PENELITIAN TESIS
-
Upload
glx-chandra-gaul -
Category
Documents
-
view
19 -
download
0
Transcript of PENELITIAN TESIS
PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN BIASA DAN
RINGAN DI LUAR SISTEM PERADILAN PIDANA (STUDI KASUS
PADA MASYARAKAT KABUPATEN BENGKULU UTARA)
A. Latar Belakang Penelitian
Tindak pidana dalam istilah hukum pidana disebut kejahatan. Dalam
teori pemidanaan (teori absulut), dirumuskan "setiap kejahatan harus berakibat
dijatuhkan pidana kepada pelanggar". ' Teori ini mengarahkan kepada proses
peradilan melalui sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana merupakan
upaya penegakan hukum secara formal.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 2
dirumuskan bahwa: "ketentuan pidana berlaku bagi semua pelaku tindak
pidana". Rumusan tersebut diperkuat oleh teori pertanggung jawaban pidana
(criminal liability), "barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam
dengan pidana".
Berdasarkan teori absulit di atas, penyelesaian tindak pidana harus
melalui sistem peradilan pidana. Karena tindak pidana merupakan kejahatan.
Teori pemidanaan seperti teori absulut/teori pembalasan mengandung arti
perbuatan pidana akan dijatuhi hukuman bagi pelakunya sesuai dengan
perbuatannya. Teori ini lazim disebut dengan teori klasik, dalam istilah hukum
pidana islam disebut dengan teori qishash/ pembalasan. 1
1 . Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana. 1994 Jakarta. Renika Cipta, Hal 31. : 2 . Abdurrahman, Asas-asas Hukum Islam, 1993, Jakarta, Gramedia, Hal 24.
Menurut R. Abdoel Djamali dalam penerapan hukuman ada empat asas
yang perlu diperhatikan:
1. Asas tentorial (tentorial beginsel). Ketentuan asas ini tercantum dalam Pasal 2 KUHP yang dirumuskan bahwa, ketentuan pidana dalam Undang- undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di dalam wilayah Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di dalam wilayah Indonesia melakukan tindak pidana.
2. Asas Nasionalitas Aktif (Actief nasionalitiet beginsel). Artinya, aturan pidana Indonesia tujuannya untuk mengatur kepentingan umum (nasinal),
3. AsasNasional Pasif (Pasiefnasionalitiet beginsel). Asas ini juga disebut "asas perlindungan", bertujuan melindungi kepentingan terhadap tindakan baik warga negara itu sendiri, maupun orang asing yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia.
4. Asas Universal (universaliteit beginsel) asas Universalitas melindungi kepentingan hubungan antar negara tanpa melihat kewarganegaraan pelakunya.
Asas tersebut di atas, menjadi dasar berlakunya hukum pidana terhadap
semua penduduk di seluruh Indonesia, termasuk masyarakat di kabupaten
Bengkulu Utara. Berdasarkan teori asas di atas, sistem peradilan pidana harus
menjadi pilihan (prioritas) utama dalam penyelesaian tindak pidana.
Namun, fenomena yang hidup dan berkembang selama ini di lingkungan
masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara (terutama masyarakat perdesaan)
menyelesaikan tindak pidana penganiayaan biasa dan ringan dengan cara
bermusyawarah antara pelaku, korban, tokoh masyarakat dan kepala desa.
Penyelesaian tindak pidana dengan bermusyawarah seperti yang dilakukan
oleh masyarakat Kabupaten bengkulu Utara, nampaknya sejalan dengan fungsi
hukum yaitu Pengawasan/pengendalian sosial. Penyelesaian sengketa dan
rekayasa sosial.2
23 Abdoel Djamli, Asas-asas Hukum Pidana, 1993, Renika Cipta. Jakarta, Hal 166.
Dengan demikian tujuan utama penyelesaian tindak pidana renganiayaan
biasa dan ringan melalui sistem dan bentuk apa pun adalah -"tuk mengakhiri
perselisihan.
Fenomena yang hidup dan berkembang di kabupaten Bengkulu Utara
penyelesaian tindak pidana penganiayaan biasa dan ringan lebih -ergutamakan
bermusyawarah di antara pelaku, korban, tokoh masyarakat, ZIP. ^epala desa
dengan tujuan untuk berdamai.
Masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara melakukan musyawarah untuk
menyelesaikan perkara dengan didukung oleh semua pihak, yakni masyarakat,
korban/keluarganya, pelaku/keluarganya, kepala desa. dan termasuk pihak
kepolisian. Pada umumnya masyarakat menganjurkan kepada pihak yang
berperkara, untuk tidak melaporkan kasusnya ke pihak kepolisian dan
melakukan musyawarah untuk berdamai. Anjuran masyarakat ini merupakan
petunjuk yang harus dituruti/ditaati oleh orang yang berperkara.
Memperhatikan hal tersebut di atas bahwa terjadinya musyawarah
merupakan dorongan dan partisipasi masyarakat. Bila dilihat partisipasi
masyarakat terjadi fenomena hukum, ada dua bentuk tegaknya hukum dengan
menyelesaikan tindak pidana melalui sistem peradilan pidana. Kedua,
partisipasi dalam bentuk negatif. Masyarakat memberikan dukungan kepada
korban dan pelaku tindak pidana untuk tidak melaporkan kasusnya kepada
pihak kepolisian.
Toliransi dan partisipasi terhadap "sesuatu" memang dapat memberi
dampak. Dampak tersebut sangat tergantung dengan fenomena yang dihadapj
"Toleransi sosial tenhadap gangguan-gangguan, merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan kurangnya partisipasi masyarakat dalam menanggulangi
gangguan tersebut".
Bila dicermati ada relevansinya pendapat Soekanto ini dijadikan dasar
untuk mengatakan bahwa partisipasi dan toleransi masyarakat terhadap \orban
tindak pidana untuk tidak melaporkan kasusnya ke pihak kepolisian, dan
menyelesaikannya dengan jalan musyawarah. Karena dalam musyawarah
partisipasi masyarakat dapat dikatakan "dominan," sebab dengan dorongan
dan nasihat masyarakat maka penyelesaian tindak pidana diselesaikan tidak
melalui sistem peradilan pidana.
Menurut Soerjono Soekanto adanya toleransi dan partisipasi -
nasyarakat disebabkan oleh hal-hal:
1. Daya jangkau perundang-undangan yang terlalu terbatas dan kurang dapat mengikuti perkembangan pola perilaku masyarakat.
2. Kurangnya kemampuan petugas penegakan hukum, karena:a. Kurangnya jumlah petugas.b. Kurangnya petugas profesional.c. Terlampau terikat pada institusi (sehingga kaku).d. Kurangnya fasilitas untuk melakukan tugas-tugas dengan benar.e. Kurangnya daya pembauran dengan warga masyarakat.
3. Warga Masyarakat yang kurang memahami dan merasakan manfaat ketaatan aturan-aturan hukum.3
Pedapat Soekanto uni menunjukkan bahwa upaya penegakan hukum -
arus didukung oleh semua pihak, termasuk masyarakat Kabupaten Bengkulu I
3 Soerjono soekanto, penegakan hukum di indonesia, 1985, jakarta. Ghalia Indonesia, Hal 30.5 ibid. hal. 32
tara. yang pada umumnya "kurang mendukung" penegakan hukum yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Pengungkapan "budaya masyarakat" terhadap hukum, dan faktor-faktor
yang mempengaruhi budaya masyarakat menjadi penting dalam penelitian ini.
Karena itu penelitian ini akan mempelajari dan mengangkat enomena hukum
yang hidup dalam masyarakat.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, bahwa hukum pidana adalah hukum yang
beraku terhadap semua penduduk di seluruh wilayah hukum Indonesia artinya,
Siapa saja yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia, maka secara
hukum pelakunya akan diancam dengan hukuman pidana. namun. keinginan
hukum dan teori-teori pemidanaan itu tidak selamanya dapat diterapkan di
semua wilayah. Kebiasaan, tradisi, dan budaya masyarakat terkadang dapat
mengenyampingkan norma dan aturan yang berlaku.
Perdamaian yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Bengkulu lara
dalam menyelesaikan kasus tindak pidana ikut mempengaruhi efektivitas
hukum nasional. Kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam lingkungan
masyarakat tetap dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Hukum pidana secara teori dan perundang-undangan berlaku bagi semua
penduduk Indonesia, bukanlah menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan
kasus tindak pidana bagi masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara. Kebiasaan
bermusyawarah dan berdamai tetap diutamakan. Hal ini didukung oleh tradisi
keagamaan dan budaya masyarakat yang berusaha untuk menjaga
keseimbangan terhadap lingkungan sekitar. Fenomena ini menimbulkan
pertanyaan penelitian yang perlu dikaji dan dianalisis melaui pendekatan
teoritis dan budaya masyarakat setempat.
Pertanyaan penelitian tersebut dapat dikembangkan melaui perumusan
masalah berikut ini: .
1. Faktor-faktor apa saja yang mendorong masyarakat menempuh jalan
bermusyawarah dalam menyelesaikan tindak pidana penganiayaan biasa
dan ringan ?
2. Apa yang menjadi dasar nagi masyarakat dalam menyelesaikan tindak
pidana di luar sistem peradilan pidana ?
3. Bagaimana pandangan masyarakat dan pihak kepolisian terhadap
penyelesaian kasus tindak pidana di luar sistem peradilan pidana
4. Bagaimana kedudukan kasus tindak pidana yang diselesaikan di luar
sistem peradilan pidana ?
C. Kerangka Pemikiran
Sebagai suatu usaha untuk memahami dan mengkaji ''suatu masalah"
secara cermat dan mendalam, diperlukan metode tertentu. "kerangka
pemikiran'" merupakan bagian metode tersebut. Kerangka pemikiran dapat
membentuk wacana pemikiran terhadap permasalahan yang diangkat dalam
penelitian. Karena itu kerangka pemikiran menjadi bagian yang penting dalam
proposal penelitian.
Pendapat para pakar tentang pidana dan pemidanaan, perilaku
masyaralat dan budaya masyarakat terhadap hukum, serta kendala efektivikasi
hukum dalam masyarakat menjadi bagian yang perlu dikemukakan. Pendapat
para pakar tersebut dijadikan dasar atau teori dalam pembahasan dan analisis
permasalahan.
Dalam perpustakaan hukum pidana, pembicaraan yang berkaitan dengan
tindak pidana selalu menitik - beratkan kepada doktrin-doktrin yang tercantum
dalam perundang-undangan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum pidana
(KUHP), pada Pasal 2 dirumuskan"ketentuan pidana dalam Undang- undang
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang boleh
dihukum (peristiwa pidana).
Pasal 2 KUHP di atas, mengandung arti, semua penduduk atau
masyarakat Indonesia yang berdomisili di wilayah Indonesia (dalam hal ini
masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara), akan dikenakan sanksi pidana,
apabila melakukan tindak pidana.
R. Soesilo menjabarkan Pasal 2 KUHP tersebut kepada dua kategori:1. Pasal ini merupakan luasnya kekuasaan Undang-undang Republik
Indonesia, berlaku kepada siapa dan dimana saja. Disini diletakkan prinsif teritorial.
2. Tiap orang, berarti siapa saja, baik warga negara sendiri, maupun bangsa asing, dengan tidak membedakan kelamin atau agama, kedudukan atau pangkat, yang berbuat peristiwa pidana di Indonesia.
Berkaitan dengan isi dan makna yang terkandung dalam Pasal 2 KUHP
di atas Moeljatno mengemukakan pendapatnya ; Ditinjau dari sudut negara,
adadua kemungkinan pendirian; pertama, perundang-undangan pidana berlaku
bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di wilayah negara, baik dilakukan
oleh warga negara sendiri, maupun oleh warga negara asing (asas tritorial).
Kedua, perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan
pidana yang dilakukan oleh warga negara. dimana saja, juga di luar wilayah
negara (asas personal). Juga dinamakan prinsif nasional yang aktif.
Dari pernyataan Moeljatno di atas, kedua asas yang berkaitan dengan
Pasal 2 KUHP stu sebagai dasar pemidanaan, dasar menjatuhkan hukuman
pidana kepada pelaku tindak pidana, baik berdasarkan asas tritorial maupun
asas personal. Padasisi lain, asas ini menyebutkan "semua perbuatan pidana",
artinya, baik pidana penganiayan biasa, ringan maupun pidana berat (seperti
yang dirumuskan dalam Pasal 351 ayat 1 dan 2, Pasal 354 ayat 2 KUHP),
harus diproses melalui sistem peradilan pidana.
Jika semua tindak pidana diproses melaui pengadilan, maka secara
hukum dan teori, tidak ada permasalahan, atau kesenjangan antara hukum
dalam teori dan hukum dalam praktik. Hukum dapat diterapkan sesuai dengan
teori dan aturan hukumnya. Dalam hal ini disebut hukum berjalan dengan
efektif.
Namun, suatu kenyataan yang harus dihadapi, ada beberapa daerah di
wilayah Indonesia ini yang "tidak dapat" menerapkan aturan-aturan hukum
sebagaimana mestinya. Bila terjadi tindak pidana, maka penyelesaiannya tidak
melaiui jalur hukum (sistem peradilan pidana). Namun, masyarakat setempat
lebih mengutamakan penyelesaian tindak pidana di luar sistem peradilan
pidana dengan bermusyawarah.
Jika terjadi tindak pidana, maka jarang atau bahkan tidak pernah
dilaporkan kepada pihak kepolisian. Masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara
beranggapan, melapor kepada kepolisian adalah melanggar "norma' dalam
masyarakat. Keengganan masyarakat melapor kepada kepolisia, karena hasil
yang diperoleh (nantinya setelah sidang di pengadilan) tidak sesuai dengan
"keinginan dan harapan" masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto "ketidak serasian antara perumusan oleh
pihak yang berwenang dengan perumusan oleh masyarakat, disebut toleransi
sosial terhadap perilaku-perilaku yang ditentukan sebagai tingkah laku
menyeleweng". Bila ada kejadian (tindak pidana), kemudian dilaporkan
kepada pihak yang berwenang, maka pelaporan itulah yang dianggap sebagai
perbuatan yang menyimpang atau bahkan disebut menyeleweng.
Menurut B. Taneko8 "norma-norma, nilai-nilai serta ide-ide yang telah
melembaga, merupakan terkendala bagi terwujudnya perilaku hukum, sebab
norma-norma, nilai-nilai dan ide-ide melembaga itu pun adalah refresisni bagi
pelaku untuk melakukan tindakannya". Berdasarkan pendapat Taneko ini,
norma-norma dan nilai-nilai yang telah melembaga dalam komunitas
masyarakat, keberadaannya dapat mengalahkan aturan-aturan hukum positif,
termasuk hukum pidana.
Kekuatan norma-norma, termasuk di dalamnya norma-norma susila, dan
norma agama, menjadi landasan bagi masyarakat untuk menolak. Atas
penolakan terhadap keinginan hukum ini, menurut Soesilo Sumardjan9.
"merupakan penolakan rakyat terhadap perubahan", dikarenakan beberapa
alasan, antara lain:4
1. Mereka tidak memahaminya.2. Bertentangan dengan nilai-nilai serta norma-norma yang ada.
48. Taneko, Norma Hukum Dalam masyarakat, 1993. Bandung , Alumni, Hal 59.
3. Para anggota masyarakat yang berkepentingan dengan keadaan yang ada (vested interest) cukup untuk menolak perubahan tersebut.
4. Risiko yang terkandung dalam perubahan itu lebih besar dari pada jaminan sosial dan ekonomi yang biasa diusahakan.
Memperhatikan pendapat soemardjan di atas, mengarahkan untuk
melakukan studi hukum dalam masyarakat. Karena itu faktor-faktor yang
mendorong maupun yang menghambat (menjadi kendala) penegakan hukum
dalam masyarakat. Menurut Soleman B. Taneko "apabila hukum dinyatakan
berlaku, maka berarti didorong oleh faktor motif dan gagasan berupa
kepentingan sendiri, tanggapan pengaruh sosial, sensitif terhadap sanksi, dan
kepatuhan. Sedangkan apabila hukum dinyatakan tidak berlaku, maka ada
sejumlah faktor yang turut menghalanginya, antara lain bertentangan dengan
nilai-nilai, norma-norma dan risiko sosial. Bila bertentangan dengan "risiko
sosial", artinya banyak pekerjaan yang terganggu/terhalang. Bagi masyarakat
Kabupaten Arga makmur hal ini menjadi alasan untuk tidak berurusan dengan
pihak pengadilan dalam penyelesaian perkara.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini mengambil bentuk/desain penelitian studi kasus.
Dengan bentuk studi kasus dapat mempelajari dan mendeskripsikan
menggambarkan proses penyelesaian tindak pidana penganiayaan biasa
dan ringan melaiui secara non penal. Menurut Suharmi Arikonto
"didalam studi kasus peneliti mencoba untuk mencermati individu atau
sebuah unit secara mendalam". Metode studi kasus ini melibatkan kita
dalam penyelidikan lebih mendalam dan menyeluruh terhadap objek
penelitian.