranya latar belakang pendidikan orang tua, sikap hidup, pekerjaan, keadaan sosial ekonomi dan sebagainya. Di antara berbagai faktor tersebut, keadaan sosial ekonomi orang tua memberikan pengaruh yang besar terhadap partisipasi orang tua dalam pendidikan anak dan sekaligus menpengaruhi kemampuan orang tua dalam menyekolahkan anak.
Tingkat kehidupan sosial ekonomi orang tua yang relatif baik memberikan kesempatan yang lebih besar kepada orang tua untuk memperhatikan pretasi belajar anak, karena adanya kesempatan orang tua untuk mengalihkan perhatian dari pemenuhan kebutuhan ekonomi kelurga dan dengan demikian berkesempatan memperhatikan perkembangan pendidikan anaknya (Gerungan 1988 : 181).
Keadaan sosial ekonomi orang tua yang memadai akan memberikan pembedaan yang lebih besar kepada pendidikan anaknya. Yang khususnya dalam memenuhi fasilitas yang diperlukan awal untuk kepentigan belajar, namun demikian hal tersebut bukanlah jaminan (Guarsa, 1987 : 76).
Walaupun tingkat kehidupan sosial ekonomi orang tua yang baik akan memberikan kesempatan pada orang tua untuk lebih memperhatikan pendidikan anaknya termasuk fasilitas dalam belajar, akan tetapi keadaan sosial ekonomi yang baik tersebut bukan jaminan anaknya akan berpretasi di sekolah suasana rumah yang tenang dan nyaman juga memberikan pengaruh positif kepada perkembangan anak.Sebagai mana dikatakan oleh NY. Y. Singgih D. Gurnasa/ Singgih D. Gurnasah ( 1987: 76 ) Sebagi berikut :
Peranan keadaan ekonomi suatu keluarga tidak terlalu besar mempergaruhi perkembangan anak. Keadaan rumah yang sederhana, bersih rapi, di mana anak mendapat makanan yang sehat dan anggota kelurga bersikap sedemikian rupa sehingga
memberikan rasa aman kepada anak, inilah yang akan membantu perkembangan keperbadian anak ke arah terbentunya keperbadian yang harmonis yang wajar.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa keadaan ekonomi orang tua yang relatif baik berbagai kemungkinan bagi seorang anak atau siswa memgembangkan diri, akan tetapi kemampuan ekonomi anak akan berhasil dalam pendidikannya. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa faktor sosial ekonomi orang tua memberikan pengaruh yang positif sekaligus negatif bagi pendidikan anak, khususnya dalam hal pemenuhan fasilitas belajarnya.
Dikatakan memberikan pengaruh yang positif jika kemampuan sosial ekonomi orang tua yang relatif baik mampu di manfaatkan dengan sebaik – baiknya oleh anak atau siswa untuk menunjang pendidikannya, seperti dapat bersekolah pada sekolah yang baik mutunya, dapat memenuhi segala fasilitas belajar yang diperlukan seperti buku-buku, ruangan belajar yang tenang, meja, kursi belajar dan sebaginya. Selain dari pada itu kemampuan sosial ekponomi orang tua yang memadai juga memberikan kesempatan yang lebih besar kepada mereka untuk lebih memperhatikan kemajuan pendidikan anaknya tersebut.
Selanjutnya di katakan memberikan pengaruh yang negatif jika kemampuan ekonomi orang tua yang baik malah dapat menjerumuskan seorang anak atau siswa kepada kegagalan pendidikannya. Hal ini dapat terjadi bila orang tua dengan kemampuannya yang baik itu menjadi memanjakan anaknya dengan materi sehingga anak lalai dalam pendidikannya . Orang tua menganggap dengan memenuhi kebutuhan secara maksimal kepada anak maka selesailah tugasnya, padahal yang diperlukan anak bukanlah sekedar kebutuhan materi semata, akan tetapi juga kebutuhan akan perhatian , kasih sayang , kotisifasi, fasilitas belajar yang memadai dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa antara kemampuan sosial
Amiruddin, Pengaruh Sosoial Ekonomi Orang Tua
ekonomi orang tua dengan pengadaan kebutuhan fasilitas anak terdapat hubungan yang erat, karena saling mendukung untuk membawa seorang anak atau siswa ke pintu keberhasilan pendidikannya.
Permasalahannya adalah sampai dimanakah pengaruh kehidupan sosial ekonomi orang tua terhadap pemenuhan fasilitas belajar anak, apakah orang tua yang kehidupan sosial ekonominya baik sudah pasti akan memenuhi segala fasilitas belajar anaknya das apakah orang tua yang kehidupan sosial ekonominya rendah tidak akan berusaha untuk memenuhi fasilitas belajar yang diperlukan anaknya. Hal ini dapat menimbulkan suatu permasalahan karena pada prinsipnya bukan suatu jaminan bahwa kehidupan sosial ekonomi orang tua dapat mempergaruhi pemenuhan fasilitas belajar anaknya.
Berdasarkan kepada latar belakang permasalahan tersebut sebagaimana dikemukan di atas, penulis tertarik untuk meneliti mengenai bagaimana pengaruh sosial ekonomi orang tua terhadap pengadaan fasilitas belajar anaknya. Untuk itu penulis melakukan suatu penelitian dengan membatasi pada sub bidang studi sejarah, sehingga akan dapat diketahui apakah keadaan sosial ekonomi orang tua mempergaruhi pengadaan fasilitas belajar anak ataukah tidak memberikan pengaruh terhadap pengadaan fasilitas belajar anak.
Adapun judul penelitian penulis adalah " pengaruh sosial Ekonomi Orang Tua terhadap kelengkapan fasilitas Belajar Siswa Sub Bidang studi sejarah pada SLTP Darussaadah Teupin Raya Kabupaten Pidie."
PELAKSANAAN PENELITIAN 1.1. Populasi dan sampel penelitian
Populasi adalah keseluruhan dari pada objek yang akan di teliti . Di dalam penelitian ini, populasinya ada dua pihak orang tua siswa itu sendiri. Adapun populasi dari siswa adalah sebagian siswa dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) Darussaadah Teupin Raya Kabupaten Pidie yaitu seban yak 120 orang siswa, sedangkan populasi dari orang tua siswa juga sebanyak
120 orang yaitu sebanyak populasi dari siswa itu sendiri.
Sampel adalah bagian yang mewakili populasi di dalam penelitian. Dalam penelitian ini , berhubung populasinya tidak begitu besar , maka semua populasi yang ada di jadikan sebagai sampel.Oleh karena itu maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini mempergunakan total sampel . Dengan demikian sampelnya adalah 120 orang siswa dan 120 orang tua siswa.
1.2. Methode Penelitian Di dalam penelitian ini, ada dua
methode utama yang dipergunakan sebagai berikut : 1. Penelitian Kepustakaan ( Librariy Research) Penelitiaan perpustakaan adalah suatu penelitian dengan cara menelah buku-buku, artikel-artikel ataupun karangan ilmiah lainnya yang dikarang oleh para ahli yang berkaitan dengan masalah dibahas dalam skripsi ini. 2. Penelitian Lapangan ( Field research ) Penelitiaan lapangan adalah suatu penelitian dengan cara mengadakan studi kasus dilapangan, baik dengan mengadakan angket, wawancara maupun dengan cara pengamatan tentang masalah yang dikemukakan dalam skripsi ini. 1.3. Pengumpulan Data Untuk mendapat data, dipergunakan teknik angket, Angket diedarkan kepada siswa dan siswi sendiri. Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan selama 15 hari sejak tanggal 15 Februari 2006 sampai tanggal 1 Maret 2006. Jumlah angket yang semuanya yang edarkan adalah berjumlah 240 buah yaitu 120 untuk orang tua siswadan 120 untuk siswa sendiri. Keseluruh angket bertujuan untuk mendapat data guna menjawab pertanyaan penelitian. Pada tanggal 2 maret 2006, semua angket yang telah diedarkan dapat dikumpulkan seluruhnya kembali , dan ternyata dapat dikumpulkan kembali
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
4
seluruhnya dalam keadaan utuh dan dapat diolah. 4.1. Pengolahan Data. Dalam usaha pengolahan dan penganalisaan data yang diperoleh, maka dimasukkan setiap data kedalam sebuah tabel, Kemudian berdasarkan jumlah dan perentase dari masing-masing tabel tersebut, di analisakan hasilnya. Jumlah sampel dari masing-masimg tabel dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya, oleh karena ada tabel yang alternatif jawabannya dijawab lebih dari satu.
Adapun langkah pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Memeriksa semua angket yang masuk, dari 240 angket yang diedarkan semuanya kembali dan dapat diolah.
2. Mentabulasikan data dengan cara
menghitung frekwensi dan persentase dari alternatif jawaban yang ada.
3. Setelah diadakan perhitungan, langkah selanjutnya adalah memberikan penafsiran, analisan dan
kesimpulan terhadap data yang telah diolah. Dalam memberikan penafsiran data
dipergunakan patokan atau standar sebagai
berikut:
Persentase jawaban antara 80-100 dikatagorikan
dengan pada umumnya.
Persentase jawaban antara 60-79 dikatagorikan
denagan sebagian besar.
Persentase jawaban antara 50-59 dikatagorikan
dengan lebih dari setengah.
Persentase jawaban antara 40-49 dikatagorikan
dengan kurang dari setengah.
Persentase jawaban antara 20-39 dikatagorikan
dengan sebagian kecil.
Persentase jawaban antara 0-19 dikatagorikan
dengan sedikit sekali.
Dibawah ini disajikan hasil dari
penelitian l;ma;yang telah dilakukan dilapangan
terhadap sasaran dan orang tua siswa tentang
pekerjaannya.
TABEL. 1 PEKERJAAN POKOK SEHARI-HARI
No Alternatif Jawaban Frekuensi (f) Persentase (%)
1. 2. 3. 4. 5.
Petani Pedagang kecil Pegawai negeri / ABRI Wiraswasta Tukang dan lain-lain
95 5 5 15 -
79,17 % 4,17 % 4,16 % 12,5 %
-
Jumlah 120 100 %
Tabel diatas menunjukkan bahwa
pada umumnya responden menyatakan pekerjaannya sebagai petani, sedikit sekali yang bekerja pedagang kecil, pegawai negeri / ABRI, wiraswasta dan tukang dan lain-lain.
Pekerjaan berkaitan pula dengan penghasilan. Pada tabel dibawah ini dikemukakan tentang penghasilan responden sehari-hari.
Amiruddin, Pengaruh Sosoial Ekonomi Orang Tua
TABEL. 2 PENGHASILAN SEHARI-HARI
No Alternatif Jawaban Frekuensi (f) Persentase (%)
1. 2. 3. 4. 5.
Di bawah Rp 10.000,- Antara Rp 10.000,- Rp 15.000,- Antara Rp 15.000,- Rp 20.000,- Antara Rp 20.000,- Rp 25.000,- Di atas Rp 25.000,-
- 15 21 64 20
- 12,5 % 17,5 % 53,33 % 16,16 %
Jumlah 120 100 %
Uraian tabel diatas memperlihatkan
bahwa sedikit sekali responden mempunyai penghasilan sehari-hari di bawah Rp. 10.000,- dan antara Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 15.000,- sebagian kecil berpenghasilan antara Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 20.000,- dan diatas Rp. 25.000,-. Sebahagian besar yang
berpenghasilan antara Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 25.000,-
Penghasilan berpengaruh kepada kemampuan pemenuhan kebutuhan keluarga. Di bawah ini di kemukakan mengenai kemampuan memenuhi kebutuhan fasilitas belajar anak oleh responden.
TABEL. 3 KEMAMPUAN MEMENUHI KEBUTUHAN FASILITAS BELAJAR
No Alternatif Jawaban Frekuensi (f) Persentase (%)
1. 2. 3. 4. 5.
Sangat mampu Mampu Kurang mampu Tidak mampu Sama sekali tidak mampu
- 65 47 8 -
- 54,16 % 39,16 % 6,66 %
Jumlah 120 100 %
Uraian tabel diatas memperlihatkan
bahwa sebagian besar responden menyatakan mampu memenuhi kebutuhan fasilitas belajar anak, hanya sebagian kecil yang menyatakan tidak mampu dan kurang dari setengah yang menyatakan kurang mampu.
Ada bebagai bentuk fasilitas belajar yang dapat dipenuhi untuk anak. Di bawah ini dikemukakan tentang pemenuhan kebutuhan fasilitas belajar anak oleh responden sehari-hari.
TABEL. 4 KEBUTUHAN FASILITAS BELAJAR YANG DIPENUHI UNTUK ANAK
No Alternatif Jawaban Frekuensi
(f) Persentase
(%)
1. 2 3 4.
Sarana belajar berupa buku pelajaran pokok dan alat tulis menulis. Pakaian sekolah Makanan yang bergizi dan terpelihara kesehatan. Kesempatan belajar dengan tenang dan tidak banyak di ganggu oleh kesibukan mencari nafkah.
82 - 6 32
68,33% -
5,00 % 26,66 %
Jumlah 120 100 %
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
6
Dari uraian diatas dapat dikatakan
bahwa pada umumnya fasilitas belajar yang dipenuhi untuk anak adalah sarana belajar berupa buku pelajaran pokok dan alat tulis menulis, sedangkan yang menyatakan pakaian sekolah dan makanan yang bergizi dan terpelihara kesehatannya hanya sedikit sekali.s dan sebagian kecil responden yang menyatakan kesempatan belajar dengan
tenang dan tidak banyak diganggu oleh kesibukan mencari nafkah.
Dalam memenuhi kebutuhan anak akan buku-buku pelajaran, maka ada berbagai macam tindakan yang dilakukan oleh responden. Pada tabel dibawah ini dikemukakan tentang kehidupan sosial ekonomi responden menurut penilaian sendiri.
TABEL. 5 KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MENURUT PENILAIAN SENDIRI
No Alternatif Jawaban Frekuensi (f) Persentase (%)
1. 2. 3. 4. 5.
Ya cukup baik Tidak karena kebutuhan sehari-haripun susah Ya tapi cukup sederhana Tidak karena pendapatan sering tidak menentu. Kadang-kadang baik kadang-kadang tidak.
20
12 45 -
43
16,66 %
10,00 % 37,5 %
-
35,83 %
Jumlah 120 100 %
Uraian tabel di atas memperlihatkan
bahwa kurang dari setengah responden menyatakan kehidupan sosial ekonomi dirinya baik tapi cukup sederhana, kadang-kadang baik, kadang-kadang tidak dan sebahagian kecil yang menyatakan cukup baik. Sedangkan yang menyatakan tidak, karena kebutuhan sehari-haripun susah, sedikit sekali.
Demikianlah telah dikemukakan uraian pernyataan terhadap orang tua siswa, maka selanjutnya di bawah ini akan dikemukakan uraian pertanyaan terhadap siswa sendiri. Pada uraian dibawah ini dikemukakan tentang kemampuan orang tua responden dalam memenuhi kebutuhan keluarga di rumah.
TABEL. 6 KEMAMPUAN ORANG TUA RESPONDEN MEMENUHI KEBUTUHAN
KELUARGA
No Alternatif Jawaban Frekuensi (f) Persentase (%)
1. 2. 3. 4. 5.
Sangat mampu Mampu Kurang mampu Tidak mampu Tidak mampu sama sekali
- 65 47 8 -
- 54,17 % 39,17 % 6,66 %
-
Jumlah 120 100 %
Amiruddin, Pengaruh Sosoial Ekonomi Orang Tua
Uraian tabel di atas memperlihatkat bahwa sebagian besar responden menyatakan orang tuanya mampu dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan baik di rumah, dan kurang dari setengah yang menyatakan kurang mampu, sedangkan yang menyatakan tidak mapu, sedikit sekali.
Dalam menyekolahkan anak, ada orang tua yang merasa kesulitan di samping ada pula yang tidak dalam membiayai keperluan anaknya. di bawah ini dikemukakan tentang saat penyediaan peralatan tulis menulis dan buku-buku oleh orang tua responden
. TABEL. 7 SAAT PENYEDIAAN PERALATAN TULIS MENULIS SERTA BUKU-BUKU
No Alternatif Jawaban Frekuensi (f) Persentase (%)
1. 2. 3. 4. 5.
Ya setiap saat Tidak tetapi setiap tahun ajaran baru Kapan saja di butuhkan Kapan saja ada uang orang tua Tergantung kepada keadaan
-
14 82 11 13
-
11,67 % 68,33 % 9,17 % 10,83 %
Jumlah 120 100 %
Uraian tabel diatas menunjukkan bahwa pada umumnya responden menyatakan saat penyediaan peralatan tulis menulis serta buku-buku adalah kapan saja dibutuhkan, sedangkan yang menyatakan setiap tahun ajaran baru, kapan saja ada uang orang tua dan tergantung kepada keadaan, sedikit sekali.
Di samping penyediaan peralatan tulis menulis serta buku-buku, maka penyediaan pakaian sekolah juga penting diperhatikan. Pembuktian Hipotesa
Untuk membuktikan hipotesa yang telah dikemukakan pada Bab I di atas apakah dapat di terima atau tidak kebenarannya, maka akan diadakan tinjauan terhadap data yang telah didapat melalui angket yang diedarkan.
Ada dua hipotesa yang akan dibuktikan kebenarannya ya itu sebagai berikut :
Karena pekerjaan pokok sebagian benar orang tua adalah petani, maka kehidupan sosial ekonomi mereka rendah.
Untuk membuktikan apakah hipotesa pertama ini dapat diterima atau tidak, akan diukur melalui hasil pengolahan data dari beberapa tabel yang ada kaitannya dengan hipotesa pertama tersebut yaitu tabel 1 dan dua tabel 2 Tabel 1 : Pada umumnya responden menyatakan pekerjaannya sebagai petani. Tabel 2 : Sebagian besar responden mempunyai penghasilan sehari-hari antara Rp. 7000,- sampai dengan Rp. 10.000,-.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas dan dipadukan lagi dengan hasil wawancara dan pengamatan, maka dapat disimpulkan bahwa orang tua anak yang anaknya bersekolah pada SLTP Darussaadah Teupin Raya Kabupaten Pidie, pada umumnya bekerja sebagai petani sederhana, dengan luas tanah yang terbatas dan pola tanam yang belum terbina dengan baik.
Dengan kehidupan sebagai petani sederhana tanpa adanya pekerjaan lain untuk menambah penghasilan yang memadai, maka penghasilan orang tua pun menjadi terbatas,karena tampa adanya pekerjaan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
8
yang lain maka sangat mempengaruhi kemampuan orang tua dalam meningkatkan kehidupan sosial ekonominya, sehingga orang tua pun kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan keluarga, walaupun kondisi makanan yang disediakan di rumah memenuhi kebutuhan gizi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sebagian kecil kehidupan sosial ekonomi para orang tua relatif rendah dan sebagian besar dapat dikatakan sederhana.
Oleh karena itu maka hipotesa pertama yang menyatakan karena pekerjaan pokok pada umumnya orang tua adalah petani, tetapi selain bertani sebagian besar orang tua mereka adanya pekerjaan lain, maka kehidupan sosial ekonomi mereka yang rendah dan ada pula yang sederhana, dapat diterima kebenarannya.
Karena pendapat orang tua rendah, maka fasilitas belajar siswa tidak memadai.
Untuk membuktikan apakah hipotesa kedua ini dapat diterima atau tidak, akan diukur melalui hasil pengolahan data dari beberapa tabel yang ada kaitannya dengan hipotesa kedua tersebut yaitu tabel 3, tabel 4, tabel 5 dan tabel 6.
Tabel 3 : Sebagian besar responden menyatakan mampu memenuhi kebutuhan fasilitas belajar anak. Tabel 4 : Pada umumnya responden menyatakan fasilitas belajar yang dipenuhi untuk anak adalah sarana belajar berupa buku pelajaran pokok dan alat tulis menulis. Tabel 5 : Kurang dari setengah responden menyatakan kehidupan sosial ekonomi dirinya cukup baik tapi cukup sederhana. Tabel 6 : Sebagian besar responden menyatakan bahwa oranga tuanya yang masih bersekolah adalah 3 (tiga) orang. Tabel 7 : Pada umumnya responden menyatakan saat penyediaan peralatan tulis menulis serta buku-buku adalah kapan saja dibutuhkan.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas dan dipadukan lagi dengan hasil wawancara dan pengamatan, maka dapat disimpulkan bahwa orang tua anak yang anaknya bersekolah pada SLTP Darussa'adah Teupin Raya Kabupaten Pidie, sebagian kecil pendapatan rendah dan oleh karena itu kurang mampu memenuhi kebutuhan fasilitas belajar anak.
Apabila anak memang sangat memerlukan pemenuhan fasilitas belajarnya, maka tidak dengan segera dapat dipenuhi akan tetapi meminta kesabaran anak, sehingga anak sendiri merasakan bahwa orang tuanya ada yang mengalami kesulitan dalam menyekolahkannya. Hal ini terlihat antara lain dalam pemenuhan peralatan tulis menulis dan buku-buku dimana dirasakan oleh anak masih kurang memuaskan, serta harus menunggu kapan ada uang orang tua dan tergantung kepada keadaan, sedangkan penyediaan pakaian sekolah tergantung kepada kebutuhan, demikian juga halnya dengan penyediaan waktu belajar di rumah.
Oleh karena itu maka hipotesa kedua yang menyatakan karena pendapatan orang tua ada yang rendah dan ada pula yang sederhana, maka fasilitas belajar siswa ada yang tidak memadai dan ada pula yang memadai, dapat diterima kebenarannya.
P E N U T U P
Berdasarkan uraian-uraian bab-bab sebelumnya, maka pada bab penutup ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran, yaitu sebagai berikut :
I. Kesimpulan
Bawah pekerjaan pokok sebagian besar orang tua siswa adalah petani. Pertanian yang dikelola orang tua siswa bukanlah pertanian modern, akan tetapi adalah pertanian dengan sistem sederhana dengan luas tanah relatif terbatas. Oleh karena itu pula pendapatan mereka terbatas, sehingga kehidupan sosial ekonomi mereka rendah.
Amiruddin, Pengaruh Sosoial Ekonomi Orang Tua
Bahwa terdapat hubungan antara faktor sosial ekonomi orang tua dengan fasilitas belajar anak, oleh karena berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada umumnya fasilitas belajar siswa masih terbatas. Siswa mengandalkan pemenuhan fasilitas belajar pada orang tuanya, sedangkan kemampuan sosial ekonomi orang tua masih rendah. Rendahnya keadaan sosial ekonomi orang tua mempengaruhi kemampuannya membiayai kehidupan keluarga, termasuk membiayai pemenuhan fasilitas belajar anaknya. II. Saran-saran
Didasarkan agar orang tua dapat mencari terobosan-terobosan baru dalam meningkatkan pendapatannya. Dengan meningkatnya pendapatan tersebut maka kehidupan sosial ekonomi akan membaik, sehingga disamping mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga secara baik, juga mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak khususnya dalam pemenuhan kebutuhan fasilitas belajarnya.
Disaran agar orang tua anak dapat bekerjasama dengan pimpinan sekolah dan guru bidang studi untuk dapat melengkapi secara bertahap kebutuhan fasilitas belajar siswa di sekolah seperti buku-buku dan lain-lainnya. Dengan demikian siswa akan dapat belajar dengan baik dalam rangka meningkatkan kemampuannya secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA Gerungan, W.A., 1988. Psikologi Sosial,
Penerbit Eresco, Bandung. Gunarsa, S. D., 1987. Psikologi Untuk
Membimbing, Penebit Gunung Mula, Jakarta.
Siahaan, H. N. , 1986 Peranan Ibu Bapak
Mendidik Anak, Penerbit Angkasa, Bandung.
*) Drs. Zamzami, M.Si Dosen FKIP Universitas Abulyatama Aceh
10
PROBLEMATIKA LINK AND MATCH DAN SUPPLY AND DEMAND
DALAM SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA
Oleh
Zamzami *)
Abstrak. Hal yang terabaikan dalam pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan di
Indonesia adalah tuntutan ketrampilan guna meningkatkan kesejahteraan dan kualitas
hidup lulusan pendidikan pada khususnya serta rakyat Indonesia pada umumnya. Akibat
abaian tuntutan itu menghasilkan lulusan pendidikan tidak siap dan tidak sesuai dengan
lapangan kerja yang menambah permasalahan educated unemployment. Tujuan
penulisan ini untuk membuka pikiran para pengambil kebijakan pendidikan dalam
menata dan mereformasi kembali pendidikan yang dapat mengatasi permasalahan itu
guna tujuan pendidikan nasional dapat mencapai maksimal. Hasil kajian masalah ini
menunjukkan bahwa pendidikan merupakan usaha menyiapkan diri guna mendapatkan
pekerjaan yang layak dengan gaji yang tinggi setelah lulus, daya dan biaya yang
dikeluarkan untuk pendidikan merupakan harapan untuk memiliki kemampuan ilmu
pengetahuan dan ketrampilannya yang dapat menjadi investasi yang dapat dipetik kelak
(learning for eating). Karena itu arahan pendidikan kepada dunia kerja pada setiap
jenjang pendidikan harus segera dimulai. Materi ajar di setiap jenjang pendidikan harus
sesuai dengan pemanfaatan sumber daya alam daerah. Budaya self-employment untuk
mengisi sektor informal yang berpeluang besar dan luas perlu dikembangkan melalui
magang. Perlu dilakukan seleksi dan evaluasi secara ketat agar diperoleh lulusan yang
bermotivasi dan berintelektualitas tinggi. Sistem pendidikan perlu direstrukturisasi dan
mempunyai link dengan potensi daerah. Pembangunan unit-unit lapangan kerja harus
merata di setiap daerah bahkan perlu dibebankan kepada pejabat daerah untuk
mendirikan Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Pejabat agar dapat
menyerap tenaga kerja..
Kata Kunci : Pendidikan, Link and Match, dan Supply and Demand
*) Drs. Bukhari, M.Si Staf pengajar Kop. Wil. I dpk. Pada FKIP Abulyatama Aceh
14
1. PENDAHULUAN
Tujuan pendidikan nasional yang dicita-citakan bangsa Indonesia seperti termuat dalam Undang-
Undang Dasar 1945 adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri serta memiliki
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Zamzami, 2005).
Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan
nasional dijelaskan juga bahwa pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur serta
memungkinkan para warganya mengembangkan diri dengan baik berkenaan dengan aspek jasmaniah dan rohaniah
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan
tujuan nasional (Zamzami, 2005).
Di tengah terbatasnya peluang dan lapangan kerja, tujuan dan fungsi pendidikan seperti yang diamanatkan itu
tidak relevan lagi bila hanya sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, dalam meningkatkan kemampuan
dan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia hal yang perlu dipikirkan adalah memberikan ketrampilan yang
ada relevansi dengan dunia kerja. Dalam konteks ini, maka peserta didik jangan semata-mata diarahkan kepada
penguasaan pengetahuan tetapi harus dibekali keahlian khusus sesuai dengan tuntutan lapangan kerja bahkan dengan
keahlian itu mampu menciptakan lapangan kerja.
Berkaitan dengan uraian di atas, lembaga pendidikan harus dijadikan pabrik sumber daya manusia yang akan
menghasilkan produk terlaris dalam masyarakat. Dalam proses produksi semberdaya manusia itu, materi ajar diarahkan
kepada bidang yang benar-benar relevan. Karena itu prinsip link and match menurut kemampuan, ketrampilan, bidang
keahlian, dan kualifikasi lulusan harus diprioritaskan pada setiap jenjang pendidikan. Dengan demikian, semakin tinggi
jenjang pendidikan akan semakin tinggi link and matchnya. Derajat link and match ditentukan oleh waktu perolehan
pekerjaan oleh para lulusan, artinya semakin besar derajat link and match akan semakin cepat para lulusan memperoleh
pekerjaan.
Di samping link and match, hal yang terabaikan dalam kancah pendidikan Indonesia adalah supply and demand.
Lulusan lembaga pendidikan selalu lebih tinggi dari pada permintaan lapangan kerja yang berakibat timbulnya
pengangguran. Fakta ini disebabkan oleh pemberian izin kepada pembukaan lembaga pendidikan yang sama dengan yang
sudah ada dan tidak terkontrolnya jumlah penerimaan dengan jumlah kebutuhan.
Mencermati permasalahan tersebut, maka penulis terdorong untuk mengangkatnya ke permukaan agar mendapat
pemikiran oleh pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan di Indonesia, khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam.
2. LINK AND MATCH DALAM PENDIDIKAN
Kebijaksanaan keterkaitan dan kepadanan (link and match) dalam pendidikan pada intinya menekankan
perlunya pendidikan menyesuaikan diri dengan tuntutan bidang ekonomi. Dengan kata lain, pendidikan merupakan
pelayan untuk pertumbuhan ekonomi melalui produksi barang dan jasa. Dalam arti sempit, pendidikan yang bermutu
adalah pendidikan yang mempunyai kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi (Supriadi, 1997).
Diketahui bahwa kunci keberhasilan manusia di negara maju dalam mencapai kejayaannya adalah karena
penguasaan ilmu ekonomi dan teknologi. Ilmu tekonologi mampu memberikan pengetahuan untuk mencari, menggali,
mengolah, menyimpan, dan mengangkut sumber daya alam untuk diproses menjadi barang dan jasa. Ilmu ekonomi
memainkan peranan dalam mengatur pemanfaatan sumber daya alam seefisien dan seefektif mungkin dalam bentuk
produksi, barang, dan jasa (Zamzami, 2002).
Untuk menempatkan pendidikan pada tempat yang strategis, maka pendidikan harus dikaitkan dengan lapangan
kerja. Dalam konteks ini mengupayakan lulusan pendidikan memiliki kemampuan dan ketrampilan yang relevan dengan
tuntutan dunia kerja. Hanya dengan cara inilah pendidikan akan memberikan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana mempertemukan wawasan pendidikan yang sangat luas
dengan kepentingan ekonomi yang serba sempit. Para pendidik dan kolega dunia pendidikan pada umumnya
menempatkan pendidikan pada posisi yang tinggi. Oleh karena itu mereka tidak mau bila pendidikan didegradasikan
hanya sebagai pelayan untuk dunia kerja. Begitu luasnya misi dan fungsi pendidikan dipahami oleh sebagian orang
sehingga mengaburkan dan tidak jelas peranan pendidikan dalam konstelasi perekonomian bangsa Indonesia. Dalam
Bukhari, Pengajaran Remidial Sebagai Upaya
*) Drs. Zamzami, M.Si Dosen FKIP Universitas Abulyatama Aceh
15
banyak kasus, cara berpikir seperti itu yang justeru menjadi salah satu penyebab terjadinya pengangguran lulusan
pendidikan.
Meskipun link and match dianggap sangat prgmatis, tetapi masalah itu pada akhirnya akan diyakini manakala
lulusan pendidikan dihargai masyarakat, tidak sulit mendapat pekerjaan, dan memperoleh imbalan yang layak. Logika
praktisnya, seseorang belajar dengan keras, mengeluarkan daya dan dana dengan mengharapkan kelak dapat menggunakan
kemampuan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya untuk mencari nafkah. Jadi, berlaku prinsip learning for eating.
Sebagai gambaran tentang keterkaitan itu, hasil penelitian Supriadi, dkk. (1997) menjelaskan bahwa “sebanyak
90 % mahasiswa ITB memandang perguruan tinggi merupakan tempat menyiapkan diri untuk mendapatkan pekerjaan
yang layak setelah lulus. Pandangan yang sama dikemukakan juga oleh 76 % mahasiswa UNPAD dan 70 % mahasiswa
IKIP Bandung. 73 % mahasiswa ITP, 72 % mahasiswa UNPAD, dan 53 % mahasiswa IKIP Bandung memiliki tujuan
utama kuliah adalah agar kelak mendapat pekerjaan yang baik dengan gaji yang tinggi. Sebagian besar mahasiswa (ITB 65
%, UNPAD 78 %, dan IKIP Bandung 72 %) beranggapan bahwa biaya yang mereka keluarkan untuk kuliah merupakan
investasi yang harus dapat dipetik kelak, baik oleh dirinya maupun keluarganya. Dengan demikian belajar mempunyai
tujuan finansial yang kuat.
Harapan itu selayaknya menjadikan lembaga pendidikan merasa berhutang jasa. Hal ini relevan
dengan hasil studi di Indonesia yang menemukan bahwa tingkat keuntungan (rate of return) perguruan tinggi
(0,32) dan STM (0,18). Hal ini antara lain disebabkan oleh biaya (investasi) belajar di perguruan tinggi lebih
tinggi (Supriadi, 1997).
Uraian di atas memberikan gambaran kepada semua pihak agar link and match antara pendidikan dan dunia
kerja harus diaktualisasikan menjadi kenyataan. Oleh karena itu dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi dan dunia
kerja harus saling membuka diri dan berdialog secepatnya dan setepat-tepatnya guna mewujudkan kemapanan,
kesejahteraan, dan kualitas hidup manusia.
3. SUPPLY AND DEMAND DALAM PENDIDIKAN
Secara kuantitatif patut diakui bahwa lulusan pendidikan, khususnya perguruan tinggi selama orde
baru sangat menggembirakan. Hal ini dibuktikan dengan adanya penambahan jumlah mahasiswa yang cukup
drastis. Pada tahun 1967 jumlah mahasiswa di Indonesia hanya sekitar 230.000 orang, namun pada tahun
1991/1992 meledak menjadi 2,1 juta orang atau mengalami kenaikan 900 %. Sementara itu educated
unemployment sangat mengkhawatirkan mulai terasa sejak repelita IV. Meskipun masalah pengangguran
berkaitan dengan banyak aspek, tetapi jika masalah itu berkenaan dengan youth and educated unemployment
maka tanggung jawab sistem pendidikan tidak dapat dielakkan (Mark Blaug disitasi oleh Tilaar, 1994).
Berbicara tentang masalah pengangguran sarjana tidak terlepas dari poros Sekolah Dasar sampai
Sekolah Menengah Atas yang mempunyai dorongan sangat kuat. Poros itu diawali dengan pengadaan SD
Inpres pada tahun 1983/1984 yang kemudian mendorong tingkat di atasnya, yaitu SMP dan SMA. Pada akhir
repelita IV mulai tampak adanya ekses dari dorongan itu. Indikator dorongan adalah menjamurnya Perguruan
Tinggi Swasta sehingga melebihi Perguruan Tinggi Negeri. Menjamurnya PTS dan menghasilkan lulusannya
dengan sendirinya memenuhi kebutuhan akan tenaga profesional dan akademis untuk pembangunan di segala
bidang.
Angka partisipasi perguruan tinggi dalam dunia kerja di Indonesia sebenarnya masih rendah
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1991 angka partisipasi perguruan tinggi dalam
pembangunan sekitar 10 %. Angka ini telah dicapai Korea Selatan pada tahun 1965. Angka partisipasi sekitar
38 % telah dicapai Filipina dan Thailand 20 % pada tahun 1985. Sedangkan Singapore 12 % pada tahun 1983.
Tidak mengherankan bahwa lulusan perguruan tinggi dalam dunia kerja Indonesia masih rendah, yaitu 2,3 %
pada tahun 1989. Sedangkan pada tahun 1988, partisipasi lulusan perguruan tinggi dalam dunia kerja di Korea
Selatan telah mencapai 9,4 %, dan Taiwan 10 %. Di Malaysia, partisipasi lulusan perguruan tinggi dalam
dunia kerja pada tahun 1987 telah mencapai 5,1 % (Tilaar, 1994).
Sementara itu profil tenaga kerja Indonesia saat ini yaitu buta huruf mencapai 11,4 %, 72 % lebih
berpendidikan SD, SMP dan SMA masing-masing 11,4 % dan 13,2 %. Tenaga kerja dengan kualifikasi
pendidikan tinggi hanya 2,7 % (Achmad Sanusi, 1998).
Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan perguruan tinggi belum mampu meningkatkan
produktivitas kerja. Hal ini terbukti dengan adanya pengangguran sumber daya manusia, baik yang telah
menjadi pegawai negeri maupun pengangguran total. Apabila kecenderungan perguruan tinggi terus berjalan
seperti sekarang maka semakin besar kemungkinan terjadi pengangguran (Tilaar, 1994).
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
16
Beberapa penyebab adanya kesenjangan antara supply and demand di perguruan tinggi antara lain
pemilihan program studi yang mudah oleh mahasiswa, pembukaan program studi yang sama pada setiap
perguruan tinggi, dan perataan jumlah mahasiswa setiap program studi.
Pada umumnya mahasiswa lebih cenderung memilih program studi yang mudah, misalnya ilmu
sosial dari pada ilmu eksakta yang justeru sangat dibutuhkan. Kecenderungan ini dapat dilihat pada angka-
angka berikut. Pada tahun 1983 sekitar 65,5 % sarjana penganggur dari kalangan ilmu sosial. Pada tahun
1986 sekitar 22,4 % dan 6,8 % sarjana pertanian dan teknologi menganggur. Hal ini terjadi karena mereka
tidak mau bekerja di pedesaan yang masih membutuhkannya.
Kecuali mahasiswa program studi langka, akhir-akhir ini sebagian besar alumni harus menunggu
puluhan tahun untuk mendapat kesempatan bekerja (menganggur). Hal ini disebabkan oleh lulusan program
studi sama pada setiap perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa yang tidak terkoordinasi. Fakta ini
memberikan kesenjangan antara lulusan dengan kebutuhan dalam dunia kerja. Di samping itu, pada umumnya
para lulusan itu tidak mau atau tidak memiliki ketrampilan dalam mengaplikasikan pengetahuan dengan dunia
kerja. Bahkan para lulusan itu bekerja tidak sesuai dengan ilmu yang ditekuninya, misalnya sarjana pertanian
bekerja sebagai wartawan, sarjana teknik dan sarjana non kependidikan lainnya bekerja sebagai guru. Fakta
ini lebih menambah kesenjangan antara supply and demand dalam dunia pendidikan.
4. PENUTUP
Untuk mengatasi persoalan tersebut dapat dilakukan pengelolaan pendidikan sebagai berikut;
dorongan poros pendidikan dari SD menuju ke jenjang pendidikan selanjutnya perlu didiferensiasi.
Pengarahan kepada dunia kerja pada setiap jenjang pendidikan harus dimulai sejak dini. Materi ajar di setiap
jenjang pendidikan harus diarahkan kepada pemanfaatan sumber daya alam daerah. Perlu dikembangkan self-
employment untuk mengisi sektor informal yang berpeluang besar dan luas. Perlu dilakukan seleksi dan
evaluasi secara ketat agar diperoleh lulusan yang bermotivasi dan berintelektualitas tinggi. Sistem pendidikan
perlu direstrukturisasi dan mempunyai link dengan potensi daerah. Pembangunan unit-unit lapangan kerja
harus merata di setiap daerah bahkan perlu dibebankan kepada pejabat daerah, misalnya Badan Usaha Milik
Daerah dan Badan Usaha Milik Pejabat.
5. DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sanusi.1998. Pengelolaan Pendidikan Lamban dan Korup. Bandung: Harian Pikiran Rakyat Edisi 6
September 1998.
Depdikbud. 1994. Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Menjelang Era Tinggal Landas. Jakarta: Depdikbud.
Supriadi, Dedi. 1998. Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: Rosda Jayaputra.
Supriyoko, Ki. 1998. Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Harian Pikiran Rakyat Edisi 16 Juni 1998.
Tilaar, H.A.R. 1997. Pengembangan SDM Unggul Indonesia Menghadapi Masyarakat Kompetitif Era
Globalisasi. Bandung: Pidato Acara Wisuda STM.
------------------.1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspekstif Abad 21.
Magelang: Tera Indonesia.
------------------.1998. Managemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Karya.
Yatim, Wildan. 1989. Perguruan Tinggi Harus Direformasi. Bandung: harian Pikiran Rakyat Edisi 16 Juni
1998.
Zamzami.2002. Pengetahuan Lingkungan (Diktat Kuliah). Banda Aceh: FKIP Unaya.
Zamzami.2005. Nasib Pendidikan NAD Akibat Konflik. Bandung: Jurnal Mondial Edisi Januari-Juni 2005
Bukhari, Pengajaran Remidial Sebagai Upaya
*) Drs. Zamzami, M.Si Dosen FKIP Universitas Abulyatama Aceh
17
PENGAJARAN REMEDIAL SEBAGAI UPAYA MENGATASI
KESULITAN BELAJAR SISWA PADA POKOK BAHASAN
KESETIMBANGAN KIMIA
Oleh:
Bukhari *)
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengajaran remedial
dapat mengatasi kesulitan-kesulitan belajar siswa, khususnya bagi yang mengalami
kesulitan belajar untuk memahami pelajaran kimia pada pokok bahasan
kesetimbangan kimia.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kela XI SMA Lueng Putu
sebanyak 4 kelas, sedangkan sampel diperoleh secara hipotesis penelitian,
diperoleh t hitung =22,432 sedangkan t tabel = 2, 01785 pada α = 0,05, sehingga t
hitung > t tabel. Dengan remedial dapat meningkatkan hasil belajar pada pokok
bahasan kesetimbangan kimia di SMA. Besar persentase peningkatan hasil belajar
siswa adalah 136,84%.
Kata Kunci : Remedial, mengatasi, kesulitan.
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah salah satu faktor
yang sangat penting dalam meningkatkan
Sumber Daya manusia. Sejalan dengan itu
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
menuntut manusia untuk meningkatkan mutu
pendidikannya.
Belajar pada hakekatnya adalah suatu
aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah
laku pada individu yang belajar. Perubahan
tingkah laku tersebut terjadi karena usaha
individu yang bersangkutan. Belajar
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : bahan
yang dipelajari, instrumen, lingkungan, dan
kondisi pelajar itu sendiri. Sedangkan mengajar
pada hakekatnya adalah membantu siswa
memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai,
cara berpikir, sarana untuk mengekspresikan
dirinya, dan cara-cara bagaimana belajar
(Natawidjaja 1984:13). Hasil akhir atau jangka
panjang proses mengajar adalah kemampuan
siswa yang tinggi untuk dapat belajar dengan
mudah dan efektif dimasa mendatang.
Tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan
utama dari kegiatan belajar dapat menguasai
bahan-bahan belajar sesuai dengan tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan. Untuk itu guru
melakukan berbagai upaya mulai dari
penyusunan rencana pelajaran, silabus,
penggunaan sirategi belajar mengajar yang
relavan, sampai dengan pelaksanaan penilaian
dan umpan balik. Namun demikian, kenyataan
menunjukkan bahwa setetah kegiatan belajar -
mengajar selesai, masih ada saja murid yang
tidak menguasai materi pelajaran dengan baik
sebagaimana tercermin dalam nilai atau hasil
belajar. Djamarah dan Zain (1995:24)
mengungkapkan bahwa dari hasil berbagai studi
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil saja
siswa yang mampu menguasai 90%-100% dari
bahan pelajaran yang telah disampikan guru,
sebagian besar anak bervariasi 50%-80%, malah
sebagian lagi ada yang lebih kecil lagi
penguasaannya terhadap bahan yang telah
disajikan guru. Akan tetapi pada kenyatannya
siswa umumnya naik kelas 100%.
Belajar dipengaruhi oleh banyak faktor
salah satu diantaranya adalah bakat. Menurut
Carrol dalam Psikologi Kependidikan
(Syamsuddin Abin, 2003.308) bakat bukanlah
merupakan indeks kemampuan melainkan
sebagai ukuran kecepatan belajar. Artinya
seseorang yang memiliki bakat tinggi memerluka
waktu yang relatif sedikit dibanding peserta didik
yang tidak berbakat. Oleh karena adanya tingkat
Bukhari, Pengajaran Remidial Sebagai Upaya
*) Drs. Zamzami, M.Si Dosen FKIP Universitas Abulyatama Aceh
15
( )( )
ΣΥ−ΣΧ
ΣΧ−ΣΧ
ΣΥΣΧ−ΣΧΥ
2222
nn
n
penguasaan dan bakat maka yang diperlukan
adanya pendekatan-pendekatan yang khusus
untuk mencapai hasil belajar yang diharapkan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
membantu meningkatkan hasil belajar siswa
seperti itu adalah dengan melakukan pengajaran
remedial yaitu pengajaran yang dilakukan setelah
pengajaran biasa dan eveluasi.
Remedial berarti bersifat menyembuhkan
atau membetulkan atau membuat menjadi baik.
Dengan pengajaran remedial, murid yang
mengalami kesulitan belajar dapat dibetulkan atau
disembuhkan atau diperbaiki sehingga dapat
mencapai hasil yang diharapkan sesuai dengan
kemampuannya.
Siswa dapat dipandang atau diduga
mengalami kesulitan belajar apabila yang
bersangkutan menunjukkan kegagalan tertentu
dalam mencapai tujuan belajarnya. Siswa
dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak
mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat
keberhasilan atau tingkat pengusaan minimal
dalam pengajaran tertentu. Dalam konteks sistem
pendidikan di Indonesia angka nilai batas lulus itu
adalah angka 6 atau 60 atau C atau 60% dari
tingkat ukuran yang diharapkan.
Kesulitan belajar yang dihadapi siswa
mungkin menyangkut semua bidang studi,
mungkin beberapa bidang studi, atau mungkin
satu bidang studi atau satu kemampuan khusus
dalam satu bidang studi. Kesetimbangan kini
merupakan salah satu pokok bahasan kimia yang
berbentuk abstrak dan memerlukan penalaran
yang tinggi sehingga .pada umutnnya siswa
mengalami kesulitan di dalam mempelajarinya.
Tugas kewajiban guru bukan hanya
mengajar pelajaran pokok saja, melainkan
berkewajiban juga memberikan kegiatan
perbaikan dan pengayaan. Tanpa memperhatikan
kegiatan-kegiatan perbaikan, keseluruhan proses
belajar mengajar hasilnnya akan sedikit. Dengan
kata lain, guru yang telah menyelenggarakan
pengajaran pokok disertai dengan kegiatan
perbaikan berarti menunaikan tugas sepenuhnya.
(Sutomo, 1985 : 176).
METODELOGI PENELITIAN
1. Papulasi dan Sampel penelitian a. Populasi penelitian,
Populasi dalam penenlitian ini
adalah seluruh siswa kelas XI SMA,
Lueng Putu.
b. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini terdiri
dari 2 kelas yang diambil secara
purposif.
2. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah penerapan pengajaran
remedial sebagai upaya mengatasi
kesulitan belajar siswa pada pokok
bahasan kesetimbangan kimia.
b. Variabel terikat
Variabel terikat dalam penenlitian ini
adalah hasil belajar siswa.
3. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk
memperoleh data dalam penelitian ini adalah
instrumen test sebanyak 15 soal dalam bentuk
test objektif Sebelum digunakan, alat
pengumpul data terlebih dahulu diuji
validitas, reliabilitas, uji daya beda dan
tingkat kesukaran.
4. Uji Validitas
Uji vatiditas dilakukan untuk
mengetahui apakah isntrurnen yang
digunakan untuk rnemperoleh data sudah
valid/sahih atau belum. Pada Penelitian ini uji
validitas dilakukan dengan menggunakan
rumus korelasi product moment sebagai
berikut :
r xy =
(Arikunto, 1999:72)
5. Uji Reliabilitas
Uji reabilitas digunakan untuk
mengukur tingkat kepercayaan dari suatu
instrumen. Pada penelitian ini uji reabilitas
dilakukan dengan menggunakan KR-20
sebagai berikut :
Rl l =
ΣΡ−
−2
2
.
1S
qS
n
n
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
16
(Arikunto, 1999:100)
6. Uji Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah
kemampuan suatu kemampuan suatu soal
untuk membedakan antara siswa yang pandai
dengan siswa yang bodoh. Rumus yang
digunakan sebagai berikut :
D = JB
BB
JA
BA− (Arikunto, 1999 : 213)
7. Uji Tingkat Kesukaran
Dalam penelitian ini uji tingkat
kesukaran dilakukan dengan menggunakan
rumus :
P = JS
B (Arikunto, 1999 : 208)
8. Desain Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental,
dimana dalam melaksanakan penelitian ini
dilakukan pengajaran remedial terhadapa
sampel, dan kemudian dilihat pengaruhnya
terhadap hasil belajar siswa.
9. Tehnik Analisa Data
9.1. Uji normalitas
Uji normalitas yang digunakan
dalam penelitian ini adalah uji Liliefors
dengan langkah-langkah berikut :
- Membuat tabel distribusi frekuensi
- Menghitung rata-rata ( )X dengank
rumus
Χ = n
in
i
∑=
Χ1
- Menghitung standar deviasi (S) dengan
rumus
S = ( )
)1(
22
−
ΣΧ−ΣΧ
nn
iin
- Membuat tabel penolong
- Data X1.,X2…,Xn dijadikan dalam bentuk
baku Z1, Z2,…,Zn dengan rumus
Z1 = S
i
Χ−Χ
- Untuk tiap bentuk baku dengan
menggunakan daftar distribusi normal
baku yang dihitung dengan peluang
F(Zi) = P (Z ≤ Zi)
- Menghitung porposi dengan rumus
-
S (Zi) = banyaknya n
in Ζ≤ΖΖΖ ,...,.1
- Menghitung harga mutlak selisih F (Zi)
dengan S(Zi)
- Menentukan harga terbesar dari selisih |F
(Zi) – S (Zi| sebagai Lo. Untuk menerima
atau menolak distribusi normal Lo
dibandingkan dengan nilai kritis L. Pada
taraf signifikan 0,05 dilakukan
pengujian:
Jika Lo < L berdistirbusi normal
Jika Lo > L tidak berdistribusi
normal. (Sujana, 2002 : 446)
9.2. Uji Hipotesis
Untuk menguji hipotesis digunakan
rumus :
=
nsd
dod − (Sujana, 1992 : 267)
Ho diteriama jika –t αα2
12
1 tt +≤≤ pada
α = 0,05 dan dk = n – 1
9.3. Persentase Peningkatan Hasil Belajar
Rumus menghitung persentase
peningkatan hasil belajar siswa digunakan
rumus :
% peningkatan = Χ
d x 100 %
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Analisa Data Hasil Penelitian
Bukhari, Pengajaran Remidial Sebagai Upaya
*) Drs. Zamzami, M.Si Dosen FKIP Universitas Abulyatama Aceh
17
Deskripsi data hasil belajar sebelum
remedial dan hasil belajar sesudah remedial
siswa sebagai berikut :
Tabel.1. Desktripsi Data Hasil belajar sebelum
remedial dan Hasil belajar sesudah
remedial Siswa
Hasil belajar
sebelum
remedial
Hasil belajar
sesudah
remedial
Rata-rata 2,66 6,3
Varians 1,116 0,82
Standar
deviasi
1,06 0,67
Banyak
data
44 44
Jumlah siswa sebanyak 44 diperoleh
data hasil belajar sebelum remedial dan hasil
belajar sesudah remedial siswa. Hasil belajar
sebelum remdial dengan rata-rata 2,66, varians
1,116 dan standar devisiasi 1,06 sedangkan hasil
belajar sesudah remedial siswa dengan rata-rata
6,3 varians 0,82 dan standar deviasi 0,67.
2. Uji Normalitas Uji normalitas data Hasil belajar
sebelum remedial dan hasil belajar sesudah
remedial siswa mengunakan uji Liliefors. Hasil
uji normalitas data Hasil belajar sebelum
remedial dan hasil belajar sesudah remedial
siswa dinyatakan pada tabel berikut:
Tabel 2. Uji normalitas Data Hasil belajar
sebelum remedial dan Hasil belajar
sesudah remedial siswa.
Variabel Lo L Kesimpulan
X 0,0993 0,1336 Normal
Y 0,1310 0,1336 Normal
Untuk Data Hasil belajar sebelum
remedial, Lo (0,1336) maka data berdistribusi
normal. Untuk data hasill belajar sesudah
remedial siswa, Lo (0,1310) < L (0,1336) maka
data juga berdistribusi normal.
3. Uji Hipotesis
Untuk menguji hipotesis digunakan uji
t, Ho diterima jika –t 2
1 ( )αα −1 ≤ t ≤ t
( )α−1 pada α = 0,05 dan dk = n – 1. Hasil
perhitungan diperoleh bahwa thitung = 21,423
sedangkan ttabel = 2,01785. Dengan demikian
thitung > ttabel sehingga Ho ditolak sedangkan Ha
diterima. Hal ini menunjukkan bahwa pengajaran
remedial dapat meningkatkan hasil belajar siswa
pada pokok bahasan kesetimbangan kimia di
SMA.
4. Persentase Peningkatan Hasil Belajar
Siswa Selisih rata-rata hasil belajar siswa
sebelum dan sesudah remedial ( )d adalah 3,64
sedangkan rata-rata hasil belajar siswa sebelum
remedial ( )Χ adalah 2,66. Sehingga persentase
peningkatan hasil belajar siswa adalah sebesar
136,84 %.
5. Diskusi dan Pembahasan
Pengajaran remedial dapat
meningkatkan hasil belajar pada pokok bahasan
kesetimbangan kimia di SMA, dimana dengan
adanya pengajaran remedial, maka pemahaman
siswa terhadap kesetimbangan kimia semakin
bertambah.
Pengajaran peningkatan hasil belajar
pada siswa penilaian ini adalah sebesar 136,84%.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan penelitian tersebut
dapat diambil kesimpulan adalah bahwa
pengajaran remedial dapat meningkatkan hasil
belajar pada pokok bahasan ksetimbangan kimia
di SMA.
Saran
1. Guru sebaiknya melakukan pengajaran
remedial agar siswa yang mengalami
kesulitan belajar dapat lebih memahami
pelajaran.
2. Penelitian ini dilakukan pada pokok
bahasan kesetimbangan kimia, sehingga
perlu dilakukan penelitian lanjut tentang
pengajaran remedial pada pokok
bahasan lain.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
18
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadii, A., (2000), Psikologi belajar, Rineka
Cipta, Jakarta.
Arikunto, S., (1999), Dasar-Dasarv Evaluasi
Pendidikan, Bumi Aksara,
Jakarta.
Djamarah, S.B dan Zain, A., (1995), Strategi
Belajar mengajar, Rineka Cipta.
Jakarta.
Engkowara, (1984), Dasar-dasar Metodelogi
Pengajaran, Bina Aksara,
Jakarta.
Entang, M., (1984) Diagnosis Kesulitan Belajar
dari Pengajaran Remedi, Bumi
Aksara, Jakarta
Majid, A., (2005), Perencanaan Pembelajaran,
penerbit PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Muhibbin, (2000), Psikologi Pendidikan,
Penerbit PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung.
Mulyasa, E., (2005), Implementasi kurikulum
2004 Panduan Pembelajaran KBK,
Penerbit PT. Remaja Rosdakarya,
Badung.
Natawidjaja, (1984), Pengajaran Remedial,
Depdikbud, Jakarta.
Sudjana, Nana (2005), Penelitian Hasil Proses
Belajar Mengajar, Penerbit, PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sudjana, (1992) Metode Statistika, Tasiti,
Bandung.
Sutomo, (1985), Teknik Penilaian Pendidikan.
PT. Bina Ilmu, Surabaya.
Syamsudin Abin, (2003), Psikologi Pendidikan,
Penerbit PT. Remaja Rodakarya,
Bandung.
*) Drs. Abdul Hamid, Msi dosen FKIP UNSYIAH Banda Aceh
Model Pembelajaran Sains Menurut
Pandangan Konstruktivisme
Oleh: Jailani *)
Abstrak: Dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran IPA maka akhir-akhir ini para
ahli mengembangkan berbagai model pembelajaran yang dilandasi pandangan
konstruktivisme dari Piaget. Pandangan ini berpendapat bahwa dalam proses belajar anak
membangun pengetahuannya sendiri dan memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah.
Oleh karena itu, setiap siswa akan membawa konsepsi awal mereka yang diperoleh selama
berinteraksi dengan lingkungan dalam kegiatan belajar mengajar. Menurut pandangan
konstruktivisme keberhasilan belajar bergantung bukan hanya pada lingkungan atau
kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Belajar melibatkan pembentukan
"makna" oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat, dan dengar. Pembentukan makna
merupakan suatu proses aktif yang terus berlanjut. Jadi siswa memiliki tanggung jawab
akhir atas belajar mereka sendiri. Implikasi dari pandangan konstruktivisme di sekolah
ialah pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran
siswa, namun secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Senada
dengan pernyataan ini peneliti pendidikan sains mengungkapkan bahwa belajar sains
merupakan proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari siswa, sehingga di
sini peran guru berubah, dari sumber dan pemberi informasi menjadi pendiagnosis dan
fasilitator belajar siswa.
Kata-kunci: Pembela jaran Sains , Konstruk tiv isme
Dewasa ini telah dilakukan berbagai
upaya perbaikan dan peningkatan mutu
pembelajaran IPA di sekolah. Salah satu
pembelajaran yang ditawarkan untuk
meningkatkan mutu pembelajaran IPA di sekolah
adalah model pembelajaran yang didasarkan pada
pandangan konstruktivis karena dianggap paling
sesuai dengan karakteristik pembelajaran IPA. Hal
itu tampak dengan banyaknya tulisan tentang
pandangan konstruktivis dalam bentuk jurnal hasil
penelitian atau penuangan gagasan dalam upaya
mengembangkan model pembelajaran IPA.
Model pembelajaran IPA yang dikembangkan
berdasarkan pandangan konstruktivis ini
memperhatikan dan mempertimbangkan
pengetahuan awal siswa yang mungkin diperoleh
di luar sekolah. Disarankan oleh Bell (1993:16)
agar pengetahuan siswa yang diperoleh dari luar
sekolah dipertimbangkan sebagai pengetahuan
awal dalam sasaran pembelajaran, karena sangat
mungkin terjadi miskonsepsi. Sebaliknya apabila
guru tidak mempedulikan konsepsi atau
pengetahuan awal siswa, besar kemungkinan
miskonsepsi yang terjadi akan semakin kompleks.
Menurut pandangan konstruktivis dalam
proses pembelajaran IPA seyogianya disediakan
serangkaian pengalaman berupa kegiatan nyata
yang rasional atau dapat dimengerti siswa dan
memungkinkan terjadi interaksi sosial. Dengan
kata lain saat proses belajar berlangsung siswa
harus terlibat secara langsung dalam kegiatan
nyata.
Pembentukan pengetahuan mewarnai
pembentukan sistem konseptual IPA bagi yang
mempelajarinya. Model pembelajaran IPA dipilih
sesuai dengan sifat IPA sebagai pengetahuan
deklaratif maupun pengetahuan prosedural.
Komponen-komponen pembentuk model
pembelajaran dirumuskan sesuai dengan sifat
model pembelajaran yang disusun dan terutama
ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai melalui
pembelajaran tersebut.
Pembentukan sistem konseptual bukan dengan
cara memasangkan (match) dengan kenyataan di
alam, melainkan dengan mencocokkan (fit) dengan
kenyataan. Model konstruktivis menekankan
pandangan instrumental tentang pengetahuan atau
sistem konseptual. Pada proses pembentukannya
sistem konseptual mengalami pengujian secara
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
terus-menerus. Sistem konseptual IPA sebagai
suatu pengetahuan logik-matematik dan fisik
hanya dapat dipelajari melalui penyesuaian arti
antara pengajar dan pelajar (Herron, 1978).
Kerangka konseptual atau sistem konseptual IPA
biasanya terdiri atas konsep-konsep IPA dengan
hubungan-hubungan bermakna antara konsep-
konsep yang dipelajari dengan yang telah ada.
Karena itu pembentukan sistem konseptual IPA
haruslah melalui hubungan kebermaknaan antar-
konsep yang telah dipelajari. Hubungan bermakna
ini dapat bersifat superordinat, subordinat dan
koordinat, sesuai dengan ruang lingkup konsep
IPA yang terbentuk dapat lebih luas, lebih sempit
atau sama luas. Jadi hubungannya dapat bersifat
vertikal dan horizontal.
Dari beberapa model pembelajaran yang
diperkenalkan oleh Joyce et al. (1992) model
perolehan konsep tampaknya cocok dengan
strategi pembelajaran yang bertujuan untuk
memperoleh konsep dan menganalisis strategi
berpikir. Model pembelajaran yang dikembangkan
hendaknya memberikan kesempatan untuk terjadi
transaksi aktif antara individu dengan data, dan
proses berpikir berurutan. Selain itu model
pembelajaran yang dikembangkan juga
memperhatikan perkembangan kognitif anak.
Sejumlah kaidah psikologi, pendekatan dan
pandangan tentang pembelajaran merupakan
komponen yang tidak terpisahkan atau berdiri
sendiri-sendiri. Kesemuanya akan bermakna
apabila diwujudkan dalam suatu model
pembelajaran. Model pembelajaran sebagai suatu
rencana atau kerangka yang dapat digunakan
untuk merancang mekanisme pengajaran yang
bermakna. Menurut Westbrook & Rogers (1994)
jenis program pembelajaran yang diterapkan
mempengaruhi pengembangan kemampuan
penalaran siswa. Komponen utama yang secara
langsung membentuk model pembelajaran adalah
materi subjek yang dibahas, guru pengajar, tahap
berpikir siswa sebagai subjek belajar, pendekatan
dan metode, serta alat evaluasi yang digunakan.
Materi subjek yang dibahas harus dapat
dikaitkan dengan konsep IPA yang telah dimiliki
siswa. Konsep yang dimiliki siswa adalah
apresiasinya terhadap konsep yang disepakati para
saintis. Konsep tersebut dipelajari dengan
menggunakan analogi terhadap konsep-konsep
yang berhubungan dan ditemukan dalam
kehidupannya sehari-hari, yang merupakan dasar
pemahaman terhadap konsep-konsep IPA (Flick,
1991).
Pendidik atau guru dapat mempengaruhi siswa
dalam eksplanasinya di kelas. Pada saat belajar
dengan bahan bacaan yang sama dapat diamati ada
sejumlah eksplanasi yang dapat dikemukakan
guru. Dalam suatu model pembelajaran dapat
dikembangkan cara membaca bahan ajar, bertanya,
menerapkan konsep dan prinsip, berorientasi pada
masalah dan menyelesaikan materi subjek dengan
refleksi dan pemahaman (Whittington, 1994). Alat
evaluasi suatu program pembelajaran dapat
dirumuskan dengan jelas apabila dirumuskan
berdasarkan peta atau bagan konsep materi subjek
yang dikembangkan.
A. Model Pembelajaran Interaktif
1. Pengertian
Model pembelajaran interaktif sering dikenal
dengan nama pendekatan pertanyaan anak. Model
ini dirancang agar siswa akan bertanya dan
kemudian menemukan jawaban pertanyaan
mereka sendiri (Faire & Cosgrove dalam Harlen,
1992). Meskipun anak-anak mengajukan
pertanyaan dalam berbagai kegiatan bebas,
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terlalu
melebar dan sering kali kabur sehingga kurang
terfokus. Guru perlu mengambil langkah khusus
untuk mengumpulkan, memilah dan mengubah
pertanyaan-pertanyaan tersebut ke dalam kegiatan
khusus. Pembelajaran interaktif merinci langkah-
langkah ini dan menampilkan suatu struktur untuk
suatu pelajaran IPA yang melibatkan pengumpulan
dan pertimbangan terhadap pertanyaan-pertanyaan
siswa sebagai pusatnya (Harlen, 1992: 48-50).
2. Langkah-langkah Model Pembelajaran
Interaktif
a. Persiapan: guru dan kelas memilih topik
dan menemukan informasi yang melatar-
belakanginya.
c. Kegiatan penjelajahan: lebih melibatkan
siswa pada topik yang sedang dibahas.
d. Pertanyaan anak: saat kelas
mengundang siswa untuk mengajukan
pertanyaan tentang topik yang dibahas.
d. Penyelidikan: Guru dan siswa memilih
pertanyaan untuk dieksplorasi, selama 2-3
hari, dalam selang 3-4 hari.
e. Refleksi: melakukan evaluasi untuk
memantapkan hal-hal yang terbukti dan
memisahkan hal-hal yang masih perlu
diperbaiki.
3. Kebaikan dan Keterbatasannya
Abdul Hamid, Pengembangan Sistem Asesmen Otentik Dalam Pembelajaran
37
Salah satu kebaikan dari model pembelajaran
interaktif adalah bahwa siswa belajar mengajukan
pertanyaan, mencoba merumuskan pertanyaan,
dan mencoba menemukan jawaban terhadap
pertanyaannya sendiri dengan melakukan kegiatan
(observasi, penyelidikan). Dengan cara seperti itu
siswa atau anak menjadi kritis dan aktif belajar.
Langkah-langkah terstruktur seperti di atas
menjamin bahwa pertanyaan anak/siswa
dikumpulkan dan serius ditindaklanjuti.
Sayangnya karena dipolakan seperti itu, ternyata
model ini menjadi rutin dan kehilangan tujuannya
yang esensi. Sekali siswa merasa perlu berpikir
tentang suatu objek atau gejala alam yang sedang
dipelajari. Jadi penting melakukannya dengan
serius, tidak sebagai sesuatu yang rutin.
B. Model Pembelajaran Terpadu (Integrated)
1. Pengertian
Model pembelajaran terpadu merupakan salah
satu model yang sedang trend dilakukan dewasa
ini. Berdasarkan sifat keterpaduannya
pembelajaran terpadu dapat dibedakan menjadi
tiga, yakni model dalam satu disiplin ilmu, model
antar bidang, dan model dalam lintas siswa. Salah
satu pendekatan pembelajaran terpadu melibatkan
konsep-konsep dalam satu bidang studi atau lintas
bidang studi. Suatu pola belajar mengajar dalam
model pembelajaran terpadu menggunakan payung
untuk memadukan beberapa konsep IPA yang
terkait menjadi satu paket pembelajaran sehingga
pemisahan antar konsep tidak begitu jelas. Sifat
model pembelajaran terpadu semacam itu
termasuk model connected (Fogarty, 1991:55).
Pelaksanaan pendekatan ini bertolak dari suatu
topik atau tema sebagai payung untuk mengaitkan
konsep-konsepnya. Tema sentral hendaknya
diambil dari kehidupan sehari-hari yang menarik
dan menantang kehidupan anak untuk memicu
minat anak belajar. Menurut Fogarty tema sentral
harus dapat dikembangkan dalam arti cakupannya
luas dan memberi bekal bagi siswa untuk belajar
selanjutnya.
Sedikitnya terdapat empat kriteria yang harus
dipertimbangkan dalam mengembangkan model
pembelajaran terpadu berkenaan dengan
perkembangan anak. Keempat kriteria tersebut
adalah: (1) kebutuhan anak, (2) karakteristik mata
pelajaran, (3) lingkungan sebagai sarana belajar,
dan terakhir (4): masing-masing kriteria
memberikan sumbangan tersendiri.
Perkembangan dan kebutuhan anak dapat
diterangkan sebagai berikut. Siswa SD secara
alamiah tidak dapat berpikir dan memandang mata
pelajaran secara terkotak-kotak. Mereka cenderung
memandang secara holistik dalam kehidupannya.
Oleh karena itu, pengembangan model
pembelajaran hendaknya memperhatikan
perkembangan anak. Karakteristik siswa SD yang
suka bermain, memiliki rasa ingin tahu yang besar,
dan mudah terpengaruh oleh lingkungan,
memerlukan terciptanya lingkungan pembelajaran
yang menyenangkan, antara lain prinsip belajar
sambil bekerja dan prinsip bermain sambil belajar.
Melalui program bermain sambil belajar siswa
belajar dari pengalaman bermainnya, sehingga
secara tidak langsung muncul kreativitas dari
pengalaman bermain. Untuk itu guru hendaknya
menciptakan bentuk permainan yang kreatif dalam
menyampaikan materi pembelajarannya.
Karakteristik mata pelajaran IPA perlu
diperhatikan dalam menyusun pembelajaran
terpadu. IPA merupakan hasil kegiatan manusia
berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang
terorganisasi tentang alam sekitarnya yang
diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian
proses ilmiah seperti penyelidikan, penyusunan
dan pengujian gagasan. Oleh karena itu, dalam
pembelajaran IPA pengalaman belajar siswa
membangun pengetahuannya berdasarkan
pengamatan, dan penyusunan gagasan melalui
suatu percobaan sangatlah penting. Dalam
pengembangan pembelajaran terpadu siswa
hendaknya dilibatkan dalam kegiatan langsung
pada objek nyata, karena akan membantu siswa
untuk berpikir melalui pengalaman belajarnya.
Kehidupan anak tidak terlepas dari lingkungan
tempat tinggal mereka. Pendekatan lingkungan
dapat digunakan dalam pembelajaran, terutama
pembelajaran IPA. Melalui model pembelajaran
terpadu guru dapat mengajar melalui lingkungan,
guru dapat mengajarkan tentang lingkungan dan
guru dapat mengajar untuk kegiatan lingkungan.
Siswa yang menggunakan lingkungan sebagai
sarana dan sumber belajar akan terdorong untuk
lebih mencintai lingkungan sekitarnya.
2. Langkah-langkah Penyusunan Model
Pembelajaran Terpadu
Terdapat sejumlah langkah untuk menyusun
model pembelajaran terpadu. Langkah-langkah
tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut.
a. Mengkaji standar isi (GBPP IPA) untuk
menganalisis konsep-konsep penting yang
tercakup dalam SK dan KD akan diajarkan.
b. Membuat bagan konsep yang menghubungkan
konsep satu dengan konsep lainnya.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
c. Memilih tema sentral yang dapat menjadi
payung untuk memadukan konsep-konsep
tersebut.
d. Membuat TPK dan deskripsi kegiatan
pembelajaran yang disesuaikan dengan tingkat
perkembangan untuk setiap konsep.
e. Membuat bahan bacaan berupa cerita yang
mengacu pada tema, disertai gambar dan
permainan.
f. Menyusun jadwal kegiatan dan alokasi waktu
yang diperlukan secara proporsional.
g. Menyusun kisi-kisi perangkat tes dan soal tes.
3. Kebaikan dan Keterbatasannya
Dalam pembelajaran terpadu siswa diajak
untuk mengamati gejala alam sebagaimana
adanya, tidak dipilah-pilah menurut biologi atau
fisika, juga tidak dibedakan hal-hal lain yang
menyebabkan siswa melihatnya secara terkotak-
kotak. Melalui pembelajaran siswa diajak untuk
melakukan pengelompokan berdasarkan hal yang
teramati oleh mereka. Keterbatasannya jika
konsepnya sudah kompleks, sulit dipadukan atau
guru mengalami kesulitan untuk memadukannya.
C. Model Pembelajaran Siklus Belajar
(Learning Cycle)
1. Pengertian
Model siklus belajar pertama kali
dikembangkan pada tahun 1970 dalam SCIS
(Science Curriculum Improvement Study), suatu
program pengembangan pendidikan sains di
Amerika Serikat. Dalam, pelaksanaannya model
siklus belajar terdiri atas tiga fase, yaitu eksplorasi,
eksplanasi, dan aplikasi. Siklus di sini diartikan
bahwa tahap-tahap tersebut dapat berulang.
2. Urutan pembelajaran
a. Eksplorasi
Pada fase eksplorasi siswa diberi kesempatan
untuk melakukan penjelajahan atau eksplorasi
secara bebas. Kegiatan ini memberi siswa
pengalaman fisik dan interaksi sosial dengan
teman dan gurunya. Pengalaman ini mendorong
terjadinya asimilasi, dan menyebabkan siswa
bertanya tentang konsep tertentu yang tidak sesuai
dengan konsepsi awal mereka. Konflik kognitif ini
diakomodasi melalui proses ekuilibrasi dan
kemudian diasimilasikan ke dalam struktur
kognitif.
b. Eksplanasi atau Pengenalan Konsep
Pada fase pengenalan konsep guru dengan
metode yang sesuai menjelaskan konsep dan teori-
teori yang dapat membantu siswa untuk menjawab
permasalahan yang muncul dan menyusun gagasan
mereka.
c. Aplikasi atau Penerapan Konsep
Pada fase ini siswa mencoba menggunakan
konsep yang telah dikuasai untuk memecahkan
masalah dalam situasi yang berbeda. Dalam hal ini
guru menyiapkan masalah-masalah yang dapat
dipecahkan berdasarkan konsep yang telah
diperoleh siswa pada fase sebelumnya.
3. Kebaikan dan Keterbatasannya Jumlah tahap yang hanya tiga termasuk
sederhana dan mudah diingat, namun
memunculkan situasi konflik tidak selalu berhasil.
Dengan demikian jika tahap pertama tidak
berhasil, maka tahap-tahap selanjutnya mungkin
juga kurang bermakna. Selain model pembelajaran
ini sering tertukar dengan siklus dalam penelitian
tindakan kelas.
D. Model Pembelajaran Sains-Teknologi-
Masyarakat
1. Pengertian
Sains Teknologi dan Masyarakat (STM)
didefinisikan sebagai belajar dan mengajar
mengenai sains dan teknologi dalam konteks
pengalaman manusia. Apabila STM digunakan
dalam pembelajaran sains berarti kita sedang
membicarakan mengenai cara pencapaian tujuan
pengajaran sains dalam konteks di atas.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan
dalam mengembangkan pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan STM adalah sebagai
berikut.
a. Bertolak dari isu yang sedang hangat
dibicrakan, siswa mengidentifikasikan
masalah-masalah yang ada di daerahnya dan
dampaknya.
b. Dalam memecahkan masalah tersebut siswa
dapat menggunakan sumber-sumber setempat
(narasumber dan bahan-bahan) untuk
memperoleh informasi yang dapat digunakan
dalam pemecahan masalah.
c. Keterlibatan siswa secara aktif dalam mencari
informasi yang dapat diterapkan untuk
memecahkan masalah-masalah nyata dalam
hidupnya.
d. Perluasan untuk terjadinya belajar melebihi
periode, kelas dan sekolah.
Abdul Hamid, Pengembangan Sistem Asesmen Otentik Dalam Pembelajaran
39
e. Memusatkan pada pengaruh sains dan
teknologi kepada individu siswa
f . Pemandangan mengenai sains sebagai bahan
lebih dari sekadar yang hanya berisi konsep
dan untuk menyelesaikan ujian.
g. Penekanan pada keterampilan proses sains,
agar dapat digunakan oleh siswa dalam
mencari solusi terhadap masalahnya.
h. Penekanan pada kesadaran mengenai karier,
khususnya karier yang berhubungan dengan
sains dan teknologi.
i. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berperan dalam bermasyarakat sebagai usaha
untuk memecahkan kembali masalah-masalah
yang didefinisikannya.
j. Menentukan proses sains dan teknologi yang
mempengaruhi masa depan.
k. Sebagai perwujudan otonomi setiap individu
dalam proses belajar.
2. Urutan Pembelajaran IPA menggunakan
pendekatan STM
Dalam penggunaan pendekatan STM, Yager
menyarankan hendaknya dalam belajar
menggunakan strategi konstruktivisme. Yager
mengorganisasikan strategi konstruktivisme dalam
pengajaran sains dalam STM ke dalam 4 tahap,
yaitu tahap invitasi, tahap eksplorasi, tahap
penjelasan dan solusi, dan tahap pengambilan
tindakan.
a. Invitasi: siswa didorong agar mengemukakan
pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan
dibahas. Bila perlu guru memancing dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan problematis
tentang fenomena yang sering ditemui sehari-hari
dengan mengkaitkan konsep-konsep yang akan
dibahas. Siswa diberi kesempatan untuk
mengkomunikasikan, mengilustrasi
pemahamannya tentang konsep itu.
b. Eksplorasi: siswa diberi kesempatan untuk
penyelidikan dan menemukan konsep melalui
pengumpulan, pengorganisasian,
penginterprestasian data dalam suatu kegiatan
yang telah dirancang guru. Secara
berkelompok/individu siswa melakukan kegiatan
dan diskusi. Secara keseluruhan, tahap ini akan
memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang
fenomena alam sekelilingnya.
c. Penjelasan dan Solusi: saat siswa memberikan
penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil
observasinya ditambah dengan penguatan guru,
maka siswa dapat menyampaikan gagasan,
membuat model, membuat penjelasan baru,
membuat solusi, memadukan solusinya dengan
teori dari buku, membuat rangkuman dan
kesimpulan. Siswa membangun pemahaman baru
tentang konsep yang sedang dipelajari. Hal ini
menjadikan siswa tidak ragu-ragu tentang
konsepsinya.
d. Pengambilan Tindakan:, siswa dapat membuat
keputusan, menggunakan pengetahuan dan
keterampilan, berbagi informasi dan gagasan,
mengajukan pertanyaan lanjutan, mengajukan
saran baik bagi individu maupun masyarakat yang
berhubungan dengan pemecahan masalah.
Dalam pembelajaran dengan pendekatan STM
ini banyak metode mengajar yang dapat digunakan
guru. Metode yang dapat digunakan misalnya
diskusi, bermain peran, studi kasus, eksperimen,
survey dan studi lapangan. Penggunaan metode-
metode tersebut menekankan pada keterlibatan
siswa secara aktif dalam belajar. Untuk
mengetahui keberhasilan siswa dengan pendekatan
STM tetap diadakan pengujian dan penilaian
terhadap siswa. Mungkin pengujian hasil belajar
siswa agak sulit pelaksanaannya karena meliputi
banyak aspek dan bahkan menyangkut beberapa
bidang studi baik sains maupun non-sains.
Langkah yang perlu dilakukan dalam
penilaian siswa adalah merumuskan tujuan umum
dan tujuan khusus. Kemudian merumuskan
kelebihan-kelebihan yang akan diperoleh siswa
setelah mempelajari suatu topik dalam pendekatan
STM itu. Perumusan tujuan hendaknya meliputi 5
domain (konsep, proses, aplikasi, kreativitas, dan
sikap).
Kesimpulan Pembelajaran dan perspektif konstruktivisme
mengandung empat kegiatan inti, yaitu: (1)
berkaitan dengan prakonsepsi atau pengetahuan
awal (prior knowledge) siswa; (2) mengandung
kegiatan pengalaman nyata (experience); (3)
melibatkan interaksi sosial (social interaction);
dan (4) terbentuknya kepekaan terhadap
lingkungan (sense making). Model pembelajaran
yang dikembangkan hendaknya memberikan
kesempatan untuk terjadi transaksi aktif antara
individu dengan data, dan proses berpikir
berurutan. Selain itu model pembelajaran yang
dikembangkan juga memperhatikan perkembangan
kognitif anak. Model pembelajaran yang dimaksud
adalah, model pembelajaran interaktif, model
pembelajaran terpadu (integrated), model
pembelajan siklus belajar (learning cycle), dan
mdel pembelajaran sain teknologi masyarakat.
Menurut pandangan konstruktivis dalam proses
pembelajaran IPA seyogianya disediakan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
serangkaian pengalaman berupa kegiatan nyata
yang rasional atau dapat dimengerti siswa dan
memungkinkan terjadi interaksi sosial. Dengan
kata lain saat proses belajar berlangsung siswa
harus terlibat secara langsung dalam kegiatan
nyata.
Daftar Rujukan
Bell, B. (1995). Children's Science,
Constructivism and Learning in Science.
Geelong: Deakin University.
Dahar, R.W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Flick, L. (1991). "An elaboration of a cardinal goal
of science instruction". Educational
Philosophy and Theory. 23(1), 31-43.
Fogarty, R. (1991). How to Integrate the
Curricula. Illinois: IRI Sky Publishing Inc.
Harlen, W. (1992). The Teaching of Science.
London: David Fulton Publishers Ltd.
Herron, J.D. (1977). "Problem associated with
concept analysis". In Journal of Science
Education. 61(2), 185-199.
Joyce, B., Weil, M. & Showers,. (1992). Models of
Teaching. London: Prentice-Hall
International.
West, L.H.T., & Pines, A.L. (1985). Cognitive
Structure and Conceptual Change.
London: Academic Press INC.
PROFIL LITERASI SAINS DAN TEKNOLOGI GURU MATA PELAJARAN IPA SD
DAN SMP SERTA HUBUNGANNYA DENGAN PRESTASI BELAJAR IPA
SISWA SD DAN SMP DI KABUPATEN GAYO LUWES, PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM (NAD)
Oleh :
Soewarno S*. dan Zulfadli**
Abstrak. International Forum on Scientific and Technological Literacy For All (Project
2000+) di Paris memutuskan antara lain agar semua negara anggota memperkenalkan dan
mengarahkan implimentasi pendidikan sains dan teknologi mulai pada pendidikan dasar,
agar masing-masing negara dapat meningkatkan literasi sains dan teknologi semua anggota
masyarakat (scientific and technological literacy for all). Sebagai sampel pada penelitian
ini adalah guru SD dan SMP yang memberikan pelajaran IPA, penarikan sampel dilakukan
dengan metode purposive sampling. Instrumen yang digunakan berupa tes tentang literasi
sains dan teknologi, serta tes sikap terhadap masalah ataupun peristiwa yang ada di
lingkungan. Di samping itu diadakan juga wawancara dengan para responden untuk
mengetahui pola aplikasi proses pembelajaran sains dan teknologi di kelas. Teknik Analisis
data dilakukan dengan statistik regresi multiple. Hasil analisis data ditemukan bahwa nilai
rata-rata literasi sains dan teknologi kelompok A (guru SMP) 52,66 dan kelompok B (guru
SD) 40,69, secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok
tersebut pada taraf signifikansi 0,05. Tes mengenai sikap kelompok A dan B terhadap
peristiwa dan masalah yang terjadi di lingkungan mereka menunjukkan bahwa kelompok A
memperoleh rata-rata skor 127 (84,67%) dan kelompok B memperoleh rata-rata skor 124
(82,67%) dari keseluruhan skor 150 yang diharapkan. Di antara keduanya tidak terdapat
perbedaan yang signifikan. Nilai rata-rata yang dicapai siswa untuk pelajaran IPA di SD
dan di SMP masing-masing adalah 6,16 dan 6,37. Hasil pengolahan dengan analisis regresi
multiple ternyata bahwa hubungan antara literasi sains dan teknologi guru dengan prestasi
belajar siswa pada pelajaran IPA dapat dikatakan sangat rendah, yakni masing-masing
0,0363 dan 0,0716, dengan koefesien korelasi multiple 0,37 dan koefesien determinasi
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
0,12. Data ini menunjukkan juga bahwa hubungan antara literasi sains dan teknologi guru
dengan prestasi belajar siswa pada pelajaran IPA rendah.
Kata Kunci :Literasi Sains, Teknologi guru, Prestasi Belajar
I. PENDAHULUAN Perkembangan sains dan teknologi yang
amat pesat khususnya dalam abad ke XXI ini,
makin menampakkan pengaruhnya dalam segala
aspek kehidupan. Hal ini ternyata pada banyaknya
kegunaan sain dan teknologi tersebut bagi
kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian
setiap anggota masyarakat perlu memperoleh
pendidikan yang sesuai untuk dapat menyadari dan
memanfaatkan kemajuan itu secara optimal.
Nilai sains dan teknologi antara lain
mencakup nilai pendidikan, nilai agama, nilai
kebudayaan, yang mutlak harus dimiliki oleh
pendidik dan juga peserta didik atau siswa di
sekolah. Dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN) tercantum bahwa
sejak pendidikan dasar pengantar sains dan
teknologi sudah harus merupakan bahan kajian di
sekolah.
Gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan
sains dan teknologi sejak sekolah dasar
sebenarnya sudah dirintis sebelum tahan 80-an
dan UNESCO serta organisasi internasional
lainnya mulai melaksanakan pertemuan-
pertemuan internasional setelah tahun 1980.
Rupanya kecenderungan yang merupakan
globalisasi ini, memberikan inspirasi kepada
para penyusun UUSPN kita tentang pendidikan
sains dan teknologi.
Dewasa ini pembangunan sumber daya
manusia merupakan salah satu sektor yang
menentukan dalam upaya pelaksanaan
pembangunan, sedangkan kunci yang menentukan
pembangunan sumber daya manusia adalah
melalui pembangunan pendidikan.
Penggalian informasi tentang sains dan
teknologi di suatu daerah dirasa cukup penting
dalam rangka menyusuri kehidupan era globalisasi
dewasa ini, bagi guru dan juga siswa yang kurang
pemahaman akan sains dan teknologi tentunya
akan sulit berkompetisi nantinya. Melalui
penelitian ini akan dijadikan acuan tingkat literasi
sains dan teknologi yang dipahami oleh guru
khusausnya sebelum ke siswa, yang pada
gilirannya data dan informasi yang didapat
tersebut sebagai bahan masukan untuk perbaikan
kurikulum IPA di sekolah, yaitu mulai tingkat SD
sampai SMA di Kabupaten Gayo Lues, Provinsi
NAD.
Pada penelitian ini digunakan istilah
literasi sains dan teknologi sebagai terjemahan dari
scientific and technological literacy. Beberapa
orang menggunakan istilah melek sains dan
teknologi, akan tetapi kami merasa istilah “melek”
kurang tepat karena secara harfiah melek (bahasa
Jawa) artinya membuka mata sebagai lawan dari
kata “merem” yang berarti menutup mata.
II. METODE PENELITIAN
Setting Penelitian dan Karakteristik Subjek
Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
analitis. Dengan demikian fokus utama penelitian ini
terletak pada hasil tes tentang literasi sains dan teknologi
para guru IPA di SD dan guru matematika, fisika, dan
biologi di SMP, berikutnya akan ditinjau lebih
mendalam tentang literasi sains dan teknologi dari para
guru, dengan dasar penggolongan: latar belakang
pendidikan guru, kecamatan domisili, dan jenis kelamin.
Pengujian korelasi dilakukan untuk mengestimasi
derajat asosiasi di antara variabel-variabel tadi dengan
tingkat literasi sains dan teknologi yang dimiliki guru.
Sampel Penelitian
Anggota populasi yang ditetapkan dalam
penelitian ini adalah guru IPA di SD dan guru
matematika, fisika, dan biologi SMP di Kabupaten
Gayo Lues, Propinsi NAD. Sedangkan sebagai
sampel penelitian digunakan metode purposive
sampling dari populasi.
Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
Langkah awal yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah mengadakan prasurvei
tentang situasi dan kondisi calon
responden/sampel para guru SD dan SMP,
mengingat mereka adalah para guru yang berstatus
PNS, tim peneliti harus memperoleh kepercayaan
dan pengertian dari responden, agar semua
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
jawabannya dibuat dengan sungguh-sungguh
dengan tujuan untuk membantu penelititan ini.
Untuk kelompok A (guru IPA di SMP) dan
kelompok B (guru IPA di SD), instrumen yang
digunakan berupa tes tentang literasi sains dan
teknologi, kepada mereka juga diberikan pula tes
sikap terhadap masalah ataupun peristiwa yang
ada di lingkungannya. Di samping tes tentang
literasi sains dan teknologi dan sikap, diadakan
juga wawancara dengan para responden untuk
mengetahui pola aplikasi proses pembelajaran
sains dan teknologi di kelas.
Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan
melalui beberapa tahapan, yaitu penyekoran
terhadap jawaban responden pada tiap butir tes
tentang literasi sains dan teknologi, tabulasi data
semua jawaban responden pada tes sikap, dan
analisis data selanjutnya dilakukan dengan statistik
analisis regresi multiple
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengolahan data statistik
tentang literasi sains dan teknologi diperoleh
bahwa nilai rata-rata literasi sains dan teknologi
kelompok A (guru SMP) adalah 52,66 dan
kelompok B (guru SD) adalah 40,69 dan terdapat
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok
tersebut pada taraf signifikansi 0,05. Dari tabel
diketahui bahwa untuk taraf signifikansi 0,05,
harga z0,475 = 1,96.
Tes mengenai sikap kelompok A dan B
terhadap peristiwa dan masalah yang terjadi di
lingkungan mereka menunjukkan bahwa
kelompok A memperoleh rata-rata skor 127
(84,67%) dan kelompok B memperoleh rata-rata
skor 124 (82,67%) dari keseluruhan skor 150 yang
diharapkan. Di antara keduanya tidak terdapat
perbedaan yang signifikan.
Nilai rata-rata yang dicapai siswa untuk
pelajaran IPA di SD dan di SMP masing-masing
adalah 6,16 dan 6,37. Hasil pengolahan dengan
analisis regresi multiple ternyata bahwa hubungan
antara literasi sains dan teknologi guru dengan
prestasi belajar siswa pada pelajaran IPA dapat
dikatakan sangat rendah, yakni masing-masing
0,0363 dan 0,0716, dengan koefesien korelasi
multiple 0,37 dan koefesien determinasi 0,13. Data
ini menunjukkan juga bahwa hubungan antara
literasi sains dan teknologi guru dengan prestasi
belajar siswa pada pelajaran IPA masih rendah.
Bila dilihat dari hasil tes kelompok A dan
kelompok B, peningkatan tes literasi sains dan
teknologi pada kelompok A mungkin akibat
tuntutan pada pelajaran IPA di SMP yang lebih
banyak berorientasi ke sains dan teknologi bila
dibandingkan pada guru SD yang mengajarkan
IPA. Akibat tuntutan pelajaran di SMP tersebut,
guru tentunya lebih cenderung menggali berbagai
pengetahuan dari literature dan sumber-sumber
lainnya.
Pelajaran IPA di SD bila mengacu ke
kurikulum yang ada saat ini, tidak banyak materi
yang meninjau fenomena alam secara terintegrasi.
Yang mungkin hanyalah menggunakan
pendekatan terpadu atau pendekatan STS dalam
mengajarkan materi pelajaran IPA di kelas,
sementara materi tes literasi dan teknologi yang
diberikan meliputi penerapan konsep-konsep IPA
di SMP.
Jadi fakta bahwa hasil tes literasi sains
dan teknologi guru IPA SD yang rendah
disebabkan antara lain karena materi-materi
pelajaran dan pendekatan pembelajaran IPA di SD
banyak yang tidak menunjang untuk meningkatkan
literasi sains dan teknologi bagi guru tersebut.
Memang kenyataannya bahwa konsep-konsep IPA
yang diberikan di tingkat SD sangat kecil
porsinya, yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah lingkungan atau
menanggapi isu-isu dalam lingkungan yang perlu
diketahui oleh guru dalam menjelaskan materi
pelajaran IPA.
Nilai rata-rata mata pelajaran IPA di SD
dan SMP yang dicapai siswa juga relatif rendah.
Hal ini memang dirasakan sukar bagi mereka
untuk mencerna konsep-konsep yang abstrak dan
menyelesaikan soal-soal yang abstrak pula.
Dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan
problematik menyelesaikan masalah dalam sains
merupakan hal baru yang seringkali memusingkan
dan menegangkan. Pengakuan ini diketahui dari
hasil wawancara.
Temuan lain yang menarik dari hasil
wawancara dengan responden adalah timbulnya
rasa ingin tahu yang lebih jauh dan mulai
menyenangi sains setelah beberapa pertanyaan
menantang yang disodorkan tim peneliti. Beberapa
responden bahkan menyatakan akan berusaha
mengubah strategi pembelajaran sebagaimana
yang selama ini mereka lakukan. Beberapa
diantaranya bahkan mengungkapkan untuk
mencari informasi ekstra dengan jalan mencari
tahu dengan jalan bertanya pada orang lain yang
lebih mengetahui tentang sains atau membaca dari
Soewarno Sdan Zulfadli Profil Literasi Sains Dan Teknologi Guru 27
berbagai sumber. Di samping itu ditemukan juga
sikap apatisme dari responden, hal ini mungkin
mereka menganggap pengetahuan tentang sains
dan teknologi bukanlah sebagai modal utama
dalam mengajarkan IPA.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan:
(1) Profil literasi sains dan teknologi yang dicapai
guru SD dan SMP di Kabupaten Gayo Lues masih
rendah, hal ini disebabkan karena penerapan
konsep-konsep sains ke dalam kehidupan sehari-
hari telah banyak terlupakan, (2) Perbedaan literasi
sains dan teknologi antara guru IPA di SD dan di
SMP lebih disebabkan oleh pengaruh materi yang
diajarkan pada SD dan SMP, dimana untuk
jenjang SMP lebih banyak konsep IPA yang
berkenaan dengan sains dan teknologi dalam
kehidupan sehari-harinya, dan (3) Sikap guru
terhadap peristiwa dan masalah yang ada di
lingkungan mereka tergolong tinggi, kemungkinan
disebabkan oleh profesi mereka sebagai guru IPA.
DAFTAR PUSTAKA
Blair, G.M. et al. (1988). Educational Psychology, New
York : The Macmillan Company.
Bowyer, J. (1990). Scientific and Technological
Literacy, UNESCO.
Deboer, G.E. (1991). “Scientific Literacy and The
New Progressivism”, A History of Ideas
in Science Education, New York:
Teachers College Press.
Harry Firman, et al. (1990). “Kenetrailmuan
(scientific literacy) Masyarakat Umum
Menjelang Era Tinggal Landas”, Laporan
Penelitian, FPMIPA-IKIP Bandung: tidak
diterbitkan.
Kauchak, D. dan Eggen, P.D. (1989). Learning
and Teaching, Research Based Methods,
Massachustts: Allyn and Bacon.
Krech, S. et al. (1972). Individual in Society,
Tokyo: McGraw Hill Kogakusha Ltd.
Poedjiadi, A. (1994). “Konsep STS dan
Pengembangannya Berdasarkan
Kurikulum Sekolah”, Makalah
disampaikan pada Seminar/Lokakarya
Sains, Teknologi dan Masyarakat. 11-21
januari 1994 di PPPG-IPA Bandung.
Stoltman, J.P. (1993). “Scientific and
Technological Literacy for
Development”, Makalah disajikan pada
International Forum on Scientific and
Technological Literacy For All di Paris
tanggal 5 – 10 Juli 1993.
Trowbridge, L.W. dan Bybee, R.W. (1990).
Becoming A Secondary School Science
Teacher. 5th
Ed., Columbus: Merrill
Publishing Company.
UNESCO, International Forum on Scientific and
Technological Literacy for All, Final
Report, Paris 5 – 10 July, 1993.
Zainal Mustafa EQ. (1992). Microstat Untuk
Mengolah Data Statistik, Yogyakarta:
Penerbit Andi Offset.
PARADIGMA BARU PENDIDIKAN
Oleh :
Sofyan Ibrahim*)
Abstrak. Banyak factor yang mempengaruhi mutu pendidikan di Indonesia pada umunya
khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sekurang-kurangnya ada tiga factor
utama yaitu : Pertama, Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan
pendekatan input-output analylisis yang tidak dilaksanakan secara konsekwen. Kedua,
penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik. Ketiga,
peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan
selama ini sangat minim. Untuk mengatasi masalah tersebut menuntut adanya paradikma
baru menyangkut kebijakan atau upaya penyempuraan sistem pendidikan, baik di tingkat
nasional maupun di tingkat daerah. Adapun yang termuat dalam paradigma baru
pendidikan, yaitu sistem pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam yang disebut sistem
pendidikan Islami atau sistem pendidikan Nasional plus Islami.
Kata kunci : Paradikma baru, pendidikan
Pendahuluan
Setiap negara menginginkan agar
masyarakatnya berkualitas. Perwujudan
masyarakat berkualitas tersebut menjadi tanggung
jawab pendidikan, terutama dalam
mempersiapkan peserta didik menjadi subyek
yang makin berperan menampilkan keunggulan
dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan
profesional pada bidangnya masing-masing.
Upaya peningkatan mutu pendidikan
pada setiap dan jenjang telah banyak dilakukan
baik ditingkat nasional maupun di tingkat daerah.
Pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan
Nasional telah mencanangkan “Gerakan
Peningkatan Mutu Pendidikan” pada tanggal 2
Mei 2002. Namun demikian, berbagai indicator
mutu pendidikan belum menunjukkan
peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah
terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan
mutu pendidikanyang cukup mengembirakan,
namun sebagian besar lainnya masih
memprihatikan.
Dari sekian banyak actor penyebab mutu
pendidikan yang masih relative rendah. Depdiknas
mencatat ada tiga factor utama, yaitu: Pertama,
kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan
nasional menggunakan pendekatan input-output
analysis yang tidak dilaksanakan secara
konsekuen. Kedua, Penyelenggarakan pendidikan
selama ini sangat minim.
Permasalahan di atas menuntut adanya
paradikma baru enyangkut kebijakan atau upaya
penyempurnaan Sistem pendidkan, baik di tingkat
nasional maupun daerah. Adapun termuat dalam
paradigma baru pendidikan yaitu : sistim
pendidikan NAD, Kurikulum Berbasis
Kompetensi
Pembahasan
a. Qanun Pendidikan
1) Landasan Yuridis Formal Pendidikan
NAD
Qanun No. 23 Tahun 2002 merupakan
salah satu landasan yuridis formal untuk
penyelenggaraan pendidikan di Nanggroe Aceh
Darussalam. Qanun tersebut disusun berdasarkan
Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang
otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Qanun 23 itu adalah pergantian dari
Perda No. 6 tahun 2000 tentang Penyelenggara
Pendidikan yang disusun berdasarkan Undang No.
44 tahun 1999 tentang Penyelenggaran
Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh (sebelum
Aceh menjadi otonomi khusus). Adapun landasan
yuridis formal lainnya mengenai pendidikan NAD
adalah Undang-Undang mengenai Sistem
Pendidikan Nasioanal serta berbagai peraturan
lainnya yang berkaitan, sebagaimana tercantum
dalam konsideran Qanun.
2) Landasan Agamis, Filosofis dan Sosio-
Kultural Pendidikan NAD Adapun semangat yang terkandung
dalam Qanun Pendidikan NAD adalah keiginan
atau aspirasi masyarakat agar sistem pendidikan di
Aceh haruslah sistem yang berlandaskan pada
Jurnal Pendidikan Serambi, September 2008, Volume 6 Nomor 1
ajaran Islam dan nilai-nilai sosial budaya (sosio-
kultural) masyarakat Aceh. Dan sistem pendidikan
yang demikian adalah sistem islami sifatnya. Sifat
Islami itu merupakan jiwa atau roh dari sistem
pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam.
Namun di samping itu sebagai bagian
dari NKRI, pendidikan di provinsi NAD sudah
tentu harus pula berlandaskan pada dasar Negara
dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Di Indonesia
hanya ada satu Sistem pendidikan nasional
(Sisdiknas). Kalau pada zaman sentralisasi dahulu
Sisdiknas itu diterapkan sama di seluruh provinsi,
tetapi di era desentralisasi dan otonomi daerah
sekarang ini Sisdiknas itu dapat disesuaikan
dengan kondisi, nilai-nilai sosial budaya dan
aspirasi masyarakat di daerah yang pada
hakekatnya berbeda-beda antara satu daerah
dengan daerah lainnya.
Qanun Pendidikan Provinsi NAD itu
mengakomodasi aspirasi masyakat Aceh, yang
pada dasarnya menghendaki agar sistem
pendidikan di Aceh mengandung warna
kebangsaan dan ke Acehan. Ini terlihat jelas
dalam rumusan Qanun pasal 2 mengenai landasan
pendidikan NAD yang berbunyi :
“Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam adalah pendidikan yang
berlandaskan pada Al-Quran dan Al-
Hadist, falsafah Negara Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945 dan
Kebudayaan Aceh”.
Bunyi pasal tersebut merupakan landasan
akademis, filosifis dan sosio-kultural untuk
pendidikan di Nanggroe Aceh Drussalam yang
pada hakekadnya adalah Islami. Oleh karena
warna ke Acehan itu tidak dapat dipisahkan
dengan dengan nilai Islami, maka sistim
pendidikan NAD di sebut Sistem Pendidikan
Islami atau disebut juga Sistem Pendidikan plus
Islami.
Qanun Pedidikan Provinsi NAD itu
mengakomodasi aspirasi masyarakat Aceh, yang
pada dasarnya menghendaki agar Sistem
pendidikan di Aceh mengandung warna
kebangsaan dan keAcehan. Karena warna
keAcehan itu tidak dapat dipisahkan dengan nilai-
nilai Islami, yaitu nilai-nilai yang berakar pada
ajaran Islam, maka sistem pendidikan yang
dikembangkan di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam sejak dari pra sekolah sampai
Perguruan Tinggi adalah Sistem Pendidikan
Islami, yang maksudnya adalah Sistem
Pendidikan Nasional plus Islami.
3) Qanun Pendidikan Mencerminkan
Sistem Pendidikan Islami Ada beberapa bagian dalam Qanun yang
jelas menunjukkan bahwa Qanun itu
mencerminkan sistem pendidikan islami.
a. Pasal 2 tentang dasar pendidikan seperti telah
disebutkan di atas.
b. Pasal 3 tentang fungsi pendidikan, yang
berbunyi sebagai berikut :
“Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam berfungsi untuk memantapkan
iman dan taqwa kepada Allah SWT,
mengembangkan kemampuan, ilmu dan amal
saleh, dalam upaya meningkatkan mutu
kehidupan dan martabat manusia sesuai
dengan tuntutan ajaran Islam, dan dalam
rangka mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
c. Pasal 4 tentang tujuan pendidikan, yang
berbunyi sebagai berikut :
“Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam bertujuan untuk membina pribadi
muslim seutuhnya sesuai dengan fitrahnya,
yaitu pribadi yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT, berakhlakul karimah,
demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusian dan hak asasi manusia,
berpengatahuan, berketerampilan, sehat
jasmani dan rohani, berkepribadian mantap
dan mandiri, mampu menghadapi berbagai
tantangan global, dan memilki tanggung
jawab kepada Allah SWT, masyarakat dan
Negara”.
d. Dalam Qanun dengan tegas disebutkan bahwa
pendidikan dasar (pasal 12 ayat 4),
pendidikan menengah (pasal 13 ayat 7),
pendidikan tinggi (pasal 14 ayat 3)
diselenggarakan secara islami.
e. Dalam Qanun dirumuskan satu bab tersendiri
tentang pendidikan dayah (Bab X pasal 16),
yang mencerminkan pentingnya pendidikan
dayah sebagai lembaga pendidikan yang
bercorak Islam.
f. Qanun menegaskan bahwa tenaga kependidikan
haruslah berkepribadian Islami, yang
tercamtum dalam pasal 18 ayat 1 yang
dirumuskan sebagai berikut : “Guru dan
Tengku dayah harus memiliki kepribadian
yang islami, kompetensi professional,
kompetensi personal, dan kompetensi sosial”.
g. Dalam Bab XIII tentang kurikulum dikemukan
beberapa hal yang me-nunjukkan kepada
pendidikan yang islami.
Sofyan Ibrahim Paradigma Baru Pendidikan
• Pada pasal 23 ayat (1) mata pelajaran
pendidikan Agama diperinci menjadi 5
macam , yaitu : Al-Qur’an dan Hadist,
Aqidah Akhlak, Fiqih, Praktek Ibadah
dan Sejarah Islam. Sedangkan pada ayat
(5)ditegaskan bahwa kurikulum
sebagaimana yang dimaksud pada pasal
23 itu adalah kurikulum yang islami dan
terpadu sifatnya.
• Dalam pelaksanaan kurikulum pada pasal
24 disebutkan bahwa :
• Pada hari-hari belajar peserta didik dan
guru melaksanakan shalat berjamaah
bersama di madrasah/dayah (ayat 1), dan
bahwa peserta didik yang beragama
Islam pada jenjang pendidikan dasar
wajib mengetahui dasar-dasar
pengetahuan agama, mampu membaca
Al-Qur’an serta dapat melaksanakan
ibadah shalat dengan sempurna (ayat 3)”.
• Dalam pasal 26 mengenai hari belajar
dan hari libur disebutkan bahwa peserta
didik dan guru melaksanakan shalat
dhuhur dan ashar berjemaah sesuai
dengan jadwal jam belajar, dan juga
shalat jum’at (ayat 5). Selain itu
disebutkan bahwa pada setiap bulan
Ramadhan, kegiatan belajar pada
madrasah diliburkan (ayat 8).
h. Bahwa sistem pendidikan yang akan
dikembangkan di NAD adalah sistem
pendidikan islami juga disebut dalam
penjelasan Qanun Pendidikan tersebut.
b. Sistem Pendidikan NAD (Sistem Pendidikan
Islami)
1) Apa yang dimaksud dengan pendidikan
islami
Sistem pendidikan Islami adalah suatu
sistem pendidikan yang berdasarkan pada ajaran
agama Islam. Adapun prinsip dasar dari sistem
pendidikan Islami itu adalah sebagai berikut :
- Pendidikan berlangsung sepanjang hayat (life
long education).
- Pendidikaan adalah proses pembentukan
manusia seutuhnya, artinya yang berkembang
semaksimal mungkin aspek-aspek badan, jiwa,
dan rohaninya serta semua potensi-potensinya
(kognitif, afektif, dan psikomotorik).
- Pendidikan bertujuan memakmurkan seluruh
alam dengan cara memadukan dan
menyempurnakan iman dan amal shaleh demi
tercapainya kesejahteraan hidup di dunia dan di
akhirat.
Dengan prinsip dasar demikian
menunjukkan bahwa pendidikan islami bukan
semata-mata menekankan pada pengembangan
aspek jasmaniah, akal, dan moral saja, tetapi juga
menekankan pentingya ubudiyah dan amal saleh.
Pendidikan Islami memberikan tekanan pada
perkembangan aspek kepribadian, sehingga
pribadi yang ingin dikembangkan dengan
pendidikan islami adalah pribadinya seutuhnya,
yaitu yang berkembang kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional dan spritualnya.
Sistem Pendidikan Islami pada
hakekatnya bertolak dari konsep pendidikan
humanisme theosentris, yaitu pandangan bahwa
pendidikan bersumber dari Allah SWT dan
berpusat pada aktulisasi fitrah manusia secara
menyeluruh. Manusia menurut Islam pada
hakekatnya adalah makhluk individu dan
makhluk sosial, yang memilki potensi-potensi
emosional, religius, etis, dan estetis; makhluk
ciptaan Allah SWT yang paling sempurna karena
dirinya merupakan totalitas dari unsur-unsur
jasmani, jiwa (akal budi dan perasaan), dan
rohani; makhluk yang memiliki kedudukan
istimewa sebagai khalifah Allah di bumi untuk
mengemban tugas memelihara dan mengolah alam
ini bagi kepentingan kehidupan umat manusia;
dan manusia adalah makhluk yang tujuan
penciptaannya oleh Allah SWT adalah untuk
mengabdi kepadaNya. Pendidikan Islami
memandang bahwa seorang anak itu dilahirkan
sesuai fitrahnya, dan adalah tugas pendidikan
untuk membantu perkembangan semua potensi
yang dimilikinya dan menjadikannya manusia
sesuai dengan fitrahnya itu. Ilmu pengetahuan
dalam perspektif Islam bersumber pada satu
sumber, yaitu Allah SWT sehingga karena itu
tidak ada dikotomi antara ilmu wahyu dengan
ilmu akal, atau antara ilmu “ilmu agama” dengan
“ilmu umum”. Menurut Islam, nilai-nilai
kebenaran ilahiyah bersifat pasti dan mutlak, yang
merupakan panduan bagi kebenaran insaniah yang
relatif sifatnya. Karena itu adalah tugas
pendidikan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai
kebenaran lahiyah dan insaniah itu kepada peserta
didik.
Adapun tujuan akhir pendidikan Islami
mencakup hal-hal sebagai berikut :
� Pembinaan iman dan taqwa kepada Allah
SWT;
� Pembentukan akhlak yang mulia;
� Menyadarkan manusia akan pentingnya ilmu
pengetahuan;
� Menyedarkan akan perannya sebgai khalifah;
Jurnal Pendidikan Serambi, September 2008, Volume 6 Nomor 1
� Pembentukan insan yang shaleh yang dapat
memadukan iman, ilmu dan amal.
� Mempersiapkan manusia untuk kehidupan di
dunia dan akhirat;
� Mengembangkan manusia sebagai individu
dan sebagai makhluk sosial.
2) Apa yang dimaksud dengan Kurikulum
Pendidikan Islami? Seperti telah dikemukakan bahwa sistem
pendidikan yang sedang dikembangkan di
Provinsi NAD ialah sistem pendidikan Islami atau
sistem pendidikan nasional plus Islami. Nilai plus,
yaitu nilai Islami tersebut tercermin dalam semua
komponen pendidikan di sekolah, yaitu dalam
kurikulum, proses pembelajaran, lingkungan
sekolah, perilaku guru dan siswa, manajemen
sekolah, alat-alat pendidikan, dan sebagainya.
Nilai-nilai Islami itu harus dikembangkan juga
melalui pendidikan dalam keluarga dan dalam
masyarakat.
2. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
a. Apakah yang dimaksud dengan KBK? KBK adalah suatu konsep kurikulum yang
menekankan pada kemampuan melakukan
(kompetensi) tugas-tugas dengan standar
perfomansi tertentu, sehingga hasilnya dapat
dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan
terhadap seperangkat kompetensi tertentu.
KBK diarahkan untuk mengembangkan
pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai,
sika, dan minat peserta didik agar dapat
melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran,
ketepatan, dan keberhasilan dengan penuh
tanggung jawab.
b. Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Karakteristik KBK antara lain mencakup
seleksi kompetensi yang sesuai; spesifikasi
indicator-indikator evaluasi untuk menentukan
kesuksesan pencapaian kompetensi; dan
pengembangan sistem pembelajaran. Di samping
itu KBK memiliki sejumlah kompetensi yang
harus dikuasai oleh peserta didik, penilaian
dilakukan berdasarkan standar sebagai hasil
demontrasi kompetensi yang ditunjukkan oleh
peserta didik, pembelajaran lebih menekankan
pada kegiatan invidual personal untuk menguasai
kompetensi yang disyaratkan, peserta didik dapat
dinilai kompetensinya kapan saja bila mereka
sudah siap, dan dalam pembelajaran peserta didik
dapat maju sesuai dengan kecepatan dan
kemampuan masing-masing.
Depdiknas (2002) mengemukan bahwa
kurikulum berbasis kompetensi memiliki
karakteristik sebagai berikut:
• Menekankan pada ketercapaian kompetensi
siswa baik secara individual maupun klasikal
• Berorientasi pada hasil belajar (learning
outcomes) dan keberagaman.
• Penyampaian dalam pembelajaran
menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi.
• Sumber belajar bukan hanya guru, tapi juga
sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur
edukatif.
• Penilaian menekankan pada proses dan hasil
belajar dalam upaya penguasaan atau
pencapaian suatu kompetensi.
c. Asumsi Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) Sedikinya terdapat tujuh asumsi yang
mendasari KBK, sebagai berikut:
Pertama, Banyak sekolah yang memiliki
sedikit guru yang professional, dan tidak mampu
melakukan proses pembelajaran secara optimal.
Oleh itu penerapan KBK menuntut peningkatan
kemampuan profesional guru.
Kedua, Banyak sekolah yang hanya
mengkoleksi sejumlah mata pelajaran dan
pengalaman, sehingga mengajar diartikan sebagai
kegiatan menyajikan materi yang terdapat dalam
setiap mata pelajaran.
Ketiga, Peserta didik bukanlah tabung
kosong atau kertas putih bersih yang dapat diisi
atau ditulis sekehendak guru, melainkan individu
yang sejumlah potensi yang perlu dikembangkan.
Keempat, Peserta didik memiliki potensi
yang berbeda dan bervariasi, dalam hal tertentu
memiliki potensi diri, tetapi dalam hal lain biasa-
biasa saja, bahkan rendah.
Kelima, Pendidikan berfungsi
mengkondisikan lingkungan untuk membantu
peserta didik mengembangkan berbagai potensi
yang dimilikinya secara opimal.
Keenam, Kurikulum sebagai rencana
pembelajaran harus berisi jabaran dari seluruh
aspek kepribadian peserta didik yang
mencerminkan keterampilan yang dapat
diharapkan dalam kehidupan.
Ketujuh, Kurikulum sebagai proses
pembelajaran harus menyediakan berbagai
kemungkinan kepada seluruh peserta didik untuk
Sofyan Ibrahim Paradigma Baru Pendidikan
mengembangkan berbagai potensinya secara
optimal.
d. Keunggulan KBK
Pertama, pendekatan bersifat alamiah
(kontekstual), karena berangkat, berfokus, dan
bermuara pada hakekat peserta didik untuk
mengembangkan berbagai kompetensi sesuai
dengan potensinya masing-masing.
Kedua, Kurikulum berbasis kompetensi
boleh jadi mendasari pengembangan kemampuan-
kemampuan lain.
Ketiga, Ada bidang-bidang studi atau
mata pelajaran tertentu yang dalam
pengembangannya lebih tepat menggunakan
pendekatan kompetensi., terutama yang berkaitan
dengan keterampilan.
e. Bagaimana Kurikulum Islami atau
KurikulumNasional plus Islami Sesuai dengan sistem pendidikan Islami,
maka kurikulum sekolah-sekolah di Nanggroe
Aceh Darussalam adalah kurikulum Islami atau
Kurikulum Nasional plus Islami.
Adapun cirri-ciri kurikulum nasional plus
Islami (kurikulum NAD), adalah sebagai berikut:
� Kurikulum nasional plus Islami lebih luas
dari kurikulum nasional.
� Isi kurikulum nasional (KBK) semuanya
terakomodasi dalam kurikulum NAD.
Kelebihannya antara lain ialah dalam hal :
- Materi pendidikan agama Islam lebih banyak
dari kurikulum nasional yang diperinci dalam
5 mata pelajaran, yaitu: Qur’an-Hadist,
Ibadah/Akhlak, Fikh, praktek badah dan
sejarah Islam.
- Ada muatan lokal yang terdiri atas adat-
istiadat, kesenian dan bahasa daerah.
Penambahan materi pendidikan agama Islam
juga dapat dimasuk ke dalam muatan lokal.
- Proses pembelajaran dilaksanakan secara
Islami. Perhatian lebih besar diletakkan pada
pembinaan kepribadian peserta didik, khusus
pada pembinaan akhlak mereka. Peran guru
di tekankan pada mengajar yang bersifat
mendidik. Sarana pendukung pembelajaran
seperti buku-buku pelajaran, tempat shalat,
serta lingkungan sekolah diupayakan
bernuansa Islami.
- Mengembangkan prinsip belajar sepanjang
hayat. Kegiatan belajar yang mendorong
peserta didik gemar membaca dan belajar
dalam rangka pengembangan pibadi (leaning
to be), kemampuan hidup bersama (leaning to
live together), penambahan ilmu pengetahuan
(leaning to know), dan peningkatan
keterampilan hidup (leaning to do).
Disamping itu pendidikan Islami juga
menekankan pentingnya belajar dengan cara
yang benar (leaning how to learn), sehingga
hasil belajar menjadi lebih efektif.
- Menggunakan pendekatan terpadu, baik
dalam kurikulum dan pembelajaran maupun
dalam pengelolaan pendidikan. Antara lain
keterpaduan antara pelajaran umum dengan
pelajaran agama. Antara iptek dan imtaq,
antara aspek-aspek kepribadian (berpikir,
merasa, bersikap, berbuat), keterpaduan
antara teori dan praktek, dan antara
pendidikan formal dan informal.
Penutup
Paradikma baru pendidikan merupakan
alternatif kebijakan pemerintah dari sentralistik
ke desentralistik. Kebijakan penyelenggaraan
pendidikan dengan sistem desentralistik memberi
peluang kepada daerah untuk menyelenggarakan
pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah dan
sosio-kultural masyarakat. Sesuai dengan kultur
masyarakat Aceh yang Islami, maka sifat Islami
itu jiwa atau roh dari sistem pendidikan di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam
bingkai sistem pendidikan Nasional.
Qanun pendidikan Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam meng-akomodasi aspirasi
masyarakat Aceh, yang pada dasarnya
menghendaki agar sistem pendidikan di Aceh
mengandung warna kebangsaan dan ke Acehan.
Sistem pendidikan Islami pada hakekatnya
bertolak dari konsep pendidikan Humanisme
Theosentris, yang memandang bahwa pendidikan
bersumber dari Allah dan berpusat pada
aktualisasi fitrah manusia secara menyeluruh.
Konsep Islami inilah yang diterapkan pada
sekolah-sekolah di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. (2002). Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta : Pusat Kurikulum
Balitbang, Depdiknas.
MPD Provinsi NAD. (2004). Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam No. 23
Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan
Pendidikan. Banda Aceh : MPD Prov.
NAD.
Jurnal Pendidikan Serambi, September 2008, Volume 6 Nomor 1
Mulayasa E. (2002). Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Bandung : PT. Remaja
Rosda Karya.
___________ (2002). Manajemen Berbasis
Sekolah. Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya.
Soelaiman, Darwis A. (2004). Pedoman
Sosialisasi Qanun Pendidikan Islami,
Program Gemajar. Banda Aceh : MPD
Prov. NAD.
Jurnal Pendidikan Serambi, September 2008, Volume 6 Nomor 1
1 Penulis adalah staf pengajar Kop. Wil I Dpk Universitas Abulyatama, Banda Aceh.
PENGEMBANGAN SISTEM ASESMEN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN
FISIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF
DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Oleh:
Abdul Hamid*)
Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sistem asesmen otentik dalam
pembelajaran Fisika dengan model pembelajaran inovatif dan menguji efektivitasnya
secara empirik melalui penelitian tindakan kelas. Penelitian ini melibatkan 78 orang
siswa yang tersebar ke dalam 2 kelas di SMA Negeri 3 Banda Aceh dan SMA Negeri 8
Banda Aceh. Perangkat asesmen otentik dikembangkan dengan menggunakan model IDI
(Instructional Model Institute) dengan tahapan, yaitu penentuan, pengembangan, dan
evaluasi. Sistem asesmen otentik yang dikembangkan diimplementasikan dalam dua
model pembelajaran, yaitu model inkuiri terbimbing dan model pembelajaran dengan
pendekatan starter eksperimen. Data penelitian dikumpulkan dengan kuesioner, tes hasil
belajar, pedoman observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem asesmen
otentik yang dikembangkan melalui model pembelajaran inkuiri terbimbing dan model
pembelajaran dengan pendekatan starter eksperimen secara konsisten dapat
meningkatkan kompetensi dasar Fisika dengan skor rerata pada akhir siklus secara
berturut-turut untuk setiap model pembelajaran adalah 70,5 (kualifikasi baik) dan 76,2
(kualifikasi baik). Respon siswa terhadap sistem asesmen otentik yang dikembangkan
dalam pembelajaran Fisika sangat positif. Disarankan kepada guru-guru Fisika SMA agar
menerapkan sistem asesmen otentik melalui berbagai model pembelajaran inovatif seperti
inkuiri terbimbing, pendekatan starter eksperimen, dan model inovatif lainnya. Bila guru
menerapkan sistem asesmen otentik dalam pembelajaran, diharapkan jumlah siswa dalam
kelompok eksperimen tidak melebihi 4 orang, serta pengamatan kinerja dan sikap siswa
dalam pembelajaran difokuskan pada 2 sampai 3 kelompok siswa dalam satu seri
pembelajaran.
Kata kunci: asesmen otentik, pembelajaran Fisika,model pembelajaran inovatif
Sofyan Ibrahim Paradigma Baru Pendidikan
*) Drs. Ruhadi, M.Pd Dosen FKIP USM Banda Aceh
43
1. PENDAHULUAN
Dalam rangka memajukan Pendidikan Nasional khususnya di Sekolah Menengah Atas (SMA),
secara umum pemerintah menetapkan tiga arah pengembangan pendidikan yaitu (1) perluasan dan pemerataan
pendidikan, (2) peningkatan kualitas dan relevansi, dan (3) peningkatan efektivitas dan efisiensi. Untuk
mewujudkan rencana pengembangan ini Direktorat Pendidikan Menengah Umum (Dikmenum) melahirkan
suatu gagasan reformasi sekolah (school reform) bersamaan dengan dicanangkannya “Gerakan Peningkatan
Mutu Pendidikan” oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) pada tanggal 2 Mei 2002.
Di tingkat sekolah, salah satu bentuk penerapan school reform adalah dalam hal penerapan
pengukuran dan penilaian hasil belajar mengajar. Hal ini disebabkan pengukuran dan penilaian memegang
peranan penting dalam proses belajar mengajar. Pengukuran dan penilaian, baik penilaian proses, formatif,
maupun sumatif, merupakan prosedur logis yang harus dilakukan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dalam hal ini, penilaian merupakan lanjutan dari suatu proses untuk dapat diketahui seberapa besar tujuan
dapat dicapai. Bila suatu penilaian tergelincir menjadi tujuan yang ingin dicapai, saat itu pula akan mulai
terjadi penyederhanaan proses pembelajaran, yaitu diorientasikan pada bagaimana penilaian akan dilakukan.
Seperti yang dikatakan Dantes (2004), saat ini pengukuran dan penilaian prestasi siswa sebagian besar
bertumpu pada aspek kognitif saja, di semua jenjang, mulai dari penilaian di kelas sampai ke penilaian tingkat
nasional. Di samping itu, tes yang digunakan bertumpu pada satu jenis soal (tes objektif). Hal ini terbukti
berakibat sangat fatal, yaitu guru dalam mengelola pembelajaran hanya berorientasi pada bagaimana prestasi
siswanya akan dinilai nanti, sehingga guru tidak merasa perlu untuk mengikuti berbagai inovasi pembelajaran
dan lebih baik mengajak siswanya berlatih menjawab berbagai bentuk soal.
Sementara itu, dalam sistem pendidikan nasional terdapat tiga ranah kemampuan peserta didik yang
diharapkan (merujuk taksonomi Bloom) yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Dimana pada setiap
proses pembelajaran, guru diharapkan dapat mengkombinasikan ketiga ranah kemampuan bagi setiap peserta
didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Rose & Nicholl (1997) dalam gagasannya tentang ”percepatan belajar
di abad ke 21” (accelerated learning for the 21st century) bahwa pembelajaran dan penilaian tidak selalu
tertuju kepada aspek kognitif saja, tetapi juga menilai aspek psikomotor, melalui keterampilan dan keahlian
yang dimiliki peserta didiknya. Untuk itu Rose & Nicholl (1997) menganjurkan adanya pendekatan atau
modifikasi baru dalam sistem penilaian (modify the exam system).
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada SMA (SMA Negeri 3 Banda Aceh dan SMA
Negeri 8 Banda Aceh) serta diskusi dengan guru Fisika yang mengajar Fisika di sekolah tersebut diperoleh
informasi berikut ini.
Pertama, strategi pembelajaran yang diterapkan selama ini masih didominasi dengan ekspository,
kemudian dilanjutkan dengan diskusi, pemberian latihan-latihan soal, dan tugas rumah. Guru jarang
sekali mengajak siswanya melakukan berbagai aktivitas penyelidikan di laboratorium. Alasan
guru tidak melakukan kegiatan laboratorium adalah keterbatasan alat dan sarana laboratorium, banyak
menyita waktu untuk mempersiapkan, tidak ada laboran khusus yang dapat membantu guru menyiapkan alat
dan bahan percobaan, dan tes-tes yang diberikan pada ujian nasional maupun Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB) tidak ada yang berhubungan langsung dengan kegiatan praktikum. Oleh karena
itu, guru lebih banyak memberikan latihan soal-soal, kemudian mendiskusikannya, daripada
melakukan praktikum sehingga mereka terbiasa dengan cara memecahkan soal tersebut.
Pemahaman guru seperti ini disebabkan guru kurang memahami secara baik hakikat belajar Fisika. Salah satu
ciri khusus IPA (Fisika) adalah adanya keterpaduan antara eksperimen dan teori. Teori dalam sains tidak lain
adalah pemodelan matematis terhadap berbagai prinsip dasar, yang kebenarannya harus diuji dengan
eksperimen yang dapat memberikan hasil serupa dalam keadaan yang sama. Dengan menggunakan teori
dalam sains, orang dapat membuat prediksi kuantitatif terhadap suatu peristiwa. Eksperimen, selain
merupakan suatu proses induktif dalam menemukan prinsip dasar yang baru, juga merupakan suatu
proses deduktif bagi pengujian teori baru. Dalam membuat interpretasi hasil eksperimen untuk
pengambilan kesimpulan, diperlukan kemampuan melakukan inferensi. Ciri sains inilah yang disebut
dengan metode ilmiah, suatu metode yang belakangan juga digunakan ilmu-ilmu lain. Salah satu
ciri IPA adalah bahwa untuk menekuninya diperlukan kecintaan yang dalam terhadap ilmu sebagai suatu
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
44
sistem logik yang indah dan ampuh. Kesadaran ini akan menimbulkan dedikasi yang tinggi terhadap
pemahaman ataupun pengembangan ilmu sebagai kebutuhan hidup.
Kedua, sistem penilaian yang digunakan dalam pembelajaran Fisika di SMA masih didominasi
dengan penilaian paper and pencil test. Dengan demikian, keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran
Fisika cenderung dinilai dari aspek kognitif semata, sedangkan penilaian aspek keterampilan proses dan
sikap kurang mendapat perhatian serius. Pada hal, aspek keterampilan proses maupun sikap-sikap
ilmiah seperti menghargai fakta (objektivitas), keuletan dalam bekerja, kritis, menghargai pandangan orang
lain yang berbeda justru sangat dibutuhkan dalam meniti karier maupun terjun dalam kehidupan mereka
nanti di masyarakat.
Ketiga, sampai saat ini guru-guru Fisika yang diwawancarai belum memahami betul tentang
penilaian otentik seperti penilaian kinerja (performance assessment) maupun penilaian fortofolio. Pada
hal, proses pembelajaran Fisika sangat menuntut penilaian otentik tersebut. Dengan penilaian otentik, semua
aspek pendidikan seperti kognitif, afektif, maupun psikomotor dapat dinilai secara utuh dalam pembelajaran.
Menurut Depdiknas (2005) penilaian otentik termasuk salah satu pendekatan untuk mengamati prestasi siswa.
Penilaian otentik menekankan pada proses dan kinerja siswa untuk mempraktekkan kemampuan berpikir
kritis dan mendapatkan hal-hal yang menyenangkan selama belajar. Penilaian otentik tidak mendorong
pembelajaran hafalan, tetapi mengutamakan berpikir analitik, mengintegrasikan apa yang siswa pelajari
dengan situasi yang sebenarnya di lapangan atau di lingkungan mereka sendiri. Baron & James (dalam Nitko,
1996) mengemukakan empat ciri penilaian otentik yaitu: (1) mengutamakan aplikasi (emphasize on
application) artinya, menilai apa yang dilakukan siswa (what a student can do), untuk menilai apa yang
diketahui siswa (what a student knows), (2) berfokus pada penilaian langsung (focused on direct assessment),
(3) berhubungan dengan masalah yang realitis (realistic problem), dan (4) mengandalkan cara berpikir
terbuka (encourage open-ended thinking) biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama. Sementara itu,
Suastra (2005) menyatakan bahwa tidak dilaksanakannya penilaian otentik oleh guru disebabkan karena guru
kurang memahami aspek-aspek apa saja yang mesti dinilai, bagaimana prosedur penilaiannya, serta
bagaimana mengolah hasil penilaian tersebut. Pada hal, dengan melakukan penilaian otentik, guru akan
memiliki informasi yang lengkap tentang siswanya dan memudahkan dalam membuat keputusan dalam
menentukan hasil belajar siswa. Di samping itu, beberapa keuntungan lain yang diperoleh dari
penggunaan penilaian otentik adalah (1) mendorong siswa untuk sibuk dalam pemecahan masalah dan
bekerja secara bermakna dalam tugas kehidupan sehari-hari yang kekomplekannya semakin meningkat, (2)
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan kejelasan yang lebih tentang kewaj ibannya
dan apa-apa yang diharapkan mereka kuasai , (3) memungkinkan siswa memanfaatkan
pengetahuan mereka secara efektif dan berusaha dengan disiplin untuk menemukan dan menjawab
pertanyaan-per tanyaan yang relevan dengan kehidupan dan masyarakat, (4) meningkatkan
kemampuan guru dalam memahami hasil penilaian yang bermakna dan diperlukan untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran, (5) mendorong guru untuk mengubah cara pandangnya tentang pengetahuan,
pembelajaran, dan kesuksesan akademik, dan (6) memperbaiki kemampuan guru dalam menggunakan
berbagai sumber bukti-bukti untuk menilai kinerja siswa (Arend, 2004).
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan mutu pada setiap jenjang
pendidikan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan model asesmen
otentik dalam pembelajaran Fisika dengan model Pembelajaran Inovatif di SMA. Ada beberapa alasan
pengembangan model asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika, yaitu (1) sangat mendukung
pengembangan kurikulum Fisika yang dilandasi dengan hakikat sains sebagai proses dan produk sesuai
dengan kurikulum yang sedang berlaku saat ini, (2) memberikan pengalaman nyata bagi siswa
dalam melakukan berbagai aktivi tas pemecahan masalah melalui eksperimen dan demonstrasi,
(3) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan berbagai kemampuannya, baik dalam
bentuk pengetahuan, kinerja, maupun sikapnya dalam pembelajaran Fisika, dan (4) berupaya
untuk memandirikan siswa untuk belajar, bekerja sama, serta menilai dirinya sendiri (self evaluation).
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan sistem asesmen otentik dalam pembelajaran
Fisika dengan model pembelajaran inovatif (inkuiri terbimbing dan pendekatan starter eksperimen) di
SMA yang melibatkan 78 orang siswa kelas X sebagai subjek uji coba model asesmen otentik dengan
model pembelajaran inovatif. Terdiri dari SMA Negeri 3 Banda Aceh 38 orang siswa kelas X2 dengan model
pembelajaran inkuiri terbimbing dan SMA Negeri 8 Banda Aceh 40 orang siswa kelas X4 dengan model
pembelajaran pendekatan starter eksperimen.
Peneli t ian pengembangan ini menggunakan model 1131 (Instructional Development
Institute). Model ini telah digunakan secara luas di kalangan sekolah mulai dari sekolah dasar hingga
perguruan tinggi (Miarso, 1987). Pengembangan model IDI terdiri dari tiga tahap utama, yaitu (1) penentuan
(define), (2) pengembangan (development), dan (3) evaluasi (evaluate).
T ahap p enen tua n t e rd i r i d a r i t i ga ke g ia t a n , ya kn i : ( a ) mengidentifikasi masalah
(identify problem) yang meliputi kegiatan menilai kebutuhan, menentukan prioritas kebutuhan, dan
merumuskan masalah yang akan dipecahkan, (b) menganalisis rancangan (analyze setting) dilakukan
dengan mengumpulkan data tentang karakteristik sasaran, kondisi dimana kegiatan akan berlangsung,
hambatan-hambatan yang ada, se r t a me n g u mp u l k a n s u mb er - s u mb er ya n g r e l e v a n , d a n ( c )
mengorganisasiksn pengelolaan (organize management) yang meliputi perumusan tugas, pembagian tugas
atau tanggung jawab, serta penentuan waktu dan tempat.
Tahap pengembangan terdiri dari tiga tahap kegiatan, yaitu: (1) mengidentifikasi tujuan (identify
objective), yaitu tujuan umum (terminal objective) dan tujuan khusus (enabling objective), (2) menentukan
metode (specify methods) yang mencakup penentuan strategi belajar, metode, media/sarana yang diperlukan,
dan (3) menyusun prototipe (construct prototype) yang meliputi unit pembelajaran dalam bentuk
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), pedoman tugas, pedoman penilaian kinerja siswa dalam
aktivitas laboratorium, pedoman penilaian sikap dalam mengikuti pembelajaran, tes hasil belajar
dengan rubrik penilaiannya, pedoman pembuatan laporan praktikum, pedoman pembuatan ringkasan,
kuesioner penilaian diri siswa, dan kuesioner respon siswa terhadap pembelajaran.
Tahap evaluasi meliputi kegiatan (1) pengujian prototipe (test prototipes) dengan kegiatan uji
pakar dengan melibatkan 2 orang pakar dari dosen dan seorang praktisi dari sekolah, (2) melakukan
perbaikan-perbaikan sesuai dengan rekomendasi dari pakar, dan (3) melakukan implementasi di kelas
melalui penelitian tindakan kelas. Setelah kegiatan ini, dilakukan pengumpulan data-data dan analisis
data. Hasil analisis dikaji melalui panel group discussion. Bila hasilnya sudah dianggap baik, maka dapat
direkomendasikan untuk digunakan lebih lanjut.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Deskripsi Pelaksanaan Pembelajaran dan Penilaian di Sekolah
Berdasarkan hasil pemberian kuesioner pada 78 orang siswa yang tersebar pada 2 sekolah yakni SMA
Negeri 3 Banda Aceh dan SMA Negeri 8 Banda Aceh diperoleh data seperti pada tabel 1 berikut.
Tabel 1 : Data Pelaksanaan Pembelajaran dan Penilaian No A s p e k Persentase Siswa
1 . Penilaian yang digunakan untuk menilai hasil belajar siswa meliputi:
a. Kuis, ulangan akhir pokok bahasan, ulangan umum, tuga
b. Unjuk kerja
c. Penilaian diri
100
0
0
2 .
A l a t p e n i l a i a n h a s i l b e l a j a r
a. Tes (Uraian, objektif)
b. Non-tes dan lainnya
89,7
10,3
3 .
Sifat penilaian yang digunakan dalam menilai hasil belajar
a. Terbuka (dengan beberapa altematif jawaban benar)
b. Tertutup (dengan hanya satu jawaban benar)
16,7
83,3
4 .
Penilaian hasil belajar dilakukan secara
a. Berkala (periodik)
b. Terus menerus
9 7 , 4
2,6
5 . Jumlah pemberian kuis /ulangan harian
a. 1 — 4 kali dalam satu semester
b. 5 — 8 kali
c. 9 - 12 kali
88,4
11,6
0
6 . Pemberian tugas-tugas yang diberikan guru
a. Dilengkapi dengan penjelasan tugas yang jelas
b. Tidak dilengkapi dengan penjelasan tugas yangj elas
c. Dikembalikan hasilnya dilengkapi dengan komentar
d. Tidak dikembalikan hasilnya
84,6
15,4
41,0
59,0
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
46
7 . Se te t ah ulangan akhir pokok bahas an
a. Hasilnya dibahas
b. Hasilnya tidak dibahas
c. Bagi yang gagal tidak diremidi
d. Bagi yang gagal diremidi
89,7
10,3
0
100
8 . Cara guru menentukan nilai akhir dalam Buku Raport Siswa
a. Diberikan penjelasan pada awal pembelajaran
b. Tidak diberikan penjelasan pada awal pembelajaran
25,6
74,4
9 . Jumlah kegiatan praktikum di laboratorium dalam satu semester
a. 1 - 2 kali
b. 3 – 4 kali
c. 5 – 6 kali
d. 7 – 10 kali
87,2
12,8
0
0
10. Metode mengajar yang selama ini digunakan guru
a. Ceramah
b. Tanya jawab/diskusi
c. Latihan soal
d. Demonstrasi
e. Kerja kelompok
f. Kerja di laboratorium
g. Proyek (penelitian lapangan)
h. Presentasi
83,3
91,0
100
6,4
24,4
19,2
0
0
11 Dalam kegiatan praktikum di laboratorium
a. Dinilai oleh guru dan diberitahukan aspek penilaiannya
b. Dinilai oleh guru dan tidak pernah diberitahukan aspek penilaian
c. Tidak pernah dinilai
20,5
66,7
12,8
12 Da la m p r os e s pen i l a ia n ha s i l be la j a r
a. Siswa pernah disuruh menilai sendiri dirinya
b. Siswa tidak pernah menilai sendiri dirinya
3,9
96,1
Hasil di atas memperl ihatkan bahwa sistem asesmen yang dikembangkan di sekolah
ternyata belum sesuai dengan sistem asesmen dalam kurikulum berbasis kompetensi. Kinerja siswa
maupun penilaian diri oleh siswa tidak pernah dilakukan oleh guru. Pada hal, kurikulum berbasis kompetensi
untuk mata pelajaran Fisika menuntut agar penilaian kinerja (performance asessessment) khususnya dalam
aktivitas laboratorium wajib dilaksanakan. Tanpa itu, sulit bagi guru untuk memberikan nilai kompetensi
dasar khususnya menyangkut penilaian psikomotor dan afektif. Hal ini juga memperlihatkan bahwa metode
mengajar yang digunakan masih didominasi dengan metode ceramah, tanya jawab, dan latihan soal-
soal, sedangkan metode demonstrasi dan kerja di laboratorium (praktikum) mendapat porsi yang
masih minim. Hasil ini dijadikan rujukan untuk mengembangkan strategi pembelajaran dan sistem
asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika.
3. 2 Hasil Pengembangan Perangkat Asesmen Otentik
Sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah menghasilkan perangkat asesmen otentik yang efektif
untuk pembelajaran Fisika di SMA, maka tahapan penelitian ini melalui beberapa tahapan. Tahap
pertama, dilakukan identifikasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan asesmen dalam
pembelajaran Fisika di SMA. Hasil penelusuran terhadap permasalahan dalam melaksanakan
penilaian (asesmen) tampak pada tabel 1 di atas. Tahap kedua, dilakukan pengembangan perangkat
asesmen, meliputi: (1) Rencana Pembelajaran beserta Lembaran Kerja Siswa Model Pembelajaran inkuiri
terbimbing dan Starter Eksperimen, (2) Tes Hasil Belajar beserta rubrik penilaiannya, (3) Pedoman
Penilaian Keterampilan Proses Sains (psikomotor), (4) Pedoman Penilaian Sikap Siswa dalam
Pembelajaran (aspek afektif), (5) Pedoman Pembuatan Laporan Praktikum, (6) Pedoman Membuat
Ringkasan, (7) Penilaian Diri (Self Evaluation), dan (8) Kuesioner Respon Siswa terhadap Pembelajaran.
Seluruh perangkat pembelajaran dikembangkan bersama-sama mahasiswa yang menjadi payung penelitian ini
dan selanjutnya draf hasil pengembangan dikoreksi oleh dua orang pakar (dosen) dan satu orang praktisi (guru SMA
yang telah berpengalaman mengajar Fisika di SMA). Setelah diberikan masukan-masukan dan dilakukan
diskusi secara intensif dan revisi, selanjutnya tim penilai memberikan penilaian kelayakan terhadap perangkat
yang dikembangkan. Setelah memperoleh kualifikasi layak (skor minimal 70), perangkat asesmen otentik yang
dikembangkan siap diujicobakan secara empirik dalam pembelajaran di kelas.
3. 3 Hasil Uji Coba Perangkat Asesmen dalam Pembelajaran Fisika
Untuk melihat keefektifan perangkat asesmen otentik yang telah dikembangkan, dilakukan uji empirik
melalui penelitian tindakan kelas dengan menerapkannya pada dua model pembelajaran, yaitu: model inkuiri
terbimbing dan model pembelajaran starter eksperimen. Hasil uji coba perangkat asesmen otentik dalam
pembelajaran Fisika di SMA dapat dilihat pada tabel 2, tabel 3, dan tabel 4.
Tabel 2 : Hasil Uji Coba Perangkat Asesmen Otentik dalam Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
Siklus
Aspek Kognitif
Aspek
Psikomotor
Aspek Afektif
Rerata
nilai
I 66,7 60,2 61,0 62,6
II 71,3 69,3 71,0 70,5
Tabel 3 : Hasil Uji Coba Perangkat Asesmen Otentik dalam Pembelajaran Starter Eksperimen
Siklus Aspek Kognitif Aspek
Psikomoto
r
Aspek
Afektif Rerata
nilai
1 71,7 71,0 69,2 70,6
II 76,8 75,7 76,2 76,2
Tabel 4 : Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Berbantuan Asesmen Otentik
No Model
Pembelajaran
Skor Respon Kualifikasi
1. Inkuiri terbimbing 77,8 Sangat
Positif
2. Pembelajaran
starter eksperimen
78,0 Sangat
Positif
3.4 Pembahasan
Hasil analisis kebutuhan terhadap pelaksanaan asesmen otentik di SMA Negeri 3 Banda Aceh dan SMA
Negeri 8 Banda Aceh dengan melibatkan 78 orang Siswa menunjukkan bahwa pelaksanaan asesmen otentik
dalam pembelajaran Fisika masih belum memadai. Hal ini dapat dilihat dari temuan berikut ini. Penilaian
hasil belajar Fisika siswa masih difokuskan pada aspek kognitif yang oleh hampir seluruh siswa
(89,7%) dinyatakan dilakukan melalui paper and pencil test, baik dalam bentuk tes objektif maupun
tes esai/uraian. Non-tes yang semestinya dapat digunakan untuk menilai kinerja maupun sikap siswa
dalam pembelajaran hampir tidak digunakan oleh guru. Hal ini akan menyulitkan guru untuk
menilai kompetensi siswa dalam aspek afektif dan psikomotor. Tes yang selama ini digunakan dalam
menilai hasil belajar masih didominasi (83,3%) dengan tes yang menuntut jawaban tertutup (satu
jawaban benar). Penggunaan tes semacam ini tentu t idak memberi peluang yang lebih luas
pada pengembangan kreativitas berpikir siswa.
Hal lain yang ditemukan dalam analisis kebutuhan adalah intensitas pemberian kuis atau ulangan
harian masih relatif kecil (1 - 4 kali) dalam satu semester. Pada hal, untuk melakukan penilaian kelas, hal
itu semestinya dilakukan secara terus-menerus atau kontinu selama proses belajar mengajar.
Dampak dari penilaian yang tidak kontinu adalah guru akan mengalami kesulitan dalam pengambilan
keputusan pada akhir semester khususnya dalam pengisian nilai rapor siswa.
Metode mengajar yang selama ini dilakukan di SMA masih didominasi oleh metode
ceramah (83,3%), tanya jawab/diskusi (91,0%), dan latihan soal (100%), sedangkan metode eksperimen
(19,2%) dan metode demonstrasi (6,4%). Begitu juga presentasi dan kinerja siswa hampir tidak mendapat
porsi dalam pembelajaran (0%). Kenyataan ini tentu mengkhawatirkan terutama dalam
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
48
pengembangan kompetensi dasar Fisika siswa. Jika guru memahami betul hakikat Fisika sebagai
produk dan proses ilmiah, maka sudah tentu lebih banyak mestinya memporsikan metode eksperimen
daripada metode ceramah. Jika memang demikian, wajarlah Fisika dianggap sebagai mata pelajaran
yang sulit, banyak rumus, tidak kontekstual, dan terkesan membosankan.
Berdasarkan analisis kebutuhan yang telah diidentifikasi, disusun perangkat pembelajaran seperti:
rencana pembelajaran, LKS, pedoman observasi kinerja siswa (keterampilan proses dalam praktikum),
pedoman observasi sikap dalam pembelajaran (afektif), tes hasil belajar, pedoman tugas, dan penilaian
diri siswa. Dengan berbagai kajian dan masukan dari pakar dan praktisi, diperoleh perangkat
pembelajaran yang layak untuk diterapkan dalam pembelajaran. Untuk melihat efektivitas dan
konsistensi dari perangkat asesmen otentik yang dikembangkan, dilakukan pengujian model asesmen
otentik melalui penelitian tindakan kelas. Hasil uji coba menunjukkan bahwa secara konsisten model sistem
asesmen otentik yang dikembangkan dalam pembelajaran Fisika berdampak positif terhadap hasil
pembelajaran Fisika siswa. Hasil belajar dalam bentuk kompetensi dasar Fisika secara konsisten melalui
dua model yang dicobakan menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis terhadap
kompetensi dasar Fisika siswa, melalui pembelajaran Fisika dengan model inkuiri terbimbing (rerata skor
pada siklus akhir sebesar 70,5 dengan kualifikasi baik) dan model pembelajaran starter eksperimen
(rerata skor pada siklus akhir sebesar 76,2 dengan kualifikasi baik). Hasil lain yang mendukung, selain
dilihat dari belajar siswa, adalah respon siswa terhadap pengembangan asesmen otentik. Melalui
kedua model pembelajaran yang dikembangkan semuanya menunjukkan respon yang sangat positif. Hal
ini tampak dari skor respon siswa yang diperoleh melalui model pembelajaran dengan inkuiri
terbimbing sebesar 77,8 (sangat positif) dan model pembelajaran starter eksperimen sebesar 78,0
(kualifiaksi sangat baik). Ini berarti bahwa pembelajaran Fisika berbantuan asesmen otentik ternyata
direspon sangat positif oleh siswa. Siswa merasakan bahwa dengan penilaian yang
komprehensif (kognitif, psikomotor, dan afektif), dilakukan secara kontinu, transparan ternyata
dapat memotivasi belajar siswa.
Temuan ini mengindikasikan bahwa pengembangan asesmen otentik dalam pembelajaran
Fisika baik melalui model inkuiri terbimbing dan model pembelajaran starter eksperimen cukup
efektif dalam meningkatkan kompetensi Fisika siswa. Hal ini sesuai dengan fungsi utama dari penilaian
otentik yaitu membantu siswa mencapai kompetensi yang diharapkan dan mengetahui tingkat
pencapaian kompetensi tersebut (Depdiknas, 2005). Lebih lanjut, Doran (1998), Hart (1994), dan
Depdiknas (2005) menekankan bahwa manfaat asesmen otentik antara lain mendorong siswa
terlibat aktif dalam memecahkan masalah dan bekerja secara bermakna dalam tugas sehari-hari yang
semakin kompleks dan memungkinkan siswa memanfaatkan pengetahuan mereka secara efektif
untuk memecahkan persoalan-persoalan yang relevan dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, guru perlu
terus mengembangkan asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika karena hal itu dapat memotivasi siswa
belajar serta pada akhirnya akan berdampak pula pada hasil belajarnya (kompetensi yang diharapkan).
Pembelajaran berbantuan asesmen otentik, meskipun telah memiliki kontribusi yang cukup baik,
dalam pelaksanaannya di lapangan menghadapi beberapa kendala. Kendala yang paling menonjol adalah
jumlah siswa yang relatif cukup besar (berkisar 40 orang) akan menyulitkan guru dalam
memberikan penilaian khususnya yang menyangkut observasi kinerja siswa. Namun, kesulitan ini
telah dapat diatasi dengan memfokuskan penilaian pada beberapa kelompok saja (2 sampai 3
kelompok) pada dua jam pembelajaran, sedangkan kelompok lainnya diobservasi pada
pertemuan berikutnya. Kendala lainnya adalah jumlah set alat yang ada di masing-masing sekolah masih
belum memadai. Standar minimal peralatan laboratorium yang harus dimiliki oleh sekolah adalah 10 set
percobaan. Dengan demikian, satu percobaan akan dikerjakan oleh 4 orang siswa sehingga penilaian
akan dapat dilakukan secara optimal.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan temuan penelitian ini, dapat ditarik beberapa simpulan berikut ini. (1) Sistem asesmen
otentik yang dilaksanakan selama ini di SMA Negeri 3 dan SMA Negeri 8 Banda Aceh masih
belum optimum. Penilaian paper and pencil test masih mendominasi, sedangkan penilaian kinerja
masih kurang mendapat perhatian. (2) pembelajaran yang selama ini dilaksanakan oleh guru masih
didominasi dengan metode ceramah, diskusi/tanya jawab, dan latihan soal, sedangkan metode praktikum
dan demonstrasi mendapat porsi yang sangat minim. (3) Sistem asesmen otentik yang
dikembangkan melalui model inkuiri terbimbing dan pembelajaran dengan pendekatan starter
eksperimen cukup efektif dalam meningkatkan kompetensi dasar Fisika siswa. (4) Respon siswa
terhadap Sistem asesmen otentik melalui pembelajaran Fisika model inkuiri terbimbing dan
pembelajatan dengan pendekatan starter eksperimen sangat positif.
Berdasarkan temuan dan simpulan penelitian ini, disarankan hal-hal berikut ini. (1) Kepada guru-
guru Fisika SMA disarankan untuk menerapkan asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika karena
dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan sekaligus dapat mengembangkan kompetensi Fisika siswa. (2)
Bila menerapkan sistem asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika, maka kembangkanlah melalui berbagai
pembelajaran inovatif seperti inkuiri terbimbing dan pendekatan starter eksperimen, maupun
pembelajaran inovatif lainnya. (3) Dalam menerapkan asesmen otentik, usahakan kelompok siswa
tidak melebihi 4 orang dan observasi kinerja maupun sikap siswa dilakukan secara bertahap dengan
memfokuskan pengamatan pada 2 atau 3 kelompok dalam satu sesi pembelajaran. (4) Oleh karena
penelitian ini baru pada tahap uji coba model secara terbatas, disarankan penelitian ini dapat
dilanjutkan dengan menerapkannya dalam jangkauan yang lebih luas dan pengujiannya dilakukan
dengan eksperimen semu. (quasi experiment).
DAFTAR RUJUKAN
Arends,R.I. 2004. Learning to Teach. New York: McGraw-Hill Companies
Dantes, N. 2004. Pengembangan Perangkat Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) Rumpun Pelajaran Sains. Laporan Penelit ian Hibah Pasca Sarjana.
Tidak Dipublikasikan. IKIP Negeri Singaraja.
Depdiknas, 2002. Sosialisasi hasil studi Dikmenum. Jakarta. Dirjen Dikmenum.
Depdiknas. 2005. Buku Pedoman Umum Pengembangan Sistem Asesmen Berbasis Kompetensi. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan & Ketenagaan Perguruan Tinggi.
Doran, R., F. Chan & P. Tamir. 1998. Science Educator's Guide to Assessment. Virginia: National
Science Teachers Association.
Hart, D. 1994. Authentic Assessment: A Handbook for Educator. California: Addison-Wesley.
Miarso, Y. 1987. Survei Model Pengembangan Instruksional. Jakarta: Depdikbud, PAU.
Nitko, AJ. 1996. Educational assessment of students 2nd
edition. New Jersey: Merril an Imprint of Prentice
Hall.
Rose, C. & Nicholl, MJ. 1997. Accelerated learning for the 21st century, the six step plan to unlock your master
mind. New York: Delacorte Press.
Suastra. I.W. 2005. Pengembangan Perangkat Penilaian (Asessment) Keterampilan Proses dan
Sikap dalam Pembelajaran Sains Berbasis Inkuiri Terbimbing di Sekolah Dasar. Makalah disajikan pada "Seminar Nasional Hasil Penelitian Tentang Evaluasi Hasil Belajar Serta Pengelolaannya". Yogyakarta, 14-15 Mei 2005.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
50
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE “STAD”
SALAH SATU ALTERNATIF DALAM MENGAJARKAN SAINS IPA
YANG MENGGUNAKAN KURIKULUM
BERBASIS KOMPETENSI
Oleh:
Ruhadi *)
Abstrak.Tulisan ini ditulis untuk memberikan gambaran tentang model pembelajaran
kooperatif khususnya dengan menggunakan pendekatan tipe STAD (Student Team-
Achievement Divisions). Dalam pembelajaran ini siswa dituntut untuk salaing
kerjasama, saling ketergantungan, aktif antar sesame salam satu kelompok untuk
memecahkan suatu permasalahan yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu model
pembelajaran ini juga dapat memotivasi siswa, meningkatkan hasil belajar yang
efektif,kognitif,dan psikomotorik serta mampu berkompetisi baik secara individu
maupun secara klasikal. Untuk menunjang proses pelaksanaan model pembelajaran ini
diperlukan berbagai fasilitas seperti Buku, LKS, Alat dan Bahan, OHP serta media
lainnya. Dalam perkembangan ini, guru tidak memonopoli seluruh kegiatan belajar dari
awal sehingga akhir pembelajaran namun lebh ditekankan pada pendekatan
konstruktivis dan demokrasi sehingga tidak membosankan bagi para siswa. Dengan
demikian guru lebih berperan sebagai motivator, fasilitator dan guide (penuntun) serta
siap menyempurnakan seluruh jawaban pertanyaan yang diajukan oleh anggota
kelompok satu ke kelompok yang lain. Pedoman penilaian penghargaan terhadap
kelompok dibagi dalam dua kelompok yaitu I. kelompok baik jika skor perolehan 15
sampai dengan 19,2, kelompok baik jika skor perolehan 20 sampai dengan 24 dan
2.kelompok super jika skor perolehan lebih besar atau sama dengan 25.Sedangkan untuk
melihat nilai hasil belajar masing-masing siswa dilakukan tes hasil belajar produk
(kognitif) dan proses (psikomotorik) Berbagai hasil uji coba telah dilaksanakan terutama
pada pelajaran Sains IPA dan pada umumnya dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran ini cocok digunakan untuk mengukur sekaligus ranah kognitif dan
psikomotorik siswa sesuai dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi yang sedang
digunakan pada saat ini.
Kata Kunci: Kooperatif, Pembelajaran
A.PENDAHULUAN
Guru yang baik adalah guru yang mampu
menguasai materi yang akan disampaikan dan
selanjutnya dapat menyajikannya dengan baik di
dalam kelas.Hal ini sesuai dengan pendapat Slavin
dalam Nur (1997:7) bahwa guru yang efektif tidak
hanya menguasai bahan ajar yang mereka ajarkan,
tetapi mereka juga dapat mengkomunikasikan
pengetahuan mereka kepada siswa.Oleh karena
itu,kunci kewibawaan dan keberhasilan guru
bergantung dari penguasaan materi dan
kemampuannya menyajikan materi tersebut
kepada siswa.
Berbicara masalah kemampuan guru dalam
menyampaikan materi kepada siswa tidak terlepas
dari strategi yang dipilih guru. Pada dasarnya
strategi itu merupakan rumusan petunjuk ke mana
dan bagaimana upaya dan perbuatan harus
diarahkan agar tujuan yang dimaksud dapat
terwujud.Selanjutnya maksud utama dari strategi
pembelajaran terletak pada pemilihan cara-cara
pembelajaran yang paling efektif dan efisien
dalam memberikan pengalaman belajar yang
diperlukan siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan (Suparno,
1997:11).
Hal ini senada dengan yang digariskan pada
kurikulum berbasis kompetensi 2004 yang
merincikan sebagai berikut: 1.penekanan pada
ketercapaian kompetensi siswa, baik secara
individual maupun secara klasikal; 2.berorentasi
pada hasil belajar (learning outcomes) dan
keberagaman; 3.penyampaian dalam pembelajaran
menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi; 4.sumber belajar tidak hanya dari guru,
tapi juga sumber lainnya yang memenuhi unsur
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
44
edukatif; dan 5.penilaian menekankan pada proses
dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau
pencapaian suatu kompetensi. Oleh karena itu
guru harus pandai memilih strategi pembelajaran
yang dapat melibatkan seluruh komponen yang
ada secara optimal sehingga siswa dapat belajar
secara aktif.
Pada dasarnay strategi pembelajaran aktif
merupakan strategi pembelajaran yang
mementingkan proses belajar dari pada hasil
belajar. Namun kenyataannya dilapangan saat ini,
guru masih mementingkan hasil belajar dari pada
proses belajar. Oleh karena itu, pembelajaran
dikelas saat ini sebaikya sudah dimulai dengan
menerapkan pembelajaran yang menganut
pendekatan konstruktivis. Hal ini dikarnakan
tujuan dari teori pembelajaran konstruktivis
adalah agar siswa secara aktif membangun serdiri
pengetahuan yang dipelajari. Dan menurut Soejadi
(1985:12), pada dasarnya pendekatan konstrktivis
dalam belajar adalah siswa haruslah secara
individual menemukan dan mentransformasikan
informasi yang kompleks, memeriksa dengan
aturan yang ada, dan merevisinya bila perlu.
Selanjutnya guru bertindak sebagai fasilitator.
Dalam memilih strategi pembelajaran
dipelukan beberapa pertimbangan, antara lain
adalah keadaan siswa, keadaan
sekolah,lingkungan belajar yang dapat menunjang
kemajuan IPTEK dan kemajuan kehidupan sosial
di masyarakat, dan tujuan pembelajaran yang akan
dicapai. Dengan demikian secara umum pemilihan
strategi pembelajaran menduduki posisi yang
penting dalam proses pembelajaran di kelas dan
merupakan keterampilan yang harus dimiliki
setiap guru.
Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa,pertama,keadaan siswa di sekolah-sekolah
pada umumnya adalah heterogen. Maksudnya
heterogen di sini adalah heterogen dalam hal jenis
kelamin, agama, tingkat sosial
ekonomi,kemampuan akademik, dan suku.Kedua,
perlu diketahui bahwa pada era globalisasi ini
diperlukan kehidupan yang saling berkerjasama
(kooperatif) untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Untuk mencptakan kehidupan kooperatif yang
baik diperlukan sikap sisoal yang baik pula. Oleh
karena itu, siswa di sekolah perlu dilatih sikap-
sikap sosial dalam masyarakat, antara lain adalah
sikap saling menghargai pendapat orang lain, mau
mengemukakan pendapat atau ide dengan cara
yang baik, mau menjelaskan sesuatu kepada orang
lain yang belum memahami, mau berbagi dalam
tugas,dan sebagainya.
Berdasarkan uraian diatas, maka menurut
penulis dalam kegiatan pembelajaran di atas perlu
diciptakan lingkungan belajar kelompok yang
heterogen.Artinya kelompok yang beranggota
siswa pandai, sedang, rendah,laki-laki, perempuan
secara merata. Selanjutnya menurut Slavin
kelompok belajar tersebut dinamakan dengan
kelompok belajar kooperatif dan model
pembelajaran yang digunakan adalah
pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi
pembelajaran yang menempatkan siswa belajar
dalam kelompok beranggota 4 atau 5 siswa
dengan tingkat kemampuan yang berbeda serta
menekankan kerjasama dan tanggung jawab
kelompok dalam mencapai tujuan yang sama. Dan
menurut pandangan teori motivasi (Slavin,
1995:16), struktur kooperatif menciptakan suatu
situasi di mana satu-satunya cara agar anggota
kelompok dapat mencapai tujuan pribadi mereka
sendiri hanya apabila tujuan kelompok berhasil.
Dari penelitian Hutten dan De Vries,Madden,
dan Slavin diperoleh hasil bahwa dengan belajar
kooperatif memuat anggota kelompok
bersemangat belajar (Slavin, 1995:16). Sedangkan
Murray dalam penelitiannya juga diperoleh hasil
bahwa interaksi antar siswa dalam belajar dapat
meningkatkan perkembangan kognitif siswa
(Slavin, 1995:18).
Selanjutnya salah satu tipe pendekatan untuk
belajar kooperatif yang mudah dilaksanakan
dalam tahap perkenalan adalah pembelajaran
kooperatif tipe STAD.STAD atau Student
Achievement Division adalah salah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang sederhana dalam
pelaksanaannya meliputi 6 langkah, yaitu
persiapan, penyajian materi, kegiatan kelompok,
kuis, penghargaan kelompok dan perhitungan
ulang nilai awal dan pengubahan kelompok. Dan
perlu diketahui pula bahwa menurut Slavin
(1997:124) dalam pembelajaran kooperatif tipe
STAD Bercirikan materi pelajaran yang
disampaikan adalah sederhana dan tugas utama
siswa adalah menyesesaikan lembaran kerja
dengan cara gotongronyong.
B.PEMBAHASAN
1.Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Istiah pembelajaran kooperatif berasal dari
bahasa Inggris yaitu “Cooperative Learning”.
Dalam sebuah kamus Inggris-Indonesia,
cooperative berarti kerjasama dan Learning berarti
pengetahuan atau pelajaran (Hassan S & Echols
J.M, 1987:67). Karena berhubungn dengan proses
belajar mengajar, maka istilah Cooperative
Learning tersebut diartikan dengan pembelajaran
kooperatif.
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu
bentuk pembelajaran dengan mengelompokkan
siswa-siswanya dalam beberapa kelompok untuk
memecahkan suatu masalah. Menurut Lie
A.(1995:32), Cooperative Learning adalah sistem
pengajaran yang memberi kesempatan kepada
anak didik untuk bekerjasama dengan sesame
siswa dalam tugas-tugas yang terstuktur. Dengan
demikian dalam pembelajaran kooperatif
menekankan kerja sama anggota dalam kelompok
supaya dapat memecahkan masalah dengan benar.
Linda Lundgren (1994:5) dalam bukunya yang
berjudul Cooperative Learning In The Science
Classroom menjelaskan tentang unsure-unsur
dasar dalam pembelajaran kooperatif. Unsur-unsur
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Para siswa harus memiliki persepsi
bahwa mereka “tenggelam atau berenang
bersama” (sink or swim together).
b. Para siswa harus memiliki tanggung
jawab terhadap tiapsiswa lain dalam
kelompoknya, disamping tanggung
jawab terhadap dirinya sendiri, dalam
mempelajari materi yang dihadapi.
c. Para siswa harus berpandangan bahwa
mereka semuanya memiliki tujuan yang
sama.
d. Para siswa harus membagi tugas dan
berbagi tanggung jawab sama besar
diantara para anggota kelompok.
e. Para siswa akan diberi satu evaluasi atau
penghargaan yang akan ikut berpengaruh
terhadap evaluasi seluruh anggota
kelompok.
f. Para siswa berbagi kepemimpinan
bekerja sama selama belajar.
g. Para siswa akan diminta
mempertanggugjawabkan secara
individual materi yang ditangani dalam
kelompok kooperatif.
Dan selanjutnya menurut Arends (1997:111),
ciri-ciri dari pembelajaran kooperatif adalah
sebagai berikut:
a. Para siswa bekerja secara kooperatif
dalam kelompok untuk mendapatkan
Bahan-bahan akademik (pelajaran).
b. Kelompok terdiri dari siswa
pandai,sedang, dan rendah.
c. Bila mungkin, kelompok terdiri dari
bermacam-macam suku, kebudayaan dan
jenis kelamin.
d. Sistem penghargaan lebih menekankan
kelompok daripada individu.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran
kooperatif memerlukan kerjasama antar siswa dan
saling ketergantungan dalam struktur pencapaian
tugas, tujuan, dan penghargaan.Perlu diketahui
bahwa unsur-unsur kelompok dalam pembelajaran
kooperatif (Linda Lundren, 1994:5) adalah
sebagai berikut:
a. Kepemimpinan bersama
b. Saling ketergantungan positif.
c. Ketergantungan yang heterogen.
d. Pengajar mempelajari keterampilan
kooperatif.
e. Tanggung jawab terhadap hasil
belajar seluruh anggota kelompok.
f. Menekankan pada tugas dan
hubungan kooperatif.
g. Didukung oleh guru
h. Satu hasil kelompok
i. Evaluasi kelompok.
Selanjutnya dijelaskan pula tugas pengajar (guru)
dalam menggunakan metode pembelajaran
kooperatif (Linda Lundgren, 1994:9) adalah
sebagai berikut:
a. Menunjang.
b. Melemparkan pertanyaan
c Mengajar ketrampilan sosial
d Mengelola konflik
e Struktur saling ketergantungan
f Membantu siswa menilai kerja
kelompok
g Struktur kontroversi atau perdebatan.
h Menyediakan sumber.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa keberhasilan pembelajaran kooperatif itu
bergantung dari keberhasilan masing-masing
individu dalam kelompok tersebut sangat berarti
untuk mencapai suatu tujuan yang positif dalam
belajar kelompok. Selanjutnya pada Gambar 1
ditunjukkan skema model pembelajaran
kooperatif.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
46
____________________________
Motivasi belajar
____________________________
____________________________
________________________ Motivasi untuk mendorong
Semangat teman agar belajar
Keberhasilan kelompok ____________________________
Didasarkan pada masing-
Masing anggota kelompok ____________________________
________________________ Motivasi untuk membantu
Teman supaya belajar
____________________________
__________________________________________________________
Gambar 1. Skema Model Pembelajaran Kooperatif (Slavin, 1995:45).
Selanjutnya pada table 1 ditunjukkan tahap-
tahap dari model pembelajaran kooperatif.
2. teori belajar yang melandasi pembelajaran
kooperatif.
Ide pembelajaran kooperatif dikembangkan
berdasarkan pendapat seorang filosof pada awal
abad pertama.Pendapat tersebut mengatakan
bahwa untuk dapat belajar, seseorang harus
memiliki teman. Karena dengan teman tersebut
siswa dapat menjelaskan materi yang dipelajari
kepada orang lain dan ini merupakan salah satu
cara elaborasi kognitif yang efektif.
Menurut Slavin (1997:114), Jhon Dewey
dalam bukunya “Democracy and Education”
menetapkan bahwa kelas sebagai cermin
masyarakat yang besar dan laboratorium untuk
belajar tetang kedupan nyata. Selanjutnya Thelan
juga berargumentasi bahwa kelas haruslah
merupakan laboratorium atau miniature demokrasi
yang bertujuan menjelajah/mencari masalah-
masalah sosial dan interpersonal.Kedua pendapat
tersebut menghendaki adanya sistem sosial dan
interaksi dalam lingkungan belajar yangbercirikan
prosedur demokrasi dan proses ilmiah. Maksud
tersebut dapat diwujudkan dengan kelompok.
_____________________________________________________
Penjabaran keteranagan2
Teman kelompok
Teman kelompok sebagai contoh
Penjabaran kognitif
Berlatih bersama teman kelompok
Menguji dan mengoreksi hasil kerja teman kelompok
_______________________________________________________
_____________________________________________________
Meningkatkan Pembelajaran
_____________________________________________________
Belajar kooperatif di kelas. Selanjutnya dalam
pembentukan kelompok kooperatif perlu dicegah
agar tidak terjadi konflik antar suku yang
ada.Oleh karana itu Goldon Allport
memformulasikan tiga kondisi dasar untuk
mencegah konflik antar suku, yaitu a. kontak
langsung antar etnis, b. berada bersama dalam
kondisi dan status yang sama sebagai anggota
suatu kelompok yang heterogen, dan c. bekerja
bersama dan berembuk bersama untuk mencapai
tujuan bersama (Slavin, 1997:114).
Tabel 1 Tahab-tahab Model Pembelajaran Kooperatif
____________________________________________________________
Tahapan Prilaku Guru
____________________________________________________________
Tahab 1 Menyampaikan perlengkapan
Menyapaikan TPK dan memperlihatkan perlengka-
Dan perlengkapan. pan pembelajaran.
Tahab 2 Menyampaikan informasi atau
Menyampaikan materi pelajaran kepada siswa
Informasi atau materi baik dengan menggunakan
Pelajaran. Demontrasi atau teks.
Tahab 3 Menjelaskan kepada siswa
Mengantar siswa bagaimana membentuk kelompok
Dalam kelompok belajar. belajar dan kerjasama dalam
Kelompok agar terjadi perubahan
Yang efesien.
Tahab 4 membantu kelompok belajar
Membantu belajar dan sebagaimana siswa mengerjakan
Bekerja kelompok. Pekerjaannya.
Tahab 5 Mengevaluasi materi pelajaran
Evaluasi akhir pelajaran. Atau kelompok menyampaikan
Hasil kerja mereka.
Tahab 6 Menentukan cara untuk menghargai
Mengumumkan pengakuan hasil dan usaha siswa baik secara
Atau penghargaan. Individu maupun kelompok.
____________________________________________________________
Arends (1997:113)
3. Manfaat Pembelajaran kooperatif.
Linda Lundgren 1994:6) menunjukkan
manfaat-manfaat dari pembelajaran kooperatif
untuk siswa dengan prestasi rendah didukung
penelitian antara lain sebagai berikut:
a. Meningkatkan pencurahan waktu pada
tugas
b. Rasa harga diri lebih tinggi
c. Memperbaiki sikap terhadap
pengetahuan dan sekolah
d. Memperbaiki kehadiran
e. Angka putus sekolah lebih rendah
f. Penerimaan terhadap perbedaan individu
lebih besar
g. Komflik antar perseorangan berkurang
h. Bekurangnya sikap apatis
i. Pemahaman lebih mendalam
j. Motivasi lebih besar
k. Hasil belajar lebih tinggi
l. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan
,dan toleransi
Model Pembelajaran Kooperatif
dikembangkan untuk mencpai tiga tujuan
pengajaran yang penting, yaitu prestasi akademik,
penerimaan perbedaan, dan perkembangan
keterampilan sosial (Arends, 19997:111-113).
1) Prestasi Akademik (Academic Achievement)
Meskipun pembelajaran kooperatif mencakup
bermacam-macam objek-objek sosial, namun juga
bertujuan meperbaiki prestasi siswa pada tugas-
tugas akademik yang penting. Dan selanjutnya
pembelajaran kooperatif dapat bermanfaat baik
bagi siswa yang berprestasi tinggi maupun rendah
yang berkerja bersama-sama dalam tugas-tugas
akademik.Hal ini dapat terjadi karena siswa yang
prestasinya tinggi harus membantu yang rendah,
sehingga siswa yang berprestasi tinggi akan selalu
berpikir untuk menjelaskan pada temannya yang
berprestasi rendah.Oleh karena itu akan terjadi
hubungan sosial di antaranya.
2) Penerimaan Perbedaan (Achievement of
Diversity)
Maksudnya adalah penerimaan terhadap orang
yang berbeda baik ras, kebudayaan kelas sosial,
maupun kemampuan. Pembelajaran kooperatif
memberikan kesempatan pada siswa dengan
bermacam-macam latar belakang dan keadaan
untuk mengerjakan tugas bersama-sama.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
48
3) Perkembangan Keterampilan sosial (Social
Skill Development)
Tujuannya adalah untuk mengajar
keterampilan kerjasama siswa dalam lingkungan
sosial dan lingkungan yang banyak perbedaan
budaya.
4. Keterampilan Kooperatif
Keterampilan Kooperatif adalah suatu
keterampilan yang dilakukan siswa dalam
pembelajaran kooperatif. Hal ini berarti dalam
pembelajaran kooperatif tersebut, siswa selain
mempelajari materi yang diberikan juga harus
mempelajari keterapilan-keterampilan kooperatif.
Selanjutnya jika siswa yang berada dalam
keompok belajar kooperatif tersebut
menggunakan keterampilan-keterampilan
kooperatif yang dilatihkan, maka dapat
memperlancar proses belajar yang berlangsung
dalam kelompok tersebut.
Adapun keterampilan-keterampilan kooperatif
tersebut antara lain dijelaskan oleh Linda
Lundgren (1995:22-26) sebagai berikut:
1) Keterampilan kooperatif tingkat awal, meliputi
kesepakatan, menghargai kontribusi, mengambil
giliran dan berbagai tugas, berada dalam
kelompok,berada dalam tugas, mendorong
partisipasi, memancing orang lain untuk berbicara,
menyelesaikan tugas pada waktunya, dan
menghormati perbedaan individu.
2) Keterampilan kooperatif tingkat menengah
meliputi menunjukkan penghargaan dan simpati,
mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara
yang dapat diterima, mendengarkan dengan aktif,
bertanya, membuat ringkasan,
menafsirkan,mengatur dan mengorganisir,
memeriksa ketetapan, mererima tanggung jawab,
dan mengurangi ketegangan.
3) Keterampilan kooperatif tingkat mahir,
meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan
cermat, menuntut kebenaran, menetapkan tujuan,
dan berkompromi.
5. STAD (Student Teams-Achievement Division)
STAD merupakan salah satu metode
pendekatan dalam pembelajaran kooperatif yang
paling sederhana dan merupakan sebuah model
pendekatan yang cocok untuk guru yang baru
mulai menggunakan pendekatan kooperatif. Selain
itu STAD juga merupakan suatu metode
pembelajaran kooperatif yang efektif Slavin,
1994:288).
Selanjutnya berikut ini akan diuraikan
bagaimana STAD digunakan dalam kegiatan
pembelajaran menurut Slavin (1994:288).
a.Pandangan umum.
STAD terdiri dari lima komponen utama yaitu
penyajian kelas, belajar kelompok, kuis, skor,
perkembangan individu, dan penghargaan
kelompok.
b.Persiapan.
Persiapan dalam pembelajaran ini meliputi
persiapan materi, penetapan siswa dalam
kelompok (berdasarkan jenis kelamin, rangking,
dan sebagainya), menentukan skor awal,dan
menyiapkan siswa untuk bekerja kooperatif
dengan memperkenalkan keterampilan kooperatif
yang akan digunakan.
c. Urutan kegiatan.
Urutan kegiatan dalam pembelajaran ini
adalah sebagai berikut:
1) pengajaran
2) Belajar kelompok
3) Kuis
4) Penghargaan kelompok
Penghargaan kelompok ini didasarkan dari
rata-rata nilai perkembangan individu dan
sekelompok, selanjutnya nilai perkembangan
didasarkan dari nilai kuis yang diperoleh siswa.
Pada Tabel 2 menampilkan penentuan nilai
perkembngan dari Slavin kriterianya:
Tabel 2 Pedoman Menentukan Nilai
Perkembangan
________________________________________
___________________
Nilai Kuis Dibandingkan dengan Nilai
Awal Nilai
Perkembangan
________________________________________
___________________
Lebih dari 10 poin di bawah
0
10 sampai dengan 1 poin di bawah
10
Sama sampai dengan 10 poin di atas
20
Lebih dari 10 poin di atas
30
________________________________________
____________________
Arends(1997:140)
Selanjutnya criteria untuk memberikan
penghargaan kelompok adalah sebagai berikut:
a. Jika rata-rata nilai perkembangan dalam
kelompok 15-19, maka kelompok
tersebut disebut dengan kelompok baik.
b. Jika rata-rata nilai perkembangan dalam
kelompok 20-24, maka kelompok
tersebut disebut dengan kelompok
terbaik.
c. Jika rata-rata nilai perkembangan dalam
kelopok lebih besar atau sama dengan 25,
maka kelompok tersebut disebut dengan
kelompok super baik.
6. Keunggulan dan Kelemahan P embelajaran
kooperatif.
Carin (1993:63) menyatakan bahwa:
Cooperative Learning has theses is faca-to-face
interaction among students, students are
responsible for their own learning as will as for
the of their teammates,teachers helps students
develop interact with the group skills, and
teachers interact with the groups as needed.
Kutipan diatas menunjukkan bahwa
pembelajaran kooperatif mempunyai
keistimewaan-keistimewaan, yaitu setiap anggota
kelompok diberi tugas,adanya interaksi langsung
antar siswa, siswa dilarang belajar untuk dirinya
sendiri dan teman satu kelompok,guru membantu
siswa mengembangkan keterampilan seseorang
dalam kelompok kecil, dan guru berinteraksi
dengan siswa jika diperlukan.
Selanjutnya pembelajaran kooperatif
mempunyai beberapa keunggulan, antara lain
sebagai berikut:
a. Semua anggota kelompok wajib
mendapat tugas
b. Ada interaksi langsung antar siswa
dengan siswa dan siswa dengan guru.
c. Siswa dilatih untuk mengembangkan
keterampilan sosial
d. Mendorong siswa untuk menghargai
pendapat orang lain
e. Dapat meningkatkan kemampuan
akademik siswa
f. Melatih siswa untuk berani berbicara di
depan kelas
Selain memiliki keunggulan, pembelajaran
kooperatif juga mempunyai kelemahan-
kelemahan, antara lain sebagai berikut:
a. Jika ditinjau dari sarana kelas, maka
untuk membentuk kelompok kesulitan
mengatur dan mengangkat tempat duduk.
Hal ini karena tempat
duduknya terlalu berat.
b. Karena rata-rata jumlah siswa di dalam
kelas adalah 45 orang, maka guru kurang
maksimal dalam mengamati belajar
kelompok secara bergantian.
c. Guru dituntut bekerja cepat dalam
menyelesaikan tugas-tugas yang
berkaitan dengan pembelajaran yang
telah dilakukan, antara lain koreksi
pekerjaan siswa, menentukan perubahan
kelompok belajar.
d. Memerlukan waktu dan biaya yang
banyak untuk mempersiapkan dan
kemudian melaksanakan pembelajaran
kooperatif tersebut.
7. Hasil-hasil Penelitian Yang Relevan.
Hasil-hasil penelitian terdahulu tentang model
pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah
sebagai berikut:
a. Sharan dan kawan-kawan (1994:21)
dalam penelitiannya menyatakan
Bahwa terdapat pengaruh yang positif
dari STAD terhadap sikap
Kesukuan antar orang Timur Tengah dan
Yahudi Eropa di sekolah-sekola
H Israel (Slavin, 1995:52).
b. Kagan, Zahn, Widaman, Schmarzwald,
dan Tyrell (1985:11) menunjukkan
bahwa STAD dapat mengurangi
pertentangan suku antara Anglo,
Hispanic, dan kulit hitam(Slavin,
1995:52).
c. Rosye (1998:14) dalam penelitiannya
tentang penerapan pemebelajaran
kooperatif tipe STAD pada
pembelajaran Biologi SMA hasilnya
menunjukkan criteria tinggi pada tugas-
tugas pembelajaran yang mengukur
produk dan dapat mengembangkan
keterlibatan siswa secara aktif dalam
proses pembelajaran sehingga dapat
mengembangkan kooperatif siswa.
d. Azizah (1998:22) dari hasil
penelitiannya terhadap pembelajaran
kooperatif tipe STAD dalam
pembelajaran Kimia SMA menunjukkan
bahwa aktivitas siswa dan guru selama
pembelajaran dapat meningkat demikian
juga dengan hasil belajarnya.
e. Watson, Scott B (1993:87) dalam
penelitiannya membandingkan tentang
pengaruh pembelajaran kooperatif dan
pembelajaran tradisional dengan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
50
menggunakan modul (GEM) terhadap
efek-efek kognitif siswa SMA bidang
Biologi. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan dalam hal kemampuan
kognitif siswa yang belajar dengan
modul dikombinasikan dengan teknik-
teknik kooperatif.
f. Sherman, Lwrence W (1989:78)
melakukan penelitian dengan
membandingkan pembelajaran kerja
kelompok tradisional, kooperatif STAD,
dan pembelajaran kompetitif individual
seluruh kelas Biologi SMA. Hasil
temuannya dilaporkan bahwa (1)
pembelajaran kerja kelompok tradisional
dan kooperatif STAD mempunyai efek
yang sama terhadap prestasi akademik
siswa, (2) kedua metode pembelajaran
tersebut lebih efektif dari pada
berhipotesis.
C. PENUTUP.
Dari berbagai uraian, pendapat dan hasil
penelitian yang relevan maka model pembelajaran
kooperatif tipe STAD diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Model pembelajaran kooperatif
bertujuan untuk memberhasilkan
masing-masing individu di dalam
kelompok terutama bagi siswa yang
kemampuannya tergolong rendah.
2. Model pembelajaran kooperatif menurut
guru berpikiran luas dan mendalam
serta mampu menampung sekaligus
menjawab segala pertanyaan yang
diajukan oleh siswa.
3. Dengan menerapakn model
pembelajaran kooperatif tipe STAD,
siswa lebih tertarik untuk mengikuti
pelajaran, sebab mereka akan
mendapatkan predikat kelompok baik,
sangat baik dan super baik sesuai
dengan hasil penilaian.
4. Model pembelajaran kooperatif tipe
STAD tergolong tipe yang sederhana
namun memerlukan sarana,prasarana
dan fasilitas yang memadai agar
pembelajaran dapat dilakukan secara
maksimal terutama untuk mengukur
hasil belajar afektif, proses dan
psikomotorik sesuai dengan tuntutan
kurikulum berbasis kompetensi yag
sedang digunakan pada saat ini.
5. Model pembelajaran kooperatif
memiliki 3 keterampilan yaitu
keterampilan kooperatif tingkal awal,
keterampilan kooperatif tingkat
menengah dan keterampilan kooperatif
tingkat mahir.
6. Model pembelajaran kooperatif
memiliki keistimewaan dengan model
pembelajaran yang lain yaitu anggota
kelompok diberi tugas, adanya interaksi
langsung antar siswa, siswa dirangsang
untuk belajar dirinya sendiri dan teman
satu kelompok, guru membantu siswa
mengembangkan keterampilan
seseorang dalam kelompok kecil, dan
guru berinteraksi dengan siswa bila
diperlukan.
7. Model pebelajaran kooperatif memiliki
keunggulan dan kelemahan sebagai
berikut:
a. Keunggulan
Model pembelajaran kooperatif
mempunyai keunggulan-keunggulan
sebagai berikut:
1) Seua anggot kelompok wajib
mendapat tugas
2) Ada interaksi langsung antar
siswa dengan siswa dan siswa
dengan guru
3) Mendorong siswa untuk
menghargai pendapat orang lain
4) Siswa dilatih untuk
mengembangkan keterampilan
sosial
5) Dapat meningkatkan
kemampuan akademik siswa
6) Melatih siswa untuk berani
berbicara di depan kelas
b. Kelemahan
Selain memiliki keunggulan, pembelajaran
kooperatif juga mempunya kelemahan-kelemahan,
antara lain sebagai berikut:
1) Jika ditinjau dari sarana kelas, maka untuk
membentuk kelompok Kesulitan mengatur dan
mengangkat tempat duduk. Hal ini karena
Tempat duduknya terlalu berat.
2) Karena rata-rata jumlah siswa di dalam kelas
adalah 45 orang, Maka guru kurang
maksimal dalam mengamati belajar
kelompok secara bergantian.
3. Guru dituntut bekerja cepat dalam
menyelesaikan tugas-tugas yang Berkaitan
dengan pembelajaran yang telah dilakukan,
antara lain koreksi pekerjaan siswa,
menentukan perubahan kelompok belajar.
4. Memerlukan waktu dan biaya yang banyak
untuk mempersiapkan Dan kemudian
melaksanakan pembelajaran kooperatif
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, 2000. Pengembangan dan Implementasi
Perangkat Pembelajaran IPA Pada SLTP
Pokok Bahasan Lisstik Berorientasi
Model Pembelajaran Kooperatif tipe
STAD. Surabaya:PPS UNESA.
Azizah, U. 1998. Pembelajaran Kooperatif tipe
STAD dalam Pengajaran Biologi
SMA.Surabaya:PPS IKIP Surabaya.
]Arends, 1997. Classroom Instruction and
Management.USA:.Mc Graw Hill.
Bruce Joice dan Marsha Weil. 1986. Models of
Teaching. USA:Printice-Hall
Carin,Arthur A. 1993. Teaching Science
Thorough Discovery. New York: Mac
Milla Publishing.
Depdiknas, 2002. Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.
Hassan S dan Echols J.M, 1987. Kamus Inggris
Indonesia. Jakarta:Gramedia.
Lie, Anita. 1995 Peranan Sistem Pengajaran
Gotong Ronyong Dalam Era Globalisasi.
Surabaya: Surabaya Post.
Lundgren, Linda. 1994. Classroom Learning In
The Scince Classroom. New York:
Glencou / Mc Graw-Hill.
Nur, Muhammad. 1997. Keterampilan-
keterampilan Metakognitif. Makalah
Disampaikan pada Workshop Penelitian
Elaka IKIP SurabayaPada bulan
Desember 1997. Surabaya:PPS IKIO
Surabaya.
0ssont, Dave. 1993. Science Scope:How I Use
Cooperative Learning. New York.
Rosye, RT. 1998. Penerapan Pembelajaran
Kooperatif Tipe STAD untuk
Meningkatkan Kualitas Proses Belajar
Mengajar Biologi SMA. Surabaya: PPS
IKIP Surabaya.
Sherman, Lawrence W 1989. A.Comparative
Study of Cooperative and Competitive
Achievement in Two Secondary Biology
Classroom, The Group Investigation
Model Versus an Individually
Competitive Goal Structure. Journal of
Research in Science Teachig Vol. 26, no.
1, pp 55-64 (1988). Ew York: Jhon
Wiley and Sons.
Slavin,Robert E.1995. Cooperative Learning:
Theory, Research, And Practice. Second
Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Soedjadi, 1985. Mencari Strategi Pengelolaan
Pendidikan IPA Menyongsong Tinggal
Landas Pembangunan Indonesia (suatu
Upaya Mawas Diri). Pidato Pengukuhan
Guru Besar IKIP Surabaya.
Suparno, P. 1997. Filsafat Kontruktivise Dalam
Pendidikan.Yoyakarta: Kanisius.