PENGARUH EFEKTIVITAS BUMDES TERHADAP ...repo.apmd.ac.id/1059/1/PENGARUH EFEKTIFITAS BUMDES...BUMDes...
Transcript of PENGARUH EFEKTIVITAS BUMDES TERHADAP ...repo.apmd.ac.id/1059/1/PENGARUH EFEKTIFITAS BUMDES...BUMDes...
PENGARUH EFEKTIVITAS BUMDES TERHADAP KESEJAHTERAAN
PETANI DI DESA BENO HARAPAN KUTAI TIMUR
RINGKSASAN TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat
Magister pada Program Studi Ilmu Pemerintahan
Konsentrasi: Kepemerintahan Desa
Disusun Oleh:
Vincentius Fransiskus
(16610054)
PROGRAM PASCASARJANA (S-2)
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
YOGYAKARTA
201
vii
DAFTAR ISIA. Latar Belakang ................................................................................................... 1B. Kerangka Teori................................................................................................... 5
1. BUMDes........................................................................................................52. Desa Mandiri .................................................................................................63. Efektivitas BUMDes .................................................................................... 84. Nawa Cita dan Kompelentari Catur Sakti dan Tri Sakti ............................ 115. Resource Based View..................................................................................126. Undang-Undang Terkait BUMDes............................................................. 137. Pertanian ..................................................................................................... 148. Kesejahteraan Masyarakat.......................................................................... 159. Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa ......................................1910. Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa
dan Kesejahteraan Masyarakat ....................................................................21C. Metode Penelitian............................................................................................. 22
1. Jenis Penelitian.......................................................................................... 222. Populasi dan Sampel ................................................................................. 223. Teknik Pengumpulan Data........................................................................ 234. Teknik Analisis Data................................................................................. 23
D. Analisis Data .................................................................................................... 24E. Pembahasan ...................................................................................................... 25F. Kesimpulan dan Saran ...................................................................................... 27
1. Kesimpulan................................................................................................. 272. Saran ........................................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi menjadi salah satu hal penting yang harus
dipertimbangkan dalam pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan ekonomi
merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup perubahan
struktur, sikap hidup dan kelembagaan, peningkatan pertumbuhan ekonomi,
pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan pemberantasan kemiskinan
(Todaro, dalam Irawan dan Suparmoko 1999). Secara garis besar, Pembangunan
ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang
seringkali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil perkapita (Irawan, 2002).
Hal teserbut serupa dengan pendapat yang dikemukakan Prof. Meier (dalam
Adisasmita, 2005) yang mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai proses
kenaikan pendapatan riil perkapita dalam suatu jangka waktu yang panjang. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang
menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam
jangka panjang. Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa pembangunan
ekonomi merupakan suatu perubahan yang terjadi secara terus-menerus melalui
serangkaian kombinasi proses demi mencapai sesuatu yang lebih baik yaitu adanya
peningkatan pendapatan perkapita yang terus menerus berlangsung dalam jangka
panjang (Sadono Sukirno, 1985). Menurut Todaro & Smith (2003) dalam Lincolin
2
Arsyad (2010:11) menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi suatu
Negara ditunjukkan oleh tiga nilai pokok yaitu:
(1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya (sustenance),
(2) meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia,
dan
(3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from
servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia
Akhirnya disadari bahwa definisi pembangunan ekonomi (Lincolin Arsyad,
2010) itu sangat luas bukan hanya sekadar bagaimana meningkatkan GNP per tahun
saja. Pembangunan dilakukan tidak hanya ditingkat nasional tetapi juga dilakukan
pada tingkat yang lebih kecil, yaitu daerah provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa.
Seringkali pembangunan diwilayah yang lebih kecil mampu memberikan hasil yang
mendukung pembangunan diwilayah yang lebih besar. Pada tingkat yang lebih kecil,
pembangunan dilakukan ditingkat daerah setingkat provinsi maupun setingkat
kabupaten atau kota (Widodo, 2006). Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu
proses pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta
untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah (Lincolin Arsyad ,2010).
3
Menurut Lincolin Arsyad (2010:379) Perencanaan pembangunan ekonomi
daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber
daya publik yang tersedia didaerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor
swasta dalam menciptakan nilai sumber daya swasta secara tanggung jawab.
Pembangunan ekonomi yang efisien membutuhkan perencanaan secara
seimbang yang teliti mengenai penggunaan sumber data publik dan sektor swasta,
petani, pengusaha kecil, koperasi, pengusaha besar dan organisasi-organisasi sosial
harus mempunyai peran dalam proses perencanaan. Melalui perencanaan
pembangunan ekonomi daerah, suatu daerah dilihat secara keseluruhan sebagai suatu
unit ekonomi (economic entity) yang didalamnya terdapat berbagai unsur yang
berinteraksi satu sama lain, (Arsyad 1999).
Ada tiga implikasi pokok dari perencanaan pembangunan ekonomi daerah
antara lain sebagai berikut (Lincolin Arsyad, 2010:383):
1. Perencanan pembangunan ekonomi daerah yang realistik memerlukan
pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungan nasional,
daerah tersebut merupakan bagain darinya, keterkaitan secara mendasar
antara keduanya, dan konsekuensi akhir dari interaksi tersebut.
2. Sesuatu yang tampaknya baik secara nasional belum tentu baik untuk daerah
dan sebaliknya yang baik didaerah belum tentu baik secara nasional.
4
3. Perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah, misalnya
administrasi, proses pengambilan keputusan, otoritas biasanya sangat
berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada tingkat pusat.
Dari penejelasan-penjelasan diatas dapat diketahui bahwa Pertumbuhan
ekonomi menyokong pembangunan nasional yang tentu dipengaruhi oleh
pembangunan daerah-daerah di Indonesia. Untuk meningkatkan pembangunan ditiap
provinsi, maka pemerintah pusat mendorong pembangunan secara mandiri.
Pemerintah daerah tentu memahami berbagai keterbatasan dalam proses
pembangunan tiap wilayah kabupaten/kota, oleh sebab itu tiap-tiap kabupaten/kota
diperbolehkan untuk melakukan pembangunan secara mandiri.
Hal ini juga berlaku pada tingkat desa. Desa merupakan salah satu bentuk
penyelenggaraan pemerintahan yang berada dibawah pemerintah daerah. Desa
sekarang telah menjadi arus pemerintahan yang beralih dari paradigma sentralisasi ke
desentralisiasi menjadikan desa sebagai pemerintahan yang diharapkan dapat berdiri
secara mandiri tanpa bergantung oleh pemerintah daerah secara keseluruhan.
Salah satu bentuk otoritas desa terbukti dengan kehadiran BUMDes. Sebagai
unit terkecil dari negara, desa secara riil langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.
Indonesia memiliki 74.093 desa (BPS, 2013), dimana lebih dari 32 ribu desa masuk
dalam kategori desa tertinggal (Susetiawan, 2011). Salah satu strategi untuk
menanggulangi hal ini adalah mewujudkan kewirausahaan desa dimana sumber daya
dan fasilitas yang disediakan secara spontan oleh komunitas masyarakat desa untuk
5
merubah kondisi sosisal pedesaan (Ansari, 2013). Terbitnya UU Nomor 6 Tahun
2014 dan terbitnya PP Nomor 47 Tahun 2015 menghendaki adanya desa yang
mandiri dan otonom dalam pengelolaan sumber daya yang dimilikinya dimana
BUMDes diharapkan berperan dalam peningkatan perekonomian pedesaan (Prabowo,
2014). Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah usaha desa yang dibentuk atau
didirikan oleh pemerintah desa yang kepemilikan modal dan pengelolaannya
dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat (Wihoho,2013). Untuk mencapai
tujuan pembangunan nasional, desa merupakan agen pemerintah terdepan yang dapat
menjangkau kelompok sasaran riil yang akan disejahterakan, yaitu dengan
membentuk suatu badan usaha atau disebut dengan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) (Ramadan et al, 2013).
BUMDes merupakan upaya penyelenggaraan otonomi daerah yang
dilimpahkan kepada desa sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia.
Dampak arus desentralisasi juga turut memberi perubahan terhadap tatakelola
pemerintahan tingkat desa yang merupakan subsistem pemerintahan daerah. Sehingga
desa memiliki kewenangan untuk mengurus kepentingan masyarakatnya.
Masyarakat merupakan sekelompok orang yang memiliki perasaan sama atau
menyatu sama lain karena mereka saling berbagi identitas, kepentingan yang sama,
perasaan yang memiliki dan biasanya satu tempat yang sama. Fungsi masyarakat
yaitu penyedia dan pendistribusi barang-barang dan jasa, lokasi kegiatan bisnis dan
usaha, keamanan publik, sosialisasi, wadah dilingkungan bersama atau gotong
royong, kontrol sosial, organisasi dan partisipasi politik.
6
Desa yang mandiri nantinya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Untuk menjadikan desa sebagai entitas yang mandiri, diperlukan pengaturan desa.
Pengaturan desa antara lain bertujuan mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi
masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan
bersama, serta memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi
kesenjangan pembangunan Nasional. Menurut Sumpeno (2011), strategi
pembangunan desa merupakan langkah-langkah yang akan ditempuh oleh seluruh
perangkat organisasi, yang berisi program untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan
yang ditetapkan.
Program/kegiatan yang bersifat instan langsung dirasakan secara ekonomi dan
fisik karena dianggap lebih mudah dalam pelaksanaannya, kasat mata, mudah diukur,
menyerap lapangan kerja, dan argumentasi lainnya. Hal ini juga yang menjadi alasan
mengapa beberapa daerah lebih mengupayakan pembangunan infrastruktur fisik
dibanding non fisik, karena kondisi geografis, akses yang terbatas dan keterisolasian,
memerlukan penanganan segera dengan pertimbangan keterbatasan anggaran. Isu
lain, menyangkut kesesuaian dan kesinambungan rencana pembangunan desa (RPJM
Desa) dengan rencana pembangunan ditingkat kabupaten/kota yang seringkali sulit
dipadukan. Kecenderungan ini tentunya perlu dikelola dengan baik dengan
mengupayakan sistem perencanaan pembangunan yang komprehensif dan
terintegrasi. Dimana kebutuhan pembangunan ekonomi dan prasarana fisik dapat
seiring dengan penguatan masyarakat dalam mendorong perubahan sosial, penguatan
kelembagaan, kemitraan, distribusi sumber daya yang adil, memperkecil kesenjangan
7
antarkawasan, kerjasama lintas sektor, lintas budaya dan perdamaian secara lestari
(Supeno, 2011).
Beberapa strategi yang secara umum diimplementasikan dalam membangun
kemandirian desa antara lain: (1) membangun kapasitas warga dan organisasi
masyarakat sipil didesa yang kritis dan dinamis, (2) memperkuat kapasitas
pemerintahan dan interaksi dinamis antara organisasi warga dalam penyelenggaran
pemerintahan desa, (3) membangun sistem perencanaan dan penyelenggaraan desa
yang responsif dan partisipatif, dan (4) membangun kelembagaan ekonomi lokal yang
mandiri dan produktif, Desa Mandiri, Desa Membangun (Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015).
Akan tetapi pada kenyataannya, pembangunan pedesaan dirasa masih kurang
sehingga masih banyak pedesaan yang tertinggal. Padahal telah banyak cara yang
telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengentaskan masalah ketertinggalan desa
tersebut, seperti meningkatkan anggaran untuk pembangunan desa dari tahun ke
tahun agar mampu mengurangi jumlah desa yang tertinggal, dan beberapa program
lainnya.
Salah satu upaya pembangunan ekonomi BUMDes yang dilaksanakan dengan
baik akan menunjang perkembangan masyarakat dan menyokong kehidupan
masyarakat, sehingga tujuan untuk mencapai kesejahteraan dapat tercapai. Selain itu
pembangunan yang semula cendrung dipusatkan pada daerah perkotaan membuat
arus urbanisasi meningkat. Adanya BUMDes diharapkan dapat menjadi pusat
ekonomi kreatif yang akan menarik minat masyarakat desa, secara khusus kaum
8
muda desa yang biasanya cendrung mencari pekerjaan diperkotaan, sehingga hal ini
akan menekan arus urbanisai. Dalam upaya mengembangkan desa dan kesejahteraan
masyarakat desa, maka diterbitkanlah suatu Undang-Undang khusus, yaitu Undang-
Undang No 6 Tahun 2014.
Pengaturan desa antara lain bertujuan mendorong prakarsa, gerakan dan
partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna
kesejahteraan bersama, serta memajukan perekonomian masyarakat Desa serta
mengatasi kesenjangan pembangunan Nasional. …………………………………….
http://www.presidenri.go.id/desa/memajukan-ekonomi-desa-melalui-bumdes.html
diakses pada tanggal 12 April 2017
Skala prioritas yang dilakukan KPDT bagi pembangunan daerah berbasis
pedesaan antara lain mencakup:
(1) pengembangan kelembagaan;
(2) pemberdayaan masyarakat;
(3) pengembangan ekonomi lokal, dan
(4) pembangunan sarana dan prasarana.
Skala prioritas tersebut diharapkan mampu menstimulus dan menggerakkan
roda perekonomian dipedesaan dengan didirikannya lembaga ekonomi desa, salah
satunya adalah BUMDes (Badan Usaha Milik Desa Dalam rangka untuk mengatasi
kesenjangan antar wilayah dan antara desa dan kota, Pemerintah menyadari perlu ada
perubahan paradigma dalam melihat desa.
9
Sehubungan dengan itu, dalam upaya untuk mempercepat pengentasan daerah
tertinggal, Kementerian Negera Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT)
melakukan perubahan paradigma pembangunan daerah tertinggal yang sebelumnya
berbasis pada kawasan menjadi berbasis pada pedesaan (base on village).
Pembangunan yang berbasis pedesaan sangat penting dan perlu untuk memperkuat
fondasi perekonomian negara, mempercepat pengentasan kemiskinan dan
pengurangan kesenjangan perkembangan antar wilayah. Sebagai solusi bagi
perubahan sosial, desa sebagai basis perubahan.
Dalam konteks itu maka sumber-sumber pertumbuhan ekonomi harus
digerakkan ke pedesaan sehingga desa menjadi tempat yang menarik sebagai tempat
tinggal dan mencari penghidupan. Infrastruktur desa, seperti irigasi, sarana dan
prasarana transportasi, listrik, telepon, sarana pendidikan, kesehatan dan sarana-
sarana lain yang dibutuhkan, harus bisa disediakan sehingga memungkinkan desa
maju dan berkembang. https://www.kemendesa.go.id/view/detil/66/pembangunan-
pedesaan?page=home, diakses pada 12 Juni 2017.
Dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2014 pasal 1 ayat 1 ditegaskan bahwa
desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam
10
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan
anggota masyarakat agar mencapai kesejahteraan.
Upaya memajukan dan mensejahterakan desa semakin serius dengan
diterbitkannya UU No. 06 Tahun 2014 tentang Desa. Salah satu kebijakan yang diatur
dalam Undang-undang ini dengan hal terkait dengan BUMDes. Pasal 54 ayat 2, huruf
(e) menyatakan bahwa salah satu hal strategis dalam penyelenggaraan pemerintah
desa adalah pembentukan BUMDes. BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan dan
usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Pendirian
BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa, hal ini sesuai dengan Pasal 88 Ayat
1.
Sebagaimana disebut didalam UU Desa pasal 72 ayat 2, pendapatan asli Desa
terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi serta gotong royong. Hasil
usaha yang dimlaksud dalam pasal ini termasuk hasil dari BUMDes. BUMDes
dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan serta dapat
menjalankan usaha dibidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ini memungkinkan aparatur
desa mandiri dalam melakukan pembangunan desa. Pembangunan desa yang baik
pada akhirnya akan meningkatkan kualitas dan taraf hidup masyarakat serta
berdampak pada kesejahteraan. Pembangunan tersebut dapat terwujud dengan
11
bantuan BUMDes yang diharapkan memberikan dampak baik bagi kehidupan
masyarakat desa, artinya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 melalui pasal-pasalnya
yang hadir dalam perwujudan BUMDes diharapkan mampu memberikan dampak
positif bagi masyarakat desa. BUMDes diharapkan mampu menggerakkan roda
perekonomian dipedesaan dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki desa,
mengikutsertakan masyarakat desa dalam pengelolaannya dan pada akhirnya mampu
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat desa.
Penelitian yang dilakukan oleh Andrian Sari dengan judul “Pengaruh
BUMDes terhadap Perekonomian di Kecamatan Kabupaten Serdang” menujukan
bahwa terdapat pengaruh sebelum dan sesudah dengan adanya BUMDes. Penelitian
sejenis juga pernah dilakukan oleh Dantika Ovi Era Tama dan Yanuardi, dengan
judul ”Dampak Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) pada Kesejahteraan masyarakat
di Desa Karangrejek Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul”, hasil dari
peneitian ini adalah BUMDesa Karangrejek telah berhasil memberi dampak yang
positif bagi peningkatan perekonomian desa dan kesejahteraan masyarakat,
berdampak terhadap kesehatan masyarakat desa, meningkatkan pembangunan desa
serta tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi.
Penelitian tantang BUMDes juga telah dilakukan oleh Rufaidah Aslamiah,
dengan judul ” Peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Untuk Mensejahterakan
Masyarakat Desa Panggungharjo Melalui Kelompok Usaha Pengelola Sampah
(KUPAS) Panggung Lestari, Sewon, Bantul, Yogyakarta”, hasil dari penelitian ini
menujukan adanya BUMDes KUPAS membantu mengatasi permasalahan sampah
12
sehingga dapat dikelola dengan baik, dan membantu terpenuhinya kebutuhan
kesehatan dan ekonomi masyarakat, serta dapat dimaksimalkannya kesempatan
sosial.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti akan melakukan penelitian untuk
mengetahui “Pengaruh Efektivitas BUMDes terhadap Kesejahteraan Pertani di Desa
Beno Harapan Kutai Timur”. Perbedaan antara penelitiaan ini dengan penelitian
terdahulu adalah lokasi penelitian, penelitian memilih Desa Beno Harapan dan
indikator yang menggunakan indikator kesejahteraan yang dikeluarkan oleh BPS.
B. Rumusan Masalah
Apakah terdapat pengaruh efektivitas BUMDes terhadap kesejahteraan Petani
di Desa Beno Harapan Kutai Timur?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh efektivitas BUMDes
terhadap kesejahteraan petani di desa Beno Harapan Kutai Timur
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh efektivitas BUMDes
terhadap kesejahteraan petani di desa Beno Harapan Kutai Timur
E. Kerangka Teori
13
1. BUMDes
Menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 1 Ayat 6, BUMDes adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna
mengelola aset, jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat desa. Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 dan terbitnya PP
Nomor 47 Tahun 2015 menghendaki adanya desa yang mandiri dan otonom dalam
pengelolaan sumber daya yang dimilikinya dimana BUMDes diharapkan berperan
dalam peningkatan perekonomian pedesaan (Prabowo, 2014). Wihoho (2013)
menejlaskan bahwa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah usaha desa yang
dibentuk atau didirikan oleh pemerintah desa yang kepemilikan modal dan
pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat. Untuk mencapai
tujuan pembangunan nasional, desa merupakan agen pemerintah terdepan yang dapat
menjangkau kelompok sasaran riil yang akan disejahterakan, yaitu dengan
membentuk suatu badan usaha atau disebut dengan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) (Ramadan et al, 2013).
Hal tersebut juga senada dengan PERMENDES Nomor 4 Tahun 2015
Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik
Desa. Selain itu, definisi dari BUMDes juga tertulis dalam Permendagri No. 39
Tahun 2010, bahwa BUMDes adalah usaha desa yang dibentuk/didirikan oleh
pemerintah desa yang kepemilikan modal dan pengelolaannya dilakukan oleh
pemerintah desa dan masyarakat. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
14
2004 Ayat 1 yang menyatakan bahwa desa dapat mendirikan badan usaha milik desa
sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Artinya desa dapat menentukan sendiri
badan usaha milik desa yang dianggap sesuai dengan potensi dan kebutuhan desa.
Buku panduan BUMDes yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan
Nasional Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (PKDSP) Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya menjelaskan yang dimaksud dengan “kebutuhan dan potensi
desa” adalah:
a. Kebutuhan masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok;
b Tersedia sumberdaya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal
terutama kekayaan desa dan terdapat permintaan di pasar;
c. Tersedia sumberdaya manusia yang mampu mengelola badan usaha
sebagai aset penggerak perekonomian masyarakat;
d. Adanya unit-unit usaha yang merupakan kegiatan ekonomi warga
masyarakat yang dikelola secara parsial dan kurang terakomodasi;
BUMDes merupakan wahana untuk menjalankan usaha di desa.
Sedangkan yang dimaksud dengan “usaha desa” adalah jenis usaha yang
meliputi pelayanan ekonomi desa seperti antara lain:
a. Usaha jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air, listrik desa, dan usaha
sejenis lainnya;
b. Penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa;
c. Perdagangan hasil pertanian meliputi tanaman pangan, perkebunan,
peternakan, perikanan, dan agrobisnis;
15
d. Industri dan kerajinan rakyat
BUMDes sendiri berbeda dengan lembaga ekonomi lain. Dalam buku paduan
BUMDes PKDSP Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, terdapat 7 (tujuh) ciri
utama yang membedakan BUMDes dengan lembaga ekonomi komersial pada
umumnya yaitu:
1. Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama;
2. Modal usaha bersumber dari desa (51%) dan dari masyarakat (49%)
melalui penyertaan modal (saham atau andil);
3. Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari
budaya lokal (local wisdom);
4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil
informasi pasar;
5. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
anggota (penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa (village
policy);
6. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pemprov, Pemkab, dan Pemdes;
7. Pelaksanaan operasionalisasi dikontrol secara bersama (Pemdes, BPD,
anggota).
Selain definisi, PERMENDES Nomor 4 Tahun 2015 secara khusus membahas
tentang BUMDes, termasuk tujuan dari BUMDes. Pada pasal 3 PERMENDES ini
menyebutkan tujuan-tujuan pendirian BUMDes. Tujuan-tujuan itu sebagai berikut:
a. Meningkatkan perekonomian Desa;
16
b. Mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan Desa;
c. Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi
Desa;
d. Mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan
pihak ketiga;
e. Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan
layanan umum warga;
f. Membuka lapangan kerja;
g. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan
umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Desa;
h. meningkatkan pendapatan masyarakat Desa dan Pendapatan Asli Desa.
Secara garis besar, hal tersebut serupa dengan Pasal 78 Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa Ayat 1, bahwa dalam rangka meningkatkan
pendapatan masyarakat dan desa, Pemerintah Desa mendirikan Badan Usaha Milik
Desa. Artinya BUMDes mengambil peran dalam rangka meningkatkan pendapatan
masyarakat, yang akhinrya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan peningkatan perekonomian desa. Selain itu, dalam Surat Keputusan
Bersama Tiga Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Mentei Desa)
pada Bagian Ketiga, dijelaskan bahwa pengembangan ekonomi lokal, seperti pasar
desa, kios desa, pelelangan ikan milik desa dan penyeluran pinjaman bergulir untuk
usaha kepada kelompok masyarakat melalui pembentukan dan pengembangan
17
BUMDes. Artinya, BUMDes berperan sebagai fasilitator bagi pengembangan
ekonomi lokal.
Secara garis besar, baik PERMENDES Nomor 4 Tahun 2015, Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, dan UU Nomor 6 Tahun 2014 memberikan poin
penting yang menekankan pada peran serta tujuan BUMDes sebagai lembaga yang
diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat desa. Hal utama yang penting dalam
upaya penguatan ekonomi desa adalah memperkuat kerjasama (cooperatif),
membangun kebersamaan/menjalin kerekatan disemua lapisan masyarakat desa.
Sehingga itu menjadi daya dorong (steam engine) dalam upaya pengentasan
kemiskinan, pengangguran, dan membuk akses pasar. Terdapat 6 (enam) prinsip
dalam mengelola BUMDes yaitu:
1. Kooperatif. Semua komponen yang terlibat didalam BUMDes harus
mampu melakukan kerjasama yang baik demi pengembangan dan
kelangsungan hidup usahanya.
2. Partisipatif. Semua komponen yang terlibat didalam BUMDes harus
bersedia secara sukarela atau diminta memberikan dukungan dan
kontribusi yang dapat mendorong kemajuan usaha BUMDes.
3. Emansipatif. Semua komponen yang terlibat didalam BUMDes harus
diperlakukan sama tanpa memandang golongan, suku, dan agama.
4. Transparan. Aktivitas yang berpengaruh terhadap kepentingan
masyarakat umum harus dapat diketahui oleh segenap lapisan masyarakat
dengan mudah dan terbuka.
18
5. Akuntabel. Seluruh kegiatan usaha harus dapat dipertanggung jawabkan
secara teknis maupun administratif.
6. Sustainabel. Kegiatan usaha harus dapat dikembangkan dan dilestarikan
oleh masyarakat dalam wadah BUMDes.
Dalam UU tentang Desa Pasal 88, 89 dan 90 disebutkan bahwa:
Pasal 88
1. Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa.
2. Pendirian BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Desa.
Pasal 89
Hasil usaha BUM Desa dimanfaatkan untuk:
a. pengembangan usaha; dan
b. Pembangunan Desa, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian bantuan
untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir
yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal 90
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan
Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUM Desa dengan:
a. memberikan hibah dan/atau akses permodalan;
b. melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan
c. memprioritaskan BUM Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa.
19
Dapat diartikan bahwa pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah
Desa yang bearti BUMDes berdiri atas keinginan masyarakat, dan berdiri berdasarkan
perdes. Hasil usaha BUMDesa dimanfaatkan untuk pengembangan usaha dan
Pembangunan Desa, dan hal hal lain terkait pengembangan Desa termasuk kaitannya
dengan pengembangan SDM. Pengembangan BUMDes melibatkan dorongan dari
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah
Desa yang secara besinergi melalui hibah dan/atau akses permodalan, melakukan
pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan memprioritaskan BUMDesa dalam
pengelolaan sumber daya alam di Desa. Artinya pengembangan BUMDes dilakukan
bersama-sama oleh tiap lapisan pemerintahan, hal ini menjadikan kesuskesan dan
keberhasilan BUMDes tidak serta mereta dalah sepenuhnya tanggung jawab sebuah
desa itu sendiri.
2. Desa Mandiri
Kepala Bidang (Kabid) Pemerintahan Desa Dinas Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa (DPMD) Provinsi Kalimantan Barat, Ahmad Salafuddin mengatakan desa
mandiri adalah sebuah bentuk hasil penilaian yang dilakukan per tahun oleh
Kementerian Desa melalui regulasi yang dikeluarkan yakni Permendesa Nomor 2
Tahun 2016 tentang Indeks Desa Membangun (IDM).
Desa Mandiri mencerminkan kemauan masyarakat Desa yang kuat untuk
maju, menghasilkan produk/karya Desa yang membanggakan dan kemampuan Desa
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Untuk mecapai desa mandiri, pembangunan
20
sarana dan prasarana menjadi sesuatu yang teramat penting. Pembangunan sarana dan
prasarana ini membutuhkan daya dukung yang memadai, pengetahuan lokal,
sumberdaya lokal dan keterampilan lokal yang terdapat didesa. Dalam konteks lain
menurut Prof. Ahmad Erani (2016), pembangunan sarana dan prasarana desa
merupakan pengejawantahan dari Nawa Kerja Menteri Desa dan Program Unggulan
Kerja Mengabdi Desa yang teridiri atas:
a. Jaring Komunitas Wiradesa (JKWD);
b. Lumbung Ekonomi Desa (LED); dan
c. Lingkar Budaya Desa (LBD)
Tiga konsep tersebut mencakup upaya-upaya untuk mengembangkan
keberdayaan dan pembangunan masyaakat Desa dibidang ekonomi, sosial dan
kebudayaan yang juga merupakan konteks mengbangun desa seusai dengan UU No 6
Tahun 2014.
Program Jaring Komunitas Wiradesa, seperti dipaparkan oleh Menteri
kelahiran Pati, Jawa Tengah ini, akan diarahkan untuk mengarusutamakan penguatan
kapabilitas manusia sebagai inti pembangunan desa. Sehingga mereka menjadi
subyek-berdaulat atas pilihan-pilihan yang diambil. Sedangkan Program Lumbung
Ekonomi Desa didesain untuk mendorong muncul dan berkembangnya geliat
ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik dan partisipan gerakan ekonomi
di desa. “Lingkar Budaya Desa sebagai program yang bertujuan untuk
mempromosikan pembangunan yang meletakkan partisipasi warga dan komunitas
sebagai akar gerakan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain”.
21
………………………………………………
https://biz.kompas.com/read/2015/10/24/080128728/Tiga.Program.Menteri.Marwan.
Atasi.Kemiskinan.Desa, diakses pada 12 Juni 2018.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pembangunan desa, pengembangan ekonomi
desa, kemandirian desa serta kesejahteraan desa memerlukan daya dukung yang
memadai, pengetahuan lokal, sumberdaya lokal dan keterampilan lokal yang terdapat
didesa itu sendri. Dapat diartikan bahwa Sumber Daya Manusia memegang peran
penting. Sama halnya dengan keberadaan BUMDes. Keberadaan BUMDes menjadi
lebih berarti ketika terdapat manajemen sumber daya manusia yang baik, sehingga
BUMDes berjalan secara efektif dan dapat memberikan dampak positif bagi
masyarakat.
Beberapa peluang pengembangan ekonomi desa melalui BUMDes dengan
fokus menggerakkan potensi lokal antara lain;
a. Bisnis sosial sederhana yang memberikan pelayanan umum kepada
masyarakat dengan memperoleh keuntungan finansial. Peluang
pengembangan jenis-jenis usaha dalam klasifikasi ini paling menarik
karena kebutuhan dan potensi di desa relatif tersedia. Tapi potensi
keuntungannya memang relatif terbatas karena fungsi sosialnya haruslah
lebih ditonjolkan.
b. Bisnis penyewaan barang untuk melayani kebutuhan masyarakat desa dan
ditujukan untuk memperoleh Pendapatan Asli Desa, misalnya menjalankan
kegiatan usaha penyewaan yang meliputi alat transportasi, perkakas pesta,
22
gedung pertemuan, rumah toko (ruko), tanah milik desa, dan barang
sewaan lainnya. Peluang BUMDes untuk menjalankan jenis-jenis usaha ini
juga sangat besar karena usaha ini relatif mudah untuk dijalankan. Tapi,
hati-hati menyewakan fasilitas publik. Jangan sampai desa dapat dicap
"komersil" oleh warganya karena membebani biaya sewa pada fasilitas
atau barang publik yang biasanya bebas biaya sewa,
c. Usaha perantara (brokering) yang memberikan jasa pelayanan kepada
warga. Kegiatan usaha perantara yang dapat dikembangkan, misalnya jasa
pembayaran listrik, jasa penyaluran pupuk bersubsidi, dan pasar desa untuk
memasarkan produk yang dihasilkan masyarakat.
d. Bisnis yang berproduksi dan/atau berdagang barang-barang tertentu untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dipasarkan pada skala pasar
yang lebih luas. Misalnya, pemasaran hasil perikanan, sarana produksi
pertanian, produksi kerajinan desa, dan pemasaran komoditas atau produk
unggulan desa.
e. Bisnis keuangan yang memenuhi kebutuhan usaha-usaha skala mikro yang
dijalankan oleh pelaku usaha ekonomi desa yang dapat memberikan akses
kredit dan peminjaman yang mudah diakses oleh masyarakat desa.
Pengembangan Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Lembaga Kredit Mikro
(LKM), dan koperasi merupakan contoh jenis usaha yang dapat
dikembangkan dalam klasifikasi usaha ini. Peran bisnis keuangan ini
23
adalah menghubungkan warga yang memiliki kelebihan dana dengan
warga yang membutuhkan dana.
f. Usaha bersama (holding) sebagai induk dari unit-unit usaha yang
dikembangkan masyarakat desa baik dalam skala lokal desa maupun
kawasan perdesaan. Misalnya, pengembangan kapal desa berskala besar
untuk mengorganisasi nelayan kecil agar usahanya menjadi lebih ekspansif,
desa wisata yang mengorganisasi rangkaian jenis usaha dari kelompok
masyarakat, terminal agribisnis desa/kawasan pedesaan yang mengatur tata
niaga beberapa komoditas unggulan desa, dan kegiatan usaha bersama yang
mengkonsolidasikan jenis usaha lokal lainnya.
Dengan beberapa panduan tersebut, pendirian usaha BUMDes harus
dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan seksama sehingga usaha tersebut
dapat memberikan keuntungan bagi BUMDes itu sendiri, masyarakat dan desa.
Sehingga tujuan untuk menjadi desa mandiri mampu dicapai dengan lebih baik.
https://pontianak.tribunnews.com/2019/01/30/apa-itu-desa-mandiri-dan-bagaimana-
penilaiannya-ini-penjelasan-dpmd-kalbar.
BUMDes memiliki beberapa keunikan, Yunanto (2014) menjelaskan
keunikan BUMDes sebagai berikut:
1. BUMDes merupakan sebuah usaha desa milik kolektif yang digerakkan oleh
aksi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat. BUMDes merupakan
24
bentuk public and community partnership atau kemitraan antara pemerintah
desa sebagai sektor publik dengan masyarakat setempat.
2. BUMDes lebih inklusif dibanding dengan koperasi, usaha pribadi maupun
usaha kelompok masyarakat yang bekerja diranah desa. Koperasi memang
inklusif bagi anggotanya, baik di tingkat desa maupun tingkat yang lebih
luas, namun koperasi tetap ekslusif karena hanya untuk anggota.
Dalam buku Desa Mandiri, Desa Membangun oleh Kurniawan (2015), salah
satu strategi yang dipraktekan dalam menjadikan desa mandiri adalah dengan
membangun kelembagaan ekonomi lokal yang mandiri dan produktif. Saat ini
banyaksekali tumbuh inisiatif desa membangun keberdayaan ekonomi lokal.
Keberhasilan dibidang ekonomi tersebut tidak lepas dari kemampuan desa
membangun perencanaan yang konsisten, partisipatif dan disepakati dalam dokumen
perencanaan dan penganggaran desa (RPJMDesa, RKP Desa dan APB Desa).
Sebagai contoh, Desa Bleberan di Kabupaten Gunungkidul berhasil mendirikan dan
mengembangkan desa wisata dengan mengoptimalkan potensi wisatanya berupa air
terjun Sri Gethuk dan GoaRancang Kencono. BUM Desa dibentuk sebagai lembaga
yang bertanggung jawab mengelola ekonomi wisata desa tersebut.
Hal tersebut juga berlaku pada BUMDes lainnya, membangun kelembagaan
ekonomi local. Kelembagaan ekonomi local tersebut dapat berupa BUMDes .
BUMDes dapat bergerak pada bidang usaha papaun yang sekiranya selaras dengan
25
potensi dan kebutuhan desa. Pada desa Beno Harapan, BUMDes dibentuk dalam
wujud koperasi yang menjual kebutuhan pertanaian dan perkebunan.
3. Efektivitas BUMDes
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah usaha desa yang dibentuk atau
didirikan oleh pemerintah desa yang kepemilikan modal dan pengelolaannya
dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat (Wiboho,2013). Pada intinya
BUMDes tetaplah sebuah organisasi yang harus dinilai efektivitasnya.
Konsep efektivitas yang dikemukakan Richard (1995) memaparkan efektivitas
adalah sesuatu yang menunjukkan tingkatan keberhasilan kegiatan manajemen
didalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Komaruddin
Sastradipoera, 1989:126). Stephen P. Robbins (2002: 22) mengartikan efektivitas
sebagai suatu yang menunjukkan tingkatan keberhasilan kegiatan manajemen
didalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pengertian efektivitas menurut para ahli pada hakekatnya memiliki kesamaan
makna yaitu menitikberatkan pada tingkat keberhasilan dan pencapaian tujuan
yang ditetapkan sebelumnya. Seperti yang telah diungkapkan \, Richard M.
Steers (1995) ada tiga konsep yang dapat digunakan untuk meneliti efektivitas
kegiatan organisasi untuk melihat apakah organisasi dapat mencapai sasaran dan
tujuannya, yaitu:
26
(1) Konsep optimisasi tujuan.
(2) Konsep perspektif sistem.
(3) Tekanan terhadap perilaku.
Pandangan lain terkait ukuran untuk efektivitas organisasi dikemukakan
Richard M. Steers (1995), dalam Mastur (2014) sebagai berikut:
1. Efektivitas keseluruhan, yaitu sejauhmana organisasi melaksanakan seluruh
tugas pokoknya atau mencapai semua sasarannya.
2. Produktivitas, yaitu kuantitas atau volume dari produk atau jasa pokok
yang dihasilkan organisasi. Dapat diukur menurut tiga tingkatan: tingkat
individual, kelompok dan keseluruhan organisasi.
3. Efisiensi, yaitu sesuatu yang mencerminkan perbandingan antara beberapa
aspek unit terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut.
4. Laba, yaitu penghasilan atas penanaman modal yang dipakai untuk
menjalankan organisasi. Jumlah dari sumberdaya yang masih tersisa
setelah semua biaya dan kewajiban dipenuhi, kadang-kadang dinyatakan
dalam persentase.
5. Pertumbuhan, yaitu penambahan dalam hal-hal seperti tenaga kerja,
fasilitas yang ada dalam organisasi, harga, penjualan, laba, modal, bagian
27
pasar, dan penemuan-penemuan baru. Suatu perbandingan antara keadaan
organisasi sekarang dengan keadaan masa sebelumnya.
6. Stabilitas, yaitu pemeliharaan struktur, fungsi, dan sumberdaya sepanjang
waktu, khususnya dalam periode-periode sulit.
7. Semangat kerja, yaitu kecenderungan anggota organisasi berusaha lebih
keras mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang meliputi perasaan
terikat, kebersamaan tujuan, dan perasaan memiliki.
8. Kepuasan, yaitu kompensasi atau timbal balik positif yang dirasakan
seseorang atas peranan atau pekerjaannya dalam organisasi.
9. Penerimaan tujuan organisasi, yaitu diterimanya tujuan-tujuan organisasi
oleh setiap pribadi dan oleh unit-unit dalam organisasi. Kepercayaan
mereka bahwa tujuan organisasi tersebut adalah benar dan layak.
10. Keterpaduan, konflik-konflik, kekompakan, yaitu dimensi berkutub
dua. Yang dimaksud kutub keterpaduan adalah fakta bahwa para anggota
organisasi saling menyukai satu sama lain, bekerja sama dengan baik,
berkomunikasi sepenuhnya dan secara terbuka, dan mengkoordinasikan
usaha kerja mereka. Pada kutub yang lain terdapat organisasi penuh
pertengkaran baik dalam bentuk kata-kata maupun secara fisik, koordinasi
yang buruk, dan berkomunikasi yang tidak efektif.
28
11. Keluwesan adaptasi, yaitu kemampuan organisasi untuk mengubah standar
operasi prosedur (SOP) guna menyesuaikan diri terhadap perubahan.
12. Penilaian oleh pihak luar, yaitu penilaian mengenai organisasi atau unit
organisasi oleh mereka (individu atau organisasi) dalam lingkungannya,
yaitu pihak-pihak dengan siapa organisasi ini berhubungan.
Poin-poin dalam penilaian evektifitas inilah yang akan digunakan untuk
menilai efektivitas BUMDes. Pada akhirnya diharapkan dengan keefektivan
BUMDes, BUMDes akan mengalami pengembangan dan dapat mempengaruhi
kesejahteraan secara lebih dalam.
4. Nawa Cita dan Komplementari Catur Sakti dan Tri Sakti
Nawa Cita merupakan gagasan diera kepemimpinan Joko Widodo yang
berisis sembilan agenda prioritas pembangunan yaitu:
1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara;
2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintah
yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya;
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah
dan desa dalam kerangka negara kesatuan;
29
4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan
hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya;
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia;
6. Meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing dipasar internasional;
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor
strategis ekonomi domestik;
8. Melakukan revolusi karakter bangsa;
9. Memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Kurniawan (2015) menyatakan bahwa Irisan sinergis antara UU Desa dengan
Nawa Cita adalah sama-sama menjadikan potensi modal sosial bangsa sebagai
landasan filosofis arah kebijakan pembangunan. UU Desa mengembangkan apa yang
disebut oleh ketua Pansus RUU Desa DPR RI “catur sakti”. Nawa Cita
mengembangkan apa yang disebut “Tri Sakti” dengan penjabaran sebagai berikut:
Tabel 1.1
Perbandingan Catur Sakti dan Tri Sakti Nawa Cita
Catur Sakti UU Desa Tri Sakti Nawa Cita
Desa bertenaga secara social Berdaulat dalam politik
Desa berdaulat secara politik Berdikari dalam ekonomi
30
Desa bermartabat secara budaya Berkepribadian dalam budaya
Desa mandiri secara ekonomi
. Secara empirik, desa-desa di Indonesia memiliki modal sosial yang tinggi.
Masyarakat desa sudah lama mempunyai beragam ikatan sosial dan solidaritas sosial
yang kuat, sebagai penyangga penting kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan. Swadaya dan gotong royong telah terbukti sebagai penyangga utama
“otonomi asli” desa. Ketika kapasitas negara tidak sanggup menjangkau sampai level
desa, swadaya dan gotong royong merupakan sebuah alternatif permanen yang
memungkinkan berbagai proyek pembangunan prasarana desa tercukupi (Eko, et., al.
2014).
Berdaulat secara politik mengandung pengertian bahwa desa memiliki
prakarsa dan emansipasi lokal untuk mengatur dan mengurus dirinya meski pada saat
yang sama negara tidak hadir. Meski negara hadir, terkadang kehadirannya
berlebihan sehingga berpotensi memaksakan (imposition) kehendak prakarsa
kebijakan pusat yang justru akan melumpuhkan prakarsa local (Kurniawan, 2015) .
Kedaulatan desa dari sisi ekonomi mengandung makna kemampuan desa
dalam menjaga, mengelola hingga mengoptimalkan fungsi ekonomi aset-aset alam
yang berada didalamnya. Ketika negara terjebak dalam model pengelolaan sumber
daya alam untuk pertumbuhan ekonomi semata, desa mempeloepori pengelolaan
31
sumber daya alam secara berkelanjutan. Dengan pengelolaan sumber daya alam
secara berkelanjutan keseimbangan alam dapat terlestarikan, sementara orientasi
kesejahteraan rakyat tercapai secara berjangka panjang. Cara desa dalam menjaga
asset ekonomi ini berbalikan dengan model pemerintah yang bersifat ekstraktif
karena menyerahkan pengelolaan alam kepada sektor privat dari pada mengutamakan
shareholder ditingkat komunitas lokal. Sementara lingkungan kelembagaan ekonomi
desa yang lebih inklusif malah tidak menjadi referensi model pengembangan
ekonomi local (Kurniawan, 2015).
Dapat disimpulkan bahwa keberadaan Tri Sakti Nawa Cita memberikan ruang
bagi desa untuk berkembang mandiri, berprilaku dalam budaya berarti memiliki pola
khas budayanya sendiri seperti kebiasaan melakukan gotong royng serta musyawarah
, berdaulat secara politik berarti memberikan kebebasan berpolitik dimana desa dapat
membuat aturannya secara mandiri dan mengurus dirinya sendiri. Dan berdikari
ekonomi diartikan sebagai kemandirian desa dalam mengelola aset desa, serta
melakukan kegiatan ekonomi mandiri .
Tri Sakti Nawa Cita ini juga merupakan pendorong hadirnya BUMDes sebab
dalam pembentukannya diperlukan keterlibatan masyarakat dalam permusyawaratan
guna menentukan bentuk usaha BUMDes, dengan adanya kedaulatan politik desa
dapat mengatur dan mengurus dirinya sendiri artinya keputusan serta aturan dalam
pelaksanaan BUMDes secara teknis diatur oleh desa dan kehadiran BUMDes
merupakan bentuk nyata dari berdikari ekonomi desa.
32
5. Teori resource based view
Teori ini secara garis besar menjelaskan bahwa usaha yang dilakukan harus
memiliki keunggulan kompetitif atau daya saing. Desa mandiri dapat terwujud
dengan sumber daya yang berasal dari desa itu sendiri. Mengacu pada teori ini,
BUMDes dituntut memiliki ciri khas serta keunggulan kompetitif supaya dapat
memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan kesejahteraan. Secara lebih
spesifik berdasarkan teori resource based view, maka desa harus memiliki sumber
daya tersebut haruslah bernilai, langka, tidak disubstitusi, dan tidak diimitasi (Barney,
1991).
Keunggulan kompetitif tersebut ditentukan oleh modal sosial, modal
manusia, dan modal finansial (DeMassis et al., 2011). Modal sosial terkait dengan
relasi antar orang dalam organisasi (modal sosial internal) dan antara organisasi
dengan pihak luar (modal sosial eksternal) (DeMassis et al., 2011). Menurut World
Bank (1998) modal sosial adalah suatu masyarakat termasuk institusi, relasi, sikap,
dan nilai yang memandu interaksi antara orang dan kontribusi pada ekonomi dan
pembangunan sosial. Dalam modal sosial diperlukan nilai saling berbagi serta
pengorganisasian peran yang diekspresikan dalam hubungan personal, kepercayaan
dan tanggung jawab bersama. Modal manusia diartikan sebagai pengetahuan dan
keterampilan yang melekat pada orang (Hatch et al,, 2004 dalam DeMassis et al.,
33
2011). Modal manusia dapat diasosiasikan dengan dedikasi dan komitmen yang
tinggi (Cabrera-Suarez et al., 2001), motivasi (1988), dan relasi personal yang tinggi
(Trevinyo-Rodriguez et al., 2006)
6. Undang-Undang Terkait BUMDes
1. UU No. 6 Tahun 2014 ini terdapat 4 Bab (6 pasal) yang menjelaskan mengenai
BUMDesa, terdiri atas:
a. Bab I Pasal 1 mengenai definisi BUMDes
b. Bab V Pasal 54 mengenai pembentukan BUMDes sebagai hal strategis
dalam penyelenggaranaan pemerintah desa
c. Bab IX Pasal 85 mengenai BUMDes sebagai salah satu badan/lembaga
yang menjadi pelaku pengembangan kawasan pedesaan
d. Bab X Pasal 87 Mengenai Semangat yang melandasi pendirian dan
pengelolaan BUMDesa
e. Bab X Pasal 88 mengenai pendirian BUMDes
f. Bab X Pasal 89 mengenai Manfaat berdirinya BUMDes
g. Bab X Pasal 90 mengenai arah pengembangan bisnis BUMdes yang
bermanfaat bagi masyarakat desa.
2. PERMENDES Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan
Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa
3. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa
34
7. Pertanian
Indonesia merupakan sebuah Negara kepulauan dengan penduduk yang
mayoritasnya memliki mata pencaharian dibidang pertanian dan perkebunan.
Sehingga pertanian dan pekebunan merupakan sektor yang berperan penting dalam
perekonomian nasional. Hal ini juga dikarenakan sektor pertanian dan perkebunan ini
sendiri mampu menyerap tenaga kerja, dan berperan sebagai sarana pertumbuhan
ekonomi serta penyumbang devisa.
Pertanian adalah pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati
terutama tanaman produktif yang menghasilkan dan dapat dipergunakan sebagai
kehidupan manusia. Sedangkan pengertian pertanian dalam arti sempit adalah suatu
proses becocok tanam disuatu lahan yang telah disiapkan sebelumnya dalam skala
kecil pola perdagangan lokal, serta mengunakan cara manual tanpa terlalu banyak
memakai menejemen. Sedangkan Perkebunan adalah sistem pertanian dengan
orientasi skala besar yang tentunya untuk diperdagangkan dari hasil suatu komoditi
hasil pertanian. Biasanya perkebunan banyak untuk orientasi tanaman keras atau
tanaman masa hidup jangka panjang yang dibudidayakan dan menggunakan pola
menejemn yang baik. https://perkebunan.org/articles/pengertian-pertanian-dan-
perkebunan, diakses pada 15 Juni 2018.
Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 38/38/Permentan/OT.140/8/2008
tentang Pedoman Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olahan Karet, perkebunan
adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau
35
media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan
barang dan jasa hasil tanaman tersebut dengan dengan bantuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
Sedangkan menurut Mubyarto (1995), pertanian dalam arti luas mencakup
pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk
didalamnya perkebunan rakyat dan perkebunan besar), kehutanan, peternakan, dan
perikanan (dalam perikanan dikenal pembagian lebih lanjut yaitu perikanan darat dan
perikanan laut). Indonesia masih merupakan negara pertanian, artinya pertanian
memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat
ditunjukkan dari banyaknya penduduk yang hidup atau bekerja pada sektor pertanian
atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian.
Kemudian menurut Nasution (1995) dalam Salikin (2003), pertanian
berkelanjutan merupakan kegiatan pertanian yang berupaya untuk memaksimalkan
manfaat sosial dari pengelolaan sumberdaya biologis dengan syarat memelihara
produktivitas dan efisiensi produksi komoditas pertanian, memelihara kualitas
lingkungan hidup dan produktivitas sumberdaya sepanjang masa. Kemudian
Soekartawi (1995) dalam Salikin (2003), mengemukakan terdapat tiga alasan
mengapa pembangunan pertanian Indonesia harus berkelanjutan yaitu:
1. Sebagai negara agraris, peranan sektor pertanian Indonesia dalam sistem
perekonomian nasional masih dominan. Kontibusi sektor pertanian
36
terhadap produk domestik bruto adalah sekitar 20 % dan menyerap 50 %
lebih tenaga kerja di pedesaan.
2. Agrobisnis dan agroindustri memiliki peranan yang sangat vital dalam
mendukung pembangunan sektor lainnya.
3. Pembangunan pertanian berkelanjutan menjadi keharusan agar sumberdaya
alam yang ada sekarang ini dapat terus dimanfaatkan untuk waktu yang
relatif lama. Sektor pertanian tetap menduduki peran vital yang mendukung
kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa pemerintah harus memberikan perhatian
khusus bagi bidang pertanian dan perkebunan, hal tersebut dilakukan demi menopang
swasembada pangan sehingga Indonesia menjadi lebih mandiri dalam hal pangan.
Oleh sebab itu, pemerintah berusaha terus melakukan upaya-upaya berkelanjutan
guna meningkatkan kemampuan bidang agrarian Indonesia.
8. Kesejahteraan Masyarakat
Kesejahteraan atau sejahtera dapat memiliki empat arti (Kamus Besar
Bahasa Indonesia), Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik,
kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan
sehat dan damai. Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda.
Sejahtera memliki arti khusus resmi atau teknikal (lihat ekonomi kesejahteraan),
seperti dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial. Dalam kebijakan sosial,
kesejahteraan sosial menunjuk ke jangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan
37
masyarakat. Ini adalah istilah yang digunakan dalam ide negara sejahtera (Yunika,
2014)
Berdasarkan Indonesian Human Devalopment Report 2004 bahwasanya
Kesejahteraan masyarakat pada dasarnya adalah buah dari pelayanan publik yang
dilakukan pemerintah. Dengan pelayanan publik yang baik maka kesejahteraan
masyarakat juga berpeluang besar untuk membaik. Kesejahteraan masyarakat
,Pertumbuhan Ekonomi (Keuangan, Industri), Perawatan Masyarakat(Kesehatan,
Kesejahteraan Sosial), Pengembangan Manusia (Pendidikan) sendiri dapat dilihat dari
berbagai indikator. Salah satu indikator yang dapat dipakai adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang mengukur capaian umum suatu daerah dalam tiga
dimensi utama pembangunan manusia, yaitu panjangnya usia (diukur dengan angka
harapan hidup), pengetahuan (diukurdengan capaian pendidikan), dan kelayakan
hidup (diukur dengan pendapatan yang telah disesuaikan).
Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan
Masyarakat, kesejahteraan masyarakat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan
material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Sedangkan
menurut Ambaddar (2008), menjelasan bahwa Kesejahteraan Masyarakat adalah
salah satu pendekatan yang harus menjadi prinsip utama bagi seluruh unit-unit
kepemerintahan maupun pihak korporasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya
dalam memberikan pelayanan sosial. Sedangkan, Kesejahteraan Masyarakat menurut
38
Giarci dalam Subejo dan Supriyanto (2004) adalah suatu hal yang memiliki pusat
perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh
dan berkembang melalui berbagai fasilitas dan dukungan agar mereka mampu
memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan
mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosial.
Biro Pusat Statistik Indonesia (2000) melihat tingkat kesejahteraan rumah
tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuruan, antara
lain adalah:
1. Tingkat pendapatan keluarga;
2. Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran
untuk pangan dengan non-pangan;
3. Tingkat pendidikan keluarga;
4. Tingkat kesehatan keluarga, dan;
5. Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.
Menurut Todaro dan Stephen C. Smith (2006) dalam Hukom (2016),
kesejahteraan masyarakat menunjukkan ukuran hasil pembangunan masyarakat dalam
mencapai kehidupan yang lebih baik yang meliputi:
1. Peningkatan kemampuan dan pemerataan distribusi kebutuhan dasar seperti
makanan, perumahan, kesehatan dan perlindungan;
2. Peningkatan tingkat kehidupan, pendapatan, pendidikan yang lebih baik dan
peningkatan atensi terhadap budaya dan nilai-nilai kemanusiaan;
39
3. Memperluas skala ekonomi dan ketersediaan pilihan social dari individu dan
bangsa
Hal ini berarti kesejahteraan dapat diukur dari pemerataan distribusi
kebutuhan dasa, meningkatnya pendapatan, tingkat kehidupan dan pendidikan. Pada
akhirnya hal-hal ini mencerminkan tujuan dari kesejahteraan yang telah diamanatkan
dalam undang-undang.
Konsep kesejahteraan lainnya juga dikemukakan oleh Nasikun (1993) dimana
kesejahteraan dapat dirumuskan sebagai padanan makna dari konsep martabat
manusia yang dapat dilihat dari empaat indicator yaitu:
1. Rasa Aman
2. Kesejahteraan
3. Kebebasan
4. Jati diri
Sedangkan menurut Kolle (1974) dalam Bintarto (1989), kesejahteraan dapat
diukur dari beberapa aspek kehidupan antara lain:
1. Dengan melihat kualitas hidup dari segi materi, seperti kualitas rumah,
bahan pangan dan sebagianya;
2. Dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh,
lingkungan alam, dan sebagainya;
3. Dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas
pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya;
40
4. Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika,
keserasian penyesuaian, dan sebagainya.
Pendapat dari Brudeseth (2015) menyatakan kesejahteraan sebagai kualitas
kepuasan hidup yang bertujuan untuk mengukur posisi anggota masyarakat dalam
membangun keseimbangan hidup mencakup antara lain :
(a) kesejahteraan materi,
(b) kesejahteraan bermasyarakat,
(c) kesejahteraan emosi,
(d) keamanan
Secara umum kesejahteraan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian seperti
disebutkan Albert dan Hahnel dalam Sugiarto (2007) dalam Yusrial (2014) yaitu :
classical utilitarian, neo classical welfare theory, new contractarian approach.
Dalam tiga pendekatan mengenai kesejahteraan diatas dapat disimpulkan bahwa
kesejahteraan tersebut akan selalu berhubungan dengan tingkat kepuasan (utility) dan
kesenangan (pleasure) seseorang yang dapat diraih dalam hidupnya. Kesejahteraan
hidup realitasnya memiliki banyak indikator keberhasilan yang dapat diukur,
sehingga banyak cara dan pendekatan yang digunakan saat ini dalam mengukur
tingkat kesejahteraan masyarakat.
Terdapat berbagai perkembangan pengukuran tingkat kesejahteraan dari sisi
fisik, seperti Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia), Physical
Quality Life Index (Indeks Mutu Hidup); Basic Needs (Kebutuhan Dasar); dan
GNP/Kapita (Pendapatan Perkapita). Todaro (2003) menjelaskan, untuk mengukur
41
tingkat kesejahteraan kelompok masyarakat menengah ke bawah digunakan indikator
seperti : kesehatan, gizi, pendidikan, serta pendapatan.
Dari seluruh konsep kesejahteraan yang telah dikemukakan oleh para ahli,
dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan dinilai dari berbagai sudut pandang dan
aspek yang pada akhirnya akan menjelaskan bagaimana seseorang/sekelompok
orang/masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya hingga mencapai taraf yang
disebut sejahtera.
Tujuan dari kesejahteraan berdasarkan UU Nomor 11 Pasal 3 Tahun 2009,
adalah sebagai berikut:
1) Meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup.
2) Memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian.
3) Meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani
masalah kesejahteraan sosial.
4) Meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan.
5) Meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial
Konsep tersebut selaras dengan indikator BPS (2005) dalam penelitian Eko
Sugiharto (2007), indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan
lebih spesifik pada kesejahteraan keluarga yang terdiri dari delapan, yaitu
pendapatan, konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas
tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan
42
kesehatan, kemudahan memasukkan anak kejenjang pendidikan, dan kemudahan
mendapatkan fasilitas transportasi.
Kesejahteraan hidup seseorang dalam realitanya, memiliki banyak indikator
keberhasilan yang dapat diukur. Dalam hal ini Thomas dkk. (2005:15)
menyampaikan bahwa kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah dapat
direpresentasikan dari tingkat hidup masyarakat ditandai oleh terentaskannya
kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, dan peningkatan produktivitas masyarakat. Kesemuanya itu merupakan
cerminan dari peningkatan tingkat pendapatan masyarakat golongan menengah
kebawah.
Menurut BPS (2005) dalam penelitian Eko Sugiharto (2007) indikator yang
digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada delapan, yaitu pendapatan,
konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal,
kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan,
kemudahan memasukkan anak kejenjang pendidikan, dan kemudahan mendapatkan
fasilitas transportasi.
1) Indikator pendapatan digolongkan menjadi 3 item yaitu:
a. Tinggi (> Rp. 10.000.000)
b. Sedang (Rp. 5.000.000)
c. Rendah (< Rp. 5.000.000)
2) Indikator pengeluaran digolongkan menjadi 3 item yaitu:
43
a. Tinggi (> Rp. 5.000.000)
b. Sedang (Rp. 1.000.000 – Rp. 5.000.000)
c. Rendah (< Rp. 1.000.000)
3) Indikator tempat tinggal yang dinilai ada 5 item yaitu jenis atap rumah,
dinding, status kepemilikan rumah, lantai dan luas lantai.
4) Indikator fasilitas tempat tinggal yang dinilai terdiri dari 12 item, yaitu
pekarangan, alat elektronik, pendingin, penerangan, kendaraan yang dimiliki,
bahan bakar untuk memasak, sumber air bersih, fasilitas air minum, cara
memperoleh air minum, sumber air minum, fasilitas MCK, dan jarak MCK
dari rumah.
6) Indikator kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan terdiri dari 5 item
yaitu jarak rumah sakit terdekat, jarak toko obat, penanganan obat-obatan,
harga obat-obatan, dan alat kontrasepsi.
7) Indikator kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan terdiri dari 3
item yaitu biaya sekolah, jarak ke sekolah, dan proses penerimaan.
8) Indikator kemudahan mendapatkan transportasi terdiri 3 item, yaitu ongkos
kendaraan, fasilitas kendaraan, dan status kepemilikan kendaraan.
9. Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Dikutip dari buku Desa Mandiri, Desa Membangun ( 2015), lahirnya Undang-
Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa mengembang paradigma dan konsep baru
kebijakan tata kelola desa secara nasional. UU Desa ini tidak lagi menempatkan desa
sebagai latar belakang Indonesia, tapi halaman depan Indonesia. UU Desa yang
44
disahkan pada akhir tahun 2013 lalu juga mengembangkan prinsip keberagaman,
mengedepankan azas rekognisi dan subsidiaritas desa. Lain daripada itu, UU Desa ini
mengangkat hak dan kedaualatan desa yang selama ini terpinggirkan karena
didudukan pada posisi sub nasional. Padahal, desa pada hakikatnya adalah entitas
bangsa yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam
bagian penjelasan UU tersebut dinyatakan bahwa tujuan UU No.6 Tahun 2014 adalah
sebagai berikut:
1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada
dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia;
3. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk
pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
5. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif,
terbuka, serta bertanggung jawab;
6. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna
mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
45
7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan
masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian
dari ketahanan nasional;
8. Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan
pembangunan nasional; dan
9. Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Tabel 1.2
Perbedaan Desa Lama dan Baru dalam Perspektif UU Desa
Desa Lama Desa BaruPayung Hukum UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005 UU No. 6/2014
Asas utama Desentralisasi-residualitas Rekognisi-subsidiaritas
Kedudukan Sebagai organisasi pemerintahanyang berada dalam sistempemerintahan kabupaten/kota (localstate government)
Sebagaipemerintahanmasyarakat,hybrid antara selfgoverningcommunity danlocal selfgovernment.
Posisi dan perankabupaten/kota
Kabupaten/kota mempunyaikewenangan yang besar dan luasdalam mengatur dan mengurus desa.
Kabupaten/kotamempunyaikewenangan yangterbatas danstrategis dalammengatur danmengurus desa;termasukmengatur danmengurus bidangurusan desa yang
46
tidak perluditanganilangsung olehpusat.
Delierykewenangan danprogram
Target Mandat
Politik tempat Lokasi: Desa sebagai lokasi proyekdari atas
Arena: Desasebagai arena bagiorang desa untukmenyelenggarakanpemerintahan,pembangunan,pemberdayaan dankemasyarakatan
Posisi dalampembangunan
Obyek Subyek
Modelpembangunan
Government driven developmentatau community driven development
Village drivendevelopment
Pendekatan dantindakan
Imposisi dan mutilasi sectoral Fasilitasi,emansipasi dankonsolidasi
UU Desa menempatkan desa sebagai subyek pembangunan. Pemerintah
supradesa menjadi pihak yang menfasilitasi tumbuh kembangnya kemandirian dan
kesejahteraan desa melalui skema kebijakan yang mengutamakan rekognisi dan
subsidiaritas.Supra desa tak perlu takut dengan konsekuensi pemberlakukan kedua
azas tersebut. Dengan menjadi subyek pembangunan justru desa tidak lagi akan
47
menjadi entitas yang merepotkan tugas pokok pemerintah kabupaten, provinsi bahkan
pusat. Justru desa akan menjadi entitas negara yang berpotensi mendekatkan peran
negara dalam membangun kesejahteraan, kemakmuran dan kedaulatan bangsa baik
dimata warga negaranya sendiri maupun negara lain.
Pendekatan Pembangunan Desa yang bertujuan untuk menyejahterakan
masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa,
membagi kedalam 2 jenis pendekatan yaitu desa membangun dan pembangunan desa
yang diintegrasikan dalam perencanaan Pembangunan Desa. Pembangunan desa
meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Pembangunan Desa dapat
dilakukan melalui pengadaan BUMDes yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan
kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pengembangan potensi ekonomi
lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Pembangunan desa mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan
kegotongroyongan guna mewujudkan perdamaian dan keadilan sosial.
10. Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Kesejahteraan
Masyarakat Desa
Latar belakang indeks desa membangun dalam PERMENDes Nomor 2 tahun
2016 menjelaskan hubungan erat antara undang-undang desa dengan kesejahteraan
mayarakat desa. Dalam PERMENDes tersebut dijelaskam bahwa Undang-Undang
48
Desa memberi jalan bagi terwujudnya kehidupan masyarakat Desa yang maju, kuat,
demokratis dan mandiri. Kewenangan Desa ditegaskan di dalam Undang-Undang
Desa untuk memperkuat posisi Desa. Pelaksanaan kewenangan berdasar hak asal usul
dan kewenangan lokal berskala Desa dengan dukungan pembiayaan dari Dana Desa
dapat menjadi pendorong kuat bagi Desa untuk maju dan mandiri.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa desa yang maju,
kuat, demokratis dan mandiri merupakan cerminan dari kesejahteraan masyarakat
desa. Undang-undang desa memberikan jalan bagi desa untuk menjadi subyek
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, sehingga undang-undang ini
mendorong desa menjadi pelopor kesejahteraan bagi masyarakat desa itu sendiri.
Artinya Undang-Undang Desa memberikan pengaruh bagi kesejahteraan masyarakat
desa melalui berbagi kebijakan-kebijakan yang tertera didalamnya.
F. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran menjelaskan tentang alur berpikir dan hubungan yang
menunjukkan keterkaitan BUMDes dengan kesejahteraan masyarakat. Indikator-
indikator dalam penelitian ini antara lain: pendapatan, konsumsi atau pengeluaran
keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota
keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan
anak kejenjang pendidikan, dan kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.
1) Indikator pendapatan digolongkan menjadi 3 item yaitu:
a. Tinggi (> Rp. 10.000.000)
49
b. Sedang (Rp. 5.000.000)
c. Rendah (< Rp. 5.000.000)
2) Indikator pengeluaran digolongkan menjadi 3 item yaitu:
a. Tinggi (> Rp. 5.000.000)
b. Sedang (Rp. 1.000.000 – Rp. 5.000.000)
c. Rendah (< Rp. 1.000.000)
3) Indikator tempat tinggal yang dinilai ada 5 item yaitu jenis atap rumah,
dinding, status kepemilikan rumah, lantai dan luas lantai.
4) Indikator fasilitas tempat tinggal yang dinilai terdiri dari 12 item, yaitu
pekarangan, alat elektronik, pendingin, penerangan, kendaraan yang dimiliki,
bahan bakar untuk memasak, sumber air bersih, fasilitas air minum, cara
memperoleh air minum, sumber air minum, fasilitas MCK, dan jarak MCK
dari rumah.
6) Indikator kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan terdiri dari 5 item
yaitu jarak rumah sakit terdekat, jarak toko obat, penanganan obat-obatan,
harga obat-obatan, dan alat kontrasepsi.
7) Indikator kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan terdiri dari 3
item yaitu biaya sekolah, jarak ke sekolah, dan proses penerimaan.
8) Indikator kemudahan mendapatkan transportasi terdiri 3 item, yaitu ongkos
kendaraan, fasilitas kendaraan, dan status kepemilikan kendaraanBerdasarkan
uraian diatas maka akan digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
50
Gambar 2.1
Kerangka Hipotesis
G. Hipotesis
Sehubungan dengan pengertian yang telah diuraikan dan pengamatan
sementara yang dilakukan. Maka dalam hal ini penulis menentukan hipotesis sebagai
berikut:
H0: Tidak terdapat pengaruh efektivitas BUMDes terhadap kesejahteraan
petani di desa Beno Harapan.
H1: Terdapat pengaruh efektivitas BUMDes terhadap kesejahteraan petani di
desa Beno Harapan.
H. Definisi Konsepsional dan Definisi Operasional
1. Definisi Konsepsional
Dari penjelasan diatas dan sesuai dengan judul penelitian, maka ada dua
konsep pokok yang dirumuskan yaitu:
Perkembangan BUMDes Kesejahteraan Petani
+
51
1. BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan
usaha lainnya untuk sebesarbesarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
2. Kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual,
dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
2. Definisi Operasional
Berdasarkan pendapat diatas yang berhubungan dengan BUMDes dan
kesejahteraan masyarakat maka perumusan indikator-indikator yang dipergunakan
untuk mengukur variabel yang diteliti adalah sebagai berikut:
1. Kesejahteraan:
1) Indikator pendapatan digolongkan menjadi 3 item yaitu:
a. Tinggi (> Rp. 10.000.000)
b. Sedang (Rp. 5.000.000)
c. Rendah (< Rp. 5.000.000)
2) Indikator pengeluaran digolongkan menjadi 3 item yaitu:
a. Tinggi (> Rp. 5.000.000)
b. Sedang (Rp. 1.000.000 – Rp. 5.000.000)
c. Rendah (< Rp. 1.000.000)
3) Indikator tempat tinggal yang dinilai ada 5 item yaitu jenis atap rumah,
dinding, status kepemilikan rumah, lantai dan luas lantai.
52
4) Indikator fasilitas tempat tinggal yang dinilai terdiri dari 12 item, yaitu
pekarangan, alat elektronik, pendingin, penerangan, kendaraan yang dimiliki,
bahan bakar untuk memasak, sumber air bersih, fasilitas air minum, cara
memperoleh air minum, sumber air minum, fasilitas MCK, dan jarak MCK
dari rumah.
6) Indikator kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan terdiri dari 5 item
yaitu jarak rumah sakit terdekat, jarak toko obat, penanganan obat-obatan,
harga obat-obatan, dan alat kontrasepsi.
7) Indikator kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan terdiri dari 3
item yaitu biaya sekolah, jarak ke sekolah, dan proses penerimaan.
8) Indikator kemudahan mendapatkan transportasi terdiri 3 item, yaitu ongkos
kendaraan, fasilitas kendaraan, dan status kepemilikan kendaraan.
2. Efektivitas BUMDes
Ukuran untuk efektivitas organisasi dikemukakan Richard M. Steers (1995),
dalam Mastur (2014) sebagai berikut:
1) Efektivitas keseluruhan, yaitu sejauhmana organisasi melaksanakan seluruh
tugas pokoknya atau mencapai semua sasarannya.
2) Produktivitas, yaitu kuantitas atau volume dari produk atau jasa pokok yang
dihasilkan organisasi. Dapat diukur menurut tiga tingkatan: tingkat
individual, kelompok dan keseluruhan organisasi.
3) Efisiensi, yaitu sesuatu yang mencerminkan perbandingan antara beberapa
aspek unit terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut.
4) Laba, yaitu penghasilan atas penanaman modal yang dipakai untuk
menjalankan organisasi. Jumlah dari sumberdaya yang masih tersisa setelah
53
semua biaya dan kewajiban dipenuhi, kadang-kadang dinyatakan dalam
persentase.
5) Pertumbuhan, yaitu penambahan dalam hal-hal seperti tenaga kerja, fasilitas
yang ada dalam organisasi, harga, penjualan, laba, modal, bagian pasar, dan
penemuan-penemuan baru. Suatu perbandingan antara keadaan organisasi
sekarang dengan keadaan masa sebelumnya.
6) Stabilitas, yaitu pemeliharaan struktur, fungsi, dan sumberdaya sepanjang
waktu, khususnya dalam periode-periode sulit.
7) Semangat kerja, yaitu kecenderungan anggota organisasi berusaha lebih keras
mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang meliputi perasaan terikat,
kebersamaan tujuan, dan perasaan memiliki.
8) Kepuasan, yaitu kompensasi atau timbal balik positif yang dirasakan
seseorang atas peranan atau pekerjaannya dalam organisasi.
9) Penerimaan tujuan organisasi, yaitu diterimanya tujuan-tujuan organisasi oleh
setiap pribadi dan oleh unit-unit dalam organisasi. Kepercayaan mereka
bahwa tujuan organisasi tersebut adalah benar dan layak.
10) Keterpaduan, konflik-konflik, kekompakan, yaitu dimensi berkutub
dua. Yang dimaksud kutub keterpaduan adalah fakta bahwa para anggota
organisasi saling menyukai satu sama lain, bekerja sama dengan baik,
berkomunikasi sepenuhnya dan secara terbuka, dan mengkoordinasikan usaha
54
kerja mereka. Pada kutub yang lain terdapat organisasi penuh pertengkaran
baik dalam bentuk kata-kata maupun secara fisik, koordinasi yang buruk, dan
berkomunikasi yang tidak efektif.
11) Keluwesan adaptasi, yaitu kemampuan organisasi untuk mengubah standar
operasi prosedur (SOP) guna menyesuaikan diri terhadap perubahan.
12) Penilaian oleh pihak luar, yaitu penilaian mengenai organisasi atau unit
organisasi oleh mereka (individu atau organisasi) dalam lingkungannya, yaitu
pihak-pihak dengan siapa organisasi ini berhubungan.
I. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah jenis penelitian verivikatif atau
uji hipotesis yaitu penelitian yang menjelaskan dan mencari hubungan sebab akibat
antara dua variabel atau lebih. Sehingga, penelitian ini bersifat menerangkan
hubungan sebab akibat antara variabel BUMDes dan variable kesejahteraan
masyarakat di desa Beno Harapan
2. Populasi dan Sampel
2.1 Populasi
Sugiono (2009:90) memberikan pengertian bahwa populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri dari objek atau subyek yang mempunyai kualitas dan
55
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah
petani di desa Beno Harapan.
2.2 Sampel
Dalam menentukan besarnya sampel tidak ada ketentuan yang mutlak berapa
persen sampel yang harus diambil. Sugiono (2012:81) mengatakan sample adalah
bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila
populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua populasi, misalnya
karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu maka peneliti dapat menggunakan
sampel yang ada dari populasi tersebut. Apa yang dipelajari dari sampel itu,
kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi. Tingkat ketelitian atau
kepercayaan yang dikehendaki sering tergantung pada sumber dana, waktu dan
tenaga yang tersedia. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan rumus Solvin untuk
menentukan jumlah sampel penelitian. Rumus ini dipilih karena peneliti tidak
menegtahui secara pasti prilaku dari populasi penelitian.
Rumus Slovin adalah sebuah rumus atau formula untuk menghitung jumlah
sampel minimal apabila perilaku dari sebuah populasi tidak diketahui secara pasti.
Rumus ini pertama kali diperkenalkan oleh Slovin pada tahun 1960. Rumus slovin ini
biasa digunakan dalam penelitian survey dimana biasanya jumlah sampel besar
sekali, sehingga diperlukan sebuah formula untuk mendapatkan sampel yang sedikit
tetapi dapat mewakili keseluruhan populasi.
56
Dengan rumus:
Keterangan:
N = Populasi
n = sample
e = margin error
Penelitian ini diteliti dengan tingkat kepercayaan 90%, maka tingkat
kesalahan adalah 10%. Sehingga peneliti dapat menentukan batas minimal sampel
yang dapat memenuhi syarat margin of error 10% dengan memasukkan margin error
tersebut ke dalam formula atau rumus slovin.
Berdasarkan notasi rumus besar sampel penelitian minimal oleh Slovin diatas,
maka dengan total populasi 178 orang, maka bisa tentukan minimal sampel yang
akan diteliti dengan perhitungan sebagai berikut:
n = N / (1 + (N x e²))
Sehingga:
n = 178 / (1 + (178 x 0,1²))
n = 178 / (1 + (178 x 0,001))
n = 178 / (1 + 1,78)
n = 178 / 2,78
57
n = 64,02
Apabila dibulatkan maka besar sampel minimal dari 178 populasi pada margin
of error 10% adalah sebesar 64,2 yang kemudian digenapkan menjad 65 orang.
Namun dalam peneitian ini peneliti mengambil sampel 100 orang sehingga tidak
terlalu dekat dengan batas minimal sampel.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk menghimpun data dilapangan, maka penulis menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
1. Penelitian kepustakaan (library research), artinya dilakukan dengan cara
mengumpulkan toeri dan konsep dari perpustakaan berupa buku-buku ilmiah dan
litaratur yang bisa digunakan sebagai bahan pendukung dalam penelitian ini.
2. Penelitian lapangan (Field word research) meliputi:
a. Observasi, yaitu mengadakan penelitian secara langsung terhadap obyek yang
akan diteliti untuk mendapatkan data yang diperlukan dan dibutuhkan.
b. Angket, yaitu teknik pengumpulna data dengan membuat daftar pertanyaan-
pertanyaan tertulis kepada setiap responden sebagai sampel dan kemudian
diminta untuk memilih salah satu jawaban yang telah disediakan untuk
mempermudah mendapatkan keterangan menganai masalah yang dibahas.
.
4. Teknik Analisis Data
58
Untuk menganalisis data yang diperoleh dalam rangka pengujian hipotesis
penulis menggunakan statistik parametris. Adapun teknik yang dipakai untuk menguji
hipotesis adalah dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment, persamaan
regresi kemudian untuk membuktikan kebenaran hipotesis.
Mengenai kriteria atau skor menurut Sugiono (2009 :110) masing-masing
penelitian ada yang menggunakan jenjang 3 (1,2,3), jenjang 5 (1,2,3,4,5) dan jenjang
7 (1,2,3,4,5,6,7).
Setelah dilakukan pemberian skor terhadap jawaban kemudian data tersebut
dimasukkan ke dalam tabel berikut:
Tabel 1.1: Hasil Pengumpulan Data
Responden X Y XY X2 Y2
1
2
∑ ∑x ∑y ∑xy ∑ X2 ∑ Y2
Selanjutnya untuk menghitung hubungan antara variabel bebas dan variabel
terikat digunakan analisis koefisien korelasi dengan rumus korelasi product moment
sebagai berikut:
2222 )()(
)()(.
iiii
iiiixy
YYNXXN
YXYXNr
(Sugiyono, 2012:183)
Di Mana:
= Koefisien korelasi antara X dan Y
59
X = Variabel Bebas
Y = Variabel Terikat
Dimana nilai “r” atau koefisien korelasi yang dihasilkan oleh rumus,
mempunyai arti sebagai berikut:
Tabel 1.2: Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat Rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat Kuat
(Sugiyono, 2003: 216)
Kemudian untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini digunakan analisis
regresi Linear sederhana. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam analisis ini
antara lain:
Y = a + b X (Sugiyono, 2012:188)
Selanjutnya untuk mengetahui nilai konstanta dan nilai koefisien regresi
menggunakan:
n
XbYa
22
XXn
YXXYnb
Keterangan:
X = Variabel bebas
a = Konstanta
b = Koefisien regresi
60
Selanjutnya untuk melihat pengaruh tersebut dengan mengetahui nilai
koefisien regresi (b). Nilai tersebut digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan
untuk menerima atau menolak hipotesis yang diajukan. Adapun kesimpulan yang
dapat diambil adalah sebagai berikut:
H0: Tidak terdapat pengaruh efektivitas BUMDes terhadap kesejahteraan
petani di desa Beno Harapan.
H1: Terdapat pengaruh BUMDes terhadap kesejahteraan petani di desa Beno
Harapan.
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA BENO HARAPAN
A. Keadaan Geografis
Kabupaten Kutai Timur adalah salah satu kabupaten di provinsi Kalimantan
Timur. Ibu kota dari kabupaten ini terletak di Sangatta. Kabupaten Kutai Timur
memiliki luas wilayah 35.747,50 km² atau 17% dari luas provinsi Kalimantan Timur
dan berpenduduk sebanyak 255.367 jiwa (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010)
dengan kepadatan 4,74 jiwa/km². Kutai Timur memiliki 18 kecamatan, salah satunya
adalah Batu Ampar. Kecamatan Batu Ampar terdiri dari 6 desa diantaranya Batu
Timbau, Batu Timbau Ulu, Himba Lestari, Mawai Indah, Mugi Rahayu, Telaga dan
Beno Harapan.
B. Sejarah Desa
Sejarah desa Beno Harapan awalnya merupakan wilayah hutan belantara yang
merupakan HPH PT. KIANI Hutani Lestari yang bekerjasama dengan proyek hutan
tanaman industri (HTI). Pada tahun 1990 PT. Kiani Lestari bersama dengan
departemen transmigrasi membangun pemukiman transmigrasi sebanyak 300 unit
rumah serta sarana umum dengan luas 375 Ha yang terdiri dari pekarangan lahan
usaha dan lahan karet.
Pada tahun 1991 warga transmigrasi mulai didatangkan dengan jumah total
300 KK yang berasal dari jawa tengah, jawa timur dan warga asli kutai timur. Warga
62
tersebut memperoleh pembinaan yang dikepalai seorang KUPT (Kepala Unit
Pemukiman Transmigrasi) dari departemen Transmigrasi. Transmigrasi ini bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan karyawan PT. Kiani Hutani Lestari. Selain mendapatkan
bimbingan dan status sebagai karyawan, warga juga mendapatkan lahan pertanian
seluas 0.25 Ha/KK.
Selama tahun 1991-1993 pemukiman ini disebut UPT. SP. Selanjutnya
dibentuklah pejabat sementara kepala desa persiapan UPT. SP. 1 yang ditunjuk oleh
KUPT dan disetujui oleh Tokoh masarakat dan warga UPT. SP. 1.
Tahun 1994 KUPT dan pejabat sementara desa, tokoh masyarakat dan
perwakilan warga SP. 1 mengadakan pertemuan yang bertujuan membentuk nama
untuk wilayah tersebut. Seorang warga bernama Ancalong mengusulkan nama desa
Beno Harapan. Hal tersebut dikarenakan sungai Beno Harapan terletak ditengah
hutan yang diharapkan akan memberikan kesejukan serta harapan yang dapat menjadi
kenyataan untuk menuju kehidupan yang sejahtera aman dan damai.
Pada tahun 2000 kegiatan operasional PT. Kiani Hutani Lestari dinyatakan
ditutup. Pada saat itu sebagian besar warga desa Beno Harapan adalah karyawan
sehingga banyak yang kehilangan mata pencaharian dan memutuskan untuk pindah
atau pulang ke kampung halaman. Kepala desa Beno Harapan berusaha untuk
mencari solusi agar warga tetap bertahan di desa. Atas himbawan bapak bupati kutai
timur pada saat itu kepala desa diamanahkan untuk membagi lahan seluas 5 Ha untuk
setiap KK. Pembagian lahan tersebut adalah lahan yang berada disepanjang jalan
63
poros yang menghubungkan kecamatan muara bengkal dengan kabupaten Kutai
Timur.
Pemberian lahan tersebut serta pembangunan jalan poros menyokong dan
membangun perekonomian masyarakat desa. Hal ini ditandai dari pertambahan
jumlah KK sebesar 187 KK. Berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Kutai Timur
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pembentukan Kecamatan Sangatta Selatan,
Kecamatan Teluk Pandan, Kecamatan Rantau Pulung, Kecamatan Kaubun,
Kecamatan Karangan, Kecamatan Batu Ampar dan Kecamatan Long Mesangat dalam
wilayah Kabupaten Kutai Timur. PERDA ini berisikan tentang pembetukan batas
wilayah yang salah satunya Kecamatan Batu Ampar, yang salah satu wilayahnya
adalah desa Beno Harapan.
Berikut ini adalah daftar nama kepala desa Beno Harapan dari tahun 1991-
2019:
Tabel 2.1
Daftar Kepala Desa Beno Harapan Periode 1991-2023
No Periode Nama Keterangan
1 1991-1993 Supomo PJS Kepala Desa
2 1994-1995 Samuji PJS Kepala Desa
3 1996-1999 Mulyadi Kepala Desa Terpilih
4 2000-2001 Purwono. S PJ Kepala Desa
5 2001-2009 Suryadi Kepala Desa Terpilih
6 2009-2015 Marno Kepala Desa Terpilih
7 2015-2017 Agus Salim PJ Kepala Desa
8 2017-2023 Ahmad Kurtubi Kepala Desa Terpili
64
Tabel 2.2
Data Penduduk Berdasarkan RT
No RT Laki-laki Perempuan Penduduk Berdasarkan RT1 01 80 75 155
2 02 72 76 138
3 03 99 66 175
4 04 91 81 172
5 05 68 51 119
6 06 109 82 191
Tabel 2.3
Data Penduduk Berasarkan Usia dan Jenis Kelamin
No Klasifikasi UsiaPenduduk Berdasarkan RTL P L + P
1 0 – 5 33 33 662 6 – 10 60 36 963 11 – 16 56 61 1174 17 – 25 94 73 1675 26 – 58 244 207 4516 59 + 35 23 58
Jumlah 522 433 955
2. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas SDM
yang pada akhirnya berpengaruh pada peningkatan perekonomian dalam jangka
panjang. tingginya tingkat pendidikan searah dengan tingkat kecakapan dan
65
keterampilan masyarakat. Mayoritas penduduk desa Beno Harapan hanya mampu
menyelesaikan pendidikan ditingkat 9 Tahun atau SD dan SMP.
Hal ini terjadi diakibatkan di Desa Beno Harapan hanya terdapat Sekolah
dasar dan Sekolah Menegah Pertama sedangkan untuk Sekolah Menegah atas Atau
Kejuruan terdapat di desa lain. Hal ini menjadi kendala bagi masyarakat desa Beno
Harapan dalam mengakses pendidikan karena jarak tempuh yang tergolong jauh,
tetapi seiring berjalannya waktu jarak tempuh dan kondisi jalan tidak lagi menjadi
hambatan bagi anak-anak yang ingin memperoleh pendidikan. Berikut ini tabel
menurut tingkat pendidikan penduduk Desa Beno Harapan
Tabel 2.4
Data Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
NoJenis
PendidikanLaki-laki Perempuan
PendudukBerdasarkanPendidikan
Presentase
1 Tidak Sekolah 132 106 238 24.922 TK 0 0 03 SD 170 161 331 34.664 SMP 81 69 150 15.715 SMA 126 77 203 21.266 S1 13 20 33 3.467 S2 0 0 08 S4 0 0 0
Jumlah 522 433 955 100
3. Jenis Pekerjaan
Penduduk desa Beno Harapan memiliki beragam pekerjaan yang pada
akhirnya menjadi cikal bakal terbentuknya pengelompokan pekerjaan.
Pengelompokan tesebut dapat dilihat pada table dibawah ini
66
Tabel 2.5
Data Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Laki-laki PerempuanPenduduk Berdasarkan
Pekerjaan Presentase
1 Belum/Tidak Bekerja 237 164 401 42%
2Mengurus Rumah
Tangga0 214 214 22%
3 Petani/Pekebun 169 9 178 19%4 Pedagang 2 0 2 0%5 Pelajar/Mahasiswa 34 24 58 6%6 Karyawan Honorer 6 11 17 2%7 Karyawan Swasta 46 1 47 5%8 Wiraswasta 12 1 13 1%9 Perangkat Desa 7 0 7 1%
10 PNS 9 9 18 2%Jumlah 522 433 955 100%
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar masyarakat di
Desa Beno Harapan memiliki pekerjaan yang berbeda-beda. Total masyaraka yang
bekerja sebanyak 58% dengan presentase 18,64% sebagai petani/pekebun. Presentase
tersebut menjadikan bidang pertanian dan perkebunan sebagai bidang vital yang
menjadi penopang sebagian besar perekonomian penduduk desa. Sehingga
menjadikannya sebagai bidang yang mendapat perhatian khusus.
C. BUMDes Karya Mandiri
Bumdes desa Beno Harapan didirikan pada tahun 2017. Seperti fakta yang
telah diperoleh bahwa sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai pertani
67
atau pekebun yakni sebanyak 18,64% (jumlah profesi dengan prsentase terbesar).
Jarak antara desa ke kecamatan, kabupaten dan provinsi masing-masing memiliki
jarak ± 12 km, ± 181 km dan 240 km dengan medan jalan yang relatif buruk terutama
dimusim hujan.
Hal ini menyebabkan akses ke kebutuhan-kebutuhan tertentu menjadi lebih
sulit, sebagai contoh kebutuhan akan bahan bakar dan secara khusus kebutuhan
pertanian dan perkebunan. Beberapa kebutuhan pertanian dan perkebunan dapat
diperoleh dari kabupaten, tetapi sebagian besar harus diperoleh dari provinsi. Inilah
yang menjadi salah satu alasan dibentuknya BUMDes Karya Mandiri.
Alasan kedua adalah akses jalan yang sulit, serta waktu tempuh yang lama,
menyebabkan barang hasil perkebunan dan pertanian menjadi lebih sulit dipasarkan.
Pada saat inilah, tengkulak mengambil peran sebagai penyambung rantai transaksi
dengan mematok tarif yang jauh lebih murah kepada para petani dan menjual kembali
dengan harga yang lebih tinggi ke pasar. Dengan alasan inilah keberadaan BUMDes
yang semakin dibutuhkan.
Dari segi kelembagaan, keberadaan BUMDes akan membantu warga apabila
BUMDes dibentuk sesuai dengan karakteristik desa.C
1. Mengangkat nama-nama pengurus BUMDES Karya Mandiri Desa Beno Harapan
Kecamatan Batu Ampar Tahun anggaran 2017-2022;
2. Pengurus BUMDES sebagaimana tersebut dalam DIKTUM Kesatuan, mempunyai
tugas dan tanggungjawab sebagai berikut:
a. Menjalankan BUMDES;
68
b. Mewakili BUMDES didalam dan diluar pengadilan;
c. Memberikan laporan tahunan kepada komisaris atau penasehat tentang
keadaan serta perkebangan BUMDES dan usaha-usahanya serta keuangan
yang meliputi hasil usaha dan laporan perubahan kekayaan BUMDES; dan
d. Harus melaksanakan segala ketentuan dalam AD-ART
3. Dalam melaksanakan tugasnya pengurus BUMDES diberikan honorarium sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam AD-ART BUMDES
4. Semua biaya yang timbul akibat dari penerbitan keputusan ini dibebankan kepada
dokumen pelaksana anggaran alokasi dana desa (DPA-DD) Desa Beno Harapan
tahun anggaran 2017.
5. Keputusan ini berlaku sejak tanggal 18 Maret 2017, dan apabila dikemudian hari
terdapat kekeliruan dalam penetapannya akan diadakan perbaikan sebagai mana
mestinya.
Setelah dikeluarkannya keputusan kepala desa tersebut ditetapkanlah
musyawarah desa yang dilaksanakan pada hari senin tanggal 15 Mei 2017 yang
bertempat di Balai Desa Beno Harapan yang berlangsung pada pukul 09.00 WITA
sampai 12.00 WITA. Dalam musyawarah ini terdapat 4 topik pembahasan atau
permusyawaratan yaitu:
1. Mengenai pembentukan badan pengurus usaha milik desa (BUMDES) Desa Beno
Harapan kecamatan Batu Ampar kabupaten Kutai Timur
69
2. Membahas mengenai pemberdayaan masyarakat dalam keaktifan sebagai pelaku
pembangunan kerja nyata dan mewujudkan program pemerintah dalam
pembangunan desa maju
3. Pembahasan mengenai desa mandiri terpadu
4. Nama BUMDES dan wilayah kerja BUMDES
Dalam musyawah desa tersebut, rapat dipimpin oleh Ahmad Kurtubi selaku
kepala desa dengan notulen saudara Pairan yang menjabat sebagai KASI
Pemerintahan serta narasumber Redin Latie yang merupakan Ketua BPD. Setelah
pembahasan materi dan topik telah disepakati bersama bahwa:
a. Nama BUMDES: BUMDES Karya Mandiri
b. Wilayah BUMDES: Terletak pada wilayah pemerintahan desa beno harapan
c. Badan pengawas: BPD Desa Komisaris, Kepala Desa: Ahmad Kurtubi
o Redin Latie
o Budi Sungkowo
o Malwiyarni
o Rikki
o Tuti
o Agus Setia Budi
o Pirman Ginting
d. Direktur Utama:
o Ketua: Tusirin
70
o Sekertaris: Dina Aprilliana
o Bendahara: H. Suriani
e. Kepala Usaha: H. Sapran
BUMDes di Desa Beno Harapan pada akirnya resmi dinamakan BUMDes
Karya Mandiri. BUMDes ini merupakan badan usaha yang menyediakan berbagai
produk kebutuhan pertanian dan perkebunan, secara khusus pupuk. Pupuk yang dijual
merupakan pupuk yang secara umum dibutuhkan oleh masyarakat sekitar. Selain itu
BUMDes ini juga membantu masyarakat dalam menjual hasil panen, sehingga peran
tengkulak yang merugikan pekebun dan petani dapat diminimalisir. Resminya
pembentukan BUMDes ini menjadi awal baru bagi Desa Beno Harapan dalam
memperkuat kemandirian desa.
DAFTAR PUSTAKA
Ambadar. (2008). CSR dalam Praktik di Indonesia Wujud Kepedulian Dunia Usaha.PT Elek Media Komputerindo. Jakarta.
Aslamiah, Rufaidah. ”Peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) UntukMensejahterakan Masyarakat Desa Panggungharjo Melalui Kelompok UsahaPengelola Sampah (KUPAS) Panggung Lestari, Sewon, Bantul, Yogyakarta”,Yogyakarta.
BAPPENAS and UNDP Indonesia (2004). Indonesia Human Development Report.The Economics Democracy: Financing Human Development in Indonesia.Published Jointly by BPS- Statistic Indonesia.
Barney, J. B. (1991). Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journalof Management, Vol. 17:
Bintarto, (1989). Interaksi Desa Kota dan Permasalahannya. Penerbit GhaliaIndonesia: Jakarta.
De Massis, A., Chua, J. H., & Chrisman, J. J. (2008). Factors Preventing Intra‐FamilySuccession.FamilyBusiness Review, 21(2), 183-199.
Era Tama dan Yanuardi. ”Dampak Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) padaKesejahtraan masyarakat di Desa Karangrejek Kecamatan WonosariKabupaten Gunungkidul”. Yogyakarta
Hukom, A. (2016) Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah, Kinerja PembangunanEkonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi terhadap KesejahteraanMasyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah, Tesis. Universitas Udayana
Mubyarto (1995) . Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta :.LP3ES.
Nasikun, (1993). Sistem Sosial Indonesia. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Panduan BUMDes . Departemen Pendidikan Nasional Pusat Kajian Dinamika SistemPembangunan (PKDSP) Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang
Salikin, K.A (2003). Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta.
Subejo, Supriyanto. (2004) Metodologi Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat,Bahan Kuliah: Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan, Universitas Gajah MadaYogyakarta.
Sugiharto, Eko (2007) “Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Desa Benua BaruIlir Berdasarkan Indikator Badan Pusat Statistik”. Jurnal Sosial EkonomiPerikanan EPP.Vol. 4. No.2.2007:32-36
Sugiharto, et al. (2007). “Studi Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan diKampung Gurimbang Kecamatan Sambaliung Kabupaten Berau”. Jurnal IlmuPerikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 – ISSN 1402-2006.
Sugiyono (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung:Alfabeta.
Todaro, M. P. dan S. C. Smith, (2003). Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid1. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Peraturan dan Undang-Undang :
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang No 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahtraan Sosial
Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 Tentang Desa
Permendes No 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, danPembubaran Badan Usaha Milik Desa
Permendagri No 39 Tahun 2010 Tentang Badan Usaha Milik Desa
Peraturan Menteri Pertanian No. 38/38/Permentan/OT.140/8/2008 tentang PedomanPengolahan dan Pemasaran Bahan Olahan Karet,
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangandan Mentei Desa)
buku Desa Mandiri, Desa Membangun (2015)
Website:
http://www.presidenri.go.id/desa/memajukan-ekonomi-desa-melalui-bumdes.html
http://www.kemenegpdt.go.id/
https://www.kemendesa.go.id/view/detil/66/pembangunan-pedesaan?page=home
http://www.presidenri.go.id/desa/memajukan-ekonomi-desa-melalui-bumdes.html
diakses pada tanggal 12 April 2017
https://biz.kompas.com/read/2015/10/24/080128728/Tiga.Program.Menteri.Marwan.Atasi.Kemiskinan.Desa, diakses pada 12 Juni 2018.
https://news.detik.com,
https://pontianak.tribunnews.com/2019/01/30/apa-itu-desa-mandiri-dan-bagaimana-
penilaiannya-ini-penjelasan-dpmd-kalbar.
https://perkebunan.org/articles/pengertian-pertanian-dan-perkebunan, diakses pada 15
Juni 2018.
xi
Intisari
Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 dan terbitnya PP Nomor 47 Tahun 2015menghendaki adanya desa yang mandiri dan otonom dalam pengelolaan sumber daya yangdimilikinya dimana BUMDes diharapkan berperan dalam peningkatan perekonomian pedesaan(Prabowo, 2014). Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah usaha desa yang dibentuk ataudidirikan oleh pemerintah desa yang kepemilikan modal dan pengelolaannya dilakukan olehpemerintah desa dan masyarakat (Wihoho,2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuipengaruh perkembangan BUMDes terhadap kesejahtraan petani di desa Beno Harapan.
Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif, dengan total sampel penelitianadalah 100 orang. Penelitian ini memakai populasi sebesar 187 orang yang merupakan petani diDesa Beno Harapan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi sederhanauntuk melihat pengaruh efektivitas BUMDes terhadap kesejahtraan petani.
Hasil uji hipotesis adalah usaha BUMDes berpengaruh positif terhadap kesejahtraan,dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.291. BUMDes membantu dengan menyediakan pupuk,bibit dan hal-hal lain yang berkaitan dengan bidang pertanian/perkebunan. Yang mengurangibiaya sehingga memperbesar keuntungan. Keuntungan tersebut pada akhrinya menjadi sumberuntuk memenuhi biaya-biaya dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Kemampuan menuhikebutuhan tersebut mengangkat drajat hidup dan kesejahtraan masyarakat, sehingga masyarakatdapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik.Kata Kunci: BUMDes, Kesejahteraan
xii
Abstract
The issuance of Law Number 6 Year 2014 and the issuance of Government RegulationNumber 47 Year 2015 requires the existence of an independent and autonomous village inmanaging its resources where BUMDes are expected to play a role in improving the ruraleconomy (Prabowo, 2014). Village-Owned Enterprises (BUMDes) are village businesses formedor established by village governments whose capital ownership and management are carried outby village governments and the community (Wihoho, 2013). This study aims to determine theeffect of the development of BUMDes on the welfare of farmers in the village of Beno Harapan.
The research method used is quantitative, with a total study sample of 100 people. Thisstudy used a population of 187 people who were farmers in Beno Harapan Village. The analysisused in this study is a simple regression to see the effect of effectiveness of BUMDes on farmers'welfare.
The results of the hypothesis test are BUMDes efforts have a positive effect on prosperity,with a regression coefficient value of 0.291. BUMDes helps by providing fertilizer, seeds andother matters related to agriculture / plantations. Which reduces costs thereby increasing profits.These benefits ultimately become a source to meet the costs of meeting basic needs. The ability tomeet these needs raises the level of life and prosperity of the community, so that people can havea better quality of life.Keywords: BUMDes, Welfare
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Pengaruh Efektivitas
BUMDes terhadap Kesejahteraan Petani di Desa Beno Harapan Kutai Timur
Penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Magister pada
program Ilmu Perintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa tesis dapat terselesaikan dengan baik berkat adanya
dukungan, bimbingan, bantuan, serta doa dari berbagai pihak selama penyusunan tesis ini. Maka
dengan setulus hati penulis ingin megucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan YME yang selalu menyertai dan memberkati penulis dalam penyusunan tesis
ini.
2. Bapak Dr. Supardal, M.Si, selaku Direktur Program Magister (S-2) Sekolah Tinggi
Pembangunan Desa APMD Yogyakarta/Dosen Penguji II yang dengan sabar
membimbing penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
3. Ibu RR Leslie Retno Angeningsih Ph.D dan Bapak Gregorius Sahdan, S.IP., selaku
dosen pembimbing, yang dengan sabar membimbing penulis untuk dapat
menyelesaikan tesis ini dengan baik.
4. Seluruh dosen serta segenap karyawan dan staf Sekolah Tinggi Pembangunan Desa
APMD Yogyakarta atas ilmu dan bantuan yang telah diberikan selama ini.
5. Keluarga penulis yang tercinta, Bapak L. Nainggolan dan Ibu T. Hutahaean, serta
saudara-saudari yang telah mendukung penulis sampai menyelesaikan tesis ini.
v
6. Bapak Kepala Desa Beno Harapan dan Perangkat Desa Beno Harapan, Kecamatan
Batu Ampar, Kabupaten Kutai Timur yang telah memberikan izin bagi penulis dalam
mengumpulkan data dan informasi yang terkait dalam penulisan tesis ini.
7. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat
Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan selama masa perkuliahan dan penyelesaian penelitian ini.
Penulis juga menyampaikan permohonan maaf apabila dalam penulisan tesis ini masih
jauh dari sempurna karena adanya keterbatasan ilmu dan pengalaman penulis. Penulis
mengharapkan kritik dan saran membangun untuk bisa menjadi lebih baik dalam penulisan
lainnya. Semoga tesis ini berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan, terutama dibidang Ilmu
Pemerintahan.
Yogyakarta, 16 Oktober 2019
Penulis,
vi
MOTTO
“Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus”
-John W. Gardner
Tanpa niat dan usaha, semua akan berakhir sia-sia.
-Vincent