PENGARUH POLA ADAPTASI TERHADAP KESEJAHTERAAN … · Welfare in Ujung Alang, Kecamatan Kampung...

66
PENGARUH POLA ADAPTASI TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT NELAYAN DI DESA UJUNG ALANG, KECAMATAN KAMPUNG LAUT, KABUPATEN CILACAP ANGGITA WIDANINGSIH SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Transcript of PENGARUH POLA ADAPTASI TERHADAP KESEJAHTERAAN … · Welfare in Ujung Alang, Kecamatan Kampung...

PENGARUH POLA ADAPTASI TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT NELAYAN DI DESA UJUNG ALANG, KECAMATAN

KAMPUNG LAUT, KABUPATEN CILACAP

ANGGITA WIDANINGSIH

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Pola

Adaptasi terhadap Kesejahteraan Masyarakat Nelayan di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Anggita Widaningsih NIM I34100018

ii

iii

ABSTRAK ANGGITA WIDANINGSIH. Pengaruh Perubahan Sumberdaya terhadap Pola Adaptasi Masyarakat di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap. Dibimbing oleh MARTUA SIHALOHO

Sumberdaya pesisir dan laut merupakan aset yang sangat penting bagi kehidupan nelayan. Perubahan yang terjadi pada sumberdaya pesisir dan laut sudah tentu akan mempengaruhi aktivitas kehidupan nelayan. Nelayan harus dapat melakukan adaptasi agar pemenuhan kebutuhan hidupnya dapat tetap terjaga. Tindakan penyesesuaian atau adaptasi ini tentu akan memiliki dampak terhadap kesejahteraan nelayan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pola adaptasi terhadap kesejahteraan nelayan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan dengan didukung pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pendekatan kuantitatif menggunakan uji regresi. Sementara itu, pendekatan kualitatif menggunakan pendekatan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola adaptasi yang dilakukan nelayan tidak mempengaruhi kesejahteraan hidup nelayan. Hal ini dikarenakan mayoritas pola adaptasi yang dilakukan nelayan masih bersifat reaktif dan belum mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup nelayan. Kata kunci: perubahan sumberdaya pesisir dan laut, pola adaptasi, kesejahteraan.

ABSTRACT

ANGGITA WIDANINGSIH. The Effect of Pattern of Adaptation to Community Welfare in Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap. Supervised by MARTUA SIHALOHO

Coastal and marine resources is a very important asset for the life of fishermen. Changes in coastal and marine resources will certainly affect the life activities of fishermen. Fishermen should be able to adapt to meet the needs of life can be maintained. Adjustment or adaptation actions will certainly have an impact on the welfare of fishermen. The purpose of this study was to observe the effect of the pattern of adaptation to the welfare of fishermen. This study used a quantitative approach and the qualitative approach supported. The data collected are primary data and secondary data. Quantitative approach using regression test. Meanwhile, a qualitative approach using in-depth interview approach. The results showed that the pattern of adaptation does not affect the welfare of the fishermen of the fishing life. This is because the majority of the fishermen of the adaptation pattern is still reactive and has not been able to meet the needs of fishermen.

Keywords: changes in coastal and marine resources, patterns of adaptation, welfare

ii

iii

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

PENGARUH POLA ADAPTASI TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT NELAYAN DI DESA UJUNG ALANG,

KECAMATAN KAMPUNG LAUT, KABUPATEN CILACAP

ANGGITA WIDANINGSIH

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

iv

ii

Judul Skripsi : Pengaruh Pola Adaptasi terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Nelayan di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap

Nama : Anggita Widaningsih NIM : I34100018

Disetujui oleh

Martua Sihaloho, SP, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, M.Sc Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

ii

iii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pola Adaptasi terhadap Kesejahteraan Masyarakat Nelayan di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap” ini dengan baik. Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya tak lupa penulis sampaikan kepada Bapak Martua Sihaloho, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi maupun pembimbing akademik yang telah memberikan banyak arahan, saran, dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada orang tua tercinta , Bapak Agus Seno Aji dan Ibu Wara Suryandari, yang selalu melimpahkan kasih sayang, doa, serta motivasi kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kunto Kumorojati selaku kakak tercinta yang selalu memberikan motivasi dan Anggita Widasari selaku saudara kembar sekaligus rekan satu bimbingan yang selalu berbagi suka dan duka dalam proses penulisan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada saudara Kgs Ahmad Fauzan selaku teman yang selalu setia memberikan dukungan dan semangat serta menjadi tempat berdiskusi berbagai hal. Tidak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman di SKPM angkatan 47, teman-teman sekontrakan, dan sahabat-sahabat yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang selalu memberi semangat dan masukan untuk penulis dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, doa, semangat, bantuan, dan kerjasamanya selama ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

Anggita Widaningsih

ii

iii

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN vii PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Kerangka Pemikiran 9

Hipotesis Penelitian 10

Definisi Konseptual 10

Definisi Operasional 10

PENDEKATAN LAPANGAN 13

Metode Penelitian 13

Lokasi dan Waktu Penelitian 13

Penentuan Responden dan Informan Penelitian 13

Teknik Pengumpulan Data 14

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 14

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 15

Gambaran Umum 15

Karakteristik Responden 18

IDENTIFIKASI PERUBAHAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT SERTA POLA ADAPTASI NELAYAN 20

Perubahan Sumberdaya Pesisir dan Laut 20

Pola Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Sumberdaya Pesisir dan Laut 23

PENGARUH PERUBAHAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT TERHADAP POLA ADAPTASI NELAYAN 27

Pengaruh Perubahan Sumberdaya Pesisir dan Laut terhadap Memperluas Daerah Tangkapan 27

iv

Pengaruh Perubahan Sumberdaya Pesisir dan Laut terhadap Memobilisasi Peran Istri dan Anak 29

Pengaruh Perubahan Sumberdaya Pesisir dan Laut terhadap Menanami Lahan Timbul 30

PENGARUH POLA ADAPTASI TERHADAP KESEJAHTERAAN NELAYAN 32

Pengaruh Memperluas Wilayah Tangkapan terhadap Pendapatan dan Kepemilikan Aset 32

Pengaruh Memobilisasi Istri dan Anak terhadap Pendapatan dan Kepemilikan Aset 33

Pengaruh Menanami Lahan Timbul terhadap Pendapatan dan Kepemilikan Aset Nelayan 34

SIMPULAN DAN SARAN 37

Simpulan 37

Saran 37

DAFTAR PUSTAKA 39

LAMPIRAN 41

RIWAYAT HIDUP 50

v

DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1 Perkembangan jumlah penduduk Kecamatan Kampung Laut tahun

1990-2010 16

2 Tingkat pendidikan masyarakat nelayan Kecamatan Kampung Laut tahun 2009

17

3 Jumlah dan persentase responden berdasarkan usia 18

4 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan 18 5 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut 19

6 Jumlah dan persentase tingkat pola adaptasi nelayan terhadap perubahan lingkungan pesisir dan laut di Dusun Motean dan Paniten tahun 2014

24

7 Hasil uji statistik perubahan lingkungan pesisir dan laut dengan pola adaptasi nelayan di Dusun Motean dan Paniten tahun 2014

27

8 Hasil uji statistik pola adaptasi dengan kesejahteraan hidup nelayan di Dusun Motean dan Paniten tahun 2014

32

9 Pengaruh pola adaptasi yang diuji terhadap pendapatan dan kepemilikan aset nelayan di Dusun Motean dan Paniten tahun 2014

36

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Kerangka pemikiran 9

2 Sebaran persepsi responden terhadap kondisi ekosistem mangrove

22

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Peta lokasi 41

2 Hasil uji regresi variabel penelitian 42

3 Rencana kegiatan penelitian 44

4 Kerangka sampling 45

5 Dokumentasi 49

vi

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Sumberdaya laut adalah potensi utama yang menggerakkan kegiatan

perekonomian di daerah pesisir. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya pesisir yang sangat melimpah. Hal ini dikarenakan Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki pulau sebanyak 17 504 pulau dengan panjang pantai 95 181 km. Luas laut yang dimiliki Indonesia sekitar 5.8 juta km2 dengan pembagian 0.8 juta km2 perairan teritorial, 2.3 juta km2 perairan nusantara, dan 2.7 km2 perairan ZEE1. Sumberdaya laut dan pesisir memiliki kekayaan hayati seperti terumbu karang, hutan mangrove, dan berbagai macam fauna laut (ikan, udang, kerang, kepiting, dsb.). Selain makhluk hidup, di pesisir dan dalam laut juga terkandung sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak bumi, pasir, timah, dan lain sebagainya.

Potensi lainnya yang dimiliki oleh pesisir dan laut Indonesia berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH 2002) adalah sebagai pusat keanekaragaman hayati laut tropis dunia, yaitu antara lain memiliki 30 persen mangrove di dunia; dan 30 persen terumbu karang dunia. Sumberdaya pesisir dan laut dalam hal perikanan, Indonesia juga memiliki potensi perikanan tangkap yang sangat melimpah menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2010) potensi lestari sumberdaya ikan Indonesia pada tahun 2008 mencapai sekitar 6.4 juta ton per tahun. Potensi yang sangat besar ini tentunya memberikan peluang yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai pemukiman, pariwisata, penangkapan ikan dan pertambangan.

Kekayaan alam yang melimpah ini khususnya daerah pesisir dan laut ini menjadi dasar bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya untuk memanfaatkan hasil dari sumberdaya pesisir dan laut. Pemanfaatan sumberdaya alam yang semakin pesat pada kenyataannya terus dikembangkan ke arah pemanfaatan ekonomi yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan, yang ternyata berimbas pada penurunan kualitas kehidupan manusia (Keraf 2002 dalam Helmi dan Satria 2012). Interaksi antara manusia dengan alam yang bersifat eksploitatif inilah yang memungkinkan terjadinya perubahan kondisi sumberdaya alam. Perubahan kondisi sumberdaya pesisir dan laut dapat dilihat dari degradasi ekosistem mangrove dan sedimentasi. Luas hutan mangrove di Indonesia telah berkurang sekitar 120 000 hektar (ha) dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (KLH 2009).

Kerusakan yang terjadi pada sumberdaya pesisir dan laut ini tidak terlepas dari aktivitas pengelolaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam tersebut. Secara geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Sebagai sebuah entitas sosial, masyarakat nelayan memiliki sistem budaya tersendiri dan berbeda dengan masyarakat lain yang hidup di daerah pegunungan, lembah atau daratan rendah dan perkotaan (Kusnadi 2009). Masyarakat yang berada pada kawasan

1Kelautan dan Perikanan dalam Angka tahun 2009. Departemen Kelautan dan perikanan RI

2 pesisir menghadapi berbagai permasalahan terkait dengan perubahan sumberdaya pesisir dan laut. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya perikanan. Pada umumnya mereka menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang sangat bergantung pada musim. Penghasilan nelayan saat paceklik lebih rendah bahkan tidak ada sama sekali. Selain itu laut juga merupakan sumberdaya yang bersifat open acces sehingga siapapun dapat memanfaatkan hasil laut. Selanjutnya, masyarakat nelayan juga dihadapkan oleh perubahan iklim. Perubahan iklim ini menyebabkan udara di sekitar pesisir naik dan yang lebih membahayakan serta mengganggu profesi mereka sebagai nelayan adalah naiknya permukaan air laut. Naiknya permukaan air laut menjadi alasan mereka tidak dapat melaut untuk mencari tangkapan ikan untuk mereka konsumsi ataupun untuk mereka jual. Oleh karena hidup masyarakat nelayan bergantung pada kondisi alam, maka masyarakat nelayan diliputi oleh ketidakpastian pendapatan.

Kondisi sumberdaya pesisir dan laut yang mengalami perubahan ini secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat pesisir. Hasil tangkapan ikan yang tak lagi pasti baik di musim panen maupun musim paceklik ini berimbas pada pendapatan nelayan yang tidak pasti juga. Kondisi ini yang akhirnya menyebabkan timbulnya upaya adaptasi masyarakat nelayan terhadap perubahan ekologi yang dialaminya. Adaptasi ini tidak pernah lepas dari kehidupan manusia yang dinamis. Bennet (1976) dan Pandey (1993) dalam Helmi dan Satria (2012) memandang adaptasi sebagai suatu prilaku responsif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Perilaku responsif memungkinkan manusia untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Perilaku seperti ini merupakan bentuk dari wujud upaya-upaya manusia untuk dapat membuat keputusan atas kondisi yang akan terjadi selanjutnya. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya guna mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial (Alland 1975 dan Barlett 1980 dalam Helmi dan Satria 2012). Dengan demikian, tingkah laku manusia dapat mengubah suatu lingkungan atau sebaliknya, lingkungan yang berubah memerlukan suatu adaptasi yang selalu dapat diperbaharuhi agar manusia dapat bertahan dan melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya (Bennett 1976 dalam Helmi dan Satria 2012). Penerapan strategi adaptasi hidup dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dan masyarakat nelayan tidak hanya menerapkan salah satu bentuk strategi bertahan hidup, dengan kombinasi dari berbagai bentuk strategi bertahan hidup biasa dilakukan untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup.

Penelitian ini dilakukan di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Lokasi tersebut dipilih karena sebagian besar penduduknya masih merupakan penduduk asli yang bertahan menjalankan profesinya sebagai nelayan pada wilayah perairan laguna Segara Anakan. Meskipun, luas laguna Segara Anakan mengalami pengurangan akibat sedimentasi. Di desa tersebut pula terlihat proses adaptasi masyarakat nelayan menjadi petani yang ditandai dengan proses pembukaan lahan-lahan pertanian pada zona tanah timbul yang ditumbuhi oleh semak dan mangrove. Pola-pola adaptasi yang dilakukan oleh nelayan dalam merespon perubahan kondisi Segara Anakan ini tentu akan mempengaruhi kehidupan ekonomi dan sosial nelayan.

3

Oleh karena itu, penting untuk diteliti bagaimana pengaruh pola adaptasi terhadap kesejahteraan nelayan?

Perumusan Masalah

Segara Anakan merupakan laguna dengan wilayah perairan yang cukup luas. Pada tahun 1980 luasnya mencapai 3.852 ha. Namun seiring berjalannya dengan waktu, wilayah perairan di kawasan ini terus menerus mengalami penyempitan yaitu hanya sekitar 600 ha pada tahun 20002. Berkurangnya wilayah perairan berganti dengan semak belukar dan mangrove. Namun, secara mengejutkan, luasan mangrove justru mengalami penurunan yang signifikan akibat adanya penebangan ilegal. Data dari Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan, menunjukkan bahwa pada tahun 1984 luas mangrove mencapai 2 906 ha. Jumlah tersebut pada tahun 1994 menyusut kembali sebesar 1331 ha menjadi 1575 ha. Penurunan terus terjadi dimana pada tahun 2005 hanya berkisar 834 ha. Pengurangan luas laguna Segara Anakan ini mengakibatkan luas daerah penangkapan para nelayan menjadi berkurang (Kompas 2008 dalam Hafsaridewi dan Ramadhan 2012). Kondisi tersebut memberi pengaruh terhadap aktivitas masyarakat khususnya terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai bagaimana pengaruh sumberdaya pesisir dan laut terhadap pola adaptasi masyarakat?

Penurunan luas laguna Segara Anakan dan kerusakan Mangrove membuat populasi ikan, udang dan kepiting ikut mengalami penurunan. Akibatnya nelayan semakin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya seiring dengan penurunan tersebut. Meskipun demikian, masyarakat pesisir sebagai sekelompok manusia yang menggantungkan hidupnya pada kondisi sumberdaya alamnya, harus melakukan adaptasi sebagai bentuk tindakan responsif terhadap bentuk-bentuk perubahan sumberdaya pesisir dan laut. Pola-pola adaptasi yang terkam secara visual di Desa Ujung Alang adalah memperluas daerah penangkapan, memobilisasi peran istri dan anak, serta menanami lahan timbul. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai bagaimana mekanisme pola-pola adaptasi nelayan terhadap perubahan sumberdaya pesisir dan laut?

Tidak dapat dipungkiri bahwa sumberdaya pesisir dan laut merupakan aset yang sangat berharga dan memiliki arti penting bagi kehidupan nelayan. Perubahan pada lingkungan pesisir dan laut akan berakibat pada terganggunya aktivitas nelayan dalam memenuhi kehidupannya. Nelayan harus melakukan tindakan penyesuaian dalam merespon perubahan tersebut. Tindakan penyesuaian atau adaptasi ini tentu akan memiliki dampak terhadap kesejahteraan nelayan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian bagaimana pengaruh pola adaptasi terhadap kesejahteraan masyarakat?

2 ICLARM, PKSPL-IPB dan SACPD dalam Hafsaridewi dan Ramadhan (2012)

4

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut: 1. Menganalisis pengaruh perubahan sumberdaya pesisir dan laut terhadap pola

adaptasi masyarakat nelayan. 2. Menganalisis mekanisme pola-pola adaptasi nelayan terhadap perubahan

sumberdaya pesisir dan laut. 3. Menganalisis pengaruh pola adaptasi terhadap kesejahteraan masyarakat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak, diantaranya: 1. Akademisi. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi

mengenai perubahan sumberdaya pesisir dan laut, pengaruh perubahan sumberdaya pesisir dan laut terhadap nelayan, dan strategi adaptasi nelayan terhadap perubahan sumberdaya pesisir dan laut tersebut.

2. Pemerintah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan bagi para pengambil kebijakan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut yang berkelanjutan. Selain itu, diharapkan agar pemerintah dapat menyusun strategi yang tepat dalam memberdayakan nelayan, sesuai dengan karakteristik sosial budaya masyrakatnya.

3. Masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarkat mengenai perubahan sumberdaya pesisir dan pola adaptasi nelayan terhadap perubahan sumberdaya pesisir dan laut yang terjadi di pesisir Segara Anakan.

5

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Berdasarkan beberapa referensi penelitian sebelumnya, ditetapkanlah empat

konsep utama, yaitu: 1) konsep pesisir, 2) konsep perubahan sumberdaya pesisir dan laut, 3) konsep adaptasi, 4) konsep kesejahteraan rakyat. Penjelasan dari konsep-konsep tersebut sebagai berikut: Konsep Pesisir

Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila

ditinjau dari garis pantai, maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu: batas yang sejajar garis pantai dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai. Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan3. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah: terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri, dan kawasan pemukiman.

Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: sumberdaya dapat pulih, sumberdaya tak dapat pulih, dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya yang dapat pulih diantaranya adalah hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut, sumberdaya perikanan laut, dan bahan-bahan bioaktif. Sedangkan sumberdaya tak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi. Mineral terdiri dari tiga kelas yaitu kelas A berupa mineral strategis (minyak, gas, dan batu bara), kelas B berupa mineral vital (emas, timah, nikel, bauksit, bijih besi, dan cromite), dan kelas C berupa mineral industri (granit, kapur, tanah liat, kaolin, dan pasir). Jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan perlindungan, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya4.

Sedangkan, menurut Soegiarto (1976) dalam Dahuri et al. (1996), definisi wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembasan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan

3 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

Kecill 4 Rokhmin Dahuri et al. (1996)

6 aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Definisi wilayah pesisir seperti di atas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir.

Konsep Perubahan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Seiring meningkatnya populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan

laut serta kecanggihan teknologi membuat peluang terjadinya perubahan sistem alamiah dari lautan semakin besar. Menurut Satria (2009) perubahan tersebut mengakibatkan berbagai hal negatif, baik pada sumberdaya yang terkandung maupun aspek fisik dari laut tersebut.

Perubahan sumberdaya alam adalah dampak yang tidak dapat dipisahkan dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran. Proses pertukaran itu sendiri melibatkan energi, materi dan informasi yang saling diberikan oleh kedua belah pihak (kedua sistem yang saling berinteraksi). Sistem alam dan sistem manusia saling memberikan energi, materi dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain (Dharmawan 2007 dalam Helmi dan Satria 2012). Hubungan tersebut sering menimbulkan berbagai kerugian bagi lingkungan alam.Manusia mengeksploitasi materi, energi dan informasi dari alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa melakukan pemulihan terhadap kondisi alam. Hal ini yang menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan sehingga kondisi alam menjadi berubah. Bentuk-bentuk perubahan sumberdaya alam yang terjadi di wilayah pesisir dan laut adalah kerusakan ekosistem mangrove, kerusakan ekosistem terumbu karang dan sedimentasi wilayah pesisir. Kerusakan ekosistem mangrove ditandai oleh pengurangan luas mangrove di wilayah pesisir. Berdasarkan data statistik sumber daya laut dan pesisir yang diterbitkan BPS (2009) disebutkan bahwa luas mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3 062 300 ha atau 19% dari luas mangrove di dunia dan merupakan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%). Kerusakan ekosistem terumbu karang ini berakibat pada hilangnya tempat berlindung ikan dan daerah asuhan ikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Alfian Helmi dan Arif Satria (2012) menunjukkan bentuk perubahan ekologis yang terjadi di wilayah pesisir Pulau Panjang adalah kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Berikutnya, perubahan ekologis yang terjadi di wilayah pesisir adalah sedimentasi wilayah pesisir. Penelitian yang dilakukan oleh Hafsaridewi dan Ramadhani (2012) di Kecamatan Kampung Laut menjelaskan bahwa perubahan ekologis yang terjadi di wilayah Kampung Laut adalah penyusutan luas Laguna. Hal ini terjadi karena adanya penggunaan lahan yang tidak berkesinambungan yang terjadi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy. Misalnya adalah konversi lahan menjadi ruang terbangun yang meningkat sebesar 2.18% pada rentang tahun 1991 sampai dengan 2001.

7

Konsep Adaptasi Interaksi manusia dengan lingkungannya terjadi dalam bentuk pola-pola

tingkah laku yang merupakan respon terhadap pengaruh lingkungan. Pola-pola tingkah laku yang telah terlembaga ini kemudian menghasilkan suatu sistem yang terpola dan merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, yaitu kebudayaan (Masyhuri 2001).

Menurut Bennet (1978) dalam Masyhuri (2001) adaptasi merupakan tingkah laku penyesuaian (behavioral adaptationI) yang menunjukkan pada tindakan (action). Adaptasi terhadap lingkungan terbentuk dari tindakan yang diulang-ulang dan merupakan bentuk penyesuaian terhadap lingkungan. Tingkah laku yang diulang-ulang ini akan membentuk dua kemungkinan, yaitu: pertama, tingkah laku meniru (coping) yang berhasil sebagaimana yang diharapkan dan kedua, tingkah laku meniru ini menjadikan timbulnya penyesuaian individu terhadap lingkungannya (adaptation) atau terjadi penyesuaian keadaan lingkungan pada diri individu (Bell 1980 dalam Masyhuri 2001). Keberhasilan dalam adaptasi ini pada gilirannya akan menjadikan kebiasaan masyarakat, yang pada tahap selanjutnya akan menjadi norma sosial (Rambo 1983 dalam Masyhuri 2001).

Adaptasi manusia dapat dilihat secara fungsional dan proses (Vayda dan Rappaport 1968 dalam Masyhuri 2001). Adaptasi fungsional merupakan respon suatu organisasi atau sistem yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi homeostatis. Adapun adaptasi menurut prosesnya merupakan sistem tingkah laku yang dibentuk sebagai akibat dari proses-proses penyesuaian manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungan disekitarnya.

Proses adaptasi merupakan salah satu bagian dari proses evolusi kebudayaan. Adapun evolusi budaya merupakan rangkaian usah-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang terjadi secara temporal. Perubahan lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap sistem adaptasi manusia adalah perubahan lingkungan yang berupa bencana, yaitu kejadian yang menjadi ancaman terhadap kelangsungan hidup organisasi termasuk disini adalah manusia (Vayda dan Mc. Cay 1975 dalam Masyhuri 2001). Dalam menghadapi perubahan-perubahan lingkungan akibat bencana tersebut, manusia mengembangkan pola adaptasi yang berbentuk pola-pola tingkah laku yang salah satunya adalah perubahan strategi mata pencaharian. Selain itu, dalam merespon setiap perubahan yang terjadi Bogardus (1983) dalam Marzuki (2002) mengemukakan urutan-urutan adaptasi pada manusia adalah perubahan teknologi, pengisian waktu senggang, pendidikan, kegiatan bermasyarakat, suasana dalam rumah tangga dan terakhir adalah agama dan kepercayaan. Pada dasarnya manusia dapat bertahan hidup dan memanfaatkan lingkungannya karena adanya tiga bentuk utama adaptasi budaya itu sendiri (Miller 1979 dalam Marzuki 2002) yaitu:

1. Dengan menggunakan peralatan-epralatan (teknologi) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Hidup di lingkungan dengan belajar secara efektif melalui organisasi sosial dan kerjasama (interaksi) sesama manusia.

3. Menggunakan bahasa untuk meningkatkan kerjasama secara efisien dan untuk mewariskan pengetahuan tentang cara-cara bertahan hidup berdasarkan pengalaman yang lalu. Pada masyarakat nelayan, pola

8

adaptasinya menyesuaikan dengan ekosistem lingkungan fisik laut dan lingkungan sosial di sekitarnya.

Adapun bentuk-bentuk dari strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan dalam merespon perubahan lingkungan pesisir dan laut yaitu :

1. Diversifikasi (Wahyono et al. 2001 dan Kusnadi 2000 dalam Helmi dan Satria 2012) merupakan perluasan alternatif pilihan mata pencaharian yang dilakukan nelayan, baik di bidang perikanan maupun non perikanan. Diversifikasi merupakan strategi adaptasi yang umum dilakukan di banyak komunitas nelayan, dan sifatnya masih tradisional. Strategi adaptasi ini dicirikan oleh bentuk-bentuk respon penyesuaian yang sifatnya masih individual atau dilakukan oleh unit rumah tangga nelayan.

2. Intensifikasi (Wahyono et al. 2001 dalam Helmi dan Satria 2012) Strategi adaptasi di kalangan nelayan untuk melakukan investasi pada teknologi penangkapan, sehingga hasil tangkapannya diharapkan menjadi lebih banyak. Melalui intensifikasi kegiatan penangkapan dapat dilakukan pada daerah tangkapan yang jauh dari tempat pemukiman, bahkan mungkin memerlukan waktu penangkapan lebih dari satu hari (one day fishing).

3. Jaringan Sosial (Kusnadi 2000 dan Wahyono, 2001 dalam Helmi dan Satria 2012) Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat didalamnya. Strategi jaringan sosial (bentuk dan corak) yang umum dikembangkan pada komunitas nelayan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dibidang kenelayanan (misalnya penguasaan sumberdaya, permodalan, memperoleh keterampilan, pemasaran hasil, maupun untuk pemenuhan kebutuhan pokok)

4. Memobilisasi peran istri dan anak-anak untuk ikut mencari nafkah keluarga (Kusnadi 2000 dalam Helmi dan Satria 2012) .

5. Menggadaikan atau menjual barang-barang rumah tangga yang dimiliki; melakukan konversi pekerjaan bagi nelayan (Kusnadi 2000 dalam Helmi dan Satria 2012).

Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2011) di Desa Kwanyar Barat bentuk-bentuk strategi adaptasi yang dilakukan nelayan adalah migrasi, pola nafkah ganda dan pemanfaatan kelembagaan lokal. Selanjutnya, pada penelitian yang dilakukan oleh Arief et. al (2013) strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan di Pulau Badi dan Pulau Pajenekang adalah memperluas daerah penangkapan.

Dalam konteks ekonomi masyarakat nelayan, adaptasi dikatakan sebagai tingkah laku strategis dalam memaksimalkan kesempatan hidup. adaptasi bagi suatu kelompok dapat memberikan kesempatan untuk bertahan hidup., walaupun bagi kelompok lain kemungkinan akan dapat menghancurkannya (Hansen 1979 dalam Saharudin 2007).

9

Konsep Kesejahteraan Rakyat Kesejahteraan merupakan suatu hal yang bersifat subjektif, sehingga setiap

keluarga atau individu di dalamnya yang memiliki pedoman, tujuan, dan cara hidup yang berbeda akan memberikan nilai yang berbeda tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Menurut Badan Pusat Statistik (2006), indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada delapan, yaitu pendapatan, konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan, dan kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.

Kesejahteraan rakyat yang dipaparkan oleh Novrian et al. (2009) diukur melalui empat indikator. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat, yaitu: (1) tingkat pendapatan; (2) kepemilikan aset; (3) peningkatan produktivitas lahan; dan (4) tingkat pendidikan.

Kerangka Pemikiran Sumberdaya pesisir dan laut merupakan aset yang sangat mendasar dan

memiliki arti penting bagi kehidupan nelayan. Perubahan pada lingkungan pesisir dan laut akan berakibat pada terganggunya aktivitas nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Nelayan harus melakukan tindakan penyesuaian dalam merespon perubahan lingkungan pesisir dan laut.

Beberapa penelitian menganalisis bahwa aspek kehidupan yang paling terkena dampak dari perubahan lingkungan pesisir dan laut pada nelayan adalah aspek ekonomi. Sehingga nelayan melakukan berbagai upaya adaptasi yang berkaitan dengan tindakan ekonomi untuk menjaga ketahanan pendapatan mereka.

Berikut ini adalah kerangka pemikiran mengenai hubungan-hubungan antar variabel yang akan menjadi dasar dari penelitian ini:

Keterangan: Mempengaruhi Gambar 1 Kerangka pemikiran

Pola Adaptasi Nelayan: • Memperluas daerah

penangkapan • Memobilisasi peran

istri dan anak • Menanami lahan

timbul akibat sedimentasi

Dampak Pada Kesejahteraan Nelayan:

• Tingkat pendapatan • Kepemilikan aset

10

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis yang

dapat ditarik adalah: 1) Perubahan lingkungan sumberdaya pesisir dan laut mempengaruhi pola

adaptasi masyarakat 2) Pola adaptasi mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat

Definisi Konseptual

1) Perubahan sumberdaya pesisir dan laut perubahan yang terjadi pada ekosistem mangrove yang mengalami penyusutan luas akibat terjadinya proses sedimentasi dari beberapa sungai yang bermuara dengan membawa angkutan material (sedimen).

2) Adaptasi adalah bentuk penyesuaian manusia yang terwujud dalam tindakan terhadap perubahan lingkungannya.

3) Kesejahteraan ekonomi adalah kualitas hidup masyarakat berdasarkan pandangan masyarakat itu sendiri.

Definisi Operasional

Definisi operasional peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional dan pengukuran peubah dalam perencanaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perubahan lingkungan sumberdaya pesisir dan laut

Perubahan lingkungan sumberdaya pesisir dan laut adalah perubahan yang terjadi pada ekosistem mangrove yang mengalami penyusutan luas akibat terjadinya proses sedimentasi dari beberapa sungai yang bermuara dengan membawa angkutan material (sedimen). Ukuran perubahan sumberdaya pesisir dan laut yang terjadi yaitu penyusutan luas mangrove, penyusutan jumlah tangkapan, penurunan varietas hewan di sekitar kawasan hutan mangrove, peningkatan jumlah keberadaan pohon nipah, penurunan keragaman jenis tangkapan, peningkatan jumlah tanah timbul, penurunan pasokan air bersih, pedangkalan, serta perubahan iklim secara ekstrem. Ukuran yang digunakan adalah: Ya : skor 2 Tidak : skor 1

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah pertanyaan pada kuesioner, maka perubahan lingkungan sumberdaya pesisir dan laut terkait dengan penyusutan luas mangrove dan sedimentasi, dapat dikelompokkan menjadi: Tinggi : 19 ≤ x ≤ 22 Sedang : 15 ≤ x ≤ 18 Rendah : 11 ≤ x ≤ 14

11

2. Adaptasi Adaptasi bentuk penyesuaian manusia yang terwujud dalam tindakan terhadap perubahan lingkungannya. Pola adaptasi masyarakat dalam menghadapi perubahan sumberdaya pesisir bisa berupa migrasi ke luar desa, memperluas wilayah tangkapan, memobilisasi peran istri dan anak, dan menanami lahan timbul. a. Memperluas wilayah tangkapan

Memperluas wilayah tangkapan adalah suatu kegiatan masyarakat nelayan dalam menyiasati jumlah tangkapan ikan dengan cara memperjauh wilayah tangkapan dari sebelumnya untuk mendapatkan tangkapan ikan yang lebih banyak. Ukuran yang digunakan adalah: Setuju : skor 3 Kurang Setuju : skor 2 Tidak Setuju : skor 1 Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah pertanyaan pada kuesioner, maka pola adaptasi masyarakat terkait memperluas wilayah tangkapan, dapat dikelompokkan menjadi: Tinggi : 10 ≤ x ≤ 12 Sedang : 7 ≤ x ≤ 9 Rendah : 4 ≤ x ≤ 6

b. Memobilisasi peran istri dan anak Memobilisasi peran istri dan anak adalah suatu kegiatan mengerahkan istri dan anak untuk mencari nafkah. Ukuran yang digunakan adalah: Setuju : skor 3 Kurang Setuju : skor 2 Tidak Setuju : skor 1 Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah pertanyaan pada kuesioner, maka pola adaptasi masyarakat terkait memobilisasi peran istri dan anak, dapat dikelompokkan menjadi: Tinggi : 17 ≤ x ≤ 21 Sedang : 12 ≤ x ≤ 16 Rendah : 7≤ x ≤ 11

c. Menanami lahan timbul Menanami lahan timbul adalah suatu kegiatan masyarakat dalam memanfaatkan lahan timbul untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ukuran yang digunakan adalah: Setuju : skor 3 Kurang Setuju : skor 2 Tidak Setuju : skor 1 Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah pertanyaan pada kuesioner, maka pola adaptasi masyarakat terkait menanami lahan timbul , dapat dikelompokkan menjadi: Tinggi : 10 ≤ x ≤ 12 Sedang : 7 ≤ x ≤ 9 Rendah : 4 ≤ x ≤ 6

12 3. Kesejahteraan

Kesejahteraan adalah kualitas hidup masyarakat berdasarkan pandangan masyarakat itu sendiri. Kesejahteraan diukur melalui indikator tingkat pendapatan dan kepemilikan aset. Tingkat pendapatan diukur dengan akumulasi pendapatan semua anggota keluarga setelah dikonversi menjadi per bulan, jadi satuannya adalah rupiah per bulan (Rp/bulan). Pengelompokkan tingkat pendapatan didasarkan pada data emic yaitu data yang diperoleh di lapangan dengan menggunakan mean dan standar deviasi. Sedangkan kepemilikan aset adalah jumlah barang berharga yang dimiliki oleh nelayan. Pengelompokkan tingkat kepemilikan aset berdasarkan jumlah pertanyaan pada kuesioner maka tingkat kepemilikan aset masyarakat, dapat dikelompokkan menjadi:

Tinggi : 10 ≤ x ≤ 12 Sedang : 7 ≤ x ≤ 9 Rendah : 4 ≤ x ≤ 6

13

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survey. Metode survey adalah suatu metode yang menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner terstruktur untuk mengumpulkan informasi dari responden (Singarimbun dan Effendi 1989). Metode kualitatif dilakukan untuk memberikan penguatan terhadap data kuantitatif. Metode yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam kepada responden dan informan menggunakan panduan wawancara.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah (1) di wilayah desa Ujung Alang sebagian besar penduduknya masih merupakan penduduk asli yang bertahan menjalankan profesinya sebagai nelayan pada wilayah perairan laguna Segara Anakan meskipun luas laguna Segara Anakan mengalami pengurangan akibat sedimentasi, dan (2) di desa tersebut pula terlihat proses adaptasi masyarakat nelayan menjadi petani yang ditandai dengan proses pembukaan lahan-lahan pertanian pada zona tanah timbul yang ditumbuhi oleh semak dan mangrove. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni 2014 (Lampiran 4).

Penentuan Responden dan Informan Penelitian

Subyek penelitian adalah informan dan responden. Informan adalah pihak yang memberikan keterangan dan informasi mengenai situasi-situasi yang terjadi di sekitarnya, sedangkan responden adalah pihak yang memberikan keterangan mengenai dirinya dan kegiatan yang dilaksanakannya. Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai berbagai bentuk adaptasi nelayan terhadap perubahan sumberdaya pesisir dan laut. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh masyarakat di Desa Ujung Alang. Unit analisis dalam peneltian ini adalah rumah tangga. Responden yang ditentukan adalah rumah tangga nelayan yang kepala keluarga atau salah satu anggota keluarganya masih menjadi nelayan. Pengambilan sample sebanyak 40 responden dilakukan dengan menggunakan teknik Simple Random Sampling, dimana sampel diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Mantra dan Kasto 1989).

14

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian yang dilakukan menggunakan jenis data primer dan dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan serta dari hasil kuesioner yang ditanyakan langsung kepada responden melalui wawancara. Wawancara mendalam juga digunakan untuk memperoleh data primer dari informan dengan menggunakan panduan pertanyaan. Data sekunder diperoleh melalui kajian pustaka dan analisis berbagai literatur yang terkait dengan kondisi desa, peta lokasi penelitian, luas lahan mangrove, dan dokumen tertulis lainnya. Selain itu, peneliti juga membuat catatan harian selama proses pengumpulan data di lapangan untuk melengkapi bagian yang kurang pada data primer dan data sekunder.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel 2007 dan SPSS for windows versi 16.0. Data primer yang diperoleh secara kuantitatif kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis regresi. Analisis regresi menggunakan uji statistik yaitu uji regresi dengan nilai signifikansi sebesar α(0,05), artinya hasil penelitian mempunyai kesempatan untuk benar atau tingkat kepercayaan sebesar 95 persen dan tingkat kesalahan sebesar 5 persen.

Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula analisis data secara kualitatif melalui dua tahap, yaitu reduksi data dan penyajian data. Reduksi data terdiri dari proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data berupa catatan-catatan tertulis di lapangan selama penelitian berlangsung. Reduksi data ditujukan untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan data, dan membuang data yang tidak perlu. Selanjutnya, penyajian data dilakukan dengan cara menyusun sekumpulan informasi agar mudah dalam penarikan kesimpulan yang disajikan dalam bentuk teks naratif berupa catatan lapang.

15

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ujung Alang tepatnya di dusun Motean

dan Paniten, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap. Lebih jelasnya gambaran umum mengenai lokasi penelitian dapat dijabarkan menjadi letak geografis dan kondisi alam, kondisi kependudukan dan sosial ekonomi, sarana dan prasarana, serta karakteristik responden.

Gambaran Umum Gambaran umum desa meliputi hal-hal yang berkaitan dengan keadaan desa

secara garis besar. Gambaran umum terdiri atas letak geografis dan kondisi ekologis, kondisi kependudukan sosial ekonomi, serta sarana dan prasarana.

Letak Geografis dan Kondisi Ekologis

Segara Anakan berada di perbatasan antara Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Cilacap, provinsi Jawa Tengah. Segara Anakan dipisahkan oleh sebuah pulau yang bernama Pulau Nusakambangan. Pulau ini melindungi Segara Anakan dari laut lepas selatan Jawa sehingga keadaan perairan di Segara Anakan relatif tenang. Air laut Samudera Hindia masuk ke laguna ini melalui plawangan atau pintu selat Nusa Kambangan baik yang ada di ujung timur maupun di ujung barat. Pada Laguna Segara Anakan, air laut Samudera Hindia itu bertemu dengan air tawar yang ditumpahkan oleh sungai-sungai yang mengalir dari daratan tinggi di sebelah Utara, misalnya Sungai Citanduy, Sungai Cibeureum, Sungai Cikonde, Sungai Secara administratif kawasan Segara Anakan berada dalam Kecamatan Kampung Laut yang terdiri dari empat desa yaitu Desa Ujung Alang, Desa Ujung Gagak, Desa Klaces dan Desa Panikel. Dari keempat desa tersebut, Desa Klaces merupakan desa termuda yang terbentuk pada tahun 2003. Sebelumnya desa tersebut masih merupakan bagian Desa Ujung Alang. Pemekaran desa tersebut dilakukan agar Kampung Laut memenuhi syarat sebagai satu wilayah kecamatan tersendiri. Secara umum iklim pada Kabupaten Cilacap adalah iklim tropis dengan dua musim yaitu musim panas dan musim hujan. Berdasarkan data BPS (2010), musim panas dimulai pada bulan Juli dan berakhir sampai dengan bulan September. Tingkat maksimum curah hujan mencapai 612.3 mm dimana terjadi pada bulan Oktober, sedangkan tingkat minimum sebesar 1 mm terjadi pada bulan Agustus. Suhu rata-rata berkisar antara 27.1°C dengan suhu minimal 22.6°C dan suhu maksimal 31.9°C .

Sungai-sungai yang berbatasan langsung dengan kawasan Segara Anakan mengamgkut lumpur-lumpur hasil erosi tanah daratan ke Segara Anakan pada musim penghujan. Akibatnya Segara Anakan mengalami pendangkalan kemudian muncul tanah timbul. Di tanah timbul itu kemudian tumbuh berbagai macam jenis mangrove. Hutan Mangrove di Segara Anakan tergolong mempunyai diversitas vegetasi yang tinggi. Menurut data desa pada tahun 2010, dapat ditemukan sekitar 30 spesies tumbuhan mangrove. Hutan mangrove di Segara Anakan merupakan

16 habitat dari berbagai satwa liar seperti monyet dan berbagai macam burung. Selain itu, hutan mangrove ini juga berguna sebagai daerah asuhan (nursery ground) untk berbagai jenis ikan, udang dan kepiting. Segara Anakan yang memiliki dua plawangan (pintu) yaitu plawangan timur dan plawangan barat di kedua ujung Pulau Nusakambangan, membuat kawasan ini berhubungan langsung dengan perairan Samudera Hindia. Hal ini menjadi tempat muaranya ikan-ikan yang bermigrasi dari berbagai lautan untuk memperoleh makanan di Segara Anakan. Sehingga kekayaan sumberdaya perikanan di Segara Anakan ini melimpah.

Kondisi Kependudukan dan Sosial Ekonomi

Pada periode 1990-2010 (Tabel 1) jumlah penduduk di Kecamatan Kampung Laut cenderung mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata 2,7 persen untuk periode 2000-2010. Rata-rata pertumbuhan penduduk di kecamatan Kampung Laut meningkat akibat banyaknya pendatang. Hal tersebut diakibatkan karena semakin luasnya wilayah yang dapat dimanfaatkan di kawasan Segara Anakan sebagai lahan pertanian karena adanya sedimentasi.

Tabel 1 Perkembangan jumlah penduduk Kecamatan Kampung Laut tahun 1990-

2010

Desa 1990 1999 2000 2007 2010

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Ujung Gagak

3 219 30.9 3 421 28.9 3 550 28.3 3 897 26.1 4 462 26.49

Ujung Alang

4 231 40.6 4 508 38.1 3 897 31.1 4 650 31.2 5 169 30.69

Klaces - - - - 794 6.3 1 247 8.4 1 393 8.27

Panikel 2 961 28.5 3 906 33 4 293 34.3 5 113 34.3 5 817 34.54

Jumlah 10 411 100 11 835 100 12 534 100 14 907 100 16 841 100

Sumber: BPS Kab Cilacap 2007 dan Monografi Kecamatan Kampung Laut 2010

Sebagian besar penduduk Kecamatan Kampung Laut bekerja di sektor perikanan dan pertanian. Sektor perikanan selama ini menjadi kegiatan ekonomi utama. Sedangkan pertanian merupakan kegiatan ekonomi alternatif setelah semakin banyaknya tanah timbul di kawasan Segara Anakan. Hal ini yang membuat masyarakat memiliki profesi ganda yaitu sebagai nelayan sekaligus petani. Masyarakat yang memiliki profesi ganda ini umumnya adalah warga asli Kampung Laut.

Tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Kampung Laut tergolong masih cukup rendah (lihat Tabel 2). Rendahnya tingkat pendidikan di Kecamatan Kampung Laut disebabkan oleh minimnya sarana dan prasarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Kampung Laut. Menurut BPS Kabupaten Cilacap tahun 2010, jumlah SD sebanyak 9 buah, SLTP sebanyak 2 buah dan SLTA sebanyak 1 buah. Tingkat pendidikan yang rendah ini membuat masyarakat Kampung Laut sulit untuk mencari alternatif pekerjaan selain di bidang perikanan karena ketergantungan terhadap sumberdaya laut dan pesisir yang masih sangat tinggi. Sehingga meskipun sumberdaya perikanan terus mengalami penurunan, mereka tetap melakukan penangkapan ikan. Sebagian masyarakat mengandalkan

17

hubungan kekerabatan seperti berhutang kepada sanak saudara atau kepada warga yang memiliki modal berlebih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Biasanya, uang yang dipinjam akan dikembalikan dengan hasil tangkapan atau hasil panen.

Tabel 2 Tingkat pendidikan masyarakat Kecamatan Kampung Laut tahun 2009

Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Tidak Sekolah 2 653 Tidak Tamat SD 1 616 Tamat SD 9 151 Tamat SLTP 2 260 Tamat SLTA 1 041 D1/D2/D3/Akademi 19 DIV/S1 keatas 18 Total 16 758

Sumber: Monografi Kecamatan Kampung Laut 2010 Sarana dan Prasarana

Prasarana sosial yang terdapat di Desa Ujung Alang mencakup bidang keagamaan, pendidikan dan kesehatan. Di bidang keagamaan, mayoritas masyarakat beragama Islam, kemudian sisanya beragama Protestan dan Katholik. Desa ini memiliki 3 buah Masjid dan 2 buah Gereja (Protestan dan Katholik). Fungsi tempat peribadatan ini selain digunakan untuk kegiatan keagamaan juga digunakan sebagai tempat penyebaran informasi (penyebaran berita kematian dan undangan untuk berkumpul). Di bidang pendidikan, desa ini memiliki PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), TK (Taman Kanak-kanak) dan SD (Sekolah Dasar). Fungsi SD ini sangat penting dalam menunjang pendidikan dasar bagi masyarakat Desa Ujung Alang, seperti pemahaman baca tulis, kemampuan berhitung dan pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Selain di bidang pendidikan, ada juga sarana di bidang kesehatan berupa Pusat Kesehatan Desa (PKD) yang berada di Dusun Paniten. Namun, walaupun secara fisik bangunan sudah ada tetapi pemanfaatannya sampai saat ini belum optimal. PKD hanya dimanfaatkan untuk keperluan posyandu saja. Hal ini dikarenakan tidak ada tenaga medis (Mantri, Bidan dan Dokter) yang ditugaskan di tempat tersebut. Sehingga masyarakat harus menyeberang menggunakan perahu ke kota Cilacap untuk berobat. Sarana fisik lainnya yang terlihat di desa ini adalah jalan beton. Jalan beton ini merupakan realisasi proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan 2010. Jalan beton ini sangat penting dalam memperlancar kegiatan warga di desa. Selain itu, hampir sebagian besar rumah warga sudah permanen dan hanya sebagian kecil yang masih semi permanen. Desa Ujung Alang ini juga memiliki balai desa yang digunakan untuk tempat berkumpulnya warga dalam rangka sosialisasi pembangunan desa. Selain itu, di desa ini memiliki PLTS (Pembangkit Lisrik Tenaga Surya). Penggunaan listrik menggunakan PLTS ini pun belum merata ke semua penduduk, hanya 100 KK yang dipilih dengan sistem mengundi. Listrik hanya menyala pada jam 6 sore sampai jam 10 malam saja. Sebagian warga akhirnya menggunakan genset untuk memenuhi kebutuhan listrik. PLTS ini menjadi sumber pembangkit listrik hingga tahun 2012. Pada awal tahun 2013, warga baru menikmati aliran listrik dari PLN.

18

Karakteristik Responden

Penelitian ini dilakukan pada nelayan yang memperoleh dampak dari perubahan lingkungan dan pesisir. Responden yang ditentukan dalam penelitian ini adalah 40 rumah tangga nelayan yang kepala keluarga atau salah satu anggota keluarganya masih menjadi nelayan. Responden ini diambil dari dusun Motean dan Paniten di Desa Ujung Alang karena di kedua dusun tersebut mayoritas masyarakatnya masih mempertahankan profesinya sebagai nelayan tradisional. Karakteristik responden diambil berdasarkan usia, tingkat pendidikan dan pengalaman nelayan melaut.

Usia Responden

Usia responden adalah selisih antara tahun reponden dilahirkan hingga tahun pada saat penelitian ini dilakukan. Usia responden bervariasi dari 30 tahun hingga 65 tahun. Rata-rata usia responden ini tergolong kedalam kelompok usia produktif (16-64 tahun). Usia responden dibagi kedalam tiga kategori, yakni usia muda (18-30 tahun), dewasa (31-50 tahun) dan tua (lebih dari 50 tahun). Dengan demikian, usia responden yang masuk ke dalam golongan usia muda sebanyak 6 orang (15%), golongan dewasa sebanyak 24 orang (60%), dan golongan tua sebanyak 10 orang (25%).

Tabel 3 Jumlah dan persentase responden berdasarkan usia Usia Jumlah Persentase (%) Muda (18-30) 6 15 Dewasa (31-50) 24 60 Tua (>50) 10 25 Jumlah 40 100

Sumber: Data Primer 2014 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden. Jumlah dan persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat dalam Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%) Rendah (Tidak Lulus SD-SD) 29 72.5 Sedang (SMP) 8 20 Tinggi (SMA) 3 7.5 Jumlah 40 100

Sumber: Data Primer 2014

Berdasarkan hasil survei terhadap 40 orang nelayan, diketahui bahwa sebanyak 29 orang nelayan atau 72.5 persen responden tergolong dalam kategori berpendidikan rendah, yaitu mencapai jenjang Sekolah Dasar. Sebanyak 8 orang nelayan atau 20 persen responden berpendidikan sedang, yaitu tanat Sekolah

19

Menengah Pertama/sederajat dan hanya 3 orang nelayan atau 7.5 persen responden yang tergolong berpendidikan tinggi, atau tamat Sekolah Menengah Atas/sederajat. Mayoritas nelayan di Dusun Motean dan Paniten sebenarnya hanya berpendidikan SD atau sederajat. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, fasilitas pendidikan yang ada di Desa Ujung Alang juga kurang memadai. Sekolah Menengah Atas di Kecamatan Kampung Laut hanya berjumlah satu, itupun hanya berada di Desa Klaces yang jaraknya cukup jauh. Ongkos atau biaya yang harus dikeluarkan untuk pergi ke sekolah juga menjadi lebih besar. Pengalaman Nelayan Melaut

Pengalaman nelayan melaut adalah lama responden menjadi nelayan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun), sejak pertama kali menjadi nelayan sampai dengan penelitian ini dilakukan. Semakin lama seseorang bekerja sebagai nelayan diduga mempengaruhi pengetahuannya mengenai kondisi lingkungan pesisir dan laut serta bentuk-bentuk perubahan yang mempengaruhi aktivitas nelayan. Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalamannya sebagai nelayan dapat dilihat dalam Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman melaut

Pengalaman Nelayan Jumlah Persentase (%) Rendah (6-14 tahun) 14 35 Sedang (15-27 tahun) 16 40 Tinggi (≥28 tahun) 10 25 Jumlah 40 100

Sumber: Data Primer 2014

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap 40 orang nelayan Dusun Motean dan Paniten, diketahui sebanyak 10 orang atau 25 persen responden bekerja sebagai nelayan selama lebih dari 28 tahun. Sebanyak 16 orang atau 40 persen responden bekerja sebagai nelayan selama 15-27 tahun. Sedangkan sisanya sebanyak 14 orang nelayan atau 35 persen responden bekerja sebagai nelayan selama 6-14 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman melaut nelayan cukup untuk mengetahui kondisi perubahan lingkungan pesisir dan laut yang terjadi yang merupakan daerah penangkapan ikan nelayan.

20 IDENTIFIKASI PERUBAHAN SUMBERDAYA PESISIR DAN

LAUT SERTA POLA ADAPTASI NELAYAN

Perubahan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Kawasan pesisir dan laut merupakan kawasan yang kaya akan berbagai macam ekosistem dan habitat yang beragam baik di darat maupun di laut. Seperti diketahui bahwa pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan maka kawasan ini bersifat dinamis. Kawasan pesisir Segara Anakan mengandung sumberdaya yang begitu besar. Sumberdaya alam tersebut berupa sumberdaya alam hayati (ikan, kepiting, kerang, dan mangrove) dan non hayati (mineral, sumberdaya air, dan lain-lain).

Kekayaan atau sumberdaya hayati maupun non-hayati yang terkandung di dalam kawasan pesisir dan laut memiliki potensi untuk dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan tersebut. Oleh karena sifatnya yang berpotensi untuk dimanfaatkan, maka tak dapat dipungkiri bahwa kawasan pesisir dan laut menjadi ekosistem yang paling terkena dampak dari kegiatan manusia. Manusia seperti berlomba-lomba memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut untuk memenuhi kebutuhan hidunya. Seiring dengan meningkatnya populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan laut serta kecanggihan membuat peluang terjadinya perubahan sistem alamiah dari lautan semakin besar. Menurut Satria (2009) perubahan tersebut mengakibatkan berbagai hal negatif, baik pada sumberdaya yang terkandung maupun aspek fisik dari laut tersebut.

Perubahan-perubahan keadaan sumberdaya pesisir dan laut pun terjadi di kawasan perairan Segara Anakan diantaranya adalah penyusutan luas kawasan mangrove dan penyusutan luas laguna akibat sedimentasi. Bagi masyarakat di kawasan Segara Anakan khusunya masyarakat Desa Ujung Alang, keberadaan ekosistem mangrove ini sangat penting. Pasalnya, mangrove berguna sebagai penyedia nutrien dan tempat daerah asuhan bagi berbagai macam biota perairan. Hal ini yang menyebabkan berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan kerang-kerangan menempati daerah sekitar hutan mangrove. Akibatnya, para nelayan akan mudah mendapatkan ikan, udang, kepiting dan kerang-kerangan di daerah tersebut. Selain itu, ekosistem mangrove juga memiliki fungsi sebagai penyedia kayu untuk bahan bangunan. Banyak masyarakat Desa Ujung Alang yang memanfaatkan kayu bakau sebagai bahan bangunan sehingga mereka memperkecil biaya bangunan. Akan tetapi, luas hutan mangove Segara Anakan terus berkurang. Hal ini disebabkan oleh kerusakan dan alih fungsi lahan serta proses alam yang terjadi. Fenomena tersebut dapat dilihat secara visual dengan adanya pembukaan lahan untuk pemukiman dan tambak. Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi juga disebabkan oleh adanya aktivitas penebangan kayu bakau secara liar oleh orang-orang dari luar kawasan Segara Anakan. Menurut pengakuan warga, penebangan liar kerap kali dilakukan oleh orang-orang dari daerah Kedonan, Tritih dan Kutawaru dimana kawasan tersebut bukan lagi masuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Kampung Laut. Biasanya, kayu-kayu tersebut digunakan untuk produksi arang. Hal ini terungkap dari pengakuan salah satu responden (AP, 55 tahun):

21 “... bakau-bakau nang kene wis enthong karo uwong lio, wong saka Kedonan, Tritih karo Kutawaru biasane. Akeh sing do nebangi nggo didodhol kan bakau iki apik nek didadike arang, kualitase apik. Saiki akeh tenan sing ngincer bakau-bakau nang Sagara Anakan. Sakjane pemerintah ki ngelarang wargane nggo nebangi bakau, warga di sekitar Sagara Anakan ki ora ono sing wani nebangi mergo dewekan ngerti mung bakaune ditebangi, kae iso mengurangi hasil tangkapan iwak. Iwak-iwak wis ra nduwe omah istilahe. Aku dulu pernah nyekel para penebang liar kui, trus tak laporke nang kepala desa. Akhire perahune disita...” “... bakau-bakau disini sudah habis oleh orang lain, biasanya orang-orang dari daerah Kedonan, Tritih dan Kutawaru (wilayah ini di luar wilayah administratif Kecamatan Kampung Laut). Bakau-bakau tersebut biasanya dijadikan arang karena kualitas kayu bakau di Segara Anakan bagus. Sebenarnya pemerintah sudah melarang warga untuk menebang kayu bakau, warga di sekitar Segara Anakan sendiri tidak berani untuk menebang karena kita tahu jika bakau ditebangi itu dapat mengurangi hasil tangkapan. Ikan-ikan seperti kehilangan rumah (tempat berkembang biak). Saya dulu pernah menangkap para penebang liar itu, lalu saya laporkan ke kepala desa. Akhirnya perahu mereka disita...”

Kerusakan ekosistem mangrove dapat dilihat dari indikator adanya pohon nipah yang tumbuh di areal mangrove (BPS 2010). Dominasi pohon nipah sudah tampak jelas sejak beberapa kilometer dari Dermaga Sleko (pelabuhan rakyat untuk menyeberang ke Kecamatan Kampung Laut). Kerusakan hutan mangrove juga dipicu oleh perubahan lingkungan dari payau menjadi daratan (sedimentasi). Sedimentasi merupakan syarat utama terbentuknya ekosistem mangrove, di samping perlindungan dari ombak, masukan air tawar, aliran air pasang surut dan suhu yang hangat (Walsh 1974 dalam Setyawan dan Winarno 2003). Namun sedimentasi yang terjadi di Segara Anakan secara serius mengancam eksistensi kawasan mangrove. Hal ini dikarenakan oleh sifat laguna Segara Anakan yang tertutup, dimana muara sungai tidak langsung terhubung dengan laut bebas, menyebabkan sejumlah besar sedimen terbawa ke dalam laguna. Sungai Citanduy membawa sejumlah besar lumpur erosi dari daerah hulu dan diendapkan di dalam laguna (Wirjodarmodjo et.al 1978 dalam Setyawan dan Winarno 2003).

Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove ini juga diperkuat oleh pengakuan para nelayan. Sebanyak empat puluh orang responden yang diwawancarai, 29 orang atau 72.5 persen responden menyatakan kondisi ekosistem mangrove saat ini berada dalam kondisi sangat buruk, 7 orang atau 17.5 persen responden menyatakan kondisi ekosistem mangrove berada dalam kondisi buruk, dan 4 orang atau 10 persen responden menyatakan kondisi ekosistem mangrove dalam kondisi baik. Pernyataan responden tersebut menandakan bahwa telah terjadi perubahan keadaan lingkungan pesisir dan laut di Segara Anakan.

22

Gambar 2 Sebaran persepsi responden terhadap kondisi ekosistem mangrove

Persepsi responden mengenai kondisi ekosistem mangrove yang ada di

Kawasan Segara Anakan tersebut didasari oleh dampak yang dirasakannya saat ini. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Bapak TRN (65 thn):

“... wektu aku isih cilik, aku nggolek iwak karo urang lan kepiting iso nang nggone mburi omah bae. Saiki nggolek iwak angel nggak koyok ndek mbiyen, soale alas bakau wis ora ono ditegor kabeh. Saiki muncul gundukan tanah...” “... waktu saya masih kecil, saya nyari ikan, udang dan kepiting bisa di belakang rumah. Sekarang nyari ikan susah, tidak seperti dulu, karena hutan bakau sudah berkurang, ditebangi semua. Selain itu, banyak tanah timbul...”

Selain disebabkan oleh proses alam, perubahan-perubahan kondisi sumberdaya pesisir dan laut juga disebabkan oleh jumlah penduduk yang makin meningkat. Jumlah penduduk yang makin meningkat ini jelas akan menurunkan ketersediaan sumberdaya pesisir dan laut untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Hal tersebut dikuatkan oleh pengakuan dari beberapa responden. Salah seorang nelayan yang berinisial Sgh (55 tahun) menyatakan saat ia masih kecil, perairan Segara Anakan ini kaya akan hasil lautnya. Mencari ikan tidak sesulit saat ini, dulu ia dapat menangkap aneka jenis ikan, udang dan kepiting di belakang rumahnya. Bahkan dulu hasil tangkapan dari setiap nelayan dapat dibagi rata. Jadi, semua nelayan mendapatkan pendapatan yang seragam dari hasil tangkapan tersebut. Hal ini disebabkan oleh jumlah nelayan yang masih sedikit. Sedangkan saat ini, jumlah nelayan meningkat drastis. Sgh juga mengakui bahwa penduduk di Kampung Laut tidak memiliki keahlian lain selain melaut, sehingga hampir seluruh penduduk menggantungkan hidupnya pada lautan. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Sgh karna ia merasa bahwa perairan Segara Anakan

23

tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Kampung Laut di masa mendatang. Ukuran-ukuran yang digunakan untuk menilai perubahan kondisi lingkungan pesisir dan laut Segara Anakan tidak jauh dari rutinitas para responden. Perubahan jumlah aneka satwa, perubahan iklim yang tidak lagi dapat diprediksi serta perubahan bentuk fisik alam menjadi indikator yang dipakai dalam menilai ekosistem pesisir. Perubahan kondisi sumberdaya pesisir dan laut juga dikuatkan oleh pengalaman melaut dari para responden. Nelayan yang pengalaman melautnya berada pada kategori tinggi dan sedang (sebanyak 25 persen dan 40 persen) mengatakan bahwa telah terjadi perubahan yang signifikan di lingkungan pesisir dan laut Segara Anakan. Sedangkan nelayan yang pengalaman melautnya berada di kategori rendah (35 persen) menyatakan bahwa telah terjadi perubahan kondisi sumberdaya pesisir dan laut namun tidak terlalu signifikan. Beragamnya persepsi nelayan terhadap perubahan kondisi sumberdaya pesisir dan laut Segara Anakan merupakan sesuatu yang mungkin saja terjadi. Hal ini dikarenakan oleh tingkat pengetahuan nelayan yang berbeda-beda tentang kondisi ekosistem mangrove. Selain itu, perbedaan ini juga disebabkan oleh seberapa penting peranan mangrove dalam menunjang kebutuhan hidupnya. Nelayan yang tidak pernah memanfaatkan mangrove merasa bahwa kondisi ekosistem mangrove tidak mengalami perubahan, sedangkan nelayan yang sering memanfaatkan mangrove dalam rangka menunjang kehidupannya menyatakan bahwa kondisi ekosistem mangrove mengalami perubahan.

Pola Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Sebagaimana telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, persepsi nelayan menunjukkan adanya perubahan kondisi pesisir dan laut di Segara Anakan. Hal ini diperkuat dengan fakta-fakta di lapangan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Berbagai macam bentuk perubahan yang terjadi di kawasan Segara Anakan berakibat pada terganggunya aktivitas nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menyebabkan nelayan harus melakukan adaptasi agar dapat bertahan hidup di tengah-tengah perubahan kondisi sumberdaya pesisir dan laut yang terjadi di kawasan Segara Anakan. Adaptasi yang dimaksud dalam bahasan ini adalah tindakan upaya yang dilakukan nelayan khususnya tindakan ekonomi dalam merespon perubahan sumberdaya pesisir dan laut di Segara Anakan. Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan di Dusun Motean dan Paniten meliputi: 1) memperluas daerah penangkapan, 2) memobilisasi peran istri dan anak, 3) menanami lahan timbul akibat sedimentasi. Pola adaptasi yang dilakukan oleh nelayan menunjukkan hasil yang berbeda-beda (lihat Tabel 6).

24 Tabel 6 Jumlah dan persentase tingkat pola adaptasi nelayan terhadap perubahan

lingkungan pesisir dan laut di Dusun Motean dan Paniten tahun 2014

Pola Adaptasi Nelayan Kategori

Jumlah Responden

(orang) Persentase (%) Total

(%)

Memperluas wilayah tangkapan

Rendah 2 5.00 100.00 Sedang 4 10.00

Tinggi 34 85.00 Memobilisasi peran istri dan anak

Rendah 33 82.50 100.00 Sedang 5 12.50

Tinggi 2 5.00 Menanami lahan timbul

Rendah 18 45.00 100.00 Sedang 5 12.50

Tinggi 17 42.50

Berdasarkan tabel sebesar 85 persen atau 34 orang nelayan memilih memperluas wilayah tangkapan sebagai bentuk penyesuaian dalam merespon perubahan keadaan sumberdaya pesisir dan laut. Hal yang bertolak belakang ditunjukkan pada pola adaptasi memobilisasi istri dan anak serta menanami lahan timbul akibat sedimentasi. Keduanya menunjukkan frekuensi yang rendah. Memperluas Daerah Penangkapan

Memperluas wilayah tangkapan ini adalah kegiatan nelayan dalam meningkatkan jumlah hasil tangkapan dengan cara memperjauh jarak wilayah tangkapan dari sebelumnya. Kegiatan tersebut meliputi pencarian daerah-daerah yang hasil lautnya lebih banyak, perpindahan wilayah tangkapan setiap hari dan penggunaan waktu yang lebih lama dari sebelumnya untuk mencari ikan. Tabel 6 menunjukkan bahwa nelayan di Desa Ujung Alang cenderung sering memperluas atau mengubah wilayah tangkapan untuk mendapatkan hasil yang lebih besar. Hal ini terbukti dengan persentase perluasan wilayah tangkap yang tinggi yaitu, sebesar 85 persen atau 34 orang dari 40 orang responden. Disusul dengan 4 orang responden yang memperluas wilayah tangkapan hanya pada musim tertentu (paceklik). Sisanya, hanya 2 orang yang tidak melakukan perluasan wilayah tangkap karena mereka sudah memiliki kolam jaring apung atau biasa disebut apong. Apong ini merupakan pemberian atau warisan dari orang tua mereka. Apong ini memberikan hasil tangkapan yang cukup bagi pemiliknya karena hasil laut seperti ikan, udang, kerang dan kepiting terkurung atau terkumpul di dalam jaring apung tersebut. Sehingga hasilnya lebih menjanjikan dibandingkan dengan nelayan biasa yang harus mengubah-ubah wilayah tangkapan setiap harinya dalam mencari hasil laut yang lebih banyak. Terbukti dari pendapatan nelayan apong yang lebih besar dibandingkan dengan nelayan biasa. Nelayan apong mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp100 000 sampai dengan Rp200 000 tiap melaut sedangkan nelayan biasa hanya mampu menghasilkan pendapatan sebesar Rp30 000 sampai dengan Rp50 000 tiap melaut.

25

Memobilisasi Peran Istri dan Anak Memobilisasi peran istri dan anak adalah upaya yang dilakukan nelayan

dalam mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dengan cara mengerahkan istri dan anak mereka untuk ikut mencari nafkah. Ragam pekerjaan yang dilakukan oleh istri dan anak nelayan dalam meningkatkan penghasilan keluarga adalah menjual ikan, mengasinkan ikan, mencari kerang lumpur (totok) dan membuat terasi udang. Ragam pekerjaan yang dilakukan oleh istri dan anak nelayan ini masih erat kaitannya dengan pengolahan hasil laut. Tabel 6 menunjukkan bahwa pola adaptasi berupa memobilisasi peran dan istri ini rendah. Hal ini terbukti dari persentase memobilisasi peran istri dan anak yang rendah, yaitu sebesar 82,5 persen atau 33 orang dari 40 orang responden cenderung tidak mengerahkan istri dan anaknya untuk mencari nafkah tambahan. Salah satu responden yang berinisial STN (45 tahun) mengungkapkan bahwa ia tidak ingin istri dan anaknya ikut mencari nafkah karena ia merasa bahwa hanya kepala rumah tangga saja yang boleh mencari nafkah. Bagi STN, seorang laki-laki berkewajiban mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ia merasa malu dan tidak pantas jika istri dan anaknya ikut bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Selanjutnya, terdapat 5 orang responden yang anggota keluarganya sudah mulai diarahkan untuk ikut mencari nafkah. Hal ini dikarenakan desakkan kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi sehingga mereka menekan rasa malu demi terpenuhinya kebutuhan hidup. Hasil laut yang tak lagi cukup dan tidak ada lagi keahlian selain melaut yang dimiliki oleh nelayan memaksa mereka menyertakan anak dan istrinya untuk ikut mencari nafkah. Diakui oleh salah satu responden yang berinisial MJ (50 tahun) menyatakan bahwa istri dan anaknya berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Istri dan anak MJ biasanya ikut mengasinkan ikan dan mencari kerang lumpur untuk dijual. Hasil dari pengasinan ikan dan penjualan kerang lumpur diakuinya dapat menambah pendapatan keluarga. Setidaknya mereka mendapatkan tambahan penghasilan sebesar Rp30 000 setiap kali mencari kerang lumpur. Sementara itu, 2 orang responden mengaku bahwa pendapatan keluarganya benar-benar meningkat karena istri dan anak mereka ikut mencari nafkah. Hal ini diakui oleh salah satu responden yang berinisial WLY (56 tahun):

“... ibu (istri) karo anak-anakku sok yo ngrewangi aku. Ibu biasane notok karo nggawe terasi, lumayan iso nggo nambahi penghasilanku. Sekali notok, ibu iso nggolek empat blong, sakblonge kui dihargai Rp7 000, mung papat blong, ibu iso dapet Rp28 000. Kan lumayan toh, mbak. Anak-anakku ki kabeh yo do gawe kabeh. Sing nomor siji karo loro kae kerjo nang Batam dadi kasir swalayan karo buruh tongkang. Aku sering dikirimi anakku Rp100 000 – Rp200 000 per bulane. Yo wis enaklah uripku mung istri karo anakku kerjo kabeh ...”

“... ibu (istri) dan anak-anak saya sering membantu saya. Ibu biasanya mencari totok (kerang lumpur) dan membuat terasi, lumayan bisa menambah penghasilan keluarga saya. Sekali mencari totok, ibu bisa mendapatkan empat ember, satu embernya dihargai Rp7 000, jika dapat empat ember berarti ibu bisa mendapatkan uang sebesar Rp28 000. Lumayan, mbak. Anak-anak saya semuanya juga ikut bekerja.

26

Anak yang nomor satu dan dua bekerja di Batam sebagai petugas kasir di swalayan dan buruh kapal tongkang. Saya sering dikirimi uang sebesar Rp100 000 – Rp200 000 per bulan dari hasil kerja mereka. hidup saya terbantu jika anak dan istri ikut bekerja ...”

Menanami Lahan Timbul

Menanami lahan timbul adalah suatu kegiatan yang dilakukan nelayan dalam memanfaatkan lahan timbul untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan tersebut mencakup pembukaan lahan hingga penanaman lahan dengan tanaman yang bernilai ekonomi seperti tanaman pangan dan pohon sengon. Berdasarakan Tabel 6 sebanyak 45 persen atau 18 orang responden menunjukkan hasil yang rendah, sebanyak 12.5 persen atau 5 orang responden menunjukkan hasil yang sedang, dan sebanyak 42.5 persen atau 17 orang responden menunjukkan hasil yang tinggi. Responden yang tidak mengolah lahan timbul ini disebabkan kurangnya pengetahuan dan keahlian untuk mengolah lahan timbul. Selain itu, mereka memiliki pandangan bahwa menjadi petani merupakan hal yang tabu bagi seorang nelayan. Bagi mereka, rezeki nelayan hanyalah berasal dari laut bukan dari daratan. Sementara itu, beberapa responden terpaksa mengolah lahan timbul untuk memenuhi kebutuhan hidupnya meski dengan keahlian seadanya. Biasanya, mereka menanami lahan timbul dengan tanaman yang tidak butuh perawatan yang intensif. Banyak dari mereka yang menanam pohon sengon karena tanaman ini tidak butuh keahlian khusus untuk merawatnya. Sedangkan sebagian responden lainnya telah menggantungkan hidup pada hasil pertanian. Tetapi bukan berarti mereka telah meninggalkan profesi mereka sebagai nelayan. Sebagian besar dari responden menggandakan profesi mereka yaitu sebagai nelayan sekaligus petani. Mereka menganggap bahwa hasil tani dapat menutupi ketidakpastian pendapatan yang diperoleh dari melaut.

Ikhtisar

Perubahan keadaan sumberdaya pesisir dan laut yang terjadi di kawasan perairan Segara Anakan adalah penyusutan luas kawasan mangrove dan penyusutan luas laguna akibat sedimentasi. Hal ini disebabkan oleh kerusakan dan alih fungsi lahan serta proses alam yang terjadi. Fenomena tersebut dapat dilihat secara visual dengan adanya pembukaan lahan untuk pemukiman dan tambak. Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi juga disebabkan oleh adanya aktivitas penebangan kayu bakau secara liar oleh orang-orang dari luar kawasan Segara Anakan. Kerusakan mangrove dapat dilihat dari indikator adanya pohon yang tumbuh di areal mangrove. Selain disebabkan oleh proses alam, perubahan-perubahan kondisi sumberdaya pesisir dan laut juga disebabkan oleh jumlah penduduk yang semakin meningkat. Jumlah penduduk yang semakin meningkat ini jelas akan menurunkan ketersediaan sumberdaya pesisir dan laut untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Dalam merespon perubahan sumberdaya peisir dan laut, nelayan di Dusun Motean dan Paniten melakukan beberapa tindakan penyesuaian atau adaptasi. Adaptasi yang dilakukan nelayan meliputi memperluas daerah penangkapan, memobilisasi peran istri dan anak, serta menanami lahan timbul. Mayoritas nelayan di Dusun Motean dan Paniten melakukan perluasan wilayah tangkapan setiap harinya. Hal ini dilakukan karena nelayan tak lagi memiliki kemampuan selain mencari ikan.

27

PENGARUH PERUBAHAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT TERHADAP POLA ADAPTASI NELAYAN

Perubahan sumberdaya pesisir dan laut yang terjadi di perairan Segara

Anakan mengakibatkan nelayan di Desa Ujung Alang harus melakukan penyesuaian atau beradaptasi. Adaptasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup para nelayan. Perubahan sumberdaya yang terjadi akan diuji pengaruhnya terhadap pola adaptasi yang terbentuk. Uji statistik yang dilakukan untuk melihat pengaruh perubahan sumberdaya pesisir dan laut terhadap pola adaptasi nelayan adalah uji regresi (Tabel 7).

Tabel 7 Hasil uji statistik perubahan lingkungan pesisir dan laut dengan pola

adaptasi nelayan di Dusun Motean dan Paniten tahun 2014

Perubahan sumberdaya pesisir dan laut

Pola adaptasi nelayan Memperluas

daerah tangkapan Memobilisasi peran istri dan

anak

Menanami lahan timbul

t Sig. T Sig. t Sig. Perubahan sumberdaya pesisir dan laut

-0.460 0.648 -2.191 0.035 -0.597 0.554

Uji statistik yang dilakukan untuk melihat adanya pengaruh antara

perubahan sumberdaya pesisir dan laut dengan pola adaptasi nelayan adalah dengan memasukkan seluruh variabel independen atau variabel pengaruh seperti perubahan sumberdaya peisir dan laut. pengaruh masing-masing variabel dapat dilihat dari hasil perbandingan antara t hitung dengan t tabel. T tabel diperoleh sebesar 2.77 dengan tingkat probabilitas sebesar 0.05 dan derajat bebasnya 4. Pengujian secara regresi akan menunjukkan nilai t hitung. Jika t hitung lebih besar daripada t tabel, maka variabel tersebut berpengaruh, begitu juga sebaliknya. Ketika variabel nilai t hitung lebih kecil daripada nilai t tabel, maka variabel yang sedang diuji tidak berpengaruh. Besarnya pengaruh suatu variabel dapat dilihat dari nilai signifikansi. Nilai signifikansi akan semakin bagus ketika mendekati nilai 0 (nol). Hasil pengujian statistiknya dapat dilihat pada Tabel 7.

Pengaruh Perubahan Sumberdaya Pesisir dan Laut terhadap Memperluas

Daerah Tangkapan

Hasil uji regresi pada Tabel 7 menunjukkan bahwa t hitung perubahan sumberdaya pesisir dan laut yaitu sebesar -0.460 lebih kecil daripada t tabel yaitu sebesar 2.77. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan sumberdaya pesisir dan laut tidak berpengaruh signifikan terhadap pola adaptasi memperluas daerah tangkapan. Sebagian besar nelayan hanya memperluas daerah tangkapan tidak jauh dari daerah tangkapan sebelumnya. Nelayan mengaku bahwa keterbatasan biaya dan tenaga menjadi hambatan utama terbatasnya jangkauan nelayan untuk mencari daerah tangkapan yang lain. Teknologi yang digunakan untuk

28 memprediksi hasil tangkapan juga masih tradisional. Ketidakpastian dalam memprediksi hasil tangkapan ini yang menambah alasan nelayan enggan untuk berpindah-pindah daerah tangkapan. Salah satu responden yang berinisial WRN (57 tahun) mengungkapkan bahwa:

“... aku ini nek nggolek iwak ki yo mung sekitaran kene wae, cedak-cdak kene wae lah. Aku yo wis ra nduwe tenaga nek kudu mubeng-mubeng nggoleki tempat anyar. Opo meneh nek kudu adoh, tekor tenagaku, mbak. Opo maneh iki bensin regone wis larang. Wis ora sanggup aku mbak. Tekor tenaga iyo tekor duit yo iyo. Duite yo mending tak pake nggo maem keluargaku. Nek aku lunga adoh mending hasile pasti. Lah aku ini cuma pake jaring biasa e mbak ora iso nebak iwak ...” “... saya ini mencari ikan hanya di sekitar sini saja, dekat-dekat sini saja. Saya sudah tidak kuat kalau harus mutar-mutar mencari tempat baru. Apalagi jika harus pergi jauh, tenaga saya tidak kuat, mbak. Apalagi saat ini harga bensin sudah mahal. Sudah tidak sanggup saya. Rugi tenaga iya, rugi waktu juga iya. Uang yang saya mliki lebih baik untuk makan keluarga saya. Kalau saya pergi jauh, hasilnya belum pasti juga. Lah saya ini hanya pakai jaring biasa dan tidak bisa menebak (memprediksi) ikan... ”

Tidak dapat dipungkiri bahwa keterbatasan teknologi yang dimiliki menjadi salah satu penghambat bagi mobilitas nelayan di Segara Anakan. Mayoritas perahu yang dimiliki oleh nelayan di Segara Anakan masih menggunakan mesin yang sederhana. Sehingga nelayan tidak dapat memperluas wilayah penangkapan. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden yang berinisial WGT (42 tahun):

“... saya dulu pernah nyoba nyari iwak ke daerah Ciberem hampir ke Pangandaran. Tapi ya itu, mbak, biayanya besar sekali karna perahu saya masih sederhana, masih pake mesin tempel. Terus keadaan laut di pinggiran Pangandaran itu ombaknya besar, perahu saya bisa pecah. Lha wong, sepulangnya dari sana, perahu saya rusak. Mesin tempelnya hampir kebakar. Yo wis tiga bulan saya nganggur ngga bisa kerja nyari ikan ...”

Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap penyediaan sarana melaut bagi nelayan di Segara Anakan juga menjadi salah satu faktor penghambat bagi nelayan untuk berkembang. Salah satu responden yang berinisial FDL (40 tahun) mengungkapkan bahwa:

“... nelayan-nelayan disini memang terdaftar dalam Himpunan Nelayan Indonesia, tapi ya cuma buat kumpulan aja. Kalo ada kerusakan-kerusakan perahu ya kita balik lagi ke bakul (juragan). Minjem duit untuk perbaikan mesin. Kalo dari dinas perikanan gitu ngga pernah mbak ada pelatihan-pelatihan khusus untuk nelayan

29 supaya ngga gini-gini terus nasibnya. Kadang kita pengen mbak ada pelatihan atau setidaknya ya ditambahin alat-alat tangkapnya. Saya pernah denger cerita dari nelayan di Pangandaran, mereka canggih-canggih semua. Udah gitu pemerintahnya sering ngasih bantuan untuk ngebenerin perahu. Saya berharap sekali pemerintah sini memikirkan nasib para nelayannya ...”

Selain itu, wilayah perairan Segara Anakan sudah dipenuhi oleh kavling-kavling kolam jaring apung atau apong sehingga wilayah tangkap nelayan menjadi terbatas. Nelayan tidak diperbolehkan menangkap ikan di wilayah apong. Hal ini diperkuat oleh pernyataan salah satu responden berinisial PRM (43 tahun):

“... sekarang Segara Anakan udah mulai penuh sama petak-petak apong. Nelayan seperti kami yang hanya menjaring ndak boleh njaring di wilayah apong. Soalnya apong itu kan sudah ada yang punya. Jadi ya kami harus mencari tempat lain, selain wilayah apong. Jadi semakin sulit mau dapet ikan. Sudah kondisi lautnya rusak seperti itu, ditambah dipetak-petak, ya sudah kami hanya kebagian sisanya aja... ”

Pengaruh Perubahan Sumberdaya Pesisir dan Laut terhadap Memobilisasi Peran Istri dan Anak

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 7 hasil regresi menunjukkan bahwa t hitung perubahan sumberdaya pesisir dan laut yaitu sebesar -2.191 lebih kecil daripada t tabel yaitu sebesar 2.77. Hal ini menunjukkan tidak adanya pengaruh antara perubahan sumberdaya pesisir dan laut dengan pola adaptasi memobilisasi peran istri dan anak. Para nelayan menganggap bahwa tonggak utama pencari nafkah adalah seorang kepala rumah tangga. Mereka merasa tidak pantas jika istri dan anak ikut berperan dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Rasa malu yang begitu besar juga menjadi alasan kuat para nelayan tidak melibatkan istri dan anaknya untuk mencari nafkah. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden yang berinisial LPO (58 tahun):

“... Sebenere iso ae nek istri ikut kerjo tapi dari jaman

wong tuo dulu kui ra pantes nek istri sing mestine nang omah ngurus bocah-bocah yo mosok dikongkon nggolek duit maneh. Aku iki wong lanang, mesti nduwek tanggung jawab karo anak-istri. Mbok angel carane, yo tetep mesti aku sing nggolek duit. Nelayan-nelayan asli kene ki nduwek prinsiplah istilahe, nek iso mboh piye carane, istri kudu neng omah wae. Ora perlu melu-melu wong lanang nggolek duit ...”

“... Sebenarnya bisa saja jika istri ikut bekerja tapi dari jaman orang tua dulu itu tidak pantas jika istri yang seharusnya di rumah mengurus anak-anak ikut dalam mencari nafkah. Saya ini seorang lelaki, harus punya tanggung jawab kepada istri dan anak. Sesulit apapun keadaan keluarga, tetap harus saya yang

30

mencari uang. Nelayan-nelayan asli daerah sini memegang prinsip tersebut. Kalau bisa, entah bagaimana caranya istri harus tetap berada di rumah. Tidak perlu ikut-ikutan mencari uang..” Selain itu, hasil laut yang semakin berkurang tidak memungkinkan untuk

diolah lebih lanjut karena biaya mengolah akan lebih besar dari biaya menjual hasil tangkapan secara langsung. Hal ini diungkapkan oleh Bapak RHM (43 tahun):

“...ya gimana mau dikasihin ke istri untuk diasinin, lha wong hasil tangkapnya aja sedikit. Yang ada mahal di garamnya, trus bakul-bakul disini mana ada yang mau beli kalo cuma sedikit. Kadang ada juga sing melu bikin terasi, tapi yo tetep ae penghasilane kurang, wong juragane ngasih duitnya ora setara karo keringete (usaha)...”

Pengaruh Perubahan Sumberdaya Pesisir dan Laut terhadap Menanami Lahan Timbul

Uji statistik regresi menunjukkan hasil bahwa t hitung perubahan sumberdaya pesisir dan laut yaitu sebesar -0,597 lebih kecil daripada t tabel yaitu sebesar 2.77. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan sumberdaya pesisir dan laut tidak berpengaruh pada pola adaptasi menanami lahan timbul. Sejak jaman dahulu, masyarakat di desa Ujung Alang berprofesi sebagai nelayan. Semua kehidupannya bergantung pada sumberdaya yang ada di pesisir dan laut Segara Anakan. Ketika sumberdaya pesisir dan laut mengalami perubahan yaitu banyaknya tanah timbul yang muncul (daratan) masyarakat khusunya nelayan tidak memliki kemampuan lagi selain mencari ikan di laut. Nelayan masih ragu untuk mengolah tanah timbul akibat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan. Terbatasnya akses terhadap lahan timbul juga menjadi faktor penghambat bagi nelayan untuk mengolah lahan timbul. Sebab, nelayan harus membayar uang sewa lahan kepada penduduk di Dusun Lempongpucung. Hal ini diakui oleh salah satu responden yang berinisial GNT (46 tahun):

“... ya memang lahan timbul di Segara Anakan itu banyak, tapi hampir semuanya sudah ada yang punya. Saya pernah mengolah lahan milik Pak Iyus di Dusun Lempongpucung, tapi ndak saya teruskan. Soalnya saya harus bayar sewa lahannya. Pembagian hasilnya juga 60 banding 40. Ya berat lah, mbak. Wong hasil panennya aja ndak bisa nutupin biaya sewa lahannya, apa lagi ini sebagian besar hasil panennya juga besar kesana (pemilik lahan) ...” Selain itu, para nelayan beranggapan bahwa melaut merupakan garis hidup

mereka. Laut merupakan satu-satunya tempat dimana mereka harus mencari nafkah. Mereka percaya bahwa seorang nelayan tidak boleh mengambil manfaat dari tanah daratan (tanah timbul) karena itu bentuk dari sifat keserakahan. Menjadi petani bagi sebagian besar nelayan adalah hal yang tabu. Jadi,

31

bagaimanapun sumberdaya pesisir dan laut mengalami perubahan, nelayan akan tetap bertahan untuk melaut. Hal ini diakui oleh Bapak PRT (51 tahun):

“... kalo jadi petani, saya mikir dua kali. Saya ini dari kecil udah akrab sama laut, sama nelayan. Jadi ya saya bisanya cuma jadi nelayan. Tanah timbul disini memang banyak, tapi saya belum bisa ngolahnya, ndak punya ilmunya. Lagian jadi nelayan lebih enak, langsung dapet hasilnya, ndak seperti petani yang harus nunggu berbulan-bulan baru dapet hasilnya. Sudahlah mbak, rezeki saya ini ya di laut ndak usah ambil rezeki orang yang di daratan (petani), serakah itu namanya... ”

Pernyataan tersebut menguatkan hasil uj regresi yaitu pengaruh perubahan sumberdaya pesisir dan laut dalam mempengaruhi pola adaptasi nelayan menanami lahan timbul tidak terlalu besar. Keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dalam bertani serta kepercayaan bahwa seorang nelayan tidak boleh menjadi petani ini yang membuat pola adaptasi menanami lahan timbul menjadi rendah dan tidak berpengaruh.

Ikhtisar

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya, perubahan sumberdaya pesisir dan laut tidak berpengaruh pada semua pola adaptasi yang dilakukan oleh nelayan di Dusun dan Motean Paniten. Pola memperluas wilayah tangkapan tak mampu merespon perubahan sumberdaya pesisir dan laut karena sebagian besar nelayan hanya memperluas daerah tangkapan tidak jauh dari daerah tangkapan sebelumnya. Nelayan mengaku bahwa keterbatasan biaya, tenaga dan teknologi menjadi hambatan utama terbatasnya jangkauan nelayan untuk mencari daerah tangkapan yang lain. Pada pola memobilisasi istri dan anak, hanya sebagian kecil nelayan saja yang melakukan pola adaptasi ini. Hal ini dikarenakan para nelayan menganggap bahwa tonggak utama pencari nafkah adalah seorang kepala rumah tangga. Sejalan dengan kedua pola adaptasi sebelumnya, pola adaptasi menanami lahan timbul juga tidak berpengaruh dalam merespon perubahan sumberdaya pesisir dan laut Segara Anakan. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dalam bertani serta kepercayaan bahwa seorang nelayan tidak boleh menjadi petani.

32

PENGARUH POLA ADAPTASI TERHADAP KESEJAHTERAAN NELAYAN

Terdapat tiga variabel pola adaptasi nelayan yang akan diuji pengaruhnya terhadap kesejahteraan nelayan, yakni memperluas daerah tangkapan, memobilisasi peran istri dan anak, dan menanami lahan timbul. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah pola adaptasi yang dilakukan oleh nelayan berpengaruh terhadap kesejahteraan hidupnya. Dalam bahasan ini, variabel kesejahteraan yang diuji adalah pendapatan dan kepemilikan aset. Uji statistik yang dilakukan untuk melihat pengaruh pola adaptasi terhadap kesejahteraan nelayan adalah uji regresi. Keterangan lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel uji regresi berikut:

Tabel 8 Hasil uji statistik pola adaptasi dengan kesejahteraan hidup nelayan di

Dusun Motean dan Paniten tahun 2014

Pola adaptasi nelayan

Kesejahteraan hidup nelayan Pendapatan Kepemilikan aset

t Sig. t Sig. Memperluas wilayah tangkapan

0.163 0.871 -0.174 0.863

Memobilisasi peran istri dan anak

6.422 0.000 -0.293 0.771

Menanami lahan timbul

6.627 0.000 4.437 0.000

Uji statistik yang dilakukan untuk melihat adanya pengaruh antara pola

adaptasi dengan kesejahteraan nelayan adalah dengan memasukkan seluruh variabel independen atau variabel pengaruh seperti memperluas wilayah tangkapan, memobilisasi peran istri dan anak, serta menanami lahan timbul. Pengaruh masing-masing variabel dapat dilihat dari hasil perbandingan antara t hitung dengan t tabel. T tabel diperoleh sebesar 2.77 dengan tingkat probabilitas sebesar 0.05 dan derajat bebasnya 4. Pengujian secara regresi akan menunjukkan nilai t hitung. Jika t hitung lebih besar daripada t tabel, maka variabel tersebut berpengaruh, begitu juga sebaliknya. Ketika variabel nilai t hitung lebih kecil daripada nilai t tabel, maka variabel yang sedang diuji tidak berpengaruh. Besarnya pengaruh suatu variabel dapat dilihat dari nilai signifikansi. Nilai signifikansi akan semakin bagus ketika mendekati nilai 0 (nol). Hasil pengujian statistiknya dapat dilihat pada Tabel 8.

Pengaruh Memperluas Wilayah Tangkapan terhadap Pendapatan dan Kepemilikan Aset

Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 8 hasil regresi menunjukkan bahwa t hitung memperluas wilayah tangkapan terhadap pendapatan yaitu sebesar 0.163 lebih kecil daripada t tabel yaitu sebesar 2.77. Sejalan dengan hasil yang ditunjukkan oleh t hitung memperluas wilayah tangkapan terhadap kepemilikan aset yaitu sebesar -0.174 lebih kecil dari t tabel yaitu sebesar 2.77 Hal ini menunjukkan tidak adanya pengaruh antara memperluas wilayah tangkapan

33

dengan pendapatan dan kepemilikan aset nelayan. Hampir sebagian besar nelayan melakukan adaptasi memperluas wilayah tangkapan. Nelayan beranggapan bahwa satu-satunya cara yang paling logis dilakukan untuk meningkatkan pendapatan adalah dengan tetap melaut mengingat mereka tak lagi memiliki kemampuan selain melaut. Namun, pola adaptasi memperluas wilayah tangkapan ini yang paling banyak dilakukan oleh nelayan justru tidak mampu meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Hal ini memberi gambaran bahwa potensi sumberdaya pesisir dan laut di Segara Anakan yang semakin menurun tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup para nelayan. Nelayan mengaku bahwa ketika hasil tangkapan sedikit, mereka biasanya akan meminjam uang atau berhutang kepada tengkulak (bakul). Hal ini dilakukan agar kebutuhan hidup keluarganya tetap bisa terpenuhi. Uang yang dipinjam dari bakul akan dikembalikan dengan hasil tangkapan yang mereka terima. Jika hasil tangkapan sedikit, mereka akan terus berhutang kepada bakul, begitu seterusnya. Bakul memiliki peran penting bagi nelayan, selain memberikan uang pinjaman, bakul juga membantu nelayan dalam penyediaan sarana dan prasarana melaut seperti perahu, jaring dan alat tangkap lainnya. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa adanya ketergantungan yang erat antara nelayan dan bakul. Hal ini diperkuat oleh pengakuan dari salah satu responden berinisial Bapak JRW (42 tahun):

“... kami (nelayan) disini memang tidak bisa lepas dari bakul. Bakul benar-benar membantu kami, jika hasil tangkapan kami sedikit, kami terpaksa mengutang kepada bakul untuk bisa memenuhi kebutuhan kami. Saya sendiri merasa bakul itu banyak membantu, selain dapat meminjamkan sejumlah uang, bakul juga sebagai tempat penyedia alat-alat tangkap untuk nelayan... ”

Pernyataan tersebut menguatkan hasil uji regresi yaitu pengaruh pola adaptasi mempeluas wilayah tangkapan dalam mempengaruhi kesejahteraan (pendapatan dan kepemilikan aset) nelayan tidak terlalu besar.

Pengaruh Memobilisasi Istri dan Anak terhadap Pendapatan dan Kepemilikan Aset

Berdasarkan hasil uji regresi, memobilisasi istri dan anak ternyata berpengaruh siginifikan terhadap pendapatan. Terbukti dengan nilai t hitung yang lebih besar daripada t tabel (6.422 > 2.77). Angka yang besar dan nilai signifikansi yang nol mengindikasikan bahwa pola adaptasi memobilisasi istri dan anak terhadap pendapatan sangatlah besar. Ketika istri dan anak dari nelayan ikut mencari nafkah maka pendapatan mereka cenderung akan meningkat. Begitu juga sebaliknya, ketika istri dan anak tidak dikerahkan untuk ikut mencari nafkah, maka akan semakin menurun pula pendapatan yang diperoleh nelayan. Responden yang mengerahkan istri dan anaknya untuk bekerja mengaku bahwa pendapatan mereka cukup meningkat. Mereka mengenyampingkan rasa malu mereka karena mengikutsertakan istri dan anak dalam mencari nafkah. Akan tetapi istri-istri dan anak mereka bekerja di luar sektor perikanan seperti menjual makanan keliling, menjahit atau menjadi TKI di luar negeri. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari

34 salah satu responden yang mengikutsertakan istri dan anaknya untuk mencari nafkah:

“... bojo karo anakku tak ikutkan cari nafkah. Yo arep piye maneh. Nek bojo karo anakku ndak ikut kerja, ya kami ndak bisa makan. Anak dan istriku kerja jadi TKI dan buruh tongkang. Nek kerja nyari ikan podo karo aku yo podo wae. Ora iso menutupi kebutuhan sehari-hari. Lha wong hasil laut siki mek sithik men, mba. Aku dewekan ki sakjane wis ra nduwek isin yo walopun bertentangan karo hati nurani. Lha mesti piye maneh? Kepekso kudu ngene ...” (SKRJ, 39 tahun) “... istri dan anak saya, saya ikutkan untuk mencari nafkah. ya mau bagaimana lagi. Kalau istri dan anak tidak ikut bekerja, ya kami tidak bisa makan. Anak dan istri saya bekerja sebagai TKI dan buruh tongkang. Kalau sama-sama bekerja di sektor perikanan hasilnya akan sama saja. Tidak bisa menutupi kebutuhan sehari-hari. Sekarang hasil laut semakin sedikit, mba. Saya sendiri sebenarnya sudah tidak punya malu lagi walaupun bertentangan dengan hati nurani. Terpaksa saya harus begini ...”

Selain itu, Bapak SKRJ juga mengakui bahwa pendapatan yang didapat dari istri dan anaknya mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan dengan tambahan pendapatan tersebut, bapak SKRJ mampu membeli kendaraan roda dua dan berbagai macam alat elektronik serta menyekolahkan anak bungsunya sampai sekarang.

Sementara itu, pola adaptasi nelayan tidak berpengaruh terhadap kepemilikan aset. Terbukti dari nilai t hitung yang lebih kecil daripada t tabel (-0.174 < 2.77). Para nelayan mengungkapkan bahwa ketika mereka memperoleh pendapatan, mereka jarang sekali dapat menabung. Mereka tidak terbiasa untuk menabung. Nelayan beranggapan bahwa menabung itu tidak perlu, karena keesokan harinya mereka dapat memperoleh pendapatan lagi dari melaut. Maka dari itu, kepemilikan aset nelayan rendah. Pengaruh Menanami Lahan Timbul terhadap Pendapatan dan Kepemilikan

Aset Nelayan

Uji statistik regresi menunjukkan hasil bahwa t hitung menanami lahan timbul yaitu sebesar 6.627 lebih besar daripada t tabel yaitu sebesar 2.77 dengan nilai signifikansi nol menunjukkan bahwa menanami lahan timbul berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan. Begitupun dengan hasil uji regresi menanami lahan timbul dengan kepemilikan aset. Terbukti dari nilai t hitung yang lebih besar daripada t tabel (4.437 > 2.77) dengan signifikansi nol menunjukkan bahwa menanami lahan timbul berpengaruh secara signifikan terhadap kepemilikan aset. Hal ini menunjukkan bahwa ketika nelayan mengolah lahan untuk bercocok tanam, maka kesejahteraan yang diukur melalui pendapatan dan kepemilikan aset nelayan meningkat. Responden yang melakukan adaptasi ini

35

menyatakan bahwa hasil dari bertani ini dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Salah satu responden yang berinisial SPYRD (53 tahun) mengungkapkan bahwa:

“... aku wis lama nggarap lahan nang Gragalan. Mulane yo podo ora iso tapi semenjak ono penyuluh saka kecamatan, aku dadi iso bertani. Hasile lumayan, mbak. Iso nguripi anak karo putu-putuku. Tapi aku nanam iki nek hasil melautku sithik atau laute lagi musim paceklik, ndak tiap hari aku mangkat nang lahan. Yo sampingan wae, tapi menguntungkan. Semenjak iso bertani, aku ndak mesti ngutang sana sini, mbak. Hasil panenne lumayan, ya kadang nggo mangan sakeluarga ...” “... saya sudah lama menggarap lahan di Gragalan. Pada awalnya ya sama-sama tidak bisa bertani, tetapi semenjak ada pemyuluh dari kecamatan, saya jadi bisa bertani. Hasilnya lumayan, mbak. Bisa menghidupi anak dan cucu-cucu saya. Tapi saya bertani ini jika hasil laut sedikit atau jika laut memasuki musim paceklik. Hanya jadi sampingan saja, tapi menguntungkan. Semenjak bisa bertani, saya tidak lagi berhutang pada banyak orang, mbak. Hasil panennya juga lumayan, kadang bisa saya dan keluarga saya makan sendiri...”

Hasil dari bertani ini sangat berguna saat laut berada pada musim paceklik.

Biasanya nelayan berangkat ke ladang pada pagi hingga siang hari lalu pada malam harinya nelayan kembali melaut. Pola tanam yang diterapkan oleh nelayan sekaligus petani ini adalah pertanian tadah hujan. Pola ini dilakukan saat curah hujan cukup tinggi. Komoditas yang ditanam berupa tanaman pangan, seperti padi dan kedelai serta tanaman hortikultura seperti pepaya, mangga, jambu dan jeruk. Teknologi yang digunakan yaitu cangkul dan arit. Sebagian besar hasil panen dijual ke pasar dan sebagian lagi disimpan untuk persediaan konsumsi keluarga dan kebutuhan benih untuk musim tanam selanjutnya. Strategi bertahan ini diakui oleh para nelayan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangganya.

Ikhtisar

Pola adaptasi yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan khususnya pendapatan dan kepemilikan aset yang diuji adalah memperluas wilayah tangkapan, memobilisasi peran istri dan anak, dan menanami lahan timbul. Pengaruh dari pola adaptasi tersebut sangatlah beragam terhadap pendapatan dan kepemilikan aset nelayan (lihat Tabel 9).

36 Tabel 9 Pengaruh pola adaptasi yang diuji terhadap pendapatan dan kepemilikan

aset nelayan di Dusun Motean dan Paniten Tahun 2014

Pola adaptasi yang diuji Kesejahteraan nelayan Pendapatan Kepemilikan aset

Memperluas wilayah tangkapan

Tidak berpengaruh Tidak berpengaruh

Memobilisasi peran istri dan anak

Berpengaruh Tidak berpengaruh

Menanami lahan timbul Berpengaruh Berpengaruh Pola adaptasi yang mempengaruhi pendapatan dan kepemilikan aset adalah menanami lahan timbul. Semakin banyak nelayan yang mau menanami lahan timbul maka akan semakin bertambah pula pendapatan dan kepemilikan aset nelayan mengingat sudah banyaknya tanah timbul akibat pedangkalan yang terjadi yang bisa dimanfaatkan oleh nelayan. Pola memobilisasi peran istri dan anak hanya berpengaruh pada pendapatan nelayan saja. Ketika istri dan anak dari nelayan ikut mencari nafkah maka pendapatan mereka cenderung akan meningkat. Begitu juga sebaliknya, ketika istri dan anak tidak dikerahkan untuk ikut mencari nafkah, maka akan semakin menurun pula pendapatan yang diperoleh nelayan. Hal yang menyebabkan pola adaptasi ini tidak berpengaruh pada kepemilikan aset adalah nelayan yang tidak terbiasa untuk menabung sehingga uang yang didapatkan oleh nelayan tak mampu digunakan untuk membeli barang-barang kebutuhan lainnya. Sedangkan pola adaptasi memperluas wilayah tangkapan tidak memberikan pengaruh yang berarti pada pendapatan dan kepemilikan aset. Hal ini dikarenakan potensi sumberdaya pesisir dan laut di Segara Anakan yang semakin menurun tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup para nelayan. Mayoritas nelayan biasanya akan meminjam uang atau berhutang kepada tengkulak (bakul) ketika hasil tangkapan mereka sedikit. Hal ini dilakukan agar kebutuhan hidup keluarganya tetap bisa terpenuhi.

37

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan dari tujuan penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Perubahan sumberdaya pesisir dan laut yang terjadi di Segara Anakan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pola adaptasi nelayan. nelayan masih melakukan cara-cara lama dalam merespon atau mengadaptasi perubahan sumberdaya pesisir dan laut. hal ini terbukti dari banyaknya tanah timbul akibat pendangkalan yang justru tidak dimanfaatkan oleh nelayan. nelayan tetap saja mencari ikan di laut meskipun hasil tangkapannya sedikit.

2. Pola adaptasi yang dilakukan oleh nelayan meliputi memperluas daerah penangkapan, memobilisasi peran istri dan anak, serta menanami lahan timbul. Pola adaptasi yang paling banyak dilakukan oleh nelayan dalam rangka merespon perubahan sumberdaya pesisir dan laut adalah memperluas wilayah tangkapan. Hal ini dikarenakan nelayan tidak memiliki kemampuan lain selain melaut. Selain itu beberapa pandangan nelayan yang mengatakan bahwa kepala rumah tangga adalah tonggak utama dalam mencari nafkah membuat pola adaptasi memobilisasi istri dan anak menjadi rendah. Ketidakmpuan dalam mengolah lahan timbul serta kepercayaan bahwa menjadi petani adalah hal yang tabu bagi nelayan membuat pola adaptasi nelayan rendah.

3. Tingkat kesejahteraan nelayan secara umum masih kurang sejahtera. Selain dikarenakan oleh pendapatan yang menurun akibat hasil tangkapan yang semakin berkurang, rendahnya kesejahteraan juga disebabkan oleh ketidakmampuan nelayan dalam mencari ragam pekerjaan lain selain menjadi nelayan.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan masukkan atau saran diantaranya sebagai berikut:

1. Pendekatan teknologi yang mampu menjaga eksistensi sumberdaya pesisir dan laut Segara Anakan. Dalam hal ini, akademisi dan pemerintahan lokal dapat menginisiasi adanya pengerukkan di kawasan Segara Anakan sebagai upaya penyelamatan biodiversitas sekaligus ketersediaan sumberdaya bagi masyarakat sekitar.

2. Perlu adanya kebijakan pemanfaatan lahan yang berkelanjutan di wilayah-wilayah sekitar DAS yang bermuara pada Laguna Segara Anakan agar

3. Pemerintah dibantu LSM, nelayan dan akademisi diharapkan mampu membentuk lembaga keuangan mikro atau koperasi yang mampu mendukung kegiatan nelayan sehingga dapat meningkatkan produktivitas nelayan.

38

4. Perlu dilakukan upaya peningkatan kapasitas nelayan dalam mengembangkan alternatif mata pencaharian berbasis SDA yang berkelanjutan.

39

DAFTAR PUSTAKA

Arief AA, Lekatompessy HS, Nessa MN. 2013. Strategi Adaptasi Nelayan Pulau-

Pulau Kecil terhadap Perubahan Ekologis. [tesis]. [Internet]. [Dikutip 20 Oktober 2013]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Dapat diundur dari: http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/b8e41a786da110597359750867c6c4c7.pdf

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik kesejahteraan rakyat 2005. Jakarta

(ID): BPS. ______________________. 2009. Tanah bumbu dalam angka. Tanah Bumbu

(ID): BPS Kabupaten Tanah Bumbu. ______________________. 2010. Kecamatan kampung laut dalam Angka.

Cilacap (ID): BPS Kabupaten Cilacap. Dahuri R, Rais J, Ginting PS, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan sumber daya wilayah

pesisir dan lautan secara terpadu. Jakarta (ID): Pradnya Paramita. 305 hal. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan dalam angka tahun 2009. 2009.

Jakarta (ID): DKP. Hafsaridewi R, Ramadhan A. 2012. Dampak perubahan lingkungan terhadap

perkembangan aktivitas ekonomi dan kesejahteran masyarakat pesisir di kawasan segara anakan. Sosek KP. [internet]. [Dikutip 3 Desember 2013]: 07(01): 33-53. Dapat diunduh dari: http://www.bbrse.kkp.go.id/publikasi/jurnal_2012_v 7_no1_(3)_full.pdf

Helmi A , Satria A. 2012. Strategi adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis.

Makara. 16(01): 68-78. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Buku statistik perikanan tahun

2008. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

[KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2002. Laporan status lingkungan

hidup indonesia. Jakarta (ID): KLH. ______________________________________. 2009. Laporan status lingkungan

hidup indonesia. Jakarta (ID): KLH. Kusnadi. 2009. Keberdayaan nelayan & dinamika ekonomi pesisir. Yogyakarta

(ID): Lembaga Penelitian Universitas Jember dan Ar-Ruzz Media. 164 hal.

40 Mantra IB, Kasno. 1989. Penentuan sampel. Dalam: Singarimbun M dan Effendi

S, editor. Metode penelitian survai. Jakarta (ID): LP3ES. Marzuki M. 2002. Perubahan Pola Adaptasi Etnik Kaili dalam Pengelolaan

Mangrove (Studi Kasus: Etnik Kaili Unde di Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia.

Masyhuri. 2001. Adaptasi nelayan dalam pemanfaatan sumber daya laut. Desain

riset. Jakarta (ID): PEP-LIPI. 199 hal. Novrian D, Siswanto Z, Firmansyah D. 2010. Perbandingan model-model tata

kuasa, tata kelola, dan tata produksi kehutanan berikut kesejahteraan yang dihasilkannya, studi kasus di gunung tonjong, tasikmalaya. Dalam: Savitri LA, Shohibuddin M, Saluang S, editor. Memahami dan menemukan jalan keluar dari problem agraria dan krisis sosial ekologis. Yogyakarta-Bogor (ID): STPN Press-Sajogjo Institut. Hal 51-94.

Saharuddin. 2007. Antropologi ekologi. Dalam: Adiwibowo S, editor. Ekologi

manusia. Bogor (ID): Fakultas Ekologi Manusia IPB. Satria A. (2009). Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor (ID): IPB Press. Setyawan AD, Winarno K. 2003. Penyudetan sungai citanduy, buah simalakama

konservasi ekosistem mangrove segara anakan. Biodiversitas. [internet]. [Dikutip 3 Juli 2014]: 04(01): 63-72. Dapat diunduh dari: http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D 040 1/D0401pdf/D040113.pdf

Singarimbun M. 1989. Metode dan proses penelitian. Dalam: Singarimbun M dan

Effendi S, editor. Metode penelitian survai. Jakarta (ID): LP3ES. [UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. [internet]. [Dikutip 22 Agustus 2014]. Dapat diunduh dari: http://bnpb.go.id/uploads/migration /pubs/3.pdf

Widodo S. 2011. Strategi nafkah berkelanjutan bagi rumah tangga miskin di

daerah pesisir. Makara. [internet]. [Dikutip 29 September 2013]: 15(01): 10-20. Dapat diunduh dari: http://journal.ui.ac.id/index.php/ humanities/article /viewFile/890/849

41

LAMPIRAN

Lampiran 1

PETA LOKASI

42 Lampiran 2 Hasil uji regresi variabel penelitian

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

1 .074(a) .006 -.021 1.01026537 a Predictors: (Constant), Zscore: perubahanlingkungan

Coefficients(a)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t S

ig. B S

td. Error Beta 1 (Constant) -

4.917E-16

.160 .

000 1.

000

Zscore: perubahanlingkungan

-.074

.162 -.074 -

.460 .6

48 a Dependent Variable: Zscore: Memperluaswilayahtangkapan

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

1 .096(a) .009 -.017 1.00835979 a Predictors: (Constant), Zscore: perubahanlingkungan

Coefficients(a)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) -9.442E-16 .159 .000 1.000

Zscore: perubahanlingkungan

-.096 .161 -.096 -.597 .554

a Dependent Variable: Zscore: menanamilahantimbul

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

1 .335(a) .112 .089 .95456238 a Predictors: (Constant), Zscore: perubahanlingkungan

43

Coefficients(a)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) -9.900E-16 .151 .000 1.000

Zscore: perubahanlingkungan

-.335 .153 -.335 -2.191 .035

a Dependent Variable: Zscore: mobilisasiistridananak

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

1 .859(a) .738 .717 .53232128 a Predictors: (Constant), Zscore: mobilisasiistridananak, Zscore: menanamilahantimbul, Zscore: memperluaswilayahtangkapan

Coefficients(a)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 9.309E-16 .084 .000 1.000

Zscore: luaswilayah .015 .092 .015 .163 .871

Zscore: nanamlahan .598 .090 .598 6.627 .000

Zscore: mobilisasiistridananak

.560 .087 .560 6.422 .000

a Dependent Variable: Zscore: pendapatan

Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

1 .620(a) .384 .332 .81701367 a Predictors: (Constant), Zscore: mobilisasiistridananak, Zscore: menanamilahantimbul, Zscore: memperluaswilayah

Coefficients(a)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 3.627E-16 .129 .000 1.000

Zscore: luaswilayah -.024 .141 -.024 -.174 .863

Zscore: nanamlahan .615 .139 .615 4.437 .000

Zscore: mobilisasiistridananak

-.039 .134 -.039 -.293 .771

a Dependent Variable: Zscore: pemilikkanaset

44

Lampiran 3 Rencana kegiatan penelitian

Kegiatan Feb Maret April Mei Juni July

3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Penyusunan

Proposal

Kolokium

Revisi Proposal

Pengumpulan Data

Pengolahan dan Analisis

Data

Penulisan Draft Skripsi

Uji Petik

Sidang Skripsi

Perbaikan Skripsi

45

Lampiran 4 Kerangka sampling

No. Nama No. Nama No. Nama 1 DRJ 43 SMD 85 JNB 2 WLY 44 BNG 86 FDL 3 JAE 45 DRM 87 RST 4 WGN 46 YTN 88 MMT 5 SWR 47 SMNT 89 TRS 6 SKT 48 NRSD 90 MMN 7 YN 49 WRS 91 SKRJ 8 HD 50 MNDG 92 STH 9 NOK 51 WRS 93 MHD 10 JK 52 KM 94 AHM 11 TKM 53 KRTA 95 MDW 12 IS 54 SMH 96 SK 13 JKS 55 MTYTN 97 SB 14 RSM 56 WGN 98 AD 15 WRD 57 JSKT 99 RST 16 PAI 58 DNR 100 EB 17 WG 59 SWT 101 KS 18 CM 60 KRS 102 AC 19 TLSS 61 INO 103 JND 20 YNT 62 SPRYD 104 HSN 21 DYT 63 SMA 105 SSN 22 HMY 64 ENDG 106 GNT 23 SMT 65 TRH 107 SMG 24 TGL 66 SWRN 108 WT 25 TKM 67 JKL 109 RD 26 SS 68 LPO 110 SGN 27 IPO 69 NING 111 SP 28 DRY 70 SMN 112 LSM 29 LLS 71 MRD 113 MSN 30 SRT 72 PNRN 114 SW 31 MJ 73 PMN 115 WSD 32 MDJ 74 JNA 116 TRJ 33 SDL 75 WRSM 117 AHM 34 JKR 76 SNPD 118 SMR 35 WTM 77 EL 119 TIA 36 WT 78 MDMK 120 SNR 37 KYM 79 DR 121 KR 38 MJ 80 YN 122 JN 39 DLWHD 81 TR 123 JK 40 MRJ 82 YT 124 SLM 41 RNT 83 TR 125 SC 42 SGH 84 TRN 126 KRS

46 127 RS 171 JS 128 TGN 172 MJ 129 IK 173 SB 130 ST 174 AB 131 STN 175 WW 132 HRY 176 PT 133 STP 177 SNY 134 SH 178 KSD 135 WDD 179 DRS 136 MJT 180 ST 137 MSL 181 BBT 138 MGN 182 NSM 139 SRG 183 SKR 140 TMR 184 MSW 141 SNM 185 RHL 142 WHY 186 PNN 143 MA 187 NN 144 SR 188 SHD 145 TT 189 WHD 146 YYT 190 HE 147 MMT 191 MTN 148 FTM 192 JSM 149 DRS 193 KSN 150 ING 194 TRY 151 IMG 195 TRJ 152 PNM 196 SJ 153 JMR 197 PN 154 TTN 198 MST 155 KRS 199 SGR 156 RHM 200 KSN 157 BLT 201 RTN 158 RD 202 MSR 159 UND 203 JS 160 JNH 204 WRN 161 END 205 SB 162 SNTH 206 AB 163 AP 164 STN 165 MT 166 BRD 167 JND 168 AD 169 RMW 170 NRY 207 CMW 208 SLL

47

No. Nama No. Nama No. Nama 209 DRJ 251 SMD 293 JNB 210 WLY 252 BNG 294 FDL 211 JAE 253 DRM 295 RST 212 WGT 254 YTN 296 MMT 213 SWR 255 SMNT 297 TRS 214 SKT 256 NRSD 298 MMN 215 YN 257 WRS 299 YTM 216 HD 258 MNDG 300 STH 217 NOK 259 WRS 301 MHD 218 JK 260 KM 302 AHM 219 TKM 261 KRTA 303 MDW 220 IS 262 SMH 304 CPT 221 JKS 263 MTYTN 305 KRSJ 222 RSM 264 WGN 306 AD 223 WRD 265 JSKT 307 RST 224 PAI 266 DNR 308 EB 225 WG 267 SWT 309 KS 226 CM 268 KRS 310 AC 227 TLSS 269 INO 311 JND 228 YNT 270 SPRYD 312 HSN 229 DYT 271 SMA 313 SSN 230 HMY 272 ENDG 314 GNT 231 SMT 273 TRH 315 SMG 232 TGL 274 SWRN 316 WT 233 TKM 275 JKL 317 RD 234 SS 276 LPO 318 SGN 235 IPO 277 NING 319 SP 236 DRY 278 SMN 320 LSM 237 LLS 279 MRD 321 MSN 238 SRT 280 PNRN 322 SW 239 MJ 281 PMN 323 WSD 240 MDJ 282 JNA 324 TRJ 241 SDL 283 WRSM 325 AHM 242 JKR 284 SNPD 326 SMR 243 WTM 285 EL 327 TIA 244 WT 286 MDMK 328 SNR 245 KYM 287 DR 329 KR 246 MJ 288 YN 330 JN 247 DLWHD 289 TR 331 JK 248 MRJ 290 YT 332 SLM 249 RNT 291 TR 333 SC 250 PRM 292 RHM 334 KRS 335 MRJ 381 SLM 336 WGN 382 GNJR

48 337 RS 383 JS 338 TGN 384 PRT 339 JRW 385 SB 340 ST 386 AB 341 SPY 387 WW 342 HRY 388 PT 343 STP 390 SNY 344 SH 391 KSD 345 PRT 392 DRS 346 MJT 393 ST 347 MSL 394 BBT 348 MGN 395 NSM 349 SRG 350 TMR 351 SNM 352 WHY 353 MA 354 SR 355 TT 356 YYT 357 MMT 358 FTM 359 DRS 360 ING 361 IMG 362 PNM 363 JMR 364 TTN 365 KRS 366 RHM 367 BLT 368 RD 369 UND 370 JNH 371 END 372 SNTH 373 AP 374 STN 375 MT 376 BRD 377 JND 378 AD 379 RHM 380 NRY

49

Lampiran 5 Dokumentasi

50

RIWAYAT HIDUP

Anggita Widaningsih dilahirkan di Purwakarta, Jawa Barat pada tanggal 08 Mei 1992. Penulis adalah anak ketiga dari pasangan Bapak Agus Seno Aji dan Ibu Wara Suryandari. Penulis menempuh pendidikan formal sejak di TK Purnama di Purwakarta pada tahun 1997. Pada tahun 1998 penulis menempuh pendidikan formal di SD Negeri Sudirman VII sampai tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan sekolah SMP Negeri 1 Purwakarta selama 3 tahun. Setelah lulus SMP pada tahun 2007, penulis melanjutkan sekolah di SMA BPI 2 Bandung sampai tahun 2010. Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif dalam beberapa organisasi baik di kampus maupun di luar kampus. Pada tahun 2012-2014, penulis menjadi anggota Divisi Community Development dalam organisasi Himasiera (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat). Selain di kampus, penulis juga pernah menjadi fasilitator dalam konferensi Internasional TUNZA di Bandung pada tahun 2011. Tidak hanya di organisasi, penulis juga aktif mengikuti pelatihan dan magang. Penulis aktif sebagai staff pengajar di LSM DeTara.