Pengaruh Perceived External Prestige, Ethical ...
Transcript of Pengaruh Perceived External Prestige, Ethical ...
1
Pengaruh Perceived External Prestige, Ethical Organizational Climate, dan Leader-Member Exchange Quality terhadap Komitmen Organisasional, Komitmen Karir, Motivasi untuk Mengikuti Pelatihan, dan Intention to
Leave (Studi Kasus : PT XYZ)
Winony Mutiara, Mohammad Mustaqim
1. Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia2. Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Sebagai salah satu perusahaan teratas dalam sektor asuransi jiwa, PT XYZ tidak luput mengalami salah satu permasalahan SDM, yaitu intention to leave yang tinggi yang dapat disebabkan oleh rendahnya komitmen organisasional karyawan. Di dalam penelitian ini akan dijelaskan mengenai pengaruh dari perceived external prestige, ethical organizational climate, dan leader-member exchange quality pada komitmen organisasional dan komitmen karir karyawan serta pengaruh dari komitmen organisasional dan komitmen karir karyawan pada motivasi untuk mengikuti pelatihan dan intention to leave di PT XYZ. Responden dari penelitian ini adalah 237 orang karyawan PT XYZ di Jakarta. Dengan menggunakan structural equation model, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hanya perceived external prestige dan leader-member exchange quality yang berpengaruh signifikan pada komitmen organisasional dan komitmen karir serta komitmen organisasional dan komitmen karir berpengaruh signifikan terhadap intention to leave dan motivasi untuk mengikuti pelatihan.
Impact of Perceived External Prestige, Ethical Organizational Climate, and Leader-Member Exchange Quality toward Organizational Commitment, Career Commitment, Motivation to Participate in Training, and Intention to Leave (Case Study : PT XYZ)
Abstract
As one of top company in life insurance sector, PT XYZ do not miss experiencing one of common HR problem, i.e. high intention to leave that may caused by low organizational commitment. This research explains the impactof perceived external prestige, ethical organizational climate, and leader-member exchange quality toorganizational commitment and career commitment on PT XYZ employees and also organizational commitmentand career commitment on motivation to participate in training and intention to leave on PT XYZ. Therespondents of this study were 237 permanent employee of PT XYZ in Jakarta. By using structural equationmodel, the result of this study shows that only perceived external prestige and leader-member exchange qualityhave significant impact to organizational commitment and career commitment and also organizationalcommitment and career commitment have significant impact to intention to leave and motivation to participate intraining.
Keywords : perceived external prestige, ethical organizational climate, leader-member exchange quality, organizational commitment, career commitment, motivation to participate in training, intention to leave, structural equation model
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
2
Pendahuluan
Asuransi mulai dikenal di indonesia pada saat penjajahan Belanda untuk menunjang
risiko kerugian yang muncul pada bisnis perkebunan dan perdagangan. Industri asuransi
modern mulai berkembang pada tahun 1980 dengan semakin banyak perusahaan asuransi
yang berdiri. Berdasarkan data yang dimiliki Swiss Re tahun 2014, sektor life insurance atau
asuransi jiwa masih menjadi kontributor yang signifikan bagi industri perasuransian
Indonesia. Hal ini sejalan dengan analisis yang dilakukan terhadap beberapa indikator
perkembangan industri asuransi dalam kurun waktu 2007 – 2011. Sektor asuransi jiwa
memberikan kontribusi terbesar sebesar 76,9% pada premi bruto industri asuransi untuk tahun
2013. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) memprediksi pertumbuhan sektor asuransi
jiwa sebesar 20% pada tahun 2015 seiring dengan melambatnya perekonomian Indonesia
(Bisnis.com, 2015).
Besarnya potensi sektor asuransi jiwa yang dimiliki Indonesia menjadi daya tarik bagi
investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan membuat perusahaan-
perusahaan asuransi jiwa yang telah ada semakin berlomba untuk dapat meraih pasar yang
lebih luas. Dalam persaingan tersebut dibutuhkan kesiapan dari masing-masing perusahaan,
khususnya terkait dengan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh perusahaan.
Perusahaan dituntut untuk memiliki SDM yang berkualitas sekaligus memiliki komitmen
yang tinggi dengan fakta bahwa industri asuransi merupakan salah satu industri yang
memiliki tingkat turnover yang tinggi (Hay Group, nd dalam PortalHR.com, 2012).
Permasalahan ini juga dihadapi oleh PT XYZ sebagai salah satu perusahaan
multinasional pada sektor asuransi jiwa yang terdaftar menjadi anggota AAJI. PT XYZ
menempati posisi lima dari 10 Besar Market Leader Asuransi Jiwa Berdasarkan Premi dengan
pangsa pasar 6,47% per Desember 2014 (Infobank, 2015). Pada tahun 2013, PT XYZ
menembus peringkat tiga besar kompetisi HR Excellence 2013 versi SWA (SWA, 2013). PT
XYZ merupakan salah satu perusahaan yang mengalami tingkat turnover karyawan cukup
tinggi. Meskipun begitu, PT XYZ mengklaim bahwa karyawan PT XYZ memiliki employee
engagement yang tinggi.
Penelitian Kang et al. (2011) menemukan bahwa komitmen yang dimiliki oleh
karyawan, baik komitmen organisasional maupun komitmen karir dari karyawan, memiliki
pengaruh negatif bagi turnover intention atau intention to leave yang dapat menjadi ciri awal
terjadinya voluntary turnover dalam perusahaan. Fakta PT XYZ memiliki tingkat turnover
yang tinggi menandakan bahwa komitmen karyawan PT XYZ pada umumnya tergolong
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
3
rendah. Tingkat turnover yang tinggi dapat disebabkan banyaknya kesempatan kerja yang ada
pada industri asuransi dan praktik pembajakan talent atau biasa disebut poaching antar satu
perusahaan pada perusahaan lain. Komitmen karyawan tidak hanya dapat memprediksi
intention to leave dari karyawan, namun juga motivasi karyawan untuk mengikuti pelatihan
(Kang et al., 2011). Hal ini tentu penting bagi pengembangan PT XYZ untuk menjadi
organisasi berbasis pembelajaran (SWA, 2013). PT XYZ sendiri memiliki program pelatihan
yang aktif dan progresif sebagai program wajib bagi karyawan. Dengan jumlah pelatihan
yang banyak dan anggaran yang memadai, diperkirakan masing-masing karyawan akan
mengikuti 3 hari pelatihan dalam 1 tahun.
Komitmen karyawan sendiri memiliki banyak faktor dalam mempengaruhi tinggi atau
rendahnya komitmen karyawan. Dalam penelitiannya, Kang et al. (2011) menggunakan tiga
variabel yang diperkirakan dapat mempengaruhi secara positif komitmen organisasional dan
komitmen karir karyawan, yaitu perceived external prestige, ethical organization climate, dan
leader-member exchange quality. Perceived external prestige terkait dengan persepsi
karyawan mengenai bagaimana dunia luar melihat perusahaan tersebut berdasarkan reputasi
yang dimiliki oleh perusahaan. Berdasarkan kinerja dan percapaian yang dimiliki, PT XYZ
dapat dikategorikan memiliki reputasi baik dalam sektor asuransi jiwa. Ethical organization
climate dapat menjadi dasar bagi karyawan untuk membentuk persepsi mereka mengenai
bagaimana berperilaku etis dan apa saja perilaku yang diterima di perusahaan sehingga akan
membentuk dan mempengaruhi bagaimana karyawan akan berperilaku. Nilai etika yang
ditanamkan di PT XYZ secara tertulis tercantum dalam peraturan dan kode etik dan
dikomunikan pula melalui tindakan-tindakan yang disebut Etika Bisnis dan Pedoman
Perilaku. Kode etik yang ada dalam perusahaan selalu diperbaharui dengan menambahkan
topik yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan PT XYZ sebagai salah satu penerapan
prinsip Good Corporate Governance (Web PT XYZ, nd). Leader-member exchange quality
terkait dengan persepsi karyawan terhadap kualitas hubungan timbal balik antara karyawan
dengan atasannya. Kepemimpinan di dalam PT XYZ sangat kuat dengan setiap pemimpin
berusaha sedemikian rupa mengecilkan jurang antara konsep kepemimpinan dengan
pelaksanaannya.
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
4
Tinjauan Teoritis Perceived external prestige (PEP) merepresentasikan apa yang karyawan pikirkan
mengenai bagaimana orang luar melihat perusahaan tempat ia bekerja (Smidts et al., 2001).
Menurut Smidts et al. (2001), PEP merupakan sebuah hasil dari beragam input dan sumber
informasi seperti word of mouth, publisitas, dan komunikasi internal mengenai persepsi
sebuah organisasi. Kang et al. (2011) menemukan adanya hubungan positif antara perceived
external prestige dengan komitmen organisasional. Penelitian-penelitian tersebut menekankan
bahwa perceived external prestige dapat memfasilitasi proses dari komitmen organisasional di
mana karyawan dapat meningkatkan self-image atau citra diri melalui perceived external
prestige sehingga dapat menimbulkan rasa komitmen pada organisasi. Hal ini juga berlaku
pada komitmen karir karyawan meskipun masih sedikit disebutkan dalam penelitian. Menurut
Kang et al. (2011), karyawan yang memiliki perceived external prestige tinggi akan merasa
ada kebutuhan untuk memajukan karir mereka pada perusahaan yang memiliki reputasi baik.
Hal ini disebabkan pengalaman karir pada perusahaan yang memiliki reputasi baik akan
dilihat sebagai ‘reflected glory’. Pengalaman karir tersebut akan dinilai sebagai keberhasilan
individu oleh lingkungan karyawan seperti keluarga, teman, dan kerabat baik selama bekerja
di perusahaan maupun setelah karyawan keluar dari perusahaan tersebut. Penelitian Kang et
al. (2011) tersebut menunjukkan bahwa perceived external prestige tidak memiliki hubungan
yang signifikan dengan komitmen karir.
H1 : Perceived external prestige berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional
karyawan
H2 : Perceived external prestige berpengaruh positif terhadap komitmen karir karyawan
Budaya organisasi dan organizational climate sering kali dianggap sebagai hal yang
sama (Harrison, 1997 dalam Wibowo, 2012). Namun, menurut Asforth dalam Hoy dan
Miskel (2007, dalam Wibowo, 2012) pada kenyataannya budaya dan organizational climate
merupakan dua hal yang berbeda. Menurutnya, budaya organisasi merupakan asumsi, nilai-
nilai, dan norma yang ada di benak anggota organisasi, sedangkan organizational climate
merupakan persepsi perilaku organisasi oleh anggota organisasi. Ethical organizational
climate dapat didefinisikan sebagai persepsi bersama yang diakui oleh organisasi mengenai
apa perilaku yang benar secara etis dan bagaimana isu etika dihadapi di dalam organisasi
(Victor & Cullen, 1987). Norma dan nilai yang dimiliki organisasi cenderung akan mendikte
bagaimana permasalahan etika ditangani sehingga membentuk organizational climate.
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
5
Menurut Kang et al. (2011), semakin tinggi persepsi karyawan mengenai ethical climate
perusahaan, maka karyawan akan percaya pada tujuan perusahaan dan meningkatkan
emotional attachment pada perusahaan. Dalam penelitian Kim dan Miller (2008 dalam Kang
et al, 2011) ditemukan bahwa dengan adanya kepercayaan karyawan pada perusahaan akan
meningkatkan loyalitas karyawan pada perusahaan. Loyalitas tersebut akan menjadi salah satu
prediktor terhadap komitmen. Dalam penelitiannya Kang et al. (2011) menemukan bahwa
ethical organizational climate memiliki hubungan yang positif dengan komitmen
organisasional dan komitmen karir karyawan, sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Schwepker (2001), dan Sims dan Kroeck (1994 dalam Schwepker, 2001).
H3 : Ethical organizational climate berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional
karyawan
H4 : Ethical organizational climate berpengaruh positif terhadap komitmen karir karyawan
Leader-member exchange quality didefinisikan sebagai kualitas yang dihasilkan dari
adanya hubungan timbal balik antara karyawan dan atasan (Dienesch & Liden, 1986). Leader-
member exchange quality dapat disebut sebagai social exchange antara karyawan dengan
atasan (Masterson et al., 2000). Berdasarkan social exchange theory, karyawan memiliki
kecenderungan untuk mengembangkan hubungan kerja yang berkualitas tinggi berdasarkan
pada dengan siapa mereka berinteraksi seperti karyawan lain atau atasan mereka dan
bagaimana mereka berinteraksi dan mendapatkan pengalaman dengan karyawan lain dan
atasan mereka (Blau, 1964; Coyle-Shapiro & Conway, 2004; Cropanzano & Mitchell, 2005
dalam Walumbwa, 2010). Dalam penelitian Kang et al. (2011) ditemukan bahwa kualitas
leader-member exchange dapat menjadi faktor yang mempengaruhi baik komitmen
organisasional dan komitmen karir karyawan. Hal ini konsisten dengan penelitian yang
dilakukan oleh Aryee dan Chay (1994), Colarelli dan Bishop (1990), Major et al. (1995), dan
Schyns et al. (2005) yang disebutkan dalam Kang et al. (2011). Berdasarkan penelitian
tersebut, karyawan yang memiliki kualitas leader-member exchange yang tinggi akan
membuat karyawan menerima tujuan perusahaan tempat mereka bekerja dan memotivasi
untuk memajukan karirnya. Hal ini menunjukkan komitmen tersebut dapat menjadi cermin
terkait apa saja yang sudah dilakukan atau diberikan oleh atasan dan perusahaan untuk
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pertukaran yang tinggi di mana terdapat
pertukaran manfaat formal dan informal akan menghasilkan karyawan yang berdedikasi dan
berkomitmen pada organisasi dan karir mereka.
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
6
H5 : Leader-member exchange quality berpengaruh positif terhadap dengan komitmen
organisasional karyawan
H6 : Leader-member exchange quality berpengaruh positif terhadap dengan komitmen
karir karyawan
Komitmen yang terdapat pada karyawan dapat dibagi menjadi dua, yaitu komitmen
organisasional dan komitmen karir. Komitmen organisasi adalah sejauh mana karyawan
melekatkan dirinya pada suatu organisasi dan tujuan yang dimiliki oleh organisasi tersebut
serta menginginkan untuk mempertahankan keanggotannya dalam organisasi tersebut
(Robbins & Judge, 2011 dan Allen & Meyer, 1990). Sedangkan komitmen karir dapat
didefinisikan sebagai keyakinan seseorang terhadap nilai-nilai yang didapat dari pekerjaan
yang dipilihnya dan keinginan untuk bertahan pada pekerjaannya (Vandenberg & Scarpello,
1994).
Studi-studi sebelumnya telah menemukan bahwa semakin tinggi komitmen karyawan
maka akan kecil meminimalisir keinginan untuk meninggalkan perusahaan dibandingkan
dengan karyawan lain yang kurang berkomitman (Angle & Perry, 1981; Aryee et al., (1991);
Griffeth et al., 2000; Lum et al., 1998 dalam Kang et al, 2011). Intention to leave dapat
didefinisikan sebagai suatu kesadaran dan keinginan yang disengaja untuk meninggalkan
perusahaan (Tett & Meyer, 1993 dalam Egan et al., 2004). Pada penelitian oleh Kang et al.
(2011) ditemukan bahwa komitmen organisasional berhubungan negatif dengan intention to
leave. Menurut Sturges et al. (2005), karyawan yang memiliki tujuan untuk memajukan
karirnya akan berhubungan dengan komitmen karir karyawan karena karyawan tersebut akan
membutuhkan bantuan perusahaan untuk mendapatkan pengalaman kerja di perusahaan.
Karyawan yang memiliki kepuasan terhadap karirnya juga ditemukan memiliki hubungan
dengan komitmen karir. Dalam penelitian oleh Kang et al. (2011) ditemukan bahwa
komitmen karir memiliki hubungan yang negatif dengan intention to leave.
H7 : Komitmen organisasional karyawan berpengaruh negatif terhadap intention to leave
H8 : Komitmen karir karyawan memiliki berpengaruh negatif terhadap intention to leave
Pada peneltian Kang et al. (2011) ditemukan komitmen organisasional dan komitmen
karir mempengaruhi secara signifikan terhadap motivasi karyawan untuk berpartisipasi dalam
pelatihan. Motivasi karyawan untuk mengikuti pelatihan pada umumnya didahului oleh
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
7
adanya motivasi untuk belajar dari karyawan (Kang et al., 2011). Menurut Beier dan Kanfer
(2010), motivasi untuk mengikuti pelatihan merupakan tahapan awal pada motivasi dalam
pelatihan yang kemudian diikuti oleh motivasi selama proses belajar dalam pelatihan dan
motivasi untuk proses transfer hasil pelatihan. Bartlett (2001) meneliti hubungan atara
komitmen organisasional dengan motivasi untuk mengikuti pelatihan dan menemukan
korelasi yang signifikan di antara keduanya. Studi lain yang dilakukan oleh Ahmad dan Bakar
(2003) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi karyawan
untuk belajar dengan keseluruhan komitmen organisasional yang meliputi affective
commitment, normative commitment, dan continuance commitment. Cheng dan Ho (2011)
juga menemukan bahwa semakin tinggi karyawan berkomitmen pada karirnya akan membuat
karyawan tersebut memiliki keinginan untuk meningkatkan keterampilan dan kinerja mereka
melalui materi-materi pelatihan.
H9 : Komitmen organisasional karyawan berpengaruh positif terhadap motivasi karyawan
untuk mengikuti pelatihan
H10 : Komitmen karir karyawan berpengaruh positif terhadap motivasi karyawan untuk
mengikuti pelatihan
Metode Penelitian
Model dan hipotesis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Dae-seok Kang, Jim Stewart, dan Hayeon
Kim yang berjudul “The effects of perceived external prestige, ethical organizational climate,
and leader-member exchange (LMX) quality on employees' commitments and their
subsequent attitudes” pada tahun 2011 dengan tujuh variabel, yaitu perceived external
prestige, ethical organizational climate, leader-member exchange quality, komitmen
organisasional, komitmen karir, motivasi untuk mengikuti pelatihan, dan intention to leave.
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
8
Gambar 1. Kerangka Penelitian
Sumber : Kang et al. (2011)
Penelitian ini menggunakan desain penelitian conclusive-descriptive research design
dengan menggunakan karyawan PT XYZ sebagai objek penelitian. Karyawan PT XYZ
Indonesia yang dapat menjadi responden penelitian ini adalah karyawan dengan status
pekerjaan karyawan tetap, telah bekerja minimal 1 tahun, dan memiliki atasan yang
berhubungan secara langsung dan telah memiliki hubungan kerja dengan atasan saat ini
minimal 1 tahun. Kriteria responden tersebut digunakan agar dapat melihat hubungan variabel
lebih mendalam. Dalam pengambilan sampel digunakan nonprobability sampling dengan
teknik purposive sampling. Karyawan-karyawan yang menjadi responden pada umumnya
berjenis kelamin wanita (58,2%), merupakan generasi Y (89,5%), memiliki pendikan terakhir
S1 (81,9%), memiliki jabatan staff (84,8%), memiliki masa kerja 1-3 tahun (60,3%), dan
memiliki hubungan kerja dengan atasan 1-3 tahun (92,4%). Karyawan-karyawan tersebut
tersebar dalam 10 divisi, yaitu divisi Billing Collection (8,9%), divisi Customer Care
(20,3%), divisi Customer Service (14,8%), divisi Finance (11,4%), divisi Individual Claim
Operation (9,7%), divisi IT (9,3%), Operational (2,5%), dan divisi POS (10,1%).
Kuesioner dengan 6 skala Likert sebagai instrumen penelitian disebar dengan jumlah
pertanyaan sebanyak 55 pertanyaan yang kemudian menjadi 46 pertanyaan setelah adanya
pre-test. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner pada penelitian ini menggunakan kuesioner
yang bersumber dari penelitian Mael dan Asforth (1992) untuk variabel perceived external
prestige, penelitian Cullen et al., (1993) untuk variabel ethical organizational climate,
penelitian Liden dan Maslyn (1998) untuk variabel leader-member exchange quality,
penelitian Allen dan Meyer (1990) untuk variabel komitmen organisasional, penelitian Carson
and Bedeian (1994) untuk variabel komitmen karir, penelitian Barlett (2001) untuk variabel
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
9
motivasi untuk mengikuti pelatihan, dan penelitian Mitchel (1981) untuk variabel intention to
leave. Kuesioner yang dapat digunakan sebanyak 237 kuesioner.
Data primer yang telah dikumpulkan akan diolah menggunakan software SPSS dan
LISREL. Software SPSS 20 digunakan untuk analisis uji validitas dan reliabilitas saat
melakukan pre-test. Software LISREL 8.51 digunakan untuk analisis Structural Equation
Model (SEM) untuk main-test. Pre-test dilakukan untuk uji validitas dan uji reliabilitas dari
masing-masing indikator atau pertanyaan kuesioner. Uji validitas diukur menggunakan
indikator nilai KMO dan loading factor. Sedangkan pada uji reliabilitas menggunakan
indikator nilai Cronbach Alpha. Pada main-test dilakukan analisis SEM yang terdiri dari dua
tahap yaitu model pengukuran dan model struktural. Model pengukuran dilakukan dengan uji
keseluruhan model pengukuran dengan meilihat nilai RMSEA, uji validitas dengan melihat
nilai stamdardize loading factor (SLF) dan t-value, dan uji reliabilitas dengan melakukan
perhitungan untuk mendapatkan nilai construct reliability (CR) dan variance extracted (VE)
berdasarkan nilai SLF dan SLF error. Model struktural dilakukan dengan uji keseluruhan
model struktural dengan melihat nilai RMSEA, dan analisis hubungan dan hipotesis penelitian
dengan melihat nilai t-value.
Hasil Penelitian
Pada uji kecocokan keseluruhan model pengukuran ditemukan nilai RMSEA senilai
0,093 sehingga perlu dilakukan respesifikasi dengan membebaskan error covariance.
Didapatkan nilai RMSEA sebesar 0,079 setelah respesifikasi. Setelah melakukan
respesifikasi, langkah selanjutnya adalah melakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Analisis
validitas dari model pengukuran dapat dilihat dengan memeriksa nilai t-value dan
standardized loading factor dari variabel teramati. Kriteria nilai tersebut agar dapat dinilai
baik adalah memiliki nilai t-value ≥ 1,96 dan standardized loading factor ≥ 0,3 (Igbaria et al.,
1997 dalam Wijanto, 2008). Pada penelitian ini semua indikator telah memenuhi standar nilai
tersebut. Analisis reliabilitas dari model pengukuran dapat dilihat dengan memerika nilai dari
construct reliability (CR) dan variance extrated (VE) dari nilai pada SLF dan error variance.
Kriteria nilai CR agar dapat dinilai baik adalah ≥ 0.70. Sedangkan untuk nilai VE dinilai baik
apabilai bernilai ≥ 0.50. Pada penelitian ini, seluruh nilai CR telah memenuhi kriteria. Namun
pada nilai VE, variabel ethical organizational climate dan motivasi untuk mengikuti pelatihan
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
10
belum memenuhi kriteria. Meskipun nilai VE tidak memenuhi standar, tidak perlu ada
eliminasi indikator, karena memang mungkin terjadi adanya variabel yang tidak reliable
meskipun model sudah fit (Malhotra, 2010).
Pada uji kecocokan keseluruhan model struktural ditemukan nilai RMSEA senilai
0,094. Kemudian dilakukan respesifikasi sehingga mendapatkan nilai RMSEA yang good fit
yaitu 0,08. Selanjutnya dalam menganalisis hubungan antar variabel dan menguji hipotesis
penelitian yang telah dibuat terdapat beberapa kriteria nilai hasil uji. Kriteria tersebut adalah t-
value. Nilai t-value yang digunakan pada model struktural adalah one-tailed dengan tingkat
signifikansi α = 5% atau tingkat kepercayaan 95% dengan nilai 1,645. Bila nilai t-value ≥
1,645 untuk pengujian hipotesis pengaruh positif dan t-value ≤ 1,645 untuk pengujian
hipotesis pengaruh negatif, maka dapat disimpulkan koefisien dari persamaan struktural
signifikan sehingga hipotesis dapat diterima. Di bawah ini merupakan hasil uji signifikansi di
dalam model struktural :
Tabel 1. Hasil Uji Signifikan (t-value)
No Path T-value Kesimpulan
1 Perceived External Prestige → Komitmen Organisasi 5,85 Signifikan
2 Perceived External Prestige → Komitmen Karir 4,64 Signifikan
3 Ethical Organizational Climate → Komitmen Organisasi -0,40 Tidak Signifikan
4 Ethical Organizational Climate → Komitmen Karir -0,25 Tidak Signifikan
5 Leader-Member Exchange Quality → Komitmen Organisasi 5,88 Signifikan
6 Leader-Member Exchange Quality → Komitmen Karir 4,53 Signifikan
7 Komitmen Organisasi → Motivasi Untuk Mengikuti Pelatihan 3,08 Signifikan
8 Komitmen Organisasi → Intention to Leave -8,69 Signifikan
9 Komitmen Karir → Motivasi Untuk Mengikuti Pelatihan 6,30 Signifikan
10 Komitmen Karir → Intention to Leave -6,24 Signifikan Sumber: Output Lisrel 8.51 Hasil Olahan Peneliti
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
11
Pembahasan
Berdasarkan uji signifikansi tersebut, seluruh hipotesis diterima kecuali hipotesis 3
dan hipotesis 4. Bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kang et al. (2011),
terdapat beberapa perbedaan pada hasil dari hipotesis 2, hipotesis 3, dan hipotesis 4.
Penerimaan hipotesis 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi perceived external
prestige karyawan maka akan semakin tinggi pula komitmen organisasional karyawan, begitu
pula sebaliknya. Adanya pengaruh positif dari perceived external prestige terhadap komitmen
organisasional pada karyawan PT XYZ disebabkan oleh karyawan PT XYZ menganggap PT
XYZ memiliki reputasi yang baik di industri sektor asuransi jiwa. Reputasi tersebut
didapatkan PT XYZ dengan memiliki identitas perusahaan dengan citra yang baik yang
terbentuk dari publik, pengalaman, dan pencapaian-pencapaian yang didapatkan oleh PT
XYZ. Pencapaian tersebut juga mendapatkan award, salah satunya dalam bidang SDM PT
XYZ. Persepsi mengenai reputasi PT XYZ oleh karyawan PT XYZ dapat dijadikan sarana
untuk meningkatkan citra diri karyawan di lingkungannya sehingga menimbulkan rasa
komitmen pada PT XYZ.
Penerimaan hipotesis 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi perceived external
prestige yang dimiliki oleh karyawan maka semakin tinggi pula komitmen karir yang dimiliki
oleh karyawan, begitu pula sebaliknya. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian Kang
et al. (2011) dapat menunjukkan bahwa karyawan PT XYZ menjadikan persepsi reputasi PT
XYZ sebagai motivasi intrinsiknya untuk memiliki komitmen pada karirnya. Motivasi
intrinsik tersebut dapat tumbuh atas adanya ekspektasi karyawan terhadap reputasi PT XYZ
yang dapat memberikan nilai tambah bagi karyawan. Karyawan PT XYZ menganggap dengan
memiliki pengalaman karir pada PT XYZ yang memiliki reputasi baik dapat dijadikan sebuah
kebanggaan dan keberhasilan karyawan pada lingkungannya sehingga karyawan berkomitmen
untuk berkarir pada PT XYZ.
Pada hipotesis 3 dan 4, hipotesis 3 ditolak karena data tidak mendukung hipotesis.
Adanya perbedaan hasil penelitian ini dan penelitian Kang et al. (2011) dapat disebabkan
perbedaan kultur responden dari penelitian Kang et al dengan penelitian ini. Penelitian Kang
et al mengambil responden yang merupakan karyawan berkebangsaan Korea Selatan yang
bekerja pada 15 perusahaan ternama di negara Korea Selatan. Sedangkan penelitian ini
mengambil responden yang merupakan karyawan berkebangsaan Indonesia yang bekerja pada
PT XYZ. Karyawan di Korea Selatan dikenal sebagai karyawan yang dengan tingkat
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
12
kedisiplinan tinggi dan sangat menjunjung tinggi etika dalam perusahaan. Sama halnya
dengan ethical climate dalam perusahaan dijunjung tinggi dan diresapi oleh setiap karyawan.
Hal ini akan menimbulkan loyalitas karyawan terhadap perusahaan yang berujung pada
komitmen karyawan pada perusahaan dan pada karirnya. Perbedaan responden ini juga dapat
menyebabkan adanya perbedaan persepsi terhadap masing-masing indikator variabel sehingga
terjadi perbedaan hasil. Terlepas dari perbedaan budaya tersebut, hal ini membuktikan bahwa
meskipun PT XYZ telah memiliki ethical climate yang cukup tinggi, persepsi perilaku dalam
hal komitmen organisasional dan komitmen karir belum tercermin pada karyawan sehingga
PT XYZ perlu untuk menginvestigasi lebih lanjut mengenai ethical climate karyawan.
Hasil penelitian pada hipotesis 5 sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kang et al. (2011) yaitu semakin tinggi leader-member exchange quality maka komitmen
organisasional karyawan akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya. Persepsi karyawan PT
XYZ terhadap leader-member exchange quality yang tinggi dapat berasal dari timbal balik
dari atasan berdasarkan kontribusi yang diberikan karyawan PT XYZ dalam pekerjaannya,
loyalitas terhadap atasan, hubungan interpersonal antara atasan dan bawahan, dan
professional respect bawahan terhadap atasan. Bila timbal balik tersebut dipersepsikan dalam
kategori yang baik, maka hubungan timbal balik tersebut akan menimbulkan kepercayaan
dari karyawan pada PT XYZ sehingga karyawan akan lebih berkomitmen dalam menerima
dan meraih tujuan dari PT XYZ. Leader-member exchange quality yang tinggi akan
berpengaruh pada dukungan sosial, mental, dan psikis yang diterima oleh karyawan PT XYZ
sebagai member. Melalui hubungan tersebut yang tinggi, karyawan PT XYZ mendapatkan
pengalaman, kepercayaan, dorongan, dan persetujuan untuk mencapai hasil pekerjaan di atas
standar yang diberikan oleh atasan.
Penerimaan hipotesis 6 menunjukkan bahwa Semakin tinggi leader-member exchange
quality maka akan komitmen karyawan pada karirnya akan semakin tinggi, begitu juga
sebaliknya. Timbal balik yang baik dari atasan atas kontribusi karyawan PT XYZ pada
pekerjaan yang diberikan oleh atasan akan menimbulkan rasa bahwa karyawan telah
melakukan kerja yang baik. Pekerjaan yang diberikan berdasarkan loyalitas karyawan pada
atasan juga akan membuat karyawan memiliki persepsi bahwa atasan percaya pada karyawan
tersebut. Timbal balik yang baik tentunya dipengaruhi oleh hubungan interpersonal yang
telah terjalin antara atasan dan bawahan. Selain itu, penghargaan yang diperoleh oleh
karyawan atas hasil pekerjaan yang diberikan oleh atasan akan membuat karyawan respect
terhadap atasan. Dengan memiliki hubungan timbal balik yang berkualitas tinggi tersebut,
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
13
karyawan PT XYZ akan semakin nyaman dalam karir atau pekerjaannya sehingga karyawan
akan tertarik untuk meningkatkan karirnya dalam PT XYZ. Selain itu, kualitas leader-member
exchange quality yang tinggi akan menimbulkan kepercayaan atasan pada karyawan PT XYZ
sebagai membernya, sehingga karyawan PT XYZ akan merasa memiliki lebih banyak
kesempatan mengembangkan kemampuan dirinya melalui tugas pada pekerjaan atau karirnya
saat ini.
Hasil hipotesis 7 sejalan dengan penelitian Kang et al. (2011) yang menunjukkan
komitmen organisasional memiliki pengaruh negatif terhadap intention to leave. Semakin
tinggi komitmen organisasional maka semakin rendah keinginan karyawan untuk keluar dari
perusahaan, begitu pula sebaliknya. Pengaruh negatif ini menandakan bahwa karyawan PT
XYZ yang tidak memiliki loyalitas, kesetiaan, dan kesesuaian dengan tujuan-tujuan PT XYZ
akan memiliki keinginan yang tinggi untuk meninggalkan PT XYZ. Selain itu, hal tersebut
merupakan pertanda bahwa karyawan kurang nyaman untuk bekerja dalam perusahaan.
Loyalitas yang ditunjukkan oleh karyawan dapat ditandai dengan adanya tanggung jawab
terhadap pekerjaan dan perilakunya sesuai dengan nilai dan tujuan perusahaan. Karyawan
akan bersedia untuk memberikan usaha yang maksimal untuk merealisasikan tujuan
organisasi dan untuk kelangsungan organisasi, maka hal ini akan mengurangi keinginan untuk
keluar dari perusahaan. Loyalitas yang ditunjukkan oleh karyawan dapat berkaitan dengan
pengorbanan, risiko, dan alternatif pekerjaan yang dimiliki oleh karyawan. Bila karyawan
merasa pengorbanannya kecil terhadap perusahaan, risiko yang kecil apabila meninggalkan
perusahaan, dan memiliki alternatif pekerjaan lain, maka keinginan karyawan untuk
meninggalkan perusahaan akan tinggi. Tingginya tingkat intention to leave karyawan dapat
berasal dari tidak adanya konsistensi dan bukti keterikatan pada perusahaan sebagai hasil dari
nilai dan norma yang dianggap benar oleh karyawan.
Hasil hipotesis 8 sejalan dengan penelitian Kang et al. (2011) yang menunjukkan
komitmen karir memiliki pengaruh negatif terhadap intention to leave. Hal ini berarti semakin
tinggi komitmen karir karyawan maka intention to leave karyawan akan semakin rendah.
Loyalitas karyawan PT XYZ terhadap pekerjaan atau karir yang dimiliki dapat diidentifikasi
dengan adanya keterikatan emosional karyawan pada pekerjaan atau karirnya. Keterikatan
emosional tersebut menimbulkan motivasi di dalam diri karyawan untuk konsisten pada
karirnya. Konsistensi pada karirnya juga dapat ditandai dengan adanya perencanaan karyawan
terhadap karir yang dimiliki untuk mencapai tujuan karir karyawan. Selain itu, konsistensi
karyawan pada pekerjaannya dapat dilihat dari bagaimana ketahanan karyawan dalam
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
14
menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul pada pekerjaannya. Ketahanan
tersebut juga berpengaruh pada kemampuan karyawan untuk menghadapi keadaan yang cepat
berubah. Adanya konsistensi dan loyalitas karyawan terhadap karirnya akan membuat
karyawan berkomitmen penuh pada karirnya di dalam perusahaan. Komitmen karir yang
penuh tersebut hanya bisa dicapai apabilai karyawan merasa puas terhadap apa yang diberikan
oleh perusahaan untuk mendukung karirnya. Bila karyawan merasa puas maka karyawan akan
cenderung tetap bertahan di dalam perusahaan.
Hipotesis 9 diterima menunjukkan bila karyawan memiliki komitmen organisasional
yang tinggi maka motivasi karyawan untuk mengikuti pelatihan akan semakin tinggi, begitu
juga sebaliknya. Adanya komitmen di dalam diri karyawan pada PT XYZ dapat ditandai
dengan keterlibatan karyawan pada program-program yang dijalankan oleh perusahaan.
Komitmen tersebut akan menimbulkan motivasi bagi karyawan untuk mengikuti kegiatan-
kegiatan PT XYZ di masa yang akan datang, khususnya pada kegiatan pelatihan. Karyawan
PT XYZ yang berkomitmen pada PT XYZ akan termotivasi untuk mengikuti pelatihan dalam
perusahaan karena karyawan PT XYZ merasa wajib untuk mengikuti pelatihan karena mereka
merupakan anggota dari PT XYZ. Motivasi tersebut juga muncul dari dalam diri karyawan
karena menganggap pelatihan tersebut merupakan pengorbanan bagi karyawan yang
diharapkan pada masa yang akan datang akan memberikan dampak yang baik bagi diri
karyawan.
Hasil hipotesis 10 sejalan dengan hasil penelitian dari Kang et al (2011). Semakin
tinggi komitmen karir karyawan maka motivasi karyawan untuk megikuti pelatihan akan
tinggi juga, begitu pula sebaliknya. Motivasi karyawan dalam mengikuti pelatihan berkaitan
dengan adanya keinginan karyawan untuk melakukan upward mobility karena pelatihan
menjadi salah satu tahapan dalam peningkatan karir karyawan tersebut sehingga mendapatkan
kekuasaan dan timbal balik seperti materi.. Selain itu, melalui pelatihan karyawan akan
mendapatkan penghargaan dari pihak lain, contohnya PT XYZ sendiri. Pelatihan juga dapat
menjadi bagian career planning karyawan PT XYZ dan dipersepsikan penting sebagai salah
satu sarana untuk pengembangan diri dan proyeksi karirnya di masa depan. Pelatihan juga
dapat menjadi sarana untuk melakukan assessment pribadi untuk memahami kebutuhan dan
peluang yang karyawan miliki pada karirnya pada saat ini dan pada masa yang akan datang.
Selain itu, pelatihan dapat menjadi sarana karyawan untuk mengatasi hambatan-hambatan
pada karirnya. Pentingnya pelatihan pada karir karyawan akan memotivasi karyawan untuk
mengikuti pelatihan yang disediakan oleh PT XYZ.
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
15
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data, ditemukan bahwa perceived external prestige dan
leader-member exchange quality terbukti mempengaruhi secara positif komitmen
organisasional dan komitmen karir karyawan PT XYZ. Selain itu, ditemukan bahwa
komitmen organisasional dan komitmen karir karyawan mempengaruhi secara negatif pada
intention to leave dan secara positif pada motivasi untuk mengikuti pelatihan pada karyawan
PT XYZ. Hanya ethical organizational climate yang ditemukan tidak signifikan pada
komitmen organisasional dan komitmen karir karyawan PT XYZ.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, salah satunya adalah penelitian ini
merupakan studi kasus menggunakan responden karyawan PT XYZ yang bekerja di kantor
Jakarta sebanyak 237 orang karyawan. Selain itu hasil analisis hanya berdasarkan pada hasil
kuesioner saja. Agar lebih akurat, dapat dikombinasikan dengan informasi tambahan dari PT
XYZ mengenai keadaan karyawan PT XYZ pada umumnya dan kondisi SDM pada sektor
asuransi jiwa. Dibutuhkan responden yang lebih banyak dan tersebar dari berbagai macam
jabatan dan divisi secara merata sehingga hasilnya tidak hanya bisa dilihat dari sisi
keseluruhan PT XYZ saja, namun pada tingkat divisi dan jabatan juga
Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi masukan
bagi PT XYZ. Sebagai perusahaan dengan reputasi yang baik dalam sektor asuransi jiwa, PT
XYZ sudah seharusnya terus meningkatkan kualitas dari bisnis utama dari PT XYZ sendiri.
Hal ini dibutuhkan agar PT XYZ dapat terus mendapatkan citra yang baik di sektor asuransi
jiwa dan industri asuransi secara keseluruhan. Citra yang baik ini tentunya akan berpengaruh
pada perceived external prestige dari karyawan PT XYZ sehingga dapat meningkatkan
komitmen organisasional dan komitmen karir karyawan. Hasil penelitian yang tidak
signifikan pada variabel ethical organizational climate pada komitmen organisasional dan
komitmen karir karyawan PT XYZ dapat menjadi landasan bagi PT XYZ untuk mengevaluasi
kembali persepsi karyawan mengenai ethical organizational climate PT XYZ. Meningkatkan
leader-member exchange quality pada atasan dan bawahan dalam PT XYZ juga perlu
diperhatikan dan dijaga karena cukup berpengaruh pada komitmen organisasional dan
komitmen karir karyawan. Peningkatan tersebut dapat dicapai dengan meningkatkan interaksi
di dalam dan di luar pekerjaan.
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
16
Selain dengan meningkatkan variabel-variabel penelitian yang terbukti memiliki
hubungan positif terhadap komitmen organisasional dan komitmen karir karyawan PT XYZ,
PT XYZ dapat mencari faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan komitmen organisasional
dan komitmen karir karyawan PT XYZ sehingga dapat mengurangi tingkat intention to leave.
Komitmen organisasional dapat ditingkatkan dengan menciptakan sense of belonging dan
menciptakan perasaan pentingnya memiliki karyawan. Sense of belonging tersebut didapatkan
dengan mengajak karyawan PT XYZ untuk berpartisipasi lebih dalam kegiatan-kegiatan PT
XYZ, seperti pada proses pengambilan keputusan perusahaan. Selain itu, komitmen
organisasional dapat ditingkatkan dengan meningkatkan rasa semangat dalam mengerjakan
pekerjaan mereka dengan memberikan pekerjaan yang dapat mengembangkan keterampilan
dan keahlian karyawan. Karyawan PT XYZ sudah memiliki komitmen karir yang tinggi.
Sebagai bentuk dukungan agar komitmen pada karirnya dapat terjaga dalam PT XYZ, PT
XYZ dapat memberikan kebebasan bagi karyawan untuk membuat career planning. Lalu PT
XYZ juga dapat mendukung dan memfasilitasi karyawannya untuk mengembangkan karir di
dalam PT XYZ.
Dalam rangka mengurangi tingginya intention to leave karyawan PT XYZ, PT XYZ, PT
XYZ sebaiknya mencari penyebab-penyebab intention to leave akryawan tersebut. Penyebab-
penyebab tersebut mungkin dapat berupa job stress, kepuasan kerja, motivasi kerja, emotional
exhaustion, dan lain sebagainya. Berdasarkan analisi deskriptif yang telah dilakukan dan data
sekunder, sebagian besar karyawan PT XYZ merupakan generasi Y yang lahir tahun 1980-
1994. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa umur, dalam konteks ini generasi, dapat
mempengaruhi intention to leave karyawan. Tingkat intention to leave yang tinggi khususnya
pada generasi Y dapat disebabkan mereka masih memiliki keinginan untuk mencari
pengalaman dengan mencoba berbagai macam pekerjaan. Hal ini didukung oleh tingkat
keyakinan diri yang tinggi dalam proses percobaan tersebut dan alternatif pekerjaan yang
cukup banyak. Pada generasi Y, PT XYZ dapat memberikan benefit-benefit tambahan dan
tingkat gaji yang lebih tinggi dari pasaran untuk retain talent yang berpotensial sebagai salah
satu bentuk retensi karyawan. Pada umumnya, motivasi untuk mengikuti pelatihan pada
karyawan PT XYZ sudah tinggi. Sebagai bentuk dukungan tambahan selain jam pelatihan
yang sudah cukup banyak, PT XYZ dapat menampung aspirasi karyawan mengenai pelatihan
selanjutnya dan apa motivasi terbesar karyawan dalam mengikuti pelatihan.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan tambahan pada perusahaan-
perusahaan dalam industri asuransi, khususnya sektor asuransi jiwa, karena pada umumnya
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
17
perusahaan dalam industri ini memiliki permasalahan yang sama, yaitu intention to leave
yang tinggi dan komitmen organisasional yang rendah.
Saran
Terdapat beberapa saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu :
1. Menambah waktu untuk penelitian agar kuesioner dapat tersebar lebih banyak dan
merata.
2. Jika memungkinkan, pengisian kuesioner diawasi sehingga apabila ada yang kurang
jelas dapat ditanyakan dan tidak diisi secara asal.
3. Mencari referensi lain sehingga dapat menambahkan variabel yang belum
dimasukkan dalam penelitian ini.
4. Sebaiknya setelah hasil penelitian didapatkan, peneliti melakukan wawancara
terhadap pihak-pihak terkait dalam perusahaan yang berhubungan dengan topik yang
diambil serta kondisi SDM pada sektor asuransi jiwa khususnya, sehingga analisis,
saran, dan implikasi manajerial yang diberikan dapat lebih akurat.
Daftar Referensi
Ahmad, K. Z., & Bakar, R. A. (2003). The association between training and organizational commitment among white-collar workers in Malaysia.International Journal of Training and Development, 7, 166-185.
Allen, N. J., & Meyer, J. P. (1990). The measurement and antecedents of affective, continuance and normative commitment to the organization. Journal of occupational psychology, 63(1), 1-18.
Bartlett, K.R. (2001), “The relationship between training and organizational commitment: A study in the health care field”, Human Resource Development Quarterly, Vol. 12 No. 4, pp. 335-52.
Beier, M. E., & Kanfer, R. (2010). Motivation in training and development: A phase perspective. Learning, training, and development in organizations, 65-97.
Cheng, E.W.L. and Ho, D.C.K. (2001), “The influence of job and career attitudes on learning motivation and transfer”, Career Development International, Vol. 6 No. 1, pp. 20-28.
Dienesch, R. M., & Liden, R. C. (1986). Leader-member exchange model of leadership: A critique and further development. Academy of management review, 11(3), 618-634.
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
18
Egan, T. M., Yang, B. and Bartlett, K. R. (2004), The effects of organizational learning culture and job satisfaction on motivation to transfer learning and turnover intention. Human Resource Development Quarterly, 15: 279–301.
Fauzy, A. (2015, June 23). Inilah 10 Market Leader Asuransi Jiwa Berdasarkan Premi. Retrieved July 10, 2015 from infobanknews.com site: http://infobanknews.com/2015/06/inilah-10-market-leader-asuransi-jiwa-berdasarkan-premi/145748/
Kang, D. S., Stewart, J., & Kim, H. (2011). The effects of perceived external prestige, ethical organizational climate, and leader-member exchange (LMX) quality on employees' commitments and their subsequent attitudes. Personnel Review, 40(6), 761-784.
Kusumawardhani, A. (2015, June 6). AAJI Pangkas Prediksi Pertumbuhan Asuransi Jiwa Tahun Ini. Retrieved July 8, 2015 from bisnis.com site: http://finansial.bisnis.com/read/20150606/215/440790/aaji-pangkas-prediksi-pertumbuhan-asuransi-jiwa-tahun-ini
Malhotra, N. K. (2010). Marketing Research: An Applied Orientation, 5/E. Pearson Education
Mangalandum, R.S. (2013, May 23). Kebersamaan Karyawan PT XYZ Luar Biasa. Retrieved July 10, 2015 form swa.co.id site: http://swa.co.id/business-strategy/management/kebersamaan-karyawan-PTXYZ-luar-biasa
Masterson, S. S., Lewis, K., Goldman, B. M., & Taylor, M. S. (2000). Integrating justice and social exchange: The differing effects of fair procedures and treatment on work relationships. Academy of Management journal, 43(4), 738-748.
Radjasa, S. (2012, May 21). Hidden Cost of Employee Turnover. Retrieved July 10, 2015 from portalhr.com site: http://www.portalhr.com/komunitas/opini/ hidden-cost-of-employee-turnover/
Robbins, S., Judge, T. A. (2011). Organisational behaviour. Pearson Higher Education AU.
Schwepker, C. H. (2001). Ethical climate's relationship to job satisfaction, organizational commitment, and turnover intention in the salesforce. Journal of business research, 54(1), 39-52.
Smidts, A., Pruyn, A. T. H., & Van Riel, C. B. (2001). The impact of employee communication and perceived external prestige on organizational identification.Academy of Management journal, 44(5), 1051-1062.
Sturges, J., Conway, N., Guest, D., & Liefooghe, A. (2005). Managing the career deal: The psychological contract as a framework for understanding career management, organizational commitment and work behavior. Journal of Organizational Behavior, 26(7), 821-838.
Vandenberg, R. J., & Scarpello, V. (1994). A longitudinal assessment of the determinant relationship between employee commitments to the occupation and the organization. Journal of Organizational Behavior, 15(6), 535-547.
Victor, B., & Cullen, J. B. (1987). A theory and measure of ethical climate in organizations. Research in corporate social performance and policy, 9(1), 51-71.
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015
19
Walumbwa, F. O., Mayer, D. M., Wang, P., Wang, H., Workman, K., & Christensen, A. L. (2011). Linking ethical leadership to employee performance: The roles of leader–member exchange, self-efficacy, and organizational identification. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 115(2), 204-213.
Wibowo, T.S. (2012). Kajian Literatur Perbedaan Budaya dan Iklim Organisasi. Jurnal Dosen Digital Library Unipasby, 29-42.
Wijanto, S. H. (2008). Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8: Konsep dan Tutorial. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Pengaruh perceived ..., Winony Mutiara, FEB UI, 2015