PENGANTAR METODE PENELITIAN - digilib.uinsgd.ac.iddigilib.uinsgd.ac.id/15940/1/pengantar metode...

103
1 PENGANTAR METODE PENELITIAN Mohamad Mustari, Ph.D. M. Taufiq Rahman, Ph.D. LaksBang Pressindo YOGYAKARTA 2012

Transcript of PENGANTAR METODE PENELITIAN - digilib.uinsgd.ac.iddigilib.uinsgd.ac.id/15940/1/pengantar metode...

1

PENGANTAR

METODE PENELITIAN

Mohamad Mustari, Ph.D.

M. Taufiq Rahman, Ph.D.

LaksBang Pressindo

YOGYAKARTA

2012

2

PENGANTAR METODE PENELITIAN

Penulis:

Mohamad Mustari, Ph.D.

M. Taufiq Rahman, Ph.D.

Sampul dan Tata Letak

M Taufiq Rahman

Diterbitkan Oleh:

LaksBang Pressindo, Yogyakarta

Cetakan ke-1

ISBN: 9789792685626

Tahun:

2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

All Right Reserve

3

KATA PENGANTAR

Rasa syukur kami ucapkan setinggi-tingginya kepada Allah SWT

yang dengan karunia dan rahmat-Nyalah, kami dapat menyelesaikan buku

kecil ini untuk keperluan mengajar kami di perguruan tinggi masing-masing,

walaupun dalam serba kekurangan. Namun begitu besar harapan

penyelidik semoga buku ini dapat menyumbangkan sesuatu kepada

perkembangan ilmu. Rasa terima kasih juga disampaikan kepada keluarga

kami yang telah membiarkan kami bekerja sama, saling bertemu, dan

membuat buku kecil ini, mengeditnya, saling mengisi, dan akhirnya

terjelmalah buku panduan untuk mahasiswa ini.

Penulisan buku ini adalah perwujudan dari pengalaman dan kajian

yang kami sharing sejak kami bersama-sama menuntut ilmu di Malaysia,

tepatnya di Universiti Malaya, Kuala Lumpur sehingga sekarang sama-

sama mengurus penerbitan yang sama, yaitu Ibnu Sina Press di Bandung.

Akhir sekali, semoga buku ini dapat menjadi sesuatu yang berguna baik

bagi kami sendiri sebagai para penulis maupun bagi para mahasiswa kami

di perguruan tinggi masing-masing. Kritik dan saran tentunya sangat kami

hargai untuk dapat terus memperbaiki dan menyempurnakan buku ini, dari

yang tadinya buku ini hanyalah buku kecil ke buku yang kemudian

membesar dan besar pula pengaruhnya. Untuk upaya-upaya tersebut kami

sangat menunggu dengan kebesaran hati.

Wassalam,

Hormat kami,

Mohammad Mustari, Ph.D.

M. Taufiq Rahman, Ph.D.

4

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................... 3

Daftar Isi ................................................................................................. 4

I. ASAS PENELITIAN ............................................................................. 7

A. Pengertian ..................................................................................... 7

B. Wilayah Kajian .............................................................................. 7

C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 9

D. Validitas Penelitian ........................................................................ 9

II. PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF ................................. 15

A. Penelitian Kuantitatif ..................................................................... 15

B. Penelitian Kualitatif ........................................................................ 21

III. PERENCANAAN PENELITIAN .......................................................... 29

A. Latar Belakang Kajian ................................................................... 29

B. Masalah Kajian .............................................................................. 29

C. Tujuan Kajian ................................................................................ 30

D. Pertanyaan Kajian ......................................................................... 31

E. Kegunaan Kajian ........................................................................... 32

F. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 34

G. Kerangka Kajian ........................................................................... 35

H. Hipotesis Kajian ............................................................................ 35

IV. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN ................................................. 38

A. Penentuan Sumber Data ............................................................... 38

B. Pengumpulan Data Bahan Pustaka .............................................. 45

C. Pembentukan Instrumen ............................................................... 46

5

D. Persiapan Alat Bantu Penelitian .................................................... 49

V. PELAKSANAAN PENGUMPULAN DATA .......................................... 55

A. Wawancara (Interview) ................................................................. 55

B. Angket (Kuesioner) ....................................................................... 59

C. Pengamatan (Observasi) .............................................................. 63

VI. ANALISIS DATA ................................................................................ 68

A. Analisis Data Kuantitatif ................................................................ 68

B. Analisis Data Kualitatif .................................................................. 69

VII. PENULISAN LAPORAN PENELITIAN ............................................. 77

A. Format Penulisan .......................................................................... 77

B. Teknik Penulisan ........................................................................... 78

Daftar Pustaka ........................................................................................ 88

Riwayat Hidup Penulis 1 ......................................................................... 99

Riwayat Hidup Penulis 2 ......................................................................... 102

6

I. ASAS PENELITIAN

A. Pengertian

Dilihat dari tujuannya, penelitian dilakukan untuk memberi jawaban

kepada “ketidakpastian”. Demikian karena peneliti pada dasarnya tidak

boleh memastikan hanya berdasarkan pandangan dirinya (subjektif) tetapi

harus berdasarkan kenyataan objek yang diselidiki (objektif). Untuk itulah,

maka penelitian dilakukan untuk memastikan informasi yang diperoleh

dengan munasabah dan didukung oleh data-data kuantitas atau kualitas.

Data-data tersebut diperoleh dengan mengumpulkan langsung dari individu,

kelompok, bahan-bahan dokumentasi, dan berbagai sumber informasi lain.

Adapun hasil penelitian itu digunakan untuk:

1) Alat untuk memperoleh sumber pengetahuan yang sah dan boleh

dipercaya (reliable), yaitu sumber pengetahuan yang ilmiah dan logis.

2) Alat untuk mengambil bukti, yaitu memberi jawaban atas keraguan dan

masalah yang timbul.

3) Alat untuk membetulkan stereotipe, tradisi, dan kepercayaan yang tidak

benar.

4) Alat ramalan, yaitu untuk meramalkan keberadaan suatu fenomena.

5) Alat penerangan, yaitu untuk menerangkan keadaan sebenarnya dalam

suatu fenomena, seperti perbedaan, hubungan, dan sebagainya.

B. Wilayah Kajian

Terdapat berbagai metode penyelidikan yang membimbing peneliti

dalam rangka menyelesaikan masalah dalam penelitian. Metode-metode

tersebut adalah metode positivis, interpretif, dan kritis.

7

1) Metode Positivis

Metode ini menekankan ketepatan bukti penelitian dengan

menggunakan analisis numerik. Penelitian eksperimental dan survey adalah

di antara metode yang banyak digunakan dalam aliran positivis.

Peneliti positivis melakukan kajian untuk memahami corak aktivitas

manusia dan membuat ramalan melalui metode identifikasi, pengukuran,

dan menyatakan hubungan antara variabel dalam fenomena kajian dengan

hitungan yang tepat. Melalui hipotesis yang dibangun, peneliti menguji

hubungan tersebut dengan memilih kelompok subjek (satu sampel) secara

acak (random) dari populasi. Hasil kajian yang diperoleh dari sampel kajian

seterusnya digeneralisasikan kepada semua subjek dalam populasi

tersebut. Di sini peneliti mementingkan kuantitas data-datanya, seperti

frekuensi, persentase, dan rata-rata dari objek kajian.

2) Metode Interpretif

Metode interpretif menguraikan fenomena dengan menggunakan data

deskriptif verbal, tidak numerik. Di antara penelitian yang sering digunakan

adalah kajian lapangan yang menggunakan observasi dan wawancara

sebagai metode pengambilan data. Kajian ini biasanya menguraikan ciri-ciri

sejumlah kecil objek kajian secara teliti dan mendalam. Dalam kasus ini

peneliti lebih mementingkan kualitas data yang diambilnya. Jadi, metode

interpretif biasa digunakan dalam penelitian kualitatif.

3) Metode Kritis

Metode kritis digunakan oleh peneliti untuk memperbaiki keadaan

sosial dan kemanusiaan mereka. Metode ini dijalankan untuk memahami

hubungan antara golongan dalam masyarakat dan bagaimana perubahan

sosial diwujudkan, oleh ini, pengkaji menggunakan sumber-sumber sejarah,

dan data-data sekunder yang ada dalam kajian perbandingan. Hasil kajian

metode ini dikatakan sah jika ia dapat diaplikasikan untuk memperbaiki

8

keadilan sosial (Rahman, 2011). Penelitian metode kritis lebih memihak

kepada penelitian kuantitatif.

Pada dasarnya metode-metode tersebut bisa dipakai di mana saja

dan kapan saja. Tetapi harus sesuai dengan keinginan kita tentang data

apa yang akan kita ingin dapatkan. Untuk itu, ada pembagian pendekatan

penelitian, yaitu kuantitatif dan kualitatif.

1) Kajian Kuantitatif: Kuantitas adalah bilangan yang dinyatakan dengan

tepat. Dengan demikian kajian kuantitatif dikaitkan dengan data nomor

dan ketepatan yang diungkapkan secara statistik.

2) Kajian Kualitatif: Banyak perkara yang tidak dapat dijelaskan hanya

dengan data angka. Unsur-unsur seperti emosi, motivasi dan empati

dikaji melalui kajian kualitatif.

C. Tujuan Penelitian

1) Untuk memperoleh sumber pengetahuan yang sah dan boleh dipercaya,

yaitu sumber pengetahuan yang ilmiah dan logis.

2) Untuk mendapatkan bukti agar keraguan, yaitu memberi jawaban kepada

keraguan dan masalah yang timbul.

3) Untuk membetulkan stereotipe, tradisi dan kepercayaan yang tidak

benar.

4) Untuk meramalkan adanya suatu fenomena.

5) Untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya dalam suatu fenomena

seperti perbedaan, perhubungan, dan sebagainya.

D. Validitas Penelitian

Validitas adalah nilai korelasi antara pengukuran dan nilai

sebenarnya dari suatu variabel. Jika pengukuran yang dibuat tepat pada

nilai yang sebenarnya dari suatu variabel, nilai korelasinya itu tinggi dan

penelitian tersebut mempunyai validitas yang tinggi.

9

Validitas atau sah tidaknya suatu penelitian adalah merupakan

kemampuan suatu pengukuran yang dilakukan untuk mengukur nilai

sebenarnya dari konsep dalam hipotesis. Validitas dikatakan tinggi jika

instrumen yang dibangun benar-benar mengukur konsep yang dinyatakan

dalam hipotesis. Misalnya, jika definisi konseptual bagi IQ adalah

kepandaian dan pengkaji membuat definisi operasional bagi IQ sebagai

kecerdasan emosi, pengkaji akan mengalami masalah untuk meyakinkan

orang lain tentang validitas dalam pengukuran konsep-konsep dalam

kajiannya.

Dengan kata lain, jika tidak terdapat keselarasan antara definisi

konseptual dan definisi operasional tentang suatu konsep, pengukuran

yang dibuat akan mempunyai validitas yang rendah. Ini disebabkan karena

konsep yang diukur (berdasarkan definisi operasional) dan konsep yang

dinyatakan dalam hipotesis (berdasarkan definisi konseptual) itu berbeda

satu sama lain.

1. Validitas Dalam Penelitian Kuantitatif

Penelitian kuantitatif menyatakan tingkah laku yang diperhatikan

dengan menggunakan angka-angka dan operasi matematika. Ia

menekankan pengukuran yang jitu dan pengujian hipotesis berdasarkan

suatu sampel yang dikaji, dengan menggunakan statistik dalam analisis

data. Oleh karena itu, validitas dalam penelitian kuantitatif berarti definisi

konsep-konsep di dalam peringkat konseptual mesti selaras dengan definisi

konsep-konsep tersebut dalam tingkatan operasional. Dengan kata lain,

pengukuran yang dibuat atas konsep-konsep tersebut dalam tingkatan

operasional mesti dapat mewakili dengan tepat konsep-konsep yang

didefinisikan dalam tingkatan konseptual.

Misalnya, jika pengkaji mendefinisikan “ilmu pengetahuan” sebagai

“tahap kepahaman dan kemahiran mengenai bidang tertentu”, dalam

peringkat konseptual, dan seterusnya membuat keputusan untuk mengukur

10

ilmu pengetahuan subjek kajiannya dengan mengoperasikan “ilmu

pengetahuan” sebagai “taraf pendidikan yang diperoleh dalam bidang

tertentu”, pengkaji akan menghadapi masalah untuk meyakinkan orang lain

tentang hasil kajiannya, karena apa yang diukurnya tentang “ilmu

pengetahuan” itu berbeda dengan apa yang didefinisikan olehnya dalam

tingkatan konseptual. Dalam kasus ini, validitas penelitian pengkaji

dipertanyakan karena terdapat perbedaan yang muncul, seperti:

a) Seorang pengurus perusahaan yang mempunyai pengalaman yang

banyak dalam bidang yang diceburinya, tetapi tidak bertaraf

pendidikan tinggi dalam bidang tersebut akan dikategorikan sebagai

subjek kajian yang mempunyai ilmu pengetahuan yang rendah.

b) Seorang mahasiswa yang baru tamat kuliah yang tidak mempunyai

pengalaman bekerja dalam bidang yang diceburinya akan

dikategorikan sebagai subjek kajian yang mempunyai ilmu

pengetahuan yang tinggi.

Perbedaan muncul karena taraf pendidikan yang tinggi tidak berarti

bahwa seseorang itu mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi dalam

bidang kerjanya dan seorang veteran dalam bidang tertentu yang tidak

berpendidikan tinggi tidak semestinya mempunyai ilmu pengetahuan yang

rendah mengenai bidang yang diceburinya. Dalam kasus ini, variabel yang

didefinisikan dalam tingkatan konseptual tidak merupakan apa yang

didefinisikan untuk pengukuran dalam tingkatan operasional. Maka,

penelitian yang dilakukan peneliti mempunyai validitas yang rendah.

Namun demikian, dalam penelitian ilmu sosial, variabel-variabel

dalam kajian mungkin tumpang tindih satu sama lain (Rahman, 2011).

Misalnya, dalam kajian yang berjudul “Hubungan antara kecerdasan

berpikir, pemikiran kreatif, dan pemikiran kritis”, pengukuran yang dibuat

atas variabel-variabel “kecerdasan berpikir”, “pemikiran kreatif” dan

“pemikiran kritis” mungkin tumpang tindih satu sama lain pada aspek-aspek

tertentu. Untuk itu, agar mendapat validitas yang tinggi, pengkaji harus

11

memastikan variabel-variabel dalam kajiannya didefinisikan dengan jelas

dan tepat, dan pengukuran-pengukuran yang dibuat itu bersifat bebas

antara satu variabel dengan variabel yang lain.

Terdapat beberapa jenis validitas dalam penelitian kuantitatif:

a) Validitas muka. Sejauhmana pengukuran dibuat dapat mengukur nilai

sebenarnya yang ingin diukur.

b) Validitas kriteria. Sejauhmana pengukuran yang dibuat dapat meramal

kriteria yang ingin diukur.

c) Validitas konstruk. Sejauhmana hipotesis yang dibuat berdasarkan teori.

d) Validitas isi. Sejauhmana pengukuran dapat dibuat mewakili aspek isi

(kandungan) yang diukur.

e) Validitas internal. Sejauhmana kajian menunjukkan bahwa rawatan yang

dibuat dalam kajian benar-benar menyebabkan perubahan tingkah laku

subjek kajian dan bukan disebabkan oleh faktor-faktor lain selain dari

rawatan tersebut.

f) Validitas eksternal. Sejauhmana hasil kajian dapat diaplikasikan pada

kelompok-kelompok lain dalam dunia realitas.

2. Validitas Dalam Penelitian Kualitatif

Dalam penelitian kualitatif jumlah subjek yang digunakan biasanya

kurang dan data-data kualitatif yang dikumpulkan melalui prosedur kajian

seperti wawancara dan observasi harus mempunyai semua jenis validitas di

atas. Masalah yang seirng timbul adalah mengenai validitas eksternal.

Disebabkan sampel kajian biasanya terdiri dari beberapa orang subjek, data

kuantitatif seperti frekuensi dan persentase menjadi tidak bermakna. Dalam

keadaan itu, kemampuan pengkaji membuat pembacanya setuju dengan

argumen-argumennya atau kredibilitasnya bergantung kepada

kebijaksanaan pengkaji dan desain kajian yang sesuai.

Suatu penelitian kualitatif dinyatakan kredibel jika ia menjelaskan

uraian yang benar atau tafsiran tentang pengalaman manusia dengan

12

benar, di mana orang lain yang mengalami pengalaman yang sama akan

mempunyai tafsiran yang sama. Suatu penelitian kualitatif itu kredibel jika

orang lian setuju bahwa mereka akan mempunyai pengalaman tersebut

walaupun mereka hanya membaca laporan penelitian. Bagi meningkatkan

validitas dalam penelitian kualitatif, pengkaji harus menguraikan informasi

yang dikumpulkan secara objektif tanpa pengaruh perasaan dirinya.

Kredibilitas penelitian kualitatif secara langsung ataupun tidak

dipengaruh oleh pengaruh-pengaruh berikut:

a) Lokasi. Kajian mungkin di tempat-tempat yang berbeda. Jika ia

dilakukan di suatu lokasi di mana faktor-faktor yang dikaji tidak ada,

interpretasi hasil kajian menjadi kurang kredibel karena orang-orang

yang berada di lokasi lain tidak dapat memahami dan kurang setuju atas

interpretasi peneliti.

b) Fokus. Keadaan ini terjadi apabila pengkaji hanya fokus dan melaporkan

hal atau tingkah laku yang konsisten dan mempunyai corak tertentu

saja. Pengkaji seharusnya juga melaporkan atau memfokuskan

kajiannya atas hal-hal yang tidak konsisten, jika ia memberi makna dan

implikasi tertentu. Kajian yang hanya melaporkan hal-hal yang konsisten

saja mungkin akan dipertanyakan kredibilitasnya.

c) Elit. Bagi kajian yang melibatkan kelompok-kelompok elit tertentu,

informasi yang dikumpulkan mungkin akan dipengaruhi oleh argumen-

argumen kelompok elit yang berkuasa. Bias dalam laporan akan terjadi

dan ini akan mengurangi kredibilitas kajian.

d) Situasi. Pengkaji yang melakukan kajian pada suatu situasi tertentu

mungkin akan terpengaruh dengan situasi pengkaji sendiri. Perasaan

dan pengalaman pengkaji akan mempengaruhinya untuk membuat

laporan yang kurang tepat jika kajian dilakukan dalam beberapa situasi

yang berbeda.

e) Konsep. Pemahaman mengenai konsep-konsep yang dikaji mungkin

berbeda antara pengkaji dengan subjek yang dikaji. Apakah yang

13

disebut oleh subjek kajian dalam wawancara mungkin diuraikan sebagai

konsep yang berlainan oleh pengkaji karena pemahaman pengkaji dan

subjek yang dikaji tentang suatu konsep itu berbeda.

Secara keseluruhan, untuk mengingkatkan validitas penelitian

kualitatif, pengkaji perlu mempunyai akal yang terbuka, objektif, dan dapat

memahami data kajian dengan jelas serta berupaya menguraikannya

secara tepat. Penguraiannya jangan terpengaruh oleh perasaan dan

pandangan dirinya yang subjekti. Dari situlah timbulnya validitas.

14

II. PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Penelitian biasanya dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif dan

penelitian kuantitatif. Ada juga penelitian yang menggabungkan kedua-

duanya. Dua kategori penelitian ini berbeda dari segi metode dan teknik

kajian yang digunakan. Perbedaan itu terletak pada tujuan, konsep,

prosedur kajian, sampel, cara data diambil, analisis data, dan instrumentasi.

A. Penelitian Kuantitatif

Istilah “kuantitas” berarti berapa banyak atau berapa jumlahnya.

Kuantitas merujuk kepada jumlah yang seksama, yang dinyatakan dengan

tepat. Berdasarkan istilah kuantitas, penelitian kuantitatif dikaitkan dengan

data numerik dan ketepatan. Ini didasarkan kepada metode penelitian

penyelidikan positivis, di mana penelitian dilakukan melalui kajian

eksperimental dan data numerik yang dipungut dan dianalisis dengan cara-

cara statistik. Melalui penelitian kuantitatif, masalah kajian dinyatakan

dalam bentuk hipotetis.

Dalam penelitian kuantitatif, variabel-variabel dalam suatu fenomena

yang dikaji dioperasionalkan sebelum diukur. Pengukuran data dalam

penelitian kuantitatif mengutamakan validitas dan reliabilitas. Ini dilakukan

untuk menguji teori, membangun fakta, dan menyatakan hubungan antar

variabel dalam fenomena kajian. Metode eksperimental dan quasi-

eksperimental merupakan prosedur penelitian yang sering digunakan dalam

penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif bisa dilakukan melalui kajian

deskriptif atau kajian inferensi. Dalam penelitian deskriptif, data dipungut

dari seluruh populasi dan statistik dasar seperti frekuensi, persentase, rata-

rata, dan taburan data dilaporkan. Sementara dalam kajian inferensi, satu

sampel yang terdiri dari subjek-subjek yang dipilih secara acak dari populasi

yang dikaji, dan data numerik dipungut dari sampel tersebut untuk diuji

dengan menggunakan uji statistik. Hasil kajian dari sampel tersebut

digeneralisasikan kepada seluruh populasi yang dikaji.

15

1. Karakteristik Penelitian Kuantitatif

Dari segi metode, penelitian kuantitatif bersifat positivis,

eksperimental, data numerik, uji statistik.

Dari segi konsep utama, yang dibicarakan dalam penelitian

kuantitatif berkutat dengan variabel, operasional, hipotesis reliabilitas,

validitas, dan signifikansi.

Sedangkan bidang kajian yang biasa menggunakan metode

penelitian kuantitatif adalah: sains dasar, teknik, industri, psikologi, ilmu

politik, ekonomi, dan pendidikan.

Adapun tujuan melakukan penelitian kuantitatif biasanya

menyangkut:

1) menguji teori

2) membangun fakta

3) menunjukkan perbedaan

4) menunjukkan hubungan

5) meramal tingkah laku

6) menerangkan kejadian secara statistik

Dalam penelitian kuantitatif, prosedur kajiana yang biasa digunakan

adalah: eksperimental, quasi-eksperimental, wawancara terstruktur,

observasi terstruktur, dan metode survey.

Dari segi sampel, penelitian kuantitatif menuntut: ukuran sampel

besar, metode sampel probabilitas, pemilihan acak (random), kelompok

terkontrol, dan berlapis.

Walaupun cukup bersusah payah dari segi hitung-menghitung,

namun dari segi kemampuan hasil yang dapat digeneralisasinya adalah

tinggi. Dengan demikian disebut sebagai lebih objektif.

Oleh karena itu, data yang diambil dalam penelitian kuantitatif adalah

bersifat: kuantitas, jumlah, pengukuran, dan statistik.

16

Kemudian, ketika data itu sudah ada, dalam penelitian kuantitatif,

dilakukan analisis secara deduktif, dan statistik.

Dari segi instrumentasi, format instrument dalam penelitian kuantitatif

adalah: formal, spesifik, terstruktur, telah ditetapkan, dan menggunakan

skala.

Dari segi item dalam instrument, penelitian kuantitatif menunt: jumlah

item banyak, mempunyai ketersediaan jawaban untuk dipilih.

2. Studi Eksperimental

Kajian eksperimental yang dirancang dengan baik dapat

menunjukkan apakah perlakuan (perubahan atas variable bebas yang

disengaja) membawa perubahan kepada variable bersandar, dngan

memastikan semua keadaan yang lain tetap sama. Ini berarti pengkaji perlu

memastikan factor lain (jumlah air, ukuran thermometer, gerakan udara,

cahaya, dan sebagainya) bagi kedua set perlakuan (treatment) dan control

berada pada keadaan yang sama. Hal itu untuk meyakinkan kita bahwa

perubahan pada variable bersandar (suhu air) adalah benar-benar

disebabkan variable bebas (perubahan panas) dan bukan disebabkan

factor-faktor lain.

Dalam studi eksperimental, perbandingan dilakukan untuk melihat

apakah terdapat perbedaan setelah perlakuan diberikan kepada kelompok

control.

Hubungan antara variable bebas dan variable bersandar dalam studi

eksperimental merupakan hubungan sebab-akibat, yaitu akibat pada

variable bersandar disebabkan oleh perubahan pada variable bebas.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kerangka studi

eksperimental.

a. Variabel bebas. Ada dua variable bebas:

1) Variabel perlakuan (treatment variable): variable yang dijangka akan

menyebabkan perubahan secara sistematik kepada variable

17

bersandar. Ia merupakan sebab yang akan mengakibatkan kesan

pada variable bersandar dalam hubungan sebab-akibat (cause-

effect). Studi eksperimental ini mencoba mengidentifikasi apakah

ada pengaruh langsung dari perlakuan kepada variable bersandar.

2) Variable control: variable bebas lain yang bukan tujuan kajian, yang

mungkin akan member pengaruh pada perubahan variable

bersandar. Variable-variabel ini termasuk jenis kelamin,

suku/bangsa, umur, prestasi akademik, tahap IQ, latar belakang

pendidikan, dll. Dalam studi eksperimental, semua variable control

harus dikontrol, yaitu disamakan dalam kedua set perlakuan dan set

control.

b. Variable pengganggu. Variable pengganggu (confounding variable)

merupakan variable yang secara tidak sengaja ada dan mengganggu

hubungan antara variable bebas dan variable bersandar. Misalnya

adalah perbedaan waktu penelitian, yang satu siang, sedangkan yang

lain pada waktu malam hari.

c. Tingkatan perlakuan. Dalam kajian eksperimental, mungkin terdapat dua

atau tiga tingkatan perlakuan (level of treatment), yang akan

diidentifikasi. Misalnya, kajian tentang pesantren dapat dilakukan

klasifikasi melalui segi besar-kecilnya (dua tingkatan), juga ada dari segi

pendekatan (modern, tradisional, dan kombinasi).

3. Studi Survey

Studi survey merupakan salah satu metode penelitian non-

eksperimental yang paling populer, yang digunakan dalam berbagai bidang,

terutama dalam bidang ilmu sosial. Ia sering digunakan oleh berbagai

media seperti majalah, koran, dan tv untuk mendapatkan pandangan umum

atau opini publik mengenai isu-isu kontemporer tertentu. Ia juga digunakan

untuk meninjau pengaruh suatu produk atau program.

Studi survey terkenal karena mempunyai ciri-ciri berikut:

18

a. Penggunaan yang menyeluruh. Ia bisa digunakan untuk menyatakan

berbagai jenis pertanyaan, seperti isu dan masalah pada berbagai

perspektif, terutama menguraikan sikap, pandangan, kepercayaan,

perasaan, tingkah laku, dsb.

b. Cara kontrol yang digemari. Ia dilakukan melalui pember ian angket atau

wawancara, atau kedua-duanya.

c. Cara memungut data yang cepat. Jawaban subjek dapat dikumpulkan

secara langsung dalam waktu yang singkat. Hasil analisis diperoleh

dalam waktu yang singkat.

d. Penggunaan ukuran sampel yang besar. Kajian survey bisa dilakukan

dengan menggunakan ukuran sampel yang besar, yang tidak dapat

dilaksanakan oleh studi eksperimental.

e. Informasi yang langsung. Informasi dapat diambil secara langsung dari

responden dalam waktu yang singkat.

f. Hasil kajian dapat digeneralisasi. Hasil kajian dapat digeneralisasi

kepada populasi dengan tepat.

Studi survey mewakili semua metode kajian yang dilakukan untuk

mengumpulkan data secara langsung dari sekumpulan subjek. Biasanya

kajian survey dilakukan dengan cara mewawancarai subjek kajian atau

memberi angket kepada mereka. Ini berarti dalam kajian survey,

pertanyaan kajian dilangsungkan secara lisan atau secara tertulis. Pada

masa kini, pertanyaan dapat juga diantarkan melalui media elektronik, dan

jawaban pun bisa dilakukan melalui hp, internet, maupun mesin faks.

Ukuran sampel kajian survey biasanya lebih besar dibanding dengan

ukuran sampel yang digunakan dalam metode eksperimental.

Ada beberapa fungsi kajian survey:

a. Kajian survey banyak digunakan dalam bidang pendidikan,

perdagangan, keamanan, pembangunan, kesehatan masyarakat,

maslah sosial, politik, psikologi, dan sosiologi.

19

b. Kajian survey dapat mengumpulkan jawaban secara langsung dari

subjek kajian, yang dengan demikian ia sesuai digunakan untuk

menguraikan fenomena yang diminati oleh pengkaji.

c. Kajian survey biasanya digunakan untuk membuat ramalan tentang

suatu isu masyarakat kontemporer.

Dalam kajian survey, pengkaji memilih kelompok subjek dari populasi

sebagai responden kajian, mengambil informasi dari responded dan

seterusnya menganalisis informasi tersebut untuk menjawab pertanyaan

kajian. Subjek kajian dipilih dari populasi melalui prosedur sampel acak.

Hasil analisis digeneralisasi dari subjek kepada seluruh populasi.

Kebanyakan kajian survey menguraikan ciri-ciri populasi melalui taburan

frekuensi dan persentase. Dalam kajian survey, data nominal dan ordinal

digunakan untuk mengumpulkan informasi demografik seperti jenis kelamin,

suku/bangsa, status perkawinan, tingkatan umur, latar belakang pendidikan,

status sosial ekonomi, dsb.

Instrumen angket mesti mempunyai ciri-ciri berikut:

a. Sesuai dengan adanya responden. Instrument kajian yang disediakan

perlu sesuai dengan latar belakang dan adanya responden kajian.

Pertanyaan yang dibangun mestilah dinyatakan dengan teliti dan tidak

berat sebelah (bias).

b. Format instrument yang sistematik. Pertanyaan-pertanyaan perlu

disusun secara sistematis dan teratur. Ruang yang memadai untuk

jawaban bagi setiap pertanyaan perlu disediakan.

c. Perintah yang jelas. Perintah tentang bagaimana menjawab pertanyaan

mestilah jelas dan tidak menimbulkan perasaan ragu-ragu bagi

responden.

d. Surat dan dokumen disertakan beserta instrument kajian. Surat dan

dokumen kepada subjek kajian harus ringkas dan menggunakan format

yang professional. Ia menentukan kadar pemulangan jawaban dan

20

meningkatkan kepercayaan responden kajian terhadap pengkaji dan

kajian yang dilakukan.

e. Pilot project perlu dijalankan sebelum instrument digunakan. Langkah ini

memastikan reliabilitas instrument kajian. Ia bisa dilakukan kepada

kelompok subjek lain yang mempunyai ciri-ciri yang sama dengan

subjek kajian.

B. Penelitian Kualitatif

Di dalam dunia nyata, banyak hal yang tidak dapat dijelaskan hanya

dengan merujuk pada data numerik seperti yang disajikan oleh penelitian

kuantitatif saja. Ada kasus-kasus khusus yang memerlukan pengamatan

yang teliti. Contohnya adalah motif pelajar yang sering bolos sekolah, atau

usaha mahasiswa tunanetra atau tunarungu untuk melanjutkan pendidikan

tinggi. Peristiwa-peristiwa ini tidak dapat dipahami dengan hanya

menggunakan data kuantitatif (frekuensi, persentase, kadar, dan

sebagainya) saja. Hal-hal di atas memerlukan data kualitatif yang diambil

melalui metode wawancara atau observasi yang teliti secara mendalam.

Banyak unsur seperti emosi, motivasi, dan empati yang berhubungan

dengan kondisi alamiah individu atau kelompok tertentu yang lebih sesuai

diteliti melalui studi kualitatif. Demikian karena unsur-unsur ini tidak dapat

diuraikan berdasarkan angka-angka dalam data kuantitatif saja.

1. Karakteristik Penelitian Kualitatif

1) Penelitian kualitatif dilakukan melalui kontak yang intens atau dalam

jangka waktu yang lama dengan ‘lapangan’ atau situasi kehidupan

tertentu.

2) Peran peneliti adalah untuk mendapatkan pandangan yang ‘holistik’ atas

konteks yang dikaji: logikanya, aransemennya, aturan eksplisit dan

implisitnya.

21

3) Peneliti berupaya untuk mendapatkan data tentang persepsi aktor-aktor

lokal ‘dari dalam’, melalui proses pemerhatian, pengertian empati, atau

penundaan prakonsepsi tentang topik yang dibicarakan.

4) Dalam membaca bahan, peneliti dapat mengisolasi tema dan ekspresi

yang dapat dilihat kembali dengan informan, tetapi harus dibiarkan tetap

dalam bentuknya yang original.

5) Tugas utamanya adalah untuk menjelaskan cara orang dalam setting

tertentu memahami, menghitung, bertindak, dan mengatur situasi

keseharian mereka.

6) Banyaknya penafsiran adalah mungkin, tetapi yang dapat diterima

adalah yang bersifat teoretis dan konsisten.

7) Relatif kecil adanya instrumentasi standard. Peneliti pada hakikatnya

adalah ‘alat ukur’ kajian.

8) Kebanyakan analisis dilakukan dengan kata-kata. Kata-kata dapat

dirangkai, digolongkan, dan dipecah-pecah ke dalam segmen-segmen

semiotik. Kata-kata itu dapat diorganisasi agar peneliti dapat

mengkontraskan, membandingkan, menganalisis, dan

mempresentasikan pola-polanya.

2. Desain Penelitian Kualitatif

1) Desain penelitian adalah keseluruhan rencana untuk suatu kegiatan

penelitian, termasuk empat ide utama: strategi, kerangka konseptual,

tentang siapa atau apa yang diteliti, dan perangkat yang digunakan

untuk mengumpulkan dan menganalisis bahan-bahan empiris.

2) Desain menempatkan peneliti pada dunia nyata. Ketika permasalahan

telah ditetapkan, desain berada di antara masalah penelitian dan data.

3) Persoalan dalam desain adalah: data apa yang dibutuhkan, bagaimana

dan dari siapa data tersebut akan dikumpulkan. Di sini termasuk

masalah strategi dan kerangka kajian.

22

3. Studi Kasus

Studi kasus adalah salah satu strategi dan metode analisis data

kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus khusus yang terjadi pada

objek analisis. Pada umumnya studi kasus juga digunakan untuk

menganalisis data kuantitatif, namun berbagai studi kasus terkenal di dunia

adalah yang digunakan pada analisis kualitatif. Studi kasus pun dapat

dilakukan pada penelitian dengan sumber data yang sangat kecil seperti

satu orang, satu keluarga, satu RT, dll.

Dengan demikian, maka yang dapat dipelajari dari teknik studi kasus

ini adalah format-format analisis yang digunakan dalam analisis, sedangkan

ketika akan melakukan analisis peneliti menggunakan teknik analisis

domain untuk membantu studi kasus, karena itu bersifat deskriptif.

Penelitian studi kasus atau penelitian lapangan (field study)

dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang

masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung saat

ini, serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya.

Subjek penelitian dapat berupa individu, kelompok, institusi, atau

masyarakat. Penelitian studi kasus merupakan studi mendalam mengenai

unit sosial tertenu dan hasil penelitian tersebut memberikan gambaran luas

serta mendalam mengenai unit sosial tertentu. Subjek yang diteliti relative

terbatas, namun variable-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas

dimensinya (Denim, 2002).

Penelitian studi kasus akan kurang kedalamannya jika hanya

dipusatkan pada fase tertentu saja atau salah satu aspek tertentu sebelum

memperoleh gambaran umum tentang kasus tersebut. Sebaliknya studi

kasus akan kehilangan artinya kalau hanya ditujukan sekedar untuk

memperoleh gambaran umum namun tanpa menemukan sesuatu atau

beberapa aspek khusus yang perlu dipelajari secara intensif dan

mendalam. Di samping itu, studi kasus yang baik harus dilakukan secara

langsung dalam kehidupan sebenarnya dari kasus yang diselidiki.

23

Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja dari kasus

yang diteliti, tetapi juga dapat diperoleh dari semua pihak yang mengetahui

dan mengenal kasus tersebut dengan baik. Dengan kata lain, data dalam

studi kasus dapat diperoleh dari berbagai sumber namun terbatas dalam

kasus yang akan diteliti tersebut (Nawawi, 2003).

Apa yang membedakan antara metode studi kasus dengan metode

penelitian kualitatif lainnya adalah kedalaman analisisnya pada kasus yang

lebih spesifik (baik kejadian ataupun fenomena tertentu). Biasanya

pendekatan triangulasi juga dipakai untuk menguji keabsahan data dan

menemukan kebenaran objektif sesungguhnya. Metode ini sangat tepat

untuk menganalisis kejadian tertentu di suatu tempat tertentu dan pada saat

yang tertentu pula.

Ringkasnya, studi kasus dapat dijelaskan seperti berikut:

1) Satu kasus (atau sejumlah kecil kasus) dikaji secara detail,

menggunakan metode apa saja yang nampak tepat.

2) Tujuan studi kasus adalah mengembangkan sepenuh-penuhnya

pemahaman atas kasus yang diteliti.

3) Studi kasus berupaya memahami suatu kasus secara mendalam, dan

dalam setting alamiahnya, mengenali kompleksitas dan konteksnya.

a. Karakteristik Studi Kasus:

1) Terbatas. Batasannya harus dijelaskan sejelas-jelasnya.

2) Sebagai suatu kasus. Ia harus dijelaskan agar dapat fokus pada

penelitiannya.

3) Holistik. Penekanan harus bersifat menyeluruh, menyatu dan integral,

tetapi tetap harus fokus.

4) Sumber data dan metode pengumpulan data yang bervariasi.

b. Persiapan Studi Kasus:

1) Harus jelas apa kasusnya, termasuk identifikasi batasannya.

2) Harus jelas signifikansi dan tujuan kajian kasusnya.

24

3) Harus diterjemahkan tujuan umumnya pada tujuan khusus dan

pertanyaan penelitian.

4) Harus mengidentifikasi strategi keseluruhan studi kasus, terutama

apakah ia bersifat kasus tunggal atau kasus majemuk.

5) Harus menunjukkan data apa yang dikumpulkan, dari siapa, dan

bagaimana.

6) Harus menunjukkan bagaimana data dapat dianalisis.

4. Etnografi

Etnografi adalah bahasan mengenai kesatuan kebudayaan suku

bangsa di suatu komunitas dari suatu daerah geografis ekologi, atau suatu

wilayah administratif tertentu yang menjadi pokok deskripsi

(Koentjaraningrat, 1990: 332).

Dalam perkembangan dewasa ini, etnografi tidak hanya merupakan

paparan saja, tanpa interpretasi. Roger M. Keesing mendefinisikannya

sebagai pembuatan dokumentasi dan analisis budaya tertentu dengan

mengadakan penelitian lapangan. Artinya, dalam mendeskripsikan suatu

kebudayaan seorang etnografer juga menganalisis. Jadi, etnografi adalah

pelukisan yang sistematis dan analisis suatu kebudayaan kelompok,

masyarakat, atau suku bangsa yang dihimpun dari lapangan dalam kurun

waktu yang lama.

Sebuah laporan etnografis tentang kebudayaan suatu suku bangsa

biasanya mengikuti kerangka etnografi seperti berikut (Fatoni, 2006: 98):

1) Lokasi. Perlu dijelaskan ciri-ciri geografis, iklim, sifat daerah, suhu, dan

cuacanya. Disertakan juga peta dan demografinya seperti jumlah

penduduk, pembagian pria-wanita, pembagian umur, dsb.

2) Sejarah.

3) Bahasa.

4) Sistem teknologi.

5) Sistem mata pencaharian.

25

6) Organisasi sosial.

7) Sistem pengetahuan.

8) Kesenian.

5. Grounded Theory

Penelitian teori dasar atau sering disebut juga penelitian dasar atau

teori dasar (grounded theory) merupakan penelitian yang diarahkan pada

penemuan atau minimal menguatkan terhadap suatu teori. Penelitian

dilakukan dengan menggunakan penelitian kualitatif. Walaupun penelitian

kualitatif memberikan deskripsi yang bersifat terurai, tetapi dari deskripsi

tersebut diadakan abstraksi atau inferensi sehingga diperoleh kesimpulan-

kesimpulan yang mendasar yang membentuk prinsip dasar, dalil, atau

kaidah-kaidah. Kumpulan dari prinsip, dalil, atau kaidah tersebut berkenaan

dengan sesuatu yang dapat menghasilkan teori baru, atau minimal

memperkuat teori yang sudah ada.

Penelitian dasar (grounded research) dilaksanakan dengan

menggunakan berbagai teknik pengumpulan data, diadakan cek-recek ke

lapangan, studi pembandingan antar kategori, fenomena dan situasi melalui

kajian induktif, deduktif, dan verifikasi sampai pada titik jenuh. Pada titik ini

peneliti memilih mana fenomena-fenomena inti dan mana yang tidak inti.

Dari fenomena-fenomena inti tersebut dikembangkan “alur konsep” serta

“matriks kondisi” yang menjelaskan kondisi sosial dan historis dan

keterkaitannya dengan fenomena.

Menurut penggagasnya yaitu Barney Glaser dan Anselm Strauss,

grounded theory adalah “the discovery of theory from data”. Memang betul,

ajaran utama pendekatan ini adalah bahwa teori harus muncul dari data

atau dengan kata lain harus berasal (grounded) dalam data (Chamberlain,

1995). Ungkapan grounded theory merujuk pada teori yang dibangun

secara induktif dari satu kumpulan data. Bila dilakukan dengan baik, maka

teori yang dihasilkan akan sangat sesuai dengan kumpulan data tadi.

26

Dengan demikian, hal ini sangat kontras dengan teori yang diturunkan

secara deduktif dari teori besar (grand theory), tanpa bantuan data dan

seringkali akhirnya tidak pas dengan data manapun.

Menurut Schlegel (1984) dan Stren (1994) (dalam Moleong, 1989)

ada tiga elemen dasar dari grounded theory yang masing-masing tidak

terpisahkan satu sama lain:

1) Konsep, di mana konsep ini dihasilkan dari konseptualisasi atas data.

2) Kategorisasi, merupakan level atau tingkatan yang lebih tinggi dan lebih

abstrak dari konsep. Kategorisasi merupakan corner stone dari

pengembangan teori, di mana di sini ada proses pengelompokan

konsep melalui perbandingan yang sama atau berbeda pada

kelompoknya masing-masing.

3) Proposisi, adalah suatu pernyataan yang menunjukkan pada adanya

hubungan yang konseptual.

Ada lima tahap dalam menghasilkan teori pada grounded research,

yaitu:

1) Desain penelitian.

2) Pengumpulan data.

3) Display data.

4) Analisis data.

5) Perbandingan dengan literatur.

Secara praktis langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam

penelitian grounded adalah:

1) Peninjauan ulang literatur teknis.

2) Pemilihan kasus.

3) Pembuatan panduan pengumpulan data yang akurat.

4) Terjun ke lapangan.

5) Penyusunan data.

6) Analisis yang berhubungan dengan kasus awal.

7) Percontohan teoretis.

27

8) Penyelesaian penelitian.

9) Perbandingan teori yang muncul dengan literatur yang sudah ada.

28

III. PERENCANAAN PENELITIAN

Sebetulnya, ada banyak hal yang harus dipersiapkan dalam rangka

perencanaan penelitian atau penulisan proposal penelitian. Namun, yang

mula-mula harus didahulukan untuk dimatangkan terlebih dahulu sebelum

melakukan penelitian di antaranya adalah: latar belakang kajian, masalah

kajian, tujuan kajian, kegunaan kajian, tinjauan pustaka, kerangka kajian,

dan hipotesis kajian.

A. Latar Belakang Kajian

Latar belakang kajian merupakan isu yang muncul, yang menarik

perhatian atau menjadi penggerak serta dorongan untuk melakukan kajian

ke atasnya.

Sumber latar belakang:

a. Minat dan pengalaman.

b. Teori yang dipraktekkan: ketidakpastian timbul dan ingin menguji teori.

c. Replikasi kajian yang sudah ada: ingin melakukan kajian yang sama ke

atas subjek yang berlainan, waktu dan tempat yang berlainan.

d. Hasil-hasil kajian di masa lalu yang bertentangan: terdapat hasil-hasil

kajian yang bertentangan satu sama lain mengenai topik tertentu.

B. Masalah Kajian

Dalam menulis proposal penelitian, masalah kajian sangatlah penting

karena ia merupakan faktor pertimbangan utama apakah kajian akan atau

perlu dilakukan atau tidak. Ia memberi tumpuan kepada pembaca tentang

penelitian yang diajukan. Makanya, dalam laporan penelitian, masalah

kajian dinyatakan dalam judul kajian.

Untuk itu, judul kajian terdiri dari satu kalimat ringkas mengenai

masalah kajian yang merangkumi tujuan, variabel, populasi, dan jenis

kajian.

29

Aspek-aspek dalam menyatakan masalah kajian adalah sebagai

berikut:

1) Praktis: masalahnya itu bisa diteliti dan data yang dikumpulkan dapat

dianalisis.

2) Penting: masalah itu harus bermakna untuk diteliti.

3) Sasaran kajian: harus ada populasi yang ingin dikaji ciri-cirinya.

4) Variabel utama: harus ada variabel-variabel yang diteliti.

5) Jelas dan tepat: Istilah-istilahnya harus dapat dipahami umum.

6) Masalah dapat dimunculkan dengan pertanyaan, baik secara umum

ataupun secara khusus. Misalnya dengan pertanyaan WH-questions:

what (apa), where (di mana), when (kapan), why (mengapa), dan how

(bagaimana).

C. Tujuan Kajian

Tujuan kajian menyatakan hasrat utama pengkaji melakukan kajian

dan aspek terpenting dalam suatu kajian. Ia merupakan pusat kegiatan

pengkajian. Untuk itu, ia perlu dinyatakan dengan jelas dan tepat. Segala

upaya kajian yang dilakukan itu tertumpu pada tujuan kajian ini. Ia memberi

informasi mengenai masalah kajian yang dihadapi atau diminati oleh

pengkaji untuk mencari jawaban melalui penelitian.

Berikut adalah contoh tujuan penelitian, yaitu mengenai peranan

pembangunan pesantren di pedesaan Tasikmalaya:

1) Meneliti keadaan pengurusan pesantren di Kabupaten Tasikmalaya.

2) Memperoleh pandangan masyarakat tentang kaitan dan imej pesantren,

baik menurut pandangan masyarakat dalam pesantren maupun menurut

masyarakat di sekelilingnya.

3) Mendeskripsikan peranan dan potensi pesantren dan lingkungannya

secara analitis, sehubungan dengan kemungkinan peranan pesantren

sebagai institusi agen perubahan sosial (social change) di kawasan

30

pedesaan, yang mampu berdiri sendiri sekaligus berperanan dalam

pembangunan desa.

D. Pertanyaan Kajian

Dalam suatu kajian, masalah kajian mungkin dinyatakan secara

umum atau secara khusus. Ada kajian yang menyatakan masalah kajian

secara umum dalam bagian latar belakang laporan kajian dan kemudian

menyatakan secara spesifik dalam pertanyaan kajian, manakala dalam

sebagian kajian masalah kajian hanya dinyatakan secara spesifik dalam

pertanyaan kajian.

Berikut di antara contoh pertanyaan kajian yang digunakan dalam

penelitian tentang peranan pembangunan pesantren atas masyarakat desa

di Kabupaten Tasikmalaya:

1) Apakah falsafah, fokus, dan komponen kurikulum pendidikan pesantren

di Kabupaten Tasikmalaya?

2) Bagaimakah kurikulum pendidikan di pesantren mampu membangun

kepribadian Islam, kemahiran keterampilan dan keusahawanan, aplikasi

teknologi masa kini, dan kebaikan pada lingkungan sosial?

3) Bagaimanakah kyai memainkan peran sebagai pemimpin institusi

pesantren serta pemimpin pembangunan masyarakat?

4) Bagaimanakah pola pengurusan pesantren sebagai institusi sosial dan

pembangunan masyarakat?

5) Apakah respon pesantren terhadap kebijakan pendidikan yang

diusulkan pihak pemerintah Indonesia untuk peningkatan kualitas

pendidikan, kenegaraan, pembangunan ekonomi, dan pembangunan

sosial?

6) Bagaimanakah pesantren bertindak sebagai pusat kegiatan

pembangunan komunitas?

31

7) Secara sintesis, apakah variasi peranan dan sumbangan pesantren dari

segi ekonomi, sosial, keagamaan, budaya, dan latihan keterampilan

dalam pembangunan desa?

E. Kegunaan Kajian

Kegunaan kajian adalah dampak yang diharapkan dari kajian yang

dilakukan. Hal ini misalnya dapat menambah badan pengetahuan (body of

knowledge) ataupun untuk tujuan kemasyarakatan, kepentingan nasional,

dan kemaslahatan manusia pada umumnya.

Misalnya, tentang kajian peranan pesantren dalam pembangunan

desa, dapat disebutkan bahwa kajian ini akan merumuskan keputusan

penting hasil dari analisis data yang berkaitan dengan persoalan kajian.

Hasil penyelidikan ini dapat digunakan oleh pelbagai pihak yang terlibat

dalam sistem pendidikan formal dan nonformal di Indonesia.

Atau secara terperinci, dapat disebutkan signifikansi kajian ini

bersesuaian dengan item-item dalam pertanyaan kajian. Dalam contoh

penelitian pesantren tadi dapat dinyatakan bahwa:

1) Temuan tentang falsafah, fokus, dan komponen kurikulum di pesantren-

pesantren di Tasikmalaya dapat digunakan oleh Kementerian

Pendidikan dan Kementerian Agama Indonesia untuk merumuskan

kebijakan yang relevan dengan pembangunan negara, bangsa, sosial,

ekonomi, dan pendidikan di Indonesia. Ini bermakna pesantren wajar

bersifat terbuka dan progresif dalam proses pembangunan negara dan

bukan hanya tertumpu kepada pendidikan agama saja.

2) Temuan tentang kurikulum pendidikan di pesantren mampu membina

kepribadian yang Islami, kemahiran keterampilan, dan keusahawanan,

aplikasi teknologi masa kini dan lingkungan sosial di Tasikmalaya yang

dapat pula digunakan oleh institusi pesantren lain di Indonesia. Ini

berarti institusi pesantren lain bisa membina akhlak santri dan pesantren

32

dapat memanfaatkan dan menggunakan teknologi modern bagi proses

pembangunan sosio-ekonomi masyarakat.

3) Temuan tentang peranan kyai sebagai pemimpin pesantren dan

pembangunan masyarakat di Tasikmalaya bisa digunakan oleh pihak

pemerintah untuk meminta jasa baik kyai untuk merumuskan kebijakan

pendidikan yang relevan bagi pembangunan sosio-ekonomi masyarakat

lokal. Pemerintah juga bisa menyalurkan program pembangunan

dengan sukses dengan cara bekerjasama dengan para kyai.

4) Temuan tentang pengurusan pesantren dapat memberikan wawasan

kepada orang-orang di pesantren tentang perkembangan pesantren

mereka. Demikian sehingga pesantren saling mengisi dan mengasah

ide untuk kemajuan pesantren masing-masing.

5) Temuan mengenai respon pesantren terhadap kebijakan pendidikan

yang diusulkan pihak pemerintah Indonesia untuk peningkatan kualitas

pendidikan, kenegaraan, pembangunan ekonomi, dan pembangunan

sosial di pesantren-pesantren di Tasikmalaya dapat juga diterapkan di

pesantren lain, dan pemerintah Indonesia bisa meminta keterlibatan

pesantren untuk proses pembangunan negara bangsa dan kesatuan

dan persatuan yang lebih erat di kalangan masyarakat.

6) Temuan tentang pusat komunitas pesantren di Tasikmalaya dapat

memberikan gambaran variasi kegiatan komunitas pesantren di

Indonesia. Oleh karena itu, apapun program dan kegiatan yang sukses

dapat diteladani oleh pesantren-pesantren di daerah lain. Tujuannya

adalah peningkatan proses pembangunan rakyat dan masyarakat

melalui sumbangan pesantren.

7) Temuan tentang variasi peranan dan sumbangan pesantren dari segi

ekonomi, sosial, keagamaan, politik dan latihan keterampilan dalam

pembangunan desa dapat memberikan informasi yang berhubungan

dengan penilaian terhadap pesantren. Penilaian ini pada akhirnya

33

membentuk kebijakan untuk kemajuan pesantren dalam

membangunkan masyarakat.

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah pembuatan rujukan secara kritis dan

sistematik kepada dokumen-dokumen yang mengandung informasi, ide,

data dan metode memperoleh informasi, yang berkaitan dengan judul kajian

yang akan dilaksanakan.

Tujuan utama tinjauan pustaka adalah meletakkan kajian yang akan

dijalankan pada perspektif ilmiah. Ia meletakkan kajian ke dalam “lautan

pengetahuan” yang telah ada.

Adapun yang diperoleh dari tinjauan pustakan adalah:

1) Informasi tentang teori.

2) Informasi mengenai desain kajian.

3) Informasi mengenai metode mengumpulkan dan menganalisis data.

Tujuan membuat tinjauan pustaka adalah:

1) Mengidentifikasi tahap persetujuan pengkaji-pengkaji lain mengenai

kajian yang ingin dilakukan.

2) Mengetahui apakah ada perbedaan antara hasil-hasil penelitian yang

telah lalu.

3) Mengidentifikasi variabel-variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhi

masalah kajian yang ingin dilakukan.

4) Memperoleh informasi mengenai saran kajian di masa depan yang

harus dilakukan oleh kajian yang lalu. Saran-saran yang disebutkan oleh

pengkaji dalam kajian yang lalu bisa digunakan sebagai panduan untuk

desain kajian yang akan dilakukan.

5) Mengidentifikasi bidang-bidang kajian yang jika dilakukan kajian, akan

memperoleh pemahaman dan pengetahuan penting mengenai masalah

yang ingin dikaji.

34

6) Mengetahui bagaimana peneliti-peneliti lain mengaitkan teori-teori

dengan desain kajian.

7) Mengetahui bagaimana peneliti lain mengukur variabel-variabel kajian,

termasuk membangun instrumen kajian, membangun skala untuk item

pengukuran, dan menguruskan pengukuran.

G. Kerangka Kajian

Kerangka kajian adalah kerangka pembahasan karya tulis dengan

berlandaskan pada masalah yang akan dibahas dan digabungkan dengan

tinjauan pustaka. Pada prakteknya, kerangka kajian ini dapat merupakan

rancang bangun penelitian, atau apa yang disebut dengan desain kajian.

Pembuatan desain ini sangat perlu dilakukan, yang oleh karena itu ini

merupakan bagian dari proposal penelitian.

Desain memang menentukan hasil kajian. Desain juga merupakan

perwujudan dari tujuan kajian. Oleh karena itu, tidak ada satupun desain

kajian yang bisa digunakan dalam semua kajian, tetapi satu kajian bisa

dilakukan dengan menggunakan beberapa desain kajian yang berbeda.

Oleh karena itu, peneliti harus dapat merancang kajiannya dengan

menggunakan desain kajian yang sesuai dengan tujuan kajiannya. Jika

desain kajian yang digunakan tidak sesuai, hasil kajian yang diperoleh

mungkin tidak benar dan dengan ini mendatangkan kesan yang negatif

terhadap peneliti lain yang membuat rujukan pada hasil kajian tersebut.

H. Hipotesis Kajian

Dalam pengertian yang paling memuaskan, hipotesis adalah

kenyataan tentang hubungan yang dipercaya adanya di antara satu

fenomena dengan fenomena yang lain, atau tentang sifat suatu fenomena.

Dalam penelitian ilmiah, hipotesis adalah kenyataan yang bersifat

sementara tentang hubungan di antara fenomena yang tertentu, yang bisa

diuji secara empirik.

35

Hipotesis bisa dibangun dari berbagai dasar. Ia bisa dibangun

berdasarkan intuisi atau gerak hati seorang individu. Ia juga bisa dibangun

berdasarkan penemuan kajian yang telah lalu. Ataupun ia juga bisa

berpangkal dari teori, melalui proses deduksi logis.

Apapun dasarnya, hipotesis memainkan dua peran penting dalam

suatu kajian. Pertama, ia memberi panduan tentang jenis data yang

dikumpulkan untuk menyelesaikan masalah kajian. Kedua, ia memberi

panduan tentang cara bagaimana data yang dikumpulkan itu bisa diatur

secara berpengaruh dalam analisis.

Pembentukan hipotesis yang berguna adalah langkah yang cukup

penting dalam penelitian. William Goode dan Paul Hatt dalam Methods in

Social Research (1952), berpendapat bahwa hipotesis yang berguna perlu

mempunyai sifat-sifat berikut:

1) Konsep dan definisi dalam hipotesis mestilah jelas dan tepat.

2) Hipotesis perlu mempunyai referensi empiris. Hipotesis tidak bisa berisi

pandangan moral.

3) Hipotesis perlu khusus. Segala indeks yang digunakan perlu dinyatakan

dengan jelas.

4) Hipotesis perlu dikatkan dengan teknik-teknik yang ada.

5) Hipotesis perlu dikatkan dengan teori-teori yang ada.

Hipotesis berkaitan erat dengan teori. Dalam penelitian ilmiah,

hipotesis diterbitkan dari teori melalui proses deduksi logis. Kemudian,

hipotesis tersebut diuji (dengan cara test, penelitian, dan sebagainya).

Sekiranya hipotesis itu tidak disahkan atau hanya sebagian saja yang

disahkan, maka langkah yang sering diambil adalah mengkaji kembali

hipotesis, membuat kembali pernyataan atau penjelasan, dan memperbarui

teori tersebut. Sekiranya hipotesis itu disahkan, akan didapatkan hukum

36

(Laws), pernyataan probabilitas, atau pernyataan kecenderungan (tendency

statements).

Hipotesis kajian merupakan ramalan pengkaji tentang hubungan

atau perbedaan yang mungkin ada antara variabel-variabel sebelum data

dipungut.

Misalnya:

1) Hipotesis tidak terarah: Terdapat perbedaan kepuasan kerja antara guru

laki-laki dan perempuan SD.

2) Hipotesis terarah: Guru perempuan mempunyai kepuasan kerja yang

lebih tinggi dibandingkan dengan guru laki-laki.

3) Hipotesis Nol: Tidak terdapat perbedaan kepuasan kerja antara guru

laki-laki dan guru perempuan SD.

37

IV. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN

Secara umum, langkah-langkah penelitian adalah terutama

menyangkut pengumpulan data dan analisis data. Namun sebelum

melakukan pengumpulan data ada tahapan persiapan yang menyangkut

penentuan sumber data, pengumpulan data bahan pustaka, instrumentasi,

dan persiapan alat bantu penelitian.

A. Penentuan Sumber Data

Sebelum melakukan kajian, peneliti harus menentukan dulu jenis

data yang akan diambil. Ada dua jenis data:

1) Kuantitatif: kuantitas, nomor, pengukuran, statistik.

2) Kualitatif: analisis deskriptif, catatan pandangan, catatan verbal,

rekaman pengamatan atau wawancara, informasi dari bahan

dokumentasi. Metode triangulasi diaplikasikan dalam kajian kualitatif

karena fenomena dapat dilihat dari berbagai segi (multiple sight): waktu,

ruang, individu.

Dari segi originalitas tidaknya, ada dua jenis data: data primer dan

data sekunder. Data primer itulah yang menjadi data khusus penelitian kita.

Sedangkan data sekunder adalah data yang diambil orang lain dalam

penelitian yang lain, kemudian kita ambil untuk mendukung penulisan

laporan kita. Berikut ini adalah penjelasan tentang data primer dan data

sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang dihasilkan dari sumber primer. Sumber

primer adalah istilah yang digunakan dalam sejumlah disiplin ilmu untuk

menggambarkan bahan sumber yang terdekat dengan orang, informasi,

periode, atau ide yang dipelajari.

Dalam kajian sejarah, sumber utama atau sumber asli itu adalah

artefak, dokumen, rekaman, atau sumber informasi lain yang diciptakan

38

pada saat yang diteliti. Ini berfungsi sebagai sumber asli dari informasi

tentang topik tersebut. Dalam jurnalisme, sumber utama itu adalah

seseorang dengan pengetahuan langsung dari satu situasi, atau dokumen

yang dibuat oleh orang yang mengalaminya (pelaku).

Sumber primer dibedakan dari sumber sekunder, yang di dalamnya

hanya berupa kutipan, mengomentari, atau membuat analisis sintesis atas

sumber utama, meskipun perbedaan tersebut tidak begitu jauh. Sumber

sekunder juga dapat menjadi sumber utama dan tergantung pada

bagaimana ia digunakan. Utama dan sekunder adalah istilah relatif, karena

kesesuaiannya tergantung dari studi apa yang kita geluti.

Dalam tulisan ilmiah, tujuan penting dari pengklasifikasian sumber

adalah untuk menentukan keaslian sumber. Dalam konteks seperti menulis

sejarah, hampir selalu dianjurkan untuk menggunakan sumber-sumber

primer jika mungkin. Demikian karena sumber primer memiliki tujuan

koneksi paling valid, sementara sumber sekunder dirasa kurang memadai

dalam hal validitasnya. Namun jika tidak memungkinkan, peneliti dapat

melanjutkan untuk menggunakan sumber sekunder.

Sebelum melangkah ke pembahasan mengenai bagaimana kita

mendapatkan data primer, berikut adalah istilah-istilah yang terkait dengan

sumber data primer:

1) Populasi: satu kumpulan peserta potensial yang mana hasil kajiannya

akan dijadikan generalisasi (Salkind, 2000) atau seluruh kumpulan yang

akan dikaji (Chua, 2006). Disebabkan populasi itu tidak tetap, ia

dianggap sebagai sesuatu yang abstrak dan susah diukur.

2) Sampel: wakil dari populasi untuk dijadikan sebagai responden kajian.

3) Kerangka sampel: daftar elemen populasi yang akan dibuat sampel.

4) Parameter: nilai yang berkaitan dengan populasi.

5) Statistik: nilai yang berkaitan dengan sampel.

6) Ralat sampel: Perbedaan antara nilai statistik dalam sampel kajian

dengan nilai parameter yang sebenarnya dalam populasi.

39

Pada prakteknya, survey dapat saja utuh, mencakup seluruh

populasi target. Ia pun dapat tidak utuh. Yaitu ketika populasinya besar dan

akan berakibat membuang banyak waktu, biaya, dan tenaga untuk

menanyai setiap orang. Jika tidak utuh, maka sampel diperlukan. Ada

banyak jenis metode sampel dan diperlukan adanya informasi yang cukup

untuk menentukan metode apa yang akan digunakan.

Salah satu di antara jenis sampel adalah sampel acak sederhana

(simple random sample). Misalkan, kita mempunyai 350 orang populasi dan

kita putuskan untuk mewawancarai 20%-nya. Jika kita punya data akurat

dan daftar namanya, kita dapat memberi nomor pada setiap orang populasi

itu. Ambil kertas gulung yang dinomori 1-350, masukkan kertas-kertas itu

pada sebuah wadah, dan setelah dikocok, keluarkan 70 kertas gulung, dan

kita pun bisa mewawancarai orang yang diidentifikasi oleh nomor-nomor itu.

Usaha lain adalah kita dapat memutuskan untuk menggunakan

sampel sistematis (systematic sample), dan mewawancarai orang kelima

dalam daftar itu, karena tidak ada alasan untuk menganggap bahwa distorsi

sistematis dapat saja masuk. Bagaimana mungkin ini terjadi? Ini memang

nampak tidak mungkin, tetapi memang mungkin: misalkan kita mengerjakan

penelitian di pemukiman yang besar, atau suatu blok pada satu flat

(apartemen). Adalah mungkin bahwa unit-unit itu dibangun dalam dua

ukuran, besar dan kecil, yang disusun dengan cara setiap setelah empat

yang kecil ada rumah besar pada yang kelimanya. Jika kita memilih setiap

rumah kelima, kita dapat dengan tidak sengaja “dapat” semua rumah besar.

Sampel acak bertingkat (stratified random sample) digunakan ketika

kita mengetahui sebelumnya bahwa penduduk yang akan diteliti

mengandung banyak sub-kelompok yang tidak tumpang tindih (karena

itulah nama “strata” diberikan). Misalnya, jika kita tertarik pada hasil petani,

dan petani itu menanam tanaman yang sama dalam tiga zona ekologi yang

berbeda. Maka kita dapat memutuskan untuk mengambil sampel acak

40

petani di dalam setiap tiga zona tersebut, dengan tetap memakai proporsi

ukuran: jika ada 220 petani dalam satu zona (strata), dan mengambil 5%

sampel, yaitu 11 orang. Kita dapat menggunakan metode acak (mengkocok

kertas gulung) untuk menyeleksi 11 orang dari 220 petani itu. Begitulah,

cara yang sama dilakukan pada dua zona lainnya.

Contoh-contoh tadi adalah dari metode sampel acak (random

sampling), yang dapat digunakan ketika terdapat daftar populasi yang dikaji.

Tetapi jika daftar itu tidak ada dan tidak dapat dilakukan, kita perlu

menggunakan metode sampel tidak-acak (non-random sampling), yang

salah satu yang sering digunakan adalah metode “sampel jatah” (quota

sampling). Sampling ini mensyaratkan kita memahami perbedaan penting di

dalam populasi penelitian kita, walaupun kita tidak mempunyai daftar yang

komplit tentang individu-individu dalam penelitian kita. Pewawancara diberi

“jatah” tipe orang yang berbeda untuk diwawancarai, yang merupakan

perwakilan dari populasi secara keseluruhan, dan menggunakan keputusan

mereka dalam menyeleksi orang untuk membuat jatah mereka.

Jika kita tidak mempunyai daftar utuh populasi penelitian kita, dan

tidak mempunyai deskripsi independen tentang mereka, seperti sensus,

yang dapat membuat kita mengetahui bagaimana menstratifikasi sampel,

atau bagaimana menyeleksi quota, maka kita “gagal.” Jalan lain adalah kita

lakukan sampel sistematis, katakanlah dengan mengambil kepala rumah

tangga yang ke-20, dan mendapatkan deskripsi dasar dari survei ini, dan

menggunakannya untuk penghalusan yang diperlukan.

2. Data Sekunder

Sebelum melakukan penelitian, sumber-sumber yang ada harus

dicek terlebih dahulu. Banyak hal yang berguna dengan melakukan pijakan

terhadap sumber-sumber yang sudah ada itu, walaupun kesahan dan

keberadaannya berbeda-beda kualitasnya. Sebetulnya, informasi itu lebih

kaya daripada apa yang orang percayai. Kita memang harus berpikir keras

41

dan kadang berimajinasi tentang apa yang harus dicari mengenai orang

atau kantor apa yang mempunyai informasi yang berguna. Begitu pula,

informasi itu kadang harus didapat dengan cara membeli atau gratis, ini

berbeda-beda. Sumber-sumber data yang ada, yang seringkali disebut

sebagai sumber sekunder (secondary sources) itu, harus lebih dahulu

diakses sebelum penelitian baru dilakukan untuk memungut “data primer”.

Berikut adalah di antara data-data sekunder yang biasa dipakai untuk

rujukan sebelum betul-betul terjun ke lapangan mencari data primer.

1) Statistik Pemerintah

Pemerintah, baik lokal ataupun nasional, seringkali mempunyai

banyak “data mentah” dalam bentuk statistik yang belum diproses. Data ini

dikumpulkan untuk banyak alasan, tetapi tidak pernah dipublikasikan dan

kadangkala tidak dianalisis. Di Indonesia, data tersebut bisa diperoleh di

kantor-kantor pemerintah, terutama Badan Pusat Statistik (BPS).

Data sensus dapat berguna sebagai alat untuk mengecek. Boleh jadi

terdapat perbedaan data antara yang ada di kantor dengan yang ada di

lapangan. Mungkin hal itu disebabkan oleh perbedaan tahun penelitian

ataupun oleh pergerakan manusia seperti migrasi dan sebagainya.

2) Manuskrip Akademik

Tak terhitung banyaknya mahasiswa yang menulis

skripsi/tesis/disertasi sebagai kewajiban sebelum lulus. Mereka seringkali

menulis apa yang dekat dan dapat diakses oleh penelitian mereka, baik itu

tentang masyarakat mereka atau masyarakat lain yang ada hubungannya

dengan mereka, baik itu melalui keluarga atau hubungan lainnya. Tulisan-

tulisan ini dapat memberikan informasi yang berguna sebelum melakukan

penelitian.

3) Penelitian Lembaga Penelitian/LSM

Ada banyak penelitian yang sudah dilakukan oleh lembaga penelitian

atau lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) baik itu yang lokal maupun

yang internasional. Untuk itu, dengan menyingkap hasil penelitian lembaga-

42

lembaga tersebut kita akan mendapatkan informasi yang dapat

dikomparasikan dengan, atau bahkan dirujuk dalam, penelitian kita.

4) Penelitian Historis dan Antropologis

Sebelum penelitian dilakukan, kita harus melihat dulu perkembangan

dari suatu masyarakat, ciri-ciri dan masalah-masalahnya melalui kajian-

kajian historis, etnografis, dan studi-studi lainnya. Bahan-bahan ini dapat

mengurangi asumsi-asumsi yang biasanya ada pada diri kita. Di sini kita

dapat melihat riwayat suatu daerah atau objek penelitian, kemajuannya,

kemundurannya, atau kemandekannya. Dengan rujukan inipun kita dapat

melihat tentang memori kultural yang ada di benak masyarakat.

5) Arsip

Sebetulnya, arsip selalu ada. Tetapi di mana dan di siapanya itu, kita

seringkali tidak tahu. Oleh sebab itu, diperlukan adanya upaya-upaya

penelusuran untuk mendapatkan arsip-arsip itu sebelum melakukan

penelitian. Selalu ada badan pemerintah yang seharusnya mengarsipkan

tiap data atau kejadian. Pengejaran arsip memang kadang bisa ke luar

negeri, bisa jadi sampai ke Leiden, Belanda untuk data-data di Indonesia.

Tetapi kadangkala ada di perorangan atau badan-badan pemerintahan

lokal. Arsip ini penting untuk menghubungkan posisi informasi yang akan

kita cari dengan yang sudah diarsipkan tadi.

6) Publikasi

Nampak jelas bahwa kita harus mengecek apa yang telah

dipublikasikan tentang wilayah yang kita teliti, tetapi seringkali publisitas

atau pemberitaan itu sangat spesifik, pendek, dan kecil. Tidak selalu mudah

untuk mendapatkan buku, bahkan ketika hanya setelah beberapa tahun

saja dari tahun penerbitan. Ketika perpustakaan umum tidak berkembang

baik, kita harus mencari orang-orang yang mempunyai perpustakaan

pribadi. Dan benar juga bahwa seringkali kita harus mencari informasi

tentang suatu daerah ke daerah lain, bahkan ke negara lain. Perpustakaan

43

universitas-universitas besar di Eropa dan Amerika bisa jadi lebih banyak

stok buku daripada di negara yang ditulis.

7) Catatan Lokal

Ada banyak jenis kantor lokal yang telah mendaftar tanah, kelahiran,

kematian, perkawinan, perusahaan lokal, kendaraan, binatang, izin

perdagangan, kasus persidangan, warisan, dll. Akurasi pendaftaran itu

dapat berbeda-beda, tetapi dapat menyediakan sejumlah informasi dasar

yang berguna bagi penelitian kita. Misalnya, di wilayah-wilayah yang telah

dibuka dengan jalan baru dapat kita ukur pengaruh jalan tersebut dengan

memeriksa jumlah orang yang mendaftarkan tanahnya di sepanjang jalan,

atau percekcokan tentang tanah karena harganya yang menjadi mahal

karena adanya jalan baru tersebut.

8) Peta/Kartografi

Peta selalu ada, sesederhana apapun. Setidak-tidaknya, otoritas

militer selalu mempunyai peta dan foto udara. Badan-badan lain seperti

perusahaan minyak juga mempunyai kepentingan atas peta yang

mendetail. Namun demikian, pada umumnya tiap daerah mempunyai peta,

disebabkan sudah populernya fotografi satelit.

9) Koran

Orang-orang koran mungkin masih mempunyai arsip pers pribadi

mereka, atau seringkali perpustakaan nasional mempunyainya. Koran-

koran ini dapat menyuplai data historis, politik, bisnis, dan data lainnya pada

kita.

10) Orang

Selalu saja ada pihak yang masih dapat kita jadikan sumber

informasi. Misalnya, administrator eks-kolonial dapat mempunyai arisp,

catatan harian, atau perpustakaan. Begitu pula, pustakawan dapat tahu di

mana bahan-bahan disimpan. Atau para eks-pegawai pemerintah,

pensiunan politikus, pensiunan hakim, bekas tuan tanah dapat mempunyai

bahan-bahan pribadi yang dapat berguna bagi kita. Yang paling berguna

44

mungkin adalah para akademisi yang lebih mempunyai banyak data.

Demikian karena mereka seringkali menjadi supervisor untuk mahasiswa

mereka, dan biasanya gampang diajak kerjasama untuk penelitian.

Nampaknya, tidak akan pernah terjadi satu dari sumber-sumber ini

akan menyediakan seluruh informasi yang kita perlukan, tetapi pengalaman

menunjukkan bahwa semuanya, apabila disatukan, akan menyediakan

banyak data dan menghemat waktu dibandingkan dengan pengumpulan

data itu oleh kita sendiri. Sumber data sekunder ini dapat juga digunakan

untuk mengecek ulang informasi yang kita punyai dan sekaligus

memvalidasinya. Dari sinilah kita mempunyai bank data yang dapat kita

indeks.

B. Pengumpulan Data Bahan Pustaka

Hubungan antara konsep-konsep harus dikaitkan dengan teori formal

yang telah ada. Dari situ pengkaji akan lebih yakin tentang hubungan antara

konsep-konsep tersebut dan seterusnya dapat menyatakan dan

menerangkan ide kajiannya dengan lebih jelas dan teliti.

1) Bahan Pustaka diperoleh melalui:

a. Media elektronik: tv, radio, internet, dsb.

b. Media non-elektronik: buku, koran, majalah, jurnal, buletin, dsb.

2) Bahan Pustaka dicatat dalam:

a. Abstrak

b. Bibliografi

c. Katalog

d. Ensiklopedia

e. Indeks

f. Jurnal

3) Bahan Pustaka diorganisasi oleh:

a. Organisasi

b. Individu

45

c. Pemerintah

d. Dosen/mahasiswa

e. Kumpulan profesional

4) Bahan Pustaka dikomunikasikan melalui:

a. Konferensi, seminar, prosiding seminar

b. Laporan, buletin, koran

c. Buku ilmiah, buku teks

d. Skripsi, tesis, dan disertasi

e. Kuliah

f. Antologi

5) Bahan Pustaka dihasilkan dari:

a. Kajian yang mempunyai data-data empiris

b. Penilaian kritis

c. Penulisan yang sistematis dan logis

6) Informasi utama dalam bahan pustaka:

a. Teori

b. Desain penelitian

c. Metode pengumpulan dan analisis data

C. Pembentukan Instrumen

Dalam penelitian ilmu sosial, instrumen kajian biasanya merupakan

angket yang direka khas untuk mengumpulkan data kajian. Angket

mempunyai banyak kegunaan. Ia bisa digunakan sebagai daftar isian untuk

merekam observasi atas tingkah laku responden, atau sebagai pertanyaan

wawancara, atau sebagai ujian nota-tulis, dan sebagainya. Instrumen pada

dasarnya harus mempertimbangkan perasaan responden, item perlu

pendek dan ringkas, jumlah item perlu disedikitkan, dan mengumpulkan

data yang konkret.

46

Agar tidak menimbulkan rasa bosan dan agar mendorong responden

menjawab dengan ikhlas dan jujur, instrumen mesti mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut:

1) Sesuai dengan keberadaan responden. Instrumen kajian yang

disediakan perlu sesuai dengan latar belakang dan kesediaan

responden kajian. Pertanyaan yang dibangun mesti dinyatakan dengan

teliti dan tidak berat sebelah (bias).

2) Format instrumen yang sistematis. Pertanyaan perlu disusun secara

sistematis dan teratur. Ruang yang memadai untuk jawaban bagi setiap

pertanyaan perlu disediakan.

3) Instruksi yang jelas. Instruksi tentang bagaimana menjawab pertanyaan

mesti jelas dan tidak menimbulkan perasaan ragu-ragu kepada

responden.

4) Surat dan dokumen disertakan bersama instrumen kajian. Surat dan

dokumen kepada subjek kajian haruslah ringkas dan menggunakan

format yang profesional. Ia menentukan kadar pemulangan jawaban dan

meningkatkan kepercayaan responden kajian terhadap pengkaji dan

kajian yang dilakukan.

5) Tes rintisan perlu dijalankan sebelum instrumen digunakan. Langkah ini

memastikan reliabilitas instrumen kajian. Ia bisa dilakakan pada

kumpulan subjek lain (misalnya 30 orang) yang mempunyai ciri-ciri yang

sama dengan subjek kajian.

Adapun langkah dalam membentuk instrumen kajian adalah sebagai

berikut:

1) Mendaftar variabel-variabel yang ingin dikaji.

2) Mengestimasi cara menganalisis data.

3) Menyimak daftar variabel.

4) Menggunakan bahasa dan perkataan yang sesuai.

5) Melakukan ujian pra-penelitian.

6) Merekonstruksi instrumen.

47

Pada prakteknya, angket menggunakan kombinasi pertanyaan yang

tertutup dan terbuka. Ada beberapa kategori pertanyaan dalam angket ini

berkaitan dengan sikap responden.

1) Pertanyaan tertutup meliputi pertanyaan-pertanyaan skala sikap yang

secara umum mengikuti model Likert (Horn, 1993), yaitu, misalnya,

dengan jawaban sangat besar, besar, sederhana, kurang besar, dan

tidak besar; dan mengikuti model Guttman (Chua, 2006) jika

jawabannya hanya “ya” atau “tidak”; atau apabila jawabannya

merupakan kelompok jawaban seperti “bervariasi” atau “tidak

bervariasi”.

2) Pertanyaan dengan jawaban terbuka jika ada kemungkinan jawaban lain

yang tidak ada dalam jawaban yang telah disediakan.

3) Pertanyaan kombinasi antara pertanyaan dengan jawaban tertutup dan

terbuka sekaligus. Kategori pertanyaan ini tidak membatasi jawaban

pada yang ada, yang telah dianggap menjadi lazim. Cara ini merupakan

usaha untuk menemukan jawaban daripada realitas yang sebenarnya.

4) Pertanyaan yang mungkin dijawab lebih dari satu jawaban. Dalam hal

ini, peneliti ingin mengetahui sejauh mana prioritas dalam jawaban

responden (Pratt & Loizos, 1992).

Berikut adalah contoh angket tentang peran pesantren dalam

pembangunan ekonomi di pedesaan:

7. Pesantren dan Pembangunan Ekonomi:

48. Bagaimana kontribusi pesantren terhadap perdagangan profesional di

desa?

a. sangat besar b. besar c. biasa-biasa d. kurang besar e. tdk

besar

49. Bagaimana kontribusi pesantren terhadap kehidupan industri kecil di

desa?

48

a. sangat besar b. besar c. biasa-biasa d. kurang besar e. tdk

besar

50. Bagaimana kontribusi pesantren terhadap pertumbuhan sektor jasa?

a. sangat besar b. besar c. biasa-biasa d. kurang besar

e. tdk besar

51. Bagaimana sumbangan pesantren dalam peningkatan taraf hidup

masyarakat?

a. sangat besar b. besar c. biasa-biasa d. kurang besar

e. tdk besar

52. Bagaimana peran pesantren dalam peningkatan permodalan ekonomi

desa?

a. sangat besar b. besar c. biasa-biasa d. kurang besar

e. tdk besar

53. Dalam lapangan kewirausahaan, pesantren berdekatan mempunyai:

(jawaban boleh lebih dari satu)

a. koperasi b. bengkel c. BMT d. sawah e.

industri kecil

f. kebun g. kolam h. ternak i. ......................................

D. Persiapan Alat Bantu Penelitian

Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk disertakan dalam

penelitian kita. Jika instrumen itu merupakan perangkat lunak (software),

maka alat-alat bantu penelitian berikut adalah perangkat keras (hardware)-

nya. Namun, sebelum sampai pada alat-alat bantu tersebut, harus diingat

pula bahwa perizinan adalah hal yang perlu dibawa sebagai alat bukti

bahwa penelitian kita itu diketahui oleh pihak-pihak terkait seperti institusi

pendidikan, pihak sponsor, pihak kepala daerah, pihak yang menjadi

responden, dll.

49

1. Perizinan

Perizinan selalu diperlukan bagi pihak-pihak yang diambil datanya,

baik itu instansi, perorangan, kelompok, dsb. Oleh karena itu, setiap peneliti

harus mempunyai satu atau beberapa izin baik dari pihak universitas,

sponsor, pihak penguasa wilayah, lokasi penelitian, dsb. Perizinan ini

penting mengingat itu pula yang menjadi pembuka komunikasi, apakah

mereka akan percaya pada peneliti atau tidak.

2. Pencatatan

Catatan dapat berbeda dalam metode pengamatan sistematik dan

peran serta. Perbedaan ini mengikuti apa yang akan kita dapat dan

bagaimana cara kita mendapatkannya.

Catatan pengamatan sistematik bisa menggunakan perekam video,

daftar, dan alat lain yang merupakan pencatat tetap.

Catatan peran serta (partisipatif) dapat menggunakan buku nota.

Dengan demikian melakukan tulis menulis di sela-sela kegiatan yang diikuti.

Sebelum observasi atas perilaku subjek kajian dilakukan, pengkaji

perlu menentukan cara mencatat observasi. Observasi menjadi lebih

sistematis dan bermakna bila pengkaji mengadakan kode perilaku yang

diobservasi. Hal ini melakukan upaya untuk memudahkan dan menghemat

waktu serta menjadikan data yang dicatat dapat disistematisasi dan

bermakna. Inipun merupakan upaya untuk lebih fokus pada tujuan kajian.

Berikut adalah contoh bagaimana seorang peneliti melakukan daftar

observasi pada pesantren. Di dalam tabel itu peneliti bisa memberi

komentar apakah ada atau tidak ada, atau keterangan lain pada kolom

“keterangan.”

Tabel 1. Profil Pesantren

Nama Pesantren: ______________ Tempat: _______________________

50

No.

Komponen

Subkomponen

Keterangan

1. Filosofi a. Visi

b. Misi

c. Objektif

2. Infrastruktur a. Masjid/ Musolla

b. Rumah Kiai

c. Pondok

d. Madrasah

e. Sekolah

f. Universitas

g. Tempat Latihan Keterampilan

h. Aula

i. Tempat Olahraga

j. Perpustakaan

k. Dapur Umum

l. Tempat Makan

m. Kantor

n. Toko

o. Pondok

3. Sistem Pendidikan a. Pesantren

b. Madrasah

c. Sekolah

4. Organisasi a. Kiai utama

b. Kiai lain

c. Ustadz/ Badal/ Santri Senior

d. Santri

5. Program/ Proyek a. Pertanian

b. Peternakan

c. Kerajinan tangan

d. Perdagangan

e. Jasa

6. Keuangan a. Pribadi Kiai

b. Iuran Santri

c. Sumbangan Orangtua

51

d. Sumbangan Masyarakat/ Alumni

e. Sumbangan Pemerintah

f. Wakaf

g. Unit-unit Produksi

h. Uang Tahunan (Bangunan)

Santri

i. Sumbangan kerjasama

j. Sumbangan sukarela

3. Rekaman

Rekaman dalam bentuk tape recorder ataupun lainnya dapat dibuat

dalam kegiatan wawancara. Rekaman ini pun dapat dilakukan untuk

recording pada saat pelaksanaan pidato atau percakapan talk show, atau

kegiatan lainnya.

Rekaman ini harus terus didokumentasikan melalui pencatatan

kembali (transkrip), CD, kaset, ataupun lainnya.

Demikian sehingga pada peneliti terdapat daftar rekaman yang telah

dibuat dengan kode rekaman tertentu, yang pada saat pengecekan masih

tetap ada dengan daftar rekaman yang konstan.

Berikut adalah contoh daftar orang yang diwawancarai dalam suatu

kajian lapangan:

Tabel 1. Daftar Wawancara

No. Kode

Waw

ancar

a

Kode

Rekam

Yang

diwawancar

ai

Kedudukan Tempat/ tanggal

wawancara

1. A-1 PIC_0614-

0615.AVI

Dan

PIC_1676-

KH. Asep Tohir

Sh.

Kyai Miftahul Huda,

Manonjaya, 18 Oktober

2008

dan 1 Mei 2009

52

1699.AVI

2. A-2 PIC_0744-

0746.AVI dan

PIC_0759-

0760.AVI

Dan

PIC_1700-

1707.AVI

Wawan Al-Farisi Santri, Wakil

Ketua

Miftahul Huda,

Manonjaya, 19 Oktober

2008

dan 1 Mei 2009

3. A-3 PIC_0716-

0719.AVI

Rasyid, Ricky Santri, Pengurus

Radio

Miftahul Huda,

Manonjaya, 18 Oktober

2008

4. A-4 PIC_0606-

0610.AVI

Ricky Ahmad

Taufik

Santri, Ma’had

‘Aly

Miftahul Huda,

Manonjaya, 18 Oktober

2008

4. Foto

Selain perkataan (audio), data pun dapat dilihat dengan cara visual,

yaitu berbentuk foto. Foto dicetak untuk didokumentasikan sebagai penguat

data pada observasi. Foto dapat menceritakan banyak hal. Oleh karena itu,

foto dapat disertakan dalam laporan penelitian untuk memberikan

gambaran yang lebih konkret terhadap objek penelitian. Foto pun

menunjukkan adanya objektivitas dalam penelitian, karena foto tidak

memberi ruang pada subjektivitas.

Namun demikian, sejalan dengan perkembangan waktu, foto pun

dapat dipalsu, dikurangi, atau ditambah. Dengan demikian, foto itu dapat

diedit. Oleh karena itu, bagi orang-orang yang kurang jeli, foto kadang

menyesatkan juga, karena diedit itu. Di situlah perlunya ada forensik foto,

yang bisa menjelaskan bahwa foto itu asli atau palsu.

53

5. Video Shooting

Data dapat pula didokumentasikan melalui video atau gambar

bergerak. Hal ini terutama diperuntukkan bagi acara-acara yang susah

untuk didokumentasikan secara tertulis atau rekaman suara saja. Dengan

rekaman video itu pula peneliti, penguji, ataupun peneliti lain bisa melihat

secara utuh suatu kejadian, untuk kemudian dapat memberikan interpretasi

masing-masing yang barangkali berbeda satu sama lain. Demikian karena

suatu kejadian itu kaya akan tafsiran (multi-interpretasi). Dengan rekaman

video pun kita dapat mengulang-ulanginya melalui video player. Demikian

sehingga kita dapat berkali-kali memperhatikan kejadiannya dan dengan itu

pula kita dapat lebih mendalam dan utuh dalam memahaminya.

Seperti halnya foto, video pun dapat dijangkiti penyakit kepalsuan.

Terhadap hal ini penguji dapat bertanya kepada forensik video jika dia tidak

begitu yakin akan keaslian video tersebut.

54

V. PELAKSANAAN PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting dalam

penelitian. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data erat

hubungannya dengan masalah penelitian yang akan dipecahkan. Karena itu

pemilihan teknik dan alat pengumpulan data perlu mendapat perhatian yang

cermat. Alat atau instrumen pengumpulan data yang baik akan

menghasilkan data yang berkualitas. Kualitas data menentukan kualitas

penelitian. Di dalam kegiatan pengumpulan data ada dua pengertian yang

perlu diperhatikan, yaitu “metode pengumpulan data” dan “alat

pengumpulan data” (instrumen penelitian).

Metode pengumpulan data adalah cara yang dipakai dalam

pengumpulan data, sedangkan alat pengumpulan data adalah alat bantu

yang digunakan dalam pengumpulan data. Observasi adalah metode.

Angket adalah metode sekaligus alat. Sedangkan wawancara adalah

metode, tetapi pedoman wawancara adalah instrumen.

A. Wawancara (Interview)

Wawancara adalah salah satu cara untuk mengumpulkan informasi

yang utama dalam kajian pengamatan. Ia dilakukan dengan tanya jawab

secara lisan dan jawaban disimpan secara tertulis, melalui rekaman kaset,

video, atau media elektronik lain.

Wawancara bisa bersifat langsung ataupun tidak langsung.

Wawancara langsung ditujukan langsung kepada orang yang diperlukan

keterangan atau datanya dalam penelitian. Sedangkan wawancara tidak

langsung adalah wawancara yang ditujukan kepada orang-orang lain yang

dipandang dapat memberikan keterangan mengenai keadaan orang yang

diperlukan datanya.

Ada tiga jenis wawancara:

1) Wawancara terstruktur: pewawancara menyediakan daftar isian untuk

mendapat jawaban dari responden.

55

2) Wawancara semi-terstruktur: pewawancara menggunakan bahasa yang

berbeda ketika mewawancarai, tetapi tetap mempunyai struktur yang

jelas tentang jenis informasi yang diinginkan untuk mencapai tujuan

kajiannya.

3) Wawancara tidak-terstruktur: pewawancara secara spontan melakukan

wawancara tanpa membangun pertanyaan-pertanyaan terlebih dahulu.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengajukan

pertanyaan kepada yang diwawancarai (interviewee):

1) Pertanyaan hendaknya dengan kalimat pendek dan tegas.

2) Rumusan pertanyaan bersifat netral, tidak mengarahkan (leading).

3) Hindari pertanyaan yang bersifat intimidasi.

4) Permulaan pertanyaan lebih bersifat menyenangkan.

5) Jawaban harus ditulis segera atau direkam dengan alat perekam.

Dari segi isinya, pertanyaan dapat dibagi ke dalam enam jenis:

1) Pertanyaan tentang diri atau demografi.

2) Pertanyaan tentang pengalaman atau perilaku.

3) Pertanyaan tentang pendapat atau nilai.

4) Pertanyaan tentang perasaan.

5) Pertanyaan tentang pengetahuan.

6) Pertanyaan tentang indera.

1. Problematika Wawancara

Mari kita mulai dengan mempertimbangkan perbedaan budaya. Ada

banyak daerah yang budaya percakapannya kurang, ada yang cukup

terbuka, dan ada pula yang tertutup. Jika kita pergi berkeliling desa, dengan

membawa catatan, tanya sana-sini sambil menulis, barangkali orang akan

takut. Bertanya dengan cara menulis jawaban, mungkin sangat sensitif di

masyarakat yang takut akan penguasa atau pemberontak, atau masyarakat

yang rentan. Untuk itu, kita harus mengambil jalan penggalian data (inquiry)

secara informal. Di sini, perbincangan santai lebih baik daripada menyebar

56

angket, atau diskusi kelompok yang tidak pakai identifikasi nama orang per

orang (anonim) lebih bermanfaat daripada mewawancarai orang per orang

yang penuh dengan ketakutan.

Demikianlah, mengajukan pertanyaan pun harus dihaluskan

mengikuti persepsi budaya kelompok yang akan ditanyai. Wawancara

memang tumpang tindih dalam beberapa hal dengan angket atau survey,

terutama ketika wawancara itu terstruktur. Tetapi ketika dengan wawancara

terstruktur itu kita tidak bisa mendapatkan data, maka kita harus mulai

dengan wawancara yang tidak terstruktur atau semi-terstruktur. Memang ini

akan memakan waktu dan memaksa kesabaran kita, tetapi kita harus

lakukan agar data yang kita kehendaki “muncul.” Di sini kita kadang-kadang

harus mengajukan jawaban-jawaban yang akan dipilih mereka. Apapun,

yang penting kita tidak terlihat terlalu formal apabila memang itu yang

dibutuhkan di lapangan.

Berkenaan dengan wawancara terhadap satu kelompok (group

interview), nampaknya kita tidak bisa begitu saja menanyakan pertanyaan-

pertanyaan yang tertutup. Tujuan wawancara kelompok adalah mendorong

respons kolektif dan untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan opini

sekaligus wilayah konsensus di dalam suatu kelompok. Wawancara

kelompok tidak akan sukses ketika anggota kelompoknya tidak homogen,

karena mereka akan tidak enak satu sama lain jika mereka sadar tentang

perbedaan-perbedaan besar dalam status, kelas, atau perspektif gender di

antara mereka. Wawancara kelompok dapat berguna dalam membangun

landasan bersama informasi dan pertanyaan-pertanyaan untuk investigasi

selanjutnya.

2. Testimoni Lisan

Sebelum berbudaya tulis, manusia menyimpan informasi dalam

memori di kepalanya. Orang yang belum bisa baca pun begitu keadaannya.

Bahkan dalam masyarakat yang sudah bisa baca pun, banyak informasi

57

yang tidak tertulis. Masyarakat petani, misalnya, adalah masyarakat yang

tidak suka menulis, walaupun mereka bisa membaca. Oleh karena itu,

kepada kelompok ini kita harus melakukan wawancara lisan kalau kita mau

mendapat informasi yang mendalam. Masyarakat lain adalah masyarakat

desa pinggir hutan. Pada masyarakat ini batas-batas tanah pun kadang-

kadang hanya disebutkan secara oral, di sebelah mana, batasnya apa,

dengan cara menunjuk pohon, batu, tepi sungai, dsb.

Masyarakat oral seperti di atas, bisa jadi tidak mempunyai budaya

secara tertulis, tetapi sebetulnya, secara lisan mereka kaya akan berbagai

budaya. Mereka bisa membudi-dayakan tanaman, ternakan, penggunaan

tanah, dan mempunyai pengetahuan tentang pengobatan tradisional, yang

kebanyakannya mereka praktekkan sehari-hari secara turun-temurun.

Tetapi kita tidak boleh begitu saja menafikan kehebatan pengetahuan lokal

(local knowledge) mereka. Toh, dengan mereka masih survive hingga

sekarang, berarti mereka punya gudang pengetahuan yang akurat dan

efektif.

Pernyataan lisan (oral testimony) juga bisa menjadi sejarah hidup

(life-history). Ada dua jenis sejarah-hidup: tipe yang diarahkan oleh peneliti

(researcher-led type) dan tipe yang diarahkan oleh informan (informant-led

type). Dalam jenis yang diarahkan oleh peneliti, terdapat daftar pertanyaan

yang mengarah pada isu-isu yang dirasa penting oleh pewawacara.

Misalnya, dalam meneliti tentang buruh-anak, peneliti dapat bertanya

kepada informan tentang bagaimana pertama kali mereka kerja, jenis-jenis

apa saja pekerjaan yang dikerjakan oleh mereka, bagaimana bayarannya,

dan data-data apa yang diperlukan dengan sedetil-detilnya dalam cerita

kerja mereka. Tanpa diarahkan, boleh jadi informan hanya akan bercerita

tentang kurangnya perhatian orang tua terhadap mereka, dunia anak-anak

yang hilang, dan sebagainya.

Sebaliknya, dalam sejarah hidup yang diarahkan oleh informan,

peneliti hanya meminta informan untuk menceritakan kehidupan mereka

58

seara tidak langsung dan selalu terbuka untuk digali, yang dengan itu akan

membuat mereka mengingat pertama-tama apa yang paling dianggap

penting. Pendekatan itu akan banyak memakan waktu apabila kita bertemu

dengan informan yang percaya diri dan mempunyai artikulasi yang baik.

Tetapi akan menjadi sangat ringkas dan meninggalkan detail-detail penting

jika kita bertemu dengan informan yang malu-malu.

Kelompok-kelompok kesukuan biasanya tidak hanya merekam

legenda masyarakat mereka tetapi juga hal-hal yang biasa mereka lakukan

untuk kelangsungan hidup mereka seperti teknik berburu sebagai rekaman

budaya (cultural record) mereka. Sumber-sumber data oral itu bervariasi,

termasuk di dalamnya adalah lagu, drama, cerita, lagu anak-anak, atau

ritual. Untuk ini seringkali kita dituntut untuk mewawancarai orang-orang

tua, agamawan lokal (seperti dukun, pawang, dsb.), dan tetua adat yang

bertindak sebagai penanggung jawab kelangsungan sejarah dan memori

masyarakat. Lebih gampangnya, kita tanya saja masyarakat, ke mana kita

harus bertanya, mereka biasanya akan menunjuk pada orang yang lebih

berpengetahuan dan lebih dipercaya.

Patut pula untuk dicatat bahwa semua informasi dalam oral

testimony itu bersifat parsial, penekanannya bersifat tertentu dan bisa jadi

ada hal-hal yang dibuang. Semua memori juga penuh dengan asumsi lokal,

tidak semata-mata faktual. Tidak seorang pun yang benar sepenuhnya,

dalam artian mengingat segala sesuatu secara akurat. Contohnya, kita bisa

tidak ingat siapa-siapa yang kita telepon dalam seminggu ini. Hanya yang

dirasa penting saja yang ingat (mungkin hanya 50% saja). Begitu pula

dalam hal pernyataan lisan.

B. Angket (Kuesioner)

Angket merupakan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang direka

khusus untuk mengumpulkan data kajian. Pengkaji harus selalu ingat

59

bahwa item kuesioner yang baik adalah ringkas, jelas, mudah dijawab, dan

dapat mewakili konsep operasional yang ingin dikaji dengan tepat.

Ciri-ciri angket yang baik:

1) Mempertimbangkan perasaan responden.

2) Item perlu pendek dan ringkas.

3) Bilangan item perlu ekonomis.

4) Mengumpulkan data yang konkret.

Jenis-jenis item:

1) Item pilihan tunggal (single-choice item).

2) Item bebas.

3) Item aneka pilihan (multiple-choice item).

4) Item peringkat (rank-ordering item).

5) Item skala sikap: sangat setuju-sangat tidak setuju.

Survey yang menggunakan metode angket adalah metode terbaik

untuk tugas tertentu, tetapi tidak baik untuk hal-hal lain. Esensinya, survey

ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan formal atas orang-orang tertentu,

menuliskan respons mereka dan menganalisisnya. Tujuannya adalah

memberikan informasi yang sistematis, representatif, dan dapat dipercaya

(reliable) tentang kelompok orang tertentu (populasi). Contohnya adalah

data pertanian, kesehatan, perdagangan, dsb. yang disurvey dengan

membawa angket tertentu guna mencari tahu hal-hal spesifik dari

kehidupan masyarakat.

Survey dengan membawa kuesioner dapat menghasilkan data yang

dapat dipercaya jika itu menyangkut masalah-masalah yang tidak bersifat

terlalu pribadi atau agak mengancam dan apabila mereka sekiranya dapat

memberikan jawaban yang pasti. Angket bukanlah metode yang paling

tepat untuk mendapatkan informasi tentang masalah-masalah pribadi atau

sensitif karena peneliti yang melakukannya tidak dipercaya, mungkin

karena orang asing bagi responden, atau bahkan karena mereka anggota

60

masyarakat yang sama dengan informan, atau karena mungkin dicurigai

akan menyebarkan gosip atau menggunakan informasi itu untuk

keuntungan pribadi (personal advantage). Di antara topik yang sensitif

untuk diangketkan di antaranya adalah loyalitas politik, utang-piutang, dan

praktek-praktek seksual (terutama jika mereka melawan norma-norma

moral atau agama masyarakatnya). Masalah-masalah tersebut menuntut

metode penelitian yang lebih informal, di mana peneliti sudah membangun

hubungan kepercayaan dengan responden.

Sebelum melakukan survey, bahkan sebelum menyusun angket,

diperlukan adanya penelitian awal (preliminary research). Yaitu, melibatkan

kegiatan-kegiatan survey pendahuluan dan mengorek informasi secara

mendalam namun santai tentang kondisi di lapangan. Berbagai temuan itu

kemudian disaring ke dalam pembuatan instrumen penelitian seperti angket

itu. Hal ini berguna untuk menguji kelemahan dan kesalahan angket.

Survey memang berguna untuk mendapatkan informasi faktual atau

bersifat sikap atau pendapat dari populasi yang besar, terutama dalam

ketiadaan informasi alternatif, di mana jenis pertanyaan “berapa banyak” itu

belum didapatkan jawabannya. Sayangnya, banyak peneliti merasa bahwa

survey adalah satu-satunya cara memproduksi informasi yang berguna dan

dapat diterima secara ilmiah. Padahal, survey itu bisa menjadi cara yang

lambat dalam mendapatkan informasi yang bisa jadi dapat dilakukan

dengan lebih mudah dan murah. Maka, sebelum terjun ke lapangan, kita

harus memikirkan metode alternatif apa untuk mendapatkan informasi yang

kita butuhkan.

Dalam kasus-kasus tertentu, misalnya mengenai masalah

kesehatan, survey merupakan satu-satunya cara dalam membangun data

base kesehatan dari suatu daerah, dan juga dapat menyediakan cara

penting di mana penduduk lokal dapat melaksanakan prioritas kesehatan

mereka dan solusi-solusi yang dapat dilakukan dalam ketiadaan layanan

kesehatan. Tetapi survey hanyalah satu unsur dalam penelitian, dan diskusi

61

masyarakat tentang temuan-temuannya adalah merupakan fase yang

paling penting. Begitu pula, rencana untuk menyediakan layanan seperti air

dapat memerlukan estimasi akurat mengenai jumlah pengguna

potensialnya. Namun, banyak survey mengumpulkan terlalu banyak

informasi karena terdapat kecenderungan untuk menambahkan

pertanyaan-pertanyaan tambahan pada dokumen survey, memperpanjang

cerita angket, yang mungkin hanya akan menciptakan masalah ketika kita

menganalisisnya. Jika survey itu terlalu panjang, informan akan bosan dan

tidak merasa nyaman ketika survey itu dilakukan, dan gosip pun akan

muncul tentangnya di masyarakat, yang akan menjadikan kurangnya

respons dari masyarakat.

Daripada mencoba mengikat seluruh koleksi informasi ke dalam

survey besar (grand survey), lebih baik melakukan beberapa survey mini

(mini survey) untuk memenuhi wilayah kajian spesifik tertentu. Ini akan

memberi manfaat bahwa setiap isu dapat ditangani secara lebih mudah.

Ketika satu survey mini dianalisis, ia akan mengantarkan kita pada

keperluan informasi berikutnya. Ini lebih fleksibel daripada melakukan

survey dengan menuntut segala macam data dan mengajukan berbagai

macam pertanyaan pada saat melakukan desain untuk angket.

Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang berguna sebelum kita

memutuskan untuk melakukan survey:

d. Sudahkah kita bermatang-matang memikirkan keperluan dan tujuan

kita dalam melakukan penelitian?

e. Dapatkah proyek penelitian itu dilakukan dengan waktu dan tenaga

yang tersedia?

f. Akankah survey kita itu memberi jawaban akurat dan komprehensif

pada pertanyaan-pertanyaan penting yang diajukan?

g. Siapkah kita menganalisis data yang kita dapat? Kalau tidak, adakah

orang yang bisa yang dapat kita mintai bantuan?

h. Kapan dan bagaimana proyek pendahuluan (pilot project) dilakukan?

62

i. Bagaimana hasil survey akan ditulis?

C. Pengamatan (Observasi)

Dengan pengamatan atau observasi pengkaji mengamati dan

mencatat tingkah laku individu atau kelompok objek kajian dalam keadaan

alamiah. Data yang dikumpulkan melalui observasi adalah:

1) Keadaan fisik: tingkah laku dan ciri-ciri yang membentuk tingkah laku

manusia, seperti jenis kelamin, bangsa, status sosial, ekonomi, dsb.

2) Keadaan interaksi: secara verbal, bukan verbal, formal, tidak formal,

terencana dan tidak terencana.

3) Keadaan suatu program dijalankan: sumber, organisasi, metode,

kurikulum, dan pelanggan suatu program.

Observasi membantu menegaskan atau menolak serta melihat

kembali tentang apa saja yang telah ditemukan lewat wawancara dan

kuesioner. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam observasi adalah:

1) Memutuskan apa yang diobservasi.

2) Memutuskan pada level apa observasi itu dilakukan.

3) Membuat kategori-kategori yang memadai.

4) Menyiapkan skala, daftar tema, atau materi-materi lainnya yang tepat

untuk diobservasi.

5) Memutuskan kapan melakukan observasi.

Menurut Spradley (1980), tahapan observasi adalah seperti berikut:

1) Observasi deskriptif. Observasi ini dilakukan peneliti pada saat

memasuki situasi sosial tertentu sebagai objek penelitian. Pada tahap ini

peneliti belum membawa masalah yang akan diteliti, maka peneliti

melakukan penjelajahan umum, dan menyeluruh, melakukan deskripsi

terhadap semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Semua data

direkam, oleh karena itu hasil observasi ini disimpulkan dalam keadaan

yang belum tertata.

63

2) Observasi terfokus. Pada tahap ini peneliti sudah melakukan mini tour

observation, yaitu suatu observasi yang dipersempit untuk difokuskan

pada aspek tertentu.

3) Observasi terseleksi. Pada tahap ini peneliti telah menguraikan fokus

yang ditemukan sehingga datanya lebih rinci. Di sini peneliti telah

menemukan karakteristik, perbedaan dan kesamaan antar kategori,

serta menemukan hubungan antara satu kategori dengan kategori lain.

Observasi ada dua jenis:

1) Observasi sistematis: metode di mana peristiwa alamiah dipilih, dicatat,

dikode ke dalam unit-unit yang bermakna dan diuraikan oleh pengamat

yang bukan merupakan peserta kajian.

2) Observasi penyertaan: kajian di mana pengamat merupakan salah

seorang peserta yang terlibat langsung dengan peristiwa yang dikaji.

Dalam observasi sistematis atau non-partisipan peneliti tidak terlibat

dan hanya sebagai pengamat independen. Misalnya dalam suatu tempat

pemungutan suarat (TPS), peneliti dapat mengamati bagaimana perilaku

masyarakat dalam hal menggunakan hak pilihnya, dalam interaksi dengan

panitia dan pemilih yang lain. Peneliti mencatat, menganalisis dan

selanjutnya dapat membuat kesimpulan tentang perilaku masyarakat dalam

pemilihan umum. Pengumpulan data dengan observasi sistematis ini tidak

akan mendapatkan data yang mendalam, dan tidak sampai tingkatan

makna, yaitu nilai-nilai di balik perilaku yang nampak, yang terucapkan, dan

yang tertulis.

Observasi penyertaan (participant observation) adalah metode yang

banyak digunakan oleh para antropolog, sosiolog, dan ahli geografi

manusia. Dalam metode ini peneliti menjadi penduduk di masyarakat yang

diteliti selama berbulan-bulan dan mengamati kehidupan sehari-hari

anggota masyarakat tersebut. Bilamana mungkin, peneliti mencoba hidup di

dalam rumah penduduk dan berpartisipasi dalam aktivitas rutin.

Sejauhmana orang luar dapat diterima secara sepenuhnya oleh masyarakat

64

itu memang berbeda-beda. Di antara para peneliti ada yang merasa perlu

untuk betul-betul dekat dengan adat lokal dan, walaupun dipaksakan,

mencoba untuk mengikuti berbagai adat kebiasaan masyarakat tersebut,

misalnya datang ke pesta pernikahan, kematian, memberi hadiah, dan

menjadi diterima oleh para responden sebagai teman mereka. Ada pula

peneliti yang lebih memilih otonomi personal yang, walaupun tinggal di

masyarakat, hidup sendiri dan mengikuti adat kebiasaan masyarakat

tersebut.

Dengan cara tinggal di masyarakat, kemungkinan untuk

mengumpulkan informasi bisa lebih besar karena dapat dilakukan secara

perlahan dan informal, melalui pengamatan daripada melalui survey formal,

menggunakan pertanyaan yang tidak langsung daripada menggunakan

angket. Peneliti secara normal akan merekam informasi dalam buku

catatan, secara hari-per-hari, topik-per-topik, tetapi membuat kajian yang

terfokus tentang fase-fase tertentu h dari kejadiannya sendiri seperti panen,

ritus keagamaan, debat politik, dsb.

Dulu, para antropolog mengkaji sesuatu yang telah terjadi dengan

teknik penyedot debu (vacuum-cleaner technique). Sekarang para

antropolog sudah semakin terspesialisasi, dan para pekerja lapangan

sudah memulai penelitian mereka dengan daftar pertanyaan fakta dan teori

yang mendetail, yang mereka inginkan untuk dijawab oleh penelitian

mereka selama periode tertentu. Mereka punya rencana penelitian jangka

panjang yang koheren, walaupun dalam sehari-harinya mereka bekerja

secara informal, fleksibel, dan menunggu kesempatan.

Kekurangan observasi penyertaan adalah lambat dan intensif.

Pertama-tama, harus ada training penelitian dan pelajaran bahasa

penduduk. Kedua, pekerjaan lapangan yang terus-terusan. Ketiga, harus

ada analisis bahan yang telah dikumpulkan. Seorang pemula mungkin perlu

beb erapa tahun sebelum siap membuat laporan yang mendalam (in-depth

report). Observasi partisipatif bisa bagus tergantung penelitinya: temuan

65

dapat menandakan konteks sosial dan keahlian peneliti sebelumnya

sehingga bisa jadi bahan penelitian itu tidak berguna atau dapat diakses

oleh pihak-pihak di luar kalangan ilmuwan.

Sangat sulit melakukan cross-check atas temuan observasi

partisipatif karena waktu penelitian lapangannya yang bersifat spesifik,

jaringan kontaknya yang bersifat personal, dan kerangka penelitian yang

dikerjakannya yang khusus, yang membuat orang lain tidak bisa

“mereproduksi” kajian tersebut. Kehidupan sosial tidak dapat “diulangi”

seperti halnya eksperimen laboratorium dengan variabel-variabel kontrol

yang dapat diulangi. Kadang-kadang peneliti menjadi begitu terlibat dalam

budaya masyarakat yang diteliti dan menyerap berbagai detail dan

kehidupan dalaman (inner-life) dari masyarakat tersebut, sehingga

seringkali tidak mempunyai kepentingan untuk menjawab persoalan-

persoalan yang lebih umum.

Keuntungan dari observasi partisipatif adalah bahwa ia dapat

menyediakan gambaran yang utuh-penuh-seluruh masyarakat yang diteliti.

Demikian karena peneliti itu tinggal di sana setiap hari. Hal ini dapat

menghindari bias musiman dari metode penelitian lain. Ia pun dapat

menghindari pandangan fragmentaris yang dimunculkan karena kunjungan

yang sebentar-sebentar saja. Observasi partisipatif merupakan salah satu

cara terbaik dalam memahami dinamika hubungan kuasa, terutama antara

perempuan dan laki-laki, di dalam rumah tangga, kelompok, ataupun dalam

kesempatan lainnya. Kelas-kelas politik dan ekonomi seringkali nampak

ketika proses kehidupan sosial diikuti secara lebih perlahan dan mendetail.

Observasi partisipatif berguna dalam mengoleksi informasi pada

kelompok yang sulit diajak bicara terbuka dalam kunjungan yang pendek

atau formal, terutama kelompok yang berstatus rendah, atau mereka yang

mempunyai pandangan defensif. Metode ini dapat mendorong munculnya

kepercayaan antara peneliti dan komunitas. Yaitu ketika peneliti dapat

bergerak ke dalam masyarakat dan berbicara pada anggota masyarakat

66

tersebut dengan lebih bebas dan mudah. Dengan keberadaan di komunitas

itu dalam jangka yang relatif lama, peneliti itu menjadi bagian dari

pemandangan sehari-hari dan tidak lagi dianggap sebagai ancaman atau

orang baru. Keuntungan ini membuat kontak bisa lebih mungkin dengan

kaum perempuan atau kaum minoritas dalam masyarakat tersebut. Metode

ini dapat memungkinkan peneliti meneliti langsung, tanpa melalui “juru

bicara” masyarakat tersebut. Di sini peneliti dapat mengetahui spektrum

masyarakat yang luas, baik itu yang tua maupun yang muda, yang

perempuan maupun yang laki-laki, yang berpengaruh maupun yang tidak.

Observasi partisipatif tidak begitu berguna ketika jawaban atas

pertanyaan-pertanyaan dasar tertentu dimintai secara cepat untuk tujuan

program intervensi, misalnya. Tetapi adalah mungkin mengadaptasi teknik

observasi partisipatif di dalam program riset yang lebih luas dalam rangka

memvalidasi ide-ide dan temuan-temuan dari metodologi lain. Kita dapat

meminta pada peneliti sebelumnya untuk memperlihatkan hubungan

tertentu (pola penggarapan tanaman, pola utang-piutang, dsb.), meminta

catatan harian mereka, laporan tentang isu-isu lokal, dsb.

Observasi partisipatif ini memang memakan waktu yang cukup lama.

Tetapi kalau sudah menjadi peneliti pada suatu daerah, perkembangan

selanjutnya bisa didapatkan secara cepat oleh peneliti tersebut. Demikian

karena, pengamalannya hidup bersama di masyarakat tersebut sudah

cukup untuk menguasai permasalahan daerah tersebut. Setelah penelitian

partisipatif dilakukan, sang peneliti menjadi orang yang percaya diri dan

efisien tentang daerah tersebut. Demikian karena ia mempunyai

pengetahuan tentang bahasa daerah tersebut, sekaligus juga mempunyai

jaringan kontak yang lebih dekat pada masyarakat tersebut.

67

VI. ANALISIS DATA

Analisis data adalah kegiatan tentang bagaimana data yang telah

dikumpulkan itu diolah, diklasifikasi, dibedakan, dan kemudian dipersiapkan

untuk dipaparkan. Dengan mengikuti jenis data yang diambil dalam

penelitian, maka teknik analisis data pun terbagi pada dasarnya pada dua

jenis: kuantitatif dan kualitatif.

Penentuan teknik analisis data itu penting karena jika pengkaji tidak

mempunyai ide tentang cara analisis atas data yang dikumpulkan, pengkaji

akan menghadapi masalah untuk membuat item pertanyaan kuesioner. Ini

karena setiap jenis analisis data dipengaruhi oleh jenis item pertanyaan

yang dibuat.

A. Analisis Data Kuantitatif

Analisis data kuantitatif: deduktif, statistik.

Ada dua jenis analisis data kuantitatif:

1) Deskriptif:

a. Tidak menggunakan sampel kajian

b. Responden terdiri dari semua subjek dalam populasi

c. Tidak perlu ujian signifikansi karena semua subjek dijadikan

responden

d. Ujian signifikansi tidak digunakan karena tidak berguna bagi kajian

jenis ini

e. Menggunakan statistik deskriptif seperti frekuensi, persentase, mean,

mode, median, standar deviasi, varians dan skor Z.

f. Hasil kajian hanya menyatakan ciri-ciri kelompok subjek yang dikaji

saja.

g. Hasil kajian tidak digeneralisasikan kepada kelompok lain.

2) Inferensi:

a. Responden sampel kajian merupakan subjek-subjek yang dipilih dari

populasi.

68

b. Sampel perlu dipilih secara rambang untuk mewakili semua subjek

dalam populasi.

c. Ujian inferensi ke atas subjek dan hasil digeneralisasi kepada semua

anggota lain dalam populasi tersebut.

d. Ujian inferensi yang digunakan termasuk ujian-t, ujian Chi Kuadrat,

Ujian ANOVA dan sebagainya.

e. Kontrol ralat jenis I dan II diperlukan untuk meningkatkan kesahan

kajian.

f. Hasil kajian mewakili kelompok subjek dalam populasi.

B. Analisis Data Kualitatif

Secara umum, analisis data kualitatif dicirikan dengan sifat-sifat:

tertutup, jangka masa panjang, mendalam. Tidak heran jika kemudian,

dalam analisis ini ada yang bersifat kembali lagi ke lapangan seperti dalam

analisis interaktif. Walaupun demikian, ada pula analisis yang bersifat

bertingkat menuju puncak dan kesempurnaan data. Berikut adalah

penjelasannya:

1) Analisis interaktif. Model ini terdiri daripada empat komponen: (1)

pengumpulan data; (2) penyederhanaan data; (3) pemaparan data; dan

(4) penarikan kesimpulan dan pengujian data dilakukan secara simultan

dalam waktu yang bersamaan. Model ini ditemukan oleh Miles dan

Huberman (Punch, 1998).

2) Analisis bertingkat (The Ladder of Analytical Carney), dilakukan dengan

tahapan sebagai berikut:

1. Menyusun dan meringkaskan data: menghasilkan teks/transkrip dan

mendapatkan set kategori koding yang sesuai.

2. Menyusun kembali dan menghitung data: identifikasi tema dan trend

dari seluruh data.

3. Pembentukan dan penilaian pernyataan untuk mengkonstruksi

kerangka penulisan yang dipahami (explanatory framework):

69

mengurangkan data yang dianalisis berdasar tema dan trend; dan

menulis laporan yang jitu.

Metode untuk analisis data harus sistematis, disiplin, dapat dilihat

(transparan), dan dapat dideskripsikan. Pertanyaan kuncinya adalah,

“bagaimana peneliti sampai pada kesimpulan ini dari data-data ini?”

1. Induksi Analitik

Salah satu di antara yang sering digunakan dalam analisis data

kualitatif adalah induksi analitik. Berikut adalah deskripsi dari Hammersley

dan Atkinson (1995) tentang jenis analisis tersebut:

1) Definisi permulaan tentang fenomena yang dijelaskan harus

diformulasikan terlebih dahulu.

2) Sebagian kasus dari fenomena ini adalah gambaran potensial

eksplanatori yang diinvestigasi dan didokumentasikan.

3) Penjelasan hipotesis itu dikerangkakan atas dasar analisis data, yang

didesain untuk mengidentifikasi faktor-faktor umum yang menyeberangi

kasus.

4) Kasus-kasus selanjutnya diinvestigasi untuk menguji hipotesis.

5) Jika hipotesis itu tidak sesuai dengan fakta-fakta dari kasus-kasus baru

ini, bisa saja hipotesis itu dirumuskan kembali atau fenomena yang

dijelaskan itu didefinisikan kembali (sehingga kasus-kasus negatif

disingkirkan).

6) Prosedur pengujian kasus ini, mereformulasi hipotesis, dan/atau

mendefinisikan kembali fenomena akan terus dilanjutkan sehingga

kasus-kasus baru secara kontinue mengkonfirmasikan kesahan

(validitas) atas hipotesis, yang pada titik itu dapat disimpulkan bahwa

hipotesis itu benar (walaupun tidak absolut).

Ragin (1994) mempercayai bahwa adalah lebih baik untuk melihat

induksi analitis sekarang ini sebagai yang mengarahkan peneliti untuk

mengkaji bukti yang menentang atau tidak mengkonfirmasi konsep atau ide

70

yang dibangun. Di sini perhatian harus lebih ditekankan pada kasus-kasus

negatif, atau pengecualian-pengecualian.

Ini dilakukan dengan membandingkan insiden atau kasus yang

mengembangkan persamaan dan perbedaan agar dapat mendefinisikan

kategori dan konsep.

2. Model Interaktif

Mendeskripsikan analisis yang diarahkan untuk menjejaki hubungan-

hubungan yang sah dan stabil di antara fenomena sosial, berdasarkan

keteraturan dan keberurutan yang menghubungkan fenomena ini (1994).

Miles dan Huberman menyebut pendekatan mereka sebagai “realisme

transendental.” Pendekatan ini mempunyai tiga komponen: reduksi data,

tampilan data, dan gambaran dan verifikasi kesimpulan.

1) Reduksi data (data reduction):

a) Tahapan awal: mengedit, memilah-milah, dan meringkas data.

b) Tahapan kedua: mengkode, membuat memo, dan aktivitas yang

berhubungan seperti menemukan tema, pengelompokan, dan pola.

c) Tahapan akhir: mengkonseptualisasi dan menjelaskan.

Mengembangkan konsep-konsep abstrak juga adalah cara

mereduksi data.

Namun reduksi juga jangan sampai menghilangkan data yang penting.

2) Tampilan data (data display). Kegiatan menampilkan data adalah

mengorganisasi, meringkas, dan menyambungkan informasi.

a) Selain dengan kata-kata, data bisa ditampilkan dengan grafik, tabel,

jaringan, diagram (diagram venn, model kausal, dsb.).

b) Display ini digunakan pada setiap tahap, sejak data diorganisasi dan

diringkaskan.

c) Display ini merupakan basis bagi analisis selanjutnya. Sebab analisis

kualitatif yang bagus memang melibatkan pengulangan data.

71

3) Kesimpulan yang digambarkan dan diverifikasi. Alasan perlunya reduksi

dan display data adalah untuk membantu menggambarkan kesimpulan.

a) Kesimpulan bukan hanya mengikuti reduksi dan display data; ia juga

bisa berbarengan dengannya.

b) Sejak awal bisa jadi sudah ada kesimpulan, tetapi bentuknya masih

samar dan tidak sempurna.

c) Kesimpulan tentatif itu harus terus diteruskan dan diasah.

d) Kesimpulan itu tidak akan final sampai seluruh data masuk, dan

dianalisis.

e) Kesimpulan bisa dalam bentuk proposisi.

f) Kesimpulan harus diverifikasi.

Analisis ini menggunakan model analisis interaktif. Model ini terdiri

daripada empat komponen: (1) pengumpulan data; (2) penyederhanaan

data; (3) pemaparan data; dan (4) penarikan kesimpulan dan pengujian

data dilakukan secara simultan dalam waktu yang bersamaan. Model ini

ditemukan oleh Miles dan Huberman (Punch, 1998).

Diagram 1. Komponen Analisis Data: Model Interaktif Sumber: Punch, 1998.

Koleksi

Data

Kesimpulan:

Penggambaran/

Pengujian

Pemapara

n Data

Penyederhanaa

n

Data

72

Kebaikan analisis ini ialah untuk menjaga dan menentukan arah

perhatian, mengembangkan pertanyaan analitik dan hipotetik bersama-

sama dengan pengumpulan data. Untuk mempertajam analisis, akan

digunakan empat teknik analisis data kualitatif digunakan menurut Spradly

sebagaimana dirujuk Supranto (1986): (1) analisis ranah (domain analysis);

(2) analisis taksonomi (taxonomic analysis); (3) analisis komponensial

(componential analysis); dan (4) analisis komponen budaya (discovering

cultural themes).

Dalam analisis ini, koding (coding) atau mengkode adalah aktivitas

spesifik dan konkret yang memulai analisis. Kode adalah nama atau label.

Koding dengan demikian merupakan proses penamaan atau pelabelan atas

sejumlah data yang didapatkan. Data yang didapat boleh jadi berbentuk

kata-kata, bisa jadi kecil atau banyak jumlah datanya.

3. Analisis Grounded Theory

Grounded theory memang tidak terlalu mudah dilakukan terutama

oleh peneliti pemula. Sebab, memiliki model analisis data yang terus-

menerus, selama data di lapangan masih tetap dikumpulkan.

1) Koding Terbuka. Proses open coding merupakan bagian dari analisis

data, di mana peneliti melakukan identifikasi, penamaan, kategorisasi,

dan penguraian gejalan yang ditemukan dalam teks hasil dari

wawancara, observasi, dan catatan harian peneliti itu sendiri.

2) Koding Poros (Teoretis). Pada tahap axial coding ini peneliti

menghubungkan berbagai kategori penelitian dalam bentuk susunan

properti (sifat-sifat) yang dilakukan dengan menghubungkan kode-kode,

dan merupakan kombinasi cara berpikir induktif dan deduktif.

3) Koding Selektif. Dalam selective coding, peneliti memilih kategorisasi

inti, dan menghubungkan dengan kategori-kategori lain pada kategori

inti. Selama proses coding ini, diadakan aktivitas penulisan memo

73

teoretis. Memo bukan sekedar gagasan kaku, namun terus berubah dan

berkembang atau direvisi sepanjang proses penelitian berlangsung.

4. Analisis Wacana

Analisis wacana (discourse analysis) paralel dengan apa yang

dikembangkan oleh kalangan posmodernis yang amat mengedepankan dua

pendekatan metodologis, yaitu interpretasi anti-objektif dan dekonstruksi.

Interpretasi bagi posmodernis dipahami sebagai interpretasi tak terbatas

sebagaimana mengakui bahwa jumlah interpretasi yang tidak terbatas dari

setiap teks adalah sangat mungkin, karena seseorang tidak akan pernah

dapat mengatakan apa yang diniatkan dengan bahasa (secara utuh), yang

pada akhirnya semua makna tekstual, semua interpretasi, adalah tidak

pasti. Karena tidak ada makna final untuk tanda khusus tertentu, tidak ada

pengertian tunggal dari sebuah teks, maka seorang posmodernis

berargumentasi bahwa tidak ada interpretasi yang dapat dianggap lebih

unggul dari yang lain.

Analisis wacana merupakan salah satu cara mempelajari pesan.

Selain dapat membedah muatan teks komunikasi yang bersifat nyata

(manifest), ia pun dapat memfokuskan pada pesan yang tersembunyi

(laten). Dengan demikian, titik perhatian bukan hanya pada pesan

(message) tetapi juga makna. Yaitu dapat berupa muatan, nuansa, dan

konstruksi makna yang laten.

Begitu pula, analisis wacana tidak hanya mempertimbangakan “apa”

(what) yang dikatakan seseorang, tetapi “bagaimana” (how) seseorang

menyatakannya. Analisis ini memandang teks sebagai suatu kesatuan isi.

Dalam kenyataannya, yang penting bukan apa yang dikatakan oleh

seseorang, tetapi bagaimana dan dengan cara apa dikatakan. Misalnya,

mempelankan suara ketika bercerita menandakan adanya suatu rahasia

atau kurang enaknya permasalahan tertentu dibicarakan.

74

Setidaknya, ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis

wacana:

1) Positivis empiris. Bahasa dilihat sebagai jembatan manusia dengan

objek di luar dirinya. Salah satu ciri pemikiran ini adalah pemisahan

antara pemikiran dan realitas. Orang tidak perlu mengetahui makna-

makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang

penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut

kaidah sintaksis dan semantik.

2) Konstruktivis. Pandangan ini terpengaruh oleh pemikiran fenomenologis.

Aliran ini menolak pandangan empirisme positivis yang memisahkan

subjek dan objek bahasa. Konstruktivis melihat bahasa tidak lagi hanya

sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang

dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme

justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan

wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

3) Kritis. Lebih tertuju pada proses produksi dan reproduksi makna yang

terjadi secara historis maupun institusional. Pandangan kritis selalu

melihat bahwa bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan,

terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan

representasi yang terdapat dalam masyarakat.

5. Semiotika

Semiotika adalah ilmu yang mengkaji realitas beserta konteksnya.

Semiotika sebagai suatu model memahami dunia sebagai system

hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’ (sign).

Dengan demikian, semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu

tanda.

Umberto Eco menyebut tanda sebagai ‘kebohongan’, karena dalam

tanda itu ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan

tanda itu sendiri.

75

Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,

dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam

konteks social. Hal ini dianggap sebagai pendapat yang mengejutkan dan

revolusioner karena hal itu berarti bahwa tanda membentuk persepsi

manusia, lebih dari sekedar merefleksikan realitas yang ada.

76

VII. PENULISAN LAPORAN PENELITIAN

A. Format Penulisan

1. Bagian-bagian Laporan Penelitian

1) Cover yang berisi judul, nama penulis, tempat dan tahun penulisan.

2) Abstrak.

3) Daftar isi.

4) Pendahuluan yang berisi latar belakang kajian, masalah kajian, tujuan

kajian, dsb.

5) Kajian literatur (teoretis).

6) Metodologi yang berisi desain penelitian termasuk subjek kajian,

instrumentasi, analisis data dan prosedur kajian.

7) Pembahasan yang berisi temuan kajian.

8) Kesimpulan dan Saran.

9) Rujukan.

2. Penyusunan Abstrak

Abstrak merupakan ringkasan bagi seluruh kajian. Dalam abstrak,

semua informasi kajian dilaporkan secara ringkas dan teratur. Hanya

informasi yang penting saja yang dilaporkan. Abstrak biasanya diketik

dalam font italics dan 1 spasi. Jumlah perkataan abstrak adalah sekitar 100-

250 kata. Abstrak berisi:

1) Masalah kajian

2) Tujuan kajian

3) Instrumen yang digunakan dalam kajian

4) Subjek kajian

5) Desain kajian

6) Hasil kajian

7) Implikasi kajian

8) Saran

77

B. Teknik Penulisan

1. Penulisan Draft dan Revisi

Drafting adalah penulisan aktual dari laporan penelitian. Ketika

mendapatkan bahan dan membuat rencana kasar, kita sudah siap untuk

menulis. Ketika menulis untuk draft pertama, kita akan mengikuti rencanan

umum yang telah dipetakan.

Draft pertama itu merupakan tempat untuk memulai. Setelah komplit,

kerja real menulis dapat dimulai. Memang, katanya, menulis itu

kebanyakannya adalah merevisi. Pada dasarnya merevisi itu dapat dibagi

dua: revisi atau mengubah isi dan organisasi penulisan dan editing.

Merevisi adalah memikirkan kembali atau melihat kembali tulisan

kita. Selama tahapan sebelum menulis (prewriting) dan drafting, kita

kebanyakannya lebih berurusan dengan menemukan ide dan

mendapatkannya. Di sini, kita harus merubah dari penundaan penilaian

(judgment) kepada membuat penilaian tersebut. Inilah tahapan evaluasi.

Untuk membantu kita dalam mengevaluasi draft kita, kita akan menemukan

ceklist revisi. Pertanyaan pada ceklis akan membantu kita memutuskan

apakah tulisan kita itu cukup fokus atau berkembang. Menceklist dapat

lebih mudah apabila kita meminta orang lain untuk membaca draft kita dan

memberikan komentar tentangnya.

Mengedit adalah menata ulang kata-kata atau kalimat-kalimat yang

tidak jelas atau tidak tepat. Setelah itu, cek lagi apakah kalimat kita itu betul

atau salah. Begitulah seterusnya sampai kita atau orang yang membaca

merasa puas.

2. Gaya Penulisan Laporan

a. Kronologis

Apabila kita mau menyajikan data tentang suatu kejadian kita dituntut

untuk menuliskannya berdasarkan waktu atau kejadian secara berurutan.

Begitu pula halnya dalam menjelaskan tentang suatu proses (bagaimana

78

melakukan sesuatu), kita harus memulai dengan penjelasan tentang apa

yang dilakukan pertama dan apa yang dilakukan terakhir. Menata kalimat

dan ide dalam urutan waktu itulah yang disebut dengan perkembangan

kronologis.

Yang biasa mengikuti gaya kronologis ini adalah analisis naratif dan

analisis proses. Walaupun narasi itu biasanya merujuk pada penyampaian

cerita, istilah ini digunakan di sini untuk mendeskripsikan hubungan

pengalaman, baik itu di masa lalu, apa yang orang biasa lakukan, ataupun

di masa sekarang.

Menata kalimat dan ide secara kronologis tidaklah susah. Yang

susahnya adalah memutuskan apa yang harus masuk dan apa yang jangan

masuk dalam tulisan kita. Yang lebih susah barangkali adalah penulisan

sifat-sifat dalam ide utama.

b. Deskriptif

Urutan waktu tidak dapat dilakukan untuk semua hal. Ketika kita

memerlukan deskripsi tentang apa yang kita lihat, misalnya penampakan

fisik, adalah urutan tempat, bukan waktu, yang penting. Untuk itu kita harus

menceritakan secara detail objek-objek menurut lokasinya. Penyusunan

seperti ini disebut organisasi ruangan (spatial organization). Dalam

penulisan deskriptif kita harus menjelaskan lokasi benda-benda yang akan

dideskripsikan.

c. Ekspositori

Tidak semua hal bisa dijelaskan dengan cara kronologis atau

spasial. Ada hal-hal yang harus dijelaskan dengan cara memberikan

informasi, penjelasan, fakta, atau ilustrasi. Inilah yang disebut dengan

ekspositori, karena kita mengekspose data. Apa yang diperlukan di sini

adalah detail dan contoh-contoh spesifik. Demikian karena kita seringkali

79

melakukan penilaian dengan cara memberi sifat atau generalisasi. Dari

situlah kita memerlukan bukti-bukti untuk menunjukannya.

d. Komparatif

Kita punya banyak alasan untuk melakukan perbandingan, dan

karena proses membandingkan itu merupakan metode yang umum dalam

pemikran dan mengembangkan topik, adalah penting untuk menulis dengan

gaya komparatif. Dalam tulisan komparatif, kita membandingkan antara dua

atau lebih kasus dengan menggunakan standard yang sama. Dengan

perbandingan, tujuannya bukanlah hanya menunjukkan persamaan dan

perbedaan atau untung rugi; tujuannya adalah untuk melakukan persuasi,

menjelaskan, atau menginformasikan.

e. Klasifikatif

Ketika menganalisis sesuatu, kita akan memecahkannya ke dalam

bagian-bagian untuk dipelajari atau menentukan hubungan antara bagian-

bagian untuk menentukan sifat bagian-bagian itu. Misalnya, menganalisis

mesin membuat kita membahas bagian-bagiannya untuk melihat

bagaimana bagian-bagian itu menyalakan mesin itu. Jika membahas

pemerintahan berarti membahas tentang pembagian kekuasaan dan

bagaimana hubungan pembagian kekuasaan itu.

Mengambil satu hal dan memecahkannya ke dalam bagian-bagian

adalah analisis dengan cara membagi-bagi (analysis by division);

sementara mengambil sekelompok besar dan memisah-misahkannya ke

dalam kategori-kategori adalah analisis klasifikasi (analysis by

classification). Keduanya hampir sama, walaupun prosesnya sedikit

berbeda. Namun, apa yang penting adalah bahwa standard klasifikasi itu

harus tetap sama.

80

f. Kausatif

Ketika kita menganalisis sebab, kita mencoba untuk memahami

hubungan kejadian-kejadian yang membawa pada suatu akibat. Sesuatu

mengakibatkan sesuatu yang lain, atau banyak hal menyebabkan sesuatu;

sesuatu adalah akibat dari sesuatu yang lain, atau banyak hal yang

diakibatkan dari satu hal.

Analisis sebab-akibat adalah keterampilan analitis yang penting

untuk dibangun. Menulis dengan menggunakan analisis sebab-akibat

membutuhkan pembahasan topik secara hati-hati agar bersifat utuh dan

logis.

g. Argumentatif

Tulisan argumentatif adalah tulisan yang ditujukan untuk meyakinkan

atau mempengaruhi. Argumen terjadi apabila ada dua pihak yang tidak

setuju tentang sesuatu. Mekanismenya adalah opini yang secara logis

dapat didukung fakta. Di sini penulisnya harus memihak salah satunya agar

dapat menjadi kuat dalam argumentasinya. Untuk itu, pemikiran induktif

terkadang hanya untuk menguatkan deduksi yang sudah ada. Dalam dunia

akademis, argumentasi itulah yang mendorong adanya pengembangan

teori, yang dengan demikian harus mengikuti alur logika pengembangan

teori.

3. Penyajian Grafis

Penyajian Grafis dapat berupa tabel, diagram, foto, dll. Berikut

adalah contoh-contohnya.

1) Tabel:

Tabel biasanya berupa garis kotak-kotak. Diurutkan menurut bab

seperti tabel 2.1. (Tabel 1 dalam Bab 2) atau tidak menurut bab seperti

tabel 1, tabel 2, tabel 24, dsb. Yang jelas, bisa dicek dengan tidak tumpang

81

tindih dan dapat didaftarkan di bagian depan tulisan, yaitu dalam daftar

tabel.

Tabel 1. Responden Angket Penelitian

Kelompok Jenis Responden Jumlah

Responden Kelompok

Kelompok Pesantren Kyai

Ustadz

Santri

4

4

10

18

Kelompok Masyarakat Pemimpin Resmi

Pemimpin Informal

Orang Awam

4

2

3

9

Kelompok yang

berkaitan dengan

Pesantren

Orang Tua Santri

Alumni

10

5

15

Jumlah responden per kecamatan 42 42

Jumlah seluruhnya (enam kecamatan) 252

2) Diagram:

Dalam penulisan ilustrasi atau diagram, pastikan ilustrasi dan rajah

ditampilkan dengan rapi dan mempunyai ukuran yang sesuai. Ukuran yang

terlalu kecil akan menyukarkan pembacaan. Ilustrasi dan diagram pun perlu

dilabeli nomor untuk membedakan satu sama lain agar dapat menghindari

kekeliruan dalam membacanya.

Berikut adalah contoh-contohnya:

Dalam menerangkan tentang jumlah murid di Kabupaten

Tasikmalaya, Jawa Barat, digunakan Diagram Venn berikut. Datanya

adalah bahwa dari segi jumlah pelajar, pesantren masih menempati

peringkat terbanyak, yaitu 68.630 santri. Jumlah ini lebih tinggi berbanding

dengan jumlah pelajar sekolah menengah, yaitu 63.697 (SMP 48.065; SMA

10.839; dan SMK 4.793). Sementara pelajar madrasah berjumlah 38.737

(MTs 29.888 dan MA 8.849) (BPS, 2008).

82

40%

23%

37%

0%

Jumlah Pelajar Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Menengah

di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2008

Santri Pesantren Murid Madrasah Siswa Sekolah

Diagram 1. Jumlah Pelajar Pesantren, Madrasah, dan Sekolah di

Tasikmalaya

Sumber: BPS, 2008.

Atau diagram batang seperti berikut:

Data yang akan ditampilkan adalah tentang perkembangan nasional

dalam variasi pesantren. Yaitu, bahwa jumlah pesantren tradisional (Salafi)

dan modern (Khalafi) menurun sementara jumlah pesantren Kombinasi

menaik. Dari data pada tahun 2003, pesantren Kombinasi berjumlah 6.596

sementara pada tahun 2006 berjumlah 8.206. Pada tahun 2003 pesantren

Salafi berjumlah 4.692 sementara pada tahun 2006 jumlah ini menurun

kepada 3.981. Pesantren Khalafi pula, berjumlah 3.368 pada tahun 2003

sementara pada tahun 2006, jumlahnya merosot kepada 2.824. (Statistik

Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun Pelajaran 2005-2006, 2006).

83

4692 3981

13477

3368 2824 3165

65968206 7564

1465616015

24206

2003 2006 2009

Pergerakan Jumlah Pesantren di Indonesia2003-2009

Salafi Khalafi Kombinasi Jumlah

Diagram 2. Jumlah Pesantren di Indonesia Berdasarkan Jenisnya (2003-

2009)

Sumber: Kemenag, 2006 dan 2009.

Diagram di atas juga menceritakan bahwa pada tahun 2009 statistik

telah menunjukkan bahwa pesantren Salafi kembali berkembang pesat

sehingga 200% dari tahun 2006. Apa yang mungkin boleh ditafsirkan

adalah kenyataan tentang banyaknya program pemerintah yang lebih

mengutamakan pesantren Salafi baik Program Wajar Dikdas Salafiyah

(compulsory education), Program Muadalah, maupun Program Paket A, B,

dan C (Kemenag, 2009).

84

3) Foto:

4. Aspek-aspek Administratif

1) Daftar isi

Daftar isi atau kandungan merupakan daftar yang mendaftar judul

(dan sub-judul) semua halaman dalam seluruh laporan penelitian mengikuti

nomor halamannya.

Hanya judul utama dan sub-judul sekunder yang perlu didaftarkan.

Sub-judul tertier tidak perlu didaftar dalam daftar isi. Contoh:

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1. Pengantar 1

1.2. Sejarah dan Perkembangan Pesantren 8

1.3. Konteks Teori: Pesantren dalam Pembangunan 14

Foto 1. Kyai dan kitab kuning merupakan ciri khas pesantren salafi. (Lokasi:

Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya. Tanggal: 13/2/2008. Kode

Rekam: PIC_0678).

85

2) Daftar lain

Selain daftar isi, daftar-daftar lain perlu pula disebut jika memang

perlu dibuat daftarnya disebabkan banyaknya muatan dalam daftar

tersebut. Pertimbangan itu harus disertai kesadaran bahwa tulisan kita

memang untuk memudahkan pembaca. Daftar-daftar itu misalnya adalah

daftar singkatan, daftar tabel, daftar diagram, daftar foto, daftar gambar, dll.

Daftar singkatan mendaftar singkatan-singkatan istilah atau nama-nama

yang panjang, yang tidak biasa digunakan. Daftar tabel adalah daftar judul

tabel yang ada dalam tulisan kita dalam suatu laporan penelitian. Dengan

demikian, pembaca dapat melihat judul seluruh tabel dalam daftar tabel

tersebut. Begitulah seterusnya. Contoh:

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Tema-tema Pembangunan Nasional Pendidikan 23

Tabel 1.2. Bilangan Pesantren yang Melaksanakan Program Wajar

Dikdas

27

Tabel 2.1. Perbandingan Masyarakat Tradisional dengan

Masyarakat Moden

53

Tabel 2.2. Nama Kitab yang Dipelajari di Pesantren 82

Tabel 2.3. Tabel Kegiatan Pembinaan dan Kehidupan Keseharian

Santri

83

Tabel 3.1. Rangka Kerja Kajian dan Analisis Data 110

3) Transliterasi

Transliterasi adalah penulisan bahasa Arab dalam bahasa Indonesia.

Transliterasi dipakai dalam bahasa keagamaan yang belum terserap ke

dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan penjelasan tentang istilah

keagamaan itu sendiri yang bersifat spesifik, keilmuan, dan kedalaman

pembahasannya. Kita ambil contoh, misalnya, istilah nash dalam

peristilahan ilmu tafsir yang berarti teks. Dulu, kita sepakat untuk

86

menulisnya menjadi nash saja. Sekarang, penulisannya harus menjadi naş.

Bismillahirrahmaanirrahiim, misalnya, menjadi bi ism Allâh al-rahmân al-

rahîm. Begitulah transliterasi. Ia mempunyai kaedah-kaedah tertentu.

Sejalan dengan perkembangan transliterasi di tingkat internasional,

mau tidak mau kita harus ikut mengakui dan melaksanakannya. Dan

memang itu memudahkan kita untuk membedakan satu huruf dengan huruf

lainnya dalam bahasa Arab. Transliterasi ini kebanyakannya menggunakan

hanya satu huruf saja. Misalnya sh dalam shaum (puasa) menjadi ş dalam

şawm. Walaupun ada pula yang tidak bisa dijadikan satu huruf. Misalnya th

untuk ts, sh untuk sy.

Dengan transliterasi ini, dimungkinkan untuk menulis ayat-ayat atau

hadits-hadits sesuai dengan bentuk penulisan Arabnya. Dengan

transliterasi ini pula ruang (space) untuk menulis ayat atau hadits tadi

menjadi lapang, tidak seperti kalau Arabnya yang menuntut keluasan

ruangan dalam penulisannya.

Demikianlah, maka pedoman transliterasi perlu dibuat untuk

penulisan laporan yang menggunakan kata-kata berbahasa Arab.

4) Biodata penulis

Penulis biasanya merupakan pengkaji yang melaksanakan kajian.

Bagian ini memberi informasi biografi penulis. Informasi tersebut termasuk

latar belakang pendidikan, pengalaman profesional dan informasi lain yang

berkaitan dengan bidang kajian.

5) Bibliografi

Bibliografi merupakan daftar bahan rujukan yang dirujuk termasuk

rujukan yang tidak dikutip dalam kajian literatur. Ia berisi nama penulis,

tahun dan sumber informasi yang dirujuk, dan tempat penerbitannya.

Contoh:

87

Abdullah, Taufik (1986), “The Pesantren in Historical Perspective,” dalam Abdullah, Taufik

and Siddique, Sharon (eds.), Islam and Society in Southeast Asia. Singapore:

Institute of Southeast Asian Studies.

Abdurrahman, Moeslim (2006), “Menimbang Demokrasi” dalam Gatra, 6 Desember 2006.

Abdurrahman, Moeslim (1995), Islam Transformatif. Pustaka Firdaus, Jakarta.

Ade Mushaputra dan Maulana Hadisaputra (eds.) (2006), Atlas Provinsi. Jakarta: CV Oi

Mori.

Albrecht, Karl (1978), Successful Management by Objectives: An Action Manual. New

Jersey: Prentice-Hall Inc. & Englewood Cliffs.

Asy’arie, Musa (ed.) (1988), Agama, Kebudayaan dan Pembangunan: Menyongsong Era

Industrialisasi. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.

6) Lampiran:

Lampiran perlu disusun menurut kelompok informasi. Setiap

kelompok informasi yang berlainan dilabelkan secara terpisah. Berikut

adalah contoh penyebutan urutan lampiran:

Lampiran A: Kuesioner

Lampiran B: Pedoman wawancara

Lampiran C: Peta lokasi populasi kajian

Lampiran D: Daftar Responden

Lampiran E: Surat izin menjalankan kajian

Lampiran F: Tabel analisis kajian

Jika ada beberapa lampiran dalam satu kategori maka dibuatlah

misalnya A1, A2, A3, dan seterusnya.

88

DAFTAR PUSTAKA

Bamberger, Michael (ed.) (2000), Integrating Quantitative and Qualitative

Research in Development Projects. Directions in Development,

Washington DC: The World Bank.

Chua, Yan Piaw (2006), Kaedah Penyelidikan. Kuala Lumpur: Mc Graw-Hill.

Dawi, Amir Hasan (1999), Penteorian Sosiologi dan Pendidikan. Tanjong

Malim, Perak, Malaysia: Quantum Books.

Depdikbud (1995), Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dhofier, Zamakhsari (1983), Tradisi Pesantren, Kajian tentang Pandangan

Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, Jakarta.

Dwi P. U. (2007), Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif

Matematika yang Berorientasi pada Kepribadian Siswa (Model

PKBK) di Sekolah Dasar. Disertasi S-3 Pendidikan Matematika tidak

dipublikasikan,Universitas Negeri Surabaya.

Faiqoh, Dra. (2003), Nyai: Agen Perubahan di Pesantren. Jakarta: Kucica.

Fakih, Mansour (2006), Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.

Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.

Fatoni, Abdurrahman (2006), Antropologi Sosial Budaya, Jakarta: Rineka

Cipta.

Fazari, Mahdar (1996), Ikhlas Mengabdi: Biografi Ajengan KH. Choer

Affandi, Pendiri Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya.

Tasikmalaya: Yayasan Pesantren Miftahul Huda.

Feinberg, Walter (1995), “The Discourse of Philosophy of Education,” in

Kohli, Wendy (ed.), Critical Conversations in Philosophy of

Education. New York & London: Routledge.

Frank, Andre Gunder (1984), Sosiologi Pembangunan dan

Keterbelakangan Sosiologi. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Pulsar.

Galba, Sindu (1995), Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi. Jakarta:

Depdikbud & Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

89

Geertz, Clifford (1965), “Modernization in a Moslem Society: The

Indonesian Case”, dalam Robert N. Bellah (ed.), Religion and

Progress in Modern Asia. New York: Free Press.

Geertz, Clifford (1960), “The Javanese Kijaji: the Changing Roles of a

Cultural Broker,” dalam Comparative Studies in Society and History,

Vol. II, No. 2, 1960.

Green, Maxine (1995), “What Counts as Philosophy of Education?,” in

Kohli, Wendy (ed.), Critical Conversations in Philosophy of

Education. New York & London: Routledge.

Griffin, Keith (1991), Alternative Strategies for Economic Development.

Economic Choices before the Developing Countries, London:

Macmillan & OECD Development Centre.

Griffin, Keith (1981), Land Concentration and Rural Poverty. London: The

Macmillan Press Ltd.

Hadimulyo (1985), “Dua Pesantren Dua Wajah Budaya”, dalam Rahardjo,

M. Dawam (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun dari

Bawah. Jakarta: P3M.

Haedari, Amin & Hanif, Abdullah (2006), Masa Depan Pesantren Dalam

Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta:

IRD Press.

Haedari, Amin (2006), Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek

Pendidikan, Keagamaan dan Sosial. Editor: Muhammad Adib,

Jakarta: Lekdis & Media Nusantara.

Handayani, Titik (2008), “Kebangkitan Nasional dan Pembangunan

Manusia: Sebuah Catatan Kritis,” dalam Masyarakat Indonesia, Jilid

XXXIV, No. 2, 2008.

Horikoshi, Hiroko (1987), A Traditional Leader in a Time of Change: The

Kijaji and Ulama in West Java, Tesis Ph.D. dalam bidang Antropologi

di University of Illionis, Urbana-Champaign, USA, 1976.

Diterjemahkan oleh Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa, Kyai

90

dan Perubahan Sosial. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan

Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Horn, Robert V (1993), Statistical Indicators for the Economic and Social

Sciences. Cambridge: Cambridge University Press.

Hurgronje, Snouck (1973), Islam di Hindia Belanda. Terjemahan S.

Gunawan, Jakarta: Bhratara.

Huse, Edgar F. (1979), The Modern Manager. New York: West Publishing

Company.

Hussin, Sufean (ed.) (2002), Dasar Pendidikan Progresif: Perspektif Makro

dan Mikro. Siri Pengajian dan Pendidikan Utusan, Kuala Lumpur:

Utusan Publications & Distributors Sdn. Bhd.

Hussin, Sufean (ed.) (2002), Inovasi Dasar Pendidikan: Perspektif Sistem

dan Organisasi. Kuala Lumpur, Penerbit Universiti Malaya.

Hussin, Sufean (1995), The Art of Research and Dissertation Writing.

Bentong, Pahang, Malaysia: Asas Tunas Publications.

Jackson, Karl D. (1970), Political Power and Communication in Indonesia.

Berkeley: University of California Press.

Kemenag R.I. (1983), Nama dan Alamat Pondok Pesantren Se Indonesia,

Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren. Jakarta:

Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Kemenag RI.

Kemenag R.I. (1990), Pola Pengembangan Pondok Pesantren. Jakarta:

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.

Kemenag R.I. (2000), Pola Pengembangan Pondok Pesantren. Jakarta:

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.

Kemenag R.I. (2006), Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun

Pelajaran 2005-2006. Jakarta: Bagian Data dan Informasi

Pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian

Agama.

Kemenag R.I. (2009), Buku Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan

Tahun Pelajaran 2008/2009. Jakarta: Bagian Data dan Informasi

91

Pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian

Agama.

Kementerian Pendidikan Malaysia (2001), Pembangunan Pendidikan 2001-

2010: Perancangan Bersepadu Penjana Kecemerlangan Pendidikan.

Kuala Lumpur: Kementerian Pendidikan Malaysia.

Koentjaraningrat (1990), Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.

Kohli, Wendy (ed.) (1995), Critical Conversations in Philosophy of

Education. New York & London: Routledge.

Koontz, Harold; O’Donnell, Cyril; and Weihrich, Heinz (1986), Essentials of

Management. New York: McGraw-Hill.

Korten, David C. and Alfonso, Felipe B. (eds.) (1981), Bureaucracy and the

Poor: Closing the Gap. Singapore: McGraw-Hill International Book

Company, Copyright by Asian Institute of Management, Makatai,

Metro Manila, the Philippines.

Lauer, Robert H (1973), Perspectives on Social Change. Boston: Allyn and

Bacon, Inc.

Madjid, Nurcholish (1985), “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan

Pesantren,” dalam Rahardjo, M. Dawam (ed.), Pergulatan Dunia

Pesantren. Jakarta: P3M.

Madjid, Nurcholish, dkk. (ed.) (1994), Ensiklopedi Islam, Jilid IV. Jakarta:

PT. Ichtiar Baru van Hoeve.

Madmarn, Hasan (1999), The Pondok and Madrasah in Patani. Bangi:

Penerbit UKM.

Malik, Jamaluddin (ed.) (2005), Pemberdayaan Pesantren: Menuju

Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah

Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pesantren dan Yayasan Kantata

Bangsa.

Mansurnoor, Iik Arifin (1990), Islam in an Indonesian World: Ulama of

Madura. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

92

Mas’udi, Masdar F., dkk. (1986), Direktori Pesantren I. Jakarta:

Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Mas’udi, Masdar Farid (1998), “Problem Keilmuan Dunia Pesantren,” dalam

Saifullah Ma’shum (ed.), Dinamika Pesantren: Telaah Kritis

Keberadaan Pesantren Saat Ini. Jakarta: Yayasan Islam Al-

Hamidiyah-Yayasan Saifuddin Zuhri.

Mastuhu (1994), Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Suatu Studi

Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta:

Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).

Midgley, James and Piachaud, David (eds.) (1984), The Fields and

Methods of Social Planning. London: Heinemann Educational Books.

Midgley, James (1995), Social Development: The Developmental

Perspective in Social Welfare. London: Sage Publications.

Moebyarto (1983), Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta:

Penerbit Sinar Harapan.

Moeljarto, Vidhyandika dan Prabowo, Sonia (1997), “Bidang Pendidikan

dan Kesehatan dalam Pembangunan Sosial” dalam Analisis CSIS,

Tahun XXVI, No. 1, Jan-Feb 1997, Jakarta: Center for Strategic and

International Studies (CSIS).

Moleong, Lexy J., (1989), Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Moore, Wilbert E. (1974), Social Change. 2nd edition, New Jersey: Prentice-

Hall Inc. & Englewood Cliffs

Moore, Wilbert E. and Cook, Robert M. (eds.), (1967), Readings on Social

Change. New Jersey: Prentice Hall Inc./Englewood Cliffs.

Morrish, Ivor (1978), The Sociology of Education: An Introduction. Unwin

Education Books, Series Editor: Ivor Morrish, London: George Allen

& Unwin, (1972), 2nd edition.

Naisbitt, John (1990), Megatrends: Ten New Directions Transforming Our

Lives. New York: Avon Books.

93

Nasution, Harun (1990), Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah: Sejarah,

Asal-Usul, dan Perkembangannya. Tasikmalaya: Institut Agama

Islam Latifah Mubaroqiyyah.

Noddings, Nel (2007), Philosophy of Education. Cambridge, MA: Westview

Press, second edition.

Noer, Deliar (1978), Administration of Islam in Indonesia. Monograph Series

No. 58, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca, New York: Cornell

University.

Nordin, Abu Bakar dan Othman, Ikhsan (2003), Falsafah Pendidikan dan

Kurikulum. Tanjong Malim, Perak: Quantum Books.

Nurdin (2007), Model Pembelajaran Matematika untuk Menumbuhkan

Kemampuan Metakognitif (Model PMKM). Disertasi S-3 Pendidikan

Matematika tidak dipublikasikan, Universitas Negeri Surabaya.

Ohmae, Kenichi (1991), The Evolving Global Economy: Making Sense of

the New World Order. Boston, MA: Harvard Bussiness Review.

Pambudy, Rachmat (2007), “Perencanaan dan Pengelolaan Agrobisnis

Pangan”, Gatra, 3 Januari 2007.

Parsons, Talcott (1963), Structure and Process in Modern Societies. New

York, The Free Press of Glencoe, (1960), 2nd Edition.

Parsons, Talcott (1971), The System of Modern Societies. New Jersey:

Prentice-Hall Inc. & Englewood Cliffs.

Patton, Michael Quinn (2002), Qualitative Research and Evaluation

Methods. 3rd edition, London: Sage Publications, (1990).

Pemkab Tasikmalaya (2006), Profil Kabupaten Tasikmalaya. Tasikmalaya:

Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya.

Poloma, Margaret M. (1979), Contemporary Sociological Theory. New York:

Macmillan Publishing Co. Inc.

Poston, W. K., Jr., Stone, M. P., and Muther, L. (1992), Making Schools

Work: Practical Management of Support Operation. Vol. 7, Thousand

Oaks, California: Corwin Press.

94

Praginanto, Gigin (2007), “Ancaman di Balik Hidden Economy”, dalam

Gatra, 24 Januari 2007.

Praja, Juhaya S (1990), “TQN Pondok Pesantren Suryalaya dan

Perkembangannya pada Masa Abah Anom (1950-1990)” dalam

Harun Nasution, Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah: Sejarah,

Asal-Usul, dan Perkembangannya. Tasikmalaya: Institut Agama

Islam Latifah Mubaroqiyyah.

Prasodjo, Sudjoko (et.al.) (1982) Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian

Pesantren Al-Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor. Jakarta:

LP3ES, (1974), cetakan ketiga.

Pratt, Brian and Loizos, Peter (1992), Choosing Research Methods: Data

Collection for Development Workers. Oxfam Development Guidelines

No. 7, Oxford: Oxfam.

Punch, Keith F. (1998), Introduction to Social Research: Qualitative and

Quantitative Approaches. London: Sage Publications.

Rahardjo, M. Dawam (ed.) (1985), Pergulatan Dunia Pesantren,

Membangun dari Bawah. Jakarta: P3M.

Rahardjo, M. Dawam, (ed.) (1995), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta:

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan

Sosial (LP3ES).

Rahman, M. Taufiq. (2011). Glosari Teori Sosial. Bandung: Ibnu Sina Press.

Ramzy, A. Naufal (ed.) (1993), Islam dan Transformasi Sosial Budaya.

Jakarta: Deviri Ganan.

Riggs, Fred W. (1985), Administration in Developing Countries: The Theory

of Prismatic Society. Boston: Houghton Mifflin Company, (1964).

Rostow, W. W. (1960), The Stages of Economic Growth: A Non-Communist

Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press.

Sadovnik, Alan R. (2001), “Theories in the Sociology of Education”, dalam

Ballantine, Jeanne H. and Spade, Joan Z., (eds.), Schools & Society:

95

A Sociological Approach to Education. The Wadsworth Sociology

Reader Series, Belmont, California: Wadsworth/Thomson Learning.

Saifullah Ma’shum (ed.) (1998), Dinamika Pesantren: Telaah Kritis

Keberadaan Pesantren Saat Ini. Jakarta: Yayasan Islam Al-

Hamidiyah-Yayasan Saifuddin Zuhri.

Salim, Emil (1989), “Sumber Daya Manusia dalam Perspektif,” Analisis

CSIS, 1989, Volume 3.

Salkind, Neil J. (2000), Exploring Research. 4th edition, New Jersey, US:

Prentice Hall, (1991).

Salman, Darmawan (1991), “Pergeseran Ketenagakerjaan di Pedesaan,”

Analisis CSIS, 1991, Volume 5.

Samson, Allan (1970), “A Conception of Politics and Ideology in

Contemporary Indonesian Islam” in Karl D. Jackson, Political Power

and Communication in Indonesia. Berkeley: University of California

Press.

Schumacher, E.F. (1973), Small is Beautiful: A Study of Economics as if

People Mattered. London: Blond & Brggs Ltd.

Scott, James C. (1972), “The Erosion of Patron-Client Bonds and Social

Change in Rural Southeast Asia”, Journal of Asian Studies, Vol.

XXXII, No. 1, November 1972.

Sen, Amartya K. (1992), Inequality Reexamined. New York: Oxford

University Press.

Shalahudin, Mahfudh (1996), Daftar Nama Pimpinan Pondok Pesantren

dan Nama Para Ulama se Kabupaten Tasikmalaya. Kantor Kemenag

Kabupaten Tasikmalaya.

Shalahudin, Mahfudh (1996), Rekapitulasi Pondok Pesantren Besar di

Kabupaten Tasikmalaya. Kantor Kemenag Kabupaten Tasikmalaya.

Sidik, H. Muhammad Ansorudin (1995), Pengembangan Wawasan Iptek

Pondok Pesantren. Jakarta: Bumi Aksara.

96

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan (1989), Metode Penelitian Survey.

Jakarta: LP3ES.

Soedjatmoko (2001), Kebudayaan Sosialis. Jakarta: Melibas.

Soehartono, Irawan (1995), Metodologi Penelitian Sosial, Suatu Teknik

Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya.

Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya.

Soenarjo, dkk. (1986), Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Proyek

Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an dan Terjemahannya, Kementerian

Agama RI.

Stalcup, R. J. (1968), Sociology and Education. Columbus, Ohio: C. E.

Merrill.

Steenbrink, Karel A. (1995), Kawan Dalam Pertikaian Kaum Kolonial

Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942). Terjemahan Suryan A.

Jamrah, Bandung: Mizan.

Steenbrink, Karel A. (1986), Pesantren-Madrasah-Sekolah: Pendidikan

Islam Dalam Kurun Modern. Diterjemahkan oleh Karel A. Steenbrink

dan Abdurrahman, Jakarta: LP3ES.

Streeten, Paul (1981), First Things First: Meeting Basic Human Needs in

Developing Countries. London: Oxford University Press.

Sukarno, Makmuri (2008), “Perguruan Taman Siswa: Kasus Pendidikan

Berbasis Masyarakat Menghadapi Negara,” dalam Masyarakat

Indonesia, Jilid XXXIV, No. 2, 2008.

Sukamto (1999), Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren. Jakarta: LP3ES.

Supranto (1986), Metode Research: Aplikasinya dalam Pemasaran.

Jakarta: Rieneka Cipta.

Syahid, Achmad, Drs., M.A. (ed.) (2003), Pesantren dan Pengembangan

Ekonomi Umat: Pesantren Al-Ittifaq dalam Perbandingan. Jakarta:

Pekapontren Kemenag R.I.

Tjiptoherijanto, Prijono (1997), “Pembangunan Jaringan Ekonomi Pedesaan

dalam Upaya Pengentasan Penduduk Miskin di Daerah Tidak

97

Tertinggal”, Analisis CSIS, Tahun XXVI, No. 4, Juli-Agustus 1997,

CSIS, Jakarta.

Tjokrowinoto, Moeljarto (1992), Politik Pembangunan: Sebuah Analisis

Konsep, Arah dan Strategi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Todaro, Michael (1994), Economic Development. New York: Longman.

Toffler, Alvin (1970), Future Shock. New York: Bantam Books.

Turmudi, Endang (1990), “Peran Sosial Agama dan Sikap Keberagamaan

Masyarakat Modern dalam Perspektif Sosiologis,” Masyarakat

Indonesia, Tahun XVII, No. 2, 1990, Jakarta: Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Turmudi, Endang (2008), “Pendidikan Islam Setelah Seabad Kebangkitan

Nasional,” dalam Masyarakat Indonesia, Jilid XXXIV, No. 2, 2008.

Ulil Abshar-Abdalla (2000), “Kegelisahan Kiai Desa di Kota Metropolitan

Jakarta,” BASIS, Nomor 03-04, Tahun Ke-49, Maret-April 2000,

Yogyakarta, Indonesia.

Wahid, Abdurrahman (1987), “Benarkah Kiai Membawa Perubahan Sosial?”

Pengantar dari buku Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial.

Jakarta: P3M.

Wahid, Abdurrahman (1995), “Pesantren Sebagai Sub Kultur” dalam

Rahardjo, M. Dawam, (ed.), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta:

LP3ES.

Wahid, Abdurrahman (1979), Bunga Rampai Pesantren. CV. Dharma Bakti,

Jakarta.

Wahid, Marzuki (2005), “Ma’had Aly: Nestapa Tradisionalisme dan Tradisi

Akademik yang Hilang,” dalam Istiqro’, Jurnal Penelitian Direktorat

Perguruan Tinggi Agama Islam, Vol. 04, No. 01, 2005, Jakarta:

Kementerian Agama R.I.

Wan Daud, Wan Mohd. Nor (1998), The Educational Philosophy and

Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas: An Exposition of the

Original Concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC.

98

Wasistiono, Sadu dan Tahir, M. Irwan (2006), Prospek Pengembangan

Desa. Bandung: Fokusmedia dan Lembaga Kajian Manajemen

Pemerintahan Daerah.

Webster, Andrew (1990), Introduction to the Sociology of Development.

London: Macmillan Press.

Weihrich, Heinz (1985), Management Excellence: Productivity Through

MBO. New York: McGraw-Hill Book Company.

Weiner, Myron (ed.) (1966), Modernization: The Dynamics of Growth. New

York: Basic Books Inc.

Widodo, YB (2005), “Dinamika Pembangunan Pedesaan: Masalah Petani

Gurem dan Buruh Tani di Pedesaan Jawa,” dalam Masyarakat

Indonesia, Jilid XXXI, No. 2, 2005.

Yakub, M. (1992), Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren), Keberadaan

dan Pengembangannya. Jakarta: Kementerian Koperasi.

Yakub, M. (1985), Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa.

Bandung: Angkasa.

Zaini, A. Wahid (1994), Dunia Pemikiran Kaum Santri. Yogyakarta: LKPSM

NU.

Ziemek, Manfred (1986), Pesantren-Islamische bildung in Sozialen Wandel,

Disertasi Doktors de Philosophie pada Johan Wolfgang Goethe

Universitat, Frankfurt, Jerman, 1983. Diterjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia oleh Butche B. Soendjojo, Pesantren dalam

Perubahan Sosial. Jakarta: P3M.

Zuhri, Saifuddin (1974), Guruku Orang-Orang dari Pesantren. Bandung:

Alma’arif.

99

RIWAYAT HIDUP PENULIS 1

Mohamad Mustari Ph.D, lahir di Sukabumi, 11 April 1964 dari

pasangan Sambas Samsudin (Alm) dengan Ny. Artasih

(Almh).

Isteri Nama Henny Febriayanti dan tiga orang anak; 1.

Muhammad Fakriansyah (16 tahun), 2. Aditya Kusumah (7

tahun) dan 3. Muhammad Aryadinata (4 tahun). Alamat: Villa

Dago Tol Blok D8 No. 1 Sarua, Ciputat, Kota Tanggerang

Selatan, Banten

Email: [email protected]

Pendidikan Formal: Menyelesaikan pendidikan (SDN I Gunung Leutik, tahun 1979

dan SMPN 1 tahun 1982) serta pendidikan menengah (SMA KP 1 Jurusan IPA

tahun 1985) semuanya di Ciparay Kabupaten Bandung Jawa Barat. Pendidikan

Tinggi Sarjana Administrasi Negara (UT Jakarta tahun 1997), Magister Manajemen

(S2) Jurusan Sumber Daya Manusia (STIE IPWI Jakarta tahun 2000) dan

meneruskan pendidikan ke United Kingdom Beasiswa luar negeri dari pemerintah

Republik Indonesia untuk program (S2) Master of Arts Jurusan Manajemen

Pendidikan (University of Huddersfield UK Inggris tahun 2003) pernah menjadi

mahasiswa UNJ program tahun 2004 program S3 jurusan Manajemen Pendidikan

tahun 2004 dan melanjutkan ke University of Malaya Malaysia program doktor (S3)

jurusan Perancangan Pendidikan atas biaya Universiti Malaya dan Kementerian

Pendidikan Nasional RI tahun 2010. Pendidikan Kedinasan (Diklatpim IV tahun

2008) serta pendidikan dan pelatihan keahlian lainnya.

Riwayat Pekerjaan: menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil mulai tahun 1986 pada

Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian

100

Pendidikan Nasional sampai sekarang dan diberi tanggungjawab sebagai Tim Teknis

Proyek Kecakapan Hidup (Life Skill) tahun 2003, sebagai Nasional Trainer program

Australia Indonesia Basic Education Program (AIBEP) tahun 2007 – 2010.

Buku/Karya Tulis: yang pernah diterbitkan “Pesantren dan Program Pembangunan

Pemerintah (Islamadina, IRIS Bandung tahun 2008), Pembangunan Pesantren

(Jurnal Education Leadership (UNY tahun 2009) serta Hak Asasi Perempuan dalam

Memperoleh Pendidikan (Jurnal tahun 2010), Pembangunan Karakter ala Sekolah

Berbasis Pesantren (Jurnal 2010), Pendidikan Karakter di Pesantren (Jurnal 2011),

kemudian dalam bentuk buku: Peranan Pesantren dalam Pembangunan Pendidikan

Masyarakat Desa (Multi Press, Yogyakarta, 2010), Rahasia Sukses Kepala Sekolah

(sebagai editor, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2010), Kiat Jitu Memenangkan

Beasiswa Kuliah ke Luar Negeri (Penulis Multi Pres, Yogyakarta, 2011), Kunci

Sukses Meraih Gelar Magister dan Doktor: Tuntunan Menulis Tesis dan Disertasi

(Pesagimandiri Perkasa, Jakarta, 2011), Nilai Karakter: Refleksi untuk Pendidikan

Karakter (LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2011).

Riwayat pekerjaan: Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil mulai tahun 1986 pada

Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian

Pendidikan Nasional sampai sekarang dan diberi tanggungjawab sebagai Tim Teknis

Proyek Kecakapan Hidup (Life Skill) tahun 2003, sebagai Nasional Trainer program

Australia Indonesia Basic Education Program (AIBEP) tahun 2007 – 2010.

Pengalaman Organisasi Pengurus: OSIS dan Kemahasiswaan sebagai Ketua

Pelajar Indonesia di Huddersfield UK Inggris, Pembina PKBM, pendiri Yayasan

Pendidikan Ibnu Sina tahun1995 sampai sekarang. Pembina di beberapa Pesantren.

Penghargaan yang pernah diterima, Satya Lencana Karya Satya XX Tahun Presiden

RI tahun 2006.

101

Kunjungan ke luar negeri Inggris 2002 dalam rangka Beasiswa Luar Negeri, Brazil

2006 Observer IJSO dan Malaysia Beasiswa Luar Negeri, Studi Banding ke Australia

2010, serta kunjungan ke luar negeri lainnya.

102

RIWAYAT HIDUP PENULIS 2

Mohammad Taufiq Rahman dilahirkan di Tasikmalaya, 4 April 1973

dari pasangan Drs. H. Muzakir dan Hj. Dedeh Hamidah. Ia tinggal di

Sumedang beserta isteri: Fauziah Fatma, dr. dan kedua anaknya: Fathan

Tibyan Rahman dan Fakhra Tabqiya Rahman. Ia dapat diakses melalui

email [email protected].

Pendidikan S-1-nya adalah Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Usuluddin

IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (tamat tahun 1995), dilanjutkan pada

program S-2 Islamic Studies, Leiden University, Belanda (tamat tahun

1999), dan S-3 di Department of Aqidah and Islamic Thought, University of

Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia (tamat tahun 2010).

Selama menjadi mahasiswa ia seringkali aktif di berbagai kegiatan

kemahasiswaan, terutama yang bersifat kajian dan publikasi. Ia termasuk

diantara mahasiswa yang aktif berdiskusi di berbagai lingkar studi seperti

Lembaga Studi Tafsir (LESTUTA), Forum Diskusi Al-Qalam, Islamic

Thought Forum, Himmatul ‘Alimin di Bandung, dan Humanitair Actie Voor

Indonesie (Aksi Kemanusiaan Untuk Indonesia, AKUI) di Amsterdam,

Belanda. Di bidang publikasi, ia pernah menerbitkan bulletin Himmath dan

menjadi redaktur di Suara Kampus (SUAKA) IAIN SGD Bandung. Sebagai

wartawan kampus ia pun sering bersilaturahmi dengan sesama jurnalis

kampus baik dalam Forum Pers Mahasiswa Bandung (FPMB) maupun

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Karir yang digelutinya yang pertama adalah guru, yaitu di antaranya

mengajar di Madrasah Diniyah YPPI Tasikmalaya (1989-1991), Madrasah

Diniyah Nurul Islam Ujung Berung Bandung (1991-1993), dan Madrasah

Tsanawiyah di Pesantren Persis Linggar Rancaekek Bandung (1992-1995).

Kemudian juga pernah berkarir di dunia pers dengan menjadi jurnalis di

103

Majalah Bulanan Islam RISALAH, Bandung (1994-2003) dan menjadi

kontributor di beberapa majalah dan koran seperti Panji Masyarakat, Suara

Muhammadiyah, Media Pembinaan, Harian Umum Media Indonesia dan

Bandung Pos. Untuk mengisi kekosongan, ia mempunyai hobi

menerjemahkan buku-buku dan artikel-artikel berbahasa Inggris yang

dirasa perlu untuk diterbitkan dalam versi Bahasa Indonesia. Di antaranya

adalah Islam Tanpa Kekerasan (1999) yang diterbitkan oleh LKiS

Yogyakarta. Dari hobi koleksi konsep-konsep Sosiologi, ia menerbitkan

buku Glosari Teori Sosial (2011) yang diterbitkan oleh Ibnu Sina Press,

Bandung.

Terakhir, yang masih digelutinya adalah menjadi dosen di Fakultas

Usuluddin UIN SGD Bandung (1997-2012), kemudian menjadi dosen di

FISIP dan di Program Pasca Sarjana; keduanya dalam institusi

almamaternya, UIN SGD Bandung hingga sekarang. Selain itu, ia pun

masih menjadi peneliti pada Institute for Religious and Institutional Studies

(IRIS), Bandung (1999-sekarang). Dengan keahlian sebagai guru dan

dosen yang rajin meng-up grade kemampuannya, ia kerap ikut mengisi

training-training untuk para guru, kepala madrasah, dan para pengawas di

lingkungan Kementerian Agama. Dan dengan spesialisasinya di bidang

Filsafat Sosial ia seringkali menjadi pembicara di kegiatan-kegiatan

seminar, penyuluhan ataupun workshop.