Pengantar T - :: SAKIP Kementerian Pertaniansakip.pertanian.go.id/admin/tahunan/laporan tahunan...
Transcript of Pengantar T - :: SAKIP Kementerian Pertaniansakip.pertanian.go.id/admin/tahunan/laporan tahunan...
Inovasi Teknologi 2012 1
Pengantar
Pengantar
Tantangan pembangunan pertanian ke depan semakin berat
mengingat makin beragamnya masalah dan kendala yang dihadapi
petani dalam berproduksi dan melepaskan diri dari jeratan kemiskinan.
Perubahan iklim global, isu lingkungan, perdagangan bebas, degradasi
lahan, konversi lahan produktif untuk keperluan nonpertanian,
fragmentasi lahan, perkembangan hama dan penyakit tanaman,
lemahnya modal petani, dan menurunnya minat generasi muda
berusaha di bidang pertanian adalah masalah aktual yang perlu segera
dipecahkan. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi menuntut penyediaan
produk pertanian dalam jumlah yang cukup secara berkelanjutan.
Pengalaman selama ini menunjukkan sebagian besar masalah yang dihadapi petani di
lapangan dapat diatasi dengan penerapan teknologi. Mengacu kepada target empat sukses
Kementerian Pertanian 2010-2014, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian terus bekerja
keras untuk menghasilkan inovasi teknologi yang mampu mengatasi masalah usaha tani. Pada
tahun 2012 telah dihasilkan berbagai inovasi teknologi, antara lain pengelolaan lahan, varietas
unggul baru, teknologi budi daya dan pascapanen berbagai komoditas pertanian, mekanisasi,
inovasi kelembagaan, dan alternatif kebijakan pembangunan pertanian.
Laporan ini memuat sebagian informasi inovasi teknologi dan kelembagaan yang dihasilkan
melalui penelitian dalam tahun 2012 yang diharapkan dapat menjadi acuan dalam pembangunan
pertanian. Laporan tahunan ini juga sekaligus sebagai pertanggungjawaban Badan Litbang
Pertanian dalam pengelolaan sumber daya penelitian yang didanai dari APBN 2012.
Kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penelitian dan pengembangan
pertanian serta penyusunan Laporan Tahunan 2012 Badan Litbang Pertanian disampaikan
penghargaan dan terima kasih.
Jakarta, Februari 2013
Kepala Badan,
Dr. Haryono
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan2
Inovasi Teknologi 2012
Perubahan iklim yang ditandai oleh terjadinya iklim ekstrem dengan frekuensi yang
berlebihan telah dirasakan dampaknya di berbagai belahan dunia. Curah hujan tinggi
yang menyebabkan banjir dan tanah longsor, misalnya, telah menerjang sebagian
area pertanian dan permukiman di beberapa daerah. Di kawasan pesisir, naiknya
permukaan laut sebagai dampak dari perubahan iklim telah merendam area
pertanaman yang kemudian meninggalkan unsur garam (salinitas) di lahan pertanian
yang berpotensi meracuni tanaman. Dalam periode tertentu, kemarau panjang yang
kering dan panas menyebabkan sebagian pertanaman menderita kekeringan dan
bahkan menjadi pemicu kebakaran lahan dan hutan.
Tudingan terhadap sektor pertanian sebagai salah satu sumber emisi gas rumah
kaca (GRK) yang berdampak pada pemanasan global sebagai pemicu perubahan
iklim datang dari berbagai kalangan, terutama pakar dan pengamat lingkungan
internasional. Sementara itu, pasar bebas tidak dapat dibendung, yang
mengisyaratkan pentingnya upaya peningkatan daya saing produk pertanian untuk
dapat berkompetisi di pasar. Efisiensi sistem produksi dan produk yang bebas dari
cemaran bahan kimia berbahaya menjadi tuntutan yang harus dipenuhi agar produk
pertanian yang dihasilkan diminati oleh banyak konsumen sehingga mendatangkan
keuntungan bagi petani.
Di Indonesia, tantangan pembangunan pertanian terasa makin berat. Degradasi
lahan, konversi lahan produktif untuk keperluan nonpertanian, fragmentasi lahan,
Lahan persawahan di daerah Cianjur, Jawa Barat.
Inovasi Teknologi 2012 3
perkembangan hama dan penyakit tanaman, lemahnya modal petani, dan makin
memudarnya minat generasi muda untuk terjun ke dunia usaha tani adalah sederetan
masalah yang juga perlu dicarikan upaya pemecahannya. Di sisi lain, jumlah penduduk
yang terus bertambah memerlukan produk pertanian, terutama pangan, dalam jumlah
yang cukup secara berkelanjutan karena berdampak pada stabilitas sosial, ekonomi,
dan bahkan politik.
Badan Litbang Pertanian sebagai lembaga penelitian publik dituntut untuk terus
bekerja keras guna mengatasi permasalahan yang ada. Mengacu kepada target
empat sukses Kementerian Pertanian 2010-2014, Badan Litbang Pertanian beserta
jajarannya terus berupaya mengatasi masalah dan kendala yang dihadapi petani
dalam berproduksi melalui penelitian dan pengembangan inovasi teknologi.
Perluasan area melalui pembukaan lahan baru tampaknya menjadi suatu
keharusan bagi upaya peningkatan produksi pertanian untuk menggantikan lahan
produktif yang telah beralih fungsi menjadi area nonpertanian, terutama di Jawa.
Lahan yang masih tersedia untuk pertanian umumnya terdapat di luar Jawa dengan
status suboptimal seperti lahan rawa, lahan kering, dan lahan tadah hujan. Hasil
penelitian menunjukkan sebagian lahan rawa pasang surut dan gambut dapat
dikembangkan untuk pertanian melalui penerapan teknologi pengelolaan lahan dan
tanaman yang tepat dengan memerhatikan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan
Persemaian padi di lahan rawapasang surut Talangrejo, Banyuasin,
Sumatera Selatan.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan4
setempat. Emisi GRK, terutama metana dan karbondioksida, dari lahan sawah dapat
diminimalkan melalui rekayasa teknologi budi daya, termasuk penataan pola tanam
dan penggunaan varietas padi yang toleran.
Pengembangan sejumlah varietas unggul padi dan palawija yang dihasilkan
melalui penelitian diharapkan dapat pula mendukung upaya keberlanjutan
swasembada pangan, sebagaimana yang diamanatkan dalam target empat sukses
Kementerian Pertanian. Potensi hasil tinggi, toleran terhadap genangan, kekeringan,
salinitas, dan kemasaman tanah, umur genjah, dan tahan terhadap hama penyakit
utama adalah sifat penting yang dimiliki oleh umumnya varietas unggul padi dan
palawija yang dilepas pada tahun 2012.
Varietas unggul yang dirakit melalui pemuliaan konvensional memiliki beberapa
kelemahan, antara lain menurunnya tingkat ketahanan terhadap hama dan penyakit
setelah dikembangkan dalam periode tertentu. Beberapa varietas padi yang awalnya
tahan terhadap hama wereng batang coklat, misalnya, menjadi tidak tahan setelah
beberapa tahun kemudian. Melalui penelitian bioteknologi telah dirakit galur padi
yang diharapkan memiliki tingkat ketahanan yang tinggi terhadap hawar daun bakteri
(HDB) dan blas yang merupakan penyakit penting tanaman padi yang di beberapa
daerah mulai mengancam keselamatan produksi. Teknologi produksi yang efisien,
efektif, dan ramah lingkungan telah pula dihasilkan untuk mendukung upaya
peningkatan daya saing dan keberlanjutan sistem produksi.
Badan Litbang Pertanian juga telah menghasilkan beberapa varietas unggul
baru sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan beberapa komoditas perkebunan
untuk memperkuat usaha agribisnis yang akan memperbaiki tingkat kesejahteraan
Pertanaman kubis di kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Jawa Barat.
Inovasi Teknologi 2012 5
pelaku usaha, terutama petani. Hal ini tentu tidak terlepas dari penyediaan benih
bermutu tinggi dari varietas unggul yang telah dihasilkan. Bagi Badan Litbang
Pertanian, penyediaan benih sumber merupakan keniscayaan karena keberhasilan
usaha tani sebagian terletak dari benih yang digunakan. Melalui teknik konvensional
dan kultur antera, telah dihasilkan benih bermutu berbagai komoditas untuk
dikembangkan lebih lanjut oleh penangkar guna memenuhi permintaan benih unggul
yang terus meningkat.
Beberapa komoditas perkebunan, seperti kelapa sawit dan kakao, menjadi
primadona dan unggulan nasional karena memiliki pasar yang luas di dalam dan
luar negeri. Selain sebagai penghasil minyak goreng, kelapa sawit juga menjadi
salah satu sumber biodiesel yang merupakan bahan bakar minyak terbarukan.
Varietas unggul dan teknologi proses yang telah dihasilkan diharapkan dapat
mempercepat pengembangan usaha agribisnis dan meningkatkan kontribusi
komoditas perkebunan terhadap peningkatan kesejahteraan petani dan devisa negara.
Di tengah kompleksnya tantangan yang dihadapi dalam berproduksi, Kementerian
Pertanian tetap berkeinginan mewujudkan swasembada dan swasembada
berkelanjutan. Swasembada daging sapi yang diharapkan terealisasi dalam waktu
yang tidak terlalu lama menuntut komitmen yang tinggi dari berbagai pihak. Melalui
penelitian dari berbagai aspek, Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan inovasi
Integrasi kelapa sawit-sapidi perkebunan PT Sabut Mas Abadi
di Pangkalan Bun, KalimantanTengah.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan6
teknologi dan kelembagaan yang dapat menginisiasi percepatan pengembangan
populasi sapi untuk memenuhi permintaan daging di dalam negeri dengan harga
yang sesuai dengan daya beli masyarakat.
Swasembada pangan berkelanjutan tidak hanya dapat diraih melalui peningkatan
produksi, tetapi juga melalui diversifikasi pangan lokal yang menjadi bagian penting
dalam sistem ketahanan pangan nasional. Selain berdampak terhadap pemenuhan
konsumsi, diversifikasi pangan juga diperlukan dalam meningkatkan gizi masyarakat.
Beberapa teknologi pengolahan produk pangan yang telah dihasilkan seyogianya
dapat mendorong percepatan diversifikasi pangan dan pengembangan usaha
agribisnis produk pangan, baik di pedesaan maupun perkotaan.
Ketahanan pangan nasional ditentukan oleh ketahanan pangan keluarga.
Paradigma ini menginisiasi Badan Litbang Pertanian mengembangkan Kawasaan
Rumah Pangan Lestari (KRPL) yang menyediakan berbagai sumber pangan di tingkat
rumah tangga. Berawal dari pengembangan Rumah Pangan Lestari di Pacitan, Jawa
Timur, sejak beberapa tahun yang lalu, kini inovasi KRPL telah berkembang di
beberapa daerah di Indonesia. Selain dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga,
pengembangan KRPL juga memberikan peluang bagi anggota rumah tangga untuk
meningkatkan pendapatan dari penjualan produk yang diusahakan sendiri di halaman
sekitar rumah.
Terkait dengan upaya pemecahan masalah kekurangan tenaga kerja di pedesaan
karena memudarnya minat generasi muda untuk terjun ke dunia usaha tani,
pengembangan mekanisasi pertanian merupakan cara yang dapat ditempuh. Beberapa
Kolam terpal dengan teknologi akuakultur yang memadukan tanaman, ikan, dan sayuran verikultur di sekitar rumah betang(rumah tradisional Kalimantan Tengah), sebagai model RPL.
Inovasi Teknologi 2012 7
prototipe alat dan mesin pertanian rakitan Badan Litbang Pertanian potensial
dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi, mengatasi kelangkaan tenaga kerja,
mengurangi tingkat kelelahan kerja, mempercepat proses produksi, dan mendorong
modernisasi pertanian.
Agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pertanian secara luas, inovasi
teknologi yang dihasilkan tentu perlu disosialisasikan dan didukung oleh kebijakan
yang mengakomodasi berbagai kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dari segi penyuluhan pertanian, misalnya, diperlukan koordinasi dan komitmen yang
kuat dan serius agar program yang telah dicanangkan secara nasional dapat berjalan
dengan baik di daerah, sehingga inovasi teknologi yang dikembangkan dapat
memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan kesejahteraan petani yang
berbasis di pedesaan. Untuk mempercepat pengembangan inovasi teknologi telah
dirancang beberapa alternatif kebijakan dengan memerhatikan berbagai aspek, baik
sosial dan ekonomi maupun politis.
Pameran Gelar Teknologi XIVdi Batam, Riau , 10-14
Oktober 2012.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan8
Sumberdaya Lahan
Pembangunan pertanian dewasa ini dihadapkan kepada berbagai
kendala, antara lain keterbatasan lahan produktif karena telah berubah
fungsi menjadi lahan nonpertanian. Dengan demikian, pengembangan
pertanian ke depan lebih mengarah kepada pemanfaatan lahan sub-
optimal yang umumnya terdapat di luar Jawa. Selain itu, perubahan
iklim juga perlu diantisipasi agar tidak mengganggu ketahanan pangan.
Dalam rangka mendukung program ketahanan pangan nasional dan
antisipasi dampak perubahan iklim, Badan Litbang Pertanian melalui
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
melaksanakan berbagai kegiatan yang terkait dengan evaluasi potensi
sumberdaya lahan, inovasi teknologi arang aktif untuk lahan padi dan
sayuran, emisi gas rumah kaca, NPK lepas lambat, pupuk silika, pupuk
hayati M-Star untuk tanaman jagung dan kelapa sawit, PUTS digital,
serta pertanian berbasis efisiensi karbon dan ramah lingkungan.
Hamparan sawah di Ambarawa, Jawa Tengah.
Sumberdaya Lahan 9
Sumberdaya Lahan untuk
Pengembangan Komoditas Pangan
dan Kakao di Sulawesi
Dalam rangka mengembangkan komoditas pangan
dan kakao di Sulawesi dilakukan kegiatan untuk
mendapatkan data dan informasi spasial potensi
sumberdaya lahan melalui (1) identifikasi,
karakterisasi, dan evaluasi potensi sumber daya
lahan, (2) penyusunan peta sumberdaya lahan/tanah
skala 1:50.000, (3) evaluasi kesesuaian lahan untuk
komoditas tanaman pangan dan kakao, dan (4)
penyusunan peta arahan/rekomendasi penggunaan
lahan untuk pengembangan tanaman pangan dan
kakao skala 1:50.000 di Sulawesi. Luas wilayah
kabupaten yang diteliti/dipetakan adalah 2,58 juta ha,
yang terdiri atas 737.522 ha di Kabupaten Luwu Utara,
319.900 ha di Kabupaten Luwu dan Kota Palopo.
792.324 ha di Kabupaten Mamuju, dan 727.877 ha di
Kabupaten Poso.
Pemetaan menggunakan pendekatan landscape
mapping dengan satuan lahan sebagai dasar untuk
menyusun satuan peta tanah. Satuan lahan dianalisis
dan didelineasi dari data digital elevation model (DEM)
yang diturunkan dari data shuttle radar topographic
mission (SRTM) dan di-overlay dengan data citra
landsat, peta dasar digital, peta geologi, dan peta
rupabumi dengan teknik GIS, yang menghasilkan peta
analisis satuan lahan. Survei lapangan menggunakan
peta analisis satuan lahan bertujuan untuk meng-
identifikasi dan mengkarakterisasi sifat tanah dan fisik
lingkungannya serta mengambil contoh tanah untuk
analisis laboratorium. Pengamatan sifat-sifat tanah
di lapangan dilakukan dengan cara pemboran tanah,
pembuatan minipit dan profil tanah, yang hasil
deskripsinya dicatat dalam form isian basisdata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah
penelitian mempunyai iklim relatif basah, yang
dicirikan oleh jumlah bulan basah lebih dari 3 bulan
dan bulan kering kurang dari 4 bulan, serta jumlah
curah hujan rata-rata tahunan relatif tinggi. Curah
hujan tahunan terendah adalah 1.362 mm di Ponrang,
Sulawesi Selatan dan tertinggi 3.995 mm di Pendolo,
Sulawesi Tengah. Zona agroklimat cukup bervariasi,
mulai yang terbasah sampai yang agak kering, yaitu
zona A, B1, C1, C2, D1, dan D2. Analisis neraca air
menunjukkan terjadi periode defisit antara 3-4 bulan
di wilayah Belopa Ponrang. Sebaliknya, di wilayah
Masamba, Mamuju, dan Poso terjadi periode surplus
hampir sepanjang tahun. Oleh karena itu, pe-
rencanaan pola dan masa tanam perlu memerhatikan
kondisi iklim/sebaran curah hujan tersebut.
Bahan induk tanah bervariasi, terdiri atas
endapan aluvium (sungai, lakustrin, marin), batuan
sedimen tersier (batu pasir, serpih, napal, batu liat,
batu gamping), batuan intrusi (granit, granodiorit),
batuan metamorfik (skis, gneis, filit, slate), batuan
ultrabasik (serpentinit), dan batuan volkan tua (tuf,
lava, breksi), bersifat intermedier sampai basis, dan
masam sampai intermedier.
Menurut grup landform, daerah penelitian di-
bedakan atas grup aluvial, marin, fluvio-marin, karst,
tektonik, volkan tua, dan intrusi volkan. Menurut
sebaran bentuk wilayahnya, daerah penelitian dibe-
dakan atas wilayah datar (lereng kurang dari 1%),
agak datar (1-3%), berombak (3-8%), bergelombang
(8-15%), berbukit kecil (15-25%), berbukit (25-40%),
dan bergunung (lebih dari 40%). Rincian luasan bentuk
wilayah per kabupaten disajikan pada Tabel 1.
Sebagian besar lahan potensial, yaitu wilayah-
wilayah datar hingga bergelombang, umumnya telah
dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan dan
tahunan serta buah-buahan, seperti persawahan,
tegalan/tanaman palawija dan sayuran, tanaman
kakao, kelapa, cengkih, kopi, pala, lada, dan buah-
buahan (durian, rambutan, langsat). Di wilayah pantai,
seperti Kabupaten Luwu Utara dan Kota Luwu,
sebagian lahan telah dimanfaatkan untuk tambak.
Tanah di kelima kabupaten/kota diklasifikasikan
ke dalam ordo Histosols, Entisols, Inceptisols,
Mollisols, Spodosols, Alfisols, Ultisols, dan Oxisols.
Histosols dijumpai pada depresi aluvial dan rawa-
belakang. Mollisols dan Alfisols terbentuk dari bahan
induk batu gamping atau sedimen berkapur. Spodosols
terbentuk dari endapan pasir di daerah peralihan ke
daerah rawa, sementara Ultisols terbentuk dari
batuan volkan tua, sedimen, dan metamorfik. Oxisols
merupakan tanah yang telah mengalami pelapukan
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan10
paling lanjut, yang terbentuk dari batuan volkan tua,
ultrabasik, dan sedimen dengan penyebaran cukup
luas. Inceptisols dan Entisols terbentuk dari berbagai
macam bahan induk tersebut dan mempunyai
penyebaran paling luas. Penyusunan peta tanah
tingkat semidetail untuk Kabupaten Luwu Utara
menghasilkan 66 satuan peta tanah (SPT), Kabupaten
Luwu dan Kota Palopo 45 SPT, Kabupaten Mamuju
61 SPT, dan Kabupaten Poso 69 SPT, atau ke-
seluruhannya 65 peta skala 1:50.000.
Hasil evaluasi kesesuaian lahan menunjukkan di
Kabupaten Luwu Utara terdapat lahan yang tergolong
cukup sesuai (kelas S2) untuk padi sawah seluas
120.338 ha dan sesuai marginal (kelas S3) 18.145
ha. Apabila dinilai hanya untuk tanaman pangan lahan
kering, maka lahan yang cukup sesuai seluas 42.214
ha dan sesuai marginal 132.345 ha. Apabila dinilai
untuk tanaman tahunan/kakao, lahan yang sesuai
seluas 67.825 ha dan sesuai marginal 177.390 ha.
Di Kabupaten Luwu dan Kota Palopo, lahan yang
cukup sesuai untuk padi sawah adalah 84.444 ha dan
sesuai marginal 19.460 ha. Apabila dinilai untuk
tanaman pangan lahan kering saja, maka lahan yang
cukup sesuai seluas 87.922 ha dan sesuai marginal
23.228 ha. Untuk tanaman kakao, lahan yang cukup
sesuai adalah 94.243 ha dan sesuai marginal 36.224
ha.
Di Kabupaten Mamuju terdapat lahan cukup
sesuai untuk padi sawah seluas 115.250 ha dan sesuai
marginal 54.883 ha. Untuk tanaman pangan lahan
kering terdapat lahan cukup sesuai seluas 106.978
ha dan sesuai marginal 82.592 ha. Untuk tanaman
kakao, lahan yang cukup sesuai 106.978 ha dan sesuai
marginal 164.324 ha.
Di Kabupaten Poso, lahan yang termasuk cukup
sesuai untuk padi sawah seluas 154.512 ha dan sesuai
marginal 259.557 ha. Untuk tanaman pangan lahan
kering, lahan yang cukup sesuai 347.894 ha dan sesuai
marginal 211.027 ha. Untuk tanaman kakao, terdapat
lahan cukup sesuai 153.397 ha dan sesuai marginal
485.743 ha. Faktor penghambat biofisik penggunaan
lahan di kelima daerah tersebut adalah erosi/lereng
curam, drainase, banjir musiman, toksisitas, dan
retensi hara.
Arahan penggunaan lahan untuk pengembangan
tanaman pangan dan kakao di masing-masing wilayah
kabupaten/kota disajikan pada Tabel 2. Informasi dari
peta tanah semidetail skala 1:50.000 dan peta-peta
turunannya, antara lain peta kesesuaian lahan dan
peta arahan, dapat dimanfaatkan untuk perencanaan
operasional pengembangan kawasan komoditas
pertanian tanaman pangan dan kakao pada tingkat
kabupaten atau kecamatan.
Tabel 1. Sebaran bentuk wilayah di lima kabupaten/kota di Sulawesi.
LerengLuas (ha)
Bentuk wilayah(%)
Luwu Utara Luwu dan Kota Palopo Mamuju Poso
Datar 0-1 57.305 45.359 22.726 75.008
Agak datar 1-3 62.944 43.721 48.159 -1)
Berombak 3-8 18.475 11.858 48.726 35.699
Bergelombang 8-15 19.759 3.053 51.338 58.972
Berbukit kecil 15-25 16.791 7.159 20.989 145.523
Berbukit 25-40 84.416 24.953 187.923 259.379
Bergunung >40 471.452 179.081 407.001 115.892
Lain-lain - 6.380 4.716 5.462 37.404
Jumlah 737.522 319.900 792.324 727.877
1)Bergabung dengan wilayah datar
Sumberdaya Lahan 11
Peta bentuk wilayah/lereng di lima kabupaten/kota di Sulawesi.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan12
Peta arahan penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dan kakao di limakabupaten/kota di Sulawesi.
Sumberdaya Lahan 13
Teknologi Arang Aktif Diperkaya
Mikroba Pendegradasi Senyawa
POPs untuk Lahan Padi dan Sayuran
Pemberian arang aktif pada lahan sawah dapat
meningkatkan jumlah bakteri di dalam tanah,
terutama di sekitar akar tanaman. Arang aktif dapat
diberikan sebagai selaput (coating) pupuk nitrogen
seperti urea untuk meningkatkan efisiensi pupuk.
Penggunaan pupuk nitrogen di lahan pertanian
umumnya kurang efisien karena hanya 20-30% pupuk
yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman padi sawah.
Arang aktif dari tempurung kelapa dan tongkol jagung
memenuhi persyaratan standar kualitas arang (daya
serap I2 > 750 mg/g), sehingga berpotensi menyerap
residu pestisida, khususnya yang terdapat di dalam
tanah. Arang aktif yang diperkaya dengan mikroba
tertentu, seperti mikroba pendegradasi pestisida,
diharapkan dapat mempercepat laju degradasi residu
insektisida yang mengandung senyawa persistent
organic pollutants (POPs).
Percobaan mikroplot dengan menggunakanlisimeter di lapangan.
Tabel 2. Arahan penggunaan lahan untuk pengembangan tanaman pangan dan kakao di lima kabupaten/kota di Sulawesi.
Sistem pertanian, pola tanam, dan alternatifLuas (ha)
Simbolkomoditas
Luwu Utara Luwu dan Kota Palopo Mamuju Poso
Sistem Pertanian Lahan Basah Padi Sawah
PS Padi sawah - padi sawah/jagung/kedelai/sayuran 66.780 22.912 49.345 47.692
PS/TP Padi sawah - jagung/kedelai/sayuran - 966 10.680 8.174
Sistem Pertanian Lahan Kering Tanaman Pangan
TP/PS Jagung/kedelai/ubi jalar - padi sawah 10.877 6.015 - 38.476
TP Jagung/kedelai - ubi jalar/sayuran 52.226 57.760 101.785 78.399
TP/TT Jagung/kedelai - kakao, kelapa, kopi 13.047 2.595 - -
Sistem Pertanian Lahan Kering Tanaman Tahunan
TT Kakao, kelapa, kopi, cengkih, lada, rambután,
durian 71.043 7.817 90.488 145.521
TT/H Kakao, kopi, cengkih, dan hutan 29.690 26.051 - -
Sistem Pertanian Lahan Basah
Tb/Hm Tambak/perikanan air payau (udang, bandeng) 11.740 7.874 - -
Kawasan Konservasi/hutan
H Kawasan hutan konservasi/lindung 475.739 183.194 532.616 372.211
Penggunaan Lain
X Tubuh air, pemukiman, gawir, dan lain-lain 6.380 4.716 7.781 37.404
Jumlah 737.522 319.900 792.695 727.877
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan14
Penelitian memperoleh empat spesies (lima
strain) mikroba yang mampu mendegradasi aldrin,
dieldrin, heptaklor, dan DDT, yaitu strain Ralstonia
pickettii dengan homologi 97% (strain 1), Burkholderia
cepacia 100% (strain 2), Bacillus thuringiensis 99%
(strain 3) Stenotrophomonas maltophilia 1899 bits,
1028 bp 100% (strain 4), dan Stenotrophomonas
maltophilia 1746 bits, 945 bp, 100% (strain 5).
Urea berlapis arang aktif tongkol jagung yang
diperkaya mikroba mampu menurunkan residu POPs
(aldrin, dieldrin, heptaklor, dan DDT) dalam tanah pada
pertanaman padi, masing-masing dengan indeks
penurunan 82%, 83%, 78%, dan 73%, serta indeks
penurunan residu dalam air masing-masing 36%,
33%, 34%, 22% dibandingkan dengan kontrol.
Efisiensi pupuk N sebesar 44% diperoleh dari
penggunaan urea arang aktif tongkol jagung (UAATJ)
+ mikroba.
Urea berlapis arang aktif tempurung kelapa
mampu menurunkan residu POPs (aldrin, dieldrin,
heptaklor, dan DDT) dalam tanah pada pertanaman
padi dengan indeks penurunan masing-masing 76%,
73%, 79%, dan 74%, dan indeks penurunan residu
dalam air masing-masing 49%, 56%, 34%, dan 24%
dibandingkan dengan kontrol. Penggunaan urea
berlapis arang aktif tempurung kelapa + mikroba
memberikan efisiensi pupuk N sebesar 40,6%.
Pemberian urea berlapis arang aktif umumnya
meningkatkan ketersediaan N-NH4+ dalam tanah pada
pertanaman padi pada 22 hari setelah tanam (berkisar
antara 0,9-2,4 ppm), sedangkan ketersediaan N-NO3-
tertinggi (4,5 ppm) hanya terjadi dengan pemberian
urea berlapis arang aktif tempurung kelapa + mikroba.
Ketersediaan N-NH4+ dalam tanah mencerminkan
peningkatan efisiensi pupuk urea di lahan sawah
karena NO3- lebih mobile dibandingkan NH
4+, sehingga
NO3- potensial hilang tercuci.
Residu insektisida POPs (aldrin, heptaklor,
dieldrin, dan DDT) pada tanaman sawi pada saat
panen masih terdeteksi, hasil terendah pada
perlakuan urea berlapis arang aktif tempurung kelapa
+ mikroba, diikuti urea berlapis arang aktif tongkol
jagung + mikroba, masing-masing 0,003-0,005 ppm
untuk DDT dan 0,002-0,003 ppm untuk dieldrin.
Efisiensi pupuk N pada tanaman sawi adalah 40,6%
dengan pemberian urea berlapis arang aktif tongkol
jagung + mikroba, dan 35,6% dengan urea berlapis
arang aktif tongkol jagung.
Efektivitas Bahan Organik Menekan
Emisi GRK dan Meningkatkan
Produktivitas Padi di Lahan Rawa
Lahan rawa pasang surut di luar Jawa merupakan
lahan suboptimal yang sangat penting untuk produksi
padi, karena menyusutnya luas lahan subur di Jawa
dan Bali. Lahan sulfat masam yang merupakan bagian
dari lahan rawa pasang surut luasnya mencapai 6
Pertumbuhan tanaman padi pada tanah sulfat
masam alami (atas) dan tanah sulfat masamyang intensif dibudidayakan (bawah).
Sumberdaya Lahan 15
juta ha atau sekitar 33,3% dari total luas lahan
pasang surut di Indonesia.
Permasalahan lahan sulfat masam bermula dari
adanya pirit (FeS2) di dalam lapisan tanah. Lapisan
pirit jika mengalami oksidasi, maka Fe akan
dibebaskan menjadi Fe3+ dan S akan teroksidasi
menjadi sulfat yang mendorong penurunan pH tanah
menjadi sangat masam (pH < 3,5), sehingga
tanaman tidak mampu tumbuh. Penurunan hasil padi
akibat keracunan besi berkisar antara 30-100%,
bergantung pada toleransi varietas terhadap besi,
intensitas keracunan, dan kesuburan tanah.
Pemanfaatan bahan organik merupakan salah
satu kunci dalam memperbaiki produktivitas lahan
rawa. Penggunaan bahan organik berupa jerami padi
dan gulma yang tumbuh pada lahan pertanian
setempat (misalnya purun tikus) sebagai bahan
amelioran telah dilakukan oleh petani di lahan sulfat
masam. Pemberiannya dilakukan bersamaan dengan
kegiatan penyiapan lahan dengan cara ditebas,
dipuntal, dibalik, dan disebar pada persawahan dan
merupakan indigenous technology yang ramah
lingkungan.
Pola budi daya padi dengan memberikan bahan
organik pada kondisi tergenang cukup intensif
dilakukan oleh petani dan diduga dapat memacu emisi
gas rumah kaca (GRK) dari lahan rawa. Sumber
bahan organik yang ditambahkan sangat menentukan
pembentukan gas metana (CH4) dan karbondioksida
(CO2) di lahan sawah. Pengomposan merupakan cara
paling umum untuk mematangkan bahan organik dan
terbukti dapat mengurangi emisi GRK.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
bahan organik yang dikomposkan paling efektif
menekan emisi CH4 dan CO
2 di lahan rawa pasang
surut dan meningkatkan pertumbuhan tanaman padi.
Pemberian kompos (kombinasi jerami 30% + purun
30% + kotoran sapi 40%) pada lahan rawa pasang
surut alami dapat meningkatkan produktivitas
tanaman padi menjadi 3,7 t/ha, sedangkan pada
lahan rawa pasang surut yang intensif dibudidayakan,
pemberian kompos dapat meningkatkan produktivitas
tanaman padi menjadi 5,8 t/ha.
Teknologi Konservasi Karbon
Sampai saat ini belum ada praktik konservasi karbon
dalam tanah yang dapat dianjurkan secara universal.
Oleh karena itu, setiap sistem pertanian yang diterap-
kan petani secara individu perlu dievaluasi dinamika
karbonnya. Lamanya karbon berada dalam tanah
(carbon turn-over) bervariasi, bergantung pada jenis
dan manajemen usaha tani yang diaplikasikan.
Hasil evaluasi di KP Tamanbogo, Lampung pada
delapan jenis/pola usaha tani menunjukkan bahwa
lamanya karbon berada di dalam tanah bervariasi
antara 22-55 tahun (Tabel 3). Karbon yang paling
lama berada di dalam tanah dijumpai pada usaha
tani surjan (padi + jeruk), yaitu 55 tahun, sedangkan
karbon yang paling cepat hilang dari tanah dijumpai
pada usaha tani jagung, yaitu 22 tahun. Hal ini karena
pada usaha tani jagung, pengolahan tanah cukup
intensif sehingga kondisi aerasi tanah yang baik
(oksigen banyak dalam tanah) mendorong proses
dekomposisi bahan organik lebih cepat. Selain itu,
penggunaan pupuk kimia seperti NPK yang cukup
banyak mendorong terjadinya proses dekomposisi
bahan organik yang lebih cepat.
Hasil analisis dinamika dan neraca karbon antara
yang diaplikasikan di KP Tamanbogo dan yang
diterapkan oleh petani disajikan dalam Tabel 4. Pada
usaha tani ubi kayu, manajemen pengelolaan
biomassa tanaman di KP Tamanbogo sama dengan
yang diterapkan oleh petani di sekitarnya. Hampir
semua (± 100%) karbon yang diserap dalam bentuk
biomassa tanaman hilang atau terbawa keluar lahan
yaitu dalam bentuk umbi, batang, dan daun ubi kayu
setelah panen (Tabel 4). Hal ini menunjukkan sistem
usaha tani ubi kayu sangat menguras karbon dari
lahan atau tidak efisien karbon.
Pada pola tanam jagung-jagung di sekitar KP
Tamanbogo, petani menggunakan pupuk kandang 5
t/ha/musim. Pada pola petani ini, karbon yang diserap
dalam bentuk biomassa tanaman dan yang tetap
tinggal di lahan sekitar 49,54% dan yang keluar dari
lahan 50,46%. Pada usaha tani jagung di KP
Tamanbogo, 65,90% hasil serapan karbon dalam
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan16
Tabel 4. Dinamika dan neraca karbon yang diserap tanaman dalam bentuk biomassa di KP Tamanbogo, Lampung,
dan di sekitarnya pada jenis usaha tani yang sama.
KP Tamanbogo Luar KP Tamanbogo
Sistem usaha tani Karbon kembali Karbon keluar Karbon kembali Karbon keluar
ke lahan dari lahan ke lahan dari lahan
(t/ha/tahun) (t/ha/tahun) (t/ha/tahun) (t/ha/tahun)
Jagung
Biji - 1,19 - 2,75
Batang + daun 2,30 - 2,70 -
Total serapan 2,30 1,19 2,70 2,75
Ubi kayu
Umbi - 2,81 - 1,88
Batang - 1,32 - 1,20
Daun - 0,41 - 1,20
Total serapan - 4,54 - 4,28
Sawah (padi-padi)
Gabah MT I - 1,07 - 0,78
Jerami MT I 1,21 1,81 0,80 1,59
Akar MT I 0,51 - 0,44
Gabah MT II - 1,07 - 0,78
Jerami MT II 1,21 1,81 0,80 1,59
Akar MT II 0,51 - 0,44
Total serapan 3,44 5,76 2,47 4,74
Tabel 3. Kandungan karbon (C) dalam tanah (lapisan 0-30 cm), total karbon masuk ke tanah per tahun, dan nilai carbon
turn-over pada berbagai sistem usaha tani di KP Tamanbogo, Lampung dan sekitarnya.
KP Tamanbogo Luar KP Tamanbogo
Sistem usaha taniC dalam tanah C masuk ke lahan C-turn over C dalam tanah C masuk ke lahan C Turn over
(t/ha) (t/ha/tahun) (tahun) (t/ha) (t/ha/tahun) (tahun)
Jagung 102,83 4,59 22 69,17 3,01 23
Ubi Kayu 142,09 3,61 39 83,00 3,24 26
Sawah 141,32 3,43 41 84,86 2,56 33
Alley cropping 105,42 2,23 47 - - -
Surjan 105,01 1,91 55 - - -
Agroforestry 95,10 2,02 47 - - -
Jagung + ubi kayu 123,34 4,10 30 - - -
+ pukan
Jagung + ubi kayu 114,87 2,24 51 - - -
(tanpa pukan)
Sumberdaya Lahan 17
bentuk biomassa tetap berada atau dikembalikan ke
tanah, sisanya (34,10%) dalam bentuk tongkol (yang
terdiri atas biji, kelobot, dan janggel) terangkut atau
keluar dari lahan. Hal ini menunjukkan manajemen
usaha tani di KP Tamanbogo lebih efisien karbon
dibandingkan dengan manajemen petani jagung di
sekitar Tamanbogo.
Emisi dan Potensi Penyerapan Gas
Rumah Kaca
Salah satu masalah utama yang dihadapi petani pada
ekosistem sawah beririgrasi adalah efisiensi
pemupukan yang rendah, terutama nitrogen.
Pengelolaan tanaman yang tepat melalui penggunaan
varietas genjah, pengairan terputus, dan pupuk
anorganik diharapkan dapat meningkatkan atau mem-
pertahankan produksi padi tetap tinggi, sekaligus
mengurangi emisi GRK dari lahan sawah.
Penelitian untuk mendapatkan informasi emisi
dan potensi absorbsi GRK pada sistem pengelolaan
tanaman telah dilaksanakan pada ekosistem sawah
tadah hujan di Jakenan, Pati, Jawa Tengah. Hasil
penelitian menunjukkan pemberian pupuk nitrogen
pada sistem pengairan tergenang umumnya
menghasilkan emisi GRK tinggi. Pada sistem
pengairan tergenang, emisi GRK tertinggi dihasilkan
dari penggunaan urea berlapis arang aktif (UAA),
yakni 11,0 t CO2-eq/ha/musim, dan terendah pada
perlakuan tanpa pupuk atau kontrol (8,7 t CO2-eq/
ha/musim) (Tabel 5). Penggunaan urea dan bahan
amelioran nyata meningkatkan emisi CH4, yakni 254,
218, 272, 270, dan 289 kg/ha/musim, masing-masing
pada penggunaan urea prill, urea + NI, UAA, NPK,
dan urea + kitosan.
Pada sistem pengairan terputus, emisi GRK
tertinggi terdapat pada perlakuan urea + kitosan (7,0
t CO2-eq/ha/musim) dan terendah pada perlakuan
NPK plus (4,9 t CO2-eq/ha/musim) dan urea + NI (5,0
t CO2-eq/ha/musim). Emisi CH
4 tertinggi dihasilkan
dari perlakuan urea + kitosan (145 kg/ha/musim) dan
terendah pada perlakuan urea + NI (75 kg/ha/musim).
Penggunaan urea dan bahan amelioran tidak
berpengaruh nyata terhadap emisi GRK, baik pada
pengairan tergenang maupun pengairan terputus,
Tabel 5. Total emisi GRK dan global warming potential (GWP) pada perlakuan pengairan
tergenang dan terputus dengan pemberian urea dan bahan amelioran pada
lahan sawah, Jakenan, Pati, Jawa Tengah, 2012.
Emisi GRK (kg/ha/musim)GWP
Perlakuan(t CO
2-eq/ha/musim
CH4
N2O CO
2
Pengairan terus-menerus
Kontrol 179 2,25 1793 8,7
Urea prill 254 2,47 1605 10,2
Urea + NI 218 2,56 1547 9,1
Urea + AA 272 3,03 1616 11,0
NPK 270 2,31 1741 10,8
Urea + kitosan 289 2,06 1430 9,6
Pengairan terputus
Kontrol 99 3,31 1600 5,7
Urea prill 111 2,84 1738 6,1
Urea + NI 75 2,84 1816 5,0
Urea + AA 111 3,93 2107 6,8
NPK 77 3,30 1517 4,9
Urea + kitosan 145 3,47 1467 7,0
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan18
kecuali pada perlakuan urea + AA dan NPK (pengair-
an tergenang) dan perlakuan urea + NI dan NPK
(pengairan terputus).
Emisi CH4 terendah pada sistem pengairan
terputus terdapat pada perlakuan urea + NI (75 kg/
ha/musim). Pada pengairan tergenang, emisi CO2 dan
N2O terendah terdapat pada perlakuan urea + kitosan
masing-masing 1.430 kg CO2/ha/musim dan 1,73 kg
N2O/ha/musim.
Berdasarkan nilai GWP, pengairan terputus
mampu mengurangi emisi GRK 40% dibandingkan
dengan pengairan tergenang. Berdasarkan nilai
indeks GWP dan hasil, maka penggunaan urea + NI
pada pengairan tergenang berpotensi menekan emisi
GRK karena menghasilkan emisi yang rendah dan hasil
yang cukup tinggi.
Neraca Karbon dan Teknologi
Pengurangan GRK Lebih dari 20%
di Lahan Gambut
Ameliorasi tanah gambut merupakan salah satu upaya
untuk meningkatkan produktivitas lahan. Pemberian
bahan amelioran pada tanah gambut mampu me-
nurunkan emisi CH4 dan meningkatkan produktivitas
tanaman padi. Bahan amelioran yang kaya oksidan
dapat menunda atau menghambat pembentukan gas
CH4.
Penelitian untuk memperoleh informasi neraca
karbon dan teknologi pengurangan emisi GRK (CO2,
N2O dan CH
4) lebih dari 20% pada pengelolaan
tanaman pangan di lahan gambut telah dilaksanakan
dengan menggunakan mikroplot berukuran 1,5 x 1,5
x 1 m. Contoh gambut terusik diambil dari Kalimantan
Selatan.
Hasil penelitian menunjukkan pemberian biochar
sebagai bahan amelioran mampu meningkatkan
cadangan karbon dalam tanah gambut. Neraca
karbon pada tanah gambut yang ditanami padi dengan
pemberian abu vulkan adalah -1.087 kg-C/ha, diikuti
oleh biochar purun tikus, abu vulkan + biochar sekam
padi, kontrol, abu vulkan + biochar purun tikus dan
biochar sekam padi berturut-turut -1.631, -2.168,
-2.210, -2.799, dan -3,571 kg-C/ha (Tabel 6).
Emisi GRK tertinggi dari tanah gambut yang
disawahkan terdapat pada perlakuan abu vulkan
(5.723 kg CO2-eq/ha). Namun, perlakuan kombinasi
abu vulkan dengan biochar purun tikus menghasilkan
emisi GRK terendah (3.571 kg CO2-eq/ha), diikuti oleh
perlakuan biochar sekam padi (3.597 kg CO2-eq/ha).
Teknologi ameliorasi tanah gambut yang disawahkan
yang mampu menurunkan emisi GRK lebih dari 20%
dan memberikan hasil gabah tinggi adalah perlakuan
biochar sekam padi dan kombinasi abu vulkan +
biochar purun tikus. Perlakuan tersebut mampu
menurunkan emisi GRK dari tanah gambut yang
disawahkan masing-masing 22,9% dan 23,5%.
Tabel 6. Kandungan C-organik, global warming potential (GWP), net karbon, dan indeks GWP dari enam perlakuan amelioran
di tanah gambut yang disawahkan.
Kandungan C-organik (kg-C/ha) GWP Net Indeks GWP
Perlakuan (kg CO2-
karbon (t gabah/
Biomassa Gabah Gulma Total C/ha) (kg-C/ha) CO‚ -eq)
Kontrol 5.126 1.734 18 6.878 4.667 -2.210 0,38
Biochar sekam padi 4.904 2.209 55 7.167 3.597 -3.571 0,41
Biochar purun tikus 4.502 1.839 57 6.397 4.766 -1.631 0,27
Abu vulkan 4.874 1.918 18 6.809 5.723 -1.087 0,30
Abu vulkan+ biochar sekam padi 4.959 1.685 37 6.680 4.512 -2.168 0,30
Abu vulkan+ biochar purun tikus 4.261 2.061 48 6.370 3.571 -2.799 0,42
Sumberdaya Lahan 19
Formulasi Pupuk Hayati M-Star
untuk Tanaman Jagung dan
Kelapa Sawit
Lahan rawa pasang surut memerlukan upaya
perbaikan kondisi lahan untuk meningkatkan
produktivitas tanaman yang diusahakan. Masalah
utama lahan ini adalah kemasaman tanah yang tinggi
yang menyebabkan kekahatan unsur-unsur hara,
terutama N, P, K, Ca dan Mg. Ketergantungan yang
besar pada pupuk kimia sebagai sumber hara
berpotensi menurunkan produktivitas lahan, sehingga
penggunaan pupuk perlu dikurangi dengan meman-
faatkan pupuk hayati yang unggul dan adaptif pada
lahan pasang surut.
Untuk mengatasi masalah ini telah diteliti
pemanfaatan mikroba yang dapat berfungsi sebagai
perombak bahan organik dan pemacu pertumbuhan
tanaman. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan
formula pupuk hayati M-Star sebagai dekomposer,
penambat N, pelarut P, dan meningkatkan efisiensi
pemupukan dan produksi tanaman jagung dan kelapa
sawit di lahan rawa pasang surut sulfat masam.
Penelitian dilakukan di laboratorium, rumah kaca, dan
lapangan.Pada tahun 2012, penelitian difokuskan
pada seleksi jamur biodekomposer bahan organik,
mikroba penambat N, dan mikroba pelarut P untuk
memacu pertumbuhan tanaman, formulasi bahan
pembawa, serta cara aplikasi untuk tanaman jagung
dan kelapa sawit.
Hasil penelitian di lahan rawa pasang surut sulfat
masam Kabupaten Batola, Kalimantan Selatan,
menunjukkan bahwa formula pupuk hayati M-Star
yang terdiri atas mikroba perombak bahan organik
(Trichoderma sp.), penambat N (Azospirillium sp.),
dan pelarut P (Bacillus sp.) dengan dosis 120 g/
tanaman untuk tanaman kelapa sawit dan 15 kg/ha
untuk tanaman jagung dapat meningkatkan
kandungan hara tanah dan pertumbuhan tanaman.
Pupuk mikroba tersebut juga dapat mengefisienkan
penggunaan pupuk NPK anorganik sampai 50%.
Tanaman jagung dan ubi jalar pada tanah gambut ketebalan sedang (100-200 cm) di Kabupaten KubuRaya, Provinsi Kalimantan Barat.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan20
Tabel 7. Hasil gabah kering panen dan kering giling
dengan pemberian pupuk NPK slow release,
Desa Jambu Luwuk, Bogor.
Hasil gabah (t/ha)
Perlakuan RAE (%)1)
GKP GKG
Kontrol 6,18 4,71 -
Perlakuan petani 7,04 5,41 -
NPK Phonska 7,68 5,95 100
NPK tunggal 7,25 5,57 69
NPK SR setara dosis 7,47 6,14 116
rekomendasi
75% NPK Phonska 7,58 5,95 100
75% NPK tunggal 6,76 5,36 53
75% NPK SR 7,30 6,08 111
1)RAE dihitung berdasarkan GKG
Formula NPK Lepas Lambat dan
Pupuk Silika
Pada tahun 2012 telah dihasilkan dua formula pupuk
anorganik, yaitu NPK lepas lambat (slow release) dan
pupuk silika. Formula pupuk NPK lepas lambat
15:10:10 (NPK SR) memiliki kemampuan setara
dengan pupuk NPK majemuk (Phonska) dan NPK
tunggal dalam meningkatkan pertumbuhan padi.
Dalam hal ini, nilai RAE yang lebih tinggi menunjukkan
pupuk NPK slow release efektif meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Dengan
demikian, pupuk NPK slow release dapat direkomen-
dasikan untuk tanaman padi (Tabel 7).
Pupuk silika yang dikombinasikan dengan NPK
maupun NP tanpa K rata-rata memberikan hasil yang
tinggi (Tabel 8). Pupuk silika dengan dosis 200-300
kg/ha yang dikombinasi dengan NP tanpa K
mempunyai efektivitas yang sama dengan perlakuan
75% NPK yang dikombinasikan dengan silika pada
dosis 100-300 kg/ha. Ini berarti pemberian silika
Pengujian penggunaan pupuk hayati M-Star pada tanaman jagung dan kelapa sawit di lahan rawapasang surut Kabupaten Batola, Kalimantan Selatan.
dapat menggantikan sebagian peran K. Pupuk silika
nyata meningkatkan bobot 1.000 butir gabah sehingga
meningkatkan kualitas padi. Pemberian pupuk silika
Sumberdaya Lahan 21
Tabel 8. Hasil gabah kering panen dan kering giling
dengan pemberian pupuk NPK dan silika, Desa
Jambu Luwuk, Bogor.
Hasil gabah (t/ha)
PerlakuanGKP GKG
(t/ha) (t/ha)
Kontrol lengkap 5,91 4,83
Perlakuan Petani 7,92 6,47
NPK Tunggal dosis rek. 8,63 6,85
NPK + Si 100 8,33 6,86
NPK + Si 200 8,40 6,84
NPK + Si 300 7,93 6,46
NP + Si 100 8,02 6,48
NP + Si 200 8,88 7,28
NP + Si 300 8,34 6,83
75% NPK + Si 100 8,94 7,22
75% NPK + Si 200 8,65 6,94
75% NPK + Si 300 8,73 7,08
Prototipe perangkat uji tanah sawah (PUTS)digital yang memiliki tingkat keakuratan 80%.
juga meningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap
serangan OPT. Penularan virus tungro yang paling
rendah terdapat pada petak tanaman yang diberi
pupuk silika dengan dosis paling tinggi.
PUTS Digital
Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan perangkat
uji tanah sawah (PUTS) sejak 5 tahun yang lalu.
Mengikuti tuntutan teknologi dan kemudahan bagi
pengguna, dan tetap mempertahankan validitas data,
maka pada tahun 2012 disusun dan diformulasikan
PUTS digital. Sampai saat ini, tingkat akurasi produk
sudah mencapai 80% dan masih akan terus di-
sempurnakan hingga mencapai keakuratan 95%.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan22
Tanaman Pangan
Di tengah makin beratnya tantangan yang dihadapi dalam usaha tani,
Kementerian Pertanian tetap optimistis swasembada pangan dapat diraih
dan dipertahankan karena pengalaman membuktikan implementasi
teknologi yang tepat dapat mengatasi masalah teknis yang dihadapi
petani dalam berproduksi. Sejalan dengan komitmen Kementerian
Pertanian untuk mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan, Badan
Litbang Pertanian terus berupaya menghasilkan teknologi yang
diharapkan mampu meningkatkan produksi padi dan palawija yang
selain sebagai pangan penting juga merupakan sumber perekonomian
yang menopang kehidupan sebagian besar petani di pedesaan. Melalui
penelitian yang mengacu kepada target empat sukses Kementerian
Pertanian 2010-2014, Badan Litbang Pertanian dalam tahun 2012 telah
menghasilkan sejumlah varietas unggul, teknologi produksi, dan benih
sumber varietas unggul padi dan palawija untuk dikembangkan lebih
lanjut oleh penangkar dan produsen benih guna mendukung upaya
peningkatan produksi nasional.
Varietas unggul baru padi sawah Inpari 23.
Tanaman Pangan 23
Varietas Unggul Baru
Memanfaatkan sumber daya genetik yang ada, baik
di dalam maupun introduksi dari luar negeri, Badan
Litbang Pertanian melalui unit kerja penelitiannya
telah menghasilkan 21 varietas unggul baru tanaman
pangan, yang terdiri atas 12 varietas unggul padi,
tiga varietas unggul jagung, satu varietas unggul
kedelai, empat varietas unggul kacang tanah, dan
satu varietas unggul ubi kayu. Varietas unggul baru
tersebut telah dilepas oleh Menteri Pertanian dalam
tahun 2012.
Padi
Sepuluh varietas unggul padi yang dihasilkan cocok
dikembangkan pada lahan sawah, satu varietas pada
lahan rawa, dan satu varietas lagi pada lahan kering
(gogo). Varietas unggul baru padi sawah tersebut
masing-masing dilepas dengan nama Inpari 21
Batipuah, Inpari 22, Inpari 23 Bantul, Inpari 24
Gabusan, Inpari 25 Opak Jaya, Inpari 26, Inpari 27,
Inpari 28 Kerinci, Inpari 29 Rendaman, dan Inpari 30
Ciherang-Sub1 dengan potensi hasil 7,7-9,6 t/ha.
Varietas unggul padi lahan rawa dan lahan kering
masing-masing dilepas dengan nama Inpara 7 dan
Inpago 9. Varietas Inpara 7 berdaya hasil 5,1 t/ha
dan varietas Inpago 9 mampu berproduksi 8,4 t/ha
pada lahan kering subur dengan lingkungan yang
mendukung (Tabel 1).
Jagung Hibrida
Di Indonesia, jagung termasuk pangan utama setelah
padi. Di beberapa daerah, jagung putih telah menjadi
makanan pokok masyarakat setempat secara turun-
temurun. Dewasa ini pertanaman jagung putih dapat
dijumpai di Nusa Tenggara Timur (Pulau Timor, Sumba,
dan Flores), Nusa Tenggara Barat (Sandubaya), Jawa
Tengah (Blora, Temanggung), Jawa Timur (Madura),
Sulawesi Selatan (Jeneponto, Bulukumba, Bantaeng,
dan Selayar), Sulawesi Tenggara, DI Yogyakarta, dan
Gorontalo.
Jagung hibrida yang berkembang di petani hingga
saat ini berbiji kuning dan umumnya digunakan untuk
pakan. Dua dari tiga varietas unggul jagung hibrida
yang dilepas memiliki biji putih, masing-masing diberi
nama Bima Putih 1 dan Bima Putih 2 dengan potensi
hasil di atas 10 t/ha. Bima Putih 1 memiliki perakaran
kuat sehingga tahan rebah. Bima Putih 1 tergolong
genjah (108 hari), batang dan daun di atas tongkol
masih hijau (stay green) pada saat panen sehingga
dapat digunakan untuk pakan ternak. Kelebihan
lainnya dari Bima Putih 1 adalah kandungan asam
Varietas unggulpadi sawah yang
dilepas padatahun 2012berpotensi hasil
7,7-9,6 t/hadengan beberapakeunggulan
lainnya.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan24
amino esensial yang tinggi, 0,23% untuk lisin dan
0,06% untuk triptofan, atau satu setengah kali lebih
tinggi dari kadar asam amino jagung putih lokal. Bima
Putih 2 juga memiliki perakaran yang kuat, umur lebih
genjah (107 hari), dan stay green. Kandungan asam
amino esensial Bima Putih 2 lebih tinggi dari Bima
Putih 1, yaitu lisin 0,29% dan triprofan 0,07%. Kedua
jagung hibrida berbiji putih ini dapat dijadikan sebagai
bahan substitusi beras, khususnya pada wilayah yang
penduduknya mengonsumsi jagung sebagai makanan
pokok.
Tabel 1. Varietas unggul baru padi yang dilepas pada tahun 2012.
NamaUmur Potensi hasil
Keterangan(hari) (t/ha)
Inpari 21 Batipuah 120 8,2 Padi sawah, agak rentan wereng batang coklat biotipe 1, 2 dan
rentan biotipe 3, tahan terhadap HDB strain III, tahan penyakit
blas ras 003, rentan virus tungro, mutu beras pera, cocok pada
ekosistem sawah dataran rendah hingga ketinggian lokasi
600 m dpl
Inpari 22 118 7,9 Padi sawah, agak tahan wereng coklat biotipe 1, 2, dan 3, tahan
hawar daun bakteri strain III, tahan blas ras 033 dan 133, agak
tahan ras 073 dan 137, rentan tungro
Inpari 23 Bantul 113 9,2 Padi sawah, tahan wereng batang coklat biotipe 1, agak tahan
biotipe 2 dan 3, tahan hawar daun bakteri strain III, namun rentan
strain VIII, rasa nasi pulen, aromatik (aroma wangi pandan)
Inpari 24 Gabusan 111 7,7 Padi sawah, warna beras merah, tahan hawar daun bakteri
strain III dan agak tahan strain IV
Inpari 25 Opak Jaya 115 9,4 Padi sawah, ketan, warna beras merah, agak tahan wereng batang
coklat biotipe 2 dan 3, tahan hawar daun bakteri strain III dan
agak tahan strain IV dan VIII
Inpari 26 124 7,9 Padi sawah, tahan hawar daun bakteri strain III, tahan blas
ras 033, sesuai ditanam di lahan sawah dataran tinggi sampai
900 m dpl
Inpari 27 125 7,6 Padi sawah, tahan hawar daun bakteri strain III, tahan blas
ras 073, rentan tungro, rasa nasi pulen
Inpari 28 Kerinci 128 9,5 Padi sawah, tahan hawar daun bakteri strain III, agak tahan
blas ras 033 dan 073, rentan tungro, rasa nasi pulen
Inpari 29 Rendaman 110 9,5 Padi sawah, agak rentan wereng batang coklat biotipe 1 dan 2,
serta hawar daun bakteri strain III, toleran rendaman pada fase
vegetatif selama lebih dari 14 hari, rasa nasi pulen
Inpari 30 Ciherang-Sub 1 111 9,6 Padi sawah, agak rentan wereng coklat biotipe 1, 2, dan 3, hawar
daun bakteri patotipe III, toleran rendaman pada fase vegetatif
selama 15 hari, rasa nasi pulen
Inpara 7 114 5,1 Padi rawa, agak tahan tungro isolat Subang, tahan blas ras 033
dan 173, agak toleran keracunan Fe dan Al, rasa nasi pulen
Inpago 9 109 8,4 Padi gogo, agak tahan wereng batang coklat biotipe 1, agak tahan
blas ras 133, agak toleran kekeringan dan keracunan Al, rasa nasi
sedang
Tanaman Pangan 25
Varietas Bima16 merupakan jagung hibrida
berbiji kuning dan berumur 119 hari. Dalam pengujian
multilokasi, jagung hibrida ini mampu berproduksi
12,4 t/ha pipilan kering pada kadar air 15%. Bima 16
tahan terhadap penyakit bulai (Peronosclerospora
maydis ), karat daun (Puccinia sorgi), dan bercak daun
(Helminthosporium maydis). Dari aspek nutrisi,
varietas unggul ini memiliki karbohidrat yang cukup
tinggi, mencapai 63,1%, protein 12,1%, dan
lemak 9,2% (Tabel 2).
Kedelai
Varietas unggul baru kedelai dilepas dengan nama
Dering 1. Varietas unggul ini toleran terhadap
kekeringan selama fase reproduktif, umur genjah (81
hari) dengan potensi hasil 2,8 t/ha (rata-rata hasil
2,0 t/ha), ukuran biji sedang (10,7 g/100 biji), tahan
hama penggerek polong dan penyakit karat daun.
Jagung hibrida berbiji putih varietas Bima Putih 1 dan Bima Putih 2 berpotensi hasil di atas 10 t/ha,lebih tinggi dari jagung putih lokal yang hanya mampu berproduksi 3 t/ha, dan jagung hibrida Bima 16
berbiji kuning yang memiliki potensi hasil 12,4 t/ha.
Tabel 2. Varietas unggul jagung hibrida yang dilepas pada tahun 2012.
VarietasUmur panen Hasil
Sifat penting lainnya(hari) (t/ha)
Bima Putih 1 108 10,3 Biji putih, perakaran kuat, stay green, lisin 0,23%, triptofan 0,06%
Bima Putih 2 107 10,4 Biji putih, perakaran kuat, stay green, lisin 0,29%, triptofan 0,07%
Bima 16 119 12,4 Biji kuning oranye, tahan bulai, karat, dan bercak daun, kokoh, pertumbuhan
seragam, hasil stabil di lahan suboptimal
Kedelai unggul varietas Dering 1, berumurgenjah dengan potensi hasil 2,8 t/ha.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan26
nasional ubi kayu yang saat ini baru mencapai 15-20
t/ha. Varietas Litbang UK 2 juga memiliki potensi
bioetanol 96% atau 14.472 liter/ha. Keunggulan lain
dari varietas unggul ubi kayu ini adalah agak tahan
terhadap tungau dan agak tahan penyakit busuk akar/
umbi.
Teknologi Produksi
Teknologi Produksi Padi Hibrida pada LahanSawah Irigasi
Peningkatan produksi padi hibrida di lahan sawah
irigasi dapat diupayakan melalui penerapan teknologi
pemupukan dan sistem tanam. Penggunaan bahan
organik 2 t/ha yang dikombinasikan dengan sistem
tanam legowo 2:1 dan pemupukan berdasarkan hasil
Kacang Tanah
Empat varietas unggul kacang tanah yang dilepas
masing-masing diberi nama Hipoma 1, Hipoma 2,
Takar 1, dan Takar 2. Selain tahan penyakit bercak
dan karat daun, Hipoma 2 juga toleran kekeringan.
Varietas Takar 1 dan 2 tahan penyakit karat daun
dan kutu kebul yang kini sudah menjadi hama penting
kacang tanah di beberapa sentra produksi, dan
toleran kemasaman tanah. Umur panen keempat
varietas berkisar antara 85-95 hari dengan potensi
hasil 3,5-4,25 t/ha (Tabel 3).
Ubi Kayu
Varietas unggul baru ubi kayu dilepas dengan nama
Litbang UK 2. Umur panennya 9-10 bulan dan potensi
hasil 60,4 t/ha, jauh lebih tinggi dari rata-rata hasil
Tabel 3. Varietas unggul kacang tanah yang dilepas pada tahun 2012.
VarietasUmur panen Hasil
Sifat penting lainnya(hari) (t/ha)
Hipoma 1 91 3,7 Tahan bercak dan karat daun
Hipoma 2 90 3,5 Tahan bercak dan karat daun, toleran kekeringan
Takar 1 95 4,25 Tahan karat daun, kutu kebul, toleran tanah masam (pH 4,5-5,6), kejenuhan Al sedang
Takar 2 85-95 3,9 Tahan karat daun, agak tahan bercak daun, tahan kutu kebul, toleran tanah
masam (pH 4,5-5,6), kejenuhan Al sedang
Kacang tanah varietas Takar 1, potensi hasil4,25 t/ha.
Ubi kayu varietas Litbang UK-2, potensi hasil60,2 t/ha.
Tanaman Pangan 27
analisis tanah atau PUTS dapat meningkatkan hasil
padi hibrida. Dengan cara ini, hasil padi mencapai
8,87 t GKP/ha di Subang, 10,25 t/ha di Cianjur, dan
7,87 t/ha di Bogor. Hasil tertinggi dicapai oleh varietas
Hipa 8, yaitu 8,97 t/ha di Subang, 10,53 t/ha di Cianjur,
dan 8,25 t/ha di Bogor.
Teknologi Produksi Padi Lahan Pasang Surut
Hasil penelitian di Sumatera Selatan dan Jambi
menunjukkan bahwa pencucian lahan dan pemberian
kapur pertanian 3 t/ha meningkatkan hasil padi pada
lahan pasang surut masing-masing 21% dan 15%.
Untuk lebih meningkatkan produksi padi di lahan
pasang surut disarankan menggunakan varietas
unggul Inpara 1, Inpara 2, dan Inpara 3.
Selain di lahan pasang surut, teknologi ini juga
dapat diterapkan di lahan yang tercekam salinitas
yang umumnya terdapat di daerah pesisir. Pada lahan
yang mengalami salinitas, electrical conductivity
(konduktivitas listrik) dalam tanah cenderung
meningkat sejak tanam hingga panen. Dalam kondisi
demikian, peningkatan dosis pemupukan NPK sampai
125% dari dosis rekomendasi tidak berpengaruh
terhadap hasil padi. Masalah ini juga dapat diatasi
melalui penerapan teknologi pencucian lahan dan
pemberian kapur. Penggunaan kapur pertanian
sebulan setelah tanam bertujuan untuk menekan
salinitas dan meningkatkan efektivitas pemupukan.
Teknologi Produksi dan SLPTT Padi Gogo
Produksi padi gogo masih berpotensi ditingkatkan,
baik melalui peningkatan hasil maupun perluasan
area. Tanaman padi gogo membutuhkan curah hujan
>200 mm/bulan, minimal empat bulan secara
berurutan. Pada daerah yang mempunyai bulan
basah >7 bulan, petani dapat menanam dua kali padi
gogo pada MH I dan II. Dalam pola padi gogo IP 200,
penggunaan varietas unggul berumur genjah sampai
sangat genjah sangat menentukan, terutama pada
MH II.
Sistem tanam joged perlu pula dipertimbangkan
dalam budi daya padi gogo IP 200, terutama pada
musim kemarau. Sistem tanam ini mengacu pada
persemaian culik padi sawah. Pada padi gogo,
persemaian dilakukan secara kering di luar area
pertanaman untuk mempercepat waktu tanam karena
pertimbangan intensitas curah hujan yang sudah
menurun.
Melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SLPTT), beberapa varietas unggul padi gogo
yang diintroduksikan di Cianjur Selatan, Jawa Barat,
Penerapan teknologi pemupukan pada sistem
tanam legowo 2:1 meningkatkan hasil padihibrida di lahan sawah.
Melalui SLPTT, beberapa varietas unggul padi
gogo mampu berproduksi 5,12-6,24 t/ha,setara dengan hasil padi sawah irigasi.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan28
tani spesifik lokasi, sesuai dengan kondisi sumber daya
setempat. Komponen teknologi yang dirakit di lahan
sawah mencakup varietas unggul jagung hibrida, daya
kecambah benih >90%, penanaman dengan sistem
legowo, dan pemupukan spesifik lokasi dengan
takaran pupuk urea 300 kg/ha.
Pada MK I, penerapan teknologi spesifik lokasi
pada jagung varietas Bima 3 memberikan hasil 10,5
t/ha, pada varietas Bisi 2 mencapai 12,1 t/ha, dan
pada varietas P21 sebesar 12,2 t/ha. Pada MK II,
hasil semua varietas relatif rendah, berkisar antara
8,0-9,0 t/ha.
Biopestisida Hayati untuk PengendalianHama Jagung
Hasil penelitian menunjukkan pestisida hayati for-
mulasi virus HaNPV efektif menekan perkembangan
hama utama tanaman jagung, seperti penggerek
tongkol jagung (Helicoverpa armígera), penggerek
batang (Ostrinia furnacalis), dan ulat grayak
(Spodoptera litura). Selain efektif, penggunaan
biopestisida hayati juga ramah lingkungan karena
tidak membunuh serangga predator.
Pengelolaan Bahan Organik Tanahpada Kedelai
Pengembangan kedelai di Indonesia tidak hanya
diarahkan pada lahan optimal, tetapi juga lahan sub-
optimal. Hal ini tentu memerlukan teknologi produksi
yang sesuai, salah satunya adalah pengelolaan bahan
organik yang akan meningkatkan daya dukung lahan
terhadap penyediaan hara dan air bagi tanaman.
Di Probolinggo, Ngawi, dan Banyuwangi, peng-
ujian dilakukan dengan pengaturan populasi tanaman,
aplikasi pupuk organik untuk meningkatkan daya
dukung lahan, dan mengombinasikannya dengan
pupuk anorganik untuk keseimbangan hara bagi
tanaman kedelai. Hasil kedelai 3 t/ha cukup mudah
dicapai dengan menggunakan varietas atau calon
varietas unggul hasil persilangan varietas lokal Jateng/
Sinabung-1036 dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm
atau 40 cm x 15 cm (Tabel 5). Penggunaan pupuk
Tabel 4. Hasil beberapa varietas padi gogo dalam
pengujian melalui SLPTT di Cianjur Selatan,
Jawa Barat.
Hasil gabah
VarietasUbinan Konversi
(kg/6,25 m2) ke t/ha
Situ Bagendit (LL) 3,2 5,12
Limboto (LL) 3,9 6,24
Way Rarem (LL) 3,6 5,76
Jatiluhur (LL) 3,7 5,92
Situ Patenggang (SL) 3,8 6,08
LL = laboratorium lapang; SL = sekolah lapang
mampu berproduksi 5,12-6,24 t/ha (Tabel 4), setara
dengan produktivitas padi sawah irigasi.
Pengendalian Penyakit HDB pada TanamanPadi dengan Pestisida Nabati
Penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan
oleh Xanthomonas oryzae merusak tanaman padi
pada kondisi kelembapan yang tinggi atau dosis
pemupukan N yang berlebihan. Selama ini penyakit
HDB dikendalikan dengan aplikasi bakterisida sintetis
sehingga mencemari lingkungan.
Dalam upaya pengendalian HDB, Badan Litbang
Pertanian telah menghasilkan formula pestisida nabati
dari ekstrak daun mimba (Azadirachta indica) dan
rimpang lengkuas (Alpinia galanga). Cairan perasan
dari kedua bahan dengan konsentrasi 10% disemprot-
kan pada tanaman padi yang terinfeksi HDB, baik pada
stadia vegetatif maupun generatif. Teknologi ini
mampu menghambat perkembangan penyakit HDB
pada tanaman padi, lebih baik dibandingkan dengan
aplikasi bakterisida sintetis berbahan aktif tembaga
oksida 56% tanpa menurunkan hasil panen.
Peningkatan Hasil Jagung HibridaMelalui Pendekatan PTT
Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu
pendekatan dalam penyusunan paket teknologi usaha
Tanaman Pangan 29
Penambahan pupuk anorganik (ZA, SP36, dan
KCl) di tanah Entisol Probolinggo dan Vertisol Ngawi
tampaknya belum diperlukan (Tabel 5). Hal serupa
juga terjadi pada penggunaan pupuk organik yang
dikombinasikan dengan pupuk anorganik (Tabel 6).
kandang tidak meningkatkan hasil di Probolinggo dan
Banyuwangi. Di Ngawi pada jenis tanah Vertisol,
pemberian pupuk kandang 2,5 t/ha memberikan hasil
yang setara dengan 2,0 t/ha pupuk organik kaya hara
NM2 dengan peningkatan hasil 4-7%.
Tabel 5. Pengaruh jarak tanam, pupuk organik, dan pupuk anorganik terhadap hasil kedelai di Probolinggo,
Banyuwangi, dan Ngawi, Jawa Timur, MT 2012.
Hasil biji kering kadar air 12% (t/ha)
Perlakuan
Probolinggo Banyuwangi Probolinggo Ngawi
Jarak tanam
40 x 10 cm, 2 biji/lubang 3,25 3,42
40 x 15 cm, 2 biji/lubang 3,50 3,24
40 x 20 cm, 1 biji/lubang 2,74 2,80
40 x 20 cm, 2 biji/lubang 3,34 2,95
Pupuk organik
Tanpa pupuk kandang 3,14 3,13 3,42 3,37
Pupuk kandang 2,5 t/ha 3,35 3,07 3,24 3,51
Pupuk kandang 5,0 t/ha 3,12 3,08 2,80 3,39
Pupuk organik NM2 2,0 t/ha 3,22 3,12 2,95 3,62
Pupuk ZA, SP36, KCl
0 + 0 + 0 3,13 3,47
50 + 50 + 100 3,07 3,45
50 + 150 + 50 3,08 3,36
50 + 150 + 100 3,12 3,62
Tabel 6. Pengaruh interaksi pupuk organik dan anorganik terhadap hasil biji kedelai lokal Jateng/Sinabung-1036 pada tanah
Vertisol Ngawi, MK 2012.
Hasil biji kedelai kadar air 12% (t/ha)
Perlakuan ZA + SP36 + KCl (kg/ha)
0 + 0 + 0 50 + 50+100 50 + 150 + 50 50+150+100 Rata-rata
Tanpa pupuk kandang 3,38 3,25 3,47 3,39 3,37
Pupuk kandang 2,5 t/ha 3,81 3,37 3,23 3,62 3,51
Pupuk kandang 5,0 t/ha 3,05 3,75 3,11 3,63 3,39
Pupuk organik NM2 2,0 t/ha 3,63 3,41 3,61 3,83 3,62
Rata-rata 3,47 3,45 3,36 3,62
Pukan = pupuk kandang
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan30
memperpanjang daya simpan benih kedelai telah
dihasilkan teknologi penyimpanan benih. Teknologi
pelleted soybean seeds (benih kedelai tersalut)
dirancang untuk mempertahankan mutu benih kedelai
selama penyimpanan. Bahan salut yang terdiri atas
dolomit, lempung, dan SP36 dengan perbandingan
3:2:1 dan 2:2:0,5 dengan kadar air awal benih 12%
pada saat disimpan mampu mempertahankan kualitas
benih kedelai yang disalut hingga 1 tahun. Pengem-
bangan teknologi ini berperan penting dalam penye-
diaan benih kedelai tepat waktu.
Teknologi Produksi Kacang Tanahpada Tanah Sawah Alfisol
Pengembangan kacang tanah pada lahan Alfisol di
Jepara Jawa Tengah memerlukan komponen teknologi
pemupukan dan populasi tanaman. Perlakuan jarak
tanam lebih efisien dalam penggunaan benih, tetapi
secara umum tidak memengaruhi hasil kacang tanah.
Hasil yang diperoleh masih setara dengan teknologi
petani di sekitar lokasi pengujian.
Aplikasi pupuk anorganik N, P, dan K memberikan
hasil 2,35 t/ha polong kering, tetapi lebih rendah
daripada yang hanya dipupuk urea, yakni 2,67 t/ha.
Residu pupuk urea dan Phonska yang diaplikasikan
pada tanaman padi tampaknya memengaruhi
respons tanaman kacang tanah terhadap pemupukan
N, P, dan K.
Jarak tanam baris ganda 60 cm x (30 cm x 10
cm) meningkatkan hasil polong 7,7% lebih tinggi dari
hasil yang dicapai dengan jarak tanam tunggal (40
cm x 50 cm), masing-masing 2,60 t dan 2,42 t/ha
polong kering (Tabel 7).
Pengendalian Kutu Kebul pada Kedelai
Kutu kebul (Bemisia tabaci) dapat merusak tanaman
kedelai dan menjadi salah satu vektor virus. Aplikasi
pestisida yang dikombinasikan dengan pengairan
sprinkle mampu menekan intensitas serangan kutu
kebul. Percikan air dari sprinkler menyebabkan kutu
kebul tidak dapat bertahan lama pada daun. Rata-
rata kerusakan daun tanaman kedelai pada perlakuan
pengairan sprinkler 45% lebih rendah dengan hasil
biji 35% lebih tinggi dibanding pengairan irigasi, yakni
1,9 t/ha pada pengairan sprinker dan 1,4 t/ha pada
pengairan irigasi.
Pengendalian kutu kebul secara hayati dengan
memanfaatkan suspensi cendawan entomopatogen
Lecanicillium lecanii dapat menurunkan populasi kutu
kebul, baik pada kedelai berbiji besar (Argomulyo)
maupun berbiji kecil (Wilis). Semakin sering aplikasi
cendawan L. lecanii semakin sedikit populasi kutu
kebul yang ditemukan pada tanaman kedelai.
Pada varietas kedelai berbiji besar, tingkat
kerusakan daun lebih berat dibandingkan dengan
varietas berbiji kecil, baik pada umur 42 HST maupun
60 HST. Aplikasi cendawan L. lecanii tiga kali dalam
satu minggu memperlihatkan tingkat serangan B.
tabaci lebih rendah dibandingkan dengan aplikasi
satu kali. Aplikasi suspensi cendawan entomopatogen
L. lecanii untuk mengendalikan hama kutu kebul tidak
memengaruhi kelangsungan hidup serangga berguna,
khususnya predator Coccinella sp.
Teknologi Penyimpanan Benih Kedelai
Benih kedelai perlu disimpan dengan baik sebelum
digunakan pada musim tanam berikutnya. Untuk
Tabel 7. Populasi tanaman dan hasil kacang tanah pada tanah Alfisol Jepara, Jawa Tengah,
Agustus-November 2012.
Populasi/hasil Jarak tanam tunggal Jarak tanam ganda
Populasi tanaman dipanen (ha) 135.611 155.602
Hasil polong segar (t/ha) 5,54 4,70
Hasil polong kering ka 12% (t/ha) 2,42 2,60
Tanaman Pangan 31
Teknologi Produksi Ubi Kayu pada LahanKering Masam
Tingkat kesuburan lahan masam umumnya rendah
dan jika akan ditanami dengan tanaman semusim
memerlukan perlakuan khusus. Melalui pendekatan
PTT dengan pengolahan tanah dibajak dua kali
sebelum tanam, tanam di guludan, jarak tanam 100
cm x 60 cm, pemupukan 300 kg urea, 200 kg SP36,
200 kg KCl, pupuk kandang 5 t/ha, dan dolomit 500
kg/ha, pengendalian gulma menggunakan herbisida
pratanam 4 l/ha, penyiangan dan pembumbunan dua
kali dan disemprot akarisida dua kali setelah tanaman
berumur 5 bulan menghasilkan 34-43 t/ha umbi segar
(Gambar 1). Hasil yang kurang optimal ini disebabkan
tanaman ubi kayu mengalami kekeringan sejak
berumur 3 bulan sampai 6 bulan. Pada kondisi
demikian, ubi kayu varietas Litbang UK2 menghasilkan
umbi segar yang setara dengan varietas UJ-5 yang
sudah beradaptasi di Lampung, masing-masing 42,7
t dan 43,6t/ha.
Benih Sumber
Badan Litbang Pertanian menekankan perlunya
ketersediaan benih sumber untuk diperbanyak oleh
penangkar atau pihak terkait lainnya. Ketersediaan
benih bermutu dalam jumlah yang cukup merupakan
faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani
tanaman pangan. Dalam tahun 2012, Badan Litbang
Pertanian melalui unit kerja penelitian tanaman
pangan telah menyediakan sejumlah benih sumber
(BS dan FS) varietas unggul padi dan palawija untuk
dikembangkan oleh penangkar dan produsen benih.
Padi
Penyediaan benih sumber varietas unggul baru padi
terutama bertujuan untuk mendukung upaya pening-
katan produksi. Pada tahun 2012 telah diproduksi
231,6 ton benih sumber padi yang terdiri atas 27,0
ton benih BS dan 204,6 ton benih FS untuk men-
dukung kegiatan SLPTT di 18 provinsi di Indonesia.
Jagung
Badan Litbang Pertanian juga telah memperbanyak
benih sumber jagung bersari bebas kelas penjenis
(BS) untuk varietas Lamuru, Sukmaraga, Bisma,
Srikandi Kuning 1, Srikandi Putih 1, dan Anoman
sebanyak 5.340 kg, yang terdiri atas 890 kg Lamuru,
730 kg Sukamaraga, 1.125 kg Bisma, 865 kg Srikandi
Kuning, 1.830 kg Srikandi Putih 1, dan 900 kg Anoman.
Perbanyakan benih sumber kelas BD untuk
varietas Lamuru, Sukmaraga, Bisma, Srikandi Kuning
1, Srikandi Putih 1, dan Anoman dilakukan pada lahan
seluas 1,0 ha. Benih empat varietas telah diproses
dengan total hasil 8,7 ton.
Kacang-kacangan
Perbanyakan benih 11 varietas kedelai (Grobogan,
Burangrang, Kaba, Tanggamus, Anjasmoro, Argo-
mulyo, Wilis, Ijen, Panderman, Detam 1, dan Detam
2) menghasilkan 6,26 ton benih BS. Perbanyakan
benih kedelai varietas Grobogan, Burangrang, Kaba,
Tanggamus, Anjasmoro, Argomulyo, Sinabung, Wilis,
dan Panderman menghasilkan benih FS 14,3 ton.
Telah dihasilkan pula calon benih sumber kacang
tanah varietas Tuban, Bima, Domba, Jerapah, Gajah,
Kelinci, Kancil, dan Bison sebanyak 3,29 ton.
Perbanyakan benih BS kacang hijau dari varietas
Kutilang, Murai, Betet, Perkutut, Sriti, Kenari, Vima
1, dan Walet menghasilkan calon benih 4,14 ton.
Umbi segar(t/ha)
45
40
35
30UJ5 Litbang UK2 Adira4 MLG6 Butoijo
Varietas
Gambar 1. Rata-rata hasil ubi kayu varietasUJ-5, Litbang UK2, Adira4, MLG6,dan Butoijo. Lampung, 2012.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan32
Penelitian berperan penting dalam mengembangkan komoditas
hortikultura yang berdaya saing dan berkelanjutan. Badan Litbang
Pertanian melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura pada
tahun 2012 telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi, antara lain
varietas unggul baru, teknologi produksi dan peningkatan kualitas
produk, serta benih sumber beberapa komoditas hortikultura untuk
memenuhi permintan yang terus meningkat. Inovasi teknologi tersebut
diharapkan dapat mendukung upaya pengembangan agribisnis
hortikultura yang berdaya saing serta peningkatan pendapatan petani.
Hortikultura
Pertanaman kentang di kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran,Lembang, Jawa Barat.
Hortikultura 33
Varietas Unggul Baru
Badan Litbang Pertanian pada tahun 2012 telah
melepas tiga varietas unggul kentang, lima varietas
anggrek, tujuh varietas krisan mutan, dua varietas
krisan pot, dua varietas krisan potong, dan tiga
varietas gladiol. Varietas unggul ini diharapkan
memperkuat agribisnis kentang dan tanaman hias.
Kentang
Tiga verietas unggul kentang yang dihasilkan pada
tahun 2012 cocok untuk kentang olahan. Varietas
Amabile berdaya hasil tinggi (24-27 t/ha) dengan
rendemen hasil keripik melebihi varietas pembanding
Atlantik. Kandungan air umbi tergolong rendah
sehingga menghemat penggunaan minyak goreng.
Kentang varietas Medians juga berdaya hasil
tinggi (24-27 t/ha) dengan rendemen hasil keripik
juga tinggi. Kandungan air umbi rendah sehingga
efisien dalam penggunaan minyak goreng. Varietas
Maglia memiliki potensi hasil paling tinggi, mencapai
29,2 t/ha. Rendemen keripik melebihi varietas
Atlantik, dan kandungan air umbinya lebih rendah
dibandingkan Amabile dan Medians.
Tanaman Hias
Anggrek Phalaenopsis Bunga Standar
Empat anggrek Phalaenopsis yang dihasilkan pada
tahun 2012 yaitu Ayu Lestari, Ayu Suciati, Udapa Pink,
dan Indu Pramesi. Anggrek Ayu Lestari mempunyai
panjang tangkai bunga 17,2-40,8 cm, lebar bunga
7,8-8,2 cm dengan jumlah kuntum bunga tiap tangkai
12-21 kuntum. Kuntum bunga menghadap ke tiga
arah, dengan warna bibir bunga red purple 61 A,
pangkal sedikit kuning, dan kumis sedang. Tiap
tanaman dapat menghasilkan bunga 12-21 kuntum/
tahun dengan lama kesegaran bunga 3-4 bulan.
Anggrek ini beradaptasi dengan baik di daerah dengan
ketinggian 600-1.400 m dpl.
Anggrek Ayu Suciati mempunyai warna bibir
bunga red purple group dengan kumis sedang.
Panjang tangkai bunga 23,0-32,5 cm, lebar bunga
7,9-8,8 cm, dan jumlah kuntum bunga tiap tangkai
12-25 kuntum. Bunga menghadap ke segala arah.
Tiap tanaman dapat menghasilkan 12-25 kuntum/
tahun. Lama kesegaran bunga 3-4 bulan. Anggrek
ini beradapatasi baik pada ketinggian tempat 600-
1.400 m dpl.
Anggrek Udapa Pink mempunyai bunga tipe
standar dengan warna bibir bunga red purple 66A,
Varietas unggul baru kentang Amabile (kiri), Medians (tengah), dan Maglia (kanan), potensi hasil
berkisar antara 24-29 t/ha.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan34
dan bunga menghadap ke segala arah. Panjang
tangkai bunga 60-65 cm, lebar bunga 7,0-7,4 cm,
jumlah kuntum bunga 9-10 kuntum/tangkai, dan hasil
bunga 2-4 tangkai/tanaman/tahun. Lama kesegaran
bunga 3 bulan. Anggrek ini beradaptasi dengan baik
pada ketinggian 600-1.200 m dpl,
Anggrek Indu Pramesi memiliki bunga tipe
standar, dengan warna bibir bunga putih NN 155B.
Panjang tangkai bunga 50,0-55,7 cm, lebar bunga
9,2-9,8 cm, jumlah kuntum tiap tangkai bunga 8-12
kuntum, dan hasil bunga 2-4 tangkai/tanaman/tahun.
Bunga menghadap ke dua arah. Lama kesegaran
bunga 2,5-3 bulan. Anggrek ini beradaptasi dengan
baik pada ketinggian tempat 600-1.200 m dpl.
Anggrek Dendrobium Mutan
Anggrek Dendrobium baru diberi nama Lintang Ayu.
Anggrek pot ini memiliki warna bibir bunga ungu
bergaris ungu tua dengan panjang tangkai bunga
16,5-17,8 cm, lebar bunga 5,2-5,3 cm, dan jumlah
kuntum bunga tiap tangkai 7-9 kuntum. Tiap tanaman
dapat menghasilkan bunga 2 tangkai/tahun. Bunganya
menghadap ke dua arah. Lama kesegaran bunga 1-
2 bulan. Anggrek ini beradaptasi dengan baik pada
ketinggian tempat 600-1.400 m dpl.
Krisan Mutan
Tujuh krisan mutan yang dihasilkan pada tahun 2012
diberi nama Marimar, Yulimar, Violetana,
Merahayandi, Merahayani, Salemar, dan Limeron.
Krisan Marimar mempunyai tinggi tanaman 110-120
cm, tipe bunga standar, bentuk bunga dekoratif dengan
bunga pita berwarna kuning. Diameter kuntum bunga
12-14 cm, satu kuntum tiap tangkai. Waktu respons
7-9 minggu setelah periode hari panjang dan lama
kesegaran bunga 10-14 hari.
Krisan Yulimar mempunyai tinggi tanaman 110-
120 cm, tipe bunga standar, bentuk bunga dekoratif
dengan bunga pita berwarna putih. Diameter kuntum
bunga berkisar antara 12-14 cm, satu kuntum per
tangkai. Waktu respons 8-10 minggu setelah periode
hari panjang dan lama kesegaran bunga 10-14 hari.
Krisan Violetana mempunyai tinggi tanaman 110-
120 cm dan tipe bunga spray. Bentuk bunganya
semiganda dengan bunga pita berwarna violet.
Anggrek Dendrobium mutan Lintang Ayu.
Anggrek Phalaenopsis bunga standar: (a) Ayu
Lestari, (b) Ayu Suciati, (c) Udapa Pink, dan
(d) Indu Pramesi.
Hortikultura 35
Diameter kuntum 7,0-7,2 cm dan tiap tangkai terdapat
14-16 kuntum. Waktu respons 7-9 minggu setelah
perlakuan hari pendek dan lama kesegaran bunga
10-15 hari.
Krisan Merahayandi mempunyai tinggi tanaman
110-120 cm. Bunganya bertipe spray dengan bentuk
bunga semiganda dan bunga pita berwarna merah
terakota. Diameter kuntum 7,0-7,5 cm dengan 35
kuntum per tangkai. Waktu respons 8-10 minggu
setelah perlakuan hari pendek dan lama kesegaran
bunga 10-15 hari.
Krisan Merahayani mempunyai tinggi tanaman
110-120 cm. Bunga tipe spray, berbentuk semi-
ganda, dengan bunga pita berwarna merah. Diameter
kuntum bunga berkisar antara 5,5-6,5 cm dengan
14-16 kuntum per tangkai. Waktu respons 9-10
minggu setelah hari pendek dan lama kesegaran
bunga 10-15 hari.
Krisan Salemar mempunyai tinggi tanaman 110-
120 cm. Bunganya tipe spray dengan bentuk bunga
semiganda dan bunga pita berwarna salem. Diameter
kuntum bunga 7,5-8,5 cm dengan 14-16 kuntum per
tangkai. Waktu respons 7-9 minggu setelah hari
pendek dan lama kesegaran bunga 10-15 hari.
Krisan Limeron mempunyai tinggi tanaman 110-
120 cm. Tipe bunga spray, bentuk bunga semiganda,
dengan bunga pita berwarna oranye. Diameter
kuntum bunga 7-8 cm dan tiap tangkai terdapat 15-
17 kuntum. Waktu respons 7-9 minggu setelah hari
pendek dan lama kesegaran bunga 12-16 hari.
Krisan Pot
Dua krisan pot yang dihasilkan pada tahun 2012 diberi
nama Chandrasmurti dan Anindita. Chandrasmurti
mempunyai tinggi tanaman 21,5-33,0 cm, tipe bunga
spray, bentuk bunga dekoratif dengan bunga pita
berwarna kuning oranye. Diameter kuntum 5,11-5,54
cm dengan 4-5 kuntum per tangkai. Waktu respons
56-63 hari setelah periode hari panjang, dan ber-
adaptasi dengan baik pada ketinggian 700-1.200 m
dpl.
Marimar Yulimar Violetana Merahayandi
Merahayani Salemar Limeron
Tampilan tujuh bunga varietas baru krisan yang dilepas Badan Litbang Pertanian pada tahun 2012.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan36
Krisan Anindita mempunyai tinggi tanaman 17,8-
26,0 cm. Tipe bunga spray, bentuk bunga dekoratif,
dan bunga pita berwarna ungu muda. Diameter
kuntum bunga 4,8-5,1 cm, dengan 4-5 kuntum bunga
per tangkai. Waktu respons 56-65 hari, dan
beradaptasi dengan baik pada ketinggian tempat 700-
1.200 m dpl.
Krisan Bunga Potong Tipe Spray
Enam varietas baru krisan potong tipe spray diberi
nama Elora, Velma, Azzura, Kineta, Selena, dan
Salzieta. Elora mempunyai tinggi tanaman 88,5-92,5
cm. Bunga berbentuk anemon dengan warna bunga
pita white group 155 A. Diameter kuntum bunga 3,1-
3,5 cm, dan jumlah kuntum tiap tangkai 16-20. Waktu
respons 49-56 hari dan lama kesegaran bunga 16-
20 hari.
Krisan Velma mempunyai tinggi tanaman 125-
135 cm. Bunga tipe spray, berbentuk ganda dengan
warna bunga pita yellow orange group 22. Diameter
kuntum bunga 6,2-6,5 cm dan 12-15 kuntum per
tangkai. Waktu respons 57-63 hari dan lama
kesegaran bunga 17-21 hari.
Krisan Azzura mempunyai tinggi tanaman 99-
106 cm. Bunga tipe spray dengan bentuk bunga ganda
dan warna bunga pita greyed red group 179 A.
Diameter kuntum bunga 3,8-4,5 cm dan tiap tangkai
memiliki 14-23 kuntum. Waktu respons 52-56 hari
dan lama kesegaran bunga 14-18 hari.
Krisan Kineta mempunyai tinggi tanaman 95-97
cm. Bunga tipe spray, berbentuk dekoratif, dengan
warna bunga pita purple group 75 B dan red purple
group 74 B pada bagian tengah. Diameter kuntum
bunga 5,6-6,3 cm dan tiap tangkai terdapat 19-27
kuntum. Waktu respons 52-56 hari dan lama
kesegaran bunga 14-17 hari.
Krisan Selena mempunyai tinggi tanaman 92,0-
98,5 cm. Tipe bunga standar, bentuk bunga dekoratif,
dengan warna bunga pita greyed orange group 179
B. Diameter kuntum bunga 8,9-10,5 cm, satu kuntum
bunga tiap tangkai. Waktu respons 52-57 hari dan
lama kesegaran bunga 15-18 hari.
Krisan Salzieta mempunyai tinggi tanaman 104-
110 cm. Bunga tipe spray, bentuk bunga ganda,
dengan warna bunga pita yellow group 12 A dan
greyed red group 178 D pada bagian tengah. Diameter
Krisan pot Chandrasmurti dan Anindita.
Chandrasmurti
Anindita
Elora Velma Azzura
Kineta Selena Salzieta
Tampilan bunga enam krisan potong dengan
tipe bunga spray.
Hortikultura 37
kuntum bunga 5,4-6,0 cm dan 20-31 kuntum per
tangkai. Waktu respons 50-57 hari dan lama
kesegaran bunga 17-21 hari.
Gladiol
Dua varietas gladiol yang dihasilkan pada tahun 2012
diberi nama Devi dan Firda. Gladiol Devi memiliki
tinggi tanaman 83,0-135,0 cm dan mulai berbunga
pada umur 45-60 hari. Diameter bunga 10,7-12,0 cm,
hasil bunga 1-3 tangkai/tanaman/musim tanam, dan
lama kesegaran bunga 3-4 hari setelah dipotong dan
10-15 hari di lapangan.
Gladiol Firda memiliki tinggi tanaman 86,1-107,2
cm. Mulai berbunga pada umur 45-60 hari dengan
diameter bunga 8,5-12,5 cm, hasil bunga 1-3 tangkai/
tanaman/musim tanam, lama kesegaran bunga 5-6
hari setelah dipotong dan 10-15 hari di lapangan.
Calon Varietas Unggul Jeruk
Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan dua calon
varietas unggul baru jeruk keprok SoE dan jeruk
pamelo dengan sifat tanpa biji (seedless), daya hasil
tinggi, rasa manis, dan warna kulit menarik.
Teknologi Produksi
Selain varietas unggul, pengembangan komoditas
hortikultura memerlukan teknologi yang mampu
meningkatkan produksi dan kualitas agar dapat
bersaing di pasar dalam dan luar negeri.
Pengendalian Hama dan Penyakit padaKentang Toleran Suhu Panas
Pengembangan kentang di dataran medium meng-
alami berbagai kendala, di antaranya serangan hama
dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas dan
kuantitas hasil panen. Badan Litbang Pertanian telah
menghasilkan beberapa klon kentang yang toleran
suhu panas dan untuk mengembangkannya diperlu-
kan dukungan teknologi.
Calon varietas unggul baru pamelo (kiri) dan
jeruk keprok SoE tanpa biji (kanan).
Gladiol Devi (kiri) dan Firda
(kanan).
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan38
Penelitian menunjukkan bahwa pengendalian
hama terpadu (PHT) mampu menekan populasi dan
intensitas serangan hama dan penyakit, kecuali
penyakit layu bakteri. Oleh karena itu perlu dilakukan
perbaikan teknologi pengendalian yang tepat. Selain
itu diperlukan teknologi untuk menurunkan suhu tanah
agar tanaman kentang dapat tumbuh dan berproduksi
optimal. Dari dua klon toleran suhu panas yang diuji,
klon CIP 392781.1 mempunyai harapan untuk
dikembangkan lebih lanjut.
Teknologi Produksi Cabai MerahMenggunakan Naungan
Penggunaan naungan (netting house) berukuran 11,0
x 13,5 m dan tinggi 2,5 m dengan spesifikasi R12-
C225TrM2-70 mesh 66, lubang 127/cm2, dapat
meningkatkan hasil cabai merah 238% dibandingkan
dengan di lahan terbuka (22,9 t vs. 9,6 t/ha).
Penggunaan naungan meningkatkan pertumbuhan
tanaman yang secara langsung memengaruhi hasil
cabai merah.
Dosis pupuk NPK 500 kg/ha dapat digunakan
untuk tanaman cabai merah yang ditanam di bawah
naungan. Untuk meningkatkan adopsi oleh petani,
teknologi produksi cabai merah di bawah naungan
dapat diuji coba pada skala yang lebih luas untuk
memperoleh perhitungan (analisis) finansial yang
sesungguhnya sebagai patokan petani untuk me-
nerapkan teknologi.
Perbanyakan Varietas dan Klon-klon TerpilihPhalaenopsis secara Meriklon
Perbanyakan dilakukan di laboratorium kultur jaringan
Balai Penelitian Tanaman Hias untuk mendapatkan
media dasar sumber karbon, posisi dan ukuran
eksplan, dan media proliferasi yang optimal untuk
perbanyakan varietas dan klon-klon Phalaenopsis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tangkai bunga
tanpa tangkai kuncup merupakan sumber tunas yang
paling baik untuk kultur meristem Phalaenopsis. Tunas
hasil regenerasi tangkai bunga dikultur pada media
dasar 1/2 MS yang ditambah TDZ 3 mg/l, BAP 0,5
mg/l, dan sukrosa 20 g/l sebagai sumber karbon.
Ukuran tunas pucuk 2,0 mm potensial untuk induksi
embriogenesis pada medium 1/2 MS yang direduksi
konsentrasi hormonnya menjadi TDZ 1,5 mg/l dan
BA 0,25 mg/l.
Cabai merah yang ditanam dengan sistem
naungan (netting house).
Isolasi meristem dan eksplan untuk
pengembangan kultur meristem Phalaenopsis.
Hortikultura 39
dengan bahan pembawanya, yaitu media formulasi
dari bahan alami yang mengandung karbohidrat dan
protein minimal. Perlakuan bakteri antagonis B26 dan
B37 yang disuspensikan dalam air steril dan media
formulasi dari bahan alami yang mengandung karbo-
hidrat dan protein minimal dan diaplikasikan setiap
minggu dan 14 hari sekali, konsisten menekan penyakit
layu fusarium pada anggrek Phalaenopsis.
Peningkatan Kualitas Buah Manggis
Manggis adalah salah satu komoditas buah unggulan
dan merupakan buah eksotik Indonesia yang belum
dimiliki oleh sebagian besar negara lain. Namun, ada
beberapa kendala dalam menghasilkan buah manggis
berkualitas, antara lain munculnya getah kuning pada
kulit buah, daging buah bening, burik pada kulit buah,
dan serangan semut. Untuk mengatasi kendala
tersebut telah diuji beberapa komponen teknologi
pengendalian getah kuning pada kulit buah dan daging
buah bening.
Teknologi yang diuji adalah aplikasi pupuk
lengkap, yaitu P2O
5 (SP36), K
2O (KCl), CaCO
3 (dolomit),
MgO (kiserit), dan N (urea) dengan dosis berturut-
turut 0,67 kg, 0,53 kg, 0,59 kg, 1.15 kg, 1 kg/pohon
untuk mengendalikan getah kuning dan daging bening
serta aplikasi serai wangi tiap minggu sekali dengan
dosis 2 cc/l untuk mengendalikan burik dan semut
Empulur 1 yang dikultur pada medium 1/2 MS
yang ditambah TDZ 0,75 mg/l dan BAP 0,25 mg/l
potensial untuk embriogenesis Phalaenopsis. Produksi
embrio dapat ditingkatkan dengan mensubkultur kalus
embriogenik pada medium 1/2 MS dengan vitamin
penuh.
Pengendalian Hayati Penyakit Fusariumoxysporum pada Anggrek Phalaenopsis
Penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh Fusarium
oxysporum pada anggrek dapat menimbulkan ke-
rusakan hingga 40%. Biofungisida cair berbahan aktif
bakteri antagonis B37 dan B26 efektif mengendalikan
penyakit layu fusarium pada anggrek masing-masing
65,3% dan 48,9%. Namun, isolat bahan aktif tersebut
belum diidentifikasi dan diuji kompatibilitasnya, dan
masih diaplikasikan dalam bentuk biakan murni.
Hasil penelitian menunjukkan bahan aktif bio-
pestisida B26 dan B37 adalah bakteri dari genus
Bacillus sp. Semua bahan aktif biopestisida kompatibel
Respons kultur pucuk pada perbanyakan
tahap awal anggrek Phalaenopsis.
Koloni bakteri antagonis B26 (kiri) dan B37
(kanan) pada media Kings B.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan40
menurunkan populasi hama Thrips penyebab burik
serta semut pada buah manggis.
Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Buahpada Mangga di Tempat Penyimpanan
Gejala penyakit busuk pangkal buah pada mangga
mulai muncul setelah 7 hari disimpan pada suhu 26,8
± 0,4°C dan kelembapan relatif 70,0% ± 2,4% dengan
persentase penularan 1,7-11,2% dan intensitas 0,4-
3,2%. Perkembangan penyakit ini terjadi sangat cepat
setelah 10-11 hari. Aplikasi kombinasi fungisida
berbahan aktif propineb dan minyak serai wangi atau
propineb dan mancozeb secara selang-seling satu
minggu sekali sebelum panen mampu mengendalikan
penyakit busuk pangkal buah di tempat penyimpanan.
Pemupukan dan aplikasi minyak serai wangi dapat meningkatkan kualitas buah manggis.
Gejala burik, getah kuning, dan daging bening yang menjadi kendala dalam pengembangan agribisnis
manggis.
pada buah. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
pemberian pupuk lengkap SP36, KCl, dolomit, kiserit,
dan urea dapat menurunkan getah kuning dan daging
bening pada buah manggis. Dengan demikian, untuk
meningkatkan kualitas buah manggis direkomendasi-
kan dengan memberikan pupuk lengkap (NPK)
ditambah dengan pupuk Ca dan Mg dua kali per
musim, yaitu sebelum dan 2 bulan setelah tanaman
berbunga. Dosis pupuk untuk dua kali pemberian
adalah 0,67 kg, 0,53 kg, 0,59 kg, 1.15 kg, 1 kg/pohon
berturut-turut untuk SP36, KCl, dolomit, kiserit, dan
urea. Minyak serai wangi yang diaplikasikan secara
rutin seminggu sekali dengan dosis 1-2 cc/l air mampu
mengurangi persentase buah burik dan populasi
semut. Minyak serai wangi memiliki sifat penolak
serangga dan mampu membunuh serangga sehingga
Hortikultura 41
l. Pada semua genotipe jeruk, sumber karbon dalam
bentuk sukrosa diperlukan untuk perbanyakan sel
dengan konsentrasi yang bervariasi, yaitu 146 mM
untuk mandarin dan 88 mM untuk JC, nipis, dan purut.
Pada beberapa genotipe jeruk, induksi embrio
terjadi tanpa ZPT dan dipengaruhi oleh jenis dan
konsentrasi sumber karbon. Sebagai contoh, pada
JC, induksi embrio terjadi pada media yang
mengandung 88 mM sorbitol dan galaktosa dengan
rasio yang sama, sedangkan untuk nipis pada media
yang mengandung 146 mM maltosa dan purut pada
146 mM laktosa. Induksi embrio JC tercepat terjadi
pada media 146 mM maltose, namun setelah 60 hari,
jumlah embrio yang terbentuk lebih sedikit
dibandingkan dengan media yang mengandung 88
mM sorbitol dan galaktosa. Pada nipis, komposisi
media yang mampu menginduksi embrio adalah
media dengan 88 mM maltosa, 146 mM maltosa, dan
146 mM laktosa dengan proses induksi tercepat terjadi
pada media 146 mM laktosa. Pada purut, komposisi
media yang mampu menginduksi embrio adalah
media dengan 146 mM maltosa, 88 mM gliserol, dan
88 mM sorbitol dan galaktosa pada rasio 1:3 dengan
proses induksi tercepat pada media dengan 88 mM
sorbitol dan galaktosa. Pada mandarin, kombinasi
sorbitol dan galaktosa pada rasio 3:1 menunjukkan
hasil lebih baik dibanding sumber karbon yang lain.
Embriogenesis Jeruk
Keberhasilan embriogenesis pada jeruk dipengaruhi
oleh tipe eksplan, zat pengatur tumbuh, sumber
karbon, dan kondisi kultur. Pada awal proses inisiasi
sel, pemilihan tipe eksplan diperlukan untuk men-
dapatkan sel-sel embriogenik pada periode waktu
yang pendek. Pada jeruk, sel-sel nuselus merupakan
eksplan yang tepat. Eksplan ini mudah membentuk
kalus embriogenik yang remah (friable) pada
berbagai genotipe jeruk, seperti jeruk manis pacitan,
siam pontianak, keprok garut, Batu 55, JC, nipis, dan
purut, baik pada media dengan maupun tanpa zat
pengatur tumbuh.
Pada tahap perbanyakan sel friable dan embrio-
genik pada media padat, pertumbuhannya dipengaruhi
oleh keseimbangan ZPT dan konsentrasi karbon. Pada
perbanyakan sel friable dan embriogenik secara
massal pada media cair, pertumbuhannya dipengaruhi
oleh kepadatan inokulum dan aerasi udara. Per-
bedaan genotipe jeruk diekspresikan oleh variasi
kebutuhan sitokinin untuk pertumbuhan sel yang
massif. Sel embriogenik JC, nipis, dan purut tumbuh
optimal pada dosis sitokinin rendah (0,5-1 mg/l),
sedangkan jeruk mandarin, keprok Borneo Prima,
Batu 55, garut, selayar, siam pontianak, dan kintamani
lebih baik dengan perlakuan sitokinin dosis 1,5-3 mg/
Serangan penyakit antraknose dan busuk pangkal buah pada mangga Arumanis dan Gedong Gincu di
tempat penyimpanan.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan42
(121,3 kg), Bima (188,6 kg), Kuning (139,1 kg),
Pikatan (173,2 kg), Trisula (209,2 kg), Pancasona
(219,4 kg), Mentes (340,8 kg), Kramat-1 (18 kg), dan
Kramat-2 (4,5 kg). Benih sayuran lainnya yang
didistribusikan meliputi cabai varietas Lembang-1 (4,7
kg), Tanjung-2 (49 g), dan Kencana (4,9 kg), tomat
varietas Mutiara (51 g), Opal (0,4 kg), Ratna (21 g),
Zamrut (45 g), Intan (23 g), Berlian (0,6 kg), dan
CLN 6046 (117 g), bayam varietas Giti Merah (7,6
kg) dan Giti Hijau (5,1 kg), mentimun varietas
Saturnus (255 g), Mars (11,1 kg), Pluto (1,9 kg),
Hibrida-1 (5 g), dan Hibrida-7 (5 g), kacang panjang
varietas KP-1 (69,8 kg), Pras-1 (5,1 kg), dan Pras-3
(100 g), caisim LV-145 (9,8 kg), buncis rambat Horti-
1 (41,7 kg), Horti-2 (16,9 kg), dan Horti-3 (750 g),
kangkung varietas Sutera (60,7 kg), buncis tegak Le
02 (75 g), Le 44 (75 g), dan Balitsa-1 (0,5 kg), serta
kentang Granola (9136), Merbabu-17 (2695),
Margahayu (2552), GM-05 (1881), Cipanas (1823),
Kikondo (1770), GM-08 (2422), dan Tenggo (2119).
Untuk buah tropika telah didistribusikan 377 bibit
durian varietas Otong dan 209 bibit durian Kani ke
Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,
Riau, Bengkulu, Fakfak, Aceh, Jambi, dan Batam; serta
Bibit manggis (kiri) dan durian (kanan) yang siap didistribusikan kepada pengguna.
Perbanyakan sel yang optimum terjadi pada
media dengan konsentrasi sumber karbon 88 mM,
sedangkan induksi embrio dan perkecambahan
memerlukan konsentrasi karbon yang lebih tinggi,
yaitu 146 mM. Ini menunjukkan bahwa embriogenesis
somatik dipengaruhi oleh sumber karbon sebagai
energi dan pengatur osmotikum media untuk
menciptakan metabolisme yang optimal. Hasil
observasi pada media padat tersebut akan digunakan
untuk mendapatkan embriogenesis massal pada
kondisi cair di dalam bioreaktor.
Distribusi Benih Sumber
Benih sumber yang dihasilkan melalui Unit Pengelola
Benih Sumber (UPBS) diupayakan dapat memenuhi
permintaan konsumen. Pada tahun 2012, UPBS
hortikulltura telah mendistribusikan sejumlah benih
kepada pengguna, baik perusahaan swasta maupun
masyarakat umum.
Untuk memenuhi permintaan pengguna telah
didistribusikan 2,3 ton benih sumber bawang merah
varietas Sembrani (437,3 kg), Katumi (539,1 kg), Maja
Hortikultura 43
Bibit jeruk kelas BF dan BPMT di Kebun Percobaan Punten, Batu, Jawa Timur, untuk didistribusikan ke
beberapa sentra produksi di Indonesia.
tiga bibit durian varietas Sunan, 59 bibit durian
varietas Matahari, dan 11 bibit durian varietas Lae
ke Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Riau, Bengkulu, Fakfak, Aceh, Jambi, Lubuk
Minturum, Papua Barat, Cipaku Bogor, dan Sumatera.
Bibit manggis varietas Ratu Kamang sebanyak 637
bibit dan Ratu Tembilahan 4.315 bibit telah didistri-
busikan ke Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara, Riau, Aceh, Jambi, Papua Barat,
Cipaku Bogor, dan Berastagi. Lima puluh enam bibit
alpokat varietas Mega Paninggahan, 59 bibit alpokat
Mega Murapi dan Mega Gagauan didistribusikan ke
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Bengkulu, Riau, Aceh, Cipaku Bogor, Muaro
Jambi, Sumatera, dan Berastagi. Sebanyak 108 bibit
sirsak varietas Ratu didistribusikan ke Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bengkulu,
Riau, Aceh, Pakan Baru, Sumatera (swasta), dan
Berastagi, dan 136 bibit mangga didistribusikan ke
Sumatera.
Benih tanaman hias yang telah didistribusikan
selama tahun 2012 meliputi 108.765 setek dan 2.080
planlet krisan, yang terdiri atas Swarna Kencana
(28.610 setek dan 320 planlet), Wastu Kania (11.280
setek dan 280 planlet), Pasopati (32.930 setek dan
700 planlet), dan Kusuma Sakti (35.945 setek dan
780 planlet). Benih didistribusikan ke Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Bali, Palembang,
Lampung, Medan, dan Tomohon.
Bibit varietas jeruk keprok dataran tinggi dan
dataran rendah telah didistribusikan kepada pemesan,
di antaranya Dinas Pertanian, Direktorat Perbenihan,
dan beberapa sentra jeruk di Indonesia. Bibit BF telah
tersebar di 17 provinsi dan BPMT di 19 provinsi,
meliputi 6.851 pohon yang terdiri atas jeruk keprok
varietas Berasitepu, Batu 55, Borneo Prima, Garut,
Grabag, Kacang, Madu Terigas, Madura, Pulau
Tengah, Pulung, Selayar, SoE, dan Tejakula; jeruk
manis Pacitan; pamelo Magetan, dan Srinyonya,
serta jeruk siam varietas Banjar, Madum, dan Siompu.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan44
Perkebunan
Komoditas perkebunan sebagai penghasil devisa memerlukan penelitian
dan pengembangan dengan memerhatikan berbagai aspek, terutama
lingkungan dan daya saing. Badan Litbang Pertanian melalui Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun) senantiasa
berupaya menghasilkan inovasi teknologi perkebunan yang mudah
diterapkan, efektif, efisien, ramah lingkungan, dan berdaya saing.
Kegiatan penelitian dan pengembangan pada tahun 2012 telah
menghasilkan inovasi teknologi yang terkait dengan upaya peningkatan
keragaman dan jumlah bahan tanaman, produktivitas, mutu, dan sintesis
kebijakan dalam upaya menuju usaha perkebunan yang berkelanjutan.
Kebun induk kelapa Dalam Kima Atas, Sulawesi Utara.
Perkebunan 45
Varietas Unggul
Varietas unggul merupakan komponen teknologi yang
andal untuk meningkatkan produksi. Daya hasil yang
tinggi, tahan terhadap hama penyakit, dan toleran
terhadap kondisi lingkungan tertentu merupakan sifat
penting yang dimiliki oleh varietas unggul.
Untuk mendukung pengembangan komoditas
perkebunan, pada tahun 2012 Badan Litbang
Pertanian telah menghasilkan sejumlah varietas
unggul tanaman perkebunan. Varietas-varietas
tersebut dapat menambah keragaman pilihan bagi
petani maupun pelaku usaha sehingga akan
meningkatkan hasil dan pendapatan mereka.
Varietas Wijen Unggul Winas 1 dan Winas 2
Wijen merupakan bahan baku industri makanan kecil
dan minyak. Sentra pengembangan wijen di Indonesia
adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan,
Gorontalo, dan Lampung. Di daerah tersebut, wijen
umumnya dibudidayakan di lahan kering pada musim
hujan. Namun, seiring dengan meningkatnya
permintaan di dalam negeri, pengembangan wijen
mulai merambah ke lahan sawah. Di lahan sawah,
wijen ditanam sesudah padi pada musim kemarau
pertama maupun kedua, seperti di Kabupaten
Sampang, Nganjuk, dan Sukoharjo.
Pengembangan wijen di lahan sawah sesudah
padi memerlukan varietas unggul yang berproduksi
tinggi. Varietas unggul wijen yang direkomendasikan
untuk lahan sawah sesudah padi adalah Sumberrejo
4 (Sbr-4) yang dilepas pada tahun 2007, serta Wijen
Nasional 1 (Winas 1) dan Winas 2 yang dilepas pada
tahun 2012. Potensi hasil, umur panen, warna biji,
dan daya adaptasi ketiga varietas tersebut disajikan
pada Tabel 1.
Potensi hasil varietas Winas 1 mencapai 2.222
kg/ha, dengan rata-rata 1.471 kg. Varietas ini memiliki
daya adaptasi yang luas dan produktivitasnya lebih
tinggi 16,6% dibanding Sbr-4. Pada pengujian di
Nganjuk dalam kondisi tercekam kekeringan, hasilnya
27,5% lebih tinggi dibanding Sbr-4.
Varietas Winas 2 mampu menghasilkan biji 1.874
kg/ha, dengan rata-rata 1.413 kg/ha, 12% lebih tinggi
dibanding Sbr-4. Varietas ini beradaptasi pada lokasi
spesifik, yaitu daerah yang memiliki agroekosistem
seperti di Nganjuk dan Sampang. Pada kondisi
tercekam kekeringan, hasilnya 899 kg/ha atau 82,8%
lebih tinggi dibanding Sbr-4. Demikian juga di
Sampang pada tahun 2009 dan tahun 2011, hasilnya
masing-masing 1.211 kg dan 1.493 kg/ha atau lebih
tinggi 32,9% dan 45,8% lebih tinggi dibanding Sbr-
4.
Waktu yang tersedia untuk menanam wijen di
lahan sawah sesudah padi II berbeda di masing-
masing daerah. Di Sukoharjo, waktu yang tersedia
yakni 4 bulan (Juli-Oktober), di Nganjuk 3,5 bulan
(Juni-pertengahan September), sedangkan di
Sampang 5 bulan (Juni-Oktober). Dengan demikian,
ketiga varietas tersebut dapat mendukung
pengembangan wijen di lahan sawah sesudah padi
karena umur panennya kurang dari 3,5 bulan. Di
Nganjuk yang waktu tanam wijen setelah padi II paling
singkat, varietas Winas 2 sangat tepat dikembangkan
Tabel 1. Potensi hasil, umur panen, warna biji, dan daya adaptasi varietas unggul wijen (Sbr-4), Winas 1 dan Winas 2.
Hasil biji (kg/ha) Umur panen (hari)Daya adaptasi/
Varietas Warna bijistabilitas
Rata-rata Potensi Kisaran Rata-rata
Sbr 4 1.262 1.952 89-103 98 Putih Luas/stabil
Winas 1 1.471 2.222 95-106 101 Putih Luas/stabil
Winas 2 1.413 1.874 93-103 98 Putih Sempit/spesifik
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan46
karena umur panennya kurang dari 100 hari sehingga
tidak mengganggu pola tanam dalam setahun.
Kelapa Dalam Panua
Kelapa Dalam Panua berasal dari Desa Tehele
Kecamatan Popayato Timur, Kabupaten Pohuwato
Provinsi Gorontalo, merupakan hasil seleksi massa
dari populasi kelapa Dalam di Perkebunan PT Tombito.
Tipe tanaman tumbuh tegak dengan tinggi mencapai
18-20 m.
Kelapa Dalam Panua mulai berbunga pada umur
48 bulan dan panen pada umur 60 bulan. Jumlah
tandan bunga yang dihasilkan per tahun mencapai
14 buah, dengan jumlah buah tiap tandan rata-rata
10 butir, jumlah buah tiap pohon 149 butir, dan jumlah
buah per hektar per tahun 14.876 butir. Buahnya
berwarna hijau kekuningan, hijau, atau merah
kecoklatan dengan sabut tipis. Bobot buah utuh 1.750
g, bobot kopra per butir 232 g, dan kadar minyak
66,3%.
Kelapa Dalam Panua cocok dikembangkan di
lahan kering beriklim basah dengan tinggi tempat
kurang dari 500 m dpl. Curah hujan berkisar antara
1.000-1.500 mm/tahun dan bulan kering kurang dari
6 bulan dalam setahun.
Pinang Betara
Pinang Betara telah lama dibudidayakan petani di
Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Jambi, merupakan hasil seleksi dari populasi pinang
di kecamatan tersebut. Pinang unggul ini mulai
berbunga pada umur 4-5 tahun dan buah dapat
Pertanaman wijen varietas Sbr-4 (kiri), Winas 1 (tengah), dan Winas 2 (kanan).
Tampilan biji tiga varietas unggul wijen (Sbr-4), Winas 1, dan Winas 2.
Perkebunan 47
kering 5,7 kg/pohon/tahun, dan potensi hasilnya 7,8
t/ha.
Pinang ungul Batara sesuai dikembangkan di
lahan gambut atau pasang surut dengan bulan kering
maksimal 3 bulan dan curah hujan lebih dari 1.250
mm/tahun. Saat ini jumlah pohon induk pinang terpilih
mencapai 250 pohon. Pohon induk ini mampu
memproduksi benih 165.588 butir/tahun, yang dapat
digunakan untuk pengembangan pinang seluas
120,87 ha per tahun.
Cengkih Zanzibar Gorontalo
Cengkih Zanzibar Gorontalo berasal dari Desa
Taludaa, Gorontalo, merupakan hasil penyerbukan
terbuka cengkih Zanzibar Cibinong, Bogor. Tinggi
tanaman cengkih ini 13,7 + 2,0 m dengan lingkar
batang 116,1 + 15,2 cm. Batang utama membagi 2-
3 dengan bentuk tajuk silindris. Daunnya lonjong
langsing, agak membulat dengan warna daun tua
hijau tua dan warna pucuk merah kekuningan.
Rangkaian bunganya bertangkai panjang dengan
jumlah bunga tiap rangkaian 24 + 4 dan bentuk
bunga langsing agak corong. Bunga yang masih muda
berwarna hijau kemerahan dan setelah masak petik
Kelapa Dalam Panua mampu menghasilkan buah 14.876 butir/ha/tahun.
Pohon pinang Betara dan buah pinang yang
telah masak.
dipanen mulai umur 6-7 tahun. Jumlah buah tiap
tandan rata-rata 131 buah dan bobot biji kering 8,7
g/butir. Kadar tanin biji 9,8%, produktivitas kernel
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan48
berwarna merah. Panjang bunga 18,3 + 1,5 mm
dengan warna mahkota krem berbercak merah.
Bobot kering tiap 100 bunga 11,5 + 0,2 g, bobot
buah 2,8 ± 0,4 g, dan bobot biji 1,0 + 0,2 g. Potensi
hasil bunga basah berkisar antara 102,2-150,8 kg/
pohon/tahun dengan kadar minyak atsiri 19,9-23,0%
dan kadar eugenol 87,4-93,0%.
Teknologi Budi Daya
Penyediaan Bahan Tanaman dengan TeknikKultur Jaringan
Keberhasilan pengembangan komoditas perkebunan
sangat bergantung pada ketersediaan bahan
tanaman yang berkualitas. Namun, penyediaan bahan
tanaman yang bebas hama penyakit dalam jumlah
banyak dalam waktu cepat bukan hal yang mudah.
Terbatasnya pohon induk sebagai sumber benih,
lamanya waktu untuk perbanyakan, dan luasnya area
yang dibutuhkan untuk perbanyakan merupakan
masalah dalam penyediaan bahan tanaman yang perlu
segera diatasi.
Teknologi kultur jaringan dapat menjadi alternatif
dalam perbanyakan bahan tanaman karena tidak
Cengkih Zanzibar Gorontalo.
bergantung pada musim, daya multiplikasi tinggi,
tanaman yang dihasilkan seragam dan bebas dari
penyakit seperti bakteri dan jamur, dan identik dengan
induknya (true to type). Teknologi ini juga dapat
dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman
untuk menghasilkan genotipe-genotipe baru melalui
mutasi yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro atau
in vivo.
Pada beberapa komoditas perkebunan, teknologi
perbanyakan bahan tanaman dengan teknik kultur
jaringan melalui organogenesis dan/atau embrio-
genesis telah dikuasai. Namun beberapa masalah
masih perlu ditindaklanjuti, antara lain keragaman
pada tanaman yang dihasilkan, seperti pada kopi dan
kakao, atau perubahan karakter morfologi tanaman
seperti pada jahe. Pada sebagian besar komoditas
perkebunan lainnya, teknologi kultur jaringan belum
dikuasai sepenuhnya.
Untuk mendukung program pengembangan
komoditas perkebunan, berbagai penelitian telah
dilakukan untuk mendapatkan metode perbanyakan
bahan tanaman maupun menghasilkan bahan
tanaman unggul melalui teknik kultur jaringan. Pada
tahun 2012, penelitian dilakukan pada kopi, kakao,
lada, jahe, jambu mete, dan tebu. Penggunaan
sumber eksplan yang tepat sebagai bahan per-
Perkebunan 49
banyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan
dapat menghasilkan kalus embriogenik yang
selanjutnya berkembang menjadi embrio somatik.
Pada tanaman kopi arabika varietas Sigarar
Utang dan Andung Sari 2 K, penggunaan daun sebagai
sumber eksplan dan media induksi kalus 2,4-D 2 mg/
l + 2-IP 4 mgl/l menghasilkan kalus terberat. Media
induksi kalus 2,4-D 2 mg/l + 2-IP 3 mg/l dan 2,4-D 2
mg/l + 2-IP 4 mg/l dengan media regenerasi kinetin
2 mg/l paling baik untuk menghasilkan embrio somatik
kopi. Benih hasil embrio somatik tumbuh normal
dengan tahapan perkembangan melalui fase globular,
torpedo, dan kecambah.
Pada tanaman kakao varietas ICS 13, Sca 6, dan
UIT 1, penggunaan staminoid sebagai sumber
eksplan menghasilkan kalus embriogenik dan embrio
Tahapan perkembangan embriosomatik kopi arabika varietas Sigarar Utang; (a) embrio somatik kopi
dengan berbagai tahapan, (b) fase torpedo, (c) embrio somatik kopi yang berkecambah.
Sumber eksplan dan tahap perkembangan
embrio somatik kakao: (a) eksplan staminoid,
(b) eksplan petal, (c) kalus primer dari
eksplan staminoid, (d) kalus sekunder dari
eksplan staminoid, (e) embrio somatik fase
kotiledon.
Kalus embriogenik kopi arabika varietas
Sigarar Utang di bawah mikroskop elektron.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan50
somatik terbanyak. Dengan menggunakan media
induksi kalus primer yang diberi kinetin 0,5 mg/l dan
media induksi kalus sekunder WPM + 2,4-D 2 mg/l +
kinetin 0,25 mg/l, varietas Sca 6 menghasilkan embrio
somatik yang lebih banyak dibanding dua varietas
lainnya. Untuk menguji keragaman genetik pada
tanaman kakao hasil embriogenesis somatik (SE),
metode CTAB dapat diaplikasikan untuk isolasi DNA
genom dengan menggunakan daun fase flush.
Sembilan pasang primer SSR telah teramplifikasi dan
siap digunakan untuk menguji keragaman kakao asal
SE.
Pada tanaman lada, penggunaan daun sebagai
sumber eksplan dengan media induksi kalus Gamborg
+ 2,4 D 0,1 mg/l menghasilkan kalus dengan waktu
tercepat, yakni 33 hari, tetapi kalus mengalami
pencoklatan dan akhirnya mati. Media induksi tunas
terbaik adalah MS + BAP 2,5 mg/l dengan waktu
tumbuh 32 hari, jumlah tunas rata-rata 5,3 buah,
dan jumlah daun 5,8 buah.
Pada tanaman jahe putih besar, penggunaan
meristem sebagai sumber eksplan dengan media
induksi MS ditambah sukrosa 2%, glutamin 100 mg/
l, 2,4-D 1,0 mg/l, BA 3,0 mg/l, dan bakto-agar 8%
menghasilkan kalus embriogenik pada umur 8 minggu
dengan struktur kalus remah dan warna putih
kekuningan. Induksi embrio globular dan torpedo
menggunakan media cair yang dikombinasikan
Tahapan perkembangan embrio somatik kakao klon Sca 6 (kiri), embrio somatik fase kotiledon dewasa
klon Sca 6 (tengah), dan embriosomatik fase kotiledon dewasa klon ICS 13 (kanan).
Eksplan daun dan tunas lada pada media
regenerasi.
dengan metode TIS mempercepat perkembangan
embrio somatik dan menghasilkan embrio yang lebih
banyak dibandingkan dengan metode standar (media
padat).
Pada tanaman jambu mete, penggunaan
jaringan nuselus yang diambil dari biji muda sebagai
sumber eksplan lebih baik dibanding eksplan daun,
karena lebih cepat membentuk kalus embriogenik.
Perkebunan 51
Bululawang adalah MS + NAA 0,5 mg/l + BAP 0,1
mg/l, sedangkan untuk varietas Kidang Kencana
dan PSJT 941 adalah MS + IBA 0,5 mg/l + BAP 0,3
mg/l.
Agen seleksi PEG 10% dapat digunakan sebagai
metode seleksi in vitro untuk toleransi kekeringan
pada kalus tebu. Kalus tebu yang berasal dari
perlakuan iradiasi sinar gama 10-20 gy mempunyai
pertumbuhan dan toleransi kekeringan yang lebih
baik dibanding tanpa iradiasi. Seleksi in vitro
menggunakan PEG 10% menghasilkan mutan-mutan
baru dari varietas Bululawang, Kidang Kencana, dan
PSJT 941 untuk diperbanyak dan diseleksi di rumah
kaca.
Media MS + 2,4-D 8 mg/l + BA 1 mg/l + arang aktif
menginduksi kalus paling banyak, yakni 86,1%. Media
MS + 2,4-D 11 mg/l + BA 1 mg/l + arang aktif dan
MS + 2,4-D 12 mg/l + BA 1 mg/l + arang aktif
menghasilkan kalus yang cukup baik dengan diameter
dan berat kalus berturut-turut 0,79 cm dan 0,54 g,
dan 0,76 cm dan 0,58 g.
Pada tanaman tebu varietas BL, KK, dan PSJT
941, media MS + auksin 2,4 D 3 mg/l mampu
menginduksi pembentukan kalus hingga 100%.
Induksi kalus embriogenik varietas Kidang Kencana
dan PSJT 941 membutuhkan tambahan kasein
hidrolisat 1 g/l, namun sebaliknya pada varietas
Bululawang. Media regenerasi terbaik untuk varietas
Pertumbuhan eksplan jahe putih besar umur 2 minggu (a), induksi kalus umur 4 minggu (b), kalus
umur 8 minggu (c), dan kalus embriogenik umur 10 minggu (d).
Nuselus jambu mete yang mengarah ke pembentukan embrio somatik: (a) kalus embriogenik yang
masih melekat pada kulit biji, (b) kalus embriogenik yang telah terlepas, (c) embrio globular terbentuk,
(d) menuju fase hati.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan52
produksi buah kakao per pohon sampai umur 9 bulan
setelah perlakuan. Pemangkasan kakao sampai
tingkat pencahayaan yang masuk ke pertanaman 15%
meningkatkan jumlah buah kakao per pohon sampai
156% dibanding cara petani.
Klon Sulawesi-1 sebagai materi sambung
samping menghasilkan jumlah buah per pohon paling
banyak dibanding klon Sulawesi-2 maupun klon lokal
sampai umur 18 bulan. Fermentasi kakao lindak milik
petani sampai 6 hari meningkatkan jumlah biji per
100 g dan nilai buah kakao. Keuntungan sambung
samping adalah peluang keberhasilan lebih tinggi,
Pengembangan Teknologi Pengelolaan Kakaosecara Terpadu
Penelitian dan pengembangan kakao terintegrasi
dengan ternak sapi telah dilakukan di Sulawesi
Tenggara dan Sulawesi Selatan. Kegiatan yang
dilakukan meliputi teknik produksi kakao, pemanfaatan
limbah kulit kakao sebagai pakan ternak, dan
diseminasi teknologi usaha tani kakao secara terpadu.
Hasil penelitian menunjukkan pemupukan N, P,
dan K pada tanaman kakao dengan takaran 25-100%
dari rekomendasi tidak memengaruhi jumlah dan
Visual kalus tebu varietas PSJT 941 umur 4 minggu setelah kultur pada beberapa media
regenerasi: (a) IAA 2 mg/l + BAP 0,1 mg/l, (b) IAA 2 mg/l + BAP 0,3 mg/l, (c) IAA 2 mg/l +
BAP 0,5 mg/l, (d) IBA 0,5 mg/l + BAP 0,1 mg/l, (e). IBA 0,5 mg/l + BAP 0,3 mg/l, (f) IBA 0,5
mg/l + BAP 0,5 mg/l, (g) NAA 2 mg/l + BAP 0,1 mg/l, (h) NAA 2 mg/l + BAP 0,3 mg/l, (i)
NAA 2 mg/l + BAP 0,5 mg/l.
Perkebunan 53
Soppeng. Hasil pengkajian menunjukkan perangkap
feromon seks dapat menarik ngengat jantan peng-
gerek buah kakao (PBK), tetapi perlu dikombinasikan
dengan komponen pengendalian lainnya. Pemanfaat-
an Beauveria bassiana kurang efektif mengurangi
serangan PBK. Penerapan paket teknologi budi daya
dapat meningkatkan produktivitas. Komponen
teknologi yang paling nyata meningkatkan hasil buah
adalah pemupukan dan pembuatan rorak, terutama
setelah tanaman disambung dengan klon unggul.
Penataan Sistem Produksi
Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat
Menghadapi Penerapan ISPO 2015
Usaha tani kelapa sawit merupakan sumber
pendapatan bagi lebih dari 3,5 juta kepala keluarga
dan menjadi tumpuan pengembangan wilayah
maupun program pengentasan kemiskinan di
berbagai daerah. Produksi minyak sawit (crude palm
oil/CPO) Indonesia pada tahun 2011 mencapai 23,9
juta ton atau meningkat 8,1% dibanding produksi 2010.
Produksi ini setara dengan 49% produksi dunia yang
pada tahun 2011 mencapai 50,13 juta ton. Volume
ekspor minyak sawit Indonesia juga meningkat 5,7%
menjadi 16,5 juta ton pada tahun 2011.
Meskipun produksi dan ekspor meningkat,
pengembangan kelapa sawit di Indonesia dihadapkan
dapat memperbaiki sifat yang kurang baik dari
tanaman (tahan hama penyakit), dan tanaman lebih
cepat menghasilkan.
Pemberian dedak kulit kakao 1 kg/ekor/hari
sebagai pakan tambahan pada sapi bali meng-
hasilkan pertambahan bobot badan tertinggi di-
banding pemberian rumput dan probiotik sampai
umur 4 bulan.
Di Sulawesi Selatan, kegiatan pengkajian
dilaksanakan di Kabupaten Luwu, Bantaeng, dan
Tanaman kakao hasil sambung samping yang
mulai berbuah.
Sambung samping pada tanaman kakao.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan54
kelapa sawit demi tercapainya usaha kelapa sawit
yang berkelanjutan.
Dalam Panduan ISPO disebutkan bahwa praktik
pengusahaan perkebunan berkelanjutan harus
memenuhi tujuh prinsip dan 39 kriteria yang
diturunkan dari lebih dari 120 peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Panduan ISPO sebenarnya
ditujukan kepada perusahaan perkebunan kelapa
sawit, sedangkan pedoman ISPO untuk perkebunan
rakyat masih berupa draf. Draft pedoman ISPO untuk
perkebunan sawit rakyat tidak mengatur prinsip
“tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat”. Prinsip yang lain tetap diatur dengan
memodifikasi kriteria yang relevan. Pedoman ISPO
ini perlu segera disosialisasikan karena dalam
Permentan No. 19/2011, seluruh perkebunan kelapa
sawit sudah harus mendaftarkan untuk proses
sertifikasi ISPO pada 1 Januari 2015.
Perkebunan kelapa sawit di PTPN VIII, Ciampea, Bogor, Jawa Barat.
pada isu lingkungan dan keamanan pangan yang
berpotensi menghambat perkembangan usaha. Oleh
karena itu, sosialisasi untuk menunjukkan dampak
lingkungan dan tingkat keamanan minyak sawit
Indonesia dilakukan ke khalayak luas. Sebagian
khalayak menyatakan minyak sawit Indonesia belum
bisa disebut sebagai produk yang ramah lingkungan,
namun sebagian besar menyatakan produksi sawit
Indonesia berjalan baik.
Meskipun ada perbedaan persepsi, pengem-
bangan kelapa sawit dapat dilanjutkan dengan
memerhatikan azas keberlanjutan. Berkaitan dengan
hal tersebut, Menteri Pertanian RI menerbitkan
peraturan No. 19/2011 tentang Pedoman Perkebunan
Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Kebijakan
ini harus diacu oleh setiap pelaku usaha perkebunan
Perkebunan 55
Berkenaan dengan hal tersebut telah dilakukan
survei di Lampung untuk merekam ragam kegiatan
yang telah dilakukan terkait persiapan penerapan
ISPO. Hasil survei adalah sebagai berikut:
1. Dinas Perkebunan Provinsi Lampung telah
melakukan sosialisasi ISPO bagi petugas Disbun
Kabupaten dan stakeholder sawit yang lain,
namun belum melibatkan perkebunan rakyat.
Salah satu perusahaan perkebunan kelapa
sawit di Lampung Tengah pernah mencoba
menerapkan RSPO pada tahun 2010, namun
kegiatan tersebut tidak berlanjut.
2. PTPN VII menyambut baik rencana penerapan
ISPO. Pada tahun 2010, PTPN VII pernah
mencoba menerapkan RSPO di kebun Rejosari.
Terkait ISPO, PTPN VII menyertakan staf bagian
pengolahan pada sosialisasi ISPO di Ditjen
Perkebunan, kemudian melakukan sosialiasi ISPO
di lingkup bagian pengolahan dan direncanakan
mencakup seluruh staf. PTPN VII memandang
perlunya satuan (gugus) khusus untuk imple-
mentasi ISPO.
3. Untuk mengetahui kesiapan petani telah dilakukan
diskusi dengan pengurus dan anggota kelompok
tani kelapa sawit di Desa Batuliman Kecamatan
Kalianda, Lampung Selatan. Desa ini telah
ditetapkan sebagai desa unggulan kelapa sawit
tingkat kabupaten dengan area kelapa sawit
pada 2011 mencapai 421 ha. Petani di desa ini
merupakan petani sawit mandiri. Terkait rencana
penerapan ISPO, petani belum mengetahui,
bahkan istilah ISPO masih asing bagi mereka.
Setelah memperoleh informasi tentang ISPO,
petani menilai ISPO dapat diterapkan oleh
kelompok tani, namun perlu pencermatan dan
kerja keras untuk memperolehnya. Persoalan
akan muncul terkait perizinan dan sertifikat,
mengingat 40% lahan sawit yang ada belum
bersertifikat.
Sebagai produsen minyak sawit terbesar di
dunia, kebijakan Indonesia dalam pengembangan
kelapa sawit tentu mendapat perhatian dari berbagai
pihak. Kebijakan penerapan ISPO juga tidak luput dari
perhatian tersebut. Untuk itu, penerapan ISPO perlu
dipersiapkan dengan penataan sistem produksi kelapa
sawit yang tepat, baik dari sisi pemilihan dan
penerapan teknologi maupun manajemen usaha tani.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangan terkait
penataan sistem produksi sawit adalah: (1) penetapan
lahan produksi (terkait Rencana Tata Ruang Wilayah),
(2) legalitas usaha tani (terutama dari aspek sertifikat
lahan), (3) peningkatan penguasaan teknologi
produksi berkelanjutan (inovasi dan pendampingan),
(4) penerapan Good Agriculture Practices (sebagai
jaminan mutu produksi), dan (5) pemantauan
dampak produksi (terhadap kesejahteraan petani dan
lingkungan). Berdasarkan uraian tersebut, diperlukan
beberapa kebijakan pendukung yang mencakup: (1)
program sertifikasi lahan secara massal, (2) program
penguatan manajemen kelembagaan petani, (3)
program pendampingan penataan sistem produksi
sesuai persyaratan ISPO, (4) program peningkatan
kemampuan audit internal di kelompok tani, dan (5)
penjaminan sistem pasar dan harga.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan56
Peternakan
Dalam upaya mewujudkan swasembada daging sapi, Badan Litbang
Pertanian melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan terus
berupaya menghasilkan inovasi pengembangan sapi. Usaha peng-
gemukan sapi potong di kandang kelompok model Litbangtan dan
integrasi sapi-sawit di PTPN merupakan salah satu cara yang ditempuh
untuk mempercepat pengembangan populasi sapi di beberapa provinsi.
Beberapa kajian kebijakan di bidang peternakan dan veteriner pada
tahun 2012 di antaranya adalah status virus HPAI pada unggas dan
kejadian flu burung pada manusia, kinerja investasi dan aspek perbibitan
unggas lokal di Indonesia, dan isu technical barrier terkait pembatasan
impor peternakan untuk mengamankan produksi di dalam negeri. Ayam
kampung unggul Badan Litbang Pertanian “KUB” telah disebarkan ke
10 provinsi di Indonesia. Teknologi lain yang telah dihasilkan adalah
teknik uji imunohistokimia untuk rabies, teknik kriopreservasi primordial
germ cells (PGCs), dan teknologi silase ampas sagu sebagai campuran
pakan komplit pada kambing Boerka.
Integrasi sapi-sawit di perkebunan PT Sabut Mas Abadi di Pangkalan Bun, KalimantanTengah.
Peternakan 57
Penggemukan Sapi Potong
Menggunakan Kandang Kelompok
Model Litbangtan
Untuk meningkatkan efisiensi pemeliharaan sapi
potong, Badan Litbang Pertanian mengembangkan
perkandangan kelompok model Litbangtan yang
dilengkapi dengan bank pakan. Kandang kelompok
merupakan model kandang yang dalam suatu ruangan
kandang ditempatkan beberapa ekor ternak tanpa
diikat. Kandang berfungsi sebagai tempat perkawinan
dan pembesaran anak sampai disapih, atau untuk
pembesaran dan penggemukan. Setiap ternak
dewasa membutuhkan luas kandang minimal 3,0 m2.
Sistem perkandangan ini dapat menghemat tenaga
kerja dan air dan mempermudah proses pembuatan
kompos, selain meningkatkan kesehatan dan
reproduksi ternak.
Peternak yang memiliki sapi lebih dari dua ekor
dapat menerapkan model kandang ini. Kandang
kelompok model Litbangtan telah diadopsi oleh
stakeholder di beberapa provinsi, antara lain di Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Jambi, Riau, dan
Sumatera Utara.
Efektivitas kandang kelompok model Litbangtan
telah diuji di Kandang Belajar Sapi Rakyat (KBSR)
Bojonegoro pada bulan April-Juni 2012 dengan
menggunakan 20 ekor sapi jantan silangan dengan
bobot badan awal sekitar 400 kg. Pada pengujian
tersebut, 10 ekor sapi jantan silangan SIMPO
(Simmental-PO) dan LIMPO (Limousin-PO) ditempat-
kan pada kandang individu dan 10 ekor sapi ditempat-
kan dalam kandang kelompok. Pakan hijauan dan
konsentrat diberikan ad libitum (tanpa batas), terdiri
atas campuran dedak padi, gamblong, bungkil sawit,
bungkil kopra, tumpi jagung, garam, kapur, dan urea.
Hijauan berupa 7 kg rumput gajah diberikan pada
pagi hari dan jerami padi pada sore hari (ad libitum).
Penggunaan kandang kelompok dalam usaha
penggemukan sapi menghasilkan pertambahan bobot
badan harian (PBBH) yang tidak berbeda nyata dengan
kandang individu. Namun, penggunaan kandang
kelompok menghemat biaya tenaga kerja untuk
perawatan sapi dan air untuk membersihkan kandang
dan ternak.
Integrasi Sapi-Sawit di PTPN VI
Badan Litbang Pertanian bekerja sama dengan
Kementerian BUMN mengembangkan integrasi sapi-
sawit dalam hal pengawalan teknologi. Pembibitan
dan penggemukan sapi potong diterapkan di Unit
Usaha Integrasi Sawit-Sapi PTPN VI, di Kabupaten
Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Pemeliharaan sapi dalam kandang kelompok (kiri) dan kandang individu (kanan).
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan58
Inovasi yang dikembangkan adalah kandang
kelompok model Litbangtan dan pakan utama yang
terdiri atas 85% hasil samping perkebunan sawit.
Kandang sapi untuk penggemukan merupakan bekas
pabrik karet. Jumlah sapi saat ini mencapai 2.000
ekor dan yang ditargetkan sebanyak 10.000 ekor.
Proporsi sapi untuk pembibitan adalah 30% dan untuk
penggemukan 70%. Sistem perkawinan menerapkan
kombinasi kawin alam dan inseminasi buatan (IB).
Unit Usaha Integrasi Sawit-Sapi di PTPN VI Jambi
menerapkan dua pola yaitu:
1. Penggemukan sapi pada kandang kelompok yang
masing-masing kandang diisi 30 ekor sapi dengan
kepadatan 3 m2/ekor. Pakan yang diberikan terdiri
atas 60% pelepah, 25% bungkil inti sawit, 5%
onggok, 8% dedak, 1% molases, dan1% garam.
Pakan diberikan dua kali sehari. Kotoran dan urine
dibiarkan selama tiga bulan untuk kompos.
2. Pembiakan sapi lokal (Bali dan PO) pada kandang
kelompok dengan proporsi pejantan dan betina
1:30 dan kepadatan 3 m2/ekor. Pakan terdiri atas
70% pelepah, 15% bungkil inti sawit, 5% onggok,
8% dedak, 1% molases, dan 1% garam. Pakan
diberikan dua kali sehari. Kotoran dan urine
dibiarkan tiga bulan untuk kompos.
Kedua model ini mendekati konsep zero cost
(pakan sapi sebagian besar berasal dari limbah sawit
dan kotoran sapi digunakan untuk kompos) dan LEISA
(Low External Input Sustainable Agriculture). Unit
Usaha Integrasi Sawit-Sapi di PTPN VI dapat menjadi
tempat pembelajaran bagi PTPN-PTPN lain maupun
masyarakat peternakan dalam menerapkan pola
integrasi tersebut.
Pencacahan pelepah dan daun sawit untuk
bahan pakan sapi di PTPN VI, Jambi.
Sistem penggemukan sapi PO pada kandang kelompok model Litbangtan.
Peternakan 59
Kebijakan Peternakan dan
Veteriner
Status Virus HPAI pada Unggas danKaitannya dengan Kejadian Flu Burungpada Manusia
Wabah avian influenza (AI) pada ayam ras di
Indonesia pertama kali diidentifikasi pada akhir
2003 di Kabupaten Tangerang dan Blitar, dan
mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan
pada industri perunggasan. Sampai 30 April 2012
terdapat 189 konfirmasi kasus infeksi virus flu burung
pada manusia dan 157 orang di antaranya meninggal
dunia.
Vaksinasi sebagai salah satu cara pengendalian
virus AI telah dilakukan pemerintah sejak Agustus
2004. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Ditjen PKH) menyatakan hingga saat ini telah
beredar sekitar 20 jenis vaksin AI, yang berasal dari
master seed virus HPAI subtipe H5N1, H5N2, dan
H5N9, serta virus dengan reverse genetic technology.
Seiring dengan sifat virus yang mudah bermutasi,
karakter antigenik dan molekuler virus AI pun
mengalami perubahan yang cukup dinamis sejak
diidentifikasi pada tahun 2003.
Pemantuan terhadap dinamika virus HPAI secara
periodik telah dilaksanakan oleh Ditjen PKH bekerja
sama dengan FAO. Berdasarkan hasil pemantauan
dan rekomendasi Komisi Ahli Kesehatan Hewan,
vaksin AI yang digunakan untuk pengendalian infeksi
virus di lapang berasal dari master seed virus AI lokal
H5N1, yaitu strain Nagrak, Pekalongan, Garut, dan
Purwakarta dengan isolat tantang strain Subang dan
Sukabumi.
Hasil penelitian Balai Besar Penelitian Veteriner
menunjukkan bahwa evolusi virus H5N1 di Indonesia
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) virus
yang karakter genetiknya serupa dengan virus asal
tahun 2003; (2) virus yang mengalami antigenic drift,
yakni virus yang diisolasi dari unggas yang divaksinasi
dan kelompoknya; dan (3) virus yang mengalami
mutasi spesifik, yakni virus yang diisolasi di sekitar
kasus manusia yang terinfeksi H5N1 dan virus H5N1
manusia.
Hasil analisis molekuler di Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana menunjukkan bahwa
virus-virus baru masih mempunyai ciri receptor
binding bermotif virus avian dengan variasi yang tinggi
pada tiga situs antigenik dan situs-situs penting di
sekitar receptor binding. Variasi situs di sekitar
receptor binding dapat menyebabkan perubahan
keganasan virus dan kemungkinan adaptasinya pada
manusia. Hasil analisis genetik pada kasus cluster
Bali tahun 2011 dan cluster Jakarta tahun 2012
menunjukkan virus flu burung pada manusia masih
merupakan reseptor unggas. Tidak ada mutasi pada
reseptor binding site (RBS) dan sampai saat ini tidak
ditemukan adanya resistensi terhadap antiviral
oseltamivir.
Hasil penelitian dari Erasmus Medical Center,
Roterdam, Belanda dan Universitas Wisconsin-
Madison, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa virus
AI mutan bersifat sangat mematikan dan mudah me-
nyebar pada mamalia dengan cara kontak melalui
udara. Diperkirakan penggabungan virus AI mutan
masih dapat terjadi.
Implikasi kebijakan dan rekomendasi tindak
lanjutnya adalah:
1. Perlu pemantauan dinamika virus AI pada unggas
dengan teknologi biologi molekuler dan antigenic
cartography sehingga program vaksinasi dapat
Virus flu burung merupakan ancaman bagi
pengembangan ternak unggas.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan60
berjalan efektif. Pengusaha/peternak pada
kelompok 1, 2, dan 3 agar lebih aktif mengirimkan
virus HPAI untuk dianalisis lebih lanjut. Proses
registrasi obat hewan, terutama vaksin HPAI untuk
unggas, dapat lebih dipercepat sehingga vaksin
yang tersedia sesuai dengan virus yang ber-
kembang di lapang. Registrasi vaksin HPAI
sebaiknya diberikan kepada vaksin yang
mengandung beberapa strain (cocktail) yang
sesuai dengan virus yang sedang bersirkulasi di
Indonesia. Pengawasan peredaran vaksin HPAI
untuk unggas perlu ditingkatkan oleh institusi yang
memiliki otoritas atau lembaga hukum yang
berwenang.
2. Perlu penerapan public awareness secara luas
dan pemberian oseltamivir secara dini pada orang
yang menderita flu yang di sekitarnya terdapat
unggas sakit/mati.
3. Perlu surveilans terpadu secara terus-menerus
dan intensif dengan mengikutsertakan pemerin-
tah daerah. Jaringan kerja sama antardaerah dan
antarinstitusi perlu dibentuk dalam penanganan
virus AI yang didukung oleh penelitian dari
beberapa aspek, antara lain ekologi dan transmisi
penyakit, spektrum klinis dan manajemen pe-
nyakit, serta gambaran genetik molekuler dan
antigenik virus.
Kinerja Investasi dan Aspek PerbibitanUnggas Lokal
Teknologi untuk meningkatkan produksi unggas lokal
telah tersedia di institusi penelitian, perguruan tinggi
maupun masyarakat penggemar unggas lokal.
Sebagai contoh, Balai Penelitian Ternak telah meng-
hasilkan ayam Kampung Unggul Balitnak/Kampung
Unggul Badan Litbang Pertanian (KUB) yang produksi
telurnya lebih tinggi dibandingkan dengan ayam lokal
lainnya. Namun, penyebarluasan ayam kampung
unggul ini masih terkendala oleh penyediaan bibit.
Demikian pula halnya dengan itik pedaging maupun
itik petelur.
Pembibitan ternak merupakan usaha jangka
panjang sehingga membutuhkan investasi yang
cukup besar. Nilai investasi subsektor peternakan
untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan besar
(berdasarkan harga konstan tahun 2000) pada tahun
2009 mencapai Rp1,08 triliun atau menurun Rp110
miliar dibanding tahun 2008. Subsektor peternakan
juga memiliki kontribusi investasi yang paling rendah
dibandingkan dengan subsektor perkebunan,
perikanan, tanaman pangan, dan kehutanan. Investasi
pada subsektor peternakan didominasi oleh usaha
perunggasan (ayam ras), yakni 69%, di mana 54%
bersumber dari modal dalam negeri (PMDN) dan
sisanya modal asing (PMA).
Rendahnya kinerja investasi pada subsektor
peternakan dapat diatasi melalui: (1) penciptaan
iklim usaha kondusif, (2) reformasi kebijakan dan
administrasi perpajakan, dan (3) penyediaan
motivator dan fasilitator di daerah. Rendahnya jumlah
investor skala menengah pada pembibitan unggas
lokal telah menyebabkan populasi stagnan, sehingga
memengaruhi produksi ayam umur sehari/day old
chick (DOC) dan itik umur sehari/day old duck (DOD).
Program pemerintah untuk meningkatkan usaha
unggas lokal (terutama ayam) terus berkembang
dan pada umumnya berbasis kelompok untuk
pemberdayaan peternak. Peran aktif pemerintah
diperlukan dalam pembinaan dan pendampingan
kelompok pembibitan sehingga mereka dapat menjadi
produsen bibit unggas lokal.
Investasi peternakan didominasi oleh usaha
ternak ayam ras yang mencapai 69%.
Peternakan 61
Pengusaha pembibitan unggas lokal skala
menengah juga perlu didorong untuk menjamin
ketersediaan pasokan DOC/DOD. Data terakhir
menunjukkan hanya ada tiga perusahaan skala
menengah penghasil DOC ayam lokal, dan lebih
sedikit lagi untuk pembibit itik lokal. Kontribusi tiga
perusahaan pembibitan ini terhadap produksi DOD
baru mencapai 1% dari target 400-450 juta ekor pada
tahun 2019.
Untuk mempercepat pengembangan unggas
lokal (ayam dan itik), beberapa opsi kebijakan yang
dapat ditempuh meliputi: (1) dukungan pemerintah
dalam pemanfaatan dan pelestarian SDG unggas
lokal, seleksi dan peningkatan mutu genetik,
kelembagaan, akses terhadap pembiayaan, insentif
bagi masyarakat penangkar SDG unggas lokal untuk
melindungi dan memberdayakan peternak guna
mempercepat peningkatan populasi, dan penerapan
good breeding practices dan good farming practices
untuk menjamin keberlangsungan usaha pembibitan
ayam lokal, dimulai pada kelompok yang meng-
usahakan 3.000 ekor/kelompok dengan mesin tetas
bersama serta budi daya dan pemasarannya baik,
(2) memenuhi kebutuhan bibit itik lokal dan me-
wujudkan kelembagaan tata niaga yang menjamin
pemasaran itik dengan kualitas standar pada tingkat
harga yang menguntungkan, serta (3) dukungan
teknologi dalam pengembangan unggas lokal dan
peningkatan peran swasta sebagai penangkar skala
besar untuk mempercepat pengembangannya.
Isu Technical Barrier Terkait PembatasanImpor Peternakan
Undang-undang No. 18/ 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan pada dasarnya bertujuan untuk
memperketat tata cara pemasukan dan pengeluaran
hewan/ternak dan produk hewan dalam upaya
melindungi usaha peternakan di dalam negeri.
Misalnya, pemasukan benih dan/atau bibit dari luar
negeri diatur pada Pasal 15, dan pemasukan hewan
atau ternak dan produk hewan dari luar negeri diatur
dalam Pasal 36 ayat (4). Kedua pasal tersebut
bertujuan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat
untuk hewan atau ternak dan produk hewan. Setelah
dilakukan amandemen, pemasukan produk hewan
terkait dengan aspek kesehatan masyarakat veteriner
dalam hal negara asal kembali berbasis negara
(country base). Aturan yang tercantum dalam pasal-
pasal tersebut dapat digunakan sebagai landasan
pengaturan impor hewan/ternak atau produk hewan
melalui tarif dan hambatan bukan nontarif, seperti
Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical
Barrier to Trade (TBT).
Technical Barrier (TB) merupakan salah satu
instrumen dalam perdagangan internasional yang
telah diakui oleh World Trade Organization (WTO),
baik dalam kaitannya dengan pengaturan (regulasi)
maupun pembukaan dan pembatasan ekspor-impor
komoditas yang diperdagangkan. Namun masih
terbuka peluang untuk menyusun peraturan teknis,
standar, dan prosedur penilaian kesesuaian tanpa
melanggar prinsip-prinsip perjanjian WTO. Untuk itu,
perlu dibentuk tim khusus di Kementerian Pertanian
yang bertugas menggali, menyusun, dan menyiapkan
peraturan-peraturan tersebut. Tim khusus ini harus
memahami berbagai peraturan, seperti: (1)
Terrestrial Animal Health Code dan international
guidelines lainnya, (2) peraturan WTO, (3) berbagai
hal yang terkait dengan ISO, OIE, dan CAC, (4)
perundang-undangan dan persyaratan teknis
kesehatan hewan, (5) penerapan TB dan SPS negara
Bungkil inti sawit, bahan pakan dari limbah
sawit yang menjadi komoditas ekspor.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan62
lain, dan (f) teknik dan prosedur negosiasi
antarnegara.
Peluang penerapan TB pada bahan baku pakan
dan produk peternakan harus dilakukan sesuai
dengan prinsip TBT yang mencakup: (1) harmonisasi
kebijakan penerapan TB; (2) pemetaan kebutuhan
pengamanan produksi dalam negeri terkait importasi
bahan baku pakan dan produk peternakan; (3)
pemetaan volume dan nilai impor; (4) analisis risiko
setiap peraturan teknis yang akan diberlakukan; (5)
uji coba pada produk tertentu, meliputi tujuan regulasi,
peraturan terkait, standar yang digunakan, dan
keterkaitan dengan standar internasional; dan (6)
pengembangan prosedur penilaian kesesuaian yang
baku dan dapat diimplementasikan di Indonesia.
Permasalahan dalam penerapan TBT untuk bahan
baku pakan dan produk peternakan adalah: (1)
lamanya waktu yang diperlukan untuk pengembangan
regulasi teknis; (2) perlu strategi jitu untuk me-
mastikan kebijakan penerapan TB tidak akan meng-
hambat perdagangan; (3) koordinasi kelembagaan
masih menjadi hambatan; dan (4) kesiapan pe-
mangku kepentingan (regulator, pengusaha, lembaga
independen dan konsumen) perlu ditingkatkan.
Beberapa saran untuk memperkuat posisi
Indonesia dalam memanfaatkan TB dan SPS terkait
produk peternakan dalam perdagangan internasional
adalah:
1. Membentuk tim atau memperkuat task force yang
sudah ada di Kementerian Pertanian untuk meng-
antisipasi usulan maupun gugatan negara lain,
serta mempersiapkan justifikasi teknis bagi
kebijakan nasional mengenai komoditas pertani-
an yang diperdagangkan di pasar internasional
maupun pemasukan komoditas pertanian dari
negara lain.
2. Sosialisasi TBT dan SPS kepada instansi
pemerintah terkait dan pelaku usaha serta me-
ningkatkan pengetahuan sumber daya manusia
dalam analisis risiko (impor), pengujian,
akreditasi, dan sertifikasi.
3. Harmonisasi antara sistem akreditasi dan serti-
fikasi, standar tingkat regional dan internasional,
pengembangan jejaring elektronis untuk distribusi
incoming notification kepada pihak terkait oleh
BSN, penguatan institusi otoritas veteriner untuk
penerapan kebijakan dan peraturan, implemen-
tasi kesehatan hewan, dan peningkatan peran
institusi penelitian dan perguruan tinggi dalam
penyusunan regulasi teknis, standar, dan pe-
nilaian risiko.
4. Pengembangan inspeksi berbasis risiko dan
komunikasi risiko, penguatan laboratorium uji
melalui akreditasi, sertifikasi personel, dan kali-
brasi alat, dan penguatan kompetensi inspektor
(pengawas) terkait dengan sertifikasi.
5. Pembinaan dan peningkatan daya saing produk
lokal, meliputi efisiensi rantai pasok, pembinaan
petani/peternak/pelaku usaha, serta pendekatan
ekonomi dan sosial budaya.
Silase Ampas Sagu sebagai
Campuran Pakan Komplit Kambing
Pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal
merupakan langkah jitu untuk mengefisienkan usaha
ternak ruminansia termasuk kambing. Pakan akan
menentukan produktivitas ternak dan biaya produksi,
Penjemuran ampas sagu untuk menurunkan
kadar air menjadi 50-55%.
Peternakan 63
sehingga pemanfaatan pakan lokal dapat menekan
biaya produksi dan usaha peternakan menjadi efisien
Industri pengolahan sagu menjadi tepung sagu
menghasilkan limbah ampas sagu yang memiliki
potensi sebagai bahan pakan ternak ruminansia
termasuk kambing. Ampas sagu dapat diawetkan
dengan teknologi silase.
Tahap awal pembuatan silase ampas sagu
adalah mengurangi kadar air ampas sagu dengan
dijemur 3-5 hari sehingga kadar air ampas sagu
menjadi 50-55%. Ampas sagu lalu dicampur dengan
molases (gula tetes), dedak jagung 12%, dan tepung
tapioka. Bahan-bahan tersebut berguna untuk
memacu aktivitas mikroba dalam proses fermentasi,
serta untuk meningkatkan kandungan energi dan
protein silase. Campuran lalu dimasukkan ke dalam
drum plastik berkapasitas 100 kg, dipadatkan untuk
meminimalkan udara (fermentasi anaerob), dan
disimpan di tempat teduh sekitar 3 minggu.
Bahan penyusun konsentrat adalah dedak halus,
jagung giling, bungkil kelapa, bungkil inti sawit, urea,
tepung ikan, tepung tulang, ultra mineral, dan garam.
Pemberian pakan disesuaikan dengan kebutuhan
bahan kering pakan untuk kambing. Kebutuhan pakan
diasumsikan 3,8% dari bobot badan berdasarkan
bahan kering.
Berdasarkan rata-rata konsumsi, kecernaan
bahan kering, bahan organik, NDF dan ADF, per-
tambahan bobot hidup dan efisiensi penggunaan
pakan, silase ampas sagu yang ditambah molases,
dedak jagung, dan tepung tapioka potensial diguna-
kan sebagai pakan ternak kambing. Bahan pakan ini
juga dapat menggantikan sebagian komponen sumber
serat pada pakan.
Pengembangan Ayam KUB sebagai
Sumber Bibit Ayam Lokal
Ayam KUB merupakan ayam kampung hasil seleksi
Balai Penelitian Ternak selama enam generasi, sejak
tahun 1997, dengan kriteria seleksi produksi telur
tinggi dan sifat mengeram rendah. Ayam KUB-1 telah
dilisensi oleh PT Ayam Kampung Indonesia (AKI)
dengan manajemen mengikuti ayam Cobb dari
Amerika, sehingga ayam KUB diharapkan dapat
menjadi maskot ayam kampung Indonesia.
Penampilan luar ayam KUB-1 mirip dengan ayam
kampung biasa, namun pola dan corak bulu, bentuk
jengger dan warna shank-nya bervariasi. Ayam KUB
diperoleh dengan menyeleksi ayam kampung dari
beberapa daerah di Jawa Barat, yaitu Cianjur,
Jatiwangi, Depok, Ciawi, dan Cigudeg (Jasinga), yang
berawal dari seleksi 350 ekor induk dan 50 ekor
pejantan.
Pengembangan ayam KUB didasari beberapa
pertimbangan, yaitu (1) bibit ayam lokal masih sulit
Pembuatan silase ampas sagu; ampas sagu dicampur dengan molases, dedak jagung, dan tapioka lalu
dimasukkan ke dalam drum, dipadatkan, dan difermentasi sekitar 3 minggu.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan64
diperoleh, terutama dalam jumlah banyak, (2)
penyediaan DOC baru terbatas pada usaha penetasan
untuk usaha budi daya, sedangkan penyediaan bibit
berkualitas belum banyak dilakukan, dan (3) adanya
target yang dicanangkan Himpunan Pengusaha
Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) dan Ditjen PKH,
untuk meningkatkan pangsa pasar ayam lokal dari
16% menjadi 25%. Dengan demikian, diperlukan
usaha pembibitan ayam lokal, baik oleh kelompok
peternak maupun swasta.
Untuk menyebarluaskan ayam KUB-1, Badan
Litbang Pertanian melakukan kerja sama dan
pendampingan kepada mitra-mitra di daerah (pemda)
dalam perbanyakan bibit ayam KUB-1 dan membentuk
Corak bulu, bentuk jengger, dan warna shank ayam KUB.
Corak bulu hitam Tipe liar Tipe columbian Corak bulu polos
Corak bulu lurik Corak bulu emas Corak bulu perak Bentuk jengger tunggal
Bentuk jengger kapri/pea Warna shank putih Warna shank hitam Warna shank abu-abu
pembibitan (breeding center) di setiap provinsi untuk
menyediakan DOC ayam lokal potong. Sepuluh
provinsi yang ditetapkan sebagai lokasi pengembang-
an ayam KUB-1 adalah Banten (300 ekor Parent
Stock/PS dan 500 ekor Final Stock/FS ), Jawa Tengah
(450 ekor PS dan 2.800 FS), Jawa Timur (1.200 ekor
PS dan 1.500 FS), Nusa Tenggara Barat (500 ekor
PS), Sumatera Selatan (200 ekor PS), Sumatera Barat
(1.000 ekor PS), Kalimantan Barat (400 ekor PS),
Kalimantan Timur (300 ekor PS), Sulawesi Selatan
(1.000 ekor PS), dan Gorontalo (2.000 ekor PS).
Pemilihan lokasi didahului dengan evaluasi calon
penerima calon lokasi (CPCL). Persyaratan lokasi
pembibitan ayam KUB-1 adalah tersedia lahan dan
Peternakan 65
sudah punah atau hampir punah. Oleh karena itu,
konservasi plasma nutfah ayam lokal perlu segera
dilakukan. Sedikitnya ada empat jenis ayam lokal yang
tergolong langka, delapan jenis ayam lokal yang
belum banyak informasinya, dan beberapa jenis ayam
yang mempunyai suara kokok merdu yang perlu
dikonservasi agar tidak punah dan dapat di-
manfaatkan di kemudian hari.
Pembibitan ayam KUB di Boalemo (kiri) dan di Bonebolango (kanan), Sulawesi Selatan.
PGCs dapat dibedakan dari sel darah merah
karena ukurannya lebih besar dan menyebar.
bangunan kandang, peternak telah berpengalaman
dalam memelihara ayam, mudah mendapatkan pakan
komersial dan bahan pakan tersedia untuk
membesarkan ayam DOC sampai umur potong, dan
pemasaran mudah.
Perkembangan ayam KUB saat ini cukup baik dan
di beberapa lokasi kelompok pembibitan sudah mulai
menjual DOC. Masalah yang dihadapi adalah
terjadinya feather pecking, yang diduga karena
kandang terlalu padat, ketersediaan pakan terbatas,
dan suhu lingkungan cukup panas. Kondisi ini
menyebabkan konsumsi protein rendah, kesalahan
menentukan kelamin DOC, produksi telur rendah, dan
terjadinya wabah AI. Diperlukan pembinaan
kelembagaan, terutama dalam proses penjualan,
agar usaha pembibitan dapat berkelanjutan.
Kriopreservasi Primordial Germ
Cells untuk Konservasi Sumberdaya
Genetik Unggas
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang
berlimpah, termasuk ayam, baik ayam asli Indonesia
maupun ayam lokal introduksi. Indonesia mempunyai
31 rumpun ayam lokal dan saat ini sebagian mungkin
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan66
Strategi konservasi ex situ berupa koleksi hewan
hidup perlu dilakukan untuk semua bangsa ternak
untuk mengumpulkan sebanyak mungkin keragaman
genetik. Namun, strategi ini memerlukan dana yang
besar untuk memelihara unggas agar tetap hidup dan
sehat. Selain mahal, cara ini juga sulit, apalagi dengan
merebaknya penyakit flu burung. Oleh karena itu,
berbagai upaya telah dilakukan untuk mencari metode
pelestarian yang efisien.
Salah satu teknik konservasi yang berpeluang
diterapkan adalah kriopreservasi, yakni penyimpanan
plasma nutfah dalam bentuk sperma, ovum, maupun
embrio beku. Pada unggas, penyimpanan sperma
sudah banyak dilakukan meski tingkat keberhasilan-
nya masih bervariasi, sedangkan penyimpanan ovum
dan embrio unggas belum dapat dilakukan karena
struktur dan ukuran kuning telur yang besar. Teknik
manipulasi embrio memungkinkan untuk mendapat-
kan keturunan yang sehat dari sel germline yang
dibekukan dan di-thawing melalui ayam kimera.
Kriopreservasi primordial germ cells (PGCs)
selain dapat digunakan untuk konservasi materi
genetik, juga bermanfaat untuk preservasi unggas
dengan biaya murah. PGCs adalah sel-sel asli (original
cells) dari spermatogonia pada testes atau oogonia
pada ovarium. PGCs dapat dibedakan dari sel lain
karena memiliki ukuran yang lebih besar dan ber-
bentuk sperikal (bundar).
PGCs dapat dipanen dari embrio ayam dan
menghasilkan ayam kimera dengan mentransfer
PGCs. Oleh karena itu, kriopreservasi PGCs merupa-
kan alternatif konservasi materi genetik pada unggas
jantan maupun betina. PGCs yang telah disimpan
dapat menghasilkan keturunan yang sehat melalui
ayam kimera.
Pemurnian PGCs dimulai dari pengumpulan
darah embrio ayam umur 56 jam. Setelah melalui
pengenceran menggunakan berbagai konsentrasi
larutan Nycodenz dan sentrifusi, akan diperoleh PGCs.
PGCs dapat disimpan dalam nitrogen cair seperti
halnya sperma, ovum atau embrio pada hewan
mamalia.
PGCs yang disimpan harus dapat dihidupkan
kembali untuk mendapatkan plasma nutfah unggas
yang dikonservasi. Caranya adalah dengan me-
nyuntikkan PGCs yang dipreservasi ke dalam embrio
ayam untuk mendapatkan ayam kimera. Ayam kimera
adalah ayam yang memiliki lebih dari satu populasi
genetik, atau ayam yang memiliki dua atau lebih
populasi sel yang secara genetik berbeda dan berasal
dari zigot yang berbeda. Perkawinan antara ayam
kimera dapat menghasikan turunan yang sama
dengan donor PGCs asli.
Tingkat keberhasilan pembuatan ayam kimera
mencapai 56,2%. PGC dari ayam donor dapat
direkonstitusi dengan perkawinan interse, yakni
perkawinan jantan dan betina kimera. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa strategi ini dapat
merekonstitusi sumberdaya genetik dari PGCs yang
disimpan dalam nitrogen cair melalui perantara ayam
kimera.
Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan
teknologi pemurnian PGCs dari embrio ayam lokal
dan penyimpanan PGCs dengan menggunakan
krioprotektan DMSO, dan teknologi pembekuan PGCs
dengan tingkat viabilitas dan recovery rate yang tinggi.
PGCs ayam lokal yang telah disimpan dalam nitrogen
cair yaitu ayam KUB, Merawang, Sentul, Kedu Hitam,
Ayam kimera yang berasal dari embrio ayam
White Leghorn yang disuntik dengan PGCs
ayam Barret Plymouth Rock.
Peternakan 67
dan Gaok. Masih banyak ayam lokal yang perlu
dilestarikan melalui kriopreservasi PGCs. Melalui
teknik ini telah dihasilkan ayam kimera yang berasal
dari PGC ayam KUB yang diinjeksikan ke dalam embrio
ayam ras White Leghorn. Diharapkan pada tahun 2013
akan dihasilkan ayam kimera yang lebih banyak dan
lebih baik dibanding tahun 2012.
Deteksi Virus Rabies dengan
Imunohistokimia
Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis yang
merusak susunan syaraf pusat. Rabies merupakan
penyakit penting di Indonesia karena bersifat fatal
dan dapat menimbulkan kematian serta berdampak
psikologis bagi orang yang terpapar. Selain bersifat
fatal, penyebaran rabies di Indonesia makin lama
makin meluas; pulau yang sebelumnya bebas menjadi
tertular.
Data menunjukkan bahwa rabies masih bersifat
endemis di sebagian besar wilayah Indonesia. Sampai
tahun 2005, daerah bebas rabies meliputi Jawa, Bali,
NTB, dan Papua, namun pada tahun 2005 terjadi
wabah rabies di beberapa kota di Jawa Barat.
Berdasarkan Kepmentan No. 1637.1/2008, Bali
dinyatakan terjangkit wabah rabies dan Kepmentan
No. 1696/2008 menetapkan Provinsi Bali sebagai
kawasan karantina penyakit rabies.
Penyakit rabies menjangkiti hewan berdarah
panas termasuk manusia, dan sebagai vektor atau
reservoir adalah anjing, kucing, dan kera. Virus rabies
ditularkan melalui gigitan hewan positif rabies melalui
salivanya dan diteruskan ke ujung saraf melalui luka
gigitan atau jilatan pada kulit yang luka, dan melalui
akson hingga ke susunan syaraf pusat, sehingga
menimbulkan ensefalomielitis akut (radang otak).
Badan Litbang Pertanian telah mengembangkan
metode diagnosis cepat untuk mendeteksi virus rabies
pada organ otak dengan metode imunohistokimia,
yang disebut dengan direct rapid immunohisto-
chemical test (dRIT) pada preparat ulas/sentuh.
Sebanyak 119 organ otak diperoleh dari Balai
Penyidikan Penyakit Veteriner (BPPV) Regional II
Bukittinggi, Sumatera Barat, dan dipakai dalam
standardisasi dan validasi metode dRIT. Hasil yang
dicapai sangat memuaskan. Pewarnaan dapat
dilakukan dalam dua jam dan hasilnya dapat dibaca
tanpa menggunakan mikroskop fluorescent. Dari 119
sampel yang diuji dengan Fluorescent Antibody Test
(FAT), 80 sampel (67,2%) positif rabies dan 39 sampel
(32,8%) negatif rabies. Hasil dRIT menunjukkan
bahwa 78 sampel (65,5%) positif rabies dan 41
sampel (34,5%) negatif rabies.
Hasil pemeriksaan dengan dRIT divalidasi dan
dibandingkan dengan hasil menggunakan golden
standard untuk diagnosis rabies, yaitu FAT, sehingga
sensitivitas dan spesivisitas untuk FAT masing-masing
dianggap bernilai 100%. Hasilnya menunjukkan
bahwa sensitivitas relatif dRIT terhadap FAT mencapai
97,5% dan spesivisitas relatifnya terhadap FAT
mencapai 100%. Hal ini menandakan bahwa dRIT
dapat direkomendasikan dalam diagnosis cepat rabies
dengan biaya lebih murah, karena tidak memerlukan
mikroskop fluorescent.
Hasil pewarnaan dRIT: (a) kontrol negatif,
dRIT, (b) dRIT positif, preparat ulas tipis, (c)
dRIT preparat ulas tebal.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan68
Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik
Sumberdaya genetik (SDG) pertanian mempunyai nilai strategis bagi
ketahanan pangan, kesehatan, energi, lingkungan, dan keamanan
negara. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang biologi
molekuler telah membuka khasanah baru dalam pemanfaatan SDG.
Bioteknologi dapat memberikan alternatif dan terobosan baru dalam
pengelolaan dan pemanfaatan SDG secara lestari untuk perakitan varietas
unggul baru melalui bioprospekting, identifikasi dan aplikasi marka
molekuler untuk sifat-sifat penting pada tanaman, identifikasi, isolasi
dan karakterisasi gen, rekayasa genetik tanaman dan mikroba, serta
kultur in vitro. Teknologi sekuensing telah memacu sekuensing genom
berbagai organisme dengan percepatan hampir 300.000 kali. Dengan
teknologi sekuensing terkini, genom SDG padi dan kakao lokal telah
berhasil diresekuensing, dan diidentifikasi potensi gen-gen yang terkait
dengan sifat-sifat unggul untuk program pemuliaan.
Populasi mutan padi penanda aktivasi di rumah kaca.
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik 69
Penelitian Genom Padi
Penelitian genom tanaman padi diakukan untuk
mengidentifikasi gen-gen penting yang berkontribusi
dalam pembentukan karakter hasil tinggi dan umur
genjah pada ratusan nomor aksesi plasma nutfah
yang disimpan pada Bank Gen. Teknologi genom padi
ditujukan untuk ‘memotret’ potensi genetik, terutama
untuk karakter produksi tinggi dan umur genjah,
sehingga plasma nutfah dapat dimanfaatkan secara
optimal untuk mendukung ketahanan pangan.
Inisiasi teknologi genom padi di Indonesia dimulai
pada tahun 2010/2011 dengan menggunakan mesin
Genetic Analyzer, IScan-Illumina, dan SNP chip
sebagai alat ‘pemotret’ potensi genetik dari 467 aksesi
plasma nutfah padi, yang sebagian besar merupakan
varietas lokal Indonesia. Berdasarkan analisis
genotiping aksesi-aksesi plasma nutfah padi yang
dikoleksi di Bank Gen telah diperoleh keragaman
genetik dan struktur populasi tanaman padi seperti
pada Gambar 1.
Pada kelompok pertama, terdapat kedekatan
genetik antara aksesi Japonica dan Tropical Japonica.
Hal ini mengindikasikan adanya kesamaan alel yang
terdomestikasi secara bersamaan, terutama untuk
alel yang terkait dengan karakter komponen hasil dan
umur tanaman. Kelompok kedua didominasi oleh
aksesi yang memiliki latar belakang genetik Indica.
Sebagian besar varietas elit padi di Indonesia dirakit
menggunakan tetua berlatar belakang genetik Indica.
Dengan demikian, genom Indica telah terintrogresi
dengan berbagai genom padi yang berbeda, yaitu
Japonica, Tropical Japonica, dan juga dengan kelom-
pok genom padi liar, di antaranya Oryza glaberrima
dan Oryza rufipogon. Spesies O. glaberrima adalah
jenis padi Afrika yang terdomestikasi dari padi liar
O. barthii (disebut juga sebagai O. breviligulata),
sedangkan O. rufipogon adalah tetua dari O. sativa.
Berdasarkan hasil analisis ’potret’ genom pada
Gambar 2, terlihat adanya pengelompokan genom
pada kelompok yang sama, karena keduanya ter-
domestikasi pada sifat yang sama, seperti komponen
hasil, umur awal generatif, serta toleransi terhadap
kendala biotik dan abiotik.
Hasil analisis struktur populasi dari 284 aksesi
sejalan dengan hasil analisis keragaman genetik, yaitu
terdapat tiga kelompok utama aksesi plasma nutfah
padi, yakni Indica, Japonica, dan Tropical Japonica.
Kelompok genom Indica memiliki introgresi yang luas
dengan kelompok genom yang lain. Analisis tersebut
menunjukkan bahwa alat potret potensi genom yang
berupa 1536 marka SNP chip dapat digunakan untuk
mengidentifikasi koleksi plasma nutfah padi, termasuk
aksesi yang memiliki potensi hasil tinggi dan umur
genjah.
Gambar 1. Mesin IScan-Illumina dan 1536 SNP chip yang digunakan sebagai alat ‘pemotret’ genom
aksesi-aksesi plasma nutfah padi.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan70
Padi Tahan HDB dan Blas Hasil
Kultur Antera dan Seleksi Berbasis
Marka
Pelandaian produksi padi yang sudah berlangsung
lama sulit ditingkatkan melalui pengembangan
varietas yang hanya berorientasi pada peningkatan
produktivitas. Pendekatan melalui pengembangan
varietas tahan yang mampu menekan kehilangan hasil
yang diakibatkan oleh faktor biotik yang mencapai
20-30% tiap tahunnya, merupakan salah satu strategi
untuk memacu pencapaian target swasembada beras
pada tahun 2014.
Pengembangan varietas tahan dihadapkan pada
variabilitas hama dan patogen yang dapat berevolusi
secara cepat ketika mendapat tekanan seleksi yang
kuat oleh varietas yang memiliki gen ketahanan
tunggal. Masalah ini dapat diatasi dengan mengem-
bangkan sifat ketahanan kuantitatif yang memiliki
beberapa gen ketahanan sekaligus dalam satu
varietas sehingga mampu melindungi tanaman dalam
jangka waktu lama dan dalam skala geografis yang
luas.
Hama dan penyakit utama padi sawah antara
lain adalah wereng batang coklat, hawar daun bakteri
(HDB), dan tungro. Penyakit blas umumnya merusak
padi gogo, namun pada tahun-tahun terakhir mulai
terjadi pergeseran ras patogen blas yang mampu
merusak padi sawah. Ketiga organisme pengganggu
tanaman (OPT) tersebut perlu diwaspadai karena
virulensinya berkembang secara cepat mengikuti pola
sebaran varietas di lapangan.
Gambar 2. ‘Potret’ genom keragaman genetik aksesi plasma
nutfah padi menggunakan 1536 marka SNP chip.
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik 71
Badan Litbang Pertanian telah mengembangkan
varietas tahan, yaitu Inpari HDB dan Inpari Blas yang
masing-masing tahan HDB dan blas melalui pen-
dekatan kultur antera untuk galur harapan BIO5-AC-
Blas/BLB-03 dan metode silang balik untuk galur
harapan BIO111-BC-Pir7. Salah satu tetua dari galur
BIO5-AC-Blas/BLB-03 dan BIO111-BC-Pir7 adalah
spesies padi liar O. rufipogon, sehingga gen-gen
ketahanan yang ada pada kedua varietas tersebut
berbeda dengan gen ketahanan pada varietas unggul
terdahulu. Di samping itu, seleksi kedua galur
dilakukan melalui bantuan marka molekuler.
Alur persilangan galur BIO5-AC-Blas/BLB-03
(BIO5) ditampilkan pada Gambar 3. Galur BIO5 adalah
hasil silangan IR64/O. rufipogon (Acc.IRGC105491).
F1 hasil silangan tersebut dikultur antera sehingga
didapatkan sejumlah galur dihaploid (haploid ganda/
DH0). Setelah melalui tahapan perbanyakan benih
dan seleksi diperoleh populasi DH1 sampai DH4.
Populasi ini diseleksi karakter fenotipe dan genotipe-
nya menggunakan marka molekuler untuk ketahanan
Gambar 3. Diagram alur persilangan galur
BIO5-AC-Blas/BLB-03.
terhadap penyakit HDB dan hama wereng batang
coklat, sehingga diperoleh galur-galur yang terseleksi.
BIO5 merupakan salah satu galur dihaploid yang
terseleksi tahan HDB, wereng batang coklat, dan
penyakit tungro.
Galur BIO111-BC-Pir7 (BIO111) adalah hasil
silangan antara IR64/O. rufipogon (Acc.IRGC105491)
yang kemudian disilang balik lima kali ke IR64 (BC5)
(Gambar 4). Seleksi tingkat ketahanan (fenotipe) dan
seleksi menggunakan marka molekuler (genotipe)
untuk gen ketahanan terhadap penyakit blas Pir7
dilakukan pada setiap generasi.
Produktivitas
Rata-rata hasil Inpari HDB dan Inpari Blas di 16 lokasi
masing-masing 6,62 t dan 6,76 t/ha atau lebih tinggi
dibandingkan dengan Ciherang dan Inpari 1 yang
masing-masing hanya mampu berpoduksi 6,50 t dan
6,39 t/ha. Hasil tertinggi dari galur-galur tersebut
diperoleh di Pasuruan, yaitu 9,30 t/ha untuk Inpari
Gambar 4. Diagram alur persilangan galur
BIO111-BC-Pir7.
IR64/Oryza rufipogon
(Acc.IRGC105491)
F1/IR64
BC1/IR64
BC2/IR64: seleksi fenotipe dan genotipe
BC3/IR64: seleksi fenotipe dan genotipe
BC4/IR64: seleksi fenotipe dan genotipe
BC5: seleksi agronomis dan ketahanan hama
dan penyakit
BC = back cross
IR64/Oryza rufipogon
(Acc.IRGC105491)
F1
Kultur antera
Galur haploid ganda (dihaploid): DH0
DH1-DH4: Uji hama dan penyakit
dan seleksi genotipe
BIO5
DH = dihaploid
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan72
HDB dan 9,30 t/ha untuk Inpari Blas, sedangkan
varietas Ciherang hanya memberi hasil 8,77 t/ha. Di
semua lokasi pengujian, hasil varietas Inpari HDB
berkisar antara 4,52-9,30 t/ha, Inpari Blas 4,45-9,03
t/ha, Ciherang 4,62-8,76 t/ha, dan Inpari 1 3,37-10,23
t/ha.
Karakter Agronomis
Inpari HDB memiliki tinggi tanaman 120 cm, sedang-
kan Inpari Blas 102 cm atau setara dengan Ciherang
(105 cm). Umur berbunga kedua galur sama dengan
Ciherang (83 hari) dan Inpari 1 (80 hari). Demikian
pula jumlah anakan produktif dan gabah isi per malai.
Jumlah gabah hampa per malai Inpari HDB 23% dan
Inpari Blas 20% lebih sedikit dibandingkan dengan
Ciherang (29%). Bobot 1.000 butir gabah kedua galur
sama dengan Ciherang dan Inpari 1.
Ketahanan terhadap Wereng Batang Coklat,HDB, Blas, dan Tungro
Inpari HDB dan Inpari Blas telah diuji ketahanannya
terhadap wereng batang coklat koloni Jawa Tengah
dan Jawa Barat dengan skor ketahanan 3 untuk sistem
skoring 1-9. Hal ini menunjukkan kedua galur jauh
lebih tahan dibandingkan dengan Ciherang dan Inpari
1 yang memiliki skor 7 atau masuk kategori rentan.
Varietas kontrol yang tidak memiliki gen ketahanan
seperti Pelita menunjukkan reaksi sangat rentan
dengan skor 9.
Pengujian sifat ketahanan Inpari HDB dan Inpari
Blas terhadap HDB dilakukan dengan menggunakan
tiga patotipe HDB yang dominan di lapang, yaitu
patotipe III, IV, dan VIII. Inpari HDB tahan terhadap
ketiga patotipe tersebut, sedangkan Inpari Blas agak
tahan terhadap patotipe III dan IV tetapi agak rentan
terhadap patotipe VIII. Hal ini yang menjadi alasan
pemberian nama Inpari HDB untuk galur BIO5-AC-
Blas/BLB-03. Sebaliknya untuk sifat ketahanan
terhadap patogen blas, varietas Inpari Blas sangat
tahan terhadap patogen blas Ras101 (ID21) dan
Ras173 (ID24), sedangkan Inpari HDB bersifat rentan.
Sifat penting lain dari Inpari HDB dan Inpari Blas yang
tidak dimiliki oleh varietas unggul baru sebelumnya
adalah ketahanan terhadap tungro. Inpari HDB dan
Inpari Blas lebih tahan terhadap tungro strain
Sumedang, Bogor, dan Bali dibandingkan dengan
Ciherang dan Inpari 1. Skor ketahanannya sama
dengan Utri Merah dan Utri Rajapan, yaitu 1 untuk
sistem skoring 1-9.
Penampilan Inpari HDB (kiri) dan Inpari Blas (kanan) pada uji multilokasi di Taman Bogo, Lampung, MK
2010.
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik 73
Karakteristik Gabah, Beras, dan Nasi
Rendemen beras putih Inpari HDB dan Inpari Blas
lebih rendah dibandingkan dengan Ciherang dan
Inpari 1, tetapi persentase beras kepalanya sama
dengan Ciherang (89%). Dari morfologinya, beras
Inpari HDB dan Inpari Blas berukuran panjang, bentuk
sedang, dan pengapuran kecil sampai sedang.
Varietas Ciherang dan Inpari 1 mempunyai ukuran
beras panjang, bentuk sedang, dan pengapuran
sedang. Beras Inpari HDB dan Inpari Blas mempunyai
kadar amilosa sedang sehingga masih masuk dalam
kategori cukup pulen. Keung-gulan Inpari HDB dan
Inpari Blas disajikan dalam Tabel 1.
Kedua galur cocok ditanam di lahan sawah irigasi
dan tadah hujan pada dataran rendah sampai
ketinggian 500 m dpl. Pengembangan dengan
pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
lebih dianjurkan karena tahan terhadap wereng
batang coklat, HDB, dan blas. Kedua galur juga tahan
terhadap penyakit tungro, sehingga dapat dikem-
bangankan juga ke daerah/lokasi endemis penyakit
tungro, antara lain Bali, Sulawesi Selatan, dan
sebagian Jawa Barat (Subang dan Sumedang).
Analisis Genom Kakao
Menggunakan Teknologi Next
Generation Sequencing
Penelitian genom kakao bertujuan untuk menginven-
tarisasi dan mempelajari variasi DNA yang ada dalam
klon-klon unggul kakao Indonesia. Data variasi DNA
tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendesain marka
DNA yang dapat digunakan untuk memetakan sifat-
sifat unggul tanaman, mengembangkan sistem
seleksi yang lebih cepat dan efisien untuk sifat unggul
yang telah dipetakan, dan sidik jari DNA untuk
identifikasi tanaman maupun perlindungan varietas.
Data variasi DNA juga merupakan landasan awal
dalam penelitian fungsi gen dalam kromosom untuk
memahami mekanisme munculnya sifat-sifat unggul
Beras kepala, beras pecah
kulit, dan gabah galur BIO5-
AC-Blas/BLB-03 (Inpari HDB)
dan BIO111-BC-Pir7 (Inpari
Blas) dibandingkan dengan
Inpari 1 dan Ciherang.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan74
pada tanaman. Dengan diketahuinya mekanisme
terbentuknya sifat-sifat unggul tersebut, pemuliaan
di masa depan tidak terlalu bergantung pada
ketersediaan sifat unggul yang diinginkan dalam
sumberdaya genetik yang ada di alam, karena dapat
langsung direkayasa pada tingkat DNA maupun
biokimia.
Komposisi basa DNA dalam genom kakao dapat
diketahui dengan menggunakan alat Next Generation
Sequencing, yang dapat membaca urutan basa DNA
total suatu organisme hanya dalam waktu dua
minggu. Hasil bacaan DNA tersebut selanjutnya
dibandingkan dengan data sekuen rujukan yang
berasal dari kakao varietas Belizean Criollo untuk
mendata kesamaan dan perbedaan urutan basa DNA.
Klon-klon kakao yang dipelajari dalam penelitian ini
adalah ICCRI 02, ICCRI 03, ICCRI 04, ICS 13, dan
Sulawesi 2. Klon ICCRI 02, seperti halnya Belizean
Tabel 1. Keunggulan varietas padi Inpari HDB dan Inpari Blas terhadap varietas pembanding Ciherang dan Inpari 1.
Karakter Inpari HDB Inpari Blas Ciherang Inpari 1
Hasil rata-rata (t/ha GKG) 6,14 6,28 6,31 6,17
Potensi hasil (t/ha GKG) 9,3 9,03 8,76 10,23
Umur tanaman (50% berbunga, hari) 85 81 83 80
Tinggi tanaman (cm) 119 102 105 96
Anakan produktif per rumpun 29 34 30 34
Gabah total per malai 134 118 132 116
Gabah isi per malai 111 98 103 93
Gabah hampa per malai 23 20 29 23
Persentase gabah isi 82,84 83,05 78,03 80,17
Bobot 1.000 butir gabah (g) 25 27 27 27
Batang Sedang-lentur Sedang Sedang Sedang
Daun Sedang, sedikit Sedang, tegak Sedang, tegak, Sedang, tegak,
terkulai, hijau hujau hijau hijau
Ketahanan terhadap wereng batang coklat
Koleksi Jawa Tengah Agak tahan Agak tahan Sangat rentan Rentan
Koleksi Jawa Barat Agak tahan Agak tahan Sangat rentan Agak rentan
Biotipe 1 Agak tahan Agak tahan Agak rentan Rentan
Biotipe 2 Agak tahan Agak tahan Agak rentan Rentan
Biotipe 3 Agak rentan Agak rentan Rentan Sangat rentan
Ketahanan terhadap hawar daun bakteri
Patotipe III Tahan Agak tahan Agak tahan Tahan
Patotipe IV Agak tahan Agak tahan Agak tahan Agak tahan
Patotipe VIII Agak tahan Agak rentan Agak rentan Agak rentan
Ketahanan terhadap blas
Ras 173 Rentan Tahan Rentan Rentan
Ras 101 Rentan Tahan Rentan Rentan
Ketahanan terhadap tungro, strain Cipeles,
Tomo, Sumedang Tahan Tahan Agak rentan Rentan
Rendemen beras pecah kulit (%) 76 76 77 76
Rendemen beras putih (%) 67 68 68 68
Bentuk beras (rasio P : L) Sedang Sedang Sedang Sedang
Pengapuran Kecil Sedang Sedang Sedang
Kadar amilosa (%) 22,9 21,5 21,9 21,8
Tekstur nasi Sedang Sedang Pulen Pulen
Rasa nasi Hambar Gurih Gurih Gurih
Aroma Nonaromatik Nonaromatik Nonaromatik Nonaromatik
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik 75
fenotipe), 10 fragmen menghasilkan protein yang
fungsinya belum diketahui, empat fragmen mengkode
protein yang berfungsi sebagai ‘saklar’ ekspresi gen-
gen lain, dan dua fragmen mengkode sinyal ketahanan
penyakit. Variasi-variasi ini perlu dipelajari lebih lanjut
untuk memperbaiki mutu kakao lindak agar mendekati
kakao mulia.
Berdasarkan data variasi DNA, telah pula diteliti
kekerabatan antarklon (Gambar 5). Hasilnya me-
nunjukkan bahwa klon-klon ICCRI memiliki kekera-
batan yang dekat, sedangkan klon Sulawesi 2 dan
ICS 13 memiliki kekerabatan yang lebih dekat dengan
Belizean Criollo.
Criollo, merupakan kakao mulia, sedangkan lima klon
lainnya adalah kakao lindak.
Total genom kakao berukuran sekitar 430 juta
basa, hampir sama dengan genom padi, sehingga
relatif mudah menduplikasi data hasil sekuensing
dengan pendekatan satu atau dua lajur flow cell dari
mesin HiSeq2000. Hasil analisis data resekuen lima
genotipe kakao menunjukkan bahwa rata-rata setiap
bagian genom tersekuensing 77 kali. Berdasarkan
hasil analisis perbandingan antara DNA klon-klon
kakao lokal dengan sekuen DNA kakao rujukan
Belizean Criollo, diketahui perbedaan dan kesamaan
komposisi DNA dari genotipe kakao lokal. Variasi DNA
didominasi oleh perubahan pada sekuen DNA di luar
gen (non-coding region) yang mencapai lebih dari
75%. Dari 75% variasi DNA yang ditemukan, 37% di
antaranya terletak pada non-coding region pada posisi
upstream dari gen dan 38,6% pada posisi
downstream dari gen. Variasi sekuen yang tinggi juga
terjadi pada non-coding region lainnya, seperti intron
dan intergenic.
Hanya 6,3% variasi DNA ditemukan dalam exon,
yaitu bagian DNA yang mengkode protein dan
kemungkinan besar memengaruhi sifat tanaman.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa dari sekitar
6.000 variasi yang terdapat dalam exon, beberapa
variasi DNA secara spesifik ditemukan pada satu klon,
sehingga dapat digunakan sebagai penciri untuk
identifikasi klon tersebut. Klon ICCRI 02 memiliki 234
penciri unik, sedangkan ICCRI 03 memiliki 315, ICCRI
04 memiliki 202, ICS 13 memiliki 394, dan Sulawesi
2 memiliki 452 penciri unik. Analisis juga menemukan
54 variasi spesifik pada klon kakao mulia (ICCRI 02
dan Belizean Criollo), yang terdiri atas 38 fragmen
yang mengubah protein (lebih berpeluang mengubah
ICCRI 03
ICCRI 04
ICCRI 02 CRIOLLO
SULAWESI 2
ICS 13100
100
80
0 0,1
Gambar 5. Pola kekerabatan genetik lima klon
unggul kakao dibandingkan
dengan klon kakao rujukan
(Belizean Criollo).
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan76
Pascapanen
Melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
(BB Pascapanen), Badan Litbang Pertanian terus berupaya menghasilkan
inovasi teknologi pascapanen pertanian, khususnya untuk meningkatkan
diversifikasi pangan, nilai tambah, daya saing, dan ekspor. Inovasi
teknologi pascapanen yang telah dihasilkan meliputi teknologi
penanganan segar produk pertanian untuk memperpanjang kesegaran
dan daya simpan, termasuk distribusi dan transportasi dalam pemasaran,
teknologi dan produk untuk meningkatkan diversifikasi pangan dan
substitusi pangan impor, serta teknologi dan produk baru untuk
meningkatkan nilai tambah dan daya saing. Inovasi teknologi
penanganan dan pengolahan komoditas tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, dan peternakan sebagian sudah diadopsi oleh masyarakat
pengguna dan sebagian masih perlu disosialisasikan.
Aneka tepung dari bahan pangan lokal.
Pascapanen 77
alkohol dan karbondioksida. Produksi vinegar dari air
kelapa dengan kandungan asam asetat 4% dapat
dilakukan dalam tiga minggu. Peningkatan kadar asam
asetat akan diikuti oleh penurunan pH. Konsentrasi
alkohol pada vinegar air kelapa berkisar antara 3,9-
7,19% dengan waktu fermentasi 24-48 jam. Kadar
asam asetat tertinggi diperoleh pada fermentasi
dengan S. cerevisiae 15% dan Acetobacter aceti 10%.
Hasil pengujian daya hambat bakteri pada karkas
ayam menunjukkan bahan konsentrasi minimal
vinegar air kelapa dan kulit pisang adalah 1% dengan
hasil negatif untuk semua jenis bakteri uji. Aplikasi
vinegar air kelapa dan kulit pisang mampu meng-
hambat pertumbuhan E. coli dan Listeria monocyto-
genes pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu
dingin. Vinegar air kelapa mampu menghambat
pertumbuhan S. thyphimurium yang lebih baik
dibandingkan dengan vinegar kulit pisang.
Pemberian pengawet vinegar pada karkas ayam
menurunkan nilai pH, kecerahan karkas, serta tingkat
kekerasan dan susut masak. Aplikasi vinegar mampu
memperpanjang masa simpan karkas ayam sampai
9 hari pada suhu dingin dan 12 jam pada suhu ruang.
Vinegar sebagai Pengawet Alami
Daging Ayam
Kontaminasi mikroba pada daging ayam dapat
menyebabkan daging rusak atau busuk. Kontaminasi
mikroba dapat berasal dari kotoran, isi perut, dan
kulit ayam, peralatan yang digunakan pada saat
pemotongan, maupun personel yang menangani
pemotongan/penanganan karkas. Permasalahan
kontaminasi mikroba ini telah menjadi perhatian
banyak kalangan, baik pemerintah, pelaku usaha,
konsumen, maupun pemerhati kesehatan.
Untuk memperpanjang masa simpan, karkas
perlu diawetkan dengan pengawet yang aman
dikonsumsi. Asam asetat yang dikenal sebagai vinegar
dapat menjadi pengawet alternatif yang aman, murah,
dan mudah digunakan. Asam asetat berperan sebagai
antimikroba karena dapat menurunkan pH dan
menyebabkan instabilitas membran sel pada bakteri.
BB Pascapanen telah menghasilkan teknologi
pengawetan karkas ayam dengan menggunakan
vinegar. Bahan baku vinegar adalah kulit pisang
nangka dengan tingkat kematangan 70-75% dan air
kelapa. Proses pembuatan vinegar dari kulit pisang
diawali dengan pemeraman untuk mengubah karbo-
hidrat pada kulit pisang menjadi gula sederhana.
Selanjutnya ditambahkan enzim alfa-amilase dan
gluko-amilase masing-masing 1 ml/liter untuk mem-
bantu hidrolisis kulit pisang menjadi glukosa pada
saat perebusan sebelum penambahan Saccharo-
myces cerevisiae. Fermentasi kulit pisang mengguna-
kan proses fermentasi simultan.
Pemeraman dan penambahan enzim alfa-
amilase dan gluko-amilase mampu mempercepat
peningkatan konsentrasi asam asetat dan proses
fermentasi dibanding tanpa pemeraman dan
penambahan enzim. Kadar asam asetat pada vinegar
kulit pisang kurang dari 4% dengan pH 3,5-4,5, kadar
alkohol 0,1-0,6%, dan kadar gula total 5-7%.
Proses produksi vinegar dari air kelapa melalui
fermentasi bertahap membutuhkan waktu yang lebih
cepat untuk menghasilkan asam asetat 4% diban-
dingkan dengan fermentasi simultan. Fermentasi
bertahap dapat memecah senyawa gula menjadi
Vinegar dari kulit pisang dan air kelapa (atas)
untuk mengawetkan karkas ayam (bawah).
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan78
Vinegar kulit pisang dan air kelapa mempunyai
beberapa keunggulan untuk mengawetkan karkas
ayam, yaitu: (1) menghambat pertumbuhan beberapa
bakteri patogen, (2) mempertahankan mutu karkas
ayam, dan (3) bersifat alami, aman, dan ekonomis.
Meski penelitian masih dalam skala laboratorium,
teknologi ini memiliki prospek untuk dikembangkan
karena: (1) memanfaatkan limbah kulit pisang dan
air kelapa sehingga meningkatkan nilai tambah, (2)
vinegar bersifat alami dan tidak menimbulkan dampak
toksisitas dalam jangka pendek maupun jangka
panjang, dan (3) sederhana dan mudah diaplikasikan.
Teknologi Pengolahan Gambir,
Minyak Nilam, dan Kopi di Tingkat
UKM/Gapoktan
Gambir, nilam, dan kopi merupakan komoditas
unggulan perkebunan Kabupaten Pakpak Bharat,
Sumatera Utara, namun belum tergarap secara
optimal, baik di hulu maupun di hilir. Pengolahannya
masih bersifat tradisional dengan menggunakan
peralatan yang sederhana, baik yang dilakukan oleh
petani secara perorangan maupun berkelompok,
sehingga produk yang dihasilkan belum memenuhi
persyaratan SNI.
Pada gambir, rendahnya rendemen dan kualitas
produk disebabkan petani kurang memahami proses
ekstraksi atau pengepresan daun gambir, pencetakan,
dan pengeringan produk. Pada nilam, rendemen dan
kualitas minyak nilam yang rendah disebabkan petani
kurang memahami cara penanganan bahan baku dan
penyulingan minyak, sementara pada kopi karena
petani kurang memahami proses pengolahan dan
pengemasan.
BB Pascapanen telah menghasilkan teknologi
pengolahan gambir, nilam, dan kopi. Teknologi
tersebut selanjutnya disosialisasikan kepada petani
bekerja sama dengan Dinas Perindustrian, Per-
dagangan, dan Koperasi serta UMKM Kabupaten
Pakpak Bharat. Melalui sosialisasi, pelatihan, dan
pendampingan dalam menerapkan teknologi, petani
diharapkan dapat menghasilkan produk yang
berkulitas sehingga nilai jualnya meningkat.
Pada gambir, perbaikan proses pengolahan
dilakukan pada tahap ekstraksi atau pengepresan
daun gambir, pencetakan, dan pengeringan serta
mengintroduksikan alat pencetak gambir. Pelatihan
Pengolahan gambir dan produk
gambir yang dihasilkan petani
sebelum (a) dan sesudah (b)
menerapkan teknologi
pengepresan, pencetakan, dan
pengeringan.
Pascapanen 79
dan pendampingan kepada petani dalam menerapkan
teknologi pengolahan gambir dapat meningkatkan
kualitas produk. Warna gambir menjadi lebih cerah,
bentuknya lebih padat dengan kadar air rendah, dan
kadar katekinnya meningkat.
Pada nilam, perbaikan teknologi pengolahan
meliputi cara penanganan bahan baku sebelum
penyulingan, metode penyulingan, peralatan
penyulingan, dan pemurnian untuk memperbaiki
warna minyak nilam. Pelatihan dan pendampingan
kepada petani dalam menerapkan teknologi
pengolahan minyak nilam meningkatkan kualitas
minyak, yang ditandai oleh meningkatnya kadar
patchouli alkohol. Kadar patchouli alkohol merupakan
salah satu parameter penentu kualitas minyak nilam;
semakin tinggi kadar patchouli alkohol, semakin baik
kualitas minyak nilam. Pemurnian minyak nilam dapat
meningkatkan kejernihan (% transmisi) dari rata-rata
45,1% menjadi 50,0%, dan menurunkan kadar besi
(Fe) dari 268,8 ppm menjadi 101,7 ppm.
Pada kopi, perbaikan teknologi meliputi proses
pemanenan, sortasi, pengkelasan (grading), pen-
jemuran, penyangraian, pengemasan, pengolahan
cara basah, dan peralatannya. Melalui pelatihan dan
pendampingan, petani kopi dapat memperbaiki cara
penyangraian dan pengemasan. Cita rasa kopi yang
dihasilkan petani, baik jenis robusta maupun arabika,
tergolong sangat baik sesuai standar SNI.
Pengembangan Edible Film sebagai
Kemasan Bahan Pangan Segar
Kebutuhan kemasan pangan yang mencapai 50% dari
total kemasan yang beredar di pasaran merupakan
tantangan sekaligus peluang bagi pengembangan
kemasan edible atau biodegradable yang bersifat
ramah lingkungan. Salah satu kemasan bahan pangan
segar yang potensial dikembangkan adalah edible film
dari puree buah. Namun, nilai komersial kemasan
edible masih rendah karena memiliki kekuatan
mekanis dan sifat pelindung atau penghalang
(barrier) yang lebih rendah dibandingkan dengan
kemasan berbahan polimer sintetis.
BB Pascapanen telah menghasilkan teknologi
pembuatan komposit edible film dengan nanoserat
selulosa untuk meningkatkan kekuatan mekanis dan
sifat barrier kemasan edible. Serat selulosa yang
berukuran nano memiliki luas interfasial yang besar
sehingga akan mengubah mobilitas molekuler dan
sifat relaksasi untuk menghasilkan komposit dengan
kekuatan mekanis, fleksibilitas, kekakuan, serta
ketahanan panas dan listrik yang baik. Pada
pengembangan lebih lanjut (jangka panjang), bahan
antimikroba berupa minyak atsiri yang telah
dienkapsulasi dapat ditambahkan ke dalam komposit
edible film.
Ekstraksi dan sintesis nanoserat selulosa dari
tongkol jagung dan jerami padi; (a) tepung
tongkol jagung dan tepung jerami padi, (b)
larutan hasil hidrolisis serat selulosa, dan (c)
serat selulosa hasil pemucatan dengan
metode Abe dan (d) metode Takahashi.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan80
Penggunaan edible film dari komposit puree buah
dan nanoserat selulosa dan bahan antimikroba
terenkapsulasi sebagai bahan kemasan pangan segar
dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing
komoditas pertanian. Puree mangga menghasilkan
edible film yang berwarna cerah, elastis, dan tidak
mudah sobek. Penambahan gliserol 1,5% dapat
memperbaiki elastisitas edible film, sedangkan
penambahan pektin 1% meningkatkan kekakuan
kemasan.
Ekstraksi dan sintesis nanoserat selulosa dari
tongkol jagung dan jerami padi dilakukan melalui
proses delignifikasi, pemucatan, dan defibrilasi serat
selulosa secara mekanis menggunakan ultrasonik dan
high shear homogenizer (ultraturrax). Proses
delignifikasi dan pemucatan secara kimia dengan
menggunakan metode Abe menghasilkan serat
selulosa yang memiliki kristalinitas tinggi, baik serat
dari tongkol jagung maupun jerami padi. Defibrilasi
secara mekanis dengan ultrasonik menghasilkan fibril
selulosa berukuran kecil yang lebih banyak daripada
dengan ultraturrax. Setelah diberi perlakuan
ultrasonik selama satu jam, selulosa yang berukuran
kecil (12-34 nm, rata-rata 21 nm) lebih banyak
dibandingkan selulosa berukuran besar (68-223 nm,
rata-rata 121 nm).
Serat jerami memiliki selulosa berukuran kecil
yang lebih halus daripada selulosa tongkol jagung.
Namun, serat selulosa berukuran besar lebih banyak
ditemukan pada serat jerami. Penguatan edible film
dari puree buah dengan nanoserat selulosa me-
ningkatkan kekuatan mekanis, baik kekuatan tarik,
elongasi maupun fleksibilitasnya.
Pembuatan edible film dari puree buah dengan
nanoserat selulosa dapat memanfaatkan buah yang
kurang memenuhi persyaratan (off-grade) atau
kelebihan pasokan pada saat panen raya, sehingga
meningkatkan nilai tambah. Penggunaan tongkol
jagung dan jerami padi sebagai bahan pembuatan
nanoserat selulosa merupakan salah satu upaya
pemanfaatan limbah pertanian.
TEM nanoserat selulosa yang diperoleh dengan metode Abe, dan fibrilasi dengan ultrasonik selama
satu jam, perbesaran 8.000 kali, (a) jerami padi, (b) tongkol jagung.
Pascapanen 81
Penanganan Susut Pascapanen Padi
Mendukung Peningkatan Produksi
Beras Nasional
Angka susut pascapanen padi dapat digunakan untuk
menentukan atau meramal produksi regional maupun
nasional pada tahun berjalan sesuai dengan luas
pertanaman padi dan stok beras pada saat itu,
maupun untuk membuat neraca ekspor dan impor
beras. Penggunaan metode pengukuran yang tidak
tepat akan menyebabkan terjadinya bias data susut
pascapanen padi, yang selanjutnya akan menye-
babkan kesalahan dalam menentukan ketersediaan
stok pangan maupun prioritas ekspor dan impor beras.
Masalah dalam pengukuran susut pascapanen
padi adalah beragamnya angka susut hasil antarlokasi
maupun antardaerah dan metode pengukuran yang
digunakan. Oleh karena itu, diperlukan pedoman
umum pengukuran susut pascapanen padi yang dapat
disepakati dan digunakan oleh semua pihak.
Pada tahun 2011, BB Pascapanen telah mem-
perbaiki metode pengukuran susut pascapanen padi
dan menghasilkan metode pengukuran dan tabel
konversi susut saat panen. Namun seiring dengan
dihasilkannya varietas baru dan inovasi teknologi
pascapanen padi, perlu dilakukan pengukuran ulang
untuk mengetahui tingkat kehilangan hasil pasca-
panen padi. Kondisi iklim yang tidak menentu akhir-
akhir ini juga menjadi pertimbangan perlunya metode
pengukuran yang lebih tepat. Melalui proses
pengukuran ini diharapkan dapat diperoleh data
terbaru susut hasil pascapanen padi untuk mem-
perbaiki data susut hasil yang sudah tidak relevan
lagi. Data susut hasil akan menentukan ketepatan
pengambilan kebijakan stok pangan nasional.
Adanya pedoman umum pengukuran susut
pascapanen diharapkan dapat menghilangkan
perbedaan persepsi dalam penggunaan metode dan
cara pengukuran susut panen dan perhitungannya,
sehingga dapat menekan variasi data susut panen.
Pengukuran susut panen yang digunakan sebagai
Proses pembuatan
edible film dari puree
buah mangga dan
nanoserat selulosa.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan82
acuan dalam pedoman umum menggunakan metode
sembilan papan pengamatan (tray) berukuran
panjang 40 cm dan lebar 14 cm. Metode tray merupa-
kan metode pengukuran terbaik dan terbukti tidak
menimbulkan perbedaan yang nyata dengan metode
pengukuran langsung (gabah dipungut langsung) di
lahan petani setelah panen padi.
Pedoman metode pengukuran susut pascapanen
padi telah disosialisasikan kepada pengguna di DI
Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Sosialisasi
dilakukan melalui diskusi dalam seminar serta praktik
langsung di lahan petani bekerja sama dengan BPTP
dan Dinas terkait di masing-masing provinsi. Sosiali-
sasi juga dilakukan melalui Pelatihan Widyaiswara
Tingkat Nasional lingkup Kementerian Pertanian
maupun Pelatihan Petugas Gudang dari Kementerian
Perdagangan. Berdasarkan hasil evaluasi yang
dilakukan sebelum dan sesudah sosialisasi di DI
Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah,
sosialisasi dapat meningkatkan pemahaman peserta
yang ditunjukkan oleh menurunnya tingkat kesalahan
dalam pengukuran susut pascapanen padi.
Berdasarkan pengukuran, susut panen tertinggi
ditemukan di Jawa Barat, yaitu 3,2% pada musim
hujan dan 1,6% pada musim kemarau dengan susut
perontokan 1,3% pada musim hujan dan 1,3% pada
musim kemarau. Rendemen giling tertinggi pada
musim hujan dicapai penggilingan padi kecil (PPK)
dua fase di Sumatera Selatan, yaitu 64,7%, sedang-
kan pada musim kemarau dicapai PPK dua fase di
Jawa Barat, yaitu 67,1%.
Pengukuran susut pascapanen padi secara akurat diperlukan dalam menentukan ketersediaan stok dan
ekspor/impor beras.
Pascapanen 83
Untuk varietas padi yang gabahnya mudah
rontok, perontokan dianjurkan menggunakan mesin
dengan kecepatan putaran sedang (700 rpm) dan
kapasitas perontokan 595 kg/jam dengan susut hasil
2,3%. Untuk varietas padi yang tahan rontok,
direkomendasikan menggunakan mesin perontok
berkecepatan tinggi (800 rpm) dan kapasitas 522,9
kg/jam dengan susut hasil 2,8%.
Untuk mengurangi susut pascapanen padi pada
proses penggilingan, konfigurasi mesin penggilingan
satu kali husker – satu kali separator – dua kali
polisher layak dikembangkan karena menghasilkan
beras giling yang berkualitas baik, yaitu beras pecah
16,0-21,5%, beras kepala 76,7-82,4%, dan rende-
men giling 68,0% pada varietas murni Ciherang, serta
69,3% pada varietas campuran Ciherang dan
Mekongga dengan nilai jual rata-rata Rp4.978/kg
gabah giling. Peningkatan rendemen giling 2,5% untuk
varietas Ciherang dan 1,2% untuk varietas campuran
Ciherang dan Mekongga meningkatkan nilai jual beras
rata-rata Rp277/kg untuk varietas Ciherang dan
Rp146/kg untuk varietas campuran.
Sudut kemiringan separator yang optimal untuk
memisahkan beras pecah kulit adalah 61º. Pada
tingkat kemiringan tersebut, mesin dapat memisahkan
beras pecah kulit dengan persentase yang cukup
tinggi, namun sebaran gabah dalam beras pecah kulit
tidak terlalu besar.
Sosialisasi pedoman umum metode pengukuran
susut pascapanen padi dapat meningkatkan
pemahaman tentang pengukuran susut pascapanen.
Teknologi penanganan susut pascapanen padi berupa
kecepatan mesin perontok, konfigurasi penggilingan,
dan sudut kemiringan separator menurunkan susut
penggilingan dari rata-rata 1,2% menjadi 0,3% serta
meningkatkan rendemen giling 2,5% untuk varietas
Ciherang dan 1,2% untuk varietas campuran Ciherang
dan Mekongga.
Sosialisasi pedoman umum pengukuran susut pascapanen padi kepada pengguna.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan84
Mekanisasi Pertanian
Mekanisasi pertanian berperan penting dalam pembangunan pertanian,
apalagi dikaitkan dengan makin menurunnya minat generasi muda untuk
berkecimpung dalam usaha tani konvensional. Mekanisasi pertanian
juga diperlukan dalam pengembangan agribisnis. Penerapan mekanisasi
pertanian dalam kegiatan poduksi di lapangan dapat meningkatkan
produktivitas dan efisiensi kerja, sedangkan dalam kegiatan pascapanen
dapat memperbaiki kualitas dan efisiensi produksi. Badan Litbang
Pertanian melalui Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBP
Mektan) pada tahun 2012 telah menghasilkan 24 teknologi yang terkait
dengan mekanisasi pertanian, baik berupa prototipe alat mesin (alsin),
model maupun sistem mekanisasi. Sepuluh dari 24 teknologi tersebut
merupakan teknologi unggulan yang berpeluang untuk dikembangkan
dalam upaya meningkatkan pendapatan pelaku usaha pertanian.
Mesin pemanen padi dengan kapasitas kerja meisn rata-rata 17,6 jam/ha.
Mekanisasi 85
Mesin Penanam Padi Jajar Legowo
Empat Alur
Petani umumnya menanam padi secara manual
dengan sistem tanam pindah sehingga membutuhkan
banyak tenaga kerja. Di beberapa sentra produksi
padi, tenaga tanam ini makin sulit diperoleh sehingga
waktu tanam sering terlambat, luas cakupan garapan
rendah, dan indeks pertanaman padi menurun.
Keterlambatan tanam dapat mengakibatkan gagal
panen karena tanaman kekurangan air atau terserang
hama dan penyakit. Oleh karena itu, diperlukan
dukungan mesin penanam padi.
Mesin penanam padi yang ada di Indonesia
umumnya diimpor dan harganya relatif mahal. Mesin
tersebut memiliki jarak tanam antarbaris 30 cm
dengan jumlah baris tanam empat baris. Untuk men-
dukung pengembangan sistem tanam jajar legowo
2:1 atau 4:1 diperlukan mesin penanam yang sesuai.
Sistem tanam ini dapat meningkatkan populasi
tanaman 30% dibanding sistem tanam tegel, sehingga
produktivitas meningkat.
Pembuatan desain dan modifikasi mesin
penanam padi diawali dengan pengujian dan evaluasi
teknis terhadap mesin tanam padi yang ada di
pasaran. Hasil pengujian dan evaluasi ini dijadikan
acuan dalam analisis desain dan modifikasi mesin.
Selain itu, dilakukan juga pengkajian sistem pem-
bibitan padi yang sesuai untuk pengembangan mesin
tanam padi secara mekanis (rice transplanter).
Mesin penanam padi yang dikembangkan dapat
digunakan untuk mendukung sistem tanam jajar
legowo 2:1, dengan jumlah baris tanam empat baris.
Jarak antarbaris tanam 20 cm dan 40 cm, yaitu jarak
antara baris satu dan dua 20 cm, jarak antara baris
dua dan tiga 40 cm (jarak legowo), dan jarak antara
baris tiga dan empat 20 cm.
Rancangan mesin penanam padi terdiri atas lima
komponen utama, yaitu unit penanam, pengumpan
bibit, transmisi dan penggerak, kendali dan rangka
utama, dan pelampung. Modifikasi mesin difokuskan
pada sistem penanam dan pengumpan bibit. Bagian
tersebut disesuaikan dengan jarak tanam jajar legowo
2:1. Jarak antarlengan penanam bagian kanan dan
kiri masing-masing 20 cm, sedangkan jarak lengan
penanam bagian tengah 40 cm (jarak legowo).
Hasil desain ini selanjutnya akan dipabrikasi
prototipenya pada tahun 2013. Mesin penanam
tersebut diharapkan dapat dibuat dan dikembangkan
oleh pabrikan lokal sehingga harga mesin menjadi
lebih murah. Mesin penanam ini prospektif di-
kembangkan seiring dengan makin langka dan
mahalnya tenaga kerja untuk penanaman padi.
Desain prototipe mesin penanam bibit padi tipe jajar legowo dan lengan penanamnya.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan86
Prototipe Mesin Pemanen Padi
Mini Combine Harvester
Panen merupakan salah satu kegiatan kritis dalam
budi daya padi karena akan menentukan kualitas dan
kuantitas gabah. Panen membutuhkan tenaga kerja
yang banyak, sementara di beberapa daerah, tenaga
panen makin langka dan cukup mahal sehingga panen
perlu menggunakan alat mesin pemanen.
Permasalah dalam panen padi di Indonesia
adalah gabah mudah rontok, petakan sawah ber-
ukuran sempit (0,1-0,5 ha), dan kondisi lahan sawah
lembek pada saat panen, sehingga memerlukan mesin
pemanen yang sesuai dengan kondisi tersebut.
Penggunaan mesin pemanen mampu menekan
kehilangan hasil, mudah diterapkan pada petakan
yang sempit, dan tidak selip pada saat dioperasikan
di lahan yang lembek.
Mesin pemanen padi combine harvester yang
diintroduksikan di Indonesia umumnya berukuran
besar, baik untuk tipe whole feeding maupun half
feeding. Kelemahan dan keunggulan kedua tipe mesin
tersebut menjadi acuan dalam mendesain dan
memodifikasi mesin mini combine harvester.
BBP Mektan telah menghasilkan desain prototipe
mesin pemanen padi mini combine harvester
berkapasitas 14 jam/ha. Desain mesin pemanen padi
tipe mini combine dihasilkan melalui tahapan
pembuatan desain konseptual, perwujudan, analisis
desain, dan pabrikasi untuk menghasilkan prototipe
mini combine harvester dengan lebar kerja 120 cm,
kapasitas kerja 14 jam/hari, dan kehilangan hasil
panen 0,8-1,0%. Hasil desain ini selanjutnya akan
dipabrikasi prototipenya pada tahun 2013.
Alsin Pemroses Benih Padi
untuk UPBS
Target surplus beras 10 juta ton pada akhir tahun
2014 dapat dicapai antara lain dengan meningkat-
kan produktivitas melalui penggunaan benih unggul
dan bermutu. Namun, penggunaan benih unggul
bersertifikat oleh petani masih rendah, baru sekitar
Prototipe mesin pemanen padi mini combine harvester yang dimodifikasi.
Mekanisasi 87
62%, karena terbatasnya jumlah benih bermutu di
pasaran. Volume produksi benih padi bersertifikat
baru separuh dari total kebutuhan benih padi nasional
yang mencapai 360.000 ton per tahun untuk lahan
seluas 12,7 juta hektare.
Untuk memenuhi kebutuhan benih bermutu,
pemerintah mendorong pembentukan Unit Pengelola
Benih Sumber (UPBS) di tingkat penangkar benih
maupun di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) di sentra produksi padi. Pemrosesan benih di
tingkat penangkar skala kecil dan menengah
memerlukan mesin yang tepat guna agar dapat
menghasilkan benih bermutu dengan kapasitas
produksi yang sesuai dengan kemampuan penangkar.
BBP Mektan telah menghasilkan paket mesin
pemroses benih padi untuk UPBS, yang terdiri atas
mesin pembersih (sortasi), penimbang, dan
pengemas. Untuk penangkar benih yang belum
memiliki lantai jemur, sudah tersedia mesin pengering
padi tipe sirkulasi. Ketiga paket mesin pemroses benih
padi tersebut telah diintroduksikan kepada kelompok
penangkar benih di Singkawang Kalimantan Barat,
Sukoharjo Jawa Tengah, dan Ngawi Jawa Timur.
Hasil pengujian menunjukkan paket mesin
pemroses benih dapat berfungsi dan beroperasi
dengan baik. Mesin pembersih memiliki kapasitas
400-500 kg/jam, bergantung pada laju pengumpanan
gabah dan kebersihan gabah. Mesin penimbang
berkapasitas 540 kg/jam atau 108 kemasan/jam
dengan tingkat akurasi hasil timbangan 99,6%.
Kapasitas alat pengemas benih padi 613 kg/jam atau
122 kemasan/jam, bergantung pada keterampilan
operator. Mesin pengering tipe sirkulasi memiliki
kapasitas muat 3,0-3,5 ton per proses dengan lama
pengeringan 16,5 jam pada suhu udara pengering
51,7°C. Sistem pemanasan menggunakan gas LPG
dengan konsumsi rata-rata 1,2 kg/jam, bergantung
pada kondisi udara luar.
Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa
biaya operasional mesin pembersih, penimbang,
pengemas, dan pengering berturut-turut adalah Rp59,
Rp29, Rp14, dan Rp108/kg gabah. Penggunaan mesin
pemroses benih padi menguntungkan dengan nilai
B/C ratio 1,4-1,5 dan nilai BEP 0,5-0,6 tahun. Nilai B/
C ratio dan BEP mesin pengering masing-masing 1,2
dan 2,0 tahun atau cukup layak.
Tingkat kemurnian benih rata-rata 98,5% dan
kotoran benih 1,5%. Daya kecambah benih 87%,
benih mati 13%, dan kandungan benih tanaman lain
0%. Secara umum mutu benih yang dihasilkan
Mesin pemroses benih padi untuk penangkar benih sumber.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan88
memenuhi standar minimum mutu benih padi untuk
kelas benih sebar.
Alsin Pengepras Tebu
Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas
tebu adalah penanaman sistem kepras (ratun), yaitu
memelihara sisa batang tebu setelah panen
(ditebang) hingga tumbuh tunas dan menjadi
tanaman produktif. Cara ini dapat memperpendek
waktu budi daya, karena tidak perlu pengolahan tanah
dan tanam. Meskipun mudah dan murah, hasil tebu
sistem ratun kurang optimal apabila pemotongan tebu
pada saat panen tidak beraturan atau ada sisa batang
yang pecah. Oleh karena itu, diperlukan alsin
pengepras tebu yang dapat memotong batang secara
teratur, batang tidak pecah, dan sisa batang rata
dengan permukaan tanah.
Pada tahun 2011 BBP Mektan telah merancang
alsin pengepras tebu. Alsin pengepras tebu yang
digandeng dengan penggerak traktor roda empat
dengan tenaga di atas 45 HP dapat berfungsi dengan
baik dan dapat melakukan kerja pedhot oyot
(memutus akar) dan pembumbunan tanaman. Pada
tahun 2012, mesin tersebut dimodifikasi pada
beberapa komponennya. Dibandingkan dengan mesin
pengepras tebu tahun 2011, prototipe hasil modifikasi
ini memiliki sistem transmisi yang lebih baik. Jumlah
pisau ditambah dari 8 menjadi 12 bilah dan meng-
gunakan gear box percepatan dan pembalik arah
putaran dari sebelumnya gearbox pembalik arah saja.
Desain piringan berbentuk “coak” untuk pedhot oyot
dari sebelumnya berbentuk piringan utuh, dan
diameter piringan diperbesar dari 500 mm menjadi
660 mm. Prototipe mesin juga ditambah komponen
pembumbun tanaman berbentuk ridger satu sisi.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa prototipe
ini mampu melakukan tiga fungsi sekaligus, yaitu
mengepras tebu secara rata sampai 5 cm di bawah
permukaan tanah, melakukan pedhot oyot hingga
kedalaman 20 cm, dan membumbun tanah di
sepanjang baris tanaman. Pengeprasan dengan
kecepatan maju 2,5 km/jam dan kecepatan putar
pisau 700-800 rpm menghasilkan kapasitas kerja
lapang 4,4 jam/ha dengan efisiensi kerja 70%. Hasil
keprasan juga baik, yaitu batang tebu tidak pecah.
Dengan demikian, target kapasitas kerja prototipe
mesin telah terlampaui dan menghemat tenaga kerja
pedhot oyot dan pembumbunan tanaman.
Model Mekanisasi Pengolahan
Sayuran Kering
Permintaan sayuran tropis semakin meningkat, tetapi
harus memenuhi persyaratan mutu tertentu. Namun,
petani sering kali tidak dapat memanfaatkan peluang
Mesin pengepras tebu saat dioperasikan (kiri) dan prototipe alat pengepras tebu ratun/pedhot oyot
(kanan).
a b
Mekanisasi 89
ini karena keterbatasan pengetahuan dan teknologi,
terutama dalam pengolahan sayuran kering. Teknologi
ini dapat memperpanjang daya simpan sayuran
sehingga dapat mengatasi kelebihan produksi dan
memperluas pasar, termasuk ekspor, dan
meningkatkan nilai tambah.
Pada tahun 2012, BBP Mektan telah mengem-
bangkan paket alsin pengolah sayuran kering
berkapasitas 500 kg/hari, yang terdiri atas satu unit
mesin perajang (kapasitas 100 kg/jam), dua unit
mesin pengering (kapasitas 100 kg/5 jam), satu unit
mesin penepung (kapasitas 100 kg/jam), dan satu
unit mesin pengemas (kapasitas 450 kg/jam untuk
kemasan 1 kg). Paket alsin pengolahan sayuran ini
sudah diadopsi oleh Kelompok Tani Jaya Alam Lestari
di Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa
Barat.
Hasil pengujian menunjukkan kapasitas aktual
paket alsin (proses pengolahan) berkisar antara 372-
400 kg/hari, bergantung pada jenis sayuran yang
diolah. Biaya operasional mesin perajang Rp164,47/
kg, mesin pengering Rp230,92/kg, mesin penepung
Rp342,94/kg, dan mesin pengemas Rp218,07/kg.
Nilai B/C ratio 1,73, net present value (NPV)
Rp45.148.814, dan IRR 28%, artinya cukup layak
hingga bunga modal 28%.
Pengembangan alsin pengolahan sayuran kering
diharapkan menjadi pemicu bagi sentra produksi
sayuran untuk mengembangkan sayuran olahan
berorientasi ekspor. Sayuran kering seperti cabai
kering, cabai bubuk, dan wortel kering mampu
meningkatkan nilai tambah produk, memperpanjang
daya simpan, dan mengatasi kelebihan produksi.
Pengembangannya juga dapat mendorong per-
tumbuhan agroindustri di pedesaan dan variansi pasar
baru produk hortikultura.
Pemetaan Sebaran dan Jumlah Alsin
Budi Daya Tanaman Pangan
Dalam mewujudkan swasembada pangan, peme-
rintah memberikan bantuan alsin pertanian kepada
kelompok tani padi. Namun, bantuan alsin tersebut
belum tepat sasaran karena kurang akuratnya data
sebaran maupun jumlah alsin per kabupaten. Di satu
daerah, jumlah alsin berlebihan dan di daerah lain
kekurangan. Pemanfaatan alsin juga belum optimal
sehingga bantuan menjadi tidak efektif.
Untuk menyiapkan data sebaran maupun jumlah
alsin yang akurat dan mudah diakses pengguna
(Direktorat Jenderal terkait), BBP Mektan telah
Paket alat mesin pengolahan sayuran kering yang dikelola kelompok tani Jaya Alam Lestari, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan90
memetakan sebaran dan jumlah alsin pertanian,
khususnya alsin budi daya, di beberapa sentra
produksi padi. Pada tahun 2012, kegiatan dilaksanakan
di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, dan Jawa Timur. Jenis alsin yang
dipetakan meliputi traktor tangan, mesin perontok
(power thresher), pompa air, mesin pengering, dan
mesin penggilingan padi (rice milling unit), sedangkan
jenis alsin yang dipetakan status keberadaannya
adalah traktor tangan dan mesin perontok. Peng-
ambilan data dilakukan secara berjenjang dari tingkat
provinsi, kabupaten terpilih, dan kecamatan terpilih.
Kebutuhan alsin ditentukan oleh luas tanam, indeks
penggunaan alsin, break even point (BEP), dan jumlah
alsin yang ada.
Dengan kriteria luas garapan/kapasitas kerja
alsin, seperti traktor tangan (15 jam/ha), mesin
perontok (500 kg/jam), dan perontok pedal (200 kg/
jam), telah dibuat rekomendasi status alsin sebagai
berikut: < 50% (sangat kurang sekali), 50-70%
(sangat kurang), 70-90% (kurang), 90-100% (cukup),
dan > 100% (jenuh/lebih). Melalui kegiatan ini telah
dihasilkan peta sebaran dan jumlah alsin budi daya
per kabupaten di tiap provinsi sentra produksi padi.
Peta tersebut diharapkan dapat diintegrasikan dengan
kalender tanam (KATAM) terpadu.
Optimalisasi alsin dengan memindahkan alsin
dalam suatu kawasan (kabupaten) sesuai dengan
kebutuhan diharapkan dapat memudahkan peme-
rintah dalam membuat kebijakan bantuan alsin
kepada petani, sekaligus rekomendasi mobilisasi alsin
dari daerah yang kelebihan ke daerah yang kekurang-
an. Hal ini penting untuk menghindari keterlambatan
tanam dan menghemat anggaran pengadaan alsin
pertanian.
Penyebaran mesin perontok pedal di Indonesia.
Mekanisasi 91
Sebaran dan jumlah traktor tangan dan mesin perontok di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah
dan Kabupaten Lamongan Jawa Timur.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan92
Model Mekanisasi Sistem Integrasi
Kakao-Ternak
Kakao merupakan komoditas perkebunan sumber
devisa. Oleh karena itu, pemerintah melalui Gerakan
Nasional Kakao (Gernas Kakao) bertekad meningkat-
kan produksi kakao nasional sehingga Indonesia dapat
menjadi salah satu penghasil utama kakao dunia.
Panen buah kakao menghasilkan produk samping
berupa kulit buah segar. Limbah ini dapat digunakan
sebagai sumber pakan sapi/kambing, sedangkan
kotoran sapi dapat dimanfaatkan menjadi biogas
sebagai sumber energi. Penggabungan pengolahan
kakao dan limbahnya secara terintegrasi dengan budi
daya ternak dikenal dengan sistem integrasi tanaman-
ternak (SITT).
Untuk mendukung SITT, BBP Mektan mengem-
bangkan Model Pengembangan Pertanian Pedesaan
melalui Inovasi (MP3MI) berbasis kakao-ternak.
Inovasi yang diterapkan meliputi kotak fermentasi dan
mesin pengering kakao serta mesin pencacah kulit
kakao dan instalasi biogas. Jenis dan jumlah alsin
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokasi agar
pemanfaatannya optimal.
Kotak fermentasi berfungsi untuk mengolah biji
kakao setelah panen agar aromanya berkualitas.
Mesin pengering kakao dirancang dengan sistem
tenaga hybrid tipe rak, yang berfungsi mengeringkan
Mesin pengering (a) dan kotak fermentasi biji kakao (b).
Mesin pencacah kulit
buah kakao (a) dan
reaktor biogas (b).
Mekanisasi 93
telah digunakan oleh Kelompok Tani Sulebu Makmur,
Kecamatan Pakis Aji, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Pengujian dengan menggunakan kacang tanah
varietas Cidaun menunjukkan, mesin pembersih
memiliki kapasitas input rata-rata 214,20 kg/jam,
kapasitas output 131,76 kg/jam, efisiensi pem-
bersihan 90,8%, dan tingkat kebersihan biji 97,8%.
Mesin sortasi memiliki kapasitas input rata-rata 93,4
kg/jam, kapasitas output 78,2 kg/jam, efisiensi
sortasi 83,6%, persentase biji utuh di outlet utama
100%, biji rusak/pecah 0%, kotoran 5,9%, dan tingkat
kebersihan biji 97,7%.
Pengembangan Alsin Pengolah
Biofarmaka
Petani di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan,
khususnya di Kecamatan Kandis, umumnya menjual
hasil panen tanaman biofarmaka (kunyit) dalam
bentuk segar. Untuk meningkatkan nilai tambah, kunyit
dapat dijual dalam bentuk bahan setengah jadi
sebagai bahan dasar obat/makanan dan minuman.
Untuk itu diperlukan peralatan pengolahan biofarmaka
mentah menjadi bahan setengah jadi.
BBP Mektan telah menempatkan dua unit mesin
pengolah biofarmaka, yakni mesin pencuci rimpang
Mesin pembersih kacang tanah (a) dan mesin sortasi kacang tanah (b) yang dikelola kelompok tani
Sulebu Makmur, Jepara, Jawa Tengah.
a b
biji kakao basah hasil fermentasi hingga kadar air
7%. Mesin pencacah kulit kakao berkapasitas 800 kg/
jam. Reaktor biogas berfungsi mengolah kotoran
ternak menjadi biogas yang dapat dimanfaatkan
petani untuk memasak, penerangan, atau bahan
bakar enjin.
Model mekanisasi sistem integrasi kakao-ternak
telah diadopsi oleh empat kelompok tani di lokasi
pengembangan Gernas Kakao di Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, dan Jawa Timur, yang
diharapkan dapat meningkatkan produksi dan kualitas
kakao nasional.
Pengembangan Mesin Pembersih
dan Sortasi Kacang Tanah
Salah satu sentra kacang tanah adalah Kabupaten
Jepara, Jawa Tengah. Petani di daerah ini biasanya
menjual kacang tanah yang telah dirontok kepada
pengepul/pabrik tanpa melakukan pembersihan dan
penyortiran dari kotoran atau kacang tanah kosong
(ukuran kecil). Akibatnya, petani belum memperoleh
pendapatan yang optimal.
BBP Mektan telah merekayasa mesin pembersih
dan sortasi kacang tanah polong untuk meningkatkan
mutu, nilai tambah, dan pendapatan petani. Mesin
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan94
Mesin pencuci rimpang kunyit dan
pengeringan simplisia untuk
meningkatkan kualitas produk.
Mesin pengering cabai (atas) dan cabai kering
yang dihasilkan (bawah).
dengan kapasitas 50-100 kg/proses (satu kali proses
±15 menit), dan mesin pengering hemat energi tipe
ERH-hybrid dengan kapasitas 150-200 kg/proses.
Alsin ini untuk melengkapi alsin yang sudah ada di
lokasi, seperti mesin perajang dan penepung. Dengan
penambahan dua alsin ini maka pengolahan kunyit
menjadi simplisia kering dan tepung dapat dilakukan
dengan paket teknologi yang ada.
Introduksi Mesin Pengolah Tepung
Cabai
Permasalahan utama dan kerap terjadi dalam
pemasaran cabai segar adalah fluktuasi harga yang
tajam. Pada saat panen raya, harga rendah sehingga
petani mengalami kerugian. Teknologi penyimpanan
cabai merah dalam bentuk kering (cabai utuh maupun
tepung) dapat meningkatkan nilai ekonomi cabai
merah pada saat panen raya maupun cabai afkir.
Untuk itu diperlukan teknologi berupa mesin
pengering, penepung, dan pengemas.
BBP Mektan telah mengintroduksikan mesin
pengolahan cabai, yang meliputi mesin pengering
dan penepung. Mesin pengering dapat mengeringkan
Mekanisasi 95
cabai merah hingga kadar air yang aman untuk
disimpan (7,48%) dalam waktu 11 jam, dengan
konsumsi gas 0,98 kg/jam. Cabai kering yang
dihasilkan berwarna merah cerah dan bersih dari
kotoran. Mesin dapat dioperasikan menggunakan
bahan bakar tempurung kelapa, sekam, dan limbah
pertanian lainnya. Mesin ini juga dapat digunakan
untuk mengeringkan sayuran lain, seperti wortel dan
bawang daun, atau benih tanaman hortikultura
karena suhu pengeringan dapat diatur sesuai
kebutuhan dan dikontrol secara otomatis.
Alsin penepung cabai dan produk
cabai bubuk.
Mesin penepung cabai merah dikembangkan
dengan teknologi cyclone sehingga tepung saat keluar
dari mesin tidak beterbangan karena dorongan angin
perputaran gigi-gigi dari piringan penepung (disk mill).
Kapasitas input mesin penepung berkisar antara 35-
50 kg/jam dengan tepung cabai merah yang lolos
ayakan < 30 mesh 0,33%, 30 mesh 57,31%, 60 mesh
39,86%, dan 80 mesh 2,34%. Konsumsi bahan
bakarnya 0,96 l/jam. Tepung cabai merah yang
dihasilkan berwarna merah cerah, lebih cerah
dibanding tepung cabai merah yang ada di pasaran.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan96
Sosial-Ekonomi dan
Kebijakan
Keinginan pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan
berkelanjutan sudah bulat. Untuk itu, pemerintah telah menetapkan
sejumlah instrumen kebijakan dan mengesahkan berbagai peraturan
perundang-undangan. Namun, dalam implementasinya sering kali terjadi
ketidaksinkronan dan inkonsistensi di antara peraturan/perundangan
tersebut, terutama ditinjau dari perspektif lintas sektoral. Oleh karena
itu, pengkajian tentang legislasi diperlukan untuk mengurai tuntas
permasalahan dan memberikan solusi untuk ditindaklanjuti oleh
stakeholder terkait. Tantangan swasembada pangan berkelanjutan juga
semakin berat dengan makin masifnya konversi lahan pertanian,
terutama di Jawa, dan terjadinya fenomena perubahan iklim. Oleh
karena itu, perlu dicari upaya terobosan, di antaranya dengan kebijakan
akselerasi peningkatan produksi padi di luar Jawa dan peningkatan
pemahaman petani terhadap dampak perubahan iklim bagi
keberlanjutan produksi pangan.
Wawancara dalam rangka memperoleh informasi kondisi sosial ekonomi petani.
Sosial-Ekonomi dan Kebijakan 97
Pengkajian Legislasi di Bidang
Pertanian Mendukung Swasembada
Pangan
Pencapaian swasembada pangan menjadi prioritas
dalam pembangunan nasional, sehingga pemerintah
mengeluarkan berbagai kebijakan dan memberikan
fasilitasi dalam bentuk peraturan perundangan.
Mengingat pentingnya kebijakan dan peraturan
tersebut dalam mendukung pencapaian swasembada
pangan, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian (PSE-KP) melakukan pengkajian legislasi
yang terkait dengan lahan dan air, sarana produksi
(benih dan pupuk), perdagangan, dan penyuluhan
pertanian.
Legislasi Lahan dan Air
Salah satu sumberdaya penting untuk mencapai
swasembada pangan adalah lahan. Namun,
ketersediaan lahan sawah sebagai tulang punggung
produksi padi makin menyusut akibat konversi ke
penggunaan nonpertanian, sehingga lahan sawah
yang ada perlu dilindungi dan diimbangi dengan
perluasan atau pencetakan sawah baru. Berkaitan
dengan itu, pemerintah telah mengesahkan UU No.
41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (PLP2B).
Konflik kepentingan dalam penggunaan lahan
telah menimbulkan ketidakharmonisan di antara
peraturan hukum yang ada, seperti penggunaan lahan
untuk pangan (UU No. 41/2009), lahan bagi
kepentingan umum (UU No. 2/2012), lahan untuk
perumahan dan kawasan permukiman (UU No. 1/
2011), lahan untuk produksi perkebunan (UU No. 18/
2004), lahan untuk hortikultura (UU No. 13/2010),
dan lahan untuk peternakan (UU No. 28/2009).
Ketidaksinkronan juga terjadi antara UU No. 41/2009
dengan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi dan kabupaten/
kota terkait dengan cakupan dan luas lahan yang akan
dilindungi.
Dalam UU No. 41/2009, lahan yang dilindungi
adalah lahan sawah beririgasi, lahan reklamasi rawa
Untuk mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan, pemerintah melindungi eksistensi lahan sawah
beririgasi sebagai tulang punggung produksi padi nasional.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan98
pasang surut dan lebak, dan atau lahan kering,
termasuk lahan yang dicadangkan untuk tanaman
pangan yang berada di dalam atau di luar kawasan
pertanian tanaman pangan. Lahan tersebut berada
di kawasan perdesaan dan atau perkotaan di wilayah
kabupaten/kota. Sementara dalam Perda RTRW
provinsi dan kabupaten/kota, cakupannya hanya
mengarah ke lahan sawah beririgasi.
Ketidaksinkronan tersebut bermula dari amanat
yang tertuang dalam UU No. 41/2009 yang terlalu
longgar memberikan kewenangan pengaturan dan
penetapan lahan yang akan dilindungi kepada RTRW
wilayah. Karena banyaknya kepentingan, lahan
pertanian tanaman pangan yang dilindungi hanya
“sisa lahan” setelah dikurangi kebutuhan untuk
nonpertanian. Pada kondisi demikian, UU No. 41/2009
yang selanjutnya dituangkan dalam Perda RTRW
menjadi landasan yang kuat untuk mengonversi lahan
pertanian sesuai yang ditetapkan perda. Seharusnya
UU No. 41/2009 lebih tegas, bukan lagi melindungi
tetapi juga mengonservasi lahan pertanian tanaman
pangan, dengan menetapkan lahan yang harus
dikonservasi. Berkaitan dengan hal itu diperlukan
pemantauan, pendampingan, dan advokasi kepada
pemerintah daerah dalam penyusunan Perda RTRW.
Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah
implementasi UU No. 41/2009 membutuhkan waktu
panjang, karena memerlukan syarat sebagai berikut:
(1) seluruh produk hukum turunan UU No. 41/2009
yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan
Permentan harus telah terbit, (2) harus terlebih dahulu
disusun Perda RTRW provinsi dan kabupaten/kota
yang memuat arahan tentang kawasan lahan
pertanian yang dilindungi, dan (3) telah disesuaikan
dengan peraturan/perda/perbup tentang rencana
detail RTRW setiap desa/blok. Langkah mendesak
lainnya adalah sosialisasi secara terus-menerus
kepada masyarakat untuk menghindari konflik dalam
implementasinya.
Legislasi Benih dan Pupuk
Benih unggul bermutu dan pupuk berperan penting
dalam peningkatan produktivitas, sehingga
pemerintah berupaya menyediakan benih bermutu
dan pupuk sesuai dengan asas enam tepat (jenis,
jumlah, mutu, lokasi, waktu, dan harga). Peraturan
perundangan yang terkait dengan benih dan pupuk
sudah tersedia, namun belum sepenuhnya mampu
meningkatkan produktivitas tanaman pangan (padi,
jagung, dan kedelai).
Peraturan benih dan pupuk dikeluarkan oleh
pemerintah pusat dan hanya sebagian yang ditemui
di daerah. Peraturan tersebut umumnya hanya
Penyaluran benih dan pupuk bersubsidi perlu ditata sedemikian rupa agar sampai ke petani yang
berhak.
Sosial-Ekonomi dan Kebijakan 99
mengatur penyediaan benih dan pupuk, dan untuk
pupuk bersubsidi terkait dengan penyediaan sampai
lini IV di tingkat desa. Peraturan perbenihan umumnya
mengatur kelembagaan, mekanisme produksi,
pengawasan mutu benih, mekanisme pemasukan
dan pengeluaran benih, dan program untuk mencapai
swasembada padi, jagung, dan kedelai. Peraturan
tentang varietas mengatur perlindungan sumberdaya
genetik, proses pelepasan varietas, dan penggunaan
varietas awal.
Undang-undang dan peraturan pemerintah
tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri
Pertanian (Permentan), namun tidak ada peraturan
turunan di daerah. Perencanaan kebutuhan pupuk
didasarkan pada Rencana Definitif Kebutuhan
Kelompok (RDKK). Namun, RDKK umumnya dibuat
berdasarkan alokasi pupuk, dan lebih merupakan
kebutuhan penyaluran pupuk.
Penyaluran pupuk bersubsidi diatur dengan
Permendag No. 17/2011. Penyaluran pupuk dari
produsen ke distributor dan pengecer diatur melalui
surat perjanjian jual beli (SPJB). Karena sifat
hubungannya bisnis, maka tingkat ketaatannya relatif
tinggi. Namun, hasil evaluasi menunjukkan masih
ditemui berbagai permasalahan, seperti penyim-
pangan penyaluran pupuk bersubsidi, peredaran
pupuk ilegal atau palsu, belum berjalannya pola
tertutup, penjualan pupuk bersubsidi secara paket,
harga pupuk di atas harga eceran tertinggi, munculnya
pupuk nonsubsidi dengan harga rendah, dan
perangkat pengawasan pupuk di setiap lini belum
optimal.
Berkaitan dengan masih adanya amanat UU/PP
yang belum ditindaklanjuti dan belum sinkronnya
beberapa peraturan perundangan benih, maka
pemerintah perlu membuat peraturan turunan dalam
bentuk PP dan/atau peraturan menteri dan pengaturan
genetically modified organism (GMO) pada industri
perbenihan multinasional. Selain itu, masih
rendahnya penggunaan benih unggul dan benih
bersertifikat diperlukan: (1) sosialisasi dan demplot
benih bersertifikat, (2) peningkatan peran BPSB dan
dukungan sarana prasarananya, (3) pengaturan
penangkaran benih dari penangkar lokal, (4)
peninjauan ulang hak paten karena hanya perusahaan
besar yang mempunyai akses memperoleh hak paten,
dan (5) melanjutkan sistem jabalsim (jaringan benih
antarlapang dan antarmusim).
Untuk menyinkronkan UU No. 12/1992 dan PP
No. 08/2001, maka PP No. 08/2001 perlu disem-
purnakan dengan memasukkan status pupuk organik,
pupuk hayati, dan bahan pembenah tanah. Peraturan
pupuk organik melalui Permentan perlu ditingkatkan
menjadi PP agar dapat ditindaklanjuti dengan
peraturan tingkat menteri.
Legislasi Perdagangan Bidang Pertanian
Peraturan mengenai perdagangan pangan belum
tersedia di beberapa provinsi, seperti di Sumatera
Utara, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Jawa Timur.
Selama ini pemerintah daerah hanya menggunakan
regulasi yang dibuat oleh pemerintah pusat, misalnya
UU No. 7/1996 tentang Pangan.
Perdagangan pangan diatur dalam UU No. 7/
1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia, UU No. 7/1996 tentang Pangan,
Inpres No. 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan
Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah,
dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 13/2009
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Per-
dagangan No. 12/2008 tentang Ketentuan Impor dan
Pengaturan di bidang perdagangan pangan
diperlukan untuk mencapai swasembada.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan100
Ekspor Beras. Peraturan ini sangat bermasalah dan
tidak konsisten dengan UUD 1945 Pasal 33 dan UU
No. 11/2005.
Saat ini pemenuhan kebutuhan pangan di be-
berapa provinsi, seperti di Sumatera Utara, Sulawesi
Selatan, Lampung, dan Jawa Timur mulai bergantung
pada impor. Keberadaan komoditas pangan impor
menyebabkan harga beras, jagung, dan kedelai di
tingkat petani merosot, sementara pemerintah daerah
tidak memiliki kemampuan untuk memproteksi
pertanian tanaman pangan dari liberalisasi per-
dagangan. Oleh karena itu, perlu adanya peraturan
perundang-undangan di bidang perdagangan pangan.
Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah
liberalisasi perdagangan berdampak negatif terhadap
upaya pencapaian swasembada beras, jagung, dan
kedelai. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera
menegosiasi ulang pemberlakuan perdagangan
bebas di Indonesia ke negara-negara anggota WTO
dan mengagendakan pencabutan atau pengubahan
beberapa ketentuan WTO, khususnya tentang
pencapaian swasembada pangan.
Pemerintah juga perlu merumuskan landasan
hukum reorientasi kebijakan perdagangan bebas
dalam kerangka pencapaian swasembada pangan.
Penerapan undang-undang pangan harus menjamin
pemenuhan pangan yang merata bagi seluruh lapisan
masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang
jelas tentang pembagian peran dan tanggung jawab
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam mencapai swasembada pangan secara
berkelanjutan. Di beberapa sentra produksi pangan
diperlukan pula peraturan daerah tentang
pencapaian swasembada pangan dan perdagangan
pangan untuk meningkatkan efisiensi, produksi,
produktivitas, dan mutu produk pangan.
Legislasi Bidang Peternakan
Program swasembada daging sapi dan kerbau
(PSDSK) 2014 diharapkan tidak hanya meningkatkan
ketersediaan daging, tetapi juga pendapatan
peternak. Agar program berjalan dan didukung
stakeholder, telah dirancang berbagai peraturan
perundang-undangan (PPU), namun masih sulit
diimplementasikan di lapangan.
Tiga belas kegiatan PSDSK 2014 telah dilengkapi
pedoman implementasinya di daerah, namun belum
semuanya dilengkapi juklak di tingkat provinsi dan
juknis di tingkat kabupaten. Di pihak lain, perlu
dicermati azas pengundangan, yaitu bila suatu PPU
telah diundangkan, maka UU tersebut telah berlaku
dan bersifat mengikat dan semua orang dianggap
sudah mengetahuinya. Asas itu diduga menyebabkan
sosialisasi UU, termasuk UU No. 18/2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) dianggap
kurang perlu, sehingga tidak tersedia dana yang
memadai untuk sosialisasi. Sosialisasi Permentan
terkait PSDSK 2014 sudah dilakukan oleh Ditjen PKH
dan Dinas PKH Provinsi, meskipun terkendala dana.
Kelompok peternak peserta program PSDSK 2014
tidak menghadapi masalah terkait dengan prosedur
dan aturan yang ada. Namun yang menjadi per-
masalahan justru terkait aspek teknis dan manajemen
budi daya ternak. Para peternak merasakan kurang-
nya pembinaan akibat terbatasnya dana pada instansi
terkait.
Penegakan hukum untuk mencegah pemo-
tongan sapi betina produktif yang diamanahkan UU
No. 18/2009 masih sangat lemah, antara lain karena
belum ada perda provinsi dan kabupaten/kota terkait
larangan pemotongan sapi betina produktif. Dinas PKH
sulit melarang pemotongan sapi betina produktif
karena tidak adanya kewenangan untuk memberikan
sanksi, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang
terkait dalam penerapan PPU belum menjalankan
fungsinya dengan baik. Selain itu, penerbitan PPU
melalui tahapan yang panjang dan melibatkan banyak
pihak sehingga sering terlambat.
Implikasi kebijakan dari penelitian tersebut
adalah: (1) perlu pencermatan lebih dalam terhadap
PPU di dalam maupun di luar lingkungan pertanian
yang terkait dengan program swasembada daging
sapi dengan melibatkan instansi terkait, (2) perlu
harmonisasi dan sinkronisasi PPU yang terkait dengan
program swasembada daging sapi, (3) untuk
mengurangi muatan PPU yang tidak konsisten dengan
program swasembada daging sapi, maka tiap PPU
Sosial-Ekonomi dan Kebijakan 101
harus jelas dan tegas dalam implementasinya,
sehingga perlu ada dengar pendapat pihak terkait
sebelum PPU diterbitkan, (4) sosialisasi UU No. 18/
2009 dan produk hukum turunannya perlu ditingkatkan
untuk mewujudkan swasembada daging sapi,
terutama di sentra-sentra produksi, (5) perlu
penertiban dalam penerbitan pedoman dan petunjuk
teknis dikaitkan dengan substansi dan kelembagaan
tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, serta
penegakan hukum, dan (6) perlu penguatan
organisasi yang membidangi hukum pada setiap unit
kerja di pusat dan daerah.
Legislasi Penyuluhan Pertanian
UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K) serta
PPU di bawahnya belum memberikan ruang bagi
penyuluh untuk bekerja sesuai kebutuhan petani dan
membuat penyuluh lebih progresif untuk menyuk-
seskan swasembada pangan. UU No. 16/2006 dan
peraturan turunannya (PP, perpres, permentan,
perda, pergub, dan perbup) telah konsisten dan
merujuk pada peraturan di atasnya. Namun, PPU
yang diinisiasi oleh kementerian yang berbeda
cenderung kurang sinkron, seperti UU No. 7/1996
tentang Pangan dan UU No. 16/2006 tentang SP3K
(Kementerian Pertanian) yang bertentangan dengan
PP No. 38/2007 yang mengatur pembagian urusan
pemerintahan pusat dan daerah dan PP 41/2007
tentang organisasi perangkat daerah (dalam koridor
UU No. 32/2004, Kementerian Dalam Negeri). Muatan
PPU tidak mencerminkan kepentingan publik maupun
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan peme-
rintahan, dan lebih mementingkan sektoral.
Implementasi PPU (seperti Permentan No. 45/
2011) yang mendukung swasembada pangan hanya
fokus pada P2BN, dan tidak memerhatikan kebijakan
lain, seperti insentif bagi petani dan penyuluh sebagai
fasilitator. Program masih berorientasi pada pen-
capaian target produksi. Implikasinya, perlu dibuat
perpres di bawah UU No. 16/2006 yang mengatur
kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, ke-
bijakan, dan strategi penyuluhan yang diperkuat
dengan peraturan menteri maupun perda agar
implementasinya di lapangan lebih jelas.
Perlu ada program advokasi kepada pemda
terkait dengan UU No. 16/2006 dan peraturan
turunannya mengingat peran pemda yang lebih besar
dalam penyuluhan, termasuk alokasi APBD dan
penerbitan perda berikut pergub/perbup. UU No. 16/
2006 tentang SP3K dan peraturan turunannya masih
bersifat parsial, belum terintegrasi, masih bergantung
pada kepentingan pemerintah, dan belum mengarah
pada pemangku kepentingan. Namun, antarperaturan
telah konsisten dan merujuk aturan di atasnya.
Instrumen UU No. 16/2006 dan peraturan
turunannya dapat mendukung upaya pencapaian
Dalam mewujudkan swasembada daging
perlu dukungan peraturan daerah, termasuk
larangan pemotongan sapi betina produktif.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan102
swasembada daging sapi tahun 2014, bila program-
program yang telah dicanangkan pemerintah dapat
dijalankan secara sinergis dan terintegrasi, termasuk
penyuluhan dan pendampingan dalam implementasi
program tersebut. Penerbitan Permentan No. 61/2008
tentang pedoman pembinaan penyuluh pertanian
swadaya dan penyuluh pertanian swasta mem-
buktikan pemerintah serius mengembangkan pe-
nyuluh swadaya dan penyuluh swasta sebagai
pendamping penyuluh pemerintah (PNS). Dalam
operasionalnya, diperlukan petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis agar penyuluh swadya dan swasta
didukung oleh sarana/prasarana yang memadai.
Pendampingan petani peserta program (SL-PTT, kaji
terap, dan demfarm) memberikan kontribusi terhadap
peningkatan produktivitas padi 29-33% dibandingkan
dengan petani bukan peserta program.
Penelitian ini memberikan implikasi kebijakan
sebagai berikut. Pertama, perlu pengkajian ulang
terhadap beberapa ketentuan dalam PP No. 41/2007
(dalam koridor UU No. 32/2004), khususnya yang
terkait dengan kebijakan, seperti penentuan jumlah
satuan kerja perangkat daerah (SKPD), bukan hanya
didasarkan pada perhitungan kuantitatif (jumlah
penduduk, luas wilayah, dan APBD), tetapi juga aspek
historis sosiologis suatu kelembagaan yang telah lama
dibangun (seperti kelembagaan penyuluhan). PP No.
38/2007 juga perlu ditinjau kembali, terutama Pasal
7 yang tidak konsisten dalam menempatkan ketahan-
an pangan sebagai unsur wajib, sedangkan pertanian
sebagai unsur pilihan.
Kedua, perlu dibuat perpres di bawah UU No.
16/2006 yang mengatur kelembagaan, ketenagaan,
penyelenggaraan, kebijakan, dan strategi penyuluhan
yang diperkuat dengan Peraturan Menteri maupun
perda, sehingga implementasinya di lapangan lebih
jelas.
Ketiga, bentuk kelembagaan, penyelenggaraan,
kebijakan dan strategi penyuluhan pertanian
dipengaruhi oleh persepsi pembuat kebijakan tentang
pembangunan pertanian (termasuk penerapan
otonomi daerah dikaitkan dengan pertanian sebagai
unsur pilihan) dan penyuluhan pertanian. Untuk itu
perlu ada program advokasi kepada pemda terkait
dengan UU No. 16/2006 dan peraturan turunannya.
Keempat, penyusunan strategi operasionalisasi
programa penyuluhan agar lebih mencerminkan
kegiatan penyuluhan spesifik lokasi yang strategis dan
mempunyai daya ungkit tinggi terhadap peningkatan
Penyuluhan pertanian perlu
lebih progresif guna
mewujudkan swasembada
pangan.
Sosial-Ekonomi dan Kebijakan 103
produktivitas komoditas unggulan daerah dan pen-
dapatan petani. Strategi baru juga dibutuhkan guna
merespons kebutuhan petani dalam melaksanakan
kegiatan produktif sehingga dapat memberi dukungan
terhadap swasembada pangan.
Kebijakan Akselerasi Pertumbuhan
Produksi Padi di Luar Jawa
Secara historis, Jawa merupakan sentra produksi padi
nasional. Dalam periode 1985-2005, sekitar 55-62%
produksi padi nasional dihasilkan di Jawa dan 95% di
antaranya dihasilkan dari lahan sawah dan sisanya
dari lahan kering. Namun, laju pertumbuhan produksi
padi sawah di Jawa cenderung menurun. Selama
tahun 1985-1995 produksi padi sawah di Jawa rata-
rata meningkat 1,60%/tahun, tetapi pada tahun 1995-
2005 laju peningkatan produksi hanya 0,59%/tahun.
Dalam jangka panjang, laju pertumbuhan
produksi padi di Jawa diperkirakan akan terus
menurun, terutama karena konversi lahan sawah ke
penggunaan nonpertanian sejalan dengan laju
pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Untuk
mendorong peningkatan produksi padi nasional, perlu
terobosan peningkatan produksi padi di luar Jawa
melalui peningkatan produktivitas, luas tanam, dan
intensitas tanam, khususnya pada daerah yang sesuai
untuk pengembangan padi.
Sebagian besar kecamatan (74,7%) di Sulawesi
memiliki sumberdaya lahan kering. Sebagian besar
kecamatan bukan sentra produksi padi, dan hanya
214 kecamatan (27,5%) yang tergolong sentra
tanaman padi. Kecamatan sentra padi memiliki
kontribusi penting terhadap total luas tanam padi di
Sulawesi. Sekitar 75% tanaman padi di Sulawesi
berada di kecamatan sentra padi dan sisanya pada
kecamatan nonsentra padi. Namun 62% tanaman
kedelai juga dikembangkan pada kecamatan sentra
padi dan sisanya pada kecamatan nonsentra padi.
Luas lahan sawah cenderung lebih besar di
kecamatan sentra padi (3.601 ha/kecamatan)
dibanding di kecamatan bukan sentra padi (784 ha/
kecamatan). Luas kepemilikan lahan sawah per
keluarga juga lebih luas di kecamatan sentra padi
(0,56 ha/keluarga) dibanding di kecamatan bukan
sentra padi (0,18 ha/keluarga). Jumlah desa yang
tersedia jaringan irigasi cenderung lebih banyak di
Untuk meningkatkan produksi beras nasional, perlu terobosan peningkatan produksi padi di luar Jawa,
antara lain melalui perluasan area tanam.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan104
kecamatan sentra padi (71,8% desa) dibanding di
kecamatan bukan sentra padi (36,1% desa).
Jumlah tenaga kerja atau buruh tani lebih banyak
di kecamatan sentra padi (2.888 orang/kecamatan)
dibanding di kecamatan bukan sentra padi (1.274
orang/kecamatan). Peran sektor pertanian sebagai
sumber pendapatan penduduk juga lebih besar di
kecamatan sentra padi (97,0%) dibanding di
kecamatan bukan sentra padi (81,7%).
Luas tanam padi cenderung lebih besar di
kecamatan sentra padi (5.210 ha/kecamatan)
dibanding di kecamatan bukan sentra padi (654 ha/
kecamatan). Dari segi IP, 60,8% luas sawah di
kecamatan sentra padi memiliki IP padi 100-200,
sedangkan 70,5% luas sawah di kecamatan bukan
sentra padi memiliki IP padi kurang dari 100.
Faktor penentu pengembangan padi dari yang
terbesar hingga terkecil adalah: (1) kondisi iklim dan
tanah (31,0%), (2) karakteristik sumberdaya lahan
(18,6%), (3) infrastruktur pendukung (14,7%), (4)
lembaga pendukung (9,7%), (5) lingkungan sosial-
ekonomi (10,3%), (6) karakteristik petani (7,5%), dan
(7) ketersediaan teknologi (8,1%).
Di Sulawesi, Sumatera, dan Papua, ketersediaan
air masih melebihi kebutuhan atau surplus, baik pada
musim hujan maupun musim kemarau. Di Sulawesi,
89% surplus air terjadi pada musim hujan dan 37%
pada musim kemarau. Hal ini menunjukkan peluang
peningkatan luas area tanaman semusim di pulau
tersebut masih cukup besar. Untuk perluasan area
tanaman, peluang keberhasilan peningkatan IP padi
masih cukup besar.
Potensi perluasan lahan sawah di Sulawesi
sekitar 423.000 ha dari lahan bukan rawa. Di
Sulawesi, kendala sosial pengembangan lahan sawah
lebih kecil dibanding di Maluku, Papua, dan
Kalimantan, karena sebagian besar petani di Sulawesi
telah terbiasa menanam padi. Berdasarkan hal ter-
sebut, secara sosial peluang keberhasilan perluasan
lahan sawah untuk meningkatkan produksi padi di
luar Jawa lebih besar di Sulawesi dibanding di pulau
lainnya.
Di Sulawesi Selatan, terdapat 146 kecamatan
(52%) yang berpotensi untuk pengembangan padi
dengan total luas sawah 479.900 ha atau 81% dari
luas sawah yang tersedia. Kecamatan tersebut
umumnya merupakan sentra tanaman padi. Sekitar
53% lahan sawah terdapat di Kabupaten Wajo, Bone,
Pinrang, dan Sidrap. Di Sulawesi Tengah, terdapat
31 kecamatan (27,2%) yang berpotensi untuk
pengembangan padi dengan total luas sawah 94.200
ha atau 63% dari luas sawah yang tersedia.
Kecamatan tersebut pada umumnya merupakan
sentra tanaman padi. Sekitar 59,5% lahan sawah
tersebut terdapat di Kabupaten Sigi, Parigi Moutong,
dan Banggai.
Implikasi kebijakan penelitian ini adalah ancaman
konversi lahan sawah pada kecamatan sentra padi
relatif tinggi sehingga area lahan sawah cenderung
berkurang. Untuk mengatasi masalah ini perlu
diterapkan kebijakan insentif pada kecamatan sentra
padi. Selain untuk mencegah konversi lahan, kebi-
jakan tersebut juga dapat mengurangi kemiskinan.
Peluang peningkatan IP padi di Sulawesi masih
terbuka mengingat surplus air pada musim hujan dan
musim kemarau masih cukup besar. Pemanfaatan air
sungai untuk irigasi melalui pompanisasi dapat
ditempuh mengingat cukup banyak desa yang dilalui
sungai tetapi hanya sebagian kecil yang telah
memanfaatkannya untuk irigasi. Penataan jadwal
pengairan dan pasokan air untuk usaha tani padi juga
diperlukan berkoordinasi dengan institusi yang
menangani pengairan.
Kapasitas Petani dalam Beradaptasi
terhadap Perubahan Iklim
Sektor pertanian paling rentan terhadap perubahan
iklim sehingga perubahan iklim merupakan ancaman
paling nyata terhadap ketahanan pangan. Oleh karena
itu, keberlanjutan ketahanan pangan sangat
ditentukan oleh keberhasilan sektor pertanian,
khususnya subsektor tanaman pangan, dalam
beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Sosial-Ekonomi dan Kebijakan 105
Perubahan iklim diwarnai oleh variabilitas iklim
yang tajam dan kadang-kadang dengan pola yang
menyimpang. Amplitudo temperatur dan curah hujan
kadang-kadang menjadi sangat lebar sehingga banjir
dan kekeringan meningkat, baik frekuensi maupun
besarannya. Pada saat yang sama, potensi serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT) juga me-
ningkat sehingga risiko usaha tani menjadi lebih
tinggi. Mengingat iklim sulit dikendalikan maka
dampak perubahan iklim terhadap produktivitas,
produksi, dan pendapatan petani serta implikasinya
terhadap ketahanan pangan nasional akan ditentukan
oleh kapasitas petani dalam beradaptasi terhadap
perubahan iklim.
Secara empiris, petani telah mengembangkan
cara-cara beradaptasi terhadap kondisi iklim yang
ekstrem. Namun, dalam menghadapi variabilitas iklim
yang cenderung makin tajam dan sulit diprediksi, cara-
cara adaptasi yang dikembangkan petani harus
ditingkatkan. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh petani
sendiri, tetapi perlu dukungan pemerintah, baik dalam
penguatan kapasitas adaptasi melalui inovasi teknologi
dan kemampuan manajerial, maupun penyediaan
infrastruktur, kebijakan harga, dan kelembagaan
pendukungnya.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kapasitas
petani dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim
beragam antarwilayah. Pada sejumlah wilayah,
kapasitas adaptasi yang dikembangkan petani secara
mandiri cukup memadai, namun tidak cukup untuk
menghadapi perubahan iklim. Oleh karena itu,
diperlukan adaptasi yang terencana (planned
adaptation). Peran kelembagaan kelompok tani
sangat penting untuk memperkuat kapasitas adaptasi
petani.
Determinan kapasitas adaptasi yang bersifat
positif ditunjukkan oleh variabel pendapatan rumah
tangga, peran usaha tani, kemampuan manajerial
dalam usaha tani, pengalaman diversifikasi, peng-
alaman berganti varietas, aktivitas kelompok tani,
cara mengatasi banjir, cara mengatasi kekeringan,
dan cara pengendalian OPT. Sebaliknya, variabel umur
petani merupakan determinan kapasitas adaptasi
yang bersifat negatif. Hal ini menunjukkan bahwa
kapasitas petani dalam beradaptasi terhadap
perubahan iklim akan lebih mudah ditingkatkan jika
petani memiliki kemampuan finansial dan berusia
muda. Petani yang memiliki kemampuan manajerial
dalam berusaha tani dapat menjadi penghela petani
yang lain. Peningkatan kapasitas adaptasi terhadap
perubahan iklim pada kelompok tani kecil mempunyai
prospek yang baik.
Pengarusutamaan (mainstreaming) adaptasi
terhadap perubahan iklim perlu dilakukan secara
konsisten, komprehensif, dan sistematis. Implikasi
kebijakannya adalah: (1) diperlukan akselerasi dan
peningkatan muatan teknologi usaha tani yang adaptif
terhadap perubahan iklim, (2) rehabilitasi dan
pengembangan irigasi, dan (3) percepatan dan
perluasan program diversifikasi pertanian.
106 Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan
Inovasi Spesifik Lokasi
Salah satu peran Badan Litbang Pertanian melalui Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) yang tersebar di 33 provinsi adalah
menghasilkan teknologi unggul yang dapat diterapkan pada kondisi
spesifik lokasi. Sebagai ujung tombak pengembangan inovasi teknologi
spesifik lokasi, BPTP terus berupaya memecahkan masalah pertanian
di daerah setempat melalui pemilihan dan penerapan teknologi yang
tepat. Berbagai program telah dirancang dan dilaksanakan untuk
meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan petani
melalui pemberdayaan dalam mengakses informasi, teknologi, dan
modal untuk mengembangkan usaha agribisnis dan kemitraan dengan
pihak swasta. Berbagai aktivitas mulai dari perakitan teknologi spesifik
lokasi hingga percepatan diseminasi teknologi telah dilakukan, antara
lain melalui pendampingan dalam penerapan teknologi.
Penerapan inovasi teknologi sesuai kondisi spesifik lokasi dapat meningkatkanproduksi pangan.
Inovasi Spesifik Lokasi 107
Pengembangan Model Kawasan
Rumah Pangan Lestari (M-KPRL)
Ketahanan pangan nasional yang merupakan tujuan
strategis pembangunan pertanian berawal dari
kecukupan pangan di tingkat keluarga. Hal ini
menginisiasi pengembangan M-KPRL yang bertujuan
untuk meningkatkan ketahanan pangan di tingkat
rumah tangga. Data terakhir menunjukkan M-KRPL
telah berkembang di beberapa daerah di 21 provinsi
di Indonesia.
Sejak Februari 2011 sampai awal Desember
2012, pengembangan M-KRPL mencapai 423 unit,
meliputi 44 unit pada tahun 2011 dan 379 unit pada
tahun 2012, dengan melibatkan lebih dari 20.000 KK.
Berbagai pihak telah mereplikasi M-KRPL, antara lain
pemerintah daerah, Solidaritas Istri Kabinet Indonesia
Bersatu (SIKIB) beserta tujuh organisasi wanita, SIKIB
dan Badan Narkotika Nasional (BNN), PP Salimah, TNI-
AD, Badan Ketahanan Pangan, Haryono Suyono
Center melalui program Pos Daya, dan beberapa
sekolah (SD dan SMP) di berbagai daerah. Untuk
mempercepat pemassalan M-KRPL, Badan Ketahanan
Pangan (BKP) melalui program Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) akan
mengembangkannya di 5.000 desa.
Dampak Pengembangan
Hasil evaluasi secara nasional menunjukkan M-KRPL
mampu menghemat pengeluaran keluarga
Rp120.000-750.000/KK/bulan (rata-rata per akhir
November 2012). Untuk daerah-daerah yang
kebutuhan sayurannya dipenuhi dari provinsi lain,
seperti Ternate-Maluku Utara, pengeluaran keluarga
bisa dihemat Rp1-1,5 juta/KK/bulan. Skor pola
pangan harapan (PPH) rata-rata meningkat dari 63,8
pada Oktober 2011 menjadi 72,5 pada November
2012.
Pengembangan KRPL di berbagai provinsi
memunculkan varian-varian model pengembangan
kawasan yang perlu dimantapkan, antara lain: (1)
Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL), (2)
Model Kawasan Pangan Lestari (M-KPL), dan (3)
Model Rumah Pangan Lestari (M-RPL). M-KRPL paling
luas penyebaran dan replikasinya. Di beberapa daerah
dijumpai kelompok yang mengembangkan M-KRPL
secara bersama dalam satu atau beberapa hamparan
lahan, yang disebut dengan M-KPL. Namun ada pula
model yang hanya melibatkan beberapa rumah
tangga yang disebut dengan M-RPL.
Implementasi KRPL meningkatkan skor PPH
sekitar 5,17 (Tabel 1), dari 75,8 sebelum penerapan
Lingkungan yang asri dengan aneka tanaman sayuran merupakan ciri KRPL.
108 Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan
KRPL (2011) menjadi 81,0 setelah menerapkan KRPL
(2012). Peningkatan nilai PPH 5,17 dari 22 provinsi
tersebut sangat berarti. Melalui berbagai program
yang dikembangkan oleh Badan Ketahanan Pangan,
seperti P2KP, nilai PPH diharapkan mencapai 93,3 pada
tahun 2014.
Integrasi M-KRPL dengan program Pemda, Badan
Ketahanan Pangan, SIKIB, Salimah, Haryono Suyono
Center atau Yayasan Damandiri, Lembaga Pema-
syarakatan, sekolah/pondok pesantren, BNN, TNI,
dan lainnya berlangsung cepat dan menyebar luas.
Pembelajaran dari kerja sama tersebut adalah
pengembangan KRPL dapat mengubah budaya
masyarakat, yang awalnya budaya membeli menjadi
budaya menanam sayuran, selain menumbuhkan
model-model KRPL khusus maupun media pendidikan
seperti KRPL desa nelayan, KRPL pesantren, agro-
wisata, pendidikan anak, edukasi dan dakwah melalui
pertanian, bagian dari terapi pascarehabilitasi
narkoba, atau terapi penyakit masyarakat.
Apresiasi
Pada peringatan Hari Pangan se-Dunia ke-32 di
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 18-21 Oktober
2012, Badan Litbang Pertanian menggelar berbagai
Partisipasi masyarakat,
khususnya ibu rumah
tangga, dalam
pengembangan KRPL.
Tabel 1. Pola Pangan Harapan (PPH) sebelum dan
setelah pengembangan KRPL di setiap provinsi,
2012.
ProvinsiPPH PPH
sebelum setelah
Aceh 73.11 75,67
Sumatra Barat 85,00 -
Lampung 71,49 89,98
DKI Jakarta 94,10 -
Jawa Barat 71,01 82,64
Jawa Tengah 77,96 81,22
Jawa Timur 76,00 80,80
Sumatra Selatan 82,10 91,50
DI Yogyakarta 62.16 81,50
Sulawesi Tengah 72,05 80,06
Sulawesi Selatan 64,79 77,24
Sulawesi Utara 73,05 76,35
Sulawesi Barat 65,31 66,30
Papua 80,78 83,89
Papua Barat 82,92 86,55
Maluku Utara 73,75 81,08
Kalimantan Barat 72,82 78,40
Kalimantan Tengah 85,00 85,29
Kalimantan Selatan 82,96 82,13
Bali 63.37 71,09
Gorontalo 82,60 87,27
Rata-rata 75,83 81,00
Keterangan: Standar deviasi sebelum: + 8,3 dan
Standar deviasi sesudah: + 6,14
Inovasi Spesifik Lokasi 109
inovasi teknologi, termasuk M-KRPL perkotaan dan
perdesaan (Tabel 2). Acara berskala nasional ini
dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk kelompuk tani
dari semua provinsi di Indonesia.
Dalam rangkaian agenda HPS ke-32, Badan
Litbang Pertanian memberikan apresiasi terhadap
kelompok wanita tani (KWT) yang telah berkontribusi
Wakil Presiden RI,
Menteri Pertanian,
Menko Kesra, dan
Gubernur Kalteng
mengunjungi blok
tanaman kedelai pada
area gelar teknologi
dalam peringatan Hari
Pangan se-Dunia 2012 di
Palangkaraya yang
dipandu oleh Kepala
Badan Litbang Pertanian.
Tabel 2. Model budi daya dan basis komoditas dalam M-KRPL perkotaan dan perdesaan.
Model budi daya Komoditas
Vertikultur (model gantung, tempel, Sayuran: sawi, kucai, pakcoi, caisim, bayam, kangkung, kemangi, seledri,
tegak, rak) selada bokor
Toga: kencur, antanan, gempur batu, jinten, sambiloto, jahe merah,
binahong, sirih
Pot/polibag/tanam langsung Sayuran: cabai, terung, tomat, kecipir, kacang panjang, mentimun, kenikir,
bayam, kangkung, kelor, labu
Benih/bibit Toga: jahe, kencur, kunyit, kumis kucing, sirih hijau/merah, pegagan,
lidah buaya, sambiloto, temulawak, gempur batu
Tanaman buah: pepaya, jeruk nipis, limau
Tanaman pangan: talas, ubi jalar, ubi kelapa, garut, ganyong
Kolam Pemeliharaan ikan lele
Bedengan, surjan, multistrata Intensifikasi pekarangan: sayuran, buah-buahan, umbi, kacang-kacangan
nyata dalam pengembangan M-KRPL. Mereka berasal
dari 11 provinsi, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Selatan, Maluku Utara, dan Papua. Apresiasi diberikan
dalam bentuk penghargaan dan bantuan kepada KWT
yang telah berprestasi sebagai penggerak M-KPRL di
daerahnya.
110 Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan
Pengembangan Inovasi Pertanian
melalui Kegiatan Usaha Bersama
Gapoktan
Pengembangan inovasi teknologi melalui pen-
dampingan antara lain dilaksanakan melalui
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP),
Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN),
dan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
(SLPTT). PUAP dimulai pada tahun 2008 sampai 2011
dengan menyalurkan bantuan langsung kepada
38.1233 gabungan kelompok tani (gapoktan).
Gapoktan melaksanakan usaha ekonomi produktif
melalui tahapan penyusunan Rencana Usaha Anggota
(RUA) yang selanjutnya dirangkum dalam Rencana
Usaha Kelompok (RUK) dan dikompilasi menjadi
Rencana Usaha Bersama (RUB). Materi RUB yang
disusun gapoktan sangat beragam, bergantung pada
potensi ekonomi wilayah. Petani memanfaatkan dana
dari PUAP, sementara BPTP menyediakan teknologi
untuk mendukung usaha tani yang ada di RUB.
Teknologi usaha tani padi yang akan diterapkan
gapoktan diarahkan melalui pendekatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT).
Pendampingan terhadap gapoktan PUAP ber-
tujuan agar inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian
dapat diterapkan secara optimal sehingga meningkat-
kan produktivitas. Pendampingan dilaksanakan
bekerja sama dengan penyuluh. Ketersediaan input
produksi, inovasi teknologi, dan pasar diperlukan
Konsep dasar usaha produktif usaha tani padi gapoktan PUAP.
gapoktan PUAP untuk menunjang keberhasilan usaha
tani.
Di Kalimantan Timur, dana RUB gapoktan PUAP
Rp22,07 miliar digunakan untuk pengembangan usaha
tani padi, Rp6,08 miliar untuk hortikultura (bunga
potong, sayuran hijau, sayuran buah), Rp10,18 miliar
untuk peternakan (ayam, kambing, babi, dan
penggemukan sapi), dan Rp 19,60 juta untuk usaha
perkebunan (pembibitan kelapa sawit, pemeliharaan
karet). Pengembangan varietas unggul baru (VUB)
dilaksanakan dengan membuat displai gapoktan PUAP
di 11 kabupaten/kota. Selama tahun 2008-2011 telah
disalurkan bantuan ke 649 desa untuk gapoktan di
12 kabupaten/kota, dan 38% dimanfaatkan untuk
usaha budi daya padi sawah.
Gapoktan PUAP di 11 kabupaten/kota telah
mengadosi varietas unggul padi sawah Inpari 6, Inpari
7, Inpari 8, Inpari 9, Inpari 10, dan Inpari 13 dengan
rata-rata hasil 6,4-7,23 t/ha GKP. PUAP dapat
mempercepat penyebaran VUB karena adanya
penambahan modal usaha pada gapoktan. Introduksi
VUB padi sawah dapat meningkatkan hasil 38-55%
dan pendapatan petani Rp6.545.000.
Di Jawa Barat, dana BLM-PUAP tahun 2008
digunakan oleh anggota gapoktan untuk usaha
tanaman pangan seperti padi, kedelai, jagung,
kacang tanah (60,6%), usaha komoditas hortikultura
seperti cabai, tomat, dan buah-buahan (17,5%),
perkebunan kakao, karet, lada (3,9%), peternakan
domba, ayam, itik dan sapi (24%), dan usaha
Inovasi, teknologi Peningkatan
Gapoktan Usaha tani PASAR
Penguatan Peningkatan
Gapoktan PUAP
• Modal kuat,
• Mandiri, LKM-A,
• Fungsi kelembagaan
kuat
• Perilaku agribisnis
meningkat
Inovasi Spesifik Lokasi 111
pemasaran, kerajinan, industri rumah tangga (47%).
Pada tahun 2009, BLM PUAP digunakan untuk usaha
tanaman pangan 35%, hortikultura 8%, perkebunan
6,5%, dan peternakan 7,4%, sedangkan kegiatan di
luar budi daya (off-farm) 42%. Pada tahun 2010,
penggunaan dana didominasi oleh tanaman pangan
30,8%, hortikultura 10%, perkebunan 2,1%,
peternakan 15,7%, dan off-farm 41%. Jawa Barat
yang merupakan provinsi lumbung padi di Indonesia,
mendapat alokasi dana BLM PUAP 30% untuk
peningkatan produksi beras 10 juta ton pada tahun
2014. Secara umum, porsi kegiatan usaha tani budi
daya tanaman lebih tinggi (62,1%) dibanding usaha
lainnya, khususnya untuk tanaman pangan (62%),
seperti padi dan palawija, disusul hortikultura (29%),
peternakan (12%), dan perkebunan (11%). Porsi
kegiatan usaha nonpertanian 38,9%, meliputi
pengolahan hasil (11,6%), pemasaran hasil (17,7%),
dan usaha lain berbasis pertanian (7,7%).
Di Jawa Timur, inovasi teknologi VUB (Ciherang,
Cibogo, Inpari), benih bermutu dan berlabel untuk
setiap dua musim tanam, dan rekomendasi
pemupukan belum digunakan, sementara pupuk
organik (pupuk kandang dan kompos Petro-organik),
dan sistem tanam jajar legowo baru diterapkan 15%
petani PUAP. Kendala yang dihadapi petani dalam
mengadopsi teknologi adalah kurangnya pemahaman
petani terhadap inovasi teknologi dan benih VUB tidak
tersedia di tingkat petani. VUB yang disukai petani
antara lain adalah Inpari 4, Inpari 6, dan Inpari 13.
Program PUAP dapat meningkatkan pendapatan lebih
besar dibandingkan sebelum PUAP, yaitu produksi
meningkat 2,7% dan pendapatan meningkat 4,1%
per hektare per tahun.
Model Pembangunan Pertanian
Pedesaan melalui Inovasi (MP3MI)
Pendekatan MP3MI dikembangkan Badan Litbang
Pertanian sejak tahun 2011 sebagai terobosan untuk
mempercepat diseminasi teknologi pertanian. MP3MI
merupakan suatu modus diseminasi inovasi melalui
percontohan berskala ekonomis dan berwawasan
agribisnis yang konkret di lapangan. Fokusnya tidak
hanya untuk mempercepat penyebaran inovasi
pertanian, tetapi juga memperluas dan memperbesar
spektrum diseminasi dengan memanfaatkan berbagai
media/saluran komunikasi yang disebut Spektrum
Diseminasi Multichannel (SDMC). Implementasinya
menggunakan engineering approach melalui
pengembangan kreativitas.
Pada tahun 2012, kegiatan difokuskan pada
perbaikan teknologi komoditas unggulan, optimalisasi
sumberdaya pertanian melalui peningkatan
produktivitas komoditas unggulan, integrasi dengan
komoditas nonunggulan, dan pemberdayaan kelem-
bagaan kelompok tani, kelembagaan pemasaran input
dan hasil, serta kelembagaan agribisnis lainnya.
Implementasi MP3MI di Bali, Banten, dan Jawa Barat
menunjukkan hasil yang signifikan. Di Banten,
Kampung Ternak Domba (KTD) di Desa Jukut
Pandeglang yang dibangun mulai tahun 2007 terus
berkembang. Didukung oleh pemerintah daerah
setempat, KTD berubah menjadi sentra domba
sehingga menjadi model kluster dan MP3MI. Usaha
ternak domba telah membawa perubahan ekonomi
bagi penduduk. Total pendapatan rumah tangga
petani per tahun mencapai Rp13,3 juta atau lebih
Rp1 juta per bulan. Dengan jumlah anggota keluarga
rata-rata 4,8 jiwa, maka pendapatan per kapita
mencapai Rp2,8 juta/tahun. Kontribusi pendapatan
dari usaha ternak mencapai 86,9%.
Di Bali, kegiatan MP3MI dilaksanakan di Desa
Buahan Kaja. Desa ini memiliki potensi yang sangat
baik untuk menumbuhkembangkan pembangunan
pertanian perdesaan dengan introduksi teknologi
spesifik lokasi. Tiap dusun memiliki sumberdaya air.
Dari total wilayah 1.075 ha, luas lahan pertanian
mencapai 900 ha dan 80% penduduknya adalah
petani. Lahan berpotensi untuk pengembangan
integrasi ternak dan tanaman, baik tanaman semusim
maupun tanaman perkebunan. Kendala utamanya
adalah wilayahnya berlereng, jenis tanah lempung
berpasir (Regosol) dengan tingkat kesuburan sedang
hingga cukup baik, dan pemanfaatan lahan belum
optimal. Rata-rata pemilikan lahan 0,5 ha/petani, dan
rata-rata kepemilikan sapi bali 2-3 ekor/KK.
112 Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan
Di Jawa Barat, keberhasilan MP3MI tidak hanya
didukung oleh penerapan inovasi teknologi, tetapi juga
kelembagaan pendukung usaha tani. Penerapan
teknologi percepatan tanam memerlukan penguatan
kelembagaan tani seperti: (1) peningkatan kemam-
puan penyerapan teknologi, (2) pembinaan kelem-
bagaan pendukung usaha tani, seperti jasa alsintan,
jasa tanam, pengairan, dan pengadaan sarana
produksi, (3) pemupukan modal kelompok, dan (4)
penumbuhan kelompok penangkar benih.
Inovasi teknologi yang diintroduksikan meliputi
pola tanam spesifik lokasi, penangkaran benih,
pemanfaatan limbah padi, serta peningkatan kinerja
kelompok tani dan mengikutsertakan kelompok tani
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penyebaran
teknologi ke wilayah lain. Pembinaan kelompok
dilakukan melalui pertemuan rutin.
Untuk menyebarkan teknologi kepada petani di
luar kelompok tani dilakukan melalui SDMC, antara
lain lembaga sosial masyarakat desa (kepala desa,
bewara desa, dewan masjid, PKK, dan taruna tani),
media cetak dan media elektronis, temu lapang, dan
penumbuhan klinik agribisnis. Pembinaan atau
penyuluhan dilakukan setiap dua minggu. Klinik
agribisnis berfungsi sebagai lembaga pelayanan jasa
konsultasi, diseminasi/penyuluhan, dan informasi.
Pengembangan kemitraan antara lain dilakukan
dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan
membangun jalan usaha tani sepanjang 520 m, unit
pengolahan pupuk organik UPPO (sapi 34 ekor dan
sarana pengolahan limbah), lumbung pangan, lantai
jemur, dan pembinaan penangkaran benih. Balai
Benih Induk membantu memasarkan benih.
Kajian Sifat Inovasi Teknologi PTT
Padi untuk Diseminasi Inovasi
Spesifik Lokasi
Pengkajian dilaksanakan di lahan sawah irigasi di Jawa
Barat dan Jawa Tengah untuk mengetahui keragaan
kuantitatif sifat inovasi teknologi PTT padi dan
menentukan pola diseminasi teknologi padi yang
efisien dan efektif pada kondisi spesifik lokasi.
Evaluasi dilakukan terhadap petani yang menerapkan
PTT padi dengan menggunakan parameter tingkat
kesesuaian (bobot 25), kerumitan (bobot 20),
kemudahan diuji coba (bobot 10), kemudahan
diamati (bobot 20), dan keuntungan nisbi (bobot 25).
Pengkajian dilakukan terhadap 80 petani di Jawa
Barat dan 100 petani di Jawa Timur.
Hasil evaluasi terhadap 12 komponen teknologi
PTT padi menunjukkan bahwa:
1. Enam komponen teknologi PTT tergolong kategori
2 (rendah), yaitu: (a) pemberian bahan organik,
(b) pengaturan populasi tanaman, (c) pemupukan
berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara
tanah, (d) pengendalian OPT dengan pendekatan
PHT, (e) pengairan dengan irigasi berselang, dan
(f) penyiangan dengan landak/gasrok. Dengan
demikian, komponen teknologi tersebut akan sulit
diterapkan dan kecil peluangnya untuk diadopsi
petani. Namun, teknologi tersebut sangat poten-
sial meningkatkan produksi padi secara nasional,
sehingga upaya-upaya diseminasi secara intensif
sangat diperlukan agar komponen teknologi
tersebut dapat diterapkan dan diadopsi di
lapangan.
2. Dua komponen teknologi PTT tergolong kategori
3 (tinggi), yaitu penggunaan bibit muda (<21
hari) dan tanam bibit 1-3 batang per rumpun.
Komponen teknologi tersebut akan mudah
diterapkan dan berpeluang tinggi untuk diadopsi
petani. Upaya-upaya diseminasi inovasi teknologi
tersebut jauh lebih mudah daripada teknologi
dalam kategori 2.
3. Empat komponen teknologi PTT tergolong kategori
4 (sangat tinggi), yaitu (a) penggunaan VUB, (b)
benih bermutu dan berlabel, (c) pengolahan
tanah sesuai musim dan pola tanam, dan (d)
panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.
Teknologi tersebut mudah diterapkan dan
berpeluang sangat tinggi untuk diadopsi petani
sehingga upaya-upaya diseminasinya mudah dan
sederhana.
Inovasi Spesifik Lokasi 113
Diseminasi inovasi komponen teknologi PTT padi
yang termasuk dalam kategori 4 dapat menggunakan
media komunikasi konvensional, seperti media
interpersonal dan media massa. Untuk komponen
teknologi PTT padi yang termasuk dalam kategori 3,
diseminasinya dapat menggunakan media inter-
personal seperti gelar teknologi maupun komunikasi
tatap muka, seperti temu aplikasi teknologi. Untuk
komponen teknologi PTT padi yang termasuk dalam
kategori 2, diseminasi secara konvensional dari
sumber teknologi – penyuluh – petani, tidak efektif.
Pendekatan diseminasi teknologi dalam bentuk pilot
project maupun sekolah lapang mampu memberikan
pengetahuan kepada petani untuk mengaktifkan
mereka memantau keragaan inovasi teknologi dan
membuat penyesuaian yang diperlukan.
Persepsi peneliti/penyuluh BPTP Jawa Barat
terhadap pelaksanaan SL-PTT padi di Jawa Barat
menunjukkan hampir semuanya menilai intensitas
pertemuan, materi pertemuan, dan proses pem-
belajaran di laboratorium lapang (LL) sudah me-
madai, dengan tingkat kehadiran petani 60-80%.
Persepsi yang berbeda muncul dalam menanggapi
bantuan benih dan pupuk dari pemerintah. Bantuan
benih dan pupuk disediakan untuk LL seluas satu
hektare, sedangkan bantuan benih disediakan untuk
LL dan luar LL (24 ha per kelompok SL-PTT) sehingga
bantuan benih belum sesuai dengan RDKK. Bantuan
benih juga tidak tepat waktu, tidak tepat varietas,
dengan kualitas tumbuh benih sedang (70-85%).
Pupuk majemuk (NPK) yang seharusnya sebagai pupuk
dasar (0-7 HST), juga diberikan sebagai pupuk
susulan pada umur 35 HST. Takaran dan jenis pupuk
juga tidak sesuai dengan Permentan karena pupuk
urea sering tidak tersedia pada saat diperlukan.
Di Jawa Tengah, intensitas pertemuan di LL SL-
PTT belum memadai, dengan tingkat kehadiran petani
50-60%. Tidak tepatnya varietas karena terbatasnya
jumlah benih varietas tahan wereng seperti Inpari-
13. Benih varietas Ciherang yang dibagikan kepada
petani memiliki daya tumbuh yang baik (80-90%).
Dari aspek kelembagaan, terdapat dualisme
kepemimpinan di tingkat kabupaten karena penyuluh
(PPL) berada di bawah Bakorluh, sedangkan
program SLPTT berada di bawah Dinas Pertanian
kabupaten. Kegiatan di area LL seharusnya merupa-
kan uji verifikasi komponen teknologi spesifik lokasi
yang masih diragukan petani, disesuaikan dengan
keadaan biofisik lahan serta sosial-ekonomi masya-
rakat petani, seperti verifikasi varietas unggul baru,
sistem tanam jajar legowo, dan teknologi hemat air.
Pengambilan Keputusan
Pengendalian OPT dalam PTT Padi
Pengkajian dilakukan di Kabupaten Indramayu dan
Purwakarta Jawa Barat serta di Kabupaten Deli
Serdang dan Serdang Bedagai Sumatra Utara.
Lokasi kegiatan memiliki area persawahan yang
termasuk dalam program sekolah lapang dan di-
kelompokan menjadi: (1) SLPTT, (2) SLPTT + SLPHT,
(3) non-SLPTT-SLPHT, dan (4) SLPHT. Responden
berjumlah 136 orang di Jawa Barat dan 62 orang di
Sumatra Utara. Ruang lingkup kegiatan meliputi: (1)
pemantauan populasi OPT, (2) teknik analisis
ekosistem tanaman, dan (3) teknik pengambilan ke-
putusan pengendalian OPT. Data dikumpulkan melalui
focus group discussion (FGD) dan wawancara
mendalam (in-depth interview).
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa teknologi
pengendalian OPT yang dominan diterapkan petani
adalah cara bercocok tanam dan penggunaan pesti-
sida kimia. Petani mengendalikan OPT dengan
pestisida bila ada serangan dan cenderung menurun
menjadi berdasarkan jadwal, dan beberapa petani
telah menggunakan ambang ekonomi (AE) empiris
(berdasarkan pengalaman). Belum ada petani yang
mengendalikan OPT berdasarkan AE sistematis
karena sulit diterapkan.
Saran kebijakan dalam pengendalian OPT
utama dalam upaya diseminasi teknologi adalah: (1)
diperlukan kesinambungan dalam pengawalan
teknologi di tingkat petani sampai petani menguasai
teknologi, terutama pengendalian hayati, (2) pengen-
dalian OPT dengan agens hayati/biopestisida dan
pestisida nabati perlu dilengkapi dengan sarana dan
prasarana pendukung, termasuk pengendalian
114 Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan
dengan lampu perangkap untuk memantau populasi
hama; (3) bantuan benih dan pestisida kimia perlu
dilakukan secara selektif untuk mengurangi dampak
negatif penggunaan pestisida terhadap lingkungan,
dan seharusnya bantuan tersebut berupa varietas
tahan dan pengendalian OPT dengan pestisida nabati
dan agens hayati; dan (4) pengembangan musuh
alami karena relatif rumit, sedangkan penggunaan
pestisida kimia cukup mudah. Oleh karena itu, perlu
pestisida nabati yang mudah diaplikasikan petani.
Diseminasi Teknologi Pengelolaan
Pertanian Produktif di Lahan
Gambut
Inovasi teknologi pengelolaan lahan gambut yang
ramah lingkungan dapat meningkatkan penyerapan
karbon dan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Untuk itu telah dilakukan identifikasi teknologi
pengelolaan lahan gambut yang dikaitkan dengan
tingkat adopsinya oleh petani.
Data identifikasi dan teknik pengambilan keputus-
an dalam pengelolaan lahan gambut diperoleh melalui
kuesioner dan FGD. Kegiatan dilakukan di Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah, Riau, dan Jambi yang
merupakan lokasi kegiatan Indonesia Climate Change
Trust Fund (ICCTF) pada kelompok tani binaan ICCTF
dan non-ICCTF. Jumlah responden dalam FGD
disesuaikan dengan jumlah petani kooperator ICCTF.
Salah satu kegiatan ICCTF adalah demplot untuk
menilai berbagai perlakuan bahan amelioran dan
penggunaan pupuk N, P, K terhadap pertumbuhan dan
hasil jagung dan kacang tanah sebagai tanaman sela
kelapa sawit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pertumbuhan kelapa sawit pada lahan gambut cukup
baik karena tanaman ini memliliki daya adaptasi yang
Pemantauan OPT secara berkala berperan penting dalam mencegah ledakan hama pada pertanaman
padi.
Inovasi Spesifik Lokasi 115
Integrasi ternak sapi dengan
pertanaman kelapa sawit milik
petani pada lahan gambut di
Riau.
Pengembangan nenas di
antara tanaman karet di lahan
gambut Kalimantan Tengah.
baik terhadap kondisi lingkungan ekstrem. Namun,
petani belum berminat menerapkan teknologi
tersebut, baik tanaman pangan sebagai tanaman sela
maupun penggunaan bahan amelioran karena
tanaman pangan yang dipilih sebagai tanaman sela
kelapa sawit kurang tepat. Menurut petani, komoditas
yang cocok di lahan gambut adalah tanaman buah-
buahan dan sayuran. Petani di Jambi pernah me-
nanam nenas di antara kelapa sawit yang berumur
kurang dari 3 tahun. Namun, tanaman nenas ber-
pengaruh kurang baik terhadap jumlah tandan buah,
jumlah bakal buah, dan bobot buah yang dipanen.
Kondisi ini menyebabkan mereka tidak lagi menanam
nenas di perkebunan kelapa sawit, baik sebagai
tanaman sela maupun dalam barisan (piringan)
kelapa sawit.
Di Kalimantan Tengah, pengusahaan nenas
sebagai tanaman sela karet sudah berkembang dan
116 Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan
merupakan kearifan lokal petani di lahan gambut.
Tanaman karet dengan tanaman sela nenas tumbuh
lebih baik dibandingkan tanpa nenas.
Inovasi teknologi pengelolaan tata air dan lahan
belum diterapkan secara optimal. Pemberian bahan
amelioran (dolomit dan pupuk kandang) sudah di-
terapkan petani untuk mengurangi kemasaman tanah.
Agar dapat digunakan petani, bahan amelioran
hendaknya mudah didapat, murah, dan secara
ekonomi menguntungkan. Pengetahuan dan pe-
mahaman petani terhadap bahan amelioran dan
tanaman sela masih rendah, sehingga diperlukan
berbagai upaya untuk mempercepat penerapannya.
Pemilihan komoditas menjadi sangat penting, karena
lahan gambut yang masam memerlukan komoditas
yang adaptif pada kondisi tersebut. Pemilihan
komoditas perlu mempertimbangkan pengetahuan,
keterampilan, dan minat petani. Peningkatan
pengetahuan dan keterampilan pengelolaan lahan
gambut perlu diikuti oleh pembuatan demplot/
demfarm pada lokasi yang strategis sehingga hasilnya
dapat dilihat langsung oleh petani. Petugas pertanian
di lapangan juga perlu dibekali pengetahuan dan
keterampilan tentang pengelolaan lahan gambut.
Kinerja Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi
Pada tahun 2015 mendatang pemerintah menarget-
kan Indonesia surplus beras 10 juta ton. Salah satu
upaya untuk mendukung pencapaian target tersebut
adalah melalui pengembangan inovasi Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) padi melalui Sekolah Lapang
(SLPTT). Pada tahun 2012, program ini sudah berjalan
lebih dari empat tahun.
Hasil kajian pendampingan SLPTT di Riau,
Kalimantan Barat, Jawa Barat, Banten, dan Bali
menunjukkan bahwa secara umum pendampingan
SLPTT padi cukup baik. SLPTT mampu meningkatkan
produktivitas padi sampai 46,7% (dari 3,87 t menjadi
5,68 t/ha) dibanding teknologi petani, bahkan sudah
0,09% di atas tingkat produktivitas yang ditargetkan
pemda setempat. Kinerja SLPTT padi pada lahan
sawah irigasi dan lahan pasang surut juga cukup
baik. Hal ini ditunjukkan oleh produktivitas padi petani
yang menerapkan SLPTT lebih tinggi 18,4% pada
lahan sawah irigasi dan 2,7% pada lahan pasang surut
dibanding teknologi petani pada agoekosistem yang
sama.
Lahan gambut
memerlukan
teknologi yang
spesifik untuk
pengembangan
pertanian.
Inovasi Spesifik Lokasi 117
Perbedaan produktivitas lebih banyak disebabkan
oleh perbedaaan teknologi yang diterapkan daripada
perbedaan penggunaan input produksi. Benih yang
diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata,
justru memengaruhi produktivitas, karena kualitas
benih kurang baik dan varietas yang diterima petani
tidak sesuai dengan yang diinginkan. Produktivitas
dan pendapatan petani SLPTT masing-masing lebih
tinggi 1.408 kg dan Rp5,09 juta per hektare per musim
pada lahan sawah irigasi, dan 1.334 kg dan Rp4,80
juta pada lahan pasang surut dibandingkan dengan
petani non-SLPTT. Peningkatan pendapatan terutama
karena meningkatnya produktivitas. Sementara itu,
harga produk memberikan kontribusi negatif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pengembangan
SLPTT belum menyentuh aspek kualitas gabah yang
dihasilkan. Oleh karena itu, dalam pengembangan
SLPTT ke depan, aspek kualitas dan kuantitas gabah
perlu mendapat perhatian yang seimbang, mengingat
penerimaan petani tidak hanya ditentukan oleh
produktivitas, tetapi juga tingkat harga yang diterima
petani.
Perbedaan kondisi lahan dan ketersediaan
infrastruktur menyebabkan kinerja SLPTT padi pada
lahan sawah irigasi lebih baik dibanding pada lahan
pasang surut. Produktivitas, produksi, dan pendapatan
petani di lahan sawah irigasi masing-masing 18,4%,
332 kg, dan Rp6,79 juta lebih tinggi dibanding petani
padi di lahan pasang surut.
Peningkatan produktivitas menjadi pertimbangan
dan pendorong utama bagi petani untuk mengadopsi
PTT. Oleh karena itu, upaya penyempurnaan program
ini perlu terus dilakukan. Peluang petani untuk
mengadopsi PTT akan semakin besar jika dibarengi
dengan upaya peningkatan kualitas dan efisiensi
penggunaan input produksi.
Dalam upaya perbaikan kinerja SLPTT padi ke
depan, beberapa langkah yang diperlukan meliputi:
(1) mengganti pola BLBU dengan pola yang lebih
menjamin petani memperoleh benih yang sesuai; (2)
pembinaan dan pemberdayaan penangkar-penangkar
lokal untuk memperbanyak dan mempercepat
penyediaan benih yang berkualitas, (3) sinkronisasi
program-program lain di Kementerian Pertanian pada
lokasi-lokasi pengembangan SLPTT padi, seperti
program pengembangan mekanisasi, pengembangan
irigasi, dan subsidi permodalan, sehingga tambahan
produktivitas dan pendapatan lebih nyata; (4)
perbaikan dan penyediaan infrastruktur dan fasilitas
yang memadai; dan (5) koordinasi dan kerja sama
dengan pemda setempat.
Pendampingan SLPTT dan penerapan teknologi yang tepat meningkatkan produktivitas tanaman padi.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan118
Diseminasi Inovasi
Teknologi
Badan Litbang Pertanian memberi perhatian besar terhadap diseminasi
hasil penelitian, sama pentingnya dengan penelitian itu sendiri. Inovasi
teknologi yang dihasilkan dari penelitian perlu didiseminasikan untuk
meningkatkan produktivitas dan pengembangan agribisnis dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan petani. Dalam hal ini Badan Litbang
Pertanian mengadopsi sistem diseminasi multichanel melalui pendekatan
kepada berbagai pihak, mulai dari penentu kebijakan di pusat dan daerah
hingga penyuluh pertanian di pedesaan dengan memanfaatkan berbagai
media. Pameran, gelar teknologi, media massa, konferensi dan seminar
penelitian, temu lapang, temu wicara, publikasi hasil penelitian, dan
perpustakaan termasuk media yang digunakan dalam diseminasi hasil
penelitian pertanian.
Stan Badan Litbang Pertanian pada pameran Ritech di Bandung, 8-11 Agustus 2012.
Diseminasi Inovasi Teknologi 119
Pameran dan Gelar Teknologi
Pameran Inovasi Teknologi
Pameran diperlukan untuk mempromosikan inovasi
teknologi kepada khalayak luas. Oleh karena itu, Badan
Litbang Pertanian berupaya menyelenggarakan dan
mengikuti pameran yang diinisiasi oleh berbagai
institusi, baik di pusat maupun daerah. Materi yang
disajikan mengikuti tema pameran dan sesuai dengan
kebutuhan pengunjung pada umumnya.
Pada tahun 2012, Badan Litbang Pertanian
menginisiasi penyelenggaran pameran inovasi
teknologi dan berpartisipasi aktif dalam beberapa
pameran, seperti Agrinex, Agro & Food Expo, Gelar
Teknologi Tepat Guna, Hari Kebangkitan Teknologi
Nasional, Pekan Flori dan Flora Nasional, serta
pameran yang menyertai beberapa kegiatan
diseminasi Badan Litbang Pertanian. Pameran
adakalanya disertai dengan penandatanganan
perjanjian kerja sama antara Badan Litbang Pertanian
dengan pihak swasta yang berminat mengembangkan
teknologi yang dipromosikan. Hal ini menjadi salah
satu tolok ukur efektivitas pameran dalam promosi
teknologi. Umpan balik dari pengunjung pameran
menjadi acuan untuk memperbaiki dan menyem-
purnakan teknologi yang dipromosikan melalui
penelitian lebih lanjut.
Peringatan Hari Pangan se-Dunia
Di beberapa belahan dunia masih terjadi bencana
kelaparan karena kekurangan pasokan pangan.
Mengingat pentingnya pangan untuk menopang
kehidupan, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia
(FAO) dan semua negara di dunia memperingati Hari
Pangan se-Dunia (HPS) setiap tahun.
Di Indonesia pada tahun 2012, peringatan HPS
ke-32 diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian,
Kepala Badan Litbang Pertanian, Dr. Haryono, menjelaskan keunggulan inovasi teknologi kedelai yang
digelar di lapangan kepada Wakil Presiden RI, Mensesneg, Menteri Pertanian, dan rombongan dalam
peringatan Hari Pangan se-Dunia ke-32 di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 18-21 Oktober 2012.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan120
Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Perikanan
dan Kelautan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah,
pada 18-21 Oktober 2012. Badan Litbang Pertanian
berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan, termasuk
dalam gelar teknologi yang diperlukan untuk
meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan
petani.
Dibuka oleh Wakil Presiden RI, Boediono, HPS
ke-32 dengan tema “Agroindustri Berbasis Kemitraan
Petani Menuju Kemandirian Pangan” dihadiri oleh
berbagai kalangan, termasuk Menko Ekuin, Menteri
Pertanian, dan Menteri Kehutanan, Perwakilan FAO
di Indonesia, beberapa Duta Besar, Gubernur Kali-
mantan Tengah, dan pejabat lainnya dari pusat dan
daerah. Kegiatan utama acara ini meliputi seminar,
pengabdian masyarakat, gelar teknologi, tur industri,
lomba cipta menu, pameran, dan bazar.
Dalam sambutannya, Menteri Pertanian Suswono
mengingatkan pentingnya penanganan pangan di
tingkat lokal, nasional, dan global sesuai tema FAO
“Cooperatives Key to Feed the World” dengan
mengangkat agroindustri sebagai ujung tombak
pertanian. Oleh karena itu perlu dikembangkan etos
kerja pertanian berbudaya industri melalui pengem-
bangan agroindustri untuk meningkatkan produksi,
produk pangan, kesejahteraan, dan ekonomi regional.
Terkait dengan HPS, Wakil Presiden RI Boediono
menyerahkan bantuan benih dan bibit kepada
beberapa kelompok tani serta memberikan
penghargaan kepada kelompok wanita tani dari
beberapa provinsi, yang telah berpartisipasi dalam
program peningkatan penyediaan pangan di tingkat
rumah tangga. Menurut Wapres, peringatan HPS
mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa
ketahanan pangan merupakan masalah mendasar
dalam kehidupan. Hingga saat ini masih terjadi
kelaparan di beberapa negara di dunia. Penyebabnya
antara lain kondisi politik yang bergejolak, kebijakan
pembangunan pertanian yang salah arah dan tidak
mendapat dukungan dari pemerintah, bencana alam,
dan perubahan iklim. Indonesia harus berkomitmen
mewujudkan swasembada pangan dan diharapkan
menjadi pelopor dalam pengadaan pangan sehat dan
bergizi bagi masyarakat dunia.
Pekan Pertanian Lahan Kering
Lahan kering yang potensial dan tersedia untuk
perluasan area pertanian, terutama tanaman pangan,
diperkirakan mencapai 7,08 juta ha, yang terdiri atas
lahan kering beriklim basah 6,83 juta ha dan lahan
kering beriklim kering 0,26 juta ha. Peluang perluasan
area pertanian lahan kering terdapat di Kalimantan,
Nusa Tenggara, dan Sulawesi, serta di Papua dan
Sumatera.
Lahan kering yang tersedia umumnya berstatus
suboptimal sehingga pemanfaatannya memerlukan
pengelolaan yang tepat. Badan Litbang Pertanian telah
menghasilkan teknologi pengelolaan lahan kering,
baik untuk daerah beriklim kering maupun beriklim
basah.
Dalam upaya mendayagunakan inovasi teknologi
pengelolaan lahan kering untuk pertanian, Badan
Litbang Pertanian menyelenggarakan Pekan Pertanian
Lahan Kering di Nusa Tenggara Timur pada 10-14
September 2012. Kegiatan utama acara ini meliputi
gelar teknologi, seminar nasional, rapat koordinasi
konsorsium lahan suboptimal, pameran, dan pasar
tani. Pada kesempatan tersebut, Menteri Pertanian,
Dr. Suswono, melakukan panen benih varietas unggul
kacang hijau dan memberikan bantuan benih unggul
padi, jagung, dan kacang hijau dari Badan Litbang
Pertanian kepada beberapa kelompok tani.
Panen benih unggul kacang hijau pada acara
Pekan Pertanian Lahan Kering di Nusa
Tenggara Timur, 10-14 September 2012.
Diseminasi Inovasi Teknologi 121
Lokakarya Internasional Pengelolaan LahanRawa Berkelanjutan
Di Indonesia, pembukaan lahan rawa secara luas
dimulai pada tahun 1969 melalui Proyek Pembukaan
Persawahan Pasang Surut (P4S) untuk mendukung
program transmigrasi di lahan rawa. Namun, secara
terbatas dan konvensional, petani tradisional suku
Banjar di Kalimantan dan suku Bugis di pesisir
Sumatera sudah melakukannya jauh sebelumnya.
Keberhasilan suku Banjar dan Bugis dalam
pengelolaan rawa menginisiasi pemerintah untuk
mengembangkan lahan rawa untuk pertanian.
Lahan rawa merupakan lumbung pangan masa
depan seiring dengan semakin sulitnya mendapatkan
lahan subur (optimal) di tengah kebutuhan pangan
yang terus meningkat. Potensi pengembangan lahan
rawa sangat besar, baik dari segi luas maupun
potensinya dalam peningkatan produksi pangan,
terutama melalui peningkatan indeks pertanaman (IP).
Namun, pengembangan lahan rawa sempat meng-
alami kemandegan dalam beberapa tahun terakhir,
selain karena kejenuhan adopsi teknologi dan aspek
sosial, juga terkait dengan isu perubahan iklim.
Dalam upaya menghimpun informasi, penga-
laman, pengetahuan, dan teknologi pengelolaan rawa
untuk produksi padi secara berkelanjutan, serta
mendiseminasikan keberhasilan model pengelolaan
dan pengembangan lahan rawa dan meyakinkan
pembuat kebijakan tentang potensi pemanfaatan
lahan rawa sebagai lumbung pangan masa depan,
Badan Litbang Pertanian melaksanakan lokakarya
internasional pengelolaan lahan rawa berkelanjutan
pada 27-28 September 2012 di Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Dibuka oleh Wakil Menteri
Pertanian, Dr. Rusman Heriawan, lokakarya dihadiri
oleh Gubernur Kalimantan Selatan yang diwakili oleh
Plh Sekda Provinsi Kalsel, Deputi Bidang Kerjasama
Kemenristek, Bupati Barito Kuala dan Bupati Banyu-
asin, pejabat dari pusat dan daerah, para pemangku
kepentingan (stakeholder), peneliti, penyuluh, sivitas
akademika, dan pemerhati lingkungan.
Pembicara utama dalam lokakarya ini adalah
Wakil Menteri Pertanian, Deputi Kemenristek Bidang
Kerjasama, UNESCO - the Netherland, Hokkaido
University, Universitas Sriwijaya, dan Badan Litbang
Pertanian. Juga disampaikan kisah sukses pengelola-
an lahan rawa oleh Bupati Barito Kuala dan Bupati
Banyuasin serta lembaga luar negeri antara lain dari
Vietnam dan Afrika Barat. Kegiatan lain yang di-
selenggarakan adalah pameran dan kunjungan
lapangan ke Desa Terantang, Kapubaten Barito Kuala,
Kalimantan Selatan, untuk melihat langsung kesuk-
sesan petani dalam mengelola lahan rawa melalui
pengaturan pola tanam dan penataan lahan dengan
sistem surjan.
Pengembangan Teknologi Produksi KedelaiMenuju Swasembada
Badan Litbang Pertanian terus mendorong upaya
pencapaian swasembada kedelai melalui pengem-
bangan inovasi teknologi hasil penelitian. Di beberapa
kawasan hutan jati berumur 1-5 tahun di Ngawi, Jawa
Timur, pengembangan teknologi budi daya dan varie-
tas unggul kedelai, antara lain Anjasmoro, Grobogan,
dan Argomulyo (berbiji besar) serta Wilis dan Kaba
(berbiji sedang) memberi hasil 1,9-2,0 t/ha.
Menteri Pertanian, Dr. Suswono, dalam kunjung-
an kerjanya ke Ngawi, Jawa Timur, pada 9 Januari
2012, melakukan panen perdana kedelai di kawasan
hutan jati. Acara ini dilanjutkan dengan temu wicara
Kepala Badan Litbang Pertanian, Dr. Haryono
(kiri) dan Wakil Menteri Pertanian, Dr. Rusman
Heriawan (kanan) pada pembukaan Lokakarya
Internasional Pengelolaan Lahan Rawa di
Banjarmasin, 27-28 September 2012.
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan122
yang dihadiri oleh petani, penyuluh pertanian, dan
petugas kehutanan. Kepala Badan Litbang Pertanian,
Dr. Haryono, yang mendampingi Menteri Pertanian
mengajak semua pihak terkait untuk mengembangkan
inovasi teknologi kedelai menuju swasembada,
termasuk di kawasan hutan. Pada kesempatan ini,
Menteri Pertanian menyerahkan bantuan benih
sumber kedelai dari Badan Litbang Pertanian sebanyak
3 ton untuk dikembangkan lebih lanjut. Di Boyolali,
Jawa Tengah, kedelai yang dikembangkan di kawasan
hutan jati muda mampu berproduksi 2,4 t/ha.
Sebagai bagian dari upaya peningkatan produksi
kedelai, Menteri Pertanian mencanangkan Gerakan
Tanam Nasional Kedelai di Peunaron, Kabupaten Aceh
Timur, NAD, pada 15 Desember 2012. Kegiatan ini
juga merupakan bagian dari pengembangan produksi
benih kedelai di kawasan lahan kering dan kawasan
perkebunan kelapa sawit/karet di Provinsi NAD,
Sumatera Utara, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa
Timur, Nusa Tengggara Barat, dan Sulawesi Selatan
dalam upaya membangun kemandirian benih kedelai
melalui jalur benih antarlapang dan antarmusim
(jabalsim).
Petani dan jajaran pemerintah daerah setempat
menyambut baik inovasi yang dikembangkan. Dalam
arahannya, Menteri Pertanian menekankan beberapa
aspek penting yang mendukung upaya peningkatan
produksi kedelai, antara lain: (1) harga kedelai yang
menguntungkan petani, (2) kesejahteraan dan
Menteri Pertanian, Dr. Suswono (ketiga dari
kiri), didampingi oleh Kepala Badan Litbang
Pertanian, Dr. Haryono (kedua dari kiri),
mengawali gerakan nasional tanam kedelai di
Peunaron, Kabupaten Aceh Timur, NAD.
Menteri Pertanian, Dr. Suswono, didampingi oleh Kepala Badan Litbang
Pertanian, Dr. Haryono, melakukan panen perdana kedelai varietas Grobogan
pada kawasan hutan jati muda di Ngawi Jawa Timur, 9 Januari 2012.
Diseminasi Inovasi Teknologi 123
kepastian tenaga penyuluhan, (3) perbaikan infra-
struktur pertanian, dan (4) pendampingan teknologi
dalam upaya meningkatkan produksi benih kedelai di
tingkat petani/penangkar.
Konferensi Internasional Jagung
Dalam target empat sukses Kementerian Pertanian
2010-2014, jagung termasuk komoditas pangan yang
mendapat prioritas utama dalam program peningkatan
produksi selain beras, kedelai, daging, dan gula.
Mengacu kepada pengalaman selama ini, upaya
peningkatan produksi pertanian tidak dapat dilepaskan
dari penerapan teknologi. Untuk menghimpun infor-
masi teknologi jagung dalam dekade terakhir, Badan
Litbang Pertanian menyelenggarakan Konferensi
Internasional Jagung bekerja sama dengan Pemerin-
tah Provinsi Gorontalo yang dikenal sebagai salah satu
daerah penghasil jagung di Indonesia. Dihadiri oleh
600-an peserta dari beberapa negara, konferensi
internasional ini diselenggarakan di Gorontalo pada
22-24 November 2012 dengan tema “Jagung untuk
Pangan, Pakan, dan Energi”. Empat agenda utama
konferensi adalah seminar internasional agribisnis
jagung, pameran, temu bisnis, dan kunjungan lapang.
Dalam sambutannya pada pembukaan konfe-
rensi, Wakil Menteri Pertanian, Dr. Rusman Heriawan,
menggarisbawahi pentingnya jagung sebagai bahan
Koferensi Internasional Jagung
pada 22-24 November 2012 di
Gorontalo yang dihadiri oleh
600-an peserta dari dalam dan
luar negeri menghimpun
berbagai ilmu pengetahuan
dan teknologi jagung sebagai
bahan pangan, pakan, dan
energi.
pangan, pakan, dan sumber energi alternatif. Untuk
menjawab tantangan produksi jagung ke depan,
Wamentan menekankan perlunya kerja sama antar-
negara, mengingat makin kompleksnya kendala yang
dihadapi, antara lain perubahan iklim.
Seminar jagung internasional membahas potensi
dan kendala peningkatan produksi jagung ke depan.
Dr. Haryono, Kepala Badan Litbang Pertanian, meng-
ungkap tantangan dan peluang peningkatan produksi
yang dikaitkan dengan jagung untuk pangan, pakan,
dan sumber energi. Menurut Dr. Haryono, setidaknya
ada tiga tantangan utama dalam mempertahankan
swasembada jagung di Indonesia, yaitu peningkatan
konsumsi jagung, terbatasnya sumber daya alam, dan
perubahan iklim. Untuk memecahkan masalah
tersebut diperlukan terobosan melalui penerapan
inovasi teknologi dan kolaborasi berbagai pihak,
antara lain petani, penyuluh, peneliti, ilmuwan,
pemangku kebijakan, dan pengusaha pertanian.
Pembicara utama dalam seminar internasional
ini (CIMMYT Meksiko, CIMMYT Kenya, Quensland
University, ILRI India, dan beberapa negara lain)
menyajikan makalah yang berkaitan dengan pengem-
bangan jagung dari berbagai perspektif. Sementara
para akademisi dan peneliti memaparkan kemajuan
penelitian jagung dewasa ini. Seminar menghasilkan
beberapa kesepakatan dalam pengembangan iptek
dan peningkatan produksi jagung sebagai bahan
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan124
pangan, pakan, dan sumber energi terbarukan,
antara lain:
1. Jagung berperan penting sebagai bahan pangan,
pakan, sumber energi, dan bahan baku berbagai
industri.
2. Produksi jagung harus ditingkatkan untuk me-
menuhi permintaan yang juga terus meningkat.
3. Semua pihak sepakat bekerja sama dalam pe-
nelitian dan pengembangan, termasuk mewujud-
kan keseimbangan pasar jagung di pasar nasional
dan internasional.
4. Pengembangan inovasi teknologi jagung harus
dibarengi dengan kebijakan yang mendukung.
Pemanfaatan jagung diprioritaskan untuk pangan,
kemudian pakan, sumber energi, dan bahan baku
industri, untuk meminimalkan gejolak harga.
5. CIMMYT sebagai lembaga penelitian jagung dunia
secara bertahap akan membuka cabang di Indo-
nesia untuk mendukung upaya peningkatan
capacity building dan pengembangan pemuliaan
jagung yang akan menghasilkan varietas unggul
yang mampu beradaptasi pada perubahan iklim.
Pemanfaatan Media Massa
Badan Litbang Pertanian mendayagunakan media
massa cetak dan elektronis, seperti televisi, surat
kabar maupun tabloid untuk menyebarluaskan
informasi yang dihasilkan. VCD/CD interaktif yang
memuat informasi hasil litbang juga diproduksi untuk
melengkapi media diseminasi yang telah ada. Media
ini terutama bermanfaat bagi penyuluh untuk
menunjang kegiatan penyuluhan di lapangan.
Badan Litbang Pertanian memanfaatkan stasiun
televisi pemerintah maupun swasta untuk menyebar-
luaskan informasi kepada khalayak luas. Sejak tahun
2007, Badan Litbang Pertanian mengelola rubrik Agro
Inovasi pada tabloid Sinar Tani untuk menyampaikan
informasi praktis hasil litbang kepada masyarakat,
terutama penyuluh. Konferensi pers dan kunjungan
wartawan juga penting untuk menyampaikan
informasi kepada masyarakat luas.
Majalah Hasil Penelitian
Di lembaga penelitian pada umumnya, majalah hasil
penelitian merupakan barometer kinerja institusi dan
sebagai media pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sejalan dengan makin tingginya tuntutan
terhadap majalah ilmiah yang bertaraf nasional dan
internasional, Badan Litbang Pertanian terus men-
dorong peneliti untuk mengaktualisasikan hasil pe-
nelitian dalam bentuk tertulis atau digital agar dapat
diakses oleh khalayak ilmiah di dalam dan luar negeri.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini mengisyaratkan pentingnya
peningkatan kualitas majalah ilmiah sebagaimana
tercermin dari makin ketatnya persyaratan akreditasi.
Untuk mengakomodasi karya tulis ilmiah para peneliti,
Badan Litbang Pertanian menerbitkan majalah ilmiah
berbasis disiplin ilmu dan komoditas (Tabel 2).
Sebagian besar majalah ilmiah sudah terakreditasi
dan sebagian lainnya sedang dipersiapkan untuk
mendapat pengakuan sebagai majalah ilmiah nasional
maupun internasional. Sebagian besar profesor riset
Badan Litbang Pertanian berpartisipasi aktif dalam
pengelolaan majalah ilmiah tersebut.
Selain majalah ilmiah, Badan Litbang Pertanian
juga menerbitkan buku, prosiding seminar nasional
dan internasional, dan beberapa publikasi lainnya.
Persyaratan penting yang perlu dipenuhi oleh publikasi
adalah diterbitkan oleh publishing house yang telah
diakui sebagai penerbit profesional. Pada tahun 2012,
Badan Litbang Pertanian telah menginisiasi pem-
bentukan publishing house dengan nama IAARD
Press. Penerbit ini dapat didayagunakan oleh lembaga
penelitian dan institusi lainnya dalam menerbitkan
publikasi hasil penelitian pertanian, terutama buku
dan prosiding seminar.
Pengembangan Perpustakaan
Perkembangan teknologi informasi telah membawa
perubahan dalam manajemen perpustakaan,
terutama dalam pengelolaan dan pelayanan informasi
kepada pengguna. Berkaitan dengan hal tersebut,
Diseminasi Inovasi Teknologi 125
Tabel 2. Majalah ilmiah dan ilmiah populer yang diterbitkan unit kerja lingkup Badan Litbang Pertanian.
Unit kerja Judul majalah
Sekretariat Badan Informatika Pertanian
Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Indonesian Journal of Agricultural Science
(PUSTAKA) Indonesian Journal of Agriculture
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Pengembangan Inovasi Pertanian
Jurnal Perpustakaan Pertanian
Buletin Teknik Pertanian
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
(Puslitbangtan) Buletin Iptek Tanaman Pangan
Buletin Palawija
Berita Puslitbangtan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Jurnal Hortikultura
(Puslitbanghorti)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jurnal Penelitian Tanaman Industri
(Puslitbangbun) Perspektif
Warta Puslitbang Tanaman Industri
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah
dan Obat
Infotek Perkebunan
Majalah Semi Populer Tree Tanaman Rempah
dan Industri
Buletin Rempah dan Industri
Buletin Palma
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner
(Puslitbangnak) Wartazoa
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jurnal Agro Ekonomi
(PSE-KP) Forum Penelitian Agroekonomi
Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian
Buletin Agro Ekonomi
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Jurnal Tanah dan Iklim
Pertanian (BBSDLP) Jurnal Sumberdaya Lahan
Warta Sumberdaya Lahan
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Jurnal AgroBiogen
Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) Buletin Plasma Nutfah
Warta Biogen
Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBP Mektan) Jurnal Enjiniring Pertanian
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian
(BB Pascapanen) Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
(BB Pengkajian) Teknologi Pertanian
Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan126
Badan Litbang Pertanian melalui Pusat Perpustakaan
dan Penyebaran Teknologi Pertanian (PUSTAKA)
mengembangkan perpustakaan berbasis teknologi
informasi di setiap unit kerja/unit pelaksana teknis
(UK/UPT). Selain itu, sesuai dengan tupoksi PUSTAKA
untuk membina perpustakaan lingkup Kementerian
Pertanian, perpustakaan berbasis TI juga
dikembangkan di unit eselon I lingkup Kementerian
Pertanian.
Perpustakaan digital yang telah dibangun terus
dikembangkan dan disempurnakan agar mampu
memberikan layanan yang prima kepada pengguna.
Kapasitas sumberdaya manusia dalam pengelolaan
perpustakaan dan pemanfaatan TI terus ditingkatkan
melalui pelatihan, magang, lokakarya maupun
seminar. PUSTAKA juga melakukan pendampingan
dan menyiapkan berbagai pedoman pengelolaan
perpustakaan dalam upaya memberikan pelayanan
prima kepada pengguna.
Perkembangan TI juga mengharuskan perpus-
takaan tidak hanya menyediakan sumber informasi
dalam bentuk tercetak, tetapi juga dalam bentuk
elektronis. Koleksi dalam bentuk elektronis dapat
berupa pangkalan data on-line. Untuk meningkatkan
koleksi perpustakaan, Badan Litbang Pertanian
melanggan jurnal internasional tercetak, pangkalan
data on-line Pro-Quest dan ScienceDirect, serta
pangkalan data off-line (CD-ROM) TEEAL. Pengadaan
bahan referensi dan bahan pustaka lain terbitan dalam
dan luar negeri dilakukan melalui pembelian maupun
pertukaran. Untuk memanfaatkan secara optimal
informasi dalam pangkalan data, PUSTAKA membuka
akses bagi perpustakaan UK/UPT lingkup Badan
Litbang Pertanian untuk memanfaatkan jurnal ilmiah
teks lengkap yang dimuat dalam Pro-Quest dan
ScienceDirect. Untuk membantu pengguna dalam
memperoleh informasi yang dibutuhkan, berbagai
majalah bibliografis juga diterbitkan, seperti majalah
abstrak, indeks maupun bibliografi komoditas.
Pengelolaan Hak Kekayaan
Intelektual Pertanian
Pengelolaan kekayaan intelektual pertanian tidak
hanya diperlukan untuk mendapatkan sertifikasi HKI
tepat waktu, tetapi juga merangsang inventor untuk
mendaftarkan invensinya. Invensi Badan Litbang
Pertanian yang unggul dan komersial menjadi target
utama untuk mendapatkan perlindungan HKI.
Sampai tahun 2012, jumlah permohonan HKI
mencapai 688, meliputi 172 paten, 46 ciptaan, 40
merek, 38 perlindungan varietas tanaman (PVT), dan
392 varietas. Jumlah invensi yang dilindungi meliputi
10 paten, empat ciptaan, tiga PVT, dan tiga varietas
(Tabel 3).
Tabel 3. Permohonan paten, ciptaan, merk, dan hak perlindungan varietas tanaman (PVT) Badan Litbang Pertanian sampai
dengan 2012.
Pendaftaran/permohonan Sertifikat
Tahun
Paten Ciptaan Merek PVT Var Jumlah Paten Ciptaan Merek PVT Var Jumlah
< 2007 75 13 23 3 14 128 9 9 3 0 11 32
2007 2 - - 2 18 22 7 - - 1 18 26
2008 15 5 7 6 64 97 5 - - 2 57 64
2009 13 10 4 4 104 135 2 1 - 2 100 105
2010 28 5 2 5 80 120 5 9 8 - 80 102
2011 16 6 4 7 86 119 6 1 2 - 86 95
2012 23 7 - 11 26 67 10 4 3 3 - 20
Jumlah 172 46 40 38 392 688 44 24 16 8 352 444
Diseminasi Inovasi Teknologi 127
Tabel 4. Perjanjian lisensi yang disetujui dan ditandatangani pada tahun 2012.
Invensi UK/UPT Mitra kerja sama
Pugam A Balittanah PT Polowijo Glosari
Gliocompost Balithi PT Berdikari
Insektisida Cair Biotris Balittri PT Berdikari
Ayam Kampung Unggul “KUB” Balitnak PT Ayam Kampung Indonesia
Proses Produksi Kopi Luwak Probiotik BPTP Bali PT Zeoprima Indsutri
Proses Produksi Kopi Luwak Probiotik BPTP Bali Koperasi Satmakura
Perangkat Uji Tanah Kering Balittanah Koperasi Puspita
Perangkat Uji Pupuk Balittanah Koperasi Puspita
Perangkat Uji Tanah Sawah Balittanah Koperasi Puspita
Kangkung Varietas Sutera Balitsa PT Agrindo Hartha Mekar
Cabai Keriting Varietas Kencana Balitsa PT Agrindo Hartha Mekar
Bayam Varietas Giti Hijau Balitsa PT Agrindo Hartha Mekar
Mentimun Mars Balitsa Fajar Seed
Cabai Keriting Varietas Kencana Balitsa Fajar Seed
Static Light Trap So-Cell BB Padi PT Sainindo Kurniasejati
Moving Light Trap So-Cell BB Padi PT Sainindo Kurniasejati
Green 200 EC Puslitbangbun PT Sainindo Kurniasejati
Padi hibrida Hipa Jatim1 BB Padi Pemprov Jatim
Padi hibrida Hipa Jatim2 BB Padi Pemprov Jatim
Padi hibrida Hipa Jatim3 BB Padi Pemprov Jatim
Decomposer Orligno Puslitbangbun PT Sainindo Kurniasejati
Pupuk Hayati Biotara Balittra PT Pupuk Kalimantan Timur
Pupuk Urea Berlapis Arang Aktif Balingtan PT Nutrimas Agro Indonesia
Jagung Hibrida Bima 3 Bantimurung Balitsereal PT Golden Indonesia Seed
Feromon Cyl BB Biogen PT Tektonindo Henida Jaya
Feromon Ostri BB Biogen PT Tektonindo Henida Jaya
Feromon Litura BB Biogen PT Tektonindo Henida Jaya
Feromon PBPK BB Biogen PT Tektonindo Henida Jaya
Untuk mempromosikan teknologi hasil penelitian
pertanian kepada pengguna (industri, pemerintah,
dan masyarakat), Badan Litbang Pertanian melakukan
round table meeting (RTM). Pada tahun 2012 telah
dilakukan lima kali RTM untuk komoditas hortikultura,
peternakan, tanaman perkebunan, pascapanen,
tanaman pangan, dan satu kali promosi dan ekspose.
Industri yang berminat mengembangkan teknologi
tersebut diarahkan untuk membuat kesepakatan
(MoU) perjanjian lisensi, yaitu pemberian izin kepada
lisensor untuk mengembangkan, memproduksi, dan
memasarkan produk hasil penelitian dan Badan
Litbang Pertanian sebagai pemberi lisensi akan
mendapat royalti.
Pada tahun 2012 telah ditandatangani 28 per-
janjian lisensi (Tabel 4). Angka ini meningkat
dibandingkan dengan lisensi pada tahun sebelumnya
yang baru mencapai 20 lisensi.
Untuk mengukur kinerja perjanjian lisensi, pada
tahun 2012 telah dilakukan verifikasi invensi yang
dilisensi swasta. Potensi royalti HKI yang telah
dilisensikan kepada swasta mencapai Rp470.523.000.
Usulan pendaftaran HKI pada tahun 2012 me-
ningkat dibanding tahun sebelumnya, namun masih
banyak usulan yang belum memenuhi persyaratan.
Untuk keperluan tersebut diterbitkan tiga panduan
umum, yaitu kriteria penilaian invensi (paten dan
PVT), panduan umum evaluasi invensi, dan panduan
umum verifikasi.
128 Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan
Pengembangan Organisasi
Keberhasilan penelitian dalam menghasilkan teknologi ditentukan oleh
sumberdaya yang dimiliki, meliputi sumberdaya manusia, sarana dan
prasarana penelitian dan pengembangan, dana, dan kerja sama dengan
pihak yang kompeten. Tenaga peneliti merupakan penggerak utama
dalam menghasilkan teknologi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan peneliti, antara lain melalui program
pendidikan dan pelatihan. Pada tahun 2008-2012, Badan Litbang
Pertanian telah mengirimkan 204 petugas belajar ke program S3 dan
214 orang ke program S2 di dalam dan luar negeri. Kebun percobaan
dan laboratorium penelitian terus dibenahi dari berbagai aspek. Kerja
sama dengan berbagai pihak di dalam dan luar negeri terus pula
ditingkatkan, baik dalam hal penelitian maupun pengembangan
sumberdaya manusia, sarana, dan program penelitian.
Kantor Pusat Badan Litbang Pertanian di Jalan Ragunan No. 29, Jakarta.
Pengembangan Organisasi 129
Pengembangan Organisasi dan
Kelembagaan
Badan Litbang Pertanian memiliki peran penting dalam
menghasilkan teknologi pertanian yang memiliki nilai
tambah (impact recognition) ekonomi dan nilai ilmiah
(scientific recognition) yang tinggi dalam era yang
kian kompetitif. Perubahan lingkungan strategis, baik
internal maupun eksternal, harus dijawab dengan
meningkatkan prioritas dan kualitas hasil litbang yang
berorientasi pasar baik domestik maupun inter-
nasional, dan berdaya saing tinggi. Guna menjawab
semua itu, Badan Litbang Pertanian perlu didukung
oleh struktur kelembagaan yang kokoh, SDM
kompeten, penajaman program dan pengelolaan
anggaran; sarana dan prasarana yang memadai, dan
pengembangan kerja sama dalam dan luar negeri.
Pengembangan organisasi Badan Litbang
Pertanian secara berkelanjutan dan disesuaikan
dengan dinamika tuntutan perubahan lingkungan
strategis litbang pertanian berperan penting dalam
mendukung pencapaian visi dan misi Badan Litbang
Pertanian. Kebijakan yang bertujuan untuk me-
wujudkan organisasi pemerintah yang efektif dan
efisien telah dilakukan melalui penerbitan dua
peraturan perundangan, yaitu Peraturan Presiden RI
No. 47/2009 tentang Pembentukan dan Organisasi
Kementerian Negara dan Peraturan Presiden No. 24/
2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara serta Susunan Organisasi,
Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara.
Dalam pelaksanaan Permentan No. 61/2010,
Badan Litbang Pertanian terus melakukan penataan
organisasi secara mendasar, dengan mengusulkan
50 unit kerja dan unit pelaksana teknis (UK dan UPT)
lingkup Badan Litbang Pertanian untuk perubahan
nomenklatur dari “Departemen Pertanian” menjadi
“Kementerian Pertanian”. Beberapa kondisi lingkungan
strategis di antaranya adalah penyempurnaan tugas
dan fungsi UK dan UPT lingkup Badan Litbang
Pertanian, juga memaksimalkan fungsi kebun
percobaan (KP), di antaranya: sebagai pendukung
kegiatan penelitian (koleksi plasma nutfah dan
pelaksanaan penelitian), sebagai sumber pendapatan
negara bukan pajak (PNBP) (kebun produksi benih/
buah, penyewaan lahan/alsintan, kerja sama
lainnya), dan sebagai sarana publisitas/diseminasi
(showroom, visitor plot, outlet).
Struktur organisasi Badan Litbang Pertanian pada
tahun 2012 terdiri atas Sekretariat Badan, empat
Puslitbang, dua Pusat, tujuh Balai Besar, 15 Balai
Penelitian, satu Balai Pengelola Alih Teknologi
Pertanian, 31 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,
dua Loka Pengkajian Teknologi Pertanian, dan tiga
Loka Penelitian. Struktur organisasinya disajikan pada
Gambar 1.
Sumberdaya Manusia
Pada tahun 2012 Badan Litbang Pertanian didukung
oleh 7.780 pegawai. Dari jumlah tersebut, 3.344
orang (42,98%) adalah tenaga fungsional, yang terdiri
atas Pengawas Bibit Ternak, Perekayasa, Peneliti,
Arsiparis, Pustakawan, Pranata Komputer, Perencana,
Teknisi Litkayasa, Medik Veteriner, Pranata Kehu-
masan, Analis Kepegawaian, Penyuluh, dan Statistisi
(Gambar 2).
Berdasarkan tingkat pendidikan, pegawai Badan
Litbang Pertanian yang berpendidikan S3 sebanyak
397 orang (5,10%), S2 ada 1.100 orang (14,14%),
S1 sebanyak 2.010 orang (25,84%), dan < S1
berjumlah 4.273 orang (54,92%). Komposisi pegawai
menurut tingkat pendidikan pada tahun 2012
disajikan pada Tabel 1. Program pengembangan SDM
melalui pendidikan jangka panjang terus dilakukan
untuk meningkatkan kapasitas sebagai penggerak
penelitian. Selama lima tahun terakhir (2008-2012),
Badan Litbang Pertanian telah mengirimkan 431
petugas belajar ke berbagai perguruan tinggi di luar
dan dalam negeri, yaitu 204 orang untuk program
S3, 214 orang untuk S2, 6 orang untuk S1, 6 orang
untuk D3, dan 1 orang untuk D4.
Berdasarkan sebaran usia, sebagian besar
pegawai berusia 46-55 tahun. Dalam lima tahun ke
depan cukup banyak pegawai yang akan memasuki
usia pensiun. Upaya mengganti pegawai yang pensiun
dilakukan melalui rekruitmen pegawai baru.
130 Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan
Tenaga peneliti merupakan penggerak utama
dalam menghasilkan inovasi teknologi. Pada tahun
2012 Badan Litbang Pertanian didukung oleh 1.628
orang peneliti, dan 420 peneliti nonkelas/calon
peneliti (Tabel 2). Jumlah peneliti pada tahun 2012
menurun 0,98% dibanding tahun 2011, karena
sebagian memasuki masa purnatugas. Jumlah peneliti
Badan Litbang Pertanian dirasakan masih kurang
mengingat masih banyaknya tugas penelitian yang
perlu dilakukan. Penambahan jumlah peneliti diupaya-
kan melalui rekruitmen tenaga baru serta melalui
program pendidikan dan pelatihan (diklat) yang
diselenggarakan LIPI. Pada tahun 2012, Badan Litbang
Pertanian mengirim 100 orang untuk mengikuti diklat
di LIPI. Hingga saat ini Badan Litbang Pertanian
mempunyai 106 Profesor Riset dari berbagai disiplin
ilmu dan 15 di antaranya telah pensiun.
Gambar 1. Struktur organisasi Badan Litbang Pertanian, 2012.
Gambar 2. Komposisi tenaga fungsional
Badan Litbang Pertanian, 2012.
Pengawas Bibit Ternak Teknisi Litkayasa
Perekayasa Medik Veteriner
Peneliti Pranata Kehumasan
Arsiparis Analis Kepegawaian
Pustakawan Label Penyuluh
Pranata Komputer Stastitisi
Perencana
26,35%
0,41%
1,22%
0,19%
10,10%
0,03%0,14%
0,06%0,51%
0,01%
0,03%
0,03% 3,89%
Puslitbangtan Puslitbanghorti Puslitbangbun Puslitbangnak
BB Padi Bbalitvet BBSDLPBB
Pengkajian BB BiogenBB
PascapanenBBPMP
Badan LitbangPertanian
Sekretariat
LolitTungro
Balitkabi
BalitSereal
Balitsa
BalitbuTropika
Balithi
Balitjestro
Balittro
Balittas
Balitka
Balittri
Balitnak
Lolit Sapi
LolitKambing
Balittra
Balittanah
Balingtan
Balitklimat
31 BPTP
PSE-KP PUSTAKA
2 LPTP
Balai PATP
Pengembangan Organisasi 131
Anggaran
Pada tahun 2012, Badan Litbang Pertanian mengelola
anggaran Rp1,28 triliun, dan hibah luar negeri
Rp10,81 miliar. Anggaran tersebut sekitar 7,4% dari
total pagu anggaran Kementerian Pertanian (Rp17,17
triliun), dan naik Rp154,05 miliar (13,7%) dibanding
tahun 2011.
Pengelolaan dan pemanfaatan anggaran
diklasifikasikan dalam tiga jenis belanja, yaitu belanja
pegawai, barang, dan modal. Belanja pegawai
Rp443,92 miliar (34,7%) digunakan untuk gaji,
tunjangan, uang makan, honor, lembur, dan tunjang-
an kompensasi kerja. Belanja barang Rp627,75 miliar
(49,11%) untuk membiayai program dan kegiatan
utama litbang pertanian. Belanja modal Rp206,57
miliar (16,16%) dimanfaatkan untuk pemeliharaan
Tabel 2. Peneliti Badan Litbang Pertanian menurut jenjang peneliti dan usia, 2012.
Usia (tahun)
Jenjang peneliti
25-35 36-45 46-55 >55 Jumlah
Peneliti Utama 2 0 81 178 261
Peneliti Madya 1 42 323 152 518
Peneliti Muda 17 204 231 0 452
Peneliti Pertama 141 179 77 0 397
Peneliti Non Klas 296 68 54 2 420
Jumlah 457 493 766 332 2.048
aset dan pemupukan modal, seperti pembangunan/
renovasi gedung kantor, laboratorium, dan revitalisasi
kebun percobaan; pengadaan perlengkapan sarana
gedung kantor, alat laboratorium, sarana kebun
percobaan, jurnal dan buku ilmiah, serta pemupukan
modal nonfisik lainnya untuk mendukung peningkatan
kapasitas litbang pertanian.
Sarana dan Prasarana
Laboratorium penelitian merupakan sumberdaya
penelitian yang penting dalam menghasilkan inovasi
teknologi. Pada tahun 2012 Badan Litbang Pertanian
memiliki 165 laboratorium penelitian yang tersebar
pada UK/UPT di seluruh provinsi di Indonesia. Jenis
dan kemampuan laboratorium beragam sehingga
Tabel 1. Perkembangan pegawai Badan Litbang Pertanian menurut pendidikan, 2008-2012.
Jenjang pendidikan 2008 2009 2010 2011 2012
< S1 4.964 4.864 4.818 4.558 4.273
Sarjana (S1) 1.797 1.789 1.910 2.076 2.010
Master (S2) 1.093 1.099 1.098 1.133 1.100
Doktor (S3) 375 372 376 384 397
Jumlah 8.229 8.124 8.202 8.151 7.780
132 Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan
upaya meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya
terus dilakukan.
Sebanyak 29 dari 165 laboratorium Badan Litbang
Pertanian sudah mendapat sertifikat ISO-17025-2000
dari Komite Akreditasi Nasional (KAN), yang berarti
telah mendapat pengakuan formal di tingkat nasional,
regional, dan internasional untuk melaksanakan
pengujian, 16 laboratorium dalam proses akreditasi,
dan 120 laboratorium belum terakreditasi. Dalam
jangka panjang, laboratorium Badan Litbang
Pertanian diharapkan dapat menjadi laboratorium
rujukan yang andal dan absah, tempat pelatihan dan
magang, serta sebagai pusat penelitian.
Pengelolaan laboratorium mengacu pada
Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-17025-2000
yang merupakan adopsi dari ISO/IEC 17025:1999 dan
SNI 19-9001:2001 untuk penerapan sistem
manajemen mutu. Pengelolaan laboratorium yang
sesuai dengan standar tersebut diharapkan meng-
hasilkan kinerja yang memiliki daya saing ilmiah dan
komersial.
Akreditasi Laboratorium
Akreditasi laboratorium penelitian Badan Litbang
Pertanian telah dilaksanakan sejak 2002. Labora-
torium pada 16 UK/UPT telah diakreditasi Komite
Akreditasi Nasional berdasarkan SNI 19-17025-2000,
yaitu laboratorium yang terdapat pada Balai Besar
Penelitian Veteriner, Balai Besar Pengembangan
Mekanisasi Pertanian, Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian, Balai Penelitian Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian, Balai Penelitian Tanaman Hias, Balai
Penelitian Tanaman Buah Tropika, Balai Penelitian
Tanaman Jeruk dan Buah Sub-Tropika, Balai Peneliti-
an Tanaman Obat dan Aromatik, Balai Penelitian
Ternak, Balai Penelitian Tanah, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara, BPTP
Sulawesi Selatan, BPTP Yogyakarta, dan BPTP Nusa
Tenggara Barat (Tabel 3).
Kebun Percobaan
Kebun percobaan (KP) mempunyai fungsi utama
mendukung kegiatan litbang di lapangan, selain
sebagai tempat konservasi ex situ sumberdaya
genetik (SDG), produksi benih sumber, show window
inovasi teknologi, kebun produksi, pendukung
ketahanan pangan, media pendidikan, dan wahana
agrowidyawisata. Badan Litbang Pertanian memiliki
119 KP dengan luas total 4.614 ha, tersebar di 43
UPT. Kondisi KP bervariasi, baik luas, status lahan,
pemanfaatan maupun keragaannya, dapat pada
kondisi agroklimat yang berbeda pada dataran rendah
sampai dataran tinggi. Kapasitas KP secara kontinu
ditingkatkan melalui peningkatan anggaran, SDM,
serta sarana dan prasarana. Peningkatan kapasitas
SDM dilakukan melalui pelatihan dan lokakarya
pengelolaan KP. Sementara itu, peningkatan sarana
prasarana dilakukan melalui revitalisasi KP yang
dimulai pada tahun 2011.
Unit Pengelolaan Benih Sumber (UPBS)
Keberhasilan diseminasi dan adopsi teknologi varietas
unggul ditentukan antara lain oleh kemampuan
produsen dan industri benih untuk memasok dan
menyediakan benih secara enam tepat hingga ke
petani. Oleh karena itu, sistem perbenihan yang
tangguh (produktif, efisien, berdaya saing, dan
berkelanjutan) sangat diperlukan untuk mendukung
upaya peningkatan produksi dan mutu produk
pertanian.
Dalam upaya mendukung percepatan penyebar-
an dan adopsi varietas-varietas unggul baru yang telah
dihasilkan, Badan Litbang Pertanian beserta jajaran-
nya, terutama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,
berperan penting dalam penyediaan benih sumber
(benih dasar/benih pokok). Hingga tahun 2012, telah
ada 46 satuan kerja pelaksana UPBS lingkup Badan
Litbang Pertanian yang berperan dalam pengelolaan
benih sumber tanaman pangan, tanaman hortikultura,
tanaman perkebunan, serta galur ternak.
Pengembangan Organisasi 133
Pemasukan dan Pengeluaran Benih/
Bibit/Sumberdaya Genetik untuk
Penelitian
Badan Litbang Pertanian mendapat wewenang
memberi izin pemasukan dan pengeluaran sumber-
daya genetik (SDG) untuk penelitian berdasarkan
Permentan No. 37/2011 tentang Pelestarian dan
Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Tanaman.
Kewenangan tersebut meliputi:
1. Izin eksplorasi SDG (pencarian dan pengumpulan,
yang diikuti dengan identifikasi, karakterisasi,
dokumentasi, dan evaluasi) 15 hari kerja.
2. Pemberian tanda daftar kebun koleksi (pengum-
pulan yang diikuti dengan penyimpanan dan
pemeliharaan SDG hasil ekplorasi dalam bentuk
materi maupun informasi SDG) 15 hari kerja.
3. Pemasukan SDG dari luar negeri ke dalam wilayah
RI untuk kepentingan penelitian dan/atau
pemuliaan, 10 hari kerja.
4. Pengeluaran SDG ke luar wilayah RI dalam bentuk
tukar-menukar untuk kepentingan penelitian dan/
atau pemuliaan, 10 hari kerja.
Pada tahun 2012 telah diterbitkan 92 izin, yang
terdiri atas 71 izin pemasukan dan 22 izin pengeluar-
an benih.
Tabel 3. Laboratorium UK/UPT Badan Litbang Pertanian yang sudah memperoleh akreditasi SNI 19-
17025 - 2000.
Satker Jenis laboratorium
BB Padi Laboratorium Proksimat
Balitkabi Laboratorium Tanah
Laboratorium Pemuliaan/Mutu Benih
Laboratorium Servis/Kimia
Balithi Laboratorium Virologi
Balitbu Laboratorium Uji Mutu Benih
Balitjestro Laboratorium Fitopatologi
Laboratorium Pemuliaan
Balitro Laboratorium Servis/Kimia
Bbalitvet Laboratorium Hama/Parasitologi
Laboratorium Bakteriologi
Laboratorium Patologi
Laboratorium Toksikologi/Mikologi
Laboratorium Virologi
Balitnak Laboratorium Servis/Kimia
Laboratorium Fisiologi
Balittanah Laboratorium Servis/Kimia
BB Biogen Laboratorium Biologi Molekuler
Fasilitas Bank Gen
BB Pascapanen Laboratorium Biokimia
Laboratorium Uji Mutu Hasil
BBP Mektan Laboratorium Pengujian Traktor Roda 4
Laboratorium Pengujian Traktor Roda 2
Laboratorium Pengujian Pompa Air Irigasi
Laboratorium Pengujian Pascapanen Biji-bijian
BPTP Sumatera Utara Laboratorium Servis/Kimia
BPTP Yogyakarta Laboratorium Tanah
BPTP Nusa Tenggara Barat Laboratorium Servis/Kimia
BPTP Sulawesi Selatan Laboratorium Tanah dan Tanaman
134 Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan
Kerja Sama
Saat ini Badan Litbang Pertanian memiliki kerja sama
penelitian dan pengembangan pertanian yang cukup
luas, baik nasional maupun internasional. Secara
nasional telah terjalin kerja sama penelitian untuk
beberapa komoditas dan bidang masalah yang
melibatkan beberapa lembaga penelitian di bawah
koordinasi Kementerian Ristek, LIPI, BATAN, BPPT, dan
beberapa perguruan tinggi. Untuk mengefektifkan
diseminasi telah dibentuk pula kerja sama dengan
pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat,
pihak swasta, dan instansi pengambil kebijakan di
lingkup maupun di luar Kementerian Pertanian.
Secara internasional, Badan Litbang Pertanian juga
terlibat dalam jejaring kerja sama, baik bilateral,
multilateral maupun regional.
Dalam Negeri
Kerja sama dalam negeri adalah kesepakatan untuk
melakukan penelitian dan pengembangan antara UK/
UPT Badan Litbang Pertanian dengan mitra kerja
sama dalam negeri seperti pemerintah daerah,
perusahaan swasta, BUMN, lembaga swadaya
masyarakat, perguruan tinggi, dan lembaga lainnya.
Kegiatan penelitian dan pengembangan meliputi
penelitian, pengembangan, pengkajiaan, pereka-
yasaan, pemetaan, bimbingan teknologi, evaluasi/
karakterisasi sumberdaya pertanian, serta pertukaran
dan pemanfaatan informasi. Kerja sama dalam negeri
dilakukan secara formal institusional dan bersifat
kontraktual yang dituangkan ke dalam nota ke-
sepakatan (memorandum of understanding), atau
bersifat nonkontraktual yang dituangkan ke dalam
surat kesepakatan para pihak.
Pada tahun 2012 Badan Litbang Pertanian
mengelola 537 kerja sama dalam dan luar negeri,
terdiri atas kerja sama dengan Kementerian Ristek
melalui program insentif dengan 214 judul kegiatan,
diikuti kerja sama kemitraan 91 unit, kerja sama
penelitian dengan pemerintah provinsi dan kabupaten
91 unit, hibah 74 unit, program KKP3T 37 unit, dan
swasta 30 unit.
Luar Negeri
Kerja sama luar negeri meliputi kerja sama dengan
lembaga penelitian asing, organisasi internasional,
perguruan tinggi asing, swasta asing, dan lembaga
swadaya masyarakat asing. Badan Litbang Pertanian
telah melakukan kerja sama penelitian di bidang
pertanian dengan berbagai mitra internasional,
seperti ACIAR (Australian Centre for International
Agricultural Research), CSIRO (Commonwealth
Scientific and Industrial Research Organisation), JICA
(Japan International Cooperation Agency), JIRCAS
(Japan International Research Center for Agricultural
Sciences), Amarta, Ansoft, RDA (Rural Development
Administration, AFACI (Asian Food and Agriculture
Cooperation Initiative), US Department of State,
CIMMYT (International Maize and Wheat Improve-
ment Center), CIRAD (Centre de Cooporation
International en Recherche Agronomicque le Develop-
ment), IRRI (International Rice Research Institute),
FAO (Food and Agriculture Organization), Yuan
Longping Ltd, HORTIN II, Gent University, MAFF
(Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries) Japan,
AMNET, ICRAF (The World Agroforestry Centre),
ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund), IDRC
(International Development Research Centre), IAEA
(International Atomic Energy Agency), CIP (Inter-
national Potato Centre), Biodiversity International,
IPNI (International Plant Names Index), IOM,
Malaysian Rubber Research Institute, UNDP (United
Nations Development Programme), IRRI, GIZ,
Murdoch University, IFPRI (International Food Policy
Research Institute), University of Queensland, IPI
(International Potash Institute), REDD ALERT, dan
World Bank.
Kerja sama luar negeri diarahkan untuk lebih
meningkatkan akses terhadap inovasi di bidang
pertanian yang dihasilkan oleh Pusat-Pusat Penelitian
Internasional untuk mendukung kegiatan penelitian
di lingkup Badan Litbang Pertanian. Kerja sama luar
negeri juga bertujuan untuk meningkatkan kompe-
tensi peneliti/perekayasa Badan Litbang Pertanian di
dunia internasional. Kerja sama dilakukan secara
formal kelembagaan dengan didasarkan atas
persamaan kedudukan yang saling menguntungkan
Pengembangan Organisasi 135
dan dilaksanakan dengan sistem pengendalian yang
ketat.
Kerja sama luar negeri dilaksanakan melalui
skema kerja sama bilateral, regional, dan multi-
lateral. Kerja sama bilateral merupakan kerja sama
yang dilaksanakan oleh dua negara melalui
government to government (G to G) maupun private
to private (P to P). Kerja sama regional dilakukan
dengan beberapa negara yang berada dalam satu
kawasan dan kepentingan tertentu seperti ASEAN
(Association of Southeast Asia Nations), dan APEC
(Asia Pacific Economic Cooperation). Kerja sama
multilateral dilaksanakan dengan banyak negara,
misalnya FAO (Food and Agriculture Organization),
WHO (World Health Organization), dan CGIAR
(Consultative Group on International Agricultural
Organization).
Pada tahun 2012 Badan Litbang Pertanian
mengelola 27 kerja sama luar negeri, terdiri atas
kerja sama bilateral dan kerja sama multilateral.
Perkembangan jumlah kerja sama penelitian dalam
dan luar negeri selama 5 tahun terakhir (2008-2012)
disajikan terdapat pada Tabel 4.
Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertaniandengan Perguruan Tinggi (KKP3T)
Tahun 2012 merupakan tahap akhir pelaksanaan
program KKP3T yang didanai Badan Litbang Pertanian.
Oleh karena itu, program KKP3T pada tahun 2012
hanya mendanai proposal lanjutan tahun kedua dan
ketiga yang berpotensi HKI (Hak Kekayaan
Intelektual). Melalui proses seleksi, terdapat 37
proposal dari 10 perguruan tinggi yang layak didanai
dengan total dana Rp3,76 miliar dengan rata-rata
biaya per proposal Rp101,32 juta. Penelitian aplikasi
teknologi informasi dan tanaman pangan mendapat
pendanaan lebih besar dibandingkan dengan
penelitian lainnya, masing-masing Rp883,07 juta dan
Rp781,90 juta. Penelitian hortikultura memiliki rata-
rata biaya per proposal terbesar, yakni Rp147,23 juta.
Dari perguruan tinggi, IPB mempunyai 18 proposal
(48,7%), diikuti BINUS 8 proposal (21,6%), dan UGM
3 proposal (8,1%).
Program Insentif Peningkatan KemampuanPeneliti dan Perekayasa
Program ini merupakan kerja sama dengan
Kementerian Riset dan Teknologi yang telah
berlangsung sejak tahun anggaran 2009, yang pada
awalnya bernama SINTA (Sinergi Penelitian dan
Pengembangan Pertanian) yang didanai oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian
Pendidikan Nasional. Mulai tahun anggaran 2010 dan
seterusnya, program ini didanai oleh Kementerian
Riset dan Teknologi. Pada tahun anggaran 2012,
terdapat 229 usulan proposal dengan usulan biaya
Rp46,1 miliar. Proposal yang disetujui adalah 214
proposal dengan dana Rp42,3 miliar. Pengkajian
teknologi pertanian mendapat biaya terbesar (Rp19,45
miliar) dan penelitian sosial-ekonomi pertanian
mendapat biaya rata-rata per proposal tertinggi
(Rp250 juta).
Tabel 4. Jumlah kerja sama penelitian dalam dan luar
negeri, 2008-2012.
Jumlah kerja sama
Tahun
Dalam negeri Luar negeri
2008 2051) 77
2009 8881) 45
2010 5822) 41
2011 5982) 65
2012 362) 27
1)termasuk KKP3T2)termasuk KKP3T dan SINTA/ Insentif
137Unit Kerja Lingkup Badan Litbang Pertanian
Unit Kerja Lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Sekretariat Badan Penelitian danPengembangan Pertanian (Sekretariat Badan)Jalan Ragunan No. 29, PasarmingguJakarta 12540Telp. (021) 7505395, 7806202Faks. (021) 7800644E-mail : [email protected] : http://litbang.deptan.go.id
Pusat Penelitian dan Pengembangan TanamanPangan (Puslitbangtan)Jalan Merdeka No. 147, Bogor 16111Telp. (0251) 8334089, 8331718Faks. (0251) 8312755E-mail : [email protected]
[email protected] : http://puslittan.bogor.net
Pusat Penelitian dan PengembanganHortikultura (Puslitbanghorti)Jalan Ragunan No. 29A, PasarmingguJakarta 12540Telp. (021) 7805768, 7892205Faks. (021) 7805135E-mail : [email protected] : http://litbang.hortikultura.go.id
Pusat Penelitian dan PengembanganPerkebunan (Puslitbangbun)Jalan Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16111Telp. (0251) 8313083, 836194, 8329305Faks. (0251) 8336194E-mail : [email protected] : http://perkebunan.litbang.deptan.go.id
Pusat Penelitian dan PengembanganPeternakan (Puslitbangnak)Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16143Telp. (0251) 8322185, 8328383, 8322138Faks. (0251) 8328382E-mail : [email protected] : http://peternakan.litbang.deptan.go.id
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian(PSE-KP)Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161Telp. (0251) 8333964Faks. (0251) 8314496E-mail : [email protected] : http://pse.litbang.deptan.go.id
Pusat Perpustakaan dan Penyebaran TeknologiPertanian (PUSTAKA)Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122Telp. (0251) 8321746Faks. (0251) 8326561E-mail : [email protected] : http://pustaka.litbang.deptan.go.id
Balai Besar Pengembangan MekanisasiPertanian (BBPMP)Situgadung, Legok, Tangerang, Kotak Pos 2,Serpong 15310Telp. (021) 5376787, 70936787Faks. (021) 71695497E-mail : [email protected] : http://mekanisasi.litbang.deptan.go.id
Balai Besar Penelitian dan PengembanganBioteknologi dan Sumberdaya GenetikPertanian (BB Biogen)Jalan Tentara Pelajar No. 3 A, Bogor 16111Telp. (0251) 8337975, 8339793Faks. (0251) 8338820E-mail : [email protected] : http://biogen.litbang.deptan.go.id
Balai Besar Penelitian dan PengembanganPascapanen Pertanian (BB Pascapanen)Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114Telp. (0251) 8321762, 8350920Faks. (0251) 8321762E-mail : [email protected] : http://pascapanen.litbang.deptan.go.id
Balai Besar Penelitian dan PengembanganSumberdaya Lahan Pertanian(BB SDLP)Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114Telp. (0251) 8323012, 8327215Faks. (0251) 8311256E-mail : [email protected] : http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi)Jalan Raya No. 9, Sukamandi, Subang 41172Telp. (0260) 520157Faks. (0260) 520158E-mail : [email protected] : http://bbpadi.litbang.deptan.go.id
Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet)Jalan R.E. Martadinata No. 30, Kotak Pos 52Bogor 16114Telp. (0251) 8331048, 8334456Faks. (0251) 8336425E-mail : [email protected] : http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id
Balai Besar Pengkajian dan PengembanganTeknologi Pertanian (BB Pengkajian)Jalan Tentara Pelajar No. 10, Bogor 16114Telp. (0251) 8351277Faks. (0251) 8350928E-mail : [email protected] : http://bbp2tp.litbang.deptan.go.id
138 Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan
Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian(Balai PATP)Jalan Salak No. 22, Bogor 16151Telp. (0251) 8382563, 8382567Faks. (025) 8382567E-mail : [email protected] : http://bpatp.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan danUmbi-umbian (Balitkabi)Jalan Raya Kendal Payak, Kotak Pos 66Malang 65101Telp. (0341) 801468Faks. (0341) 801496E-mail : [email protected]
[email protected] : http://balitkabi.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal)Jalan Dr. Ratulangi, Kotak Pos 173 Maros 90514Telp. (0411) 371529Faks. (0411) 371961E-mail : [email protected] : http://balitsereal.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa)Jalan Tangkuban Perahu 517 LembangBandung 40391Telp. (022) 2786245Faks. (022) 2786416E-mail : [email protected] : http://balitsa.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi)Jalan Raya Ciherang, Kotak Pos 8 SDLSegunung Pacet, Cianjur 43252Telp. (0263) 517056, 514138Faks. (0263) 514138E-mail : [email protected] : http://balithi.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika(Balitbu Tropika)Jalan Raya Solok Aripan km 8, Kotak Pos 5Solok 27301Telp. (0755) 20137Faks. (0755) 20592E-mail : [email protected] : http://balitbu.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan BuahSubtropika (Balitjestro)Jalan Raya Tlekung No. 1, Junrejo, Kota Batu 65301Telp. (0341) 592683Faks. (0341) 593047E-mail : [email protected] : http://balitjestro.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat(Balittro)Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111Telp. (0251) 8321879Faks. (0251) 8327010E-mail : [email protected] : http://balittro.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar(Balittri)Jalan Raya Pakuwon km 2, ParungkudaSukabumi 43357Telp. (0266) 7070941Faks. (0266) 6542087E-mail : [email protected]
[email protected] : http://balittri.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Tanaman Palma (Balitka)Jalan Bethesda II, Mapanget, Kotak Pos 1004Manado 95001Telp. (0431) 812430Faks. (0431) 812017E-mail : [email protected] : http://balitka.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat(Balittas)Jalan Raya Karangploso km 4, Kotak Pos 199Malang 65152Telp. (0341) 491447Faks. (0341) 485121E-mail : [email protected] : http://balittas.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Ternak (Balitnak)Jalan Banjarwaru, CiawiKotak Pos 221Bogor 16002Telp. (0251) 8240752Faks. (0251) 8240754E-mail : [email protected]
[email protected] : http://balitnak.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Tanah (Balittanah)Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114Telp. (0251) 8336757Faks. (0251) 8321608E-mail : [email protected] : http://balittanah.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi(Balitklimat)Jalan Tentara Pelajar No.1 A, Bogor 16111Telp. (0251) 8312760Faks. (0251) 8312760E-mail : [email protected] : http://balitklimat.litbang.deptan.go.id
139Unit Kerja Lingkup Badan Litbang Pertanian
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra)Jalan Kebun Karet Lok Tabat Utara, Kotak Pos 31Banjarbaru 70712Telp. (0511) 4772534Faks. (0511) 4773034E-mail : [email protected] : http://balittra.litbang.deptan.go.id
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian(Balingtan)Jalan Raya Jakenan, Jaken km 5, Kotak Pos 5, JakenPati 59182Telp. (0295) 883927Faks. (0295) 883927E-mail : [email protected] : http://balingtan.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Nanggroe Aceh DarussalamJalan P. Nyak Makam No. 27, Kotak Pos 41,Lampineung, Banda Aceh 23125Telp. (0651) 7551811Faks. (0651) 7552077E-mail : [email protected]
[email protected] : http://nad.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Sumatera UtaraJalan Jend. A.H. Nasution No.1B, Kotak Pos 7 MDGJMedan 20143Telp. (061) 7870710Faks. (061) 7861020E-mail : [email protected] : http://sumut.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Sumatera BaratJalan Raya Padang-Solok, km 40, SukaramiSolok 27366Telp. (0755) 31122, 31564Faks. (0755) 731138E-mail : [email protected] : http://sumbar.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)RiauJalan Kaharudin Nasution km 40Padang Marpoyan, Kotak Pos 1020Pekanbaru 10210Telp. (0761) 674206Faks. (0761) 674206E-mail : [email protected]
[email protected] : http://riau.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)JambiJalan Samarinda KotabaruKotak Pos 118, Kotabaru 36128Jalan Jambi-Palembang km 16, Desa Pondok Meja,Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro JambiTelp. (0741) 7053525, 40174Faks. (0741) 40413E-mail : [email protected]
[email protected] : http://jambi.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Sumatera SelatanJalan Kolonel H. Barlian km 6Kotak Pos 1265, Palembang 30153Telp. (0711) 410155Faks. (0711) 411845E-mail : [email protected] : http://sumsel.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Bangka BelitungJalan Mentok km 4, Pangkalpinang 33134Telp. (0717) 421797, 422858Faks. (0717) 421797E-mail : [email protected] : http://babel.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)BengkuluJalan Irian km 6,5Kotak Pos 1010, Bengkulu 38119Telp. (0736) 23030Faks. (0736) 23030E-mail : [email protected] : http://bengkulu.litbang.dptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)LampungJalan Z.A. Pagar Alam No. 1A RajabasaBandar Lampung 35145Telp. (0721) 781776, 701328Faks. (0721) 705273E-mail : [email protected] : http://lampung.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)BantenJalan Raya Ciptayasa km 01, CiruasSerang 42182Telp. (0254) 280093, 281055Faks. (0254) 282507E-mail : [email protected]
[email protected] : http://banten.litbang.deptan.go.id
140 Laporan Tahunan 2012: Inovasi Teknologi Menuju Pertanian Berkelanjutan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Jawa BaratJalan Kayuambon No. 80, Kotak Pos 8495, LembangBandung 40391Telp. (022) 2786238Faks. (022) 2789846E-mail : [email protected]
[email protected] : http://jabar.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)DKI JakartaJalan Ragunan No.30, PasarmingguKotak Pos 7321/JKSPM, Jakarta 12540Telp. (021) 78839949, 7815020Faks. (021) 7815020E-mail : [email protected]
[email protected] : http://jakarta.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Jawa TengahBukit Tegalepek, Sidomulyo,Kotak Pos 101 Ungaran 50501Telp. (024) 6924965, 6924967Faks. (024) 6924966E-mail : [email protected] : http://jateng.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)YogyakartaRingroad Utara Jalan Karangsari Wedomartani,Ngemplak, Sleman, Kotak Pos 1013Yogyakarta 55010Telp. (0274) 884662Faks. (0274) 562935E-mail : [email protected]
[email protected] : http://yogya.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Jawa TimurJalan Raya Karangploso km 4, Kotak Pos 188Malang 65101Telp. (0341) 494052Faks. (0341) 471255E-mail : [email protected]
[email protected] : http://jatim.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)BaliJalan By Pass Ngurah Rai, PasanggaranKotak Pos 3480, Denpasar 80222Telp. (0361) 720498Faks. (0361) 720498Email : [email protected]
[email protected] : http://bali.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Nusa Tenggara BaratJalan Raya Paninjauan NarmadaKotak Pos 1017, Mataram 83010Telp. (0370) 671312Faks. (0370) 671620E-mail : [email protected] : http://ntb.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Nusa Tenggara TimurJalan Timor Raya km 32, Kotak Pos 1022 Naibonat,Kupang 85362Telp. (0380) 833766Faks. (0380) 829537E-mail : [email protected] : http://ntt.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Kalimantan BaratJalan Budi Utomo No. 45 Siantan Hulu,Kotak Pos 6150, Pontianak 78061Telp. (0561) 882069Faks. (0561) 883883E-mail : [email protected]
[email protected] : http://kalbar.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Kalimantan TengahJalan G. Obos km 5, Kotak Pos 122Palangkaraya 73111Telp. (0536) 3329662Faks. (0536) 3331416E-mail : [email protected]
[email protected] : http://[email protected]
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Kalimantan TimurJalan P.M. Noor, Sempaja,Kotak Pos 1237, Samarinda 75119Telp. (0541) 220857Faks. (0541) 220857E-mail : [email protected] : http://kaltim.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Kalimantan SelatanJalan Panglima Batur Barat No. 4Kotak Pos 1018 & 1032, Banjarbaru 70711Telp. (0511) 4772346Faks. (0511) 4781810E-mail : [email protected]
[email protected]@yahoo.com
Website : http://kalsel.litbang.deptan.go.id
141Unit Kerja Lingkup Badan Litbang Pertanian
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Sulawesi UtaraJalan Kampus Pertanian Kalasey, Kotak Pos 1345Manado 95013Telp. (0431) 836637Faks. (0431) 838808E-mail : [email protected]
[email protected] : http://sulut.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Sulawesi TengahJalan Lasoso No. 62, BiromaruKotak Pos 51 PaluTelp. (0451) 482546Faks. (0451) 482549E-mail : [email protected]
[email protected] : http://sulteng.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Sulawesi SelatanJalan Perintis Kemerdekaan km 17,5Kotak Pos 1234, Makassar 90242Telp. (0411) 556449Faks. (0411) 554522E-mail : [email protected] : http://sulsel.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Sulawesi TenggaraJalan Prof. Muh. Yamin No. 89, Kotak Pos 55Kendari 93114Telp. (0401) 312571Faks. (0401) 313180E-mail : [email protected] : http://sultra.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)GorontaloJalan Kopi No. 270, Desa Iloheluma, KecamatanTilongkabila, Kabupaten Bone BolangoGorontalo 96183Telp. (0435) 827627Faks. (0435) 827627E-mail : [email protected] : http://gorontalo.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)MalukuJalan Laksdya Leo Wattimena-WaiheruKotak Pos 204 Passo, Ambon 97232Telp. (0911) 3303865Faks. (0911) 322542E-mail : bptp-maluku@litbang. deptan.go.idWebsite : http://maluku.litbang. deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Maluku UtaraKomplek Pertanian Kusu, Kecamatan Oba UtaraKota Tidore Kepulauan 97000Telp. (0921) 326350Faks. (0921) 326350E-mail : [email protected]
[email protected] : http://malut.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)PapuaJalan Yahim No. 49, Sentani, Kotak Pos 256, SentaniJayapura 99352Telp. (0967) 592179Faks. (0967) 591235E-mail : [email protected] : http://papua.litbang.deptan.go.id
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)Papua BaratJalan Amban Pantai WaidemaKotak Pos 254, Manokwari 98314Telp. (0986) 213182, 211377Faks. (0986) 212052E-mail : [email protected] : http://papuabarat.litbang.deptan.go.id
Loka Pengkajian Teknologi PertanianKepulauan RiauJalan Pelabuhan Sungai Jang No. 38Tanjung PinangTelp. (0771) 22153Faks. (0771) 313299E-mail : [email protected]
Loka Pengkajian Teknologi Pertanian SulawesiBaratJalan Martadinata No. 16Mamuju, Sulawesi BaratTelp. (0426) 22547Faks. (0426) 22547E-mail : [email protected] : http://sulbar.litbang.deptan.go.id