Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

183
TESIS PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM RANGKA PENATAGUNAAN TANAH DI KOTA DENPASAR LUH PUTU SURYANI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011

description

TESISUntuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister,Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas UdayanaOleh : Luh Putu SuryaniPROGRAM MAGISTER, PROGRAM STUDI ILMU HUKUM, PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011

Transcript of Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

Page 1: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

TESIS

PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH

TERLANTAR DALAM RANGKA PENATAGUNAAN

TANAH DI KOTA DENPASAR

LUH PUTU SURYANI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

Page 2: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

TESIS

PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH

TERLANTAR DALAM RANGKA PENATAGUNAAN

TANAH DI KOTA DENPASAR

LUH PUTU SURYANI

NIM.0890561039

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

Page 3: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH

TERLANTAR DALAM RANGKA PENATAGUNAAN

TANAH DI KOTA DENPASAR

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

LUH PUTU SURYANI

NIM.0890561039

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

ii

Page 4: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 16 SEPTEMBER 2011

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH Dr.I Nyoman Suyatna, SH.MH

NIP. 195304011980031004 NIP. 195909231986011001

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana

Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana

Universitas Udayana

Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi,Sp.S(K)

NIP.195604191983031003 NIP.195902151985102001

iii

Page 5: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

TESIS INI TELAH DIUJI

PADA TANGGAL 16 SEPTEMBER 2011

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor : 1578/UN14.4/HK/2011 Tanggal 15 September 2011

Ketua : Prof.Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH

Sekretaris : Dr. I Nyoman Suyatna, SH.MH

Anggota : 1. Prof.Dr.I Made Arya Utama, SH.MH

2. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH.MH

3. I Gede Yusa, SH.MH

iv

Page 6: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

SURAT PERNYATAAN

Yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Luh Putu Suryani

NIM : 0890561039

Tempat/Tanggal Lahir : Denpasar/16 Mei 1967

Alamat : Jl. Hayam Wuruk Gg.XVII No.26 Denpasar

Telp. : (0361) 264635

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tidak menjiplak setengah atau sepenuhnya

tesis orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan

sebagaimana mestinya dan apabila dikemudian hari ternyata tidak benar, maka saya

bersedia dituntut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 5 September 2011

Hormat saya,

Luh Putu Suryani

v

Page 7: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa /

Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan perkenan-Nyalah maka tesis yang

berjudul ” Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Rangka

Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar” dapat terselesaikan. Tesis ini disusun dalam

rangka memenuhi kewajiban penulis untuk meraih gelar Magister Hukum pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa

adanya bantuan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini,

dengan kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD. (KHOM), sebagai Rektor Universitas

Udayana yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti

pendidikan S-2 di Universitas Udayana;

2. Ibu Prof. Dr. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program

Pascasarjana Universitas Udayana yang memberi kesempatan kepada penulis

untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di Universitas Udayana;

3. Bapak Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU, selaku Ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang juga memberikan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana Ilmu

Hukum di Universitas Udayana;

vi

Page 8: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

4. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH, Pembimbing I dalam

penulisan tesis ini yang telah membimbing dan memberi arahan serta

semangat untuk menyelesaikan tesis ini;

5. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH.MH, sebagai Pembimbing II yang telah

membimbing dan memberi arahan dalam penyusunan tesis ini;

6. Bapak Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE.MS, Rektor Universitas Warmadewa

yang telah memberikan ijin belajar kepada penulis;

7. Ibu NLM Mahendrawati, SH.M Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas

Warmadewa yang memberikan kesempatan belajar kepada penulis;

8. Seluruh Dosen dan Staf Tata Usaha Program Pascasarjana Ilmu Hukum

Universitas Udayana, yang telah membantu kelancaran proses administrasi

selama mengikuti perkuliahan;

9. Suami dan Anak-anakku tercinta atas doa dan dorongan serta dukungan moril

dan materiil sejak awal kuliah sampai selesainya tesis ini;

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, baik secara

materi maupun pemaparannya, oleh karena itu saran dan masukan dari semua pihak

yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum.

Denpasar , September 2011

Penulis

vii

Page 9: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

RINGKASAN

Tesis ini berjudul Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalan

Rangka Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar. Penelitian ini diawali dengan adanya

kekaburan norma mengenai kewenangan dan mekanisme penertiban dan

pendayagunaan tanah terlantar. Kemudian dari hal tersebut dirumuskan

permasalahannya. Dalam mengkaji permasalahan tersebut dilakukan secara normatif

dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual dengan

landasan-landasan teoritis hukum administrasi negara. Penelitian ini diawali dengan

mengumpulkan bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier. Setelah bahan hukum terkumpul dilakukan

analisis melalui deskripsi, interpretasi, sistematisasi, dan argumentasi sampai

akhirnya dapat ditarisk suatu kesimpulan.

Dalam Bab II dibahas secara umum mengenai Karakteristik Tanah Terlantar.

Untuk lebih jelasnya dalam Bab ini diuraikan mengenai Hukum Tanah Nasional

yang ditinjau dari Perspektif Filosofis dan Perspektif Hukum. Dari Perspektif

Hukum dibahas mengenai pengertian tanah dalam hukum tanah, hak penguasaan atas

tanah, hak-hak atas tanah. Juga dibahas mengenai fungsi sosial hak atas tanah.

Kemudian dibahas mengenai Tanah Terlantar yang meliputi pengertian tanah

terlantar, kriteria tanah terlantar, kedudukan tanah terlantar.

viii

Page 10: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

Pada Bab III, dibahas mengenai Kewenangan dan Mekanisme Penertiban

Tanah Terlantar.Dalam Bab ini diuraikan mengenai Kewenangan Penertiban Tanah

Terlantar yang menguraikan konsep kewenangan, organ yang berwenang dalam

penertiban tanah terlantar, ruang lingkup wewenang dalam penertiban tanah

terlantar.Kemudian dibahas mengenai Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar yang

menguraikan ruang lingkup obyek penertiban tanah terlantar, tata cara penertiban

tanah terlantar.

Selanjutnya dalam Bab IV dibahas tentang Pendayagunaan Tanah Terlantar

Dalam Rangka Penatagunaan tanah di Kota Denpasar. Dalam Bab ini diuraikan

mengenai pelaksanaan pendayagunaan tanah terlantar, organ yang berwenang dalam

pendayagunaan tanah terlantar, penatagunaan tanah di Kota Denpasar,

pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar.

Akhirnya pada Bab V yaitu bagian penutup, dikemukakan mengenai

kesimpulan yang dapat ditarik terhadap pembahasan permasalahan yang disampaikan.

Pada Bab ini juga disampaikan saran-saran yang kiranya dapat memberikan solusi

untuk mengatasi serta memberikan hasil yang diharapkan dalam penertiban dan

pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar.

ix

Page 11: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah

Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar. Ada dua

permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu kewenangan dan

mekanisme penertiban tanah terlantar serta pendayagunaan tanah terlantar dalam

rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yang menggunakan

pendekatan perundang-undangan dan konseptual.Bahan hukum yang dipergunakan

dalam penelitian ini berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan

bahan hukum tertier. Bahan hukum maupun informasi penunjang lainnya yang telah

terkumpul terlebih dahulu dilakukan deskripsi dengan menguraikan proposisi-

proposisi hukum kemudian diinterpretasikan untuk selanjutnya disistimatisasi,

dievaluasi untuk kemudian diberikan argumentasi untuk mendapatkan kesimpulan

atas permasalahan tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan penertiban tanah terlantar

merupakan kewenangan delegasi, dimana Presiden mendelegasikan kewenangannya

kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk melakukan

penertiban tanah terlantar sesuai dengan ketentuan Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010.

Dalam pelaksanaan penertiban, dibentuk Panitia C yang berwenang melakukan

identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar. Mekanisme penertiban tanah

terlantar dilakukan melalui tahapan-tahapan yaitu inventarisasi tanah terindikasi

terlantar, identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar, peringatan terhadap

pemegang hak, penetapan tanah terlantar. Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota

Denpasar, tanah-tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat

melalui reforma agraria, program strategis negara dan cadangan umum negara harus

disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar.

Kata Kunci : Penertiban, Pendayagunaan, Tanah Terlantar, Penatagunaan Tanah

x

Page 12: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

ABSTRACT

This research examines about the control and empowering abandon land in

land-use management in Denpasar City. There are 2 (two) main problems are

observed in this research, first: the authority and control mechanism of abandon land

and the second, the empowering of abandon land to land-use in Denpasar.

This research is the normative legal research, which uses the approach of

Statute and conceptual. Legal materials used in this research in the form of primary

legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. The legal

materials and other supporting information that had been collected were described by

explaining legal proposition, to be interpreted, systematized, evaluated and analyzed

before giving the arguments in order to achieve conclusions for the problems.

The results showed that control of abandon land is the delegation of

authority, where the President delegates the authority to Head Of National Land

Authority Republic of Indonesia to conduct policing abandoned land in accordance

with the provisions of Article 17 Government Regulation Number 11 of 2010. On

the implementation of the control, Committee C created who responsibles to identify

and research the land which indicates abandon. The mechanism of controlling the

abandon land has been done through few steps those are inventory of land indicates

abandon, identification and research of land indicates abandon, warning the rights’

holders, ascertainment of abandon land. With regards to the land-use management in

Denpasar City; abandon lands empowered to be used for community interest through

agrarian reform; program country strategy and state general reserve which has to be

adjusted to the Layout Plan of Denpasar City Zone.

Key words: The Control, Empowering, Abandon Land, Land-use Management

xi

Page 13: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………… i

PERSYARATAN GELAR MAGISTER……………………………………………. ii

LEMBAR PERSETUJUAN ………………..………………………………………. iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI …………………………………………………iv

SURAT PERNYATAAN……………………………………………………………..v

UCAPAN TERIMAKASIH……………………………………………………… vi

RINGKASAN………………………………………………………………………viii

ABSTRAK…………………………………………………………………………. x

ABSTRACT………………………………………………………………………… xi

DAFTAR ISI………………………………………………………………………... xi

BAB I.PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah………………………………………………....1

1.2.Rumusan Masalah………………………………………………………12

1.3.Tujuan Penelitian ……………………………………………................13

1.3.1. Tujuan Umum……………………………………………………...13

1.3.2. Tujuan Khusus……………………………………………………..13

1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………………..13

1.4.1.ManfaatTeoritis………………………………………………….....13

1.4.2.Manfaat Praktis…………………………………………………… 14

xii

Page 14: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

1.5.Landasan Teoritis…………………………………………………….....14

1.6. Metode Penelitian………………………………………………….…..35

1.6.1. Jenis Penelitian………………………………………………… ..35

1.6.2. Jenis Pendekatan…………………………………………… .…..37

1.6.3. Sumber Bahan Hukum………………………………………… 37

1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum………………………….. ..38

1.6.5. Teknik Analisa Bahan Hukum………………………………… ..39

BAB II. KARAKTERISTIK TANAH TERLANTAR

2.1. Hukum Tanah Nasional …………………………………………...... 41

2.1.1.Perspektif Filosofis…………………………………………… 42

2.1.2. Perspektif Hukum …………………………………………… 45

2.1.2.1. Pengertian Tanah Dalam Hukum Tanah……………..... 45

2.1.2.2. Hak Penguasaan Atas tanah…………………………… 51

2.1.2.3. Hak-Hak Atas Tanah………………………………….. 61

2.1.3. Fungsi Sosial Hak-Hak Atas Tanah……………………………62

2.2. Tanah Terlantar……………………………………………………….64

2.2.1. Pengertian Atau Konsep Tanah Terlantar…...…………………65

2.2.2. Kriteria Tanah Terlantar……………………………………….69

2.2.3. Kedudukan Tanah Terlantar……………………………….......73

xiii

Page 15: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

BAB III. KEWENANGAN DAN MEKANISME PENERTIBAN TANAH

TERLANTAR

3.1. Kewenangan Dalam Penertiban Tanah Terlantar…………………….76

3.1.1. Konsep Kewenangan………………………………………......76

3.1.2. Organ Yang Berwenang Dalam Penertiban Tanah Terlantar….84

3.1.3. Ruang Lingkup Wewenang Penertiban Tanah Terlantar………87

3.2. Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar………………………….......90

3.2.1. Ruang Lingkup Obyek Penertiban Tanah Terlantar……….......90

3.2.2. Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar……………………… 101

BAB IV. PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM

RANGKA PENATAGUNAAN TANAH DI KOTA DENPASAR

4.1. Pendayagunaan Tanah Terlantar…………………………………...117

4.1.1. Pelaksanaan Pendayagunaan Tanah Terlantar…………… 117

4.1.2. Organ Yang Berwenang Dalam Pendayagunaan Tanah

Terlantar………………………………………………………138

4.2. Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar………………………… 152

4.3. Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Kaitannya Dengan

Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar ………………………….. 157

xiv

Page 16: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

BAB V. PENUTUP

5.1. Simpulan ……………………………………………………………160

5.2. Saran………………………………………………………………. 161

DAFTAR PUSTAKA

xv

Page 17: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha

Esa serta berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan lahan menjadikan tanah

sebagai alat investasi yang sangat menguntungkan, sehingga terjadi peningkatan

permintaan akan tanah dan bangunan. Hal ini menyebabkan tanah dan bangunan

menjadi sangat bernilai, sehingga orang yang memiliki tanah dan bangunan akan

sedapat mungkin mempertahankan hak milik atas tanahnya. Selain itu sebagai salah

satu faktor produksi, tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam

kehidupan manusia, hal ini dapat dimaklumi bahwa manusia akan senantiasa

memerlukan tanah untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemukiman dan nantinya

untuk pemakaman.

Sebagai Negara yang berlatar belakang agraris, tanah merupakan

sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting di dalam kehidupan

masyarakat di Indonesia, terlebih lagi bagi petani di pedesaan. Tanah berfungsi

sebagai tempat di mana warga masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga

memberikan penghidupan baginya.1 Tanah merupakan sumber hidup

dan kehidupan bagi manusia. Tanah mempunyai fungsi yang sangat

1 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan

Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.172

Page 18: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

2

strategis, baik sebagai sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk

pembangunan. Karena ketersediaan tanah yang relatif tetap sedangkan

kebutuhan akan tanah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan

kegiatan pembangunan yang terus meningkat pula, sehingga pengelolaannya harus

berdayaguna untuk kepentingan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Prinsip dasar

itu sudah ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD 1945

menyebutkan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebutkan

UUPA menyebutkan : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai

karunia Tuhan yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa

Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3)

disebutkan “Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang

angkasa termaksud dalam ayat (2) adalah hubungan yang bersifat abadi”.

Hubungan yang bersifat abadi artinya hubungan bangsa Indonesia bukan hanya dalam

generasi sekarang saja tetapi generasi seterusnya. Oleh karena itu sumber daya

alam harus dijaga jangan sampai dirusak atau ditelantarkan. Sehubungan

dengan itu penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan

pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan

dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi

Page 19: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

3

rakyat, terutama bagi golongan petani dengan tetap mempertahankan kelestarian

kemampuannya dalam mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan.

Dengan demikian penggunaan tanah harus dilakukan oleh yang berhak atas

tanah selain untuk memenuhi kepentingannya sendiri juga tidak boleh merugikan

kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, bagi pihak yang telah menguasai tanah

dengan sesuatu hak sesuai ketentuan UUPA atau penguasaan lainnya, harus

menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan, sifat dan tujuan

pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah maupun

penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah kosong atau tidak

produktif.

Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan

yang tidak bijaksana, tidak ekonomis, dan tidak berkeadilan, juga merupakan

pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atau pihak

yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. Penelantaran tanah juga berdampak

pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya

ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-

ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah serta terusiknya rasa keadilan dan

harmoni sosial.

Untuk itu perlu ditumbuhkan pengertian akan pentingnya arti penggunaan

tanah sesuai dengan kemampuan peruntukkannya, sehingga tercapai penggunaan

tanah yang berasaskan pemanfaatan tanah secara optimal, keseimbangan antara

berbagai keperluan dan asas kelestarian dalam mewujudkan kesejahteraan

Page 20: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

4

rakyat.Tertib penggunaan tanah merupakan sarana untuk meningkatkan daya guna

dan hasil guna tanah secara optimal.2

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang selanjutnya

disebut RPJMN II Tahun 2010-2014, Buku II, Bab IX, sub 3 tentang Arah kebijakan

dan Strategi Pembangunan mengenai pertanahan dinyatakan :

Arah kebijakan yang dirumuskan untuk mencapai sasaran pembangunan

pertanahan adalah “Melaksanakan pengelolaan pertanahan secara utuh dan

terintegrasi melalui Reforma Agraria, sehingga tanah dapat dimanfaatkan

secara berkeadilan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan turut

mendukung pembangunan berkelanjutan.

Arah kebijakan tersebut ditempuh melalui strategi sebagai berikut :

(1) peningkatan penyediaan peta pertanahan dalam rangka legalisasi asset

dan kepastian hukum hak atas tanah;

(2) pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah

(P4T) termasuk pengurangan tanah terlantar;

(3) peningkatan kinerja pelayanan pertanahan;

(4) penataan dan penegakan hukum pertanahan serta pengurangan potensi

sengketa .

Pasal 6 UUPA merumuskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi

sosial, ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidak dapat

dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-

mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi

masyarakat. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak

untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya

keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya.

2 Soetomo, 1986, Politik Dan Administrasi Agraria, Usaha Nasional, Surabaya,

Indonesia, hal. 73.

Page 21: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

5

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada

haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang

mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut

tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh

kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan

perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling

mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok yaitu

kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Dalam kehidupan masyarakat, tanah memegang peranan yang sangat penting

bagi kelangsungan hidup mereka masing-masing. Oleh karena itu sebagian besar

kehidupan manusia tergantung pada tanah. Tanah merupakan tempat tinggal bagi

manusia dimana mereka hidup dan merupakan sumber penghidupan bagi manusia

terutama bagi mereka yang penghidupannya dari usaha pertanian. Selain itu pula

tanah merupakan harta yang bersifat permanen, karena dicanangkan bagi kehidupan

mendatang serta tidak dapat diperbaharui.3 Oleh karena itu memerlukan penanganan

yang serius dan professional. Dengan meningkatnya pembangunan disegala bidang,

baik pertanian, pemukiman, perindustrian maka kebutuhan akan tanah semakin

meningkat pula. Dengan meningkatnya kebutuhan tanah semakin meningkat pula

masalah-masalah yang ditimbulkan oleh tanah yang harus segera diselesaikan.

Sementara itu Hiroyoshi Kano menyatakan bahwa menjelang akhir abad ke-

20 masalah tanah makin menjadi isu sentral bagi gerakan sosial di Indonesia.

3 Abdurrahman, 1980, Beberapa Aspekta Tentang Hukum Agraria, Alumni, Bandung,

hal.1.

Page 22: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

6

Hampir setiap hari dilaporkan dalam media massa adanya sengketa tanah sebagai

hasil dari perubahan-perubahan cepat dalam struktur ekonomi yang makin cepat sejak

pertengahan tahun 1980-an4. Dibandingkan dengan yang terjadi di masa lalu,

sengketa-sengketa yang terjadi saat ini tidak hanya terjadi pada tanah yang digunakan

untuk pertanian tetapi juga pada tanah yang digunakan untuk semua jenis

pembangunan seperti kehutanan, real estate, pariwisata, pertambangan, pembangunan

jalan, bendungan, kawasan industri serta lapangan golf. Demikian pula kebanyakan

dari sengketa tanah itu berkaitan dengan pertentangan hak dan kepentingan antara

penduduk lokal dengan kekuatan-kekuatan luar yang berusaha keras mencari

keuntungan komersial dari proyek-proyek tersebut.

Persoalan tanah yang secara potensial mesti memberikan nilai lebih bagi

peningkatan hasil-hasil pembangunan demi kesejahteraan masyarakat bangsa

Indonesia tidak dapat dilaksanakan atau diberikan oleh pemerintah karena tidak

semua bidang tanah dikuasai oleh Negara. Hanya sebagian saja tanah-tanah dikuasai

oleh Negara, selebihnya bidang-bidang tanah dikuasai oleh warga negara, orang-

perorangan maupun badan hukum.

Di dalam kepemilikan, penguasaan tanah baik sejengkal maupun sampai

berhektar-hektar sepanjang diusahakan, digunakan, dimanfaatkan secara baik dan

memberikan nilai tambah bagi tanah-tanah tersebut, pajak bagi negara sangatlah baik

sesuai dengan yang diharapkan di dalam UUPA. Tetapi dengan perkembangan dunia

4 Hiroyoshi Kano, 1997, Tanah dan Pajak Hak Milik dan Sengketa Agraria: Tinjauan

Sejarah Perbandingan,dalam Tanah dan Pembangunan, Penyunting Noer Fauzi, Cetakan Pertama,

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 31.

Page 23: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

7

ekonomi dan kemajuan jaman global tidaklah sedikit yang telah menguasai tanah

berhektar-hektar tetapi tidak memanfaatkan tanah, mengolah tanah, membangun

diatas tanah tersebut sesuai dengan permohonan izin dan rencana proyek yang telah

dimiliki investor sampai bertahun-tahun.

Sekarang ini nilai guna tanah di Provinsi Bali, khususnya di Kota Denpasar

sungguh tinggi sekali. Tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa investasi yang

paling bermanfaat di Bali sekarang ini adalah tanah. Hal itu disebabkan oleh iklim

pariwisata yang kini sudah tidak bisa dikatakan sekedar meningkat tetapi terus

berkembang. Investor membeli tanah berhektar-hektar karena diperkirakan akan

mempunyai potensi positif di masa depan, tetapi tanah itu justru dibiarkan atau tidak

dimanfaatkan atau diusahakan. Ada ratusan hak atas tanah yang dikuasai investor

yang ditelantarkan dan mesti diambil langkah-langkah oleh Pemda agar segera dapat

dimanfaatkan sesuai dengan permohonan peruntukannya.5

Sebagai pelaksanaan reformasi di bidang pertanahan, masalah tanah terlantar

perlu mendapat penanganan segera oleh Kantor pertanahan dan Pemerintah Kota

Denpasar karena masalah ini sangat rumit jika melihat adanya estalasi dari harga-

harga tanah, jangan sampai tanah dijadikan barang komoditas ataupun spekulasi yang

bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.

Keberadaan tanah-tanah yang ditelantarkan dalam arti tidak dimanfaatkan

sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian haknya di Kota Denpasar apabila

tidak dilakukan penertiban dan penatagunaan tanah akan membawa dampak yang

5 Pria Dharsana, I Made, 2010, “Mencabut Hak Tanah Terlantar”. Bali Post, Tgl.18 Agustus,

hal. 6.

Page 24: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

8

sangat merugikan seluruh aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, lingkungan,

kesehatan dan kesejahteraan. Kota Denpasar yang merupakan ibukota Provinsi Bali

dan sebagai tujuan kunjungan wisata akan kelihatan kumuh, tidak terawat, dan

terlihat tidak tertata dengan baik. Dalam penataan tanah - tanah yang ditelantarkan,

Pemerintah Kota Denpasar dapat mendorong pemegang hak untuk mengusahakan dan

memanfaatkan tanah tersebut sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian

haknya sehingga dapat mewujudkan visi misi kota Denpasar yang berwawasan

budaya.

UUPA dalam Pasal 6 menyebutkan bahwa “ Semua hak atas tanah

mempunyai fungsi sosial”, Pasal 10 mewajibkan para pemegang hak atas tanah

mengerjakan dan mengusahakan sendiri secara aktif, Pasal 15 mewajibkan kepada

pemegang hak atas tanah untuk memelihara, menambah, dan menjaga kelestarian

tanahnya. Hal ini juga diikuti dengan ketentuan sanksi yaitu pada Pasal 27 huruf a

angka 3, Pasal 34 huruf e, dan Pasal 40 huruf e yang menentukan bahwa semua hak

atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan negara apabila tanah tersebut

ditelantarkan.

Upaya yuridis yang dilakukan pemerintah untuk menertibkan tanah yang

ditelantarkan, dalam arti belum dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan

pemberian haknya, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun

2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang diundangkan pada

tanggal 22 Januari 2010. Sebelumnya upaya secara yuridis untuk menangani tanah

terlantar telah dilakukan Pemerintah, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun

1998. Peraturan Pemerintah itu dimaksud untuk memperjelas kriteria tanah terlantar

Page 25: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

9

sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 UUPA yang menyebutkan tanah

ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya

atau sifat dan tujuan daripada haknya, bagaimana melakukan penilaian serta sanksi

terhadap pihak yang dipandang telah melakukan penelantaran tanah. Peraturan

Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 ini tidak dapat berjalan efektif karena tidak

jelasnya mengenai kriteria tanah terlantar, kewenangan dan mekanisme dalam

melakukan penertiban tanah terlantar. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah

Nomor 36 Tahun 1998 dikeluarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 24 Tahun 2002. Dalam keputusan tersebut diatur mengenai kriteria tanah

terlantar, tata cara identifikasi tanah-tanah yang diduga ditelantarkan, namun

kenyataannya di lapangan penerapannya belum maksimal sesuai dengan yang

diharapkan. Walaupun telah ada instrumen hukumnya, namun pelaksanaan penertiban

dan pendayagunaan tanah terlantar belum sesuai dengan yang diharapkan, sehingga

dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 mengatur tentang obyek

penertiban tanah terlantar, identifikasi dan penelitian, peringatan, penetapan tanah

terlantar, pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar. Dari sudut pandang

kaijian hukum normatif, terjadi kekaburan norma mengenai mekanisme kewenangan

dalam melakukan penertiban tanah terlantar yang melibatkan berbagai pihak yaitu

Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait sebagaimana diatur dalam

Pasal 5 ayat (1) yang menentukan bahwa identifikasi dan penelitian sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan oleh Panitia. Kemudian dalam Pasal 5

ayat (2) ditentukan susunan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Page 26: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

10

terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur

oleh Kepala. Disamping itu ketentuan tentang pendayagunaan tanah negara bekas

tanah terlantar tidak diikuti dengan aturan yang mengatur mengenai mekanisme atau

prosedur pendayagunaan tanah terlantar, sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat

(2) yang menentukan bahwa Peruntukan dan pengaturan peruntukan, penguasaan,

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala.

Sesuai dengan TAP MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria

dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah terlantar yang berkaitan

dengan upaya penertibannya oleh pemerintah merupakan hal yang penting untuk

dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu upaya pembaharuan di bidang

agraria. Dengan demikian penertiban tanah terlantar merupakan persoalan yang baru

berkembang sehingga belum banyak penelitian yang mengkaji persoalan tanah

terlantar.

Kelangkaan penelitian persoalan penertiban dan pendayagunaan tanah

terlantar ditunjukkan juga dari penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum baik

yang berkaitan dengan berbagai karya tulis berupa skripsi, tesis, disertasi maupun

buku ilmiah melalui media cetak dan elektronik yang ada di Universitas Udayana,

ternyata belum ada yang menelitinya. Dari hasil penelusuran ditemukan hal-hal

sebagai berikut :

Pertama, tesis atas nama Indra Ardiansyah, mahasiswa Program Studi

Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro dengan judul “Akibat Hukum Bagi

Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Kaitannya Dengan Pengaturan Tanah Terlantar

Page 27: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

11

(Studi Pada Wilayah Cisarua Kabupaten Bogor)” dengan permasalahannya : (1)

Bagaimana akibat hukum terhadap pemilik hak atas tanah yang diterlantarkan, (2)

Bagaimana perlindungan hukum bagi pihak yang menguasai dan mengelola tanah

terlantar, (3) Bagaimana upaya penanggulangan penguasaan dan pemilikan tanah

yang diterlantarkan.

Kedua, tesis atas nama I Putu Agus Suarsana Ariesta, mahasiswa Program

Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro dengan judul “Penataan

Tanah Perkotaan Dalam Upaya Meningkatkan Daya Guna Dan Hasil Guna

Penggunaan Tanah Melalui Konsolidasi Tanah (Land Consolidation) Di Denpasar

Utara-Bali” dengan permasalahannya : (1) Bagaimana pelaksanaan konsolidasi

tanah ( land consolidation) Perkotaan di Kelurahan Tonja dan Desa Dangin Puri

Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar, (2) Hambatan-hambatan apa yang

terjadi dan cara penyelesaiannya, (3) Manfaat apa yang diperoleh pemilik tanah

yang terkena konsolidasi tanah (land consolidation) dan Pemerintah Kota Denpasar.

Ketiga, disertasi atas nama Suhariningsih, mahasiswa Program Studi S3

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dengan judul “ Aspek Yuridis Tanah

Terlantar Dan Penyelesaiannya, Studi Terhadap Lahan HGU (Perkebunan) Terlantar

Di Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Jawa Timur” dengan permasalahannya

: (1) Apakah asas hukum yang terkandung dalam konsep tanah terlantar menurut

hukum tanah nasional, (2) Bagaimanakah kejelasan konsep tanah terlantar dituangkan

dalam peraturan perundang-undangan, (3) Apakah kendala-kendala yang dihadapi

Pemerintah dalam melakukan penertiban tanah terlantar HGU (perkebunan) di SWP

Page 28: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

12

Jawa Timur, (4) Bagaimanakah penyelesaian masalah tanah terlantar HGU

(perkebunan) di SWP Jawa Timur.

Sedangkan tesis ini berjudul “Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah

Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar” dengan

permasalahannya : (1) Kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar yang

melibatkan berbagai instansi baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, (2)

Pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar.

Dilihat dari judul dan kajian permasalahan tesis ini dengan tesis-tesis dan

disertasi yang sebelumnya mengkaji permasalahan dari sudut pandang yang berbeda

maka dapat disimpulkan penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya,

sehingga penelitian tesis ini dapat dijamin keasliannya dan dapat

dipertanggungjawabkan dari segi isinya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka diajukan 2

(dua) masalah pokok yang akan dibahas yaitu sebagai berikut :

a. Kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar yang melibatkan

berbagai instansi baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

b. Pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di kota

Denpasar.

Page 29: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

13

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan

tujuan yang bersifat khusus.

1.3.1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum

Administrasi, khususnya bidang Hukum Pertanahan, melalui pemahaman tentang

tanah terlantar.

1.3.2. Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum di atas dan dengan menekankan pada aspek

normatifnya, tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang

dibahas yakni :

a. untuk mengkaji dan menganalisis secara normatif mengenai kewenangan dan

mekanisme penertiban tanah terlantar.

b. untuk mengkaji dan menganalisis secara normatif mengenai pendayagunaan

tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah di kota Denpasar.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya sangat diharapkan dapat memberikan manfaat

baik yang bersifat teoritis maupun praktis .

1.4.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan di bidang Ilmu Hukum Administrasi, khususnya pada bidang Hukum

Pertanahan yang berkaitan dengan tanah terlantar.

Page 30: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

14

1.4.2. Manfaat Praktis.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik

kepada Pemerintah, masyarakat, maupun peneliti sendiri. Adapun manfaat yang

dimaksudkan adalah sebagai berikut :

a. Bahan masukan bagi pemerintah dalam menjalankan kewenangan penertiban

dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah.

b. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan bahwa pada prinsipnya tanah harus dikerjakan sendiri, tanah

berfungsi sosial, tanah benar-benar dimanfaatkan sehingga tidak terjadi tanah-

tanah terlantar.

c. Bagi peneliti sendiri, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga

untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang pemanfaatan tanah

dalam rangka penatagunaan tanah sehingga tidak ada tanah tanah terlantar.

1.5. Landasan Teoritis.

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan teori hukum,

konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, doktrin yang akan dipakai sebagai landasan

untuk membahas masalah penelitian.

Dalam pembahasan masalah penelitian ini akan digunakan beberapa teori,

konsep, asas dan pendapat-pendapat para ahli antara lain konsep Negara Hukum,

Teori Kewenangan, konsep Tindak Pemerintahan, Asas-asas Umum Pemerintahan

Yang Baik, konsep Penertiban, Pendayagunaan,Tanah Terlantar dan Penatagunaan

Tanah.

Page 31: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

15

1.5.1. Konsep Negara Hukum

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan “Indonesia adalah

Negara Hukum”. Mengenai landasan filosofis dari Negara Hukum Indonesia adalah

Pancasila.6 Penegasan ini menunjukkan komitmen lebih tegas dari bangsa dan Negara

Indonesia yang berdasarkan Pancasila untuk memberikan kedaulatan hukum dalam

penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat

di wilayah Negara Indonesia.

Untuk dapat mengetahui bahwa suatu Negara dikatakan sebagai Negara

hukum dapat dilihat dari konstitusi Negara yang bersangkutan. K.C. Wheare

menyatakan “ what should a constitution contains? The very minimum, and minimum

to be rules of law “ ( isi minimum suatu konstitusi adalah tentang Negara

hukum)7.Selain itu Negara dikatakan sebagai Negara Hukum dapat dilakukan melalui

penelusuran pandangan ilmiah para ahli, yang memberikan unsur-unsur atau ciri-ciri

suatu Negara Hukum. Friedrich Julius Stahl mengemukakan ciri-ciri Negara Hukum

yaitu :

1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia;

2. Adanya pembagian kekuasaan;

3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan

6 Padmo Wahjono, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum

Pancasila, Cet.ke-1, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 2.

7 K. C. Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press, New York, Page.

33-34.

Page 32: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

16

4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.8

Melengkapi pandangan mengenai ciri-ciri Negara Hukum, Frans

Magnis Suseno mengemukakan ciri-ciri Negara Hukum sebagai berikut :

1. Asas Legalitas;

2. Kebebasan / kemandirian kekuasaan kehakiman;

3. Perlindungan Hak asasi manusia; dan

4. Sistem Konstitusi / hukum dasar.9

Sedangkan Negara Hukum menurut Joeniarto adalah kekuasaan Negara

dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan atas kekuasaan (machtsstaat).

Lebih lanjut ditambahkan bahwa tujuan dari negara hukum adalah adanya

pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Disamping itu suatu negara dapat

dikatakan sebagai negara hukum perlu diketahui elemen-elemen atau unsur-unsurnya

yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar beserta peraturan pelaksanaannya, dan

yang terpenting dalam praktek sudah dilaksanakan atau belum.10

A. Hamid S. Attamimi yang mengutip pendapatnya Van Wijk dan

Konijnenbelt, di dalam suatu Negara Hukum dapat diketemukan adanya wawasan-

wawasan sebagai berikut :

a. pemerintahan menurut hukum ( wetmatigheid van bestuur), dengan bagian-

bagiannya tentang kewenangan yang dinyatakan dengan tegas tentang

perlakuan yang sama dan tentang kepastian hukum ;

b. perlindungan hak-hak asasi;

8 A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua, Bayumedia Publishing, Malang,

Jawa Timur, hal. 42.

9 F. Magnis Suseno, 1991, Etika Politik, Prinsip - Prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern, Gramedia, Jakarta, hal. 298-301.

10 Joeniarto, 1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, hal.

8.

Page 33: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

17

c. pembagian kekuasaan dengan bagian-bagiannya tentang struktur kewenangan

atau desentralisasi dan tentang pengawasan serta kontrol;

d. pengawasan oleh kekuasaan peradilan.11

Negara Hukum yang dianut Negara Indonesia tidaklah dalam artian formal,

melainkan dalam artian material yang juga diistilahkan dengan Negara Kesejahteraan

(Welfare State).12

Muchsan dalam kaitan ini menunjukkan bukti-

bukti Negara Indonesia sebagai Negara hukum dengan mengacu pada 2 (dua) hal yak

ni :

1. Salah satu sila dari Pancasila sebagai dasar falsafah Negara (sila kelima)

adalah keadilan sosial. Ini berarti tujuan negara adalah menuju kepada

kesejahteraan dari pada warganya;

2. Dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa tujuan

pembentukan negara Indonesia, salah satunya adalah memajukan

kesejahteraan umum.13

Untuk mewujudkan adanya kesejahteraan rakyat, negara dan pemerintah

Indonesia tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi

dituntut untuk turut serta secara aktif (proaktif) dalam semua aspek kehidupan dan

penghidupan rakyat. Konsekuensinya, lapangan pemerintahan yang diemban

pemerintah menjadi sangat luas. Lemaire mengemukakan Pemerintah mengemban

tugas “Bestuurszorg”14

yaitu tugas dan fungsi menyelenggarakan kesejahteraan

umum. Dengan semakin banyaknya campur tangan pemerintah / negara dalam

berbagai kehidupan masyarakat, bagi Negara hukum modern seperti Indonesia,

11 A. Hamid S, Attamimi, 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara , Suatu Studi Analisa

Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”,

Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 311.

12 E..Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cet.ke -4, FHPM

Univ. Negeri Padjajaran, Bandung, hal. 21-22.

13 Muchsan , 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hal. 70.

14

Bachsan Mustafa, 1990, Pokok - Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal. 40.

Page 34: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

18

tindakan pemerintah tersebut jelas harus dilandasi aspek-aspek hukum agar tindakan

atau perbuatan pemerintah / negara tersebut tidak menimbulkan konflik di kemudian

hari, sebagaimana disebutkan oleh Norbert Wiener bahwa “ Law may be defined as

the ethical control applied to communication, and to language as a form of

communication, esdecially when this normative aspect is under the control of some

authority sufficiently strong to give its decisions an effective social sanction”.15

Pada

pihak lain, John Austin menyatakan bahwa : “The most essential characteristic of

positive law, consistsin it’s imperative character. Law is conseived as a command of

the sovereign .16

Bahwa hukum adalah perintah dari penguasa Negara dimana hakikat

dari hukum itu sendiri terletak pada unsur perintah.Dari konsep tersebut diatas

dipandang perlu adanya suatu perlindungan oleh pemerintah terhadap masyarakat

melalui peraturan berupa hukum positif yang bersifat memaksa.

Secara normatif, campur tangan pemerintah dimaksud dituangkan ke dalam

berbagai peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat

daerah. Melalui peraturan perundang-undangan tersebut maka kekuasaan pemerintah

menjadi dibatasi di dalam bertindak dan sekaligus memberi pedoman bagi

masyarakat di dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Fungsi dari peraturan

perundang-undangan seperti dikemukakan oleh Sudargo Gautama sebagaimana dapat

disimak dari pernyataannya yang mengemukakan “Peraturan-peraturan perundang-

15 Norbert Wiener, 1954, The Human Use Of Human Beings Cybernetics And Society, Garden

City, New York, Page. 105.

16

H.Mc.Coubrey and N.D.White, 1993, Text Book On Jurisprudensi, Blakstone Press

Limited, London, Page.14.

Page 35: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

19

undangan yang telah diadakan lebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak

negara. Undang-Undang Dasar yang memuat asas-asas hukum dan peraturan-

peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya sendiri.17

Dalam pembidangan ilmu hukum, peraturan perundang-undangan yang

memberikan batas kekuasaan bertindak pemerintah dalam hubungannya dengan

rakyat merupakan obyek kajian hukum administrasi. Hal ini sejalan dengan pendapat

Kirdi Dipoyudo yang menyatakan : “Negara pada hakikatnya adalah suatu kesatuan

sosial atau organisasi yang mengatur dan menertibkan hubungan-hubungan antara

para warganya dengan kekuasaan demi tercapainya kesejahteraan rakyat.”18

Ada

beberapa konsekuensi yang muncul dalam suatu negara hukum material atau negara

kesejahteraan, diantaranya adalah :

a. Semakin banyak tindakan pemerintahan yang dilakukan organ-organ

pemerintah;

b. Tugas-tugas Negara menjadi semakin kompleks;

c. Badan pembuat undang-undang mempunyai kecendrungan kurang mampu

mempertimbangkan situasi-situasi konkrit yang akan terjadi;

d. Badan-badan legislatif akan memberikan lebih banyak kebebasan kepada

pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan;

e. Dikaitkan dengan aspek perlindungan hukum bagi rakyat akan

memungkinkan lahirnya sengketa antara rakyat dan pemerintah sebagai akibat

kekosongan aturan hukum.

17 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, hal.3.

18

Kirdi Dipoyudo, 1981, Negara dan Ideologi Negara, Suatu Pengantar, CSIS, Jakarta,

hal.3.

Page 36: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

20

Dalam kaitannya dengan penelitian ini konsep negara hukum harus

dikedepankan, digunakan dalam rangka tindakan pemerintah dalam melakukan

penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Dengan demikian konsep ini dapat

bermanfaat untuk melakukan klarifikasi dan pembenaran ilmiah dalam kaitan dengan

judul penelitian.

Asas-asas negara hukum sangat relevan sebagai landasan teoritis dalam

pembahasan ini karena pemerintah dalam melaksanakan tindakan penertiban dan

pendayagunaan tanah terlantar harus dilandasi aturan yang tegas berdasarkan

peraturan perundang-undangan sehingga tindakan pemerintah dapat dibenarkan

menurut hukum. Tujuannya, agar pemerintah dalam melakukan tindakan penertiban

dan pendayagunaan tanah-tanah yang ditelantarkan oleh masyarakat tidak terjadi

penyalahgunaan wewenang maupun sewenang-wenang, maka pemerintah hendaknya

tidak diskriminatif, dengan hanya mementingkan sekelompok orang saja, adanya

peradilan yang bebas dan tidak memihak, yang menjamin persamaan setiap warga

negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang.

1.5.2. Teori Kewenangan

Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata

Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintah baru dapat menjalankan

fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan

pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan. Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum

yang berlaku sehingga bersifat sah. Perihal kewenangan dapat dilihat dari

Page 37: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

21

Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga

Negara dalam menjalankan fungsinya.Wewenang adalah kemampuan bertindak yang

diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan

perbuatan hukum.19

Menurut Indroharto, kewenangan dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan

yang diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku untuk

menimbulkan akibat-akibat hukum.20

Philipus M. Hadjon mengemukakan ada 2

( dua) sumber untuk memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Namun

dikatakan pula bahwa kadangkala mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam

memperoleh wewenang.21

Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan

oleh F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek dalam bukunya Indroharto yang berpendapat

bahwa cara perolehan wewenang pada hakikatnya melalui cara atribusi dan delegasi,

sebagaimana dapat disimak dari pendapat beliau :

Hanya ada dua cara organ memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan

delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru,

sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada

(oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif)

kepada organ lain ; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh

atribusi. Mandat tidak mengakibatkan perubahan apapun, sebab

yang ada hanyalah hubungan internal, seperti menteri dengan

pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama menteri,

sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap

19 SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi

di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 154.

20 Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 68.

21 Philipus M . Hadjon, dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia

( Introduction to the Indonesia Administrative Law ), Cet. I, Gajah Mada University Press,

Yogyakarta, hal.128-129.

Page 38: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

22

berada pada organ kementerian. Pegawai memutuskan secara teknis,

sedangkan menteri secara yuridis.22

Pengaturan kewenangan pemerintahan di bidang pertanahan diatur dalam

Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang. Dalam Pasal 33 ayat (3)UUD

1945 disebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dari kata dikuasai oleh Negara terlihat bahwa kewenangan di bidang pertanahan

dilaksanakan oleh Negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah

Pusat. Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada konstitusi dibentuklah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur masalah keagrariaan atau

pertanahan sebagai bagian dari bumi.

Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara sebagai personifikasi

dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan,

menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use),

menyediakan (reservation), dan memelihara (maintenance) atas bumi, air dan ruang

angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hak

menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan

penguasaan daan pengurusan bidang pertanahan ada pada Negara, dimana di bidang

eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (Pemerintah) atau didelegasikan

kepada Menteri.23

22H.R. Ridwan, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal .46.

23

Edy Ruchiyat, 1999, Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi, Edisi

Kedua, Alumni, Bandung, hal.11.

Page 39: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

23

Dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA disebutkan bahwa pelaksanaan hak

menguasai negara dapat dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat

hukum adat. Dengan demikian wewenang pemerintahan di bidang pertanahan dapat

dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Pelimpahan wewenang di

bidang pertanahan menurut ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA tersebut sepenuhnya

terserah kepada Pemerintah Pusat yang berwenang menentukan seberapa besar

kewenangan di bidang pertanahan tersebut diserahkan kepada daerah atau masyarakat

hukum adat.

Menurut Budi Harsono, kewenangan negara berdasarkan Pasal 2 UUPA

meliputi bidang legislatif yang berarti mengatur, bidang eksekutif dalam

arti menyelenggarakan dan menentukan, serta bidang yudikatif dalam arti

menyelesaikan sengketa tanah baik antar rakyat maupun antar rakyat dengan

Pemerintah.24

Senada dengan pendapat Budi Harsono, Imam Sutiknjo mengatakan bahwa

wewenang yang diperoleh dari hak menguasai Negara di tingkat pusat ada di tangan

Pemerintah. Wewenang tersebut sebagian dapat dilimpahkan kepada pejabat daerah

sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerahnya masing-masing guna membantu

kelancaran pembangunan daerah. Dalam prakteknya pelaksanaan tugas dan

wewenang di bidang keagrariaan dilakukan oleh instansi agraria di masing-masing

daerah atas nama kepala daerah.25

24 Budi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi

dan Pelaksanaannya, Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.273.

25 Imam Sutiknjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, hal.56-57.

Page 40: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

24

Dengan demikian kewenangan dibidang pertanahan adalah kewenangan

Pemerintah Pusat, meskipun ada sebagian kewenangan yang didelegasikan kepada

pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten / Kota. Pelimpahan wewenang

Pemerintah di bidang pertanahan kepada pejabat daerah yang menjadi wakil

Pemerintah secara normatif hanya diberikan kepada Gubernur selaku Kepala Daerah

Provinsi. Sedangkan Bupati dan Walikota selaku Kepala Daerah Kabupaten dan Kota

menurut UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak termasuk sebagai

Wakil Pemerintah di Daerah. Kewenangan Bupati dan Walikota di bidang pertanahan

jika ditilik berdasarkan UUPA bersumber dari pelimpahan wewenang yang diberikan

oleh Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah yang mendapat wewenang

berdasarkan delegasi dari Pemerintah Pusat.

Berdasarkan kewenangan yang diatur dalam UUPA maka kewenangan

menetapkan kebijakan pertanahan dilaksanakan oleh pemerintah Pusat dan

pelaksanaan kebijakan itu sebagian diserahkan kepada pemerintah daerah

berdasarkan kewenangan delegasi. Kewenangan sangat relevan sebagai landasan

teori dalam pembahasan ini, karena keabsahan tindakan pemerintah dalam penertiban

dan pendayagunaan tanah terlantar diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1.5.3.Konsep Tindak Pemerintahan

Perwujudan tugas pemerintah dapat dilihat dari perbuatan atau tindakan

pemerintahan. Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Victor Situmorang

mengartikan tindakan pemerintahan adalah pemeliharaan kepentingan negara dan

rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan (prinsip

Page 41: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

25

hierarki). Spontan artinya segera atas inisiatif sendiri menghadapi keadaan dan

keperluan yang timbul satu demi satu termasuk dalam bidangnya demi untuk

kepentingan umum. Dengan kata lain tidak menunggu perintah atasan serta atas

tanggungjawab sendiri.26

Van Wijk dan Konijnenbelt sebagaimana dikutip oleh Johanes Usfunan

membedakan tindakan pemerintahan sebagai berikut :

a. Keputusan Pemerintah yang berkaitan dengan perbuatan material.

b. Tindakan-tindakan hukum yang meliputi :

1. Tindakan hukum intern.

2. Tindakan hukum ekstern yang meliputi :

a. Tindakan hukum perdata ekstern .

b. Tindakan hukum publik ekstern yang meliputi :

1. Tindakan hukum publik ekstern yang banyak pihaknya.

2. Tindakan hukum publik ekstern yang bersifat sepihak meliputi :

a. Bersifat umum ( umum abstrak – umum konkrit )

b. Bersifat individual meliputi individual abstrak dan individual

konkrit.27

Sedangkan Philipus M. Hadjon memberikan gambaran lebih operasional,

dimana beliau menjabarkan tindak pemerintahan secara konkrit, seperti keputusan-

keputusan, ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan tindakan hukum perdata

serta tindakan nyata.28

Mendasarkan pada berbagai pandangan diatas, maka dapat disimak bahwa

tindak pemerintahan adalah tindakan hukum publik yaitu segala tindakan dan

kewenangan alat-alat pemerintahan untuk menjalankan tugas atau fungsi

pemerintahan dengan menggunakan wewenang khusus atau tertentu yang dapat

26 Victor Situmorang, 1989, Dasar - Dasar Hukum Administrasi Negara, Bina

Aksara, Jakarta, hal.100.

27 Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan,

Jakarta, hal.30.

28 Ibid, hal.33

Page 42: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

26

menimbulkan akibat hukum dibidang hukum administrasi. Tindak pemerintahan

(berstuurshandeling) dapat digolongkan menjadi dua golongan, yakni tindak

pemerintahan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindak pemerintahan yang

berdasarkan fakta atau tindakan materiil (feitelijke handeling). Tindak pemerintahan

yang berdasarkan hukum dapat dibagi menjadi dua macam tindakan yaitu Tindakan

Hukum Privat dan Tindakan Hukum Publik. Tindakan hukum publik dapat dibagi

menjadi dua yaitu tindakan hukum publik yang bersegi satu atau sepihak dan

tindakan hukum publik yang bersegi dua atau berbagai pihak. Tindakan hukum

publik sepihak dapat bersifat umum dan dapat bersifat individual. Tindakan hukum

publik sepihak yang bersifat umum terdapat dalam bentuk pengaturan umum atau

regeling yang mempunyai daya ikat konkrit dan abstrak. Sedangkan tindakan hukum

publik sepihak yang bersifat individual terdapat dalam bentuk keputusan atau

beschikking .

Konsep tindak pemerintahan ini relevan dengan penelitian tesis, karena

tindakan pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar

menimbulkan akibat hukum atau kewajiban bagi pemegang hak atas tanah agar

menggunakan, mengusahakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan

peruntukannya atau hak atas tanahnya hapus dan menjadi tanah negara.

1.5.4. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.

Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik merupakan norma bagi

perbuatan-perbuatan Administrasi Negara atau pemerintah, disamping norma-norma

di dalam hukum tertulis dan tidak tertulis. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang

Baik (AUPB) harus dipandang sebagai norma - norma hukum tidak tertulis yang

Page 43: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

27

senantiasa harus diperhatikan dan ditaati oleh pemerintah dalam mengambil tindakan

dalam menjalankan pemerintahan.

Donner dan Wiarda membagi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

ke dalam 5 (lima) macam yaitu :

1. Asas Kejujuran (fair play)

2. Asas Kecermatan (zorgvuldigheid)

3. Asas Kemurnian dalam tujuan (zuiverheid van oogmerk )

4. Asas Keseimbangan ( evenwicthtigheid )

5. Asas Kepastian Hukum ( rechts zakerheid )29

Menurut Kuntjoro Purbopranoto terdapat 13 ( tigabelas) asas-asas umum

pemerintahan yang baik yaitu :

1. Asas Kepastian Hukum (principle of legal security)

2. Asas Keseimbangan (principle of proportionality)

3. Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness)

4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan (principle of motivation )

5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan (principle of non misuse of

competence )

6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan (principle of equality)

7. Asas Permainan Yang Layak (principle of fair play)

8. Asas Keadilan atau kewajaran (principle of reasonable of prohibition of

arbitrariness)

9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar ( Principle of meeting raised

expectation )

10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal (principle of undoing the

consequences of unneled decision )

11. Asas perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi (principle of protetcting the

personal way of life )

12. Asas kebijaksanaan (principle of sapiently)

13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public service )30

29 Amrah Muslimin, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi

dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung , hal. 145.

30 Kuntjoro Purbopranoto, 1985, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan

Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, hal. 28.

Page 44: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

28

Asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Asas Kepastian Hukum, asas ini menghendaki setiap keputusan badan atau

pejabat tata usaha negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum,

selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang

bertentangan dengan hukum oleh hakim adminstrasi.

2. Asas Keseimbangan, asas ini menghendaki adanya kriteria yang jelas

mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang

dilakukan sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada.

3. Asas bertindak cermat, asas ini menghendaki agar pemerintah bertindak

cermat dalam melakukan aktivitas sehingga tidak merugikan bagi warga

negaranya.

4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan, asas ini menghendaki setiap

keputusan badan pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alas an yang

cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan.

5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan, dalam asas ini aspek

wewenang tidak dapat dijalankan melebihi apa yang sudah ditentukan dalam

undang-undang artinya pejabat tata usaha negara tidak menggunakan

wewenangnya untuk tujuan lain selain yang ditentukan dalam peraturan yang

berlaku atau menggunakan wewenang melampaui batas.

6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan

pemerintah mengambil tindakan yang sama atas kasus yang faktanya sama.

Page 45: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

29

7. Asas Permainan Yang Layak, asas ini menghendaki agar setiap warga

diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan

serta membela diri sebelum dijatuhkan putusan.

8. Asas Keadilan dan Kewajaran, asas ini menghendaki pejabat tata usaha

Negara harus proporsional, sesuai, seimbang, selaras dengan hak setiap orang

dengan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku ditengah masyarakat.

9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar, asas ini menghendaki agar setiap

tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus mengabulkan harapan warga

Negara walaupun tidak menguntungkan bagi pemerintah.

10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal, asas ini menghendaki jika

terjadi pembatalan atas suatu keputusan maka yang bersangkutan atau yang

terkena keputusan haru diberikan ganti rugi atau kompensasi atau

pengembalian nama baik.

11. Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi, asas ini menghendaki

pemerintah melindungi hak setiap warga negara yang merupakan konsekuensi

negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi

setiap warga negara.

12. Asas Kebijaksanaan, asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan

tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan

kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan

formal atau hukum tertulis.

Page 46: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

30

13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum, asas ini menghendaki agar

pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan

umum.

Tindakan pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar

harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik sehingga tindakan

pemerintah dalam penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak merugikan masyarakat atau

pihak-pihak yang terkena tindakan tersebut.

1.5.4. Fungsi Sosial Hak-Hak Atas Tanah

Dalam Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai

fungsi sosial. Hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat

dibenarkan bahwa tanahnya itu dipergunakan ( atau tidak dipergunakan) semata-mata

untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat.

Penggunaan tanah itu harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, hingga

bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun

bagi masyarakat dan negara.

Ketentuan tersebut tidaklah berarti bahwa kepentingan perseorangan akan

terdesak sama sekali oleh kepentingan umum ( masyarakat ). UUPA memperhatikan

pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan perseorangan haruslah

saling mengimbangi, hingga tercapai tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan dan

kebahagiaan bagi rakyat selurunya.

Tanah harus dipelihara baik-baik agar bertambah kesuburan serta dicegah

kerusakannya. Kewajiban memelihara ini tidak saja dibebankan kepada pemegang

Page 47: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

31

haknya melainkan menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum, atau instansi yang

mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu.31

1.5.5. Konsep Penertiban, Pendayagunaan, Tanah Terlantar dan Penatagunaan

Tanah

Penertiban berasal dari kata “tertib” yang menurut Pius Abdillah dan Danu

Prasetya dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berarti tertata dan terlaksana

dengan rapi dan teratur menurut aturan.32

Penertiban merupakan suatu tindakan

penataan yang diperlukan dalam suatu negara atau daerah. Penertiban tersebut

dilakukan dalam rangka mewujudkan kondisi negara atau daerah yang aman,

tenteram dan tertib dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan

kegiatan masyarakat yang kondusif.

Pendayagunaan berasal dari kata “daya guna” yang berarti kemampuan

mendatangkan hasil dan manfaat.33

Dengan demikian pendayagunaan berarti

kemampuan untuk memanfaatkan sesuatu sehingga berhasil guna dan bermanfaat

untuk kepentingan masyarakat.

A.P. Parlindungan mengemukakan konsep tanah terlantar dengan merujuk

pada hukum adat yaitu sesuai dengan karakter tanah terlantar ( kondisi fisik ) yang

telah berubah dalam waktu tertentu ( 3,5 sampai 10 tahun ) maka haknya gugur,

31Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Edisi pertama, Prenada

Media, Jakarta, hal.60.

32 Pius Abdillah,Danu Prasetya, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Arkola, Surabaya,

hal.575.

33

Ibid, hal.80.

Page 48: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

32

tanah kembali pada hak ulayat.34

Sudargo Gautama, menyatakan bahwa istilah

ditelantarkan diartikan antaranya keadaan jika tanah yang tak dipakai sesuai dengan

keadaannya, sifat atau tujuannya.35

Berdasarkan pendapat tersebut maka tanah

terlantar lebih mengarah pada kondisi fisik tanah yang sudah tidak produktif dan

tidak bertuan ( ditinggalkan oleh pemegang haknya).

Penjelasan Pasal 27 UUPA menentukan tanah ditelantarkan kalau dengan

sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada

haknya. Dalam Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban Dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar dinyatakan bahwa obyek penertiban tanah terlantar

meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan atau dasar penguasaan

atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai

dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Dengan demikian tanah yang sudah hak milik, hak guna usaha, hak guna

bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila

tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai

dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Begitu pula tanah yang ada dasar

penguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon

hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan

persyaratan atau ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan

34 A.P. Parlindungan, 1990, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah ( Menurut Sistem

UUPA ), Mandar Maju, Bandung, hal.7

35 Sudargo Gautama, 1993, Tafsiran Undang - Undang Pokok Agraria, PT.Citra

Aditya Bakti, Bandung Cet. Kesembilan, hal.136.

Page 49: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

33

pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan / atau dalam izin /

keputusan / surat lainnya dari pejabat yang berwenang.

Penertiban tanah terlantar dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah

Terlantar adalah proses penataan kembali tanah terlantar agar dapat dimanfaatkan

seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat dan negara. Penertiban tanah

terlantar dimaksudkan untuk mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi

penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta

pengendalian pemanfaatan tanah seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat,

kegiatan pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

Pasal 1 angka 8 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4

Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar menentukan

Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar adalah pemanfaatan tanah negara

bekas tanah terlantar melalui peruntukan dan pengaturan peruntukan, penguasaan,

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan masyarakat,

melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan negara

lainnya. Tanah- tanah negara bekas tanah terlantar akan diperuntukkan untuk

kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan

cadangan negara lainnya. Reforma agraria merupakan kebijakan pertanahan yang

mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan asset

masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah yang dapat dilakukan

melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar. Program

strategis negara antara lain untuk pengembangan sektor pangan, energi, perumahan

Page 50: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

34

rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cadangan Negara

lainnya antara lain untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan pemerintah,

pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan

pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan

umum.

Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Penatagunaan Tanah menentukan penatagunaan tanah adalah sama dengan pola

pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan

tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan

yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk

kepentingan masyarakat secara adil. Penatagunaan tanah dimaksudkan untuk

mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan

masyarakat sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

Kemudian dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004

tentang Penatagunaan Tanah disebutkan penatagunaan tanah bertujuan untuk :

a. Mengatur penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah bagi berbagai

kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah;

b. Mewujudkan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah agar sesuai

dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah;

c. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan

pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian

pemanfaatan tanah;

d. Menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan, dan

memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum

dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah

ditetapkan.

Page 51: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

35

Dengan demikian penertiban tanah-tanah terlantar dimaksudkan untuk menata

kembali agar penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat dilakukan

seoptimal mungkin untuk kepentingan masyarakat dan Negara, kegiatan

pembangunan, tertib pertanahan dan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat

yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah yang telah ditetapkan.

1.5. Metode Penelitian

Menurut Morris L Cohen dan Ken C Olson, “ Legal Researcht, is the

prosess of Finding of Law that govern activities in human society. It involves locating

both the rule which are enforced by the state and commentaries which explain or

analyze these rule “ ( Penelitian Hukum secara umum dapat diartikan suatu proses

dalam penemuan hukum dari aktivitas pemerintah di dalam kehidupan masyarakat.

Hal ini dimaksudkan untuk menempatkan peraturan perundang-undangan maupun

penegakannya oleh Negara dan memberikan penjelsan analisis undang-undang

tersebut ).36

1.6.1. Jenis Penelitian

Penelitian pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang terencana yang

dilakukan dengan metode ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan data baru guna

membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala yang ada.

Penelitianhukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-

36 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Edisi Pertama,Cet.Ke-1, Prenada Media,

Jakarta, hal. 29.

Page 52: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

36

prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dihadapi.37

Dalam ilmu hukum dikenal dua jenis penelitian yakni penelitian hukum

normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam kaitan ini jenis penelitian yang

digunakan adalah penelitian hukum normatif . Penelitian hukum normatif, menurut

Sunaryati Hartono, merupakan penelitian yang monodisipliner yaitu penelitian yang

digunakan untuk mengetahui dan mengenal hukum, menyusun dokumen-dokumen

hukum, menulis makalah, menjelaskan atau menerangkan bagaimanakah hukumnya

mengenai peristiwa atau masalah tertentu, untuk mencari asas-asas hukum, teori-teori

hukum, dan sistem hukum terutama dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas

hukum baru, pendekatan hukum yang baru dan sistem hukum nasional (yang baru). 38

Penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan norma yang berkaitan dengan

kewenangan dan mekanisme penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah

terlantar . Oleh karena itu penelitian ini dapat dikualifikasikan sebagai penelitian

hukum normatif dengan fokus penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang

berkaitan dengan pokok permasalahan. Dengan kata lain, penelitian ini menekankan

kepada penelitian bahan-bahan hukum yang ada dalam rangka menjawab masalah

yang berkaitan dengan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka

penatagunaan tanah. Dalam membahas pokok permasalahan akan didasarkan pada

hasil penelitian kepustakaan, baik terhadap bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder maupun bahan hukum tersier.

37 Ibid, hal. 35.

38

C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad

Ke-20, Edisi Pertama, Cet.I, Alumni, Bandung, hal.140-141.

Page 53: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

37

1.6.2.Jenis Pendekatan

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, menurut Johnny Ibrahim dapat

digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut :39

1. Pendekatan Perundang-undangan ( statute approach )

2. Pendekatan Konsep ( conceptual approach )

3. Pendekatan Analitis ( analytical approach )

4. Pendekatan Perbandingan ( comparative approach )

5. Pendekatan Historis ( historical approach )

6. Pendekatan Filsafat ( philosophical approach )

7. Pendekatan Kasus ( case approach )

Pendekatan yang akan diterapkan untuk membahas permasalahan dalam

penelitian ini adalah melalui pendekatan perundang-undangan ( statute approach )

dan pendekatan konseptual ( conceptual approach ). Pendekatan perundang-

undangan diterapkan untuk mendapatkan ketentuan hukum yang melandasi tindakan

penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah.

Pendekatan konseptual dilakukan untuk menemukan konsep-konsep yang berkaitan

dengan tanah terlantar, kriteria tanah terlantar, kewenangan dan tindakan dalam

penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.

1.6.3.Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dari penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer dari

penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan, seperti UUD 1945,

UU No.5 Tahun 1960, UU No.32 Tahun 2004, PP No.16 Tahun 2004 , PP No.38

Tahun 2007, PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah

39 Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua,

Bayu Media Publishing, Malang, Jawa Timur, hal.300.

Page 54: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

38

Terlantar, Kepres No. 34 Tahun 2003, Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006,

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 2010 tentang Tata Cara

Penertiban Tanah Terlantar. Bahan hukum sekunder diperoleh dari bahan-bahan

bacaan di bidang Hukum Tata Negara, Hukum Adminstrasi Negara, Hukum

Pertanahan dan bahan-bahan bacaan yang lainnya yang berkaitan dengan penertiban

dan pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka peñatagunaan tanah. Sedangkan

bahan hukum tersier berupa ensiklopedia, kamus hukum, serta dokumen-dokumen

penunjang lainnya yang dapat mendukung maupun memperjelas bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder.

1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan

dengan melakukan studi dokumentasi yakni dengan melakukan pencatatan terhadap

hal-hal yang relevan dengan masalah penelitian ini dengan menggunakan sistem

kartu.

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, ada dua macam kartu yang

perlu dipersiapkan yaitu :

a. Kartu Kutipan, yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip data beserta

sumber dari mana data tersebut diperoleh.

b. Kartu Bibliografi, dipergunakan untuk mencatat sumber bacaan yang

dipergunakan. Kartu ini sangat penting dipergunakan pada waktu peneliti

menyusun daftar kepustakaan sebagai bagian penutup dari laporan penelitian

yang ditulis atau disusunnya.40

40 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 53.

Page 55: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

39

1.6.5.Teknik Analisa Bahan Hukum

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat

digunakan berbagai teknik analisis sebagai berikut :41

a. Deskripsi

b. Interpretasi

c. Konstruksi

d. Evaluasi

e. Argumentasi

f. Sistematisasi

Teknik Deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari

penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau

posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

Teknik Interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual,dan

lain-lain.

Teknik Konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan

melakukan analogi dan pembalikan proposisi ( acontrario ).

Teknik Evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau

tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu

pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam

bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

Teknik argumentasi tidak bias dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.Dalam

41Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis Program Studi Magister

Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana, hal. 13-14.

Page 56: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

40

pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan

kedalaman penalaran hukum.

Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu

konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang

sederajat maupun antara yang tidak sederajat.

Dalam penelitian ini bahan hukum yang telah dikumpulkan berkenaan

dengan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar terlebih dahulu diolah dan

dianalisis secara sistematis berdasarkan deskripsi analisis yaitu penguraian proposisi-

proposisi hukum sesuai pokok permasalahan yang dikaji. Berdasarkan deskripsi

tersebut selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran secara normatif terhadap

bahan hukum yang diperoleh kemudian diberikan argumentasi. Argumentasi hukum

sebagai hasil akhir yang merupakan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas.

Page 57: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

41

BAB II

KARAKTERISTIK TANAH TERLANTAR

2.1. Hukum Tanah Nasional

Dengan berlakunya UUPA dapat menghilangkan sifat dualistis yang terdapat

dalam lapangan agraria karena Hukum Agraria yang baru itu didasarkan pada

ketentuan-ketentuan Hukum Adat. Hukum adat adalah hukum yang sesuai dengan

kepribadian bangsa Indonesia serta merupakan hukum rakyat Indonesia yang asli.

Hukum adat sebagai dasar dari pada Hukum Agraria adalah hukum adat yang sudah

disanneer yaitu hukum adat yang berlaku bagi golongan rakyat pribumi, yang

selanjutnya merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis, dan yang

mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan

kekeluargaan yang berasaskan keseimbangan serta diliputi suasana keagamaan.

Hukum adat yang merupakan dasar bagi hukum agraria sudah mengalami

perubahan. Perubahan hukum adat yang menjadi dasar dari pada hukum agraria yang

baru harus memenuhi syarat-syarat :

a. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang

berdasarkan asas persatuan bangsa

b. Tidak boleh bertentangan dengan sosialisme Indonesia

c. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam

UUPA

d. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

e. Harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada agama.42

42

Mudjiono, 1997, Politik Dan Hukum Agraria, Edisi Pertama,Liberty , Yogyakarta, hal. 23.

Page 58: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

42

2.1.1. Perspektif Filosofi

Dari segi filosofis, UUPA menginginkan suatu masyarakat yang berkeadilan

sosial. Keinginan tersebut timbul berdasarkan pengalaman pada masa penjajahan

dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya telah diambil

manfaatnya bukan untuk kepentingan rakyat.

Sejak Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945

sebagai sebuah negara, Indonesia telah menetapkan luas wilayah tertentu, rakyat yang

bergabung menjadi suatu bangsa yaitu Indonesia. Konstitusi negara yakni UUD 1945

menjadi hukum dasar bagi seluruh kebijakan di berbagai bidang kehidupan berbangsa

dan bernegara. Dengan demikian sebagai negara yang merdeka Indonesia mempunyai

kedaulatan untuk mengatur sendiri jalannya pemerintahan, kehidupan berbangsa dan

bernegara, serta perekonomian demi kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Dalam

Pembukaan UUD 1945, dinyatakan bahwa Negara Indonesia yang merdeka ini

mempunyai falsafah Negara yang disebut Pancasila, dalam mewujudkan

kesejahteraan rakyat dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang

dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, serta

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan filosofi tersebut, pasal-pasal UUD 1945 telah memberi arah atau

petunjuk bagaimana kesejahteraan rakyat dapat dicapai, sebagaimana diatur dalam

Pasal 33 sebagai berikut :

Page 59: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

43

(1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas

kekeluargaan.

(2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3). Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai

oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

(4). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, effesiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai pasal-pasal ini diatur dalam undang-

undang.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan landasan bagi pengelolaan agraria

yang ada di wilayah Indonesia. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

didalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Oleh sebab itu harus

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut pasal tersebut negara memegang peranan penting dalam hal

menguasai dan mempergunakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya secara maksimal. Dalam hal ini tugas dan wewenang negara adalah untuk

memajukan kesejahteraan rakyat. Konsepsi ini sejalan dengan konsep negara

kesejahteraan (welfare state) yang dianut negara Indonesia. Sebagai Negara agraris

maka pemilikan tanah merupakan kebutuhan untuk memenuhi hak mereka untuk

mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Konsep penguasaan tanah oleh

negara serta konsep kepemilikan individu terpadu dalam tujuan yang sama yaitu

mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Para ahli yang menyusun hukum tanah nasional (UUPA) menjelaskan

bahwa konsep hukum tanah nasional digali dari sumber Hukum adat, yaitu

Page 60: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

44

Komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individu dengan

hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan. Sifat

komunalistik religius ini dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyatakan

bahwa : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan

Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan

merupakan kekayaan nasional.” Kalau dalam hukum adat tanah ulayat merupakan

tanah bersama masyarakat hukum adat yang bersangkutan, maka dalam rangka

Hukum Tanah Nasional semua tanah dalam wilayah Negara kita adalah tanah

bersama seluruh rakyat Indonesia. Unsur religius dapat dilihat dari pernyataan bahwa

bumi, air dan ruang angkasa Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung

didalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Secara Religius dapat

dikatakan bahwa hubungan antara Bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang

angkasa adalah hubungan yang memang ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.43

Dengan demikian konsep ini mengandung pengertian bahwa tanah yang berada

diwilayah Indonesia ini merupakan modal atau asset bangsa yang sangat berharga,

dan kekayaan nasional sebagai perwujudan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada

bangsa Indonesia secara turun-temurun dan tidak terputus. Hubungan antara tanah

dan manusia (bangsa Indonesia) bersifat abadi.

43 H. Mohammad Hatta, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perpektif Negara Kesatuan,

Cet. I, Media Abadi, Yogyakarta, hal. 20.

Page 61: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

45

2.1.2. Perspektif Hukum

Pembahasan tanah dari perspektif hukum maksudnya adalah mengkaji tanah

dari sisi hukumnya saja bukan dari sisi yang lain. Hukum tanah bukan mengatur

tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu dari aspek

yuridisnya yaitu hak-hak penguasaan atas tanah.

Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah

dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem yang disebut

dengan Hukum tanah. Ketentuan-ketentuan hukum tanah meliputi pengertian tanah,

hak-hak penguasaan atas tanah dan hak-hak atas tanah.

2.1.2.1. Pengertian Tanah dalam Hukum Tanah

Pada umumnya sebutan tanah selalu dikaitkan dengan hak atas tanah yang

diberikan atau dimiliki oleh seseorang, agar dapat dinikmati manfaatnya, dan

digunakan sesuai dengan peruntukkannya. Dalam hukum tanah sebutan “tanah”

dipakai dalam arti yuridis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UUPA yaitu :

(1) Atas dasar menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut

tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik

sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan

hukum.

(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini memberi

wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian

pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar

diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan

penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan

peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4 ) UUPA, tanah dalam pengertian yuridis

adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu

permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Page 62: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

46

Tanah diberikan kepada pemegang hak, dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA

adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyainya tanah

dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya

pada tanah sebagai permukaan bumi saja, untuk keperluan apapun pasti diperlukan

juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang

ada di atasnya. Oleh karena itu dalam ayat (2) dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah

bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu

permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah, tetapi juga tubuh bumi yang

ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya.

Dengan demikian, maka yang dipunyai dengan hak atas tanah adalah tanahnya,

dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, tetapi wewenang menggunakan

yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan

sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya.

Sedalam berapa tubuh bumi itu boleh digunakan dan setinggi berapa ruang yang ada

diatasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya, dalam batas-batas

kewajaran, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan.

Secara etimologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah adalah :

1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;

2. Keadaan bumi di suatu tempat;

3. Permukaan bumi yang diberi batas;

Page 63: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

47

4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu ( pasir, cadas, napal dan

sebagainya ).44

Berdasarkan pengertian etimologi di atas, dapat kita pahami bahwa tanah adalah

permukaan bumi dengan segala kandungan atau bahan yang ada didalamnya.

Andi Hamzah memberikan pengertian tanah dengan mengacu pada

pengertian agrarian seperti yang diatur dalam UUPA. Pasal 1 ayat (4) UUPA dalam

penjelasan umum menyatakan bahwa dalam pada itu hanya permukaan bumi saja

yaitu yang disebut tanah yang dapat dikuasai oleh seseorang. Jadi tanah adalah

permukaan bumi.45

Secara geologis-agronomis Iman Sudiyat menjelaskan bahwa tanah adalah

lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas yang dimanfaatkan untuk menanami

tumbuh-tumbuhan. Itu sebabnya kemudian dikenal istilah tanah garapan, tanah

pekarangan, tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk

mendirikan bangunan dinamakan tanah bangunan. Kedalaman lapisan bumi (tanah)

adalah sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan humus dan lapisan dalam. Secara

yuridis dikatakan bahwa tanah dikualifikasi sebagai permukaan bumi.46

Berbeda dengan pendapat Ter Haar BZN yang memandang tanah tidak dapat

dipisahkan dengan manusia yang mempunyai hubungan hidup antara sesama manusia

yang teratur sedemikian pergaulannya. Tanah dimana mereka berdiam, tanah yang

44 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Balai Pustaka, Jakarta.

45 Andi Hamsah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.32.

46

Iman Sudiyat, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat

Sedang Berkembang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, hal.1

Page 64: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

48

memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan yang menjadi tempat

kediaman orang-orang halus pelindungnya beserta leluhurnya. Pertalian yang terjadi

demikian inilah terasa sangat berakar dalam alam pikiran masyarakat (umat manusia)

terhadap tanah.47

I Gede Wiranata menjelaskan bahwa tanah mempunyai sifat :

1. Tanah adalah benda yang menyimpan kekayaan yang menguntungkan.

2. Tanah merupakan sarana tempat tinggal bagi persekutuan hukum dan seluruh

anggotanya sekaligus member penghidupan kepada pemiliknya.

3. Tanah merupakan kesatuan dimana nanti pemiliknya akan dikubur setelah

meninggal, sekaligus merupakan tempat leluhur persekutuan selama beberapa

generasi sebelumnya.48

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka pengertian tanah adalah

permukaan bumi (yuridis) yang menyimpan kekayaan untuk mencukupi kebutuhan

hidup dan kehidupan manusia perseorangan dan kelompok (ekonomi). Tanah sebagai

tempat tinggal atau kediaman, tempat mereka mengembangkan kehidupan keluarga

secara turun- temurun dan bersifat abadi.

Dalam Black’S Law Dictionary disebutkan tanah (land) diartikan dalam dua

arti yaitu :

a. An immovable and indestructible three-dimensional area consisting of a

portion of the earth’s surface, the space above and below the surface and

everything growing on or permanently affixed to it;

b. An estate or interest in real property.49

47 Ter Haar BZN, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng Soebakti

Poesponoto, PT. Pradnya Paramita,hal. 71-73

48 I Gede Wiranata, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa,

Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 224-225

Page 65: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

49

Dengan demikian tanah berarti :

a. area tiga dimensi yang tidak dapat dipindahkan dan yang tidak dapat

dihancurkan yang terdiri atas bagian di atas permukaan tanah, ruang di

atasnya dan bagian yang berada di bawah permukaan tanah dan segala

sesuatu yang tumbuh di atasnya dan terikat secara permanen )

b. sebuah perumahan atau keuntungan dari kepemilikan lahan dan bangunan.

Sejalan dengan hal tersebut, Peter Butt yang dikutip dalam buku Ida Nurlinda

memberi pemahaman yang lebih luas terhadap pengertian tanah (land), bahwa the

word “land” is not only the face of the earth, but everything under it or over it.50

Jadi kata tanah tidak hanya berarti permukaan tanah, tetapi segala sesuatu di atas dan

di bawahnya.

Sementara itu, National Land Code of Malaysia memberikan pengertian yang

luas terhadap tanah (land), yaitu termasuk ke dalam pengertian land adalah :

a. That surface of the earth and all substances forming that surface;

b. The earth below the surface and all substances there in;

c. All vegetation and other natural product, whether or not requiring the

periodical application of labour to their production and whether on or

below the surface;

d. All things attached to the earth or permanently fastened to anything

attached to the earth, whether on or below the surface ; and

e. Land covered by water 51.

Berdasarkan National Land Code of Malaysia yang termasuk kedalam

pengertian tanah adalah :

49 Black’s Law Dictionary, 1999, editor : Bryan A. Garner, seventh edition, USA : West

Publishing, Minnesota. Page. 67.

50 Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, Edisi I, PT.

Raja Grafindo Persada, hal.36.

51Boedi Harsono, op.cit. hal.21.

Page 66: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

50

a. Permukaan dari bumi dan semua substansi yang membentuk permukaan

tersebut;

b. Bagian bawah permukaan dan segala sesuatu didalamnya;

c. Semua vegetasi dan produk alami baik yang memerlukan proses pengerjaan

secara periodik maupun yang tidak, di atas maupun di bawah permukaan

tanah;

d. Segala sesuatu yang melekat di bumi atau terikat secara permanen pada

apapun yang menmpeldi bumi, di atas maupun di bawah permukaan bumi;

dan

e. Tanah yang tertutupi oleh air.

Pasal 4 Land Titles Act Singapura 1993 juga mendefinisikan land secara luas,

yaitu sebagai berikut :

The surface of any defined parcel of the earcth, and all substances

thereunder, and so much of the column of air above the surface as is

reasonably necessary for the proprietor’s use and enjoyment, and includes

any estate or interest in land all vegetation growing thereon and structures

affixed thereto or any parcel of airspace or sub-terranean space held apart

from the surface of the land as shown in an approved plan subject to any

provisios to the contrary the proprietorship of land includes natural rights to

air, light, water and support and the right of access to any highway on which

the land abuts. 52 ( Banyak kolom udara di atas permukaan yang penting

untuk keperluan dan kenyamanan “propietor” dan juga termasuk beberapa

lahan atau semua tanaman yang dikembangbiakkan di atas dan struktur yang

disertakan bersamanya atau beberapa bagian berupa tempat udara atau tempat

subteranian di buat terpisah dari permukaan tanah seperti yang terlihat di

sebuah perencanaan yang sudah disetujui dimana mengacu pada beberapa

penyediaan terhadap perbedaan hubungan antar propietor lahan termasuk hak

atas udara, cahaya, air dan hak untuk mengakses ke segala lahan yang

letaknya bersebelahan).

Berdasarkan pemaparan diatas ada persamaan hakiki tentang pengertian tanah

dalam arti yuridis adalah permukaan bumi. Hal ini dapat diketahui dalam Pasal 4 ayat

(1) jo Pasal 1 ayat (4) UUPA yang menyebutkan :

- Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 2 UUPA ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan

52Ibid.

Page 67: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

51

bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh

orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain

serta badan-badan hukum.

- Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh

bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.

2.1.2.2. Hak Penguasaan Atas Tanah

Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik dan

dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan beraspek publik.53

Dalam arti fisik

secara nyata pemegang hak menguasai tanah ( tanah dalam penguasaan).

Penguasaan dalam arti yuridis dilandasi oleh “hak” yang dilindungi oleh hukum dan

umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik

tanah yang menjadi haknya.

Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan

untuk menguasai tanah haknya secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya

dilakukan pihak lain, misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak

lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai pihak

lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan penguasaan yuridisnya

berhak menuntut diserahkannya kembali tanah itu secara fisik kepadanya. Pengertian

penguasaan dan menguasai tersebut di atas dipakai dalam aspek perdata.

53Urip Santoso, 2005, op. cit, Jakarta, hal.73.

Page 68: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

52

Pengertian penguasaan dan menguasai dalam aspek publik tercermin dalam

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian dalam UUPA dirumuskan dalam Pasal 2

UUPA yang menyatakan :

(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai

yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi

dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi

wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang

angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada

ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran

rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam

masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan

makmur;

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan

kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,

sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,

menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.

UUPA menetapkan tata jenjang /hierarki hak-hak penguasaan atas tanah

dalam Hukum Tanah Nasional yaitu :

1. Hak Bangsa,

2. Hak menguasai dari Negara,

3. Hak ulayat masyarakat Hukum Adat,

4. Hak-hak perorangan/individual yaitu :

Page 69: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

53

a. Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara

langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang

disebut dalam Pasal 16 dan 53 UUPA.

b. Wakaf, yaitu hak milik yang sudah diwakafkan yang disebut dalam Pasal

49 UUPA.

c. Hak jaminan atas tanah yang disebut “hak tanggungan” sebagaimana

disebut dalam Pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA.

Hak penguasaan atas tanah dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Hak Bangsa

Hak Bangsa sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi diatur dalam

Pasal 1 ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang berbunyi :

(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat

Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai

karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa

Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

(3) Hubungan hukum antara bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang

angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat

abadi.

Hak Bangsa merupakan hak penguasaan tanah tertinggi dimana hak-hak

penguasaan atas tanah yang lain, secara langsung ataupun tidak langsung bersumber

padanya. Hak Bangsa mengandung dua unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas

kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah

bersama yang dipunyainya. Hak Bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak

pemilikan dalam pengertian yuridis, maka dalam rangka Hak Bangsa ada Hak Milik

perorangan atas tanah. Tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan

Page 70: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

54

memimpin penggunaan tanah bersama tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada

Negara. Yang menjadi subyek Hak Bangsa adalah seluruh rakyat Indonesia sepanjang

masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia, yaitu generasi-generasi terdahulu,

sekarang dan generasi-generasi yang akan datang. Tanah Hak Bangsa meliputi semua

tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Hak Bangsa merupakan

hubungan hukum yang bersifat abadi artinya selama rakyat Indonesia yang bersatu

sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa

Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun, tidak ada sesuatu

kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.

2. Hak Menguasai Dari Negara

Pengertian “ dikuasai “ negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat

(3) UUD 1945, tidak dijelaskan secara rinci dalam penjelasan baik penjelasan umum

maupun penjelasan pasal demi pasal. Hal ini memungkinkan hak menguasai Negara

itu ditafsirkan atas berbagai pemahaman, tergantung dari sudut pandang dan

kepentingan yang menafsirkan. Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945 tersebut diatas, berarti hak menguasai Negara meliputi semua tanah,

tanpa terkecuali.

Notonagoro menetapkan adanya tiga macam bentuk hubungan langsung

antara Negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa, yaitu sebagai berikut:

1. Negara sebagai subyek, yang dipersamakan dengan perorangan, sehingga

dengan demikian hubungan antara Negara dan tanah itu mempunyai sifat

privat-rechtelijk. Hak Negara terhadap tanah sama dengan hak

perseorangan dengan tanah.

2. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perorangan, tetapi

sebagai Negara. Dengan demikian, Negara sebagai badan kenegaraan,

Page 71: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

55

sebagai badan yang publiekrechtelijk. Dalam hal ini Negara tidak

mempunyai kedudukan yang sama dengan perorangan.

3. Hubungan antara Negara langsung dengan tanah ini tidak sebagai subyek

perseorangan dan tidak dalam kedudukannya sebagai Negara, yang

memiliki akan tetapi sebagai Negara yang menjadi personifikasi tentang

rakyat seluruhnya sehingga dalam konsepsi ini Negara tidak terlepas dari

rakyat, Negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung kesatuan-

kesatuan rakyat. Bentuk ini masih dapat diadakan dua macam bentuk,

yaitu :

a. Betul memegang kekuasaan terhadap tanahnya atau

b. Hanya memegang kekuasaan terhadap pemakaiannya. 54

Mengacu pada pendapat Notonagoro di atas, maka bentuk hubungan antara

negara dengan bumi, air dan ruang angkasa yang sesuai dengan makna hak

menguasai negara adalah bentuk hubungan yang ketiga. Hubungan tersebut adalah

hubungan yang bersifat abadi. Dalam arti, bahwa selama bangsa Indonesia masih ada

dan selama bumi, air dan ruang angkasa itu masih ada, maka hubungan itu tidak akan

terputus oleh kekuasaan apapun.

Sejalan dengan pendapat Notonagoro, Iman Soetiknjo pun sependapat bahwa

hak menguasai negara masuk ke dalam bentuk hubungan negara sebagai personifikasi

seluruh rakyat, karena jika ditinjau dari sudut perikemanusiaan, hal itu sesuai dengan

sifat mahluk sosial. Dengan demikian Negara mempunyai dua hak yaitu sebagai

berikut :

1. Hak Communes, apabila Negara sebagai personifikasi yang memegang

kekuasaan atas tanah dan sebagainya.

2. Hak Imperium, apabila Negara memegang kekuasaan tentang pemakaian

tanah saja.55

54 Notonagoro, 1984, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT. Bina

Aksara, Jakarta, hal. 101.

Page 72: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

56

Kewenangan negara untuk menguasai tersebut, menurut Pasal 2 ayat (2)

UUPA memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan Bangsa

Indonesia, untuk pada tingkatan tertinggi :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,

dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan

ruang angkasa.

Atas dasar kewenangan tersebut, maka ke dalam, negara dapat

melakukan :

a. Membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan

penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya untuk keperluan yang bersifat politis, ekonomis,

dan sosial ( Pasal 14 ayat (1) UUPA ), sedangkan pemerintah daerah juga

harus membuat perencanaannya sesuai dengan rencana pemerintah pusat

( Pasal 14 ayat (2) UUPA ).

b. Menentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang

dapat diberikan dan dipunyai oleh perorangan ( baik sendiri maupun

bersama-sama ) atau badan hukum ( Pasal 4 UUPA ). Hal ini berarti

bahwa bagi perorangan atau badan hukum tertentu dimungkinkan

mempunyai hak milik privat atas tanah.

c. Berusaha agar sebanyak mungkin orang mempunyai hubungan dengan

tanah, dengan menentukan luas maksimum tanah yang boleh dimiliki

atau dikuasai perorangan ( Pasal 7 dan 17 UUPA ), mengingat tiap-tiap

Warga Negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk

memperoleh suatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dan hasilnya,

baik bagi diri sendiri maupun keluarganya ( Pasal 9 ayat (2) UUPA

).

d. Menentukan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai

suatu hak atas tanah, mengusahakan tanah itu sendiri dengan beberapa

perkecualian ( Pasal 10 UUPA ). Hal ini untuk menjaga jangan sampai

ada tanah absentee.

e. Berusaha agar tidak ada tanah terlantar dengan menegaskan bahwa

semua hak atas tanah berfungsi sosial, dan mencegah kerusakannya

55 Iman Soetiknjo, op.cit. hal.20.

Page 73: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

57

merupakan kewajiban siapa saja yang mempunyai hak atas tanah (

Pasal 6 dan Pasal 15 UUPA ).

f. Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-

perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Misalnya hak

guna usaha, hak guna bangunan, sewa-menyewa, sebagaimana tersebut

dalam Pasal 16 UUPA.

g. Mengatur pembukaan tanah, pemungutan hasil hutan ( Pasal 46 UUPA )

dan penggunaan air dan ruang angkasa ( Pasal 47 dan 48 UUPA ).

h. Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air

dan ruang angkasa ( Pasal 8 UUPA ).

i. Mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, untuk

menjamin kepastian hukum ( Pasal 19 UUPA ). 56

Dalam hal wewenang ke luar, Negara dapat melakukan :

a. Menegaskan bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan

ruang angkasa dalam wilayah Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang

Maha Esa, dan karenanya bersifat abadi ( Pasal 1 ayat (3) UUPA ). Hal

ini berarti hubungan tersebut tidak dapat diputus oleh siapa pun.

b. Menegaskan bahwa orang asing ( bukan WNI ) tidak dapat mempunyai

hubungan penuh dan kuat dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan

alam yang terkandung di wilayah Indonesia. Hanya WNI yang dapat

mempunyai hubungan yang sepenuhnya dan terkuat di seluruh wilayah

Indonesia ( Pasal 21 UUPA ).57

Dalam kaitannya dengan kewenangan, negara bukanlah “ pemilik “

sumber daya agraria yang ada dalam wilayah Republik Indonesia, melainkan hanya

sebagai “penguasa“. Kalaupun negara hendak dikatakan sebagai “pemilik “ maka

harus dipahami dalam konteks hukum publik ( Publiekrechtstelijk ), bukan sebagai

pemilik ( eigenaar ) dalam pengertian yang bersifat keperdataan

( privaatrechtstelijk ). Artinya, negara memiliki kewenangan secara yuridis formal

sebagai pengatur, perencana, pelaksana dan pengendali kegiatan-kegiatan

penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya

agraria lainnya.

56Iman Soetikjno, op.cit. hal. 51

57

Iman Soetikjno, op.cit. hal.52

Page 74: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

58

Negara memperoleh kewenangan untuk menguasai bumi, air, dan ruang

angkasa karena tidak semua permasalahan atau urusan dapat diselesaikan sendiri oleh

masyarakat. Kewenangan negara untuk menyelesaikan kepentingan masyarakatnya,

menurut Maria Sumardjono dibatasi oleh dua hal, sebagai berikut :

1. Pembatasan oleh Undang-Undang Dasar. Pada prinsipnya, hal-hal

yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-

hak dasar manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar.

2. Pembatasan yang bersifat substantif. Pembatasan ini berkaitan dengan

pertanyaan apakah peraturan yang dibuat itu relevan dengan tujuannya.

Sesuai dengan Pasal 2 ayat ( 3 ) UUPA, semua aturan agraria harus

ditujukan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, sedangkan ruang

lingkup pengaturannya dibatasi Pasal 2 ayat (2) UUPA .58

Bagir Manan memaknai ketentuan Pasal 33 ayat ( 3 ) UUD 1945 dengan dua

aspek kaidah yang terkandung didalamnya yaitu kaidah “ hak menguasai negara “

dan kaidah “ dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kedua aspek

kaidah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya merupakan satu

kesatuan sistemik. “Hak menguasai negara merupakan instrument ( bersifat

instrumental ), sedangkan “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,”

merupakan tujuan. Selanjutnya disebutkan wewenang menguasai tersebut digunakan

untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.59

Dari pendapat tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa timbulnya istilah

“dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan konsekuensi

logis dari adanya istilah “dikuasai negara.” Kewenangan untuk menguasai sumber

58 Maria S.W. Soemarjono, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep

Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada, 14 Februari, Yogyakarta, hal. 6-7.

59 Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. Ketiga, Pusat Studi

Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hal. 231.

Page 75: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

59

daya agraria yang dimiliki oleh negara hanyalah dalam rangka mewujudkan sebesar-

besar kemakmuran rakyat demi tercapainya kesejahteraan sosial masyarakat

Indonesia yang menjadi tujuan negara. Keterkaitan antara kaidah “hak

menguasai negara” dengan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” akan menimbulkan

kewajiban negara sebagai berikut :

a. Segala bentuk pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya, harus secara nyata dapat

meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

b. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam

dan diatas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya, dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung

oleh rakyat.

c. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan

rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan akses

terhadap bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya 60

Ketiga aspek tersebut diatas harus menjadi arahan atau acuan dalam

menentukan dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air, ruang

angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Dalam UUPA pengertian hak ulayat secara eksplisit tidak ditemukan. Pasal 3

UUPA hanya menyatakan bahwa :

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan

hak ulayat dan hak-hak serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat

hukum adat, sepanjang memurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian

rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang

berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

60 Ida Nurlinda, op.cit. hal.63.

Page 76: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

60

Menurut Boedi Harsono, hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan

kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang

terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama

penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.61

Secara teknis yuridis, Sumardjono mengatakan hak ulayat merupakan hak

yang melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa

wewenang atau kekuasaan untuk mengurus dan mengatur tanah dan isinya, dengan

daya laku baik ke dalam maupun ke luar masyarakat hukum adat itu.62

Dengan demikian hak ulayat merupakan hak yang spesifik dan khas, yang

keberadaannya tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari masyarakat hukum adat

itu sendiri, karena meskipun hak ulayat merupakan hak suatu komunitas masyarakat

hukum adat, tetapi tetap membuka peluang akan adanya pihak lain di luar komunitas

tersebut untuk memanfaatkan hak ulayat tersebut, dengan berbagai persyaratan. Hak

ulayat suatu masyarakat hukum adat, berisi wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah ( untuk pemukiman,

bercocok tanam ), persediaan tanah ( pembuatan pemukiman/

persawahan baru ), dan pemeliharaan tanah;

b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (

membe rikan hak tertentu pada subyek tertentu );

c. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dengan

perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah. 63

Isi wewenang hak ulayat tersebut menyatakan bahwa hubungan antara

masyarakat hukum adat dengan tanah dan wilayahnya adalah hubungan menguasai,

61 Boedi Harsono, op.cit. hal.283.

62

Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan

Implementasi, Cet. Pertama, Kompas, Jakarta, hal.55.

63 Ibid, hal .71.

Page 77: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

61

bukan hubungan milik, sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara Negara

dengan tanah menurut Pasal 33 ayat ( 3 ) UUD 1945.

4. Hak-Hak Individual :

a. Hak-hak atas tanah ( Pasal 4 ) :

- Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang

diberikan oleh Negara dan Hak Pakai yang diberikan oleh

Negara ( Pasal 16 )

- Sekunder : Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh

pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang,

Hak Sewa ( Pasal 37, 41, dan 53 ).

b. Wakaf ( Pasal 49 )

c. Hak jaminan atas tanah; Hak Tanggungan ( Pasal 25, 33, 39, 51 UUPA ).

Berdasarkan urutan hak penguasaan tanah tersebut di atas, maka Hak

Bangsa merupakan hak penguasaan tanah yang tertinggi, sehingga hak-hak yang

lainnya bersumber pada Hak Bangsa. Hak Bangsa dipakai sebagai dasar bagi

pemberian hak-hak atas tanah yang lainnya.

2.1.2.3. Hak-Hak Atas Tanah

Ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu

“Atas dasar hak menguasai negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,

yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun

bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.

Page 78: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

62

Hak atas tanah yang bersumber dari hak menguasai negara atas tanah dapat

diberikan kepada perseorangan baik Warga Negara Indonesia maupun warga negara

asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum

privat maupun badan hukum publik.

Hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yang bunyinya

sebagai berikut :

“Hak-hak atas tanah sebagai dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) adalah :

a. Hak Milik

b. Hak Guna Usaha

c. Hak Guna Bangunan

d. Hak Pakai

e. Hak Sewa

f. Hak membuka tanah

g. Hak memungut hasil hutan

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan

ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara,

sebagai yang disebut dalam Pasal 53.

Hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara tersebut diatur dalam Pasal 53 ayat (1)

yang bunyinya sebagai berikut :

“Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16

ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan

hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang

bertentangan dengan Undang-Undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan

hapusnya dalam waktu singkat.”

2.1.3. Fungsi Sosial Hak-Hak Atas Tanah

Dalam Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai

fungsi sosial. Hal ini merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas

Page 79: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

63

tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-

hak atas tanah menurut konsepsi hukum adat yang mendasari konsepsi Hukum Tanah

Nasional.

Tidak hanya Hak milik, tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial,

demikian ditegaskan dalam Penjelasan pasal 6 UUPA tersebut. Dalam Penjelasan

Umum, fungsi sosial hak-hak atas tanah tersebut disebut sebagai dasar yang keempat

dari Hukum Tanah Nasional. Dalam Penjelasan Umum tersebut dinyatakan : “Ini

berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dibenarkan,

bahwa tanahnya itu akan dipergunakan ( atau tidak dipergunakan ) semata-mata

untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi

masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat

daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang

mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi ketentuan

tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali

oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan-

kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan

haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok :

kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya ( Pasal 2 ayat

3).64

Berdasarkan fungsi sosial hak atas tanah tersebut, maka tanah yang dihaki

seseorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi yang empunya hak itu saja, tetapi

64 Boedi Harsono, op.cit. hal.299

Page 80: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

64

juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam

mempergunakan tanah yang bersangkutan bukan hanya kepentingan yang berhak saja

yang dipakai sebagai pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan

kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan

yang mempunyai dan kepentingan masyarakat. Untuk itu perlu adanya perencanaan,

peruntukan dan penggunaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UUPA.

Dengan menggunakan tanah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan oleh

Pemerintah terpenuhilah fungsi sosialnya. Kepentingan umum harus diutamakan

daripada kepentingan pribadi, sesuai dengan asas-asas yang berlaku bagi

penyelenggaraan berkehidupan bersama dalam masyarakat. Walaupun demikian juga

tidak boleh diabaikan, karena hak individu atas tanah dihormati dan dilindungi oleh

hukum. Jika kepentingan umum menghendaki didesaknya kepentingan individu,

hingga mengalami kerugian maka kepadanya harus diberikan ganti kerugian.

2.2. Tanah terlantar

Sesuai dengan TAP MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria

dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah terlantar yang berkaitan

dengan upaya penertibannya oleh pemerintah merupakan hal yang penting untuk

dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu upaya pembaharuan di bidang

agraria. UUPA merupakan dasar dari lahirnya perundang-undangan lainnya dan

peraturan-peraturan pendukung dalam mengatur kebijakan di bidang pertanahan.

Pemberian hak-hak atas tanah ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan lain-lain ) kepada perorangan atau badan hukum oleh Negara untuk

diusahakan, dikelola dan dipergunakan dalam rangka memberikan kesejahteraan

Page 81: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

65

kepada masyarakat, merupakan suatu kebijakan di bidang pertanahan yang harus

dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan

pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai

dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian

haknya. Jika kewajiban itu sengaja diabaikan, maka dapat mengakibatkan hapusnya

atau batalnya hak yang bersangkutan. Dengan kata lain dalam pemberian hak itu ada

maksud agar tidak menelantarkan tanah.

2.2.1. Pengertian atau Konsep Tanah Terlantar

Menurut J.J.H. Bruggink, Het begrip is datgene dat in ons denken ontstaat als

de betekems van het woord, gezien de verwijzing van dat woord naar een bepaald

object of person. Hierboven is nog eens gezegd dat die betekenis afhangt van zowel

de talige als de buiten-talige contekst.65

Pengertian adalah apa yang timbul dalam

pikiran kita sebagai arti dari perkataan, mengingat penunjukan perkataan itu pada

obyek tertentu atau orang tertentu. Jadi bergantung pada baik konteks kebahasaan

maupun bukan kebahasaan.

Sebelum menjelaskan konsep tanah terlantar perlu dipahami pengertian

konsep sebagaimana dijelaskan oleh Radbruch. Ia mengemukakan pendapatnya yang

berkaitan dengan konsep hukum sebagai berikut :

“Terdapat dua jenis konsep hukum yakni konsep hukum yang yuridis relevan (

legally relevant concepts ) dan konsep hukum asli ( genuine legal concepts ).

Konsep yuridis relevan adalah konsep hukum yang merupakan komponen aturan

hukum, khususnya konsep yang digunakan untuk mendapatkan situasi fakta

dalam kaitannya dengan ketentuan undang-undang yang dijelaskan dengan

interpretasi misalnya konsep fakta seperti benda, membawa pergi, atau

65 J. J. H. Bruggink, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Deventer,

Kluwer, Page. 40.

Page 82: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

66

mengambil. Sedangkan konsep hukum adalah konsep konstruktif dan sistematis

yang digunakan untuk memahami sebuah aturan hukum, misalnya konsep hak,

kewajiban, hubungan hukum dan sebagainya”. 66

Satjipto Rahardjo, mengemukakan pentingnya sebuah konsep digunakan

untuk menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh suatu peraturan

hukum.67

Dengan demikian konsep-konsep hukum yang dipakai hendak merumuskan

pengertian-pengertian yang tercakup di dalamnya atau digunakan untuk

menyebutkan secara ringkas apa yang ingin dicakup oleh suatu peraturan hukum.

Konsep tanah terlantar dapat ditemukan dalam pengertian-pengertian tanah

terlantar .

1. Menurut UUPA.

Pengertian tanah terlantar tidak ditemukan dalam UUPA. Dalam UUPA

disebutkan bahwa hak atas tanah akan berakhir atau hapus karena tanahnya

ditelantarkan. Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan tanah terlantar

dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena

ditelantarkan ( Pasal 27 poin a. 3 ). Penjelasan Pasal 27 menyatakan :

“Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai

dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”.

2. Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan ( Pasal 34 e ).

66 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian

tentang Pondasi Kefalsafahan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan

Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandar Maju, Bandung, hal. 154.

67 Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet. Keenam, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung,

hal. 311-312.

Page 83: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

67

3. Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan ( Pasal 40 e ).

Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, menunjukkan bahwa setiap hak

atas tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara ( Hak Milik, Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan ) haknya hapus apabila ditelantarkan. Artinya ada unsur

kesengajaan melakukan perbuatan tidak mempergunakan sesuai dengan keadaannya

atau sifat dan tujuan daripada haknya.

2. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 dikeluarkan karena

dilatarbelakangi semakin banyaknya jumlah tanah terlantar di Indonesia dan karena

tidak ada upaya penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah. Oleh karena itu dalam

Menimbang pada huruf b disebutkan , “bahwa dalam kenyataannya masih terdapat

bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum atau instansi yang

tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya. Dalam

ketentuan Menimbang huruf c dinyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam UU

No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria hak atas tanah hapus

dengan sendirinya apabila tanahnya ditelantarkan.

Pasal 1 ayat (5) PP No. 36 Tahun 1998 menyatakan, “Tanah terlantar adalah

tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan,

atau pihak yang telah memperoleh dasar penguaasaan atas tanah tetapi belum

memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku .” Selanjutnya pengertian tanah terlantar diulang kembali dalam Pasal 3 yang

menyatakan : “Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak

Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja

Page 84: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

68

tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan

tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik “.

Apabila diperhatikan, ternyata banyak pengertian yang diberikan oleh PP

No.36 tahun 1998 untuk menyatakan sebidang tanah adalah terlantar. Jika di

inventarisasi sebagai berikut :

a. Tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan

haknya, bila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai peruntukannya

menurut RTRW yang berlaku.

b. Tanah yang ditelantarkan oleh pemegang haknya.

c. Tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian

yang baik sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.

d. Tanah sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan

keadaannya atau sifat dan tujuan haknya.

3. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010

Pengertian tanah terlantar dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 yang menyatakan bahwa : “ Tanah yang sudah

Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaan

dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak

dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan

haknya. Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai

tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak

dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan

yang ditetapkan dalam izin lokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan

Page 85: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

69

pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat lainnya dari pejabat

yang berwenang.

Dengan demikian tanah terlantar adalah tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atau tanah yang ada dasar

penguasaannya yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak

dimanfaatkan, sesuai dengan keadaannya, sifat dan tujuan haknya.

2.2.2. Kriteria Tanah Terlantar

Kriteria tanah terlantar dapat ditemukan dengan cara mensistematisasi unsur-

unsur yang ada dalam tanah terlantar. Adapun unsur-unsur yang ada pada tanah

terlantar :

1. Adanya pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek).

2. Adanya tanah hak yang diusahakan atau tidak (obyek).

3. Adanya tanah yang teridentifikasi telah menjadi hutan kembali atau

kesuburannya tidak terjaga.

4. Adanya jangka waktu tertentu dimana tanah menjadi tidak produktif.

5. Adanya perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah.

6. Status tanah kembali kepada Negara.

Dengan mengetahui unsur-unsur esensial terjadinya tanah terlantar maka

kriteria atau ukuran yang dapat dipakai untuk menetapkan sebidang tanah adalah

terlantar dengan cara kembali menjelaskan dengan melakukan penafsiran-penafsiran

terhadap unsur yang ada, dengan fokus terhadap tujuan pemberian hak atas tanah.

Sehingga apabila dari kondisi fisik tampak tanah tidak terawat atau tidak terpelihara

Page 86: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

70

itu berarti tidak sesuai dengan tujuan pemberian haknya. Dengan demikian kriteria

tanah terlantar adalah :

1. Harus ada pemilik atau pemegang hak atas tanah (subyek).

2. Harus ada tanah hak ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,dan

lain-lain ) yang tidak terpelihara dengan baik sehingga kualitas kesuburan

tanahnya menurun.

3. Harus ada jangka waktu tertentu.

4. Harus ada perbuatan yang dengan sengaja tidak menggunakan tanah sesuai

dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.

Berdasarkan konsep tanah terlantar yang diatur dalam Penjelasan Pasal 27

UUPA yang menyatakan : Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya,

maka kriteria tanah terlantar dalam UUPA kurang jelas atau masih kabur karena

hanya ditentukan subyek hak/pemegang hak atas tanah, obyek hak ( Hak Milik, Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan ), dan ada perbuatan yang mengakibatkan tanah

menjadi terlantar, sedangkan jangka waktunya tidak ditentukan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 kriteria tanah terlantar

diatur dalam Bab III, yang dibagi menjadi tiga bagian :

Bagian Kesatu mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan

dan Hak Pakai meliputi :

Pasal 3 yang menyatakan bahwa :

“Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai dapat

dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak

Page 87: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

71

dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan

haknya atau tidak dipelihara dengan baik.”

Pasal 4 yang menyatakan bahwa :

“Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan

untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan

peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu

permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut.”

Pasal 5 yang menyatakan bahwa :

(1) Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau

sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah

itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang

baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian tanah

tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.

Pasal 6 menyatakan bahwa :

(1) Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah

menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak

diperginakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipecah

dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah

disetujui oleh instansi yang berwenang.

(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka

hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.

Bagian Kedua mengenai Tanah Hak Pengelolaan, meliputi :

Pasal 7 yang menyatakan behwa :

(1) Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila

kewenangan hak menguasai dari Negara atas tanah tersebut tidak

dilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan pemberian

pelimpahan kewenangan tersebut.

(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian

bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.

Page 88: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

72

Bagian Ketiga Tanah Yang Belum Dimohon Hak meliputi :

Pasal 8 yang menyatakan bahwa :

(1) Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas

tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat

dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang

telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak

dipelihara dengan baik.

(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria tanah terlantar,

maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 rumusan kriteria tanah

terlantar masih kabur karena dalam peraturan tersebut tidak ditentukan jangka waktu

tanah dinyatakan sebagai tanah terlantar. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut

ditentukan subyek/pemegang hak atas tanah, obyek hak ( Hak Milik, Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan ), adanya perbuatan yang

dapat mengakibatkan tanah menjadi terlantar

Dalam Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010

ditentukan tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa

Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan,

atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau

tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak

atau dasar penguasaannya. Kemudian dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 11

Tahun 2010 dinyatakan bahwa identifikasi dan penelitian dilaksanakan : terhitung

mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan

atas tanah dari pejabat yang berwenang.

Page 89: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

73

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 ditentukan kriteria tanah

terlantar meliputi, subyek/ pemegang hak atas tanah, obyek hak atas tanah ( Hak

Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan),

adanya perbuatan yang mengakibatkan tanah terlantar, jangka waktunya terhitung 3

(tiga) tahun sejak diterbitkannya sertifikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai atau sejak berakhirnya izin/ keputusan/ surat dasar penguasaan

tanah dari pejabat yang berwenang.

2.2.3. Kedudukan Tanah Terlantar

Berdasarkan tata jenjang / hierarki hak-hak penguasaan atas tanah, hak

menguasai dari negara itu merupakan perwujudan dari hak bangsa yang memberi

wewenang kepada negara untuk mengatur penggunaan, pengusahaan dan peruntukan

tanah, yang implementasinya dapat diberikan kepada perorangan/ individu atau

Badan hukum berupa hak-hak atas tanah.

Pemberian hak atas tanah oleh negara kepada perorangan atau badan hukum

dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan, mengusahakan tanah untuk

mencapai kecukupan di bidang ekonomi, kesejahteraan atau kemakmuran. Agar

tujuan dapat tercapai, maka setiap pemegang hak atas tanah memahami bahwa setiap

hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau

larangan untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.

Hak-hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk

menggunakan tanahnya. Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai

oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua yaitu :

Page 90: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

74

1. Wewenang Umum

Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai

wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air dan

ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang

langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas

menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi ( Pasal

4 ayat (2) UUPA ).

2. Wewenang Khusus

Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai

wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas

tanahnya, misalnya wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk

kepentingan pertanian dan atau untuk mendirikan bangunan, wewenang pada

tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah hanya untuk

mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya,

wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya

untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan, peternakan,

atau perkebunan.68

Disamping itu juga hak-hak atas tanah menentukan kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah. Pasal 10 UUPA menyebutkan “Setiap

orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada

asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan

mencegah cara-cara pemerasan.” Kemudian Pasal 15 menyebutkan “Memelihara

tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah

kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan

hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak yang ekonomi lemah.”

Hak-hak atas tanah disamping memberikan wewenang kepada pemegang

haknya untuk menggunakan tanahnya, juga menentukan kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh pemegang haknya. Pemegang hak atas tanah agar menggunakan,

68 Soedikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Karunika, Universitas

Terbuka, Jakarta, hal. 45.

Page 91: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

75

mengusahakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan pemberian haknya

sehingga tidak menelantarkan tanahnya.

Pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai

dengan ketentuan Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf e yang

menentukan semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan negara

apabila tanah tersebut ditelantarkan. Secara yuridis hak atas tanah menjadi hapus jika

dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebagai sanksi terhadap tidak dipenuhinya

kewajiban tersebut atau dilanggarnya sesuatu larangan oleh pemegang hak yang

bersangkutan.69

Lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan keputusan pejabat tersebut

bersifat konstitutif, dalam arti hak yang bersangkutan baru menjadi hapus dengan

dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Jika yang hapus hak-hak atas tanah primer,

maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara.70

Jadi dapat dikatakan bahwa kedudukan tanah terlantar akhirnya menjadi

tanah negara atau kembali dalam hak penguasaan negara. Selanjutnya dapat

diserahkan kepada subyek lain untuk segera diberdayakan kembali atau diusahakan

kembali.

69 Boedi Harsono, op.cit, hal.339.

70

Ibid.

Page 92: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

76

BAB III

KEWENANGAN DAN MEKANISME PENERTIBAN

TANAH TERLANTAR

3.1. Kewenangan Dalam Penertiban Tanah Terlantar

3.1.1. Konsep Kewenangan

Kewenangan berasal dari kata “wenang” yang artinya adalah hak dan

kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk

bertindak sehingga kewenangan berarti kekuasaan untuk membuat/melakukan

sesuatu. 71

Menurut Juanda, kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, yaitu

kekuasaan yang berasal dari atau yang diberikan oleh Undang-Undang, yang disebut

kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif atau administratif. Sedangkan

wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik,

misalnya wewenang menandatangani surat izin dari seorang pejabat atas nama

Menteri atau Gubernur, sedangkan kewenangannya tetap berada ditangan Menteri

atau Gubernur, sehingga dalam hal ini terdapat pendelegasian wewenang. Jadi di

dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. 72

Dari segi praktis, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan

dengan istilah Belanda “bevoegdheid”. Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa

kalau dikaji secara cermat ada sedikit perbedaan antara istilah wewenang atau

71 W.J.S. Poerwadaminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

hal.1130.

72 Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan

antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, hal.271.

Page 93: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

77

kewenangan dengan istilah “bevoegdheid”. Perbedaannya terletak dalam karakter

hukumnya. Istilah “bevoegdheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik

maupun dalam konsep hukum privat. Sedangkan istilah wewenang atau kewenangan

selalu digunakan dalam konsep hukum publik.73

Kadangkala istilah wewenang dikaitkan dengan suatu kekuasaan hukum

(rechtskracht). Terkait dengan kekuasaan hukum maka ada dua hal yang perlu

dicermati yaitu : berkaitan dengan keabsahan suatu tindak pemerintahan dan

kekuasaan hukum. Suatu tindak pemerintahan dianggap sah jika dapat diterima

sebagai suatu bagian dari ketertiban hukum, dan suatu tindak pemerintah mempunyai

kekuasaan hukum jika dapat mempengaruhi pergaulan hukum.74

Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa kewenangan itu diperoleh melalui

tiga (3) cara yaitu :

a. Atribusi adalah wewenang untuk membuat keputusan yang langsung

bersumber kepada Undang-undang dalam arti materiil. Dari pengertian

tersebut nampaknya kewenangan yang didapat melalui cara atribusi oleh

institusi pemerintah merupakan kewenangan asli.

b. Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat

pemerintahan kepada pihak lain dalam artian adanya perpindahan dari

pemberi delegasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegetaris).

c. Mandat adalah suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan dalam artian

memberikan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama

pejabat yang memberi mandat dan tanggung jawab ada pada pemberi mandat,

bukan merupakan tanggungjawab mandataris.75

Atribusi adalah pembentukan dan pemberian wewenang tertentu kepada organ

tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang

73 Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid), Pro

Justitia, Jakarta, hal.91.

74 Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Hukum Administrasi, Laksbang, Prescindo,

Yogyakarta, hal. 59.

75 Philipus M. Hadjon I, loc.cit.

Page 94: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

78

berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan dan distribusi wewenang

ditetapkan dalam konstitusi atau UUD. Dalam atribusi terjadi pemberian wewenang

baru oleh suatu ketentuan perundang-undangan sehingga dilahirkan suatu wewenang

baru. Kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintahan adalah

kewenangan asli, karena kewenangan baru itu sebelumnya tidak dimiliki oleh organ

pemerintah yang bersangkutan.

Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat suatu keputusan oleh

pejabat pemerintah (delegans) kepada pihak lain (delegataris) dan wewenang itu

menjadi tanggungjawab dari delegataris. Syarat-syarat delegasi adalah :

1. Harus definitive, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri

wewenang yang telah diserahkan;

2. Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya

dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-

undangan;

3. Tidak kepada bawahan, artinya bahwa dalam hubungan hirarki kepegawaian,

tidak diperkenankan adanya delegasi;

4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya bahwa delegans

berhak meminta penjelasan pelaksanaan wewenang tersebut;

5. Merupakan peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya bahwa delegans

memberikan intruksi tentang pengaturan wewenang tersebut.76

Dengan demikian pada delegasi selalu didahului oleh atribusi wewenang,

sehingga menurut Indroharto, “ penerima wewenang atas dasar delegasi (delegataris)

dapat pula mendelegasikan wewenang yang diterimanya dari pemberi wewenang asli

(delegans) kepada organ atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) lainnya. Pelimpahan

wewenang ini disebut dengan sub delegasi “.77

76Philipus M. Hadjon,I, op.cit. hal.123

77

Indroharto, op.cit. hal. 66.

Page 95: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

79

Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan

(mandataris) untuk membuat suatu keputusan atas nama yang memberi mandat

(mandans). Dalam pelimpahan wewenang secara mandat tidak perlu adanya

peraturan perundang-undangan yang melandasi, karena mandat merupakan hal rutin

dalam hubungan intern. Dengan demikian dalam pelimpahan wewenang ini

tanggungjawab tidak berpindah kepada mandataris, tetapi tanggungjawab tetap

berada pada pemberi mandat.

Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan bagian yang sangat

penting dalam Hukum Administrasi Negara, karena pemerintah baru dapat

menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperoleh. Keabsahan tindakan

pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan. Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku

sehingga bersifat sah. Kewenangan dapat dilihat pada konstitusi Negara yang

memberikan legitimasi kepada badan publik dan lembaga Negara dalam menjalankan

fungsinya.78

Legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang

pemerintahan dibedakan antara lain :

a. Yang berkedudukan sebagai original legislator, dalam Negara Republik

Indonesia di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan

DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan undang-undang, dan

di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan

Peraturan Daerah;

b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang berdasar

pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah

dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintah kepada Badan atau

Jabatan Tata Usaha Negara tertentu.79

78 H. Suriansyah Murhaini, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang

Pertanahan, Cet. Ke-1, Laksbang Justitia, Surabaya, hal. 14.

79 H.R. Ridwan, op.cit. hal.73.

Page 96: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

80

SF. Marbun dan Mahmud MD, menyatakan cara untuk memperoleh

kewenangan ada dua yaitu : Pertama, kewenangan atas inisiatif sendiri berarti bahwa

pemerintah (Presiden) tanpa harus dengan persetujuan DPR diberi kewenangan untuk

membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya setingkat dengan Undang-

Undang bila keadaan terpaksa. Kedua, kewenangan atas delegasi berarti kewenangan

untuk membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya dibawah Undang-

Undang.80

Sedangkan H.D. Van Wijk dan Willem Konijnenbelt dalam bukunya H.R.

Ridwan mendefinisikan atribusi, delegasi dan mandat sebagai berikut :

a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan

een bestuursorgaan ( atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh

pembuat undang-undang kepada organ pemerintah ).

b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan

een ander, ( delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu

organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya ).

c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen

door een ander, ( mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan

kewenangannya itu dijalankan oleh organ lain atas namanya ).81

Jika dikaitkan dengan wewenang untuk membentuk peraturan perundang-

undangan di Indonesia, maka yang dapat diklasifikasikan sebagai pembentuk undang-

undang orisinil adalah : MPR sebagai pembentuk konstitusi, DPR bersama

Pemerintah yang melahirkan undang-undang, Kepala daerah bersama dengan DPRD

melahirkan Peraturan Daerah. Sedangkan yang diklasifikasikan sebagai pembentuk

undang-undang yang diwakilkan adalah Presiden yang berdasarkan pada suatu

80 SF. Marbun & Mahmud MD, 2000, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,

Yogyakarta, hal.55.

81 H.R. Ridwan, op.cit. hal.74

Page 97: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

81

ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah dimana

diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau pejabat Tata

Usaha Negara. Dalam hal ini Presiden mendapat kewenangan delegasi dari Badan

Legislatif untuk membuat suatu undang-undang yang berlaku khusus dalam bidang

administratif untuk menjalankan pemerintahan, karena undang-undang yang dibuat

oleh Badan Legislatif pada dasarnya bersifat umum. Hal ini sejalan dengan

pernyataan dari Jay A. Sigler yang menyatakan : “ Legislative bodies often

delegate considerable power to Administrative agency to effect the purposes of

statutes. This has given rise to administrative policies, since statutes are often quite

general “.82

Jadi atribusi menunjuk kepada kewenangan asli sedangkan delegasi dan

mandat merupakan suatu kewenangan yang berasal dari pelimpahan oleh Badan atau

Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara

atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Perbedaan antara

kewenangan berdasarkan delegasi dan mandat menurut Philipus M. Hadjon adalah

terletak pada prosedur pelimpahannya, tanggungjawab dan tanggung gugatnya serta

kemungkinan dipergunakannya kembali kewenangan tersebut.83

Dilihat dari prosedur pelimpahannya, pada delegasi terjadi pelimpahan

wewenang dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya

yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada mandat,

82 Jay A. Sigler, 1977, The Legal Sources Of Public Policy, DC. Heath and Compay,

Lexington Massachusetts, Toronto, Page. 27.

83 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan

Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNAIR, Surabaya, 10 Oktober 1994,

hal.8.

Page 98: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

82

pelimpahan wewenang umumnya terjadi dalam hubungan rutin antara bawahan

dengan atasan. Ditinjau dari segi tanggungjawab dan tanggung gugatnya, pada

delegasi tanggunjawab dan tanggung gugat beralih pada penerima delegasi

(delegataris), sedangkan pada mandat tetap pada pemberi mandat (mandans).

Ditinjau dari segi kemungkinan pemberi wewenang berkehendak menggunakan

kembali wewenang tersebut, pada delegasi pemberi wewenang (delegans) tidak

dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan

berpegang pada asas contrarius actus, sedang pada mandat pemberi mandat

(mandans), setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan.

Wewenang terdiri sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu :

1. Pengaruh,

2. Dasar Hukum,

3. Konformitas hukum.84

Komponen pengaruh dalam wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku

subyek hukum. Sedangkan komponen dasar hukum dari wewenang dimaksudkan

bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen

konformitas hukum mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar

umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus untuk jenis wewenang tertentu.

Suwoto Mulyo Sudarmo, mempergunakan istilah kekuasaan untuk

kewenangan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberian kekuasaan dapat dilakukan

melalui tiga macam yaitu :

84 Philipus M. Hadjon, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No.5 & 6 Tahun XII September

1997, hal. 2.

Page 99: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

83

1. Melalui pengakuan kekuasaan (Attributie)

Perolehan kekuasaan dengan cara attributive menyebabkan terjadinya

pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi

ada. Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara attributive bersifat

asli.

2. Melalui Pendelegasian Kekuasaan (Delegatie)

Pada pendelegasian kekuasaan delegetaris melaksanakan kekuasaan atas

nama sendiri dan dengan tanggungjawab sendiri.

3. Melalui Pemberian Kuasa (Mandaatsverlening)

Mandat merupakan bentuk pelimpahan kekuasaaan, namun berbeda dengan

delegasi. Pihak yang diberi mandat, melaksanakan kekuasaan tidak bertindak

atas nama sendiri, karena itu tidak memiliki tanggung jawab sendiri. 85

Dengan demikian kewenangan merupakan kekuasaan untuk melakukan

tindakan-tindakan hukum tertentu berdasarkan ketentuan dalam peraturan yang telah

ditetapkan baik oleh legislatif maupun eksekutif. Pemerintah dalam menjalankan

fungsinya dapat melakukan berbagai macam perbuatan hukum. Perbuatan hukum

pemerintah yang bersifat mengatur itu haruslah sah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Keabsahan perbuatan pemerintah itu memiliki

tiga fungsi yaitu :

1. Bagi aparat pemerintah, asas keabsahan berfungsi sebagai norma

pemerintahan (bestuurnormen).

2. Bagi masyarakat, asas keabsahan berfungsi sebagai alasan untuk mengajukan

gugatan terhadap tindak pemerintahan (beroepsgronden).

3. Bagi Hakim, asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak

pemerintahan (toetsingsgronden).

85 Suwoto Mulyo Sudarmo, 1999, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis

Terhadap Pidato Nawaksara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 39.

Page 100: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

84

Berdasarkan pendapat tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa dalam

Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, kewenangan merupakan

konsep inti dalam rangka hubungan antara pemerintah dengan warga masyarakat.

3.1.2. Organ Yang Berwenang Dalam Penertiban Tanah Terlantar

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-

besar kemakmuran rakyat.” Dari kata “dikuasai oleh Negara” terlihat bahwa

kewenangan dibidang pertanahan dilaksanakan oleh negara yang dalam

pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan kewenangan yang

bersumber pada konstitusi maka kemudian diterbitkan UU No. 5 Tahun 1960 yang

mengatur masalah keagrariaan atau pertanahan sebagai bagian dari bumi.

Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara sebagai personifikasi

dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan,

menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use),

menyediakan (reservation), dan memelihara (maintenance), atas bumi, air dan ruang

angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Berdasarkan hak

menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan

penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada negara, di mana di bidang

eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (Pemerintah) atau didelegasikan

kepada Menteri.86

86 Edy Ruchiyat, loc.cit.

Page 101: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

85

Penetapan dan pengaturan tersebut meliputi perencanaan peruntukan tanah,

penguasaan dan perbuatan hukum mengenai tanah. Kewenangan di bidang

pertanahan yang dalam UUPA ditetapkan sebagai wewenang Pemerintah Pusat

didasarkan pada beberapa hal, pertama, seluruh wilayah Indonesia adalah merupakan

kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa

Indonesia. Kedua, seluruh bumi,air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan

merupakan kekayaan nasional. Ketiga, hubungan antara bangsa Indonesia dengan

bumi, air dan ruang angkasa adalah bersifat abadi. Dengan demikian kewenangan

untuk mengurus bidang pertanahan ada pada Negara yang dalam pelaksanaannya

dilakukan Pemerintah Pusat.

Kewenangan yang ada pada pemerintah adalah sebagai dasar dalam

penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan yang artinya setiap penyelenggaraan

kenegaraan harus memiliki legitimasi yaitu adanya kewenangan yang diberikan oleh

Undang-Undang. Konsep ini sesuai dengan konsep Negara Hukum dimana setiap

tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus ada aturan yang mengaturnya.

Wewenang ini sangatlah diperlukan oleh pemerintah, mengingat pemerintah

adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi Negara. Pemerintah untuk dapat

menjalankan kekuasaannya dengan baik dan lancar perlu diberi wewenang. Adanya

pengaturan pemberian wewenang tersebut akan memberikan keabsahan bagi tindakan

yang dilakukan pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintahannya

haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tindakan

pemerintah sah adanya dan mempunyai kekuasaan hukum. Sudah tentu ketentuan

Page 102: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

86

dalam peraturan perundang-undangan tersebut harus jelas dan pasti, sehingga tidak

dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Ketentuan yang dapat ditafsirkan secara

berbeda-beda disebut dengan istilah norma kabur, sehingga lingkup kewenangan

yang diaturnyapun menjadi tidak jelas. Hal itu senada dengan apa yang dikemukakan

oleh J.J.H Bruggink, yaitu “ Vage begrippen, Dit zijn begrippen waarvan de inhoud

niet precies te bepalen is, zodat ook de omvang onduidelejk “ 87

( pengertian yang

kabur adalah pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara pasti, sehingga

lingkupannya tidak jelas).

Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dari

pemerintah ( Presiden ) kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Ketentuan ini tersirat dalam Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa

: “ Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah terlantar

dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Presiden “.

Dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar dibentuk sebuah panitia. Susunan

keanggotaan panitia ini terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan instansi

terkait yang diatur oleh Kepala ( Pasal 5 PP No.11 Tahun 2010 ). Melihat ketentuan

tersebut terjadi kekaburan norma karena instansi terkait yang dimaksud tidak jelas.

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 PP No.11 Tahun 2010 dikeluarkan

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 2010 tentang Tata Cara

Penertiban Tanah Terlantar. Panitia yang dimaksud Pasal 5 PP No.11 Tahun 2010,

dalam Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 adalah Panitia C yang terdiri dari

87 Bruggink, J.J.H, op.cit. hal. 438

Page 103: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

87

Kanwil BPN, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan

tanahnya yang mempunyai wewenang untuk melakukan identifikasi dan penelitian

tanah terindakasi terlantar. Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun

2010, Susunan keanggotaan panitia C terdiri atas :

a. Ketua : Kepala Kantor Wilayah

b. Sekretaris : Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan

Masyarakat, merangkap anggota

c. Anggota : 1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota

2. Dinas/Instansi Provinsi yang berkaitan dengan peruntukan

tanahnya

3. Dinas/instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan

peruntukan tanahnya.

4. Kepala Kantor Pertanahan.

Dengan demikian maka organ yang berwenang dalam penertiban tanah

terlantar adalah panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan,

Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang

bersangkutan berwenang dalam melakukan identifikasi dan penelitian terhadap tanah

yang terindikasi terlantar. Sedangkan penetapan tanah terlantar merupakan

kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

3.1.3. Ruang Lingkup Wewenang Penertiban Tanah Terlantar.

Berdasarkan pada PP No. 11 Tahun 2010 dan Peraturan Kepala BPN No.4

Tahun 2010 organ yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar adalah Panitia C

yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi

Page 104: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

88

yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan dan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Adapun wewenang yang dimiliki adalah :

A. Panitia C

Berdasarkan Pasal 7 PP No.11 Tahun 2010 dan Pasal 11 Peraturan Kepala

BPN No. 4 Tahun 2010 Panitia C memiliki wewenang untuk melakukan:

1. Kegiatan identifikasi dan penelitian yang meliputi :

a. Melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis;

b. Mengecek buku tanah dan / atau warkah dan dokumen lainnya untuk

mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana dan tahapan

penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;

c. Meminta keterangan dari Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait, dan

Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi keterangan

atau menyampaikan data yang diperlukan;

d. Melaksanakan pemeriksaan fisik;

e. Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta

pertanahan;

f. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;

g. Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;

h. Melaksanakan sidang Panitia; dan

i. Membuat berita acara.

2. Menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian dan Berita Acara kepada

Kepala Kantor Wilayah.

B. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional berwenang :

1. Memberikan peringatan kepada Pemegang Hak yang telah menelantarkan

tanahnya berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilakukan

oleh Panitia C. Berdasarkan Pasal 8 PP No.11 Tahun 2010 dan Pasal 14

Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010 dinyatakan :

(1) Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) disimpulkan terdapat tanah terlantar,

maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan sekaligus memberikan

peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar dalam jangka

Page 105: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

89

waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan,

menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan

pemberian haknya atau sesuai izin / keputusan / surat sebagai dasar

penguasaannya.

(2) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan

tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan

pertama.

(3) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan

ketiga dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan kedua.

2. Mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar. Ketentuan

ini diatur dalam Pasal 8 ayat (6) yang menyatakan bahwa : Apabila Pemegang

Hak tetap tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(3), Kepala Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala untuk menetapkan

tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar.

C. Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berwenang untuk membuat

keputusan penetapan tanah terlantar terhadap tanah yang diusulkan oleh Kepala

Kantor Wilayah BPN. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 9 PP No.11 Tahun 2010 dan

Pasal 19 Perraturan Kepala BPN No.4 Tahun 2010. Pasal 19 Peraturan Kepala BPN

No. 4 Tahun 2010 menyatakan bahwa :

(1) Kepala menetapkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usulan Kepala

Kantor Wilayah;

(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat hapusnya hak atas

tanah, pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan bahwa

tanah dimaksud dikuasai langsung oleh Negara.

Page 106: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

90

3.2. Mekanisme Penertiban Tanah Terlantar

3.2.1. Ruang Lingkup Obyek Penertiban Tanah Terlantar

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa “Atas dasar

hak menguasai negara atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan

adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama

dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.

Pemberian hak-hak atas tanah ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan lain-lain ) kepada perorangan atau badan hukum oleh Negara untuk

diusahakan, dikelola dan dipergunakan dalam rangka memberikan kesejahteraan

kepada masyarakat, merupakan suatu kebijakan di bidang pertanahan yang harus

dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan

pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai

dengan keadaannya, artinya keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian

haknya. Jika kewajiban itu sengaja diabaikan, maka dapat mengakibatkan hapusnya

atau batalnya hak yang bersangkutan. Dengan kata lain dalam pemberian hak itu ada

maksud agar tidak menelantarkan tanah.

Beberapa ketentuan UUPA yang berkaitan dengan tanah terlantar dapat

dikemukakan sebagai berikut :

1. Hak milik atas tanah hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena

ditelantarkan ( Pasal 27 poin a. 3 ). Penjelasan Pasal 27 menyatakan :

“Tanah ditelantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai

dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada haknya”.

Page 107: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

91

2. Hak Guna Usaha hapus karena ditelantarkan ( Pasal 34 e ).

3. Hak Guna Bangunan hapus karena ditelantarkan ( Pasal 40 e ).

Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, menunjukkan bahwa setiap hak atas

tanah yang diberikan atau diperoleh dari negara ( Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan ) haknya hapus apabila ditelantarkan. Ruang lingkup tanah terlantar

berdasarkan UUPA meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan

yang dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan

tujuan daripada haknya.

Dalam rangka mencegah terjadinya tanah-tanah yang ditelantarkan

pemerintah mengeluarkan PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 PP No. 36 Tahun 1998

menyatakan, “Tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang hak

atas tanah, pemegang hak pengelolaan, atau pihak yang telah memperoleh dasar

penguaasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku .” Selanjutnya Pasal 2 menyatakan

bahwa : “Peraturan Pemerintah ini mengatur tanah terlantar yang dikuasai dengan

Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, tanah Hak

Pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya tetapi belum

diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 ruang lingkup tanah

terlantar dibagi menjadi tiga bagian :

Page 108: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

92

Bagian Kesatu mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan

dan Hak Pakai meliputi :

Pasal 3 yang menyatakan bahwa :

“Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai dapat

dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak

dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan

haknya atau tidak dipelihara dengan baik.”

Pasal 4 yang menyatakan bahwa :

“Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan

untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan

peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu

permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut.”

Pasal 5 yang menyatakan bahwa :

(1) Tanah Hak Guna Usaha tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau

sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah

itu tidak diusahakan sesuai dengan kriteria pengusahaan tanah pertanian yang

baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Usaha sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian tanah

tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.

Pasal 6 menyatakan bahwa :

(1) Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah

menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak

diperginakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipecah

dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah

disetujui oleh instansi yang berwenang.

(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria terlantar, maka

hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.

Page 109: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

93

Bagian Kedua mengenai Tanah Hak Pengelolaan, meliputi :

Pasal 7 yang menyatakan behwa :

(1) Tanah Hak Pengelolaan dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila

kewenangan hak menguasai dari Negara atas tanah tersebut tidak

dilaksanakan oleh pemegang Hak Pengelolaan sesuai tujuan pemberian

pelimpahan kewenangan tersebut.

(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Pengelolaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian

bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.

Bagian Ketiga Tanah Yang Belum Dimohon Hak meliputi :

Pasal 8 yang menyatakan bahwa :

(1) Tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas

tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat

dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang

telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak

dipelihara dengan baik.

(2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria tanah terlantar,

maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar.

Berdasarkan PP No. 36 Tahun 1998 ruang lingkup obyek penertiban tanah

terlantar adalah tanah yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, dan Hak Pakai, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh

dasar penguasaannya tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dengan sengaja tidak dipergunakan

oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau

tidak dipelihara dengan baik. Obyek penertiban tanah terlantar yang diatur dalam PP

No. 36 Tahun 1998 hanya perbuatan yang dengan sengaja tidak mempergunakan

tanahnya sesuai dengan keadaannya dan sifat serta tujuan pemberian haknya,

sedangkan bagaimana jika pemegang hak tidak dengan sengaja tidak mempergunakan

Page 110: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

94

tanahnya, apakah menjadi obyek penertiban atau tidak. Ketentuan ini tidak diatur

dalam peraturan pemerintah tersebut.

Masih banyaknya bidang-bidang tanah yang ditelantarkan dan PP No.36

Tahun 1998 tidak dapat diterapkan maka Pemerintah mengeluarkan PP

No.11 Tahun 2010. Berdasarkan Pasal 2 PP No. 11 Tahun 2010 dinyatakan

bahwa : “ Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak

oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai,

dan Hak Pengelolaan atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak

dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan

tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Berdasarkan Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010, ruang lingkup obyek penertiban

tanah terlantar meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak

Pakai, Hak Pengelolaan dan atau dasar penguasaan atas tanah.

1. Hak Milik

Pengertian hak milik dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA sebagai

berikut : Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang atas tanah dengan mengingat fungsi social hak atas tanah (

Pasal 6 ). Dengan demikian sifat-sifat hak milik adalah :

a. Turun-temurun artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena

hukum dari seorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli waris.

b. Terkuat artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat diantara

hak-hak yang lain atas tanah.

Page 111: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

95

c. Terpenuh artinya artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat

digunakan untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan.

d. Dapat beralih dan dialihkan.

e. Dapat dibebani kredit dengan dibebani hak tanggungan.

f. Jangka waktu tidak terbatas.

Hak milik hanya dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia, seperti apa

yang dirumuskan dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA. Selain itu dalam ayat (2)

disebutkan bahwa badan hukum juga dapat memiliki hak milik, sebagaimana

ditentukan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 yaitu :

1. Bank-bank Negara misalnya : Bank Indonesia, Bank Dagang Negara,

Bank Negara Indonesia 1946.

2. Koperasi Pertanian.

3. Badan-badan sosial.

4. Badan-badan keagamaan.

2. Hak Guna Usaha

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara dalam jangka waktu 25 atau 30 tahun dan dapat diperpanjang

25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan yang luasnya paling

sedikit 5 Hektare dengan ketentuan bila luasnya 25 Ha atau lebih, harus memakai

investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, dapat beralih dan

dialihkan pada pihak lain (Pasal 28 UUPA), serta dapat dijadikan jaminan hutang

dengan dibebani Hak Tanggungan (Pasal 33 UUPA). Sifat-sifat Hak Guna Usaha

adalah :

Page 112: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

96

a. Hak atas tanah untuk mengusahakan tanah Negara untuk keperluan

perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.

b. Jangka waktu 25 atau 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 25

tahun.

c. Luas minimum 5 Hektare jika luasnya lebih dari 25 Ha, harus

mempergunakan teknik perusahaan yang baik.

d. Dapat beralih dan dialihkan.

e. Dapat dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan.

Sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) UUPA, yang dapat mempunyai Hak Guna

Usaha adalah :

a. Warga Negara Indonesia.

b. Badan-badan Hukum yang didirikan dan menurut Hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia.

3. Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan adalah Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-

bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama

30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan

dialihkan kepada pihak lain (Pasal 35), serta dapat dijadikan jaminan hutang dengan

dibebani Hak Tanggungan (Pasal 39). Dengan demikian sifat-sifat Hak Guna

Bangunan adalah :

a. Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan

miliknya sendiri, Tanah Negara atau tanah milik orang lain.

b. Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi.

Page 113: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

97

c. Dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain.

d. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani dengan Hak Tanggungan.

Berdasarkan Pasal 36 ayat (1), yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan

adalah :

a. Warga Negara Indonesia.

b. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan

di Indonesia.

4. Hak Pakai

Berdasarkan pada Pasal 41 UUPA Hak Pakai adalah Hak untuk

menggunakan dan / atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh

Negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang

ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang

memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan

perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak

bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Hak Pakai

dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan

untuk keperluan tertentu dan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian

jasa berupa apapun. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang

mengandung unsure-unsur pemerasan. Jadi sifat-sifat Hak Pakai adalah :

a. Hak Pakai atas tanah bangunan maupun tanah pertanian.

b. Dapat diberikan oleh Pemerintah maupun si pemilik tanah.

c. Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu atau selama tanahnya

dipergunakan untuk keperluan tertentu.

Page 114: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

98

d. Hak Pakai dapat diberikan dengan cuma-cuma dengan pembayaran atau

pemberian jasa berupa apapun.

e. Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, sepanjang dapat izin

Pejabat yang berwenang, apabila mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh

Negara atau dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan apabila

mengenai tanah milik.

f. Hak Pakai tidak dapat dijadikan jaminan hutang.

g. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung

pemerasan.

Sesuai dengan Pasal 42 UUPA yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah :

a. Warga Negara Indonesia.

b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.

c. Badan-badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia.

d. Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

5. Hak Pengelolaan

Hak Pengelolaan adalah Hak Penguasaan atas tanah Negara, dengan maksud

disamping untuk dipergunakan sendiri oleh si Pemegang, juga oleh pihak Pemegang

memberikan sesuatu Hak kepada pihak ketiga. Kepada Pemegang Hak diberikan

wewenang untuk :

a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut.

b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.

Page 115: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

99

c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga, dengan

Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Pemberian hak atas bagian-

bagian tanah tetap dilakukan oleh Pejabat yang berwenang.

d. Menerima uang pemasukan / ganti rugi dan / atau wajib tahunan.

Dengan demikian sifat-sifat Hak Pengelolaan adalah :

1. Hak penguasaan atas tanah Negara.

2. Untuk dipergunakan sendiri oleh si Pemegang dan sebagian atas tanah

tersebut diberikan kepada pihak ketiga sesuatu Hak.

3. Kepada si Pemegang Hak diberikan beberapa wewenang termasuk dapat

menerima uang pemasukan dan / atau wajib tahunan.

4. Setelah jangka waktu Hak atas tanah yang diberikan kepada pihak ketiga

berakhir maka tanah dimaksud kembali kedalam penguasaan sepenuhnya dari

Pemegang Hak Pengelolaan yang bebas dari Hak tanggungan.

5. Apabila sebagian dari Hak Pengelolaan itu diberikan dengan Hak Milik

kepada pihak ketiga, maka dengan sendirinya Hak Milik tersebut lepas dari

Hak Pengelolaan dan / atau hapus, sejak Hak Milik tersebut didaftarkan pada

Kantor Agraria Kabupaten setempat.

Sedangkan yang dapat diberikan Hak Pengelolaan adalah :

a. Departemen-departemen dan Instansi Pemerintah.

b. Badan-badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia, yang seluruh modalnya dimiliki oleh pemerintah

dan / atau Pemerintah Daerah yang bergerak dalam kegiatan usaha Perusahaan

Industri ( Industri Estate) dan Pelabuhan.

Page 116: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

100

Apabila disimak ketentuan Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010 yang mengatur

obyek penertiban tanah terlantar, maka tanah Hak Milik dan Hak Guna Bangunan

yang berbentuk Badan Hukum atau yang dimiliki oleh perusahaan yang menjadi

obyek penertiban tanah terlantar, karena Tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan

atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan

keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya, begitu juga tanah yang dikuasai

pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun

belum berstatus Barang Milik Negara / Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan

sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya dikecualikan atau

tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3

yang menyatakan bahwa : “Tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :

a. Tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang

secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan

tujuan pemberian haknya; dan

b. Tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung

dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara / Daerah

yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan

tujuan pemberian haknya.

Dikecualikan dari obyek penertiban tanah terlantar didasarkan pada alasan karena

Pemegang Hak perseorangan tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi, untuk

mengusahakan, mempergunakan atau memanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat

dari pemberian haknya. Begitu juga karena keterbatasan anggaran Negara / daerah

Page 117: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

101

untuk mengusahakan, mempergunakan atau memanfaatkan sesuai dengan

keadaannya atau sifat dari pemberian haknya.

Di Kota Denpasar tanah-tanah yang terlantar dalam arti tidak diusahakan,

dipergunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari pemberian

haknya cukup banyak. Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Perumahan

Pemerintah Kota Denpasar, lahan di kota ini yang terbengkalai atau terlantar tersebar

di 80 lokasi. Lahan atau tanah yang tidak dimanfaatkan sang pemilik tersebut tersebar

diluas jalan utama kota seperti di Jalan Sudirman, Jalan Diponegoro, Jalan Hayam

Wuruk. Bukan hanya lahan yang mangrak, bangunan yang sudah ada juga ada yang

mangkrak. Hal ini terjadi dikawasan Taman Bali Festival Padanggalak Kesiman.88

Kondisi ini dapat membuat kawasan ibu kota provinsi daerah tujuan wisata

internasional tersebut tampak seperti tidak berpenghuni, kumuh dan tidak tertata

dengan baik. Dari banyaknya lahan atau tanah yang terbengkalai atau terindikasi

terlantar ini, kebanyakan berstatus Hak Guna Bangunan..

3.2.2. Tata Cara Penertiban tanah Terlantar

Pemberian hak atas tanah oleh negara kepada perorangan atau badan hukum

dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan, mengusahakan tanah untuk

mencapai kecukupan di bidang ekonomi, kesejahteraan atau kemakmuran. Agar

tujuan dapat tercapai, maka setiap pemegang hak atas tanah memahami bahwa setiap

hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau

larangan untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.

88 Bali Post, 2011, Lahan Mangkrak Rusak Wajah Denpasar, Bali Post tanggal 11 Maret,

hal.7

Page 118: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

102

Hak-hak atas tanah memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk

menggunakan tanahnya. Disamping itu juga hak-hak atas tanah menentukan

kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah. Pasal 10 UUPA

menyebutkan “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas

tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri

secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.” Kemudian Pasal 15

menyebutkan “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah

kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang

mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak yang

ekonomi lemah.” Pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya

sesuai dengan ketentuan Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf e

yang menentukan semua hak atas tanah tersebut akan hapus dan jatuh ke tangan

negara apabila tanah tersebut ditelantarkan.

Tanah hak milik, tanah hak guna usaha, tanah hak guna bangunan, hak pakai,

dan hak pengelolaan atau dasar penguasaan atas tanah tidak diusahakan, tidak

dipergunakan atau tidak dimanfaatkan, sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan

pemberian hak atau dasar penguasaannya, atau ditelantarkan maka hak atas tanahnya

tersebut akan hapus dan tanah yang bersangkutan jatuh kepada negara, yang artinya

tanah tersebut menjadi tanah negara kembali. Secara yuridis hak atas tanah menjadi

hapus jika dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebagai sanksi terhadap tidak

dipenuhinya kewajiban tersebut atau dilanggarnya sesuatu larangan oleh

pemegang hak yang bersangkutan. Lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan

keputusan pejabat tersebut bersifat konstitutif, dalam arti hak yang bersangkutan baru

Page 119: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

103

menjadi hapus dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut. Jika yang hapus hak-

hak atas tanah primer, maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara.89

Dalam menata kembali tanah-tanah yang ditelantarkan, pemerintah diberikan

kewenangan untuk mengambil tindakan-tindakan terhadap pemegang hak yang

menelantarkan tanahnya. Tindak pemerintahan dalam hukum administrasi

digolongkan menjadi dua golongan yaitu tindak pemerintahan berdasarkan hukum

(rechtshandeling) dan tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta (feitelijke

handeling). Tindak pemerintahan yang berdasarkan hukum dapat dibagi menjadi dua

macam tindakan yaitu tindakan hukum privat dan tindakan hukum publik. Tindakan

hukum publik dibedakan menjadi dua yaitu tindakan hukum publik bersegi satu atau

sepihak dan tindakan hukum publik bersegi dua atau berbagai pihak. Tindakan

hukum publik sepihak dapat bersifat umum dan dapat bersifat individual.Tindakan

hukum publik sepihak bersifat umum terdapat dalam bentuk pengaturan umum atau

regeling yang mempunyai daya ikat konkrit dan abstrak. Sedangkan tindakan hukum

publik sepihak yang bersifat individual terdapat dalam bentuk keputusan atau

beschikking.

Dalam hal terjadinya penelantaran tanah pemerintah dapat mengambil

tindakan penertiban yang merupakan wewenang badan atau Jabatan Tata Usaha

Negara untuk diterapkan secara nyata dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap

kewajiban yang lahir dari suatu hubungan Hukum Tata Usaha Negara maupun pada

pelanggaran terhadap suatu ketentuan undang-undang. Badan atau Pejabat TUN

berwenang untuk bertindak secara nyata tanpa memerlukan adanya putusan

89 Boedi Harsono,op.cit, hal.339.

Page 120: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

104

pengadilan lebih dahulu. Sebelum tindakan penertiban itu dilaksanakan, tentunya

pihak yang bersangkutan harus diberitahu terlebih dahulu. Pemberitahuan bahwa

akan dilaksanakan suatu tindakan penertiban merupakan penetapan tertulis yang

dapat digugat keabsahannya.90

Pemberitahuan akan dilakukan suatu tindakan penertiban harus berisi antara

lain :

- Gambaran tentang keadaan atau sikap yang bersifat illegal dari peraturan

yang dilanggar disebutkan.

- Pemberitahuan harus jelas, sehingga yang diberitahu itu mengerti apa

yang harus dilakukan.

- Tenggang waktu yang diberikan harus jelas dan tegas.

- Pemberitahuan itu harus mengandung suatu kepastian, bahwa akan benar-

benar dilaksanakan, sebab kalau hanya kira-kira akan dilakukan

penertiban, maka hal itu akan bertentangan dengan asas kepastian.

Berdasarkan PP No.11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah

Terlantar, penertiban tanah terlantar dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

a. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi

terlantar;

b. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar;

90 Indroharto, op.cit. hal.239.

Page 121: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

105

c. Peringatan terhadap pemegang hak;

d. Penetapan tanah terlantar.

a. Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar

Informasi tanah terindikasi terlantar diperoleh dari hasil pemantauan lapangan oleh

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, atau dari laporan

dinas / instansi lainnya, laporan tertulis dari masyarakat, atau pemegang hak.

Inventarisasi tanah terindikasi terlantar meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, tanah yang telah memperoleh

dasar penguasaan dari pejabat yang berwenang sejak diterbitkan izin / keputusan /

surat dasar penguasaan tanah tersebut. Kegiatan inventarisasi ini dilaksanakan

melalui:

1. Pengumpulan data mengenai tanah yang terindikasi terlantar meliputi data

tekstual dan data spasial.

a. Data tekstual meliputi nama dan alamat pemegang hak, nomor dan tanggal

keputusan pemberian hak, nomor, tanggal dan berakhirnya sertifikat, letak

tanah, luas tanah, penggunaan tanah, luas tanah terindikasi terlantar.

b. Data spasial merupakan data grafis berupa peta yang dilengkapi dengan

koordinat posisi bidang tanah terindikasi terlantar.

2. Pengelompokan data tanah terindikasi terlantar yang telah terhimpun menurut

wilayah kabupaten/kota dan jenis hak/dasar penguasaan tanah.

3. Merekapitulasi data hasil inventarsasi menjadi basis data tanah terindikasi

terlantar.

Page 122: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

106

c. Identifikasi dan Penelitian

Tanah terindikasi terlantar yang telah diinventarisasi ditindaklanjuti dengan

identifikasi dan penelitian. Identifikasi dan penelitian dilakukan 3 (tiga) tahun sejak

diterbitkannya sertipikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak

Pakai, serta tanah yang telah memperoleh izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas

tanah dari pejabat yang berwenang terhitung sejak berakhirnya dasar penguasaan

tersebut. Kakanwil BPN menetapkan target tanah hak yang terindikasi terlantar,

dengan mempertimbangkan lamanya tanah tersebut ditelantarkan dan / atau luas

tanah yang terindikasi terlantar. Untuk mempercepat proses identifikasi dan

penelitian, Kakanwil BPN menyiapkan data dan informasi tanah terindikasi terlantar

yang meliputi :

1. Verifikasi data fisik dan data yuridis meliputi jenis hak dan letak tanah;

2. Mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk

mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan

penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak;

3. Meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, apabila

pemegang hak/kuasa/wakil tidak memberikan data dan informasi atau tidak

ditempat atau tidak dapat dihubungi, maka identifikasi dan penelitian tetap

dilaksanakan dengan cara lain untuk memperoleh data;

4. Melaksanakan pemeriksaan fisik berupa letak batas, penggunaan dan

pemanfaatan tanah dengan menggunakan tehnologi yang ada;

5. Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta

pertanahan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik;

Page 123: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

107

6. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar antara lain menyangkut

permasalahan-permasalahan penyebab terjadinya tanah terlantar, kesesuaian

dengan hak yang diberikan, dan kesesuaian dengan tata ruang;

7. Menyususn laporan hasil identifikasi dan penelitian;

8. Kakanwil BPN memberitahukan secara tertulis kepada pemegang hak yang

akan dilakukan identifikasi dan penelitian sesuai dengan alamat atau domisili

pemegang hak;

9. Apabila pemegang hak tidak diketahui alamat atau domisilinya, maka

pemberitahuan dilakukan melalui pengumuman di Kantor Pertanahan dan di

lokasi tanah yang bersangkutan, bahwa tanah tersebut sedang dalam tahap

identifikasi dan penelitian oleh Kakanwil BPN.

Setelah data hasil identifikasi dan penelitian dinilai cukup sebagai bahan pengambilan

keputusan upaya penertiban, Kakanwil membentuk Panitia C yang terdiri dari unsur

Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan

dengan peruntukan tanah yang bersangkutan. Susunan keanggotaan Panitia C terdiri

dari :

a. Ketua : Kepala Kantor Wilayah

b. Sekretaris : Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan

Pemberdayaan Masyarakat, merangkap anggota

c. Anggota : 1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota

2. Dinas/instansi Provinsi yang berkaitan dengan

peruntukan tanahnya

Page 124: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

108

3. Dinas/instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan

dengan peruntukan tanahnya

4. Kepala Kantor Pertanahan

Panitia C melaksanakan sidang panitia dengan menggunakan konsep laporan hasil

identifikasi dan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Kakanwil BPN, dan apabila

diperlukan Panitia C dapat melakukan pengecekan lapangan. Panitia C

menyampaikan laporan akhir hasil identifikasi dan penelitian serta Berita Acara

kepada Kepala Kantor Wilayah BPN.

d. Peringatan

Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian dan saran pertimbangan Panitia

C ( Berita Acara Panitia C) disimpulkan terdapat tanah yang diterlantarkan, Kepala

Kantor Wilayah BPN memberitahukan kepada pemegang hak dan sekaligus

memberikan peringatan tertulis pertama, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan

sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan tersebut, pemegang hak mengusahakan,

menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan atau sifat dan tujuan

pemberian haknya atau dasar penguasaannya. Dalam surat peringatan pertama,

disebutkan hal-hal konkrit yang harus dilakukan pemegang hak dan sanksi yang dapat

dijatuhkan apabila pemegang hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan

peringatan tersebut. Tindakan konkrit yang harus dilakukan pemegang hak antara

lain :

a. Mengusahakan, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya sesuai keadaan

atau sifat dan tujuan pemberian haknya;

Page 125: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

109

b. Dalam hal tanah yang digunakan tidak sesuai dengan sifat dan tujuan

pemberian haknya, pemegang hak harus mengajukan permohonan perubahan

hak atas tanah kepada Kepala sesuai dengan peraturan yang berlaku;

c. Mengajukan permohonan hak untuk dasar penguasaan atas tanah

mengusahakan, menggunakan atau memanfaatkan tanahnya sesuai dengan

izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang.

Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan pertama, setelah

memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan

pertama, Kakanwil BPN memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu

yang sama dengan peringatan pertama. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan

peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan

tanah pada akhir peringatan kedua, Kakanwil BPN memberikan peringatan tertulis

ketiga yang merupakan peringatan terakhir dengan jangka waktu sama dengan

peringatan kedua. Dalam masa peringatan (pertama, kedua, dan ketiga) pemegang

hak wajib melaporkan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkala

setiap 2 (dua) mingguan kepada Kakanwil BPN dengan tembusan kepada Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan dilakukan pemantauan dan evaluasi

lapangan oleh Kanwil BPN pada setiap akhir peringatan.

d. Penetapan Tanah terlantar

Apabila pada akhir peringatan ketiga, setelah dilakukan pemantauan dan evaluasi,

masih terdapat tanah yang diterlantarkan (berarti pemegang hak tidak mematuhi

peringatan tersebut), maka Kepala Kanwil BPN mengusulkan kepada Kepala BPN

Page 126: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

110

RI agar bidang tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah terlantar. Yang dimaksud

tidak mematuhi peringatan, adalah apabila :

1. seluruh bidang tanah hak tidak digunakan sesuai dengan sifat dan

tujuan pemberian hak;

2. sebagian tanah belum diusahakan sesuai dengan Surat Keputusan hak

atau dasar penguasaan tanah;

3. sebagian tanah digunakan tidak sesuai dengan Surat Keputusan hak

atau dasar penguasaan tanah;

4. seluruh tanah telah digunakan tetapi tidak sesuai dengan Surat

Keputusan hak atau dasar penguasaan tanah;

5. tidak ada tindak-lanjut penyelesaian pembangunan.

6. tanah dasar panguasaan telah digunakan tetapi belum mengajukan

permohonan hak.

Tanah yang telah diusulkan sebagai tanah terlantar dinyatakan dalam kondisi status

quo sampai terbitnya penetapan tanah terlantar. Artinya terhadap tanah tersebut tidak

dapat dilakukan perbuatan hukum atas tanah. Kepala BPN RI menerbitkan Keputusan

Penetapan Tanah Terlantar atas usul Kakanwil BPN, sekaligus memuat hapusnya hak

atas tanah, pemutusan hubungan hukum dan menegaskan tanahnya dikuasai langsung

oleh negara. Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu

1 (satu) bulan wajib dikosongkan oleh bekas pemegang hak. Apabila tanah terlantar

tersebut dibebani hak tanggungan, maka hak tanggungan tersebut juga menjadi hapus

dengan hapusnya hak atas tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Akan

tetapi hapusnya hak tanggungan tersebut tidak menghapus perjanjian kredit atau

Page 127: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

111

utang piutang yang terjadi antara kreditur dengan debitur, karena hubungan hukum

tersebut bersifat keperdataan. Terhadap pemegang hak yang hanya menterlantarkan

tanahnya sebagian, dan pemegang hak mengajukan permohonan hak baru atau revisi

atas luas bidang tanah yang benar-benar diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan,

maka setelah hak atas tanahnya yang baru terbit, pemegang hak dapat melakukan

pembebanan hak tanggungan sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan

Tanah.

Keputusan Penetapan tanah terlantar yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI

merupakan tindakan hukum publik sepihak, sehingga agar tidak menimbulkan

kerugian bagi pemegang hak atas tanah maka sebelum keputusan itu ditetapkan perlu

diperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik merupakan norma bagi

perbuatan-perbuatan Administrasi Negara atau pemerintah, disamping norma-norma

di dalam hukum tertulis dan tidak tertulis. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang

Baik (AUPB) harus dipandang sebagai norma - norma hukum tidak tertulis yang

senantiasa harus diperhatikan dan ditaati oleh pemerintah dalam mengambil tindakan

dalam menjalankan pemerintahan.

Menurut Kuntjoro Purbopranoto terdapat 13 ( tigabelas) asas-asas umum

pemerintahan yang baik yaitu :

1. Asas Kepastian Hukum (principle of legal security)

2. Asas Keseimbangan (principle of proportionality)

3. Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness)

4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan (principle of motivation )

Page 128: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

112

5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan (principle of non misuse of

competence )

6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan (principle of equality)

7. Asas Permainan Yang Layak (principle of fair play)

8. Asas Keadilan atau kewajaran (principle of reasonable of prohibition of

arbitrariness)

9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar ( Principle of meeting raised

expectation )

10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal (principle of undoing the

consequences of unneled decision )

11. Asas perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi (principle of protetcting the

personal way of life )

12. Asas kebijaksanaan (principle of sapiently)

13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public service )91

Asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Asas Kepastian Hukum, asas ini menghendaki setiap keputusan badan atau

pejabat tata usaha negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum,

selama belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang

bertentangan dengan hukum oleh hakim adminstrasi.

2. Asas Keseimbangan, asas ini menghendaki adanya kriteria yang jelas

mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang

dilakukan sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada.

3. Asas bertindak cermat, asas ini menghendaki agar pemerintah bertindak

cermat dalam melakukan aktivitas sehingga tidak merugikan bagi warga

negaranya.

4. Asas Motivasi Dalam Setiap Keputusan, asas ini menghendaki setiap

keputusan badan pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alas an yang

cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan.

91 Kuntjoro Purbopranoto, loc.cit, hal. 28.

Page 129: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

113

5. Asas Larangan Mencampuradukan Kewenangan, dalam asas ini aspek

wewenang tidak dapat dijalankan melebihi apa yang sudah ditentukan dalam

undang-undang artinya pejabat tata usaha negara tidak menggunakan

wewenangnya untuk tujuan lain selain yang ditentukan dalam peraturan yang

berlaku atau menggunakan wewenang melampaui batas.

6. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan

pemerintah mengambil tindakan yang sama atas kasus yang faktanya sama.

7. Asas Permainan Yang Layak, asas ini menghendaki agar setiap warga

diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan

serta membela diri sebelum dijatuhkan putusan.

8. Asas Keadilan dan Kewajaran, asas ini menghendaki pejabat tata usaha

Negara harus proporsional, sesuai, seimbang, selaras dengan hak setiap orang

dengan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku ditengah masyarakat.

9. Asas Menanggapi Pengharapan Yang Wajar, asas ini menghendaki agar setiap

tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus mengabulkan harapan warga

Negara walaupun tidak menguntungkan bagi pemerintah.

10. Asas Meniadakan Akibat Keputusan Yang Batal, asas ini menghendaki jika

terjadi pembatalan atas suatu keputusan maka yang bersangkutan atau yang

terkena keputusan haru diberikan ganti rugi atau kompensasi atau

pengembalian nama baik.

11. Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi, asas ini menghendaki

pemerintah melindungi hak setiap warga negara yang merupakan konsekuensi

Page 130: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

114

negara hukum demokratis yang menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi

setiap warga negara.

12. Asas Kebijaksanaan, asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan

tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan

kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan

formal atau hukum tertulis.

13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum, asas ini menghendaki agar

pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan

umum.

Secara yuridis asas-asas umum pemerintahan yang baik dituangkan dalam UU

No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari

Korupsi, Kolusi dan Nepoteisme. Asas-asas Penyelenggaraan Negara terdiri dari :

1. Asas Kepastian Hukum;

2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;

3. Asas Kepentingan Umum;

4. Asas Keterbukaan;

5. Asas Proporsionalitas;

6. Asas Profesionalitas;

7. Asas Akuntabilitas.

Dalam melakukan tindakan penertiban tanah terlantar pemerintah harus

memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu asas bertindak

cermat, dan asas keseimbangan. Asas kecermatan berkaitan dengan tindakan dalam

melakukan identifikasi dan penelitian tanah terlantar yang meliputi : nama,dan alamat

Page 131: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

115

pemegang hak ; letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah dan keadaan

fisik tanah yang dikuasai pemegang hak, dan keadaan yang menyebabkan tanah

terlantar. Asas keseimbangan terkait dengan pemberian sanksi atas pelanggaran yang

dilakukan. Dalam mengeluarkan keputusan penetapan tanah terlantar harus

dipertimbangkan berapa luas tanah yang tidak dimanfaatkan, dan berapa luas tanah

yang dimanfaatkan sehingga dalam penetapan sanksinya ada keseimbangan terhadap

kewajiban yang dilanggar apalagi bila disimak ketentuan PP No 11 Tahun 2010 tidak

mengatur tentang ganti rugi yang diperoleh pemegang hak yang tidak dapat

melaksanakan kewajibannya. Dalam PP No 11 Tahun 2010 dan Peraturan Kepala

BPN No.4 Tahun 2010 pasal 20 dinyatakan : Sebagai bahan pertimbangan dalam

Penetapan tanah terlantar dengan memperhatikan luas tanah terlantar terhadap tanah

hak/dasar penguasaan, dilakukan pengelompokan berdasarkan persentasenya sebagai

berikut:

1. seluruh hamparan tanah hak/dasar penguasaan terlantar atau 100%

diterlantarkan;

2.sebagian besar terlantar, dengan kisaran > 25% – < 100% diterlantarkan,

dan

3. sebagian kecil terlantar, dengan kisaran ≤ 25 % diterlantarkan.

Apabila seluruh hamparan tanah yang ditelantarkan maka keputusan

penetapan Tanah Terlantar diberlakukan terhadap seluruh hamparan hak atas tanah

tersebut. Jika sebagian hamparan yang ditelantarkan maka keputusan penetapan tanah

terlantar diberlakukan terhadap seluruh hak atas tanah tersebut, dan selanjutnya

kepada bekas pemegang hak diberikan kembali sebagian tanah yang benar-benar

Page 132: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

116

diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan sesuai dengan keputusan pemberian

haknya, dengan melalui prosedur permohonan hak atas tanah. Terhadap tanah yang

ditelantarkan kurang dari atau sama dengan 25 (dua puluh lima ) persen maka

keputusan penetapan tanah terlantar diberlakukan hanya terhadap tanah yang

ditelantarkan dan pemegang hak dapat mengajukan permohonan revisi luas bidang

tanah tersebut.

Dengan demikian akibat hukum dari pemegang hak atas tanah yang tidak

melaksanakan kewajibannya, hak atas tanahnya akan hapus dan jatuh ketangan

negara, dan tanahnya langsung dikuasai negara.

Page 133: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

117

BAB IV

PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM RANGKA

PENATAGUNAAN TANAH DI KOTA DENPASAR

4.1. Pendayagunaan Tanah terlantar

4.1.1. Pelaksanaan Pendayagunaan Tanah Terlantar

Tanah- tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar akan menjadi tanah

negara. Sebagai langkah selanjutnya tanah- tanah terlantar tersebut akan

didayagunakan untuk kepentingan masyarakat . Berdasarkan Pasal 15 PP No. 11

Tahun 2010, dinyatakan bahwa Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan

masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan

Negara lainnya. Dengan demikian pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar

adalah pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar melalui peruntukan dan

pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah

untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan

untuk cadangan negara lainnya.

1. Reforma Agraria

Istilah pembaharuan agraria (agrarian reform) dalam arti rekstruturisasi

penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria sudah dikenal cukup lama, meski

dalam bentuk dan sifat yang berbeda-beda tergantung pada jaman dan Negara tempat

terjadinya pembaharuan agraria tersebut. Hal ini mengingat setiap Negara

Page 134: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

118

mempunyai struktur agraria dan sistem politik yang berbeda-beda meskipun ada

beberapa persamaan yang mendasar dalam pembaharuan agraria itu.

Gunawan Wiradi dalam bukunya Ida Nurlinda menyatakan pada intinya

pembaharuan agraria adalah upaya perubahan struktural yang mendasarkan diri pada

hubungan-hubungan intra dan antar subjek-subjek agraria dalam kaitan akses

(penguasaan dan pemanfaatan) terhadap obyek-obyek agraria. Namun secara konkret,

pembaharuan agraria diarahkan untuk melakukan perubahan struktur penguasaan

tanah dan perubahan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang

memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya.92

Pengertian pembaharuan agraria tidak hanya terbatas pada aspek landreform

semata, tetapi mencakup juga penataan hubungan-hubungan produksi (penyakapan,

kelembagaan) dan pelayanan pendukung pertanian secara umum. Dalam tataran

implementasi, pembaharuan agraria sering dipadankan dengan landreform. Pada

intinya, landreform diartikan sebagai restrukturisasi penguasaan, pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dalam praktek Elias H. Turma dalam buku Ida

Nurlinda berpendapat bahwa konsep landreform telah diperluas cakupannya dengan

menekankan peran strategis dari tanah untuk pertanian dan pembangunan.93

Maria Sumardjono menyatakan bahwa pada intinya pembaharuan agraria

merupakan :

a. Suatu proses yang berkesinambungan;

b. Berkenaan dengan restrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan

sumber daya agraria oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan;

92 Ida Nurlinda, op.cit. hal. 77.

93

Ida Nurlinda,op.cit. hal. 78

Page 135: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

119

c. Dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan perlindungan

hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumberdaya alam /agraria,

serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. 94

Dari rumusan yang demikian luas tampak bahwa konsep pembaharuan

agraria bukanlah semata- mata konsep redistribusi tanah, tetapi merupakan sebuah

konsep pembanguan yang bertujuan untuk pemerataan pendapatan dan keadilan

sosial.

Menurut Elias H. Tuma, konsep operasional antara landreform dan

pembaharuan agraria sama saja, yaitu mencakup lima bentuk pembaharuan yaitu :

a. Pembaharuan diarahkan pada struktur pemilikan tanah dan ketentuan-

ketentuan penguasaan;

b. Redistribusi kepemilikan tanah dari individu yang satu kepada individu yang

lain, dari individu kepada kelompok/komunitas yang lebih besar, atau dari

suatu kelompok kepada individu-individu;

c. Penataan skala usaha pertanian dengan cara memperbesar atau memperkecil

skala operasinya;

d. Perbaikan pola budidaya pertanian dari segi teknis untuk mempengaruhi

produktivitasnya secara langsung;

e. Perbaikan pada aspek diluar wilayah pertanian, seperti kredit, pemasaran dan

pendidikan.95

Secara normatif, Pasal 2 Tap MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan

Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menyatakan bahwa “ Pembaharuan

Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan

kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria,

dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta

keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

94 Maria S.W. Sumardjono, op.cit. hal.2.

95

Ida Nurlinda, op.cit, hal.80

Page 136: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

120

Dari pemahaman diatas, tampak bahwa pembaharuan agraria ditujukan untuk

merestrukturisasi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria agar lebih

berkeadilan, berkelanjutan dan menyejahterakan rakyat dalam upaya mewujudkan

negara kesejahteraan (welfare state), karena dalam negara kesejahteraan, negara harus

mengutamakan kepentingan rakyat (umum), turut secara aktif dalam pergaulan sosial

sehingga kesejahteraan sosial semua orang tetap terpelihara.

Sumber daya agraria yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha

Esa kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri.

Oleh karena itu harus dimanfaatkan secara optimal untuk generasi mendatang

dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang berdasarkan

Pancasila.

Pemanfaatan sumber daya agraria yang menggunakan asas sentralisasi

banyak menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketidakadilan dalam

penguasaan, pemilikan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.

Untuk mengatasi semua permasalahan itu diperlukan adanya deregulasi peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria yang

adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi,

terpadu, dan menampung dinamika, aspirasi, dan peran serta masyarakat .

Pembaharuan agraria sebagai upaya untuk merestrukturisasi aspek

penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria

lainnya sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor IX tahun 2001

merupakan komitmen politik awal di bidang pertanahan dan sumber daya

Page 137: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

121

agraria lainnya untuk mereformasi (merestrukturisasi) berbagai peraturan dan

kebijakan yang terkait dengannya. Restrukturisasi perlu dilakukan karena selama ini

telah terjadi ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah dan pada akhirnya menimbulkan konflik, disamping terjadinya

penurunan kualitas lingkungan.

Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan

berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan

pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian,

dan perlindungan hukum serta keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat

Indonesia. Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang terkandung

di darat, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah

lingkungan.

Untuk mengoperasionalkan konsep pembaharuan agraria, diperlukan prinsip-

prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-

prinsip itu seyogyanya bersifat holistik, komprehensif, dan mampu menampung hal-

hal pokok yang menjadi tujuan pembaharuan agraria.

UUPA telah menggariskan prinsip-prinsip reforma agraria :

1. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai

yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi

dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2

ayat 1). Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut

pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran

rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam

masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan

makmur ( Pasal 2 ayat 3);

Page 138: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

122

2. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6);

3. Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan

tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7);

4. Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya

dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan

2. Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai

kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk

mendapatkan manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya

(Pasal 9 ayat 1 dan 2);

5. Setiap orang atau badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah

pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya

sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan (Pasal 10);

6. Menjamin perlindungan terhadap kepentingan ekonomi yang lemah;

7. Usaha bersama dalam lapangan agraria dalam bentuk koperasi dan gotong

royong (pasal 12);

8. Pemerintah berkewajiban mengelola sumber-sumber agraria agar

mempertinggi produksi dan kemakmuran rakyat serta menjamin bagi

warganegara derajat hidupnya sesuai dengan martabat manusia (Pasal 13);

9. Pemerintah dalam lapangan agraria mencegah adanya monopoli;

10. Pemerintah memajukan kepastian dan jaminan social termasuk di bidang

perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria;

11. Pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan,

dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya;

12. Memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah

kerusakannya adalah kewajiban semua pihak (Pasal 15).

Menurut Maria S.W. Sumardjono, prinsip-prinsip dasar pembaharuan agraria

tersebut adalah :96

a. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena hak atas sumber daya agraria

merupakan hak ekonomi setiap orang;

b. Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum

setempat (pluralisme);

c. Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria

(keadilan gender,keadilan dalam suatu generasi dan antar generasi, serta

pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraris

yang menjadi ruang hidupnya);

d. Fungsi sosial dan ekologi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya; bahwa

hak yang dipunyai seseorang menimbulkan kewajiban sosial bagi ruang yang

96 Sumardjono, op.cit, hal.96

Page 139: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

123

bersangkutan karena haknya dibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat

yang lebih luas;

e. Penyelesaian konflik pertanahan;

f. Pembagian tanggungjawab kepada daerah berkenaan dengan alokasi dan

manajemen sumber-sumber agraria;

g. Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan;

h. Landreform/restrukturisasi dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan

sumber-sumber agraria;

i. Usaha-usaha produksi di lapangan agraria;

j. Pembiayaan program-program agraria.

Tidak jauh berbeda dari prinsip-prinsip tersebut di atas , ketentuan Pasal 4

Ketetapan MPR RI Nomor : IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam, menetapkan prinsip-prinsip pembaharuan agraria

dan pengelolaan sumber daya alam sebagai berikut :

1. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

2. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman

dalam unifikasi hukum;

4. Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya

manusia Indonesia;

5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan optimalisasi

partisipasi rakyat;

6. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,

pemilikan, penggunaan, pemanfaatannya, dan pemeliharaan sumber daya

agraria/sumber daya alam;

7. Memelihara keberlanjutan yang dapat member manfaat yang optimal, baik

untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap

memperhatikan daya tamping, dan daya dukung lingkungan;

8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan

kondisi sosial budaya setempat;

9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan, dan

antar daerah dalam pelaksanaan pembaharuan agraria, dan pengelolaan

sumber daya alam;

10. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat, dan

keanekaragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;

11. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,

daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat,

dan individu;

Page 140: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

124

12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat

nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat,

berkaitan dengan alokasi, dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya

alam.

Atas dasar prinsip-prinsip pembaharuan agraria tersebut, maka arah kebijakan

pembaharuan agraria adalah :

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan

antar sector demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang

didasarkan pada prinsip-prinsip pembaharuan agraria;

b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan

kepemilikan tanah untuk rakyat;

c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi, dan registrasi

penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara

komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform;

d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria

yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa

mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan

didasarkan atas prinsip-prinsip diatas;

e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban

pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang

berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi;

f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan

program pembaharuan agrariadan penyelesaian konflik-konflik sumber daya

agraria yang terjadi.

Sedangkan arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah :

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam

rangkaian sinkronisasi kebijakan antar sektor yang berdasarkan pada prinsip-

prinsip tersebut diatas;

b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui

identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai

potensi pembangunan nasional;

c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi

sumber daya alam di daerahnya, dan mendorong terwujudnya tanggungjawab

sosial untuk menggunakan tehnologi ramah lingkungan termasuk tehnologi

tradisional;

Page 141: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

125

d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam

dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber

daya alam tersebut;

e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul

selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik pada masa

mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan

didasarkan atas prinsip-prinsip diatas;

f. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi

sumber daya alam secara berlebihan;

g. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada

optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi kepentingan

masyarakat, dan kondisi daerah maupun nasional.

Dengan demikian reforma agraria dimaksudkan untuk merestrukturisasi aspek

penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria

lainnya. Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) PP No.11 Tahun 2010, Reforma agraria

merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum

pertanahan serta penataan asset masyarakat dan akses masyarakat terhadap tanah

sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan MPR RI Nomor IX /MPR/2001 tentang

Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 UUPA.

Penataan asset masyarakat dan akses masyarakat terhadap tanah dapat dilakukan

melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar.

Menurut Arie Sukanti Hutagalung, redistribusi tanah adalah pembagian

tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dan telah ditegaskan menjadi obyek

landreform yang diberikan kepada para petani penggarap yang telah memenuhi syarat

ketentuan PP No.224 Tahun 1961.97

Dengan tujuan untuk memperbaiki keadaan

97Arie Sukanti Hutagalung, 1985, Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu Sarana

ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan dan Pemilikan Tanah, CV. Rajawali, Jakarta, hal.57.

Page 142: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

126

sosial ekonomi rakyat dengan cara mengadakan pembagian tanah yang adil dan

merata atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, sehingga dengan

pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.

Kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah negara bekas tanah

terlantar melalui pendistribusian tanah negara merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan keadilan terhadap tanah untuk semua orang Indonesia. Melalui reforma

agraria tanah-tanah negara bekas tanah terlantar dalam pendayagunaannya dapat

dibagikan kepada masyarakat. Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar

memberikan kesempatan kepada masyarakat khususnya para petani penggarap untuk

memanfaatkan tanah negara bekas tanah terlantar tersebut.

2. Program Strategis Negara

Menurut PP No. 11 Tahun 2010, Pendayagunaan tanah terlantar melalui

Program Strategis Negara adalah untuk pengembangan sektor pangan, energi, dan

perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.

a. Sektor Pangan

Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa :

(1) Perkonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, kemandiriaan serta dengan menjaga keseimbangan

kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Pangan merupakan hak yang paling mendasar dari warganegara serta salah

satu unsur dari kekuatan nasional dalam politik antar bangsa. Untuk itu sangat

Page 143: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

127

diperlukan perlindungan negara kepada produksi pangan bagi rakyat dan kedaulatan

negara. Sebagai hak dasar, pangan merupakan hak asasi manusia dimana Negara

memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan

masyarakat. Pasal 45 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyatakan

bahwa “Pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan

ketahanan pangan.

Jika peranan negara ini dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945, maka produksi

pangan adalah cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara. Cabang-cabang

produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, di

dalam penjelasan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 disebutkan sebagai “Produksi

dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-

anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan

kemakmuran orang perorang. Sebab itu, perekonomian disusun bersama berdasar asas

kekeluargaan “.

Penguasaan Negara dalam Pasal 33 UUD 1945, mengandung pengertian

bahwa hak menguasai negara bukan dalam makna Negara memiliki, tetapi dalam

pengertian bahwa Negara merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan

pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan.

Pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan

ketahanan pangan sebagai bagian program strategis negara. Untuk mewujudkan

ketahanan pangan, program yang perlu diperkuat adalah pembangunan sektor

pertanian. Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional

adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan diarahkan

Page 144: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

128

pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien, dan tangguh, serta bertujuan untuk

meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup

petani.

Terkait pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar melalui program

strategis Negara di sektor pangan, pemerintah menetapkan wilayah pengembangan

budidaya tanaman untuk memperkuat pembangunan sektor pertanian dalam

mewujudkan ketahanan pangan.

b. Sektor Energi

Sumber daya energi sebagai kekayaan alam merupakan anugerah Tuhan Yang

Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Selain itu, sumber daya energi

merupakan sumber daya alam yang strategis dan sangat penting bagi hajat hidup

rakyat banyak terutama dalam peningkatan kegiatan ekonomi, kesempatan kerja, dan

ketahanan nasional maka sumber daya energi harus dikuasai Negara dan

dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan

dalam Pasal 33 UUD 1945.

Pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan dan

pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional,

optimal dan terpadu guna memberikan nilai tambah bagi perekonomian bangsa dan

Negara Indonesia. Penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaan energi yang

dilakukan secara terus menerus guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam

pelaksanaannya harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan

hidup. Mengingat arti penting sumber daya energi, pemerintah perlu menyusun

Page 145: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

129

rencana pengelolaan energi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional yang

berdasarkan kebijakan pengelolaan energi jangka panjang.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi mendefinisikan

Pengelolaan energi adalah penyelenggaraan kegiatan penyediaan, pengusahaan, dan

pemanfaatan energi serta penyediaan cadangan strategis dan konservasi sumber daya

energi. Dalam Pasal 19 ayat (2) dinyatakan bahwa masyarakat, baik secara

perorangan maupun kelompok, dapat berperan dalam hal penyusunan rencana umum

energi nasional dan rencana umum energi daerah serta pengembangan energi untuk

kepentingan umum. Selain UU No. 30 Tahun 2007 tentang energi, terdapat pula

sejumlah peraturan perundangan sektoral yang terkait yaitu UU No.30 Tahun 2009

tentang Ketenagalistrikan dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Pembangunan sektor ketenagalistrikan bertujuan untuk memajukan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan

pembangunan nasional, yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata

materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tenaga listrik sebagai

salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam, mempunyai peranan penting bagi

Negara dalam mewujudkan pencapaian tujuan pembangunan nasional.

Mengingat arti penting tenaga listrik bagi Negara dalam mewujudkan kesejahteraan

masyarakat dalam segala bidang dan sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat

(2) UUD 1945, Undang-undang ini menyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga

listrik dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat yang penyelenggaraannya dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah.

Page 146: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

130

Disamping ketenagalistrikan, mineral dan batubara sebagai sektor energi juga

memegang peranan penting bagi Negara dalam mewujudkan kesejahteraan

masyarakat. Mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam

bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu

dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar kemakmuran

rakyat secara berkelanjutan.

Sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat dalam rangka mencapai

kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, pemanfaatan tanah negara bekas tanah

terlantar bagi program strategis Negara sektor energi dapat dilakukan dengan

menetapkannya sebagai wilayah pertambangan rakyat yang dapat dimanfaatkan

sebagai tempat dilakukannya kegiatan usaha pertambangan rakyat.

c. Perumahan Rakyat

Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam UUD

1945, dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada hakikatnya adalah

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat

Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah

dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan

social berdasarkan Pancasila.

Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan

mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta

kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan

Page 147: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

131

peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan pemukiman

tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari

itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk

memasyarakatkan dirinya dan menampakkan jati dirinya.

Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan

pemilihan setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang

dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan pemukiman harus

ditangani secara nasional karena tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat

bertambah akan tetapi harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi

kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannnya harus dikelola dan dikendalikan

oleh pemerintah agar supaya penggunaan dan pemanfaataannya dapat menjangkau

masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan

sosial dalam proses bermukimnya masyarakat.

Disamping usaha peningkatan pembangunan perumahan dan pemukiman,

perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan

pengelolaannya. Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan

perumahan dan pemukiman, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab

untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan,

pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian

dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek terkait antara lain tata ruang,

pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan komponen, jasa konstruksi

Page 148: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

132

dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia serta

peraturan perundang-undangan.

Pembangunan perumahan dan pemukiman harus mencerminkan perwujudan

manusia seutuhnya dan peningkatan kualitas manusia , meniadakan kecemburuan

sosial dan secara positif menciptakan perumahan dan pemukiman yang

mencerminkan kesetiakawanan serta keakraban sosial. Pembangunan perumahan dan

pemukiman harus memperhatikan aspek sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan

kemampuan masyarakat serta berwawasan lingkungan.

Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia, yang

berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk

melindungi diri dari cuaca, iklim dan ganguan lainnya. Selain itu rumah berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal untuk mengembangkan kehidupan dan

penghidupan keluarga. Perumahan dan pemukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana

kehidupan semata, akan tetapi merupakan proses berfikir dalam menciptakan ruang

kehidupan untuk kehidupan masyarakat. Dengan demikian rumah dan pemukiman

mempunyai peranan yang sangat strategis untuk mewujudkan pembangunan nasional

yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya.

Pembangunan perumahan oleh pemerintah dimaksudkan untuk memenuhi

kebutuhan khusus antara lain transmigrasi, pemukiman kembali korban bencana dan

pemukiman yang terpencar-pencar dan pembangunan rumah dinas. Sedangkan

pembangunan perumahan oleh badan-badan sosial atau keagamaan antara lain untuk

menampung orang lanjut usia (jompo) dan yatim piatu.

Page 149: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

133

Obyek dari pembangunan perumahan dan pemukiman berdasarkan Pasal 32

UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman antara lain :

1. Tanah yang langsung dikuasai Negara;

2. Konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;

3. Pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah yang dilakukan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Dengan keluarnya kebijakan pemerintah tentang pendayagunaan tanah

terlantar yang diatur dalam PP No.11 Tahun 2010, maka tanah-tanah negara bekas

tanah terlantar dapat didayagunakan dalam pembangunan sektor perumahan dan

pemukiman rakyat yang merupakan program strategis negara. Penyediaan tanah

untuk perumahan dan pemukiman melalui penggunaan tanah negara, selain ditujukan

untuk penyediaan kaveling tanah dengan penerapan subsidi silang, juga ditujukan

sebagai modal untuk cadangan tanah negara secara berkelanjutan. Penerimaan hasil

pengusahaan tanah negara tersebut digunakan untuk penyediaan tanah di lokasi lain

sehingga selalu tersedia cadangan tanah negara dalam jumlah yang memadai untuk

pembangunan perumahan dan pemukiman pada waktu yang akan datang.

3. Cadangan Negara

Berdasarkan PP No.11 Tahun 2010, Pendayagunaan tanah Negara Bekas

tanah terlantar sebagai cadangan Negara diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan

tanah untuk kepentingan pemerintah, pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah

akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang

terkena pembangunan untuk kepentingan umum.

Page 150: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

134

Pasal 33 UUD 1945, mengamanatkan kekayaan alam dan cabang produksi

yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai Negara dengan tujuan untuk

kemakmuran rakyat. Untuk mengimplementasikan Pasal 33 UUD 1945 di lapangan

agraria (kekayaan alam), UUPA menegaskan bahwa setiap hak atas tanah memiliki

fungsi sosial. Artinya pemanfaatan tidak hanya memberi manfaat bagi pemiliknya,

tetapi juga masyarakat sekelilingnya dan tidak boleh merugikan kepentingan umum.

Pasal 7 UUPA menegaskan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan

umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak

diperkenankan. Kemudian dalam Pasal 18 UUPA dinyatakan bahwa untuk

kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan

bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan mengganti kerugian

yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Artinya dengan

alasan kepentingan umum Negara dapat mengambil alih tanah-tanah masyarakat

maupun swasta.

Tanah-tanah negara bekas tanah terlantar sebagai cadangan negara selain

dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan

pemerintah, dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk pertahanan

dan keamanan. Menurut Pasal 1 UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara,

disebutkan bahwa sistem pertahanan Negara adalah sistem pertahanan yang bersifat

semesta yang melibatkan seluruh warganegara, wilayah, dan sumber daya nasional

lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan

Page 151: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

135

secara total, terpadu, terarah dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara,

keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Yang

dimaksud sumber daya nasional termasuk di dalamnya adalah sumber daya manusia,

sumber daya alam, dan sumber daya buatan. Sumber daya alam adalah potensi yang

terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dalam wujud asalnya dapat

didayagunakan untuk kepentingan pertahanan Negara.

Dengan demikian sumber daya nasional yang berupa sumber daya manusia,

sumber daya alam dan buatan, dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan

pertahanan negara termasuk tanah-tanah negara bekas tanah terlantar dapat

dialokasikan untuk kebutuhan pertahanan dan keamanan.

Tanah negara bekas tanah terlantar yang diperuntukkan sebagai tanah

cadangan negara dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanah akibat adanya

bencana alam. Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dan

terletak digaris katulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra

dengan kondisi alam yang memiliki berbagai keunggulan, namun dipihak lain

posisinya berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis, geologis,

hgidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana dengan

frekwensi yang cukup tinggi, sehingga memerlukan penanganan yang sistematis,

terpadu, dan terkoordinasi.

Dalam UU No. 24 Tahun 2009, Penanggulangan Bencana merupakan salah

satu bagian dari pembangunan nasional yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan

bencana sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana. Untuk

melaksanakan penanggulangan bencana, pemerintah (Badan Penanggulangan

Page 152: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

136

Bencana) mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi prabencana, saat

tanggap darurat, dan pasca bencana (Pasal 16 UU No.24 Tahun 2009 ).

Proses penanggulangan bencana memiliki keterkaitan erat dengan

pemanfaatan tanah. Pasal 32 UU No.24 Tahun 2009 menyatakan bahwa dalam

penyelenggaraan penanggulangan bencana, pemerintah dapat menetapkan daerah

rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk pemukiman dan/atau mencabut atau

mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas suatu benda.

Keterkaitan kebijakan penanggulangan bencana dengan pemanfaatan dan

penggunaan tanah adalah dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam tahap

rehabilitasi, akan dilakukan perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik

atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan

sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek

pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Dalam tahap

rekonstruksi, akan dilakukan pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,

kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun

masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan

perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban dan bangkitnya

peranserta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah

pascabencana. Berdasarkan hal tersebut, maka tanah negara bekas tanah terlantar

memungkinkan untuk dialokasikan atau dimanfaatkan untuk memenuhi kebutahan

tanah untuk penanggulangan bencana khususnya dalam hal relokasi.

Page 153: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

137

Walaupun melalui kebijakan pendayagunaan tanah negara bekas tanah

terlantar, pemerintah dapat memanfaatkan tanah terlantar untuk kebutuhannya namun

dalam prosesnya harus tetap merujuk pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang. Dalam Pasal 4 ayat (1) Perpres Nomor 65 Tahun 2006 disebutkan bahwa

Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila

berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan lebih dahulu.

Kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah terlantar melalui reforma

agraria, program strategis Negara, dan untuk cadangan Negara merupakan suatu

usaha untuk mewujudkan keadilan terhadap tanah bagi orang Indonesia. Yang

menjadi persoalan sekarang adalah masyarakat yang dapat memanfaatkan tanah

Negara bekas tanah terlantar tersebut. Dalam Pasal 15 ayat (2) PP No.11 Tahun 2010

dinyatakan bahwa “Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan,

penggunaan, dan pemanfaatan tanah Negara bekas tanah terlantar sebagimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala”. Kalau disimak ketentuan tersebut

terdapat kekaburan dalam pelaksanaan pendayagunaan tanah Negara bekas tanah

terlantar karena peruntukan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah terlantar

melalui reforma agraria, program strategis Negara dan cadangan umum Negara

ditentukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan

tatacara pendayagunaan tanah terlantar tersebut kurang jelas sehingga tanah-tanah

terlantar belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.

Page 154: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

138

4.1.2. Organ Yang Berwenang Dalam Pendayagunaan Tanah Terlantar

Wewenang sangatlah diperlukan oleh pemerintah, mengingat pemerintah

adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi Negara. Pemerintah untuk dapat

menjalankan kekuasaannya dengan baik dan lancar perlu diberi wewenang. Adanya

pengaturan pemberian wewenang tersebut akan memberikan keabsahan bagi tindakan

yang dilakukan pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan urusan pemerintahannya

haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tindakan

pemerintah sah adanya dan mempunyai kekuasaan hukum. Sudah tentu ketentuan

dalam peraturan perundang-undangan tersebut harus jelas dan pasti, sehingga tidak

dapat ditafsirkan secara berbeda-beda.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-

besar kemakmuran rakyat.” Dari kata “dikuasai oleh Negara” terlihat bahwa

kewenangan dibidang pertanahan dilaksanakan oleh negara yang dalam

pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan kewenangan yang

bersumber pada konstitusi maka kemudian diterbitkan UU No. 5 Tahun 1960 yang

mengatur masalah keagrariaan atau pertanahan sebagai bagian dari bumi.

Selanjutnya kewenangan Negara menguasai bidang pertanahan diatur dalam

Pasal 2 UUPA yang berbunyi :

(1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud

dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara,

sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini member

wewenang untuk :

Page 155: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

139

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum yang mengenai

bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada

ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam

masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan

makmur.

(4) Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan

kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar

diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut

ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.

Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa negara sebagai personifikasi

dari seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan,

menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use),

menyediakan (reservation), dan memelihara (maintenance), atas bumi, air dan ruang

angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Berdasarkan hak

menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan

penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada negara, di mana di bidang

eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (Pemerintah) atau

didelegasikan kepada Menteri.98

Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut

digunakan oleh pemerintah selaku wakil negara untuk menyelenggarakan dan

mengatur masalah-masalah agraria dengan mengeluarkan berbagai peraturan baik

yang dikeluarkan oleh presiden maupun yang dikeluarkan oleh Kepala Badan

98 Edy Ruchiyat, loc.cit.

Page 156: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

140

Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) yang pelaksanaannya dapat

didelegasikan kepada menteri-menteri. Hal ini berhubungan dengan ketentuan bahwa

untuk mencapai kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia

sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

Kewenangan pendayagunaan tanah terlantar yang diatur dalam PP No. 11

Tahun 2010 merupakan kewenangan delegasi dimana Presiden mendelegasikan

kewenangannya kepada Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan

pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar untuk kepentingan

masyarakat.Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 PP No.11 tahun 2010 yang

menyatakan bahwa pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah

negara bekas tanah terlantar dilaksanakan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan

kepada Presiden. Selanjutnya berdasarkan Pasal 15 ayat (2) PP No.11 Tahun 2010

dinyatakan bahwa “Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan tanah Negara bekas tanah terlantar dilaksanakan oleh

Kepala.Kalau disimak ketentuan tersebut maka yang berwenang dalam

pendayagunaan tanah terlantar adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UUPA hak menguasai dari negara tersebut

diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan

masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.Dengan

ketentuan pasal ini daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus bidang

pertanahan. Kemudian diterbitkan Kepres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan

Page 157: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

141

Nasional di Bidang Pertanahan yang menentukan bahwa penyerahan sebagian

kewenangan pemerintah dibidang pertanahan kepada pemerintah daerah

Kabupaten//Kota. Adapun kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah

kabupaten /kota meliputi sembilan jenis kewenangan yaitu :

1. Pemberian ijin lokasi;

2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;

3. Penyelesaian sengketa tanah garapan;

4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;

5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah

kelebihan maksimum dan tanah absentee;

6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah hak ulayat;

7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;

8. Pemberian ijin membuka tanah; dan

9. Perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

Kemudian dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

ditentukan bahwa daerah berwenang untuk mengarur dan mengurus bidang

pertanahan sebagai urusan pemerintahan yang bersifat wajib. Untuk menjabarkan

pelaksanaan otonomi daerah yang diamanatkan UU No.32 Tahun 2004 diterbitkan PP

No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam Lampiran PP No.38 Tahun 2007 huruf I disebutkan perincian kewenangan

Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dalam bidang pertanahan.

Adapun perincian kewenangan Pemerintah Pusat dalam bidang pertanahan

menurut lampiran PP No.38 Tahun 2007 meliputi :

A. Sub. Bidang : Ijin Lokasi, kewenangan Pemerintah meliputi :

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria ijin lokasi.

2. Pemberian ijin lokasi lintas provinsi.

Page 158: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

142

3. Pembatalan ijin lokasi atas ususlan pemerintah provinsi dengan

pertimbangan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi.

4. Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terhadap pelaksanaan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

B. Sub. Bidang : Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, meliputi :

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi.

3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

C. Sub. Bidang : Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, meliputi :

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria penyelesaian sengketa tanah garapan.

2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan

penanganan sengketa tanah garapan.

D. Sub. Bidang : Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah

untuk Pembangunan yang meliputi :

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk

pembangunan.

2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian

ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

E. Sub. Bidang : Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah serta Ganti

Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, yang meliputi :

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian

tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

2. Pembentukan Panitia Pertimbangan Landreform nasional.

3. Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terhadap pelaksanaan

penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah

kelebihan maksimum dan tanah absentee.

F. Sub. Bidang : Penetapan Tanah Ulayat, yang meliputi :

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.

2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan

dan penyelesaian masalah tanah ulayat.

G. Sub. Bidang : Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong yang

meliputi :

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemanfaatan dan

penyelesaian tanah kosong.

2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan

pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.

Page 159: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

143

H. Sub. Bidang : Ijin Membuka Tanah, yang meliputi :

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemberian ijin

membuka tanah.

2. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin

membuka tanah.

I. Sub. Bidang : Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota yang

meliputi :

1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan

kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota.

2. Pembinaan, pengendalain dan monitoring terhadap pelaksanaan

perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota.

Dari perincian kewenangan sebagaimana tersebut diatas terlihat bahwa isi

kewenangan Pemerintah Pusat adalah pada tataran pembuatan kebijakan dan

pengaturan /regulasi yang meliputi sembilan sub. Bidang tersebut.

Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi di bidang pertanahan sesuai

dengan Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, yang meliputi 9 sub. Bidang yaitu :

A. Sub. Bidang Ijin Lokasi, yang meliputi :

1. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan;

2. Kompilasi bahan koordinasi;

3. Pelaksanaan rapat koordinasi;

4. Pelaksanaan peninjauan lokasi;

5. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis

pertanahan dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan

pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait;

6. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan ijin lokasi yang

diterbitkan;

7. Penerbitan surat keputusan ijin lokasi;

8. Pertimbangan dan usulan pencabutan ijin dan pembatalan surat keputusan

ijin lokasi dengan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota;

9. Monitoring dan pembinan perolehan tanah.

B. Sub. Bidang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, yang meliputi :

1. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/kota;

2. Penetapan lokasi;

3. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan;

4. Pelaksanaan penyuluhan;

Page 160: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

144

5. Pelaksanaan inventarisasi;

6. Pembentukan tim penilai tanah;

7. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga/tim penilai tanah;

8. Pelaksanaan musyawarah;

9. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian;

10. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian;

11. Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian;

12. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

C. Sub. Bidang Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, yang meliputi :

1. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas kabupaten/kota;

2. Penerimaaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan;

3. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa;

4. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan;

5. Koordinasi dengan instansi terkait untuk meneyapkan langkah-langkah

penanganannya;

6. Fasilitasi musyawarah antar para pihak yang bersengketa untuk

mendapatkan kesepakatan para pihak.

D. Sub. Bidang penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah untuk

Pembangunan, yang meliputi :

1. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk

pembangunan;

2. Pembinaan dan pengawasan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah

untuk pembangunan.

E. Sub. Bidang Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti

Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, yang meliputi :

1. Pembentukan panitia pertimbangan landreform provinsi;

2. Penyelesaian permasalahan penetapan subyek dan obyek tanah kelebihan

maksimum dan tanah absentee;

3. Pembinaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti

kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

F. Sub. Bidang Penetapan Tanah Ulayat, yang meliputi :

1. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota;

2. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian;

3. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat;

4. Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah

ulayat;

5. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.

G. Sub. Bidang Pemanfaatan dan Penyelesaian Tanah Kosong, yang meliputi :

1. Penyelesaian masalah tanah kosong;

2. Pembinaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.

H. Sub. Bidang Ijin Membuka Tanah, yang meliputi :

1. Penyelesaian permasalahan pemberian ijin membuka tanah;

2. Pengawasan dan pengendalian pemberian ijin membuka tanah (tugas

pembantuan).

Page 161: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

145

I. Sub. Bidang Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota, yang

meliputi : Perencanaan penggunaan tanah lintas kabupaten/kota.

Apabila disimak kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi dalam

mengurus pertanahan sebagaimana disebutkan dalam lampiran PP No. 38 Tahun

2007 tersebut, maka dapat dikatakan Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan yang

bersifat lintas kabupaten/kota.

Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengurus bidang

pertanahan ditentukan secara rinci dalam Lampiran PP No.38 Tahun 2007 yang

meliputi 9 Sub. Bidang, yaitu :

A. Sub. Bidang Ijin Lokasi, yang meliputi :

1. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan;

2. Kompilasi bahan koordinasi;

3. Pelaksanaan rapat koordinasi;

4. Pelaksanaan peninjauan lokasi;

5. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis

pertanahan dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan

pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait;

6. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan ijin lokasi yang

diterbitkan;

7. Penerbitan surat keputusan ijin lokasi;

8. Pertimbangan dan usulan pencabutan ijin dan pembatalan surat keputusan

ijin lokasi dengan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota;

9. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.

B. Sub. Bidang Pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum, yang meliputi :

1. Penetapan lokasi;

2. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan;

3. Pelaksanaan penyuluhan;

4. Pelaksanaan inventarisasi;

5. Pembentukan tim penilai tanah;

6. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga/tim penilai tanah;

7. Pelaksanaan musyawarah;

8. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian;

Page 162: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

146

9. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian;

10. Penyesuaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian;

11. Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

C. Sub. Bidang Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan, yang meliputi :

1. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan;

2. Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa;

3. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan;

4. Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah-langkah

penanganannya;

5. Fasilitasi musyawarah antar para pihak yang bersengketa untuk

mendapatkan kesepakatan para pihak.

D. Sub. Bidang Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah untuk

Pembangunan, yang meliputi :

1. Pembentukan tim pengawasan pengendalian;

2. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk

pembangunan.

E. Sub. Bidang Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah serta Ganti

Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee, yang

meliputi :

1. Pembentukan panitia pertimbangan landreform dan secretariat panitia;

2. Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk

penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian

tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee;

3. Pembuatan hasil sidang dalam berita acara;

4. Penetapan tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee sebagai

obyek landreform berdasarkan hasil sidang panitia;

5. Penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan

tanah absentee berdasarkan hasil sidang panitia;

6. Penerbitan surat keputusan subyek dan obyek redistribusi tanah serta

ganti kerugian.

F. Sub. Bidang Penetapan Tanah Ulayat, yang meliputi :

1. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota;

2. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian;

3. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat;

4. Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah

ulayat;

5. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah

kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;

6. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.

Page 163: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

147

G. Sub. Bidang Pemanfaatan dan Penyelesaian Tanah Kosong, yang meliputi :

1. Inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman

pangan semusim;

2. Penetapan bidang-bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat

digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain

berdasarkan perjanjian;

3. Penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan

semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat;

4. Fasilitasi perjanjian kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak

yang akan memanfaatkan tanah dihadapan/diketahui oleh Kepala

Desa/Lurah dan Camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim

panen;

5. Penanganan yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu

pihak tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian.

H. Sub. Bidang Ijin Membuka Tanah, yang meliputi :

1. Penerimaan dan pemeriksaan permohonan;

2. Pemeriksaan lapangan dengan memperhatikan kemampuan tanah, status

tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota.

3. Penerbitan ijin membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan

teknis dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;

4. Pengawasan dan pengendalian pemberian ijin membuka tanah (tugas

pembantuan).

I. Sub. Bidang Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota, yang

meliputi :

1. Pembentukan tim koordinasi tingkat Kabupaten/Kota;

2. Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari :

a. Peta pola penatagunaan tanah atau peta wilayah tanah usaha atau peta

persediaan tanah dari kantor pertanahan setempat;

b. Rencana tata ruang wilayah;

c. Rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik rencana

pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun investasi swasta.

3. Analisa kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis

dari instansi terkait;

4. Penyiapan draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah;

5. Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draft rencana letak penggunaan

tanah dengan instansi terkait;

6. Konsultasi politik untuk memperoleh masukan terhadap draft rencana

letak kegiatan penggunaan tanah;

7. Penyusunan draft final rencana letak kegiatan penggunaan tanah;

8. Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta

dan penjelasannya dengan keputusan Bupati/Walikota;

9. Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada

instansi terkait;

Page 164: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

148

10. Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan penggunaan tanah

berdasarkan perubahan RTRW dan perkembangan realisasi pembangunan.

Dari ketentuan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa kewenangan bidang

pertanahan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana

disebutkan dalam lampiran PP No.38 Tahun 2007 hanya bersifat teknis belaka.

Dalam Pasal 2 Kepres No.34 tahun 2003, dinyatakan bahwa sebagian

kewenangan Pemerintah Pusat di bidang Pertanahan dilimpahkan kepada daerah.

Pemerintah melalui Kepres No.34 Tahun 2003 telah menentukan pembagian

kewenangan BPN (Pemerintah) beserta ruang lingkup tugasnya dengan Pemerintah

Daerah dalam bidang pertanahan yaitu :99

1. Wewenang BPN Pusat meliputi :

a. Pengaturan penyelenggaraan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan tanah.

b. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan tanah.

c. Pengurusan hak atas tanah.

d. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan tanah.

2. Wewenang Kantor Wilayah BPN Provinsi meliputi :

a. Perencanaan tata guna tanah dan tata ruang provinsi.

b. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan tata guna tanah dan tat ruang

c. Pengawasan, pengendalian, dan penetapan pedoman pelaksanaan

landreform.

d. Penetapan dan pengurusan hak atas tanah.

e. Pengukuran dan pendaftaran tanah.

3. Wewenang Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota meliputi :

a. Penyelenggaraan tata guna tanah dan tata ruang.

b. Penyelenggaraan pengaturan penguasaan tanah (landreform)

c. Penyelenggaraan pengurusan hak atas tanah

d. Penyelenggaraan pendaftaran tanah.

e. Penyelenggaraan pengukuran tanah.

4. Wewenang Pemerintah Daerah dibidang pertanahan meliputi :

a. Pengaturan penguasaan tanah dan tata ruang

99 Suriansyah Murhaini, op.cit, hal.114

Page 165: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

149

b. Hal-hal yang berkaitan dengan tanah.

c. Hal-hal yang berkaitan dengan keuangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Kepres No.34 Tahun 2003 tersebut,

keberadaan BPN sangat mutlak dalam pengaturan dan pengurusan di bidang

pertanahan. Eksistensi BPN semakin kuat dengan dikeluarkannya Perpres No. 10

Tahun 2006 tentang BPN, yang dalam Pasal 2 nya menyebutkan bahwa Badan

Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang

pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. Ada beberapa alasan yang menjadi

pertimbangan bagi Pemerintah untuk tetap mempertahankan BPN dalam mengurus

bidang pertanahan adalah :

a. Bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang

bersifat abadi dan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

merupakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia;

b. Bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia,

karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga

keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.100

Dari alasan tersebut, Pemerintah menganggap bahwa bidang pertanahan adalah

merupakan urusan pemerintahan yang bersifat nasional karena menyangkut

kepentingan bangsa dan negara. Kemudian dalam Pasal 3 Perpres No. 10 Tahun

2006 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi :

a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;

100Suriansyah Murhaini, op.cit. hal.116

Page 166: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

150

b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;

c. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;

d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;

e. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang

pertanahan;

f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;

g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;

h. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-

wilayah khusus;

i. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah

bekerjasama dengan Departemen Keuangan;

j. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;

k. Kerjasama dengan lembaga-lembaga lain;

l. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan,dan di bidang

pertanahan;

m. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;

n. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang

pertanahan;

o. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;

p. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;

q. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang

pertanahan;

r. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;

s. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang

pertanahan;

t. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang dan/atau badan

hukum dengan tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

u. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Selanjutnya ruang lingkup kewenangan Pemerintah Daerah dalam mengurus bidang

pertanahan sebagaimana disebutkan dalam Kepres No. 34 Tahun 2003 dapat

dijabarkan sebagai berikut :

1. Pengaturan, penguasaan tanah dan tata ruang, meliputi :

a. Ijin lokasi, pengaturan persediaan dan peruntukan;

b. Penyelesaian tanah garapan;

c. Wide occupatie, penguasaan pendudukan tanah oleh yang tidak berhak;

d. Penyelesaian ganti rugi dalam pengadaan tanah;

e. Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat;

f. Penyelesaian tanah terlantar;

g. Pemanfaatan lahan tidur;

h. Pengaturan reklamasi;

Page 167: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

151

i. Penetapan obyek, subyek redistribusi landreform tanah kelebihan

absentee;

j. Penetapan harga dasar tanah;

k. Penetapan penyelenggaraan perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

2. Hal-hal lain yang berkaitan dengan tanah, meliputi :

a. Penetapan nilai obyek pajak bumi dan bangunan;

b. Ijin mendirikan bangunan;

c. Ijin usaha;

d. Undang-undang gangguan yang berkaitan dengan penanaman modal;

e. Penetapan koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan;

f. Lingkungan siap bangun dan kawasan siap bangun.

3. Hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan, meliputi :

a. Mendapatkan bagian dari uang pemasukan ddari pemberian hak atas tanah

sebesar 80% dari total pemasukan;

b. Mendapatkan bagian dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) serta Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 80% untuk daerah

dimana BPHTB serta PPh diperoleh, sedangkan sebesar 20%

didistribusikan/dibagikan kembali kepada daerah-daerah lain sebagai

subsidi silang secara merata. 101

Jadi terkait dengan kebijakan pertanahan secara nasional, dihubungkan

dengan fungsi BPN dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan

dibidang pertanahan serta ruang lingkup kewenangan bidang pertanahan yang

diserahkan kepada daerah baik berdasarkan ketentuan Kepres No. 34 Tahun 2003

maupun dalam lampiran PP No. 38 Tahun 2007, maka dapat dikatakan bahwa hal-hal

yang menyangkut kebijakan menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, sedangkan

kewenangan Pemerintah Daerah hanyalah mengenai masalah teknis operasional

pertanahan dan pelaksanaan kebijakan dalam bidang pertanahan yang telah ditetapkan

terlebih dahulu oleh Pemerintah Pusat.

Berdasarkan pada Pasal 2 Kepres No. 34 Tahun 2003, pasal 3 Peraturan

Presiden No. 10 Tahun 2006, Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, dikaitkan dengan

101Suriansyah Murhaini, op.cit. hal 125.

Page 168: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

152

kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar yang

diatur dalam PP No. 11 Tahun 2010, maka organ yang berwenang dalam

pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar adalah Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia dalam hal penetapan kebijakan pendayagunaan tanah terlantar.

Sedangkan pemerintah daerah berwenang dalam inventarisasi dan identifikasi tanah

terlantar yang akan didayagunakan atau dimanfaatkan untuk reforma agraria, program

strategis Negara, dan cadangan Negara lainnya.

4.2. Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi bangsa Indonesia yang

dikuasai oleh Negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak baik yang telah

dikuasai atau dimiliki oleh orang seorang, kelompok orang termasuk masyarakat

hukum adat dan atau badan hukum maupun yang belum diatur dalam hubungan

hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berbagai bentuk hubungan

hukum dengan tanah yang berwujud hak-hak atas tanah memberikan wewenang

untuk menggunakan tanah sesuai dengan sifat dan tujuan haknya berdasarkan

persediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaannya.

Tanah adalah unsur ruang yang strategis dan pemanfaatannya terkait dengan

penataan ruang wilayah. Penataan ruang wilayah mengandung komitmen untuk

menerapkan penataan secara konsekuen dan konsisten dalam kerangka kebijakan

pertanahan yang berlandaskan UUPA. Dalam Pasal 14 UUPA disebutkan bahwa :

(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3),

Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2) pemerintah dalam ranga

Sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan,

peruntukan dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam

yang terkandung didalamnya :

Page 169: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

153

a. Untuk keperluan Negara;

b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai

dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;

c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, social, kebudayaan

dan lain-lain kesejahteraan;

d. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan

perikanan sera sejalan dengan itu;

e. Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan

pertambangan.

(2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan

mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah

mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, serta ruang

angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 UUPA dan ketentuan UU No.24 Tahun

1992 yang telah diganti dengan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

maka dalam rangka pemanfaatan ruang perlu dikembangkan penatagunaan tanah

yang disebut juga pola pengelolaan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

Rusmadi Murad, menyatakan penatagunaan tanah adalah serangkaian

kegiatan penataan, peruntukkan, penggunaan dan penyelesaian tanah secara

berkesinambungan dan teratur berdasarkan asas manfaat, lestari, optimal, seimbang

dan serasi.102

Dalam rangka penatagunaan tanah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor

16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Dalam Pasal 1 angka 1 PP No.16 Tahun

2004 disebutkan bahwa : Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pegelolaan

tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang

berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang

102 Rusmadi Murad, 1997, Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya dalam Praktek, Mandar

Maju, Bandung, hal.3.

Page 170: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

154

terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan

masyarakat secara adil.

Dalam kaitan dengan penataan ruang dan administrasi pertanahan sesuai

dengan Pasal 3 PP No.16 Tahun 2004 penatagunaan tanah bertujuan untuk :

a. Mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai

kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana tata Ruang

Wilayah;

b. Mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai

dengan arahan fungsi kawasan Rencana Tata Ruang Wilayah;

c. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan,dan

pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian

pemanfaatan tanah;

d. Menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan, dan

memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum

dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah

ditetapkan.

Penatagunaan tanah merupakan kebijakan dan kegiatan di bidang pertanahan

yang bertujuan mengatur dan mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan

tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah dan mewujudkan tertib pertanahan dengan tetap menjamin kepastian hukum

atas tanah bagi masyarakat.

Penatagunaan tanah dilaksanakan berdasarkan pada asas keterpaduan,

berdayaguna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan,

persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Dalam penjelasan Pasal 2 PP No.16

Tahun 2004 disebutkan maksud dari pada asas tersebut adalah :

a. Keterpaduan adalah bahwa penatagunaan tanah dilakukan untuk

mengharmonisasikan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan.

b. Berdayaguna dan berhasilguna adalah bahwa penatagunaan tanah harus dapat

mewujudkan peningkatan nilai tanah yang sesuai dengan fungsi ruang. c. Serasi, selaras dan seimbang adalah bahwa penggunaan tanah menjamin

terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hak dan

Page 171: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

155

kewajiban masing-masing pemegang hak atas tanah atau kuasanya sehingga

meminimalkan benturan kepentingan antar penggunaan atau pemanfaatan

tanah. d. Berkelanjutan adalah bahwa penggunaan tanah menjamin kelestarian fungsi

tanah demi memperhatikan kepentingan antargenerasi.

e. Keterbukaan adalah bahwa penatagunaan tanah dapat diketahui oleh seluruh

lapisan masyarakat. f. Persamaan, keadilan dan perlindungan hukum adalah bahwa dalam

penyelenggaraan penatagunaan tanah tidak mengakibatkan diskriminasi antar

pemilik tanah sehingga ada perlindungan hukum dalam menggunakan dan

memanfaatkan tanah.

Penatagunaan tanah meliputi kebijakan penatagunaan tanah dan

penyelenggaraan penatagunaan tanah. Kebijakan penatagunaan tanah meliputi

penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dikawasan lindung dan kawasan

budidaya sebagai pedoman umum penggunaan tanah di daerah.

Sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam penatagunaan tanah yang diatur

dalam PP No.16 Tahun 2004, maka penatagunaan tanah di Kota Denpasar

diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar yang

diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 10 Tahun 1999.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 10 tahun 1999 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah kota Denpasar, maka kegiatan penatagunaan tanah

diarahkan pada kegiatan penatagunaan tanah di kawasan lindung dan kawasan

budidaya. Di kawasan lindung penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kawasan

Suaka Alam dan Cagar Budaya serta kawasan perlindungan setempat. Kawasan

budidaya terdiri dari kawasan budidaya pertanian dan kawasan budidaya non

pertanian. Kawasan budidaya pertanian sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau

Kota (RTHK), meliputi : Kawasan pertanian tanaman pangan lahan basah; kawasan

pertanian tanaman pangan lahan kering; kawasan pertanian tanaman tahunan;

Page 172: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

156

kawasan peternakan; kawasan budidaya perikanan. Kawasan budidaya non pertanian

terdiri dari : kawasan pemukiman; kawasan industri kecil; kawasan pariwisata;

kawasan pertambangan; kawasan Hankam/militer; kawasan prasarana perdagangan

dan jasa; kawasan prasarana transportasi; kawasan prasarana sosial.

Dengan adanya penatagunaan tanah-tanah di Kota Denpasar diharapkan dapat

terciptanya catur tertib pertanahan yang meliputi :

1. Tertib Hukum Pertanahan

Untuk menumbuhkan kepastian hukum pertanahan sebagai perlindungan

terhadap hak-hak atas tanah dan penggunaannya, agar terdapat ketentraman

masyarakat dan mendorong gairah membangun.

2. Tertib Administrasi Pertanahan

Untuk menciptakan suasana pelayanan di bidang pertanahan agar lancar,

tertib, murah, cepat dan tidak berbelit-belit dengan berdasarkan pelayanan

umum yang adil dan merata.

3. Tertib Penggunaan Tanah. Tanah harus benar-benar digunakan sesuai dengan

kemampuannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3))

dengan memperhatikan kesuburan dan kemampuan tanah.

4. Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup

Merupakan upaya untuk menghindarkan kerusakan tanah, memulihkan

kesuburan tanah dan menjaga kualitas sumber daya alam, pencegahan

pencemaran tanah yang dapat menurunkan kualitas tanah dan lingkungan

hidup baik karena alam atau tingkah laku manusia.

Page 173: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

157

4.3. Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Kaitannya Dengan

Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar

Pembangunan yang dilaksanakan di Kota Denpasar semakin pesat dan

kompleks, sehingga kebijakan pemerintahan Kota Denpasar ke depan diarahkan

untuk mewujudkan pembangunan Kota Denpasar yang berwawasan budaya yang

dijiwai Agama Hindu dan dilandasi Tri Hita Karana.

Melihat kondisi fisik dan potensi Kota Denpasar tersebut maka peranan tanah

sangatlah besar sekali dalam kehidupan ini. Penanganan masalah pertanahan bukan

hanya teknis, yuridis, administrasi saja melainkan juga menyangkut aspek sosial,

politik dan hankam sehingga penanganannya tetap berpedoman pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karena itu pelayanan di bidang pertanahan lebih ditingkatkan secara

profesionalisme sesuai dengan visi, misi, tujuan dan sasaran Badan Pertanahan

Nasional yaitu memberikan pelayanan pendaftaran tanah yang cepat dan terjamin

kepastian hukum menuju Catur Tertib Pertanahan yaitu Tertib Hukum Pertanahan,

Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah dan Tertib Pemeliharaan

Tanah dan Lingkungan Hidup.

Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang, badan

hukum, instansi pemerintah yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib

menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sehingga berdayaguna dan berhasil guna

serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Dewasa ini banyak bidang-bidang

tanah di Kota Denpasar yang menunggu dipergunakan sesuai dengan Rencana Tata

Page 174: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

158

Ruang Wilayah yang berlaku, dibiarkan kosong atau terlantar, sehingga tidak

memberikan manfaat apapun bagi masyarakat.

Di Kota Denpasar tanah-tanah yang terlantar dalam arti tidak diusahakan,

dipergunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari pemberian

haknya cukup banyak. Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Perumahan

Pemerintah Kota Denpasar, lahan di kota ini yang terbengkalai atau terlantar tersebar

di 80 lokasi. Lahan atau tanah yang tidak dimanfaatkan sang pemilik tersebut tersebar

diruas jalan utama kota. Kondisi ini dapat membuat kawasan ibukota provinsi daerah

tujuan wisata internasional tersebut tampak seperti tidak berpenghuni, kumuh dan

tidak tertata dengan baik.

Berdasarkan Pasal 2 Kepres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional

di Bidang Pertanahan, Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, PP No. 11 Tahun 2010,

Pemerintah Kota Denpasar dapat memanfaatkan tanah-tanah kosong atau tanah

terlantar. Tanah-tanah Negara bekas tanah terlantar sesuai dengan Pasal 15 ayat (1)

didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program

strategis negara dan cadangan negara lainnya. Dalam rangka penatagunaan tanah di

Kota Denpasar, tanah-tanah Negara bekas tanah terlantar yang dimanfaatkan untuk

kepentingan masyarakat harus disesuaikan dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar

Nomor 10 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar. Dalam

Perda No. 10 Tahun 1999 sudah ditetapkan wilayah-wilayah yang dijadikan kawasan

lindung dan kawasan budidaya. Jika tanah-tanah terlantar itu letaknya di kawasan

budidaya pertanian maka tanah terlantar didayagunakan untuk program strategis

Negara di sektor pertanian atau dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau dan juga

Page 175: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

159

untuk taman kota sehingga Kota Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali dan tujuan

wisata tampak indah, sejuk dan asri. Tanah-tanah terlantar yang letaknya dikawasan

budidaya non pertanian maka dapat didayagunakan untuk perumahan dan

pemukiman, pariwisata, pertambangan, Hankam/militer, prasarana perdagangan dan

jasa, prasarana transportasi, prasarana sosial.

Page 176: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

160

BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

Berdasarkan uraian dan kajian terhadap permasalahan dalam tulisan ini maka

dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi

dimana pemerintah (Presiden ) mendelegasikan kewenangannya kepada

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk melakukan

penertiban tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 PP No.11

Tahun 2010. Dalam pelaksanaannya dibentuk Panitia C yang terdiri dari

Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah dan Instansi yang terkait

dengan peruntukan tanahnya yang berwenang melakukan identifikasi dan

penelitian tanah terindikasi terlantar. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN

No. 4 Tahun 2010, mekanisme penertiban tanah terlantar dilakukan melalui

tahapan-tahapan yaitu :

a. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi

terlantar;

b. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar;

c. Peringatan terhadap pemegang hak;

d. Penetapan tanah terlantar.

2. Tanah-tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat

melalui Reforma Agraria, Program Strategis Negara, dan untuk Cadangan

Negara lainnya sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2010.

Page 177: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

161

Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar, tanah tanah negara

bekas tanah terlantar yang akan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat

disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar yang diatur

dalam Perda No.10 Tahun 1999.

5.1.Saran

1. Terkait dengan penatagunaan tanah di Kota Denpasar, hendaknya Badan

Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah Kota Denpasar dan instansi yang

terkait dengan peruntukan tanahnya dalam melaksanakan penertiban tanah

terlantar saling berkoordinasi sehingga tidak terjadi tumpang kewenangan.

2. Dalam pendayagunaan tanah terlantar, pemerintah ( Badan Pertanahan

Nasional) hendaknya membuat kebijakan tentang tata cara pendayagunaan

tanah terlantar yang dapat dipakai sebagai pedoman teknis, sehingga

tanah - tanah terlantar dapat dimanfaatkan secara optimal

dalam memperbaiki keadaan sosial ekonomi masyarakat. Disamping

itu hendaknya pemerintah memberikan bekal ilmu kepada aparatnya

sehingga dalam melaksanakan tugasnya tidak terjadi konflik dengan

pemegang hak yang menelantarkan tanahnya.

Page 178: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Abdurrahman, 1980, Beberapa Aspekta Tentang Hukum Agraria, Alumni, Bandung.

Anonim, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis Program Studi

Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana.

Arie Sukanti Hutagalung, 1985, Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu

Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan dan Pemilikan Tanah,

CV. Rajawali, Jakarta.

Arief Sidharta, Bernard, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah

Penelitian tentang Pondasi Kefalsafahan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum

Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia,

Bandar Maju, Bandung.

Black’s Law Dictionary, 1999, editor : Bryan A. Garner, seventh edition, USA : West

Publishing, Minnesota. PBlack’s Law Dictionary, 1999, editor : Bryan A.

Garner, seventh edition, USA : West Publishing, Minnesota.

Bruggink,J.J.H, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie,

Deventer, Kluwer.

Coubrey H.Mc. and White, N.D, 1993, Text Book On Jurisprudensi, Blakstone Press

Limited, London.

Hadjon, Philipus M. dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara

Indonesia ( Introduction to the Indonesia Administrative Law ), Cet. I,

Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

________, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan

Yang Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNAIR, Surabaya.

________, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid), Pro

Justitia, Jakarta.

Hamsah Andi, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Page 179: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

Harsono Budi, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi

dan Pelaksanaannya, Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hiroyoshi Kano, 1997, Tanah dan Pajak Hak Milik dan Sengketa Agraria: Tinjauan

Sejarah Perbandingan, dalam Tanah dan Pembangunan, Penyunting Noer

Fauzi, Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan

Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Joeniarto, 1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat,

Djambatan, Jakarta.

Johnny Ibrahim, 2006, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan

Kedua, Bayu Media Publishing, Malang, Jawa Timur.

Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan

antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung.

Kirdi Dipoyudo, 1981, Negara dan Ideologi Negara, Suatu Pengantar, CSIS,

Jakarta.

Kuntjoro Purbopranoto, 1985, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan

Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung.

Magnis Suseno, F, 1991, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern, Gramedia, Jakarta.

Manan Bagir, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. Ketiga, Pusat Studi

Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya

Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Marbun, SF & Mahmud MD, 2000, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,

Liberty, Yogyakarta.

Mohammad Hatta, H, 2005, Hukum Tanah Nasional Dalam Perpektif Negara

Kesatuan, Cet. I, Media Abadi, Yogyakarta.

Mudjiono, 1997, Politik Dan Hukum Agraria, Edisi Pertama,Liberty , Yogyakarta.

Page 180: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

Mukthie Fadjar, A, 2005, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua,

Bayumedia Publishing, Malang, Jawa Timur,.

Mustafa, Bachsan, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta.

Muslimin, Amrah, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang

Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung.

Nurlinda Ida, 2009, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum,

Edisi I, PT. Raja Grafindo Persada.

Norbert Wiener, 1954, The Human Use Of Human Beings Cybernetics And Society,

Garden City, New York, 1

Norbert Wiener, 1954, The Human Use Of

Human Beings Cybernetics And Society, Garden City, New York.

Notonagoro, 1984, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT.

Bina Aksara, Jakarta.

Parlindungan, A.P, 1990, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah ( Menurut Sistem

UUPA ), Mandar Maju, Bandung.

Padmo Wahjono, 1983, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara

Hukum Pancasila, , Cet.ke-1, CV. Rajawali, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Edisi Pertama,Cet.Ke-1, Prenada

Media, Jakarta.

Pius Abdillah,Danu Prasetya, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Arkola, Surabaya.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Balai Pustaka, Jakarta.

Poerwadaminta, W.J.S, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta.

Ridwan, H.R, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.

Ruchiyat Edy, 1999, Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi, Edisi

Kedua, Alumni, Bandung.

Rusmadi Murad, 1997, Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya dalam Praktek,

Mandar Maju, Bandung.

Page 181: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

Sadjijono, 2008, Memahami Beberapa Bab Hukum Administrasi, Laksbang,

Prescindo, Yogyakarta.

Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet. Keenam, PT. Citra Aditya Abadi,

Bandung.

Sigler, Jay A, 1977, The Legal Sources Of Public Policy, DC. Heath and Compay,

Lexington Massachusetts, Toronto,

Sudiyat Iman, 1982, Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat

Sedang Berkembang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen

Kehakiman, Jakarta.

Sutiknjo Imam, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung.

________, 1993, Tafsiran Undang - Undang Pokok Agraria, Cet.

Kesembilan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soedikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Karunika, Universitas

Terbuka, Jakarta.

Soemarjono, Maria S.W, 1998, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam

Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan

Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

________, 2001, Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan Implementasi, Cet.

Pertama, Kompas, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan

Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, Cetakan Kedelapan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soetomo, 1986, Politik Dan Administrasi Agraria, Usaha Nasional,

Surabaya, Indonesia.

Sunaryati Hartono, C.F.G, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad

Ke- 20, Edisi Pertama, Cet.I, Alumni, Bandung.

Suriansyah Murhaini, H, 2009, Kewenangan Pemerintah Daerah Mengurus Bidang

Pertanahan, Cet. Ke-1, Laksbang Justitia, Surabaya.

Page 182: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

Suwoto Mulyo Sudarmo, 1999, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis

Terhadap Pidato Nawaksara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Ter Haar BZN, 1981, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K.Ng

Soebakti Poesponoto, PT. Pradnya Paramita.

Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Edisi pertama, Prenada

Media, Jakarta.

Utrecht, E, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cet. ke -4,

FHPM Univ.Negeri Padjajaran, Bandung.

Victor Situmorang, 1989, Dasar - Dasar Hukum Administrasi Negara,

Bina Aksara, Jakarta.

Wheare, K.C, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press, New York.

Wiranata, I Gede, 2004, Hukum Adat Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke

Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung I Gede Wiranata, 2004, Hukum Adat

Indonesia, Perkembangannya dari Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti,

Bandung.

DISERTASI :

Attamimi, A. Hamid S, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia

Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisa

Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun

Waktu Pelita I-Pelita IV, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta.

ARTIKEL / MAJALAH

Hadjon,Philipus M, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No.5 & 6 Tahun XII

September 1997.

Pria Dharsana, I Made, 2010, “Mencabut Hak Tanah Terlantar”. Bali Post,

Tgl.18 Agustus.

Page 183: Penertiban dan Pendayagunaan tanah Terlantar Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di kota Denpasar

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok

Agraria ( Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan

Lembaran Negara RI Nomor 2043).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran

Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor

53).

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah

( Lembaran Negara RI tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara

RI Nomor 4385 ).

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ( Lembaran Negara RI Tahun 2007

Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4737)

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar ( Lembaran Negara Tahun 2010

Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5098).

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang

Pertanahan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 60)

Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata

Cara Penertiban Tanah Terlantar.