PENERAPAN ELECTRONIC GOVERNMENT ... - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/55730/3/TESIS TANPA BAB...
Transcript of PENERAPAN ELECTRONIC GOVERNMENT ... - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/55730/3/TESIS TANPA BAB...
PENERAPAN ELECTRONIC GOVERNMENT DALAM PENGHITUNGAN
SUARA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH
(Analisis Actor Network Theory pada Implementasi Aplikasi Penghitungan
Suara oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Jambi dalam Pemilihan Walikota
Jambi Tahun 2018)
(Tesis)
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
PENERAPAN ELECTRONIC GOVERNMENT DALAM PENGHITUNGAN
SUARA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH
(Analisis Actor Network Theory pada Implementasi Aplikasi Penghitungan
Suara oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Jambi dalam Pemilihan Walikota
Jambi Tahun 2018)
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
Pada
Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK
PENERAPAN ELECTRONIC GOVERNMENT DALAM PENGHITUNGAN
SUARA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH
(Analisis Actor Network Theory pada Implementasi Aplikasi Penghitungan
Suara oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Jambi dalam Pemilihan Walikota
Jambi Tahun 2018)
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN
Penghitungan suara dalam suatu pemilihan umum adalah salah satu tahapan yang
cukup krusial, termasuk dalam ajang pemilihan kepala daerah. Penelitian ini untuk
mengkaji penerapan e-gov penghitungan suara dari sisi mekanisme dan prosesnya
dengan menggunakan perspektif Actor-Network Theory. Perspektif ini
menempatkan interaksi yang komprehensif antara aktor manusia maupun non-
manusia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan
data primer menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi, sedangkan
untuk data sekunder menggunakan teknik dokumentasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa, pertama penerapan penghitungan suara pada Pilkada Kota
Jambi Tahun 2018 sudah dijalankan sesuai dengan tujuannya yaitu sebagai
kontrol terhadap penyelenggara pemilu di tingkat bawah agar tidak melakukan
kecurangan berupa manipulasi suara. Situng juga ditujukan sebagai wujud
pelayanan kepada publik dalam hal publikasi informasi yang melibatkan
gabungan aktor jaringan yaitu aktor manusia (brainware, operator, staf,
komisioner) dan non-manusia (hardware, software, email, website). Kedua,
implikasi penerapan situng terhadap kinerja KPU Kota Jambi dan tata kelola
Pemilu menunjukkan gejala yang positif dimana penghitungan suara Pilkada
menjadi lebih akurat, cepat dan mudah diakses publik dengan penggunaan
teknologi informasi komunikasi memang menjadi kebutuhan saat ini yang bisa
diterima oleh masyarakat. Berbagai pihak pemangku kepentingan mendukung
penerapan situng yang memandangnya sebagai instrumen pendukung pemilu yang
mesti dijamin pelembagaan dan keberlanjutannya. Penggunaan situng hanya
sebagai alat bantu saja sehingga dengan demikian aktor non-manusia masih tetap
di bawah kendali aktor manusia. Aktor utama yaitu seluruh jajaran penyelenggara
pemilu yang harus selalu ditingkatkan profesionalitas serta kejujurannya, pada sisi
lain situng bisa menjadi instrumen kontrolnya.
Kata kunci: e-government, Situng, actor-network theory.
ABSTRACT
APPLICATION OF ELECTRONIC GOVERNMENTS IN THE
CALCULATION OF SOUND CHOICE OF REGIONAL HEAD CHOICES
(Actor Network Theory Analysis on Implementation of Vote Counting
Applications by the General Election Commission of Jambi City in the 2018
Jambi Mayor Election)
by
MUHAMMAD IKHSAN
Vote counting in a general election is one of the crucial steps, including in the
regional head election. This research to examine the application of e-gov vote
counting in terms of mechanisms and processes using the perspective of Actor-
Network Theory. This perspective places a comprehensive interaction between
human and non-human actors. This study used descriptive qualitative method.
Primary data collection uses in-depth interview techniques and observation, while
for secondary data using documentation techniques. The results showed that the
first application of vote counting in the Jambi City Election in 2018 had been
carried out in accordance with the aim of controlling the election organizers at the
lower level so as not to commit fraud in the form of vote manipulation. Situng is
also intended as a form of service to the public in terms of publication of
information involving a combination of network actors, namely human actors
(brainware, operators, staff, commissioners) and non-humans (hardware, software,
e-mail, website). Secondly, the implications of implementing the situng on the
performance of the Jambi City KPU and Election governance show positive
symptoms where Pilkada vote counting becomes more accurate, fast and easily
accessible to the public with the use of communication information technology is
indeed a current requirement that can be accepted by the public. Various
stakeholders support the implementation of situng, which sees it as a supporting
instrument for elections that must be guaranteed institutionalization and
sustainability. The use of situng is only a tool so that non-human actors are still
under the control of human actors. The main actor, namely the entire ranks of the
election organizers, whose professionalism and honesty must always be improved,
on the other hand, situng can be the instrument of control.
Keywords: e-government, Situng, actor-network theory.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 21 Agustus
1980, merupakan anak kedua pasangan Abdul Manaf
AS, S.H. (Alm) dan Maryani. Penulis memiliki Satu
orang kakak bernama Muhammad Ridwan dan dua
orang adik bernama Afif Hardiansyah dan Nrs. Aan
Rismawani, S.Kep.
Penulis menempuh pendidikan formalnya di TK Pertiwi 1 Kota Jambi Tahun
1985 – 1986, SD Swasta Pertiwi 1 Kota Jambi Tahun 1986 – 1992, SMP Negeri
11 Kota Jambi Tahun 1992 – 1995 dan SMK Negeri 1 Kota Jambi Tahun 1995 –
1998. Kemudian di Tahun 1999 penulis menjadi mahasiswa Diploma Tiga
jurusan Manajemen Informatika di STMIK AKAKOM Jogjakarta. Penulis
menamatkan jenjang Diploma Tiga pada tahun 2003 dengan IPK 3,33. Kemudian
di tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Strata Satu jurusan
Teknik Informatika di STMIK AKAKOM Jogjakarta. Penulis menamatkan
pendidikan Strata Satu di bulan November tahun 2006 dengan IPK 3,15.
Pada awal tahun 2008, penulis mulai bekerja di PT ADIRA QUANTUM
FINANCE sebagai tenaga admin disburse. Setelah 6 (enam) bulan di rolling ke
admin PGA (Personal and General Affair). Pada Tahun 2009, dengan usaha dan
perjuangan yang panjang untuk mengikuti seleksi tes Pegawai Negeri Sipil,
akhirnya di akhir tahun 2009 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penulis kemudian ditugaskan sebagai staf KPU
Kabupaten Bungo. Di akhir tahun 2009 itu juga penulis menikah dengan Asteti
Zulmaryeni, S.E., dan di bulan Oktober 2010 dikaruniai seorang putra bernama
M. Aufa Nabil Zahid. Pada bulan Juli 2015, penulis pindah tugas dari KPU
Kabupaten Bungo ke KPU Provinsi Jambi. Pada bulan Agustus 2016, penulis
mendapatkan beasiswa penuh dari Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
untuk melaksanakan tugas belajar pada Program Pascasarjana Magister Ilmu
Pemerintahan Konsentrasi Tata Kelola Pemilu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Lampung.
Kupersembahkan karya kecilku ini untuk :
1. Keluargaku : Ayah (alm.), Ibu, Ayah Mertua (alm.), Ibu Mertua, Istriku,
abang dan adik-adikku, abang dan adik ipar serta putraku.
2. Institusiku : Komisi Pemilihan Umum
3. Almamaterku : Universitas Lampung
“Boleh Pasrah, tapi ga boleh menyerah...”
(Muhammad Ikhsan)
“Tidak suatu bencana yang menimpa di bumi
dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum kami menciptakan-Nya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah
(kami jelaskan yang demikian itu)
Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu,
Dan supaya kamu jangan terlalu gembira
Terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong
Lagi membanggakan diri.”
(Q.S. Al-Hadid : 22-23)
SANWACANA
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan
rahmat dan karunai-Nya, juga shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW
yang kita harapkan syafaatnya di hari akhir. Tesis dengan judul “Penerapan
Electronic Government dalam Penghitungan Suara Hasil Pemilihan Kepala
Daerah (Analisis Actor Network Theory pada Implementasi Aplikasi
Penghitungan Suara oleh Komisi Pemilihan Umum Kota Jambi dalam Pemilihan
Walikota Jambi Tahun 2018)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Ilmu Pemerintahan di Universitas Lampung. Dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Bapak Prof. Drs. Mustofa, M.A., Ph.D., selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Lampung.
3. Bapak Dr. Syarief Makhya, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) Universitas Lampung dan juga sebagai Dosen Penguji
Utama yang telah bersedia meluangkan waktu dalam memberikan
pengarahan dan saran perbaikan kepada penulis, sehingga dapat
menyempurnakan hasil penelitian ini.
4. Bapak Drs. Hertanto, M.Si., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung dan sekaligus juga sebagai
Dosen Pembimbing Pendamping yang telah memberikan bimbingan,
nasehat, saran dan pendapat kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan
penelitian ini.
5. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A., selaku Dosen Pembimbing Utama yang
telah memberikan bimbingan, nasehat, saran dan pendapat kepada penulis,
sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini.
6. Ibu Dr. Feni Rosalia, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, serta seluruh dosen pengajar
pada Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas
Lampung yang telah memberikan ilmu, nasehat dan pengetahuan kepada
penulis.
7. KPU RI yang telah memberikan kesempatan beasiswa penuh kepada
penulis, para komisioner dan Sekretaris, Kabag dan Kasubbag serta staf
KPU Provinsi Jambi dan juga KPU Kota Jambi yang telah bersedia
meluangkan waktu menjadi informan penelitian ini dan juga yang selalu
memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis.
8. Mahasiswa MIP 2016 konsentrasi Tata Kelola Pemilu batch 2 (Zuhairi
Sanofi, Agung Nugroho, Muhajiroh, Tohap Hasugian, Silvi Yulianti,
Risma mauli AZ, Yuliza Fitrianti, Merry Anggraini, Susi Megawati, bang
Antoniyus, bang Candrawansah dan Fajar Fakhlevi), serta konsentrasi
Otonomi Daerah dan Manajemen Pemerintahan.
9. Bendahara penerimaan Universitas lampung Eka Yulianti, S.E., dan staf
administrasi FISIP Universitas Lampung (Yeri, Febri, Nissa, Andi) yang
senantiasa membantu dan memfasilitasi penulis selama ini.
10. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada
penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
11. Almamater Universitas Lampung.
Akhir kata penulis sangat menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
siapa saja yang membacanya.
Bandar Lampung, Januari 2019
Penulis
Muhammad Ikhsan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
ABSTRAK ........................................................................................................... ii
ABSTRACT ........................................................................................................ iii
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................. iv
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ v
SURAT PERNYATAAN ................................................................................... vi
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................... ix
MOTTO ............................................................................................................... x
SANWACANA ................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 12
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 12
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 14
2.1. Landasan Teori ............................................................................. 14
2.1.1. Electronic Government (E-gov) ......................................... 14
2.1.2. Model Implementasi Kebijakan ......................................... 18
2.1.3. Implementasi E-Government .............................................. 31
2.1.4. Sistem Informasi ................................................................ 34
2.1.5. Teori Aktor Jaringan (Actor-Network Theory) .................. 36
2.1.6. Good Governance .............................................................. 44
2.1.7. Efektifitas dan Efisiensi Pemerintahan .............................. 47
2.2. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 52
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 56
3.1. Tipe Penelitian ............................................................................. 56
3.2. Fokus Penelitian ........................................................................... 57
3.3. Unit Analisis dan Penentuan Informan ......................................... 58
3.4. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 59
3.5. Teknik Pengolahan Data ............................................................... 60
3.6. Teknik Analisis Data .................................................................... 60
BAB IV GAMBARAN UMUM PENERAPAN SITUNG PADA
PILKADA SERENTAK TAHUN 2018 ............................................ 62
4.1. Deskripsi Kelembagaan KPU Kota Jambi ................................... 62
4.2. Pilkada Walikota Jambi Tahun 2018 ........................................... 66
4.3. Implementasi SITUNG pada Pilkada Walikota Jambi Tahun
2018 .............................................................................................. 68
BAB V ANALISIS ACTOR-NETWORK THEORY PADA
IMPLEMENTASI SITUNG PILKADA WALIKOTA JAMBI .... 80
5.1. Genesis SITUNG sebagai Pengembangan E-Rekap .................... 80
5.2. Peta Aktor Jaringan Penerapan SITUNG pada Pilkada Kota
Jambi Tahun 2018 ......................................................................... 84
5.3. Analisis Actor Network Theory (ANT) Penerapan SITUNG
pada Pilkada Kota Jambi Tahun 2018 .......................................... 87
5.3.1. Permasalahan/Problem ...................................................... 87
5.3.2. Penarikan/Interessement .................................................... 92
5.3.3. Pelibatan/Enrollment ....................................................... 100
5.3.4. Mobilisasi /Mobilization .................................................. 103
5.4. Analisis ANT Implikasi Penerapan SITUNG terhadap Kinerja
KPU Kota Jambi dan Tata Kelola Pemilu .................................. 107
5.4.1. Mobilisasi Instrumen ....................................................... 108
5.4.2. Membangun Aliansi ......................................................... 110
5.4.3. Institusionalisasi ............................................................... 114
5.4.4. Penerimaan Sosial ............................................................ 119
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 124
6.1. Simpulan ................................................................................... 124
6.2. Saran ......................................................................................... 125
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 127
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1 Komposisi Anggota KPU Kota Jambi ......................................................... 64
4.2 Susunan Sekretariat KPU Kota Jambi .......................................................... 65
4.3 Tahapan dan Jadwal Pilkada Serentak Tahun 2018 ..................................... 66
4.4 Perolehan Suara Pasangan Calon .................................................................. 67
4.5 Partisipasi Pemilih Pilwako Kota Jambi Tahun 2018 .................................. 68
4.6 Fitur Aplikasi SITUNG ................................................................................. 70
4.7 Fitur SITUNG Rekap .................................................................................... 72
4.8 Akses SITUNG ............................................................................................. 74
4.9 Perbandingan Perolehan Suara Kandidat SITUNG dengan Pleno ................ 76
4.10 Perbandingan Data Pemilih SITUNG dengan Pleno Penetapan ................. 77
4.11 Hasil SITUNG Pilwako Kota Jambi per Kecamatan .................................. 77
5.1 Para Aktor dalam Penerapan SITUNG Pilkada Kota Jambi 2018 ................ 85
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Implementasi Proses Politik dan Administratif ............................................ 22
2.2 Model Proses Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn .............. 24
2.3 Variables Involved in the Implementation Process ...................................... 25
2.4 Skema Analisis ANT menurut Bruno Latour ............................................... 41
2.5 Kerangka Pikir Penelitian ............................................................................ 55
4.1 Alur SITUNG Cepat ..................................................................................... 69
4.2 Aplikasi SITUNG Pindai .............................................................................. 70
4.3 Aplikasi SITUNG Entri ................................................................................ 71
4.4 Alur SITUNG Rekap..................................................................................... 72
4.5 Aplikasi Web SITUNG ................................................................................. 73
4.6 Web Publikasi SITUNG Pilkada Kota Jambi Tahun 2018 ........................... 74
4.7 Tampilan Menu rekap Hasil Pilkada Kota Jambi ......................................... 78
5.1 Alur Implementasi SITUNG Pilkada 2018 ................................................. 100
5.2 Implementasi SITUNG pada tingkat KPU Kota Jambi .............................. 102
DAFTAR SINGKATAN
ANT : Actor Network Theory
Bawaslu : Badan Pengawas Pemilihan Umum
Bimtek : Bimbingan Teknis
BPS : Bada Pusat Statistik
Caleg : Calon legislatif
DPT : Daftar Pemilih Tetap
DRC : Disaster Recovery Center
e-gov : Electronic Government
e-rekap : Elwctronic Rekapitulasi
GPP : Gaji Pokok Pegawai
ICR : Intelligent Character Recognition
IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
KPPS : Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
KPU : Komisi Pemilihan Umum
KPU RI : Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MK : Mahkamah Konstitusi
NPM : New Public Management
Pemilu : Pemilihan Umum
Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah
RUU : Rancangan Undang-undang
SAKPA : Sistem Akuntansi Keuangan Pengguna Anggaran
SDM : Sumber Daya Manusia
SIADKA : Sistem Informasi Administrasi Kepegawaian
SIAP : Sistem Informasi Aplikasi Persuratan
SIKD : Sistem Informasi Kearsipan Dinamis
SIM-2P : Sistem Informasi Manajemen Penyelenggaraan Pemilu
SILOG : Sistem Informasi Logistik
SILON : Sistem Informasi Pencalonan
SIPOL : Sistem Informasi Pendaftaran Partai Politik
SITUNG : Sistem Informasi Penghitungan Suara
SPM : Surat Perintah Membayar
SPP : Surat Permohonan Pembayaran
TIK : Teknologi Informatika dan Komunikasi
Tungsura : Penghitungan Suara
TPS : Tempat Pemungutan Suara
UNDP : United Nations Development program
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Tahap penghitungan suara dalam suatu Pemilihan Umum (Pemilu) adalah
salah satu tahapan yang cukup krusial, termasuk dalam ajang Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada). Menjelang penetapan hasil perolehan suara secara resmi oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU), berbagai pihak di luar penyelenggara Pemilu
kerap memiliki versi penghitungan sendiri. Hal ini bisa menimbulkan polemik
yang berpotensi memicu konflik antar pendukung. Menurut Haris (2005), konflik
penghitungan suara merupakan salah satu dari 5 (lima) sumber konflik Pilkada.
Pertama, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama,
dan daerah. Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif antar pasangan
calon kepala daerah. Ketiga, konflik yang bersumber dari premanisme politik dan
pemaksaan kehendak. Keempat, konflik yang bersumber dari manipulasi dan
kecurangan penghitungan suara hasil Pilkada. Kelima, konflik yang bersumber
dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan Pilkada. Kelima
sumber konflik tersebut juga menjadi potensi konflik penyelenggaraan Pilkada
serentak di berbagai daerah. Dalam konteks tersebut, kebutuhan atas kapasitas
mengelola konflik Pilkada menjadi penting (Ramadlan dan Wahyudi, 2016).
Permasalahan menyangkut penghitungan suara bukanlah fenomena baru,
karena sudah sering terjadi beberapa kasus yang bermasalah dalam perolehan
2
maupun penghitungan suara Pemilu dan Pilkada dari dulu hingga sekarang.
Seperti misalnya pada ajang Pemilu 2009, dari hasil pengamatan banyak menuai
persoalan mulai dari persoalan DPT hingga penggelembungan suara seperti yang
terjadi di beberapa daerah antara lain di Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu
mencapai 20.000 suara untuk caleg tertentu dan terjadi pengurangan suara untuk
caleg tertentu (Amancik, 2009). Indikasi dari kecurangan dan ketidakberesan
penyelenggaraan Pemilu, termasuk masalah penghitungan suara, juga dibuktikan
dengan banyaknya komplain dari peserta Pemilu (caleg, partai politik) serta
banyaknya gugatan yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Contoh lainnya, pada Pilkada di Jawa Timur Putusan MK membatalkan
Keputusan KPU Jawa Timur terkait penghitungan suara hasil Pilkada di tiga
daerah di Madura, dengan pertimbangan yang intinya adalah bahwa prosedur
penghitungan hasil suara Pilkada di tiga daerah tersebut dilakukan tidak sesuai
dengan prosedur hukum yang benar, bahkan pelanggaran hukum itu dilakukan
secara sistematis (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008).
Contoh kasus manipulasi suara lainnya yang masuk ke MK adalah Pilkada
Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat dimana pada beberapa tempat
tidak dilakukan pemungutan suara. Pencoblosan justru dilakukan oleh petugas
KPPS di Kecamatan Kayan Hulu dengan cara melakukan pencoblosan surat suara
pada malam dan pagi hari. Persoalan juga muncul terkait perbedaan data hasil
antara C1-KWK dengan DA1-KWK. Penebalan-penebalan angka maupun tanda
tangan dalam CI-KWK yang menyebabkan terjadinya perbedaan angka perolehan
dalam C1-KWK yang ada pada KPU dan calon. Berdasarkan fakta hukum itu,
maka MK menilai telah terjadinya pelanggaran yang dilakukan penyelenggara
3
Pilkada yang telah merusak sendi-sendi Pilkada yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil (Junaidi, 2010).
Pada Pilkada tahun 2015 sengketa penghitungan suara termasuk materi
gugatan yang mayoritas di MK. Penyelenggaraan Pilkada yang diikuti oleh 269
daerah, ada sekitar 150 gugatan sengketa hasil yang dilayangkan ke MK dan total
ada 5 perkara gugatan sengketa akhir yang akhirnya ditindaklanjuti. Hal ini belum
memperhitungkan masalah lain seperti administrasi, kampanye, partisipasi
pemilih maupun imbas sosial politik akibat konflik Pilkada (Ervianto, 2017).
Dari sisi kepentingan politik, peserta atau calon yang tidak mampu jujur
dan sportif sangat berkeinginan bisa menentukan hasil Pemilu sebelum
pemungutan dan penghitungan suara dilakukan. Apabila praktik kecurangan
(seperti jual-beli suara, intimidasi dan paksaan, serta manipulasi) cukup banyak
terjadi, maka legitimasi proses penyelenggaraan Pemilu akan dipertanyakan.
Penyelenggaraan Pemilu tanpa integritas seperti ini niscaya akan mencederai asas-
asas Pemilu yang demokratik. Lawan dari integritas Pemilu adalah berbagai
bentuk praktik manipulasi Pemilu (electoral fraud).
Menurut Alvarez, dkk (2008) dalam buku Election Fraud: Detecting and
Deterring Electoral Manipulation, menyebut persoalan utama dalam Pemilu
adalah mengenali dan mencegah terjadinya fenomena electoral fraud, election
manipulation, atau vote rigging yaitu suatu kecurangan Pemilu yang terjadi
karena intervensi atau campur tangan secara ilegal terhadap proses
penyelenggaraan Pemilu. Tindakan ini berdampak pada penghitungan suara yang
dapat mempengaruhi hasil Pemilu, baik meningkatkan hasil suara, mengurangi
atau keduanya pada kandidat tertentu.
4
Penelitian Surbakti et.al. (2014) mengutip Sarah Birch dan Rafael López
Pintor untuk mengidentifikasi praktik pelanggaran pemilu pada Pileg 2014.
Malpraktik pemilu didefinisikan sebagai manipulasi yang terjadi dalam
keseluruhan proses penyelenggaran pemilu yang bertujuan untuk kepentingan
perseorangan ataupun partai politik dengan meninggalkan kepentingan umum.
Malpraktik pemilu diklasifikasi menjadi tiga jenis, yakni: manipulasi terhadap
peraturan perundang-undangan pemilu (manipulation of election legal
framework), manipulasi pilihan pemilih yang bertujuan untuk mengarahkan atau
mengubah pilihan pemilih dengan cara-cara yang manipulatif (manipulation of
vote choises), terakhir manipulasi terhadap proses pemungutan dan penghitungan
suara hingga pemilu berakhir (manipulation of electoral administration) (Surbakti
et.al., 2014).
Manipulasi Pemilu termasuk fenomena malpraktek Pemilu seperti vote
buying (politik uang). Kasus politik uang dapat dilihat dari gugatan terhadap hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi dan Kabupaten/Kota
yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sepanjang tahun 2010, sebanyak
84,6 persen gugatan (182 dari 215 gugatan) yang masuk ke MK terkait dengan
dugaan adanya praktik politik uang (Mahkamah Konstitusi: 2011).
Manipulasi Pemilu juga termasuk intervensi tidak sah terhadap proses
penyelenggaraan Pemilu. Tindakan intervensi ini akan mempengaruhi hasil
penghitungan suara, baik dengan menambah suara peserta Pemilu/ calon tertentu
atau dengan mengurangi perolehan suara peserta Pemilu/calon lainnya.
Penyimpangan lain yang termasuk manipulasi perhitungan suara adalah
pendaftaran pemilih secara ilegal, intimidasi terhadap pemilih, dan penghitungan
5
suara yang tidak tepat, misalnya menyatakan tidak sah terhadap surat suara yang
sesungguhnya sah atau mencatat suara seorang pemilih lebih dari sekali (Surbakti
dkk, 2011).
Sederet permasalahan tersebut di atas menunjukkan bahwa problem
penghitungan suara belum menemukan solusi yang tepat. Dari sudut pandang
praktik di lapangan, pada dasarnya disebabkan oleh cara penghitungan suara yang
masih manual dan terbatas aksesnya sehingga menjadi tidak transparan.
Ketertutupan dan keterbatasan ini yang membuka peluang terjadinya masalah
seputar penghitungan suara sehingga keterbukaan menjadi resepnya. Berkaca dari
Pemilu 2014, dimana pada saat itu belum diterapkan sistem hasil elektronik
(biasanya disebut e-recapitulation atau e-rekap) yang resmi. Melalui e-rekap,
hasil resmi yang transparan dan kredibel dapat diperoleh dalam beberapa hari saja.
Dalam Pemilu 2014, metode rekapitulasi yang digunakan adalah metode
rekapitulasi manual yang sudah digunakan sejak lama, sehingga kembali muncul
kecurigaan dan tudingan terjadinya kecurangan (Surbakti, 2015). Hal ini yang
menjadikan penerapan electronic government (e-gov) dalam penyelenggaraan
Pemilu menjadi salah satu ikhtiar mempersempit berbagai permasalahan dalam
penghitungan suara, karena menjadikan proses penghitungan lebih terbuka bagi
publik dan bisa diawasi oleh masyarakat umum. Berdasarkan hal tersebut,
penelitian ini menemukan titik pentingnya karena mencoba mengkaji lebih jauh
penerapan e-gov dalam penghitungan suara hasil Pilkada.
E-gov itu sendiri merupakan tuntutan zaman. Era globalisasi saat ini telah
mendorong negara-negara di dunia untuk menyelenggarakan tata kelola
pemerintahan yang berorientasi pada pemanfaatan kemajuan teknologi informasi
6
dan komunikasi. Pemerintah Republik Indonesia telah membuat kebijakan
penerapan electronic government for a good governance (pemerintahan elektronik
untuk tata pemerintahan yang baik) yang terintegrasi mulai dari tingkat pusat
hingga ke daerah. Tujuannya adalah agar teknologi informasi dan komunikasi
dapat dimanfaatkan secara bersama untuk memudahkan koordinasi antar institusi
pemerintah.
Electronic government (e-gov) adalah penggunaan teknologi untuk
membuat sistem pemerintahan, baik itu pelayanan internal maupun pelayanan
kepada masyarakat, menjadi berlangsung lebih efektif dan efisien. E-gov
merupakan langkah pemanfaatan teknologi informasi sebagai alat untuk
membantu menjalankan sistem pemerintahan yang mengedepankan efektifitas dan
efisiensi. Paling tidak ada dua hal utama dalam konsep e-gov; yang pertama
adalah penggunaan teknologi informasi (salah satunya internet) sebagai alat bantu,
dan yang kedua, tujuan pemanfaatannya agar proses pemerintahan dapat berjalan
lebih efisien.
Meskipun memanfaatkan media teknologi informasi, e-gov bukan berarti
mengganti cara pemerintah dalam berhubungan dengan masyarakat. Masyarakat
masih bisa berhubungan dengan unit-unit pelayanan, komunikasi langsung dan
tidak langsung untuk mendapatkan pelayanan pemerintah, atau korespondensi
dengan instansi pemerintah. Dengan demikian, e-gov sesuai dengan fungsinya
adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan
antara pemerintah dan pihak-pihak lain dalam rangka meningkatkan kualitas
layanan publik secara efektif dan efisien.
7
Pada sisi lain, hingga saat ini penerapan e-gov di Indonesia tidak
sepenuhnya dikatakan berjalan lancar dan berhasil, masih ditemukan beberapa
kendala. Dari aspek kultur, pengakses e-gov masih rendah dan e-gov masih
cenderung formalitas. Dari aspek kepemimpinan, masih belum banyak yang
berkomitmen kuat serta inovatif, dan dari aspek infrastruktur e-gov tidak
mendukung karena relatif belum memadai (Kumorotomo, 2014). Terkait dengan
kemacetan implementasi e-gov, Robert Heeks (2003) berpendapat bahwa
kebanyakan kegagalan aplikasi e-gov di negara berkembang adalah karena
ketidakpahaman mengenai “keadaan sekarang” (where we are now) dengan “apa
yang akan kita capai dengan proyek e-government” (where the e-government
project wants to get us). Dengan kata lain, yang seringkali terjadi adalah
kesenjangan yang lebar antara realitas yang sekarang dihadapi dengan rancangan
e-gov yang dimaksudkan untuk mengubah keadaan.
.Adapun rancangan e-gov untuk mengubah keadaan telah masuk ke dalam
agenda Roadmap Reformasi Birokrasi di Indonesia. Sejalan dengan Program
Reformasi Birokrasi yang dicanangkan oleh Pemerintah, maka sejak Tahun 2013
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) telah menetapkan
program reformasi menjadi bagian dari program dan kegiatan prioritas lembaga.
Salah satu program reformasi birokrasi terutama penataan tatalaksana di KPU
adalah Pengembangan E-Government yang terdiri dari beberapa aksi kegiatan
antara lain:
1) Pemanfaatan aplikasi di bidang keuangan
a. Sistem Akuntansi Keuangan Pengguna Anggaran (SAKPA);
8
b. Aplikasi Surat Perintah Membayar (SPM), Surat Permohonan
Pembayaran (SPP);
c. Aplikasi Gaji Pokok Pegawai (GPP).
2) Membangun aplikasi di bidang umum
a. Sistem Informasi Aplikasi Persuratan (SIAP);
b. Sistem Informasi Kearsipan Dinamis (SIKD).
3) Pemanfaatan aplikasi di bidang SDM
a. Sistem Informasi Administrasi Kepegawaian (SIADKA);
b. Sistem Informasi Manajemen Penyelenggara Pemilu (SIM-2P).
4) Pemanfaatan aplikasi di bidang perencanaan
a. Aplikasi Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga.
5) Pemanfaatan aplikasi/instrumen untuk mendukung tahapan Pemilu
a. Sistem Informasi Pendaftaran Partai Politik (SIPOL);
b. Sistem Informasi Daftar Pemilih (SIDALIH);
c. Sistem Informasi Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota dan DPD (SILON);
d. Instrumen Pemetaan Data Pemilih;
e. Sistem Informasi Logistik (SILOG).
f. Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG)
Pengembangan E-gov sebagaimana dimaksud di atas, merupakan
pengembangan di internal dan eksternal kelembagaan KPU. Yang tidak kalah
pentingnya adalah pengembangan e-gov untuk mendukung pelaksanaan Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2018 berupa Sistem Informasi Penghitungan
Suara (SITUNG) yang dimuat dalam laman kpu.go.id. SITUNG tersebut
9
merupakan aktifitas rekapitulasi perolehan suara secara elektronik (e-rekap)
sebagai data sementara untuk pembanding hasil resmi oleh KPU yang tetap
menggunakan rekapitulasi manual dan berjenjang sesuai amanah UU. Namun
demikian, dengan adanya SITUNG publik dapat mengetahui hasil sementara dan
juga sebagai alat kontrol bagi penyelenggara Pemilu dan masyarakat, supaya tidak
terjadi kecurangan rekapitulasi di tingkat PPK, kabupaten/kota, dan provinsi.
Hal ini dapat dilihat sebagai e-gov yang menyangkut hubungan KPU
dengan pihak pemangku kepentingan lainnya dalam Pemilu, seperti semua
tingkatan penyelenggara Pemilu, pemerintah daerah, serta masyarakat umum.
Semua mengarah kepada penyediaan sistem informasi yang kuat dan handal demi
terlaksananya Pilkada yang sukses dalam proses dan hasil. Integrasi sistem
informasi untuk membantu proses dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan
seluruh data dalam satu database sehingga dapat lebih mudah untuk diakses dan
dibantu dengan hak akses setiap organisasi atau instansi maupun publik.
Penerapan berbagai wujud e-gov sebagaimana dimaksud di atas, perlu
dikaji lebih jauh dari sudut pandang implementasi electronic government oleh
penyelenggara Pemilu dan Pilkada di tingkat dasar yaitu KPU Kabupaten/Kota.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauhmana penerapan e-gov pada tataran
KPU Kota Jambi telah mampu mendukung Pilkada Walikota Jambi Tahun 2018,
terutama menyangkut penghitungan perolehan suara melalui SITUNG yang cukup
vital dan menentukan bagi kepercayaan publik kepada KPU selaku penyelenggara
Pilkada. SITUNG merupakan tonggak utama kredibilitas KPU, apabila tingkat
akurasinya tinggi bisa mengangkat nama KPU, namun juga sebaliknya bisa
mencoreng nama baik KPU apabila jauh berbeda dengan perhitungan manual.
10
Belum lagi mengingat tantangan yang cukup besar dalam proses rekapitulasi di
lapangan, seperti penyelenggara yang berjenjang serta kontrol dari tim pendukung
calon Pilkada. Sehingga penelitian ini mencoba melihat penerapan SITUNG dari
sisi mekanisme dan prosesnya daalam konteks e-government.
Penelitian lain yang sejenis dapat dikelompokkan menjadi dua kategori.
Kategori pertama ialah menyangkut E-voting dan kategori kedua terkait dengan
hasil penghitungan suara. Penelitian kategori pertama tentang e-voting pernah
dilakukan oleh Priyono dan Dihan (2010), Ali Rokhman (2011) dan Hapsara
(2013). Priyono dan Dihan (2010) berpendapat bahwa E-voting relevan dilakukan
bagi pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Berangkat dari teori Zafar dan Pilkjaer
(2007) tentang manfaat e-voting disertai metode telaah pustaka, kajian ini
menunjukan tentang urgensi sistem transparansi dan akuntabilitas untuk
mendukung legalitas hasil. Kondisi geografis Indonesia juga sangat
berkepentingan untuk penerapan e-voting agar penghitungan suara dapat
dilakukan real time online.
Sementara itu Rokhman (2011) mengkaji tentang prospek dan tantangan
penerapan E-voting di Indonesia untuk skala yang lebih luas dan
membandingkannya dengan negara-negara yang telah menerapkan e-voting baik
negara maju maupun negara berkembang. E-voting menjanjikan informasi hasil
pemilu dapat diperoleh dengan cepat dan realtime melalui penggunaan TIK dalam
proses pengiriman dan penghitungan suara. Penerapan e-voting di Indonesia telah
dimulai di Kabupaten Jembrana untuk pemilihan kepala dusun, meskipun untuk
skala yang lebih luas yakni untuk pemilihan kepala daerah sampai pemilihan
presiden, e-voting belum pernah diterapkan.
11
Selain itu ada Hapsara (2013) yang menelaah E-voting sebagai model
sistem keamanan Pemilu di Indonesia. Riset ini menawarkan suatu skema multi
disiplin untuk menjawab tantangan penggunaan e-voting bahwa bagaimanapun
juga e-voting diterapkan, platform e-democracy di Indonesia harus disertai
peningkatan partisipasi warga dalam proses pemerintahan.
Kategori kedua untuk penelitian sejenis yaitu terkait aspek hasil
penghitungan suara diantaranya pernah dilakukan oleh Triyono (2010) yang
membahas tentang sistem database untuk pelaporan hasil penghitungan suara oleh
partai politik. Riset ini mengembangkan basis data terdistribusi dengan metode
partial replica yang dapat digunakan sebagai terobosan baru untuk membantu
proses pendistibusian dan penghitungan suara, khususnya untuk pemilu legislatif
yang bersifat multipartai dan multicaleg. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa distribusi basis data menggunakan metode ini akan meningkatkan
kinerja dan ketersediaan data namun kebutuhan hardware harus disediakan.
Penggunaan media pesan singkat (SMS) dalam pelaporan saksi di TPS akan
meningkatkan keamanan dan kecepatan pengumpulan data perolehan suara ke
sentral data. Kajian ini memperlihatkan bahwa teknologi informasi komunikasi
bisa dimanfaatkan untuk mendukung penyelenggaraan Pemilu.
Selain itu ada penelitian Syahuri (2009) yang mengkaji Putusan
Mahkamah Konstitusi tentang perselisihan hasil penghitungan suara Pemilu.
Kajian yuridis normatif ini menekankan bahwa rekapitulasi KPU dapat
dinyatakan sah apabila cara atau proses penghitungannya mengikuti ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Apabila proses penghitungannya tidak
prosedural, tidak sesuai dengan ketentuan maka MK dapat menyatakan hasil
12
penghitungan suara tersebut tidak sah. Putusan MK berdasarkan penghitungan
ulang yang bisa saja berbeda dengan jumlah suara hasil rekapitulasi KPU. Ini
sejalan perintah undang-undang yang mengharuskan penetapan hasil pengitungan
suara yang benar menurut Mahkamah.
Terakhir, ada penelitian Sebastin dkk (2017) yang menyoroti
profesionalisme KPU Kab/Kota dalam rekapitulasi hasil penghitungan suara pada
Pilkada. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif di
KPU Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Penelitian ini
menemukan fakta bahwa KPU Kabupaten Halmahera Selatan akibat memihak
kepada salah satu kandidat maka melakukan penetapan hasil rekapitulasi yang
datanya tidak sesuai dengan hasil rekapan di tingkat Kecamatan.
Berdasarkan dua kategori tersebut di atas, dapat diketahui bahwa
penelitian tentang penerapan e-gov pada tahap penghitungan suara, lebih
khususnya SITUNG sebagaimana penelitian ini, masih terbuka untuk diteliti
karena masih jarang. Selain itu, penelitian ini menjadi berbeda dengan penelitian
lainnya karena menggunakan perspektif Actor-Network Theory (ANT) untuk
mengkaji penerapan dan implikasi dari e-government SITUNG. Perspektif ini
menempatkan interaksi yang komprehensif antara aktor manusia (human) maupun
non-manusia (non-human) seperti penggunaan teknologi dalam suatu interaksi
yang menyangkut penyampaian informasi dan komunikasi antar berbagai pihak.
Dari sudut pandang kegunaannya, penelitian ini penting bagi penyelenggara
Pemilu (KPU dan Bawaslu) dalam upaya meningkatkan kualitas tata kelola
Pemilu.
13
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penerapan Electronic-Government SITUNG pada pelaksanaan
Pilkada Kota Jambi Tahun 2018 ditinjau dari perspektif Actor-Network
Theory?
2. Bagaimana implikasi penerapan Electronic-Government SITUNG
terhadap kinerja KPU Kota Jambi dan tata kelola Pemilu ditinjau dari
perspektif Actor-Network Theory?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis penerapan E-government SITUNG pada pelaksanaan
Pilkada Kota Jambi Tahun 2018 dengan menggunakan perspektif Actor-
Network Theory (ANT).
2. Menjelaskan implikasi E-government SITUNG terhadap kinerja KPU
Kota Jambi dan tata kelola Pemilu dengan menggunakan perspektif
Actor-Network Theory (ANT).
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis.
Secara teoritis, penelitian tesis ini bisa memperkaya konsep dan teori tentang
penerapan electronic government dalam konteks penghitungan suara Pemilu.
Sedangkan manfaat praktisnya, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi
masukan bagi penyelenggara Pemilu dalam mengoptimalkan penerapan electronic
government, terutama untuk penghitungan suara.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1. Electronic Government (E-gov)
Electronic Government (e-Government) pada dasarnya terwujud ke dalam
berbagai bentuk dan ruang lingkup. E-Government dideskripsikan secara beragam
oleh masing-masing individu atau komunitas. Hal ini disebabkan karena
penerapan e-Government memiliki ruang lingkup yang luas. Menurut Akadun
dalam buku Teknologi Informasi Administrasi, menuliskan:
―e-Government memiliki spektrum yang luas. Oleh karena itu perlu dibagi
menjadi e-Government dalam level makro dan e-Government dalam level
mikro. Pada level makro, kita membicarakan strategi nasional e-
Government, kebijakan yang diperlukan, kaitannya dengan cakupan yang
lebih luas (internasional), keterlibatan multi sektor baik nasional maupun
internasional, kepentingan nasional, integrasi bangsa. dalam level mikro
adalah strategi instansional, terfokus pada aplikasi , cakupan terbatas,
keterlibatan sektor dalam skala lokal, pusat perhatiannya pada operasi
egove itu sendiri dan bagaimana model kinerja akan dirancang dan
dilaksanakan” (Akadun, 2009:142).
Berdasarkan penjelasan tersebut, e-Government memiliki ruang lingkup
yang luas. E-Government pada level makro merupakan bagian dari strategi
nasional untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan. Strategi nasional e-
Government mencakup kepentingan negara dan integrasi bangsa. e-Government
pada level mikro merupakan pelaksanaan dari strategi nasional e-Government.
Penerapan e-Government dilaksanakan oleh masing-masing instansi
15
dikembangkan berupa aplikasi. Implementasi aplikasi e-Government
dikembangkan untuk mendukung tugas dan fungsi masing-masing instansi
pemerintahan.
E-Government di level mikro merupakan strategi masing-masing instansi
pemerintahan. E-Government pada level mikro lebih terfokus pada pemanfaatan
aplikasi sistem informasi. Pengembangan aplikasi sistem informasi digunakan
untuk mendukung tugas dan fungsi masing-masing instansi pemerintahan.
Nugroho dalam bukunya Sistem Informasi Manajemen menyebutkan bahwa e-
Government adalah pengembangan aplikasi sistem informasi dan telekomunikasi
di lingkungan pemerintahan (Nugroho, 2008:165).
Berdasarkan pengertian diatas, e-Government adalah pemanfaatan aplikasi
Sistem Informasi dan Telekomunikasi dalam pemerintahan. Sistem Informasi
Teknologi dikembangkan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing instansi
pemerintahan. Instansi pemerintahan memiliki ruang lingkup tugas dan fungsi
yang berbeda-beda. Pengembangan Sistem Informasi dan Telekomunikasi
bertujuan agar TIK dapat digunakan secara efektif sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
Konsep e-Government merupakan sebuah inisiatif yang tidak mudah dan
murah. Inisiatif penerapan e-Government di daerah atau instansi pemerintahan
harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Tingkat kesiapan suatu daerah atau
instansi pemerintahan merupakan faktor yang harus diperhitungkan. Kesiapan
suatu daerah atau instansi pemerintahan dalam menerapkan e-Government
menjadi hal penting yang harus ada.
16
Indrajit dalam buku e-Government in Action, menyebutkan bahwa faktor-
faktor yang menentukan tingkat kesiapan sebuah instansi pemerintahan untuk
menerapkan e-Government, yaitu sebagai berikut (Indrajit, 2005:8):
1. Infrastruktur;
2. Konektivitas;
3. Kesiapan sumber daya manusia;
4. Ketersediaan anggaran;
5. Perangkat hukum;
6. Perubahan paradigma.
Kesiapan suatu daerah atau instansi pemerintahan untuk menerapkan e-
Government terkait dengan faktor-faktor tersebut diatas. Pertama, kesiapan
infrastruktur yaitu perangkat keras seperti komputer, jaringan dan lain sebagainya.
Kedua, tingkat konektivitas harus diketahui sejauh mana pemanfaatannya dalam
membantu kegiatan sehari-hari. Ketiga, kesiapan sumber daya manusia yang
memiliki kompetensi dan keahlian dalam bidang TIK. Keempat, ketersediaan
anggaran untuk biaya operasional, pemeliharaan dan pengembangan e-
Government. Kelima, perangkat hukum yang dipersiapkan untuk menjamin
terciptanya mekanisme e-government yang kondusif. Keenam, perubahan
paradigma yaitu adanya keinginan untuk mengubah paradigma dan cara berpikir
dalam menerapkan e-Government.
Amsyah dalam bukunya Manajemen Sistem Informasi mengemukakan
bahwa efektivitas adalah sebagai berikut:
“Kegiatan mulai dengan adanya fakta kegiatan sehingga menjadi data, baik
yang berasal dari hubungan dan transaksi internal dan eksternal maupun
berasal dari hubungan anatarunit dan di dalam unit itu sendiri. Berikutnya
dilakukan pengolahan data agar menjadi informasi yang sesuai dengan
17
keperluan unit masing-masing, siap digunakan kapan saja dan di mana
saja, dengan kuantitas dan kualitas yang terjamin baik, dan yang paling
penting adalah pengolahan dengan biaya yang sesuai.” (Amsyah,
2005:130).
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka suatu kegiatan dikatakan
efektif apabila output sesuai dengan yang diperlukan. Output merupakan hasil
kegiatan dari unit-unit yang berkerja sama. Setiap unit kerja memberikan fakta
kegiatan berupa data. Hubungan kerja yang dibentuk oleh setiap unit menunjukan
adanya sistem kerja. Sistem kerja digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas
yang ada dalam suatu organisasi. Kegiatan yang dilakukan sistem kerja harus
menghasilkan output sesuai dengan yang diperlukan.
Amsyah menyebutkan indikator efektivitas pelayanan sistem informasi
sebagai berikut (Amsyah, 2005:131):
1. Volume pekerjaan
2. Akurasi
3. Informasi tepat waktu
4. Biaya.
Indikator efektivitas tersebut di atas terdiri dari volume pekerjaan, akurasi,
informasi tepat waktu dan Biaya. Pertama, yaitu volume pekerjaan yang
dilakukan sistem kerja semakin banyak dan meluas. Kedua, akurasi hasil
pengolahan data sesuai dengan kapasitas kemampuannya dan dapat digunakan
oleh setiap unit kerja. Ketiga, informasi tepat waktu sehingga berguna bagi para
pemakainya. Keempat, peningkatan biaya, yaitu pemilihan alternatif biaya
operasional dan biaya bahan baku yang ekonomis.
Winarno dalam bukunya Sistem Informasi Manajemen, menjelaskan
bahwa sistem informasi adalah sebagai berikut: ―Sekumpulan komponen yang
18
saling bekerja sama, yang digunakan untuk mencatat data, mengolah data, dan
menyajikan informasi untuk para pembuat keputusan agar dapat membuat
keputusan dengan baik‖ (Winarno, 2006:1.6).
Pengertian di atas menjelaskan bahwa sistem informasi itu merupakan
suatu alat atau aplikasi pendukung kerja. Sistem informasi digunakan untuk
mencatat data, mengolah data dan menyajikan informasi. Sistem informasi akan
berjalan jika memiliki sekumpulan komponen yang mendukungnya. Sekumpulan
komponen dalam sistem informasi bekerjasama menghasilkan informasi dengan
lebih baik. Unit-unit kerja dalam sistem kerja memerlukan informasi yang tepat,
akurat dan relevan. Sistem informasi dapat digunakan untuk menghasilkan
Informasi dengan lebih baik. Informasi diperlukan untuk membuat keputusan
yang lebih baik.
Secara teoritis terdapat dua alasan penerapan e-Government dalam
lingkungan pemerintahan, antara lain : (1) penerapan e-Government adalah
ditujukan untuk efektivitas, dan (2) fungsi e-Government, terutama untuk
meningkatkan fungsi pelayanan pemerintah kepada masyarakat dengan dilakukan
secara transparan sehingga diharapkan akan tercipta aparatur pemerintah yang
kredibel, bersih dan bertanggung jawab (good governance) (Kasiyanto, 2016).
2.1.2. Model Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan dapat dimaknai sebagai suatu cara untuk
menerapkan atau melaksanakan kebijakan agar masalah yang dihadapi dapat
dipecahkan dengan baik, dalam rangka mencapai tujuan yang telah dirumuskan
dan ditetapkan sebelumnya. Jones (1994:165) mengatakan bahwa: “Implementasi
kebijakan merupakan konsep dinamis yang melibatkan secara terus-menerus
19
berbagai usaha untuk mencari segala yang bisa dilaksanakan dalam mengatur
aktivitas agar mengarah pada penempatan suatu program yang menjadi tujuan”.
Berkaitan dengan makna implementasi kebijakan, Van Meter dan Van
Horn, memberikan batasan implementasi kebijakan, yaitu:
„Tindakan yang dilakukan individu (atau kelompok), pemerintah maupun
swasta, yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan ini mencakup usaha
untuk mengubah keputusan menjadi tindakan operasional dalam kurun
waktu tertentu, maupun dalam rangka melanjutkan usaha untuk mencapai
perubahan besar dan kecil yang ditetapkan keputusan kebijakan‟
(Winarno, 2002: 102).
Implementasi kebijakan bukan hanya merupakan suatu konsep hitam di
atas putih (tertulis), melainkan lebih sebagai langkah teknis dan kongkrit dalam
bentuk kegiatan-kegiatan operasional, guna merealisasikan sasaran dan tujuan
tujuan yang telah diformulasikan sebagai suatu kebijakan. Implementasi kebijakan
sangat menentukan berhasil atau gagalnya suatu kebijakan dalam meraih sasaran
dan tujuan. Di satu pihak bisa merupakan penentu keberhasilan kebijakan, tetapi
di pihak lain dapat pula menjadi penyebab terjadinya kegagalan dari kebijakan.
Hal ini berarti, bahwa dari rangkaian kebijakan yang terdiri dari perumusan dan
penetapan kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan, posisi dan
peran implementasi kebijakan, memiliki tugas pokok dan fungsi yang amat
menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan.
Implementasi kebijakan menurut Wibawa (1994), hendaknya memuat
beberapa aspek pokok yang harus eksis dan suistainable, yaitu:
―pertama, adanya kebijakan yang isinya benar-benar memuat, serta
menjawab tentang kepentingan publik yang berkembang, kedua adanya
pelaksana (implementator) yang merupakan aktor penentu berhasilnya
serta lancarnya pelaksanaan kebijakan tersebut, dan yang ketiga adalah
masyarakat yang merupakan objek sekaligus subjek yang menjadi sasaran
dan tujuan utama dari kebijakan tersebut” (Wibawa, 1994:36).
20
Bagaimanapun baiknya segala persiapan dan perencanaan implementasi
kebijakan, bila suatu kebijakan publik tidak dirumuskan dengan baik, tujuan
kebijakan tentu tidak akan terwujud sesuai harapan. Dengan demikian, agar
tercapai tujuan kebijakan publik dengan baik, bukan saja pada tahap implementasi
yang harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik, tetapi juga pada tahapan
perumusan atau pembuatan kebijakan, perlu diantisipasi untuk diimplementasikan
dengan dukungan beberapa faktor yang berkolerasi. Wahab (1997:93) mengatakan
bahwa ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan kebijakan:
1. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi.
2. Sikap dan sumber yang dimiliki kelompok.
3. Dukungan publik.
4. Dukungan dari pejabat atasan.
5. Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana.
Kebijakan yang baik tidak memiliki arti jika tidak diimplementasikan.
Apabila kebijakan telah ditetapkan maka tahapan selanjutnya adalah,
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Tahapan ini melibatkan serangkaian
kegiatan yang meliputi pemberitahuan/pengumuman kepada publik mengenai
pilihan implementasi kebijakan yang diambil, instrumen kebijakan yang
dipergunakan, staf yang melaksanakan program, pegawai yang diberikan
anggaran, laporan dan evaluasi.
Isu implementasi kebijakan (policy implementation) telah menarik
perhatian banyak pihak, sebab dari berbagai pengalaman baik di negara maju
maupun di negara berkembang telah menunjukkan bahwa berbagai faktor yang
dapat mempengaruhinya, mulai dari yang sederhana sampai yang rumit. Faktor
tersebut antara lain, sumberdaya manusia sampai pada struktur organisasi, dan
hubungan kerja antar organisasi, mulai dari persoalan komitmen para pelaksana
21
sampai dengan sistem pelaporan yang kurang lancar, serta dari sikap politisi yang
kurang setuju sampai pada faktor-faktor lain yang merupakan kebetulan.
Dalam kenyataannya bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi kebijakan
pembangunan, baik dalam arti mendorong keberhasilan maupun menjadi
penyebab kegagalan atau kurang berhasilnya suatu kebijakan. Upaya untuk
memahami adanya jarak pemisah antara apa yang diharapkan dengan apa yang
sesungguhnya terlaksana, atau apa yang diwujudkan dan diterima oleh masyarakat
sebagai ―outcome‖ dari kebijakan telah menimbulkan kesadaran mengenai
pentingnya suatu implementasi. Oleh karenanya, secara sederhana implementasi
adalah suatu konsep yang menghubungkan antara tujuan kebijakan terhadap
realisasi dengan hasil kegiatan pemerintah seperti yang dikemukakan oleh Grindle
sebagai berikut:
―In general, the task of implementation is to establish a link that
allows the goals of public policies to be realized as outcomes of
governmental activity. It involves, therefore, the creation of a‖
delivery system‖, in which specific are designed and pursued in the
expectation of arriving at particular ends‖(Grindle, 1980: 6).
Grindle (1980: 6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses
politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh aktor yang beragam, dimana keluaran akhirnya
ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui pula
hubungan interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif.
Dalam ranah proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan
yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat
melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat
program tertentu.
22
Dalam memahami implementasi kebijakan dengan pendekatan model atau
kerangka pemikiran, model akan memberikan gambaran kepada kita secara bulat
lengkap mengenai suatu obyek, situasi, atau proses. Kemudian Grindle
menyatakan bahwa aktivitas implementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh isi
kebijakan (the content of policy) dan konteks kebijakan (the context of policy)
yang terkait dengan proses kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Visualisasi dari model Grindle dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.1. Implementasi Proses Politik dan Administratif
(Implementation as a Political and Administrative Process)
Implementing Activities
Influenced by:
a. Content of Policy
1. interests affected
2. type of benefits
3. extent of change envisioned
4. site of decision making
5. program implementors
6. resources commited
b. Context of Implementation
1. power, interests, and strategies
of actor involved
2. institution and regime
characteristics
3. compliance and responsiveness
Outcomes
a. impact on society,
individuals, and
groups
b. change and its
acceptance
goals
achieved?
Policy Goals
Action Programs and
Individual Projects
Designed and Funded
programs delivered
as designed?
MEASURING SUCCESS
Sumber : Grindle (1980:11)
Isi kebijakan (contant of policy) yang berkaitan dengan jenis kebijakan yang
dikalsifikasi akan mempengaruhi proses implementasi itu sendiri adalah:
1. Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi
2. Tipe keuntungan (dapat terbagi/tidak terbagi, jangka pendek/panjang);
3. Tingkat perubahan perilaku;
4. Lokasi dan implementasi (secara geografi dan organisasi);
23
5. Pelaksanaan program yang ditunjuk;
6. Sumber daya.
Kemudian dalam konteks kebijakan (context of implementation) meliputi:
1. Kekuasaan, kepentingan dan startegi aktor-aktor yang terlibat;
2. Karakteristik institusi dan rejim;
3. Kerelaan/kesediaan (compliance) dan responsiveness.
Menurut pendapat peneliti, model Grindle yang menyatakan salah satu
faktor dalam implementasi kebijakan adalah adanya lokasi dari implementasi
secara geografi dan organisasi, sehingga lebih tepat untuk policy level karena
dalam operational level sudah terkait dengan aktivitas aplikasi di lapangan.
Ahli lain seperti Winarno (2002:185), menegaskan bahwa implementasi
kebijakan merupakan penterjemahan dari pernyataan kebijakan ke dalam
tindakan. Kemudian Donald S. Van Meter and Cearl E. Van Horn (1978:154)
menyatakan implementation as a linear process, yang terdiri atas enam variabel
yang mengkaitkan kebijakan dengan pencapaian (performance), yakni: (a) standar
dan tujuan; (b) sumber daya; (c) komunikasi dan aktivitas pelaksana antar
organisasi; (d) karakteristik agen pelaksana; (e) kondisi ekonomi dan politik; (f)
sikap dari pelaksana. Model Meter dan Horn disebut A Model of The Policy
Implementation Process. Model ini menunjukkan adanya korelasi antara variabel-
variabel independent dan variabel dependent mengenai kepentingan-kepentingan,
serta hubungan di antara variabel bebas. Demikian juga bahwa variabel standar
dan tujuan, sumberdaya dan komunikasi dan aktivitas antara organiasi sebenarnya
dapat dikategorikan sebagai dimensi organisasi saja. Model tersebut dapat
disajikan sebagaimana terlihat pada gambar berikut:
24
Gambar 2.2.
Model Proses Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
P
O
L
I
C
Y
Interorganizational
Communication
and Enforcement
Activities
Characteristics of
the Implementing
AgenciesThe Disposition
of Implementers
Economic, Social,
and Political
Conditions
P
E
R
F
O
R
M
A
N
C
E
Standards
and
Objectives
Resources
Sumber : Donald S. Van Meter and Cearl E. Van Horn (1978:154)
Model diatas memperlihatkan bahwa variabel sumber daya dapat
mempengaruhi lingkungan sosial, ekonomi dan politik serta mempengaruhi juga
komunikasi antar badan pelaksana. Variabel lingkungan sosial, ekonomi dan
politik dapat mempangaruhi karakteristik badan pelaksana dan sikap pelaksana
serta dapat mempengaruhi kinerja kebijakan. Variabel komunikasi antar badan
pelaksana memiliki hubungan dengan saling mempengaruhi dengan karakteristik
badan pelaksana, dan sikap pelaksana. Karakteristik badan pelaksana dapat
mempengaruhi sikap pelaksana dan kinerja kebijakan secara langsung.
Selain model yang kemukakan di atas, model top-down lainnya digagas
oleh Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier. Model ini mengungkapkan
keberhasilan kebijakan meliputi 16 variabel independent yang masuk dalam tiga
kategori utama, yaitu: kemudahan/kesulitan mengendalikan masalah (tractability
of the problem), kemampuan statuta menstrukturkan implementasi (ability of
statute to structure implementation), dan variabel nonstatuta yang mempengaruhi
25
implementasi (nonstatutory variables affecting implementation). Dari banyak
variabel yang dapat diidentifikasi tetapi tidak mendapat penjelasan yang rinci dari
pengarang tentang variabel yang terpenting yang memberikan kontribusi pengaruh
pada implementasi kebijakan.
Untuk mempermudah pemahaman terhadap implementasi kebijakan,
Mazmanian dan Sabatier telah mengembangkan sebuah model yang dapat
kemukakan di bawah ini.
Gambar 2.3. Variables Involved in the Implementation Process
Tractability of the Problem
1. Technical difficulties
2. Diversity of target group
behavior
3. Target group as a percentage
of the population
4. Extent of behavioral change
required
Ability of Statute to Structure
Implementation
1. Clear and consistent
objectives
2. Incorporation of adequate
causal theory
3. Initial allocation of financial
resources
4. Hierarchical integration within
and among implementing
institutions
5. Decision rules of
implementing agencies
6. Recruiting of implementing
officials
7. Formal access by outsiders
Nonstatutory Variables
Affecting Implementation
1. Socioeconomic conditions
and technology
2. Public support
3. Attitudes and resources of
constituency groups
4. Support from sovereigns
5. Commitment and
leadership skill of
implementing officials
Stages (Dependent Variables) in the Implementation Process
Policy
outputs of
implementing
agencies
Compliance
with policy
outputs by
targets groups
Actual
impacts
of policy
outputs
Perceived
impacts of
policy
outputs
Major revision
in statute
Sumber : Daniel A. Mazmanian (1983:22)
Sabatier dan Mazmanian dalam Wibawa (1994:25) memberikan
perhatian yang lebih pada birokrasi. Dia menganggap bahwa suatu implementasi
akan efektif apabila birokrasi pelaksananya mematuhi apa yang digariskan oleh
26
peraturan (petunjuk pelaksanan dan petunjuk teknis). Karena itulah model ini
disebut sebagai model top-down. Dengan asumsi tersebut, maka tujuan dan
sasaran program harus jelas dan konsisten, karena ini merupakan standar evaluasi
dan sarana yang legal bagi birokrasi pelaksana untk mengarahkan sumberdaya.
Model ini cenderung sentralistik dan otoriter sehingga kurang memperhatikan
pendapat bawahan.
Suatu kebijakan publik menjadi efektif apabila dilaksanakan dan
mempunyai dampak (manfaat) yang positif bagi kelompok sasaran pelaksanaan
kebijakan. Pencapaian sasaran tersebut dapat dinyatakan selaras dengan kebijkan
yang dirumuskan oleh pemerintah apabila pencapaian kelompok sasaran itu sesuai
dengan arah kebijakan, maka pelaksanaan kebijakan tersebut dapat dinyatakan
tidak atau kurang efektif. Pelaksanaan kebijakan yang tidak efektif bisa jadi
karena ada pihak-pihak yang kurang memahami arah kebijakan atau mungkin
juga menolak kebijakan yang diaplikasikan tersebut.
Implementasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk
mewujudkan tujuan-tujuan yang telah dipilih dan ditetapkan menjadi kenyataan.
Pengorganisasian tujuan dan sumber daya melalui peraturan-peraturan tertentu
yang merupakan bagian penting dan tidak terpisahkan dari konsep kebijakan.
Jones (1994:165) mengatakan yang sangat sederhana “Getting the job
done ―and‖ doing it” mengartikan implementasi kebijakan publik merupakan
suatu proses kebijakan yang tidak mudah dapat dilakukan. Karena dalam
pelaksanaannya adanya persyaratan yang diperlukan antara lain; adanya orang
atau pelaksana, uang, dan kemampuan organisasi, yang mana hal ini sering
disebut dengan resources. Lebih lanjut Jones (1994:165) menyebutkan
27
merumuskan batasan implementasi sebagai “A process of getting additional
resources so as to figure out what is to be done” mengartikan implementasi
kebijakan publik merupakan proses mendapatkan sumber daya tambahan,
sehingga dapat diperhitungkan apa yang harus dikerjakan.
Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahap dalam proses
kebijakan selain tahap formulasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Lengkapnya
proses kebijakan publik akan terdiri dari langkah-langkah: (1) identifikasi masalah
kebijakan, (2) tahapan formulasi kebijakan, (3) legitimasi kebijakan, (4)
implementasi kebijakan, (5) evaluasi kebijakan. Oleh karena itu pula semua
tahapan di dalam proses kebijakan publik adalah sama pentingnya, demikian pula
pihak-pihak yang berperan dalam proses itu. Semuanya memiliki peran masing-
masing yang saling melengkapi dan mendukung satu dengan yang lainnya dan
kuranglah tepat apabila terjadi paradigma dikotomi sebagaimana dikotomi politik
dan administrasi. Demikian pula ada pendapat yang mengatakan bahwa
implementasi kebijakan sebagai tahapan yang penting dan menentukan, karena
tanpa implementasi suatu kebijakan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Hal
tersebut hanya menunjukkan bahwa perlu semakin meningkatnya perhatian
terhadap proses implementasi kebijakan publik. Sejalan dengan pandangan di
atas, Kartasasmita (1996) menghubungkan implementasi kebijakan dengan
pengalaman pembangunan di Indonesia, sebagaimana pendapatnya bahwa:
”Dari pengalaman pembangunan selama ini, makin jelas bahwa banyak
persoalan yang menghambat pembangunan adalah dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itu dalam ilmu administrasi berkembang pula penelitian-
penelitian yang khusus mendalami masalah pelaksanaan (implementation),
sebab betapa pun baiknya perencanaan, tidak akan lebih daripada hasil
pelaksanaannya” (Kartasasmita, 1996: 64).
28
Implementasi kebijakan akan melibatkan banyak pihak, baik perorangan,
kelompok masyarakat, lembaga atau organisasi atau instansi pemerintah. Pihak-
pihak terkait akan berupaya mempengaruhi para implementor street level
bureaucrats di lapangan. Berkaitan dengan hal tersebut, Wahab (1997:63)
mengemukakan 3 (tiga) kelompok yang terkait dengan implementasi kebijakan di
lapangan, yakni: 1) pemrakarsa kebijakan atau the center; 2) pejabat pelaksana di
lapangan atau the periphery; 3) aktor perorangan di luar badan pemerintah kepada
siapa program itu ditujukan yakni kelompok sasaran atau target group.
Menurut sudut pandang the center, fokus implementasi kebijakan akan
mencakup usaha yang dilakukan pejabat atasan atau lembaga tingkat pusat untuk
mendapatkan kepatuhan dari lembaga atau pejabat di tingkat daerah. Perhatian
utama the center berkenaan dengan masalah utama yaitu, sejauhmanakah tujuan
atau sasaran resmi kebijakan telah tercapai dan apakah alasan yang menyebabkan
tujuan/sasaran tertentu tercapai atau tidak.
Kelompok the periphery atau pejabat lapangan, mengarahkan
implementasi kebijakan pada tindakan atau perilaku para pejabat dan instansi di
lapangan yang dalam upaya untuk menanggulangi gangguan yang terjadi di
wilayah kerjanya yang disebabkan oleh usaha-usaha dari pejabat lain di luar
instansinya demi berhasilnya kebijakan dimaksud.
Akhirnya implementasi kebijakan dari perspektif target group lebih terkait
dengan jaminan bagi kelompok sasaran dan masyarakat seluruhnya untuk dapat
menerima dan menikmati hasil atau keuntungan dari kebijakan. Kelompok sasaran
itu kemungkinan akan lebih memusatkan perhatian pada permasalahan apakah
pelayanan atau jasa yang telah diberikan tersebut benar-benar mengubah pola
29
hidupnya, benar-benar memberikan dampak positif dalam jangka panjang bagi
peningkatan mutu hidup termasuk pendapatan mereka.
Pemahaman konsep implementasi kebijakan dari perspektif pusat, daerah
dan target group di atas akan mampu menjamin tercapainya tujuan kebijakan
secara optimal dan memuaskan berbagai pihak yang terkait langsung dan tidak
langsung dengan tujuan dan sasaran implementasi kebijakan. Hal ini berarti
bahwa penerapan pendekatan implementasi kebijakan tidak hanya diarahkan
kepada hasil atau tujuan yang dicapai dan berkaitan dengan perilaku aktor
implementasi kebijakan saja, tetapi di sini dibutuhkan dan tanggung serta ketaatan
pada diri kelompok sasaran, juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi
dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari
semua pihak yang terlibat dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak
yang diharapkan/intended maupun dampak yang tidak diharapkan/spillover or
negative effects.
Dengan demikian, implementasi kebijakan melibatkan banyak pihak dan
sangat kompleks sifatnya. Apa yang terjadi pada tahap implementasi termasuk
melakukan penyesuaian, perubahan serta rancang bangun kembali kebijakan/the
policy design stage tentu akan mempengaruhi tingkat keberhasilan kebijakan
dalam mewujudkan hasil akhir yang diinginkan.
Keberhasilan implementasi kebijakan juga sangat ditentukan oleh model
implementasi yang mampu menjamin kompleksitas masalah yang akan
diselesaikan melalui kebijakan tertentu. Model implementasi kebijakan ini
tentunya diharapkan model yang semakin operasional sehingga mampu
menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang terkait dengan kebijakan.
30
Model proses implementasi kebijakan menekankan sifat kebijakan dalam
setiap implementasi kebijakan serta menghubungkannya dengan isu kebijakan dan
implementasi kebijakan dan suatu model konseptual yang mempertalikan
kebijakan dengan performance kebijakan. Dalam proses implementasi kebijakan
ditekankan prosedur yang mengutamakan perubahan, kontrol dan kepatuhan
bertindak. Implementasi kebijakan akan berhasil bila perubahan yang dikehendaki
relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang
mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi. Sedangkan yang
menghubungkan antara kebijakan dan performance dipisahkan oleh sejumlah
variabel bebas yang saling berkaitan. Variabel bebas itu adalah ukuran dan tujuan
kebijakan, sumber-sumber kebijakan, ciri atau sifat instansi pelaksana,
komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan pelaksanaan, sikap para
pelaksana serta lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Mazmanian dan Sabatier (dalam Wibawa, 1994:25-27) memperkenalkan
model implementasi kebijakan kerangka Analisis Implementasi (a frame work for
Implementation Analysis) sebagai salah satu model implementasi kebijakan yang
tepat dan operasional. Menurut mereka, analisis implementasi kebijakan adalah
mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-
tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Ada tiga kategori variabel
dimaksud yakni: 1) mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan, 2)
kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses
implementasi dan 3) pengaruh langsung pelbagai variabel politik terhadap
keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan
dimaksud.
31
2.1.3. Implementasi E-Government
Pengembangan dan penerapan electronic administration atau E-
Government merupakan jawaban terhadap pembentukan lingkungan strategis
yang menuntut administrasi negara yang efisien, efektif, berorientasi publik,
transparan, dan akuntabel. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan good
governance (Mustopadidjaja, 2003:25). Manfaat terpenting dari implementasi E-
Government adalah peningkatan efisiensi, kemudahan, dan kualitas pelayanan
publik yang lebih baik. Dalam implementasinya, E-Government kemudian
dikembangkan menjadi berbagai model interaksi.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang demikian
dahsyat telah menyebabkan banyak perubahan. Perubahan itu salah satunya dipicu
oleh datang dan perginya teknologi yang menciptakan perubahan dalam proses
pemerintahan yang mengarah pada peningkatan kualitas pelayanan kepada
masyarakat berbasis Teknologi Informasi (E-Government). Bentuk dan tata
laksana pemerintahan yang dianggap tidak mengakomodir kebutuhan-kebutuhan
masyarakatpun lambat laun ditinggalkan. Oleh karena itu administrasi publik dan
manajemen pemerintahan mau tidak mau harus mengarah pada manajemen
perubahan.
Pada dasarnya perubahan dalam organisasi memiliki dua tujuan. Kanter
dalam Winardi (2006:84), mengemukakan bahwa tujuan tersebut adalah (1)
menyesuaikan organisasi dengan lingkungannya dan (2) mengubah perilaku para
pegawai. Lebih lanjut Winardi (2006:92) menjelaskan bahwa perubahan terdiri
atas beberapa tipe, yaitu :
32
1. Perubahan strategik;
2. Perubahan teknologikal;
3. Perubahan struktural;
4. Perubahan manusia.
Berbagai perubahan yang terjadi pada organisasi ditimbulkan oleh aneka
macam kekuatan eksternal dan internal, yang sering kali berinteraksi sehingga
saling memperkuat satu sama lainnya. Faktor-faktor tersebut seringkali
menimbulkan dampak penting terhadap individu-individu dalam organisasi. Agar
dapat bertahan dan berkembang, organisasi perlu bereaksi dan menyesuaikan diri
terhadap berbagai kekuatan tersebut. Organisasi perlu melaksanakan inovasi,
penyesuaian teknologi yang digunakan, serta menemukan cara yang lebih baru
dan lebih baik untuk melaksanakan kegiatan pengorganisasian dan manajemen.
Khusus faktor teknologi, Cook dan Hunsaker (Winardi, 2006:40)
mengemukakan faktor teknologi terutama teknologi informasi yang
mempengaruhi organisasi, antara lain:
Internet dan World Wide Web
Teknologi Informasi /Enterprise Resource Management (ERM)
Genetic Engineering
Komputer-komputer dan robot-robot
Teknik-teknik Manajemen Kualitas Statistikal
Process Reengineering
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan teknologi
informasi khususnya E-Government di Indonesia harus dilihat sebagai bagian dari
33
konsep besar perubahan dan penyesuaiannya dengan perubahan visi dalam
organisasi.
Terdapat beberapa faktor kritis yang sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan atau kegagalan dari suatu perubahan. Walaupun mungkin perubahan
dalam konteks E-Government sangat kental dengan muatan teknologi tinggi,
tetapi ternyata kalau menyangkut faktor kritis dalam perubahan, maka teknologi
hanya mengambil porsi yang kecil dalam menentukan keberhasilan atau
kegagalan dari suatu perubahan. Faktor–faktor kritis tersebut terutama berkaitan
dengan sumber daya manusia, kepemimpinan (leadership) dan regulasi.
Unsur paling penting dalam implementasi E-Government adalah unsur
manusia atau birokrasi. Hal terberat adalah tahapan awal dari proses E-
Government yakni transformasi birokrasi yang menyangkut budaya organisasi,
perilaku organisasi dan manajemen perubahan. Dijelaskan pula bahwa hakekat
dari implementasi E-Government adalah peningkatan efektivitas pelayanan
publik.
Pada umumnya E-Government sendiri merupakan penggunaan teknologi
informasi dan telekomunikasi untuk administrasi pemerintahan yang efisien dan
efektif, serta memberikan pelayanan yang transparan dan memuaskan kepada
masyarakat. E-Government merupakan bentuk dari implementasi penggunaan
teknologi informasi bagi pelayanan pemerintah kepada publik, yaitu bagaimana
pemerintah memberikan informasi kepada pemangku kepentingan (stakeholder)
melalui sebuah portal web. Semua organisasi pemerintahan akan terpengaruh oleh
perkembangan E-Government ini. E-Government dapatlah digolongkan dalam
empat tingkatan. Tingkat pertama adalah pemerintah mempublikasikan informasi
34
melalui website. Tingkat kedua adalah interaksi antara masyarakat dan kantor
pemerintahan melaui e-mail. Tingkat ketiga adalah masyarakat pengguna dapat
melakukan transaksi dengan kantor pemerintahan secara timbal balik. Level
terakhir adalah integrasi di seluruh kantor pemerintahan, di mana masyarakat
dapat melakukan transaksi dengan seluruh kantor pemerintahan yang telah
mempunyai pemakaian basis data (database) bersama (Fang, 2002:43)
Berdasarkan uraian di muka tentang manfaat E-Government, penulis
berpendapat bahwa apabila kebijakan Electronic Government dapat
diimplementasikan, akan menjadi solusi terhadap berbagai permasalahan dalam
pelayanan publik. Artinya implementasi kebijakan Electronic Government dapat
meningkatkan efektivitas pelayanan publik.
2.1.4. Sistem Informasi
Menurut O‟Brien dan Marakas (2009: 26), Sistem adalah kumpulan dari
komponen – komponen yang saling berhubungan dengan ruang lingkup yang
jelas, bekerja bersama – sama untuk mencapai sekumpulan tujuan dengan
menerima input dan menghasilkan ouput dalam sebuah proses transformasi yang
sudah diatur. Menurut Satzinger, Jackson dan Burd (2005: 6), sistem adalah
sekumpulan komponen terpisah yang menjalankan suatu fungsi secara bersamaan
untuk mencapai suatu hasil akhir. Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa sistem adalah kumpulan dari komponen-komponen yang
saling terhubung dan terintegrasi satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan yang
sama.
35
Sementara, informasi memiliki manfaat dan peranan yang sangat dominan
di dalam suatu organisasi maupun perusahaan. Informasi yang diolah dengan baik
akan sangat berguna untuk end user yang membutuhkannya sehingga informasi
tersebut dapat digunakan untuk mempermudah pekerjaan sehingga menjadi lebih
efektif dan efisien. Informasi yang jelas dan akurat pun sangat diperlukan dalam
mendukung proses pengambilan keputusan dalam suatu organisasi dan
perusahaan. Maka dari itu pengolahan informasi yang baik tentunya akan sangat
diperlukan sehingga informasi menjadi berguna sesuai dengan kebutuhan masing
– masing pengguna informasi. Hal ini didukung sesuai dengan pendapat O‟Brien
dan Marakas (2009: 34), Informasi adalah sebuah tempat data yang memiliki arti
dan berguna untuk pengguna akhir (end user).
Sistem Informasi adalah kombinasi dari orang, hardware, software,
jaringan komunikasi, sumber daya data, dan aturan serta prosedur yang teratur
untuk menyimpan, menerima, mengubah, dan menyebarkan informasi di dalam
sebuah organisasi. (O‟Brien & Marakas, 2009: 35). Sementara, berdasarkan
pendapat Satzinger, Jackson, & Burd (2004: 7), sistem informasi merupakan
sekumpulan komponen terpisah yang berfungsi untuk mengumpulkan, mengolah,
menyimpan, dan menyediakan output berupa informasi yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tugas-tugas bisnis. Maka, dapat disimpulkan bahwa sistem
informasi adalah kombinasi dari komponen yang terpisah (orang, hardware,
software, jaringan komunikasi, sumber daya data, dan aturan serta prosedur) yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengolahan data serta pendukung kegiatan
bisnis di dalam suatu organisasi dimana nantinya data yang ada dikumpulkan dan
36
diproses sehingga dapat menjadi informasi yang berguna untuk didistribusikan
dan digunakan oleh pengguna.
2.1.5. Teori Aktor Jaringan (Actor-Network Theory)
Actor-Network Theory (ANT) atau Teori Aktor Jaringan berkembang sejak
pertengahan 1980-an melalui riset-riset empiris oleh Bruno Latour (1987), Michel
Callon (1986), dan John Law (1987). ANT melihat pekerjaan sains teknologi
secara fundamental tidak berbeda dari aktifitas-aktifitas sosial. Kerangka
konseptual ANT adalah mengeksplorasi proses-proses kolektif dari sosioteknis.
ANT menggunakan prinsip simetri umum untuk menjelaskan fenomena sosial dan
bukan berangkat dari pendekatan-pendekatan determinisme sosial, baik makro
maupun mikro (Dewi, 2013).
Menurut Bruno Latour (2005), Teori Jaringan Aktor atau Actor Network
Theory (ANT) adalah:
Actor-network-theory is both a now well known method of social science –
especially influential in organisation and information studies - and yet
quite misunderstood because of the way it establishes a link between
theory and field work. This paper uses the unusual medium of dialog to
presents the various difficulties that exist in trying to ‗apply‘ ANT to a
given subject. Through the use of polemics and irony it reviews as well
many of the well known weaknesses of this methodology. (Latour,2005;1)
Teori ini berarti pendekatan yang menekankan interdisipliner pada studi
ilmu-ilmu sosial dan studi teknologi. Actor Network Theory (ANT) dipelopori
oleh Latour, yang telah berevolusi sangat jauh dan berkembang, ANT banyak
dipakai pada berbagai bidang pengetahuan, teknologi, bahkan termasuk bidang
seni. Teori Jaringan Aktor yang berfokus pada pendekatan interdisipliner pada
studi ilmu-ilmu sosial dan studi teknologi. Awalnya ANT dikenal dengan konsep
37
mengembangkan jaringan, aktor, translasi, dan intermediari. Teori ini mengatakan
bahwa dalam suatu jaringan ada unsur manusia dan non-manusia yang terus
berevolusi membentuk sebuah sistem. Namun unsur manusia saja yang mampu
menempatkan aktan yang beredar didalam sistem. Dalam pemahamannya yaitu
konsep jaringan tidak hanya berfokus pada hubungan sosial aktor manusia tapi
mencakup aktor-aktor non-manusia. Aktor disini didefinisikan sebagai sesuatu
yang ikut beraksi bukan hanya manusia tapi juga merupakan objek teknis.
Translasi adalah penjajakan serta penyesuaian aksi-aksi yang berlangsung
antara aktor-aktor sampai tercapai suatu hubungan yang stabil dan dapat terus
berfungsi dengan baik. Sedangkan intermediari yaitu aktor yang (bersirkulasi)
antara aktor-aktor dan yang memelihara hubungan di antara mereka. Teori ini
adalah sebuah realitas berdiri tidak di ruang hampa. Dalam artinya realitas
terbentuk karena adanya beberapa faktor yang ada di sekitar, baik faktor manusia
ataupun non-manusia. Realitas juga dipengaruhi oleh masa lalu, masa kini, dan
masa yang akan datang.
Heterogenitas utama adalah salah satu prinsip, dimana sebuah analisis
berangkat dari jaringan yang memiliki unsur-unsur manusia maupun non-
manusia, yakni artefak material. Entitas sosial dan entitas teknik merupakan
realitas tunggal yang membentuk jaringan aktor. Terdapat beberapa konsep
penting dalam ANT, yaitu aktor (actor) dan jaringan (network). Aktor
mendefinisikan hubungan antara satu sama lain dengan perantara: seorang aktor
pencipta perantara dan menuliskan makna sosial ke dalamnya. Perantara
menggambarkan jaringan sekaligus menyusun jaringan tersebut dengan memberi
mereka bentuk (Callon, 1991). Aktor biasanya ditemukan dalam bentuk teks,
38
artefak teknis, uang, atau keterampilan manusia. Jaringan adalah keterkaitan
antara manusia, komponen teknologi, organisasi atau badan-badan teknologi
(technology bodies) yang memiliki kepentingan terkait (Walsham & Sahay,
1999).
ANT mendasari kerangka kerja konseptualnya dengan suatu pandangan
kemenjadian (in the becoming), melalui serangkaian translasi dalam konfigurasi-
konfigurasi relasi (Callon, 1991). Hal yang fundamental bagi ANT bukanlah
keadaan (state) melainkan gerak. Keberadaan entitas sosial merupakan
keberadaan yang bersifat performatif, para aktor itulah yang memberikan
keberadaan entitas sosial melalui kinerja (performance) mereka. Tetapi ini bukan
berarti bahwa keberadaan entitas sosial mendahului keberadaan aktor-aktor dan
aksi-aksi mereka. Entitas sosial mengalami penyusunan, pembongkaran dan
penyusunan kembali secara terus menerus melalui performance yang berlapis-
lapis.
Cara pandang ANT yang khas tentang aksi dan aktor adalah adanya
keagenan manusia dan non-manusia (objek-objek teknis) (Callon and Law, 1989;
Callon, 1991). Perbedaan mendasar dari keagenan manusia dan non-manusia
(objek-objek teknis) adalah agen manusia memiliki pilihan-pilihan, memutuskan
pilihan-pilihan, dan mengharapkan sesuatu dari aksi-aksinya.
Sebaliknya, agen non-manusia (material) tidak memiliki pilihan-pilihan.
ANT memandang perbedaan ini tidak relevan dalam analisis empiris atas aksi.
Untuk tujuan analisis, atribut aksi dapat diberikan juga pada objek-objek teknis.
Penyebabnya, meski manusia sebagai inisiator aksi, proses beraksi tidak
sepenuhnya berada dalam kendali inisiator tersebut. Perantara manusia dan non-
39
manusia memberikan efek-efek tertentu yang memengaruhi aktor manusia.
Karena agen-agen manusia dan non-manusia sama-sama memberikan kontribusi
ke dalam aksi, maka analisis atas aksi harus memperlakukan keduanya secara
simetris.
Semua unsur manusia dan non-manusia berperan dalam memelihara
keutuhan jaringan. Jaringan heterogen adalah hal yang fundamental bagi ANT.
Jaringan dan aksi merupakan suatu yang tidak terpisahkan. Suatu aksi mendapat
sumbernya dari jaringan dan suatu jaringan terbentuk dari aksi-aksi. Dalam
perspektif teoritis yang ditawarkan ANT, entitas sosial dan entitas teknis adalah
dua aspek yang dari sebuah realitas tunggal: jaringan aktor.
ANT menganalogikan jaringan-aktor yang stabil seperti sebuah black box
dalam pesawat (Priyatma, 2011). Ketika terjadi masalah dalam penerbangan,
sebuah kotak hitam dapat dibuka dan diperlakukan sebagai aktor untuk keperluan
analisis interaksi yang terjadi selama penerbangan. Dalam kajian ANT, upaya
untuk membuka kotak hitam dilakukan melalui pemahaman translasi
(translation). Translasi adalah proses penerapan suatu jaringan. Callon (1991)
mengelompokan translasi ke dalam empat momen sebagai berikut:
1) Momen permasalahan (problem) adalah ketika suatu isu atau masalah
dihadirkan oleh sebuah aktor (inisiator aksi) untuk menjadi perhatian
aktor-aktor lain, dan ditransformasikan ke dalam masalah-masalah yang
didefinisikan oleh aktor-aktor lain. Aktor yang menginisiasi aksi tersebut
berupaya mentranslasikan aktor-aktor lain dengan cara mengangkat isu
tersebut.
40
2) Momen penarikan (interessment) yaitu apabila momen permasalahan
berhasil, para aktor yang terstimulasi mungkin akan mengikuti inisiasi
tersebut atau justru menolak. Inisiator aksi melanjutkan inisiasinya dengan
berupaya meyakinkan aktor-aktor yang lain, bahwa apa yang diinisiasinya
adalah penting bagi yang lain.
3) Momen pelibatan (enrollment) adalah saat para aktor mulai saling
mendelegasikan satu terhadap yang lain, dan saling menjajaki kompetensi.
Saat itu berbagai bentuk resistensi mulai teratasi. Apabila momen berhasil,
aktor-aktor saling berperan satu terhadap yang lain.
4) Momen mobilisasi (mobilization) terjadi ketika jaringan aktor telah
mendapatkan wujudnya, memiliki eksistensi temporal (bersifat durable)
dan eksistensi spasial. Para aktor dan mediator telah sampai pada suatu
keadaan konvergen, meski hakekatnya heterogen.
Empat momen tersebut merupakan suatu alat analisis yang melihat proses
penerapan sistem informasi. Merujuk pada pakar peletak dasar ANT selain
Calloun yaitu Bruno Latour (1999) juga telah membuat suatu skema analisis ANT
yang bisa digunakan untuk melihat bagaimana proses dan implikasi suatu
penerapan sistem informasi.
41
Gambar 2.4. Skema Analisis ANT menurut Bruno Latour
Sumber : Bruno Latour (1999)
Dalam kerangka asli Latour, loop atas adalah "mobilisasi instrumen" yaitu
jaringan aktor inisiator harus menghubungkan dan memobilisasi berbagai sumber
daya bukan manusia (misalnya, sumber daya tak berwujud seperti bukti ilmiah
dan teori pendukung; sumber daya nyata seperti teknologi, uang, dan tempat)
untuk menghasilkan inovasi. Mengenali sentralitas bahasa, Latour menegaskan
bahwa mobilisasi merepresentasikan “semua cara yang dengannya non-manusia
secara progresif dimuat ke dalam suatu wacana tertentu”.
Sumber daya utama adalah pengetahuan tentang masalah (terutama bukti
ilmiah), teori atau gagasan yang memaknai bukti, dan teknologi atau proses yang
digunakan untuk menilai atau memecahkan masalah. Bukti dan gagasan yang
dimobilisasi pada akhirnya mencerminkan kepentingan mereka yang terlibat
42
dalam suatu masalah, dan dimobilisasi untuk melayani nilai dan prioritas mereka.
Mobilisasi menjadi interaksi dinamis antara bukti dan argumen, membatasi
argumen mana yang mendominasi wacana dan, akibatnya, bagaimana tindakan
atau solusi dibingkai.
Bagian bawah loop, "membangun aliansi," adalah proses di mana inovasi
yang diduga mengumpulkan sekutu yang dapat mengikatnya ke jaringan yang
diperluas (dan sumber daya mereka) sementara menolak mereka yang cenderung
mengurangi kredibilitas dan kekuatannya, atau yang mendukung hasil yang
bersaing. Semua inovasi melibatkan kontestasi atas mitra aliansi dan, karena
beberapa ditambahkan dan yang lain dihindari, mereka berkontribusi pada wacana
berkembang tentang inovasi.
Lingkaran "pelembagaan" atau “institusionalisasi” mengacu pada proses di
mana penerimaan otoritatif, dan dukungan kelembagaan untuk, sebuah inovasi
muncul dari struktur yang tepat (misalnya, struktur profesional untuk memvalidasi
konsep-konsep spesifik dan struktur pemerintahan untuk melembagakan
kebijakan). Mengidentifikasi permasalahan lalu kemudian membangun unit
lembaga khusus adalah contoh khas dari "otonomisasi masalah" sebagai penting
dan berbeda. Tindakan semacam itu membangun otonomi dengan membedakan
masalah dari pihak lain yang bersaing untuk mendapatkan dukungan institusional,
misalnya menerapkan suatu peraturan dan program mencerminkan suatu
pelembagaan solusi.
Lingkaran “penerimaan sosial” adalah mendapatkan penerimaan individu
yang berpotensi terpengaruh; pertama, bahwa masalah atau masalah ada, dan
kedua, bahwa inovasi yang dilakukan telah menjadi salah satu cara terbaik untuk
43
mengelolanya. Inovasi kebijakan umumnya memerlukan tingkat penerimaan
publik sebelum pemerintah mengadopsi mereka, sehingga para kontestan sering
mengeluarkan sumber daya yang cukup besar untuk mencoba memasarkan posisi
mereka kepada publik. Masyarakat juga menyediakan sumber rekrutmen untuk
aliansi yang sudah ada, dan dapat menjadi bibit kelompok "akar rumput" baru
yang mengatur untuk kepentingan layanan yang saat ini belum terwakili.
Secara khusus, teori-teori yang berkategori ANT dapat membantu
memahami bagaimana ide, nilai, atau pun norma masyarakat manusia tertanam di
dalam sebuah teknologi. ANT adalah “teori sosial”, sehingga teknologi tetap
dianggap sebagai bagian dari masyarakat manusia.
Kelebihan ANT terletak pada pengakuan yang cukup pada peran disain
dan tujuan pembuatan alat yang keduanya melibatkan manusia, selain pada peran
masyarakat pengguna. Lewat teori ANT, peneliti sistem informasi dapat
memasukkan tahap-tahap teknis dalam pengembangan sebuah aplikasi komputer
di sebuah organisasi manusia, dan dapat melihat proses pengembangan itu sebagai
sebuah jaringan antar aktor yang saling memengaruhi. Pada akhirnya teori-teori
yang merujuk ke ANT ini melihat teknologi sebagai sebuah keseluruhan dan
gabungan dari potongan-potongan yang saling berkaitan tanpa dapat dipisahkan
begitu saja. Teknologi bukan hanya artefak dan pemanfaatannya, melainkan
negosiasi yang terus menerus antara keduanya, melibatkan berbagai aktor baik
berupa manusia maupun non-manusia.
44
2.1.6. Good Governance
Prinsip-prinsip good governance tidak bisa dihindarkan dalam tata kelola
proses Pemilu karena keberhasilan Pemilu tidak hanya tergantung pada kinerja
badan-badan penyelenggara (KPU dan jajarannya) tetapi juga keterlibatan
stakeholders lainnya. KPU sebagai sentral aktifitas Pemilu dituntut menerapkan
prinsip-prinsip good governance yang terencana dan terukur, sehingga tujuan
Pemilu dapat dicapai dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip dasar
penyelenggara Pemilu (IDEA:2000).
Tata kelola Pemilu atau electoral governance itu sendiri mengandung
sedikitnya 4 sub bidang yang saling terkait, yakni sub bidang kajian regulasi
Pemilu yang membahas mengenai parameter kepastian hukum Pemilu terutama
mengenai sistem Pemilu, proses Pemilu, badan-badan penyelenggara, dan
penyelesaian sengketa Pemilu. Sub bidang kajian yang kedua adalah menyangkut
tata kelola proses elektoral yang meliputi penerapan tata kelola pemerintahan
yang baik (good governance) dalam hal: (1) perencanaan strategis dan
perencanaan pembiayaan; (2) Sosialisasi dan informasi Pemilu; (3) pendaftaran
pemilih; (4) Administrasi peserta Pemilu; (5) proses penetapan daerah pemilihan
dan alokasi kursi; (6) Nominasi kandidat; (7) kampanye Pemilu dan dana
kampanye; (8) proses pengadaan logistik Pemilu; (9) penyelenggaraan
pemungutan suara dan penghitungannya; (10) proses agregasi hasil pemungutan
suara; (11) Pengumuman hasil pemilihan umum; (12) Proses konversi perolehan
suara menjadi kursi (electoral contest); (13) Pengumuman kandidat terpilih; (14)
Pelantikan kandidat terpilih.
45
Menurut Ramlan Surbakti (2014), penyelenggaraan pemilihan umum juga
harus bisa diukur dengan parameter Pemilu demokratis yang meliputi keadilan
Pemilu dan intgeritas pemilihan umum. Ada 7 parameter Pemilu yang demokratis
yaitu: (1) equality (kesamaan) yang dicerminkan dalam daftar pemilih, pembagian
daerah pemilihan dan alokasi kursi dalam pemilihan umum; pemberian suara dan
penghitungan suara; (2) Regulasi pemilihan umum yang diformulasikan
berdasarkan parameter yang menjamin kepastian hukum; (3) Kompetisi yang
bebas dan fair diantara partai politik dan kandidat atau penyediaan arena
kompetisi yang adil bagi semua kontestan; (4) Partisipasi semua stakeholder di
dalam semua tahapan proses Pemilu; (5) Independensi dan profesionalitas badan-
badan penyelenggara; (6) Integritas Pemilu pada semua proses pemberian suara,
penghitungan, dan rekapitulasi suara dan proses pelaporan hasil pemilihan umum.
(7) Penyelesaian sengketa Pemilu yang adil dan tepat waktu.
Konsep governance dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap
konsep government paradigma tradisional dan menyempurnakan konsep-konsep
yang diusung oleh paradigma New Public Management (NPM) (Pratikno, 2004).
Good governance menuntut kerjasama tiga pilar yakni pemerintah, lembaga non
pemerintah dan swasta. Salah satu lembaga sektor publik yang memberikan
kontribusi pada terciptanya sinergi antara pilar governance adalah governance
bodies yaitu suatu lembaga nonpemerintah yang diberi mandat dan kewenangan
oleh pemerintah untuk mengambil kebijakan dalam bidang tertentu. Governance
bodies memiliki anggota yang menggambarkan pilar dari governance seperti
unsur pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia usaha (Dwiyanto, 2005).
Karakteristik good governance didalamnya terdapat prinsip-prinsip dasar yang
46
dioperasionalkan melalui tindakan-tindakan konkrit pada praktek governance.
United Nations for Development Programme memberikan beberapa karakteristik
good governance (Mardiasmo, 2002: 24-25) sebagai berikut:
a. Participation (partisipasi), yaitu keterlibatan masyarakat dalam pembuatan
keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga
perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut
dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi
secara konstruktif. Dalam kontek Pemilu dapat dilihat bagaimanaa
partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, tinggi golput
menjadikan indikasi kurangnya partisipasi masyarakat.
b. Rule of law, yaitu kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa
pandang bulu. Jika masih banyak pelanggaran dalam Pemilu yang tidak
diproses, hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum belum berjalan.
c. Transparency. Tranparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh
informasi. Penggunaan dana kampanye, sumber dana kampanye, besaran
dana kampanye yang masih banyak disembunyikan oleh peserta Pemilu
menunjukkan transparansi belum berjalan sama sekali.
d. Responsiveness. Setiap lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap
dalam melayani stakeholder. Jika dihubungkan dengan Pemilu, maka harus
dilihat bagaimana respon yang diberikan lembaga penyelenggara Pemilu
terhadap tuntutan masyarakat terkait proses Pemilu.
e. Consensus orientation. Adanya keharusan untuk selalu berorientasi pada
kepentingan masyarakat yang lebih luas. Aturan-aturan yang dijalankan
47
dalam semua tahapan Pemilu harus dijalankan demi kepentingan
masyarakat.
f. Equity. Setiap individu dalam masyarakat memiliki kesempatan yang sama
untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan. Keadilan dan kesempatan
yang sama besar antara laki-laki dan perempuan, ataupun akses difabel
dalam Pemilu menjadi indicator aspek keadilan ini.
g. Efficiency and effectiveness. Pengelolaan sumberdaya publik dilakukan
secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). Jika dikaitkan
dengan Pemilu bisa dilihat bagaimana output yang dihasilkan dari Pemilu,
serta penggunaan anggaran yang dipakai dalam setiap tahapan Pemilu.
h. Accountability, yaitu pertanggungjawaban kepada publik atas aktivitas yang
dilakukannya. Hasil perolehan suara parpol, kualitas kinerja penyelenggara
Pemilu, merupakan indikator yang bisa dipakai untuk menilai aspek
akuntabilitas.
i. Strategic vision. Setiap penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus
memiliki visi jauh ke depan. Jika dihubungkan dengan proses Pemilu, yang
perlu diperhatikan adalah bagaimana sikap pemerintah dan penyelenggara
Pemilu ke depan untuk mengurangi persoalan-persoalan yang muncul pada
Pemilu saat ini.
2.1.7. Efektifitas dan Efisiensi Pemerintahan
a. Efektifitas
Konsep efektivitas sendiri telah banyak dikemukakan oleh para ahli
organisasi maupun manajemen dan memiliki makna yang berbeda tergantung
48
kepada kerangka acuan yang dipergunakan. Stoner (1982), menekankan
pentingnya efektivitas organisasi dalam pencapaian tujuan-tujuan organisasi dan
efektivitas adalah kunci dari kesuksesan suatu organisasi. Efektivitas adalah
ukuran berhasil tidaknya pencapaian tujuan organisasi. Apabila suatu organisasi
berhasil mencapai tujuannya, maka organisasi tersebut telah berjalan dengan
efektif.
Georgopoulos dan Tannenbaum (dalam Steers, 1985), mengemukakan
bahwa efektivitas organisasi adalah tingkat sejauhmana suatu organisasi yang
merupakan sistem sosial, dengan segala sumber daya dan sarana tertentu yang
tersedia memenuhi tujuan-tujuannya tanpa pemborosan, dan dengan menghindari
ketegangan yang tidak perlu diantara anggota-anggotanya. Dari pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa efektivitas sangat tergantung kepada faktor
eksternal dan internal organisasi.
Menurut Sharma (1982), kriteria atau ukuran suatu efektivitas dapat dinilai
dari produktivitas organisasi atau output, fleksibilitas organisasi, dan bentuk
keberhasilannya dalam menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan di dalam
dan di luar organisasi, serta dari ada tidaknya ketegangan dalam organisasi atau
hambatan-hambatan konflik di antara bagian-bagian organisasi. Selanjutnya
menurut Wisnu dan Nurhasanah (2005) dikatakan bahwa suatu organisasi efektif
jika (1) mengamankan skill dan sumber daya langka dari luar; (2) secara kreatif
mengkoordinasikan sumber daya dengan skill karyawan untuk menemukan
produk dan berselaras dengan perubahan kebutuhan konsumen (pendekatan sistem
internal); dan (3) secara efisien mengubah skill dan sumber daya menjadi barang
dan jasa (pendekatan teknis).
49
Sebuah organisasi dalam mencapai tujuannya dipengaruhi oleh banyak
faktor, baik berasal dari faktor internal maupun faktor eksternal organisasi. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Steers (1985) dimana terdapat empat
faktor yang mempengaruhi keberhasilan akhir organisasi, yaitu: Pertama,
Karakteristik Organisasi yang terdiri dari struktur dan teknologi organisasi.
Struktur adalah cara unik suatu organisasi menyusun orang-orangnya untuk
menciptakan sebuah organisasi yang meliputi faktor-faktor seperti luasnya
desentralisasi pengendalian, jumlah spesialisasi pekerjaan, cakupan perumusan
interaksi antar pribadi dan seterusnya. Sedangkan teknologi adalah mekanisme
suatu organisasi untuk mengubah masukan mentah menjadi keluaran jadi.
Kedua, Karakteristik Lingkungan, terdiri dari dua aspek, yaitu lingkungan
internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan internal pada umumnya dikenal
sebagai iklim organisasi, meliputi macam-macam atribut lingkungan kerja
misalnya orientasi pada prestasi dan pekerja sentris. Sedangkan lingkungan
eksternal adalah kekuatan yang timbul di luar batas-batas organisasi dan
mempengaruhi keputusan serta tindakan dalam organisasi.
Ketiga, Karakteristik Pekerja, merupakan faktor yang paling penting atas
efektivitas organisasi, karena perilaku mereka inilah yang dalam jangka panjang
akan memperlancar atau memperlambat tujuan organisasi. Keempat, Kebijakan
dan Praktek Manajemen, terdiri dari penetapan tujuan strategis, pencarian dan
pemanfaatan sumber daya secara efisien, menciptakan lingkungan prestasi, proses
komunikasi, kepemimpinan dan pengambilan keputusan serta adaptasi dan inovasi
organisasi.
50
b. Efisiensi
Menurut Dwiyanto, dkk (2008) efisiensi pemerintahan salah satunya
merujuk kepada efisiensi pelayanan yaitu perbandingan terbaik antara input dan
output pelayanan. Secara ideal, pelayanan akan efisien apabila birokrasi pelayanan
dapat menyediakan input pelayanan, sperti biaya dan waktu pelayanan yang
meringankan masyarakat pengguna jasa. Demikian pula pada sisi output
pelayanan, birokrasi secara ideal harus dapat memberikan produk pelayanan yang
berkualitas, terutama dari aspek biaya dan waktu pelayanan. Efisiensi pada sisi
input diperguanakan untuk melihat seberapa jauh kemudahan akses publik
terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan. Akses publik terhadap pelayanan
dipandang efisien apabila publik memiliki jaminan atau kepastian menyangkut
biaya pelayanan.
Kepastian biaya pelayanan yang harus dikeluarkan oleh publik merupakan
indikator penting untuk melihat intensitas korupsi dalam sistem layanan birokrasi.
Birokrasi pelayanan publik yang korup akan ditandai oleh besarnya biaya ekstra
yang harus dikeluarkan oleh pengguna jasa dalam mengakses layanan publik,
sehingga harus mengeluarkan biaya ekstra untuk dapat memperoleh pelayanan
yang terbaik dari birokrasi, padahal secara prinsip seharusnya pelayanan terbaik
harus dapat dinikmati oleh publik secara keseluruhan. Demikian pula efisiensi
pelayanan dari sisi output, digunakan untuk melihat pemberian produk pelayanan
oleh birokrasi tanpa disertai adanya tindakan pemaksaan kepada pihak publik
untuk mengeluarkan biaya ekstra pelayanan.
Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini terkait dengan
efektivitas dan efisiensi pelayanan publik yang dilakukan oleh lembaga
51
pemerintahan, maka pemerintah telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/
KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik
yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip pelayanan sebagai berikut:
Pertama, Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan
perlu ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang
meminta pelayanan. Kedua, Kejelasan dan Kepastian, dalam arti adanya kejelasan
dan kepastian dalam hal prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan
baik teknis maupun administratif, unit kerja pejabat yang berwenang dan
bertanggung jawab dalam meberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan
dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan. Ketiga,
Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil pelayanan yang dapat
memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Keempat, Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara
pelayanan, persyaratan, unit kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan,
waktu penyelesaian, rincian biaya atau tarif serta hal-hal lain yang berkaitan
dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah
diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
Kelima, Efisiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada
hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan
tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.
Keenam, Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus
52
ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan jasa pelayanan,
kemampuan masyarakat untuk membayar, dan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Ketujuh, Keadilan dan Pemerataan, yang dimaksudkan agar
jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata
dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Kedelapan, Ketepatan Waktu, dalam
arti bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat waktu yang telah
ditentukan.
2.2. Kerangka Pemikiran
Penerapan e-government dapat dijadikan parameter dalam menilai
implementasi e-government di suatu daerah. Tahapan e-government ini, yaitu
Pertama, present. Media internet dijadikan sarana penyampaian informasi publik
secara pasif dari pemerintah kepada masyarakat. Kedua, interaksi. Tahap ini sudah
memungkinkan terjadinya komunikasi antara pemerintah dengan mereka yang
berkepentingan melalui teknologi semacam internet dan fasilitas multimedia.
Ketiga, transaksi. Artinya interaksi dibarengi dengan sebuah transaksi yang
berhubungan dengan perpindahan uang. Terakhir, adalah transformasi. Pada tahap
ini, kehadiran teknologi informasi tengah mengakibatkan terjadinya perubahan
atau driver change. Wujudnya telah terjadi integrasi pada level proses, data dan
teknologi dan pemerintah telah membuka diri untuk semua entiti.
Penerapan e-government dimaksudkan untuk mempercepat proses
interaksi antara penyelenggara Pemilu dengan masyarakat sehingga pemanfaatan
Information Communication Technology ditujukan dalam rangka meningkatkan
kualitas pelayanan publik. Proses penerapan e-government dalam pelayanan
53
publik KPU Kab/Kota memberikan layanan berupa produk atau informasi kepada
masyarakat melalui website resmi.
Data informasi merupakan kenyataan yang menggambarkan kejadian serta
kesatuan nyata. Yang dimaksud “kejadian” disini merupakan perolehan suara
berdasarkan pemberian suara (voting) yang sudah dilakukan. Kesatuan nyata
merupakan suatu objek nyata seperti tempat, benda, serta suatu hal yang betul-
betul terjadi. Dari definisi dan uraian data tersebut dapat disimpulkan bahwa data
merupakan bahan mentah untuk diproses dalam menyajikan informasi. Dalam
konteks ini, SITUNG adalah suatu sistem yang mengolah informasi tentang hasil
perolehan suara pada ajang Pemilu maupun Pilkada.
Suatu sistem informasi merupakan kombinasi dari komponen yang
terpisah (orang, hardware, software, jaringan komunikasi, sumber daya data, dan
aturan serta prosedur) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengolahan
data serta pendukung kegiatan bisnis di dalam suatu organisasi dimana nantinya
data yang ada dikumpulkan dan diproses sehingga dapat menjadi informasi yang
berguna untuk didistribusikan dan digunakan oleh pengguna. Sebagai suatu
sistem, informasi data tersebut membutuhkan input yaitu data tentang peroleh
suara masing-masing calon di suatu tempat tertentu. Untuk kemudian diproses,
baik itu diverifikasi dan diklarifikasi bersama dengan data kumulatif lainnya.
Hasil proses ini yang kemudian menjadi keluaran berupa informasi publik.
Informasi perolehan suara ini yang kemudian diterima oleh user yaitu publik, baik
itu tim pemenangan maupun masyarakat umum.
Penerapan SITUNG dapat dilihat dari perspektif Actor-Network Theory
(ANT) yang berasumsi ada keterkaitan antara aktor manusia dan non-manusia
54
pada suatu jaringan teknologi informasi. Jaringan antar aktor dihubungkan oleh
intermediary atau aktan baik itu berupa hardware, software ataupun brainware.
Dalam perspektif ANT, proses penerapan SITUNG dapat ditelaah dengan konsep
translasi (translation) yang memilah momen penerapannya menjadi momen
permasalahan (problem), penarikan (interessement), pelibatan (enrollment), dan
mobilisasi (mobilisation).
Begitu pula halnya dengan implementasi SITUNG, akan memiliki
implikasi tersendiri bagi tata kelola Pemilu. Perspektif ANT juga menyediakan
skema analisis untuk melihat bagaimana implikasi penerapan suatu sistem
teknologi informasi dalam hal ini SITUNG yang menyangkut dengan beberapa
aspek penting di dalamnya yaitu mobilisasi instrumen (mobilization of
instruments), membangun aliansi (building alliance), institusionalisasi/
pelembagaan (institutionalization), dan penerimaan sosial (social acceptance).
Apabila penerapan dan implikasinya disertai pelaksanaan prinsip-prinsip tata
kelola yang baik, maka implikasinya mengarah kepada good election governance
atau tata kelola Pemilu yang baik. Atau sebaliknya, apabila penerapannnya tidak
berhasil dan tidak berdayaguna maka hasil justru kontradiktif yaitu bad election
governance (tata kelola Pemilu yang buruk). Idealnya, implikasi penerapan
SITUNG mendorong tata kelola Pemilu menjadi lebih baik, sehingga penerapan
e-government dalam penyelenggaraan Pemilu tetap menjadi salah satu strategi
yang perlu terus ditingkatkan kualitasnya.
55
Gambar 2.5. Kerangka Pikir Penelitian
Implikasi SITUNG (Bruno Latour)
Mobilisasi Instrumen
Aliansi
Institusionalisasi
Penerimaan Sosial
Good Election
Governance
E-Government SITUNG Pilkada
Perspektif ANT (Actor-Network
Theory)
Penerapan SITUNG (Michel Callon)
Permasalahan
Penarikan
Pelibatan
Mobilisasi
56
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tipe Penelitian
Metode penelitian menurut M. Nazir (1999:51) adalah urutan kerja yang
harus dilakukan dalam melaksanakan penelitian, termasuk alat yang digunakan
untuk mengukur maupun megumpulkan data, serta bagaimana melakukan
penelitian di lapangan. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif kualitatif, dimana penulis melakukan penelitian ini bertujuan
untuk menggambarkan tentang suatu fenomena atau kejadian atau sebuah masalah
secara jelas dan gamblang.
Dikaitkan dengan kategori penelitian kualitatif yang disusun Creswell
(2009), maka penelitian ini termasuk penelitian naratif dimana peneliti
menyelidiki penerapan e-government SITUNG pada Pilkada Kota Jambi Tahun
2018 dan meminta pihak yang terlibat menceritakan proses yang terjadi di
dalamnya. Informasi ini yang akan diolah dalam kronologi naratif serta
menganalisisnya dengan pandangan teoritis.
Metode kualitatif digunakan dalam pengolahan dan penyajian data dalam
penelitian ini. Menurut Arikunto (2002: 10), penelitian kualitatif adalah penelitian
yang tidak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran
data, serta penampilan hasilnya. Level data yang digunakan adalah data kualitatif
yang bersifat kategorikal dimana informasi diorganisir ke dalam beberapa
57
kelompok data. Misalnya berbagai informasi mengenai SITUNG, dikategorikan
ke dalam pengelompokan berdasarkan aspek-aspek orang, perangkat keras,
perangkat lunak, jaringan komunikasi, sumber daya data, dan aturan/prosedur.
Begitu pula dengan informasi mengenai proses penerapan dan implikasi juga akan
dikelompokkan berdasarkan aspek dan variabel yang terkandung di dalamnya.
Data tentang proses dan mekanisme penerapan SITUNG dideskripsikan untuk
ditelaah lebih jauh bagaimana dinamika dalam pelaksanaannya. Analisis
diarahkan kepada proses dan implikasi penerapan SITUNG agar terjadi
peningkatan kualitas pelayanan informasi publik tentang data penghitungan suara
Pilkada menjadi lebih akurat, cepat dan mudah diakses publik.
3.2. Fokus Penelitian
Penelitian ini memfokuskan pengamatan pada beberapa dimensi dan aspek
pembahasan, antara lain:
1. Penerapan e-gov SITUNG dari perspektif ANT, meliputi:
a. Permasalahan (Problem)
Isu yang berkembang
Adanya inisiator
Transformasi masalah publik
b. Penarikan (Interessement)
Respons berbagai pihak
Penerimaan atau penolakan
Upaya inisiator untuk meyakinkan
c. Pelibatan (Enrollment)
Penjajakan kompetensi
Pembagian peran
Pendelegasian antar aktor
d. Mobilisasi (Mobilization)
Eksistensi temporal
Eksistensi spasial
58
Keterpaduan gerak antar aktor
2. Implikasi e-gov SITUNG terhadap kinerja KPU Kota Jambi dan tata kelola
Pemilu dari perspektif ANT, meliputi:
a. Mobilisasi (Mobilization)
Wacana, gagasan dan argumentasi
Sumber daya manusia dan non-manusia
Ketersediaan Teknologi
b. Membangun aliansi (Building Aliance)
Kontribusi aktor-aktor terkait
Sekutu dan Seteru
Kemampuan Inovasi
c. Institusionalisasi (Institutionalization)
Penerimaan otoritatif
Dukungan kelembagaan
Peraturan dan Program
d. Penerimaan Sosial (Social Acceptance)
Penerimaan publik
Perluasan keterlibatan publik
Reaksi pemangku kepentingan
3.3. Unit Analisis dan Penentuan Informan
1. Unit Analisis
Penelitian ini akan menganalisis penerapan e-gov dalam pelaksanaan
Pilkada dengan melihat penerapan e-gov SITUNG pada perhelatan Pilkada Kota
Jambi Tahun 2018 dan bagaimana implikasinya terhadap kinerja KPU dan tata
kelola Pemilu. Penerapan e-gov dalam penelitian ini ditelaah dari berbagai
aktivitas pemerintahan yang termasuk dalam kerangka manajemen pengelolaan
SITUNG. Dengan demikian, unit analisis dalam penelitian ini ialah organisasi
59
yang terlibat dalam pengelolaan SITUNG pada Pilkada Kota Jambi Tahun 2018
yaitu penyelenggara Pemilu (jajaran KPU).
2. Informan
Penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling (sampling
bertujuan), dimana dengan demikian informan adalah dari pihak yang
mengetahui, memahami dan berpengalaman dalam pengelolaan SITUNG yaitu
KPU Kota Jambi, baik Komisionernya maupun Sekretariat, Peserta Pilkada, Tim
Pemenangan Kandidat, LSM Pemilu, akademisi, pihak swasta mitra kerja KPU
Kota Jambi dan berbagai organisasi kemasyarakatan yang terlibat di dalamnya.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder
dengan teknik yang berbeda. Pengumpulan data primer menggunakan teknik
indepth interview (wawancara mendalam) dan observation (pengamatan).
Sedangkan untuk data sekunder menggunakan teknik dokumentasi (document).
Berikut penjelasan masing-masing teknik tersebut:
1. Wawancara mendalam akan memberi kesempatan untuk memperoleh
informasi mengenai interaksi serta pengalaman baik formal maupun informal
yang berupa hubungan kerja, koordinasi, nilai, persepsi dan pendapat yang
tidak dapat diperoleh dari dokumen.
2. Observasi dalam artian hanya ikut terlibat untuk mengamati proses tanpa
harus mengintervensi anggota jaringan seperti mengamati website, melihat
mekanisme pelayanan SITUNG dan lain sebagainya.
60
3. Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data sekunder melalui sumber
tertulis yang relevan dengan penelitian seperti rekaman kegiatan, surat
keputusan, laporan kegiatan, peraturan perundang-undangan, kliping koran,
berita online, buku teks dan arsip.
3.5. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan sejak pertama kali turun ke lapangan untuk
mengumpulkan data awal yakni sejak prapenelitian dan berakhir pada masa
penelitian lapangan (on going process). Apabila data yang telah terkumpul dinilai
sudah lengkap dengan tingkat relevansi yang tinggi maka pengumpulan data dapat
dihentikan. Langkah selanjutnya adalah melakukan check list yakni
membandingkan data lapangan dengan data pendukung lain sesuai kondisi
empirik di lapangan. Data yang terkumpul dari hasil wawancara, catatan
observasi, dan dokumentasi akan dilakukan editing, koding dan reduksi atau
menyeleksi data sehingga memudahkan identifikasi, klasifikasi, kategorisasi, dan
pemberian atribut terhadap kecenderungan jawaban-jawaban informan serta
rekaman fakta lainnya (Sarantakos, 1993).
3.6. Teknik Analisis Data
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa penelitian ini tergolong ke
dalam penelitian deskriptif-kualitatif. Oleh karena itu, analisis data menggunakan
teknis analisis kualitatif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada pendapat Sarantakos (1993) yang menyatakan bahwa inti dari
teknik analisis data kualitatif mencakup tiga proses yang saling berkaitan atau
61
sifatnya siklikal, yaitu: (1) mendeskripsikan fenomena; (2) mengklasifikasikan
fenomena, dan (3) melihat bagaimana konsep-konsep yang muncul itu satu
dengan lainnya berkaitan.
62
BAB IV
GAMBARAN UMUM PENERAPAN SITUNG
PADA PILKADA SERENTAK TAHUN 2018
4.1. Deskripsi Kelembagaan KPU Kota Jambi
Pemilihan Umum merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna
menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang
bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud
apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami
dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Penyelenggara
Pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Penyelenggara Pemilu memiliki tugas menyelenggarakan
Pemilu dengan kelembagaan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Salah satu
faktor penting bagi keberhasilan penyelenggaraan Pemilu terletak pada kesiapan
dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu itu sendiri, yaitu Komisi Pemilihan
Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Ketiga institusi ini telah
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara
Pemilu untuk menyelenggarakan Pemilu menurut fungsi, tugas dan
kewenangannya masing-masing.
63
Keberadaan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota saat ini
memiliki landasan hukum yang sangat kuat. Selain didasarkan pada konstitusi
negara pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 juga pernah memiliki Undang-
Undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum yang sekarang sudah menjadi Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Jambi yang ada saat ini merupakan
periode keanggotaan ketiga yaitu periode 2013 – 2018 setelah sebelumnya periode
kedua 2008-2013 dan periode pertama 2003-2008. Berdasarkan Surat Keputusan
Komisi Pemilihan Umum Propinsi Jambi Nomor: 194/Kpts/KPU-Prov.005/2013
Tanggal 22 Desember 2013, nama-nama yang disahkan dan diangkat menjadi
anggota KPU Kota Jambi periode 2013 – 2018 adalah :
1. Wein Arifin, S.IP
2. Hazairin, SH
3. Yatno, S.Pd.I
4. Abdul Rahim, SP
5. Arif Lesmana Yoga, SP
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum Pasal 18 telah diatur tentang Tugas, Wewenang dan Kewajiban KPU Kota
Jambi. Untuk lebih mengefektifkan kerja KPU Kota Jambi, sebagaimana diatur
dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2015 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota yang telah diubah dalam PKPU Nomor 12 Tahun 2017, maka
dibentuk alat kelengkapan, berupa divisi-divisi, Kelompok Kerja atau tim yang
64
dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Divisi dibentuk untuk memudahkan dan
memfokuskan pelaksanaan program kerja KPU Kota Jambi. Setiap divisi
mempunyai mitra kerja dengan subbag-subbag pada Sekretariat KPU Kota Jambi
yang berhubungan dengan kegiatan divisi.
Adapun Divisi yang dibentuk terdiri dari 5 (lima) divisi yang masing-
masingnya dipimpin oleh satu orang anggota KPU Kota Jambi, yaitu:
Tabel 4.1. Komposisi Anggota KPU Kota Jambi
No. Nama Jabatan Divisi
1 Wein Arifin, S.IP Ketua SDM dan Partisipasi
Masyarakat
2 H. Abdul Rahim, SP Anggota Umum, Keuangan dan Logistik
3 Arief Lesmana Yoga, S.TP Anggota Perencanaan dan Data
4 Yatno, S.Pd.I Anggota Teknis
5 Hazairin, SH Anggota Hukum Sumber : KPU Kota Jambi (2018)
Untuk menunjang serta memfasilitasi kebutuhan kerja serta pelaksanaan
tugas-tugas KPU Kota Jambi dibentuk Sekretariat KPU Kota Jambi yang
dipimpin oleh seorang Sekretaris. Dalam melaksanakan tugasnya Sekretaris KPU
Kota Jambi dibantu oleh 4 (empat) orang Kasubbag yang juga masing-masingnya
mengepalai satu Subbag sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU Nomor 6
Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal
Komisi Pemilihan Umum, Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan
Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota dan diubah dalam
Peraturan KPU Nomor 22 Tahun 2008.
Sekretariat KPU Kota Jambi dipimpin oleh seorang Sekretaris dengan
eselonisasi Jabatan Struktural IIIa yang bertanggung jawab kepada Ketua KPU
Kota Jambi. Selama KPU Kota Jambi terbentuk, telah mengalami 8 (delapan) kali
65
pergantian Sekretaris, sedangkan Kasubbag dilingkungan Sekretariat KPU Kota
Jambi eselonisasi Jabatan Struktural IVa dengan susunan Sekretariat terdiri dari:
Tabel 4.2. Susunan Sekretariat KPU Kota Jambi
No. Jabatan Nama
1. Sekretaris Kemas M. Ajir, S.STP
2. Kasubbag Program dan Data Syamsul Ardi, SE
3. Kasubbag Teknis Pemilu dan Hupmas Mhd. Anwar Sadat, SE
4. Kasubbag Hukum Salma D, SH
5. Kasubbag Keuangan, Umum dan Logistik Hery Sufadmi, SE Sumber : KPU Kota Jambi (2018)
Komisi Pemilihan Umum sebagai salah satu lembaga negara memiliki Visi
dan Misi. Adapun Visi KPU yaitu “Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum
sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional,
mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang
berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
Sedangkan Misi KPU antara lain:
1. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki
kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan
Pemilihan Umum;
2. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil,
akuntabel, edukatif dan beradab;
3. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih,
efisien dan efektif;
66
4. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil
dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam
Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang
demokratis.
4.2. Pilkada Walikota Jambi Tahun 2018
KPU RI telah menetapkan tanggal pencoblosan Pilkada Serentak 2018
yaitu pada tanggal 27 Juni 2018. Ada 171 daerah yang mengikuti Pilkada 2018
dengan tahapan Pilkada Serentak 2018 dimulai 10 bulan sebelum hari
pencoblosan yakni dimulai sejak Agustus 2017. Dari 171 daerah tersebut, ada 17
provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada, dimana
Kota Jambi termasuk dalam bagian Pilkada Serentak 2018 tersebut. Secara umum
pelaksanaan kegiatan Pemilihan Walikota Jambi Tahun 2018 dibagi dalam 2 tahap
yakni Persiapan dan Pelaksanaan. Tahapan persiapan terdiri dari 9 sub tahapan
sedangkan tahapan Pelaksanaan terdiri dari 7 subtahapan. Adapun rangkaian
jadwal tahapan tersebut meliputi:
Tabel 4.3.
Tahapan dan Jadwal Pilkada Serentak Tahun 2018
TAHAP PERSIAPAN
Tanggal Tahapan
27 September 2017 Perencanaan Program dan Anggaran
27 September 2017 Penyusunan dan Penandatanganan Naskah
Perjanjian Hibah Daerah (NPHD)
31 Mei 2018 Penyusunan dan Pengesahan Peraturan
Penyelenggaraan Pemilihan
14 Juni 2017 - 23 Juni 2018 Sosialisasi kepada Masyarakat
14 Juni 2017 - 26 Juni 2018 Penyuluhan/Bimbingan Teknis Kepada KPU
Provinsi/KIP Aceh, KPU/KIP
67
Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan KPPS
12 Oktober 2017 - 3 Juni 2018 Pembentukan PPK, PPS, dan KPPS
12 Oktober 2017 - 11 Juni
2018
Pemantauan Pemilihan
24 November 2017 - 30
Desember 2017
Pengolahan Daftar Penduduk Potensial
Pemilih Pemilihan (DP4)
30 Desember 2017 - 27 Juni
2018
Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih
TAHAP PELAKSANAAN
Tanggal Tahapan
31 Juli 2017 - 3 Januari 2018 Syarat Dukungan Pasangan Calon
Perseorangan
8 Januari 2018 - 10 Januari
2018
Pendaftaran Pasangan Calon
15 Februari 2018 - 23 Juli 2018 Masa Kampanye
14 Februari 2018 - 13 Juli 2018 Laporan Audit dan Dana Kampanye
17 Maret 2018 - 26 Juni 2018 Pengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan
Pemungutan dan Penghitungan Suara
27 Juni 2018 Pemungutan dan Penghitungan suara di TPS
27 Juni 2018 - 9 Juli 2018 Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Sumber: Portal Publikasi Pilkada dan Pemilu Indonesia, KPU RI (2018)
Pilkada Kota Jambi Tahun 2018 telah terlaksana dari tahap persiapan
hingga tahap rekapitulasi hasil penghitungan suara diikuti penetapan hasil
penghitungan suara. Berdasarkan hasil penetapan pleno KPU Kota Jambi, maka
perolehan suara adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4. Perolehan Suara Pasangan Calon
NOMOR
URUT PASANGAN CALON
PEROLEHAN
SUARA
PERSENTASE
(%)
1 Drs. H. Abdullah Sani, M.Pd.I
dan Kemas Alfarizi, SE 117.435 44.30
2 Dr. H. Syarif Fasha, ME dan
Dr. dr. H. Maulana, MKM 147.652 55,70
Sumber: KPU Kota Jambi (2018)
Partisipasi pemilih mencapai 69,54 persen dimana pemilih pengguna hak
pilih dari laki-laki sebanyak 66,93 persen sementara perempuan 72,07 persen.
Secara lebih rinci, pengguna hak pilih pada Pilwako Kota Jambi Tahun 2018
dapat dilihat pada tabel berikut:
68
Tabel 4.5. Partisipasi Pemilih Pilwako Kota Jambi Tahun 2018
berdasarkan Jenis Kelamin
Pengguna Hak
Pilih
Total Jumlah
Pemilih Terdaftar
Persentase
Partisipasi
LAKI-LAKI 129.390 193.320 66,93%
PEREMPUAN 143.182 198.664 72,07%
Sumber: KPU Kota Jambi (2018)
4.3. Implementasi SITUNG pada Pilkada Walikota Jambi Tahun 2018
Sistem hitung cepat SITUNG dibuat untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat untuk mengetahui hasil Pilkada Serentak 27 Juni 2018 secara cepat
dan transparan di seluruh wilayah yang menyelenggarakan Pilkada. Data hasil
pada hitung cepat berdasarkan entri Model C1 apa adanya. Hasil pada hitung
cepat merupakan hasil sementara dan tidak bersifat final. Jika terdapat kesalahan
pada model C1 akan dilakukan perbaikan pada proses rekapitulasi di tingkat
atasnya.
Penerapan SITUNG untuk memastikan hasil penghitungan suara
sementara bisa diketahui oleh masyarakat secara cepat dan terbuka. Namun untuk
hasil resmi Pilkada tetap menggunakan rekapitulasi manual dan berjenjang sesuai
amanah UU. Fungsi dari SITUNG adalah menampilkan hasil pemungutan suara
mulai tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga ke tingkat pusat, sehingga
masyarakat bisa melihat hasil pemungutan suara mulai dari tingkat yang paling
bawah. SITUNG juga mendorong partisipasi masyarakat dalam mengawal hasil
Pilkada.
Adapun sistem informasi SITUNG atau biasa juga disebut Sistem
Informasi Tungsura (Penghitungan Suara) Tahun 2018 menggunakan beberapa
modul aplikasi, antara lain:
69
o Aplikasi Desktop SITUNG Pindai: C1, DAA, DA1, DB1, DC1
o Aplikasi Desktop SITUNG Entri: Entri Form C dan C1
o Aplikasi Desktop Aggregator: DAA ke DA1
o Aplikasi Web dan email:
o Email atau Unggah Form DAA, DA1, DB1, DC1
o Pindai Form DAA, DA1, DB1, DC1
o Pindai Form Catatan Kejadian (DA2, DB2, DC2)
o Entri data PSU/Susulan/Lanjutan
o Publikasi Terpadu: pantau dan lihat hasil tungsura
Dalam menjalankan modul aplikasi tersebut, SITUNG memiliki alur
seperti gambar berikut ini:
Gambar 4.1. Alur SITUNG Cepat
Sumber: Materi Bimtek SITUNG (2018)
Aplikasi Desktop yang dimaksud pada gambar 4.1 mencakup Aplikasi
Desktop SITUNG Pindai dan SITUNG Entri. Adapun fitur dari masing-masing
Aplikasi SITUNG tersebut melingkupi:
70
Tabel 4.6. Fitur Aplikasi SITUNG
Aplikasi Fitur
SITUNG Entri Entri Data C1
Kirim Data C1
SITUNG Pindai Pindai C1
Kirim Hasil Pindai C1
Web Publikasi Lihat Hasil Rekapitulasi Suara
Sumber: Materi Bimtek SITUNG (2018)
Untuk memindai (scan) bukti form rekap, dibantu oleh aplikasi SITUNG
Pindai seperti tampak pada gambar 4.2:
Gambar 4.2. Aplikasi SITUNG Pindai
Sumber : KPU Aplikasi SITUNG Kota Jambi (2018)
Sementara untuk menginput atau mengentri data perolehan suara dan data
lainnya, dilakukan dengan modul aplikasi SITUNG Entri, sebagaimana terlihat
pada gambar 4.3 :
71
Gambar 4.3. Aplikasi SITUNG Entri
Sumber : Aplikasi SITUNG KPU Kota Jambi (2018)
Selain itu, juga telah dipersiapkan beberapa skenario pengiriman data
terkait ada tidaknya akses internet yang memadai. Apabila tersedia akses internet
yang memadai maka setelah selesai entri data atau pindai, data dapat langsung
dikirim. Apabila akses internet kurang memadai/tidak ada akses internet sama
sekali maka setelah selesai entri data atau pindai, ekspor data sebagai file zip,
kemudian impor data ke aplikasi dan kirimkan dari daerah yang memiliki akses
internet, atau setelah selesai entri data atau pindai, pergi ke daerah yang memiliki
akses internet, lalu langsung kirim data.
Dalam proses rekap terdapat alur dalam penggunaan SITUNG Rekap
yaitu:
72
Gambar 4.4. Alur SITUNG Rekap
Sumber: Materi Bimtek SITUNG (2018)
Gambar 4.4 menunjukkan alur mekanisme proses rekapitulasi hasil
penghitungan suara dengan menggunakan aplikasi SITUNG. Terlihat bahwa ada
dua jenis aliran dokumen yaitu hardcopy (cetak) dan softcopy (file digital). Alur
diawali dari form hardcopy C1 dari TPS ke PPS di kelurahan dilanjutkan form
DAA dan DA1 ke PPK di kecamatan. Berdasarkan DAA dan DA1, data diinput
ke Desktop Agregator SITUNG dan ke email service KPU. Setelah itu menjadi
form DB1 di KPU kabupaten/kota yang juga diinput ke aplikasi Web untuk
rekapitulasi. Begitupula form DC1 di provinsi akan diinput ke Aplikasi Web
SITUNG bersama dengan data di email service KPU. Dari alur ini diketahui
proses penginputan ke aplikasi SITUNG dimulai dari tingkat kecamatan namun
tidak langsung ke aplikasi web. Adapun yang langsung ke aplikasi web adalah
data yang berasal dari KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi sehingga patokan
awal adalah hasil penghitungan suara C1 di TPS.
73
Selain itu, juga ada beberapa Fitur dalam Aplikasi SITUNG Rekap
sebagaimana dalam tabel 4.7 :
Tabel. 4.7. Fitur SITUNG Rekap
Aplikasi Fitur
Desktop Aggregator Otomatis mengisi form DA1 dari hasil form DAA
Website SITUNG Unduh Template Form Excel
Unggah/Email Form Rekap
Pindai Form Rekap
Entri Data PSU/S/L dan Pindai Surat Putusan/SK
KPU
Pindai Dokumen Catatan Kejadian
Verifikasi Hasil Rekapitulasi Suara
Pantau Statistik Rekapitulasi Suara
Website Publikasi Lihat Hasil Rekapitulasi Suara Sumber: Materi Bimtek SITUNG (2018)
Adapun Desktop Aggregator diigunakan untuk Rekap di Kecamatan yakni
menggabungkan isi form DAA dari kelurahan menjadi DA1 di kecamatan. Isian
data pemilih di DA1 otomatis terisi dari agregat data di DAA. Data perolehan
pasangan calon tetap kosong dan diisi secara manual.
Aplikasi SITUNG berbasis web (Web Base) sehingga hasil entri
dihubungkan secara web online sebagaimana terlihat pada gambar 4.5 :
Gambar 4.5. Aplikasi Web SITUNG
Sumber : Aplikasi SITUNG KPU Kota Jambi (2018)
74
Tampilan gambar 4.5 merupakan web SITUNG untuk mengentri data hasil
penghitungan suara. Sementara tampilan web publikasi berbentuk rekapitulasi
disertai grafik persentase perolehan suara.
Gambar 4.6. Web Publikasi SITUNG Pilkada Kota Jambi Tahun 2018
Sumber : Aplikasi SITUNG KPU Kota Jambi (2018)
Tampilan gambar 4.6 web publikasi, adalah tampilan untuk publik.
Adapun hasil tersebut dapat terinput dengan proses akses sebagai berikut:
75
Tabel 4.8. Akses SITUNG
Kecamatan Kabupaten/Kota Provinsi
Desktop
Aggregator Entri data DAA
Generate DA1
Kirim data DAA & DA1
Email Kirim data DAA
Kirim data DA1
Kirim data DB1 Kirim data DC1
Web Unggah data
DAA, DA1,
DB1
Pindai form
DAA, DA1,
DB1
Unggah Data
DC1
Pindai form
DC1
Sumber: Materi Bimtek SITUNG (2018)
Berdasarkan tabel 4.8 dapat diketahui bahwa pihak yang memindai (scan)
dan mengunggah (upload) adalah KPU Kota Jambi setelah memperoleh data dari
PPK melalui Desktop Aggregator dan email. Selanjutnya diteruskan oleh KPU
Provinsi untuk dikirimkan ke KPU RI lalu dipublikasikan ke laman web
infopemilu.kpu.go.id.
Proses yang cukup panjang tersebut, membutuhkan SDM tenaga operator
yang memadai. Mengenai SDM operator, KPU telah menunjuk Penanggungjawab
dan Operator. Penanggungjawab berasal dari PNS di KPU Kota Jambi dan
Operator minimal lulusan SMA/SMK, mampu mengoperasikan komputer dan
tidak memiliki hubungan dengan pasangan calon/tim kampanye partai politik.
Jumlah operator SITUNG di KPU Kota Jambi sebanyak 3 orang yang di-SK-kan.
Jumlah ini masih dinilai kurang sehingga ada tambahan 18 orang untuk pindai
data dan juga operator.
Sementara kebutuhan teknis aplikasi yaitu laptop dengan spesifikasi dasar
OS minimal Windows 7, Microsoft Excel minimal versi 2007, Browser
disarankan Google Chrome, Scanner, Driver Jtwain dan Akses internet minimal 3
76
Mbps. Adapun jumlah unit komputer di KPU Kota Jambi sudah menggunakan 6
unit laptop. Scanner ada 9 unit (pinjam dari KPU Provinsi Jambi, KPU Kab.
Muaro Jambi, KPU Kab. Batanghari, KPU Tanjabtim dan KPU Tanjabbar). Untuk
jaringan internet kecepatan 20 mbps yang sudah ditingkatkan dari awalnya 10
mbps.
Yang perlu dipedomani dalam penggunaan aplikasi SITUNG adalah tepat
jenis, tepat jumlah dan tepat waktu. Ada tiga jenis penggunaan aplikasi SITUNG
antara lain sebagai alat pindai scan form C1 (TPS), DAA (Kelurahan/Desa), DA1
(Kecamatan), DB1 (Kabupaten/Kota), dan DC1 (Provinsi) untuk Pilgub. SITUNG
juga sebagai entry data form C1, terakhir sebagai penggunaan Aplikasi Excel
Form DAA, DA1, DB1, dan DC1.
Dalam tahap persiapan pra implementasi, telah dilakukan Bimbingan
Teknis SITUNG dan Uji Coba Nasional. Bimtek penggunaan SITUNG Pindai di
bulan April 2018, sementara uji coba nasional sebanyak 3 kali di bulan Mei 2018
dan uji coba sukarela dibuka sampai H-14. Untuk di KPU Kota Jambi, sudah
dianggarkan untuk Bimtek SITUNG sebanyak Rp.20.900.000,-, honor Pokja
sejumlah Rp.53.200.000,- dari total anggaran kegiatan Proses Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Suara sejumlah Rp.401.985.000,-.
Selama pelaksanaannya, aplikasi SITUNG tergolong aman terkendali,
meskipun ada kejadian dimana ada 1 TPS di Kelurahan Cempaka Putih
Kecamatan Jelutung hasilnya 0 di SITUNG sehingga input menjadi tidak 100%.
Sementara yang bisa merubahnya hanya oleh KPU RI (tim helpdesk), sehingga
pihak KPU Kota Jambi harus menghubungi KPU RI untuk melakukan perbaikan.
Ada juga di salah satu TPS di Kelurahan Murni Kecamatan Danau Sipin terdapat
77
kasus C1 KWK yang berhologram di dalam kotak ketika dibuka ternyata tidak
diisi. Namun demikian 2 kejadian ini tidak mempengaruhi secara signifikan
proses penerapan SITUNG.
Pada saat Pleno resmi oleh KPU Kota tentang penghitungan suara Pilkada
Kota Jambi Tahun 2018, diketahui ada selisih tipis antara hitung cepat SITUNG
dengan Pleno Penetapan seperti terlihat pada tabel 4.9 :
Tabel 4.9.
Perbandingan Perolehan Suara Kandidat berdasarkan Hitung Cepat
SITUNG dengan Pleno Penetapan
NOMOR
URUT PASANGAN CALON SITUNG PLENO
1 Drs. H. Abdullah Sani, M.Pd.I
dan Kemas Alfarizi, SE
116.554
(44.27%) 117.435 (44.30%)
2 Dr. H. Syarif Fasha, ME dan
Dr. dr. H. Maulana, MKM
146.704
(55.73%) 147.652 (55,70%)
Sumber: KPU Kota Jambi (2018)
Tabel perbandingan 4.9 menunjukkan bahwa penghitungan berdasarkan
SITUNG cukup akurat karena hanya berbeda tipis dengan hasil resmi Pleno
Penetapan oleh KPU Kota Jambi. Begitu pula dengan data pemilih antara
SITUNG dan Pleno Penetapan oleh KPU Kota Jambi.
Tabel 4.10.
Perbandingan Data Pemilih berdasarkan Data SITUNG
dan Pleno Penetapan
Pemilih
Laki-Laki Perempuan Total
C1
SITUNG
Pleno
KPU
C1
SITUNG
Pleno
KPU
C1
SITUNG
Pleno
KPU
Jumlah
Pemilih DPT 181.212 189.647 187.567 194.719 380.599 384.366
Pengguna
Hak Pilih 123.289 129.390 137.471 143.182 273.704 272. 572
Partisipasi 68.04 % 66,93% 73.29 % 72,07% 71.91 % 69,54%
Sumber: KPU Kota Jambi (2018)
78
Selain akurasi yang cukup tinggi terkait data perolehan suara dan data
pemilih, SITUNG juga memiliki kelebihan adanya kelengkapan data rekapitulasi
hasil hitung cepat SITUNG per kecamatan sementara pada web publikasi tentang
Rekapitulasi Hasil Penetapan justru tidak ditemukan karena belum bisa diakses
dengan keterangan Server Sibuk atau web sedang dikembangkan.
Tabel 4.11. Hasil Hitung Cepat SITUNG Pilwako Jambi 2018 per Kecamatan
KECAMATAN Pemilih Pengguna
Hak Pilih
Partisip
asi
Suara
Sah
Suara
Tidak
Sah
Total
Suara
Pasangan
No. Urut 1
Pasangan
No. Urut 2
Alam Barajo
(TPS 166)
64.144 42.518 66.3% 41.029 954 41.966 17.241
(42%)
23.776
(58.0%)
Danau Sipin
(TPS 106)
28.571 21.578 75.5% 20.328 595 20.923 8.011
(39.5%)
12.247
(60.5%)
Danau Teluk
(TPS 24)
8.349 7.154 85.7% 6.983 166 7.149 2.358
(33.8%)
4.625
(66.2%)
Jambi Selatan
(TPS 114)
36.355 26.723 73.5% 26.135 701 26.727 12.592
(48.8%)
13.216
(51.2%)
Jambi Timur
(TPS 155)
44.337 33.085 74.6% 31.224 1.188 32.512 14.589
(46.57%)
16.753
(53.5%)
Jelutung (TPS
124)
38.990 28.966 74.3% 27.237 888 28.125 12.585
(46.2%)
14.652
(53.8%)
Kota Baru
(TPS 116)
46.457 33.190 71.4% 32.370 813 33.183 13.655
(42.2%)
18.715
(57.8%)
Paal Merah
(TPS 152)
63.646 46.124 72.5% 44.279 1.247 45.926 22.577
(49.6%)
22.194
(50.4%)
Pasar Jambi
(TPS 25)
8.427 5.315 63.1% 5.149 166 5.315 2.335
(45.3%)
2.814
(54.7%)
Pelayangan
(TPS 28)
9.158 7.083 77.3 % 6.874 209 7.083 2.297
(33.4%)
4.583
(66.6%)
Telanaipura
(TPS 93)
32.165 21.968 68.3% 21.445 506 21.849 8.314
(38.8%)
13.129
(61.2%) Sumber: KPU Kota Jambi (2018)
Bandingkan dengan menu Rekapitulasi Hasil Pleno Pilkada Kota Jambi di
website infopemilu, yaitu ditampilkan bahwa pada menu tersebut layanan
dinonaktifkan atau Server sedang sibuk.
79
Gambar 4.7. Tampilan Menu Rekapitulasi Hasil Pilkada Kota Jambi di
website infopemilu
Sumber : Aplikasi SITUNG KPU Kota Jambi (2018)
Sumber : Aplikasi SITUNG KPU Kota Jambi (2018)
Hal yang berbeda ditemui ketika membuka menu Rekapitulasi untuk
semua Pilkada di tingkat Provinsi (Pilgub Sumsel, Bali, Jabar, Jatim, NTB,
Maluku, Lampung, Malut, Kalbar, Kaltim, Jateng, NTT, Papua, Riau, Sulsel,
Sultra dan Sumut). Seluruh data rekapitulasi sudah lengkap per kabupaten dari
form DC1, DB1, DA1 dan DAA. Sangat kontradiktif dibandingkan dengan
Rekapitulasi Pilkada Kabupaten/Kota yang belum bisa diakses karena ditampilkan
pemberitahuan bahwa Server Sedang Sibuk.
125
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dalam
perspektif Actor Network Theory (ANT), maka dapat dirumuskan simpulan
sebagai berikut:
1. Penerapan SITUNG pada Pilkada Kota Jambi Tahun 2018 sudah dijalankan
sesuai dengan tujuannya yaitu sebagai kontrol terhadap penyelenggara pemilu
di tingkat bawah agar tidak melakukan kecurangan berupa manipulasi suara.
Dari perspektif Actor Network Theory (ANT), SITUNG merupakan layanan
publik dalam hal publikasi informasi yang melibatkan gabungan aktor
jaringan yaitu aktor manusia (brainware, operator, staf, komisioner) dan non-
manusia (hardware, software, email, website). Dimensi ANT yang berperan
penting dalam penerapan SITUNG yaitu dimensi Permasalahan/Problem.
Pasca Pemilu 2014, KPU RI menghadapi tantangan untuk menjaga dan
meningkatkan kepercayaan publik seiring dengan permasalahan adanya
peluang kecurangan pada tahap penghitungan suara dan rekapitulasi suara,
sehingga dilakukan pemanfaatan teknologi informasi SITUNG demi
menjalankan proses rekapitulasi suara yang akurat dan transparan.
Adapun penetapan hasil secara resmi dilakukan secara berjenjang melalui
berita acara yang dibuat oleh penyelenggara pemilu di tingkat TPS, PPK,
126
KPU kabupaten, dan KPU provinsi. Dengan demikian hasil penghitungan
yang dilakukan oleh SITUNG tidak digunakan sebagai bahan penetapan hasil
Pilkada. Dari sisi efisiensi, sistem ini bisa dikatakan pemborosan karena
SITUNG hanya sebagai pembanding bagi proses penghitungan manual yang
masih lebih diutamakan. Akan tetapi dari sisi efektifitas cukup meyakinkan.
Pada saat pleno resmi oleh KPU Kota Jambi tentang penghitungan suara
Pilkada Tahun 2018, diketahui ada selisih tipis antara hitung cepat SITUNG
dengan pleno penetapan sekitar selisih kurang 0,03%. Dengan demikian dari
sisi efektifitas, penghitungan berdasarkan SITUNG cukup akurat karena
hanya berbeda tipis dengan hasil resmi Pleno Penetapan oleh KPU Kota
Jambi.
2. Implikasi penerapan SITUNG terhadap kinerja KPU Kota Jambi dan tata
kelola Pemilu menunjukkan gejala yang positif dimana penghitungan suara
Pilkada menjadi lebih akurat, cepat dan mudah diakses publik dengan
penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi memang menjadi
kebutuhan saat ini yang bisa diterima oleh masyarakat. Dimensi ANT yang
berperan penting dalam konteks implikasi penerapan SITUNG yaitu dimensi
Penerimaan Sosial dan Membangun Aliansi. Berbagai pihak pemangku
kepentingan seperti Bawaslu, Peserta Pilkada, Tim Pemenangan Kandidat,
LSM Pemilu, NGO, dan juga partai politik mendukung penerapan SITUNG
yang memandangnya sebagai instrumen pendukung pemilu yang mesti
dijamin pelembagaan dan keberlanjutannya.
127
6.2. Saran
Berangkat dari simpulan tersebut di atas, maka melalui penelitian ini dapat
direkomendasikan beberapa langkah yang bisa dilakukan KPU yaitu:
6.2.1 Saran Akademik
Penerapan aplikasi Situng merupakan gebrakan baru dalam sistem Pilkada
untuk mewujudkan keterbukaan informasi dan mendukung good
governance, akan tetapi realitas dari aplikasi Situng ini cenderung boros,
malah tidak efisien dan tidak efektif, oleh karena itu perlu diteliti lebih
lanjut bagaimana efektifitas dan efisiensi dari aplikasi Situng ini serta
pengaruh atau dampak aplikasi Situng terhadap kebutuhan masyarakat akan
informasi Pilkada ini, khususnya terkait hasil penghitungan suara.
6.2.2 Saran Praktis/Kongkrit
1. KPU penting untuk membuat peraturan mengenai tata kelola IT sebagai
kerangka legal yang komprehensif untuk pengelolaan pemilu mendatang
dengan melibatkan banyak pihak, seperti pemerintah, DPR dan terutama
publik. KPU juga perlu untuk terus meningkatkan kerjasama dengan pihak
lain terkait penguatan tata kelola IT. Pembentukan kerja sama adalah
adanya kerangka hukum yang legal, sehingga tidak membuat kerja sama
dengan kemitraan yang tidak profesional.
2. KPU perlu melakukan audit teknologi atas sistem informasi yang
dimilikinya sejauh ini termasuk SITUNG. Selain mengaudit jaringan,
sistem IT dan tata kelolanya, KPU juga perlu mengaudit orang-orang yang
bekerja di dalamnya. KPU harus mempunyai Standar Operating
128
Procedure (SOP) dalam tata kelola IT SITUNG untuk Pemilu yang
seharusnya bisa dimanfaatkan dan harus ditaati.
3. Selain SOP online (tata kelola IT SITUNG), KPU juga perlu
menyempurnakan SOP offline (praktik penghitungan dan rekapitulasi
suara) baik menyangkut proses penghitungan di TPS, maupun proses
rekapitulasi dari TPS ke KPU Kabupaten/Kota mengingat penghitungan
manual tetap menjadi yang utama untuk ditingkatkan akurasi dan
keterbukaan dalam prosesnya.
129
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Akadun. (2009). Teknologi Informasi Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Alvares, M. R, Hall, T.E & Hyde, S.D. (2008). Election Fraud: Detecting and
Deterring Electoral Manipulation. Washington: Brooking Institution
Press.
Amsyah, Zulkifli. (2005). Manajemen Sistem Informasi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Suatu Penelitian: Pendekatan Praktek.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Creswell, John W. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches. Newbury Park: Sage Publications.
Dwiyanto, Agus, dkk. (2008). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Grindle, Merilee S. (1980). Politics and Policy Implementation in The Trhird
World. New Jersey: Princeton University Press.
Huntington, Samuel P dan Joan Nelson. (1990). Partisipasi Politik di Negara
Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta.
Indrajit, Richardus Eko. (2005). Government in Action. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
IDEA, International. (2000). Penilaian Demokratisasi di Indonesia. Jakarta:
International IDEA.
Jalaluddin R. (2009). Metode Studi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jones, Charles O. (1994). Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy).
Terjemahan: Ricky Istamto. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kartasasmita, Ginanjar. (1996). Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: PT. Pustaka CIDESINDO.
Latour, Bruno. (1987). Science in action: How to follow scientists and engineers
through society. Milton Keynes: Open University Press.
Latour, Bruno. (1999). Pandora's Hope—Essays on the Reality of Science
Studies. Cambridge: Harvard University Press.
Latour, Bruno. (2005). Reassembling the Social – An Introduction to Actor-
Network-Theory. Oxford: Oxford University Press.
130
Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
Penerbit ANDI.
Mazmanian, Daniel H., dan Paul A. Sabatier. 1983. Implementation and Public
Policy, New York : HarperCollins
Mustopadidjaja. (2003). Dimensi–Dimensi Pokok Sistem Administrasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Nazir, Moh. (1999). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nugroho, Eko. (2008). Sistem Informasi Manajemen: Konsep, Aplikasi dan
Perkembangan. Yogyakarta: Penerbit Andi.
O'Brien, J. & Marakas, G.M. (2009). Introduction to Information Systems.(5th
edition). New York, NY : McGraw - Hill Irwin.
Pratikno. (2004). Mengelola Dinamika Politik dan Sumberdaya Daerah.
Yogyakarta: Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM.
Robert Heeks (2003). “Most E-Government-for-Development Projects Fail : How
Can Risk be Reduced?”. iGovernment Working Paper Series. Manchester :
Institute for Development Policy and Management.
Ruslan R. (2004). Metode Studi Public Relations. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Sarantakos, Sotirios. (1993). Social Research. Melbourne: MacMillan.
Satzinger, J.W., Jackson, R.B. & Burd, S.D. (2005). Object Oriented Analysis &
Design with the Unified Process. United States of America: Cengage
Learning, Inc.
Scott, R.W. (2001). Institutions and Organizations. Edisi Kedua. California: Sage
Publications.
Sharma, RA. (1982). Organizational Theory and Behaviour. New Delhi: Mc
Graw-Hill Publishing Company Limited.
Soekanto, Soerjono. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grapindo
Persada.
Sorensen, Eva. & Torfing, J. (2007). Theories of Democratic Network
Governance. New York: Palgrave Macmillan.
Steers, Richard M. (1985). Efektivitas Organisasi (Kaidah Perilaku). Jakarta:
Erlangga.
Stoner, A.F. James. (1982). Manajemen, Edisi kedua. Jakarta: Erlangga.
Surbakti, Ramlan, Didik Supriyanto, dan Hasyim Asy‟ari. (2011). Menjaga
Integritas Pemungutan dan Penghitungan Suara. Jakarta: Kemitraan bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan.
131
Surbakti, Ramlan et.al. (2014). Integritas Pemilu 2014 Kajian Pelanggaran,
Kekerasan dan Penyalahgunaan Uang pada Pemilu 2014. Jakarta:
Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan.
Van Meter, Donald dan Carl E. Van Horn. (1974). The Policy Implementation
Process: A Conceptual Framework. Ohio: Ohio State University.
Wahab, Solihin Abdul. (1997). Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara, Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
Wibawa, Samodra. (1994). Kebijakan Publik. Jakarta: Intermedia.
Winardi, J. (2006). Manajemen Perubahan (Management Of Change). Jakarta:
Kencana Media Group.
Winarno Budi. (2002). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta:
MedPress.
Winarno, Wing W. (2006). Sistem Informasi Manajemen. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN.
Wisnu UR, Dicky dan Siti Nurhasanah. (2005). Teori Organisasi, Struktur dan
Desain. Malang: UMM Press.
JURNAL/PROSIDING/BAGIAN DARI BUKU
Alam, Andi Syahrudin dan Muh. Iqbal Sultan. (2016). “Keterbukaan Informasi
Publik Melalui Sistem Penghitungan (SITUNG) Online Hasil Pilkada
Terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat di Kota Palu”.
Jurnal Komunikasi KAREBA, Vol. 5 No.1, hal. 92-103.
Amancik. (2009). “Meneropong Penyelenggaraan Pemilu 2009 di Provinsi
Bengkulu”. Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1.
Callon, M. (1986). Some elements of a sociology of translation: Domestication of
the scallops and the fishermen of St. Brieuc Bay. In J. Law (Ed.), Power,
action and belief: A new sociology of knowledge?. London, Boston, and
Henley: Routledge & Kegan Paul.
Callon, M. (1991). Techno-economic networks and ir-reversibility. In J. Law
(Ed.), A Sociology of Monsters: Essays on Power, Technology and
Domination. London: Routledge.
Callon, M. & J. Law. (1989). “After the individual in society: lessons on
collectivity from science, technology and society”. Canadian Journal of
Sociology, Vol. 22(2): hal. 165-182.
132
Dewi, Ambar Sari. (2013). “Membuat E-government Bekerja di Desa: Analisis
Actor Network Theory terhadap Sistem Informasi Desa dan Gerakan Desa
Membangun”. Jurnal Mandatory, Vol. 10 (2): hal. 89-114.
Fang, Zhiyuan. (2002). “E-Government in Digital Era: Concept, Practise and
Development”. International Journal of the Computer, The internet and
Management Vol. 10 No.2.
Hapsara, Manik. (2013). E-Voting Indonesia: A Safety-Critical-Systems model
towards standard and framework for Indonesia‘s Presidential Election.
International Conference on Information Technology (ICIT) 2013, 12-13
December 2013.
Junaidi, Veri. (2010). “Pelanggaran Sistematis, Terstruktur dan Masif: Suatu
Sebab Pembatalan Kehendak Rakyat dalam Pemilihan Kepala Daerah
Tahun 2010”. Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5.
Kasiyanto. (2016). “Implementasi Kebijakan Kelompok Informasi Masyarakat
(KIM) Daerah Tertinggal di Jawa Timur dalam Penyebarluasan
Informasi”. Jurnal Komunika, Vol. 5 No. 2. BPPKI Surabaya.
Priyatma, J. E., (2011), Understanding Strategy For E-government Development
Using Actor-Network Theory, Proceedings of The 1st International
Conference on Information Systems For Business Competitiveness
(ICISBC) 2011.
Ramadlan, Fajar Shodiq dan Tri Hendra Wahyudi. (2016). “Pembiaran Pada
Potensi Konflik dan Kontestasi Semu Pemilukada Kota Blitar: Analisis
Institusionalisme Pilihan Rasional”. Jurnal Politik Indonesia: Indonesian
Political Science Review, Vol. 1 (2): hal. 136-153.
Sebastin, Ambar P., Rumapea, P., Liando, Daud. (2017). “Profesionalisme KPU
Kabupaten Halmahera Selatan dalam Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2015”. Jurnal
Politico, Vol. 6 No. 1: hal. 43-56.
Syahuri, Taufiqurohman. (2009). “Putusan Mahkamah Konstitusi tentang
Perselisihan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Berdasarkan
Undang-Undang No.24 Tahun 2003”. Jurnal Konstitusi Vol. II, No. 1: hal.
7-19.
TESIS/DISERTASI/PENELITIAN
Triyono, Joko. (2010). Implementasi sistem database terdistribusi dengan metode
Partial Replica: Studi kasus pelaporan hasil penghitungan suara di DPW
PKS DIY. Tesis S2 Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Vann, J. L. (2011). Institutional Dimensions of the Government‟s ―Smart Buyer‖
Problem: Pillars, Carriers, and Organizational Structure in Federal
133
Acquisition Management. Dissertation, Virginia Polytechnic Institute and
State University.
MAKALAH SEMINAR / ARTIKEL
Ervianto, Toni. (2017). Pilkada Serentak 2017 dan Permasalahan Aktualnya.
Kolom Detiknews 25 Januari 2017. Jakarta: Detik.
Haris, Syamsudin. (2005). Mengelola Potensi Konflik Pilkada, Kompas 10 Mei
2005.
Kumorotomo, Wahyudi. (2014). Kegagalan Penerapan E-Government dan
Kegiatan Tidak Produktif dengan Internet, dalam
https://www.researchgate.net/publication/251485069, diakses 20 April
2018.
Priyono, Edi dan Dihan, Fereshti N. (2010). E-Voting: Urgensi Transparansi dan
Akuntabilitas. Seminar Nasional Informatika 2010, UPN ”Veteran”
Yogyakarta, 22 Mei 2010.
Rokhman, Ali. (2011). Prospek dan Tantangan Penerapan e-Voting di Indonesia.
Seminar Nasional Peran Negara dan Masyarakat dalam Pembangunan
Demokrasi dan Masyarakat Madani di Indonesia, 7 Juli 2011. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Surbakti, Ramlan. (2015). Mengapa Indonesia Membutuhkan e-Rekapitulasi dan
Harus Menghindari Pemungutan Suara Secara Elektronik: Diskusi
Pengalaman Internasional dalam Teknologi KePemiluan. Seminar Pemilu
Hotel Morrissey, 5 Februari 2015. Jakarta: Perludem.
SUMBER INTERNET
https://infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/hasil/cepat/t2/jambi/kota_jambi diakses
bulan Juni-Oktober 2018
https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/11475/siaran-pers-no-
220hmkominfo112017-tentang-klarifikasi-sistem-informasi-pada-komisi-
pemilihan-umum-kpu-sebagai-sistem-elektronik-pelayanan-
publik/0/siaran_pers, diakses pada tanggal 8 Juli 2018.
https://kpu.go.id/index.php/post/read/2018/6021/SITUNG-Jaga-Kepercayaan-
Publik-Hingga-Antisipasi-Konflik/kpu-bantenprov.go.id diakses pada
tanggal 15 Juli 2018.
https://beritagar.id/artikel/editorial/kpu-perlu-memutakhirkan-penghitungan-suara
diakses tanggal 20 Juli 2018
134
https://geotimes.co.id/kolom/politik/e-rekap-bukan-e-voting/diakses tanggal 23
Juli 2018.
https://issuu.com/e-mediakalimantan/docs/media_kalimantan_jumat_3_maret_20
17/18 diakses tanggal 18 Juli 2018.
http://rumahpemilu.org/fadli-ramdhanil-penggunaan-teknologi-pemilu-harus-dari-
kebutuhan-penyelenggara-bukan-cuma-dpr/ diakses tanggal 5 Agustus
2018
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180711192003-32-313366/kpu-minta-
jokowi-rp35-m-untuk-penguatan-it-di-pemilu-2019 diakses pada tanggal
20 Juli 2018.
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180630135551-192-310401/cara-
menkominfo-cegah-peretasan-situs-kpu diakses 28 Juli 2018.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180711192003-32-313366/kpu-minta-
jokowi-rp35-m-untuk-penguatan-it-di-pemilu-2019 diakses 5 Agustus
2018.
http://diy.kpu.go.id/web/2017/08/01/teknologi-informasi-dan-komunikasi-
penyelenggaraan-pemilu-bagian-1/ diakses 18 Mei 2018.
Infonawacita.com. 27/01/2017. “KPU Rencana Uji Coba E-Rekap Pada Pilkada
Serentak”, diakses pada 20 Juli 2018.
Kompas.com, "Indonesia Lebih Butuh "E-rekap" daripada "E-
voting". https://nasional.kompas.com/read/2017/03/03/16204361/indonesi
a.lebih.butuh.e-rekap.daripada.e-voting. diakses tanggal 22 Juli 2018.
Mahkamah Konstitusi. 2011. Putusan Nomor 114/PHPU.D-IX/2011.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/.
PERATURAN / KEPUTUSAN / DOKUMEN
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik (PSTE).
135
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.
Peraturan KPU Nomor 22 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum, Sekretariat Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan Sekretariat Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota.
Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2017 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota.
Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pemungutan dan Penghitungan
Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/
KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Propinsi Jambi Nomor:194/Kpts/KPU-
Prov.005/2013.
Materi Bimtek Situng (2018).