PENGARUH FAKTOR GENETIK DAN INTELEGENSI TERHADAP...

80
Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014 PENGARUH FAKTOR GENETIK DAN INTELEGENSI TERHADAP KEBERHASILAN BELAJAR ANAK Oleh: Lukman Arsyad Abstrak Semakin erat kesamaan genetik antar manusia semakin tinggi korelasi intelegensi mereka dan tentunya sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya dalam belajar. Sedangkan lingkungan yang sama atau hampir sama, akan melahirkan intelegensi yang sama atau hampir sama. Situasi terhadap lingkungan khusus telah dilakukan, termasuk faktor-faktor dalam keluarga (buku-buku yang ada di rumah dan sikap orang tua terhadap sekolah), masalah gizi, variasi dalam stimulans, pengalaman lampau, dan dorongan dari orang tua. Ditinjau dari waktunya, pengaruh lingkungan amat besar atas perkembangan inteligensi dalam masa awal (waktu) usia anak-anak. Kata kunci : Belajar, Anak Didik, Genetik A. Pendahuluan Proses belajar seseorang dapat melalui beragam cara, semua tergantung kepada sifat yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya dan lingkungan pun berperan penting dalam hal ini. namun dalam materi ini, hanya menjelaskan tentang ketergantungan proses belajar dalam pengaruh genetik. Sejak lama para psikolog mengklaim bahwa kecerdasan sebagai suatu sifat yang diturunkan secara genetik oleh orang tua kita seperti kebanyakan sifat lain. Namun, studi terbaru mengungkapkan fakta mengejutkan. Studi yang dipimpin oleh Christopher Chabris dari Union College mengungkapkan bahwa kebanyakan gen spesifik yang selama ini dianggap memiliki keterkaitan dengan kecerdasan mungkin tidak berpengaruh terhadap IQ (intelligence quotient) seseorang. Masalah faktor genetik dan inteligensi dalam dunia pendidikan merupakan salah satu masalah pokok; karenanya tidak mengherankan kalau kedua masalah tersebut banyak di kupas orang, baik secara khusus maupun secara sambil lalu dalam pertautan dengan pengupasan yang lain. Tentang pengaruh genetik dan inteligensi itu dalam proses pendidikan ada yang menganggap demikian pentingnya sehingga dipandang menentukan dalam hal berhasil dan tidaknya seseorang dalam hal belajar; sedang pada sisi lain ada juga yang menganggap bahwa genetik dan inteligensi tidak lebih mempengaruhi soal tersebut. Tetapi pada umumnya orang berpendapat, bahwa keduanya merupakan salah satu faktor penting yang ikut menentukan berhasil atau gagalnya belajar seseorang; terlebih-lebih pada waktu anak masih sangat muda, untuk faktor inteligensi sangat besar pengaruhnya. Oleh karena itu, pertanyaan yang mencari faktor mana yang paling dominan tampaknya tidak terlalu berarti. Pertanyaan ini sama dengan mempertanyakan sisi bujur sangkar yang mana yang paling besar sumbangannya terhadap luas bujur sangkar? Sesungguhnya kedua faktor itu amat diperlukan dalam perkembangan manusia termasuk keberhasilan dalam belajar. B. Hakikat Keberhasilan Belajar Beberapa ahli mengemukakan pengertian belajar dalam memberikan gambaran tentang keberhasilan belajar seseorang. Menurut Hamalik belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif mantap berkat latihan dan pengalaman. Belajar dalam halini harus dilakukan dengan sengaja, direncanakan sebelumnya dengan struktur tertentu. Maksudnya agar proses belajar dan hasil-hasil yang dicapai dapat dikontrol secara cermat. 1 Dalam psikologi pendidikan, belajar diartikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. 2 Dari pendapat di atas, pada dasarnya belajar merupakan suatu kebutuhan bagi setiap orang. Hampir semua kehidupan manusia diwarnai dengan kegiatan belajar. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang relatif permanen yang lingkungannya. 1 Hamalik, Oemar. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h.154 2 Surya, Mohamad. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. (Bandung: Bani Quraisy, 2004), h.48 200

Transcript of PENGARUH FAKTOR GENETIK DAN INTELEGENSI TERHADAP...

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

PENGARUH FAKTOR GENETIK DAN INTELEGENSI TERHADAP KEBERHASILAN BELAJAR ANAK

Oleh:

Lukman Arsyad

Abstrak

Semakin erat kesamaan genetik antar manusia semakin tinggi korelasi intelegensi mereka dan tentunya sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya dalam belajar. Sedangkan lingkungan yang sama atau hampir sama, akan melahirkan intelegensi yang sama atau hampir sama. Situasi terhadap lingkungan khusus telah dilakukan, termasuk faktor-faktor dalam keluarga (buku-buku yang ada di rumah dan sikap orang tua terhadap sekolah), masalah gizi, variasi dalam stimulans, pengalaman lampau, dan dorongan dari orang tua. Ditinjau dari waktunya, pengaruh lingkungan amat besar atas perkembangan inteligensi dalam masa awal (waktu) usia anak-anak. Kata kunci : Belajar, Anak Didik, Genetik

A. Pendahuluan

Proses belajar seseorang dapat melalui beragam cara, semua tergantung kepada sifat yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya dan lingkungan pun berperan penting dalam hal ini. namun dalam materi ini, hanya menjelaskan tentang ketergantungan proses belajar dalam pengaruh genetik.

Sejak lama para psikolog mengklaim bahwa kecerdasan sebagai suatu sifat yang diturunkan secara genetik oleh orang tua kita seperti kebanyakan sifat lain. Namun, studi terbaru mengungkapkan fakta mengejutkan. Studi yang dipimpin oleh Christopher Chabris dari Union College mengungkapkan bahwa kebanyakan gen spesifik yang selama ini dianggap memiliki keterkaitan dengan kecerdasan mungkin tidak berpengaruh terhadap IQ (intelligence quotient) seseorang.

Masalah faktor genetik dan inteligensi dalam dunia pendidikan merupakan salah satu masalah pokok; karenanya tidak mengherankan kalau kedua masalah tersebut banyak di kupas orang, baik secara khusus maupun secara sambil lalu dalam pertautan dengan pengupasan yang lain. Tentang pengaruh genetik dan inteligensi itu dalam proses pendidikan ada yang menganggap demikian pentingnya sehingga dipandang menentukan dalam hal berhasil dan tidaknya seseorang dalam hal belajar; sedang pada sisi lain ada juga yang menganggap bahwa genetik dan inteligensi tidak lebih mempengaruhi soal tersebut. Tetapi pada umumnya orang berpendapat, bahwa keduanya merupakan salah satu faktor penting yang ikut menentukan berhasil atau gagalnya belajar seseorang; terlebih-lebih pada waktu anak masih sangat muda, untuk faktor inteligensi sangat besar pengaruhnya. Oleh karena itu, pertanyaan yang mencari faktor mana yang paling dominan

tampaknya tidak terlalu berarti. Pertanyaan ini sama dengan mempertanyakan sisi bujur sangkar yang mana yang paling besar sumbangannya terhadap luas bujur sangkar? Sesungguhnya kedua faktor itu amat diperlukan dalam perkembangan manusia termasuk keberhasilan dalam belajar.

B. Hakikat Keberhasilan Belajar

Beberapa ahli mengemukakan pengertian belajar dalam memberikan gambaran tentang keberhasilan belajar seseorang. Menurut Hamalik belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif mantap berkat latihan dan pengalaman. Belajar dalam halini harus dilakukan dengan sengaja, direncanakan sebelumnya dengan struktur tertentu. Maksudnya agar proses belajar dan hasil-hasil yang dicapai dapat dikontrol secara cermat.1 Dalam psikologi pendidikan, belajar diartikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.2

Dari pendapat di atas, pada dasarnya belajar merupakan suatu kebutuhan bagi setiap orang. Hampir semua kehidupan manusia diwarnai dengan kegiatan belajar. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang relatif permanen yang lingkungannya.

1 Hamalik, Oemar. Perencanaan Pengajaran

Berdasarkan Pendekatan Sistem. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h.154

2 Surya, Mohamad. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. (Bandung: Bani Quraisy, 2004), h.48

200

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

Seseorang yang telah melakukan suatu pekerjaan tentunya mengaharapkan untuk memperoleh suatu hasil dari kegiatanya. Hasil belajar tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri seseorang, yang dapat diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, misalnya: dari tidak tahu menjadi tahu, sikap kurang sopan menjadi sopan dan sebagainya.3

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan suatu perubahan tingkah laku dikategorikan sebagai hasil belajar, jadi hasil belajar itu harus membawa perubahan dan perubahan itu terdapat dalam keadaan sadar dan disengaja, dan bentuk dari hasil belajar itu dapat berupa pengetahuan, keterampilan ataupun nilai-nilai hidup.

Keberhasilan belajar semakin terasa penting dalam pembelajaran, karena memiliki beberapa fungsi utama, yaitu: (1) keberhasilan belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik; (2) keberhasilan belajar sebagai prestasi menjadi lambang pemuasan hasrat ingin tahu; (3) prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan; (4) prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dalam arti bahwa prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat produktivitas institusi pendidikan; (5) prestasi belajar dapat dijadikan indikator daya serap peserta didik.4

Jika dilihat dari beberapa fungsi keberhasilan belajar di atas, maka betapa pentingnya pendidik dan orang tua mengetahui dan memahami keberhasilan belajar peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, sebab fungsi keberhasilan belajar tidak hanya sebagai indikator kualitas institusi pendidikan. Di samping itu, keberhasilan belajar juga bermanfaat sebagai umpan balik bagi pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran sehingga dapat menentukan apakah perlu melakukan diagnosis, penempatan, atau bimbingan terhadap peserta didik.

C. Genetik dan Pengaruhnya Terhadap

Keberhasilan Belajar

Genetika adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat keturunan (hereditas) serta segala seluk beluknya secara ilmiah. Genetika berasal dari Bahasa Latin genos yang berarti suku bangsa atau asal usul. Dengan demikian genetika berarti ilmu yang mempelajari bagaimana sifat keturunan (hereditas) yang diwariskan kepada anak cucu, serta variasi yang mungkin timbul di dalamnya. Menurut sumber lainnya, genetika berasal dari Bahasa

3 Hamalik, Oemar. Perencanaan Pengajaran

Berdasarkan Pendekatan Sistem. op.cit.,h.155 4 Arifin, Zainal. Evaluasi Pembelajaran

(Prinsip, Teknik, Prosedur). (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2009), h.12

Yunani genno yang berarti melahirkan. Dengan demikian genetika adalah ilmu yang mempelajari berbagai aspek yang menyangkut pewarisan sifat dan variasi sifat pada organisme maupun suborganisme (seperti virus dan prion).5

Sejak- awal tahun 1980-an semakin diakuinya pengaruh genetik terhadap perbedaan individu dalam belajar. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian perilaku genetik yang mendukung, pentingnya pengaruh genetik menunjukkan tentang pentingnya pengaruh lingkungan.

Perilaku yang kompleks yang menarik minat para ahli psikologi (misalnya temperamen, kecerdasan dan kepribadian) mendapat pengaruh yang sama kuatnya baik dari faktor-faktor lingkungan maupunketurunan (genetik).

Aspek apa sajakah yang mempengaruhi faktor genetik? Menurut Santrok (1992), banyak aspek yang dipengaruhi faktor genetik. Para ahli genetik menaruh minat yang sangat besar untuk mengetahui dengan pasti tentang variasi karakteristik yang dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Kecerdasan dan temperamen merupakan aspek-aspek-yang paling banyak ditelaah yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh keturunan.6 1. Kecerdasan

Arthur Jensen (1969) mengemukakan pendapatnya bahwal kecerdasan itu diwariskan (diturunkan). Ia juga mengemukakan bahwa lingkungan dan budaya hanya mempunyai peranan minimal dalam kecerdasan.

2. Temperamen Temperamen adalah gaya-perilaku

karakteristik individu dalam merespons. Ahli-ahli perkembangan sangat tertarik mengenai temperamen bayi. Sebagian bayi sangat aktif menggerak-gerakkan tangan, kaki dan mulutnya dengan keras, sebagian lagi lebih tenang, sebagian anak menjelajahi lingkungannya dengan giat pada waktu yang lama dan sebagian lagi tidak demikian.

3. Interaksi keturunan dan lingkungan dalam perkembangan

Keturunan dnn lingkungan berjalan bersama atau bekerja sama dan menghasilkan individu dengan kecerdasan, temperamen tinggi dan berat badan, minat yang khas.

Kaum hereditarian yang amat mengagumi faktor nature berpendapat bahwa seluruh sifat-sifat psikologis manusia itu secara turun temurun dipindahkan langsung melalui gena-gena yang dibawa dari satu generasi ke generasi lainnya. Perilaku manusia, termasuk kemampuan, bakat, dan prestasi belajarnya ditentukan sebagian besar,

5 http://episentrum.com/search/pengertian-

faktor-genetik-dan-lingkungan.html 6

http://idonkelor.blogspot.com/2009/02/pengertian-genetika.html

201

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

bahkan seluruhnya oleh gena-gena ini. Lingkungan amat kecil peranannya. Bila ayah seorang anak itu adalah seorang pencuri domba, maka anak itu diragukan lagi akan menjadi pencuri domba pula. Bila IQ seorang ibu 90, maka IQ anaknya akan berada disekitar 90 pula. Diramalkan dengan IQ yang hanya 90 itu, anak ini tidak akan mungkin dapat belajar dalam jurusan-jurusanyang sulit, seperti kedokteran.

Di kalangan kaum herediterian agak umum adanya pendapat, bahwa berdasarkan pengukuran terhadap intelegensi, sebesar 80% variansi intelegensi itu ditentukan oleh gena-gena, hanya sekitar 20% karena pengaruh lingkungan. Gena-gena adalah obyek studinya llmu Genetika. Ilmu ini dikembangkan berdasarkan pada studi herediter yang menjelaskan bahwa secara biologis proses pemindahan sifat-sifat dasar atau karakteristik orang tua pada turunannya. llmu genetika menggunakan gena sebagai unit fundamental dalam analisisnya. Gena adalah molekul pembentuk kehidupan, suatu partikel yang amat terkecil yang membawa karakteristik-karakteristik turunan. Didalam gena terdapat gen, yaitu unsur sel plasma yang mengendalikan penerusan ciri-ciri keturunan. Diperkirakan jumlah keseluruhan gena dalam diri setiap manusia atau. dalam setiap human genome, adalah sekitar lima sampai sepuluh juta buah. Setiap gena terdiri dari sejumlah besar molekul organis, dan terdapat di dalam kromosom. Kromosom yang bentuknya agak memanjang itu berada dalam sel tubuh manusia dengan cara berpasang-pasangan, rata-rata dua puluh tiga pasang dalam setiap sel. Sel-sel asal, yaitu sel sperma dari ayah dan sel telur dari ibu, hanya membawa dua puluh tiga kromosom individual. Pada saat awal terbentukaya konsepsi manusia, setiap orang tua memberikan sumbangan genetik (sifat-sifat dasar) pada gena-gena tersebut.

Henry Goddard (1912), meneliti bagaimana besarnya pengaruh bibit unggul dan bibit jelek secara turun temurun dalam keluarga yang disebutnya keluarga Kallikak. Data dikumpulkan sedikit demi sedikit dari buku-buku, koran, interview, dan lain-lain yang merupakan sumber tentang keturunan anak cucu Martin Kallikak (nama samaran). Martin Kallikak, adalah salah seorang serdaduperang revolusi Amerika. Melalui studi penelusuran terhadap 496 keturunan. Martin Kallikak dari perkawinan dengan seorang wanita terhormat dan dilihat sebagai bibit unggul (dari kelompok Quakeress, perkumpulan orang Kristen yang anti perang) ditemukan jalur keturunan Kalikkak yang umumnya menjadi orang baik-baik dan terhormat, seperti menjadi dokter, ahli hukum (pengacara), pimpinan perusahaan besar, dan lain sebagainya. Terdapat hanya dua orang dari hampir 500 orang keturunan Kallikak yang inteligensinya di bawah rata-rata. Goddard juga melakukan studi penelusuran terhadap 480 orang anak cucu keturunan Martin Kallikkak dari hasil kencan gelapnya (istri tidak sah) dengan scorang wanita lemah ingatan (cacat mental) yang bekerja pada sebuah bar penjual minuman

keras. Ini adalah "bibit jelek atau inferior genetik dari keturunan Martin Kallikak. Dari penelusuran ini ditemukan bahwa hampir seluruh jalur keturunan bibit jelek ini melahirkan bentuk manusia-manusia yang rendah kualitasnya dengan intelgensi dibawah rata-rata, seperti peminum alkohol, pelaku prostitusi, pembunuh, dan lain sebagainya. Hanya, 46 orang diantaranya yang memiliki inteligensi agak mendekati normal.

Lain lagi pandangan dari para pakar yang menganut paham dominasi lingkungan, atau disebut environmentalists. .Paham ini menentang paham herediterian, termasuk penemuan Goddard. Pandangan enviromnentalis didasarkan pada paham yang dikemukakan oleh filosof Inggris John Locke (1691), bahwa pada awalnya. jiwa dan kebidupan mental itu bersih dan kosong, pengalamanlah yang membentuk dan mengukirnya. Bayi adalah segumpal tanah yang bersih seperti lilin yang dapat dicetak, dibentuk dan diukir oleh seniman utamanya, yaitu lingkungan.

John B.Watson, salah seorang tokoh penganut paham lingkungan, dan tokoh pemula dari aliran perilaku atau behaviorist di Amerika, berkeyakinan, bahwa manusia itu dibentuk, bukan dilahirkan. Seorang bayi dapat dibentuk menjadi apa saja seperti menjadi petani, polisi, dokter, atau menjadi pencuri, penembak, peminum melalui teknik-teknik mengkondisikan anak dengan berbagai rangsangan atau stimulasi. Teori ini dujinya dengan percobaan terhadap Albert, seorang bayi berumur sembilan bulan.Rasa takut pada diri Albert dibentuk dengan berkali-kali mendekatkan seekor tikus putih (stimulans) di dekat kepala Albert. Pertama tikus putih diletakkan dekat kepala Albert, Albert tidak memperhatikan reaksi takut. Tetapi setelah beberapa kali kehadiran tikus putih disertai dengan bunyi suara palu (stimulans berkondisi), Albert menunjukkan rasa takut. Kemudian bila hanya diberi suara palu saja yaitu stimulans tanpa kondisi, reaksi takut tetap diperlihatkan oleh Albert. Watson menyimpulkan, Albert telah belajar dengan jalan menghubungkan (mengasosiasikan) tikus dengan bunyi yang gaduh, atau mengasosiasikan antara stimulans yang berkondisi dengan stimulans yang takberkondisi. Oleh karena itu Watson dengan rasa bangga melontarkan ucapan bombastisnya: "Beri aku bayi selanjutnya terserah dapat dibentuk mau menjadi apa saja!”.

D. Intelegensi dan Pengaruhnya Terhadap

Keberhasilan Belajar

Inteligensi merupakan masalah yang banyak dibahas orang sejak lama. alaupun ada pergeseran pandangan dalam masalah ini, tetapi pada umumnya orang erpendapat bahwa inteligensi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan belajar seseorang. Inteligensi juga sering disebut dengan kecerdasan. Istilah inteligensi berasal dari kata latin “intelligere” yang berarti menghubungkan atau

202

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

menyatukan satu sama lain. Definisi inteligensi sendiri cukup beragam. Salah satu definisi dinyatakan oleh David Wechster (1986). Definisinya mengenai intelegensi mula-mula sebagai kapasitas untuk mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Namun di lain kesempatan ia mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif.7

William Stern mengemukakan batasan sebagai berikut: intelegensi ialah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya. William Stern berpendapat bahwa intelegensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan, pendidikan atau lingkungan tidak begitu berpengaruh kepada intelegensi seseorang.8

Intelegensi menurut Ngalim Purwanto adalah factor total, berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan didalam (ingatan , fantasi, perasaan, perhatian, minat dan sebagainya turut mempengaruhi seseorang). Intelegensi merupakan salah satu aspek yang penting dan sangat menentukan berhasil tidaknya seoarng siswa dalam belajar, manakala siswa memiliki intelegensi normal tetapi prestasi belajarnya sangat rendah sekali, hal ini bisa disebabkan oleh hal-hal lain, seperti sering sakit, tidak belajar dirumah, dan sebagainya. Kalau seorang siswa memiliki tingkat intelegensi dibawah normal, maka sulilt baginya untuk bersaing didalam pencapaian prestasi tinggi dengan siswa yang mempunyai intelegensi normal atau diatas normal. Siswa yang demikian keadaannya hendaknya diberi pertolongan khusus serta pendidikan khusus, seperti kursus dan lain sebagainya. Intelegensi seorang siswa dapat diketahui dari tingkah laku atau pebuatannya yang tampak. Bagi suatu perbuatan intelegensi bukan hanya kemampuan yang dibawa sejak lahir saja yang penting, faktor-faktor lingkungan dan pendidikan pun memegang peranan penting.9

Menurut konsepsi inteligensi ini adalah persatuan (kumpulan yang di persatukan) daripada daya-daya jiwa yang khusus. Karena itu pengukuran mengenai inteligensi juga dapat di tempuh dengan cara mengukur daya-daya jiw khusus itu, misalnya daya mengamati, daya mereproduksi, daya berfikir dan sebagainya.10

7 Irwanto dkk, Psikologi Umum (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 1994) h. 166 8 Ibid.,h.167 9 Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan

(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), h. 53 10 Suryabrata Sumadi, Psikologi Pendidikan;

(Jakarta: Raja Grafindo, 2004), h.125

Sementara itu GD Stoddard (dalam Crow & Crow, 1984) menyatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan yang mengendalikan aktifitas-aktifitas dengan ciri-ciri sukar, kompleks, abstrak, tepat, bertujuan, bernilai sosial dan menampakkan adanya keaslian, serta kemampuan untuk mempertahankan kegiatan-kegiatan seperti itu dalam kondisi yang memerlukan energi dan berlawanan dengan kekuatan-kekuatan emosional. Sedangkan Terman mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan berpikir abstrak.11

Intelegensis adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis kecakapan, yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif, mengetahui/ menggunakan konsep-konsep yang abstrak secara efektir, mengetahui relasi dan mempelajarinya dengan cepat.12 Jadi intelegensi adalah kesang-gupan seseorang untuk beradaptasi dalam berbagai situasi dan dapat diabstraksikan pada suatu kualitas yang sama.

Dari batasan yang dikemukakan di atas, dapat kita ketahui bahwa: 1) Intelegensi itu ialah faktor total berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan di dalamnya (ingatan, fantasi, penasaran, perhatian, minat dan sebagainya juga mempengaruhi intelegensi seseorang); 2) Kita hanya dapat mengetahui intelegensi dari tingkah laku atau perbuatannya yang tampak. Intelegensi hanya dapat kita ketahui dengan cara tidak langsung melalui “kelakuan intelegensinya”; 3) Bagi suatu perbuatan intelegensi bukan hanya kemapuan yang dibawa sejak lahir saja, yang penting faktor-faktor lingkungan dan pendidikan pun memegang peranan; 4) Bahwa manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan-tujuan yang baru, dapat memikirkan dan menggunakan cara-cara untuk mewujudkan dan mencapai tujuan itu.

Dalam teori-teori tentang inteligensi, banyak para ahli yang menyatakan adanya faktor-faktor tertentu dalam inteligensi. Namun mengenai faktor-faktor apa yang terdapat dalam inteligensi, sampai saat ini belum ada kesepakatan di antara para ahli itu sendiri.

Menurut Spearman, inteligensi mengandung 2 faktor: 1) General ability (faktor G) merupakan faktor yang mendasari semua tingkah laku orang. Jadi dalam setiap tingkah laku terdapat faktor g yang sama. 2) Special ability (faktor S) merupakan faktor yang berfungsi pada tingkah laku khusus. Jadi dalam tingkah laku yang berbeda akan terdapat faktor s yang berbeda, namun faktor g-nya sama.

11 H.M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan,

(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) h. 117 12 Slameto. Belajar dan Faktor -faktor yang

mempengaruhinya. (Jakarta: Bina Aksara, 2003), h.54

203

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

Teori yang cukup banyak dianut adalah bahwa intelegensi terdiri dari suatu faktor G (General faktor) dengan berbagai faktor-faktor S (Specifik Faktor). Faktor G bukanlah sekedar penjumlahan dari faktor-faktor S. Masing-masing merupakan suatu kesatuan yang memiliki kualitas sendiri. Stern yang menyebutkan bahwa inteligensi adalah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir menurut tujuannya.

Teori faktor yang lain dikemukakan oleh Sternberg, yang mengembangkan triarchic theory of intelligence (Elliott, dkk, 1999). Menurut Sternberg terdapat 3 elemen dalam inteligensi:

1) Componential. Merupakan kemampuan untuk berpikir abstrak, memproses informasi, serta menentukan apa yang perlu dilakukan

2) Experiental. Merupakan kemampuan belajar dari pengalaman, sehingga dapat digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas familiar secara efisien.

3) Contextual. Merupakan kemampuan individu untuk beradaptasi dengan lingkungan dalam memecahkan masalah pada situasi khusus. Sering disebut sebagai inteligensi praktis.

Sementara itu Howard Gardner memunculkan teori multiple intelligences (Elliott, 1999). Gardner menyatakan bahwa kemampuan kognitif manusia digambarkan sebagai sekumpulan kemampuan, bakat atau keterampilan mental yang disebut sebagai inteligensi. Setiap manusia memiliki tiap kemampuan tersebut, hanya berbeda tingkat serta kombinasinya. Menurut Gardner terdapat 7 macam kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan musikal, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan pandang ruang, kecerdasan gerakan badan, kecerdasan interpersonal serta kecerdasan intrapersonal.

Walaupun ada perbedaan konsepsi mengenai inteligensi, namun pada umumnya para ahli sepakat bahwa masing-masing individu memiliki inteligensi yang berbeda-beda. Karena itu antara individu yang satu dengan yang lain juga tidak sama kemampuannya dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. Untuk mengetahui perbedaan inteligensi tersebut diperlukan sebuah tes inteligensi. Orang yang pertama kali menciptakan tes inteligensi adalah Binet, yaitu pada tahun 1905, yang kemudian mendapatkan revisi baik dari Binet sendiri maupun dari ahli lain. Walaupun tes inteligensi sangat berguna, khususnya dalam bidang pendidikan, namun hendaknya penggunaan tes inteligensi beserta hasilnya dilakukan dengan hati-hati. Karena tes inteligensi bukan hal yang serba menentukan, maka sebaiknya jangan dipakai sebagai satu-satunya pedoman, melainkan dipergunakan dalam kombinasi dengan instrumen pendidikan yang lain.

E. Pembahasan

1. Pengaruh Genetik Terhadap Keberhasilan Belajar Anak

Chabris bersama rekannya David Laibson, seorang ekonom Harvard, memimpin tim peneliti internasional yang menganalisis lusinan gen dengan menggunakan set data besar yang mencakup alat tes kecerdasan dan data genetik. Penelitian tersebut menunjukkan, dalam hampir setiap kasus, peneliti menemukan bahwa kecerdasan tidak bisa dihubungkan dengan gen spesifik yang diujikan. Kemudian, para ilmuwan ini memublikasikan hasil penelitiannya secara online dalam Psychological Science. Dalam semua pengujian hanya menemukan satu gen yang muncul yang berkaitan dengan kecerdasan dan itu efeknya sangat kecil. Hal ini bukan berarti kecerdasan tidak memiliki komponen genetik. Akan tetapi, jauh lebih sulit menemukan gen tertentu atau varian genetik tertentu yang memengaruhi perbedaan kecerdasan”.

Chabris menambahkan, karena keterbatasan teknologi, studi terdahulu membatasi para peneliti menganalisis gen spesifik lebih dari beberapa lokasi genom manusia untuk menemukan gen yang memengaruhi kecerdasan. Ia menekankan penelitian sebelumnya bukan berarti salah, para peneliti pada saat itu telah menggunakan teknologi dan informasi yang telah tersedia. "Penelitian tambahan diperlukan untuk menentukan gen yang berperan memengaruhi kecerdasan manusia.

Dalam hubungan ini ada tiga teori yang terkenal yang membahas masalah pengaruh genetik dalam perkembangan manusia, termasuk keberhasilannya dalam belajar.

a. Aliran Nativisme

Aliran atau teori “nativisme” dengan tokoh utamanya adalah Schopenhauer dan tokoh lainnya yang termasuk aliran ini adalah Plato, Descartes, Lombroso. Menurut pendapat ini yang paling ekstrem menyatakan bahwa perkembangan manusia itu sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor pembawaan atau faktor-faktor yang dibawa sejak lahir.

Para ahli yang berpendirian nativis biasanya mempertahankan kebenaran konsepsi ini dengan menunjukan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dengan anak-anaknya. Misalnya kalau orang tuanya pemusik kemungkinan nanti anaknya menjadi pemusik., kalau orang tuanya pelukis kemungkinan anaknya nanti akan jadi pelukis, demikian juga kalau orang tuanya ahli matematika, maka kemungkinan anaknya jadi ahli matematika. Jadi kondisi keahlian dan kemampuan orang tuanya juga diwarisi anaknya. Dengan demikian faktor lingkungan atau pendidikan menurut aliran ini tidak bisa berbuat apa-apa dalam mempengaruhi perrkembangan seseorang.

Dalam ilmu pendidikan aliran ini dikenal sebagai aliran “ Pedagogik Pesimisme” yaitu pendidikan tidak dapat mempengaruhi perkem-bangan anak ke arah kedewasaan yang dikehendaki

204

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

oleh pendidikan. Bagi kaum nativis mereka mengangap yang menentukan perkembangan seorang anak itu hanyalah faktor pembawaan, mereka tidak memperhatikan rangsangan atau pengaruh yang datang dari luar. Padahal kita tahu bahwa tidak semua sesuatu ditentukan oleh warisan atau pembawaan orang tuanya, misalnya orang tuanya adalah sesorang tentara ternyata karena pengaruh teman-temannya, anaknya menjadi seorang seorang guru. Hal semacam ini mungkin saja terjadi, karena lingkungan pergaulan anak itu tidak hanya di rumah atau dibawah pengawasan orang tuanya saja, tetapi juga di sekolah, masyakat, organisasi dan lain-lain.

b. Aliran Empirisme

Paham empirisme ini tokoh utamanya adalah John Locke. Teori ini secara ekstrem menekankan kepada pengaruh lingkungan. Menurut teori ini lingkunganlah yang menjadi penentu perkembangan seseorang. Baik buruknya perkembangan pribadi seseorang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan atau pendidikan.

Jadi teori ini menganggap faktor pembawaan tidak berperan sama sekali terhadap perkembangan manusia. Menurut pendapat kaum empiris, lingkunganlah yang maha kuasa dalam menentukan perkembangan pribadi seseorang. Oleh karena itu, dalam ilmu pendidikan aliran ini disebut dengan aliran pendidikan “ Pedagogik Optimisme” artinya pendidikan maha kuasa untuk membentuk atau mengembangkan pribadi seseorang.

Permasalahanya adalah apakah pendidikan atau lingkungan dapat dengan sepenuhnya mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang. Sebagai contoh di dalam sebuah sekolah yang sama, di kelas yang sama, dan guru yang sama, kita menemukan tingkat pemahaman anak terhadap pelajaran itu berbeda-beda. Ada anak yang cepat paham, ada anak yang lambat dalam pemahamannya, bahkan ada juga anak yang sulit sekali dalam memahami pelajaran. Hal ini menunjukan bahwa faktor lingkungan bukan satu-satunya yang mempengaruhi dalam perkembangan anak.

c. Aliran Konvergensi

Aliran ini yang menjembatani atau menengahi kedua teori/paham sebelumnya bersifat ekstrem yaitu teori nativisme dan teori empirisme. Sesuai dengan namanya konvergensi yang artinya perpaduan, maka teori ini tidak memihak bahkan memadukan pengaruh kedua unsur pembawaan dan lingkungan tersebut dalam proses perkembangan.

Pada teori ini baik unsur pembawaan maupun unsur linkungan keduanya merupakan sama-sama faktor yang dominan pengaruhnya bagi perkembangan seseorang. Misalnya seseorang yang berbakat musik tidak akan berkembang menjadi seorang ahli musik apabila tidak ditunjang oleh lingkungan atau pendidikan yang memadai.

Teori yang ketiga inilah yang sampai sekarang masih teruji dan dipertahankan kebenaran pendapatnya. Teori menggambarkan bagaimana hubungan yang berimbang antara faktor warisan orang tua dengan lingkungan dalam mempengaruhi perkembagan seseorang. Ada suatu keselarasan antara bakat dan pendidikan. Sehebat apapun bakat seseorang tanpa adanya latihan tidak akan berkembang, begitupun sebaliknya.

Dari uraian-uraian diatas maka dapat diambil pokok- pokok sebagai berikut: genetik merupakan pewarisan sifat-sifat atau ciri-ciri dari orang tua kepada anaknya, menurut teori nativis perkembangan seseorang hanya dipengaruhi oleh faktor gen saja, pendapat ini kemudian dibantah oleh teori empiris, menurut mereka lingkunganlah yang membentuk perkembangan seseorang. Kemudian muncullah teori konvergensi yang menggabungkan kedua teori tersebut, teori ini menyebutkan bahwa faktor lingkungan dan faktor keturunan sama-sama berpengaruh dalam perkembangan seseorang. Pembawaan merupakan istialah lain dari heriditas yang dapat diartikan sebagai pewarisan sifat-sifat fisik maupun psikologis melalui sarana genetik. Pembawaan merupakan seluruh kemungkinan- kemungkinan atau potensi-potensi yang ada pada individu yang selama masa perkembangannya benar-benar dapat diwujudkan, misalnya melalui proses pembelajaran. Sedanghkan lingkungan merupakan hal-hal diluar diri seseorang yang dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan orang tersebut, baik berupa benda, orang lain, keadaan dan peristiwa di sekitar yang langsung maupun tidak langsung dan secara sengaja maupun tidak sengaja. Jadi, pembawaan dan lingkungan bisa saling melengkapi, misalkan pembawaannya kurang baik, dengan dorongan lingkungan maka seseorang akan dapat berkembang secara maksimal.

2. Pengaruh Intelegensi (Intelligence) Terhadap Keberhasilan Belajar

Keberhasilan belajar adalah hasil penilaian pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa. Keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya intelegensi (Intelligence).

Pada umumnya orang berpendapat bahwa intelegensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar. Pada gilirannya akan memberikan hasil yang optimal. Hal ini didukung oleh fakta bahwa lembaga-lembaga pendidikan lebih bersedia menerima calon siswa yang menampakkan indikasi kemampuan intelektual tinggi daripada yang tidak. Fakta lain adalah didirikannya lembaga-lembaga pendidikan khusus bagi mereka yang memiliki hambatan atau kelemahan intelektual.

Belajar, dalam pengertian yang paling umum, adalah setiap perubahan perilaku akibat pengalaman yang diperoleh, atau sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya. Karena manusia bersifat dinamis dan terbuka terhadap berbagai perubahan

205

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

yang terjadi pada dirinya dan lingkungan sekitarnya maka proses belajar akan selalu terjadi tanpa henti.

Keberhasilan belajar dinyatakan dalam berbagai indikator berupa nilai rapor, indeks prestasi studi, angka kelulusan, prediksi keberhasilan dan semacamnya. Para ahli mengatakan bahwa keberhasilan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersumber dari dalam diri (internal) maupun dari luar (eksternal) individu. Faktor internal meliputi keadaan fisik secara umum. Sedangkan psikologi meliputi variable kognitif termasuk di dalamnya adalah kemampuan khusus (bakat) dan kemampuan umum (intelegensi). Variabel non kognitif adalah minat, motivasi, dan variabel-variabel kepribadian. Faktor eskternal meliputi aspek fisik dan sosial. Kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar, materi pelajaran dan kondisi lingkungan belajar merupakan aspek fisik. Sedangkan dukungan sosial dan pengaruh budaya termasuk aspek sosial.

Selain konsep tersebut di atas Daniel Goleman (1999) mengemukakan konsep kecerdasan yang dapat mempengaruhi peningkatan prestasi seseorang yaitu kecerdasan emosi (Emotional Intelligence). Menurut Goleman, kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Kecerdasan emosi mencakup kemampuan–kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang cerdas, dalam arti terpelajar dan memiliki prestasi akademik tetapi kecerdasan emosinya rendah, kerap bekerja sebagi bawahan orang ber-IQ lebih rendah namun unggul dalam kecerdasan emosi.

Keberhasilan belajar ditentukan oleh interaksi berbagai faktor. Peranan faktor penentu itu tidak selalu sama dan tetap. Besarnya kontribusi salah satu faktor akan ditentukan oleh kehadiran faktor lain dan sangat bersifat situasional, yaitu tidak dapat diprediksikan dengan cermat akibat keterlibatan faktor lain yang sangat variatif.

Inteligensia sebagi unsur kognitif dianggap memegang peranan yang cukup penting. Bahkan kadang-kadang timbul anggapan yang menempatkan inteligensia pada peranan yang melebihi proporsi yang sebenarnya. Sebagian orang bahkan menganggap bahwa hasil tes IQ yang tinggi merupakan kunci kesuksesan dalam belajar. Akibatnya bila terjadi kasus kegagalan belajar pada anak yang memiliki IQ tinggi menimbulkan reaksi berlebihan berupa kehilangan kepercayaan pada institusi yang menggagalkan anak tersebut, atau kehilangan kepercayaan pada pihak yang telah memberikan diagnosa IQ-nya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa intelegensi hanya merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan dalam belajar. Interaksi antar berbagai faktor (internal dan

eksternal) yang menjadi determinan atau penentu bagaimana hasil akhir proses belajar yang dialami individu. Peranan masing-masing faktor penentu tidak selalu sama dan tetap. Meskipun banyak orang berpendapat untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki intelegensi yang juga tinggi. Hal ini karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar (Bachtiar, 2009).

Kenyataannya, dalam proses pembelajaran di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi, tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah. Namun, ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Kecerdasan intelektual hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ), yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama (Bachtiar, 2009).

Di Indonesia, penelitian mengenai pengaruh antara intelegensi dengan prestasi belajar telah banyak dilakukan. Penelitian Utami Munandar menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara intelegensi dengan prestasi belajar sebesar r = 0,72 di SD dan r = 0,58 di SMP. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa besarnya hubungan antara keberhasilan belajar dan intelegensi.

Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.

IQ tinggi ditandai dengan ingatan yang kuat (As’adi Muhammad, 2010:51). IQ yang tinggi memudahkan seorang murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan fisik (demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional. Awal untuk melihat IQ seorang anak adalah pada saat ia mulai berkata-kata. Ada hubungan langsung antara kemampuan bahasa si anak dengan IQ-nya. Apabila seorang anak dengan IQ tinggi masuk sekolah, penguasaan bahasanya akan cepat dan banyak. Rumus kecerdasan umum, atau IQ yang ditetapkan oleh para ilmuwan adalah :

206

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

Usia Mental Anak

x 100 = IQ Usia Sesungguhnya

Contoh : Misalnya anak pada usia 3 tahun telah mempunyai kecerdasan anak-anak yang rata-rata baru bisa berbicara seperti itu pada usia 4 tahun. Inilah yang disebut dengan Usia Mental. Berarti IQ si anak adalah 4/3 x 100 = 133.

Interpretasi atau penafsiran dari IQ adalah sebagai berikut :

TINGKAT KECERDASAN IQ

Genius Di atas 140

Sangat Super 120 – 140

Super 110 – 120

Normal 90 -110

Bodoh 80 – 90

Perbatasan 70 – 80

Moron / Dungu 50 – 70

Imbecile 25-50

Idiot 0 – 25 Pengaruh intelegensi terhadap keberhasilan

belajar adalah masalah dimensionalitas intelegensi dalam prestasi pada pendidikan di sekolah. Dengan demikian hasil penelitian tentang pengaruh intelegensi dengan keberhasilan belajar atau prestasi belajar telah banyak dilakukan. Pada umumnya hasil yang diperoleh signifikan. Hal ini menunjukkan ada korelasi yang cukup tinggi antara intelegensi dengan keberhasilan belajar, semakin tinggi intelegensi siswa semakin tinggi pula prestasi yang diperoleh.

3. Keberhasilan Belajar antara Genetik dan Intelegensi

Perbedaan-perbedaan intelegensi anak, adalah fungsi dan perbedaan-perbedaan dalam faktor hereditas dan lingkungan (genetik). Banyak penelitian dilakukan para ahli dalam hal ini terutama terhadap pasangan kembar (kembar siam, kembar sempurna) dengan menggunakan statistik korelasi. Korelasi (hubungan) antara IQ anak cenderung mengikuti kesamaan-kesamaan dalarn faktor genetik dan lingkungan. Angka koefisien korelasi cenderung menurun, bila kesamaan dalam faktor genetik dan lingkungan semakin berkurang. Untuk anak kembar

yang tinggal dalam lingkungan yang sama angka koefisien (simbol r) cukup tinggi, yaitu r = 0,87.

Studi terhadap orang tua angkat memberikan banyak informasi tentang pengaruh relatif hereditas dan lingkungan terhadap inteligensi anak. Bagaimana status intelegensi anak-anak angkat yang diadopsi sejak bayi, apakah dipengaruhi oleh orang tua angkat (lingkungan), atau oleh orang tua asli (hereditas) ? Bila lingkungan yang menyebabkan perbedaan-perbedaan yang besar, maka seharusnya terdapat korelasi antara IQ anak dan IQ orang tua angkat. Sebaliknya, bila faktor hereditas yang menyebabkan perbedaan-perbedaan, seharusnya terdapat korelasi yang cukup tinggi antara IQ anak dan IQ orang tua asli.

Kesimpulan yang ditemukan antara lain korelasi anak dengan pendidikan ibu angkat dan pendidikan ayah angkat, kedua-duanya menunjukkan angka nol. Artinya, tidak terdapat hubungan sama sekali, pendidikan orang tua angkat tidak mempengaruhi inteligensi anak angkat mereka. Tetapi korelasi antara IQ anak dengan IQ dan pendidikan orang tua masih cukup tinggi, terletak antara 0,32 dan 0,44. Sekalipun ada penelitian terdahulu, terhadap 312 anak angkat, menyimpulkan, nilai korelasi hanya 0.13 antara IQ anak angkat dengan IQ ibu masih mereka. Ternyata gambaran yang betul-betul sempurna memang sukar ditemukan.

Studi terhadap anak kembar yang hidupnya dalam keluarga terpisah danlingkungan yang berbeda-beda, dilakukan dengan mengkorelasikan antara IQyang berbeda-beda dengan lingkungan yang berbeda-beda. Laporan studi Newman dkk (1937), dan Burt (1966), menunjukkan terdapat korelasi yang tinggi sekali (sekitar 0,74 dan 0,90) antara perbedaan pendidikan (kultural) dalam lingkungan dengan perbedaan dalam prestasi di sekolah. Dari berbagai data dan penelitian dapat ditarik satu kesimpulan umum bahwa perbedaan-perbedaan hereditas dan lingkungan menyebabkan terjadi perbedaan-perbedaan dalam inteligensi atau IQ anak. Reaksi terhadap kesimpulan ini cukup besar, masing-masing dari kelompok hereditarians dan kelompok lingkungan. Masing-masing mengklaim peranan dominannya.

Hereditarians menganggap IQ itu faktor yang hampir tidak berubah dan telah ditentukan gena-gena yang berkaitan sejak lahir. Sebaliknya, kaum environmentalists, menekankan sifat dapat berubahnya IQ, inteligensi dapat ditingkatkan oleh lingkungan, karena itu untuk memperolch perkembangan inteligensi yang tinggi perlu ada perbaikan dalam lingkungan, terutama dalam sistem pendidikan.

Ketajaman perbedaan antara nature dan nurture ini amat terasa di dalam psikologi pendidikan. Pengaruh yang amat besar dari sini terhadap pendidikan dan pengajaran datang dari dua kelompok pakar, yaitu dari kelompok pakar pengukuran atau tes terutama tes inteligensi (IQ) dan tes prestasi belajar, yang pada umunmya adalah

207

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

pengikut aliran hereditarian atau nature. Di lain pihak kelompok pencetus dari berbagai teori belajar atau theories of learning pada umumnya adalah penganut aliran perilaku (behavionistik) yang cenderung berpandangan environmetalism (nurture).

F. Penutup

Pendidik sangat perlu mengenal dan mengetahui isu konflik antara genetik dan intelegensi ini terhadap keberhasilan belajar. Mengapa ? Tujuan dan peranan pendidik adalah mendidik peserta didik sebagai mana adanya. Pengetahuan tentang kontroversi genetik dan intelegensi ini terhadap keberhasilan belajar ini diperlukan untuk membuka dan memperluas wawasan sebagai seorang pendidik yang profesional. Dengan pengetahuan ini, pekerjaan pembelajaran dapat dilakukannya lebih fleksibel.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta : Rineka Cipta

Arifin, Zainal. 2009. Evaluasi Pembelajaran (Prinsip, Teknik, Prosedur). Jakarta: Remaja Rosdakarya

Hamalik, Oemar. 2008. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara

H.M. Alisuf Sabri. 1996. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya

Irwanto dkk. 1994. Psikologi Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Ngalim, Purwanto. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor -faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Bina Aksara

Suryabrata Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo

Surya, Mohamad. 2004. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Bani Quraisy

208

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

TRADISI PEMIKIRAN ILMIAH RENAISSANCE AUFKLARUNG, SERTA ZAMAN MODERN

Oleh:

Mujahid Damopolii

Abstrak

Renaissance (Masa yang juga disebut masa keraguan,dirinya dan jiwanya saja diragukan. Yang tidak di ragukan hanya dirinya yang ragu itu, keraguan yang dimaksud disini adalah keraguan metafisik) dan mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme. Renaissance lebih merupakan gerakan kebudayaan daripada aliran filsafat. Aufklarung masa ini disebut dengan masa pencerahan yang menurut Immanuel Kant,di zaman ini manusia terlepas dari keadaan tidak balik yang disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendir yang tidak memanfaatkan akalnya. Voltaire menyebut zaman pencerahan sebagai “zaman akal” dimana manusia merasa bebas,zaman perwalian pemikiran manusia dianggap sudah berakhir,mereka merdeka dari segala kuasa dari luar dirinya. Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metode-metode rasional. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihar empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Kritisisme Kant adalah suatu usaha besar untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Sementara Zaman modern adalah sebuah proses “penyempurnaan” secara kumulatif kualitas subjektivitas dengan segala kemampuan objektif akal budinya dalam mencapai satu tingkatan sosial yang disebut dengan “kemajuan”. Keterputusan dari nilai-nilai mitos, spirit ketuhanan, telah memungkinkan manusia modern untuk mengukir sejarahnya sendiri di dunia suatu proses self determination. Kata kunci : Renaissance; manusia modern

A. Pendahuluan Sebagaimana lazimnya suatu dialog

intelektual, di satu sisi terdapat bagian yang dilestarikan dan sisi lain ada bagian dikritisi atau diserang bahkan mungkin ada bagian yang ditolak. Di dunia Islampun muncul pelestari warisan Yunani, Persia dan Romawi, namun juga banyak yang melakukan kritik terhadapnya. Disinilah tampak dinamika intelektual. Konsep Ide Plato terus dipelajari dan dikembangkan,begitu juga konsep Akal dan Logika Aristoteles serta konsep Emanasi Plotinus. Semunya tetap dijadikan pijakan. Ini membuktikan bahwa ketiga filsuf tersebut yang nota bene merupakan para pionir memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pola pikir para filusuf generasi berikutnya tidak terkecuali Immauel Kant, Filsuf kelahiran Jerman yang abad ke-18. Menurut Kant,Filsafat adalah ilmu (Pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.

Tampak adanya perbedaan yang menyolok antara abad ke-17 dan abad ke-18. Pada abad ke-17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran baru terhadap kenyataan bendawi dan rohani, yaitu kenyataan yang mengenai manusia, dunia dan Allah, dan tokoh-tokoh filsafat di era ini adalah juga tokoh-tokoh gereja sehingga mereka tidak lepas dari isu-isu ketuhanan,Yesus dan sebagainya. Akan tetapi abad ke-18 menganggap dirinya mendapat tugas untuk meneliti secara kritik (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal)segala yang ada,baik di dalam negara maupun di dalam masyarakat. John Locke

yang mendominasi filsafat pada abad ke-18, seperti sahabatnya, Newton yang mendominasi ilmu pada periode yang sama.Awal abad ke-18 adalah masa yang gemilang. Eropa sembuh dari kekalutan selamah dua abad sebelumnya.

Ini tentu sangat berbeda kondisinya dengan tradisi keilmuan dalam Islam pada abad yang sama. Dahulu filsafat mewujudkan suatu pemikiran yang hanya menjadi hal istimewa beberapa ahli saja,tetapi sekarang orang berpendapat,bahwa seluruh umat manusia berhak turut menikmati hasil-hasil pemikiran filsafat dan juga menjadi tugas filsafat.

Zaman Renaissance merupakan satu sempadan antara zaman kegelapan dan pencerahan di Eropah. Renaissance berasal dari kata Re (kembali) dan Naitre (lahir). Jadi, arti renaissance sebenarnya adalah lahirnya kembali orang Eropa untuk mempelajari ilmu pengetahuan Yunani dan Romawi Kuno yang ilmiah/rasional. Sebelum Renaissance, bangsa Eropa mengalami jaman kegelapan/The Dark Age. Dalam jaman itu gereja berkuasa mutlak, ajaran gereja menjadi sesuatu yang tidak boleh dibantah. Dalam perkembangannya mulai muncul gerakan yang mencoba melepaskan dari ikatan itu yang disebut gerakan Renaissance. Dalam jaman itu pula, pemikiran-pemikiran ilmiah tenggelam oleh dogma-dogma Gereja.

Zaman Renaissance adalah zaman yang didukung oleh cita-cita untuk melahirkan kembali manusia yang bebas, yang telah dibelenggu oleh zaman abad tengah yang dikuasai oleh Gereja atau agama. Manusia bebas ala Renaissance adalah manusia yang tidak mau lagi terikat oleh orotitas

209

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

yang manalun (tradisi, sistem gereja, dan lain sebagainya), kecuali otoritas yang ada pada masing-masing diri pribadi.

Wibisono dalam Rusli (ed), (1992: 104) mengemukakan manusia bebas ala Renaissance itu kemudian “didewasakan” oleh zaman Aufklarung, yang ternyata telah melahirkan sikap mental menusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai masa depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Ada daya dorong yang mempengaruhi perkembangan ilmu dan teknologi yaitu pandangan untuk menguasai alam. Tiada hari tanpa hasil kreasi dan inovasi. Semenjak itulah dunia Barat telah melakukan tinggal landas mengarungi angkasa ilmu pengetahuan yang tiada bertepi untuk menaklukkan dan menguasai alam demi kepentingan “kesejahteraan hidupnya”. Hasilnya adalah teknologi supra-modern yang mereka miliki sebagaimana kita lihat sekarang ini.

Menurut Koentjaraningrat (1994:2) unsur-unsur kebudayaan yang ada di dunia ini adalah: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Dari ketujuh unsur itu yang akan menjadi telaahan adalah sistem pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan dan sistem teknologi. Ilmu dan teknologi sebagai kerangka kebudayaan dapat dilihat, pertama sebagai kekuatan produksi, kedua sebagai ideologi yang didalam termasuk politik, ketiga sebagai kerangka kebudayaan modern, dan keempat mencari relevansi bagi pembangunan Indonesia.

Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.

Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan. Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung

menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir (menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah”, “clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.

Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, “extention”) atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu). Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan).

Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran. Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.

Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a bundle or collection of perceptions (kesadaran tertentu)”.

Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan

210

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang “hukum alam” atau “sebab-akibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.

Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini. Oleh karena itu dalam tulisan ini perlu dibahas tradisi pemikiran ilmiah yang terkait dengan “Renaissance, Afklarung, serta Zaman Modern”.

B. Tradisi Pemikiran Ilmiah Renaissance

Renaissance berarti “lahir kembali”. Pengertian rilnya adalah manusia mulai memiliki kesadaran-kesadaran baru yang mengedepankan nilai dan keluhuran manusia. Suasana dan budaya berpikirnya memang melukiskan “kembali” kepada semangat awali, yaitu semangat filsafat Yunani kuno yang mengedepankan penghargaan terhadap kodrat manusia itu sendiri.

Zaman ini lebih merupakan gerakan kebudayaan daripada aliran filsafat. Keluhuran dan kehebatan manusia tampak dalam ungkapan-ungkapan seni hasil karya manusia. Politik tidak lagi dipikirkan dalam kaitannya dengan iman dan agama, tetapi dengan politik itu sendiri, sebab politik mempunyai etika dan moralnya sendiri. Etika politik adalah etika kekuasaan, artinya tunduk pada pertimbangan-pertimbangan kestabilan dan

keselamatan negara, bangsa, pemerintahan dan kekuasaan.

Bila abad pertengahan memegang teguh konsep ilmu pengetahuan sebagai rangkaian argumentasi, jaman renaissance merombaknya dengan paham baru, yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu adalah soal eksperimentasi. Pembuktian kebenaran bukan lagi pembuktian argumentatif, melainkan eksperimental –matematis -kalkulatif. Tokoh- tokohnya antara lai: Galileo Galilei, Hobbes, Newton, Bacon.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jaman renaissance adalah zaman pendobrakan manusia untuk setia dan konstan dengan jati dirinya. Jaman ini sekaligus menggulirkan semangat baru yang menghebohkan, terutama dalam hubungannya dengan karya seni, ilmu pengetahuan, sastra dan aneka kreativitas manusia yang lain. Di sini filsafat memegang fungsinya yang baru yaitu meletakkan dasar-dasar bangunan pengembangan aneka ilmu alam/ pasti yang merintis hadirnya tekhnologi-tekhnologi seperti yang kita nikmati sekarang ini.

Dengan demikian latar belakang laihirnya Renaissance adalah sebagai usaha pembaharuan kebudayaan Romawi dan Yunani yang pada masa abad tengah/masa kegelapan sempat dilupakan, yaitu tipe manusia yang otonom dan mandiri. Disini Renaissance lahir sebagai pembaharu untuk membentuk manusia yang mandiri, utuh, otonom, dan bertanggungjawab. Pola pikir abad tengah (terbelenggu ajaran gereja; disalahgunakan ) diganti dengan pola pikir rasional baik SDA maupun SDMnya sehingga manusia bisa berkembang. Dampak perkembangan renaissance adalah: (1) berkembangnya ilmu pengetahuan (IPTEK); (2) Orang mulai berpikir kritis. Menjadi maju, baik SDM maupun kebudayaannya; (3) Reformasi Gereja.

C. Tradisi Pemikiran Ilmiah Aufklarung

Filsafat abad ke-18 di Jerman disebut Zaman Aufklarung atau zaman pencerahan yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment, yaitu suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Zaman ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa dalam pemikiran filsafatnya. Namun setelah Immanuel Kant mengadakan penyelidikan dan kritik terhadap peran pengetahuan akal barula manusia terasa bebas dari otoritas yang datang dari luar manusia demi kemajuan peradaban manusia.

Pemberian nama ini juga dikarenakan pada zaman itu manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Immanuel Kant mendefenisikan zaman itu dengan mengatakan, “Dengan Aufklarung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak balig yang dengannya ia sendiri bersalah.” Apa sebabnya manusia itu sendiri yang bersalah? Karena manusia itu sendiri tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya,yaitu rasio. Sebagai latar belakangnya,manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti,biologi,filsafat dan sejarah)

211

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

telah mencapai hasil yang menggembirakan . Disisi lain jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam.

Isaac Newton ( 1642-1727) memberikan dasar-dasar berpikir dengan induksi,yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya umum. Untuk itu dibutuhkan analisis. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia Barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan Reformasi.

Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang program-program khusus diantaranya adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metode-metode rasional. Berikut ini akan diuraikan masa pencerahan di 3 (Tiga) Negara Eropa yaitu sebagai berikut. a. Pencerahan di Jerman

Pada umumnya Pencerahan di Jerman tidak begitu bermusuhan sikapnya terhadap agama Kristen seperti yang terjadi di Perancis. Memang orang juga berusaha menyerang dasar-dasar iman kepercayaan yang berdasarkan wahyu, serta menggantinya dengan agama yang berdasarkan perasaan yang bersifat pantheistic, akan tetapi semuanya itu berjalan tanpa “perang’ terbuka. Yang menjadi pusat perhatian di Jerman adalah etika. Orang bercita-cita untuk mengubah ajaran kesusilaan yang berdasarkan wahyu menjadi suatu kesusilaan yang berdasarkan kebaikan umum, yang dengan jelas menampakkan perhatian kepada perasaan. Sejak semula pemikiran filsafat dipengaruhi oleh gerakan rohani di Inggris dan di Perancis. Hal itu mengakibatkan bahwa filsafat Jerman tidak berdiri sendiri.

Para perintisnya di antaranya adalah Samuel Pufendorff (1632-1694), Christian Thomasius (1655-1728). Akan tetapi pemimpin yang sebenarnya di bidang filsafat adalah Christian Wolff (1679-1754). la mengusahakan agar filsafat menjadi suatu ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna, dengan mengusahakan adanya pengertian-pengertian yang jelas dengan bukti-bukti yang kuat. Penting sekali baginya adalah susunan sistim filsafat yang bersifat didaktis, gagasan-gagasan yang jelas dan penguraian yang tegas. Dialah yang menciptakan pengistilahan-pengistilahan filsafat dalam bahasa Jerman dan menjadikan bahasa itu menjadi serasi bagi pemikiran ilmiah. Karena pekerjaannya itu filsafat menarik perhatian umum.

Pada dasarnya filsafatnya adalah suatu usaha mensistimatisir pemikiran Leibniz dan menerapkan pemikiran itu pada segala bidang ilmu pengetahuan. Dalam bagian-bagian yang kecil memang terdapat penyimpangan-penyimpangan dari Leibniz. Hingga munculnya Kant yang filsafatnya merajai universitas-universitas di Jerman. Orang yang seolah-olah

dengan tiba-tiba menyempurnakan Pencerahan adalah Immanuel Kant (1724-1804). Yang merupakan Filsuf yang pengaruhnya terhadap filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini,baik di Barat maupun di Timur, hampir secara universal diakui sebagai filsuf terbesar sejak masa Aristoteles.

Ada yang berpendapat bahwa filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini bagaikan catatan kaki terhadap tulisan-tulisannya. Ada juga yang berpendapat sistem filsafatnya bagi dunia modern ini laksana Aristoteles bagi dunia skolastik: Kant lahir di Konigserg, Prusia Timur,Jerman.Pikiran-pikiran dan tulisan-tulisannya membawa revolusi yang jauh jangkauannya dalam filsafat modern.ia hidup dizaman Scepticism Sebagian besar hidupnya telah ia pergunakan untuk mempelajari logical process of thought (proses penalaran logis), the external world (dunia eksternal) dan reality of things (realitas segala yang wujud ).

Kehidupannya dalam dunia filsuf dibagi dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zaman kritis. Pada zaman pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh Wolff dkk. Tetapi karena terpengaruh oleh David Hume ( 1711-1776), berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah yang membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada zaman kriitsnya , Kant merubah wajah filsafatnya secara radikal. Dengan munculnya Kant dimulailah zaman baru, sebab filsafatnya mengantarkan suatu gagasan baru yang memberi arah kepada segala pemikiran filsafat la sendiri memang merasa, bahwa ia meneruskan Pencerahan. Karyanya yang terkenal dengan menampakkan kritisismenya adalah Critique of Pure Reason ?. (kritik atas rasio murni) yang membicarakan tentang reason dan knowing process yang ditulisnya selama lima belas tahun. Bukunya yang kedua adalah Critique of Practical Reason atau kritik atas rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya dan bukunya yang ketiga adalah Critique of judgment atau kritik atas daya pertimbangan.

Kant yang juga dikenal sebagai raksasa pemikir Barat mengatakan bahwa, Filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persolan yaitu: Apa yang dapat kita ketahui ?, Apa yang boleh kita lakukan?,Sampai dimanakah pengharapan kita? Dan Apakah manusia itu?.

b. Pencerahan di Inggris Di Inggris filsafat Pencerahan

dikemukakan oleh ahli-ahli pikir yang bermacam-macam keyakinannya. Kebanyakan ahli pikir yang seorang lepas daripada yang lain, kecuali tentunya beberapa aliran pokok. Salah satu gejala Pencerahan di Inggris ialah yang disebut Deisme, suatu aliran dalam filsafat Inggris pada abad ke-18, yang menggabungkan diri dengan gagasan

212

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

Eduard Herbert yang dapat disebut pemberi alas ajaran agama alamiah.

Menurut Herbert, akal mempunyai otonomi mutlak di bidang agama. Juga agama Kristen ditaklukkan kepada akal. Atas dasar pendapat ini ia menentang segala kepercayaan yang berdasarkan wahyu. Terhadap segala skeptisisme di bidang agama ia bermaksud sekuat mungkin meneguhkan kebenaran-kebenaran dasar alamiah dari agama. Dasar pengetahuan di bidang agama adalah beberapa pengertian umum yang pasti bagi semua orang dan secara langsung tampak jelas karena naluri alamiah, yang mendahului segala pengalaman dalam pemikiran akal.

Ukuran kebenaran dan kepastiannya adalah persetujuan umum segala manusia, karena kesamaan akalnya. Isi pengetahuan itu mengenai soal agama dan kesusilaan. Inilah asas-asas pertama yang harus dijabarkan oleh akal manusia sehingga tersusunlah agama alamiah, yang berisi: a) bahwa ada tokoh yang tertinggi; b) bahwa manusia harus berbakti kepada tokoh yang tertinggi itu; c) bahwa bagian pokok kebaktian ini adalah kebajikan dan kesalehan; d) bahwa manusia karena tabiatnya benci terhadap dosa dan yakin bahwa tiap pelanggaran kesusilaan harus disesali; e) bahwa kebaikan dan keadilan Allah memberikan pahala dan hukuman kepada manusia di dalam hidup ini dan di akhirat.

Menurut Herbert, di dalam segala agama yang positif terdapat kebenaran-kebenaran pokok dari agama alamiah. Pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 pandangan Herbert ini dikembangkan lebih lanjut, baik yang mengenai unsur-unsurnya yang negatif maupun unsur-unsurnya yang positif.

c. Pencerahan di Perancis

Pada abad ke-18 filsafat di Perancis menimba gagasannya dari Inggris. Para pelopor filsafat di Perancis sendiri (Descartes, dll) telah dilupakan dan tidak dihargai lagi. Sekarang yang menjadi guru mereka adalah Locke dan Newton.

Perbedaan antara filsafat Perancis dan Inggris pada masa tersebut adalah: Di Inggris para filsuf kurang berusaha untuk menjadikan hasil pemikiran mereka dikenal oleh umum, akan tetapi di Perancis keyakinan baru ini sejak semula diberikan dalam bentuk populer. Akibatnya filsafat di Perancis dapat ditangkap oleh golongan yang lebih luas, yang tidak begitu terpelajar seperti para filsuf. Hal ini menjadikan keyakinan baru itu memasuki pandaangan umum. Demikianlah di Perancis filsafat lebih eras dihubungkan dengan hidup politik, sosial dan kebudayaan pada waktu itu. Karena sifatnya yang populer itu maka filsafat di Perancis pada waktu itu tidak begitu mendalam. Agama Kristen diserang secara keras sekali dengan memakai senjata yang diberikan oleh Deisme. Sama halnya dengan di Inggris

demikian juga di Perancis terdapat bermacam-macam aliran: ada golongan Ensiklopedi, yang menyusun ilmu pengetahuan dalam bentuk Ensiklopedi, dan ada golongan materialis, yang meneruskan asas mekanisme menjadi materialisme semata-mata.

Diantara tokoh yang menjadi sentral pembicaraan disini adalah Voltaire (1694-1778), Pada tahun 1726 ia mengungsi ke Inggris. Di situ ia berkenalan dengan teori-teori Locke dan Newton. Apa yang telah diterimanya dari kedua tokoh ini ialah: a) sampai di mana jangkauan akal manusia, dan b) di mana letak batas-batas akal manusia. Berdasarkan kedua hal itu ia mem-bicarakan soal-soal agama alamiah dan etika. Maksud tujuannya tidak lain ialah mengusahakan agar hidup kemasyarakatan zamannya itu sesuai dengan tuntutan akal. Mengenai jiwa dikatakan, bahwa kita tidak mempunyai gagasan tentang jiwa (pengaruh Locke).Yang kita amati hanyalah gejala-gejala psikis. Pengetahuan kita tidak sampai kepada adanya suatu substansi jiwa yang berdiri sendiri.

Oleh karena agama dipandang sebagai terbatas kepada beberapa perintah kesusilaan, maka ia menentang segala dogma, dan menentang agama. Di Perancis pada era pencerahan ini juga ada Jean Jacques Rousseau (1712-1778), yang telah memberikan penutupan yang sistematis bagi cita-cita pencerahan di Perancis. Sebenarnya ia menentang Pencerahan, yang menurut dia, menyebarkan kesenian dan ilmu pengetahuan yang umum, tanpa disertai penilaian yang baik, dengan terlalu percaya kepada pembaharuan umat manusia melalui pengetahuan dan keadaban. Sebenarnya Rousseau adalah seorang filsuf yang bukan menekankan kepada akal, melainkan kepada perasaan dan subjektivitas. Akan tetapi di dalam menghambakan diri kepada perasaan itu akalnya yang tajam dipergunakan.

Terkait kebudayaan menurut Rousseau, kebudayaan bertentangan dengan alam, sebab kebudayaan merusak manusia. (Yang dimaksud ialah kebudayaan yang berlebih-lebihan tanpa terkendalikan dan yang serba semu, seperti yang tampak di Perancis pada abad ke-18 itu. Mengenai agama Rousseau berpendapat, bahwa agama adalah urusan pribadi.

Harun Hadiwijono berkesimpulan bahwa Pencerahan di Perancis memberikan senjata rohani kepada revolusi Perancis. Aliran-aliran yang muncul dimasa pencerahan adalah sebagai berikut. 1. Kritisisme

Aliran ini dimulai di Inggris, kemudian Prancis dan selanjutnya menyebar keseluruh Eropa,terutama di Jerman. Di Jerman pertentangan antara rasionalisme dan empirisme terus berlanjut. Masing-masing berebut otonomi. Kemudian timbul masalah,siapah sebenarnya dikatakan sumber

213

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

pengetahuan? Apakah pengetahuan yang benar itu lewat rasio atau empiris? Kant mencoba menyelesaikan persoalan diatas.

Aliran Filsafat yang dkenal dengan kritisisme adalah filsafat yang di introdusir oleh Immanuel Kant. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Pertentangan antara rasionalisme dan empirisme dicoba untuk diselesaikan oleh Kant dengan kritisismenya. Adapun ciri-ciri kritisisme diantaranya adalah sebagai berikut: (a) Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek. (b) Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenya saja.

Tujuan filsafat kritis, Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya,lepas dari pengalaman. Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata empirisme,sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman,tetap melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisme yang radikal. Dalam hal ini Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni. Menurutnya, Syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah :bersifat umum dan mutlak dan yang kedua adalah memberi pengetahuan baru. Sedangkan menurut Hume, ada jurang yang lebar antara kebenaran-kebenaran rasio murni dengan realitas dalam dirinya sendiri.

Salah satu tujuan filsaft Kant yang disebut sebagai filsafat kritis,dengan metodenya yang dikenal dengan sebutan metode transendental, dimana pengetahuan mencerminkan struktur kategoris pikiran,ialah memberikan sebuah alternatif pembenaran filosofis terhadap hasil-hasil Newton. Sistem konsep-konsep yang dipakai dalam geometri Euklidean dan fisika Newtonian secara unik relevan bagi pengalaman aktual manusia.

2. Deisme Deisme adalah suatu aliran yang

mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Allah menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab Ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Maksud aliran ini adalah menaklukkan wahyu Ilahi beserta dengan kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku Alkitab, kepada kritik akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang

alamiah, bebas dari segala ajaran Gereja. Yang dipandang sebagai satu-satunya sumber dan patokan kebenaran adalah akal.

Tokoh-tokoh yang mewakili aliran ini di antaranya adalah John Toland (1670-1722), yang menulis Christianity not mysterious (1696), dan Matteh Tindal (1656-1733), yang menulis Christianity as Old as Creation (1730). Di bidang filsafat orang yang meneruskan karya Locke di bidang metafisika adalah George Berkeley (w1753), yang mempunyai pangkal pikiran sama dengan Locke. Namun kesimpulan-kesimpulannya berbeda dengan kesimpulan-kesimpulan Locke, yaitu lebih tajam, bahkan sering bertentangan dengan Locke. Oleh karena itu Berkeley bermuara ke dalam aliran idealisme, yang ia sendiri menyebutnya imaterialisme, sebab ia menyangkal adanya suatu dunia yang ada di luar kesadaran manusia.22 Keyakinannya yang asasi adalah : a) segala realitas di luar manusia tergantung kepada kesadaran; b) tiada perbedaan antara dunia rohani dan dunia bendawi; c) tiada perbedaan antara gagasan pengalaman batiniah dan gagasan pengalaman lahiriah, sebab pengamatan adalah identik dengan gagasan yang diamati; d) tiada sesuatu yang berada kecuali roh, yang dalam realitasnya yang konkrit adalah pribadi-pribadi atau tokoh-tokoh yang berpikir. Pangkal pikiran Berkeley terdapat pada pandangannya di bidang teori pengenalan. Menurut dia segala pengetahuan bersandar pada pengamatan. Pengamatan adalah identik dengan gagasan yang diamati.

Orang yang mengembangkan filsafat empirisme Locke dan Berkeley secara konsekuen adalah David Hume (1711-1776). Dalam soal teori pengenalan ia mengajarkan, bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu: kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas).

Menurut Harun Hadiwijono pemikiran Hume ini bersifat analitis, kritis dan skeptic. la berpangkal kepada keyakinan, bahwa hanya kesan-kesanlah yang pasti, jelas dan tidak dapat diragukan. Dari situ ia sampai kepada keyakin¬an, bahwa “aku” yang merupakan substansi rohani termasuk alam khayalan. Dunia hanya terdiri dari kesan-kesan yang terpisah-pisah, yang tidak dapat disusun secara obyektif sistematis, karena tiada hubungan sebab-akibat di antara kesan-kesan itu. Demikianlah tampak ada garis yang

berkesinambungan atau kontinyu, yang dimulai dari Locke, diteruskan oleh Berkeley dan sampai kepada Hume. Pemikiran ketiga orang ini terlebih-lebih diarahkan kepada ajaran tentang pengenalan.

214

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

D. Tradisi Pemikiran Ilmiah Zaman Modern

Kata modern menurut Hans Robert Jauss (1964) dalam sebuah artikel berjudul “Asthetische Normenund geschichtliche Reflecxion”, seperti dikutip Habermas yang menyebutkan bahwa istilah “modern” berasal dari bahasa Latin “modernus” yang digunakan pertama kali pada akhir abad ke-5, dan digunakan sebagai batas sejarah, yaitu antara era Roma yang menyembah berhala (Pagan era) dengan era Kristen yang menyembah Tuhan. Namun sayangnya penjelasan secara etimologi ini tidak menampakkan pengertian yang sesungguhnya dari modernisme itu sendiri.

Istilah modern itu sendiri menurut Featherstone, menegaskan arti yang bersifat epochal. Modernisme secara umum dipandang ada bersamaan dengan munculnya Renaissance dan didefinisikan dalam hubungannya dengan zaman kuno (Antiquity), sebagaimana yang tampak dalam perdebatan antara Ancients (Kuno) dengan Moderns (modern).

Munculnya Renaissance merupakan bantingan terhadap perspektif kebudayaan di Barat yang sama kerasnya dengan bantingan gambaran sistem planet tradisional oleh Copernicus. Renaissance menemukan serta menghargai kembali kebudayaan pra-kristiani Yunani dan Romawi, tetapi tidak dengan kembali ke alam kosmosentris mereka. Bagi Renaissance, alam Yunani dan Romawi membuka pandangan mereka tentang manusia. Manusia ditempatkan ke dalam pusat. Lahirlah humanisme dengan uomo universale, manusia universal, sebagai cita-citanya. Statika paham realitas sebagai tatapan alam semesta theosentris yang selaras diganti dengan dinamika perkembangan di mana manusia sebagai subjek mengangkat kepalanya berhadapan dengan ciptaan lain. Manusia telah kehilangan kepolosannya sebagai salah satu warga alam raya. Ia tidak lagi memahami diri sebagai musafir yang untuk beberapa saat menjelajah dunia, sampai ia dipanggil kembali oleh Yang Menempatkannya di situ, melainkan sebagai homo faber, manusia yang melanjutkan dan meneruskan penciptaan dunia. Manusia yang melihat dunia sebagai tantangan dan tugasnya, yang semakin yakin bahwa ia harus memberikan bentuk dan capnya kepada dunia. Manusia bukan lagi salah satu substansi dalam dunia, melainkan sebagai subjek berhadapan dengan dunia.

Ada kesepakatan dalam semua lingkungan pemikiran, bahwa modernisme merupakan satu kekuatan terbesar dalam sejarah. Satu kekuatan pemacu perkembangan peradaban umat manusia yang hampir tidak ada presedennya di masa lampau. Bumi yang hari ini dihuni adalah sebuah planet yang terus bergejolak dengan berbagai perubahan radikal, menghadirkan ketidakpastian dalam sebuah krisis besar peradaban. Krisis yang konon bahkan jauh lebih hebat daripada yang pernah terjadi pada Abad V sebelum Masehi yang sempat menghasilkan para

rasul di Timur Tengah dan para filsuf di Yunani. Krisis ini akhirnya justru memunculkan semangat pencerahan pertama untuk melakukan demitologisasi. Modernisme telah membawa bagian terbesar umat manusia ke dalam sebuah realitas dunia yang tak terjangkau bahkan oleh mimpi-mimpi paling liar manusia “primitif”.

Radikal dan pesatnya perkembangan peradaban seperti itu, tak pelak lagi merupakan prestasi manusia yang berjejak panjang. Confusianisme, Budhisme, Ibrahimisme atau tafakur-tafakur etik para filsuf Yunani sampai sekarang tetap dianggap sebagai tonggak-tonggak pertama kegairahan umat manusia dalam memahami dunianya secara lebih rasional. Jika sebelumnya alam dianggap sebagai kekuasaan sejati di atas manusia, maka agama telah memperkenalkan konsepsi tentang Tuhan sebagai pemilik kekuasaan absolut atas segala hal. Sementara alam adalah ruang bagi manusia untuk mewujudkan eksistensi keinsanannya. Subordinasi alam di bawah manusia boleh jadi bermula dari sini.

Pendobrakan filosofis semacam itu pada gilirannya mengakarkan bentuk relasi subjek (rasio)-wacana-dunia. Manusia memahami dunia di luar dirinya melalui wacana pengetahuan. Pada Socrates atau para filsuf yang lain, wacana pengetahuannya berupa kuriositas filosofis yang pertama-tama mencoba menggoyahkan fondasi keyakinan terhadap mitos-mitos tradisional. Sementara pada Ibrahim atau para rasul lainnya, wacana tersebut berupa seperangkat postulat transendental sebagai sebuah metode (rasional kritis) untuk mendobrak dogma-dogma kepercayaan pada benda-benda sebagai representasi Yang absolut. Puncak keragu-raguan tersebut, boleh jadi terjadi pada kesangsian yang dilontarkan René Descartes. Pada yang terakhir ini, seperti halnya pada diri Francis Bacon, keraguan diformulasikan menjadi sebentuk usaha investivigasi metodologis dalam memeriksa realitas dunia. Wacana pengetahuan telah berkembang menjadi ilmu pengetahuan tentang alam (ilmu alam).

Melalui proses modernisasi, berlangsung suatu peristiwa mutasi historis jagat raya. Kekhalifahan manusia, dalam arti sang penakluk vis a vis dengan alam semesta, semakin dikukuhkan. Pembenuman subjek manusia modern sebagai penakluk semesta ini secara implisit telah menggeser supremasi keyakinan teologis atas kemahakuasaan Tuhan dalam relasi-relasi kehidupan. Sebab jika Tuhan sudah terwakilkan, maka secara logis Ia boleh tidak ada dalam penyelenggaraan kehidupan dunia. Artinya manusia menjadi lebih bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain di luar dirinya sendiri. Gaibnya Tuhan justru berarti kesempatan tak terbatas bagi manusia untuk menghidupi dunia. Manusia modern menjadi subjek yang otonom karena terputusnya rantai ketergantungan sekaligus ancaman keganasan alam raya. Secara sederhana inilah yang menandai

215

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

mulai datangnya zaman “Pencerahan” (Aufklarung). Satu masa dalam sejarah ketika manusia hendak mengukuhkan klaim dirinya sebagai species yang telah menjadi dewasa dan merdeka, karena telah lepas dari buaian berbagai mitos tentang rahasia dunia, yang membuatnya tidak pernah dewasa. Atau paling tidak, menjadi sadar akan keharusannya untuk memerdekakan diri. Telah datang satu zaman Pencerahan akal budi yang paling gilang gemilang menyinari sejarah peradaban umat manusia.

Sebagai ahli waris zaman Renaissance, filsafat zaman modern itu bercorak, “antroposentris”. Manusia menjadi pusat perhatian. Dalam zaman Yunani dan Abad Pertengahan filsafat selalu mencari “substansi”, prinsip induk yang “ada di bawah” seluruh kenyataan. Para filsuf Yunani menemukan unsur-unsur kosmologis sebagai prinsip induk (arché). Bagi pemikir abad Pertengahan, Tuhan sendiri adalah prinsip ini. Namun dalam zaman modern, peranan “substansi” diambil alih oleh manusia sebagai “subjek”. Yang “terletak di bawah” seluruh kenyataan kita, yang memikul kenyataan, itu bukan suatu prinsip di luar kita melainkan kita sendiri.

Pencerahan dalam wacana filsafat modern, sebenarnya adalah sebuah proses “penyempurnaan” secara kumulatif kualitas subjektivitas dengan segala kemampuan objektif akal budinya dalam mencapai satu tingkatan sosial yang disebut dengan “kemajuan”. Keterputusan dari nilai-nilai mitos, spirit ketuhanan, telah memungkinkan manusia modern untuk mengukir sejarahnya sendiri di dunia suatu proses self determinatioan.

E. Penutup

Sebagai kontribusi pemikiran dari

pembahasan tulisan ini, melahirkan saran-saran sebagai berikut. 1. Langkah-langkah untuk menentukan masa depan

peradaban manusia bukan sebagai suatu jawaban terhadap kemungkinan perspektif dari perkembangan kebutuhan manusia, namun juga mempertimbangkan kelestarian habitat kehidupan secara keseluruhan. Untuk itu kontemplasi keilmuan memerlukan pandangan-pandangan yang bersifat spiritual yang akan mampu menerobos kecongkakan manusia dan partikularisasi pikiran itu sendiri.

2. Berbagai pandangan tentang ilmu dan teknologi memang sepakat untuk menyatakan bahwa, keduanya merupakan piranti kehidupan manusia yang sangat proaktif. Namun untuk itu harus diciptakan keseimbangan-keseimbangan, terutama dengan hadirnya kesadaran manusia tentang kepribadian, moral ataupun etika yang melihat permasalahan sosial secara holistik.

DAFTAR PUSTAKA

Akhmadi,Asmoro. 2003. Filsafat Umum. Jakarta: RajaGrafindo Persada Drajat,Amroeni & Suhrawardi. 2005. Kritik Filsafat

Peripatetik. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara Gazalba,Sidi. 1992. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang Kartenagara, Mulyadhi. 2005. Panorama Filsafat

Ilmu. Cet II; Bandung:Mizan Pustaka Koentjaranigrat. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan

Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Palmouist, Stephen. 2003. The Tree of Philosophy.

Diterjemahkan oleh Muhammad Shodiq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Praja.Juhaya. 2005. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika.

Cet II; Jakarta:Prenada Media Ravertz, R. Jerome. 2004. Filsafat Ilmu.

Diterjemahkan Saut Pasaribu Cet I Yogykarta:Pustaka Pelajar

Suriasumantri R & Jujun S.1999. Ilmu dalam

Perspektif. Cet XIV. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia

Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat. Jakarta. Bumi Aksara Wibisono, Koento. “Dampak Teknologi Terhadap

Kebudayaan” dalam Karim, Rusli, M. & Ridjal Fauzi (Ed.). 1992. Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan. Yogyakarta: Tiara Wacana

216

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

PENYAJIAN DATA PENELITIAN DAN REVIEW MELALUI TEKNIK OBSERVASI

Oleh:

Herson Anwar

Abstrak Sebenarnya observasi merupakan suatu proses yang alami, bahkan mungkin kita sering melakukannya, baik secara sadar maupun tidak sadar di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam kelas, guru sering melihat, mengamati, dan melakukan interpretasi. Dalam kehidupan sehari-hari pun kita sering mengamati orang lain. Pentingnya observasi dalam kegiatan evaluasi pembelajaran mengharuskan guru untuk memahami lebih jauh tentang judgement, bertindak secara reflektif, dan menggunakan komentar orang lain sebagai informasi untuk membuat judgement yang lebih reliabel. Hal yang harus dipahami oleh guru adalah bahwa tidak semua yang dilihat disebut observasi. Observasi yang dilakukan oleh guru di kelas tidak cukup hanya dengan duduk dan melihat melainkan harus dilakukan secara sengaja, hati-hati, sistematis, sesuai dengan aspek-aspek tertentu, dan berdasarakan tujuan yang jelas. Untuk memperoleh hasil observasi yang baik, maka kemampuan guru dalam melakukan pengamatan harus sering dilatih, mulai dari hal-hal yang sederhana sampai dengan hal-hal yang kompleks. Observasi adalah suatu proses pengamatan dan pencatatan secara sistematis, logis, objektif, dan rasional mengenai berbagai fenomena, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan untuk mencapai tujuan tertentu. Alat yang digunakan dalam melakukan observasi disebut pedoman observasi. Observasi tidak hanya digunakan dalam kegiatan evaluasi, tetapi juga dalam bidang penelitian, terutama penelitian kualitatif (qualitative research). Tujuan utama observasi dalam penelitian adalah untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai suatu fenomena, baik yang berupa perisiwa maupun tindakan, baik dalam situasi yang sesungguhnya maupun dalam situasi buatan. Oleh karena itu, observasi tidak bisa lepas dari kegiatan peneltian dan memegang peranan penting dalam menyajikan dan review data.

A. Pendahuluan

Laporan penelitian bagian hasil penelitian terdapat bahasan mengenai deskripsi data, analisis data dan pembahasan. Deskripsi data adalah kegiatan menyajikan data dari data yang dikumpulkan. Data yang dikumpulkan dalama proses pengumpulan data merupakan data yang berserakan, tidak beraturan dan sulit dibaca. Agar tersusun dalam bentuk yang teratur dan mudah dibaca maka dilakukan penyajian data atau penyusunan data.

Penyajian data adalah usaha membantu pembaca dalam memahami data secara cepat dan mudah. Ferguson & Takane (1989:16) mengemukakan penyajian data mempunyai dua tujuan yaitu: Pertama, penyajian data memudahkan membaca dan memahami data. Data mentah yang tidak beraturan sulit dibaca dan dipahami. Dengan menyajikan dalam bentuk tabel atau gambar, maka penampilan dan gambaran data lebih mudah dibaca dan dipahami. Kedua, penyajian data memudahkan analisis data. Data mentah yang belum tersusun dengan baik memerlukan waktu yang lama dan sulit untuk dianalisis. Dengan menyusunnya dalam bentuk yang lebih teratur maka data lebih mudah dianalisis.

Salah satu teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah observasi. Observasi atau pengamatan merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan secara sistematis dan sengaja, melalui pengamatan dan pencatatan terhadap gejala-gejala yag diselidiki. Sebagai salah satu teknik dalam asesmen non tes, pengamatan

memiliki nilai: (a) memberikan informasi yang tidak mungkin didapatkan melalui teknik lain; (b) memberi tambahan informasi yang sudah didapat melalui teknik lain; (c) dapat menjaring tingkah laku nyata bila sebelumnya tidak dikatahui; (d) pengamatan bersifat selektif; dan (e) pengamatan mendorong perkembangan subjek pengamatan. Selain itu, pengamatan harus dilakukan pada beberapa waktu. Walaupun tidak ada ketepatan waktu khusus pada pelaksanaan pengamatan, akan tetapi semakin lama dan semakin sering dilakukan, akan memantapkan reliabilitas hasil pengamatan. Selain itu, teknik ini perlu dilakukan pada situasi berbeda dan situasi natural karena tingkah laku yang alami/apa adanya akan tampil pada situasi alami. Pengamatan pada situasi yang berbeda, akan membantu kita mengetahui bahwa beberapa tingkah laku akan terhambat atau terkondisi oleh situasi atau lingkungan tertentu.

Dengan demikian data yang dikumpulkan melalui kegiatan pengumpulan data dengan observasi, harus dideskripsikan atau disajikan dan direview, agar menjadi lebih teratur, mudah dibaca, dipahami dan dianalisis.

B. Penyajian Data

Penyajian data dalam penelitian disebut dengan “display” data. Penyajian data ini dilakukan setelah data direduksi. Menurut Sugiyono (2010:341) dalam penelitian kualitatif penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, phie card, pictogram, dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan, tersusun

217

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami.

Purwanto (2008:264) mengartikan penyajian data adalah kegiatan menyusun data mentah yang berserakan menjadi lebih teratur sehingga mudah dibaca, dipahami dan dianalisis. Cara penyajian data itu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu membuat tabel atau daftar dan grafik atau diagram.

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data biasa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles and Huberman (1984) dalam Sugiyono (2010:341) menyatakan bahwa: “the most frequent form of displauys data for qualitative research data in the past has been narrative tex”. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. ‘Looking at displays help us to understand what is happening and to do some thing-further analisys or caution on that understanding”. (Miles and Huberman, 1984). Selanjutnya disarankan, dalam melakukan penyajian data, selain dengan teks yang naratif, juga dapat berupa, grafik, matrik, network (jejaring kerja) dan chart. Untuk mengecek apakah peneliti telah memahami apa yang didisplaykan, maka perlu dijawab pertanyaan “Apakah anda tahu, apa isi yang didisplaykan?”.

Menurut Sugiyono (2010:341) dalam prakteknya tidak semudah menyajikan data yang diperoleh, karena fenomena sosial bersifat kompleks, dan dinamis, sehingga apa yang ditemukan pada saat memasuki lapangan dan setelah berlangsung agak lama di lapangan akan mengalami perkembangan data. Untuk itu peneliti harus selalu menguji apa yang telah ditemukan pada saat memasuki lapangan yang masih bersifat hipotetik itu berkembang atau tidak. Bila setelah lama memasuki lapangana ternyata hipotesis yang dirumuskan selalu didukung oleh data pada saat dikumpulkan di dlapangan, maka hipotesis tersebut terbukti, dan akan berkembang menjadi teori yang grounded “teori yang ditemukan secara induktif”, berdasarkan data-data yang ditemukan di lapangan, dan selanjutnya diuji melalui pengumpulan data yang terus-menerus. Bila pola-pola yang ditemukan telah didukung oleh data selama penelitian, maka pola tersebut sudah menjadi pola yang baku dan tidak berubah. Pola tersebut selanjutnya yang didisplaykan pada laporan akhir penelitian.

Mencermati beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa penyajian data sangat penting dalam observasi, karena dengan penyajian data ini akan membantu pembaca memahami data secara cepat dan mudah. Dengan menyusunnya dalam bentuk yang lebih teratur, maka data lebih mudah dianalisis atau direview.

C. Observasi dan Review Data Teknik observasi ini mula-mula dipergunakan

dalam etnografi. Menurut Suratno (2010:5) etnografi adalah studi tentang suatu kultur. Tujuan utama etnografi ini adalah memahami suatu cara hidup dari pandangan orang-orang yang terlibat didalamnya. Spradley (1980) mengemukakan tiga aspek pengalaman manusia, apa yang dikerjakan (cultural behavior) apa yang diketahui (cultural knowledge) dan benda-benda apa yang dibuat dan dipergunakan (cultural artifacts), ketiga aspek ini yang dipelajari, apabila seorang peneliti ingin memahami suatu kultur.

Lincoln dan Guba (1985) dalam Suratno (2010:5), mengklasifikasikan observasi menurut 3 (tiga) cara sebagai berikut: Pertama, pengamat dapat bertindak sebagai seorang partisipan atau non partisipan. Kedua, observasi dapat dilakukan secara terus terang (overt) atau penyamaran (convert). Walaupun secara etis dianjurkan untuk terus terang, kecuali untuk keadaan tertentu yang memerlukan penyamaran. Ketiga, menyangkut latar peneliti. Observasi dapat dilakukan pada latar “alami” atau “dirancang” (analog dengan wawancara tak struktur dan wawancara terstruktur). Untuk observasi yang dirancang bertentangan dengan prinsif pendekatan kualitatif, yaitu fenomena diambil maknanya dari konteks sebanyak dari karateristik individu yang berada dalam konteks tersebut. Oleh karena itu teknik observasi yang kedua ini tidak dilakukan dalam penelitian kualitatif.

Menurut Sugiyono (2010:203) observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai cirri yang spesipik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga obyek-obyek alam yang lain.

Sutrisno (Sugioyono, 2003:203) mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikhologis. Dua diantara yang terpentingh adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.

Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila, penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar.

Setiap observasi memiliki gaya yang berbeda-beda. Salah satu perbedaan adalah derajat keterlibatan peneliti, baik dengan orang maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diamati. Menurut Spradley (1980) terdapat 3 derajat keterlibatan yaitu tanpa keterlibatan (no involvement) keterlibatan rendah (low) dan keterlibatan tinggi (high). Variasi ini tercermin dalam 5 tingkat partisipasi, yaitu non partisipasi (nonparticipation), partisipasi pasif (passive participation), partisipasi moderat (moderate participation), partisipasi aktif (active participation) dan partisipasi lengkap (complete participation).

Dari segi proses pengumpulan data, observasi dapat dibedakan menjadi participant

218

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

observation (observasi partisipan) dan non participant observation. (Sugioyono, 2003:204). Untuk lebih jelasnya mengenai pembedaan observasi tersebut, diuraikan sebagai berikut: 1. Observasi Partisipan (participant observation)

Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber edata, dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan observasi partisipan ini,maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang Nampak.

Contohnya: Dalam pengumpulan data penelitian tindakan kelas peneliti menggunakan teknik observasi partisipatif yaitu pengamat ikut serta dalam proses pembelajaran bersama dengan mitra kolaborasi dan guru pamong. Contoh lainnya: dalam penelitian suatu perusahaan, peneliti dapat berperan sebagai karyawan, peneliti dapat mengamati bagaimana perilaku karyawan dalam bekerja, bagaimana semangat kerjanya, bagaimana hubungan satu karyawan dengan karyawan yang lain, hubungan karyawan dengan supervisor dan pimpinan, keluhan dalam melaksanakan pekerjaan dan lain-lain. Pada observasi partisipan menurut Suratno (2010:6), peneliti mengamati aktivitas manusia, karakteristik fisik situasi sosial, dan bagaimana perasaan waktu menjasdi bagian dari situasi tersebut. Selama penelitian dilapangan jenis observasinya tidak tetap. Menurut Spradley (1980), peneliti mulai dari observasi deskripsi (descrivtif observations) secara luas, yaitu berusaha melukiskan secara umum situasi sosial dan apa yang terjadi di sana. Kemudian, setelah perekamanan dan analisis data pertama, peneliti menyempitkan pengumpulan datanya dan mulai melakukan observasi terfokus (focused observations). Dan akhirnya setelah dilakukan lebih banyak lagi analisis dan observasi yang berualang-ulang di lapangan, peneliti dapat menyempitkan lagi penelitiannya dengan melakukan observasi selektif (selective observations). Sekalipun demikian peneliti masih terus melakukan observasi deskriftif sampai akhir pengumpulan data.

2. Observasi Nonpartisipan (nonparticipant observation)

Dalam observasi nonpartisipan penelitia tidak terlibat langsung denga orang-orang yang diamati. Peneliti hanya sebagai pengamat independen. Pengumpulan data dengan observasi ini tidak akan mendapatkan data yang mendalam, dan tidak sampai pada tingkat makna atau nilai di balik perilaku yang tampak, yang terucapkan dan yang tertulis. Contohnya: “Dalam suatu tempat pengumpulan suara (TPS), peneliti dapat mengamati

bagaimana perilaku masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya.

Suratno (2010:8) mengemukakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam observasi adalah sebagai berikut: (1) Pengamat tidak mungkin dapat mengamati segala-galanya di lapangan. (2) Dalam melakukan catatan lapangan, kata sifat interpretative seperti “menyenangkan”, “cantik” dan “menarik” harus dihindari dan kata sifat diskriptif seperti warna, pengukuran dan kesengajaan. Pada waktu mencatat hasil observasi agar tidak mencampur adukan hasil pengumpulan data dengan interprestasi. (3) Kehadiran peneliti selama pengamatan hendaknya tidak mengganggu komunitas subyek, sehingga mereka tidak terpengaruh perilakunya.

Mencermati beberapa pendapat di atas, tentang observasi ini dapat dikatakan bahwa observasi yaitu pemilihan, pengubahan, pencatatan, dan pengkodean serangkaian prilaku dan suasana yang berkenaan dengan organisme sesuai dengan tujuan-tujuan empiris.

Sementara pada tahap review data peneliti melakukan uji kekerabatan setiap makna yang muncul dari data. Disamping menyandar pada klarifikasi data, peneliti juga memfokuskan pada abstraksi data yang tertuang dalam bagan. Setiap bagan yang menunjang bagan, klarifikasi kembali, baik dengan informan di lapangan maupun melalui diskusi dengan sejawat. apabila hasil klarifikasi memperkuat kesimpulan atas data maka pengumpulan untuk komponen tersebut siap dihentikan (Suratno, 2010:8). D. Bentuk Data Yang Disajikan

Purwanto (2008:262) mengemukakan bahwa data yang disajikan dapat berbentuk skor, persentase atau indeks. Bentuk data sangat tergantung pada bentuk mana yang memberikan manfaat maksimal kepada pembaca dalam memahami data. 1. Skor

Data berbentuk skor merupakan data asli hasil pengukuran. Data ini langsung diambil berdasarkan hasil pengukuran variabel tertentu atas responden. Pengukuran dilakukan dengan mengubah respons yang diberikan oleh responden atas instrument menggunakan aturan skoring.

2. Persentase Data dapat disajikan dalam bentuk

persentase. Skor diubah menjadi persentase dengan cara memabagi suatu skor dengan totalnya dan mengalikan 100. Misalnya: siswa yang tidak lulus ujian adalah 15 orang dari 50 orang peserta ujian. Data siswa yang tidak lulus adalah (15/50) x 100=30%.

Data dalam bentuk persentase umumnya dipilih bila ingin diketahui posisi data diantara total keseluruhannya. Misalnya siswa sebanyak 15 orang yang tidak lulus sangat banyak jika yang mengikuti ujian 20 orang, sebab angka

219

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

ketidaklulusan adalah (15/20) x 100=75%. Oleh karena maksimal kelulusan adalah 100%, dan diketahui yang tidak lulus sebesar 75%, maka siswa yang lulus hanya sebesar 25%.

3. Indeks Data yang disajikan juga dapat diubah ke

dalam bentuk angka indeks. Seperti juga penyajian data menggunakan persentase, pengubahan ke dalam angka indeks juga dimaksudkan untuk mengetahui nilai suatu skor diantara keseluruhan data. Bedanya, persentase disajikan dalam bentuk persen, sedang angka indeks disajikan dalam bentuk bilangan decimal. Misalnya: terdapat sebanyak 15 orang siswa tidk lulus dalam sebuah tes yang diikuti oleh 20 orang, maka angka ketidaklulusan adalah 15/20 = 0,75. Angka indeks maksimal yaitu keadaan dimana semua siswa lulus adalah 100, dan sebanayak 0,75 yang tidak lulus, angka indeks siswa yang lulus 0,25.

Sementara untuk bentuk data yang disajikan dalam penelitian kualitatif juga dapat berbentuk teks naratif. Dalam melakukan penyajian data, selain dapat berupa, grafik, matrik, network (jejaring kerja) dan chart, juga dapat berupa teks yang naratif. Hal ini dapat dilihat dalam format observasi. Format disini adalah bentuk wajah catatan lapangan. Bermacam-macam format rakaman hasil observasi telah dikembangkan. Antara lain format dari Moleong pada halaman berikut:

FORMAT MOLEONG

Kelas V SD Jl. Tampak

Siring, Bandung Selatan

Guru : Ibu Ina

CL (Catatan Lapangan) No. 5

Pengamatan Tgl 22/04/2002

Jam 10.10 – 11.45

Disusun jam 20.15

(judul) kelas yang aktif

Tanggapan Pengamat :

FORMAT OBSERVASI

TEMA OBSERVASI:

Lokasi Obyek : Tgl/Jam :

Jenis Obyek : Pengamat :

Catatan :

Koding Data / Hasil Pengamatan

E. Penyajian Data Observasi dan Review Jika data observasi telah terkumpul, tahap

berikutnya adalah mengorganisasikan dan mengelompokkan fakta dari data tersebut guna tujuan penelitian. Tahap ini lebih banyak berhubungan dengan pengolahan dan penataan data. Proses pengolahan dan penataan data tersebut dapat dilakukan dengan cara manual yang paling sederhana sampai cara yang mengggunakan peralatan elektronis yang mutakhir.

Cara penyajian data dapat dilakukan dengan cara menyajikan dalam bentuk tabel dan menyajikan dalam bentuk grafik atau diagram. Penyajian data ke dalam bentuk tabel maupun grafik yang sesuai biasanya dilakukan setelah data selesat disusun/ditata. Penyajian demikian bersamaan dengan pengukuran nilai-nilai deskriptif merupakan proses penyederhanaan data atau informasi ke dalam bentuk yang berguna untuk analisis. 1. Penyajian Data Tabel

Penyajian data menggunakan atabel adalah penyusunan data untuk memudahkan membaca dan mengalisis data. Data mentah berserakan ditata dan diatur dalam sebuah tabel.

Berdasarkan cara penyajiannya, tabel dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu sebagai berikut.

a. Tabel baris dan kolom Tabel ini sebagaimana namanya,

memuat keterangan mengenai baris dan kolom. Sebagai contoh dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1

Keadaan Perabot Ruangan Kegiatan Bermain Bebas TK Abadi Kota Gorontalo 2014/2015

Jenis Peralatan/Perabot Yang Dimiliki

Keterangan

Ada Tidak Ada

Kondisi

Rak tempat mainan - -

Tikar/Karpet - - Lemari tempat - Baik

220

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

mainan Sapu - Baik Meja untuk menempatkan mainan

- Baik

Alat kelengkapan setiap sentra

- Baik

Papan/meja lukis - Baik

Orgen/Piano - - Televisi - Baik Tempat sampah - Baik

Sumber Data: TK Abadi Kota Gorontalo, 2014 Berdasarkan data pada tabel 1 tentang

keadaan perabot ruangan kegiatan bermain bebas di TK Abadi Kota Gorontalo, menunjukkan adanya kesediaan beberapa jenis perabot yang dibutuhkan misalnya dalam hal: tikar/karpet, lemari tempat mainan, meja untuk menempatkan mainan, alat kelengkapan setiap sentra, papan/meja lukis, televisi, serta sapu dan tempat sampah tersedia dalam kondisi yang baik. Sedangkan perabotan yang tidak ada seperti: rak tempat mainan dan orgen/piano.

b. Tabel distribusi frekuensi Tabel ini adalaha tabel yang menyusun

distribusi datanya dalam bentuk frekuensi. Tabel ini dibagi menjadi dua yaitu tabel distribusi frekuensi tunggal dan bergolong. Tabel distribusi frekuensi tunggal adalah tabel yang digunakan untuk menyusun distribusi data dalam frekuensi dengan distribusi yang bersifat tunggal. Contohnya sebagai berikut.

Tabel 2

Data Daya Serap Siswa

Nilai Frekuensi (Siswa)

65 6 71 4 76 6 81 2 86 2

Jumlah 20 Sementara untuk tabel distribusi

frekuensi bergolong adalah tabel yang digunakan untuk menyajikanm data dalam frekuensi dengan distribusi data bergolong. Berikut ini contohnya hasil pengamatan kegiatan guru dalam mengajar dengan menggunakan metode demonstrasi sebagai berikut.

Tabel 3 Hasil Pengamatan Terhadap Kegiatan Guru

No. Rentang Nilai

Kategori Penilaia

n

Jumlah

Persentase (%)

1. 90 – 100

Sangat Baik - -

2. 75 – 89 Baik 6 40

3. 60 – 74 Cukup Baik 7 47

4. 40 – 59 Kurang Baik 2 13

5. 0 – 39 Tidak Baik - -

Jumlah Total 15 100

2. Penyajian Data Grafik

Selain disajikan dalam bentuk tabel, data juga akan lebih informatif jika disajikan dalam bentuk gambar/grafik. Penyajian data dalam bentuk grafik umumnya lebih menarik perhatian dan mengesankan. Penyajian data secara grafis mempunyai berbagai fungsi. Sebagaimana dikemukakan Purwanto (2008:273) bahwa penyajian data dalam bentuk grafik adalah menggambarkan data secara visual dalam sebuah gambar. Penyajian data dalam bentuk ini lebih mudah dibaca daripada deretan data mentah.

Grafik atau diagram seringkali digunakan dalam iklan dengan maksud agar konsumen memperoleh kesan yang mendalam terhadap ciri-ciri produk yang diiklankan. Kegiatan produksi lebih mudah dilihat dan dipelajari secara visual bila dinyatakan dalam angka-angka dan digambarkan secara grafis. Peta pengawasan kualitas merupakan alat yang penting dalam melakukan pengawasan produk maupun pengawasan proses produksi. Grafik penjualan suatu perusahaan memberi gambaran yang sederhana dan menarik mengenai perkembangan hasil penjualan yang telah dicapai oleh perusahaan yang bersangkutan. Pada hakekatnya grafik dan tabel seyogyanya digunakan secara bersama-sama. Penyajian data dalam grafik lebih mudah dan menarik dibanding penyajian dengan tabel. Selain itu, grafik dapat melukiskan suatu peristiwa secara lebih mengesankan dan tidak membosankan. Namun demikian, penyajian secara grafis hanyalah bersifat aprosimatif. Angka-angka yang pasti dan rinci tentang suatu peristiwa dimuat dalam tabel. Oleh karena itu, analisis dan interpretasi data umumnya dilakukan terhadap data yang terdapat dalam tabel statistik.

Penggambaran data dalam sebuah grafik dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis grafik tergantung sifat datanya. Bila data yang hendak disajikan merupakan data nominal, maka penyajian data menggunakan grafik berupa batang, lambing, garis atau lingkaran. Sedang bila data bersifat kontinum maka penyajian data biasanya menggunakan histogram, polygon dan kurva. a. Grafik batang

Grafik batang adalah grafik yang menggambarkan data menggunakan batang. Batang menunjukkan data dan ketinggiannya menggambarkan frekuensinya. Contohnya sebagai berikut.

221

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

020406080

100120140

ObservasiAwal

Siklus II

Tidak TuntasTuntas

b. Grafik lambang

Grafik lambing adalah penyajian data dengan menggambarkan data menggunakan lambing dari data yang dijelaskan. Misalnya data penduduk digambarkan dengan gambar manusia, data hasil panen digambarkan dengan ikatan padi dan sebagainya. Dalam menggambarkan lambing, grafik lambing menyertakan keterangan harga untuk tiap satu gambar, misalnya satu gambar mobil sama dengan 100 unit.

c. Grafik garis Grafik garis sering disebut juga peta

garis (line chart) atau kurva (curve), merupakan bentuk penyajian yang paling banyak dipakai dalam berbagai laporan perusahaan maupun penelitian ilmiah. Data dapat diklasifikasikan atas ciri-ciri kronologis, geografis, kuantitatif maupun kualitatif. Salah satu bentuk data yang dapat diklasifikasi secara kronologis adalah data deret berkala (time series). Sebagian besar distribusi data dapat diklasifikasi secara kuantitatif dalam bentuk distribusi frekuensi. Hasil kedua cara klasifikasi tersebut dapat digambarkan secara visual dalam bentuk kurva. Sedangkan data yang diklasifikasikann berdasarkan geografis maupun kualitatif, jarang digambarkan dalam bentuk kurva. Data demikian dapat digambarkan dengan peta balok (bar chart) atau bentuk peta lainnya.

d. Grafik lingkaran Grafik lingkaran ini menarik, namun

memiliki sisi kelemahan dalam hal tujuan untuk perbandingan antara sektor-sektor yang terdapat dalam lingkarannya. Penyajian berbagai data yang besarnya berbeda (ekstrim) dalam diagram yang sama, merupakan suatu prosedur yang meragukan. Mengingat lingkaran terdiri dari 360 derajat, maka 3,6 derajat berarti menggambarkan persentase sebesar 1%. Contohnya sebagai berikut.

PENGHASILAN ORANG TUA (2005)

164%

233%

33%

123

Berbeda dengan data nominal, data kontinum tidak dapat dipisahkan lepas satu sama lain secara ekslusif . data kontinum bersambungan dalam sebuah skala yang bersifat kontinum. Data kontinum ini disajika dalam bentuk histogram, polygon, dan kurva.

a. Histogram

Histogram adalah penyajian data kontinum dengan menggambarkannya dengan batang histogram. Contohnya sebagai berikut.

0

5

10

15

20

25

ObservasiAwal

Siklus II

Tuntas

Belum tuntas

Poligon

Poligon adalah grafik untuk menggambarkan data dengan menghubungkan titik-titik tengah batang histogram.

b. Kurva

Kurva juga digambarkan denganmenghubungkan titik-titik tengah batang histogram. Bedanya polygon berbentuk garis patah-patah, sedang pada kurva garis-garis itu dihaluskan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa data yang dikumpulkan melalui kegiatan pengumpulan data harus disajikan dengan baik sehingga memudahkan didalam membaca dan memahami data yang disajikan, baik dengan menggunakan tabel atau grafik. Penyajian data menggunakan tabel atau grafik dapat dilakukan

222

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

dengan berbagai macam cara yaitu dapat berbentuk tabel baris kolom atau tabel distribusi frekuensi. Penyajian data menggunakan grafik juga dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada data nominal, penyajian data dapat menggunakan grafik batang, lambing, garis atau lingkaran. Pada data kontinum penyajian data menggunakan histogram, polygon atau kurva.

F. Contoh Penyajian Data Observasi dan Review

Contoh data yang disajikan penulis dalam makalah ini adalah penyajian data observasi dalam penelitian tindakan kelas (PTK) yang berjudul: “Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Fikih Melalui Metode Demonstrasi Di Kelas IX Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo”.

Subjek penelitiannya adalah siswa Kelas IXA Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo yang berjumlah 26 orang, yang terdiri dari 14 orang laki-laki dan 12 orang perempuan.

Dari hasil observasi awal ditemukan bahwa hampir keseluruhan siswa Kelas IXA Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo mengalami kesulitan belajar pada pelajaran Fikih, yang merupakan materi/bahan ajar, sehingga pada akhirnya hal tersebut akan sangat mempengaruhi hasil belajar yang diperolehnya.

Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran Fiqih di kelas IXA Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo adalah 85%, sebagai ukuran ketuntasan individual. Dengan demikian suatu pokok bahasan atau sub pokok bahasan dianggap tuntas secara individual, jika siswa tersebut menmperoleh nilai ≥ 80. Sedangkan kelas dapat dikatakan tuntas belajarnya pada pokok bahasan atau sub pokok

bahasan jika mencapai ≥ 85% siswa yang telah tuntas belajarnya.

Sebagaimana yang peneliti amati banyak siswa Kelas IX di Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo yang kesulitan dalam mempraktekkan konsep yang telah diterima terutama pada materi “Mengurusi Jenajah”, bagaimana cara yang tepat dan benar dalam melakukan praktek dalam memandikan jenazah, mengafani jenazah dan menyalatkan jenazah. Hal ini disebabkan oleh karena kurangnya contoh, model atau media untuk didemonstrasikan baik oleh guru atau siswa, sehingga berdampak pada kurangnya penguasaan siswa pada konsep yang diberikan oleh guru, sebab salah satu dari prinsip belajar yaitu siswa mampu menerapkan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak terpenuhi. Adanya kesulitan dalam mempelajari materi Fikih tersebut berakibat pada hasil belajar yang dicapai siswa rendah atau belum mencapai ketuntasan belajar.

Berikut ini akan dipaparkan data hasil observasi dari kegiatan pengamatan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran siklus I dan siklus II pada Mata Pelajaran Fikih melalui metode demonstrasi di Kelas IX Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo.

Hasil Pengamatan Kegiatan Guru

Siklus 1 Sekolah : Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo Kelas /Semester : IXA/2 Mata Pelajaran : Fikih Pokok Bahasan : Mengurusi Jenajah Waktu : 2 x 40 menit

No Aspek Yang Diobservasi Klasifikasi Nilai SB B CB KB TB

1 Membuka pertemuan pembelajaran - - - -

2 Membangkitkan minat, perhatian, dan partisipasi siswa - - - -

3 Menyampaikan tujuan pembelajaran - - - - 4 Apersepsi 5 Penjelasan materi - - - - 6 Penguasaan materi - - - - 7 Penggunaan media - - - - 8 Penguasaan metode mengajar - - - - 9 Mengaktifkan siswa - - - - 10 Bimbingan terhadap siswa - - - - 11 Pemberian umpan balik - - - - 12 Pengaturan waktu - - - - 13 Evaluasi siswa - - - - 14 Menyimpulkan materi - - - - 15 Menutup kegiatan pembelajaran - - - -

Jumlah - 6 7 2 - Rata-Rata - 40% 47% 13% -

Keterangan: Sangat Baik : SB Baik : B Cukup Baik : CB

Kurang Baik : KB Tidak Baik : TB

223

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

Lembar Pengamatan Kegiatan Siswa Siklus 1

Sekolah : Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo Kelas /Semester : IXA/2 Mata Pelajaran : Fikih Pokok Bahasan : Mengurusi Jenajah Waktu : 2 x 40 menit

No Nama Siswa Aspek Yang Diamati Rata-

Rata Menyolatkan jenazah

Menyolatkan jenazah

Menyolatkan jenazah

1 Abd. M Tandjung 87 87 90 88 2 Amal Mahdang 83 81 85 83 3 Moh.Afandi 60 57 57 58 4 Moh.Arif 83 82 84 83 5 Moh. Amal 60 60 60 60 6 Moh.Rinaldi 60 60 65 62 7 Muh.Andi Sukri 64 60 68 64 8 Muh. Triyanto 83 83 83 83 9 Ramdan Moo 95 95 95 95

10 Ridwan 72 74 76 74 11 Rofil 82 82 80 81 12 Sulman 82 81 81 81 13 Zulkarnain 90 90 90 90 14 Ikhsan 38 39 38 81 15 Ayu Milanda 60 61 62 61 16 Despin 80 80 81 80 17 Fatimatuzzahra 91 88 95 92 18 Hariyati 82 81 81 81 19 Indriyani .K 80 80 80 80 20 Magfirah 83 83 83 83 21 Maryam 70 70 70 70 22 Miftahuljannah 80 80 80 80 23 Lasmin 60 63 62 62 24 Nurhatimah 80 80 80 80 25 Verawati 57 59 60 58 26 Windriyani 82 81 81 81

Hasil Pengamatan Kegiatan Guru Siklus II

Sekolah : Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo Kelas /Semester : IXA/2 Mata Pelajaran : Fikih Pokok Bahasan : Mengurusi Jenajah Waktu : 2 x 40 menit

No Aspek Yang Diobservasi Klasifikasi Nilai SB B CB KB TB

1 Membuka pertemuan pembelajaran - - - -

2 Membangkitkan minat, perhatian, dan partisipasi siswa - - - -

3 Menyampaikan tujuan pembelajaran - - - - 4 Apersepsi - - 5 Penjelasan materi - - - - 6 Penguasaan materi - - - - 7 Penggunaan media - - - -

224

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

8 Penguasaan metode mengajar - - - - 9 Mengaktifkan siswa - - - - 10 Bimbingan terhadap siswa - - - - 11 Pemberian umpan balik - - - - 12 Pengaturan waktu - - - - 13 Evaluasi siswa - - - - 14 Menyimpulkan materi - - - - 15 Menutup kegiatan pembelajaran - - - -

Jumlah - 14 1 - - Rata-Rata - 93% 7% - -

Keterangan:

Sangat Baik : SB Baik : B Cukup Baik : CB Kurang Baik : KB Tidak Baik : TB

Lembar Pengamatan Kegiatan Siswa Siklus II

Sekolah : Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo Kelas /Semester : IXA/2 Mata Pelajaran : Fikih Pokok Bahasan : Mengurusi Jenajah Waktu : 2 x 40 menit

No Nama Siswa Aspek Yang Diamati Rata-

Rata Memandikan Jenazah

Mengafani jenazah

Menyolatkan jenazah

1 Abd. M Tandjung 95 93 95 94 2 Amal Mahdang 85 85 96 89 3 Moh.Afandi 77 77 80 78 4 Moh.Arif 90 90 90 90 5 Moh. Amal 80 80 80 80 6 Moh.Rinaldi 85 80 94 85 7 Muh.Andi Sukri 75 80 85 80 8 Muh. Triyanto 80 80 95 85 9 Ramdan Moo 100 100 100 100

10 Ridwan 86 86 88 87 11 Rofil 90 90 90 90 12 Sulman 80 85 95 86 13 Zulkarnain 95 98 100 98 14 Ikhsan 85 83 85 84 15 Ayu Milanda 76 75 77 76 16 Despin 85 85 95 88 17 Fatimatuzzahra 100 100 100 100 18 Hariyati 82 81 81 89 19 Indriyani .K 90 90 90 90 20 Magfirah 92 92 93 92 21 Maryam 85 84 90 85 22 Miftahuljannah 90 90 95 92 23 Lasmin 80 80 80 80 24 Nurhatimah 80 89 90 85 25 Verawati 86 86 88 87 26 Windriyani 80 80 80 80

225

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

Cara penyajian data hasil observasi dari kegiatan pengamatan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran siklus I dan siklus II di atas, dapat disajikan sebagai berikut.

Data pemantauan dan evaluasi terkait dengan kegiatan pembelajaran pada siklus I ini dapat dilihat pada aspek hasil penelitian berikut. 1) Hasil Pengamatan Kegiatan Guru

Kegiatan guru diamati dengan menggunakan lembar pengamatan yang berpedoman pada format penilaian yang tersedia meliputi 15 (lima belas) aspek penilaian, sebagaimana terlampir. Berdasarkan penilaian pengamat diperoleh data sebagaimana nampak pada tabel berikut ini.

Tabel 1: Hasil Pengamatan Siklus I Terhadap Kegiatan Guru

No. Rentang Nilai

Kategori Penilaian

Jumlah

Persentase (%)

1. 90 – 100

Sangat Baik - -

2. 75 – 89 Baik 6 40

3. 60 – 74 Cukup Baik 7 47

4. 40 – 59 Kurang Baik 2 13

5. 0 – 39 Tidak Baik - - Jumlah Total 15 100

Sumber Data: Olahan Data Primer dari Kegiatan Guru Siklus 1, 2014

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel di atas yang dilakukan terhadap kegiatan guru dalam menggunakan metode demonstrasi dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar Fikih pada materi “Memahami Muamalat di Luar Jual Beli”, diperoleh hasil pengamatannya bahwa semua aspek pembelajaran tersebut di atas dilaksanakan oleh guru dengan cukup baik. Hal ini dapat dijelaskan dari 15 (lima belas) aspek kegiatan guru yang diamati terdapat 7 aspek (47%) yang mendapat penilaian dengan kategori cukup baik, 6 aspek (40%) berada pada kategori baik. Meskipun masih ada 2 aspek (13%) berada pada kategori kurang baik dalam hal: pemberian umpan balik dan pengaturan waktu yang kurang efektif sesuai dengan alokasi waktu yang ada. Sehingga diharapkan pada tindakan siklus berikutnya kedua aspek ini dapat diperbaiki oleh guru dan meningkat ke arah yang lebih baik.

Berdasarkan hasil observasi selama pelaksanaan kegiatan belajar mengajar siklus I diperoleh informasi, bahwa 1) guru kurang maksimal dalam memotivasi siswa dan dalam menyampaikan tujuan pembelajaran, 2) guru kurang maksimal dalam pengelolaan waktu sehinga tidak semua siswa dapat melakukan demonstrasi, 3) ruang untuk pelaksanan

demonstrasi terlalu sempit karena dilakukan dalam kelas; serta 4) Sebagian media yang digunakan sebagai alat demonstrasi belum menyentuh pada dunia nyata, masih berupa audio visual.

Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada siklus I ini masih terdapat kekurangan, sehingga perlu adanya revisi untuk dilakukan pada siklus berikutnya. Hal-hal yang akan dilakukan pada siklus selanjutnya meliputi: (1) guru perlu lebih terampil dalam memotivasi siswa dan lebih jelas dalam menyampaikan tujuan pembelajaran. Dimana siswa diajak untuk terlibat langsung dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan; (2) guru perlu mengelola waktu dan mendistribusikannya secara tepat sehingga semua siswa dapat melakukan demonstrasi secara baik; (3) untuk lebih efektifnya tujuan demonstrasi maka guru perlu melaksanakan demonstrasi di ruang terbuka dan luas di mana pandangan dapat terarah dengan bebas pada objek; dan (4) Media yang digunakan perlu menggunakan sesuatu yang lebih nyata/konkrit agar siswa bisa lebih bersemangat dalam melakukan demonstrasi sehingga hasilnya akan lebih maksimal.

2) Hasil Pengamatan Kegiatan Siswa

Data hasil pengamatan kegiatan siswa terkait dengan hasil belajar Fikih pada materi “Mengurus Jenazah” yang diperoleh 26 orang siswa Kelas IXA di Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo, diperoleh dengan menggunakan lembar pengamatan kegiatan siswa berdasarkan 3 (tiga) aspek yang diamati dapat dilihat pada lampiran. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil belajar nilai rata-rata siswa pada siklus 1 ini mengalami peningkatan yang cukup berarti dibanding dari kegiatan pengamatan awal sebelum dilakukan tindakan.

Berdasarkan hasil pengamatan kegiatan siklus I dengan menggunakan lembar pengamatan kegiatan siswa terkait dengan hasil belajar yang dicapai siswa Kelas IX\ Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo pada masing-masing aspek yang diamati diperoleh hasil belajar sebagai berikut.

226

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

Tabel 2: Distribusi Tes Hasil Belajar Siklus I Pada Mata Pelajaran Fikih Siswa Kelas IX Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo

No Nama Siswa Skor Keterangan

No Nama Siswa SkorKeterangan

T TT T TT

1 Abd. M Tandjung

88 - 14 Ikhsan 81 -

2 Amal Mahdang 83 - 15 Ayu Milanda 61 - 3 Moh.Afandi 58 - 16 Despin 80 - 4 Moh.Arif 83 - 17 Fatimatuzzahra 92 - 5 Moh. Amal 60 - 18 Hariyati 81 - 6 Moh.Rinaldi 62 - 19 Indriyani .K 80 - 7 Muh.Andi Sukri 64 - 20 Magfirah 83 - 8 Muh. Triyanto 83 - 21 Maryam 70 - 9 Ramdan Moo 95 - 22 Miftahuljannah 80 -

10 Ridwan 74 - 23 Lasmin 62 - 11 Rofil 81 - 24 Nurhatimah 80 - 12 Sulman 81 - 25 Verawati 58 - 13 Zulkarnain 90 - 26 Windriyani 81 -

Jumlah 1004 8 5 Jumlah 1160 9 4 Jumlah skor : 2164 Jumlah skor maksimal ideal : 2600 Rata-rata skor tercapai : 83,23

Sumber Data: Olahan Data Primer dari Kegiatan Siswa Siklus 1, 2014 Keterangan: T : Tuntas TT : Tidak Tuntas Jumlah siswa yang tuntas : 17 orang Jumlah siswa yang belum tuntas : 9 orang Klasikal : Belum tuntas

Berdasarkan data pada tabel 2 tersebut, diperoleh data bahwa dari 26 siswa Kelas IXA Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo sudah terdapat 17 orang siswa yang tuntas dalam belajar Fikih, namun masih terdapat 9 orang siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata tes formatif yang diperoleh meningkat dari 26,92% menjadi 83,23% setelah didakan tindakan siklus 1. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel rekapitulasi hasil tes belajar siswa berikut ini. Tabel 3: Rekapitulasi Hasil Tes Belajar Siklus 1 Pada Mata Pelajaran Fikih Siswa Kelas IXA Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo

No Uraian Hasil Siklus 1

1 Nilai rata-rata tes formatif 83,23

2 Jumlah siswa yang tuntas belajar 17

3 Persentase ketuntasan belajar 65,38

Sumber Data: Olahan Data Primer dari Kegiatan Siswa Siklus 1, 2014

Dari tabel 3 di atas dapat dijelaskan bahwa pembelajaran dengan menerapkan

metode demonstrasi diperoleh nilai rata-rata hasil belajar siswa adalah 83,23 dan ketuntasan belajar mencapai 65,38% atau ada 17 siswa dari 26 siswa sudah tuntas belajar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus I secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai ≥ 80 hanya sebesar 65,38% lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 85%. Sebagaimana digambarkan dalam histogram berikut ini. Grafik 1: Hasil Tes Belajar Siklus 1 Pada

Mata Pelajaran Fikih Siswa Kelas IX Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo

0

5

10

15

20

ObservasiAwal

Tuntas

Belum tuntas

Keterangan:

Observasi awal : 7 siswa yang sudah tuntas belajar, 19 orang siswa yang belum tuntas belajar (ketuntasan belajar 26,92%)

227

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

Siklus 1 : 17 siswa yang sudah tuntas belajar, 9 orang siswa yang belum tuntas belajar (ketuntasan belajar 65,38%)

Mencermati hasil belajar yang dicapai siswa Kelas IX Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo pada mata pelajaran Fikih melalui pelaksanaan tindakan siklus 1 mencapai 65,38%, apabila dibandingkan dengan indikator keberhasilan dalam penelitian > 85%, sebagai hasil dari penerapan metode demonstrasi, belum mencapai target tersebut, maka penelitian tindakan ini dilanjutkan pada kegiatan siklus II.

Selanjutnya berikut ini akan dipaparkan hasil pengamatan kegiatan guru dan hasil pengamatan kegiatan siswa IX Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo pada mata pelajaran Fikih melalui pelaksanaan tindakan siklus II sebagai berikut.

1) Hasil pengamatan kegiatan guru

Pengamatan kegiatan guru dalam proses pembelajaran pada siklus II, sama halnya dengan aspek yang diamati pada siklus I. Siklus II juga mengamati 15 (lima belas) aspek sebagaimana terlampir. Aspek tersebut juga diamati dengan menggunakan lembar pengamatan yang disusun untuk memantau perkembangan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Berdasarkan penilaian oleh kolaborator, maka data tentang hasil pengamatan kegiatan guru pada siklus II dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4: Hasil Pengamatan Siklus II Terhadap

Kegiatan Guru

No. Rentang Nilai

Kategori Penilaian

Jumlah

Persentase (%)

1. 90 – 100

Sangat Baik - -

2. 75 – 89 Baik 14 93

3. 60 – 74 Cukup Baik 1 7

4. 40 – 59 Kurang Baik - -

5. 0 - 39 Tidak Baik - -

Jumlah Total 15 100

Sumber Data: Olahan Data Primer dari Kegiatan Guru Siklus II, 2014

Berdasarkan hasil pengamatan kegiatan guru pada siklus II diketahui bahwa semua aspek dilaksanakan oleh guru dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari 15 (lima belas) aspek yang dinilai terdapat 14 aspek (80%) yang mendapat penilaian dengan kategori baik, 1 aspek (13%) yang mendapat penilaian cukup baik.

Berdasarkan data observasi yang

telah diperoleh pada siklus II disebutkan bahwa (1) selama proses belajar mengajar guru telah melaksanakan semua pembelajaran dengan baik sesuai dengan RPP. Meskipun ada beberapa aspek yang belum sempurna, tetapi persentase pelaksanaannya untuk masing-masing aspek cukup besar; (2) berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa siswa aktif dan semangat selama proses belajar berlangsung; (3) kekurangan pada siklus sebelumnya sudah mengalami perbaikan dan peningkatan sehingga hasilnhya menjadi lebih baik, serta (4) hasil belajar siswa pada siklus II sudah tuntas baik individual atau klasikal.

Pada siklus II guru telah menerapkan metode demonstrasi dalam pembelajaran dengan baik, dan dilihat dari aktivitas siswa serta hasil belajar siswa pelaksanaan proses belajar mengajar sudah berjalan dengan baik, maka tidak diperlukan revisi terlalu banyak, tetapi yang perlu diperhatikan untuk tindakan selanjutnya adalah menyempurnakan kekurangan yang ada dan mempertahankan apa yang telah dicapai sehingga tujuan pembelajaran dapat terwujud dengan maksimal

2) Hasil pengamatan kegiatan siswa Berdasarkan hasil analisis data sesuai

dengan aspek yang diamati diperoleh hasil belajar rata-rata siswa setelah diadakan tindakan siklus II mengalami peningkatan sebagaimana dalam tabel berikut ini. Tabel 5: Distribusi Tes Hasil Belajar Siklus II

Pada Mata Pelajaran Fikih Siswa Kelas IX Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo

No Nama Siswa Skor Keterangan

No Nama Siswa SkorKeterangan

T TT T TT

1 Abd. M Tandjung

94 - 14 Ikhsan 84 -

2 Amal Mahdang 89 - 15 Ayu Milanda 76 - 3 Moh.Afandi 78 - 16 Despin 88 - 4 Moh.Arif 90 - 17 Fatimatuzzahra 100 - 5 Moh. Amal 80 - 18 Hariyati 89 - 6 Moh.Rinaldi 85 - 19 Indriyani .K 90 - 7 Muh.Andi Sukri 80 - 20 Magfirah 92 - 8 Muh. Triyanto 85 - 21 Maryam 85 -

228

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

9 Ramdan Moo 100 - 22 Miftahuljannah 92 - 10 Ridwan 87 - 23 Lasmin 80 - 11 Rofil 90 - 24 Nurhatimah 85 - 12 Sulman 86 - 25 Verawati 87 - 13 Zulkarnain 98 - 26 Windriyani 80 -

Jumlah 1142 12 1 Jumlah 1312 12 1 Jumlah skor : 2454 Jumlah skor maksimal ideal : 2600 Rata-rata skor tercapai : 94,38

Sumber Data: Olahan Data Primer dari Kegiatan Siswa Siklus II, 2014

Keterangan:

T : Tuntas TT : Tidak Tuntas Jumlah siswa yang tuntas : 24 orang Jumlah siswa yang belum tuntas : 2 orang Klasikal : Tuntas

Berdasarkan data pada tabel 5 tersebut, diperoleh data bahwa dari 26 siswa Kelas IX Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo sudah terdapat 24 orang siswa yang tuntas dalam belajar Fikih, sementara siswa yang belum tuntas belajarnya tinggal 2 orang siswa. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata tes formatif yang diperoleh meningkat dari 83,23% menjadi 94,38% setelah didakan tindakan siklus 1. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel rekapitulasi hasil tese belajar siswa berikut ini. Tabel 6: Rekapitulasi Hasil Tes Belajar

Siklus II Pada Mata Pelajaran Fikih Siswa Kelas IXA Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo

No Uraian Hasil Siklus 1

1 Nilai rata-rata tes formatif

94,38

2

Jumlah siswa yang tuntas belajar

24

3 Persentase ketuntasan belajar

92,31

Sumber Data: Olahan Data Primer dari Kegiatan Siswa Siklus II, 2014

Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai rata-rata tes formatif sebesar 94,38 dan dari 26 siswa telah tuntas sebanyak 24 siswa dan 2 siswa belum mencapai ketuntasan belajar. Maka secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai sebesar 92,31%

(termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus II ini mengalami peningkatan signifikan lebih baik dari siklus I. Adanya peningkatan hasil belajar pada siklus II ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan kemampuan guru dalam menerapkan metode demonstrasi sehingga siswa menjadi termotivasi, antusias, aktif dan partisipatif dengan metode pembelajaran seperti ini sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi yang telah diberikan. Sebagaimana digambarkan dalam gambar berikut ini.

Grafik 2: Hasil Tes Belajar Siklus II Pada Mata Pelajaran Fikih Siswa Kelas IX Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Gorontalo

05

10152025

ObservasiAwal

Siklus II

Tuntas

Belum tuntas

Keterangan:

Observasi awal : 7 siswa yang sudah tuntas belajar, 19 orang siswa yang belum tuntas belajar (ketuntasan belajar 26,92%)

Siklus I : 17 siswa yang sudah tuntas belajar, 9 orang siswa yang belum tuntas belajar (ketuntasan belajar 65,38%)

Siklus II : 24 siswa yang sudah tuntas belajar, 2 orang siswa yang belum tuntas belajar (ketuntasan belajar 92,31%)

Mencermati hasil belajar yang dicapai siswa Kelas IX MTs AlKhaairat Gorontalo pada mata pelajaran Fikih melalui pelaksanaan tindakan siklus II mencapai ketuntasan belajar 92,31%, apabila dibandingkan dengan indikator keberhasilan dalam penelitian >

229

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

85%, sebagai hasil dari penerapan metode demonstrasi, sudah melampaui target ketuntasan belajar yang ditetapkan, maka penelitian tindakan ini tidak dilanjutkan pada kegiatan siklus III.

G. Penutup Data yang dikumpulkan melalui kegiatan

pengumpulan data observasi harus disajikan dengan baik sehingga memudahkan didalam membaca dan memahami data yang disajikan, baik dengan menggunakan tabel atau grafik. Penyajian data sangat penting dalam observasi, karena dengan penyajian data ini akan membantu pembaca memahami data secara cepat dan mudah. Dengan menyusunnya dalam bentuk yang lebih teratur, maka data lebih mudah dianalisis atau direview untuk ditarik kesimpulan.

Adapun beberapa saran yang dapat dikemukakan sehubungan dengan pembahasan yang telah dikemukakan adalah sebagai berikut. 1. Dalam melakukan catatan lapangan melalui

observasi, kata sifat interpretative seperti “menyenangkan”, “cantik” dan “menarik”. Pada waktu mencatat hasil observasi agar tidak mencampur adukan hasil pengumpulan data dengan interprestasi, sehingga memudahkan di dalam penyajian data.

2. Dalam menyajikan data observasi ke dalam bentuk tabel atau grafik, hendaknya penampilan dan gambaran data lebih mudah dibaca dan dipahami. Dengan menyusunnya dalam bentuk yang teratur maka dapat lebih mudah dianalisis untuk ditarik kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA

Ferquson, G.A & Takane, Y. 1989. Statistical

Analysis in Psychology and Education. New York: McGRaw Hill Book Company

Purwanto. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif

(Untuk Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan

(Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta

Suratno. 2010. Metode Penelitian Kualitatif.

Banjarmasin: Program Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri “Antasari” Banjarmasin

230

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

ANALISIS KUALITAS BUTIR SOAL PILIHAN GANDA MENURUT TEORI TES KLASIK DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM ITEMAN

Oleh:

Lian G. Otaya Email: [email protected]

Abstrak

Analisis butir soal menjadi langkah yang penting karena untuk menentukan kualitas soal sehingga soal tersebut dapat digunakan atau tidak. Soal pilihan ganda yang baik secara kuantitatif perlu diperhatikan validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, daya pembeda soal, dan efektivitas pengecoh berdasarkan teori klasik. Meskipun penggunaan teori tes klasik relatif mudah dalam menganalisis butir, namun teori ini memiliki beberapa kelemahan mendasar. Kemampuan kelompok peserta didik yang mengikuti tes sangat mempengaruhi nilai statistik. sehingga nilai statistiknya akan berbeda jika tes diberikan kepada kelompok yang lain. Selain itu, perkiraan kemampuan peserta tergantung pada butir soal. Jika indeks kesukaran rendah maka estimasi kemampuan seseorang akan tinggi dan sebaliknya. Perkiraan kesalahan pengukuran tidak mencakup perorangan tetapi kelompok secara bersama-sama. Hal ini dikarenakan respon setiap peserta tes terhadap soal tidak bisa dijelaskan oleh teori tes klasik. Iteman merupakan salah satu program komputer yang dapat digunakan untuk menganalisis butir soal secara klasik yang berguna menentukan kualitas butir soal berdasarkan data empiris hasil ujicoba. Hasil analisis butir soal mencakup informasi mengenai tingkat kesukaran soal, daya pembeda soal, dan statistik penyebaran jawaban. Selain menghasilkan statistik butir soal, program ini juga menghasilkan statistik tes yang meliputi kehandalan/reliabilitas tes, kesalahan pengukuran (standard error), dan distribusi skor. Program ini juga memberikan output skor untuk setiap peserta tes.

. A. Pendahuluan

Penilaian dalam pembelajaran adalah segala kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan secara disengaja dan sistematis dalam mengumpulkan informasi yang akan digunakan sebagai dasar dalam mengambil keputusan tentang pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik untuk berbagai macam kepentingan/tujuan pembelajaran. Soal-soal bentuk objektif banyak digunakan dalam menilai hasil belajar. Hal ini disebabkan antara lain oleh luasnya bahan pelajaran yang dapat dicakup dalam tes dan mudahnya menilai jawaban yang diberikan. Jawaban terhadap tes objektif bersifat pasti, hanya ada satu kemungkinan jawaban yang benar. Jika peserta didik tidak menjawab seperti itu dinyatakan salah, tidak ada bobot atau skala terhadap jawaban suatu butir soal, seperti halnya pada tes esai.1

Salah satu bentuk tes obyektif yang paling sering digunakan adalah tes pilihan ganda. Tes pilihan ganda sangat cocok digunakan jika peserta tes sangat banyak dan hasil tes yang harus segera diumumkan seperti tes ujian akhir nasional, ulangan umum, ulangan kenaikan kelas, tes penerimaan mahsiswa baru, dan sebagainya. Penggunaan yang luas ini tidak terlepas dari

1Suwandi, Sarwiji, Model-Model Assesmen dalam Pembelajaran, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2011), h.57.

keunggulan soal pilihan ganda yang dapat diskor dengan mudah, cepat, obyektif, dan dapat mencakup bahan atau materi yang luas dalam suatu tes, dapat mengukur berbagai jenjang kognitif mulai dari ingatan sampai dengan evaluasi. Lebih mudah dianalisis baik dari segi tingkat kesukaran, daya beda, validitas, dan reliabilitasnya. Selain itu, reliabilitas tes pilihan ganda relatif lebih tinggi dibandingkan dengan soal uraian.

Beberapa butir pernyataan yang merupakan bagian pokok dalam pedoman umum penulisan butir soal pilihan ganda adalah sebagai berikut: (1) butir soal harus sesuai dengan indikator; (2) pokok soal dan pilihan jawaban harus di rumuskan secara jelas, singkat, padat, dan tegas, sehingga perumusan tersebut hanya mencakup pernyataan yang diperlukan saja; (3) pokok soal jangan memberi petunjuk ke arah jawaban yang benar; (4) pokok soal dan pilihan jawaban tidak mengandung pernyataan yang bersifat negatif ganda; (5) pilihan jawaban yang merupakan kunci jawaban harus menunjukan kebenaran mutlak dan terbaik; (6) pilihan jawaban harus homogen dan logis secara materi dan bahasa; (7) panjang rumusan pilihan jawaban harus relatif sama; (8) pilihan jawaban sebaiknya jangan memakai bunyi “semua pilihan jawaban di atas salah “atau “semua pilihan jawaban di atas benar”; (9) pilihan jawaban berbentuk angka harus

231

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

disusun berdasarkan urutan kecil ke besar atau sebaliknya.2

Setiap bentuk soal pilihan ganda, jawabannya harus dipilih dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disediakan. Penggunaan tes pilihan ganda, pada umumnya dijumpai pada ujian yang berskala besar/massal karena sifatnya yang obyektif dan mudah penskorannya. Bentuk soal ini juga dianggap pilihan yang tepat untuk ujian akhir dimana bahan pelajaran yang hendak diujikan biasanya cukup banyak. Dilihat dari strukturnya, bentuk soal pilihan ganda terdiri dari pokok soal (stem) dan pilihan jawaban (option). Pilihan jawaban terdiri atas satu kunci jawaban dan yang lainnya pengecoh (distraktor). Pokok soal (stem) dapat berupa pertanyaan atau pernyataan tidak lengkap. Thorndike secara rinci menjelaskan pengertian pilihan ganda seperti berikut ini: the multiple-choice item consists of two parts:the stem, which presents the problem, and the list of possible answer or options. In the standard form of the item, one of the options is the correct or best answer and the others are foils or distractor. The stem of the item may be presented either as a question or as an incomplete statement (Artinya, item pilihan ganda terdiri dari dua bagian: batang, yang menyajikan masalah, dan daftar kemungkinan jawaban atau opsi. Dalam bentuk standar item, salah satu pilihan adalah jawaban yang benar atau terbaik dan yang lainnya salah (distraktor). Batang item dapat disajikan baik sebagai pertanyaan atau pernyataan tidak lengkap).3

Dalam kenyataannya, mengkontruksi tes yang berbentuk pilihan ganda tidaklah mudah. Pengkontruksian item soal pilihan ganda kadang-kadang menghadapi kesulitan dalam menentukan option pengecoh, sehingga alternatif jawaban cenderung heterogen. Kecenderungan option yang heterogen ini dapat membuat item kurang berarti atau lemah karena item tersebut tidak bisa membedakan antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dan yang berkemampuan rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis terhadap kualitas soal tersebut, sebelum diberikan kepada peserta tes.

ITEMAN merupakan program komputer yang digunakan untuk menganalisis butir soal secara klasik. Program ini termasuk satu paket program dalam MicroCAT°n yang dikembangkan oleh Assessment Systems Corporation mulai tahun 1982 dan mengalami revisi pada tahun 1984, 1986, 1988, dan 1993; mulai dari versi 2.00 sampai

2Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses

Belajar Mengajar. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h.44.

3Thorndike, R.M. Measurement and Evaluation in Psychology and Education (7th ed). (New Jersey: Pearson Education. Inc, 2005), h.448.

dengan versi 3.50. Alamatnya adalah Assessment Systems Corporation, 2233 University Avenue, Suite 400, St Paul, Minesota 55114, United States of America. Program ini dapat digunakan untuk: (1) menganalisis data file (format ASCII) jawaban butir soal yang dihasilkan melalui manual entry data atau dari mesin scanner; (2) menskor dan menganalisis data soal pilihan ganda dan skala Likert untuk 30.000 siswa dan 250 butir soal; (3) menganalisis sebuah tes yang terdiri dari 10 skala (subtes) dan memberikan informasi tentang validitas setiap butir (daya pembeda, tingkat kesukaran, proporsi jawaban pada setiap option), reliabilitas (KR-20/Alpha), standar error of measurement, mean, variance, standar deviasi, skew, kurtosis untuk jumlah skor pada jawaban benar, skor minimum dan maksimum, skor median, dan frekuensi distribusi skor,

B. Analisis Kualitas Butir Soal Pilihan Ganda

Soal pilihan ganda terdiri atas sebuah masalah dan daftar saran pemecahannya. Masalah yang dinyatakan sebagai pertanyaan langsung atau pernyataan tidak lengkap disebut stem soal. Daftar saran pemecahan termasuk kata-kata, nomor, simbol, atau frasa disebut alternative (juga disebut pilihan atau option). Peserta didik disarankan untuk membaca stem dan daftar pilihan dan memilih satu pilihan yang tepat atau yang terbaik. Pilihan yang tepat pada setiap soal disebut jawaban, dan pilihan tersisa disebut pengecoh (juga disebut pemikat atau gagal). Pilihan-pilihan yang tidak tepat fungsinya dalam soal untuk mengecoh peserta didik yang ragu-ragu mengenai jawaban yang tepat. Soal pilihan ganda dikatakan berkualitas bila memenuhi syarat validitas dan reliabilitas. Keberhasilan penilaian bergantung pada tingkat keberhasilan pengembangan instrumen dalam memenuhi syarat agar menghasilkan instrumen soal yang berkualitas tinggi.

Analisis kualitas soal pilihan ganda merupakan kegiatan penting dalam upaya memperoleh instrumen penilaian yang berkategori baik. Melalui analisis ini dapat diidentifikasi dan diketahui butir-butir soal manakah yang termasuk dalam kategori baik, kurang baik, dan jelek. Analisis kualitas soal pilihan ganda memungkinkan untuk memperoleh informasi mengenai baik tidaknya suatu butir soal, sekaligus memperoleh petunjuk untuk melakukan perbaikan soal yang ditulis. Menurut Nitko kegiatan menganalisis kualitas instrumen penilaian merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu soal yang telah ditulis. Kegiatan ini merupakan proses pengumpulan, peringkasan, dan penggunaan informasi dari jawaban peserta didik untuk membuat keputusan tentang setiap

232

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

penilaian.4 Sementara menurut Aiken tujuan menganalisis butir soal adalah untuk mengkaji dan menelaah setiap butir soal agar diperoleh soal yang bermutu sebelum soal digunakan. Di samping itu, tujuan analisis ini juga untuk membantu meningkatkan kualitas soal melalui revisi atau membuang soal yang tidak efektif, serta untuk mengetahui informasi diagnostik pada peserta didik apakah mereka sudah ataupun belum memahami materi yang telah diajarkan.5

Linn & Gronlund menambahkan tentang pelaksanaan kegiatan analisis butir soal yang biasanya didesain untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) apakah fungsi soal sudah tepat?; (2) apakah soal ini memiliki tingkat kesukaran yang tepat?; (3) apakah soal bebas dari hal-hal yang tidak relevan?; (4) apakah pilihan jawabannya efektif?. Kegunaan analisis butir soal bukan hanya terbatas untuk peningkatkan butir soal, tetapi ada beberapa hal, yaitu bahwa data analisis butir soal bermanfaat sebagai dasar untuk: (1) diskusi kelas efisien tentang hasil tes; (2) untuk kerja remedial, (3) untuk peningkatan secara umum pembelajaran di kelas; dan (4) untuk peningkatan keterampilan pada konstruksi tes.6

Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa analisis kualitas butir soal adalah: (1) untuk menentukan soal-soal yang cacat atau tidak berfungsi penggunaannya; (2) untuk meningkatkan butir soal melalui tiga komponen analisis yaitu tingkat kesukaran, daya pembeda, dan pengecoh soal, serta meningkatkan pembelajaran melalui ambiguitas soal dan keterampilan tertentu yang menyebabkan peserta didik sulit. Di samping itu, butir soal yang telah dianalisis dapat memberikan informasi kepada peserta didik dan guru. Untuk mendapatkan informasi tentang karakteristik setiap butir soal perlu dilakukan analisis soal, baik analisis kualitatif maupun analisis kuantitatif. Hasil analisis soal dapat digunakan untuk menguji apakah suatu soal akan berfungsi (analisis kualitatif) atau telah berfungsi (analisis kuantitatif) dengan baik. Jadi, ada dua cara yang dapat digunakan dalam penelahaan butir soal yaitu penelahaan secara kualitatif dan kuantitatif.7

4Nitko, Anthony J. Educational Assessment

of Students, Second Edition. (Ohio: Merrill an imprint of Prentice Hall Englewood Cliffs, 1996), h.308.

5Aiken, Lewis R. Psychological Testing and Assessment, (Eight Edition), (Boston: Allyn and Bacon,1994), h.63.

6Gronlund, N.E. Constructing Achievement Test. (3rd ed). (New York: Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1982), h.315-318.

7Zulaiha, Rahmah. Bagaimana Menganalisis Soal dengan Program Iteman. (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Badan

Penelaahan soal secara kuantitatif maksudnya adalah penelaahan butir soal didasarkan pada data empirik dari butir soal yang bersangkutan. Ada dua pendekatan dalam analisis secara kuantitatif, yaitu teori secara klasik dan teori modern. Teori tes klasik adalah analisis butir soal yang menggunakan model pengukuran yang sangat sederhana, yakni skor yang tampak terdiri dari skor sebenarnya dan skor kesalahan. Sedangkan teori modern mempunyai orientasi pada item yang karakteristiknya tidak tergantung pada kelompok tertentu. Teori ini membebaskan ketergantungan antara item tes dan peserta tes (konsep invariansi parameter), respon peserta tes pada satu item tes tidak mempengaruhi item tes lainnya (konsep independensi lokal), dan item tes hanya mengukur satu dimensi ukur (konsep unidimensi).

Salah satu teori pengukuran yang tertua didunia pengukuran adalah classical true-score theory. Teori ini dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan teori tes klasik. Teori tes klasik merupakan sebuah teori yang mudah dalam penerapannya serta model yang sederhana serta sangat berguna dalam mendeskripsikan bagaimana kesalahan dalam pengukuran dapat mempengaruhi skor amatan.

Pada teori tes klasik, ciri klasik ditunjukkan bahwa kelompok butir pada uji tes atau kuesioner tidak dapat dipisahkan dari kelompok peserta yang menempuh uji tes atau yang mengisi kuesioner (Naga, 1992: 4). Sebagai akibatnya, jika kelompok butir atau kuesioner yang sama ditempuh atau diisi oleh kelompok yang berbeda, maka ciri atau karakteristik kelompok butir itu pada umumnya berubah. Dengan kata lain, taraf kesukaran dan daya beda kelompok butir itu berubah semata-mata karena mereka ditanggapi oleh peserta yang berbeda. Untuk butir yang sama, kelompok peserta berbeda menunjukkan ciri butir yang berbeda.8

Demikian pula, jika kelompok peserta yang sama menempuh kelompok butir tes atau mengisi kelompok butir kuesioner berbeda, maka ciri kelompok peserta pun pada umumnya berubah. Dengan kata lain, kemampuan atau sikap peserta berubah semata-mata karena mereka menempuh atau mengisi butir yang berbeda. Untuk peserta yang sama, kelompok butir berbeda menunjukkan ciri peserta yang berbeda. Dengan demikian, pada teori tes klasik, uji tes atau kuesioner sangat bergantung pada butir dan peserta. Sebagai konsekuensinya antara lain adalah kemampuan peserta seolah-olah tinggi jika diberikan tes yang tingkat kesukarannya rendah. Demikian juga sebaliknya, tingkat kesukaran butir tes kelihatannya

Penelitian dan Pengembangan Pusat Penilaian Pendidikan, 2008), h.1

8Naga, Dali. S. Pengantar Teori Sekor pada Pengukuran Pendidikan. (Jakarta: Gunadarma, 1992), h.4.

233

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

tinggi jika diberikan kepada kelompok peserta yang mempunyai kemampuan rendah.9

Hal ini sejalan dengan pendapat Hambleton, Swaminathan, & Rogers (1991) yang menyatakan bahwa kelemahan pada teori tes klasik adalah adanya sifat group dependent dan item dependent. Group dependent artinya hasil pengukuran tergantung pada kemampuan kelompok peserta yang mengerjakan tes. Jika tes diujikan kepada kelompok peserta dengan kemampuan tinggi, tingkat kesulitan butir soal akan rendah. Sebaliknya jika tes diujikan kepada kelompok peserta dengan kemampuan rendah, tingkat kesulitan butir soal akan tinggi. Item dependent artinya hasil pengukuran tergantung pada tes mana diujikan. Jika tes yang diujikan mempunyai tingkat kesulitan tinggi, estimasi kemampuan peserta tes akan rendah. Sebaliknya, jika tes yang diujikan mempunyai tingkat kesulitan rendah, estimasi kemampuan peserta tes akan tinggi. Inti teori tes klasik adalah asumsi-asumsi yang dirumuskan secara sistematis serta dalam jangka waktu yang lama. Dari asumsi-asumsi tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa kesimpulan. Ada tujuh macam asumsi yang ada dalam teori tes klasik ini. Allen & Yen (1979) menguraikan asumsi-asumsi teori klasik sebagai berikut: 1. Asumsi pertama teori tes klasik adalah bahwa

terdapat hubungan antara skor tampak (observed score) yang dilambangkan dengan huruf X, skor murni (true score) yang dilambangkan dengan T dan skor kasalahan (error) yang dilambangkan dengan E. Yang dimaksud kesalahan pada pengukuran dalam teori klasik adalah penyimpangan tampak dari skor harapan teoritik yang terjadi secara random. Hubungan itu adalah bahwa besarnya skor tampak ditentukan oleh skor murni dan kesalahan pengukuran. Secara matematis dapat dilambangkan dengan X = T + E

2. Asumsi kedua adalah bahwa skor murni (T) merupakan nilai ekspektasi atau harapan (є(x) = T). Dengan demikian skor murni adalah nilai rata-rata skor perolehan teoretis sekiranya dilakukan pengukuran berulang-ulang (sampai tak terhingga) terhadap seseorang dengan menggunakan alat ukur.

3. Asumsi ketiga teori tes klasik menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi antara skor murni dan skor pengukuran pada suatu tes yang dilaksanakan (ρET = 0). Implikasi dari asumsi adalah bahwa skor murni yang tinggi tidak akan mempunyai error yang selalu positif ataupun selalu negatif.

4. Asumsi keempat menyatakan bahwa korelasi antara kesalahan pada pengukuran pertama dan kesalahan pada pengukuran kedua adalah nol (ρE1E2 = 0). Artinya bahwa skor-skor

9Ibid.,h.5.

kesalahan pada dua tes untuk mengukur hal yang sama tidak memiliki korelasi (hubungan). Dengan demikian besarnya kesalahan pada suatu tes tidak bergantung kesalahan pada tes lain.

5. Asumsi kelima menyatakan bahwa jika terdapat dua tes untuk mengukur atribut yang sama maka skor kesalahan pada tes pertama tidak berkorelasi dengan skor murni pada tes kedua (ρE1T2 = 0). Namun, asumsi ini akan gugur jika salah satu tes tersebut ternyata mengukur aspek yang berpengaruh terhadap teradinya kesalahan pada pengukuran yang lain.

6. Asumsi keenam teori tes klasik adalah menyajikan tentang pengertian tes yang paralel. Dua perangkat tes dapat dikatakan sebagai tes-tes yang paralel jika skor-skor populasi yang menempuh kedua tes tersebut mendapat skor murni yang sama (T = T') dan varian skor-skor kesalahannya sama (σ2

E = σ2E’). Dalam

prakteknya, asumsi keenam teori ini sulit terpenuhi.

7. Asumsi terakhir dari teori tes klasik menyatakan tentang definisi tes yang setara (essentially τ-equivalent). Jika dua perangkat tes mempunyai skor-skor perolehan X1 dan X2 yang memenuhi asumsi 1 sampai 5 dan apabila untuk setiap populasi subyek T1 = T2 + C12, dimana C12 adalah sebuah bilangan konstanta, maka kedua tes itu disebut tes yang paralel.

Asumsi-asumsi teori klasik sebagaimana disebutkan di atas memungkinkan untuk dikembangkan dalam rangka pengembangan berbagai formula yang berguna dalam melakukan pengukuran psikologis. Daya beda, indeks kesukaran, efektifitas distraktor (pengecoh), reliabilitas dan validitas adalah formula penting yang disarikan dari teori tes klasik. 1. Validitas

Validitas dapat berkenaan dengan ketepatan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai (Sudjana 2001). a. Validitas logis, terdiri atas: 1). Validitas isi,

sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan (Arikunto 2007). Sedangkan validitas isi menurut Ary D. et al (2007) menunjuk pada sejauh mana instrumen tersebut mencerminkan isi yang dikehendaki. 2). Validitas konstruksi, sebuah tes dikatakan memiliki validitas konstruksi jika butir soal yang membangun tes tersebut mengukur setiap aspek berpikir seperti yang dirumuskan dalam indikator (Arikunto 2007).

b. Validitas empiris, terdiri atas: 1). Tingkat kesukaran, adalah pengukuran

seberapa besar derajat kesukaran suatu soal. Jika suatu soal memiliki tingkat kesukaran seimbang (proporsional), maka dapat dikatakan bahwa soal tersebut baik.

234

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

Sebaiknya dalam penyusunan tes tidak terlalu sukar dan tidak pula terlalu mudah. Angka yang menunjukkan mengenai tingkat kesukaran dikenal dengan ”Difficulty Index” yang diberi lambang P (Proportion). Besarnya tingkat kesukaran antara 0,00 sampai dengan 1,0. Menurut Arikunto (2007) klasifikasi indeks kesukaran adalah sebagai berikut:

Soal dengan P antara 0,00 sampai 0,10 adalah soal sangat sukar Soal dengan P antara 0,11 sampai 0,30 adalah soal sukar Soal dengan P antara 0,31 sampai 0,70 adalah soal sedang

Soal dengan P antara 0,71 sampai 0,90 adalah soal mudah

Soal dengan P > 0,90 adalah soal sangat mudah

2). Daya pembeda Daya pembeda adalah pengukuran sejauhmana suatu butir soal mampu membedakan peserta didik yang sudah menguasai kompetensi dengan peserta didik yang belum/kurang menguasai kompetensi berdasarkan kriteria tertentu. Semakin tinggi koefisien daya pembeda suatu butir soal, semakin mampu butir soal tersebut membedakan antara peserta didik yang menguasai kompetensi dengan peserta didik yang kurang menguasai kompetensi. Seluruh peserta tes dikelompokkan menjadi 2 yaitu kelompok atas (upper) dan kelompok bawah (lower). Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda adalah disebut ”Discriminating Power” yang diberi lambang D. Besarnya daya pembeda berkisar antara 0,00 sampai 1,00.

Menurut Arikunto (2007) klasifikasi daya pembeda soal adalah sebagai berikut:

D = 0,00 – 0,20 daya pembeda soal adalah jelek

D = 0,21 – 0,40 daya pembeda soal adalah cukup

D = 0,41 – 0,70 daya pembeda soal adalah baik

D = 0,71 – 1,00 daya pembeda soal adalah baik sekali

D = Negatif daya pembeda soal adalah sangat jelek

3. Analisis pengecoh Pada soal pilihan ganda terdapat alternatif jawaban/option yang merupakan pengecoh (distraktor). Butir soal yang baik, pengecohnya akan dipilih secara merata oleh peserta didik yang menjawan salah. Sebaliknya butir soal yang kurang baik, pengecohnya akan dipilih secara tidak merata. Pengecoh dianggap baik

apabila jumlah peserta didik yang memilih pengecoh itu sama atau mendekati jumlah ideal. Menurut Surapranata (2005) suatu pengecoh dapat dikatakan berfungsi baik jika paling sedikit dipilih oleh 5% peserta tes.

2. Reliabilitas Reliabilitas adalah ketetapan atau keajegan suatu alat evaluasi (Sudjana 2001). Sedangkan Singarimbun dan Soffian E (2008) menyatakan bahwa reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauhmana suatu alat pengukur dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Suatu tes dikatakan memiliki ketetapan jika dapat dipercaya, konsisten/stabil dan produktif kapanpun tes tersebut digunakan. Terdapat tiga cara untuk mengetahui reliabilitas

suatu tes yaitu: a. Dengan metode dua tes, dua tes yang

paralel dan setaraf diberikan kepada sekelompok siswa, kemudian kedua hasilnya dicari korelasinya.

b. Dengan metode satu tes, sebuah tes diberikan dua kali kepada sekelompok siswa yang sama tapi dalam waktu yang berbeda. Kemudian kedua hasilnya dicari korelasinya.

c. Metode split-half, suatu tes dibagi menjadi dua bagian yang sama tingkat kesukarannya, sama isi dan bentuknya. Kemudian dilihat skor masing-masing bagian paruhan tes tersebut dan dicari korelasinya. (Purwanto 2004)

Nilai dari reliabilitas diberi lambang r yang dapat dicari besarnya dengan menggunakan rumus KR 20 atau Spearman-Brown. Menurut Arikunto (2007) harga r yang diperoleh dikonsultasikan dengan r Tabel product moment dengan taraf signifikan 5%. Jika harga r hitung > r Tabel , maka soal tersebut reliabel. Klasifikasi reliabilitas soal adalah sebagai berikut: 0,800 < r ≤ 1,000 : sangat tinggi 0,600 < r ≤ 0,800 : tinggi 0,400 < r ≤ 0,600 : cukup 0,200 < r ≤ 0,400 : rendah 0,000 < r ≤ 0,200 : sangat rendah

C. Analisis Kualitas Soal Pilihan Ganda dengan Menggunakan Program ITEMAN

ITEMAN merupakan perangkat/program untuk menganalisis butir soal dan tes. Program ini didasarkan pada teori tes klasik. Menurut Rudyatmi dan Anni (2010) analisis soal secara klasik adalah proses penelaahan butir soal melalui informasi dari jawaban peserta didik guna meningkatkan mutu butir soal yang bersangkutan dengan menggunakan teori klasik. Melalui data empiris butir soal yang ditampilkan dapat menjelaskan kualitas soal tersebut. Menurut Abidin (2008)

235

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

terdapat kelemahan utama dari program ini yaitu sangat dipengaruhi oleh kemampuan responden. Artinya jika soal diujikan pada anak berkemampuan tinggi dengan anak berkemampuan rendah maka akan terjadi perbedaan hasil analisis. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka biasanya analisis soal dengan menggunakan ITEMAN dilakukan secara sampling. Semakin besar sampling dan semakin baik teknik samplingnya maka semakin baik kualitas hasil analisis.

Azwar yang diacu dalam Kustriyono (2004) menyatakan bahwa pada analisis butir menggunakan teori tes klasik tipe objektif, kualitas butir dilihat dari paling tidak dua parameter yaitu tingkat kesukaran dan daya pembeda. Selain itu juga menguji efektifitas distraktor-distraktor pada setiap butir untuk menentukan apakah distraktor tersebut berfungsi atau belum. Program ini termasuk satu paket dalam MicroCat yang dikembangkan oleh Assessment System Corporation mulai tahun 1982 dan mengalami revisi pada tahun 1984, 1986, 1988, dan 1993: mulai dari versi 2.00 sampai dengan versi 3.50. Menurut Rudyatmi dan Anni (2010) adapun fungsi dari program ITEMAN adalah: 1. Untuk menganalisis data file (format ASCII)

jawaban butir soal yang dihasilkan manual melalui manual entry data atau dari mesin scanner

2. Menskor dan menganalisis data soal pilihan ganda untuk 30.000 siswa dan 250 butir soal

3. Menganalisis sebuah tes yang terdiri dari 10 skala (subtes) dan memberikan informasi tentang validitas setiap butir (daya pembeda, tingkat kesukaran, proporsi jawaban pada setiap option), reliabilitas (KR-20/Alpha), standar error measurement, mean, variance, standar deviasi, skew, kurtosis untuk jumlah skor pada jawaban benar, skor minimum dan maksimum, skor median dan frekuensi distribusi skor.

Menurut Abidin (2008) program ITEMAN juga memberikan hasil skor untuk setiap peserta tes yang menunjukkan jumlah benar dari seluruh jawaban. Sebelum menggunakan program ITEMAN perlu diketahui bahwa terdapat 5 baris utama yang harus dientrykan. Data yang akan dianalisis diketik melalui notepad atau Microsoft Office Word dengan jenis font Courier New. File data yang akan dientrykan ke program ITEMAN terdiri atas 5 baris yaitu: a. Baris pertama adalah baris pengontrol yang

mendeskripsikan data b. Baris kedua adalah daftar kunci jawaban setiap

butir soal c. Baris ketiga adalah daftar jumlah option untuk

setiap butir soal d. Baris keempat adalah daftar butir soal yang

akan dianalisis (jika butir yang akan dianalisis diberi tanda Y, jika tidak diikutkan dalam analisis diberi tanda N)

e. Baris kelima dan seterusnya adalah data siswa dan jawaban pilihan siswa. Setiap pilihan jawaban siswa (untuk soal pilihan ganda) diketik dengan menggunakan huruf, misal ABCD atau 1234 untuk 4 pilihan jawaban, sedangkan untuk 5 pilihan jawaban yaitu ABCDE atau 12345.

Adapun langkah-langkah melakukan analisis soal dengan ITEMAN adalah sebagai berikut. 1. Membuat File Data

a. Contoh File data (file data ditulis dengan notepad atau Microsoft Office Word dengan jenis font Courier New)

b. Keterangan Pengisian File Data 1) Baris Pertama: Kolom 1-3 : jumlah butir soal (contoh: 040)

4 : Spasi 5 : jawaban kosong (omit), ditulis 0 6 : Spasi 7 : soal yang belum dikerjakan,

ditulis n 8 : spasi 9-10 : jumlah identitas data siswa

(contoh: 07) Tambahan keterangan: Kolom 1-3, Untuk menuliskan jumlah soal: Kolom 1 ratusan, kolom 2 puluhan, kolom 3 satuan Kolom 5 : butir soal yang tidak dijawab Kolom 7 : butir soal yang belum sempat dikerjakan Kolom 9-10: panjang karakter untuk identitas siswa. 2) Baris kedua : kunci jawaban 3) Baris ketiga :jumlah jawaban 4) Baris Keempat : ‘Y’ butir soal yang dianalisis,

‘N’ butir soal yang tidak dianalisis 5) Baris kelima dan seterusnya : berisi jawaban

siswa 2. Menjalankan Program Iteman

a. Double klik file program ITEMAN b. Tulislah file data: contoh MTS.DAT

(MTS.TXT), kemudian tekan enter c. Ketik nama file hasil analisis, contoh

HSL.DAT (HSL.TXT), kemudian tekan enter d. Ketik ‘Y’, kemudian tekan enter e. Ketik file untuk total skor siswa, contoh

SKOR.DAT (SKOR.TXT), kemudian tekan enter.

f. Analisis selesai 3. Interpretasi hasil Analisis

Hasil analisis dengan ITEMAN dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu statistik butir soal dan hasil analisis statistik tes/skala. a. Statistik butir soal adalah untuk tes yang

terdiri dari butir-butir soal yang bersifat dikotomi misalnya pilihan ganda. Statistik berikut adalah output dari setiap butir soal yang dianalisis: 1) Seq.N : adalah nomor urut butir soal

dalam file data

236

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

2) Scala item : nomor urut butir soal dalam tes

3) Prop.Correc : proporsi siswa yang menjawab benar butir tes (indeks tingkat kesukaran soal secara klasikal). Nilai ekstrim (mendekati nol atau satu) menunjukkan bahwa butir soal tersebut terlalu sukar atau terlalu mudah untuk peserta tes. Indeks ini disebut juga indeks tingkat kesukaran soal secara klasikal.

4) Biser : indeks daya pembeda soal dengan menggunakan koefisien korelasi biserial. Nilai positif artinya peserta tes yang menjawab benar butir soal mempunyai skor relatif tinggi dalam tes tersebut. Sebaliknya nilai negatif menunjukkan bahwa peserta tes yang menjawab benar butir tes memperoleh skor tes yang relatif lebih rendah dalam tes. Untuk statistik pilihan jawaban korelasi biserial negatif sangat tidak dikehendaki untuk kunci jawaban (alternatif) dan sangat dikehendaki untuk pilihan jawaban yang lain (pengecoh).

5) Point biserial : juga indeks daya pembeda soal dan pilihan jawaban (alternatif) dengan menggunakan koefisien point biserial. Penafsirannya sama dengan statistik biserial. Statistik pilihan jawaban (alternatif) memberikan informasi yang sama dengan statistik butir soal. Perbedaannya adalah bahwa statistik pilihan jawaban dihitung secara terpisah. Untuk setiap pilihan jawaban dan didasarkan pada pilihan tidaknya alternatif tersebut, bukan pada jawabannya. Tanda bintang yang muncul di sebelah kanan hasil analisis menunjukkan kunci jawaban.

b. Statistik tes 1) N of Items : jumlah butir soal dalam tes

yang dianalisis. 2) N of Examines: Jumlah peserta tes 3) Mean : Skor atau rerata peserta tes 4) Variance : varian dari distribusi skor

peserta tes yang memberikan gambaran tentang sebaran skor peserta tes.

5) Std.Deviasi : Deviasi standar dari distribusi skor tes (akar dari varians)

6) Skew : kemiringan distribusi skor peserta tes yang memberikan gambaran tentang

bentuk distribusi skor peserta tes. Kemiringan negatif menunjukkan bahwa sebagian besar skor berada pada bagian atas (skor tinggi) dari distribusi skor. Sebaliknya, kemiringan positif menunjukkan bahwa sebagian besar skor pada bagian bawah (skor rendah) dari distribusi skor. Kemiringan nol menunjukkan bahwa skor berdistribusi secara simetris di sekitar skor rata-rata.

7) Kurtosis : puncak distribusi skor yang menggambarkan kelandaian distribusi skor dibanding dengan distribusi normal. Nilai positif menunjukkan distribusi yang lebih lancip (memuncak) dan nilai negatif menunjukkan distribusi yang lebih landai (merata). Kurtosis untuk distribusi normal adalah nol.

8) Minimum : skor terendah peserta tes 9) Maximum : skor tertinggi peserta tes

10) Median : skor tengah dimana 50% berada pada atau lebih rendah dari skor tersebut.

11) Alpha : koefisien reliabilitas alpha untuk tes atau skala tersebut yang merupakan indeks homogenitas tes atau skala. Koefisien alpha bergerak dari 0,0 sampai 1,0. Koefisien alpha hanya cocok digunakan untuk tes yang bukan mengukur kecepatan dan yang hanya mengukur satu dimensi. Semakin tinggi koefisien alpha menandakan semakin reliabel suatu soal.

12) SEM : kesalahan pengukuran standar untuk setiap tes atau skala. SEM merupakan estimasi dari deviasi standar kesalahan pengukuran dalam skor tes.

13) Mean P : rerata tingkat kesukaran semua butir soal dalam tes secara klasikal dihitung dengan cara mencari rata-rata proporsi peserta tes yang menjawab benar untuk semua butir soal dalam tes.

14) Mean item tot : nilai rata-rata indeks daya pembeda dari semua soal dalam tes yang diperoleh dengan menghitung nilai rata-rata point biseral dari semua soal dalam tes

15) Mean biserial : nilai rata-rata indek daya pembeda yang diperoleh dengan menghitung nilai rata-rata korelasi biserial dari semua butir soal.

Untuk lebih jelasnya cara menggunakan program ini, pertama data diketik di DOS atau Windows. Cara termudah adalah menggunakan program Windows yaitu dengan mengetik data di tempat Notepad. Caranya adalah klik Start-Programs-Accessories-Notepad.

Contoh pengetikan data untuk soal bentuk pilihan ganda 30 o n 6 [Jumlah soal, kode omit, kode tidak dijawab, jmlh karakterl 43142442113424141324213411334 [Kunci jawaban dapat ditulis dengan angka atau hurufl 444444444444444444444444444444 [Jumlah pilihan] YYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYY [Soal yang dianalisis, bila tidak dianalisis ditulis NJ

237

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

Dita 123123244113424143324213211334 (Jawaban siswa, dapat ditulis Fauria 423142243413424141124213111233 dengan angka atau huruf) Fara 423142242113424141324213411334 Nafis 143142242433434141324413431334 Raufan 243142242413434141411213211134 Dina 423342224113423141421213044331 Contoh pengetikan data untuk skala Likert. 30 x Y 10 [Jumlah soal, kodc omit, kode tidak dijawab, jmlh karakter] +++++++ ----------- +++++ ---------- +++++-- 777777777777777777777777777777 111111111111111111111111111111

[Positif/negative pernyataan] [Jumlah pilihan] [Kode skala]

Nurul 211214123242343423111231243767 [Jawaban siswa, dapat ditulisImam 312214214242443423224562332565 dengan angka atau huruf)Ali 2242123313324431243254624371YY Kiki 22421112X432443323226556664122 Chanan 32421424234244344322653546X343

Contoh lain pengetikan data untuk soal bentuk pilihan ganda 25 0 N 24ABDCEBCEDAABEDCCBDBAEDCAB Kuncine5555555555555555555555555 PilihaneYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYYY IWAN SUYAWAN ABDCEBCEDAABEDCEADBAEEECBTIKA HATIKAH ACCEEBCDBAABEECBBDBAEEAABYENNY SUKHRAINI ABDDDBCEDAABCACCBDDBCDCABWIJI PURWANTA ACBCEBCEDDCEEDCCAADAEDBBBHENNY LISTIANA ABDCECBDDAABDEACBDBBBECABUJANG HERMAWAN CDDCEBCEDCDCEDCCBBCADDCAENIKEN IRIANTI CDDCEBACDAABEBBCBDBAADAABMIMIK RIATIN ABDDDBCEDAABCACCBDDBCDCABNUR WAHYU RISDIANTO ABDBCDCEDAABBCDCBDBAAACABRURI SUSIYANTI AEDEEBCEDBBDEDCCBDCDBDCABRYSA DWI INDAH YATI ABCDEBCEDAABCACCBDBDEBCABANDRIKO ACDCEBCECBCBEDCADABAEBBCBJOKO SLAMET AAAABBBCCCDDEEAABBCCDDEEALUKMAN NURHUDA ACDBEBCECDBBEDCCBBAAEDCBBOTAH PIANTO DBBCEBAECAABDCBCBDBAEAEABAKHMAD SYAMSURIZAL ADDCEBCEDCBCDDCCBDBEEDCABDENY TRI SETIAWAN ABCDABCEDABCBDCCBDEAEDCABDEWI SETYOWATI ACCBEBCDCBABEDBCEDBDCBCACISMAIL SHOLEH ABDBCDCEDAABBCDCBDBAAACABJEMI INTARYO ACCEEBCDBAABEECBBDBAEEAAB

Langkah kedua data yang telah diketik disimpan, misal disimpan pada file: Tes1.txt. Selanjutnya untuk menggunakan program Iteman yaitu dengan mengklik icon Iteman. Kemudian isilah pertanyaan-pertanyaan yang muncul di layar computer seperti berikut.

Langkah ketiga adalah membaca hasil, yaitu dengan mengklik icon hsltes1. Hasilnya adalah seperti pada contoh berikut.

Enter the name of the input file: Tesl.txt <enter>

Enter the name of the output file: haltesl.txt

<enter>

238

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

MicroCAT (tm) Testing System Copyright (c) 1982, 1984, 1986, 1988 by Assessment Systems Corporation

Item and Test Analysis Program -- ITEMAN (tm) Version 3.00

Item analysis for data from file tes1.txt Page 1

Item Statistics Alternative Statistics ----------------------- -----------------------------------Seq. Scale Prop. Point Prop. PointNo. -Item Correct Biser. Biser. Alt. Endorsing Biser. Biser. Key---- ----- ------- ------ ------ ----- --------- ------ ------ ---

1 0-1 0.850 -0.018 -0.012 A 0.850 -0.018 -0.012 * B 0.000 -9.000 -9.000 CHECK THE KEY C 0.100 0.047 0.028 ? A was specified, C works better D 0.050 -0.040 -0.019 E 0.000 -9.000 -9.000 Other 0.000 -9.000 -9.000

2 0-2 0.450 0.534 0.425 A 0.050 -1.000 -0.856 B 0.450 0.534 0.425 * C 0.300 -0.262 -0.199 D 0.150 0.231 0.151 E 0.050 0.121 0.057 Other 0.000 -9.000 -9.000

3 0-3 0.600 0.515 0.406 A 0.050 -1.000 -0.856 B 0.100 -0.142 -0.083 C 0.250 0.039 0.029 D 0.600 0.515 0.406 * E 0.000 -9.000 -9.000 Other 0.000 -9.000 -9.000

4 0-4 0.400 0.172 0.135 A 0.050 -1.000 -0.856 B 0.200 -0.059 -0.041 CHECK THE KEY C 0.400 0.172 0.135 * C was specified, D works better D 0.200 0.474 0.332 ? E 0.150 0.018 0.012 Other 0.000 -9.000 -9.000

5 0-5 0.700 0.215 0.163 A 0.050 0.281 0.133 B 0.050 -1.000 -0.856 CHECK THE KEY C 0.100 0.142 0.083 E was specified, D works better D 0.100 0.331 0.194 ? E 0.700 0.215 0.163 * Other 0.000 -9.000 -9.000

6 0-6 0.850 -0.089 -0.058 A 0.000 -9.000 -9.000 B 0.850 -0.089 -0.058 * CHECK THE KEY C 0.050 -0.040 -0.019 B was specified, D works better D 0.100 0.142 0.083 ? E 0.000 -9.000 -9.000 Other 0.000 -9.000 -9.000

239

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

MicroCAT (tm) Testing System Copyright (c) 1982, 1984, 1986, 1988 by Assessment Systems Corporation

Item and Test Analysis Program -- ITEMAN (tm) Version 3.00

Item analysis for data from file tes1.txt Page 5

Item Statistics Alternative Statistics ----------------------- -----------------------------------Seq. Scale Prop. Point Prop. PointNo. -Item Correct Biser. Biser. Alt. Endorsing Biser. Biser. Key---- ----- ------- ------ ------ ----- --------- ------ ------ ---

25 0-25 0.850 1.000 0.685 A 0.050 -1.000 -0.856 B 0.850 1.000 0.685 * C 0.050 -0.523 -0.247 D 0.000 -9.000 -9.000 E 0.050 -0.040 -0.019 Other 0.000 -9.000 -9.000

Keterangan: Prop. Correct= tingkat kesukaran butir:, Biser dan Point Biser.= korelasi Biserial dan Korelasi Point Biserial, Alt.= alternative/pilihan jawaban, Prop. Endorsing= proporsi Jawaban pada setiap option MicroCAT (tm) Testing System Copyright (c) 1982, 1984, 1986, 1988 by Assessment Systems Corporation

Item and Test Analysis Program -- ITEMAN (tm) Version 3.00

Item analysis for data from file tes1.txt Page 6

There were 20 examinees in the data file.

Scale Statistics----------------

Scale: 0 -------N of Items 25N of Examinees 20Mean 16.250Variance 9.087Std. Dev. 3.015Skew -2.463Kurtosis 6.976Minimum 5.000Maximum 20.000Median 17.000Alpha 0.437SEM 2.261Mean P 0.650Mean Item-Tot. 0.266Mean Biserial 0.352

Hasil scor butir soal pilihan ganda dari ITEMAN versi 3.00

240

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

24 1 Scores for examinees from file tes1.txt IWAN SUYAWAN 20.00 TIKA HATIKAH 16.00 YENNY SUKHRAINI 18.00 WIJI PURWANTA 15.00 HENNY LISTIANA 16.00 UJANG HERMAWAN 16.00 NIKEN IRIANTI 17.00 MIMIK RIATIN 18.00 NUR WAHYU RISDIANTO 17.00 RURI SUSIYANTI 17.00 RYSA DWI INDAH YATI 19.00 ANDRIKO 15.00 JOKO SLAMET 5.00 LUKMAN NURHUDA 17.00 OTAH PIANTO 16.00 AKHMAD SYAMSURIZAL 19.00 DENY TRI SETIAWAN 18.00 DEWI SETYOWATI 13.00 ISMAIL SHOLEH 17.00 JEMI INTARYO 16.00

Hasil korelasi point-biserial (rpbi) dan korelasi biserial (rpbis) berasal dari perhitungan rumus berikut.

Upp

SttYpYratau

pp

SttYpYr bispbi

)1()1(

−−=−

−=

Yp = mean skor pada kriterion siswa yang menjawab benar soal. Yt dan St = mean dan standard deviasi kriterion seluruh siswa. p = proporsi siswa yang menjawab benar soal. U = ordinat kurva normal.

Korelasi point-biserial (r pbi) tidak sama dengan 0, korelasi biserial (r bis) paling sedikit 25% lebih besar daripada r pbi untuk perhitungan pada data yang sama. Korelasi point-biserial (r pbi) merupakan korelasi product moment antara skor dikotomus dan pengukuran kriterion; sedangkan korelasi biserial (r bis) merupakan korelasi product moment antara variabel latent distribusi normal berdasarkan dikotomi benar-salah dan pengukuran kriterion. Menurut Millman dan Greene (1989) dalam Educational Measurement, kedua korelasi ini memiliki kelebihan masing-masing. Kelebihan korelasi point biserial adalah: (1) memberikan refleksi kontribusi soal secara sesungguhnya terhadap fungsi tes. Maksudnya ini mengukur bagaimana baiknya soal berkorelasi dengan kriterion (tidak bagaimana baiknya beberapalsecara abstrak); (2) sederhana dan langsung berhubungan dengan statistik tes; (3) tidak pernah mempunyai value 1,00 karena hanya variabel-variabel dengan distribusi bentuk yang sama yang dapat berkorelasi secara sempurna, dan variabel kontinyu (kriterion) dan skor dikotomus tidak mempunyai bentuk yang sama. Kelebihan korelasi biserial adalah: (1) cenderung lebih stabil dari sampel ke sampel, (2) penilaian lebih akurat tentang bagaimana soal dapat diharapkan untuk membedakan pada beberapa perbedaan point di skala abilitas, (3) value r bis yang sederhana lebih langsung berhubungan dengan indikator diskriminasi kurva karakteristik butir (Item Characteristic Curve atau ICC). Kebanyakan para ahli pendidikan, khususnya di Indonesia, banyak yang menggunakan korelasi point biserial daripada korelasi biserial. Kriteria baik tidaknya butir soal menurut Ebel dan Frisbie (1991) dalam Essentials of Educational Measurement halaman 232 adalah bila korelasi point biserial: >0.40=butir soal sangat baik; 0.30 - 0.39=soal baik, tetapi perlu perbaikan; 0.20 - 0.29=soal dengan beberapa catatan, biasanya diperlukan perbaikan; < 0. 19=soal jelek, dibuang, atau diperbaiki melalui revisi. Adapun tingkat kesukaran butir soal memiliki skala 0 - 1. Semakin mendekati 1 soal tergolong mudah dan mendekati 0 soal tergolong sukar.

241

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

D. Hasil Analisis Hasil analisis secara kuantitatif soal pilihan ganda sebanyak 25 soal dengan menggunakan program

ITEMAN versi 3.00 dapat diketahui validitas soal yang meliputi indeks tingkat kesukaran soal, daya pembeda, dan efektifitas pengecoh serta reliabilitas soal sebagai berikut. B

U

T

I

R

K

U

N

C

I

Tingkat Kesukaran

(Prop.Correct)

Daya Pembeda

(Biser)

Distribusi

jawaban tiap butir

(dalam %)

Pengecoh

(Prop.

Endorsing) Angka Kategori Angka Kategori A B C D

1 B 1.000 Sgt.Mudah

-9.000 Sgt.Jelek 0.000 1.000 0.000 0.000 Tidak berfungsi

2 C 1.000 Sgt.Mudah

-9.000 Sgt.Jelek 0.000 0.000 1.000 0.000 Tidak berfungsi

3 C 1.000 Sgt.Mudah

-9.000 Sgt.Jelek 0.000 0.000 1.000 0.000 Tidak berfungsi

4 D* 0.925 Sgt.Mudah

0.163 Jelek 0.008 0.008 0.058 0.925 Tidak berfungsi

5 D 0.417 Sedang 0.797 Baik Skli 0.325 0.108 0.150 0.417 Berfungsi

6 A 0.375 Sedang 0.654 Baik 0.375 0.092 0.200 0.333 Berfungsi

7 D 0.308 Sedang 0.863 Baik Skli 0.325 0.125 0.242 0.308 Berfungsi

8 C 0.392 Sedang 0.504 Baik 0.300 0.058 0.392 0.250 Berfungsi

9 C 0.267 Sukar 0.976 Baik Skli 0.425 0.083 0.267 0.225 Berfungsi

10 C 0.567 Sedang 0.288 Cukup 0.200 0.117 0.567 0.117 Berfungsi

11 B 0.500 Sedang 0.263 Cukup 0.283 0.500 0.067 0.150 Berfungsi

12 C 0.575 Sedang 0.399 Cukup 0.192 0.033 0.575 0.200 Berfungsi

13 B 0.400 Sedang 0.511 Baik 0.217 0.400 0.208 0.175 Berfungsi

14 A 0.425 Sedang 0.475 Baik 0.425 0.083 0.350 0.142 Berfungsi

15 C 0.467 Sedang 0.495 Baik 0.250 0.117 0.467 0.167 Berfungsi

16 C 0.383 Sedang 0.284 Cukup 0.250 0.175 0.383 0.192 Berfungsi

17 D 0.592 Sedang 0.158 Jelek 0.208 0.033 0.167 0.592 Berfungsi

18 B 0.408 Sedang 0.487 Baik 0.225 0.408 0.250 0.117 Berfungsi

19 D 0.525 Sedang 0.221 Cukup 0.167 0.050 0.258 0.525 Berfungsi

20 A* 0.608 Sedang -0.019 Sgt.Jelek 0.608 0.008 0.300 0.083 Berfungsi

21 B 0.533 Sedang 0.465 Baik 0.192 0.533 0.208 0.067 Berfungsi

22 C 0.533 Sedang 0.297 Cukup 0.158 0.083 0.533 0.225 Berfungsi

23 C 0.342 Sedang 0.469 Baik 0.175 0.117 0.342 0.367 Berfungsi

24 C 0.600 Sedang 0.470 Baik 0.058 0.133 0.600 0.208 Berfungsi

242

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

25 D* 0.692 Sedang 0.094 Jelek 0.092 0.008 0.208 0.692 Berfungsi

Σ soal sangat sukar = 0 Σ soal baik sekali = 3 pengecoh berfungsi = 21 Σ soal sukar = 1 Σ soal baik = 9 tidak berfungsi = 4 Σ soal sedang = 20 Σ soal cukup = 6 Σ soal mudah = 0 Σ soal jelek = 3 Σ soal sangat mudah = 4 Σ soal sangat jelek = 4

E. Pembahasan

Hasil analisis kuantitatif yang mencakup analisis validitas, reliabilitas, daya beda dan tingkat kesukaran, efektifivitas pengecoh diperoleh dengan bantuan program computer microCat iteman. Dengan melihat hasil iteman, akan mengetahui reliabilitas soal dari koefisien alpha dan analisis butir soal berupa indeks kesulitan, indeks daya beda, dan keefektifan distraktor. 1. Validitas soal

Validitas soal dalam analisis ini yang dimaksud validitas soal meliputi tingkat kesukaran, daya beda, dan efektifitas pengecoh. a. Tingkat kesukaran

Berdasarkan hasil analisis kuantitatif soal pilihan ganda menggunakan ITEMAN pada Tabel 1 diketahui bahwa soal 0% sangat sukar; 2,5% sukar; 80% sedang; 10% mudah dan 7,5% sangat mudah. Tingkat kesukaran soal tersebut secara keseluruhan termasuk sedang.

Dilihat dari tingkat kesukaran (dengan menggunakan ITEMAN ditunjukkan dengan proporsi siswa menjawab benar/proportion correct), maka soal Fisika memiliki tingkat kesukaran sedang.

b. Daya beda Pada tabel di atas diketahui bahwa soal dengan daya beda baik sekali memiliki persentase 15%,

soal dengan daya beda baik sebesar 32,5%, soal dengan daya beda cukup sebesar 20%, soal dengan daya beda jelek sebesar 22,5%, dan soal dengan daya beda sangat jelek sebesar 10% yang bernilai positif. Artinya soal tersebut dapat membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dan yang berkemampuan rendah. Soal yang memiliki nilai daya beda negatif sebesar 10% (4 soal yaitu no 1,2,3, dan 20) tidak dapat membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai biser berturut-turut sebesar -9,000, -9,000, -9,000 dan -0.019 dan point biser berturt-turut sebesar -9,000, -9,000, -9,000 dan -0.015 (tabel 1).

Butir soal yang memiliki nilai negatif menunjukkan peserta tes yang menjawab benar butir soal tersebut memiliki skor yang relatif rendah atau dengan kata lain peserta tes yang memiliki skor relatif tinggi tidak mampu menjawab butir soal tersebut. Dapat dikatakan bahwa butir soal tersebut tidak dapat membedakan siswa yang pandai dan yang tidak pandai. Semakin tinggi nilai daya beda soal (bernilai positif) maka semakin baik soal tersebut. Meskipun memiliki nilai positif, akan tetapi soal yang sebaiknya digunakan adalah soal yang memiliki daya beda cukup, baik dan baik sekali. Hal ini sesuai dengan pendapat Zaman et al (2010) bahwa soal yang memiliki daya beda 0,2 – 0,4 (cukup) sebaiknya direvisi pada stem soal, setelah lolos revisi maka soal tersebut dapat digunakan dalam tes.

c. Efektifitas pengecoh Berdasarkan tabel di atas yang menunjukkan hasil analisis butir soal menggunakan ITEMAN

maka dapat diketahui bahwa 90% pilihan jawaban pada soal dapat berfungsi. Artinya pilihan jawaban (bukan kunci jawaban) telah berfungsi sebagaimana mestinya yaitu sebagai pengecoh. Sisanya yaitu sebanyak 10% pengecoh tidak berfungsi. Pada soal dengan tingkat kesukaran sangat mudah maka pengecoh tidak berfungsi yaitu soal no 1,2,3 dan 4. Hal ini karena pokok soal yang terlalu mudah sehingga peserta tes dengan mudah menjawab tanpa menghiraukan pilihan jawaban lain (dalam hal ini pengecoh).

Maka dalam menyusun soal perlu diperhatikan tingkat kesukaran soal dan hubungannya dengan pilihan jawaban. Tes pilihan ganda yang disusun tanpa memperhatikan homogenitas tidaknya pilihan jawaban akan berpeluang untuk tidak berfungsi. Karena peserta tes akan dengan mudah menebak tanpa berpikir panjang akan langsung menjawab pada kunci jawaban, artinya tidak menghiraukan pilihan jawaban lain sebagai pengecoh yang tidak homogen.

Demikian juga jika pokok soal memberi petunjuk untuk jawaban yang benar. Petunjuk untuk pilihan jawaban yang benar membuat peserta tes menjawab sesuai dengan petunjuk. Hal ini akan menyebabkan alternatif jawaban lain tidak berfungsi. Menurut Aprianto (2008) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi berfungsi tidaknya suatu pengecoh yaitu jika soal terlalu mudah, pokok soal memberi petunjuk pada kunci jawaban dan siswa sudah mengetahui materi yang akan ditanyakan terlalu mudah.

243

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

Efektifitas pengecoh dikatakan berfungsi jika dipilih oleh sebagian besar siswa yang berkemampuan rendah dan dipilih minimal 5% dari seluruh peserta tes dan dikatakan kurang berfungsi jika dipilih oleh peserta tes yang berkemampuan tinggi. Jika pengecoh lebih banyak dipilih oleh peserta yang berkemampuan tinggi maka dapat dikatakan pengecoh tersebut menyesatkan. Apabila tes dipilih secara merata oleh peserta tes maka pengecoh tersebut berfungsi.

Hasil analisis seluruh butir soal fisika terdapat beberapa butir soal yang memiliki daya beda (biser dan point biser) untuk pengecoh yang bernilai positif yaitu soal no 14 pada pengecoh D; no 16 pada pengecoh B; no 22 pada pengecoh B. Dalam hal ini berarti pengecoh tersebut tidak dapat membedakan kemampuan peserta tes, yaitu siswa yang memperoleh skor tinggi menjawab salah soal tersebut. Hal ini sesuai dengan Shakil (2008) yang menyatakan bahwa kualitas pengecoh dalam soal mempengaruhi hasil dari skor keseluruhan peserta tes. Tanda negatif pada pengecoh (pilihan jawaban bukan kunci jawaban) menunjukkan bahwa pengecoh sudah berfungsi dengan baik dimana peserta tes yang skornya rendah memilih pengecoh sebagai jawaban yang benar.

Soal no 4 dimana terdapat tanda tanya pada pengecoh A (dimana kunci jawaban adalah D); no 20 dimana terdapat tanda tanya pada pengecoh D (dimana kunci jawaban adalah A); no 25 dimana terdapat tanda tanya pada pengecoh A (dimana kunci jawaban adalah D);, maka pengecoh atau kunci jawaban tersebut perlu ditinjau lagi dari segi kualitatif. Sebagai tindak lanjut atas hasil analisis terhadap berfungsi tidaknya pengecoh maka untuk pengecoh yang telah berfungsi pada soal tersebut dapat digunakan untuk ulangan akhir semester selanjutnya, sedangkan pengecoh yang belum berfungsi perlu diganti atau direvisi dengan pengecoh lainnya.

Selain itu jika soal memiliki tingkat kesukaran 1 (misalnya pada soal no 1,2,dan 3 dari hasil analisis ) artinya semua siswa menjawab benar soal tersebut. Nilai biser menunjukkan angka -9,000, hal ini berarti bahwa pengecoh tidak dapat membedakan peserta tes yang memiliki kemampuan tinggi dan yang memiliki kemampuan rendah. Menurut Widodo (2010) penyebab pengecoh yang tidak dipilih oleh peserta tes karena terlalu kelihatan menyesatkan. Pengecoh yang jelek sebaiknya diganti. Selain itu juga perlu diperhatikan lagi, apakah pilihan jawaban tidak homogen atau justru siswa sudah benar-benar memahami konsep materi yang diajarkan.

2. Reliabilitas soal Penghitungan menggunakan ITEMAN dapat diketahui nilai reliabilitas soal melalui scale statistic.

Indeks reliabilitas berkisar antara 0-1 dengan lima kriteria. Semakin tinggi koefisien reliabilitas suatu tes, semakin tinggi pula keajegan atau ketepatannya. Nilai alpha/reliabilitas soal yang dihitung secara keseluruhan adalah sebesar 0,761(lihat lampiran 1) artinya soal tersebut memiliki keajegan yang tinggi. Kehandalan yang dimaksud dalam hal ini meliputi ketepatan/kecermatan hasil pengukuran dan keajegan/kestabilan dari hasil pengukuran. Gronlund yang diacu dalam Surapranata (2005) menyebutkan bahwa untuk pengambilan keputusan individu, koefisien reliabilitasnya harus tinggi.

3. Keputusan Setelah melihat hasil analisis tingkat kesukaran, daya pembeda, dan efektifitas pengecoh serta

reliabilitas soal, maka dapat diambil keputusan sebagai berikut.

Butir Tingkat Kesukaran

Daya Pembeda Pengecoh Keputusan

1 Sgt.Mudah Sgt.Jelek Tidak berfungsi

Soal sangat jelek, dibuang, atau diperbaiki melalui revisi. Dapat dilihat dari tabel bahwa butir soal ini tingkat kesulitannya adalah 1,000 yang artinya soal tersebut terlalu mudah. Dapat dilihat pula dari distribusi bahwa butir soal 1 kurang mampu membedakan siswa dengan kemampuan tinggi dengan sisiwa dengan kemampuan rendah.

2 Sgt.Mudah Sgt.Jelek Tidak berfungsi

Soal sangat jelek, dibuang, atau diperbaiki melalui revisi. Dapat dilihat dari tabel bahwa butir soal ini tingkat kesulitannya adalah 1,000 yang artinya soal tersebut terlalu mudah. Dapat dilihat pula dari distribusi bahwa butir soal 1 kurang mampu membedakan siswa dengan kemampuan tinggi dengan sisiwa dengan kemampuan rendah.

3 Sgt.Mudah Sgt.Jelek Tidak Soal sangat jelek, dibuang, atau diperbaiki melalui revisi. Dapat dilihat dari tabel bahwa

244

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

berfungsi butir soal ini tingkat kesulitannya adalah 1,000 yang artinya soal tersebut terlalu mudah. Dapat dilihat pula dari distribusi bahwa butir soal 1 kurang mampu membedakan siswa dengan kemampuan tinggi dengan sisiwa dengan kemampuan rendah.

4 Sgt.Mudah Jelek Tidak berfungsi

Soal jelek, dibuang, atau diperbaiki melalui revisi. Dapat dilihat dari tabel bahwa butir soal ini tingkat kesulitannya adalah 0,925 yang artinya soal tersebut terlalu mudah. Dapat dilihat pula dari distribusi bahwa butir soal 1 kurang mampu membedakan siswa dengan kemampuan tinggi dengan sisiwa dengan kemampuan rendah.

5 Sedang Baik Skli Berfungsi Dipakai untuk tes selanjutnya

6 Sedang Baik Berfungsi Dipakai untuk tes selanjutnya

7 Sedang Baik Skli Berfungsi Dipakai untuk tes selanjutnya

8 Sedang Baik Berfungsi Dipakai untuk tes selanjutnya

9 Sukar Baik Skli Berfungsi Dipakai untuk tes selanjutnya

10 Sedang Cukup Berfungsi Sebelum dipakai sebaiknya direvisi dulu pada stem soalnya

11 Sedang Cukup Berfungsi Sebelum dipakai sebaiknya direvisi dulu pada stem soalnya

12 Sedang Cukup Berfungsi Sebelum dipakai sebaiknya direvisi dulu pada stem soalnya

13 Sedang Baik Berfungsi Dipakai untuk tes selanjutnya

14 Sedang Baik Berfungsi

Sebaiknya sebelum dipakai terlebih dahulu pengecoh D agar direvisi karna memiliki point biser positif dimana ada beberapa peserta yang berkemampuan tinggi tidak bisa menjawab dengan benar butir tersebut (daya beda butir ini tidak bisa membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah

15 Sedang Baik Berfungsi Dipakai untuk tes selanjutnya

16 Sedang Cukup Berfungsi

Sebaiknya sebelum dipakai terlebih dahulu pengecoh B agar direvisi karna memiliki point biser positif dimana ada beberapa peserta yang berkemampuan tinggi tidak bisa menjawab dengan benar butir tersebut (daya beda butir ini tidak bisa membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah

17 Sedang Jelek Berfungsi

Dibuang atau direvisi terlebih dahulu pengecoh A karna memiliki point biser hampir mendekati positif yaitu -0,001dimana ada beberapa peserta yang berkemampuan tinggi tidak bisa menjawab dengan benar butir tersebut (daya beda butir ini tidak bisa

245

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah

18 Sedang Baik Berfungsi Dipakai untuk tes selanjutnya

19 Sedang Cukup Berfungsi Sebelum dipakai sebaiknya direvisi dulu pada stem soalnya

20 Sedang Sgt.Jelek Berfungsi Dibuang

21 Sedang Baik Berfungsi Dipakai untuk tes selanjutnya

22 Sedang Cukup Berfungsi

Sebaiknya sebelum dipakai terlebih dahulu pengecoh B agar direvisi karna memiliki point biser positif dimana ada beberapa peserta yang berkemampuan tinggi tidak bisa menjawab dengan benar butir tersebut (daya beda butir ini tidak bisa membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah

23 Sedang Baik Berfungsi Dipakai untuk tes selanjutnya

24 Sedang Baik Berfungsi Dipakai untuk tes selanjutnya

25 Sedang Jelek Berfungsi Dibuang atau diperbaiki kunci jawabannya

CONTOH DAFTAR JAWABAN PESERTA TES

NO NAMA JAWABAN PESERTA UAS

001 ANI BCCDDADCCCBCBACBDBDABBCCD

002 SERLI BCCDDADCCCBCBACBDBDABBCCD

003 ANDI BCCDDADCCBBCBACBDBDABBCCD

004 AGUS BCCDDADCCCBDBACCCBDABDCCD

005 FADLI BCCDDAACCCBCAACCDADABCCCA

006 ANTI BCCDDADCCCACBACADBDAACCCD

007 JASMIN BCCDDADCCCACBAACDBCABCDCD

008 AKMAL BCCDDADCCDBCBDCCDBCABCDCD

009 RESTU BCCDDADCCCBDBACDDBDDBCCCA

010 SANTI BCCDDADCCABCBACADBAABCACD

011 FADLAN BCCDDADCCABCBDCCDADABACCD

012 YATI BCCADADCACBCBCCCABDCBCDCD

013 TANTI BCCDDDDCACBCDACCABDCBCDCD

014 FARUK BCCDDADCACBABACCABDAACCCA

015 FAJRUL BCCDDDDDCCDCDACCABDCBCBCD

016 KASWIN BCCDDAACCABCCACADBCABACCC

246

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

017 SAHRUN BCCDDDDDCCDCBCCCABDDBDCDD

018 ERNA BCCDDADDCCDCBBCBDBBABDCCB

019 DANI BCCDDDDDCCDCDACBDCDCBCBCD

020 WARDA BCCDDADCCDBCAACBDBBABBCCA

021 ASNI BCCDDDDDCCACBBCCCBDCBCDCD

022 ASJON BCCDDDDDCCACBBCCCBDCBCDCD

023 ISMAWATI BCCDDDDCBCCCBDCDDBAABACCA

024 RATNA BCCDDADDCCACBDCBDCDCBACCA

025 KODIRIN BCCDDAACACBABACBDCDACCCDD

026 RASYID BCCDDBDDCDBCAAACDADDBDCDD

027 JEIN BCCDDAACCABABAACBBAACCDCA

028 WAYAN BCCDDADACABCDAACDDDDBCDCD

029 EKAWATI BCCDDBDBCBBDBADCDADAACCDD

030 WULANSARI BCCDDADCCCACBDCCABDDBCDCD

MicroCAT (tm) Testing System

Copyright (c) 1982, 1984, 1986, 1988 by Assessment Systems Corporation Item and Test Analysis Program -- ITEMAN (tm) Version 3.00

Item analysis for data from file mts.dat Item Statistics Alternative Statistics --------------------------------------------------- --------------------------------------------------- Seq. Scale Prop. Point Prop. Point No. -Item Correct Biser. Biser. Alt. Endorsing Biser. Biser. Key ---- ----- ------- ------ ------ ----- --------- ------ ------ ------ --------- ------ ------ 1 0-1 1.000 -9.000 -9.000 A 0.000 -9.000 -9.000 B 1.000 -9.000 -9.000 * C 0.000 -9.000 -9.000 D 0.000 -9.000 -9.000 Other 0.000 -9.000 -9.000 2 0-2 1.000 -9.000 -9.000 A 0.000 -9.000 -9.000 B 0.000 -9.000 -9.000 C 1.000 -9.000 -9.000 * D 0.000 -9.000 -9.000 Other 0.000 -9.000 -9.000 3 0-3 1.000 -9.000 -9.000 A 0.000 -9.000 -9.000 B 0.000 -9.000 -9.000 C 1.000 -9.000 -9.000 * D 0.000 -9.000 -9.000 Other 0.000 -9.000 -9.000 4 0-4 0.925 0.163 0.087 A 0.008 0.607 0.152 ? B 0.008 -0.163 -0.041 CHECK THE KEY C 0.058 -0.284 -0.141 D was specified, A works better D 0.925 0.163 0.087 *

247

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

Other 0.000 -9.000 -9.000 5 0-5 0.417 0.797 0.631 A 0.325 -0.441 -0.339 B 0.108 -0.517 -0.309 C 0.150 -0.241 -0.158 D 0.417 0.797 0.631 * Other 0.000 -9.000 -9.000 6 0-6 0.375 0.654 0.512 A 0.375 0.654 0.512 * B 0.092 -0.247 -0.141 C 0.200 -0.473 -0.331 D 0.333 -0.206 -0.159 Other 0.000 -9.000 -9.000 7 0-7 0.308 0.863 0.657 A 0.325 -0.266 -0.205 B 0.125 -0.418 -0.260 C 0.242 -0.390 -0.284 D 0.308 0.863 0.657 * Other 0.000 -9.000 -9.000 8 0-8 0.392 0.504 0.397 A 0.300 -0.236 -0.179 B 0.058 -0.522 -0.260 C 0.392 0.504 0.397 * D 0.250 -0.161 -0.118 Other 0.000 -9.000 -9.000 9 0-9 0.267 0.976 0.725 A 0.425 -0.205 -0.163 B 0.083 -0.526 -0.292 C 0.267 0.976 0.725 * D 0.225 -0.532 -0.382 Other 0.000 -9.000 -9.000 10 0-10 0.567 0.288 0.229 A 0.200 -0.009 -0.007 B 0.117 -0.397 -0.243 C 0.567 0.288 0.229 * D 0.117 -0.167 -0.102 Other 0.000 -9.000 -9.000 11 0-11 0.500 0.263 0.210 A 0.283 -0.078 -0.059 B 0.500 0.263 0.210 * C 0.067 -0.228 -0.118 D 0.150 -0.210 -0.137 Other 0.000 -9.000 -9.000 12 0-12 0.575 0.399 0.316 A 0.192 -0.033 -0.023 B 0.033 -0.317 -0.131 C 0.575 0.399 0.316 * D 0.200 -0.442 -0.309 Other 0.000 -9.000 -9.000 13 0-13 0.400 0.511 0.403 A 0.217 -0.029 -0.021 B 0.400 0.511 0.403 * C 0.208 -0.378 -0.267 D 0.175 -0.312 -0.212 Other 0.000 -9.000 -9.000 14 0-14 0.425 0.475 0.377 A 0.425 0.475 0.377 * B 0.083 -0.098 -0.054 C 0.350 -0.466 -0.362 D 0.142 0.006 0.004 Other 0.000 -9.000 -9.000

248

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

15 0-15 0.467 0.495 0.395 A 0.250 -0.229 -0.168 B 0.117 -0.449 -0.275 C 0.467 0.495 0.395 * D 0.167 -0.144 -0.096 Other 0.000 -9.000 -9.000 16 0-16 0.383 0.284 0.223 A 0.250 -0.211 -0.155 B 0.175 0.072 0.049 C 0.383 0.284 0.223 * D 0.192 -0.220 -0.153 Other 0.000 -9.000 -9.000 17 0-17 0.592 0.158 0.125 A 0.208 -0.002 -0.001 B 0.033 -0.317 -0.131 C 0.167 -0.150 -0.100 D 0.592 0.158 0.125 * Other 0.000 -9.000 -9.000 18 0-18 0.408 0.487 0.385 A 0.225 -0.148 -0.106 B 0.408 0.487 0.385 * C 0.250 -0.303 -0.222 D 0.117 -0.249 -0.152 Other 0.000 -9.000 -9.000 19 0-19 0.525 0.221 0.176 A 0.167 -0.109 -0.073 B 0.050 -0.073 -0.035 C 0.258 -0.165 -0.122 D 0.525 0.221 0.176 * Other 0.000 -9.000 -9.000 20 0-20 0.608 -0.019 -0.015 A 0.608 -0.019 -0.015 * B 0.008 -0.163 -0.041 CHECK THE KEY C 0.300 -0.110 -0.083 A was specified, D works better D 0.083 0.320 0.178 ? Other 0.000 -9.000 -9.000 21 0-21 0.533 0.465 0.371 A 0.192 -0.333 -0.231 B 0.533 0.465 0.371 * C 0.208 -0.144 -0.102 D 0.067 -0.409 -0.212 Other 0.000 -9.000 -9.000 22 0-22 0.533 0.297 0.236 A 0.158 -0.321 -0.212 B 0.083 0.273 0.151 C 0.533 0.297 0.236 * D 0.225 -0.274 -0.197 Other 0.000 -9.000 -9.000 23 0-23 0.342 0.469 0.363 A 0.175 -0.386 -0.262 B 0.117 -0.182 -0.111 C 0.342 0.469 0.363 * D 0.367 -0.099 -0.077 Other 0.000 -9.000 -9.000 24 0-24 0.600 0.470 0.371 A 0.058 -0.109 -0.054 B 0.133 -0.423 -0.268 C 0.600 0.470 0.371 * D 0.208 -0.271 -0.191 Other 0.000 -9.000 -9.000 25 0-25 0.692 0.094 0.072 A 0.092 0.479 0.273 ? B 0.008 0.351 0.088

249

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

CHECK THE KEY C 0.208 -0.418 -0.296 D was specified, A works better D 0.692 0.094 0.072 * Other 0.000 -9.000 -9.000 MicroCAT (tm) Testing System Copyright (c) 1982, 1984, 1986, 1988 by Assessment Systems Corporation Item and Test Analysis Program -- ITEMAN (tm) Version 3.00 Item analysis for data from file mts.dat Page 7 There were 120 examinees in the data file. Scale Statistics ---------------- Scale: 0 ------- N of Items 40 N of Examinees 120 Mean 22.533 Variance 32.682 Std. Dev. 5.717 Skew 0.843 Kurtosis -0.178 Minimum 14.000 Maximum 36.000 Median 20.000 Alpha 0.761 SEM 2.794 Mean P 0.563 Mean Item-Tot. 0.320 Mean Biserial 0.410 7 1 Scores for examinees from file mts.dat 001 36.00 002 36.00 003 35.00 004 34.00 005 35.00 006 35.00 007 35.00 008 35.00 009 34.00 010 35.00 011 34.00 012 32.00 013 30.00 014 31.00 015 30.00 016 28.00 017 28.00 018 28.00 019 28.00 020 30.00 021 28.00 022 29.00 023 29.00 024 29.00 025 29.00 026 29.00 027 29.00

250

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

028 29.00 029 29.00 030 29.00 Penutup

Analisis kualitas butir soal pilihan ganda berfungsi untuk menentukan soal-soal yang cacat atau tidak berfungsi penggunaannya; (untuk meningkatkan butir soal melalui tiga komponen analisis yaitu tingkat kesukaran, daya pembeda, dan pengecoh soal, serta meningkatkan pembelajaran melalui ambiguitas soal dan keterampilan tertentu yang menyebabkan peserta didik sulit. Analisis butir soal secara klasik adalah proses penelaahan butir soal melalui informasi dari jawaban peserta didik guna meningkatkan mutu butir soal yang bersangkutan dengan menggunakan teori tes klasik. Aspek yang perlu diperhatikan dalam analisis butir soal secara klasik adalah setiap butir soal ditelaah dari segi: tingkat kesukaran butir, daya pembeda butir, dan penyebaran pilihan jawaban (untuk soal bentuk obyektif) atau frekuensi jawaban pada setiap pilihan jawaban.

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, Lewis R. 1994. Psychological Testing and Assessment, (Eight Edition), Boston: Allyn and Bacon.

Gronlund, N.E. 1982. Constructing Achievement Test. (3rd ed). New York: Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs.

Linn, Robert L & Gronlund, Norman E. 1995. Measurement and Assessment in teaching (Seventh Edition). Ohio: Merrill, an immprint of Prentice Hall.

Naga, Dali. S. 1992. Pengantar Teori Sekor pada Pengukuran Pendidikan. Jakarta: Gunadarma.

Nitko, Anthony J. 1996. Educational Assessment of Students, Second Edition. Ohio: Merrill an imprint of Prentice Hall Englewood Cliffs.

Sudjana, Nana. 2010. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suwandi, Sarwiji. 2011. Model-Model Assesmen dalam Pembelajaran. Surakarta: Yuma Pustaka.

Thorndike, R.M. 2005. Measurement and Evaluation in Psychology and Education (7th ed). New Jersey: Pearson Education. Inc.

Zulaiha, Rahmah. 2008. Bagaimana Menganalisis Soal dengan Program Iteman. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Penilaian Pendidikan.

251

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

APLIKASI TEORI PERKEMBANGAN BAHASA MENURUT VYGOTSKY DALAM PENDIDIKAN

Oleh: Sumarlin Adam

Abstrak

Bahasa pada dasarnya merupakan suatu bentuk komunikasi antar manusia. Namun sewaktu-waktu perkembangan berlangsung, perkembangan tersebut terinternalisasi dan dilaksanakan oleh kemampuan intelektual. Hubungan anak dengan lingkungannya pun berubah dengan meningkatnya usia dan oleh karena itu peran dari lingkungan dalam perkembangan berubah pula. Lingkungan harus dianggap sebagai hal yang relatif. Karena pengaruh dari lingkungan ditentukan oleh pengalaman si anak. Untuk menyoroti interaksi yang berubah ini, Vygotsky mengajukan gagasan pengalaman-pengalaman yang pokok. Konsep pengalaman dari Vygotsky merupakan realitas psikologi yang paling penting. Pengalaman harus dimulai dengan penelitian tentang peranan lingkungan dalam perkembangan anak. Pengalaman merupakan inti dari semua pengaruh yang berbeda-beda dari keadaan-keadaan internal dan ekstrnal.

A. Pendahuluan

Bicara mengenai bahasa merupakan salah satu pembahasan yang penting, karena perkem-bangan bahasa mencerminkan kognisi dasar manusia. Selain itu, bahasa adalah sarana alat komunikasi. menurut para psikolog kognitif, “Bahasa adalah suatu sistem komunikasi yang didalamnya pikiran-pikiran dikirimkan dengan perantara suara (percakapan atau simbol).

Vygotsky memandang pentingnya bahasa dan orang lain dalam dunia anak-anak. Meskipun Vygotsky dikenal sebagai tokoh yang memfokuskan kepada perkembangan sosial yang disebut sebagai sosiokultural, dia tidak mengabaikan individu atau perkembangan kognitif individu. perkembangan bahasa pertama anak tahun kedua di dalam hidupnya dipercaya sebagai pendorong terjadinya pergeseran dalam perkembangan kognitifnya. Bahasa memberi anak sebuah alat baru sehingga memberi kesempatan baru kepada anak untuk melakukan berbagai hal, untuk menata informasi dengan menggunakan simbol-simbol. Anak-anak sering terlihat berbicara sendiri dan mengatur dirinya sendiri ketika ia berbuat sesuatu atau bermain. Ini disebut sebagai private speech. Ketika anak menjadi semakin besar, bicaranya semakin lirih, dan mulai membedakan mana kegiatan bicara yang ditujukan ke orang lain dan mana yang ke dirinya sendiri.

Hal yang mendasari teori Vygotsky adalah pengamatan bahwa perkembangan dan pembe-lajaran terjadi di dalam konteks sosial, yakni di dunia yang penuh dengan orang yang berinteraksi dengan anak sejak anak itu lahir. Ini berbeda dengan Piaget yang memandang anak sebagai pembelajar yang aktif di dunia yang penuh orang. Orang-orang inilah yang sangat berperan dalam membantu anak belajar dengan menunjukkan benda-benda, dengan berbi-cara sambil bermain, dengan membacakan ceritera, dengan mengajukan pertanyaan dan sebagainya. Dengan kata lain, orang dewasa menjadi perantara bagi anak dan dunia sekitarnya.

Kemampuan belajar lewat instruksi dan perantara adalah ciri inteligensi manusia. Dengan

pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan memahami lebih banyak hal dibandingkan dengan jika anak hanya belajar sendiri. Konsep inilah yang disebut Vygotsky sebagai Zone of Proximal Development (ZPD). ZPD memberi makna baru terhadap ‘kecerdasan’. Kecerdasan tidak diukur dari apa yang dapat dilakukan anak dengan bantuan yang semestinya. Belajar melakukan sesuatu dan belajar berpikir terbantu dengan berinteraksi dengan orang dewasa.

Menurut Vygotsky, pertama-tama anak melakukan segala sesuatu dalam konteks sosial dengan orang lain dan bahasa membantu proses ini dalam banyak hal. Lambat laun, anak semakin menjauhkan diri dari ketergantungannya kepada orang dewasa dan menuju kemandirian bertindak dan berpikir. Pergeseran dari berpikir dan berbicara nyaring sambil melakukan sesuatu ke tahap berpikir dalam hati tanpa suara disebut internalisasi. Menurut Wretsch (dalam Helena, 2004) internalisasi bagi Vygotsky bukanya transfer, melainkan sebuah transformasi. Maksudnya, mampu berpikir tentang sesuatu yang secara kualitatif berbeda dengan mampu berbuat sesuatu. Dalam proses internalisasi, kegiatan interpersonal seperti bercakap-cakap atau berkegiatan bersama, kemudian menjadi interpersonal, yaitu kegiatan mental yang dilakukan oleh seorang individu.

Banyak gagasan Vygotsky yang dapat membantu dalam membangun kerangka berpikir untuk mengajar bahasa bagi anak-anak. Untuk membuat keputusan apa yang bisa dilakukan guru agar mendukung pembelajaran kita dapat menggunakan gagasan bahwa orang dewasa menjadi perantara.

B. Biografi Vigotsky

Vygotsky nama lengkapnya adalah Lev Semenovich Vygotsky. Dia adalah seorang psikolog yang berkebangsan rusia, dia sezaman dengan

252

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

Piaget, Namun dia meninggal pada tahun 1934.1 Ia lahir di Rusia pada tanggal 5 November 1896.

Pada tanggal 11 Juni 1934 ia telah menjadi ahli psikologi perkembangan di Soviet dan ia mendasarkan pada psikologi cultural -historis. Vygotsky telah belajarprivat pada Solomon Ashpiz dan lulus dari Universitas negeri di moskow 1917. Setelah itu, dia memberikan kuliah tentang psikologi di moskow pada tahun 1924. Dimana ia bekerja dengan khusus pada pemikiran (ide) tentang perkembangan kognitif, terutama hubungan antara bahasa dan pikiran, tulisannya menitik beratkan pada peran latar sejarah, budaya, dan faktor sosial. Dalam kognitif dan berdebat melalui bahasa khusus yang telah banyak dijadikan simbol dan alat-alat yang di sediakan masyarakat.2

Pada awalnya karya-karyanya tidak begitu di kenal dalam bahasa inggris hingga tahun 1970, bagaimanapun juga, sejak teori-teorinya berpe-ngaruh di Amerika Utara. Teori Vygostky sekarang sangat kuat dalam pengembangan psikologi dan banyak kritik-kritik yang dia lontarkan terhadap teroi piaget lebih dari 60 tahun yang lalu.3

Vygotsky adalah teorisi utama yang sangat menghargai daya-daya Developmentalis dan Environmentalis diwilayah teori perkembangan kognitif (area kekuasaan Piget). Tepatnya seorang pemikir Rusia yang juga merupakan seorang marxis yang percaya bahwa kita bisa memahami manusia hanya dalam konteks lingkungan yang sosial historis. Karena itu Vygotsky berusaha menciptakan sebuah teori yang memadukan dua garis utama perkem-bangan “garis alamiyah ” yang muncul dari dalam diri manusia, dan garis “social historis” yang mempengaruhi manusia sejak kecil tanpa bisa dihindari.

Lev Semenovich Vygotsky tumbuh besar di Gomel, sebuah kota pelabuhan yang di Rusia sebelah barat. Ayahnya adalah seorang ekskutif bank, dan ibunya seorang guru, meskipun hidupnya kemudian habis hanya untuk membesarkan ke-8 anaknya. Keluarga ini menyukai percakapan yang menarik, sebab karakter yang tertanam sangat kuat dalam diri Vygotsky kecil. Saat mencapai usia remaja, dia dikenal oleh teman -temannya sebagai “professor kecil”. Karena dia selalu mengarahkan percakapan mereka kepada diskusi, perbantahan dan perdebatan. Saat usianya menginjak 17 tahun, Vygotsky muda masuk ke Universitas Moskow. Selama di Universitas, Vygotsky mengkhususksn diri mempelajari hukum, namun dia juga mengambil mata kulia di wilayah studi yang lain. Bahkan dia juga mengikuti mata kuliah di Universitas Rakyat Shanyavski, dimana sejumlah profesor dari Universitas moskow mengajar disana setelah

1Robet E. Slavin, Educational Psychology Theory

and Practice, (Johns Hopkins University,1986), h.48. 2 http://en. wikipedia.Org/Wiki/Lev- vygotsky “ 3Ibid., Robet E. Slavin, Educational Psychology

Theory and Practice. h.48.

dikeluarkan karena pemikiran mereka yang anti -Tzart. Vygotsky lulus kesarjanaannya dibidang hukum dari Universitas moskow pada 1917 dan kembali kerumahnya di Gomel. Diantara tahun 1917 (tahun pecahnya revolusi komunis) sampai 1924, Vygotsky mengajar sastra di SMP dan Psikologi di Institut perguruan lokal, dimana dia sangat tertarik untuk mengajar anak-anak yang fisiknya cacat. Dia juga sedang menyelesaikankan disertasi doktoralnya tentang psikologi seni.4

Pada 6 Januari 1924, Vygotsky melakukan perjalanan ke Leningrad untuk memberikan kuliah terbuka tentang psikologi kesadaran. Kejernihan dan kecermelangannya dalam membawakan kuliah, seorang pemuda tak dikenal dari pelosok menggugah kesadaran para psikolog muda pendengarnya. Salah satu psikolog muda ini, A.R. Luria (1902-1977), menawarinya sebuah posisi dosen di Institute Psikologi Moskow, yang segera diterimanya. Selama tahun pertama bekerja di institute inilah Vygotsky menyelesaikan disertasinya dan menerima gelar doktoralnya.

Di Moskow, Vygotsky segera menjadi pemikir ulung. Jika memberikan kuliah, maka banyak mahasiswa berdiri di luar auditorium dan mendengarkan pengajarannya. Lewat jendela-jendela yang terbuka. Vygotsky menginspirasikan begitu banyak antusiasme bukan hanya karena ide- idenya cemerlang, namun juga karena dia memimpin sekelompok Marxis muda. Kesatu misi menciptakan sebuah psikologi yang bisa membantu pembangunan masyarakat sosialis baru.

Vygotsky telah mengusulkan suatu mekanisme yang didalamnya budaya menjadi bagian dari hakekat (nature) setiap individu. Melalui berbagai pikiran atau mental yang berkelanjutan, wawasan atau “pikiran” ditransmisikan atau disalurklan dari generasi kegenerasi. Melalui bahasa dan produknya , misalnya ilmu pengetahuan, melek huruf, teknologi dan literatur.5

Vygotsky berkeyakinan bahwa perkem-bangan tergantung baik pada faktor biologis menentukan fungsi-fungsi elementer memorie, atensi, persepsi, dan stimulus respon, faktor sosial sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk pengembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan, teori Vygotsky ini, lebih menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran.6 Sejalan dengan teori konver-gensi yang dipelopori oleh Wlliam Stern, Ia berpedapat bahwa seorang anak dilahirkan di dumia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses perkembangan anak,

4William Crain, Teori perkembangan / konsep dan

aplikasi, (Yogyakarata: Pustaka Pelajar: 2007), h.335. 5Singgih. D. Gunarsa, Dari Anak Sampai Usia

Lanjut, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), h. 75 6Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif

Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 27.

253

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama sama mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu. Selain itu, Vygotsky mengemukakan pengetahuan dan perkembangan kognitif individu berasal dari sumber-sumber sosial diluar dirinya, hal ini tidak berarti bahwa individu bersikap positif dalam perkembangan kognitifnya, tetapi Vygotsky juga menekankan pent ingnya peran aktif seseorang dalam mengkonstruksi pengetahuan. Maka teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat disebut dengan pendekatan kontrukvisme. Maksudnya perkem-bangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga oleh lingkungan sosial yang aktif pula.

C. Perkembangan Bahasa

Dewasa ini kebanyakan peneliti bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai konteks social yang luas menguasai bahasa dari ibu mereka tanpa diajarkan secara khusus. Seperti halnya saat anak menangis, menangis merupakan bahasa anak saat meraka belum bisa berbicara, menangis dijadikan sebagai bahasa mereka saat mereka menginginkan sesuatu. Walaupun begitu proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak dukungan dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Karena dari lingkungan juga mereka akan dapat tambahan kosakata. Suatu lingkungan juga yang membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak. Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa disekitar anak sejak usia dini itu lebih penting. Karena bahasa berfungsi sebagai komunikasi. Dan suatu komunikasih itu digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah.

Perkembangan bahasa meliputi juga perkembangan kompetensi komunikasi, yakni kemampuan untuk menggunakan semua keteram-pilan berbahasa manusia untuk berekspresi dan memaknai. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh lingkungan anak dan lingkungan sekitarnya. Interaksi dengan orang yang lebih dewasa atau penutur yang lebih matang memainkan peranan yang amat penting dalam membantu peningkatan kemampuan anak untuk berkomunikasi.

Menurut Vygotsky, tidak ada batasan umur ketika kita membicarakan perkembangan bahasa, karena konsepnya, hanya lingkungan yang dapat meningkatkan pengetahuan kognitif seseorang.

Anak yang sejak kecil sudah diajarkan membaca akan memiliki lebih banyak perbendaharaan kata.Selain itu Vygotsky juga memperkenalkan tentang Private Speech, ucapan atau komunikasi untuk diri kita sendiri, akan membantu dalam proses pengembangan internal. Semakin sering orang melakukan private speech maka akan semakin pandai keterampilan sosialnya.

Meski begitu Vygotsky memiliki pandangan tentang tahapan perkembangan bahasa, yaitu: 1. More dependence, merupakan masa dimana kita

tergantung pada orang atas bahasa dan kata. 2. Less dependence, tahap dimana kita dapat mulai

mencari tau sendiri sehingga tidak terlalu membutuhkan orang lain

3. Internalization, merupakan tahap dimana kata-kata dapat terinternalisasi, jadi dapat lebih mudah terucap secara natural.

4. De-automatization, merupakan tahap dimana kita dapat menciptakan gaya bahasa sendiri dan memiliki sense of language.7

Vygotsky juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil didalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan sosial didalam perkembangan kognitif berbeda dengan teori Peaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian. Karena Peaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual. Sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak anak lain dalam memuahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun,anak-anak tidak banyak meiliki fungsi mental yang lebih tinggi. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Vygotsky juga menekankan baik level konteks sosial yang bersifat inter personal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalu instuisi seperti sekolah, penemuan seperti computer. Interaksi intuisional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan social yang luas untuk membimbing hidupnya.level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada kefungsian mental anak. Menurut Vygotsky keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung. Melalui pengoranisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada dalam suatu latar belakang kebudayaan ini. Perkembangan anak menjadi matang.

Dalam suatu penelitian tentang hubungan antara anak-anak yang baru belajar berjalan dengan ibunya, pasangan itu ditugaskan untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang terdiri atas berbagai jumlah (sedikit obyek vs banyak obyek) dan berbagai kompleksitas (perhitungan sederhana vs reproduksi angka). Para ibu di minta mengerjakan tugas ini sebagai suatu peluang untik mendorong

7Aulia Kirana, Perkembangan Bahasa Vigotsky,

(http://psiko-page.blogspot.com/2013/04/ perkembangan-bahasa-vygotsky.html).

254

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

pembelajaran dan pemahaman akan anak mereka. Vygotsky mengatakan bahwa bahasa dan pemikiran pada mulanya berkembang sendiri-sendiri, tetapi pada akhirnya bersatu.

Ada dua prinsip yang mempengaruhi penyatuan pemikiran dan bahasa. Pertama, semua fungsi mental memiliki asal usul eksternal atau sosial. Anak-anak harus menggunakan bahasa dan mengkomunikasikannya kepada orang lain sebelum mereka berfokus ke dalam proses-proses mental mereka sendiri. Kedua, anak-anak harus berkomunikasi secara eksternal dan menggunakan bahasa selama periode waktu yang lama sebelum transisi dari kemampuan bicara secara eksternal ke internal berlangsung. Periode transisi ini terjadi antara usia 3 hingga 7 tahun dan meliputi berbicara kepada dirinya sendiri. Setelah beberapa saat, berbicara sendiri itu menjadi hakekat kedua anak-anak dan mereka dapat bertindak tanpa menverbalisasikannya. Bila ini terjadi anak-anak telah menginternalisasikan pembicaraan mereka yang egosentris dalam bentuk berbicara sendiri, yang menjadi pemikiran anak.

Teori Vygotsky menentang gagasan-gagasan Piaget tentang bahasa dan pemikiran. Vygotsky menyatakan bahwa bahasa, bahkan dalam bentuknya yang paling awal, adalah berbasis sosial, sementara Piaget menekankan pada percakapan anak-anak yang bersifar egosentris dan berorientasi nonsosial. Anak-anak berbicara kepada diri mereka untuk mengatur perilakunya dan untuk mengarahkan diri mereka (Duncan, 1991). Sebaliknya, Piaget menekankan bahwa percakapan anak kecil yang egosentris mencerminkan ketidakmatangan sosial dan kognitif mereka. Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri bebrapa konsep melalui pengalaman. sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih maju dan berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. anak-anak tidak akan mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain.

Menurut Vygotsky, zona perkembangan proksimal merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan Sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerja sama dengan teman sebaya. Zona perkembangan proximal menitik beratkan pada interaksi social akan dapat memudahkan perkembangan anak. Ketika seorang siswa mengerjakan pekerjaannya disekolah sendiri, perkembangan mereka akan lambat. Jadi untuk memaksimalkan perkembangan siswa seharusnya bekerja dengan teman sebaya yang lebih terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui interaksi yang berturut-turut ini diharapkan dapat mengembangkan pengalaman berbicara, bersikap dan berdiskusi secara baik.

Perkembangan bahasa memainkan peranan yang signifikan dalam perkembangan sosial anak.

Bahasa lisan juga menyediakan piranti yang diperlukan untuk representasi mental atau dalam istilah Vygotsky disebut “verbal mediation” (kemampuan untuk memberikan label pada objek dan proses, yang diperlukan untuk pengembangan konsep, generalisasi, dan pemikiran). Kecakapan menggunakan bahasa dalam pikiran adalah perkembangan kunci yang membantu anak memecahkan berbagai masalah baru, tidak semata-mata trial and error (coba-ralat).

D. Aplikasi Teori Vigotsky dalam Pendidikan

Perkembangan bahasa juga dipandang menyebabkan perkembangan budaya sebab peristiwa berbahasa dianggap sebagai peristiwa budaya. Karena antara ilmu bahasa ( linguistik ) dan ilmu budaya ( antropologi) jelas tidak bisa dipisahkan . keduanya saling mempengaruhi dalam hubungan saling terkait, bukan hubungan sebab akibat. Penutur bahasa idealnya mengetahui budaya masyarakat pemilik bahasa yang bersangkutan agar tidak terjadi kesalahan komunikasi yang dapat saja menimbulkan kesalahpahaman, ketersinggungan dan bahkan pertengkaran. Sebab berbahasa bukan sekedsar mengucapkan kata yang diatur sedemikian rupa menurut kaidah bahasa atau gramatika. Tetapi berbahasa menyiratkan keluhuran makna baik makna social maupun cultural dari kata yang diucapkan.

Vygotsky dikenal sebagai tokoh yang memfokuskan kepada perkembangan sosial yang disebut sebagai sosiokultural, dia tidak mengabaikan individu atau perkembangan kognitif individu. perkembangan bahasa pertama anak tahun kedua di dalam hidupnya dipercaya sebagai pendorong terjadinya pergeseran dalam perkembangan kognitifnya. Bahasa memberi anak sebuah alat baru sehingga memberi kesempatan baru kepada anak untuk melakukan berbagai hal, untuk menata informasi dengan menggunakan simbol-simbol. Anak-anak sering terlihat berbicara sendiri dan mengatur dirinya sendiri ketika ia berbuat sesuatu atau bermain. Ini disebut sebagai private speech. Ketika anak menjadi semakin besar, bicaranya semakin lirih, dan mulai membedakan mana kegiatan bicara yang ditujukan ke orang lain dan mana yang ke dirinya sendiri.

Vygotsky juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil didalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan sosial didalam perkembangan kognitif berbeda dengan teori Peaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian. Karena Peaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual. Sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak anak lain dalam memuahkan perkembangan si anak..Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relative dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian.

255

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

Namun,anak-anak tidak banyak meiliki fungsi mental yang lebih tinggi. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Vygotsky juga menekankan baik levelkonteks sosial yang bersifat inter personal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalu instuisi seperti sekolah, penemuan seperti computer. Interaksi intuisional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan social yang luas untuk membimbing hidupnya.level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada kefungsian mental anak. Menurut Vygotsky keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi social langsung. Melalui pengoranisasian pengalaman-pengalaman interaksi social yang berada dalam suatu latar belakang kebudayaan ini. Perkembangan anak menjadi matang.

Pertama-tama anak melakukan segala sesuatu dalam konteks sosial dengan orang lain dan bahasa membantu proses ini dalam banyak hal. Lambat laun, anak semakin menjauhkan diri dari ketergantungannya kepada orang dewasa dan menuju kemandirian bertindak dan berpikir. Pergeseran dari berpikir dan berbicara nyaring sambil melakukan sesuatu ke tahap berpikir dalam hati tanpa suara disebut internalisasi. 1. ZPD (Zone of Proximal Development)

Merupakan konsep Vygotsky untuk rangkaian tugas yang terlalu sulit untuk dikuasai namun dapat belajar dengan orang dewasa ataupun temannnya yang lebih mahir.ZPD adalah tingkat keahlian anak yang dilakukan secara mandiri. "seperti kata yang dia dengar dari orang tuanya seperti misalnya kata "takut" kata itu untuk mengungkapkan perasaan kalau dia takut".

Penekanan Vygotsky pada ZPD menegaskan keyakinannya tentang pentingnya pengaruh-pengaruh social terhadap perkembangan kognitif dan peran pengajaran dalam perkembangan social. ZPD dikonseptualisasikan sebagai suatu ukuran potensi pembelajaran,akan tetapi IQ menekankan bahwa intelegensi adalah milik anak. sedangkan ZPD menekankan bahwa pembelajaran adalah suatu peristiwa social yang bersifat interpersonal dan dinamis yang tergantung pada paling sedikit dua pikiran, dimana yang satu lebih berilmu atau lebih terlatih dari yang lain. Pembelajaran oleh anak-anak kecilyang baru berjalan memberi contoh bagaimana ZPD bekerja. Anak-anak kecil yang baru berjalan itu harus di motivasi dan harus dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang menuntut ketrampilan buat mereka. Guru harus harus memiliki pengetahuan untuk melatihkan ketrampilan yang menjadi target pada setiap tingkat yang di persyaratkan oleh aktifitasnya.

Guru dan anak harus saling menyesuaikan persyaratan masing-masing.

Dalam suatu penelitian tentang hubungan antara anak-anak yang baru belajar berjalan dengan ibunya,pasangan itu di tugaskan untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang terdiri atas berbagai jumlah (sedikit obyek vs banyak obyek) dan berbagai kompleksitas (perhitungan sederhana vs reproduksi angka). Para ibu di minta mengerjakan tugas ini sebagai suatu peluang untik mendorong pembelajaran dan pemahaman akan anak mereka. Vygotsky mengatakan bahwa bahasa dan pemikiran pada mulanya berkembang sendiri-sendiri, tetapi pada akhirnya bersatu.

Ada dua prinsip yang mempengaruhi penyatuan pemikiran dan bahasa. Pertama, semua fungsi mental memiliki asal usul eksternal atau sosia. Anak-anak harus menggunakan basa dan mengkomunikasikannya kepada orang lain sebelum mereka berfokus ke dalam proses-proses mental mereka sendiri. Kedua, anak-anak harus berkomunikasi secara eksternal dan menggunakan bahasa selama periode waktu yang lama sebelum transisi dari kemampuan bicara secara eksternal ke internal berlangsung. Periode transisi ini terjadi antara usia 3 hingga 7 tahun dan meliputi berbicara kepada dirinya sendiri. Setelah beberapa saat, berbicara sendiri itu menjadi hakekat kedua anak-anak dan mereka dapat bertindak tanpa menverbali-sasikannya. Bila ini terjadi anak-anak telah menginternalisasikan pembicaraan mereka yang egosentris dalam bentuk berbicara sendiri, yang menjadi pemikiran anak.

Teori Vygotsky menentang gagasan-gagasan Piaget tentang bahasa dan pemikiran. Vygotsky menyatakan bahwa bahasa, bahkan dalam bentuknya yang paling awal, adalah berbasis sosial, sementara Piaget menekankan pada percakapan anak-anak yang bersifar egosentris dan berorientasi nonsosial. Anak-anak berbicara kepada diri mereka untuk mengatur perilakunya dan untuk mengarahkan diri mereka (Duncan, 1991). Sebaliknya, Piaget menekankan bahwa percakapan anak kecil yang egosentris mencerminkan ketidak-matangan sosial dan kognitif mereka.

Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri bebrapa konsep melalui pengalaman. sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih maju dan berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. anak-anak tidak akan mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain.

Menurut Vygotsky, zona perkem-bangan proksimal merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan

256

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

apakah seorang anak dapat melakukan Sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerja sama dengan teman sebaya. Zona perkembangan proximal menitik beratkan pada interaksi social akan dapat memudahkan perkembangan anak. Ketika seorang siswa mengerjakan pekerjaannya disekolah sendiri, perkembangan mereka akan lambat . jadi untuk memak-simalkan perkembangan siswa seharusnya bekerja dengan teman sebaya yang lebih terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui interaksi yang berturut-turut ini diharapkan dapat mengembangkan pengalaman berbicara, bersikap dan berdiskusi secara baik.

2. Scaffolding Adalah perubahan tingkat dukungan

dan merupakan konsep yang berkaitan denagn ZPD, di saat anak belajar dg tugas baru, orang dewasa/teman yang sudah mahir mengintruk-sikan langsung, namun ketika kemampuan anak meningkat maka bantuan itu dikurangi agar anak lebih mampu melewati tugasnya dan tidak tergantung. "secara yang namanya belajar berbahasa..., jadi diajarnya kata "takut"tadi di kurangi dan anak belajar sendri untuk menyampaikannya sendri...,".

Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah kedalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.

1) Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu: Menghendaki setting kelas kooperaif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efekif dalam masng-masing zone of proximal development mereka.

2) Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran dalam menekankan scaffolding. Jadi teori belajar vigotsky adalah salah satu teori belajar social sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif social yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep-konsep danpemecahan masalah.

3. Dialog Bentuk komunikasi antara anak

dengan orang lain, dimana anak dapat meningkatkan kemampuan berbahasa, agar anak dapat memahami suatu konsep yang sistematis, logis dan rasional. "Banyaknya waktu anak berbicara/komunikasai dengan orang lain akan membuatnya semakin baik dalam penyampaian bahasanya pada orang lain".

4. Bahasa dan Pikiran Ketika anak berbicara dengan orang lain

bukan hanya sebagai bentuk interaksi sosial saja,

namu juga dapat membantu anak pada usia dini dalam melewati tugas perkembangannya, seperti: untuk megamati perilaku, meyusun rencana, bimbingan dan lain-lain.

Menurut Vygotsky, dengan melibatkan anak berdiskusi dan berfikir (reasoning) dalam mempelajari segala kejadian, akan mendorong anak untuk merefleksikan apa yang telah dikatakan atau diperbuatnya. Hal ini dapat menjadi “inner speech” atau “inner dialogue”, dialog dengan dirinya sendiri. Ini proses awal bagi anak untuk mengetahui tentang dirinya sendiri. Selanjutnya, dikemudian hari ia akan mampu mengevaluasi diri, menganalisis kekurangan serta kekuatan yang dimilikinya. Dengan terbiasa melibatkan anak diskusi, akan membantu anak untuk bisa berfikir pada tahapan yang lebih tinggi atau meta-cognition. Proses seperti ini dapat membuatnya menjadi manusia spiritual, yaitu manusia yang tahu siapa dirinya, dan mempunyai kesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat, komunitas dan alam semesta.

Teori kontrukivis sosial dibangun berda-sarkan pengembangan yang dibuat oleh Lev Vygotsky. Vygotsky menekankan pada lingkungan social yang ikut membantu perkembangan seorang anak. Bagi Vygotsky, budaya sangat berpengaruh sekali dalam membentuk strutur kognitif anak. Yang membantu perkembangan anak bukan hanya guru, tetapi jaga anak-anak yang lebih dewasa. Vygotsky mengemukakan konsep mengenai zone of proximal development. Dalam konsep ini seorang anak dapat memahami suatu konsep dengan bantuan orang lain yang lebih dewasa yang tidak bisa dilakukannya sendiri. Dengan begitu seorang anak akan lebih mengerti dan mempunyai banyak pengalaman dan wawasan serta dapat menyelesaiakan suatu permasalahan yang dianggapnya rumit dan memerlukan bantuan orang lain yang dianggapnya mampu membantu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, suatu wawasan yang tidak hanya didapat didalam sekolah tapi diluar sekolah. Dan permasalahan tersebut yang ada hubungannya dengan sekolah. Disini para pendukung kontruktivisme yakin bahwa pengalaman melalui lingkungan, kita aka memperoleh informasi, dan dapat menggabungkan pengalaman yang didapat sebelumnya dengan pengalaman yang baru.

Karya Vygotsky didasarkan pada tiga ide utama: (1) bahwa intelektual berkembang pada saat individu menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide tersebut dengan apa yang mereka telah ketahui; (2) bahwa interaksi dengan orang lain memperkaya perkembangan intelektual; (3) peran utama guru adalah bertindak sebagai seorang pembantu dan mediator pembelajaran siswa.Implikasi dari teori Vygostky dalam pendidikan yaitu : 1. Dikehendaki setting kelas berbentuk

pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas- tugas dan saling memunculkan strategi -strategi

257

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

pemecahan masalah afektif dalam zona of proximal development.

2. Dalam pengajaran ditekankan scaffolding sehingga siswa semakin lama semakin bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri perkembangan dan pembelajaran suatu anak terjadi di dalam konteks sosial, yakni di dunia yang penuh dengan orang yang berinteraksi dengan anak sejak anak itu lahir. Orang-orang inilah yang sangat berperan dalam membantu anak belajar dengan menunjukkan benda-benda, dengan berbicara sambil bermain, dengan membacakan ceritera, dengan mengajukan pertanyaan dan sebagainya. Dengan kata lain, orang dewasa menjadi perantara bagi anak dan dunia sekitarnya. Belajar lewat instruksi dan perantara adalah ciri inteligensi manusia. Dengan pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan memahami lebih banyak hal dibandingkan dengan jika anak hanya belajar sendiri .

Jadi perkembangan dan pembelajaran anak tidak didapat melalui perkembangan anak itu sendiri melainkan terjadi dalam konteks sosial/ melibatkan orang lain. Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh pada perkembangan kognitif anak. Berlawanan dengan pembelajaran lewat penemuan individu (individual discovery learning) kerja kelompok secara kooperatif tampaknya mempercepat perkembangan anak.

E. Penutup

1. Bahasa memberi anak sebuah alat baru

sehingga memberi kesempatan baru kepada anak untuk melakukan berbagai hal, untuk menata informasi dengan menggunakan simbol-simbol. Anak-anak sering terlihat berbicara sendiri dan mengatur dirinya sendiri ketika ia berbuat sesuatu atau bermain. Ini disebut sebagai private speech. Ketika anak menjadi semakin besar, bicaranya semakin lirih, dan mulai membedakan mana kegiatan bicara yang ditujukan ke orang lain dan mana yang ke dirinya sendiri.

2. Banyak gagasan Vygotsky yang dapat membantu dalam membangun kerangka berpikir untuk mengajar bahasa bagi anak-anak. Untuk membuat keputusan apa yang bisa dilakukan guru agar mendukung pembelajaran kita dapat menggunakan gagasan bahwa orang dewasa menjadi perantara.

DAFTAR PUSTAKA

Aulia Kirana, Perkembangan Bahasa Vigotsky, (http://psiko-page.blogspot.com/2013/04/ perkembangan-bahasa-vygotsky.html).

Helena I.R. Agustien. 2004. Landasan Filosofis

Teoritis Pendidikan Bahasa. Jakarta: Dirjend Dikdasmen Depdiknas.

Ns. Anisah Ardiana. 2007. Konsep Pertumbuhan dan

Perkembangan Manusia (Diktat, tidak dipublikasikan). Jember: Prodi Ilmu Keperawatan Universitas Jember.

Rumini, Sri dkk. 1993. Psikologi Pendidikan.

Yogyakarta: FIP UNY. Suparno, Paul. 2004. Teori Inteligensi Ganda dan

Aplikasinya di Sekolah (Cara Menerapkan Teori Multiple Intelligences Howard Gardner). Yogyakarta: Kanisius.

William Crain. 2007. Teori perkembangan/konsep

dan aplikasi, (Yogyakarata: Pustaka Pelajar.

258

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

KINERJA PENGAWAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MENINGKATKAN MUTU MADRASAH

Oleh:

ABDURAHMAN R. MALA

Abstrak

Pengawas/Supervisor mempunyai posisi yang stratejik dalam peningkatan mutu Madrasah. Hal ini terlihat pada peranan yang harus dilakukan dalam pembinaan kompetensi guru menuju pada peningkatan mutu pendidikan dalam hal ini mutu sekolah/ madrasah. Untuk meningkatkan mutu madrasah maka ada tiga variabel yang mempengaruhi kinerja pengawas dalam meningkatkan mutu sekolah/ madrasah. Dalam upaya pemberdayaan pengawas/supervisor maka diperlukan komitemen dari pihak-pihak penentu kebijakan di daerah untuk melakukan rekruitmen pengawas/supervisor secara baik dan benar sesuai standar dan persyaratan yang ada, pembinaan dan pengembangan kompetensi pengawas/supervisor secara terus menerus melalui kegiatan diklat kepengawasan. Untuk menjadi pengawas yang profesional butuh komitmen yang tinggi dari pengawas itu sendiri. Dan yang tak kala pentingnya juga adalah pemberian penghargaan terutama kesejahteraan yang memadai, dan mengefektifkan organisasi kepengawasanan untuk pembinaan anggotanya.

A. PENDAHULUAN

Dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan (Tim Fokusmedia, 2003: 3). Jadi, termasuk di dalamnya para pengawas yang dalam kedudukannya antara supervisor dan fasilitator diharapkan untuk bekerja keras dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Karena itulah, dapat dirumuskan bahwa pencapaian mutu pendidikan yang tinggi, bukan saja terletak di tangan para guru, tetapi juga terletak di tangan para pengawas.

Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan maka posisi supervisor (pengawas) sangat menentukan dan sekaligus menantang karena banyak aspek yang saling terkait. Supervisor bertanggung jawab dalam membina dan mening-katkan kompetensi guru yang biasa dikaitkan dengan tugas supervisi akademik. Di samping itu, supervisor juga berperan dalam supervisi manajerial dimana supervisor bertanggung jawab dalam membinan tugas-tugas manajerial kepala sekolah.

Tampaknya kinerja pengawas/supervisor dalam membina guru-guru belum efektif, hal ini tampak pada hasil uji Kompetensi Awal (UKA) guru 2012 yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) secara nasional rata-rata masih rendah. Mendikbud Mohammad Nuh membeberkan, hasil rata-rata UKA 2012 yaitu 42,25 dengan nilai tertinggi 97,0 dan nilai terendah 1,0. Dikatakannya, hasil rata-rata UKA itu mencakup seluruh peserta (guru) dari jenjang TK sampai jenjang SMA. (KOMPAS.com, 27 September 2012).

Ketidak efektifan pelakasanaan tugas dan tanggung jawab supervisor disebabkan oleh kondisi kualifikasi dan kompetensi pengawas belum sebagaimana yang diharapkan. Di beberapa daerah para pengawas menyatakan

bahwa wawasan akademik dirinya berada di bawah guru dan kepala sekolah sebab mereka tidak pernah disentuh dengan inovasi yang terjadi. Temuan di lapangan dari pengawas yang hampir mewakili semua propinsi, menunjukkan tenaga pengawas kurang diminati sebab rekruitmen pengawas bukan karena prestasi tetapi semacam tenaga buangan dari kepala sekolah dan guru atau tenaga struktural yang memperpanjang masa pensiun (Depdiknas, 2006).

Mencermati kinerja pengawas/supervisor yang masih rendah dan kondisi supervisor yang belum memenuhi standar maka perlu kiranya dilakukan pengkajian secara ilmiah untuk lebih memberdayakan supervisor sebagai pembina kompetensi guru di sekolah. Supervisor harus diberdayakan sebagai agen dan pelopor inovasi di sekolah, supervisor harus diberdayakan sebagai “gurunya guru”. Melalui pemberdayaan supervisor maka peran nyata yang diharapkan dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah dapat terealisir.

B. KINERJA PENGAWAS PENDIDIKAN

Pengawas yang profesional mutlak

menguasai enam kompetensi. Selanjutnya kinerja seorang pengawas dapat dilihat dari aktifitasnya melakasnakan tugas supervisi mulai dari penyu-sunan program supervisi, pelaksanaan program supervisi dan evaluasi program pelaksanaan supervisi. Disamping itu sebagai seorang supervisor harus pula memiliki dan mampu menerapkan tiga keteranpilan supervisor. Tiga keterampilan supervisor itu adalah sebagai berikut : 1) keterampilan teknis yang meliputi a) menetapkan kriteria untuk menyeleksi sumber-sumber pengajaran, b) mendayagunakan sistem kunjungan/ observasi kelas, c) mendayagunakan rapat supervisi pengajaran, d) merumuskan tujuan pengajaran secara jelas, e) mengaplikasikan hasil-hasil

259

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

penelitian, f) mengembangkan langkah-langkah evaluasi, g) mendemontrasikan keterampilan-keterampilan mengajar. 2) keterampilan manajerial yang meliputi : a) mengenal ciri-ciri masyarakat, b) mengakses kebutuhan guru/staf, c) menerapkan prioritas pengajaran guru/staf d) menganalisis lingkunagn pendidikan, e) memanfaatkan sistem perencanaan pendidikan, f) memonitor dan mengontrol kegiatan guru/staf, g) melimpahkan tanggungjawab, h) mengolah waktu, i) mengalo-kasikan sumber-sumber pengajaran dan sumber lainnya, j) mengurangi ketegangan guru/staf, k) mendokumentasikan kegiatan organisasi pengajaran. 3) Keterampilan manusiawi yang meliputi : a) merespon perbedaan individu guru/staf, b) mengenali kekuatan dan kelemahan guru/staf, c) mengkalsifikasi nilai-nilai, d) menspesifikasi persepsi, e) membuat komitmen tentang tujuan yang disepakati, f) menyelenggarakan diskusi kelompok/ dinamika kelompok, g) mendengarkan, h) melaksanakan pertemuan, j) mengadakan interaksi secara bersama-sama, k) mengadakan interaksi secara lugas tetapi tegas, l) memecahkan konflik, m) membangkitkan kerjasama, n) menjadikan diri sebagai model atau contoh. (Alfonso 1981)

C. VARIABEL YANG MEMPENGARUHI KINERJA

PENGAWAS 1. Kompetensi pengawas

Kompetensi pengawas pendidikan di

Indonesia telah ditetapkan melalui peraturan menteri pendidikan nasional RI nomor 12 tahun 2007 tentang standar pengawas sekolah /madrasah. Peraturan menteri tersebut menegaskan tentang kualifikasi dan kompetensi pengawas. Kompetensi pengawas terdiiri dari : 1) Kompetensi kepribadian , indikatornya : a) memilki tanggungjawab sebagai pengawas satuan pendidikan, b) kreatif dalam bekerja dan memecahkan masalah baik yang berkaitan dengan kehidupan pribadinya maupun tugas-tugas jabatannya, c) memilki rasa ingin tahu akan hal-hal baru tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni menunjang tugas pokok dan tanggungjawabnya, 4) menumbuhkan motivasi kerja pada dirinya dan pada stakeholder pendidikan. 2) kompetensi manajerial : a) menguasai metode, teknik, dan prinsip-prinsip supervisi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, b) menyusun program pengawasan berdasarkan visi misi tujuan dan program pendidikan di sekolah, c) menyusun metode kerja dan instrumen yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi pengawasan di sekolah, d) menyusun laporan hasil-hasil pengawasan dan menindaklanjutinya untuk perbaikan program pengawasan berikutnya di sekolah, e) membina kapala sekolah dan guru dalam melaksanakan bimbingan dan konseling di sekolah, f) mendorong guru dan kepala sekolah dalam merefleksikan hasil-hasil yang dicapai untuk menemukan kelebihan dan kekurangan dalam melaksnakan tugas pokoknya di sekolah, g)

memantau pelaksanaan standar nasional pendidikan dan memanfaatkan hasil-hasilnya untuk membantu kepala sekolah dalam mempersiapkan akreditasi sekolah. 3) kompetensi supervisi akademik : a) memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan tiap bidang pengembangan mata pelajaran, b) memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karaktaristik dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran /pembimbingan, c) membimbing guru dalam menyusun silabus tiap bidang pengembangan atau mata pelajaran berdasarkan standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar dan prinsip-prinsip pengembanagn KTSP, d) membimbing guru dalam memilih dan menggunakan starategi/ metode/teknik pembelajaran /bimbingan yang dapat mengembangkan berbagai potensi melalui bidang penegembangan/mata pelajaran, e) membimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran atau mata pelajaran/bimbingan untuk pengembangan atau mata pelajaran, f) membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/ bimbingan di kelas atau di lapangan untuk mengembangkan potensi siswa pada tiap bidang pengembangan atau mata pelajaran, g) membimbing guru dalam mengelola, merawat, mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran tiap bidang pengembangan atau mata pelajaran, h) memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi untuk pembelajaran/bimbingan tiap bidang pengembangan atau matapelajaran. 4) kompetensi Evaluasi Pendidikan : a) menyusun kriteria dan indikator keberhasilan pendidikan dan pembelajaran/bidang pengembangan di sekolah, b) membimbing guru dalam menentukan aspek-aspek penting dinilai dalam pembelajaran/bimbingan tiap bidang pengembangan atau mata pelajaran, c) menilai kinerja kepala sekolah/madrasah, guru dan staf dalam melaksanakan tugas pokok dan tanggungjawabnya untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pembelajaran tiap bidang pengembangan atau mata pelajaran, d) memantau pelaksanaan pembelajaran/bimbingan dan hasil belajar siswa serta menganalisisnya untuk perbaikan mutu pembelajaran/bimbingan tiap bidang pengemmbangan atau mata pelajaran, e) membina guru dalam memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran/ bimbingan tiap bidang pengembangan atau mata pelajaran, f) mengolah dan menganalisis data hasil penilaian kinerja kepala sekolah, kinerja guru dan staf sekolah. 5) Kompetensi penelitian pengem-bangan : a) menguasai berbagai pendekatan, jenis dan metode penelitian dalam pendidikan, b) menentukan masalah kepengawasan yang penting diteliti baik untuk keperluan tugas pengawasan maupun untuk pengembangan karirnya sebagai pengawas, c) menyusun proposal penelitian pendidikan baik proposal penelitian kualitatif maupun penelitian kuantitatif, d) melaksanakan penelitian pendidikan untuk pemecahan masalah pendidikan dan perumusan kebijakan pendidikan yang

260

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

bermanfaat bagi tugas pokok dan tanggungjawabnya, e) mengolah dan menganalisis data hasil penelitian pendidikan baik data kualitatif maupun data kuantitatif, f) menulis karya tulis ilmiah (KTI) dalam bidang pendidikan atau bidang pengawasan dan memanfaatkan untuk perbaikan mutu pendidikan, g) menyusun pedoman/panduan dan atau buku/modul yang diperlukan untuk melaksanakan tugas pengawasan di sekolah, h) memberikan bimbingan pada guru tentang penelitian tindakan kelas baik perencanaan maupun pelaksanaannya di sekolah. 6) Kompetensi Sosial : a) bekerja sama dengan berbagai fihak dalam rangka peningkatan kualitas diri untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, b) aktif dalam kegiatan asosiasi pengawas atau satuan pendidikan.

2. Pendidikan dan Latihan Pengawas

Pengawas/ Supervisor sekolah mulai jenjang TK/RA sampai dengan SMA/SMK/MA perlu mendapat pelatihan. Para pengawas ini perlu mendapatkan perhatian dalam peningkatan kompetensi kepengawasan dan memantau kinerja kepala sekolah. Pengawas sekolah dipilih dari guru dan kepala sekolah yang berkualitas. Para pengawas yang berasal dari latar belakang berbeda ini perlu disiapkan untuk menjadi pengawas yang mumpuni melalui pendidikan dan pelatihan pengawas.”Mereka seharusnya punya kemampuan yang melebihi kepala sekolah dan guru karena tugasnya mengawasi mereka,” kata Muhammad Hatta, Kepala Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan Pengembangan Sumber Daya Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan.

Pelatihan untuk pengawas masih sangat terbatas. Para pengawas sering melakukan secara mandiri lewat kelompok kerja pengawas sekolah yang bertemu seminggu sekali,” pengawas mesti selalu melek dengan regulasi atau kebijakan pusat dan daerah sehingga dapat membantu sekolah dalam penyesuaian dan perubahan.

Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), mengatakan, para pengawas sekolah berasal dari guru dan kepala sekolah. Karena itu, penguatan profesionalisme dan kompetensi guru merupakan langkah awal untuk menyiapkan calon-calon pengawas sekolah yang mumpuni menuju peningkatan mutu sekolah/madrsah.

3. Komitmen pengawas Komitmen adalah suatu sikap kebulatan

tekad yang dimiliki oleh seseorang di dalam mencapai sebuah tujuan, tanpa dapat dipengaruhi oleh keadaan apapun juga, hingga tujuan tersebut tercapai.

Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen sebagai suatu keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keangotaan-

nya dalam organisasi. Komitmen adalah suatu janji pada diri kita sendiri ataupun orang lain yang tercermin dalam tindakan. Harusnya, sekali kita komitmen, maka kita akan selalu mempertahankan janji itu sampai akhir. Setiap orang dari kecil sampai dewasa pastilah pernah membuat komitmen, meskipun terkadang komitmen itu seringkali tidak diucapkan dengan kata-kata.

Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup cara-cara mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi yang intinya mendahulukan misi organisasi dari pada kepentingan pribadi (Soekidjan, 2009). Menurut Meyer dan Allen (1991, dalam Soekidjan, 2009), komitmen dapat juga berarti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, dan individu berupaya serta berkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di organisasi tersebut.

Di dalam meningkatkan kinerja pengawas pendidikan agama Islam, komitmen pengawas terhadap tugasnya adalah suatu hal sangat penting. Apabila seorang pengawas memiliki komitmen, maka cita-cita yang hendak anda capai dalam hal ini meningkatkan mutu madrasah akan lebih mudah terlaksana. Karena pentingnya komitmen ini, maka sebelum menjalankan komitmen, setiap langkah yang akan dijalani oleh pengawas pendidikan agama Islam, harus benar-benar direncanakan dengan matang. Pengawas atau biasa disebut supervisor dalam merencanakan kepengawasan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Untuk supervisi tidak ada rencana yang standar

Karena setiap guru mempunyai kemampuan dan kelemahan yang berbeda-beda, tentu memerlukan bantuan yang berbeda-beda pula. Supervisi merupakan suatu usaha untuk membantu guru untuk meningkatkan kemampuan dan penampilannya, sesuai dengan kebutuhan dalam situasi bekerjanya. Karena bantuan harus diberikan dan direncanakan sesuai dengan kebutuhan dan situasi tersebut.

b. Perencanaan supervisi memerlukan kreatifitas Supervisi tidak dapat direncanakan dan

dilaksanakan menurut satu pola tertentu yang dapat diberlakukan untuk segala macam tujuan dan keadaan. Tiap sekolah mempunyai karakteristik lingkungan tersendiri dengan keadaan yang berbeda dan masalah yang berlainan. Peningkatan pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakreristik murid-murid dan karakteristik guru dan tujuan khusus sekolah itu. Semua hal tersebut harus diperhatikan dan dijadikan faktor penentu dalam menyusun program supervisi di sekolah. Hal itu memerlukan kreatifitas dari pengawas/supervisor dalam menyusun programnya.

Apakah kegiatan supervisi di sekolah akan ditujukan untuk memperkaya pengalaman

261

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

belajar murid, apakah untuk meningkatkan kemampuan para guru dalam memilih dan menggunakan alat pelajaran dll.

c. Perencanaan supervisi harus komprehensif Usaha meningkatkan proses

pembelajaran mencakup berbagai segi yang sukar dipisah-pisahkan. Guru, alat, metode, fasilitas, murid, sikap kepala sekolah, semua bersangkut paut dan saling mempengaruhi. Usaha peningkatan penggunaan alat pembelajaran baru dengan cara-cara pemeliharaannya, serta peningkatan sikap profesional harus dilaksanakan secara totalitas sistem bukan parsial sistem.

d. Perencanaan supervisi harus kooperatif Supervisi bukan masalah perseorangan.

Proses pembelajaran merupakan suatu sistem yang menyangkut seluruh komponen sekolah, bukan hanya seorang guru saja atau hanya kepala saja.

Pelaksanaan kegiatan-kegiatan supervisi oleh seorang supervisor memerlukan bantuan orang lain, anggota staf lainnya. Sehingga dalam perencanaan pun diperlukan bantuan dari orang-orang yang berkaiatan langsung dalam pelaksanaannya.

e. Perencanaan supervisi harus fleksibel Seorang pengawas/supervisor yang bijaksana tidak terpaku pada cara-cara penyampaian tujuan yang telah direncanakan, tetapi selalu berusaha menyesuaikannya pada situsi baru dan tekanan-tekanan keadaan sesuai karakteristik guru-gurunya.

D. KINERJA PENGAWAS DALAM MENINGKATKAN MUTU MADRASAH

Pengawas melakukan fungsi tunggal, yaitu fungsi pembinaan dan pengembangan profesionalitas kepala sekolah dan guru, serta perbaikan mutu pendidikan tingkat mikro yang ada pada wilayah tugasnya. Kaitannya dengan ini, dan untuk mengetahui peranan kinerja pengawas sebagai tenaga pengembang dideskripsikan oleh Danim (2002: 91), sebagai berikut:

Pertama, dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan bimbingan profesional, pada umumnya pengawas sudah tampil pada lingkup tugas dan fungsi yang harus dijalankan.

Kedua, sebagian lagi memandang bahwa pengawas belum memiliki tingkat profesionalitas yang tinggi, namun cukup memadai dalam melaksanakan tugas pembinaan, baik dalam bidang administratif, akademik, maupun teknis.

Ketiga, menurut penilaian atasan, mereka dipandang memiliki kemauan dan kemampuan untuk tumbuh mandiri secara professional; mampu menciptakan hubungan kerjasama dan koordinasi yang baik dengan Kepala Diknas, Kasubdit

Dikmenum, dan Dinas Diknas Kabupaten/Kota; dan dapat menjalin hubungan harmonis dengan kepala sekolah dan guru-guru.

Keempat, pengawas cukup berpengalaman dalam bidang kebijakan dan praktik kependidikan, tugas-tugas kepengawasan, banyak aktif di kelompok kerja guru (KKG), dan memiliki pengalaman yang cukup luas dalam bidang organisasi dan kemasyarakatan.

Kelima, pada aspek personal pengawas dipersepsi telah memiliki kemampuan hubungan personal dan sosial yang harmonis.

Keenam, pengawas sendiri merasakan masih ada kelemahan dalam berbagai hal, terutama berkaitan dengan pemilihan strategi efektif dalam menerapkan prinsip, teknik, fungsi dan sasaran supervisi.

Ketujuh, kelemahan itu mereka rasakan juga dalam hal menjalankan tugas, seperti penguasaan bidang studi tertentu, dan penguasaan teori dan praktek BP/BK di sekolah.

Kedelapan, pengawas masih merasakan ada kelemahan dalam hal kompetensi pribadi bagi pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan penilaian terhadap guru dan kepala sekolah, serta kiat melakukan hubungan sosial dan kemasyarakatan.

Berdasarkan persepsi di atas, maka dapat dirumuskan kinerja pengawas sekolah menengah dalam satu sisi dipandang sangat memadai untuk meningkatkan kemampuan profesional, pribadi, dan sosial mereka erat kaitannya dengan tugas-tugas mikro pembelajaran atau untuk pelaksanaan tugas-tugas operasional.

Di sisi lain, kinerja pengawas sekolah menengah dianggap simultan untuk mewujudkan peningkatan mutu pendidikan dengan harus melakukan program pembinaan profesional para guru-guru secara kontinyu atau terus-menerus, teratur dan komprehensif.

Dengan demikian, dapat dirumuskan di sini bahwa dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, maka pengawas hendaknya melakukan hal-hal berikut :

1. Membangkitkan dan merangsang semangat guru-guru dan pegawai sekolah lainnya dalam menjalankan tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya.

2. Berusaha mengadakan dan melengkapi alat-alat perlengkapan termasuk macam-macam media instruksional yang diperlukan bagi kelancaran proses belajar mengajar yang baik.

3. Bersama kepala sekolah, guru-guru berusaha mengembangkan, mencari dan menggunakan metode-metode baru dalam proses belajar mengajar yang lebih baik

262

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

4. Membina kerjasa sama yang baik dan harmonis antara kepala sekolah, guru-guru dan ppihak-pihak terkait, termasuk siswa.

5. Berusaha mempertinggi mutu dan pengetahuan guru-guru dengan melakukan bimbingan baik secara individu maupun secara berkelompok.

Kinerja pengawas dapat dilihat dari bagaimana upaya mengendalikan dalam artian mengawasi pelaksanan kurikulum, pelaksanaan pengajaran, pengelolaan keuangan sekolah, dan jika kesemuanya ini berjalan dengan baik, praktis bahwa mutu pendidikan mengalami peningkatan yang signifikan. Sebaliknya, bila pengawas sekolah tidak mampu bertindak sebagai pengendali, praktis bahwa kinerjanya dianggap kurang memadai.

Di samping sebagai pengendali, kinerja pengawas dapat dilihat dari kemampuannya dalam melaksanakan program supervisi sekolah, serta memberi petunjuk perbaikan terhadap peyimpangan dalam pengelolaan sekolah.Yang terpenting pula untuk melihat kinerja pengawas adalah bagaimana ia melaksanakan tugas-tugas dengan baik dalam hal menilai proses dan hasil pelaksanaan kurikulum berdasarkan ketetapan waktu; menilai pelaksanaan kerja tenaga teknis sekolah; menilai pemanfaatan sarana sekolah; menilai efisiensi dan keefektifan tata usaha sekolah; menilai hubungan kerja sama dengan masyarakat. Jadi, jelaslah bahwa kinerja pengawas dalam peranannya, ia sebagai supervisor, pengendali dan penilai dalam dunia pendidikan, yang pada gilirannya jika ia memperlihatkan kinerjanya yang efektif dan efisien sesuai dengan kewajiban, maka akan bermuara pada pencapaian mutu pendidikan yang tinggi.

E. PENUTUP

Keberhasilan peningkatan mutu pendidikan selama ini yang secara terus menerus selalu dilaksanakan, memiliki keterkaitan erat dengan kinerja pengawas sekolah. Pengawas/Supervisor mempunyai posisi yang stratejik dalam peningkatan mutu Madrasah. Hal ini terlihat pada peranan yang harus dilakukan dalam pembinaan kompetensi guru menuju pada peningkatan mutu pendidikan dalam hal ini mutu sekolah/ madrasah. Untuk meningkatkan mutu madrasah maka ada tiga variabel yang mempengaruhi kinerja pengawas dalam meningkatkan mutu sekolah/ madrasah. Dalam upaya pemberdayaan pengawas/supervisor maka diperlukan komitemen dari pihak-pihak penentu kebijakan di daerah untuk melakukan rekruitmen pengawas/supervisor secara baik dan benar sesuai standar dan persyaratan yang ada, pembinaan dan pengembangan kompetensi pengawas/supervisor secara terus menerus melalui kegiatan diklat kepengawasan. Untuk menjadi pengawas yang profesional butuh komitmen yang tinggi dari pengawas itu sendiri. Dan yang tak kala pentingnya

juga adalah pemberian penghargaan terutama kesejahteraan yang memadai, dan mengefektifkan organisasi kepengawasanan untuk pembinaan anggotanya. Dengan demikian pengawas/supervisor dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal untuk mewujudkan sekolah/madrasah yang bermutu.

DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarman. Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Departemen Agama RI Ditjen Kelembagaan Agama Islam, Profesionalisme Pengawas Pendais, Jakarta:2003

Purwanto, M. Ngalim. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Rodakarya, 1998. Republik Indonesia. Peraturan pemerintah No. 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan. Jakarta: Depdikbud, 1992.

Sidi, Indra Jati (ed). Menuju Masyarakat Belajar; Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta: Paramadina, 2001.

Suryadi. A. Tilaar. H.A.R. Analisis Kebijakan Pendidikan; Suatu Pengantar. IBandung: Remaja karya, 1993.s

Tim Redaksi Fokusmedia. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Nomor 20 Tahun 2003. Bandung: Fokusmedia, 2003

Masaong, A.K .2011. Supervisi Pendidikan, Gorontalo: Sentra Media

Masaong, A.K. 2012. Pemberdayaan Supervisor sebagai Gurunya Guru. Makalah Simposium Ilmu Pendidikan, UNESA.

Sahertian, P.A. (2000). Konsep Dasar & Teknik Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bineka Cipta.

263

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

EFEKTIFITAS SERTIFIKASI GURU DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME KINERJA GURU

Oleh: Fatimah Djafar

Abstrak

Guru memegang peran utama dalam pendidikan secara formal di sekolah. Guru merupakan komponen yang berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional. Program sertifikasi telah membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap peningkatan profesionalitas kinerja guru. Kesadaran untuk menjadi guru yang profesional dibuktikan dengan semakin besarnya keinginan para guru tersertifikasi untuk terus menambah pengetahuan mereka dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang dapat menambah wawasan mereka. Oleh karena itu penulis berasumsi bahwa profesionalisme kinerja guru sangat penting untuk diperhatikan,. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program sertifikasi efektif dalam meningkatkan profesionalisme guru.

A. Pendahuluan

Kemajuan suatu bangsa tidak dapat lepas dari sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Baik buruknya kualitas sumber daya manusia yang ada menjadi tolak ukur majunya perkembangan suatu bangsa. Adapun sarana yang dapat mempengaruhi baik tidaknya kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh baik tidaknya sistem pendidikan yang ada, hal ini tentunya memerlukan upaya secara terus menerus dari pemerintah baik daerah maupun pusat untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negaranya.

Fenomena yang sangat dramatis, yakni rendahnya daya saing bahwa pendidikan belum mampu menghasilkan sumber daya manusia berkualitas. Kualitas sumber daya manusia memiliki peran strategis untuk mencapai kemajuan suatu negara. Hal ini bisa kita buktikan dengan mengkomparasikan kemajuan Negara Jepang dengan Negara Indonesia. Kemajuan Negara Jepang lebih disebabkan kualitas sumber daya manusianya ketimbang kekayaan alam yang dimiliki. Sementara Negara Indonesia yang kaya sumber daya alam, tetapi kualitas sumber daya manusianya rendah belum dapat mencapai kemajuan. Oleh sebab itu, untuk mencapai kemajuan Negara Indonesia salah satu caranya dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.

Disisi lain, pembangunan di Indonesia sedang berfokus pada otonomi dengan menyerahkan sebagian wewenang pusat kepada daerah melalui mekanisme otonomi daerah. Pendidikan dalam konteks otonomi daerah diharapkan dapat mengambil peran dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 (Sisdiknas, Pasal 3). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, dalam tatanan mikro pendidikan harus mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas dan profesional.

Salah satu SDM dalam pendidikan adalah guru, karena guru merupakan komponen paling

menentukan dalam sistem pendidikan yang harus mendapatkan perhatian sentral dan utama. Dalam sejarah pendidikan guru di Indonesia khususnya pada perkembangan agama Hindu, Budha, dan kerajaan-kerajaan Islam, guru pernah mempunyai status yang sangat tinggi dalam masyarakat, mempunyai wibawa yang sangat tinggi dan dianggap sebagai orang yang serba tahu. Peranan guru saat itu tidak hanya mendidik anak didepan kelas, tetapi mendidik masyarakat, tempat masyarakat untuk bertanya, baik itu untuk memecahkan masalah pribadi ataupun masalah sosial.1

Guru memegang peran utama dalam pendidikan secara formal di sekolah. Guru merupakan komponen yang berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional.

Dalam upaya meningkatkan profesionalisme guru tersebut maka diberlakukan sertifikasi guru sebagaimana UU RI No. 14 Tahun 2005 yang disahkan pemerintah pada tanggal 30 Desember 2005. “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.2 Dengan adanya program sertifikasi diharapkan bangsa Indonesia memiliki guru profesional yang memenuhi standar dan lisensi sesuai dengan kebutuhan.

Guru sebagai sebuah profesi yang sangat strategis dalam pembentukkan dan pembardayaan anak-anak penerus bangsa memiliki peran dan

1 Djam’an Satori, dkk, profesi keguruan,

(Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), hal.30 2 Undang-undang RI Nomor 14 tahun 2005

tentang guru dan dosen dan peraturan mendiknas nomor 11 tahun 2005 (Bandung : Citra Umbara, 2006), hal.2.

264

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

fungsi yang akan semakin signifikan dimasa mendatang. Fokus utama dalam pendidikan adalah terbentuknya peserta didik menjadi manusia baru yang menyadari posisi kemanusiaannya yang melekat.

Oleh sebab itu peningkatan kualitas guru sebagai tenaga pendidik merupakan suatu keharusan yang memerlukan penanganan lebih serius, disamping perlunya unsur-unsur penunjang lain, guru harus mampu menarik simpati sehingga menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang diberikan hendaknya dapat memberi motivasi bagi siswa.3 Guru sebagai pengajar berperan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Oleh sebab itu guru dituntut untuk menguasai seperangkat pengetahuan dan keterampilan mengajar. Guru sebagai pembimbing diharapkan dapat memberikan bantuan kepada siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Peranan ini termasuk ke dalam aspek pendidik sebab tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan, melainkan juga mendidik untuk mengalihkan nilai-nilai. Guru sebagai administrator mempunyai peranan dalam pengelolaan kelas.

Setiap guru harus dipersiapkan menjadi tenaga profesional yang memiliki profesionalisme kinerja yang tinggi untuk dapat memajukan dunia pendidikan. Meskipun untuk mewujudkan profesionalisme kinerja guru tersebut kadang masih dijumpai beberapa kendala, seperti faktor keterkekangan guru dalam berkarya ataupun faktor gaji yang belum memadai, namun guru harus tetap berupaya untuk dapat meningkatkan profesionalisme kinerjanya.

Untuk mewujudkan guru profesional bukan pekerjaan yang sederhana. Upaya mewujudkan guru profesional merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks. Mewujudkan guru profesional tidak hanya sekedar perbaikan gaji guru, akan tetapi banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Upaya mewujudkan guru profesional ini membutuhkan perhatian dan komitmen bersama, baik pemerintah, masyarakat, guru sendiri, maupun pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan. Dengan upaya sungguh-sungguh yang dilakukan secara bersama-sama diharapkan guru profesioanal lebih cepat dapat diwujudkan.

Kesesuaian latar belakang pendidikan seorang guru merupakan persyaratan yang harus dipenuhi agar proses pembelajaran yang dilaksanakan dapat berlangsung secara optimal. Namun demikian yang menjadi pertanyaan dalam dunia pendidikan sekarang ini, apakah dengan sertifikasi akan benar-benar melahirkan guru yang profesional?. Oleh karena itu penulis berasumsi bahwa profesionalisme kinerja guru sangat penting untuk diperhatikan, agar nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam pembelajaran dapat tersampaikan

3 ibid, hal. 15.

dengan baik dan dapat diamalkan oleh peserta didik dengan baik pula.

B. Sertifikasi Guru 1. Pengertian Sertifikasi

Sertifikasi adalah proses untuk mengukur dan menilai pencapaian kualifikasi akademik dan kompetensi minimal yang dicapai oleh seorang guru. Guru profesional yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi yang memenuhi standar akan mampu mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Oleh karena itu, program sertifikasi merupakan salah satu program utama untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.4 Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi standar profesi guru.5 Sertifikat pendidik adalah sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi.6

Sertifikasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru, sebagai sebuah proses ilmiah yang memerlukan pertanggungjawaban moral dan akademis. Dalam sertifikasi tercermin adanya suatu uji kelayakan yang harus dijalani seorang guru terhadap kriteria-kriteria yang secara ideal telah ditetapkan. Pelaksanaan sertifikasi dilakukan dengan mendata semua yang dimiliki setiap guru, dapat berupa ijazah sarjana atau diploma, tanda lulus kursus dan tanda telah mengikuti pelatihan. Data tersebut juga berupa hasil karya ilmiah atau kepesertaan dalam kegiatan pengabdian masyarakat.

2. Tujuan dan Manfaat Sertifikasi

Banyak sekali tujuan sertifikasi guru. Tujuan utama sertifikasi guru adalah:7 a. Menentukan kelayakan guru dalam

melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Agen pembelajaran berarti pelaku proses pembelajaran, bukan broker pembelajaran. Bila belum layak guru perlu mengikuti pendidikan formal tambahan atau pelatihan profesional tertentu.

b. Meningkatkan proses dan mutu hasil hasil pendidikan. Mutu siswa sebagai hasil proses pendidikan akan sangat ditentukan oleh kecerdasan, minat, dan upaya siswa bersangkutan. Mutu siswa juga ditentukan oleh

4Fasli Jalal, Sertifikasi Guru Untuk

Mewujudkan Pendidikan yang Bermutu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 7

5Kunandar, Guru Profesional Implementasi KTSP dan sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010 ), hal. 72

6 Bedjo Sujanto, Cara Efektif Menuju Sertifikasi Guru, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009), hal. 1.

7H. Suyatno, Op, Cit. H. 23

265

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

mutu guru dan muru proses pembelajaran, baik proses pembelajaran dilingkup sekolah maupun lingkup nasional.

c. Meningkatkan profesionalitas guru. Mutu profesionalitas guru banyak ditentukan oleh pendidikan, pelatihan, dan pengembangan diri lain oleh guru bersangkutan. Sertifikasi guru hendaknya dapat kita jadikan sebagai langkah awal menuju guru yang profesional.

d. Memberikan solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan

Manfaat sertifikasi guru juga banyak, yang utama adalah: a. Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang

tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru. Saat ini guru dituntut menerapkan teori dan praktik kependidikan yang telah teruji kedalam pembelajaran di kelas.

b. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional.

c. Meningkatkan kesejahteraan guru. Dari pembahasan di atas, diketahui bahwa

sertifikasi dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Proses pembelajaran merupakan salah satu komponen sistem pendidikan yang dapat menentukan keberhasilan pembelajaran dan mutu pendidikan. Oleh karena itu, untuk memperoleh mutu pendidikan yang baik, diperlukan proses pembelajaran yang berkualitas pula.8

Pendidikan atau mutu sekolah tertuju pada mutu lulusan. Merupakan sesuatu yang mustahil, pendidikan atau sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu, jika tidak melalui proses pendidikan yang bermutu pula. Merupakan sesuatu yang mustahil pula, terjadi proses pendidikan yang bermutu jika tidak didukung oleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu pula.

Mutu pembelajaran dapat dikatakan sebagai gambaran mengenai baik-buruknya hasil yang dicapai oleh peserta didik dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan. Sekolah dianggap bermutu bila berhasil mengubah sikap, perilaku dan keterampilan peserta didik dikaitkan dengan tujuan pendidikannya. Mutu pendidikan sebagai sistem selanjutnya tergantung pada mutu komponen yang membentuk sistem, serta proses pembelajaran yang berlangsung hingga membuahkan hasil.9

3. Proses Pelaksanaan Sertifikasi

Sertifikasi guru dapat dilaksanakan dengan berbagai pola diantaranya melalui pola pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG). PLPG harus dipersiapkan secara matang dan diimplementasikan

8Syafaruddin dan Irwan Nasution,

Manajemen Pembelajaran, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 41.

9Nana Syaodih S., dkk., Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah: Konsep, Prinsip, dan Instrumen, (Bandung: Rafika Aditama, 2010), hal. 7.

sebaik-baiknya sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Salah satu bentuk dari persiapan PLPG ini diwujudkan melalui penerbitan panduan. Panduan teknis ini memberikan informasi kepada semua pihak yang terkait dalam pelaksanaan PLPG sehingga terjadi sinergitas dilapangan sehingga akan menghasilkan output yang berkualitas.

Proses penyelanggaraan PLPG ini yaitu : a. Proses pembelajaran PLPG dilaksanakan

dengan beberapa ketentuan sebagai berikut : 1) Sebelum memulai pembelajaran, instruktur

harus menjelaskan target capaian dan pokok bahasan materi PLPG.

2) Proses pembelajaran diorientasikan pada pencapaian kompetensi yang terukur, bukan pada isi materi.

3) Pembelajaran untuk pendalaman kompetensi profesional dilengkapi dengan tugas individu dalam berbagai bentuk antara lain mengerjakan soal, mengerjakan kuis, membaca buku, membuat ringkasan buku, membuat makalah, dan diskusi kelompok dengan topik sesuai dengan materi PLPG.

4) Pembimbingan khusus bagi kelompok peserta dibawah rata-rata dalam melaksanakan berbagai tugas individu.

5) Pembelajaran yang dilaksanakan dapat memotifasi peserta PLPG untuk mengembangkan kompetensinya secara mandiri, berpikir kritis, dan memecahkan masalah.

6) Pembelajaran yang dilaksanakan dapat memotivasi peserta PLPG untu memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, misalnya : internet, tumbuhan dan halaman sekolah.

7) Workshop dimulai dengan penjelasan instruktur tentang format dan substansi perangkat pembelajaran (silabus, RPP, penilaian hasil belajar, dll).

8) Dalam memfasilitasi workshop, instruktur harus aktif menumbuhkan kreatifitas dan mendorong peserta dapat menggali pengalamannya untuk dituangkan dalam perangkat pembelajaran.

9) Instruktur peka (cepat tangkap) terhadap permasalahan yang dihadapi peserta.

b. Penugasan instruktur mempertimbangkan penguasaan substansi dan kemampuan mengaplikasikan berbagai strategi pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2013 serta memiliki komitmen dalam menjalankan tugas.

c. Instruktur workshop harus mampu memfasilitasi dan memotifasi peserta sehingga workshop dapat menjadi wahana pembelajaran dalam mengembangkan perangkat pembelajaran sesuai dengan ketentuan kurikulum 2013.

266

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

d. Pada akhir PLPG dilakukan uji kompetensi yang meliputi uji tulis dan uji kinerja (praktek).10

Sertifikasi dengan cara pelatihan PLPG menjadikan guru lebih terlatih dan memiliki peningkatan kemampuan pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial daripada sertifikasi dengan cara portofolio. Hal ini disebabkan karena dengan cara pelatihan, seorang guru mendapatkan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang guru yang profesional. Peserta sertifikasi pola PLPG adalah guru yang bertugas sebagai guru kelas, guru mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling atau konselor, serta guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan.

Sedangkan kriteria guru yang dapat mengikuti sertifikasi adalah guru yang telah memenuhi persyaratan utama, yaitu memiliki ijazah akademik atau kualifikasi akademik minimal S-1 atau D-4. Syarat yang harus dimiliki oleh guru antara lain : 1. Masa kerja/pengalaman mengajar guru 2. Usia 3. Pangkat/golongan bagi PNS 4. Beban mengajar 5. Jabatan/tugas tambahan 6. Prestasi kerja11

Adapun mekanisme pelaksanaan sertifikasi guru ada dua macam: melalui penilaian portofolio bagi guru dalam jabatan dan melalui pendidikan profesi calon guru.12

Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

4. Dasar Hukum

Adapun dasar hukum dari sertifikasi yaitu: a. Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional b. Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen c. Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005

tentang Standar Nasional Pendidikan

10Rayon 128, Paduan Teknis Pelaksanaan

PLPG , (Universitas Negeri Gorontalo, 2013), hal. 2-4

11Mansur Muchlis, Sertifikasi Guru Menuju

Profesionalisme Pendidik (Jakarta: Bumu Aksara, 2007), hal. 11

12J.B. Situmorang Winarno, Pendidikan Profesi & Sertifikasi Pendidik, (Klaten: Saka Mitra Kompetensi, 2008), hal. 23

d. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 16 tahun 2005 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Pendidik

e. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan.

5. Pengaruh Sertifikasi Guru Sertifikasi guru pada hakekatnya untuk

meningkatkan kualitas guru, sehingga membawa perbaikan mutu pendidikan nasional. Hingga saat ini masih sulit dilihat keterkaitan sertifikasi dengan peningkatan mutu guru. hampir semua guru menyatakan bahwa motivasi utama mengikuti sertifikasi adalah terkait masalah finansial.

Di bawah ini penulis akan mengidentifikasi pengaruh positif dan pengaruh negatif dari kebijakan sertifikasi guru. a. Pengaruh positif sertifikasi

Sertifikasi guru sangat bermanfaat bagi perkembangan pendidikan di sekolah-sekolah. Manfaat uji sertifikasi antara lain sebagai berikut: 1) Melindungi profesi guru dari praktik layanan

pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri.

2) Melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional yang akan menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia di negeri ini.

3) Menjadi wahana penjamin mutu bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan.

4) Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan yang berlaku.

b. Pengaruh negatif sertifikasi Pelaksanaan program sertifikasi tujuan

dasarnya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Karena dengan meningkatnya kualitas pendidikan, maka akan dapat pula mendongkrak kualitas pendidikan bangsa Indonesia saat ini. Meski proses sertifikasi guru sudah memasuki periode keempat, bukan berarti kendala dan permasalahan yang menyertai sertifikasi guru sirna. Adapun pengaruh negatif dari sertifikasi guru berbasis portofolio terhadap kinerja dan kompetensi guru adalah: 1) Menjadi Sosok yang Certificate-Oriented

Ternyata implementasi sertifikasi guru dalam bentuk penilaian portofolio ini kemudian menimbulkan polemik baru. Banyak para pengamat pendidikan yang menyangsikan keefektifan pelaksanaan sertifikasi dalam rangka meningkatkan kinerja guru. Bahkan ada yang berhipotesis bahwa sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tak akan berdampak sama sekali

267

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

terhadap peningkatan kinerja guru, apalagi dikaitkan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional. Hal ini berkaitan dengan temuan-temuan dilapangan bahwa adanya indikasi kecurangan dalam melengkapi berkas portofolio oleh para guru peserta sertifikasi. Kecurangan dengan memalsukan dokumen portofolio itu memang ada.

2) Miskin Keterampilan dan Kreatifitas Guru bukanlah bagian dari sistem

kurikulum, tetapi keberhasilan pelaksanaan kurikulum akan bergantung pada kemampuan, kemauan, dan sikap profesional tenaga guru. Kalau dikaitkan persyaratan profesional seorang guru yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan yaitu mampu merencanakan, mengembangkan, melaksanakan, dan menilai proses belajar secara relevan dan efektif maka seorang guru yang profesional akan dengan mudah lolos sertifikasi berbasis portofolio tanpa harus memanipulasi berkasnya. Karena sebelumnya ia telah giat mengembangkan dirinya demi anak didiknya. Namun yang menjadi persoalan adalah mereka para guru yang melakukan kecurangan dalam sertifikasi.13

C. Profesionalisme Kinerja Guru

1. Pengertian Profesionalisme Profesionalisme berasal dari kata profesi

yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif.14 Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Sedangkan profesionalisme adalah kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan yang berkaitan dengan mata pencaharian seseorang.15 Profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengejaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian.

Dari pengertian ini tersirat bahwa dalam profesionalisme menuntut adanya suatu keharusan memiliki kemampuan agar profesi itu berfungsi sebaik-baiknya. Karena dalam poses pembelajaran guru memegang peranan sebagai sutradara

13Marselus R, Op.Cit. hal. 13 14J.B. Situmorang Winarno, M. Sc, Op.Cit.

hal. 45 15 Ibid, hal. 46

sekaligus actor. Artinya pada gurulah terletak keberhasilan pembelajaran.

Untuk mencapai suatu profesionalisme bukanlah hal yang mudah, harus melalui suatu pendidikan dan latihan yang relefan dengan profesi yang ditekuni. Profesionalitas sangat dibutuhkan diera global, jika tidak maka kita akan tergilas oleh arus dan pada akhirnya tersisih. Demikian pula halnya dengan guru, sebuah profesi yang tidak kalah mulianya dibanding profesi yang lain, bahkan dari profesi inilah lahir generasi-generasi yang diharapkan menjadi penentu masa depan.

Ciri–ciri pekerjaan profesi : a. Pekerjaan itu memiliki fungsi dan signifikansi

sosial karena diperlukan masyarakat. b. Pekerjaan itu menuntut adanya keterampilan

atau bidang keahlian tertentu yang hanya dapat diperoleh malalui pendidikan dan pelatihan.

c. Didukung oleh disiplin ilmu tertentu. d. Adanya kode etik yang menjadi pedoman bagi

anggotanya dalam berperilaku dan melaksanakan tugas profesional, disertai sangsi tertentu.

e. Sebagai konsekwensi dari layanan bidang yang diberikan kepada masyarakat, maka mereka yang bertugas dalam bidang pekerjaan tersebut berhak untuk memperoleh imbalan finansial dengan sistem penggajian yang memadai.16

2. Kinerja Guru Kinerja berasal dari kata kerja yang berarti

kegiatan melakukan sesuatu, yang dilakukan, sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, mata pencaharian.17 Sedangkan kinerja adalah seperangkat hasil yang dicapai merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan suatu pekerjaan yang diminta. Sedangkan yang dimaksud dengan kinerja guru adalah prestasi kerja atau hasil unjuk kerja yang telah dicapai guru. Prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengelaman, dan kesungguhan serta waktu.

Jadi yang dimaksud profesionalisme kinerja guru dalam penulisan ini adalah kondisi, kualitas hasil kerja yang dicapai guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengampuh mata pelajaran Akidah Akhlak, khususnya setelah guru lulus sertifikasi.

3. Prinsip Profesionalisme Kinerja Guru Guru profesional adalah guru yang

mempunyai kompetensi yang dipersyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Kompetensi merupakan seperangkat tindakan intelegen penuuh tanggung jawab yang harus dimiliki

16 Mulyasa, Standar kompetensi dan

sertifikasi guru, (Bandung : Rosda, 2007), hal. 86 17Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 554.

268

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

seseorang sebagi syarat untuk dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat intelegen harus ditunjukkan sebagai kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan tindakan. Sifat tanggung jawab yang harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan, baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika.18

Pada pasal 7 Undang-undang Guru dan Dosen disebutkan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut : a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan

idealisme b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu

pendidikan,keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia

c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas

d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas

e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan

f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengann prestasi kerja

g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat

h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan

i. Memiliki organisasi profesi yang mempunayi kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.19

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat saat ini, guru tidak lagi bertindak hanya sebagai penyaji informasi, tetapi juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator, motivator dan pembimbing, yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengelolah sendiri informasi.

Guru merupakan kunci keberhasilan sebuah lembaga pendidikan. Guru adalah ujung tombak dari lembaga pendidikan. Baik dan buruknya prilaku atau cara mengajar guru akan sangat mempengaruhi citra lembaga pendidikan, oleh sebab itu sumber daya guru ini harus dikembangkan baik melalui pendidikan dan pelatihan atau kegiatan lain agar profesionalisme kinerjanya lebih meningkat.

D. Pengaruh Sertifikasi Guru Dalam Meningkatkan Profesionalisme Kinerja Guru

Untuk mencapai tingkat guru profesional yang sesuai dengan bidangnya maka harus melalui tahapan atau proses yang lama dan butuh sebagai pengorbanan. Keberhasilan guru dalam proses pembelajaran tergantung sejauhmana tingkat

18 Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran

Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 5

19 Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, hal. 7-8

profesionalisme guru yang dimilikinya dengan indikator penguasaan kompetensi keguruan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Untuk menjadi guru yang baik dan sukses itu bukan hanya ditentukan oleh penguasaan mata pelajaran yang akan diajarkan tetapi juga harus menguasai cara mengajarkannya agar lebih mudah dipahami oleh para siswa.

Sesuai dengan pasal 7 UU Guru dan dosen yang menyebutkan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan dengan beberapa prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut secara garis besar dapat digunakan untuk mengukur profesionalitas seorang guru karena merupakan hal mendasar yang mengatur hak dan kewajiban seorang guru. Olehnya, penulis memberikan pertanyaan kepada para guru di MTS Al-Ikhwan khususnya mereka yang sudah mengikuti program sertifikasi mengenai item-item yang terdapat dalam pasal 7 UU guru dan dosen tersebut.

Untuk mengetahui apakah ada pengaruh sertifikasi guru dalam meningkatkan profesionalisme kinerja, penulis telah menuyusun beberapa pertanyaan yang diberikan kepada para responden selaku guru yang sudah tersertifikasi.

Pertama-tama, dari hasil wawancara mengenai jumlah guru di MTS Al-ikhwan Dumoga Barat yang sudah mengikuti sertifikasi, dan pada pelajaran apa saja dijelaskan oleh pihak Kepala Madrasah Drs. Mohamad Ali sebagai berikut :

“Di MTS Al-ikhwan Dumoga Barat, dari 16 orang tenaga pendidik, baru 4 orang yang sudah mengikuti sertifikasi. Yaitu saya sendiri untuk pelajaran PAI pada tahun 2009, ibu Rosdiana S. Maspeke, S.Ag untuk bidang studi matematika lulus sertifikasi tahun 2008, bapak Muh. Zidiq Lapaga, S.Pd.I untuk bidang studi Al-Quran Hadist lulus sertifikasi tahun 2009, dan terakhir ibu Ratmi Bonde, S.Ag, untuk bidang studi akidah akhlak,lulus sertifikasi tahun 2012,”20

Berdasarkan jawaban tersebut, dapat dilihat

bahwa jumlah guru yang sudah mengikuti sertifikasi di MTS Al-ikhwan Dumoga Barat baru 4 orang yang berarti hanya 25 persen dari total guru yang ada di MTS Al-ikhwan Dumoga Barat. Selain itu, dapat diketahui juga bahwa ke 4 guru yang telah mengikuti sertifikasi baru guru yang sudah berstatus PNS. Sementara 12 guru lainnya yang belum mengikuti sertifikasi semuanya masih berstatus guru honorer.

Kemudian, dari hasil wawancara mengenai pandangan responden tentang program sertifikasi, dan yang responden dapatkan setelah mengikuti

20Mohamad Ali , Kepala Madrasah

Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 12 Juni 2014

269

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

sertifikasi mendapat penjelasan dari Rosdiana S. Maspeke, S.Ag sebagai berikut :

“Saya tentunya menyambut positif adanya program sertifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah, karena selain merupakan pengakuan atas keprofesionalan kami sebagai guru, tak dapat dipungkiri adanya pemberian tunjangan sertifikasi sangat membantu dalam segi perekonomian,”21

Sementara Muh. Zidiq Lapaga, S.Pd.I menjelaskan bahwa : “Program sertifikasi ini merupakan program yang sangat bagus dan memacu semua guru untuk bisa mengikutinya. Dimana dalam program sertifikasi kita dituntut untuk mampu menjadi seorang guru yang profesional dan tentu saja apa yang sudah kita dapatkan dalam program tersebut bisa diterapkan dalam proses pembelajaran di madrasah,”22

Sementara itu Ratmi Bonde, S.Ag memberikan penjelasan bahwa :”Tidak bisa dinafikkan adanya program sertifikasi ini ibarat sebuah oase di padang gurun yang luas jika ditinjau dari segi ekonomi. Pasalnya sebelum ada program ini, para guru masih terkesan setengah hati dalam menjalankan tugasnya karena pikiran juga masih dipusingkan dengan kebutuhan rumah tangga yang kadang tidak bisa terpenuhi jika hanya mengandalkan gaji saja. Namun sejak adanya program sertifikasi yang memberikan tunjangan sebesar gaji perbulan, tentu saja membuat guru-guru jadi lebih bersemangat. Bahkan sejak adanya program ini, banyak orang ingin jadi guru. Sementara kalau dari segi peningkatan mutu, harus diakui adanya program ini juga membuat guru-guru lebih terpacu untuk memberikan yang terbaik bagi siswa karena kami merasa sudah diperhatikan oleh pemerintah, dan juga hal tersebut menjadi tanggung jawab kami karena telah diakui sebagai guru profesional maka hal tersebut harus mampu kami buktikan dengan karya nyata, ”23

Menanggapi hal tersebut Drs. Mohamad Ali menjelaskan bahwa : “Program sertifikasi ini dirancang oleh pemerintah tentunya mempunyai tujuan yang mulia,yaitu peningkatan profesionalisme guru dan juga peningkatan kesejahteraan guru. Artinya seorang guru yang sudah mengikuti sertifikasi,mendapatkan sertifikat dan tentunya tunjangan dari pemerintah harus semakin meningkatkan kualitas dirinya terutama dalam proses pembelajaran di kelas. Kalau dulu mungkin ada guru yang mencari penghasilan sampingan untuk menambah biaya dapur, maka dengan adanya

21 Rosdiana S. Maspeke, Guru di Madrasah

Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 13 Juni 2014

22 Muh Zidiq Lapaga, Guru di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 13 Juni 2014

23Ratmi Bonde, Guru di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 13 Juni 2014

program sertifikasi ini diharapkan seorang guru hanya fokus untuk bagaimana meningkatkan kualitas anak didiknya. Memang belum semua guru tercover dalam program ini, namun semuanya akan bermuara kesana dan tinggal waktu saja,”24

Dari jawaban para responden diatas, penulis menyimpulkan bahwa adanya program sertifikasi ini disambut baik oleh para guru mengingat adanya iming-iming tunjangan yang besarannya seperti gaji pokok, sehingga secara ekonomi mereka merasa lebih tercukupi, dan hal itu secara otomatis juga memacu semangat mereka untuk meningkatkan profesionalitas kinerja sebagai seorang guru yang telah diakui oleh pemerintah.

Selanjutnya, dari hasil wawancara dengan Kepala Madrasah selaku pimpinan mengenai peningkatan mutu pengajaran dan inovasi pembelajaran yang guru laksanakan setelah lulus uji sertifikasi yaitu bahwa peningkatan mutu pengajaran yang tampak setelah seorang guru mengikuti sertifikasi lebih kepada bagaimana orientasi guru tersebut dalam melakukan proses pembelajaran karena menurutnya sebelum tersertifikasipun seorang guru haruslah bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya.

“Sesungguhnya hakikat profesionalitas seorang guru bukan saja nanti setelah mendapat sertifikasi namun sejak dia memilih guru sebagai profesinya karena guru memang sebuah pekerjaan yang menuntut anda bukan hanya sekedar berdiri dikelas dan mengajar namun bagaimana sikap dan tingkah laku kita dijadikan panutan oleh seluruh siswa. Artinya bukan hanya sebatas dalam proses pembelajaran kita dituntut untuk profesional namun dalam perilaku keseharian juga harus memberikan teladan bagi para siswa,”25

Lebih lanjut Drs. Mohamad Ali menjelaskan, untuk inovasi pembelajaran, dirinya telah berulangkali menyampaikan dalam forum rapat dewan guru agar para guru mampu berinovasi dalam proses pembelajaran dalam artian tidak terpaku pada satu strategi dan metode saja namun harus mampu menyajikan bahan ajar dengan berbagai pendekatan yang dapat membuat siswa merasa enjoy dan nyaman untuk mengikuti pembelajaran. Karena jika siswa sudah merasa nyama, maka secara otomatis tugas guru untuk mentransfer ilmu maupun membimbing siswa menemukan sendiri pengetahuannya dapat berjalan dengan lebih baik lagi.

“Inovasi pembelajaran yang sering saya tekankan kepada para guru secara umum maupun para guru yang sudah tersertifikasi termasuk diri saya pribadi yaitu lebih kepada bagaimana

24Mohamad Ali, Kepala Madrasah

Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 12 Juni 2014

25Mohamad Ali, Kepala Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 12 Juni 2014

270

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

penguasaan bahan ajar serta keterampilan guru dalam menggunakan media pembelajaran ataupun mempergunakan strategi dan metode pembelajaran yang bervariasi. Alhamdulillah khusus guru yang sudah tersertifikasi mampu menjabarkannya dengan baik, bahkan mereka pun menjadi mentor bagi rekan-rekan guru lainnya yang belum mengikuti sertifikasi maupun guru yang latar belakang pendidikannya masih SMA. Artinya program sertifikasi yang telah diikuti mampu membawa manfaat bukan hanya bagi pribadi guru yang sudah tersertifikasi namun mampu membawa manfaat juga bagi para rekan guru lainnya. Para guru yang sudah tersertifikasi menjadi contoh da teladan bagi para guru lain dan kami selalu memberikan apa yang kami dapatkan kepada guru-guru lain agar mereka juga semakin profesional dalam menjalankan tugas keseharian yang menjadi tanggung jawab mereka,”26

Sementara itu responden yang berasal dari siswa, memberikan penilaian bahwa guru yang sudah tersertifikasi jauh lebih mantap cara mengajarnya dibandingkan guru yang belum tersertifikasi. Seperti yang dituturkan oleh Ramadan Tayeb sebagai berikut : “Bukan bermaksud untuk membeda-bedakan guru, namun harus diakui guru yang sudah tersertifikasi lebih bagus cara mengajarnya dan kami lebih cepat mampu memahami apa yang mereka ajarkan,”27

Dari penjelasan responden diatas, penulis berkesimpulan ada peningkatan mutu pengajaran yang terjadi dari para guru yang sudah tersertifikasi dan juga mereka telah menularkannya kepada guru-guru lain yang belum mengikuti sertifikasi sehingga hal tersebut memacu para guru yang belum tersertfikasi untuk lebih bersikap seprofesional mungkin dalam menjalankan tugas yang diberikan.

Seorang guru selain mengajar juga dituntut untuk selalu memperbaharui pengetahuannya yang bisa dilakukan dengan mengikuti berbagai macam kegiatan penunjang. Seperti disampaikan oleh Kepala Madrasah Drs. Mohamad Ali bahwa sesungguhnya seluruh guru berkesempatan mengikuti berbagai kegiatan di luar madrasah yang diyakini akan membawa manfaat bagi para guru seperti workshop, diklat, ataupun seminar-seminar pendidikan baik itu diselenggarakan oleh Pemerintah daerah, Kementrian Agama, maupun pihak-pihak lainnya. Namun untuk pendelegasian guru untuk mengikuti kegiatan, tentu saja harus disesuaikan dengan jenis kegiatan yang akan diikuti.

“Misalnya ada seminar pendidikan yang temanya tentang ekonomi, maka tidak cocok kalau saya, pak Zidiq,atau Ibu Ratmi yang diutus kan.tentu saja harus guru yang mengampu bidang studi yang

26Mohamad Ali , Kepala Madrasah

Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 12 Juni 2014

27Ramadan Tayeb, Siswa di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 9 Agustus 2014

sesuai dengan tema seminar. Demikian halnya juga kalau workshopnya mengenai pembelajaran agama, ya harus guru agama yang ikut serta dan bukan guru bidang studi penjas,”28

Lebih lanjut Muhammad Ali menjelaskan, meskipun demikian apabila kegiatan yang akan diikuti oleh guru tidak bertabrakan dengan jam pelajaran guru yang bersangkutan, maka dia membebaskan para guru yang berminat untuk ikut dengan catatan kegiatan tersebut benar-benar bermanfaat bagi guru tersebut dan bukan karena ingin meninggalkan madrasah atau hanya karena alasan tidak produkif lainnya.

“Jadi apabila waktu pelaksanaan kegiatan workshop, seminar, atau diklat yang akan diikuti itu bertepatan guru yang ingin berpartisipasi tidak ada jam pelajaran, maka meskipun kegiatannya bukan sesuai dengan bidang studi yang diajarkan, saya akan mengizinkan untuk ikut. Apalagi saya kan paham kalau guru yang sudah PNS selalu butuh sertifikat untuk tambahan nilai saat akan mengurus kenaikan pangkat, jadi kegiatan seperti itu cukup penting bagi mereka. Sementara bagi guru yang masih honorer, dengan mengikuti kegiatan-kegiatan seperti itu bisa membawa manfaat bagi diri mereka pribadi sebagai tambahan pengetahuan yang nantinya juga bisa ditransfer kepada para anak didik,”29

Berdasarkan penjelasan dari Kepala Madrasah tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa pada dasarnya Kepala Madrasah selaku pimpinan juga menginginkan yang terbaik bagi para guru-gurunya dengan memberikan mereka kebebasan apabila hendak mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas diri para guru yang kemudian diharapkan akan berimplikasi positif bagi peningkatan profesionalitas kinerja mereka di Madrasah.

Para guru yang sudah tersertifikasi pun mengakui hal tersebut seperti penuturan Ratmi Bonde S.Ag sebagai berikut :

”Tentu saja saya selalu berusaha mengikuti kegiatan yang saya pikir akan bermanfaat bagi peningkatan kualitas saya sebagai seorang guru seperti workshop, diklat, maupun seminar pendidikan. Namun sebagai seorang guru yang juga mempunyai tugas mengajar tentu saja saya harus menyesuaikan dengan jadwal pelajaran saya di kelas. Apabila kebetulan tidak bertabrakan dengan jam mengajar saya pasti akan ikut serta namun jika bertabrakan, maka biasanya saya memilih untuk tetap mengajar karena biar bagaimanapun juga itu

28Mohamad Ali, Kepala Madrasah

Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 12 Juni 2014

29Mohamad Ali, Kepala Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 12 Juni 2014

271

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

yang menjadi tugas utama saya. Untuk kegiatan, bisa ikut di lain kesempatan,”30

Sementara itu Muh. Zidiq Lapaga, S.Pd.I menambahkan bagi dia pribadi semua kegiatan yang bertujuan untuk peningkatan kualitas seorang guru haruslah diikuti terlebih lagi oleh mereka yang sudah mengikuti sertifikasi. Karena dengan tercatat sebagai guru yang mendapat sertifikasi, ia mempunyai tanggung jawab moral untuk terus mencari inovasi-inovasi yang berhubungan dengan dunia pendidikan sehingga hal tersebut nantinya bisa dia terapkan dalam interaksi dengan para siswanya

“Jika ada undangan untuk mengikuti workshop, diklat, dialog, ataupun seminar-seminar yang ada kaitannya dengan pendidikan, biasanya kepala Madrasah akan menunjuk 1 atau 2 orang guru untuk ikut tergantung jumlah permintaan peserta karena memang biasanya kalau kegiatan yang memakai undangan pesertanya pasti dibatasi. Nah penunjukan itu bergantung pada kegiatan apa yang akan diikuti. Biasanya akan disesuaikan dengan bidang studi yang diajarkan, berarti tema seminar apa,nah gurunya yang akan diutus. Namun apabila kegiatan tersebut bebas dalam artian guru siapa saja bisa ikut, maka Kepala Madrasah akan memprioritaskan guru yang sudah PNS dan tersertifikasi karena memang ada tuntutan sertifikat sebagai salah satu tambahan penilaian saat hendak mengurus kenaikan pangkat. Namun jika saat pelaksaan kegiatan tersebut guru yang PNS ada jam mengajar di madrasah, maka yang diutus adalah guru honorer yang kebetulan sedang kosong jamnya,”31

Terhadap pertanyaan ini Rosdiana S. Maspeke, S.Ag menerangkan : “Saya sangat senang apabila ada undangan untuk kegiatan seperti workshop, diklat, ataupun seminar mengenai pendidikan sepanjang bisa diikuti dan tidak mengganggu tugas utama saya untuk mengajar pasti saya ikut ambil bagian. Namun jika pelaksanaannya bersamaan dengan jam mengajar saya,dan kegiatan tersebut tidak bisa diwakilkan dalam artian harus saya yang ikut, maka agar tidak merugikan siswa, saya biasanya minta tukaran jam dengan guru lain agar bisa ikut kegiatan tersebut,dan nantinya jam mengajar saya diisi oleh guru lain dan nanti saat jam guru itu maka saya yang akan masuk,”32

Hal ini dibenarkan oleh salah seorang siswi Nurdila Oktaviani yang menjelaskan bahwa :”Meskipun guru-guru kami mengikuti kegiatan di luar madrasah,namun sangat jarang kami ditinggalkan

30 Ratmi Bonde, Guru di Madrasah

Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 13 Juni 2014

31Muh Zidiq Lapaga, Guru di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 13 Juni 2014

32Rosdiana S. Maspeke, Guru di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 13 Juni 2014

tidak belajar. Karena pasti ada tugas yang diberikan kemudian diawasi oleh guru lain,”33

Berdasarkan jawaban para responden tersebut, penulis berkesimpulan bahwa para guru yang sudah tersertifikasi selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas diri mereka dengan mengikuti berbagai kegiatan di luar madrasah seperti workshop, diklat, maupun seminar-seminar tentang pendidikan.

Selanjutnya dari hasil wawancara mengenai jika ada materi yang didapat saat mengikuti workshop, diklat, atau seminar pendidikan, apakah kemudian diambil dan dikaji oleh guru yang mengikuti kegiatan mendapat penjelasan dari Rosdiana S. Maspeke, S.Ag bahwa setiap kali dirinya mengikuti kegiatan diluar madrasah, pastilah ia mengambil materi yang ada untuk dipelajari kembali.

“Setiap mengikuti kegiatan, saya tentunya mengambil materi yang diberikan oleh panitia sebagai bahan kajian saya nanti. Apalagi jika materinya tersebut sesuai dengan bidang studi yang saya ajarkan,”34

Hal senada disampaikan oleh Muh. Zidiq Lapaga, S.Pd.I, menurutnya sangatlah rugi jika dirinya mengikuti kegiatan di luar madrasah kemudian tidak membawa hasil apa-apa.

“Jadi setiap kali saya diutus oleh madrasah untuk mengikuti kegiatan baik itu workshop, diklat, dialog, maupun seminar pasti saya akan mengambil materi yang diberikan oleh panitia. Seringkali juga ada materi yang tidak dicopikan oleh panitia, maka saya akan minta langsung filenya pada pemateri. Setelah itu materi tersebut biasanya juga saya bagikan ke guru-guru lain yang tidak mengikuti kegiatan tersebut agar bisa dipelajari bersama-sama. Seringkali juga materi yang saya dapat akan saya jadikan bahan referensi untuk pembuatan karya ilmiah mengingat untuk kenaikan pangkat nanti dari III D ke IV A itu mensyaratkan adanya karya ilmiah. Olehnya mulai sekarang saya sudah mulai membuat karya ilmiah tersebut yang bahannya banyak saya peroleh dari materi-materi yang saya ikuti pada kegiatan-kegiatan diluar madrasah tersebut,”35

Sementara Ratmi Bonde, S.Ag menerangkan bahwa :”Setiap mengikuti kegiatan yang diselenggarakan di luar madrasah, sudah menjadi kewajiban bagi saya apabila diutus untuk mewakili madrasah untuk mengambil setiap materi yang diberikan, dimana materi itu nantinya akan saya jadikan tambahan referensi dan juga bisa diberikan

33Nurdila Oktaviani, Siswi di Madrasah

Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 9 agustus 2014

34 Rosdiana S. Maspeke, Guru di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 13 Juni 2014

35 Muh Zidiq Lapaga, Guru di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 13 Juni 2014

272

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

kepada teman-teman lain yang mungkin juga menginginkannya,”36

Sementara itu Kepala Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat Drs Muhammad Ali yang juga tercatat sebagai guru tersertifikasi menjelaskan bahwa dirinya selalu meminta kepada semua guru yang mengikuti kegiatan pendidikan di luar madrasah baik itu diutus oleh madrasah maupun ikut secara pribadi agar dapat memanfaatkan kegiatan tersebut sebaik-baiknya termasuk dengan mengambil materi-materi yang didapat dalam kegiatan itu.

“Jadi setiap kali ada undangan untuk mengikuti sebuah kegiatan yang bersifat menambah wawasan para guru baik itu yang saya ikuti ataupun yang mengutus guru-guru lain, saya selalu menekankan kepada mereka agar sampai ditempat kegiatan dapat mencatat materi-materi yang diberikan. Dan apabila materi yang disajikan itu bisa diambil dalam bentuk softcopy maka harus diambil. Hal ini juga sebagai bentuk pertanggungjawaban peserta kegiatan kepada guru-guru lain yang tidak mengikuti. Hal ini sengaja saya terapkan agar tidak ada kecemburuan di kalangan para guru karena memang biasanya pada kegiatan-kegiatan tertentu itu ada pengganti uang transportnya yang jumlahnya lumayan. Jadi agar jelas bahwa yang ikut ini benar-benar mengikuti kegiatan dan bukan hanya datang,duduk,diam,dengar dan duit, maka saya wajibkan semua guru apabila ikut kegiatan mengatasnamakan madrasah maka harus ada bentuk pertanggungjawabannya. Namun bila kegiatan itu dilaksanakan bukan pada jam madrasah, dan atas nama pribadi maka hal tersebut tidak perlu,”37

Keikutsertaan guru-guru dalam workshop, diklat, maupun seminar tentu saja diharapkan dapat membawa manfaat khususnya untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. Seperti dijelaskan oleh responden Ratmi Bonde, S.Ag bahwa

”Setiap saya ikut sebuah kegiatan diluar sekolah dan mendapat materi, maka tentu saja apabila materi yang diberikan itu bisa diterapkan dalam pembelajaran, maka saya pasti menerapkannya,”38

Hal serupa disampaikan oleh Rosdiana S. Maspeke, S.Ag, menurutnya seorang guru dituntut untuk terus mampu melahirkan inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran. Olehnya setiap kali memperoleh ilmu baru dalam sebuah kegiatan, dirinya akan memanfaatkannya untuk inovasi pembelajaran.

36 Ratmi Bonde, Guru di Madrasah

Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 13 Juni 2014

37Mohamad Ali , Kepala Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 12 Juni 2014

38Ratmi Bonde, Guru di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 13 Juni 2014

“Itulah pentingnya kita mengikuti kegiatan-kegiatan diluar madrasah. Akan ada tambahan ilmu yang kita dapatkan untuk kemudian diterapkan dalam proses pembelajaran di madrasah,”39

Sementara Muh. Zidiq Lapaga, S.Pd.I menambahkan sebagai seorang guru yang sudah tersertifikasi maka dirinya selalu tertantang untuk dapat melahirkan inovasi-inovasi baru saat melakukan proses pembelajaran. Karena menurutnya jika sudah tersertifikasi kemudian cara mengajarnya masih sama seperti belum tersertifikasi, maka itu sama saja mempermalukan diri sendiri serta menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan oleh negara.

“Kita tidak boleh naif, sebagai guru yang sudah tersertifikasi maka kita sudah disebut sebagai guru yang profesional dan negara juga sudah menghargainya dengan memberikan tunjangan sertifikasi. Lantas apabila cara mengajar kita sama saja sebelum mendapat sertifikasi maka apa gunanya?olehnya saya selalu berusaha untuk terus mencari inovasi-inovasi baru yang saya terapkan saat mengajar. Dan biasanya saat ikut kegiatan di luar madrasah, banyak pengetahuan atau materi yang saya peroleh dan kemudian hal tersebut saya terapkan di madrasah,”40

Adanya inovasi yang diterapkan oleh para guru seusai mengikuti kegiatan di luar madrasah mendapat pembenaran dari salah seorang responden Moh.Adrian Malentang yang menjelaskan sebagai berikut : “Biasanya jika ada guru yang mengikuti kegiatan di luar madrasah,mereka akan menceritakan pada kami di kelas tentang apa-apa yang mereka ikuti dan biasanya ada pegetahuan dan hal-hal baru yang diajarkan pada kami,”41

Dari jawaban para responden diatas, penulis berkesimpulan bahwa para guru yang sudah tersertifikasi selalu berupaya untuk melahirkan inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran yang diantaranya mereka peroleh dari berbagai kegiatan pendidikan yang mereka ikuti di luar madrasah.

Dari seluruh jawaban yang penulis peroleh dari para responden mulai dari pertanyaan pertama sampai terakhir, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa adanya program sertifikasi cukup efektif dan mampu membawa perubahan signifikan bagi profesionalitas kinerja para guru di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat.

39 Rosdiana S. Maspeke, S.Ag, Guru di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 13 Juni 2014

40 Muh Zidiq Lapaga, S.Pd.I, Guru di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 13 Juni 2014

41Moh.Adrian Malanteng, Siswa di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat, Wawancara, tanggal 9 Agustus 2014

273

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

E. Penutup

Efektifitas sertifikasi dalam meningkatkan profesionalisme kinerja para guru, khususnya di Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat juga dapat dilihat dari komitmen yang dimiliki oleh para guru untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia dari peserta didik. Hal ini juga ditunjukkan dengan semakin besarnya rasa tanggung jawab para guru untuk melaksanakan tugas keprofesionalan dan mengembangkannya secara berkelanjutan. Kepedulian para guru yang tersertifikasi juga terlihat terhadap para siswanya, hal ini dibuktikan dengan semakin giatnya para guru yang sudah tersertifikasi untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan dunia pendidikan di luar sekolah dengan tujuan agar mereka memperoleh tambahan pengetahuan yang nantinya bisa mereka kaji dan terapkan sehingga menghasilkan inovasi-inovasi terbaru dalam pembelajaran.

Bagi para guru yang sudah tersertifikasi untuk terus mempertahankan dan meningkatkan kinerja mereka serta menjadi suri tauladan bagi para siswa maupun guru-guru lainnya yang belum tersertifikasi. Pihak Madrasah juga harus terus memacu para guru-gurunya yang belum ikut program tersertifikasi untuk dapat mengikuti program tersebut karena program ini bukan hanya bagi guru yang sudah berstatus PNS namun juga bisa bagi guru yang masih honorer. Pihak madrasah juga diharapkan untuk mendorong para gurunya yang latar belakang pendidikannya masih SMA sederajat untuk bisa meneruskan pendidikan lebih tinggi mengingat kedepan kualifikasi seorang guru disyaratkan haruslah berijazah sarjana. Bagi pihak Pemerintah daerah setempat maupun Kementrian Agama agar dapat memperhatikan Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhwan Dumoga Barat sebagai satu-satunya madrasah di wilayah tersebut terutama dari sarana dan prasarana agar kualitas siswa yang dihasilkan akan lebih berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Bedjo Sujanto, 2009, Cara Efektif Menuju Sertifikasi Guru, Jakarta: Raih Asa Sukses.

Dr. H. Suyatno, M.Pd, 2008, Paduan Sertifikasi Guru, Jakarta: PT Indeks.

Dr. J.B. Situmorang Winarno, M. Sc, 2008, Pendidikan Profesi & Sertifikasi Pendidik, Klaten : Saka Mitra Kompetensi.

Dr. Marselus R, 2011, Sertifikasi Profesi Guru (Konsep Dasar, Problematika, dan Implementasinya), Jakarta : PT Indeks.

Farida Sarimaya, 2008, sertifikasi Guru, apa mengapa dan bagaimana? Bandung : Yrama Widya.

Fasli Jalal, 2006, Sertifikasi Guru Untuk Mewujudkan Pendidikan yang Bermutu, Jakarta : Bumi Aksara.

Kunandar S.Pd., M.Si, 2010, Guru Profesional Implementasi KTSP dan sukses dalam Sertifikasi Guru, Jakarta : Rajawali Pers.

Malayu S.P. Hisabuan, 2005, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : Bumi Aksara.

Mulyasa, 2007, Standar kompetensi dan sertifikasi guru, Bandung : Rosda.

Nana Syaodih S, dkk, 2010, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah: Konsep, Prinsip, dan Instrumen, Bandung : Rafika Aditama

Syafaruddin dan Irwan Nasution, 2005, Manajemen Pembelajaran, Jakarta : Quantum Teaching.

Zainal Aqib, 2007, Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran, Surabaya : Insan Cendekia.

274

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

PEMAHAMAN PENELITIAN KUANTITATIF BAGI MAHASISWA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

Alfian Erwinsyah

IAIN Sultan Amai Gorontalo [email protected]

ABSTRAK

Metode Penelitian Kuantitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif, statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.Tujuan tulisan ini ialah sebagai referensi tambahan bagi mahasiswa program studi manajemen pendidikan islam yang akan memilih metode penelitian kuantitatif dalam menyelesaikan tugas akhir/skripsinya. Dalam tulisan ini membahas tentang definisi dan karakteristik metode penelitian kuantitatif, Proses Penelitian Kuantitatif mulai dari masalah, rumusan masalah, menulis kajian puataka, menetapkan hipotesis, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, variabel penelitian, instrumen penelitian, validitas dan reliabilitas, cara melakukan penelitian, analisis data, uji hipotesis sampai pada menarik kesimpulan. Tetapi tulisan ini membatasi hanya pada ranah penelitian kuantitatif (pengaruh & hubungan) dua variabel.

Kata Kunci : Penelitian Kuantitatif, Program Studi Manajemen Pendidikan Islam PENDAHULUAN

Pengembangan ilmu pengetahuan sejak lama diyakini sudah semestinya diperoleh dari upaya-upaya sains yang bagus (good science). Upaya-upaya sains yang bagus ini diantaranya adalah dengan menggunakan metode yang tepat untuk melihat suatu gejala, sehingga penjelasan serta pemahaman terhadap gejala tersebut pun memiliki kualitas yang baik dari sisi validitas dan reliabilitasnya.

Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, para ilmuwan pada abad ke-20 mengembangkan dua pendekatan yaitu pendekatan positivis yang melahirkan metode kuantitatif dan pendekatan post positivis yang merupakan kritik terhadap pendekatan sebelumnya yang kemudian melahirkan metode kualitatif.

Metode kuantitatif dan kualitatif mempunyai paradigma teoritik, gaya, dan asumsi paradigmatik penelitian yang berbeda. Masing-masing memuat kekuataan dan keterbatasan, mempunyai topik dan isu penelitian sendiri, serta menggunakan cara pandang berbeda untuk melihat gejala-gejala perilaku dan sosial. Sehingga, dari sisi epistemologi yang berupaya menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “apa yang bisa kita ketahui” dari suatu gejala, maka kedua metode tersebut memiliki pendekatan dan pertanyaan penelitian yang berbeda. Singkatnya keduanya memiliki jalan untuk memberikan penjelasan dari suatu gejala secara berbeda

Metode kuantitatif dinamakan juga metode tradisional, karena metode ini sudah lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode untuk penelitian. Metode ini disebut sebagai metode positivistik karena berlandaskan pada filsafat positivisme. Metode ini sebagai metode ilmiah/scientific karena telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional dan sistematis. Metode ini juga disebut

metode discovery, karena dengan metode ini dapat ditemukan dan dikembangkan berbagai iptek baru. Metode ini disebut metode kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik.

Penelitian kuantitatif, menurut Robert Donmoyer adalah pendekatan-pendekatan terhadap kajian empiris untuk mengumpulkan, menganalisa, dan menampilkan data dalam bentuk numerik daripada naratif. Menurut Cooper & Schindler, riset kuantitatif mencoba melakukan pengukuran yang akurat terhadap sesuatu. Penelitian kuantitatif sering dipandang sebagai antitesis atau lawan dari penelitian kualitatif, walau sebenarnya pembedaan kualitatif-kuantitatif tersebut agak menyesatkan. Donmoyer beralasan, banyak peneliti kuantitatif tertarik mempelajari aspek-aspek kualitatif dari fenomena. Mereka melakukan kuantifikasi gradasi kualitas menjadi skala-skala numerik yang memungkinkan analisis statistik.1

Dalam definisi yang lain, Metode Penelitian Kuantitatif juga diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif, statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.

Bagi mahasiswa program studi manajemen pendidikan islam sangat dianjurkan untuk dapat memilih metode kuantitatif dalam tugas akhir mereka. Terlebih karena kebanyakan mahasiswa dari tahun ke tahun hanya menggunakan metode kualitatif dalam menyelesaikan tugas akhirnya. Jadi

1Cooper, Donald R. (Business research methods, 9th edition) terj. Budijanto, Didik Djunaedi, dan Damos Sihombing: . Metode riset bisnis, edisi ke 9 (Jakarta: Media Global Edukasi, 2006), h. 4.

275

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

metode kuantitatif sebagai solusi kemonotonan mahasiswa program studi manajemen pendidikan islam dalam hal memilih metode penelitian selama ini. Banyak yang beranggapan bahwa metode penelitian kuantitatif itu sangatlah susah karena banyak menggunakan rumus, angka-angka dan alasan lainnya. Tetapi jika kita cermati penelitian dengan metode kuantitatif itu setara dengan penelitian metode kualitatif atau bahkan lebih mudah. Karena Penelitian kuantitatif ketika telah dibuatkan proposal penelitian maka itu saja yang menjadi acuan kita untuk turun di lapangan, tidak seperti penelitian kualitatif yang bersifat berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi. Berkenaan dengan rumus-rumus dan angka-angka, di zaman teknologi maju seperti ini, pengoalahan data kuantitatif dalam penelitian dapat menggunakan suatu program aplikasi di komputer yakni proram SPSS. Microsoft Excel, Amos, dsb. Jadi mahasiswa tidak perlu lagi menghitung secara manual, tetapi langsung saja memasukkan data ke program tersebut lalu menunggu hasilnya sebentar, dan muncullah hasilnya. Tetapi tidak serta merta berhenti sampai disitu, mahasiswa juga harus mempelajari maksud ataupun arti dari yang dihasilkan oleh program tersebut. Banyak sekali buku yang menjelaskan tentang itu.

KARAKTERISTIK METODE PENELITIAN KUANTITATIF

Karakteristik Metode penelitian kuantitatif yakni dapat dilihat dari 11 item: 1. Dari desainnya metode kuantitatif spesifik, jelas

dan rinci, ditentukan secara mantap sejak awal, menjadi pegangan langkah demi langkah

2. Dari Tujuannya, menunjukkan hubungan/ pengaruh antar variabel, menguji teori, mencari generalisasi.

3. Dari teknik pengumpulan data, yakni kuesioner, observasi, dokumentasi dan wawancara terstruktur.

4. Dari insterumen penelitian yakni tes, angket, wawancara terstruktur, instrumen yang telah terstandar.

5. Dari data, yakni kuantitatif, berupa angka-angka, hasil pengukuran variabel yang diopera-sionalkan dengan menggunakan instrumen

6. Dari sampel, yakni besar, representatif, random, ditentukan sejak awal.

7. Dari analisis data, yakni setelah selesai pengumpulan data, deduktif, menggunakan statistik untuk uji hipotesis.

8. Dari hubungan dengan responden, yakni dibuat berjarak, kedudukan peneliti lebih tinggi daripada responden, jangka pendek sampai hipotesis dapat dibuktikan

9. Dari usulan desain, yakni luas dan rinci, literatur yang berhubungan variabel yang diteliti, prosedur spesifik, masalah yang jelas, hipotesis yang jelas, ditulis secara rinci sebelum terjun ke lapangan.

10. Dari waktu penelitian, yakni penelitian dianggap selesai jika setelah semua kegiatan yang direncanakan dapat diselesaikan,

11. Dari segi kepercayaan terhadap hasil penelitian, yakni pengujian validitas dan relaibilitas instrumen.2

PROSES PENELITIAN KUANTITATIF Masalah, Rumusan Masalah & Hipotesis

Pada dasarya penelitian itu dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang antara lain dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Untuk itu setiap penelitian yang akan dilakukan harus selalu berangkat dan masalah. Jadi setiap penelitian yang akan dilakukan harus selalu berangkat dan masalah, walaupun diakui bahwa memilih masalah penelitian sering merupakan hal yang paling sulit dalam proses penelitian. Bila dalam penelitian telah dapat menemukan masalah yang betul-betul masalah, maka sebenarnya pekerjaan penelitian itu 50% telah selesai. Oleh karena itu menemukan masalah dalam penelitian merupakan pekerjaan yang tidak mudah, tetapi setelah masalah dapat ditemukan, maka pekerjaan penelitian akan segera dapat dilakukan.

Masalah dapat diartikan sebagai penyimpangan antara yang seharusnya dengan apa yang benár-benar terjadi, antara teori dengan praktek, antara aturan dengan pelaksanaan, antara rencana dengan pelaksanaan. Stonner mengemu-kakan bahwa masalah-masalah dapat diketahui atau dicari apabila terdapat penyimpangan antara pengalaman dengan kenyataan, antara apa yang direncanakan dengan kenyataan, adanya pengaduan, dan kompetisi.3

Setelah masalah diidentifikasi dan dibatasi, maka selanjutnya masalah tersebut dirumuskan. Rumusan masalah pada umumnya dinyatakan dalam kalimat pertanyaan. Dengan pertanyaan ini maka akan dapat memandu peneliti untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka peneliti menggunakan berbagai teori untuk menjawabnya. Jadi teori dalam penelitian kuantitatif berperan sebagai acuan untuk menjawab rumusan masalah penelitian tersebut. Jawaban terhadap rumusan masalah yang baru menggunakan teori tersebut disebut hipotesis, maka hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Pengumpulan Data, Populasi & Sampel

2Sugiyono, Metode Penelitian Administratif,

(Bandung: Alfabeta, 2009), hlm.12. 3 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan,

(Bandung: Alfabeta, 2010), hlm.52.

276

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

Hipotesis yang masih merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah tersebut, selanjutnya akan dibuktikan kebenarannya secara empiris berdasarkan data dan lapangan. Untuk itu peneliti melakukan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan pada populasi tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti. Bila populasi terlalu luas, sedangkan peneliti memiliki keterbatasan waktu, dana dan tenaga, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dan populasi tersebut. Bila peneliti bermaksud membuat generalisasi, maka sampel yang diambil harus representatif, dengan teknik random sampling. Sampel adalah bagian dari populasi yang diamati melalui teknik pengambilan sampling. Dalam penelitian, teknik sampling yang dapat gunakan yakni probability sampling, artinya “teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel). Peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel yakni teknik simple random sampling adalah “teknik pengambilan sampel anggota populasi yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada pada populasi itu. Maka untuk menentukan jumlah sampel yang akan dipergunakan dalam penelitian ini, peneliti mengacu pada Rumus Slovhin, dimana ukuran berdasarkan presisi (tingkat kesalahan) 10 % (0,1) diperoleh jumlah sampel sebagai berikut.

Keterangan: N = Jumlah Populasi n = Jumlah Sampel e = Efiasi (derajat kebebasan dengan nilai presisi 10%).

Pendapat lain yakni Menurut Arikunto, apabila dalam penelitian subyeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10-15% & atau 20-25% atau lebih.4

Variabel Penelitian Variabel penelitian muncul ketika rumusan

masalah telah ditetapkan. Variabel penelitian merupakan segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Pada tingkatan strata satu (S1) khususnya prodi manajemen pendidikan islam biasanya hanya menggunakan 2 variabel penelitian, yakni variabel x dan y, apakah itu ingin mencari pengaruh maupun hubungan antar variabel tersebut. Variabel x atau variabel

4Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm.81.

independen/bebas sering disebut variabel stimulus, predictor atau variabel yang mempengaruhi. Variabel y atau variabel dependen/terikat sering disebut variabel output atau variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas.

Validitas & Reliabilitas Instrumen Penelitian Meneliti adalah mencari data yang

teliti/akurat. Untuk itu peneliti perlu menggunakan instrumen penelitian. Dalam penelitian sosial seperti pendidikan, sering instrumen yang akan digunakan untuk meneliti belum ada, sehingga peneliti harus membuat atau mengembangkan sendiri. Agar instrumen dapat dipercaya, maka harus diuji validitas dan reliabilitasnya. Instrumen yang valid adalah instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Intrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama. Jadi instrumen yang valid dan reliabel adalah syarat mutlak untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel.5

Cara pengujian validitas instrumen yakni dengan validitas konstrak, dapat digunakan pendapat dari ahli (judgment experts). Dalam hal ini setelah setelah instrumen dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan dengan ahli. Dalam hal ini mahasiswa sebagai calon peneliti mengkonsultasikan ke dosen (biasanya dosen yang mengampuh mata kuliah evaluasi pembelajaran, metodologi penelitian, statistik pendidikan, dsb.). Instrumen yang divalidasikan ke ahli sudah berbentuk kuesioner/angket, dilengkapi dengan variabel, subvariabel dan indikator atau sering disebut kisi-kisi instrumen penelitian.

Saran dan perbaikan instrumen hasil validasi dari ahli segera ditindak lanjuti oleh calon peneliti dan selanjutnya mempersiapkan untuk ujicoba instrumen tersebut pada subjek di luar sampel penelitian yang memiliki karakteristik yang hampir sama. Hasil dari ujicoba instrumen tersebut kemudian dapat diolah menggunakan statistik dengan bantuan program SPSS. Tujuan dari ujicoba instrumen atau reliabilitas instrumen adalah untuk mengidentifikasi soal yang tidak layak/drop. Ketika disapatkan item instrumen yang drop maka item tersebut wajib untuk tidak digunakan dalam penelitian nantinya. Setelah instrumen teruji validitas dan reliabilitasnya, maka dapat digunakan untuk mengukur variabel yang telah ditetapkan untuk diteliti. Pelaksanaan Penelitian

Setelah didapatkan instrumen yang valid dan reliabel selanjutnya peneliti turun ke lapangan

5Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm.134.

12 +=

NeNn

277

TADBIR Jurnal Manajemen Pendidikan Islam

(tempat penelitian) untuk mengumpulkan data dari sampel yang telah ditentukan. Biasanya penelitian kuantitatif pada program studi manajemen pendidikan islam yakni untuk mencari hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat ataupun mencari pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Jadi ada dua instrumen yang diedarkan yakni satu untuk variabel bebas dan satu untuk variabel terikat. Ataupun ketika penelitian itu hanya untuk melihat pengaruh/hubungan variabel bebas terhadap sesuatu yang tidak perlu menggunakan instrumen datanya tetap ada. Seperti pengaruh pemanfaatan sarana dan prasaran sekolah terhadap hasil belajar siswa. Jadi pada variabel terikat yakni hasil belajar tidak perlu dibuatkan instrumen/angket, langsung diambil datanya saja di sekolah tersebut kemudian dianalisis.

Pada penelitian kuantitatif ketika angket yang disebar ke sampel penelitian (dalam hal ini disebut responden) telah terkumpulkan semua, maka pelaksanaan penelitian dianggap selesai. Ketika peneliti mengumpulkan data hanya 1 hari ataupun hanya beberapa jam, dan data terkumpul semua dari responden maka penelitian dianggap telah selesai. Inilah keunggulan penelitian dengan metode kuantitatif, waktu penelitian relatif singkat jadi dapat menghemat tenaga maupun biaya. Berbeda dengan penelitian kualitatif yang waktu relatif panjang karena data yang didapatkan harus jenuh/berulang lalu penelitian dianggap selesai, itupun jika data yang ditemukan tetap dan tidak berubah.

Analisis Data

Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis. Analisis diarahkan untuk menjawab rumusan masalah dan hipotesis yang diajukan. Dalam penelitian kuantitatif analisis data menggunakan statistik. Statistik yang digunakan dapat berupa statistik deskriptif dan inferensial. Statistik inferensial dapat berupa statistik parametris dan statistik nonparametris. Peneliti menggunakan statistik inferensial bila penelitian dilakukan pada sampel yang diambil secara random.

Banyak yang mengartikan penelitian kuantitatif untuk melihat pengaruh antar dua variabel sama dengan melihat hubungan antar 2 variabel, namun sesungguhnya dua hal tersebut berbeda. Memang dalam analisisnya rumus yang digunakan hampir sama tetapi dengan tujuan berbeda. 1. Penelitian kuantitatif untuk melihat pengaruh

variabel x terhadap y Biasanya analisis data untuk dapat melihat pengaruh 2 variabel, terlebih dahulu dilakukan pengelompokan dalam tabel, satu tabel untuk variabel x dan satu tabel untuk variabel y. Seperti tabel berikut:

No. Skor item angket no. Skor

Resp. 1 2 3 4 total

1

2

3

4

5

Juml.

Setelah data item angket ditabulasikan, selanjutnya dilakukan uji normalitas data untuk kedua variabel tersebut. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah populasi data yang diteliti memiliki distribusi normal atau tidak normal. Uji normalitas ini menggunakan Uji Lilliefors karena metode analisis data yang digunakan adalah metode statistik parametrik. Populasi data dikatakan normal jika nilai signifikansi > 0,05. Uji Chi kuadrat juga biasa digunakan untuk menguji normalitas data.6

Untuk pengujian hipotesis digunakan

dua analisis yakni analisis korelasi pearson product moment untuk mengetahui kuatnya pengaruh variabel x terhadap variabel y, serta analisis regresi linear sederhana untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan/ positif antar variabel yang diteliti. Berikut contoh analisis korelasi pearson product moment:

Tabel 1 Hasil Uji Korelasi Pearson Product Moment

6Riduwan, Pengantar Statistika Untuk

Penelitian Pendidikan, Sosial, Komunikasi, Ekonomi Dan Bisnis, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 67.

278

Volume 02 Nomor 2 Agustus 2014

Intepretasi untuk data contoh diatas:

Pada tabel 1 di atas merupakan hasil korelasi dari variabel x dengan y. Nilai yang diperoleh R = 0,681, berdasarkan tabel interpretasi nilai R, dari rentang 0,60 – 0,799 termasuk pada tingkat hubungan yang kuat antara variabel x dan variabel y. Hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel x dengan variabel y yang dapat dilihat dari nilai signifikansinya. Dari hasil hitung pada tabel 1, diperoleh nilai sig. (2 tailed) sebesar 0,000 kemudian bila dibandingkan dengan nilai probabilitas 0,05 ternyata nilai probabilitas 0,05 lebih besar daripada nilai probabilitas sig. (2 tailed) atau (0,05 > 0,000) artinya signifikan. Terbukti bahwa variabel x mempunyai hubungan yang signifikan terhadap variabel y.

Pada tabel 2 dapat dilihat nilai koefisien determinasi (Rsquare) sebesar 0,464. Hal ini menunjukkan pengertian bahwa variabel y dipengaruhi sebesar 46,4% oleh variabel x, sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain yang tidak dijadikan variabel oleh peneliti.

Pengujian signifikansi pengaruh variabel x terhadap variabel y menggunakan analisis regresi sederhana digambarkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 3

Dari tabel 3 di atas diperoleh nilai Fhitung =

49,255 dengan tingkat probabilitas sig. 0,000 jauh lebih kecil dari 0,05 maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi pengaruh x terhadap y.

Tabel 4 Hasil Uji Koefisien Regresi

Dari hasil perhitungan regresi sederhana, variabel x terhadap variabel Y1, diperoleh persamaan regresi y = 31,029 + 0,569x. Ini

menunjukkan bahwa arah pengaruh variabel x terhadap variabel y searah (tanda +), dimana jika nilai variabel x naik maka variabel y juga akan naik begitupun sebaliknya. Dengan hipotesis: Ha : variabel x berpengaruh secara signifikan

terhadap variabel y. Ho : variabel x tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap variabel y.

Berdasarkan hasil analisis korelasi dan regresi dapat disimpulkan bahwa hipotesis alternatif (Ha) diterima dengan kata lain hipotesis nihil (Ho) ditolak.

2. Penelitian kuantitatif untuk melihat hubungan

variabel x dan variabel y. Untuk melihat hubungan variabel x dan

variabel y, prosedurnya sama dengan no. 1, tetapi tidak dilakukan analisis regresi sederhana, hanya menggunakan analisis korelasi. Sesungguhnya penelitian kuantitatif untuk melihat hubungan antar dua variabel lebih sederhana dibandingkan

x y Pearson Correlation 1 .681**

Sig. (2-tailed) .000

N 59 59

Pearson Correlation .681** 1

Sig. (2-tailed) .000 N 59 59

Tabel 2

Hasil Uji Korelasi (R square) Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .681a

.464 .454 5.126

ANOVAb

Model Sum of

Squares Df Mean

Square F Sig.

Regression

1294.029 1 1294.029

49.255 .000a

Residual

1497.497 57 26.272

Total 2791.525 58

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

B Std. Error Beta t Sig.

(Constant)

31.029 8.764 3.541 .001

x .569 .081 .681 7.018 .000a. Dependent Variabel: y

279