Pengajaran Dan Pemerolehan Bahasa Untuk Orang Asing

download Pengajaran Dan Pemerolehan Bahasa Untuk Orang Asing

of 41

Transcript of Pengajaran Dan Pemerolehan Bahasa Untuk Orang Asing

Pengajaran dan Pemerolehan Bahasa untuk Orang Asing: Berbagai MasalahSunaryono Basuki, KS STKIP Singaraja 1. Kata PengantarTerdapat dua pendekatan utama dalam pengajaran bahasa yaitu pendekatan formalis yang bertahan cukup lama, dan pendekatan fungsionalis yang relatif baru berkembang pada tiga dekade terakhir. Menurut pendekatan formalis bahasa adalah bentuk dan pengajarannya berpusat pada pengajaran bentuk-bentuk bahasa. Sementara itu, pendekatan fungsionalis yang berakar pada bidang sosiolinguistik menekankan aspek fungsi. Sebelum lahirnya sosiolingusitik, pandangan para ahli mengenai bahasa selalu berpusat pada bahasa sebagai bentuk. Salah satu definisi tentang bahasa berbunyi: "bahasa adalah simbol vokal yang bersifat arbitrer yang digunakan manusia untuk berkomunikasi ...". Walaupun kata "komunikasi" sudah masuk ke dalam definisi tersebut, perhatian yang lebih serius terhadap pengajaran bahasa untuk komunikasi belum terarah. Pendekatan formalis menghasilkan berbagai metode. Pada awal tahun 60-an, di Salatiga mulai digodok materi pengajaran Bahasa Inggris di SMP lengkap dengan saran metode serta alat bantu belajarnya, mengekor pada Materi Michigan (Michigan Materials) dan diberi label dengan 'oral-aural approach'. Kebesaran kaum struktural seakan menelan berbagai pandangan, namun keberhasilannya dipertanyakan karena pengajarannya dianggap terlalu mekanistis dan melupakan faktor komunikasi.

2. Pembelajaran dan Pemerolehan BahasaMula-mula semua proses dari tidak berbahasa (baik untuk B1 maupun B2) disebut pembelajaran bahasa (language learning). Banyak teori yang dikemukakan tentang bagaimana seorang bayi "belajar" bahasa pertamanya. Orang asing dewasa yang sudah(beberapa) B2, ketika hendak belajar Bahasa Indonesia akan menjalani proses pembelajaran Bahasa Indonesia melalui pengajaran Bahasa Indonesia di dalamsetting Indonesia, walaupun ketika dia sudah menguasai Bahasa Indonesia kelak, sering juga dikatakan bahwa dia telah 'memperoleh' (acquire) Bahasa Indonesia.

3. Teori tentang Pembelajaran Bahasa KeduaStephen Krashen (1984) menyatakan bahwa teori pemerolehan bahasa kedua

adalah bagian dari linguistik teoritik karena sifatnya yang abstrak. Menurutnya, dalam pengajaran bahasa kedua, yang praktis adalah teori pemerolehan bahasa yang baik.

(i) Pemerolehan dan Pembelajaran BahasaIstilah pemerolehan bahasa dipakai untuk membahas penguasaan bahasa pertama di kalangan anak-anak karena proses tersebut terjadi tanpa sadar, sedangkan pemerolehan bahasa kedua (Second Language Learning) dilaksanakan dengan sadar. Pada anak-anak, error (kegalatan) dikoreksi oleh lingkungannya secara tidak formal, sedangkan pada orang dewasa yang belajar B2, kegalatan diluruskan dengan cara berlatih ulang.

(ii) Hipotesis mengenai Pemantau (Monitor)Pembelajaran berfungsi sebagai pemantau. Pembelajaran tampil untuk menggantikan bentuk ujaran sesudah ujaran dapat diproduksi berdasarkan sistem. Konsep tentang Pemantau cukup rumit dan ditentang oleh Barry McLaughlin karena gagal dalam hal ketidaktuntasan Pemantau dalam melakukan pemantauan terhadap pemakaian B2. Penerapan Pemantau dapat menghasilkan efektifitas jika pemakai B2 memusatkan perhatian pada bentuk yang benar. Syarat memahami kaidah merupakan syarat paling berat sebab struktur bahasa sangat rumit. McLaughlin menyatakan bahwa : (1) Monitor jarang dipakai di dalam kondisi normal pemakaian dan dalam pemerolehan B2, (2) Monitor secara teoritis merupakan konsep yang tak berguna.

(iii) Hipotesis Input (Masukan)Si-Belajar B2 dianggap mengalami suatu perkembangan dari tahapan i (kompetensi sekarang) menuju tahapan i + l. Untuk menuju tahapan i+l dituntut suatu syarat bahwa Si-Belajar sudah mengerti mengenai masukan yang berisi i+l itu.

(iv) Hipotesis Filter AfektifBagaimana faktor-faktor afektif mempunyai kaitan dengan proses pemerolehan bahasa. Konsep ini dikemukakan oleh Dulay dan Burt (1977).

(v) Hipotesis Analisis KontrastifMenurut Hipotesis ini sistem yang berbeda dapat menghasilkan masalah, sedangkan sistem yang sama atau serupa menyediakan fasilitas atau memudahkan Si-Belajar memperoleh B2. Namun Hipotesis ini ternyata juga dianggap kurang efektif karena di dalam banyak kasus sistem yang berbeda justru tidak menimbulkan masalah dan sebaliknya.

(vi) InterlanguageInterlanguage adalah bahasa yang mengacu kepada sistem bahasa di luar sistem B1 dan kedudukannya berada di antara B1 dan B2 (Selinker, 1972). Istilah lain adalah approximative system dan idiosyncratic dialect. Kajian studinya menghasilkan analisis kegalatan (error analysis) dan membedakannya dengan mistake.

(vii) Tahapan Perkembangan Bahasa-antaraSecara ringkas teori tahapan perkemba-ngan bahasa antara menurut Corder (1973) dapat dirangkum sebagai berikut. a. Tahapan Kegalatan Acak Pertama Si-Belajar berkata *Mary cans dance" sebentar kemudian diganti menjadi "Mary can dance". b. Tahapan kebangkitan Pada tahapan ini Si-Belajar mulai menginternalisasi beberapa kaidah bahasa kedua tetapi ia belum mampu membetulkan kesalahan yang dibuat penutur lain. c. Tahapan Sistematik Si-Belajar sudah mampu menggunakan B2 secara konsisten walaupun kaidah B2 belum sepenuhnya dikuasainya. d. Tahapan Stabilisasi Si-Belajar relatif menguasai sistem B2 dan dapat menghasilkan bahasa tanpa banyak kegalatan atau pada tingkatpost systematic menurut Corder.

(viii) Bahasa PidginMasyarakat pengguna B2 juga sering melahirkan bahasa pidgin yaitu bahasa campuran yang terjadi akibat penerapan dua atau tiga bahasa di dalam percakapan sehari-hari.

4. Dua Pendekatan untuk Investigasi Pemerolehan B2Rod Ellis dan Celia Roberts (Rod Ellis, ed., 1987) mengemukakan dua pendekatan untuk investigasi pemerolehan B2. Pendekatan pertama mencoba mencari jawab atas pertanyaan . Bagaimana studi mengenai pemerolehan B2 dapat menjelaskan masalah pemerolehan kode linguistik?. Pendekatan kedua mencari jawab atas pertanyaan "Bagaimana konteks sosial memberi tahu kita mengenai cara Si-Belajar mengembangkan kompetensi

komunikatif di dalam B2?" Pada dasarnya, menurut para ahli sosiolinguistik, bahasa menyangkut pilihan. Kita kemudian harus memahami apa yang dimaksud dengan konteks dengan memperhatikan baik faktor linguistik maupun ekstra-linguistik yang mempengaruhi pilihan bahasa. Istilah konteks sering didefinisikan dengan acuan kepada situasi aktual dimana suatu peristiwa komunikasi berlangsung. Padahal jelas tidak semua yang ada pada situasi tersebut akan mempengaruhi pilihan bahasa, hingga bagi seorang sosiolinguis, 'konteks' terdiri dari aspek-aspek situasi yang mengaktifkan pilihan. Kita harus mengenal bahwa 'situasi aktual' (lihat Lyons, 1977) terdiri dari baik elemen linguistik maupun ekstralinguistik. Umumnya unsur linguistik disebut konteks linguistik dan unsur ekstralinguistik disebut konteks situasional. Konsep mengenai kompetensi komunikatif pertama kali diperkenalkan oleh Hymes di pertengahan tahun 1960. Hymes tertarik pada tingkat kompetensi yang diperlukan penutur agar mereka mendapat keanggotaan dari komunitas ujaran tertentu. Dia meneliti mengenai faktor-faktor apa saja, terutama faktor sosio-budaya yang diperlukan selain kompetensi gramatikal oleh penutur yang terlibat di dalam interaksi bermakna. Hymes menunjukkan bagaimana variasi bahasa berkorelasi dengan norma-norma sosial dan budaya dari interaksi publik tertentu, dari peristiwa ujaran (speech event). Namun dia tidak melihat pada cara-cara spesifik dimana interaksi terjadi. Barulah Schegloff (1982) yang meneliti percakapan sebagai suatu 'ongoing accomplishment'. Ternyata percakapan menunjukkan secara sistematis diorganisir para penutur dan organisasi ini bersifat mendasar untuk menjelaskan bagaimana interaksi dilakukan. Gumperz (1984) meninjau kembali pendapat mengenai kompetensi komunikatif dan menyarankan bahwa kompetensi tersebut tidak didefinisikan dalam hubungannya dengan aturan yang harus dipakai oleh para penutur, seperti yang dilakukan oleh ahli sosiolinguistik yang lain. Menurut Gumperz kompetensi komunikatif berkaitan dengan hal menciptakan kondisi yang memungkinkan interpretasi yang dipahami bersama (shared). Canale (1983b) di dalam perspektif pedagogis dari kompetensi komunikatif mengakui bahwa kita tahu hanya sedikit tentang aspek-aspek yang berbeda dari kompetensi berinteraksi. Namun, Canale dan Swain (1980) serta Canale (1983b) dalam Ellis (ed., 1987) mengusulkan kerangka kerja bagi kompetensi komunikatif yang dapat menolong di dalam mengkategorikan penggunaan bahasa Si-Belajar untuk tujuan-tujuan assessment. Konteks terdiri dari apa yang diciptakan di dalam interaksi dan apa yang dibawa ke dalamnya dengan cara presuposisi mengenai dunia, pengetahuan interaksi dan pengetahuan mengenai kode linguistik. Pemakai bahasa perlu mengembangkan baik pengetahuannya sendiri dan juga keterampilan untuk melaksanakan interaksi dan mempertahankan keterlibatannya di dalam percakapan. Ini semua

dikembangkan secara interaksional. Tidak banyak riset yang mengungkapkan bagaimana kompetensi komunikatif secara interaksional diselesaikan, baik interaksi lisan maupun interaksi dengan teks tertulis. Hal ini agak mengherankan sebab secara luas diakui bahwa interaksi menyediakan kesempatan bagi kompetensi komunikatif, dan suasana kelas, bagaimana pun formal serta jauh dari realitas interaksi sehari-hari yang terjadi di luar kelas, yang pada dasarnya adalah lingkungan interaktif.

5. Situasi Pengajaran BahasaApa pun teori mengenai bagaimana seseorang memperoleh B-2, buku-buku metodologi pengajaran bahasa (yang dapat diasumsikan sebagai pengajaran bahasa sebagai B2, pada dasarnya tetap memperhatikan bentuk, kemudian baru fungsi. Ini jelas terlihat pada buku panduan mengajar bahasa yang berjudul A Practical Handbook of Language Teaching (David Cross, 1991) yang dapat dianggap sebagai aplikasi dari teori-teori tentang pemerolehan bahasa. Dari realitas yang dapat diambil dari salah satu contoh buku ajar berjudul Making Waves (Loader, dan Wilkinson, 1991) yang masing-masing jilid terdiri dari 30 unit, pada tiap unitnya disampaikan masalah dan lingkup yang dibahas, yakni : struktur, topik, fungsi, ucapan, mendengarkan, membaca, menulis, berbicara, serta menolong diri sendiri (self-help). Dari contoh tersebut nampak, walaupun buku tersebut memuat materi yang yung berupa fungsi. Nampaknya latihan-latihan yang dulunya dianggap terlalu mekanistis, penggunaan lab bahasa yang merupakan produk aural-oral approach, tetap dijalankan, dengan langkah perkembangan selanjutnya menuju komunikasi yang nyata di dalam konteks. Namun, karena konteksnya adalah tetap konteks ruang kelas, dan konteks kehidupan sehari-hari hanya ditampilkan di dalam rekaman (kemudian juga di dalam rekaman video), maka tetap diharapkan Si-Belajar kelak dapat terjun ke dalam konteks kehidupan sehari-hari yang sesungguhnya.

6. Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Orang AsingTeori yang sudah dikemukakan di atas tentunya dapat diterapkan dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing. Teori-teori tersebut harus dipilah-pilah agar dapat digunakan untuk pelajaran tertentu. Di masa lalu kita mengenal istilah Eclectic Method, yang sering dengan gampang diterjemahkan dengan Metode Campuran. Kita tahu bahwa Translation Method, misalnya, dianggap tidak baik untuk mengajarkan B2, namun untuk materi pelajaran tertentu, metode itu dianggap lebih efektif. Tentu saja pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing juga menghadapi sejumlah masalah, seperti masalah perbedaan struktur bahasa dan masalah budaya. Sebagai contoh, pertanyaan:

"Apa kabar? Anak-anak sehat semua?" tidak mengharapkan jawaban seperti, "Oh, anak saya suka menangis dan masih ngompol. Sekarang dia sedang sakit." Kelebihan pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing dengan setting belajar di Indonesia cukup banyak, terutama penyediaan konteks komunikasi sehari-hari. Konteks ruang kelas, atau ruang kursus, dengan segera dapat dihubungkan dengan konteks sosial. Jika pengajaran tersebut berlangsung di Bali, maka guru harus memikirkan untuk memperkenalkan bahasa Indonesia variasi Bali, dan bukan sekedar bahasa Indonesia formal. Kalau tidak, Si-Belajar ketika berada di dalam masyarakat, selain akan menghadapi kesulitan seperti yang dicontohkan di atas, juga akan bingung dengan ungkapan khas bahasa Indonesia variasi Bali, seperti: . lagi dua hari. , 'kemarin lusa', 'dia dapat pulang', 'ini dapat minta' dan sebagainya. Namun karena Si-Belajar dapat segera terjun ke dalam konteks sosial komunikasi di dalam bahasa Indonesia variasi Bali, maka diharapkan dia dapat segera menyesuaikan diri dan mungkin dikoreksi oleh para penutur bahasa ini ketika mereka melakukan komunikasi. Teori apa pun yang dipakai, harus diingat bahwa untuk mencapai pemerolehan bahasa tetap diperlukan berbagai latihan yang mungkin agak berbau mekanistis, juga mempelajari tatabahasa bahasa Indonesia.

Bacaan pilihan:Cross, David. 1991. Practical Handbook of Language Teaching. London: Villiers House. Ellis, Rod, ed. 1987. Second Language Acquisition in Context. London: Prentice Hall International Ltd (UK). Huxley, Julie, et al. 1991. Making Waves. London: Penguin Group. Soenardji, Dr. 1989. Sendi-sendi Linguistika Bagi Kepentingan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pengem-bangan LPTK.

Dua komentar di atas sebenarnya mencerminkan dan mewakili kondisi proses pemerolehan bahasa asing, termasuk bahasa Inggris. Banyak orang selalu gagal belajar bahasa asing; bahasa Inggris misalnya. Sudah bertahun-tahun belajar, mereka tak kunjung memahami tatabahasa, tak cepat mempelajari pelafalan, dan susah merangkai kata, dan pada akhirnya susah bicara, membaca dan menulis dalam bahasa yang dimaksud.

Banyak pula orang bisa mempelajari bahasa asing dengan mudah dan nyaman dan menguasai serta mampu menggunakannya dengan fasih. Tuntas dengan satu bahasa asing, mereka mulai belajar bahasa asing lainnya, dan berhasil pula menguasai satu bahasa asing lain, demikian seterusnya. Sampai di titik ini, belajar bahasa asing kemudian jadi misteri bagi mereka yang terjebak dalam kubangan kesulitan belajar bahasa asing atau bahasa kedua. Benarkah ada misteri dalam proses belajar bahasa asing? Sebelumnya marilah kita simak dua istilah yang mungkin sering kita dengar tapi tidak bisa kita bedakan dengan baik, yakni bahasa asing (foreign language), dan bahasa kedua (second language). Ada banyak definisi tentang foreign language dan second language. Tapi, mudahnya begini : foreign language adalah bahasa yang tidak digunakan di negara seorang pelajar bahasa, sementara second language adalah bahasa lain selain bahasa aslinya yang dikuasai atau pelajari oleh seseorang. Jadi dalam pengertian sederhana, sebuah bahasa asing bisa menjadi bahasa kedua bagi seseorang. Bahasa kedua tidak selalu bahasa yang dipelajari di urutan kedua; bisa saja bahasa itu ada bahasa yang dipelajari atau dikuasai di urutan tiga, empat dan seterusnya. Kembali ke soal misteri belajar bahasa asing, merangkum sejumlah pendapat ahli sosiolinguistik (sosiologi bahasa), terkumpullah enam misteri kesulitan tersebut. Ke-enam misteri itu, seperti yang kita duga, berfokus pada proses pemerolehan bahasa asing sebagai bahasa kedua (second language acquisition). Ke-enam dimensi tersebut dibagi dalam dua kategori besar yakni (a) dimensi-dimensi yangmenentukan proses belajar bahasa asing, dan (b) ciri-ciri proses yang menetapkan sukses tidaknya pemerolehan bahasa asing. PROSES PEMEROLEHAN BAHASA ASING Pada dimensi-dimensi penentu proses pemerolehan bahasa, tersedia tiga misteri, yaitu : propensity, language faculty dan access to the language. Mari kita bincangan tiga misteri ini : Yang dimaksud propensity adalah kebutuhan atau desakan untuk mempelajari bahasa asing atau bahasa kedua. Desakan atau urgensi ini muncul karena kebutuhan integrasi sosial (pingin gaul, pingin bisa bergabung dengan komunitas, komunitas tertentu); kebutuhan berkomunikasi (pingin bisa menyatakan sesuatu dengan kata, susunan dan pelafalan yang tepat, pingin bisa menulis surat bisnis, pingin bias menulis laporan, pingin bisa berpidato dalam bahasa asing, dan sejenisnya); sikap terhadap bahasa termaksud (suka menggunakan

bahasa asing termaksud dalam ucapan atau tulisan) dan latar belakang pendidikan (makin tinggi tingkat pendidikan, makin tinggi pula keinginan dan desakan untuk belajar bahasa asing) Dimensi kedua penentu proses pemerolehan bahasa asing, yakni language faculty, menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan alamiah seseorang untuk belajar bahasa asing baik sebagai penutur atau sebagai pendengar. Language facultyjuga menyangkut aspek kemampuan seseorang dari segi language processor yang dimilikinya (kemampuan otak, sistem motorik, dan ketrampilan mengolah persepsi, dalam hal menghasilkan dan memahati materi linguistic tertentu), dan tersedianyapengetahuan dasar yang secara sadar ia pelajari dari orang lain, buku atau dari sumber-sumber lain. Dengan kata lain, language faculty menyangkut aspek biologis prosesor bahasa dan pengetahuan yang tersedia dalam benaknya. Dimensi ketiga penentu proses pemerolehan bahasa asing, yakni access to the language (akses terhadap bahasa termaksud), menyangkut banyaknya input yang diterima oleh seseorang, dan kesempatan untuk berkomunikasi. Tanpa unsur akses ini, prosesor bahasa sperti yang dimaksud di atas tidak berfungsi. Input artinya informasi yang diterima berbareng dengan input linguistik yang sempit. Untuk jelasnya, begini contohnya : Bayangkan Anda terkunci di sebuah ruangan selama seminggu bersama dengan dua orang yang berbahasa Spanyol. Semula Anda tidak paham apa yang dibicarakan dua orang tersebut. Lama-mana Anda mulai paham berdasarkan respon masing-masing orang itu. Anda bisa mendengar dan memahami, tetapi tidak bisa bicara (kalimat seperti ini sering saya dengar dari teman-teman yang mengaku bisa berbahasa Inggris pasif). Inilah yang disebut input sempit. Input yang lebih luas menyangkut pemahaman Anda akan elemen-elemen pembelajaran seperti pemahaman fonologi, morfologi, sintaks, kosakata dan sejenisnya. Peluang komunikasi juga punya peran penting dalam meningkatkan akses terhadap bahasa. Makin sering Anda bercas-cis-cus dengan penutur asli, makin banyak input yang Anda peroleh dan makin besar peluang Anda menggunakan semua input yang Anda miliki. PROFIL PEMEROLEHAN BAHASA ASING Tiga misteri berikutnya dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri atau karakteristik proses pemerolahan bahasa asing. Agar gampang, kita sebut saja profil pemerolehan bahasa asing. Misteri yang dimaksud adalah the structure of the process (struktur proses), tempo of acquisition (kecepatan pemerolehan), dan end state (berakhirnya proses).

Struktur proses pemerolehan bahasa ditandai oleh dua hal penting, yaknisinkronisasi dan variabilitas. Sinkronisasi adalah upaya menyelaraskan semua elemen pengetahuan bahasa untuk mencapai kemahiran berbahasa (proficiency). Bila Anda dengan mudah membedakan cara baca dan tulis bahasa Inggris live dan leave, kin dan keen, misalnya, maka Anda memiliki profil kemampuan fonologi yang apik. Bila gampang bagi Anda untuk tahu kapan menambahkan ed atau s/es di belakang sebuah kata kerja bahasa Inggris, atau faham perubahan bentuk benda dalam bahasa Jerman berdasarkan artikelnya, maka Anda memiliki profil morfologi yang yahud. Jika mudah bagi Anda menyusun kata yang benar dalam kalimat (tidak terbolak-balik), maka profil pemahaman sintaktik Anda bisa diandalkan. Apabila anda memilik banyak kosakata yang bisa digunakan untuk berkomunikasi, maka profil lexicon (kosa kata Anda) ciamik sekali. Variabilitas adalah perbedaan profil proses pemerolehan bahasa. Profil ini bisa berbeda karena komponen kebutuhan belajar, kendala biologis, tingkat pengetahuan, dan tersedianya input linguistik. Variabilitas demikian tidak selalu memiliki tingkat yang sama dalam satu individu pelajar, dan tidak selalu sama pula di antara dua pelajar. Kecepatan pemerolehan bahasa asing sangat menentukan sukses belajar bahasa asing. Bila Anda ditekan untuk segera belajar bahasa Jepang karena harus kuliah di Jepang, misalnya, tekanan itu akan mempercepat penguasaan bahasa Jepang Anda, asalkan aspek-aspek lainnya seperti prosesor bahasa dan akses Anda terhadap bahasa juga dalam kondisi prima. Terbatasnya akses dan peluang komunikasi bisa memperlambat pemerolehan bahasa. Soal prosesor bahasa dalam otak kita, belum jelas apakah kualitas prosesor bahasa bisa membantu kita ngebut belajar bahasa. Tapi para ahli menyiratkan bahwa memori yang lemah ikut andil memperlamban proses pemerolehan bahasa. Kebutuhan berkomunikasi akan terkatrol sejalan dengan peningkatan kemahiran dan peluangpeluang komunikasi. Orang Indonesia yang harus bekerja di Korea atau yang harus tinggal bersama suami Korea, misalnya, punya akses dan peluang komunikasi tinggi yang membuatnya cepat bisa bicara Korea). Idealnya, berakhirnya (end state) pemerolehan bahasa mencerminkan kesempurnaan penguasaan bahasa. Kesempurnaan ini tentu saja tidak mencakup varian-varian penguasaan bahasa seperti dialek, slang, idiom dan sejenisnya. Berhentinya proses pemerolehan bahasa sebelum tercapainya penguasaan bahasa disebut dengan istilahfossilization (fosilisasi). Fosilisasi, antara lain terjadi karena (a)

pelajar merasa tak perlu mengasah kemampuan pelafalan yang tak ia butuhkan untuk berkomunikasi, (b) pelajar tidak lagi berada atau berkomunikasi dari komunitas sosial bahasa tersebut, (c) prosesor bahasa pelajar mengalami perubahan, misalnya karena faktor usia, (d) dan pelajar sudah merasa sama mahirnya dengan penutur asing. Berakhirnya pemerolehan bahasa juga ditandai dengan fenomena backsliding (kemunduran), yakni mundurnya kemahiran ke tahap awal pemerolehan bahasa. Ini biasanya terjadi bila pembicara mengalami kelelahan otak setelah proses conversation yang panjang. Jadi, bila dalam setengah jam pertama Anda bisa bicara tangkas, akurat struktur dan lafalnya, pada menit-menit berikutnya Anda mulai belepotan, salah ucap dan sebagainya. Nah, enam misteri di atas bisa membantu pelajar untuk mengidentifikasi diri, dan selanjutnya untuk mengatasi kendala dan menghadapi tantangan belajar bahasa asing. Dengan sibakan misteri di atas, peminat bahasa asing bisa mulai mempersiapkan diri, menyesuaikan diri dan mengambil tindakan-tindakan seperlunya untuk mencapai tujuan belajar bahasa asing. Sangat saya hargai kesediaan Anda untuk membaca sampai titik ini. Domo arigatou gozaimashu. Xie Xie. Thank you very much. Khawp Khun Kap. Muchas Gracias. Vielen Dank. Eharisto Poli. Salamat. Merci beaucoup. Spasibo. Rujukan : - Klein, Wolfgang, Second Language Acquisition, Cambridge University Press, Cambridge, 1986. - Trudgill, Peter, Sociolinguistics An Introduction, Penguin Books, Ltd, Middlesex, 1979.Showing 1 - 20 of 974 for " Second language acquisition."

Second language research : methodology and design /by Mackey, Alison. Published 2005 Call Number: P118.2 M2354 2005 (LC) Located: Bass Library, Stacks

Not Checked OutBooks/Pamphlets

Preview from Google Books Login to add favorites

Theory construction in second language acquisitionby Jordan, Geoff. Published 2004 Call Number: Located: Yale Internet Resource Get full textOnlineLogin to add favorites

A philosophy of second language acquisitionby Johnson, Marysia, 1958- Published 2004 Call Number: None Located: Yale Internet Resource Online ContentOnlineLogin to add favorites

A philosophy of second language acquisitionby Johnson, Marysia, 1958- Published 2004 Call Number: None Located: Yale Internet Resource Online ContentOnlineLogin to add favorites

Expertise in second language teaching and learningPublished 2008 Call Number: None Located: Yale Internet Resource Online Content Online ContentOnlineLogin to add favorites

Language learning and teaching as social inter-actionPublished 2007 Call Number: None Located: Yale Internet Resource Online Content Online ContentOnlineLogin to add favorites

Child second language acquisition a bi-directional study of English and Italian tense-aspect morphology /by Rocca, Sonia. Published 2007 Call Number: None Located: Yale Internet Resource Get full textOnlineLogin to add favorites

Research in second language processing and parsing /Published 2010 Call Number: P118.2 .R467X 2010 (LC) Located: SML, Stacks, LC ClassificationBooks/Pamphlets

Preview from Google Books Login to add favorites

Second language learning theories /by Mitchell, Rosamond. Published 2004 Call Number: P118.2 .M58X 2004 (LC) Located: SML, Stacks, LC Classification Table of Contents or Publisher Notes

Books/PamphletsLogin to add favorites

Interlingual processes /Published 1989 Call Number: P118.2 I59 1989 (LC) Located: SML, Stacks, LC Classification Not Checked OutBooks/Pamphlets

Preview from Google Books Login to add favorites

A case for psycholinguistic cases /Published 1991 Call Number: P118 C375X 1991 (LC) Located: LSF- click "Place Requests" for delivery to any Yale library Not Checked OutBooks/PamphletsLogin to add favorites

Learning strategies in second language acquisition /by O'Malley, J. Michael. Published 1990 Call Number: P118.2 O43 1990 (LC) Located: Multiple Locations Not Checked OutBooks/Pamphlets

Preview from Google Books Login to add favorites

Agendas for second language literacy /by McKay, Sandra. Published 1993 Call Number: P118.2 M34X 1993 (LC) Located: SML, Stacks, LC ClassificationBooks/PamphletsLogin to add favorites

Linguistics and second language acquisition /by Cook, V. J. 1940- Published 1993 Call Number: P123 C595 1993 (LC) Located: SML, Stacks, LC ClassificationBooks/PamphletsLogin to add favorites

Current issues in European second language acquisition research /Published 1993 Call Number: P118.2 C85X 1993 (LC) Located: LSF- click "Place Requests" for delivery to any Yale library Not Checked OutBooks/Pamphlets

Preview from Google Books Login to add favorites

Second language acquisition : an introductory course /by Gass, Susan M. Published 2001 Call Number: P118.2 G37X 2001 (LC) Located: SML, Stacks, LC ClassificationBooks/Pamphlets

Preview from Google Books Login to add favorites

Second language acquisition and linguistic theory /Published 2000 Call Number: P118.2 S425X 2000 (LC) Located: SML, Stacks, LC Classification Not Checked OutBooks/PamphletsLogin to add favorites

The acquisition of a second writing system /by Sassoon, Rosemary. Published 1995 Call Number: Z40 S26 1995 (LC) Located: SML, Stacks, LC Classification Not Checked OutBooks/Pamphlets

Preview from Google Books Login to add favorites

La seconda lingua /by Pallotti, Gabriele. Published 1998 Call Number: P118.2 P35 1998 (LC) Located: LSF- click "Place Requests" for delivery to any Yale library Not Checked OutBooks/PamphletsLogin to add favorites

Cultural studies in the second language classroom : needs, problems and solutions /Published 1997 Call Number: P118.2 C82 1997 (LC) Located: LSF- click "Place Requests" for delivery to any Yale library Not Checked OutBooks/Pamphlets

Preview from Google Books

Second language research : methodology and design /by Mackey, Alison. Published 2005 Call Number: P118.2 M2354 2005 (LC) Located: Bass Library, Stacks Not Checked OutBooks/Pamphlets

Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing: Isu dan Realita

Prof. Dr. Fuad Adbul Hamied, M.A. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Makalah ini akan mengetengahkan gagasan pokok berkenaan dengan pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) yang sajiannya akan mencakupi landasan teoretis pengajaran bahasa asing, berbagai fenomena pengajaran BIPA, dan pemanfaatan media teknologi khususnya internet bagi pemelajaran BIPA. Pergeseran pengajaran bahasa ke arah yang interaktif memunculkan kajian yang melibatkan variabel lain seperti ciri masukan dan faktor lingkungan yang perlu dikaji dalam seleksi dan penyuguhan bahan belajar-mengajar. Prinsip-prinsip ini akan dilihat dari sisi relevansi dan fisibilitasnya bagi pengajaran BIPA, termasuk pemanfaatan akses ke wilayah rongga-siber untuk percepatan pemerolehan BIPA itu sendiri.

Pengajaran Bahasa AsingPembicaraan mengenai pengajaran bahasa tidak bisa dilepaskan dari konteks pembelajaran bahasa. Keduanya berkait erat dan melibatkan berbagai variabel yang jumlahnya banyak. Intinya adalah bahwa proses belajar mengajar bahasa itu bukan hal yang sederhana dan tidak bisa diamati sekedar sebagai potonganpotongan kegiatan mengeluarkan dan menimba bahan saja. Pengajaran bahasa asing, termasuk BIPA, sebagai kegiatan profesional telah melahirkan berbagai kerangka teoretis yang melibatkan berbagai disiplin. Antara tahun 1940 - 1960 tampak sekali adanya pandangan yang kokoh bahwa penerapan linguistik dan psikologi akan menjadi landasan terbaik guna memecahkan masalah pengajaran bahasa. Selanjutnya, lahirlah berbagai model yang melihat faktor-faktor berpengaruh dalam menelorkan pedagogi bahasa, seperti model dari Campbell, Spolsky, Ingram, dan Mackey (baca Stern, 1983). Pembelajaran bahasa sering hanya memusatkan perhatian pada tingkah linguistik saja dengan mengabaikan tingkah non-linguistiknya. Dalam konteks ini Bloomfield (1933:499) menyatakan bahwa Whoever is accustomed to distinguish between linguistic and non-linguistic behavior, will agree with the criticism that our schools deal too much with the former, drilling the child in speech response phases of arithmetic, geography, or history, and neglecting to train him in behavior toward his actual environment. Sistem pengajaran formal di sekolah dalam konteks pembelajaran bahasa hanya merupakan salah satu saja dari sekian banyak variabel terkait. Variabel lain yang patut dilihat adalah antara lain variabel pajanan (exposure), usia si pembelajar, dan tingkat akulturasi (Krashen, 1982:330).

Dalam berbagai penelitian yang dilaporkan oleh Krashen (1982:37-43), pajanan itu terkadang berkorelasi positif dan berarti dengan kemahiran berbahasa, tetapi terkadang juga tidak. Dalam hal variabel usia yang sering diasumsikan sebagai suatu penduga kemahiran B2, Krashen, Long dan Scarcella yang dikutip oleh Krashen (1982:43) mengetengahkan generalisasi berikut berdasarkan hasil penelitiannya: (1) Orang dewasa bergerak lebih cepat dari pada anak-anak dalam melampaui tahapan dini perkembangan B2-nya; (2) dengan waktu dan pajanan yang sama, anak yang lebih tua melalui proses pemerolehan bahasa lebih cepat dari pada anak yang lebih muda; dan (3) pemeroleh yang memulai pajanan alamiah terhadap B2 pada masa anak-anak pada umumnya mencapai kemahiran B2 lebih baik dari pada yang memulai pajanan alamiahnya sebagai orang dewasa. Tingkat akulturasi si pembelajar terhadap kelompok bahasa sasaran akan mengontrol tingkat pemerolehan bahasanya. Menurut Schumann yang diuraikan Larsen-Free man (di Bailey, Long & Peck (penyunting), 1983), akulturasi itu meliputi dua kelompok faktor: variabel sosial dan variabel afektif. Sedikit berbeda dengan Krashen, Titone (di Alatis, Altman, dan Alatis (penyunting), 1981:74-75) menduga bahwa motivasi, bakat bahasa, dan jumlah waktu yang dipakai dalam belajar bahasa merupakan tiga faktor yang paling menonjol yang memberikan ciri pada pembelajaran B2. Demikianlah, konteks pengajaran BIPA itu akan merambah ke berbagai hal terkait seperti ketersediaan dukungan lingkungan pembelajaran yang akan memberikan masukan/bahan yang akan dipelajari, guru dengan kemahiran berbahasa Indonesia yang memadai, siswa dengan segala cirinya, dan metode mengajar yang keefektifannya akan sangat bergantung pada semua faktor yang disebutkan terdahulu. Semuanya akan berinteraksi dalam membuat kegiatan belajar-mengajar BIPA menjadi betul-betul berhasil-guna.

Fenomena Pengajaran BIPATerdapat berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tawaran BIPA di berbagai negara. Di Australia, seperti yang dituturkan Sarumpaet (1988), hambatan khas terhadap perkembangan BIPA adalah "kurangnya lowongan pekerjaan atau jabatan untuk mereka yang mempunyai kemahiran dalam BI." Di Korea, menurut Young-Rhim (1988), "hambatan lain yang kami rasakan hanyalah mengenai materi pelajaran." Di Amerika Serikat, persoalan mutu pelajaran masih harus diupayakan pemecahannya, sebagaimana diutarakan oleh Sumarmo (1988). Di Jerman, karena minat mempelajari bahasa dan kebudayaan Indonesia terus meningkat, upaya perlu dilakukan "melalui peningkatan penulisan dan penerbitan buku tentang Indonesia baik dalam bahasa asing maupun dalam bahasa Indonesia" (Soedijarto, 1988). Di Jepang guru BIPA "membutuhkan kamus yang lengkap, terutama kamus yang lengkap dengan contoh pemakaian kata yang cukup banyak" (Shigeru, 1988). Dalam menanggapi kebutuhan akan ketersediaan bahan masukan bahasa

dalam konteks pengajaran BIPA ini, perlu diamati berbagai faktor: Misalnya, ada beberapa karakteristik masukan agar masukan itu bisa diperoleh secara cepat dalam konteks pemerolehan bahasa. Keterpelajaran masukan tersebut antara lain ditentukan dengan karakteristik: keterpahaman, kemenarikan dan/atau relevansi, keteracakan gramatis, dan kuantitas yang memadai (Krashen, 1982:62-73). Karakteristik keterpahaman bisa diamati dari perkembangan pemerolehan B2 atau bahasa asihg lewat bahan yang tidak bisa dipahami. Karakteristik kemenarikan dan/atau relevansi diharapkan bisa mendorong si pemeroleh untuk memusatkan perhatian pada isi ketimbang pada bentuk. Masukan yang menarik dan relevan diharapkan mampu menciptakan kondisi pada si pemeroleh sedemikian rupa sehingga ia "lupa" bahwa apa yang sedang diresepsinya diproduksi dalam bahasa kedua atau asing. Dalam situasi belajar mengajar di kelas karakteristik ini sukar dipenuhi, karena keterikatan waktu dan keharusan meliput bahan yang sudah tentera dalam silabus. Dalam halkarakteristik keteracakan gramatis, diketengahkan bahwa manakala masukan itu terpahami dan makna dinegosiasi secara berhasil, masukan yang diisitilahkan oleh Krashen sebagai i+1 itu akan secara otomatis hadir. Dalam membicarakan pengajaran dan pembelajaran bahasa, lingkungan, dalam pengertian "everything the language learner hears and sees in the new language," (Dulay, Burt, dan Krashen, 1982:13), merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kaitan dengan keberhasilan pembelajaran bahasa itu. Faktor lingkungan makro meliputi (1) kealamiahan bahasa yang didengar; (2) peranan si pembelajar dalam komunikasi; (3) ketersediaan rujukan konkret untuk menjelaskan makna; dan (4) siapa model bahasa sasaran (Dulay, Burt dan Krashen, 1982:14). Sedangkan faktor lingkungan mikro mencakup (1) kemenonjolan (salience), yaitu mudahnya suatu struktur untuk dilihat atau didengar; (2) umpan balik, yaitu tanggapan pendengar atau pembaca terhadap tuturan atau tulisan si pembelajar; dan (3) frekuensi, yaitu seringnya si pembelajar mendengar atau melihat struktur tertentu (Dulay, Burt, dan Krashen, 1982:32). Berkenaan dengan faktor lingkungan mikro, yang pertama adalah kemenonjolan (salience). Kemenonjolan ini merujuk pada kemudahan suatu struktur dilihat atau didengar. Ia adalah ciri tertentu yang tampaknya membuat suatu butir secara visual atau auditor lebih menonjol dari pada yang lain. Faktor lingkungan mikro yang kedua adalah umpan balik. Salah satu jenis umpan balik adalah pembetulan, yang lainnya adalah persetujuan atau umpan balik positif. Faktor lingkungan mikro yang ketiga adalah frekuensi yang diasumsikan sebagai faktor berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa. Makin banyak si pembelajar mendengar suatu struktur, makin cepat proses pemerolehan struktur itu. Tetapi penelitian lain ternyata telah menelorkan hasil yang berbeda (Dulay, Burt, Krashen, 1982:32-37). Ciri-ciri bahan masukan dalam pengajaran BIPA ini termasuk bahan masukan itu sendiri dalam bentuk bahan belajar-mengajar telah tersedia cukup banyak

bila guru BIPA mau melanglangbuana ke sana ke mari lewat berbagai media yang ada. Salah satu di antara media yang akan membantu pengembangan bahan ajar serta akan berkontribusi pada upaya peningkatan berbahasa itu adalah media teknologi, khususnya internet.

Pemanfaatan Media TeknologiDewasa ini, sebuah lembaga pendidikan tanpa dilengkapi jaringan internet akan kehilangan dinamikanya sendiri. Dalam lingkupnya yang lebih kecil, tampaknya sudah mulai diancangkan bahwa seorang akademisi tanpa menceburkan diri ke lautan internet, akan menciptakan rongga kekosongan yang banyak dalam bidangnya masing-masing. Jaringan internet bagi seorang ilmuwan dapat berfungsi sebagai gudang informasi yang sangat luas liputannya. Dalam kaitannya dengan pengembangan pendidikan, internet dapat berfungsi baik sebagai sumber bahan maupun sebagai penata kerangka pemahaman dan kerangka berpikir bagi pendidikan maupun peserta didik itu sendiri. Mengakses internet menjadi lebih mudah dewasa ini tentu saja dengan catatan si pengakses mempunyai penguasaan akan bahasa asing. Penyedia akses menjadi lebih banyak terus. Di kota Bandung saja, terdapat beberapa pilihan penyedia akses internet, seperti netura, sidola, melsa, pos-giro, dan ibm. Salah satu di antara aplikasi standar internet adalah the world wide web yang lebih dikenal dengan singkatan www. Jaringan ini merupakan database yang terdistribusi yang di dalamnya berisi informasi dengan berbagai bidang liputan. Bahkan jurnal-jurnal pun beribu jumlahnya dapat diakses melalui jaringan ini. Dalam sebutan sehari-hari kita mendengar kata e-mail, yang merupakan kependekan dari electronic mail. Istilah ini diindonesiakan menjadi surat elektronik, mungkin bagus kalau saya sebut saja ratnik. Sekarang alamat ratnik yang dimiliki seseorang sudah menjadi penanda kecanggihan orang tersebut. Dengan menggunakan ratnik ini, seseorang dapat menerima dan membalas surat atau mengirimkan makalah secara langsung tanpa harus pergi ke kantor pos. Seorang mahasiswa dapat berhubungan langsung dengan tidak terbatas oleh jarak ruang maupun perbedaan waktu kepada dosen atau pembimbingnya. Ratnik ini sangat efektif dan efisien. Dalam waktu yang singkat, bila si penerima membuka internetnya, surat kita telah sampai dengan lengkap. Biaya pengirimannya menjadi sangat murah. Sebuah surat yang panjang akan beralih ke providerdari komputer orang yang akan menerima surat itu hanya dalam beberapa detik saja, walaupun orang tersebut berada di balik belahan bumi ini. Biaya pengiriman kita sangat murah karena akan hanya setara dengan penggunaan telpon lokal beberapa detik saja, tak peduli ke bagian dunia mana kita mengirimkan surat tersebut. Bahkan dengan menggunakan aplikasi seperti telnet kita bisa berkomunikasi secara tertulis dengan orang yang mempunyai akses ke internet di manapun di dunia ini. Dengan memanfaatkan berbagai aplikasi yang ada dalam jaringan internet,

berbagai upaya pendidikan dapat lebih ditingkatkan. Tawaran program pendidikan, penggunaan perpustakaan, akses ke ensiklopedia, penjelajahan penerbitan, dan penelusuran jurnal ilmiah merupakan hal yang mudah diperoleh lewat internet itu. Bahkan guru bahasa Indonesia bagi penutur asing dapat mengggunakan berbagai sumber tentang Indonesia dan daerah melalui surat kabar atau majalah yang dapat diakses secara cuma-cuma diberbagai homepage, seperti majalah Tempo, surat kabar Republika dan Kompas. Bahan-bahan lainnya dapat diperoleh melalui akses ke berbagai lembaga yang telah memunculkan informasi dan produknya di jaringan internet. Semua sumber-sumber informasi yang dapat diakses itu memberi peluang bagi guru yang kreatif untuk menciptakan cara baru dalam menyajikan bahan pelajaran. Dari situ juga dapat dilakukan upaya pemilihan bahan utama maupun bahan pelengkap untuk kegiatan belajar mengajar. Bahkan dengan cara tersendiri, guru-guru dapat mengambil bahan tertentu dengan mencetaknya sebagai bahan yang dapat dimodifikasi guna kegiatan belajarmengajarnya. Laman APBIPA yang untuk sementara terdapat pada http://www.ikipbdg.ac.id/~apbipa atau http://www.apbipa.org mencoba antara lain memasukkan berbagai situs BIPA yang segera dapat dirambah oleh para anggotanya. Terdapat bahan substansial yang bisa diakses baik oleh guru maupun oleh pembelajar BIPA lewat internet. Misalnya, SEAsite yang dapat diakses lewat http://www.seasite.niu.edu/menyediakan latihan interaktif, teks bacaan dengan fasilitas kamus dan pertanyaan pilihan ganda. Ada juga bagian percakapan untuk pemahaman menyimak dan hubungan ke sumber berita dan seni budaya Indonesia. Guru dan pembelajar BIPA dapat pula memperoleh pengajaran tata bahasa dan pelafalan dengan format tradisional terdapat dalam laman Learn Indonesian in Seven Days dalam:http://infoweb.magi.com/~mbordt/bahasa8c.htm yang dikembangkan berdasarkan sebuak buklet sehingga belum mencakupi interaktivitas tetapi cukup berguna untuk menyegarkan pengetahuan. Bagi guru BIPA yang kekurangan ide, dapat memperoleh bantuan dari rancangan pengajaran terstruktur untuk menciptakan tugas interaktif di laman Ayo, Berselancar Berita Indonesia! dalam http://www.epubresearch.unisa.edu.au/ AFMLTA/resgideO.htm, sebuah gambaran kelas kolaboratif berdurasi 5 minggu yang dikembangkan berdasarkan telaahan terhadap koran-koran Indonesia on-line sebagai bahan gagasan yang dapat digunakan bagi pengembangan laman kelas. Di dalamnya ada juga 10 rencana pelajaran berdasarkan telaahan terhadap gunung berapi di Indonesia. Untuk melengkapi bahan kegiatan belajar-mengajar BIPA kita dapat mengakses berbagai bahan dan informasi lewat Jendela Indonesia dihttp://www.iit.edu/~indonesia/ dan Academic Internet Resources on Indonesia, The University of

Auckland dihttp://www.auckland.ac.nz/asi/indo/links2.html.

PenutupPembelajaran BIPA memerlukan upaya yang beraneka, seperti halnya pembelajaran bahasa asing lainnya. Berbagai variabel turut terlibat di dalam upaya membuat pembelajaran BIPA itu berhasil dengan baik. Bila kita mau memilih variabel kunci dari sekian banyak variabel itu, pilihan akan jatuh pada variabel guru. Guru BIPA yang baik akan menjadi model bagi muridmuridnya. Guru yang baik akan berupaya memanfaatkan segala fasilitas dan peluang yang ada dalam membuat kegiatan belajar-mengajarnya berhasil guna. Termasuk di dalam upaya ini ialah kemauan guru BIPA untuk memanfaatkan berbagai masukan bahasa Indonesia dari berbagai media teknologi, khususnya internet. Dengan itu, kekurangan bahan dan model berbahasa Indonesia akan teratasi.

ReferensiAbdul-Hamied, F. 1988. Keterpelajaran dalam Konteks Pemerolehan Bahasa. Makalah Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa II Unika Atmajaya, Jakarta, 23-24 Agustus. Abdul-Hamied, F. 1997. Pengembangan Pendidikan Bahasa dan Seni lewat Medium Internet. Makalah Seminar Pemanfaatan Internet, FPBS IKIP Bandung 26 Maret 1997. Alatis, J.E. et.al. (eds). 1981. The second language classroom; directions for the 1980's. Bailey, K.M., M.H. Long, & S. Peck (penyunting). 1983. Second Language Acquisition Studies. Rowley: Newbury House Publishers. Bloomfield, L. 1933, 1966. Language. New York: Holt, Rhinehart and Winston. Coleman, H. (penyunting). 1996. Society and the Language Classroom. Cambridge: Cambridge University Press. Dulay, H., M. Burt, & Krashen, S. 1982. Language Two. New York: Oxford University Press. Felix, U. 1998. Virtual language learning: finding the gems among the pebbles. Melbourne: The National Languages and Literacy Institute of Australia Ltd. Krashen, S.D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Pergamon Press. Ohmae, K. 1995. The end of the nation state. London: Harper Collins Publishers.

Richards, J.C. 1998. Beyond Training. Cambridge: Cambridge University Press. Sarumpaet, J.P. 1988. Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Shigeru, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Bahasa dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soedijarto. 1988. Pembinaan Bahasa Indonesia di Luar Negeri sebagai Bagian dari Upaya Diplomasi Kebudayaan: Sebuah Pengalaman dari Republik Federal Jerman (1983-1987). Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. London: Oxford University Press. Sumarmo, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Amerika Serikat. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Warschauer, M. & Kern, R. (eds.). 2000. Network-based language teaching: concepts and practice. Cambridge: Cambridge University Press.

RSS Home About About About About About About Catatan Redaksi Tips & Trik Penulisan di Wartawarga

PENGARUH BAHASA ASING DALAM PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIAApril 3rd, 2011 Related Filed Under BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Setiap negara mempunyai media komunikasi yang mana dapat meperlancar suatu hubungan antar individu. Alat komunikasi ini kita sebut bahasa. Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya. Bahasa Indonesia merupakan media komunikasi yang digunakan oleh rakyat Indonesia dalam berbhasa antar daerah. Bahasa Indonesia juga bisa disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia sudah dikenal dari anak-anak hingga dewasa karena merupakan suatu media yang menasional. Keadaan ini sungguh memprihatinkan. Jika generasi penerus masa depan bangsa Indonesia sudah tidak bisa menghargai bahasa sendiri maka bahasa Indonesia tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai bahasa Nasional. Sudah saatnya pemerintah bertindak dalam menyelamatkan bahasa Indonesia dari keterpinggiran. Setidaknya penyelamatan ini dimulai dari pemerinta uang mengeluarkan kebijakan agar Bahasa Indonesia tetap dapat menjalankan fungsinya walaupun terdapat sekolah yang di anggap memenuhi standart internasional. Tidak hanya pemerintah tetapi masyarakat yang berpendidikan harus membantu dalam menyelamatkan bahasa Indonesia, agar bahasa Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sehingga Bangsa Indonesia bisa maju dengan tetap menghargai bahasa sendiri. B. RUMUSAN MASALAH Bagaimana cara menyamakan kedudukan antara Bahasa Asing dan Bahasa Nasional ? Bagaimana jati diri Bangsa Indonesia yang membedakannya dengan Bangsa lain? Bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia? C. TUJUAN 1. Untuk mengetahui cara menyamakan kedudukan Bahasa asing dengan Bahasa nasional 2. Untuk mengetahui jati diri Bangsa Indonesia 3. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam perkembangannya saat ini BAB II PEMBAHASAN A. Kedudukan Bahasa Nasional dan Bahasa Asing Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia merupakan bahasa asing pertama. Kedudukan tersebut berbeda dengan bahasa kedua. Mustafa dalam hal ini menyatakan bahwa bahasa kedua adalah bahasa yang dipelajari anak setelah bahasa ibunya dengan ciri bahasa tersebut digunakan dalam lingkungan masyarakat sekitar. Sedangkan bahasa asing adalah bahasa negara lain yang tidak digunakan secara umum dalam interaksi sosial. Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia tersebut mengakibatkan jarang digunakannya Bahasa Inggris dalam interaksi sosial di lingkungan anak. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Inggris karena pemerolehan bahasa asing bagi anak berbanding lurus dengan volume, frekuensi dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan program pembelajaran dengan pengantar Bahasa Inggris tersebut mendapat berbagai kendala mengingat kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia sebagai first foreign languange (bahasa asing pertama).

Artinya, Bahasa Inggris hanya menjadi bahasa pada kalangan tertentu, tidak digunakan oleh masyarakat umum seperti jika kedudukannya sebagai bahasa kedua. Hal ini menyebabkan kurangnnya interaksi anak terhadap Bahasa Inggris. Selain itu terdapat juga berbagai pendapat mengenai pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing yang bisa mempengaruhi perkembangan bahasa ibu. Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa secara umum terjadi masalah jika anak dikenalkan pada dua bahasa secara bersamaan pada usia dini. Terutama ketika dikenalkan pada usia pra sekolah setelah bahasa ibu sudah sering digunakan. Pendapat lainnya menjelaskan bahwa jika bahasa kedua dikenalkan sebelum bahasa pertama benar-benar terkuasai, maka bahasa pertama perkembangannya akan lambat dan bahkan mengalami regresi. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa bahasa kedua akan terperoleh ketika bahasa pertama sudah dikuasai. Berbagai pendapat tersebut menjadi permasalahan tersendiri mengenai pembelajaran anak usia dini yang menggunakan Bahasa Inggris dalam konteks Bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia. Perlu pengembangan program yang mapan dan berkesinambungan untuk menciptakan suatau program yang memang efektif untuk diterapkan di lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia, mengingat kedudukan Bahasa Inggris itu sendiri sebagai first foreign language. Jati Diri Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah okok tertentu yang membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya di dunia ini, baik bahasa asing maupun bahasa daerah. Dengan ciri-ciri umum dan kaidah0kaidah pokok ini pulalah dapat dibedakan mana bahasa Indonesia dan mana bahasa asing ataupun bahasa daerah. Oleh karena itu, ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok tersebut merupakan jati diri bahasa Indonesia. Ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok yang dimaksud adalah antara lain sebagai berikut. a. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jenis kelamin. Kalau kita ingin menyatakan jenis kelamin, cukup diberikan kata ketarngan penunjuk jenis kelamin, misalnya: - Untuk manusia dipergunakan kata laki-laki atau pria dan perempuan atau wanita. - Untuk hewan dipergunakan kata jantan dan betina. Dalam bahasa asing (misalnya bahasa Ingris, bahasa Arab, dan bahasa Sanskerta) untuk menyatakan jenis kelamin digunakan dengan cara perubahan bentuk. Contoh: Bahasa Inggris : lion lioness, host hostess, steward -stewardness. Bahasa Arab : muslimi muslimat, mukminin mukminat, hadirin hadirat Bahasa Sanskerta : siswa siswi, putera puteri, dewa dewi. . Dari ketiga bahasa tersebut yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah beberapa kata yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta; sedangkan perubahan bentuk dalam bahasa Inggris tidak pernah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penyerapan dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta pun dilakukan secara leksikal, bukan sistem perubahannya. Dengan demikian, dalam bahasa Arab, selain kata muslim, diserap juga kata muslimin dan muslimat; selain mukmin, diserap juga kata mukminin dan mukminat; selain hadir (yang bermakna datang, bukan orang yang datang), diserap juga kata hadirin dan hadirat. Dalam bahasa Sanskerta, selain dewa, diserap juga dewi; selain siswa diserap juga siswi. Karena sistem perubahan bentuk dari kedua bahasa tersebut tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia, maJati Diri Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi. Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia perlu dibina dan dimasyarakatkan oleh setiap warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan agar bangsa Indonesia tidak terbawa arus oleh pengaruh dan budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dan (bahkan) tidak cocok dengan bahasa dan budaya bangsa Indonesia. Pengaruh dari luar atau pengaruh asing ini sangat besar kemngkinannya terjadi pada era globalisasi ini. Batas antarnegara yang sudah tidak jelas dan tidak ada lagi, serta pengaruh alat komunikasi yang begitu canggih harus dihadapi dengan mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, termasuk jati diri bahasa Indonesia. Sudah barang tentu, hal ini semua menyangkut tentang kedisiplinan berbahasa nasional, yaitu pematuhan aturan-aturan yan berlaku

dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan siatuasi dan kondisi pemakaiannya. Dengan kata lain, pemakai bahasa Indonesia yang berdisiplin adalah pemakai bahasa Indonesia yang patuh terhadap semua kaidah atau aturan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Seiap warga negara Indonesia, sebagai warga masyarakat, pada dasarnya adalah pembina bahasa Indonesia. Hal ini tidak berlebihan karena tujuan utama pembinaan bahasa Indonesia ialah menumbuhkan dan membina sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Untuk menyatakan sikap positif ini dapat dilakukan dengan (1) sikap kesetiaan berbahasa Indonesia dan (2) sikap kebanggaan berbahasa Indonesia. Sikap kesetiaan berbahasa Indonesia teruangkap jika bangsa Indonesia lebih suka memakai bahasa Indonesia daripada bahasa asing dan bersedia menjaga agar pengaruh asing tidak terlalu berlebihan. Sikap kebanggan berbahasa Indonesia terungkap melalui kesadaran bahwa bahasa Indonesia pun mampu mengungkapkan konsep yang rumit secara cermat dan dapat mengungkapkan isi hati yang sehalus-halusnya. Yang perlu dipahami adalah sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini tidak berarti sikap berbahasa yang tertutup dan kaku. Bangsa Indonesia tidak mungkin menuntut kemurnian bahasa Indonesia (sebagaimana aliran purisme) dan menutup diri dari saling pengaruh dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus bisa membedakan mana pengaruh yang positif dan mana pengaruh yang negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Sikap positif seperti inilah yang bisa menanamkan percaya diri bangsa Indonesia bahwa bahasa Indonesia itu tidak ada bedanya dengan bahasa asing lain. Masing-masing bahasa mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia memberikan sumbangan yang signifikan bagi terciptanya disiplin berbahasa Indonesia. Selanjutnya, disiplin berbahasa Indonesia akan membantu bangsa Indonesia untuk mempertahankan dirinya dari pengaruh negatif asing atas kepribadiannya sendiri. Hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi pergaulan antarbangsa dan era globalisasi ini. Di samping itu, disiplin berbahasa nasional juga menunjukkan rasa cinta kepada bahasa, tanah air, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap warga negara Indonesia mesti bangga mempunyai bahasa Indonesia dan lalu menggunakannya dengan baik dan benar. Rasa kebanggaan ini pulalah yang dapat menimbulkan rasa nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang mendalam. Setiap warga negara yang baik mesti malu apabila tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sikap pemakai bahasa Indonesia demikian ini merupakan sikap yang positif, baik, dan terpuji. Sebaliknya, apabila yang muncul adalah sikap yang negatif, tidak baik, dan tidak terpuji, akan berdampak pada pemakaian bahasa Indonesia yang kurang terbina dengan baik. Mereka menggunakan bahasa Indonesia asal orang mengerti. Muncullah pemakaian bahasa Indonesia sejenis bahasa prokem, bahasa plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung perkembangan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mereka tidak lagi memperdulikan pembinaan bahasa Indonesia. Padalah, pemakai bahasa Indonesia mengenal ungkapan Bahasa menunjukkan bangsa, yang membaw pengertian bahwa bahasa yang digunakan akan menunjukkan jalan pikiran si pemakai bahasa itu. Apabila pemakai bahasa kurang berdisiplin dalam berbahasa, berarti pemakai bahasa itu pun kurang berdisiplin dalam berpikir. Akibat lebih lanjut bisa diduga bahwa sikap pemakai bahasa itu dalam kehidupan sehari-hari pun akan kurang berdisiplin. Padahal, kedisiplinan itu sangat diperlukan pada era globalisasi ini. Lebih jauh, apabila bangsa Indonesia tidak berdisiplin dalam segala segi kehidupan akan mengakibatkan kekacauan cara berpikir dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Apabila hal ini terjadi, kemajuan bangsa Indonesia pasti terhambat dan akan kalah bersaing dengan bangsa lain. Era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit. Untuk itu, bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dengan baik dan penuh perhitungan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui jati diri bahasa. Jati diri bahasa Indonesia memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sederhana, Tatabahasanya mempunyai sistem sederhana, mudah dipelajari, dan tidak rumit. Kesederhanaan dan ketidakrumitan inilah salah satu hal yang mempermudah bangsa asing ketika mempelajari bahasa Indonesia. Setiap bangsa asing yang mempelajari bahasa Indonesia dapat menguasai dalam waktu yang cukup singkat. Namun, kesederhaan dan ketidakrumitan tersebut tidak mengurangi kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam pergaulan dan dunia kehidupan bangsa Indonesia di tengah-tengah pergaulan

antarbangsa. Bahasa Indonesia telah membuktikan diri dapat dipergunakan untuk menyampaikan pikiran-pikiran yang rumit dalam ilmu pengetahuan dengan jernih, jelas, teratur, dan tepat. Bahasa Indonesia menjadi ciri budaya bangsa Indonesia yang dapat diandalkan di tengah-tengah pergaulan antarbangsa pada era globalisasi ini. Bahkan, bahasa Indonesia pun saat ini menjadi bahan pembelajaran di negara-negara asing seperti Australia, Belanda, Jepanh, Amerika Serikat, Inggris, Cina, dan Korea Selatan. ka tidaklah mungkin kita menyatakan kuda betina dengan bentuk kudi atau kudarat; domba betina dengan bentuk kata dombi atau dombarat. Untuk menyatakan jenis kelamin tersebut dalam bahasa Indonesia, cukup dengan penambahan jantan atau betina, yaitu kuda jantan, kuda betina, domba jantan, domba betina. Oleh karena itu, kaidah yang berlaku dalam bahasa Arab dan bahasa Sanskerta, dan juga bahasa Inggris tidan bisa diterapkan ke dalam kaidah bahasa Indonesia. Kalau dipaksakan, tentu struktur bahasa Indonesia akan rusak, yang berarti jati diri bahasa Indonesia akan terganggu. b. Bahasa Indonesia mempergunakan kata tertentu untuk menunjukkan jamak. Artinya, bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan jamak. Sistem ini pulalah yang membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa sing lainnya, misalnya bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Arab, dan bahasabahasa lain. Untuk menyatakan jamak, antara lain, mempergunakan kata segala, seluruh, para, semua, sebagian, beberapa, dan kata bilangan dua, tiga, empat, dan seterusnya; misalnya: segala urusan, seluruh tenaga, para siswa, semua persoalan, sebagian pendapat, beberapa anggota, dua teman, tiga pohon, empat mobil. Bentuk boy dan man dalam bahasa Inggris yang berubah menjadi boys dan men ketika menyatakan jamak, tidak pernah dikenal dalam bahasa Indonesia. Bentuk bukus (jamak dari kata buku), mahasiswas (jamak dari mahasiswa), dan penas (jamak dari pena), misalnya, tidak dikenal dalam bahasa Indonesia karena memang bukan kaidah bahasa Indonesia. c. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk menyatakan waktu. Kaidah pokok inilah yang juga membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa asing lainnya. Dalam bahasa Inggris,misalnya, kita temukan bentuk kata eat (untuk menyatakan sekarang), eating (untuk menyatakan sedang), dan eaten (untuk menyatakan waktu lampau). Bentukan kata seperti ini tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Bentuk kata makan tidak pernah mengalamai perubahan bentuk yang terkait dengan waktu, misalnya menjadi makaning (untuk menyatakan waktu sedang) atau makaned (untuk menyatakan waktu lampau). Untuk menyatakan waktu, cukup ditambah kata-kaa aspek akan, sedang, telah, sudah atau kata keterangan waktu kemarin, seminggu yang lalu, hari ini, tahun ini, besok, besok lusa, bulan depan, dan sebagainya. d. Susunan kelompok kata dalam bahasa Indonesia biasanya mempergunakan hukum D-M (hukum Diterangkan Menerangkan), yaitu kata yang diterangkan (D) di muka yang menerangkan (M). Kelompok kata rumah sakit, jam tangan, mobil mewah, baju renang, kamar rias merupakan contoh hukum D-M ini. Oleh karena itu, setiap kelompok kata yang diserap dari bahasa asing harus disesuaikan dengan kaidah ini. Dengan demikian, bentukbentuk Garuda Hotel, Bali Plaza, International Tailor, Marah Halim Cup, Jakarta Shopping Center yang tidak sesuai dengan hukum D-M harus disesuaikan menjadi Hotel Garuda, Plaza Bali, Penjahit Internasional, Piala Marah Halim, dan Pusat Perbelanjaan Jakarta. Saya yakin, penyesuaian nama ini tidak akan menurunkan prestise atau derajat perusahaan atau kegiatan tersebut. Sebaliknya, hal inilah yang disebut dengan penggunaan bahasa Indonesia yang taat asas, baik dan benar. e. Bahasa Indonesia juga mengenal lafal baku, yaitu lafal yang tidak dipengaruhi oleh lafal asing dan/atau lafal daerah. Apabila seseorang menggunakan bahasa Indonesia lisan dan lewat lafalnya dapat diduga atau dapat diketahui dari suku mana ia berasal,maka lafal orang itu bukanlah lafal bahasa Indonesia baku. Dengan kata lain, kata-kata bahasa Indonesia harus bebas dari pengaruh lafal asig dan/atau lafal daerah. Kesulitan yang dialami oleh sebagian besar pemakai bahasa Indonesia adalah sampai saat ini belum disusun kamus lafal bahasa Indonesia yang lengkap. Akibatnya, sampai sekarang belum adapatokan yang jelas untuk pelafalan kata peka, teras, perang, sistem, elang. Tetapi, pengucapan semangkin (untuk semakin), mengharapken (untuk

mengharapkan), semua (untuk semua), mengapa (untuk mengapa), thenthu (untuk tentu), therima kaseh (untuk terima kasih), mBandung (untuki Bandung), dan nDemak (untuk Demak) bukanlah lafal baku bahasa Indonesia. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia Secara formal sampai saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan, yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi. Dalam perkembangannya lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Keenam kedudukan ini mempunyai fungsi yang berbeda, walaupun dalam praktiknya dapat saja muncul secara bersama-sama dalam satu peristiwa, atau hanya muncul satu atau dua fungsi saja. Bahasa Indonesia dikenal secara luas sejak Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada saat itu para pemuda sepakat untuk mengangkat bahasa MelayuRiau sebagai bahasa Indonesia. Para pemuda melihat bahwa bahasa Indonesialah yang berpotensi dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku vangsa atau etnik. Pengangkatan status ini ternyata bukan hanya isapan jempol. Bahasa Indonesia bisa menjalankan fungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa Indonesia rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang berbagai etnis terpupuk. Kehadiran bahasaIndonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan sentimen negatif bagi etnis yang menggunakannya. Sebaliknya, justru kehadiran bahasa Indonesia dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego kesukuan. Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meinggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan daerah dan golongan. Latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda berpotensi untuk menghambat perhubungan antardaerah antarbudaya. Tetapi, berkat bahasa Indonesia, etnis yang satu bisa berhubungan dengan etnis yang lain sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setiap orang Indonesia apa pun latar belakang etnisnya dapat bepergian ke pelosok-pelosok tanah air dengan memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Kenyataan ini membuat adanya peningkatan dalam penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia dalamn fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah antarbudaya. Semuanya terjadi karena bertambah baiknya sarana perhubungan, bertambah luasnya pemakaian alat perhubungan umum, bertambah banyaknya jumlah perkawinan antarsuku, dan bertambah banyaknya perpindahan pegawai negeri atau karyawan swasta dari daerah satu ke daerah yang lain karena mutasi tugas atau inisiatif sendiri. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mulau dikenal sejak 17 Agustus 1945 ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional atau lambang kebangsaan. Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pegangan hidup. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia ini pun terus dibina dan dijaga oelh bangsa Indonesia. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera nasional, Merah Putih, dan lagu nasional bangsa Indonesia, Indonesia Raya. Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri sehingga serasi dengan lambang kebangsaan lainnya. Bahasa Indonesia dapat mewakili identitasnya sendiri apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, yang memang benar-benar tidak diperlukan, misalnya istilah/kata dari bahasa Inggris yang sering diadopsi, padahal istilah.kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula menjalankan fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun yang lalu

masih ada orang yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat kenyataan bahwa seni sastra dan seni drama, baik yang dituliskan maupun yang dilisankan, telah berkembang demikian pesatnya. Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan betapa pun halusnya dapat diungkapkan secara jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini tentulah dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan kepada bahasa Indonesia dan rasa kebanggaan akan kemampuan bahasa Indonesia. Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, bertambah pula kedudukan bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tulis. Dokumen-dokumen, undang-undang, peraturan-peraturan, dan surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu saja, demi komunikasi internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga masyarakat pun dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa kenegaraan harus menggunakan bahasa Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa perlu senantiasa dibina dan dikembangkan. Penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pagawai baru, kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada seseorang. Fungsi ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa Indonesia. Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia bukan saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya. Misalnya, surat-menyurat antarinstansi pemerintahan, penataran para pegawai pemerintahan, lokakarya masalah pembangunan nasional, dan surat dari karyawan atau pagawai ke instansi pemerintah. Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam situasi formal, berkecenderungan menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi, di antara pelaku komunikasi tersebut terdapat jarak sosial yang cukup jauh,misalnya antara bawahan atasan, mahasiswa dosen, kepala dinas bupati atau walikota, kepala desa camat, dan sebagainya. Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36, UUD 1945, bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Di samping sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Saat ini bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan semua nilai sosial budaya nasional. Pada situasi inilah bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai bahasa budaya. Di samping itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa ilmu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuna dan teknologi (iptek) untuk kepentingan pembangunan nasional. Penyebarluasan iptek dan pemanfaatannya kepada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan negara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran atau perkuliahan di lembagalembaga pendidikan untuk masyarakat umum dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber) dalam usaha mengikuti perkembangan dan penerapan iptek. Pada tahap ini, bahasa Indonesia bertambah perannya sebagai bahasa ilmu. Bahasa Indonesia oun dipakai bangsa Indonesia sebagai alat untuk mengantar dan menyampaian ilmu pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkat pendidikan. Bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari lembaga pendidikan terendah (taman kanak-kanak) sampai dengan lembaga pendidikan tertinggi (perguruan tinggi) di seluruh Indonesia, kecuali daerah-daerah yang mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Di daerah ini, bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan tingkat

sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga (kelas tiga). Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia. Karya-karya ilmiah di perguruan tinggi (baik buku rujukan, karya akhir mahasiswa skripsi, tesis, disertasi, dan hasil atau laporan penelitian) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah mampu sebagai alat penyampaian iptek, dan sekaligus menepis anggapan bahsa bahasa Indonesia belum mampu mewadahi konsep-konsep iptek. BAB III PENUTUP SIMPULAN Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia merupakan bahasa asing pertama. Kedudukan tersebut berbeda dengan bahasa kedua. Mustafa dalam hal ini menyatakan bahwa bahasa kedua adalah bahasa yang dipelajari anak setelah bahasa ibunya dengan ciri bahasa tersebut digunakan dalam lingkungan masyarakat sekitar. Sedangkan bahasa asing adalah bahasa negara lain yang tidak digunakan secara umum dalam interaksi sosial. Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia tersebut mengakibatkan jarang digunakannya Bahasa Inggris dalam interaksi sosial di lingkungan anak. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Inggris karena pemerolehan bahasa asing bagi anak berbanding lurus dengan volume, frekuensi dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah okok tertentu yang membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya di dunia ini, baik bahasa asing maupun bahasa daerah. Dengan ciri-ciri umum dan kaidah0kaidah pokok ini pulalah dapat dibedakan mana bahasa Indonesia dan mana bahasa asing ataupun bahasa daerah. Oleh karena itu, ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok tersebut merupakan jati diri bahasa Indonesia. Ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok yang dimaksud adalah antara lain sebagai berikut. Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, bertambah pula kedudukan bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tulis. Dokumen-dokumen, undang-undang, peraturan-peraturan, dan surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu saja, demi komunikasi internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga masyarakat pun dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa kenegaraan harus menggunakan bahasa Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa perlu senantiasa dibina dan dikembangkan. Penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pagawai baru, kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada seseorang. Fungsi ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA http://odhepriyamona.wordpress.com/2009/10/20/bahasa-indonesia-dan-era-globalisasi/ http://silviarasyid.blogspot.com/2010/04/pengaruh-penerapan-penggunaan-bahasa.html Rating: 2.8/10 (6 votes cast) Rating: +2 (from 2 votes) Popularity: 6% [?]

Post a Response

Name (required)

Mail (will not be published) (required)

Website

Anti-spam word: (Required)*To prove you're a person (not a spam script), type the security word shown in the picture.

Submit Comment

Previous | | Next

o o o o o oBerita Studentsite Recent Comments gak ada contoh gambarnya ya gan IWAN | 22Apr12 | More Sangat bermanfaat ijin copy Tks, Deni | 21Apr12 | More bagus sekali lulu | 21Apr12 | More itu brush nya download dmn bro,,share ke email gue link nya yahh,,thanks b4 apunk | 21Apr12 | More dimana alamatnya ? lama trainingnya ? biayanya ? terima kasih tebe | 21Apr12 | More Rumah Pena UG Hari Ini Hari Bumi Lho! Hari ini, Minggu bertepatan dengan hari bumi, yang katanya diperingati oleh warga dunia. Namun, apakah Anda tahu tentang hari bumi ini? Dugaan saya, hanya sedikit masyarakat yang mengetahui hari bumi yang sudah diperingati sebanyak 41 kali ini. Hari Bumi digagas oleh Senator Amerika Serikat. Dan pada tanggal 22 April 1970, jutaan orang warga Amerika Serikat. []

o

Pelatihan Portal Kopertis 2 di Palembang

Universitas Gunadarma bekerjasama dengan Kopertis 2 dalam pengembangan paper repository yang dapat digunakan untuk menunggah karya ilmiah di dosen PTS yang berada dalam wilayah Kopertis 2, yang mencakup provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, serta Bangka Belitung. Acara yang dibuka oleh Sekretaris Pelaksana Kopertis 2 berlangsung di STMIK MDP pada ta []

o

Musi di Malam Hari Palembang memang lembang, yang berarti becek atau berair. Dan air di ibukota Sumatera Selatan itu paling terlihat di Sungai Musi. Sungai Musi dengan jembatan Amperanya pun menjadi ikon atau landmark kota Palembang. Saya dan kawan-kawan kembali ke kota yang menurut dugaan para ahli ada jejak sejarah kerajaan di bawah kotanya. Selama dua hari (19-20/4/2012 []

o

Darimana Asalnya Bangsa Indonesia??? Beberapa waktu yang lalu saat menghabiskan malam sambil menanti hiburan yang paling digemari masyarakat di negara ini sinetron seminfinal liga champion. Maklumlah sinetron baru dimulai sekitar pukul 02.00 dinihari, sementara kalo mencoba meluruskan badan di kasur nan empuk..bisa-bisa bablas sampe pagi, dan akhirnya..cuma melongo dan menjadi pendengar []

o

Mencoba Memulai Saya bukan bloggerapalagi blogger sejati . Mau nulis ajah dari tadi bingung.kayaknya lebih cepat memikirkan satu judul penelitian dan artikel ilmiah. Terpikir banyak judul emangtapi takut disalahmengerti. Takut dianggap mengguruitakut menyinggung orangtakut.takut..Kalo nulis artikel ilmiah, tinggal bersandar ke statistik, jadi tidak perlu takut disala []

o o o o o o o o o o o o o o o

Top Poster Sumarwan Ridwan (824) NANDANG RAHMANSYAH (756) WILLY ANUGERAH (574) INDRA DAHNA C (556) RESKI ABUCHAER (554) UG Banking Blog UG Capital Market Observasi mengenai Kereta Api Akuntansi Internasional- Bab 5 (Resume) Pelaporan dan Pengungkapan Kelebihan dan Kekurangan Bahasa Pemrograman Java KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN BAHASA PEMROGRAMAN JAVA VERSI BAHASA PEMROGRAMAN JAVA UG Ekonomi Syariah UG Linux Community hati-hati dengan update DHIMA TAUVIK ARIEZHA Masalah Suara di Ubuntu Lucyd Linx IRFAN KUSUMA from denis MUHAMMAD DENNIS gimana cara instal linux debian JAENUDIN Game Ubuntu IRFAN KUSUMA UG Photography Club

o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o

Derasnya Hujan di Kampus D GunadarmaMUTIARADANI ASTARI Kampus H Universitas Gunadarma SORAYA PUTRI ALAM Another View Kampus H PASKALIS BANGKIT CAHYONO Kampus J5 Universitas Gunadarma di siang hariENLIK nyolong-nyolong photo RAHMAT TRI WIJAYANTO Blog Dosen UG Info BAPSI Daftar Peserta Pra UN 2012 untuk SMA Juklak Pra UN Untuk SMA Tahun 2012 Dirgahayu Universitas Gunadarma - 30 Tahun Formulir pengurus BEM FILKOM Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2011 Blogroll Development Blog Development Blog Development Blog Development Blog Development Blog Documentation Documentation Documentation Documentation Documentation Plugins Plugins Plugins Plugins Plugins Portofolio Mahasiswa Rumah Pena Gunadarma Suggest Ideas Suggest Ideas Suggest Ideas Suggest Ideas Suggest Ideas Support Forum Support Forum Support Forum Support Forum Support Forum Themes Themes Themes Themes Themes UG Career UG Community UG Indopedia UG Library

o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o

UG News UG OpenCourseWare UG Paper Repository UG Pedia UG Staffsite UG Studentsite Universitas Gunadarma WordPress Planet WordPress Planet WordPress Planet WordPress Planet WordPress Planet UG Community Ekonomi Syariah Fotografi Linux Pasar Modal Perbankan Robotic Meta Log in Entries RSS Comments RSS WordPress.org Copyright Warta Warga 2007. All rights reserved. Powered by WordPress XHTML

UG CHAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan alat untuk berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi dalam berinteraksi. Setiap bangsa memiliki bahasa yang berbeda-beda dan mempunyai ciri

khas sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat kita selalu mendengar aneka ragam bahasa yang dihasilkan baik secara lisan maupun secara tertulis. Keanekaragaman bahasa yang terdapat pada masyarakat tersebut dapat kita simpulkan bahwa mereka menghasilkan bahasa pertama dan kedua. Bahasa pertama merupakan bahasa lisan yang pertama kali didengar oleh seseorang ketika ia dilahirkan dari rahim ibunya yang diperoleh secara alamiah dan digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari dalam masyarakatnya hingga ia bisa berbicara dan menulis untuk tahap hidup selanjutnya, sedangkan bahasa kedua merupakan bahasa asing yang dipelajari dan dipahami dari luar lingkungan kehidupannya ( Syahrul Affandi, 2010:1). Pemerolehan bahasa atau akusisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang kanak-kanak ketika ia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Istilah "pemerolehan" terpaut dengan kajian psikolinguistik ketika kita berbicara mengenai anak-anak dengan bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa pertama dilakukan secara informal dengan motivasi yang sangat tinggi (seseorang memerlukan bahasa pertama ini untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang Universitas Sumatera Utaraada di sekelilingnya ). Adapun dalam pemerolehan bahasa kedua lebih berkenaan dengan proses pembelajaran bahasa. Dalam proses tersebut dapat dilihat bagaimana upaya seseorang dalam menguasai bahasa asing selain bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa kedua dilakukan secara formal dan motivasi seseorang pada umumnya tidak terlalu tinggi karena bahasa kedua tersebut tidak selalu dipakai untuk berkomunikasi sehari-hari di lingkungan masyarakat tersebut. Digunakan istilah pembelajaran untuk penguasaan bahasa kedua ini karena diyakini bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses belajar dengan cara sengaja dan sadar. Tidak jarang usaha-usaha yang mereka lakukan melibatkan banyak faktor baik dari diri mereka sendiri maupun dari lingkungannya.

Pemerolehan bahasa kedua dapat terjadi dengan berbagai macam cara, pada usia berapa saja untuk tujuan apa saja dan tingkat bahasa yang berbeda. Berdasarkan fakta ini, pemerolehan bahasa kedua dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe pemerolehan bahasa secara terpimpin dan tipe pemerolehan bahasa secara alamiah (Mulyani, 2006:134). Pemerolehan bahasa secara terpimpin berarti perolehan bahasa kedua yang diajarkan pada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dicernakan yaitu tanpa latihan yang terlalu ketat atau adanya kesalahan dari pelajar. Ciri-ciri dari perolehan yang seperti ini tergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru dan strategi yang dipakai oleh guru dianggap sudah cocok bagi siswanya. Sedangkan perolehan bahasa kedua secara alamiah atau spontan adalah perolehan bahasa kedua yang terjadi dalam Universitas Sumatera Utarakomunikasi sehari-hari dan bebas dari pengajaran ataupun pimpinan dari seorang guru. Di Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan terlihat adanya fenomena pemerolehan bahasa asing atau bahasa kedua. Sejak dari sekolah dasar telah diperkenalkan dengan bahasa kedua yaitu misalnya bahasa Inggris. Pembelajaran bahasa kedua ini terus berlanjut sampai ketingkat yang lebih tinggi. Di luar pendidikan formal banyak terdapat tempat-tempat kursus untuk memperoleh bahasa asing atau bahasa kedua ini. Misalnya Kursus bahasa Inggris, bahasa Jepang, Bahasa Mandarin, bahasa Perancis dan sebagainya. Selain bahasa tersebut di atas salah satu bahasa yang tak kalah pentingnya dan sedang berkembang belakangan ini adalah bahasa Arab. Bahasa Arab pertama kali dikenal bangsa Indonesia sejak Islam masuk ke Indonesia yaitu sekitar abad ke 13 M. Dibanding bahasa-bahasa kedua lainnya, bahasa Arab jauh lebih dulu dikenal oleh bangsa Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman serta teknologi, keberadaan bahasa Arab ini mulai di butuhkan. Dan perkembangan penguasaan bahasa Arab sebagai

bahasa kedua mulai meningkat. Interaksi antar bangsa menuntut umat Islam untuk tidak sekadar memiliki kemampuan berbahasa Arab reseptif (pasif), tetapi kemampuan berbahasa yang lebih aktif dan produktif. Semangat pembaruan ini diperkuat dengan munculnya para cendikiawan dan intelektual muda muslim dengan nuansa pemikiran yang segar. Di Indonesia sebagai bahasa kedua, pemerolehan Universitas Sumatera Utarabahasa Arab ini juga terjadi dalam dunia formal seperti di sekolah, atau lebih banyak dijumpai pada pelajar di pesantren-pesantren. Dhofier (1984:44) melukiskan unsur-unsur dan suasana pesantren yang dianggap sebagai elemen pokoknya adalah ; kiyai, pondok, mesjid, santri, dan pengajian kitab klasik. Adapun Geertz dalam Manfred Ziemek (1986:101) mendeskripsikan suasana kehidupan di pesantren, sebagai satu kompleks asrama siswa dikelilingi tembok yang berpusat pada suatu masjid, biasanya pada sebuah lapangan berhutan di ujung desa. Ada seorang guru agama yang biasanya disebut kyai, dan sejumlah siswa pria muda. Pada awal keberadaanya pesantren dikenal dengan istilah pesantren salafi. Pesantren salafi umumnya hanya mengkaji tentang kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab, sehingga diperlukan pembelajaran atau perolehan bahasa kedua yaitu bahasa Arab. Seiring perkembangannya banyak bermunculan pesantren modern yang tidak hanya mempelajari kitab-kitab yang berbahasa Arab tapi juga pengetahuan umum lainnya yang mungkin dapat digunakan oleh santrinya di kemudian hari. Dalam pemerolehan bahasa kedua yaitu bahasa Arab pada dasarnya pesantren salafi dan pesantren modern mempunyai kesamaan dan perbedaan. Persamaaanya yaitu dengan aturan bahwa santri harus tinggal dilingkungan pesantren, dalam proses pemerolehan bahasa kedua diatur secara ketat dan mereka dikontrol oleh situasi dan kondisi yang diciptakan dalam pesantren yang memaksa mereka untuk menggunakan bahasa kedua dalam proses belajar. Yang menjadi perbedaanya yaitu pesantren salafi hanya menggunakan bahasa Arab sebatas bisa

Universitas Sumatera Utaramembaca kitab Arab klasik serta memahaminya. Adapun pesantren modern lebih jauh lagi yaitu bisa berbicara, membaca, dan memahami bahasa Arab itu sendiri baik dalam berkomunikasi maupun membaca kitab klasik. Pemerolehan bahasa Arab di pesantren merupakan fenomena yang cukup menarik untuk dicermati. Para santri dituntut untuk bisa berbahasa Arab dalam waktu 6 (enam) bulan dari awal mereka masuk ke pesantren. Berbagai cara telah dilakukan untuk memperoleh bahasa Arab tersebut untuk mencapai target yang telah ditetapkan oleh pihak pesantren. Para santri pun mempunyai cara masing-masing untuk memperolehnya di samping bimbingan yang dilakukan oleh para pengurus bahasa yang ada di pesantren tersebut ataupun dari para senior dan guru-gurunya. Proses pemerolehan bahasa Arab di lingkungan pesantren mempunyai ciri-ciri khusus yang tidak dapat diperoleh dalam kelas-kelas formal atau kursus-kursus bahasa. Ciri-ciri khusus itu yang membedakannya dengan yang lainnya. Pemerolehan bahasa Arab dalam karantina adalah istilah yang cocok untuk membedakan pemerolehan bahasa Arab pada pesantren dan lembaga-lembaga kursus lainnya. Selain karantina yang diberlakukan pada santri yang berada dalam proses pemerolehan bahasa Arab itu, secara ketat mereka dikontrol oleh situasi dan kondisi yang diciptakan pesantren yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak punya pilihan lain untuk berbicara tanpa menggunakan bahasa Arab yang harus dipakai pada percakapan sehari-hari yang bergantian pada tiap minggunya dengan bahasa Inggris. Selain itu, pihak lembaga bahasa pada pesantren pun turut membantu dalam pemerolehan bahasa Arab tersebut. Demikian pula sanksi yang diberikan pada tiap Universitas Sumatera Utarasantri yang berbicara tidak menggunakan bahasa Arab akan menambah cepatnya keberhasilan bahasa asing. Ellis dalam Chaer (2003:243) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahasa yaitu tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Yang pertama tipe

naturalistik bersifat alamiah, tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran berlangsung di dalam lingkungan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual tipe naturalistik banyak dijumpai. Seorang kanak-kanak yang didalam lingkungan keluarganya menggunakan B1,misalnya bahasa X, begitu keluar dari rumah berjumpa dengan teman-teman lain yang berbahasa lain, misalnya bahasa Y, akan mencoba dan berusaha menggunakan bahasa Y. Dalam lingkungan pesantren modern dapat dijumpai fenomena seperti ini. Para santri yang berasal dari berbagai daerah dan mempunyai bahasa berbeda diharuskan berbicara dengan bahasa asing khususnya bahasa Arab di saat mereka berada dilingkungan pesantren. Segala usaha mereka lakukan untuk dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa resmi yang telah ditetapkan oleh pihak pesantren yaitu bahasa Arab. Tipe kedua, yang bersifat formal berlangung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat-alat bantu belajar yang sudah dipersiapkan. Seharusnya hasil yang diperoleh secara formal ini jauh lebih baik daripada hasil secara naturalistik. Namun kenyataannya yang sering kita lihat pembelajaran bahasa sangat tidak menggembirakan. Berbagai penyebab telah teridentifikasikan dan perbaikan sering dilakukan, tapi hasilnya sama saja. Fenomena inilah yang menjadi pembelajaran bagi Universitas Sumatera Utarapondok pesantren untuk membentuk model pemerolehan bahasa Arab sebagai bahasa kedua (B2) menjadi lebih baik lagi agar target 6 bulan untuk bisa berbahasa Arab oleh para santri bisa tercapai dengan baik. Fenomena pemerolehan bahasa Arab di Pesantren sangat menarik untuk diteliti, karena sistim yang digunakan sangat unik sekali. Untuk mengetahui bagaimana proses pemerolehan bahasa Arab di pesantren, penulis memilih santri kelas 1 MTs sebagai subjek penelitian. Proses pemerolehan bahasa Arab akan lebih diketahui karena mereka masih baru masuk pesantren dan belum mengenal bahasa Arab. Istilah kelas VII (tujuh) lebih sering dipakai saat ini di tingkat MTs/SMP dari

pada kelas 1. Tapi Penulis tetap memakai istilah kelas 1 MTs karena masih familiar ditelinga pembaca dan lebih dipahami. Berdasarkan fenomena yang dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk meneliti Pemerolehan Bahasa Arab sebagai Bahasa Kedua pada Santri kelas I MTs Pesantren Modern Nurul Hakim Tembung Tahun Ajaran 2010/2011 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pemerolehan bahasa Arab pada santri kelas 1 MTs Pesantren Modern Nurul Hakim Tembung Tahun Ajaran 2010/2011? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pemerolehan bahasa Arab pada santri kelas 1 MTs Pesantren Modern Nurul Hakim Tembung Tahun Ajaran 2010