Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari
-
Upload
yudo-nugroho -
Category
Documents
-
view
370 -
download
5
Transcript of Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari
PENERAPAN UU ITE YANG SALAH PADA KASUS PIDANA
YANG DIALAMI OLEH IBU PRITA MULYASARI
Tugas Mata Kuliah Teknologi Informasi Untuk Akuntansi Dan Bisnis
Oleh:
Hangga Kurniawan (07.1.02.03485)
Dien Azizun (07.1.02.03486)
Yudo Nugroho (07.1.02.03544)
Lovenia Septia Liberty (08.2.02.03720)
Hendry Nugroho (05.1.02.02721)
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA
SURABAYA
2010
PENERAPAN UU ITE YANG SALAH PADA KASUS PIDANA YANG
DIALAMI OLEH IBU PRITA MULYASARI
A. Latar Belakang
Dua tahun belakangan ini, Negara kita dihebohkan dengan adanya kasus
perserlisihan yang terjadi antara Ibu Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni
Internasional. Perkara perselisihan ini berawal ketika ibu Prita merasa dirugikan atas
pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional. Ibu dua anak ini kemudian
menuangkan curahan hatinya dalam bentuk email yang lalu dikirimkan ke 20 orang
temannya (termasuk saudaranya). Dalam perkembangannya, email ini pun cepat
menyebar hingga dapat dibaca oleh publik umum. Hingga suatu ketika, email ini
dibaca oleh pihak Rumah Sakit Omni Internasional. Setelah membaca isi email
tersebut, pihak Omni merasa marah dan menuntut Prita ke jalur hukum dengan
alasan pencemaran nama baik melalui media elektronik. Tuntutan dari pihak Omni
ini didasarkan atas UU ITE Pasal 27 ayat 3 yang berbunyi “Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan perjudian.”
Pro dan Kontra akan “kesalahan” Prita ini pun bergulir di kalangan
masyarakat, baik itu para pakar TI atau pun hanya warga biasa yang tidak tahu-
menahu tentang TI.
Pada tugas kelompok mata kuliah Teknologi Informasi Untuk Akuntansi
Dan Bisnis ini, kelompok kami berada pada posisi kontra. Yang artinya, kami tidak
setuju jika Ibu Prita Mulyasari ditetapkan sebagai tersangka dan dipenjara atas
tuduhan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional menurut UU ITE
Pasal 27 ayat 3.
B. Alasan Kenapa Kelompok Kami Memilih Posisi Kontra
Ada pun beberapa alasan yang akan kami jelaskan mengapa kelompok kami
memilih tidak setuju jika Ibu Prita Mulyasari ditetapkan sebagai tersangka dan
dipenjara atas tuduhan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional
menurut UU ITE Pasal 27 ayat 3. Tetapi sebelumnya, kami akan memperlihatkan
terlebih dahulu email yang ditulis oleh Ibu Prita yang berisi keluhannya tersebut.
Email tersebut kami dapatkan dari alamat http://alvianedo.web.ugm.ac.id/korelasi-
kasus-prita-terhadap-uu-ite/.
From: prita mulyasari [mailto. mulyasari@ yahoo.com]
Sent: Friday, August 15, 2008 3:51 PM
To: customer_care@ banksinarmas. com; hendra.goenawan@ banksinarmas. com;
Hendra Goenawan; mario pasla; Lesthya theresa; Lucy Juliana Sapri; Andri Nugroho;
Anton Ferdiansyah; ADI ATMANTO; Adia Adithiya Pradithama; Cindy Robertha;
Credit Card Supervisor; Yusuf Centerix; dekkyharyanto@ yahoo.com; kakak gue;
Setiawan Diana; Johan; Nadhya Budhiman; Renny Rosanna; Vanty Valentina
Subject: Penipuan OMNI Iternational Hospital Alam Sutera Tangerang
Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya, terutama
anak-anak, lansia dan bayi.
Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan title International
karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba
pasien, penjualan obat dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS International seperti ini tapi saya mengalami
kejadian ini di RS Omni International.
Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB, saya dengan kondisi panas tinggi dan
pusing kepala, datang ke RS. OMNI Intl dengan percaya bahwa RS tersebut
berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan
manajemen yang bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat.
Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000
dengan kondisi normalnya adalah 200.000, saya diinformasikan dan ditangani oleh dr.
Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. Dr. Indah melakukan
pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan
masih sama yaitu thrombosit 27.000. Dr. Indah menanyakan dokter specialist mana
yang akan saya gunakan tapi saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali
buta dengan RS ini. Lalu referensi dr. Indah adalah dr. Henky. Dr. Henky memeriksa
kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah
positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau ijin pasien atau
keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr.Henky visit saya dan
menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam bukan 27.000 tapi 181.000
(hasil lab bisa dilakukan revisi?), saya kaget tapi dr. Henky terus memberikan instruksi
ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan
tanpa ijin pasien atau keluarga pasien. Saya tanya kembali jadi saya sakit apa
sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam
berdarah. Saya sangat kuatir karena dirumah saya memiliki 2 anak yang masih batita
jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat
sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak
ada keterangan apapun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak
mendapatkan jawaban yang memuaskan, lebih terkesan suster hanya menjalankan
perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu box lemari pasien penuh dengan
infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak, saya minta dihentikan infus dan suntikan dan
minta ketemu dengan dr. Henky namun dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke
ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan
datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa, setelah dicek dokter
tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr. Henky saja.
Esoknya dr. Henky datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk
memberikan obat berupa suntikan lagi, saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa
sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena
demam berdarah tapi dr. Henky tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus
udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan
yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas
selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata
menunggu dr. Henky saja. Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus padahal
tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya.
Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan
dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr. Henky untuk ketemu dengan kami namun janji
selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut
penjelasan dr. Henky mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000
menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya
belum pernah terjadi.
Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri saya.
Dr, Henky tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan, dokter tersebut malah
mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan
menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan
meminta dr. Henky bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang
seharusnya saya bisa rawat jalan saja. Dr. Henky menyalahkan bagian lab dan tidak
bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai
membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat namun saya tetap tidak mau
dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi saya membutuhkan data medis
yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis, diberikan keterangan bahwa BAB saya lancar padahal itu
kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow upnya samasekali. Lalu
hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan
bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000, kepala
lab saat itu adalah dr. Mimi dan setelah saya complaint dan marah-marah, dokter
tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni
maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab
tersebut.
Saya mengajukan complaint tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Ogi
(customer service coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima
tersebut hanya ditulis saran bukan complaint, saya benar-benar dipermainkan oleh
Manajemen Omni dengan staff Ogi yang tidak ada service nya sama sekali ke customer
melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan
complaint tertulis.
Dalam kondisi sakit, saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen, atas nama Ogi
(customer service coordinator) dan dr. Grace (customer service manager) dan diminta
memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab
RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000 makanya saya
diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih
bisa rawat jalan.
Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya
ini tidak profesional samasekali. Tidak menanggapi complaint dengan baik, dia
mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr. Mimi informasikan
ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen dan dr. Henky namun tidak
bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji
akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan
dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular, menurut analisa ini adalah
sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah
membengkak, kalau kena orang dewasa yang ke laki-laki bisa terjadi impoten dan
perempuan ke pankreas dan kista. Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah
dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah
dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami
sesak napas.
Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak
kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagiih surat hasil lab 27.000 tersebut
namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan
waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu
kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni
memberikan surat tersebut. Saya telepon dr. Grace sebagai penanggung jawab
compaint dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya
namun sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang
kerumah saya. Kembali saya telepon dr. Grace dan dia mengatakan bahwa sudah
dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah, ini benar-benar kebohongan RS yang
keterlaluan sekali, dirumah saya tidak ada nama Rukiah, saya minta disebutkan alamat
jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama.
Logikanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya kemana kan ?
makanya saya sebut Manajemen Omni PEMBOHONG BESAR semua. Hati-hati dengan
permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.
Terutama dr. Grace dan Ogi, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan
customer, tidak sesuai dengan standard International yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr. Grace, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan
ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca
isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami, pihak manajemen hanya menyebutkan
mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab
awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan
yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS
Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? karena saya ingin tahu
bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni
mendapatkan pasien rawat inap. Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji
maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah FIKTIF dan yang sebenarnya
saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan
kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan, mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi
makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin tapi RS
ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Ogi menyarankan saya bertemiu dengan direktur operasional RS Omni (dr. Bina)
namun saya dan suami saya terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka
dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput
atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila
terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk
menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing, benar….
tapi apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dpercaya untuk
menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan, semoga Allah
memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali
bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga
sakit dan membutuhkan medis, mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di
RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan
atau dokter atau Manajemen RS Omni, tolong sampaikan ke dr. Grace, dr. Henky, dr.
Mimi dan Ogi bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi
perusahaan Anda.
Saya informasikan juga dr. Henky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM
buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.
salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera
081513100600
Setelah membaca email diatas, kini saatnya untuk menggungkapkan
pendapat kami mengenai perkara hukum yang terjadi antara Ibu Prita Mulyasari
dengan Rumah Sakit Omni Internasional.
Alasan pertama yang akan kami sampaikan mengenai kedudukan kelompok
kami sebagai kelompok kontra ialah kami membaca ulasan pada salah satu web
yang kami jelajahi dengan alamat web:
“http://kertasburam.dagdigdug.com/2009/06/03/prita-dan-kebebasan-
berbicara/.”
Di halaman ini si penulis mengungkapkan bahwa “Pak Cahyana, Dirjen
Aptel Depkominfo said the court misinterpreted UU ITE. Prita has right to
complaint as consumer.” Yang artinya “Pak Cahyana, Dirjen Aptel Depkominfo
mengatakan bahwa pengadilan melakukan kesalahan dalam menginterpretasikan
UU ITE. Sebagai seorang konsumen, Prita mempunyai hak untuk mengkomplain.
Alasan kedua kami adalah berdasarkan artikel yang bertajuk “Depkominfo:
UU ITE Pada Kasus Prita Terlalu Ekstrem” yang kami baca pada web yang
mempunyai link:
“http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/06/03/brk,20090603-
179750,id.html.”
Disini penulis mengulas pendapat dari Juru Bicara Departemen Komunikasi
dan Informasi, Gatot S. Dewa Broto, mengenai kasus yang dialami oleh Prita
Mulyasari. Gatot S. Dewa Broto beranggapan bahwa “seharusnya polisi dan jaksa
tidak mengenakan pasal 27 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) secara kaku terkait kasus surat elektronik Prita Mulyasari. Kalau dia (Prita)
mengirim email ke temannya, kemudian dijerat (dengan pasal 27 UU ITE), itu jelas
salah. Surat elektronik yang ditulis Prita, hanya dikirim kesepuluh (yang belakangan
dikoreksi menjadi dua puluh) temannya. Itu ranah pribadi, saat dikirim ke mailing
list baru masuk ranah publik. Untuk itu, kata dia, pihak yang dijerat adalah yang
meneruskan surat elektronik tersebut ke mailing list.” Kemudian ia menambahkan
bahwa Depkominfo (selaku pembuat UU ITE) tidak pernah diajak bicara oleh polisi
dan jaksa terkait penerapan undang-undang itu dalam kasus Prita. “Kami tidak
pernah diajak bicara atau diundang sebagai saksi ahli,” ujarnya. Tentunya hal ini
bertentangan dengan UU ITE pasal 43 ayat 5 poin h yang berbunyi “Meminta
bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana
berdasarkan Undang‐Undang ini.”
Alasan ketiga yaitu berdasarkan artikel yang diposting oleh Budiawan
Hutasoit pada tanggal 6 Februari 2009. Artikel ini berjudul “UU ITE: Kasus Prita
Mulyasari & Kebebasan Berekspresi,” dan mempunyai link:
“http://budiawan-hutasoit.blogspot.com/2009/06/uu-ite-kasus-prita-
mulyasari-kebebasan.html.”
Budiawan menjelaskan bahwa beberapa aliansi (pakar TI) menilai rumusan
pasal tersebut (pasal 27 ayat 3 UU ITE) sangatlah lentur dan bersifat keranjang
sampah dan multi intrepretasi. Rumusan tersebut tidak hanya menjangkau pembuat
muatan tetapi juga penyebar dan para moderator milis, maupun individu yang
melakukan forward ke alamat tertentu. Dia juga mengatakan bahwa pasal 27 ayat 3
ini juga sering disebut pasal karet, memiliki sanksi denda hingga Rp. 1 miliar dan
penjara hingga enam tahun.
Artikel yang diposting oleh Budiawan tersebut mendapat reaksi positif dari
teman blognya, Kevin McDonald. Ia mengomentari artikel tersebut dengan melihat
dari sudut pandang proses persidangan. “Guys, jangan lupa. Pas proses persidangan,
jangan anggap remeh proses awal kasus tersebut. Mulai dari BAP, P-21, proses
penahanan, dsb. Karena banyak kasus yang lemah perkaranya, bisa dimenangkan
hanya karena proses awal yang tidak sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Dalam
kasus Prita, BAP-nya kurang pasal ITE. Lalu ditambahkan oleh si Jaksa.
Masalahnya BAP yang kurang lengkap, tidak boleh dijadikan P-21 oleh Jaksa.
Masih harus dikembalikan ke Polisi untuk merevisi BAP-nya. Itupun juga harus
diketahui oleh si terdakwa. Belum lagi, apakah ada bukti otentik bahwa yang
membuat surat itu adalah Prita itu sendiri? Jika ya, apakah ada bukti bahwa dia yang
menyebarkannya? Karena jika yang menyebarkan bukan dia (melainkan orang lain
yang bersimpati terhadap dia), maka Pasal 27 tidak dapat dikenakan kepada dia.
Dengan demikian Prita dapat membela diri dengan dasar bahwa surat keluhan itu
adalah surat pribadi kepada kalangan terdekat (bukan untuk disebarluaskan),” ujar
McDonald dalam komentarnya.
Alasan keempat kami adalah berdasarkan link web:
“http://dkrjateng.co.cc/?p=96.”
Dalam halaman web tersebut, si admin mengutip wawancara juru bicara
kepresidenan, Andi Mallarangeng, kepada wartawan di Istana Negara pada Rabu
tanggal 3 Juni 2009 mengenai kasus yang dialami oleh Prita. “Dalam rangka
menegakan hukum juga menggunakan hati dan rasa keadilan, mempertimbangkan
pula berbagai macam segi dan hukum lainnya, termasuk Undang-Undang Dasar
secara keseluruhan, sehingga penegakan hukum dan rasa keadilan berjalan bersama-
sama,” kata Andi dalam wawancara tersebut.
Empat alasan utama diataslah yang membuat kami berada pada kubu kontra,
dan karenanya kami menolak jika Ibu Prita Mulyasari ditetapkan sebagai tersangka
dan dipenjara atas tuduhan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional
menurut UU ITE Pasal 27 ayat 3.
Selain itu, kami masih mempunyai beberapa alasan lain antara lain:
Menurut anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, dalam UU Pers pasal 1
ayat 1 mengungkapkan, pers adalah wahana sosial yang mencakup menyampaikan
berita, mencari, mengolah, mengumpulkan, menyimpan berita baik secara
elektronik, cetak dan media lain yang tersedia. Media lain termasuk internet.
Sedangkan menurut Anggota Sub-Komisi Pemantauan dan Penyelidikan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Nur Kholis, menyatakan bahwa email yang
ditulis Prita merupakan bagian hak paling asasi seorang warga negara dan manusia
di sebuah negara beradab. Dia juga menilai bahwa kasus Prita bisa menjadi preseden
buruk atas penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia.
Penilaian tentang kasus yang dialami oleh Ibu Prita juga dikemukakan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Dr Frans J.
Rengka SH.Hum. “Kasus hukum yang menimpa Prita Mulyasari merupakan bentuk
arogansi aparat penegak hukum yang mengabaikan nilai keadilan dan kemanusiaan
bagi masyarakat kecil,” kata beliau.
“Sebagai negara hukum semua orang harus tunduk dan taat di depan hukum,
tetapi harus juga disertai dengan sejumlah pertimbangan sosial lainnya untuk
mendapatkan keadilan bagi masyarakat. Kalau praktisi hukum yang ada tetap
mengedepankan aturan secara kaku, legalistis dan formalistis, maka pasti akan ada
yang dikorbankan. Dan biasanya masyarakat kecil jadi korban yang paling empuk,”
sambung Renka.
Alasan lain kami adalah menurut Pakar Teknologi Informasi Sekuriti, Ruby
Zukri Alamsyah, mengatakan, menyangkut kasus Prita Mulyasari harus ada digital
forensik agar surat elekronik (email) yang dikirim kepada pihak lain supaya dapat
dilacak siapa yang menyebarkan kepada publik.
Menurut anggota Wantimpres, Adnan Buyung Nasution, kasus yang dialami
oleh Prita bisa membungkam orang lain untuk beropini atau berpendapat. “Kasus ini
bisa mematikan semangat orang untuk menyampaikan opininya,” tutur beliau.
Adnan Buyung juga minta penegak hukum harus bisa melihat motivasi
penulis opini. Jika opininya terlalu keras, maka pihak yang merasa dirugikan bisa
memberikan jawaban balik lewat email.
Dan menurut ahli komputer dan teknologi informasi dari Universitas
Indonesia, Wahyu Catur Wibowo, keluhan atas buruknya pelayanan Rumah Sakit
Omni Internasional, yang dibuat Prita Mulyasari melalui surat elektronik atau e-
mail, dinilainya wajar. Surat yang dikirim kepada 20 temannya itu disebarluaskan
dalam situasi di mana pelaksanaan undang-undang perlindungan konsumen hingga
kini masih sangat lemah.
“Jadi wajar jika Prita mengeluh kepada teman-temannya melalui internet
karena dia tidak mau pengalaman yang menimpanya tidak terjadi kepada orang
lain,” tutur Wahyu.
Dan alasan terakhir kami adalah menurut Juniwati Gunawan, Direktur RS
International Bintaro, menilai, surat elektronik Prita Mulyasari sebagai sebuah
keluhan. “Setelah saya baca secara keseluruhan, saya menyimpulkan bahwa surat
Ibu Prita adalah sebuah keluhan dari seorang pasien,” kata Juniwati dalam
keterangannya sebagai saksi sidang Prita di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten.
C. Kesimpulan
Setelah mengumpulkan bukti-bukti yang cukup (alasan-alasan kami diatas),
kami berkeyakinan bahwa apa yang dialami oleh Ibu Prita Mulyasari adalah
ketidakadilan dalam hal menyampaikan pendapat dan ketidakadilan untuk
mendapatkan hak sebagai konsumen. Kami juga meyakini bahwa Ibu Prita
Mulyasari adalah salah satu korban penyalahgunaan UU yang ada di Indonesia,
khususnya UU ITE.
Pada UU ITE, baik itu pasal 27 atau pasal yang lain, seharusnya perlu
direvisi kembali dan tidak diberlakukan terlebih dahulu kepada khalayak umum
sebelum UU tersebut benar-benar siap untuk digunakan. Jika masih saja terus
digunakan tanpa revisi, maka akan dapat menimbulkan korban-korban baru dalam
kebebasan berpendapat dengan menggunakan alat/media elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
http://alvianedo.web.ugm.ac.id/korelasi-kasus-prita-terhadap-uu-ite/
http://kertasburam.dagdigdug.com/2009/06/03/prita-dan-kebebasan-berbicara/
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/06/03/brk,20090603-179750,id.html
http://budiawan-hutasoit.blogspot.com/2009/06/uu-ite-kasus-prita-mulyasari-
kebebasan.html
http://dkrjateng.co.cc/?p=96