Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

20
PENERAPAN UU ITE YANG SALAH PADA KASUS PIDANA YANG DIALAMI OLEH IBU PRITA MULYASARI Tugas Mata Kuliah Teknologi Informasi Untuk Akuntansi Dan Bisnis Oleh: Hangga Kurniawan (07.1.02.03485) Dien Azizun (07.1.02.03486) Yudo Nugroho (07.1.02.03544) Lovenia Septia Liberty (08.2.02.03720) Hendry Nugroho (05.1.02.02721)

Transcript of Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

Page 1: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

PENERAPAN UU ITE YANG SALAH PADA KASUS PIDANA

YANG DIALAMI OLEH IBU PRITA MULYASARI

Tugas Mata Kuliah Teknologi Informasi Untuk Akuntansi Dan Bisnis

Oleh:

Hangga Kurniawan (07.1.02.03485)

Dien Azizun (07.1.02.03486)

Yudo Nugroho (07.1.02.03544)

Lovenia Septia Liberty (08.2.02.03720)

Hendry Nugroho (05.1.02.02721)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA

SURABAYA

2010

Page 2: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

PENERAPAN UU ITE YANG SALAH PADA KASUS PIDANA YANG

DIALAMI OLEH IBU PRITA MULYASARI

A. Latar Belakang

Dua tahun belakangan ini, Negara kita dihebohkan dengan adanya kasus

perserlisihan yang terjadi antara Ibu Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni

Internasional. Perkara perselisihan ini berawal ketika ibu Prita merasa dirugikan atas

pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional. Ibu dua anak ini kemudian

menuangkan curahan hatinya dalam bentuk email yang lalu dikirimkan ke 20 orang

temannya (termasuk saudaranya). Dalam perkembangannya, email ini pun cepat

menyebar hingga dapat dibaca oleh publik umum. Hingga suatu ketika, email ini

dibaca oleh pihak Rumah Sakit Omni Internasional. Setelah membaca isi email

tersebut, pihak Omni merasa marah dan menuntut Prita ke jalur hukum dengan

alasan pencemaran nama baik melalui media elektronik. Tuntutan dari pihak Omni

ini didasarkan atas UU ITE Pasal 27 ayat 3 yang berbunyi “Setiap Orang dengan

sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

yang memiliki muatan perjudian.”

Pro dan Kontra akan “kesalahan” Prita ini pun bergulir di kalangan

masyarakat, baik itu para pakar TI atau pun hanya warga biasa yang tidak tahu-

menahu tentang TI.

Pada tugas kelompok mata kuliah Teknologi Informasi Untuk Akuntansi

Dan Bisnis ini, kelompok kami berada pada posisi kontra. Yang artinya, kami tidak

setuju jika Ibu Prita Mulyasari ditetapkan sebagai tersangka dan dipenjara atas

tuduhan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional menurut UU ITE

Pasal 27 ayat 3.

B. Alasan Kenapa Kelompok Kami Memilih Posisi Kontra

Ada pun beberapa alasan yang akan kami jelaskan mengapa kelompok kami

memilih tidak setuju jika Ibu Prita Mulyasari ditetapkan sebagai tersangka dan

dipenjara atas tuduhan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional

Page 3: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

menurut UU ITE Pasal 27 ayat 3. Tetapi sebelumnya, kami akan memperlihatkan

terlebih dahulu email yang ditulis oleh Ibu Prita yang berisi keluhannya tersebut.

Email tersebut kami dapatkan dari alamat http://alvianedo.web.ugm.ac.id/korelasi-

kasus-prita-terhadap-uu-ite/.

From: prita mulyasari [mailto. mulyasari@ yahoo.com]

Sent: Friday, August 15, 2008 3:51 PM

To: customer_care@ banksinarmas. com; hendra.goenawan@ banksinarmas. com;

Hendra Goenawan; mario pasla; Lesthya theresa; Lucy Juliana Sapri; Andri Nugroho;

Anton Ferdiansyah; ADI ATMANTO; Adia Adithiya Pradithama; Cindy Robertha;

Credit Card Supervisor; Yusuf Centerix; dekkyharyanto@ yahoo.com; kakak gue;

Setiawan Diana; Johan; Nadhya Budhiman; Renny Rosanna; Vanty Valentina

Subject: Penipuan OMNI Iternational Hospital Alam Sutera Tangerang

Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya, terutama

anak-anak, lansia dan bayi.

Bila anda berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan title International

karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba

pasien, penjualan obat dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS International seperti ini tapi saya mengalami

kejadian ini di RS Omni International.

Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB, saya dengan kondisi panas tinggi dan

pusing kepala, datang ke RS. OMNI Intl dengan percaya bahwa RS tersebut

berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan

manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat.

Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000

Page 4: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

dengan kondisi normalnya adalah 200.000, saya diinformasikan dan ditangani oleh dr.

Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. Dr. Indah melakukan

pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan

masih sama yaitu thrombosit 27.000. Dr. Indah menanyakan dokter specialist mana

yang akan saya gunakan tapi saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali

buta dengan RS ini. Lalu referensi dr. Indah adalah dr. Henky. Dr. Henky memeriksa

kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah

positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau ijin pasien atau

keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr.Henky visit saya dan

menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam bukan 27.000 tapi 181.000

(hasil lab bisa dilakukan revisi?), saya kaget tapi dr. Henky terus memberikan instruksi

ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan

tanpa ijin pasien atau keluarga pasien. Saya tanya kembali jadi saya sakit apa

sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam

berdarah. Saya sangat kuatir karena dirumah saya memiliki 2 anak yang masih batita

jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat

sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak

ada keterangan apapun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak

mendapatkan jawaban yang memuaskan, lebih terkesan suster hanya menjalankan

perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu box lemari pasien penuh dengan

infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak, saya minta dihentikan infus dan suntikan dan

minta ketemu dengan dr. Henky namun dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke

ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan

datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa, setelah dicek dokter

tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr. Henky saja.

Page 5: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

Esoknya dr. Henky datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk

memberikan obat berupa suntikan lagi, saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa

sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena

demam berdarah tapi dr. Henky tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus

udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan

yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas

selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata

menunggu dr. Henky saja. Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus padahal

tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya.

Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan

dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr. Henky untuk ketemu dengan kami namun janji

selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut

penjelasan dr. Henky mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000

menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya

belum pernah terjadi.

Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri saya.

Dr, Henky tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan, dokter tersebut malah

mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan

menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan

meminta dr. Henky bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang

seharusnya saya bisa rawat jalan saja. Dr. Henky menyalahkan bagian lab dan tidak

bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai

Page 6: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat namun saya tetap tidak mau

dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi saya membutuhkan data medis

yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis, diberikan keterangan bahwa BAB saya lancar padahal itu

kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow upnya samasekali. Lalu

hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan

bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000, kepala

lab saat itu adalah dr. Mimi dan setelah saya complaint dan marah-marah, dokter

tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni

maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab

tersebut.

Saya mengajukan complaint tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Ogi

(customer service coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima

tersebut hanya ditulis saran bukan complaint, saya benar-benar dipermainkan oleh

Manajemen Omni dengan staff Ogi yang tidak ada service nya sama sekali ke customer

melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan

complaint tertulis.

Dalam kondisi sakit, saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen, atas nama Ogi

(customer service coordinator) dan dr. Grace (customer service manager) dan diminta

memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab

RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000 makanya saya

diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih

bisa rawat jalan.

Page 7: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya

ini tidak profesional samasekali. Tidak menanggapi complaint dengan baik, dia

mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr. Mimi informasikan

ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen dan dr. Henky namun tidak

bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji

akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan

dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular, menurut analisa ini adalah

sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah

membengkak, kalau kena orang dewasa yang ke laki-laki bisa terjadi impoten dan

perempuan ke pankreas dan kista. Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah

dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah

dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami

sesak napas.

Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak

kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagiih surat hasil lab 27.000 tersebut

namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan

waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu

kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni

memberikan surat tersebut. Saya telepon dr. Grace sebagai penanggung jawab

compaint dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya

namun sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang

kerumah saya. Kembali saya telepon dr. Grace dan dia mengatakan bahwa sudah

dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah, ini benar-benar kebohongan RS yang

keterlaluan sekali, dirumah saya tidak ada nama Rukiah, saya minta disebutkan alamat

jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama.

Logikanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya kemana kan ?

Page 8: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

makanya saya sebut Manajemen Omni PEMBOHONG BESAR semua. Hati-hati dengan

permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr. Grace dan Ogi, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan

customer, tidak sesuai dengan standard International yang RS ini cantum.

Saya bilang ke dr. Grace, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan

ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca

isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami, pihak manajemen hanya menyebutkan

mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab

awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan

yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS

Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? karena saya ingin tahu

bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni

mendapatkan pasien rawat inap. Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji

maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah FIKTIF dan yang sebenarnya

saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan

kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan, mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi

makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin tapi RS

ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Ogi menyarankan saya bertemiu dengan direktur operasional RS Omni (dr. Bina)

namun saya dan suami saya terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka

dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput

atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila

Page 9: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk

menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing, benar….

tapi apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dpercaya untuk

menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan, semoga Allah

memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali

bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga

sakit dan membutuhkan medis, mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di

RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan

atau dokter atau Manajemen RS Omni, tolong sampaikan ke dr. Grace, dr. Henky, dr.

Mimi dan Ogi bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi

perusahaan Anda.

Saya informasikan juga dr. Henky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM

buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.

salam,

Prita Mulyasari

Alam Sutera

[email protected]

081513100600

Setelah membaca email diatas, kini saatnya untuk menggungkapkan

pendapat kami mengenai perkara hukum yang terjadi antara Ibu Prita Mulyasari

dengan Rumah Sakit Omni Internasional.

Page 10: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

Alasan pertama yang akan kami sampaikan mengenai kedudukan kelompok

kami sebagai kelompok kontra ialah kami membaca ulasan pada salah satu web

yang kami jelajahi dengan alamat web:

“http://kertasburam.dagdigdug.com/2009/06/03/prita-dan-kebebasan-

berbicara/.”

Di halaman ini si penulis mengungkapkan bahwa “Pak Cahyana, Dirjen

Aptel Depkominfo said the court misinterpreted UU ITE. Prita has right to

complaint as consumer.” Yang artinya “Pak Cahyana, Dirjen Aptel Depkominfo

mengatakan bahwa pengadilan melakukan kesalahan dalam menginterpretasikan

UU ITE. Sebagai seorang konsumen, Prita mempunyai hak untuk mengkomplain.

Alasan kedua kami adalah berdasarkan artikel yang bertajuk “Depkominfo:

UU ITE Pada Kasus Prita Terlalu Ekstrem” yang kami baca pada web yang

mempunyai link:

“http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/06/03/brk,20090603-

179750,id.html.”

Disini penulis mengulas pendapat dari Juru Bicara Departemen Komunikasi

dan Informasi, Gatot S. Dewa Broto, mengenai kasus yang dialami oleh Prita

Mulyasari. Gatot S. Dewa Broto beranggapan bahwa “seharusnya polisi dan jaksa

tidak mengenakan pasal 27 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik

(ITE) secara kaku terkait kasus surat elektronik Prita Mulyasari. Kalau dia (Prita)

mengirim email ke temannya, kemudian dijerat (dengan pasal 27 UU ITE), itu jelas

salah. Surat elektronik yang ditulis Prita, hanya dikirim kesepuluh (yang belakangan

dikoreksi menjadi dua puluh) temannya. Itu ranah pribadi, saat dikirim ke mailing

list baru masuk ranah publik. Untuk itu, kata dia, pihak yang dijerat adalah yang

meneruskan surat elektronik tersebut ke mailing list.” Kemudian ia menambahkan

bahwa Depkominfo (selaku pembuat UU ITE) tidak pernah diajak bicara oleh polisi

dan jaksa terkait penerapan undang-undang itu dalam kasus Prita. “Kami tidak

pernah diajak bicara atau diundang sebagai saksi ahli,” ujarnya. Tentunya hal ini

bertentangan dengan UU ITE pasal 43 ayat 5 poin h yang berbunyi “Meminta

bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana

berdasarkan Undang‐Undang ini.”

Page 11: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

Alasan ketiga yaitu berdasarkan artikel yang diposting oleh Budiawan

Hutasoit pada tanggal 6 Februari 2009. Artikel ini berjudul “UU ITE: Kasus Prita

Mulyasari & Kebebasan Berekspresi,” dan mempunyai link:

“http://budiawan-hutasoit.blogspot.com/2009/06/uu-ite-kasus-prita-

mulyasari-kebebasan.html.”

Budiawan menjelaskan bahwa beberapa aliansi (pakar TI) menilai rumusan

pasal tersebut (pasal 27 ayat 3 UU ITE) sangatlah lentur dan bersifat keranjang

sampah dan multi intrepretasi. Rumusan tersebut tidak hanya menjangkau pembuat

muatan tetapi juga penyebar dan para moderator milis, maupun individu yang

melakukan forward ke alamat tertentu. Dia juga mengatakan bahwa pasal 27 ayat 3

ini juga sering disebut pasal karet, memiliki sanksi denda hingga Rp. 1 miliar dan

penjara hingga enam tahun.

Artikel yang diposting oleh Budiawan tersebut mendapat reaksi positif dari

teman blognya, Kevin McDonald. Ia mengomentari artikel tersebut dengan melihat

dari sudut pandang proses persidangan. “Guys, jangan lupa. Pas proses persidangan,

jangan anggap remeh proses awal kasus tersebut. Mulai dari BAP, P-21, proses

penahanan, dsb. Karena banyak kasus yang lemah perkaranya, bisa dimenangkan

hanya karena proses awal yang tidak sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Dalam

kasus Prita, BAP-nya kurang pasal ITE. Lalu ditambahkan oleh si Jaksa.

Masalahnya BAP yang kurang lengkap, tidak boleh dijadikan P-21 oleh Jaksa.

Masih harus dikembalikan ke Polisi untuk merevisi BAP-nya. Itupun juga harus

diketahui oleh si terdakwa. Belum lagi, apakah ada bukti otentik bahwa yang

membuat surat itu adalah Prita itu sendiri? Jika ya, apakah ada bukti bahwa dia yang

menyebarkannya? Karena jika yang menyebarkan bukan dia (melainkan orang lain

yang bersimpati terhadap dia), maka Pasal 27 tidak dapat dikenakan kepada dia.

Dengan demikian Prita dapat membela diri dengan dasar bahwa surat keluhan itu

adalah surat pribadi kepada kalangan terdekat (bukan untuk disebarluaskan),” ujar

McDonald dalam komentarnya.

Alasan keempat kami adalah berdasarkan link web:

“http://dkrjateng.co.cc/?p=96.”

Page 12: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

Dalam halaman web tersebut, si admin mengutip wawancara juru bicara

kepresidenan, Andi Mallarangeng, kepada wartawan di Istana Negara pada Rabu

tanggal 3 Juni 2009 mengenai kasus yang dialami oleh Prita. “Dalam rangka

menegakan hukum juga menggunakan hati dan rasa keadilan, mempertimbangkan

pula berbagai macam segi dan hukum lainnya, termasuk Undang-Undang Dasar

secara keseluruhan, sehingga penegakan hukum dan rasa keadilan berjalan bersama-

sama,” kata Andi dalam wawancara tersebut.

Empat alasan utama diataslah yang membuat kami berada pada kubu kontra,

dan karenanya kami menolak jika Ibu Prita Mulyasari ditetapkan sebagai tersangka

dan dipenjara atas tuduhan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional

menurut UU ITE Pasal 27 ayat 3.

Selain itu, kami masih mempunyai beberapa alasan lain antara lain:

Menurut anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, dalam UU Pers pasal 1

ayat 1 mengungkapkan, pers adalah wahana sosial yang mencakup menyampaikan

berita, mencari, mengolah, mengumpulkan, menyimpan berita baik secara

elektronik, cetak dan media lain yang tersedia. Media lain termasuk internet.

Sedangkan menurut Anggota Sub-Komisi Pemantauan dan Penyelidikan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Nur Kholis, menyatakan bahwa email yang

ditulis Prita merupakan bagian hak paling asasi seorang warga negara dan manusia

di sebuah negara beradab. Dia juga menilai bahwa kasus Prita bisa menjadi preseden

buruk atas penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia.

Penilaian tentang kasus yang dialami oleh Ibu Prita juga dikemukakan

Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Dr Frans J.

Rengka SH.Hum. “Kasus hukum yang menimpa Prita Mulyasari merupakan bentuk

arogansi aparat penegak hukum yang mengabaikan nilai keadilan dan kemanusiaan

bagi masyarakat kecil,” kata beliau.

“Sebagai negara hukum semua orang harus tunduk dan taat di depan hukum,

tetapi harus juga disertai dengan sejumlah pertimbangan sosial lainnya untuk

mendapatkan keadilan bagi masyarakat. Kalau praktisi hukum yang ada tetap

mengedepankan aturan secara kaku, legalistis dan formalistis, maka pasti akan ada

Page 13: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

yang dikorbankan. Dan biasanya masyarakat kecil jadi korban yang paling empuk,”

sambung Renka.

Alasan lain kami adalah menurut Pakar Teknologi Informasi Sekuriti, Ruby

Zukri Alamsyah, mengatakan, menyangkut kasus Prita Mulyasari harus ada digital

forensik agar surat elekronik (email) yang dikirim kepada pihak lain supaya dapat

dilacak siapa yang menyebarkan kepada publik.

Menurut anggota Wantimpres, Adnan Buyung Nasution, kasus yang dialami

oleh Prita bisa membungkam orang lain untuk beropini atau berpendapat. “Kasus ini

bisa mematikan semangat orang untuk menyampaikan opininya,” tutur beliau.

Adnan Buyung juga minta penegak hukum harus bisa melihat motivasi

penulis opini. Jika opininya terlalu keras, maka pihak yang merasa dirugikan bisa

memberikan jawaban balik lewat email.

Dan menurut ahli komputer dan teknologi informasi dari Universitas

Indonesia, Wahyu Catur Wibowo, keluhan atas buruknya pelayanan Rumah Sakit

Omni Internasional, yang dibuat Prita Mulyasari melalui surat elektronik atau e-

mail, dinilainya wajar. Surat yang dikirim kepada 20 temannya itu disebarluaskan

dalam situasi di mana pelaksanaan undang-undang perlindungan konsumen hingga

kini masih sangat lemah.

“Jadi wajar jika Prita mengeluh kepada teman-temannya melalui internet

karena dia tidak mau pengalaman yang menimpanya tidak terjadi kepada orang

lain,” tutur Wahyu.

Dan alasan terakhir kami adalah menurut Juniwati Gunawan, Direktur RS

International Bintaro, menilai, surat elektronik Prita Mulyasari sebagai sebuah

keluhan. “Setelah saya baca secara keseluruhan, saya menyimpulkan bahwa surat

Ibu Prita adalah sebuah keluhan dari seorang pasien,” kata Juniwati dalam

keterangannya sebagai saksi sidang Prita di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten.

C. Kesimpulan

Setelah mengumpulkan bukti-bukti yang cukup (alasan-alasan kami diatas),

kami berkeyakinan bahwa apa yang dialami oleh Ibu Prita Mulyasari adalah

ketidakadilan dalam hal menyampaikan pendapat dan ketidakadilan untuk

Page 14: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

mendapatkan hak sebagai konsumen. Kami juga meyakini bahwa Ibu Prita

Mulyasari adalah salah satu korban penyalahgunaan UU yang ada di Indonesia,

khususnya UU ITE.

Pada UU ITE, baik itu pasal 27 atau pasal yang lain, seharusnya perlu

direvisi kembali dan tidak diberlakukan terlebih dahulu kepada khalayak umum

sebelum UU tersebut benar-benar siap untuk digunakan. Jika masih saja terus

digunakan tanpa revisi, maka akan dapat menimbulkan korban-korban baru dalam

kebebasan berpendapat dengan menggunakan alat/media elektronik.

Page 15: Penerapan UU ITE Yang Salah Pada Kasus Pidana Yang Dialami Oleh Ibu Prita Mulyasari

DAFTAR PUSTAKA

http://alvianedo.web.ugm.ac.id/korelasi-kasus-prita-terhadap-uu-ite/

http://kertasburam.dagdigdug.com/2009/06/03/prita-dan-kebebasan-berbicara/

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/06/03/brk,20090603-179750,id.html

http://budiawan-hutasoit.blogspot.com/2009/06/uu-ite-kasus-prita-mulyasari-

kebebasan.html

http://dkrjateng.co.cc/?p=96