PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN HUKUM ADAT...
Click here to load reader
Transcript of PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN HUKUM ADAT...
48
PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN HUKUM ADAT DAN HUKUM
POSITIF DI INDONESIA
Oleh:
Sri Praptianingsih Ahmad Fahim Kurniawan
Abstrak
Dalam suatu perkawinan antara suami dan istri, senantiasa memerlukan keturunan atau anak, sebab anak adalah sebagai penerus keturunannya, walaupun ada golongan manusia tertentu yang tidak mampu melahirkan anak sebagai keturunannya. Dalam keadaan yang demikian ini, kadang-kadang timbul pikiran untuk melakukan pengangkatan anak
Menurut hukum adat, upacara adat yang dilakukan dalam pelaksanaan pengangkatannya disetiap daerah di Indonesia itu sangat berbeda-beda dan tanpa adanya Upacara Adat didalam pelaksanaan pengangkatan anak, maka pelaksanaan pengangkatan anak tersebut tidak syah. Hal ini mempunyai akibat hukum terhadap kedudukan anak angkat tersebut dianggap tidak syah sebagai anak angkat. Menurut KHI dalam pengangkatan anak memandang golongan atau keturunan tapi memandang dari segi agama. Maksudnya dalam pengangkatan anak tersebut harus seagama. Menurut hukum positif dalam pengangkatan anak diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak dan Undang- undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Kata Kunci: Anak Angkat, Hukum Adat, Kompilasi Hukum Islam
Abstract In a marriage between husband and wife, always requires the descendants or children, because
children are heirs to the offspring, although there are certain classes of human beings who are unable to bear children as offspring. In that case, the mind sometimes arise for adoption
Under customary law, traditional ceremonies are performed in the execution of his appointment in every region in Indonesia is very different and without any Ceremony in the implementation of the adoption, the implementation of the adoptions were not valid. This has the legal effect of the position adopted child shall be deemed invalid as a foster child. According to KHI in the removal of the child or descendant view class but looking at in terms of religion. That is the removal of the child must co-religionists. According to the adoption of positive law regulated in Government Regulation No. 54 of 2007 on the adoption and implementation of Law No. 23 of 2002 on child protection. Keywords: Adopted, Customary Law, Islamic Law Compilation
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam suatu perkawinan antara
suami dan istri, senantiasa memerlukan
keturunan atau anak, sebab anak adalah
sebagai penerus keturunannya, walaupun
ada golongan manusia tertentu yang tidak
mampu melahirkan anak sebagai
keturunannya. Dalam keadaan yang
demikian ini, kadang-kadang timbul
pikiran untuk melakukan pengangkatan
anak, akibatnya anak yang di angkat itu
dapat dijadikan sebagai anggota keluarga
yang melakukan pengangkatan anak
tersebut.
Sejak zaman dahulu tentang
pengangkatan anak ini sudah sering
dilakukan dengan cara dan motivasi yang
49
berlainan, sesuai dengan sistem
kekeluargaan yang berlaku dalam
masyarakat di Indonesia. Oleh karena
pengangkatan anak ini mempunyai akibat
hukum maka dalam pelaksanaannya
diperlukan suatu peraturan yang mengatur
khusus.
Di dalam suatu Negara yang
merdeka seperti Negara Republik
Indonesia, bukan berarti segala peraturan
khususnya dalam bidang hukum adat
menjadi hapus sama sekali, melainkan
dinyatakan masih berlaku selama belum
ada peraturan yang baru untuk
manggantinya.
Pengangkatan anak menurut hukum
adat sering dikenal sebagai usaha
mengambil anak bukan keturunannya
sendiri dengan maksud untuk memelihara
dan memperlakukannya sebagai anak
sendiri. Pada umumnya masyarakat
Indonesia lebih suka mengangkat anak
dari kalangan keluarga sendiri, di mana
tanpa melalui prosedur pengadilan.
Adapun alasan untuk melakukan
pengangkatan anak disebabkan karena :
1. Untuk memperkuat pertalian
kekeluargaan dengan orang tuanya
yang di angkat.
2. Kadang-kadang oleh sebab belas
kasihan, jadi untuk menolong anak itu.
3. Berhubung dengan kepercayaan,
bahwa oleh karena mengangkat anak
itu, kemudian akan mendapat anak
sendiri.
4. Mungkin pula untuk mendapatkan
bujang di rumah, yang dapat
membantu pekerjan sehari-hari.
5. Tidak mempunyai keturunan
6. Tidak ada penerus keturunan
7. Menurut adat perkawinan setempat.
Dalam perumusan pengertian istilah
yang dilakukan oleh para sarjana arti
pengangkatan anak mempunyai
pengertian dan tujuan sendiri.
Menurut hukum adat, wilayah yang
dikenal sebagai Indonesia sekarang ini
dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan
atau lingkaran adat. Seorang pakar
Belanda, Cornelis Van Vollenhoven
adalah yang pertama mencanangkan
gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di
Nusantara menurut hukum adat bisa
dibagi menjadi 23 lingkungan adat
berikut:
1. Aceh
2. Gayo dan Batak
3. Suku Nias dan sekitarnya
4. Minangkabau
5. Mentawai
6. Sumatra Selatan
7. Enggano
50
8. Melayu
9. Kepulauan Bangka dan Belitung
10. Kalimantan Dayak
11. Sangihe-Talaud
12. Gorontalo
13. Toraja
14. Sulawesi Selatan
15. Maluku Utara
16. Maluku Kota Ambon
17. Maluku Tenggara
18. Papua
19. Nusa Tenggara
20. Bali dan Lombok
21. Jawa dan Madura
22. Mataram
23. Jawa Barat Sunda.
Pengertian istilah pengangkatan
anak disesuaikan dengan tata cara adat
masyarakat setempat yang terdapat di
Indonesia menurut sistim kekeluargaan
masing-masing, untuk itu penulis
menjabarkan sedikit tentang pengertian
anak angkat pada masyarakat Patrilineal,
Matrilneal dan Parental. Pada masyarakat
yang sistim kekeluargaannya Parental,
seperti di Jawa, Madura atau daerah
lainnya, dalam pengangkatan anak
mempunyai istilah sendiri-sendiri,
misalnya anak kukut atau anak pulung
(Sunda) anak pungut (Jakarta), mupu anak
(Jawa Tengah), anak ngapek (Jawa
Timur), dan tujuannya berlain-lain pula.
Pengangkatan anak di Jawa dan Madura
pada umumnya di daerah lainnya yang
sifat kekeluargaannya parental, kedudukan
anak angkat itu tiadak memutuskan
pertalian keluarga antara anak yang di
angkat dengan orang tua kandungnya
sendiri.
Anak angkat itu masuk dalam
kehidupan atau rumah tangga atau somah
orang tua yang mengambil anak sebagai
anggota rumah tangga, akan tetapi sama
sekali tidak berkedudukan sebagai anak
kandung dengan fungsi untuk meneruskan
keturunan dari bapak angkatnya, dan
dalam hal ini dikatakan ia berkewajiban
lain dengan anak kandung.
Pada masyarakat yang sistim
kekeluargaannya Patrilineal, seperti di
Bali atau daerah-daerah lainnya,
kedudukan anak itu betul-betul
memutuskan pertalian keluarga antara
yang di angkat dengan orang tua
kandungnya sendiri. Anak angkat itu
masuk dalam kehidupan atau rumah
tangga orang tua yang mengangkatnya ,
kedudukannya sebagai anak kandungnya
sendiri dengan fungsi untuk meneruskan
keturunan orang tua angkatnya, bukan
mewaris harta peninggalan orang tua
angkatnya, dan pengangkatan anak
dilakukan dengan upacara "pemerasan"
(pemutusan) dengan orang tua
51
kandungnya dan ia sepenuhnya menjadi
anak dari orang tua yang mengangkatnya.
Pada masyarakat Matrilineal dalam
hal pengangkatan anak, jarang sekali
terjadi, karena pada masyarakat
Matrilineal yang mengikuti garis ibu,
seperti di Minangkabau pada prinsipnya
tidak dikenal pengangkatan anak, karena
masyarakatnya mayoritas beragam Islam
dan di dalam hukum Islam hanya dapat
dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak memutuskan hubungan darah
antara anak yang di angkat dengan
orang tua biologis dan keluarga.
2. Anak angkat tidak berkedudukan
sebagai pewaris dari orang tua
angkatnya, melainkan tetap sebagai
pewaris dari orang tua kandungnya,
demikian juag orang tua angkatnya
tidak berkedudukan sebagai pewaris
dari anak angkatnya.
3. Anak angkat tidak boleh
mempergunakan nama orang tua
angkatnya secara langsung, kecuali
sekedar sebagai tanda pengenal atau
alamat.
4. Orang tua angkat tidak dapat bertindak
sebagai wali terhadap anak angkat.
Pengangkatan anak khususnya
terhadap keluarga muslim penetapannya
dapat diperoleh dipengadilan agama,
sebagaimana ditetapkan dalam Undang
Undang No.7 Tahun 1989 tentang
pengadilan agama yang saat ini dirubah
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang perubahan. Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
pengadilan agama. Pengaturan
pengangkatan anak juga diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak, ketentuan inilah bagi orang
Indonesia asli ketentuan yang mengatur
tentang pengangkatan anak menurut
hukum positif.
Pengangkatan anak berdasarkan
hukum adat dan hukum positif dalam
pelaksanaannya sangat berbeda, hukum
adat yang diambil dalam penelitian ini
yaitu adat Jawa, Bali dan Minangkabau,
pengangkatan anak yang berdasarkan
hukum adat mempunyai status hukum
yang berbeda antara daerah yang satu
dengan daerah yang lain, sedangkan
pengangkatan anak berdasarkan hukum
positif mempunyai status hukum yang
mengikat dan hukum ini berlaku pada saat
ini.
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis tertarik untuk mengkaji dan
menuangkan dalam bentuk penulisan
hukum yang berjudul "Pengangkatan
52
Anak Berdasarkan Hukum Adat dan
Hukum Positif di Indonesia"
2.1 RUMUSAN MASALAH
Bedasarkan latar belakang di atas
maka penulis menyusun permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana prosedur pelaksanaan
pengangkatan anak menurut Hukum
Adat, Kompilasi Hukum Islam dan
Hukum Positif di Indonesia.
II. KERANGKA TEORI
Prosedur Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak menurut hukum
adat adalah suatu usaha mengambil anak
yang bukan keturunannya sendiri dengan
maksud untuk memeliharanya dan
memperlakukannya sebagai anak sendiri.
Mengenai pengangkatan anak apabila
ditinjau dari hukum adat adalah berbeda-
beda di setiap daerah sesuai dengan sistem
kekeluargaan yang berlaku pada daerah-
daerah tersebut, begitu pula mengenai tata
cara pengangkatannya juga tidak sama,
karena harus dilakukan menurut adat
kebiasaan setempat. Dengan demikian
anak tersebut diakui keabsahannya, baik
di dalam keluarga itu sendiri, maupun di
lingkungan masyarakat adat setempat.
Di berbagai daerah ada
pengangkatan anak yang dilaksanakan
dengan upacara adat besar yang
disaksikan oleh ketua adat dan hanya
diresmikan terbatas dalam keluarga dekat
atau tetangga saja dan ada pula yang
cukup dengan adanya pengakuan dari
orang tua angkat dan nampak dalam
pergaulan rumah tangga sehari-hari.
a. Prosedur pengangkatan anak
menurut hukum adat Jawa.
Menurut hukum adat Jawa yang
sistem kekeluargaannya parental atau
bilateral adalah masyarakat hukum yang
tidak mengenal clan. Clan ialah seseorang
yang menghubungkan dirinya keatas
melalui satu garis penghubung saja yaitu
penghubung secara patrilineal (garis
penghubung laki-laki atau hanya penarik
garis penghubung melalui garis
penghubung wanita). Pada masyarakat
parental atau bilateral seseorang
menghubungkan dirinya keatas dengan
ayah dan ibu, kakek dan nenek dan
seterusnya, keatas sampai kepada
sepasang suami istri yang dianggap
sebagai orang-orang yang diakui sebagai
orang-orang yang menurunkan mereka.
Pada masyarakat parental di Jawa harta
peninggalan dibagi-bagi hak
kepemilikannya diantara para ahli waris.
Anak laki-laki dan. perempuan tidak
dibedakan dalam hal mewaris mereka
53
berhak mewaris harta bersama dan harta
asal. Sedangkan anak angkat hanya berhak
mewaris harta bersama atau harta gono-
gini dari orang tua angkatnya. Anak
angkat masih berhak mewaris harta
peninggalan orang tua kandungnya.
Proses pengangkatan anak berdasarkan
hukum adat Jawa pada umumnya yang
dilakukan adalah adanya persetujuan
kedua belah pihak antara orang tua
kandung dengan orang tua yang
mengangkat anak, dengan adanya
persetujuan itu mereka pergi ke balai desa
untuk memeberitahukan maksud mereka,
kepala desa membuat surat pernyataan
penyerahan anak yang ditandatangani oleh
kedua belah pihak. Surat pernyataan itu
turut ditandatangani oleh para saksi dan
diketahui oleh kepala desa dan camat,
dihadapan kepala desa dan stafnya terjadi
serah terima anak dari orang tua kandung
kepada orang tua angkat, setelah serah
terima diadakan selamatan mengundang
tetangga-tetangga terdekat dari orang tua
angkat dengan dibacakan doa selamatan
terlebih dahulu atas pengangkatan anak
tersebut. Syarat-syarat berupa pemberian
tidak ada pada pengangkatan anak di
Jawa, hanya saja didaerah tertentu ada
ketentuan tambahan yaitu orang tua
angkat haruslah cukup mampu untuk
menghidupi anak angkat tersebut supaya
tidak diterlantarkan, ditambah lagi bila
yang mengangkat anak adalah suami istri
maka harus ada persetujuan dari suami
istri untuk mengangkat anak bersama-
sama.
III. PEMBAHASAN
3.1 Prosedur pengangkatan anak di
Indonesia
a. Prosedur pengangkatan anak
menurut hukum adat Bali.
Susunan keluarga yang bersifat
patrilineal adalah suatu masyarakat
Hukum Adat dimana seseorang baik laki-
laki atau perempuan menghubungkan
dirinya keatas melalui garis penghubung
laki-laki. Pada masyarakat patrilineal yang
berhak mewaris harta peninggalan orang
tuanya yaitu anak kandung laki-laki dan
atau anak angkat laki-laki sedangkan anak
perempuan bukan merupakan ahli waris
dari orang tuanya, hal ini disebabkan
karena seorang perempuan setelah
melangsungkan perkawinan masuk
kedalam keluarga suaminya, begitu juga
anak-anaknya dan perkawinan dilakukan
perkawinan jujur. Dimana dalam
perkawinan seorang pria memberikan
barang atau uang kepada pihak mempelai
wanita.
Mengenai tata cara pengangkatan
anak pada masa patrilineal seperti di Bali,
mengangkat anak dari kalangan keluarga
54
di sebut dengan "nyentanayang", anak
lazimnya diambil dari salah satu clan yang
ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang
disebut purusa, tetapi akhir-akhir ini dapat
pula anak diambil dari luar clan itu,
bahkan di beberapa desa dapat pula
diambil anak dari lingkungan keluarga
istri (pradana), dalam keluarga dengan
selir-selir (gundik) maka apabila istri tidak
mempunyai anak, biasanya anak-anak dari
selir-selir itu diangkat untuk dijadikan
anak-anak istrinya.
Prosedur pengangkatan anak di Bali
adalah sebagai berikut:
Orang yang ingin mengangkat anak itu
lebih dahulu wajib membicarakan
kehendaknya dengan keluarganya
secara matang.
Anak yang akan diangkat hubungan
kekeluargaan dengan ibunya dan
dengan keluarganya secara adat harus
diputuskan, yaitu dengan jalan
membakar benang (hubungan anak
dengan keluarganya putus) dan
membayar menurut adat seribu kepeng
disertai pakaian disertai pakaian
wanita lengkap (hubungan anak
dengan ibu menjadi putus).
Anak kemudian dimasukkan dalam
hubungan kekeluargaan dari keluarga
yang mengangkatnya, istilahnya
diperas.
Pengumuman kepada warga desa
(siar).
Oleh karena itu, di Bali perbuatan
mengangkat anak adalah perbuatan hukum
melepaskan anak itu dari pertalian
keluarganya dengan orang tuanya sendiri
dan memasukkan anak itu ke dalam bapak
angkatnya, sehingga anak tersebut
berkedudukan sebagai anak kandung
untuk meneruskan keturunan bapak
angkatnya. Proses pengangkatan anak
menurut hukum adat Bali pada prinsipnya
adalah mengangkat anak orang lain untuk
dijadikan anak sendiri seperti anak
kandung dengan cara yang sah, oleh
karena itu orang yang pernah kawin tetapi
tidak memperoleh keturunan maka dapat
mengangkat anak, bila suami yang hendak
mengangkat anak maka ia akan minta
persetujuan istrinya terlebih dahulu dan
demikian pula sebaliknya si istri yang
hendak mengangkat anak haruslah dengan
persetujuan suaminya. Menurut hukum
adat Bali pengangkatan anak tidak boleh
diwakilkan tidak ada batas umur tertentu
yang dapat diangkat anak, baik yang baru
lahir maupun seorang yang sudah dewasa,
pokoknya anak angkat itu tidak boleh
lebih tua dari orang tua angkatnya.
Pengangkatan anak dilakukan dengan
upacara dihadapan seorang pemangku
adat atau pendeta dengan saksi-saksi
55
perangkat desa yang bersangkutan,
kesamaan derajat atau golongan antara si
anak dengan orang tua angkat adalah
merupakan suatu syarat. Di daerah Bali
dikenal golongan-golongan seperti
Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudera,
Golongan si anak angkat harus sama
dengan golongan orang tua angkatnya,
setelah ada persetujuan dari kedua belah
pihak yaitu pihak yang mengangkat
dengan pihak keluarga orang tua kandung,
para juru desa mengumumkan lebih
dahulu tentang adanya pengangkatan
anak, gunanya untuk memberi kesempatan
kepada orang sedesa menyatakan
keberatannya, bila tidak ada pernyataan
itu maka setelah dua minggu atau lebih
menurut adat setempat upacara pemerasan
dapat di lakukan oleh seoarang balian atau
pendeta di bidang keagamaan dengan
disaksikan oleh para juru desa. Upacara
itu juga di hadiri juga oleh ibu bapak
kandung, ibu bapak angkat dan kepala
suku. Pengangkatan anak itu disampaikan
kepada Kepala Desa dalam bentuk surat
yang kemudian diteruskan kepada camat.
Camat membuat pengumuman lagi
mengenai pengangkatan anak tersebut dan
setelah tiga bulan berlaku tidak ada
keberatan yang di ajukan, maka camat
yang akan mengesahkannya dengan
mengeluarkan surat keputusan, dapat pula
kuputusan itu di sahkan oleh Bupati, bila
pada pengumuman pertama oleh para juru
desa adat terdapat pihak yang menaruh
keberatan maka tidak dilakukan
pengangkatan sebelum ada penyelesaian
dari pihak yang keberatan, kalau perlu
dilakukan secara musyawarah di muka
camat, bila gagal camat dapat
menyarankan melanjutkan ke pengadilan.
Pengumumman oleh para juru desa adat
itu cukup berupa pemberitahukan bahwa
akan ada pengangkatan anak, karena
mereka telah menjajaki terlebih dahulu
keadaan dari pada mereka yang hendak
mengangkat anak dan tentang siapa yang
dapat diangkat anak. Syarat kedua
pengangkatan anak sebagai mana ialah
anak angkat hendaklah dari hubungan
darah terdekat, maksudnya msasyarakat
Bali dalam pengangkatan anak harus
mengutamakan mengangkat anak dari
kalangan saudara atau familinya terlebih
dahulu. Putusan Pengadilan Negeri
Denpasar tanggal 21 Juni tahun 1967
berbunyi: pengangkatan seorang anak
menurut hukum adat Bali dianggap sah,
apabila disiarkan di banjar, setelah itu
barulah dilangsungkan upacara
"pemerasan" secara adat dengan
disaksikan oleh pejabat-pejabat adat.
56
b. Prosedur pengangkatan anak
menurut adat Minangkabau.
Pada masyarakat Matrilineal
dalam hal pengangkatan anak, jarang
sekali terjadi, karena pada masyarakat
Matrilineal yang mengikuti garis ibu,
seperti di Minagkabau pada prinsipnya
tidak dikenal pengangkatan anak, karena
masyarakat mayoritasnya beragama Islam
dan di dalam hukum Islam hanya dapat
dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-
ketenuan sebagai berikut:
a. Tidak memutuskan hubungan darah
antara anak yang diangkat dengan
orang tua biologis dan keluarga.
b. Anak angkat tidak berkedudukan
sebagai pewaris dari orang tua
angkatnya, melainkan tetap sebagai
pewaris dari orang tua kandungnya,
demikian juga orang tua angkatnya
tidak berkedudukan sebagai pewaris
dari anak angkat.
c. Anak angkat tidak boleh
mempergunakan nama orang tua
angkatnya secara langsung, kecuali
sekedar sebagai tanda pengenal atau
alamat.
d. Orang tua angkat tidak dapat bertindak
sebagai wali terhadap anak angkatnya.
Sehingga di dalam masyarakat
Matrilineal seperti di Minangkabau, harta
kekayaan yang diperoleh suami tidak
diwariskan kepada anak-anaknya karena
anak bukan ahli waris dari ayahnya, tetapi
berhak mewarisi dari harta kekayaan
ibunya atau keluarga ibunya.
3.1.2. Menurut Kompilasi Hukum
Islam
Salah satu tujuan pengangkatan
anak adalah untuk menyalurkan rasa cinta
dan kasih sayang yang ada pada dirinya.
Adopsi atau pengangkatan anak
ditekankan kepada segi kencintaan,
pemberian nafkah, pendidikan, dan
memenuhi segala kebutuhannya. Di lihat
dari segi keadilan sosial, pengangkatan
anak membuka kesempatan kepada si
kaya untuk beramal melalui wasiat dan
memberikan hak kepadanya untuk
mewasiatkan sebagian dari harta
peninggalannya kepada anak angkatnya
untuk menutupi kebutuhannya dihari
depan, sehingga tidak terhalang
pendidikan dan penghidupannya,
perbuatan seperti ini adalah merupakan
pancaran kecintaan kepada Allah SWT,
sebagai satu misi Islam yang sangat utama
dalam menegakkan keadilan sosial. Di
lihat dari budiperkerti dan sosial, orang
yang melakukan adopsi berarti ia
melakukan perbuatan yang sangat baik
dan tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Hal ini relevan bagi orang yang
57
mengambil anak yang bertujuan
memelihara secara baik-baik dan penuh
kasih sayang.
Menurut Hasballah Thaib ada
beberapa alasan seseorang untuk
melakukan pengangkatan anak
diantaranya:
a. Untuk menghilangkan rasa kesunyian
diri atau kehidupan keluarga dalam
suatu rumah tangga yang telah terbina
bertahun-tahun tanpa kehadiran
seorang anak.
b. Untuk melanjutkan garis keturunan.
c. Karena niat baik untuk memelaihara
dan mendidik anak-anak yang
terlantar, menderita, miskin dan
sebagainya.
d. Untuk mencapai dan tempat tercapai
bergantung dihari tua kelak.
Pengkajian dalam Hukum Islam
pada pembinaan Hukum Nasional dalam
seminar pengkajian Hukum 1980/1981 di
Jakarta yang mengusulkan pokok-pokok
pikiran sebagai bahan penyusunan
rancangan Undang-Undang tentang anak
angkat dipandang dari Hukum Islam.
Pokok pikiran tersebut antara lain:
a. Hukum islam tidak melarang adanya
lembaga Adopsi, bahkan membenar-
kan dan menganjurkan demi kesejah-
teraan anak dan kebahagian orang tua.
b. Perludiadakannya pengaturan
perundang-undangan tentang
pengangkatan anak, yang memadai.
c. Supaya diusahakan adanya penyatuan
istilah pengangkatan anak dengan
meniadakan istilah lain.
d. Pengangkatan anak jangan
memutuskan hubungan antara anak
yang diangkat dengan orang tua
kandungnya.
e. Hubungan kekayaan/kehartabendaan
anak yang di angkat dengan orang tua
yang mengangkat dianjurkan agar
dalam hubungan hibah atau wasiat.
f. Pengangkatan anak yang terdapat
dalam hukum tidak bertentangan
dengan Hukum Islam.
g. Pengangkatan anak oleh warga negara
asing supaya diadakan pembatasan
yang lebih ketat.
h. Tidak dapat dibenarkannya
pengangkatan anak oleh orang yang
agamanya berlainan.
Selanjutnya pendapat Majelis Ulama
yang di tuangkan dalam Surat Nomer U-
335/MUI/VI/82 tanggal 18 sa'ban 1402
H/10 juni 1982, dinyatakan, adopsi yang
tujuan pemeliharaan, pemberian bantuan
yang sifatnya untuk kepentingan anak
angkat dimaksud adalah boleh saja
menurut hukum islam.
58
Menurut pasal 171 huruf h
Kompilasi Hukum Islam. Anak angkat
adalah anak yang dalam pemeliharaan
untuk hidupnya sehari - hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih
tanggung jawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan
putusan pengadilan. Pengangkatan anak
bagi yang beragama islam hanya dapat
dilakukan oleh orang tua yang bergama
islam, dan pengangkatan anak diperlukan
adanya persetujuan dari orang tua
asal,wali atau badan yang menguasai anak
yang akan diangkat dengan calon orang
tua angkatnya.
Prosedur pengangkatan anak
menurut KHI dilaksanakan di Pengadilan
Agama. Di antara pengangkatan anak
melalui lembaga Pengadilan adalah untuk
memperoleh kepastian hukum, keadilan
hukum, legalitas hukum, dokumen
hukum. Dokumen hukum telah terjadinya
pengangkatan secara legal sangat penting
dalam hukum keluarga, karena dari akibat
hukum pengangkatan anak akan
berdampak jauh kedapan sampai beberapa
generasi keturunan yang menyangkut
hukum kewarisan, tanggung jawab hukum
dan lain-lain.
Pengangkatan anak terhadap orang
tua yang telah berkeluarga harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Foto copy Kutipan Akta Nikah
Pemohon.
2. Foto copy Kartu Keluarga Pemohon.
3. Foto copy Kartu Tanda Penduduk
Pemohon.
4. Foto copy Kartu Tanda Penduduk
orang tua kandung.
5. Foto copy Kartu Tanda Penduduk
saksi.
6. Foto copy Surat Keterangan Kelahiran
calon anak angkat.
7. Foto copy Surat Keterangan
penyerahan anak dari orang tua
kandung.
Pengangkatan anak yang tidak
diketahui asal usul orang tua kandung dari
calon anak angkat syaratnya yaitu:
1. Foto copy surat keterangan kelahiran
anak yang dikeluarkan oleh Rumah
Bersalin atau surat keterangan
kelahiran yang dikeluarkan oleh
Yayasan Panti Asuhan tempat asal si
anak.
2. Foto copy Kartu Keluarga atau Akta
Perkawinan pemohon.
3. Foto copy Kartu Tanda Penduduk
pemohon.
4. Foto copy surat keterangan
penyerahan anak yang dikeluarkan
oleh Rumah Bersalin atau Yayasan
Panti Asuhan dengan disaksikan oleh
2 (dua) orang saksi, dan diketahui oleh
59
Kepala Kelurahan atau Camat tempat
tinggal orang tua yang mengangkat
anak.
3.1.3. Menurut Hukum Positif
Pengangkatan anak yang sah oleh
hukum ialah dengan memenuhi prosedur
menurut peraturan perundang - undangan.
Pengangkatan anak yang dilakukan
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak. Diantaranya ada
beberapa kata gori orang tua angkat yaitu
suami dan istri Warga Negara Indonesia
dan suami Warga Negara Indonesia dan
istri Warga Negara Asing.
Adapun syarat-syarat calon orang
tua angkat pasal 13 Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 Tentang
Pelaksanaan pengangkatan Anak :
a. Sehat jasmani dan rohani
b. Orang tua angkat berumur paling
rendah 30 tahun dan paling tinggi 55
tahun
c. Beragama sama dengan calon anak
angkat
d. Berkelakuan baik dan tidak pernah di
hukum karena melakukan tindak
kejahatan
e. Bersetatus menikah paling lama 5
tahun
f. Tidak merupakan pasangan sejenis
g. Tidak atau belum mempunyai anak
atau hanya memiliki satu orang anak
h. Dalam keadaan mampu ekonomi dan
sosial
i. Memperoleh persetujuan anak dan ijin
tertulis orang tua atau wali anak
j. Membuat pernyataan tertulis bahwa
pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak,
kesejahteraan dan perlindungan anak
k. Adanya laporan sosial dari pekerja
sosial setempat
l. Telah mengasuh calon anak angkat
paling singkat 6 bulan, sejak ijin
pengasuhan diberikan
m. Memperoleh ijin Menteri dan atau
kepala instansi sosial.
Syarat bagi calon anak angkat yakni
dalam pasal 12 Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 2007 Tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak:
a. Belum berusia 18 tahun
b. Merupakan anak terlantar atau
diterlantarkan
c. Berada dalam asuhan keluarga atau
dalam lembaga pengasuhan anak
d. Memerlukan perlindungan khusus.
Menurut Surat Edaran Mahkamah
Agung RI No. 6/83 yang mengatur
tentang cara mengadopsi anak
menyatakan bahwa untuk mengadopsi
anak harus terlebih dahulu mengajukan
60
pemohon pengesahan atau pengangkatan
kepada Pengadilan Negeri ditempat anak
yang akan diangkat itu berada.
Menurut pasal 20 ayat (1) dan ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 54
Taahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak yang berbunyi ayat
(1) "permohonan pengangkatan anak yang
telah memenuhi persyaratan diajukan
kepengadilan untuk mendapatkan
penetapan pengadilan", ayat (2) berbunyi
"pengadilan menyampaikan salinan
pengangkatan anak ke instansi terkait".
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan
atau tertulis, dan diajukan kepada
panitera. Permohonan diajukan dan
ditandatangani oleh pemohon sendiri atau
kuasanya, dengan dibubuhi materai
secukupnya dan dialamatkan kepada ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal atau domisili anak
yang akan diangkat. Oleh karena itu
dalam hal calon orang tua angkat
didampingi oleh kuasanya maka hal ini
berarti pemohon atau calon orang tua
angkat tetap harus hadir dalam
pemeriksaaan dipersidangan di Pengadilan
Negeri.
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Menurut hukum adat, upacara adat
yang dilakukan dalam pelaksanaan
pengangkatannya disetiap daerah di
Indonesia itu sangat berbeda-beda dan
tanpa adanya Upacara Adat didalam
pelaksanaan pengangkatan anak, maka
pelaksanaan pengangkatan anak
tersebut tidak syah. Hal ini
mempunyai akibat hukum terhadap
kedudukan anak angkat tersebut
dianggap tidak syah sebagai anak
angkat.
2. Menurut KHI dalam pengangkatan
anak memandang golongan atau
keturunan tapi memandang dari segi
agama. Maksudnya dalam
pengangkatan anak tersebut harus
seagama.
3. Menurut hukum positif dalam
pengangkatan anak diatur dalam
peraturan pemerintah Nomor 54 tahun
2007 tentang pelaksanaan
pengangkatan anak dan Undang-
undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak.
61
DAFTAR PUSTAKA
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum pembuktian, Rineka, Jakarta.
B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, Pengangkatan Jakarta, 1983
B. Ter Haar, Asas-asas dan susunan hukum Adat, Terjemahan oleh K. ng. Soebakti Poesponot, Pradnya Pramita, Jakarta, 1985.
Budiarto. 1991, Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Melton Putra. Jakarta.
Hilmar Hadi Kusumah, Hukum Perkawinan Adat, Alumni Bandung . 1983.
Imam Sudiat, Hukum Adat, Liberti, Jogjakarta, 1999.
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Bina Aksara. Jakarta , 1985.
Soepomo, Bab-Bab tentang hukum Adat, Pradnya Paramita, jakarta, 2007.
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1967.
Tjiptosudibbio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramit, Jakarta, 2005.