PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

22
Jurnal Dialog diterbitkan satu tahun dua kali, pada bulan Juni dan Desember oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Sebagai media informasi dalam rangka mengem- bangkan penelitian dan kajian keagamaan di Indonesia. Dialog berisi tulisan ilmiah dan hasil penelitian dan pengembangan terkait dengan masalah sosial keagamaan. Redaksi mengundang para peneliti agama, cendekiawan dan akademisi, untuk berdiskusi dan menulis secara kreatif demi pengembangan penelitian maupun kajian keagamaan di Indonesia dalam jurnal ini. Terakreditasi C No: 362/AU1/P2MBI/07/2011 ISSN : 0126-396X PEMIMPIN UMUM: Prof. Dr. H. Machasin, M.A. PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNG JAWAB Sekretaris Badan Litbang dan Diklat Dr. H. M. Hamdar Arraiyyah, M.Ag. WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Kepala Bagian Umum dan Perpustakaan Drs. H. A.M. Khaolani, M.Pd. SEKRETARIS REDAKSI Astuty Nilawati, S.Pd. MITRA BESTARI (PEER REVIEW) Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A. (Filsafat Agama) Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A. (Tafsir) Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah, M.A. (Hukum Islam) Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar (Hukum Islam) DEWAN REDAKSI (EDITORIAL BOARD) Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud ( Sejarah dan Kebudayaan Islam) Prof. Dr. H. Abdul Aziz al-Bone (Pendidikan Islam) Dr. H. Imam Tolkhah (Sosiologi Agama) Drs. Choirul Fuad Yusuf, S.S, M.A. (Lektur Keagamaan) Drs. H. Muhammad Shohib, M.A. (Tashih al-Qur’an) H. Chamdi Pamudji, S.H., M.M. (Pendidikan dan Pelatihan) Drs. H. Praptono Zamzam, M.Sc. (Pendidikan dan Pelatihan) REDAKTUR EKSEKUTIF Dr. H. Susari, M.A. REDAKTUR PELAKSANA (MANAGING EDITOR) H. Sahlani, B.A. Reza Perwira, S.Th.I. Sofyan Yamin, S.Si. Rahmatillah Amin, S.Kom Wawan Hermawan, S.Kom ALAMAT REDAKSI Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Gedung Kementerian Agama Jl. M.H. Thamrin No.6 Jakarta Pusat Telp (021) 31924509 pes.277/271 fax.(021) 3920380 WEBSITE: www.balitbangdiklat.kemenag.go.id Vol. 36, No. 2, November 2012

Transcript of PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Page 1: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Dialog Vol.36, No.2, November 2012 i

Jurnal Dialog diterbitkan satu tahun dua kali, pada bulan Juni dan Desember oleh BadanLitbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Sebagai media informasi dalam rangka mengem-bangkan penelitian dan kajian keagamaan di Indonesia. Dialog berisi tulisan ilmiah dan hasil

penelitian dan pengembangan terkait dengan masalah sosial keagamaan. Redaksi mengundangpara peneliti agama, cendekiawan dan akademisi, untuk berdiskusi dan menulis secara kreatif

demi pengembangan penelitian maupun kajian keagamaan di Indonesia dalam jurnal ini.

Terakreditasi C No: 362/AU1/P2MBI/07/2011ISSN : 0126-396X

PEMIMPIN UMUM:Prof. Dr. H. Machasin, M.A.

PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNG JAWABSekretaris Badan Litbang dan DiklatDr. H. M. Hamdar Arraiyyah, M.Ag.

WAKIL PEMIMPIN REDAKSIKepala Bagian Umum dan Perpustakaan

Drs. H. A.M. Khaolani, M.Pd.

SEKRETARIS REDAKSIAstuty Nilawati, S.Pd.

MITRA BESTARI (PEER REVIEW)Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A. (Filsafat Agama)

Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A. (Tafsir)Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah, M.A. (Hukum Islam)

Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar (Hukum Islam)

DEWAN REDAKSI (EDITORIAL BOARD)Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud ( Sejarah dan Kebudayaan Islam)

Prof. Dr. H. Abdul Aziz al-Bone (Pendidikan Islam)Dr. H. Imam Tolkhah (Sosiologi Agama)

Drs. Choirul Fuad Yusuf, S.S, M.A. (Lektur Keagamaan)Drs. H. Muhammad Shohib, M.A. (Tashih al-Qur’an)

H. Chamdi Pamudji, S.H., M.M. (Pendidikan dan Pelatihan)Drs. H. Praptono Zamzam, M.Sc. (Pendidikan dan Pelatihan)

REDAKTUR EKSEKUTIF

Dr. H. Susari, M.A.

REDAKTUR PELAKSANA (MANAGING EDITOR)H. Sahlani, B.A.

Reza Perwira, S.Th.I.Sofyan Yamin, S.Si.

Rahmatillah Amin, S.KomWawan Hermawan, S.Kom

ALAMAT REDAKSIBadan Litbang dan Diklat Kementerian Agama

Gedung Kementerian Agama Jl. M.H. Thamrin No.6 Jakarta PusatTelp (021) 31924509 pes.277/271 fax.(021) 3920380

WEBSITE:www.balitbangdiklat.kemenag.go.id

  Vol. 34. No. 1, Juni 2011 Vol. 36, No. 2, November 2012

Page 2: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

ii Dialog Vol.36, No.2, November 2012

PENGANTAR REDAKSI

Page 3: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Dialog Vol.36, No.2, November 2012 iii

Page 4: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

iv Dialog Vol.36, No.2, November 2012

Page 5: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Dialog Vol.36, No.2, November 2012 v

DAFTAR ISI

HERDI SAHRASAD

Agama dan Masalah Korupsi : Sebuah Catatan: 1-18

IYOH MASTIYAH

Relasi Jender dalam Perspektif Pesantren: 19-30

NURUDIN

Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Kemanusiaan: Ikhtiar Mengatasi Konflik Sosial-Keagamaan di Indonesia: 31-44

SYAHRUL KIROM

Pancasila dalam Bingkai Kerukunan Beragama : 45-64

ALI USMAN

Menguji Efektivitas Kurikulum Pendidikan Antikorupsi di Indonesia : 65-80

ARIEF SUBHAN

Mencari Perspektif Terorisme di Indonesia: Kajian Awal : 81-94

SYARIPULLOH

Penanggulangan Kemiskinan : 95-112

SUDIRMAN TEBBA

Pergeseran Konflik Sosial Keagamaan di Indonesia : 113-126

SUPRAPTO

Paradigma Baru Kediklatan (Penyelenggaraan Diklat Jarak Jauh pada BalaiDiklat Keagamaan Padang : 127-148

BOOK REVIEW

AKMAL SALIM RUHANA

Terorisme [sama dengan] Jihad? : 149-166

KUMPULAN ABSTRAK 167-172

INDEKS PENULIS 173-174

ISSN : 0126-396X

Jurnal DIALOGVol.36, No.2, November 2012

Page 6: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Dialog Vol. 36, No.2, November 2012 31

TOPIKPENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI

KEMANUSIAAN: IKHTIAR MENGATASIKONFLIK SOSIAL-KEAGAMAAN DI

INDONESIAO L E H : N U R U D I N *)

*) Peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kemenag RI

ABSTRACT

Krisis multidimensi, krisis etika, krisis kepercayaan diri, krisis kepercayaansosial seakan belum akan beranjak dari negeri ini. Barangkali karena kejumudandan kulminasi persoalan kebangsaan ini, lantas muncul wacana dan praktik“pendidikan karakter” yang seolah menjadi ramuan manjur mengobati penyakitstruktural dan wabah kultural yang menjangkiti bangsa ini. Akankah pendidikankarakter mampu menjadi “pelipur lara” atas duka kebangsaan Indonesia yang takkunjung usai? Benarkah pendidikan karakter yang sukses dapat mengurangikejahatan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan agama? Dan tentu masih banyaklagi pertanyaan lain mengemuka kaitan dengan urgensi pendidikan karakter. Dalamtulisan ini, penulis berusaha memformulasi pendidikan karakter berbasis nilaikemanusiaan sebagai ikhtiar mengatasi konflik sosial keagamaan yang terjadi diIndonesia.

Multidimensional crisis, a crisis of ethics, crisis of confidence, social confidence crisis as ifwill not go yet from this state. Perhaps due to stagnation and the culmination of this nationalissue, then appeared the discourse and practice of “character education” which seems to be apotent herb cure structural and cultural epidemic that plagues this nation. Will the charactereducation to become “solace” of grief Indonesian nation would not go over? Is it true that asuccessful character education can reduce crime social, economic, political, legal, and religious?And of course there are many more questions raised related to character education urgency. Inthis paper, the author attempts to formulate a value-based character education as a humanitarianendeavor to overcome socio-religious conflict in Indonesia.

KEY WORDS:Character Education, Religious Radicalism, Human Value, Harmony.

Page 7: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

32 Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Kemanusiaan: ...

A. PENDAHULUAN

Syarat utama menciptakan per-damaian dan kerukunan beragamaadalah kepercayaan yang didasari rasasaling mengerti satu sama lain. Karenaitu, masih mudahnya konflik agamayang berujung pada kekerasan yangmeledak di negeri ini menunjukkanbahwa rasa saling percaya antar anakbangsa di negeri ini makin terkikis, danpastilah ada yang hilang dalam hubu-ngan antar agama di negeri ini yangpernah terkenal dengan kerukunannya.

Tingginya kepercayaan antar umatberagama adalah syarat mutlak bagiharmonisasi kehidupan beragama diIndonesia yang memungkinkan agama-agama itu hidup rukun dan damai.Penyelesaian konflik membutuhkankomunikasi, dan komunikasi dapatterjadi karena adanya rasa salingpercaya. Konflik sesungguhnya sesuatuyang alami, dimana konflik merupakansesuatu yang inheren. Konflik agamatelah ada ketika agama-agama itu ada.Selama manusia tak mampu membe-baskan diri dari stereotype negatif tentangagama lain, konflik agama akan terusada.

Meski demikian, konflik memilikipeluang dan ancaman di dalam dirinya.Karena itu, pengelolaan konflik dalamhal ini sangat dibutuhkan agar penye-lesaian konflik membawa pada suatukehidupan bersama yang lebih baik.Jadi, hal yang utama bukanlah bagai-mana meniadakan konflik, tapi bagai-mana mengelola konflik tersebut secarabenar melalui penggunaan saluran-saluran yang benar, agar tidak berujungpada kekerasan.

Dalam konteks historiografi ke-bangsaan, awal keberadaan negarabangsa Indonesia merupakan kesepa-katan final dari para pendahulu pendiri

negeri ini, sebagai bentuk pengakuanterhadap pluralitas yang menjadi pilartegaknya negara. Dengan demikianBhinneka Tunggal Ika menjadi payungterakuinya kemajemukan sosial. Plu-ralitas adalah sunnatullah yang berlakuatas segala makhluk-Nya. Dalam per-jalanan sejarah panjang bangsa Indo-nesia, pluralitas telah melahirkankolaborasi yang indah dalam berbagaibentuk mozaik budaya yang kentaldengan kemajemukan ini. Berbagaisuku, agama, ras adat-istiadat, budaya,dan golongan dapat hidup berdam-pingan dan memiliki ruang negosiasiyang sangat tinggi dalam kehidupansehari-hari. Keindahan masyarakatnegeri katulistiwa ini pun menjadikesaksian bagi dunia internasional.Akan tetapi, dunia pun terhentakkandengan tercabik-cabiknya keindahanoleh sikap eksklusif yang tumbuh dariakar primordialisme sempit kesukuan,agama, ras, dan golongan.

Konflik sosial yang terjadi di bebe-rapa daerah pada dua dasawarsa ter-akhir, baik dalam eskalasi besar maupunkecil, telah membawa korban jiwamanusia, harta, sumber mata pen-caharian, dan lainnya, sehingga meng-hancurkan sendi-sendi kemanusiaandan kebangsaan Indonesia. Nampaknyakerusuhan sosial tersebut telah menjadigejala yang umum bagi perjalananhidup bangsa ini.

Secara normatif-doktrinal, semuaagama mengajarkan kedamaian, per-saudaraan, dan kerukunan. Jadi agamaitu tidak menghendaki perpecahan,permusuhan, dan pembunuhan. Na-mun kenyataannya, pengaruh agamaterhadap masyarakat sering menim-bulkan konflik. Para ahli sejarah ataufilosof sosial menyatakan, bahwa agamasering mempunyai efek yang negatif

Page 8: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Dialog Vol. 36, No.2, November 2012 33

terhadap kesejahteraan manusia. Isu-isukeagamaan sering menjadikan timbul-nya perang, keyakinan dalam suatuagama sering menimbulkan sikapmanusia yang tidak toleran, loyalitasdalam agama hanya dapat menyatukanbeberapa orang saja dan memisahkandari kebanyakan orang lainnya.1

Secara sosiologis, konflik sosialadalah suatu fenomena yang biasaterjadi, suatu keniscayaan dan mungkinpula diperlukan dalam rangka menujurekonsiliasi dan kesepakatan membuatkomitmen menuju tatanan yang lebihkonstruktif. Sebagai permisalan, marimenelaah secara singkat hubunganantara umat muslim dan umat Kristiani.Umat Islam sebagai pemeluk agamaterbesar di negeri ini (mayoritas),mempunyai peranan sentral dalammenciptakan stabilitas nasional, ikutserta dalam pembangunan dan peme-liharaan, sekaligus menikmatinyatentunya. Di pihak lain, pada tingkatnasional umat Kristiani sebagai kaumminoritas, meski pada tingkat lokaltertentu (provinsi, kota atau kabupaten,kecamatan dan desa) terdapat kantongkomunitas besar Kristiani. Persoalanmayoritas dan minoritas ini dapatmenjadi sumber konflik, sehinggastabilitas nasional dibutuhkan sebagaifaktor penting dalam pembangunannasional. Oleh sebab itu, masalahkerukunan antara umat Islam danKristiani secara nasional adalah masalahbesar yang tidak boleh diabaikan danharus terus-menerus memperoleh per-hatian yang serius dari semua pihak.

Permasalahan kerukunan hidupantara umat beragama di Indonesia,seperti halnya pada umat-umat bera-

gama di negeri lainnya, sering ter-ganggu oleh riak-riak konflik sosial.Kenyataan seperti itu tidak jarangmencuat ke permukaan oleh pem-beritaan media cetak dan elektronik.Secara kontekstual kerukunan antaraumat beragama ini bisa menjadi labil,beragam doktrin dalam semua agamamenganjurkan, menyerukan, dan bah-kan memerintahkan umatnya selalumelakukan hal-hal yang positif gunamencapai kerukunan, persatuan, dankesatuan serta cinta dan kasih kepadasesama.

B. SUMBER KONFLIK SOSIAL

KEAGAMAAN

Menurut Saifuddin, perbedaanfaham beragama dapat berubah menjadikonflik tajam karena penafsiran bagian-bagian doktrin agama digunakansebagai pembenaran. Agama dan bu-daya dapat dibedakan tetapi tak dapatdipisahkan karena keduanya beradadalam diri manusia yang sama. Denganketerbatasannya, manusia berusahamenerjemahkan bagian-bagian dariagama ke dalam kenyataan kehidupansosial yang penuh kepentingan dunia-wi, akan tetapi di lain pihak keteraturansosial dan integrasi tetap terwujud.2

Dalam sebuah makalah berjudul“Akar Radikalisme Keagamaan: PeranAparat Negara, Pemimpin Agama danGuru untuk Kerukunan Umat Bera-gama”, Azyumardi Azra mengemu-kakan bahwa salah satu faktor utamatimbulnya konflik sosial keagamaanadalah munculnya benih radikalismedalam agama, yang merebak tidakhanya antar agama, —seperti Islam

1 Thomas F. O’dea. Sosiologi Agama, (Jakarta:Rajawali Pers, 1987), 139.

2 Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik danIntegrasi, Perbedaan Faham Agama Islam, (Jakarta:Rajawali), 1986.

Page 9: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

34 Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Kemanusiaan: ...

versus Kristen— melainkan juga diintern agama. Dalam skala mence-maskan, kelompok kelompok dan sel selyang menampilkan radikalisme keaga-maan melakukan kegiatan terorismedengan meledakkan bom bunuh diri dimasjid al Zikra Mapolresta Cirebon(kasus Muhammad Syarif, 14/4/2011);atau meletakkan bom di lokasi strategisseperti saluran pipa gas (kasus PepiFernando 21/4/2011). Pada saat yangsama juga merebak kasus kasus meng-hilangnya 12 mahasiswa UniversitasMuhammadiyah Malang yang telahterekrut ke dalam jaringan Negara IslamIndonesia (NII).3

Meski demikian, AbdurrahmanWahid melihat bahwa kekerasan yangdilakukan para pemeluk suatu agama,bukanlah berangkat dari ajaran agamaitu sendiri, melainkan lebih merupakanproblem kontemporer berdasarkansituasi dan kondisi komunikasi pe-meluknya. Karena itu, agama tidaklahmengajarkan kekerasan, bahkan keke-rasan harus dikubur dalam-dalam ketikahendak menyelesaikan suatu persoalandalam hubungan antarmanusia. Agama,dengan kata lain, memberikan maknakepada kehidupan dan eksistensi ma-nusia secara universal.4

Perkembangan terakhir, menurutAzra, meskipun Densus 88 telah berhasilmelumpuhkan sebagian besar jaringankelompok radikal al-Jama’ah al-Isla-miyah (JI) yang melakukan berbagaiaksi pemboman termasuk bom bunuhdiri khususnya sejak Bom Bali I,Oktober 2002, jelas kelompok dan sel

radikal tetap bertahan. Bahkan terlihatbermetamorfosis ke dalam sel sel baruyang cenderung bergerak sendiri sendiridan independen, meski dalam satu danlain hal masih berkaitan satu sama lain.Menghadapi gejala seperti ini, kalanganfigur publik dan masyarakat meng-anggap terus terjadinya peningkatanintoleransi dan radikalisme di lingku-ngan intra dan antar agama bahkandengan negara. Gejala ini jelas dapatmengancam persatuan dan kesatuanbangsa serta eksistensi negara-bangsaIndonesia.5

Martin E. Marty menggarisbawahimunculnya radikalisme berawal daripemahaman agama yang cenderungskriptural-tekstualis, sempit, dan hitam-putih. Pemahaman semacam ini denganmudah akan menggiring pembacanyapada keyakinan yang cenderung funda-mentalis, bahkan sikap keagamaanyang kaku. Sedangkan fundamenta-lisme sendiri adalah spirit gerakanradikalisme agama yang mendorongpenggunaan cara-cara kekerasan dalammemenuhi kepentingan dan tujuanmereka. Sehingga pada saat kondisiekonomi, sosial, budaya, dan politikyang tidak menentu, tidak sedikitmanusia yang mengambil jalan “pintas”yang mengatasnamakan agama.6

Senada dengan E. Marty, Azramenyatakan bahwa kenyataan mere-baknya radikalisme agama terjadimelalui penafsiran, pemahaman, aliran,denominasi, bahkan sekte di dalam(intra) satu agama tertentu. Di kalanganIslam, radikalisme keagamaan itubanyak bersumber dari pemahaman

3 Azyumardi Azra, “Akar Radikalisme Keaga-maan: Peran Aparat Negara, Pemimpin Agama danGuru untuk Kerukunan Umat Beragama”, Makalah,14 Mei 2011.

4 Abdurrahman Wahid dkk. Agama dan Ke-kerasan, (Jakarta: PP-IPNU, 1999), hal. 62.

5 Azyumardi Azra, “Akar Radikalisme Keaga-maan……”

6 Martin E. Marty, Fundamentalisms Compre-hended:The Fundamentalism Project, (USA: Universityof Chicago Press, 1995), hal. 27.

Page 10: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Dialog Vol. 36, No.2, November 2012 35

keagamaan yang literal, sepotong-sepotong, dan ad hoc terhadap ayat-ayatal Qur ’an. Pemahaman seperti ituhampir tidak memberikan ruang bagiakomodasi dan kompromi dengankelompok-kelompok Muslim lain yangumumnya moderat, dan karena itumenjadi arus utama (mainstream) umat.7

Azra menganalisis, radikalismekeagamaan di dalam Islam juga dapatbersumber dari bacaan yang salahterhadap sejarah Islam yang dikom-binasikan dengan idealisasi berlebihanterhadap Islam pada masa tertentu. Initerlihat dalam pandangan dan gerakanSalafi, khususnya pada spektrumsangat radikal seperti Wahabiyah yangmuncul di Semenanjung Arabia padaakhir abad 18, awal abad 19, dan terusmerebak sampai sekarang ini. Temapokok kelompok dan sel Salafi ini adalahpemurnian Islam—membersihkan Islamdari pemahaman dan praktek keaga-maan yang mereka pandang sebagai‘bid’ah’, yang tidak jarang merekalakukan dengan cara-cara kekerasan.Dengan pemahaman dan praksis keaga-maan seperti itu, kelompok dan selradikal ini ‘menyempal’ (splinter) darimainstream Islam yang memegangdominasi dan hegemoni otoritas teologisdan hukum agama dan sekaligus kepe-mimpinan agama.8

Radikalisme keagamaan juga masukmelalui deprivasi politik, sosial, danekonomi yang masih bertahan dalammasyarakat. Pada saat yang sama,disorientasi dan dislokasi sosial budaya,dan ekses globalisasi, dan semacamnyasekaligus merupakan tambahan faktor-faktor penting bagi kemunculan kelom-

pok radikal. Kelompok “sempalan”tersebut tidak jarang mengambil bentukkultus (cult), yang sangat eksklusif,tertutup dan berpusat pada seseorangyang dipandang kharismatik. Kelompokkelompok ini dengan dogma eskatologistertentu bahkan memandang duniasudah menjelang akhir zaman dankiamat; sekarang waktunya bertobatmelalui pemimpin dan kelompok me-reka.

Doktrin dan pandangan teologis-eskatologis seperti ini, tidak bisa laindengan segera dapat menimbulkanreaksi dari agama-agama mainstream,yang dapat berujung pada konfliksosial. Radikalisme keagamaan jelasberujung pada peningkatan konfliksosial dan kekerasan bernuansa intradan antar agama; juga bahkan antarumat beragama dengan negara. Initerlihat jelas, misalnya, dengan mening-katnya aktivitas penutupan gereja dibeberapa tempat di mana kaum Muslimmayoritas, seperti di Bekasi, Bogor, danTemanggung belum lama ini. Ataupenutupan masjid/mushala di daerahmayoritas non-Muslim di berbagaitempat di tanah air, seperti di Bali pascabom Bali Oktober 2002; termasuk pulaanarkisme terhadap berbagai fasiltas danmasjid-masjid Ahmadiyah serta parajemaatnya.9

7 Azyumardi Azra, “Akar Radikalisme Kea-gamaan....”

8 Ibid.

9 Berbagai tindak kekerasan terhadap pengikutAhmadiyah juga masih terus terjadi di sejumlahtempat mulai dari NTB, Parung, Cikeusik dan berbagailokasi lain. Lalu ada juga kelompok hardliners dikalangan Muslim, menegakkan hukumnya sendiri—atas nama syari’ah (hukum Islam)— seperti pernahdilakukan Lasykar Jihad di Ambon ketika terjadinyakonflik komunal Kristen-Muslim; razia-razia yangdilakukan Front Pembela Islam (FPI) dalam beberapatahun terakhir ini —khususnya pada Ramadhan— atasdiskotik, dan tempat-tempat hiburan lainnya atas namaal amr bi al ma’ruf wa al nahy ‘an al munkar (menyerudengan kebaikan dan mencegah kemungkaran). LihatAzyumardi Azra, “Akar Radikalisme Keagamaan....”

Page 11: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

36 Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Kemanusiaan: ...

C. PENDIDIKAN KARAKTER: SEBUAH

IKHTIAR

Terapi atas konflik sosial-keaga-maan yang berakar dari radikalismepemahaman keagamaan tidaklah dapatdilakukan secara sporadis, tergesa-gesa,dan spontan. Dibutuhkan strategi yangefektif, jernih, dan berkala untukmengeliminasi problem konfliktualtersebut, karena persoalannya tidakhanya terdapat pada aspek perilaku danemosionalitas ansich, melainkan lebihberbasis pada pemahaman dan keya-kinan. Di titik inilah diperlukan sema-cam terapi anti radikalisme agamasebagai sumber utamanya, yaitu melaluipembumian pendidikan karakter ber-basis nilai moralitas (hati nurani),kerukunan, kedamaian, dan kema-nusiaan.

Sebelum mengurai lebih jauh me-ngenai implementasi pendidikan karak-ter sebagai strategi metodis dalamkonteks mengeliminasi konflik sosial-keagamaan, terlebih dahulu akandijabarkan kerangka konseptual pendi-dikan karakter, agar didapati pijakanteoritik yang lebih tegas.

1. Konseptual Pendidikan KarakterSecara konseptual-definitif, tidak ada

definisi pendidikan karakter yangmemuaskan, karena setiap definisibiasanya hanya menekankan penting-nya aspek tertentu dan mengabaikanaspek lain. Begitu juga pandangan ataupendekatan disiplin keilmuan terhadappendidikan karakter. Tak ada satu punpendekatan keilmuan –dengan menga-baikan pendekatan disiplin keilmuanlain– yang memuaskan. Sifat pendidikankarakter adalah multidimensi danmultidisiplin, sehingga diperlukanpendekatan yang komprehensif, utuh,interkonektif antar berbagai disiplin

ilmu, tidak sektoral-parsial, ad hoc,apalagi atomistik.

Pendidikan karakter, menurut AminAbdullah, mengasumsikan keterkaitanerat antara dimensi moral, sosial,ekonomi, politik, hukum, agama,budaya, dan estetika. Pendidikanagama, begitu juga pendidikan kewar-ganegaraan pada level manapun tidakdapat berbuat banyak jika ia berdirisendiri (self sufficiency), karena jika tidakdikaitkan dengan budaya, sosial, hu-kum dan politik misalnya, makapendidikan agama hanya akan jatuhpada rumus-rumus dan preskripsi-preskripsi normatif, yang mungkinmudah dihapal, tapi seringkali tidakdapat dipraktikkan dan diimplementasi-kan dalam dunia sosial sehari-hari yangbegitu kompleks.10

Menyadari kesulitan yang begitukompleks, dengan mengambil inspirasidari seorang filsuf Jerman era modern,Immanuel Kant, Amin menegaskanbahwa pendidikan karakter adalahpendidikan kemanusiaan yang ber-tujuan menjadikan manusia “baik”.Menjadikan manusia “baik” tanpaprasyarat apapun. Meskipun pendapatini terkesan deontologis dan ahistoris,tapi justru di situlah letak kekuatan danrelevansinya saat ini.

Pada era negara bangsa (nationstates), pendidikan karakter sangatdiperlukan oleh bangsa manapunkarena dengan Pendidikan Karakteryang berhasil akan membuat wargamasyarakat dan warga negara menjadi“baik” tanpa prasyarat apapun. Men-jadikan warga negara yang “baik”

10 M. Amin Abdullah, “Pendidikan Karakter:Mengasah Kepekaan Hati Nurani”, Makalah, 15 April2010.

Page 12: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Dialog Vol. 36, No.2, November 2012 37

tanpa embel-embel syarat agama, sosial,ekonomi, budaya, ras, politik, danhukum. Pendidikan Karakter seperti inisejalan dengan cita-cita kemandirianmanusia (moral outonomy) dalam ber-tetangga, bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara. Pendidikan Karakteryang sukses akan sama dengan tujuanberagama, bermasyarakat, berbangsadan bernegara yang baik dalam ranahmultikultural, multietnis, multibahasa,multi religi di era globalisasi seperti saatsekarang ini.

Secara historis-filosofis, menurutDoni Koeseoma, pendidikan karakterpertama kali dicetuskan oleh pedagogJerman F.W.Foerster (1869-1966). Pen-didikan karakter yang menekankandimensi etis-spiritual dalam prosespembentukan pribadi merupakan reaksiatas kejumudan pedagogi naturalRousseauian dan instrumentalismepedagogis Deweyan. Selain itu pedagogipuerocentris lewat perayaan atas spon-tanitas anak-anak (Edouard Claparède,Ovide Decroly, Maria Montessori) yangmewarnai pedagogi di Eropa danAmerika Serikat di awal abad 19 dirasa-kan semakin tidak mencukupi lagi bagisebuah formasi intelektual dan kulturalseorang pribadi.11

Konteks historis, Doni mengupasbahwa polemik anti-positivis dan anti-naturalis dalam konteks pendidikanyang berkembang di Eropa pada awalabad 19 merupakan gerakan pembe-basan dari determinisme natural menujudimensi spiritual, bergerak dari formasipersonal yang lebih didominasi pende-katan psikologis-sosial menuju sebuahcita-cita humanisme yang kental dengan

dimensi kultural dan religius. Lahirnyapendidikan karakter bisa dikatakansebagai sebuah usaha untuk meng-hidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjanggelombang positivisme yang dipeloporioleh filsuf Perancis Auguste Comte(1798-1857).12

Mengutip Foerster, Doni menjabar-kan tujuan pendidikan adalah untukpembentukan karakter yang terwujuddalam kesatuan esensial antara si subyekdengan perilaku dan sikap hidup yangdimilikinya.13 Lebih lanjut, kekuatankarakter seseorang dalam tampak dalam4 (empat) ciri fundamental yang mestidimiliki:14

Pertama, keteraturan interior mela-lui mana setiap tindakan diukur ber-dasarkan hierarki nilai. Ini tidak berartibahwa karakter yang terbentuk denganbaik tidak mengenal konflik, melainkanselalu merupakan sebuah kesediaan danketerbukaan untuk mengubah dariketidakteraturan menuju keteraturannilai.

Kedua, koherensi yang memberikankeberanian melalui mana seseorangdapat mengakarkan diri teguh padaprinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takutresiko. Koherensi merupakan dasaryang membangun rasa percaya satusama lain. Tidak adanya koherensimeruntuhkan kredibilitas seseorang.

11 Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter:Strategi Mendidik Anak Di Zaman Global, (Jakarta:Grasindo, 2007), hal. 2-4.

12 Doni Koesoema, “Pendidikan Karakter”,Kompas, Jum’at, 3 Februari 2006.

13 Karakter merupakan sesuatu yang mengua-lifikasi seorang pribadi, yang memberikan kesatuandan kekuatan atas keputusan diambilnya. Karena itu,karakter menjadi semacam identitas yang mengatasipengalaman kontingen yang selalu berubah. Darikematangan karakter inilah kualitas seorang pribadidiukur. Lihat Doni Koeseoma, Pendidikan Karakterdi Zaman Keblinger, (Jakarta: Grasindo, 2009), hal. 3.

14 Doni Koesoema, “Pendidikan Karakter,Kompas…..”

Page 13: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

38 Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Kemanusiaan: ...

Ketiga, otonomi. Yang dimaksuddengan otonomi di sini adalah kemam-puan seseorang untuk menginternali-sasikan aturan dari luar sehinggamenjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapatdilihat melalui penilaian atas keputusanpribadi tanpa terpengaruh atau desakandari pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan.Keteguhan merupakan daya tahanseseorang untuk mengingini apa yangdipandang baik, sedangan kesetiaanmerupakan dasar bagi penghormatanatas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini,memungkinkan manusia melewatitahap individualitas menuju perso-nalitas. “Orang-orang modern seringmencampuradukkan antara individua-litas dan personalitas, antara aku alamidengan aku rohani, independensieksterior dengan interior.” Karakterinilah yang menentukan forma seorangpribadi dalam segala tindakannya.

2. Urgensi Pendidikan KarakterPembentukan karakter merupakan

salah satu tujuan pendidikan nasional.Pasal 1 UU Sisdiknas tahun 2003menyatakan bahwa di antara tujuanpendidikan nasional adalah mengem-bangkan potensi peserta didik untukmemiliki kecerdasan, kepribadian, danakhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas inidimaksudkan agar pendidikan tidakhanya membentuk insan Indonesiayang cerdas, namun juga berkepribadian(berkarakter), sehingga nantinya akanlahir generasi bangsa yang tumbuhberkembang dengan karakter yangbernafas nilai-nilai luhur bangsa sertaagama.

Mengutip Thomas Lickona, Su-yanto menegaskan bahwa pendidikankarakter adalah pendidikan budi pekerti

plus, yaitu yang melibatkan aspekpengetahuan (cognitive), perasaan (fee-ling), dan tindakan (action).15 Tanpaketiga aspek ini, pendidikan karaktertidak akan efektif. Dengan pendidikankarakter yang diterapkan secara siste-matis dan berkelanjutan, seorang anakakan menjadi cerdas emosinya. Kecer-dasan emosi ini adalah bekal pentingdalam mempersiapkan anak menyong-song masa depan, karena seseorang akanlebih mudah dan berhasil menghadapisegala macam tantangan kehidupan,termasuk tantangan untuk berhasilsecara akademis.

Menurut Suyanto, terdapat sem-bilan pilar karakter yang berasal darinilai-nilai luhur universal, yaitu: (1)karakter cinta Tuhan dan segenapciptaan-Nya; (2) kemandirian dantanggungjawab; (3) kejujuran/amanah,diplomatis; (4) hormat dan santun; (5)dermawan, suka tolong-menolong dangotong-royong/kerjasama; (6) percayadiri dan pekerja keras; (7) kepemimpinandan keadilan; (8) baik dan rendah hati;(9) karakter toleransi, kedamaian, dankesatuan.16

Kesembilan pilar karakter itu,diajarkan secara sistematis dalam modelpendidikan holistik menggunakanmetode knowing the good, feeling the good,dan acting the good. Knowing the good bisamudah diajarkan sebab pengetahuanbersifat kognitif saja. Setelah knowing thegood harus ditumbuhkan feeling andloving the good, yakni bagaimana merasa-kan dan mencintai kebajikan menjadiengine yang bisa membuat orang senan-tiasa mau berbuat sesuatu kebaikan.Sehingga tumbuh kesadaran bahwa

15 http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html.

16 Ibid.

Page 14: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Dialog Vol. 36, No.2, November 2012 39

orang mau melakukan perilaku kebaji-kan karena dia cinta dengan perilakukebajikan itu. Setelah terbiasa melaku-kan kebajikan, maka acting the good ituberubah menjadi kebiasaan.17

Dasar pendidikan karakter ini,menurut Suyanto, sebaiknya diterap-kan sejak usia kanak-kanak atau yangbiasa disebut para ahli psikologi sebagaiusia emas (golden age), karena usia initerbukti sangat menentukan kemam-puan anak dalam mengembangkanpotensinya. Hasil penelitian menunjuk-kan bahwa sekitar 50% variabilitaskecerdasan orang dewasa sudah terjadiketika anak berusia 4 tahun. Pening-katan 30% berikutnya terjadi pada usia8 tahun, dan 20% sisanya pada perte-ngahan atau akhir dasawarsa kedua.18

Dari sini, sudah sepatutnya pen-didikan karakter dimulai dari dalamkeluarga, yang merupakan lingkunganpertama bagi pertumbuhan karakteranak. Namun bagi sebagian keluarga,barangkali proses pendidikan karakteryang sistematis di atas sangat sulit,terutama bagi sebagian orang tua yangterjebak pada rutinitas yang padat.Karena itu, seyogyanya pendidikankarakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah,terutama sejak playgroup dan tamankanak-kanak. Di sinilah peran guru,yang dalam filosofi Jawa disebut digugulan ditiru, dipertaruhkan. Karena guruadalah ujung tombak di kelas, yangberhadapan langsung dengan pesertadidik.

3. Pendidikan Karakter PerspektifKemanusiaan, Moralitas, dan Ke-rukunan: Upaya MengeliminasiKonflik Sosial-KeagamaanMembincang pendidikan karakter

sebagai terapi mengatasi konflik sosial-keagamaan menuntut kehati-hatian,mengingat ranah konflik sosial-keaga-maan cenderung berbeda dengan pro-blematika kebangsaan yang lain semisalkekerasan di luar domain keagamaan.Dalam konteks ini, konflik sosialkeagamaan, sebagaimana telah dijabar-kan sebelumnya, tidak sekadar ber-hubungan dengan patologi sosial biasa,melainkan juga berkait erat dengankeyakinan, ideologi, mindset, dan bah-kan politik, yang lantas melahirkanbenih “radikalisme” sebagai faktorutama timbulnya konflik tersebut. Makapertanyaan yang kemudian mengemukaadalah, sejauhmana pendidikan karaktermampu mengeliminasi radikalisme diIndonesia?

Selebihnya, ada banyak pertanyaanyang jauh lebih sulit dijawab, mengapamoralitas dan karakter bangsa Indonesiamerosot, padahal pendidikan Pancasiladan Pendidikan Agama telah diseleng-garakan di setiap jenjang pendidikan?Terlebih di berbagai madrasah telah lamadipelajari materi ajar Aqidah Akhlak?Bukankah toleransi, kerukunan, per-damaian, dan kemanusiaan adalahbagian-bagian penting dalam matapelajaran yang telah diajarkan di sekolahselama 12 tahun, dimana anak didikmemperoleh tidak kurang dari 960 jam?

Di titik inilah, diperlukan kajiandan penelitian komprehensif dan men-dalam tentang hal ini, melibatkanstakeholders, guru, dosen, dan anak didikuntuk semua jenjangnya, peneliti,pengamat sosial, Lembaga SwadayaMasyarakat, tokoh-tokoh agama, Ke-

17 Ibid.18 Ibid.

Page 15: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

40 Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Kemanusiaan: ...

menterian Pendidikan Nasional danKementerian Agama, bahkan para jaksa,hakim, kepolisian, pengusaha, pejabatpemda dan masyarakat luas sebelumdilakukan pembenahan yang integratif-interkonektif-menyeluruh dalam Pen-didikan Karakter di tanah air. Penelitiandan kajian yang mendalam dan kom-prehensif perlu dilakukan secaraperiodik dan menjadi agenda nasionalatau Rencana Aksi Nasional (RAN), jikasaja pemerintah pusat, pemerintahdaerah, maupun segenap warganegarapada umumnya memiliki sense of urgencydan sense of crisis.

Karena itu, tulisan ini sama sekalimasih jauh dari keinginan menjadiformula dalam menjawab kegamangansosial-keagamaan yang ada, melainkansebagai “pemantik” untuk benar-benarsecara serius menerapkan pendidikankarakter, bukan sekadar berbasis intelek-tualitas-kognitif, melainkan lebihmenekankan aspek “penghayatan”(afektif ) dan “pengamalan’ (psiko-motorik). Setidaknya gagasan dalamtulisan ini meliputi beberapa aspekpenting, yaitu:

Pertama, aspek pemahaman keaga-maan tentang perdamaian, kerukunan,dan kemanusiaan. Hal ini diupayakanagar jangan sampai pendidikan karakterdengan pendekatan nilai keagamaanjustru semakin menjauhkan pema-haman yang ramah terhadap realitaspluralisme, sebaliknya menjadi amunisiuntuk kian menggumpalkan keyakinanradikalistik tentang “kebenaran eks-klusif ” terhadap suatu keyakinanagama. Salah satu pintu masuk radika-lisme adalah dimensi pengetahuan yangkurang memadai atas nilai luhur yangterkandung dalam sebuah agama.Karena itu, memupuk karakter keaga-maan sebaiknya juga dilandasi oleh

basis nilai keberagamaan dalam wilayahyang moderat (tawassut), seimbang(tawazun), toleran (tasamuh) dan tengah-tengah (i’tidal), berkebalikan dengankekerasan (tathorruf) dan anti teror(irhab). Serangkaian pemahaman atasnilai keberagamaan tersebut padagilirannya akan membuka itikad untuksenantiasa melakukan “dialog” dalammencari titik solusi ketimbang “anar-khi”.

Dalam konteks internalisasi nilaikerukunan, terdapat keluhuran nilaiyang niscaya dipahami sebagai bagianpenting dari “jatidiri” sebuah agamayang berpihak kepada aspek kema-nusiaan. Dalam Islam misalnya, sebagai-mana ajaran dari Rasulullah SAWterdapat beberapa macam persaudaraanyang patut dijalin dan sedemikiankrusial dihayati dan diimplementasi ditengah kehidupan berbangsa danbernegara, yaitu persaudaraan antarumat Islam (ukhwah Islamiyah), persau-daraan antar umat manusia (ukhwahbasyariyah), dan persaudaraan antarbangsa (ukhwah wataniyah).

Dalam rangka menghadapi pahamradikalisme, tentu tidaklah cukupberbekal wacana, melainkan harus puladiimbangi oleh gerakan ideologisasikeagamaan perspektif humanitarian,yaitu dengan cara melakukan “counterintellectual movement” terhadap pema-haman keagamaan radikalistik tersebut.Selama ini, suburnya pemahamanradikalistik di domain pendidikan -sebagai pemicu potensi konflik sosial-keagamaan- lebih disebabkan olehkelemahan ‘gerakan intelektual’ keaga-maan moderat dalam mengimbangi‘gerakan ideologis’ yang dilakukan olehgerakan keagamaan kanan di berbagaisekolah, utamanya sekolah-sekolah, danberbagai kampus negeri. Semestinya

Page 16: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Dialog Vol. 36, No.2, November 2012 41

dilakukan gerakan intelektual sekaligusgerakan idelogis moderat dengan meng-gunakan berbagai piranti akademis,utamanya melalui materi ajar, guru, danberagam kegiatan intra sekolah danintra kampus.

Kedua, pengarus-utamaan moralitas(akhlaq al karimah) sebagai praktik(amal), bukan sekadar intelektualitas,mengingat secara substansi, tidaksatupun ajaran agama yang menge-sahkan “kekerasan” dalam menyele-saikan konflik. Dalam hal praktik inilah,pendidikan karakter mendapati urgan-sinya. Pendidikan karakter memangdiawali dari pengetahuan dan pema-haman (teori) yang dapat bersumber daripengetahuan agama, sosial, dan budaya.Namun yang paling penting darirangkaian panjang ini adalah “menga-malkan” apa yang diketahui.

Menurut Amin Abdullah, di siniterjadi kekeliruan dan ketidaktepatandalam menentukan paradigma pem-belajaran pendidikan karakter di tanahair. Yang semestinya diperlukan adalah“mengamalkan” berubah menjadi yangdipentingkan adalah “mengetahui”atau menghapal, tanpa kemampuanuntuk melakukan dan mempraktek-kannya di lapangan.19

Amin membedakan model danparadigma pembelajaran sains danmatematika (natural sciences) berbeda darimodel dan paradigma pembelajaran nilaikemanusiaan (humanities). Yang diper-lukan dalam pembelajaran humanitiesdalam pendidikan karakter adalahkemampuan guru, dosen, pendidik,pemimpin untuk “menyentuh danmenyapa” keseluruhan dan keutuhanpribadi anak didik. Keutuhan pribadimanusia meliputi perasaan, rasio,imajinasi, kreativitas, dan memori.Dengan begitu, paradigma PendidikanKarakter seharusnya lebih tajam diarah-kan pada “kehendak” dan “motivasi”,dan bukannya intelektualitas. Olehkarena itu, yang perlu dikenal terlebihdahulu oleh para pendidik adalahstruktur kepribadian manusia. Sedang-kan motivasi atau kehendak sangatterkait dengan hati nurani. Makapendidikan karakter adalah pendidikanhati nurani.20

Ketiga, indikator keberhasilan pen-didikan karakter dalam konteks ikhtiarmengeliminasi konflik sosial-keagamaansesungguhnya bermula dari tumbuh-nya kesediaan untuk “menghargainilai”. Menghargai nilai mengandungarti bahwa seseorang atau anak didiktelah tersentuh hatinya dan dapatmenyimpulkan bahwa nilai tersebut –semisal nilai kerukunan, nilai terhadappentingnya perdamaian dan anti keke-rasan, nilai saling menghargai per-bedaan keyakinan— sebagai sesuatuyang indah dan baik untuk diri pribadidan masyarakatnya. Pribadi-pribadi

pembelajaran sains (natural sciences) yang memangmemerlukan ketajaman analisis intelektual. Lihat: M.Amin Abdullah, “Pendidikan Karakter: MengasahKepekaan Hati Nurani…….”

20 Ibid.

19 Dapat dijumpai secara mudah di tanah air bahwamodel pembelajaran pendidikan karakter atau akhlakyang berjalan sekarang ini lebih mengutamakan ‘alihpengetahuan moral, agama atau karakter’ (transfer ofknowledge tentang moral, agama atau karakter).Dengan paradigma pembelajaran seperti ini, makayang ditekankan oleh pendidik adalah penguasaanmateri sesuai diktat yang tersedia dan dayamemorisasi (hafalan) lebih dipentingkan. Praktik initergambar dengan jelas dalam model soal ujian atautest yang dibuat oleh guru atau dosen. Akibatlangsung yang tidak dirasakan selama bertahun-tahunadalah bahwa pendidikan karakter atau moral danakhlak terlalu berorientasi pada intelektualisme etis.Padahal model paradigma pembelajaran pendidikankarakter (humanities) semestinya tidaklah seperti

Page 17: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

42 Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Kemanusiaan: ...

tersebut menyatakan dalam hati masing-masing bahwa nilai-nilai baik itumenjadi bagian tak terpisahkan darikehidupan dirinya.21

Dengan demikian, terjadi tahapan-tahapan yang perlu dilalui dalampendidikan karakter dalam konteksmengeliminasi konflik sosial-keaga-maan, yaitu dari tindakan menghargainilai, meningkat kepada penerimaannilai dengan penuh kesadaran danketulusan, dan akhirnya berujung padapengamalan dan penerapan nilai dalamkehidupan pribadi, masyarakat, bangsa,negara bahkan sebagai warga dunia.Sampai di situ, maka nilai-nilai kebaikantadi telah melekat, tertanam kokoh danterbiasa dalam sepak terjang kehidupananak didik, mahasiswa, dan anggotamasyarakat dimanapun dan kapanpunserta dalam cuaca sosial, agama, politik,ekonomi yang bagaimanapun.

D. PENUTUP

Berbagai aspek penting dalampendidikan karakter di atas, hematpenulis, dapat menjadi semacam upayaapresiatif dalam rangka ikut menye-lesaikan konflik sosial-keagamaan yangmasih rentan terjadi di negeri Indonesiatercinta ini. Beberapa rekomendasi yangperlu digarisbawahi adalah: diperlukanpenyegaran sikap, komitmen seluruhwarga masyarakat dan pembaharuanmetode dan pendekatan pendidikankarakter yang lebih integratif-inter-

konektif-koordinatif. Keluasan teori danpraktik pendidikan karakter perludijadikan acuan untuk perbaikan danpenyempurnaan apa yang telah dila-kukan selama ini.

Lebih lanjut, pendidikan agama,pendidikan kewarganegaraan, danpendidikan Pancasila perlu dikaitkandengan isu-isu baru yang lebih menyen-tuh kebutuhan dasar manusia (HumanDevelopment Index) seperti kesehatan(reproductive health), kesetaraan gender(gender equity), tata kelola kepeme-rintahan yang baik (good governance),kesejahteraan ekonomi (enterpreneurship),dan rembug bersama para pemimpinagama (faith-based organization) tentangpermasalahan sosial kebangsaan.

Last but not least, pendidikan karak-ter yang dimaksud penulis, tidaksemata-mata bersifat individual, melain-kan juga memiliki dimensi sosial struk-tural. Meskipun pada gilirannya kriteriapenentunya adalah nilai-nilai individualyang bersifat personal. Pendidikankarakter yang berkaitan dengan dimensisosial struktural, lebih melihat bagai-mana menciptakan sebuah sistem sosialyang kondusif di tengah pertumbuhanindividu. Dalam konteks inilah, kita bisameletakkan konflik sosial keagamaansebagai “musuh bersama” yang senan-tiasa mengancam keutuhan sosial danstruktural pondasi berbangsa danbernegara. Wallahu A’lam Bi As Showab.[]

21 Zeni Luthfiah, Pendidikan Agama Islam:Pendidikan Karakter Berbasis Agama Islam, (Jakarta:Lingkar Media, 2011), hal. 38.

Page 18: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Dialog Vol. 36, No.2, November 2012 43

D A F TA R P U S TA K A

Abdurrahman Wahid dkk. 1999. Agamadan Kekerasan, Jakarta: PP-IPNU.

Achmad Fedyani Saifuddin. 1986. Konflikdan Integrasi, Perbedaan FahamAgama Islam. Jakarta: Rajawali.

Azyumardi Azra, 2011.”AkarRadikalisme Keagamaan: PeranAparat Negara, Pemimpin Agamadan Guru untuk KerukunanUmat Beragama”, Makalah, 14Mei 2011.

Doni Koesoema A. 2007. PendidikanKarakter: Strategi Mendidik Anak DiZaman Global, Jakarta: Grasindo

M. Amin Abdullah. 2010. “PendidikanKarakter: Mengasah KepekaanHati Nurani”, Makalah, 15 April2010.

Martin E. Marty, 1995. FundamentalismsComprehended:The FundamentalismProject, USA: University ofChicago Press

Thomas F. O’dea, 1987. Sosiologi Agama.Jakarta: Rajawali Pers.

Zeni Luthfiah. 2011. Pendidikan AgamaIslam: Pendidikan Karakter BerbasisAgama Islam, (Jakarta: LingkarMedia.

Page 19: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

44 Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Kemanusiaan: ...

Page 20: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Dialog Vol. 36, No.2, November 2012 173

I N D E K S P E N U L I S

AAkmal Salim Ruhana“Terorisme [sama dengan] Jihad?”Jurnal Dialog Vol.36, No.2, November 2012. hal: 149

Ali UsmanKolumnis pendidikan, peneliti Lembaga Analisis Sosial dan Penguatan Masya-rakat (LANSKAP) Yogyakarta“Menguji Efektivitas Kurikulum Pendidikan Antikorupsi di Indonesia”Jurnal Dialog Vol.36, No.2, November 2012. hal: 65

Arief SubhanDekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta“Mencari Perspektif Terorisme di Indonesia: Kajian Awal”Jurnal Dialog Vol.36, No.2, November 2012. hal: 81

HHerdi SahrasadDosen tetap Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina“Agama dan Masalah Korupsi: Sebuah Catatan”Jurnal Dialog Vol.36, No.2, November 2012. hal: 1

IIyoh MastiyahPeneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI“Relasi Jender dalam Perspektif Pesantren”Jurnal Dialog Vol.36, No.2, November 2012. hal: 19

NNurudinPeneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Balitbang dan DiklatKemenag RI“Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Kemanusiaan: Ikhtiar Mengatasi KonflikSosial-keagamaan di Indonesia”Jurnal Dialog Vol.36, No.2, November 2012. hal: 31

SSudirman TebbaDosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta“Pergeseran Konflik Sosial Keagamaan di Indonesia”Jurnal Dialog Vol.36, No.2, November 2012. hal: 113

Page 21: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

174 Dialog Vol. 36, No.2, November 2012

SupraptoPuslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan“Paradigma Baru Kediklatan (Penyelenggaraan Diklat Jarak Jauh pada Balai DiklatKeagamaan Padang)”Jurnal Dialog Vol.36, No.2, November 2012. hal: 127

Syahrul KiromDosen STAI Khozinatul Ulum Blora, Jawa Tengah, Alumnus Program MasterFilsafat, Fakultas Filsafat, UGM, Yogyakarta. Alamat Rumah: Jl. Pabrik Migas No.12 Kampung Baru Cepu Blora Jawa Tengah.“Pancasila Dalam Bingkai Kerukunan Beragama”Jurnal Dialog Vol.36, No.2, November 2012. hal: 45

SyaripullohPengajar FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta“Penanggulangan Kemiskinan”Jurnal Dialog Vol.36, No.2, November 2012. hal: 95

Page 22: PENGANTAR REDAKSI - Kemenag

Dialog Vol. 36, No.2, November 2012 175

KETENTUAN PENULISAN

1. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini berupa pemikiran dan hasil penelitianyang menyangkut masalah sosial dan keagamaan. Naskah belum pernah dimuatatau diterbitkan di media lain.

2. Naskah tulisan berisi sekitar 15-20 halaman dengan 1,5 (satu setengah) spasi,kertas kuarto (A 4),

3. Abstrak dan kata kunci dibuat dalam dwibahasa (Inggris dan Indonesia),4. Jenis huruf latin untuk penulisan teks adalah Palatino Linotype ukuran 12 dan

ukuran 10 untuk catatan kaki,5. Jenis huruf Arab untuk penulisan teks adalah Arabic Transparent atau Traditional

Arabic ukuran 16 untuk teks dan ukuran 12 untuk catatan kaki,6. Penulisan kutipan (footnote) dan bibliografi berpedoman pada Model Chicago

Contoh:Buku (monograf)Kuntowijoyo.1998. Paradigma Islam, Intre-pretasi untuk Aksi. Mizan: Ban-dung.

Artikel (Jurnal)Wilcox, Rhonda V. 1991. Shifting roles and synthetic women in Star Trex: The Next

Generation. Studies in Popular Culture 13(2): 53:65.

Situs webLynch, Tim. 1996. Review of DS 9 trials and tribble-ations. Psi-Phi: Bradley’s Science

Fiction Club. Http://www.Bradley.edu/campusorg/psiphi/DS9/ep/503r.html (accessed October 8, 1997).

7. Transliterasi berpedoman pada pedoman transliterasi Library of Congress,8. Artikel pemikiran memuat judul, nama penulis, alamat instansi, email, abstrak,

kata kunci, dan isi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematika sertapersentasenya dari jumlah halaman sebagai berikut:a. Pendahuluan (10%)b. Isi Pemikiran dan pembahasan serta pengembangan teori/konsep (70%)c. Penutup (20%)

9. Artikel hasil penelitian memuat judul, nama penulis, alamat instansi, email,abstrak, kata kunci, dan isi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematika sertapresentase jumlah halaman sebagai berikut:a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan

penelitian (10%)b. Kajian Literatur mencakup kajian teori dan hasil penelitian terdahulu yang

relevan (15%).c. Metode Penelitian yang berisi rancangan/model, sampel dan data, tempat dan

waktu, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data (10%).d. Hasil Penelitian dan Pembahasan (50%).e. Penutup yang berisi simpulan dan saran (15%).f. Daftar Pustaka

10. Pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis/email. Naskahyang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.

Contact Person:Dr. H. Susari, M.A. (Redaktur Eksekutif)HP: 0821 141 70501Naskah diemail ke:[email protected]@yahoo.com