PENGARUH KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP...

download PENGARUH KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/69237/H14rlh.pdf · pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap struktur biaya dan keuntungan

If you can't read please download the document

Transcript of PENGARUH KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP...

  • PENGARUH KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP

    STRUKTUR BIAYA DAN KEUNTUNGAN USAHA TEMPE

    (STUDI KASUS: RUMAH TEMPE INDONESIA DI BOGOR)

    RIDWAN LUKMANUL HAKIM

    DEPARTEMEN AGRIBISNIS

    FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2014

  • PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

    SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kenaikan

    Harga Kedelai Terhadap Struktur Biaya dan Keuntungan Usaha Tempe (Studi

    Kasus: Rumah Tempe Indonesia di Bogor) adalah benar karya saya sendiri dan

    belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

    informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

    diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

    bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

    Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

    Pertanian Bogor.

    Bogor, Maret 2014

    Ridwan Lukmanul Hakim

    NIM H34114002

  • ABSTRAK

    RIDWAN LUKMANUL HAKIM. Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap

    Struktur Biaya dan Keuntungan Usaha Tempe (Studi Kasus: Rumah Tempe

    Indonesia di Bogor). Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI

    Tempe merupakan produk olahan yang memiliki nilai gizi tinggi. Usaha

    tempe umumnya dijalankan dengan skala rumah tangga maupun industri kecil.

    Produk tempe yang dihasilkan oleh RTI menggunakan kedelai hasil rekayasa

    genetik (Genetic Modifier Organism), disebut tempe GMO dan tempe yang

    menggunakan kedelai tanpa rekayasa genetik, disebut tempe Non GMO.

    Penelitian ini hanya menganalisis produk tempe GMO kemasan 450gr dan

    kemasan 700gr.

    Adanya kenaikan harga kedelai diduga akan memberikan pengaruh kepada

    pengrajin usaha tempe dalam hal ini usaha RTI. Penelitian ini bertujuan untuk

    menganalisis struktur biaya usaha tempe RTI sebelum kenaikan harga kedelai

    serta pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap usaha tempe RTI ditinjau dari

    analisis kelayakan usaha (R/C rasio dan titik impas (BEP). Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa kenaikan harga kedelai mempengaruhi struktur biaya dan

    keuntungan usaha. Namun rasio R/C usaha meningkat setelah kenaikan harga

    kedelai. Berdasarkan kondisi tersebut, RTI disarankan untuk menambah/

    meningkatkan jumlah konsumen dikarenakan pemasaran tempe RTI yang sifatnya

    tersegmentasi.

    Kata kunci: GMO, keuntungan usaha, R/C rasio, titik impas

    ABSTRACT

    RIDWAN LUKMANUL HAKIM. The Impact of Price Rise of Soybean on to The

    Cost Structure and Sales Revenue of Tempe businesses (Case Study : Rumah

    Tempe Indonesia, Bogor). Supervised by ANNA FARRIYANTI

    Tempe is a processed product which has a high nutritional value. Tempe

    businesses are generally run by household and small industries. Tempe produced

    by RTI consist of genetic modifier organism and Non-genetic modifier organism

    soybean. This research had only analyzed GMO tempe produced of 450gr and

    700gr package.

    The increase in soybean prices are expected to give effect to the business

    craftsmen tempe in this case the business RTI. This study aims to analyze the cost

    structure of the soybean business in RTI before rising soybean prices and the

    impact of price rise of soybean in terms of the feasibility analysis (R/C ratio and

    break-even point (BEP). The results showed that the increase in soybean prices

    affect revenue of RTI. But R/C ratio was rising after the price rise of soybean.

    Based on these conditions, RTI is advised to improve the amount of their market

    because of RTIs market which are segmented.

    Keywords: GMO, sales revenue, R/C ratio, the break-even

  • Skripsi

    sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Ekonomi

    pada

    Departemen Agribisnis

    PENGARUH KENAIKAN HARGA KEDELAI TERHADAP

    STRUKTUR BIAYA DAN KEUNTUNGANUSAHA TEMPE

    (STUDI KASUS: RUMAH TEMPE INDONESIA DI BOGOR)

    RIDWAN LUKMANUL HAKIM

    DEPARTEMEN AGRIBISNIS

    FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2014

  • Judul Skripsi: Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Struktur Biaya dan

    Keuntungan Usaha Tempe (Studi Kasus: Rumah Tempe Indonesia

    di Bogor)

    Nama : Ridwan Lukmanul Hakim

    NIM : H34114002

    Disetujui oleh

    Dr Ir Anna Fariyanti, MSi

    Pembimbing

    Diketahui oleh

    Dr Ir Nunung Kusnadi, MS

    Ketua Departemen

    Tanggal Lulus:

  • PRAKATA

    Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas

    segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

    dipilih dalam penelitian ini adalah pendapatan yang dilaksanakan sejak bulan

    September-Oktober 2013, dengan judul Dampak Kenaikan Harga Kedelai

    Terhadap Pendapatan Usaha Tempe (Studi Kasus; Rumah Tempe Indonesia).

    Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku

    pembimbing, Dr Ir Dwi Rachmina, MS selaku dosen penguji utama dan Yanti

    Nuraeni Muflikh, SP Magribuss selaku dosen penguji komdik. Penulis juga

    mengucapkan terima kasih kepada Bapak Endang selaku Sekretaris KOPTI

    Kabupaten Bogor dan Bapak Yanto selaku bagian produksi di RTI yang telah

    membantu selama pengumpulan data. Ucapan terima kasih juga disampaikan

    kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

    Saya ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di Departemen Agribisnis yang

    telah membantu dalam interaksi di dalam dan di luar kelas. Semoga karya ilmiah

    ini bermanfaat.

    Bogor, Maret 2014

    Ridwan Lukmanul Hakim

  • DAFTAR ISI

    DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vii PENDAHULUAN 1

    Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 5 Ruang Lingkup Penelitian 6

    TINJAUAN PUSTAKA 6

    Gambaran Karakteristik Usaha Tempe 6

    Analisis Usaha Tempe 7 Metode Analisis Usaha 8

    KERANGKA PEMIKIRAN 9 Kerangka Pemikiran Teoritis 9 Kerangka Pemikiran Operasional 14

    METODE PENELITIAN 16 Lokasi dan Waktu Penelitian 16 Jenis dan Sumber Data 16 Metode Pengumpulan Data 16 Metode Pengolahan dan Analisis Data 16

    GAMBARAN UMUM RTI 19 Sejarah Singkat RTI 19

    Peralatan Produksi Tempe RTI 20 Kegiatan Produksi dan Pemasaran Tempe RTI 21 Kebijakan RTI Terhadap Kenaikan Harga Kedelai 23

    HASIL DAN PEMBAHASAN 24 Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Biaya Usaha Tempe 24 Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Penerimaan Usaha Tempe 30 Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Keuntungan Usaha Tempe 32 Analisis R/C Rasio 33 Analisis Titik Impas 35

    SIMPULAN DAN SARAN 36

    Simpulan 36 Saran 36

    DAFTAR PUSTAKA 36 LAMPIRAN 38 RIWAYAT HIDUP

  • DAFTAR TABEL

    1 Konsumsi Komoditas Kedelai dan Bahan Olahan Kedelai

    2007-2011 (dalam Kg/Kapita/Tahun) 1 2 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Kedelai di

    Indonesia Tahun 2004-2012 2 3 Perkembangan Produksi dalam Negeri, Impor dan Pasokan Nasional

    Kedelai Tahun 2004-2011 2 4 Investasi Gedung dan Peralatan 21 5 Jumlah Produksi Rata-rata Tempe di RTI periode Maret 2013-

    Oktober 2013 24

    6 Rincian Biaya Tetap Produksi Tempe RTI per bulan, Periode Maret

    2013-Oktober 2013 25 7 Rincian Komponen Penyusun Biaya Tetap Rata-rata untuk Produksi

    Tempe per Bulan di RTI, Kondisi Sebelum dan Setelah Kenaikan

    Harga Kedelai 25 8 Struktur Biaya Tetap dan Biaya Tetap/output Tempe Kemasan 450gr

    dan 700gr 26 9 Data Penggunaan Input Rata-rata, Biaya Variabel Total (TVC) dan

    TVC/output, Periode Maret 2013-Oktober 2013 27 10 Struktur Biaya Variabel dan Biaya Variabel/output Tempe Kemasan

    450gr dan 700gr 28 11 Struktur Biaya Rata-rata Tempe RTI Sebelum Kenaikan Harga

    Kedelai 29

    12 Struktur Biaya Rata-rata Tempe RTI Setelah Kenaikan Harga Kedelai 30 13 Penerimaan Usaha Rata-rata RTI Kondisi Sebelum dan Setelah

    Kenaikan Harga Kedelai 31 14 Struktur Biaya Usaha Rata-rata dan Penerimaan Usaha Rata-rata RTI 31 15 Rata-rata penerimaan, biaya dan Keuntungan Tempe Kemasan 450gr 32 16 Rata-rata penerimaan, biaya dan Keuntungan Tempe Kemasan 700gr 33 17 Nilai R/C Tempe Kemasan 450gr 33 18 Nilai R/C Tempe Kemasan 700gr 34 19 Perbandingan Nilai R/C Penelitian Hakim (2014), Patmawaty (2009)

    dan Amalia (2008) 34

    20 Nilai BEP Unit dan BEP Rupiah Usaha Tempe RTI 35

    DAFTAR GAMBAR

    1 Perkembangan Harga rata-rata Kedelai Wil. Jakarta, DKI Jakata 4 2 Perkembangan Harga Perolehan Kedelai di RTI 5 3 Kurva Permintaan 10

    4 Kurva Biaya Tetap - Biaya Variabel dan Biaya Total 11 5 Kurva Biaya Tetap Rata-rata-Biaya Variabel Rata-rata dan Biaya

    Total Rata-rata 12

    file:///E:\draft%20revisi%20pasca%20SIDANG%20Ridwan%20L%20Hakim%20perbaikan%202.doc%23_Toc381193952file:///E:\draft%20revisi%20pasca%20SIDANG%20Ridwan%20L%20Hakim%20perbaikan%202.doc%23_Toc381193953file:///E:\draft%20revisi%20pasca%20SIDANG%20Ridwan%20L%20Hakim%20perbaikan%202.doc%23_Toc381193953

  • 6 Hubungan Kurva Biaya Tetap-Biaya Variabel dan Biaya Total

    dengan Kurva Penerimaan 13 7 Kerangka Operasional 15 8 Alur Pemesanan dan Pemasaran Tempe RTI 21 9 Penggunaan Kedelai GMO dan Produksi Tempe GMO RTI 22 10 Pergerakan Kurva AFC Usaha Tempe RTI 26

    DAFTAR LAMPIRAN

    1 Peralatan Produksi Tempe di RTI 38 2 Rincian Biaya Penyusutan per bulan, Periode Maret-Oktober 2013 40

    3 Struktur Biaya Variabel Usaha Tempe RTI Sebelum Kenaikan Harga

    Kedelai Juni 2013 41 4 Struktur Biaya Variabel Usaha Tempe RTI Setelah Kenaikan Harga

    Kedelai Juni 2013 42 5 Nilai BEP unit dan BEP Rupiah Usaha Tempe RTI 43

    file:///E:\draft%20revisi%20pasca%20SIDANG%20Ridwan%20L%20Hakim%20perbaikan%202.doc%23_Toc381193956

  • PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Sebagai negara berpenduduk besar dengan laju pertumbuhan penduduk

    sebesar 1.49 per tahun1, pembangunan sektor pertanian harus menjadi perhatian

    utama negara Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk akan diikuti oleh

    peningkatan permintaan terhadap jumlah pangan. Selain itu kondisi masyarakat

    saat ini semakin menyadari pentingnya pangan yang tidak sekedar untuk

    dikonsumsi tapi juga memenuhi aspek makanan yang sehat, aman dan bergizi

    tinggi. Makanan yang bergizi diantaranya memenuhi syarat mengandung protein

    yang tinggi.

    Pemenuhan kebutuhan terhadap protein dapat dipenuhi dari protein hewani

    dan nabati. Ada beranekaragam komoditi pertanian yang dapat dimanfaatkan

    sebagai sumber protein nabati. Salah satu komoditi nabati potensial, alternatif

    pengganti protein hewani adalah kedelai. Kedelai merupakan komoditi pangan

    bergizi bagi manusia selain beras dan jagung. Kedelai banyak dimanfaatkan

    sebagai bahan baku utama berbagai macam produk olahan. Beberapa macam

    produk olahan dari kedelai antara lain tempe, tahu, kecap, tauco, susu kedelai, dan

    pakan ternak. Pada Tabel 1 dapat dilihat konsumsi kedelai dan beberapa pangan

    olahan kedelai di Indonesia.

    Tabel 1 Konsumsi Komoditas Kedelai dan Bahan Olahan Kedelai 2007-2011

    (dalam Kg/Kapita/Tahun)

    No Komoditas

    Tahun

    2007 2008 2009 2010 2011

    1 Kacang kedelai 0.10 0.05 0.05 0.05 0.05

    2 Tahu 8.50 7.14 7.04 6.99 7.40

    3 Tempe 7.98 7.25 7.04 6.94 7.30

    4 Tauco 0.03 0.03 0.02 0.02 0.03

    5 Oncom 0.11 0.10 0.06 0.05 0.07

    Sumber: Kementan, 2012

    Pertumbuhan konsumsi pangan hasil olahan kedelai tertinggi terlihat pada

    konsumsi tahu dan tempe masing-masing sebesar 7.40 persen dan 7.30 persen

    pada tahun 2011. Hal ini dikarenakan kandungan gizi yang terdapat pada tahu dan

    tempe, yang bahan baku utamanya berasal dari kedelai. Kandungan gizi pada

    kedelai cukup baik, selain mengandung protein juga mengandung asam amino

    yang dibutuhkan oleh tubuh.

    Kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terhadap konsumsi pangan

    bergizi mengakibatkan semakin meningkatnya permintaan kedelai sebagai sumber

    protein nabati bergizi tinggi. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian berupaya

    untuk meningkatkan jumlah produksi kedelai dalam negeri (domestik). Usaha

    sudah mulai terlihat dengan adanya peningkatan produktivitas lahan kedelai pada

    periode 2007-2012 yang mengalami peningkatan tertinggi sebesar 1.485 Ton/Ha

    pada tahun 2012, bila dibandingkan pada tahun 2006 sebesar 1.288 Ton/ Ha.

    1 http://www.bps.go.id/. Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Provinsi periode 2000-2010.

    [Diakses 18 Juli 2013]

    http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12&notab=2

  • 2

    Hanya saja jumlah produksi kedelai domestik terlihat mengalami kecenderungan

    menurun dikarenakan luas panen kedelai yang semakin berkurang. Kondisi ini

    semakin menunjukkan produksi kedelai domestik belum mampu memenuhi

    kebutuhan kedelai nasional. Luas panen, produksi dan produktivitas tanaman

    kedelai di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Kedelai di Indonesia

    Tahun 2004-2012

    Tahun Luas Panen

    (Ha)

    Produktivitas

    (Ton/Ha)

    Produksi

    (Ton)

    Kenaikan

    (%)

    2004 565 155 1.280 723 483 -

    2005 621 541 1.301 808 353 11.73

    2006 580 534 1.288 747 611 -7.51

    2007 459 116 1.291 592 534 -20.74

    2008 590 956 1.313 775 710 30.91

    2009 722 791 1.348 974 512 25.63

    2010 660 823 1.373 907 031 -6.92

    2011 622 254 1.368 851 286 -6.15

    2012 567 624 1.485 843 153 -0.96

    Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2013.

    Untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional, Indonesia masih harus

    mengimpor kedelai dari negara-negara produsen. Pada periode 2004-2011, 65

    persen kebutuhan rata-rata kedelai Indonesia harus diimpor dari negara-negara

    produsen kedelai. Bahkan ketergantungan impor kedelai Indonesia semakin

    terlihat pada tahun 2007 dan 2011, dengan jumlah impor 2 240 795 Ton di tahun

    2007 dan 2 088 616 Ton pada tahun 2011. Kondisi ini semakin menunjukkan

    ketergantungan impor kedelai Indonesia hingga mencapai 79.09 persen di tahun

    2007 dan 71.04 persen di tahun 2011. Kondisi ini menunjukkan bahwa

    peningkatan jumlah produksi kedelai domestik masih belum terasa dampaknya

    secara nyata (Tabel 3).

    Tabel 3 Perkembangan Produksi dalam Negeri, Impor dan Pasokan Nasional

    Kedelai Tahun 2004-2011

    Tahun

    Produksi

    dalam Negeri Impor Pasokan (Supply)

    Ton % Ton % Ton % 2004 723 483 39.29 1 117 790 60.71 1 841 273 100 2005 808 353 42.67 1 086 178 57.33 1 894 531 100 2006 747 611 39.77 1 132 144 60.23 1 879 755 100 2007 592 534 20.91 2 240 795 79.09 2 833 329 100 2008 775 710 39.80 1 173 097 60.20 1 948 807 100 2009 974 512 42.57 1 314 620 57.43 2 289 132 100 2010 907 031 34.26 1 740 505 65.74 2 647 536 100 2011 851 286 28.96 2 088 616 71.04 2 939 902 100

    Rata-rata 797 565 34.92 1 486 718 65.08 2 284 283 Sumber: BPS dalam Statistik Pertanian 2012 (Diolah)

    Menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti),

    dari jumlah kebutuhan kedelai nasional 2013 yaitu 2.2 juta ton akan diserap 83.7

  • 3

    persen untuk kebutuhan pangan atau pengrajin (industri tahu tempe), 14.7 persen

    diserap untuk kebutuhan industri kecap, tauco dan lainnya, 1.2 persen untuk

    kebutuhan benih dan 0.4 persen untuk kebutuhan pakan2. Data tersebut sesuai

    dengan data Kementerian Perindustrian yang menyatakan bahwa 83.7 persen

    pengguna kedelai adalah industri tahu tempe. Industri tahu dan tempe

    membutuhkan 1.8 juta ton kedelai setiap tahunnya3. Hal ini semakin menunjukkan

    bahwa industri pengolahan berbahan baku kedelai sangat tergantung kepada

    ketersediaan kedelai impor.

    Salah satu pelaku usaha yang memanfaatkan kedelai sebagai bahan baku

    utama produksi yaitu pengrajin tempe. Sebagian besar pengrajin tempe di

    Indonesia adalah pengrajin skala kecil-menengah, proses produksi masih

    tradisional dan peralatan yang sederhana. Disamping itu modal yang dimiliki

    pengrajin terbatas, menyebabkan para pengrajin harus bisa mengelola modal yang

    dimiliki dengan baik untuk alokasi bahan baku agar usaha tempe yang dijalankan

    tetap dapat berproduksi.

    Selain permodalan yang terbatas, para pengrajin usaha tempe juga harus

    menghadapi kondisi harga kedelai yang tidak stabil. Pada periode Januari-Maret

    2012 harga kedelai sebesar Rp5 500/kg. Harga kedelai mengalami kenaikan 9.1

    persen menjadi Rp6 000/kg pada bulan Mei 2012. Harga kedelai kembali naik

    33.3 persen mencapai Rp8 000/kg pada periode Juni Juli 20124. Dengan kondisi

    harga kedelai seperti ini, tentunya akan semakin menambah beban bagi para

    pengrajin tempe. Hal ini disebabkan kedelai merupakan bahan baku utama dan

    komponen biaya terbesar dalam suatu usaha produksi tempe.

    Perumusan Masalah

    Dengan kenaikan harga kedelai mengakibatkan banyak pengrajin tempe

    yang menurunkan volume produksinya sampai 30 persen bahkan ada yang tidak

    dapat melanjutkan berproduksi. Kondisi tersebut disebabkan harga kedelai yang

    sangat tinggi, mencapai Rp7 600/kg (Maret 2013) dari harga sebelumnya yang

    berada pada Rp5 800 6 000/kg sedangkan para pengrajin tempe tidak bisa

    menaikkan harga tempe akibat kenaikkan harga kedelai5. Kenaikan harga kedelai

    pada awal tahun 2013 dipengaruhi karena menurunnya produksi kedelai di

    beberapa negara produsen kedelai seperti Amerika Serikat, Brasil, Afrika dan

    sejumlah negara lainnya akibat pengaruh musim kemarau6. Para pengrajin tempe

    yang mayoritas adalah usaha kecil dan menengah tidak berani mengambil risiko

    untuk berproduksi.

    Permasalahan kenaikan harga kedelai sudah mulai dapat dikendalikan.

    Dengan ditetapkannya PERMENDAG No.26 Tahun 2013, pemerintah

    2 http://www.tribunnews.com/ Kebutuhan Kedelai Nasional 2013 Tembus 2.2 juta Ton [Diakses 5

    November 2013] 3 http://www.shnews.co/ Danny Putra. Gejolak Kedelai yang Membuat Rakyat Resah. [Diakses

    14 Desember 2013] 4 http://www.bisnis.com/. Herdiyan. Industri Tempe: Harga Bahan Baku Naik Picu Mogok Kerja

    [Diakses 26 Februari 2013] 5 http://www.forumtempe.org/ Perubahan BM Dorong Kenaikan Harga Kedelai. [Diakses 6 Maret

    2013] 6 http://www.bisnis.com/ Herdiyan. 23 juli 2012. Industri Tempe: Harga Bahan Baku Naik Picu

    Mogok Kerja. [Diakses 26 Februari 2013]

    http://www.tribunnews.com/http://www.shnews.co/http://www.forumtempe.org/http://www.bisnis.com/http://www.bisnis.com/articles/%20%5bDiakses%2026%20februari%202013

  • 4

    menetapkan harga jual kedelai di tingkat pengrajin tahu/ tempe sebesar Rp7 450/

    kg7. Ketetapan ini mulai berlaku pada 1 Juli 2013. Dengan dikeluarkannnya

    peraturan tersebut diharapkan dapat menstabilkan harga kedelai di tingkat

    pengrajin tahu-tempe.

    Namun sebelum ditetapkan peraturan pemerintah tersebut, banyak pengrajin

    tempe yang berupaya untuk tetap berproduksi dengan mempertahankan harga jual

    yang sama namun dengan memperkecil ukuran tempe yang diproduksi. Sebagian

    pengrajin tempe yang lain menaikkan harga jual tempe untuk mengatasi

    kenaikkan harga kedelai. Salah satu pengrajin usaha tempe yang menaikkan harga

    jual tempenya adalah Rumah Tempe Indonesia (RTI).

    RTI merupakan industri tempe yang mulai berproduksi pada 6 Juni 2012.

    Usaha tempe RTI saat ini memproduksi 2 jenis tempe yaitu tempe dengan

    penggunaan kedelai hasil rekayasa genetik (Genetic Modifier Organism/GMO)

    disebut dengan tempe GMO, dan tempe dengan penggunaan input kedelai tanpa

    hasil rekayasa genetik disebut dengan tempe Non GMO. Sebagai industri tempe

    yang mengedepankan konsep produksi yang higienis dan ramah lingkungan,

    kegiatan produksinya juga terpengaruh dengan kenaikan harga kedelai.

    Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasaran Produk Hasil Pertanian (Ditjen

    PPHP) Kementerian Pertanian 2013, perkembangan harga kedelai rata-rata di

    wilayah Jakarta sejak Juni 2012 sampai dengan Oktober 2013 berfluktuasi dengan

    kecenderungan semakin meningkat. Harga grosir rata-rata tertinggi mencapai Rp8

    903.1 dengan harga eceran rata-rata tertinggi mencapai Rp9 362.5 (September

    2013). Perkembangan harga rata-rata kedelai di wilayah Jakarta dapat dilihat pada

    Gambar 1.

    Gambar 1 Perkembangan Harga rata-rata Kedelai Wil. Jakarta, DKI Jakata Sumber: Ditjen PPHP, Kementan 2013 (Diolah)

    8

    7 http://www.kemendag.go.id/ Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 26/M-DAG/PER/6/2013.

    [Diakses 28 November 2013] 8 http://pphp.deptan.go.id/ Perkembangan Harga Komoditas Pertanian Strategis [Diakses 28

    November 2013]

    http://www.kemendag.go.id/

  • 5

    Pada saat terjadi kenaikan harga kedelai pada akhir tahun 2012, RTI

    menaikkan harga jual tempe di tingkat konsumen sebesar Rp6 500/kemasan 450

    gr. RTI menaikkan harga jual sebesar Rp1 000 dari harga sebelumnya. Harga

    tersebut telah diberlakukan oleh RTI pada bulan Januari 2013. Sebagai usaha

    industri tempe yang baru berjalan, RTI kembali menaikkan harga tempe di tingkat

    konsumen menjadi Rp7 000/kemasan 450 gr dan Rp10 000/kemasan 700 gr

    (tempe GMO) pada Juni 2013. Sedangkan harga jual tempe Non GMO, di tingkat

    konsumen akhir tidak mengalami kenaikan pada periode Januari 2013 sampai Juni

    2013. Kebijakan RTI menaikkan harga jual dipengaruhi oleh ketidakstabilan

    kembali harga kedelai karena harganya masih tetap diatas harga yang telah

    ditetapkan melalui peraturan PERMENDAG No.26 tahun 2013. Ketidakstabilan

    harga kedelai tersebut pada akhirnya juga mempengaruhi harga perolehan kedelai

    RTI dari KOPTI Kabupaten Bogor (Gambar 2).

    Gambar 2 Perkembangan Harga Perolehan Kedelai di RTI Sumber: KOPTI Kabupaten Bogor, 2013

    Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan sebelumnya, mendorong peneliti

    untuk menganalisis lebih lanjut mengenai usaha tempe RTI. Beberapa

    permasalahan yang diteliti adalah:

    1. Bagaimana pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap struktur biaya dan keuntungan usaha tempe RTI?

    2. Apa pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap usaha tempe RTI ditinjau dari

    R/C rasio dan titik impas (BEP)?

    Tujuan Penelitian

    Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan

    sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah:

    1. Menganalisis pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap struktur biaya dan keuntungan usaha tempe RTI.

    2. Menganalisis pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap usaha tempe RTI ditinjau dari R/C rasio dan titik impas (BEP).

  • 6

    Ruang Lingkup Penelitian

    Penelitian ini hanya meneliti struktur biaya dan pendapatan usaha RTI dari

    produksi tempe GMO saja. Struktur biaya dan pendapatan yang dianalisis adalah

    kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai untuk periode waktu bulan

    Maret 2013 Oktober 2013. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh

    kenaikan harga kedelai terhadap biaya yang harus dikeluarkan RTI dan juga

    pengaruhnya terhadap pendapatan yang diterima.

    TINJAUAN PUSTAKA

    Gambaran Karakteristik Usaha Tempe

    Tempe merupakan produk olahan yang memiliki nilai gizi tinggi. Produk ini

    merupakan produk makanan yang identik dengan budaya di Indonesia, khususnya

    di wilayah jawa. Produk ini berbahan baku utama kedelai, merupakan hasil dari

    proses fermentasi. Sarwono (1994) menyatakan bahwa ada tiga faktor pendukung

    utama dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai,

    mikroorganisme berupa kapang tempe (Rhizopus sp) dan keadaan lingkungan

    tumbuh. Keadaan lingkungan tumbuh pada proses peragian adalah pada suhu

    300C, pH awal 6.8 serta kelembaban berkisar antara 70 80 persen. Sehingga

    menurut Cahyadi (2007), melalui proses tersebut kandungan gizi tempe memiliki

    nilai lebih baik bila dibandingkan dengan kandungan yang terdapat pada kedelai

    mentah. Karena proses fermentasi yang terjadi saat pembuatan tempe

    meningkatkan daya cerna kedelai. Sehingga kandungan protein dan nutrisi lain

    yang terkandung pada tempe, mudah diserap tubuh9.

    Kegiatan usaha tempe yang selama ini dikenal oleh masyarakat Indonesia

    adalah kegiatan usaha dengan skala kecil yang dilakukan secara sederhana dan

    tradisional. Selain itu, usaha tempe yang dijalankan merupakan pekerjaan utama

    serta keterampilan membuat tempe diperoleh secara turun temurun dan juga

    melalui belajar sendiri. Hal ini sesuai penelitian Dardja (1999), sebanyak 12

    responden dari 14 responden pengusaha tempe menggunakan modal usaha sendiri

    sedangkan 2 orang responden memperoleh modal dari pinjaman (kredit).

    Berdasarkan Dardja (1999), kondisi usaha tempe umumnya dijalankan

    dengan skala rumah tangga maupun industri kecil, sehingga industri ini sangat

    terpengaruh bila terjadi perubahan harga faktor-faktor input terutama pada saat

    terjadi krisis ekonomi. Jumlah modal yang digunakan mengalami kenaikan bila

    dibandingkan dengan sebelum krisis. Modal yang digunakan sebelum krisis

    sebesar Rp120 000/hari sedangkan saat krisis ekonomi modal yang digunakan

    sebesar Rp167 000/hari. Pemakaian kedelai sebelum krisis sebesar 2 509.28

    kg/bulan dengan harga jual Rp1 422.5/kg. Bila dibandingkan pada saat krisis

    pemakaian kedelai menurun sebesar 2 337.86 kg/bulan dengan harga jual Rp2

    142.85/kg. Peningkatan penggunaan modal dan pemakaian kedelai pada saat krisis

    9 http://www.forumtempe.org/ Tempe baik untuk Makanan pendamping ASI [Diakses 6 Maret

    2013]

    http://www.forumtempe.org/

  • 7

    ekonomi justru meningkatkan keuntungan yang diterima pada industri tempe

    sebesar 39.13 persen. Karena hal ini dipengaruhi juga oleh kenaikan harga jual

    tempe dari Rp800/potong menjadi Rp1 300/potong.

    Namun menurut Sutrisno (2006), berdasarkan penelitian yang telah

    dilakukan di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor salah satu faktor kunci

    keberhasilan industri tempe skala kecil yang sukses di kecamatan parung adalah

    cara menentukan harga jual. Pengrajin tempe menetapkan harga berdasarkan pada

    biaya produksi yang dikeluarkan bahkan berani menjual dengan harga miring. Hal

    ini dikarenakan pengrajin tempe yang sukses memiliki skala usaha yang besar

    sehingga masih memperoleh keuntungan. Selain itu para pengrajin memiliki

    pendapatan sampingan dari menjual kedelai, plastik dan ragi. Pendapatan

    sampingan pengrajin ini, bisa diperoleh dengan menyisihkan sebagian keuntungan

    hasil penjualan tempe untuk kegiatan membeli dan kemudian menjual kembali

    kedelai, plastik dan ragi tersebut kepada pengrajin tempe lainnya. Sebaliknya

    pengrajin usaha tempe yang kurang sukses disebabkan karena menentukan harga

    dengan mengikuti tren harga jual tempe yang ada di pasar.

    Analisis Usaha Tempe

    Telah banyak penelitian dilakukan terhadap usaha produk olahan kedelai

    terutama untuk usaha tahu dan tempe. Patmawaty (2009), meneliti dampak

    kenaikan harga kedelai terhadap pendapatan usaha pengrajin tahu skala kecil dan

    rumah tangga di Desa Bojong Sempu Kecamatan Parung Kabupaten Bogor.

    Penelitian Amalia (2008), menganalisis dampak kenaikan harga kedelai terhadap

    efisiensi teknis dan pendapatan usaha tempe di Desa Citeureup Kecamatan

    Citeureup Kabupaten Bogor. Sedangkan Latifah (2006), menganalisis dampak

    kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap pendapatan usaha pengrajin tempe

    anggota Primkopti Kelurahan Cilendek Timur Kotamadya Bogor.

    Patmawaty (2009) menyimpulkan bahwa kenaikan harga kedelai yang

    mencapai 92.94 persen memiliki dampak terhadap kemampuan pengrajin tahu

    berproduksi. Kenaikan harga kedelai mengakibatkan perubahan siklus produksi,

    penurunan volume produksi, penurunan penggunaan faktor input, peningkatan

    harga jual dan mengurangi penerimaan dan pendapatan usaha pengrajin tahu.

    Total penerimaan pengrajin tahu mengalami penurunan sebesar 14.25 persen dan

    mempengaruhi pendapatan bersih pengrajin yang mengalami penurunan sebesar

    47.12 persen. Sedangkan total biaya produksi mengalami penurunan sebesar 8.47

    persen, yang disebabkan penurunan volume produksi tahu 32.99 persen akibat

    kenaikan harga kedelai.

    Penelitian Amalia (2008), menyimpulkan bahwa kenaikan harga kedelai

    mempengaruhi kondisi usaha pengrajin tempe di Desa Citeureup. Kenaikan harga

    kedelai sebesar 54.95 persen dari Rp4 550/kg menjadi Rp7 050/kg mengakibatkan

    penurunan seluruh penggunaan input. Salah satu input yang mengalami penurunan

    yaitu penggunaan kedelai yang menurun sebesar 28.54 persen. Selain itu

    penurunan penggunaan kedelai juga mengakibatkan berkurangnya jumlah output

    produksi tempe sebesar 26.52 persen. Kenaikan harga kedelai juga menyebabkan

    total biaya produksi meningkat sebesar 6.4 persen. Sehingga penerimaan total dan

    pendapatan total pengrajin tempe di Desa Citeureup menurun sebesar 4.67 persen

    dan 50.27 persen. Kenaikan harga kedelai belum mampu meningkatkan efisiensi

  • 8

    penggunaan input produksi tempe, meskipun efisiensi teknis pengrajin tempe

    meningkat akan tetapi peningkatannya masih sangat kecil yaitu sebesar 19.4

    persen.

    Sedangkan Latifah (2006), menyimpulkan kenaikan harga BBM sangat

    berpengaruh terhadap kegiatan usaha pengrajin tempe. Hal ini dikarenakan

    penurunan jumlah produksi tempe karena adanya pengurangan faktor input.

    Pengurangan penggunaan faktor input dilakukan terhadap penggunaan kedelai,

    plastik, minyak tanah, kayu, tenaga kerja luar keluarga (TKLK) dan tenaga kerja

    keluarga (TKK). Hasil produksi tempe yang dihasilkan setelah kenaikan harga

    BBM menurun sebesar 12.9 persen.

    Berdasarkan hasil penelitian Amalia (2008), Patmawaty (2009) dan Latifah

    (2006) menjadi acuan bagi peneliti untuk mengkaji pengaruh kenaikan harga

    kedelai terhadap kondisi usaha dilihat dari perubahan biaya, penerimaan dan

    keuntungan usaha. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Amalia (2008),

    Patmawaty (2009) dan Latifah (2006) karena penelitian ini bersifat studi kasus.

    Metode Analisis Usaha

    Metode analisis usaha yang dilakukan oleh Patmawaty (2009), yaitu dengan

    melakukan analisis pendapatan usaha, analisis penerimaan dan biaya (R/C) dan

    juga analisis titik impas (BEP) untuk mengetahui volume penjualan minimal agar

    usaha tahu tidak mengalami kerugian. Analisis pendapatan usaha ditujukan untuk

    mengetahui tingkat pendapatan yang diperoleh dari kegiatan produksi. Dari hasil

    analisis, diperoleh hasil R/C atas biaya tunai mengalami penurunan sebesar 6.47

    persen, dengan nilai R/C setelah kenaikan harga kedelai 1.39 sedangkan nilai R/C

    sebelum kenaikan harga kedelai 1.48. Sedangkan nilai R/C atas biaya total

    mengalami penurunan sebesar 7.09, nilai R/C setelah kenaikan kedelai 1.27

    sedangkan nilai sebelum kenaikan harga kedelai 1.36. Selain itu kenaikan harga

    kedelai memberi dampak terhadap titik impas usaha. Titik impas usaha setelah

    kenaikan harga kedelai mengalami kenaikan 50.30 persen dengan volume

    produksi 3 414.22 kg dibandingkan volume produksi sebelum kenaikan harga

    kedelai sebesar 1 696.77 kg. Titik impas usaha dalam bentuk penerimaan

    mengalami kenaikan sebesar 60.54 persen dengan nilai Rp11 497 648.81 dari nilai

    penerimaan sebelum kenaikan harga kedelai yaitu Rp 4 537 300.04.

    Penelitian yang dilakukan Amalia (2008), yaitu menggunakan alat analisis

    fungsi produksi Stochastic Frontier dengan tujuan untuk menganalisis efisiensi

    teknis industri tempe dari sisi input dan faktor-faktor yang mempengaruhi

    efisiensi teknis pada saat sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Amalia

    (2008) melakukan analisis efisiensi dan inefisiensi teknis yang mengacu kepada

    model inefisiensi Coelli, Rao, dan Battese (1998). Selain itu juga menganalisis

    pendapatan serta menghitung imbangan penerimaan terhadap biaya (R/C rasio).

    Dari hasil analisis, R/C rasio atas biaya tunai setelah kenaikan harga kedelai yaitu

    1.12. Nilai ini menunjukkan penurunan sebesar 10.42 persen bila dibandingkan

    nilai R/C sebelum kenaikan harga kedelai yaitu 1.25. Sedangkan R/C rasio atas

    biaya total setelah kenaikan harga kedelai yaitu 1.11. Nilai ini menunjukkan

    penurunan sebesar 10.41 persen dari R/C rasio sebelum kenaikan harga kedelai

    yaitu 1.24.

  • 9

    Penelitian Latifah (2006), menggunakan analisis fungsi produksi Cobb

    Douglas dengan metode analisis regresi berganda. Hal ini untuk menunjukkan

    hubungan teknis antara suatu variabel teknis faktor produksi dan outputnya

    berdasarkan elastisitas produksi dari setiap faktor produksi. Selain itu, Amalia

    (2008) juga menganalisis biaya produksi dan efisiensi faktor produksi pengrajin

    tempe. Dari hasil analisis, kenaikan harga BBM menyebabkan kenaikan total

    biaya produksi yang pada akhirnya menyebabkan penurunan total penerimaan

    usaha dan total pendapatan usaha pengrajin tempe sebesar 4.6 persen dan 7.2

    persen. Penurunan pendapatan usaha disebabkan besarnya penurunan jumlah hasil

    produksi (12.9 persen) yang tidak sebanding dengan kenaikan harga tempe (10.8

    persen). Selain itu hasil penelitian menunjukkan penggunaan faktor produksi

    tempe di daerah penelitian belum efisien dikarenakan nilai rasio NPM dan BKM

    pada kondisi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM tidak sama dengan 1.

    Sedangkan menurut penelitian Dardja (1999), industri tempe tetap

    mengalami keuntungan disaat krisis ekonomi. Meskipun keuntungan yang

    diperoleh pengrajin tempe mengalami penurunan karena nilai R/C menurun. Nilai

    R/C sebelum krisis ekonomi sebesar 1.42 sedangkan pada saat krisis ekonomi

    sebesar 1.39. Alat analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan usaha, R/C

    rasio dan fungsi Cobb Douglas.

    Adapun persamaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya

    dengan Amalia (2008) dan Patmawaty (2009) yaitu menggunakan alat analisis

    pendapatan usaha, analisis penerimaan dan biaya (R/C) dan juga analisis titik

    impas (BEP) untuk mengetahui volume penjualan minimal agar usaha tempe tidak

    mengalami kerugian. Dan untuk mengetahui kondisi usaha tempe RTI setelah

    kenaikan harga kedelai ditinjau dari analisis kelayakan usaha bila dilihat dari R/C

    rasio dan titik impas (BEP).

    KERANGKA PEMIKIRAN

    Kerangka Pemikiran Teoritis

    Konsep Permintaan

    Putong (2010) menjelaskan, permintaan adalah banyak jumlah barang yang

    diminta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat

    pendapatan tertentu dan dalam periode tertentu. Ada beberapa faktor yang dapat

    mempengaruhi permintaan dari seorang individu atau masyarakat terhadap suatu

    barang, diantaranya adalah:

    1. Harga barang 2. Tingkat pendapatan atau pendapatan rata-rata 3. Jumlah penduduk 4. Selera 5. Estimasi dimasa depan 6. Harga barang lain atau barang substitusi 7. Distribusi produk

    Faktor yang paling berpengaruh terhadap permintaan suatu produk adalah

    faktor harga. Apabila faktor lain dianggap tetap (cateris paribus) maka berlaku

    hukum permintaan. Hukum Permintaan menyatakan: Bila harga barang naik

  • 10

    maka permintaan barang tersebut akan turun, sebaliknya bila harga barang turun

    maka permintaan barang akan naik dengan asumsi cateris paribus (semua faktor

    yang mempengaruhi permintaan selain harga dianggap tetap (Gambar 3)

    Gambar 3 Kurva Permintaan

    Sumber: Rahardja, Manurung, 2006

    Gambar 3 menunjukkan apabila harga barang naik maka permintaan barang

    akan berkurang. Sehingga kurva permintaan akan bergeser dari D0 ke D2.

    Sebaliknya apabila harga barang turun maka permintaan barang akan meningkat

    dan kurva permintaan akan bergeser dari D0 ke D1. Kegiatan usaha tempe sangat

    dipengaruhi oleh ketersedian penawaran dan harga input kedelai. Bila harga

    kedelai naik maka pada umumnya kecendrungan para pengrajin akan mengurangi

    penggunaan kedelai.

    Biaya Usaha

    Biaya usaha merupakan total biaya yang dikeluarkan yang berkaitan

    langsung dengan kegiatan usaha/ produksi. Biaya usaha terbagi atas dua, yaitu

    biaya tetap dan biaya variabel. Menurut Salvatore (2006), biaya tetap total adalah

    seluruh kewajiban atau biaya yang harus dikeluarkan perusahaan per unit waktu

    atas semua input tetap. Biaya ini tidak berubah besarnya meskipun jumlah

    produksi (output) mengalami perubahan. Biaya variabel total adalah seluruh biaya

    yang dikeluarkan perusahaan per unit waktu berdasarkan semua faktor input dan

    jumlah input yang digunakan. Besar kecilnya biaya variabel dipengaruhi oleh

    jumlah output yang akan diproduksi.

    Secara sederhana, biaya tetap berhubungan dengan waktu dan tidak

    berhubungan dengan tingkat ataupun volume produksi, atau nilai dari biaya tetap

    adalah sama. Biaya variabel berhubungan dengan tingkat dan volume produksi.

    Besarnya biaya variabel ditentukan oleh besarnya jumlah output yang diinginkan.

    Kedua jenis biaya ini akan dipergunakan dalam perhitungan titik impas atau Break

    Event Poin (BEP). Dalam penelitian ini, Biaya Total (TC) = Biaya Tetap Total

    (TFC) + Biaya Variabel Total (TVC). Hubungan biaya total, biaya tetap dan biaya

    variabel dapat dilihat pada Gambar 4.

    Q (Jumlah Output)

    Harga (Rp)

    D0 D2

    D1

  • 11

    AC = AFC + AVC

    TC/Q = TFC/Q + TVC/Q

    Berdasarkan Gambar 4, nilai TFC selalu sama pada berbagai jumlah output

    yang dihasilkan. Nilai TVC akan semakin meningkat bila jumlah output semakin

    bertambah dengan jumlah penambahan biaya yang semakin berkurang. Sedangkan

    bentuk kurva TC sama dengan TVC karena besarnya nilai TC sama dengan TFC

    ditambah TVC. Namun letaknya berada diatas TVC dengan selisih sesuai dengan

    nilai biaya tetap yang dikeluarkan.

    Disamping itu untuk memudahkan didalam menganalisa biaya usaha tempe

    maka dilakukan perhitungan biaya rata-rata. Rahardja P, Mandala M (2006)

    menjelaskan bahwa biaya rata-rata adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk

    memproduksi satu unit output. Karena nilai TC = TFC+TVC, maka besarnya nilai

    biaya rata-rata sama dengan biaya tetap rata-rata ditambah biaya variabel rata-rata.

    Hubungan biaya rata-rata, biaya tetap rata-rata dan biaya variabel rata-rata dapat

    dilihat pada Gambar 5.

    atau

    dimana: AC = biaya rata-rata

    AFC = biaya tetap rata-rata

    AVC = biaya variabel rata-rata

    180

    160

    140

    120

    100

    80

    60

    40

    20

    0 1 2 3 4 5 6

    Q (Jumlah Output)

    Biaya (Rp)

    TC

    TVC

    TFC

    Gambar 4 Kurva Biaya Tetap - Biaya Variabel dan Biaya Total Sumber: Salvatore, 2006

  • 12

    Gambar 5 menunjukkan kurva AFC terus menurun apabila suatu usaha

    mampu meningkatkan jumlah produksi. Hal ini berarti biaya tetap untuk setiap

    unit hasil produksi semakin murah. Sedangkan biaya variabel rata-rata (AVC)

    berhubungan dengan jumlah produk rata-rata yang dihasilkan. Apabila nilai

    produk rata-rata yang dihasilkan meningkat maka nilai AVC menurun.

    Keuntungan Usaha dan Efisiensi Usaha

    Pendapatan usaha atau lebih sering dikenal dengan keuntungan usaha adalah

    penerimaan total dikurangi biaya total. Bila perubahan penerimaan total lebih

    besar daripada perubahan biaya total maka pendapatan usaha yang diterima

    semakin meningkat. Sebaliknya bila perubahan penerimaan total lebih kecil

    daripada perubahan biaya total, maka keuntungan usaha yang diterima semakin

    menurun atau bahkan merugi. Besarnya jumlah biaya total terutama dipengaruhi

    oleh besarnya jumlah biaya variabel, yang dipengaruhi oleh harga input setiap

    faktor produksi dan jumlah input yang digunakan. Sedangkan besarnya jumlah

    penerimaan dipengaruhi oleh harga output per-unit serta jumlah output yang

    dihasilkan dalam setiap siklus produksi.

    Keuntungan usaha () menurut Soekartawi (1995), dapat dihitung dengan

    rumus:

    Keterangan: = Keuntungan usaha yang diperoleh (Rupiah)

    TR = Penerimaan total (Rupiah)

    TC = Biaya Total (Rupiah)

    Harapan dari setiap usaha adalah selisih antara penerimaan total dan biaya

    total bernilai positif, lebih besar dari nol. Artinya usaha tersebut mendapatkan

    keuntungan. Semakin besar nilai keuntungan yang diperoleh, usaha tersebut bisa

    mengatur untuk meningkatkan jumlah produksi dan penjualan dengan harapan

    untuk semakin memperbesar jumlah keuntungan usaha yang diterima. Upaya

    Q (Jumlah Output)

    Biaya (Rp)

    AC

    AVC

    AFC

    = TR-TC

    Gambar 5 Kurva Biaya Tetap Rata-rata-Biaya Variabel Rata-rata dan Biaya

    Total Rata-rata Sumber: Rahardja, Manurung, 2006

  • 13

    meningkatkan keuntungan usaha bisa dilakukan bila biaya TFC rendah atau TVC

    rendah (Gambar 6). Jika kurva TFC bergeser ke bawah, maka keuntungan usaha

    yang diperoleh semakin besar. Atau bila kurva TVC bergeser ke sebelah kiri maka

    biaya variabel yang dikeluarkan juga semakin murah.

    Perubahan nilai TFC, TVC akan mempengaruhi nilai TFC/output,

    TVC/output dan juga nilai TR/output produksi. Apabila jumlah produk yang

    dihasilkan semakin bertambah maka nilai TFC/output dan TVC/ output semakin

    kecil. Dalam hal ini biaya total yang harus dikeluarkan suatu usaha semakin

    murah. Selain itu dengan biaya variabel yang semakin murah diharapkan dapat

    meningkatkan volume penjualan dan pada akhirnya akan meningkatkan jumlah

    penerimaan (TR). Semakin besar jumlah penerimaan usaha maka nilai TR/output

    semakin besar. Kondisi tersebut pada akhirnya akan meningkatkan nilai

    keuntungan dari setiap output ( /output) yang diterima suatu usaha.

    Gambar 6 Hubungan Kurva Biaya Tetap-Biaya Variabel dan Biaya Total dengan

    Kurva Penerimaan Sumber: Salvatore, 2006

    Sedangkan efisiensi usaha dapat diukur berdasarkan perbandingan antara

    besarnya nilai penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan

    usaha tersebut yaitu dengan menggunakan nilai R/C atau Return Cost Ratio.

    Dalam analisis efisiensi usaha, penilaian R/C bisa dilakukan dengan

    menggunakan biaya riil yang dikeluarkan pengusaha dan R/C dengan

    memperhitungkan semua biaya, meliputi biaya riil yang dikeluarkan maupun

    biaya yang tidak riil dikeluarkan (Soekartawi, 1995).

    Perhitungan Efisiensi usaha menurut Soekartawi (1995) dapat dihitung

    dengan rumus:

    Keterangan: R = Penerimaan (Rupiah)

    C = Biaya Total (Rupiah)

    Kriteria yang digunakan dalam penentuan efisiensi usaha adalah:

    R/C>1 berarti usaha sudah efisien

    0 1 2 3 4 5 6

    Q (Jumlah Output)

    TR,TC,

    TVC,TFC TC

    TVC

    TFC

    TR Keuntungan ()

    Efisiensi = R

    C

  • 14

    R/C=1 berarti usaha dalam kondisi BEP (Break Event Point)

    R/C

  • 15

    pengadaan bahan baku produksi. Selain itu, dengan kenaikan harga kedelai diduga

    akan mempengaruhi jumlah produksi tempe yang dihasilkan oleh pengrajin dalam

    hal ini produksi tempe di RTI. RTI sebagai industri tempe yang sedang

    berkembang, kegiatan produksinya diduga akan terpengaruh juga dengan

    kenaikan harga kedelai. Seperti halnya pengrajin tempe lainnya diduga akan

    mengurangi jumlah penggunaan faktor produksi dikarenakan keterbatasan modal

    yang dimiliki, sehingga akan menyebabkan penurunan jumlah produksi tempe.

    Gambar 7 Kerangka Operasional

    Dalam penelitian ini dilakukan analisis dampak kenaikan harga kedelai

    terhadap kondisi usaha dan pendapatan usaha tempe. Dampak ini akan terlihat

    dengan menghitung biaya yang dikeluarkan, besarnya penerimaan yang diperoleh

    serta pendapatan yang diterima. Perhitungan dilakukan terhadap kondisi sebelum

    dan setelah kenaikan harga kedelai. Selain itu juga dilakukan analisis titik impas

    untuk menghitung jumlah tempe yang diproduksi agar usaha tempe RTI tidak

    merugi. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 7.

    Kenaikan Harga Kedelai 2013

    Industri Tempe RTI

    Peningkatan BiayaProduksi

    Penurunan Keuntungan

    Perubahan Volume Produksi dan Harga Jual

    Input

    Produksi

    Harga

    Input

    Biaya

    Variabel

    Biaya

    Tetap

    Biaya Total

    Output

    Tempe

    Harga

    Tempe

    Penerimaan

    Keuntungan Usaha

    RTI

  • 16

    METODE PENELITIAN

    Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan di Rumah tempe Indonesia (RTI) yang berlokasi

    di Jl. Raya Cilendek No.27 Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

    dilakukan dengan convenience (kemudahan), dengan pertimbangan kemudahan

    dalam mengakses lokasi penelitian. Selain itu, RTI merupakan salah satu usaha

    tempe yang mengedepankan sistem produksi tempe yang bersih dan higienis.

    Penelitian dilaksanakan pada bulan September Oktober 2013.

    Jenis dan Sumber Data

    Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

    sekunder. Data primer berupa profil dan keragaan usaha tempe pada Rumah

    Tempe Indonesia (RTI) sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai pada Juni

    2013. Data yang diambil adalah data kegiatan produksi dan penjualan tempe

    periode waktu Maret 2013 Oktober 2013. Sedangkan data sekunder diperoleh

    dari studi literatur yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, Kementerian

    Perdagangan, Kementerian Perindustrian, buku, skripsi, website dan media

    informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

    Metode Pengumpulan Data

    Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan

    pimpinan dan pengrajin tempe di Rumah Tempe Indonesia (RTI). Wawancara

    dilakukan untuk mengumpulkan informasi secara mendalam untuk memperoleh

    data yang dibutuhkan untuk proses analisis. Responden yang dipilih adalah

    pimpinan dan pengrajin tempe di Rumah Tempe Indonesia (RTI) yang memahami

    dinamika kegiatan usaha tempe tersebut. Kriteria ini digunakan dengan

    pertimbangan untuk mengetahui dan memahami kondisi usaha sebelum kenaikan

    harga kedelai serta pengaruh yang terjadi setelah kenaikan harga kedelai pada

    bulan Juni 2013.

    Metode Pengolahan dan Analisis Data

    Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Tahap analisis data yang

    dilakukan adalah tahap transfer data dalam bentuk tabulasi, editing serta

    pengolahan data dengan menggunakan paket perangkat lunak Microsoft Excel,

    kemudian dilanjutkan dengan tahap interpretasi data. Analisis yang dilakukan

    adalah berupa analisis pendapatan usaha, analisis rasio penerimaaan-biaya (R/C)

    dan analisis titik impas pada kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai.

    Data yang diolah dan dianalisis adalah hanya terhadap jenis tempe yang

    menggunakan kedelai GMO saja. Karena kedelai GMO ini adalah kedelai yang

    mengalami kenaikan harga mulai periode Juni 2013 sedangkan kedelai Non GMO

    tidak mengalami kenaikan harga pada periode waktu tersebut.

  • 17

    Analisis Keuntungan

    Analisis keuntungan digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan dan

    melihat manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari suatu usaha, sehingga dapat

    dinilai tingkat kelayakan usaha tersebut. Kriteria analisis keuntungan bertitik tolak

    pada prinsip bahwa efisiensi suatu usaha sangat dipengaruhi oleh nilai input yang

    digunakan dalam nilai output yang dihasilkan dengan proses produksi. Tujuan

    utama analisis keuntungan adalah untuk menggambarkan kondisi usaha tempe

    pada saat ini sebagai masukan bagi perencanaan atau tindakan di masa yang akan

    datang. Hasil analisis keuntungan dapat digunakan oleh usaha tempe atau pihak

    lain yang berkepentingan, untuk menilai apakah suatu kegiatan mencapai hasil

    yang memuaskan atau sebaliknya.

    Input yang mempengaruhi analisis keuntungan terdiri atas variabel

    penerimaan atau revenue (R) dan pengeluaran/ biaya atau cost (C) selama jangka

    waktu tertentu yaitu selama satu periode produksi. Penerimaan usaha tempe

    merupakan nilai dari keseluruhan produk yang dihasilkan dalam suatu periode

    produksi. Sedangkan pengeluaran usaha tempe merupakan seluruh biaya yang

    dikeluarkan selama satu periode produksi. Pengeluaran usaha tempe dibedakan

    menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang secara

    keseluruhan tidak berubah walaupun unit yang dihasilkan mengalami perubahan.

    Biaya tetap dapat meningkat apabila terjadi perubahan kapasitas produksi dalam

    kisaran tertentu. Biaya variabel adalah biaya yang berubah-ubah sesuai dengan

    perubahan kapasitas produksi.

    Keuntungan usaha tempe diperoleh dari usaha industri tempe dan non usaha

    industri tempe (bila ada). Penerimaan usaha industri tempe merupakan hasil

    perkalian jumlah produksi yang dihasilkan dengan harga produk. Sedangkan

    penerimaan non usaha industri tempe merupakan pendapatan yang diperoleh dari

    luar kegiatan industri seperti menjual makanan dari produk olahan tempe dan lain-

    lain. Sedangkan biaya merupakan hasil perkalian antara jumlah faktor produksi

    dengan harga faktor produksi. Secara matematis pendapatan dapat ditulis sebagai

    berikut (Pappas JL, Hirschey M 1995):

    = TR TC

    Dengan ketentuan,

    TR = Py . Y

    TC = TFC + TVC

    = TFC + Pxi. Xi

    Sehingga,

    = Py . Y (TFC + Pxi. Xi)

    Dimana :

    = keuntungan yang diperoleh oleh pengrajin per periode produksi

    TR = total penerimaan yang diperoleh per periode produksi

    TC = total pengeluaran yang diperoleh per periode produksi

    TFC = total biaya tetap

    TVC = total biaya variabel

    Py = harga jual output

    Y = jumlah output yang diproduksi

    Pxi = harga input ke-i

    Xi = jumlah penggunaan input ke-i

    i = 1,2,3,,n

  • 18

    Analisis dilakukan terhadap keuntungan usaha tempe RTI pada kondisi sebelum

    dan setelah kenaikan harga kedelai. Hal ini ditujukan untuk melihat pengaruh

    kenaikan harga kedelai terhadap biaya produksi total yang harus dikeluarkan.

    Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio)

    Analisis imbangan penerimaan dan biaya atau analisis R/C Rasio adalah

    perbandingan antara jumlah penerimaan dengan pengeluaran totalnya. Hal ini

    menunjukan berapa besar penerimaan yang diperoleh sebagai manfaat setiap

    rupiah yang dikeluarkan. Maka makin besar nilai R/C makin baik usaha tersebut.

    Untuk menghasilkan tingkat keberhasilan pengrajin, digunakan rumus sebagai

    berikut :

    R/C rasio = Total Penerimaan

    Total Pengeluaran

    Usaha dikategorikan efisien jika memiliki nilai R/C rasio>1, artinya setiap

    biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari pada

    biaya atau secara sederhana kegiatan usaha tempe tersebut menguntungkan.

    Sebaliknya jika nilai R/C rasio

  • 19

    Dimana:

    P : Harga jual per satuan produk tempe (Rp/Kg)

    TFC : Total biaya tetap usaha tempe (Rp)

    AVC : Biaya variabel rata-rata usaha tempe (Rp)

    Total biaya tetap usaha terdiri dari pengeluaran untuk listrik (token), biaya

    perawatan peralatan dan gaji tenaga kerja. Total biaya variabel terdiri dari

    pengeluaran untuk kedelai, ragi, gas, plastik kemasan, label dan konsumsi harian

    tenaga kerja (biaya yang berkaitan langsung dengan kegiatan produksi). Biaya

    variabel rata-rata merupakan total biaya variabel dibagi dengan harga. Analisis

    data pendapatan usaha, nilai R/C rasio dan juga nilai BEP dilakukan terhadap data

    kondisi sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai.

    GAMBARAN UMUM RTI

    Sejarah Singkat RTI

    Rumah Tempe Indonesia (RTI) jmerupakan hasil inisiasi dari tiga organisasi

    yaitu Forum Tempe Indonesia (FTI), Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia

    Kabupaten Bogor (KOPTI Kabupaten Bogor) dan Mercy Corps. Pembangunan

    Rumah Tempe Indonesia (RTI) dimulai pada September 2011 dan diresmikan

    pada tanggal 6 Juni 2012. RTI memperoleh dukungan dana dari empat lembaga

    untuk pembangunan bangunan dan peralatan, yaitu American Soybean

    Association International Marketing (ASA-IM), Uni Eropa, FKS Multiagro dan

    PT.Antam (persero) Tbk. Tujuan dari dibangunnya RTI adalah :

    1. Sebagai pusat produksi tempe higienis dan ramah lingkungan. 2. Sebagai pusat pengembangan produk olahan berbasis tempe. 3. Sebagai fasilitas pendidikan dan penelitian bagi produsen tempe, mahasiswa,

    pelajar dan masyarakat umum yang tertarik dengan tempe.

    Konsep pembangunan Rumah Tempe Indonesia (RTI) mengedepankan

    proses produksi yang higienis serta ramah lingkungan. Hal ini diwujudkan RTI

    melalui penggunaan peralatan berbahan stainless steel, prosedur pengolahan yang

    mengikuti kaidah Good Hygienic Practices (GHP) serta pengolahan limbah

    menggunakan teknologi Biogas. Dengan konsep produksi ini, membuat RTI

    mampu mendapatkan sertifikat HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points)

    dari Lembaga Sertifikasi Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor, dan

    telah memenuhi persyaratan mutu tempe sesuai SNI nomor 3144 tahun 2009.

    Visi RTI adalah mendorong perubahan dan memperbaiki kualitas dan citra

    tempe di Indonesia. Misi RTI adalah menjadi salah satu pusat produksi tempe

    yang higienis dan ramah lingkungan dan mampu menyediakan produk tempe yang

    Titik impas dalam unit = TFC

    P AVC

    Titik impas dalam rupiah = TFC

    1 - AVC

    P

  • 20

    berkualitas kepada konsumen, meningkatkan pengetahuan pengrajin tempe

    tradisional dalam menerapkan konsep produksi yang lebih higienis dan ramah

    lingkungan serta menjadi agen perubahan untuk mengangkat dan mempromosikan

    tempe sebagai makanan sehat untuk berbagai kalangan baik di dalam dan di luar

    negeri. Dalam mewujudkan visi dan misinya, RTI sebagai unit bisnis KOPTI

    Kabupaten Bogor, saat ini melakukan kerjasama kemitraan dalam kegiatan

    produksi tempe. RTI mengajak salah satu pengrajin tempe tradisional untuk

    melakukan kegiatan produksi tempe di RTI sesuai dengan konsep produksi tempe

    yang telah ditetapkan oleh RTI. Dalam kegiatan produksi dan pengelolaannya,

    pengrajin yang berproduksi di RTI dibina dan diawasi oleh lembaga yang

    mendirikannya yaitu KOPTI Kabupaten Bogor, Forum Tempe Indonesia dan

    Mercy Corps. Tidak ada perbedaan tahapan dalam pembuatan tempe di RTI bila

    dibandingkan dengan cara pembuatan tempe yang biasa dilakukan oleh pengrajin

    tradisional. Namun yang membedakan adalah RTI mengajak para pengrajin tempe

    agar selalu peduli memperhatikan kebersihan peralatan yang digunakan dan

    kebersihan selama proses pembuatan tempe hingga pengemasan.

    Disamping memproduksi tempe segar, RTI melalui KOPTI Kabupaten

    Bogor juga membuka kelas pendidikan kewirausahaan berupa:

    a. Kelas produksi tempe higienis Materi yang diajarkan pada program ini yaitu materi-materi praktis dalam

    hal usaha tempe seperti pemilihan bahan baku, penataan layout, pengenalan

    metoda Good Hygienic Practices (GMP), cara produksi tempe higienis,

    pengelolaan limbah dan analisa usaha.

    b. Kelas pengembangan produk olahan berbasis tempe Materi yang dipelajari pada kelas ini meliputi beberapa menu potensial

    berbahan dasar tempe dan diharapkan sangat berguna bagi peserta yang akan

    mengembangkan usaha kuliner berbasis tempe.

    Peralatan Produksi Tempe RTI

    Konsep produksi tempe RTI yang mengedepankan proses produksi yang

    higienis serta ramah lingkungan diwujudkan dengan penggunaan peralatan

    produksi tempe yang berbahan stainless steel. Peralatan produksi yang digunakan

    adalah alat produksi tempe yang disediakan oleh KOPTI Kabupaten Bogor,

    diantaranya meliputi dandang perebusan, meja kerja, meja peragian, bak

    pencucian, bak pemisahan kulit, rak fermentasi, bak rendaman, burner LPG,

    mesin pemecah kulit kedelai (Lampiran 1).

    Disamping penggunaan peralatan produksi yang seluruhnya terbuat dari

    bahan stainless steel, RTI juga menerapkan prosedur pengolahan yang mengikuti

    kaedah Good Hygienic Practices (GHP) serta pengolahan limbah menggunakan

    teknologi biogas agar ramah lingkungan. Rincian nilai investasi gedung dan

    peralatan produksi tempe higienis RTI untuk kapasitas produksi 500kg tempe/hari

    dapat dilihat pada Tabel 4.

  • 21

    Tabel 4 Investasi Gedung dan Peralatan

    Peralatan Jumlah (Unit) Harga (Rp/unit) Jumlah Biaya (Rp)

    Investasi Gedung 1 385 502 000 385 502 000

    Mesin Pemecah Kedelai 1 4 250 000 4 250 000

    Bak Pencucian 2 2 500 000 5 000 000

    Bak Pemisahan Kulit 2 3 050 000 6 100 000

    Bak Perendaman 4 2 250 000 9 000 000

    Dandang Perebusan 2 2 500 000 5 000 000

    Meja Kerja (Stainless) 1 4 000 000 4 000 000

    Meja Peragian 1 3 050 000 3 050 000

    Rak Fermentasi 9 3 900 000 35 100 000

    Tray/Ebeg 144 175 000 25 200 000

    Burner LPG 2 250 000 500 000

    Saringan Bambu 2 30 000 60 000

    Container Box 8 450 000 3 600 000

    Container Pengiriman 23 400 000 9 200 000

    Siler 2 190 000 380 000

    Ayakan Bambu Besar 2 35 000 70 000 Ayakan Bambu Sedang 2 20 000 40 000 Ayakan Bambu Kecil 3 16 000 48 000

    Pompa Air 1 2 700 000 2 700 000

    Tangki Air ( 1000 L) 1 1 200 000 1 200 000

    TOTAL 500 000 000

    Sumber: KOPTI Kabupaten Bogor, 2013

    Kegiatan Produksi dan Pemasaran Tempe RTI

    Kapasitas produksi dari Rumah Tempe Indonesia adalah 500kg tempe

    segar/hari. Produk tempe yang dihasilkan oleh RTI memiliki merek

    TEMPEKITA. Produk ini ditujukan untuk segmen konsumen yang peduli dengan

    kualitas produk. Produk TEMPEKITA telah diterima oleh beberapa boarding

    school, rumah sakit, catering, restoran, industri pangan serta komunitas organik.

    Gambar 8 Alur Pemesanan dan Pemasaran Tempe RTI

    Keterangan;

    : Alur Pemasaran

    : Alur Pemesanan

    RTI KOPTI Kab. Bogor

    Konsumen Industri

    PT. Tata Nutrisana (Kalbe Grup) => Kontrak 5 tahun

    Produsen Keripik Kusuka => Proses Negosiasi

    Indofood => Proses Penawaran kerjasama

    Marketing

    Konsumen

    Rumah Tangga

    Penjual Sayur

    Keliling

  • 22

    Kebutuhan input kedelai RTI dipenuhi dari KOPTI Kabupaten Bogor.

    Setiap perebusan 1kg kedelai akan menghasilkan 1.45-1.5kg tempe segar10

    . Hal

    ini berarti perbandingan penggunaan kedelai sehingga menghasilkan tempe segar

    adalah 1 : 1.45-1.5. Pada awal kegiatan berproduksinya RTI sejak 6 Juni 2012,

    kegiatan produksi tempe RTI hanya menggunakan kedelai GMO (Genetic

    Modifier Organism) yaitu kedelai impor yang dalam proses produksinya melalui

    teknik rekayasa genetik. Kegiatan produksi setiap harinya mengolah + 35kg

    kedelai GMO. Dari penggunaan input kedelai tersebut dapat menghasilkan tempe

    segar (tempe GMO) + 50kg tempe/ hari. Setiap bulan rata-rata RTI bisa

    memproduksi dan menjual tempe segar yaitu + 1 500kg. Kondisi ini berlangsung

    sampai dengan bulan Februari 2013 (Gambar 9).

    Pada periode Maret-Oktober 2013, RTI memproduksi tempe segar dengan

    mempergunakan 2 macam kedelai, yaitu kedelai GMO dan kedelai Non GMO11

    .

    Kedelai Non GMO yaitu kedelai impor yang dalam proses produksinya tidak

    melalui proses rekayasa genetik. Sedangkan Kedelai GMO yaitu kedelai impor

    yang dalam proses produksinya melalui teknik rekayasa genetik, namun kualitas

    kedelai GMO yang digunakan adalah kualitas yang terbaik (Grade 1). Secara fisik

    tidak ada perbedaan yang dapat terlihat antara kedelai Non GMO dan kedelai

    GMO. Pada bulan Maret 2013, kegiatan produksi tempe Non GMO yang

    dilakukan RTI masih dalam jumlah terbatas. Jumlah tempe Non GMO yang

    dihasilkan per hari + 2.1kg atau 63kg tempe Non GMO/ bulan. Namun sejak

    bulan Mei 2013, jumlah produksi tempe Non GMO mulai meningkat karena RTI

    mulai memproduksi tempe Non GMO untuk kebutuhan bahan baku PT. Tata

    Nutrisana.

    Gambar 9 Penggunaan Kedelai GMO dan Produksi Tempe GMO RTI Sumber: KOPTI Kabupaten Bogor,2013

    Kegiatan produksi tempe yang dilakukan oleh RTI disesuaikan dengan

    pesanan konsumen (by order) berdasarkan data yang diterima oleh bagian

    10

    Berdasarkan wawancara dengan Pak Parlaungan Dalimunthe, Marketing Rumah Tempe

    Indonesia (RTI) [Wawancara pada 24 Oktober 2013] 11

    Non GMO: Non Genetic Modifier Organism

  • 23

    pemasaran RTI. Kegiatan produksi tempe RTI saat ini dibagi atas 2 macam yaitu

    produksi tempe untuk memenuhi kebutuhan PT. Tata Nutrisana (Kalbe Grup) dan

    untuk kegiatan pemasaran secara ritel yang dilakukan oleh bagian pemasaran/

    marketing (Gambar 5). Pemasaran secara ritel terutama ke konsumen rumah

    tangga di kawasan perumahan.

    Tempe yang diproduksi untuk PT Tata Nutrisana berbahan baku kedelai

    impor Non GMO (Non Genetic Modifier Organism), sebagai komposisi bahan

    baku bubur bayi. Produksi tempe untuk PT. Tata Nutrisana mulai berjalan pada

    akhir Mei 2013 (kontrak 5 tahun). Sedangkan tempe yang dipasarkan secara ritel

    terdiri dari tempe yang berbahan baku kedelai Non GMO (kemasan 300gr) dan

    berbahan baku kedelai impor GMO grade 1 (kemasan 450gr dan 700gr). Selain

    itu, RTI melalui KOPTI Kabupaten Bogor juga berupaya menjalin kerjasama

    dengan beberapa industri produsen makanan seperti Indofood, Garuda Food dan

    juga produsen kripik Kusuka. Hal tersebut dilakukan untuk memperluas kegiatan

    pemasaran tempe RTI dan juga menjalankan visi misinya untuk mempromosikan

    tempe sebagai makanan sehat dan higienis.

    RTI melalui KOPTI Kabupaten Bogor berupaya untuk memperluas jaringan

    pemasaran tempe, terutama pemasaran produk tempe Non GMO yang dipasarkan

    ke konsumen industri. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan jumlah permintaan

    tempe Non GMO dari para konsumen industri, yang pada akhirnya akan

    meningkatkan jumlah produksi tempe Non GMO. Apabila usaha RTI

    meningkatkan volume produksi tempe Non GMO tercapai maka jumlah

    penerimaan hasil penjualan tempe Non GMO akan meningkat, karena harganya

    lebih tinggi daripada tempe GMO.

    Kebijakan RTI Terhadap Kenaikan Harga Kedelai

    Rumah Tempe Indonesia (RTI) sebagai unit bisnis dari KOPTI Kabupaten

    Bogor baru menjalankan kegiatan produksi tempe selama 1 tahun. Sebagai usaha

    produksi tempe yang baru berjalan 1 tahun, usaha ini juga dipengaruhi oleh

    kondisi harga input. Pada saat terjadi kenaikan harga kedelai pada akhir tahun

    2012, RTI memutuskan menaikkan harga jual di tingkat konsumen sebesar Rp5

    500/kemasan 450gr dan Rp9 000/kemasan 700gr. RTI menaikkan harga jual

    sebesar Rp500 dari harga sebelumnya atau naik 10 persen (kemasan 450gr) dan

    naik 5.9 persen (kemasan 700gr). Harga tersebut telah diberlakukan oleh RTI pada

    bulan Januari 2013. Demikian juga pada saat terjadi kembali kenaikan harga

    kedelai pada Juni 2013. Kondisi ini mempengaruhi RTI dalam menetapkan harga

    jual tempe RTI ke konsumen. Harga jual tempe RTI saat ini, setelah kenaikan

    harga kedelai pada Juni 2013 adalah Rp6 500/kemasan 450gr atau naik 18.2

    persen dan Rp. 10.000/ kemasan 700gr atau naik 11.1 persen daripada harga

    sebelumnya. Harga tersebut mulai berlaku pada September 2013 atau 3 bulan

    setelah kenaikan harga kedelai. Dalam penelitian ini, peneliti ingin menganalisa

    kondisi usaha RTI dengan membandingkan kondisi usaha sebelum dan setelah

    kenaikan harga kedelai Juni 2013.

  • 24

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Biaya Usaha Tempe

    Rumah Tempe Indonesia (RTI) sebagai unit usaha KOPTI Kabupaten Bogor

    yang baru berjalan 1 tahun juga terpengaruh dengan ketidakstabilan harga bahan

    baku kedelai. Biaya yang dipengaruhi yaitu terhadap biaya variabel dalam

    kegiatan produksi tempe. Perhitungan biaya dilakukan sesuai dengan kegiatan

    produksi di RTI yaitu 7 hari dalam seminggu. Besarnya biaya dipengaruhi dari

    jumlah tempe yang diproduksi (output yang dihasilkan). Adapun jumlah output

    rata-rata perbulan yang diproduksi RTI selama periode Maret 2013-Oktober

    2013dapat dilihat pada Tabel 5.

    Tabel 5 Jumlah Produksi Rata-rata Tempe di RTI periode Maret 2013-Oktober

    2013

    Bulan Jenis Kemasan Tempe Total Produksi (Kg)

    450gr 700gr

    Maret 1 395.0 173.6 1 568.6

    April 1 350.0 168.0 1 518.0

    Mei 1 395.0 173.6 1 568.6

    Rata-rataa

    1 380.0 171.7 1 551.7

    Juni 1 350.0 168.0 1 518.0

    Juli 1 395.0 173.6 1 568.6

    Agustus 1 395.0 173.6 1 568.6

    September 1 215.0 151.2 1 366.2

    Oktober 1 395.0 173.6 1 568.6

    Rata-ratab

    1 350.0 168.0 1 518

    Keterangan: a : Sebelum Kenaikan Harga Kedelai

    b : Setelah Kenaikan Harga Kedelai

    Biaya Tetap

    Biaya tetap berhubungan dengan waktu dan tidak berhubungan dengan

    tingkat ataupun volume produksi (secara sederhana nilainya selalu sama). Dalam

    penelitian ini yang dihitung sebagai biaya tetap adalah biaya perawatan atas

    peralatan yang dipergunakan untuk kegiatan produksi tempe, gaji tenaga

    kerja,listrik dan biaya penyusutan. Peralatan yang dipergunakan untuk

    memproduksi tempe GMO dan Non GMO adalah peralatan yang sama. Hal ini

    berarti ada pemakaian peralatan secara bersama. Sehingga perhitungan biaya

    perawatan dan biaya penyusutan dilakukan secara proporsional disesuaikan

    dengan perbandingan jumlah produksi tempe GMO dan Non GMO di RTI.

    Perbandingan produksi tempe GMO dan Non GMO RTI adalah 40kg GMO :

    210kg Non GMO per hari (perbandingan = 4 : 21).

    Penetapan nilai biaya perawatan dilakukan oleh KOPTI Kabupaten bogor,

    yaitu 5 persen dari nilai awal investasi pembelian setiap peralatan. Nilai investasi

    awal dari setiap peralatan produksi tempe di RTI, secara rinci terlihat pada Tabel

    5. Sedangkan nilai biaya tetap untuk periode Maret-Oktober 2013 adalah Rp2 670

    729 untuk setiap bulannya. Rincian biaya tetap/bulan pada usaha tempe RTI

    tercantum pada Tabel 6. Khusus untuk rincian biaya penyusutan, dapat dilihat

    pada Lampiran 2.

  • 25

    Tabel 6 Rincian Biaya Tetap Produksi Tempe RTI per bulan, Periode Maret 2013-

    Oktober 2013

    Komponen

    Tempe GMO

    Biaya/unit

    (Rp/unit)

    Jumlah

    (unit)

    Jumlah Biaya

    (Rp)

    Proporsi Biaya Tetap

    yang Dibebankan (Rp)

    Biaya Perawatan

    - Mesin Pemecah Kedelai (unit) 17 708 1 17 708.3 3 373.0 - Bak Pencucian (unit) 10 417 2 20 833.3 3 968.3 - Bak Pemisahan Kulit 12 708 2 25 416.7 4 841.3 - Bak Perendaman 9 375 4 37 500.0 7 142.9 - Dandang Perebusan 10 417 2 20 833.3 3 968.3 - Meja Kerja (Stainless) 16 667 1 16 666.7 3 174.6 - Meja Peragian 12 708 1 12 708.3 2 420.6 - Rak Fermentasi 16 250 9 146 250.0 27 857.1 - Tray/Ebeg 729 144 105 000.0 20 000.0 - Burner LPG 1 042 2 2 083.3 396.8 - Saringan Bambu 125 2 250.0 47.6 - Container Box 1 875 8 15 000.0 2 857.1 - Container Pengiriman 1 667 23 38 333.3 7 301.6 - Siler 792 2 1 583.3 301.6 - Ayakan Bambu Besar 146 2 291.7 55.6 - Ayakan Bambu Sedang 83 2 166.7 31.7 - Ayakan Bambu Kecil 67 3 200.0 38.1 - Pompa Air (Jet Pump) 11 250 1 11 250.0 2 142.9 - Tangki Air (1000 L) 5,000 5 000 1 5 000.0 952.4

    Jumlah Biaya Perawatan (Rp)

    477 075.0 90 871.4

    Gaji Tenaga Kerja (Rp)

    - 2 orang = @ 400.000/minggu 400 000 2 3 200 000.0 609 523.8 - 1 orang = @ 350.000/minggu 350 000 1 1 400 000.0 266 666.7 - 1 orang = @ 300.000/minggu 300 000 1 1 200 000.0 228 571.4

    Jumlah Gaji TK (Rp)

    5 800 000.0 1 104 761.9

    Listrik/ Token Listrik (Rp)

    400 000.0 76 190.5

    Biaya Penyusutan

    203 272.1

    Total Biaya Tetap (TFC) 12 954 150 2 670 729

    Sumber: KOPTI Kabupaten Bogor, 2013

    Rincian biaya tetap pada Tabel 6 merupakan biaya tetap yang dibebankan

    secara keseluruhan terhadap tempe GMO (kemasan 450gr dan 700gr). Dalam

    penelitian ini analisa struktur biaya dibagi berdasarkan jenis kemasan tempe,

    dalam hal ini kemasan 450gr dan 750gr. Sehingga pada perhitungan struktur biaya

    sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai akan dibagi 2,sesuai dengan jumlah

    produksi tempe untuk masing-masing jenis kemasan. Pembebanan biaya tetapnya

    dilakukan secara proporsional kembali, sesuai dengan perbandingan jumlah

    produksi tempe berdasarkan jenis kemasannya.

    Tabel 7 Rincian Komponen Penyusun Biaya Tetap Rata-rata untuk Produksi

    Tempe per Bulan di RTI, Kondisi Sebelum dan Setelah Kenaikan Harga

    Kedelai

    Komponen Biaya Tetap Kemasan 450gr Kemasan 700gr

    Biaya (Rp) (%) Biaya (Rp) (%)

    a. Perawatan 80 815 5.1 10 057 5.1

    b. Gaji TK 982 496 61.4 122 266 61.4

    c.Listrik/Token 355 731 22.2 44 269 22.2

    d. Penyusutan 180 776 11.3 22 497 11.3

    Total BiayaTetap (TFC) 1 599 817 11.8 199 088 11.9 aTFC/Output (Rp/kg) 1 159 1 159 bTFC/Output (Rp/kg) 1 185 2.2 1 185 2.2

    a : Sebelum Kenaikan Harga Kedelai; TFC/output tempe kemasan 450gr dan 700gr adalah 1 380kg dan

    171.7kg b : Setelah Kenaikan Harga Kedelai; TFC/output tempe kemasan 450gr dan 700gr adalah 1 350kg dan 168kg

  • 26

    Berdasarkan data pada Tabel 7, total biaya tetap total/output untuk tempe

    kemasan 450gr dan 700gr mengalami peningkatan sebesar 2.2 persen yaitu

    masing-masing sebesar Rp1 185/kg dari nilai sebelumnya yaitu Rp1 159/kg.

    Peningkatan nilai TFC/output disebabkan penurunan jumlah output rata-rata

    tempe yang diproduksi RTI setelah kenaikan harga kedelai. Secara ringkas nilai

    biaya tetap total (TFC) dan biaya tetap total/output (TFC/output) untuk produk

    tempe kemasan 450gr dan 700gr dapat dilihat pada Tabel 8.

    Tabel 8 Struktur Biaya Tetap dan Biaya Tetap/output Tempe Kemasan 450gr dan

    700gr

    Komponen

    Sebelum Kenaikan

    Harga Kedelai

    Setelah Kenaikan

    Harga Kedelai Perubahan (%)

    Kemasan

    450gr

    Kemasan

    700gr

    Kemasan

    450gr

    Kemasan

    700gr

    Kemasan

    450gr

    Kemasan

    700gr

    Output (kg) 1 380 171.7 1 350 168 -2.2 -2.2

    TFC (Rp) 1 599 817 199 088 1 599 817 199 088 - -

    TFC/output (Rp/kg) 1 159 1 159 1 185 1 185 2.2 2.2

    Selain itu dari Tabel 8 bila dilakukan analisa grafis, terjadi pergerakan pada

    kurva biaya tetap rata-rata (AFC). Peningkatan nilai AFC yang disebabkan

    penurunan output tempe dari Q1 ke Q2 untuk masing-masing nilai output kemasan

    450gr dan 700gr menyebabkan kurva AFC bergerak dari posisi AFC1 ke AFC2.

    Pergerakan kurva AFC setelah kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada grafik

    yang terdapat pada Gambar 10.

    Gambar 10 Pergerakan Kurva AFC Usaha Tempe RTI

    Biaya Variabel

    Biaya variabel merupakan biaya yang mempengaruhi dalam setiap kegiatan

    produksi tempe. Besar-kecilnya biaya variabel dipengaruhi dari jumlah output

    tempe yang dihasilkan oleh RTI. Dalam penelitian ini yang dimaksud biaya

    variabel adalah biaya produksi tempe/ biaya tunai (biaya yang terkait langsung

    dengan faktor input dalam kegiatan produksi). Biaya variabel/ biaya produksi

    tempe untuk kemasan 450gr dan 700gr dapat dilihat pada Tabel 9.

    Q

    Biaya (Rp. 000)

    AFC1

    AFC2

    Q2 Q1

    1,159

    1,185

  • 27

    Tabel 9 Data Penggunaan Input Rata-rata, Biaya Variabel Total (TVC) dan

    TVC/output, Periode Maret 2013-Oktober 2013

    No Input Sebelum Kenaikan Harga Kedelaia Setelah Kenaikan Harga Kedelaib

    450gr % 700gr % 450gr % 700gr %

    1 Kedelai

    Harga Input (Rp) 8 500 8 500 9 350 9 350

    Jumlah Input (kg) 951.72 - 118.44 - 931.03 -2.2 115.86 -2.2

    Biaya (Rp) 8 089 655 - 1 006 713 - 8 705 172 7.6 1 083 310 7.1

    67.4 68.4 77.5 78.7

    2 Ragi

    Harga Input (Rp) 24 000 24 000 25 600 25 600

    Jumlah Input (kg) 1.90 0.24 1.86 0.23

    Biaya (Rp) 45 683 5 685 47 669 -2.1 5 932

    0.4 0.4 0.4 0.4

    3 Gas (@3kg/tabung)

    Harga Input (Rp) 14 000 14 000 14 200 14 200

    Jumlah Input 28.55 3.55 27.93 3.48

    Biaya (Rp) 399 724 49 743 396 621 49 357

    3.3 3.4 3.5 3.6 4 Plastik

    uk. 12x25 cm

    Harga Input (Rp) 25 000 25 000 26 200 26 200

    Jumlah Input (kg) 12.27 - 12.00 -

    Biaya (Rp) 306 667 - 314 400 -

    uk. 18x28 cm

    2.6

    2.8

    Harga Input (Rp) 25 000 25 000 26 200 26 200

    Jumlah Input (kg) - 1.72 - 1.68

    Biaya (Rp) - 42 933 - 44 016

    2.9 3.2

    5 Label

    Harga Input (Rp) 200 200 200 200

    Jumlah Input (pcs) 3 066.67 245.33 3 000 240

    Biaya (Rp) 613 333 49 067 600 000 48 000

    5.1 3.3 5.3 3.5

    6

    Konsumsi Harian

    (Rp) 2 544 395

    317 607

    1 170 565 145 670

    21.2 21.6 10.4 10.6

    TVC (Rp) 11 999 457 100.0 1 471 748 100.0 11 234 427 100.0 1 376 286 100.0

    TVC/Output (Rp/kg) 8 695 8 570 8 322 4.4 8 192 4.4 a : Output rata-rata/bulan tempe kemasan 450gr dan 700gr adalah 1 380kg dan 171.7kg b : Output rata-rata/bulan tempe kemasan 450gr dan 700gr adalah 1 350kg dan 168kg

    Berdasarkan data pada Tabel 9, kedelai merupakan bahan baku utama/ input

    yang memberikan kontribusi terbesar terhadap biaya produksi tempe di RTI.

    Kedelai memberikan kontribusi 67.4 persen (kemasan 450gr) dan 68.4 persen

    (kemasan 700gr) terhadap biaya produksi tempe pada kondisi sebelum kenaikan

    harga kedelai. Setelah terjadi kenaikan harga kedelai biaya variabel kedelai

    meningkat menjadi 77.5 persen (kemasan 450gr) dan 78.7 persen (kemasan

    700gr). Akibat kenaikan harga rata-rata kedelai/kg dari Rp8 500 menjadi Rp9 350

    (harga kedelai naik 10 persen), RTI harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk

    biaya bahan baku kedelai.

    Kenaikan harga kedelai tersebut pada akhirnya berpengaruh terhadap

    penggunaan input rata-rata kedelai, biaya variabel total dan biaya variabel total

    /output (TVC/output) tempe setiap bulannya. Pada kondisi sebelum kenaikan

    harga kedelai, untuk memproduksi tempe kemasan 450gr, penggunaan input rata-

    rata kedelai adalah 951.72kg/bulan. Penggunaan kedelai menurun 2.2 persen

    menjadi 931.03kg/bulan. Salah satu hal yang menyebabkan penurunan

    penggunaan input kedelai adalah RTI berhenti berproduksi selama 3 hari di bulan

    September karena terjadi mogok berproduksi secara nasional yang dilakukan oleh

    pengrajin tempe dan tahu. Meskipun terjadi penurunan penggunaan input kedelai,

    biaya variabel kedelai untuk produksi tempe kemasan 450gr meningkat 7.6 persen

  • 28

    dari Rp8 089 655 menjadi Rp8 705 172. Sebelum kenaikan harga kedelai biaya

    variabel total adalah Rp11 999 457 dan setelah kenaikan harga kedelai menjadi

    Rp11 234 427. Biaya variabel total untuk memproduksi 1kg tempe (TVC/output)

    kemasan 450gr adalah Rp8 695/kg. Biaya variabel total/output menjadi Rp8

    322/kg setelah terjadi kenaikan harga kedelai. Hal ini menunjukkan terjadi

    penurunan sebesar 6.4 persen terhadap biaya variabel total dan penurunan 4.3

    persen biaya variabel total/output pada kondisi setelah kenaikan harga kedelai.

    Tabel 10 Struktur Biaya Variabel dan Biaya Variabel/output Tempe Kemasan

    450gr dan 700gr

    Komponen

    Sebelum Kenaikan

    Harga Kedelai

    Setelah Kenaikan Harga

    Kedelai Perubahan (%)

    Kemasan

    450gr

    Kemasan

    700gr

    Kemasan

    450gr

    Kemasan

    700gr

    Kemasan

    450gr

    Kemasan

    700gr

    Output (kg) 1 380 171.7 1 350 168 -2.2 -2.2

    TFC (Rp) 1 599 817 199 088 1 599 817 199 088 - -

    TFC/output (Rp/kg) 1 159 1 159 1 185 1 185 2.2 2.2

    TVC (Rp) 11 999 457 1 471 748 11 234 427 1 376 286 -6.4 -6.5

    TVC/output (Rp/kg) 8 695 8 570 8 322 8 192 -4.3 -4.4

    Sedangkan untuk kegiatan produksi tempe kemasan 700gr, penggunaan

    input kedelai rata-rata juga menurun 2.2 persen setelah kenaikan harga kedelai.

    Penggunaan kedelai menurun dari 118.44kg/bulan menjadi 115.86kg/bulan.

    Namun biaya variabel input kedelai meningkat 7.1 persen dari Rp1 006 713

    menjadi Rp1 083 310, setelah kenaikan harga kedelai. Kondisi ini berbanding

    terbalik dengan biaya variabel total yang menurun dari Rp1 471 748 menjadi Rp1

    376 286. Demikian juga untuk biaya variabel total/output menurun dari Rp8 570

    menjadi Rp8 192. Hal ini menunjukkan biaya variabel total turun 6.5 persen dan

    biaya variabel total/output untuk memproduksi tempe kemasan 700gr turun 4.4

    persen. Secara ringkas nilai biaya variabel (TVC) dan biaya variabel/output

    (TVC/output) untuk produk tempe kemasan 450gr dan 700gr dapat dilihat pada

    Tabel 10. Perhitungan secara rinci untuk struktur biaya variabel usaha tempe di

    RTI pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai dan setelah kenaikan harga

    kedelai dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.

    Biaya Total Produksi

    Biaya total atau biasa disebut biaya usaha adalah seluruh biaya yang harus

    dikeluarkan oleh suatu usaha dalam memproduksi setiap produk yang dihasilkan.

    Secara sederhana biaya total merupakan penjumlahan dari biaya tetap total dan

    biaya variabel total. Dalam penelitian ini struktur biaya usaha dibagi 2 untuk

    melihat kondisi usaha RTI pada waktu sebelum kenaikan harga kedelai dan

    setelah kenaikan harga kedelai.

    1. Struktur Biaya Usaha RTI Sebelum Kenaikan Harga Kedelai

    Berdasarkan hasil penelitian, biaya variabel total memberikan kontribusi

    88.2 persen dari biaya total produksi tempe kemasan 450gr, yaitu Rp11 999 457.

    Biaya variabel total tempe kemasan 700gr memberikan kontribusi 88.1 persen dari

    biaya total produksi, yaitu Rp1 471 748. Sedangkan biaya tetap memberikan

    kontribusi 11.8 persen (kemasan 450gr) dan 11.9 persen (kemasan 700gr)

    terhadap biaya total produksi tempe di RTI.

  • 29

    Tabel 11 Struktur Biaya Rata-rata Tempe RTI Sebelum Kenaikan Harga Kedelai

    Komponen Kemasan 450gr Kemasan 700gr

    Jumlah Biaya (Rp) (%) Jumlah Biaya (Rp) (%)

    Biaya Variabel

    a. Kedelai 951.7 8 089 655 67.4 118.4 1 006 713 68.4

    b. Ragi 1.9 45 683 0.4 0.2 5 685 0.4

    c. Gas (@3kg) 28.6 399 724 3.3 3.6 49 743 3.4

    d. Plastik uk.12x25cm pp.08 12.3 306 667 2.6 1.7 42 933 2.9

    e. Label 3 066.7 613 333 5.1 245 49 067 3.3

    f. Konsumsi Hariana

    2 544 395 21.2

    317 607 21.6

    Total Biaya Variabel (TVC)

    11 999 457 88.2

    1 471 748 88.1

    TVC/output (Rp/kg) 8 695 8 570

    Biaya Tetapb

    a. Perawatan

    80 815 5.1

    10 057 5.1

    b. Gaji TK*

    982 496 61.4

    122 266 61.4

    c.Listrik/Token

    355 731 22.2

    44 269 22.2

    d. Penyusutan

    180 776 11.3

    22 497 11.3

    Total BiayaTetap (TFC)

    1 599 817 11.8

    199 088 11.9

    TFC/output (Rp/kg) 1 159 1 159

    Total Biaya (TC) 13 599 274 1 670 836

    TC/Output (Rp/kg) 9 854.5 9 729.2

    Catatan: a : Dihitung berdasarkan perbandingan jumlah tempe yang diproduksi antara tempe GMO dan

    Non GMO secara proporsional dan antar jenis kemasan. b : Komponen biaya tetap dihitung scr proporsional antara kemasan 450gr dan 700gr berdasarkan

    perbandingan penggunaan kedelai.

    Secara keseluruhan sebelum kenaikan harga kedelai, biaya total

    produksi/output tempe kemasan 450gr dan 700gr yaitu Rp9 854.5/kg dan Rp9

    729.2/kg. Rincian struktur biaya rata-rata produksi tempe RTI sebelum kenaikan

    harga kedelai dapat dilihat pada Tabel 11.

    2. Struktur Biaya Usaha RTI Setelah Kenaikan Harga Kedelai Berdasarkan hasil penelitian, biaya variabel total setelah kenaikan harga

    kedelai memberikan kontribusi 87.5 persen dari biaya total produksi untuk tempe

    kemasan 450gr, yaitu Rp11 234 427. Biaya variabel total tempe kemasan 700gr

    memberikan kontribusi 87.4 persen dari biaya total produksi, yaitu Rp1 376 286.

    Sedangkan biaya tetap memberikan kontribusi 12.5 persen (kemasan 450gr) dan

    12.6 persen (kemasan 700gr) terhadap biaya total produksi tempe di RTI. Rincian

    struktur biaya rata-rata produksi tempe di RTI setelah kenaikan harga kedelai

    dapat dilihat pada Tabel 12.

    Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 11 dan Tabel 12, dapat dianalisis

    bahwa dengan kenaikan harga kedelai rata-rata sebesar 10 persen (dari harga Rp8

    500 menjadi Rp9 350), memberikan pengaruh terhadap struktur biaya usaha

    tempe di Rumah Tempe Indonesia (RTI). Peningkatan biaya variabel rata-rata

    untuk bahan baku kedelai menyebabkan RTI harus menyediakan biaya lebih besar

    untuk pengadaan bahan baku kedelai dibandingkan sebelum kenaikan harga

    kedelai. Hal ini mesti dilakukan oleh RTI meskipun dengan adanya kenaikan

    harga kedelai menyebabkan penurunan penggunaan input rata-rata kedelai per

    bulan sebesar 2.2 persen.

  • 30

    Tabel 12 Struktur Biaya Rata-rata Tempe RTI Setelah Kenaikan Harga Kedelai

    Komponen Kemasan 450gr Kemasan 700gr

    Jumlah Biaya (Rp) (%) Jumlah Biaya (Rp) (%)

    Biaya Variabel

    a. Kedelai 931.0 8 705 172 77.5 115.9 1 083 310 78.7

    b. Ragi 1.9 47 669 0.4 0.2 5 932 0.4

    c. Gas (@3kg) 27.9 396 621 3.5 3.5 49 357 3.6

    d. Plastik uk.12x25cm pp.08 12.0 314 400 2.8 1.7 44 016 3.2

    e. Label 3 000 600 000 5.3 240 48 000 3.5

    f. Konsumsi Harian

    1 170 565 10.4

    145 670 10.6

    Total Biaya Variabel (TVC)

    11 234 427 87.5

    1 376 286 87.4

    TVC/output (Rp/kg) 8 322 -4.3 8 192 -4.4

    Biaya Tetap

    a. Perawatan

    80 815 5.1

    10 057 5.1

    b. Gaji TK

    982 496 61.4

    122 266 61.4

    c.Listrik/Token

    355 731 22.2

    44 269 22.2

    d. Penyusutan

    180 776 11.3

    22 497 11.3

    Total BiayaTetap (TFC)

    1 599 817 12.5

    199 088 12.6

    TFC/output (Rp/kg) 1 185 2.2 1 185 2.2

    Total Biaya (TC) 12 834 244 1 575 374

    TC/Output (Rp/kg) 9 506.8 -3.5 9 377.2 -3.6

    Penurunan penggunaan input kedelai tidak berbanding lurus dengan biaya

    variabel yang dikeluarkan untuk pengadaan kedelai. Biaya untuk pengadaan input

    kedelai meningkat sebesar 7.6 persen (kemasan 450gr) dan 7.1 persen (kemasan

    700gr). Selain itu biaya variabel total/output menurun 4.3 persen (kemasan 450gr)

    dan 4.4 persen (kemasan 700gr). Penurunan juga terjadi terhadap biaya

    total/output setelah kenaikan harga kedelai. Biaya total/output untuk tempe

    kemasan 450gr dan 700 gr setelah kenaikan harga kedelai yaitu Rp9 506.8/kg dan

    Rp9 377.2/kg dibandingkan sebelum kenaikan harga kedelai untuk kemasan 450gr

    dan 700 gr yaitu Rp9 854.5/kg dan Rp9 729.2kg. Hal ini menunjukkan biaya

    total/output untuk produksi tempe RTI kemasan 450 gr dan 700gr turun sebesar

    3.5 persen dan 3.6 persen.

    Pengaruh Kenaikan Harga Kedelai Terhadap Penerimaan Usaha Tempe

    Harga jual tempe RTI untuk kemasan 450gr dan 700gr adalah Rp5 500 dan

    Rp9 000 untuk setiap kemasan atau bila dihitung harga jual per-kg secara

    berurutan Rp12 222.2/kg (tempe kemasan 450gr) dan Rp12 857.1/kg (tempe

    kemasan 700gr). Harga ini diberlakukan oleh RTI sejak Januari 2013. Saat harga

    kedel