Pengaruh Pemberian Ikan Teri Nasi Terhadap Jumlah Osteosit … · 2019-08-02 · 1 pengaruh...
Transcript of Pengaruh Pemberian Ikan Teri Nasi Terhadap Jumlah Osteosit … · 2019-08-02 · 1 pengaruh...
Universitas Sumatera Utara
Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id
Fakultas Kedokteran Gigi Tesis Magister
2019
Pengaruh Pemberian Ikan Teri Nasi
Terhadap Jumlah Osteosit dan
Kepadatan Tulang Alveolar Rahang
Bawah pada Tikus Wistar Putih (Rattus norvegicus)
Astrina, Ika
Universitas Sumatera Utara
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/10800
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
1
PENGARUH PEMBERIAN IKAN TERI NASI TERHADAP JUMLAH OSTEOSIT DAN KEPADATAN TULANG
ALVEOLAR RAHANG BAWAH PADA TIKUS WISTAR PUTIH (Rattus norvegicus)
TESIS
IKA ASTRINA NIM. 157028001
PROGRAM MAGISTER (S-2) ILMU KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2 0 1 9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
PENGARUH PEMBERIAN IKAN TERI NASI TERHADAP JUMLAH OSTEOSIT DAN KEPADATAN TULANG
ALVEOLAR RAHANG BAWAH PADA TIKUS WISTAR PUTIH (Rattus norvegicus)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister (M.DSc)
Dalam Bidang Ilmu Kedokteran Gigi Pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
IKA ASTRINA NIM. 157028001
PROGRAM MAGISTER (S-2) ILMU KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2 0 1 9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
Tanggal Lulus : 19 Maret 2018
Telah diuji
Pada Tanggal : 19 Maret 2018
PANITIA PENGUJI TESIS :
Ketua : Dr. Ameta Primasari, drg.,MDSc.,M.Kes
Anggota : 1. Dr. dr. Dina Keumala Sari, M.Gizi.,Sp.GK
2. Prof. Nazruddin, drg.,C.Ort.,Ph.D.,Sp.Ort.(K)
3. Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed
4. Dr. Saharman Gea, S.Si.,M.Si
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
PERNYATAAN
PENGARUH PEMBERIAN IKAN TERI NASI TERHADAP JUMLAH OSTEOSIT DAN KEPADATAN TULANG
ALVEOLAR RAHANG BAWAH PADA TIKUS WISTAR PUTIH (Rattus norvegicus)
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan didalam daftar pustaka.
Medan, Januari 2019
Ika Astrina
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
ABSTRAK
Latar Belakang: Ikan teri nasi (Stolephorus sp.) merupakan salah satu sumber kalsium terbaik. Kalsium berperan sangat penting dalam pembentukan dan stabilitas tulang alveolar agar fungsi dan manfaat tulang alveolar menjadi optimal. Ikan teri nasi dapat diajukan sebagai asupan yang berguna untuk pertumbuhan tulang dan gigi serta mencegah pengeroposan tulang. Tulang merupakan jaringan hidup yang terdiri atas materi antarsel berkapur, yaitu matriks tulang dan tiga jenis sel: osteosit, osteoblas, dan osteoklas. Osteosit adalah sel osteoblas yang terkubur dalam lakuna dan termineralisasi dalam matriks tulang dengan morfologi stellate. Metode penelitian: Jenis penelitian adalah eksperimental laboratoris. Sampel terdiri dari dua puluh empat ekor tikus Wistar putih (Rattus norvegicus) yang dibagi menjadi empat kelompok, setiap kelompok terdiri dari 6 ekor tikus. Masing-masing kelompok yaitu P1 tikus Wistar putih (Rattus norvegicus) yang diberi pakan standar dan makan ikan teri nasi sebesar 0,3 ml, P2 tikus Wistar putih yang diberi pakan standar dan makan ikan teri nasi sebesar 0,5 ml, P3 tikus Wistar putih yang diberi pakan standar dan makan ikan teri nasi sebesar 0,7 ml dan kelompok K (kontrol) hanya diberi pakan standar, penelitian ini berlangsung selama 30 hari. Hasil Penelitian: Ada pengaruh ikan teri nasi terhadap jumlah osteosit dan kepadatan tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan. Pemberian ikan teri nasi selama 30 hari berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah osteosit tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar dibandingkan dengan pemberian pakan standar, dengan nilai p=0,01 (p<0,05). Kesimpulan: Pemberian ikan teri nasi meningkatkan jumlah osteosit dan kepadatan tulang alveolar. Kata Kunci: ikan teri nasi, kalsium, osteosit, kepadatan tulang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
ABSTRACT
Background: Anchovy (Stolephorus sp.) is one of the best calcium resources. Calcium plays an important role in the formation and stabilization of alveolar bone so that its function and use are optimal. Anchovies can be recommended to be consumed as it is useful for bone and tooth growth and capable of preventing osteoporosis. Bone is living tissues consisting of calcium intracellular material such as bone matrix and three kinds of cells, namely osteocyte, osteoblast and osteoclaclast. Osteocyte is the osteoblast buried in lacuna and mineralized in bone matrix by stellate morphology. Method: This is a laboratorial experimental research. The samples consisted of twenty four white Wistar rats (Rattus norvegicus) classified into four groups consisting of six rats each. The groups were P1 with the intake of standard food and 0.3 ml of anchovies, P2 with the administration of standard food and 0.5 ml of anchovies, P3 with the intake of standard food and 0.7 ml of anchovies, and K (control group) with the administration of only given standard food to the white Wistar rats (Rattus norvegicus). This research was conducted for 30 days. Results: Anchovy influenced the amount of osteocyte and alveolar bone density of the male Wistar rats’ mandibles. The intake of anchovies for 30 days had a significant influence on the amount of osteocyte in alveolar bone of the Wistar rats’ mandibles compared to the intake of standard food, with p value = 0.01 (p<0.05). Conclusion: The administration of anchovies increased the amount of osteocyte and alveolar bone density. Keywords: anchovy, calcium, osteocyte, bone density.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Ika Astrina
Tempat/Tanggal Lahir : Bangun Purba/28 Maret 1988
Alamat : Jalan Perintis Kemerdekaan No. 3 Bangun Purba
No. Telp : 081262471350
e-mail : [email protected]
Pendidikan Formal
Sekolah Dasar : SD Negeri 1 Bangun Purba
Sekolah Menengah Pertama : SMP Negeri 1 Bangun Prurba
Sekolah Menengah Atas : SMA Negeri 1 Bangun Purba
Perguruan Tinggi : Pendidikan Dokter Gigi dan Profesi Dokter Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara
Publikasi Ilmiah
1. Astrina I, Bahar E, Nasution H, 2012. Pengaruh perendaman bahan basis
gigitiruan resin akrilik polimerisasi panas dalam ekstrak bonggol nanas queen dan
rebusan daun sirih terhadap perumbuhan candida albicans, Proceeding 1st MEDAN
INPRO Scientific Meeting (Medan International Prosthodontic Scientific Meeting),
Medan 30 Agustus -1 September 2012.
2. Astrina I, Hiperplasia gingiva (tinjauan pustaka). In: Prosiding
Kedokteran Gigi Pascasarjana Ilmu Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara, Medan 27-28 Mei 2016.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
segala kemudahan, petunjuk serta kemampuan untuk meyelesaikan tesis yang
berjudul “Pengaruh Pemberian Ikan Teri Nasi terhadap Jumlah Osteosit dan
Kepadatan Tulang Alveolar Rahang Bawah pada Tikus Wistar Putih ” sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Gigi dari Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Penulis juga tak lupa mengucapkan
shalawat beriring salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dan
rahmat semesta alam.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua
orang tua tercinta, yaitu Bapak Johan Tampubolon dan Ibu Tuahtaras Bangun yang
telah membesarkan, memberikan kasih sayang yang tak terbalas, doa, semangat dan
dukungan kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
Muhammad Harry Faisal sebagai suami yang telah banyak membantu dan
mendukung selama penyusunan tesis ini, Abang penulis Rustin Tampubolon, kakak
penulis Hilda Astralita, dan adik penulis Irwanta Tampubolon serta segenap
keluarga yang memberikan dukungan dan doa kepada penulis.
Selama menyelesaikan tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan,
bantuan dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan kerendahan hati
dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada Pembimbing Utama, Dr. Ameta Primasari, drg.,MDSc.,M.Kes yang
mengarahkan penulis terus-menerus memberikan dorongan dan membangkitkan
motivasi dan Pembimbing Anggota, Dr. dr. Dina Keumala Sari, M.Gizi.,Sp.GK
yang selalu bersedia memberikan waktu dalam bimbingan agar segera
menyelesaikan karya ilmiah dalam bentuk tesis ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh komisi penguji tesis
yang terus memberikan masukan maupun kritik yang sangat berharga sejak awal
penyusunan proposal sampai penyelesaian tesis ini, Prof. Nazruddin, drg.,C.Ort.,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
Ph.D.,Sp.Ort.(K) selaku Penguji dan Ketua Program Magister (S-2) Ilmu
Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah
banyak memberikan bimbingan, masukan dan dorongan semangat kepada penulis,
Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed selaku anggota panitia penguji yang telah
banyak meluangkan waktu, dukungan dan menambah wawasan keilmuan, sehingga
penelitian di laboratorium dapat terlaksana dengan baik serta Dr. Saharman Gea,
S.Si.,M.Si. selaku anggota panitia penguji yang telah memberikan saran
membangun serta menyediakan waktu ditengah kesibukan demi berbagi ilmu
kepada penulis.
Ucapan terima kasih juga penulisan sampaikan kepada Dr. Trelia Boel, drg.,
M.Kes.,Sp.RKG.(K), sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara atas arahan akademik. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada Lidya Irani Nainggolan, drg.,Sp.RKG sebagai Plt. Sekretaris
Program Studi Ilmu Kedokteran Gigi Fakultas kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara, yang juga telah memberikan dukungan dan saran yang membangun
dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
Kepala Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, dr. T. Ibnu Alferraly, M.Ked.(PA).,Sp.PA.,D.Bioet yang telah memberikan
izin dan memfasilitasi peneltian laboratorium, dr. Lidya Imelda Laksmi, Sp.PA,
dr.Lita Feriyawati, Sp.PA, serta kepada laboran Bang Gunawan, dan Ibu Syafia,
yang dengan penuh kesabaran mengajari, membimbing dan membantu penulis saat
melakukan pekerjaan laboratorium terkait penelitian ini. Dalam kesempatan ini,
penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Neviyanti, drg,M.Kes.,Sp.KG,
yang telah memberikan masukan yang bermanfaat kepada penulis ketika melakukan
penelitian.
Penulis secara khusus, juga mengucapkan terima kasih kepada Dayuni
Simarmata, drg yang telah banyak meluangkan waktu, membantu dan menambah
keilmuan penulis dalam penyusunan desain penelitian dan analisis data. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada staf administrasi Program Magister
Ilmu Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
Annisah Sitompul, SE yang telah memberikan motivasi dan siap membantu segala
kelengkapan akademis dan penulis juga berterimakasih kepada seluruh teman-teman
dan adik-adik yang sedang berjuang menuju gelar Magister Kedokteran Gigi yang
sudah berkontribusi banyak dalam tesis ini.
Penulis sangat menghargai semua saran dan kritik mengenai penulisan tesis ini
sebagai bahan penyempurnaan di masa mendatang. Semoga allah SWT memberikan
balasan terbaik atas setiap kebaikan yang telah diberikan oleh berbagai pihak kepada
penulis selama ini, serta senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada
kita semua.
Medan, Januari 2019
Penulis,
Ika Astrina
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ..................................................................................................... i ABSTRACT ................................................................................................... ii RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ iii KATA PENGANTAR .................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ix DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................ 5 1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 5 1.4.1 Manfaat Akademis ......................................................... 5 1.4.2 Manfaat Praktis .............................................................. 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 6 2.1 Tulang Alveolar ........................................................................ 6
2.1.1 Pengertian Tulang Alveolar ............................................. 6 2.1.2 Struktur Anatomi Tulang Alveolar .................................. 6
2.2 Kepadatan Tulang ..................................................................... 7 2.3 Osteosit ..................................................................................... 9 2.4 Kalsium (Ca) ............................................................................. 15
2.4.1 Metabolisme Kalsium ..................................................... 17 2.4.2 Mekanisme Absorpsi Kalsium ........................................ 18
2.5 Hal yang mempengaruhi Kepadatan Tulang............................. 19 2.5.1 Faktor Intrinsik................................................................ 20 2.5.2 Faktor Ekstrinsik ............................................................. 28
2.6 Ikan Teri (Stolephorus sp.) ....................................................... 31 2.6.1 Klasifikasi Ikan Teri ........................................................ 32 2.6.2 Kandungan Gizi Ikan Teri (Stolephorus sp.) ................... 32 2.6.3 Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.) ...................................... 33 2.6.4 Mekanisme Pembentukan Kalsium Pada
Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.) Medan ........................ 34 2.6.5 Sintesis Hidroksiapatit ................................................... 36 2.7 Tikus Putih (Rattus norvegicus) .............................................. 36 2.8 Kerangka Teori ....................................................................... 39
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
2.9 Kerangka Konsep .................................................................... 40 2.10 Hipotesis .................................................................................. 40
BAB 3. METODE PENELITIAN .................................................................. 41 3.1 Jenis dan Desain Penelitian ....................................................... 41 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 41 3.2.1 Lokasi Penelitian ............................................................. 41 3.2.2 Waktu Penelitian ............................................................. 41 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................... 41
3.3.1 Kriteria Sampel ............................................................... 41 3.3.2 Besar Sampel ................................................................. 42
3.4 Variabel dan Definisi Operasional ............................................ 42 3.4.1 Variabel Penelitian ......................................................... 42 3.4.2 Definisi Operasional ....................................................... 43
3.5. Etika Penelitian ......................................................................... 43 3.6 Metode Pengumpulan Data ...................................................... 44 3.7 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................ 44
3.7.1 Alat – Alat Penelitian ..................................................... 44 3.7.2 Bahan Penelitian ............................................................ 44
3.8 Pelaksanaan Penelitian .............................................................. 44 3.8.1 Hewan Coba ................................................................... 45 3.8.2 Pembuatan Sediaan Mikroskopis dan Observasi ............ 49
3.9 Analisis Data ............................................................................ 50 3.10 Prosedur Penelitian .................................................................. 51
BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Pengaruh Pemberian Ikan Teri Nasi Terhadap Jumlah Osteosit Tulang Alveolar Rahang Bawah pada Tikus Wistar Jantan Putih (Rattus norvegicus) .......................................................... 52 4.2 Pengaruh Pemberian Ikan Teri Nasi Terhadap Kepadatan Tulang Alveolar Rahang Bawah pada Tikus Wistar Jantan Putih (Rattus norvegicus) ......................................................... 55
BAB 5. PEMBAHASAN 5.1 Pengaruh Pemberian Ikan Teri Nasi Terhadap Jumlah Osteosit Tulang Alveolar Rahang Bawah pada Tikus Wistar Jantan Putih (Rattus norvegicus) .......................................................... 58 5.2 Pengaruh Pemberian Ikan Teri Nasi Terhadap Kepadatan Tulang Alveolar Rahang Bawah pada Tikus Wistar Jantan Putih Rattus norvegicus) ........................................................... 63
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 67 6.1 Kesimpulan ................................................................................. 67 6.2 Saran ........................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 69
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
2.1 Tulang Alveolar ...................................................................................... 6
2.2 Perbedaan diferensiasi osteoklas dan osteoblas ...................................... 11
2.3 Osteosit dan bagian jaringan tulang ........................................................ 13
2.4 Mekanisme transportasi kalsium epitel. .................................................. 18
2.5 Tingkat kepadatan tulang berdasarkan jenis kelamin dan usia ............... 20
2.6 Struktur hormon paratiroid ..................................................................... 26
2.7 Gambar ikan teri ..................................................................................... 32
2.8 Ikan teri nasi kering tawar yang digunakan dalam penelitian ................ 34
2.9 Tikus wistar jantan putih yang digunakan dalam penelitian .................. 38
3.1 Tikus wistar jantan putih (Rattus norvegics) diadaptasikan selam satu
Minggu di dalam kandang untuk penyesuaian ..................................... 45
3.2 Tikus wistar jantan putih ditempatkan pada kandang masing-masing
berisi 6 ekor tikus ................................................................................... 46
3.3 Cara pemberian makan infusa ikan teri pada tikus wistar jantan putih .. 47
3.4 Gambar 3.4 Proses persiapan pengambilan jaringan tulang mandibula.
(A) anastesi dengan menggunakan ketamine–xylazine dengan dosis
75–100 mg/kg + 5–10 mg/kg secara intraperitoneal dengan durasi
selama 10–30 menit. (B) pengambilan jaringan tulang mandibula
dengan scalpel atau gunting .................................................................... 48
3.5 Proses dekalsifikasi mandibula tikus Wistar jantan putih
(A). Pengambilan sampel mandibula tikus Wistar jantan putih
(B). Mandibula direndam dalam buffer formalin 10% selama 24 jam
(C). Mandibula didekalsifikasi dengan Plank-Rychlo’s Solution selama
empat hari................................................................................................ 49
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
4.1 A.Jumlah osteosit pada tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar
jantan putih yang diberi pakan standar ditambah ekstrak ikan teri nasi
kering tawar, dan B. Jumlah osteosit pada tulang alveolar rahang
bawah tikus Wistar jantan putih yang diberi pakan standar ...................... 3
4.2 A.Kepadatan tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih
yang diberi makan ekstrak ikan teri nasi kering tawar sebesar 0,5
ml(P2), dan B. Jumlah osteosit pada tulang alveolar rahang bawah
tikus Wistar jantan putih yang diberi pakan standar (K) ........................... 56
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
DAFTAR TABEL
No. Halaman 2.1 Angka kecukupan kalsium menurut angka kecukupan gizi tahun 2004 .... 29
2.2 Komposisi Ikan Teri .................................................................................. 33
2.3 Data biologi tikus wistar (Rattus norvegicus) ............................................ 37
4.1 Rerata Jumlah osteosit tulang alveolar rahang bawah dalam 5 lapang
pandang pada kelompok P1, P2, P3 dan kontrol ....................................... 52
4.2 Rerata dan simpangan baku jumlah osteosit tulang alveolar rahang
bawah tikus Wistar dengan pemberian makan standar (K) dan
pemberian ekstrak ikan teri nasi sebanyak 0,3 ml (P1), 05 ml (P2),
dan 0,7ml (P3) (p<0,05) ............................................................................ 54
4.3 Perbedaan masing-masing kelompok dalam jumlah osteosit tulang
alveolar rahang bawah tikus Wistar dengan pemberian makan ekstrak
ikan teri nasi kering tawar dan pakan standar ........................................... 54
4.4 Rerata Kepadatan tulang alveolar rahang bawah dalam 5 lapang
pandang pada kelompok P1,P2,P3 dan Kontrol ........................................ 55
4.8 Rerata dan simpangan baku kepadatan tulang alveolar rahang bawah
tikus Wistar dengan pemberian makan standar (K) dan pemberian
ekstrak ikan teri nasi sebanyak 0,3 ml (P1), 05 ml (P2), dan 0,7ml(P3) .. 56
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Surat rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan ......................... 73
2. Surat keterangan telah melakukan penelitian di Laboratorium
Biologi, FMIPA Universitas Sumatera Utara ............................................ 74
3. Surat keterangan telah melakukan penelitian di Laboratorium
Patologi Anatomi, FK Universitas Sumatera Utara Utara ........................ 75
4. Lampiran uji statistik ................................................................................ 76
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
DAFTAR SINGKATAN
BMPs : Bone Morphogenic Proteins
CCR-2 : C-C Chemokine Receptor type-2
CSF-1 : Colony-stimulating factor
Cx43 : Connexin 43 (),
DHCC : Dihydroxycholecalciferol
DEXA : Dual Energy X-Ray Absorptiometry
ER : Estrogen Receptor
ERa : Estrogen Receptor alpha
ERb : Estrogen Receptor betha
ERRa : Estrogen Receptor-Related Receptor alpha
FGF : Fibroblast Growth Factor
GF : Growth Factor
GS : Glycine-serine
HA : Hidroksiapatit
HE : Harris Hematoxylin-Eosin
IL-1 : Interleukin-1
IL-6 : Interleukin-6
KKP : Kementerian Kelautan dan Perikanan
MiRNAs : Micro RNAs
NCX1 : NA+/Ca2+ exchanger 1
NFATc1 : Nuclear Factor of Activated T Cells
OPG : Osteoprotegerin
PDGF : Platelet-Derived Growth Factor
PMCA1b : Plasma membrane Ca2+-ATPase
PTH : Parathyroid Harmone
PTHrP : Paratiroid and Tiroid Hormon related protein
QUS : Quantitative Ultrasound
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
QCT : Quantitative Computed Tomography
RANKL : Receptor Activator of Nuclear Factor Kappa B Ligand RANK
: Receptor Activator of Nuclear Factor Kappa B
RER : Rough Endoplasmic Reticulum
RUNX2 : Runt related transcription
SPA : Single Photon Absorptiometry
SXA : Single Energy X-Ray Absorptiometry
TNF-a : Tumor Necrosis Factor-alpha
TGF-b : Transforming Growth Factor betha
TGF-β : Transforming Growth Factor β
TRANCE : TNF-Releted Activation Induced Cytokine
TRPV : Transient Receptor Potential Vanilloid family calcium channel
VDR : Vitamin D Receptor
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tulang merupakan bagian terkeras dari tubuh yang menempati kurang lebih
seperenam dari berat tubuh dengan dua unsur penyusun utama yaitu kalsium dan
fosfat, yang terikat dalam lempengan kristal hexagonal apatite berupa ikatan hidroxy
apatite dengan rumus kimia [Ca10(PO4)6(OH)2]. Penggabungan hidroxy apatite
tulang dengan jaringan kolagen tulang membentuk kekerasan dan kelenturan tulang
sehingga kekerasan yang didapat tidak kaku dan rapuh (Ratih dkk, 2013).
Tulang adalah jaringan hidup yang terdiri atas materi antar sel berkapur, yaitu
matriks tulang dan tiga jenis sel: osteosit, osteoblas, dan osteoklas (Junqueira,
2007). Osteosit dan osteoblas diketahui mempunyai kalsium fosfat yang berikatan
dengan protein atau glikoprotein, suatu indikasi kemampuan untuk melakukan
kalsifikasi matriks. Osteosit merupakan sel yang terletak di dalam matriks tulang,
berasal dari sel induk mesenkim melalui diferensiasi osteoblas. Selama diferensiasi
dari osteoblas menjadi osteosit dewasa, sel kehilangan sebagian besar organel sel
mereka. Proses sel tersebut dikemas dengan mikrofilamen serta melibatkan
perubahan morfologi seperti ukuran diameter sel, peningkatan proses intraseluler,
dan perubahan dalam organel-organel intraseluler (Djuwita dkk, 2012).
Jaringan tulang bersifat dinamis karena secara konstan mengalami remodeling.
Remodeling tulang ditujukan untuk pengaturan homeostatis kalsium, memperbaiki
jaringan yang rusak akibat pergerakan fisik, kerusakan minor karena faktor stres
dan pembentukan kerangka pada masa pertumbuhan (Hill, 1998; Fernandez dkk.,
2006). Ketidakseimbangan antara resorpsi dan pembentukan tulang pada proses
remodeling tulang dapat mengakibatkan kepadatan tulang berkurang sehingga dapat
menimbulkan penyakit metabolik tulang (Seeman, 2003; Djikstra-Appelman, 2015).
Berkurangnya kepadatan sel tulang dapat diakibatkan oleh berkurangnya jumlah
osteosit atau kurangnya kadar mineral, namun keduanya dapat mengakibatkan
kerapuhan tulang (Manolagas, 2000).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
Mandibula merupakan tempat melekatnya gigi geligi. Didalam mandibula
terdapat struktur yang berperan sebagai penyangga gigi geligi, salah satunya adalah
tulang alveolar. Stabilitas tulang alveolar sangat diperlukan dalam bidang
kedokteran gigi karena mempengaruhi keberhasilan perawatan kedokteran gigi.
Kualitas tulang perlu ditingkatkan untuk memelihara serta menjaga stabilitas tulang
alveolar dan mengurangi risiko resorbsi, dengan mempertahankan kadar mineral
tulang, misalnya kalsium untuk proses kalsifikasi (Madhavan, 2014). Kalsifikasi
adalah proses mengerasnya jaringan organik karena pengendapan, diantaranya
kalsium dan fosfor, pada jaringan osteoid sehingga terbentuk tulang. Kalsium
berperan sangat penting dalam pembentukan dan stabilitas tulang alveolar agar
fungsi dan manfaat tulang alveolar menjadi optimal (Omami, 2016).
Kalsium adalah mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Sekitar 99
persen total kalsium dalam tubuh ditemukan dalam jaringan keras terutama dalam
bentuk hidroksiapatit, namun hanya sebagian kecil yang terdapat dalam plasma
cairan ekstravaskuler (Bolland dkk, 2015). Kalsium mempunyai peran penting di
dalam tubuh, yaitu dalam pembentukan tulang dan gigi; dalam pengaturan fungsi sel
pada cairan ekstraselular dan intraselular yaitu untuk transmisi saraf, kontraksi otot,
penggumpalan darah, dan menjaga permebilitas membran sel. Tersedianya kalsium
di dalam tubuh berasal dari beberapa bahan makanan yang dikonsumsi yang menjadi
sumbernya. Selanjutnya unsur kalsium ini disimpan dalam jaringan spons tulang
(Hoenderop dkk, 2005). Sumber kalsium terbagi dua, yaitu kalsium alami dan
kalsium sintetis. Kalsium alami berasal hewani dan nabati, sedangkan kalsium
sintetis berupa suplemen kalsium. Umumnya, kalsium dari sumber-sumber makanan
diabsorbsi lebih baik daripada yang berasal dari suplemen. Kebutuhan kalsium
setiap individu berbeda pada masing-masing usia. Asupan kalsium yang kurang dari
kebutuhan dapat menyebabkan penurunan kepadatan tulang (Chen dkk, 2002 ; Rose
dkk, 2011).
Kepadatan tulang atau densitas adalah kandungan mineral tulang pada suatu
area tulang dengan satuan bentuk gram persentimeter persegi tulang (Prasetyastuti,
2010). Selain asupan nutrisi mineral seperti kalsium, ada beberapa faktor yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
dapat mempengaruhi kepadatan tulang yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor
intrinsik dipengaruhi oleh jenis kelamin, genetik dan hormon, sedangkan faktor
ekstrinsik disebabkan oleh vitamin D dan aktivitas fisik (Wilkins, 2007; Rittwegger,
2006).
Sebagian penduduk Indonesia mempunyai risiko kekurangan kalsium karena
konsumsi susu sebagai sumber utama kalsium berhenti sekitar usia 2-5 tahun,
sehingga dapat diasumsikan kepadatan tulang optimal (optimal bone density) dan
massa tulang optimal tidak tercapai. Kalsium tidak hanya terkandung dalam susu,
tetapi makanan lain seperti sup tulang, sayuran hijau seperti bayam, buah-buahan,
kacang-kacangan, ikan salmon, dan ikan teri. Ikan teri adalah makanan sumber
kalsium yang baik (Shankar, 2013). Sayur-sayuran hijau, kacang-kacangan, tahu dan
tempe merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan ini mengandung
banyak zat yang dapat mengahambat penyerapan kalsium seperti serat, asam fitrat
dan asam oksalat (Hardinsyah dkk, 2008).
Berdasarkan Nutry Survey Indonesia, kandungan kalsium ikan teri lebih tinggi
dari pada susu. Kandungan lain yang menonjol dari ikan teri merupakan kandungan
energinya, yaitu protein 7% dan lemak 26%. Berdasarkan data Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) ¾ (tiga perempat) wilayahnya adalah perairan laut,
yang terdiri atas laut pesisir, laut lepas, teluk, dan selat, dengan luas perairan 5,8 juta
km² dengan potensi sumberdaya perikanan tangkap 6,4 juta ton per tahun (Ramlan,
2016). Salah satu potensi perikanan laut di Indonesia adalah ikan teri. Ikan teri
menempati posisi penting diantara 55 spesies ikan yang memiliki nilai ekonomis
setelah ikan layang, kembung, lemuru, tembang dan tongkol. Data dirjen perikanan
menunjukkan adanya kenaikan produksi ikan teri sebesar 11,73% selama tahun
1990-1993 (Direktorat Jendral Perikanan, 1995). Pemasok ikan teri atau
distributornya berasal dari daerah Belawan, Tanjung Balai, Asahan, Ledong Batu
Bara dan Sibolga.
Ikan teri nasi (Stolephorus sp.) merupakan ikan teri khas kota Medan dengan
beberapa kandungan kimia yakni mengandung kalsium yang cukup tinggi, protein,
mineral, vitamin dan zat gizi lainnya yang sangat bermanfaat untuk kesehatan dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
kecerdasan. Protein ikan teri nasi (Stolephorus sp.) mengandung beberapa macam
asam amino essensial. Ikan teri nasi (Stolephorus sp.) merupakan salah satu sumber
kalsium terbaik. Kalsium pada ikan teri berguna untuk mencegah pengeroposan
tulang, pertumbuhan tulang dan gigi serta mempunyai efek yang menenangkan.
Kalsium ikan teri dapat melancarkan hubungan antara sel yang menurun pada saat
seseorang menderita stress dan depresi serta mengendalikan tekanan darah
(Aryati,2014). Keunggulan ikan teri nasi dibandingkan dengan ikan lainnya adalah
bentuk tubuhnya yang kecil sehingga mudah dan praktis dikonsumsi oleh semua
umur. Ikan teri nasi (Stolephorus sp.) merupakan salah satu ikan favorit karena
mulai dari kepala, daging sampai tulangnya dapat langsung dikonsumsi. Ikan teri
nasi selain mudah didapat dan dikonsumsi masyarakat juga mengandung mineral-
mineral pendukung tulang. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut tentang
pengaruh konsumsi ikan teri nasi terhadap jumlah osteosit dan kepadatan tulang
alveolar rahang bawah pada tikus Wistar jantan putih (Rattus norvegicus).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas timbul suatu permasalahan:
a. Apakah pemberian ikan teri nasi (Stolephorus sp.) dapat meningkatkan
jumlah osteosit tulang alveolar rahang bawah pada tikus Wistar jantan putih (Rattus
norvegicus)?
b. Apakah pemberian ikan teri nasi (Stolephorus sp.) dapat meningkatkan
kepadatan tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih (Rattus
norvegicus)?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan peran ikan teri nasi (Stolephorus
sp.) dalam pembentukan tulang alveolar rahang bawah pada tikus Wistar jantan
putih (Rattus norvegicus).
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk membuktikan peran ikan teri nasi (Stolephorus sp.) dalam
meningkatkan jumlah osteosit tikus Wistar jantan putih (Rattus norvegicus).
b. Untuk membuktikan peran Ikan teri nasi (Stolephorus sp.) dalam
meningkatkan kepadatan tulang tikus Wistar jantan putih (Rattus norvegicus).
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan peran ikan teri nasi
(Stolephorus sp.) dalam meningkatkan jumlah osteosit dan kepadatan tulang .
1.4.2 Manfaat Praktis
Dengan diketahui pengaruh ikan teri nasi (Stolephorus sp.) terhadap jumlah
osteosit dan kepadatan tulang alveolar maka diharapkan Ikan teri nasi (Stolephorus
sp.) sehari-hari dapat digunakan sebagai alternatif penguat tulang yang murah dan
mudah didapat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tulang Alveolar
2.1.1 Pengertian Tulang Alveolar
Tulang alveolar (alveolar bone) atau prosesus alveolaris adalah bagian dari
jaringan periodontal yang merupakan tempat melekatnya sementum dengan adanya
ligamen dan berfungsi membentuk dan mendukung soket gigi/alveoli (Niculescu
dkk, 2001).
Gambar 2.1. Gigi Molar dengan bagian tulang alveolar (Niculescu dkk, 2001).
2.1.2 Struktur Anatomi Tulang Alveolar
Tulang alveolar memiliki kandungan 60% material anorganik berupa kristal
hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2], 25% material organik, dan 15% air. Kandungan
kristal hidroksiapatit pada tulang alveolar sama seperti yang ditemukan pada enamel
dan dentin dalam jumlah yang lebih besar, dan hampir sama jumlahnya dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
kristal hidroksiapatit pada sementum. Perkembangan tulang alveolar tergantung dari
pembentukan akar gigi (Garrant, 2003).
Pada masa fetus tulang alveolar dibentuk melalui proses ossifikasi
intramembranous yang terdiri dari matriks terkalsifikasi dengan osteosit yang berada
di dalam suatu ruang yang dinamakan lakuna (lacunae). Komposisi utama bahan
anorganik tulang alveolar antara lain kalsium, fosfat, hidroksil, karbonat, sitrat,
natrium, magnesium dan fluor (Wagner, 2012). Garam mineral dijumpai dalam
bentuk kristal-kristal hidroksiapatit yang sangat halus Sedangkan matriks organik
tulang alveolar terdiri dari kolagen tipe-I sekitar 90 % dan sejumlah kecil
fosfoprotein dan proteoglikans. Tulang alveolar terdiri atas tiga bagian, yaitu:
a. Plat tulang vestibular atau eksternal dari tulang kortikal yang dibentuk oleh
tulang haversian dan lamela tulang yang kompak.
b. Dinding soket berupa tulang kompak tipis yang dinamakan tulang alveolar
utama.
c. Trabekula kanselous yang berada diantara kedua lapisan tulang di atas dan
berperan sebagai tulang alveolar pendukung (Nurul, 2016; Ardan,2011).
2.2 Kepadatan Tulang
Densitas tulang atau kepadatan tulang adalah kandungan mineral tulang pada
suatu area tulang dengan satuan bentuk gram persentimeter persegi tulang.
Kepadatan tulang bergantung dari jumlah kalsium, fosfor, mineral yang terkandung
dalam tulang. Kadar kalsium dan fosfat serum merupakan salah satu indeks biokimia
yang mencerminkan kepadatan mineral dalam tulang yang didominasi oleh kalsium
(Prasetyastuti, 2010; Seeman, 2008).
Kekuatan tulang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas tulang. Kuantitas yaitu
kepadatan tulang sedangkan kualitas yaitu ukuran (massa) tulang, kandungan
mineral dan mikroarsitektur tulang. Berkurangnya kepadatan sel tulang dapat
diakibatkan oleh osteosit atau kurangnya kadar mineral, namun keduanya
mengakibatkan kerapuhan tulang (Djuwita dkk, 2012). Adanya ketidakseimbangan
antara jumlah kalsium yang diserap dan jumlah kalsium yang dilepas dalam jangka
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
waktu lama, dapat menyebabkan persediaan kalsium di dalam tulang akan menipis
yang mengakibatkan rendahnya massa dan kepadatan tulang (Ross dkk, 2011 ;
Peacock 2010).
Kepadatan tulang meningkat pesat sampai remaja, dan berjalan lambat sampai
usia 35 dan kemudian mendatar dan menurun. Kepadatan tulang paling sering
diukur di tulang belakang, pinggul, lengan, pergelangan tangan dan tumit untuk
mendeteksi dan mendiagnosis osteoporosis. Kepadatan mineral tulang Bone Mineral
Density (BMD) digunakan dalam kedokteran klinis sebagai indikator tidak langsung
dari osteoporosis dan risiko patah tulang (Wilkins, 2007). Kepadatan tulang medis
akan dihitung sebagai massa per volume. Hal ini diukur dengan prosedur yang
disebut densitometri, sering dilakukan dalam radiologi atau departemen kedokteran
nuklir rumah sakit atau klinik (Kawiyana, 2009). Pengukuran tidak menimbulkan
rasa sakit dan non-invasif dan melibatkan paparan radiasi yang rendah. Pengukuran
yang paling sering dilakukan melalui tulang belakang lumbar dan di atas bagian atas
pinggul (Cole, 2008; Forstein dkk.,2013).
Ketidakseimbangan antara resorpsi dan pembentukan tulang pada proses
remodeling tulang dapat mengakibatkan kepadatan tulang berkurang sehingga
menimbulkan penyakit metabolik tulang (Seeman, 2003; Djikstra-Appelman, 2015).
Penurunan densitas tulang rahang menyebabkan tulang penyokong gigi kurang
adekuat, sehingga gigi tidak dapat bertahan lama dalam soket dan terjadi gangguan
pengunyahan (Aryati dkk, 2014). Proses diferensiasi osteoblas merupakan salah satu
faktor penting dalam proses remodeling tulang. Proses proliferasi dan diferensiasi
osteoblas diatur oleh faktor pertumbuhan (growth faktor) yang dihasilkan oleh
osteoblas. Growth faktor yang berperan diantaranya Insulin Growth Faktor (IGF I
dan II), Bone Morphogenic Proteins (BMPs), Fibroblast Growth Faktor (FGF), dan
Platelet-Derived Growth Faktor (PDGF) (Chen dkk., 2004; Odendaal- Franz, 2006)
yang bekerja secara autokrin dan parakrin, serta hormon estrogen (Hofbauer dkk.,
1999; Heino, 2008; Dallas, 2011; Bellido, 2014).
Pengukuran pengeroposan tulang biasanya dilakukan foto rontgen Dual
Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA), Single Energy X-Ray Absorptiometry
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
(SXA) dan Single Photon Absorptiometry (SPA), Quantitative Ultrasound (QUS),
Quantitative Computed Tomography (QCT) (Cosman, 2014; Wilkins, 2007;
Kawiyana, 2009). Selain pengukuran dengan sinar-X, pemeriksaan resorpsi tulang
juga dapat diamati berdasarkan histopatologis dengan pengecatan Harris
Hematoxylin-Eosin (HE) menggunakan mikroskop Olympus BX51 dengan
perbesaran 100x dilanjutkan 400x dan mengukur ketebalan struktur trabekulaenya
(Pratomo dkk., 2012). Pengukuran ketebalan trabekula pada tulang mandibula tikus
juga dilakukan secara histomorfometri dengan pengecatan Trikrom (Maysitha,
2006).
Histomorfometri tulang merupakan pengukuran untuk menilai sel dan struktur
dari tulang yang dilakukan secara histologis dan suatu teknik yang esensial untuk
dapat memahami mekanisme tingkatan jaringan dari fisiologi tulang. Pada manusia,
prosedur tersebut paling sering dicadangkan untuk menilai patologi karena
pengumpulan sampel bersifat invasif.
Penilaian histologis tulang dari laboratorium hewan lebih mudah dilakukan
koleksi jaringan dan digunakan sebagai pengukuran dalam penelitian (Allen, 2014).
Pengukuran kepadatan tulang dapat diukur secara histologi dengan mengamati
struktur trabekula seperti ketebalannya, jumlah maupun jarak pemisahannya. Seiring
dengan perkembangan teknologi pengukuran tulang dapat dilakukan juga dengan
teknik seperti micro-computed tomography/ micro CT. Beberapa penelitian
membandingkan pengukuran kepadatan tulang menggunakan CT dan secara
histologis memberikan hasil yang valid dan representatif terhadap parameter struktur
dari tulang (Allen, 2014 ;Wilkins, 2007).
2.3 Osteosit
Osteosit merupakan sel yang terletak di dalam matriks tulang, berasal dari sel
induk mesenkim melalui diferensiasi osteoblas. Produk dari matriks osteoblas dapat
menjadi osteosit, sel lapisan, atau dapat menjalani kematian sel terprogram. Osteosit
lebih kecil dibanding osteoblas, mempunyai retikulum endoplasmik dan aparatus
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
golgi jauh lebih sedikit dibanding osteoblas serta kromatin inti yang lebih padat,
mempunyai fungsi memelihara matrik tulang (Bonewald, 2011).
Osteosit adalah sel osteoblas yang terkubur dalam lakuna dan termineralisasi
dalam matriks tulang dengan morfologi stellate, dengan tonjolan dendritik yang
merupakan penonjolan plasma membran dan berfungsi sebagai sistem syaraf. Sel
osteosit jumlahnya 10 kali dari jumlah sel osteoblas (Bellido, 2014 ; Dallas, 2010)
Osteoblas memiliki inti eksentrik yang besar dengan satu sampai tiga inti, dan
Rough Endoplasmic Reticulum (RER) yang menonjol dan badan golgi. Osteosit
melalui penonjolan plasma membran (panjang 5-30 µm) dalam kanalikuli dapat
berkomunikasi dengan osteoblas. Selanjutnya osteoblas berkomunikasi dengan sel
dalam sumsum tulang dengan memproyeksikan selnya ke sel endotil di sinusoid.
Dengan demikian lokasi strategis osteosit menjadikan sel ini sebagai kandidat sel
mekanosensori untuk deteksi kebutuhan tulang, menambah atau mengurangi massa
tulang selama adaptasi fungsi skeletal. Osteosit juga mempunyai kemampuan
deteksi perubahan aliran cairan interstisial dalam kanalikuli yang dihasilkan akibat
pembebanan mekanik dan deteksi perubahan kadar hormon, oleh karena itu
gangguan pada jaringan osteosit meningkatkan fragilitas tulang (Capulli, 2014;
Odendaal-Franz, 2016).
Pada manusia, osteosit bisa hidup lama. Paruh waktu rata-rata osteosit manusia
yaitu 25 tahun. Tingkat remodeling tulang dipertimbangkan secara keseluruhan
antara 4 sampai 10% per tahun (Manolagas, 2000). Selanjutnya, umur osteosit
sangat melebihi osteoblas aktif, yang diperkirakan hanya tiga bulan pada tulang
manusia (Manolagas, 2000) dan 10-20 hari pada tulang alveolar tikus (McCulloch,
1988;Odendaal-Franz, 2006; Bonewald, 2011).
Salah satu zat yang disekresikan oleh osteosit adalah protein yang disebut
sklerostin. Hanya osteosit menghasilkan senyawa ini yang berfungsi menghambat
aktivitas osteoblas dan merangsang aktivitas osteoklas. Oleh karena itu, ketika
osteosit mengeluarkan lebih sklerostin, produksi tulang yang baru melambat.
Osteosit mengeluarkan sedikit sklerostin jika tulang mengalami beban fisik yang
berat. Tingkat sklerostin rendah memungkinkan aktivitas osteoblas tinggi, yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
memungkinkan produksi tulang tambahan di daerah yang berada di bawah tekanan
(Heino, 2008; Bonewald, 2011).
Osteosit dan osteoblast diketahui mempunyai kalsium fosfat yang berikatan
dengan protein atau glikoprotein, suatu indikasi kemampuan untuk melakukan
kalsifikasi matriks. Osteosit tetap berhubungan satu sama lain dan juga dengan sel
pada permukaan tulang melalui gap junction ditambah proses sel melewati matriks
melalui saluran kecil yaitu kanalikuli dan kekosongan sel tubuh berisi lakuna
menghubungkan satu sama lain dan dengan dunia luar (Odendaal-Franz, 2008).
Selama diferensiasi dari osteoblas menjadi osteosit dewasa, sel kehilangan sebagian
besar organel sel mereka, proses sel tersebut yang dikemas dengan mikrofilamen
serta melibatkan perubahan morfologi seperti ukuran diameter sel, peningkatan
proses intraseluler, dan perubahan dalam organel-organel intraseluler (Djuwita dkk,
2012).
Gambar 2.2 Perbedaan diferensiasi osteoklas dan osteoblas. Garis diferensiasi hematopoietik (atas) bertanggungjawab dalam pembentukan osteoklas, sedangkan osteoblas terbentuk melalui garis diferensiasi mesenkimal (bawah). Keduanya dimediasi oleh sejumlah sitokin dan hormon yang berbeda (Sumber: Epstein, 1995)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
Proses diferensiasi osteoblas merupakan salah satu faktor penting dalam proses
remodeling tulang. Proses proliferasi dan diferensiasi osteoblas diatur oleh growth
factor (faktor pertumbuhan) yang dihasilkan oleh osteoblas. Growth factor yang
berperan diantaranya Insulin Growth Factor (IGF I dan II), Bone Morphogenic
Proteins (BMPs), Fibroblast Growth Factor (FGF), dan (PDGF) Platelet-Derived
Growth Factor (Chen dkk., 2004;) yang bekerja secara autokrin dan parakrin, serta
hormon estrogen (Bellido, 2014 ; Odendaal-Franz, 2006).
Selain faktor pertumbuhan terdapat juga beberapa faktor telah dilaporkan
memodulasi fungsi osteoblas dan/ atau terlibat dalam mengendalikan keputusan
untuk berubah menjadi osteosit. Faktor transkripsi Runx2 dan Osterix, Bone
Morphogenic Proteins (BMPs), Micro RNAs (MiRNAs), Connexin 43 (Cx43),
sangat penting untuk diferensiasi osteoblas selama pengerasan intramembran dan
endokondral. Heino dan Hentunen (2008) menyatakan bahwa ada beberapa sinyal
Pathway yang juga dapat meregulasi diferensiasi osteoblas yaitu Wnt Signaling,
Hedgehog Signaling, Transforming Growth Factor β (TGF-β) Signaling, FGF
Signaling, dan Notch Signaling (Capulli, 2014; Heino, 2008).
Osteosit memediasi efek pada remodeling tulang tidak hanya melalui interaksi
sel-sel dengan osteoklas dan osteoblas, tetapi juga melalui sinyal melalui pelepasan
mediator larut (Nandeesh, 2012). Proses perbaikan menyediakan mekanisme untuk
tulang dapat beradaptasi terhadap faktor biomekanik lokal dan pengaruh hormonal
sistemik serta mengganti tulang yang telah mengalami kerusakan dari beban
mekanis yang berulang (Bellido, 2014). Osteosit memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Osteosit sebagai regulator osteoklas sehingga mampu mengendapkan dan
penyerapan tulang.
b. Osteosit sebagai regulator osteoblas berperan dalam pembentukan tulang
kembali dengan mengirimkan sinyal pada osteosit lainnya dalam menanggapi
bahkan sedikit perubahan bentuk pada tulang yang disebabkan oleh aktivitas otot.
Dengan cara ini, tulang akan menjadi kuat jika sering melakukan latihan atau
kegiatan fisik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
c. Osteosit sebagai homeostatis mineral dapat membantu dalam pemindahan
kalsium dari tulang ketika tingkat kalsium tubuh turun terlalu rendah. Kematian
prematur atau gangguan dari osteosit dikaitkan dengan penyakit seperti osteoporosis
dan osteoarthritis.
d. Osteosit sebagai sel mekanosensori utuk mendeteksi kebutuhan tulang
selama adaptasi fungsi skeletal.
Gambar 2.3 Osteosit dan bagian jaringan tulang (Bellido, 2014)
Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi antarsel berkapur,
yaitu matriks tulang dan tiga jenis sel: (1) osteosit, yang terdapat di rongga (lakuna)
di dalam matriks; (2) osteoblas yang mensintesis unsur organik matriks, dan (3)
osteoklas yang merupakan sel raksasa multinuklear yang terlibat dalam resorpsi dan
remodeling jaringan tulang (Junqueira dan Carneiro, 2007). Tulang mengalami
remodeling secara kontinyu oleh dua proses: (1) pembentukan (formasi) dan (2)
penyerapan (resopsi) tulang. Proses ini bergantung pada aktivitas osteoklas,
osteoblas, dan osteosit. Dalam kondisi normal, resopsi dan formasi berkaitan erat
satu sama lain, pada saat resopsi tulang yang tua akan hancur dan dipindahkan oleh
osteoklas sedangkan pada saat formasi jaringan tulang yang baru akan menggantikan
tulang yang telah rusak, dan hal ini dilakukan sel osteoklas.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
Pada pasien osteoporosis, proses resorpsi lebih aktif dibanding dengan proses
formasi, sehingga terjadi defisit massa tulang dan tulang semakin tipis dan rapuh
(Anderson, 2013).
Remodeling tulang adalah pergantian jaringan tulang tua dengan jaringan
tulang muda, sebagian besar kondisi ini terjadi pada kerangka hewan dewasa untuk
mempertahankan massa tulang. Proses ini mencakup pembentukan dan resorpsi
tulang secara bersamaan (berpasangan). Remodeling merupakan sebuah proses yang
dinamis termasuk penggantian dan pengisian kembali baik tulang kompak maupun
trabekular. Proses ini terus-menerus terjadi untuk mempertahankan massa tulang
serta integritas dan fungsi kerangka. Proses ini kompleks dan dikendalikan oleh
susunan syaraf pusat melalui hormon dan oleh tekanan mekanis. Proses ini
bergantung pada keterpaduan aksi dari osteoblas, osteosit, dan osteoklas (Indah,
2013).
Tulang memiliki dua tipe yaitu tulang korteks dan tulang trabekular. Bagian
luar tulang merupakan bagian yang padat yang disebut tulang korteks dan bagian
dalamnya terdiri dari tulang trabekular yang tersusun seperti terumbu karang
(Guldring, 2014). Tulang dapat dibentuk dengan dua cara yaitu osifikasi
intramembranosa dengan mineralisasi langsung dari matriks yang disekresi
osteoblas atau osifikasi endokondral yaitu deposisi matriks tulang pada matriks
tulang rawan yang sudah ada Pada kedua proses, jaringan tulang mula-mula tampak
sebagai tulang primer atau tulang anyaman (Junqueira, 2007).
Tulang primer merupakan jaringan temporer dan segera diganti oleh tulang
berlamela definitif atau sekunder. Selama pertumbuhan tulang, daerah tulang primer,
daerah resorpsi dan daerah tulang sekunder terlihat berdampingan. Kombinasi
sintesis tulang dan penghancurannya (remodeling) tidak hanya terjadi pada tulang
yang tumbuh namun juga berlangsung seumur hidup meskipun kecepatan
perubahannya pada orang dewasa sudah sangat menurun (Junqueira, 2007).
Meskipun keras, struktur internal tulang dapat berubah, bergantung pada berbagai
stres yang dialaminya. Tulang yang sehat dan kuat harus mempunyai massa dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
kepadatan tulang yang tinggi. Tulang mempunyai beberapa fungsi utama (Junqueira,
2005) antara lain:
a. Sebagai penyokong tubuh, dengan membentuk kerangka dan tempat
perlekatan tendon otot.
b. Sebagai pelindung organ internal tubuh
c. Membantu pergerakan tubuh bersama otot
d. Homeostasis mineral terutama kalsium dan fosfor
e. Produksi sel darah merah oleh sumsum tulang merah
f. Penyimpanan trigliserida oleh sumsum tulang kuning.
2.4 Kalsium (Ca)
Kalsium (Ca) merupakan nutrisi penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan normal. Diet cukup kalsium akan memperkuat tulang dan membantu
mencegah terjadinya gangguan pada tulang selama masa kanak-kanak dan remaja
(Pravina,2013; Beto, 2015), sedangkan diet rendah kalsium akan meningkatkan
resiko terjadinya osteoporosis baik pada manusia maupun pada hewan yang
menyebebkan resorpsi dan berkurangnya kepadatan tulang (Chen dkk, 2002).
Mineral utama dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, dalam bentuk kristal
kalsium hidroksiapatit (HA). Senyawa HA ini memainkan peran penting dalam
mengatur kekakuan elastis dan kekuatan tarik dari tulang (Kumar, 2010).
Pertumbuhan dan remodeling jaringan tulang membutuhkan kecukupan pasokan
kalsium dan fosfor, yang dapat dipasok dari diet dan tulang cadangan. Mineral ini
merupakan kation dalam tubuh dan berjumlah 1,5-2% dari berat tubuh. Sembilan
puluh sembilan persen dari total Ca dalam badan terdapat pada tulang dan gigi (hard
tissue). Sisanya sekitar 1% berada dalam darah, cairan ekstraseluler, otot, dan
jaringan-jaringan lainnya (Bolland, 2015).
Asupan kalsium yang cukup dapat membantu melindungi tulang sepanjang
hidup kita. Pada anak-anak dan remaja, asupan kalsium yang cukup dapat membantu
memproduksi massa tulang yang lebih tinggi (Chen, 2002). Sumber utama kalsium
dalam makanan terdapat pada susu dan hasil olahannya, seperti keju atau yoghurt.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
Sumber kalsium selain susu juga penting untuk memenuhi kebutuhan kalsium, baik
yang berasal dari hewani atau nabati. Sumber kalsium yang berasal dari hewani
seperti sarden, dan ikan yang dimakan bersama tulangnya termasuk ikan teri.
Sumber kalsium yang berasal dari nabati, seperti serealia, kacang-kacangan dan
hasil kacang-kacangan, tahu, tempe, dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium
yang baik juga, tetapi bahan makanan ini banyak mengandung zat yang menghambat
penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat (Rose dkk, 2011). Adapula
sumber kalsium dari bahan buatan seperti suplemen yang memiliki dua bentuk
kalsium secara luas yaitu kalsium karbonat dan kalsium sitrat. Kalsium karbonat
merupakan kalsium dalam bentuk yang dapat masuk melalui saluran pencernaan dan
lebih mudah diabsorbsi (Bueno, 2008)
Pada tulang, kalsium dalam bentuk garam membentuk matriks pada kolagen
protein pada struktur tulang membentuk rangka yang mampu menyangga tubuh serta
tempat bersandarnya otot yang menyebabkan memungkinkannya terjadinya gerakan.
Jika dari pola makan unsur kalsium tidak mencukupi, maka tubuh mempunyai cara-
cara untuk menjaga agar kalsium darah tidak menurun, yaitu dengan mengandalkan
peran hormon kalsitonin, hormon anak gondok, dan vitamin D (Peacock, 2010).
Di samping berperan dalam jaringan kerangka tulang, maka kalsium berperan
dalam sistem saraf. Pada proses pembentukan tulang baru dan penghancuran tulang
yang telah tua. Kalsium yang berada dalam peredaran darah dan jaringan tubuh
mempunyai fungsi dalam berbagai kegiatan, diantaranya adalah untuk transmisi
impuls-impuls saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, pengaturan permeabilitas
membran sel dan aktivitas enzim (Wirosaputro, 1998). Secara umum, fungsi kalsium
adalah membangun tulang dan gigi, mengatur proses-proses tubuh dalam darah dan
jaringan, dan membantu proses penggumpalan darah (Peacock, 2010; Opotowsky,
2002).
Asupan kalsium yang memadai penting untuk mencapai massa tulang yang
optimal (optimal Peak Bone Mass/PBM) dan mengatur laju kehilangan kalsium dari
tulang seiring bertambahnya usia. Kekurangan kalsium dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan yaitu osteopenia, osteoporosis dan ricketsia karena
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
mineralisasi matriks tulang terganggu sehingga kandungan kalsium dalam tulang
menurun, sedangkan kelebihan kalsium dapat menyebabkan gangguan ginjal dan
konstipasi (Qin, 1998).
2.4.1 Metabolisme Kalsium
Konsentrasi normal total kalsium dalam plasma adalah 2,4-2,5 mM sedangkan
konsentrasi ion kalsium bebas berkisar antara 1,25-1,3 mM. Homeostasis kalsium
yang efektif penting dalam banyak proses biologis, termasuk metabolisme tulang,
proliferasi sel, koagulasi darah, hormonal signalling transduction dan fungsi
neuromuscular (Hartiningsih, 2016).
Keseimbangan kalsium dipertahankan oleh tiga organ utama terdiri atas sistem
gastrointestinal, tulang, dan ginjal. Sistem gastrointestinal menjaga homeostasis
kalsium dengan mengatur absorpsi kalsium melalui sel-sel gastrointestinal. Jumlah
absorpsi tergantung dari asupan, usia manusia, hormon vitamin D, kebutuhan tubuh
akan kalsium, diet tinggi protein dan karbohidrat serta derajat keasaman yang
tinggi/pH rendah (Setyorini, 2009). Asupan kalsium tidak boleh melebihi 2500
mg/hari. Manusia dewasa mengkonsumsi kalsium sekitar 500-1200 mg sehari.
Absorpsi kalsium bervariasi, antara 10-60% dan pada manusia kurang lebih 175
mg/hari. Jumlah ini menurun seiring dengan peningkatan usia dan meningkat ketika
kebutuhan akan kalsium meningkat sementara asupan sedikit. Usus hanya mampu
menyerap 500-600 mg kalsium sehingga pemberian kalsium harus dibagi dengan
jarak 5-6 jam (Peacock, 2010).
Absorpsi terjadi dalam usus halus melalui mekanisme yang terutama dikontrol
oleh calcitropic harmones (1,25-dihydroxycholecalciferol vitamin D3 (1,25- (OH)
2D3) dan Parathyroid Harmone (PTH). Metabolisme kalsium dan tulang berkaitan
erat satu sama lain dan terintegrasi. Defisiensi kalsium (misalnya pada lansia), yang
disebabkan oleh defisiensi vitamin D dan peningkatan PTH, mengakibatkan tulang
akan melepaskan kalsium (resorpsi tulang meningkat) untuk dapat mengembalikan
kalsium serum kembali normal (Honderoop, 2005).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
2.4.2 Mekanisme Absorpsi Kalsium
Transpor kalsium dalam usus halus dimediasi oleh proses transportasi yang
tersusun kompleks dan diregulasi oleh calcitropic harmones, yaitu: 1,25-(OH)2D3
dan PTH. Hormon-hormon lain, seperti glukokortikoid, prolaktin dan estrogen
berperan sebagai regulator absorpsi kalsium di usus halus.
Gambar 2.4. Mekanisme transportasi kalsium epitel. Epitel bisa menyerap kalsium melalui transportasi paraseluler dan transeluler (Honderoop, 2005).
Absorpsi kalsium di usus halus dapat melalui dua mekanisme, yaitu aktif dan
pasif. Transpor kalsium aktif terjadi terutama di duodenum dan proximal jejenum,
sementara transpor pasif terjadi pada seluruh usus halus. Usus besar juga mampu
mengabsorpsi kalsium namun hal tersebut masih kontroversial. Duodenum adalah
tempat absorpsi kalsium yang paling efisien karena dapat mengambil kalsium
bahkan pada keadaan diet sangat rendah kalsium melalui mekanisme aktif, juga
memiliki seluruh komponen bagi transpor kalsium melalui jalur transcellular, dan
paracellular. Mekanisme transport kalsium dalam duodenum, meliputi:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
a. Transcellular Calcium Transport
Transcellular transport merupakan transpor aktif yang hanya terjadi di
duodenum. Transpor ini memicu pergerakan kalsium melalui tiga tahap, terdiri atas:
(1) apical calcium entry ; (2) cytoplasmic calcium translocation dalam bentuk
terikat dengan calbindin-D9k dan ; (3) basolateral calcium extrusion. Kalsium
luminal melewati membran melalui Transient Receptor Potential Vanilloid family
calcium channel (TRPV)5 dan 6. Plasma membrane Ca2+-ATPase (PMCA1b) yang
terdapat pada basolateral membran akan mengeluarkan cytoplasmic calcium ke
dalam plasma. Cytoplasmic calcium dapat juga dikeluarkan oleh transporter lain,
yaitu NA+/Ca2+ exchanger 1 (NCX1) namun kemampuannya hanya 20%
dibandingkan dengan PMCA1b (80%). Transpor kalsium melalui jalur transcellular
digunakan dalam kondisi fisiologis dan jalur ini semakin penting ketika terjadi
peningkatan kebutuhan kalsium, misalnya ketika hamil dan menyusui. Jalur ini
distimulasi langsung oleh 1,25-(OH)2D3.
b. Paracellular Calcium Transport
Paracellular transport merupakan mekanisme aktif (cellular energy
dependent) dan pasif (calcium gradient dependent). Komponen pada paracellular
calcium transport terdiri atas: passive paracellular, solvent-drag induced, dan
voltage-dependent transport. Energi untuk paracellular transport pasif ini berasal
dari energi bebas yang dihasilkan oleh transepithelial calcium gradient (5 mM pada
luminal side dan 1.25 mM pada plasma side).
2.5 Hal Yang Mempengaruhi Kepadatan Tulang
Rendahnya kepadatan tulang mengakibatkan terjadinya osteopenia dan
osteoporosis. Osteopenia atau berkurangnya densitas (kepadatan) tulang merupakan
peringatan awal pada kelompok dewasa atau sebelum memasuki usia 35 tahun.
Osteopenia merupakan prediktor awal akan terjadinya osteoporosis di waktu yang
akan datang. Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang dan
gangguan struktur tulang (perubahan mikroarsitektur jaringan tulang) sehingga
menyebabkan tulang menjadi mudah patah (Duque, 2006; Hughes, 2006). Beberapa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
faktor yang mempengaruhi kepadatan tulang yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik.
2.5.1 Faktor Intrinsik
a. Jenis Kelamin
Wanita memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami
osteoporosis karena setelah masa menopause wanita mengalami perubahan
hormonal yang cukup drastis, utamanya prnuruanan estrogen. Penurunan hormon
seks ini meningkatkan aktivitas osteoklas dalam meresorpsi tulang, sehingga
densitas tulang menurun. Wanita rata-rata memiliki massa tulang yang lebih rendah
dibandingkan pria.
Gambar 2.5. Tingkat kepadatan tulang berdasarkan jenis kelamin dan usia
(Duque, 2006; Hughes, 2006)
b. Genetik
Hanya satu gen yang telah disepakati bersama berpengaruh terhadap kejadian
osteoporosis, yaitu gen BMP2. Gen ini mengkode bone morphogenic protein-2 yang
berperan sebagai regulator diferensiasi osteoblas. Diperkirakan bahwa 65-80%
kelainan massa tulang dipengaruhi oleh faktor genetik. Selain itu, ditemukan pula
bahwa heritabilitas fraktur osteoporosis mencapai 25-35% (Haversath dkk, 2012).
Polimorfisme dari sejumlah besar gen telah dikaitkan dengan perbedaan dalam
massa dan kerapuhan tulang (Raisz, 2005). Berbagai kandidat gen yang mengalami
polimorfisme mungkin memiliki hubungan dengan kepadatan tulang, seperti
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
Vitamin D Receptor (VDR), Estrogen Receptor (ER) gen, interleukin-6 dan
Transforming Growth Factor (TGF). Saat ini, ER dan gen VDR telah mendapatkan
perhatian yang besar, di mana VDR sebagai gen regulasi utama. Gen VDR manusia
terletak di kromosom 12, dengan 44.000 basa dan terdiri dari sembilan ekson.
Penelitian sebelumnya telah dilakukan pada polimorfisme genetik dalam gen VDR,
seperti FokI (alel F/ f, SNP C> T, rs2228570), BsmI (alel B/ b, SNP G> A,
rs1544410), ApaI (alel A/ a, SNP C> A, rs17879735), dan TaqI (alel T/ t, SNP T>
C, rs731236) untuk mengetahui pengaruh mereka terhadap BMD dan risiko patah
tulang. Sejumlah penelitian domestic telah melaporkan hubungan antara
polimorfisme gen VDR dan BMD, dan ada perbedaan yang signifikan dalam hasil
antara negara-negara, yang juga memiliki keterkaitan satu sama lain (Wu,2016).
Polimorfisme pada gen ESR1 yang telah diketahui adalah PvuII IVSI -397T -à C
restriction fragment length polymorphism pada intron 1 gen ESR1 dan polimorfisme
XbaI IVSI -351A- à G yang terletak 50 bp di downstream sisi polimorfisme PvuII
(Baziad, 2007; Tahir, 2009).
Polimorfisme PvuII dan XbaI pada intron 1 gen ESR1 diduga berperan dalam
peningkatan resorpsi tulang akibat berkurangnya inhibisi aktivitas osteoklastik oleh
estrogen. Peningkatan aktivitas resorpsi menyebabkan tulang kehilangan sejumlah
besar kalsium yang berperan sebagai struktur utama penyusun tulang. Kalsium yang
teresorpsi ini akan dilepaskan ke dalam cairan ekstraseluler sehingga menyebabkan
kenaikan kadar kalsium dalam serum (Prasetyastuti, 2010).
Hubungan yang positif antara polimorfisme COL1α1 Sp1 dan massa tulang
atau fraktur osteoporotik, sudah dilaporkan pada beberapa populasi. Perbedaan etnik
juga telah dilaporkan, di mana prevalensi alel COL1α1 Sp1 dengan polimorfisme,
didapatkan banyak pada etnik Caucasian tetapi jarang pada etnik Afrika dan China.
Keseluruhan dari data menduga bahwa polimorfisme COL1α1 Sp1 menyebabkan
suatu gangguan fungsi yang memberi dampak merugikan pada komposisi (matriks)
tulang dan kekuatan mekanik tulang (Tahir, 2009). Runt related transcription
(RUNX2) merupakan kandidat gen terakhir yang mempunyai peranan dalam
pembentukan tulang. RUNX2 (6p21,1) merupakan faktor transkripsi runt domain
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
yang berperan penting sebagai regulator dini bagi diferensiasi osteoblas.
Serangkaian studi asosiasi polimorfisme RUNX2 juga telah dilakukan dan beberapa
diantaranya dihubungkan dengan densitas mineral tulang pada wanita menopause,
Salah satu polimorfisme yang memiliki asosiasi terhadap kerapatan mineral tulang
yaitu pada promoter 1 titik G-330-T, tetapi polimorfisme promoter di titik tersebut
masih belum banyak diteliti (Sofiati dkk, 2015).
c. Hormon
Hormon adalah zat pengatur, sel dan jaringan khusus bertanggungjawab untuk
memproduksi hormon. Hormon disekresikan langsung ke aliran darah atau masuk ke
ruang antar sel. Hormon dapat meningkatkan maupun menurunkan zat tertentu
dalam tubuh. Hormon yang dapat mengatur kalsium dalam tubuh diantaranya adalah
hormon estrogen, kalsitonin dan hormone PTH (Paratyroid Hormone).
c.1 Estrogen
Estrogen merupakan hormon seks steroid memegang peran yang sangat
penting dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun
osteoklas, termasuk menjaga keseimbangan kerja dari kedua sel tersebut melalui
pengaturan produksi faktor parakrin-parakrin utamanya oleh sel osteoblas. Berbagai
jenis hormon berperan dalam kejadian osteoporosis, salah satunya adalah estrogen.
Perubahan hormon estrogen yang terjadi karena usia dapat menurunkan kepadatan
tulang 0,3% sampai 0,5% setiap tahun setelah umur 30 tahun. Menurunnya estrogen
pada wanita menopause dapat menurunkan kepadatan tulang 3% per tahun (Hamrun,
2011).
Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel osteoblas, dan
beraktivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel tersebut,
mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti: Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-
6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-a), merupakan sitokin yang
berfungsi dalam penyerapan tulang. Di lain pihak estrogen meningkatkan sekresi
Transforming Growth Factor betha (TGF-b), yang merupakan satu-satunya faktor
pertumbuhan (growth factor) yang merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
ke tempat lubang tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Sel osteoblas
merupakan sel target utama dari estrogen, untuk melepaskan beberapa faktor
pertumbuhan dan sitokin seperti tersebut diatas, sekalipun secara tidak langsung
maupun secara langsung juga berpengaruh pada sel osteoklas (Chen dkk, 2012;Wu,
2016).
Estrogen berfungsi menstimulasi ekspresi gen dan produksi protein pada sel
osteoblastik manusia, seperti misalnya produksi OPG, RANK-L, dan IL-6.14 Besar
kecilnya protein yang diproduksi bergantung pada aktivasi sel stroma osteoblastik.
Efek biologis dari estrogen diperantarai oleh reseptor yang dimiliki oleh sel
osteoblastik diantaranya: Estrogen Receptor-Related Receptor alpha (ERRa),
Estrogen Receptor alpha, betha (ERa, Erb) di dalam sitosol. Dalam diferensiasinya
sel osteoblas mengekspresikan Estrogen Receptor betha (ERb) 10 kali lipat dari
Estrogen Receptor alpha/Era (Zirngibl dkk, 2008).
Sub tipe reseptor inilah yang melakukan pengaturan homeostasis tulang dan
berperan akan terjadinya osteoporosis. Dalam sebuah studi didapatkan bahwa
kemampuan estrogen mengatur produksi sitokin sangat bervariasi dari masing-
masing organ maupun masing-masing spesies, begitu juga terhadap produksi dari
IL-6. Dikatakan produksi dari IL-6 pada osteoblas manusia (human osteoblast) dan
stromal sel sumsum tulang manusia (human bone marrow stromal cells), terbukti
diinduksi oleh IL-1 dan TNFa, tidak secara langsung oleh steroid ovarium. Dengan
demikian dimungkinkan pada sel stroma osteoblastik dan sel osteoblas terjadi
perbedaan tingkat aktivasi sel, sehingga akan terjadi perbedaan produksi dari protein
yang dihasilkannya seperti misalnya: IL-6, RANK-L, dan OPG, dengan suatu
stimulasi yang sama (Zirngibl dkk, 2008).
RANK-L merupakan salah satu famili dari TNF disebut juga: OPG-L, TNF-
Releted Activation Induced Cytokine (TRANCE), ODF dan memiliki reseptor
RANK yang merupakan kunci pengaturan remodeling tulang dan sangat esensial
dalam perkembangan dan aktivasi dari osteoklas. Terjadinya diferensiasi sel
osteoklas dari hemopoitik progenitor bergantung pada reseptor yang terdapat pada
membran sel osteoklas yang disebut RANK yang terbukti bahwa pengaturan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
transkripsinya oleh NFkappaB4 sedangkan sel stroma osteoblastik mengekspresikan
pada permukaannya RANK-L. Selanjutnya RANK-L berikatan dengan RANK pada
permukaan sel osteoklas progenitor untuk merangsang diferensiasi sel tersebut.
Selain itu sel stroma osteoblas juga mensekresi suatu substansi yang larut dan
mengambang, yang berfungsi sebagai reseptor dan dapat juga mengikat RANK-L
yang disebut OPG. OPG dapat beraksi sangat poten sebagai penghambat
pembentukan osteoklas dengan cara berikatan dengan RANK-L, sehingga mencegah
interaksi antara RANK-L dengan RANK pada progenitor osteoklas (Kohli,
2011;Xiong, 2012).
Estrogen bekerja dengan menghambat osteoklas baik secara langsung maupun
tidak. Pengaruh secara langsung ditunjukkan dengan menghambat reseptor
CCR-2 (C-C Chemokine Receptor type-2) yang ada pada osteoklas. Jika CCR-2
berikatan dengan ligannya maka akan meningkatkan ekspresi, dan pengaruh secara
tidak langsung dilakukan dengan menghambat produksi IL-1,IL-6 Tnf α. Penurunan
jumlah komponen ini akan menurunkan ekspresi RANKL oleh osteoblas. Kadar
estrogen yang menurun akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara sel
penghancur tulang dan sel pembentuk tulang sehingga meningkatkan penyerapan
tulang dan kehilangan massa tulang sehingga mengakibatkan osteoporosis (Silvana
dkk, 2012; Masytha, 2014).
Faktor penting yang menyebabkan angka hilang tulang pada wanita dan hewan
penelitian adalah defisiensi estrogen. Pada tikus ovariektomi menyebabkan
penurunan kandungan kalsium kira-kira 20% dan terjadinya osteoporosis (Masytha,
2014).
c.2 Kalsitonin
Hormon kalsitonin adalah suatu hormon yang turut berperan dalam
metabolisme kalsium dan metabolisme fosfor (Liu dkk, 2014). Hormon ini
merupakan hasil sekresi sel parafolikel kelenjar tiroid Secara kimiawi hormon ini
adalah suatu rantai peptida dari 32 asam amino (Davey, 2013). Kalsitonin bekerja
sama dengan hormon paratiroid untuk hipokalsemik dan hipofosfat yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
mempengaruhi tulang dan ginjal lewat reseptor dalam tulang dan ginjal. Fungsi
hormon kalsitonin adalah (Rattanakul, 2011) adalah:
1. Menurunkan kadar kalsium dengan hambatan resorpsi tulang (menekan
aktiVitas dan jumlah osteoblast, dan menghambat permeabilitas sel-sel pada tulang).
2. Menghambat pelepasan kalsium dari tulang. Vitamin D merupakan
metabolisme dan mekanisme dalam banyak hal dengan hormon steroid, menambah
absorpsi kalsium dan fosfor dari traktus intestinalis. Vitamin D mempunyai efek
langsung terhadap proses kalsifikasi, membantu pembentukan tulang, menambah
ekskresi fosfat, dan membantu menurunkan konsentrasi fosfat dalam serum.
c. 3 Hormon PTH
Hormon Paratiroid (PTH) adalah hormon petida yang disekresikan
oleh kelenjar paratiroid yang tumbuh dari jaringan endoderm, yaitu sulcus
pharyngeus. Secara normal ada empat buah kelenjar paratiroid pada tubuh manusia
yang terletak tepat dibelakang kelenjar tiroid, dua tertanam di kutub superior dan
dua lagi di kutub inferior. Setiap kelenjar paratiroid panjangnya kira-kira 6mm, lebar
3mm, tebal 2mm dan memiliki gambaran makroskopik lemak coklat kehitaman.
Kelenjar paratiroid orang dewasa terutama mengandung sel utama (chif cell) yang
mengandung aparatus golgi, retikulum endoplasma dan granula sektorik yang
mensintensis dan mensekresikan (Gosink, 2015).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
Gambar 2.6. Struktur hormon paratiroid (Gosink, 2015)
Fungsi terpenting dari hormon paratiroid mengatur metabolisme kalsium dan
fosfor pada tubuh, melalui kerja langsung pada tulang dan ginjal, serta kerja tak
langsung melalui vitamin D di usus halus. Hormon paratiroid juga meningkatkan
pembentukan vitamin D3 (1,25-dihidroksikolekalsiferol), suatu metabolit vitamin D
yang fisiologis aktif (Kumar and Thompson, 2011). Efek maksimal hormon
paratiroid pada fosfat tercapai dalam dua sampai tiga jam, sedangkan efek maksimal
konsentrasi ion kalsium tercapai sekitar 8 jam dan kemudian berlangsung 24 sampai
36 jam (Napierala, 2005).
Peningkatan ion kalsium merupakan efek langsung hormon paratiroid dalam
menyebabkan absorpsi kalsium dan fosfat dari tulang. Hormon paratiroid ini juga
menyebabkan peningkatan reabsorpsi kalsium tubulus ginjal tetapi pada saat hormon
ini mengurangi kecepatan reabsorpsi fosfat. Selain itu juga meningkatkan reabsorpsi
ion Magnesium dan ion Hidrogen, sedangkan ia menurunkan reabsorpsi ion
Natrium, Kalium dan asam amino melalui cara yang banyak persamaannya dengan
efek paratiroid terhadap fosfat (Kumar, 2011; Gosink, 2015).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
Hormon paratiroid menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium yang tinggi
dalam cairan. Namun, pemberian hormon paratiroid yang berlangsung lama
akhirnya mengakibatkan absorpsi pada semua tulang disertai timbulnya rongga-
rongga besar yang diisi dengan osteoklas multinuklear yang sangat besar. Hormon
paratiroid juga sangat berperan bagi pertumbuhan dan perkembangan gigi. Bila
kecepatan sekresi hormon paratiroid berkurang, maka akan menyebabkan kelainan
pada gigi, pertumbuhan dan perkembangan gigi pun akan terhambat. Paratiroid and
Tiroid Hormon related Protein (PTHrP) merupakan hormon yang mengontrol
keseimbangan kalsium dan fosfor. Dua reseptor telah diidentifikasi bentuk ikatan
hormon paratirid dengan tiroid adalah PTHrP (Watted dkk, 2014).
Tipe-I reseptor hormon paratiroid: ikatan kedua hormon paratiroid dan gugus
amino terminal senyawa peptida PTHrP. Molekul ini adalah G protein-reseptor
coupled dengan 7 segmen transmembran. Bagian ekstraselular mempunyai 6 residu
sistein. Ikatan ligan untuk reseptor ini aktivitasnya oleh adenylyl cyclase dan sistem
phospholipase C, diturunkan oleh sinyal protein kinase A dan protein kinase C.
Kemungkinan pernyataan akan aksi hormon paratiroid, penandaan mRNA sebagai
reseptor tipe-I dengan penyebaran yang luas dalam tulang dan ginjal. Senyawa
mRNA juga dinyatakan pada kadar yang rendah dalam banyak jaringan,
kemungkinannya pada reseptor untuk PTHrP (Gosink, 2015).
Tipe-II reseptor hormon paratiroid: Ikatan hormon paratiroid, ditunjkan
sebagai bentuk yang sangat lambat untuk PTHrp. Molekul ini diekspresikan hanya
dalam jumlah yang kecil dari jaringan-jaringan, dan bentuknya atau sifat
fisiologiknya berbeda nyata walaupun dengan karakteristik yang kecil. Seperti pada
reseptor tipe-I, juga dalam bentuk ikatan dengan adenylyl cyclase dan induksi ikatan
ligan yang meningkat konsentrasi intraseluler untuk siklik AMP.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
2.5.2 Faktor Ekstrinsik
a. Asupan Kalsium
Asupan kalsium merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepadatan
tulang dan dapat mempertahankan kepadatan tulang dalam waktu jangka panjang.
Sumber kalsium terdiri dari nabati dan hewani. Sumber kalsium nabati berasal
sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan dan lain-lain. Kalsium yang berasal
dari hewani berasal dari ikan. Kalsium akan berperan sebagai penyeimbang dari
pembentukan asam. Tubuh memerlukan kalsium karena setiap hari tubuh kehilangan
mineral. Kehilangan kalsium harus diganti melalui makanan yang dikonsumsi oleh
tubuh. Asupan protein yang lebih tetapi tidak diimbangi dengan asupan kalsium
yang memadai akan meningkatkan risiko patah tulang.
Perbandingan kalsium dan fosfor berpengaruh erat dalam proses absorpsi
kalsium. Untuk absorpsi kalsium yang baik diperlukan perbandingan Ca : P di dalam
rongga usus (dalam hidangan) adalah 1 : 1 sampai 1 : 3. Perbandingan Ca : P yang
lebih besar dari 1 : 3 akan menghambat penyerapan Ca sehingga akan menimbulkan
defisiensi kalsium (Syafiq, 2007). Menurut Marsetyo (1995), kekurangan unsur
kalsium dalam persediannya di dalam tubuh dapat menimbulkan karies dentis atau
kerusakan pada gigi, pertumbuhan tulang menjadi tidak sempurna dan dapat
menimbulkan rakhitis, apabila bagian tubuh terluka maka darah akan sukar
membeku sehingga pengeluaran darah bertambah, dan terjadinya kekejangan pada
otot. Susu dan hasil olahan susu seperti keju, yogurt meruapakan sumber kalsium
utama yang penting untuk pencegahan penurunan kepadatan tulang pada wanita post
menopause.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
Tabel 2.1. Angka kecukupan kalsium menurut angka kecukupan gizi tahun 2004
b. Vitamin D
Vitamin secara umum merupakan senyawa organik yang selalu dibutuhkan
tubuh yang berfungsi untuk metabolisme sel secara normal, pertumbuhan dan
pemeliharaan jaringan tubuh. Salah satu vitamin yang terkait dengan pembentukan
jaringan tulang adalah vitamin D. Vitamin D merupakan salah satu vitamin yang
fungsinya di dalam tubuh cukup unik karena mirip dengan fungsi hormon. Fungsi
biologis utama dari vitamin D adalah mempertahankan konsentrasi kalsium dan
fosfor serum dalam kisaran normal dengan meningkatkan efisiensi usus halus untuk
menyerap mineral-mineral tersebut dari makanan. Status vitamin D yang rendah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
banyak terjadi pada lansia yang kurang terkena sinar matahari dan vitamin D plasma
yang rendah, dihubungkan dengan peningkatan risiko patah tulang panggul (Levine
dkk, 2014).
Vitamin D yang dibentuk di kulit atau yang diresorpsi melalui usus akan
dirubah oleh hati menjadi 25-hydroxycholecalcipherol, yang kemudian oleh ginjal
akandirubah menjadi 1,25 dihydroxycholecalciferol (1,25 dihydroxy vitamin D3
=1,25 DHCC) yang merupakan suatu hormon (bukan vitamin) dan berperan
padametabolisme tulang. Peran utama dari 1,25 dihydroxyvitamin D3 adalah dalam
hal meningkatkan penyerapan kalsium dan fosfat dari usus untuk kebutuhan mineral
tersebut pada pembentukan tulang. Selain itu sama halnya dengan PTH, 1,25
dihydroxy vitamin D3 merupakan perangsang kuat pembentukan osteoklast. Bentuk
vitamin D endogen, Cholecalciferol, disintesis di dalam hati dibawah pengaruh
radiasi ultraviolet (UV), dari metabolic cholesterol (7-dehydrocholersterol),
sedangkan bentuk eksogen vitamin diet. Ketika kulit terpapar oleh sinar matahari
atau sinar artificial tertentu, radiasi UV memasuki epidermis dan menyebabkan
transformasi 7-dehydrocholersterol menjadi vitamin D3. Dengan paparan sinar
matahari yang cukup suplementasi vitamin tidak diperlukan. Ketika tubuh terpapar
sinar matahari yang cukup (sampai menimbulkan sedikit eritema pada kulit) kadar
vitamin D di dalam darah meningkat setara dengan mengkonsumsi vitamin D
10.000 – 25.000 IU peroral.
Adanya defisiensi ataupun insufisiensi vitamin D akan mempengaruhi proses
remodelling, yang pada akhirnya akan menimbulkan kelainan patologis pada tulang.
Kemampuan absorpsi kalsium menurun dengan meningkatnya usia sehingga
konsumsi kalsium pada usia tua sangat dianjurkan. Pemberian vitamin D 800 IU
dalam suatu penelitian, dapat menurunkan terjadinya fraktur femur padakelompok
intervensi sampai 30%. Dosis optimal vitamin D tidak diketahui, tetapi banyak
penelitian menganjurkan minimal 400 IU/hari.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
c. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap peningkatan massa tulang dan
optimalisasi puncak massa tulang. Aktifitas fisik menengah hingga berat
diasosiasikan dengan penurunan resiko fraktur pinggul hingga 45% pada pria dan
35% pada wanita. Usia yang menua akan mengakibatkan perubahan pola hidup,
yaitu kurangnya aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu olahraga merupakan kegiatan
yang sangat penting untuk mencegah osteoporosis. Jalan kaki secara teratur kira-kira
4,5 km/jam selama 50 menit, 5 kali dalam seminggu dapat mempertahankan
kekuatan tulang. Selain itu latihan beban dan senam juga dapat dilakukan juga pada
penderita osteoporosis (Utomo dkk, 2010).
2.6 Ikan Teri (Stolephorus sp.)
Ikan teri merupakan ikan yang berada di daerah perairan pesisir dan eustaria
dengan tingkat keasinan 10-15%. Daerah penyebaran ikan teri di Indonesia antara
95ºBT - 140ºBT dan 10°LU - 10ºLS, dengan kata lain mencakup hampir seluruh
wilayah Indonesia meliputi perairan barat Sumatera, Selat Malaka, Selatan dan
Utara Sulawesi, Timur Sumatera juga menyebar ke Bali, Maluku dan Irian jaya serta
perairan Utara dan Selatan Jawa (Wahyuni, 2008). Ikan teri hidup berkelompok
yang terdiri dari ratusan sampai ribuan ekor. Ikan teri berukuran kecil dan besar
ukurannya bervariasi yaitu antara 6-9 cm. Ciri-ciri ikan teri adalah: sirip caudal
bercagak dan tidak bergabung dengan sirip anal, duri abdominal hanya terdapat sirip
pectoral dan ventral, tidak berwarna atau agak kemerah-merahan, bentuk tubuhnya
memanjang (fusiform) atau mampat ke samping (compressed), terdapat selempang
putih keperakan memanjang dari kepala sampai ekor, memiliki sisik kecil, tipis dan
sangat mudah lepas, tulang rahang atas memanjang mencapai celah insang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
2.6.1 Klasifikasi Ikan Teri
Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Clupeidae Sub-famili : Engraulidae Genus : Stolesphorus Spesies : Stolephorus sp.
Gambar 2.7 Ikan teri (Wahyuni, 2008)
Ikan teri yang termasuk dalam Famili Engraulididae ini mempunyai banyak
species. Dari perkembangan identifikasi jenis-jenis ikan teri, ada Sembilan jenis
Stolephorus yang pasti terdapat di indonesia. Delapan jenis termasuk kelompok yang
mempunyai sebaran luas, baik di Samudera Pasifik maupun Samudera Hindia (S.
devisi, S. heterolobus, S. commersonnii, S. indicus, S. insularis, S. baganensis, S.
buccaneeri, dan S. tri) serta satu jenis lagi termasuk kelompok yang tidak terdapat di
Samudera Pasifik (S. dubiosus) (Hutomo dkk., 1987).
2.6.2 Kandungan Gizi Ikan Teri (Stolephorus sp.)
Ikan teri merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Jenis ikan
teri yang biasa diperjualbelikan adalah ikan teri nasi, ikan teri halus dan ikan teri
jengki. Teri nasi sangat mudah dibedakan dengan jenis teri lainnya, karena warnanya
putih transparan dan ukurannya lebih kecil. Ikan teri nasi (Stolephorus sp.)
mempunyai beberapa kandungan kimia yakni mengandung protein, mineral, vitamin
dan zat gizi lainnya yang sangat bermanfaat untuk kesehatan dan kecerdasan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
Protein ikan teri nasi (Stolephorus sp.) mengandung beberapa macam asam amino
essensial. Hal ini disebabkan karena adanya faktor biologis dan faktor alami. Teri
adalah satu-satunya jenis ikan yang semua bagian tubuhnya bisa dimakan mulai dari
ekor, badan sampai kepala (Gustanten, 2009). Ikan teri merupakan sumber kalsium
yang tahan dan tidak mudah larut dalam air. Ikan teri memiliki komposisi yang
berbeda-beda sesuai dengan jenisnya seperti terlihat dalam tabel 2.2 misalnya
kandungan gizi teri segar meliputi energi 77 kkal; protein l6g; lemak 1,0 g; kalsium
500 mg; phosfor 500 mg; besi 1,0 mg; Vit A RE 47; dan Vit B 0,1 mg Kandungan
kalsium pada ikan teri segar, kering tawar dan kering asin per 100 gramnya, masing-
masing adalah 500, 2.381, dan 2.000 mg. Sedangkan kadar fosfornya, masing-
masing adalah 500, 1.500, dan 300 mg/100 g (Astawan, 2008).
Tabel 2.2 Komposisi Ikan Teri
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
2.6.3 Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.)
Identifikasi teri nasi berdasarkan ciri umum ikan tersebut yakni dari warnanya
yang putih transparan, ukuran relatif kecil dibandingkan dengan teri lainnya, belum
terlihat bagian perutnya, kepala lebih pendek, dan selempang lateral relatif lebih
kecil dan kurang jelas terlihat (transparan). Selanjutnya Setyohadi dkk. (2001)
menyatakan bahwa nama ilmiah untuk jenis ikan teri nasi (berdasarkan ciri
morfologis dan morfometri) belum dapat diidentifikasi tuntas. Oleh karena itu,
pemberian nama ilmiah untuk jenis ikan ini masih belum meyakinkan sehingga
untuk sementara dinamakan Stolephorus sp (Shankar, 2013)
Ikan teri nasi (Stolephorus sp.) merupakan salah satu contoh jenis produk
yang banyak diminati konsumen. Ikan segar memiliki pengertian sebagai ikan yang
baru saja ditangkap, belum mengalami pengawetan, atau yang sudah diawetkan
hanya dengan pendingin (Syafitri, 2007). Suhu penyimpanan terbaik untuk ikan
segar adalah -1oC, sedangkan untuk titik beku berkisar antara -1,1oC sampai -2,2oC.
Ikan teri nasi dalam penyimpanan dilakukan dengan menggunakan bantuan garam
dan es, karena ikan teri nasi (Stolephorus sp.) merupakan ikan yang mudah busuk
dalam (Syafitri, 2007). Ikan teri nasi (Stolephorus sp.) merupakan ikan khas kota
Medan. Pemasok ikan teri atau distributornya berasal dari daerah Belawan, Tanjung
Balai, Asahan, Ledong Batubara dan Sibolga.
Gambar 2.8 Ikan teri nasi kering tawar yang digunakan dalam penelitian (Syafitri, 2007)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
2.6.4 Mekanisme Pembentukan Kalsium Pada Ikan Teri Nasi
(Stolephorus sp.)
Kalsium yang terdapat dalam Ikan teri nasi (Stolephorus sp.) dapat
meningkatkan konsentrasi kalsium ekstraseluler, sehingga dapat memicu proliferasi
dan mobilisasi dari osteoblas sebagai sel pembentuk tulang. Osteoblas mensekresi
sebuah enzim alkalin fosfatase yang dapat secara aktif mengendapkan matriks
tulang. Enzim ini juga dapat meningkatkan konsentrasi lokal fosfat anorganik
dengan pemecahan ion pirofosfat menjadi ion ortofosfat sehingga konsentrasi fosfat
anorganik akan mengalami peningkatan. Enzim ini dapat menyebabkan kondisi
lingkungan pada jaringan osteoid menjadi basa, sehingga kalsium dan fosfat akan
lebih mudah mengalami pengendapan pada matriks tulang (Fawcett, 2002).
Pengendapan ion kalsium dan fosfat pada matriks tulang yang dibentuk oleh
osteoblas akan diubah menjadi senyawa amorf kalsium fosfat, yang selanjutnya
bahan inilah yang akan diubah menjadi kristal hidroksiapatit. Meningkatnya
pembentukan kristal hidroksiapatit ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan
densitas tulang (Burr, 2002). Peningkatan densitas tulang lebih banyak terjadi pada
tulang kortikal, karena sebagian besar mineral kalsium dan fosfor tersimpan dalam
tulang kortikal. Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam penelitian ini didapatkan dari
Ikan teri nasi (Stolephorus sp.). Kebutuhan kalsium yang dapat terpenuhi dengan
baik maka dapat mencegah penurunan massa tulang, karena kekurangan kalsium
dalam plasma dapat merangsang hormon paratiroid untuk membongkar simpanan
kalsium dalam tulang. Oleh karena itu, massa tulang yang tetap terjaga dapat
membuat spesimen kelompok perlakuan ini tidak mudah fraktur dan lebih kuat
(Burr, 2002).
Keseimbangan asupan fosfor dengan kalsium dapat mempengaruhi proses
metabolisme tulang. Konsentrasi fosfor yang tidak seimbang dengan kalsium dalam
plasma tubuh dapat menyebabkan terjadinya kondisi hipokalsemia ataupun
hiperkalsemia. Apabila asupan makanan banyak mengandung fosfor, konsentrasi
fosfor serum akan meningkat dan menurunkan kalsium serum disebut dengan
hipokalsemia. Menurunnya kalsium plasma akan menurunkan proses metabolisme
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
tulang. Konsentrasi kalsium dan fosfor dalam tubuh berada di bawah kendali
hormon paratiroid dan kalsitonin (Guyton, 2007).
2.6.5 Sintesis Hidroksiapatit (HA)
Menurut Santos (2004), sintesis hidroksiapatit dilakukan dengan dua teknik
presipitasi . Pertama adalah amonium fosfat [(NH4)2.HPO4] dan Ca(OH)2 sebagai
bahan awal (persamaan 2), kemudian yang kedua yaitu kalsium hidrogen fosfat [Ca
(H2PO4) 2.H2O] dan Ca(OH)2 sebagai bahan awal (persamaan 3). pH dipantau dalam
kedua teknik. Pada reaksi pertama, suhu sintesis HA dipertahankan pada 40°C dan
pada tahap kedua, sintesis dilakukan pada suhu ruangan. Suhu yang lebih tinggi
digunakan untuk meningkatkan reaksi kinetika, pembentukan HA dan
meningkatnya pelepasan Ca(OH)2
10 Ca(OH) 2 + 6 (NH4)2.HPO4 à Ca10(PO4)6(OH)2 + 6H2O + 12NH4OH .... (1)
7 Ca (OH) 2 + 3 Ca (H2PO4) 2.H2Oà Ca10 (PO4)6(OH)2 + 15H2O ..... (2)
Sintetis nanopartikel HA dapat dibuat dengan presipitasi teknik pengadukan
pada suhu kamar dan pH 10, seperti yang dinyatakan oleh Manuel. H3PO4
ditambahkan ke Ca (OH)2 sampai Ca / P = 1,67 dipertahankan. Kristalisasi mulai
terbentuk setelah penambahan NH4OH. Pertumbuhan kristal dipantau selama 24
jam dan sinterasi dilakukan pada 1000 ° C selama 1 jam (Santos, 2004).
2.7 Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Tikus putih lebih besar dari famili tikus umumnya dimana tikus ini panjangnya
dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor, dan berat 140-500 g.
Tikus jantan biasanya memiliki ukuran yang lebih besar dari tikus betina, berwarna
putih, memiliki ukuran ekor yang lebih panjang dari tubuhnya. Data biologi tikus
disajikan pada tabel 2.3 berikut (Kusumawati, 2004).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
Tabel 2.3 Data biologis tikus wistar putih (Rattus norvegicus)
Klasifikasi tikus Putih : Kingdom : Animalia Fillum : Chordata Klas : Mammalia Ordo : Rodentia Subordo : Odontoceti Familia : Muridae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
Gambar 2.9 Tikus wistar jantan putih yang digunakan dalam penelitian (Kusumawati, 2004)
Jenis galur ini dikembangkan pada Institut Wistar di Filadelpia pada tahun
1906 untuk digunakan dalam biologi dan penelitian medis, merupakan galur tikus
pertama dikembangkan sebagai model organisme pada saat laboratorium terutama
menggunakan Mus musculus (mencit), atau mencit rumah. Lebih dari separuh dari
semua strain tikus laboratorium adalah keturunan dari koloni asli yang
dikembangkan oleh Henry fisiologi Donaldson, J. Milton administrator ilmiah
Greenman, dan peneliti genetik/ embriologi Helen Dean King.
Tikus Wistarsaat ini menjadi salah satu yang strain tikus paling populer yang
digunakan untuk penelitian laboratorium. Hal ini ditandai oleh kepala lebar, panjang
telinga, dan memiliki ekor panjang yang selalu kurang dari panjang tubuhnya. Galur
tikus Sprague Dawley dan Long-Evans dikembangkan dari tikus galus Wistar. Tikus
Wistar lebih aktif daripada jenis lain seperti tikus Sprague dawley.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
2.8 Kerangka Teori
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
2.9 Kerangka Konsep
2.10. Hipotesis
a. Ikan teri nasi (Stolephorus sp) meningkatkan jumlah osteosit tulang alveolar
rahang bawah pada tikus Wistar jantan putih (Rattus norvegicus).
b. Ikan teri nasi (Stolephorus sp.) meningkatkan kepadatan tulang alveolar
rahang bawah tikus Wistar jantan putih (Rattus norvegicus).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian adalah eksperimental laboratories dengan desain penelitian
bersifat randomized post test only kontrol group design. Eksperimental Laboratoris
merupakan kegiatan percobaan yang bertujuan mengungkapkan suatu gejala atau
pengaruh yang timbul akibat adanya perlakuan tertentu. Randomized post test only
kontrol group design adalah desain yang menempatkan subjek secara random
kedalam kelompok-kelompok dan diekspos sebagai variabel independen diberi post
test. Nilai-nilai post test kemudian dibandingkan untuk menentukan keefektivan
treatment.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1 Lokasi Penelitian
a. Laboratorium Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara, Medan.
b. Departemen Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, Medan.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan September 2017,
meliputi pembuatan infusa ikan teri nasi, pemeriksaan jumlah osteosit dan
kepadatan tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih Rattus norvegicus.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Kriteria Sampel, dalam penelitian ini digunakan sampel dengan kriteria
sebagai berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
a. Kriteria Inklusi:
- Tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan putih
- Umur 2-3 bulan
- Berat badan 200-300 g
b. Kriteria Eksklusi:
Tikus dengan penyakit tulang pada mandibula dan sakit saat masa adaptasi.
c. Kriteria Drop Out
Sampel dianggap drop out apabila selama penelitian dilaksanakan tikus Wistar
jantan putih mati.
3.3.2 Besar Sampel
Untuk mendapatkan data yang valid dilakukan pengulangan sesuai dengan
rumus Federer (2008):
(n-1) (t-1) ≥ 15
n = jumlah replikasi t = jumlah perlakuan, dalam hal ini ada 4 (K, P1, P2, dan
P3) (n-1) (4-1) ≥ 15 (n-1) (3) ≥ 15
3n-3 ≥ 15 3n ≥ 18 n ≥ 6 ≥ 6
Jadi banyaknya jumlah penelitian ini adalah empat kelompok, sehingga jumlah
sampel keseluruhan adalah 24 sampel. Diperlukan penambahan jumlah sampel drop
out sebesar 10% yakni menjadi 28 sampel.
3.4 Variabel dan Defenisi Operasional
3.4.1 Variabel Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini menggunakan tiga variabel yaitu:
a. Variabel bebas : ikan teri nasi (Stolephorus sp.)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
b. Variabel tergantung : jumlah osteosit dan kepadatan tulang pada tulang
alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih .
c. Variabel kendali : jenis kelamin tikus, berat badan tikus, umur tikus, galur
tikus, makanan standar tikus.
3.4.2 Defenisi Operasional
a. Ikan teri nasi adalah ikan khas kota Medan yang kaya akan kalsium karena
kandungan kalsium pada 100 gram ikan teri kering tawar sangat tinggi berkisar
2381mg kalsium, ikan teri diberikan 2 x sehari setiap pagi dan sore serta minum ad
libitum selama 30 hari pada 3 perlakuan yaitu P1 (0,3 ml), P2 (0,5 ml), dan P3 (0,7
ml).
b. Osteosit adalah sel-sel tulang yang matur yang terbungkus dalam lapisan-
lapisan matrik tulang yang telah mengalami mineralisasi. Penghitungan jumlah
osteosit dilakukan dengan cara cover glass ditempelkan dengan object glass
menggunakan entelan dan diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10
untuk dihitung jumlah sel-sel tulang yang ada. Penghitungan dilakukan dengan
mikroskop elektrik Olympus CX22 pada 5 lapang pandang kemudian dipersentasekan
dengan total sel yang dihitung. Perhitungan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dan
kemudian dirata-ratakan. Pada penghitungan diameter dilakukan dengan
menggunakan mikrometer Eyepiece dan diamati dengan mikroskop pada pembesaran
40 x 10.
c. Kepadatan tulang adalah rasio massa tulang dengan volume diukur secara
histomorfometri dengan pengecatan HE menggunakan mikroskop dengan perbesaran
100x dilanjutkan 400x dilihat pada 5 lapang pandang kemudian diamati kepadatan
atau ketebalan struktur trabekulae dengan Software Image Master dalam satuan
mikrometer yang telah dikalibrasi dengan mikroskop elektrik Olympus CX22.
3.5 Etika Penelitian
Pada penelitian ini, etika penelitian mencakup ethical clearance yaitu peneliti
mengajukan persetujuan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik penelitian
kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun nasional.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
3.6. Metode Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data untuk masing-masing data yaitu pengamatan berat
badan dilakukan dengan menimbang berat badan tikus dari hari ke 0 sampai hari ke
30 dengan menggunakan timbangan tikus kemudian dilakukan penghitungan pada
jumlah osteosit alveolar rahang bawah dan pengamatan pada kepadatan tulang
alveolar rahang bawah dari kelompok Kontrol, P1,P2, dan P3.
3.7 Alat dan Bahan Penelitian
3.7.1 Alat-Alat Penelitian
a. Kandang tikus ukuran 50 cm x 40 cm x 40 cm
b. Timbangan tikus, Timbangan analitik
c. Electrical scale
d. Sonde lambung
e. Alat bedah minor (skalpel dan gunting)
f. Mikroskop Olympus CX22
g. Komputer yang memiliki Software Image Raster
3.7.2 Bahan Penelitian
a. Tikus putih jantan galur Wistar jantan putih usia 2-3 bulan dengan berat
badan 200-300g
b. Makanan standar untuk tikus yaitu 551 SP dengan komposisi : Kadar air
13%, protein 20-21%, lemak kasar 7%, serat kasar 5%, abu 7%, kalsium 0,9%, dan
fosfor 0,6%
c. Ikan teri nasi kering tawar
d. Glycerin
e. Ketamine
f. Xylazine
g. Chloroform
h. Buffer formalin 10%
i. Bahan pengecatan HE
j. Plank-Rychlo’s Solution
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
k. Alkohol
l. Xylol
3.8 Pelaksanaan Penelitian
3.8.1 Hewan Coba
a. Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Rattus
norvegicus dengan berat 200-300 gram berumur 2-3 bulan diadaptasikan selama satu
minggu di tempat penelitian untuk penyesuaian dengan lingkungan.
Gambar 3.1 Tikus Wistar jantan putih (Rattus norvegicus) diadaptasikan selama satu minggu di dalam kandang untuk penyesuaian dengan lingkungan
b. Dua puluh empat ekor tikus putih jantan galur Wistar jantan putih dibagi
secara random menjadi empat kelompok yakni P0 (kontrol), P1 (perlakuan 1), P2
(Perlakuan 2), P3 (Perlakuan 3), enam ekor tikus Wistar jantan putih pada masing-
masing kelompok . Kelompok kontrol (P0) adalah tikus yang diberi pakan standar
selama 30 hari sedangkan kelompok perlakuan 1 (P1) tikus yang diberi pakan standar
dan ditambah dengan ikan teri nasi yang dibuat dalam bentuk infusa sebanyak 0,3
ml, kelompok perlakuan 2(P2) tikus yang diberi pakan standar dan ditambah dengan
ikan teri nasi yang dibuat dalam bentuk infusa sebanyak 0,5 ml, kelompok perlakuan
3 (P3) tikus yang diberi pakan standar dan ditambah dengan ikan teri nasi yang dibuat
dalam bentuk cairan sebanyak 0,7 ml,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
Gambar 3.2 Tikus Wistar jantan putih ditempatkan pada kandang masing-masing berisi 6 ekor tikus.
c. Tikus Wistar jantan putih ditempatkan pada kandang yang bersih dengan
ventilasi yang baik dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 40 cm, tinggi 40 cm dengan
suhu 25 - 27°C, kelembaban 7 - 75%. Bedding pada hewan coba adalah dengan
sekam steril yang disebelumnya disterilkan dengan autoclave. Bedding setiap 3 hari
diganti dan tikus-tikus tersebut diberikan konsumsi makanan standar AD II pellets
dan air minum Reverse Osmosis (RO) ad libitum.
d. Setiap hari dilakukan pengamatan terhadap berat badan tikus Wistar jantan
putih dan kondisi kesehatannya selama penelitian berlangsung.
e. Pemberian ikan teri nasi diberikan per oral selama 30 hari. Langkah pertama
dimulai dengan penyedotan infusa ikan teri nasi menggunakan sonde yang ujungnya
terbuat dari karet. Tikus dipegang pada kulit bagian kepala sehingga mulut
menghadap ke atas. Selanjutnya sonde dimasukkan melalui mulut secara perlahan
sampai mencapai lambung. Kemudian cairan ikan teri nasi disemprotkan. Pemberian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
cairan ikan teri nasi dilakukan dua kali sehari pada pagi hari pada pukul jam 08.00 –
09.00 WIB kemudian sore hari pada pukul 15.00-16.00 WIB.
Gambar 3.3 Cara pemberian makan infusa ikan teri nasi pada tikus Wistar jantan putih
f. Pada hari ke-30 setelah pemberian ikan teri nasi pada tikus Wistar jantan
putih kemudian tikus akan di euthanasia dengan cara dianastesi dengan menggunakan
ketamine–xylazine dengan dosis 75–100 mg/kg + 5–10 mg/kg secara intraperitoneal
dengan durasi selama 10–30 menit. Tikus difiksasi pada meja kerja lalu dilakukan
pengambilan jaringan tulang mandibula dengan skalpel atau gunting kemudian
ditempatkan dalam wadah tertutup berisi buffer formalin 10% dan dikirim ke
laboratorium untuk dibuat sediaan mikroskopis.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
Gambar 3.4 Proses persiapan pengambilan jaringan tulang mandibula. (A) anastesi dengan menggunakan ketamine–xylazine dengan dosis 75–100 mg/kg + 5–10 mg/kg secara intraperitoneal dengan durasi selama 10–30 menit. (B) pengambilan jaringan tulang mandibula dengan skalpel atau gunting
B
A
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
3.8.2 Pembuatan Sediaan Mikroskopis dan Observasi
Mandibula yang diambil dilakukan fiksasi dengan buffer formalin 10% selama
24 jam, selanjutnya dimasukkan ke dalam automatic tissue processor untuk
menyempurnakan fiksasi. Sampel kemudian dicuci dengan air mengalir kemudian
dilakukan dekalsifikasi dengan Plank-Rychlo’s Solution selama empat hari (Shibata
dkk, 2000). Setelah proses dekalsifikasi, sampel mandibula dilakukan dehidrasi
dengan menggunakan alkohol konsentrasi bertingkat yaitu alkohol 70%, 80%, 90%,
alkohol absolut I dan alkohol absolut II. Proses penjernihan dilakukan setelah
dehidrasi selesai dengan menggunakan larutan xylol I dan xylol II.
Gambar 3.5 Proses dekalsifikasi mandibula tikus Wistar jantan putih (A). Pengambilan sampel mandibula tikus Wistar jantan putih (B). Mandibula direndam dalam buffer formalin 10% selama 24 jam (C). Mandibula didekalsifikasi dengan Plank-Rychlo’s Solution selama empat hari
A B
C
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
Proses pencetakan atau parafinisasi dilakukan pendinginan selama 24 jam,
selanjutnya sampel dipotong dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan
berkisar 3-6 µm, lalu peletakan sayatan pada water bath, setelah menempel
didiamkan selama 24 jam dan dilakukan pewarnaan dengan menggunakan Harris
Hematoxylin – Eosin (HE). Sediaan dicelup dalam larutan xylol bak I dan bak II
selama 2 menit kemudian dicelupkan dalam alkohol bak I dan bak II selama masing-
masing 1 menit, lalu celupkan lagi dalam alkohol 95% dalam bak masing-masing 1
menit, cuci dalam air mengalir selama 10 menit. Masukkan dalam eosin selama 15
detik sampai 2 menit, kemudian masukkan dalam alkohol 95% dalam 2 bak selama
masing-masing 1 menit. Masukkan dalam larutan alkohol absolut 3 bak selama
masing-masing 1 menit.
Terakhir masukkan dalam larutan clearing xylol untuk memberikan warna
bening pada jaringan dan dilakukan prosedur mounting agar preparat awet dan
menambah kejernihan, kemudian ditutup deck glass dan diberi label. Setelah
pembuatan preparat selesai dilakukan observasi jumlah osteosit dan kepadatan tulang.
Osteosit dilihat pada 5 lapang pandang menggunakan mikroskop elektrik Olympus
CX22 dengan perbesaran 400x. Kepadatan tulang dilihat dengan mikroskop elektrik
Olympus CX22 dengan perbesaran 100x dilanjutkan dengan 400x pada 5 lapang
pandang diamati ketebalan struktur trabekulae dengan Software Image Raster dalam
satuan mikrometer yang telah dikalibrasi dengan mikroskop tersebut.
3.9 Analisis Data
a. Analisis deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan sebagai dasar untuk analisis statistik (uji hipotesis)
untuk mengetahui karakteristik data yang dimiliki.
b. Uji normalitas
Uji normalitas data tiap kelompok dengan Shapiro-Wilk test karena data kurang
dari 30. Data berdistribusi normal dengan nilai p>0,05.
c. Uji homogenitas
Uji homogenitas data dilakukan dengan uji ANOVA. dengan nilai p>0,05.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
d. Uji komparabilitas
Uji komparabilitas menggunakan uji antar kelompok dengan independent t-test
karena data berdistribusi normal.
3.10 Prosedur Penelitian
24 tikus wistar jantan putih jantan putih diadaptasi selama 1 minggu
Tikus wistar jantan putih jantan putih diambil secara
random
6 tikus diberi pakan standar sebagai kontrol selama 30 hari (P0)
18 tikus diberi pakan standar + ikan teri nasi masing-masing 6 ekor pada tiap
perlakuan dengan 0,3ml (P1), 0,5ml (P2), 0,7 ml (P3)
selama 30 hari
Euthanasia tikus pada hari ke-30 dan dilakukan pengambilan tulang mandibula
Analisa data
Pemeriksaan osteosit dan kepadatan tulang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Pengaruh Pemberian Ikan Teri Nasi Terhadap Jumlah Osteosit
Tulang Alveolar Rahang Bawah pada Tikus Wistar jantan putih Jantan
Putih (Rattus norvegicus)
Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 24 ekor tikus Wistar jantan putih
(Rattus norvegicus) berumur 2-3 bulan dengan berat badan 200-300 g/BB yang
terbagi menjadi 4 kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok P1 (0,3 ml infusa
ikan teri nasi), P2 (0,5 ml infusa ikan teri nasi), dan P3 (0,7 ml infusa ikan teri nasi)
masing-masing kelompok berjumlah 6 ekor yang diberikan pakan infusa ikan teri
nasi kering tawar selama 30 hari. Pembahasan ini meliputi uji normalitas, uji
homogenitas dan uji komparabilitas. Pada penelitian ini dilakukan matching antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terdiri dari umur, jenis kelamin dan berat
badan.
Tabel 4.1 Rerata Jumlah osteosit tulang alveolar rahang bawah dalam 5 Lapang Pandang Besar (LPB) pada kelompok P1,P2,P3 dan kontrol
Subjek Rerata Jumlah Osteosit Tulang Alveolar Rahang Bawah
Dalam 5 Lapang Pandang Besar/LPB (unit) (P1) (P2) (P3) (K)
1 13,4 13,4 26,4 6,6 2 12,6 12,2 17,4 6,4 3 7,2 9,6 21,2 4,6 4 15 20,8 19 4 5 14,4 15,4 19,8 5,4 6 35 22 17,6 5,4
Hasil penelitian tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih (Rattus
norvegicus) yang diberi makan ikan teri nasi dan pakan standar memperlihatkan
jumlah osteosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan tulang alveolar rahang bawah
tikus Wistar jantan putih (Rattus norvegicus) yang diberi pakan standar.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
Gambar 4.1 A. Jumlah osteosit pada tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih yang diberi pakan standar ditambah infusa ikan teri nasi, dan B. Jumlah osteosit pada tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih yang diberi pakan standar.
Pada Gambar 4.1 terlihat jumlah osteosit pada kelompok perlakuan lebih
banyak dibanding dengan kelompok kontrol.
A
B
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
Tabel 4.2 Rerata dan simpangan baku jumlah osteosit tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih dengan pemberian makan standar (K) dan pemberian infusa ikan teri nasi sebanyak 0,3 ml (P1), 05 ml(P2), dan 0,7ml(P3) (p<0,05)
Kelompok Rerata jumlah osteosit ±SD
P
K 5,40±2,01 0,01 P1 16,27±12,85
P2 15,57±7,1 P3 20,23±13,29
Keterangan: K=kelompok kontrol, P1= infusa ikan teri nasi sebanyak 0,3 ml, P2= infusa ikan teri nasi sebanyak 0,5 m, dan P3= infusa ikan teri nasi sebanyak 0,7 ml.
Tabel 4.2 di atas merupakan rerata dan simpangan baku jumlah osteosit dan
kepadatan tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih (Rattus norvegicus)
dengan pemberian makan standar (K) dan pemberian makan standar ditambah dengan
infusa ikan teri nasi sebanyak 0,3 ml (P1), 05 ml (P2), dan 0,7ml(P3). Rerata jumlah
osteosit terbanyak pada kelompok P3 yaitu sebesar 20,23±13,29 dan jumlah osteosit
paling sedikit pada kelompok kontrol yaitu sebesar 5,40±2,01. Nilai p= 0,01 lebih
kecil dari 0,05, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah osteosit
tulang alveolar tikis Wistar jantan putih yang diberi perlakuan dengan kelompok
kontrol.
Tabel 4.3 Perbedaan masing-masing kelompok dalam jumlah osteosit tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih dengan pemberian makan infusa ikan teri nasi dan pakan standar.
Sampel1-Sampel2 Mean Difference Std. Error Sig. K-P1 -10,86667* 3,85201 0,011 K-P2 -10,16667* 3,85201 0.017 K-P3 -14,83333* 3,85201 0,001 P1-P2 0,70000 3,44534 0,841 P1-P3 -3,96667 3,44534 0,265 P2-P3 -4,66667 3,44534 0,192
Keterangan: K=kelompok kontrol, P1= infusa ikan teri nasi sebanyak 0,3 ml, P2= infusa
ikan teri nasi sebanyak 0,5 m, dan P3= infusa ikan teri nasi sebanyak 0,7 ml
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
Tabel 4.3 di atas merupakan uji LSD (Least Significancy Different) untuk
melihat perbedaan masing-masing kelompok tikus Wistar jantan putih (Rattus
norvegicus) yang diberi makan infusa ikan teri nasi sebanyak 0,3 ml (P1), 0,5 ml
(P2), 0,7 ml (P3) dengan jumlah osteosit tulang alveolar tikus Wistar jantan putih
yang diberi pakan standar (K). Kelompok yang memiliki pengaruh yang besar
terhadap jumlah osteosit yaitu kelompok tikus Wistar jantan putih (Rattus
norvegicus) yang diberi makan infusa ikan teri nasi sebanyak 0,3 ml (P1), Nilai p
=0,011 lebih kecil dari nilai p<0,05 artinya dengan pemberian tambahan ikan teri
nasi sebesar 0,3 ml maka jumlah osteosit berbeda secara signifikan.
4.2 Pengaruh Pemberian Ikan Teri Nasi Terhadap Kepadatan Tulang
Alveolar Rahang Bawah pada Tikus Wistar jantan putih Jantan Putih
(Rattus norvegicus)
Hasil penelitian tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih (Rattus
norvegicus) yang diberi makan infusa ikan teri nasi sebanyak 0,5 ml (P2) dan 0,7 ml
(P3) memperlihatkan kepadatan tulang yang lebih besar dibandingakan dengan tulang
alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih (Rattus norvegicus) yang diberi
pakan standar (K) dan 0,3ml (P1).
Tabel 4.4 Rerata Kepadatan tulang alveolar rahang bawah dalam 5 lapang pandang pada kelompok P1,P2,P3 dan Kontrol
Subjek Rerata Jumlah kepadatan tulang alveolar rahang bawah
dalam 5 Lapang Pandang Besar/LPB (µm) (P1) (P2) (P3) (K)
1 215,13 544,05 97,26 337,46 2 139,95 300,5 289,74 21,65 3 186,54 433,66 333,83 329,25 4 387,61 481,34 448,09 257,70 5 246,28 420,74 613,84 236,54 6 190,13 284,75 296,92 237,5
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
Gambar 4.2 A.Kepadatan tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih yang diberi makan infusa ikan teri nasi sebesar 0,5 ml(P2), dan B. Jumlah osteosit pada tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih yang diberi pakan standar(K).
Pada Gambar 4.2 terlihat nilai kepadatan tulang alveolar lebih besar pada
kelompok perlakuan dibanding dengan kelompok kontrol.
Tabel 4.5 Rerata dan simpangan baku kepadatan tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih dengan pemberian makan standar (K) dan pemberian infusa ikan teri nasi sebanyak 0,3 ml (P1), 05 ml(P2), dan 0,7ml(P3)
Kelompok Rerata kepadatan tulang alveolar ±SD
P
Kontrol 236,53± 149,03 0,085 P1 227,61± 85,88
P2 410,71±115,45 P3 346,62±173,06
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76
Tabel 4.5 diatas merupakan rerata dan simpangan baku kepadatan tulang
alveolar rahang bawah tikus Wistar jantan putih Rattus norvegicus dengan pemberian
makan standar (K) dan pemberian infusa ikan teri nasi sebanyak 0,3 ml (P1), 05 ml
(P2), dan 0,7ml (P3). Rerata kepadatan tulang alveolar terbesar pada kelompok P2
yaitu sebesar 410,71±115,45 dan kepadatan tulang alveolar terkecil pada kelompok
P1 yaitu sebesar 227,61± 85,88. Nilai p =0,085, p>0,05 artinya tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara kepadatan tulang alveolar tikus Wistar jantan putih
yang diberi perlakuan dengan kelompok kontrol.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
77
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Pengaruh Pemberian Ikan Teri Nasi Terhadap Jumlah Osteosit
Tulang Alveolar Rahang Bawah pada Tikus Wistar jantan putih Jantan
Putih (Rattus norvegicus)
Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus Wistar jantan putih berumur 2-3
bulan dengan Galur Wistar jantan putih yang dibagi menjadi empat kelompok yakni
kelompok kontrol (kelompok tikus yang diberi pakan standar saja) dan kelompok
perlakuan yaitu (kelompok tikus yang diberi pakan standar dan tambahan ikan teri
nasi) yaitu P1 (0,3 ml infusa ikan teri nasi), P2 (0,5 ml infusa ikan teri nasi), P3 (0,7
ml infusa ikan teri nasi), masing-masing kelompok berjumlah 6 ekor selama 30 hari.
Umur tikus 2-3 bulan bila dikonversikan ke manusia merupakan umur dewasa muda.
Pada penelitian ini hanya memakai tikus jantan agar tidak ada pengaruh dari hormon
seperti hormon estrogen. Pada awalnya penelitian ini direncanakan memberi infusa
ikan teri nasi peroral selama 30 hari.
Jumlah osteosit pada kelompok tikus Wistar jantan putih yang diberi pakan
standar ditambah dengan makan ikan teri nasi sebagai perlakuan dan pakan standar
saja sebagai kontrol memperlihatkan nilai yang bervariasi yaitu pada kelompok tikus
Wistar jantan putih yang diberi pakan standar dan ikan teri nasi tertinggi pada
kelompok P1 pada subjek yang keenam yaitu 35 dan terendah terdapat pada
kelompok P2 pada subjek yang ketiga yaitu 9,6, sedangkan pada kelompok yang
hanya diberi pakan standar (K) tertinggi terdapat pada kelompok kontrol pada subjek
pertama yaitu 6,6 dan terendah terdapat pada kelompok kontrol pada subjek keempat
yaitu 4, hal ini kemungkinan disebabkan karena sebelum dilakukan penelitian tidak
dilakukannya penghitungan jumlah osteosit. Perbedaan jumlah osteosit ini
kemungkinan juga bisa disebabkan karena tingkat stress pada tikus yang
mempengaruhi hormon dan aktivitas fisik. Aktivitas fisik akan memberikan pengaruh
terhadap peningkatan massa tulang dan pengoptimalan Semakin besar aktivitas fisik
maka kepadatan tulang akan bertambah. Latihan fisik mempengaruhi perubahan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
78
dalam metabolisme tulang melalui efek langsung (direct effect) dan tidak langsung
(indirect effect), efek langsung melalui kekuatan mekanik (mechanic force)
sedangkan tidak langsung melalui faktor hormonal. Kekuatan mekanik apabila
diterapkan dalam jaringan tulang membentuk tanda endogen, oleh sistem
mechanosensoric yang tanda-tanda tersebut akan ditangkap oleh osteosit dan
kemudian diubah menjadi tanda-tanda biokimia yang mengatur pergantian tulang.
Kekuatan mekanik merangsang pelepasan prostaglandin E2 (PGE2) dari gap
junction. PGE2 akan berikatan dengan reseptor pada osteosit dan merangsang
pembentukan protein yang menjadi matriks tulang. Efek tidak langsung latihan fisik
mempengaruhi metabolisme tulang adalah dengan merangsang sekresi dari hormon
tumbuh (growth hormone). Latihan fisik akan menyebabkan stressor yang akan
merangsang hipofisis anterior mensekresi growth hormon. Hormon pertumbuhan
akan merangsang hati untuk menghasilkan Insulin - Like Growth Factor – 1 (IGF-1)
yang akan meningkatkan kinerja sel osteoblas (Ocarino, 2006; Lesmana,2015).
Jumlah osteosit dan kadar mineral yang berkurang akan mengakibatkan
kepadatan sel berkurang (Djuwita dkk, 2000). Hormon yang berpengaruh dalam
meningkatnya jumlah sel-sel pembentuk tulang pada penelitian ini yaitu kalsitonin
dan Paratiroid Hormon (PTH). Membran sel kelenjar paratiroid mengandung sensor
kalsium yang dapat mendeteksi kadar kalsium darah. Aktivasi reseptor kalsium
terjadi bila kadar kalsium darah tinggi, menyebabkan pelepasan fosfolipase A2,
asam arakidonat, dan leukotrien. Leukotrien menginhibisi sekresi hormon paratiroid
melalui degradasi 90% granul sekretori yang mengandung bentuk preformed
hormon paratiroid. Aktivasi reseptor kalsium tidak akan terjadi bila kadar kalsium
darah rendah. Hormon paratiroid bekerja dengan berikatan dengan reseptor
membran sel organ target, yaitu reseptor hormon paratiroid 1 di ginjal dan tulang.
Hormon paratiroid meningkatkan reabsorbsi kalsium dengan mempermudah pori
kalsium di tubulus distal ginjal terbuka. Hormon paratiroid meningkatkan degradasi
tulang dengan bekerja pada osteoblast melalui RANKL di tulang. Hormon paratiroid
juga menstimulasi hidroksilasi 25-OH-vitamin D3 menjadi bentuk aktifnya
(kalsitriol). Efek kalsitonin terhadap kalsium bertentangan dengan efek hormon
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
79
paratiroid. Kalsitonin menginhibisi aktivitas osteoklast, mengurangi resorpsi tulang,
dan meningkatkan ekskresi kalsium melalui ginjal, jadi fungsi kalsitonin
menurunkan kadar kalsium darah.
Hormon paratiroid mempunyai dua efek pada tulang dalam menimbulkan
absorpsi kalsium dan fosfat. Pertama merupakan suatu tahap cepat yang dimulai
dalam waktu beberapa menit dan meningkat secara progresif dalam beberapa jam
yang disebabkan oleh aktivasi sel-sel tulang yang sudah ada terutama osteosit untuk
meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat. Tahap yang kedua adalah tahap yang lebih
lambat, dan membutuhkan waktu beberapa hari atau bahkan beberapa minggu untuk
menjadi berkembang penuh, fase ini disebabkan oleh adanya proses proliferasi
osteoklas yang diikuti dengan sangat meningkatnya reabsorpsi osteoklastik pada
tulang sendiri. Hormon paratiroid dapat menyebabkan pemindahan garam-garam
tulang dari dua tempat didalam tulang. Hormon paratiroid dapat mengaktifkan pompa
kalsium dengan kuat sehingga menyebabkan pemindahan garam-garam kalsium
fosfat dengan cepat dari kristal tulang amorf yang terletak dekat dengan sel. Hormon
paratiroid diyakini merangsang pompa ini dengan meningkatkan permeabilitas ion
kalsium pada sisi cairan tulang dari membran osteositik sehingga mempermudah
difusi ion kalsium ke dalam membran sel cairan tulang. Selanjutnya pompa kalsium
pada sisi lain membran sel dengan memindahkan ion kalsium yang tersisa kedalam
cairan ekstraselular.
Suatu efek dari hormon paratiroid yang lebih banyak dikenal adalah aktivasi
hormon paratiroid terhadap osteoklas namun osteoklas sendiri tidak memiliki protein
reseptor membran untuk hormon paratiroid, sebaliknya diyakini bahwa osteoblas dan
osteosit teraktivasi mengirimkan suatu sinyal sekunder tetapi tidak dikenali oleh
osteoklas sehingga osteoklas memulai kerjanya dengan cara melahap tulang dalam
waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Aktivasi sistem osteoklastik terjadi
dalam dua tahap: (1) aktivasi yang berlangsung dari semua osteoklas yang sudah
terbentuk, dan (2) pembentukan osteoklas yang baru.
Kelebihan hormon paratiroid selama beberapa hari biasanya menyebabkan
sistem osteoklastik berkembang dengan baik tetapi karena pengaruh rangsangan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80
hormon paratiroid yang kuat, pertumbuhan ini berlangsung terus-menerus selama
berbulan-bulan. Setelah beberapa bulan, resorpsi osteoklastik tulang dapat
menyebabkan lemahnya tulang dan menyebabkan rangsangan sekunder pada
osteoblas yang mencoba memperbaiki keadaan tulang yang lemah. Oleh karena itu,
efek yang terakhir dari hormon paratiroid adalah untuk meningkatkan aktivitas
osteoblastik dan osteoklastik, namun pada tahap akhir, masih terjadi lebih banyak
absorpsi tulang daripada pengendapan tulang dengan adanya kelebihan hormon
paratiroid yang terus menerus. Tulang ternyata lebih banyak mengandung banyak
kalsium jika dibandingkan dengan jumlah total kalsium dalam cairan ekstraselular,
bahkan bila hormon paratiroid menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium yang
sangat besar dalam cairan ekstraselular. PTH juga meningkatkan reabsorpsi Ca2+ di
tubulus distal, meningkatkan pembentukan 1,25 dihidroksikolekalsiferol (vitamin D3
atau metabolit vitamin D) yang secara fisiologis aktif.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Fadhillah (2013) bahwa pemberian ikan teri
nasi (Stolephorus sp.) dan susu kedelai dapat meningkatkan densitas tulang
mandibula, penelitian yang dilakukan oleh Rizka (2012) juga melaporkan bahwa
penambahan ikan teri dapat meningkatkan kekuatan impak tulang mandibula tikus
Wistar jantan putih jantan.
Tabel 4.1 memperlihatkan jumlah osteosit pada kelompok tikus yang diberi
makan ikan teri nasi dan pakan standar (P1;P2;P3) lebih tinggi daripada kelompok
kontrol (K). Hal ini disebabkan karena ikan teri nasi merupakan jenis ikan teri yang
banyak mengandung kalsium. Kandungan gizi teri segar meliputi energi 77 kkal;
protein l6g; lemak 1,0 g; kalsium 500 mg; phosfor 500 mg; besi 1,0 mg; Vit A RE 47;
dan Vit B 0,1 mg (Djuhanda, 1981). Kandungan kalsium pada ikan teri segar, kering
tawar dan kering asin per 100 gramnya, masing-masing adalah 500, 2.381, dan 2.000
mg, Sedangkan kadar fosfornya, masing-masing adalah 500, 1.500, dan 300 mg/100 g
(Astawan, 2008). Dalam penelitian terdahulu, ikan teri tawar dilaporkan dapat
digunakan sebagai bahan terapi pada tikus putih yang mengalami osteodistrofi
fibrosa. Menurut Nursofah (2012) pemberian ikan teri tawar dengan rasio CA:P yaitu
1:1,5 selama 5 minggu dapat meningkatkan kadar kalsium dalam darah dan diikuti
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
81
adanya perbaikan tulang pada gambaran mikroskopis tulang femur yang mengalami
osteodistrofi fibrosa.
Tabel 4.2 memperlihatkan nilai rerata dan simpangan baku dari masing-masing
kelompok. Terlihat bahwa jumlah osteosit tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar
jantan putih dengan pemberian infusa ikan teri nasi sebanyak 0,3 ml (P1), 05 ml
(P2), dan 0,7ml (P3) lebih besar daripada keompok control (K) dengan nilai p<0,05.
Nilai rerata dan simpangan baku jumlah osteosit pada kelompok P1
adalah16,27±12,85; P2 adalah 15,57±7,1; P3 adalah 20,23±13,29 sedangkan pada
kelompok kontrol adalah 5,40±2,01. Jumlah osteosit tulang alveolar pada kelompok
perlakuan dan kontrol yang didapat sangat bervariasi dimana ada data yang terlalu
tinggi dan ada data yang terlalu rendah dari rata-rata, dapat dilihat dari hasil
Homogenity of Variance, menunjukkan data tidak terdistribusi normal dan nilai
varian yang tidak sama, sehingga untuk memastikan nilai p dilakukan uji Kruskal-
Wallis.
Dari hasil Anova terbukti bahwa pada α=0,05 jumlah osteosit tulang alveolar
rahang bawah tikus Wistar jantan putih kelompok perlakuan (P1, P2, dan P3) dan
kelompok kontrol berbeda secara signifikan (p<0,05). Pada tingkat signifikansi 5%
rata-rata kelompok perlakuan dan kontrol berbeda. Hasil uji statistik dari penelitian
ini menunjukkan bahwa ada pengaruh ikan teri nasi terhadap jumlah osteosit tulang
alveolar tikus Wistar jantan putih .
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82
5.2 Pengaruh Pemberian Ikan Teri Nasi Terhadap Kepadatan Tulang
Alveolar Rahang Bawah pada Tikus Wistar jantan putih Jantan Putih
(Rattus norvegicus)
Kepadatan tulang alveolar pada kelompok tikus Wistar jantan putih yang
diberi pakan standar ditambah dengan makan ikan teri nasi sebagai perlakuan dan
pakan standar saja sebagai kontrol memperlihatkan nilai yang bervariasi yaitu pada
kelompok tikus Wistar jantan putih yang diberi pakan standar dan ikan teri nasi
tertinggi pada kelompok P3 pada subjek yang kelima yaitu 613,84 dan terendah
terdapat pada kelompok P3 pada subjek yang pertama yaitu 97,26, sedangkan pada
kelompok yang hanya diberi pakan standar (K) tertinggi terdapat pada kelompok
kontrol pada subjek 1 yaitu 337,46 dan terendah terdapat pada kelompok kontrol pada
subjek kedua yaitu 21,65, hal ini kemungkinan disebabkan karena sebelum dilakukan
penelitian tidak dilakukannya penghitungan kepadatan tulang alveolar tikus Wistar
jantan putih. Perbedaan nilai kepadatan tulang ini kemungkinan juga bisa disebabkan
karena tingkat stress pada tikus yang mempengaruhi hormon dan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan massa tulang
dan pengoptimalan Semakin besar aktivitas fisik maka kepadatan tulang akan
bertambah. Tabel 4.4 memperlihatkan nilai kepadatan tulang alveolar pada kelompok
tikus yang diberi makan ikan teri nasi dan pakan standar (P2;P3) lebih tinggi daripada
kelompok kontrol (K) dan P1. Berdasarkan data-data yang diperoleh, pemberian
infusa ikan teri nasi yang diberikan kepada kelompok perlakuan secara sondase
lambung akan diabsorbsi dari dalam usus ke dalam cairan ekstraseluler sekitar 30-
80% dari kalsium yang masuk dan sisanya akan dieksrekikan melalui tinja.
Absorbsi terjadi di lumen usus halus bagian atas dimana penyerapan kalsium
dalam usus lebih sering terjadi melalui transport aktif . Transpor aktif dapat
meningkatkan proliferasi dan differensiasi terhadap sel tulang tikus yang dikultur.
Transpor aktif difasilitasi oleh 1,25 dihidroksikolekalsiferol, merupakan metabolit
vitamin D yang dibentuk ginjal. Absorbsi melalui difusi pasif bila kadar ion kalsium
tinggi maka 1,25 dihidroksikolekalsiferol turun karena kalsium plasma meningkat.
Akibatnya penyerapan kalsium mengalami adaptasi yakni mengalami peninggian bila
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
83
ion yang masuk rendah dan sebaliknya (Guyton& Hall, 2007). Kadar ion kalsium
dalam cairan ekstraseluler akan dipertahankan dalam keadaan homeostatis, bila
menurun maka tejadi peningkatan absorbsi kalsium di usus, reabsorbsi di ginjal dan
diambil dari tulang, sehingga kadar ion kalsium kembali normal.
Ketidakseimbangan antara resorpsi dan pembentukan tulang pada proses
remodeling tulang. Aktivitas remodeling berlangsung melalui sel-sel osteogenik dan
osteoklas yang terdapat di periosteum, endosteum osteonal, korteks, dan periosteum
bersifat balans positif, deposisi tulang oleh osteoblas lebih tinggi dibanding
pembongkaran oleh osteoklas. Endosteum osteonal bersifat balans, aktivitas osteoblas
dan osteoklas seimbang, sedangkan endosteum korteks dan trabekula bersifat balans
negatif, yang berarti osteklasia mendominasi aktivitas remodeling. Seperti yang
terjadi pada penelitian ini, penyerapan tulang didominasi di tulang trabekula,
sehingga tulang trabekula tampak semakin tipis. Tabel 4.5 memperlihatkan nilai rerata dan simpangan baku dari masing-masing
kelompok. Terlihat bahwa kepadatan tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar
jantan putih dengan pemberian infusa ikan teri nasi sebanyak 05 ml (P2), dan
0,7ml (P3) (p<0,05) lebih besar daripada keompok control dan P1. Nilai rerata dan
simpangan baku kepadatan tulang alveolar pada kelompok P2 adalah 410,71±115,45;
P3 adalah 346,62±173,06 sedangkan pada kelompok kontrol adalah 236,53± 149,03
dan P1 adalah 227,61± 85,88. Urutan nilai kepadatan tulang alveolar rahang bawah
tikus Wistar jantan putih dari yang paling besar sampai terkecil yaitu P2-P3-K-P1.
Hasil Anova terbukti bahwa kepadatan tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar
jantan putih pada seluruh kelompok perlakuan dan kontrol tidak terdapat perbedaan
yang signifikan (p>0,05). Hal ini diduga karena adanya faktor variasi dari setiap
tikus. Variasi yang terjadi antara lain perbedaan resapan bahan maupun kecepatan
metabolisme yang dapat mempengaruhi hasil percobaan.
Faktor genetik diduga kuat mempengaruhi terjadinya hal tersebut, salah satu
gen yang berperan adalah gen BMP 2. BMP-2(Bone morphogenetic protein-2) adalah
stimulator tulang yang mampu menginduksi diferensiasi dari sel mesenkimal menjadi
osteoblas, menstimulasi pembentukan tulang termasuk dalam superfamili faktor
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
84
pertumbuhan beta (TGF-beta). Bone Morphogenetic Protein-2 (BMP-2) disintesis
sebagai molekul prekursor besar (Met 1 -Arg 396, dengan sinyal peptida dari Met 1
hingga Gly 23), propeptida (Leu 24 -Arg 282) yang dibelah oleh PCSK5 (Proprotein
Convertase Subtilisin/ Kexin tipe 5). Bentuk aktif terdiri dari dimer dua protein
identik yang dihubungkan oleh ikatan disulfida di Cys 360. Ini memainkan peran
penting dalam pengembangan tulang dan tulang rawan, diferensiasi sel jantung dan
transisi epitel ke mesenkimal. Ini juga terlibat dalam jalur landak, jalur pensinyalan
TGF-beta, dan dalam interaksi reseptor sitokin-sitokin.
Bone morphogenetic protein-2 (BMP-2) mengatur diferensiasi osteoblas dan
mengendalikan kelangsungan hidup osteoklas, pematangan, dan aktivasi dengan
mengatur ekspresi RANKL dan Colony-stimulating factor 1 (CSF-1). Sinyal BMP
melalui tipe I (BMPR I) dan tipe Reseptor transmembran II (BMPR II) mengikat
BMP ke BMPR II merekrut BMPR I dan mengaktifkannya dengan fosforilasi di
domain Glycine-serine (GS) (domain GS yang terdiri dari banyak glikin dan residu
serin), hal ini akan memulai transduksi sinyal intraseluler oleh BMP sebagai
fosforilasi BMPR I yang diaktifkan reseptor-diaktifkan Smads 1, 5, dan 8 yang pada
gilirannya mengikat ke Smad4 dan mentranslokasi ke nukleus untuk mengatur
transkripsi gen. BMP-2 mengatur integrasi pensinyalan Smad dengan pensinyalan
non-Smad pada osteoblas untuk mengendalikan diferensiasinya dan transkripsi gen.
Peran penting dari BMP-2 yang diaktifkan phosphatidylinositol 3-kinase dan
hilirnya partner Akt kinase berkembang pada osteoblas yang diinduksi oleh
diferensiasi BMP-2 dan ekspresi dan sekresi CSF-1 dari osteoblas untuk mendukung
pembentukan osteoklas aktif. Nuclear factor of activated T cells (NFATc1) mengatur
diferensiasi osteoklas dengan transkripsi mengaktifkan RANKL yang mengumpan
balik untuk menginduksi NFATc1. Bukti eksperimental juga menunjukkan peran
NFATc1 pada aktivitas osteoklas. Baik BMP-2 dan NFATc1 sangat penting untuk
mendorong diferensiasi osteoblas dan aktivitas osteoklas yang dimediasi osteoblas
yang menjadi penghubung di antara keduanya. BMP-2 memobilisasi intraseluler Ca2+
untuk mengaktifkan calcineurin phosphatase, mengarah ke NFATc1 transaktivasi
dalam osteoblas yang pada gilirannya mengarah ke autoregulasi ekspresi gen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
NFATc1 yang dimediasi oleh BMP- 2-dibantu cross-talk signaling dari Smad dan PI
3-kinase.
Peningkatan densitas tulang mandibula tikus Wistar jantan putih yang
mengkonsumsi ikan teri nasi tersebut dimungkinkan karena komponen yang terdapat
pada ikan teri. Kandungan kalsium yang didapat dari ikan teri dapat meningkatkan
osteoblas menjadi osteosit sehingga pembentukan tulang dapat terjadi dengan cepat
dan diharapkan kepadatan tulang juga akan semakin meningkat sehingga membantu
metabolisme tulang antara lain protein dan bermacam mineral seperti kalsium, dan
fosfor.
Protein dalam ikan teri nasi dicerna dalam lambung oleh pepsin kemudian
diserap dalam bentuk asam amino dan dihantarkan ke darah sehingga semua molekul
asam amino masuk ke dalam sel kemudian asam amino bergabung satu sama lain
dengan ikatan peptida untuk membentuk protein sel yaitu kolagen. Nutrisi utama
dalam ikan teri nasi yang memiliki peran penting dalam pembentukan densitas adalah
kalsium dan fosfor karena mineral ini merupakan unsur pembentuk utama dari kristal
hidroksiapatit (Ca10(PO4)6(OH)2) tulang. Kristal hidroksiapatit merupakan salah satu
unsur yang penting dalam densitas tulang Penggabungan hidroksiapatit tulang dengan
jaringan kolagen tulang membentuk kekerasan dan kelenturan sehingga kekerasan
yang didapat tidak kaku dan rapuh (Ratih dkk, 2013).
Kalsium dan fosfor dalam ikan teri nasi diduga mampu meningkatkan densitas
tulang karena pemberian tambahan kalsium meningkatkan konsentrasi kalsium
esktraselular yang dapat memicu mobilisasi dan proliferasi osteosit sebagai sel
pembentuk tulang. Peningkatan ini meningkatkan sintesa matriks tulang. Berdasarkan
penelitian ini, diet tambahan ikan teri nasi dapat meningkatkan jumlah osteosit dan
kepadatan tulang rahang bawah pada tikus Wistar jantan putih jantan. Dengan
demikian, ikan teri nasi mungkin dapat digunakan sebagai makanan yang baik untuk
tulang, khususnya tulang anak-anak yang diperlukan pada masa pertumbuhan, maka
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menciptakan makanan berbahan dasar ikan
teri nasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
86
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian tentang pengaruh ikan teri nasi
terhadap jumlah osteosit dan kepadatan tulang alveolar rahang bawah tikus Wistar
jantan putih , dapat disimpulkan:
a. Ada pengaruh ikan teri nasi terhadap jumlah osteosit tulang alveolar rahang
bawah tikus Wistar jantan putih (Rattus norvegicus). Terdapat jumlah osteosit lebih
tinggi pada kelompok tikus Wistar jantan putih yang diberi tambahan makan ikan
teri nasi baik pada P1,P2 maupun P3 berbeda signifikan dengan tikus yang hanya
diberi pakan standar (K) dengan p=0,01(p<0,05).
b. Ada pengaruh ikan teri nasi terhadap kepadatan tulang alveolar rahang
bawah tikus Wistar jantan putih (Rattus norvegicus), nilai p=0,085(p>0,05). Terdapat
perbedaan kepadatan tulang alveolar yang lebih tinggi pada kelompok ikan teri nasi
namun tidak signifikan pada seluruh kelompok ikan teri nasi.
6.2 Saran
a. Dibutuhkan penelitian dengan waktu penelitian yang lebih lama karena efek-
efek yang disebabkan kalsium dalam peningkatan kepadatan tulang alveolar.
b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melihat Growth Factor karena
proses proliferasi dan diferensiasi osteoblas menjadi osteosit dipengaruhi oleh
Growth Factor.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
87
DAFTAR PUSTAKA
Alexander GR, Alesha BC, Charles HT, 2006. Biomechanical and molecular regulation of bone remodelling. Annu Rev Biomed Eng;8:455-98.
Allen, M.R., Burr, D.B, 2013. Techniques in Histomorphometry. In : Burr,
D.B.,Allen, M.R., editors. Basic and Applied Bone Biology. 1st Ed. London.Elsevier Science and Technology Books. p. 135 – 7.
Anderson TL et al, 2013. Understanding Coupling between Bone Resorption and
Formation. The American Journal of Pathology; 183(1):235-46. Applemen-Djikstra NM, Papapoulus SE, 2015. Modulating bone resorpstion and
bone formation in opposite directions in the treatment of postmenopausal osteoporosis. Drugs;75(10):1049-58.
Ardan R, 2011. Ligamen periodontal sebagai pendukung gaya kunyah,
Dentofasial:10(1):60-64 Aryati EE, Dharmayanti AWS, 2014. Manfaat ikan teri segar (Stolephorus sp.)
terhadap pertumbuhan tulang dan gigi. ODONTO Dental journal;1(2):52-6. Balasch J, 2003. Sex steroids and bone: current perspectives. Human Reproduction
Update.;9(3):207-22. Bellido T, 2012. Osteocytes-driven bone remodeling.Calcif Issue Int;94(1):25-34. Bolland MJ dkk, 2015. Calcium intake and risk of fracture: systematic review. BMJ
;351:4580. Bonewald LF, 2011. The amazing osteocyte. Journal of bone and mineral
research;26(2):229-38. Bozzini E C, Graciela C, Rosa M A, Clarissa B.Bone mineral density and bone
strength from mandible of chronically protein restricted rat. Acto odontol latinoam2011, 24 (3): 223-28.
Bueno AL, Czepielewski HA, 2008. The importance for growth of dietary intake of
calcium and vitamin D. Jornal de Pediatria:84(5): 386-93. Capulli M,Paone R, Rucci R, 2014. Osteoblast and osteocyte: Games without
frontier. Arch. Biochem Biophys:1-10.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
88
Chen H, Hayakawa D, Emura S, Ozawa Y, Okumura T, Shoumura S, 2002. Effect of low or high dietary calcium on the morphology of the rat femur. Histol Histopathol;17:1129-35.
Cole, R.E. 2008. Improving Clinical Decisions for Women at Risk of Osteoporosis:
Dual-Femur Bone Mineral Density Testing. JAOA. 108(6) :289 - 95.
Cosman F, de Beur SJ, LeBoff MS, Lewiecki EM, Tanner B, Randall S, Lindsay R, 2014. clinician's guide to prevention and treatment of osteoporosis. Osteoporos Int. ;25(10):2359-81.
Creedon A. and Cashman K.D. (2001). The effect of calcium intake onbone
composition and bone resorption in the young growing rat. Br.J. Nutr. 86, 453-459.
Cullinane DM,2002. The role of osteocytes in bone regulation:Mineral homeostatis
versus mechanoreception. J Musculoskeltal Neuron Interact;2(3):242-4 Dallas SL, Bonewald LF,2010. Dynamic of the transition from osteoblast to
osteocyte;1192:437-43 Davey RA , Findlay DM,2013. Calcitonin:Physiology or fantasy?.JBMR;28(5):973-
9 Djuwita I, Pratiwi IA, Winarto A, Sabri M, 2012. Proliferaasi dan diferensiasi sel
tulang tikus dalam medium kultur In Vitro mengandung ekstrak batang Cissus quadrangula Salisb. Extract. Jurnal Ked.Hewan ;6(2):75-80.
Fernandez I., M.A.A.A. Gracia, M.C Pingarron, and L.B. Jerez , 2006. Phisiological
bases of bone regeneration II. The Remodelling processs. Med Oral Patol Cir Bucal;11:151-7.
Forstein, D.A., Bernardini, C., Cole, R.E., Harris, S.T., Singer A. 2013. Before the
Breaking Point: Reducing the Risk of Osteoporotic Fracture. JAOA. 113(2) (Suppl. 1) : S5 - S24.
Franz-Odendaal T, Hall B.K, 2005. How Osteoblast become osteocytes.
Development dynamic J:235;176-90. Gosink J,2015. Parathyroid hormone, calcitonin and vitamin D testing in calcium and
bone metabolic disorders; Medlab Magazine ;2:26-8. Hamrun N, Hatta M, 2011. Polimorfime gen vitamin D reseptor pada penderita
periodontitis kronis. JST Kesehatan ;1(2):165-72.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
89
Heino T.J, Hentuntn T.A. 2008.Differentietion of Osteoblast and osteocytes from mesenchymal stem cells. Current stem cell research & therapy :3;131-45.
Hertiningsih, Nitsuwirjo, Wiryastuty. 2013. Respon tulang, ginjal dan kelenjar
paratiroid tikus Wistar jantan putih yang mengkonsumsi pakan mengandung fosfor bervariasi. Jurnal Sain Veteriner :110-9.
Hill,PA and M.Orth. 1998. Bone Remodelling. British Journal of Orthodontics 25: Hoenderop J.G.J,Nilius B, Bindels R.J.M. 2005. Calcium Absorption across
epithelia. Physiol Rev 85:373-422. Indah DE, 2013. Minyak ikan lemuru menurunkan apoptosis osteoblas pada tulang
alveolaris tikus Wistar jantan putih .Dental Jurnal;46(4):185-9. Junqueira, L.C., Carneiro, J, 2007. Histologi Dasar : Teks & Atlas. (Tambayong,J.,
Pentj) Ed 10, 134 - 6. Kawiyana S. IK .2009. Osteoporosis pathogenesis diagnosis dan penanganan terkini.
J Peny Dalam;10(2):157-70 Kumar R, Thompson JR, 2011. The regulation of parathyroid hormone secretion and
synthesis. J Am Soc Nephrol;22:216-224. Kumar AN,2010. Hydroxyapatite synthesis methodologies: an overview.
International Journal of ChemTech Research; 2(2): 903-7. Liu P, Yang DQ, Xie F, Zhou B, Liu M,, 2014. Effect of calcitonin on anastrozole-
induced bone pain during aromatase inhibitor therapy for breast cancer. Genetic and Molecular Research;13(3):
Manolagas, S.C, S.Kousteni and R.L Jilka.2002. Sex steroid and bone. Recent Prog.
Horm.Res;57:385-409. Murphy E Williams. 2009. Hypocalcemia. Medicine;37(9):465–8. Masyitha, D. 2006. Struktur Mikroskopik Tulang Mandibula pada Tikus Ovariektomi
dan Pemberian Pakan Rasio Fosfat / Kalsium Tinggi. Media Kedokteran Hewan. 22(2) : 112 – 7
National Library of Medicine. 2011. Bone Density. Available from:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/bonedensity.html. Nurul MA, Permatasari N, Aspek biologis pergerakan gigi secara ortodonsi.
Stomatognatic; 13(1): 22--27
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90
Ocarino NM, Serakides R, 2006. Effect of the physical activity on normal bone andon the osteoporosis prevention and treatment. Rev Bras Med Esporte. 12: 149 – 152.
Opotowsy S, 2002. Dietary calcium intake, fractional calcium absorption,urinary
calcium excretion, and levels of calcitropic hormones and bone markers in young, healthy Chinnese-American and Caucasian women. Doris duke medical students journal;1:44-50
Peacock M, 2010. Calcium metabolism in health and disease. CJASN ;5(1):23-30. Prasetyastuti,2010. Pengaruh polymorphisme PVUIII gen reseptor estrogen alfa
terhadap kadar kalsium dan phosphate serum pada wanita postmenopause.Berita Kedokteran Masyarakat ;26(1):29-32.
Pratomo, F.A., Padaga, M.C., Pramana, A.W.M. 2012. Efek Pemberian Tepung
Tulang Ikan Tuna Madidihang (Thunus albacares) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Ovariektomi Berdasarkan Histopatologis Tulang Femur dan Ekspresi TNF-α” (skripsi). Malang : Universitas Brawijaya.
Pravina P, Sayaji D, Avinash M, 2013. Calcium and its role in human body.
International Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Sciences;4(2):659-68.
Qin M et al.1998 . The effect of calcium supplement given with mixtureof calcium
carbonate and calcium citrate on the mandibular alveolar bone of pubertal rats. Journal of Bone and Mineral Metabolism.
Ramlan. 2016. perbuatan melawan hukum penanaman modal asing bidang usaha
perikanan di Indonesia. Yustisia;5(1):31-40. Rattanakul C, Rattanamongkonkul S, 2011. Effect of caltonin on bone formation and
resorption: Mathematical modeling approach. International Journal of Mathematical models and methods
Ross AC et al. Review dietary references intakes for calcium and vitamin D. 2011.
Washington DC: National Academies Press. Ratih PH, Pramestri SL, Herawati D. 2013. Pengaruh penambahan platelet-rich
plasma pada cangkok tulang terhadap kadar osteocalcin cairan sulkus gingival pada terapi poket infraboni. Jurnal PDGI;62(3):75-82.
Rittweger, J. Can exercise prevent osteoporosis? J Musculoskelet Neuronal Interact.,
Vol. 6, No. 2, June 2006, pp. 162-66
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
91
Sankar T.V et al, 2013. Chemical composition and nutritional value of
Anchovy(Stolephorus commersonii) caught from Kerala coast, India. J.Exp.Bio; 3(1):85-9 in apllied sciences; 8(5):1363-71.
Sarvraj KS, Virinder KS, 2011. Role of RANKL-RANK/Osteoprotegerin molecular complex in bone remodeling and its immunopathologic implications. Indian J endocrinol Metab; 15(3):175-81.
Seeman,E .2003. The structural and biochemical basis of the gain and loss of bone
strength in woman and Men . Endrocrinol. Mrtab.Clin.Orth.Am:32:25-38 Setyorini A, 2009. Pencegahan osteoporosis dengan suplementasi kalsium dan
vitamin D pada penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Sari Pediatri;11(1):32-8
Tahir A M, 2009. Peran polimorfisme gen collagen type 1 alpha 1 (COL 1α1)
terhadap penurunan drastis mineral tulang vertebral lumbal akseptor KB suntik DMPA. Maj obstet Ginekol Indones;33(3):176-84.
Watted N, Hussein E, Abu MM, Abdulgani A, Proff P, Muhammad AH, 2014.
Parathyroid hormone: is it really the cause for increased tooth mobility after orthognathic surgery?.Open Journal of stomatology;4:424-33.
Wilkins CH.2007. Osteoporosis screening and risk management. Clin Interv Aging.
2007 Sep; 2(3): 389–394 Xiong J, Charles A, 2013. Osteocyte RANKL:New Insights into the contro of bone
remodeling. J Bone Miner Res;27(3):499-505.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
92
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
93
Lampiran 1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94
Lampiran 2
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
95
Lampiran 3
Perlakuan
Case Processing Summary
perlakuan
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
osteosit kontrol 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%
perlakuan 1 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%
perlakuan 2 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%
perlakuan 3 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%
Descriptives
perlakuan Statistic Std. Error
osteosit kontrol Mean 5.4000 .64807
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 3.3375
Upper Bound 7.4625
5% Trimmed Mean 5.4111
Median 5.5000
Variance 1.680
Std. Deviation 1.29615
Minimum 4.00
Maximum 6.60
Range 2.60
Interquartile Range 2.40
Skewness -.162 1.014
Kurtosis -4.849 2.619
perlakuan 1 Mean 16.2667 3.91533
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
96
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 6.2020
Upper Bound 26.3313
5% Trimmed Mean 15.7296
Median 13.9000
Variance 91.979
Std. Deviation 9.59055
Minimum 7.20
Maximum 35.00
Range 27.80
Interquartile Range 8.75
Skewness 1.955 .845
Kurtosis 4.521 1.741
perlakuan 2 Mean 15.5667 2.00361
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 10.4162
Upper Bound 20.7171
5% Trimmed Mean 15.5407
Median 14.4000
Variance 24.087
Std. Deviation 4.90782
Minimum 9.60
Maximum 22.00
Range 12.40
Interquartile Range 9.55
Skewness .378 .845
Kurtosis -1.567 1.741
perlakuan 3 Mean 20.2333 1.36178
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
97
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 16.7328
Upper Bound 23.7339
5% Trimmed Mean 20.0481
Median 19.4000
Variance 11.127
Std. Deviation 3.33567
Minimum 17.40
Maximum 26.40
Range 9.00
Interquartile Range 4.95
Skewness 1.556 .845
Kurtosis 2.581 1.741
Tests of Normality
perlakuan
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
osteosit kontrol .280 4 . .864 4 .273
perlakuan 1 .386 6 .006 .755 6 .022
perlakuan 2 .190 6 .200* .927 6 .554
perlakuan 3 .219 6 .200* .848 6 .151
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
98
perlakuan
Case Processing Summary
perlakuan
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
ukuran kontrol 4 100.0% 0 .0% 4 100.0%
perlakuan 1 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%
perlakuan 2 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%
perlakuan 3 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%
Descriptives
perlakuan Statistic Std. Error
ukuran kontrol Mean 2.36533E2 7.381286E1
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 1.62755
Upper Bound 4.71438E2
5% Trimmed Mean 2.42861E2
Median 2.93481E2
Variance 2.179E4
Std. Deviation 1.476257E2
Minimum 21.712
Maximum 337.458
Range 315.746
Interquartile Range 254.698
Skewness -1.674 1.014
Kurtosis 2.695 2.619
perlakuan 1 Mean 2.27610E2 3.506110E1
95% Confidence Interval for Lower Bound 1.37483E2
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
99
Mean Upper Bound 3.17738E2
5% Trimmed Mean 2.23591E2
Median 2.02632E2
Variance 7.376E3
Std. Deviation 8.588182E1
Minimum 139.956
Maximum 387.610
Range 247.654
Interquartile Range 106.715
Skewness 1.565 .845
Kurtosis 3.006 1.741
perlakuan 2 Mean 4.10711E2 4.147799E1
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 3.04089E2
Upper Bound 5.17334E2
5% Trimmed Mean 4.10345E2
Median 4.27206E2
Variance 1.032E4
Std. Deviation 1.015999E2
Minimum 283.952
Maximum 544.058
Range 260.106
Interquartile Range 200.661
Skewness -.183 .845
Kurtosis -1.342 1.741
perlakuan 3 Mean 3.46621E2 7.065205E1
95% Confidence Interval for Lower Bound 1.65004E2
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
100
Mean Upper Bound 5.28238E2
5% Trimmed Mean 3.45628E2
Median 3.15391E2
Variance 2.995E4
Std. Deviation 1.730615E2
Minimum 97.264
Maximum 613.844
Range 516.580
Interquartile Range 247.906
Skewness .250 .845
Kurtosis .842 1.741
Tests of Normality
perlakuan
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
ukuran kontrol .307 4 . .801 4 .105
perlakuan 1 .247 6 .200* .861 6 .193
perlakuan 2 .206 6 .200* .930 6 .584
perlakuan 3 .205 6 .200* .964 6 .847
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
101
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
102
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
103
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
104
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
105
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
106
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA