PENENTUAN KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA TAMBAK … filebudidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten...

12
Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13) 1 Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013 PENENTUAN KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA TAMBAK BERKELANJUTAN DI KABUPATEN PASURUAN JAWA TIMUR Utojo, Akhmad Mustafa dan Rezki Antoni Suhaimi Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg Sitakka No. 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini memanfaatkan teknologi SIG untuk menentukan lahan yang sesuai bagi pengembangan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Data sekunder yang diperoleh berupa data iklim, peta Rupa Bumi Indonesia kawasan Pasuruan skala 1 : 50.000 dan citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2010. Data primer diperoleh dengan metode survei di lokasi penelitian meliputi pasang surut, kualitas air dan tanah tambak. Penentuan stasiun pengamatan dilakukan secara acak dan sistematik. Setiap lokasi pengambilan contoh ditentukan posisi koordinatnya dengan alat Global Positioning System (GPS). Data lapangan (pasang surut, fisiko-kimia air dan tanah), data citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2010 dan data sekunder yang lain, dianalisis secara spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG). Berdasarkan hasil survei dan analisis kesesuaian lahan di Kabupaten Pasuruan, didapatkan lahan yang sesuai untuk budidaya tambak berkelanjutan seluas 4.819,741 ha. Lahan yang sangat sesuai (kelas 1) untuk budidaya tambak 259,021 ha terdapat di Kecamatan Kraton dan Bangil, sedangkan lahan yang cukup sesuai (kelas 2) 1.503,736 ha dan kurang sesuai (kelas 3) 2.824,932 ha tersebar di Kecamatan Nguling, Lekok, Rejoso, Bugul Kidul, Kraton dan Bangil. Lahan yang tidak sesuai (N) untuk budidaya tambak 232,052 ha sebagian besar terdapat di Kecamatan Bangil dan sebagian kecil terdapat di Kecamatan Rejoso dan Kraton. Kata kunci: budidaya tambak berkelanjutan, Kabupaten Pasuruan, kesesuaian lahan Pengantar Pengembangan kegiatan budidaya tambak yang berkelanjutan di suatu daerah memiliki kondisi lahan yang berbeda dengan daerah lain dalam hal keterpaduan dan keseimbangan ekologis antara ekosistem kawasan pesisir dengan perairan di sekitarnya. Sedangkan aspek budidaya secara keseluruhan meliputi lahan, sistem budidaya, permasalahan budidaya, komoditas yang sesuai untuk dikembangkan dan kebutuhan sarana/prasarana pendukung budidaya dengan kaidah pengelolaan budidaya tambak berwawasan lingkungan serta ditunjang dengan perencanaan tataruang wilayah yang sesuai dengan peruntukannya. Usaha budidaya tambak merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan kawasan pesisir yang dalam pengembangan budidayanya di masa mendatang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir atau petambak dan pendapatan daerah serta perolehan devisa negara. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan program industrialisasi budidaya air payau atau tambak untuk udang dan ikan bandeng di beberapa kabupaten di Pulau Jawa, termasuk Kabupaten Pasuruan di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini memenuhi syarat untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan industrialisasi budidaya tambak antara lain memiliki sumberdaya lahan dan perairan yang sesuai bagi pengembangan komoditas budidaya tambak, memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha perikanan serta memiliki sumberdaya manusia yang mau dan berpotensi untuk mengembangkan kawasan industrialisasi budidaya secara mandiri (Anonim, 2011). Salah satu faktor penting yang menyebabkan rendahnya produktivitas tambak dan tidak berlanjut yaitu kesalahan dalam pemilihan lahan dan komoditas yang dibudidayakan. Kajian tentang kesesuaian lahan budidaya tambak melalui survai, diharapkan dalam pelaksanaan budidayanya dapat diketahui karakteristik biofisika kimia tanah dan air di lokasi sesuai dengan daya dukung lahannya sehingga mampu meminimasi degradasi mutu lingkungan hasil buangan tambak dan kerusakan ekosistem pesisir sebagai habitat sumberdaya perikanan. Kriteria untuk penilaian RA-13

Transcript of PENENTUAN KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA TAMBAK … filebudidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten...

Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13) 1

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

PENENTUAN KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA TAMBAK BERKELANJUTAN DI KABUPATEN PASURUAN JAWA TIMUR

Utojo, Akhmad Mustafa dan Rezki Antoni Suhaimi

Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg Sitakka No. 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan

E-mail: [email protected]

Abstrak Penelitian ini memanfaatkan teknologi SIG untuk menentukan lahan yang sesuai bagi pengembangan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Data sekunder yang diperoleh berupa data iklim, peta Rupa Bumi Indonesia kawasan Pasuruan skala 1 : 50.000 dan citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2010. Data primer diperoleh dengan metode survei di lokasi penelitian meliputi pasang surut, kualitas air dan tanah tambak. Penentuan stasiun pengamatan dilakukan secara acak dan sistematik. Setiap lokasi pengambilan contoh ditentukan posisi koordinatnya dengan alat Global Positioning System (GPS). Data lapangan (pasang surut, fisiko-kimia air dan tanah), data citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2010 dan data sekunder yang lain, dianalisis secara spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG). Berdasarkan hasil survei dan analisis kesesuaian lahan di Kabupaten Pasuruan, didapatkan lahan yang sesuai untuk budidaya tambak berkelanjutan seluas 4.819,741 ha. Lahan yang sangat sesuai (kelas 1) untuk budidaya tambak 259,021 ha terdapat di Kecamatan Kraton dan Bangil, sedangkan lahan yang cukup sesuai (kelas 2) 1.503,736 ha dan kurang sesuai (kelas 3) 2.824,932 ha tersebar di Kecamatan Nguling, Lekok, Rejoso, Bugul Kidul, Kraton dan Bangil. Lahan yang tidak sesuai (N) untuk budidaya tambak 232,052 ha sebagian besar terdapat di Kecamatan Bangil dan sebagian kecil terdapat di Kecamatan Rejoso dan Kraton. Kata kunci: budidaya tambak berkelanjutan, Kabupaten Pasuruan, kesesuaian lahan Pengantar Pengembangan kegiatan budidaya tambak yang berkelanjutan di suatu daerah memiliki kondisi lahan yang berbeda dengan daerah lain dalam hal keterpaduan dan keseimbangan ekologis antara ekosistem kawasan pesisir dengan perairan di sekitarnya. Sedangkan aspek budidaya secara keseluruhan meliputi lahan, sistem budidaya, permasalahan budidaya, komoditas yang sesuai untuk dikembangkan dan kebutuhan sarana/prasarana pendukung budidaya dengan kaidah pengelolaan budidaya tambak berwawasan lingkungan serta ditunjang dengan perencanaan tataruang wilayah yang sesuai dengan peruntukannya. Usaha budidaya tambak merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan kawasan pesisir yang dalam pengembangan budidayanya di masa mendatang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir atau petambak dan pendapatan daerah serta perolehan devisa negara. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan program industrialisasi budidaya air payau atau tambak untuk udang dan ikan bandeng di beberapa kabupaten di Pulau Jawa, termasuk Kabupaten Pasuruan di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini memenuhi syarat untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan industrialisasi budidaya tambak antara lain memiliki sumberdaya lahan dan perairan yang sesuai bagi pengembangan komoditas budidaya tambak, memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha perikanan serta memiliki sumberdaya manusia yang mau dan berpotensi untuk mengembangkan kawasan industrialisasi budidaya secara mandiri (Anonim, 2011). Salah satu faktor penting yang menyebabkan rendahnya produktivitas tambak dan tidak berlanjut yaitu kesalahan dalam pemilihan lahan dan komoditas yang dibudidayakan. Kajian tentang kesesuaian lahan budidaya tambak melalui survai, diharapkan dalam pelaksanaan budidayanya dapat diketahui karakteristik biofisika kimia tanah dan air di lokasi sesuai dengan daya dukung lahannya sehingga mampu meminimasi degradasi mutu lingkungan hasil buangan tambak dan kerusakan ekosistem pesisir sebagai habitat sumberdaya perikanan. Kriteria untuk penilaian

RA-13

2 Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13)

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

kesesuaian lahan budidaya tambak dapat bervariasi dari suatu tempat ke tempat lain, yang penting didasarkan pada faktor topografi dan lahan pesisir, hidrologi, iklim dan vegetasi (Dennis et al., 2004). Usaha budidaya tambak di Kabupaten Pasuruan saat ini mencapai luasan 3.966,9 ha yang tersebar di lima kecamatan (Anonim, 2008). Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan tambak yang tidak terkendali menyebabkan terjadinya degradasi biofisik lingkungan, konflik pemanfaatan dan kewenangan sehingga dapat mengurangi efektivitas pengelolaan. Oleh karena itu dalam pengembangan usaha budidaya tambak harus berhati-hati, terkendali, efektif, ekonomis dan ramah lingkungan. Untuk mendapatkan data dan informasi dengan mudah, cepat, dan akurat tentang kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan, disajikan dalam bentuk peta tematik dengan menggunakan teknologi informasi geografis (SIG) yang diintegrasikan dengan citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dengan memanfaatkan teknologi SIG. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Pasuruan untuk mengalokasikan pengembangan budidaya tambak tersebut sebagai bahan penyusunan rencana tata ruang wilayah. Bahan dan Metode Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pasuruan antara lain di Kecamatan Nguling, Lekok, Rejoso, Bugul Kidul, Kraton, dan Bangil pada bulan Mei dan Juni 2012. Metode Survai di lokasi penelitian tersebut dilakukan dengan memperhatikan morfologi pantai dan keragaman kawasan lokasi budidaya serta vegetasi mangrove sebagai zonasi penyangga. Informasi spasial kesesuaian lahan budidaya tambak yang akurat dan terkini di Kabupaten Pasuruan dengan klasifikasi sampai pada tingkat kategori kelas, di peroleh dari hasil pengolahan data menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu mengintegrasikan data hasil klasifikasi citra ALOS AVNIR 2 tahun 2010 dengan data primer dan data sekunder sebagai berikut: Tahapan Kegiatan Koleksi Data Primer Data primer didapatkan melalui pengamatan langsung di lokasi survei yaitu topografi pesisir dan peubah kualitas tanah (pHF, pHFOX, dan potensial redoks) yang diambil pada kedalaman tanah 0-20 cm dan 20-40 cm. Peubah kualitas tanah hasil analisis laboratorium meliputi tekstur tanah, bahan organik, PO4, N total, Fe, dan Al. Pengukuran pasang surut selama 241 jam dengan interval waktu setiap jam. Pengukuran kualitas air dan pengambilan contoh air dilakukan di laut, muara sungai, sungai dan tambak. Peubah kualitas air yang diukur langsung di lokasi survei yaitu suhu, pH, salinitas, dan oksigen terlarut. Peubah kualitas air hasil analisis laboratorium meliputi NH4, NO2, NO3, PO4, bahan organik total, kekeruhan, dan padatan tersuspensi total mengikuti petunjuk Peubah kualitas air yang dianalisis meliputi NH4, NO2, NO3, PO4, bahan organik total, kekeruhan, dan padatan tersuspensi total mengikuti petunjuk Menon (1973), Parson et al. (1989), dan APHA (2005). Jenis-jenis vegetasi mangrove diidentifikasi di lokasi survei yaitu di pinggir laut dan tambak dengan buku petunjuk Bengen (2004). Setiap titik pengukuran dan pengambilan contoh di lokasi survei ditentukan posisinya dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Jumlah titik pengukuran dan pengambilan contoh di lokasi survei ditentukan berdasarkan luas lokasi, kondisi lokasi, dan tingkat keragaman lokasi. Sebaran titik pengukuran dan pengambilan contoh di lokasi survei disajikan pada Gambar 1.

Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13) 3

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Gambar 1. Peta sebaran titik pengukuran dan pengambilan contoh untuk kesesuaian lahan

budidaya tambak di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Koleksi Data Sekunder Data sekunder didapatkan dari penelusuran laporan tahunan, pustaka hasil penelitian dan pengamatan, data meteorologi dari berbagai instansi terkait, peta jenis tanah skala :250.000, dan peta curah hujan tahunan Provinsi Jawa Timur, peta kelerengan, peta Rupabumi Indonesia skala 1:50.000 dan peta administrasi Kabupaten Pasuruan. Menggunakan data citra ALOS AVNIR-2, 2010 yang terkoreksi secara radiometrik, geometrik, dan teregistrasi. Penajaman citra untuk mendapatkan gambar lokasi penelitian yang baik. Klasifikasi citra satelit dengan menggunakan software SIG. Hasil klasifikasi citra tersebut telah divalidasi melalui survai lapangan yang dilakukan pada bulan Mei dan Juni 2011, kemudian diintegrasikan dengan peta dasar dari peta Rupabumi Indonesia hasil skan dan dijitasi menggunakan program Er Mapper 7.1 serta mengklasifikasi secara terbimbing untuk mendapatkan data/informasi tentang tutupan lahan di lokasi penelitian (Lillesand & Kiefer, 2000). Informasi spasial lain yang didapatkan dari data primer dan sekunder juga diintegrasikan dengan peta penutup/penggunaan lahan Pengolahan Data Data primer, sekunder dan peta penutup/penggunaan lahan yang sudah dikumpulkan, dianalisis secara spasial menggunakan teknologi SIG. Kemudian menginterpolasi pada setiap parameter dalam bentuk layer-layer peta tematik. Mempertimbangkan kriteria kesesuaian lahan budidaya tambak, peta-peta tematik tersebut dioverlay (tumpang susun) pada software dan image analysis dalam ArcView 3.3. Hasil analisis spasial yang didapatkan berupa peta tematik kesesuaian lahan budidaya tambak yang akurat dan terkini di Kabupaten Pasuruan. Hasil dan Pembahasan Kondisi Umum Wilayah dan Infrastruktur Dalam rangka meningkatkan produksi tambak yang maksimal dan kontinyu melalui pengembangan wilayah usaha budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Pasuruan, disarankan untuk menggambungkan hasil evaluasi kesesuaian lahan dengan mangrove di sepanjang kawasan pesisir sebagai “buffer zone” dan di kanan kiri sungai di luar pemukiman sesuai Keppres Nomor 32 Tahun 1990, selain fasilitas pendukung budidaya tambak. Hal ini penting sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi pengguna lahan. Persyaratan wilayah tambak, memiliki kawasan vegetasi mangrove minimum 10 – 20% dari jumlah luasan lahan yang akan dijadikan tambak, ketersediaan saluran irigasi tambak, suplai sumber air yang cukup memadai kualitas dan kuantitasnya serta fasilitas pendukung lainnya (Suyanto dan Mujiman, 2003). Untuk itu telah dilakukan survei kesesuaian lokasi tambak di 6 kecamatan wilayah pesisir Kabupaten Pasuruan di antaranya Kecamatan Nguling, Lekok, Rejoso, Bugul Kidul, Kraton, dan Bangil. Secara administrasi, Kabupaten Pasuruan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang letaknya di pesisir utara Pulau Jawa, sebagai jalur utama perekonomian dari Surabaya ke Malang, Surabaya ke Banyuwangi dan Malang ke Banyuwangi serta Pemerintah Daerahnya terbagi 2 wilayah yaitu

4 Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13)

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Kabupaten dan Kotamadya Pasuruan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.474 km² yang terbagi dalam 24 wilayah kecamatan, 341 desa, 24 kelurahan dan 1.694 pedukuhan. Secara geografis Kabupaten Pasuruan terletak antara 7

o32’34” – 8

o30’20” Lintang Selatan dan 112

o33’55” –

113o30’37” Bujur Timur, dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo

dan Selat Madura, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Malang dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto. Berdasarkan tata guna tanah menunjukkan bahwa wilayah bagian utara terdiri dari dataran rendah pesisir yang tanahnya kurang subur dengan ketinggian tanah 2 – 8 m dari permukaan laut dan wilayah ini membentang dari timur ke barat yaitu dari Kecamatan Nguling, Lekok, Rejoso, Bugul Kidul, Kraton hingga Bangil. Di Kabupaten Pasuruan, selain Laut Jawa terdapat 6 sungai besar yang bermuara di Selat Madura dimanfaatkan sebagai sumber air utama untuk pertambakan di wilayahnya masing-masing (Anonim, 2009). Berdasarkan hasil survai, kawasan hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan tersebar di wilayah pesisir Kecamatan Bangil, Kraton, Rejoso, Lekok dan Nguling serta vegetasi mangrovenya didominasi oleh jenis tinjang (Rhizophora sp.), api-api (Avicennia sp.), dan bogem (Sonneratia sp.). Di wilayah pesisir Desa Penunggul Kecamatan Nguling terdapat kawasan hutan mangrove seluas 105 Ha merupakan hasil reboisasi dan penghijauan yang dilakukan swadaya masyarakat dan dibantu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasuruan dengan keragaman 7 jenis tanaman mangrove antara lain Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Avicennia alba, Avicennia marina, Sonneratia sp., Aviculata sp., dan Nypa fruticans. Wilayah di Kabupaten Pasuruan beriklim tropis, musim hujan terjadi pada bulan Oktober – April dan musim kemarau pada bulan April - Oktober, di antara 2 musim tersebut terdapat musim peralihan sekitar bulan April/Mei dan Oktober/November dan suhu udara di sebagian besar wilayah berkisar 24 - 32

oC. Curah hujan bulanan rata-rata 181 mm per bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan

April (874 mm) dan terendah terjadi pada bulan September (1 mm) (Anonim, 2009). Topografi kawasan tambak di Kabupaten Pasuruan relatif datar, terletak di sepanjang lahan pesisir utara Pulau Jawa yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa dengan karakteristik perairan lautnya tenang, dangkal dan terbuka serta lebih banyak dipengaruhi oleh arus pasang surut. Saat musim hujan airnya relatif keruh dengan salinitas rata-rata dibawah salinitas air laut alami yaitu 30 ppt. Kekeruhan tersebut disebabkan adanya siltasi atau sedimentasi dari hulu sungai yang terbawa aliran sungai-sungai di sekitarnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis kualitas air terdapat bahan-bahan tersuspensi yang sangat tinggi di Muara Sungai Lawean Desa Penunggul Kecamatan Nguling sebesar 254 mg/L dan di Muara Sungai Masangan Desa Raci Kecamatan Bangil 334 mg/L. Kawasan tambak di beberapa desa pada setiap wilayah kecamatan terdapat akses jalan kendaraan roda dua dan empat yang langsung ke jalan poros utama yang menghubungkan Kota Pasuruan dengan daerah-daerah lain di Provinsi Jawa Timur sehingga memudahkan dalam transportasi sarana produksi tambak saat pelaksanaan budidaya dan transportasi udang hasil budidaya saat panen hingga ke pangsa pasar. Pada umumnya saat panen udang, biasanya pengumpul datang ke lokasi tambak langsung membeli ke pembudidayanya, pengumpul tersebut menjual udang ke eksportir di Surabaya, kemudian siap untuk diekspor. Di lokasi survai relatif aman dan terdapat kemudahan dalam mendapatkan tenaga kerja baik kuantitas maupun kualitasnya dalam bidang pertambakan. Lahan Hasil data analisis tekstur tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm dan 20 - 40 cm cukup bervariasi, didominasi oleh lempung liat berpasir dan lempung berpasir (Tabel 2). Fraksi lempung dan liat berasal dari tambak bekas lahan kosong, tegalan atau sawah, dan fraksi pasir berasal dari laut dan tambak bekas mangrove. Menurut Poernomo (1992), tekstur tanah tambak yang baik untuk budidaya udang tradisional yaitu lempung liat berpasir, sedangkan tambak semiintensif dan intensif yaitu lempung liat berpasir dan lempung berpasir. Kualitas Tanah Kisaran nilai pHF tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm yaitu 7,01 – 8,38 dan 20 - 40 cm yaitu 7,01 – 8,69 relatif sama (Tabel 2). Kondisi pH tanah tersebut didapatkan pada lahan tambak lama yang kisaran kemasamannya netral hingga basa. Kisaran nilai pHFOX tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm yaitu 6,30 – 8,39 dan 20 – 40 cm yaitu 6,35 – 8,49. Rendahnya pHFOX tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm dan 20 - 40 cm yaitu 6,30 dan 6,35, disebabkan adanya akumulasi bahan organik dari

Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13) 5

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

sisa-sisa vegetasi mangrove yang terdekomposisi. Selisih nilai pHF dan pHFOX tanah tambak sangat kecil yang berarti lahan tambak di Kabupaten Pasuruan tidak memiliki potensi Tabel 2. Kisaran nilai parameter tekstur dan kualitas tanah di lokasi tambak Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur

Parameter tekstur dan kualitas tanah

Kedalaman

Kisaran nilai

Nilai ideal

1. Tekstur: Pasir (%) Liat (%) Debu (%)

Tekstur:

Pasir (%) Liat (%) Debu (%)

2. pHF pHFOX

3. Redoks potensial (mV) 4. PO4-P (mg/L) 5. Bahan organik (%) 6. Fe (mg/L) 7. Al (mg/L) 8. Pirit (%) 9. N Total (mg/L) 10. SO4 (mg/L)

0 – 20

20 - 40

0 - 20 20 - 40 0 - 20 20 - 40 0 – 20 20 - 40 0 - 20

20 – 40

0 - 20 20 - 40

0 - 20 20 - 40 0 - 20

20 – 40 0 - 20

20 – 40

0 – 20 20 - 40

0 – 20 20 - 40

48 - 76 0 – 28 24 – 52

Lempung, Lempung berdebu, Lempung

berpasir, Pasir berlempung

42 - 70 0 - 30 16 - 54

Lempung, Lempungliat berpasir,

Lempung berpasir, Pasir berlempung 7,01 – 8,38 7,01 – 8,69 6,30 – 8,29 6,35 – 8,49

(-320) – (+255) (-331) – (+193) 0,00 – 192,91 32,01 – 225,79

0,00 – 6,37 0,21 – 7,75 0,0 – 64,0 0,0 – 60,0

0,0 – 181,5

0,0 - 157,5 0,00 – 0,43 0,00 – 1,14

0,01 – 0,40 0,04 – 0,31

0,17 – 4,70 0,15 – 2,57

Lempung liat berpasir: tambak tradisional –semiintensif

*)

Lempung berpasir: tambak intensif

*)

6.5 – 7.0

*)

Minimal plus (+) 50 mV

**)

> 60 mg/L: tambak tradisional , tambak intensif kurang diperlukan ***) 1.7-5.2% baik untuk tambak ****) Tergantung kandungan pirit yang teroksidasi saat kering

*)

Sda

Tergantung konsentrasi sulfat masam yang ada dalam tanah aluvial *) Rasio C:N yang ideal untuk tambak berkisar 8:1-12:1*****) Tergantung konsentrasi sulfat masam yang ada dalam tanah aluvial *)

Sumber: *)=Poernomo (1992) **)=Boyd dalam Widigdo (2003) ***)=Karthik et al.(2005) ****)=Boyd et al. (2002) *****)=Boyd (2008)

6 Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13)

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

kemasaman. Menurut Tarunamulia dan Mustafa (2009), lahan pesisir yang selisih nilai pHF dan pHFOX tanah > 3,5, sebaiknya tidak dibuka dan dikelola untuk tambak, sedangkan lahan pesisir yang selisih nilai pHF dan pHFOX tanah antara 0,5 – 3,5, bisa dibuka dan dikelola untuk tambak dengan syarat lahan tersebut harus diremediasi melalui pengeringan, perendaman, pembilasan dan pengapuran. Lahan peisisr yang selisih nilai pHF dan pHFOX tanah < 0,5, baik dikelola untuk tambak. Nilai oksidasi dan reduksi potensial tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm yaitu (-320) – (+255) mV dan 20 - 40 cm yaitu (-331 ) – (+193) mV. Tanda positif (+) artinya tanah tambak dalam kondisi kering (teroksidasi) dan tanda negatif (-) yaitu tanah tambak dalam kondisi tergenang (tereduksi). Secara alami proses remediasi tanah di lokasi survei masih layak untuk kegiatan budidaya tambak. Variasi nilai oksidasi dan reduksi potensial tanah sesuai dengan letak pengambilan sampel dan pengukuran di lokasi survai. Menurut Noor (2004), kondisi tanah di tambak yang tergenang (anaerob), laju oksidasi dan proses perombakan bahan organik lebih lambat, tetapi memiliki laju pereduksi sulfur dan besi lebih cepat dari pada di tambak yang kering (aerob). Variasi nilai redoks potensial tergantung dari perbedaan tekstur dan banyaknya kandungan bahan organik tanah. Tanah tambak yang bertekstur dominan pasir dalam kondisi aerob, laju oksidasi lebih cepat dari pada yang memiliki banyak kandungan bahan organik. Kondisi tanah tambak yang baik, saat teroksidasi memiliki nilai redoks potensial minimal plus (+) 50 mV dengan nilai pH 6,5 – 8,5 (Boyd dalam Widigdo, 2003). Proses reduksi sulfat tanah terjadi pada kondisi redoks potensial (Eh) = 200 – 300 mV, sedangkan reduksi besi tanah terjadi pada kondisi redoks potensial (Eh) = 180 mV (Noor, 2004). Kandungan Fe dan Al tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm yaitu 0,00 – 64,0 mg/L dan 0,00 –181,5 mg/L, dan di kedalaman 20 - 40 cm yaitu 0,00 – 60,0 mg/L dan 0,00 – 157,5 mg/L. Nilai kandungan Fe dan Al tanah tersebut masih baik dan mendukung kegiatan budidaya tambak. Kandungan Fe dan Al di kedalaman tanah 0 – 20 cm dan 20 – 40 cm yang tinggi, didapatkan di lahan tambak bekas mangrove bukan tanah sulfat masam. Hal ini terbukti bahwa hingga kedalaman tanah 40 cm saat kering, didapatkan kandungan pirit yang relatif rendah yaitu 0,43% dan 1,14%, kandungan sulfatnya juga rendah yaitu 0,17 – 4,70 mg/L dan 0,15 – 2,57 mg/L, tetapi pH tanah tetap tinggi yaitu 7,01 – 8,38 dan 7,01 – 8,69 (Tabel 2). Kandungan fosfat tanah tambak di kedalaman 0 – 20 cm yaitu 0,00 – 192,91 mg/L dan di kedalaman 20 - 40 cm yaitu 32,01 – 225,79 mg/L, tergolong sedang hingga tinggi dan masih baik untuk budidaya tambak tradisional. Di tambak, fosfat termasuk unsur esensial untuk pertumbuhan produktivitas primer dan dapat meningkatkan produksi ikan herbivor (Boyd, 1995). Ketersediaan fosfat tanah > 60 mg/L di tambak, tergolong baik dengan faktor pembatas yang sangat mudah diatasi (Karthik et al., 2005). Untuk budidaya tambak intensif, kandungan fosfat tanah kurang diperlukan karena tambak intensif lebih mengutamakan pakan buatan untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang yang dipelihara. Kandungan bahan organik dan N total tanah di kedalaman 0 – 20 cm dan 20 - 40 cm, masing-masing yaitu 0,00 – 6,37% dan 0,21 – 7,75% serta 0,01 – 0,40 mg/L dan 0,04 – 0,31 mg/L, dinilai masih baik untuk budidaya tambak. Menurut Boyd et al. (2002), kandungan bahan organik tanah 1,7-5,2%, baik untuk budidaya tambak. Umumnya sampel tanah yang diambil dari lokasi tambak lama bekas lahan kosong, tegalan atau sawah dan mangrove, memiliki kandungan bahan organik dan N total rendah. Untuk mengatasinya dengan mengaplikasikan pupuk nitrogen (urea) diharapkan dapat menurunkan rasio C:N tanah dan mempercepat proses penguraian bahan organik. Pemberian pupuk kandang sebagai sumber bahan organik ke tanah tambak dengan fraksi liat tanah > 60% dan bahan organik tanah < cepat dari pada di tambak yang kering (aerob). Variasi nilai redoks potensial 8%, dinilai baik untuk memperbaiki struktur tanah dan mempercepat pertumbuhan pakan alami bandeng dan udang (Boyd, 1995). Hidrologi Sumber Air Sumber air laut dan sungai di Kabupaten Pasuruan cukup menunjang kegiatan budidaya tambak, hanya jarak dan kedalaman tambak berbeda, menyebabkan salinitas air setiap petakan tambak berbeda pula (Tabel 3). Pada umumnya semua unit tambak masih terjangkau pasang surut air laut dengan salinitas air laut yaitu 27,0 – 29,40 ppt dan sungai yaitu 4,21 – 28,23 ppt. Unit tambak di ekosisitem pesisir Kecamatan Nguling, Lekok, Rejoso, Bugul Kidul, Kraton dan Kecamatan Bangil memiliki salinitas 12,75 – 35,87 ppt, sedangkan unit tambak di ekosistem daratan Desa Kalianyar

Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13) 7

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

dan Raci Kecamatan Bangil memiliki salinitas 0,74 - 10,93 ppt. Sumber air utama semua unit tambak di Kabupaten Pasuruan di pasok dari Laut Jawa yang perairannya terbuka, jernih, dangkal, surut terendahnya sekitar 500 – 1.000 m dari garis pantai dan kedalaman slopnya sekitar 10 - 20 m. Pasang Surut Hasil pengukuran langsung dan analisis pasang surut di kawasan tambak Kabupaten Pasuruan terjadi perbedaan pasang surut yang cukup besar dengan kisaran 0 – 290 cm dan tunggang pasangnya 290 cm (Gambar 3). Kondisi pasang surut yang demikian ini cukup mempengaruhi mutu lingkungan perairan budidaya tambak. Elevasi lahan tambak di Kabupaten Pasuruan sekitar 1,5 – 2 m dengan posisi lebih rendah dari rataan pasang tertinggi yaitu 290 cm dan lebih tinggi dari rataan surut terendah yaitu 0 cm. Posisi lahan tambak yang demikian secara gravitasi cukup baik untuk kegiatan budidaya tambak yaitu saat persiapan, tambak dapat dikeringkan dengan tuntas, dan saat pelaksanaan, mudah untuk pergantian air dengan debet air yang cukup. Menurut Poernomo (1992), dalam penerapan budidaya ekstensif dan simiintensif di kawasan intertidal yang pemasukan dan pembuangan airnya dilakukan secara gravitasi pada saat pasang tinggi dan pasang rendah, lokasi yang elevasinya sedang dan dapat diairi oleh rataan pasang tinggi dan dikeringkan pada saat rataan surut rendah merupakan lahan yang ideal bagi pembangunan unit tambak.

Gambar 3. Pasang surut di perairan pesisir Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur

Kualitas Air Nilai salinitas yang didapatkan di lokasi survei yaitu 0,74 – 35,78 ppt (Tabel 3). Variasinya salinitas tambak yang didapatkan, dinilai masih baik sebagai media budidaya dan mendukung kegiatan budidaya tambak. Dengan variasinya salinitas tambak tersebut, komoditas yang dibudidayakan, sebaiknya memiliki kisaran salinitas yang lebar untuk hidup dan tumbuh atau bersifat eurihalin seperti udang windu, udang vaname, ikan bandeng dan rumput laut (Gracillaria sp.). Udang vaname dapat bertahan hidup di air yang bersalinitas 1 – 2 ppt dan air laut bersalinitas 40 ppt (Menz & Blake, 1980). Udang vaname tumbuh optimum pada salinitas 15 – 20 ppt (Bray et al., 1994) dan salinitas 15 – 25 ppt (Menz & Blake, 1980), sedangkan menurut Hernandez et al. (2006), pertumbuhan dan sintasan terbaik udang vaname pada salinitas 33 – 40 ppt. Udang windu dapat bertahan hidup pada salinitas 3 – 45 ppt dengan sintasannya 50% (Cholik dan Poernomo, 1987). Udang windu tumbuh optimum padan salinitas 15 – 25 ppt (Poernomo, 1988) dan ikan bandeng tumbuh optimum pada salinitas 15 – 25 ppt (Ismail et al., 1993). Rumput laut (Gracillaria sp.) mampu menyesuaikan diri pada salinitas tambak 25,5 – 34,5 ppt (De Castro & Guanzon, 1993). Salinitas optimum untuk rumput laut yaitu 15 – 25 ppt (Anonymous, 1991). Nilai suhu yang didapatkan di lokasi survei yaitu 26,76 – 35,78

oC. Tingginya nilai suhu tersebut

didapatkan di tambak tradisional Desa Raci Kecamatan Bangil yang relatif dangkal dan juga waktu pengukurannya sore hari (jam 15.54), namun demikian kisaran nilai suhu tersebut masih tergolong baik dan mendukung kegiatan budidaya tambak. Menurut Poernomo (1992), suhu optimum sebagai persyaratan tambak udang yaitu 29 – 31

oC, kecepatan dan

besarnya konsumsi oksigen meningkat pada suhu yang lebih tinggi serta udang tumbuh cepat pada

8 Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13)

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

suhu 30 – 31oC. Suhu optimum untuk pertumbuhan udang vaname yaitu 25 – 35

oC (Ponce-Palatox et

al., 1997). Nilai pH yang didapatkan di lokasi survei yaitu 7,35 – 9,00. Kisaran nilai pH tambak tersebut umumnya netral hingga alkalis dan masih dalam batas yang layak sebagai media budidaya tambak udang. Tingginya nilai pH tersebut didapatkan di tambak tradisional Desa Kalianyar Kecamatan Bangil yang lama beroperasi dan juga waktu pengukurannya sore hari (jam 15.35). Umumnya tambak Tabel 3. Kisaran nilai parameter kualitas air di lokasi tambak Kabupaten Pasuruan, Jawa

Timur

Parameter kualitas air

Satuan

Kisaran nilai

Nilai ideal

1. Salinitas: - laut

- sungai - tambak

2. Suhu air 3. pH 4. Oksigen terlarut 5. NH3-N 6. NO2-N 7. NO3-N 8. PO4-P 9. Padatan tersuspensi total (Total suspended solute) 10. Bahan Organik Total (Total organic matter) 11. Fe

ppt ppt ppt oC

mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L

mg/L

mg/L mg/L

27,00 – 29,40 4,21 – 28,23 0,74 - 35,87 26,76 – 35,78 7,35 – 9,00 4,13 – 12,70 0,0778 – 3,6713 <0,0010 – 0,1688 <0,0010 – 4,4785 <0,0021 – 1,7285 1 - 334 9,80 – 85,86 <0,0008 – 0,0118

30 – 35

*)

10 - 20 *)

15 – 25*)

29 – 31*)

7,0 – 8,5**)

4 – 7*)

0,30**)

0.25*)

0,008**)

0,015

**)

< 25

***)

29,50

*)

0,01****)

Sumber (Resources): *) = Poernomo (1992) **) = Kementrian Kependudukan dan Lingkungan Hidup (2004) (Ministry of Demogravy and Live Environment (2004) ***) = Alabaster dan Lioyd (1982) dalam Effendi (2003) ****) = Poernomo (1988) yang sudah lama beroperasi, pHnya alkalis yaitu 7,5 – 8,5, sedangkan tambak baru atau di kawasan bakau yang belum direklamasi, pHnya sangat rendah yaitu dibawah 5. Nilai pH rendah menyebabkan udang menjadi kropos dan selalu lembek, sebaliknya pH yang tinggi menyebabkan peningkatan kadar ammonia yang membahayakan udang. Nilai pH optimum sebagai persyaratan mutu air bagi tambak udang berkisar 8,0 – 8,5 (Poernomo, 1988 dan 1992). Kandungan oksigen yang terlarut di lokasi survei yaitu 4,13 – 12,70 mg/L dan masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Tingginya nilai tersebut, didapatkan di tambak-tambak dangkal tradisional Desa Pulokerto Kecamatan Kraton dan Desa Kalianyar Kecamatan Bangil yang banyak lumut dan kelekap serta waktu pengukurannya sore hari (jam 16.33). Tingginya oksigen tersebut diduga dari hasil proses fotosintesis tanaman air yang berklorofil. Udang windu dapat tumbuh normal dengan kandungan oksigen terlarut 3 – 10 mg/L dan batas optimumnya 4 – 7 mg/L. Menurut Hopkins et al. (1991), kandungan oksigen terlarut yang mematikan udang vaname adalah 1 mg/L. Kandungan oksigen terlarut di perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/L dan berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi, 2003). Kandungan amoniak (NH3-N) yang didapatkan di lokasi survei yaitu 0,0778 – 3,6713 mg/L dan masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Kandungan amoniak total (NH3-N) untuk persyaratan mutu air tambak udang yaitu 0,25 mg/L (Poernomo, 1992). Tingginya kandungan amoniak (3,6713 mg/L), didapatkan di tambak tradisional dekat pemukiman Desa Pulokerto Kecamatan Kraton dan diduga berasal dari limbah rumah tangga. Amoniak dalam bentuk molekul (NH3) lebih beracun dari pada yang berbentuk ion (NH4+), daya racun amoniak semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pH, suhu, dan salinitas serta kesadahan air tambak yang rendah. Kandungan amoniak menurun

Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13) 9

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

akibat aktivitas aerasi, pengenceran, nitrifikasi, dan penyerapan oleh plankton yang terdapat di dalam air tambak (Poernomo, 1988). Kandungan nitrit (NO2-N) merupakan produk dari proses nitrifikasi yang beracun terhadap ikan dan udang. Nilai kandungan NO2-N di lokasi survei yaitu < 0,0010 – 0,1688 mg/L. Kisaran nilai tersebut umumnya masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Kandungan NO2-N yang digunakan sebagai persyaratan mutu air tambak udang yaitu 0,25 mg/L (Poernomo, 1992). Tingginya nilai kandungan NO2-N (0,1688 mg/L), didapatkan di tambak tradisional Desa Semare Kecamatan Kraton yang banyak lumut dan kelekapnya. Perairan alami umumnya mengandung NO2-N sekitar 0,001 mg/L dan kandungan NO2-N sebesar 6,4 mg/L, dapat menghambat laju pertumbuhan udang putih, Penaeus indicus sebanyak 50% (Poernomo, 1988). Kandungan nitrat (NO3-N) merupakan produk akhir dari proses nitrifikasi sebagai sumber unsur N esensial untuk pertumbuhan alga dan tanaman air. Nilai kandungan NO3-N di lokasi survai yaitu < 0,0010 – 4,4785 mg/L. Kisaran nilai tersebut masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Tingginya kandungan NO3-N (4,4785 mg/L), didapatkan di tambak tradisional Desa Patuguran Kecamatan Rejoso yang banyak lumut dan kelekapnya. Nitrat anorganik sangat diperlukan untuk penerapan tambak tradisional, tetapi dalam penerapan tambak intensif, kandungan nitrat kurang diperlukan karena adanya eutrofikasi, akan menurunkan kualitas air tambak. Kandungan fosfat (PO4-P) ini umumnya dalam bentuk anorganik sebagai sumber unsur P esensial untuk pertumbuhan tanaman air, kelekap, plankton, dan lumut di tambak. Kandungan PO4-P di lokasi survai yaitu < 0,0021 – 1,7285 mg/L. Kisaran nilai tersebut masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Tingginya nilai tersebut (1,7285 mg/L), juga didapatkan di tambak tradisional Desa Kalianyar Kecamatan Bangil yang banyak tanaman air, lumut dan plankton. Kandungan fosfat di perairan alami yaitu 0,005 – 0,020 mg/L, sedangkan di air tanah biasanya sekitar 0,02 mg/L (Effendi, 2003). Kandungan fosfat di perairan alami jarang yang melebihi dari 1 mg/L (Boyd, 1988). Kandungan bahan organik total di lokasi survai yaitu 9,80 – 85,86 mg/L dan padatan tersuspensi total yaitu 1 – 167 mg/L. Padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan, semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga semakin tinggi. Bahan-bahan tersuspensi di perairan alami tidak bersifat toksik, jika berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang mengganggu proses fotosintesis dan pernafasan organisme akuatik (Effendi, 2003). Kisaran nilai kandungan bahan organik dan padatan tersuspensi total yang didapatkan masih baik untuk kegiatan budidaya tambak. Menurut Reid (1961), kandungan bahan organik total air di atas 26 mg/L, tergolong subur. Kondisi tersebut baik untuk penerapan kegiatan tambak tradisional, sedangkan untuk kegiatan tambak intensif dapat menurunkan kualitas air. Kandungan besi (Fe) yang didapatkan di lokasi survai yaitu < 0,0008 – 0,0118 mg/L dan relatif kecil serta larut dalam air berbentuk ion besi fero (Fe2

+). Kisaran nilai ion tersebut masih baik untuk

kegiatan budidaya tambak. Menurut Effendi (2003), kandungan besi fero berperan sebagai penyusun sitokrom dan klorofil serta berperan dalam sistem enzim dan transfer elektron pada proses fotosintesis tanaman akuatik, klekap, lumut dan plankton, termasuk rumput laut (Gracillaria sp.). Namun demikian, kandungan besi fero dalam air yang berlebihan dapat menghambat fiksasi unsur lainnya. Pertambakan yang terutama menggunakan sumber air dari air tanah umumnya memiliki kandungan besi fero yang cukup tinggi. Untuk mengurangi kandungan besi fero tersebut, sebelum air tanah dimasukkan ke dalam petakan tambak, terlebih dahulu dimasukkan ke dalam bak reservoir yang diaerasi. Umumnya kandungan besi fero di perairan alami berkisar 0,05 – 0,20 mg/L. Batas nilai kandungan besi fero (Fe

2+) yang aman sebagai media budidaya tambak udang yaitu 0,03 mg/L

dengan optimumnya 0,01 mg/L (Poernomo, 1988). Lahan Pengembangan Budidaya Tambak Hasil analisis spasial kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Pasuruan menggunakan SIG, disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil tersebut, didapatkan lahan tambak seluas 4.819,741 ha. Lahan yang sangat sesuai (kelas 1) untuk budidaya tambak 259,021 ha terdapat di Kecamatan Kraton dan Bangil, sedangkan lahan yang cukup sesuai (kelas 2) 1.503,736 ha dan kurang sesuai (kelas 3) 2.824,932 ha tersebar di Kecamatan Nguling, Lekok, Rejoso, Bugul Kidul, Kraton dan Bangil. Lahan yang tidak sesuai (N) untuk budidaya tambak 232,052 ha sebagian besar terdapat di Kecamatan Bangil dan sebagian kecil terdapat di Kecamatan Rejoso dan Kraton.

10 Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13)

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Lahan yang sangat sesuai, untuk kegiatan budidaya udang sistem semiintensif dan intensif, yang cukup sesuai, untuk kegiatan budidaya udang (monokultur) atau udang bersama bandeng (polikultur) secara tradisional plus, dan yang kurang sesuai, untuk kegiatan budidaya bandeng (monokultur) atau bandeng bersama rumput laut (polikultur) secara tradisional.

Gambar 3. Peta kesesuaian lahan budidaya tambak di Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Lebar jalur hijau di sepanjang pantai Kabupaten Pasuruan yang harus diaplikasikan minimal 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah setempat (2,9 m) yang diukur dari garis pantai saat air surut terendah yaitu 377 m dan lebar jalur hijau di tepi sungai minimal berjarak 100 m dari kiri dan kanan sungai besar serta 50 m dari kiri dan kanan sungai kecil yang berada di luar pemukiman sesuai Keppres Nomor 32 Tahun 1990. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis spasial, kesesuaian lahan budidaya tambak berkelanjutan di Kabupaten Pasuruan, didapatkan seluas 4.819,741 ha. Lahan yang sangat sesuai (kelas 1) untuk budidaya tambak 259,021 ha terdapat di Kecamatan Kraton dan Bangil, sedangkan lahan yang cukup sesuai (kelas 2) 1.503,736 ha dan kurang sesuai (kelas 3) 2.824,932 ha tersebar di Kecamatan Nguling, Lekok, Rejoso, Bugul Kidul, Kraton dan Bangil. Lahan yang tidak sesuai (N) untuk budidaya tambak 232,052 ha sebagian besar terdapat di Kecamatan Bangil dan sebagian kecil terdapat di Kecamatan Rejoso dan Kraton. Daftar Pustaka

Anonymous. 1991. Mariculture of seaweeds. In: Shokita, S., Kakazu, K., Tomori, A. and Toma, T. (Eds.), Aquaculture in Tropical Areas. Midori Shobo Co., Ltd., Tokyo. p. 31-95.

Anonim. 2008. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP – SKPD) Tahun

2008. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasuruan, 28 hlm. Anonim. 2009. Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2009. Kerjasama Badan Pusat Statistik

Kabupaten Pasuruan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasuruan, 198 hlm. Anonim. 2011. Budidaya Air Payau. http://www.pasuruankab.go.id/potensi-46-budidaya-air-

payau.html. [Diakses 25/11/2012]. APHA (American Public Health Association). 2005. Standart Methods for Examinition of Water and

Wastewater. APHA-AWWA-WEF, Washington, DC. 1,185 pp. Bengen, D.G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat

Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 59 hlm.

Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13) 11

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn University

Agricultural Experiment Station, Alabama, USA, 359 pp. Boyd, C.E. 1995. Bottom Soil, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman and Hall, New York, 46

pp. Boyd, C.E., Wood, C.W., and Thunjai, T. 2002. Aquaculture Pond Bottom Soil Quality Management.

Oregon State University. Corvallis, Oregon, 41 pp. Boyd, C.E. 2008. Pond bottom soil analysis. Global Aquaculture Advocate September/October, p. 91-

92. Bray, W.A., A.L. Lawrence, and J.R. Leung-Trujillo. 1994. The effect of salinity on growth and survival

of Penaeus vannamei with observations on the interaction of IHHN virus and salinity. Aquaculture. 122: 133-146.

Cholik, F. dan A. Poernomo. 1987. Pengelolaan mutu air tambak untuk budidaya udang intensif.

Seminar “Aeration” di Medan, Jakarta, Surabaya, dan Ujung Pandang, 45 hlm. De Castro, T.R. and N.G. Guanzon. 1993. Growth of Gracillaria sp. (Gracillariales, Rhodophyta) in

brackishwater ponds at different stocking densities. The Israeli Journal of Aquaculture-Bamidgeh. 45: 89-94.

Dennis, M., T. Tammy, K. Baldwin and F. Kevin. 2004. Aquaculture development potential in Arizona:

a GIS-based approach. World Aquaculture 34(4):32-35. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.

Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 258 hlm. Hernandez, M.R., L.F.R. Buckle, E. Palacios, and B.S. Baron. 2006. Preferential behavior of white

shrimp Litopenaeus vannamei (Boone, 1931) by progressive temperature- salinity simultaneous interaction. Journal of Thermal Biology, 31: 565-572.

Hopkins, J.S., A.D. Stokes, C.L. Browdy, and P.A. Sandifer. 1991. The relationship between feeding

rate, padlle wheel rate and expected dawn dissolved oxygen in intensive shrimp ponds. Aquacultural Engineering, 10:281-290.

Ismail, A., A. Poernomo, P. Sunyoto, Wedjatmiko, Dharmadi, dan R.A.I. Budiman. 1993. Pedoman

Teknis Usaha Pembesaran Ikan Bandeng di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta.

Karthik, M., J. Suri, N. Saharan, and R.S. Biradar. 2005. Brackhiswater aquaculture site selection in

Palghar Taluk, Thane District of Maharashtra, India, using the techniques of remote sensing and Geographical Information System. Aquacultural Engineering, 32:285-302.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). 2004. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan

Lingkungan Hidup, No. 51 tahun 2004, tanggal 8 April 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, 11 hlm.

Lillesand, T.M. & Kiefer, R.W. 2000. Remote Sensing and Image Interpretation. Fourth Edition. John

Wiley & Sons. New York, USA, 736 pp. Menon, R.G. 1973. Soil and Water Analysis: A Laboratory Manual for the Analysis of Soil and Water.

Proyek Survey O.K.T. Sumatera Selatan, Palembang, 190 pp. Menz, A. and B.F. Blake. 1980. Experiments on the growth of Penaeus vannamei Boone. Journal of

Experimental Marine Biology and Ecology, 48: 99-111.

12 Semnaskan_UGM/Rekayasa Budidaya A (RA-13)

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Noor, M. 2004. Lahan Rawa. Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. Edisi ke-1, cetakan 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 229 hlm.

Parsons, T.R., Maita, Y., and Lalli, C.M. 1989. A Manual of Chemical and Biological Methods for

Seawater Analysis. Pergamon Press, Oxford, 173 pp. Poernomo, A. 1988. Pembuatan Tambak di Indonesia. Seri Pengembangan No. 7, 1988.

Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai, Maros, 30 hlm.

Poernomo, A. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan, CRIFI Pub., 40 hlm. Ponce-Palatox, J., C.A. Martinez-Palacios, and L.G. Ross. 1997. The effect of salinity and

temperature on the growth and survival rates of juvenile white shrimp, Penaeus vannamei, Boone, 1931. Aquaculture, 157:107-115.

Reid, G.K. 1961. Ecology Inland Water Estuaries. Rein Hald Published Co. New York, 37 pp. Suyanto, R.S. dan Mudjiman, A. 2003. Budidaya udang windu. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta,

213 hlm. Tarunamulia dan A. Mustafa. 2009. Evaluasi rinci karakteristik dan tingkat kesesuaian lahan tambak

di Kecamatan Balusu Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Riset Akuakultur. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 3(4):425-438.

Widigdo, B. 2003. Permasalahan dalam budidaya udang dan solusinya. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 10(1):18-23. Tanya Jawab Penanya : Edison Saade Pertanyaan : Sampai sejauh mana suatu lahan dikatakan layak atau sesuai untuk budidaya,

sementara beberapa parameter belum menunjukkan bahwa lahan tersebut belum layak (sesuai teori)?

Jawaban : Tergantung pengaturan tata ruang oleh stakeholder. Lahan yang diteliti dikatakan

sesuai karena sudah diterapkan dan hasilnya cocok, jadi bukan hanya sesuai dengan teori-teori yang ada tetapi sesuai dengan kondisi lapangan.