Pengaderan - Wacana & Konsep _A5 PDF Guntar

56
WACANA & KONSEP PENGADERAN --------- Massal -------- Oleh : Akhmad Guntar

description

Pengaderan - Wacana & Konsep _A5 PDF Guntar

Transcript of Pengaderan - Wacana & Konsep _A5 PDF Guntar

WACANA & KONSEP

PENGADERAN --------- Massal --------

Oleh :

Akhmad Guntar

Hidup untuk ibadah dan bangun fondasi peradaban

Jernihkan nada dan luapan berpikir

‘tuk menjadi pilar peradaban

PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon maghfirah dan pertolongan kepada-Nya. Kami berlindung dari keburukan diri dan kejelekan perbuatan kita. Pengaderan massal –khususnya Student Day dan Camp- yang berjalan selama ini kerap kali tidak dilandasi oleh pemahaman yang cukup dari semua elemen terkait atas konsepsi, aturan main serta metodologi. Belum lagi bila kita berbicara tentang prosesi dan hasil akhir yang dicapai. Secara umum, pengaderan massal yang dilangsungkan di ITS masihlah jauh dari sempurna. Pertanyaan besar yang saya kira cukup bersarang di pikiran kita adalah: Bagaimana kita bisa membawa keagungan Islam di sana? Bagaimana kita bisa membangun kultur pengaderan yang santun dan menjauhi kedzaliman di jurusan? Kita –barangkaili- sudah memiliki senjatanya, tapi belum sepenuhnya tahu bagaimana menggunakannya. Dengan greget semacam itu, maka metodologi pressing dan makian sebenarnya menjadi konsepsi yang tertolak. Untuk tujuan yang sama, metodologi perberdayaan melalui penyadaran dan pengakuan potensi diri (Teori Y) telah berkali-kali dibuktikan lebih baik dari teori X yang identik dengan militerisme. Berbagai metode belajar seperti Quantum Learning, Accelerated Learning, Super pCamp atau apapun namanya, telah terbukti secara efektif membentuk pribadi-pribadi yang memenuhi harapan belajar. Terlebih lagi apabila kita menggunakan metodologi yang berpijak pada keagungan Islam. Namun kemudian, perubahan konsepsi dan metodologi bukanlah merupakan upaya sehari semalam. Kita butuh pengkajian yang berkesinambungan, sehingga tiap generasi tidak harus memulainya kembali dari awal. Tulisan ini dimaksudkan dapat menjadi referensi pembelajaran dan kajian demi konsepsi dan metodologi yang lebih cantik dan Islami. Konsepsi yang saya sajikan di sini merupakan peralihan dari metode lama ke metode baru. Saya berusaha menyajikan dasar pemikiran dan prosesi yang Islami dalam konsepsi global dan turunannya. Metode pressing yang masih sulit dihilangkan seratus persen coba saya paparkan kembali dengan menggunakan pijakan pemikiran yang bisa dipertanggungjawabkan. Saya sadar bahwa saya bukanlah orang yang cukup mulia. Saya pun menyadari bahwa saya bukanlah seorang teladan yang cukup baik, terutama bila melihat integritas yang saya miliki berkaitan dengan keseluruhan apa yang saya sampaikan dalam tulisan ini. Namun, tulisan ini sendiri sebenarnya merupakan taujih bagi saya pribadi, yang saya harapkan juga bisa mendatangkan manfaat bagi pembacanya. Sesungguhnya, saya belum bisa mengatakan tulisan ini telah rampung. Masih terdapat beberapa bab yang belum bisa saya selesaikan. Masih banyak terdapat lubang-lubang yang belum terisi. Namun mengingat tingkat kemendesakan kebutuhan atas wacana, dan juga atas keterbatasan waktu yang dapat saya alokasikan, maka dengan izin Allah, inilah yang bisa saya persembahkan. Semoga tulisan ini dapat menjadi jembatan pemikiran baru dan kunci pembuka ide-ide baru yang lebih cemerlang. Dan hanya kepada Allah kita patut memohon petunjuk dan pertolongan.

Semoga saya tidak hanya sekedar bisa berbicara. Surabaya, Agustus 2002

Akhmad Guntar S.A.

DAFTAR ISI

BAB 1 DASAR PEMIKIRAN............................................ 1 1.1. MANUSIA MODERN YANG ANGKUH ............................................1 1.2. URGENSI DAKWAH KAMPUS......................................................3

BAB 2 KAIDAH PENGADERAN ...................................... 5 2.1. PEMBENTUKAN KEBIASAAN EFEKTIF ..........................................5 2.2. PROAKTIF, ANTISIPATIF DAN RESPONSIF...................................6 2.3. KETELADANAN ........................................................................7 2.4. THESIS, BUKAN ANTI-THESIS ...................................................8 2.5. PUNISHMENT AND REWARD....................................................10 2.6. ATURAN MAIN YANG JELAS .....................................................11 2.7. BERTAHAP DAN BERKESINAMBUNGAN .....................................11 2.8. ACHIEVEMENT MOTIVATION ...................................................12

BAB 3 KONSEP PENCAPAIAN ..................................... 14 3.1. POLA dan ARAH DASAR ..........................................................14 3.2. TUJUAN AKHIR SEBAGAI AWALAN ...........................................15 3.3. TUJUAN-ANTARA....................................................................15

3.3.1. Student Day...................................................................15 3.3.2. Camp ............................................................................16 3.3.3. LKMM Tingkat Dasar........................................................16

3.4. NILAI YANG DITANAMKAN ......................................................16 3.4.1. Pemahaman Kedudukan Terhadap Entitas Luar...................17 3.4.2. Berpikiran Luas...............................................................17 3.4.3. LA HAWLA WALA QUWWATA ILLA BI ALLAH .......................19 3.4.4. Kedewasaan...................................................................20

BAB 4 SAY NO TO PISUHAN ....................................... 22 BAB 5 KONSEP PENGKONDISIAN................................ 26

5.1. METODE ...............................................................................26 5.1.1. Ceramah........................................................................26 5.1.2. Diskusi ..........................................................................26 5.1.3. Role Playing ...................................................................27 5.1.4. Permainan .....................................................................27 5.1.5. Pressing.........................................................................28

5.1.5.1. Tujuan....................................................................28 5.1.5.2. Batasan ..................................................................29 5.1.5.3. Metode Pressing ......................................................30

5.2. LEVEL PENGKONDISIAN .........................................................32 5.2.1. Level 0 : Santai ..............................................................32 5.2.2. Level 1 : Gelisah.............................................................32 5.2.3. Level 2 : Tegang.............................................................32 5.2.4. Level 3 : Mencekam ........................................................33 5.2.5. Level 4 : Brutal...............................................................33

BAB 6 PENGGARIS PENCAPAIAN ................................ 34

6.1. KECERDASAN SPIRITUAL........................................................34 6.2. KERJASAMA ..........................................................................36 6.3. KETRAMPILAN INTERPERSONAL...............................................37 6.4. BERTANGGUNG JAWAB...........................................................37 6.5. KEMATANGAN EMOSIONAL .....................................................38 6.6. KOMUNIKASI.........................................................................38 6.7. KEPERCAYAAN DIRI ...............................................................39 6.8. BERPIKIR KRITIS DAN ANALITIS .............................................39 6.9. KETRAMPILAN MEMECAHKAN MASALAH DAN MENGAMBIL KEPUTUSAN.................................................................................40 6.10. KETRAMPILAN MEMIMPIN......................................................40 6.11. KREATIF DAN PENUH INISIATIF.............................................41 6.12. KOMPETENSI PENGADER ......................................................41

BAB 7 RENUNGAN DAN TUGAS BESAR....................... 43 LAMPIRAN................................................................. 47

Proyeksi ke Depan Pengaderan Jurusan ......................................47 TENTANG PENULIS..................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA..................................................... 51

1

BAB 1 DASAR PEMIKIRAN

DASAR

PEMIKIRAN

alam beberapa kali saya menjadi screener Steering Committee Pengaderan, salah satu motivasi yang sering diajukan oleh calon adalah, “Saya ingin membagikan pengalaman saya.” Begitu sederhananya namun kaya tafsiran.

Sehingga ijinkan saya untuk menyempurnakannya sedikit saja menjadi “Saya ingin membagi pengalaman pembelajaran saya.”

Namun pertanyaan selanjutnya adalah: Pembelajaran apakah yang dimaksud? Tetap saja kaya tafsiran, bukan? Tapi justru di sinilah menariknya. Pembelajaran inilah yang akhirnya menentukan apakah seseorang akan menjadi pejuang dakwah di barisan Allah dan Rasulnya, ataukah menjadi pasukan pembangkang perintah Allah. Sehingga pembelajaran dengan arah, cara dan sarana yang benar inilah yang selanjutnya diharapkan dialami oleh para maba.

Dengan pandangan sekilas, isi bab ini barangkali tidak menunjukkan korelasi yang erat dengan tema pengaderan massal yang saya angkat. Namun maksud mendasar dari penulisan bab ini adalah untuk menunjukkan urgensi dakwah kampus sebagai salah satu bentuk pembinaan terencana yang memiliki awalan.

Dasar pemahaman yang digunakan adalah bahwa pengaderan massal hanyalah sebagian kecil dari proses yang terjadi dalam pembinaan kader Islami. Bahkan, pengaderan sesungguhnya berjalan di luar waktu resmi pengaderan massal maupun massal terbatas. Pengaderan terbatas hanyalah menunjukkan sentuhan awal untuk ditindaklanjuti secara konsisten. Pemaparan pada bab ini akan menunjukkan tingkat signifikansi dari pembinaan di kampus.

Saya memulai dengan menunjukkan fenomena keangkuhan manusia modern yang menjadikannya semakin jauh dari agama. Fenomena ini menggiring pada upaya dan tindak lanjut yang tegas dan terarah dari dakwah kampus, untuk membentuk mahasiswa menjadi batu bata yang baik dalam bangunan masyarakat Islam.

1.1. MANUSIA MODERN YANG ANGKUH Islam memandang kondisi manusia sebagai satu totalitas dalam konsepnya yang padu; sebagai hamba Allah swt dan khalifah-Nya di dunia. Manusia sebagai makhluk yang keberadaannya di alam semesta ini, secara fithrah, tidak terpisah dari sistem universal. Namun berbeda dengan ciptaan Tuhan yang lain, manusia diberikan kekuatan yang luar biasa dalam menjalankan amanah kekhalifahannya. Kekuatan luar biasa yang dibungkus erat dengan ketaqwaan dan diikat erat dengan tali Allah inilah yang terangkai dalam kualitas fundamental seorang manusia.

Seandainya seseorang tidak diberikan kesadaran akan kualitas fundamental tersebut, tentu akan membawa konsekuensi yang buruk dalam kehidupan keilmuannya. Hal ini mengakibatkan seseorang dengan terpaksa atau rela dibendakan atau diperalat oleh alam, ilmu atau teknologi yang dimilikinya. Sementara itu, kita di ITS hidup dalam lingkungan akademis teknik, yang akrab bersentuhan dengan akal, metodologi, perangkat serta teknologi yang beragam.

D

2

Julukan kampus teknologi yang kita sandang amat rawan dalam mendorong seseorang untuk merumuskan pemahaman yang tidak bijak akan arti manusia modern.

Pemahaman tentang arti manusia modern secara tergesa-gesa hanya menggunakan kekuatan akal dan teknologi sebagai cakupan definisi. Terlebih lagi, ketika saat ini manusia telah menemukan berbagai metode dan perangkat berpikir dan mendefinisikan serta melejitkan kekuatan dirinya dengan cara baru.

Manusia telah menemukan kekuatan otak kiri dan otak kanan, termasuk bagaimana mereka bekerja, Random-Sekuensial-Abstrak-Konkrit, dan bagaimana mengoptimalkannya dengan peta pikiran, topi berpikir, decision tree, visual brainstorming, problem reversal atau dengan berbagai cara yang lain. Manusia telah menemukan kekuatan modalitas belajar visual-auditory-kinestetik, serta bagaimana mempergunakannya dalam belajar dan berkomunikasi dengan orang lain. Manusia juga telah menemukan Neuro Linguistic Programming (NLP) untuk melejitkan potensi diri dengan penguasan dan rekayasa cara berpikir. Akhirnya, penggunaan kekuatan analogi, metafora, persepsi nalar dan intuisi, pemikiran induktif-deduktif serta penguasaan beberapa perangkat berpikir yang lain juga turut menjadikan manusia sebagai homo sapiens (makhluk berpikir) yang luar biasa. Namun, terkadang (seringkali?) kesemua penemuan itu membuat seseorang berani menjuluki dirinya sebagai manusia modern. Manusia modern yang angkuh.

Keangkuhan manusia modern terlihat pada sikapnya yang seolah-olah memiliki semua kekuatan untuk terbebas dari kekuatan yang ada di luar dirinya, termasuk dari kekuasaan Tuhan Yang Maha kuat. Dengan keangkuhan akal, ilmu pengetahuan dan teknologi –yang terus-menerus diagungkannya- manusia modern tersebut merasa mampu menyelesaikan persoalan hidupnya. Seperti dikatakan oleh Max Horkheimer, “Untuk bertahan hidup, manusia mengubah dirinya menjadi seperangkat alat yang setiap saat bereaksi dengan tepat terhadap berbagai situasi sulit dan membingungkan yang membentuk hidupnya.” Kesemuanya itu dikatakannya terjadi secara alamiah tanpa kesadaran.

Sistem dan mesin yang diciptakan manusia malah mengakibatkan seseorang kehilangan visi dan tujuan hidupnya; ia begitu bangga dan menyombongkan diri dengan segenap kekuatan akal yang dimilikinya. Sementara kesombongan dan kebanggaannya itu justru menghalangi dirinya dalam memperoleh kebenaran.

Kesemua hal itulah yang terjadi apabila manusia tidak memahami hakikat penciptaan dirinya dan merenungi keberadaan dirinya secara mendalam. Perenungan itulah, menurut Imam Ghazali, yang akan menghasilkan ilmu yang bersemayam di dalam batin seseorang. Sedangkan ilmu, menimbulkan keindahan yang menakjubkan dan melahirkan perbuatan yang menyelamatkan seseorang, alih-alih menjerumuskannya dalam kehinaan di mata Allah. Hal ini dilakukan dengan tidak mengasingkan segala jenis ilmu dengan moral dan estetika.

Sesungguhnya potensi pemikiran dianugerahkan kepada manusia untuk dianugerahkan kepada manusia agar ia bisa melaksanakan misi khalifah di muka bumi. Ia diserahi tugas mengurusi kehidupan nyata di dunia ini, dengan melakukan pengamatan, pengkajian dan penelitian terhadapnya; dengan bekerja, berproduksi, mengembangkan dan memperindah kehidupan ini. Tetapi dengan syarat mendapatkan dukungan dari potensi spiritual (ruhiyah) yang mampu berhubungan langsung dengan segenap wujud dan Pencipta wujud.

Begitulah. Harapan tinggi untuk menegakkan panji-panji Allah di bumi Indonesia ternyata masih terhalang oleh kesombongan orang-orang yang mengagungkan akal dan segala macam ilmu yang dikuasainya. Sementara itu, pembentukan cara berpikir ini dibentuk dan dipatri secara dominan ketika

3

seseorang berada dalam dunia kampus. Pembahasan tentang kerusakan cara berpikir manusia ini merupakan pengantar untuk memahami urgensi dari dakwah kampus.

1.2. URGENSI DAKWAH KAMPUS Masa kuliah merupakan salah satu saat yang paling menentukan dalam

pembentukan kepribadian seseorang. Seringkali pada tahap awal seseorang menginjakkan kakinya di kampus, dia akan mulai mencari model ideal untuk dia tiru, disadari ataupun tidak. Dia akan mencoba untuk merumuskan definisi dan hakekat yang lebih luas tentang dirinya ketimbang yang pernah dia lakukan semasa SMA, jika sudah pernah melakukan. Bila manusia dibiarkan berpikir sendiri tentang hakekat dirinya, maka kita akan menjumpai pendefinisian yang beragam tentang manusia; manusia sebagai Homo volens (makhluk yang berkeinginan), manusia sebagai Homo sapiens (makhluk yang berpikir), manusia sebagai Homo mechanicus (makhluk mekanik/mesin), manusia sebagai Homo luden (makhluk yang bermain) dan manusia sebagai Homo significans (pemberi makna). Upaya pendefinisian yang mengedepankan akal ini semakin lama bisa menjerumuskan manusia dalam hakekat yang rendah. Sehingga tantangan dari dakwah kampus adalah untuk membantu para maba untuk menemukan pendefinisian yang benar tentang dirinya sendiri. Urgensi dakwah kampus dalam mendukung pencapaian dakwah secara luas dan berjangka panjang adalah:

1. Penyebaran dan pemantapan opini Islam Penyebaran dan pemantapan opini Islam merupakan langkah berkesinambungan demi melanggengkan kelangsungan dakwah secara luas dan menyeluruh. Ide dasarnya adalah pemahaman yang tak terpecah dan mantap sehingga tidak ada fitnah yang ditujukan kepada Islam.

2. Pengembangan kepribadian Islam Kita terjebak di dunia di mana parameter kemantapan kepribadian ditentukan oleh tingkat kematangan pertimbangan dan keberanian bersikap, atau bahkan sekedar kemampuan akal yang disesuaikan dengan perkembangan jaman. Bagi umat Islam, klaim keidealannya (khairu ummah) terletak pada konsistensi nilai-nilai non-material (iman) sebagai keyakinan bersama dan realisasi tuntutan-tuntutan logisnya (amar ma’ruf nahi munkar) dalam seluruh pola aktual kehidupannya (QS. Ali ‘Imran,3:110). Pengembangan kepribadian Islam memiliki tujuan belajar terciptanya

pribadi-pribadi yang mantap aqidahnya, ikhlas, benar, jujur, amanah, tawadhu, penyantun, sabar dan teguh pendirian. Islam melahirkan pribadi yang lemah lembut, pemaaf, namun tetap terisi kuat dengan izzah dan keberanian mempertahankan kehormatan.

3. Melahirkan tokoh-tokoh dan mercu suar masyarakat Dakwah kampus menjadi ajang pembentukan kader-kader berkepribadian mantap yang menjadi para tokoh dan mercu suar komunitasnya, baik selama di kampus dan terlebih lagi ketika sudah terjun di masyarakat.

4. Sebagai pijakan bagi perubahan sosial Keshalihan individu menjadi asas bagi terciptanya sebuah kondisi realitas aktual yang baik dan harmonis dalam sebuah masyarakat. Bahkan, nilai-nilai moral dan pemupukannya dapat dianggap sia-sia apabila individu

4

yang bersangkutan tidak secara aktif meningkatkan keshalihan dan manfaatnya individualnya bagi orang lain. Rasulullah saw menyatakan,”Orang yang baik ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Dakwah kampus menyediakan kader-kader yang militan dan memiliki kemanfaatan yang besar bagi sesamanya. Tingkat kemanfaatan seorang muslim inilah yang menjadi pijakan yang mantap bagi perubahan sosial.

Bukan merupakan tantangan yang mudah mengingat medan dakwah kampus

memiliki karakteristik: 1. Berkembangnya pola berpikir ilmiah yang sekuler 2. Kebebasan berpendapat (bahkan tanpa perlu bertanggung jawab) dan

menafikkan nilai wahyu 3. Masih berkembangnya kegiatan ekstra kurikuler yang laghwi (sia-sia) 4. Kuatnya pengaruh propaganda yang buta tentang modernisasi,

globalisasi dan segala macamnya Dalam dakwah kampus, pengaderan massal menunjukkan perannya secara

signifikan sebagai sebuah gerbang yang mampu menjaring maba untuk memulai kebiasaan baru. Gerbang ini dinilai cukup signifikan mengingat masa awal ini amat menentukan pembentukan pemikiran dan pemantapan kepribadian sebagai manusia.

Masa di perguruan tinggi ini merupakan masa di mana seseorang membentuk sistem berpikir yang mantap tentang hakekat diri dan tujuan hidupnya. Terkait dengan hal ini adalah pemantapan nilai-nilai dasar yang menjadi barometer dan kompas kehidupan. Masa ini adalah masa di mana seseorang memilih arah dan bentuk pengabdian serta mencari figur teladan untuk digugu dan ditiru.

Kesemua itu diawali dari pengkondisian awal, dimulai dari pengaderan di masa awal. Di sinilah pengaderan massal menunjukkan signifikansinya secara dominan, yang menuntut keberadaan upaya lanjutan yang berkesinambungan secara konsisten.

5

BAB 2 KAIDAH PENGADERAN

KAIDAH

PENGADERAN

2.1. PEMBENTUKAN KEBIASAAN EFEKTIF Pengaderan tidak hanya memperkenalkan maba tentang sesuatu, namun lebih dari itu, yakni mempraktikkan sesuatu. Tidak cukup bila pengader sekedar memahamkan maba tentang pentingnya mengetahui kekuatan dan kelemahan diri, namun tidak menunjukkan kepada maba bagaimana melakukannya. Sama seperti meminta seseorang untuk belajar bersepeda dengan hanya mendengarkan orang lain menjelaskan bagaimana cara mengendarai sepeda dengan benar, tapi dia tidak benar-benar pernah menaiki sepeda.

Pengaderan tidak sekedar menjadikan maba “mengetahui-tentang” (learning about), namun juga mengajarkan mereka tentang bagaimana caranya (learning how to do), termasuk mempraktikkannya (do the things been learn). Sehingga, pengader tidak hanya menyuruh maba untuk melakukan pembagian kerja yang efektif dan efisien semisal, tapi pengader juga perlu mengatakan kepada maba tentang bagaimana caranya, secara eksplisit ataupun implisit.

Untuk bisa membuat maba belajar tentang keutuhan angkatan, tidak cukup pengader sekedar mengatakan, meneriakkan atau sampai memarahi –dan memaki- mereka dalam setiap pertemuan (baca: sesi evaluasi). Saya tidak mengatakan bahwa cara itu tidak berhasil. Cara semacam itu memang dimungkinkan berhasil, tapi hanya sebatas pada waktu pengaderan. Maba akan menebak sikap yang bisa membuat pengader merasa senang, dan mereka akan melakukannya. Namun manakala mereka masih belum menjadikan keutuhan angkatan sebagai suatu kebiasaan yang melekat, maka hal itu hanya akan menjadi cat basah yang dengan mudah luntur seiring dengan waktu dan rendahnya kekuatan pengawasan terhadap mereka.

Untuk menjadikan apa yang pengader inginkan menjadi suatu yang tetap, atau paling tidak bertahan lama, maka suatu tujuan belajar harus dijadikan suatu kebiasaan. Kita perhatikan urutannya; dari apa yang kita pikirkan, lahirkan perkataan dan tingkah laku. Dari perulangan keduanya, terbentuklah kebiasaan. Dan selanjutnya, kebiasaan yang dipelihara akan menjadi karakter.

Dalam jangka waktu pengaderan yang hanya beberapa bulan, maka upaya melatih kebiasaan ini harus diupayakan semenjak awal, untuk kemudian dipatrikan menjadi benar-benar sebuah kebiasaan setelah masa pengaderan massal berakhir. Artinya, kebiasaan dibentuk dari melakukan tindakan efektif secara berulang, dan pengader memulainya dengan pengenalan dan pemahaman di tahap awal.

Dalam kenyataan, tindakan efektif maba ternyata ditemukan justru pada akhir masa pengaderan, yang barangkali hanya muncul beberapa kali saja. Akhirnya itulah yang dijadikan sebagai faktor pertimbangan utama untuk meluluskan mereka, bahkan sebelum tindakan efektif itu menjadi sebuah rangkaian kebiasaan melekat. Bagaimana bisa berharap maba untuk terus punya kebiasaan berpikir prestatif dan sinergis dengan teman-temannya bila mereka baru menerapkannya sekali atau dua kali, di sesi akhir pengaderan?

6

Tindakan efektif tersebut harus teridentifikasi dan ditemukan maba semenjak awal, untuk kemudian diterapkan secara berulang dalam setiap pertemuan atau kesehariannya. Pemahaman tentang bagaimana proses berpikir prestatif dan sinergis semisal, harus ditemukan dan teridentifikasi secara sadar semenjak awal oleh maba, itulah yang terus dilatih. Sekedar mengandalkan kemampuan maba secara mandiri tidaklah cukup. Upaya penyadaran ini memerlukan upaya proaktif dari segenap elemen pengader. Pengader harus memastikan agar maba memiliki jawaban yang dimiliki oleh pengader.

Untuk melatih kebiasaan utuh dan sinergi angkatan semisal, pengader tak boleh segan-segan memberikan materi yang berkaitan dengan itu. Jika perlu, materi harus sedemikian konkritnya –sesuai dengan konteks kondisi maba- hingga maba tidak perlu membuat penafsiran yang tidak relevan tentangnya. Semisal, materi team building yang diberikan bukannya dalam konteks pembentukan tim dalam organisasi, namun lebih dikhususkan lagi pada tim secara angkatan.

2.2. PROAKTIF, ANTISIPATIF DAN RESPONSIF

Dari banyak ragam pengaderan massal yang ada di ITS, saya menemukan hal menarik untuk dicermati. Yakni, dalam pelatihan semacam Latihan Ketrampilan Manajemen Mahasiswa (LKMM) kita mengenal adanya tujuan belajar yang disampaikan kepada peserta pada setiap awal sesi, untuk kemudian dievaluasi kembali pada akhir setiap sesi. Namun dalam pengaderan massal, pengader seringkali menganggap maba begitu pintarnya, sehingga dibiarkan menebak sendiri tujuan belajar setiap sesi, atau malah kadang tujuan besar pengaderan secara keseluruhan.

Baiklah, barangkali lucu juga apabila pada awal sesi evaluasi (pressing) pengader mengatakan terlebih dahulu semisal,”Adik-adik maba sekalian, sesi saat ini adalah pressing, dan tujuan belajar kita adalah agar kalian semua bisa membentuk angkatan yang solid dan tangguh!!”. Pengaderan massal memang bukan pelatihan. Tapi hal ini sama sekali tidak menjadikan penghalang bagi pengader untuk membantu maba dalam menemukan sasaran belajar yang telah ditentukan (biasanya sudah kan?). Pengader tak boleh segan untuk bertanya kepada maba di akhir sesi atau acara, ”Baik adik-adik sekalian, sudah belajar apakah kalian semua hari ini? Ada yang bisa maju ke depan dan menceritakan kepada kita semua di sini?”, dan kemudian mengevaluasinya bersama di mana pengader juga turut memberikan jawaban dan pemikiran.

Lebih jauh lagi, pengader harus membuat rancangan pembelajaran terhadap sasaran belajar tertentu. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran, pengader sedapat mungkin (dan harus dapat) menghindari tindakan impromptu; langsung maju dengan hanya berbekal tujuan, tanpa berpikir bagaimana membangun alur yang bagus. Dalam realita, sebenarnya tidaklah menjadi masalah besar ketika SC sudah cukup ahli dan berpengalaman. Tapi dalam realita juga, ternyata tidak seluruh SC telah cukup ahli. Terlalu banyak keburukan yang ada dari tindakan “tampil apa adanya”.

Sehingga, bersikap reaktif bukanlah sebuah upaya bijaksana. Menunggu segalanya terjadi baru kemudian menyikapi. “Ya lihat hasilnya dulu kan?”, “Lihat raw materialnya dulu”, “Lihat reaksi mabanya dulu lah! Baru mikir”. Logika pengkondisian tidak dibangun sesaat setelah suatu kondisi terdeteksi atau terjadi. Ada beda yang cukup besar antara responsif dan reaktif. Pemastian alur bisa jadi memang dilakukan hanya beberapa jam sebelum pengkondisian lapangan semisal, dengan mempertimbangkan kondisi terbaru yang terdeteksi dari maba.

7

Tapi bukan lantas pengader mengabaikan gambaran besar dan lebih berfokus pada pengkondisian sesaat ataupun tujuan yang instant dan parsial.

Dalam pengaderan, tidaklah cukup bijak bila pengader “bermain-main” pada level-pengkondisian dua sampai empat mungkin, tanpa mempertimbangkan kesinambungan alur pembelajaran. Penggunaan metode pengusiran atau pemisahan semisal, tidak bisa diputuskan secara serampangan tanpa mempertimbangkan kesinambungan dengan sesi sebelum sesudah dan tujuan global perhari.

Konsep pengaderan merupakan upaya proaktif dan antisipatif, dengan gambaran besar yang dibangun semenjak awal. Hal ini dibebankan terutama kepada para Steering Committee (dan himpunan tentunya). Salah satu tugas mendasar dari Steering Committee adalah melihat pengaderan dalam sebuah gambaran besar, sebagai sebuah proses utuh yang berkesinambungan. Dalam cara berpikir semacam ini, maka tindakan yang akan muncul adalah upaya responsif, alih-alih reaktif.

Terkadang seseorang mengatakan, “Tapi saya kan masih belajar. Jadi wajar kalo masih belum ideal”. Asalkan hal tersebut melahirkan konsekuensi secara konsisten dan tanpa sungkan untuk kembali belajar, maka saya pikir apologi tersebut tidaklah menjadi masalah. Konsep pengaderan dibangun dari upaya terbaik; hasil dari pengerahan segenap instrumen kepribadian seseorang, hasil kerja sinergis antara akal, hati dan fisik seseorang.

2.3. KETELADANAN Di atas telah disebutkan bahwa pengaderan membutuhkan upaya keras dan bijak dari sang pengader dalam memanfaatkan segenap instrumen kepribadian yang dimilikinya. Berbicara tentang suatu hal ideal, Anis Matta Lc. mengatakan bahwa apa yang terjadi pada keseluruhan instrumen kepribadian sang pengader itu adalah sebuah sinergi kecerdasan. Para pengader mukmin sejati mempunyai kecerdasan akal yang sama kuatnya dengan kecerdasan emosi atau spiritualnya, dan bahwa sumber-sumber kecerdasan itu – akal, jiwa dan ruh – yang memberinya energi untuk bekerja, mengalami suatu sinergi di antara mereka.

Berbicara hal ideal memang terkesan melangit, dan selalu lebih mudah untuk dikatakan daripada diterapkan. Namun sama sekali bukan suatu hal yang salah, mengingat dengan cara inilah –salah satunya- kita bisa mendekati akhlak Rasulullah.

Kondisi puncak dari pengader inilah yang menjadikan pengader mukmin menjadi teladan bagi orang lain, terutama maba. Paradigma berpikir yang dibangun adalah; kita semua berusaha menjadi teladan bagi orang lain.

Tidak bisa dipungkiri bahwa maba memiliki kecenderungan untuk memilih sosok untuk dikagumi dan ditiru. Mereka menginginkan senior yang -in a way or another- memiliki kelebihan yang pantas dikagumi dan ditiru. Bisa jadi teladan yang dipilih adalah senior yang pintar dalam hal akademis, yang pintar berbicara dengan penuh kharisma, yang mampu mengendalikan massa dan maba seorang diri, yang pandai beretorika dan berlogika, yang santun dalam berbicara dan berbuat dsb. Orang hebat. Maba mencari senior yang hebat, dalam cara pandang dan standart parameter mereka.

Orang hebat sih sudah banyak dan biasa. Tapi orang yang hebat karena keIslamannya itu yang luar biasa. Orang yang dengan Syahadatnya dapat tampil dengan penuh percaya diri, wibawa serta tidak mendewakan akal, orang yang dengan la hawla wala quwwata illa bi Allah memiliki keberanian dalam mengendalikan amukan massa, orang yang dengan Al Ma’tsurat-nya dapat

8

menjaga diri dari kemarahan serta argumen yang sia-sia dan menyesatkan, orang yang dengan istighfarnya tidak merasa dirinya lebih mulia daripada maba, orang yang dengan Al Qur’an yang menaunginya dapat mencermati dan memahami konsep dirnya secara jelas dan bertanggung jawab. Dan seterusnya.

Al Qur’an telah mengajarkan kepada kita bagaimana para nabi kita mencari teladan terbaik bagi dirinya. Dalam surat Al Kahfi dijelaskan bagaimana dengan semangat yang menggebu-gebu, pengorbanan yang besar dan adab sopan santun yang tinggi, nabi Musa as mengajari kita cara mencari teladan atau idola yang tepat (qudwah). Nabi Muhammad saw pun ditunjuki Allah dalam Al Quran untuk mengikuti qudwah atau teladan yang baik setelah Allah mengungkapkan sejumlah kisah perjalanan nabi-nabi dalam surat Al An’Am. Yaitu Firman Allah swt,”Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.”(QS. Al An’am, 6:90).

Bagaimanakah maba menemukan figur idealnya? Paling tidak terdapat tiga cara yang perlu kita perhatikan bersama;

1. Persahabatan, kedekatan dan kekerabatan 2. Pribadi atau figur yang menyenangkan 3. Pengalaman yang banyak

Pengalaman ini utamanya adalah pengalaman pembelajaran dari sang figur; pengalaman mengikuti pelatihan, melakukan proyek bisnis dengan IP tetap di atas tiga, menjadi asisten dosen, menjadi pengajar, terlibat aksi pergerakan moral politik, terlibat aktif dalam kegiatan kemahasiswaan dsb.

4. Keahlian khusus Maba butuh seorang guru. Ketika dia ingin mampu berpikir kritis, maka dia akan mencari senior yang pandai berbicara dan berpikir kritis. Ketika dia ingin belajar untuk menjadi bijaksana, dia akan mencari senior yang santun dan berpikiran luas. Demikian seterusnya.

Lebih dari itu, kita juga harus mencermati hal-hal yang patut diperhatikan dalam memilih figur atau teladan. Terlebih lagi bila teladan yang kita maksudkan di sini bukanlah sekedar berdasarkan kepandaian atau bakat seseorang, melainkan juga karena arah berpikirnya. Sehingga, faktor-faktor berikut menjadi pertimbangan penting bagi maba –seharusnya- dalam memilih figur;

1. Perikehidupannya 2. Kepribadiannya 3. Prinsip hidup dan ideologi (aqidah)-nya 4. Rentang masa yang dilaluinya 5. Lingkungan tempat hidup dan adat istiadatnya 6. Persamaan (persesuaian) antara masa hidup dan lingkungannya dengan

masa hidup maba dan lingkungan tempat dia hidup 7. Mengetahui jalan hidup yang dilaluinya sehingga mencapai sukses

2.4. THESIS, BUKAN ANTI-THESIS Sifat dasar dari Thesis adalah menjaga, mempertahankan atau membangun hal yang sudah ada. Berlawanan dengan itu, anti-thesis bersifat merusak, menghancurkan pemahaman yang sudah ada dalam rangka menata ulang atau mengubah pemahaman yang sudah ada. Motode Thesis atau Anti-Thesis biasa ditemui dalam pengaderan.

Anti-Thesis digunakan semisal ketika –beberapa- pengader mencoba merekonstruksi ulang pemahaman ketuhanan, tentang adanya Tuhan, dengan terlebih dahulu mendeskonstruksi pemahaman bahwa Tuhan itu ada. Saya pernah

9

menemui penerapan metode ini di salah satu pelatihan di Surabaya yang diselenggarakan oleh salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Upaya rekonstruksi, penataan ulang serta pemantapan tentang keyakinan atas Tuhan itu kemudian dibentuk sesudah Anti-Thesis diterapkan.

Namun benar-benar berbeda lagi apabila –beberapa- pengader memang berusaha menghancurkan keyakinan tentang ketuhanan semisal. Langkah pertama adalah membantah konsep ketuhanan dengan logika yang cacat, analogi yang salah serta retorika palsu yang disampaikan dalam alur tinggi pengaderan, dalam kondisi di mana maba sudah merasa tak berdaya dengan argumentasi yang selalu tertolak. Hingga akhirnya mereka merasa putus asa dan mengalami kelelahan mental. Pasrah dan berserah diri. Suatu kondisi yang baik untuk melakukan doktrinasi. Dalam kondisi semacam itu, maka yang pendoktrin lakukan selanjutnya adalah mengajukan argumentasi yang mengedepankan akal tentang konsep ketuhanan yang lain (menuhankan benda, akal, paham, manusia atau yang lain).

Dalam taraf yang “ringan”, maka –beberapa- pengader dapat melakukan Anti-Thesis tentang pentingnya keutuhan angkatan semisal. “Salah kalo kalian berpikir angkatan utuh itu penting, pada akhirnya anda toh akan keluar dari TC sendiri-sendiri!”,”Anda munafik bila memaksakan diri untuk utuh angkatan, saya tahu anda hanya mau cari untung dari temen-temen anda yang pintar dan kaya. Anda sebenarnya nggak tulus ingin berteman.”,”Keutuhan angkatan itu cuman retorika dan idealisme impian, dalam kehidupan nyata –jika anda masih bisa berpikir obyektif dan rasional- nggak ada yang namanya keutuhan, karena kita semua harus bisa mandiri dan yakin dengan kekuatan sendiri.”, “Anda masih baru, jika anda terlalu menggantungkan pada angkatan, anda akan sulit berkembang secara pribadi nantinya.”

Demikian kira-kira argumen yang diajukan. Ide dasarnya, paradigma yang dimunculkan adalah paradigma perlawanan. Maba merasa mereka sedang diuji dan merasa harus membantah, tapi ternyata senior lebih hebat (mau menang sendiri, nggak pernah mau ngalah meskipun salah, dan mereka terlihat lebih berkuasa dan lebih tua). Akhirnya tidak ada argumen maba yang diterima. Jikapun ada, itu pun hanya beberapa. Ide yang belum matang tidak pernah diberi kesempatan untuk dimatangkan. Atau kadang malah ada disorientasi tujuan dari pengader, bukannya mencari argumen yang bagus, tapi malah sekedar maba mau dan bisa (terus) berbicara. Ending dari sesi adalah maba diminta untuk merenungkan kembali seluruh omongan pengader dan pendapat mereka. Kesimpulan ada di tangan maba -secara angkatan atau pribadi- tanpa ada konfirmasi tentang kebenaran kesimpulan itu. Jikapun memang pengader memang meminta konfirmasi atas kesimpulan yang telah diambil maba, yang perlu diingat adalah, itu adalah jawaban dari maba. Pengader mestinya mempunyai jawaban yang lebih bagus daripada maba. Ya kan? Tapi toh dalam realita, seringkali pengader tidak berusaha membantu atau mamandu maba dalam menemukan –sebisanya- seluruh jawaban yang dipegang pengader. Semoga dakwaan saya salah.

Metode Anti-Thesis memang metode yang menarik, dan memang sudah pernah terbukti menghasilkan output yang bagus. Namun hal ini tidak cocok dan amat riskan bila diterapkan dalam pengaderan masal, kecuali bila sang pengader adalah orang-orang hebat (dengan segenap arti yang dimilikinya).

Sementara itu, metode Thesis bersifat membangun yang sudah ada. Dalam hal ini, pengader memposisikan diri dalam kubu yang sama dengan maba untuk melakukan sebuah pembelajaran. Jikapun pengader melakukan bantahan, itu telah dirancang dalam kerangka diskusi yang terencana, dan bukan untuk

10

melakukan deskontruksi. Hal ini memang tidak bisa dipukul rata untuk semua hal dan kasus. Deskontruksi atas kebiasaan buruk semisal, memang dimungkinkan untuk dilakukan, asal ditindaklanjuti dengan pembangunan kebiasaan efektif.

Dalam metode Thesis, pengader tidak segan-segan membantu memberikan jawaban ringan untuk dimatangkan oleh maba. Bila paradigma Anti-Thesis adalah perlawanan, maka paradigma yang dibangun Thesis adalah penyadaran. Hal ini sesuai dengan pola pengaderan global yang diterapkan di ITS; Pertama adalah pengenalan, kedua adalah pemahaman, ketiga adalah pembentukan dan keempat adalah pemberdayaan. Kita akan membahasnya pada bab tiga.

2.5. PUNISHMENT AND REWARD Seringkali pengader hanya mengingat dan menerapkan kata pertama saja, punishment. Begitu mudah dan terkadang malah dianggap menyenangkan bagi beberapa senior. Perasaan berkuasa seperti bisa teraih ketika memarahi dan menghukum maba. Mentang-mentang. Punishment bukanlah suatu hal yang salah. Punishment menjadikan seseorang sadar akan kesalahannya. Punishment menjadikan seseorang belajar. Namun punishment harus diberikan dalam proporsi, cara serta alasan yang tepat.

Dikatakan tidak dalam proporsi yang tepat apabila tingkat hukuman tidak sepadan dengan kesalahan yang dilakukan. Hanya karena lupa tidak membawa botol minuman, maba lantas disuruh push up 30 kali dan membuat makalah sebanyak 10 halaman. Hal ini menimbulkan bias antara hal yang penting dan remeh. Hal ini akan membuat maba salah dalam menangkap pembelajaran esensial. Mereka menaruh perhatian tertinggi pada perihal atau perilaku yang paling berat hukumannya menurut mereka. Untuk itu, pengader harus membuat klasifikasi hukuman yang jelas. Dikatakan tidak dengan cara yang tepat bila punishment tidak disampaikan dengan cara yang santun, dengan pisuhan semisal. Penggunaan cara yang tidak tepat akan mengukirkan kesan yang kurang tepat dalam diri maba, hingga yang lebih teringat dalam pikiran maba bukanlah apa yang bisa dipelajari dari kesalahan, melainkan lebih pada cara tak santun yang diterapkan oleh pengader. Dikatakan tidak dengan alasan yang tepat bila punishment dilakukan dengan mencari-cari kesalahan ataupun kurang pertimbangan. “Seharusnya anda tahu kalo pada sesi ini anda harus membawa buku!”, “Kenapa model gundulnya rambut kok nggak sama! Mestinya kan sama!” Atas suatu hal yang belum ada aturannya, terkadang pengader lebih suka berspekulasi bahwa maba telah mengetahuinya. Kesalahan yang dilakukan hanyalah memberikan alasan bagi maba untuk terus memperbaiki diri. Dalam sebuah pembelajaran, kesalahan “diperkenankan”, dengan catatan adanya upaya perbaikan sesudahnya. Kesalahan dan kegagalan bukanlah ujung jalan. Kesalahan dan kegagalan adalah batu loncatan. Kesalahan dan kegagalan memungkinkan lahirnya perbaikan yang lebih signifikan.

Ya.. kita sudah tahu, dan sudah sepakat dengan itu. Oleh karena itu, pengader harus benar-benar memastikan agar maba menjadikan kesalahannya sebagai batu loncatan. Pengader harus membantu maba dalam menemukan pembelajaran dalam kesalahan yang dilakukannya. Pengader harus memandu maba dalam menemukan apa yang salah dan kurang efektif serta bagaimana cara menyingkirkan hambatan tersebut.

Tak cukup hanya itu, Pengader juga harus menerima perbaikan dan keberhasilan kecil, tidak hanya mengharapkan perbaikan yang besar. Prestasi seorang maba atas keberaniannya dalam mengungkapkan pendapat untuk

11

pertama kalinya -walaupun dengan argumen yang lemah- patut mendapatkan penghargaan. Prestasi kecil akan menyiapkan maba untuk berusaha mencapai prestasi yang lebih besar. Namun upaya itu butuh suatu pengakuan.

Apa toh susahnya memberikan sebuah pujian? Bukankah pujian tidak menurunkan derajat pengader? Bukankah kita tidak bermaksud untuk menjilat? Pujian dapat mengangkat motivasi maba atas keberhasilan –sekecil apapun- yang telah mereka raih. Sementara dalam realita, pengader lebih sering memberi punishment kepada maba atas kesalahan –sekecil apapun- yang telah mereka perbuat.

Pujian harus disampaikan secara langsung, tidak melalui perantara dan tertunda. Bila pemberian pujian ditunda, maka ketulusannya akan dipertanyakan. Pujian harus diberikan secara spesifik dan jelas, dengan menyebutkan prestasi yang telah diraih. Selain itu, sebisa mungkin pujian disampaikan di depan umum.

Reward tidak hanya sekedar berbentuk pujian. Reward dapat mengambil bentuk yang lain. Atas keberhasilan seseorang memenangkan lomba penulisan resume, pengader dapat memberikan sebuah buku Quantum Learning semisal. Atas keberhasilan angkatan menghadirkan seluruh anggotanya, pengader –seluruh elemen panitia- dapat menghadiahkan tepuk tangan panjang dan meriah kepada maba. Atas prestasi beberapa maba yang telah bersikap kritis, pengader dapat menyematkan sebuah pita di lengan baju maba bersangkutan. Atas sikap baik dan tertib selama melakukan tour dan bakti sosial semisal, pengader dapat memberikan waktu istirahat ekstra, dan memberikan menu tambahan kepada maba. Pengader dapat berkreatifitas merancang bentuk reward.

2.6. ATURAN MAIN YANG JELAS

Sebuah pengkondisian massal dan berkesinambungan membutuhkan sebuah aturan untuk menjaga kredibilitas dan keberlangsungannya secara terkendali. Ketiadaan aturan yang jelas dapat menyebabkan retaknya hubungan antar sesama panitia, ketika semisal lingkup kerja dan kewenangan instruktur dan OC acara yang tidak jelas. Aturan main yang dimaksud di sini termasuk aturan main internal panitia dan mekanisme keterlibatan dan pertanggungjawaban massa.

2.7. BERTAHAP DAN BERKESINAMBUNGAN Proses perbaikan, pengembangan dan perubahan haruslah dilakukan secara bertahap dan memiliki kesinambungan secara konsisten. Maba tidak bisa menjadi kompak hanya dalam waktu satu hari, dan bahkan sebenarnya juga tidak mudah untuk mencapainya dalam tiga minggu. Pendewasaan diri tiap maba terlebih lagi, membutuhkan waktu yang lebih lama dari sekedar satu atau dua semester. Hal inilah yang harus dipahamkan kepada maba, bahwa pembelajaran harus dilakukan tanpa henti, tanpa terikat oleh waktu resmi pengaderan massal yang ditetapkan oleh himpunan. Dalam “Manusia Pembelajar”, Andrias Harefa menyatakan bahwa sebagian besar manusia tidak mendisiplin dirinya untuk tetap belajar tanpa henti. Sebagian besar manusia berhenti belajar setelah “merasa dewasa”. Sikap gede rasa ini umumnya disebabkan oleh “kebodohan” yang bersifat sosial dan mental/psiko-spiritual. Sebagian orang merasa telah dewasa karena telah berusia di atas 17 atau 21 tahun, telah selesai sekolah atau kuliah, telah memiliki gelar akademis, telah memiliki pasangan hidup, telah memiliki pekerjaan dan jabatan yang memberinya nafkah lahiriah, telah memiliki rumah dan kendaraan sendiri, telah

12

beranak pinak, telah kaya, dan seterusnya. Hal-hal itu membuat mereka berhenti belajar, sehingga tidak lagi mengalami keajaiban-keajaiban dalam kehidupannya. Sekolah dan universitas ternyata “sukses” dalam satu hal: mencetak manusia-manusia yang menjadi tua (growing older). Akan tetapi tidak pernah sungguh-sungguh menjadi dewasa (growing up). Dan ini bisa terjadi pada kita semua; saya dan juga anda para pengader. Kita tidak akan beranjak dewasa jika kita menganggap sudah berada pada tahapan dewasa serta tidak berusaha menyinambungkan diri dengan proses pembelajaran selanjutnya. Dalam konteks pengaderan masal, hal ini haruslah dipahami bersama baik oleh maba maupun sang pengader. Penahapan pencapaian tujuan dalam pengaderan massal pada akhirnya akan membentuk alur pengaderan. Untuk mencapai keutuhan angkatan semisal, pengader harus menguraikan tujuan besar itu ke dalam tujuan-tujuan antaranya. Pada pertemuan pertama, bisa jadi pengader hanya menetapkan target kepada maba untuk saling kenal nama dan asal daerah. Pada minggu selanjutnya adalah berdasarkan frekuensi interaksi angkatan secara utuh. Pada minggu selanjutnya adalah pada bagaimana tiap maba dapat memahami perannya dalam angkatan serta memiliki gambaran tentang bagaimana dia bisa menjalankan perannya tersebut. Demikian seterusnya. Berkesinambungan mengartikan konsistensi proses pembelajaran. Di sinilah himpunan dan pengader harus senantiasa merujuk pada tujuan akhir untuk melihat kesinambungan antar tiap tujuan antara. Student day harus memiliki kesinambungan yang produktif dengan Camp. Camp memiliki kesinambungan dengan LKMM Tingkat Dasar. Demikian seterusnya.

2.8. ACHIEVEMENT MOTIVATION

Pengaderan dimaksudkan untuk memunculkan pribadi-pribadi yang haus akan prestasi, termasuk di dalamnya pengembangan diri dan lingkungan sekitarnya. Di sinilah kita bertemu dengan kaidah pemotivasian. 1. Pengader harus termotivasi untuk dapat memotivasi Hukum alam mengatakan, bahwa perpindahan ektron itu dari yang banyak ke yang sedikit. Jangan terbalik. Jika pengader ingin memotivasi maba, maka pengader harus termotivasi terlebih dahulu. Hal ini terkait erat dengan konsep keteladanan. Jiwa dan kepribadian pengader harus dikuatkan. Iman harus dimapankan, sifat ikhlas senantiasa dijadikan prinsip dan jiwa sabar harus tetap menjadi bekal. 2. Motivasi memerlukan Sasaran Maba tidak akan termotivasi jika tidak memiliki sasaran, atau tidak mengetahui sasaran yang dikehendaki pengader. Bila maba tidak memiliki sasaran, maka mereka tidak akan sampai di manapun, mereka hanya akan menghamburkan energi. Mereka sekedar mengerjakan tugas pribadi dan angkatan hingga larut malam, datang pagi harinya dengan tergesa-gesa, mengikuti setiap sesi dengan rasa enggan, dan mereka tidak mendapatkan apa-apa selain rasa capek dan malas. Jika maba diberikan sasaran terlalu banyak, maka mereka juga menghamburkan energi dan tidak sampai dengan baik (tidak mendapatkan apapun). Mereka begitu sibuknya melakukan banyak hal dan penugasan tanpa sempat memikirkan hal baik atau manfaat yang bisa dipetik.

Jika maba diberikan sasaran yang jauh dari jangkauan, semisal untuk mengenal seluruh angkatan dan panitia dalam waktu satu minggu, mereka akan

13

frustasi dan bisa jadi tidak mendapatkan apapun. Bila maba diberikan sasaran di bawah kemampuan, mereka menjadi bosan.

Pengader harus memiliki sasaran yang jelas, yang tidak diintrepetasikan beda baik oleh sesama pengader maupun oleh maba. Sasaran tersebut dapat disampaikan secara eksplisit ataupun implisit, disesuaikan dengan alur dan kondisi. 3. Motivasi adalah sesuatu yang tidaklah abadi, dia harus diciptakan dan diperbaharui secara terus menerus. Motivasi maba memiliki dinamika yang alamiah, silih berganti bagaikan musim dan cuaca. Motivasi mereka terkadang naik dan turun. Pengader harus menemukan cara agar maba dapat terus berupaya mengembangkan diri dan tidak berhenti belajar. Motivasi yang dimiliki maba tidak boleh didasarkan atas rasa takut kepada senior atau keinginan mencari selamat. Motivasi yang dimiliki maba tidak boleh hanya sekedar menghindari konsekuensi negatif, melainkan juga dengan mengejar hasil positif. Jika maba hanya sekedar punya motivasi menghindar, tujuan agar maba pandai berargumentasi akan sulit tercapai. Yang dapat dilahirkan hanyalah pribadi-pribadi yang pandai berkelit. Motivasi yang dimiliki maba harus benar-benar berarti bagi diri maba, yang terkait dengan kepentingan diri. Pengader tidak bisa seedar menggembar-gemborkan loyalitas dan kecintaan kepada himpunan atau ITS, sekedar menuntut maba untuk memberi. Maba adalah pribadi-pribadi yang kebanyakan masih haus akan menerima. Pengader harus menemukan sesuatu yang berarti bagi maba.

Pengader harus mengidentifikasikan konsekuensi negatif untuk dihindari oleh maba, semisal terasing dari angkatan, dan bersama dengan itu juga mengidentifikasikan hasil positif untuk dikejar, semisal bentuk prestasi akademis dari peningkatan cara belajar. Pengader, bersama-sama dengan maba, harus menemukan cara agar maba dapat terus memperbarui motivasi mereka. 4. Motivasi memerlukan Penghargaan Maba membutuhkan penghargaan yang layak atas pembelajaran yang dilakukan. Dalam mendorong maba untuk bertindak kreatif semisal, pengader harus memberikan imbalan atas usaha dan proses, bukan hanya pada hasil. Hal itu dapat diwujudkan dengan mengirimkan pesan yang jelas bahwa dalam pembelajaran mereka, tindakan juga memiliki derajat yang tak kalah penting dengan hasil. 5. Berpartisipasi dalam angkatan dapat menggugah motivasi Keutuhan angkatan dapat menjadi pemicu motivasi maba. Dalam kesendirian, maba dapat menemukan kebosanan, rasa enggan dan berat hati. Bekerja dalam tim dan angkatan dapat meningkatkan semangat kerja dan menumbuhkan kekuatan baru. Dalam kelompok terdapat motivasi. 6. Kemajuan diri dan prestasi diri dapat memotivasi Pengader harus membantu maba dalam mendefinisikan kemajuan diri, menemukan serta mengejar prestasi diri. Hal inilah yang akan secara signifikan mendorong maba untuk terus mencapai prestasi yang lebih besar.

14

BAB 3 KONSEP PENCAPAIAN

KONSEP

PENCAPAIAN

3.1. POLA dan ARAH DASAR

Pola dasar yang kita maksudkan di sini merupakan penahapan pengembangan potensi mahasiswa. Presiden BEM ITS, Nugroho Fredivianus menyebutkan pola dasar pengembangan mahasiswa ITS sebagai berikut;

1. Pengenalan 2. Pemahaman 3. Pembentukan 4. Pemberdayaan Tahapan pengenalan diimplementasikan secara dominan pada pengaderan

massal Student Day dan Camp. Tahapan pemahaman bisa dimulai semenjak pengaderan massal dalam konsentrasi pemahaman tentang diri pribadi dan potensi angkatan. Tahapan pemahaman dan pembentukan sesungguhnya diimplementasikan dalam pengaderan massal terbatas (pelatihan semacam LKMM TD). Tahapan pemberdayaan merupakan tahap selanjutnya di mana mahasiswa menunjukkan dedikasinya sesuai dengan arah pengembangan potensi diri dan organisasi yang ada.

Mahasiswa produktif tidak hanya berkisar pada definisi mahasiswa sebagai aktifis sosial politik. Lebih jauh lagi, Nugroho menyebutkan arah pengembangan kemahasiswaan di ITS. Empat arahan pengembangan inilah yang diperkenalkan kepada mahasiswa semenjak awal dalam pengaderan masal.

1. Akademis – keprofesian Secara dominan peran ini dipegang oleh lembaga mahasiswa jurusan dan fakultas. Berkaitan erat dengan bidang keilmuan masing-masing jurusan.

2. Softskill – manajerial Berupa pengembangan kemampuan teknis dan konseptual organisasi, yang membentuk keahlian dan ketrampilan. Ketrampilan ini diperkenalkan pada pengaderan massal terbatas dan dimatangkan pada berbagai jenis kegiatan kemahasiswaan.

3. Kewirausahaan Terkait di dalamnya adalah pengembangan kreatifitas. Model pengembangan ini dapat diimplementasikan oleh himpunan, fakultas ataupun BEM. Bentuk kewirausahaan yang terkait dengan keprofesian dikembangkan oleh himpunan dan fakultas. Sementara bentuk yang lebih bersifat umum dikembangkan oleh BEM ITS dan Workshop of Entrepreneurship & Technology (WE&T) ITS.

4. Kepekaan sosial Dalam lingkup lembaga mahasiswa jurusan, kepekaan sosial mengambil bentuk aksi kepedulian atau bakti sosial. Sementara bentuk aksi yang mengarah kepada pergerakan dilakukan oleh BEM ITS.

15

3.2. TUJUAN AKHIR SEBAGAI AWALAN

Untuk bisa membuat sebuah awalan dan proses yang bagus, pengader harus memulai dari tujuan akhir sebagai pijakan. Pemahaman terhadap tujuan akhir akan menggiring pengader terhadap tujuan-tujuan antara yang dicapai pada Student Day, Camp dan LKMM TD. Tujuan akhir dari kader yang diharapkan biasanya telah dirumuskan oleh Himpunan dalam pernyataan misinya. Bentuk pernyataan misi dapat berupa sebagai berikut:

Meningkatkan ketakwaan kepada Allah Yang Maha Esa (dengan segenap arti yang dikandungnya)

Membina kebersamaan dan kekeluargaan di antara seluruh mahasiswa [nama jurusan], dengan dilandasi semangat keterbukaan dan kemitraan

Membentuk Mahasiswa [nama jurusan] yang memiliki sikap kecendekiawanan dan integritas pribadi yang dilandasi kejujuran, kebenaran dan keadilan.

Membangun sikap kepemimpinan, keorganisasian dan kemampuan manajerial bagi seluruh Mahasiswa [nama jurusan].

Menumbuhkembangkan rasa peka dan peduli terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

Meningkatkan penalaran, minat dan bakat dan kegemaran mahasiswa [nama jurusan].

Mengadakan hubungan dan kerjasama di bidang ilmiah dan keprofesian dengan organisasi sejenis, lembaga dan instansi pemerintah maupun pemerintah swasta.

Pernyataan misi di atas bukanlah suatu paten yang harus anda gunakan. Ide

dasar yang harus anda tangkap adalah bahwa penentuan tujuan-antara dari pengaderan massal haruslah didasarkan atas pijakan yang benar. Pernyataan misi lembaga menyediakan pijakan berupa arahan atas hasil akhir ideal yang diharapkan, sesuai dengan kebutuhan jurusan.

3.3. TUJUAN-ANTARA Setelah kita mengawalinya dengan tujuan akhir, selanjutnya dapat dirancang tujuan-antara pada ketiga tahapan pengakaderan yang ada: 3.3.1. Student Day Tujuan dari student day adalah:

1) Mengenalkan maba kepada: Dirinya sendiri

Dalam tahapan student day, maba diharapkan telah dapat mendefinisikan dirinya secara benar. Pengader harus membantu maba dalam memahami dirinya tanpa terjebak dalam pengkotak-kotakan karakter. Maba diharap dapat segera mengenali kekuatan dan kelemahan dirinya semenjak awal, serta mengetahui bagaimana cara memperkuat dan menumbuhkan potensi dirinya.

Rekan satu angkatan, senior, dosen dan karyawan jurusan Kampus

Mengenalkan lingkungan kampus secara fisik. Memahamkan sejarah, perkembangan dan harapan masa depan terhadap kampus.

Budaya/kultur jurusan

16

Mengenalkan maba kepada kebiasaan-kebiasaan efektif masyarakat jurusan dan menanamkannya kepada maba. Bersamaan dengan itu, mengenalkan kebiasaan-kebiasaan tidak efektif dari masyarakat TC dan mencegah maba mengadopsinya.

Himpunan Mahasiswa Jurusan 2) Menanamkan pola pikir prestatif 3) Menanamkan keinginan belajar yang besar 4) Menanamkan ketegasan sikap 5) Menanamkan kepedulian terhadap sesama 6) Membina keutuhan seluruh angkatan 7) Memahamkan konsep dasar kepemimpinan 8) Meningkatkan wawasan keilmuan, spesifik berdasarkan jurusan

3.3.2. Camp Tujuan dari Camp adalah:

1) Pemantapan konsep diri 2) Pemahaman tentang ilmu komunikasi dasar 3) Pengenalan terhadap lembaga formal institut beserta kiprahnya 4) Memantapkan pola pikir dan sikap kecendekiawanan 5) Memantapkan integritas pribadi yang dilandasi kejujuran, kebenaran dan

keadilan 6) Membangun sikap kepemimpinan 7) Menumbuhkembangkan rasa peka dan peduli terhadap masalah-masalah

sosial kemasyarakatan 8) Pengenalan ilmu dasar organisasi 9) Pengenalan team building 10) Pemantapan komitmen untuk memajukan organisasi

3.3.3. LKMM Tingkat Dasar Tujuan dari LKMM Tingkat Dasar adalah:

1) Peserta mampu mengadakan Analisa Kondisi Lingkungan dalam perancangan program kegiatan

2) Peserta memahami konsep dan gaya kepemimpinan, serta mampu menerapkannya

3) Peserta memahami peran-peran dalam tim dan mampu menempatkan diri dalam peran yang sesuai dengan kondisi

4) Peserta mampu mengelola sebuah tim dalam kegiatan dan organisasi 5) Peserta memahami perilaku dasar organisasi dan arah pengembangannya 6) Peserta memahami cara pengambilan keputusan yang baik serta mampu

menerapkannya dalam kehidupan organisasi 7) Peserta memahami dasar dan esensi pergerakan mahasiswa 8) Peserta mampu membuat suatu usulan kegiatan 9) Peserta mampu melaksanakan perencanaan, pengaturan, pendelegasian

tugas, membuat time schedule, sampai mengevaluasi suatu kegiatan

3.4. NILAI YANG DITANAMKAN Jika kita sudah memiliki arahan serta identifikasi tujuan-antara, maka kita telah memiliki gambaran yang tegas tentang model nilai yang harus ditanamkan. Namun berikut ini, saya coba untuk mendeskripsikan beberapa nilai yang tidak

17

teridentifikasikan secara eksplisit (dan bahkan implisit) dalam tujuan belajar yang tercantum di atas. Pemaparan yang panjang lebar lebih dimaksudkan untuk memperkuat wacana dan dasar pemikiran. Dan tantangan sesungguhnya adalah pada bagaimana kita menanamkan nilai-nilai berikut. Namun, strategi konkrit penanaman nilai-nilai yang tersebut di bawah ini tidak saya paparkan pada tulisan ini, melainkan pada tulisan lain yang terpisah. Yang jelas, dalam kerangka pengaderan berkelanjutan, penanaman nilai berikut tidak terikat oleh waktu resmi pengaderan massal. 3.4.1. Pemahaman Kedudukan Terhadap Entitas Luar

Islam menghendaki seseorang untuk memahami eksistensi dirinya sebagai makhluk moral yang bertanggung jawab terhadap segala tindakannya. Ia memahami bahwa dirinya harus tetap mencintai keberadaan dan keselamatannya, yang kemudian diperluas dengan keberadaan dan keselamatan orang lain dan lingkungannya.

Manusia harus menerima kenyataan bahwa pada dasarnya dirinya tidak sendirian dan kesepian di alam ini. Ia tidak terasing. Ia dapat melakukan interaksi secara timbal balik, bukan hanya dengan sesama manusia tetapi juga dengan alam sekitar. Kemandirian yang buta –akibat ketergantungannya kepada akal dan teknologi- mengakibatkan seseorang dengan rela mengasingkan diri dari orang lain. Interaksi yang berlebih dengan komputer, televisi dan internet menyisihkan banyak waktu berharga untuk membangun ukhuwah dengan orang lain.

Interaksi dengan orang lain merupakan hubungan saling memberi dan menerima, atau dalam konteks tertentu, cukup hanya memberi. Yang jelas, interaksi tersebut dilakukan untuk saling mengisi. Dalam segenap keluar-biasaannya, manusia juga memiliki banyak kelemahan. Dalam konteks pengaderan, pemahaman ini dapat tampak dalam perilaku semisal:

Maba saling mengenal satu sama lain Adanya kepedulian antar sesama maba Dapat bekerja sama secara sinergis dengan orang lain

Sementara itu, manusia adalah subyek sekaligus obyek bagi dirinya sendiri. Ia dapat mengambil jarak dari dirinya sendiri, mengamatinya, dan mencoba mendefinisikannya dalam hubungannya dengan hal-hal dan dunia di luar dirinya, yakni dengan ciptaan-ciptaan Tuhan yang lebih rendah dari dirinya (alam semesta, tumbuhan dan binatang), juga dengan sesamanya manusia. Akan tetapi, mungkin yang membuatnya unik dan tidak dapat dibandingkan dengan binatang adalah kemampuan manusia untuk menyadari keberadaannya serta menempatkan dirinya dalam suatu hubungan dengan Sang Pencipta. Hal mendasar inilah yang dengan tegas harus selalu dimantapkan.

3.4.2. Berpikiran Luas Secara tidak sadar, manusia sering terperangkap dalam penyederhanaan masalah. Pada kenyataannya, banyak di antara kita yang mudah tergesa-gesa, tidak sabar, bahkan cenderung untuk bersikap tidak wajar. Sifat-sifat tidak terpuji itu jelas menunjukkan kegagalan manusia dalam merspon dan menyikapi kerumitan tata alam semesta.

Seorang maba dikatakan tidak berpikiran luas manakala dia berpikir pembelajaran dirinya berhenti manakala CAMP berakhir. Tidak berpikiran luas manakala dia hanya mengumpulkan berbagai argumen dan kosakata negatif tentang pengaderan dan segenap makna yang dikandungnya. Tidak berpikiran luas manakala dia enggan mengubah persepsi dirinya tentang sesuatu secara buta, enggan keluar dari zona nyamannya untuk belajar sesuatu. Tidak berpikiran

18

luas manakala enggan memikirkan apa yang tersirat, hanya mempertimbangkan aspek-aspek yang disukainya saja. Tidak berpikiran luas manakala dia berpikir urusan di kampus cuma kuliah, tak lebih dan tak kurang dari itu.

Lebih jauh dari itu, manusia dikatakan tidak berpikiran luas bila dia hanya meyakini segala alam semesta ini hanya dari apa yang bisa dia lihat. Dia menolak keberadaan hal-hal yang ghaib. Dia menolak logika kausalitas yang melibatkan hal-hal yang ghaib dan tak bisa diindera. Seseorang dikatakan tidak berpikiran luas apabila dia tidak mempercayai kekuatan doa.

Seseorang yang tidak berpikiran luas cenderung menyederhanakan masalah. Segala sesuatu dianggap terjadi dengan sendirinya, tanpa keterkaitan dan ketergantungannya dengan faktor atau penyebab lain. Padahal, alam diciptakan oleh Allah dengan segala keteraturan dan kerumitan hubungan sistemnya yang padu; adanya jaringan yang kompleks yang saling berhubungan dan sekaligus bertentangan. Sikap penyederhanaan tersebut jelas bertentangan dengan watak kerumitan dan sekaligus keteraturan sistem alam.

Kesuksesan seseorang dalam memperoleh ridho Allah, tidaklah didapatkan benar-benar karena sebuah kebetulan. Seseorang yang mendapatkan ilmu yang manfaat dan barokah tidak bisa dikatakan sedang kejatuhan rizki dari langit. Kesuksesan mahasiswa dalam mendapatkan IP 4 tidak bisa lantas dikatakan karena kehebatan akalnya. Terbentuknya pribadi yang mantap, tangguh, kreatif dan bertanggung jawab tidak lantas bisa dikatakan sebagai hasil pengaderan massal semata.

Salah satu penyebab terperangkapnya manusia di dalam penyederhanaan itu bisa jadi karena ketidakmampuannya dalam mengoptimalkan fungsi akal yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya. Pemikiran sempit dapat disebabkan oleh pemanfaatan akal yang menyalahi fitrah dan tujuan pembuatannya.

Akal, yang dalam arti bahasa bermakna tali pengikat atau penghalang itu, dalam Al Quran, digunakan untuk menunjuk “sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang supaya tidak terjerumus ke dalam kesalahan atau dosa.” Al Quran juga menjelaskan bahwa fungsi akal antara lain sebagai daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu (QS. Al Ankabut, 29, 43), sebagai daya dorong moral (QS. Al An’aam, 6:15), dan sebagai daya tangkap pelajaran, kesimpulan dan “hikmah”.

Pemikiran yang sempit juga dapat disebabkan oleh karena tumpulnya qalbu, sebagai salah satu dimensi unsur manusia yang paling menentukan. Ketumpulan dan ketidakpekaan kalbu menyebabkan seseorang menolak sinyal-sinyal peringatan yang akan membahayakan diri dan kehidupannya (QS. Al Qaaf, 50:37). Ketumpulan kalbu menyebabkan rasa cinta kepada keimanan dan akhlak yang indah tidak mau bersemi di hatinya. Sedangkan ketajaman kalbu menjadikan iman begitu indah dan nikmat bersemayam di dalamnya.

Akibat tidak optimalnya fungsi daya akal dan qalbu, seseorang tidak mampu menghubung-hubungkan berbagai elemen yang menyebabkan sesuatu, yang menyebabkannya tidak berpikiran luas. Dia hanya mampu menyimpulkan sesuatu yang ada di hadapannya secara kasat mata, tidak sanggup mengingat dan belajar dari masa lalu, memvisualisasikan masa depan, apalagi menunjuk dan menghubungkan berbagai sebab yang saling berkaitan erat ini.

Kedangkalan seseorang dalam memahami peristiwa yang terjadi, dapat ditemukan dalam kehidupan nyata. Misalnya ketika sembuh dari penyakit setelah meminum obat tertentu, ia lantas menganggap obat itulah satu-satunya penyebab kesembuhan, bahkan tidak sedikit yang menganggap obat itulah yang menyembuhkannya. Apabila anggapan seperti itu menguat, maka dapat

19

melahirkan kondisi psikologis dan situasi kemanusiaan yang terlalu mengandalkan dan bergantung pada satu sebab. Padahal tata alamiah membuktikan bahwa segala sesuatu di alam wujud itu terjadi bukan hanya dikarenakan oleh sebab yang berdiri sendiri secara bebas dan terasing. Satu sebab saja, tanpa keterkaitan dengan bermacam sebab yang lain, tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap terjadinya sesuatu.

Baik sebab-sebab yang dapat ataupun tidak dapat diterima oleh akal, semuanya tergantung satu sama lain (interdependen). Ketergantungan ini merupakan ciri alamiah dari makhluk ciptaan Tuhan dan sekaligus merupakan hukum yang mengaturnya. Selain itu, efektifitas pengaruh berbagai sebab itu baru akan terjadi apabila penghalangnya tidak ada. Belum lagi kalau kita menghitung bermacam sebab yang tidak kasat mata, bersifat maknawi, dan kondisi-kondisi eksternal yang menghasilkan perubahan terhadap sesuatu.

Oleh karena itu, sesuatu yang dikhawatirkan atau diharapkan terjadi oleh dan pada kita tidak lepas dari pengaruh makhluk lainnya. Tanpa dukungan dari yang lain dan berbagai sebab serta reaksi yang harmonis pada masing-masing sebab, maka bila sesuatu berdiri sendiri dan terasing, ia tidak dapat memberikan pengaruh. Sedangkan, yang menggerakkan semua sebab, melahirkan berbagai pengaruh, mengatur dan menjalankan tata hubungannya dalam kepaduan sistem yang utuh adalah Dzat Yang Maha Esa dan Maha Memaksa. Maka Dia-lah sumber segala sebab yang mempengaruhi terjadinya sesuatu dan menimbulkan segala efeknya.

Sehingga, berpikiran luas tidak hanya mengedepankan akal sebagai perangkat utama. Seorang mukmin juga menggunakan kekuatan qalbu yang tunduk kepada aturan Allah untuk dapat melihat fakta secara luase dan menarik hubungan yang benar. Hal inilah yang menjadikan pengaderan tidak boleh sekedar mengejar prestasi akal dalam bentuk kekritisan dan kemampuan berargumentasi.

Berpikir luas memerlukan keyakinan seseorang kepada hal-hal yang ghaib. Iman kepada hal yang ghaib adalah merupakan persimpangan jalan dalam peningkatan manusia dari alam binatang. Demikian yang ditulis oleh Sayyid Quthb dalam tafsir Fi-Zhilalil Qur’an. Iman kepada yang ghaib merupakan ambang pintu yang harus dilalui manusia agar bisa melampaui taraf kebinatangan yang tidak bisa mengetahui kecuali apa yang bisa dijangkau oleh inderanya, menuju martabat manusia yang bisa mengetahui bahwa wujud ini jauh lebih besar dan jauh lebih luas ketimbang wilayah kecil dan terbatas yang bisa dijangkau oleh indera-atau peralatan yang merupakan perpanjangan indera manusia.

Pengaderan harus menjelaskan kekuatan dzikir dan sholat dalam pembentukan mentalitas militan seseorang. Pengaderan harus menjelaskan kekuatan dan kebenaran Al Quran sebagai argumentasi tak terbantahkan. Pengaderan harus mengajak maba berpikiran luas dengan menata kembali parameter kesuksesan dunia, parameter kehormatan hidup, parameter pribadi sukses, parameter manajemen waktu efektif dan sebagainya.

3.4.3. LA HAWLA WALA QUWWATA ILLA BI ALLAH

Dalam ledakan potensi yang diletupkan oleh maba, kemandirian sikap yang dimantapkan dalam penentuan sikap dan perilaku secara merdeka, bebas dari tekanan orang, serta terpenuhinya kebutuhan pribadi atas hasil sinergisitas dengan orang lain, maba harus tetap harus menyadari segenap keterbatasan yang dimilikinya. Perasaan aman dan serba berkecukupan merupakan jebakan yang harus dihindari.

20

Allah swt telah mengisyaratkan dalam firman-Nya tentang manusia yang kelewat PeDe dengan kekuatan dirinya. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al ‘Alaq, 96:6-7)

Sesungguhnya, Allah telah mengemukakan beberapa kelemahan yang harus dihindari. Misalnya dilukiskan manusia sebagai makhluk yang amat aniaya dan mengingkari nikmat, sangat banyak membantah, dan bersifat keluh kesah lagi kikir.

Oleh karena itu, kesadaran manusia bahwa dirinya serba lemah dan kekurangan justru dapat membangkitkan kesadaran bahwa ia memerlukan kekuatan yang ada di luar dirinya; kekuatan yang tidak ada tandingannya. Itulah Dzat Yang Maha Esa, Maha Tinggi, Maha Memerintah, dan Maha Memberi segala yang diminta. Hanya kepadanya-lah semestinya kita meminta dan kepada-Nya pula kita harus menggantungkan diri.

Dalam pengaderan, amat dimungkinkan maba termakan oleh “kegarangan” para seniornya. Dari sini perasaan takut dan berharap terhadap makhluk (sang senior) dimungkinkan muncul. Perasaan takut kepada makhluk ini malah dapat mengalahkan rasa takut maba kepada Allah. Sungguh saya tidak berkata bohong. Di ITS pernah terjadi peristiwa di pengaderan massal di mana maba lebih memilih untuk tidak sholat wajib (bahasa yang digunakan panitia provokator adalah “menunda”) karena takut kepada senior. Kita berlindung kepada Allah swt atas hal semacam itu.

Dalam suasana pengaderan yang tidak kondusif (tidak Islami), maba dapat diarahkan untuk mengikuti keinginan (sebagian) panitia. Tindak lanjutnya adalah maba lebih berpikir tentang bagaimana mencari ridhonya panitia katimbang ridhonya Allah. Maba dapat diarahkan untuk berpikir singkat dan pragmatis, dengan melihat apa yang ada di depan mereka, serta mencari kenyamanan dan kondisi selamat (menyenangkan panitia) dalam segenap proses pengaderan masal. Maba merasa tidak berdaya untuk melawan ataupun berkehendak lain.

Oleh karena itu, fenomena ketidakberdayaan ini harus diikuti oleh kesadaran penuh akan adanya kekuasaan yang mampu mengatasi dan memecahkan masalah yang dihadapi manusia. Setiap manusia harus membenamkan diri ke dalam kekuasaan yang ada di luar dirinya; kekuasaan yang tak terhingga jangkauan dan spektrumnya; kekuasaan yang berbuat dan berkehendak dengan kemauan dan perencanaan-Nya, tanpa bantuan siapapun.

Oleh karena itulah, kita harus membantu maba untuk dapat menyatakan secara tulus la hawla wala quwwata illa bi Allah (dan tidak lupa juga untuk diri kita sendiri). Pernyataan itu adalah sebuah pengakuan tulus seorang hamba atas ketidakberdayaan dirinya dan makhluk-makuluk yang lain. Hal itu merupakan cermin kesadaran manusia bahwa totalitas dirinya adalah milik-Nya yang mutlak. Semua yang ada pada dirinya dan makhluk-makhluk lain, sepenuhnya berada dalam genggaman-Nya.

Selain itu, pengakuan tersebut dapat menjadi energi besar yang dapat membangkitkan optimisme dan keberanian, membangkitkan kesadaran untuk melepaskan diri dari perangkap kesombongan dan ketidaberdayaan seseorang. Energi ini jugalah yang dapat mencegah maba dalam mengkultuskan seniornya. 3.4.4. Kedewasaan Bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri berarti semakin mampu bertanggung jawab atas diri sendiri dan menolak pendiktean atau pemaksaan kehendak dari apa pun yang berada di luar diri. Bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri berarti menjadi semakin mampu menyatakan, mengaktualisasikan, mengeluarkan

21

potensi-potensi yang dipercayakan (dititipkan) Sang Pencipta. Bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri berarti menjadi semakin berdaya, semakin merdeka dan berdaulat, semakin (lebih) manusiawi. Bertumbuh menjadi dewasa berarti semakin menjadi diri sendiri dan menjauhkan kecenderungan suka meniru dan sekedar ikut-ikutan (seperti balita yang sedang belajar meniru segala hal yang dilihatnya dari orang lain). Bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri berarti semakin mengenal diri, semakin jujur dengan diri sendiri, semakin otentik, dan menjadi semakin unik tak terbandingkan.

Stephen Covey mendefinisikan kedewasaan sebagai keseimbangan antara courage (keberanian) dan consideration (pertimbangan). Manusia yang bertindak secara berani tanpa disertai dengan pertimbangan yang seksama adalah ceroboh atau nekad, dan itu pertanda bahwa ia belum cukup dewasa karena cenderung membahayakan orang lain. Sebaliknya, manusia yang terlalu banyak pertimbangan dan kurang menunjukkan keberanian adalah jenis manusia no action, talk only, ini pun pertanda dia belum dewasa.

Orang-orang yang merasa dewasa pada umumnya mampu berbicara. Akan tetapi mereka sering kali tidak mampu (baca: tidak belajar lagi untuk) menyampaikan isi kepalanya (baca:ide-ide dan gagasan-gagasan brilian) untuk dapat dipahami atau dimengerti oleh orang lain. Mereka sering kali talking, tetapi tidak sampai speaking.

Pandangan Covey di atas lebih banyak mengungkapkan dimensi psikologis dan sosiologis dari kedewasaan. Dan, untuk itu masih dapat ditambahkan dimensi spiritualnya. Orang yang dapat disebut dewasa secara rohani adalah mereka yang memiliki kepekaan atau sensitivitas yang semakin tinggi atau besar terhadap dosa atau kesalahan yang sangat kecil. Sementara mereka yang tidak atau kurang peka terhadap dosa atau kesalahan belumlah pantas disebut dewasa, apalagi orang-orang yang sudah jelas-jelas melakukan kesalahan.

Sejatinya, menyadari keterbatasan dan ketidakberdayaan diri itu sendiri merupakan salah satu wujud dari kesadaran manusia terhadap eksistensi dirinya. Dalam konteks inilah mengapa para ilmuwan dituntut untuk selalu bersikap wara’ (hati-hati), tawadhu (rendah hati), tetapi sekaligus pemberani.

Wara’, dikarenakan ia harus menyadari bahwa dirinya menjadi model, sehingga harus sangat berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang mengakibatkan orang lain tersesat. Tawadhu, karena ilmu yang dimiliki pada hakikatnya sangat kecil dan sedikit. Pemberani, karena alam semesta dengan segala misteri yang ada di dalamnya, masih terbentang luas untuk diteliti, dipahami dan digali kemanfaatannya.

22

BAB 4 SAY NO TO PISUHAN

SAY NO

to PISUHAN

ada awalnya pokok bahasan ini saya masukkan pada bab 2; Kaidah Pengaderan. Namun melihat pembahasannya yang cukup menyita banyak

porsi, saya kemudian memisahkannya ke dalam bab tersendiri. Sengaja pula saya letakkan setelah kita membahas tentang nilai yang ditanamkan pada bab 3 untuk memudahkan saya dalam menegaskan betapa tidak singkronnya pisuhan ini dalam memperkuat konsep dan penanaman nilai sebenarnya.

Pisuhan di ITS memang terkesan sudah menjadi sebuah budaya, bagi sebagian kalangan tentunya. Budaya buruk yang entah kenapa masih terus dipertahankan. Dengan mengangkat istilah tradisi dan trade-mark arek ITS sebagai pembenaran, pisuhan ini menjadi tindakan yang secara subyektif terkesan dianggap wajar oleh sebagian (besar?) orang. Dalam mailing list alumni ITS (http://groups.yahoo.com/group/al-its/), kita dapat menjumpai rangkaian kalimat berikut dalam prakata yang tertulis di sana; “Mailing list ini diperuntukkan khusus untuk alumni, civitas academica dan simpatisan ITS Surabaya. Jika anda bukan tergolong definisi gerombolan diatas. mohon urungkan niat anda untuk bergabung kecuali anda mempunyai mental baja mendengarkan ‘pisuhan’-nya arek ITS.” Pisuhan seakan sudah menjadi reaksi biologis yang sudah teridentifikasi dan diakui bersama sebagai rangkaian tingkah laku “responsif”, sama seperti kebiasaan menutup hidung ketika bersin.

Namun kita sekarang coba untuk mempersempit pembahasan tentang hal ini dalam kaitannya dengan pengaderan. Argumen yang diajukan oleh –beberapa- senior “tukang misuh” adalah bahwa pisuhan dapat melahirkan pribadi yang bermental tangguh, berani dan tahan tekanan. Maba coba untuk dikenalkan semenjak awal tentang kehidupan keras sesungguhnya di kampus. Dengan pisuhan, maba dilatih untuk tetap mampu berpikir sehat dan kritis dalam kondisi yang tidak kondusif. Dalam kondisi yang tidak kondusif inilah dikatakan dapat dimunculkan figur/tokoh baru dari angkatan maba. Sebagai tambahan, si tukang misuh mengajukan usulan pisuhan dalam pengaderan karena mereka merasa sudah terbiasa dengan pengucapan kata pisuhan dalam keseharian. Sulit untuk menghilangkannya dan kurang plong rasanya kalau nggak mengucapkannya, demikian aku mereka.

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu, dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An Nahl:125)

Berkaitan dengan pisuhan, sedikit saya ingin bercerita tentang pengalaman pribadi ketika masih menjadi maba di Asrama Mahasiswa ITS (AMITS). Saat itu, kultur pisuhan dan bentakan masih benar-benar kuat dan berakar. Pengaderan (dinamakan bhakti blok) dilakukan pada malam hari -selama beberapa jam- dalam rentang waktu antara jam 9 malam hingga shubuh. Dalam satu minggunya diadakan dua sampai empat kali pertemuan. Kami menggunakan hall di masing-masing blok sebagai arena “pembantaian”. Ruangan besar yang mengundang gema itu senantiasa menjadi pengeras suara bagi pisuhan dan lengkingan pita suara para senior. Apalagi bila yang datang adalah para alumni, yang terlihat

P

23

lebih sangar dengan suara menggelegar dan rambut panjangnya yang hampir mencapai pinggang.

Pisuhan membuat saya dan teman-teman terdiam dan merasa tak nyaman. Bentakan senior yang diteriakkan di zona pribadi dan bahkan kurang dari itu, hanya sekitar empat senti di depan hidung, sudah cukup membuat saya dan teman-teman tidak bisa berpikir jernih. Memang benar pada akhirnya saya mulai dapat berbicara dan melawan. Namun itu setelah senior saya yang lain -di luar sesi bhakti blok- telah meyakinkan saya untuk senantiasa hanya takut kepada Allah. Dan beruntung jugalah saya punya karakter dasar koleris yang membuat saya bernaluri alamiah untuk berontak.

Yang jelas, pada waktu itu saya harus mengeraskan hati saya –sadar atau tidak sadar- untuk bisa menghadapi kata-kata pisuhan. Artinya, untuk bisa melawan, saya pikir saya harus bisa lebih berkonsentrasi pada argumen yang diajukan senior, bukan pada pisuhan yang diteriakkan. Sehingga untuk itu, saya harus menetralisir “kedahsyatan” makna dari kata-kata pisuhan. Saya harus menganggap kata-kata pisuhan itu hanya sebagai kata “Ya Ampun”, “Aduh” atau sekedar penyebutan nama hewan. Dengan cara itulah saya berusaha menanggulangi kekalutan emosional sebagai dampak dari kata pisuhan.

Cukup berhasil. Namun toh nantinya saya harus mengembalikan pemaknaan kata pisuhan itu pada bobot aslinya. Alhamdulillah Allah telah menolong saya. Pisuhan memang membuat saya berontak, berpikir dan berbicara dalam kondisi yang tidak kondusif, meskipun tak jarang hanya melahirkan argumentasi yang reaktif. Pada waktu itu memang saya merasa diri saya cukup tangguh dan tahan tekanan. Tapi pisuhan tetap merupakan cara yang salah.

Banyak teman-teman saya yang akhirnya bersikap tolerir terhadap kata pisuhan. Ketika hati sudah mengeras dan kita sudah tidak merasakan “kedahsyatan” makna dari pisuhan, maka seseorang akan merasa terbiasa dalam mendengar atau bahkan mengucapkannya. Terlebih lagi kami melihat para senior (tentu tidak semua) telah menerima pisuhan sebagai suatu budaya yang menunjukkan identitas seorang warga asrama, arek ITS dan juga arek Suroboyo. Benar-benar logika dan propaganda yang menyesatkan. Akhirnya kata pisuhan dapat dengan mudahnya terucap sebagai imbuhan kalimat. Pisuhan terkesan sebagai perlambang bahasa gaul dan keakraban, meniru “sukses” rokok dalam pergaulan.

Kita tidak membutuhkan pisuhan untuk membentuk jiwa yang tangguh dan mental yang kuat dalam situasi yang tidak kondusif. Bila pisuhan dianggap telah berhasil membentuk pribadi semacam itu, maka sesungguhnya bersamaan dengan itu, pisuhan juga telah mengeraskan hati, yang menjadikan seseorang mengalami kesulitan dalam menerima kebenaran. Kita berlindung kepada Allah dari hal semacam demikian. Jiwa yang tangguh dibentuk dari seberapa jauh interaksi kita dengan Allah, bukan malah menjauh dari-Nya. Berikut adalah beberapa hal tentang pisuhan yang perlu kita perhatikan bersama, dipahami dan dikritisi; 1. Ide dasar dari penggunaan pisuhan (makian, cacian) adalah untuk

mengekspresikan rasa benci, dongkol (mangkel), tak suka, kecewa atau yang lain. Pisuhan digunakan untuk mengungkapkan emosi negatif, untuk memberinya nama. Sementara itu, orang dewasa mestinya memiliki cara yang dewasa pula dalam mengekspresikan perasaan negatif. Orang dewasa harusnya dapat mengelola emosinya secara cerdas.

2. Common sense. Hal yang sudah dipahami secara umum oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran. Bisa dipastikan seluruh ajaran agama (termasuk aliran kepercayaan) menggolongkan pisuhan dalam kategori tindakan tercela.

24

Akal sehat yang berlaku di masyarakat juga masih mengatakan pisuhan sebagai tindakan tak patut. Salah seorang dalang saja akhirnya batal didemo masyarakat ketika dia akhirnya bisa mengerem kebiasaan buruknya yang suka misuh waktu ndalang. Akhirnya dia pun bisa tampil lancar tanpa boikot di Sidoarjo.

3. Pengakraban diri dengan pisuhan menjadikan seseorang terbiasa dengan pisuhan. Apabila seseorang sudah tidak merasakan “kedahsyatan” atau keburukan makna pisuhan dalam hatinya, bagaimana dia kemudian bisa merasakan indahnya tahmid dan istighfar dalam hati? Bagaimana bila dia jadi lebih mudah mengucapkan pisuhan ketimbang dzikir?

4. Bila yang dimaksud adalah pengenalan terhadap realita kehidupan yang keras, begitu katanya, bukan berarti kita harus menjerumuskan diri dalamnya. Semisal kita ingin memahamkan tamu di rumah tentang kebiasaan misuh yang dilakukan oleh sebagian saja tetangga di sekitar rumah. Bukan berarti kita harus misuh tamu kita habis-habisan untuk memahamkan dia.

5. Jangan terjebak oleh propaganda yang mengatakan pisuhan sudah menjadi tradisi di ITS atau Surabaya, untuk kemudian dilestarikan. Sungguh aneh bila pisuhan ini lantas dijadikan simbol identitas arek ITS, atau arek Suroboyo. Propaganda semacam ini dinamakan Bandwagon. “They tell you that "everybody is doing it" and you should join in”. Suatu tindakan/kebiasaan dikatakan harus diikuti karena banyak orang telah melakukannya.

Propaganda ini membuat target merasa dirinya menang, aman dan tidak merasa aneh dan berbeda ketika dia sudah mengikuti arus kebiasaan dari –yang diklaim- kaum kebanyakan. Propaganda ini sendiri sebenarnya tidak mengandung unsur kekejian. Tergantung siapa yang melakukan serta cara dan tujuan yang hendak dicapai. Ketika pisuhan sudah disuarakan dan disugestikan berulang kali, maka ide dasar dari penggunaan perangkat sugesti dalam hal ini adalah untuk mempengaruhi seseorang untuk menerima sebuah dalil, biarpun tidak memiliki pijakan logika yang jelas.

Sehingga perlu dipertegas kembali, apakah esensi dasar dari identitas diri? Bagaimana sebuah tindakan buruk dapat diikrarkan sebagai pembentuk identitas diri? Benarkah pisuhan ini menjadi kebiasaan mayoritas orang?

Penyesatan sugesti atas pisuhan ini dapat menyebabkan seseorang terjebak dalam kebutaan public value. Dalam kebutaan itu, tradisi dan gembar-gembor identitas lebih dikedepankan secara komunal (publik) ketimbang moralitas. Moralitas dari Tuhan, atau bahkan moralitas common sense pun akhirnya terkalahkan oleh jargon gaul, generasi modern, kebebasan berpendapat atau yang lainnya.

6. Bila tujuan yang diinginkan adalah untuk melatih maba agar dapat kritis dan pandai berargumentasi, maka satu hal yang patut diingat adalah, bahwa pisuhan bukanlah sebuah argumentasi. Pengucapan pisuhan oleh seseorang malah menjadikannya terjebak pada kesalahan berlogika, yakni dengan tidak menyerang argumen lawan, melainkan pada pribadi orang yang menyampaikan (Fallacy of Distraction - Argumentum ad Hominem). Sudah kehabisan argumenkah seseorang hingga dia harus mengeluarkan pisuhan? Kalau cuma ingin belajar kosakata atau teknik misuh, tidak perlu belajar dari mahasiswa bukan?

Kelemahan ini tentu saja tidak bersifat mendidik. Pisuhan bukanlah hasil olah pikir yang kritis, tidak butuh menjadi pintar untuk bisa mengeluarkan pisuhan. Pisuhan adalah argumentasi para pecundang.

7. Bila dikatakan tujuan yang diinginkan adalah untuk membentuk mental yang tetap kritis dan tangguh dalam kondisi tidak kondusif, maka kita di sini bisa

25

terjerumus pada ketidakjelasan prioritas pembelajaran. Pisuhan membuat maba merasakan bias akan tujuan pembelajaran sesungguhnya. Maba kehilangan fokus pada argumen yang dilancarkan pengader dan lebih “terkesan” pada pisuhan yang diteriakkan, karena dia terasa lebih membekas di hati. Bila maksud tambahannya adalah supaya maba dapat mengontrol emosinya dengan pisuhan itu, maka kita pun patut bertanya, ”Apakah senior yang misuh juga bisa sabar jika dipisuhi balik oleh maba?”Kalo nggak, kenapa? Soalnya yang misuh maba? Nggak ilok? Lancang? Soalnya senior lebih mulia dan selalu benar?

8. Pisuhan mendatangkan perasaan berkuasa bagi pengucapnya. Seolah-olah dia lebih mulia, lebih benar dan lebih kuat ketimbang orang yang dipisuhinya, utamanya bila yang “bermain” adalah senior dan maba. Namun ini hanya dilakukan karena maba dianggap sebagai makhluk yang lemah, lebih muda dan lebih bodoh. Coba saja, apakah sang pemisuh berani misuh sampai berbusa-busa di depan kajur, gubernur atau Megawati bahkan? Tidak, atau barangkali tidak. Kenapa? Karena tidak pantas? Tidak sopan? Takut? Apakah karena seseorang lebih muda, tak punya jabatan, tak punya bodyguard atau bahkan karena keluguannya menjadikan dia pantas dihinakan?

9. Barangkali hanya orang koleris yang mampu berontak secara alami dan tetap bisa berpikir kritis dalam kondisi tak kondusif (terhinakan). Sementara orang-orang sanguinis, phleghmatis dan apalagi melankolis akan merasa tertekan dengan pisuhan.

Bukan berarti metode keras tidak perlu diterapkan. Saya secara pribadi masih menganggap metode keras dengan bentakan perlu diterapkan. Dengan metode inilah keberanian seseorang untuk mengungkapkan kebenaran dengan angkat bicara dan berargumentasi dilatih. Namun tidak dengan pisuhan. Untuk bisa mengubah seseorang kita memang perlu mengikutkan emosi dan perasaannya. Namun emosi yang hendak dimunculkan bukanlah emosi negatif, kebencian atau kemarahan akibat keterhinaan.

10. Dalam bab sebelumnya tentang nilai-nilai yang ditanamkan, tampaklah dengan amat jelas bahwa pisuhan tidak melakukan sedikit pun penguatan dari nilai-nilai itu. Pisuhan malah merusak kekuatan penanaman nilai dan konsep yang lain. Pisuhan tidak menggambarkan intelektualitas mahasiswa, tidak menguatkan peran mahasiswa sebagai moral force, tidak membuat mahasiswa semakin dekat dengan dengan penciptanya, tidak mempermudah mahasiswa untuk membina hubungan terhormat dengan orang lain, tidak membuat mahasiswa lebih diterima di masyarakat, … anda dapat dengan leluasa menambahkannya. Akhirnya, pisuhan tidak menguatkan peran kita sebagai teladan atau kakak yang baik.

26

BAB 5 KONSEP PENGKONDISIAN

KONSEP

PENGKONDISIAN

5.1. METODE Pengkondisian membutuhkan metodologi penyampaian. Bentuknya bisa beragam. Di sini saya hanya akan menyampaikan beberapa di antaranya. 5.1.1. Ceramah Metode yang sudah banyak diketahui. Pemateri -bisa sendiri atau dipanelkan- berbicara di depan forum. Setelah itu terdapat sesi tanya jawab. Pada metode ini, pengader dapat mencatat perilaku maba dalam berpendapat dalam suasana kondusif. Orang yang pandai berbicara dan berargumen dapat dimatangkan di luar forum. 5.1.2. Diskusi Pengader dapat menggunakan pola brainstorming untuk memancing dan sekaligus mematangkan pendapat peserta. Brainstorming ini bisa dilakukan baik secara sendirian ataupun kelompok.

Dalam diskusi kelas atau angkatan, seringkali kita menjumpai beberapa maba yang cepat “panas” dan kaya akan ide ketika rekan-rekannya yang lain masih perlu pemanasan pikiran. Dalam diskusi pleno, seringkali terdapat dominansi dari beberapa orang. Wajar, namun potensi maba yang lain menjadi kurang terbedayakan. Brainstorming pribadi dapat dilakukan untuk mengawali diskusi kelompok. Bentuk konkritnya bisa berupa curah pendapat pribadi di atas kertas. Pengader bisa membantu dengan mengajarkan peta pikiran (mind mapping) atau cara lain yang lebih sederhana. Dalam Brainstorming pribadi, seseorang dapat dengan bebas mengeluarkan idenya tanpa takut dikritisi dan didominasi oleh orang lain, namun bisa menjadi tidak efektif bila yang bersangkutan terkurung dalam masalahnya.

Group brainstorming (diskusi pleno atau angkatan) menghasilkan ide yang lebih dalam dan efektif, tapi ide yang didapat bisa jadi lebih sedikit dan menghabiskan lebih banyak waktu. Maba yang kreatif tapi pendiam juga bisa terkalahkan oleh yang tak kreatif namun banyak bicara. Terkadang seorang maba juga harus menghabiskan waktu untuk mengulang pendapatnya untuk memahamkan temannya yang lain.

Beberapa aturan yang perlu diperhatikan dalam melakukan brainstorming kelompok adalah:

Ada permasalahan yang telah terdefinisikan dengan jelas Membuat batasan waktu Menunjuk seorang pemimpin brainstorming (dari pengader atau maba

sendiri) yang bertugas: Mengarahkan diskusi Menangguhkan pendakwaan

27

Mendorong antusiasme dan munculnya pendapat Mendorong munculnya pendapat “gila”

Ada maba yang bertugas mencatat ide-ide yang dihasilkan Ide tidak dikritisi semenjak awal, namun maba dapat mengembangkan

ide temannya yang lain. Ide dari seseorang dapat mengundang datangnya ide dari orang lain, sehingga bisa menghasilkan sebuah reaksi ide berantai

Sebagai sebuah awalan, kuantitas lebih diutamakan ketimbang kualitas 5.1.3. Role Playing Permainan peran yang kerap ditemui adalah peran “The good, and the bad guy”. Dalam paradigma ini, pengader serasa harus mengorbankan beberapa orang yang “kebetulan” terpilih menjadi pihak jahat. Ide ini dilakukan mengingat maba tidak jarang tidak menunjukkan disiplin ketika menghadapi pengader yang penuh kemarahan. Maba terkesan lebih patuh dan tunduk ketika dikondisikan oleh pengader yang diposisikan sebagai kaum jahat. The bad guy ini pun terpaksa harus menyembunyikan diri dalam kondisi santai. Setelah pengaderan, tak jarang bila bad guys ini tetap dibenci dan dihindari oleh maba. Ide ini menarik dan cukup efektif, tapi tentu saja bukan yang terbaik. Bila tujuan dasar yang ingin dicapai adalah mendisplinkan, maka pengader tidak perlu dikorbankan dan dipaksa untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya. Yang perlu diupayakan dalam hal ini adalah konsistensi sikap pengader, dibentuk dari integritas antara apa yang dikatakan dan apa yang dikerjakan serta kemantapan dalam memegang aturan. Artinya, selalu ada alasan yang jelas dan predictable bagi pengader untuk merasa kecewa atau marah. Semisal pengader secara pribadi amat membenci kebohongan publik yang dilakukan oleh maba. Maka reaksi kecewa atau marah mungkin juga bisa terjadi bahkan ketika rencana seharusnya adalah sesi santai, bila memang telah terdapat cukup alasan untuk itu. Dengan cara ini, kemarahan pengader tidak terkesan dibuat-buat, melainkan merupakan cerminan sebuah kemantapan dalam memegang nilai dan aturan. 5.1.4. Permainan Metode ini masih relatif jarang diterapkan di ITS. Secara singkat, permainan dapat dikatakan sebagai pelajaran pembangun otot-otot tubuh, peregang pikiran, pembuat teman yang seharusnya menyenangkan. Konsepnya; Keep it simple make it fun and make it safe. Melalui permainan, maba dapat:

Belajar keahlian baru Mengembangkan hobi baru Berlatih untuk taat pada aturan Berlatih bermain jujur Berlatih untuk menghormati rekan main

Metode permainan ini dapat dilakukan untuk memenuhi tujuan belajar seperti:

Melatih kreatifitas Melatih kerja tim Melatih kekuatan menghubungkan ide Melatih keberanian Melatih optimisme

28

5.1.5. Pressing Saya tidak bermaksud untuk menjadikan anda pembaca untuk membenarkan atau menyalahkan metode ini. Pembahasan tentang pressing ini lebih saya maksudkan sebagai wacana. Ketimbang metode pressing ini, sebenarnya saya pribadi lebih menyukai metode yang memberdayakan lewat penyadaran, semisal dengan AMT. Tapi kendalanya, metode penyadaran ini membutuhkan tenaga pengader yang memiliki kapasitas pemandu beserta segenap ilmu pemotivasian terkait.

Pressing bukanlah metode yang buruk, bila dilakukan oleh orang yang tepat, untuk tujuan yang tepat. Model militerisme ini memiliki efek yang cukup buruk apabila dilakukan oleh orang-orang yang merasa dirinya sudah cukup tua dan pintar.

Memiliki motivasi belajar yang tinggi Berpikir jauh ke depan Bekerja secara terencana, terstruktur dan sistematis Bersedia untuk bersusah payah Memiliki rasa percaya diri yang tinggi Memiliki keberanian untuk mengambil risiko

Pemenuhan tujuan-tujuan pembelajaran di atas ternyata seringkali kurang berhasil bila dilakukan dengan metode tanpa pressin. Dalam banyak kasus, maba cenderung bermalas diri dan menolak keluar dari zona nyaman mereka.

Namun amat disayangkan bila masih banyak orang mempertahankan metode ini hanya karena alasan tradisi atau lebih buruk lagi, untuk bersenang-senang. Pressing dijadikan ajang pelampiasan syahwat perasaan dihormati (ditakuti) dan dominansi atas orang lain. Pressing memang dapat memberikan perasaan berkuasa bagi pengader yang menerapkannya. Megalomania, perasaan gila hormat dari beberapa senior juga mencemarkan tujuan mulia pengakaderan.

Sebuah hal menarik tentang pressing pernah disampaikan oleh Zainal Abidin -lebih dikenal dengan nama Zendin- salah seorang mantan aktivis ITS yang kini berkecimpung secara profesional dalam Pengembangan SDM. Dia mengatakan bahwa metode pressing merupakan Proses Belajar Model Trauma Sosial. Ketika selama pengaderan, pengader meneriakkan segala macam idealitas dan menetapkan standar yang tinggi kepada maba. Maba dianggap sebagai pribadi yang bodoh dan harus menurut. Namun pasca pengaderan, ternyata maba tidak melihat adanya konsistensi antara apa yang didengungkan pengader dengan realita perilaku yang nampak dalam keseharian. Trauma ini bisa menjadikan maba berhenti mengejar idealitasnya dan melarutkan diri dengan ketidakidealitasan.

Dalam kondisi tertekan, seseorang cenderung untuk menggunakan batang otaknya, yang terletak di bagian belakang kepala. Otak primitif ini berperan dalam fungsi motor sensorik, dengan cara kerja “lari atau hadapi”. Otak inilah yang menyebabkan maba bersikap cari selamat dalam kondisi tertekan. Sementara itu, seseorang dapat berpikir cerdas dan kritis ketika dia menggunakan otak berpikirnya; Neokorteks. Otak ini jugalah yang menjadikan seseorang dapat mahir berbahasa dan mengenal nilai baik-buruk dan benar-salah.

Dalam mengupayakan agar dalam kondisi tertekan seseorang tetap dapat berpikir cemerlang, maka paling tidak ada satu hal yang sering digunakan, yakni dibiasakan dalam kondisi tak kondusif. Hal ini menjadi sebuah tantangan berat mengingat upaya pembiasaan pressing ini berpotensi besar dalam penanaman kebiasaan-kebiasaan tidak efektif, misuh semisal.

5.1.5.1. Tujuan Tujuan umum penggunaan metode pressing adalah:

29

Mendisplinkan maba Melatih keberanian berpendapat dan mempertahankan kebenaran Melatih kekuatan berargumen dalam kondisi tak menguntungkan Membentuk mental yang kuat Memunculkan ‘tokoh’ baru dalam angkatan

5.1.5.2. Batasan Beberapa batasan yang perlu diperhatikan antara lain:

Tidak berusaha menanamkan dan menerapkan perilaku tak efektif, semisal pisuhan Sesuai dengan penjelasan pada Bab 3

Putra mengakses putra, putri mengakses putri Pressing identik dengan teriakan. Seringkali dilakukan pada zona pribadi atau bahkan intim dari maba (kurang dari satu meter). Tentu bukan menjadi suatu hal yang etis apabila putra meneriaki putri dalam jarak sedemikian dekat. Sang putri akan merasa terintimidasi secara negatif dan mematikan potensi berpendapatnya.

Mempertimbangkan kondisi psikologis peserta dalam bernisiatif Pengkondisian lapangan tidak disesuaikan dengan kondisi psikologis massa ataupun panitia, melainkan benar-benar ditentukan oleh bagaimana kondisi psikologis maba. Sehingga pengader tidak boleh mengumbar nafsu marahnya dalam kondisi maba yang tidak mendukung untuk itu. Pengader juga perlu memperhatikan kondisi emosional dan persepsi peserta, karena mereka berperan besar dalam menentukan cara berpikir mereka. Keraguan, depresi, menahan kemarahan dan pesimis merupakan bentuk-bentuk emosi yang mungkin dinampakkan maba. Selain itu, motode pressing dapat menjadikan maba memiliki perasaan sakit hati dan stress yang menghalangi maba untuk berpikir jernih. Emosi tersebut menghalangi maba untuk menerima fakta yang sebenarnya. Maba dapat terdorong untuk hanya melihat dan mendengar apa yang diinginkan. Emosi-emosi negatif dapat mendorong maba untuk mencari solusi apa adanya.

Kemarahan yang dinampakkan sifatnya rasional dan bijaksana Sebenarnya saya lebih menyukai istilah ketegasan ketimbang kemarahan. Ketegasan yang dimunculkan dalam pengkondisian lapangan adalah sebagai bentuk konsistensi pengader terhadap aturan atau kesepakatan yang telah dibuat bersama. Jikapun itu harus dinampakkan dalam suatu bentuk kemarahan akibat kekecewaan, maka pengungkapan itu tidak boleh diumbar habis-habisan. Kemarahan ditujukan untuk mendidik, bukannya memuaskan nafsu dan menghinakan; baik menghinakan maba ataupun orang yang marah itu sendiri. Dikatakan rasional apabila kemarahan itu diungkapkan atas alasan yang tepat, yang menunjukkan integritas diri pengader atas nilai benar-salah. Selain itu, pengader harus memastikan bahwa kemarahan itu diungkapkan demi alasan yang tepat. Sehingga, pengader harus senantiasa menemukan jawaban yang bagus atas pertanyaan, “Maba bisa mendapatkan pembelajaran apa dari kemarahan saya ini?” Namun tentu saja, bila tujuan bisa dicapai dengan sekedar ucapan keras yang mengandung ketegasan, mengapa harus marah?

Kontak fisik yang dilakukan tidak bersifat melecehkan Tidak meludahi, tidak bersifat menciderai, tidak membicarakan hal-hal yang bersifat sensitif (semisal SARA?), apa lagi? Anda punya pendapat?

30

5.1.5.3. Metode Pressing

A. Pengelompokan (clustering)

Disebut juga metode pecah belah. Cara ini paling sering dilakukan dalam pengkondisian lapangan. Paling tidak terdapat 5 metode clustering yang biasa ditemui:

1. Solid Clustering Maba dikumpulkan dalam satu barisan pejal. “Penyerangan” dilakukan dari segala arah.

Barisan putra dan putri dipisah, namun tetap dalam satu barisan besar. Pengendali terletak di depan.

Model ini biasanya digunakan sebagai awalan atau untuk mengakhiri sesi pengkondisian lapangan. Salah satu tujuannya semisal untuk

memunculkan tokoh-tokoh baru. Dalam model barisan ini, seseorang di dalam barisan dapat mengungkapkan pendapat tanpa takut terintimidasi oleh pengader.

2. Wide apart Clustering

Maba dikumpulkan dalam satu barisan, namun dengan memberikan jarak ekstra antar masing-masingnya. Jarak ini dapat digunakan pengader untuk keluyuran dan melakukan “akses”

secara personal kepada maba. Kontrol utama tetap dipegang oleh satu orang. Cara ini digunakan bila pengader ingin melakukan eksplorasi dari tiap maba. Pendapat yang menarik atau sesuai harapan dapat dibawa ke forum besar.

3. Distant Clustering

Maba dipisah-pisah dalam kelompok minimal 4 orang. Penggolongan kelompok bisa berdasar

atas semisal bentuk kesalahan, kesamaan pendapat, atau karakter dasar maba. Dalam model ini, kontrol terletak pada pemandu kelompok. Tema masalah yang dibawa tetap tidak menyimpang dari tujuan belajar sesi bersangkutan. Cara ini digunakan bila pengader ingin menguji konsistensi pendapat dalam angkatan, memberikan perlakukan berbeda berdasarkan karakter khusus dari orang-orang yang dikelompokkan,

melatih keberanian mempertahankan kebenaran pendapat, atau barangkali menguatkan maba dan menolongnya menyelesaikan masalah dengan kekuatan pertanyaan.

31

4. Personal Treatmen

Maba dipisah ke dalam entitas terkecilnya, personal. Kekuatan kontrol ada di masing-masing pengakses. Seorang maba dapat berhadapan dengan lebih dari satu pengader. Cara ini dapat dilakukan semisal ketika

pengader berusaha untuk mematangkan seorang tokoh, mendisiplinkan maba dengan perlakuan

berbeda dari kebanyakan, atau meminta kejelasan dari maba yang nyeleneh dari kebanyakan.

5. Kombinasi dari keempat metode di atas

B. Pengusiran atau pemulangan

Sasarannya bisa personal, sebagian orang atau bahkan satu angkatan. Metode ini dilakukan untuk memenuhi salah satu atau beberapa tujuan berikut:

Apabila satu angkatan tidak menunjukkan peningkatan produktifitas berpikir, maka salah satu cara untuk menurunkan level ketegangan adalah dengan memulangkan mereka. Hal ini dilakukan sekedar untuk mendinginkan kepala maba. Dalam ketidakmampuan maba dalam berpikir jernih ini, pengader tidak memulangkan dengan bentakan.

C. Mendiamkan

Dalam situasi di mana maba telah melakukan kesalahan dan mencoba untuk memberikan penjelasan (atau pembenaran) atasnya, pengader tidak memberikan respon positif ataupun negatif. Diam netral meskipun dengan wajah menyimpan kekecewaan. Dilakukan apabila pengader ingin agar peserta menemukan sendiri kesalahannya.

D. Declining

Istilah kerennya adalah mutung atau berlepas diri. Dilakukan untuk menunjukkan kekecewaan yang amat dalam atas performansi maba dalam hal tertentu. Pengader yang mutung biasanya dari elemen panitia pelaksana atau instruktur. Dengan tindakan mutung ini, maba dipaksa untuk berpikir lebih keras dan bertindak lebih cerdas. Untuk memastikan maba mendapatkan pembelajaran, Steering Committee dapat melakukan pendampingan pasif.

E. Kambing hitam

Mendakwa seseorang atau beberapa maba sebagai biang permasalahan angkatan, atau mengkambing-hitamkan seseorang atau beberapa maba atas kesalahan tertentu dalam penugasan angkatan. Terdakwa mendapat perlakuan yang lebih “istimewa” ketimbang rekan-rekannya yang lain. Dilakukan untuk menyadarkan akan tanggung jawab bersama dan kepedulian terhadap orang lain.

32

5.2. LEVEL PENGKONDISIAN Penentuan level pengkondisian ini diterapkan untuk menunjang sesi pengkondisian lapangan, atau pressing. Di awal, saya sudah menyatakan kecenderungan saya pada metode yang lebih baik daripada pressing, yakni pemberdayaan lewat penyadaran; dengan model semacam AMT. Namun kita di ITS masih hidup di era militerisme. Jika memang metode pressing masih belum bisa dihapuskan, maka kita perlu memahami konsepsi level pengkondisian. Salah satu contoh pemodelan level dalam pengakaderan adalah sebagai berikut; Level 0 : Santai. Pengader tampil dengan senyuman dan tawa manis Level 1 : Tegang. Pengader berbicara dengan nada tinggi Level 2 : Mencekam Pengader memaki habis-habisan, hukuman fisik diterapkan Level 3 : Brutal dan menyeramkan. Selain memaki, pengader juga menyerang secara fisik

Beberapa pertanyaan menarik yang bisa kita ajukan atas pemodelan di atas

adalah: Kenapa penentuan level itu hanya didasarkan atas perilaku pengader? Kenapa bukannya dilihat dari kondisi psikologis peserta? Dalam sesi santai, di mana pengader tertawa-tawa, tidak ada jaminan bahwa maba sedang berada dalam kondisi nyaman. Dalam kondisi level 1, bisa jadi maba merasakan kecemasan yang lebih dari yang seharusnya. Pemodelan di atas tidak menjadikan maba sebagai subyek. Lebih jauh lagi, penentuan level semacam itu seringkali tidak didasarkan atas kriteria yang jelas pada setiap levelnya. Main perasaan? Begitukah? Bagaimanakah kita bisa mengatur perpindahan antar level pengkondisian. Sampai kapankah level tertentu dikatakan melebihi batas? Siapakah pengendali jalannya level? Banyak pertanyaan yang masih belum terjawab. Pada tulisan ini saya tidak bermaksud untuk menjawab seluruh pertanyaan yang mungkin timbul. Namun paling tidak saya mencoba untuk menawarkan model level pengkondisian yang mengacu pada kondisi maba. 5.2.1. Level 0 : Santai Peserta berada dalam kondisi relaks, baik pikiran maupun mental. Di sinilah High Order Thinking Skill (HOTS) dari peserta terfungsikan secara optimal. Jika pengader ingin menyampaikan materi, ini adalah saat yang paling tepat. Dan bahkan, barangkali ini adalah satu-satunya level yang tepat untuk menyampaikan materi dan membuat maba paham atasnya. Metode diskusi, ceramah dan permainan bekerja baik pada level ini. Di sinilah Achievement Motivation sebenarnya berjalan. Sesi ishoma termasuk dalam level ini. 5.2.2. Level 1 : Gelisah Peserta mengalami kecemasan mental, meskipun pikiran masih dapat bekerja secara normal dan optimal. Kecemasan ini dapat ditimbulkan oleh perasaan kecewa yang disampaikan oleh pengader terhadap maba. Kegelisahan ini juga bisa ditimbulkan oleh isu atau fenomena kekecewaan warga kepada maba. Level 1 ini merupakan saat yang memaksa maba untuk melakukan perenungan, secara pribadi maupun angkatan. Metode yang digunakan adalah metode mendiamkan. 5.2.3. Level 2 : Tegang Peserta mengalami kegelisahan mental dan pikiran. Namun pada level ini, adrenalin peserta meningkat, yang menjadikannya semakin berkonsentrasi. Beda

33

level ini dengan level di atasnya adalah pada level ini orang-orang berkarakter dasar dominan melankolis masih mampu berpikir sehat dan normal. Selain itu, pada level ini belum terdapat maba yang mengalami stress hingga harus masuk ruang kesehatan. Stress pada level ini adalah stress ringan. Pada level inilah metode pressing mulai efektif untuk diterapkan. Metode yang digunakan adalah kambing hitam, solid clustering dan wide-apart clustering. 5.2.4. Level 3 : Mencekam Peserta mengalami kegelisahan mental yang amat sangat. Pada level ini, bahkan tidak semua orang koleris mampu berkonsentrasi secara wajar. Orang melankolis merasa amat tertekan dan nyaris tak berkutik. Fungsi neokorteks maba tidak bisa bekerja secara normal. Paradigma berpikir yang berjalan adalah cenderung mencari selamat. Di sini pengader mengandalkan kekuatan orang-orang koleris dan kepiawaian pengader sendiri dalam mengarahkan maba menuju suatu pembelajaran. Pengkondisian pada level ini diterapkan untuk menemukan tokoh-tokoh baru dan mendisiplinkan peserta secara permanen. Metode yang digunakan adalah pengusiran, distant clustering dan personal clustering. Kecenderungan psikologis yang terjadi pada maba adalah; fikiran yang kacau, ide tidak dapat keluar dg baik, pembicaraan tidak terkontrol, dan mulai berfikir negatif.

Pengkondisian pada level ini tidak boleh berjalan terlalu lama. Pengkondisian pada level ini memiliki kecenderungan yang lemah untuk menjadikan maba semakin lihai berargumentasi, ketakutan berlebihan menjadikan maba kurang berani mempertahankan pendapatnya (apalagi bila pengader tidak tahu diri; enggan mengalah meski salah). Mental yang dibentuk dari pengkondisian level 3 yang berkepanjangan adalah mental frustasi. 5.2.5. Level 4 : Brutal Pada level ini, maba benar-benar tidak dalam kondisi yang layak untuk berpikir. Maba mengalami kelelahan luar biasa secara mental maupun pikiran. Akhirnya pasrah dan berserah diri. Hingga pertanyaannya adalah: pasrah dan berserah diri kepada siapa? Suatu kondisi yang bagus untuk doktrinasi, bukan? Kecenderungan psikologis yang terjadi pada maba adalah; berbicara dengan bergetar, bahu terkulai, berkeringat dingin, tangan bergetar serta tidak mampu mengendalikan perasaan. Dalam pikiran maba, pendoktrinan benar salah menjadi kabur bedanya. Yang ada di pikiran mereka adalah keselamatan dan mengembalikan zona nyaman. Namanya juga brutal, sehingga cukup sulit untuk dikendalikan. Level ini didefinisikan bukan untuk diterapkan, melainkan untuk dihindari dan diupayakan agar tidak sampai terjadi.

34

BAB 6 PENGGARIS PENCAPAIAN

PENGGARIS

PENCAPAIAN

alah satu tugas pengader adalah melakukan penilaian. Sementara penilaian itu sendiri adalah upaya untuk mengidentifikasi dan melakukan perbandingan.

Tugas pengader dalam menilai ini melahirkan sebuah tantangan untuk merumuskan tolok ukur yang tampak mata, meskipun harus juga diakui bahwa hasil dari pengaderan tidaklah selalu dapat diukur secara nyata dan pragmatis.

Berikut ini saya coba sajikan beberapa saja tolok ukur dari aspek-aspek yang dalam cara pandang saya merupakan pilar-pilar keberhasilan sebuah pengaderan.

Kecerdasan Spiritual Keterampilan bekerjasama Keterampilan Interpersonal Sikap Bertanggung Jawab Kematangan emosional Komunikasi Kepercayaan Diri Berpikir Kritis dan Analitis Ketrampilan Memecahkan Masalah dan Mengambil Keputusan Keterampilan Memimpin Kreatif dan penuh inisiatif

Dalam penggaris pencapaian ini, saya mendefinisikan kesolidan sebagai hasil jumlah dari mantapnya kerja sama dan keterampilan interpersonal. Jika anda memiliki definisi yang berbeda, tentu saja saya tidak berkeberatan.

Bagi saya: Kesolidan = kerjasama + keterampilan interpersonal

6.1. KECERDASAN SPIRITUAL Saya merasa kurang nyaman dengan adanya pemisahan progam pengaderan antara himpunan dan lembaga kajian jurusan. Mengapa harus dipisah? Bukankah peningkatan ketaqwaan terhadap Tuhan juga merupakan program dari HMJ? Bila saat ini gembar-gembor materi Spiritual Quotient semakin marak, mengapa kita tidak mencoba mengintegrasikannya dalam pengaderan kita? Karena HMJ bukanlah lembaga keIslaman, maka saya pikir hal ini juga berlaku juga untuk penganut agama non Islam; lembaga kerohanian non Islam juga perlu bekerja sama secara eksplisit dalam program pengaderan HMJ.

Pada akhirnya nanti, implementasi dari hal ini tentunya menjadi tanggung jawab pribadi dari setiap orang. Namun, adalah tugas dari pengader juga untuk memfasilitasi pembelajaran ini. Meskipun secara mendasar seluruh pilar pengamatan dalam bab ini merupakan tujuan pembelajaran dasar selama satu tahun bagi maba, namun kecerdasan spiritual ini merupakan program pembelajaran seumur hidup yang tidak boleh terhenti. Cepat atau lambat, bentuk kecerdasan ini haruslah ditanamkan dan dibina. Dan merupakan tugas HMJ (bersama dengan lembaga kajian kerohaniannya) untuk memastikan bahwa pembelajaran ini terlaksana sejak dini.

S

35

Beda agama beda juga cara pandang terhadap kecerdasan spiritual. Dalam Islam, kecerdasan spiritual seseorang sangat ditentukan oleh kedalaman keyakinan atas nilai ketauhidan, kebenaran nilai-nilai ibadah (sunnah Rasulullah) dan ketulusan dan soliditas diri (niat yang benar karena Allah).

Kedalaman nilai keyakinan terwujud dalam keyakinannya terhadap Allah, Malaikat, Kitab, yakin hendak bertemu dengan Allah, risalah kenabian, hari kiamat, serta akan qodar-Nya. Sementara kedalaman nilai-nilai ibadah terwujud dalam ketaatannya pada Rukun Islam yang dilaksanakan dengan tidak menyalahi tuntunan Rasulullah saw.

Aqidah adalah perkara-perkara yang hati membenarkannya, jiwa menjadi tenteram karenanya, dan menjadikan rasa yakin pada diri tanpa tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan. Aqidah memerlukan pembenaran dari akal dan dikukuhkan dengan analisa yang benar.

Kecerdasan spiritual mendorong seseorang bekerja dengan Ikhlas serta memiliki orientasi dan tujuan yang bersih. Kecerdasan spiritual juga menjadikan seseorang memiliki arah atau tujuan pribadi yang jelas di atas prinsip yang kuat dan benar. Kecerdasan spiritual merupakan dasar bagi maba dalam memijakkan kakinya menuju tangga-tangga pembelajaran yang lebih tinggi. Kecerdasan spiritual senantiasa menghiasi pilar-pilar pembelajaran dalam bab ini.

Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka (hr. Tirmidzi dan Abu Hurairah)

Amal shalih adalah kumpulan tindakan dan sikap yang lahir dari kesadaran pemikiran akan nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan serta kemauan yang kuat yang berubah menjadi tekad. Dan Islam memandang keseluruhan pilar-pilar pembelajaran dalam bab ini sebagai amal shalih. Sementara itu:

Akhlak = kecerdasan spiritual + amal shalih

Kekuatan spiritual ibarat akar-akar yang dapat menunjang tumbuhnya ranting-ranting dan buah amalan yang penuh dengan kenikmatan iman.

Kompetensi keyakinan (Karakter Salimul Aqidah) dan kompetensi kepatuhan (Karakter Shohihul Ibadah) berikut ini merupakan suatu bentuk kecerdasan spiritual yang selayaknya menjadi perhatian dalam pengaderan.

No Kompetensi Keyakinan 1. Meluruskan niat dan mengikhlaskan amal untuk Allah swt 2. Mengesakan Allah swt dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah. Tidak

menyekutukan Allah swt, tidak dalam Asma-Nya, sifat-Nya dan Af'al-Nya 3. Mengimani rukun iman

4. Merenungi Asmaul Husna untuk ketajaman hati 5. Menjauhi bid’ah

6. Mensyukuri nikmat Allah swt saat mendapatkan nikmat

7. Berusaha meraih rasa manisnya iman dan ibadah

8. Merasakan adanya para malaikat mulia yang mencatat amalnya

9. Tidak mendahulukan makhluk atas Khaliq

10. Tidak bersumpah dengan selain Allah swt

11. Memprediksikan datangnya kematian kapan saja

12. Beriman kepada nikmat dan siksa kubur

36

13. Menjadikan syetan sebagai musuh dan tidak mengikuti langkah-langkah syetan

14. Tidak meminta tolong kepada orang yang berlindung kepada jin. Tidak meramal nasib dengan melihat telapak tangan. Tidak menghadiri majlis dukun dan peramal

15. Tidak meminta berkah dengan mengusap-usap kuburan dan tidak meminta tolong kepada orang yang telah dikubur (mati)

16. Tidak berhubungan dengan jin

17. Tidak meruqyah kecuali dengan Qur'an Ma'tsur

18. Tidak tasya-um (merasa sial karena melihat atau mendengar sesuatu)

No Kompetensi Kepatuhan 1. Ihsan dalam Thoharoh. Senantiasa menjaga kondisi Thoharoh, jika

mungkin 2. Bersemangat untuk sholat berjama'ah

3. Ihsan dalam sholat

4. Qiyamul-Lail minimal sekali sepekan 5. Berpuasa sunnah (minimal tiga kali dalam sebulan)

6. Komitmen dengan adab tilawah

7. Khusyu' dalam membaca Al Qur'an

8. Memiliki hafalan Al Qur'an

9. Komitmen dengan wirid tilawah harian

10. Menjauhi dosa besar

11. Merutinkan dzikir pagi hari dan dzikir sore hari

12. Menahan anggota tubuh dari segala yang haram

13. Menyebar luaskan salam

14. Bersedekah

15. Banyak berdo'a dengan memperhatikan syarat-syarat dan tatakramanya

16. Melakukan amar ma'ruf dan mencegah munkar

17. Merutinkan ibadah-ibadah sunnah Rowatib

18. Selalu memperbaharui niat dan meluruskannya

6.2. KERJASAMA Ini adalah kompetensi untuk melakukan kerjasama dengan sesama, menjadi bagian dari angkatan. Kerjasama menunjukkan kehendak untuk bekerja secara kooperatif dengan rekan sesama angkatan. Bekerja sama mengacu pada kesadaran maba untuk terlibat dalam angkatannya dan memiliki fungsi yang produktif sebagai anggota dalam angkatannya. No Deskripsi perilaku 1. Bekerjasama dengan bersedia ikut ambil bagian, mendukung kesepakatan

tim, dan melakukan tugasnya dalam tim 2. Berpartisipasi atas kemauan sendiri, sungguh-sungguh mendukung

keputusan kelompok dan angkatan 3. Melaksanakan tugas yang diamanahkan kepadanya 4. Sebagai anggota angkatan, membantu komting dalam mengupayakan

agar seluruh anggota angkatan mendapat informasi yang up to date

37

5. Mengungkapkan dan membagi informasi yang relevan atau bermanfaat kepada kepentingan angkatan

6. Menghargai setiap orang dalam angkatan

7. Memperlihatkan bentuk penghargaan yang positif atas anggota angkatan

8. Menjaga reputasi dan nama baik angkatan

9. Meminta partisipasi, ide, dan pendapat seluruh anggota tim untuk membantu menghasilkan keputusan atau perencanaan

10. Bersedia belajar dari orang lain

11. Menghargai masukan dari orang lain

12. Mendorong anggota angkatan untuk berpartisipasi dalam kerja sama

13. Menciptakan susana kerja sama yang akrab dan bersahabat dalam angkatan

14. Memberikan dukungan kepada orang lain

15. Menyelesaikan konflik dalam angkatan dengan mendorong/ memfasilitasi penyelesaian yang bermanfaat (tidak menyembunyikan atau menghindarinya)

6.3. KETRAMPILAN INTERPERSONAL Adalah ketrampilan untuk membina hubungan yang baik dengan rekan sesama angkatan dan senior. Ketrampilan ini dapat menunjang timbulnya hubungan intern maupun antar angkatan yang penuh rasa saling percaya dan kooperatif yang dibarengi oleh adanya penghargaan yang timbal balik. Ketrampilan ini juga memungkinkan maba untuk mampu mengelola perbedaan antara individu dan kelompok sambil menjaga fokus pada kinerja. No Deskripsi perilaku 1. Secara umum, menyadari pentingnya membina dan menjaga hubungan

kerja kelompok yang positif 2. Melibatkan diri untuk memecahkan permasalahan-permasalahan seperti

keluhan dari rekan angkatan 3. Memperhatikan dengan bijak karakter dan latar belakang orang lain saat

berkomunikasi 4. Memahami karakter orang-orang yang memiliki latar belakang yang

berbeda 5. Mengembangkan suasana dan sikap menghargai terhadap perbedaan

pandangan dan karakter 6. Efektif bekerja dalam tim kerja dengan orang-orang yang berbeda

karakter dan latar belakang 7. Mengembangkan hubungan internal angkatan secara erat

6.4. BERTANGGUNG JAWAB Adalah melaksanakan pekerjaan hingga selesai untuk mencapai hasil yang maksimal serta bersedia menerima risiko apabila terjadi kesalahan dari apa yang dikerjakannya.

38

No Deskripsi perilaku 1. Memahami arahan yang diberikan oleh pihak lain menyangkut tugas dan

pekerjaan yang harus dilkukannya 2. Menyelesaikan tugas yang diberikan sesuai dengan target waktu dan

arahan yang diberikan 3. Menghasilkan pekerjaan yang berkualitas sesuai dengan bidang tanggung

jawabnya meskipun dengan arahan yang terbatas 4. Menjaga dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap kulitas hasil kerja

tim dan angkatan 5. Memastikan hasil kerja dapat dipergunakan oleh pihak lain di dalam

angkatan tanpa menimbulkan masalah 6. Memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas output angkatan

7. Memberikan bimbingan dan dorongan kepada rekan sesama angkatan guna menumbuhkan sikap tanggung jawab dan peduli kualitas kerja

6.5. KEMATANGAN EMOSIONAL Mempunyai tingkat emosional yang stabil, tidak mudah tergantung oleh emosional negatif pihak lain, serta sanggup mengendalikan berbagai tindakan emosi orang lain dalam tingkatan tertentu. No Deskripsi perilaku 1. Mampu menahan diri terhadap segala kemungkinan negatif yang datang

dari pihak lain 2. Mampu meredam emosi negatif diri sendiri yang diakibatkan oleh

lingkungan 3. Bersikap terbuka pada kritik dan saran 4. Mampu mengendalikan konflik dalam angkatan tanpa terjebak dalam

emosi-emosi yang negatif 5. Bersikap bijaksana dalam berdialog dengan banyak pihak

6. Mampu meredam emosi orang lain pada tingkat tertentu

7. Tidak terpengaruh oleh provokasi negatif pihak lain

8. Mampu menjaga kondusifitas emosi angkatan agar tetap berada dalam jalur yang produktif

6.6. KOMUNIKASI Adalah kemampuan untuk memahami dan mengkomunikasikan gagasan dan pendapat secara efektif baik lisan maupun tulisan. Komunikasi juga melibatkan kemampuan maba untuk mempertimbangkan informasi mana yang penting dan yang tidak penting serta apa yang harus dikomunikasikan, bagaimana, kepada siapa dan kapan hal tersebut akan dilakukan. No Deskripsi perilaku 1. Mendengarkan pihak lain dengan baik 2. Memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk berbicara tanpa

dipotong 3. Menyampaikan gagasan kepada orang lain secara jelas dalam forum-

forum formal maupun informal (dengan sesama rekan ataupun senior)

39

4. Berkomunikasi yang jelas dan efektif, baik lisan maupun tulisan

5. Memahami instruksi lisan maupun tulisan dengan cukup cepat

6. Menyampaikan gagasan secara jelas dan konsisten di hadapan kelompok dalam situasi formal maupun informal

7. Mampu mengorganisasikan diskusi kelompok secara logis

8. Merespon pertanyaan secara jelas, akurat dan lengkap

6.7. KEPERCAYAAN DIRI Kepercayaan diri adalah keyakinan pada kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas dan memilih pendekatan yang efektif terhadap tugas atau masalah. No Deskripsi perilaku 1. Bertangggung jawab atas tindakan yang dilakukannya 2. Tampil percaya diri serta dapat mengambil keputusan secara mandiri 3. Bekerja tanpa perlu pengawasan yang terus menerus dari rekan ataupun

senior 4. Menjadi seorang penggerak atau seorang nara sumber untuk menjalankan

suatu penugasan/amanah 5. Menyatakan kesediaan/kesanggupan dalam mengemban penugasan yang

menantang dengan kepercayaan diri yang dimilikinya 6. Mempunyai ketrampilan dalam mengerjakan penugasan serta berani

menanggung risikonya 7. Menyatakan keyakinan atas pendapatnya secara terbuka

8. Mempertahankan pendapat secara jelas dan penuh percaya diri sewaktu berbeda pendapat dengan orang lain, bila memang benar

9. Mempertahankan pendapat secara jelas dalam situasi konflik, bila memang benar

10. Melakukan tindakan untuk mendukung atau mengukuhkan pernyataan kepercayaan dirinya

11. Menyatakan tidak sependapat kepada orang lain secara tegas dan sopan

12. Mengajukan diri untuk menghadapi tantangan/amanah demi kepentingan angkatan

6.8. BERPIKIR KRITIS DAN ANALITIS Kompetensi ini menuntut pemahaman situasi dengan menguraikannya menjadi bagian-bagian kecil secara logis, atau melacak implikasi sebab akibat dari sebuah situasi secara bertahap. Termasuk juga mengolah bagian-bagian suatu masalah secara sistematis, menetapkan prioritas secara rasional serta mengidentifikasi urutan waktu kejadian atau hubungan sebab akibat. No Deskripsi perilaku 1. Memecahkan penugasan kompleks ke dalam beberapa bagian yang dapat

diatur secara sistematik 2. Mampu memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang 3. Mampu bekerjasama secara kelompok/angkatan untuk memecahkan

masalah bersama individu/kelompok/angkatan

40

4. Membuat hubungan sebab-akibat yang sederhana dari rangkaian permasalahan yang timbul

5. Menetapkan prioritas tugas berdasarkan derajat kepentingannya dalam menyelesaikan penugasan yang diberikan

6. Mengidentifikasi faktor-faktor pemecahan masalah yang memang benar-benar pantas dan penting untuk dipertimbangkan

7. Mengidentifkasi faktor-faktor yang memang pantas menjadi pusat perhatian

8. Mengenali beberapa kemiripan penyebab kejadian

9. Melakukan analisa hubungan antara beberapa bagian kasus, kejadian atau permasalahan

10. Menghindarkan diri dari kesalahan berlogika

6.9. KETRAMPILAN MEMECAHKAN MASALAH DAN MENGAMBIL KEPUTUSAN Adalah kemampuan dalam mengatasi permasalahan secara komprehensif, efektif, dapat mengidentifikasi permasalahan dan fakta yang relevan, menggali serta melakukan penilaian yang dibutuhkan dalam rangka mempertimbangkan dan mengambil keputusan. No Deskripsi perilaku 1. Mengidentifikasi issue atau masalah sekaligus memperkirakan tingkat

kepentingannya 2. Memecahkan masalah menjadi bagian-bagian yang bisa dikelola 3. Mengenali data/informasi yang relevan dan logika untuk pengembangan

solusi alternatif 4. Mempergunakan pengalaman diri atau orang lain untuk mendapatkan

solusi alternatif 5. Mengidentifikasi solusi alternatif

6. Merekomendasikan solusi terbaik dari berbagai alternatif

7. Mengantisipasi dampak yang tidak diperhitungkan atau tidak terlihat dari solusi-solusi alternatif

8. Memilih satu solusi untuk satu masalah dari berbagai alternatif yang ada

9. Mengambil keputusan dan mengimplementasikan tindakan yang diambil dan mengambil langkah antisipasinya

6.10. KETRAMPILAN MEMIMPIN Merupakan kompetensi yang terutama harus dimiliki oleh komting angkatan untuk mengkomunikasikan suatu visi dan tujuan serta memberikan inspirasi kepada orang lain untuk mencapainya, sekaligus menjadi panutan positif bagi angkatannya. No Deskripsi perilaku 1. Memiliki visi dan sasaran pribadi 2. Menunjukkan komitmen pribadi melalui tindakan

41

3. Mengelola pertemuan dengan baik 4. Mengambil sikap yang jelas walaupun mungkin tidak populer

5. Membangun kepercayaan dan rasa percaya diri di dalam tim kerja

6. Memastikan seluruh anggota angkatan mengetahui apa yang sedang terjadi

7. Memastikan angkatan memperoleh informasi yang dibutuhkan (seperti hasil keputusan rapat angkatan) sekaligus mampu menjelaskan dasar objektif dalam pengambilan keputusan

6.11. KREATIF DAN PENUH INISIATIF Adalah kemampuan untuk bertindak sesuai tanpa harus mendapatkan instruksi terlebih dahulu, proaktif, bekerja dengan tujuan masa depan yang jelas, mengembangkan gagasan atau teknik/prosedur baru. No Deskripsi perilaku 1. Aktif mengambil inisiatif untuk memaksimalkan kontribusi 2. Mengidentifikasi dan mencari peluang untuk meningkatkan kontribusi dan

kualitas kerja individu maupun angkatan 3. Mengembangkan standar pribadi di atas standar yang telah ditetapkan 4. Memfasilitasi dan mendorong iklim kerja tim/angkatan yang menghargai

inisiatif 5. Menggunakan gagasan atau cara baru yang diusulkan atau diarahkan oleh

senior/panitia 6. Memberikan saran, gagasan, atau cara baru yang dapat meningkatkan

kualitas dan produktifitas kinerja individu/angkatan 7. Mengembangkan cara baru ketika teknik atau cara standard tidak dapat

menyelesaikan masalah 8. Mengimplementasikan cara atau teknik baru dalam angkatan

9. Memiliki hasrat untuk mengubah hal-hal disekelilingnya menjadi lebih baik.

6.12. KOMPETENSI PENGADER Pembahasan tentang pengaderan harusnya tidak hanya berbicara tentang penggaris pencapaian bagi maba. Kita pun perlu mengidentifikasikan penggaris pencapaian bagi pengader.

Menjadi Steering Committee ataupun instruktur -dengan surat keputusan dari HMJ- tidaklah dengan serta merta menjadikan kita semua layak menjadi pengader. Ceritanya tidak sesederhana itu. Terlalu banyak pengader yang terlalu PD dengan ketidaktahuannya, dan akhirnya berakhir dengan mempermalukan dirinya bahkan di hadapan maba. Pengader haruslah memiliki kompetensi ketulusan dalam menjalankan tugasnya. Kompetensi ini merupakan suatu bentuk dukungan yang tulus dalam mendorong maba untuk melakukan proses pembelajarannya, dengan didasari atas analisa kebutuhan pengaderan.

42

No Deskripsi perilaku 1. Mengidentifikasikan Analisa Kebutuhan Pengaderan 2. Memberikan harapan positif terhadap maba

3. Memberi dorongan mengenai kemampuan atau potensi maba

4. Memberikan kepercayaan bahwa maba mau dan mampu belajar 5. Memberikan isnstruksi secara detail dan/atau memberi contoh untuk

mengembangkan maba terutama dalam penyelesaian penugasan 6. Memberikan saran-saran khusus yang dapat membantu maba untuk

berkembang 7. Memberikan arahan dan dukungan atau contoh dengan suatu alasan dan

penjelasan rasional mengapa cara tersebut digunakan 8. Mengajukan pertanyaan, menguji atau menggunakan cara-cara lain untuk

memastikan maba telah memahami penjelasan atau pengarahan yang diberikan

9. Memberi umpan balik yang positif, spesifik atau gabungannya untuk pengembangan maba sesuai kebutuhannya

10. Memberikan gambaran untuk dapat menyelesaikan suatu masalah serta pengembangan yang menjadi sasaran terhadap maba

11. Meyakinkan dan memberi dukungan serta umpan balik mengenai hal negatif dari perilaku maba, alih-alih menyerang maba secara pribadi, dan kemudian memperlihatkan harapan-harapan yang positif mengenai kinerja yang akan datang atau memberikan saran-saran pribadi untuk kemajuan maba

12. Mendorong maba untuk memecah tugas dalam komponen-komponen yang lebih kecil, atau untuk menggunakan strategi-strategi lain dalam memecahkan permasalahan angkatan

13. Merancang penugasan yang sesuai, memberikan materi secara formal maupun informal untuk membantu proses pembelajaran dan pengembangan maba

14. Membuat maba dapat menjawab sendiri permasalahan yang dihadapinya sehingga mereka tahu cara mengatasinya dengan tidak hanya memberikan jawaban sederhana saja

15. Merancang secara signifikan pendekatan-pendekatan baru untuk mengajarkan materi yang telah ada, atau menyusun pengalaman-pengalaman yang berhasil untuk maba guna mengembangkan ketrampilan dan rasa percaya diri mereka

16. Melakukan penilaian kemampuan

17. Memberikan kesempatan belajar dari kesalahan yang pernah dilakukan

43

BAB 7 RENUNGAN DAN TUGAS BESAR

RENUNGAN

& TUGAS BESAR

ejumlah pertentangan ide dan cara pandang membuat saya memilih untuk menempatkan ide ini dalam bab terakhir sebagai bahan perenungan kita

bersama. Bab ini berisi tentang motivasi yang dimiliki mahasiswa dalam mengusung dan mempertahankan pengaderan, tentang kekurangsepahaman mahasiswa dengan pihak rektorat serta tugas besar pematangan konsep pengaderan bagi mahasiswa.

Tentu saja saya tidak berani mengklaim bahwa tulisan berikut merupakan cerminan dari pendapat mahasiswa secara keseluruhan. Tulisan berikut hanyalah merupakan suatu bentuk pengamatan saya terhadap apa yang terjadi.

Dalam lampiran, saya menuliskan bahwa Student Day dan Camp dibutuhkan untuk jadi sarana pendobrak bagi maba untuk mau merubah/mendewasakan pola pikirnya. Dobrakan yang dimaksud adalah titik tolak yang konsisten untuk berpola pikir panjang dan lebih dewasa, lebih peduli pada orang lain, mampu menyesuaikan diri secara pantas, memiliki pola pikir prestatif...dsb. Singkatnya, menjadi Manusia Pembelajar.

Namun pengaderan tampak menjadi ajang perebutan rektorat dan mahasiswa. Mahasiswa, di satu sisi, tidak menginginkan adanya intervensi dari pihak rektorat. Mereka menganggap pengaderan sebagai suatu bentuk independensi mereka sebagai mahasiswa. Sementara di sisi yang lain, rektorat menginginkan adanya kondusifitas dalam pembelajaran maba. Dan kegiatan pengaderan versi mahasiswa yang dirasa masih diwarnai oleh perploncoan dianggap mengusik ketenangan pembelajaran akademis tersebut. Lagipula, ternyata rektorat jugalah yang harus menghadapi keluhan dari para orang tua maba bila terjadi perploncoan dari pengader. Lebih jauh lagi, rektorat juga harus membentuk pencitraan ITS yang bagus di mata masyarakat, dan juga dunia kerja dalam kapasitas ITS sebagai institusi pendidikan yang bonafit di Indonesia timur.

Sayang sekali, semakin bertambahnya tuanya usia HMJ tidak lantas sejalan dengan bertambahnya kedewasaan lembaga (dan juga warganya). Setiap tahunnya, HMJ dikelola oleh para mahasiswa dari kepengurusan yang berbeda. Pengaderan juga relatif digarap oleh para mahasiswa yang berbeda setiap tahunnya. Masing-masing memulai pembelajarannya sebagai pengader saat menerima amanah tersebut.

Rektorat selalu menghadapi mahasiswa yang berbeda setiap tahunnya untuk kasus yang serupa. Apa yang dibincangkan sampai yang dipermasalahkan biasanya merupakan pembahasan yang rutin setiap tahunnya.

Pertanyaannya adalah; “Benarkah mahasiswa memiliki hak untuk mengader maba?” dan mengapa?

Selama ini, senior dalam wadah HMJ mengader maba karena mereka merasa bahwa itu adalah kewajiban mereka. Dalam event pengaderan ini biasanya, para senior jurusan, entah mereka pengurus HMJ ataupun yang tak pernah sekalipun nongol di kegiatan himpunan, beramai-ramai mengusung bendera pengaderan. Kemarakan event pengaderan hampir selalu mengalahkan bahkan seminar nasional sekalipun ataupun kegiatan keprofesian yang diadakan

S

44

oleh HMJ bersangkutan, terutama bila dilihat dari partisipasi warganya. Sampai-sampai, terkadang HMJ terkesan ada hanya untuk melakukan pengaderan.

Dari istilahnya, pengaderan berarti aktifitas pembentukan dan pembinaan kader. Untuk siapa? Tentu saja untuk lembaga yang mengader, dan lebih luas lagi, untuk ITS. Untuk apa? Hal ini biasanya dilakukan untuk menunaikan tujuan pendirian HMJ seperti yang tertera pada AD/ART masing-masing HMJ. Pengaderan dimaksudkan untuk mempersiapkan dan mempercepat maba dalam melakukan proses pembelajaran dalam memenuhi tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan oleh HMJ (jika sudah).

Namun terkadang (seringkali?) motivasi HMJ tertumpuki dan terkotori oleh motivasi dan sikap non produktif dari sebagian warganya. Issue yang sering keluar ke permukaan adalah masalah pemenuhan ego dari mahasiswa senior. Motivasi pengader dikatakan sebagai perwujudan ego pribadinya apabila dia mengutamakan kepentingan dan nilai dirinya ketimbang sesuatu nilai di luar dirinya. Ego adalah suatu perasaan yang berlebih-lebihan atas nilai kepentingan diri sendiri serta perasaan superior atas orang lain. Ini merupakan suatu bentuk syahwat yang cukup memalukan bila diperturutkan.

Amat disayangkan, masih banyak ditemui para pengader yang sebenarnya belum pantas untuk mengader. Mereka datang tidak dengan pemahaman konsep maupun juklak yang telah ditetapkan oleh Steering Committee. Mereka datang dengan perasaan seolah-olah lebih berkuasa, lebih tua dan lebih pintar daripada maba.

Tak jarang, ketimpangan pun akhirnya ditemui ketika maba telah merampungkan prosesi pengaderannya di jurusan. Terkadang sampai seringkali, apa yang senior katakan, ajarkan dan tekankan kepada maba ternyata tidak tercermin pada diri sang senior sendiri. Dalam pengaderan, senior dengan lantang mengumandangkan pola berpikir kritis, kedewasaan, moralitas, tanggung jawab, kematangan emosional, dsb. Namun dalam realita, cukup banyak juga dari mereka yang tidak memiliki integritas dengan nilai-nilai tersebut. Hal lebih buruk dapat terjadi apabila senior lantas –dengan ketidaktahuannya akan konsep dan arahan pengaderan- mengacaukan suasana pengaderan dengan beragam perploncoan yang bersifat merendahkan, yang ironisnya, malah menjadikan senior bersangkutan memiliki perasaan berkuasa. Lantas? Bagaimanakah kita seharusnya menempatkan keIslaman kita dalam hal ini?

Pengaderan harusnya dilakukan karena pengader ingin mendapat kemuliaan di mata Allah dengan mengajak dan mempromosikan kebenaran dan menjauhkan diri dan orang lain dari keburukan dan kehinaan. Motivasi inilah yang mampu membebaskan pengader dari pengimplementasian tujuan dan proses pengaderan yang bersifat mencelakan dan menghinakan. Dalam konteks dakwah kampus, tujuan dari pengaderan adalah juga seperti yang tertulis pada bab satu; menyebarkan dan memantapkan opini Islam, mengembangkan kepribadian Islam, serta melahirkan tokoh-tokoh mahasiswa yang mampu menjadi pemimpin di masyarakat.

Pengaderan tentunya bukanlah sebuah bentuk upaya Islamisasi. Penyebaran dan pemantapan opini Islam ini utamanya ditujukan kepada maba yang telah memeluk Islam. Ide dasarnya, sekali lagi, adalah dengan menjadikan pijakan berbuat karena Allah sebagai kekuatan untuk menghindarkan diri dari implementasi pengaderan yang mencelakan dan menghinakan.

45

Jika apa yang saya ungkapkan di atas –motivasi mengader karena Allah-

masih terkesan sebagai suatu idealitas belaka, maka saya patut menantang baik Anda maupun diri saya pribadi; Lantas Anda melakukan pengaderan ini untuk siapa? Kemuliaan semacam apa dan di mata siapakah yang Anda harapkan? Kebanggaan atas apakah yang Anda dapatkan? Masa depan seperti apakah yang Anda dapatkan dari amalan Anda dalam mengader maba ini? Penghargaan seperti apakah yang Anda harapkan? Pengakuan seperti apa dan dari siapakah yang Anda harapkan?

Selanjutnya, barulah kita bisa menemukan suatu bentuk motivasi lain seperti karena timbulnya rasa bangga, lega dan senang apabila adik-adik angkatan dapat berkembang menjadi mahasiswa yang solid, kreatif, bertanggung jawab, matang secara emosional, percaya diri, dst. Rasa bangga ini akan berlanjut ketika adik-adik angkatan kemudian berkiprah secara produktif di himpunan, fakultas maupun institut. Untuk hal ini, sepertinya pihak rektorat memiliki tujuan yang jauh lebih ke depan, seperti yang tercantum di visi, misi dan tujuan pendidikan ITS. Salah satu misi ITS; “Menumbuhkan dan menjaga moral akademik, etika dan agama untuk pembangunan peradaban manusia” benar-benar suatu misi yang amat mantap dan layak dipegang. Sayang sekali visi, misi dan tujuan pendidikan ITS ternyata lebih diketahui oleh para maba ketimbang para senior yang menjadi pengader. Lebih jauh lagi, salah satu tujuan ITS adalah mendidik dan mengembangkan kemampuan mahasiswa dan menghasilkan lulusan yang berbudi luhur, unggul dalam pengetahuan dan ketrampilan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, berkepribadian mantap dan mandiri, mempunyai kemampuan profesional dan etika profesi, memiliki integritas dan tanggung jawab yang tinggi, mempunyai kemampuan untuk bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Tujuan yang luar biasa ini pun mestinya juga memerlukan partisipasi aktif dari mahasiswa dalam penunaiannya. Lantas mengapa mahasiswa dan rektorat ‘memilih’ untuk tidak akur dalam hal pengaderan? Bukankah tujuan belajar kita beririsan? Mengapa kita tidak membuat rumusan bersama yang koheren dan saling menguatkan? Masing-masing dari kita barangkali memiliki koreksi untuk pihak rektorat. Namun, sudahkah masing-masing dari kita memiliki koreksi untuk diri kita sendiri para mahasiswa?

Terkadang kita begitu merasa diri kita begitu hebatnya hingga kita ingin mengendalikan seluruh nasib pembelajaran maba di tangan kita. Terkadang kita begitu sombongnya hingga kita merasa diri kita selalu lebih dewasa dan lebih pintar ketimbang maba, mentang-mentang lebih tua. Terkadang kita merasa diri kita begitu berkuasanya hingga kita membenarkan segala bentuk perlakuan kita kepada maba, bahkan sampai sang maba keluar dari ITS sekalipun karena kesalahan perlakuan kita para pengader. Dan lebih parah lagi, terkadang kita begitu tak tahu dirinya hingga menjadikan maba malah semakin jauh dari Allah, dari ketakutan dan pengharapan kepada-Nya, serta merampasnya untuk diri kita sendiri.

Apakah mahasiswa ITS adalah mahasiswa yang cenderung bertindak atas dasar prosedur teknis (yang merupakan turunan dari konsep) alih-alih berdasarkan konsep inti itu sendiri? Ketika yang diminta adalah konsep pengaderan, apakah lantas kita langsung meloncat pada implementasi lapangan? Jangan-jangan kita melakukan itu hanya karena kita sendiri kurang mampu untuk berpikir konseptual, membangun jembatan antara konsep dan pelaksanaan, dan kemudian enggan belajar untuk itu. Seberapa seriuskah kita, mahasiswa, memandang pengaderan ini?

46

Tulisan saya memang tidak membahas perihal implementasi pengaderan di

lapangan, pedoman teknis panitia pengader, deskripsi aturan main, waktu pelaksanaan, kisi-kisi materi dsb. Yang saya coba sajikan adalah sekumpulan ide dasar dari pengaderan, yang darinya kemudian diturunkan prosedur pelaksanaan sampai implementasi dan evaluasi teknis di lapangan. Tulisan ini lebih merupakan jabaran dari “cara berpikir seperti apa kita –para pengader- seharusnya memulai”.

Adalah tugas dari Anda –para pengader- untuk memahami dan menerjemahkan konsep seperti ini dalam suatu bentuk implementasi yang lebih bisa dicerna oleh warga HMJ dan maba. Untuk hal seperti inilah Anda ditugaskan. Anda dapat mengambil rujukan dari dokumentasi pengaderan tahun-tahun sebelumnya jika memang ada. Tapi yang jelas, Anda tidak boleh melupakan dari manakah Anda seharusnya memulainya.

Tugas pengader dimulai dari pemahaman atas urgensi pengaderan, suatu alasan yang didasarkan atas fakta yang riil ataupun diprediksikan yang mengarah kepada suatu kemendesakan terhadap adanya suatu bentuk pengaderan terhadap maba. Di sinilah pengader harus memurnikan motif dan motivasinya dalam mengemban amanah. Pengader harus mampu memastikan bahwa dirinya dan warga HMJ yang turut dalam proses pengaderan tidak terjebak dan terhinakan karena pemenuhan kebutuhan ego, pencarian pengakuan atas eksistensi ataupun sekedar bersenang-senang. Tugas selanjutnya adalah memahami kaidah-kaidah dasar yang harus dipenuhi untuk merumuskan pola dan arahan dasar dari pengaderan. Perumusan tujuan belajar antara, termasuk juga nilai-nilai yang ditanamkan menjadi urutan tugas selanjutnya. Barulah kemudian pengader merumuskan konsep pengondisian; metode dan alur yang digunakan. Saya pikir tulisan ini belumlah benar-benar rampung, tapi dengan keterbatasan diri saya saat ini, saya tidak berniat untuk meneruskannya lebih jauh. Saya harap Anda bisa menjadi salah seorang yang mampu dan bersedia mengisi lubang-lubang kekurangan dalam tulisan saya. Pengaderan adalah masalah penting yang bisa menjadi bumerang bagi kita maupun generasi sesudah kita. Sehingga upaya pematangan menjadi sebuah tuntutan yang harus kita penuhi. Barangkali ada yang akan mengusulkan perbaikan pengaderan ini harus dimulai benar-benar dari akarnya. Melakukan restart ulang dan melepaskan diri dari pola-pola berkarat yang sudah ada hingga saat ini, sehingga tidak mengesankan bahwa kita melakukan pengaderan lebih karena penyelamatan tradisi nenek moyang. Atau barangkali ada juga yang tidak terlalu memusingkan ide dasar seperti yang saya sampaikan sebagai awalan dan ‘hanya’ mengusulkan beberapa format aturan-aturan yang tegas dan menyeluruh serta standard operasi pelaksanaan yang jelas bagi SC, OC dan instruktur. Sebuah bentuk pengaderan massal indoor juga bisa merupakan salah satu ide alternatif yang patut dimatangkan, alih-alih dibuang hanya karena ide tersebut bukan merupakan usul dari mahasiswa. Jika bukan kita sendiri yang mematangkan, lantas siapa? Jika bukan sekarang, lantas kapan? Wallaahu a’lam bish showab Semoga tulisan saya dapat membawa kebaikan yang besar bagi kita semua. Selamat berjuang, teman!

47

LAMPIRAN Tulisan berikut merupakan ide yang pernah saya kirimkan ke Forum Informasi & Diskusi di jurusan saya. Berbeda dengan sebelumnya, gaya bahasa dalam tulisan ini cenderung lebih bebas, oleh karena itu saya sengaja meletakkannya ke dalam lampiran. Tampaknya saya terlalu malas untuk menulis ulang dan mengubah gaya penulisannya ☺.

Proyeksi ke Depan Pengaderan Jurusan

(Enaknya Boikoter2 itu Diapain Ya?) Selama ini barangkali kita cenderung memandang pengaderan dalam lingkup yang ngglibetnya ya tetep aja di lingkup kampus. Padahal, yang namanya pembelajaran ya seumur hidup. Kalo kita mencoba berpikir jauh, kita akan temukan kenyataan bahwa tujuan pengaderan sesungguhnya adalah mempersiapkan lulusan mahasiswa jurusan kita untuk jadi sarjana yang lebih siap pakai dan layak jual. Ide dasar dari penggunaan istilah 'kader' pada Pengaderan lebih mengarah pada mahasiswa kita.

Waktu kita nglamar kerja nanti, katakanlah Anda ndaftar di Toyota Astra Motor. Apakah si HRD akan nanya gini ke Anda; "Apakah Anda dulu anggota/pengurus HMJ?" Nggak! Jikapun iya, bukan itu maksudnya. Karena pertanyaan sesungguhnya adalah "Anda punya skill apa?". They won't give a damn apakah kita dulu anggota HMJ apa enggak. Mereka ngga peduli apakah kita dulu ikut Student Day ato Camp. Mereka cuman pengen tahu skill apa yang udah kita punya. "Apakah anda bisa memimpin orang?", "Apakah anda bisa mengelola kegiatan?", "Anda bisa ngga mengelola konflik?", "Bagaimana anda mengelola dinamika tim?" dsb. Insya Allah pertanyaannya bakal kayak gitu.

Ini tentunya akan jadi kabar buruk bagi Anda yang merasa ikut-ikut kegiatan ato pelatihan sekedar buat ngumpulin sertifikat. Meskipun terus terang, saya nggak tau tuduhan ini diasarkan atas realitas apa. Karena saya sendiri ngga pernah ketemu ama orang-orang yang secara eksplisit keliatan punya niatan semacam ini. Sama seperti rekan kita di jurusan; Andias & Heri S 98, Vita Auliana 97, Bowo & Arik 96; kami semua ngga dapet sertikat dari pelatihan TD fakultas dan TM institut, seingat saya demikian juga dengan rekan-rekan yang lain. Saya juga tidak pernah melihat bukti absah yang menyatakan seseorang pernah jadi ketua UKM, Kahima, Sekjen BEM atau Presiden BEM ITS. Ngapain juga dipikirin?

Asumsi saya, tuduhan ini muncul berdasarkan realita banyaknya mahasiswa yang aktif, tapi cuman pasang nama doang, atau pasang badan doang. Anda boleh jadi punya analisa atas hal ini. Dan saya juga punya analisa alternatif dalam hal ini. Yakni bahwa mereka bersikap demikian bisa jadi bukan karena cari sertifikat ato memperkaya CV, melainkan karena mereka kehilangan/tidak punya orientasi belajar. Ini didasarkan atas pengalaman saya di UKM, BEM dan Himpunan. Banyak temen-temen yang ketika berorganisasi ngga/blum punya gambaran yang bagus tentang apa yang sebenernya bisa didapet. Mereka cuman sekedar punya pernyataan motivasi sederhana "Saya ingin dapat pengalaman berorganisasi." tidak lebih tidak kurang. Pengalaman apa? "Ya pokoknya pengalaman", jawabnya gitu. Mereka paham signifikansinya, tapi ngga paham detail pencapaiannya.

Inilah yang akhirnya mbikin banyak pengurus/anggota mutung (atau terkesan mutung), mereka ngerasa ngga ndapetin sesuatu, karena mereka

48

sebenernya belum punya definisi konkrit tentang apa yang seharusnya mereka dapatkan. Mereka menunggu dapet, bukannya ngejar apa seharusnya mereka bisa dapet. Dan jangan buru-buru menyalahkan mereka, karena amat bisa jadi yang paling bertanggung jawab adalah pimpinannya. (duh.. aku sendiri kena deh)

Kesemua sertifkat ataupun nama jabatan tidaklah serta merta menunjukkan kehebatan seseorang. Bukan mentang-mentang udah ikut LKMM TM secara otomatis seseorang bisa dianggap jagoan neon. Sering sekali saya menemui kenyataan yang timpang. Yang paling penting adalah; 'apakah Anda punya keahliannya?' job description Anda boleh jadi ketua departemen, tapi Anda punya skill requirementnya ngga? (skill req = keahlian yang dibutuhkan untuk memenuhi/ menjalankan job desc.)

Student Day dan Camp dibutuhkan untuk jadi sarana pendobrak bagi maba untuk mau merubah/mendewasakan pola pikirnya. Dobrakan yang dimaksud adalah titik tolak yang konsisten untuk berpola pikir panjang dan lebih dewasa, lebih peduli pada orang lain, mampu menyesuaikan diri secara pantas, memiliki pola pikir prestatif... pokoknya, singkatnya, menjadi Manusia Pembelajar. Student Day dan Camp adalah sarana pengenalan, pemahaman, dan pembentukan awal. Sementara LKMM Tingkat Dasar dan Menengah memberikan wawasan manajerial beserta keahliannya. Dan KPP adalah tempat prakteknya. Aktifitas di Organisasi Kemahasiswaan adalah bentuk pemberdayaannya.

Nah, sekarang Anda bisa bayangkan ngga jika ternyata ada lulusan jurusan kita yang ketika diwawancara njawabnya gini: "Maaf, Pak. Terus terang saya ngga bisa mengelola kegiatan ataupun mengelola tim, soalnya saya dulu kan bukan anggota himpunan!". Si HRDnya la' bakal njawab gini; "Lha kuwi la' yo urusanmu to Le!". Duh, gawat deh ☺.

Sudah sewajarnya? emang udah nasibnya? barangkali sempat terlintas di benak kita pikiran itu. Tapi coba aja deh dipikir, jika fenomena ini terjadi selama beberapa kali di beberapa perusahaan, si HRD amat bisa jadi akan bilang, "Eaalah... ngene to tibakno lulusane jurusanmu! Nggluethek !". Generalisasi yang tidak menguntungkan, bukan? See, reputasi lulusan jurusan kita ditentukan baik oleh mereka yang anggota HMJ ato bukan. Perusahaan-perusahaan ngga mo ambil pusing apakah kita dulu anggota HMJ ato bukan. Mereka cuman liat apa yang keliatan. Para lulusan jurusan kita, siapapun dia, akan menciptakan Trade Mark atas jurusan kita. Lantas kenapa? Hal ini emang mengartikan apa? Dalam persepsi saya, artinya gini; Kalo kita bener-bener terlalu ekstrim mbikin batesan antara anggota HMJ ato bukan maka sama aja kita mbikin jurusan baru di dalam jurusan kita. "Jurusan" yang satu boleh aktif dalam kegiatan-kegiatan dan pemberdayaan diri, "jurusan" yang satu bener-bener study oriented. Jurusan non anggota (boikoter atau yang gak lulus pkaderan karena sakit) ngga masuk dalam wilayah tanggung jawab pencapaian tujuan himpunan. Kok jadi kayak memperlakukan mahasiswa jurusan laen aja.

Tujuan dasar HMJ disusun dengan asumsi tidak ada mahasiswa yang menjadi boikoter. dan jika ternyata ada (dan emang ada), apakah lantas orang yang bukan anggota HMJ ini ngga perlu diberdayakan biar jadi cendekia, nggak dibina supaya jadi bertakwa dan bermoral, nggak dilibatkan supaya peka sesama dst. Padahal mereka juga yang nantinya akan mempengaruhi reputasi jurusan kita di mata dunia (ceileh..! ☺). Saya ingin memberikan titik tekan yang cukup dalam pada pemberdayaan

49

mahasiswa dalam hal peningkatan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Point pentingnya di sini adalah, bahwa tujuan dasar Meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi segenap Mahasiswa Teknik Informatika – ITS –yang mestinya juga tercantum di AD/ART setiap himpunan di ITS- memiliki penekanan yang lebih kuat ketimbang tujuan yang lain. TIDAK ADA PILIH KASIH dalam peningkatan ketaqwaan dan moralitas (sesuai agama dianut) oleh HMJ. Sehingga, lembaga keagamaan Islam, Kristiani maupun yang lain tidak perlu mensyaratkan keanggotaan himpunan sebagai syarat jadi anggota lembaga bersangkutan. Besarnya tanggung jawab badan kerohanian menjadi alasan yang cukup untuk mengabaikan syarat keanggotaan formal himpunan. Kinerja Ini pengaruhnya semisal nanti pada pelaksanaan kegiatan-kegiatan internal lembaga bersangkutan. Mo ada kajian ato Mabid pengurus, ntar ada yang bilang, "Eh, kamu ngga boleh ikut ngaji bareng kita, kamu kan bukan anggota himpunan". Duh... Kacian deh lu! ☺ Ato kebetulan ada pembahasan tentang aturan-aturan yang 'sakral' (istilah yang saya maksud sebenernya adalah "sesuai dengan syar'i", tapi saya ngga tau gimana nerjemahinnya) dalam lembaga bersangkutan, eh... ternyata yang kebetulan jadi anggota himpunan tidak cukup pakar/punya ilmunya dalam hal itu. Bikin masalah tuh.

Secara default, yang seharusnya jadi pengurus inti adalah anggota himpunan, kecuali bener2 ada alasan yang relevan, masuk akal dan signifikan. Contohnya adalah bila memang lembaga kerohanian itu kehabisan SDM berkualitas yang jadi anggota himpunan. Jadi, dalam hal ini, pertimbangan kualitas tetap lebih diutamakan ketimbang keanggotaan. Kalo ada fenomena yang tidak sesuai dengan ini (asal comot), maka itu bisa dianggap sebagai kesalahan (kecolongan). Namun secara mendasar, perlulah diingat bahwa pertimbangan kepemimpinan dalam lembaga kerohanian tidak ditentukan oleh kenggotaan formal dalam himpunan (dan akan cukup menggelikan bila dipaksakan), karena pertimbangan sesungguhnya adalah kematangan akhlak dan pemahaman serta integritas nilai keagamaan dari yang bersangkutan. Dan ini berlaku untuk SELURUH badan kerohanian.

Sehingga, untuk memenuhi tujuan peningkatan ketaqwaan & moralitas mhs(berdasarkan ajaran agamanya masing-masing), HMJ layak untuk memberikan perkecualian pada masalah keanggotaan. Tidak ada pilih kasih dalam pemenuhan tujuan ini.

Dalam konteks pembelajaran para boikoter ini, saya tidak memaksudkan boikoter akan jadi pecundang dalam pembelajaran skill non akademis. Saya tahu satu mahasiswa yang termasuk paling pinter di angkatannya, yang ngga lulus pengaderan karena sakit. Bagusnya, dia berinisiatif tuk beraktifitas di tempat lain, awalnya jadi panitia Kongres ITS trus berkiprah secara produktif di UKM WE&T. Tapi sayangnya ngga semua mahasiswa kita kayak gitu. Gimana kalo kita akhirnya punya banyak mahasiswa puuinter yang nggak terberdayakan/ter-upgrade. Sehingga tidaklah cukup hanya sekedar tidak-memangkas-kesempatan-berkembang para non anggota HMJ, namun adalah kewajiban HMJ juga untuk memberdayakan /menunjukkan jalan untuk itu kepada para non anggota.

Bagi saya, boikoter yang sesungguhnya adalah mereka-mereka yang sudah menutup cara pandang dan hati mereka dengan mati-matian terhadap berbagai proses pembelajaran dan pendewasaan, setelah mereka diajak dan ditunjukkan jalan yang benar. Mereka bukannya belum tahu, mereka tahu namun mereka bersombong diri dengan kebodohannya (sedikit meniru definisi kafir dalam Islam ☺). Makhluk-makhluk seperti inilah yang bikin masalah. Dan adalah tugas HMJ untuk mengeliminir model-model spesies seperti ini.

50

Lantas? Menurut saya, begini seharusnya; a) Non anggota HMJ boleh ikut kegiatan HMJ (termasuk Kegiatan Pasca

Pengaderan/Pelatihan), namun tidak sebagai ketua atau posisi pengambil keputusan.

b) Non anggota HMJ tidak bisa ikut pengaderan formal HMJ seperti LKMM TD, Pelatihan Pemandu LKMM TD atau AMT. Dan juga pelatihan formal fakultas dan institut.

c) Non anggota HMJ tentu saja bisa ikut kegiatan umum HMJ seperti tutorial, bhakti sosial atau olahraga

d) Non anggota HMJ diperkenankan mengadakan kegiatan mandiri atas nama himpunan, dengan pendampingan dari pihak HMJ

Sementara itu, anggota HMJ mendapatkan kelebihan sebagai berikut; a) Bisa ikut pengaderan LKMM TD, PP LKMM TD, LKMM Tingkat Menengah, PP

LKMM TM, LKMM Tingkat Lanjut b) Terkait dengan point no 1, berarti memiliki komunitas pembelajaran formal c) Bisa menjadi pengurus inti himpunan, fakultas dan institut d) Mendapatkan prioritas dalam pengusulan kegiatan termasuk pengaturannya e) Mendapatkan prioritas dalam hal advokasi atau pelayanan kesejahteraan f) Mendapatkan hak & kewenangan untuk menentukan kerangka dan arah gerak

himpunan g) Mendapatkan hak & kewenangan untuk menjadi wakil HMJ di luar (sebagai

senator atau humas) Sehingga secara singkat, bisa disimpulkan sebagai berikut; a) Ide dasar pengaderan HMJ adalah menumbuhkan & meningkatkan kualitas

keahlian akademis & non akademis mahasiswa jurusan kita. Pengaruhnya adalah kesiapan lulusan dan reputasi jurusan kita di mata khalayak.

b) Pemisahan yang membabi buta antara anggota dan bukan tidak dimaksudkan untuk memangkas habis kesempatan mahasiswa non anggota untuk berdaya dan berkembang.

c) Pembedaan yang diberlakukan adalah dalam hal nilai lebih. Artinya, hal dasar yang bisa didapat relatif sama.

akhirnya, jika Anda masih ngelihat HMJ tidak berfungsi sebagaimana mestinya, bukan tujuannya, bukan lembaganya yang harus dipertanyakan, dipersalahkan atau bahkan dihapuskan, biasanya masalahnya pada orang-orangnya kan?

Apakah Anda bagian dari solusi? Atau bagian dari masalah? Wallahu a’lam bish showab

Saya sendiri juga ngaca

Best Wishes Ex-Centurion HMTC 99-00

[=] Akhmad Guntar Susatyo Ady [=]

51

TENTANG PENULIS Akhmad Guntar Susatyo Ady

Mahasiswa Teknik Informatika ITS, dilahirkan di Malang pada 26 November 1978. Nama panggilannya adalah Guntar. Guntar adalah nama pemberian ayahnya yang merupakan singkatan dari: Berguna bagi Tanah Air.

Selama di ITS, pernah mengemban amanah sebagai ketua departemen PSDM Workshop of Entrepreneurship & Techonolgy pada tahun 1998, dan kemudian terpilih menjadi ketua setahun kemudian. Dia juga aktif di jurusannya dan terpilih menjadi ketua himpunan pada 1999. Pada tahun 2000, dia dipercaya untuk mengemban

amanah di BEM ITS sebagai Sekretaris Jenderal. “Namun jabatan belumlah dapat mendefinisikan prestasi seseorang”,

begitu katanya. “Prestasi terbesar yang saya raih dari memegang amanah itu adalah dalam menemukan banyak sekali kelemahan dan keterbatasan saya. Saya pun banyak belajar dari kesalahan dan kebesaran orang lain.” Menyadari kelemahannya, dia kemudian secara konsisten mencoba untuk menjadi seorang manusia pembelajar, dengan Guntarion sebagai nama pembelajarannya.

Dia suka menyebut dirinya Prajurit Peradaban, berkaitan dengan visi hidupnya, “Hidup untuk ibadah dan bangun fondasi peradaban”. Dalam upaya untuk mewujudkan visi dan melatih integritas dirinya, sampai saat ini dia masih tergabung di dalam Lembaga Manajemen Terapan TRUSTCO Surabaya sebagai seorang trainer.

[email protected]

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ridho, Berhenti Sejenak-Recik-recik Spiritualitas Islam, PT Syamil Cipta Media, 2002. Andrias Harefa, Manusia Pembelajar, Kompas, 2000. B.S. Wibowo dkk, SHOOT – Sharpening Our Concept and Tools

LMT TRUSTCO, PT Syamil Cipta Media, 2002. Dr. Akrim Ridha, Menjadi Pribadi Sukses, PT Syamil Cipta Media, 2002. Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, Robbani Press, 2000.