PENGARUH FRAKSI EKSTRAK DAUN SIRIH MERAH …digilib.unila.ac.id/23373/3/SKRIPSI TANPA BAB...
Transcript of PENGARUH FRAKSI EKSTRAK DAUN SIRIH MERAH …digilib.unila.ac.id/23373/3/SKRIPSI TANPA BAB...
PENGARUH FRAKSI EKSTRAK DAUN SIRIH MERAH DAN SIRIH
HIJAU TERHADAP PERTUMBUHAN KOLONI, SPORULASI
DAN PERKECAMBAHAN SPORA Colletotrichum musae
(Berkeley et Curtis) Arx SECARA IN VITRO
(Skripsi)
Oleh
Fransiskus Ellyando Sinaga
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
ABSTRAK
PENGARUH FRAKSI EKSTRAK DAUN SIRIH MERAH DAN SIRIH
HIJAU TERHADAP PERTUMBUHAN KOLONI, SPORULASI
DAN PERKECAMBAHAN SPORA Colletotrichum musae
(Berkeley et Curtis) Arx SECARA IN VITRO
Oleh
FRANSISKUS ELLYANDO SINAGA
Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyakit yang menyerang buah pisang.
Penyakit pascapanen ini disebabkan oleh Colletotrichum musae. Salah satu
alternative yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan penyakit tersebut
adalah dengan menggunakan fungisida nabati. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh fraksi ekstrak daun sirih merah dan hijau terhadap
pertumbuhan koloni, sporulasi, dan perkecambahan spora C. musae. Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas
Lampung pada bulan September hingga November 2015. Penelitian disusun
dalam Rancangan Acak Lengkap dengan enam perlakuan dalam empat ulangan.
Perlakuan tersebut adalah fungisida kimiawi berbahan aktif iprodion, kontrol,
fraksi sirih merah dalam pelarut akuades, fraksi sirih merah dalam pelarut alkohol,
fraksi sirih hijau dalam pelarut akuades dan fraksi sirih hijau dalam pelarut
alkohol. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam,
kemudian dilanjutkan dengan Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf 5%.
Fransiskus Ellyando Sinaga
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi ekstrak daun sirih merah dan hijau
dalam pelarut alkohol mampu menekan dan menghambat pertumbuhan koloni,
sporulasi, dan perkecambahan spora C. musae. Penggunaan pelarut alkohol dalam
proses ekstraksi memberikan hasil yang berbeda dengan penggunaan pelarut
akuades. Daun sirih merah dan hijau yang diekstraksi dengan pelarut alkohol
terbukti mampu menekan dan menghambat pertumbuhan koloni, sporulasi, dan
perkecambahan spora C. musae.
Kata kunci: Colletotrichum musae, daun sirih merah, daun sirih hijau, pelarut
alkohol, pelarut akuades.
PENGARUH FRAKSI EKSTRAK DAUN SIRIH MERAH DAN SIRIH
HIJAU TERHADAP PERTUMBUHAN KOLONI, SPORULASI
DAN PERKECAMBAHAN SPORA Colletotrichum musae
(Berkeley et Curtis) Arx SECARA IN VITRO
Oleh
FRANSISKUS ELLYANDO SINAGA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
Pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Muara Bungo pada tanggal 05 November 1993. Penulis
merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak K. Sinaga dengan Ibu Lopian Donata
Turnip. Pendidikan formal awal penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak Pertiwi
Rimbo Bujang, Kecamatan Wirotho Agung, Kabupaten Tebo (1998-1999). Penulis
kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri 195 Rimbo Bujang
(1999-2005). Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Tebo
(2005-2008) lalu menuju Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Tebo (2008-2011). Pada
tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Agroteknologi Fakultas
Pertanian Strata 1 (S1) Reguler Mandiri Universitas Lampung melalui jalur Ujian
Masuk Lokal Perguruan Tinggi Negeri (UMLPTN).
Penulis pernah menjadi anggota aktif Persatuan Mahasiswa Agroteknologi (PERMA
AGT) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian (DPM-F). Kontribusi
penulis sewaktu menjadi anggota aktif PERMA AGT adalah sebagai anggota bidang
Dana dan Usaha (2012-2013), anggota bidang Kaderisasi (2013/2014), dan
Penanggung Jawab Sementara PERMA AGT (2014/2015). Sedangkan kontribusi
penulis untuk DPM-F adalah sebagai anggota komisi C (2013/2014). Pada tahun
2014 penulis melaksanakan mata kuliah Praktik Umum (PU) di Balai Besar
viii
Penelitian Tanaman Padi Subang Jawa Barat dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa
Margasari, Kecamatan Gunung Terang, Kabupaten Tulang Bawang Barat pada tahun
2015.
Belajarlah dimana ada kearifan, dimana kekuatan, dan dimana pengertian.
Supaya sekaligus kau ketahui tempat umur panjang dan kehidupan,
tempat cahaya mata dan damai sejahtera.
(Barukh 3 : 14)
Seseorang tidak akan pernah belajar apapun,
jika ia tidak merendahkan hati terlebih dahulu.
(Unknown)
Cukuplah kematian sebagai pelajaran bagimu.
(Ibnul Khattab)
When you compare them to the poor caged birds that
have forgotten to fly, crows are much better.
Being a Crow is good enough for me.
(Genji Takiya – Crows Zero II)
Pikiran adalah kumpulan persepsi, perhitungan, kenangan, insting,
tapi akhirnya keputusan terpenting tidak dibuat oleh pikiran kita.
Dimana kita menemukan hal terdalam dari kecerdasan kita,
semuanya berasal dari dalam hati.
(Dr. Cassidy – Intelligence)
PERSEMBAHAN
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Kupersembahkan karya ini dengan diiringi penuh rasa
syukur dan bangga sebagai ungkapan hormat, kasih sayang,
dan baktiku kepada:
“Ibu dan Ayah”
yang senantiasa selalu menjadi sumber penyemangat,
pemberi motivasi, serta doa bagi penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dan juga teruntuk Sahabat seperjuangan, serta
ALMAMATER TERCINTA
xi
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan atas segala berkat,
dan limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Melalui tulisan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak
yang telah terlibat dalam membantu penulisan skripsi dan juga dalam pelaksanaan
penelitian, yaitu kepada:
1. Bapak Ir. Joko Prasetyo, M. S., selaku Pembimbing Utama yang telah
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, saran, nasihat, dan ilmu selama
penulis melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Bapak Ir. Efri, M.S., selaku Pembimbing Kedua atas bimbingan, motivasi,
saran, nasihat, pemikiran, dan ilmu dalam proses menyelesaikan skripsi.
3. Bapak Dr. Radix Suharjo, S.P., M.Agr., selaku Pembahas dan dosen
pembimbing akademik atas segala ilmu, nasehat, saran, dan pengarahan yang
telah diberikan.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.S., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
5. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
xii
6. Bapak dan Mama tercinta untuk segala doa, kasih sayang, kesabaran,
pengorbanan, dukungan, dan cinta yang tak pernah putus dan usang kepada
penulis dalam setiap langkah untuk menggapai cita-cita.
7. Teman-teman dalam berbagai kisah dan cerita perjuangan Arbi, Nia, Felix,
Galih, Putri, Fransiska, Ika, Eka, Mifta, Mas Jul, Mas Yudi, Bayu, Mas Ari,
Kak Arman, Mas Andre, Yoga, Firdaus, Wiwit, Lita, Risa, Nisya, Yohan,
Thoriq, Hanna, Cindy, Silvia dan Mas Su untuk semua tawa, canda, tangis, dan
getir dalam menggapai angan dan mimpi.
8. Rekan-rekan Agroteknologi 11”, senior, dan adik-adik yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu.
Semoga Tuhan selalu memberkati, melindungi, dan melimpahkan rahmat kepada
kalian semua, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang membaca.
Bandar Lampung, Agustus 2016
Penulis,
Fransiskus Ellyando Sinaga
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvii
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang dan Masalah ............................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
1.3. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 4
1.4. Hipotesis .............................................................................................. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 7
2.1. Pisang .................................................................................................. 7
2.2. Penyakit Antraknosa ........................................................................... 13
2.3. Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) ......................................... 18
2.4. Sirih Hijau (Piper betle Linn) ............................................................. 20
III. BAHAN DAN METODE ........................................................................ 23
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 23
3.2. Bahan dan Alat .................................................................................... 23
3.3. Metode Penelitian............................................................................... 24
3.4. Pelaksanaan Penelitian ........................................................................ 24
3.5. Pengamatan ......................................................................................... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 30
4.1 Hasil Penelitian ................................................................................... 30
4.2 Pembahasan ......................................................................................... 34
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 40
xiv
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 40
5.2 Saran ................................................................................................... 41
PUSTAKA ACUAN ....................................................................................... 42
LAMPIRAN .................................................................................................... 45
xv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Pengaruh ekstrak sirih merah dan sirih hijau terhadap pertumbuhan koloni
C. musae ...................................................................................................... 30
2. Pengaruh ekstrak sirih merah dan sirih hijau terhadap sporulasi
C. musae ...................................................................................................... 32
3. Pengaruh ekstrak sirih merah dan sirih hijau terhadap perkecambahan
spora C. musae ............................................................................................ 33
4. Uji homogenitas pertumbuhan koloni Colletotrichum musae pada 2 hsi ... 46
5. Analisis ragam pertumbuhan koloni C. musae pada 2 hsi .......................... 46
6. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pertumbuhan koloni C. musae pada 2 hsi
.......................................................................................................................... 46
7. Uji homogenitas pertumbuhan koloni Colletotrichum musae pada 3 hsi ... 47
8. Analisis ragam pertumbuhan koloni C. musae pada 3 hsi .......................... 47
9. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pertumbuhan koloni C. musae pada 3 hsi
.......................................................................................................................... 48
10. Uji homogenitas pertumbuhan koloni Colletotrichum musae pada 4 hsi .. 48
11. Analisis ragam pertumbuhan koloni C. musae pada 4 hsi ........................ 49
12. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pertumbuhan koloni C. musae pada 4 hsi
.......................................................................................................................... 49
13. Uji homogenitas pertumbuhan koloni Colletotrichum musae pada 5 hsi
.......................................................................................................................... 49
14. Analisis ragam pertumbuhan koloni C. musae pada 5 hsi ........................ 50
xvi
15. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pertumbuhan koloni C. musae pada 5 hsi
.......................................................................................................................... 50
16. Uji homogenitas pertumbuhan koloni Colletotrichum musae pada 6 hsi
.......................................................................................................................... 50
17. Analisis ragam pertumbuhan koloni C. musae pada 6 hsi ........................ 51
18. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pertumbuhan koloni C. musae pada 6 hsi
.......................................................................................................................... 51
19. Uji homogenitas pertumbuhan koloni Colletotrichum musae pada 7 hsi
.......................................................................................................................... 52
20. Analisis ragam pertumbuhan koloni C. musae pada 7 hsi ........................ 52
21. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pertumbuhan koloni C. musae pada 7 hsi
.......................................................................................................................... 52
22. Uji homogenitas pertumbuhan koloni Colletotrichum musae pada 8 hsi
.......................................................................................................................... 53
23. Analisis ragam pertumbuhan koloni C. musae pada 8 hsi ........................ 53
24. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pertumbuhan koloni C. musae pada 8 hsi
.......................................................................................................................... 54
25. Uji homogenitas pertumbuhan koloni Colletotrichum musae pada 9 hsi
.......................................................................................................................... 54
26. Analisis ragam pertumbuhan koloni C. musae pada 9 hsi ........................ 55
27. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pertumbuhan koloni C. musae pada 9 hsi
.......................................................................................................................... 55
28. Uji homogenitas pertumbuhan koloni Colletotrichum musae pada 10 hsi
.......................................................................................................................... 55
29. Analisis ragam pertumbuhan koloni C. musae pada 10 hsi ...................... 56
30. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pertumbuhan koloni C. musae pada 10 hsi
.......................................................................................................................... 56
31. Uji homogenitas kerapatan spora Colletotrichum musae pada 15 hsi ...... 56
32. Analisis ragam kerapatan spora C. musae pada 15 hsi ............................ 57
33. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) kerapatan spora C. musae pada 15 hsi ... 57
xvii
34. Uji homogenitas perkecambahan spora Colletotrichum musae pada 16 hsi
.......................................................................................................................... 58
35. Analisis ragam perkecambahan spora C. musae pada 16 hsi .................... 58
36. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) perkecambahan spora C. musae pada 16 hsi
.......................................................................................................................... 58
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Buah pisang ................................................................................................. 7
2. Tanaman pisang .......................................................................................... 9
3. Konidia Colletotrichum musae ................................................................... 15
4. Daun Sirih Merah ........................................................................................ 19
5. Daun Sirih Hijau ......................................................................................... 21
6. Ilustrasi pertumbuhan koloni jamur ............................................................. 27
7. Hifa dan konidia Colletotrichum musae pada perbesaran 400x .................. 60
8. Koloni C. musae pada umur 10 hari ............................................................ 60
9. Konidia C. musae pada pengamatan kerapatan spora 15 hsi dengan perbesaran
400x ............................................................................................................. 61
10. Konidia C. musae yang berkecambah pada 16 hsi dengan perbesaran 400x
.......................................................................................................................... 61
11. Inokulasi patogen ke media PSA ............................................................... 62
12. Proses isolasi dan aplikasi .......................................................................... 62
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Pisang (Musa spp.) merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura. Hasil dari
tanaman ini yang paling umum dimanfaatkan adalah bagian buahnya. Buah
pisang biasa dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia. Buah pisang
merupakan produk hortikultura yang memiliki kandungan gizi yang cukup
beragam. Kandungan gizi buah pisang diantaranya adalah vitamin (A, B1 dan C),
mineral (kalium, natrium, chlor, magnesium, fosfor) dan karbohidrat 25%.
Senyawa-senyawa tersebut merupakan senyawa yang mudah dicerna oleh tubuh
(Nuryani dan Soedjono,1999 dalam Rumahlewang dan Amanupunyo, 2012).
Menurut Hadi (2005) dalam Rumahlewang dan Amanupunyo (2012), pisang
merupakan tanaman asli Asia Tenggara dan banyak tersebar di daerah tropis,
termasuk Indonesia. Hampir diseluruh Indonesia kita dapat menjumpai tanaman
pisang. Di Indonesia banyak masyarakat maupun perusahaan yang bergerak di
bidang pertanian yang membudidayakan tanaman pisang. Indonesia merupakan
negara penghasil pisang ke-4 didunia. Produksi buah pisang secara kesuluruhan
di Indonesia pada tahun 2014 adalah 7.008 407 ton (Badan Pusat Statistik, 2014).
2
Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia (2012), pisang memberikan kontribusi
terhadap produksi buah nasional yang mencapai 34% yaitu 6.189.052 ton dari
16.348.456 ton produksi buah nasional. Sebaran daerah produksi pisang hampir
di seluruh wilayah di Indonesia, dengan sebaran produksi tertinggi berada di
Pulau Jawa, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu sebesar 5.108.377
ton atau 63,7% dari total produksi pisang nasional, sedangkan didaerah lainnya
seperti Lampung, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan sebesar 940.390 ton atau
19,3%, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara sebesar 6%,
sisanya dari Nusa Tenggara, Bali dan Kalimantan.
Mengingat tingginya minat masyarakat terhadap buah pisang sebagai buah segar
yang dapat langsung dikonsumsi, maka berbagai usaha dilakukan untuk
meningkatkan produksi buah pisang. Namun upaya tersebut menemui hambatan
karena adanya berbagai kendala, salah satunya adalah serangan Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT). Salah satu OPT tersebut adalah Colletotrichum
musae, penyebab penyakit Antraknosa. Penyakit Antraknosa merupakan penyakit
pasca panen pada buah pisang. Penyakit tersebut akan menurunkan kualitas buah
pisang karena buah pisang membusuk dan rusak sebelum matang sempurna.
Penyakit ini terdapat pada semua negara penghasil pisang dunia dan merupakan
penyakit terpenting pada buah. Patogen dapat menyerang buah muda (mentah)
maupun buah yang tua (matang), tetapi gejala baru muncul tidak pada buah
matang. Gejala yang ditimbulkan pada permukaan kulit buah menyebabkan buah
tidak menarik untuk dikomsumsi. Semua kultivar dapat diganggu oleh patogen
3
ini, meskipun ketahanan atau kerentanannya berbeda antara satu kultivar dengan
kultivar lainnya (Semangun, 2007).
Berbagai metode pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman
varietas/klon yang tahan, pengendalian hayati, maupun pengendalian kimiawi.
Namun kecenderungan yang selama ini terjadi justru para petani menggunakan
fungisida sintetis pada tanaman hortikultura. Metode pengendalian tersebut
dipandang praktis dan cepat, hanya saja metode pengendalian dengan
menggunakan fungisida sintetis memberikan dampak negatif seperti mencemari
lingkungan, membunuh organisme bukan sasaran, maupun menimbulkan
resistensi terhadap OPT.
Alternatif lain yang dapat digunakan yaitu metode pengendalian yang lebih ramah
lingkungan dan aman bagi kesehatan manusia. Metode pengendalian dengan
memanfatkan ekstrak tumbuhan yang telah diketahui mampu menekan
perkembangan dan pertumbuhan patogen sebagai fungisida nabati.
Menurut Barus (2007), ekstrak daun sirih dan daun nimba efektif dalam menekan
penyakit karat daun pada tanaman kedelai. Akan tetapi, penggunaan daun sirih
untuk mengendalikan penyakit pascapanen belum banyak dilakukan dan belum
memuaskan. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan penelitian terhadap potensi
sirih merah dan sirih hijau sebagai fungisida nabati untuk mengendalikan C.
musae, penyebab penyakit Antraknosa pada buah pisang di penyimpanan.
4
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fraksi ekstrak daun sirih
merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) dan daun sirih hijau (Piper betle L.) terhadap
pertumbuhan, sporulasi, dan perkecambahan spora Colletotrichum musae secara
in vitro.
1.3 Kerangka Pemikiran
Fungisida nabati merupakan fungisida yang berasal dari ekstrak tanaman hidup
dan mampu menekan pertumbuhan jamur penyebab penyakit (patogen) serta
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan fungisida sintetis. Fungisida nabati
mengandung komponen kimia yang ramah terhadap lingkungan karena residu
yang dihasilkan mudah terdegradasi di alam. Keunggulan lainnya dari fungisida
nabati yaitu tidak berbahaya bagi manusia apabila terjadi kontak.
Salah satu jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai bahan ekstraksi fungisida
nabati adalah tanaman dari golongan famili Piperaceae. Contoh tanaman dari
famili Piperaceae adalah tanaman sirih. Daun sirih mengandung minyak atsiri
yang diketahui bersifat aktif biologis sebagai anti bakteri dan anti jamur.
Kandungan senyawa kimia minyak atsiri pada daun sirih sekitar 0,8 - 1,8 %
(terdiri atas chavikol, chavibetol (betel phenol), allylprocatechol
(hydroxychavikol), allypyrocatechol-mono dan diacetate, karvakrol, eugenol,
5
p.cymene, cineole, caryophyllene, cadinene, esragol, terpenena, seskuiterpena,
fenil propane, tannin, diastase, karoten, tiamin, riboflavin, asam nikotinat,
vitamin C, gula, pati dan asam amino (Arsensi, 2012).
Menurut hasil penelitian Parwata (2009) bahwa kandungan minyak atsiri pada
daun sirih, rimpang lengkuas, rimpang temu kunci, dan kunyit berperan dalam
aktivitas antijamur. Aktivitas tersebut diduga disebabkan karena adanya senyawa
fenolik bermolekul rendah yang banyak terdapat pada minyak atsiri tersebut.
Hasil penelitian Satryawibowo (2014) menunjukkan bahwa ekstrak daun sirih
mampu menekan pertumbuhan dan perkembangan jamur Colletotrichum capsici.
Jamur tersebut merupakan patogen dari penyakit Antraknosa pada tanaman cabai.
Menurut Arsensi (2012), bahwa pemberian ekstrak daun sirih mampu menekan
perkembangan penyakit Bulai pada tanaman jagung dan cenderung menghasilkan
pertumbuhan dan produksi tongkol jagung manis yang lebih baik dibandingkan
dengan tanpa pemberian ekstrak daun sirih.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dan kerangka pemikiran yang telah
dikemukakan, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh ekstrak
daun sirih merah dan daun sirih hijau terhadap pertumbuhan koloni, sporulasi, dan
perkecambahan spora C. musae secara in vitro.
6
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Fraksi ekstrak daun sirih merah dan daun sirih hijau dapat menekan
pertumbuhan koloni, sporulasi, dan perkecambahan spora C. musae secara
in vitro.
2. Masing-masing fraksi ekstrak daun sirih merah dan daun sirih hijau
akan menimbulkan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan koloni,
sporulasi, dan perkecambahan spora C. musae secara in vitro.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pisang
Tanaman pisang merupakan salah satu komoditas dari tanaman hortikultura yang
seringkali kita temukan dan tidak begitu sulit untuk dibudidayakan. Kandungan
nutrisi pada buah pisang yang cukup tinggi menjadikan buah pisang potensial
untuk dapat mendukung ketahanan pangan. Karbohidrat yang cukup tinggi
menjadikan buah pisang dapat dijadikan sebagai alternatif bahan pangan alternatif
dalam kondisi tertentu.
Gambar 1. Buah Pisang
8
2.1.1 Klasifikasi Ilmiah
Menurut Tjitrosoepomo (1988) dalam Ivayani (2013), sistematika (taksonomi)
tanaman pisang diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa spp.
2.1.2 Morfologi
Pisang merupakan tanaman herba yang hanya berbuah sekali (monokarpik)
kemudian akan mati. Tinggi tanaman pisang berkisar antara 2 hingga 9 meter.
Akarnya serabut, mampu menyebar hingga 4-5 meter (Ashari, 2006). Batang
pisang yang sesungguhnya disebut bonggol. Bonggol terdapat di dalam tanah.
Pada sepertiga bagian bonggol sebelah atas terdapat tunas anakan. Kuncup bunga
terletak pada bagian ujung bunga. Kuncup bunga tersebut oleh seludang (bractea)
berwarna merah kecokelatan. Seludang tersebut akan jatuh ke tanah apabila
bunga telah terbuka. Bunga betina berkembang secara normal. Namun hal
tersebut tidak terjadi pada bunga jantan. Bunga jantan terletak pada bagian ujung
bunga dan tidak berkembang. Bunga biasanya terletak dan membentuk sebagai
9
kelompok-kelompok. Setiap kelompok dikenal sebagai sisir. Sisir tersebut
tersusun rapi pada tandan buah (Rismunandar, 1990; Robinson & Souco, 2010
dalam Ivayani, 2013).
Setiap jenis pisang mengandung komposisi gizi yang berbeda. Rata-rata setiap
100 gram daging pisang mengandung 70 gram air, 1,2 gram protein, 0,3 gram
lemak, 27 gram pati, dan 0,5 gram serat. Kandungan potasium pada buah pisang
adalah 400mg/100g. buah pisang kaya akan vitamin C, B6, vitamin A, thiamin,
riboflavin, dan niacin. Energi yang terkandung pada setiap 100 gram buah pisang
berkisar antara 275-465 kiloJoule (Ashari, 2006).
Gambar 2. Tanaman pisang (Kalahi, 2015).
10
2.1.3 Syarat Tumbuh
2.1.3.1 Iklim
Tanaman pisang akan tumbuh dan berkembang dengan baik pada daerah beriklim
tropis panas. Daerah yang beriklim tropis dan memiliki matahari penuh sabgat
mendukung proses budidaya tanaman pisang. Curah hujan bulanan yang
diperlukan berkisar antara 200 - 220 mm. Kapasitas lapang yang dibutuhkan
sekitar 60 - 70%, sehingga proses pengairan harus dilakukan terutama pada
musim panas. Pada kondisi tanpa air, pisang masih tetap tumbuh karena air
disuplai dari batangnya yang berair tetapi produksinya sangat sedikit. Tanaman
pisang sangat peka terhadap angin aliran angin yang kencang. Daun pisang
dengan mudah akan robek apabila diterjang angin kencang dan berakibat pada
produksi yang tidak maksimal (Ashari, 2006).
2.1.3.2 Media Tanam
Media tanam yang baik bagi tanaman pisang adalah tanah yang gembur, kaya
akan bahan organik (3%), memiliki drainase yang baik. Drainase yang baik akan
mampu menjaga kapasitas lapang, dan menghindarkan genangan dari lahan.
Tanaman pisang mampu hidup pada tanah dengan pH 4,5 – 8,5 dengan pH
optimal 6,0. Pada kasus-kasus dimana pH tanah yang rendah, maka dapat ditaburi
dolomit untuk meningkatkan pH tanah (Ashari, 2006).
11
2.1.3.3 Ketinggian Tempat
Tanaman pisang merupakan tanaman yang dapat hidup pada dataran rendah
maupun dataran tinggi. Di Indonesia, pisang dapat tumbuh di dataran rendah
sampai dataran tinggi sekitar 2.000 m dpl (Rismunandar, 1990; Robinson &
Souco, 2011 dalam Ivayani, 2013).
2.1.4 Budidaya Tanaman Pisang
Perbanyakan tanaman pisang untuk menunjang kegiatan budidaya biasanya
dilakukan melalui anakannya. Selain menggunakan anakan, perbanyakan juga
dilakukan melalui bonggol dan kultur jaringan. Namun perbanyakan melalui
bonggol sangat sulit dilakukan karena pertumbuhannya cenderung lambat,
sedangkan perbanyakan melalui kultur jaringan dilaporkan menimbulkan kasus
mutasi genetik (Ashari, 2006).
Untuk penanaman, jumlah tanaman pisang yang ditanam per hektar sekitar 1000 -
- 3000 tanaman. Proses penanaman diawali dengan pemberian ajir sebagai tanda
dan jarak tanam. Jarak antar ajir 2,5x4 m. Tempat-tempat yang telah diberi ajir
lalu digali dan dibuat lubang tanam dengan ukuran 60 cm x 60 cm x 60 cm.
Lubang tanam dan tanah galian tersebut dibiarkan selama satu minggu. Tujuan
dari hal tersebut adalah untuk mengurangi kelembaban tanah (Suhardiman, 1997;
Avivi & Ikrawati, 2004 dalam Ivayani, 2013). Kondisi tanah yang lembab sangat
12
berpotensi menjadi media tumbuhnya patogen dan menyebabkan tanaman rentan
terserang penyakit.
Sama seperti dengan tanaman lain, tanaman pisang membutuhkan unsur hara yang
cukup agar produktivitasnya terjaga dalam kondisi optimum. Unsur hara tersebut
dapat ditambahkan melalui pemupukan. Pemupukan merupakan salah satu cara
untuk menjaga maupun meningkatkan produksi. Menurut Ashari (2006), setiap
produksi buah pisang sebanyak 30 ton dibutuhkan 50 kg N, 15 kg P2O5, 175 K2O,
10 kg CaO, dan 25 kg MgO. Untuk pupuk produksi pabrik biasanya diberikan 3 -
- 6 kali dari masa awal tanam hingga munculnya bunga. Dosis pupuk biasanya
disesuaikan dengan kondisi tanah, iklim, dan jenis kultivar. Oleh karena faktor-
faktor tersebut dosis pupuk sangat bervariasi (Ashari, 2006).
Kegiatan perawatan tanaman pisang antara lain yaitu, penjarangan anakan,
pemotongan bunga jantan setelah berbuah, pendangiran, pemotongan daun kering,
dan sanitasi. Pada saat tanaman telah menghasilkan bunga maka sebaiknya
tandan dibungkus dengan plastik atau sejenisnya. Pembungkusan bertujuan
mencegah serangan lalat buah dan menghindarkan buah dari cacat. Pada satu
rumpun induk pisang sebaiknya hanya 2 anakan saja yang dipelihara. Jumlah
anakan yang terlalu banyak dapat menyebabkan persaingan dalam
memperebutkan cahaya matahari, air, dan unsur hara. Pengendalian gulma juga
penting dilakukan. Herbisida yang dapat dipakai adaalah herbisida pratanam dan
herbisida kontak (Ashari, 2006).
13
Produksi tanaman pisang bervariasi antara 3 -- 60 ton per hektar. Produksi
tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, kesuburan tanah, dan jenis
kultivar. Pisang Cavendish merupakan salah satu kultivar tanaman pisang dengan
produksi yang cukup tinggi. Produksinya mampu mencapai 100 ton per hektar
(Ashari, 2006).
2.2 Penyakit Antraknosa
2.2.1 Gejala
Gejala yang timbul pada pohon pisang yang terserang Antraknosa adalah terjadi
bercak-bercak klorosis berwarna putih kekuningan yang bagian tengahnya
menjadi berwarna cokelat. Bercak bercak berkembang memanjang, searah
dengan tulang-tulang daun. Bercak-bercak ini dapat menyatu menjadi bercak
yang lebih besar dan akhirnya menyebabkan daun menjadi kering layu.
Penyakit Antraknosa yang muncul di lapangan biasanya terdapat buah pisang
yang masih mentah. Bagian-bagian tertentu pada buah warnanya akan berubah
dari hijau menjadi kuning. Pada permukaan kulit buah yang sudah berwarna
hitam atau yang sudah membusuk akan timbul bintik-bintik merah kecokelatan
yang terdiri atas kumpulan tubuh buah (aservulus) patogen. Buah yang sudah
parah akibat terserang penyakit biasanya akan kering dan berkeriput.
14
Pada buah yang sudah matang dalam simpanan, serangan penyakit akan
menimbulkan bercak-bercak kecil berwarna coklat kehitaman dengan tepi
kebasah-basahan. Bercak-bercak dapat membesar atau bersatu, dan agak
mengendap. Pada permukaan bercak terjadi titik-titik merah jambu yang terdiri
atas kumpulan tubuh buah jamur penyebab penyakit (Semangun, 2007).
2.2.2 Penyebab Penyakit
Penyakit Antraknosa pada buah pisang disebabkan oleh jamur Colletotrichum
musae (Berk. et Curt.) Arx, yang dulu banyak dikenal sebagai Myxosporium
musae Berk. et Curt. dan Gloeosporium musarum Cke. et Mass. Jamur ini
memiliki konidiumjorong atau jorong memanjang, hialin, berukuran 11 -- 17 x 4 -
- 6 µm, sering memiliki tetes-tetes di dalamnya. Konidium dibentuk pada ujung
konidiofor yang panjangnya dapat mencapai 30 µm, dengan lebar 3 -- 5 µm.
Konidium dan konidiofor terbentuk dalam aservulus yang terletak pada
permukaan bagian tanaman yang terinfeksi. Aservulus bulat atau memanjang ,
garis tengah sekitar 400 µm, dan jarang memiliki seta. Dalam biakan murni
aservulus sangat jarang membentuk seta (Semangun, 2007).
15
Gambar 3. Konidia (dalam lingkaran) Colletotrichum musae (Lim dkk., 2015).
2.2.3 Daur Penyakit
Konidium C. musae dipencarkan oleh percikan air sisa-sisa tanaman pisang.
Konidium berkecambah dengan membentuk pembuluh kecambah yang
membentuk spresorium dan dapat mengadakan penetrasi secara langsung pada
kutikula kulit buah di lapang. Setelah menginfeksi melalui apresorium jamur lalu
berkembang sedikit di bawah kutikula lalu berhenti menjadi laten. Jamur dapat
berada dalam keadaan laten selama lebih dari 5 bulan. Infeksi permulaan seperti
ini banyak terjadi namun hanya sedikit yang nantinya berkembang menjadi bercak
antraknos pada saat buah mulai menguning setelah dipetik. Jamur akan
berkembang tanpa melalui masa laten jika infeksi terjadi melalui luka pada kulit
buah, sedangkan Antraknosa pada buah hijau umumnya terjadi karena infeksi
nonlaten melalui luka.
16
Mengenai terjadinya masa laten pada infeksi buah mentah terdapat 4 pendapat
yang mengungkapkan hal tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa jamur
tidak berkembang karena pada buah yang mentah kandungan bahan makanannya
kurang. Pendapat berikutnya mengatakan bahwa jamur tidak mempunyai enzim
yang mampu untuk memecah jaaringan buah yang masih mentah. Pendapat
ketiga menyatakan bahwa buah pisang yang masih mentah memiliki tannin yang
menyebabkan jamur tidak dapat berkembang. Selanjutnya pendapat terakhir
menyebutkan perubahan metabolisme buah pisang selama proses pematangan
turut mempengaruhi perkembangan jamur (Semangun, 2007).
Konidium yang menular pada buah dapat berasal dari daun sakit yang masih
basah maupun yang telah kering serta berasal dari sisa-sisa bunga yang telah mati.
Infeksi patogen dapat terjadi sewaktu buah pisang sedang berada dalam masa
pemeraman. Jamur mampu menginfeksi sisir buah melalui luka yang terjadi
akibat pemotongan dari tandan buah. Hal ini memicu pembusukan pada tangkai
buah dan dapat mennyebabkan buah terlepas (Semangun, 2007).
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyakit
Konidium terbentuk pada suhu 25 -- 350 C dengan keadaan optimum berkisar
pada suhu 27 -- 300 C. Penyakit Antraknosa lebih banyak terjadi sewaktu musim
hujan karena tekstur kulit pisang menjadi lebih lunak dan hal tersebut
menguntungkan jamur patogen.
17
Jenis-jenis kultivar buah pisang di Indonesia yang tahan terhadap penyakit
Antraknosa adalah Ambon Kuning, Raja Temen. Pisang Tanduk dan Raja
Gintung paling rentan. Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan
jamur adalah penggunaan karbid untuk mempercepat pemasakan buah pisang.
Pemberian karbid akan memperpendek masa inkubasi dan meningkatkan
intensitas Antraknosa (Semangun, 2007).
2.2.5 Pengelolaan
Menurut Gaham (1971), dan Holliday (1980) dalam Semangun (2007) berikut
berbagai cara pengendalian terhadap penyakit Antraknosa:
1. Membersihkan kebun pisang dari daun-daun yang telah mati dan sisa-
sisa bunga. Jangan menutupi buah yang baru dipanen dengan daun-daun
buah pisang yang mati.
2. Buah pisang yang telah dipanen langsung dibawa ke tempat
penyimpanan atau ruang pemeraman.
3. Menjaga kebersihan ruang pemeraman atau gudang penyimpanan.
4. Menghindarkan buah dari luka untuk meminimalkan dari resiko
penetrasi patogen.
5. Pencucian buah harus menggunakan air steril dan bersih.
6. Apabila memang sangat dibutuhkan, maka buah dapat dicelupkan atau
disemprot dengan menggunakan larutan fungisida. Bahan aktif fungisida
tersebut diantaranya adalah thiabendazol, benofil, dan thiofanat.
Dilaporkan dari Thailand bahwa salah satu cara pengendalian terhadap
18
penyakit Antraknosa adalah dengan menyimpan buah pisang pada suhu 15
-- 200
C.
Pengendalian penyakit Antraknosa dapat dilakukan dengan menggunakan
fungisida kimiawi yang terdapat dalam berbagai merk di pasaran. Paltontic 61
WC, Benlate, dan Delsene MX 200 merupakan berbagai produk merk dagang
fungisida kimiawi untuk mengendalikan penyakit Antraknosa. Fungisida kimiawi
tersebut diaplikasikan sewaktu buah berada dalam penyimpanan dan kondisi
mentah (Suyanti dan Supriyadi, 2008).
2.3 Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav)
2.3.1 Klasifikasi Ilmiah
Klasifikasi ilmiah Sirih Merah adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper crocatum Ruiz & Pav (Sudewo, 2005).
19
2.3.2 Morfologi tanaman
Sirih merah merupakan tanaman yang tumbuh menjalar. Batangnya bulat
berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga. Daunnya bertangkai berbentuk
jantung dengan bagian atas meruncing, bertepi rata dan permukaannya mengkilap
atau tidak berbulu. Panjang daunnya bisa mencapai 15-20 cm. Warna daun
bagian atas hijau bercorak warna putih keabu-abuan. Bagian bawah daun
berwarna merah cerah. Batangnya bersulur dan beruas dengan jarak buku 5-10
cm. Di setiap buku tumbuh bakal akar (Sudewo, 2005).
Sirih merah merupakan tanaman yang tumbuh merambat. Tinggi tanaman dapat
mencapai 10 m bergantung pada pertumbuhan dan tempat merambatnya. Tekstur
batang sirih berkayu lunak, beruas-ruas, beralur dan berwarna hijau keabu-abuan.
Bentuk daun tunggal sirih merah seperti jantung hati, permukaan daun licin, serta
bagian tepi rata dan pertulangannya menyirip (Syariefa, 2006 dalam Bhakti,
2012).
Gambar 4. Daun Sirih Merah
20
Sirih merah bisa tumbuh dengan baik ditempat yang teduh dan tidak
terlalu banyak terkena sinar matahari. Jika terkena sinar matahari langsung
pada siang hari secara terus menerus warna merah daunnya bisa menjadi
pudar, buram, dan kurang menarik. Tanaman sirih merah akan tumbuh
baik jika mendapatkan 60 -- 75 % cahaya matahari (Sudewo, 2005).
2.3.3 Kandungan Senyawa Kimia
Daun sirih merah memiliki kandungan kimia dengan khasiat tertentu yang disebut
dengan metabolit sekunder yang menyimpan senyawa aktif seperti flavonoid,
alkaloid, terpenoid, cyanogenic, glucoside, isoprenoid, nonprotein amino acid,
eugenol. Senyawa flavonoid dan polevenolad memiliki sifat antioksidan,
antidiabetik, antikanker, antiseptik, dan antiinflamasi (Sudewo, 2005).
2.4 Sirih Hijau (Piper betle Linn)
2.4.1 Klasifikasi Ilmiah
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae
Genus : Piper
21
Spesies : Piper betle Linn (Moeljanto dan Mulyono, 2006).
2.4.2 Morfologi
Sirih merupakan tanaman herbal, yang memanjang dengan tinggi tanaman dapat
mencapai 2-4 m. Batang tanaman berbentuk bulat dan lunak, beruas-ruas,
beralur-alur dan berwarna hijau abu-abu. Sirih memiliki daun yang tunggal dan
letaknya berseling dengan bentuk bervariasi mulai dari bundar sampai oval, ujung
daun runcing, pangkal daun berbentuk jantung atau agak bundar asimetris
(Harman, 2013).
Gambar 5. Daun Sirih Hijau
Daun sirih memiliki warna yang bervariasi yaitu kuning, hijau sampai hijau tua
dan berbau aromatis. Batangnya berwarna hijau tembelek atau hijau agak
kecoklatan dan permukaan kulitnya kasar serta berkerut-kerut. Sirih hidup subur
22
dengan ditanam di atas tanah gembur yang tidak terlalu lembab dan memerlukan
cuaca tropika dengan kebutuhan air yang mencukupi (Harman, 2013).
2.4.3 Kandungan Senyawa Kimia
Kandungan senyawa kimia yang mudah ditemui pada daun sirih hijau adalah
senyawa minyak atsiri. Minyak atsiri terdiri dari hidroksi kavikol, kavibetol,
estragol, eugenol, metileugenol, karbakrol, terpen, seskuiterpen, fenilpropan, dan
tannin. Kavikol merupakan komponen paling banyak dalam minyak atsiri yang
memberi bau khas pada sirih. Kavikol bersifat mudah teroksidasi dan dapat
menyebabkan perubahan warna (Moeljanto dan Mulyono, 2006).
Selain minyak atsiri, daun sirih hijau juga mengandung senyawa fenolik. Senyawa
fenolik merupakan senyawa antioksidan yang umumnya terdapat pada tumbuhan.
Golongan senyawa fenolik adalah flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin,
tokoferol, dan asam-asam polifungsional (Pratt dan Hudson, 1990).
23
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September --
November 2015.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah aquades,
alkohol, media Potato Sukrose Agar (PSA), daun sirih merah, daun sirih hijau,
NaOCl 0,5%, dan biakan murni C. musae.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, lampu Bunsen,
pinset, korek api, Laminar Air Flow, alat fraksinasi sederhana, haemocytometer,
tabung reaksi, timbangan, gelas ukur, pipet tetes, nampan, alat tulis, jarum ose,
mikroskop, autoklaf, rota mixer, labu Erlenmeyer, blender, mikropipet, penggaris,
preparat cembung, pinset, label, plastik wrap, dan kaca preparat.
24
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan rancangan
perlakuan tunggal. Terdapat 6 perlakuan, yaitu kontrol yang dicampur dengan
fungisida kimiawi berbahan aktif iprodion (P1), kontrol (P2), fraksi ekstrak daun
sirih merah dalam pelarut akuades (P3), fraksi ekstrak daun sirih merah dalam
pelarut alkohol (P4), fraksi ekstrak daun sirih hijau dalam pelarut akuades (P5),
dan fraksi ekstrak daun sirih hijau dalam pelarut alkohol (P6) dalam 4 ulangan.
Setelah data diperoleh, kemudian dilakukan uji homogenitas dengan
menggunakan uji Bartlett, selanjutnya dilakukan analisa ragam dan apabila nyata
maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf 5 %.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Penyiapan biakan murni C. musae
Tahapan proses isolasi untuk mendapatkan biakan murni adalah sebagai berikut:
1. Bagian buah (kulit) dipotong dengan ukuran 2 x 2 mm (setengah bagian
tanaman sakit dan setengahnya lagi sehat).
2. Potongan kulit buah yang sakit tersebut kemudian direndam ke dalam
larutan NaOCL 0,5% selama 1 menit dan diulang sebanyak 2 kali.
Selanjutnya kulit buah dibilas dengan menggunakan larutan akuades.
Kulit buah dibilas 2 kali lalu dikeringkan di atas kertas tisu.
25
3. Kulit buah yang telah dikeringkan selanjutnya diinokulasikan ke dalam
media PSA dan diinkubasi selama 3 -- 5 hari.
4. C. musae yang didapat lalu diperbanyak pada media tumbuh yang baru.
3.4.2 Pembuatan fraksi ekstrak daun sirih merah dan daun sirih hijau
Ekstrak yang akan digunakan dalam penelitian ini berasal dari daun sirih merah
dan daun sirih hijau. Ekstrak kering yang didapatkan berasal dari proses
fraksinasi bertingkat. Proses fraksinasi bertingkat adalah proses memisahkan
senyawa-senyawa kimia berdasarkan tingkat kepolarannya dan menggunakan
pelarut berbeda polaritasnya.
Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquades dan alkohol masing-
masing sebanyak 1000 ml untuk setiap perlakuan. Daun yang digunakan adalah
daun segar dan telah dibersihkan dengan menggunakan air. Daun seberat 100 g
dicampur dengan aquades sebanyak 1000 ml kemudian diblender. Larutan dari
daun sirih tersebut kemudian diekstraksi dengan menggunakan alat fraksinasi
sederhana. Alat tersebut terbuat dari pipa paralon dan terdiri dari 3 sambungan
sebagai penyaring. Penyaring yang digunakan pada setiap sambungan adalah kain
kasa. Pada sambungan pertama hingga ke-4 diletakkan arang aktif di atas kain
kasa. Arang aktif tersebut berfungsi sebagai filter senyawa-senyawa polar dan
non-polar yang terdapat pada larutan ekstrak yang akan disaring. Apabila proses
ekstraksii terhadap larutan dari daun sirih dan aquades telah selesai, sisa daun
sirih dari larutan jangan dibuang. Selanjutnya, dituangkan alkohol sebanyak 1000
26
ml melalui bagian atas alat fraksinasi. Larutan yang menetes kemudian
ditampung ke dalam wadah yang berbeda. Hasil ekstraksi dari kedua jenis larutan
daun sirih tersebut dibiarkan sampai kering pada suhu ruang.
3.4.3 Uji penghambatan terhadap C. musae
Uji penghambatan pada C. musae dilaksanakan dengan menggunakan teknik
makanan beracun (Poisoned Food Technique). Pengujian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh fraksi ekstrak daun sirih merah dan daun sirih hijau pada C.
musae yang diinokulasikan pada media campuran. Langkah awal yaitu
menghomogenkan media PSA dan daun sirih yang telah diekstraksi.
Perbandingan konsentrasi antara media PSA dengan ekstrak kering daun sirih
adalah 1000 ml : 1 gram. Media PSA dengan volume 1000 ml diaduk dengan
ekstrak kering daun sirih yang sebanyak 1 gram. Setelah itu, media campuran
dituangkan ke dalam cawan petri. Selanjutnya, biakan murni C. musae
diinokulasikan ke media campuran tersebut, lalu diinkubasi pada ruangan dengan
suhu kamar yang sesuai.
Untuk perlakuan kontrol positif, metode yang dilakukan sama dengan metode uji
penghambatan C. musae pada fraksi ekstrak daun sirih. Perbandingan konsentrasi
antara media PSA yang dicampur dengan fungisida kimiawi tersebut adalah 1000
ml : 1 gram. Fungisida kimiawi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
fungisida kimiawi berbahan aktif iprodion. Penggunaan fungisida kimiawi ini
27
didasarkan pada perusahaan dan petani budidaya tanaman pisang di Lampung
yang umum menggunakan fungisida kimiawi tersebut dalam mengendalikan
penyakit Antraknosa pada buah pisang.
3.5 Pengamatan
Peubah yang diamati untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun sirih terhadap
pertumbuhan dan perkembangan C. musae adalah pertumbuhan koloni, sporulasi,
dan perkecambahan spora.
3.5.1 Pertumbuhan koloni
Pertumbuhan koloni C. musae pada cawan petri dapat diketahui dengan cara
mengukur diameter koloni dari jamur C. musae yang tumbuh di media campur
pada cawan petri. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan penggaris lalu
mengukur secara tegak lurus antara titik tumbuh C. musae yang terletak di tengah
cawan petri hingga tepi diameter koloni. Pengukuran dilakukan dari empat arah
agar didapatkan nilai pertumbuhan koloni yang akurat. Pengamatan pertumbuhan
diameter koloni dilakukan pada hari ke-2 hingga hari ke-10 setelah inokulasi.
Data tersebut selanjutnya diolah dengan menggunakan rumus tertentu untuk
menghitung laju pertumbuhan koloni C. musae. Berikut adalah rumus yang
digunakan:
D1+D2+D3+D4
D=
4
28
Gambar 6. Ilustrasi diameter koloni jamur (Ronaldi, 2014)
Keterangan: D = diameter Colletotrichum musae (cm)
3.5.2 Sporulasi
Untuk mengetahui nilai sporulasi C. musae, maka perlu dilakukan penghitungan
kerapatan spora dengan menggunakan metode Haemocytometer. Spora diambil
dengan cara membuat lima titik bor gabus pada biakan murni. Selanjutnya lima
titik biakan murni yang dilubangi dengan bor gabus tersebut dimasukkan ke
dalam tabung reaksi sebagai suspensi awal (100). Suspensi tersebut kemudian
dihomogenkan dengan menggunakan rota mixer, lalu diencerkan hanya sampai
pada 10-1
.
Pengenceran bertingkat dilakukan dengan memindahkan suspensi awal sebanyak
1 ml ke dalam akuades pada tabung reaksi dengan volume 4 ml. Setelah itu
diambil spora dari suspense 10-1
dengan menggunakan mikropipet lalu diteteskan
ke Haemocytometer. Penghitungan spora dilakukan secara langsung di bawah
mikroskop. Kerapatan spora dapat dihitung melalui rumus Lomer dan Lomer
(2004) sebagai berikut:
29
C = c.10n
Keterangan : c = X . 2,5 . 105 . 10
n (kotak sedang)
n
= tingkat pengenceran
3.5.3 Perkecambahan spora
Perkecambahan spora dapat diketahui dengan cara menghitung jumlah spora yang
berkecambah dan tidak berkecambah pada suspensi. Suspensi didapatkan dengan
cara membuat lima titik bor gabus pada biakan murni. Selanjutnya lima titik
biakan murni yang dilubangi dengan bor gabus tersebut dimasukkan ke dalam
tabung reaksi sebagai suspensi awal (100). Suspensi tersebut kemudian
dihomogenkan dengan menggunakan rota mixer. Suspensi spora dari masing --
perlakuan kemudian diteteskan pada preparat cekung sebanyak 25 ɱl, diinkubasi
selama 24 jam dalam keadaan lembab, lalu diamati dibawah mikroskop.
Perkecambahan spora dapat dihitung dengan rumus Gabriel dan Riyatno (1989)
sebagai berikut:
g
V= x 100 %
(g+u)
Keterangan :
V : perkecambahan spora
g : jumlah spora yang berkecambah
u : jumlah spora yang tidak berkecambah
40
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Fraksi daun sirih merah dan daun sirih hijau pada pelarut alkohol
mampu menekan dan menghambat pertumbuhan koloni, sporulasi, dan
perkecambahan C. musae.
2. Fraksi daun sirih merah pada pelarut akuades efektif menghambat
pertumbuhan koloni C. musae hingga 5 hsi.
3. Fraksi daun sirih hijau pada pelarut alkohol memiliki kemampuan
paling efektif dalam menekan sporulasi C. musae.
4. Fungisida kimiawi berbahan aktif iprodion lebih baik dalam
menghambat pertumbuhan koloni C. musae dibandingkan dengan fraksi
ekstrak daun sirih.
5. Fraksi ekstrak daun sirih lebih baik dalam menekan sporulasi dan
menghambat perkecambahan spora C. musae dibandingkan dengan
fungisida kimiawi berbahan aktif iprodion.
41
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil yang didapat, penulis
menyarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan ekstrak
daun sirih merah dan hijau yang yang telah diproses melalui fraksinasi bertingkat
pada pelarut alkohol untuk mengetahui kemampuan kedua perlakuan tersebut
terhadap C. musae secara in vivo.
42
PUSTAKA ACUAN
.
Arsensi, I. 2012. Pengaruh pemberian ekstrak daun sirih terhadap penyebab
penyakit bulai pada tanaman jagung manis (Zea Mays L.Sacaracharata).
Ziraa’ah 33(1) : 17-21.
Ashari, S. 2006. Hortikultura ; Aspek Budaya. UI-Press. Jakarta. 485 hlm.
Barus, A. 2007. Uji Efektifitas Beberapa Fungisida Nabati untuk Mengendalikan
Penyakit Karat Daun (Phakopsora pachyrhizi) pada Tanaman Kacang
Kedelai (Glycine max L. Merril). Skripsi. Universitas Sumatra Utara.
Medan. 98 hlm.
[BPS]a Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Buah Pisang di Indonesia.
www.bps.goid. Diakses pada 20 April 2015.
[BPS]b Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Buah Pisang di Indonesia.
www.bps.go.id. Diakses pada 20 April 2015.
Bhakti, W.S. 2012. Daya Anti Bakteri Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper
crocatum) Sebagai Bahan Irigasi Saluran Akar terhadap Streptococcus
viridans. Skripsi. Universitas Jember. Surabaya. 112 hlm.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida & Aplikasinya. Agromedia Pustaka. Jakarta. 340
hlm.
Gabriel, B. & P. Riyatno. 1989. Metharizium anisopliae (meetsch) sor.
Taksonomi, Patologi, Produksi dan Aplikasinya. Proyek Pengembangan
Perlindungan Tanaman Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Harman, D.T.A. 2013. Efektivitas Anti Bakteri Ekstrak Daun Sirih (Piper betle
Linn.) terhadap Bakteri Enterococcus faecalis. Skripsi.Universitas
Hasanuddin Makasar. 61 hlm.
Ivayani. 2013. Application of Trichoderma viride and Organic Matter for
Biological Control of Fusarium Wilt Disease (Fusarium oxysporum f.sp.
cubense) on Banana Plant. Thesis. Universitas Lampung. Bandar
Lampung. 120 hlm.
43
Junairiah, T. Nurhariyati., Ni’matuzahroh. & H. Suwito. 2015. Effectiveness of
Piper crocatum ruiz and pav.callus elicitation as antimicrobial agents.
Journal of Applied Environmental and Biological Sciences 5(4) : 197-201.
Kalahi, S. 2015. Tujuh Manfaat Buah Pisang Sesuai Kandungan Nutrisinya.
http://cakrawalasehat.blogspot.co.id/2014/08/manfaat-buah-pisang.html.
Diakses pada tanggal 27 Februari 2016.
Lim, J., T.H. Lim. & B. Cha. 2002. Isolation and identification of Colletotrichum
musae from imported bananas. The Plant Pathology Journal 18(3) : 161-
164.
Lomer, C.H. & C.J. Lomer (editor). 2004. Pathologie D’insectes Manual. Lutte
Biologique contre les criquets et sauteriaux (Lubilosa). France.
Moeljanto, R.D., & Mulyono. 2006. Khasiat dan Manfaat Daun Sirih, Obat
Mujarab dari Masa ke Masa. Agromedia Pustaka. Jakarta. 78 hlm.
Naufalin, R. & T. Yanto. 2009. Antioxidant Activity of Red Betel (Piper
crocatum) and Green Betel (Piper betle L). Artikel. Disampaikan pada
11th Asean Food Conference Brunei Darussalam. 21-23 Oktober 2009.
Nisa, T.U., A. H. Wani, M.Y. Bhat, S.A. Pala. & R. A. Mir. 2011. In vitro
inhibitory effect of fungicides and botanicals on mycelial growth and spore
germination of Fusarium oxysporum. Journal of Biopesticides 4(1) : 53-
56.
Noveriza, R. & Miftakhurohmah. 2010. Efektivitas ekstrak metanol daun salam
(Eugenia polyantha) dan daun jeruk purut (Cytrus histrix) sebagai
antijamur pada pertumbuhan Fusarium oxysporum. Jurnal Littri. 16(1) : 6-
11.
Parwata, I.O.A.M. W.S. Rita. & R. Yoga. 2009. Isolasi dan uji antiradikal bebas
minyak atsiri pada daun sirih (Piper Betle Linn.) secara spektroskopi
ultraviolet-tampak. Jurnal Kimia 3(1) : 7-13.
Plodpai, P., S. Chuenchitt., V. Petcharat., S. Chakthong. & S.P. Voravuthikunchai.
2013. Anti-Rhizoctonia solani activity by desmos chinensis extracts and its
mechanism of action. Elsevier:Crop Protection 43 : 65-71.
Pratt, D.E. & B.J.F. Hudson. 1990. Natural antioxidant not exploited
commercially. In : B.J.F. Hudson (Ed), Food Antioxidant. Elsevier
Applied Science, London and New York. Pp .171-189.
Rani S.E.P., Efri. & J. Prasetyo. 2013. Pengaruh berbagai tingkat fraksi ekstrak
daun mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap pertumbuhan
Colletotrichum capsici penyebab penyakit antraknosa pada cabai
(Capsicum annum L) secara in vitro. Jurnal Agrotek Tropika 1(1) : 92-97.
44
Ronaldi, E. 2014. Uji Keefektifan Ekstrak Daun Pacar Cina (Aglaia odorata L.)
terhadap Pertumbuhan In Vitro Jamur Colletotrichum capsici Penyebab
Penyakit Antraknosa pada Cabai (Capsicum annum L.). Skripsi.
Universitas Lampung. Bandar Lampung. 50 hlm.
Rumahlewang, W. & H.R.D. Amanupunyo. 2012. Patogenisitas Colletotrichum
musae penyebab penyakit antraknosa pada beberapa varietas buah pisang.
Jurnal Ilmu Budidaya Tanaman Agrologia 1(1) : 76-81.
Satryawibowo, M.W. 2015. Pengaruh Fraksi Ekstrak Daun Tagetes (Tagetes
erecta) Saliara (Lantana camara) dan Sirih Hijau (Piper betle) terhadap
Pertumbuhan dan Sporulasi Colletotrichum capsici Secara In Vitro.
Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 61 hlm.
Semangun, H. 2007. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 850 hlm.
Sen, A., & A. Batra. 2012. Evaluation of antimicrobial activity of different solvent
extracts of medicinal plant: Melia azedarach l. International Journal of
Current Pharmaceutical Research 4(2) : 67-73.
Sudewo, B. 2005. Basmi Penyakit dengan Sirih Merah. Agromedia Pustaka.
Jakarta. 112 hlm.
Sumetriani, M. 2009. Efektifitas Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L) dalam
Menghambat Pertumbuhan Jamur Legenidium sp. Penyebab Penyakit pada
Abalon (Hasiliotis asinina). Tesis. Universitas Udayana. Bali. 114 hlm.
Suyanti & A. Supriyadi. 2008. Pisang, Budidaya, Pengolahan, dan Prospek
Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta. 132 hlm.
Wulandari, S. 2015. Pengaruh Fraksi Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper crocatum),
Babadotan (Ageratum conyzoides), dan Gulma Siam (Chromolaena
odorata) terhadap Pertumbuhan dan Sporulasi Colletotrichum capsici
Secara In Vitro. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 73 hlm.