PENELITIAN KUANTITATIF

61
PENELITIAN KUANTITATIF, KUALITATIF, DAN PENELITIAN TINDAKAN RANGKUMAN HAKIKAT PENELITIAN KUANTITATIF, KUALITATIF, DAN PENELITIAN TINDAKAN (ACTION RESEARCH) A.PENELITIAN KUANTITATIF Pada hakikatnya setiap penelitian kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial menerapkan filosofi yang disebut deducto hipothetico verifikatif artinya, masalah penelitian dipecahkan dengan bantuan cara berpikir deduktif melalui pengajuan hipotesis yang dideduksi dari teori-teori yang bersifat universal dan umum, sehingga kesimpulan dalam bentuk hipotesis inilah yang akan diverifikasi secara empiris melalui cara berpikir induktif dengan bantuan statistika inferensial. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya. Berdasarkan pertimbangan dangkal demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas. hasil analisis kuantitatif cenderung membuktikan maupun memperkuat teori-teori yang sudah ada. Ciri-ciri penelitian kuantitatif: 1.Asumsi Penelitian kuantitatif memiliki ciri khas berhubungan dengan data numerik dan bersifat obyektif. Fakta atau fenomena yang diamati memiliki realitas obyektif yang bisa diukur. Variabel-variabel penelitian dapat diidentifikasi dan interkorelasi variabel dapat

Transcript of PENELITIAN KUANTITATIF

PENELITIAN KUANTITATIF, KUALITATIF, DAN PENELITIAN TINDAKAN

RANGKUMAN HAKIKAT PENELITIAN KUANTITATIF, KUALITATIF, DAN PENELITIAN TINDAKAN

(ACTION RESEARCH)

A.PENELITIAN KUANTITATIF

Pada hakikatnya setiap penelitian kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial menerapkan filosofi yang disebut deducto hipothetico verifikatif artinya, masalah penelitian dipecahkan dengan bantuan cara berpikir deduktif melalui pengajuan hipotesis yang dideduksi dari teori-teori yang bersifat universal dan umum, sehingga kesimpulan dalam bentuk hipotesis inilah yang akan diverifikasi secara empiris melalui cara berpikir induktif dengan bantuan statistika inferensial.

Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya. Berdasarkan pertimbangan dangkal demikian, kemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas. hasil analisis kuantitatif cenderung membuktikan maupun memperkuat teori-teori yang sudah ada.

Ciri-ciri penelitian kuantitatif:

1.AsumsiPenelitian kuantitatif memiliki ciri khas berhubungan dengan data numerik dan bersifat obyektif. Fakta atau fenomena yang diamati memiliki realitas obyektif yang bisa diukur. Variabel-variabel penelitian dapat diidentifikasi dan interkorelasi variabel dapat diukur. Peneliti kuantitatif menggunakan sisi pandangannya untuk mempelajari subyek yang ia teliti (etik). Keunggulan penelitian kuantitatif terletak pada metodologi yang digunakan.

2.Tujuan penelitianPenelitian kuantitatif memiliki tujuan menjeneralisasi temuan penelitian sehingga dapat digunakan untuk memprediksi situasi yang sama pada populasi lain. Penelitian kuantitatif juga digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antar variabel yang diteliti

3.PendekatanPenelitian kuantitatif dimulai dengan teori dan hipotesis. Peneliti menggunakan teknik manipulasi dan mengkontrol variabel melalui instrumen formal untuk melihat interaksi kausalitas. Peneliti mencoba mereduksi data menjadi susunan numerik selanjutnya ia melakukan analisis terhadap komponen penelitian (variabel). Penarikan kesimpulan secara deduksi dan menetapkan norma secara konsensus. Bahasa penelitian dikemas dalam bentuk laporan.

4.Peran penelitiDalam penelitian kuantitatif, peneliti secara ideal berlaku sebagai observer subyek penelitian yang tidak terpengaruh dan memihak (obyektif).

5.Pendekatan kuantitatif lebih menitikberatkan pada frekwensi tinggi

6.Kebenaran dari hasil analisis penelitian kuantitatif bersifat nomothetik  dan dapat digenrealisasi.

7.Penelitian kuantitatif menggunakan paradgma positivistik-ilmiah. Segala sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat diukur dan diamati secara obyektif yang mengarah kepada kepastian dan kecermatan (Sunarto, 1993: 3). Karena itu, paradigma ilmiah-positivisme melahirkan berbagai bentuk percobaan, perlakuan, pengukuran dan uji-uji statistik.

8.Penelitian kuantitatif sering bertolak dari teori, sehingga bersifat reduksionis dan verifikatif, yakni hanya membuktikan teori (menerima atau menolak teori).

9.Penelitian kuantitatif khususnya eksperimen, dapat menggambarkan sebab-akibat. Peneliti seringkali tertarik untuk mengetahui: apakah X mengakibatkan Y? atau, sejauh mana X mengakibatkanY? Jika peneliti hanya tertarik untuk mengetahui pengaruh X terhadap Y, penelitian eksperimen akan mengendalikan atau mengontrol berbagai variabel (X1, X2, X3 dan seterusnya) yang diduga akan berpengaruh terhadap Y. Kontrol dilakukan sedemikian rupa bukan hanya melalui teknik-teknik penelitian melainkan juga melalui analisis statistik.http://tumoutou.net/702_05123/maman_kh.htm - _ftn22

10. Mengenai waktu pengumpulan dan analisis data sudah dapat dipastikan. Peneliti dapat menentukan berbagai aturan yang terkait dengan pengumpulan data; jumlah tenaga yang diperlukan; berapa lama pengumpulan data akan dilakukan; dan jenis data yang akan dikumpulkan sesuai hipotesis yang dirumuskan. Hal ini sejalan dengan instrumen yang sudah baku dan sudah dipersiapkan. Demikian halnya model analisis data, uji-uji statistik, dan penyajian data -- termasuk tabel-tabel yang akan dipergunakan -- sudah dapat ditentukan.

B.PENELITIAN KUALITATIF

Penelitian kualitatif atau naturalistic inquiry adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati, demikianlah pendapat Bogdan dan Guba, sementara itu Kirk dam Miller mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.

Fraenkel dan Wallen menyatakan bahwa penelitian yang mengkaji kualitas hubungan, kegiatan, situasi, atau material disebut penelitian kualitatif, dengan penekanan kuat pada deskripsi menyeluruh dalam menggambarkan rincian segala sesuatu yang terjadi pada suatu kegiatan atau situasi tertentu.

Bila diperhatikan, definisi di atas nampaknya hanya menggambarkan sebagian kecil dari suatu konsep penelitian kualitatif yang kompleks dan berdimensi banyak, oleh karena itu untuk pemahaman yang lebih utuh mengenai penelitian kulitatif, maka pengetahuan tentang apa ciri-ciri (karakteristik) penelitian kualitatif akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan padu tentang penelitian kualitatif. Untuk itu berikut ini akan dikemukakan berbagai ciri penelitian kualitatif.

Guba (1985: 39 – 44) mengetengahkan empat belas karakteristik penelitian naturalistik, yaitu :a.Konteks natural (alami), yaitu suatu konteks keutuhan (entity) yang tak akan dipahami dengan membuat isolasi atau eliminasi sehingga terlepas dari konteksnya.

b.Manusia sebagai instrumen. Hal ini dilakukan karena hanya manusia yang mampu menyesuaikan diri dengan berbagai ragam realitas dan menangkap makna, sedangkan instrumen lain seperti tes dan angket tidak akan mampu melakukannya.

c.Pemanfaatan pengetahuan tak terkatakan. Sifat naturalistik memungkinkan mengungkap hal-hal yang tak terkatakan yang dapat memperkaya hal-hal yang diekspresikan oleh responden.

d. Metoda kualitatif. Sifat naturalistik lebih memilih metode kualitatif dari pada kuantitatif karena lebih mampu mengungkap realistas ganda, lebih sensitif dan adaptif terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.

e.Pengambilan sample secara purposive.

f.Analisis data secara induktif, karena dengan cara tersebut konteksnya akan lebih mudah dideskripsikan. Yang dimaksud dengan analisis data induktif menurut paradigma kualitatif adalah analisis data spesifik dari lapangan menjadi unit-unit dan dilanjutkan dengan kategorisasi.

g.Grounded theory. Sifat naturalistik lebih mengarahkan penyusunan teori diangkat dari empiri, bukan dibangun secara apriori. Generalisasi apriorik nampak bagus sebagai ilmu nomothetik, tetapi lemah untuk dapat sesuai dengan konteks idiographik.

h.Desain bersifat sementara. Penelitian kualitatif naturalistik menyusun desain secara terus menerus disesuaikan dengan realita di lapangan tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat. Hal ini terjadi karena realita di lapangan tidak dapat diramalkan sepenuhnya.

i.Hasil dirundingkan dan disepakati bersama antara peneliti dengan responden. Hal ini dilakukan untuk menghindari salah tafsir atas data yang diperoleh karena responden lebih memahami konteksnya daripada peneliti.

j.Lebih menyukai modus laporan studi kasus, karena dengan demikian deskripsi realitas ganda yang tampil dari interaksi peneliti dengan responden dapat terhindar dari bias. Laporan semacam itu dapat menjadi landasan transferabilitas pada kasus lain.

k.Penafsiran bersifat idiographik (dalam arti keberlakuan khusus), bukan ke nomothetik (dalam arti mencari hukum keberlakuan umum), karena penafsiran yang berbeda nampaknya lebih

memberi makna untuk realitas yang berbeda konteksnya.

l.Aplikasi tentatif, karena realitas itu ganda dan berbeda.

m.Ikatan konteks terfokus. Dengan pengambilan fokus, ikatan keseluruhan tidak dihilangkan, tetap terjaga keberadaannya dalam konteks, tidak dilepaskan dari nilai lokalnya.

n.Kriteria keterpercayaan. Dalam penelitian kuantitatif keterpercayaan ditandai dengan adanya validitas dan reliabilitas,

Menurut Kirk dam Miller cirri-ciri Penelitian Kualitatif adalah sbb:Ciri- ciri pokok Penelitian Kualitatif1Naturalistic inquiryMempelajari situasi dunia nyata secara alamiah, tidak melakukan manipulasi,; terbuka pada apapun yang timbul.2Inductive analysisMendalami rincian dan kekhasan data guna menemukan kategori, dimensi, dan kesaling hubungan.3Holistic perspectiveSeluruh gejala yang dipelajari dipahami sebagai sistem yang kompleks lebih dari sekedar penjumlahan bagian-bagiannya.4Qualitative dataDeskripsi terinci, kajian/inkuiri dilakukan secara mendalam.5Personal contact and insightPeneliti punya hubungan langsung dan bergaul erat dengan orang-orang, situasi dan gejala yang sedang dipelajari.6Dynamic systemsMemperhatikan proses; menganggap perubahan bersifat konstan dan terus berlangsung baik secara individu maupun budaya secara keseluruhan7Unique case orientationMenganggap setiap kasus bersifat khusus dan khas8Context SensitivityMenempatkan temuan dalam konteks sosial, historis dan waktu9Emphatic NetralityPenelitian dilakukan secara netral agar obyektif tapi bersifat empati10design flexibility

Desain penelitiannya bersifat fleksibel, terbuka beradaptasi sesuai perubahan yang terjadi (tidak bersifat kaku)(Sumber : Patton : 1990 :40-41)Setelah mensintesiskan pendapat Bogdan & Biklen dengan pendapat Lincoln & Guba, Moleong mengemukakan sebelas karakteristik penelitian kualitatif yaitu :

1.Latar alamiah (penelitian dilakukan pada situasi alamiah dalam suatu keutuhan)2.Manusia sebagai alat (Manusia/peneliti merupakan alat pengumpulan data yang utama)3.Metode kualitatif (metode yang digunakan adalah metode kualitatif)4.Anslisa data secara induktif (mengacu pada temuan lapangan)5.Teori dari dasar/grounded theory (menuju pada arah penyusunan teori berdasarkan data)6.Deskriptif (data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka)7.Lebih mementingkan proses daripada hasil8.Adanya batas yang ditentukan oleh fokus (perlunya batas penelitian atas dasar fokus yang timbul sebagai masalajh dalam penelitian)9.Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data (punya versi lain tentang validitas, reliabilitas dan obyektivitas)10.Desain yang bersifat sementara (desain penelitian terus berkembang sesuai dengan kenyataan lapangan)11.Hasil penelitiaan dirundingkan dan disepakati bersama (hassil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama antar peneliti dengan sumber data)

sementara itu menurut Nasution ciri-ciri metode kualitatif adalah :1.Sumber data adalah situasi yang wajar atau natural settting Peneliti sebagai instrumen penelitian2.Sangat deskriptif3.Mementingkan proses maupun produk4.Mencari makna5.Mengutamakan data langsung6.Triangulasi (pengecekan data/informasi dari sumber lain)7.Menonjolkan rincian kontekstual8.Subyek yang diteliti dipandang berkedudukan sama dengan peneliti9.Mengutamakan perspektif emik (menurut pandangan responden)10.Verifikasi (menggunakan kasus yang bertentangan untuk memperoleh hasil yang lebih dipercaya)11.Sampling yang purposive12.Menggunakan audit trial (melacak laporan/informasi sesuai dengan data yang terkumpul)13.Partisipsi tanpa mengganggu14.Mengadakan analisis sejak awal penelitian15.Data dikumpulkan dalam bentuk kata-kata atau gambar ketimbang16.Desain penelitian tampil dalam proses penelitian

Dengan memperhatikan karakteristik penelitian kualitatif yang dikemukakan para ahli sebagaimana dikemukakan di atas, nampaknya lebih bersifat saling melengkapi dan menambah, karakteristik yang dikemukakan oleh Patton lebih bersipat umum yang merupakan ciri-ciri dasar, rumusan Moleong sudah menambahkan hal-hal yang bersipat operasional penelitian, terlebih lagi

karakteristik yang dikemukakan oleh Nasution. Dengan variasi semacam ini maka akan lebih mempermudah/memperjelas pemahaman tentang penelitian kualitatif

a.Inkuiri naturalistikDesain penelitian kualitatif bersifat alamiah dimana peneliti tidak berusaha memanipulasi setting penelitian, kondisi/situasi obyek yang diteliti benar-benar merupakan kejadian, komunitas, interaksi yang terjadi secara alamiah, hal ini dikarenakan metode kualitatif berusaha memahami fenomena-fenomena dalam kejadian alami yang wajar. Menurut Guba inkuiri naturalistik merupakan pendekatan yang berorientasi pada penemuan yang meminimalisir manipulasi peneliti atas obyek penelitian/studi

b.Analisis induktifMetode kualitatif terutama berorientasi pada upaya eksplorasi, penemuan dengan menggunakan logika induktif . analisis induktif bermakna analisis yang dimulai dengan melakukan observasi spesifik menuju terbentuknya pola umum. Peneliti kualitatif berusaha memahami berbagai hubungan antar dimensi/variabel yang muncul dari data-data yang ditemukan tanpa terlebih dahulu membuat hipotesis sebagaimana umum dilakukan dalam penelitian kuantitatif.

c.Perspektif menyeluruhMetode kualitatif berusaha memahami fenomena sebagai suatu keseluruhan yang padu dan total. Peneliti kualitatif memandang bahwa keseluruhan itu merupakan suatu sistem yang kompleks tidak sekedar penjumlahan bagian-bagiannya. Pendeskripsian serta pemahaman atas lingkungan sosial (atau lingkungan dalam konteks lainnya) seseorang (informan) merupakan hal yaang sangat penting bagi pemahaman yang menyeluruh atas apa yang diteliti.

d.Data kualitatifDalam penelitian kualitatif, data yang dikumpulkan lebih bersifat kualitatif yang mendeskripsikan setting penelitian baik situasi maupun informan/responden yang umumnya berbentuk narasi baik melalui perantaran lisan seperti ucapan/penjelasan responden, dokumen pribadi, catatan lapangan. Berbeda dengan penelitian kuantitatif dimana data yang dikumpulkan merupakan hasil pengukuran atas variabel-variabel yang telah dioperasionalkan (umumnya brbrntuk angka-angka)

e.Kontak personalMetode kualitatif mensyaratkan perlunya kontak personal secara langsung antara peneliti dengan orang-orang dan lingkungan yang sedang diteliti. Perlunya kontak langsung secara personal adalah guna memahami secara personal realitas yang terjadi dalam kehidupan wajar sehari-hari, sehingga peneliti dapat mengerti dan memahami bagaimana orang-orang mengalami, memahami dan menghayati realitas yang terjadi.

f.Sistem yang dinamisSetting penelitian merupakan sesuatu yang dinamis, dan selalu berubah baik secara individual maupun budaya secara keseluruhan. Perhatian utama peneliti kualitatif adalah menggambarkan dan memahami proses dinamika yang terjadi, karena fenomena-fenomena yang terjadi saling berkaitan dan saling mempengaruhi secara dinamis dalam suatu sistem yang menyeluruh.

g.Berorientasi pada kasus yang khasKedalaman metode kualitatif secara tipikal bermula dari kasus-kasus kecil yang menarik sesuai dengan tujuan penelitian. Pentingnya studi kasus ini terutama bila seseorang memerlukan pemahaman atas orang-orang yang istimewa, masalah-masalah khas atau situasi-situasi yang unik secara lebih mendalam.

h.Sensitif pada konteksTemuan-temuan dalam penelitian kualitatif selalu ditempatkan sesuai dengan konteksnya, baik konteks sosial, konteks historis, maupun konteks waktu, ini berarti bahwa suatu temuan akan banyak bermakna atau akan memberikan makna yang lebih mendalam bila dilihat dalam konteksnya sendiri-sendiri, oleh karena itu peneliti harus peka dalam memahami konteks suatu temuan penelitian.

i.Netralitas yang empatiObyektivitas yang sempurna adalah tidak mungkin, subyektivitas murni akan merusak keterpercayaan, untuk itu dalam penelitian kualitatif seorang penelity diharapkan bersifat netral tapi empati, kenetralan merupakan upaya untuk menjaga obyektivitas, sedangkan sikap empati perlu ada mengingat peneliti kualitatif melakukan kontak personal secara langsung dengan sumber-sumber data (informan)

j.Desain yang lenturDesain penelitian dalam metode kualitatif tdak bersifat kaku, dia biasa mengadaptasi perubahan sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam kegiatan penelitian, oleh Karena itu dalam penelitian kualitatif desain secara parsial bisa muncul pada saat penelitian sedang berlangsung.

Meminjam istilah Moleong (1989), penelitian kualitatif bertolak dari paradigma alamiah. Artinya, penelitian ini mengasumsikan bahwa realitas empiris terjadi dalam suatu konteks sosio-kultural, saling terkait satu sama lain. Karena itu, setiap fenomena sosial harus diungkap secara holistik.Penelitian kualitatif, karena menekankan pada keaslian, tidak bertolak dari teori secara deduktif (a priori) melainkan berangkat dari fakta sebagaimana adanya. Rangkaian fakta yang dikumpulkan, dikelompokkan, ditafsirkan, dan disajikan dapat menghasilkan teori. Karena itu, penelitian kualitatif tidak bertolak dari teori, tetapi menghasilkan teori, yang disebut grounded theory (teori dari dasar).

Penelitian kualitatif, menurut Moleong (1989), juga dapat dan  seringkali tertarik untuk melihat hubungan sebab akibat. Hanya saja, penelitian kuantitatif berusaha mengetahui sebab-akibat dalam latar yang bersifat laboratorium-ilmiah, sehingga pengaruh X terhadap Y diusahakan terjadi. Sebaliknya, penelitian kualitatif melihat hubungan sebab-akibat dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Peneliti mengamati keaslian suatu gejala sosial. Kemudian dengan cermat ia menelusuri apakah fenomena tersebut mengakibatkan fenomena lain atau tidak; dan sejauh mana suatu fenomena sosial mengakibatkan terjadinya fenomena yang lain. Misalnya: peneliti mengamati keragaman perilaku yang menggambarkan ketaatan beragama. Ia mengamati dengan cermat adanya perbedaan perilaku antara mereka yang taat dengan mereka yang kurang taat beragama. Dalam pengamatan tersebut peneliti menemukan hubungan kausalitas ketaatan beragama dengan produktivitas.

Ciri-ciri penelitian kualitatif yang lain:1.asumsiPenelitian kualitatif cenderung menggunakan data teks yang bersifat subyektif. Realitas yang dipelajari dikonstruksikan sesuai dengan nilai sosial partisipan (subyek penelitian), oleh karenanya pemaknaan realitas sesuai dengan pemahaman partisipan (emik). Penelitian kualitatif memiliki jalinan variabel yang kompleks dan sulit untuk diukur.2.tujuanpenelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan realitas secara kontekstual, interpretasi terhadap fenomena yang menjadi perhatian peneliti dan memahami perspektif partisipan terhadap masalah kesehatan.3.Penelitian kualitatif tidak memerlukan hipotesis, justru kadang-kadang diakhiri dengan hipotesis. Perumusan teori berdasarkan data yang telah tersaturasi (grounded theory). Peneliti menggunakan teknik penggambaran (portrayal) secara alamiah terhadap fenomena yang muncul sekaligus dirinya merupakan instrumen penelitian itu sendiri. Penarikan kesimpulan secara induksi dengan menemukan salah satu pola yang berlaku dari pluralitas dan kompleksitas norma. Bahasa penelitian dikemas secara deskriptif.4.penelitian kualitatif memerlukan keberpihakan dan keterlibatan peneliti agar ia dapat memahami (empati) situasi partisipan penelitian secara holistik.

Noeng Muhadjir (1994 : 12) mengemukakan beberapa nama yang dipergunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif yaitu: grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik . perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan titik tekan dalam melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin ilmunya, istilah grounded research lebih berkembang dilingkungan sosiologi dengan tokohnya Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas California yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu soaial Banda Aceh pada tahun 1970-an), ethnometodologi lebih berkembang di lingkungan antropologi dan ditunjang antara lain oleh Bogdan , interaksi simbolik lebih berpengaruh di pantai barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer, Paradigma naturalistik dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya memperoleh pendidikan dalam fisika, matematika dan penelitian kuantitatif.

Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Pemahaman yang demikian tidak selamanya benar, karena dalam perkembangannya ada juga penelitian kualitatif yang memerlukan bantuan angka-angka seperti untuk mendeskripsikan suatu fenomena maupun gejala yang diteliti.Dalam perkembangan lebih lanjut ada sejumlah nama yang digunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif (Noeng Muhadjir. 2000: 17) seperti : interpretif grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik, yang kesemuanya itu tercakup dalam klasifikasi metodologi penelitian postpositivisme phenomenologik interpretif.

C.PENELITIAN TINDAKAN

Pengertian:1.Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan ragam penelitian pembelajaran yang berkonteks kelas yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi oleh guru, memperbaiki mutu dan hasil pembelajaran dan mencobakan hal-hal baru pembelajaran demi peningkatan mutu dan hasil pembelajaran.2.Action research dipandang sebagai suatu cara untuk memberi ciri bagi seperangkat kegiatan yang direncanakan untuk meningkatkan mutu pendidikan; pada pokoknya ia merupakan suatu cara eklektik yang dituangkan ke dalam suatu program refleksi-diri (self-reflection) yang ditujuan untuk peningkatan mutu pendidikan.3.Action research adalah suatu bentuk penelitian refleleksi-diri yang dilakukan oleh para partisipan (guru,siswa,atau kepala sekolah,) dalam situasi-situsi social (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran (a) preaktek-praktek sosial atau pendidikan yang dilakukan sendiri, (b) pengertian mengenai praktek-praktek ini, dan (c) situasi-situasi (dan lembaga-lembaga) di mana praktek-praktek tersebut dilaksanakan. (Carr dan Kemmis, 1996).4.action research adalah suatu pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan, dengan mendorong para guru untuk memikirkan praktek mengajarnya sendiri, agar kritis terhadap praktek tersebut, dan agar mau untuk memperbaikinya.5.Penelitian tindakan merupakan intervensi  praktik dunia nyata yang ditujukan untuk meningkatkan situasi praktis

Macam-macam PTK

Berdasarkan jumlah dan sifat perilaku para anggotanya, PTK dapat berbentuk individual dan kaloboratif, yang dapat disebut PTK individual dan PTK kaloboratif. Dalam PTK individual seorang guru melaksanakan PTK di kelasnya sendiri atau kelas orang lain, sedang dalam PTK kaloboratif beberapa orang guru secara sinergis melaksanakan PTK di kelas masing-masing dan diantara anggota melakukan kunjungan antar kelas.Karakteristik PTK

PTK memeliki sejumlah karakteristik sebagai berikut :1.Bersifat siklis, artinya PTK terlihat siklis-siklis (perencanaan, pemberian tindakan, pengamatan dan refleksi), sebagai prosedur baku penelitian.2.Bersifat longitudinal, artinya PTK harus berlangsung dalam jangka waktu tertentu (misalnya 2-3 bulan) secara kontinyu untuk memperoleh data yang diperlukan, bukan "sekali tembak" selesai pelaksanaannya.3.Bersifat partikular-spesifik jadi tidak bermaksud melakukan generalisasi dalam rangka mendapatkan dalil-dalil. Hasilnyapun tidak untuk digenaralisasi meskipun mungkin diterapkan oleh orang lain dan ditempat lain yang konteksnya mirip.4.Bersifat partisipatoris, dalam arti guru sebagai peneliti sekali gus pelaku perubahan dan sasaran yang perlu diubah. Ini berarti guru berperan ganda, yakni sebagai orang yang meneliti sekali gus yang diteliti pula.5.Bersifat emik (bukan etik), artinya PTK memandang pembelajaran menurut sudut pandang orang dalam yang tidak berjarak dengan yang diteliti; bukan menurut sudut pandang orang luar yang berjarak dengan hal yang diteliti.

6.Bersifat kaloboratif atau kooperatif, artinya dalam pelaksanaan PTK selalu terjadi kerja sama atau kerja bersama antara peneliti (guru) dan pihak lain demi keabsahan dan tercapainya tujuan penelitian.7.Bersifat kasuistik, artinya PTK menggarap kasus-kasus spesifik atau tertentu dalam pembelajaran yang sifatnya nyata dan terjangkau oleh guru; menggarap masalah-masalah besar.8.Menggunakan konteks alamiah kelas, artinya kelas sebagai ajang pelaksanaan PTK tidak perlu dimanipulasi dan atau direkayasa demi kebutuhan, kepentingan dan tercapainya tujuan penelitian.9.Mengutamakan adanya kecukupan data yang diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian, bukan kerepresentasifan (keterwakilan jumlah) sampel secara kuantitatif. Sebab itu, PTK hanya menuntut penggunaan statistik yang sederhana, bukan yang rumit.10.Bermaksud mengubah kenyataan, dan situasi pembelajaran menjadi lebih baik dan memenuhi harapan, bukan bermaksud membangun teori dan menguji hipotesis.Tujuan PTK sebagai berikut :1.Memperbaiki dan meningkatkan mutu praktik pembelajaran yang dilaksanakan guru demi tercapainya tujuan pembelajaran.2.Memperbaiki dan meningkatkan kinerja-kinerja pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru.3.Mengidentifikasi, menemukan solusi, dan mengatasi masalah pembelajaran di kelas agar pembelajaran bermutu.4.Meningkatkan dan memperkuat kemampuan guru dalam memecahkan masalah-masalah pembelajaran dan membuat keputusan yang tepat bagi siswa dan kelas yang diajarnya.5.Mengeksplorasi dan membuahkan kreasi-kreasi dan inovasi-inovasi pembelajaran (misalnya, pendekatan, metode, strategi, dan media) yang dapat dilakukan oleh guru demi peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran.6.Mencobakan gagasan, pikiran, kiat, cara, dan strategi baru dalam pembelajaran untuk meningkatkan mutu pembelajaran selain kemampuan inovatif guru.7.Mengeksplorasi pembelajaran yang selalu berwawasan atau berbasis penelitian agar pembelajaran dapat bertumpu pada realitas empiris kelas, bukan semata-mata bertumpu pada kesan umum atau asumsi.8.Memecahkan masalah-masalah melalui penerapan langsung di kelas atau tempat kerja (Isaac, 1994:27).9.Menemukan pemecahan masalah yang dihadapi sesorang dalam tugasnya sehari-hari dimana pun tempatnya, di kelas, di kantor, di rumah sakit, dan seterusnya.Manfaat PTK1.Menghasilkan laporan-laporan PTK yang dapat dijadikan bahan panduan guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Selain itu hasil-hasil PTK yang dilaporkan dapat menjadi bahan artikel ilmiah atau makalah untuk berbagai kepentingan, antara lain disajikan dalam forum ilmiah dan dimuat di jurnal ilmiah.2.Menumbuhkembangkan kebiasaan, budaya, dan atau tradisi meneliti dan menulis artikel ilmiah di kalangan guru. Hal ini telah ikut mendukung professionalisme dan karir guru.3.Mampu mewujudkan kerja sama, kaloborasi, dan atau sinergi antar-guru dalam satu sekolah atau beberapa sekolah untuk bersama-sama memecahkan masalah pembelajaran dan meningkatkan mutu pembelajaran.4.Mampu meningkatkan kemampuan guru dalam menjabarkan kurikulum atau program pembelajaran sesuai dengan tuntutan dan konteks lokal, sekolah, dan kelas. Hal ini memperkuat dan relevansi pembelajaran bagi kebutuhan siswa.

5.Dapat memupuk dan meningkatkan keterlibatan , kegairahan, ketertarikan, kenyamanan, dan kesenangan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas yang dilaksanakan guru. Hasil belajar siswa pun dapat meningkatkan.6.Dapat mendorong terwujudnya proses pembelajaran yang menarik, menantang, nyaman, menyenangkan, dan melibatkan siswa karena strategi, metode, teknik, dan atau media yang digunakan dalam pembelajaran demikian bervariasi dan dipilih secara sungguh-sungguh.

PTK dapat berfungsi sebagai (Cohen & Manion, 1980: 211): (a) alat untuk mengatasi masalah-masalah yang didiagnosis dalam situasi pembelajaran di kelas; (b) alat pelatihan dalam-jabatan, membekali guru dengan keterampilan dan metode baru dan mendorong timbulnya kesadaran-diri, khususnya melalui pengajaran sejawat; (c) alat untuk memasukkan ke dalam sistem yang ada (secara alami)  pendekatan tambahan atau inovatif; (d) alat untuk meningkatkan komunikasi yang biasanya buruk antara guru dan peneliti; (e) alat untuk menyediakan alternatif bagi pendekatan yang subjektif, impresionistik terhadap pemecahan masalah kelas.

Prosedur Pelaksanaan PTK

1.Menyusun proposal PTK.Dalam kegiatan ini perlu dilakukan kegiatan pokok, yaitu; (1) mendeskripsikan dan menemukan masalah PTK dengan berbagai metode atau cara, (2) menentukan cara pemecahan masalah PTK dengan pendekatan, strategi, media, atau kiat tertentu, (3) memilih dan merumuskan masalah PTK baik berupa pertanyaan atau pernyataan sesuai dengan masalah dan cara pemecahannya, (4) menetapkan tujuan pelaksanaan PTK sesuai dengan masalah yang ditetapkan, (5) memilih dan menyusun persfektif, konsep, dan perbandingan yang akan mendukung dan melandasi pelaksanaan PTK, (6) menyusun siklus-siklus yang berisi rencana-rencana tindakan yang diyakini dapat memecahkan masalah-masalah yang telah dirumuskan, (7) menetapkan cara mengumpulkan data sekaligus menyusun instrumen yang diperlukan untuk menjaring data PTK, (8) menetapkan dan menyusun cara-cara analisis data PTK.2.Melaksanakan siklus (rencana tindakan) di dalam kelas. Dalam kegiatan ini diterapkan rencana tindakan yang telah disusun dengan variasi tertentu sesuai dengan kondisi kelas. Selama pelaksanaan tindakan dalam siklus dilakukan pula pengamatan dan refleksi. baik pelaksanaan tindakan, pengamatan maupun refleksi dapat dilakukan secara beiringan, bahkan bersamaan. Semua hal yang berkaitan dengan hal diatas perlu dikumpulkan dengan sebaik-baiknya.3.Menganalisis data yang telah dikumpulkan baik data tahap perencanaan, pelaksnaan tindakan, pengamatan, maupun refleksi. Analisis data ini harus disesuaikan dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Hasil analisis data ini dipaparkan sebagai hasil PTK. Setelah itu, perlu dibuat kesimpulan dan rumusan saran.4.Menulis laporan PTK, yang dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan menganalisis data. Dalam kegiatan ini pertama-tama perlu ditulis paparan hasil-hasil PTK. Paparan hasil PTK ini disatukan dengan deskripsi masalah, rumusan masalah, tujuan, dan kajian konsep atau teoritis.

Inilah laporan PTK.

Dilihat dari ruang lingkup, tujuan, metode, dan prakteknya, action research dapat dianggap sebagai penelitian ilmiah micro. Action research adalah penelitian yang bersifat partisipatif dan kolaboratif. Maksudya, penelitiannya dilakukan sendiri oleh peneliti, dan diamati bersama

dengan rekan-rekannya. Action research berbeda dengan studi kasus karena tujuan dan sifat kasusnya yang tidak unik seperti pada studi kasus, action research tidak digunakan untuk menguji teori. Namun kedua macam penelitian ini mempunyai kesamaan, yaitu bajwa peneliti tidak berharap hasil penelitiannya akan dapat digeneralisasi atau berlaku secara umum.Action research mendorong para guru agar memikirkan apa yang mereka lakukan sehari-hari dalam menjalankan tugasnya, membuat para guru kritis terhadap apa yang mereka lakukan tanpa tergantung pada teori-teori yang muluk-muluk yang bersifat universal yang ditemukan oleh para pakar penelitian yang sering kali tidak cocok dengan situasi dan kondisi kelas. Keterlibatan peneliti action research dalam penelitiannya sendiri itulah yang membuat dirinya menjadi pakar peneliti untuk kelasnya dan keperluan sehari-harinya dan tidak membuat ia tergantung pada para pakar peneliti yang tidak tahu mengenai masalah-masalah kelasnya sehari-hari.Dalam bidang pendidikan, action research dianggap sebagai alternatif dari penelitian tradisional (penelitian yang biasa dilakukan). Modal utama peneliti action research adalah pengalamannya dalam bidang yang digeluti dan pengetahuan yang ia miliki. Sebenarnya action research dapat juga dilakukan dalam skala besar karena seperti dikatakan di atas, action research dilakukan bersama rekan-rekan seprofesi, sehingga mereka dapat berbagai pengalaman untuk kepentingan mereka misng-masing. Action research merupakan metode yang handal untuk menjembatani teori dan praktek (dalam pndidikan ), karena dengan action research para guru dianjurkan menemukan dan mengembangkan teorinya sendiri dari perakteknya sendiri.

Model-model Penelitian Tindakan Kelas

1. Design Penelitian Tindakan Model Kurt LewinModel Kurt Lewin menjadi acuan pokok atau dasar dari adanya berbagai model penelitian tindakan yang lain, khususnya PTK. Dikatakan demikian, karena dialah yang pertama kali memperkenalkan Action Research atau penelitian tindakan.Konsep pokok penelitian tindakan Model Kurt Lewin terdiri dari empat komponen, yaitu ; a) perencanaan (planning), b) tindakan (acting), c) pengamatan (observing), dan d) refleksi (reflecting). Hubungan keempat komponen tersebut dipandang sebagai siklus yang dapat digambarkan sebagai berikut:

 2. Design PTK Model Kemmis & McTaggart

Kemmis & McTaggart merupakan pengembangan dari konsep dasar yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin sebagaimana yang diutarakan di atas. Hanya saja, komponen acting (tindakan) dengan observing (pengamatan) dijadikan sebagai satu kesatuan. Disatukannya kedua komponen tersebut disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa antara implementasi acting dan observing merupakan dua kegiatan yang tidak terpisahkan. Maksudnya, kedua kegiatan haruslah dilakukan dalam satu kesatuan waktu, begitu berlangsungnya suatu tindakan begitu pula observasi juga harus dilaksanakan. Untuk lebih tepatnya, berikut ini dikemukakan bentuk designnya (Kemmis & McTaggart, 1990:14).

Apabila dicermati, model yang dikemukakan oleh Kemmis & McTaggart pada hakekatnya berupa perangkat-perangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat terdiri dari empat komponen, yaitu ; perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Keempat komponen yang

berupa untaian tersebut dipandang sebagai satu siklus. Oleh karena itu, pengertian siklus pada kesempatan ini adalah suatu putaran kegiatan yang terdiri dari perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi.

Pada gambar diatas, tmapak bahwa didalamnya terdiri dari dua perangkat komponen yang dapat dikatakan sebagai dua siklus. Untuk pelaksanaan sesungguhnya, jumlah siklus sangat bergantung kepada permasalahan yang perlu diselesaikan. Apabila permasalahan

Syarat-syarat agar PTK berhasil:Pertama, Anda dan kolaborator serta murid-murid harus punya tekad dan komitmen untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan komitmen itu terwujud dalam keterlibatan mereka dalam seluruh kegiatan PTK secara proporsional. Andil itu mungkin terwujud jika ada maksud yang jelas dalam melakukan intervensi tersebut. Kedua, Anda dan kolaborator menjadi pusat dari penelitian sehingga dituntut untuk bertanggung jawab atas peningkatan yang akan dicapai. Ketiga, tindakan yang Anda lakukan hendaknya didasarkan pada pengetahun, baik pengetahuan konseptual dari tinjauan pustaka teoretis, maupun pengetahuan teknis prosedural, yang diperoleh lewat refleksi kritis dan dipadukan dengan pengalaman orang lain dari tinjauan pustaka hasil penelitian tindakan), berdasarkan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Refleksi kritis dapat dilakukan dengan baik jika didukung oleh keterbukaan dan kejujuran terhadap diri sendiri, khususnya kejujuran mengakui kelemahan/kekurangan diri.  Keempat, tindakan tersebut dilakukan atas dasar komitmen kuat dan keyakinan bahwa situasi dapat diubah ke arah perbaikan. Kelima, penelitian tindakan melibatkan pengajuan pertanyaan agar dapat melakukan perubahan melalui tindakan yang disadari dalam konteks yang ada dengan seluruh kerumitannya. Keenam, Anda mesti mamantau secara sistematik agar Anda mengetahui dengan mudah arah dan jenis perbaikan, yang semuanya berkenaan dengan pemahaman yang lebih baik terkadap praktik dan pemahaman tentang bagaimana perbaikan ini telah terjadi. Kutujuh, Anda perlu membuat deskripsi otentik objektif (bukan penjelasan) tentang tindakan yang dilaksanakan dalam riwayat faktual, perekaman video and audio,  riwayat subjektif yang diambil dari buku harian dan refleksi dan observasi pribadi, dan riwayat fiksional. Kedelapan, Anda perlu memberi penjelasan tentang tindakan berdasarkan deskripsi autentik tersebut di atas, yang mencakup (1) identifikasi makna-makna yang mungkin diperoleh (dibantu) wawasan teoretik yang relevan, pengaitan dengan penelitian lain (misalnya lewat tinjauan pustaka di mana kesetujuan dan ketidaksetujuan dengan pakar lain perlu dijelaskan), dan konstruksi model (dalam konteks praktik terkait) bersama penjelasannya; (2) mempermasalahkan deskripsi terkait, yaitu secara kritis mempertanyakan motif tindakan dan evaluasi terhadap hasilnya; dan (3) teorisasi, yang dilahirkan dengan memberikan penjelasan tentang apa yang dilakukan dengan cara tertentu. Kesembilan,Anda perlu menyajikan laporan hasil PTK dalam berbagai bentuk termasuk: (1) tulisan tentang hasil refleksi-diri, dalam bentuk catatan harian dan dialog, yaitu percakapan dengan dirinya sendiri; (2) percakapan tertulis, yang dialogis, dengan gambaran jelas tentang proses percakapan tersebut; (3) narasi dan cerita; dan (4) bentuk visual seperti diagram, gambar, dan grafik. Kesepuluh, Anda perlu memvalidasi pernyataan Anda tentang keberhasilan tindakan Anda lewat pemeriksaan kritis dengan mencocokkan pernyataan dengan bukti (data mentah), baik dilakukan sendiri maupun bersama teman (validasi-diri), meminta teman sejawat untuk memeriksanya  dengan masukan dipakai untuk memperbaikinya (validasi sejawat), dan terakhir menyajikan hasil seminar dalam suatu seminar (validasi public). Perlu dipastikan bahwa temuan validasi selaras satu sama lain karena semuanya berdasarkan pemeriksaan terhadap penyataan

dan data mentah. Jika ada perbedaan, pasti ada sesuatu yang masih harus dicermati kembali

Menurut (Hodgkinson, 1988): (1) kesediaan untuk mengakui kekurangan diri; (2) kesempatan yang memadai untuk menemukan sesuatu yang baru; (3) dorongan untuk mengemukakan gagasan baru; (4) waktu yang tersedia untuk melakukan percobaan; (5) kepercayaan timbal balik antar orang-orang yang terlibat; dan (6)pengetahuan tentang dasar-dasar proses kelompok oleh peserta  penelitian.

Kelebihan dan Kekurangan PTK

1. kelebihan:PTK memiliki kelebihan berikut (Shumsky, 1982): (1) tumbuhnya rasa memiliki melalui kerja sama dalam PTK; (2) tumbuhnya kreativitias dan pemikiran kritis lewat interaksi terbuka yang bersifat  reflektif/evaluatif dalam PTK; (3)  dalam kerja sama ada saling merangsang untuk berubah; dan (4) meningkatnya kesepakatan lewat kerja sama demokratis dan dialogis dalam PTK (silakan lihat Passow, Miles, dan Draper, 1985).

2. kelemahanPTK Anda juga memiliki kelemahan: (1) kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam teknik dasar penelitian pada Anda sendiri karena terlalu banyak berurusan dengan hal-hal praktis, (2)  rendahnya efisiensi waktu karena Anda  harus punya komitmen peneliti untuk terlibat dalam prosesnya sementara  Anda masih harus melakukan tugas rutin ; (3)  konsepsi proses kelompok yang menuntut pemimpin kelompok yang demokratis dengan kepekaan tinggi  terhadap kebutuhan dan keinginan anggota-anggota kelompoknya dalam situasi tertentu, padahal tidak mudah untuk mendapatkan pemimimpin demikian.

FINAL EXAMINATION MATERI

December 17th, 2008 by sopianhadi

1.Diskusikan validitas dan reliabilitas dalam riset kuantitatif dan kualitatif. Apa saja persamaan dan perbedaan diantara keduanya?Penelitian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencari kebenaran. Untuk mendapatkan kebenaran tersebut diperlukan serangkaian langkah yang dapat menuntun peneliti untuk menghasilkan sesuatu yang tidak menyimpang dari keadaan yang sebenarnya dari sasaran penelitian. Serangkaian langkah tersebut antara lain meliputi langkah-langkah untuk mendapatkan validitas dan reliabilitas, baik untuk riset kualitatif maupun riset kuantitatif. Riset kuantitatif merupakan riset yang bersifat formal, objektif, proses sistematik dengan

menggunakan data numerik untuk mendapatkan informasi. Pendekatan yang digunakan deduktif, logic dan ciri pengalaman manusia yang dapat di ukur. Sedangkan riset kualitatif melibatkan pengumpulan dan analisis data dalam bentuk naratif bersifat subjektif menggunakan prosedur dengan pengendalian yang ketat. Pendekatan yang digunakan cenderung ke aspek pengalaman manusia yang dinamik dengan pendekatan yang holistik.Validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrumen didalam mengumpulkan data. Instrumen harus dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Misalnya kita akan mengukur berat badan, maka akan digunakan timbangan untuk berat badan, tidak mungkin kita gunakan timbangan dacin. Validitas lebih menekan pada alat pengukur atau pengamat baru setelah itu memikirkan valliditas cara pengukuran. Didalam menilai keakuratan suatu instrument, ada lima tipe validitas yang digunakan : content validity, face validity, predictive validity, concurrent validity, construct validity. Content validity adalah suatu keputusan tentang bagaimana instrument dengan baik mewakili karakteristik yang dikaji, contoh, untuk menyusun suatu kuisioner tentang sikap individu terhadap makan tetapi lupa menyanyakan sesuatu tentang pentingnya makanan dalam kehidupan mereka, maka ini akan keliru. Face validity merupakan validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya didasarkan pada penilaian terhadap format penampilan tes, apabila tes telah meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak diukur maka dapat dikatakan bahwa validitas muka telah terpenuhi. Predictive validity adalah seberapa besar derajat tes berhasil memprediksi kesuksesan seseorang pada situasi yang akan datang. Validitas prediktif ditentukan dengan mengungkap hubungan antara skor tes dengan hasil tes atau ukuran lain kesuksesan dalam satu situasi sasaran. Concurrent validity menunjukkan seberapa besar derajat skor tes berkorelasi dengan skor yang diperoleh dari tes lain yang sudah mantap, bila disajikan pada saat yang sama, atau dibandingkan dengan kriteria lain yang valid yang diperoleh pada saat yang sama. Construct validity adalah seberapa besar derajat tes mengukur konstruk hipotesis yang dikehendaki untuk diukur. Konstruk adalah perangai yang tidak dapat diamati, yang menjelaskan perilaku. Menguji validitas konstruk mencakup uji hipotesis yang dideduksi dari suatu teori yang mengajukan konstruk tersebut. Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta atau kenyataan hidup tadi diukur/ diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan. Reliabilitas dinyatakan dalam bentuk angka, biasanya sebagai koefisien. Koefisien tinggi berarti reliabilitas tinggi. Reliabilitas merupakan instrument untuk mengukur atribut penelitian, semakin tinggi tingkat reliabilitas sebuah instrument maka semakin rendah kemungkinan terjadi penyimpangan. Setiap alat pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran yang mantap atau konsisten. Pada alat pengukur fenomena fisik seperti berat dan panjang suatu benda, kemantapan atau konsistensi hasil pengukuran bukanlah sesuatu yang sulit diperoleh. Tetapi untuk pengukuran fenomena sosial, seperti sikap, pendapat, persepsi, kesadaran beragama, pengukuran yang mantap atau konsisten, agak sulit dicapai. Berhubung gejala sosial tidak semantap fenomena fisik, maka dalam pengukuran fenomena sosial selalu diperhitungkan unsur kesalahan pengukuran. Dalam penelitian sosial kesalahan pengukuran ini cukup besar. Karena itu untuk mengetahui hasil pengukuran yang sebenarnya, kesalahan pengukuran ini perlu diperhitungkan. Makin kecil kesalahan pengukuran, semakin reliabel alat pengukurnya. Semakin besar kesalahan pengukuran, semakin tidak reliabel alat pengukur tersebut. Teknik-teknik untuk menentukan reliabilitas ada tiga yaitu: teknik ulangan, teknik bentuk pararel dan teknik belah dua. Dalam tulisan ini akan dijelaskan satu teknik saja yaitu teknik belah dua. Teknik belah dua merupakan cara mengukur reliabilitas suatu alat ukur dengan membagi alat ukur menjadi dua kelompok.

Kedua pendekatan didalam riset kuantitatif dan kualitatif masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Riset kuantitatif merupakan riset yang bersifat formal, objektif, proses sistematik dengan menggunakan data numerik untuk mendapatkan informasi. Pendekatan kuantitaif memunculkan kesulitan dalam mengontrol variable-variabel lain yang dapat berpengaruh terhadap proses penelitian baik secara langsung ataupun tidak langsung. Untuk menciptakan validitas yang tinggi juga diperlukan kecermatan dalam proses penentuan sample, pengambilan data dan penentuan alat analisanya. Sedangkan riset kualitatif melibatkan pengumpulan dan analisis data dalam bentuk naratif bersifat subjektif. Kelemahan validitas riset kualitatif adalah tidak bisa mendapatkan validitas yang tinggi karena validitas tidak bisa di ukur dengan angka, banyak memakan waktu, reliabilitasnya dipertanyakan, prosedurnya tidak baku, desainnya tidak terstruktur dan tidak dapat dipakai untuk penelitian yang berskala besar dan pada akhirnya hasil penelitian dapat terkontaminasi dengan subyektifitas peneliti. Demikian juga pada pengukuran fenomena sosial selalu diperhitungkan unsur kesalahan pengukuran karena dalam penelitian sosial kesalahan pengukuran ini cukup besar. Sekalipun demikian penelitian kualitatif tetap saja dapat memperoleh validitas jika dilakukan dengan benar, hati-hati dan dengan menggunakan prosedur yang sistematis.

2.Bandingkan dan bedakan fase analisis dalam riset kuantitatif dan riset kualitatif?Salah satu tahap didalam proses penelitian adalah analisa data. Analisis dan interpretasi data merupakan tahap yang harus dilewati oleh seorang penelitian. Adapun urutannya terletak pada tahap setelah tahap pengumpulan data. Dalam arti sempit, analisis data di artikan sebagai kegiatan pengolahan data, yang terdiri atas tabulasi dan rekapitulasi data.Fase analisis dalam riset kuantitatif meliputi analisis deskriptif dan analisis inferensial (uji signifikansi). Analisis deskriptif adalah suatu prosedur pengolahan data dengan menggambarkan dan meringkas data secara ilmiah dalam bentuk table atau grafik. Data yang disajikan termasuk distribusi frekuensi, pengukuran tendensi sentral, variability dan bivariate deckriptif statistic. Distribusi frekuensi merupakan pengaturan yang sistematis dari data yang terkumpul mulai dari nilai yang terrendah sampai dengan nilai yang tertinggi, semua di hitung dengan persentase. Statistik ini juga bisa digunakan untuk mengecek kesalahan dalam program computer. Pengukuran tensensi sentral dimulai dari pusat penyebaran variable dengan menggunakan skala ratio atau interval yaitu mean, median, mode. Variability yaitu untuk mengetahui bagaimana penyebaran data yang diperoleh yang terdiri dari range dan standart deviasi, range didapat dengan cara mengurangi nilai tertinggi dikurangi nilai terendah dalam distribusi data. Standart deviasi menggambarkan nilai rata-rata dari mean. Sedangkan bivariate deckriptif statistic untuk menggambarkan hubungan antara dua variable. bivariate deckriptif statistic terdiri dari contingency table dan korelasi. Contingency table merupakan distribusi frekuensi yang bersifat dua dimensi dimana terdapat dua variable yang saling ditabulasi silang. Sedangkan korelasi hubungan antara dua variable yang didskripsikan melalui prosedur korelasi. Korelasi dapat bersipat positif dan negative. Cara yang umum digunakan dalam menghubungkan variable yaitu pearson dan spearmen. Pearson yaitu untuk menhubungkan dan mengukur variable yang bersifat interval atau ratio, sedangkan spearmen untuk menghubungkan dan mengukur variable ordinal. Analisis inferensial (uji signifikansi), uji yang digunakan harus sesuai dengan rancangan penelitian, pengujian statistic yang tidak sesuai akan menimbulkan penafsiran yang salah dan hasil yang tidak dapat digeneralisasi. Uji signifikansi dapat diaplikasikan tergantung dari tujuan analisis dan jenis data yang ada. Statistik inferensial dimaksudkan untuk membuat prediksi atau keputusan mengenai sebuah populasi berdasarkan informasi yang terdapat dalam sebuah sampel.

Perhatian statistik inferensial adalah untuk mengetahui atau mengambil kesimpulan dari data melalui analisis : hubungan antar dua variable, perbedaan dalam suatu variabel antar anggota kelompok yang berbeda. Bagaimana beberapa variabel independen dapat menjelaskan terjadinya perubahan dalam suatu variabel independen. Statistik inferensial digolongkan kedalam statistik parametrik dan statistik nonparametrik. Statistik parametrik digunakan apabila memenuhi asumsi bahwa populasi asal sampel didistribusikan secara normal dan data yang dikumpulkan memakai skala interval atau ratio. Statistik parametrik terbagi lagi menjadi statistik univariat dan statistik multivariate. Statistik non parametrik dipakai tanpa mensyaratkan asumsi normalitas distribusi populasi dan bisa dipakai untuk data yang berskala nominal atau ordinal. Contoh statistik inferensial – non parametrik antara lain sign test, Mann-Whitnney U test, korelasi Spearman dan uji chi-square. Uji Chi-square adalah non para metric test yang digunakan untuk mengetahui perbedaan secara significant frekuensi observasi dan frekuensi secara teori, biasanya untuk menguji hipotesa. Contoh statistik inferensial univariat – parametrik antara lain adalah t-test, Z test, korelasi pearson dan ANOVA. Anova digunakan untuk menguji perbedaan antara mean dan dipergunakan sebagai suatu indikasi untuk menolak atau menerima Ho. Contoh statistik inferensial multivariat adalah discriminat analysis, factor analysis, cluster analysis, dan multidimensional scaling.Fase analisis dalam riset Kualitatif , meliputi : comprehending , synthesizing, theorizing dan recontextualizing. Comprehending, yaitu peneliti berusaha untuk memahami apa yang didapat dari data yang terkumpul dan mempelajari apa yang sebenarnya sedang berjalan. Peneliti dapat mempersiapkan atau memberikan penjelasan yang menyeluruh tentang fenomena yang ada dalam penelitian. Synthesizing, yaitu peneliti menggabungkan dan menyaring data yang terkumpul secara keseluruhan. Peneliti juga berusaha untuk menentukan bagaimana type dan variasi tang ada. Theorizing, yaitu fase dimana peneliti mensortir data yang ada secara sistematis. Peneliti berusaha membuat penjelasan alternative dari fenomena yang ada dalam penelitian dan mempertahankan penjelasan yang ada mereka miliki dengan data yang ada. Recontextualizing adalah peneliti berusaha mengembangkan teori yang sudah ada dan berusaha mencoba untuk mengaplikasikannya ke setting atau keadaan yang lain. Riset kualitatif di analisa dengan cara Analisa domain, taksonomi, komponensial, tema cultural, tema Kultural dan Komparasi Konstan (Grounded Theory Research. Analisa domain, berguna untuk mencari dan memperoleh gambaran umum atau pengertian yang bersifat secara mneyeluruh. Hasil yang diharapkan ialah pengertian di tingkat permukaan mengenai domain tertentu atau kategori-kategori konseptual. Analisa Taksonomi, didasarkan pada focus terhadap salah satu domain (struktur internal domain) dan pengumpulan hal-hal / elemen yang sama. Analisa Komponensial: analisa komponensial menekankan pada kontras antar elemen dalam suatu domain; hanya karakteristik-karaktersitik yang berbeda saja yang dicari. Analisa Tema Kultural: cara melakukan analisa tema kultural ialah dengan mencari benang merah yang ada yang dikaitkan dengan nilai-nilai, orientasi nilai, nilai dasar / utama, premis, etos, pandangan dunia dan orientasi kognitif. Analisa berpangkal pada pandangan bahwa segala sesuatu yang kita teliti pada dasarnya merupakan suatu yang utuh (keseluruhan), tidak terpecah-pecah; oleh karena itu peneliti dalam menganalisa data sebaiknya menggunakan pendekatan yang utuh (holistic approach). Analisa Komparasi Konstan (Grounded Theory Research): cara melakukan analisa komparasi konstan adalah sebagai berikut: mengumpulkan data untuk menyusun / menemukan suatu teori baru, berkonsentrasi pada deskripsi yang rinci mengenai sifat atau cirri dari data yang dikumpulkan untuk menghasilkan pernyataan teoritis secara umum, membuat hipotesa jalinan hubungan antara gejala yang ada, kemudian mengujinya dengan bagian data yang lain dan didasarkan dari akumulasi data yang

telah dihipotesakan, peneliti mengembangkan suatu teori baru. Sedangkan cara menganalisa data riset kualitatif yang lain : Analisa data etnografis, yaitu dimulai pada saat peneliti terjun kelapangan secara terus nenerus peneliti mencari pola tingkah laku dan pemikiran dari para responden, membandingkan satu pola dengan pola yang lain dan menganalisa pola secara simultan. Analisa data phenomenology, yaitu analisa yng memberikan gambaran arti dari setiap pengalaman melalui identifikasi tema-tema esensial dan mencari pola-pola yang umum terjadi. Analisa data grounded teori, yaitu analisa ynag menggunakan metode perbandingan secara konstan, membandingkan elemen yang ada dalam satu sumber data didalam wawancara, analisa terus berjalan sampai semua konten dari setiap sumber sudah dibandingkan antara yang satu dengan yang lainnya.Perbedaan dalam fase analisis riset kuantitatif dan kualitatif adalah sifat data kuantitatif lebih mengutamakan perhitungan statistic, mengenai rata-rata, kecendrungan, arah, kemungkinan, ramalan, persentasi, indeks, perbandingan, jumlah dan lain-lain. Analisa dalam penelitian kuantitatif bersifat deduktif, uji empiris teori yang dipakai dan dilakukan setelah selesai pengumpulan data secara tuntas dengan menggunakan sarana statistik, seperti korelasi, uji t, analisa varian dan covarian, analisa faktor, regresi linear dan lain-lain. Sedangkan data-data kualitatif tidak bisa diukur dengan angka atau data yang tidak bisa diangkakan, hanya dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat atau gambar. Analisa data sudah dapat dilakukan semenjak data diperoleh di lapangan. Data diusahakan jangan sampai terkena bermacam-macam pengaruh, antara lain pikiran peneliti sehingga menjadi terpolusi. Apabila terlalu lama baru dianalisa maka data menjadi kadaluwarsa. Analisa data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan yang tujuan akhirnya menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan pembangunan suatu teori baru.

3.Bandingkan dan bedakan kedua abstrak diatas?Di dalam sebuah riset, ada yang namanya abstrak. Abstrak yaitu penjabaran singkat tentang penelitian yang ada di awal artikel atau jurnal. Abstrak terdiri dari 100 sampai dengan 200 kata, yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan riset dan bagaimana implikasinya terhadap praktik keperawatan. Abstrak terbagi menjadi dua bagian, yaitu abstrak tradisional dan abstrak yang diperbaharui. Abstrak yang tradisional berisi tentang beberapa paragrap kesimpulan yang singkat mengenai gambaran keseluruhan dari penelitian. Abstrak yang sudah diperbaharui dalam bentuk yang lebih panjang dan informative, dengan memiliki judul yang spesipik, terdiri dari latar belakang, tujuan, metode, hasil penelitian, kesimpulan dan kata kunci yang berdiri sendiri.Abstrak 1 merupakan abstrak tradisional yang seharusnya berisi tentang beberapa paragraph kesimpulan yang singkat mengenai gambaran keseluruhan dari penelitian, walaupun pada abstrak 1 tidak menggambarkan secara keseluruhan dari pada penelitian, hanya kata kunci yang berdiri sendiri dan dijelaskan, sedangkan latar belakang, tujuan, metode, hasil dan kesimpulan tidak berdiri sendiri. Ada penjelasan tentang latar kelakang tetapi tidak jelas, peneliti mencantumkan hasil penelitian, tetapi tidak menjelaskan untuk apa penelitian/ tujuan tidak ada, kesimpulan di cantumkan tetapi tidak jelas, metode yang digunakan sudah dijelaskan. Secara umum isi abstrak 1 membingungkan dan tidak memberikan ringkasan utama dari laporan penelitian. Pada abstrak 2 merupakan abstrak yang sudah diperbaharui karena dalam bentuk yang lebih panjang dan lebih informative, dengan memiliki judul yang spesipik, terdiri dari latar belakang, tujuan, metode, hasil penelitian, kesimpulan dan kata kunci yang berdiri sendiri. Peneliti sudah menjelaskan tentang latar belakang, tujuan, metode, hasil penelitian, kesimpulan dan kata kunci. Tetapi, penjelasan pertama peneliti bukan tentang latar belakang, melainkan

tentang tujuan penelitian. Walaupun demikian, di bandingkan dengan abstrak 1, abstrak 2 secara keseluruhan lebih jelas, padat dan dapat menyajikan ringkasan tentang hasil penelitian.Jadi, abstrak adalah informasi singkat dan padat tentang ringkasan hasil penelitian. Perbedaan abstrak 1 dengan abstrak 2 adalah, abstak 1 merupakan abstrak tradisional dan isi keseluruhan membingungkan dan tidak memberikan ringkasan utama dari laporan penelitian, sedangkan abstrak 2 merupaskan abstrak yang sudah di perbaharui secara keseluruhan lebih jelas, padat dan dapat menyajikan ringkasan tentang hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Dempsey P. A., & Dempsey A. D. (2002). Riset keperawata: Buku ajar dan latihan (4th ed.) (P. Wiyastuti, Trans.). Jakarta: EGC.

Nursalam, (2008). Konsep & penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan edisi 2. Jakarta : Salemba Medika

Nursalam & Pariani, S. (2000). Pendekatan praktis metodologi riset keperawatan. Jakarta : Sagung Seto

Polit, D. F.,& Beck, C.T.(2006). Essential of nursing research: Methods, Appraisal, and Utilization (6th ed.).Philadelphia: Lippincott

RANGKUMAN TEKNIK SAMPLING PADA DATA KUANTITATIF DAN CARA MENENTUKAN UKURAN SAMPEL Wednesday, February 18, 2009

Pada penelitian kuantitatif Populasi dan sampel merupakan sumber utama untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam mengungkapkan fenomena atau realitas yang dijadikan fokus penelitian kita. Oleh karena itu, sebelum pada bahasan teknik sampling pada data kuantitaf dan bagaimana cara menentukan ukuran sampel, maka kita harus tahu terlebih dahulu mengenai:

Populasi adalah seperangkat unit analisa lengkap yang sedang diteliti.

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih untuk dipelajari.

Sampling adalah cara-cara atau teknik penarikan sampel dari populasi.

Teknik Sampling pada data kuantitatif

1. Probability Sampling (Menggunakan Prinsip Random)

a. Cluster Random Sampling

Teknik ini digunakan apabila ukuran populasinya tidak diketahui dengan pasti, sehingga tidak memungkinkan untuk dibuatkan kerangka samplingnya, dan keberadaannya tersebar secara geografis atau terhimpun dalam klaster-klaster yang berbeda-beda.

Apabila klaster itu bersifat wilayah geografis yang kecil, maka pengambilan sampelnya dapat dilakukan satu tahap (simple cluster sampling).

Akan tetapi jika klasternya besar atau wilayah geografisnya besar, maka pengambilan sampel tidak cukup hanya satu tahap, melainkan harus beberapa tahap. Dalam keadaan yang demikian gunakanlah teknik sampling klaster banyak tahap (multistage cluster sampling).

Keuntungan menggunakan teknik ini ialah jika kluster-kluster didasarkan pada perbedaan geografis maka biaya penelitiannya menjadi lebih murah. Karakteristik kluster dan populasi dapat diestimasi.

Kelemahannya ialah membutuhkan kemampuan untuk membedakan masing-masing anggota populasi secara unik terhadap kluster, yang akan menyebabkan kemungkinan adanya duplikasi atau penghilangan individu-individu tertentu.

b. Stratified Random Sampling

Teknik sampling ini digunakan apabila populasinya tidak homogen (heterogen). Makin heterogen suatu populasi, makin besar pula perbedaan sifat-sifat antara lapisan tersebut. Untuk dapat menggambarkan secara tepat tentang sifat-sifat populasi yang heterogen, maka populasi yang bersangkutan harus dibagi-bagi kedalam lapisan-lapisan (strata) yang seragam atau homogen, dan dari setiap strata dapat diambil sampel secara random (acak).

Untuk dapat menggunakan teknik sampling random strata, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain (Singarimbun dan Effendi, 1989:162-163):

1. Harus ada kriteria yang jelas yang akan dipergunakan sebagai dasar untuk menstratifikasi populasi ke dalam lapisan-lapisan.

2. Harus ada data pendahuluan dari populasi mengenai kriteria yang dipergunakan untuk menstratifikasi. Jumlah satuan elementer dari setiap strata (ukuran setiap subpopulasi) harus diketahui dengan pasti. Hal ini diperlukan agar peneliti dapat membuat kerangka sampling untuk setiap subpopulasi atau strata yang akan dijadikan sumber dalam menentukan sampel atau responden.

Sampel strata terdiri dari dua macam, yaitu Sampel strata proporsional

Teknik sampling random strata proporsional digunakan apabila proporsi ukuran subpopulasi atau jumlah satuan elementer dalam setiap strata relatif seimbang atau relatif sama besar. Dalam sampel strata proporsional, dari setiap strata diambil sampel yang sebanding dengan besar setiap strata dengan berpatokan pada pecahan sampling (sampling fraction) yang sama yang digunakan. Pecahan sampling adalah angka yang menunjukkan persentase ukuran sampel yang akan diambil dari ukuran populasi tertentu.

Cara pengambilan sample dilakukan dengan menyeleksi setiap unit sampling yang sesuai dengan ukuran unit sampling. Keuntungannya ialah aspek representatifnya lebih meyakinkan sesuai dengan sifat-sifat ynag membentuk dasar unit-unit yang mengklasifikasinya, sehingga mengurangi keanekaragamannya. Karakteristik-karakeristik masing-masing strata dapat diestimasikan sehingga dapat dibuat perbandingan.

Kerugiannya ialah membutuhka informasi yang akurat pada proporsi populasi untuk masing-masing strata. Jika hal tersebut diabaikan maka kesalahan akan muncul.

Sampel strata disproporsional

Pada Sampel Strata Disproporsional, ukuran sampel yang diambil dari setiap subpopulasi (strata) sama besarnya, yang berbeda adalah pecahan samplingnya.

Strategi pengambilan sample sama dengan proporsional. Perbedaanya ialah terletak pada ukuran sample yang tidak proporsional terhadap ukuran unit sampling karena untuk kepentingan pertimbangan analisa dan kesesuaian.

c. Simple Random Sampling

Sampel acak sederhana adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Peluang yang dimiliki oleh setiap unit penelitian untuk dipilih sebagai sampel sebesar n/N, yakni ukuran sampel yang dikehendaki dibagi dengan ukuran populasi. Dalam menggunakan Teknik Sampling Random Sederhana ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain (Singarimbun dan Effendy, 1989):

1. Harus tersedia kerangka sampling atau memungkinkan untuk dibuatkan kerangka samplingnya (dalam kerangka sampling tidak boleh ada unsur sampel yang dihitung dua kali atau lebih).

2. Sifat populasinya harus homogen, jika tidak, kemungkinan akan terjadi bias.

3. Ukuran populasinya tidak tak terbatas, artinya harus pasti berapa ukuran populasinya.

4. Keadaan populasinya tidak terlalu tersebar secara geografis.

Teknis pelaksanaannya ada dua cara, yakni:

1. Dengan mengundi unsur-unsur penelitian atau satuan-satuan elementer dalam populasi.

2. Dengan menggunakan Tabel Angka Random. d. Teknik Sampling Random Sistematik (Systematic Random Sampling)

Apabila ukuran populasinya sangat besar, hingga tidak memungkinkan dilakukan pemilihan sampel dengan cara pengundian, maka teknik sampling random sederhana tidaklah tepat untuk digunakan. Dalam keadaan populasi yang demikian, gunakanlah teknik sampling random sistematik. Persyaratan yang harus dipenuhi agar teknik sampling ini dapat digunakan, sama dengan persyaratan untuk sampel random sederhana, yakni tersedianya kerangka sampling (ukuran populasinya diketahui dengan pasti), dan populasinya mempunyai pola beraturan yang memungkinkan untuk diberikan nomor urut serta bersifat homogen.

Cara penggunaan teknik sampling random sistematik ini mirip dengan cara sampling random sederhana. Bedanya, pada teknik sampling sistematik perandoman atau pengundian hanya dilakukan satu kali, yakni ketika menentukan unsur pertama dari sampling yang akan diambil. Penentuan unsur sampling selanjutnya ditempuh dengan cara memanfaatkan interval sampel. Interval sampel adalah angka yang menunjukkan jarak antara nomor-nomor urut yang terdapat dalam kerangka sampling yang akan dijadikan patokan dalam menentukan atau memilih unsur-unsur sampling kedua dan seterusnya hingga unsur ke-n. Interval sampel biasanya dilambangkan dengan huruf k.

Interval sampel atau juga disebut sampling rasio diperoleh dengan cara membagi ukuran populasi dengan ukuran sampel yang dikehendaki (N/n). Misalnya, dari populasi (N) berukuran 500 kita akan mengambil sampel (n) berkuran 50, maka interval samplingnya adalah 500/50=10 atau k =10. Andaikan yang terpilih sebagai unsur sampling pertama adalah satuan elementer yang bernomor s, maka penentuan unsur-unsur sampel berikutnya adalah:

Unsur pertama = s

Unsur kedua = s + k

Unsur ketiga = s + 2k

Unsur keempat = s + 3k, dan seterusnya hingga unsur ke-n.

2. Non Probability Sampling(Tidak Menggunakan Prinsip Random)

Dalam menentukan sampel dengan menggunakan taknik sampling nonrandom, tidak menggunakan prinsip kerandoman (prinsip teori peluang). Dasar penentuannya adalah pertimbangan-pertimbangan tertentu dari peneliti atau dari penelitian. Sebagai konsekuensinya, teknik sampling nonrandom ini tidak dapat digunakan apabila penelitian kita dirancang sebagai sebuah penelitian eksplanatif yang akan menguji hipotesis tertentu, misalnya penelitian korelasional, karena rumus uji statistik inferensial tidak dapat diterapkan untuk data yang berasal

dari sampel nonrandom. Teknik sampling ini secara luas sering digunakan untuk penelitian-penelitian eksploratif atau penelitian deskriptif.

Ada beberapa jenis sampel nonrandom yang sering digunakan dalam penelitian sosial/penelitian komunikasi, di antaranya adalah:

1. Sampel Aksidental (accidental sampling). Sampel ini sering disebut sebagai sampel kebetulan yang pengambilannya didasarkan pada pertimbangan kemudahan bagi peneliti (bukan penelitian), sehingga sampel ini sering kali disebut convenience sampling atau sampel keenakan. Orang-orang ilmu statistika bahkan menyebutnya sebagai sampel kecelakaan, karena saking tidak representatifnya sampel tersebut. Sebisa mungkin, hindari untuk menggunakan sampel ini, jika kesimpulan penelitian kita ingin memperoleh kemampuan generalisasi yang tepat.

2. Sampel Kuota (quota sampling). Teknik sampling kuota merupakan teknik sampling yang sejenis dengan teknik sampling strata. Perbedaannya adalah ketika mengambil sampel dari setiap strata tidak menggunakan cara-cara random, tetapi menggunakan cara-cara kemudahan (convenience). Caranya, tentukan ukuran sampel dari masing-masing strata lalu teliti siapa sejumlah orang yang sesuai dengan ukuran sampel yang ditentukan tadi, siapa saja asal berasal dari strata tersebut.

3. Sampel Purposif (purposeful sampling). Teknik ini disebut juga judgemental sampling atau sampel pertimbangan bertujuan. Dasar penetuan sampelnya adalah tujuan penelitian. Sampel ini digunakan jika dalam upaya memperoleh data tentang fenomena atau masalah yang diteliti memerlukan sumber data yang memilki kualifikasi spesifik atau kriteria khusus berdasarkan penilaian tertentu, tingkat signifikansi tertentu.

4. Sampel Bola Salju (Snowball)

Memilih unit-unit yang mempunyai karakterisitik langka dan unit-unit tambahan yang ditunjukkan oleh responden sebelumnya. Keuntungannya ialah hanya digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Kelemahannya ialah keterwakilan dari karakteristik langka dapat tidak terlihat di sample yang sudah dipilih.

Cara Menentukan Ukuran Sampel

Ukuran sampel atau besarnya sampel yang diambil dari populasi, merupakan salah satu faktor penentu tingkat kerepresentatifan sampel yang digunakan. Pertanyaannya, berapa besar sampel harus diambil dari populasi agar memenuhi syarat kerepresentatifan?

Menurut I Gusti Bagoes Mantra dan Kasto dalam buku yang ditulis oleh Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai (1989), menyatakan bahwa sebelum kita menentukan berapa besar ukuran sampel yang harus diambil dari populasi tertentu, ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan yaitu:

1. Derajat Keseragaman Populasi (degree of homogenity). Jika tinggi tingkat homogenitas populasinya tinggi atau bahkan sempurna, maka ukuran sampel yang diambil boleh kecil, sebaliknya jika tingkat homogenitas populasinya rendah (tingkat heterogenitasnya tinggi) maka ukuran sampel yang diambil harus besar. Untuk menentukan tingkat homogenitas populasi sebaiknya dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan uji statistik tertentu.

2. Tingkat Presisi (level of precisions) yang digunakan. Tingkat presisi, terutama digunakan dalam penelitian eksplanatif, misalnya penelitian korelasional, yakni suatu pernyataan peneliti tentang tingkat keakuratan hasil penelitian yang diinginkannya. Tingkat presisi biasanya dinyatakan dengan taraf signifikansi (α) yang dalam penelitian sosial biasa berkisar 0,05 (5%) atau 0,01 (1%), sehingga keakuratan hasil penelitiannya (selang kepercayaannya) 1–α yakni bisa 95% atau 99%. Jika kita menggunakan taraf signifikansi 0,01 maka ukuran sampel yang diambil harus lebih besar daripada ukuran sampel jika kita menggunakan taraf signifikansi 0,05.

3. Rancangan Analisis. Rancangan analisis yang dimaksud adalah sesuatu yang berkaitan dengan pengolahan data, penyajian data, pengupasan data, dan penafsiran data yang akan ditempuh dalam penelitian.

4. Alasan-alasan tertentu yang berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasn yang ada pada peneliti, misalnya keterbatasan waktu, tenaga, biaya, dan lain-lain.

Selain mempertimbangkan faktor-faktor di atas, beberapa buku metode penelitian menyarankan digunakannya rumus tertentu untuk menentukan berapa besar sampel yang harus diambil dari populasi. Jika ukuran populasinya diketahui dengan pasti, Rumus Slovin di bawah ini dapat digunakan.

Rumus Slovin:

N

n = ———

1 + Ne²Keterangan;n = ukuran sampelN = ukuran populasie =kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang ditololerir, misalnya 5%.Batas kesalahan yang ditolelir ini untuk setiap populasi tidak sama, ada yang 1%, 2%, 3%, 4%,5%, atau 10%.Jika ukuran populasinya besar yang didapat dari pendugaan proporsi populasi, maka Rumus Yamane yang harus digunakan.

N

n = ———–

Nd² + 1

d = batas toleransi kesalahan pengambilan sampel yang digunakan.

Misalnya, kita ingin menduga proporsi pembaca koran dari populasi 4.000 orang. Presisi ditetapkan di antara 5% dengan tingkat kepercayaan 95%, maka besarnya sampel adalah:

4000

n = ————————- = 364

4000 x (0,05)² + 1

Sumber:

Santoso. (2008). Populasi dan Metode Sampling (Materi VI). Tersedia di http://ssantoso.blogspot.com/2008/08/populasi-dan-metode-sampling-materi-vi.html/

Sugiana, Dadang. (2008). Secuil Tentang Sampling dalam Penelitian Kuantitatif. Tersedia di http ://dankfsugiana.wordpress.com/2008/07/08/ populasi-dan-teknik-sampling /

Pada penelitian kuantitatif Populasi dan sampel merupakan sumber utama untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam mengungkapkan fenomena atau realitas yang dijadikan fokus penelitian kita. Oleh karena itu, sebelum pada bahasan teknik sampling pada data kuantitaf dan bagaimana cara menentukan ukuran sampel, maka kita harus tahu terlebih dahulu mengenai:

Populasi adalah seperangkat unit analisa lengkap yang sedang diteliti.

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih untuk dipelajari.

Sampling adalah cara-cara atau teknik penarikan sampel dari populasi.

Teknik Sampling pada data kuantitatif

1. Probability Sampling (Menggunakan Prinsip Random)

a. Cluster Random Sampling

Teknik ini digunakan apabila ukuran populasinya tidak diketahui dengan pasti, sehingga tidak memungkinkan untuk dibuatkan kerangka samplingnya, dan keberadaannya tersebar secara geografis atau terhimpun dalam klaster-klaster yang berbeda-beda.

Apabila klaster itu bersifat wilayah geografis yang kecil, maka pengambilan sampelnya dapat dilakukan satu tahap (simple cluster sampling).

Akan tetapi jika klasternya besar atau wilayah geografisnya besar, maka pengambilan sampel tidak cukup hanya satu tahap, melainkan harus beberapa tahap. Dalam keadaan yang demikian gunakanlah teknik sampling klaster banyak tahap (multistage cluster sampling).

Keuntungan menggunakan teknik ini ialah jika kluster-kluster didasarkan pada perbedaan geografis maka biaya penelitiannya menjadi lebih murah. Karakteristik kluster dan populasi dapat diestimasi.

Kelemahannya ialah membutuhkan kemampuan untuk membedakan masing-masing anggota populasi secara unik terhadap kluster, yang akan menyebabkan kemungkinan adanya duplikasi atau penghilangan individu-individu tertentu.

b. Stratified Random Sampling

Teknik sampling ini digunakan apabila populasinya tidak homogen (heterogen). Makin heterogen suatu populasi, makin besar pula perbedaan sifat-sifat antara lapisan tersebut. Untuk dapat menggambarkan secara tepat tentang sifat-sifat populasi yang heterogen, maka populasi yang bersangkutan harus dibagi-bagi kedalam lapisan-lapisan (strata) yang seragam atau homogen, dan dari setiap strata dapat diambil sampel secara random (acak).

Untuk dapat menggunakan teknik sampling random strata, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain (Singarimbun dan Effendi, 1989:162-163):

1. Harus ada kriteria yang jelas yang akan dipergunakan sebagai dasar untuk menstratifikasi populasi ke dalam lapisan-lapisan.

2. Harus ada data pendahuluan dari populasi mengenai kriteria yang dipergunakan untuk menstratifikasi. Jumlah satuan elementer dari setiap strata (ukuran setiap subpopulasi) harus diketahui dengan pasti. Hal ini diperlukan agar peneliti dapat membuat kerangka sampling untuk setiap subpopulasi atau strata yang akan dijadikan sumber dalam menentukan sampel atau responden.

Sampel strata terdiri dari dua macam, yaitu Sampel strata proporsional

Teknik sampling random strata proporsional digunakan apabila proporsi ukuran subpopulasi atau jumlah satuan elementer dalam setiap strata relatif seimbang atau relatif sama besar. Dalam sampel strata proporsional, dari setiap strata diambil sampel yang sebanding dengan besar setiap strata dengan berpatokan pada pecahan sampling (sampling fraction) yang sama yang digunakan. Pecahan sampling adalah angka yang menunjukkan persentase ukuran sampel yang akan diambil dari ukuran populasi tertentu.

Cara pengambilan sample dilakukan dengan menyeleksi setiap unit sampling yang sesuai dengan ukuran unit sampling. Keuntungannya ialah aspek representatifnya lebih meyakinkan sesuai dengan sifat-sifat ynag membentuk

dasar unit-unit yang mengklasifikasinya, sehingga mengurangi keanekaragamannya. Karakteristik-karakeristik masing-masing strata dapat diestimasikan sehingga dapat dibuat perbandingan.

Kerugiannya ialah membutuhka informasi yang akurat pada proporsi populasi untuk masing-masing strata. Jika hal tersebut diabaikan maka kesalahan akan muncul.

Sampel strata disproporsional

Pada Sampel Strata Disproporsional, ukuran sampel yang diambil dari setiap subpopulasi (strata) sama besarnya, yang berbeda adalah pecahan samplingnya.

Strategi pengambilan sample sama dengan proporsional. Perbedaanya ialah terletak pada ukuran sample yang tidak proporsional terhadap ukuran unit sampling karena untuk kepentingan pertimbangan analisa dan kesesuaian.

c. Simple Random Sampling

Sampel acak sederhana adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Peluang yang dimiliki oleh setiap unit penelitian untuk dipilih sebagai sampel sebesar n/N, yakni ukuran sampel yang dikehendaki dibagi dengan ukuran populasi. Dalam menggunakan Teknik Sampling Random Sederhana ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain (Singarimbun dan Effendy, 1989):

1. Harus tersedia kerangka sampling atau memungkinkan untuk dibuatkan kerangka samplingnya (dalam kerangka sampling tidak boleh ada unsur sampel yang dihitung dua kali atau lebih).

2. Sifat populasinya harus homogen, jika tidak, kemungkinan akan terjadi bias.

3. Ukuran populasinya tidak tak terbatas, artinya harus pasti berapa ukuran populasinya.

4. Keadaan populasinya tidak terlalu tersebar secara geografis.

Teknis pelaksanaannya ada dua cara, yakni:

1. Dengan mengundi unsur-unsur penelitian atau satuan-satuan elementer dalam populasi.

2. Dengan menggunakan Tabel Angka Random. d. Teknik Sampling Random Sistematik (Systematic Random Sampling)

Apabila ukuran populasinya sangat besar, hingga tidak memungkinkan dilakukan pemilihan sampel dengan cara pengundian, maka teknik sampling random sederhana tidaklah tepat untuk digunakan. Dalam keadaan populasi yang demikian, gunakanlah teknik sampling random sistematik. Persyaratan yang harus dipenuhi agar teknik sampling ini dapat digunakan,

sama dengan persyaratan untuk sampel random sederhana, yakni tersedianya kerangka sampling (ukuran populasinya diketahui dengan pasti), dan populasinya mempunyai pola beraturan yang memungkinkan untuk diberikan nomor urut serta bersifat homogen.

Cara penggunaan teknik sampling random sistematik ini mirip dengan cara sampling random sederhana. Bedanya, pada teknik sampling sistematik perandoman atau pengundian hanya dilakukan satu kali, yakni ketika menentukan unsur pertama dari sampling yang akan diambil. Penentuan unsur sampling selanjutnya ditempuh dengan cara memanfaatkan interval sampel. Interval sampel adalah angka yang menunjukkan jarak antara nomor-nomor urut yang terdapat dalam kerangka sampling yang akan dijadikan patokan dalam menentukan atau memilih unsur-unsur sampling kedua dan seterusnya hingga unsur ke-n. Interval sampel biasanya dilambangkan dengan huruf k.

Interval sampel atau juga disebut sampling rasio diperoleh dengan cara membagi ukuran populasi dengan ukuran sampel yang dikehendaki (N/n). Misalnya, dari populasi (N) berukuran 500 kita akan mengambil sampel (n) berkuran 50, maka interval samplingnya adalah 500/50=10 atau k =10. Andaikan yang terpilih sebagai unsur sampling pertama adalah satuan elementer yang bernomor s, maka penentuan unsur-unsur sampel berikutnya adalah:

Unsur pertama = s

Unsur kedua = s + k

Unsur ketiga = s + 2k

Unsur keempat = s + 3k, dan seterusnya hingga unsur ke-n.

2. Non Probability Sampling(Tidak Menggunakan Prinsip Random)

Dalam menentukan sampel dengan menggunakan taknik sampling nonrandom, tidak menggunakan prinsip kerandoman (prinsip teori peluang). Dasar penentuannya adalah pertimbangan-pertimbangan tertentu dari peneliti atau dari penelitian. Sebagai konsekuensinya, teknik sampling nonrandom ini tidak dapat digunakan apabila penelitian kita dirancang sebagai sebuah penelitian eksplanatif yang akan menguji hipotesis tertentu, misalnya penelitian korelasional, karena rumus uji statistik inferensial tidak dapat diterapkan untuk data yang berasal dari sampel nonrandom. Teknik sampling ini secara luas sering digunakan untuk penelitian-penelitian eksploratif atau penelitian deskriptif.

Ada beberapa jenis sampel nonrandom yang sering digunakan dalam penelitian sosial/penelitian komunikasi, di antaranya adalah:

1. Sampel Aksidental (accidental sampling). Sampel ini sering disebut sebagai sampel kebetulan yang pengambilannya didasarkan pada pertimbangan kemudahan bagi peneliti (bukan penelitian), sehingga sampel ini sering kali disebut convenience sampling atau sampel keenakan. Orang-orang ilmu statistika bahkan menyebutnya

sebagai sampel kecelakaan, karena saking tidak representatifnya sampel tersebut. Sebisa mungkin, hindari untuk menggunakan sampel ini, jika kesimpulan penelitian kita ingin memperoleh kemampuan generalisasi yang tepat.

2. Sampel Kuota (quota sampling). Teknik sampling kuota merupakan teknik sampling yang sejenis dengan teknik sampling strata. Perbedaannya adalah ketika mengambil sampel dari setiap strata tidak menggunakan cara-cara random, tetapi menggunakan cara-cara kemudahan (convenience). Caranya, tentukan ukuran sampel dari masing-masing strata lalu teliti siapa sejumlah orang yang sesuai dengan ukuran sampel yang ditentukan tadi, siapa saja asal berasal dari strata tersebut.

3. Sampel Purposif (purposeful sampling). Teknik ini disebut juga judgemental sampling atau sampel pertimbangan bertujuan. Dasar penetuan sampelnya adalah tujuan penelitian. Sampel ini digunakan jika dalam upaya memperoleh data tentang fenomena atau masalah yang diteliti memerlukan sumber data yang memilki kualifikasi spesifik atau kriteria khusus berdasarkan penilaian tertentu, tingkat signifikansi tertentu.

4. Sampel Bola Salju (Snowball)

Memilih unit-unit yang mempunyai karakterisitik langka dan unit-unit tambahan yang ditunjukkan oleh responden sebelumnya. Keuntungannya ialah hanya digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Kelemahannya ialah keterwakilan dari karakteristik langka dapat tidak terlihat di sample yang sudah dipilih.

Cara Menentukan Ukuran Sampel

Ukuran sampel atau besarnya sampel yang diambil dari populasi, merupakan salah satu faktor penentu tingkat kerepresentatifan sampel yang digunakan. Pertanyaannya, berapa besar sampel harus diambil dari populasi agar memenuhi syarat kerepresentatifan?

Menurut I Gusti Bagoes Mantra dan Kasto dalam buku yang ditulis oleh Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai (1989), menyatakan bahwa sebelum kita menentukan berapa besar ukuran sampel yang harus diambil dari populasi tertentu, ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan yaitu:

1. Derajat Keseragaman Populasi (degree of homogenity). Jika tinggi tingkat homogenitas populasinya tinggi atau bahkan sempurna, maka ukuran sampel yang diambil boleh kecil, sebaliknya jika tingkat homogenitas populasinya rendah (tingkat heterogenitasnya tinggi) maka ukuran sampel yang diambil harus besar. Untuk menentukan tingkat homogenitas populasi sebaiknya dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan uji statistik tertentu.

2. Tingkat Presisi (level of precisions) yang digunakan. Tingkat presisi, terutama digunakan dalam penelitian eksplanatif, misalnya penelitian korelasional, yakni suatu pernyataan peneliti tentang tingkat keakuratan hasil penelitian yang diinginkannya. Tingkat presisi biasanya dinyatakan dengan taraf signifikansi (α) yang dalam penelitian sosial biasa berkisar 0,05 (5%) atau 0,01 (1%), sehingga keakuratan hasil

penelitiannya (selang kepercayaannya) 1–α yakni bisa 95% atau 99%. Jika kita menggunakan taraf signifikansi 0,01 maka ukuran sampel yang diambil harus lebih besar daripada ukuran sampel jika kita menggunakan taraf signifikansi 0,05.

3. Rancangan Analisis. Rancangan analisis yang dimaksud adalah sesuatu yang berkaitan dengan pengolahan data, penyajian data, pengupasan data, dan penafsiran data yang akan ditempuh dalam penelitian.

4. Alasan-alasan tertentu yang berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasn yang ada pada peneliti, misalnya keterbatasan waktu, tenaga, biaya, dan lain-lain.

Selain mempertimbangkan faktor-faktor di atas, beberapa buku metode penelitian menyarankan digunakannya rumus tertentu untuk menentukan berapa besar sampel yang harus diambil dari populasi. Jika ukuran populasinya diketahui dengan pasti, Rumus Slovin di bawah ini dapat digunakan.

Rumus Slovin:

N

n = ———

1 + Ne²Keterangan;n = ukuran sampelN = ukuran populasie =kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang ditololerir, misalnya 5%.Batas kesalahan yang ditolelir ini untuk setiap populasi tidak sama, ada yang 1%, 2%, 3%, 4%,5%, atau 10%.Jika ukuran populasinya besar yang didapat dari pendugaan proporsi populasi, maka Rumus Yamane yang harus digunakan.

N

n = ———–

Nd² + 1d = batas toleransi kesalahan pengambilan sampel yang digunakan.

Misalnya, kita ingin menduga proporsi pembaca koran dari populasi 4.000 orang. Presisi ditetapkan di antara 5% dengan tingkat kepercayaan 95%, maka besarnya sampel adalah:

4000

n = ————————- = 364

4000 x (0,05)² + 1

Sumber:

Santoso. (2008). Populasi dan Metode Sampling (Materi VI). Tersedia di http://ssantoso.blogspot.com/2008/08/populasi-dan-metode-sampling-materi-vi.html/

Sugiana, Dadang. (2008). Secuil Tentang Sampling dalam Penelitian Kuantitatif. Tersedia di http ://dankfsugiana.wordpress.com/2008/07/08/ populasi-dan-teknik-sampling /

Posted by Hariyono at 7:21 AM  

Labels: Teknik Sampling

0 comments:

Post a CommentNewer Post Older Post Home

Subscribe to: Post Comments (Atom)

PARADIGMA PENELITIAN KUANTITATIFDAN KUALITATIF

Oleh: Parluhutan Siregar

A. Pengertian Paradigma Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962)[1], dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik[2]. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.

Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi, ontologi, dan metodologi. Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfocuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan[3]. Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan; (1) apa yang harus

dipelajari; (2) persoalan-persoalan apa yang harus dijawab; (3) bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4) aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh[4].

B. Paradigma Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Menurut Kuhn, perkembangan ilmu tidak selalu berjalan linear, karena itu tidak benar kalau dikatakan perkembangan ilmu itu bersifat kumulatif. Penolakan Kuhn didasarkan pada hasil analisisnya terhadap perkembangan ilmu itu sendiri yang ternyata sangat berkait dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu. Bahkan bisa terjadi dalam satu waktu, beberapa metode pengetahuan berkembang bersamaan dan masing-masing mengembangkan disiplin keilmuan yang sama dengan paradigma yang berlainan. Perbedaan paradigma dalam mengembangkan pengetahuan, menurut Kuhn, akan melahirkan pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of thought) para ilmuwan berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka dengan sendirinya pemahaman mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam. Konsekwensi terjauh dari perbedaan mode of thought ini adalah munculnya keragaman skema konseptual pengembangan pengetahuan yang kemudian berakibat pula pada keragaman teori-teori yang dihasilkan. Mengacu pada Kuhn, dapat dikatakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan, bahwa pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan berbeda dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Paling tidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; (1) pandangan filsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda; (2) pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; dan (3) karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda[5].

Perbedaan paradigma yang dianut para ilmuan ternyata tidak hanya berakibat pada perbedaan skema konseptual penelitian, melainkan juga pada perbedaan produk pengetahuan. Perbedaan dimaksud dapat terlihat terutama pada tiga level yaitu pada; penjernihan epistemologi, level “middle range” teori, khususnya dalam menguraikan pengetahuan ke dalam kerangka kerja teoritis; dan tingkat metode dan teknik[6].

Hampir semua disiplin ilmu menghadapi persoalan keragaman paradigma, terlebih lagi bidang ilmu-ilmu sosial. Sosiologi, misalnya, dapat didekati dari berbagai macam paradigma (multi paradigma). Dalam Sosiologi dikenal sejumlah paradigma sosiologi yang cukup dominan, antara lain Paradigma Fakta Sosial, Paradigma Definisi Sosial, dan Paradigma Perilaku Sosial. Keragaman paradigma ini sudah jelas memunculkan sejumlah pendekatan yang berlainan terhadap suatu obyek, baik dalam mendefinisikan hakikat obyek itu sendiri, maupun dalam cara menganalisisnya --yang hasilnya sudah dapat dipastikan akan berbeda antara satu sama lain. C. Paradigma Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Ada pernyataan dari Egon G. Guba yang cukup menarik untuk ditanggapi di sini, yaitu bahwa “A paradigm may be viewed as set of basic beliefs (or metaphisies) that deals with ultimetes or principles[7]. Keyakinan itu, menurut Guba, merepresentasikan pandangan dunia tentang hakikat sesuatu, serta merupakan dasar di dalam nurani dimana ia diterima dengan penuh kepercayaan. Sesuatu yang diyakini kebenarannya tanpa didahului penelitian sistematis, dalam filsafat ilmu, disebut dengan aksioma atau asumsi dasar. Keyakinan (beliefs), aksioma atau asumsi dasar tersebut menempati posisi penting dalam menentukan skema konseptual penelitian, ia merupakan dasar permulaan yang melandasi semua proses dan kegiatan penelitian.             Berkait dengan proposisi di atas, penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki perbedaan paradigma yang amat mendasar. Penelitian kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1926). 1. Paradigma kuantitatif:

Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme). Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge)  yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason)[8]. Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan

paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.

Bagaimana pandangan penganut kuantitatif tentang fakta? Dalam penelitian kuantitatif diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar otologisnya dalam melihat fakta atau gejala. Asumsi-asumsi dimaksud adalah; (1) obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik bentuk, struktur, sifat maupun dimensi lainnya; (2) suatu benda atau keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu; dan (3) suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, melainkan merupakan akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jadi diyakini adanya determinisme atau proses sebab-akibat (causalitas)[9]. Dalam kaitannya dengan poin terakhir, lebih jauh Russel Keat & John Urry, seperti dikutip oleh Tomagola, mengemukakan bahwa setiap individual event/case tidak mempunyai eksistensi sendiri yang lepas terpisah dari kendali empirical regularities. Tiap individual event/case hanyalah manifestasi atau contoh dari adanya suatu empirical regularities[10].

Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris. Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi untuk diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru. Jadi, secara epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico, hypothetico, verifikatif[11].

Dalam metode kuantitatif, dianut suatu paradigma bahwa dalam setiap event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya,  cukup banyak, karena itu tidak mungkin menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis.

Lebih khusus mengenai metode analisis dan prinsip pengambilan kesimpulan, Julia Brannen, ketika menjelaskan paradigma kuantitatif dan kualitatif, mengungkap paradigma penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian kuantitatif menggunakan enumerative induction dan cenderung membuat generalisasi (generalization)[12]. Penekanan analisis data dari pendekatan enumerative induction adalah perhitungan secara kuantitatif, mulai dari frekuensi sampai analisa statistik. Selanjutnya pada dasarnya generalisasi adalah pemberlakuan hasil temuan dari sampel terhadap semua populasi, tetapi karena dalam paradigma kuantitatif terdapat asumsi mengenai adanya “keserupaan” antara obyek-obyek tertentu, maka generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai universalisasi.

2. Paradigma Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit[13].

      Terdapat sejumlah aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif, seperti Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, dan Etnometodologi. Harus diakui bahwa aliran-aliran tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, namun demikian ada satu benang merah yang mempertemuan mereka, yaitu pandangan yang sama tentang hakikat manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas dasar sistem makna yang membudaya dalam diri masing-masing pelaku[14].

      Bertolak dari proposisi di atas, secara ontologis, paradigma kualitatif berpandangan bahwa fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas konteksnya. Sebab tingkah laku (sebagai fakta) tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari setiap konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang deterministik dan bebas konteks.      Dalam Interaksionisme simbolis, sebagai salah satu rujukan penelitian kualitatif, lebih dipertegas lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai obyek studi. Di sini ditekankankan perspektif pandangan  sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada individu ‘dengan kepribadian diri pribadi’ dan pada interaksi antara pendapat intern dan emosi seseorang dengan tingkah laku sosialnya[15].       Paradigma kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan. Keteraturan itu terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari kancah – bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Karenanya, secara epistemologis, paradigma kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai bahan dasar untuk melakukan verifikasi.      Dalam penelitian kualitatif, ‘proses’ penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen pengumpul data merupakan satu prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti alam proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan.      Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi (extrpolation). Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi simbol-simbol yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan cara merubah data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang dilakukan simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu kasus ke kasus lainnya, kemudian –dari proses analisis itu--dirumuskan suatu pernyataan teoritis[16].  

D. Perbedaan Paradigma Kuantitatif-Kualitatif            Bertolak dari perbedaan-perbedaan disebut di atas, dapat dicatat berbagai perbedaan paradigma yang cukup signifikan antara penelitian kuantitatif dengan kualitatif. Seperti dikemukakan sebelumnya, penelitian kuantitatif memiliki perbedaan paradigmatik dengan penelitian kualitatif. Secara garis besar, perbedaan dimaksud mencakup beberapa hal:KUANTITATIF1. Positivistik

2. Deduktif-Hipotetis

3. Partikularistik

4. Obyektif

5. Berorientasi kpd hasil

6. Menggunakan pandangan ilmu pengetahuan alam

KUALITATIF1. Fenomenologik

2. Induktif

3. Holistik

4. Subyektif

5. Berorientasi kpd proses

6. Menggunakan pandangan ilmu sosial/antropological

 

            Lebih lanjut perbedaan paradigma kedua jenis penelitian ini dapat dielaborasi sebagai berikut:

Paradigma Kuantitatif Paradigma Kualitatif

1. Cenderung menggunakan metode kuantitatif, dalam pengumpulan dan analisa data, termasuk dalam penarikan sampel.

2. Lebih menenkankan pada proses berpikir positivisme-logis, yaitu suatu cara berpikir yang ingin menemukan fakta atau sebab dari sesuatu kejadian dengan mengesampingkan keadaan subyektif dari individu di dalamnya.

3. Peneliti cenderung ingin menegakkan obyektifitas yang tinggi, sehingga dalam pendekatannya menggunakan pengaturan-pengaturan secara ketat (obstrusive) dan berusaha mengendalikan stuasi (controlled).

4. Peneliti berusaha menjaga jarak dari situasi yang diteliti, sehingga peneliti tetap berposisi sebagai orang “luar” dari obyek penelitiannya.

5. Bertujuan untuk menguji suatu teori/pendapat untuk mendapatkan kesimpulan umum (generasilisasi) dari sampel yang ditetapkan.

6. Berorientasi pada hasil, yang berarti juga kegiatan pengumpulan data lebih dipercayakan pada intrumen (termasuk pengumpul data lapangan).

7. Keriteria data/informasi lebih ditekankan pada segi realibilitas dan biasanya cenderung mengambil data konkrit (hard fact).

8. Walaupun data diambil dari wakil populasi (sampel), namun selalu ditekankan pada pembuatan generalisasi.

9. Fokus yang diteliti sangat spesifik (particularistik) berupa variabel-variabel tertentu saja. Jadi tidak bersifat holistik.

1. Cenderung menggunakan metode kualitatif, baik dalam pengumpulan maupun dalam proses analisisnya.

2. Lebih mementingkan penghayat-an dan pengertian dalam menangkap gejala (fenomenologis).

3. Pendekatannya wajar, dengan menggunakan pengamatan yang bebas (tanpa pengaturan yang ketat).

4. Lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “orang dalam”.

5. Bertujuan untuk menemukan teori dari lapangan secara deskriptif dengan menggunakan metode berpikir induktif. Jadi bukan untuk menguji teori atau hipotesis.

6. Berorientasi pada proses, dengan mengandalkan diri peneliti sebagai instrumen utama. Hal ini dinilai cukup penting karena dalam proses itu sendiri dapat sekaligus terjadi kegiatan analisis, dan pengambilan keputusan.

7. Keriteria data/informasi lebih menekankan pada segi validitasnya, yang tidak saja mencakup fakta konkrit saja melainkan juga informasi simbolik atau abstrak.

8. Ruang lingkup penelitian lebih dibatasi pada kasus-kasus singular, sehingga tekannya bukan pada segi generalisasinya melainkan pada segi otensitasnya.

9. Fokus penelitian bersifat holistik,meliputi aspek yang cukup luas (tidak dibatasi pada variabel

tertentu).

               DARI: PUSAT PENELITIAN IAIN SUMATRA UTARA MEDAN

Zulfikar'Site, site, MahasiswaHome Blog Photos Video Music Links

Penelitian Kuantitatif Versus Penelitian Kuantitatif

Posted by zulkifli on Mar 28, '08 10:58 PM for everyone

Penelitian Kuantitatif Versus Penelitian Kualitatif Statisticians try to measure IT Experimentalists try to control IT Evaluators value IT Interviewers ask questions about IT Observers watch IT Participant observers do IT

-- from Halcolm’s Evaluation Laws

Debat di kalangan peneliti mengenai kebenaran relatifitas antara penelitian kuantitatif dan kualitatif telah berlangsung sejak lama (Patton, 1990). Perdebatan berfokus pada perbedaan landasan filosofis dan paradigma yang digunakan pada kedua metode penelitian tersebut. Para peneliti pro kuantitatif berorientasi pada logika positivisme yang dipelopori oleh August Comte (abad ke-19). Pandangan positivisme meyakini bahwa hanya pembuktian secara logis-empiris saja yang diterima sebagai satu-satunya kebenaran ilmiah (Lubis, 2004). Mereka berkeyakinan bahwa suatu fenomena tidak terjadi secara kebetulan namun oleh karena adanya sebab-akibat (Loiselle & McGrath, 2004).

Sedangkan peneliti pro kualitatif memiliki keyakinan “anti-positivisme”. Mereka mengkritisi budaya ilmiah yang obyektif, mekanistis, linear dan universal serta pandangan ilmu pengetahuan yang

berkesatuan (unified science) dan bebas nilai. Menurut Thomas Samuel Kuhn (1922-1996), ilmu pengetahuan selalu dimuati oleh asumsi-asumsi lain. Misalnya asumsi tentang realitas juga bersinggungan dengan realitas sosiologis dan epistemologis (Lubis, 2004).

Beberapa peneliti mengatakan bahwa salah satu metode penelitian lebih baik atau lebih ilmiah dibanding metode lainnya. Mereka menganggap mazhab penelitian yang ia anut adalah paling shahih dan tidak dapat diganggu-gugat. Dalam buku Qualitative Data Analysis, Miles dan Huberman (1994), mengutip pernyataan seorang peneliti kuantitatif, Fred Kerlinger, "There's no such thing as qualitative data. Everything is either 1 or 0" (hal. 40). Pada halaman yang sama peneliti lain, D. T. Campbell, memberikan penegasan yang berlawanan dengan Fred Kerlinger, "all research ultimately has a qualitative grounding" (hal. 40). Kedua pernyataan konfrontatif tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah ketidakproduktifan yang mendasar (essentially unproductive), karena banyak peneliti lain telah sepakat metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digunakan secara bersamaan. Keduanya dapat saling mengisi keterbatasan masing-masing dan memperkaya perspektif peneliti dalam mengungkapkan fenomena yang diteliti (Streubert, & Carpenter, 1999; Denzin & Lincoln, 1994; Doornbos, 2001). Walaupun keberhasilan dalam mengkombinasikan dua metode penelitian tersebut tergantung pada kemampuan dan pengalaman peneliti (Patton, 1990).

Misalnya, penelitian epidemiologi dan uji klinik bertujuan untuk menguji kemaknaan hipotesis. Peneliti mencoba berpikir secara mekanis dan dalam menggambarkan fenomena penelitian ia menggunakan pola pikir deduksi dan rasional patofisiologi. Implikasi pertanyaan dalam metode penelitian kuantitatif tersebut adalah pertanyaan whether (misal: apakah sebuah intervensi memiliki efek penyembuhan yang bermakna?) dan how much (misal: seberapa besar pengaruh faktor risiko tertentu terhadap kejadian suatu penyakit?) (Battista, Hodge, & Vineis, 1995). Namun kadangkala peneliti membutuhkan jawaban interpretatif guna menjelaskan fenomena sosial yang abstrak dan tidak mudah diukur. Misal: makna dan pengalaman sakit bagi seseorang atau keluarga, dalam hal ini penelitian kualitatif tidak bisa menggunakan pertanyaan whether atau how much, tetapi akan lebih tepat menjelaskan fenomena dengan pertanyaan apa (what), bagaimana (how) dan mengapa (why) (Sofaer, 1999). Oleh karena itu, penelitian kualitatif lebih sesuai untuk menggali fenomena sosial, emosional, dan pengalaman seseorang dalam konteks pelayanan kesehatan (Giacomini & Cook, 2000)

Menurut Glesne & Peshkin (1992), perbedaan mendasar antara penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat dijelaskan melalui empat aspek, yaitu: asumsi, tujuan penelitian, pendekatan, dan peran peneliti.

Asumsi. Penelitian kuantitatif memiliki ciri khas berhubungan dengan data numerik dan bersifat obyektif. Fakta atau fenomena yang diamati memiliki realitas obyektif yang bisa diukur. Variabel-variabel penelitian dapat diidentifikasi dan interkorelasi variabel dapat diukur. Peneliti kuantitatif menggunakan sisi pandangannya untuk mempelajari subyek yang ia teliti (etik). Keunggulan penelitian kuantitatif terletak pada metodologi yang digunakan. Penelitian kualitatif cenderung menggunakan data teks yang bersifat subyektif. Realitas yang dipelajari dikonstruksikan sesuai dengan nilai sosial partisipan (subyek penelitian), oleh karenanya pemaknaan realitas sesuai dengan pemahaman partisipan (emik). Penelitian kualitatif memiliki jalinan variabel yang

kompleks dan sulit untuk diukur.

Tujuan penelitian. Penelitian kuantitatif memiliki tujuan menjeneralisasi temuan penelitian sehingga dapat digunakan untuk memprediksi situasi yang sama pada populasi lain. Penelitian kuantitatif juga digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat antar variabel yang diteliti. Berbeda dengan penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan realitas secara kontekstual, interpretasi terhadap fenomena yang menjadi perhatian peneliti dan memahami perspektif partisipan terhadap masalah kesehatan.

Pendekatan. Penelitian kuantitatif dimulai dengan teori dan hipotesis. Peneliti menggunakan teknik manipulasi dan mengkontrol variabel melalui instrumen formal untuk melihat interaksi kausalitas. Peneliti mencoba mereduksi data menjadi susunan numerik selanjutnya ia melakukan analisis terhadap komponen penelitian (variabel). Penarikan kesimpulan secara deduksi dan menetapkan norma secara konsensus. Bahasa penelitian dikemas dalam bentuk laporan.

Penelitian kualitatif tidak memerlukan hipotesis, justru kadang-kadang diakhiri dengan hipotesis. Perumusan teori berdasarkan data yang telah tersaturasi (grounded theory). Peneliti menggunakan teknik penggambaran (portrayal) secara alamiah terhadap fenomena yang muncul sekaligus dirinya merupakan instrumen penelitian itu sendiri. Penarikan kesimpulan secara induksi dengan menemukan salah satu pola yang berlaku dari pluralitas dan kompleksitas norma. Bahasa penelitian dikemas secara deskriptif.

Peran peneliti. Dalam penelitian kuantitatif, peneliti secara ideal berlaku sebagai observer subyek penelitian yang tidak terpengaruh dan memihak (obyektif). Sedangkan penelitian kualitatif justru memerlukan keberpihakan dan keterlibatan peneliti agar ia dapat memahami (empati) situasi partisipan penelitian secara holistik.

Akhirnya, pilihan metode yang digunakan sangatlah bergantung pada kepentingan peneliti. Kita tidak bisa mengklaim bahwa paradigma penelitian yang kita anut lebih ilmiah dibanding pandangan orang lain. Secara implisit Hukum Evaluasi Halcolm menekankan bahwa pilihan metode yang tepat harus sesuai dengan tujuan yang peneliti inginkan. Selain itu, pilihan metode penelitian perlu mempertimbangkan pengalaman, ketertarikan peneliti, populasi yang akan diteliti, waktu, biaya, tenaga dan sumber daya peneliti lainnya. Agaknya kita perlu sepakat dengan ungkapan Glesne dan Peshkin (1992): different approaches allow us to know and understand different things about the world. http://bondanriset.blogspot.com

GENERALISASI VERSUS TRANSFERABILITY

In Qualitative, Quantitative, Validitas on Juni 16, 2008 at 1:40 am

Bahwa hasil penelitian kualitatif tidak dapat diterapkan atau diberlakukan secara umum dalam cakupan yang lebih luas dianggap sebagai “titik lemah” penelitian kualitatif. “Titik lemah” ini acap kali diserang oleh penganut fanatik aliran penelitian kuantitatif. Namun para peneliti kualitatif tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu kelemahan, karena mereka memahami makna keberlakuan suatu hasil penelitian dari sudut pandang berbeda.

Pendekatan kuantitatif sangat mengagungkan konsep generalisasi, yaitu derajat keberlakuan suatu temuan yang diperoleh dari sumber tertentu dalam jumlah terbatas kepada sumber yang lebih besar jumlahnya baik terbatas (finite) maupun tidak (infinite). Konsep generalisasi tidak dapat dipisahkan dari konsep populasi dan sampel, dua konsep yang maha penting dalam pendekatan kuantitatif. Tidak akan ada generalisasi tanpa sampel dan populasi. Generalisasi menjembatani sampel dengan populasi. Populasi merupakan batasan konseptual terhadap sumber-sumber yang diasumsikan mengandung informasi yang relevan dengan masalah penelitian. Generalisasi diperlukan manakala peneliti tidak menggali informasi dari keseluruhan sumber (populasi) melainkan hanya menggali dari sebagian sumber (sampel) yang dipilih berdasarkan kaidah-kaidah probabilistik dalam ilmu statistika. Sehingga ketika peneliti kuantitatif menemukan bahwa sampel berbentuk trapesium maka dia berkeyakinan dalam derajat tertentu populasi penelitiannya juga berbentuk trapesium, bukan lingkaran, bukan bujur sangkar, bukan persegi panjang apalagi kubus.

Sebaliknya, peneliti kualitatif tidak ambil pusing apakah hasil penelitiannya berlaku secara umum atau tidak. Karena bukan generalisasi yang menjadi tujuan utama penelitian kualitatif. Namun bukan berarti hasil penelitian kualitatif tidak dapat “digeneralisasi”. Hasil penelitian kualitatif dapat “digeneralisasi”, hanya saja tidak “segampang” generalisasi dalam penelitian kuantiatif. Peneliti kualitatif menggunakan istilah transferability yang merujuk pada konsep keberlakukan suatu hasil penelitian dalam situasi atau konteks tertentu.

Lalu apa bedanya konsep generalisasi dengan transferability? Sebelum membahas perbedaannya kita cermati dahulu persamaannya. Generalisasi dan transferability memiliki tujuan yang sama yaitu memberlakukan hasil penelitian pada populasi, konteks, situasi, kondisi yang lebih besar, identik, umum dan luas. Sedangkan perbedaan kedua konsep ini terletak pada makna dan syarat keberlakuan suatu hasil penelitian. Generalisasi mengandung makna penyamarataan, pemukulrataan. Jika sebuah penelitian kuantitatif menemukan korelasi kuat dan signifikan secara statistik antara frekuensi pemasangan iklan dengan peningkatan sales maka bagi peneliti kuantitatif temuan ini berlaku bagi siapapun yang ingin meningkatkan sales suatu produk, caranya gampang, perbanyaklah beriklan. Generalisasi mengatasi dimensi ruang dan waktu. Namun tidak demikian halnya dengan konsep transferability. Transferability mengandung makna pentrasferan, atau pemindahan. Jika sebuah penelitian kualitatif menyimpulkan bahwa pelanggan yang tidak puas terhadap suatu produk belum tentu mengurangi konsumsi terhadap produk tersebut atau menghentikannya sama sekali. Maka peneliti kualitatif tidak serta merta mengklaim bahwa penemuan tersebut berlaku secara umum dan luas. Kesimpulan ini dapat ditransfer atau diberlakukan pada situasi atau konteks tertentu jika situasi atau konteks tersebut identik dengan situasi atau konteks dimana temuan tersebut diperoleh. Misalnya kesimpulan di atas didapatkan setelah melakukan wawancara mendalam dan diskusi dengan beberapa pengguna telepon selular. Mereka tetap loyal meskipun tidak puas dengan produk ataupun pelayanan operator karena malas bergonta-ganti nomor hp. Kesimpulan ini tidak dapat ditransfer ke konteks pelanggan majalah atau koran misalnya.

Karena konteks pengguna telepon selular berbeda dengan konteks pelanggan majalah atau koran.

Generalisasi mensyaratkan kesempatan yang sama bagi setiap sumber informasi (sampel) ketika dipilih dari kumpulan total sumber informasi (populasi), syarat ini dikenal dengan istilah syarat keacakan atau random. Selanjutnya berdasarkan kaidah-kaidah statistika yang sistematik, ketat, dan mapan dapat ditentukan derajat keberlakuan suatu kesimpulan yang diperoleh semata dari sampel terhadap populasi yang lebih besar dan luas. Sedangkan transferability mensyaratkan pendeskripsian yang detil, rinci dan holistik terhadap konteks, situasi, ataupun latar belakang dari sekumpulan sumber informasi sehingga pihak lain dapat memberlakukan kesimpulan yang dihasilkan dari sumber informasi tersebut jika menemui konteks, situasi ataupun latarbelakang yang identik.

Jika generalisasi dengan penuh percaya diri dapat mengklaim suatu kesimpulan penelitian berlaku kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun maka transferability menyerahkan sepenuhnya pada penilaian pihak lain, apakah kesimpulan suatu penelitian dapat diberlakukan pada situasi atau kondisi tertentu. Si peneliti hanya perlu menyediakan penjelasan yang detil, rinci dan holistik tentang situasi, kondisi, dan latar belakang sumber informasi (sampel) selanjutnya terserah pada keyakinan si penilai…

” PENELITIAN TINDAKAN KELAS ( PTK )   “

Posted on November 22, 2008 by alexemdi

PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK PENELITIAN TINDAKAN KELAS

(Classroom Action Research)Oleh. Dr. H. Karwono, M.Pd