Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap...

13
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 300 Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap Kebijakan Nasional: Peranan DGB Dalam Kebijakan Open-door Sebagai Respon Atas Krisis Pengungsi Prila Sherly Arofani Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Email: [email protected] Abstract The Germany’s open door policy is a policy which opening the nation’s border widely for refugees. However, this open door policy received a backlash from domestic and foreign countries. For the domestic sides, Germany Government reaped critics and racism sentiment from right-wing groups. Meanwhile, for the foreign countries side, Germany being criticized because worked unilaterally on this issue and ignored shared solutions with European Union. Angela Merkel, the Germany’s chancellor who brought up the policy remains on her stance to open up the border for refugee. Merkel’s decision was influenced by the cosmopolitanism values from social movement and political institution. The social movement which influenced Merkel’s decision was a trade union named Deutscher Gewerkschaftsbund (DGB). Whilst for the political institution, it is indicated by Merkel's cabinet that expressly leaves no room for racism. Keywords: Cosmopolitanism, Merkel, Social Movement, Political Institution, DGB, Trade Union, Open-door, Racism, Germany. Abstrak Kebijakan open door Jerman adalah suatu kebijakan yang membuka perbatasan negara dengan lebar terhadap pengungsi. Namun, kebijakan open door ini menimbulkan backlash dari domestik dan mancanegara. Untuk domestik, pemerintahan Jerman menuai kritik dan sentimen rasisme dari kelompok sayap kanan. Sementara itu, di mancanegara, Jerman dikritik karena bergerak secara unilateral dengan mengabaikan solusi bersama Uni Eropa. Angela Merkel, kanselir Jerman yang mengusung kebijakan ini tetap pada pendiriannya untuk membuka lebar perbatasan terhadap pengungsi. Keputusan Merkel dipengaruhi oleh nilai kosmopolitanisme yang muncul dari gerakan sosial dan institusi politik. Gerakan sosial yang mempengaruhi adalah trade union di Jerman berupa Deutscher Gewerkschaftsbund (DGB). Pada institusi politik, ditunjukkan oleh kabinet Merkel yang secara tegas tidak memberikan ruang terhadap rasisme. Kata-kata kunci: Kosmopolitanisme, Merkel, Gerakan Sosial, Institusi Politik, DGB, Trade Union, Open-door, Rasisme, Jerman.

Transcript of Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap...

Page 1: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 300

Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara

Terhadap Kebijakan Nasional: Peranan DGB

Dalam Kebijakan Open-door Sebagai Respon

Atas Krisis Pengungsi

Prila Sherly Arofani

Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Email: [email protected]

Abstract

The Germany’s open door policy is a policy which opening the nation’s border widely for refugees. However, this open door policy received a backlash from domestic and foreign countries. For the domestic sides, Germany Government reaped critics and racism sentiment from right-wing groups. Meanwhile, for the foreign countries side, Germany being criticized because worked unilaterally on this issue and ignored shared solutions with European Union. Angela Merkel, the Germany’s chancellor who brought up the policy remains on her stance to open up the border for refugee. Merkel’s decision was influenced by the cosmopolitanism values from social movement and political institution. The social movement which influenced Merkel’s decision was a trade union named Deutscher Gewerkschaftsbund (DGB). Whilst for the political institution, it is indicated by Merkel's cabinet that expressly leaves no room for racism.

Keywords: Cosmopolitanism, Merkel, Social Movement, Political Institution, DGB, Trade Union, Open-door, Racism, Germany.

Abstrak

Kebijakan open door Jerman adalah suatu kebijakan yang membuka perbatasan negara dengan lebar terhadap pengungsi. Namun, kebijakan open door ini menimbulkan backlash dari domestik dan mancanegara. Untuk domestik, pemerintahan Jerman menuai kritik dan sentimen rasisme dari kelompok sayap kanan. Sementara itu, di mancanegara, Jerman dikritik karena bergerak secara unilateral dengan mengabaikan solusi bersama Uni Eropa. Angela Merkel, kanselir Jerman yang mengusung kebijakan ini tetap pada pendiriannya untuk membuka lebar perbatasan terhadap pengungsi. Keputusan Merkel dipengaruhi oleh nilai kosmopolitanisme yang muncul dari gerakan sosial dan institusi politik. Gerakan sosial yang mempengaruhi adalah trade union di Jerman berupa Deutscher Gewerkschaftsbund (DGB). Pada institusi politik, ditunjukkan oleh kabinet Merkel yang secara tegas tidak memberikan ruang terhadap rasisme.

Kata-kata kunci: Kosmopolitanisme, Merkel, Gerakan Sosial, Institusi Politik, DGB, Trade Union, Open-door, Rasisme, Jerman.

Page 2: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Prilla sherly arofani

301 Jurnal

Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

Pendahuluan

Pada tahun 2015, Jerman menjadi negara yang menerima pencari suaka terbanyak di antara negara lainnya yaitu sebanyak 441.900 pencari suaka. Hal ini menunjukkan kenaikan angka pencari suaka hingga mencapai lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagian besar pencari suaka berasal dari negara Syria, Albania, Serbia, dan Kosovo (UNHCR, 2016). Kenaikan angka pengungsi di Jerman disebabkan oleh dirumuskannya kebijakan open-door di bawah kepemimpinan kanselir Angela Merkel. Namun, kebijakan open-door menuai backlash baik dari domestik maupun mancanegara. Untuk mancanegara, Jerman dinilai bergerak secara unilateral ketika permasalahan pengungsi seharusnya dihadapi bersama oleh negara negara Uni Eropa. Jerman mengabaikan Peraturan Dublin yang mana seharusnya Uni Eropa sebagai penentu dimana pencari suaka ditempatkan. Sedangkan, Jerman menghadapinya sendiri dengan membuka lebar-lebar perbatasannya dan memutuskan untuk menarik pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain itu, terdapat permasalahan demografi dan peningkatan tindak kriminal yaitu menjadi 402.741 bila dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, dampak yang muncul dari domestik yaitu muncul sentimen terhadap pengungsi dari kelompok sayap kanan. Alternative for Germany (AfD) menginginkan Jerman untuk melakukan kontrol terhadap perbatasan Uni Eropa atau bahkan ditutup secara keseluruhan (BBC, 2016). Keputusan tersebut juga dianggap tidak melihat kondisi pengungsi yang sebenarnya terlantar di bekas bandara Tempelholf, Berlin sedangkan tempat tersebut menjadi penampungan pengungsi terbesar (Paterson, 2016).

Respon terhadap kebijakan open-door yang beragam tidak membuat Merkel surut dengan menyatakan bahwa Jerman adalah negara yang menghargai

martabat setiap individu manusia berdasarkan kepada konstitusi negara. Bila Jerman bertindak sebaliknya, maka sama dengan tidak melaksanakan dasar konstitusi negara yang benar seperti pada pidatonya ketika pengungsi mendapatkan perlakuan kekerasan di Heidenau:

“Germany is a country that respects the dignity of every single individual…..that is laid out in our constitution and applies to every person in our country…every individual is entitled to be treated with dignity and respect here, irrespective of whether they are entitled to reside in Germany as a refugee fleeing war, or whether they have valid grounds to claim asylum” (Angela Merkel, 2015).

Merkel juga mendapatkan dukungan dari Deutscher Gewerkschaftsbund (DGB) yaitu suatu Konfederasi Serikat Pekerja Jerman yang telah bekerja sejak tahun 1986 untuk mendukung hak-hak pengungsi. Pada tahun 1986, DGB disebut sebagai organisasi anti-rasisme yang menyerukan “Mach meinen Kumpel nicht an!” berarti “Don’t touch my buddy” dengan merujuk kepada pencari suaka. DGB memberikan respon tersebut sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap kampanye yang menganggap pencari suaka adalah ancaman bagi Jerman (Bergfeld, 2017). Secara keseluruhan, DGB sebagai konfederasi perdagangan di Jerman memberikan kampanye dengan judul “Human Dignity Shall be Inviolable” yang “Germany is a democratic, cosmopolitan nation” (DGB, 2016). Maka dari itu, penulis menganalisis kebijakan tersebut melalui kosmopolitanisme pada tingkat gerakan sosial dan institusi politik.

Kosmopolitanisme: Gerakan Sosial dan Institusi Politik

Pada dasarnya, definisi kosmpolitanisme mulanya disampaikan oleh Diogenes of Sinope, seorang filsuf Yunani yang ketika diberikan

Page 3: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Nama lengkap penulis

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 302

pertanyaan berasal darimana dirinya, Diogenes menjawab “I am a citizen of the world”. Istilah kosmopolitanisme berasal dari dua kata yaitu kosmos berarti dunia dan polites berarti warga negara (Gannaway, 2009). Sementara itu, kosmopolitanisme menurut Martell (2011) adalah ketika masyarakat di dunia dengan perbedaan identitas, kepercayaan, dan budaya hidup bersama sama tanpa menghilangkan rasa menghargai terhadap satu sama lain. Selain itu, melibatkan kelompok dan indvidu yang memiliki obligasi terhadap satu sama lain dan terikat pada masyarakat yang menyatukan mereka tetapi juga menghargai perbedaan. Kant sebagai salah satu tokoh kosmopolitanisme modern menjelaskan mengenai kewarganegaraan dan migrasi, Kant (dalam Mertens, 1996) menyatakan dasar dari hak kosmopolitan adalah setiap manusia berhak untuk tidak diperlakukan dengan kejam ketika secara sukarela atau terpaksa masuk ke dalam wilayah komunitas politik tertentu. Individu berhak untuk masuk ke dalam wilayah komunitas politik tertentu dengan damai namun ketika berupaya tinggal membutuhkan perjanjian antara orang asing dan komunitas tersebut.

Habermas menjelaskan hubungan antara konsep demokrasi dengan kosmopolitanisme melalui dalam konteks kewarganegaraan. Sekelompok individu yang menjadi warga negara tertentu sebelumnya dianggap sebagai takdir karena tidak dapat memilih namun menurut Habermas sendiri sebenarnya demokrasi tidak terbatas pada komunitas nasional berdasarkan takdir melainkan lebih luas daripada itu. Sementara itu, Goldsmith (2003) yang menyatakan bahwa demokrasi liberal sebagai bentuk pemerintahan paling sesuai untuk mengakui kebebasan moral setiap individu. Sehingga, meskipun

kosmopolitanisme menekankan pada tindakan individual yang baik namun muncul anggapan bahwa bergerak melalui institusi lebih efektif daripada

secara individu. Selain itu, Shabani (2007) menekankan bahwa kosmopolitanisme tidak utopis bila mengakui peran negara yang terdapat dalam teori kosmopolitanisme demokrasi dengan menggunakan konsep demokrasi, negara, ruang publik, dan hukum. Selanjutnya, Archibugi dan Held (2011) menjelaskan

bahwa kosmopolitan demokrasi dapat berkembang melalui insitusi yang masih ada seperti negara. Pada intinya, kosmopolitanisme merupakan seperangkat nilai dan praktis yang dapat diimplementasikan kepada institusi politik manapun termasuk negara.

Fokus kosmopolitanisme yang semula dari individu menjadi lebih kepada institusi juga mengakibatkan kemunculan gerakan-gerakan sosial transnasional untuk menegakkan nilai kosmopolitanisme. Di era kontemporer ini, gerakan sosial transnasional semakin menguat yang menurut Della Porta dan Diani (2006) disebebakan oleh interaksi antara karakteristik masyarakat dan pegerakan sosial. Pergerakan sosial didefinisikan oleh fitur sosial berupa pengaruh dari konflik baru yang muncul di era tertentu. Sedangkan, John Markoff (2015) menjelaskan bagaimana pergerakan sosial menguat di era demokrasi liberal berdasarkan isu yang sedang terjadi yaitu (1) perubahan iklim global yang membutuhkan tindakan transnasional karena mengancam keadaan dunia secara keseluruhan bila dilakukan oleh negara sendiri maka terjadi kecenderungan untuk mengambil keuntungan sendiri; (2) ancaman gangguan ekonomi; (3) kriminalitas transnasional dari penjualan narkotika, senjata, dan manusia semakin mengalami peningkatan; (4) penyakit global seperti munculnya AIDS yang

Kosmopolitanisme

adalah sebuah paham

yang mendorong

penghargaan pada

perbedaan identitas,

agama, ras,

kebudayaan dan

sebagainya

Page 4: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Pengaruh kosmopolitanisme terhadap aktor

303 Jurnal

Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

menyebar di dunia setelah bermigrasi dari hewan pada manusia; (5) proliferasi nuklir yang dapat mengarah pada destruksi massal; (6) Kecenderungan kapitalisme global untuk mengembangkan dan menerapkan teknologi baru; (7) ketidaksetaraan; (8) aliran manusia transnasional yang memberikan dilema bagi negara di dunia termasuk untuk negara Eropa dengan dilemanya dalam bentuk konsep universalitas kewarganegaraan sehingga muncul pemahaman bahwa hal ini mengancam identitas nasional.

Ekspansi Komopolitanisme Dalam Bentuk DGB Sebagai Gerakan Sosial Pro Inklusifitas Pengungsi

Pada dasarnya, DGB adalah organisasi dalam bentuk asosiasi politik serikat pekerja Jerman yang berupaya untuk menegakkan suara pekerja. Organisasi ini menyatukan dan mewakili kepentingan serikat pekerja dan anggotanya terhadap politisi dimulai dari pemerintahan nasional hingga badan-badan Eropa maupun internasional (DGB, t.t). DGB memiliki peran penting dalam mendukung minoritas dari tahun ke tahun, mereka menyuarakan permintaan untuk adopsi hukum mengenai anti diskriminasi dan mendukung pemeliharaan hak pencari suaka yang tidak terbatas (Bruggemann dan Riehle, 2003). Sejak tahun 1950an, Konfederasi Serikat Buruh (DGB) di Jerman memiliki posisi yaitu imigran harus memiliki tempat setara dengan warga Jerman pada hukum tenaga kerja dan hak tawar menawar kolektif. Di tahun 1950an, tidak adanya aturan mengenai tenaga kerja asing membuat munculnya Work Constitution Act. Di tahun 1972 DGB menyatakan tenaga kerja dan dewan kerja harus meyakinkan bahwa tidak adanya perbedaan perlakukan berdasarkan latar belakang (Bruggemann dan Riehle, 2003). Di tahun 1973, pemerintahan Jerman menerapkan kebijakan zero

immigration meskipun tetap tidak menghentikan DGB untuk tetap memperjuangkan hak pekerja asing. Selanjutnya, di tahun 1998, DGB membangun jaringan melawan rasisme dan hak. Di tahun 2000, muncul wacana untuk menghilangkan kebijakan mengenai zero immigration yang menjadi bahasan utama oleh DGB (Pajares, 2008). Pada Agustus 2000, DGB dan Konfederasi Asosiasi Pegawai Jerman (BDA) mendeklarasikan keduanya akan menyediakan informasi untuk menghadapi ancaman dari ekstremisme sayap kanan. Pada Mei 2000, DGB secara khusus membuat laporan mengenai Komisi Serikat Buruh dalam ekstremisme sayap kanan (Thorsten, 2000). Di tahun 2001, DGB memberlakukan sistem point-based untuk mengatur migrasi tenaga kerja lalu juga berupaya untuk melakukan lobbying terhadap pemerintahan agar terjadinya perubahan pada hukum migrasi dan suaka di Jerman. Di sekitar tahun 2008, DGB bekerja sama dengan

ver.di yang didukung oleh International Labour Organization (ILO) membuka kantor yang dapat menawarkan saran untuk pekerja tanpa dokumen legal meskipun mereka bukan anggota serikat buruh (Wagner, 2017).

Ketika memperjuangkan hak-hak

dari pengungsi, DGB melakukan kampanye yang meningkatkan awareness bagi masyarakat Jerman atau untuk pengungsi sendiri. Pertama, di dalam artikel berjudul Alliance for Tolerance, Solidarity, Democracy and Constitutional State – Against Prejudice, Hatred and Violence yang diinisiasi oleh DGB dengan Reiner Hoffman sebagai Ketua DGB memberikan pengertian untuk tidak melakukan tindakan diskriminasi dan kebencian terhadap pengungsi (DGB, 2016). Selain untuk meningkatkan awareness terhadap masyarakat, DGB menyebarkan pemberitahuan mengenai hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan

DGB adalah

organisasi dalam

bentuk asosiasi politik

serikat pekerja

Jerman yang

berupaya untuk

menegakkan suara

pekerja.

Page 5: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Nama lengkap penulis

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 304

seperti hak, upah, pekerjaan dan disediakan dalam lima bahasa agar mudah dipahami (DGB, 2015). Sementara itu, untuk implementasi lebih dilaksanakan oleh DGB bersama Berlin-Bradenburg Business Associations (UVB) DGB secara khusus membentuk Department of Migration and Good Work yang menawarkan konseling mengenai sosial, pekerjaan, dan tempat tinggal untuk mendukung imigran dalam berbagai bahasa(Arbeit und Leben Berlin, t.t). Selain departemen yang khusus untuk pengungsi, terdapat program yang berjudul Good Job for Refugees dengan menyediakan seminar untuk pengungsi dalam berbagai bahasa (Arbeit und Leben Berlin, t.t). Terdapat program lainnya yang menyediakan informasi dan saran dari professional mengenai pelatihan kejuruan berupa KAUSA Service Station Bradenburg (Arbeit und Leben Berlin, t.t). Sedangkan untuk program pendidikan DGB bekerja sama dengan sekolah sekolah di Berlin seperti VHS Mitte, VHS Neukölln, VHS Pankow, VHS Spandau, VHS Steglitz - Zehlendorf, dan VHS Reinickendorf melalui program Course System for Improving the Educational Literacy of Young Adults. Sementara itu, kerjasama DGB dengan berbagai serikat perdagangan di seluruh Eropa melalui suatu asiosiasi yang disebut sebagai Union Migrant Net (Arbeit und Leben Berlin, t.t). Untuk program lainnya disediakan oleh organisasi di bawah naungan DGB yaitu IG Metall dengan menyediakan program berupa kombinasi antara pelatihan bahasa dan kejuruan (IG Metall, 2017).

Respon Merkel dan Pemerintahan Jerman Terhadap Pengungsi Dalam Aspek Normatif dan Konstitusional

Peristiwa di akhir tahun 2014 yang lalu disusul pada pertengahan 2015 yaitu adanya protes besar besaran oleh Pegida di kota Dresden dengan membawa spanduk bertuliskan slogan yaitu “zero tolerance towards criminal asylum seekers”, “protect our

homeland” dan “stop the Islamisation”. (Connolly, 2014). Hal ini menimbulkan respon dari Pemerintahan Jerman seperti Angela Merkel memberikan pidato singkat di akhir tahun 2014 mengenai posisi yang menegaskan bahwa “there is no place here for stirring up hatred and telling lies about people who have come to us from other countries” (Angela Merkel, 2014). Sementara itu, terdapat beberapa pernyataan dari menteri-menteri di bawah kabinet Merkel yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap gerakan Pegida. Pertama, Menteri Ekonomi Federal, Sigmar Gabriel menyatakan "Germany is a cosmopolitan and liberal society. That is something we can be proud of. Anyone who tries to exploit vague fears or fuel xenophobia does not speak for the majority!”. Kedua, Menteri untuk urusan Keluarga, Lansia, Perempuan, dan Remaja Federal Manuela Schwesig yang menyatakan “In Germany there is no place for racism, hatred or anti-Muslim aggression. That is why I say, ‘No to Pegida!’". Ketiga, Menteri Luar Negeri Federal Frank-Walter Steinmeier menegaskan bahwa “It is projecting a very negative image of the country…we must make it very clear that those shouting their slogans in a few streets are a tiny minority with a loud voice." Keempat, Menteri Pertahanan Federal Ursula von der Leven, menegaskan bahwa “Germany benefits enormously from its open and cosmopolitan society” (Bundesregierung, 2015).

Sementara itu, untuk menunjukkan tindakan nyata dari respon pemerintah yang pro terhadap pengungsi melalui diskursus kosmopolitanisme maka dikeluarkan berbagai kebijakan lainnya dalam menyokong open-door. Terdapat tiga kebijakan yang mendukung pengungsi yaitu dalam negeri dan luar negeri. Untuk kebijakan dalam negeri terdiri atas, pertama, New Asylum Procedures (NAP) yang dilatarbelakangi oleh tingginya angka pendaftaran pencari suaka maka pemerintahan Jerman memudahkan proses melalui empat pengukuran. Upaya ini ditangani

Page 6: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Pengaruh kosmopolitanisme terhadap aktor

305 Jurnal

Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

oleh Agensi Federal untuk Migrasi dan Pengungsi (BAMF) yang menambah staf baru hingga mencapai 4000. Kedua, Integration, Financial and Socio-political Development (ISFD) yaitu pendanaan untuk pengungsi dan pencari suaka meningkat hingga satu milyar Euro di tahun 2015 lalu di tahun 2016 mencapai 6 milyar Euro. Pendanaan ini digunakan untuk Pusat Pekerjaan, program pendidikan, dan sebagainya. Ketiga, Integration Act (IA) yang digunakan untuk mendukung integrasi pengungsi dan pencari suaka ke pasar tenaga kerja. Pada kebijakan lainnya menyediakan program pendidikan sedangkan IA menyediakan pekerjaan baru yang mengenalkan pendatang terhadap pasar tenaga kerja (Schmid, 2016).

Jerman sebagai negara demokrasi memiliki kebijakan open-door yang dapat ditelaah menjadi dua aspek utama yaitu normatif dan konstitusionalitas. Untuk aspek normatif ditunjukkan oleh bagaimana Merkel menanggapi respon dari kebijakan open-door seperti pada pernyatan berikut:

“They have not brought us less prosperity, but more prosperity. They have not brought us less freedom, but more freedom. They have not brought us less diversity, but more diversity. In brief, they have brought us more Europe, because we Europeans have learned in the course of our history to make the most of our diversity. The quality that has enabled us to do this, that has allowed us to combine freedom with responsibility, is tolerance. This is a precious asset.” (Merkel, 2015).

Selama debat anggaran yang dilakukan pada September 2016 di Bundestag, Merkel sempat menyinggung mengenai kebijakan open-door yang mana Jerman dianggap merespon aliran pengungsi lebih baik daripada tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena Jerman tetap mengedepankan nilai nilai seperti "liberty, security, justice,

solidarity" dalam melaksanakan berbagai kebijakannya termasuk open-door. Menurut Merkel, Jerman sedang dalam posisi yang baik melalui bantuan dari berbagai pihak sehingga proses pergerakan pengungsi menjadi tertib dan dikelola dengan baik. Maka dari itu, Jerman dapat memenuhi tanggung jawab humanitariannya pada tingkat nasional dan internasional. Selain itu, Merkel menyebutkan bahwa Jerman mengalami perubahan menuju lebih baik ke arah liberalisme, demokrasi, rule of law, dan komitmen terhadap pasar sosial ekonomi (Bundesregierung, 2016).

Sedangkan untuk aspek konstitusionalitas sebenarnya tindakan Jerman untuk mengambil kebijakan open-door yang didasarkan pada kosmopolitanisme sebenarnya ada di dalam Undang Undang Dasar mengenai hak dasar pada Pasal I, yaitu “human dignity shall be inviolable to respect and protect it shall be the duty of all state authority”. Pasal 1 ini disebutkan beberapa kali dalam pidato ketika merespon isu mengenai kebijakan open-door. Merkel menyatakan bahwa Jerman memiliki upaya untuk melindungi individu khususnya pengungsi yang meninggalkan negara asalnya ketika berusaha mencari perlindungan. Maka, dengan adanya Pasal 1 seharusnya menjadi kewajiban Jerman untuk membantu pengungsi.

“These principles are laid out in our Basic Law or constitution…the German Basic Law provides for the right to asylum for individuals fleeing political persecution…we should be proud of the humanitarian principles enshrined in the Basic Law…Germany also guarantees to protect individuals fleeing from …The second fundamental principle is the principle of human dignity – which is assured in Article 1 of the Basic Law." (Angela Merkel, 2015).

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan open-door dengan dua aspek utama yaitu normatif dan

Page 7: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Nama lengkap penulis

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 306

konstitusionalitas ditunjukkan melalui pidato maupun pernyataan resmi pemerintahan Jerman. Pertama, pada aspek normatif, kebijakan open-door menunjukkan bahwa adanya nilai yaitu kebebasan, diversitas, humanitarian, liberty, keamanan, keadilan, solidaritas, dan tanggung jawab. Aspek tersebut digunakan untuk mendasari implementasi kebijakan open-door dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai nilai-nilai tersebut. Selanjutnya untuk aspek konstitusionalitas, kebijakan open-door didasarkan pada Undang Undang Dasar atau Konstitusi Jerman pada bagian hak dasar, Pasal 1 yaitu “human dignity shall be inviolable”. Pasal 1 tersebut menunjukkan bahwa kebijakan open-door sebagai bentuk implementasi dari Undang Undang Dasar Jerman. Dasar konstitusionalitas tersebut disebutkan sebagai hal yang mendasari kebijakan open door dalam berbagai pembahasan mengenai pengungsi di Jerman.

Peranan DGB Sebagai Gerakan Kosmopolitan dan Pemerintah Jerman Dalam Memperkuat Kebijakan Open-door

Jerman sebagai negara demokrasi dengan sistem parlementer memiliki empat elemen utama untuk mengetauhi pengaruh kelompok kepentingan atau NGO terhadap

pembuatan kebijakan di Jerman. Pertama, Jerman memiliki metode pemilu berdasarkan pada representasi proporsional. Metode ini merujuk pada partai politik diberikan representasi legislatif sesuai proporsi berdasarkan pada suara rakyat. Kedua, sistem pemilihan umum dan pengaruhnya terhadap partisipasi dari masyarakat berkaitan dengan metode pemilu yang mana warga diberikan dua pilihan dalam satu kertas suara untuk memilih individu dan kelompok partai di parlemen. Ketiga, demokrasi konsensus seringkali membutuhkan integrasi dari berbagai kelompok pressure sehingga kebijakan nantinya menunjukkan seperti nonpartisan (Seliger, 2003). Keempat, lobbying yang memiliki tujuan untuk mempengaruhi kebijakan sehingga terdapat dua strategi dalam lobbying yaitu insider lobbying dan outsider lobbying. Insider lobbying adalah tindakan untuk mempengaruhi kebijakan melalui akses dari dalam misalnya ikut serta pada proses pengambilan kebijakan di parlemen. Sedangkan, outsider lobbying adalah tindakan untuk mempengaruhi yang lebih kepada “going public” melalui kampanye media, mobilisasi warga, menyuarakan protes, mengadakan konferensi media, membuat pidato publik, atau membuat petisi untuk ditandatangani (Weiler dan Brandli, 2015).

Tabel 1: Pendekatan Kelompok Kepentingan di Jerman

No. Jenis Pengaruh Channel Contoh

1. Representasi

proporsional dan

federalisme

kooperatif

Sedang Sistem legislatif

bikameral dan

klausa 5 persen

Kebijakan

kesehatan dan

pasar tenaga kerja

2. Sistem pemilihan

umum dan

partisipasi

Sedang Daftar pemilihan

dan organisasi

partai

Afiliasi anggota

parlemen dan

partai

Page 8: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Pengaruh kosmopolitanisme terhadap aktor

307 Jurnal

Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

masyarakat

3. Demokrasi

konsensus

Tinggi Round tables dan

tindakan bersama

Kebijakan pasar

tenaga kerja,

imigrasi, energi

4. Lobbying Tinggi Lobbying secara

langsung di

berbagai tingkat

pemerintahan dan

legislatif

Seluruh bidang

Sumber: Seliger, 2003

Pada insider lobbying lebih dulu menjelaskan mengenai kedekatan DGB dengan kelompok partai yang duduk di parlemen yaitu SPD. DGB mengidentifikasikan dirinya sebagai trade union yang tidak memiliki afiliasi atau secara finansial dependen pada partai tertentu. Namun, secara sejarah yang melihat ketua DGB dari tahun ke tahun menunjukkan kedekatan dengan SPD. Hal ini dapat ditunjukkan oleh Tabel 4.2. yang menunjukkan susunan ketua dari tahun ke tahun sehingga dari data tersebut semua ketua DGB setidaknya pernah menjadi anggota partai SPD (Heiner dan Birke, 2012). Sementara itu, SPD menunjukkan posisi yang sama dengan DGB mengenai pengungsi ketika pemilihan umum 2017 yang memberikan syarat untuk Angela Merkel sebelum partai berbasis sosial demokrat tersebut masuk kembali

sebagai Grand Coalition. SPD meminta Merkel untuk memberikan persetujuan terhadap pengungsi yang membawa anggota keluarganya di negara asal agar dapat bermigrasi ke Jerman. Namun, CDU sebagai partai yang membawa Merkel sebagai kanselir tidak menyetujui. Sehingga, situasi ini menyebabkan deadlocked selama lima bulan dengan perwakilan SPD Las Castellucci menyatakan bahwa “It drives me crazy that we can’t find a humane solution to this issue” (Chazan, 2018). Situasi deadlocked diakhir dengan negosiasi Angela Merkel memberikan kuota 1000 untuk keluarga pengungsi yang ingin masuk ke Jerman. Namun terdapat pengecualian terhadap kasus yang disebut “extreme hardship” sehingga dapat masuk ke Jerman tanpa harus adanya kuota tersebut (Knight, 2018).

Tabel 2: Ketua DGB Sejak 1949-Sekarang

Tahun Jabatan Ketua Partai Sebelumnya

1949-1951 Hans Bockler SPD

1951-1952 Christian Fette SPD

Page 9: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Nama lengkap penulis

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 308

1952-1956 Walter Friday SPD

1956-1962 Willi Richter SPD

1962-1969 Ludwig Rosenberg SPD

1969-1982 Heinz Oksar SPD

1982-1990 Ernst Breit SPD

1990-1994 Heinz Werner Meyer SPD

1994-2002 Dieter Schulte SPD

2002-2014 Michael Summer SPD

2014-sekarang Reiner Hoffmann SPD

Sumber: DGB, t.t.

DGB sebagai kelompok kepentingan memiliki strategi utama yaitu melalui insider lobbying. Untuk insider lobbying dilakukan oleh DGB dengan secara langsung ikut serta dalam proses di Bundestag (Kluver, 2015). Terdapat dua cara untuk mendapatkan akses dalam parlemen yaitu pertama, akses diberikan kepada asosiasi secara sukarela dengan batas waktu satu tahun. Kedua, pass yang didapatkan dari partai politik dengan melibatkan semua pelobi termasuk yang bukan bagian dari asosiasi sehingga memiliki akses melalui access pass di dalam parlemen. Kelompok nonpartisan di Jerman Parliament Watch (Abgeordnetenwatch) memiliki tujuan untuk mempromosikan transparasi parlemen. Kelompok ini mengajukan kepada partai-partai di parlemen agar mempublikasikan daftar

nama pelobi yang ikut dalam proses pengambilan kebijakan. Daftar publikasi institusi tersebut menunjukkan data pelobi di parlemen untuk dua tahun dengan menunjukkan bahwa tidak adanya perubahan dari institusi yaitu FES, DGB, dan KBV. Hal ini berimplikasi pada kelompok kepentingan tersebut memiliki posisi tertentu di dalam parlemen khususnya untuk partai SPD. Selain itu, dari data tersebut dapat menunjukkan bahwa SPD memiliki kedekatan dengan DGB yang dibuktikan melalui pemberian kursi parlemen agar mendapatkan posisi untuk melakukan lobbying sehingga dapat menyampaikan tujuan maupun kepentingannya. Berikut ini adalah jumlah anggota yang masuk ke dalam parlemen atas nama SPD:

Tabel 3: Perbandingan Jumlah Anggota Institusi Di Bundestag Melalui SPD

Page 10: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Pengaruh kosmopolitanisme terhadap aktor

309 Jurnal

Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

2014 2015

Institusi Jumlah Institusi Jumlah

Anggota Partai 72 Anggota Partai 75

Friedrich Ebert

Stiftung (FES)

32 FES 36

DGB 17 DGB 17

KBV 9 KBV 5

GKV 8 BDN 4

KfW 8 Max-Plank

Institute

4

Sumber: Parliament Watch, 2014-2015

Sementara itu, untuk outsider lobbying terdiri atas dua strategi utama yaitu Media dan Mobilisasi. Strategi media pertama kali dilakukan oleh DGB bersama Pro Asyl dan Intercultural Council untuk Bundestag 2013 melalui konferensi pers berjudul “Europe of Humanity instead of the Markets”. Pembahasan konferensi pers yang dikutip melalui (DGB, 2013) memiliki fokus terhadap permintaan reorientasi imigrasi, tempat tinggal, dan kebijakan pengungsi melawan rasisme maupun ekstrimisme sayap kanan di Jerman. Di awal tahun 2015, DGB mengeluarkan press release yang menekankan bahwa Jerman membutuhkan hukum imigrasi modern dengan melawan rasisme dan ekslusi (DGB, 2015). Selain itu, DGB Youth merilis artikel berjudul Argumentation “Refugee and Asylum” memberikan berbagai penjelasan yang melawan 15 slogan dari AfD (DGB

Youth, 2016). Terdapat strategi media melalui wawancara yang dilakukan oleh Reiner Hoffman dengan DW News yang menjelaskan mengenai aliansi solidaritas merujuk kepada Alliance for Tolerance di tahun 2016. Hoffman menunjukkan posisi dengan melawan populis dan ekstrimis sayap kanan (Hoffman, 2016).

Selanjutnya, untuk strategi mobilisasi atau protes disuarakan

melalui petisi yang mana diadakan di tanggal 2 Oktober yaitu Hari Pengungsi Nasional. Petisi tersebut melibatkan masyarakat, NGO, trade union, dan berbagai lapisan masyarakat dengan berfokus pada hak asasi para pencari suaka (DGB, 2015). Petisi lainnya juga diajukan oleh DGB yaitu “Alliance for Tolerance”

dengan memiliki fokus terhadap meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melawan ketidakadilan,

DGB menggunakan

dua strategi dalam

mempengaruhi

kebijakan open-door

Jerman yaitu outsider

lobbying dan insider

lobbying

Page 11: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Nama lengkap penulis

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 310

kebencian, dan kekerasan. Petisi tersebut berjudul Human Dignity Shall be Inviolable (DGB, 2016). Selain menyebarkan petisi terdapat juga mobilisasi masyarakat yang dilaksanakan oleh Amnesti Internasional, DGB, Pro Asyl, dan kelompok agama. Demonstrasi ini dilaksanakan di Bochum, Berlin, Hamburg, Leipzig, dan Munich yang memiliki moto “Hand in Hand against Racism”. Demonstrasi ini melibatkan berbagai lapisan masyarakat dengan jumlah lebih dari 20.000 yang berada di fasilitas sosial, gereja, tempat pengungsian, tempat kultural, dan balai kota. Fokusnya adalah untuk memberikan sinyal kepada seluruh masyarakat bahwa Jerman adalah negara yang kosmopolitan dan diverse (Reuters, 2016).

Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan open-door di Jerman untuk membuka perbatasan terhadap pencari suaka yang dirumuskan di bawah kepemimpinan Merkel dipengaruhi oleh nilai-nilai dan gerakan kosmopolitan Jerman. Terdapat dua tingkat pengaruh kosmopolitanisme yaitu pada gerakan sosial dan institusi politik. Pada tingkat gerakan sosial, kosmopolitanisme ditunjukkan melalui respon terhadap isu pengungsi dan implementasi program kerja kelompok tersebut. Pasca berakhirnya Perang Dunia II, DGB semakin aktif merepresentasikan pengungsi dengan mengangkat isu-isu penting seperti keamanan sosial, akomodasi, kerjasama, dan kesetaraan hukum. Sementara itu, pada tingkat institusi politik ditunjukkan melalui pernyataan resmi dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk mendukung terciptanya keterbukaan Jerman. Pemerintahan Jerman memberikan respon terhadap pengungsi dengan positif dan condemn kelompok yang

memiliki kecenderungan xenophobic. Kebijakan open-door sebagai kebijakan negara demokrasi memiliki dua aspek utama yaitu normatif dan konstitusional. Untuk aspek normatif menunjukkan bahwa Merkel menekankan pada sisi kebebasan atau hak bergerak yang sesuai pada negara demokrasi dan nilai kosmopolitan. Untuk aspek konstitusionalitas dapat dilihat dari berbagai pidato Merkel yang menekankan pada Undang Undang Dasar Jerman Pasal 1 yaitu martabat manusia tidak dapat diganggu gugat dan untuk menghormati maupun melindunginya menjadi tugas dari semua otoritas negara.

Ketika DGB dan Pemerintahan Jerman memilki posisi yang pro terhadap pengungsi maka dapat memperkuat kebijakan tersebut. DGB menggunakan lobbying sebagai bentuk pendekatan terhadap Pemerintahan Jerman melalui insider dan outsider lobbying. Untuk insider lobbying dilakukan secara langsung pada proses pengambilan kebijakan di parlemen. DGB memiliki kedekatan dengan SPD, yaitu partai yang masuk dalam Koalisi Besar di parlemen. Hal ini diketahui dari sebagian besar ketua DGB dari 1949-sekarang pernah menjadi anggota maupun atasan Partai SPD. Selain itu, posisi SPD dan DGB pada isu pengungsi menunjukkan kesamaan pendapat. Sementara itu, untuk outsider lobbying dilakukan DGB melalui strategi media dan mobilisasi. Untuk strategi media dilakukan melalui konferensi pers, press release, dan wawancara. Pada strategi mobilisasi yaitu melalui petisi Alliance for Tolerance dan demonstrasi “Hand in Hand against Racism”. Untuk penelitian lebih lanjut, rekomendasi peneliti adalah melakukan penelitian mengenai pengaruh kebijakan open-door berbasis kosmopolitanisme dalam memperbaiki citra Jerman pasca holocaust.

Daftar Pustaka

Buku

[1] Wagner, Ines. 2017. “Trade Unions and Migrant Workers in Germany: Unions between National and Transnational Labour

Page 12: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Pengaruh kosmopolitanisme terhadap aktor

311 Jurnal

Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

Market Segmentation”, dalam Marino, Stefania et al (eds.), Trade Unions and Migrant Workers: New Context and Challenges in Europe. Cheltenham: Edward Elgar Publishing. Jurnal dan Jurnal Daring

[2] Archibugi, Daniele dan David Held. 2011. “Cosmopolitan Democracy: Paths and Agents”, dalam Ethics and International Affairs, Vol. 25, No. 4.

[3] Archibugi, Daniele dan David Held. 2011. “Cosmopolitan Democracy: Paths and Agents”, dalam Ethics and International Affairs, Vol. 25, No. 4.

[4] Bergfeld, Mark. 2017. “Germany’s Willkommenskultur: Trade Unions, Refugees and Labour Market Integration”, dalam Global Issues: Refugees and Labour in Europe, Vo. 8, No. 1.

[5] Bruggemann, Beate dan Rainer Riehle. 2003. “Integration of ethnic minorities in Germany and the influence of the European Employment Strategy”, dalam Transfer: European Review of Labour and Research.

[6] Heiner, Dribbusch dan Peter Birke. 2012. “Trade Unions in Germany: Organisation, Environment, Challenges”, dalam International Trade Policy.

[7] Kluver, Heike. 2015. “Interest Groups in the German Bundestag: Exploring True Linkage between Citizens and Interest Groups”, dalam German Politics, Vol. 24, No. 2.

[8] Martell, Luke. 2011. “Cosmopolitanism and Global Politics”, dalam Political Quarterly, Vol. 18, No. 4.

[9] Pajares, Miguel. 2008. “Foreign Workers and Trade Unions: The Challenges Posed”, dalam Transfer: European Review of Labour and Research, Vol. 4, No. 8.

[10] Seliger, Bernhard. 2003. “From Civic Organization to NGOs in Germany: an Interest Group Analysis”, dalam International Area Review, Vol. 6, No. 1.

[11] Shabani, Omid. A.P. 2007. “Cosmopolitan Justice and Immigration: A Critical Theory Perspective”, dalam European Journal of Social Theory, Vol. 10, No. 1.

[12] Weiler, Florian dan Matthias Brandli. 2015. “Inside versus Outside Lobbying: How The Institutional Framework Shapes The Lobbying Behaviour Of Interest Groups”, dalam European Journal of Political Research, Vol. 54. Artikel Daring

[13] Arbeit und Leben Berlin. t.t. Course System [online] dalam: http://www.berlin.arbeitundleben.de/projekte-und-dienstleistungen/kurssystem.html [diakses pada 25 Januari 2018].

[14] Arbeit und Leben Berlin. t.t. Good Job for Refugees [online] dalam: https://www.gelbehand.de/meldung/artikel/gute-arbeit-fuer-gefluechtete/ [diakses pada 25 Januari 2018].

[15] Arbeit und Leben Berlin. t.t. KAUSA Service Station Brandenburg [online] dalam: http://www.berlin.arbeitundleben.de/projekt

e-und-dienstleistungen/kausa-servicestelle-brandenburg.html [diakses pada 25 Januari 2018].

[16] Arbeit und Leben Berlin. t.t. Migration and Good Work [online] dalam: http://www.berlin.arbeitundleben.de/migration-und-gute-arbeit.html [diakses pada 25 Januari 2018].

[17] Arbeit und Leben Berlin. t.t. Union Migrant Net [online] dalam: http://www.berlin.arbeitundleben.de/migration-und-gute-arbeit/union-migrant-net.html [diakses pada 9 April 2018].

[18] BBC. 2016. What does Alternative for Germany (AfD) want? [online] dalam: http://www.bbc.com/news/world-europe-37274201 [diakses pada 24 Maret 2017]

[19] Bundesregierung. 2015. Call for Tolerance: Taking a Clear Stance against Pegida [online] dalam: https://www.bundesregierung.de/Content/EN/Artikel/2015/01_en/2014-12-15-pegida-fluechtlinge_en.html?nn=709674 [diakses pada 30 Januari 2018]

[20] Bundesregierung. 2016. A Chance to Find a Solidarity-Based Solution in Europe [online] dalam: https://www.bundesregierung.de/Content/EN /Reiseberichte/2016/2016-04-21-deutschland-niederlande_en.html?nn=709674 [diakses pada 12 Maret 2018]

[21] Chazan, Guy. 2018. Refugee Rights Drive Wedge between German Coalition Parties [online] dalam: https://www.ft.com/content/86f2368c-01ba-11e8-9650-9c0ad2d7c5b5 [diakses pada 15 Maret 2018]

[22] Connolly, Kate. 2014. Estimated 15,000 people join ‘pinstriped Nazis’ on march in Dresden [online] dalam: https://www.theguardian.com/world/2014/dec/15/dresden-police-pegida-germany-far-right [diakses pada 30 Januari 2018]

[23] DGB Youth. 2016. Argumentation: Refugee and Asylum [online] dalam: http://jugend.dgb.de/dgb_jugend/material/antirassismusarbeit/++co++eb26998e-fa88-11e6-86ff-525400d8729f [diakses pada 22 Maret 2018]

[24] DGB. 2013. Pro ASYL, DGB, and Intercultural Council for the German Bundestag 2013: Europe of Humanity instead of the Markets [online] dalam: http://www.dgb.de/presse/++co++1096967e-d4c7-11e2-8d60-00188b4dc422 [diakses pada 22 Maret 2018]

[25] DGB. 2015. Germany Needs a Modern Immigration Law [online] dalam: http://www.dgb.de/themen/++co++f9f7df2a-a18b-11e4-9898-52540023ef1a [diakses pada 22 Maret 2018]

[26] DGB. 2015. Rights in the Labor Market – Information Flyer in 5 Languages [online] dalam: http://www.dgb.de/extra/fluechtlinge/gewerkschaftsinfos-zum-thema-fluechtlinge [diakses pada 24 Januari 2018]

Page 13: Pengaruh Kosmopolitanisme Aktor Non-Negara Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahi455feb11e9full.pdf · pengungsi dari negara Yunani ke Jerman (Matthjis, 2016). Selain

Nama lengkap penulis

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 312

[27] DGB. 2016. Alliance: Hand in Hand Against Racism [online] dalam: http://www.dgb.de/presse/++co++51a7d49c-3226-11e6-9399-525400e5a74a [diakses pada 22 Maret 2018]

[28] DGB. 2016. Broad Social ‘Alliance for Tolerance’ Founded [online] dalam: http://en.dgb.de/++co++82017756-f801-11e5-87fd-52540023ef1a [diakses pada 29 September 2017]

[29] Hoffman, Reiner. 2016. Opinion: Integration in the Workplace is Key to Social Cohesion [online] dalam: http://www.dw.com/en/opinion-integration-in-the-workplace-is-key-to-social-cohesion/a-19038613 [diakses pada 22 Maret 2018].

[30] IG Metall. 2017. Step By Step Get Fit for the Job Market [online] dalam: https://www.igmetall.de/tag-des-fluechtlings-25939.htm [diakses pada 25 Januari 2018].

[31] Knight, Ben. 2018. Germany's Angela Merkel finally reaches coalition deal with SPD [online] dalam: http://www.dw.com/en/germanys-angela-merkel-finally-reaches-coalition-deal-with-spd/a-42459353 [diakses pada 15 Maret 2018]

[32] Merkel, 2015. Chancellor Calls for the EU's External Borders to be Better Protected [online] dalam: https://www.bundesregierung.de/Content/EN/Artikel/2015/11_en/2015-11-13-merkel-zdf_en.html?nn=709674 [diakses pada 12 Maret 2018]

[33] Merkel, Angela. 2014. Taking a Clear Stance against Pegida [online] dalam: https://www.bundesregierung.de/Content/EN/Artikel/2015/01_en/2014-12-15-pegida-fluechtlinge_en.html?nn=709674 [diakses pada 30 Januari 2018]

[34] Merkel, Angela. 2015. Flexibility is called for Now [online] dalam: https://www.bundesregierung.de/Content/EN/Artikel/2015/08_en/2015-08-31-sommer-pk-der-kanzlerin_en.html?nn=709674 [diakses pada 2 Maret 2018]

[35] Merkel, Angela. 2015. Statement by Federal Chancellor Angela Merkel to the European Parliament [online] dalam: https://www.bundesregierung.de/Content/E

N/Reden /2015/2015-10-07-merkel-ep_en.html?nn=709674 [diakses pada 12 Maret 2018]

[36] Parliament Watch. 2014. SPD, Befürwortete Hausausweise 2014 [online] dalam: https://www.abgeordnetenwatch.de/sites/abgeordnetenwatch.de/files/spd_2014.pdf [diakses pada 19 Maret 2018]

[37] Parliament Watch. 2015. SPD, Befürwortete Hausausweise 2015 [online] dalam: https://www.abgeordnetenwatch.de/sites/abgeordnetenwatch.de/files/spd_2015.pdf [diakses pada 19 Maret 2018]

[38] Paterson, Tony. 2016. Refugee Crisis: Thousands are living in Cramped Conditions in a Former German Airport waiting to be granted Asylum [online] dalam: http://www.independent.co.uk/news/world/europe/refugee-crisis-thousands-are-living-in-cramped-conditions-in-a-former-german-airport-waiting-to-be-a6950896.html [diakses pada 24 Maret 2017]

[39] Reuters. 2016. More than 10.000 Protest against Racism in Several German Cities[online] dalam: https://af.reuters.com/article/worldNews/idAFKCN0Z50OO [diakses pada 22 Maret 2018]

[40] Thorsten, Schulten. 2000. Employers and Trade Unions Oppose Xenophobia and Right-Wing Extremism [online] dalam: https://www.eurofound.europa.eu/observatories/eurwork/ articles/mployers-and-trade-unions-oppose-xenophobia-and-right-wing-extremism [diakses pada 23 Januari 2018] Lain-Lain

[41] Gannaway, Adam. 2009. “What is Cosmopolitanism?”, dalam MPSA Conference Paper. New School for Social Research.

[42] Schmid, Claudia T. 2016. Germany’s “Open-door” Policy in Light of the Recent Refugee Crisis: An Interpretive Thematic Content Analysis of Possible Reasons and Underlying Motivations (Master Thesis). Dalam: https://pdfs.semanticscholar.org/2c89 /7b78446946e32015a34b7078 075329d2 409e.pdf.

[43] UNHCR. 2016. Global Trends Forced Displacement In 2015. UNHCR: Jenewa.