Pengadilan Administrasi di indonesia (

6
k. Masalah Keputusan-Keputusan Administratif Komisi Pemilihan Umum dan/ atau Komisi Pemilihan Umum Propinsi/Kabupaten/Kota. Didalam penyelenggaraan Pemilukada, Komisi Pemilihan Umum Propinsi/Kabupaten/Kota tentu saja menerbitkan keputusan-keputusan yang berpotensi menimbulkan sengketa yang pada pokoknya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok keputusan yang merupakan hasil Pemilukada dan kelompok keputusan yang bukan/belum merupakan hasil Pemilukada. Berkaitan dengan hal tersebut, gugatan terhadap keputusan-keputusan administratif Komisi Pemilihan Umum dan/ atau Komisi Pemilihan Umum Propinsi/Kabupaten/Kota beberapa waktu yang lalu masih diajukan di PTUN misalnya keputusan KPU mengenai hasil verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu 2009, keputusan KPU / KPU Propinsi/Kabupaten/Kota mengenai calon anggota legislatif yang pernah dijatuhi hukuman/pidana atau keputusan KPU / KPU Propinsi/Kabupaten/Kota mengenai penetapan calon terpilih pasca putusan Mahkamah Agung Nomor. 16P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009 tentang pengujian terhadap Peraturan KPU Nomor. 15 Tahun 2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 110-111-112 dan 113/PUU-VII/2009 tanggal 6 Agustus 2009 tentang pengujian Pasal 204 Undang-Undang Pemilu. Akan tetapi Yurisprudensi tetap Putusan Mahkamah Agung RI antara lain dalam Putusan Kasasi Nomor. 187 K/TUN/2004 tanggal 14 Februari 2008 antara Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Batang melawan Dr. H.A. Asrori HAS, MBA dinyatakan bahwa keputusan-keputusan administratif yang diterbitkan oleh KPU/KPUD tidak termasuk katagori keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Peratun. Selanjutnya didalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor. 315 K/TUN/2008 tanggal 22 Oktober 2008 antara Komisi Pemilihan Umum melawan Partai Republiku Indonesia dinyatakan bahwa sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 2 huruf g Undang- Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut hanya mengenai hasil Pemilu, namun melalui pendekatan penafsiran sistemik harus diartikan sebagai meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan Pemilu dalam rangka proses persiapan penyelenggaraan Pemilu juga tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sebab apabila harus dibedakan lembaga-lembaga peradilan yang berhak memutusnya padahal pemeriksaan dilakukan terhadap produk Badan/Pejabat yang sama

description

ind

Transcript of Pengadilan Administrasi di indonesia (

Page 1: Pengadilan Administrasi di indonesia (

k.    Masalah Keputusan-Keputusan Administratif Komisi Pemilihan Umum dan/ atau Komisi Pemilihan Umum Propinsi/Kabupaten/Kota. Didalam penyelenggaraan Pemilukada, Komisi Pemilihan Umum Propinsi/Kabupaten/Kota tentu saja menerbitkan keputusan-keputusan yang berpotensi menimbulkan sengketa yang pada pokoknya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok keputusan yang merupakan hasil Pemilukada dan kelompok keputusan yang bukan/belum merupakan hasil Pemilukada.Berkaitan dengan hal tersebut, gugatan terhadap keputusan-keputusan administratif Komisi Pemilihan Umum dan/ atau Komisi Pemilihan Umum Propinsi/Kabupaten/Kota beberapa waktu yang lalu masih diajukan di PTUN misalnya keputusan KPU mengenai hasil verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu 2009, keputusan KPU / KPU Propinsi/Kabupaten/Kota mengenai calon anggota legislatif yang pernah dijatuhi hukuman/pidana atau keputusan KPU / KPU Propinsi/Kabupaten/Kota mengenai penetapan calon terpilih pasca putusan Mahkamah Agung Nomor. 16P/HUM/2009 tanggal 18 Juni 2009 tentang pengujian terhadap Peraturan KPU Nomor. 15 Tahun 2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 110-111-112 dan 113/PUU-VII/2009 tanggal 6 Agustus 2009 tentang pengujian Pasal 204 Undang-Undang Pemilu.Akan tetapi Yurisprudensi tetap Putusan Mahkamah Agung RI antara lain dalam Putusan Kasasi Nomor. 187 K/TUN/2004 tanggal 14 Februari 2008 antara Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Batang melawan Dr. H.A. Asrori HAS, MBA dinyatakan bahwa keputusan-keputusan administratif yang diterbitkan oleh KPU/KPUD tidak termasuk katagori keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Peratun.Selanjutnya didalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor. 315 K/TUN/2008 tanggal 22 Oktober 2008 antara Komisi Pemilihan Umum melawan Partai Republiku Indonesia dinyatakan bahwa sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara tersebut hanya mengenai hasil Pemilu, namun melalui pendekatan penafsiran sistemik harus diartikan sebagai meliputi juga keputusan-keputusan yang terkait dengan Pemilu dalam rangka proses persiapan penyelenggaraan Pemilu juga tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, sebab apabila harus dibedakan lembaga-lembaga peradilan yang berhak memutusnya padahal pemeriksaan dilakukan terhadap produk Badan/Pejabat yang sama yaitu Ketua Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah dan terkait dengan peristiwa hukum yang sama yaitu perihal Pemilu, maka dengan dibeda-bedakannya kewenangan mengadili tersebut akan menimbulkan inkonsistensi putusan pengadilan bahkan putusan-putusan pengadilan yang berbeda satu sama lain akan saling bertentangan (kontroversial).Menurut hemat penulis, pertimbangan hukum dalam perkara kasasi yang menjadi yurisprudensi tersebut diatas, substansinya merupakan inti dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2005 tanggal 6 Juni 2005 mengenai pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) sehingga di beberapa PTUN dengan mengacu pada yurisprudensi tersebut diatas, sengketa mengenai keputusan administratif KPU/KPUD yang bukan merupakan “hasil pemilihan umum” pun dinyatakan tidak lolos proses dismisal atau meskipun lolos proses dismisal, kemudian putusan akhirnya menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan untuk memeriksa sengketa mengenai hasil pemilihan umum kepala daerah berada pada Pengadilan Tinggi untuk Pemilukada kabupaten/kota dan Mahkamah Agung untuk Pemilukada Propinsi. Sehingga dengan demikian 

Page 2: Pengadilan Administrasi di indonesia (

munculnya SEMA Nomor 8 Tahun 2005 adalah untuk menghindari disparitas putusan antara putusan peradilan tata usaha negara disatu sisi dan putusan Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung disisi lain.Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003, maka perselisihan tentang hasil pemilu tidak lagi menjadi kewenangan absolut Mahkamah Agung, melainkan menjadi kewenangan absolut Mahkamah konstitusi untuk memeriksa dan mengadilinya.Sesungguhnya Undang-Undang Mahkamah Konstitusi secara eksplisit hanya mengatur mengenai kewenangan mengadili perselisihan tentang hasil pemilihan umum yang didalam penjelasannya tidak dijelaskan apakah pemilihan umum disini termasuk didalamnya Pemilukada ataukah Pemilu nasional saja.Akan tetapi selanjutnya mengenai sengketa Pemilukada, dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 08A Tahun 2008 tentang pengalihan wewenang mengadili sengketa Pemilukada, maka terhitung sejak tanggal 1 November 2008, sengketa mengenai pemilihan Kepala Daerah dialihkan dan menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadilinya. Atas dasar tersebut, maka “pintu” bagi PTUN untuk memeriksa sengketa mengenai keputusan administratif KPU/KPUD yang bukan mengenai “hasil pemilihan umum” seolah-olah sama sekali telah tertutup.Oleh karenanya di dalam putusan Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung disebutkan bahwa sengketa mengenai hasil pemilihan umum antara lain menyangkut tiga hal yaitu : penetapan jumlah perolehan suara partai, penetapan jumlah perolehan kursi serta penetapan orang-orang yang terpilih sebagai anggota legislatif tidak dapat dijadikan sebagai obyek sengketa di peradilan tata usaha negara melainkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.Sedangkan keputusan administratif Komisi Pemilihan Umum lainnya, apabila dikaji latar belakang penerbitannya dikaitkan dengan ruang lingkup kewenangan (intra vires) KPU di dalam melaksanakan tugasnya, maka tindakan KPU berkaitan dengan kegiatan politik yaitu sebagai penyelenggara pemilihan umum khususnya pemilihan umum anggota legilatif, sehingga produk-produk tindakan hukum publik yang dilakukan oleh KPU jika itu dituangkan dalam bentuk keputusan (beschikking) bukanlah keputusan yang dapat digolongkan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, karena materinya bukan berisi tindakan hukum tata usaha negara melainkan berisi tindakan hukum di bidang politik (taakteling) sehingga diluar lingkup tindakan yang bersifat tata usaha negara/pemerintahan (verwezenlijking van de taak).Namun jika keputusan KPU dianggap merugikan seseorang atau partai politik, maka dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan konstruksi hukum perbuatan melawan hukum oleh Pemerintah (Onrechtmatge Overheids Daad/OOD) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.Dalam perkembangannya Mahkamah Agung pada tanggal 11 Mei 2010 telah merubah pendapatnya dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Sengketa mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang mengartikan keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di tingkat pusat maupun di daerah mengenai “hasil pemilihan umum” yang tidak dapat dijadikan sebagai obyek gugatan di PTUN berdasarkan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Peratun adalah keputusan yang berisi hasil pemilihan umum sesudah melewati tahap pemungutan suara yang dilanjutkan dengan 

Page 3: Pengadilan Administrasi di indonesia (

penghitungan suara.Seolah ingin memperbaiki kesalahannya, Mahkamah Agung menetapkan bahwa keputusan administratif KPU/KPUD yang diterbitkan sebelum hasil penghitungan suara seperti pada tahapan pendaftaran pemilih, tahap pencalonan peserta, tahap kampanye dan sebagainya sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Peratun, tetap menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya karena keputusan tersebut di luar jangkauan perkecualian sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf g Undang-Undang Peradilan Tata Usana Negara.Dengan diterbitkannya SEMA Nomor 7 Tahun 2010 ini, menurut hemat penulis sikap Mahkamah Agung sudah tepat karena selama ini telah terjadi kekosongan hukum (vacuum of law) terhadap keputusan administratif KPU/KPUD sepanjang bukan keputusan mengenai “hasil pemilihan umum” karena ternyata Mahkamah Konstitusi juga tidak memeriksa jenis sengketa yang seperti ini. Oleh karenanya pasca diterbitkannya SEMA Nomor 7 Tahun 2010, seluruh jajaran PTUN didalam menerima perkara yang berkaitan dengan keputusan administratif KPU/KPUD sepanjang bukan keputusan mengenai “hasil pemilihan umum” akan menyatakan lolos dismisal proses.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap PTUN dalam menerima perkara yang berkaitan dengan keputusan administratif KPU/KPUD sepanjang bukan keputusan mengenai “hasil pemilihan umum” telah mengalami pasang surut dengan diterbitkannya SEMA Nomor 8 Tahun 2005 dan SEMA Nomor 7 Tahun 2010. Hal tersebut dikarenakan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sama sekali tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan hasil pemilihan umum.Sebaliknya terhadap SEMA Nomor 8 Tahun 2005 tanggal 6 Juni 2005 mengenai pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) seharusnya dinyatakan dicabut karena substansinya telah bertentangan dengan SEMA Nomor 7 Tahun 2010 sehingga telah kehilangan relevansinya dan jangan justru sebaliknya ditegaskan kembali oleh SEMA Nomor 7 Tahun 2010.Dengan adanya dua lembaga yang berwenang untuk memeriksa sengketa mengenai Pemilukada (PTUN dan Mahkamah Konstitusi), memang sangat dimungkinkan terjadinya disparitas putusan yang tidak terukur. Putusan PTUN yang berujung kepada Mahkamah Agung mengenai keputusan administratif KPU/KPUD sepanjang bukan keputusan mengenai “hasil pemilihan umum”, sangat mungkin mengabulkan gugatan salah satu pasangan calon yang tidak memenuhi syarat pencalonan sehingga konsekuensi hukumnya harus diikutkan dalam pemilukada . Akan tetapi disisi lain sengketa perselisihan tentang hasil pemilihan umum kepala daerah di Mahkamah Konstitusi sangat mungkin pula telah lebih dulu menyatakan menolak permohonan pemohon sehingga hasil pemilukada telah sah menurut hukum .Jika hal tersebut terjadi, maka yang paling mungkin tidak dipatuhi adalah putusan (termasuk penetapan penangguhan/schorsing) Mahkamah Agung selain karena munculnya belakangan juga karena pelaksanaan putusan Mahkamah Agung dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dinilai sebagai eksekusi yang paling lemah, sehingga yang sangat dirugikan tentu saja salah satu pasangan calon yang tidak memenuhi syarat pencalonan namun dimenangkan oleh Mahkamah Agung tersebut.Untuk menghindari terjadinya disparitas putusan PTUN dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana contoh tersebut diatas, dengan mengingat tahapan-tahapan dalam Pemilukada yang sudah terjadwal, maka seharusnya putusan PTUN bersifat final dan mengikat, karena dengan pemeriksaan tiga tingkat seperti yang terjadi saat ini selain membutuhkan waktu penyelesaian perkara 

Page 4: Pengadilan Administrasi di indonesia (

yang sangat lama (meskipun telah dilakukan pemeriksaan dengan acara cepat) juga berpotensi menimbulkan disparitas putusan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan karena harus merubah Undang-Undang, maka penulis berpendapat sebaiknya seluruh sengketa mengenai pemilukada berupa keputusan administratif KPU/KPUD sepanjang bukan keputusan mengenai “hasil pemilihan umum”, juga diserahkan oleh Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadilinya sebagaimana pernah dilakukan dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 08A Tahun 2008 tentang pengalihan wewenang mengadili sengketa Pilkada, apalagi Ketua Mahkamah Konstitusi sendiri telah menyatakan bahwa kewenangan mengadili sengketa pemilukada oleh peradilan dibawah Mahkamah Agung rawan terhadap serangan, baik “serangan kasar” maupun “serangan halus”.Dengan diserahkannya seluruh kewenangan mengadili sengketa mengenai pemilukada dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi, maka tidak akan ada lagi yang mengatakan ibarat kita melepas kerbau, dilepas kepalanya akan tetapi masih dipegangi ekornya. Selanjutnya agar tercipta kesatuan hukum dan mencegah dirugikannya peserta Pemilukada, maka apakah tidak sebaiknya saudara kita di Mahkamah Konstitusi saja yang akan memeriksa dan mengadili seluruh sengketa yang berkaitan dengan Pemilukada ?