Pengantar Hukum Persaingan Usaha...
Transcript of Pengantar Hukum Persaingan Usaha...
1
PengantarHukum Persaingan Usaha Indonesia
Manfaat Persaingan
Henry Clay (1832) pernah mengungkapkan dalam suatu kalimat: “Off all human powers
operating on the affairs of mankind, none is greater than that of competition,” untuk
menggambarkan mengenai arti penting dari persaingan bagi umat manusia. Bahkan
mungkin sejak dimulainya peradaban dan selama masih akan ada peradaban rasanya
persaingan tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Bayangkan seandainya di dalam kehidupan ini tidak ada persaingan, mungkin
perkembangan teknologi tidak akan semaju seperti sekarang ini, dan pergi ke luar
angkasa serta menginjakan kaki di bulan hanya akan menjadi sebuah mimpi belaka.
Dengan adanya persaingan jelas memberikan manfaat kepada peningkatan kualitas
kehidupan manusia. Namun di samping segi positifnya persaingan juga terkadang
membawa segi negatif, terutama bagi pihak yang kalah dalam persaingan. Namun
secara umum persaingan diakui ataupun tidak, lebih banyak membawa segi positif
dibandingkan segi negatifnya. Jadi keinginan untuk meniadakan persaingan adalah
suatu keinginan yang jelas justru akan membawa kehidupan umat manusia kearah
kemunduran.
Ditha Wiradiputra, S.H. (Staf Pengajar FHUI, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan danKebijakan Usaha FHUI), Modul untuk Retooling Program under Employee Graduates at PriorityDisiciplines under TPSDP (Technology and Profesional Skills Development Sector Project) DIKTI.Tanggal 14 September 2004, Jakarta.
2
Mengapa sebagian besar orang dalam berbelanja sesuatu untuk memenuhi
kebutuhannya sehari-hari biasanya lebih memilih pergi berbelanja di pasar,
dibandingkan harus membeli dari toko atau warung yang terdapat di sekitar tempat
tinggal, walaupun toko atau warung tersebut juga menjual barang-barang yang terdapat
di pasar? Hal tersebut terjadi, dikarenakan pada umumnya harga barang-barang yang
dijual oleh penjual di pasar biasanya jauh lebih murah dibandingkan dengan harga
barang-barang yang dijual ditoko atau warung di sekitar tempat tinggal, harga di pasar
bisa lebih murah dibandingkan harga di toko di sekitar tempat tinggal, dikarenakan di
pasar terdapat banyak sekali penjual yang juga menjual produk yang terkadang hampir
sama, sehingga penjual-penjual yang ada di pasar biasanya tidak berani mengambil
keuntungan terlalu besar atas barang dagangannya, karena pembeli pasti dengan
mudah pindah ke penjual lain di pasar tersebut juga, yang menawarkan harga yang lebih
murah, oleh karena itu harga-harga barang yang di jual di pasar biasanya menjadi lebih
murah.
Lebih mahalnya harga barang-barang yang dijual di toko atau warung di sekitar tempat
tinggal, merupakan akibat dari toko atau warung tersebut mengambil keuntungan yang
terlalu besar atau berlebihan, dimana mereka mengetahui mengenai posisinya yang
tidak memiliki banyak pesaing dalam menjual produknya, sehingga membuat mereka
bebas memainkan harga sekehendak hatinya saja. Namun walaupun harga barang-
barang di toko atau warung di sekitar tempat tinggal jauh lebih mahal, biasanya tetap
dibeli juga oleh penduduk sekitar karena mereka tidak memiliki pilihan lain lagi.
Dari ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya persaingan jelas
memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi kehidupan kita, namun untuk menghindari
sisi negatif dari persaingan perlu dibuat suatu aturan main yang jelas, sehingga
persaingan dapat berjalan dengan baik atau dengan kata lain tercipta suatu level playing
field, yang membuat pelaku-pelaku usaha kecil tetap dapat menjalankan usaha
disamping pelaku-pelaku usaha besar tetap dapat menjalankan usahanya juga.
3
Sejarah Undang-undang No.5/1999
Setelah sekian lama dinantikan akhirnya Indonesia pada tanggal 5 Maret 1999 memiliki
juga undang-undang yang mengatur mengenai persaingan usaha yaitu Undang-undang
Nomor 5 / 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
atau juga dapat disebut dengan nama Undang-undang Persaingan Usaha ataupun
Undang-undang Anti Monopoli. Undang-undang No.5/1999 ini juga memiliki makna dan
sejarah tersendiri, karena Undang-undang No.5 / 1999 merupakan Undang-undang hasil
inisiatif DPR RI yang pertama sejak negara Republik Indonesia merdeka.
Sebenarnya sebelum diberlakukan Undang-undang Persaingan Usaha, Indonesia telah
memilik peraturan perundang-undangan yang yang mengatur mengenai praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, walupun masih tercecer, bersifat parsial
dan kurang komprehensif,1 seperti terdapat beberapa pasal di dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (PT), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal, Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-undang
Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.2
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 / 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat, perangkat hukum yang mengatur
mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat jauh lebih baik dari yang
diatur oleh peraturan perundang-undangan sebelumnya.
Lahirnya Undang-undang Persaingan Usaha sebenarnya tidak lepas dari krisis moneter
yang kemudian berlanjut kepada krisis ekonomi yang melanda Indonesia di pertengahan
1 Normis S. Pakpahan, “Rangkuman Seminar ELIPS: Penemuan Hukum Persaingan: SuatuLayanan Analitik Komparatif,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 4, 1998), hal.23.
2 Faisal Basri, “Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan EkonomiIndonesia,” (Jakarta: Erlangga,2002), hal.355-364.
4
tahun 1997, dimana pemerintah disadarkan bahwa sebenarnya fundamental ekonomi
Indonesia pada waktu itu ternyata begitu lemah, lemahnya fundamental ekonomi
Indonesia terjadi karena berbagai kebijakan pemerintah di berbagai sektor ekonomi
yang kurang tepat yang menyebabkan pasar menjadi terdistorsi.3 Terdistrosinya pasar
membuat harga yang terbentuk di pasar tidak lagi merefleksikan hukum permintaan dan
hukum penawaran yang rill, proses pembentukan harga dilakukan secara sepihak (oleh
pengusaha atau produsen)4 tanpa memperhatikan kualitas produk yang mereka
tawarkan terhadap konsumen.
Di dalam penjelasan umum atas Undang-undang Persaingan Usaha dikatakan bahwa
kebijakan pemerintah diberbagai sektor ekonomi yang dibuat selama tiga dasawarsa
terakhir ternyata belum membuat seluruh masyarakat mampu berpartisipasi, hanya
sebagian kecil golongan masyarakat saja yang dapat menikmati kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah tersebut, sehingga berdampak kepada semakin meluasnya
kesenjangan sosial.5
Di sisi lain perkembangan usaha swasta pada kenyataannya sebagian besar merupakan
perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.6 Kedudukan monopoli yang
ada lahir karena adanya fasilitas yang diberikan oleh pemerintah7 (antara lain melalui
tata niaga) serta ditempuh melalui praktek bisnis yang tidak sehat (unfair business
practices) seperti persekongkolan untuk menetapkan harga (price fixing) melalui kartel8,
3 Penjelasan UU
4 Sjahdeini, loc. cit., hal.14 .
5 penjelasan UU
6 Penjelasan Undang-Undang Bagian Umum UU No.5/1999.
7 Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Anti Monopoli, cet.1.(Jakarta: Raya Grafindo Persada,1999).hal.7.
8 Kartel adalah Persekutuan antara perusahaan industri yang menghasilkan komoditas yang sama(swasta atau BUMN), untuk mengatur pembelian, produksi atau pemasaran komoditas bersangkutan.Sering disertai dengan penetapan kuota produksi dan investasi. Jika persekutuan tersebut menghasilkankekuatan monopoli, maka ia akan berusaha menaikan harga dan membatasi pasokan untuk memperolehlaba maksimal. Dikutip dari harian KOMPAS, tanggal 23 Agustus 1997, hal 17.
5
menetapkan mekanisme yang yang menghalangi terbentuknya kompetisi, menciptakan
barrier to entry,9 dan terbentuknya integrasi baik horisontal10 dan vertikal.11
Perusahaan-perusahaan swasta yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan
berbagai kemudahan berlebihan12 dengan alasan klasik melindungi “industri bayi”13 dan
demi stabilisasi harga.14 Munculnya konglomerasi15 dan sekelompok kecil pengusaha
kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati, yang berusaha
didasarkan pada hutang dan tanpa adanya inovasi kreatifitas16 yang mendukung kinerja
pengusaha merupakan faktor yang mengakibatkan fundamental ekonomi Indonesia
lemah17 dan tidak mampu bersaing.18
9 Barrier to entry adalah hambatan yang dibuat untuk mencegah masuknya pesaing potensial,barrier toentry ini biasa dilakukan melalui perizinan usaha dari pemerintah.
10 Integrasi horizontal adalah penggabungan beberapa pelaku usaha yang masing-masing pelakuusaha memproduksi suatu produk yang bersaing dipasar. Istilah integrasi horizontal ini didefinisikan olehpenulis berdasarkan definsi atas istilah merger yang bersifat horizontal. Dikutip dari tulisan R.B. Suhartono,loc. cit., hal.7.
11 Sunarsip, loc. cit., hal. 2C.
12 hal ini terjadi menurut karena adanya prilaku individu ataupun perusahaan tertentu (oknum)yang mempengaruhi kebijakan pemerintah, untuk kepentingan sendiri atau juga dapat dikatakan sebagairent seeking behavior, dikutip dari A Tony Prasetiantono, Agenda Ekonomi Indonesia (Jakarta: GramediaPustaka Utama, 1995), hal.305.
13 Industri bayi disini maksudnya adalah industri yang masih baru ada atau dikembangkan diIndonesia. Perlindungan ini diberikan oleh pemerintah kepada industri yang bersangkutan agar insvestormau menanamkan modalnya pada industri tersebut, lihat Sutan Remy Sjahdeini, “Larangan PraktekMonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 10, 2000) : 4.
14 Banu Astono, “Gejolak Rupiah Menyingkap Keropos industri Nasional,” KOMPAS (22 Agustus1997) : 17.
15 Lebih jelas lagi mengenai prilaku konglomerasi dapat membaca buku Kwik Kian Gie, SayaBermimpi Jadi Konglomerat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995).
16 Djisman S. Simanjuntak, “Bisnis Indonesia 2020: Terbuka dan Kompetitif” dalam Indonesia2020: Wawasan Ekonomi, Sosial Budaya, dan Politik. Hadi Soesastro dan Iwan P. Hutajulu, ed.,(Jakarta:Centre for Strategic and International Studies, 1996).
17 Lihat A. Tony Prasetiantono, Keluar dari Krisis: Analisis Ekonomi Indonesia (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal.179. mengatakan: “yang lebih fundamental dari pada “fundamentalekonomi” adalah beberapa isu dan indicator makro yang bersifat kualitatif. Misalnya, soal struktur pasar,tata niaga, monopoli, korupsi dan kolusi. Semua isu fundamental ini praktis sudah lama kitainventarisasikan, kita paksa substansinya, dan kita agendakan.”
18 Penjelasan Undang-Undang Bagian Umum UU No.5/1999.
6
Dalam pembuatan kebijakan, pemerintah seharusnya mendorong iklim usaha yang
sehat,19 efesien, dan kompetitif. Sehingga tercipta kesempatan yang sama bagi setiap
warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi, pemasaran barang dan
jasa,20 tetapi yang terjadi sebaliknya, Pemerintah malah mendorong terjadinya iklim
usaha yang tidak sehat, tidak efesien dan tidak kompetitif. Melalui pembuatan kebijakan
yang hanya menguntungkan orang dan kelompok tertentu saja, yang mengakibatkan
timbulnya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Beberapa fakta menunjukan pemerintah memainkan peran cukup dominan dalam
tindakan yang mendorong praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat seperti :
a. Penunjukan perusahaan swasta sebagai produsen dan importir tunggal untuk
mengolahbiji gandum menjadi tepung ter igu dan mengijinkan perusahaan tersebut
untuk masuk pada industri hilir, contohnya penunjukan PT Bogasari oleh BULOG.
b. Pemeritah tampaknya tidak hanya mengijinkan tapi tampaknya juga mendorong
berkembangnya asosiasi-asosiasi produsen yang berfungsi sebagai kartel diam-
diam yang mampu mediktekan harga barang dan jumlah pasokan barang di pasar,
contohnya adalah ORGANDA (Organisasi Angkutan Darat),21 Asosiasi Produsen
Semen,22 Apkindo (Asosiasi Panel Kayu Indonesia), APKI (Asosiasi Pulp dan
Kertas Indonesia).23
19 Lihat Sjahrir, Meramal Ekonomi Indonesia di Tengah Ketidakpastian (Jakarta; GramediaPustaka Utama, 1995), hal.256.
20 Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia NomorII/MPR/1998 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, Bagian Kebijaksanaan Pembangunan LimaTahun Ketujuh, Bidang Ekonomi Perihal Perdagangan.
21 Lihat Business News, “KPPU Tanyakan Kenaikan Tarif Taksi, Indikasikan Ada Kartel DalamORGANDA,” (22 Januari 2001). Lihat juga Partnership for Business Competition bekerjasama denganGeorgetown University Law Centre, serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI), “ReaksiPelaku Usaha Atas Berlakunya UU No 5/1999 dan Keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha:Ringkasan Pokok Laporan Penelitian,”( Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Partnership forBusiness Competition, Jakarta, Juli, 2000), hal. 37.
22 Sjahrir, Spektrum Ekonomi Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1994).hal.302-306.
23 Lihat Robintan Sulaiman, Persaingan Curang Dalam Perdagangan Global (Tinjauan Yuridis)(Jakarta: Pusat studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 2000), hal.41.
7
c. Pemerintah dengan sengaja telah membiarkan satu perusahaan menguasai
pangsa pasar di atas 50% atas suatu produk, contonya adalah PT Indofood yang
mengusasi pangsa pasar mie instan di Indoesia lebih dari 50%.24
d. Pemerintah telah dengan sengaja membuat entry barrier bagi pemain baru di
bidang industri tertentu, contohnya adalah kebijakan Mobil Nasional.25
e. Pemerintah memberikan perlindungan kepada industri hulu yang memproduksi
barang tertentu dengan cara menaikan bea masuk barang yang sama yang
diimpor dari luar negeri, contohnya adalah prokteksi terhadap PT Chandra Asri.26
Kondisi di atas, terjadi dikarenakan orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang
lebih memprioritaskan kepada pertumbuhan ekonomi, sehingga menyebabkan seluruh
kebijakan ekonomi yang dibuat diupayakan mendukung semua aktivitas yang
diharapkan dapat memacu tingkat pertumbuhan tersebut.
Perusahaan-perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta diberikan keleluasaan
dalam mengembangkan usahanya melalui hutang, baik yang berasal dari lembaga
keuangan domestik maupun dari luar negeri tanpa batas dan kontrol dari pemerintah.
Akibatnya pada saat terjadinya krisis moneter yang menyebabkan terpuruknya nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing, terutama US$, akhirnya membuka tabir kebobrokan
dunia usaha di Indonesia.
Sehingga pada akhirnya menuntut pemerintah untuk menata kembali kegitan usaha di
Indonesia yang keliru dimasa lalu, agar dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang
secara sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta
terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan dan kelompok tertentu,
24 Partnership for Business Competition, “Persaingan Usaha: Potret Beberapa Pasar di Indonesia,”(Laporan penelitian disampaikan pada seminar sehari Partnership for Business Competition, Jakarta, Juli,2000), hal.18-19. Lihat Bisnis Indonesia, “ 8 Perusahaan diduga lakukan monopoli,” (20 Desember 2000).
25 Yose Rizal dan Pande Radja Silalahi, “Industri Mobil Indonesia: Suatu Tinjauan” dalamTransformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, cet.1. Marie Pangestu, Raymon Atje danJulius Mulyadi, ed., (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1996), hal.200-203.
26 Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa dan Perbandingan Undang-UndangAntimonopoli: Undang-Undang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Jakarta :Elex Media komputindo, 1999) , hal.19-20
8
antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial, dengan
segera membuat Undang-undang Persaingan Usaha
Ditambah juga adanya tekanan dari pihak luar, terutama IMF yang memaksa Indonesia
harus segera memiliki Undang-undang Persaingan Usaha, dalam rangka persetujuan
Indonesia dengan IMF pada tanggal 15 januari 1998, dimana telah disepakati bahwa
pemerintah Indonesia akan melaksanakan berbagai pembaruan struktural, termasuk
deregulasi kegiatan domestik, yang bertujuan untuk mengubah ekonomi biaya tinggi
Indonesia menjadi suatu ekonomi yang lebih terbuka, kompetitif dan efesien, apabila
ingin mendapatkan bantuan dari IMF untuk menanggulangi krisis ekonomi yang sedang
melanda Indonesia. Sehingga ketika awal diberlakukan Undang-undang ini beberapa
kalangan berpendapat miring bahwa sebenarnya Undang-undang Nomor 5 / 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak lebih
hanya merupakan pesanan IMF semata.
Pendapat di atas sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena jauh hari sebelum
Indonesia dilanda krisis ekonomi, sudah banyak kalangan menyuarakan akan
pentingnya memiliki Undang-undang Persaingan Usaha, bahkan pada tahun 1993
Fakultas Hukum Universitas Indonesia berkerja sama dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan Republik Indonesia telah
menghasilkan Rancangan Akademik Undang-undang tentang Persaingan di Bidang
Perdagangan, namun karena kondisi pada waktu lalu belum memungkinkan Undang-
undang Persaingan Usaha untuk diberlakukan, maka pemberlakuan Undang-undang
Persaingan Usaha baru dapat terwujud pada tahun 1999.
Prof. Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan beberapa alasan yang menyebabkan
Undang-undang Persaingan Usaha untuk lahir pada masa Orde Baru, yaitu antara lain:
Pertama, adalah karena pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan
besar perlu ditumbuhkan untuk berfungsi menjadi lokomotif pembangunan apabila
perusahaan-perusahaan tersebut diberikan perlakuan khusus. Perlakuan khusus itu ada
dalam bentuk proteksi yang dapat menghalangi perusahaan lain dalam bidang usaha
tersebut atau dengan kata lain memberikan posisi monopoli. Kedua, adalah pemberian
9
fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di
sektor yang bersangkutan. Tampa fasilitas monopoli dan proteksi, sulit bagi pemerintah
untuk mendapatkan kesedian insvestor menanamkan modal disektor tersebut. Ketiga,
adalah untuk menjaga berlangsungnya praktek KKN demi kepentingan kroni-kroni
mantan presiden Suharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa pada waktu itu.27
Kedudukan Hukum Persaingan Usaha dalam Sistem Hukum Indonesia
Memperhatikan ruang lingkup kajian yang dilakukan oleh Hukum Persaingan Usaha,
maka Hukum Persaingan Usaha dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari Hukum
Ekonomi. Dan bahkan apabila kita memperhatikan materi dari Undang-undang
Persaingan Usaha rasanya tidak cukup hanya dengan belajar dari ilmu hukum saja
untuk memahami Undang-undang tersebut, tetapi juga penting mempelajari ilmu
ekonomi khususnya ilmu ekonomi industri untuk dapat memahami secara baik hukum
persaingan usaha.
Ahli hukum yang menguasai Undang-undang Persaingan Usaha tanpa memiliki
pemahaman yang baik terhadap ilmu ekonomi industri akan membuat kajian-kajian yang
dihasilkannya kering atau timpang. Jadi diperlukan kajian secara interdisipliner (terutama
hukum ekonomi dan ilmu ekonomi industri) untuk dapat memahami hukum persaingan
usaha secara lebih komprehensif. Jadi disarankan jika yang ingin mempelajari hukum
persaingan usaha secara lebih baik tidak ada salahnya untuk membaca literatur-literatur
dari ilmu ekonomi khususnya ekonomi industri.
Hukum persaingan usaha dapat dikatakan merupakan species atau bagian dari genus
hukum ekonomi, yang menurut Sunaryati Hartono hukum ekonomi itu sendiri
memerlukan metode penelitian dan penyajian yang interdisipliner dan transnasional.
Interdisipliner, karena: (1) hukum ekonomi Indonesia tidak hanya bersifat perdata, tetapi
juga berkaitan erat dengan Hukum Administrasi Negara, Hukum Antar wewenang,
hukum pidana, bahkan juga tidak mengabaikan hukum publik Internasional dan hukum
perdata internasional; dan hukum internasional ekonomi Indonesia memerlukan
10
landasan pemikiran bidang-bidang non hukum, seperti filsafat, ekonomi, sosiologi,
administrasi pembangunan, ilmu wilayah, ilmu lingkungan, dan bahkan juga futurologi.28
Materi yang terkandung di dalam Undang-undang No.5/1999 secara umum
mengandung 6 (enam) bagian pengaturan, yang terdiri dari:
1. perjanjian yang dilarang;
2. kegiatan yang dilarang;
3. posisi dominan;
4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
5. penegakan hukum;
6. ketentuan lain-lain.
Asas dan Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha
Asas yang digunakan sebagai landasan dalam pembentukan Undang-undang
No.5/1999 bila dilihat dari Pasal 2 Undang-undang No.5 / 1999, yang berbunyi : “pelaku
usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum,” sebenarnya adalah demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi yang
dimaksud oleh Undang-undang No.5/1999 dapat dilihat pada bagian menimbang
Undang-undang No.5/1999 yaitu menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi
setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi atau pemasaran
barang atau jasa.
Sedangkan hubungan antara demokrasi ekonomi dengan sistem ekonomi Pancasila bila
menurut Tirta Hidayat dalam makalah pengantar diskusi pada “seminar intern Bappenas,
tanggal 14 Agustus 1997, adalah demokrasi ekonomi itu sendiri merupakan inti dari
sistem ekonomi Pancasila. Lebih lanjut Gunawan Sumodiningrat menambahkan,
Ekonomi pancasila itu sendiri sebenarnya dapat disamakan dengan sistem ekonomi
11
campuran. Sistem ekonomi campuran adalah campuran dari sistem ekonomi liberal-
kapitalistik dan sistem ekonomi sosialis-komunistik. Dalam sistem ekonomi liberal-
kapitalistik semua kegiatan ekonomi dilakukan oleh individu-individu atau swasta, bukan
oleh pemerintah. Sebaliknya, dalam sistem ekonomi sosialis-komunistik, tidak dikenal
atau tidak ada sektor swasta, sebab semua kegiatan ekonomi direncanakan, dilakukan
dan dikuasai oleh pemerintah atau negara.
Namun dalam sistem ekonomi campuran kedua sektor, pemerintah dan swasta hidup
berdampingan. Dengan demikian terdapat kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh
swasta dan sebagian dilaksanakan oleh pemerintah, khususnya yang menyangkut hajat
dan kepentingan orang banyak. Dalam sistem ini sebagian interaksi pelaku ekonomi
terjadi di pasar, tetapi terdapat berbagai pula campur tangan pemerintah melalui
berbagai kebijaksanaan. Pada akhirnya ciri yang paling menonjol dari sistem ekonomi
campuran adalah adanya intevensi pemerintah dalam perekonomian yang terintegrasi di
pasar.
Intervensi pemerintah melalui perencanaan pembangunan adalah untuk bisa mengatur
pengalokasian sumber-sumber produktif secara lebih terarah, efektif dan efesien,
sehingga dapat dicapai suatu perubahan struktural yang lebih menjamin kepentingan
masyarakat secara keseluruhan berdasarkan nilai-nilai keadilan sosial.
Hakikat dari demokrasi ekonomi bila menurut Emil Salim adalah tersebarnya (dispersi)
kekuatan ekonomi di masyarakat, dan tidak tersentralisasi di pusat atau terkumpul di
beberapa tangan anggota masyarakat (monopoli dan oligopoli). Jadi dapat dikatakan
Undang-undang Persaingan Usaha merupakan salah satu wujud intervensi pemerintah
dalam usaha menciptakan demokrasi ekonomi.
Penjabaran lebih lanjut dari asas demokrasi ekonomi pada Undang-undang No.5/1999
dapat dilihat pada Pasal 3 Undang-undang No.5/1999, yang memuat mengenai Tujuan
pembentukan dari Undang-undang No.5/1999, yaitu:
1. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efesiensi ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
12
2. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi
pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
3. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
4. terciptanya efektivitas dan efesiensi dalam kegiatan usaha.
Prinsip-prinsip Umum dalam Hukum Persaingan Usaha
1. Rule of Reason dan Per se
Secara garis besar perumusan pasal-pasal yang terdapat di dalam Undang-undang
No.5/1999 adalah menggunakan perumusan Rule of Reason dan Per Se. Yang
dimaksudkan dengan Rule of Reason adalah untuk menyatakan bahwa suatu
perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, penegak hukum harus
mempertimbangkan keadaan disekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu
membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan bahwa penegak
hukum harus dapat menunjukan akibat-akibat anti persaingan, atau kerugian yang
secara nyata terhadap persaingan.29 Dengan demikian dapat dikatakan, Rule of Reason
lebih memfokuskan kepada melihat akibat yang dimunculkan dari suatu perbuatan
barulah pasal yang menggunakan rumusan secara Rule of Reason ini dapat diterapkan.
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Merupakan salah satu pasal yang menggunakan perumusan Rule of Reason.
29 Daniel V., et.all., comprehensive business law: principles and cases., Kent publishingCompany., 1987., hal 1042. yang dikutif dari hukum persaingan usaha elips
13
Sedangkan yang dimaksud dengan Per Se adalah rumusan pasal mengenai perbuatan
tertentu yang dilarang untuk dilakukan, dimana perbuatan tersebut sudah dapat terbukti
dilakukan dan dapat di proses secara hukum tanpa harus menunjukan akibat-akibat atau
kerugian yang secara nyata terhadap persaingan.30
Pasal 6 Undang-undang No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat
perjanjianyang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang
berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang
sama.” Merupakan salah satu pasal yang mempergunakan perumusan Per Se.
Sehingga ketika pelaku usaha melakukan perbuatan yang dilarang oleh pasal tersebut,
pelaku usaha tersebut sudah dapat diproses secara hukum tampa harus menunggu
adanya bukti-bukti bahwa perbuatan yang dilakukannya tersebut tanpa harus
menunjukan akibat-akibat atau kerugian yang secara nyata terhadap persaingan.
2. Pendekatan Struktur Pasar dan Tingkah Laku
Pendekatan dalam penyusunan Undang-undang Persaingan Usaha secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pendekatan struktur pasar dan pendekatan perilaku.
Dalam pendekatan struktur penguasaan pasar oleh pelaku usaha menjadi bahan
analisis utama apakah pelaku usaha melakukan pelanggaran hukum persaingan dengan
menilai struktur pasar setiap produk oleh suatu pelaku usaha. Sedangkan pendekatan
perilaku adalah pelaku usaha tidak dilarang menjadi “besar” sepanjang posisinya tidak
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Definisi
Dalam penyusunan suatu peraturan perundangan, perumusan suatu defenisi
merupakan suatu hal yang sangat penting, karena setiap kata terkadang memiliki
banyak defenisi. Terlebih penyusunan peraturan perundangan yang sebagian besar
ketentuannya merupakan hasil adopsi dari ketentuan hukum asing, dimana kebanyakan
istilah-istilah yang ada menggunakan bahasa asing, yang terkadang untuk pengaturan
tertentu dalam bahasa asing sulit untuk dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia.
Dan hal ini sangat dirasakan dalam penyusunan pengaturan persaingan usaha dimana
sebagian ketentuannya mengadopsi dari ketentuan hukum asing.
30 ibid
14
Meskipun harus diakui bahwa ketidak jelasan akan selalu ada pada setiap peraturan
perundangan, namun dengan berusaha memberikan defenisi yang jelas dan tidak
mempunyai arti ganda akan memperkecil kemungkinan perbedaan pendapat yang tidak
perlu. Selain itu harus dihindarkan sedemikian rupa untuk menunjuk arti suatu kata pada
rumusan ketentuan lain. Sebagaimana kita ketahui, bahwa para penegak hukum,
apalagi masyarakat tidak menguasai semua bidang, mereka hanya menguasai satu atau
lebih bidang tertentu, namun mereka harus memutus atau menangani perkara yang
dihadapinya. Dengan perumusan yang jelas dan mudah dimengerti akan memudahkan
penerapan hukum secara efektif.31
Mengenai penempatan definisi ini dalam suatu perundang-undangan ada beberapa
kemungkinan. Pertama ditempatkan dibagian ketentuan umum yaitu pada bagian awal
dari suatu ketentuan. Kemungkinan kedua diletakkan dibagian belakang dari suatu
peraturan dan kemungkinan ketiga diletakkan sebagai satu kesatuan didalam pasal-
pasal mengenai materi dari peraturan tersebut. Dimana diletakkan ketentuan definisi ini
tergantung pada pertimbangan para pembuat undang-undang, dimana tempat yang
dianggap efektif untuk menuntun masyarakat termasuk para penegak hukum dapat
memahami arti dari suatu ketentuan.32
Di dalam Model Law on Competition yang disusun UNCTAD ditetapkan beberapa
definisi istilah-istilah yang berkaitan langsung dengan hukum persaingan usaha seperti
definisi (pengertian) pelaku usaha, posisi dominan, merger dan akuisisi dan pasar
bersangkutan (relevant market). Dahulu definisi istilah-istilah tersebut hanya ditemukan
di literature-literatur. Tetapi di dalam perkembangannya pengertian-pengertian istilah
tersebut dapat banyak ditemukan di dalam hukum persaingan usaha beberapa negara,
paling tidak dijelaskan di dalam suatu pedoman tertentu, misalnya di dalam pedoman
merger dan akuisisi tertentu, ditetapkan definisi pasar bersangkutan (relevant market).33
31 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, “Draft Best Practice Undang-undang No.5/1999”, Tahun2003. hal 11
32 Ibid.hal 12.33 Ibid.
15
Demikian juga di dalam UU No. 5/1999 ditetapkan definisi istilah-istilah hukum
persaingan usaha di dalam ketentuan umum pasal 1. Di dalam pasal 1 tersebut terdapat
17 (tujuh belas) istilah yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha. Apabila kita
teliti, maka terdapat beberapa definisi yang tidak jelas dan saling bertentangan, antara
lain:
1. Penggunaan beberapa istilah yang hampir sama, namun tidak jelas apa artinya:
seperti kata pelaku usaha, pelaku usaha lain, pelaku usaha pesaing dan pihak
lain, seperti terdapat dalam Pasal 4, 5, 15 ayat 2.
2. Pengetian Monopoli Pasal 1 angka 1: kurang jelas, karena monopoli
berhubungan dengan posisi dominan dan besarnya pangsa pasar yaitu satu
pelaku usaha menguasai lebih dari 50 %( monopoli ) dan dua atau lebih pelaku
usaha menguasai lebih dari 75 % ( oligopoli ).
3. Pasal 1 angka 5 merumuskan pelaku usaha sebagai setiap orang perorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi,
dengan rumusan seperti ini, dianggap belum memasukan mengenai subyek
hukum badan usaha milik negara, sehingga apabila badan usaha mulik negara
melakukan pelanggaran terhadap UU Persaingan usaha dapat tidak terkena
hukuman.
4. Pasal 1 angka 6 merumuskan mengenai persaingan usaha tidak sehat yang
dilakukan secara tidak jujur, padahal tidak ada pasal yang merumuskan hal
tersebut pada bagian substansi.
5. Pasal 1 angka 7; yang merumuskan perjanjian sebagai suatu perbuatan satu
atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku
usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis, mungkin
dapat diperbaiki menjadi perjanjian adalah suatu bentuk perbuatan dari dua atau
lebih pelaku usaha untuk saling mengikatkan diri dengan nama apapun baik
tertulis maupun tidak tertulis.
6. Pasal 1 angka 8; persekongkolan tidak harus mempunyai tujuan menguasai
pasar bersangkutan. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 22 yang hanya
mengatur mengenai tender.
16
7. Pasal 1 angka 14: harga pasar didefenisikan sebagai harga yang dibayar dalam
transaksi barang dan/atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar
bersangkutan, padahal kesepakatan harga dilarang oleh undang-undang.
8. Perlu ditambahkan beberapa definisi, misalnya apa yang dimaksud dengan
penelitian dalam Pasal 36 b, kata keberatan dalam Pasal 44 ayat 2, dan arti
perbuatan dalam Pasal 50 a serta peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 50 a.
9. Pasal 2 perlu ditegaskan apa yang dimaksud dengan kepentingan umum.
10. Pasal 3; Praktek monopoli tidak selalu jahat, karenanya perlu ditambahkan
bentuk dan praktek monopoli yang dilarang.
11. Pasal 4 tidak jelas apa yang dimaksud dengan pelaku usaha lain;
12. Pasl 5 juga tidak jelas apa yang dimaksud dengan pelaku usaha pesaingnya.
13. Pasal 6 tidak jelas dengan siapa pelaku usaha mengadakan perjanjian.
14. Pasal 11 Pengertian kartel terlampau sempit karena hanya menyangkut
perjanjian untuk menguasai jumlah produksi atau pemasaran barang atau jasa.
15. Pasal 15 tidak jelas apa yang dimaksud dengan pihak lain,
16. Pasal 22; harus diperjelas siapa yang dimaksud dengan pihak lain.34
Dari ketujuh belas definisi tersebut diatas, definisi persaingan usaha tidak sehat perlu
mendapatkan perhatian utama, karena definisi tersebut menjelaskan bagaimana suatu
pasar dapat dinyatakan tidak sehat, dan sekaligus definisi tersebut menjelaskan tujuan
UU No. 5/1999 seperti disebutkan di atas sebelumnya. Sementara definisi persaingan
usaha tidak sehat tidak kita temukan di berbagai hukum persaingan usaha negara lain,
bahkan di dalam literature pun tidak ditemukan. Yang dapat ditemukan adalah
pengertian persaingan usaha, itupun para ahli hukum kartel tidak ada kesatuan
pendapat mengenai definisi tersebut. Karena jika disepekati pembuatan suatu definisi
persaingan usaha akan mempersulit penerapan hukum persaingan usaha, karena
berbicara mengenai persaingan usaha mempunyai fenomena yang beragam. Fenomena
tersebut berinteraksi antara struktur pasar, perilaku pasar dan menjadi hasil pasar. Di
dalam proses interaksi tersebut terdapat kebebasan. Kebebasan merupakan syarat
utama bagi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usahanya, baik untuk masuk ke
pasar atau mengakses suatu barang atau jasa tertentu. Oleh karena itu, apabila
34 Ibid.
17
kebebasan pelaku usaha tersebut terhambat, itu berarti pasar terdistorsi. Terdistorsinya
suatu pasar disebabkan oleh banyak hal. Oleh karena sulitnya menetapkan suatu
definisi persaingan usaha, maka ditetapkan ketentuan-ketentuan normatif di dalam
hukum persaingan usaha untuk membatasi perilaku atau tindakan pelaku usaha yang
mendistorsi pasar tersebut. Jadi, secara sederhana suatu pasar dapat dinyatakan tidak
sehat, apabila pasar bersangkutan terdistorsi.35
Pasal 1 angka 6 menetapkan, bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan
antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang
dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha. Dari ketentuan pasal 1 no. 6 tersebut dapat
disimpulkan, bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah hubungan antara pelaku
usaha yang satu dengan yang lain, yang dilakukan secara tidak jujur, melawan hukum
atau dengan menghambat persaingan usaha. Hanya saja definisi ketentuan pasal 1
angka 6 mencampur adukkan persaingan yang tidak sehat yang dilakukan secara tidak
jujur dengan melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Seperti sudah
disebut di atas, sementara ketentuan persaingan usaha yang dilakukan dengan cara
tidak jujur tidak diatur di dalam UU Antimonopoli.36
Perbuatan tidak jujur adalah suatu tindakan penipuan yang subjektif, yang dapat
dilakukan oleh suatu pelaku usaha dalam bentuk apa saja, mungkin dalam proses
produksi suatu barang, atau dalam memasarkan barang tertentu. Misalnya kualitas
barang dan mereknya tidak sesuai dengan harganya, kualitas barang tidak sesuai
dengan yang diiklankan, atau harga barang yang dibayar tidak sesuai dengan harga
yang tertera pada barang tersebut. Oleh karena itu suatu tindakan penipuan yang
dilakukan secara tidak jujur, yang pembuktiannya mensyaratkan pembuktian yang
subjektif. Akibat dari perbuatan tersebut dirasakan langsung oleh konsumen, dan secara
tidak langsung oleh pesaingnya. Hal-hal seperti ini diatur di dalam pasal 382 bis KUHP,
pasal 1365 KUHPerdata dan UU No. 8/1999 tentang perlindungan konsumen. Jadi, hal
35 Ibid. hal.13.
36 Ibid . hal.14.
18
ini tidak berhubungan dengan persaingan usaha antara pelaku usaha yang satu dengan
pelaku usaha pesaingnya.37
Persaingan usaha yang melawan hukum adalah segala kegiatan usaha yang melanggar
larangan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan larangan undang-undang adalah
yang melarang perilaku tertentu dan secara imperatif. Larangan imperatif biasanya
diikuti dengan kata-kata „dilarang atau tidak boleh“ di dalam suatu ketentuan perundang-
undangan. Contohnya ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, jika ketentuan-ketentuan tersebut dilanggar langsung dijatuhkan hukuman
tertentu. Misalnya seseorang dijatuhi hukuman penjara lima tahun, karena mencuri
barang milik orang lain.38
Di dalam ketentuan UU Antimonopoli ada juga ketentuan-ketentuan yang menggunakan
kata-kata „dilarang“ tetapi ini tidak bararti suatu pelaku usaha otomatis dijatuhkan
hukuman, - perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha yang
langsung dijatuhi hukuman atau denda adalah yang melanggar ketentuan-ketentuan
yang bersifat per se. Misalnya kalau pelaku usaha dengan pesaingnya mengadakan
perjanjian harga (price fixing) atas suatu barang tertentu. Selain itu ada ketentuan UU
Antimonopoli dalam penerapananya dengan pendekatan rule of reason, yang
penerapannya mempertimbangkan dari aspek keuntungan ekonomisnya baik bagi
pelaku usaha maupun bagi masyarakat. Jadi, ketentuan UU Antimonopoli lebih banyak
mengatur hubungan perilaku antara pelaku usaha dalam menjalankan usahanya di
wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian definisi persaingan usaha tidak sehat
yang dilakukan dengan tidak jujur sebaiknya dihilangkan saja. 39 Sehingga defenisi dari
persaingan usaha tidak sehat menjadi persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang an atau jasa yang dilakukan
dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan.
37 Ibid.38 Ibid39 Ibid .
19
Perjanjian yang Dilarang
Pada bagian ini secara khusus akan dibahas mengenai pengaturan perjanjian yang
dilarang menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No.5/1999, perjanjian didefinisikan
sebagai: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap
satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak
tertulis.” Sedangkan menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Perjanjian hanya didefinisikan : “Suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.”
Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh Undang-undang No.5/1999,
dapat diartikan bahwa perjanjian yang tidak tertulispun dapat diakui atau digunakan
sebagai alat bukti di pengadilan, dimana sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya
sulit untuk diterima sebagai alat bukti di pengadilan, karena biasanya pengadilan hanya
mau menerima suatu perjanjian sebagai alat bukti jika perjanjian tersebut dibuat secara
tertulis saja.
Seandainya pengadilan hanya mau menerima perjanjian tertulis saja sebagai alat bukti
yang dapat dipergunakan di pengadilan, mungkin perkara-perkara pelanggaran terhadap
Undang-Undang Persaingan Usaha sulit untuk ditindak karena biasanya sangat sulit
untuk menemukan bukti tertulis mengenai suatu perjanjian yang dikategorikan
melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha.
Undang-undang Nomor 5/1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk
dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:
1) Oligopoli (Pasal 4 UU No.5/1999);
2) Penetapan harga
a. price fixing (Pasal 5 UU No.5/1999);
b. Diskriminasi harga / price discrimination (Pasal 6 UU No.5/1999);
c. Predatory Pricing (Pasal 7 UU No.5/1999);
d. Resale Price Maintenance (Pasal 8 UU No.5/1999);
3) Pembagian wilayah / market division (Pasal 9 UU No.5/1999);
4) Pemboikotan (Pasal 10 UU No.5/1999);
20
5) Kartel (Pasal 11 UU No.5/1999);
6) Trust (Pasal 12 UU No.5/1999);
7) Oligopsoni (Pasal 13 UU No.5/1999) ;
8) Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No.5/1999);
9) Perjanjian Tertutup
a. exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU No.5/1999);
b. tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No.5/1999);
c. vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No.5/1999);
10) Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri.
1) Oligopoli
Oligopoli menurut ilmu ekonomi merupakan salah satu bentuk struktur pasar, dimana di
dalam pasar tersebut hanya terdiri dari sedikit perusahaan. Sedikitnya jumlah
perusahaan yang beroperasi di pasar disebabkan oleh adanya barrier to entry yang
mampu menghalangi pemain baru untuk masuk ke dalam pasar. Sedikitnya jumlah
pemain ini juga menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual interdependence)
antar pelaku usaha dan faktor inilah yang membedakan struktur pasar oligopoli dengan
struktur pasar yang lain. Ada beberapa model strategi ketergantungan antar pelaku
usaha oligopoli yaitu kolusi (collusion), kepemimpinan harga (price leadership), dan
kurva permintaan patah (kinked demand curve).
Dalam pasar yang berstruktur oligopoli sangat mungkin terjadi perusahaan-perusahaan
yang ada akan saling mempengaruhi untuk menentukan harga pasar, yang kemudian
dapat mempengaruhi perusahaan lainnya, baik yang sudah ada (existing firms) maupun
yang masih diluar pasar (potential firms). Praktek oligopoli umumnya dilakukan sebagai
salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk
kedalam pasar, dan juga perusahaan-perusahaan melakukan praktek oligopoli sebagai
salah satu usaha untuk menikmati laba super normal di bawah tingkat maksimum
dengan menetapkan harga jual terbatas ( limiting prices), sehingga menyebabkan
kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak
ada.
21
Apabila perusahaan yang dominan di dalam pasar oligopoli melakukan kolusi maka
mereka akan bekerja seperti satu perusahaan yang bergabung untuk memaksimalkan
laba dengan cara berlaku secara kolektif seperti layaknya perusahaan monopoli. Tetapi
kemungkinan gabungan perusahaan yang melakukan kolusi akan mengalami kesulitan
tetap ada, karena masing-masing perusahaan memiliki struktur biaya yang berbeda,
sedangkan mereka harus menetapkan tingkat harga yang sama. Selain itu, semakin
banyak perusahaan yang masuk dalam kolusi maka kemampuan untuk mencapai
kesepakatan akan semakin sulit, dan masing-masing anggota akan memiliki
kecenderungan untuk berlaku curang. Cheating atau kecurangan yang dilakukan oleh
anggota kartel akan semakin tinggi apabila laba yang dijanjikan oleh kegiatan kolusi
lebih kecil dibandingkan laba yang akan mereka dapatkan, misalnya dengan menjual di
bawah harga kesepakatan sehingga pasar mereka akan semakin luas.
Hal tersebut di atas menyebabkan pembahasan mengenai struktur pasar oligopoli
merupakan salah satu pembahasan yang cukup penting dalam hukum persaingan
usaha, karena sebagian besar pelaku usaha yang memiliki kedudukan sebagai
penguasa di dalam pasar tersebut akan dapat memanfaatkan posisi dominannya untuk
mendapatkan keuntungan yang maksimal seperti layaknya pelaku usaha yang memiliki
kedudukan monopoli.
Struktur pasar oligopoli sebenarnya memiliki kesamaan dengan struktur pasar monopoli
dalam hal kurva permintaan dan kurva penerimaan marjinalnya yang berslope negatif.
Hanya saja jika dalam pasar monopoli hanya ada satu perusahaan, sedangkan dalam
pasar oligopoli ada beberapa pelaku pasar yang memiliki posisi yang dominan. Misalnya
dalam UU No. 5 Tahun 1999, disebutkan bahwa pasar oligopoli adalah pasar yang dua
atau tiga pelakunya memiliki share 75% atau lebih. Beberapa perusahaan tersebut
dipandang memiliki kemampuan untuk mengendalikan harga atau memiliki market
power. Salah satu cara untuk dapat mengendalikan harga adalah melalui kebijakan
diferensiasi produk dimana perusahaan menciptakan produk yang berbeda dengan
produk kompetitornya sehingga struktur permintaan produk menjadi lebih inelastis.
Dalam kenyataannya, struktur pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri
yang memiliki capital intensive yang tinggi, seperti industri mobil, semen, kertas dan
22
peralatan mesin, dimana di dalam proses produksinya baru akan tercapai tingkat
efisiensi (biaya rata-rata minimum) jika diproduksi dalam skala besar; kekuatan pasar
pelaku usaha di dalam pasar oligopoli kurang lebih sebanding; dan barang atau jasa
yang ditawarkan dalam pasar oligopoli barang atau jasa yang homogen. Namun tidak
tertutup kemungkinan dalam pasar yang heterogenpun dapat timbul oligopoli.
Dalam UU No. 5/1999, Oligopoli dikelompokkan ke dalam kategori perjanjian yang
dilarang, padahal umumnya oligopoli terjadi melalui keterkaitan reaksi, khususnya pada
barang-barang yang bersifat homogen atau identik. Apabila oligopoli dimasukkan ke
dalam kelompok perjanjian maka hal ini identik dengan kartel, sehingga ketentuan yang
mengatur mengenai oligopoli ini akan lebih baik jika digabungkan saja dengan
pengaturan mengenai kartel.
Pasal 4 ayat (2) UU No.5/1999 juga memberikan petunjuk bahwa ketentuan tersebut
hanya memperhatikan oligopoli sempit yang hanya melibatkan sejumlah kecil pesaing
yang mempunyai posisi yang kuat di pasar, dalam hal ini 2 atau 3 pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha yang menguasai lebih dari 75% pangsa pasar untuk satu jenis
barang atau jasa tertentu. Padahal menurut pengertian umum, jumlah pelaku usaha
dalam praktek oligopoli sebenarnya dapat lebih banyak. Namun memang semakin besar
jumlah pelaku usaha, terkadang semakin berkurang keterkaitan reaksi pelaku usaha di
dalam pasar yang oligopoli.
Kemudian, besaran pasar yang ditentukan pada Pasal 4 ayat (2) UU No.5/1999 yang
merupakan ukuran struktural, dalam prakteknya dapat menyulitkan dalam menindak
praktek oligopoli, karena adakalanya penguasaan pasar di bawah 50% dapat mengatur
pelaku usaha lainnya di dalam pasar bersangkutan, sehingga sebaiknya Pasal 4 ayat (2)
UU No.5/1999 dihilangkan saja.
2) Penetapan Harga
Perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh Undang-undang No.5/1999 diatur di
dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 Undang-undang No.5/1999, yaitu:
1. Perjanjian penetapan harga / Price Fixing Agreement;
2. Diskriminasi harga / Price Discrimination ;
23
3. Harga pemangsa / Predatory Pricing;
4. Resale Price Maintenance.
ad. 1 Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)
Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) merupakan salah satu strategi yang
dilakukan di antara pelaku usaha yang tujuannya adalah untuk menghasilkan laba yang
setingi-tingginya, dimana dengan adanya penetapan harga yang dilakukan di antara
pelaku usaha (produsen atau penjual) telah meniadakan persaingan dari segi harga
terhadap produk yang mereka jual atau pasarkan, yang kemudian dapat berakibat
kepada consumer’s surplus yang dimiliki oleh konsumen dipaksa beralih ke produsen
atau penjual.
Dengan adanya perjanjian penetapan harga, pelaku-pelaku usaha yang terlibat dalam
perjanjian penetapan harga kemungkinan dapat mendiktekan atau memaksakan harga
yang diinginkan secara sepihak kepada konsumen, dimana biasanya harga yang
didiktekan kepada konsumen merupakan harga yang berada di atas kewajaran. Bila hal
tersebut dilakukan oleh setiap pelaku usaha yang berada di dalam pasar yang
bersangkutan, hal ini dapat membuat konsumen tidak memiliki alternatif yang lain
kecuali harus menerima harga yang ditawarkan oleh pelaku usaha yang telah
melakukan perjanjian penetapan harga tersebut.
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 berbunyi bahwa: “Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas
suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
pasar bersangkutan yang sama.” Apabila dilihat dari rumusnya, pasal yang mengatur
mengenai price fixing ini dirumuskan secara Per Se, sehingga penegak hukum dapat
langsung menerapkan pasal ini kepada pelaku usaha yang melakukan perjanjian price
fixing tanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan tersebut.
Tetapi jika dibandingkan dengan Model Law on Competition yang disusun oleh UNCTAD
terlihat bahwa perumusan yang dilakukan oleh Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
No.5/1999 berbeda dengan perumusan yang dilakukan oleh UNCTAD, dimana didalam
Model Law perjanjian penetapan harga ini tidak hanya mengatur dari sisi penjual atau
24
pemasok tetapi juga dari sisi konsumen.40 Meskipun pengaturan perjanjian penetapan
harga yang dilakukan konsumen juga di atur dalam Undang-undang No.5/1999
meskipun dalam pasal yang berbeda .
Sebenarnya apabila mengikuti ketentuan yang ada dalam Model Law UNCTAD,
khususnya pengaturan mengenai penetapan harga ini, dapat membuat pasal-pasal yang
ada dalam undang-undang persaingan kita tidak terlalu memiliki banyak pasal dan lebih
efesien.
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 sebenarnya kurang memberikan penjelasan
mengenai seperti apa penetapan harga yang dimaksudkan oleh undang-undang,
apakah penetapan harga maksimum atau penetapan harga minimum? Atau termasuk
syarat-syarat pembayaran yang lain? Karena yang biasanya yang menjadi
permasalahan dalam praktek usaha sehari-hari adalah penetapan harga minimum.
Karena terkadang penetapan harga maksimum, yang biasanya sering dilakukan
pemerintah, tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen,
bukan bertujuan untuk menghindari persaingan diantara pelaku usaha.
Kemudian bagaimana seandainya apabila dalam proses tender terjadi perjanjian
penetapan harga yang dilakukan oleh para peserta tender, apakah Pasal 5 ayat (1)
Undang-undang No.5/1999 dapat dikenakan untuk praktek tersebut, karena di dalam
undang-undang No.5/1999 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Undang-undang
No.5/1999 ketentuan yang mengatur mengenai tender hanya mengatur mengenai
penentuan pemenang tender, tidak mengatur mengani perjanjian penetapan harga
dalam proses tender.
Lebih lanjut menurut Pasal 5 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 sebenarnya tidak
semua price fixing agreement dilarang, untuk suatu perjanjian price fixing yang dibuat
dalam suatu usaha patungan dan yang didasarkan kepada undang-undang yang
berlaku, price fixing tidak dilarang.
40 lihat penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf (a) Model Law on Competition UNCTAD.
25
Mengenai pengecualian pemberlakuan ketentuan penetapan harga terhadap suatu
perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku tidak menjadi permasalahan
karena sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa ketentuan dari suatu undang-
undang dapat mengecualikan pemberlakuan undang-undang persaingan usaha, tetapi
yang jadi permsalahan adalah pengecualian pemberlakuan ketentuan mengenai
penetapan harga terhadap suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan.
Di dalam ketentuan yang ada pada beberapa negara seperti ketentuan pada Masyarakat
Economi Eropa (The EC Treaty) memang dimungkinkan untuk mengijinkan praktek
penetapan harga dilakukan oleh suatu usaha patungan ( joint venture) asalkan berperan
besar mendorong perkembangan ekonomi dan teknologi. Dan apabila peruhsaan joint
venture tersebut tidak berperan besar dalam mendorong perkembangan ekonomi dan
teknologi maka perusahaan joint venture tersebut mendapatkan perlakuan yang sama
dengan penggabungan usaha biasa.
Apakah maksud pengecualian pemberlakuan perjanjian penetapan harga terhadap
suatu usaha patungan dalam Undang-undang No.5/1999 senada dengan pengaturan
yang diberikan pada The EC Treaty, dalam penjelasan Undang-undang tidak sedikitpun
diberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Sehingga apabila ketentuan ini
dipertahankan dan tanpa ada penjelasan yang cukup jelas ketentuan ini dapat
menghambat penegakkan undang-undang persaingan usaha.
Mengenai perumusan aturan price fixing di dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.5/1999 yang
dirumuskan secara Per se dapat dikatakan sudah tepat, karena memang hampir
sebagian besar Undang-Undang Persaingan Usaha di beberapa negara merumuskan
price fixing secara Per se, namun walaupun begitu terkadang hakim dalam
menggunakan ketentuan ini pun menerapkan secara rule of reason.
ad. 2 Perjanjian diskriminasi harga (price discrimantion agreement)
Perjanjian diskriminasi harga adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan
pelaku usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijual kepada setiap
konsumen dengan harga yang berbeda-beda. Dimana tujuan yang ingin dicapai dari
perjanjian ini sebenarnya juga sama dengan price fixing yaitu mempunyai motif untuk
26
meningkatkan laba pelaku usaha (produsen atau penjual) setinggi-tingginya dengan
mengeksploitasi surplus konsumen.
Diskriminasi harga ini biasanya dapat terjadi karena produsen atau penjual telah dapat
memastikan bahwa setiap konsumen yang ada mau untuk membayar dengan harga
yang berbeda terhadap produk yang sama, misalnya seperti harga karcis bioskop Grup
21 (Twenty One) untuk film yang sama dan pada waktu yang sama di Cilandak Town
Square sekitar Rp 35.000,00 sedangkan harga karcis bioskop Grup 21 juga di Plaza
Indonesia Rp 60.000,00. Hal di atas dapat terjadi karena si penjual, dalam hal ini
pengelola bioskop telah dapat memastikan bahwa konsumen yang akan menonton
bioskop di Plaza Indonesia mau membayar dengan harga yang lebih mahal dengan
dibandingkan apabila menonton di bioskop Cilandak Town Square.
Dasar diskriminasi harga yang banyak diterapkan oleh pelaku usaha adalah dengan
cara melihat kepada siapa konsumennya (elastisitas permintaannya). Permintaan yang
lebih elastis akan dibebankan harga yang lebih rendah dibandingkan permintaan yang
inelastis, contohnya untuk barang-barang yang sama, bila di jual di Plaza Indonesia
akan lebih mahal dibandingkan yang dijual di Plaza Depok, karena permintaan barang
yang dijual di Plaza Indonesia lebih inelastis dibandingkan permintaan barang yang
dijual di Plaza Depok. Atau dengan kata lain, diskriminasi harga dapat terjadi bila sifat
permintaan dan elastisitas permintaan di masing-masing pasar haruslah sangat
berbeda.
Diskriminasi harga juga dapat terjadi bila: (1) barang tidak dapat dipindahkan dari satu
pasar ke pasar lain, (2) sifat barang atau jasa tersebut memungkinkan dilakukan
pembedaan harga, (3) praktek diskriminasi harga tidak memakan ongkos yang melebihi
keuntungan dari kebijkan tersebut, (4) pelaku usaha dapat mengeksploitasi beberapa
sikap tidak rasional konsumen.
Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999 melarang setiap perjanjian diskriminasi harga tanpa
memperhatikan tingkatan yang ada pada diskriminasi harga, dimana bunyi dari pasal
tersebut antara lain: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan
27
pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus
dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.”
Dengan adanya praktek yang seperti disebutkan Pasal 6 Undang-undang No.5/1999
dapat menyebabkan pembeli tertentu (dimana pembeli tersebut merupakan pelaku
usaha juga) yang terkena kewajiban harus membayar dengan harga yang lebih mahal
dibandingkan pembeli lain (yang juga merupakan pelaku usaha) yang sama-sama
berada dalam pasar yang sama, dapat menyebabkan pembeli yang mengalami
diskrimisasi tersebut tersingkir dari pasar.
Memasukkannya ketentuan mengenai diskriminasi harga ke dalam kelompok perjanjian
sulit dicarikan dasar argumentasinya, bahkan dalam praktek pun ketentuan ini jarang
terjadi, karena biasanya tindakan diskriminasi harga merupakan tindakan yang sepihak
dari seorang pelaku usaha (penjual), dan sangat jarang dilakukan berdasarkan atau
melalui suatu perjanjian. dan hal ini dapat menjadi kendala bagi penegak hukum untuk
menegakkan ketentuan diskriminasi harga ini karena sebagian besar praktek
diskriminasi harga yang terjadi tidak berdasarkan perjanjian. Jadi lebih mudah apabila
ketentuan ini tidak dimasukan dalam kelompok perjanjian yang dilarang.
Bila melihat kepada rumusan Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999, ketentuan yang
mengatur mengenai diskriminasi harga ini, diatur secara Per Se, sehingga berakibat
pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 6 tersebut dapat
dijatuhi sanksi hukum oleh penegak hukum tanpa terlebih dahulu melihat bahwa yang
dilakukan tersebut menimbulkan akibat tertentu atau tidak. Dalam praktek, Pasal 6 UU
No.5/1999 tidak mudah untuk dibuktikan, karena menurut teori, diskriminasi harga selalu
dimungkinkan jika ada perbedaan volume pembelian, waktu, dan jarak antara penjual
dengan pembeli. Dan di dalam pasal tersebut juga tidak di jelaskan dengan siapa pelaku
usaha membuat perjanjian, apakah dengan sesama pelaku usaha ataukah dengan
pembeli?.
ad. 3 Harga Pemangsa / Predatory Pricing
Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha
dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan utamanya untuk
28
menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang
berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama, segera setelah
berhasil mengusir pelaku usaha pesaing dan menunda masuknya pelaku usaha
pendatang baru, selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan
keuntungan yang mungkin didapatkan.
Literatur ekonomi mengenai alasan dan keampuhan strategi predatory pricing masih
menjadi kontroversi. Banyak ahli ekonomi yang mempertanyakan strategi predatory
pricing atas dasar bahwa: itu bisa sama mahalnya bagi si pelaku usaha yang melakukan
predatory pricing dan bagi korbannya; sasaran predatory pricing tidak akan mudah
diusir, dengan asumsi pasar relatif efisien; dan masuknya pendatang baru atau
masuknya kembali principles dengan tidak adanya rintangan akan mengurangi
kesempatan pemangsa untuk mendapatkan kembali kerugian yang terjadi selama
pelaku usaha tersebut melakukan praktek predatory pricing.
Untuk sementara waktu atau jangka pendek praktek predatory pricing memang
menguntungkan bagi konsumen karena harga produk yang dijual oleh pelaku usaha
menjadi jauh lebih murah, tetapi belum tentu di masa depan, ketika pelaku usaha sukses
dalam menjalankan strategi predatory pricing dan menyebabkan dia tidak memiliki
pesaing yang berarti lagi, pelaku usaha tersebut akan menaikan harga kembali bahkan
mungkin setinggi-tingginya untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya agar
pengorbanan yang pernah dikeluarkan selama pelaku usaha tersebut melakukan
praktek predatory pricing terbayarkan.
Menurut R. Shyam Khemani dalam a framework for the design and implementation of
competition law and policy yang diterbitkan oleh World Bank dan OECD sebenarnya
Predatory pricing biasanya dilarang bukan dikarenakan menetapkan harga yang terlalu
rendah terhadap produk yang dijualnya sekarang, tetapi dikarenakan di masa yang akan
datang pelaku usaha akan berusaha untuk mengurangi produksinya dan menaikan
harga. Oleh karena itu bila pelaku usaha yang melakukan praktek predatory pricing di
masa depan dia tidak akan mengurangi produksinya dan juga tidak menaikan harga,
mungkin predatory pricing tidak dilarang.
29
Praktek predatory pricing sebagai salah satu strategi yang diterapkan oleh pelaku usaha
untuk mengusir pesaing-pesaingnya dari pasar yang sama sebenarnya sangat sulit
untuk dilakukan pada ekonomi pasar yang sehat (healty market economy), dimana tidak
ada hambatan untuk masuk (entry barrier) ke pasar bagi pelaku usaha, sehingga pada
awalnya (jika berhasil) predatory pricing memang akan mengusir pelaku usaha
pesaingnya dari pasar, namun ketika si pelaku usaha yang menjalankan strategi
predatory pricing-nya berhenti dan kemudian menaikan harga lagi untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya, maka pada saat itulah pelaku-pelaku usaha
pesaingnya akan berusaha masuk kembali ke pasar. jadi kesimpulannya si pelaku
usaha yang melakukan predatory pricing tidak akan mempunyai cukup waktu untuk
mengembalikan pengorbannannya selama dia melakukan praktek predatory pricing
tersebut, karena pelaku usaha pesaingnya mungkin sudah kembali ke pasar dan bila si
pelaku usaha tersebut tetap ongtot terus menaikan harga, konsekwensi yang mungkin
didapatkan adalah produk dia tidak akan laku di pasar dan akan menderita kerugian
yang lebih besar.
Namun terkadang bagi pelaku usaha, terutama yang baru masuk ke dalam pasar dan
ingin mendapatkan tempat di pasar, dan kemudian merebut simpati konsumen agar
konsumen mau mencoba produknya, pelaku usaha biasanya mengenakan harga yang
sangat rendah untuk produknya tersebut, bahkan terkadang untuk sementara waktu
mereka rela rugi agar konsumen mau mencoba produk mereka. Sebagai contoh warnet
(warung internet) M-WEB di kampus Universitas Indonesia ketika pertama kali berdiri,
mereka mengratiskan biaya sewa internet agar konsumen mau mencoba warnet
mereka, sehingga sempat mengundang kontroversi terutama dari pengelola warnet di
sekitar kampus UI yang merasa dirugikan atas strategi usaha yang dilakukan oleh
warnet M-WEB tersebut. Untunglah M-WEB menerapkan strategi dagangnya tidak
terlalu lama (ketika itu hanya seminggu) sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar bagi
warnet-warnet yang terdapat disekitar lingkungan kampus UI.
Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 melarang sesama pelaku usaha untuk membuat
perjanjian di antara pelaku usaha untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
(predatory pricing) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Namun di dalam pasal tersebut defenisi harga pasar akan sangat kabur bila diterapkan,
30
karena harga pasar bukanlah merupakan sesuatu yang pasti dalam nilai, juga bervariasi
dalam waktu yang berbeda.
Kemudian jika pelaku usaha melakukan perjanjian penetapan harga, dalam hal ini
menetapkan harga di bawah harga pasar, Pasal 5 sudah menegaskan hal tersebut
adalah per se illegal. Keberadaan Pasal 7 UU No.5/1999 dapat menimbulkan
interprestasi yang berbeda dengan Pasal 5 UU No.5/1999, dimana keduanya
mengandung substansi penetapan harga, Jadi untuk menghindari ketumpang-tindihan,
dimana substansi dari Pasal 7 sebenarnya sudah diatur oleh Pasal 5, maka lebih baik
substansi pengaturan dari Pasal 7 UU No.5/1999 digabungkan saja dengan pengaturan
yang ada pada pasal 5.
Sedangkan apabila Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 dihubungkan dengan ketentuan
yang ada pada Pasal 20 Undang-undang No.5/1999 adalah Pasal 7 mengatur mengenai
predatory pricing yang didasarkan kepada perjanjian sedangkan Pasal 20 mengatur
mengenai predatory pricing yang didasarkan kepada tindakan sepihak dari pelaku
usaha.
ad. 4 Resale Price Maintenance
Pasal 8 Undang-undang No.5/1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang
dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang
telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.”
Prof. Lawrence Anthony Sullivan dalam bukunya Handbook of the Law Antitrust
menyebutkan bahwa dengan adanya perjanjian di antara pelaku usaha, umumnya
perusahaan manufaktur dengan para perusahaan penyalurnya, yang memuat
persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok
kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang diperjanjikan (resale price maintenance), sehingga membuat
persaingan di tingkat perusahaan penyalur menjadi hilang.
31
Adanya perjanjian resale price maintenance yang telah dibuat sebelumnya oleh
perusahaan manufaktur dengan perusahaan penyalurnya mengakibatkan perusahaan
penyaluran tidak lagi memiliki kebebasan untuk menjual produk yang disalurkannya
tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan perusahaan
penyalur lainnya. Karena biasanya bila tidak ada perjanjian resale price maintenance,
perusahaan penyaluran dalam usaha agar lebih disukai oleh konsumen biasanya dalam
menjual produk yang disalurkannya akan selalu menetapkan harga yang lebih murah
dibandingkan harga yang ditawarkan oleh perusahaan penyalur lainnya, karena harga
merupakan salah satu faktor penting yang di pertimbangkan dan memiliki daya tarik
tersendiri bagi konsumen ketika mereka hendak membeli suatu produk tertentu.
Bila para perusahaan penyaluran dibiarkan menentukan sendiri harga produk yang
mereka salurkan, tidak ditentukan sebelumnya oleh perusahaan manufakturnya,
biasanya akan melahirkan persaingan diantara perusahaan penyaluran dimana mereka
akan berlomba-lomba untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya, dengan cara
menerapkan harga produk yang mereka salurkan semurah-murahnya (mungkin dengan
menekan marjin keuntungan) dan peningkatan kualitas pelayanan yang setinggi-
tingginya.
Dengan adanya perjanjian Resale Price Maintenance juga dapat membatasi marjin dan
harga konsumen. Sedangkan ditingkat pedagang akibatnya seperti kartel harga, dan
mengakibatkan hilangnya persaingan harga. Maka oleh karena itu dalam ketentuan
hukum persaingan usaha Internasional, perjanjian Resale Price Maintenance termasuk
kedalam perjanjian yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
Ketentuan yang mengatur mengenai Resale Price Maintenance oleh Undang-undang
No.5/1999 dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga dapat diartikan pelaku usaha
diperbolehkan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa penerima produk tidak akan menjual atau memasok kembali produk yang
diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan
asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
32
Padahal apabila diperhatikan dalam UU No.5/1999, ketentuan Resale Price
Maintenance sebenarnya dapat dimasukan ke dalam Pasal 5 ayat (1) yang mana sudah
melarang perjanjian penetapan harga diantara pelaku usaha. Karena larangan yang
disebutkan oleh Pasal 5 ayat (1) juga seharusnya sudah mencakup mengenai larangan
menentukan harga jual yang dibayar penjual kembali, maupun penetapan harga
minimum yang boleh diminta oleh penjual kembali. Maka sesungguhnya pasal 8 ini
dapat dikatakan tidak diperlukan lagi. Karena Pasal 5 ayat (1) bisa di tafsirkan atau
dianggap perjanjian yang diatur tersebut merupakan perjanjian horizontal ataupun
vertikal. Meskipun memang interprestasi dari Pasal 8 UU No.5/1999 sebagai larangan
perjanjian vertikal telah sesuai dengan standar hukum persaingan usaha internasional
(Pasal 5 ayat (1) dan (2) angka 2 Rancangan International Antitrust Code UNTACD
tahun 1994) yang mana menetapkan harga penjualan kembali atau tingkat harga
tertentu adalah dilarang.
Bila memperhatikan bunyi Pasal 8 UU No.5/1999, pihak-pihak yang dimaksudkan oleh
Pasal 8 haruslah pelaku usaha, dan membuat suatu perjanjian. pihak-pihak yang terlibat
juga harus berada ditingkat pasar yang berlainan. Pasal 8 ditujukan bagi kepada
perjanjian yang dibuat oleh pemasok dengan perantara, sedangkan perjanjian harga
yang dibuat pelaku usaha dengan konsumen akhir tidak dapat dikenakan oleh pasal 8
UU No.5/1999.
Perumusan pasal mengenai Resale Price Maintenance dalam Pasal 8 UU No.5/1999
yang dirumuskan secara Rule of Reason dapat dikatakan menyimpang dari standar
Internasional yang ada. Baik menurut sistem hukum Eropa maupaun Pasal 5 ayat (1)
dan (2) angka 2 Rancangan International Antitrust Code menggolongkan semua
perjanjian Resale Price Maintenance sebagai hambatan terhadap persaingan usaha
yang sehat. Dibandingkan dengan Pasal 5 ayat (1) UU No.5/1999, maka pembatasan di
Pasal 8 UU No.5/1999 patut diragukan. Apabila ingin ditekankan perlindungan tambahan
terhadap penetapan harga seperti yang dirumuskan oleh Pasal 8, maka alangkah lebih
baik apabila perjanjian penetapan harga yang dalam hal ini secara vertikal dilarang
secara mutlak (per-se).
33
Kemudian Pasal 8 Undang-undang No.5/1999 sebenarnya juga telah membatasi
pemberlakuan ketentuan Resale Price Maintenance hanya kepada penerapan harga
yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan saja, bagaimana seandainya
Resale Price Maintenance dengan kondisi pelaku usaha membuat perjanjian RPM
dengan ketentuan tidak boleh menerapkan harga lebih tinggi daripada harga yang
diperjanjikan?. Apakah Pasal 8 masih dapat diterapkan?
3) Pembagian Wilayah / market division
Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar merupakan salah satu strategi yang dilakukan
untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka, sehingga pelaku usaha
dapat menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa
harus melalui persaingan.
Menurut Stephen F. Ross dalam bukunya Principles of Antitrust Law menyatakan bahwa
hilangnya persaingan di antara sesama pelaku usaha dengan cara melakukan
pembagian wilayah bisa membuat pelaku usaha untuk melakukan tindakan
pengurangan produksi ke tingkat yang tidak efesien, kemudian mereka juga dapat
melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan menaikan harga produk, dan
menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk bertindak sewenang-wenang terhadap
konsumen yang sudah teralokasi sebelumnya.41
Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif bila konsumen mempunyai
kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar yang satu ke pasar yang lain untuk
membeli kebutuhannya. Misalkan pemilik Departemen store Matahari dan Ramayana
bersepakat untuk melakukan pembagian pasar di antara mereka, Departemen store
Ramayana hanya beroperasi dan menjalankan usahanya di wilayah Depok saja,
sedangkan Departemen store Matahari akan beroperasi melayani wilayah Ibu kota
Jakarta, andaikan konsumen di wilayah Depok ketika berbelanja di Ramayana merasa
tidak puas, kemudian konsumen masih memiliki kemampuan untuk berbelanja di
Departemen store Matahari Jakarta, meskipun lebih jauh dari tempat tinggalnya.
41 Stephen F. Rose. Principles of Antitrust Law”. Westbury New York: The Foundation Press, Inc.,1993. p.147
34
Perjanjian pembagian pasar dalam perkembangannya bisa terjadi melalui bentuk pelaku
usaha diwajibkan untuk memasok hanya dengan kuantitas atau kualitas barang atau
jasa tertentu, tidak mengiklankan produknya secara gencar, atau tidak melakukan
ekspansi usaha yang berlebihan di wilayah pelaku usaha pesaingnya.
Dengan adanya perjanjian pembagian pasar ini, jelas dapat membuat pelaku usaha
yang terlibat di dalam praktek ini akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan
aktifitas usahanya. Tetapi hal ini dikompensasi dengan cara melakukan eksploitasi
secara besar-besaran terhadap konsumen. Tetapi di dalam ketentuan persaingan usaha
di Amerika Serikat disebutkan bahwa sesungguhnya kerjasama antara pelaku usaha
yang bersaing untuk melakukan perjanjian pembagian wilayah sebenarnya tidak hanya
merugikan konsumen tetapi juga sesungguhnya dapat merugikan bagi pelaku usaha itu
sendiri dimana mereka akan dibatasi dalam mengembangkan usaha mereka dan
hilangnya kesempatan mereka untuk meningkatkan kekuatan pasar yang dimilikinya.42
Secara garis besar perjanjian diantara pelaku usaha untuk membagi wilayah pemasaran
pemasaran diantara mereka akan berakibat kepada eksploitasi terhadap konsumen
sehingga Undang-undang No.5/1999 Pasal 9 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”
Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian pembagian wilayah oleh oleh Undang-
undang No.5/1999 khususnya Pasal 9 dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga
sebelum mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat, pelaku usaha belum bisa dijatuhi hukuman berdasarkan pasal ini. Berbeda
dengan pengaturan di banyak negara, dimana kegiatan perjanjian pembagian wilayah
dikatagorikan sebagai tindakan yang pasti menghambat persaingan usaha dirumuskan
secara per see. Seperti Hukum Persaingan Usaha di Amerika Serikat menyebutkan
bahwa: “suatu jenis perjanjian yang selalu atau hampir memiliki kecenderungan untuk
menaikan harga atau menurunkan jumlah produksi merupakan per see illegal (secara
42 FTC/DOJ, Collaboration Guidelines, Sections 1.2, 2.2, 3.1, 3.3, 3.31, 3.31(a).
35
mutlak dilarang) seperti perjanjian diantara pelaku usaha yang bertujuan untuk saling
membagi atau mengalokasi pasar melalui alokasi pembali, pemasok, daerah atau sektor
perdagangan”.43
4) Pemboikotan
Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk strategi yang dilakukan di antara
pelaku usaha untuk mengusir pelaku usaha lain dari pasar yang sama, atau juga untuk
mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar
yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan
pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan tersebut.44
Dengan terusirnya pelaku usaha pesaing dan tidak bisa masuknya pelaku usaha yang
berpotensial menjadi pesaing ke dalam pasar yang sama, berakibat terhadap semakin
menurunnya tingkat persaingan, dan kemudian membuat pelaku usaha yang ada di
dalam pasar melakukan praktek-praktek yang anti persaingan seperti melakukan praktek
price fixing, pembagian wilayah, kartel dan sebagainya.
Agar praktek pemboikotan yang dilakukan para pelaku usaha yang berada di pasar
dapat berjalan sukses, diperlukan partisipasi yang seluas mungkin dari pelaku usaha
yang ada di dalam pasar yang bersangkutan, karena apabila tidak adanya dukungan
atau keterlibatan secara luas para pelaku usaha yang ada di dalam pasar biasanya
pemboikotan akan sulit untuk berhasil.
Dengan adanya perjanjian pemboikotan yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang
ada di dalam pasar membuat jumlah pelaku usaha yang ada di pasar tidak dapat
bertambah, apabila di dalam suatu pasar hanya terdapat sedikit pelaku usaha yang
menjalankan usahanya dapat berdampak terhadap berkurangnya pilihan konsumen
untuk memilih pelaku usaha yang kemungkinan dapat memberikan kepuasan terbesar
kepada konsumen.
43 FTC/DOJ, Collaboration Guidelines Section 3.2; cf. also UNTACD, Objective and Provisions,p.11.
44 Loc. Cit . Rose., p.190.
36
Perwujudan dari perjanjian pemboikotan biasanya pelaku usaha yang terlibat dalam
perjanjian pemboikotan diharuskan untuk menolak menjual setiap barang atau jasa dari
pelaku usaha lain yang menjadi korban dari perjanjian pemboikotan, sehingga pelaku
usaha yang menjadi korban dari perjanjian pemboikotan tersebut akan mengalami
kesulitan dalam menjual atau membeli setiap barang atau jasa di pasar yang
bersangkutan.
Namun pemboikotan dapat juga dilakukan secara tidak langsung, misalkan dengan cara
para pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan meminta kepada pelaku
usaha yang menjadi pemasok dari produk mereka untuk tidak memasok produk yang
sama kepada pelaku usaha yang menjadi target dari perjanjian pemboikotan, sehingga
apabila si perusahaan pemasok tidak mengindahkan larangan tersebut, maka para
pelaku usaha yang melakukan pemboikotan akan memutuskan hubungan dengan
perusahaan pemasok tersebut dan akan mencari perusahaan pemasok lain.
Memperhatikan dampaknya yang sangat besar terhadap persaingan, maka dalam
berbagai hukum persaingan usaha persaingan di banyak negara, perjanjian
pemboikotan dianggap sebagai hambatan terhadap persaingan usaha yang
mendapatkan perhatian yang serius. Karena dengan terjadinya praktek perjanjian
pemboikotan telah menghilangkan salah satu prasyarat persaingan yang sangat penting
yaitu menghalangi pelaku usaha untuk masuk ke dalam pasar. Bahkan pasal 3 huruf e
dan f UNTACD Model Law menegaskan bahwa “menolak secara kolektif untuk membeli
atau memasok, atau mengancam untuk melakukannya, adalah termasuk cara yang
paling sering dipakai untuk memaksa pihak yang tidak menjadi anggota kelompok
tertentu untuk mengikuti kegiatan yang ditentukan kelompok tersebut.45
Karena tujuan utama dari perjanjian pemboikotan adalah untuk membatasi persaingan,
maka Undang-undang No.5/1999 mengkatagorikan perjanjian pemboikotan sebagai
salah satu perjanjian yang dilarang, dimana di atur di dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2)
Undang-undang No.5/1999, Pasal 10 ayat (1) berbunyi: “pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku
usaha lain untuk malakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri
45 UNTACD, Draft Commentaries, p.24.
37
maupun pasar luar negeri.” Dan Pasal 10 ayat (2) nya, berbunyi: “pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap
barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: (a).
Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain: atau; (2) membatasi
pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar
bersangkutan.”
Begitu buruknya dampak yang dapat ditimbulkan oleh suatu perjanjian pemboikotan,
maka Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.5/1999 yang mengatur mengenai
perjanjian pemboikotan ini dirumuskan secara Per Se oleh pembuat undang-undang,
sehingga ketika ada pelaku usaha yang melakukan perbuatan disebutkan oleh pasal
tersebut tanpa harus memperhatikan akibat yang muncul dari perbuatan tersebut,
pelaku usaha sudah dapat dijatuhi sanksi hukuman.
5) Kartel
Dalam suatu struktur pasar yang kompetitif, dimana pelaku usaha yang berusaha di
dalam pasar tersebut jumlahnya banyak, serta tidak ada hambatan bagi pelaku usaha
untuk masuk kedalam pasar, membuat setiap pelaku usaha yang ada di dalam pasar
tidak akan mampu untuk menyetir harga sesuai dengan keinginannya, mereka hanya
menerima harga yang sudah ditentukan oleh pasar dan akan berusaha untuk
berproduksi secara maksimal agar dapat mencapai suatu tingkat yang efesien dalam
berproduksi. Namun sebaliknya dalam pasar yang berstruktur oligopoli, dimana di dalam
pasar tersebut hanya terdapat beberapa pelaku usaha saja, kemungkinan pelaku usaha
berkerjasama untuk menentukan harga produk dan jumlah produksi dari masing-masing
pelaku usaha menjadi lebih besar. Oleh karena itu biasanya praktek kartel dapat tumbuh
dan berkembang pada pasar yang berstruktur oligopoli.
Pratek kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha
untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Mereka
berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedangkan permintaan
terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada terkereknya harga
ke tingkat yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka
38
melimpah, sudah barang tentu akan berdampak terhadap penurunan harga produk
mereka di pasar.
Membanjirnya pasokan dari suatu produk tertentu di dalam suatu pasar, dapat membuat
harga dari produk tersebut di pasar menjadi lebih murah, dimana kondisi ini akan
menguntungkan bagi konsumen, tetapi tidak sebaliknya bagi pelaku usaha (produsen
atau penjual), semakin murahnya harga produk mereka di pasar, membuat keuntungan
yang akan diperoleh oleh pelaku usaha tersebut menjadi berkurang, atau bahkan rugi
jika produk mereka tidak terserap oleh pasar.
Agar harga produk di pasar tidak jatuh dan harga produk dapat memberikan keuntungan
yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha, pelaku usaha biasanya membuat perjanjian
di antara mereka untuk mengatur mengenai jumlah produksi sehingga jumlah produksi
mereka di pasar tidak berlebih, dan tujuannya agar tidak membuat harga produk mereka
di pasar menjadi lebih murah. Namun terkadang praktek kartel tidak hanya bertujuan
untuk menjaga stablitas harga produk mereka di pasar, tetapi juga untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengurangi produk mereka secara
signifikan di pasar, sehingga menyebabkan di dalam pasar mengalami kelangkaan, yang
mengakibatkan konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk dapat membeli
produk pelaku usaha tersebut di pasar, atau dapat dikatakan tujuan utama dari praktek
kartel adalah untuk mengeruk sebanyak mungkin surplus konsumen ke produsen.
Praktek kartel dapat berjalan sukses apabila pelaku usaha yang terlibat di dalam
perjanjian kartel tersebut haruslah mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung di
dalam pasar tersebut. Karena bila hanya sebagian kecil saja pelaku usaha yang terlibat
di dalam perjanjian kartel biasanya perjanjian kartel tidak akan efektif dalam
mempengaruhi pasokan produk di pasar, karena kekurangan pasokan di dalam pasar
akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha yang tidak terlibat di dalam perjanjian
kartel.
Praktek kartel terselubung di Indonesia diduga di motori atau melalui asosiasi-asosiasi
pelaku usaha yang ada seperti APKINDO, INACA, ORGANDA. sebagai contoh:
ORGANDA (Organisasi Angkutan Darat) beberapa waktu lalu pernah memaksakan
39
kepada Pemerintah Daerah Ibu Kota Jakarta untuk memberlakukan tarif taksi di
JABOTABEK seragam, yang besarnya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh
ORGANDA, tanpa memperhatikan kualitas pelayanan yang diberikan.
Undang-undang No.5/1999 mengkatagorikan kartel sebagai salah satu bentuk perjanjian
yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Dimana Pasal 11 Undang-undang
No.5/1999 berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur
produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Perumusan kartel secara Rule of Reason oleh pembentuk undang-undang No.5/1999
dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi
atau pemasaran suatu barang atau jasa asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Mungkin pembentuk undang-undang persaingan usaha melihat bahwa sebenarnya tidak
semua perjanjian kartel dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, seperti
misalnya perjanjian kartel dalam bentuk mengisyaratkan untuk produk-produk tertentu
harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari
produk yang tidak layak atau dapat membahayakan keselamatan konsumen dan
tujuannnya tidak menghambat persaingan, pembuat undang-undang persaingan usaha
mentolerir perjanjian kartel seperti itu.
Seperti pada prinsip hukum persaingan usaha Amerika Serikat, dimana kolaborasi
pelaku usaha dapat mencakup perjanjian produksi secara bersama-sama produk yang
dijual kepada pihak yang lain, atau digunakan oleh pelaku usaha sendiri untuk
memenuhi kebutuhan sendiri. Perjanjian semacam ini sering bersifat pro persaingan.
Para pihak dapat mengkombinasikan teknologi penunjang, “know-how”, atau aset-aset
lainnya, yang memungkinkan pihak-pihak yang berkerjasama untuk memproduksi suatu
produk yang tidak dapat diproduksi secara sendiri oleh salah satu pihak yang
bekerjasama..kolaborasi antara para pesaing usaha dapat mencakup perjanjian
40
penjualan, distribusi, atau promosi bersama barang atau jasa yang diproduksi bersama-
sama atau oleh masing-masing pelaku usaha. Perjanjian tersebut dapat dikatakan pro
persaingan, misalnya kalau suatu kombinasi aset-aset komplementer memungkinkan
produk mencapai pasar secara lebih cepat dan lebih efesien.46
Tetapi sebenarnya Kartel yang diatur didalam Pasal 11 UU No.5/1999 terlalu sempit
karena hanya mengatur mengenai kartel produksi dan pemasaran. Sehingga bentuk-
bentuk kartel yang lain kemungkian tidak dapat dijerat oleh ketentuan ini. Dengan
demikian perlu ada defenisi yang lebih luas dan jelas mengani Kartel ini, agar ketentuan
tersebut dapat berdaya guna dan efektif.
6) Trust
Untuk dapat mengontrol produksi atau pemasaran produk di pasar ternyata para pelaku
usaha (dalam hal ini perusahaan) tidak hanya cukup dengan membuat perjanjian kartel
diantara mereka, tetapi mereka juga terkadang membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar (trust), dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya.
Menurut R.B. Suhartono, trust merupakan wadah antar perusahaan yang didisain untuk
membatasi persaingan dalam bidang usaha atau industri tertentu. Gabungan antara
beberapa perusahaan dalam bentuk trust dimaksudkan untuk secara kolektif
mengendalikan pasokan, dengan melibatkan trustee sebagai koordinator penentu harga.
Dengan menempatkan saham-saham dari berbagai badan usaha dalam suatu trust
maka dapat di jamin tidak hanya kesatuan langkah kolektif tetapi juga pembagian
keuntungan bersama yang lebih besar dibandingkan tiadanya trust.47
Sehingga oleh Undang-undang No.5/1999, trust merupakan salah satu perjanjian yang
dilarang untuk dilakukan. Dimana hal ini diatur di dalam Pasal 12 Undang-undang
No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau
46 FTC/DOJ, Collaboration Guidelines, section 3.31 (a).47 R.B. Suhartono., “Konglomerasi dan Relavansi UU Antitrust/ UU Antimonopoli di
Indonesia,”Jurnal Hukum Bisnis (Volume 4, 1998) hal.6.
41
perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran
atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”
Namun memang di Indonesia untuk sekarang ini, Trust belum dapat ditemui dalam
praktek keseharian, sehingga beberapa kalangan berpendapat alangkah lebih baik jika
hal yang di atur dalam Pasal 12 ini direvisi saja, untuk menyesuaikan dengan keadaan
yang terjadi di Indonesia dan lagi ketentuan yang di atur oleh Pasal 12 ini bisa dicover
dengan pasal lainnya.
7) Oligopsoni
Oligopsoni adalah struktur pasar yang di dominasi oleh sejumlah konsumen yang
memiliki kontrol atas pembelian. Struktur pasar ini memiliki kesamaan dengan struktur
pasar oligopoli hanya saja struktur pasar ini terpusat di pasar input. Dengan demikian
distorsi yang ditimbulkan oleh kolusi antar pelaku pasar akan mendistorsi pasar input.
Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktek anti persaingan yang cukup unik,
karena dalam praktek oligopsoni yang menjadi korban adalah produsen atau penjual,
dimana biasanya untuk bentuk-bentuk praktek anti persaingan lain (seperti price fixing,
price discrimination, kartel, dll) yang menjadi korban umumnya konsumen. Dalam
oligopsoni, konsumen membuat kesepakan dengan konsumen lain dengan tujuan agar
mereka secara bersama-sama dapat menguasai pembelian atau penerimaan pasokan,
dan pada akhirnya dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa pada pasar yang
bersangkutan.
Dengan adanya praktek oligopsoni produsen atau penjual tidak memiliki alternatif lain
untuk menjual produk mereka selain kepada pihak pelaku usaha yang telah melakukan
perjanjian oligopsoni. Tidak adanya pilihan lain bagi pelaku usaha untuk menjual produk
mereka selain kepada pelaku usaha yang melakukan praktek oligopsoni, mengakibatkan
mereka hanya dapat menerima saja harga yang sudah ditentukan oleh pelaku usaha
yang melakukan praktek oligopsoni.
42
Undang-undang No.5/1999 memasukan perjanjian oligopsoni kedalam salah satu
perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Pasal 13 ayat (1) Undang-
undang No.5/1999 menyebutkan bahwa:“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai
pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang
dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” Sedangkan Pasal 13 ayat (2)
menambahkan bahwa: “pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama
menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”
Oligopsoni oleh Pasal 13 UU No.5/1999 dirumuskan secara Rule of Reason, itu berarti
sebenarnya oligopsoni tidak secara mutlak dilarang. Apabila merujuk pada putusan
kasus mengenai oligopsoni di Amerika Serikat, diputuskan perjanjian pembelian
bersama dianggap tidak mengganggu persaingan apabila memenuhi dua kondisi.
Pertama, pembelian bersama tersebut berjumlah kurang dari 35% dari total pembelian di
pasar tersebut, dan kedua, apabila biaya dari pembelian produk tersebut kurang dari
20% dari total penerimaan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam joint
purchasing. Apabila kedua kondisi di atas tidak terpenuhi maka persaingan dalam pasar
bisa terganggu karena pelaku yang tergabung dalam joint purchasing memiliki
kemampuan untuk mendorong harga produk yang dibeli lebih rendah dari harga pada
level kompetitif.
Dalam oligopsoni ada beberapa hal yang perlu diperhatikan anatara lain kemungkinan
kemungkinan perjanjian tersebut memfasilitasi kolusi penetapan harga sehingga
menimbulkan efek anti persaingan. Perjanjian tersebut tidak akan memfasilitasi kolusi
harga apabila pembelian produk yang dilakukan dengan perjanjian ini hanya berjumlah
relatif kecil terhadap total pembelian di pasar tersebut. selain itu, apabila perjanjian tidak
menghalangi anggotanya untuk melakukan pembelian pada pihak lain secara
independen, maka joint purchasing tersebut tidak merugikan persaingan
43
Namun sebenarnya secara teori, oligopsoni adalah kegiatan yang wajar dimana jumlah
pembeli yang ada begitu terbatas, dan ketentuan ini juga sebenarnya dapat dimasukan
ke dalam pengaturan mengenai Kartel. Karena kegiatan oligopsoni dapat digolongkan
sebagai kartel. Akan tetapi sifat pengaturannya tetap dipertahankan untuk melindungi
kegiatan UKM untuk memperoleh pasokan harga yang wajar.
8) Integrasi Vertikal
Ketika suatu pelaku usaha ingin agar pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar,
pertumbuhan perusahaan dan perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat
efesiensi yang semakin tinggi dan juga untuk mengurangi ketidak pastian akan pasokan
bahan baku yang dibutuhkan dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi,
biasanya perusahaan akan menempuh jalan untuk melakukan penggabungan dengan
pelaku-pelaku usaha lain yang mempunyai kelanjutan proses produksi (integrasi
vertikal).
Kalau pelaku usaha ingin meningkatkan penghasilan (revenue), biasanya yang umum
dilakukan adalah dengan cara meningkatkan produksi. Namun bagi perusahaan yang
sudah berproduksi dalam kapasitas penuh, rasanya sangat sulit untuk dapat
meningkatkan penghasilan yang lebih tinggi lagi, kecuali pelaku usaha tersebut
meningkatkan skala perusahaannya, dengan harapan apabila terjadi peningkatan dalam
skala perusahaan akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi yang
pada akhirnya dapat mengerek keuntungan yang lebih tinggi lagi dibandingkan sebelum
pelaku usaha tersebut meningkatkan skala perusahaannya. Salah satu jalan yang
dilakukan pelaku usaha untuk meningkatkan skala perusahaan adalah melalui
penggabungan / integrasi dengan perusahaan lain.
Namun perkembangannya ternyata penggabungan perusahaan tidak selalu menunjukan
adanya hubungan yang kuat antara terjadinya penggabungan dengan tingkat
keuntungan yang akan diperoleh seperti yang tergambar di atas, tetapi setidaknya
dengan adanya penggabungan akan ada bagian-bagian perhitungan ongkos yang akan
44
hilang atau menurun, misalnya: dalam hal ongkos-ongkos transaksi, iklan, pemanfaatan
informasi bersama, dan administrasi.48
Integrasi antar pelaku usaha juga dengan sendirinya dapat juga dikaitkan dengan
pengurangan resiko dalam bisnis. Dengan terjadinya integrasi vertikal (ke bagian hulu),
maka resiko akan kekurangan bahan baku tentunya menurun. Dan dari segi
pengelolaan, jika sebelumnya dikelola secara terpisah, maka setelah integrasi dapat
menjadi manajemen tunggal. Dimana dengan pengelolaan dibawah manajemen tunggal,
maka pengembangan pemasaran mungkin dapat dilakukan lebih baik, sehingga dengan
terjadinya integrasi antar pelaku usaha, perusahaan pelaku usaha tersebut dapat
meningkatkan efesiensinya, yang kemudian pada akhirnya dapat menghasilkan produk
yang memiliki daya saing yang tinggi.49
Integrasi antar pelaku usaha dapat dilakukan untuk saling menutupi kelemahan dari
masing masing pelaku usaha yang melakukan integrasi, karena sudah pasti setiap
pelaku usaha memiliki kelemahan-kelemahan tersendiri, misalkan satu perusahaan
memiliki kelemahan dalam pengelolaan sumber daya manusia, tetapi unggul dalam
berproduksi dapat bergabung dengan pelaku usaha lain yang mungkin memiliki
kelebihan dalam pengelolaan sumber daya manusia tetapi kurang dalam proses
produksi, dimana kemudian diharapkan dengan terjadinya integrasi kelemahan-
kelemahan yang ada dapat ditutupi atau bahkan dihilangkan.50
Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang integrasi vertikal juga dapat menimbulkan
efek-efek negatif bagi persaingan di antar pelaku usaha, seperti:
1) Integrasi vertikal ke arah hulu (upstream) dapat mengurangi kompetisi di antara
penjual ditingkat hulu (upstream level), contohnya: seandainya pelaku
usaha/perusahaan perakitan kendaraan dihadapkan pada suatu keadaan dimana
pelaku usaha tersebut harus membeli bahan baku dari pelaku usaha pemasok
bahan baku (perusahaan pembuat besi baja) dengan harga oligopoli (umumnya
pada industri pembuatan besi baja hanya terdapat beberapa perusahaan besar
48 Nurimansjah Hasibuan, Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli,dan Regulasi, Cet.1.- Jakarta:LP3ES, 1993. hal.92.
49 Ibid . 93.50Ibid. 93.
45
saja), dalam keadaan seperti ini perusahaan perakitan kendaraan akan lebih
menguntungkan jika melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan pembuat besi
baja, sehingga perusahaan perakitan kendaraan memiliki perusahaan pembuat besi
baja sendiri, yang kemudian perusahaan perakitan mobil tidak lagi menjadi korban
dari perilaku oligopoli (yang biasanya menerapkan harga di atas kewajaran) dari
perusahaan pembuat besi baja, tetapi kemungkinan nantinya perusahaan pembuat
besi baja yang melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan perakitan kendaraan
tidak bisa lagi menjual produknya ke perusahaan perakitan kendaraan lain.
Akibatnya harga besi baja untuk perusahaan perakitan dapat menjadi lebih mahal
lagi, karena semakin berkurangnya pemasok besi baja bagi perusahaan-perusahaan
perakitan kendaraan. Dan ini juga dapat menjadi insentif bagi perusahaan perakitan
kendaraan untuk melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan pembuat besi
baja, yang pada akhirnya semakin berkuranglah persaingan di antara perusahaan
pembuat besi baja yang memasok untuk industri perakitan kendaraan;51
2) Memfasilitasi kolusi di antara pelaku usaha di tingkat hulu (upstream level), dimana
dengan semakin meluasnya integrasi vertikal dapat memfasilitasi kolusi diantara
perusahaan manufaktur karena pemotongan harga terlalu mudah dideteksi. (alasan
yang digunakan untuk kasus ini sama dengan yang digunakan untuk menolak resale
price maintenance);52
3) Integrasi vertikal kearah hulu (downstream integration) dapat memfasilitasi
diskriminasi harga, dimana integrasi sampai di tingkat ritailer dapat memungkinkan
perusahaan manufaktur mempraktekan diskriminasi harga tanpa harus
mengkhawatirkan terhadap tindakan dari perusahaan ritailer lainnya. contohnya
sebuah perusahaan manufaktur yang menjual produknya di boutique dan di toko
diskon, harga yang diterapkan oleh boutique terhadap produknya biasanya lebih
mahal dibandingkan dengan harga yang diterapkan oleh toko diskon, hal tersebut
terjadi karena pemilik boutique melakukan mark-up yang setinggi-tingginya terhadap
pruduk yang dijual digerainya untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-
banyaknya. Memperhatikan perilaku dari boutique ini terkadang membuat tidak
jarang perusahaan manufaktur juga membuat sendiri boutique yang akan menjual
51 Op. Cit., Ross., hal.383.52 Ibid .384.
46
produk mereka dengan harga yang jauh lebih tinggi, sehingga dapat menikmati juga
keuntungan sebagai pemilik boutique;53
4) Meningkatnya hambatan masuk (entry barriers) dimana pelaku usaha yang harus
melalui dua tahap jika ingin masuk ke dalam pasar, dengan semakin meluasnya
praktek integrasi vertikal, kemudian membuat perusahaan manufaktur yang ingin
masuk kedalam suatu industri, harus memiliki perusahaan pemasok sendiri yang
menjamin pasokannya karena perusahaan pemasok yang ada sudah terintegrasi
dengan perusahaan manufaktur yang lain, atau perusahaan manufaktur untuk
memasarkan produknya terpaksa harus memiliki perusahaan ritel tersendiri karena
perusahaan ritel yang ada juga sudah terintegrasi dengan perusahaan manufaktur
yang lain.54
Oleh karena terdapat dampak negatif yang mungkin muncul dari suatu integrasi vertikal,
maka Undang-undang No.5/1999 memasukan integrasi vertikal sebagai salah satu
perjanjian yang dilarang. Pasal 14 Undang-undang No.5/1999 menyebutkan bahwa:
“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan/atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil
pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak
langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau
merugikan masyarakat.”
Dirumuskannya Pasal 14 Undang-undang No.5/1999 secara Rule of Reason, dapat
diartikan pelaku usaha sebenarnya tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk
dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian
langsung maupun tidak langsung sepanjang tidak mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat atau merugikan kepentingan masyarakat.
9) Perjanjian Tertutup
53 Ibid .384.54Ibid.384.
47
a. Exclusive Distribution Agreement
Exclusive distribution agreements yang dimaksud disini adalah pelaku usaha membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang
menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut
kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata lain pihak
distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan tempat
tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur.
Biasanya exclusive distribution agreement dibuat oleh pelaku usaha manufaktur yang
memiliki beberapa perusahaan yang mendistribusikan hasil produksinya, yang tidak
menghendaki terjadinya persaingan di tingkat distributor, yang kemudian dapat
berpengaruh terhadap harga produk yang mereka pasok ke dalam pasar, dan agar
harga produk mereka tetap stabil, maka pihak manufaktur membuat perjanjian dengan
distributor-distributornya untuk membagi konsumen dan wilayah pasokan agar tidak
terjadi bentrokan di sesama distributor.
Dengah berkurangnya atau bahkan hilangnya persaingan pada tingkat distributor
membawa implikasi kepada harga produk yang didistribusikan menjadi lebih mahal,
sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih dari biasanya untuk
mendapatkan produk yang didistribusikan oleh distributor tersebut.
Karena dibatasinya distribusi hanya untuk pihak dan tempat tertentu saja dapat juga
mengakibatkan pihak distributor menyalahgunakan kedudukan eksklusive yang
dimilikinya untuk mungkin mengenakan harga yang tinggi terhadap produk yang
didistribusikannya kepada konsumen pihak dan wilayah tertentu yang menjadi
bagiannya tersebut.
Oleh karena itu Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 melarang pelaku usaha
untuk membuat exclusive distribution agreement dengan pelaku usaha lain. Adapun
bunyi dari Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 sebagai berikut, bahwa: “Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak
48
memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada
tempat tertentu.”
Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 dirumuskan secara Per Se, sehingga
ketika pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok
atau tidak akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan/atau pada tempat tertentu, tanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan
tersebut, pelaku usaha yang membuat perjanjian tersebut sudah langsung dapat
dikenakan pasal ini.
b. Tying Agreement
Undang-undang No.5/1999 bersikap cukup keras terhadap praktek tying agreement, hal
itu dapat dilihat dari perumusan pasal yang mengatur mengenai tying agreement
dirumuskan secara Per Se, yang artinya bagi pelaku usaha yang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain untuk melakukan suatu praktek tying agreement tanpa harus
melihat akibat dari praktek tersebut muncul, pasal ini sudah secara sempurna dapat
dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggarnya.
Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak
yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau
jasa lain dari pelaku usaha pemasok.” Dari pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.5/1999
juga dapat dilihat defenisi dari tying agreement yaitu perjanjian yang dibuat di antara
pelaku usaha yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa
tertentu harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
Tying Agreement merupakan salah satu katagori perjanjian yang dilarang menurut
Undang-undang No.5/1999, karena dengan praktek tying agreement, pelaku usaha
dapat melakukan perluasan kekuatan monopoli yang dimiliki pada tying Product (barang
atau jasa yang pertama kali dijual) ke tyied product (barang atau jasa yang dipaksa
harus dibeli juga oleh konsumen). Sebagai contoh, Indofood memiliki kekuatan monopoli
untuk produk mie instant, tetapi dia ingin memanfaatkan kekuatan monopolinya tersebut
49
agar dapat memiliki kekuatan monopoli untuk produk lain, misalkan saus tomat,
sehingga dia memaksa konsumen yang membeli mie instan harus membeli saus tomat
juga, sehingga kemungkinan dia akan dapat memperluas kekuatan monopolinya tidak
hanya pada mie instan tetapi juga pada saos tomat.
Dengan memiliki kekuatan monopoli untuk kedua produk sekaligus (tying product dan
tyied product) oleh pelaku usaha, dapat menciptakan hambatan bagi calon pelaku usaha
pesaing untuk masuk ke dalam pasar, maka mau tidak mau pelaku usaha harus
melakukan hal yang sama yaitu melakukan praktek tying agreement juga. Bagi
konsumen yang tidak paham mengenai praktek tying agreement, mungkin ketika dia
membeli suatu produk dan kemudian mendapatkan tambahan produk lain, dianggap
sebagai suatu hadiah. Padahal sesungguhnya harga yang dia bayarkan merupakan
harga dari kedua produk yang dia terima tersebut. Praktek tying agreement juga dapat
membuat konsumen kesulitan dalam menentukan harga sebenarnya dari produk yang
dia beli, dimana sebelumnya dia hanya ingin membeli satu produk, tetapi karena dipaksa
harus membeli produk yang lain sehingga membuat konsumen menjadi bingung berapa
harga dari masing-masing produk.
Tying agreement juga telah membuat konsumen harus membeli barang yang
sebenarnya tidak dibutuhkan, salah satu contoh misalkan: suatu ketika konsumen harus
membeli pasta gigi Pepsodent, namun di dalam kotak atau bungkus dari pasta gigi
tersebut terdapat satu sachet shampo merk Sunsilk, sedangkan konsumen tersebut
biasa memakai shampo merk Pantene, karena satu sachet shampo merk Sunsilk
tersebut berada di dalam kotak pasta gigi Pepsodent maka mau tidak mau, suka tidak
suka dia harus membeli juga satu sachet shampo Sunsilk yang terdapat di dalam kotak
pasta gigi Pepsodent tersebut yang mungkin tidak akan dia pakai.
Oleh karena itu dapat disimpulkan ada dua alasan yang menyebabkan praktek tying
agreement tersebut dilarang, yaitu: (1) pelaku usaha yang melakukan praktek tying
agreement tidak menghendaki pelaku usaha lain memiliki kesempatan yang sama untuk
bersaing secara fair dengan dia terutama pada tied product dan (2) pelaku usaha yang
melakukan praktek tying agreement juga telah menghilangkan hak konsumen untuk
memilih secara merdeka barang yang ingin mereka beli. Maka tepatlah Undang-undang
50
No.5/1999 mengkatagorikan tying agreement menjadi salah satu perjanjian yang
dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha.
c. Vertical agreement on Discount
Pasal 15 ayat (3) Undang-undang No.5/1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang
dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang
dan/atau jasa dari usaha pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha
lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.”
Atau dengan kata lain jika pelaku usaha ingin mendapatkan harga diskon untuk produk
tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha harus bersedia membeli
produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akan membeli produk yang sama atau
sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing.
Akibat yang mungkin muncul dari perjanjian di atas, khususnya mengenai adanya
kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga diskon, yang
kemudian diharuskan untuk membeli produk lain dari pelaku usaha pemasok
sebenarnya sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh tying agreement, yaitu
menghilangkan hak pelaku usaha untuk secara bebas memilih produk yang ingin
mereka beli, dan membuat pelaku usaha harus membeli produk yang sebenarnya tidak
dibutuhkan oleh pelaku usaha tersebut
Sedangkan adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga
diskon untuk tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain
yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok dapat mengakibatkan pelaku usaha
pesaing akan mengalami kesulitan dalam menjual produknya yang sejenis dengan
pelaku usaha yang sebelumnya telah membuat vertical agreement on discount terhadap
penerima produknya di pasar.
Pasal 15 ayat (3) Undang-undang No.5/1999 dirumuskan secara Per Se, sehingga
ketika ada pelaku usaha membuat perjanjian yang digambarkan oleh Pasal 15 ayat (3)
51
Undang-undang No.5/1999, tanpa harus menunggu sampai munculnya akibat dari
perjanjian tersebut, pelaku usaha sudah dapat dijatuhkan sanksi hukum atas perjajian
yang telah dibuatnya tersebut oleh penegak hukum.
10) Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pasal 16 UU No.5/1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan
pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam negeri
melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri. Karena Pasal 1 angka 5
UU No.5/1999 tidak menjangkau pelaku usaha yang berkantor pusat diluar negeri dan
tidak melakukan aktifitas usahanya di Indonesia, walaupun aktifitas usahanya
menimbulkan dampak di pasar Indonesia.
Permasalahan yang muncul dari rumusan Pasal 16 UU No.5/1999, keharusan adanya
suatu perjanjian yang dibuat antar pelaku usaha di dalam negeri dengan pelaku usaha
yang ada di luar negeri, sehingga apabila tidak ada perjanjian di antara pelaku usaha
tersebut, maka pelaku usaha yang melakukan praktek persaingan usaha tidak sehat
kemungkinan tidak dapat diproses menggunakan pasal ini.
Jadi pengelompokan pasal-pasal kedalam kelompok perjanjian dan kelompok kegiatan
sekali lagi dapat menjadi celah dalam penegakkan undang-undang persaingan usaha di
Indonesia, sehingga ke depannya pengelompokan pasal ke dalam kelompok perjanjian
dan kegiatan sebaiknya tidak dilakukan lagi.
Kegiatan yang Dilarang
Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 Undang-undang No.5/1999 mengatur mengenai
kegiatan-kegiatan yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha ketika mereka
menjalankan usahanya. Oleh Undang-undang kegiatan yang dilarang tersebut dibagi
menjadi empat bagian, yaitu:
52
1. Monopoli,
2. Monopsoni,
3. Penguasaan Pasar, dan
4. Persekongkolan.
1. Monopoli
Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan
pembentukan hukum persaingan usaha. Monopoli itu sendiri merupakan istilah yang
berasal dari bahasa Yunani yaitu monos polein yang artinya penjual sendiri. Namun
istilah tersebut dalam kenyataannya sudah tidak relevan lagi, berdasarkan
perkembangannya meskipun di dalam suatu pasar atau industri terdapat beberapa
pelaku usaha, tetapi jika ada satu pelaku usaha yang memiliki perilaku seperti monopoli
maka dapat dikatakan perusahaan tersebut monopoli.
Berdasarkan teori, monopoli dapat dibedakan menjadi dua yaitu: monopoli yang alamiah
(natural monopoly) dan monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-
undangan. Monopoli yang alamiah adalah monopoli yang terjadi karena pelaku usaha
tersebut memiliki kemampuan teknis tertentu seperti: (1) pelaku usaha tersebut memiliki
kemampuan atau pengetahuan khusus (special knowledge) yang memungkinkan
berproduksi sangat efesien; (2) skala ekonomi, dimana semakin besar skala produksi
maka biaya marjinal semakin menurun, sehingga biaya produksi perunit (average cost)
makin rendah; (3) pelaku usaha memiliki kemampuan kontrol sumber faktor produksi,
baik berupa sumber daya alam, sumber daya manusia maupun lokasi produksi.
Sedangkan monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan adalah: (1)
hak atas kekayaan intelektual, yaitu dimana negara memberikan hak monopoli kepada
pelaku usaha untuk memproduksi atau memasarkan hasil dari suatu inovasinya
tersebut; (2) hak usaha eksklusif, yaitu hak yang diberikan oleh pemerintah kepada
pelaku usaha tertentu yang tidak didapatkan oleh pelaku usaha yang lain, misalkan agen
tunggal, importir tunggal, pembeli tunggal, dan lain sebagainya.
Dimasukannya monopoli ke dalam katagori salah satu kegiatan yang dilarang oleh
undang-undang persaingan usaha, bukan berarti bahwa sama sekali kegiatan monopoli
53
tidak dapat dilakukan di Indonesia, karena monopoli yang diperoleh melalui peraturan
perundang-undangan, seperti yang monopoli yang berkaitan dengan produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara masih diperbolehkan, asalkan diatur
dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh BUMN atau badan/lembaga yang
dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah, masih dapat ditoleransi oleh Undang-undang
No.5/1999.
Kekhawatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan dari monopoli, membuat monopoli
menjadi suatu kegiatan yang perlu diatur oleh undang-undang. Menurut Machlup
terdapat beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari suatu kegiatan monopoli,
antara lain:
1) mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak ekonomis;
2) melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan tingkat harga, melalui produksi
yang lebih rendah;
3) membuka kesempatan untuk memberikan upah yang rendah pada tenaga kerja,
dalam kondisi kerja yang buruk;
4) menekan persaingan dan menyebabkan pengelolaan tidak efesien;
5) mengurangi arus investasi, dapat pula meniadakan rangsangan inovasi;
6) dalam berproduksi menghindari kapasitas penuh;
7) memperlambat penyesuaian dalam perubahan ekonomi, misalnya ada ketegaran
harga dan merangsang adanya ketidak stabilan;
8) memperlambat perbaikan tingkat kehidupan;
9) memperburuk distribusi pendapatan melalui penentuan laba yang tinggi, dan
konsentrasi kekayaan.
Pelaku usaha tidak dapat melakukan tindakan yang mengakibatkan munculnya
permasalahan-permasalahan di atas, tanpa pelaku usaha tersebut memiliki kekuatan
monopoli (monopoly power). Tanpa monopoly power pelaku usaha tidak akan
mempunyai kemampuan untuk menaikan harga semaunya, mengurangi produksi
ataupun kualitas produk seenaknya saja. Tanpa monopoly power juga pelaku usaha
tidak dapat bisa keliru dalam mengalokasikan sumber daya, menyerap surplus
54
konsumen ke produsen, menolak adanya kesempatan berusaha yang sama bagi setiap
pelaku usaha, atau sentralisasi dan menyalahgunakan kekuatan yang dimilikinya.
Lebih lanjut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 mendefenisikan Monopoli
sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau penggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Monopoli oleh
Undang-undang No.5/1999 dikatagorikan sebagai salah satu kegiatan yang dilarang
untuk dilakukan, Pasal 17 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 menyebutkan bahwa:
“pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan barang dan/atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”
Sedangkan Pasal 17 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 lebih lanjut menyebutkan
bahwa: “pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila:
a. barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang dan/atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Parameter yang digunakan oleh Undang-undang No.5/1999 untuk mengetahui pelaku
usaha melakukan monopoli atau tidak, yang terdapat pada Pasal 17 ayat (2) Undang-
undang No.5/1999, dalam implementasinya akan menimbulkan ketidak pastian,
terutama dalam hal pencatuman kata “atau” sebagai kata penghubung pada setiap
kondisi yang dianggap sebagai ukuran dari monopoli, sehingga membawa konsekwensi
dengan digunakannya salah satu ukuran yang ada (seperti mengakibatkan pelaku usaha
lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama)
pelaku usaha dapat dianggap melakukan monopoli, padahal pelaku usaha tersebut
mungkin tidak menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Pengaturan mengenai monopoli pada Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 yang
dirumuskan secara Rule of Reason, juga dapat ditafsirkan bahwa pelaku usaha (baik itu
55
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha) sebenarnya tidak dilarang untuk
melakukan penguasaan barang dan/atau jasa hingga lebih dari 50% (lima puluh persen)
pangsa pasar, asalkan terdapat substitusi terhadap barang atau jasa yang
bersangkutan, tidak mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama dan tidak mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Pemberian judul Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 dengan judul monopoli, ditafsirkan
oleh masyarakat luas bahwa monopoli merupakan suatu yang dilarang. Padahal
sesungguhnya apabila dibaca isi dari pasal 17 Undang-undang No.5/1999 sama sekali
tidak melarang monopoli, tetapi yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi monopoli
yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk melakukan tindakan-tindakan anti persaingan
tersebut.
Apabila merujuk kepada Model Law on Competition UNCTAD, Pasal 17 Undang-undang
No.5/1999 sebenarnya tidak memiliki padanannya secara langsung, namun ketentuan
yang ada pada Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 memiliki kemiripan substansi
dengan Pasal 4 Model Law on Competition UNCTAD mengatur mengenai perilaku yang
dianggap sebagai penyalah gunaan posisi dominan.
2. Monopsoni
Secara teori ekonomi, monopsoni adalah sebuah pasar dimana hanya terdapat seorang
pembeli. Biasanya pembeli tunggal ini akan menjual dengan cara monopoli. Pada
kondisi inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul dan juga ada potensi yang tidak
sehat, karenanya Undang-Undang no 5 tahun 1999 mengatur secara khusus dalam
pasal 18. Secara hukum, pasal ini melarang pelaku usaha menguasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan /atau jasa dalam pasar yang
bersangkutan. Dan pada ayat dua, pasal ini menyatakan seseorang atau sekelompok
pelaku usaha dianggap melakukan monopsoni manakala menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pada satu jenis barang atau jasa tertentu.
Meskipun kasus monopsoni sangat jarang terjadi, akan tetapi dalam satu waktu atau
suatu daerah tertentu hal ini bisa terjadi. Contoh klasik pada literatur ekonomi adalah
56
kasus penguasaan pasar tenaga kerja oleh pihak produsen pada daerah pertambangan,
dimana pemuda atau angkatan kerja tidak punya banyak pilihan untuk bekerja. Misalkan
pada suatu daerah yang kaya minyak tertentu hanya terdapat sebuah
perusahaan/industri pertambangan dan perusahaan tersebut sangat besar. Maka,
meskipun pemerintah daerah setempat menyediakan alternatif tempat bekerja yang lain
pada retail dan jasa, akan tetapi hampir bisa dipastikan industri yang sendiri tadi akan
sangat bisa menguasai pasar tenaga kerja di kota tersebut. Dan industri tersebut bisa
dipastikan akan menyedot tenaga kerja, yang konsekuensinya adalah pengaturan harga
dari tenaga kerja tersebut. Pada kondisi inilah kemudian kita menyaksikan ada salahsatu
pihak yang dirugikan, karenanya hukum harus mengatur dengan tegas kondisi yang
menyebabkan turunnya kesejahteraan secara agregat.
Kasus penguasaan tenaga kerja juga dapat terjadi jika ada serikat pekerja yang mereka
sangat solid sehingga mereka memiliki nilai tawar yang sangat tinggi. Solid disini terukur
dengan kemampuan organisasi serikat tenaga kerja yang dapat meliputi dan mewakili
sebagian besar atau seluruh tenaga kerja dalam sebuah industri. Dalam kondisi tertentu
mereka bahkan bisa merugikan perusahaan dengan :
1. Menuntut upah yang lebih tinggi dari yang dicapai pada keseimbangan penawaran
dan permintaan pasar tenaga kerja. Dengan ancaman mogok yang sangt
merugikan perusahaan dan lain sebagainya, mereka menjadi punya kekuatan
untuk merubah.
2. Membatasi penawaran tenaga kerja. Ketika buruh bisa melakukan pembatasan
tenaga kerja. Pembatasan penawaran juga akan berimplikasi pada tuntutan
peninggian upah.
Untuk kasus Indonesia, kita juga melihat beberapa kasus yang terjadi pada tenaga kerja.
Akan tetapi pada beberapa tahun belakangan ini, kita juga melihhat ada kasus
monopsoni yang terjadi pada beberap pasar. Diantaranya pada pasar cengkeh, dimana
BPPC dibawah koordinasi Tomy Suharto memaksa semua petani untuk menjual
cengkeh mereka pada Badan tersebut dengan berbagai alasan yang dipaksakan.
Monopsoni juga terjadi pada kasus penambangan pasir laut bagi kepentingan reklamasi
di Singapura. Tentunya Singapura dalam hal ini menjadi pembeli tunggal yang kita sebut
dengan monopsoni juga. .Keadaan ini membuat Singapura memiliki kemampuan untuk
57
mendikte harga pasir di pasar. Otomatis harga dapat bergerak turun-naik menurut
kehendak pembeli, dan Singapura telah mampu menekan harga pasir secara drastis di
kurun waktu tahun 1999-2002. Lepas dari Singapura kemudian punya kemampuan
memaksakan harga atau tidak, pada kondisi tertentu pasar dengan struktur seperti ini
sangat rentan menimbulkan pasar gelap (black market), semisal penyelundupan dan
lain-lain. Dalam kasus ini Singapura bisa menempuh jalan kasar kalau pemerintah tidak
mau menuruti kemauan harga yang diinginkan mereka, yakni dengan penyelundupan,
dan sudah terjadi. Tentunya, dalam jangka pendek dan panjang , hal ini sangat
merugikan bangsa ini.
Kasus lain yang cukup mengusik kita adalah kasus penguasaan beras di beberapa
daerah yang mesti dijual kepada KUD (Koperasi Unit Desa), DOLOG dan lain-lain. Juga
peternak sapi perah di Pengalengan dan Cikajang yang dengan banyak alasan harus
menjual susunya pada Koperasi (KPBS), dengan harga yang tentunya sudah diatur
sedemikian rupa.
Penegakkan Pasal 18 Undang-undang No.5/1999 dalam prakteknya bukanlah suatu
pekerjaan mudah, karena berdasarkan pengalaman praktek ini merupakan praktek yang
jarang terjadi dan konsekwensi hukum yang akan timbul dari ketentuan ini tetap tidak
jelas. Dan apabila melihat kepada Model Law on Competition Law UNCTAD padanan
untuk pasal 18 ini sulit untuk ditemukan.
Pemberian judul monopsoni pada pasal 18 undang-undang No.5/1999, dapat ditafsirkan
dan dibaca oleh masyarakat bahwa monoposoni itu merupkan suatu hal yang dilarang
padahal dalam kenyataannya monopsoni bukan sesuatu yang terlarang, maka lebih baik
judul monopsoni dalam pasal 18 dihilangkan saja atau ketentuan ini tidak perlu diberikan
judul.
3. Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar atau dengan kata lain menjadi penguasa di pasar merupakan
keinginan dari sebagian besar pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup
besar memiliki korelasi yang positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa
diperoleh oleh pelaku usaha. Segala cara dilakukan -dari yang halal sampai yang
58
haram- oleh pelaku usaha agar mereka dapat menjadi penguasa di pasar. Penguasaan
pasar oleh pelaku usaha dapat memungkinkan pelaku usaha tersebut melakukan segala
tindakan yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Penguasaan pasar yang cukup besar oleh pelaku usaha biasanya selalu menjadi
perhatian bagi penegak hukum persaingan usaha untuk mengawasi perilaku pelaku
usaha tersebut di dalam pasar, karena penguasaan pasar yang besar oleh pelaku usaha
tertentu biasanya dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang anti
persaingan yang tujuannya agar dia dapat tetap menjadi penguasa pasar.
Bagian ketiga dari Bab IV (mengenai Kegiatan yang Dilarang) Undang-undang
No.5/1999 memasukan beberapa tindakan yang mungkin dilakukan oleh pelaku usaha
ketika memiliki penguasaan yang cukup besar di dalam pasar, yaitu:
1) menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
2) menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaing;
3) membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang
bersangkutan;
4) melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu;
5) melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau
menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau
mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan;
6) melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang
menjadi bagian dari komponen harga barang dan/atau jasa.
Kegiatan nomor satu sampai nomor empat di atas diatur di dalam Pasal 19 Undang-
undang No.5/1999, dimana Pasal 19 Undang-undang No.5/1999 berbunyi: “pelaku
usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama
pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
59
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”
Sebenarnya Pasal 19 Undang-undang No.5/1999, ini lebih baik pengaturannya
disinergikan saja dengan pengaturan mengenai monopoli yang diatur di dalam Pasal 17
Undang-undang No.5/1999, pengaturan mengenai oligopoli yang diatur di dalam Pasal 4
Undang-undang No.5/1999 dan pengaturan mengenai posisi dominan dalam Pasal 25
Undang-undang No.5/1999 karena ketentuan Pasal 19 tersebut memiliki kesamaan satu
sama lain dengan Pasal-pasal yang telah disebutkan tersebut.
Sadangkan Pasal 20 dan 21 Undang-undang No.5/1999, apabila membaca Model Law
on Competition UNCTAD memiliki padanannya yaitu pada Pasal 4 Romawi II huruf (a).
Sedangkan dalam hal pembuktian mengenai masalah seperti yang diatur oleh Pasal 20
dan 21 Undang-undang No.5/1999, hukum persaingan Jerman menerapkan pembuktian
terbalik, sehingga pelaku usaha yang dituduhkan melakukan praktek yang dilarang
tersebut memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa pelaku uhsa tersebut tidak
melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
4. Persekongkolan
Persaingan bagi sebagian pelaku usaha bukan merupakan sesuatu hal yang
menyenangkan, karena dengan adanya persaingan biasanya bagi perusahaan yang
tidak efesien, tidak inovatif, atau berusaha dengan keras meningkatkan kinerja
perusahaan agar dapat menghasilkan produk dengan harga yang semurah mungkin
dengan kualitas yang terbaik tentulah akan tersingkir dari pasar. Maka oleh karena i tu
bagi pelaku usaha yang alergi terhadap persaingan usaha yang terbaik yang mungkin
mereka lakukan untuk tetap bertahan di dalam pasar adalah dengan melakukan
persekongkolan.
Persekongkolan atau juga dapat disebut sebagai konspirasi usaha didefenisikan oleh
Pasal 1 ayat (8) Undang-undang No.5/1999 adalah sebagai bentuk kerjasama yang
60
dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
Maka oleh Undang-undang No.5/1999 Persekongkolan (conspiracy) merupakan salah
satu kegiatan yang dilarang. Undang-undang No.5/1999 kemudian membagi
persekongkolan menjadi tiga bentuk, yaitu:
1) Persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender (Pasal 22 UU
No.5/1999);
2) Persekongkolan untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang
dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan (Pasal 23 UU No.5/1999);
3) Persekongkolan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang atau jasa
pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang atau jasa yang ditawarkan
atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi kurang baik dari jumlah, kualitas,
maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan (Pasal 24 UU No.5/1999).
Persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender (bid rigging)
menurut a framework for design and implementation of competition law and policy yang
dibuat oleh Bank Dunia dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and
Development) adalah sebuah perjanjian yang dibuat diantara para pihak peserta tender
yang akan menentukan siapa yang akan memenangkan tender tersebut (yang biasanya
tender tersebut berasal dari lembaga pemerintahan).55
Di Indonesia, persekongkolan tender (bid rigging) dapat dikatakan sebagai hal yang
lumrah terjadi. Kolusi yang terjadi antara penyelenggara dan peserta tender juga
merupakan hal yang biasa sehingga dapat dikatakan Tender yang diselenggarakan
hanyalah sekedar formalitas belaka.56 Di dalam a framework for design and
implementation of competition law and policy juga disebutkan beberapa variasi
persekongkolan yang biasa dilakukan dalam proses tender. Tiga diantaranya: bid
suppression, complementary bidding, dan bid rotation. Bid suppression adalah bentuk
persekongkolan yang dilakukan diantara peserta tender untuk memenangkan salah satu
di antara mereka dengan cara memaksa peserta tender yang lain untuk menahan diri
55 R. Syam Khemani, Loc. Cit. hal 23
56 Ditha Wiradiputra, Fenomena Persekongkolan, Tabloid Mingguan KONTAN (No.26 Tahun VI,1 April 2002.
61
dalam mengajukan penawaran, atau bahkan meminta peserta tender yang lain untuk
menarik diri dari proses tender. Complementary bidding adalah salah satu bentuk
persekongkolan tender yang mempunyai maksud yang sama yaitu untuk memenangkan
salah satu diantara mereka dimana pihak yang diharapkan akan memenangkan tender
akan memberikan penawaran harga yang terbaik dan para peserta tender yang lain juga
memberikan penawaran yang kompetitif tetapi dengan klausul-klausul yang
kemungkinan tidak dapat diterima penyelenggara tender. Sedangkan Bid rotation adalah
bentuk persekongkolan tender dimana para peserta tender akan secara bergiliran
memenangkan tender. Para peserta tender akan berusaha membagi giliran tender
secara merata kepada setiap peserta persekongkolan tender. Penggiliran pemenang
tender dalam suatu kelompok pelaku usaha tertentu dapat dijadikan petunjuk bahwa
diantara mereka terjadi suatu kolusi.57
Dengan adanya persekongkolan tender (bid rigging) telah membuat tujuan dari
penyelenggaraan tender menjadi tidak tercapai, yaitu untuk mendapatkan penawaran
terbaik atas suatu pemborongan suatu pekerjaan, mengadakan barang-barang, atau
untuk menyediakan jasa. Persekongkolan tender telah membuat penyelenggaraan
tender tidak mendapatkan penawaran yang terbaik atas suatu pemborongan perkerjaan,
pengadaan barang atau menyediakan jasa.
Pasal 22 undang-undang No.5/1999 yang berbunyi bahwa: “pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang
tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga konsekwensinya pelaku usaha
diperbolehkan bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur atau menentukan
pemenang tender asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Karena misalkan dalam suatu proses tender, bagi pelaku usaha yang memiliki kualifikasi
tertentu saja yang dapat mengikuti proses tender, sehingga pelaku usaha yang berminat
ingin mengikuti tender tetapi tidak memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan mungkin akan
saling berkerjasama agar mereka dapat mengikuti tender tersebut, maka kemungkinan
praktek yang seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai persekongkolan tender yang tidak
mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat.
57 R. Syam Khemani, Loc. Cit. hal 23
62
Namun yang menjadi permasalahan dalam penerapan Pasal 22 Undang-undang
No.5/1999 adalah ketika dilapangan banyak ditemukan bahwa yang terlibat dalam
praktek pesekongkolan tender itu tidak hanya para peserta tender saja tetapi juga pihak
yang menyelenggarakan tender terlibat dalam persekongkolan tersebut. Pertanyaannya
adalah apakah dimungkinkan pihak penyelenggara tender dapat dikenakan sanksi
berdasarkan Pasal 22.
Kemudian apakah Pasal 22 Undang-undang No.5/1999 tidak menjelaskan siapa yang
dimaksud dengan pihal lain, apakah pihak lain itu diartikan sebagai sesama peserta
tender ataukah seluruh pihak yang terlibat dalam suatu tender seperti konsultan jasa
penilai, konsultan hukum atau akuntan misalnya.
Sedangkan penjelasan Pasal 22 memberikan penjelasan mengeni tender adalah
tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan
barang-barang, atau untuk menyediakan jasa. Sehingga penjelasan tersebut telah
mempersempit defenisi dari tender, karena suatu tender diadakan biasanya tidak hanya
untuk keperluan seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 22 tetapi juga ada
dalam praktek sehari-harinya tender dilakukan dalam rangka melakukan suatu
penjualan.
Sedangkan bentuk persekongkolan yang lain yang dilarang untuk dilakukan oleh
Undang-undang No.5/1999 adalah persekongkolan untuk mendapatkan informasi
kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan,
ketentuan ini bertujuan memberikan perlindungan kepada pelaku usaha yang eksistensi
atau keberadaan mereka di dalam pasar bergantung sekali kepada rahasia perusahaan
yang dimiliki, seperti perusahaan Coca Cola jika resep mereka dalam meracik minuman
sampai jatuh ketangan pelaku usaha lain yang kemungkinan akan memproduksi produk
yang sama sudah barang tentu kedudukan Coca Cola di dalam pasar akan terancam,
atau juga perusahaan farmasi yang melakukan riset dengan waktu dan biaya tidak
sedikit yang kemudian berhasil menghasilkan suatu resep obat yang sangat ampuh
untuk menyembuhkan suatu penyakit tertentu, tetapi karena ada persekongkolan jahat,
sehingga mengakibatkan resep obat yang dimiliki perusahaan tersebut bisa jatuh
63
ketangan pelaku usaha lain yang menjadi pesaingnya, sehingga pelaku usaha
pesaingnya tersebut dapat memproduksi obat yang sama tanpa harus melakukan riset
dan mengeluarkan biaya yang besar terlebih dahulu, bisa memperoleh keuntungan yang
sangat besar. yang mungkin berlaku sebaliknya bagi pelaku usaha yang resepnya telah
dicuri. Namun jika rahasia perusahaan dapat dipersamakan dengan rahasia dagang
yaitu informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis
mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga
kerahasiannya oleh pemilik rahasia dagang,58 maka tidak hanya Undang-undang
No.5/1999 yang memberikan perlindungan terhadap rahasia perusahaan tersebut tetapi
ada juga undang-undang yang mengatur secara spesifik mengenai rahasia dagang yaitu
Undang-undang No.30 Tahun 2000.
Ketentuan yang mengatur mengenai persekongkolan untuk mendapatkan informasi
kegiatan usaha pesaingnya yang diklasisifikasikan sebagai rahasia perusahaan oleh
Undang-undang No.5/1999 - khususnya oleh Pasal 23 yang berbunyi bahwa: “pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan
usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” - diatur secara Rule of Reason
sehingga membawa konsekwensi pelaku usaha tidak dilarang bersekongkol dengan
pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang
diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan asalkan tidak mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
Bentuk persekongkolan yang terakhir yang diatur oleh Undang-undang No.5/1999
adalah persekongkolan untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa
yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari
jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Dimana bentuk
persekongkolan seperti ini telah menghilangkan salah satu prasyarat persaingan yang
paling penting yaitu kebebasan untuk masuk ke dalam pasar.
58 UU No.30 Tahun 2000 pasal 1 ayat 1 LN No 242 tahun 2000 TLN 4044
64
Persekongkolan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang atau jasa pelaku
usaha pesaing sebenarnya hampir sama tujuan dengan praktek pemboikotan yaitu
mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk kedalam pasar
yang sama, yang kemudian pasar tersebut terjaga hanya untuk kepentingan pelaku
usaha yang melakukan praktek pemboikotan. Atau juga ada yang mengatakan bahwa
sesungguhnya salah satu praktek pemboikotan adalah bersekongkol untuk menghambat
produksi atau pemasaran barang atau jasa pelaku usaha pesaing.
Memperhatikan dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari praktek persekongkolan
seperti di atas, maka sudah seharusnya persekongkolanseperti di atas oleh pasal 24
Undang-undang No.5/1999 dirumuskan secara Per-Se, yaitu ketika pelaku usaha
melakukan tindakan yang disebutkan di dalam pasal tersebut sudah dikatakan bahwa
pelaku usaha tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut tanpa
harus melihat atau menunggu sampai munculnya akibat yang ditimbulkan dari tindakan
tersebut.
Adapun Pasal 24 Undang-undang No.5/1999 berbunyi sebagai berikut: “pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar
barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.”
Posisi Dominan
Posisi dominan didefenisikan oleh Pasal 1 ayat (4) Undang-undang No.5/1999 sebagai
suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta
kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
65
Bila dibandingkan dengan monopoli, secara konseptual posisi dominan itu seperti
jembatan di antara struktur pasar monopoli dan struktur pasar oligopolistik (pasar yang
dikuasai oleh beberapa perusahaan sejenis yang mempunyai kemampuan yang sama).
Pada pasar yang berstruktur monopoli, pelaku usaha yang ingin masuk ke dalam pasar
akan mendapatkan rintangan yang cukup besar dari si pelaku usaha yang memiliki
kedudukan monopoli, tetapi untuk pasar yang terdapat pelaku usaha yang memiliki
kedudukan posisi dominan di dalamnya, hambatan yang dibuat untuk mencegah pelaku
usaha lain yang hendak masuk ke dalam pasar oleh pelaku usaha yang memiliki
kedudukan posisi dominan tidak sebesar yang dibuat oleh pelaku usaha yang memiliki
kedudukan monopoli, atau dengan kata lain rintangan yang diciptakan oleh pelaku
usaha dominan untuk mencegah pelaku usaha lain untuk masuk kedalam pasar yang
sama tidak sebesar rintangan yang diciptakan oleh pelaku usaha yang memiliki
kedudukan monopoli, sehingga dapat dikatakan bahwa si posisi dominan masih
memberikan sedikit ruang bagi pelaku usaha lain untuk berpartisipasi di dalam pasar.
Sedangkan hal lainnya yang membedakan pelaku usaha yang memiliki kedudukan
posisi dominan dengan pelaku usaha yang memiki kedudukan monopoli adalah
Kemampuan pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan (si posisi dominan)
dalam mengontrol (menaikan atau menurunkan) harga tidak sekuat yang dimiliki oleh
pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli. Dimana dalam menentukan harga si
posisi dominan harus memperhatikan reaksi konsumen atas tindakan yang diambilnya,
karena mungkin atas tindakannya tersebut dapat memicu konsumen si posisi dominan
berpindah kepada pelaku usaha lain yang lebih kecil yang berusaha menjadi pesaing
dari si posisi dominan. Sedangkan bagi pelaku usaha yang memiliki kedudukan
monopoli (si monopoli) tidak perlu memperhatikan reaksi konsumen ketika si monopoli
harus menaikan harga, karena si monopoli mempunyai keyakinan bahwa konsumen
tidak akan berpindah ke pelaku usaha lain meskipun si monopoli nantinya menaikan
harga, karena sebelumnya si monopoli telah membuat rintangan-rintangan yang
mencegah pelaku usaha lain masuk ke dalam pasar si monopoli, sehingga membuat
yang ada di dalam pasar tersebut hanya si monopoli saja yang menjalankan usahanya.
Mencapai posisi dominan di dalam pasar bukanlah perkara yang mudah bagi setiap
pelaku usaha, misalkan si pelaku usaha diharuskan meningkatkan kemampuan
66
keuangannya, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan
untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu terlebih dahulu,
barulah kemudian si pelaku usaha bisa mencapai kedudukan posisi dominan di dalam
pasar.
Oleh karena mencapai kedudukan posisi dominan di dalam pasar perlu usaha yang
tidak ringan, hal tersebut mendorong si pelaku usaha melakukan segala cara untuk
mempertahankan posisi dominannya agar tidak tergoyahkan oleh pelaku usaha lain,
bahkan terkadang si posisi dominan melakukan tindakan-tindakan yang terlarang (anti
persaingan) dalam mempertahankan posisi dominannya.
Hukum persaingan usaha memberikan perhatian yang cukup serius terhadap pelaku
usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan, karena seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya bahwa pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan mempunyai
kecendrungan untuk menghalalkan melakukan segala cara dalam mempertahankan
posisi dominanya di dalam pasar. Si posisi dominan sangat tidak tentram bila ada pelaku
usaha yang yang coba-coba untuk menggoyahkan kedudukannya di dalam pasar,
sehingga terkadang si posisi dominan menerapkan strategi-strategi bisnis yang
membuat pelaku usaha lain tidak dapat menyainginya, bila si posisi dominan dalam
mempertahankan posisi dominannya tidak melalui cara-cara yang anti persaingan,
seperti mengembangakan teknologi ataupun peningkatan permodalannya sudah barang
tentu bagi hukum persaingan usaha tidak menjadi masalah, tetapi ketika si posisi
dominan dalam mempertahankan kedudukannya melalui cara-cara yang anti persaingan
maka sudah barang tentu pula hukum persaingan usaha sudah menyiapkan jerat-jerat
hukum untuk si posisi dominan.
Sebagai contoh dimana sebelum Perang Dunia II Perusahaan Alumunium America
(Alcoa), merupakan satu-satunya perusahaan nasional Amerika Serikat yang
memproduksi batangan alumunium dari biji alumunium. Alcoa dalam pasar Amerika
menghadapi persaingan dari beberapa perusahaan batangan alumunium yang
melakukan daur ulang alumunium. Alcoa memiliki posisi dominan yang memproduksi
alumunium dengan teknologi yang telah dipatenkan sehingga dengan teknologi tersebut
Alcoa dapat memproduksi alumunium dengan biaya yang relatif rendah. Alcoa
67
memegang hak paten dan dengan demikian teknik produksi Alcoa dilindungi oleh hak
paten. Namun setelah tahun 1909 hak paten tersebut telah kadaluwarsa dan Alcoa
harus mempertahankan posisi tersebut.
Pemerintah mencoba menuntut Alcoa melakukan aksi monopoli terhadap pasar
batangan alumunium, karena Alcoa, dituduh, melakukan pembelian bauxit melebihi dari
jumlah yang dibutuhkan oleh perusahaannnya sehingga menyebabkan perusahaan lain
yang menjadi pesaing potensial tidak bisa mendapatkan bahan dasar yang dibutuhkan
untuk memproduksi batangan alumunium. Pemerintah juga menyatakan bahwa Alcoa
telah menandatangani kontrak dengan Perusahaan Listrik Publik (PLN Amerika) yang
mana kontrak tersebut didesain sedemikian rupa sehingga perusahaan yang bergerak
sebagai produsen batangan alumunium, yang menjadi saingan Alcoa, tidak bisa
mendapatkan listrik dengan harga yang murah (perlu diketahui bahwa untuk
memproduksi batangan alumunium, dibutuhkan listrik yang besar). Dalam pandangan
pengadilan, pemerintah dipandang tidak berhasil membuktikan bahwa Alcoa telah
berupaya untuk melakukan usaha-usaha untuk melanggengkan monopoli di bidang
produksi alumunium batangan. Namun demikian, pengadilan di Amerika Serikat
menemukan bahwa Alcoa telah melakukan monopoli alumunium batangan yang dengan
demikian telah bertentangan dengan bagian 2 dari Sherman Act. Faktor yang
mendukung tuduhan tersebut adalah perluasan kapasitas produksi yang dilakukan oleh
Alcoa. Berikut merupakan cuplikan dari pertimbangan keputusan pengadilan:
“It was not inevitable that it should always anticipate increases in demand for ingot and
be prepared to supply them. Nothing compelled it to keep doubling and redoubling its
capacity before others entered the field. It insist thet it never excluded competitors; but
we can think of no more effective exclusion than progressively to embrace each new
opportunity as it opened, and to face every newcomer with new capacity already geared
into a great organization, having the advantage of experience, trade connections and the
elite of personel.”
Pada Undang-undang No.5/1999 khususnya Pasal 25 mengemukakan beberapa
tindakan terlarang yang umumnya dilakukan oleh si posisi dominan dalam
mempertahankan kedudukannya di dalam pasar, antara lain:
68
1. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau
menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari
segi harga maupun dari segi kualitas; atau
2. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
3. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki
pasar bersangkutan.
Hukum persaingan usaha secara umum ataupun Undang-undang No.5/1999 secara
khusus sebenarnya tidak mengharamkan bagi pelaku usaha memiliki kedudukan posisi
dominan di dalam pasar, asalkan tidak menyalahgunakan posisi yang dimilikinya untuk
melakukan hal-hal yang telah di sebutkan di atas, Seperti yang dikemukakan oleh Pasal
25 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 bahwa: “Pelaku usaha dilarang menggunakan
posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
1. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau
menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik
dari segi harga maupun dari segi kualitas; atau
2. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
3. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki
pasar bersangkutan.”
Pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan oleh Undang-undang No.5/1999
apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima
puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau, dua
atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima
persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, dimana hal ini di
atur di dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999.
Tetapi dengan pemberian judul posisi dominan pada Bab tersebut, seolah-olah posisi
dominan dibaca oleh masyarakat sebagi suatu yang dilarang oleh Undang-Undang No.
5/1999. Padahal sebenarnya tidak demikian. Undang-undang ini tidak bertujuan untuk
melarang pelaku usaha untuk menjadi besar atau dominan dalam menjalankan
bisnisnya. Bahkan sebaliknya, UU No. 5/1999 justru bertujuan untuk menggairahkan
dunia usaha di Indonesia. Pada dasarnya tidak ada larangan bagi pelaku usaha untuk
69
memiliki posisi dominan di dalam pasar yang bersangkutan sepanjang posisi dominan
tersebut diperolehnya dengan cara-cara yang jujur dan mengedepankan persaingan
yang sehat dalam berbisnis. Dengan demikian penjudulan “Posisi Dominan” sangat tidak
tepat sebagai sesuatu yang dilarang, dan lebih tepat apabila judul bab tersebut diganti
dengan judul “Penyalahgunaan Posisi Dominan”, karena dianggap penyalahgunaan
posisi dominan memiliki konotasi yang negatif sehingga harus menjadi sesuatu hal yang
dilarang oleh undang-undang nantinya. Dan apabila melihat substansi yang ada dalam
bab tersebut memang nampak lebih tepat bahwa hal-hal yang dilarang di dalam bab
tersebut merupakan penyalahgunaan posisi dominan. Sehingga kesimpulannya adalah
bahwa pencapaian penguasaan pangsa pasar (posisi dominan) pada dasarnya tidaklah
dilarang, yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi dominan tersebut. 59
Kemudian isi dari Pasal 25 ayat 1 huruf (a) Undang-undang No.5/1999 mempunyai
kesamaan dengan pasal 19 huruf b Undang-undang No.5/1999, walaupun tidak
sepenuhnya sama. Persyaratan pertama yang harus dipenuhi adalah bahwa pelaku
usaha bersangkutan menentukan syarat perdagangan. Rumusan ini bermakna sangat
luas dan sepertinya meliputi hampir seluruh perilaku persaingan usaha.60 Untuk itu perlu
semacam pengaturan yang lebih jelas dan bukan merupakan pengulangan dari suatu
pasal yang lain. Begitupula dengan pasal 25 ayat 1 huruf (b) di mana hal ini memiliki
tujuan mirip dengan tujuan pasal 19 huruf c. Pada pasal 25 ayat 1 huruf (b) disebutkan
bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominannya untuk membatasi pasar
dan pengembangan teknologi. Mengenai tujuan membatasi pasar, hal ini bermakna
sangat luas, sehingga memerlukan interpretasi. Dan istilah “membatasi” dan “pasar”
tidak dijabarkan lebih lanjut.61 Apabila dilakukan interpretasi secara ekstensif, yang
sebenarnya tidak sesuai dengan maksud dan tujuan ketentuan ini, maka semua
hambatan persaingan sekaligus merupakan pembatasan pasar.62
59 Udin Silalahi, Harian Umum Sore Sinar Harapan, Rubrik Persaingan Bisnis, Rencana Merger AirFrance dengan KLM: Peta Persaingan Penerbangan Dunia Akan Berubah,http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2003/1029/ind4.html
60 Peter W. Heerman, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat, Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Jakarta 2002, cet. II, hal. 335
61 Ibid.
62 Ibid, hal. 336.
70
Selanjutnya, di dalam pasal tersebut diatas disebutkan juga bahwa pelaku usaha
dilarang menggunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi
pengembangan teknologi. Tentu saja hak atas kekayaan intelektual sebagai monopoli
pribadi cocok sekali untuk membatasi pengembangan teknologi. Namun dari sistematik
undang-undang ini nyata bahwa pasal 25 ayat 1 huruf (a) memerlukan reduksi
teleologis.63 Menurut pasal 50 huruf b, perjanjian hak atas kekayaan intelektual
dikecualikan dari jangkauan undang-undang ini. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa hambatan persaingan yang diakibatkan adanya hak atas kekayaan intelektual
selalu harus dapat diterima. Karenanya, pasal 25 ayat 1 huruf (b) hanya ditujukan bagi
pembatasan yang “melampaui” batas, yang telah ditetapkan oleh hak milik kekayaan
industri dan hak cipta.
Sedangkan Pasal 25 ayat (1) huruf (c) Undang-undang No.5/1999 menekankan tujuan
penyalahgunakan posisi dominan untuk menciptakan hambatan masuk kepada pelaku
usaha lain untuk ikut terjun dalam bidang usaha yang sama, sebenarnya pengaturan ini
telah diakomodir di dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 5/1999 yang berbunyi
sebagai berikut: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha
pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang
sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Untuk itu maka
perlu kedua pengaturan tersebut diakomodir di dalam satu bagian atau pasal tertentu
sehingga tidak terjadi pengulangan pengaturan.
Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 berbunyi: Pelaku usaha memiliki posisi
dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: (a) satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu; atau (b) dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu. Materi ketentuan pasal 25 ayat 2 huruf a identik dengan
ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf (c) Undang-undang No.5/1999 dan Pasal 18 ayat (2)
Undang-undang No.5/1999, sedangkan Pasal 25 ayat (2) huruf (b) sama dengan isi
63 Ibid , hal. 337.
71
pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 dan pasal 13 ayat 2 Undang-undang
No.5/1999.
Kata-kata yang dipergunakan dalam ketentuan dalam pasal 25 ayat (2) Undang-undang
No.5/1999 berbeda dengan istilah hukum “pasar bersangkutan” yang terdapat dalam
Pasal 1 angka (10) Undang-undang No.5/1999, dan dapat mengarah pada interpretasi
yang lebih sempit, namun kesamaan bahasa dan konsep UNCTAD mengindikasikan
bahwa sesuai dengan standar internasional, dibutuhkan posisi dominan dalam pasar
bersangkutan. Karena itu, istilah hukum yang terdapat dalam Pasal 1 angka (10)
Undang-undang No.5/1999 juga relevan dalam penerapan pasal 25 ayat (2). dari
materinya, ketentuan ini berkaitan dengan definisi posisi dominan sebagaimana
dimaksud pasal 1 angka (4) Undang-undang No.5/1999 dan memodifikasi definisi
tersebut. Namun dalam menerapkan ketentuan tersebut, pangsa pasar bukan
merupakan satu-satunya kriteria untuk menentukan posisi dominan. Perlu dipertanyakan
apakah parameter-parameter lainnya yang berperan penting untuk menentukan posisi
dominan patut atau dapat diabaikan dalam menerapkan Pasal 25 ayat 2 Undang-
undang No.5/1999. apabila demikian, maka definisi hukum di satu-satunya ketentuan
hukum dalam undang-undang ini yang menggunakan istilah hukum “posisi dominan”,
termodifikasi secara menyeluruh. Namun hal ini perlu dihindari demi penerapan istilah-
istilah hukum secara seragam, paling sedikit di dalam satu undang-undang
Lebih lanjut pada Bab Posisi Dominan Undang-undang No.5/1999 juga memasukan
beberapa hal yang memungkinkan pelaku usaha meraih sebagai posisi dominan di
dalam pasar, yaitu antara lain:
1. memiliki jabatan baik sebagai direksi ataupun sebagai komisaris dibeberapa
perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama (Pasal 26 Undang-undang
No.5/1999);
2. memiliki saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang bergerak di dalam
pasar yang sama (Pasal 27 Undang-undang No.5/1999);
3. melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha (Pasal 28
dan Pasal 29 Undang-undang No.5/1999).
72
Bagi pelaku usaha yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu
perusahaan pada waktu yang bersamaan, kemudian menjadi direksi atau komisaris
pada perusahaan lain yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama juga,
kemungkinan besar pelaku usaha tersebut akan mengkoordinasikan kegiatan usaha
perusahaan-perusahaan dimana dia menjadi pejabat direksi atau komisarisnya, yang
mungkin jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki pejabat direksi atau
komisaris yang sama perusahaan-perusahaan tersebut dapat saling bersaing satu sama
lain, namun karena perusahaan-perusahaan tersebut memiliki pejabat direksi atau
komisaris yang sama sangat kecil kemungkinannya di antara perusahaan tersebut akan
saling bersaing.
Memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama di beberapa perusahaan yang
bergerak di dalam pasar yang sama, sudah barang tentu akan membuat perilaku dari
perusahaan-perusahaan tersebut kemungkinan akan menjadi seragam di dalam pasar,
sehingga membuat perusahaan-perusahaan yang memiliki pejabat direksi atau
komisaris yang sama tersebut terlihat seperti satu perusahaan saja.
Dengan terjadinya praktek jabatan rangkap dapat mempengaruhi persaingan usaha
dalam berbagai cara. Misalnya dapat menimbulkan pengawasan administratif di mana
keputusan sehubungan dengan investasi dan produksi dapat melahirkan pembentukan
strategi bersama di antara perusahaan sehubungan dengan harga, alokasi pasar dan
kegiatan bersama lainnya. Dan ini penting disadari bahwa jabatan rangkap apabila tidak
diawasi dengan cara efektif, dapat digunakan sebagai alat untuk menghindarkan
perundang-undangan yang susunannya bagus dan diterapkan setepat-tepatnya di
daerah praktek usaha yang restriktif.
Meskipun jabatan rangkap terlihat dari penjelasan di atas memberikan dampak yang
kurang baik bagi persaingan usaha, bukan berarti seseorang dilarang sama sekali untuk
menduduki jabatan rangkap di beberapa perusahaan yang berada di dalam pasar
bersangkutan yang sama, karena berdasarkan Pasal 26 Undang-undang No.5/1999,
yang berbunyi :“seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari
suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi
atau komisaris pada perusahaan lain apabila perusahaan-perusahaan tersebut:
73
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan/atau jenis usaha; atau
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan/atau jasa tertentu,
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat,” sehingga dapat dikatakan jabatan rangkap yang dilarang berdasarkan Pasal 26
Undang-undang No.5/1999 adalah jabatan rangkap yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Sedangkan mungkin yang dimaksud dengan jabatan rangkap yang dapat
mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat atau yang
dilarang oleh Undang-undang No.5/1999 adalah jabatan rangkap, dimana dengan
adanya perusahaan-perusahaan yang memiliki pejabat direksi atau komisaris yang
sama pada pasar bersangkutan yang sama kemudian menyebabkan beberapa
perusahaan yang ada tersebut seperti satu perusahaan saja, yang selanjutnya membuat
keberadaan mereka di pasar menjadi dominan, dan berikutnya perusahaan-perusahaan
tersebut saling berkolusi untuk melakukan tindakan-tindakan yang anti persaingan.
Namun untuk memberikan pengawasan terhadap jabatan rangkap ini tidak cukup
pengaturan mengenai jabatan rangkap terhadap direksi atau komisaris saja
sebagaimana yang telah diatur oleh pasal 26 Undang-Undang No. 5/1999. Direksi dan
Komisaris merupakan suatu istilah jabatan yang hanya terdapat dalam badan usaha
yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, di mana direksi dan komisaris
merupakan organ yang terdapat dalam suatu Perseroan Terbatas. Apabila ketentuan
pasal 26 Undang-Undang No. 5/1999 tetap dipertahankan demikian, di mana larangan
jabatan rangkap tersebut hanya diberlakukan bagi jabatan direksi dan komisaris maka
pada akhirnya badan usaha lain selain Perseroan Terbatas seperti firma, CV, Koperasi
dan lain-lain tidak akan terkena ketentuan mengenai jabatan rangkap ini sekalipun
badan usaha tersebut memenuhi kriteria huruf (a), (b), dan (c) yang justru sebenarnya
dapat mempengaruhi kondisi persaingan ke arah yang tidak sehat.
Untuk itu agar ketentuan mengenai jabatan rangkap ini tidak hanya mengarah kepada
badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas saja maka penggunaan istilah
Direktur dan Komisaris ini diganti menjadi Pengurus dan Pengawas dengan harapan
74
agar undang-undang ini juga dapat diberlakukan bagi bentuk badan usaha lain selain
Perseroan Terbatas.
Kedudukan posisi dominan pelaku usaha juga bisa dilakukan dengan cara memiliki
saham secara mayoritas di beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan
usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, dimana
kemudian pangsa pasar perusahaan-perusahaan yang dimilikinya menjadi lebih besar.
Dengan memiliki saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang sejenis yang
bergerak di dalam pasar yang sama, pelaku usaha melalui perusahaan-perusahaanya
yang telah berhasil dikuasai dapat juga melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh
pelaku usaha yang menduduki jabatan rangkap dibeberapa perusahaan yang berada
dalam pasar yang sama, sehingga seharusnya pengaturan mengenai kepemilikan
saham secara mayoritas di beberapa perusahaan yang sama disesuaikan dengan
pengaturan mengenai penyalahgunaan posisi dominan dan jabatan rangkap.
Namun Pasal 27 Undang-undang No.5/1999 yang mengatur mengenai pemilikan saham
secara mayoritas pada perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha pada pasar
bersangkutan yang sama - (dimana Pasal 27 secara lengkap berbunyi: “pelaku usaha
dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan
kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau
mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan :
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu:
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”)
- sepertinya dirumuskan secara keliru, karena Pasal 27 yang merupakan salah satu
pasal yang juga menjadi bagian dari Bab V Posisi Dominan, seharusnya perumusannya
juga disesuaikan dengan kaidah yang lain, seperti pada pengaturan penyalahgunaan
posisi dominan dan jabatan rangkap, yang dikatakan sebelumnya bahwa sesungguhnya
posisi dominan itu sendiri tidak dilarang, asalkan tidak melakukan tindakan-tindakan
yang disebutkan pada Pasal 25 ayat (1) Undang-undang No.5/1999, dan begitu pula
75
jabatan rangkap yang sebenarnya juga tidak dilarang asalkan tidak mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena sesungguhnya
dampak yang muncul dengan dimilikinya saham secara mayoritas dibeberapa
perusahaan yang sama tidak jauh berbeda dengan dampak yang ditimbulkan oleh
jabatan rangkap pada perusahaan yang bergerak pada pasar yang sama.
Kemudian pmberian judul Pasal 27 Undang-undang No.5/1999 dengan judul Pemilikan
Saham. Pemberian titel ini tidak tepat karena terminologi pemilikan saham itu bersifat
umum. Dan kembali lagi bahwa apabila Pemilikan Saham menjadi judul salah satu pasal
di dalam bab mengenai penyalahgunaan posisi dominan, maka kesan awal yang dapat
ditangkap adalah bahwa pemilikan saham khususnya pemilikan saham mayoritas
adalah suatu penyalahgunaan posisi dominan. Padahal seharusnya tidak demikian,
karena undang-undang ini pada dasarnya tidak melarang sesorang untuk memiliki
saham mayoritas dari suatu perusahaan.
Pengaturan di dalam pasal 27 Undang-undang No.5/1999 yang berkaitan dengan
masalah kepemilikan saham mayoritas di beberapa perusahaan sangat terkait dengan
masalah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan karena perbuatan hukum
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan biasanya akan berpengaruh terhadap
perubahan komposisi kepemilikan saham perusahaan. Sehingga ada baiknya apabila
pasal 27 Undang-undang No.5/1999 mengenai pemilikan saham ini digabungkan atau
dimasukan saja ke dalam Pasal 28 Undang-undang No.5/1999 mengenai
penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.
Persyaratan lebih lanjut, yang berhubungan dengan kepemilikan saham mayoritas,
dapat menimbulkan kekhawatiran dalam kasus-kasus tertentu apabila teks ketentuan ini
hanya digunakan sebagai standar orientasi. Hal tersebut terjadi apabila bahaya yang
diakibatkan oleh kepemilikan saham tersebut secara de facto tidak dapat terjadi,
misalnya kalau pemegang saham mayoritas tidak berhak untuk melaksanakan hak
memilih yang sesuai. Oleh karena itu rumusan undang-undang tersebut tidak memuat
acuan untuk penilaian terperinci, khususnya karena pasal 27 Undang-undang No.5/1999
kelihatannya tidak mempunyai elemen-elemen pembatas atau modifikasi apabila
hambatan hukum untuk memulai penyelidikan sudah tercapai.
76
Hal lain yang menyebabkan pelaku usaha memiliki kedudukan sebagai posisi dominan
di dalam pasar adalah dengan cara pelaku usaha tersebut melakukan penggabungan
(merger), peleburan (konsolidasi), atau pengambilalihan (akusisi) perusahaan lain.
Penggabungan (merger) menurut Black’s Law Dictionary adalah “(T)he absorption of
one company by another, latter retaining its own name and identity and acquiring assets,
liabilities, franchises, and powers of former, and absorbed company ceasing to exist as
separate business entity.” sementara merger menurut Peraturan Pemerintah No.27
Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan
Terbatas adalah “perbuatan hukum yang dilakukan satu perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan
yang menggabungkan diri menjadi bubar.”
Peleburan (konsolidasi) menurut Black’s Law Dictionary adalah “...when two or more
corporations are extinguished, and by the same process a new one is created, taking
over the assets and assuming the liabilities of those passing out of existence. A unifying
of two or more corporations into a single new corporation having the combined capital,
francises, and powers of all its constituents.” Sedangkan menurut PP No.27/1998,
Peleburan diartikan sebagai: “perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau
lebih untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-
masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar.”
Pranata konsolidasi ini kurang populer dalam praktek dan kurang banyak diminati orang.
Konsolidasi perusahaan terjadi jika sebuah perusahaan baru dibentuk untuk mengambil
alih net asset dari dua perusahaan lainnya yang telah dikombinasi. Dengan perkataan
lain, konsolidasi dari suatu perusahaan berarti suatu proses dimana dua atau lebih
perusahaan meleburkan diri, dan dalam proses tersebut juga dibentuk suatu perusahaan
baru yang mengambil alih aset-aset dan mengasumsi (mengambil alih) kewajiban dari
kedua atau lebih perusahaan yang meleburkan diri tersebut. Lebih jelasnya dapat
dikatakan bahwa konsolidasi perusahaan terjadi jika yang di dalamnya itu telah dilebur
dua maskapai yang seluruhnya baru, dengan tidak adanya maskapai-maskapai yang
semula hidup terus. Istilah ini sering juga sebagai gantinya amalgation.
77
Sedangkan pengambilalihan (akusisi) menurut Black’s Law Dictionary adalah:“(T)he act
of becoming the owner of certain property.” Sementara menurut PP No.27/1998
pengambilalihan adalah: “perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau
perseorangan untuk mengambilalih seluruh atau sebagian besar saham perseorangan
yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.”
Adapun yang dimaksudkan akuisisi dalam hubungannya dengan perusahaan adalah
suatu pengambilalihan kepentingan pengontrolan (controlling interest) dalam
perusahaan lain. Secara lebih spesifik, akuisisi perusahaan merupakan tindakan untuk
mengambil alih suatu perusahaan oleh perusahaan lain yang biasanya, tetapi tidak
selamanya, dicapai dengan membeli saham biasa dari perusahaan lain. Karena dengan
kata akuisisi mengandung kata memiliki atau mengambil alih (Take Over), maka untuk
dapat dikatakan akuisisi perusahaan dalam arti pengambilalihan saham,
pengambilalihan mana mestilah paling tidak pengambilalihnya dapat menjadi mayoritas
biasa (Simple Majority), yaitu minimal 51% dari seluruh saham perusahaan yang diambil
alih.
Berbeda dengan merger, maka pada kasus akuisisi, tidak ada perusahaan yang melebur
ke perusahaan lainnya. Jadi setelah terjadi akuisisi, maka kedua perusahaan masih
tetap exist, hanya kepemilikannya yang telah berubah.
Sedangkan dalam hal merger (seperti juga dengan akusisi dan konsolidasi) sangat
riskan melahirkan perusahaan yang memiliki kedudukan posisi dominan yang dilarang
peraturan perundangan yang berlaku. Oleh karena itu Undang-undang Persaingan
Usaha sangat cukup mewaspadai setiap merger yang terjadi, dalam artian merger
sesungguhnya tidak dilarang, tetapi jangan sampai menimbulkan monopoli. Di Amrika
Serikat misalnya, pasal 7 dari Clayton Act kurang lebih menyebutkan bahwa perusahaan
yang terlibat dalam bisnis tidak boleh memperoleh seluruh atau sebagian dari saham
atau asset dari perusahaan lain yang terlibat dalam Usaha yang sama sehingga dapat
mengakibatkan secara substansial dapat memperkecil kompetisi atau cenderung
menciptakan monopoli.
Efek negative dari merger terhadap suatu Persaingan adalah sebagai berikut:
78
1. terciptanya atau bertambahnya konsentrasi pasar yang dapat menyebabkan harga
produk menjadi lebih tinggi;
2. kekuatan pasar (market power) menjadi semakin besar yang dapat mengancam
pelaku Usaha kecil.
Suatu konsentrasi pasar dapat dilihat dari dua faktor sebagai berikut :
1. berapa banyak pelaku usaha untuk produk yang bersangkutan;
2. berapa besar pangsa pasar yang dikuasainya.
Dalam mengkaji efek anti persaingan dari suatu merger, konsolidasi, dan akusisi oleh
hukum persaingan usaha biasanya di lihat dari:
1. Harga yang berkolusi
2. Skala ekonomi yang tereksploitasi
3. kekuasaan untuk monopoli (monopoly power)
4. Interdependensi yang oligopolistik.
Disamping itu, beberapa faktor tambahan yang seharusnya ikut dipertimbangkan untuk
menentukan seberapa jauh suatu merger, konsolidasi dan akusisi dapat dikategorikan
sebagai yang dilarang hukum persaingan usaha. Beberapa Faktor-faktor tambahan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Arah kecenderungan perubahan kondisi pasar
2. Kondisi finansial dari pelaku pasar
3. Kemudahan untuk dapat masuk ke pasar. Ini kemudian berkembang dalam teori
“jalan masuk” (Entrenchment theory)
4. Ketersediaan produk substitusi
5. Sifat dari produk
6. Syarat-syarat penjualan produk
7. Market Performance
8. Dampak efisiensinya
Dalam teori ilmu ekonomi industri, dikenal pula suatu cara menghitung konsentrasi pasar
yang terkonsentrasi dengan menghitung semua pelaku pasar bersama pangsa pasar
yang dikuasainya. Teori ini dikenal dengan sebutan The Herfindahl-Hirschman Indeks
79
(“HHI”). Misalnya di pasar ada empat pelaku pasar dengan penguasaan pangsa pasar
masing-masing sebagai berikut:
- pelaku A = 30%
- pelaku B = 30%
- pelaku C = 30%
- pelaku D = 10%
Maka rumusannya adalah sebagai berikut:
C = A² + B² + C² + D²
= 30² +30² + 30² + 10²
= 2800
Keterangan :
C = Konsentrasi Pasar
Konsentrasi pasar ini bergerak dari nol (tidak ada konsentrasi) sampai 10000 (monopoli
penuh/ 100²)
Besarnya tingkat graduasi konsentrasi pasar dikategorikan sebagai berikut:
1) HHI < 1000 = pasar tidak terkonsentrasi
HHI < 1800 = pasar agak terkonsentrasi (moderately consentrated)
HHI > 1800 = pasar sangat terkonsentrasi (highly concentrated)
Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa dengan merger, konsolidasi atau akusisi
konsentrasi pasar menjadi semakin tinggi. Misalkan jika sebelum merger antara A dan
B, HHI-nya adalah (A)² + (B)², maka setelah merger, HHI-nya menjadi (A+B)² yang
berarti menjadi (A) ² + 2(AB) + (B) ². Jadi dengan demikian terlihat bahwa dampak dari
merger yang membawa nilai HHI semakin tinggi.
Menganai merger itu sendiri apabila dilihat dari bentuknya secara umum dapat
dikatagorikan menjadi:
1. Merger Horizontal;
2. Merger Vertikal
3. Merger Konglomerat
80
Masing-masing merger tersebut memberi warna tersendiri terhadap monopoli, yaitu
sebagai berikut:
1. Merger Horizontal
Dalam merger horizontal ini, perusahaan-perusahaan yang merger tersebut menjual
produk yang sama. Sehingga apabila merger dilakukan, Persaingan antara perusahaan-
perusahan tersebut menjadi di tiadakan dan pangsa pasar yang dikuasai tentu akan
menjadi lebih besar.
Untuk mengetahui apakah suatu merger horizontal dianggap melanggar prinsip anti
monopoli atau Persaingan sehat, hokum harus benar-benar mempertimbangkan factor-
faktor sebagai berikut:
a. Post merger consentration. Dalam hal ini akan dilihat bagaimana konsentarasi pasar
setelah dilakukan merger tersebut.
b. Peningkatan konsentarasi pasar karena merger
2. Merger Vertikal
Merger vertical (dari hulu ke hilir) ini ada yang upstream atau downstream. Vertical
merger tidak membawa pengaruh secara langsung kepada Persaingan pasar. Tidak
seperti dalam horizontal merger dimana kemungkinan akan hilangnya kompetisi karena
malakukan merger ke dalam perusahaan lain tersebut. Akan tetapi sungguhpun
demikian, merger vertical pun dapat membawa akibat tidak baik, karena dapat membuat
perusahaan menguasai produksi dari hulu sampai hilir, itu dapat menjadi halangan bagi
pendatang baru yang ingin masuk ke dalam bisnis yang sama. Sungguhpun harus diakui
pula bahwa merger vertical ini bukannya tidak memiliki segi positif. Antara lain yang
paling penting adalah peningkatan efesiensi, baik efesiensi dalam hal penggunaan
teknologi ataupun efesiensi dalam hal pendistribusian suatu produk.
Jadi salah satu yang ditakutkan dengan adanya merger vertical ini adalah adanya
pengekangan terhadap masuknya pesaing ke pasar (entry barrier). Dalum hokum
Persaingan Usaha agar dapat divonis bahwa telah terjadinya entry barrier sebagai
akibat adanaya merger vertikal, haruslah terdapat faktor-faktor sebagai berikut:
81
a) Derajat integrasi vertical diantara dua pasar tersebut haruslah sedemikian ekstensif
sehingga dengan memasuki ke dalam satu pasar (primary market) berarti juga harus
memasuki juga pasar yang lainnya (secondary market);
b) Memasuki ke dalam secondary market mensyaratkan harus dimasukinya primary
market, dan memasuki primary market jauh lebih sulit dari memasuki secondary
market;
c) Struktur dan sifat lain dari primary market haruslah sangat kondusif kepada
terjadinya hal-hal yang non competitive.
Dengan dimikian, memang ada kemungkinan bahwa merger vertical ini akan
mengurangi kompetisi pasar secara substansial atau kecendrungan menimbulkan
monopoli di pasar.
3. Merger Konglomerat
Merger konglomerat ini dapat terjadi dimana masing-masing perusahaan yang merger
tersebut sebelumnya tidak memiliki hubungan bisnis, jadi bukan supplier atau
konsumen. Contoh merger konglomerat yang dapat menimbulkan masalah terhadap
persainga pasar adalahmerger untuk memperluas pasar. Merger konglomerat juga
dapat berpengaruh negative terhadap Persaingan pasar karena itu juga diwanti-wanti
oleh hukum persaingan usaha
Bagi hukum Persaingan Usaha, maka akibat negative bagi pesaingan pasar yang
sangat diwanti-wanti bahwa adalah dengan merger konglomerat tersebut
mengakibatkan hilangnya pesaing potensial. Sebab, pihak yang bergabung dengan cara
merger konglomerat tersebut, sewaktu merger dilakukan tidak dalam keadaan bersaing
secara langsung yang dapat menyebabkan perubahan struktur, konsentarsi atau
penguasaan pasar. Yang ada hanyalah hilangnya pesaing “potensial”. Karena itu sering
disebutkan bahwa merger konglomerat hanya menimbulkan secondary effect terhadap
Persaingan pasar. Tetapi oleh hukum, inipun dianggap berbahaya bagi suatu pasar.
Sehingga munculah dalam hukum Persaingan Usaha teori “potential competitor”.
Dimana menurut teori ini, agar dapat dikatakan bertentangan dengan hokum Persaingan
Usaha, maka merger konglomerat tersebut haruslah dilakukan dengan pihak yang
82
merupakan “potential competitor”, sehingga merger tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya pengekangan Persaingan pasar.
Oleh karena ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akusisi merupakan bagian
dari Bab V Posisi Dominan, maka dalam menerapkan pasal 28 ini juga harus mengacu
kepada pasal-pasal sebelumnya yang juga menjadi bagian dari Bab V Posisi Dominan,
karena pasal-pasal yang terdapat di dalam bab tersebut sesungguhnya memiliki
karakteriktik permasalahan yang sama yaitu dimana atas perbuatan yang dilakukannya
menjadikan pelaku usaha tersebut menjadi dominan di dalam pasar, yang kemudian
dengan posisi dominannya sangat rentan sekali terhadap penyalahgunaan untuk
tindakan-tindakan yang anti persaingan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,
bahwa merger, konsolidasi dan akusisi dapat mengakibatkan perusahaan menjadi
dominan di dalam pasar.
Namun karena ketentuan lebih lanjut mengenai merger, konsolidasi dan akusisi
berdasarkan Pasal 28 ayat (3) Undang-undang No.5/1999 akan diatur lebih lanjut di
dalam Peraturan Pemerintah maksa sudah barang tentunya ketentuan yang lebih
jelasnya dapat di lihat pada Peraturan Pemerintah tersebut.
Berdasarkan 29 ayat (1) undang-undang No.5/1999 yang menyatakan bahwa:
“penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham
sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 yang berakibat nilai aset dan/atau nilai
penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau
pengambilalihan tersebut.” dapat diartikan Undang-undang No.5/1999 menganut after-
merger notification yaitu pelaku usaha baru memberitahukan kepada KPPU mengenai
merger atau konsolidasi ataupun akusisi yang berakibat nilai aset dan/atau nilai
penjualan melebihi jumlah tertentu setelah mereka melakukan merger, konsolidasi atau
akusisi.
Namun mengenai penetapan nilai aset dan/atau nilai penjualan serta cara
pemberitahuan berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 akan diatur
lebih lanjut juga di dalam Peraturan Pemerintah.
83
Dilihat dari judul yang diberikan untuk pasal 28 dan 29 Undang-undang No.5/1999 yakni
penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, di sini bukan berarti bahwa
penggabungan, peleburan dan pengambilalihan sesuatu yang dilarang oleh undang-
undang. Karena sebagaimana halnya yang telah kita ketahui bahwa salah satu yang
mendorong perusahaan untuk melakukan penggabungan, peleburan dan
pengembilalihan adalah bertujuan untuk meningkatkan efisiensi. Maka ada baiknya
apabila penjudulan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan diganti menjadi
penggabungan, peleburan dan pengambilalihan yang dilarang. Karena hanya
penggabungan, peleburan dan pengambilalihan yang menciptakan persaingan tidak
sehat saja yang seharusnya dilarang.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pasal 28 Undang-undang No.5/1999 sebagai
ketentuan yang secara umum mengatur penggabungan, peleburan dan pengambilalihan
usaha, telah mencakup isi peraturan pasal 27 Undang-undang No.5/1999. Dengan
demikian maka pasal 27 Undang-undang No.5/1999 merupakan lex spesialis terhadap
pasal 28 Undang-undang No.5/1999, sehingga persyaratan restriktif ketentuan tersebut
(mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat) juga harus
berlaku dalam hal terdapatnya peraturan khusus. Akhirnya hanya dengan cara demikian
dapat dicapai kesimpulan yang dapat dimengerti dan konsisten dengan sistem.
Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-undang No.5/1999 membahas pengawasan terhadap
konsentrasi yang mencakup penggabungan, peleburan dan pengambilalihan. Kedua
pasal tersebut tersebut merupakan lex imperfecta. Pasal-pasal tersebut baru dapat
diimplementasikan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang
disyaratkan di pasal 28 ayat 3 dan pasal 29 ayat 2. Pasal 28 ayat 1 dan 2 maupun pasal
29 ayat 1, kalau berdiri sendiri tanpa disertai peraturan pelaksanaannya, terlalu kabur
untuk dapat diimplementasi. Kedua pasal tersebut secara jelas dimasukkan berdasarkan
hasil keputusan untuk melaksanakan pengawasan terhadap konsentrasi dan sebagai
alat pengingat dalam undang-undang.
Menurut pasal 29 ayat (1) Undang-undang No.5/1999, penggabungan, peleburan, atau
pengambilalihan yang nilai modal atau penjualannya melebihi batasan tertentu harus
84
dilaporkan kepada Komisi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
dilaksanakannya proses konsentrasi.
Kenyataan bahwa pasal 29 ayat 1 Undang-undang No.5/1999 mensyaratkan kewajiban
melapor suatu penggabungan yang sudah terlaksana, namun perlu juga diberikan
tambahan aturan bahwa hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi pemeriksaan
preventif yang dilakukan secara inisiatif oleh lembaga pengawas (pre-merger control).
Kriteria kewajiban pemberitahuan menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang No.5/1999
adalah nilai modal atau penjualan dari perusahaan yang baru terbentuk. Ketentuan ini
sangat sulit dipraktekkan. Nilai modal dan penjualan dapat disembunyikan. Dengan cara
demikian, perusahaan dapat menghindari kewajiban pelaporan. Selain itu, nilai
penjualan suatu perusahaan publik berubah terus-menerus sesuai nilai sahamnya di
bursa. Di dalam undang-undang nasional negara-negara industri besar maupun di
dalam ketentuan persaingan Uni Eropa, kriteria yang menentukan adalah nilai penjualan
dalam tahun pembukuan sebelumnya. Nilai penjualan adalah kriteria yang umum
digunakan untuk mengetahui besarnya perusahaan. Nilai penjualan dilaporkan dalam
laporan tahunan perusahaan dan sangat sulit dimanipulasi. Nilai penjualan juga
merupakan data terpenting untuk menentukan nilai jual suatu perusahaan.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Dasar Hukum pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah Undang-
Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Sesuai dengan Pasal 30 UU No. 5/1999 bahwa dalam rangka pengawasan
pelaksanaan undang-undang ini dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang
selanjutnya disebut “Komisi”.
Keberadaan suatu komisi yang bertanggung jawab bagi pelaksaan suatu ketentuan
mengenai hukum antimonopoly atau hukum persaingan usaha adalah sesuatu yang
tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Selama ini yang masih menjadi perdebatan adalah
bagaimana letak dari komisi ini dalam kehidupan ketatanegaraan kita. Apabila kita
85
analisa Komisi sejenis pada Negara-negara lain, maka pada dasarnya terdapat empat
model yaitu; Pertama adalah baik kewenangan penyelidikan, penuntutan maupun
pembuat putusan diserahkan pada lembaga yang sama yang juga merupakan lembaga
pembuat kebijakan dalam bidang persaingan usaha. Para pihak dalam hal ini dapat
mengajukan banding pada pengadilan. Model pertama ini dipakai oleh Eropa Union.
Kedua adalah Kewenangan penyelidikan, penuntutan dan putusan diserahkan pada
lembaga independent yang bebas dari intervensi politik. Putusan komisi ini juga dapat
diajukan banding. Model ini dipakai oleh German dan Itali. Model ketiga yaitu Putusan
dibuat oleh lembaga independent, dimana lembaga ini tidak melakukan tugas
penyelidikan dan penuntutan. Model ini dipakai di Belgia dan Spanyol, dimana lembaga
yang berwenang memberi putusan adalah competition Council. Model keempat adalah
model yang dipakai oleh Amerika Serikat dimana kewenangan penegakan hukum dalam
bidang hukum antimonopoly di pegang oleh lembaga yang independent yaitu FTC dan
Departement of Justice.
Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha memiliki alasan filosofis dan alasan
sosiologis. Alasan Sosiologis yang dapat dijadikan dasar pembentukan KPPU yaitu
bahwa dalam mengawasi pelaksanaan suatu aturan hukum diperlukan suatu lembaga
yang mendapat kewenangan dari negara (pemerintah dan rakyat). Dengan
kewenangannya yang berasal dari negara ini diharapkan lembaga pengawas ini dapat
menjalankan tugas dan fungsi dengan sebaik-baiknya serta sedapat mungkin mampu
untuk bertindak secara independen.64
Sedangkan alasan sosiologis yang dapat dijadikan dasar pembentukan KPPU adalah
menurunnya citra pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara serta
beban perkara pengadilan yang sudah menumpuk. Alasan lain adalah dunia usaha
membutuhkan penyelesaian yang cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat rahasia.
Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga khusus yang terdiri dari orang-orang yang
64 Ayudha D. Prayoga, et al., Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya, cet. I, (ELIPS,1999), hal. 128
86
ahli dalam bidang ekonomi dan hukum sehingga penyelesaian yang cepat dapat
terwujud.65
Pemberian kewenangan khusus kepada suatu Komisi untuk melaksanakan suatu
peraturan di bidang persaingan adalah hal yang lazim dilakukan oleh kebanyakan
negara. Misalnya, di Amerika Serikat dengan Federal Trade Commission-nya;66
Masyarakat Ekonomi Eropah dengan European Community Commission-nya;67 Jepang,
Korea dan Taiwan dengan Fair Trade Commission-nya; dan lain-lain. Praktek di
beberapa negara ada yang mengatur keberadaan Komisi khusus ini dengan undang-
undang tersendiri, ada juga yang menggabungkan pengaturannya dalam undang-
undang persaingan usahanya. Amerika serikat adalah contoh negara yang mengatur
keberadaan Komisi khusus dalam undang-undang tersendiri. Sedangkan contoh negara
yang menyatukan pengaturan keberadaan Komisi tersebut dalam undang-undang
persaingan usahanya adalah Jepang, demikian juga dengan Indonesia.
Khusus di Indonesia, Pengaturan mengenai keanggotaan KPPU, persyaratan, dan
pemberhentiannya diatur dalam pasal 31 sampai dengan pasal 33. Dalam pasal 1 butir
18, ditetapkan bahwa KPPU adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli
atau persaingan usaha tidak sehat.68 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
merupakan lembaga independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak
lain, serta berwenang melakukan pengawasan dan menjatuhkan sanksi. Sanksi tersebut
berupa tindakan administratif, sedangkan sanksi pidana merupakan wewenang
65 Ibid.
66 Di Amerika Serikat terdapat keunikan karena di samping memberikan wewenang pengawasan dibidang persaingan usaha kepada Federal Trade Commission, juga memberikan kewenangan padaDepartment of Justice khususnya pada Anti Monopoli Division-nya.
67 European Community Commission adalah salah satu dari empat organ yang paling penting dariEuropean Community, di samping the Council of Minister, the Parliament, dan the Court of Justice. LihatCarolyn Hotchkiss, International Law for Business, (Singapore : McGraw-fbll, 1994), hal. 104-108 danRalph H. Folsom dan Michael W. Gordon, International Business Transactions, (St. Paul : West PublishingCo., 1995), hal. 876-898.
68 Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha TidakSehat, op.cit., ps. 1 butir 18
87
pengadilan. KPPU adalah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan pemerintah serta pihak lain (pasal 30 ayat 2), artinya KPPU berwenang
penuh dalam pengawasan dan penerapan pelaksanaan UU No. 5/1999 yang tidak boleh
dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah dan pihak lain.
Undang-Undang No. 5/1999 memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih
mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa UUD 1945.
Dengan perkataan lain, bahwa Undang-undang ini menjamin pelaku usaha di Indonesia
dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi, dengan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan
umum (Pasal 2 UU No. 5/1999).
Terdapat beberapa ketentuan dalam Undang-undang ini yang menghendaki peraturan
pelaksanaan lebih lanjut, antara lain: Peraturan Pemerintah (PP) mengenai
penggabungan, peleburan dan pengambilalihan saham perusahaan lain (Pasal 28 ayat
3), Peraturan Pemerintah (PP) mengenai penetapan nilai aset (Pasal 29 ayat 2),
Keputusan Presiden (Keppres) tentang pembentukan KPPU (Pasal 34 ayat 1), dan
ketentuan mengenai prosedur beracara (Pasal 44 ayat 4). Namun demikian, dari sekian
banyak kebutuhan yang diperlukan guna pelaksanaan UU tersebut, baru Keputusan
Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang KPPU yang telah disahkan.
Tugas KPPU
KPPU adalah lembaga nonstruktural yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan
pemerintah serta pihak lain, walaupun secara struktural pertanggungjawaban atas
kinerjanya KPPU memberikan laporan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
secara berkala.
Tujuan dibentuknya KPPU adalah agar implementasi undang-undang serta peraturan
pelaksanaannya dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya. Dalam mengawasi
dan menerapkan UU No. 5/1999, KPPU mempunyai peranan yang sangat besar dan
penting, Antara lain ialah KPPU berperan untuk melakukan advokasi sehingga secara
88
bertahap bidang bisnis yang struktur pasarnya banyak yang masih monopolis atau
oligopolis berubah menjadi pasar bersaing, agar sesuai dengan UU No. 5/1999. 69
Di samping itu terhadap bidang yang telah menjalankan mekanisme persaingan, peran
KPPU adalah mengupayakan agar persaingan tersebut berjalan sehat. Jangan lagi yang
besar menginjak kaki yang lebih kecil, sehingga tidak kuat untuk bertahan, kemudian
pelaku yang besar melakukan ekspansi untuk menguasai pasar. Juga jangan lagi pelaku
usaha besar menghambat calon pesaing, sehingga hanya yang besarlah yang
menguasai pasar dan mampu menentukan harga produk sesuai kehendaknya.70
Agar peran KPPU tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka KPPU memiliki tugas
yang berdasarkan Pasal 35 tugas KPPU adalah sebagai berikut:
Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai
dengan Pasal 28;
Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang KPPU sebagaimana diatur dalam
Pasal 36;
Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang
ini;
Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja KPPU kepada Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat.
69 Disampaikan oleh syamsul Maarif dalam wawancara dengan Bisnis Indonesia tanggal 11September 2003
70 Ibid.
89
Dengan kata lain, tugas KPPU adalah melakukan penilaian apakah telah terjadi
perjanjian-perjanjian yang dilarang dan kegiatan usaha yang dilarang. Jika KPPU
menilai telah terjadi perjanjian-perjanjian yang dilarang atau kegiatan usaha yang
dilarang, maka KPPU dapat menggunakan wewenangnya untuk memerintahkan
penghentian perjanjian-perjanjian yang dilarang dan kegiatan usaha yang dilarang.
Dari seluruh tugas yang diamanatkan oleh UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Penegakan hukum (law enforcement)
adalah tugas utama atau inti dari seluruh tugas yang diberikan kepada KPPU. Tugas
tersebut dilaksanakan KPPU melalui tindakan penanganan perkara, penerbitan
penetapan-penetapan dan putusan-putusan atas perkara yang ditangani, dan
pelaksanaan upaya-upaya lanjutan yang terkait dengan eksistensi dan pelaksanaan
penetapan dan putusan atas suatu perkara, yaitu tindakan monitoring putusan dan
upaya litigasi. Sebagaimana prinsip penegakan hukum, maka Anggota KPPU wajib
melaksanakan tugas dengan berdasar pada asas keadilan dan perlakuan yang sama71
serta wajib mematuhi tata tertib KPPU.72
Penanganan perkara dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 sebagai tugas prioritas KPPU dilaksanakan baik dalam kerangka tindakan yang
bersifat responsif terhadap laporan dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dari masyarakat (publik) atau pelaku usaha, maupun sebagai suatu
tindakan yang bersifat inisiat if berdasarkan hasil temuan KPPU sendiri, di mana proses
penanganan perkara di KPPU dilakukan melalui barbagai tahapan, yaitu:
1. Tahap Klarifikasi kejelasan dan atau kelengkapan laporan yang disampaikan oleh
publik (Klarifikasi Laporan);
2. Tahap Pemeriksaan Pendahuluan selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari yang
dilakukan oleh Tim Pemeriksaan Pendahuluan;
3. Tahap Pemeriksaan Lanjutan selama-lamanya 90 (sembilan puluh) hari yang
dilakukan oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
71 Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, op.cit., pasal 11ayat (1)
72 Ibid., ayat (2)
90
4. Tahap Pembuatan Putusan selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari yang dilakukan oleh
Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
5. Pembacaan Putusan oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Sedangkan output dari penanganan perkara tersebut adalah penetapan-penetapan dan
putusan-putusan dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap perkara
bersangkutan. Pada akhirnya, terhadap seluruh putusan yang telah diterbitkan KPPU
diperlukan upaya lanjutan berupa monitoring terhadap pelaksanaan putusan-putusan
tersebut dan upaya litigasi jika atas putusan-putusan tersebut terdapat upaya keberatan
(challenge) ke Pengadilan Negeri yang dilakukan pelaku usaha terkait.
Di KPPU sendiri kasus-kasus yang kini ditangani baik berdasarkan pengaduan publik
maupun inisiatif penyelidikan KPPU sebagian besar (kira-kira sembilan puluh
persennya) adalah menyangkut praktek tender kolusif. Ada beberapa perkiraan
mengenai mengapa kasus-kasus tender kolusif ini yang kemudian dominan ditangani
saat ini. Perkiraan tersebut antara lain karena praktek tender kolusif merupakan jenis
praktek anti persaingan yang akibatnya langsung dirasakan oleh pelaku usaha
korbannya (pesaingnya) yang biasanya pula dalam nilai yang cukup signifikan, lain
dengan praktek anti persaingan usaha lainnya. 73
Praktek-praktek tender kolusif ini sudah “membudaya” di Indonesia terutama dalam
kasus tender pengadaan barang dan jasa bagi instansi-instansi pemerintah atau publik
(termasuk di BUMN dan BUMD) yang dikenal dengan istilah “arisan”.74
Sebagai salah satu lembaga penegak hukum kedudukan KPPU harus independen agar
dalam memberi keputusan, KPPU dapat bersikap obyektif dan netral serta hanya
berdasarkan Undang-Undang dan bukan karena petunjuk atau pengaruh pihak lain.
Oleh karena itu pula, Komisi dalam pengawasan dan pelaksanaan UU ini secara
73 HMBC Rikrik Rizkiyana, “Perilaku Anti-Persaingan di Indonesia,” (Makalah di sampaikan padaDiskusi panel Memperingati Dua Tahun Diberlakukannya UU. No. 5/1999 tentang Larangan PraktekMonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan Tema: Evaluasi Penegakan UU No. 5 Tahun 1999 danVisi ke Depan, Jakarta, 26 Maret 2002), hal. 13
74 Ibid ., hal 14
91
struktural-organisatoris tidak berada di bawah lembaga pemerintahan manapun
termasuk di bawah Presiden. Meskipun Komisi bertanggung jawab kepada Presiden
(Pasal 30 ayat 3), namun dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi tidak
dapat dipengaruhi oleh Presiden atau setidak-tidaknya tidak dinyatakan dalam undang-
undang bahwa Presiden berhak untuk itu. Usaha untuk menjaga independensi dari
pihak-pihak lain, setidak-tidaknya juga dapat terlihat dari persyaratan keanggotaan yang
diatur dalam pasal 32 UU No. 5/1999, yaitu bahwa anggota KPPU tidak terafiliasi
dengan suatu badan usaha. KPPU bertanggungjawab kepada Presiden adalah hal yang
wajar. Karena di sini KPPU melaksanakan sebagian dari tugas-tugas pemerintahan, di
mana kekuasaan tertinggi pemerintahan berada di bawah Presiden. Jadi, sudah
sewajarnyalah jika Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.75
Wewenang KPPU
Berdasarkan Pasal 36, wewenang KPPU adalah:
menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh
masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh KPPU sebagai
hasil dari penelitiannya;
menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak
adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang ini ;
memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
meminta bantuan penyidik untuk meghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli
atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan KPPU;
75 Ayudha D. Prayoga et. al., Loc Cit. hal. 130
92
meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini;
mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan atau pemeriksaan;
memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku
usaha lain atau masyarakat ;
memberitahukan putusan KPPU kepada pelaku usaha yang diduga melakukan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Di dalam sistem hukum Indonesia kedudukan KPPU adalah sebagai Badan Publik yang
menimbulkan kewenangan bersifat judicial administrative act (kewenangan Peradilan
bersifat administratif). Kedudukan itu terlihat dari ketentuan UU No. 5/1999 yang secara
yuridis mencantumkan tugas KPPU di bidang penegakan hukum persaingan. Dengan
tugas dan kewenangan itu, KPPU berwenang menerapkan hukum persaingan usaha
melalui proses penyelidikan, penyidikan, dan menjatuhkan putusan. Berjalannya proses
pemeriksaan berdasar pengaduan yang diikuti pembuatan putusan yang membebani
sanksi administratif bagi pelaku usaha bukan lagi tergolong Keputusan Tata Usaha
Negara. Putusan KPPU tidak didasari suatu tuntutan pembatalan Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersifat individual, tetapi merupakan putusan yang didasari kepentingan
penegakan hukum untuk menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya
persaingan usaha yang sehat dan mencegah praktik-praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
Apabila sanksi administratif telah dijatuhkan maka selanjutnya penerima sanksi
seharusnya melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi sanksi yang dijatuhkan KPPU
kepadanya. Namun demikian, undang-undang memberikan keleluasaan kepada para
pelaku usaha untuk menempuh upaya hukum guna mencari keadilan melalui lembaga
pengadilan.76 Selanjutnya putusan KPPU terhadap pelaku usaha yang bersangkutan
merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
93
Sebagai perbandingan antara KPPU di Indonesia dengan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (Business Competititon Supervisory Commission) di berbagai negara lain,
Sebagaimana layaknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha di negara-negara lain,
KPPU juga diberikan kewenangan dan tugas yang sangat luas yang meliputi wilayah
eksekutif, yudikatif, legislatif serta konsultatif. Kewenangan-kewenangan di atas
menyebabkan KPPU dapat dikatakan memiliki fungsi yang menyerupai lembaga
konsultatif, yudikatif, legislatif, maupun eksekutif.
Beberapa pihak berpendapat bahwa KPPU memiliki wewenang yang tumpang tindih
karena bertindak sebagai investigator (investigate function), penyidik, pemeriksa,
penuntut (prosecuting function), pemutus (adjudication function), maupun fungsi
konsultatif (consultative function). Namun demikian, sementara kalangan setidaknya
juga berpendapat bahwa meskipun KPPU bukan lembaga judisial ataupun penyidik,
tetapi KPPU adalah lembaga penegak hukum yang tepat untuk menyelesaikan masalah
persaingan usaha karena peran multi fungsi serta keahlian yang dimilikinya akan
mampu mempercepat proses penanganan perkara.
Anggota KPPU
Berdasarkan Pasal 31 ayat 1 anggota KPPU sendiri terdiri dari paling sedikit 7 orang
anggota termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang juga merangkap sebagai anggota.
Anggota KPPU ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 162/2000 dimana Keputusan
Presiden tersebut menetapkan 11 (sebelas) profesional yang mempunyai beragam latar
belakang disiplin ilmu sebagai anggota KPPU untuk masa jabatan lima tahun untuk
periode jabatan tahun 2000 sampai dengan 2005.
Dalam hal pengangkatan maupun pemberhentian, atas dasar usulan pemerintah,
anggota KPPU diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat di mana masing-masing anggota dapat diangkat kembali 1 (satu) kali
untuk masa jabatan berikutnya. Akan tetapi dalam perjalanannya terjadi sedikit
perubahan, di mana saat ini anggota KPPU tinggal berjumlah 10 (sepuluh) orang yang
76 Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha TidakSehat, op.cit., ps.44 ayat (2).
94
aktif mengingat salah satu anggotanya yaitu Nabil Makarim menjadi Menteri pada
Kementrian Negara Lingkungan Hidup dan sampai saat ini belum ditetapkan
penggantinya.
Keanggotaan KPPU berdasarkan UU berakhir karena:
1. meninggal dunia;
2. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
3. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
4. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
5. berakhir masa jabatan keanggotaan Komisi; atau
6. diberhentikan.
KPPU juga mempunyai program pelatihan rutin bagi staff peyelidik di bidang ekonomi
(mikroekonomi dan organisasi industri) yang berhubungan dengan hukum persaingan
usaha. Sementara itu guna menjamin independensi dan menghindari benturan
kepentingan, maka anggota KPPU terikat oleh kode etik internal KPPU atau disebut juga
dengan Tata tertib KPPU yang melarang anggota KPPU untuk aktif pada posisi berikut
ini:
1. Anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan;
2. Anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi;
3. Pihak yang memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan, seperti
konsultan, akuntan publik, dan penilai; dan
4. Pemilik saham mayoritas suatu perusahaan.
Dalam menjalankan tugasnya Anggota KPPU wajib menjaga kerahasiaan mengenai
perkara yang sedang diperiksa. Sejauh mana definisi kerahasiaan yang harus dipegang
oleh Anggota KPPU akan didefinisikan oleh KPPU. 42 Sanksi atas pelanggaran
ketentuan etik tersebut diambil berdasarkan keputusan rapat pleno KPPU.
Dalam rangka menunjang kelancaran tugas, KPPU dibantu oleh Sekretariat KPPU,
dimana fungsi utama dari Sekretariat KPPU adalah membantu kelancaran tugas
administrasi dan teknis operasional dari KPPU. Sekretariat KPPU dipimpin oleh seorang
Direktur Eksekutif yang diangkat dan diberhentikan oleh KPPU.
95
Sekretariat KPPU adalah bagian dari susunan organisasi KPPU,77 yang merupakan
suatu unit organisasi yang dibentuk untuk mendukung atau membantu pelaksanaan
tugas KPPU.78 Mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi Sekretariat diatur lebih
lanjut dengan keputusan KPPU.79 Dan selanjutnya Sekretariat KPPU berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada KPPU.80
Di dalam Keputusan KPPU No. 41/KEP/KPPU/VI/2003 tentang Sekretariat Komisi
Pengawas Persaingan Usaha disebutkan bahwa Sekretariat KPPU mempunyai tugas
pokok memberikan dukungan teknis operasional dan administratif kepada KPPU dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam UU No.5/1999.81
Dalam rangka menyelenggarakan tugas pokok memberikan dukungan teknis
operasional dan administratif tersebut di atas, Sekretariat KPPU diberikan beberapa
wewenang oleh KPPU, yaitu:82
1. menetapkan kebijakan teknis operasional yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas dan wewenang KPPU;
2. menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan rencana dan program kerja
Sekretariat KPPU;
3. menetapkan kebijakan mengenai pedoman dan tata kerja Sekretariat KPPU;
4. menetapkan kebijakan pembinaan dan pengelolaan sumber daya manusia di
lingkungan Sekretariat KPPU;
5. menetapkan kebijakan teknis operasional pengelolaan keuangan serta sarana dan
prasarana yang berlaku di lingkungan Sekretariat KPPU.
77 Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, op.cit., Ps.8.
78 Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU No.5/1999.
79 Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha TidakSehat, op.cit., ps. 34 ayat (4).
80 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Keputusan KPPU Tentang Sekretariat KPPU, KeputusanNo. 41/KEP/KPPU/VI/2003, Pasal 1 ayat 3
81 Ibid ., Pasal 2.
82 Ibid ., Pasal 3.
96
Lebih lanjut di dalam Keputusan KPPU tentang Sekretariat KPPU, disebutkan bahwa
Sekretariat KPPU juga menyelenggarakan beberapa fungsi, yaitu:83
1. perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian dan
evaluasi seluruh kegiatan teknis operasional dan administratif yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan KPPU, sebagaimana yang tertuang
di dalam Pasal 35 dan Pasal 36 UU No. 5/1999.
2. pembinaan dan pengelolaan sumber daya manusia, keuangan, sarana dan
prasarana.
Penegakan Hukum
Dalam penanganan perkara pelanggaranan terhadap hukum persaingan usaha terdapat
beberapa peraturan yang digunakan menjadi dasar, antara lain:
a) Undang-undang No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat;
b) Keputusan Presiden No.75 / 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau
KPPU, keputusan, pedoman maupun petunjuk teknis mengenai KPPU;
c) keputusan KPPU No.5/2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan
Penanganan adanya Pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999;
d) HIR/RBg atau hukum acara perdata, yaitu untuk ketentuan hukum acara perdata jika
pelaku usaha menyatakan keberatan atas putusan komisi sesuai dengan pasal 44
ayat (2) UU No.5/1999 atau apabila terdapat gugatan perdata yang didasarkan pada
adanya perbuatan melanggar hukum;
e) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu ketentuan hukum acara
pidana jika perkara tersebut dilimpahkan kepihak penyidik sesuai dengan pasal 44
ayat (4) Undang-undang No.5/1999.
83 Ibid ., Pasal 4.
97
Undang-undang No.5/1999 mengatur tidak hanya hukum material, tetapi juga hukum
acara yang berlaku dalam menangani kasus-kasus persaingan usaha. Hal ini
merupakan suatu yang lazim dalam peraturan perundang-undangan kita, dimana dalam
suatu undang-undang diatur baik hukum material maupun hukum formalnya. Pengaturan
seperti ini terjadi karena dalam ketentuan yang khusus tersebut terdapat hal-hal yang
diatur dalam ketentuan sebelumnya baik mengenai substansi maupun hukum acaranya.
Adapun hal-hal baru dalam hukum acara yang diatur dalam undang-undang ini apabila
kita bandingkan dengan hukum acar perdata dan hukum acara pidana yang berlaku
selama ini, antara lain adalah:
1. Terdapat ketentuan batas waktu yang cukup ketat bagi komisi dalam menangani
perkara-perkara persaingan usaha. Ketentuan mengenai batas waktu ini juga
ditiadakan bagi penyelesaian perkara di tingkat pengadilan negeri dan mahkamah
agung dalm hal terdapat keberatan terhadap putusan komisi. Namun demikian
tidak ada ketentuan apa yang terjadi atau apa sanksinya apabila batas waktu
tersebut tidak terpenuhi;
2. Putusan komisi yang tidak dijalankan oleh pelaku usaha merupakan bukti
permulaan yang cukup bagi dilaksanakannya penyidikan oleh pejabat kepolisian
negara republik Indonesia. Demikian, melalui undang-undang ini secara langsung
dapat kita ketahui bahwa komisi merupakan penyelidik dalam kasus-kasus
persaingan usaha, sedangkan menurut KUHAP penyelidik adalah tugas kepolisian.
Dalam hal perkara diteruskan ke pihak kepolisian untuk dilakukan penyidikan,
maka hukum acara yang berlaku adalah Undang-undang No.8/1981 tentang Kitab
undang-undang Hukum Acara Pidana;
3. Apabila pelaku usaha mengajukan keberatan atas putusan Pengadilan Negeri,
maka upaya hukum yang dilakukan adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan
pengaturan seperti ini pembentuk undang-undang menghendaki proses
pemeriksaan perkara-perkara persaingan usaha dapat diselesaikan secara cepat.
Hal ini dapat dimengerti karena pemeriksaan yang bertele-tele akan sangat
mengganggu aktifitas perusahaan dan mungkin perekonomian nasional.
Selanjutnya dalam undang-undang ini tidak diatur mengenai apakah dimungkinkan
dilakukannya upaya hukum hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali. Ketentuan
ini berbeda baik dengan hukum acara perdata maupun hukum acara pidana yang
berlaku dimana diatur adanya banding, kasasi dan peninjauan kembali;
98
4. alat-alat bukti yang digunakan oleh komisi pada dasarnya hampir sama dengan
yang ada dalam kitab undang-undang hukum acara pidana yaitu berupa
keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk dan
keterangan pelaku usaha. Perbedaannya dengan KUHAP terletak pada
ditambahkannya kata, dan/atau dokumen serta keterangan pelaku usaha,
sedangkan dalam KUHAP adalah surat dan keterangan terdakwa. Hal ini telah
tepat, karena pada pemeriksaan di komisi status pelaku usaha bukanlah sebagai
seorang terdakwa.
Dalam undang-undang No.5/1999 memberikan kesempatan kepada setiap orang yang
mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-
undang No.5/1999 dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan keterangan
yang jelas mengenai terjadinya pelanggaran tersebut,84 jadi tidak hanya pihak yang
dirugikan atau menjadi korban secara langsung atas tindakan anti persaingan usaha
yang dilakukan oleh pelaku usaha lain yang bisa melaporkan kepada KPPU mengenai
adanya dugaan pelanggaran terhadap UU No.5/1999, setiap orang yang mengetahui
mengenai adanya terjadinya pelanggaran terhadap UU No.5/1999 dapat melaporkan
peristiwa tersebut kepada KPPU.
Setiap orang yang mengetahui telah terjadinya pelanggaran terhadap UU No.5/1999 dan
pihak yang dirugikan atas pelanggaran tersebut dapat melaporkan secara tertulis
kepada KPPU dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya
pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.
Namun berdasarkan pasal 40 ayat (1) Undang-undang No.5/1999, KPPU diberikan hak
inisiatif untuk melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan
terjadinya pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999, walaupun tanpa adanya
laporan dari masyarakat dan pelaku usaha.
Pasal 38 ayat (3) Undang-undang No.5/1999, Identitas setiap orang yang melaporkan
mengenai telah terjadinya pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999, selain
pihak yang dirugikan, wajib dirahasiakan oleh KPPU. Kemudian tata cara penyampaian
laporan diatur lebih lanjut oleh KPPU.
84 Pasal 38 ayat 1 UU No.5/1999.
99
Setelah menerima laporan mengenai adanya dugaan pelanggaran terhadap UU
No.5/1999, KPPU diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan selama 30
hari, dan kemudian KPPU juga wajib menentukan apakah laporan tersebut perlu atau
tidak untuk ditindak lanjuti dengan pemeriksaan lanjutan. Dimana di dalam proses
pemeriksaan lanjutan KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang
dilaporkan. Dalam tahap pemeriksaan lanjutan tersebut juga, KPPU wajib menjaga
kerahasian informasi yang diperoleh dari pelaku usaha.
KPPU wajib menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60 hari sejak
dimulainya pemeriksaan lanjutan, dan bilamana diperlukan KPPU masih diberikan
kewenangan oleh Undang-undang No.5/1999 untuk memperpanjang paling lama 30 hari
jangka waktu pemeriksaan lanjutan. Kemudian dalam jangka waktu 30 hari sejak
selesainya pemeriksaan lanjutan, KPPU wajib memutuskan telah terjadi atau tidak
terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999, yang putusannya tersebut
dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera
diberitahukan kepada pelaku usaha.
KPPU berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif, kepada pelaku
usaha yang melanggar Undang-undang No.5/1999. Dimana tindakan administratif
tersebut dapat berupa:
a. Penetapan pembatalan perjanjian;
b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal;
c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak
sehat dan/atau merugikan masyarakat;
d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi
dominan;
e. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham;
f. Penetapan pembayaran ganti rugi;
g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya
Rp 25.000.000.000,00.
100
Dalam pemeriksaan di KPPU, pelaku usaha dilarang menolak untuk diperiksa atau
memberikan informasi yang dibutuhkan atau menyerahan alat bukti yang diperlukan,
ataupun menghambat dalam proses penyelidikan dan pemeriksaan,85 karena dapat
dikatagorikan sebagai pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999 yang kemudian
pelanggaran tersebut oleh KPPU akan diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan
penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian proses
pemeriksaan akan dilanjutkan menjadi perkara pidana dan hukum acaranyapun
menggunakan hukum acara pidana. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan dapat
memaksa pihak-pihak yang tidak mau berkerja sama dengan komisi dalam rangka
proses pemeriksaan perkara persaingan usaha menjadi lebih kooperatif.
Bila proses perkara persaingan usaha diserahkan kepada penyidik, maka proses hukum
acaranyapun menggunakan hukum acara pidana, dan kemungkinan pelaku usaha yang
melanggar Undang-undang No.5/1999 dapat dijatuhkan sanksi pidana, dimana sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha dapat berupa pidana pokok dan
pidana tambahan.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha menurut pasal 48 Undang-
undang No.5/1999 berupa:
1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal
16 sampai dengan Paal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-undang
No.5/1999 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah) atau piada kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam)
bulan.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal
20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang No.5/1999 diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
85 Pasal 41 (2) Undang-undang No.5/1999
101
3. pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang No.5/1999 diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan
pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Sedangkan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha menurut
Pasal 49 Undang-undang No.5/1999 berupa:
1. Pencabutan izin usaha; atau
2. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
Undang-undang No.5/1999 untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbullnya kerugian
pada pihak lain.
Alat-alat bukti yang dipergunakan oleh KPPU dalam melakukan pemeriksaan perkara di
KPPU berupa:
1. keterangan saksi;
2. keterangan ahli;
3. surat dan atau dokumen;
4. petunjuk;
5. keterangan pelaku usaha.
Setelah KPPU memutuskan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap UU
No.5/1999 dan menerima pemberitahuan putusannya, Pelaku usaha dalam jangka
waktu 30 hari setelah menerima pemberitahuan putusan wajib melaksanakan putusan
tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. Namun Undang-
Undang menyediakan upaya hukum bagi pelaku usaha yang tidak menerima putusan
KPPU untuk mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14
hari setelah menerima pemberitahuan putusannya. Jika pelaku usaha dalam jangka
waktu 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan KPPU tidak mengajukan
keberatan kepada Pengadilan Negeri dianggap menerima putusan KPPU, menurut
Pasal 46 Undang-undang No.5/1999 putusan KPPU tersebut telah memiliki kekuatan
hukum tetap serta dapat dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
102
Tetapi jika pelaku usaha setelah menerima putusan KPPU, tidak melaksanakan apa
yang telah diputuskan dan tidak pula mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri,
maka KPPU akan menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, Dan putusan yang telah dijatuhkan oleh
KPPU tersebut nantinya menjadi bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk
melakukan penyidikan.
Apabila pelaku usaha mengajukan keberatan terhadap keputusan KPPU kepada
Pengadilan Negeri, dalam jangka waktu 14 hari sejak diterimanya keberatan tersebut,
Pengadilan Negeri harus sudah memeriksa keberatan tersebut. Kemudian dalam kurun
waktu 30 hari sejak dimulainya proses pemeriksaan keberatan tersebut, Pengadilan
Negeri harus sudah dapat memberikan putusannya.
Dan jika masih ada pihak yang merasa berkeberatan atas putusan yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Negeri, Undang-undang No.5/1999 memberikan upaya hukum yang
dapat ditempuh oleh pihak yang masih merasa berkeberatan tersebut, untuk
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam kurun waktu 14
hari sejak dikeluarkannya putusan dari Pengadilan Negeri. Kemudian Mahkamah Agung
Republik Indonesia harus memberikan putusan terhadap kasasi dari pihak yang merasa
masih berkeberatan atas putusan yang dihasilkan oleh Pengadilan Negeri, dalam kurun
waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diterima.
Ketentuan lain-lain
Undang-undang Persaingan Usaha bukan peraturan yang diterapkan tanpa
pengecualian, pengecualian yang ada pada Undang-undang Persaingan Usaha di
Amerika Serikat dijelaskan bahwa dalam hal kongres menyatakan secara tegas bahwa
undang-undang persaingan usaha tidak berlaku, atau berlaku untuk hal-hal yang sudah
dimodifikasi bagi perbuatan tertentu. Berbagai peraturan perundangan yang
mengecualikan, antara lain, memberikan pengecualian bagi pertanian (agriculture),
komunikasi (communication), energi (energy), jasa keuangan (financial services) dan
103
asuransi (insurance). Pengecualian juga diberikan dalam hal kongres menentukan suatu
pervasive regulatory scheme bahwa penerapan dari undang-undang persaingan usaha
akan merusak, maka dalam hal yang demikian itu pengadilan kadang-kadang
memutuskan bahwa kegiatan-kegiatan usaha tersebut diberikan kekebalan terhadap
berlakunya undang-undang persaingan usaha tersebut. Di antara pengecualian yang
penting adalah pengecualian terhadap serikat buruh dan terhadap collective bargaining
agreement yang dibuat serikat buruh dengan pimpinan perusahaan. Serikat buruh yang
berusaha memperbaiki upah, jam kerja, dan kondisi kerja dari para pekerja, terutama
melakukan monopolisasi dalam pemasokan buruh oleh serikat buruh dan melakukan
pengawasan bersama dalam melakukan penolakan berunding dengan pimpinan
perusahaan, merupakan hal-hal yang dikecualikan dari berlakunya undang-undang
persaingan usaha. Apabila pengecualian yang demikian tidak diberikan, maka undang-
undang persaingan usaha dapat mengancam eksistensi serikat-serikat buruh.
Undang-undang persaingan usaha di Jepang juga menentukan beberapa pengecualian.
Antara lain pengecualian diberikan terhadap perbuatan yang berkaitan dengan produksi,
penjualan atau pemasokan oleh seseorang yang melakukan pekerjaannya dibidang
perkereta apian (railway), listrik (electric), gas (gas) atau setiap perusahaan yang
menurut sifatnya adalah sutau monopoli. Ketentuan undang-undang persaingan usaha
di Jepang itu juga tidak berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang merupakan
pelaksanaan hak-hak berdasarkan Copy Right Law, Paten Law, Model Utility Law,
Design Law dan Trade-Mark Law.
Pengecualian-pengecualian yang disebutkan di atas yang berkaitan dengan Undang-
undang Persaingan Usaha di Amerika Serikat dan Jepang hanyalah sekedar
menyebutkan beberapa pengecualian saja. Banyak lagi pengecualian-pengecualian lain
disamping yang telah disebutkan itu.
Di dalam Undang-undang No.5/1999 mengatur mengenai hal-hal yang dikecualikan dari
pemberlakuan dari Undang-undang No.5/1999 itu sendiri, yaitu di dalam pasal 50 UU
No.5/1999, antara lain:
1. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
104
2. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi,
paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik
terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
3. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
4. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada
harga yang telah diperjanjikan; atau
5. perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatkan atau perbaikan standar hidup
masyarakat luas; atau
6. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia;
atau
7. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu
kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
8. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
9. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotannya.
Selain pengecualian yang disebutkan dalam Pasal 50 di atas, ada pengecualian lain
yang juga diberikan oleh UU No.5/1999. pengeculian yang dimaksud adalah yang
terdapat di dalam Pasal 5 ayat (2) UU No.5/1999. dimana menurut Pasal 5 ayat (2)
perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), tidak berlaku
bagi:
a) suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b) suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
105
Daftar Pustaka
BUKU:
Basri, Faisal. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi KebangkitanIndonesia. Cet.I. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2002.
Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Produk Domestik Regional Bruto Prpoinsi-propinsidi Indonesia menurut penggunaan 1998-2001, halaman x-xi.
Bork, Robert H, The Antitrust Paradox: A Policy at War With It Self. Harper TorchbooksTb 5086: Basic Books Inc., 1978.
Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. Cet. 1.Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1999.
Gellhorn, Ernest. Antitrust Law and Economic in a Nutshell. Third edition. St Paul Minn:West Publishing Co, 1986.
Hamid, Edy Suandi dan M.B. Hendrie Anto. Ekonomi Indonesia Memasuki Milenium III.Cet.I. Yogyakarta: UII Press, 2000.
Hasibuan, Nurimansjah. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi. Cet. 1.Jakarta: LP3ES, 1993.
Hill, Hall. “Economy” dalam Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-EconomicTransformations. 1st ed. Edited by Hall Hill St Leonard. NSW 2065 Australia:Allen & Unwin Pty Ltd, 1994.
Kartte, Wolfgang et al. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan PersainganUsaha Tidak Sehat/Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices andUnfair Business Competition/ Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Jakarta:Kerjasama Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi FHUI, DepartemenPerindustrian dan Perdagangan, dan gtz (Deutche Gesellschaft fur TechnischeZusammenarbeit GmbH), 2000.
Kaysen, Carl and Donald F. Turner. Antitrust Policy: An Economic and Legal Analysis.Cambride: Harvard University Press, 1971.
Khemani, R. Shyam (project director). A Framework for the Design and Implementationof Competition Law and Policy. Washington, D.C: World Bank, OECD, 1998.
Mann, Richard. Economic Crisis in Indonesia: The Full Story. Penang gateway Books,1998.
Northam, Ray M. “Urban Geography”. John Wiley & Sons, New York, Chichester,Toronto, 1979.
106
Prasentiantono, A. Tony, ed. Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia: Substansi danUrgensi: Kumpulan Tulisan DR. Guritno Mangkoesoebroto, Cet.1. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Prayoga, Ayudha D, ed. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengatur di Indonesia.Jakarta: ELIPS, 1999
Sullivan, Lawrence Anthony. Handbook of The Law of Antitrust. St Paul Minn: WestPublishing Co,1977.
United Nations Conference on Trade and Development. Model Law on Competition,Geneva, 2003.
JURNAL/MAKALAH:
Shauki, Achmad. “UU No.5/1999 dan tantangan bagi KPPU.” Makalah disampaikanpada Diskusi Panel Memperingati 2 tahun diberlakukannya UU No.5/1999tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI,Jakarta, 26 Maret 2002.
Sjahdeini, Sutan Remy. “Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat,” Jurnal Hukum Bisnis Volume 10 (2000): 4 – 25
Usman, Syaikhu. “Deregulasi Perdagangan Regional dan Pengaruhnya terhadapPerekonomian Daerah.” Makalah di sampaikan pada Lokakarya NasionalPERSEPSI DAERAH, Jakarta, 6 Desember 1999.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.
______, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan UsahaTidak Sehat, UU No. 5, LN No. 33 Tahun 1999, TLN. No. 3817.
______, Keputusan Presiden Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, KeppresNo. 75 Tahun 1999.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Keputusan KPPU Tentang Sekretariat KPPU,Keputusan No. 41 Tahun 2003.
107