PENGARUH FREKUENSI TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL …eprints.ums.ac.id/32445/17/02. NASKAH...

17
PENGARUH FREKUENSI TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT EKSTENSOR WRIST PADA PENDERITA STROKE NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh : TRI PUJI LESTARI J120100038 PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

Transcript of PENGARUH FREKUENSI TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL …eprints.ums.ac.id/32445/17/02. NASKAH...

  

PENGARUH FREKUENSI TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE

STIMULATION TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT

EKSTENSOR WRIST PADA PENDERITA STROKE

NASKAH PUBLIKASI

Disusun oleh :

TRI PUJI LESTARI

J120100038

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2014

  

PENGARUH FREKUENSI TRANSCUTANEOUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT

EKSTENSOR WRIST PADA PENDERITA STROKE

Tri Puji Lestari Program studi S1 Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A Yani Tromol Pos 1 Pabelan, Kartasura Surakarta

ABSTRAK

Latar Belakang: Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu bagi orang yang selamat dari serangan stroke. Problematika pasca stroke gangguan sensomotorik yang paling mendasar yaitu meliputi gangguan motorik yang mengakibatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh abnormal tonus otot dan gangguan sensori yang mengakibatkan kelainan sensibilitas, perasaan gerak dan gangguan koordinasi. Kelemahan tangan maupun kaki akan mempengaruhi kontraksi otot sedangkan salah satu modalitas yang menimbulkan kontraksi otot kemudian menghasilkan peningkatan otot adalah NMES. Salah satu metode arus listrik dalam NMES menggunakan TENS. Sedangkan faktor yang mempengaruhi respon jaringan yaitu durasi dan ampitudo selain itu juga ada frekuensi dimana stimulus menimbulkan rangsang motorik menentukan bentuk kontraksi otot.

Tujuan: Untuk mengetahui keefektifan frekuensi TENS 10Hz, 30Hz dan 50Hz tehadap peningkatan otot ekstensor wrist pada penderita stroke.

Subjek: Sebanyak 3 responden yang mengambil dari komunitas di daerah Sragen dengan kondisi hemiparese pasca stroke pasien mendapatkan treatment TENS dengan frekuensi 10Hz satu pasien berumur 46 tahun, frekuensi 30Hz satu pasien berumur 58 tahun dan frekuensi 50Hz satu pasien berumur 72 tahun.

Metodologi Penelitian: Penelitian metode eksperimen dengan subjek singel-case research menggunakan desain A-B-A dan dianalisis menggunakan statistik deskriptif hasil penelitian disajikan dalam bentuk grafik.

Hasil: Frekuensi 10Hz pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist hari 1-18 hasilnya 15-23Kg dengan presentase 34%, pasien frekuensi 30Hz pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist hari 1-18 hasilnya 15,5-21,9Kg dengan presentase 29% dan pasien dengan frekuensi 50Hz pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist hari 1-18 hasilnya 14-21Kg dengan presentase 33%.

Kesimpulan: Dengan demikian frekuensi 10Hz nilai presentase 34% memberikan hasil yang maksimal

Kata kunci: Stroke, TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation), ekstensor wrist.

  

Pendahuluan

Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu bagi orang yang

selamat dari serangan stroke. WSO (Word Stroke Organisation, 2009)

menyatakan bahwa stroke adalah penyebab utama kualitas hidup yang buruk.

Stroke adalah salah satu penyakit kardiovaskuler yang mempengaruhi arteri

penting yang menuju ke otak, terjadi ketika pembuluh darah yang mengangkut

oksigen dan nutrisi menuju ke otak terblokir oleh bekuan maupun pecahan

sehingga otak tidak mendapat darah yang dibutuhkan, sehingga sel-sel otak

mengalami kematian. Akibat lanjut dari kematian jaringan otak ini dapat

menyebabkan hilangnya fungsi kendali sebuah jaringan.

Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan

kelemahan otot dan spastisitas kontralaterla, serta defisit sensorik(hemianestesia)

akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis. Kelemahan tangan

maupun kaki pada pasien stroke akan mempengaruhi kontraksi otot.

Berkurangnya kontraksi otot disebabkan karena berkurangnya suplai darah ke

otak belakang dan otak tengah, sehingga dapat menghambat hantaran jaras-jaras

utama antara otak dan medula spinalis. Kekuatan otot adalah kemampuan otot

atau group otot menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik

secara dinamis maupun statis. Pemulihan kekuatan otot masih menjadi masalah

utama yang dihadapi oleh pasien stroke yang mengalami hemiparesis. Pemulihan

fungsi ekstremitas atas lebih lambat dibandingkan dengan ekstremitas bawah

(Jyh-Geng, et al., 2005) sedangkan fungsi paling utama lengan dan tangan adalah

untuk berinteraksi dengan lingkungan (Krakauer, 2005).

Salah satu metode arus listrik yang digunakan dalam NMES dengan

menggunakan Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS). Tanggap

rangsan jaringan tubuh lebih ditentukan oleh durasi dan ampitudo stimulasi listrik

dan bukannya nama arus listrik yang digunakan. Faktor lain yang juga ikut

mempengaruhi respon jaringan ialah frekuensi, dimana pada stimulus yang

menimbulkan tanggap rangsang motorik frekuensi menentukan bentuk kontraksi

  

otot yaitu single brisk, parsial tetanik ataupun tetanik penuh. Frekuensi stimulus

yang diperlukan untuk menghasilkan kontraksi tetanik pada suatu kelompok otot

dikenal sebagai Critical Fusion Frequency (CFF).

Besarnya tergantung dari lokasi atau regio kelompok otot dan atau jenis

otot yang bersangkutan yaitu fasik atau tonik. Untuk otot fasik rentang CFF antara

30pps-100pps dan secara umum frekuensi pada tanggap rangsang motorik 10-

50Hz. Frekuensi dibagi menjadi tiga yaitu 10Hz, 30Hz dan 50Hz untuk

membandingkan pengaruh yang dihasilkan. Oleh karena itu peneliti tertarik

dengan NMES menggunakan arus TENS dengan frekuensi diatas diharapkan

mengetahui kefektifan dari tiga frekuensi tersebut dalam meningkatkan kekuatan

otot ekstensor wrist pada penderita stroke.

Landasan Teori

Stroke adalah penyakit kardiovaskuler yang mempengaruhi arteri penting

yang menuju ke otak, terjadi ketika pembuluh darah yang mengangkut oksigen

dan nutrisi menuju ke otak terblokir oleh bekuan atau pecahan sehingga otak tidak

mendapatkan darah yang dibutuhkan kemudian sel-sel otak mengalami kematian

(Rahayu, 2013). Akibat lanjut dari kematian sel otak ini dapat menyebabkan

hilangnya fungsi kendali sebuah jaringan yang di inervasi. Stroke terdiri dari tiga

stadium yaitu stadium akut, stadium recovery dan stadium residual (Kuntono,

2012). Stadium akut ditandai dengan abnormalitas tonus otot yaitu flaccid,

berlangsung antara 1 minggu sampai 3 minggu setelah serangan stroke. Kemudian

di ikuti stadium recovery berlangsung 3-6 bulan setelah serangan stroke dan

merupakan fase emas dimana perbaikan akan cepat sekali namun pada fase ini

akan muncul pola sinergi (spastik). Setelah stadium recovery di ikuti fase residual

yaitu diatas 8 bulan dan 1 tahun pasca serangan stroke. Fase residual terjadi

  

perubahan tonus yang abnormal yang ditandai dengan peningkatan tonus. Berupa

hypotonus dan hypertonus. Hypotonus (flaccid) : Tidak ada tahanan pada gerakan

pasif, Terasa berat bila ekstremitas diangkat, Tidak dapat mempertahankan posisi.

Hypertonus (spastik) : Terdapat tahanan terhadap gerakan pasif, besarnya tahanan

sebanding dengan kecepatan gerakan pasif yang diberikan. Otak bisa dianalogikan

dengan otot, dimana semakin diaktifkan semakin baik hasil yang diperoleh.

Neural plastisitas dapat terjadi tidak hanya pada pemulihan kemampuan motorik

melainkan juga pada kemampuan memori, penglihatan dan bicara. Neural

plastisitas dapat terus terjadi pada beberapa tahun setelah stroke (Setiawan,

2012).

Otot dalam berkontraksi untuk menghasilkan tegangan memerlukan suatu

kekuatan. Kekuatan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia dan

jenis kelamin, selain faktor tersebut masih ada faktor lain yaitu faktor biomekanik,

faktor neuromuscular, faktor metabolisme dan faktor psikologis. Kekuatan otot

adalah kemampuan otot atau group otot menghasilkan tegangan dan tenaga

selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun secara statis (Kisner, 2007).

NMES sudah lama digunakan oleh kalangan fisioterapi sebagai salah satu

cara untuk menghasilkan kontraksi otot secara buatan yang disebabkan otot atau

syaraf mengalami kelainan, gangguan, ataupun cidera. Dalam pelayanan

rehabilitasi dan fisioterapi, NMES digunakan untuk mendidik kembali fungsi otot,

membantu kontraksi otot, menguatkan otot, memelihara massa dan daya ledak

otot selama immobilisasi yang lama dan untuk mencegah terjadinya athropy dan

kelemahan otot pada pasien dengan penyakit kronis (Lake, 1992; Mackler et al,

  

1995; Piva et al, 2007). NMES yang diberikan selama 4 minggu dengan 3 kali

dalam satu minggu dapat meningkatkan pergerakan dan aktifasi dari otot

bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot (Seyri et al, 2011).

Salah satu arus listrik yang digunakan dalam NMES adalah TENS

(Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation). TENS adalah merupakan suatu

cara penggunaan energi listrik guna merangsang sistem saraf melalui permukaan

kulit (Parjoto, 2006). Jenis arus TENS untuk menghasilkan kontraksi otot

dibutuhkan fase durasi dan frekuensi yang tepat. Tanggap rangsang jaringan tubuh

lebih ditentukan oleh durasi dan ampitudo stimulasi listrik dan bukannya nama

arus listrik yang digunakan. Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi respon

jaringan ialah frekuensi, dimana pada stimulus yang menimbulkan tanggap

rangsang motorik frekuensi menentukan bentuk kontraksi otot yaitu single brisk,

parsial tetanik ataupun tetanik penuh. Frekuensi stimulus yang diperlukan untuk

menghasilkan kontraksi tetanik pada suatu kelompok otot dikenal sebagai Critical

Fusion Frequency (CFF). Frekuensi yang menghasilkan kontraksi otot adalah 30-

80Hz sementara tanggap rangsang jaringan frekeunsi untuk motorik adalah 10-

50Hz sehingga peneliti menggunakan frekeunsi 10Hz, 30Hz, dan 50Hz. Pengaruh

fisiologis stimulasi listrik terhadap jaringan tubuh sebagai berikut: (Alon G,

1987)Tingkat jaringan : 1) Kontraksi otot rangka dan efeknya terhadap kekuatan

otot, kecepatan kontraksi serta daya tahan terhadap kelelahan, 2) Kontraksi otot-

otot polos dan rileksasi yang berdampak pada aliran di arteri maupun vena, 3)

Regenerasi jaringan, termasuk tulang, ligamen, jaringan ikat dan kulit, 4)

Remodeling jaringan termasuk pelunakan, penguluran penurunan viskositas serta

  

penyerapan cairan dari rongga sendi dan rongga interstisial, 5) Perubahan suhu

jaringan dan keseimbangan kimiawi.

Adanya impuls pada motor neuron yang menyebabkan aksi potensial dapat

menimbulkan kontraksi otot disarafinya. Karena setiap otot memiliki beberapa

motor unit, dimana mengikuti hukum lengkap atau tidak sama sekali (All or none)

yang berarti hasilnya sama. Kemudian jumlah motor unit yang aktif menentukan

kekuatan kontraksi otot yang terjadi yaitu : 1) Kontraksi otot skelet terjadi oleh

karena adanya depolarisasi sel motoris yang mencapai aksi potensial sehingga

terjadi perjalanan impuls pada serabut syaraf motoris yang menimbulkan

kontraksi otot. Kontraksi otat terjadi oleh karena adanya aktifasi alpha motor

neuron pada ekstrafusal. Kontraksi ekstrafusal akan memfasilitasi gamma motor

neuron untuk mempertahankan tonus otot, sehingga selama berkontraksi tonus

otot dalam keadaan meningkat. 2) Meningkatkan kekuatan otot bahwa kontraksi

otot akibat stimulasi listrik ditentukan oleh jumlah motor unit yang terangsang

stimulasi tersebut. 3) Kemudian untuk relaksasi otot , kontraksi otot menghasilkan

metabolik dan meningkatkan enzym oksidasi dimana akam memacu vasodilatasi

pada otot yang bersangkutan, sehingga pertukaran metabolisme menjadi lancar

dan otot menjadi rileks. Adanya kontraksi yang berulang-ulang maka akan terjadi

aktifasi alpha motor neuron dan akan menghambat gamma motor neuron sehingga

otot menjadi rileks dan tonus otot menjadi terkontrol.

  

Metodologi Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimen dengan pendekatan metode

penelitian single-case research menggunakan desain A-B-A dan dianalisis

menggunakan statistik deskriptif hasil penelitian disajikan dalam bentuk grafik.

Hasil Penelitian

a. Pasien dengan frekuensi 10Hz atas nama Tn.G

Tabel 4.2 pengukuran dengan handgrip dinamometers satuan Kg

Tn.G pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist dengan handgrip dinamometers

1 2 3 4 5 6 7 8 9

15 15 15 17,8 17,8 18 18 18 19,2

10 11 12 13 14 15 16 17 18

21,3 22,5 22,5 22,8 22,8 23 23 23 23

Ket: Warna biru : fase baseline A1

Warna merah : fase treatment B

Warna hijau : fase baseline A2

Grafik 4.1 hasil pengukuran ekstensor wrist dengan handgrip

dinamometers pada frekuensi 10Hz

0

5

10

15

20

25

hari1

hari2

hari3

hari4

hari5

hari6

hari7

hari8

hari9

hari10

hari11

hari12

hari13

hari14

hari15

hari16

hari17

hari18

A1                       B                       A2

10 hz 

  

Dari data pasien Tn.G fase baseline A1 dalam pengukuran ke- 1-3

nilai kekuatan otot 15Kg, fase treatment mengalami peningkatan pada

pengukuran ke- 4-15 nilai kekuatan otot 17,8-23Kg dan fase baseline

A2 pada pengukuran ke 16-18 nilai kekuatan otot 23Kg.

b. Pasien dengan frekuensi 30Hz atas nama Tn.W

Tabel 4.3 pengukuran dengan handgrip dinamometers satuan Kg

Tn.W pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist dengan handgrip dinamometers

1 2 3 4 5 6 7 8 9

15,5 15,5 15,5 15,5 15,5 15,7 15,7 16 16,5

10 11 12 13 14 15 16 17 18

17,1 17,7 18 20,5 21 21,9 21,9 21,9 21,9

Ket: Warna biru : fase baseline A1 Warna merah : fase treatment B

Warna hijau : fase baseline A2

Grafik4.2 hasil pengukuran ekstensor wrist dengan handgrip

dinamometers pada frekuensi 30Hz

0

5

10

15

20

25

hari1

hari2

hari3

hari4

hari5

hari6

hari7

hari8

hari9

hari1

0hari1

1hari1

2hari1

3hari1

4hari1

5hari1

6hari1

7hari1

8

A1   B A2

30hz

  

Dari data pasien Tn.W fase baseline A1 pada pengukuran ke-1-3

nilai kekuatan otot 15,5Kg, fase treatment mengalami peningkatan

pada pengukuran ke- 4-15 nilai kekuatan otot 15,5-21,9Kg dan fase

baseline A2 pada pengukuran ke- 16-18 nilai kekuatan otot 21,9Kg.

c. Pasien dengan frekuensi 50Hz atas nama Tn.S

Tabel 4.4 pengukuran dengan handgrip dinamometers satuan Kg

Tn.S pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist dengan handgrip dinamometers

1 2 3 4 5 6 7 8 9

14 14 14 14 14 14,5 15 16 16,8

10 11 12 13 14 15 16 17 18

17,7 18,6 20,5 20,5 20,5 21 21 21 21

Ket: Warna biru : fase baseline A1 Warna merah : fase treatment B

Warna hijau : fase baseline A2

Grafik 4.3 hasil pengukuran ekstensor wrist dengan handgrip

dinamometers pada frekuensi 50Hz

0

5

10

15

20

25

hari1

hari2

hari3

hari4

hari5

hari6

hari7

hari8

hari9

hari1

0hari1

1hari1

2hari1

3hari1

4hari1

5hari1

6hari1

7hari1

8

A1  B  A2

50hz

  

Dari data pasien Tn.S fase baseline A1 pada pengukuran ke- 1-3

nilai kekuatan otot 14Kg, fase treatment mengalami peningkatan pada

pengukuran ke- 4-15 nilai kekuatan otot 14-21Kg dan fase baseline A2

pada pengukuran ke- 16-18 nilai kekuatan otot 21Kg.

Berikut pembahasan untuk mengetahui pengaruh frekuensi TENS

terhadap peningkatan kekuatan otot ekstensor wrist pada penderita stroke.

Berdasarkan grafik 4.4 pada responden diberikan TENS dengan

frekuensi 10Hz, 30Hz, dan 50Hz mengalami perbedaan peningkatan

kekuatan otot ekstensor wrist pada pasien pasca stroke. Dari hasil baseline

A1 pada Tn.G nilai kekuatannya 15Kg pengukuran ke- 1-3, dari hasil

treatment nilai kekuatan 17,8-23Kg pengukuran ke- 4-15 dan pada A2

nilai kekuatan 23Kg pengukuran ke- 16-18. Jadi pengukuran dari 1-18

nilainya 15-23Kg dengan presentase 34%. Kemudian Tn.W nilai

kekuatannya 15,5Kg pengukuran ke- 1-3, dari hasil treatment nilai

kekuatan 15,5-21,9Kg pengukuran ke- 4-15 dan pada A2 nilai kekuatan

21,9Kg pengukuran ke- 16-18. Jadi pengukuran dari 1-18 nilainya 15,5-

21,9Kg dengan presentase 29%. Sedangkan Tn.Snilai kekuatannya 14Kg

A1  B 

0

5

10

15

20

25

hari1

hari2

hari3

hari4

hari5

hari6

hari7

hari8

hari9

hari10

hari11

hari12

hari13

hari14

hari15

hari16

hari17

hari18

10hz

30hz

50hz

A2

  

pengukuran ke- 1-3, dari hasil treatment nilai kekuatan 14-21Kg

pengukuran ke- 4-15 dan pada A2 nilai kekuatan 21Kg pengukuran ke-

16-18. Jadi pengukuran dari 1-18 nilainya 14-21Kg dengan presentase

33%.

Hasil dari penelitian menunjukan perubahan peningkatan kekuatan

paling cepat yaitu pada frekuensi 10Hz pengukuran hari ke- 1-18 yaitu

15-23Kg dengan presentase 34%, dimana pada frekuensi 10Hz tejadi 10

gelombang perdetiknya terjadi fase istirahat yang banyak untuk

memulihkan energi dalam berkontraksi lagi. Frekuensi 30Hz pengukuran

hari ke- 1-18 yaitu 15,5-21,9Kg dengan presentase 29%, dimana pada

frekuensi 30Hz terjadi 30 gelombang perdetiknya terjadi fase istirahat

sedikit untuk pemulihan energi kurang sementara banyak kontraksi pada

spastik akan terjadi cepat lelah. Spastik adalah suatu keadaan dimana

tonus otot lebih tinggi dari normal akibat hilangnya kontrol supra spinal

terhadap aktifitas stretch reflek. Sehingga menimbulkan nyeri oleh adanya

rangsangan nosireseptor karena beban mekanik otot. Dari stimulasi

elektris akan menghambat aktivitas nociceptor pada tingkat spinal,

mengaktivasi kontrol gerbang terjadilah pengurangan nyeri. Kondisi

spastik stimulus elektris menurunkan spastisitas melalui mekanisme

resiprocal inhibition. Pada saat stimulasi diberikan susunan saraf tepi

kepada antagonis, jumlah besar berdiameter muscle spindel afferen fiber

akan terbangkitkan. Potensial aksi yang dibangkitkan afferen fiber ini akan

ditransmisikan ke spinal cord dan membangkitkan spinal interneurons

  

yang selanjutnya akan menghambat aktivitas motor neuron terhadap yang

spastik. Sedangkan frekuensi 50Hz pengukuran hari ke- 1-18 yaitu 14-

21Kg dengan presentase 33%, dimana pada frekuensi 50Hz terjadi

gelombang 50 perdetiknya terjadi fase istirahat yang sedikit dalam

berkontraksi sehingga cepat lelah otot yang distimulasi.

Muscle re-education and fascilitation pada stimulasi elektris prisipnya

menimbulkan kontraksi otot, pemasangan satu elektrode pada origo di tonjolan

suprakondilar lateral pada humerus distal dan satu lagi insersio di bagian posterior

pada dasar metacarpal kedua sisi radial sehingga akan merangsang golgi tendon

dan muscle spindle. Rangsangan pada muscle spindle dan golgi tendon akan

diinformasikan melalui afferent ke susunan saraf pusat sehingga akan

mengkontribusikan fasilitasi dan inhibisi. Rangsangan elektris yang diulang-ulang

akan memberikan informasi ke supra spinal mechanism sehingga terjadi pola

gerak terintegrasi dan menjadi gerakan – gerakan pola fungsional. Stimulasi

elektris melalui saraf motorik perifir melatih fungsi tangan graps dan release serta

dapat memberikan fasilitasi pada otot yang lemah dalam melakukan gerakan.

TENS pada kutub positif akan merangsang alpha motorneuron untuk aktif dan

mengaktifasi serabut otot berdiameter besar, terjadi potensial aksi pada kutub

negatif memberikan rangsangan pada motor unit. Terjadi kontraksi otot berulang-

ulang atau statik kontraksi, menghasilkan ketegangan otot berulang-ulang

sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot (currier, 1998).

  

Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil analisa single-case reseacrh dengan desain A-B-

A dapat diambil kesimpulan :

1. Terdapat perbedaan hasil antara frekuensi 10Hz, 30Hz dan 50 Hz.

2. Frekuensi 10Hz pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist hari 1-18

hasilnya 15-23Kg dengan presentase 34%, pasien frekuensi 30Hz

pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist hari 1-18 hasilnya 15,5-

21,9Kg dengan presentase 29% dan pasien dengan frekuensi 50Hz

pengukuran kekuatan otot ekstensor wrist hari 1-18 hasilnya 14-21Kg

dengan presentase 33%.

3. Dengan demikian frekuensi 10Hz nilai presentase 34% memberikan

hasil yang maksimal.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik lagi perlu

memperbanyak responden.

2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan berbagai model dan

metode dalam aplikasi stimulasi listrik dalam meningkatkan kekuatan otot

pasien pasca stroke.

3. Perlu memperhatikan umur, jenis kelamin, masa stroke dan jenis stroke

untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih akurat dan baik.

4. Pada penelitian selanjutnya menggunakan frekuensi 50Hz untuk pasien

yang berumur muda, 30Hz untuk pasien berumur 50th sedangkan

frekuensi 10Hz untuk pasien berumur tua supaya dapat melihat perbedaan

hasil.

  

Daftar Pustaka

Alon G, Principles of Electrical Stimulation, In: Nelson, MR Currier PD Clinical Electrotherapy, Appleton & Lange, California, 1987.

Currier, D.P. 1998. Clinical Electrotherapy: Neuromuscular Stimulation for Improving Muscular Strength and Blood Flow, and Influencing Changes. USA. Pratice Hall.

Jyh-Geng, Yen1, Ray-Yau Wang, Hsin-Hung, Chen, Chi-Tzong Hong. 2005. Effectiveness of Modified Constraint-Induced Movement Therapy on Upper Limb Function in Stroke Subjects. Acta Neurologica Taiwanica. Vol 14 (No1): 16-20.

Kisner, Carolin. 2007. Buku therapeutic exercise. Printed in the united States of American.

Krakauer J W. 2005. Arm Function after Stroke: From Physiology to Recovery. Seminar in neurology. Vol. 25(4): 384-95.

Kuntono H P. 2012. FES pasca stroke, Dalam Handout kuliah FT C pusat jurusan S1 fisioterapi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, surakarta.

Lake, DA. 1992. Neuromuscular Electrical Stimulation, An overview and its application in the treatment of sport Injuri. Sport Med 13: 320. 1992.

Parjoto S. 2006. Terapi Listrik untuk Modulasi Nyeri. Semarang. Ikatan Fisioterapi Indonesia Cabang Semarang.

Rahayu, U.B. 2013. Dalam Seminar Meningkatkan Kualitas Hiidup Pasca Stroke. Auditorium M. Djasman Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Setiawan. 2012. Teori Plastisitas. Dalam Hand-Out Kuliah jurusan S1 fisioterapi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Seyri, K.M. & Maffiuletti, N. 2011. Effect of electromyostimulation training on muscle strength and sports performance. Strength and Conditioning Journal: Feb 2011;33,1;ProQuest Research Library pg.70.