PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MENJATUHKAN...
Transcript of PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MENJATUHKAN...
PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MENJATUHKAN
PUTUSAN DILUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DILEMA
ANTARA KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM
(Analisis Putusan : Mahkamah Agung Nomor 1940 K/PID.SUS/2015)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
ULFIYAH HASAN
NIM: 11150480000013
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/ 2019 M
v
ABSTRAK
Ulfiyah Hasan. NIM 11150480000013. ”PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM
DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN DILUAR DAKWAAN JAKSA
PENUNTUT UMUM DILEMA ANTARA KEADILAN DAN KEPASTIAN
HUKUM (Analisis Putusan : Mahkamah Agung Nomor 1940 K/PID.SUS/2015)”
Program studi Ilmu Hukum, Konsetrasi Praktisi Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan hukum oleh hakim
dalam perkara tindak pidana narkotika pada Putusan Mahkamah Agung Nomor:
1940 K/Pid.Sus/2015. Secara khusus, skripsi ini mencoba mendalami terkait
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penuntut
umum dalam perkara tindak pidana narkotika pada Putusan Mahkamah Agung
Nomor: 1940 K/Pid.Sus/2015. Disamping itu, skripsi ini juga mencoba membahas
pada penilaian prinsip tujuan hukum yaitu kepastian hukum dan keadilan terhadap
tindakan hakim pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015
dalam perkara tindak pidana narkotika.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis dengan melalui pendekatan
kasus (Case Approach). Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan
menggunakan studi dokumen. Dokumen yang menjadi sumber data pada
penelitian ini adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015.
Kemudian dokumen itu diolah menggunakan metode analisis isi.
Hasil dari penelitian skripsi ini menunjukan bahwa adanya dasar
pertimbangan hakim pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1940
K/Pid.Sus/2015 yang cukup kritis dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan
jaksa penuntut umum pada perkara tindak pidana narkotika ini. Pertimbangan
tersebut memberikan suatu gambaran kepada hakim sebagai garda terkahir
penegak keadilan untuk dapat melakukan inovasi hukum serta berani keluar dari
formalisme hukum, demi tercapainya suatu keadilan. Hakim dalam melakukan
inovasi tersebut didasarkan pada prinsip kebebasan untuk dapat
mengenyampingkan hukum (contra legem) dengan membuat putusan diluar
dakwaan jaksa penuntut umum, demi mewujudkan serta menyuarakan rasa
keadilan yang ada dimasyarakat.
Kata Kunci : Putusan Hakim, Surat Dakwaan dan Tindak Pidana Narkotika
Pembimbing Skripsi : Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1969 sampai Tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT peneliti dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM
MENJATUHKAN PUTUSAN DILUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT
UMUM DILEMA ANTARA KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM
(Analisis Putusan : Mahkamah Agung Nomor 1940 K/PID.SUS/2015)” Sholawat
serta salam peneliti panjatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu „Alayhi wa
Sallam, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang
terang benderang ini.
Selanjutnya, dalam penyusunan skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan
bimbingan, arahan, dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan
ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H. M.H. M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah, S.H. M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H. M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai
Pembimbing Akademik saya yang telah berkontribusi dalam pembuatan skripsi
ini.
3. Terkhusus Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. yang telah bersedia meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam memberikan bimbingan, motivasi,
arahan, dan saran-saran yang sangat berharga kepada peneliti dalam menyusun
skripsi ini.
4. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
vii
5. Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu peneliti dalam menyediakan
fasilitas yang memadai dalam segi kepustakaan.
6. Pihak-pihak lain yang membantu peneliti dalam proses pembuatan skripsi ini.
Jakarta, 23 Agustus 2019
Peneliti
Ulfiyah Hasan
viii
DAFTAR ISI
COVER JUDUL ............................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 6
D. Metode Penelitian ................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan .............................................................. 9
BAB II KAJIAN TEORITIS PUTUSAN DAN KEWENANGAN HAKIM
A. Kerangka Konseptual ............................................................. 11
1. Putusan Hakim ................................................................... 11
2. Surat Dakwaan ................................................................... 11
3. Tindak Pidana Narkotika ................................................... 16
B. Kerangka Teori ....................................................................... 18
1. Teori Keadilan ................................................................... 18
2. Teori Asas Legalitas .......................................................... 20
3. Teori Progresif ................................................................... 22
C. Putusan Hakim dalam Perkara Pidana .................................... 24
D. Kewenangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Dalam
Perkara Pidana ....................................................................... 34
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ...................................... 41
BAB III PUTUSAN HAKIM DILUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT
UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
A. Gambaran Umum Putusan Mahkamah Agung Nomor 1940
K/PID.SUS/2015 .................................................................... 44
1. Posisi Kasus ...................................................................... 44
2. Surat Dakwaan ................................................................... 46
3. Tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum ............................... 49
4. Alasan Pemohon Kasasi .................................................... 49
ix
5. Amar Putusan ..................................................................... 50
6. Dasar Pertimbangan .......................................................... 52
BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DAN EVALUASI TINDAKAN
HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN DILUAR
DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA NARKOTIKA
A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
Diluar Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara
Tindak Pidana Narkotika Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015 ....... 55
B. Evaluasi Tindakan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
Diluar Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara
Tindak Pidana Narkotika Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015 ........ 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 71
B. Rekomendasi ........................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 74
Lampiran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hakim sebagai alat penegak hukum di Indonesia diamanahkan oleh undang-
undang untuk dapat menciptakan tujuan hukum dengan memberikan kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Kepastian hukum dan
keadilan dalam praktik penegakan hukum di Indonesia sering kali menimbulkan
sebuah perbenturan, khususnya pada penerapan hukum di pengadilan. Secara
prinsip untuk mengejar suatu kepastian seorang hakim akan memuja kepada
tekstualitas hukum, namun sering kali tekstualitas hukum tidak sejalan serta tidak
menghadirkan rasa keadilan bagi masyarakat. Hal ini menjadi suatu sorotan bagi
masyarakat, khususnya menyangkut hakim sebagai pelaksana peradilan pidana di
Indonesia yang diamanahkan untuk menjamin suatu kepastian hukum dan
memperjuangkan suatu keadilan. Perbenturan kepastian hukum dan keadilan ini
menimbulkan suatu keresahan bagi masyarakat terhadap hukum, terutama pada
putusan pengadilan yang tidak memuaskan atau kurang adil serta kurang
bertanggung jawab dalam mengadili suatu perkara. Hal tersebut membuat hukum
semakin tidak dipercaya masyarakat sebagai alat menghadirkan rasa keadilan dan
keseimbangan keadilan di hati masyarakat.
Keadilan menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat terlebih saat berada
dalam permasalahan hukum, karena keadilan merupakan salah satu sendi dasar
yang pokok serta memiliki peran paling utama bagi hakim dalam menegakan
hukum.1 Prinsip keadilan tersebutlah yang menjadikan hakim sebagai salah satu
komponen utama dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang sentantiasa di
tuntut untuk mengasah kepekaan nurani, kecerdasan moral dan profesional dalam
menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan yang tercipta pada putusannya.2
Disisi lain, hakim di Indonesia identik hanya menjadi corong undang-undang
1 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan,
Eksepsi, dan Putusan Pengadilan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h., 3. 2 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor:
047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim Jakarta, 2009, h., 3.
2
yang masih berkutat pada peraturan formal. Hal itu sesuai dengan sistem hukum
di Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental “Civil Law”. Sistem
ini telah mempengaruhi corak berpikir hakim dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya untuk memeriksa dan memutus suatu perkara pidana di
pengadilan yang harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
sifatnya tertulis karena undang-undang merupakan sumber hukum utama dalam
sistem yang dianut di Indonesia. Konsekuensi logis dari hal tersebut akhirnya
membatasi hakim untuk tidak dapat melakukan terobosan-terobosan hukum yang
mengikat masyarakat serta tidak berwenang dalam mengambil tindakan keputusan
diluar dari ketentuan peraturan perundang-undangan.
Belakangan ini hakim banyak melakukan terobosan hukum dalam
menjatuhkan suatu putusan perkara pidana yang tidak mengacu pada kententuan
peraturan perundang-undangan, sehingga menghasilkan penemuan hukum oleh
hakim dalam putusannya (Judge Made Law). Tindakan hakim dalam melakukan
terobosan hukum tersebut melahirkan sebuah permasalahan atau polemik dalam
praktek peradilan pidana, karena terobosan hakim tersebut dipandang bahwa
hukum yang dilihat secara legal tekstual kurang mampu menjangkau nilai-nilai
keadilan yang ada di masyarakat. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar bagi
masyarakat mengenai kemampuan doktrin hukum Civil Law yang tidak mampu
untuk memecahkan permasalahan yang terjadi saat ini. Tindakan hakim dalam
melakukan terobosan hukum mengubah cara berpikir hakim untuk menjalankan
tugas dan kewenangannya dalam tradisi sistem hukum Civil Law yang dianut di
Indonesia bercampur dengan tradisi sistem hukum Common Law yang lebih
melihat hukum bukan berdasarkan tekstual semata.
Tindakan hakim dalam melakukan terobosan hukum dapat ditemukan dalam
praktek peradilan pidana, salah satunya terkait Hakim Mahkamah Agung
menjatuhkan putusan diluar dari dakwaan jaksa penuntut umum. Peneliti pada
kesempatan kali ini mengkonstekstualisasikan permasalahan ini pada Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015. Pada putusan tersebut terdakwa
terjerat kasus tindak pidana narkotika yang didakwakan oleh jaksa penunut umum
dengan dakwaan primair Pasal 114 ayat (1) dan subsidair Pasal 112 ayat (1)
3
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hakim Mahkamah
Agung menilai bahwa fakta dan bukti yang disajikan di persidangan tidak
menunjukan perbuatan terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum, akan
tetapi Hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini menilai bahwa perbuatan
terdakwa dinyatakan bersalah dan telah melakukan tindak pidana yang tidak
didakwakan atau diluar pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Kasus
ini menjadi suatu hal sangat memprihatinkan apabila melihat kinerja seorang jaksa
selaku penutut umum yang terlihat kurang teliti dalam menerapkan pasal terhadap
terdakwa, sehingga Hakim Mahkamah Agung melakukan suatu terobosan hukum
dalam menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa dengan menjatuhkan
putusan diluar dari dakwaan jaksa penunut umum dalam perkara tindak pidana
narkotika ini.
Tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan diluar
dakwaan jaksa penuntut umum menimbulkan sebuah persoalan dan polemik yang
diperbincangkan oleh para kalangan praktisi hukum atau pakar hukum, karena jika
melihat secara formil suatu putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim
didasarkan atas dakwaan jaksa penuntut umum dan fakta-fakta dipersidangan
sebagaimana sesuai dengan Pasal 182 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 182
ayat (4) tersebut membatasi ruang gerak hakim dalam menjalankan
kewenangannya untuk tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa
apabila perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh jaksa penuntut umum.3 Jika
suatu dakwaan sesuai dengan fakta serta terbukti secara sah dan meyakinkan di
persidangan maka hakim dapat menjadikan dasar penjatuhan putusan pemidanaan
bagi terdakwa. Disisi lain apabila surat dakwaan tidak tepat dan tidak sesuai
dengan fakta di persidangan yang menyebabkan kesalahan terdakwa tidak terbukti
maka terdakwa diputus bebas sebagaimana sesuai dengan Pasal 191 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
3 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h., 39.
4
Tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan diluar
dakwaan jaksa penuntut umum pada Putusan Nomor 1950 K/Pid.Sus/2015 telah
bertentangan dengan ketentuan Pasal 182 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menjadi batasan bagi hakim dalam menjalankan kewenangannya. Disisi lain
hakim dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum tidak
dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan, karena hakim memiliki penalaran
tersendiri terhadap suatu perkara yang dihadapkan kepadanya dengan
menggunakan hati nurani dan pandangannya demi tercapainya keadilan secara
substansial. Penalaran itulah yang menggambarkan suatu terobosan hukum yang
dilakukan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penuntut
umum ini.
Tindakan hakim dalam melakukan terobosan hukum dengan menjatuhkan
putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum pada perkara tindak pidana
narkotika ini menjadi sesuatu yang menarik untuk melihat perkembangan ilmu
hukum yang telah dikembangkan oleh aparat penegak hukum (hakim). Tema ini
menjadi sesuatu yang penting untuk melihat apakah teori hukum yang ada cukup
membantu hakim dalam menerapkan hukum pada konteks putusan diluar dakwaan
jaksa penuntut umum ini, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian secara
khusus dengan menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul
“PENERAPAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MENJATUHKAN
PUTUSAN DILUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DILEMA
ANTARA KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM (Analisis Putusan :
Mahkamah Agung Nomor 1940 K/PID.SUS/2015)”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti memberikan identifikasi
masalah yang akan dijadikan bahan penelitian sebagai berikut:
a. Apa yang diamanahkan oleh hukum kepada Hakim Mahkamah Agung
ketika adanya benturan antara kepastian hukum dengan keadilan?
5
b. Apa yang lebih diprioritaskan oleh Hakim Mahkamah Agung ketika
adanya perbenturan antara kepastian hukum dengan keadilan?
c. Apa tolak ukur yang gunakan oleh Hakim Mahkamah Agung ketika lebih
mengutamakan keadilan dari pada kepastian hukum?
d. Apakah tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan
yang tidak sesuai dengan surat dakwaan jaksa penuntut umum
dibenarkan?
e. Apakah ada aturan yang memperbolehkan Hakim Mahkamah Agung
menjatuhkan putusan di luar dakwaan jaksa penuntut umum?
f. Apakah menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum
bertentangan dengan ketentuan hukum acara pidana?
g. Apakah tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan
diluar dakwaan jaksa penuntut umum mengubah tradisi sistem hukum
Civil Law di Indonesia?
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah serta identifikasi masalah peneliti,
agar penelitian lebih fokus dan tidak meluas dari pembahasan yang dimaksud
serta untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dengan permasalahan diluar
wilayah penelitian, untuk itu peneliti memberi batasan-batasan demi
mempertajam pembahasan penelitian ini yaitu sebagai berikut:
a. Skripsi ini berfokus pada penilaian prinsip tujuan hukum dalam
penelitian ini yaitu prinsip kepastian hukum dan keadilan terhadap
tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan diluar
dakwaan jaksa penuntut umum pada perkara tindak pidana narkotika.
b. Skripsi ini berfokus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1940
K/Pid.Sus/2015 terkait putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum
dalam perkara tindak pidana narkotika.
c. Skripsi ini berfokus mengevaluasi tindakan Hakim Mahkamah Agung
dan penilaian peneliti terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat,
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Putusan Mahkamah Agung
dalam penelitian ini.
6
3. Perumusan Masalah
Agar penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik, maka perlu dibuat
beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam
menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum dalam
perkara tindak pidana narkotika pada Putusan Nomor 1940
K/Pid.Sus/2015?
b. Apakah Hakim Mahkamah Agung sudah menerapkan hukum dengan
benar dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum
dalam perkara tindak pidana narkotika pada Putusan Nomor 1940
K/Pid.Sus/2015?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga dengan
tujuan tersebut dapat diperoleh solusi atau jawaban atas masalah yang dihadai
pada penelitian ini. Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan
di atas, maka tujuan yang hendak dicapai adalah:
a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam
menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum dalam
perkara tindak pidana narkotika pada Putusan Nomor 1940
K/Pid.Sus/2015.
b. Untuk mengetahui penerapan hukum oleh Hakim Mahkamah Agung
dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum dalam
perkara tindak pidana narkotika pada Putusan Nomor 1940
K/Pid.Sus/2015
2. Manfaat Penelitian
Nilai suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat
diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan peneliti dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
7
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan
pengetahuan kepada Ilmuan Hukum/ Praktisi Hukum dalam konteks sebuah
terobosan hukum, ketika terdapat suatu pertentangan tujuan hukum antara
kepastian dan keadilan terutama dalam penanganan perkara-perkara pidana
jika terjadi dakwaan yang tidak terbukti secara sempurna namun ditemukan
pasal diluar dakwaan.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan
pertimbangan bagi calon hakim/ hakim dan komponen penegak hukum
untuk memperhatikan prinsip-prinsip dan aturan hukum secara bijak dalam
menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum.
D. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan pada penelitian ini merupakan
penelitian Yuridis4. Penelitian ini berfokus untuk menelaah dan mengevaluasi
atau menilai tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam menerapkan norma atau
aturan yang tertuang pada undang-undang dalam sebuah putusan yang
berkaitan dengan perkara tindak pidana narkotika. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kasus (Case Approach) yang dilakukan dengan menelaah terhadap
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015 yang berfokus pada
pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini hingga sampai pada
suatu putusan. Selain itu, peneliti juga mengevaluasi terhadap tindakan Hakim
Mahkamah Agung dalam menerapan hukum pada perkara tindak pidana
narkotika dari sudut pandang tujuan hukum itu sendiri yaitu kepastian hukum
dan keadilan.
2. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini berupa informasi terkait
pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015 dalam
4 Penelitian Yuridis (empiris) merupakan penelitian non-doctrinal research yang berpijak
dari adanya kesenjangan antara norma hukum yang ada dengan pelaksanaanya. Lihat Bambang
Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1999), h., 43.
8
menjatuhkan putusan diluar surat dakwaan jaksa penuntut umum pada perkara
tindak pidana narkotika. Selain itu, peneliti juga menggunakan data berupa
informasi terkait penerapan hukum oleh Hakim Mahkmah Agung dalam
menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum pada perkara
tindak pidana Narkotika pada Putusan Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015.
Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder5 berupa dokumen
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1950 K/Pid.Sus/2015 yang diterbitkan oleh
Mahkamah Agung. Adapun informasi tersebut kemudian dikelompokan
menjadi 2 (dua) data sebagai berikut :
a. Data Primer
Data primer dari penelitian ini merupakan data tumpuan yang digunakan
oleh peneliti untuk menjawab pertanyan penelitian dalam skripsi ini.
Adapun data primer yang digunakan pada penelitian ini yaitu berupa
pertimbangan Hakim Mahkamah Agung pada Putusan Nomor 1940
K/Pid.Sus/2015 dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penunut
umum dalam perkara tindak pidana narkotika. Selain itu, penerapan hukum
oleh Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan Putusan diluar dakwaan
jaksa penuntut umum dalam tindak pidana narkotika pada Putusan Nomor
1940 K/Pid.Sus/2015.
b. Data Sekunder
Data sekunder pada penelitian ini merupakan data yang digunakan oleh
peneliti untuk mendukung dan melanjutkan penulisan pada BAB II. Peneliti
membutuhkan data yang menjadi kriteria untuk menilai pertimbangan dan
penerapan Hakim Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan diluar
dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara tindak pidana narkotika yang
tersimpan didalam peraturan perundang-undangan. Adapun data yang
dimaksud dalam penelitian ini sebagai berikut:
1) Undang-undang Dasar Tahun 1945
5 Sumber data sekunder (secondary data) merupakan data yang diperoleh hasil penelitian
dan pengolahan orang lain, atau data dalam bentuk dokumen yang telah tersedia. Lihat Hilman
Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju,
1995, h.,65.
9
2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
4) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
Selanjutnya peneliti menggunakan metode pengumpulan data berupa
studi dokumen yang diawali dengan membaca isi dokumen Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015 yang memuat
pertimbangan Hakim serta penerapan Hukum oleh Hakim Mahkmah Agung
dalam menjatuhkan putusan yang diluar dakwaan jaksa penuntut umum
dalam tindak pidana narkotika.
3. Metode Analisis Data
Untuk menganalisis data maka peneliti menggunakan metode analisis
deskriptif dan evaluatif berdasarkan Putusan Mahmakah Agung Nomor 1950
K/Pid.Sus/2015. Metode analisis deskriptif digunakan untuk memaparkan
informasi berupa pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan
putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum. Metode evaluatif digunakan
untuk mengevaluasi tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam menerapkan
hukum yang tertuang di dalam putusan tersebut.
4. Teknik Penulisan
Dalam penelitian skripsi ini peneliti menggunakan teknik penyusunan
dan sistematika penelitian yang berpedoman pada Buku Pedoman Penelitian
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2017.
E. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian skripsi, ada suatu sistematika pembahasan yang disajikan
oleh peneliti untuk mempermudah penjelasan materi secara menyeluruh yang
akan dibahas dalam skripsi ini. Peneliti menyusun sistematika pembahasan yang
terbagi menjadi lima BAB, diantaranya sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
10
BAB I ini terdiri dari uraian latar belakang masalah yang akan
diteliti, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
BAB II KAJIAN TEORITIS PUTUSAN DAN KEWENANGAN
HAKIM
BAB II ini terdiri dari kajian pustaka yang menguraikan kerangka
konseptual, kerangka teoritis, putusan dan kewenangan hakim serta
tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III PUTUSAN HAKIM DILUAR DAKWAAN JAKSA
PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA
NARKOTIKA
BAB III ini menguraikan data penelitian yang memuat gambaran
umum terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 1940
K/Pid.Sus/2015 dalam perkara tindak pidana narkotika
BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DAN EVALUASI
TINDAKAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN
DILUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM
PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
BAB IV ini menyajikan analisis dan interpretasi temuan yang
menjadi dasar pertimbangan hakim menjatuhkan putusan diluar
dakwaan dan mengevaluasi tindakan hakim dalam menjatuhkan
putusan diluar dakwaan dalam perkara tindak pidana narkotika.
BAB V PENUTUP
BAB V ini merupakan bagian akhir yang menyajikan kesimpulan
hasil penelitian berikut rekomendasi yang dapat peneliti berikan
terkait penelitian ini.
11
BAB II
KAJIAN TEORITIS PUTUSAN DAN KEWENANGAN HAKIM
DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN DALAM PERKARA PIDANA
Pada Bab 2 (dua) ini peneliti memaparkan beberapa poin penting yang diri
dari 5 (lima) subbab pembahasan. Subbab pertama berisi pemaparan terkait
kerangka konseptual. Subbab kedua berisi pemaparan terkait kerangka teori yang
digunakan untuk menganalisis pada penelitian ini. Subbab ketiga berisi
pemahaman terkait putusan Hakim/Pengadilan. Subbab keempat berisi
pemahaman terkait kewenangan Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam
perkara pidana. Subbab kelima, peneliti mencoba menghadirkan beberapa
penelitian terdahulu yang sudah pernah dilakukan oleh sejumlah kalangan.
A. Kerangka Konseptual
1. Putusan Hakim
Berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut acara yang diatur
dalamundang-undang. Pengertian hakim itu sendiri merupakan pejabat
peradilan negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk
mengadili. Pada ketentuan Pasal 1 angka 9 bahwa yang dimaksud dengan
mengadili adalah serangkaian tindakan hakim, untuk menerima, memeriksa,
memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di
sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang. Hakim disebutkan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi adalah pejabat
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-
undang
2. Surat Dakwaan
Mangasa Sidabutar menyatakan bahwa surat dakwaan ialah sebentuk
surat resmi yang dibuat oleh jaksa penuntu umum, diberi penanggalan yang
lengkap dan ditandatanganinya yang menerangkan identitas tersangka yang
12
didakwa,uraian tindak pidana yang didakwakan, kapan dan dimana tindak
pidana itu dilakukan yang tersusun secara cermat, jelas, dan lengap”.1
Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur mengenai adanya
definisi tentang surat dakwaan, melainkan hanya mengatur mengenai syarat-
syarat yang harus dipenuhi dan hal-hal yang berhubungan dengan surat
dakwaan. Surat dakwaan oleh kebanyakan pakar hukum di Indonesia, diartikan
sebagai sebuah surat/akta yang dibuat oleh jaksa penuntut umum yang berisi
perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, berdasarkan
kesimpulan dari hasil penyidikan.
1. Syarat Surat Dakwaan
Dalam Pasal 143 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah diatur
mengenai isi surat dakwaan yang juga merupakan syarat surat dakwaan
yang harus dipenuhi oleh Jaksa Penuntut Umum. Adapun 2 (dua) syarat
surat dakwan antara lain sebagai berikut :
a. Syarat Formil yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memuat:
(1) Diberi tanggal,
(2) Memuat identitas terdakwa secara lengkap, meliputi:
1) Nama lengkap
2) Tempat lahir
3) Umur/ tanggal lahir
4) Jenis kelamin
5) Kebangsaan
6) Tempat tinggal
7) Agama
8) Pekerjaan
(3) Ditandatangani oleh Penuntut Umum
1 Mangasa Sidabutar, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya
Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h., 26.
13
b. Syarat Materil yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memuat unsur yang tidak
boleh dilalaikan:
(1) Uraian cermat, artinya surat dakwaan harus didasarkan kepada
undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, dan harus
memperhatikan:
1) Apakah ada pengaduan dalam hal delik aduan,
2) Apakah penerapan hukum/ ketentuan pidananya sudah tepat
3) Apakah terdakwa dapat dipertanggung jawabkan dalam
melakukan tindak pidana tersebur
4) Apakah tindak pidana tersebut belum/ sudah kadaluarsa
5) Apakah tindak pidana yang dilakukan itu tidak “Nebis In Idem”.
(2) Jelas, artinya surat dakwaan harus merumuskan unsur-unsusr dari
tindak pidana sekaligus mempadukan dengan uraian perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan
(3) Lengkap, artinya uraian surat dakwaan harus mencangkup semua
unsur yang ditentukan oleh undang-undang secara lengkap.
(4) Menyebutkan waktu (tempus delicti) dan tempat tindak pidana
dilakukan (locus delicti).
Secara materil, suatu surat dakwaan dipandang telah memenuhi syarat
apabila surat dakwaan tersebut telah memberi gambaran secara bulat dan
utuh tentang:
1) Tindak pidana yang dilakukan,
2) Siapa yang melakukan tindak pidana tersebut,
3) Dimana tindak pidana dilakukan,
4) Bilamana/ kapan tindak pidana dilakukan,
5) Bagaimana tindak pidana dilakukan,
6) Akibat apa yang ditimbulkan tindak pidana tersebut (delik materill),
7) Ketentuan-ketentuan pidana yang diterapkan.
Dapat diformulasikan bahwa syarat formil ialah syarat formalitas surat
dakwaan, sedangkan syarat materil syarat yang berkenaan dengan substansi
14
surat dakwaan. Kedua syarat tersebut harus dipenuhi, apabila tidak
terpenuhinya syarat formil menyebabkan surat dakwaan dapat dinyatakan
tidak dapat diterima (niet ontyankelijk) serta dapat dibatalkan
(vernietigbaar). Jika tidak terpenuhinya syarat materil menyebabkan
dakwaan batal demi hukum (absolut niettig).
2. Bentuk Surat Dakwaan
a. Dakwaan Tunggal/ Biasa
Surat dakwaan tunggal/ biasa merupakan surat dakwaan yang disusun
dalam rumusan tunggal. Adami Chazawi mendefinisikan surat dakwaan
tunggal merupakan surat dakwaan yang dalam uraiannya hanya
menuduhkan satu jenis tindak pidana tanpa disertai dakwaan pengganti,
dakwaan subsidair, atau dakwaan lainnya.2 Surat dakwaan tunggal hanya
berisi satu dakwaan saja atau perbuatan yang dilakukan terdakwa hanya
merupakan satu tindak pidana saja, karena tidak terdapat kemungkinan
untuk mengajukan dakwaan alternatif ataupun dakwaan pengganti
lainnya.
b. Dakwaan Alternatif
Menurut Laden Marpaung bentuk dakwaan alternatif merupakan
dakwaan yang memuat beberapa dakwaan yang diutarakan kata “atau”,
maksudnya dakwaan alternatif memberikan pilihan kepada hakim atau
pengadilan untuk menentukan dakwaan mana yang dipertanggung
jawabkan kepada terdakwa karena tindak pidana yang dilakukan.3 Dalam
surat dakwaan alternatif terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara
berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat
mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini
digunakan apabila belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana
yang paling tepat dapat dibuktikan, meskipun dakwaan terdiri dari
beberapa lapisan tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan.
2 Adami Chazawi, Kemahiran dan Keterampilan Praktik Hukum Pidana, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2013), h., 41. 3 Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (di Kejaksaan dan Pengadilan
Negeri Upaya Hukum Eksklusif Bagian Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h., 44.
15
c. Dakwaan Subsidair (Subsidiary)
Dakwaan secara subsidair yaitu diurutkan mulai dari yang paling
berat hingga yang paling ringan digunakan dalam tindak pidana yang
berakibat peristiwa diatur dalam pasal lain pada KUHP. Dakwaan
subsidair menggantikan dakwaan primair seandainya penuntut umum
tidak mampu membuktikan dakwaaan primair. Hakim dalam mengadili
suatu perkara terlebih dahulu memeriksa dakwaan primair dan jika
dakwaan primair tidak terbukti, maka hakim akan memeriksa dakwaan
subsidair dan apabila masih tidak terbukti maka diperiksalah dakwaan
yang lebih subsidair. Dalam praktiknya surat dakwaan subsidair sering
disebut juga dakwaan alternatif, karena pada umumnya dakwaan disusun
oleh jaksa penuntut umum menurut bentuk subsidair, artinya tersusun
primer dan subsidair.
d. Dakwaan Kumulatif
Hendar Soetarna mendefinisikan dakwaan kumulatif merupakan
dakwaan bertitik tolak pada adanya perbarengan (concursus) baik
perbarengan tindak pidananya ataupun perbarengan pelakunya.
Perbarengan tindak pidana ditemukan apabila terdakwa melakukan
beberapa perbuatan yang harus dipamdang sebagai perbuatan yang
berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan.4 Sementara Lilik
Mulyadi menyatakan dakwaan kumulatif dibuat oleh penuntut umum
apabila seorang atau lebih terdakdwa melakukan lebih dari satu
perbuatan pidana dimana perbuatan tersebut harus dianggap berdiri
sendiri atau juga dapat dikatakan tidak ada kaitannya satu dengan
lainnya”.5
e. Dakwaan Kombinasi
Adami Chazawi menyatakan dakwaan kombinasi merupakan
dakwaan yang menuduhkan beberapa tindak pidana pada terdakwa
4 Hendra Soetarno, Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, (Bandung: PT. Alumni,
2011), h., 33. 5 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan,
Eksepsi, dan Putusan Pengadilan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h., 59-60.
16
dengan mengombinasikan antara beberapa bentuk surat dakwaan secara
kumulatif.6 Dakwaan kombinasi merupakan kombinasi/gabungan dari
dakwaan yang berbentuk alternatif dengan dakwaan yang berbentuk
subsidair atau antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan subsidair atau
antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan dakwaan alternatif dan
sebagainya. Timbulnya bentuk dakwaan ini seiring dengan
perkembangan dibidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam
bentuk atau jenisnya maupun dalam modus operadi yang dipergunakan.
3. Tindak Pidana Narkotika
Nakotika secara etimologi berasal dari bahasa Inggris narcose atau
narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan. Kata narkotika juga berasal
dari Yunani yaitu narkoun yang artinya membuat lumpu atau membuat mati
rasa.7 Secara etimologi terminologis narkotika dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia ialah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa
sakit, menimbulkan rasa ngantuk atau merangsang. Sementara itu, Wilson
Nadaek menjelaskan didalam bukunya mengenai definisi Narkotika menurut
Elijah Adams bahwa narkotika adalah terdiri dari zat sisntetis dan semi sintetis
yang dikenal adalah heroin yang terbuat dari morfhine yang tidak
dipergunakan, tetapi banyak nampak dalam perdagangan-perdagangan gelap.
Selain itu, narkotika ini juga dikenal dengan istilah dihydo morfhine.8
Smith Kline dan French Clinical memberikan definisi narkotika yaitu
“Narkotic are drugss which product insensibility or stuporduce to their
depresnat offer on the central nerveous system, inclided in this definition are
opium-opium derivativis (Morhphine, codein, methadone).” Memiliki arti
sebagai zat-zat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan
dikarenakan zat-zat tersebut berkerja mempengaruhi susunan pusat syaraf.
Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari
6 Adami Chazawi, Kemahiran dan Keterampilan Praktik Hukum Pidana, … h., 89
7 Hari Sasangka, Narkotika dan Prikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa
dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba ,(Bandung: Mandar Maju, 2003), h., 35. 8 Wilson Nadaek, Korban dan Masalah Narkotika, (Bandung: Indonesia Publing House,
1983), h., 122.
17
candu seperti motphin, codein, heroin atau zat-zat yang dibuat dari candu
seperti meripidin dan methodan. 9
Tindak pidana narkotika itu sendiri di Indonesia diatur didalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atas perubahan dari Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 ini berguna untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
narkotika yang sangat merugikan, serta membahayakan kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara. Selain itu dalam rangka melindungi masyarakat dari
bahayanya narkotika, undang-undang narkotika ini memiliki cakupan yang
sangat luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun mengatur
mengenai sanksi pidana.
1. Penggolongan Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Secara garis besar tindak pidana narkotika secara umum dikenal dalam
beberapa bentuk, yaitu :10
a. Penyalahgunaan/melebihi dosis: menggunakan atau memakai narkotika
secara illegal/tidak dibenarkan, hal ini disebabkan oleh banyak hal seperti
stress, kehilangan jati diri dan kepercayaan diri, pergaulan, kepentingan
seksual, menghilangkan frustasi dan lain sebagainya.
b. Pengedaran Narkotika: distribusi narkotika yang terlibat jaringan
narkotika baik nasional maupun ietrnasional.
c. Jual beli Narkotika, ini dikarenakan matavasi komersil atau kepuasan.
d. Produksi Narkotika, usaha membuat atau menghilangkan arkotika baik
dalam negeri maupun luar negeri.
2. Penggolongan Jenis Narkotika
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
digolongkan ke dalam 3 (tiga) jenis golongan, yaitu:
a. Narkotika Golongan I yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
9 Smith Kline dan French Clinical, A Manual For Law Enforcemen Officeer Drugs Abuse,
(Pensilvania: Philladelphia, 1969), h., 91. 10
Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika Cetakan Kedua, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2003), h., 1.
18
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contoh : Heroin, Kokain, Daun Kokain, Opium, Ganja,
Shabu, Katinon, MDMA/ecstasy dan lebih dari 65 macam jenis lainnya.
b. Narkotika Golongan II yaitu narkotika yag berkhasiat untuk pegobatan
yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh :
Morfin, Petidin, Metadon.
c. Narkotika Golongan III yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak diguakan dalam terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh :
Codein, Burprenofin, Etilmorfina, Kodeina, Nikokodina, Polkodina,
Propiram.
B. Kerangka Teori
1. Teori keadilan
Idealnya tujuan hukum itu terciptanya 3 (tiga) unsur yaitu kepastian hukum,
keadilan hukum serta kemanfaatan. Untuk menciptakan ketiga tujuan hukum
itu terwujud tentu tidaklah mudah khususnya dalam menjalankan prakteknya.
Seringkali keadilan dan kepastian hukum menjadi sebuah pertentangan yang
terjadi dalam praktek kehidupan di Indonesia, terkadang kepastian hukum
berbenturan dengan keadilan maupun sebaliknya. Radbruch mengatakan perlu
adanya asas prioritas untuk mengeliminir perbenturan dari tujuan hukum itu
sendiri.11
Aristoteles dalam buku Nicomachean Ethics menguraikan secara mendasar
mengenai keadilan. Secara spesifik dalam buku ke- 5 Aristoteles itu
sepenuhnya ditunjukan bagi keadilan yang berdasarkan pada filsafat hukum
Aristoteles yang mengatakan keadilan artinya berbuat kebajikan dengan kata
lain keadilan ialah kebajikan yang utama kebajikan yang utama. Keadilan
merupakan inti dari hukum, karena hukum hanya dapat itetapkan dalam
11
Soetandyo, Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalahnya,
(Jakarta: ELSAM-HUMA, 2002), h., 184.
19
kaitannya dengan keadilan.12
Menurutnya tujuan dari hukum ialah semata-mata
untuk mewujudkan serta mencapai keadilan yang ditentukan oleh kesadaran
etis mengenai apa yang dikatakan adil dan dikatakan tidak adil.
Aristoteles menyatakan tindakan adil merupakan memberikan kepada orang
lain yang memang menjadi haknya. Dengan kata lain hukum dinilai mampu
memberikan keadilan bagi setiap orang apa yang menjadi haknya. Menurut
teori ini keadilan didasarkan pada prinsip persamaan bukan kesamarataan.
Prinsip persamaan dipandang bahwa setiap orang atau warga negara dihadapan
hukum itu sama, artinya setiap warga negara yang tinggal dalam suatu negara
diperlakukan sama satu sama lain, tidak boleh diskriminatif, pandang buluh,
dan tebang pilih.
Menurut Aristoteles teori ini dibagi kedalam dua macam keadilan. Keadilan
“distributief” dan keadilan “commulatief”. Keadilan distributief adalah
keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya.
Sedangkan keadilan commulatief adalah memberikan sama banyaknya kepada
setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal berkaitan dengan
peranan tukar menukar barang dan jasa.13
Pada prinsip ini keadilan terlaksana bila hal-hal yang sama diperlakukan
secara sama dan hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama.
Kesamaan itu dimaknai sebagai kesamaan numerik yang lazim di pahami
bahwa semua warga negara Indonesia memiliki kedudukan sama di depan
hukum dan kesamaan proposional dalam memberikan tiap orang apa yang
menjadi haknya sesuai dengan kemampuan, jasa, prestasi dan sebagainya.
Fance M. Wantu memberikan kriteria keadilan, yaitu:14
a. Adanya equality artinya memberikan persamaan hak dan kewajiban
b. Adanya kesamaan antara keadilan prosedural dengan keadilan
substansional berdasarkan efisiensi
12
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Prespektif Historis, (Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004), h., 24. 13
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 1996) h., 11-
12. 14
Fance M. Wantu, “Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan, dan kemanfaatan Dalam
Putusan Hakim di peradilan Perdata”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.12 No 3, 2012, h., 485.
20
c. Berdasarkan obyektif tiap perkara harus ditimbang sendiri
d. Mengandung autotorif yaitu memberikan jalur keluar untuk menciptakan
stabilitas yakni memberikan rasa ketertiban dan ketentuan bagi para
pihak dan masyarakat.
Sementara Hans Kelsen mengemukakan teori keadilan di dalam bukunya
general of law and state. Hans kelsen berpandangan bahwa hukum sebagai
tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan
manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan
kebahagiaan didalamnya.15
Keadilan menurut hans kelsen bermaknakan
legalitas, suatu peraturan yang umum dapat dikatakan adil apabila benar-benar
diterapkan pada suatu kasus. Suatu peraturan umum dapat dikatakan tidak adil
apabila diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang
serupa.
2. Teori Asas Legalitas
Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat
fundamental serta berperan begitu penting dalam pidana karena asas legalitas
merupakan acuan dasar bagi penegak hukum dalam menerapkan hukum pidana
atau sebagai pedoman serta jantung dalam hukum pidana, untuk menetukan
apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tidak
pidana yang terjadi.16
Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan suatu
cara untuk merealisasikan serta menjamin sebuah tujuan hukum itu sendiri
yaitu sebuah kepastian hukum.
Asas legalitas dalam hukum pidana di Indonesia ditegaskan dalam Pasal 1
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikenal dalam
bahasa belandanya “Geen feit I strafbaar dan uit kracht van een daaran
voorafgegane wettelijke strafbepaling” menyatakan bahwa tiada suatu
perbuatan (feit) dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana (wettelijk straf bepaling) yang ada sebelumnya.
Dalam bahasa latin asas legalitas biasa dikenal sebagai “Nullum delictum
15
Hans Kelsen, General Theory of Law and state, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,
(Bandung: Nusa Media, 2011, h., 7. 16
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h., 59.
21
nullapoena sine praevia legi poenali”, yang memiliki makna bahwa “tidak ada
delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya. Sering
juga dipakai dengan istilah latin “Nullum crimen sine lege stricta” yang
dimaknai dengan tidak ada delik tanpa kententuan yang tegas.17
Romli Atmasasmita memaknai asas legalitas dalam KUHP ialah:18
1. Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindakan pidana, kecuali telah
ditentukan dalam undang-undang terlebih dulu
2. Ketntuan undang-undang harus ditafsirkan secara harfiah dan
pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran analogis
untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana
Menurut Moeljatno asas legalitas mengandung 3 (tiga) pengertian:19
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jikalau
hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan perundang-
undangan.
2. Untuk mementukan adanya perbuatan pidana tidak dapat menggunakan
analogi (kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidan tidak berlaku surut.
Secara teoritis asas ini memiliki fungsi melindungi serta fungsi
instrumental. Fungsi melindungi itu sendiri dimaknai bahwa undang-undang
pidana melingungi masyarakat terhadap kekuasaan penuh penegak hukum
dalam menentukan perbuatan apa yang dilarang dalam suatu undang-undang.
Fungsi melindungi ini lebih mengacu pada hukum pidana materil (hukum
pidana). Fungsi intrumental diartinya bahwa batas-batas yang ditentukan oleh
undang-undang dalam melaksanakan penegakan hukum oleh aparatur penegak
hukum secara tegas diperbolehkan dalam menjalankan kekuasannya. Fungsi
instrumental ini lebih mengacu pada hukum pidana formil (hukum acara
pidana).
17
BPHN, Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indoneisa dalam Perkembangan
Masyarakat Kini dan Mendatang, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Dapartemen
Hukum dan HAM RI, 2003), h.,17. 18
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: CV. Mandar Maju,
2000), h., 48. 19
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h., 25.
22
3. Teori Hukum Progresif
Satjipto Rahardjo memperkenalkan suatu gagasan untuk mengatasi
persoalan realitas hukum di Indonesia dengan istilah teori hukum progresif
yang berangkat dari sebuah maksim bahwa hukum adalah suatu institusi yang
bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih adil, sejahtera,
dan membuat manusia bahagia. Hukum progresif itu sendiri merupakan
mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan
praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan.20
Berdasarkan pengertian
tersebut hukum progresif memiliki sifat untuk lebih maju dengan melakukan
tindakan radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk mengubah
peraturan perundang-undangan hukum bila perlu) agar hukum lebih
bermanfaat, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin
kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Hukum progresif merupakan hukum yang ingin melakukan pembebasan
baik dalam cara berfikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu
membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi
kepada manusia dan kemanusiaan.21
Dalam manifestornya paradigma hukum
progresif sebagaimana Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa:22
“Apabila Hukum itu bertumpu pada peraturan dan perilaku”, maka hukum
progresif lebih menempatkan faktor perilaku diatas peraturan. Dengan
demikian faktor serta kontribusi manusia dianggap lebih menentukan dari
pada peraturan yang ada”
Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah
manusia itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum positivis meyakini
kebenaran hukum diatas manusia. Paradigma hukum progresif berfikir akan
senantiasa mencari keadilan dan kemanfaatan hukum dan harus berani keluar
dari alur linier, marsinal, dan deterministic, serta lebih kearah hukum yang
20
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2006), h., 6. 21
Sudjito, Hukum Dalam Pelangi kehidupan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University,
2012) h., 133. 22
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigma Bagi
Lemahnya Hukum Indonesia, (Yogyakarta: AntonyLib, 2009), h., 177.
23
senantiasa berproses (law as process, law in the making).23
untuk mendukung
eksistensialitas kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan.24
Hukum progresif ditujukan untuk melindungi manusia menuju kepada
tujuan hukum yaitu sebuah keadilan. Mengingat hukum progresif merupakan
situasi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil,
sejahtera, dan membuat manusia bahagia.25
Secara tegas pernyataan itu berarti
hukum hanya sebagai alat untuk manusia yang bertujuan menciptakan keadilan
bagi masyarakat. Adapun keadilan yang dimaksud menurut teori ini ialah
keadilan substantif, yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas
persamaan hak dan kewajiban. Nilai-nilai tersebut berasal langsung dari
masyarakat dan bukan dari nilai-nilai tekstual dan hitam putih yang memiliki
makna terbatas serta bukan keadilan prosedur yang didapat melalui berbagai
macam prosedur-prosedur yang terkadang mengaburkan nilai-nilai keadilan itu
sendiri.
Karakteristik dari hukum progresif mencakup beberapa hal sebagai
berikut.26
a. Hukum progresif merupakan tipe hukum responsif dan peduli terhadap
hal-hal yang bersifat meta-yuridical dan mengutamakan “the search for
justice”.
b. Hukum progresif juga mengidealkan agar hukum dinilai dari tujuan
sosial dan akibat dari bekerjanya hukum.
c. Hukum progresif menghadapkan mukanya kepada “completenss,
adequacy, fact, actions and powers”.
d. Hukum progresif mengandung substansi kritik terhadap pendidikan
hukum, pembuatan, pelaksanaan sampai dengan penegakan hukum.
23
Arief Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy), (Semarang: Uinversitas
Diponegoro, 1984), h., 112. 24
Mukhidin, “Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan Rakyat”,
Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol 1 No.3, 2014, h., 281. 25
Satjipto Rahardjo, “Saatnya Mengubah Siasat dari Supremasi Hukum ke Mobilisasi
Hukum”, Kompas, Senin 26 Juli 2004 dalam Mahmud Kusuma, Menyelami SemangatHukum
Progresif, Terapi Paradigma Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, Yogyakarta: AntonyLib, 2009),
h., 52. 26
Sudjito, Hukum dalam pelangi Kehidupan, … h., 134-136.
24
e. Hukum progresif menempatkan faktor manusia lebih penting dan
berada di atas peraturan serta menempatkan konsep progresivisme
untuk menampung segala aspek yang berhubungan dengan manusia dan
hukum, baik pada saat ini maupun kehidupan ideal di masa mendatang.
C. Putusan Hakim dalam Perkara Pidana
Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai
kewenangan yang diatur didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dalam hal ini dilakukan hakim melalui putusannya. Pasal 1 angka 11 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) telah menjelaskan mengenai putusan hakim/ pengadilan
merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang di pengadilan
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur di dalam undang-undang.
Putusan hakim memiliki aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan suatu
perkara yang telah diajukan kepadanya dengan bertujuan untuk memperoleh
kepastian hukum mengenai statusnya dan dapat dipersiapkan untuk langkah
selanjutnya (upaya hukum).
Peranan hakim dalam menjatuhkan putusan tidak begitu saja dilakukan,
dalam pengambilan suatu keputusan bahwa yang diputuskan merupakan
perbuatan hukum. Hakim yang diberi kewenangan memutus suatu perkara tidak
dapat sewenang-wenang dalam menjatukan suatu putusannya. Oleh sebab itu,
Hakim dalam memutus suatu perkara atau menemukan hukum akan bercermin
pada sumber hukum yang berlaku di Indonesia agar memperoleh kekuatan yang
mengikat atau belaku. Menurut Ahmad Sanusi sumber hukum di Indonesia antara
lain:27
a. Sumber Hukum Normal yang langsung atas pengakuan Undang-Undang
yang meliputi :
1) Peraturan Perundang-undangan
2) Kebiasaan
27
Ahmad Sanusi, Rangkaian Sari Kuliah Pengantar Ilmu dan Pengantar Tata Hukum
Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1977), h., 34.
25
3) Perjanjian antar negara
b. Sumber Hukum Normal yang tidak langsung atas pengakuan Undang-
Undang yang meliputi:
1) Perjanjian
2) Yurisprudensi
3) Doktrin (pendapat para ahli hukum terkenal).
c. Sumber Hukum Abnormal yang meliputi:
1) Proklamasi
2) Revolusi,
3) Coup d’etat.
Sumber-sumber di atas merupakan sumber yang dijadikan acuan serta
pedoman bagi hakim dalam menjalankan tugasnya dalam mengadili seseorang
yang dihadapkan kepadanya di dalam sidang di pengadilan untuk memperoleh
sebuah keputusan. Untuk membuat sebuah keputusan, tentu telah diatur mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan tata cara atau proses beracara dalam menjatuhkan
suatu putusan, maka terlebih dahulu hakim telah memeriksa perkaranya melalui
proses acara sebagai berikut: 28
a. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum,
b. Terdakwa dipanggil masuk kedepan persidangan kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan identitas dan peringatan ketua sidang untuk
mendengarkan dan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam
persidangan
c. Pembacaan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum
d. Pengajuan eksepsi (keberatan) dari terdakwa atau penasehat hukum
e. Pendapat dari jaksa penuntut umum
f. Penetapan/ putusan sela
g. Pemeriksaan alat bukti berupa:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
28
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonesia (suatu Tinjauan Khusus Terhadap
Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Pengadilan), … h., 33.
26
c. Surat;
d. Petunjuk; dan
e. Keterangan terdakwa
h. Tuntutan pidana,
i. Nota pembelaan (Pledooi) terdakwa atau pesahihat hukumnya,
j. Replik
k. Duplik
l. Pernyataan pemeriksaan sidang “ditutup” serta Majelis Hakim
melakukan musyawarah untuk menjatuhkan putusan.
m. Pembacaan putusan dengan ditanda tangani oleh hakim dan panitera
Adapun setelah pemeriksaan dinyatakan ditutup sebagaimana poin l di
atas, hakim akan mengadakan musyawarah terakhir dengan tujuan untuk
mencapai kesepakatan tentang keputusan yang akan diambil atau dijatuhkan
terhadap terdakwa dalam perkara pidana. Dalam musyawarah tersebut harus
didasarkan atas surat dakwaan jaksa penuntut umum dan fakta-fakta yang
terungkap disidang pengadilan atau segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan, dalam ini sesuai berdasarkan ketentuan
yang ada di Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang berbunyi:
“Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat
dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti di persidangan”.
Ketentuan diatas memperlihatkan makna bahwa surat dakwaan
merupakan dasar pemeriksaan yang digunakan di sidang pengadilan
kemudian menjadi dasar putusan hakim. Dengan kata lain, pemeriksaan dan
putusan hakim terbatas pada apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut
umum.29
Hakim tidak akan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa mengenai
suatu perbuatan yang walaupun terbukti di persidangan dilakukan oleh
terdakwa tetapi tidak tercantum dalam dakwaan penuntut umum.
Pada dasarnya seseorang yang dihadapkan di persidangan pengadilan
hanya akan dijatuhi hukuman apabila telah terbukti melakukan tindak pidana
seperti apa yang telah didakwakan, karena surat dakwaan sangat berkaitan
29
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, Surat Dakwaan, (Bandung: Alumni, 1987), h., 124.
27
erat dengan asas legalias yang merupakan asas terpenting dalam hukum
pidana, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang ada sebelumnya”. Asas
berlakunya hukum pidana dituangkan dalam surat dakwaan yang menunjukan
waktu dan tempat terjadinya delik yang didakwakan, sehingga dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan harus bertitik tolak pada apa yang
dirumuskan pada surat dakwaan untuk memperoleh keyakinan hakim bahwa
dakwaan yang dituduhkan kepada terdakwa terbukti meyakinkan secara sah
melakukan tindak pidana yang sudah didakwakan.
Andi Hamzah menyimpulkan dalam mengadili perkara pidana hakim
dibatasi oleh asas legalitas baik hukum substantif maupun hukum acara dan
dibatasi oleh dakwaan Jaksa Penuntut Umum.30
Menurutnya hakim tidak
boleh memutus diluar yang didakwakan jaksa penuntut umum, karena
dominus litis adalah jaksa yang mewakili negara. Hakim yang memiliki
prinsip kebebasan dan kemerdekaan hakim dalam memutus suatu perkara
pidana tergantung pada bebas atau merdeka tidaknya penuntut umum.31
Untuk menjatuhkan sebuah keputusan yang telah dimusyawarahkan
oleh Hakim Majelis tidak menghasilkan permufakatan yang bulat maka dapat
diberlakukan ketentuan sebagai berikut: 32
a. Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak
b. Jika keputusan suara terbanyak tidak berhasil dicapai, maka putusan
yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi
terdakwa
c. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dicapai mufakat bulat, maka
pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan
Hakim dalam menciptakan putusannya juga perlu memperhatikan
terkait susunan atau sistematika dan isi putusan hakim, sebagaimana yang
30
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, … h., 11. 31
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, … h., 8. 32
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2008),
h., 350.
28
telah diatur dalam Pasal 197 dan Pasal 199 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP terhadap isi putusan Hakim
yang berisikan pemidanaan haruslah memenuhi unsur atau syarat. Adapun
syarat-syarat yang harus dimasukan kedalam suatu putusan sebagai berikut:
a. Kepala Putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa:
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan
atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan
yang meringankan terdakwa;
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan
pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana
Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan;
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
29
Dengan demikian apabila terdakwa diputus oleh Hakim dengan putusan
pemidanaan maka unsur yang tertuang dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c,
d, e, f, g, h, dan i harus terpenuhi, apabila tidak terpenihunya unsur tersebut
maka mengakibatkan putusan batal demi hukum sesuai dengan ketentuan
yang tertuang dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Pada ketentuan Pasal 199
ayat (1) KUHAP mengatur bahwa suatu putusan yang berisikan bukan
pemidanaan harus memuat unsur yang perlu dipenuhi yakni sebagai berikut:
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali
huruf e, f, dan h;
b. Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas dari segala tuntutan hukum
dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar putusan;
c. Perintah supaya terdakwa segara dibebaska jika ia ditahan.
Setelah hakim melewati tata cara serta proses beracara di sidang
pengadilan untuk menjatuhkan suatu putusan dan hakim telah memeperoleh
atau mendapatkan keputusan dari hasil musyawarah yang dilakukan oleh
Hakim Majelis. Hasil dari putusan hakim/ pengadilan harus diucapkan
disidang terbuka untuk umum dengan ditanda tangani oleh hakim dan
panitera untuk memperoleh suatu putusan pengadilan yang sah dan
mempunyai kekuatan hukum.
1. Jenis-Jenis Putusan
Putusan pengadilan merupakan titik puncak atau akhir atau kulminasi
dari seluruh proses rangkaian hukum acara di persidangan.33
Bertitik tolak
dari kemungkinan hasil penilaian majelis hakim yang akan dijatuhkan
pengadilan mengenai suatu perkara dapat bermacam-macam. Pada asasnya
putusan hakim/ pengadilan dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam,
yaitu sebagai berikut:34
a. Putusan Akhir
33
Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009), h., 223. 34
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya, (Bandung: PT. ALUMNI, 2007), h., 205.
30
Putusan akhir lazimnya disebut dengan istilah “eind vonnis” dan
putusan yang bersifat materil. Putusan ini terjadi setelah Majelis Hakim
telah memeriksa terdakwa yang hadir hingga sampai dengan pokok
perkara yang diperiksa selesai sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal
182 ayat (3), ayat (8), Pasal 197 dan Pasal 199 KUHAP. Putusan akhir ini
bertujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara dalam suatu
tingkatan peradilan tertentu baik Pengadilan tingkat pertama, Pengadilan
Tinggi dan Mahkamah Agung.
b. Putusan yang Bukan Akhir
Putusan yang bukan akhir dapat berupa “penetapan” atau “putusan sela”
atau “tussen-vonnis”. Putusan jenis ini mengacu kepada ketentuan Pasal
148, Pasal 156 ayat (1) KUHAP, setelah pelimpahan perkara dan pihak
terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan/ eksepsi terhadap
surat dakwaan jaksa penuntut umum. Secara formal putusan ini dapat
mengakhiri perkara jika terdakwa atau penasihat hukum serta penuntut
umum telah menerima apa yang diputuskan oleh Majelis Hakim. Secara
materil, perkara dapat dibuka kembali jika jaksa penuntut umum
melakukan perlawanan dan perlawanan dibenarkan oleh Pengadilan Tinggi
memerintahkan Pengadilan Negeri untuk melanjutkan pemeriksaan
perkara yang bersangkutan.
Sementara itu, Rusli Muhammad membedakan klasifikasi bentuk suatu
putusan dapat digolongkan ke dalam tiga macam, yaitu:35
a. Putusan bebas dari segala tuduhan hukum (Vrijspraak)
Wirjono Projodikoro mengartikan Putusan bebas dari segala tuduhan
hukum ialah pembebasan terhadap terdakwa atau pembebasan murni
terhadap terdakwa.36
Putusan bebas dari segala tuduhan hukum berarti
putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada terdakwa dengan
dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
35
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2007), h., 201. 36
Djoko Prakoso, Kedudukan Justsiabel di dalam KUHAP, (Bogor: Ghalia Indonesia,
1985), h., 270.
31
pindana sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum dari hasil
pemeriksaan di sidang pengadilan, sehingga terhadap terdakwa haruslah
dinyatakan bebas dari segala dakwaan. Penilaian bebas terhadap
putusan terdakwa tergantung pada 2 (dua) hal, yaitu37
tidak memenuhi
asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif dan tidak
memenuhi asas batas minimum pembuktian
Dasar hukum mengenai putusan bebas ini diatur dalam Pasal 191
ayat (1) KUHAP yang menyatakan:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pmeriksaan
disidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
Terdakwa diputus bebas”.
d. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag Van
Rechtsvervolging)
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum memilki arti bahwa
menurut pendapat hakim perbuatan yang tuduhkan atau didakwakan
kepada terdakwa terbukti, akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan
suatu kejahatan atau pelanggaran setelah memalui pemeriksaan
dipersidangan. Terdakwa dalam putusan ini harus di lepas dari segala
tuntutan hukum.38
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini di atur
pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang bunyi sebagai berikut:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana maka Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum”
e. Putusan yang mengandung pemidanaan (Veroordeling)
Andi Hamzah mengutip rumusan Van Bemmelen sebagai berikut:39
“Een veroordeling zal de rechter uitsprenken, als hij de
overtuiging heeft verkregen, dat de verdachte het the laste gelegde
feit heeft begaan en hij feit en verdachte ook strafbaar acht”
37
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2010), h., 348. 38
Djoko Prakoso, Kedudukan Justsiabel di dalam KUHAP, … h., 272. 39
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, … h.,286.
32
(Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat
keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang
didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa
dapat dipidana).
Putusan pemidanaan ini merupakan putusan yang membebankan
suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan yang didakwakannya
terbukti secara sah dan meyakinkan terdakwa telah salah melakukan
perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Putusan hakim
ini tidak pernah terlepas dari sistem pembuktian negatif sebagaimana
yang tertuang didalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP yang memiliki prinsip bahwa suatu putusan
pemidanaan dapat dijatuhkan kepada terdakwa sekurang-kurangnya 2
(dua) alat bukti yang sah menurut undang-undang dan keyakinan dari
hakim dengan integritas moral yang baik. Dengan kekuatan 2 (dua) alat
bukti ini akan memperoleh keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana
benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah telah melakukannya40
Permidanaan dalam putusan ini mengandung arti bahwa Terdakwa
dijatuhi hukuman pidana yang sesuai dengan apa yang ancaman yang
ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa
penunut umum kepada terdakwa. Putusan pemidanaan ini telah diatur
pada Pasal 193 ayat (3) KUHAP yang menyatakan “Jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
2. Teori Penjatuhan Putusan
Menurut Maekenzie terdapat beberapa teori yang digunakan oleh hakim
dalam menjatuhkan putusan dalam suatu kasus, diantaranya :
a. Teori keseimbangan
Hakim dalam melakukan tugasnya dalam mengadili suatu perkara
tidaklah hanya mengacu dengan berbagai hal yang disajikan tanpa
40
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Presfektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar grafika, 2010), h., 112.
33
mempertimbangkan aspek keseimbangan. Keseimbangan ini dimaknai
bahwa keseimbangan antara syarat yang ditentukan oleh undang-undang
dan pihak yang berkaitan dengan perkara, seperti adanya keseimbangan
yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan
kepentingan korban.
b. Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhkan putusan hakim merupakan kewenangan dari hakim untuk
menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap
pelaku tindak pidana. Hakim akan melihat keadaan pihak yang berkasus
baik pihak terdakwa atau penuntut umum. Pendekatan seni dipergunakan
oleh hakim dalam menjatuhkan putusan yang ditentukan oleh instink atau
intuisi dari pada pengetahuan dari hakim
c. Teori pendekatan keilmuan
Dalam memutus perkara hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi
semata, akan tetapi harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-
hatian serta dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan wawasan
keilmuan hakim dalam megahadapi suatu perkara.
d. Teori pendekatan pengalaman
Hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya untuk mengadili
tentu memiliki sebuah pengalaman. Atas dasar pengalaman yang
dimilikinya, hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan
yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan
pelaku, korban maupun masyarakat.
e. Teori Ratio Decidendi
Hakim dalam menjatuhkan sebuah keputusan telah mempertimbangkan
segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan.
Aspek tersebut dapat dilihat dalam mencari peraturan perundang-
undangan yang relevan dengan perkara yang disengketakan sebagai dasar
hukum menjatuhkan putusan.
f. Teori kebijaksanaan
34
Teori yang diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, yang berkenaan
dengan putusan hakim dalam perkra di Pengadilan Anak.41
Aspek teori
ini bertujuan sebagai upaya perlindungan terhadp masayarakat dari suatu
kejahatan, perlindungan terhadap anak yang telah melakukan tindak
pidana, serta memupuk solidaritas antara keluarga dengan masyarakat
dalam rangka membina, memelihara, dan mendidik pelaku tindak pidana
anak.
D. Kewenangan dan Batas Kewenangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
Pada Perkara Pidana
1. Indenpendensi Kekuasaan Kehakiman
Indenpendensi merupakan kata benda yang berarti kemandirian, dalam
bentuk kata sifatnya yaitu independen berarti: a. yang berdiri sendiri, yang
berjiwa bebas, b. tidak terikat, merdeka, bebas.42
Indenpendensi memiliki
makna suatu keadaan dimana tidak terikat dengan pihak manapun. Dengan
kata lain, indenpedensi merupakan keberadaan hakim yang bersifat mandiri
tidak memiliki ikatan pada pihak lain dalam segala bentuk aktifitasnya, bebas,
ketidak berpihakan, atau tidak memiliki ketergantungan pada organ atau
lembaga dan dapat menjalankan tindakan sendiri termasuk membuat suatu
keputusan.
Hakim dalam mengambil putusan tidak terlepas dari kebebasannya yang
dikenal dengan Indenpedensi Kekuasaan Kehakiman. Indenpedensi kekuasaan
kehakiman di Indonesia adalah kebebasan atau kemerdekaan hakim untuk
menjalankan tugasnya menyelenggarakan peradilan secara tidak memihak,
semata-kata berdasarkan fakta dan hukum, pengaruh, bujukan, tekanan, atau
intervensi, baik langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun dan/atau
untuk alasan apapun, demi tujuan keadilan berdasarkan pancasila.
Indenpendensi merupakan suatu keharusan dalam sebuah kekuasaan
kehakiman. keharusan itu dikarenakan menjadi syarat utama
41
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Presfektif Hukum Progresif, … h.,
103. 42
Dapartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h., 655.
35
terselenggarakannya suatu peradilan yang objektif adalah adanya kemandirian
lembaga yang menyelenggarakan peradilan, yaitu kemandirian badan peradilan
sebagai sebuah lembaga (kemandirian institusional) serta kemandirian hakim
dalam menjalankan fungsinya (kemandirian individual/ fungsional).43
Selain
itu, indenpendensi juga dimaknai sebagai suatu perwujudan perlindungan hak
asasi manusia.44
J.Djohansyah mengemukakan pendapat Sir Ninian Stephen yang
menjelaskan kekuasaan kehakiman yang independen ialah “a judiciary which
dispenses justice according to law without regard to the policies and
inclinations of the goverment of the day”. Memiliki suatu pengertian bahwa
suatu peradilan yang menjalankan keadilan menurut hukum tanpa pengaruh
dari kebijakan dan tekanan pemerintah pada saat itu.45
Sementara itu, Paulus E.
Lotulung menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang independen tidak
sebebas-bebasnya tanpa ada batasan secara absolut, melainkan kekuasaan
kehakiman itu diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu menurut aturan-aturan
hukum itu sendiri, tidak melanggar hukum dan bertindak sewenang-wenang,
dan selain itu kekuasaan kehakiman juga diikat dengan pertanggung jawaban,
intergritas moral, dan etika.46
Ahmad kamil juga didalam bukunya memberikan penjelasan bahwa
“Kebebasan hakim ialah untuk memeriksa fakta-fakat hukum di persidangan
tentang obyek sengketa yang diperiksa untuk ditentukan hukum atas perkara
itu, tanpa adanya tekanan langsung dan tidak langsung kepada para hakim.
Untuk mendukung kebebasan hakim tersebut, maka pengadilan harus bebas
dari segala bentuk kekuasaan eksekutif, legistaltif, dan tekanan jurnalistik.” 47
43
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, (Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2010), h., 15. 44
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim Cetakan Kedua,( Jakarta: Kencana, 2016),
h., 212. 45
J. Djohansyah, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Indenpedensi Kekuasaan
kehakiman, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2008), h., 136. 46
Haryatmoko, Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politis, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2011), h., 138. 47
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, (Jakarta: Kencana, 2012), h., 312.
36
Indenpedensi kekuasaan kehakiman secara tegas dijamin dalam Pasal 24
ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.
Selanjutnya di implementasikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Penjabaran makna kekuasaan kehakiman yang merdeka sendiri di sebutkan
sendiri dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 sebagai berikut:
Pasal 3
(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim dan Hakim Konstitusi
wajib menjaga kemandirian pengadilan
(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak diluar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun1945.
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
Kemandirian pengadilan yang dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) adalah
bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan baik
fisik maupun psikis. Menurut Bismar Siregar dasar kemandirian hakim sangat
bergantung dari pribadinya dan kemandirian hakim bukan terletak pada
jaminan undang-undang tetapi kepada iman.48
Sementara itu, Laica Marzuki
mantan hakim Konstitusi, kemandirian kekuasaan kehakiman dimaknai
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan manapun.
Pimpinan kekuasaan kehakiman, termasuk atasan langsung tidak boleh ikut
campur tangan dalam suatu perkara yang tengah diadili oleh seorang hakim.
48
Bismar Siregar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, (Jakarta:
Rajawali, 1986), h., 3.
37
Dan seorang hakim during good behavior, dijamin kemandiriannya dalam
mengadili dan memutus suatu perkara menurut keyakinannya.49
Pada hakikatnya Indenpedensi kekuasaan kehakiman sendiri diartikan
sebagai kebebasan hakim dari segala campur tangan serta pengaruh-pengaruh
pihak kekuasaan ekstra yudisial dan internal yudisial dalam menjatuhkan
putusan. Hal tersebut dimaknai bahwa hakim bebas dari pengaruh eksekutif
maupun kekuasaan negara lainnya, kecuali dalam hal yang memang diizinkan
oleh undang-undang. Tujuan dari diatur dan ditegakkan asas kekuasaan
kehakiman yang merdeka bukanlah ditujukan pada diri pelaku kekuasaan
kehakiman itu sendiri, melainkan untuk melindungi kepentingan masyarakat
khususnya para pencari keadilan. Esensi kekuasan kehakiman untuk
memberikan perlindungan dan memastikan agar kekuasaan kehakiman dapat
menjalankan fungsi dan tujuannya.
Indenpedensi kekuasaan kehakiman juga sebenarnya diyakini sebagai
aturan keadilan yang efektif bagi tercapainya keadilan dalam bentuk jaminan
perlindungan warga negara dari tindakan melawan hukum atau tindakan
represif dari pihak penguasa.50
Sementara itu Baqir Manan menyatakan bahwa
tujuan kekuasaan bukan hanya untuk melindungi kebebasan individu,
membatasi tindakan pemerintah agar tidak melampaui undang-undang dan
menciptakan kebebasan serta kemandirian penyelenggara kekuasaan
kehakiman semata. Hal tersebut juga merupakan pelaksanaan dari ketentuan
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin
kebebasan individu dan pencegahan tindakan pemerintah atau aparat penegak
hukum yang sewenang-sewanang dengan mendasarkan pada negara hukum.51
2. Kewenangan dan Batas Kewenangan Hakim dalam menjatuhkan Putusan
49
Lanka Asmar, Problematika Indenpedensi hakim Agung,. diakses dari
https://www.pta.medan.go.id/index.php/2016-12-22-04-37-57/artikel-anda-/2231-problematika-
indenpedensi-hakim-agung, Pada tangal 27 Juni 2019 Pukul 10.27 WIB. 50
Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Askara Baru, 1978), h., 21. 51
Afif Noor, Indenpedensi Kekuasan Kehakiman Di Indonesia Pasca Amandemen
Undang-Undang dasar 1945, http://fsh.walisongo.ac.id/indenpedensi-kekuasaan-kehakiman-di-
indonesia-pasca-amandemen-undang-undang-dasar-1945/#, pada tanggal 21 Juni 2019 pukul
10.47.
38
Hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili. Mengadili yang dimaksud ialah serangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana
yang diajukan ke pengadilan baik pada Mahkamah Agung dan peradilan
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
tata usaha negara, dan pada pengadilan khusus. Hakim memiliki kewajiban
untuk menggali, mengikuti dan memahami niai-nilai keadilan yang hidup
dimasyarakat sebagaimana sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan
Pasal 5 ayat (1) ini merupakan kewajiban yang mutlak bagi hakim untuk
bertujuan agar putusan hakim harus sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dimaknai bahwa Hakim dalam mengadili
memiliki kewajiban yang mutlak. Hal tersebut didasarkan atas setiap putusan
hakim yang harus sesuai dengan nilai-nilai hukum yang berada di masyarakat
dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Untuk mengetahui rasa keadilan
yang hidup di masyarakat, tentunya hakim tidak hanya melihat pada tinjauan
pustaka terhadap konsep-konsep keadilan belaka, tetapi dilakukan dengan cara
menafsirkan hukum secara kontekstual. Penafsiran hukum secara kontesktual
yang bertujuan agar dapat melihat realitas dari nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dimasyarakat. Mengingat, tujuan dari setiap putusan
hakim ialah untuk merealisasikan idealnya hukum itu sendiri yaitu keadilan.
Dasar kewenangan hakim dalam menjalankan tugasnya untuk mengadili
suatu perkara telah diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara
yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan
tersebut dimaknai bahwa hakim bukanlah pembuat undang-undang akan tetapi
dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (Judge Made Law, sehingga Hakim
39
diwajibkan dan dilarang untuk menolak memeriksa perkara yang diajukan ke
Pengadilan.
Hakim juga memiliki wewenang lainnya dalam mengadili perkara pidana
yaitu sebagai berikut:
a. Hakim berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksan
di sidang pengadilan (Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (1) KUHAP)
b. Hakim berwenang untuk memberikan penangguhan penahanan dengan
atau tanpa jaminan uang atau orang berdasarkan syarat yang ditentukan
(Pasal 31 ayat (1) KUHAP)
c. Hakim berwenang mengeluarkan penetapan kepada terdakwa untuk
dihadirkan dengan paksa apabila terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang
sah setelah dipanggil secara sah kedua kalinya (Pasal 153 ayat (6)
KUHAP)
d. Hakim berwenang menentukan sah atau tidaknya segala alasan atas
permintaan orang yang karena pekerjaanya, harkat martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dapat minta dibebaskan dari
kewajiban untuk sebagai saksi (Pasal 170 KUHAP)
e. Hakim berwenang mengeluarkan penetapan bagi saksi yang diduga telah
memberikan keterangan palsu dipersidangan baik atas permintaan
penuntut umum atau terdakwa (Pasal 174 ayat (2) KUHAP)
f. Hakim berwenang untuk memberikan penjelasan tentang hukum yang
berlaku bila dipandang perlu dipersidangan, baik atas kehendaknya
sendiri maupun atas permintaan terdakwa atau penasehat (Pasal 221
KUHAP)
g. Hakim berwenang untuk memberikan perintah kepada seorang untuk
mengucah sumpah atau janji diluar sidang (Pasal 223 ayat (1) KUHAP).
Hakim dalam menjalankan kewenangannya memiliki ruang kebebasan
dalam mengadili, kebebasan dari campur tangan pihak luar, kebebasan
berekspresi dalam pengembangan hukum praktis, kebebasan menggali nilai-
nilai hukum sesuai keadilan sesuai rasa keadilan masyarakat. Kebebasan hakim
tersebut juga mengandung pengertian pembatasan, karena kebebasan hakim
40
dalam mengadili tidaklah bersifat mutlak. Batasan kebebasan hakim dalam
menjalankan kewenangannya ada dalam Undang-undang Dasar 1945, undang-
undang, hukum yang tidak tertulis, dan kepentingan hukum para pihak hukum
yang berperkara serta tidak boleh dilupakan yaitu Pancasila yang merupakan
sumber dari segala sumber hukum yang kecuali memungkinkan kebebasan
bagi hakim dan menafsirkan undang-undang dan juga membatasi hakim dalam
menjalankan tugasnya agar tidak bertentangan dengan Pancasila.52
Secara prosedural surat dakwaan merupakan pembatas hakim dalam
menjalankan kewenangannya, berdasarkan Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang
menentukan bahwa:
“Musyawarah tersebut ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan
segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang”
Berdasarkan ketentuan diatas secara implisit kebebasan hakim dalam
menjatuhkan putusan dibatasi oleh surat dakwaan, yang arinya hakim yang
menjatuhkan putusan di luar pasal yang tidak didakwakan oleh jaksa penunutut
umum tentu saja bertentangan dengan Pasal 182 ayat (4) KUHAP. Ketika
hakim menjatuhkan suatu putasan diluar dakwaan jaksa penuntut umum maka
dapat dikatakan hakim juga mengambil alih peran jaksa penutut umum sebab
dalam proses pengambilsan suatu keputusan hakim tidak pernah terlepas
keberadaanya dari jaksa penutut umum, karena dalam proses peradilan jaksa
penuntut umum mempunyai kewenangan untuk melakukan penuntutan
sebagaimana yang diatur pada Pasal 137 KUHAP.
Sementara itu juga disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf c KUHAP
bahwa surat putusan pemidanaan harus memuat dakwaan sebagaimana terdapat
dalam surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa/penuntut umum dalam
persidangan. Apabila suatu putusan tidak memuat sebagaimana yang dimaksud
pada Pasal 197 ayat (1) huruf c maka putusan batal demi hukum, sehingga
peran surat dakwaan merupakan peran yang sangat penting dalam sebuah
putusan.
52
Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1984), h.,
212.
41
Adanya suatu pembatasan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas
akan berpengaruh terhadap penjatuhan putusan hakim dalam mengadili suatu
perkara pidana. Pengaruh tersebut akan melahirkan suatu putusan hakim akan
terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Putusan yang sesuai dengan aturan
Putusan yang sesuai dengan aturan merupakan putusan yang memuat
pertimbangan hakim dan fakta-fakta dipersidangan serta ketentuan undang-
undang yang diatur dalam suatu perkara.
2. Putusan yang tidak sesuai dengan aturan
Putusan yang tidak sesuai dengan aturan merupakan penjatuhan putusan
yang bersifat prerogatif hakim untuk memutus karena memilki prasangka
dan perasaan tersendiri terhadap perkara yang tengah ditanganinya.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk pada skripsi dan jurnal
terdahulu dengan membedakan apa yang menjadi fokus masalah dalam rujukan
dengan fokus masalah yang peneliti bahas diantaranya sebagai berikut :
1. Skripsi
a. Agus Setiawan Adi Nugroho dalam skripsinya yang berjudul “Analisis
Penerapan Yurisprudensi Sebagai Dasar Hukum Dalam memutus
Perkara Diluar Dakwaan Yang Diajukan Penuntut Umum (Studi
Perkara di Pengadilan Negeri Boyolali) Fakultas Hukum Sebelas
Maret Surakarta 2008”.
Skripsi ini membahas mengenai penerapan yurisprudensi sebagai dasar
hukum putusan diluar dakwaan pada kasus tindak pidana kekerasan.
Sementara skripsi peneliti memfokuskan pada mengevaluasi tindakan
Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan
Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana narkotika.
b. Mertha Ambarukmi Kurnianingrum dalam skripsinya yang berjudul
“Analisis Yuridis Putusan Hakim Diluar Dakwaan Jaksa Penuntut
Umum Dalam Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak
42
(Perkara Nomor: 97/Pid.B/2007/PN.Jr) Fakultas Hukum
Universitas Jember 2008”.
Skripsi ini membahas mengenai penyebab dakwaan penuntut umum
tidak terbukti di persidangan pada kasus tindak pidana persetubuhan
anak. Sementara skripsi peneliti lebih memfokuskan pada penerapan
hukum oleh Hakim Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan di
luar dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara tindak pidana
narkotika pada Putusan Mahkamah Agung Nomor
1940K/Pid.Sus/2015.
c. Muksalmina dalam skripsinya yang berjudul “Pertimbangan Hukum
Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi yang Berbeda dengan
Tuntutan Jaksa dalam Perkara Ikhtilah (Studi Kasus Putusan
Nomor 53/JN/2016/MS.Bna) Fakultas Hukum Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry Darrusalam-Banda Aceh 2017”.
d. Ayu Dewandary dalam skripsinya yang berjudul “Analisis
Pertimbangan Hakim Yang Menjatuhkan Putusan Tidak Sesuai
Dengan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (Contoh Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 681/Pid.Sus/2011/Pn.Tng)
Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara 2014”.
Skripsi Muksalmina dan Ayu Dewandry membahas terkait
dasar/alasan hakim yang menjatuhkan putusan tidak sesuai dengan
tuntutan jaksa penuntut umum. Sementara skripsi peneliti membahas
terkait pada dasar/alasan petimbangan Hakim Mahkamah Agung
menjatuhkan yang berbeda dakwaan jaksa penuntut umum dalam
perkara tindak pidana narkotika pada Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015.
2. Jurnal
a. Gelora Tarigan dalam sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Jurnal
Staatrechts Volume 1 Nomor 1 Tahun 2017 yang berjudul “Fungsi
Hakim Dalam Putusan Diluar Dakwaan”. Jurnal ini membahas
mengenai fungsi hakim dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan
43
jaksa penuntut umum. Sementara peneliti berfokus membahas
penilaian prinsip tujuan hukum yaitu keadilan dan kepastian hukum
terhadap tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan
putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara tindak
pidana narkotika pada Putusan Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015.
44
BAB III
PUTUSAN HAKIM DILUAR DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Pembahasan pada bab ini terfokus pada penyajian muatan putusan Hakim
Mahkamah Agung diluar dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara tindak
pidana narkotika pada putusan nomor 1940 K/Pid.Sus/2015 yang dibagi menjadi
beberapa subbab pembahasan. Pembahasan pada subbab pertama dibuka dengan
posisi kasus dalam penelitian ini terkait perkara tindak pidana narkotika. Subbab
kedua memuat terkait surat dakwaan yang didakwakan pada kasus ini. Subbab
ketiga memuat tentang tuntutan yang dilayangkan oleh jaksa penuntut umum.
Subbab keempat memuat tentang alasan permohonan kasasi yang diajukan oleh
terdakwa. Subbab kelima memuat tentang amar putusan Pengadian Negeri hingga
sampai pada putusan Mahkamah Agung. Kemudian Subbab keenam menyajikan
tentang pertimbangan Hakim Mahkamah Agung yang menjadi dasar hakim
memutus diluar dakwaan dalam perkara tindak pidana narkotika dalam kasus ini.
A. Gambaran Umum Putusan Mahkamah Agung Nomor 1940 K/PID.SUS/2015
Terkait Putusan Diluar Dakwaan Dalam Pekara Tindak Pidana Narkotika
Kasus dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1940
K/PID.SUS/2015 terkait dengan putusan diluar dakwaan dalam perkara tindak
pidana narkotika yang diputus tanggal 10 September 2015 dengan susunan
Majelis Kasasi : Sri Murwahyuni, S.H., M.H., (Ketua Majelis), Maruap
Dohmatiga Pasaribu, S.H., M.H., H. Eddy Army, S.H., M.H., (Anggota Majelis).
Dalam perkara tindak pidana narkotika ini yang menjadi terdakwa adalah JHONI
NGADIANTO alias JHON, Tempat Lahir : Jakarta, Umur/Tanggal Lahir : 46
tahun / 02 Juli 1967, Jenis Kelamin : Laki-laki, Kebangsaan : Indonesia, Tempat
Tinggal : Jalan Hos Cokroaminoto Nomor 8 RT 05/04, Gondangdia, Jakarta
Pusat, Agama : Budha, Pekerjaan: Wiraswasta.
1. Posisi Kasus
Membaca putusan Mahkamah Agung dengan kronologis kasus sebagai
berikut:
45
Kasus ini bermula terdakwa pada hari Minggu 20 Juli 2014 sekira jam
22.30 WIB atau setidak-tidaknya pada wakatu lain dalam bulan Juli 2014
bertempat di tempat kost Jalan Jambu BB.33 Perumahan Pondok Jagung,
Kelurahan Pondok Jabung Kecamatan Serpong, Tangerang atau setidak-
tidaknya yang termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Tangerang namun
berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP, Pengadilan Negeri Jakarta Barat
berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya, yaitu tanpa hak atau
melawan hukum menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan. Memilki,
meyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I”, perbuatan
tersebut dilakukan ia Terdakwa dengan cara sebagai berikut :
Awalnya saksi Sumantri bersama rekan anggota lainnya diantaranya
saksi Jhon Gun Sinaga telah menangkap saksi Derri Afrian alias Ei Bin
Sutomo (dilakukan penuntutan secara terpisah) karena kedapat shabu dan
menurut keterangan saksi Derri Afrian alias Ei Bin Sutomo mengaku bahwa
Terdakwa Jhoni Ngadianto alias Jhon pernah mambeli shabu sebanyak 1
(satu) paket dengan berat brutto 1 gram dengan harga Rp1.800.000,00 (satu
juta delapan ratus ribu rupiah) dan atas petunjuk tersebut maka saksi
Gumantri bersama dengan anggota Polisi lain diantaranya saksi Jhon Gun
Sinaga mendatangi ke tempat kost Terdakwa kemudian kedua anggota Polisi
tersebut melakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap Terdakwa dan
dari hasil penggeledahan ditemukan 1 (satu) paket plastik Narkotika jenis
shabu dengan berat brutto 0,6 gram atau berat netto 0,1909 gram yang
Terdakwa simpan di dalam laci lemari pakaian kemudian setelah Terdakwa
diinterogasi mengaku bahwa shabu yang ditemukan di dalam lemari pakaian
tersebut adalah milik Terdakwa yang didapat beli dari seorang laki-laki yang
berada di Hotel Sion Holiday Serpong BSD dengan harga Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) dimana Terdakwa dalam membeli Narkotika jenis
shabu tersebut tanpa ijin sah dari pejabat yang berwenang
Sesuai hasil Berita Acara Pemeriksaan Badan Reserse Kriminal Polri
Pusat Laboratorium Firensik No. LAB : 2149/NNF/2014 tanggal 11 Agustus
46
2014, menyatakan bahwa barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus plastik klip
berisikan kristal warna putih dengan berat netto 0,1909 gram adalah benar
mengandung Metamfetamina terdaftar dalam Golongan I nomor urut 61
Lampiran Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
2. Surat Dakwaan
Membaca Putusan atas kasus ini bahwa Terdakwa didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum dengan dakwaan sebagai berikut:
PRIMAIR :
Bahwa ia Terdakwa Jhoni Ngadianto alias Jhon, pada hari Minggu
tanggal 20 Juli 2014 sekira jam 22.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu
lain dalam bulan Juli 2014 bertempat di tempat kost Jalan Jambu BB.33
Perumahan Pondok Jagung, Kelurahan Pondok Jabung Kecamatan Serpong,
Tangerang atau setidak-tidaknya yang termasuk daerah hukum Pengadilan
Negeri Tangerang namun berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP, Pengadilan
Negeri Jakarta Barat berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya, yaitu
tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk di jual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan I”, perbuatan tersebut dilakukan ia Terdakwa dengan
cara sebagai berikut :
- Bahwa mulanya saksi Sumantri bersama rekan anggota lainnya
diantaranya saksi Jhon Gun Sinaga telah menangkap saksi Derri Afrian
alias Ei Bin Sutomo (dilakukan penuntutan secara terpisah) karena
kedapat shabu dan menurut keterangan saksi Derri Afrian alias Ei Bin
Sutomo mengaku bahwa Terdakwa Jhoni Ngadianto alias Jhon pernah
mambeli shabu sebanyak 1 (satu) paket dengan berat brutto 1 gram
dengan harga Rp1.800.000,00 (satu juta delapan ratus ribu rupiah) dan
atas petunjuk tersebut maka saksi Gumantri bersama dengan anggota
Polisi lain diantaranya saksi Jhon Gun Sinaga mendatangi ke tempat kost
Terdakwa yang beralamat di Jalan Jambu BB.33 Perumahan Pondok
Jagung, Kelurahan Pondok Jabung Kecamatan Serpong, Tangerang.
Kemudian pada hari Minggu tanggal 20 Juli 2014 sekira jam 22.30 WIB,
47
kedua anggota Polisi tiba di tempat kost Terdakwa tersebut kemudian
kedua anggota Polisi tersebut melakukan penangkapan terhadap
Terdakwa dan dari hasil penggeledahan ditemukan 1 (satu) paket plastik
Narkotika jenis shabu dengan berat brutto 0,6 gram atau berat netto
0,1909 gram yang Terdakwa simpan di dalam laci lemari pakaian
kemudian setelah Terdakwa diinterogasi mengaku bahwa shabu yang
ditemukan di dalam lemari pakaian tersebut adalah milik Terdakwa yang
didapat beli dari seorang laki-laki yang berada di Hotel Sion Holiday
Serpong BSD dengan harga Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
dimana Terdakwa dalam membeli Narkotika jenis shabu tersebut tanpa
ijin sah dari pejabat yang berwenang dan dari hasil Pemeriksaan Badan
Reserse Kriminal Polri Pusat Laboratorium Firensik No. LAB :
2149/NNF/2014 tanggal 11 Agustus 2014, menyatakan bahwa barang
bukti berupa : 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan kristal warna putih
dengan berat netto 0,1909 gram adalah benar mengandung
Metamfetamina terdaftar dalam Golongan I Nomor Urut 61 Lampiran
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
Perbuatan ia Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana
dalam Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika;
SUBSIDAIR :
Bahwa ia Terdakwa Jhoni Ngadianto alias Jhon, pada hari Minggu
tanggal 20 Juli 2014 sekira jam 22.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu
lain dalam bulan Juli 2014 bertempat di tempat kost Jalan Jambu BB.33
Perumahan Pondok Jagung, Kelurahan Pondok Jabung Kecamatan Serpong,
Tangerang atau setidak-tidaknya yang termasuk daerah hukum Pengadilan
Negeri Tangerang namun berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP, Pengadilan
Negeri Jakarta Barat berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya yaitu
tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan l bukan tanaman, perbuatan tersebut
dilakukan ia Terdakwa dengan cara sebagai berikut:
48
- Bahwa mulanya saksi Sumantri bersama rekan anggota lainnya
diantaranya saksi Jhon Gun Sinaga telah menangkap saksi Derri Afrian
alias Ei Bin Sutomo (dilakukan penuntutan secara terpisah) karena
kedapatan shabu dan menurut keterangan saksi Dem Afrian alias Ei Bin
Sutomo mengaku bahwa Terdakwa Jhoni Ngadianto alias Jhon pernah
membeli shabu sebanyak 1 (satu) paket dengan berat brutto 1 gram
dengan harga Rp1.800.000,00 (satu juta delapan ratus ribu rupiah) dan
atas petunjuk tersebut maka saksi Sumantri bersama dengan anggota
Polisi lain diantaranya saksi Jhon Gun Sinaga mendatangi ke tempat kost
Terdakwa yang beralamat di Jalan Jambu BB.33 Perumahan Pondok
Jagung, Kelurahan Pondok Jabung Kecamatan Serpong, Tangerang.
Kemudian pada hari Minggu tanggal 20 Juli 2014 sekira
jam 22.30 WIB, kedua anggota Polisi tiba di tempat kost Terdakwa
tersebut kemudian kedua anggota Polisi tersebut melakukan penangkapan
terhadap Terdakwa dan dari hasil penggeledahan ditemukan 1 (satu)
paket plastik Narkotika jenis shabu dengan berat brutto 0,6 gram atau
berat netto 0,1909 gram yang Terdakwa simpan di dalam laci lemari
pakaian kemudian setelah Terdakwa diintrogasi mangaku bahwa shabu
yang ditemukan di dalam lemari pakaian tersebut adalah milik Terdakwa
yang didapat beli dari seorang laki- laki yang berada di Hotel Sion
Holiday Serpong BSD dengan harga Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) dimana Terdakwa dalam membeli Narkotika jenis shabu tersebut
tanpa ijin sah dari pejabat yang berwenang dan dari hasil Pemeriksaan
Badan Reserse Kriminal Polri Pusat Laboratorium Firensik No. LAB :
2149/NNF/2014 tanggal 11 Agustus 2014, menyatakan bahwa barang
bukti berupa : 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan kristal warna putih
dengan berat netto 0,1909 gram adalah benar mengandung
Metamfetamina terdaftar dalam Golongan I nomor urut 61 Lampiran
Undang- Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
49
3. Tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum
Adapun tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri Jakarta Barat terhadap terdakwa di Pengadilan Negeri
Jakarta Barat dengan menyatakan:
a. Terdakwa JHONI NGADIANTO alias JHON tidak terbukti dalam dakwaan
Primair Penuntut Umum;
b. Terdakwa JHONI NGADIANTO alias JHON terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak atau melawan
hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dalam surat Dakwaan Subsidair;
c. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa JHONI NGADIANTO alias JHON
dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dikurangi selama Terdakwa
berada dalam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan dan denda
sebesar Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) subsidair 6 (dua)
bulan penjara;
d. Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) paket narkotika jenis shabu
dengan berat brutto 0,6 gram, setelah pemeriksaan laboratorium dengan
berat netto 0,1909 gram, sisa barang bukti setelah pemeriksaan labkrim
dengan berat netto 0,1644 gram, dirampas untuk dimusnahkan.
4. Alasan Pemohon Kasasi
Bahwa sebelum kasasi ini diajukan ketingkat Mahkamah Agung Pemohon
Kasasi/ Terdakwa telah mengajukan alasan Pemohon Kasasi/Terdakwa dalam
kasus ini. Adapun pengajuan keberatan oleh terdakwa antara lain sebagai
berikut:
a. Judex Facti telah tidak menerapkan Hukum Acara Pidana dengan benar
dengan mengijinkan dan menyidangkan perkara di Pengadilan Negeri
Jakarta Barat, sedangkan Locus Delicti dan Tempus Delicti pada perkara ini
terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tangerang. Judex Facti sama
sekali tidak mempertimbangkan keberatan Terdakwa/Pemohon Kasasi di
50
dalam pledoi yang menguraikan Anggota Kepolisian Jakarta Barat telah
melampaui batas kewenangannya melakukan penangkapan di wilayah
Pengadilan Negeri Tangerang dan merekayasa BAP sedemikian rupa yang
dibuat seolah-olah ada keterkaitan perkara pada perkara saksi Derri Arfian
agar Terdakwa dapat disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
b. Permohonan Kasasi menyatakan bahwa Judex Facti baik tingkat pertama
maupun tingkat banding telah salah dalam menerapkan hukum dalam
menggolongkan perbuatan terdakwa yang terbukti dipersidangan
menyatakan telah memenuhi unsur Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya melihat secara tekstual saja
tanpa melihat fakta terdakwa kedapatan menguasai dan memiliki Narkotika
serta tanpa melihat secara kontekstual memperhatikan maksud dan tujuan
menguasai dan memiliki Narkotika
c. Judex Facti telah salah dan tidak menerapkan hukum telah salah atau keliru
dalam pertimbangnnya khususnya dalam hal pembuktian unsur pokok 112
ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan
mengabaikan kaidah hukum yang dibuat oleh Mahkamah Agung melalui
Yurisprudensi maupun SEMA Nomor 4 Tahun 2010 yang dijadikan dasar
penerapan ketentuan pidana yang tepat.
d. Judex Facti telah tidak menerapkan hukum dengan benar karena tetep
memaksa menjatuhkan hukuman kepada terdakwa dengan Pasal 112 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sementara
perbuatan yang terbukti di persidangan adalah Pasal 127 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
e. Pemohon Kasasi mengajukan kasasi ini semata-mata demi menciptakan
keadilan baginya.
5. Amar Putusan
Bahwa sebelum kasus ini diadili pada ditingkat Mahkamah Agung,
pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri Jakarta telah mengadili
terlebih dahulu dengan menjatuhkan Putusan Nomor :
1778/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Brt., tanggal 4 Februari 2015 dengan Amar
51
menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Primair, dan
menyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan
Subsidair dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara
4 (empat) tahun dan denda Rp.800.000.000.00 (delapan ratus juta rupiah),
dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka akan diganti denda penjara
selama 3 (tiga) bulan.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarata Barat Nomor :
1778/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Brt Tanggal 4 Februari 2015 diajukan banding
dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 71/PID/2015/PT.DKI.,
tanggal 28 April 2015 yang amar menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Barat Nomor : 1778/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Brt.
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor : 71/PID/2015/PT.DKI
tanggal 28 April 2015 diajukan upaya hukum kasasi dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015 tanggal 10 semptember 2015
terkait putusan diluar dakwaan ini telah mengadili terdakwa untuk
membebaskan terdakwa dari segala dakwaan yang telah dituduhkan
kepadanya, membatalkan Putusan Tinggi Jakarta Nomor 71/PID/2015/PT.DKI,
yang sebelumnya telah menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat
Nomor : 1778/Pid.Sus/2014 PN.Jkt.Brt, menyatakan terdakwa bersalah secara
sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana diluar dari pasal yang
didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu penyalahgunaan Narkotika
Golongan I Bagi diri sendiri Pasal 127 huruf a Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika dengan dipidana penjara selama 1 (satu) Tahun
6 (enam)Bulan.
Terhadap Putusan Mahkamah Agung terkait putusan diluar dakwaan Jaksa
Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana narkotika ini adalah sebagai
berikut:
MENGADILI
- Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi : Terdakwa JHONY
NGADIYANTO alias JHON tersebut;
52
- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor:
71/PID/2015/PT/DKI., tanggal 28 April 2015 yang menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor: 1778/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Brt.,
tanggal 04 Februari 2015.
MENGADILI SENDIRI
1. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana dalam dakwaan Primair dan Subsidair;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala dakwaan tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa JHONI NGADIYANTO alias JHON terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah dengan melakukan tindak pidana
“Penyalahgunaan Narkotika Golongan I Bagi Diri Sendiri”;
4. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa JHONI NGADIYANTO alias
JHON oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun dan 6
(enam) bulan;
5. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;
7. Menetapkan barang bukti berupa:
- 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan kristal warna putih dengan berat
netto 0,1909 gram sisa barang bukti setalah pemeriksaan labkrim netto
0,1644 gram dirampas untuk dimusnahkan
8. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
Dalam perkara ini dakwaan yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum tidak cukup untuk dibuktikan sehingga melahirkan tindakan Hakim
Mahkamah Agung menyimpang dan tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 182
ayat (4) serta Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
6. Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung
Pada kasus ini Majelis Hakim Mahkamah Agung telah memberikan alasan /
dasar pertimbangan terhadap perbuatan yang telah dilakukan oleh Terdakwa
53
yang telah dijatuhkan putusan diluar dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan
berupa penjatuhan putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagai berikut:
a. Bahwa putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan
Judex Facti Pengadilan Negeri tidak tepat dan salah menerapkan hukum
atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya dan tidak mendasari
pertimbangannya pada fakta hukum yang terungkap dimuka sidang, yaitu :
b. Bahwa saat Terdakwa ditangkap dan digeledah oleh Sat. Narkoba Polres
Metro Jakarta Barat ditempat kostnya, Terdakwa sedang santai hendak
menghisap shabu dengan menyiapkan congklong dari bong. Hanya saja
alat tersebut tidak disita oleh Anggota Porles Metro Jakarta Barat tanpa
alasan yang jelas.
c. Bahwa Saksi Sumantri (Petugas Kepolisian yang menangkap,
menggeledah dan menyita barang bukti) menerangkan bahwa pada saat
melakukan penangapan terhadap Terdakwa, dari Terdakwa ditemukan
satu paket kecil narkotika jenis shabu seberat 0,1909 gram dalam dompet
kecil yang disimpan Terdakwa dalam laci lemari
d. Bahwa menurut Terdakwa barang bukti tersebut merupakan sisa pakai
dan akan dipakai lagi bersama-sama dengan terman Terdakwa di kamar
Kostnya, akan tetapi sebelum sempat dipakai petugas kepolisian datang
menggeledah dan selanjutnya Terdakwa diperiksa urine dan hasilnya
positif mengandung Methamphetamina.
e. Bahwa Terdakwa memperoleh shabu tersbut dengan cara membeli secara
online dari seseorang yang tidak dikenal di Hotel Sion Holiday seharga
Rp. 500.000,- (lima ratus rupiah), dan Terdakwa 6 (enam) bulan terakhir
telah menggunakan shabu untuk diri sediri 4 (empat) sampai 5 (lima) kali
sehari untuk menambah stamnina bekerja
f. Bahwa terbukti tujuan dan maksud Terdakwa membeli shabu dalam
jumlah yang kecil adalah untuk dihisap atau dipakai sendri, bukan untuk
diperjualbelikan atau diedarkan lagi kepada orang lain
54
g. Bahwa sesuai dengan fakta hukum yang terungkap dimuka sidang
tersebut diatas, ternyata Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Dilain pihak,
dalam perkara a quo Jaksa/Penuntut Umum tidak mengajukan dakwaan
alternatif penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri kepada
Terdakwa. Maka demi kepentingan penegakan hukum yang bermanfaat
dan berkeadilan, Terdakwa dipersalahkan dan dijatuhi pidana yang
setimpal dengan perbuatannya
Atas pertimbangan/alasan Hakim mahkamah Agung menyatakan Terdakwa
bersalah dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa didasarkan pada ketentuan
pidana Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika yang tidak didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, melihat
pada fakta persidangan tidak terbukti melakukan tindak pidana Pasal 114 ayat
(1) dan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan
primair dan subsidair, oleh karena itu Terdakwa dibebaskan dari kedua
dakwaan tersebut.
55
BAB IV
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DAN EVALUASI TINDAKAN
HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN DILUAR SURAT
DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA NARKOTIKA
A. Dasar Petimbangan Hakim Mahkamah Agung Menjatuhkan Putusan Diluar
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika
pada Putusan Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015
Pada Bab iii peneliti telah menyajikan berupa informasi tekait pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan dalam perkara tindak pidana
narkotika yang kemudian dalam bab ini akan dibahas untuk dianalisis dalam
penelitian ini. Atas pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam putusan ini
telah menciptakan suatu putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum dalam
perkara tindak pidana narkotika. Terhadap perkara ini terdakwa atas nama Jhoni
Ngadianto alias Jhon didakwa oleh jaksa penuntut umum telah melanggar Pasal
114 ayat (1) “tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, meukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan I bukan tanaman” dan Pasal 112 ayat (1)
“tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan, mengasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I” Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Hakim Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan putusan
Judex Facti Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang
mengadili kasus ini telah salah dalam menerapkan hukum karena telah
mempertimbangkan hukum yang salah dengan tidak mendasarkan
pertimbangannya terhadap fakta hukum relevan yang terungkap di persidangan.
Atas dasar tersebut, peneliti melihat dalam pertimbangan yuridis hakim
Mahkamah Agung telah menggali dan mengungkap perkara dengan dibuktikan
berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di persidangan dari keterangan saksi,
keterangan terdakwa serta barang bukti yang ditemukan berupa narkotika
56
golongan I jenis shabu dengan berat 0,1909 gram. Dalam pembuktiannya telah
dinyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak terbukti sebagaimana yang
didakwakan oleh jaksa penuntut umum, dengan kata lain Hakim Mahkamah
Agung tidak menemukan perbuatan terdakwa terbukti sebagaimana dakwaan yang
telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Hakim Mahkamah Agung menilai
bahwa perbuatan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana atau melanggar
ketentuan pidana diluar dari apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.
Tindakan terdakwa diyakini bersalah melakukan pidana dalam perkara ini
didukung kuat oleh pengakuan terdakwa, yang mengakui bahwa telah membeli
shabu secara online dari seseorang yang tidak dikenal dengan maksud dan tujuan
untuk dipakai bagi diri sendiri bukan untuk diperjual belikan atau diedarkan
kepada orang lain dan terdakwa mengakui telah mengkonsumi shabu selama 6
(enam) bulan terakhir sebagai penambah stamina dalam bekerja.
Berdasarkan pertimbangan di atas tersebut, Hakim Mahkamah Agung dalam
mengadili kasus ini meyakini perbuatan terdakwa yang terbukti bukanlah
perbuatan sebagaimana pasal yang telah dituduhkan oleh jaksa penuntut umum
atau pasal yang digunakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan dikuatkan
oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dalam putusannya. Hakim Mahkamah Agung
dengan keyakinannya menyatakan perbuatan terdakwa secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan menjatuhkan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Dengan demikian, Hakim
Mahhkamah Agung memvonis terdakwa dengan putusan diluar dari dakwaan
jaksa penuntut umum pada perkara ini.
Terhadap penjatuhan pidana yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung
kepada terdakwa, peneliti menilai hal ini sangat tepat mengingat berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP) telah mensyaratkan
untuk menjatuhkan suatu putusan pemidanaan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah dan memperoleh keyakinan hakim bahwa tindak pidana benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam kasus ini unsur dua alat bukti
57
yang sah berdasarkan pernyataan dari terdakwa, keterangan saksi serta didukung
barang bukti dan telah memperoleh keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana walaupun tindak pidana yang terbukti tidak didakwaan
oleh jaksa penuntut umum telah terpenuhi, sehingga mengharuskan Hakim
Mahkmah Agung menjatuhkan putusan pidana sebagaimana pasal yang terbukti
dipersidangan yang memang tidak didakwakan oleh jaksa penuntut umum.
Terhadap Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika yang sebelumnya didakwakan oleh jaksa penuntut umum pada
kasus ini hanya dapat dikenakan bagi seseorang yang memiliki narkotika untuk
mengedarkan, menjual atau pihak yang menjadi kurir (perantara).1 Oleh karena
itu, jaksa penuntut umum tidak dapat begitu saja dengan mudah mendakwakan
terdakwa dalam kasus ini yang ternyata bersalah melakukan penyalahgunaan
narkotika, akan tetapi dikenakan atau didakwa bersalah melakukan ketentuan
Pasal 112 dan Pasal 114 tersebut. Terhadap Pasal 112 ayat (1) tanpa hak atau
melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan yang
sebelumnya dinyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi Jakarta, unsur suatu
kepemilikan (memiliki, menyimpan) atau penguasaan atas narkotika dan
sejenisnya harus dilihat maksud dan tujuannya atau kontekstualnya dan bukan
hanya tekstual dengan menghubungkan kalimat dalam undang-undang tersebut.2
Terhadap kasus ini perlu digali kembali serta harus benar-benar dilihat
berdasarkan fakta yang terbukti di persidangan apakah terdakwa memiliki,
menyimpan, menguasai atau menyediakan dalam rangka untuk diedarkan atau
digunakan sendiri (penyalahgunaan).
Hakim Mahkamah Agung telah menjalankan kewajibannya dalam menggali
suatu kebenaran yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa
sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat pada pemaparan peneliti di atas
1 Lihat Alasan Pertimbangan Hakim Pada Putusan Nomor 10/PId.B/2012/PN.Msb.
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/a17bbcd2d63580d3584b173a2dbef1ca,diakses
pada tanggal 29 Juni 20019 Pukul 14.25 WIB. 2 Lihat Kaidah Hukum pada Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1386/K/Pid.Sus/2011
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/4ced81aa5725da9c231dd6004b1659c
c/pdf, diakses pada tanggal 29 juni 2019 pukul 13.15 WIB.
58
terkait Hakim Mahkamah Agung telah mengungkap fakta yang tebukti di
persidangan dan telah menggolongkan perbuatan terdakwa termasuk kedalam
“Penyalahgunaan”. Pada kasus ini terdakwa tidak dapat dikenakan Pasal 112 ayat
(1) karena dalam faktanya terdakwa memiliki, menyimpan, menguasai untuk
maksud dan tujuan digunakan diri sendiri atau diluar pemakaian/ penggunaan,
bukan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam menggolongkan perbuatan
terdakwa termasuk dalam kategori “Penyalahgunaan” narkotika dalam kasus ini
telah sejalan apabila merujuk pada aturan atau ketentuan Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 dalam menerapkan ketentuan pidana yang
tepat terhadap terdakwa. Mengingat berdasarkan fakta yang terungkap di
persidangan perbuatan terdakwa dalam menggunakan narkotika jenis shabu
dengan maksud dan tujuan untuk diri sendiri serta dengan didukung oleh barang
bukti sejumlah shabu dengan berat 0,1909 gram. Perbuatan yang dilakukan
terdakwa telah sesuai dan termasuk dalam kualifikasi sesorang penyalahgunaan
dan batasan barang bukti masih dalam batasan SEMA Nomor 4 Tahun 2010.
Adapun kriteria yang tertuang didalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010 yakni
sebagai berikut:
a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN
dalam kondisi tertangkap tangan,
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a dimana ditemukan barang
bukti pemakaian I (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai
berikut:
a. Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram
b. Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram = 8 butir
c. Kelompok Heroin : 1,8 gram
d. Kelompok Kokain : 1,8 gram
e. Kelompok Ganja : 5 gram
f. Daun Koka : 5 gram
g. Meskalin : 5 gram
59
h. Kelompok Psilosybin : 3 gram
i. Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide : 2 gram
j. Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram
k. Kelompok Fentanil : 1 gram
l. Kelompok Metadon : 0,5 gram
m. Kelompok Morfin : 1,5 gram
n. Kelompok Petidin : 0,96 gram
o. Kelompok Kodein : 72 gram
p. Kelompok Bufrenorfin : 32 gram
c. Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika berdasarkan
permintaan penyidik.
d. Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwaJpsikiater pemerintah yang
ditunjuk oleh Hakim.
e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran
gelap Narkotika.
Berdasarkan ketentuan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dan ketentuan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, perbuatan terdakwa dalam
kasus ini dapat dinyatakan sebagai penyalahgunaan narkotika. Melihat barang
bukti yang berada dalam penguasaan terdakwa merupakan tergolong masuk
didalam kategori ketentuan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 yaitu Metamfetamina
dan barang bukti yang berada dalam penguasaan terdakwa dinilai lebih kecil atau
sedikit dari batasan SEMA tersebut. Hakim Mahkamah Agung telah tepat
memutuskan perbuatan terdakwa yang termasuk melanggar penyalahgunaan
narkotika golongan I bagi diri sediri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 127
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan suatu putusan
diluar dakwaan jaksa penuntut umum pada kasus ini juga telah sejalan
sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015
Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung
Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. Pada Rumusan
Hukum Kamar Pidana Nomor 1 tentang Narkotika yang menyatakan “Hakim
60
yang memeriksa dan memutus perkara harus didasarkan kepada surat dakwaan
jaksa penuntut umum Pasal 111 atau Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika namun berdasarkan fakta hukum yang terungkap di
persidangan terbukti Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika yang mana pasal ini tidak didakwakan, terdakwa terbukti sebagai
pemakai dan jumlahnya relatif kecil sesuai dengan ketentuan SEMA Nomor 4
Tahun 2010, maka hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi dapat
menyimpangi ketentuan pidana minumin khusus dengan membuat pertimbangan
yang cukup”. Adanya ketentuan SEMA Nomor 3 Tahun 2015 dapat menjadi
sebuah dasar atau alasan pembenar Hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini
telah menerapkan hukum dengan menjatuhkan suatu putusan yang menyimpang
dari surat dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara tindak pidana narkotika
pada penelitian ini.
Tindakan Hakim Mahkmah Agung dalam menjatuhkan putusan diluar
dakwaan jaksa penuntut umum dalam kasus ini juga pernah dilakukan oleh hakim
terdahulu, yang telah menciptakan putusan diluar dakwaan dalam praktik
peradilan pidana di Indonesia. Tindakan hakim terdahulu dalam memutus diluar
dakwaan dapat dilihat pada Yurisprudensi yang saat ini menjadi suatu pijakan
bagi Hakim sebagai dasar hukum dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan
jaksa penuntut umum. Adapun yurisprudensi terkait dengan putusan diluar
dakwaan jaksa penuntut umum ini antara lain yaitu:
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984 atas nama Timbul
Osmar Simarmata didakwakan dengan menggunakan dakwaan tunggal
Pasal 310 ayat (1) KUHP, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
memvonis terpidana menggunakan Pasal 310 ayat (1) KUHP. Pada tingkat
kasasi Hakim Mahkamah Agung memvonis dengan menggunkan pasal 315
KUHP.
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 1626/Pid.Sus/2012, atas nama
Afriansyah didakwakan dengan menggunakan dakwaan alternatif yaitu
kesatu Pasal 114 ayat (1) Jo, Pasal 132 ayat (1) atau kedua Pasal 112 ayat
(1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pengadilan
61
Negeri dan Pengadilan Tinggi memvonis terpidana dengan menggunakan
Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Pada tingkat kasasi Hakim Mahkamah Agung memvonis dengan
menggunakan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
Yurisprudensi di atas pada pokoknya menyatakan “apabila delik yang
terbukti di persidangan adalah delik yang sejenis yang lebih ringan sifatnya dari
delik yang didakwakan yang lebih berat sifatnya, maka walaupun delik yang lebih
ringan tidak didakwakan, terdakwa tetap dipersalahkan atas delik tersebut dan di
pidana atas dasar melakukan delik yang lebih ringan”.3
Pasal Pidana Penjara Denda
Pasal 114 Ayat (1) Minimal 5 Tahun Rp. 1.000.000.000.00,-
Maksimal 20 Tahun Rp. 10.000.000.000.00,-
Pasal 112 Ayat (1) Minimal 4 Tahun Rp. 800.000.000.00,-
Maksimal 12 Tahun Rp. 8.000.000.000.00,-
Pasal 127 Ayat (1) Maksimal 4 Tahun
Tabel 1.1 Hukuman Pidana Penjara dan Denda Undang-Undang 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika
Mengingat, pada kasus ini terdakwa telah didakwa dengan Pasal 114 ayat
(1) dan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dengan hukuman pidana yang lebih berat sifatnya. Hakim Mahkamah
Agung telah menyatakan fakta yang terbukti dipersidangan merupakan perbuatan
yang melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika dan perbuatan terdakwa merupakan perbuatan serumpun
atau sejenis serta pasal yang terbukti lebih ringan sifatnya dari pasal yang
didakwakan. Dengan demikian, tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam
menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum dalam kasus ini telah
tepat sebagaimana sesuai dengan ketentuan yang ada.
3 Lihat pokok inti pada Putusan Mahkamah Agung Nomor: 818 K/Pid/1984
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/23951, diakses pada tanggal 29 Juni 2019 Pukul
18.15 WIB dan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1626/Pid.Sus/2012
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/ad680eed873fbe5c8fdffed5701f40ef, diakeses pada
tanggal 30 Juni 2019 Pukul 08.20 WIB.
62
Terhadap apa yang dijelaskan di atas bahwa Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015 telah menyimpang dari asas hukum acara pidana
serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 182 ayat (4) dengan dihubungan
terhadap Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Didalam putusan ini terlihat
bahwa adanya tindakan yang dilakukan oleh hakim telah melanggar ketentuan
hukum acara dalam menjatuhkan putusan pada kasus ini, karena hakim melakukan
penjatuhan putusan terhadap pasal-pasal yang tidak didakwakan oleh jaksa
penuntut umum. Secara tegas telah diatur dalam Pasal 191 ayat (1) apabila
perbuatan terdakwa dalam pemeriksaan dipersidangan menunjukan tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa
penuntut umum maka seharusnya terdakwa dibebaskan karena hakim dalam
memeriksa suatu perkara dipersidangan dibatasi oleh surat dakwaan
(sebagaimana yang diatur dalam Pasal 182 ayat (4)), sehingga dalam menjatuhkan
sebuah putusan harus berdasarkan surat dakwaan.
Putusan pada kasus ini menggambarkan secara jelas telah melanggar asas
legalitas tetapi perlunya diperhatikan pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
diatas yang telah peneliti analisis dan paparkan dalam pembahasan ini menjadi
argumentasi untuk memperkuat dasar hakim dalam menjatuhkan putusan diluar
dakwaan dalam kasus ini. Selain itu perlu diperhatikan, dasar seorang hakim
dalam mengambil keputusan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta pada bunyi kepala
suatu putusan hakim itu sendiri. Dengan demikian pertimbangan keadilanlah yang
lebih dikedepankan dalam memutus suatu perkara dalam kasus ini yang memang
sepenuhnya diserahkan kepada Hakim Mahkamah Agung untuk menangani suatu
perkara ini yang harus mampu memberika rasa keadilan berdasarkan ketuhanan
yang Maha Esa yang tentu saja keterkaitannya sangat erat dengan Tuhan.
Disisi lain, tindakan yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung untuk
memberikan penegakan hukum yang bermanfaat dan berkeadilan, dimensi
keadilan disini dapat dilihat bahwa terdakwa didakwakan menggunakan surat
63
dakwaan yang terlihat sumir, tidak cermat, serta tidak sesuai dengan perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa. Putusan diluar dakwaan pada kasus ini berawal
dari permasalahan penerapan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum terhadap
terdakwa yang kurang cermat. Hakim yang telah diamanahkan oleh undang-
undang untuk dapat menciptakan sebuah keadilan lebih memilih untuk memutus
diluar dakwaan dengan menerapkan pasal yang lebih tepat. Putusan diluar
dakwaan dalam kasus ini dilakukan demi menciptakan keadilan bagi terdakwa
yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, sebab tidak mungkin
Hakim Mahkamah Agung meloloskan terdakwa dari perbuatannya yang memang
terbukti bersalah, maka terdakwa sudah sepantasnya mendapatkan haknya untuk
dipidana sesuai dengan apa yang terdakwa perbuat.
B. Evaluasi Tindakan Hakim Dalam Mennjatuhkan Putusan Diluar Dakwaan
Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Nomor
1940 K/Pid.Sus/2015
Hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merdeka telah
diamanakan oleh undang-undang dalam menjalakan kewenangannya dalam
mengadili suatu perkara untuk memegang teguh suatu prinsip tujuan hukum itu
sendiri yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Untuk menciptakan
tujuan hukum itu sendiri tentulah sangat tidak mudah. Dalam praktiknya sering
kali terjadi perbenturan antara kepastian hukum dengan keadilan sehingga untuk
mewujudkan tujuan hukum yang idel itu sendiri sangat sulit.
Untuk menjatuhkan suatu putusan terhadap seseorang bukanlah perkara
yang mudah, adanya keterbatasan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan yang
harus didasarkan pada surat dakwaan. Berbeda pada permasalahan penelitian
dalam kasus ini, Hakim Mahkamah Agung telah berani menjatuhkan putusan
diluar dari batasan surat dakwaan yang merupakan acuan dasar baginya untuk
mengadili suatu perkara. Hal tersebut dilakukan karena dalam kasus ini Hakim
Mahkamah Agung dihadapkan kepada sebuah permasalahan terkait dilema antara
menataati kepastian hukum (asas legalitas) dengan menegakkan suatu kebenaran
untuk mencapai keadilan. Permasalahan ini muncul ketika hakim melihat bahwa
dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum dalam kasus ini menunjukan
64
ketidak tepatan dalam menerapkan pasal yang terlihat berbeda dengan perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa. Hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini
menghendaki untuk menjatuhkan putusan diluar dakwaan yang justru dianggap
mencederai kepastian hukum dan melanggar Pasal 182 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Keberadaan Pasal 182 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi
batas serta dasar bagi hakim untuk memeriksa, serta mengadili pada perkara
pidana terdapat makna terhadap unsur “didasarkan pada surat dakwaan”. Peneliti
memaknai unsur tersebut tidak menjadi suatu keharusan yang mendasar bagi
Hakim Mahakamah Agung untuk dijadikan sebuah pedoman utama dalam
menjatuhkan putusan ini, melihat adanya bunyi “berdasarkan segala sesuatu fakta
yang terbukti disidang pengadilan” yang juga mempunyai peran bagi Hakim
Mahkamah Agung dalam kasus ini masih memiliki dasar lain disamping surat
dakwaan. Hal ini sejalan apabila memperhatikan Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah”. Artinya, di
dalam Pasal 183 tersebut tidak mewajibkan Hakim Mahkamah Agung harus
didasarkan atau berpedoman secara multak terhadap apa yang ada didalam surat
dakwaan, tetapi pada putusan ini Hakim Mahakamah Agung lebih menekankan
kepada fakta yang terbukti dipersidangan serta tindak pidana atau pasal apa yang
terbukti dilakukan oleh terdakwa, sehingga Hakim Mahkamah Agung
memutuskan untuk menjatuhkan suatu putusan diluar dakwaan dalam kasus ini.
Jika tindakan Hakim Mahkamah Agung dihubungkan dalam bingkai asas
hukum acara pidana (asas legalitas) yang melihat keberadaan suatu kepastian
hukum dalam Pasal 182 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang membatasi hakim
untuk bermusyawarah dan memutuskan bersalah atau tidaknya seseorang
65
didasarkan kepada surat dakwaan akan menyebabkan putusan ini dirasa tidak
tepat. Jika dilihat dari satu sisi putusan ini tentu menguntungkan terdakwa dimana
terdakwa diputus lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum, hal ini karena
hakim mengedepankan sebuah keadilan. Disisi lain, putusan ini juga telah
mercederai sebuah kepastian hukum karena adanya penyimpangan terhadap Pasal
191 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan “Jika pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan, maka terdakwa di putus bebas”. Adanya ketentuan tersebut
berarti putusan dalam kasus ini akan merugikan terdakwa karena seharusnya
terdakwa diputus bebas jika dinilai oleh hakim tidak terbukti baik dalam dakwaan
primair maupun dakwaan subsidair. Apabila Hakim Mahkamah Agung
berpedoman pada ketentuan Pasal 191 ayat (1) seharusnya Hakim Mahkamah
Agung akan menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa, sebab di sidang
pengadilan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum baik dalam dakwaan pasal
114 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Pada kenyataaanya Hakim Mahkamah Agung yang dihadapkan pada dilema
antara harus taat kepada kepastian hukum ataukah mengedepankan keadilan
dalam kasus ini lebih memilih untuk mengesampingkan kepastian hukum yang
merupakan salah satu dari tujuan hukum itu sendiri atau tidak melaksanakan
ketentuan yang tercantum didalam Pasal 182 ayat (4) dengan dihubungkan Pasal
191 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini dilakukan karena telah melihat
secara faktual serta terbukti perbuatan terdakwa secara sah dan meyakinkan
bersalah di persidangan, sehingga perbuatan tersebut harus dipertanggung
jawabkan demi melaksanakan penegakan hukum yang telah diamanahkan oleh
undang-undang untuk mewujudkan tujuan hukum itu sendiri yaitu berkeadilan
dan berkemanfaatan walaupun kepastian hukum itu sendiri harus dikesampingkan.
66
Hal ini sejalan dengan apa yang telah dinyatakan oleh Bismar Siregar bahwa jika
untuk menegakan keadilan lalu kepastian hukum harus dikorbankan, maka itu
hanya dilakukan karena hukum itu hanyalah sarana sedangkan tujuannya adalah
keadilan.4
Tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini sejalan apabila melihat
teori keadilan Aristotels yang menyatakan keadilan merupakan tindakan
memberikan kepada orang lain yang memang menjadi haknya, dengan kata lain
hukum di nilai mampu memberikan keadilan bagi setiap orang apa yang menjadi
haknya. Kebijaksanaan Hakim Mahkamah Agung untuk mengambil keputusan
dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa sudah tepat dan benar,
karena apabila melihat kembali dari sisi fakta di persidangan terdakwa terbukti
bersalah serta telah mengakui memiliki dan menggunakan shabu dengan maksud
dan tujuan dipakai untuk diri sendiri dan didukung dengan barang bukti satu paket
kecil narkotika seberat 0,1909 gram. Hakim Mahkamah Agung sebagai
penyelenggara peradilan yang memiliki tugas untuk menegakan keadilan telah
tepat apabila melihat dari bingkai keadilan dalam memberikan putusan diluar
dakwaan jaksa penuntut umum dan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap
terdakwa atas perbuatannya yang telah melanggar hukum, sehingga sepantasnya
terdakwa bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.
Keberadaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah
memberi ruang kebebasan (Indenpedensi Kekuasaan Kehakiman) bagi Hakim
Mahkamah Agung dalam kasus ini untuk dapat mereflesikan bunyi undang-
undang dan dapat menginterpretasikan/ berkreasi dalam menemukan serta
memperjuangkan suatu kebenaran untuk menciptakan keadilan dalam putusannya.
Dengan didasarkan pada prinsip kebebasan dalam mengkreasikan putusan ini
tidak serta merta dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung tanpa menggali,
mengikuti serta memahami nilai-nilai yang hidup dimasyarakat. Ketentuan Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
4 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT.Gramedia
Utama, 2008), h., 156.
67
mewajibkan Hakim Mahkamah Agung untuk menggali dari permasalahan dalam
kasus ini. Berdasarkan hal tersebut Hakim Mahkamah Agung telah menggali
kembali perkara yang dihadapkan kepadanya untuk memperoleh keyakinan serta
kebenaran didalam kasus ini, sehingga dalam kasus ini mengharuskan Hakim
Mahkamah Agung untuk melakukan tindakan mengenyampingkan ketentuan
Pasal 182 ayat (4) dan Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan
menjatuhkan putusan yang sesuai dengan nilai hukum dan rasa keadilan, sehingga
melahirkan suatu putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa
dalam kasus tindak pidana narkotika ini.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan pengadilan Tinggi
Jakarta, peneliti melihat hakim pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
telah menjalankan kewenangannya untuk mengadili sebagaimana sesuai dengan
pedoman beracara hakim di sidang pengadilan dan mencerminkan putusan yang
tidak menyimpang atau melanggar dari ketentuan undang-undang. Hakim
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi pada kenyataanya tidak menerapkan
hukum sebagiamana mestinya dengan memvonis pasal yang terlihat tidak tepat
apabila kita mengulas kembali fakta yang terbukti memperlihatkan terdakwa
seharusnya tidak bersalah melakukan tindak pidana sebagiamana yang
didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Peneliti menilai, hakim pada Pengadilan
Negeri dan Tinggi dalam kasus ini hanya berpegang teguh kepada pasal yang
telah didakwaakan atau hanya melihat secara tekstual seperti yang tersajikan
dipersidangan tanpa melihat secara mendalam serta tidak menggali dan
menfasirkan kembali unsur dari suatu perbuatan terdakwa melakukan tindak
pidana narkotika dalam kasus ini dengan maksud dan tujuannya seperti apa tetapi
hanya melihat dari sisi formalitas undang-undang semata.
Hakim Mahkamah Agung dalam mengadili upaya hukum tingkat kasasi
dalam kasus ini telah menggunakan kewenangannya atau menerapkan logika
pemikiran linear sesuai dengan undang-undang didalam putusannya. Mengingat,
didalam Pasal 253 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diketahui bahwa
68
kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa pada tingkat kasasi guna
menentukan:
a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya
b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
Undang-Undang
c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya.
Hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini telah memperhatikan alasan
kasasi yang dimohonkan oleh terdakwa memuat salah satu unsur di atas,
kemudian Hakim Mahkamah Agung menghendaki bahwa Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi Jakarta telah salah menerapkan
hukum atau tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya. Atas dasar tersebut,
Hakim Mahkamah Agung yang berwenang mengadili perkara yang dihadapkan
kepadanya atas putusan Pengadilan Tinggi telah memutuskan untuk menerapkan
pasal yang lebih tepat dan sepantasnya untuk diterapkan pada perkara ini. Hal ini
dilakukan untuk menerapkan hukum yang sesuai dengan fakta yang terbukti
dipersidangan sebagaimana mestinya.
Tindakan Hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini telah mencerminkan
sebuah pengadilan progresif, dalam proses mengadili hakim telah memperhatikan
secara empati, memastikan, dan didasarkan oleh hati nurani yang memang
menjadi karakteristik pengadilan progresif. Karakteristik pengadilan progresif ini
terlihat dalam memeriksa suatu kenyataan terjadi tidak hanya menggunakan
kepercayaan yang tertuang didalam peraturan dan logika saja, melainkan juga
memeriksa penerapan hukum yang digunakan hakim di Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi untuk menjatuhkan putusan apakah sudah benar atau belum.
Jika melihat pada putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang hanya
melihat pada dakwaan yang tersaji tanpa memahami unsur dari perbuatannya
terlebih dahulu, sehingga diyakini oleh Hakim Mahkamah Agung bahwa adanya
suatu kekeliruan atau ketidaktepatan dalam memahami penerapan hukum yang
dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi
Jakarta yang sebelumnya telah mengadili perkara tindak pidana narkotika dalam
69
kasus ini. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini telah
benar mengindahkan suatu perkara ini dengan menerapkan suatu putusan yang
tidak hanya berpijak kepada hukum formil belaka walaupun mengesampingkan
aturan serta meninggalkan sebuah kepastian hukum, dimana hal ini dilakukan
bahwa hulu dari tujuan hukum itu sendiri merupakan bukan untuk
mengedepankan hukum tetapi dibalik hukum itu sendiri memiliki makna yaitu
berupa keadilan.
Tindakan Hakim Mahkamah Agung pada kasus ini merupakan suatu cara
hakim menciptakan penemuan hukum, sebagimana hal ini sejalan dengan aliran
Interessenjurisprudenz (Frierechtslehre)5 yang tidak hanya mejadikan undang-
undang sebagai pedoman utamanya, tetapi Hakim Mahkamah Agung memiliki
kebebasan yang seluas-luasnya dalam mengadili perkara ini yang tidak hanya
sekedar menerapkan undang-undang saja melainkan termasuk kebebasan untuk
menginterpretasikan putusan dalam kasus ini untuk melompati suatu aturan atau
menyimpang dari ketentuan undang-undang demi menciptakan suatu keadilan.
Selain itu, tindakan Hakim Mahkamah Agung yang melahirkan suatu putusan
diluar dakwaan jaksa penuntu umum merupakan upaya hakim dalam
mengantisipasi terjadi beberapa kemungkinan. Kemunginan-kemungkinan
tersebut antara lain hakim menilai perkara yang sedang diperiksa dipersidangan
telihat atau menggambarkan adanya “sesuatu/manipulasi” atau “kelalaian/ketidak
hati-hatian/ketidak cermatan" oleh jaksa penuntut umum ataupun penyidik
kepolisan dalam menetapkan suatu pasal yang didakwakan. Kelalaian yang diduga
dilakukan jaksa penuntut umum ataupun penyidik tersebut dapat mengakibatkan
terdakwa bebas dari jeratan hukum. Atas segala kekuasaan yang melekat pada diri
hakim, meskipun tindak pidana yang dilakukan terdakwa pada akhirnya tidak ada
secara tertulis dalam surat dakwaan dan berdasarkan keyakinannya serta
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan di masyarakat hakim tetap menjatuhkan
hukuman pidana kepada terdakwa. Hal itu tentu dilakukan hakim sebagai upaya
5 Aliran penemuan hukum (Interessenjurisprudenz (Frierechtslehre)) dimaknai undang-
undang bukan satu-satunya sumber hukum sebab undang-undang secara jelas tidak lengkap
sehingga Hakim mempunyai kebebasan untuk melakukan penemuan hukum. Lihat Ahmad Rifai,
Penemuan Hukum Oleh hakim Dalam Presfektif Hukum Progresif, … h., 32-33.
70
untuk mengkriminalisasikan seseorang yang dinilai bersalah berdasarkan
keyakinan yang dimilikinya dan semata-mata untuk mencapainya suatu keadilan
yang saat ini tentu sangat di tuntut oleh masyarakat.
Keberadaan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1940 K/Pid.Sus/2015 dalam
memutus perkara diluar dakwaan jaksa penuntut umum pada perkara tindak
pidana narkotika ini dianggap mencederai ketentuan Pasal 182 ayat (4) dan Pasal
191 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara pidana (KUHAP) atau telah mengesampingkan suatu
kepastian hukum. Dengan didasarkan prinsip kebebasan yang dimilikinya untuk
menyelenggarakan peradilan hakim dapat menginterpretasikan/ berkreasi untuk
menemukan keadilan dalam putusannya dengan mengedepankan suatu keadilan
serta kemanfaatan hukum. Mengingat bagian tujuan dari hukum itu sendiri bukan
untuk mengedepankan hukum tetapi dibalik tujuan hukum itu tersirat makna
sebuah pesan mengedepankan keadilan. Hakim Mahkamah Agung disini bukan
hanya sebagai teknisi undang-undang tetapi juga mahluk sosial yang dalam kasus
ini Hakim Mahkamah Agung tidak hanya bekerja menggunakan otak saja akan
tetapi sebagai makluk sosial Hakim Mahkamah Agung menggunakan hati
nuraninya untuk mengadili perkara ini.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya dan untuk mengakhiri
pembahasan dalam skripsi ini, peneliti dapat mengambil kesimpulan dan sekaligus
sebagai jawaban atas beberapa perumusan masalah yang peneliti berikan.
1. Dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung pada Putusan Nomor 1940
K/Pid.Sus/2015 terkait menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa penuntut
umum dalam perkara tindak pidana narkotika ialah sebagai berikut:
a. Didasarkan pada penerapan hukum yang salah terhadap putusan Judex
Facti Pengadilan Tinggi Jakarta yang menguatkan putusan Judex Facti
Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang menyatakan perbuatan terdakwa
bersalah melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
b. Didasarkan pada penerapan Pasal 114 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang tidak
tepat/ salah terhadap surat dakwaan yang telah dibuat oleh jaksa
penunutut umum.
c. Didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dan argumentasi hukum
yang kuat sebagai dasar dalam memutuskan terdakwa terbukti melanggar
pasal diluar dakwaan jaksa penuntut umum. Pertimbangan-pertimbangan
tersebut misalnya berpijak pada demi keadilan, Pasal 183 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Yurisprudesi, Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) Nomor 4 Tahun 2010, dan Surat Edaran Mahkkamah Agung
(SEMA) Nomor 3 Tahun 2015.
Pertimbangan di atas telah mendasari Hakim Mahkamah Agung dapat
mengesampingkan hukum (contra legem) dengan memutus diluar dakwaan
jaksa penuntut umum dan menerapkan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang lebih tepat untuk
terdakwa.
72
2. Penerapan hukum oleh Hakim Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan
diluar dakwaan jaksa penuntut umum pada Putusan Nomor 1940
K/Pid.Sus/2015 secara legalitas bertentangan dengan ketentuan Pasal 182 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal tersebut dapat dibenarkan apabila melihat
dari dua sudut pandang:
a. Didasarkan pada Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang telah memberikan ruang kebebasan kepada Hakim
Mahkamah Agung untuk menggali serta memutus sesuai dengan rasa
keadilan apabila menemukan dakwaan yang tidak tepat dalam
persidangan.
b. Hakim Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam melakukan putusan
diluar dakwaan jaksa penunutut umum ini telah dibenarkan berdasarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015 sebagai
pedoman bagi hakim dapat menyimpangi ketentuan (surat dakwaan)
apabila tidak terbukti melakukan delik yang didakwaan tetapi terbukti
melakukan delik yang serumpun/ sejenis dan lebih ringan sifatnya dari
delik yang didakwakan.
Kondisi di atas memungkinkan Hakim Mahkamah Agung sebagai palang
pintu terakhir untuk berani keluar dari formalisme hukum dengan melakukan
terobosan hukum dalam menjatuhkan putusan diluar dakwaan jaksa
penunutut umum, hal tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan hukum yang
sesungguhnya lebih memprioritaskan substansi keadilan dibanding formalitas
hukum.
B. Rekomendasi
Berdasarkan dari permasalahan ini telihat jaksa penuntut umum telah
salah dalam menerapkan pasal untuk mendakwakan seseorang. Hal ini
menyebabkan pasal yang didakwaan oleh jaksa penuntut umum tidak dapat
dibuktikan di persidangan. Berkaitan dengan permasalahan ini, peneliti
memberikan rekomendasi sebagai berikut:
73
1. Hakim dapat memutus perkara diluar dakwaan jaksa penuntut umum
dengan memperhatikan aspek keadilan yang dilihat dari fakta
persidangan pada suatu perkara.
2. Kejaksaan Republik Indonesia sudah saatnya mengembangkan sistem
pengawasan dengan melibatkan tim ahli untuk memeriksa surat dakwaan
yang dibuat oleh jaksa penuntut umum, agar menghindari terjadinya
kesalahan, ketidak tepatan dan ketidak cermatan dalam merumuskan
pasal yang didakwakkan terhadap terdakwa.
3. Putusan diluar dakwaan jaksa penuntut umum perlu dijadikan sebagai
bahan pelatihan/ pembinaan pada proses rekrutmen calon hakim/ hakim
untuk dapat menjadi pembelajaran serta pertimbangan dalam
menjatuhkan putusan pengadilan di kemudian hari.
74
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Alperdorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradya Paramita, 1996.
Atmasasmita, Romli. Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: CV. Mandar Maju,
2000.
Chazawi, Adami. Kemahiran dan Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Malang:
Bayumedia Publishing, 2013.
D, Soedjono. Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, Bandung: Karya
Nusantara, 1977.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta:
PT.Gramedia Utama, 2008.
Djohansyah, J. Reformasi Mahkamah Agung Menuju Indenpedensi Kekuasaan
Kehakiman, Jakarta: Kesaint Blanc, 2008.
Friedrich, Carl Joachim. Filsafat Hukum Prespektif Historis, Bandung: Nuansa
dan Nusamedia, 2004.
Hadikusuma, Hilman. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Bandung: Mandar Maju, 1995.
Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Liberty, 1996.
_____________. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafik, 2016.
_____________. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
_____________, dan Irdan Dahlan, Surat Dakwaan, Bandung: Alumni, 1987.
Harahap, M.Yahya. Pembebasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta:
Sinar Grafika, 2010.
Haryatmoko, Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politis, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Kamil, Ahmad. Filsafat Kebebasan Hakim Cetakan Kedua, Jakarta: Kencana,
2016.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and state, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Bandung: Nusa Media, 2011
75
Kuffal, HMA. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang: UMM Press,
2008.
Kusuma, Mahmud. Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigma
Bagi Lemahnya Hukum Indonesia, Yogyakarta: AntonyLib, 2009.
Lamintang, P.A.F. Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bangung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1996.
M. Wamtu, Fance. Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Marpaung, Laden. Proses Penanganan Perkara Pidana (di Kejaksaan dan
Pengadilan Negeri Upaya Hukum Eksklusif Bagian Kedua, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Makarao, Moh. Taufik. Tindak Pidana Narkotika Cetakan Kedua, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2003.
Mappiasse, Syarif. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015.
Mertokusumo, Sudino. Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1984.
Muhammad, Rusli. Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2007.
Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Pengadilan. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996.
__________, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya, Bandung: PT. ALUMNI, 2007
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Nadaek, Wilson. Korban dan Masalah Narkotika, Bandung: Indonesia Publing
House, 1983
Nawawi, Arief Barda. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy), Semarang:
Uinversitas Diponegoro, 1984.
Prakoso, Djoko. Kedudukan Justsiabel di dalam KUHAP, Bogor: Ghalia
Indonesia, 1985.
Rahardjo, Sajtipto. Saatnya Mengubah Siasat dari Supremasi Hukum ke
Mobilisasi Hukum, Kompas, Senin 26 Juli 2004 dalam Mahmud
Kusuma, Menyelami SemangatHukum Progresif, Terapi Paradigma Bagi
Lemahnya Hukum Indonesia, Yogyakarta: AntonyLib, 2009.
76
_______________. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2006.
_______________. Hukum Progresif : sebuah Sintesa Hukum Indonesia,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2009
Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum Oleh hakim Dalam Presfektif Hukum Progresif.
Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Sanusi, Ahmad, Rangkaian Sari Kuliah Pengantar Ilmu dan Pengantar Tata
Hukum Indonesia, Bandung: Tarsito, 1977.
Sasangka, Hari. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana Untuk
Mahasiswa dan Praktisi serta Penyuluhan Masalah Narkoba, Bandung:
Indonesia Publing House, 1983.
Sidabutar, Mangasa. Hak Terdakwa Terpidana Penutut Umum Menempuh Upaya
Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Simanjuntak, Nicolas. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2009.
Siregar, Bismar. Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional,
Jakarta: Rajawali, 1986.
Sudjono, AR dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang No 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Soetarno, Hendra. Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, Bandung: PT.
Alumni, 2011.
Sudjito, Hukum Dalam Pelangi kehidupan, Yogyakarta: Gadjah Mada University,
2012.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian, Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1999.
Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode Dan Dinamika
Masalahnya, Jakarta: ELSAM-HUMA, 2002.
Peraturan Perundang- undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
77
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI
Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Jakarta.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan
Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika Ke
Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitas Sosial.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015
Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
Lain-lain
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas
Pidana Indoneisa dalam Perkembangan Masyarakat Kini dan
Mendatang, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Dapartemen
Hukum dan HAM RI, 2003.
Dapartemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Komisi Yudisial RI, Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman
Cetakan 1, Jakarta: Sekretariat Jendral Komisi Yudisial RI, 2018.
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2010.
__________________, Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik
Hakim dan Makalah Berkaitan, Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006.
Jurnal
M. Monteiro, Josef. "Putusan Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia"
Jurnal Pro Justisia, Volume 25 Nomor 2, April 2007.
Mukhidin, “Hukum Progresif Sebagai Solusi Hukum Yang Mensejahterakan
Rakyat”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume 1 Nomor 3, 2014.
Hakim, Muh. Ridha. “Tafsir Indenpendsi Kekuasaan Kehakiman Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 7 Nomor
2 juli 2018.
Setiawan, Bayu, “Penerapan Hukum Progresif Oleh Hakim Untuk Mewujudkan
Keadilan Substantif Transendensi”, Jurnal Kosmik Hukum, Volume 18,
Nomor 1 Jauari 2018.
78
Sutiyoso, Bambang. mencari Format Ideal Keadilan Putusan Dalam Peradilan,
Jurnal Hukum Nomor 2 Volume 2, 2010.
Internet
Asmar, Lanka. Problematika Indenpedensi hakim Agung,
https://www.pta.medan.go.id/index.php/2016-12-22-04-37-57/artikel-anda-/2231-
problematika-indenpedensi-hakim-agung, Diakses pada tangal 27 Juni 2019 Pukul
10.27 WIB.
Noor, Afif. Indenpedensi Kekuasan Kehakiman Di Indonesia Pasca Amandemen
Undang-Undang dasar 1945, http://fsh.walisongo.ac.id/indenpedensi-kekuasaan-
kehakiman-di-indonesia-pasca-amandemen-undang-undang-dasar-1945/#,
Diakses pada tanggal 21 Juni 2019 pukul 10.47 WIB.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1940 K/Pid.Sus/2015,
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/f096880ec79c63e597a96b3d4ab6e
ce8, Diakses pada tanggal 10 Januari 2019 Pukul 15.30 WIB.
Putusan Pengadilan Negeri Masambar Nomor: 10/PId.B/2012/PN.Msb.
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/a17bbcd2d63580d3584b173a2dbef
1ca, Diakses pada tanggal 29 Juni 20019 Pukul 14.25 WIB.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1386/K/Pid.Sus/2011,
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/4ced81aa5725da9c2
31dd6004b1659cc/pdf, Diakses pada tanggal 29 juni 2019 pukul 13.15 WIB.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 818 K/Pid/1984.
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/23951, Diakses pada tanggal 29
Juni 2019 Pukul 18.15 WIB.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1626 K/Pid.Sus/2012,
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/ad680eed873fbe5c8fdffed5701f40
ef, Diakses pada tanggal 30 Juni 2019 Pukul 08.20 WIB.
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 1 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
PUTUSAN Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Yang memeriksa dan mengadili perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi
telah memutus sebagai berikut dalam perkara Terdakwa :
Nama : JHONI NGADIANTO alias JHON; Tempat Lahir : Jakarta;
Umur/Tanggal Lahir : 46 tahun / 02 Juli 1967;
Jenis Kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat Tinggal : Jalan Hos Cokroaminoto Nomor 8 RT 05/04,
Gondangdia, Jakarta Pusat;
Agama : Budha;
Pekerjaan : Wiraswasta;
Terdakwa ditahan dalam tahanan Rumah Tahanan Negara (RUTAN) oleh :
1. Penyidik, sejak tanggal 22 Juli 2014 sampai dengan tanggal 10 Agustus
2014;
2. Perpanjangan penahanan oleh Penuntut Umum, sejak tanggal 11 Agustus
2014 sampai dengan tanggal 19 September 2014;
3. Perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri, sejak tanggal 20
September 2014 sampai dengan tanggal 19 Oktober 2014;
4. Penuntut Umum, sejak tanggal 09 Oktober 2014 sampai dengan tanggal 28
Oktober 2014;
5. Majelis Hakim Pengadilan Negeri, sejak tanggal 27 Oktober 2014 sampai
dengan tanggal 25 November 2014;
6. Perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri, sejak tanggal 26
November 2014 sampai dengan tanggal 24 Januari 2015;
7. Perpanjangan penahanan oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi, sejak
tanggal 25 Januari 2015 sampai dengan tanggal 23 Februari 2015;
8. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi, sejak tanggal 11 Februari 2015 sampai
dengan tanggal 12 Maret 2015;
9. Perpanjangan penahanan oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi, sejak
tanggal 13 Maret 2015 sampai dengan tanggal 11 Mei 2015;
10. Hakim Mahkamah Agung selama 50 (lima puluh) hari, terhitung sejak
tanggal 25 Mei 2015 sampai dengan tanggal 13 Juli 2015, berdasarkan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 2 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
Surat Penetapan Penahanan Nomor : 2583/2015/S.797.Tah.Sus/PP/
2012/MA. tanggal 03 Juli 2015;
11. Ketua Mahkamah Agung sebagai perpanjangan penahanan Hakim
Mahkamah Agung selama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal 14
Juli 2015 sampai dengan tanggal 11 September 2015, berdasarkan Surat
Penetapan Penahanan Nomor : 2584/2015/S.797.Tah.Sus/PP/2012/MA.
tanggal 03 Juli 2015;
Terdakwa diajukan di depan persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Barat
karena didakwa dengan dakwaan sebagai berikut :
DAKWAAN : PRIMAIR :
Bahwa ia Terdakwa Jhoni Ngadianto alias Jhon, pada hari Minggu
tanggal 20 Juli 2014 sekira jam 22.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu
lain dalam bulan Juli 2014 bertempat di tempat kost Jalan Jambu BB.33
Perumahan Pondok Jagung, Kelurahan Pondok Jabung Kecamatan Serpong,
Tangerang atau setidak-tidaknya yang termasuk daerah hukum Pengadilan
Negeri Tangerang namun berdasarkan Pasal 84 Ayat (2) KUHAP, Pengadilan
Negeri Jakarta Barat berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya, yaitu
tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk di jual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan I”, perbuatan tersebut dilakukan ia Terdakwa dengan cara
sebagai berikut :
Bahwa mulanya saksi Sumantri bersama rekan anggota lainnya diantaranya
saksi Jhon Gun Sinaga telah menangkap saksi Derri Afrian alias Ei Bin
Sutomo (dilakukan penuntutan secara terpisah) karena kedapat shabu dan
menurut keterangan saksi Derri Afrian alias Ei Bin Sutomo mengaku bahwa
Terdakwa Jhoni Ngadianto alias Jhon pernah mambeli shabu sebanyak
1 (satu) paket dengan berat brutto 1 gram dengan harga Rp1.800.000,00
(satu juta delapan ratus ribu rupiah) dan atas petunjuk tersebut maka saksi
Gumantri bersama dengan anggota Polisi lain diantaranya saksi Jhon Gun
Sinaga mendatangi ke tempat kost Terdakwa yang beralamat di Jalan Jambu
BB.33 Perumahan Pondok Jagung, Kelurahan Pondok Jabung Kecamatan
Serpong, Tangerang. Kemudian pada hari Minggu tanggal 20 Juli 2014 sekira
jam 22.30 WIB, kedua anggota Polisi tiba di tempat kost Terdakwa tersebut
kemudian kedua anggota Polisi tersebut melakukan penangkapan terhadap
Terdakwa dan dari hasil penggeledahan ditemukan 1 (satu) paket plastik
Narkotika jenis shabu dengan berat brutto 0,6 gram atau berat netto 0,1909
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 3 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
gram yang Terdakwa simpan di dalam laci lemari pakaian kemudian setelah
Terdakwa diinterogasi mengaku bahwa shabu yang ditemukan di dalam
lemari pakaian tersebut adalah milik Terdakwa yang didapat beli dari seorang
laki-laki yang berada di Hotel Sion Holiday Serpong BSD dengan harga
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dimana Terdakwa dalam membeli
Narkotika jenis shabu tersebut tanpa ijin sah dari pejabat yang berwenang
dan dari hasil Pemeriksaan Badan Reserse Kriminal Polri Pusat Laboratorium
Firensik No. LAB : 2149/NNF/2014 tanggal 11 Agustus 2014, menyatakan
bahwa barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan kristal
warna putih dengan berat netto 0,1909 gram adalah benar mengandung
Metamfetamina terdaftar dalam Golongan I Nomor Urut 61 Lampiran Undang-
Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
Perbuatan ia Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana
dalam Pasal 114 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika;
SUBSIDAIR :
Bahwa ia Terdakwa Jhoni Ngadianto alias Jhon, pada hari Minggu
tanggal 20 Juli 2014 sekira jam 22.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu
lain dalam bulan Juli 2014 bertempat di tempat kost Jalan Jambu BB.33
Perumahan Pondok Jagung, Kelurahan Pondok Jabung Kecamatan Serpong,
Tangerang atau setidak-tidaknya yang termasuk daerah hukum Pengadilan
Negeri Tangerang namun berdasarkan Pasal 84 Ayat (2) KUHAP, Pengadilan
Negeri Jakarta Barat berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya yaitu tanpa
hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan l bukan tanaman, perbuatan tersebut dilakukan ia
Terdakwa dengan cara sebagai berikut
Bahwa mulanya saksi Sumantri bersama rekan anggota lainnya diantaranya
saksi Jhon Gun Sinaga telah menangkap saksi Derri Afrian alias Ei Bin
Sutomo (dilakukan penuntutan secara terpisah) karena kedapatan shabu dan
menurut keterangan saksi Dem Afrian alias Ei Bin Sutomo mengaku bahwa
Terdakwa Jhoni Ngadianto alias Jhon pernah membeli shabu sebanyak
1 (satu) paket dengan berat brutto 1 gram dengan harga Rp1.800.000,00
(satu juta delapan ratus ribu rupiah) dan atas petunjuk tersebut maka saksi
Sumantri bersama dengan anggota Polisi lain diantaranya saksi Jhon Gun
Sinaga mendatangi ke tempat kost Terdakwa yang beralamat di Jalan Jambu
BB.33 Perumahan Pondok Jagung, Kelurahan Pondok Jabung Kecamatan
Serpong, Tangerang. Kemudian pada hari Minggu tanggal 20 Juli 2014 sekira
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 4 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
jam 22.30 WIB, kedua anggota Polisi tiba di tempat kost Terdakwa tersebut
kemudian kedua anggota Polisi tersebut melakukan penangkapan terhadap
Terdakwa dan dari hasil penggeledahan ditemukan 1 (satu) paket plastik
Narkotika jenis shabu dengan berat brutto 0,6 gram atau berat netto 0,1909
gram yang Terdakwa simpan di dalam laci lemari pakaian kemudian setelah
Terdakwa diintrogasi mangaku bahwa shabu yang ditemukan di dalam lemari
pakaian tersebut adalah milik Terdakwa yang didapat beli dari seorang laki-
laki yang berada di Hotel Sion Holiday Serpong BSD dengan harga
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dimana Terdakwa dalam membeli
Narkotika jenis shabu tersebut tanpa ijin sah dari pejabat yang berwenang
dan dari hasil Pemeriksaan Badan Reserse Kriminal Polri Pusat Laboratorium
Firensik No. LAB : 2149/NNF/2014 tanggal 11 Agustus 2014, menyatakan
bahwa barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan kristal
warna putih dengan berat netto 0,1909 gram adalah benar mengandung
Metamfetamina terdaftar dalam Golongan I nomor urut 61 Lampiran Undang-
Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Jakarta Barat tanggal 17 Desember 2014 sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa JHONI NGADIANTO alias JHON tidak terbukti dalam
dakwaan Primair Penuntut Umum;
2. Menyatakan Terdakwa JHONI NGADIANTO alias JHON terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak atau
melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I bukan tanaman”, sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dalam surat Dakwaan Subsidair;
3. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa JHONI NGADIANTO alias JHON
dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dikurangi selama Terdakwa
berada dalam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan dan denda
sebesar Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) subsidair 6 (dua)
bulan penjara;
4. Menyatakan barang bukti berupa :
- 1 (satu) paket narkotika jenis shabu dengan berat brutto 0,6 gram, setelah
pemeriksaan laboratorium dengan berat netto 0,1909 gram, sisa barang
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 5 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
bukti setelah pemeriksaan labkrim dengan berat netto 0,1644 gram,
dirampas untuk dimusnahkan;
5. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp2.000,00
(dua ribu rupiah);
Membaca putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor :
1778/Pid.Sus/2014/PN Jkt.Brt., tanggal 04 Februari 2015 yang amar lengkapnya
sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa JHONI NGADIANTO alias JHON tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
tersebut dalam dakwaan Primair;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Primair tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa JHONI NGADIANTO alias JHON terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak atau
melawan hukum menguasai Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan
tanaman”;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak
dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan;
5. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
7. Memerintahkan barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan
kristal warna putih dengan berat netto 0,1909 gram, sisa barang bukti setelah
pemeriksaan labkrim dengan berat netto 0,1644 gram, dirampas untuk
dimusnahkan;
8. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp2.000,00 (dua ribu rupiah);
Membaca putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor : 71/PID/2015/
PT.DKI., tanggal 28 April 2015 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
1. Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum dan Terdakwa;
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor :
1778/Pid.Sus/2014/PN.Jkt.Brt., tanggal 04 Februari 2015, yang dimintakan
banding;
3. Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 6 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
4. Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam dua tingkat
pengadilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp2.500,00 (dua
ribu lima ratus rupiah);
Mengingat akta permohonan kasasi Nomor : 1778/Pid.Sus/2014/
PN.JKT.BRT, yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Jakarta Barat,
yang menerangkan, bahwa pada tanggal 25 Mei 2015, Penasihat Hukum
Terdakwa berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 19 Mei 2015 untuk dan atas
nama Terdakwa mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta tersebut;
Memperhatikan memori kasasi tertanggal 08 Juni 2015 dari Penasihat
Hukum Terdakwa untuk dan atas nama Terdakwa sebagai Pemohon Kasasi
yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tanggal 08
Juni 2015;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut telah
diberitahukan kepada Terdakwa pada tanggal 25 Mei 2015 dan Terdakwa
mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 25 Mei 2015 serta memori
kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada
tanggal 08 Juni 2015, dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan
alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara
menurut undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut secara
formal dapat diterima;
Menimbang, bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa pada pokoknya sebagai berikut : KEBERATAN PERTAMA :
Bahwa Judex Facti telah tidak menerapkan hukum Acara Pidana dengan
benar dengan mengijinkan dan menyidangkan perkara ini di Pengadilan Negeri
Jakarta Barat, sedangkan Locus Delicti dan Tempus Delicti perkara ini terjadi di
wilayah hukum Pengadilan Negeri Tangerang yakni di Jalan Jambu BB 33
perumahan Pondok Jagung, Kelurahan Pondok Jagung, Kecamatan Serpong
Tangerang, Judex Facti sama sekali tidak mempertimbangkan keberatan kami
Penasihat Hukum Terdakwa/Pemohon Kasasi dalam Pledoi kami, dimana di
dalam pledoi kami telah menguraikan bahwa Anggota Kepolisian Polres Jakarta
Barat telah melampaui kewenangannya melakukan penangkapan di wilayah
hukum Pengadilan Negeri Tangerang, dan merekayasa BAP sedemikian rupa
dibuat seolah-olah bahwa penangkapan Terdakwa tersebut bermula dari
penangkapan saksi Derri Afrian alias Ei bin Sutomo, yang kemudian atas
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 7 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
pengakuan Derri Afrian yang pernah menjual shabu-shabu kepada Terdakwa
dan atas petunjuk dari saksi Derri Afrian kemudian saksi Sumantri dan saksi
Jhon Gun Sinaga melakukan penangkapan ditempat kost Terdakwa di Jalan
Jambu BB 33 Perumahan Pondok Jagung Kelurahan Pondok Jagung
Kecamatan Serpong Tangerang, padahal hal tersebut sama sekali tidak benar,
berdasarkan keterangan dari saksi Derri Afrian yang menerangkan sebagai
berikut :
a. Saksi sama sekali tidak kenal dengan Terdakwa dan baru bertemu dengan
Terdakwa di kantor Polisi Polres Jakarta Barat;
b. Saksi tidak pernah menjual shabu-shabu kepada Terdakwa;
c. Pada saat saksi ditangkap saksi dibawa dengan mata tertutup dan dipukuli
oleh Polisi;
d. Saksi tidak tahu pada saat Terdakwa ditangkap;
e. Saksi pada saat menandatangani BAP tidak diberi kesempatan untuk
membaca BAPnya dan tidak juga dibacakan BAPnya.;
Dari keterangan saksi tersebut bagaimana mungkin penangkapan
Terdakwa di tempat kostnya adalah merupakan pengembangan dan petunjuk
dari Derri Afrian, Penyidik sengaja membuat rekayasa hukum sehingga seolah-
olah ada keterkaitan perkara antara perkara saksi Derri Afrian dengan perkara
Terdakwa agar Terdakwa dapat diperiksa di Polres Jakarta Barat dan dapat
disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Seharusnya Judex Facti tingkat
Pertama dan Tingkat Banding dengan memperhatikan fakta yang terungkap
dalam persidangan tersebut serta memperhatikan alasan yang kami utarakan
dalam Pledoi Kami tersebut menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta
Barat Tidak Berwenang mengadili Perkara ini, walaupun tidak ada Eksepsi dari
Terdakwa maupun dari Penasihat Hukum Terdakwa terdahulu, karena sesuai
dengan Pasal 156 Ayat (7) KUHAP “Hakim Ketua Sidang karena jabatannya”,
“walaupun tidak ada perlawanan”, “setelah mendengar pendapat Penuntut
Umum dan Terdakwa” dengan “surat penetapan” yang memuat alasannya dapat
menyatakan “pengadilan tidak berwenang”. Artinya jika Hakim menemukan
ketidakbenaran dakwaan yang berakibat tidak berwenangnya pengadilan maka
Hakim secara ex officio dapat memutuskannya. Misalnya pada saat dakwaan
dibacakan tidak ada keberatan dari Terdakwa mengenai locus delicti tindak
pidananya, akan tetapi setelah memeriksa alat bukti, saksi, ahli, surat,
Terdakwa, ternyata locus delictinya terjadi di luar yuridiksi pengadilan yang
memeriksa, maka Hakim dapat menyatakan tidak berwenang mengadili perkara
tersebut meski tidak ada eksepsi, maka berdasarkan Pasal 156 Ayat (7) KUHAP
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 8 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
tersebut maka seharusnya gambaran prosedur yang sebenarnya harus
dilakukan oleh Judex Facti adalah :
- Langkah pertama : jika pada saat atau setelah melakukan pemeriksaan alat
bukti ditemukan ada permasalahan dakwaan mengenai kompetensi
(absolut/relatif), maka karena jabatannya Hakim harus menyatakan adanya
“ketidakwenangan mengadili” di persidangan;
- Langkah Kedua : Atas pernyataan Hakim tersebut, Penuntut Umum
memberikan pendapat yang dilanjutkan pendapat dari Terdakwa;
- Langkah Ketiga : Jika setelah mendengar pendapat tersebut, Hakim tetap
menemukan ketidakwenangan pengadilan, maka Hakim dapat menyatakan
tidak berwenang mengadili dan dibuat dalam bentuk Penetapan, menurut
Pasal 157 Ayat 7 KUHAP dan bentuknya sama dengan kewenangan Ketua
Pengadilan untuk menyatakan tidak berwenang mengadili sebelum perkara
disidangkan yakni dibuat dalam bentuk Penetapan (vide Pasal 148 dan Pasal
149 KUHAP), namun oleh karena pemeriksaan perkara sudah dilakukan
maka ketidakwenangan mengadili dibuat dalam bentuk Putusan dengan
menyatakan dakwaan tersebut batal atau harus di N.O, dalam putusan akhir,
walaupun KUHAP mengatur putusan akhir itu hanya dalam bentuk putusan
pemidanaan dan putusan bukan pemidanaan (bebas dan lepas dari tuntutan
hukum), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11 jis Pasal 194 Ayat (1),
Pasal 199 Ayat (1) huruf b, Pasal 222 Ayat (1) KUHAP, namun jika membaca
Pasal 156 Ayat (2) yakni “Sebaliknya dalam hal tidak diterima atau Hakim
berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan,
maka sidang dilanjutkan”, Penekanannya dalam kata “baru dapat diputus
setelah selesai pemeriksaan”, berarti KUHAP memberikan sarana yuridis
bagi Hakim untuk memutuskan batal hukum tidaknya suatu dakwaan setelah
pemeriksaan selesai yakni setelah proses pemeriksaan alat bukti, sebelum
pengajuan tuntutan pidana (Pasal 182 Ayat 1). Sedangkan jika telah ada
pengajuan tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan, KUHAP
menamakannya dengan “pemeriksaan dinyatakan ditutup” (Vide Pasal 182
Ayat 2 KUHAP), Dengan demikian, Hakim masih dapat memutus batal/tidak
dapat diterimanya suatu dakwaan;
Berdasarkan alasan yang kami utarakan ini, kami mohon agar Ketua/
Hakim Agung yang memeriksa perkara ini berkenan memutuskan bahwa
Pengadilan Negeri Jakarta Barat Tidak Berwenang mengadili perkara ini dan
menyatakan bahwa dakwaan rekan Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat diterima;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 9 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
KEBERATAN KEDUA
Bahwa dalam memori kasasi ini kembali kami menyatakan bahwa Judex
Facti baik di tingkat pertama maupun banding telah salah dalam menerapkan
hukum dalam mengklasifikasikan/menggolongkan perbuatan Terdakwa yang
terbukti di persidangan, dengan karena menyatakan perbuatan Terdakwa telah
memenuhi unsur-unsur Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, hanya dengan melihat secara tekstualnya saja dengan
hanya melihat fakta bahwa Terdakwa telah kedapatan menguasai dan memiliki
Narkotika, dan kemudian mencocokkan fakta tersebut dengan kalimat dalam
Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, tanpa melihat kasus ini secara Kontekstualnya yaitu dengan
memperhatikan maksud dan tujuan Terdakwa menguasai dan memiliki narkotika
tersebut, apakah untuk diperdagangkan, ataukah untuk digunakan sendiri oleh
Terdakwa, oleh karenanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 telah
melakukan Penggolongan Pelaku Tindak Pidana Narkotika sebagai berikut
a. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika, atau
prekusor narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 111, 112, 117, 122 dan
Pasal 129;
b. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi/mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal
113, 118, 123 dan 129;
c. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual-beli, menukar
atau menyerahkan atau menerima narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal
114, 119, 124 dan Pasal 129;
d. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentrasito narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal
115, 120, 125 dan Pasal 129;
e. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika kepada
orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain,
sebagaimana diatur dalam Pasal 116, 121 dan Pasal 126;
f. Perbuatan penyalahgunaan Narkotika bagi diri sendiri, sebagaimana
diatur dalam Pasal 127, yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa hak
atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15), sedangkan pecandu narkotika,
sebagaimana diatur dalam Pasal 128 dan Pasal 134, yaitu orang yang
menggunakan atau menyalah gunakan narkotika dan dalam keadaan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 10 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1
angka 13);
g. Percobaan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
narkotika dan prekusor narkotika dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116,
117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126 dan Pasal 129,
sebagaimana diatur dalam Pasal 132;
Bahwa penggolongan pelaku tindak pidana narkotika tersebut
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tiap kedudukan dan perbuatan pelaku
tindak pidana narkotika memiliki sanksi yang berbeda, karena alangkah tidak
adilnya seorang korban atau penyalahguna narkotika untuk diri sendiri in casu
Terdakwa harus dihukum sama beratnya dengan seorang pengedar narkotika;
Jadi berdasarkan penggolongan pelaku tindak pidana narkotika tersebut,
seharusnya para penegak hukum dalam hal ini Penyidik, Penuntut Umum, dan
Hakim dalam penanganan sebuah kasus narkotika tidak semata-mata hanya
melihat bahwa setiap penyalahguna yang kedapatan membawa atau memiliki
narkotika tersebut harus dikenakan Pasal 112, namun sebagai seorang
penegak hukum harus bersikap secara jujur dan adil, menggali fakta yang
sebenarnya, apa tujuan seorang penyalahguna yang kedapatan memiliki,
menguasai dan membawa narkotika tersebut, apakah untuk diperdagangkan
ataukah untuk digunakan bagi dirinya sendiri, Mahkamah Agung dalam sebuah
Yurisprudensi Putusan kasasi perkara Nomor : 1071/K/Pid.Sus/2012
menyatakan dalam pertimbangannya yang berbunyi “Bahwa ketentuan Pasal
112 adalah merupakan ketentuan keranjang sampah atau pasal karet.
Perbuatan para pengguna atau pecandu yang menguasai atau memiliki
narkotika untuk tujuan dikonsumsi atau dipakai sendiri tidak akan terlepas dari
jeratan Pasal 112 tersebut, padahal pemikiran semacam ini adalah keliru dalam
menerapkan hukum, sebab tidak mempertimbangkan keadaan atau hal-hal
yang mendasari Terdakwa menguasai atau memiliki barang tersebut sesuai
dengan niat atau maksud Terdakwa”;
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan pada saat
Terdakwa ditangkap oleh Anggota Sat. Resnarkoba Polres Jakarta Barat,
Terdakwa kedapatan sedang akan menggunakan sabu-sabu, dimana Terdakwa
telah mempersiapkan dan merakit bong dan cangklongnya sebagai alat yang
akan digunakan untuk menghisap sabu-sabu tersebut, dengan fakta tersebut
maka arti menguasai dalam unsur Pasal 112 Ayat (1) ini harus diartikan secara
luas sebagai menguasai untuk digunakan dan termasuk pula menguasai pada
saat ia menghisap/menggunakannya, karena jika hanya melihat fakta secara
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 11 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
tekstualnya saja bahwa Terdakwa telah kedapatan menguasai dan memiliki
narkotika tersebut maka sudah pasti perbuatan Terdakwa tersebut cocok
dengan unsur-unsur Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, namun jika dilihat dari segi kontekstualnya dengan
melihat maksud dan tujuan Terdakwa/Pemohon Kasasi yang telah
mempersiapkan alat hisap berupa bong, pipet dan cangklong sebagai sarana
untuk menghisap sabu-sabu, maka sudah jelas bahwa kepemilikan sabu-sabu
oleh tersebut adalah untuk digunakan sendiri, oleh karenanya Mahkamah
Agung telah memberikan Yurisprudensi dalam sebuah putusan perkara Pidana
Narkotika Nomor : 1386/K/Pid.Sus/2011, memberikan kaidah hukum yang
berbunyi sebagai berikut “bahwa kepemilikan atau penguasaan atas suatu
narkotika dan sejenisnya harus dilihat maksud dan tujuannya atau
kontekstualnya dan bukan hanya tekstualnya dengan menghubungkan kalimat
dalam undang-undang tersebut”;
Berdasarkan Yurisprudensi MA tersebut jika dihubungkan dengan fakta
yang terungkap dalam persidangan, maka sudah jelas Judex Facti
tingkat pertama dan tingkat Banding telah salah dalam menerapkan hukum
dalam menentukan kualifikasi perbuatan Terdakwa/Pemohon Kasasi dengan
menyatakan bahwa kualifikasi perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa
adalah melanggar Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang 35 Tahun 2009, dimana
seharusnya perbuatan Terdakwa tersebut adalah melanggar Pasal 127 Ayat (1)
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni sebagai
Penyalahguna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri oleh karenanya kami
mohon agar Ketua/Majelis Hakim Agung membatalkan Putusan Judex Facti
tersebut dan mengadili sendiri menyatakan perbuatan Terdakwa adalah
melanggar Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009;
KEBERATAN KETIGA
Bahwa Judex Facti telah salah dan atau tidak menerapkan hukum telah
salah atau keliru dalam pertimbangannya khususnya dalam hal Pembuktian
Unsur Pokok (bestandeel delict) Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor
35 Tahun 2009 dengan mengabaikan kaidah-kaidah hukum yang telah dibuat
oleh Mahkamah Agung melalui beberapa Yurisprudensi maupun dalam surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tertanggal 07 April 2010 yang
dapat dijadikan dasar untuk penerapan ketentuan pidana yang tepat tentang
tujuan seseorang yang sedang menguasai, memiliki, menerima atau membeli
Narkotika, dimana dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010 secara jelas Mahkamah
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 12 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
Agung mengkualifikasikan seorang Penyalahguna atau Pecandu Narkotika
dengan kriteria sebagai berikut :
a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh Penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam
kondisi tertangkap tangan;
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a di atas, diketemukan barang bukti
pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut :
1. Kelompok Methamphetamine (sabu-sabu) seberat 1 gram;
2. Kelompok MDMA (ectasy) seberat 2,4 gram/ sebanyak 8 butir;
3. Kelompok Heroin seberat 1,8 gram;
4. Kelompok Kokain seberat 1,8 gram;
5. Kelompok Ganja seberat 5 gram;
6. Daun Koka seberat 5 gram;
7. Meskalin seberat 5 gram;
8. Kelompok Psilosybin seberat 3 gram;
9. Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) seberat 2 gram;
10. Kelompok PCP (Phencyclidine) seberat 3 gram;
11. Kelompok Fentanil seberat 1 gram;
12. Kelompok Metadon seberat 0,5 gram;
13. Kelompok Morfin seberat 1,8 gram;
14. Kelompok Petidine seberat 0,96 gram;
15. Kelompok Kodein seberat 72 gram;
16. Kelompok Bufrenorfin seberat 32 gram;
c. Surat Uji Laboratorium yang berisi positif menggunakan Narkoba yang
dikeluarkan berdasarkan permintaan penyidik;
d. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang
ditunjuk oleh Hakim;
e. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam
peredaran gelap Narkotika;
Bahwa demikian pula dalam beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung,
salah satunya putusan Mahkamah Agung yang hampir sama dengan apa yang
dialami Terdakwa yakni Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1386 K/Pid.Sus/
2011 tanggal 03 Agustus 2011 yang amar putusannya Menolak Kasasi dari
Jaksa/Penuntut Umum dan menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang
Nomor : 119/Pid/2011/PT. Smg. tanggal 28 April 2011 membebaskan Terdakwa
Sidiq Yudhi Ardianto, S.E. alias Didik dalam dakwaan Primair melanggar Pasal
112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, dan menghukum
Terdakwa dengan dakwaan Subsidair melanggar Pasal 127 Ayat (1) Undang-
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 13 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
Undang Nomor 35 Tahun 2009. Adapun pertimbangan Majelis Hakim dari
putusan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Jumlah jenis narkotika yang ditemukan pada diri Terdakwa hanya seberat 0.2
gram yang dibeli Terdakwa dari seseorang bernama Ganjar Raharjo;
b. Terdakwa membeli narkotika bukan untuk diperdagangkan atau
diperjualbelikan, melainkan untuk digunakan;
c. Terdakwa yang bermaksud untuk menggunakan atau memakai narkotika
tersebut, tentu saja menguasai atau memiliki narkotika tersebut tetapi
kepemilikan dan penguasaan narkotika tersebut semata-mata untuk
digunakan. Sehubungan dengan hal tersebut maka harus dipertimbangkan
bahwa kepemilikan atau penguasaan atas suatu narkotika dan sejenisnya
harus dilihat maksud dan tujuannya atau kontekstualnya dan bukan hanya
tekstualnya dengan menghubungkan kalimat dalam undang-undang tersebut;
d. Dalam proses hukum penyidikan, polisi sering kali menghindari untuk
dilakukan pemeriksaan urine Terdakwa, sebab ada ketidakjujuran dalam
penegakan hukum untuk menghindari penerapan ketentuan tentang
Penyalahgunaan Narkotika, meskipun sesungguhnya Terdakwa melanggar
Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009;
Bahwa apabila Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010
dan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1386 K/Pid.Sus/2011 tanggal 03
Agustus 2011 tersebut dihubungkan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan, maka dapat ditemukan fakta-fakta sebagai berikut :
1. Terdakwa tertangkap tangan oleh Anggota Sat Narkoba pada saat hendak
menggunakan narkotika jenis sabu-sabu, dimana pada saat itu Terdakwa
telah merakit bong yang terbuat dari botol air mineral dan pipa cangklongnya
yang terbuat dari kaca;
2. Pada saat tertangkap tangan, diketemukan barang bukti pemakaian 1 (satu)
hari yaitu narkotika dalam kelompok methamphetamine (sabu-sabu) dengan
berat netto 0,1909 gram (kurang dari 1 gram);
3. Urine Terdakwa sudah pasti positif menggunakan narkotika jenis sabu-sabu,
namun dalam perkara ini Penyidik sengaja tidak melampirkan atau sengaja
tidak membuatkan Surat Uji Laboratorium demikian pula dengan barang bukti
berupa pipa cangklong dan bongnya juga tidak dijadikan barang bukti sebab
ada ketidakjujuran dalam penegakan hukum untuk menghindari penerapan
ketentuan tentang Penyalahgunaan Narkotika, meskipun sesungguhnya
Terdakwa melanggar Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 14 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
4. Tidak terdapat bukti bahwa Terdakwa terlibat dalam peredaran gelap
Narkotika dan Terdakwa membeli narkotika bukan untuk diperdagangkan
atau diperjuaIbelikan melainkan untuk digunakan;
Bahwa berdasarkan keberatan-keberatan serta alasan-alasan kami
tersebut maka jelaslah bahwa Judex Facti telah salah atau keliru dalam
pertimbangannya khususnya dalam hal pembuktian unsur pokok (bestandeel
delict) Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 karena
Judex Facti hanya terpaku pada fakta bahwasanya Terdakwa telah terbukti
memiliki atau menguasai Narkotika jenis sabu-sabu yang kemudian
menghubungkan fakta tersebut dengan unsur pokok (bestandeel delict) dalam
kalimat pada Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009,
dengan tidak mempertimbangkan keadaan atau hal-hal yang mendasari
Terdakwa menguasai atau memiliki barang tersebut sesuai dengan niat atau
maksud Terdakwa menguasai narkotika jenis sabu-sabu tersebut, demikian pula
kekeliruan Judex Facti karena mengabaikan beberapa yurisprudensi dan Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2010, dimana seharusnya
berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan yang dihubungkan
dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 1386 K/Pid.Sus/2011 tanggal
03 Agustus 2011 serta Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010
Judex Facti seharusnya menyatakan bahwa perbuatan Terdakwa telah
memenuhi unsur-unsur Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun
2009, bukan menghukum Terdakwa dengan ketentuan Pasal 112 Ayat (1)
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Oleh karenanya
kami mohon agar Ketua/Majelis Hakim Agung membatalkan putusan tersebut;
KEBERATAN KEEMPAT
Bahwa Judex Facti telah tidak menerapkan hukum dengan benar, karena
tetap memaksakan menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa dengan Pasal 112
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, sementara perbuatan
Terdakwa yang terbukti di persidangan adalah Pasal 127 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009;
Sebagaimana dalil-dalil hukum berdasarkan fakta-fakta yang terungkap
dalam persidangan, dimana sudah jelas perbuatan yang dilakukan oleh
Terdakwa adalah terbukti melanggar Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang 35
tahun 2009, maka seharusnya Terdakwa dibebaskan dari dakwaan Subsidair,
dan dijatuhi hukuman dengan Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009, namun oleh karena Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor
35 Tahun 2009 tidak didakwakan kepada Terdakwa dalam perkara ini, maka
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 15 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
dengan demikian Terdakwa harus dibebaskan dari segala dakwaan (vrijsprak),
Mahkamah Agung dalam beberapa Yurisprudensinya telah membebaskan
Terdakwa karena tidak Jaksa/Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sementara yang terbukti dalam
persidangan adalah Pasal 127 Ayat (1) tersebut, adapun putusan-putusan
Mahkamah Agung Tersebut adalah sebagai berikut :
1. Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2089 K/Pid.Sus/2011 Atas nama
Terdakwa Widya Wati, yang amar putusannya Membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor : 177/Pid.Sus/2011/PT.PTK., tanggal 16
September 2011., yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Ketapang
Nomor : 151/Pid.B/2011/PN.KTP., tanggal 23 Agustus 2011. Dengan
pertimbangan hukumnya sebagai berikut : Bahwa terlepas dari alasan-alasan
kasasi tersebut, Judex Facti telah salah menerapkan hukum, oleh karena
telah menyatakan Terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana terhadap
Terdakwa didasarkan pada ketentuan pidana Pasal 127 Ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang tidak didakwakan oleh Jaksa/
Penuntut Umum, lagi pula fakta di persidangan membuktikan bahwa
Terdakwa hanya menghisap shabu-shabu, dengan demikian Terdakwa tidak
terbukti melakukan tindak pidana dalam dakwaan Primair dan Subsidair, dan
harus dibebaskan dari segala dakwaan Jaksa/Penuntut Umum;
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1540 K/Pid.Sus/2011 atas nama
Terdakwa Jonaidi (Terdakwa I) dan Mulyadi (Terdakwa II), yang amar
putusannya menolak kasasi Jaksa/Penuntut Umum, dan menguatkan
putusan pengadilan Tinggi Padang Nomor : 62/PID/2010/PT.PADANG. yang
pertimbangannya berbunyi sebagai berikut :
- Bahwa alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum terhadap Terdakwa II tidak
dapat dibenarkan, sebab putusan Judex Facti terhadap Terdakwa II, bukan
bebas tidak murni melainkan bebas murni sebab Terdakwa dinyatakan
tidak terbukti melakukan tindak pidana melanggar Pasal 114 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Menurut Judex Facti Terdakwa
terbukti melakukan tindak pidana namun tidak didakwakan;
- Bahwa berhubung karena unsur tindak pidana yang didakwakan Jaksa/
Penuntut Umum dinyatakan tidak terbukti maka pembebasan terhadap
Terdakwa merupakan pembebasan murni, dengan demikian Jaksa/
Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah Agung;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 16 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
- Menimbang, bahwa dengan demikian dihubungkan dengan surat
dakwaan, maka yang harus dipandang terbukti secara sah di persidangan
adalah dakwaan Primair terhadap Terdakwa I, yaitu “Secara Melawan
Hukum Menjual Narkotika Golongan I” sedang terhadap Terdakawa II
hanya terbukti sebagai “Pemakai” (Penyalahguna), dan karena dalam
surat dakwaan tidak ada dakwaan melanggar Pasal 127 Ayat (1)
(“Penyalahguna” Narkotika) dan hanya dakwaan melanggar Pasal 114
Ayat (1) (dakwaan Primair), Pasal 116 Ayat (1) (dakwaan Subsidair), dan
Pasal 112 Ayat (1) (dakwaan Lebih Subsidair), maka Terdakwa II harus
dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan Primair, Subsidair dan
Lebih Subsidair. Dan oleh karenanya Terdakwa harus dibebaskan dari
segala dakwaan (“Vrijspraak”).;
KEBERATAN KELIMA
Kasasi ini Terdakwa/Pemohon Kasasi ajukan semata mata hanya untuk
mencari keadilan baginya, alangkah tidak adilnya bagi Terdakwa/Pemohon
kasasi yang merupakan pecandu Narkotika harus menjalani hukuman selama 4
tahun penjara berdasarkan Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009, sementara perbuatan Terdakwa/pemohon kasasi melanggar Pasal
127 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, apalagi undang-undang
telah menyatakan bahwa setiap Pecandu Narkotika berhak mendapatkan
Penyembuhan dengan Rehabilitasi, dalam kasus ini Terdakwa benar-benar
merasa sangat terdzolimi oleh para penegak hukum, terutama di Penyidikan,
hak-hak Terdakwa/Pemohon Kasasi diabaikan seperti Hak Terdakwa pada saat
ditangkap untuk menjalani Assesment di Tim Assesment Terpadu untuk
menentukan kualifikasi perbuatan Terdakwa apakah Terdakwa ini selaku
pengguna/penyalahguna/pecandu Narkotika ataukah terlibat dalam peredaran
gelap narkotika, kemudian barang bukti berupa Hasil Tes Urine yang
menyatakan Urine Terdakwa Positif menggunakan Narkotika tidak dicantumkan
dalam BAP, dan yang terakhir barang bukti berupa bong, pipet, dan cangklong
dari kaca tidak dilampirkan juga sebagai barang bukti, ini semua adalah
kecurangan-kecurangan Penyidik terhadap kasus Terdakwa agar Terdakwa
dapat dijerat dengan Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009, oleh karenanya melalui memori kasasi ini Terdakwa/Pemohon kasasi
meminta keadilan dari yang mulia;
Bahwa Judex Facti baik di tingkat pertama maupun tingkat banding
dalam memutuskan perkara ini tidak menggali kaidah kaidah hukum yang telah
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 17 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
ditetapkan oleh Mahkamah Agung dalam Yurisprudensinya, jikalau Terdakwa/
Pemohon Kasasi memang harus dijatuhi hukuman karena perbuatannya, maka
hukumlah ia dengan seadil-adilnya dengan menggunakan hukum yang tepat,
dalam sebuah Yurisprudensi Mahkamah Agung nomor : 1628/K/PID.SUS/2012
yang diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari
Jum’at tanggal 14 September 2012 oleh Dr. Artidjo Alkostar, S.H., L.LM. Hakim
Agung yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Sri
Murwahyuni, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum., Hakim-Hakim
Agung sebagai Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada
hari Selasa tanggal 18 September 2012 oleh Ketua Majelis beserta Dr. Drs.
Dudu D. Machmudin, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum.,
sebagai Hakim-Hakim Anggota, dan dibantu oleh Tuty Haryati, S.H., M.H.,
Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa dan
Jaksa Penuntut Umum, dalam perkara pidana atas nama Terdakwa Agus
Setiadi alias Agus bin H. Sumardi, Majelis Hakim Agung tersebut dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut : Bahwa walaupun Pasal
127 (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak didakwakan,
namun sesuai Yurisprudensi MA Nomor : 675 K/Pid/1987 Jo. putusan-putusan
MA Nomor : 1671 K/Pid/1996 tanggal 18 Maret 1996 Jo. putusan MA Nomor :
1872 K/Pid/2011 yang pada pokoknya menyatakan : apabila delik yang terbukti
di persidangan adalah delik yang sejenis yang lebih ringan sifatnya dari delik
yang didakwakan yang lebih berat sifatnya, maka walaupun delik yang lebih
ringan tidak didakwakan, Terdakwa tetap dipersalahkan atas delik tersebut dan
di pidana atas dasar melakukan delik yang lebih ringan;
Berikut kami kutip Pertimbangan Majelis Hakim Agung tersebut :
“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat :
Terlepas dari alasan-alasan kasasi, telah terbukti fakta di persidangan bahwa :
1. Terdakwa bersama saksi Agus, Dedy telah menggunakan Narkotika
golongan I jenis sabu-sabu yang dibeli secara patungan, digunakan bersama-
sama mereka dan masih ada sisa 0,20 gram;
2. Ketika dilakukan penangkapan oleh petugas kepolisian sesaat setelah
menggunakan narkotika, ditemukan seperangkat alat hisap sabu-sabu dan
sisa sabu-sabu dengan berat kotor 0,20 gram;
3. Dari hasil tes urine atas nama Terdakwa, didapat kandungan Narkotika
dengan bahan adiktif metamfetamina, terdaftar dalam golongan I nomor urut
61 lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 18 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
4. Dari fakta tersebut di atas dihubungkan dengan SEMA Nomor 4 Tahun 2010
Terdakwa telah melanggar Pasal 127 (1) huruf a yaitu “Penyalahgunaan”
Narkotika golongan I bagi diri sendiri, dan sisa sabu-sabu seberat 0,20 gram
yang ditemukan dari tempat kejadian tersebut tidak dapat di kualifikasi bahwa
Terdakwa memiliki, menyimpan, menguasai sabu-sabu/narkotika golongan I
untuk tujuan di luar pemakaian/penggunaan seperti yang disebut dalam
Pasal 112 (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009;
5. Bahwa Pasal 127 (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak
didakwakan, namun sesuai Yurisprudensi MA Nomor : 675 K/Pid/1987 Jo.
putusan-putusan MA Nomor : 1671 K/Pid/1996 tanggal 18 Maret 1996 Jo.
putusan MA Nomor : 1872 K/Pid/2011 yang pada pokoknya menyatakan :
apabila delik yang terbukti di persidangan adalah delik yang sejenis yang
lebih ringan sifatnya dari delik yang didakwakan yang lebih berat sifatnya,
maka walaupun delik yang lebih ringan tidak didakwakan, Terdakwa tetap
dipersalahkan atas delik tersebut dan di pidana atas dasar melakukan delik
yang lebih ringan”;
Bahwa atas pe rtimbangan tersebut, Majelis Hakim Agung memutuskan
dengan amar putusan yang kami rangkum sebagai berikut :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa: Agus
Setiadi alias Agus bin H. Sumardi, tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah Nomor :
45/PID.SUS/2012/PT.PR tanggal 07 Juni 2012;
MENGADILI SENDIRI :
1. Menyatakan Terdakwa Agus Setiadi alias Agus Bin H. Sumardi terbukti
secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana
Penyalahgunaan Narkotika GOLONGAN I BAGI DIRI SENDIRI;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap Terdakwa dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Dst....
Berdasarkan alasan kasasi tersebut, kami mohon keadilan yang seadil-
adilnya dari yang mulia, jikalau memang Terdakwa/Pemohon Kasasi tidak dapat
dibebaskan dari segala dakwaan sebagaimana permohonan kami dalam
memori kasasi ini, kami berharap kiranya Terdakwa/termohon kasasi dapat
mendapatkan keringanan hukuman dengan dalil yang kami utarakan di atas,
sungguh Terdakwa sangat menyesal telah terjerat dalam lingkaran setan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 19 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
Narkotika sebagai Pengguna/Pecandu Narkotika jenis sabu-sabu, dan berjanji
tidak akan lagi mengulangi perbuatannya tersebut;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut : a. Bahwa alasan kasasi Terdakwa dapat dibenarkan, putusan Judex Facti
Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Judex Facti Pengadilan Negeri
tidak tepat dan salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak
sebagaimana mestinya. Putusan Judex Facti dibuat berdasarkan kesimpulan
dan pertimbangan hukum yang salah, tidak mendasarkan pertimbangannya
pada fakta hukum yang relevan secara yuridis dengan tepat dan benar
sesuai fakta hukum yang terungkap di muka sidang, yaitu :
- Bahwa saat Terdakwa ditangkap dan digeledah Anggota Sat. Narkoba
Polres Metro Jakarta Barat di tempat kostnya, ternyata Terdakwa sedang
santai hendak menghisap shabu dengan menyiapkan cangklong dan bong.
Bahkan saat itu Anggota Polres Metro Jakarta Barat menemukan alat
hisap sabu berupa cangklong dan bong tergeletak di lantai kamar kos.
Hanya saja Anggota Polres Metro Jakarta Barat tanpa alasan yang jelas
tidak menyita cangklong dan bong tersebut;
- Bahwa saksi Sumantri (petugas Kepolisian yang menangkap,
menggeledah dan menyita barang bukti dari Terdakwa) menerangkan
bahwa ketika saksi Sumantri melakukan penangkapan terhadap
Terdakwa, dari Terdakwa ditemukan satu paket kecil narkotika jenis
shabu-shabu seberat 0,1909 gram dalam dompet kecil yang disimpan
Terdakwa dalam laci lemari pakaian;
- Bahwa menurut Terdakwa, narkotika seberat 0,1909 gram tersebut adalah
sisa dipakai dan akan dipakai lagi bersama-sama dengan teman Terdakwa
di kamar kost Terdakwa tersebut, akan tetapi sebelum sempat dipakai,
petugas Kepolisian datang menggeledah dan selanjutnya Terdakwa
diperiksa urine dan hasilnya positif mengandung Methamphetamine;
- Bahwa Terdakwa memperoleh shabu itu dengan cara membeli secara on
line dari seseorang yang tidak dikenal di Hotel Sion Holiday seharga
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), karena ternyata Terdakwa dalam 6
(enam) bulan terakhir ini adalah pengguna shabu untuk diri sendiri 4
(empat) sampai 5 (lima) kali sehari untuk menambah stamina bekerja;
- Bahwa dengan demikian terbukti maksud dan tujuan Terdakwa membeli
shabu dalam jumlah yang kecil itu adalah untuk dihisap atau dipakai
sendiri, bukan untuk diperjualbelikan atau diedarkan lagi kepada orang
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 20 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
lain. Karena bagaimanapun seseorang sebelum menggunakan atau
memakai shabu untuk dirinya sendiri terlebih dahulu harus menguasainya,
apakah itu diperoleh dengan cara membeli atau diberi oleh orang lain;
b. Bahwa sesuai dengan fakta hukum yang terungkap dimuka sidang tersebut di
atas, ternyata Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Akan tetapi dilain pihak dalam
perkara a quo Jaksa/Penuntut Umum tidak mengajukan dakwaan alternatif
penyalahguna Narkotika golongan I bagi diri sendiri kepada Terdakwa. Maka
demi penegakan hukum yang bermanfaat dan berkeadilan, Terdakwa dapat
dipersalahkan dan dijatuhi pidana atas tindak pidana yang lebih ringan
sifatnya yang tidak didakwakan Jaksa/Penuntut Umum kepadanya, untuk itu
Terdakwa beralasan hukum dijatuhi pidana yang setimpal dengan
perbuatannya sebagaimana jelasnya termuat dalam amar putusan di bawah
ini;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka Terdakwa
tidak terbukti telah melakukan tindak pidana dalam Pasal 114 Ayat (1) dan
Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan Primair dan dakwaan Subsidair, oleh karena itu
Terdakwa dibebaskan dari dakwaan Primair dan dakwaan Subsidair tersebut;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan
kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa beralasan hukum dikabulkan dan
putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor : 71/PID/2015/ PT.DKI., tanggal 28
April 2015 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor :
1778/Pid.Sus/2014/PN Jkt.Brt., tanggal 04 Februari 2015 tidak dapat
dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung
mengadili sendiri perkara a quo sebagaimana tersebut dalam amar putusan di
bawah ini;
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana Mahkamah Agung
akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan;
Hal-hal yang memberatkan :
- Perbuatan Terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam
memberantas kejahatan narkoba;
Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa bersikap sopan selama persidangan;
- Terdakwa belum pernah dihukum;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 21 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
- Terdakwa masih berusia muda diharapkan dapat memperbaiki perilakunya di
kemudian hari;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi/Terdakwa dikabulkan, namun Terdakwa tetap dinyatakan bersalah serta
dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada tingkat kasasi ini dibebankan kepada
Terdakwa;
Memperhatikan Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta
peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
M E N G A D I L I
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Terdakwa JHONI
NGADIANTO alias JHON tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor : 71/PID/2015/
PT.DKI., tanggal 28 April 2015 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Barat Nomor : 1778/Pid.Sus/2014/PN Jkt.Brt., tanggal 04 Februari
2015;
MENGADILI SENDIRI
1. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana dalam dakwaan Primair dan dakwaan Subsidair;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala dakwaan tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa JHONI NGADIANTO alias JHON telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penyalahgunaan
Narkotika Golongan I Bagi Diri Sendiri”;
4. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa JHONI NGADIANTO alias JHON
oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam)
bulan;
5. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan;
7. Menetapkan barang bukti berupa :
- 1 (satu) bungkus plastik klip berisikan kristal warna putih dengan berat
netto 0,1909 gram sisa barang bukti setelah pemeriksaan labkrim netto
0,1644 gram;
Dirampas untuk dimusnahkan;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 22 dari 22 hal Putusan Nomor : 1940 K/PID.SUS/2015
8. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Kamis, tanggal 10 September 2015 oleh Sri Murwahyuni, S.H.,
M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Majelis, Maruap Dohmatiga Pasaribu, S.H., M.Hum. dan H. Eddy Army,
S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum pada hari dan tanggal itu juga, oleh Ketua Majelis beserta
Hakim-Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh Retno Murni Susanti, S.H.,
M.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa
dan Jaksa/Penuntut Umum.
Hakim-Hakim Anggota, Ketua Majelis,
TTD TTD
Maruap Dohmatiga Pasaribu, S.H., M.Hum. Sri Murwahyuni, S.H., M.H.
TTD
H. Eddy Army, S.H., M.H.
Panitera Pengganti,
TTD
Retno Murni Susanti, S.H., M.H.
UNTUK SALINAN
MAHKAMAH AGUNG RI a/n PANITERA
PANITERA MUDA PIDANA KHUSUS
(ROKI PANJAITAN, S.H.) NIP.195904301985121001
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22