PENGARUH MODAL PSIKOLOGIS DAN PERSEPSI GAYA...
Transcript of PENGARUH MODAL PSIKOLOGIS DAN PERSEPSI GAYA...
i
PENGARUH MODAL PSIKOLOGIS DAN PERSEPSI
GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
TERHADAP WORKPLACE WELL BEING
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Oleh :
Anita Yuniarti
NIM: 1110070000063
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436H/2015 M
v
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
B) Mei 2015
C) Anita Yuniarti
D) Pengaruh Modal Psikologis dan Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional
Terhadap Workplace Well Being
E) xiv + 75 halaman + lampiran
F) Kesejahteraan pegawai diyakini dapat membawa pengaruh yang positif terhadap
performa seseorang, baik di tempat kerjanya maupun dalam kehidupan sehari-
hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh modal psikologis dan
persepsi gaya kepemimpinan transformasional terhadap workplace well being
karyawan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi
berganda yang melibatkan sampel sebanyak 220 orang pegawai negeri sipil.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-
probability sampling.
Untuk mengukur workplace wellbeing, penulis menyusun secara mandiri skala
workplace wellbeing berdasarkan pada teori workplace well being yang
dikembangkan oleh Page (2005). Kemudian, instrumen yang digunakan untuk
mengukur modal psikologis adalah Psychological Capital Quessionare 24 (PCQ-
24) yang dikembangkan oleh Luthans, Youssef & Avolio (2007). Selanjutnya,
alat ukur yang digunakan untuk mengukur persepsi kepemimpinan
transformasional adalah modifikasi dari alat ukur Multifactor Leadership
Questionnare factor (MLQ)
Berdasarkan hasil uji hipotesis mayor, kesimpulan pertama yang diperoleh dari
penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan modal psikologis dan
persepsi kepemimpinan transformasional terhadap workplace well being. Hasil uji
hipotesis minor dari masing-masing koefisien regresi terhadap dependent
variable, diperoleh empat varibel yang nilai koefisien regresinya signifikan, yaitu;
(1) dimensi hope dari modal psikologis; (2) dimensi idealized influence dari gaya
kepemimpinan transformasional; (3) dimensi intellectual stimulation dari gaya
kepemimpinan transformasional; dan (4) dimensi individualized consideration
dari gaya kepemimpan transformasional. Sedangkan empat variabel lainnya yaitu:
self-efficacy, optimisme, dan resiliensi tidak memberikan pengaruh signifikan.
Saran dari penelitian ini, bagi para pemimpin perusahaan/institusi, hendaknya
memperhatikan kesejahteraan karyawan mereka.
G) Buku; 2 + jurnal; 25
vi
ABSTRACT
A) Faculty of Psychology Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta
B) Mei 2015
C) Anita Yuniarti
D) Effect of psychological capital and Transformational Leadership Style Perception
To Workplace Employee Well Being
E) xiv + 75 pages + attachment
The Employee well being is one factor that is not biased off of the important
issues in a company. Employee well being believed can bring a positive influence
on a individual’s performance, both at work and in everyday life. Therefore,
companies should pay attention to the welfare of its employees. This study aims
to determine the effect of psychological capital and the perception of
transformational leadership style to the workplace well being of employees.
This study uses quantitative approach with multiple regression analysis involving
a sample of 220 civil servants of the Ministry X. The sampling technique used in
this study is a non-probability sampling.
To measure workplace wellbeing, researchers compiled independently of
workplace wellbeing scale based on the theory of workplace well being
developed by Page (2005). Then, the instrument used to measure the
psychological capital is Psychological Capital Quessionare 24 (PCQ-24)
developed by Luthans, Youssef & Avolio (2007). Furthermore, measuring
instruments used to measure the perception of transformational leadership is a
modification of the measuring instrument multifactor Leadership questionnare
factor (MLQ).
Based on the results of hypothesis testing, first conclusions obtained from this
study is a significant difference of perception psychological capital dan
transformational leadership style on workplace well being on the employees of
the Ministry X. Then based on the results of tests of significance of each
regression coefficient on the dependent variable, there are four variables were
obtained significant regression coefficient values, namely; (1) hope dimension of
psychological capital; (2) the dimension idealized influence of transformational
leadership style; (3) the dimensions of intellectual stimulation transformational
leadership style; and (4) individualized consideration dimensions of
transformational leadership style.
G) Book; 2 + journal; 25
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT
atas segala rahmat, hidayah dan kasih sayang yang diberikan-Nya sehingga
peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan lancar dan tepat pada
waktunya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita
semua, Rasulullah Muhammad saw beserta keluarga dan sahabatnya.
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti melibatkan banyak pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan kontribusi nyata bagi
peneliti. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan hati, peneliti menyampaikan
rasa terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si, Dekan Fakultas Psikologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh jajarannya yang telah
memfasilitasi pendidikan dalam rangka menciptakan lulusan berkualitas.
2. Ibu Desi Yustari Muchtar, M.Psi, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan, nasehat, motivasi, dukungan dan bantuan yang sangat
besar kepada peneliti, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. Bapak Drs. Akhmad Baidun, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan dukungan dan doa serta selalu berusaha meluangkan waktu
untuk mahasiswa.
4. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah memberikan limpahan pelajaran dan banyak membantu
peneliti
viii
5. Untuk bapak Wasito, ibu Ani, mas Andi dan mas Aji makasih atas kasih
sayang, kesabaran, dukungan, dan doa yang tiada henti kepada peneliti
semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan merahmati kita semua. Amin
6. Terimakasih kepada kementrian X yang telah bersedia mengizinkan dan
memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian sehingga
peneliti dapat melaksanakan penelitian ini dengan hasil yang maksimal.
7. Untuk keluarga B’2010, kelas tersayang dan terbaik. Lailatul, Gina, Ajeng,
Estu, Putri, Niken, Winda, Retno, Ainun, Sunny, Nisa, Dhila, Yuni, Sabe,
Aini, Shintia, Nisyub, Syifa, Isnia, Tyyas, Adila, Saul, Viny, Qory, Isti,
Chintya, Azkya, Katty, Iki, Hilmi, Danar, Lian, Didik, Aris, Adit, Bobby,
Gian dan Deri. Terima kasih atas canda tawa, kasih sayang, kenangan maupun
support kalian kepada peneliti. Sukses buat kita semua!
8. Untuk semua kaka kelas dan adik kelas yang telah banyak membantu penulis
baik selama proses kuliah maupun dalam penulisan skripsi ini. Khususnya
kepada ka iswahyudi, ka rajib, ka eda, ka ibnul, ka fahmi, ka nabilah, ka deni,
ka nila, nita, rahman, intan, baduy, ranggo, pane dan yang lainnya yang tak
bisa penulis sebutkan.
9. Untuk ka Arif El Muhtadin terima kasih atas kenangan, canda, tawa, kasih
sayang, waktu, ilmu, dan motivasi untuk peneliti selama ini. Sukses dan
bahagia terus untuk kaka
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah ikut
berkontribusi dalam penelitian ini.
ix
Peneliti sangat bersyukur dan hanya bias berdo’a kepada semua pihak
yang telah membantu, semoga mendapatkan ridho dan balasan yang berlipat
ganda dari Allah SWT. Amin
Jakarta, Juni 2015
Peneliti
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... .... 1-9
1.1 Latar belakang masalah .............................................................................. 1
1.2 Perumusan masalah .................................................................................... 5
1.3 Pembatasan istilah ...................................................................................... 6
1.4 Tujuan dan manfaat penelitian ................................................................... 7
1.4.1 Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
1.4.2 Manfaat Penelitian ............................................................................ 7
1.5 Sistematika penulisan ................................................................................. 8
BAB 2 LANDASAN TEORI .............................................................................. 10-31
2.1 Workplace Well Being ................................................................................ 10
2.1.1 Definisi Workplace Well Being ......................................................... 10
2.1.2 Dimensi workplace well-being .......................................................... 12
2.1.2.1 Dimensi Intrinsik ......................................................................... 13
2.1.2.2 Dimensi Ekstrinsik ..................................................................... 13
2.1.3 Faktor yang mempengaruhi workplace well-being ........................... 15
2.1.4 Pengukuran workplace well-being .................................................... 17
2.2 Modal Psikologis ....................................................................................... 18
2.2.1 Definisi Modal Psikologis ................................................................. 18
2.2.2 Dimensi modal psikologis ................................................................. 20
2.2.3 Pengukuran modal psikologis ........................................................... 22
2.3 Kepemimpinan Transformasional .............................................................. 22
2.3.1 Definisi Kepemimpinan Transformasional ....................................... 22
2.3.2 Dimensi Kepemimpinan Transformasional ...................................... 24
2.3.3 Pengukuran kepemimpinan transformasional ................................... 25
2.4 Kerangka Berpikir ...................................................................................... 25
2.5 Hipotesis Penelitian .................................................................................... 30
xi
BAB 3 METODE PENELITIAN.......................................................................... 32-46
3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel .................................. 32
3.2 Variabel Penelitian ..................................................................................... 32
3.3 Definisi Operasional Variabel .................................................................... 33
3.4 Instrumen Pengumpulan Data .................................................................... 35
3.4.1 Workplace well being (WWB) .................................................... 35
3.4.2 Modal Psikologis ......................................................................... 37
3.4.3 Persepsi Kepemimpinan Transformasiona .................................. 38
3.5 Uji Validitas Konstruk ............................................................................... 38
3.5.1 Uji validitas alat ukur workplace well being ..................................... 40
3.5.2 Uji validitas alat ukur modal psikologis............................................ 42
3.5.3 Uji validitas alat ukur persepsi gaya kepemimpinan
Transformasional............................................................................... 43
3.6 Metode Analisa Data .................................................................................. 44
3.7 Prosedur Penelitian..................................................................................... 45
3.7.1 Tahap persiapan penelitian ................................................................ 45
3.7.2 Tahap pelaksanaan penelitian ........................................................... 46
3.7.3 Tahap pengolahan data ...................................................................... 46
BAB 4 HASIL PENELITIAN…............................................................................ 47-59
4.1 Gambaran Umum Responden .................................................................... 49
4.1.1 Deskripsi statistik variabel ............................................................... 49
4.1.2 Kategorisasi skor subjek .................................................................. 50
4.2 Uji Hipotesis Penelitian ............................................................................. 52
4.2.1 Uji hipotesis mayor ........................................................................... 52
4.2.2 Uji hipotesis minor ............................................................................ 54
4.2.3 Pengujian proporsi varians iv ........................................................... 57
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN............................................... 60-73
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 60
5.2 Diskusi ....................................................................................................... 60
5.3 Saran ........................................................................................................... 69
5.3.1 Saran Metodologis ............................................................................ 69
5.3.2 Saran Praktis ..................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 74
LAMPIRAN ................................................................................................................... 77
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blue Print Skala Workplace Well Being ……………………..………... 36
Tabel 3.2 Blue Print Skala Modal Psikologis ………………………………........ 37
Tabel 3.3 Blue Print Skala Persepsi Kepemimpinan Transformasional ………… 38
Tabel 3.4 Muatan Faktor Item dimensi workplace well being ………………….. 41
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Modal Psikologis ..............……………………. .. 43
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Persepsi Gaya Kepemimpinan
Transformasional................................................................................ 44
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian ............................................................... 49
Tabel 4.2 Deskripsi Statistik Variabel Penelitian ............................................... 51
Tabel 4.3 Norma Skor ......................................................................................... 52
Tabel 4.4 Kategorisasi Responden Penelitian ..................................................... 53
Tabel 4.5 Varians workplace well being yang dijelaskan oleh seluruh IV ......... 55
Tabel 4.6 Anova pengaruh seluruh IV terhadap workplace well being ............. 55
Tabel 4.7 Koefisien Regresi ................................................................................ 56
Tabel 4.8 Proporsi varians workplace well being pada setiap variabel
Independen .......................................................................................... 59
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir ................................................................. 30
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam bab ini dipaparkan beberapa hal yaitu, latar belakang masalah, perumusan
masalah, pembatasan istilah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika
penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-undang nomor 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa kesejahteraan karyawan merupakan tanggung jawab pemberi
kerja atau pengusaha. Undang-undang ini mengatur perlindungan karyawan,
termasuk perlindungan atas hak-hak dasar karyawan hak untuk berunding dengan
pengusaha, diantaranya mengenai perlindungan keselamatan, kesehatan kerja,
perlindungan khusus bagi karyawan perempuan, anak, penyandang cacat, serta
perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja.
Artinya, kesejahteraan karyawan merupakan tanggung jawab dari perusahaan
tempat karyawan tersebut bekerja.
Kesejahteraan karyawan merupakan salah satu faktor yang tidak bisa lepas
dari isu penting dalam suatu perusahaan, karena kesejahteraan karyawan memiliki
implikasi langsung terhadap fisik, psikologis dan perilaku karyawan. Selain itu,
kesejahteraan juga memiliki hubungan dengan biaya yang berhubungan dengan
penyakit dan kesehatan karyawan, ketidakhadiran (absenteeism) dan produktiftas
(Danna & Griffin, 1999). Dengan kata lain, dapat diambil kesimpulan bahwa
2
kesejahteraan karyawan dapat membawa pengaruh yang positif terhadap performa
seseorang, baik di tempat kerjanya maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Karyawan merupakan aset penting bagi perusahaan. Oleh karena itu,
perhatian seharusnya tidak hanya diarahkan pada sarana dan proses produksinya
saja, tetapi juga harus ditujukan kepada pribadi karyawan dengan
kesejahteraannya. Karyawan seharusnya tidak lagi dianggap sebagai robot, karena
aktivitas karyawan dan kegiatan sosial dapat mempengaruhi fungsi dari kegiatan
produksi industri tersebut. Dalam hal ini manajemen personalia sangat penting
sekali dalam pengelolaan karyawan dengan sebaik mungkin melalui kebijakan
yang dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis karyawannya.
Salah satu jenis kesejahteraan karyawan yang penting untuk diperhatikan
adalah workplace wellbeing. Penulis memiliki asumsi bahwa workplace well-
being (kesejahteraan pekerja di tempat kerja) adalah well-being yang dekat
hubungannya dengan pekerja dan lingkungan kerja, karena karyawan
menghabiskan sebagian besar waktunya di lingkungan kerja. Oleh karena itu,
penelitian ini akan difokuskan pada workplace well being tersebut.
Menurut Page (2005) workplace well-being (selanjutnya akan disingkat
WWB) merupakan salah satu cabang dari subjective well-being yang diterapkan
dalam setting kerja. Jika subjective well-being merupakan kepuasan secara umum
terhadap seluruh aspek kehidupan, maka kepuasan tersebut dapat juga difokuskan
pada salah satu aspek, seperti pekerjaan. Penjelasan lebih lanjut mengenai definisi
workplace well-being akan dipaparkan pada bab 2.
3
Para peneliti di bidang kesehatan dan psikologi kesehatan telah
menunjukkan bahwa kesejahteraan dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya
adalah: self-efficacy, optimisme, harapan, dan ketahanan (Avey, Luthans &
Jensen, 2010). Selanjutnya, variabel-variabel tersebut oleh Avey et al. (2010)
dieksplorasi sebagai komponen dari suatu konstruk psikologi yang disebut dengan
modal psikologis
Modal psikologis sendiri dapat diartikan sebagai modal sikap dan perilaku
yang berperan besar dalam menentukan keberhasilan. Penelitian menunjukkan
bahwa keempat komponen dari modal psikologis (self-efficacy, optimisme,
harapan, dan ketahanan) memiliki hubungan positif dengan kinerja, kebahagiaan,
well being, dan kepuasan pekerja. Misalnya, self-efficacy telah ditemukan
memiliki dampak positif pada kinerja (Stajkovic & Luthans, 1998). Optimisme
karyawan berhubungan dengan kinerja karyawan, kepuasan, dan kebahagiaan
(Youssef & Luthans, 2007). Harapan terkait dengan kinerja karyawan, kepuasan,
kebahagiaan, dan retensi (Youssef & Luthans, 2007). Ketahanan memiliki
hubungan positif dengan kinerja karyawan, kebahagiaan dan kepuasan (Youssef
& Luthans, 2007). Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa keempat
komponen dari modal psikologis merupakan faktor penting yang dapat
mempengaruhi perilaku positif dalam organisasi dan dunia kerja, termasuk
workplace well being.
Selain keempat komponen dari modal psikologis, faktor lain yang juga
perlu diperhatikan ketika membicarakan kesejahteraan adalah gaya kepemimpinan
transformasional. Para peneliti telah menemukan bukti bahwa kepemimpinan
4
transformasional membawa pengaruh yang positif terhadap perilaku dan emosi
karyawan (Bono & Ilies, 2006). Menurut Ghadi, Fernando, dan Caputi (2010),
kepemimpinan transformasional adalah salah satu paradigma yang paling
dominan dalam kepemimpinan kontemporer karena memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap hasil yang diinginkan dalam dunia kerja, seperti
kesejahteraan, komitmen organisasi dan kepuasan kerja.
Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya memotivasi bawahan
untuk berbuat lebih baik dari apa yang biasa dilakukan. Dalam hal ini
kepemimpinan transformasional mengacu pada aspek kepercayaan atau keyakinan
diri pada karyawan, sehingga karyawan akan merasa dipercaya, dihargai, loyal
dan respek kepada pimpinannya. Hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan
kesejahteraan karyawan.
Kepemimpinan transformasional juga dapat mengurangi stres yang dialami
oleh individu melalui dampaknya pada fungsi mentoring. Selain itu, penelitian
juga menemukan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh
terhadap kepuasan kerja (Bushra, Usman & Naveed, 2011). Riaz dan Haider
(2010) menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional memiliki
pengaruh yang lebih baik terhadap kinerja, inovasi dan kepuasan kerja jika
dibandingkan dengan gaya kepemimpinan transaksional.
Kepemimpinan transformasional memiliki efek positif pada kesejahteraan
pemimpin dan pengikut. Salah satu aspek dari kesejahteraan yang baru-baru ini
mendapat perhatian sehubungan dengan efek kepemimpinan transformasional
adalah keselamatan kerja. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kepemimpinan
5
transformasional meningkatkan kinerja keselamatan karyawan (Sivanathan,
Arnold, Turner & Barling, 2004).
Telah banyak penelitian tentang pengaruh gaya kepemimpinan
transformasional terhadap well being karyawan. Di antaranya adalah penelitian
yang dilakukan oleh Arnold, Turner, Barling dan Kelloway (2007). Dalam
penelitiannya tersebut, ditemukan bahwa gaya kepemimpinan transformasional
berpengaruh positif terhadap well being karyawan.
Dari pemaparan tentang pentingnya well being terhadap berbagai aspek
pekerjaan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang well being
ini. Dan berdasarkan penelitian terdahulu yang telah penulis paparkan di atas,
penulis tertarik untuk meneliti pengaruh modal psikologis dan persepsi gaya
kepemimpinan transformasional terhadap workplace well being. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk mengangkat penelitian dengan judul “Pengaruh Modal
Psikologis dan Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional Terhadap
Workplace well being”
1.2 Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, penulis membatasi ruang lingkup
masalah penelitian ini pada pengaruh modal psikologis dan persepsi gaya
kepemimpinan transformasional terhadap workplace well being. Adapun definisi
variabel yang diteliti adalah:
1. Workplace well being adalah perasaan sejahtera yang karyawan peroleh dari
pekerjaan yang terkait dengan perasaan pekerja secara umum (core affect)
terdiri dari nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik
6
2. Modal psikologis adalah hal positif psikologis yang dimiliki oleh setiap
individu yang berguna untuk dapat membantu individu untuk dapat
berkembang dan sukses.
3. Persepsi kepemimpinan transformasional adalah persepsi yang diterima
bawahan terhadap gaya kepemimpinan pemimpin yang memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi, memotivasi dan mengilhami bawahan agar berbuat lebih
dari yang diharapkan, serta terbuka terhadap bawahan dan pada setiap
perubahan atau permasalahan yang terjadi di perusahaan.
4. Subjek dalam penelitian ini adalah pegawai negeri sipil di Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, muncul beberapa masalah yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan modal psikologis dan gaya
kepemimpinan transformasional terhadap workplace well being?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan self-efficacy terhadap workplace
well being?
3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan optimisme terhadap workplace well
being?
4. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan harapan terhadap workplace well
being?
5. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan ketahanan terhadap workplace well
being?
7
6. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan idealized influence terhadap
workplace well being?
7. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan inspirational leadership terhadap
workplace well being?
8. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan intellectual stimulation terhadap
workplace well being?
9. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan individualized consideration
terhadap workplace well being?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah
penulis rumuskan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengaruh modal psikologis dan gaya kepemimpinan transformasional
terhadap workplace well being.
2. Pengaruh self-efficacy terhadap workplace well being.
3. Pengaruh optimisme terhadap workplace well being.
4. Pengaruh harapan terhadap workplace well being.
5. Pengaruh ketahanan terhadap workplace well being.
6. Pengaruh idealized influence terhadap workplace well being.
7. Pengaruh inspirational leadership terhadap workplace well being.
8. Pengaruh intellectual stimulation terhadap workplace well being.
9. Pengaruh individualized consideration terhadap workplace well being.
8
Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk mengetahui variabel mana yang
memiliki pengaruh paling kuat terhadap workplace well being
1.4.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan, khususnya bagi
pimpinan di organisasi/industri dalam upaya peningkatan workplace well
beingnya dengan mempertimbangkan variabel-variabel prediktor yang digunakan
dalam penelitian ini.
Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menambahkan
hasil-hasil penelitian tentang workplace well being, modal psikologis, dan gaya
kepemimpinan transformasional yang kemudian akan memperkaya khazanah
keilmuan dalam bidang psikologi industri dan organisasi serta psikologi secara
umum, dan Positive Organizational Behavior secara khusus.
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi
mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan menggunakan gaya penulisan APA, dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab 1 pendahuluan, berisi latar belakang masalah, perumusan masalah,
pembatasan istilah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab 2 landasan teori, memaparkan teori-teori yang berhubungan dengan variabel
penelitian, yakni teori tentang workplace well being, modal psikologis dan gaya
kepemimpinan transformasional. Selanjutnya dikemukakan kerangka berpikir dan
hipotesis penelitian.
9
Bab 3 metode penelitian, menjelaskan tentang metode penelitian yang terdiri dari
tujuh subbab. Subbab tersebut adalah populasi dan sampel, variabel penelitian,
definisi operasional variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, pengujian
validitas konstruk, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data.
Bab 4 hasil dan pembahasan, dalam bab ini akan djabarkan tentang analisis
deskriptif subjek dan pengujian hipotesis penelitian.
Bab 5 kesimpulan, diskusi, dan saran, berisi tentang rangkuman keseluruhan hasil
dari penelitian yang telah dilakukan. Bab ini terdiri dari tiga bagian yaitu
kesimpulan, diskusi, dan saran.
10
BAB 2
LANDASAN TEORI
Pada bab ini penulis akan memaparkan mengenai definisi workplace well-being,
penelitian mengenai workplace well-being, dimensi workplace well-being, faktor
yang mempengaruhi workplace well-being, pengukuran workplace well-being,
definisi modal psikologis, self-efficacy, optimisme, harapan, ketahanan,
pengukuran modal psikologis, definisi persepsi, kepemimpinan, kepemimpinan
transformasional, pengukuran kepemimpinan transfomasional, kerangka berfikir
dan hipotesis penelitian.
2.1 Workplace Well-being
2.1.1 Definisi Workplace Well-being
Telah banyak referensi mengenai well-being dalam ranah industri dan organisasi.
Istilah dan definisi yang digunakan pun berbeda. Salah satunya adalah Danna dan
Griffin (1999), menggunakan istilah health and well-being untuk melihat
workplace well-being karyawan. Danna dan Griffin (1999) mendefinisikan health
and well-being sebagai:
“Health generally appears to encompass both phsysiological and
psychological symptomology within a more medical context and well-
being should be used as appropiate to include context-free measures of life
experiences and within the organizational research realm to include both
generalized job-related experiences”.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Danna dan Griffin (1999) menyatakan
bahwa workplace well-being meliputi health, yakni mencakup gejala fisiologis
dan psikologis yang berkenaan dengan medis, dan well-being itu sendiri, yakni
11
mencakup pengukuran terhadap kesejahteraan berdasarkan pengalaman hidup dan
pengalaman yang berkenaan dengan pekerjaan. Peneliti lain seperti Sivanathan et
al. (2004) menggunakan istilah job-related well-being dan didefinisikan sebagai
peningkatan kesehatan, baik psikologis dan fisik pada karyawan.
Kemudian, Arnold et al. (2007) dalam penelitiannya melakukan dua studi
yang memfokuskan pada dua macam pengukuran terhadap well-being karyawan
di lingkungan kerja. Pada studi yang pertama, Arnold et al. (2007) melihat well-
being sebagai affective well-being, yakni “in the sense of experiencing positive
emotions” Berdasarkan pengertian tersebut, Arnold et al. (2007) melihat well-
being sebagai penginderaan terhadap pengalaman emosi positif. Pada studi yang
kedua, Arnold et al. (2007) melihat well-being pada context free psychological
well-being, yakni “in the sense of experiencing a positive state of mental health”.
Berdasarkan definisi tersebut, Arnold et al. (2007) melihat well-being sebagai
penginderaan terhadap keadaan positif dari kesehatan mental.
Paparan di atas menggambarkan beragamnya definisi yang membangun
konstruk workplace well-being. Namun dalam penelitian ini penulis
menggunakan definisi dari Page (2005) yang mendefinisikan workplace well-
being sebagai kesejahteraan yang diperoleh karyawan dari hal yang berkaitan
dengan pekerjaannya yang terdiri atas perasaan responden secara umum disertai
kepuasaan terhadap faktor instrinsik dan ekstrinsik dari pekerjaan.
Dalam tesisnya, Page (2005) menjelaskan bahwa workplace well being
merupakan cabang dari subjective well being. Jika subjective well being
merupakan evaluasi global mengenai kepuasan hidup, maka seharusnya konsep
12
subjective well being ini juga dapat diterapkan dalam berbagai domain kehidupan
yang lebih spesifik, seperti pekerjaan. Dengan kata lain, dapar disimpulkan bahwa
workplace well being merupakan kesejahteraan yang dirasakan di tempat kerja.
Page (2005) mengemukakan bahwa workplace well-being didasari oleh
nilai instrinsik dan ekstrinsik dari pekerjaan. Nilai tersebut berasal dari teori
dualitas motivasi yang seringkali menjadi telaah para ahli psikologi organisasi.
Motivasi instrinsik merujuk pada dorongan untuk bekerja yang disebabkan oleh
penghargaan bersifat psikologis yang diasosiasikan dengan pekerjaan itu sendiri,
seperti prestasi dan tanggung jawab. Sedangkan motivasi ekstrinsik lebih
disebabkan oleh keinginan untuk mendapatkan hal yang berhubungan dengan
faktor eksternal dari pekerjaan, seperti upah (Page, 2005).
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan workplace well-being
dari Page (2005) yaitu perasaan sejahtera yang karyawan peroleh dari pekerjaan,
yang terkait dengan perasaan pekerja secara umum (core affect) dan terdiri dari
nilai intrinsik maupun ekstrinsik dari pekerjaan.
2.1.2 Dimensi Workplace Well-being
Bertolak dari teori yang dikemukakan oleh Hrezberg et al. (2005) membangun
dimensi dan aspek dari konstruk WWB. Di bawah ini akan dibahas mengenai
seluruh dimensi dan aspek WWB berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh
Page (2005) sebagai berikut:
13
2.1.2.1 Dimensi intrinsik
Dimensi instrinsik terdiri dari aspek yang mengacu pada perasaan karyawan
terkait tugas yang dimiliki dalam ranah kerja rnereka. Dimensi ini terdiri dari lima
aspek, yaitu:
1. Tanggung jawab dalam kerja. Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan yang
dimiliki karyawan terhadap tanggungjawab kerja yang diberikan organisasi dan
kepercayaan untuk melakukan pekerjaan dengan baik.
2. Makna pekerjaan. Aspek ini didefinisikan sebagi perasaan karyawan bahwa
pekerjaannya memiliki arti dan tujuan baik secara personal, maupun untuk
skala yang lebih luas.
3. Kemandirian dalam pekerjaan. Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan
individu bahwa Ia dipercaya untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri,
tanpa petunjuk dari manajemen.
4. Penggunaan kemampuan dan pengetahuan dalam kerja. Aspek ini didefinisikan
sebagai perasaan bahwa pekerjaan yang diberikan memungkinkan karyawan
untuk menggunakan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
5. Perasaan berprestasi dalam bekerja. Aspek ini didefinisikan sebagai rasa
memiliki pencapaian tertentu terkait dengan tujuan yang berhubungan dengan
kerja.
2.1.2.2 Dimensi Ekstrinsik
Dimensi ekstrinsik adalah dimensi yang mengacu kepada hal di lingkungan kerja
yang dapat mempengaruhi karyawan dalam bekerja (Page, 2005). Dimensi ini
terdiri dari delapan aspek sebagai berikut :
14
1. Penggunaan waktu yang sebaik mungkin. Aspek ini didefinisikan sebagai
perasaan karyawan mengenai waktu kerjanya merupakan hal yang penting
karena memungkinkan karyawan untuk membentuk keseimbangan antara
waktu kerja dan kehidupan pribadi.
2. Kondisi Kerja. Aspek ini didefinisikan sebagai kepuasan karyawan terhadap
lingkungan kerja seperti ruang keja dan budaya organisasi.
3. Surpervisi. Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan karyawan terhadap
perlakuan atasan, seperti pelakuan baik, pemberian dukungan, pemberian
bantuan ketika dibutuhkan, umpan balik yang sesuai dan penghargaan dan
atasan.
4. Peluang promosi. Aspek ini didefinisikan sebagai kondisi lingkungan kerja
yang memberikan kesempatan karyawan untuk berkembang secara profesional.
5. Pengakuan terhadap kinerja yang baik. Aspek ini didefinisikan sebagai
perasaan karyawan bahwa di lingkungan kerja, karyawan yang menghasilkan
kinerja yang baik dan yang tidak mendapatkan perlakuan yang berbeda.
6. Penghargaan sebagai individu di ternpat kerja. Aspek ini memiliki definisi
sebagai perasaan karyawan merasa dihargai dan diterima sebagai individu baik
oleh kolega maupun atasan.
7. Upah (pay). Aspek ini didefinisikan sebagai kepuasan karyawan terhadap upah,
keuntungan dan penghargaan berupa uang yang didapatnya dari lingkungan
kerja.
8. Keamanan pekerjaan. Aspek ini didefinisikan sebagai kepuasan dengan rasa
aman di posisi pekerjaan saat ini.
15
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Workplace Well Being
Dari beberapa literatur dan hasil penelitian, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan karyawan, beberapa diantaranya adalah:
1. Optimisme
Menurut Carver, Scheier dan Segerstrom (2010), optimisme dapat membantu
meningkatkan kesehatan secara psikologis, memiliki perasaan yang baik,
melakukan penyelesaiian masalah dengan cara yang logis sehingga hal ini dapat
meningkatkan kekebalan tubuh. Malik (2013) menyatakan bahwa optimisme
merupakan salah satu faktor penting yang dapat meningkatkan kesejahteraan
karyawan. Karyawan yang optimis akan memiliki cara coping stres terhadap
berbagai tekanan kerja. Dengan demikian karyawan yang optimis akan mampu
menjaga kesejahteraannya dibanding dengan karyawan yang pesimis.
2. Harga diri
Schimmack dan Diener (2003) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa self-
esteem merupakan prediktor yang signifikan untuk subjective well-being. Selain
itu, Kuster et al. (2013) mengemukakan bahwa self-esteem yang tinggi dapat
meningkatkan work related well-being dan karir seseorang.
3. Jenis kelamin
Penelitian Keyes dan Ryff (1995) menemukan bahwa dibandingkan pria, wanita
memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang
lain dan dimensi pertumbuhan pribadi.
16
4. Pendapatan
Umumnya, individu yang berpenghasilan tinggi memiliki tingkat kesejahteraan
psikologis lebih tinggi daripada individu yang berpenghasilan lebih rendah. Hal
ini dikarenakan individu dengan penghasilan tinggi akan lebih mampu memenuhi
kebutuhan hidup dan mencapai keinginannya, sehingga lebih berpeluang untuk
mencapai kepuasan dan kesejahteraan dalam hidupnya (Eddington & Shuman,
2005).
5. Self- efficacy
Penelitian yang dilakukan oleh Beas dan Salanova (2004) menunjukkan ada
hubungan yang signifikan dan negatif antara self-efficacy dengan berbagai
indikator dari well being. Secara umum, orang merasa kurang percaya diri dalam
kemampuan diri sendiri menunjukkan ketegangan yang lebih tinggi di tempat
kerja daripada orang merasa lebih percaya diri.
6. Harapan
Penelitian yang dilakukan oleh Youssef dan Luthans (2007) menemukan
hubungan positif antara harapan dan well being. Harapan adalah kekuatan hidup
yang dinamis menggambarkan dengan harapan namun pasti yakin akan mencapai
sesuatu yang baik. Harapan berkontribusi mengurangi depresi dan kecemasan.
Dengan kata lain, harapan akan mampu meningkatkan well being di tempat kerja
(Youssef & Luthans, 2007).
17
7. Kepemimpinan transformasional
Kepemimpinan transformasional memiliki efek positif pada kesejahteraan
pemimpin dan para pengikutnya (Sivanathan et al., 2004). Kepemimpinan
transformasional telah mengumpulkan perhatian lebih empiris dari semua
paradigma kepemimpinan lainnya selama dekade terakhir (Bono & Ilies, 2006).
Salah satu aspek dari kesejahteraan yang mendapat perhatian satu dekade terakhir
sehubungan dengan efek kepemimpinan transformasional adalah keamanan di
tempat kerja.
2.1.4 Pengukuran Workplace Well-being
Dalam tesisnya, Page (2005) menjelaskan, karena workplace well-being ini
merupakan penerapan konsep subjective well-being dalam aspek pekerjaan, maka
pembuatan alat ukur workplace well-being pun tidak jauh berbeda dengan
subjective well-being. Jika pertanyaan umum dalam subjective well-being adalah
“Apakah Anda puas dengan kehidupan Anda secara keseluruhan?”, maka dalam
workplace well-being menjadi “Apakah Anda puas dengan pekerjaan Anda secara
keseluruhan?”.
Namun, untuk mengukur seluruh aspek yang terdapat dalam workplace
well-being secara lebih spesifik, Page (2005) menggunakan skala yang disusun
atas dasar penelitian yang dilakukan oleh Knoop (1994). Enam dari awal 21 item
yang digunakan oleh Knoop dalam Page (2005) telah dihapus karena alasan
muatan faktor rendah dan ambiguitas. Sisanya 15 item membentuk WWBI, yang
diukur dengan menggunakan rentangan sangat tidak puas (0) sampai dengan
18
sangat puas (10). Skala ini kemudian diberi nama workplace well being index
(WWBI)
Alat ukur lain yang juga dapat digunakan untuk mengukur WWB adalah
skala Workplace Wellbeing Questionnaire dari Black Dog Institute. Skala ini
terdiri dari 31 pertanyaan dengan 4 pilihan jawaban dari sangat sesuai sampai
dengan sangat tidak sesuai. Skala ini mengukur 4 area dari kesejahteraan di
tempat kerja, yaitu: (1) work satisfaction, (2) organisational respect for the
employee, (3) employee care, (4) intrusion of work into private life.
Namun dalam penelitian ini, penulis akan menyusun secara mandiri skala
workplace wellbeing berdasarkan dengan teori yang dikembangkan oleh Page
(2005). Alat ukur ini menggunakan model skala Likert yang telah penulis
modifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian sehingga memiliki rentangan 1-4.
Penjelasan lebih lanjut mengenai alat ukur WWB ini akan dijelaskan pada bab 3.
2.2 Modal psikologis
2.2.1 Definisi Modal psikologis
Meskipun istilah modal psikologis telah dibanyak disebutkan dalam berbagai
penelitian ekonomi dan sosiologi, para ahli psikologi memiliki definisi yang
berbeda. Secara khusus, para ahli psikologi berfokus pada kekuatan yang ada
dalam diri individu, bukan kelemahan, kesehatan dan vitalitas daripada penyakit
dan patologi. Istilah modal psikologis pertama kali muncul dalam buku yang
berjudul Authentic Happiness karangan Martin Selligman (Luthans, Luthans &
Luthans, 2004).
19
Dalam Positive Organizational Behavior, Luthans et al. (2007)
mengidentifikasi konstruk positif dari self-efficacy, harapan, optimisme dan
ketahanan modal psikologis yang berperan besar dalam menentukan keberhasilan
individu di dunia kerjanya. Alasan menggabungkan empat komponen ini adalah
karena keempat komponen inilah yang mendasari sumber daya psikologis yang
memungkinan individu memiliki tingkat kapasitas yang lebih tinggi untuk tampil
konsisten daripada hanya satu komponen saja.
Kemudian Luthans et al. (2007:3), mendefinisikan modal psikologis
yaitu :
“An individual’s positive psychological state of development that is
characterized by: (1) having confidence (Self-efficacy ) to take on and put
in the necessary effort to succeed at challenging tasks; (2) making a
positive attribution (optimism) about succeeding now and in the future; (3)
persevering toward goals, and when necessary redirecting paths to goals
(Harapan) in order to succeed; and (4) when beset by problems and
adversity, sustaining and bouncing back and even beyond (resilience) to
attain success.”
Dari definisi ini, kita dapat melihat bahwa modal psikologis terdiri dari 4
dimensi (Self-efficacy, optimisme, harapan dan ketahanan) yang satu dengan yang
lain memiliki benang merah dari kecenderungan motivasi untuk mencapai tujuan
dan sukses. Secara keseluruhan, modal psikologis telah dibuktikan secara
konseptual dan secara empiris dapat memprediksi hasil kerja yang diinginkan
seperti kinerja dan kepuasan kerja (Avey, Luthans, Smith & Palmer, 2010).
Selain itu, menurut Avey, Luthans & Jensen (2009) definisi ini juga
membedakan konstruk modal psikologis dari aspek yang telah ada sebelumnya
seperti human capital (seperti pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan
pengalaman) dan social capital (seperti mengenal diri sendiri, hubungan orang
20
lain, dan lain-lain). Konsep modal psikologis menggabungkan human capital dan
social capital untuk memperoleh keutungan kompetitif melalui pengembangan
identitas diri seseorang (Luthans & Avolio, 2003).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan definisi modal psikologis dari
Luthans et al. (2007), yaitu hal positif psikologis yang dimiliki oleh setiap
individu yang berguna untuk dapat membantu individu tersebut untuk dapat
berkembang dan sukses.
2.2.2 Dimensi Modal Psikologis
1. Self-efficacy
Istilah Self-efficacy muncul pertama kali dalam teori belajar sosial Albert Bandura
(Bandura, 1977). Menurut teori ini, Self-efficacy membuat perbedaan pada
bagaimana orang merasa, berpikir, berperilaku, dan memotivasi diri. Bandura
(1977) menjelaskan pentingnya Self-efficacy sebagai keyakinan yang berfungsi
sebagai serangkaian tindakan penting yang dapat mempengaruhi motivasi, afektif,
dan tindakan individu (Zulkosky, 2009). Sementara itu Luthan et al. (2004)
mendefinisikan Self-efficacy sebagai keyakinan individu tentang kemampuannya
untuk memobilisasi motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan
untuk berhasil melaksanakan suatu tugas dalam konteks tertentu.
2. Optimisme
Luthans et al. (2007) mendefinisikan optimisme sebagai model pemikiran yang
memungkinkan individu mengatribusikan kejadian positif ke dalam diri sendiri,
bersifat permanen, di lain hal menginterpretasikan kejadian negatif kepada aspek
eksternal, bersifat sementara atau temporer, dan merupakan faktor yang
21
disebabkan oleh situasi tertentu. Pengertian optimis menggambarkan keyakinan
bahwa sesuatu yang baik akan diperoleh. Dalam dunia kerja, optimisme ini juga
berhubungan secara positif kepada hal yang memuaskan seperti workplace
performance dan performa di berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan,
olahraga dan politik. Sedangkan, untuk hal negatif yang dapat dihasilkannya
adalah seperti depresi, penyakit fisik dan rendahnya performa disetiap bidang
kehidupan. Optimisme sebagai segi modal psikologis dikaitkan dengan pandangan
positif realistis tetapi bukan proses yang tanpa evaluasi (Luthans et al., 2007).
3. Harapan
Snyder et al. (2002) mendefinisikan harapan sebagai kodisi motivasi positif yang
didasari oleh interaksi akan perasaan sukses (1) agency (goal-directed energy) dan
(2) pathways (planning to meet goals). Dengan kata lain, harapan terdiri dari dua
point penting, yaitu; agency/wiilpower yang merupakan determinasi untuk
mencapai tujuan; dan waypower yang merupakan rencana alternatif hasil
pemikiran seseorang untuk mencapai tujuannya. Dalam berbagai penelitian,
harapan ditemukan berpengaruh positif terhadap kinerja yang lebih baik (Luthans
et al., 2007)
4. Ketahanan
Ketahanan didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang yang bersifat
positif, dengan menghindarkan diri dari ketidakbaikan, ketidakpastian, konflik,
kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan
peningkatan tanggung jawab (Luthans et al., 2007). Berbeda dengan self-efficacy,
optimisme, dan harapan yang lebih bersifat proaktif, ketahanan dari seseorang
22
lebih bersifat reaktif, yang terjadi ketika seseorang berhadapan dengan perubahan,
ketidakbaikan, atau ketidakpastian (Luthans et al., 2007).
2.2.3 Pengukuran Modal psikologis
Alat ukur yang dapat mengukur modal psikologis adalah Psychological Capital
Quessionare 24 (PCQ-24) yang dikembangkan oleh Luthans et al. (2007). Dalam
PCQ-24 ini setiap dimensi terdiri dari 6 skala yang diadopsi dari alat ukur yang
telah ada sebelumnya tentang dimensi dalam modal psikologis. Skala self-efficacy
diadaptasi dari skala milik Parker yang mengukur self-efficacy dalam situasi kerja.
Skala optimisme diadaptasi dari skala milik Scheier dan Carver. Skala harapan
diadaptasi dari skala harapan milik Snyder dan kawan-kawan. Sementara skala
ketahanan diadaptasi dari skala Wagnild dan Young (Avey et al., 2010). Semua
item diukur dengan menggunakan skala Likert 6-point dengan pilihan respon
mulai dari 1=sangat tidak setuju sampai 6=sangat setuju. PCQ-24 ini memiliki
koefisien realibilitas 0,92 (Avey et al., 2009). Dalam penelitian ini, penulis akan
menggunakan modifikasi skala PCQ-24 ini. Alasan memodifikasi skala ini adalah
untuk menyesuaikan dengan kebutuhan penelitian.
2.3 Kepemimpinan Transformasional
2.3.1 Definisi Kepemimpinan Transformasional
Beberapa teori tentang kepemimpinan transformasional didasarkan pada ide dari
Burns (1978), inti dari teori ini ialah para pengikut merasakan kepercayaan,
kekaguman, kesetiaan, dan penghormatan terhadap pemimpin, termotivasi untuk
melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan dari. Sivanathan et al. (2004)
mengemukakan kepemimpinan transformasional merupakan gaya kepemimpinan
23
di mana para pemimpin tidak dibatasi oleh persepsi pengikut tetapi bebas dalam
bertindak untuk mengubah serta mempengaruhi pengikutnya.
Bass (1990) mengemukakan kepemimpinan transformasional terjadi jika
pemimpin mampu memperluas dan meningkatkan kepentingan karyawannya
sehingga mendapatkan hasil dari apa yang menjadi tujuan pada suatu kelompok
tersebut. Selanjutnya, Yukl (1999) menyatakan bahwa kepemimpinan
transformasional dan transaksional itu berbeda, kepemimpinan transformasional
lebih meningkatkan motivasi kerja dan kinerja pengikutnya sedangkan
kepemimpinan transaksional mengukur pada tingkat pengaruh pemimpin terhadap
bawahannya serta pencapaian tingkat kinerja yang telah disepakai oleh pemimpin
dan bawahannya yang berkaitan pada imbalan yang akan diterima oleh
bawahannya. Kepemimpinan transaksional melibatkan sebuah proses pertukaran
yang dapat menghasilkan kepatuhan pengikut akan permintaan pemimpin tetapi
tidak menghasilkan antusiasme dan komitmen terhadap sasaran tugas.
Persepsi kepemimpinan transformasional dalam penelitian ini
menggunakan definisi dari Bass (1990) yang mengemukakan bahwa
kepemimpinan transformasional adalah persepsi yang diterima bawahan terhadap
gaya kepemimpinan pemimpin yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi,
memotivasi dan mengilhami bawahan agar berbuat lebih dari yang diharapkan,
serta terbuka terhadap bawahan dan pada setiap perubahan atau permasalahan
yang terjadi di perusahaan.
24
2.3.2 Dimensi Kepemimpinan Transformasional
Bass (dalam Sivanathan et al., 2004) mengemukakan bahwa kepemimpinan
transformasional memiliki empat aspek yaitu :
1. Idealized influence
Pemimpin berusaha, melalui pembicaraan, mempengaruhi bawahan dengan
menekankan pentingnya nilai dan keyakinan, pentingnya keikatan pada keyakinan
(beliefs), perlu dimilikinya tekad mencapai tujuan, perlu diperhatikan akibat moral
dan etik dari keputusan yang diambil. Pemimpin memperlihatkan kepercayaannya
pada cita – citanya, keyakinannya dan nilai hidupnya.
2. Inspirational Leadership
Pemimpin mampu menimbulkan inspirasi pada bawahannya, antara lain dengan
menentukan standar tinggi, memberikan keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai.
Bawahan merasa mampu melakukan tugas pekerjaannya, mampu memberikan
berbagai macam gagasan dan merasa diberi inspirasi oleh pimpinannya.
3. Intellectual stimulation
Bawahan merasa bahwa pimpinan mendorong untuk memikirkan kembali cara
kerja yang ada, untuk kemudian mencari cara baru dalam melaksanakan tugas dan
merasa mendapatkan cara baru dalam mempersepsi tugas.
4. Individualized consideration
Bawahan merasa diperhatikan dan diperlakukan secara khusus oleh pimpinannya.
Pemimpin memperlakukan setiap bawahannya sebagai seorang pribadi dengan
kecakapan, kebutuhan, keinginannya masing – masing.
25
2.3.3 Pengukuran Kepemimpinan Transformasional
Untuk mengetahui kepemimpinan transformasional pada individu dapat
digunakan alat ukur yang mengadaptasi dari Bass dan Avolio dalam Beşiktaş dan
Orta (2012) yaitu Multifactor Leadership Quetionnaire (MLQ). Alat ukur ini
berisi pernyataan dengan pilihan ganda dan pilihan isian. Pernyataan dengan
pilihan ganda digunakan untuk memperoleh informasi mengenai perilaku
kepemimpinan transformasional dengan empat aspeknya. Sedangkan pernyataan
dengan isian digunakan untuk memperoleh informasi berkaitan dengan data
kontrol seperti jenis kelamin, usia, masa kerja, agama, nama, departemen dan
posisi jabatan.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan skala Multifactor
Leadership Quetionnaire (MLQ) dari Bass dan Avolio (1990) dalam Beşiktaş dan
Orta (2012). Pemilihan alat ukur ini karena sesuai dengan teori yang digunakan
dalam penelitian ini.
2.4 Kerangka berfikir
Para peneliti di bidang kesehatan dan psikologi kesehatan telah menunjukkan
bahwa kesejahteraan dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah; self-
efficacy, optimisme, harapan dan ketahanan (Luthans et al., 2007). Selanjutnya,
variabel-variabel tersebut oleh Avey et al. (2007) dieksplorasi sebagai komponen
dari suatu konstruk psikologi yang disebut dengan modal psikologis.
Penelitian menunjukkan bahwa keempat komponen (Self-efficacy,
optimisme, harapan, dan ketahanan) dari modal psikologis memiliki hubungan
positif dengan kinerja, kebahagiaan, well being, dan kepuasan kerja. Misalnya,
26
self-efficacy telah ditemukan memiliki dampak positif pada kinerja (Stajkovic &
Luthans, 1998). Optimisme karyawan berhubungan dengan kinerja, kepuasan, dan
kebahagiaan (Youssef & Luthans, 2007). Harapan terkait dengan kinerja
karyawan, kepuasan, kebahagiaan, dan retensi (Youssef & Luthans, 2007).
Ketahanan memiliki hubungan positif dengan kinerja karyawan dan kebahagiaan
dan kepuasan (Youssef & Luthans, 2007). Dengan kata lain, dapat disimpulkan
bahwa keempat komponen dari Modal psikologis merupakan faktor penting yang
dapat mempengaruhi perilaku positif dalam organisasi dan dunia kerja, termasuk
well being karyawan.
Komponen pertama dari modal psikologis adalah self efficacy. Jika
diaplikasikan dalam konteks dunia kerja, self-efficacy dapat diartikan dengan
keyakinan atau kepercayaan karyawan tentang kemampuan dirinya untuk
memobilisasi motivasi, sumber daya kognitif, atau program tindakan yang
diperlukan untuk berhasil melaksanakan tugas tertentu dalam konteks tertentu.
Menurut Luthans et al. (2007), seseorang dengan self efficacy tinggi lebih
cenderung memiliki minat intrinsik yang lebih besar dalam berbagai kegiatan,
menetapkan tujuan yang menantang diri sendiri dan menjaga komitmen yang kuat,
serta meningkatkan dan mempertahankan usaha dalam menghadapi kegagalan.
Selain itu, self efficay yang tinggi juga dapat membantu menciptakan perasaan
ketenangan dalam mengerjakan tugas yang sulit. Dengan demikian, wajar ketika
seseorang memiliki self efficacy yang tinggi, akan lebih mudah mencapai
kesejahteraan di tempat kerja.
27
Komponen kedua dari modal psikologis adalah optimisme. Carver et al.
(2010) menyebutkan bahwa optimis adalah orang yang mengharapkan hal baik
terjadi, dan pesimis adalah orang yang mengharapkan hal buruk terjadi. Seseorang
yang optimis akan memiliki cara coping stres yang lebih efektif dibanding orang
yang pesimis. Orang yang optimis memiliki cara pandang yang berbeda pada
setiap situasi yang dihadapinya. Cara pandang yang positif ini lah yang akan
membawa ia pada workplace wellbeing.
Selanjutnya, komponen berikutnya adalah harapan. Snyder et al. (2002)
mendefinisikan harapan sebagai kodisi motivasi positif yang didasari oleh
interaksi akan perasaan sukses (1) agency (goal-directed energy) dan (2)
pathways (planning to meet goals). Sumber daya psikologis ini memberikan
harapan bahwa sasaran akan dicapai. Karyawan dengan harapan yang tinggi akan
sangat termotivasi untuk mencapai keberhasilan dalam tugas. Mempertahankan
harapan selama masa krisis tampaknya penting untuk kesejahteraan karyawan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketika seseorang memiliki harapan
yang tinggi, maka akan semakin mudah baginya untuk mencapai kesejahteraan di
tempat kerjanya.
Terakhir, komponen keempat dari modal psikologis adalah ketahanan.
Luthans et al. (2007) mendefinisikan ketahanan dengan kapasitas positif
psikologis untuk 'bangkit kembali' dari keterpurukan, ketidakpastian, konflik,
kegagalan, atau bahkan perubahan, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab.
Inti dari sumber daya psikologis ini adalah “memantul kembali” dari kemunduran
dan beradaptasi dengan perubahan yang signifikan. Karyawan yang tangguh
28
(memiliki ketahanan yang tinggi) adalah karyawan yang memiliki kemampuan
untuk beradaptasi dan berkembang dalam konteks yang sangat sulit sekalipun.
Penulis pun menyimpulkan bahwa ketahanan dapat meningkatkan well being
karyawan.
Selain keempat komponen dari modal psikologis tersebut, konstruk lain
yang patut diperhatikan ketika meneliti well being adalah gaya kepemimpinan
transformasional. Para peneliti telah menemukan bukti bahwa kepemimpinan
transformasional membawa pengaruh yang positif terhadap perilaku dan emosi
karyawan. Van Dierendonck et al. (2004) meneliti konseptualisasi dari perilaku
pemimpin dan hubungannya dengan afektif well being dan well being karyawan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku pemimpin dapat meningkatkan
well being karyawan.
Penulis memiliki dugaan bahwa komponen kepemimpinan
transformasional seperti yang diusulkan oleh Bass (dalam Sivanathan et al.,
2004) dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan. Idealized influence terjadi
ketika para pemimpin memilih untuk melakukan apa yang etis daripada apa yang
bijaksana, ketika pemimpin dipandu oleh komitmen moral untuk bawahan, dan
melampaui kepentingan pribadi untuk kepentingan organisasi. Pemimpin yang
mampu memanifestasikan idealized influence mampu melepaskan tekanan
organisasi untuk hasil keuangan jangka pendek, dan juga memfokuskan upaya
pada kesehatan dan kesejahteraan karyawan.
29
Selanjutnya, pemimpin yang memiliki sifat inspirational learning akan
mendorong karyawan untuk mencapai lebih dari apa yang pernah terfikirkan. Para
pemimpin ini akan menginspirasi karyawan untuk mengatasi kemunduran
psikologis, dan menanamkan dalam diri karyawan kekuatan untuk mengatasi
rintangan di masa depan. Dengan kata lain, dapat pula dikatakan bahwa pemimpin
dengan sifat ini akan mampu meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Dimensi berikutnya, pemimpin yang memiliki sifat intelectual stimulation
akan membantu karyawan untuk mempertanyakan asumsi lama, membingkai
masalah, dan memberikan pendekatan dengan cara yang inovatif. Karyawan akan
merasa pimpinan mendorong untuk memikirkan kembali cara kerjanya, mencari
cara baru dalam melaksanakan tugas, dan merasa mendapatkan cara baru dalam
mepersepsikan tugasnya. Dengan demikian, karyawan menjadi lebih percaya diri
dalam melindungi dan mengembangkan kesejahteraan. Pada saat yang sama,
berpikir tentang tantangan dalam cara baru memungkinkan karyawan untuk
memahami situasi saat ini.
Akhirnya, individualized consideration akan terjadi ketika para pemimpin
memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan karyawan untuk pencapaian
dan pengembangan diri karyawan. Para pemimpin dengan sifat ini akan
memberikan empati, kasih sayang, dukungan, dan bimbingan yang akan
mempengaruhi kesejahteraan karyawan. Pemimpin memperlakukan setiap
karyawannya sebagai seorang pribadi dengan kecakapan, kebutuhan, dan
keinginannya masing-masing. Secara ringkas, model konseptual penelitian ini
dapat diliat pada gambar di bawah ini.
30
Gambar 2.1 Bagan kerangka berfikir
2.5 Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis ingin melihat apakah tingkat workplace well being,
yang merupakan dependent variable, bergantung pada tinggi rendahnya skor pada
independent variable yang ditetapkan dalam penelitian ini yaitu modal psikologis
dan persepsi kepemimpinan transformasional.
Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan modal psikologis dan persepsi gaya
kepemimpinan transformasional terhadap workplace well being "
Sedangkan hipotesis minor dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H2: Terdapat pengaruh yang signifikan self-efficacy terhadap workplace well
being
H3: Terdapat pengaruh yang signifikan optimisme terhadap workplace well being
H4: Terdapat pengaruh yang signifikan harapan terhadap workplace well being
H5: Terdapat pengaruh yang signifikan ketahanan terhadap workplace well being
Modal Psikologis
Self-efficacy
Optimisme
Harapan
Ketahanan
Kepemimpinan
Transformasional
Idealized Influence
Inspirational Learning
Intellectual Stimulation
Individualized Consideration
Workplace
Well-being
31
H6: Terdapat pengaruh yang signifikan idealized influence terhadap workplace
well being
H7: Terdapat pengaruh yang signifikan inspirational Leadership terhadap
workplace well being
H8: Terdapat pengaruh yang signifikan intellectual stimulation terhadap
workplace well being
H9: Terdapat pengaruh yang signifikan individualized consideration terhadap
workplace well being
32
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab tiga penulis akan memaparkan mengenai populasi dan sampel, variabel
penelitian, definisi operasional dari variabel, instrumen pengumpulan data,
pengujian validitas konstruk, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis
data.
3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah para Pegawai Negeri Sipil Kementerian
Pekerjaan Umum Direktorat Bina Pelaksanaan Wilayah II yang berjumlah 1.200
orang. Adapun jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebanyak 220 orang. Adapun pengambilan sampel dalam penelitian ini termasuk
kategori non-probability sampling dengan jenis accidental sampling. Dalam
teknik accidental sampling ini, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu
dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang
kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data
3.2 Variabel Penelitian
Adapun variabel penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu :
1. Workplace Well Being
2. Self-efficacy
3. Optimisme
4. Harapan
5. Resiliensi
6. Idealized influence
7. Inspirational Leadership
8. Intellectual Stimulation
9. Individualized Consideration
33
Variabel Dependen (outcome variable) dalam penelitian ini adalah Workplace
Well Being, sedangkan variabel lainnya merupakan variabel independen
(predictor variable).
3.3 Definisi Operasional Variabel
Adapun definisi operasional dari masing-masing variabel dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
3.3.1 Workplace well-being adalah perasaan sejahtera yang karyawan peroleh
dari pekerjaan, yang terkait dengan perasaan pekerja secara umum (core
affect) dan terdiri dari nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik. Dimensi intrinsik
sendiri terdiri dari 5 aspek, yaitu; (a) tanggung jawab dalam kerja, (b)
Makna pekerjaan, (c) kemandirian dalam pekerjaan, (d) penggunaan
kemampuan dan pengetahuan dalam kerja, dan (e) perasaan berprestasi
dalam bekerja. Sedangkan dimensi ekstrinsik terdiri dari delapan aspek,
yaitu: (a) penggunaan waktu yang sebaik-sebaiknya, (b) kondisi kerja, (c)
supervisi, (d) peluang promosi, (e) pengakuan terhadap kinerja yang baik,
(f) penghargaan sebagai individu di tempat kerja, (g) upah, (h) keamanan
pekerjaan, (Page, 2005). Variabel ini diukur menggunakan skala
workplace well-being index.
3.3.2 Modal psikologis adalah hal positif psikologis yang dimiliki oleh setiap
individu yang berguna untuk dapat membantu individu tersebut untuk
dapat berkembang (Luthans, et al., 2007). Modal psikologis ini terdiri dari:
1. Self-efficacy adalah rasa percaya diri untuk menyelesaikan pekerjaan,
2. Optimisme adalah harapan positif tentang keberhasilan saat ini dan di
masa yang akan datang,
34
3. Harapan adalah ketekunan dalam berharap untuk berhasil,
4. Ketahanan adalah ketabahan dalam menghadapi berbagai permasalahan
hingga mencapai sukses.
3.3.3. Persepsi kepemimpinan transformasional adalah persepsi yang diterima
bawahan terhadap gaya kepemimpinan pemimpin yang memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi, memotivasi dan mengilhami bawahan
agar berbuat lebih dari yang diharapkan, serta terbuka terhadap bawahan
dan pada setiap perubahan atau permasalahan yang terjadi di perusahaan.
Indikator kepemimpinan transformasional mengacu pada Bass dan Avolio
(1994) yang terdiri atas empat komponen yaitu:
1. idealized influenced adalah ketika pemimpin berusaha mempengaruhi
karyawan dengan menekankan pentingnya nilai-nilai dan keyakinan,
pentingnya keikatan pada keyakinan tersebut, perlu dimilikinya tekad
mencapai tujuan.
2. inspirational leadership adalah Pemimpin mampu menimbulkan
inspirasi pada karyawan, antara lain dengan menentukan standar-
standar tinggi, memberikan keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai dan
karyawan merasa diberi inspirasi oleh sang pemimpin
3. intellectual stimulation adalah ketika karyawan merasa bahwa manajer
mendorong pegawai untuk memikirkan kembali cara kerja karyawan,
untuk mencari cara-cara baru dalam melaksanakan tugas, karyawan
merasa mendapatkan cara baru dalam mempersepsikan tugas-tugas
karyawan,
35
4. individualized consideration adalah ketika pemimpin memperlakukan
setiap karyawan sebagai seorang pribadi dengan kecakapan, kebutuhan,
dan keinginan masing-masing, memberikan nasihat yang bermakna,
memberi pelatihan yang diperlukan dan bersedia mendengarkan
pandangan dan keluhan karyawan.
3.4 Instrumen Pengumpulan Data
3.4.1 Workplace Well Being (WWB)
Untuk mengukur workplace wellbeing, penulis menyusun secara mandiri skala
workplace wellbeing berdasarkan pada teori workplace well being yang
dikembangkan oleh Page (2005). Dalam teori Page (2005), workplace well being
terdiri dari 2 dimensi, yaitu dimensi intrinsik dan dimensi ekstrinsik. Dimensi
intrinsik sendiri terdiri dari 5 aspek, yaitu; (a) tanggung jawab dalam kerja, (b)
Makna pekerjaan, (c) kemandirian dalam pekerjaan, (d) penggunaan kemampuan
dan pengetahuan dalam kerja, dan (e) perasaan berprestasi dalam bekerja.
Sedangkan dimensi ekstrinsik terdiri dari delapan aspek, yaitu: (a) penggunaan
waktu yang sebaik-sebaiknya, (b) kondisi kerja, (c) supervisi, (d) peluang
promosi, (e) pengakuan terhadap kinerja yang baik, (f) penghargaan sebagai
individu di tempat kerja, (g) upah, (h) keamanan pekerjaan. Skala ini berbentuk
skala likert dengan rentangan 1-4 dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju.
36
Tabel 3.1. BluePrint Skala Workplace Well Being
Dimensi Sub dimensi Nomor Item Contoh Item
Fav Unfav
Intrinsik 1. Tanggung jawab
dalam pekerjaan
1, 3 2, 4 Saya tidak dipercaya atasan karena
sering lalai dari tanggung jawab
saya (UF)
2. Makna Kerja 5, 6 7, 8 Pekerjaan saya saat ini dapat
memberikan makna bagi saya dan
keluarga saya
3. Kemandirian dalam
bekerja
9,
10
11, 12 Saya percaya bahwa saya
memiliki kemampuan untuk
mengerjakan pekerjaan saya
sendirian
4. Penggunaan
kemampuan dan
pengetahuan di
pekerjaan
13,
14
15, 16 Saya merasa, pekerjaan saya
memungkinkan saya untuk dapat
menerapkan pemahaman yang
saya miliki
5. Perasaan berprestasi
dalam bekerja
17,
18
19, 20 Saya seperti mendapatkan
kesenangan tersendiri apabila saya
berhasil menyelesaikan tugas
dengan baik
Ekstrinsik 1. Penggunaan waktu
yang sebaik-
baiknya
21,
22
23, 24 Saya merasa memiliki waktu
untuk pribadi dan keluarga, hanya
saat saya mengambil cuti (UF)
2. Kondisi kerja 25,
27
26, 28 Saya merasa nyaman dengan
lingkungan sosial di tempat kerja
saya
3. Supervisi 29,
30
31, 32 Saya yakin atasan saya
mengetahui kesulitan yang saya
hadapi dalam pekerjaan saya
4. Peluang promosi 33,
34
35, 36 Saya merasa kesempatan promosi
di tempat saya bekerja sama
baiknya dengan kesempatan
promosi yang diberikan oleh
perusahaan lain
5. Pengakuan terhadap
kinerja yang baik
37,
38
39, 40 Apabila saya bekerja dengan baik,
saya mendapatkan perlakuan yang
istimewa di lingkungan kerja saya
6. Penghargaan
sebagai manusia
41,
42
43, 44 Saya yakin telah menjadi diri saya
sendiri selama berada
dilingkungan kerja
7. Upah 45,
47
46, 48 Tempat saya bekerja memberi
upah yang sesuai dengan beban
kerja yang diterima
8. Keamanan kerja 49,
52
50, 51 Saya merasa tidak perlu mencari
pekerjaan lagi saat ini
37
3.4.2 Modal Psikologis
Instrumen atau alat ukur modal psikologis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah adaptasi dari Psychological Capital Quessionare 24 (PCQ-24) yang
dikembangkan oleh Luthans, Youssef dan Avolio, (2007). Dalam PCQ-24 ini
masing-masing dimensi terdiri dari 6 skala yang diadopsi dari alat ukur yang telah
ada sebelumnya tentang dimensi dalam modal psikologis. Skala self-efficacy
diadaptasi dari skala milik Parker yang mengukur self efficacy dalam situasi kerja.
Skala optimisme diadaptasi dari skala milik Scheier dan Carver (Avey, Luthans,
Smith, & Palmer, 2010). Skala Hope (harapan) diadaptasi dari skala hope milik
Snyder dan kawan-kawan. Sementara, skala resiliensi atau ketahanan diadaptasi
dari skala Wagnild dan Young. Dalam skala aslinya, semua item diukur dengan
menggunakan skala Likert 6-point dengan pilihan respon mulai dari 1=sangat
tidak setuju sampai 6=sangat setuju. Akan tetapi, untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan penelitian, skala ini dimodifikasi menjadi setiap dimensi terdiri dari
empat item dan juga empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak
setuju, sangat tidak setuju. Adapun blue print dari skala modal psikologis adalah
sebagai berikut
Tabel 3.2. BluePrint Skala Modal psikologis
No Aspek Item Contoh item
1 Self-efficacy 1,2,3, dan 4 Saya mampu menganalisis dan
mengatasi masalah
2 Optimisme 5, 6, 7, dan 8 Pada saat ini saya merasa cukup
sukses dalam pekerjaan
3 Harapan 9, 10, 11, dan 12 Saya selalu dapat mengelola stres
dalam pekerjaan.
4 Resiliensi 13, 14, 15, 16 Saya selalu memandang secara
positif pekerjaan saya. Jumlah 24
38
3.4.3 Persepsi Kepemimpinan Transformasional
Instrumen atau alat ukur yang digunakan untuk mengukur persepsi kepemimpinan
transformasional adalah modifikasi dari alat ukur Multifactor Leadership
Questionnare factor (MLQ). MLQ ini digunakan untuk mengukur kepemimpinan
melalui 7 aspek gaya kepemimpinan, yaitu: Idealized Influence, Inspirational
leadership, Intellectual Stimulation, Individualized Consideration, Contingent
Reward, Management-by-exception dan Laissez-faire Leadership. Namun, pada
penelitian ini peneliti hanya menggunakan 12 item yang mengukur 4 aspek dari
kepemimpian transformasional. Instrumen ini berbentuk skala Likert dengan
rentang 4 point, yaitu dari “1” (sangat tidak setuju), “2” (tidak setuju), “3” (setuju)
dan “4” (sangat setuju). Adapun blue print skala ini adalah sebagai berikut :
Tabel 3.3. BluePrint Skala Persepsi Kepemimpinan Tranformasional
No Aspek Item Contoh item
1 Idealized influence, 1, 5, and 9 Saya merasa nyaman berada di
lingkungan kerja karena
dipimpin oleh atasan saya
sekarang.
2 inspirational leadership, 2, 6, and 10 Atasan saya menyampaikan apa
yang harus dilakukan dengan
bahasa yang mudah dimengerti.
3 intellectual stimulation, 3, 7, and 11 Atasan saya mengajarkan cara
berfikir baru terhadap masalah-
masalah yang ada 4 individualized
consideration.
4, 8, and 12 Atasan saya membantu saya
mengembangkan diri dalam
pekerjaan saya
Jumlah 12
3.5 Pengujian Validitas Konstruk
Sebelum melakukan analisis data, penulis melakukan pengujian terhadap validitas
konstruk ketiga instrument yang dipakai, yaitu 1) workplace well being index
(WWBI), 2) Modal psikologis Questionaire 24 (PCQ-24), dan 3) Multifactor
39
Leadership Questionnare factor (MLQ). Untuk menguji validitas konstruk alat
ukur yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Confirmatory
Factor Analysis (CFA). Adapun logika dari CFA (Umar, 2011) :
1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan
secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk
mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran
terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-
itemnya.
2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap
subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun subtes
bersifat unidimensional.
3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks
korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang unidimensional.
Matriks korelasi ini disebut sigma (∑), kemudian dibandingkan dengan
matriks dari data empiris, yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar
(unidimensional) maka tentunya tidak ada perbedaan antara matriks ∑ -
matriks S atau bisa juga dinyatakan dengan ∑ - S = 0.
4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi
square. Jika hasil chi square tidak signifikan p>0.05, maka hipotesis nihil
tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat
diterima bahwa item ataupun sub tes instrument hanya mengukur satu faktor
saja.
5. Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan atau
tidak mengukur apa yang hendak di ukur, dengan menggunakan t-value. Jika
40
hasil t-value tidak signifikan maka item tersebut tidak signifikan dalam
mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item yang demikian di drop dan
sebaliknya.
6. Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan
faktornya negative, maka item tersebut harus di drop. Sebab hal ini tidak
sesuai dengan sifat item, yang bersifat positif (favorable).
Adapun pengujian analisis CFA seperti ini dilakukan dengan
menggunakan software LISREL 8.70 (Joreskog dan Sorbom, 1999). Uji validitas
tiap alat ukur akan dipaparkan pada sub bab berikut.
3.5.1 Uji validitas alat ukur workplace well being
Penulis menggunakan model multifactorial untuk menguji alat ukur workplace
wellbeing beserta kedua dimensinya. Penulis menguji apakah item-item yang ada
bersifat unidimensional, artinya benar semua item mengukur sesuai dengan yang
seharusnya diukur. Berdasarkan analisis CFA yang dilakukan, hasilnya ternyata
tidak fit dengan nilai Chi-Square=4457.85, df=1273, P-value=0.00000,
RMSEA=0.106. Oleh karena itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model,
dimana kesalahan pengukuran pada item dibebaskan berkorelasi satu sama lain.
Setelah dilakukan 263 kali modifikasi, diperoleh model fit dengan Chi-
Square=1061.99, df=1010, P-value=0.12460, RMSEA=0.015.
Selanjutnya penulis melihat apakah item-item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item-item tersebut perlu
didrop atau tidak. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan pengujian
hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor tersebut. Pengujian dilakukan
41
dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti yang tertera
pada tabel 3.4
Tabel 3.4 Muatan faktor item dimensi intrinsik skala workplace wellbeing Dimensi No
item
Factor loading St. Error T-
value
Sig
Intrinsik 1. 0.81 (0.06) 13.00
2. 0.61 (0.06) 9.54 3. 0.66 (0.06) 10.35
4. 0.64 (0.06) 9.90 5. 0.70 (0.07) 10.72 6. 0.70 (0.06) 10.90
7. 0.68 (0.06) 11.30 8. 0.61 (0.06) 9.49 9. 0.69 (0.06) 11.53
10. 0.71 (0.06) 11.30 11. 0.74 (0.06) 12.35 12. 0.75 (0.06) 11.97
13. 0.70 (0.06) 11.39 14. 0.61 (0.06) 9.63 15. 0.47 (0.07) 7.00 16. 0.54 (0.06) 8.36 17. 0.59 (0.06) 9.17 18. 0.51 (0.06) 8.30 19. 0.62 (0.06) 9.86 20. 0.48 (0.07) 7.38
Ekstrinsik 21. 0.33 (0.07) 4.73 22. -0.14 (0.07) -2.02 X
23. 0.62 (0.07) 9.48 24. 0.44 (0.07) 6.54 25. 0.15 (0.07) 2.03 26. 0.41 (0.07) 5.96 27. 0.58 (0.07) 8.60 28. 0.78 (0.06) 12.72 29. 0.38 (0.07) 5.53 30. 0.43 (0.07) 6.46 31. 0.61 (0.06) 9.53 32. 0.89 (0.06) 15.96 33. 0.54 (0.07) 8.20 34. 0.30 (0.07) 4.50 35. 0.69 (0.06) 11.43 36. 0.55 (0.07) 8.23 37. 0.39 (0.07) 5.77 38. 0.23 (0.07) 3.22 39. 0.72 (0.06) 11.36
40. 0.62 (0.06) 9.77 41. 0.33 (0.06) 5.15 42. 0.23 (0.07) 3.43 43. 0.80 (0.06) 13.12 44. 0.75 (0.06) 12.73 45. 0.47 (0.07) 6.82 46. 0.46 (0.07) 6.52 47. 0.46 (0.07) 6.74 48. 0.48 (0.07) 7.02 49. 0.20 (0.07) 2.83 50. 0.27 (0.07) 3.83 51. 0.68 (0.06) 10.49 52. 0.60 (0.06) 9.24
Keterangan: tanda = signifikan (t>1,96)
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa item pada nomor 22
bermuatan negatif, dengan demikian item nomor 22 akan di drop dan tidak
diikutkan pada analisis berikutnya. Adapun diagram CFA dapat dilihat pada
lampiran.
42
3.5.2 Uji validitas alat ukur modal psikologis
Penulis menggunakan model multifactorial untuk menguji alat ukur modal
psikologis beserta keempat dimensinya. Penulis menguji apakah item-item yang
ada bersifat unidimensional, artinya benar semua item mengukur sesuai dengan
yang seharusnya diukur. Berdasarkan analisis CFA yang dilakukan, hasilnya
ternyata tidak fit dengan nilai Chi-Square=545.88, df=98, P-value=0.00000,
RMSEA=0.144. Oleh karena itu, penulis melakukan 33 kali modifikasi terhadap
model, dimana kesalahan pengukuran pada item dibebaskan berkorelasi satu sama
lain, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square=79.16, df=65, P-
value=0.11144, RMSEA=0.031.
Selanjutnya penulis melihat apakah item-item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item-item tersebut perlu
didrop atau tidak. maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor tersebut. Pengujian dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti yang tertera pada tabel 3.5 berikut :
Tabel 3.5 Muatan faktor item modal psikologis Dimensi No item Factor loading St. Error T-value Sig
Self-efficacy 1. 0.16 (0.07) 2.17 2. 0.75 (0.06) 12.09 3. 0.86 (0.06) 14.44 4. 0.53 (0.06) 8.35
Optimisme
5. 0.67 (0.06) 10.78 6. 0.31 (0.07) 4.51 7. 0.72 (0.06) 11.52 8. 0.71 (0.06) 11.14
Hope 9. 0.74 (0.06) 12.47 10. 0.34 (0.07) 5.03 11. 0.82 (0.06) 14.42 12. 0.82 (0.06) 14.28
Resiliensi 13. 0.44 (0.07) 6.51 14. 0.60 (0.07) 9.00 15. 0.83 (0.06) 13.08 16. 0.39 (0.07) 5.40
Keterangan: tanda = signifikan (t>1,96)
43
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa semua item bermuatan positif
dan signifikan serta seluruh item pada instrumen sudah memenuhi kriteria sesuai
yang dijelaskan setelah model fit. Adapun diagram CFAnya dapat dilihat pada
lampiran.
3.5.3 Uji validitas alat ukur persepsi gaya kepemimpinan transformasional
Penulis menggunakan model multifactorial untuk menguji alat ukur persepsi gaya
kepemimpinan transformasional beserta keempat dimensinya. Penulis menguji
apakah item-item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar semua item
mengukur sesuai dengan yang seharusnya diukur. Berdasarkan analisis CFA yang
dilakukan, hasilnya ternyata tidak fit dengan nilai Chi-Square=191.81, df=48, P-
value=0.00000, RMSEA=0.116. Oleh karena itu, penulis melakukan 13 kali
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada item dibebaskan
berkorelasi satu sama lain, maka diperoleh model fit dengan Chi-Square=45.57,
df=36, P-value=0.13178, RMSEA=0.035.
Selanjutnya penulis melihat apakah item-item tersebut mengukur faktor
yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item-item tersebut perlu
didrop atau tidak. maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien
muatan faktor tersebut. Pengujian dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap
koefisien muatan faktor, seperti yang tertera pada tabel 3.6 berikut :
Tabel 3.6 Muatan faktor item persepsi gaya kepemimpinan transformasional Dimensi No item Factor loading St. Error T-value Sig
Idealized Influence 53. 0.22 (0.07) 3.06 54. 0.65 (0.07) 9.92 55. 0.84 (0.07) 12.91
inspirational leadership 56. 0.71 (0.06) 11.68 57. 0.60 (0.06) 9.46 58. 0.82 (0.06) 14.26
intellectual stimulation 59. 0.87 (0.07) 13.36 60. 0.82 (0.07) 11.77 61. 0.58 (0.07) 8.91
individualized consideration
62. 0.93 (0.11) 8.19 63. 0.36 (0.09) 3.87
64. 0.36 (0.07) 4.85
Keterangan: tanda = signifikan (t>1,96)
44
Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa semua item bermuatan positif
dan signifikan serta seluruh item pada instrumen sudah memenuhi kriteria sesuai
yang dijelaskan setelah model fit. Adapun diagram CFAnya dapat dilihat pada
lampiran.
3.6 Metode Analisa Data
Untuk menjawab pertanyaan penelitian digunakan teknik analisis regresi berganda
Dalam penelitian ini, IV sebanyak 8 buah, sedangkan DV sebanyak 1 buah.
Sehingga susunan persamaan regresi penelitian adalah :
Y = a + b1X1 + b2x2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + e
jika dituliskan variabelnya maka :
Y = Workplace Well Being
a = intercept (konstan)
b = koefisien regresi untuk masing-masing X
X1 = Self-Efficacy
X2 = Optimisme
X3 = Harapan
X4 = Ketahanan
X5 = Idealized influence
X6 = Inspirational Leadership
X7 = Intellectual stimulation
X8 = Individualized consideration
e = residu
Selanjutnya, analisis regresi dimulai secara simultan. Kemudian dari satu
per satu IV, didapatkan nilai R2
secara murni. Fungsi R2
ini adalah untuk melihat
proporsi varians dari worplace well-being yang dipengaruhi IV yang ada. Melihat
jumlah R2
x (dikalikan) 100% diperoleh hasil proporsi varians atau determinant.
R2
sendiri didapatkan dengan rumus :
45
Selanjutnya, untuk membuktikan apakah regresi Y dan X signifikan atau
tidak, maka digunakanlah uji F untuk membuktikan hal tersebut menggunakan
rumus:
Dimana pembilang disini adalah R2
dengan df nya (dilambangkan k), yaitu
sejumlah IV yang dianalisis, sedangkan penyebutnya (1 – R2) dibagi dengan df
nya N – k – 1 dimana N adalah jumlah sampel. Dari hasil uji F yang dilakukan
nantinya, dapat dilihat apakah IV yang diujikan memiliki pengaruh terhadap DV.
Kemudian penulis melakukan uji T dari tiap-tiap IV yang dianalisis.
Maksud uji T adalah melihat apakah signifikan dampak dari tiap IV terhadap DV.
Uji T dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana b adalah koefisien regresi dan Sb adalah standar error dari b. Hasil
uji T ini akan diperoleh dari hasil regresi yang akan dilakukan oleh peneliti
nantinya. Adapun seluruh perhitungan penelitian ini akan dilakukan dengan
menggunakan software SPSS 17.0 for windows.
3.7 Prosedur penelitian
3.7.1 Tahap persiapan penelitian
Persiapan penelitian ini dimulai dengan membuat proposal penelitian. Proposal
penelitian ini mencakup perumusan masalah, penentuan variabel penelitian,
menentukan landasan teori yang sesuai dengan variabel penelitian, menentukan
dan menyusun alat ukur penelitian, serta merinci metode dan teknik analisis data.
46
Setelah hal tersebut dilakukan, penulis kemudian menentukan sampel, teknik
pengambilan sampel dan lokasi penelitian.
3.7.2 Tahap pelaksanaan penelitian
Pengambilan data penelitian dilakukan selama kurang lebih selama satu bulan,
yaitu dari bulan Februari 2015 sampai Maret 2015. Mekanisme pengambilan data
dilakukan penulis pertama kali dengan menyerahkan berkas persyaratan
mencakup proposal penelitian dan surat izin penelitian dari kampus. Kemudian,
penulis menitipkan kuesioner penelitian kepada kepala bagian, dan membuat janji
untuk pengembalian kuesionernya.
3.7.3 Tahap pengolahan data
Setelah proses pengambilan data, penuls melakukan pengolahan data dengan
tahapan sebagai berikut:
1. Melakukan coding dan scoring terhadap skala yang telah diisi oleh responden
2. Memasukan data yang diperoleh ke dalam program Excel
3. Melakukan uji validitas dengan teknik CFA (Confirmatory Factor Analysis)
dengan menggunakan alat ukur software Lisrel 8.7
4. Melakukan analisa data dengan metode analisis regresi berganda (multiple
regression analysis) menggunakan program SPSS 17.0.
5. Membuat laporan hasil penelitian.
47
BAB 4
HASIL DAN ANALISIS DATA
Dalam bab hasil penelitian ini akan dibahas mengenai gambaran umum subjek dan
analisis data yang diperoleh dari hasil penelitian.
4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah 220 pegawai Kementerian X. Untuk
mempermudah perhitungan, maka penulis mengkategorikan usia responden kedalam
dua kategori yaitu dewasa awal (21-40 tahun) dan responden dewasa madya (41-60
tahun). Gambaran subjek dalam penelitian inidapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1
Gambaran Subjek Penelitian
Jumlah Persentase (%)
Usia 21-40 tahun 158 71.8
41-60 tahun
Jumlah
62
220
28.2
100
Lama bekerja < 1 tahun 14 6.4
1-5 tahun 86 39.1
6-10 tahun 53 24.1
11-15 tahun 24 10.9
16-20 tahun 12 5.5
> 20 tahun 31 14.1
Jumlah 220 100.0
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa sebagian besar sampel dalam
penelitian ini berada pada kategori dewasa awal (21-40 tahun) berjumlah 135 orang
48
dengan presentase sebesar 59,7%, sedangkan pada kategori dewasa madya (41-60
tahun) berjumlah 91 orang dengan presentase 40,3%.
Selanjutnya,dapat diketahui pula bahwa jumlah responden laki-laki memiliki
presentase sebesar 42,0% (95 orang), responden perempuan dengan presentase 58,0%
(131 orang). Maka dapat disimpulkan subjek penelitian terbanyak adalah subjek yang
berjenis kelamin perempuan yang berjumlah 131 orang (58,0%).
Berikutnya dijelaskan gambaran subjek berdasarkan lama bekerja. Lama
bekerja yaitu lamanya waktu pegawai bekerja pada suatu intansi. Untuk memudahkan
dalam proses perhitungan, maka peneliti mengkategorisasikan lama bekerja menjadi
5 bagian, yaitu responden yang telah bekerja antara 1 hingga 5 tahun, 6 hingga 10
tahun, 11 hingga 15 tahun, 16 hingga 20 tahun dan responden yang telah bekerja
diatas 21 tahun.
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa responden dalam penelitian ini
didominasi oleh mereka yang telah bekerja selama rentang 6-10 tahun (38,1%),
diikuti oleh mereka yang bekerja selama 1-5 tahun (26,5%), 11-15 tahun (19,0%),
kemudian yang bekerja selama 16-20 tahun (14,2,0%) dan paling sedikit adalah
mereka yang bekerja lebih dari 21 tahun (2,2%). Maka dapat disimpulkan subjek
penelitian terbanyak adalah subjek yang telah bekerja selama 6-10 yang berjumlah 86
orang.
49
4.1.1 Deskripsi Statistik Variabel Penelitian
Sebelum dilakukan uji hipotesis, penulis melakukan analisis deskriptif. Analisis
deskriptif tersebut bertujuan untuk menganalisis sejumlah data yang
dikumpulkandalam penelitian guna memperoleh gambaran mengenai suatu variabel.
Tabel 4.2
Deskripsi Statistik Variabel Penelitian
Norma N Minimum Maximum Mean
Std.
Deviation
Self_efficacy 220 30.91 86.04 50.0000 10.00000
Optimisme 220 32.64 68.79 50.0000 10.00000
Harapan 220 30.41 66.10 50.0000 10.00000
Resiliensi 220 32.08 78.58 50.0000 10.00000
Idealized_Influence 220 22.09 74.45 50.0000 10.00000
Inspirational_Learning 220 23.11 79.86 50.0000 10.00000
Intellectual_Stimulation 220 19.12 81.31 50.0000 10.00000
Individualized_Consideration 220 14.63 76.08 50.0000 10.00000
Wwb 220 29.13 74.45 50.0000 10.00000
Valid N (listwise) 220
Berdasarkan tabel 4.4, diketahui deskripsi statistik pada setiap variabel.Kolom
N menjelaskan bahwa sampel pada setiap variabel berjumlah 220.Kolom minimum
dan maximum menjelaskan nilai minimum dan maximum pada setiap variabel.
Dilihat dari kolom minimum diketahui variabel idealized influence memilki nilai
terendah dengan nilai 14,63. Sementara itu, berdasarkan kolom maximum diketahui
variable self-efficacy memiliki nilai tertinggi dengan nilai 86.04. Adapun nilai mean
masing-masing variabel adalah 50 dengan standar deviasi 10.
50
4.1.2 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian
Setelah melakukan deskripsi statistik dari masing-masing variabel penelitian, maka
hal yang perlu dilakukan adalah pengkategorisasian terhadap data penelitian dengan
menggunakan standar deviasi dan mean dari t-score. Dalam hal ini, ditetapkan norma
pada tabel 4.3.
Tabel 4.3
Norma Skor
Norma Intepretasi
X > Mean Tinggi
X < Mean Rendah
Setelah kategori tersebut didapatkan, maka akan diperoleh nilai persentasi
kategori masing-masing variabel penelitian. Masing-masing variabel akan
dikategorikan sebagai rendah dan tinggi.
Kategorisasi variabel bertujuan untuk menempatkan individu ke dalam
kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum
berdasarkan atribut yang diukur. Kontinum jenjang inicontohnya adalah dari rendah
ke tinggi yang akan penulis gunakandalam kategorisasi variabel penelitian.Sebelum
mengkategorisasikan skor masing-masing variabelberdasarkan tingkat rendah dan
tinggi, penulis terlebih dahulu menetapkan norma dari skor dengan menggunakan
nilai mean danstandar deviasi. Maka akan diperoleh nilai persentase kategori untuk
masing-masing variabel sebagaimana yang terdapat pada tabel 4.4 berikut.
51
Tabel 4.4 Kategorisasi responden penelitian Variabel Frequency Percent
Workplace wellbeing Rendah 93 42,3
Tinggi 127 57,7
Self-Efficacy Rendah 120 54,5
Tinggi 100 45,5
Optimisme Rendah 96 43,6
Tinggi 124 56,4
Harapan Rendah 91 41,4
Tinggi 129 58,6
Rendah 120 54,5
Resiliensi Tinggi 100 45,5
Rendah 133 60,5
Idealized Influence Tinggi 87 39,5
Inspirational Leadership Rendah
Tinggi
127
93
57,7
42,3
Intellectual
Stimulation
Individualized
Consideration
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
121
99
97
123
55,0
45,0
44,1
55,9
Dari tabel diatas, diperoleh hasil presentase variabel workplace wellbeing
sebanyak 93 orang (42,3%) pada kateori rendah dan 127 subjek (57.7%) pada
kategori tinggi. Dengan demikian, dari hasil sebaran pada variabel workplace
wellbeing paling banyak berada pada kategori tinggi. Untuk dimensi self-efficacy
sebanyak 120 orang (54,5%) pada kategori rendah dan 100 orang (45,5%) pada
kategori tinggi.
Selanjutnya, hasil presentase dimensi optimisme, sebanyak 96 orang (43,6%)
pada kategori rendah, dan 124 orang (56,4%) pada kategori tinggi. Lalu, diperoleh
52
hasil persentase dimensi harapan sebanyak 91 orang (41,4%) pada kategori rendah,
dan 129 orang (58,6%) pada kategori tinggi. Untuk dimensi resiliensi sebanyak 120
orang (54,5%) pada kategori rendah dan 100 orang (45,5%) pada kategori tinggi.
Kemudian, untuk dimensi idealized influence sebanyak 133 orang (60,5%)
pada kategori rendah dan 87 orang (39,5%) pada kategori tinggi. Selanjutnya,
diperoleh hasil persentase inspirational leadership sebanyak 127 orang (57,7%) pada
kategori rendah dan 93 orang (42,3%) pada kategori tinggi. Untuk dimensi
intellectual stimulation sebanyak121 orang (55,5%) pada kategori rendah dan 99
orang (45%) pada kategori tinggi. Terakhir, untuk dimensi individualized
consideration diperoleh 97 orang (44,1%) berada pada kategori rendah dan 123 orang
(55,9%) berada pada kategori tinggi.
4.2 Uji Hipotesis Penelitian
4.2.1 Uji Hipotesis Mayor
Pada tahapan uji hipotesis penelitian, penulis menggunakan teknik analisis regresi
dengan software SPSS 17 seperti yang sudah dijelaskan pada bab 3.Langkah pertama
peneliti melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen (%) varians DV
yang dijelaskan oleh IV. Selanjutnya untuk tabel R square, dapat dilihat pada tabel
4.5 berikut.
53
Tabel 4.5
Varians workplace wellbeing yang dijelaskan oleh seluruh IV
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .528a .279 .251 9.09278
a. Predictors: (Constant), Individualized_Consideration, Optimisme, resiliensi,
harapan,Intellectual_Stimulation, Self_efficacy, Idealized_Influence, Inspirational_Learning
Pada tabel 4.5 dapat dilihat bahwa diperoleh R-Square sebesar 0.279 atau
27,9%. Artinya, proporsi varian dari workplace wellbeing yang dijelaskan oleh
idealized influence, inspirational learning, intellectual stimulation, individualized
consideration, self-efficacy, optimisme, harapan dan ketahanan adalah sebesar 27,9%,
sedangkan 72,1% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini.
Langkah kedua peneliti menguji apakah seluruh independen memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap workplace wellbeing. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel
4.6.
Tabel 4.6
Anova pengaruh seluruh IV terhadap workplace wellbeing
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 6744.884 8 843.110 10.197 .000a
Residual 17445.185 211 82.679
Total 24190.069 219
a. Predictors: (Constant), Individualized_Consideration, Optimisme, resiliensi, harapan,
Intellectual_Stimulation, Self_efficacy, Idealized_Influence, Inspirational_Learning
b. Dependent Variable: WWB
Berdasarkan uji F pada tabel 4.6, dapat dilihat bahwa nilai p (Sig.) pada
kolom paling kanan adalah p=0.000 dengan nilai p<0.05. Jadi Hipotesis nihil yang
berbunyi “tidak ada pengaruh modal psikologis dan persepsi kepemimpinan
transformasional terhadap workplace wellbeing” ditolak.
54
4.2.2 Uji Hipotesis Minor
Untuk melakukan uji minor, peneliti melihat koefisien regresi dari masing-masing IV.
Jika koefisien regresi sig <0,05 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang
berarti variabel independen tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
workplace wellbeing. Adapun besarnya koefisien regresi dari masing-masing variabel
independen terhadap workplace wellbeing dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7
Koefisien Regresi
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
T Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 4.417 7.728 .572 .568
Self_efficacy .022 .054 .026 .415 .678
Optimisme -.036 .063 -.034 -.571 .569
Harapan .197 .066 .183 2.994 .003
Resiliensi .063 .069 .058 .910 .364
Idealized_Influence .346 .061 .346 5.712 .000
Inspirational_Learning -.044 .052 -.050 -.842 .401
Intellectual_Stimulation .175 .053 .193 3.295 .001
Individualized_Consideration .202 .063 .192 3.186 .002
a. Dependent Variable: WWB
Berdasarkan koefisien regresi pada tabel 4.7, maka persamaan regresinya
sebagai berikut: (*signifikan)
Workplace wellbeing = 4.417 + 0.022 self efficacy - 0.036 optimisme +
0.197 * harapan + 0.063resiliensi +
0.346 * idealized_influence - 0.044 Inspirational_Learning +
0.175*Intellectual_Stimulation+
0.202* Individualized_Consideration
55
Dari persamaan regresi tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat empat varibel
yang nilai koefisien regresinya signifikan, yaitu; (1) harapan; (2) idealized influence;
(3) intellectual stimulation; dan (4) individualized consideration. Sementara empat
variabel lain tidak signifikan. Penjelasan dari nilai koefisien regresi yang diperoleh
masing-masing independen variabel adalah sebagai berikut:
1. Variabel self-efficacy
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar .022 dengan taraf signifikansi .678 (sig >
0.05), artinya variabel self-efficacy tidak signifikan mempengaruhi workplace
wellbeing.
2. Variabel optimisme
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -.036 dengan taraf signifikansi 0.569 (sig
> 0.05), artinya variabel optimisme tidak signifikan mempengaruhi workplace
wellbeing.
3. Variabel harapan
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar .197 dengan taraf signifikansi 0.003 (sig
< 0.05), artinya variabel harapan signifikan mempengaruhi workplace wellbeing
dan bermuatan positif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi variabel
harapan, maka workplace wellbeing akan semakin tinggi.
4. Variabel resiliensi
56
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar .063 dengan taraf signifikansi 0.364 (sig
> 0.05), artinya variabel resiliensi tidak signifikan mempengaruhi workplace
wellbeing.
5. Variabel idealized influence
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar .346 dengan taraf signifikansi 0.000 (sig
< 0.05), artinya variabel idealized influence signifikan mempengaruhi workplace
wellbeing dan bermuatan positif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi
variabel idealized influence, maka workplace wellbeing akan semakin tinggi.
6. Variabel inspirational learning
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -.044 dengan taraf signifikansi 0.401 (sig
> 0.05), artinya variabel inspirational learning tidak signifikan mempengaruhi
workplace wellbeing.
7. Variabel intelectual stimulation
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar .175dengan taraf signifikansi 0.001 (sig
< 0.05), artinya variabel intellectual stimulation signifikan mempengaruhi
workplace wellbeing dan bermuatan positif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin
tinggi variabel intellectual stimulation maka workplacewellbeing akan semakin
tinggi
8. Individualized consideration
Diperoleh nilai koefisien regresi sebesar .202 dengan taraf signifikansi 0.002 (sig
< 0.05), artinya variabel individualized consideration signifikan mempengaruhi
workplace wellbeing dan bermuatan positif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin
57
tinggi variabel individualized consideration maka workplace wellbeing akan
semakin tinggi.
Berdasarkan tabel 4.17, dapat diketahui koefisien regresi mana yang lebih
kuat. Dalam hal ini, peneliti menggunakan koefisien regresi yang terstandarisasi
(standardized coefficient) atau beta (β) untuk melihat angka koefisien regresi mana
yang menunjukkan pengaruh yang lebih kuat terhadap variabel dependen. Variabel
idealized influencememiliki pengaruh yang paling kuat dengan nilai β= .346.
4.2.3 Pengujian proporsi varians pada setiap variabel independen
Selanjutnya peneliti ingin mengetahui bagaimana pernambahan proporsi varian dari
tiap variabel independen terhadap workplace wellbeing.
Tabel 4.8
Proporsi varians workplace wellbeing pada setiap variabel independen
Model Summary
Model R R Square
Change Statistics
R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change
1 .092a .008 .008 1.854 1 218 .175
2 .120b .014 .006 1.289 1 217 .257
3 .280c .078 .064 14.966 1 216 .000
4 .315d .099 .021 5.076 1 215 .025
5 .456e .208 .109 29.330 1 214 .000
6 .459f .211 .003 .718 1 213 .398
7 .494g .244 .033 9.393 1 212 .002
8 .528h .279 .035 10.154 1 211 .002
a. Predictors: (Constant), Self_efficacy
b. Predictors: (Constant), Self_efficacy, Optimisme
c. Predictors: (Constant), Self_efficacy, Optimisme, harapan
d. Predictors: (Constant), Self_efficacy, Optimisme, harapan, resiliensi
e. Predictors: (Constant), Self_efficacy, Optimisme, harapan, resiliensi, Idealized_Influence
f. Predictors: (Constant), Self_efficacy, Optimisme, harapan, resiliensi, Idealized_Influence, Inspirational_Learning
58
Pada
tabel 4.8
kolom pertama adalah penambahan varians variabel dependen dari tiap variabel
independen yang dianalisis satu per satu tersebut, kolom kedua merupakan nilai
murni varians variabel dependen dari tiap variabel independen yang dimasukkan
secara satu per satu, kolom ketiga adalah nilai F hitung bagi variabel independen
yang bersangkutan, kolom DF adalah derajat bebas bagi variabel independen yang
bersangkutan pula, yang terdiri dari numerator dan denumerator, kolom F tabel
adalah kolom mengenai nilai variabel independen pada tabel F dengan DF yang telah
ditentukan sebelumnya, nilai kolom inilah yang akan dibandingkan dengan kolom
nilai F hitung. Apabila nilai F hitung lebih besar daripadaFtabel, maka kolom
selanjutnya yaitu kolom signifikansi yang akan dituliskan signifikan dan sebaliknya.
Berdasarkan tabel 4.18, dapat disampaikan informasi sebagai berikut :
1. Variabel self-efficacy memberikan sumbangan sebesar 0,8% dalam varians
workplace wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan
F= 1.854dan df2= 218.
2. Variabel optimisme memberikan sumbangan sebesar 0,6% dalam varians
workplace wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan
F= 1.289dan df2= 217.
3. Variabel harapan memberikan sumbangan sebesar 6,4% dalam varians workplace
wellbeing. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan F= 14.966 dan
df2= 216.
g. Predictors: (Constant), Self_efficacy, Optimisme, harapan, resiliensi, Idealized_Influence,
Inspirational_Learning, Intellectual_Stimulation
h. Predictors: (Constant), Self_efficacy, Optimisme, harapan, resiliensi, Idealized_Influence, Inspirational_Learning, Intellectual_Stimulation, Individualized_Consideration
59
4. Variabel resiliency memberikan sumbangan sebesar 2,1% dalam varians
workplace wellbeing. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan F=
5.076 dan df2= 215.
5. Variabel idealized influence memberikan sumbangan sebesar 10,9% dalam
varians workplace wellbeing. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik
dengan F= 29.330 dan df2= 214.
6. Variabel inspirational learning memberikan sumbangan sebesar 0,3% dalam
varians workplace wellbeing. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik
dengan F= .718 dan df2= 212.
7. Variabel intellectual stimulation memberikan sumbangan sebesar 3,3% dalam
varians workplace wellbeing. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik
dengan F= 9.393 dan df2= 212.
8. Variabel individualized consideration memberikan sumbangan sebesar 3,5%
dalam varians workplace wellbeing. Sumbangan tersebut signifikan secara
statistik dengan F= 10.154 dan df2= 211.
Dengan demikian¸jika dilihat dari besarnya pertambahan R2 yang dihasilkan
setiap kali dilakukan penambahan variabelindependen (sumbangan proporsi varian
yang diberikan),dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 variabel independen, yaitu
harapan, idealized influence, intellectual stimulation, dan individualized
consideration yang signifikan sumbangannya terhadap workplace wellbeing.
60
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Pada bab ini, penulis akan memaparkan lebih lanjut hasil penelitian yang
dilakukan. Bab ini terdiri atas kesimpulan, diskusi, dan saran.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji hipotesis mayor, kesimpulan pertama yang diperoleh dari
penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan modal psikologis dan
persepsi kepemimpinan transformasional terhadap workplace well being.
Kemudian, berdasarkan hasil uji hipotesis minor dari signifikansi masing-
masing koefisien regresi terhadap dependent variable, diperoleh terdapat empat
varibel yang nilai koefisien regresinya signifikan, yaitu: Harapan, idealized
influence, intellectual stimulation dan individualized consideration. Sedangkan
empat variabel lainnya yaitu: self-efficacy, optimisme, ketahanan, dan
inspirational learning nilai koefisien regresinya tidak signifikan.
5.2 Diskusi
Fokus pada penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kesejahteraan (wellbeing) karyawan. Menurut Page (2005)
workplace well-being merupakan salah satu cabang dari subjective well-being
yang diterapkan dalam setting kerja. Jika subjective well-being merupakan
kepuasan secara umum terhadap seluruh aspek kehidupan, maka kepuasan
tersebut dapat juga difokuskan pada salah satu aspek, seperti pekerjaan.
61
Yang menjadi variabel bebas adalah modal psikologis dan persepsi
kepemimpinan trasformasional. Penelitian sebelumnya terkait modal psikologis
dan wellbeing karyawan memang masih hanya terbatas pada subjective wellbeing
dan psychological wellbeing. Peneliti belum menemukan penelitian mengaitkan
secara langsung modal psikologis dengan workplace wellbeing. Sehingga, bisa
dikatakan temuan dalam penelitian ini merupakan temuan yang baru. Peneliti pun
menduga hal ini lah yang menyebabkan ditemukannya beberapa dimensi dari
modal psikologis yang tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap workplace
wellbeing.
Dalam penelitian ini, ditemukan hanya satu dimensi dari modal psikologis
yang memberikan pengaruh signifikan terhadap workplace wellbeing, yaitu
harapan. Temuan dalam penelitian ini menguatkan penelitian pada bidang
kesehatan kerja dan kesehatan psikologis sebelumnya yang menemukan bahwa
harapan memiliki keterkaitan dengan wellbeing. Contohnya, penelitian yang
dilakukan Snyder et al. (2002) menjelaskan bahwa harapan merupakan sumber
daya yang harus dimiliki seseorang untuk dapat mencapai kesejahteraan di tempat
kerja dan dalam berbagai aspek kehidupan. Penelitian lain yang menyebutkan
bahwa harapan dapat memberikan pengaruh terhadap well being karyawan adalah
penelitian yang dilakukan oleh Park, Peterson, dan Seligman (2004).
Snyder et al. (2002) mendefinisikan harapan sebagai sebagai kodisi
motivasi positif yang didasari oleh interaksi akan perasaan sukses (1) agency
(goal-directed energy) dan (2) pathways (planning to meet goals). Harapan
merupakan sumber motivasi yang memiliki komponen kognitif. Sumber daya
62
psikologis ini memberikan harapan bahwa sasaran akan dicapai. Orang dengan
harapan yang tinggi sangat termotivasi untuk mencapai keberhasilan dalam tugas.
Mempertahankan harapan selama masa krisis merupakan aspek penting yang
harus dimiliki untuk mencapai kesejahteraan pada karyawan. Selain itu, Park et al.
(2004) juga menyoroti bahwa individu dengan harapan tinggi cenderung memiliki
pandangan yang positif tentang masa depan. Pada gilirannya, keyakinan ini
memungkinkan seseorang untuk memiliki pandangan yang positif tentang diri
sendiri yang akan membantu dalam peningkatan motivasi dan menyebabkan
berujung kegiatan dan sarana yang diarahkan aktif mengejar tujuan pribadi,
sehingga individu dengan harapan yang tinggi cenderung akan lebih mampu
mencapai kesejahteraannya.
Akan tetapi, meski terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
harapan memberikan pengaruh positif terhadap well being, ditemukan pula hasil
penelitian lain yang menunjukkan bahwa harapan tidak memberikan pengaruh
positif terhadap well being. Penelitian yang dilakukan oleh Malik (2013)
menemukan bahwa dimensi ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kesejahteraan karyawan. Dalam penelitiannya tersebut, hanya self
efficacy dan ketahanan yang memberikan efek terhadap kesejahteraan karyawan.
Selain itu, menurut Nash dan Stewart (2005), harapan mampu memberikan efek
terhadap kesejahteraan bagi para pekerja sosial jika digabung dengan spiritualitas.
Dimensi berikutnya dari modal psikologis adalah self-efficacy. Dimensi ini
ditemukan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan
63
karyawan di tempat kerja. Hasil penelitian ini memberikan bukti baru bahwa self-
efficacy tidak selalu mampu meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Hasil penelitian ini berbeda dengan temuan sebelumnya yang menyatakan
bahwa self-efficacy yang tinggi akan diikuti dengan kesejahteraan yang tinggi
pula. Sebut saja penelitian yang dilakukan oleh yang dilakukan oleh Malik (2013).
Dalam penelitiannya tersebut, Malik (2013) menemukan bahwa self-efficacy
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan karyawan bersama
dengan ketahanan, sementara optimisme dan harapan tidak. Selain itu, terdapat
juga penelitian yang dilakukan oleh Avey et al. (2010) yang menyatakan bahwa
seluruh dimensi modal psikologis termasuk self-efficacy memberikan pengaruh
positif terhadap kesejahteraan psikologis karyawan.
Beberapa penelitian lain yang juga menemukan bahwa self-efficacy tidak
memberikan pengaruh signifikan terhadap kesejahteraan adalah penelitian yang
dilakukan oleh Natovová dan Chýlová (2014). Dalam penelitiannya tersebut,
Natovová dan Chýlová (2014) menemukan bahwa self-efficacy hanya mampu
mereduksi stres kerja, namun tidak mampu meningkatkan kesejahteraan. Selain
itu, Liu, Siu, dan Shi (2010), menemukan bahwa self-efficacy mampu memberikan
pengaruh terhadap kesejahteraan karyawan setelah menjadi moderator dari
kepemimpinan transformasional. Ketika self-efficacy berdiri sendiri, self-efficacy
tidak mampu memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan karyawan (Liu, Siu, &
Shi, 2010).
Dimensi berikutnya yang juga tidak memberikan pengaruh signifikan
terhadap kesejahteraan karyawan adalah optimisme. Hasil penelitian ini berbeda
64
dengan temuan dari penelitian yang dilakukan oleh Avey et al. (2010). Menurut
Avey et al. (2010), seseorang yang optimis akan memiliki cara coping stres yang
lebih efektif dibanding orang yang pesimis. Orang yang optimis memiliki cara
pandang yang berbeda pada setiap situasi yang dihadapinya. Cara pandang yang
positif ini lah yang akan membawa ia pada kesejahteraan. Selain itu, penelitian
yang dilakukan oleh Cole, Daly dan Mak (2009) juga menemukan bahwa
optimisme memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan karyawan.
Meski ditemukan beberapa penelitian yang berbeda dengan hasil
penelitian ini, ditemukan pula beberapa penelitian sejenis yang menemukan
bahwa optimism tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kesejahteraan
karyawan. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Malik (2013) serta
Singh dan Mansi (2009). Bahkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Singh dan
Mansi (2009), optimisme tidak berkorelasi dengan kesejahteraan. Selain itu,
dalam penelitian yang dilakukan oleh Karademas (2006), optimisme
membutuhkan self-efficacy dan dukungan sosial untuk dapat memberikan
pengaruh terhadap kesejahteraan.
Dimensi terakhir dari modal psikologis yang tidak memberikan pengaruh
signifikan adalah ketahanan. Hasil penelitian ini tentu sangat unik, karena
mayoritas penelitian sebelumnya menemukan bahwa ketahanan mampu
meningkatkan kesejahteraan karena orang dengan tingkat ketahanan yang tinggi
mampu bertahan dengan kondisi apa pun (Luthans et al., 2007). Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Avey et al. (2010) ditemukan bahwa dimensi ini memberikan
pengaruh signifikan terhadap kesejahteraan psikologis karyawan. Kemudian,
65
dalam penelitian yang dilakukan oleh Malik (2013) pun juga menemukan bahwa
dimensi ini memberikan pengaruh signifikan terhadap kesejahteraan karyawan.
Temuan dalam penelitian yang penulis lakukan ini sejalan dengan temuan
pada penelitian yang dilakukan oleh Harvey et al (2014) yang menyebutkan
bahwa ketahanan akan mampu mempengaruhi kesejahteraan karyawan jika
didukung dengan kondisi lingkungan dan sosial yang baik. Jika kedua hal tersebut
tidak terpenuhi, maka ketahanan yang dimiliki karyawan hanya mampu membuat
karyawan bertahan dengan tekanan yang dialaminya. Selain itu, menurut Friedli
(2009), ketahanan hanya mampu membantu karyawan bangkit kembali dan
memiliki cara mengatasi (coping) stres yang dialaminya, namun tidak mampu
membawa kesejahteraan dan kepuasan terhadap pekerjaannya.
Selanjutnya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tiga dimensi dari
persepsi kepemimpinan transformasional memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap workplace wellbeing. Dimensi-dimensi yang memberikan pengaruh
signifikan tersebut adalah idealized influence, intellectual stimulation,
individualized consideration.
Dimensi pertama, idealized influence. Dalam penelitian ini dimensi
idealized influence signifkan memberikan pengaruh positif terhadap workplace
wellbeing karyawan. Artinya, pemimpin yang memiliki karakteristik idealized
influence dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan di tempat kerja. Temuan
penelitian ini menguatkan hasil penelitian Nielsen, Yarker, Brenner, Randall dan
Borg (2008) yang menemukan bahwa dimensi ini memiliki pengaruh terhadap
wellbeing dan kepuasan kerja karyawan. Selain itu, penelitian Arnold et al. (2007)
66
menemukan bahwa dimensi ini memberikan pengaruh positif terhadap
kesejahteraan psikologis karyawan.
Menurut Sivanathan et al. (2004), idealized influence terjadi ketika para
pemimpin memilih untuk melakukan apa yang etis daripada apa yang bijaksana,
ketika dipandu oleh komitmen moral untuk pengikut, dan melampaui kepentingan
pribadi untuk kepentingan organisasi. Pemimpin yang mampu memanifestasikan
idealized influence mampu melepaskan tekanan organisasi untuk hasil keuangan
jangka pendek, dan juga memfokuskan upaya pada kesehatan dan kesejahteraan
karyawan. Sehingga, pemimpin dengan karakateristik ini dapat meningkatkan
kesejahteraan karyawan.
Akan tetapi, hasil dalam penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Tafvelin, Armelius, dan Westerberg (2011). Dalam
penelitiannya tersebut, dimensi idealized influence tidak memberikan pengaruh
positif terhadap well being. Dimensi ini mampu memberikan pengaruh terhadap
well being jika dimoderatori oleh dimensi lain dari kepemimpinan
transformasional. Selain itu, menurut Sadeghi dan Pihie (2012) dimensi ini tidak
akan memberikan pengaruh yang efektif jika tidak dibarengi dengan kemampuan
pemimpin pada dimensi lain dari kepemimpinan transformasional.
Dimensi selanjutnya yang juga memberikan pengaruh positif adalah
intellectual stimulation. Hasil penelitian ini menguatkan temuan dari Arnold et al.
(2007) yang menemukan bahwa dimensi ini mampu meningkatkan kesejahteraan
karyawan di tempat kerja. Selain penelitian dari Arnold et al. (2007), hasil
penelitian ini juga sejalan dengan pendapat dari Sivanathan et al. (2004).
67
Menurutnya, pemimpin yang memiliki sifat intelectual stimulation akan
membantu karyawan untuk mempertanyakan asumsi sendiri, membingkai
masalah, dan memberikan pendekatan dengan cara yang inovatif. Dengan
demikian, karyawan akan menjadi lebih percaya diri dalam melindungi dan
mengembangkan kesejahteraan sendiri. Pada saat yang sama, berpikir tentang
tantangan dalam cara-cara baru memungkinkan karyawan untuk memahami
situasi. Sehingga, pemimpin dengan karakteristik ini dapat membantu karyawan
mencapai kesejahteraan di tempat kerja. Akan tetapi, menurut hasil penelitian
yang dilakukan oleh Javeed dan Farooqi (2013), dimensi ini baru mempengaruhi
kesejahteraan jika dimoderatori oleh kondisi kerja. Hal ini disebabkan bahwa
meski pemimpin mampu memberikan pendekatan dengan cara yang inovatif, jika
tidak didukung dengan kondisi kerja yang nyaman, tidak akan memberikan
pengaruh terhadap kesejahteraan karyawan. Selain itu, menurut Sadeghi dan Pihie
(2012) dimensi ini tidak akan memberikan pengaruh yang efektif jika tidak
dibarengi dengan kemampuan pemimpin pada dimensi lain dari kepemimpinan
transformasional.
Dimensi terakhir yang memberikan pengaruh positf terhadap workplace
wellbeing adalah individualized influence. Temuan dalam penelitian ini pun
sejalan dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Arnold et al. (2007) yang
menemukan bahwa dimensi ini dapat meningkatkan kesejahteraan karyawan.
Individualized consideration akan terjadi ketika para pemimpin memberikan
perhatian khusus terhadap kebutuhan karyawan untuk pencapaian dan
pengembangan diri. Para pemimpin dengan sifat ini akan memberikan empati,
68
kasih sayang, dukungan, dan bimbingan yang akan mempengaruhi kesejahteraan
karyawan. Meski demikian, hasil dalam penelitian ini berbeda dengan Kelloway,
Turner, Barling, dan Loughlin (2012). Dalam penelitiannya ini dimensi ini harus
dimoderatori oleh kepercayaan terhadap pemimpin baru dapat mempengaruhi
kesejahteraan karyawan. Selain itu, menurut Sadeghi dan Pihie (2012) dimensi ini
tidak akan memberikan pengaruh yang efektif jika tidak dibarengi dengan
kemampuan pemimpin pada dimensi lain dari kepemimpinan transformasional.
Dalam penelitian ini, peneliti menyadari masih terdapat banyak
kekurangan dalam penelitian ini. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
bahwa penelitian terkait pengaruh modal psikologis terhadap workplace wellbeing
karyawan masih sangat jarang ditemukan. Oleh karena itu, butuh kajian lebih
mendalam terkait hubungan antar kedua variabel tersebut, terlebih lagi, dalam
penelitian ini hanya ditemukan satu dimensi modal psikologis yang berpengaruh
signifikan terhadap workplace wellbeing.
Selain itu, dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode
nonprobability sampling. Peneliti pun tidak diberi izin oleh pihak kementerian
untuk bertemu dengan responden secara langsung. Sehingga, kemungkinan
munculnya bias dalam penelitian ini sangat besar karena peneliti tidak mengetahui
apakah sample yang dipilih sesuai dengan kriteria peneliti atau tidak. Selain itu,
sample yang dipilih pun kemungkinan tidak representative menggambarkan
kondisi populasi.
69
5.3 Saran
Pada penelitian ini, penulis membagi saran menjadi dua, yaitu saran metodologis
dan saran praktis. Penulis memberikan saran secara metodologis sebagai bahan
pertimbangan untuk perkembangan penelitian selanjutnya. Selain itu, penulis juga
menguraikan saran secara praktis sebagai bahan kesimpulan dan masukan bagi
pembaca sehingga dapat mengambil manfaat dari penelitian ini. Saran yang
penulis berikan akan berdasarkan dengan temuan dalam penelitian yang telah
penulis lakukan.
5.3.1 Saran Metodologis
1. Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, ditemukan proporsi varian dari
workplace wellbeing yang dijelaskan oleh persepsi kepemimpinan
transformasional dan modal psikologis adalah sebesar 27,9%, sedangkan
72,1% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Hal ini
menunjukkan bahwa masih banyak variabel lain di luar penelitian ini yang
dapat memberikan pengaruh terhadap workplace wellbeing. Selain itu,
penelitian terkait yang menggunakan workplace wellbeing sebagai DV masih
sangat jarang ditemukan, maka untuk penelitian selanjutnya dapat
menggunakan faktor-faktor lain yang menarik yang dapat dijadikan variabel
independent untuk melihat pengaruhnya terhadap workplace wellbeing,
seperti, kepuasan kerja, komitmen organiasi, trust in organization, meaning
full at work dan variabel individual difference lainnya.
2. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah para Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Bina Pelaksanaan Wilayah II. Hasil
70
yang diperoleh pada penelitian ini terdapat empat variabel yang signifikan
terhadap dependent variable, yaitu: harapan, idealized influence, intellectual
stimulation, dan individualized consideration. Sedangkan empat variabel
lainnya tidak signifikan terhadap dependent variable, yaitu: self-efficacy,
optimisme, ketahanan, dan inspirational learning. Sehubungan dengan
penjelasan diatas, penulis memberikan saran untuk penelitian selanjutnya,
gunakan sampel yang berbeda. Sebaiknya sampel yang digunakan adalah
subjek yang bekerja pada institusi/ perusahaan swasta (bukan PNS atau
kampus), karena di perusahaan swasta perubahan sangat sering terjadi.
sehingga diharapkan akan menghasilkan hasil yang bervariasi. Selain itu, di
perusahaan swasta pun biasanya lebih mudah diberi izin untuk melakukan
penelitian dibanding dengan instansi pemerintahan. Karena untuk melakukan
penelitian di instansi pemerintahan harus melalui perizinan dan birokrasi yang
cukup sulit.
5.3.2 Saran Praktis
1. Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, diperoleh nilai koefisien regresi
sebesar .197 dengan taraf signifikansi 0.003 (sig<0.05), artinya variabel
harapan signifikan mempengaruhi workplace wellbeing dan bermuatan
positif. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi variabel harapan, maka
workplace wellbeing akan semakin tinggi. Penulis menyarankan kepada
pemegang kebijakan untuk melakukan penelitian agar dapat meningkatkan
harapan yang dimiliki oleh karyawannya. Salah satu metode yang dapat
digunakan adalah metode berupa intervensi yang disebut dengan modal
71
psikologis intervention (PCI) yang dikembangkan oleh Luthans, Youssef &
Avolio (2007). Metode ini dapat digunakan untuk mengembangkan tiap aspek
dalam psychological capital, khusus dalam hal ini adalah harapan. Harapan
dipengaruhi oleh tujuan, pathways dan agency. Dalam hal ini, individu dilatih
untuk membangun suatu tujuan yang memungkinkan untuk dapat menjadi
motivasi baginya., dan tiap komponen dalam tujuan ini dapat meningkatkan
agency. Selain itu, individu juga dilatih untuk dapat melihat beberapa
pathway yang dapat ia gunakan dalam merencanakan tindakan ketika danya
suatu tantangan atau rintangan. Setelah selesai latihan ini, tiap individu akan
mendapatkan feedback atau alternatif pathways yang diharapkan dari
kelompoknya. Latihan ini dapat meningkatkan kemampuan individu untuk
melihat adanya suatu tantangan dan untuk merencanakan tindakan yang tepat
untuk tantangan tersebut dan juga dapat mengurangi dampak negatif yang
dapat mempengaruhi agency.
2. Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, diperoleh nilai koefisien regresi
sebesar .346 dengan taraf signifikansi 0.003 (sig<0.05), artinya variabel
idealized influence signifikan mempengaruhi workplace wellbeing dan
bermuatan positif. Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyarankan
kepada pemimpin hendaknya menekankan pentingnya nilai-nilai dan
keyakinan, pentingnya keikatan pada keyakinan tersebut, perlu dimilikinya
tekad mencapai tujuan. Pemimpin hendaknya berperan sebagai model dengan
tingkah laku dan sikap yang mengandung nilai-nilai yang baik bagi
perusahaan/institusi. Karena, menurut penelitian yang dilakukan oleh Nielsen
72
et al. (2008), pemimpin dengan kemampuan idealized influence akan
membuat karyawan tidak merasa tertekan selama bekerja, sehingga dapat
membantu karyawan mencapai kesejahteraan.
3. Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, diperoleh hasil koefisien regresi
sebesar .175 dengan taraf signifikansi 0.003 (sig<0.05), artinya variabel
intellectuall stimulation signifikan mempengaruhi workplace wellbeing dan
bermuatan positif. Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyarankan bagi
pemimpin hendaknya mendorong bawahannya untuk memikirkan kembali
cara kerjanya dan mencari cara-cara baru dan kreatif dalam melaksanakan
tugas-tugasnya. Menurut Sivanathan et al. (2004), pemimpin dengan
karakteristik intellectuall stimulation akan membuat karyawan menjadi lebih
percaya diri dalam melindungi dan mengembangkan kesejahteraan.
Karyawan akan memiliki cara berfikir yang baru terhadap masalah yang
dihadapinya selama bekerja.
4. Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, diperoleh hasil koefisien regresi
sebesar .002 dengan taraf signifikansi 0.003 (sig<0.05), artinya variabel
individualized consideration signifikan mempengaruhi workplace wellbeing
dan bermuatan positif. Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyarankan
bagi pemimpin hendaknya memperlakukan setiap karyawan sebagai seorang
pribadi dengan kecakapan, kebutuhan, dan keinginan masing-masing.
Pemimpin pun hendaknya memberikan nasihat yang bermakna, memberi
pelatihan yang diperlukan dan bersedia mendengarkan pandangan dan
keluhan karyawan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sivanathan et al.
73
(2004), pemimpin dengan sifat ini akan memberikan empati, kasih sayang,
dukungan, dan bimbingan yang akan mempengaruhi kesejahteraan karyawan.
74
Daftar Pustaka
Avey, J. B., Luthans, F., & Jensen, S. M. (2009). Psychological capital: A positive
resource for combating employee stress and turnover. Human Resource
Management, 48, 677– 693.doi.10.1002/hrm.20294
Anwarsyah, W.I., Salendu, A., & Radikun, T. B. S. (2012). Hubungan antara job
demands dengan workplace well-being pada pekerja shift. Jurnal
Psikologi Pitutur, 1(1), 32-44.
Arnold KA, Turner N, Barling J, Kelloway EK & McKee M (2007)
Transformational leadership and psychological well-being: The mediating
role of meaningful work. Journal of Occupational Health Psychology, 12,
193-203.doi:10.1037/1076-8998.12.3.193
Avey, J.B., Luthans, F., Smith, R.M., & Palmer, N.F. (2010). Impact of positive
psychological capital on employee well-being over time. Journal of
Occupational Health Psychology, 15(1), 17–28.doi:10.1037/a0016998
Bandura, A. (1977). Self-efficacy: Toward a unifying theory of behavioral
change. Psychological Review, 84(2), 191-215.
Bass, B.M. (1990). From transactional to transformational leadership: Learning to
share the vision. Organizational Dynamics, 18 (3), 19-31.
Beas, M. I. & Salanova, M. (2004). Self-efficacy beliefs, computer training and
psychological well-being among information and communication
technology workers. Computers in Human Behavior, 22, 1043-1058.
Beşiktaş, M. Y. & Orta, L. (2012). Measuring Leadership conditions of the
coaches considering some factors. International Journal of Humanities
and Social Science, 2(19), 210-213.
Bono, J.E., & Ilies, R. (2006). Charisma, positive emotions and mood contagion.
The Leadership Quarterly, 17, 317-334.doi:10.1016/J.lcaqua.2006.04.009
Bushra, F., Usman, Α., Naveed, Α. (2011).Effect of transformational leadership
on employees’ job satisfaction and organizational commitment in banking
sector of Lahore (Pakistan). International Journal of Business and Social
Science, 2(18), 261-267.
Carver, C. S., Scheier, M. F., & Segerstrom, S. C (2010). Optimism. Clinical
Psychology Review, 30, 879–889.doi.10.1016/J.cpr.2010.01.006
Danna, K. & Griffin, R.W. (1999). Health and well-being in the workplace: A
review and synthesis of the literature. Journal of Management, 25(3), 357-
75
384.doi:10.1177/1014920639902500305
Eddington, N. & Shuman, R. (2005). Subjective well being (happiness).
Continuing psychology education: 6 continuing education hours. Diunduh
pada 7 Februari 2015 dari http://www.texcpe.com/cpe/PDF/ca-
happiness.pdf.
Ghadi, M. Y., Fernando, M., & Caputi, P. (2013). Transformational leadership
and work engagement: The mediating effect of meaning in work.
Leadership & Organization Development Journal, 34(6), 532-550.
Javeed, T, & Farooqi, AY. (2013). Impact of transformational leadership style on
employees' satisfaction and well-being with working conditions as
mediator. International Journal of Multidisciplinary Sciences and
Engineering, 4 (7), 1-8.
Kelloway, E.K., Turner, N., Barling, J., & Loughlin, C. (2012). Transformational
leadership and employee psychological well-being: The mediating role of
employee trust in leadership. Work & Stress: An International Journal of
Work, Health & Organisations, 26 (1), 39-55.
Kuster, F., Orth, U., & Meier L(2013). High Self-Esteem Prospectively Predicts
Better Work Conditions and Outcomes. Social Psychological and
Personality Science, 4(6), 668-675.
Luthans, F., Luthans, K. W., & Luthans, B. C. (2004). Positive psychological
capital: Beyond human and social capital. Business Horizons, 47(1), 45-
50.
Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J. (2007). Psychological capital:
Developing the human competitive edge. New York: Oxford University
Press.
Malik, A. (2013). Efficacy, hope, optimism and resilience at workplace – positive
organizational behavior. International Journal of Scientific and Research
Publications, 3(10), 1-4.
Mortazavi, S., Yazdi, V. S. S., & Amini, A. (2012). The role of the psychological
capital on quality of work life and organization performance.
Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business, 4(2),
206-217.
Nielsen K, Yarker J, Brenner SO & Randall R (2008). The importance of
transformational leadership style for the well-being of employees working
with older people. Journal of Advanced Nursing, 63, 165-
175.doi:10.1111/j.1365-2648.2008.04701.x.
Page, Kathryn. (2005). Subjective wellbeing in the workplace. Thesis. School of
76
Psychology Faculty of Health and Behavioural Sciences Deakin
University
Riaz, A. & M.H. Haider. (2010). Role of transformational and transactional
leadership with job satisfaction and career satisfaction. Business and
Economics Horizons (BEH), 1(1), 56-64.
Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being
revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719–727.
Schimmack, U., & Diener, E. (2003). Predictive validity of explicit and implicit
self-esteem for subjective well-being. Journal of Research in Personality,
37, 100-106.
Sivanathan, N., Arnold, K., Turner, N., & Barling, J. (2004). Transformational
leadership and well-being. In A. Linley & S. Joseph (Eds.). Positive
psychology in practice. (pp. 241-255). Hoboken, NJ: Wiley.
Stajkovic, A. D., & Luthans, F. (1988). Self-efficacy and work-related
performance: A meta-analysis. Psychological Bulletin, 124(2), 240-
261.doi:10.1037/0021-9010.92.1.107
Tafvelin, S., Armelius, K., & Westerberg, K. (2011). Toward understanding the
direct and indirect effects of transformational leadership on well-being: A
longitudinal study. Journal of Leadership and Organizational Studies, 18
(4), 480–492.doi:10.1177/1548051811418342
Umar, J. (2010). Materi kuliah statitika 3
Van Dierendonck, D., Haynes, C., Borrill, C., & Stride, C. (2004). Leadership
behavior and subordinate well-being. Journal of Occupational Health
Psychology, 9, 165–175.doi:10.1037/1076-8998.9.2.165
Youssef, C. M., & Luthans, F. (2007). Positive organizational behavior in the
workplace: The impact of hope, optimism, and resilience. Journal of
Management, 33(5), 774-800.doi:10.1177/0149206307305562
Yukl, G. (1999). An evaluative essay on current conceptions of effective
leadership. European Journal Of Work And Organizational Psychology, 8
(1), 33–4.
Zulkosky, K. (2009). self-efficacy: A concept analysis. Journal Compilation, 44
(2), 93-102.