Pengadaan Bahan Baku

download Pengadaan Bahan Baku

of 21

Transcript of Pengadaan Bahan Baku

APOTEKER PENANGGUNG JAWAB INDUSTRI OTUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang KesehatanKesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perwujudan pembangunan kesehatan tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.Pembangunan kesehatan dapat diwujudkan melalui upaya-upaya penyelenggaraan kesehatan, termasuk pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi. Sediaan farmasi yang dimaksudkan adalah mencakup obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.Obat tradisional merupakan salah satu sediaan farmasi yang penggunaannya di masyarakat cenderung mengalami peningkatan (DepKes RI, 2007). Obat tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UU No 39 Tahun 2009 adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakatObat tradisional (sediaan farmasi) yang beredar harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau (Pasal 98 Ayat 1 UU No 36 Tahun 2009). Untuk menjamin keamanan, khasiat, dan mutunya maka dalam Pasal 98 Ayat 2 UU No 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat. Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan Pemerintah berkewajiban untuk membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedarannnya (Pasal 98 Ayat 3 dan 4 UU No 36 Tahun 2009).Dalam usaha memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap obat tradisional, pada UU No 36 Tahun 2009 Pasal 101 ayat 1 menyatakan masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah (UU No 36 Tahun 2009 Pasal 101 ayat 2). Dalam peredarannya, sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar seperti yang tercantum pada Pasal 106 ayat 1.UU No 36 Tahun 2009 juga mengatur tentang praktek kefarmasian dalam Pasal 108 Ayat 1 dimana praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan KefarmasianPP No 51 Tahun 2009 memuat tentang ketentuan-ketentuan terkait dengan pekerjaan kefarmasian. Salah satu tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian yang disebutkan pada Pasal 4 (a) adalah memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi. Produksi Sediaan Farmasi, termasuk obat tradisional di dalamnya, merupakan salah satu bidang dari pekerjaan kefarmasian (Pasal 5b). Dimana pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki Apoteker penanggung jawab sebagaimana tercantum dalam PP No 51 Tahun 2009 Pasal 7 ayat (1). Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada PP No 51 Tahun 2009 Pasal 7 ayat (1) dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian (Pasal 7 ayat 2). Pekerjaan kefarmasaian dalam fasilitas produksi sediaan farmasi berupa industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik lain, memerlukan tenaga kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi dan pengawasan mutu (Pasal 34 ayat 1). Pada Pasal 9 ayat 1 menyebutkan bahwa industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang apoteker sebagai penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu setiap produksi sediaan farmasi sedangkan pada Pasal 9 ayat 2 menyatakan bahwa industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang apoteker sebagai penanggung jawab.

5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 246 tahun 1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat TradisionalUntuk melindungi masyarakat terhadap hal-hal yang dapat mengganggu dan merugikan kesehatan, maka perlu dicegah beredarnya obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, kegunaan, dan mutu antara lain melalui pengaturan, perizinan dan pendaftaran setiap obat tradisional yang diproduksi. Menurut Pasal 1 PerMenKes No. 246 tahun 1990, disebutkan bahwa Industri Obat Tradisional (IOT) adalah industri yang memproduksi obat tradisional dengan total aset diatas Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), tidak termasuk harga tanah dan bangunan. Pada Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa obat tradisional yang diproduksi untuk tujuan diedarkan, baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri terlebih dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan Menteri, kecuali untuk obat tradisional hasil produksi Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT), usaha jamu racikan, dan usaha jamu gendong. IKOT adalah industri obat tradisional dengan total asset tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah), tidak termasuk harga tanah dan bangunan. IKOT boleh memproduksi obat tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem. Sementara itu, usaha skala kecil yang boleh tidak mendaftarkan produknya terdiri dari usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong. Usaha jamu racikan adalah usaha peracikan, pencampuran, dan atau pengolahan obat tradisional dalam bentuk rajangan, serbuk, cairan, pilis, tapel atau parem dengan skala kecil, dijual di satu tempat tanpa penandaan dan atau merk dagang. Usaha jamu gendong adalah usaha peracikan, pencampuran, pengolahan dan pengedaran obat tradisional dalam bentuk cairan, pitis, tapel atau parem, tanpa penandaan dan atau merk dagang serta dijajakan untuk langsung digunakan.Pada peraturan ini juga disebutkan bahwa IOT dan IKOT wajib mengikuti Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (Pasal 9). Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) secara benar dan konsisten guna mencapai produk yang memiliki mutu, kualitas, dan efikasi sesuai dengan tujuan penggunaan dan spesifikasi produknya.

6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012 Tentang Industri dan Usaha Obat TradisionalIndustri obat tradisional termasuk ke dalam fasilitas produksi sediaan farmasi. Fasilitas produksi obat tradisional diatur dalam PerMenKes No 006 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional. Menurut Pasal 2 PerMenKes No 006 Tahun 2012 disebutkan bahwa fasilitas produksi obat tradisional mencakup industri maupun usaha obat tradisional dimana industri terdiri dari Industri Obat Tradisional (IOT) dan Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) sedangkan usaha obat tradisional terdiri dari Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT), Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT), Usaha Jamu Racikan, dan Usaha Jamu Gendong.Pada setiap penyelenggaraan industri dan usaha obat tradisional berkewajiban untuk menjamin keamanan, khasiat/manfaat dan mutu produk obat tradisional yang dihasilkan; melakukan penarikan produk obat tradisional yang tidak memenuhi ketentuan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu dari peredaran; dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku (Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3). Dalam persyaratan perizinan maupun penyelenggaraannya, setiap IOT dan IEBA wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Apoteker Warga Negara Indonesia sebagai Penanggung Jawab (Pasal 12 dan Pasal 34 Ayat 1). Sedangkan untuk setiap UKOT wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Tenaga Teknis Kefarmasian Warga Negara Indonesia sebagai Penanggung Jawab yang memiliki sertifikat pelatihan CPOTB (Pasal 22 dan Pasal 34 Ayat 2).Tentang penyelenggaraan IOT, IEBA, IKOT, dan IMOT diatur pada Pasal 4 ayat 1, 2 dan 3, dimana, pada Pasal 1 menyebutkan IOT dan IEBA hanya dapat diselenggarakan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, Pasal 2 UKOT hanya dapat diselenggarakan oleh badan usaha yang memiliki izin usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, serta Pasal 3 berbunyi UMOT hanya dapat diselenggarakan oleh badan usaha perorangan yang memiliki izin usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Perizinan terkait produksi obat tradisional diatur pada Pasal 6 ayat 1 dan 2 dimana pada Pasal tersebut dipersyaratkan bahwa setiap industri dan usaha di bidang obat tradisional wajib memiliki izin dari Menteri (Pasal 6 ayat 1), kecuali untuk usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan (Pasal 6 ayat 2). Menteri dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) mendelegasikan kewenangan pemberian izin untuk IOT dan IEBA kepada Direktur Jenderal, UKOT kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan UMOT kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Pasal 8).Peraturan ini juga mengatur tentang pelaporan terkait produksi obat tradisional yang tercantum dalam Pasal 42 ayat 1 sampai 5, yakni ayat (1) IOT, IEBA, UKOT, dan UMOT wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 6 (enam) bulan meliputi jenis dan jumlah bahan baku yang digunakan serta jenis, jumlah, dan nilai hasil produksi; (2) Laporan IOT dan IEBA disampaikan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi; (3) Laporan UKOT disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan kepada Kepala Balai setempat; (4) Laporan UMOT disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dengan tembusan kepada Kepala Balai setempat; dan ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal.

. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat TradisionalObat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar seperti yang tercantum pada Pasal 2 ayat 1 PerMenKes No 007 Tahun 2012. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), izin edar tidak diperlukan untuk obat tradisional yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong; simplisia dan sediaan galenik untuk keperluan industri dan keperluan layanan pengobatan tradisional; serta obat tradisional yang digunakan untuk penelitian, sampel untuk registrasi dan pameran dalam jumlah terbatas dan tidak diperjualbelikan (Pasal 4).Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus memenuhi kriteria yaitu menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu, dibuat dengan menerapkan CPOTB, memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau persyaratan lain yang diakui, berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun temurun, dan/atau secara ilmiah, dan penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan (Pasal 6 ayat 1). Peraturan ini juga mengatur tentang kandungan bahan yang tidak diperbolehkan terkandung dalam obat tradisional yang tercantum pada Pasal 7 ayat 1, diantaranya etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran; bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat; narkotika atau psikotropika; dan/atau bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan. Registrasi obat tradisional produksi dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh IOT, UKOT, atau UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan seperti yang diatur pada PerMenKes No 007 Tahun 2012 Pasal 9. Sedangkan registrasi obat tradisional lisensi hanya dapat dilakukan oleh IOT atau UKOT penerima lisensi yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 11). Registrasi obat tradisional impor hanya dapat dilakukan oleh IOT, UKOT, atau importir obat tradisional yang mendapat penunjukan keagenan dan hak untuk melakukan registrasi dari industri di negara asal (Pasal 12 ayat 1).

8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 659 Tahun 1991 tentang Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik Untuk membuat obat tradisional yang memenuhi persyaratan keamanan dan persyaratan mutu perlu adanya upaya untuk menerapkan cara pembuatan obat tradisional yang baik. Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku. Industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional yang telah menjalankan CPOTB akan memperoleh Sertifikat CPOTB yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah setelah menilai laporan hasil pemeriksaan dari Kepala Balai. Pada KepMenKes ini disebutkan mengenai unsur-unsur CPOB, antara lain personalia, bangunan, peralatan, sanitasi dan higiene, pengolahan dan pengemasan, pengawasan mutu, inspeksi diri, dokumentasi, serta penanganan terhadap hasil pengamatan produk di peredaran.

9. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang BaikIndustri obat tradisional harus membuat obat tradisional sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Untuk mencapai tujuan tersebut, industri obat tradisional wajib menerapkan CPOTB dalam seluruh aspek dan rangkaian pembuatan obat tradisional seperti yang tercantum dalam peraturan Kepala BPOM No HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 Pasal 2. CPOTB adalah bagian dari Pemastian Mutu yang memastikan bahwa obat tradisional dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan spesifikasi produk. Persyaratan teknis dalam CPOTB meliputi:

a) PersonaliaIndustri obat tradisional hendaknya memiliki personil yang terkualifikasi dan berpengalaman praktis dalam jumlah yang memadai. Tiap personil tidak dibebani tanggung jawab yang berlebihan untuk menghindari risiko terhadap mutu obat tradisional. Seluruh personil hendaknya memahami prinsip CPOTB dan memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan dengan pekerjaannya.b) Bangunan, fasilitas dan peralatanBangunan, fasilitas dan peralatan untuk pembuatan obat tradisional hendaknya memiliki desain, konstruksi dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil risiko terjadi kekeliruan, pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat tradisional.c) Sanitasi dan higieneRuang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil, bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran potensial hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu. Bangunan, fasilitas serta peralatan hendaknya dibersihkan dan bila perlu didisinfeksi menurut prosedur tertulis yang rinci dan tervalidasi.d) DokumentasiDokumentasi yang jelas bersifat fundamental untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci, sehingga memperkecil risiko terjadinya salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, Dokumen Produksi Induk/Formula Pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan, dan catatan harus bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis.e) ProduksiProduksi hendaknya dilaksanakan dengan mengikuti prosedur tervalidasi yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOTB yang menjamin bahwa produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu; serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi).f) Pengawasan mutuRuang lingkup Pengawasan Mutu mencakup pengambilan sampel; spesifikasi dan pengujian serta organisasi,; dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa pengujian yang diperlukan dan relevan telah dilakukan. Pengawasan Mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tetapi juga harus terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk. Penting untuk memisahkan sistem Pengawasan Mutu dari Produksi agar bagian Pengawasan Mutu dapat melakukan tanggung jawabnya dengan baik.g) Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrakPembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindarkan kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara Pemberi Kontrak dan Penerima Kontrak harus dibuat secara jelas menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu)h) Cara penyimpanan dan pengiriman obat tradisional yang baikPenyimpanan dan pengiriman adalah bagian yang penting dalam kegiatan dan manajemen rantai pemasokan produk yang terintegrasi. Dokumen ini menetapkan langkah yang tepat untuk membantu pemenuhan tanggung jawab bagi semua yang terlibat dalam kegiatan pengiriman dan penyimpanan produk. Dokumen ini memberikan pedoman bagi penyimpanan dan pengiriman produk jadi dari pabrik ke distributor.i) Penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan produk kembalianSemua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan obat hendaknya dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis. Untuk menangani semua kasus yang mendesak, hendaknya disusun suatu sistem dan bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari peredaran secara cepat dan efektif.

j) Inspeksi diriTujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri obat tradisional memenuhi ketentuan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Program inspeksi diri hendaknya dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOTB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaknya dilakukan secara independen, rutin, dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan atau oleh auditor luar yang independen.

10. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK. 00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tatalaksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan FitofarmakaUntuk melindungi masyarakat dari peredaran dan penggunaan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat, maka perlu dilakukan evaluasi melalui pendaftaran sebelum produk diedarkan. Obat tradisional dalam hal ini adalah jamu yang merupakan obat tradisional Indonesia. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarisasi. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi (Pasal 1). Obat tradisional, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka yang dibuat dan atau diedarkan di wilayah Indonesia wajib didaftarkan kepada Kepala Badan dan wajib memperoleh izin edar dari Kepala Badan (Pasal 2), kecuali untuk obat-obat berikut:a. Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang digunakan untuk penelitian;b. Obat tradisional impor untuk digunakan sendiri dalam jumlah terbatas;c. Obat tradisional impor yang telah terdaftar dan beredar di negara asal untuk tujuan pameran dalam jumlah terbatas;d. Obat tradisional tanpa penandaan yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan jamu gendong;e. Bahan baku berupa simplisia dan sedaan galenik (Pasal 3).Untuk dapat memiliki izin edar, maka obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan/khasiat; dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku; serta penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman sesuai dengan hasil evaluasi pada saat pendaftaran (Pasal 4). Pada Pasal 34 dinyatakan mengenai larangan obat tradisional, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka sebagai berikut: (1)Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dilarang mengandung bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika, serta hewan atau tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2)Obat tradisional dilarang dalam bentuk sediaan intravaginal. tetes mata, parenteral, supositoria (kecuali digunakan untuk wasir).(3)Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dalam bentuk sediaan cairan obat dalam tidak boleh mengandung etil alkohol dengan kadar lebih besar dari 1% (satu persen), kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran.

11. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam IndonesiaObat bahan alam Indonesia adalah obat bahan alam yang diproduksi di Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka (Pasal 1 ayat 1 dan 2).Jamu harus memenuhi kriteria diantaranya aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, serta memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (Pasal 2 ayat 1). Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria meliputi aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim kasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik, serta telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi (Pasal 3 ayat 1). Fitofarmaka harus memenuhi kriteria diantaranya aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi, serta memenuhi persyaratan mutu yang berlaku (Pasal 4 ayat 1). Untuk produk obat bahan alam kelompok jamu yang telah memperoleh izin edar sebelum keputusan ini ditetapkan masih diperbolehkan menggunakan penandaan dengan logo lama (Pasal 6)Berikut ini merupakan logo untuk jamu, obat herbal terstandar, serta fitofarmaka seperti yang diatur pada keputusan kepala BPOM Nomor: HK.00.05.4.2411.

Pengadaan bahan bakuIlmu Botani Farmasi: Nama Family dan nama botani dari tanaman yang digunakan sesuai dengan sistem binomial (genus, spesies, varietas, yaitu mengacu pada pencetus klasifikasi, misalnya Linnaeus). Mungkin juga tepat untuk menambahkan nama vernakular dan penggunaan terapi dalam negara atau daerah asal tanaman.

Farmakognosi1. Deskripsi dari bahan herbal melalui pemeriksaan pada visual (makroskopik) seperti:.. dan/ataupemeriksaan mikroskopis seperti2. Sortasi bahan baku dilakukan untuk memisahkan bahan baku yang baik dengan yang tidak baik yang terlihat secara fisik, misalnya daun yang sudah layu. Sortasi juga dilakukan untuk memisahkan benda asing yang mungkin terdapat dalam bahan baku tersebut ,misalnya kotoran atau tanah.3. Proses Pembuatan SimplisiaSetelah dilakukan pemanenan bahan baku simplisia, maka tahapan penanganan pasca panen adalah sebagai berikut.a). Sortasi basahTahap ini perlu dilakukan karena bahan baku simplisia harus benar dan murni, artinya berasal dari tanaman yang merupakan bahan baku simplisia yang dimaksud, bukan dari tanaman lain. Dalam kaitannya dengan ini, perlu dilakukan pemisahan dan pembuangan bahan organik asing atau tumbuhan atau bagian tumbuhan lain yang terikut. Bahan baku simplisia juga harus bersih, artinya tidak boleh tercampur dengan tanah, kerikil, atau pengotor lainnya (misalnya serangga atau bagiannya).b). PencucianPencucian sebaiknya mengguinakan air dari mata air, sumur, atau air ledeng (PAM). Setelah dicuci ditiriskan agar kelebihan air cucian mengalir. Ke dalam air untuk mencuci dapat dilarutkan kalium permanganat seperdelapan ribu, hal ini dilakukan untuk menekan angka kuman dan dilakukan untuk pencucian rimpang.c). PerajanganBanyak simplisia yang memerlukan perajangan agar proses pengeringan berlangsung lebih cepat. Perajangan dapat dilakukan manual atau dengan mesin perajang singkong dengan ketebalan yang sesuai. Apabila terlalu tebal maka proses pengeringan akan terlalu lama dan kemungkinan dapat membusuk atau berjamur. Perajangan yang terlalu tipis akan berakibat rusaknya kandungan kimia karena oksidasi atau reduksi. Alat perajang atau pisau yang digunakan sebaiknya bukan dan besi (misalnya stainless steel eteu baja nirkarat).d). PengeringanPengeringan merupakan proses pengawetan simplisia sehingga simplisia tahan lama dalam penyimpanan. Selain itu pengeringan akan menghindari teruainya kandungan kimia karena pengaruh enzim. Pengeringan yang cukup akan mencegah pertumbuhan mikroorganisme dan kapang (jamur). Jamur Aspergilus flavus akan menghasilkan aflatoksin yang sangat beracun dan dapat menyebabkan kanker hati. Menurut persyaratan obat tradisional tertera bahwa Angka khamir atau kapang tidak lebih dari 104. Mikroba patogen harus negatif dan kandungan aflatoksin tidak lebih dari 30 bagian per juta (bpj). Tandanya simplisia sudah kering adalah mudah meremah bila diremas atau mudah patah. Menurut persyaratan obat tradisional pengeringan dilakukan sampai kadar air tidak lebih dari 10%. Cara penetapan kadar air dilakukan menurut yang tertera dalam Materia Medika Indonesia atau Farmakope Indonesia. Pengeringan sebaiknya jangan di bawah sinar matahari langsung, melainkan dengan almari pengering yang dilengkapi dengan kipas penyedot udara sehingga terjadi sirkulasi yang baik. Bila terpaksa dilakukan pengeringan di bawah sinar matahari maka perlu ditutup dengan kain hitam untuk menghindari terurainya kandungan kimia dan debu. Agar proses pengeringan berlangsung lebih singkat bahan harus dibuat rata dan tidak bertumpuk. Ditekankan di sini bahwa cara pengeringan diupayakan sedemikian rupa sehingga tidak merusak kandungan aktifnya.e). Sortasi keringSimplisia yang telah kering tersebut masih sekali lagi dilakukan sortasi untuk memisahkan kotoran, bahan organik asing, dan simplisia yang rusak karena sebagai akibat proses sebelumnya.f). Pengepakan dan penyimpanan Bahan pengepak harus sesuai dengan simplisia yang dipak. Misalnya simplisia yang mengandung minyak atsiri jangan dipak dalam wadah plastik, karena plastik akan menyerap bau bahan tersebut. Bahan pengepak yang baik adalah karung goni atau karung plastik. Simplisia yang ditempatkan dalam karung goni atau karung plastic praktis cara penyimpanannya, yaitu dengan ditumpuk. Selain itu, cara menghandelnya juga mudah serta cukup menjamin dan melindungi simplisia di dalamnya. Pengepak lainnya digunakan menurut keperluannya. Pengepak yang dibuat dari aluminium atau kaleng dan seng mudah melapuk, sehingga perlu dilapisi dengan plastik atau malam atau yang sejenis dengan itu.

Manajemen FarmasiAdapun tempat atau gudang penyimpanan harus memenuhi syarat antara lain harus bersih, tentutup, sirkulasi udara baik, tidak lembab, penerangan cukup bila diperlukan, sinar matahari tidak boleh leluasa masuk ke dalam gudang, konstruksi dibuat sedemikian rupa sehingga serangga atau tikus tidak dapat leluasa masuk, tidak mudah kebanjiran serta terdapat alas dari kayu yang baik (hati-hati karena balok kayu sangat disukai rayap) atau bahan lain untuk meletakkan simplisia yang sudah dipak tadi. Pengeluaran simplisia yang disimpan harus dilaksanakan dengan cara mendahulukan bahan yang disimpan Iebih awal (First in-First out = FIFO).

Proses ProduksiFitokimiaEkstraksi : pemilihan metode ekstraksi yg tepat

Farmasetika dan Sediaan non steril-Penggilingan simplisia menjadi serbukSimplisia yang telah ditimbang digiling dengan menggunakan mesin penggiling yang digerakkan oleh mesin penggerak. Jenis atau ukuran pisau pada mesin penggiling yang digunakan untuk menggiling daun dan rimpang berbeda. Pisau pada mesin penggiling harus selalu diganti setiap 3 bulan untuk menjamin hasil gilingan selalu dalam ukuran yang seharusnya.-Penyaringan atau pengayakan dengan saringan 120 mesh.Proses penyaringan dilakukan untuk menghasilkan serbuk dengan ukuran yang halus dan seragam. Dari proses penyaringan ini, pada umumnya serbuk yang tidak lolos adalah sekitar 15-20 %.-Pencampuran sesuai kombinasi yang diinginkanSerbuk jamu yang telah disaring kemudian diramu dengan jumlah dan komposisi yang disesuaikan dengan jenis jamu yang akan dihasilkan. - bentuk sediaan obat bahan alam yang diinginkan diproduksiRuang lingkupNoBentuk sediaanFasilitas kegiatan

Sediaan padat1TabletTablet

Tablet hisap

Kaplet

Pengemasan

2Tablet salutTablet salut

Pengemasan

3Gummi Chewable Gummi Chewable

Pengemasan

4Tablet Effervesen Tablet Effervesen

Pengemasan

5Tablet Obat Luar

Tablet Obat Luar

Pengemasan

6Serbuk Oral

Serbuk

Serbuk Instan

Pengemasan

7Serbuk Effervesen

Serbuk Effervesen

Pengemasan

8Serbuk Obat Luar

Mangir /Masker/Lulur

Pengemasan

9Kapsul Kapsul

Pengemasan

10Film strip/edible film

Film strip /edible film

Pengemasan

11Pil

Pil

Pengemasan

12Granul

Granul instan

Padat butiran

Pengemasan

13Cone (inhaler)

Cone (inhaler)

Pengemasan

14Suppositoria

Suppositoria (untuk wasir)

Pengemasan

15Rajangan

Rajangan

Pengemasan

16Pilis/Parem/Tapel

Pilis/Parem/Tapel

Pengemasan

Sediaan Setengah Padat

1Setengah padatSalep

Balsem

Krim

Gel

Pengemasan

Sediaan Cairan

1Cairan Obat Dalam

Suspensi

Emulsi

Elixir

Tinctur

Cairan Kental

Cair

Pengemasan

2Cairan Obat Luar

Suspensi

Emulsi

Inhaler

Cair

Pengemasan

3Plester

Koyo

Pengemasan

Sediaan Ekstrak Bahan Alam

1Ekstrak Kental

Ekstrak Kental

Pengemasan

2Ekstrak Cair

Ekstrak Cair

Pengemasan

3Ekstrak Kering

Ekstrak Kering

Pengemasan

Studi StabilitasJika tanggal kadaluwarsa untuk bahan herbal atau produk ruahan diberikan, beberapa data stabilitas untuk mendukung rak - kehidupan yang diusulkan dalam kondisi penyimpanan yang ditentukan harus tersedia. Data stabilitas selalu diperlukan untuk mendukung rak-kehidupan yang diusulkan untuk produk herbal jadi. Produk herbal jadi kemungkinan mengandung beberapa bahan herbal atau produk ruahan, dan sering tidak layak untuk menentukan stabilitas masing-masing bahan aktif. Selain itu, karena bahan herbal, secara keseluruhan, dianggap sebagai bahan aktif, penentuan stabilitas konstituen dengan aktivitas terapeutik yang diketahui biasanya tidak akan cukup. Kromatografi memungkinkan pelacakan perubahan yang mungkin terjadi selama penyimpanan dari campuran kompleks dari zat aktif biologis terkandung dalam bahan herbal. Ini harus ditampilkan, sejauh mungkin, misalnya oleh perbandingan karakteristik kromatogram/sidik jari yang tepat, yang bahan aktif teridentifikasi (jika ada) dan zat lainnya yang ada di bahan herbal atau produk herbal jadi yang juga stabil dan bahwa kandungannya sebagai proporsi keseluruhan tetap dalam batas-batas yang ditentukan .Metode sidik jari yang digunakan untuk studi stabilitas harus semirip mungkin dengan yang digunakan untuk tujuan kontrol kualitas. Untuk mengidentifikasi bahan aktif, konstituen dengan aktivitas terapeutik diketahui dan marker, banyak digunakan metode pengujian umum, dan tes fisik dan sensorik yang sesuai atau lainnya dapat diterapkan. Untuk menentukan rak-kehidupan produk herbal jadi, penekanan kuat juga harus ditempatkan diantara uji lain yang diperlukan, seperti kadar air, kontaminasi mikroba dan dosis umum uji bentuk kontrol.Stabilitas pengawet dan stabilisator harus dipantau. Ketika ini tidak digunakan , tes alternatif harus dilakukan untuk memastikan bahwa self-produk melestarikan atas rak - hidupnya. Sampel yang digunakan untuk studi stabilitas harus disimpan dalamwadah yang ditujukan untuk pemasaran. Biasanya tiga batch produksi komersial harustermasuk dalam program monitoring stabilitas untuk mengkonfirmasi tanggal kadaluwarsa. Namun, di mana data dari studi sebelumnya, termasuk batch percontohan, bahwa produk tersebut diperkirakan akan tetap stabil setidaknya selama dua tahun, lebih sedikit dari tiga batch yang digunakan. Frekuensi pengujian tergantung padakarakteristik produk obat herbal. Protokol untuk studi stabilitas yang berkelanjutan harus didokumentasikan. Ini biasanya akan melibatkan satu batch per tahun yang termasuk dalamprogram monitoring stabilitas.1. Kimia Analisisa. Kadar airPengukuran kandungan air yang berada didalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetrik. Tujuannya untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air didalam bahan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995).b. Sisa pelarutMenentukan kandungan sisa pelarut tertentu (yang memang ditambahkan) yang secara umum dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya, misalnya kadar alkohol. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair menunjukkan jumlah pelarut (alkohol) sesuai dengan yang ditetapkan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Depkes RI, 1980).c. Cemaran logam beratMenentukan kandungan logam berat secara spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995).Penentuan kandungan logam timbal (Pb) pada ekstrak berguna untuk dapat menjamin bahwa ekstrak tidak mengandung timbal melebihi batas yang ditetapkan karena bersifat toksik terhadap tubuh. Agar didapatkan data yang valid maka dianalisa dengan menggunakan metoda spektrofotometri serapan atom. SK Dirjen POM No 03725/B/SK/VII/89 tentang batas maksimum cemaran logam dalam makanan menyatakan bahwa batas maksimum cemaran logam timbal pada rempah rempah sebesar 10 mg/kg atau 0,01 mg/g (Arifin, 2006).a. Residu pestisidaMenentukan kandungan sisa pestisida yang mungkin saja pernah ditambahkan atau mengkontaminasi pada bahan simplisia pembuat ekstrak. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995).b. Identitas (Identifikasi dengan KLT)Identifikasi dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dilakukan dengan melihat nilai hRf/Rf sampel beserta larutan pembandingnya serta warna bercak pada sinar biasa (dengan atau tanpa pereaksi) dan sinar UV (dengan atau tanpa pereaksi) (DepKes RI, 1980; DepKes RI, 2008).c. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu1. Kadar senyawa yang larut dalam air.Sejumlah 5 g ekstrak disari selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform LP, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam, saring. Diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada suhu 105C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal (Depkes RI, 1980).2. Kadar senyawa yang larut dalam etanol.Sejumlah 5 g ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml etanol 95% menggunakan labu bersumbat sambil berkali kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring cepat dengan menghindari penguapan etanol, kemudian diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap yang telah ditara, residu dipanaskan pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol terhadap berat ekstrak awal (Depkes RI, 1980).d. Pola kromatogramEkstrak ditimbang, diektraksi dengan pelarut dan cara tertentu, kemudian dilakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Tujuannya adalah memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatografi (KLT, KCKT, KG) (Stahl, 1969; Hendrajaya dan Kesuma, 2003).e. Kadar total golongan kandungan kimiaDengan penerapan metode spektrofotometri, titrimetri, volumetrik, gravimetrik atau lainnya. Dapat ditetapkan kadar golongan kandungan kimia. Metode harus sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas dan batas linieritas. Ada beberapa golongan kandungan kimia yang dapat dikembangkan dan ditetapkan metodenya, yaitu golongan: minyak atsiri, steroid, tannin, flavonoid, triterpenoid (saponin), alkaloid, antrakinon (Soetarno dan Soediro, 1997; Depkes RI, 2000). Tujuannya adalah untuk memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis.f. Kadar kandungan kimia tertentuDengan tersedianya suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identis atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tertentu. Instrument yang dapat digunakan adalah Densitometer, Kromatografi Gas, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau instrument lain yang sesuai. Metode penetapan kadar harus diuji dahulu validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linieritas, ketelitian, ketepatan dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggungjawab pada efek farmakologi. Contohnya adalah penetapan kadar andrografolid dalam ekstrak sambiloto secara HPLC atau penetapan kadar pinostorbin dalam ekstrak temu kunci secara densitometri.2. Mikrobiologia. Cemaran mikrobaMenentukan adanya mikroba yang patogen secara analisis mikrobiologis. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non patogen melabihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (DepKes RI, 1995).Metode uji mikrobaMETODE PENELITIANBahan: sampel jamu gendong yang diambil dari 20 produsen jamu gendong yang berbeda di 4 wilayah DIY (5 produsen dari Kabupaten Sleman, 5 produsen dari Kabupaten Bantul, 5 produsen dari Kabupaten Kulon Progo, 5 produsen dari Kotamadya Yogyakarta), media Plate Count Agar (PCA), media Potato Dextrosa Agar (PDA), kloramfenikol, media ASA (Air Suling Agar 0,05%), dan larutan fisiologis steril.

Alat: piring petri, tabung reaksi, labu Erlen-meyer, gelas ukur, blue tip dan yellow tip, pipet mikro, autoklav, inkubator, spreader glass.

Jalan PenelitianPembuatan seri pengenceran sampelSebanyak 1 ml sampel yang akan diperiksa dilarutkan dalam 10 ml larutan pengen-cer yaitu berupa larutan fisiologis steril untuk uji ALT dan media ASA untuk uji AKT. Dibuat seri pengenceran hingga 10-6 untuk uji ALT (cemaran bakteri) dan 10-4 untuk uji AKT (cemaran kapang/khamir).

Pengujian cemaran bakteriPengujian cemaran bakteri dari sampel jamu gendong dengan metode uji angka lempeng total dilakukan sebanyak 3 kali pengambilan sampel, masing-masing dilakukan replikasi duplo. Sebanyak 1 ml suspensi hasil pengenceran sampel dituang ke dalam piring petri. Ke dalam setiap piring petri tersebut dituangkan media PCA steril yang telah dicairkan dengan temperatur media berkisar pada 40C. Sebagai kontrol digunakan media PCA dan larutan pengencer (larutan fisiologis steril). Piring petri selanjutnya diinkubasi pada temperatur 35-37C selama 24-48 jam dalam posisi terbalik. Penghitungan jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada media dilakukan sesuai cara penghitungan yang ditetapkan dalam prosedur operasional baku pengujian mikrobiologi oleh Badan POM.

Pengujian cemaran kapang/khamirbakteri melebihi standar batas kontaminasi bakteri yang masih dianggap aman untuk dikonsumsi pada obat tradisional sesuai yang disyaratkan oleh Departemen Kesehatan RI, yaitu sebesar < 106 CFU/mlPengujian cemaran kapang/khamir dari sampel jamu gendong dengan metode uji angka kapang/khamir total dilakukan sebanyak 5 kali replikasi. Media PDA steril yang telah dicairkan dan didinginkan pada temperatur 40C ditambahkan kloramfenikol sebesar 1ml/L, dan dituang ke dalam piring petri hingga membeku. Sebanyak 1 ml suspensi hasil pengenceran sampel dituang pada permukaan media PDA yang telah beku dalam piring petri, yang mengandung kloramfenikol, dan diratakan dengan bantuan spreader glass. Sebagai kontrol digunakan media dan larutan pengencer (ASA). Piring petri selanjutnya diinkubasi pada temperatur 20-25C selama 3-5 hari. Penghitu-ngan jumlah koloni kapang/khamir yang tumbuh pada media dilakukan sesuai cara penghitungan yang ditetapkan dalam prosedur operasional baku pengujian mikrobiologi oleh Badan POM.

Analisis hasilHasil penghitungan angka lempeng total dan angka kapang/khamir total dibandingkan dengan standar uji cemaran mikroba SNI 19-2897-1992.Besarnya jumlah koloni bakteri pencemar dalam sediaan jamu tersebut dapat disebabkan selain akibat proses pembuatan jamu yang kurang memperhatikan unsur sanitasi dan higien, dapat pula diakibatkan oleh adanya kontaminasi mikroba udara pada saat pengemasan atau penjualan. Pengaruh faktor lokasi penjualan jamu gendong juga dimungkinkan. Beberapa penjual jamu gendong menjual jamu gendongnya di area yang tidak higienis seperti pada pasar tradisional yang memungkinkan banyak terjadinya kontaminasi jamu dari mikroba udara.