Pengantar Geomorfologi
-
Author
bagoes-sasmita -
Category
Documents
-
view
545 -
download
23
Embed Size (px)
Transcript of Pengantar Geomorfologi

GEOMORFOLOGI:PROSES DAN KLASIFIKASI BENTANG-ALAM
Materi Kuliah Pembekalan Peserta
the 1st International Earth Science Olympiad 2007
disusun oleh:Srijono, Salahuddin Husein dan Gayatri Indah Marliyani
Jurusan Teknik Geologi FT UGM
Agustus 2007

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian
Ditinjau dari asal bahasa, geomorfologi terdiri dari tiga kata, yaitu geos,
morphos, dan logos. Geos berarti bumi, morphos berarti bentuk, dan logos
berarti ilmu. Sehingga geomorfologi dimengerti sebagai ilmu yang mempelajari
bentuk permukaan bumi.
Geomorfologi adalah bidang ilmu yang mempelajari bentuk permukaan
bumi (morfologi (morphology) / bentuklahan (landform) / bentang-alam).
Selanjutnya dalam bendel pelajaran ini dipergunakan istilah bentang-alam. Dalam
mempelajarinya, mencakup deskripsi, wilayah sebaran/distribusi, dan genesis (cara
kejadiannya).
Bentang-alam merupakan fenomena kebumian. Pembentuk bentang-alam
adalah batuan yang telah mengalami peristiwa tertentu, dan hasil interaksi antara
peristiwa yang bersumber dari dalam bumi, dan yang bersumber dari luar bumi.
Prinsip dari geologi adalah pokok ilmu yang mempelajari batuan dalam pengertian
luas dan proses yang bekerja pada batuan tersebut. Dengan demikian
geomorfologi berguna sebagai penunjang dan ditunjang oleh geologi. Bloom (1978)
menilai, bahwa geomorfologi harus ditinjau dari penyusunnya yaitu faktor mineralogi,
litologi, proses perubah asal luar (eksogen), dan faktor endogen misalnya
gaya tektonik maupun volkanik. Verstappen (1983) mengartikan geomorfologi
sebagai ilmu yang mempelajari bentang-alam, tercakup di dalamnya mengenai
proses pembentukan, genesa, dan kaitannya dengan lingkungan. Sebagai salah
satu ilmu kebumian, geomorfologi dapat disebut bagian dari lingkungan fisik
(physical environment). Dikarenakan kehidupan di bola bumi ini tidak dapat
menghindarkan diri dari bentang-alam, maka ada relevansi aplikasi geomorfologi
(applied geomorphology) dalam kehidupan (Gambar 1.1).
1.2 Metodologi
Proses geomorfologi dapat diketahui dan dipahami dengan plihan dari
beberapa metode, yaitu tidak langsung, langsung, dan gabungan/kombinasi dari
kedua-duanya.
Metode tidak langsung berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap
proses geomorfologi di suatu lokasi melalui media tertentu. Sebagai media dapat
memanfaatkan peta tematik (proses geomorfologi) kalau sudah ada publikasinya.
Selain itu dapat menginterpretasi dan menganalisis dari seri multi waktu (multi
temporal) terhadap peta topografi, peta RBI (Rupabumi Digital Indonesia), potret
udara, atau citra pengindraan jarak jauh lainnya.
1

Gambar 1.1 Geomorfologi, dan letaknya di antara ilmu yang lain.
ilmu yang menunjang ilmu yang ditunjang
Metode paling klasik yaitu secara langsung pada lokasi dimana: 1) proses
tersebut sedang berlangsung, atau 2) identifikasi terhadap jejak proses
geomorfologi (‘fosil’ proses). Proses oleh alam lebih sering tanpa disertai tanda-
tanda awal (early warning), rentang waktu kejadian relatif singkat, dan kadang-
kadang intensitasnya kuat. Dikarenakan kondisi seperti itu, maka cara nomor 1)
bukan menjadi pilihan utama, dan lebih sering dilakukan cara ke 2).
Apabila fasilitas terpenuhi lengkap, maka metode kombinasi menjadi
pilihan utama. Hal ini didasarkan pada argumen, dari hasil cara tidak langsung
sudah diperoleh gambaran awal spasial proses geomorfologi yang dimaksud.
Kemudian tindak lanjut yang dilakukan adalah cara langsung identifikasi di
lapangan untuk mengumpulkan data baik secara kualitatif maupun kuantitatif
proses tersebut.
Sering karena terbatasnya dana, sebagian pengkajian bentang-alam
menggunakan peta topografi sebagai dasar penelaahan. Dengan mempelajari
pola kontur, dapat diketahui jenis-jenis bentang-alam. Kelemahan
menggunakan peta tersebut, karena cukup tua (edisi jaman penjajah
Belanda); sering dijumpai keadaan di lapangan yang sekarang tidak sesuai
dengan yang tertera di peta.
Sedangkan kalau dana yang tersedia secukupnya, dengan potret
udara / citra penginderaan jauh, orang akan lebih senang dan merasa
mantap dalam mengkaji bentang-alam. Berdasarkan teknologi tersebut dapat
diketahui keadaan sebenarnya pada saat ini.
2

BAB II
PROSES GEOMORFOLOGI
2.1 Pengertian dan Konsep Dasar
Proses Geomorfologi adalah semua peristiwa baik secara alami maupun non
alami yang berperanan dalam merubah bentang-alam yang sudah lebih dahulu
terbentuk atau menghasilkan bentang-alam baru. Terkandung dalam pengertian di
atas, tidak ada ketentuan mengenai waktu, baik kapan saat dan rentang waktu
berlangsungnya peristiwa tersebut. Apabila mengacu kepada konsep dasar
keseragaman (uniformitarianism concept) proses, maka proses geomorfologi
dimulai sejak bumi ini padat (waktu geologi), sampai dengan sekarang, yang
berbeda adalah kekuatan (intensitas) nya.
Bertitik tolak dari sifat dinamik bumi, ditambah adanya kondisi pada satu
waktu yang sama terjadi peristiwa lebih satu macam, maka dalam memahami
fenomena bentang-alam sepantasnya dengan pendekatan hipotesis kerja
penggandaan (multiple working hypothesis). Implementasi dari pola kerja
tersebut bermakna bahwa suatu bentang-alam tekbentuk oleh lebih dari satu
penyebab, namun tidak tertutup kemungkinan dominansi proses tertentu.
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan asal sumber tenaga penyebab proses geomorfologi, Selby
(1985) membagi proses yang berasal dari dalam (endogenic process), dan dari
luar (exogenic process), bumi (Gambar 2.1). Thornbury (1969), menambahkan
pada proses asal luar bumi dengan proses yang berasal dari aktivitas organisme
(termasuk manusia), dan proses ekstraterestrial. Pembahasan secara rinci untuk
masing-masing proses seperti di bawah ini.
3

PROSES GEOMORFOLOGI
EKSTRA TERESTRIAL
JATUHAN METEOR DIATROFISME
ASAL DALAM
GRADASI
DEGRADASI AGRADASI
PEPELAPUKAN GERAKAN TANAH EROSI
AKTIFITAS ORGANISME (termasuk manusia)
VOLKANISME
ASAL LUAR
air permukaan
air tanah gelombang angin gletser arus
tidalbadai
Gambar 2.1a. Proses Geomorfologi (Thornburry, 1969, dengan modifikasi)
Awal Tenaga
4

Gambar 2.1b Proses Geomorfologi (Selby, 1985)
5

a. Proses Endogenik (endogenic process)
Inti dalam bumi yang mempunyai temperatur tidak kurang dari 8.000 0C
secara hipotetik diyakini sebagai sumber dari proses asal dalam bumi ini.
Bloom (1978) menyebutkan proses ini sebagai proses membangun
(constructional process). Disebutkan seperti itu, dikarenakan hasil dari proses
tersebut adalah bentang-alam baru yang sebelumnya tidak ada.
Tektonik
Pada skala dunia/global, pancaran panas dari inti bumi menimbulkan aliran
panas geotermal (geothermal heat flow), dan konveksi pada lapisan mantel
bumi / convection in the mantle (Selby, 1985). Arah gerakan aliran panas
geotermal vertikal dari inti bumi menuju kerak bumi, menimbulkan amblesan
tektonik (tectonic subsidence) dan pengangkatan tektonik (tectonic uplift),
dan seismik. Gerak konveksi, aliran energi panasnya berputar, menimbulkan
gerak-gerak lempeng (plate movement).
Ditinjau dari pandangan skala lokal maupun regional, disebabkan oleh
proses tektonik akan terjadi epirogenesa, dihasilkan pembentukan bentang-
alam struktural jenis pegunungan blok (blocked faulted mountain). Gerak
lempeng menimbulkan orogenesa, menghasilkan bentang-alam struktural jenis
pegunungan lipatan (folded mountain). Kompleksitas proses tektonik sebagai
penyebab seringnya temuan pembentukan bentang-alam struktural cenderung
kompleks.
Volkanisme
Volkanisme / Kegunungapian dalam pandangan global terbentuk oleh salah
satu dari dua cara, yaitu akibat pemekaran lantai samudra (sea floor
spreading) dari kerak samudra (oceanic crust), atau akibat tumbukan dua
lempeng (subduction) dari lempeng samudra dengan lempeng benua
(continental crust). Wilayah gunungapi/volkan hasil pemekaran yang sangat
terkenal adalah Kepulauan Hawai. Sebaran gunungapi aktif di sekeliling
Samudra Pasifik mencapai >60 % dari total di dunia.
b. Proses Eksogenik (exogenic process)
Sumber utama proses asal luar bumi berasal dari radiasi matahari (solar
radiation). Radiasi matahari dipantulkan kembali oleh atmosfer ke ruang
angkasa sebanyak 31 %, diserap oleh atmosfer 20 %, dan diserap oleh
permukaan bumi 49 % (Slaymaker, and Spencer, 1998). Pancaran radiasi
matahari pada permukaan bumi menghasilkan enerji yang berputar dan atraksi
vertikal (Gambar 2.1b, Selby, 1985). Dari kedua-duanya berkembang
berbagai proses eksogenik. Proses ini tidak akan pernah membentuk bentang-
alam baru tanpa merusak yang sudah ada sebelumnya, dengan alasan itu
Bloom (1978) menamakannya sebagai proses yang merusak (destructional
process)
6

Degradasi
Proses eksogenik apabila terjadi normal, diawali dengan degradasi di suatu
tempat, dan diakhiri dengan agradasi di tempat lain. Degradasi pada morfologi
dicirikan oleh penurunan elevasi akibat pelapukan, erosi, gerakan tanah, atau
transportasi bahan hasil pelapukan & erosi maupun gerakan tanah. Hasil akhir
dari transportasi adalah agradasi di tempat lain.
- Pelapukan
Pelapukan batuan diindikasikan oleh perubahan pada batuan asal.
Empat faktor berpengaruh dalam proses pelapukan, yaitu 1) sifat batuan,
2) iklim, 3) topografi, dan 4) vegetasi. Secara ringkas dicontohkan, sama-
sama batuan sedimen, dengan komposisi dominan mineral kuarsa lebih
sukar lapuk dibandingkan dengan batulanau. Batuan yang sama akan lebih
cepat mengalami pelapukan di daerah beriklim hujan tropik dibandingkan
dengan di daerah sub-tropik. Bentang-alam berelief memberi peluang
pelapukan lebih intensif dibandingkan dengan bentang-alam kurang berelief.
Kelebatan vegetasi mempercepat proses pelapukan. Perubahan tersebut
dapat bersifat mekanik–fisik yang dikenal sebagai pelapukan fisik /
disintegrasi, dan perubahan kimia atau disebut pelapukan kimia /
dekomposisi. Notohadiprawiro (2000) menambahkan satu jenis pelapukan
lagi yaitu pelapukan biologi. Pelapukan terjadi pada bagian/zone litosfer
yang tersingkap, kemudian mengalami interaksi dengan proses eksogenik
yang kemudian berlangsung, dan zone ini disebut sebagai zone pelapukan
(zone of weathering).
Pelapukan fisik ditentukan oleh lima faktor, yaitu: 1) ekspansi
akibat kehilangan beban, 2) pertumbuhan kristal, 3) ekspansi akibat panas,
4) aktivitas organik, dan 5) penyumbatan koloid (Reiche, 1950, dalam
Thornbury, 1969). Selain lima faktor tersebut, pelapukan ini disebabkan
oleh: perbedaan perilaku termal antarmineral, pembekuan air pada celah
batuan, pelarutan garam diikuti rekristalisasi, hidrasi mineral, perubahan
kandungan air, penembusan akar tumbuhan (Notohadiprawiro, 2000).
Pelapukan jenis ini lebih banyak berkembang di daerah beriklim relatif
kering. Salah satu ciri utama hasil pelapukan ini adalah pengurangan ukuran
dari batuan asal, oleh karena itu disebut disintegrasi. Hasil pelapukan fisik
yang dominan disebabkan oleh ekspansi akibat kehilangan beban, termasuk
sering dijumpai di lapangan yaitu pembentukan eksfoliasi/pengelupasan
pada batuan beku.
Pelapukan kimia secara umum lebih potensial berlangsung
dibanding pelapukan fisik, apalagi pada suatu daerah seperti di Indonesia
yang beriklim tropik-basah. Secara sederhana, identifikasi di lapangan
bahwa suatu batuan telah mengalami pelapukan kimia apabila warna
batuan telah berubah dari warna batuan asal. Sebagian besar pelapukan
kimia menghasilkan: penambahan volume, densitas mineral berkurang
7

(menjadi lebih kecil), perluasan bidang kontak pelapukan akibat pengecilan
ukuran, mineral yang bersifat mobil lebih banyak, dan mineral stabil juga
lebih banyak (Thornbury, 1969). Jenis-jenis pelapukan kimia adalah: 1)
hidrasi / hydration, 2) hidrolisis / hydrolysis / pemecahan oleh air, 3)
oksidasi/oxidation, 4) karbonatasi / carbonation. Temuan paling banyak di
sekitar kita adalah batuan menjadi berwarna coklat – coklat kemerahan
akibat pelapukan kimia jenis oksidasi.
Pelapukan biologi, di alam dua jenis pelapukan tersebut di atas
secara mutlak tidak terlepas dari peranan jasad (mikro organik) dalam
percepatan proses pelapukan. Organisme yang tumbuh di atas permukaan
batuan, seperti lumut, ganggang, bakteri, dan lain sebagainya, hasil
interaksinya dengan batuan sebagai awal terjadi pelapukan. Akar dalam
batuan akan berperanan memecahkan batuan itu. Terhadap mineral
penyusun batuan zat organik akan melarutkan senyawa tertentu antara lain
fosfat, Ca & Mg karbonat, dan lain-lain.
Perlu dimengerti, bahwa degradasi jenis pelapukan tidak selalu harus
diikuti dengan erosi, dan sebaliknya erosi tidak harus selalu didahului
dengan pelapukan. Hal seperti itu dapat dicontohkan pada daerah
gunungapi aktif seperti Merapi di utara Yogyakarta; batuan hasil erupsi
tanggal 14 Juni 2006 belum terlapuk, tetapi telah dierosi menghasilkan
aliran lahar dingin, kemudian diendapkan sebagai endapan lahar yang terdiri
dari pasir dan batu (sirtu).
- Erosi & transportasi
Ketika batuan mengalami pelapukan, secara hakiki bahan tersebut
berpeluang terjadi erosi. Peluang tersebut akan bertambah besar, apabila
hadir pemicunya, antara lain penambahan kecuraman lereng bentang-alam,
dan atau penambahan kandungan air dalam batuan. Kedua penambahan
tadi akan mengurangi angka sudut geser dalam batuan. Ketika erosi
berlangsung, yaitu pemisahan batuan dari ‘induk’nya (massa asal) segera
diikuti oleh proses transportasi ke tempat lain yang secara elevasi lebih
rendah posisinya. Sebagai agen erosi & transportasi secara alam dilakukan
oleh aliran air, gelombang & arus laut, angin, gletser, dan organisme. Selain
itu, meskipun relatif tidak begitu intensif, aktifitas manusia merupakan agen
juga.
Pada permukaan daratan di bumi, aliran air sangat dominan
dibandingkan dengan agen erosi & transportasi yang lain. Aliran air
mengambil porsi >70 % dari seluruh agen, bayangkan keberadaannya mulai
dari elevasi ribuan meter di ujung gletser sampai dengan lereng benua
(continental slope) di bawah laut. Agen gelombang & arus laut ditemui
hanya di wilayah pantai dan pesisir. Agen angin bekerja aktif di wilayah
bekas salju yang telah mencair, daerah aliran sungai (DAS) yang besar,
pantai dan pesisir yang berhadapan dengan samudra luas, dan daratan di
8

’lintang tengah’ beriklim kering. Agen gletser efektif berperanan di wilayah
dengan elevasi lebih dari 4.000 m dpal., atau di wilayah ’lintang tinggi’
sampai dengan kutub.
- Gerakan tanah
Gerakan tanah mempunyai kesamaan dengan proses erosi &
transportasi yaitu adanya proses pelepasan dan pemindahan batuan dari
’induk’nya. Pembeda antara dua proses tersebut yaitu pada gerakan tanah
memerlukan waktu relatif singkat, dan cakupan luasan daerah yang
mengalami relatif sempit.
Proses gerakan tanah terjadi oleh kondisi penyebab yang bersifat
pasiv, dan pengaktifan (Sharpe, 1938, dalam Thornbury, 1969). Penyebab
pasiv yang dimaksud adalah: a) sifat litologi, b) stratigrafi, c) struktur
geologi, d) bentang-alam, e) iklim, dan f) organik. Tercakup dalam
penyebab pengaktifan meliputi: pemindahan baik alami maupun oleh
manusia, penajaman sudut lereng oleh aliran air, dan pembebanan
berlebihan baik oleh air hujan maupun yang lain.
Berdasarkan tipe gerakan, tipe bahan yang terangkut, kontrol
topografi, kontrol bidang gelincir, dan peranan air, Sharpe (1938, dalam
Thornbury, 1969) mengklasifikasi gerakan tanah menjadi beberapa jenis
(Gambar 2.2)
Gambar 2.2 Gerakan Tanah (Sharpe, 1938 dalam Thornbury, 1969)
9

Agradasi
Apabila erosi & transportasi purna, maka di tempat baru terjadi
pengendapan atau membentuk agradasi dan dihasilkan endapan yang relatif
menghasilkan elevasi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dikarenakan gerakan
bahan pada proses ini bersifat gravitasional, maka dapat terjadi di mana saja,
asal elevasinya lebih rendah dibanding dengan elevasi lokasi terdegradasi.
Lokasi pengendapan merupakan tempat di mana sudah tidak lagi berlangsung
proses erosi, dan disebut sebagai aras erosi (base level of erosion).
Hasil agradasi yang dekat dengan sumber bahkan di kaki lerengnya, disebut
talus (scree). Agradasi terjauh berlangsung di dasar laut pada berbagai
kedalaman.
Aktifitas Organisme
Seperti telah dituliskan dalam pembahasan pelapukan biologi, tumbuh-
tumbuhan turut andil dalam proses geomorfologi, utamanya berperanan dalam
proses pelapukan fisik maupun kimia.Hewan juga dapat sebagai agen proses
geomorfologi, seperti halnya tumbuh-tumbuhan. Aktifitas dua agen tersebut
mencakup luasan yang sempit, sehingga tidak segera tampak oleh pandangan
mata dalam waktu yang singkat.
Manusia di antara aktivitasnya tidak tertutup kemungkinan sebagai agen
proses geomorfologi. Dengan mengandalkan ukuran jasad dan karunia akal
pikiran, dampak degradasi bentang-alam lebih luas dibandingkan dengan yang
dihasilkan oleh hewan atau tumbuh-tumbuhan. Walaupun demikian dalam
pandangan geomorfologi dampak tersebut kurang signifikan.
c. Luar Angkasa
Jatuhan meteor merupakan proses geomorfologi dari luar angkasa yang
paling umum terjadi pada permukaan bumi. Ukuran meteor yang jatuh
bervariasi, dan kalau terlalu kecil tidak akan sampai membentuk bentang-alam
yang nyata. Di Indonesia, salah satu lokasi temuan meteor jatuh dalam ukuran
kecil (tektit / tectite) yaitu di Sangiran. Thornbury (1969) mencatat ada dua
lokasi jatuhan meteor yang sampai membentuk bentang-alam
depresi/cekungan rendahan dengan radius ratusan meter. Dua lokasi dimaksud
adalah di Siberia (Rusia), dan Arizona (USA). Selanjutnya dikabarkan bahwa di
Arizona dihasilkan kenampakan mirip kawah gunungapi (pseudo volcanic).
Kondisi seperti diuraikan di atas memberi makna bahwa proses jatuhan
meteor dari luar angkasa (extraterestrial process) ditinjau dari pandangan
geomorfologi makro atau global hal itu kurang signifikan memberi kontribusi
dalam dinamika bentang-alam.
10

BAB III
KLASIFIKASI BENTANG-ALAM
3.1 Konsep Klasifikasi
Berpedoman kepada konsep dasar keseragaman proses (uniformitarianism),
dan hipotesis kerja penggandaan (multiple working hypothesis), memberi
keyakinan bahwa dengan sebenarnya pembentukan bentang-alam sangat
kompleks, dan luasan yang dihasilkan dalam ukuran yang bervariasi. Menyadari
keadaan bentang-alam seperti itu, maka para ahli geomorfologi (diawali dari
Amerika Utara tahun 1930-1940an, dan dikembangkan lebih sistematik di Eropa
Timur kemudian Eropa Barat tahun 1960-1980an) membuat klasifikasi bentang-
alam.
Bentang-alam diklasifikasi berdasarkan beberapa kriteria. Kriteria yang
paling umum diterapkan adalah dominansi cara terjadi (genesis), dan luasan
pembentukan, dan kekhasan yang terekam pada bentang-alam yang bersangkutan.
Berdasarkan kriteria tersebut ditetapkan kelompok/satuan bentang-alam tingkat
paling tinggi, disebut morfogenesa. Guna memberi pemahaman yang sederhana,
selanjutnya dalam pembelajaran ini disebut kelompok bentang-alam:
1. Struktural
2. Volkanik
3. Fluvial
4. Kars(t)
5. Glasiasi Pesisir dan Pantai
6. Eolian
7. Pesisir dan Pantai, dan
8. Morfogenesa Bawah Laut
3.2 Kelas Bentang-alam
a. Bentang-alam struktural
Bentang-alam struktural (Gambar 3.1) disebut pula sebagai
geomorfologi struktur, atau morfotektonik. Prinsip pengertiannya adalah
studi struktur geologi atau tektonik berdasarkan kenampakan bentang-
alam. Bentang-alam ini sangat akrab dengan kehidupan kita, karena ada di
sekitar, dan mudah dikenali. Sebagai penciri, apabila ada perbukitan atau
pegunungan tidak disertai keluarnya magma dari dalam bumi atau gejala
volkanisme yang lain, dan tampak berderet panjang.
Persyaratan pembetukan bentang-alam struktural adalah: 1)
intensitas struktur geologi harus mempunyai dimensi vertikal yang memadai
(minimum puluhan meter), 2) ke arah lateral, rentangan struktur ratusan
11

meter, 3) batuan yang terkena struktur geologi, mempunyai variasi resistensi
mencolok, dan 4) proses fluvial (aliran air) efektif bekerja.
Kawasan bentang-alam struktural mempunyai daya tarik untuk wisata gunung
(mountain tourism), apabila berada pada elevasi relatif tinggi dan sudut
lereng relatif terjal. Sisi negatif dari bentang-alam ini adalah bahaya gerak
massa (mass movement), jenis: rayapan (creeping) yang bergerak pelan,
jatuhan batuan (rock fall), dan bila dijumpai bidang gelincir seperti batulempung
maka terbentuk lengseran (sliding).
Gambar 3.1 Bentang-alam struktural jenis monoklin, peta topografi (atas) dan sketsa (bawah)
b. Bentang-alam volkanik
MacDonald (1972), berpendapat bahwa gunungapi (Gambar 3.2) adalah
lubang tempat keluarnya material volkanik yang terakumulasi di sekitarnya
membentuk gunung atau bukit. Rittmann (1961), menyatakan gunungapi adalah
celah tempat keluarnya magma. Berdasarkan batasan tersebut, gunungapi
merupakan bentang-alam, sebagai manifestasi gejala volkanisme.
12

Gambar 3.2 Sketsa (a), dan peta topografi (b) Bentang-alam volkanik
Deretan gunungapi di sekitar Samudra Pasifik dikenal sebagai cincin api
(ring of fire), dikarenakan 66 % temuan gunungapi aktif di dunia berada di
lingkar samudra tersebut. Gunungapi di Indonesia merupakan bagian dari
cincin api, sebanyak 20% dengan jumlah sekitar 125 buah. Ditinjau dari bidang
pertanian, kawasan gunungapi aktif ini disebut wilayah sabuk hijau (green
belt) karena kawasan subur.
Banyaknya gunungapi aktif di Indonesia berpeluang ilmu kegunungapian
(volkanologi) akan terus berkembang.
Bentang-alam volkanik sebagai sumberdaya kebumian, mengandung
sesumber (resources), dan bahaya (hazards). Jenis sesumber yang ada
antara lain keindahan panorama, dengan lembah berdinding terjal, dan hawa
13

yang sejuk. Batuan volkanik merupakan bahan galian industri, dan
sumberdaya air baku. Berbagai bahaya yang ditimbulkan berkaitan erat
dengan letusan gunungapi, antara lain: guguran lava pijar, awan panas
(glowing cloud / awan wedhus gembel: istilah khas untuk G.Merapi), dan
lahar letusan/lahar panas. Pasca letusan, dengan pemicu curah hujan di
atas normal, berpeluang bahaya guguran lava padam, dan lahar hujan/lahar
dingin.
Penanggulangan bahaya ada dua jenis, yaitu evakuasi, dan rekayasa.
Evakuasi dilakukan pada saat terjadi letusan. Usaha rekayasa untuk
mengatasi masalah pasca letusan, tercakup dalam teknik sabo (sabo
engineering). Usaha penanggulangan dan pemecahan masalah daerah
gunungapi aktif disebut mitigasi. Daerah gunungapi dengan segala pesonanya
menjadikan daerah ini sebagai daerah dengan kepadatan penduduk relatif
padat setelah wilayah pantai atau wilayah rendah (low-land area).
c. Bentang-alam fluvial
Bentang-alam fluvial dihasilkan oleh proses aktifitas air mengalir. Proses ini
mengambil porsi minimal 70% dari proses eksogenik di permukaan bumi. Air
sebagai agen proses berlangsung di mana-mana, mulai dari sedikit di atas permukaan
laut sampai dengan di puncak pegunungan tinggi sebelum terbentuk salju abadi.
Ditinjau dari posisi lintang (Lintang Selatan / Lintang Utara), proses ini tidak
berkembang hanya di daerah kutub (Kutub Selatan / Kutub Utara).
Bentang-alam fluvial erat hubungannya dengan aliran sungai berstadia
erosi dewasa – tua. Bentang-alam ini berupa low land area dengan ketinggian
relatif yang tidak jauh berbeda dengan sungainya. Karena adanya sungai
berpindah (shifting), kemungkinan bentang-alam ini sudah agak jauh dari
sungainya saat ini. Pertanda lain dari bentang-alam fluvial yang mutlak
adalah litologi penyusun merupakan fasies fluvial, meskipun telah sedikit
mengalami pengangkatan (peremajaan / rejuvination). Jenis-jenis bentang-
alam fluvial, terdiri dari: Gambar 3.3: aliran sungai, gosong sungai, tanggul
alam, rawa sungai, danau tapal kuda, sungai bekas, dataran limpah banjir, dan
undak sungai; serta Gambar 3.4: delta, dan kipas aluvial (Gambar 3.5);
14

Gambar 3.3 Peta topografi, dan sketsa Bentang-alam Fluvial.
Gambar 3.4 Delta
15

Gambar 3.5 Morfologi Kipas Aluvial (k.a)
d. Bentang-alam Kars
Menurut Jenning (1971, dikutip Bloom 1978), bentang-alam kars adalah
lahan dengan relief dan penyaluran yang aneh, berkembang pada batuan
mudah larut oleh perilaku air alam. Flint, and Skinner (1972),
mendefinisikan bentang-alam kars terbentuk pada daerah berbatuan mudah
larut, dicirikan surupan (sink, ponor) berasosiasi dengan gua, membentuk
topografi yang aneh (peculiar topography), penyaluran tidak teratur dan
menjadi masuk ke dalamtanah (sub-drainage), dan lembah kering (dry-
valley). Pembentukan bentang-alam kars (karstifikasi) ditentukan oleh
kondisi fisik batuan (Von Engeln, 1942). Kondisi yang dimaksud adalah
ketebalan keseluruhan, tipe perlapisan yang ideala masif, dan terkekarkan
secara sistematik. Bloom (1978) menyebutkan bahwa proses pelarutan akan
intensif bila air alam mengikat C02, aktififas mikrobiologi, dan iklim.
Berdasarkan ukuran pembentukan, bentang-alam kars dikelompokkan
menjadi kars mayor (Gambar 3.6), dan kars minor (Gambar 3.7), dan
kars mikro (tampak secara mikroskopik)
Gambar 3.6 Sebagian Bentang-alam Kars Mayor, uvala (a) dan polje (b), (Thornbury, 1969).
16

Gambar 3.7 Bentang-alam Kars Minor
Berdasarkan tempat pembentukan dengan datum permukaan tanah,
bentang-alam kars dikelompokkan menjadi eksokars (Gambar 3.8) apabila
terbentuk di atas permukaan tanah, dan endokars (Gambar 3.9) yang
terbentuk di bawah permukaan tanah.
Gambar 3.8a Contoh Eksokars, jenis kerucut kars (Twidale, 1976).
17

Gambar 3.8b Contoh Eksokars, jenis menara kars (Bloom, 1978).
Gambar 3.8c Eksokars dalam ujud Peta Topografi
18

Gambar 3.9 Contoh Endokars, jenis gua:. mulut gua (E), dan ruangan di dalam gua,
(Thornbury, 1964)
Bentang-alam kars sebagai sumberdaya kebumian mengandung prospek
sesumber, dan bahaya. Prospek sesumber, diawali perannya sebagai wilayah
jelajah advonturir bagi para pecinta gua kars, batugamping, batu-ornamen
dalam gua, fosfat guano, fosfat marin, bahan Mangan. dan speleotem.
Daerah kars sebagai daerah berpotensi bahaya, utamanya terjadi karena
runtuh atap gua.
e. Bentang-alam Glasial
Bentang-alam glasial terbentuk pada lokasi sangat terbatas,
Penyebabnya karena agen penyebabnya adalah gletser (salju/es yang
bergerak). Gletser dijumpai di daerah kutub, lintang tinggi pada musim
dingin, dan daerah berelevasi minimal 4.000 m dpal.
Gletser sebagai media erosi, sedimentasi, atau pembentuk bentang-alam,
mempunyai densitas (kerapatan massa) tinggi. Hal itu mengindikasikan
gletser akan merasuk ke dalam celah batuan, sambil menggerus permukaan
batuan lembah yang teralirinya. Jejak yang ditinggalkan berupa bentang-
alam minor: lekukan, tonjolan, goresan, dan penyemiran.
Tebing-tebing pada bentang-alam glasiasi nyaris tegak, bahkan tebing
menggantung (hanging valley). Kenampakan tebing, dan lembah mirip
gambaran huruf "U" dan dalam. Kenampakan lembah yang dalam dengan
tebing tegak masih teramati sampai di pantai, dan dikenal sebagai pantai
fyord.
Endapan hasil proses glasiasi bersifat sejenis dengan lahar hasil
endapan fluvio-volkanik. Sifat tersebut adalah, tektur: berukuran butir
lempung - bongkah, kemas terbuka, dan bongkah di atas (floating mass).
Potensi sesumber daerah bentang-alam glasial adalah sebagai daerah
tujuan wisata, dan arena olahraga es, dan sumber air tawar. Bahaya yang
sering terjadi adalah guguran avalansi (debris avalanche).
Gambar 3.10 menginformasikan jenis bentang-alam glasial.
19

Gambar 3.10 Jenis Bentang-alam Glasial, sketsa (atas) dan peta topografi (bawah)
f. Bentang-alam Eolian
Bentang-alam Eolian (Gambar 3.11) terbentuk oleh angin, terbentuk pada
bagian permukaan bumf yang terbatas, yaitu koordinat lintang menengah
(300-500LS/LU). Sedangkan tinjauan Secara geografis peluang pembentukannya
di daerah aliran sungai besar, bekas salju/gletser mencair, atau zona pesisir
dari samudra lepas.
Tiga faktor penyebab pembentukan bentang-alam eolian, yaitu angin
berhembus kuat sepanjang tahun, kontinyuitas pasokan pasir (sand supply),
dan vegetasi jarang. Wilayah kepulauan Indonesia berpeluang terbentuk
20

bentang-alam eolian, yaitu di pantai-pantai dari pulau yang berhadapan
dengan samudra lepas. Pantai yang dimaksud adalah pantai: barat Pulau Sumatra,
selatan Pulau Jawa, selatan Kepulauan Nusa Tenggara (Bali - NTT), utara
Pulau Sulawesi, dan selatan & utara Pulau Papua. Salah satu pantai yang
intens terbentuk bentang-alam ini adalah Pantai Parangtritis di Kabupaten
Bantul DIY.
Gambar 3.11 Peta topografi Morfogenesa Eolian
Bentang-alam eolian di Parangtritis merupakan suatu kompleks yang
sekuensial. Sebagai embrio dari bentang-alam tersebut adalah pembentukan
pematang gisik (beach ridge) di bagian paling selatan, berada di zona garis
pantai. Selanjutnya ketika pengaruh air-laut secara langsung sudah kurang
dominan, di sebelah utaranya berurutan terbentuk gumuk-pasir (sand-dune)
jenis longitudinal (memanjang), barchan (bulan sabit), dan transversal
(melintang). Sekuen gumuk-pasir seperti itu akan berakhir di muara Sungai
Opak, empat kilometer di sebelah barat Pantai Parangtritis.
Erosi oleh angin secara abrasi dan ablasi. Abrasi berlangsung apabila
kerja angin tanpa ada butir pasir, sedangkan ablasi terjadi apabila di dalam
angin terkandung butir pasir. Sedimen hasil pengendapan oleh angin
mempunyai kesamaan dengan sedimen oleh proses fluvial, yaitu struktur
21

sedimen laminasi, silang siur, dengan sortasi butir baik.
Lahan berpasir di bentang-alam eolian berpotensi sebagai akuifer air-
bawahtanah dangkal, bahan bangunan pasir. Bahaya yang ditimbulkan oleh
mobilitas pasir adalah ancaman kelangsungan jalan umum, lahan pertanian,
permukiman, dan geolombang tsunami.. Usaha penghijauan, dan sekaligus
mengerem laju pergerakan butir pasir dapat dilakukan di atas lahan gumuk-
pasir dengan menggunakan vegetasi yang sesuai, dan mengikuti sistem
sikat/sisir (comb / brush).
g. Bentang-alam Pantai dan Pesisir
Pantai merupakan bentang-alam yang penting selain laut di sebelahnya.
Pantai merupakan merupakan pembatas antara daratan, dan laut. Secara
sederhana didasarkan pada kenampakan garis pantai, bentang-alam ini dibagi
menjadi pantai lurus dan pantai berliku.
Pantai lurus adalah pantai dengan konfigurasi garis pantai lurus. Pantai ini
berhubungan erat dengan pertumbuhannya pada masa kini ke arah laut
(prograding shoreline), hasil sedimentasi atau karena daratan mengalami
penaikan. Penciri lain dari pantai ini adalah lereng landai hampir datar, dengan
pesisir yang lebar. Kalau memperhatikan jenis pantai lurus ini secara teliti,
maka dapat dikenal pantai: lurus sejajar, lengkung, bulan muda, aigi gergaji,
bertanduk, tombolo (Gambar 3.12)
Gambar 3.12a Sketsa Jenis Bentang-alam Pantai lurus
22

Gambar 3.12b Peta Topografi Jenis Bentang-alam Pantai lurus
Pantai berliku (Gambar 3.13) adalah pantai dengan konfigurasi garis
pantai tidak lurus/berbelok-belok, ini dapat disebabkan oleh tenggelamnya
pantai atau pantai itu seolah-olah mundur (retrograding shoreline), pantai
mempunyai pesisir yang sempit bahkan kadang-kadang tidak berkembang.
Banyak jenis pantai berliku didasarkan pada kekhasannya masing-masing,
antara lain: Pantai ria, Pantai fyord, Pantai terjal, Pantai volkanik, Pantai
struktural, dan Pantai terumbu. Pantai ria, adlah pantai yang mengalami
erosi fluvial kemudian tenggelam, daratan dibelakang pantai tersebut berupa
perbukitan. Pantai fyord adalah pantai tenggelam karena erosi glasial. Pantai
terjal, mundumya garis pantai terjadi karena pukulan ombak yang kuat,
sehingga membentuk tebing terjal, ada indikasi terkontrol oleh tektonik..
Pantai volkanik, termasuk dlam pantai berliku, karena aktivitas magma yang
lebih sering tidak teratur, dan litologi resisten. Pantai struktural dicirikan
adanya tebing yang terjal dan berliku, disebabkan oleh pensesaran atau struktur
23

geologi yang lain. Pantai terumbu mempunyai konfigurasi garis pantai yang
berliku, terbentuk karena pertumbuhan koral pada masa kini.
Tinjauan ringkas geologi lingkungan pantai. Pantai merupakan salah satu
pilihan sebagai daerah tujuan wisata. Berkaitan dengan usaha
pengembangan, dan managemen pantai, maka low land coastal lebih mudah
dikembangkan dibandingkan jenis lain. Pantai rendah dan datar, merupakan
wilayah permukiman kelas satu (kualitas, dan kuantitas pemukimnya),
sebagai kawasan industri yang paling berkembang, lokasi bandara dan
pelabuhan laut yang memadai. Namun kondisi seperti itu tetap saja
mengandung sejumlah kendala, antara lain banjir, amblesan, intrusi air-laut,
kekurangan air-baku, pencemaran, pertumbuhan kawasan pinggiran yang
cenderung kumuh., dan sebagainya.
Gambar 3.13 Peta topografi daerah pantai lurus (a), dan pantai berliku (b).
h. Bentang-alam Bawah Laut
Sejak paruh ke dua abad 20 orang memperhatikan laut dengan keadaan yang
ada di dalamnya. Pada awalnya pemahaman terhadap laut hanya sebatas
24

sampai kedalaman sekitar 100 meter saja. Padahal luasan tubuh air tersebut
lebih dari dua kali luas permukaan daratan. Dunia kita ini terdiri dari dua
permukaan, yaitu daratan seluas 29%, dan 71% merupakan permukaan laut.
Air (dalam pengertian umum) yang terkandung dalam laut mencakup lebih dari
97% total air di dunia.
Banyak kepentingan orang ketika mulai perlu mempelajari laut. Pada
awalnya berkaitan dengan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi.
Selanjutnya usaha orang untuk mempelajari dinamika bumi, tidak terhindarkan
harus dengan media proses aktual di lantai samudra yang mengalami
pemekaran (sea floor spreading). Berkaitan dengan kepentingan ekonomi mineral,
orang mulai melirik kemungkinan mengeksploitasi bahan galian industri non minyak
bumi, yang teragih baik di dasar zona taut dangkal maupun di zona laut dalam.
Bhatt (1978), menyatakan bahwa daratan mempunyai elevasi rata-rata
sekitar 0,75 km., dan sebagai puncak tertinggi adalah Mt. Everest (8.900 m.dpal.).
Samudra mempunyai kedalaman rata-rata hampir 4 km (tepatnya 3729 m), dan
palung (trench) terdalam adalah Palung Mariana (-11.022 m). Periksa Gambar
3.14.
Gambar 3.14 Palung Mariana di antara bentang-alam bawah laut lain
Jenis-jenis bentang-alam bawah laut terinci pada Gambar 3.15.
25

Gambar 3.15 Jenis Bentang-alam Bawah Laut
26

DAFTAR PUSTAKA
Bloom, A.L., 1978. Geomorphology, A Systematic Analysis of Late Cenozoic
Landform. Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs New Jersey.
Fairbridge, R.W., 1969. The Encyclopedia of Geomorphology. Reinhold Book
Company Coorporation, New York - Amsterdam London.
Lobeck, A.K., 1939. Geomorphology, An Introduction to The Study of Landscapes.
Lobeck, A.K., and Tellington, W.J., 1944. Military Maps and Air Photograph, Their
Use and Interpretation. Mc. Graw Hill Book Company, New York and London.
Thornbury, W.D., 1969. Principles of Geomorphology. John Wiley & Sons Inc., New
York - London, 8th printing.
27