penelitian kriminologi
-
Upload
mazzidz-dur-rahmann -
Category
Documents
-
view
395 -
download
2
Transcript of penelitian kriminologi
“CIU DAN KEMATIAN MASSAL DI SALATIGA, STUDI ATAS
KORBAN MINUMAN KERAS OPLOSAN DI SALATIGA”.
Laporan penelitian
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah KriminologiDosen Pengampu : M. Yusuf Khummaini, MH
Disusun Oleh:MAZID RAHMAN (21107003)M. FUAD RIZA (21107005)HADAENA MU’ARIFAH (21107010)
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Manusia merupakan makhluk yang tidak mungkin bisa untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri, mereka pasti memerlukan manusia lain untuk pemenuhan kebutuhan
tersebut, oleh karena itulah manusia melakukan interaksi, dari sinilah manusia berubah
menjadi makhluk social.
Untuk menjamin keteraturan interaksi itu manusia mengadakan sebuah kontrak social
yang dapat menjamin hak-hak serta kewajiban manusia dalam berinteraksi sehingga
kehidupan mereka akan lebih terjaga. Kontrak social paling kecil akan membentuk suatu
keluarga dan kontrak social paling besar akan membentuk apa yang dinamakan dengan
Negara.
Negara menurut J.J. Rosseau seperti yang dikutip oleh Ahmad Suhelmi(2007:253)
merupakan sebuah produk perjanjian social. Individu-individu dalam masyarakat sepakat
untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yang dimilikinya demi
sebuah kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini yang kelak kemudian bernama Negara,
kedaulatan rakyat, kekuasaan Negara atau istilah-istilah lain yang identik denganya. Negara
berdaulat karena mandat dari rakyat. Negara diberi mandat oleh rakyat untuk mengayomi,
mengatur, dan menjaga keamanan diri maupun harta benda mereka. Dalam kontrak social
terbesar ini suatu golongan besar masyarakat memberikan janjinya untuk patuh dan tunduk
terhadap golongan kecil lainya(birokrat/penguasa) dengan konsekuensi penguasapun akan
memenuhi kewajibanya untuk mengayomi, melindungi dan menciptakan keamanan dan
kesejahteraan masyarakat.
Kebutuhan tiap manusia sendiri berbeda-beda dari suatu daerah dengan daerah lain,
hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa factor seperti letak geofrafis, social, budaya,
ekonomi, agama dan lainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang membuata Negara tidak
mungkin untuk mengontrol seluruh kebijakanya dari pusat. Oleh karena itu Negara dalam hal
ini membagi wilayah kekuasaannya dalam berbagai daerah teritorial baru dibawah kekuasaan
pusat, di Indonesia wilayah kekuasaan ini sering disebut juga sebagai propinsi. Dalam suatu
propinsi sendiri juga terdiri dari berbagai macam unsur masyarakat sehingga dibentuklah
wilayah kekuasaan dibawah propinsi yang disebut dengan kabupaten ataub kotamadya.
Dibawah kabupaten dan kotamadya sendiri masih ada wilayah kekuasaan berupa kecamatan
dan desa/kelurahan dibawahnya.
Setiap daerah memiliki kebijakan otonomi daerahnya sendiri-sendiri, akan tetapi
semakin rendah wilayah kekuasaan maka semakin sedikit pula otonomi yang diperoleh.
Seperti otonomi yang diperoleh desa tentu akan lebih kecil dari otonomi dari kecamatan, hal
ini dapat difahami dikarenakan desa sendiri harus tunduk dari kebijakan hasil otonomi dari
kecamatan
Kotamadya memiliki tingakatan kekuasaan yang sama dengan kabupaten, akan tetapi
kotamadya memiliki keistimewaan yang berbeda dengan kabupaten, biasanya hal tersebut
dikarenakan kotamadya memiliki sejarah, kondisi ekonomi serta politik yang berbeda dengan
daerah lainya. Seperti halnya Salatiga, memiliki kelebihan daerah lain dari unsur sejarah,
kebudayaan, ekonomi serta kerukunan umat beragama yang lebih kaya dari daerah lain.
Religiusitas masyarakat salatiga sendiri dapat terlihat dari banyaknya masjid-masjid, gereja-
gereja, lembaga keagamaan, universitas Islam/non Islam, kegiatan keagamaan rutin serta
banyak hal lainya. Sedangkan dalam kerukunan umat beragama dapat dilihat dengan
besarnya toleransi umat beragama di Salatiga, tidak adanya bentrokan kepentingan umat
beragama, serta bangunan-bangunan masjid dan gereja yang berhadap-hadapan dan berdiri
kokoh tanpa adanya fanatisme beragama yang berlebihan. Dari hal-hal tersebut dapat dilihat
kedewasaan masyarakat Salatiga dalam bidang beragama.
Oleh karena itu tidak heran pula jika pemerintah Kota Salatiga memiliki slogan
HATTI BERIMAN selain mewakili kondisi masyarakat Salatiga tersebut, slogan tersebut
juga merupakan sebuah harapan dan motivasi yang besar bagi masyarakat Salatiga untuk
selalu meningkatkan tingkat religiusitas keagamaanya.
Akan tetapi, pada pertengahan tahun lalu terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan di
kota ini, sebanyak 180 orang dinyatakan tewas oleh cius(minuman keras oplosan) jumlah
tersebut adalah jumlah yang diketahui belum jumlah lain yang masih belum terdata ataupun
korban yang masih dapat hidup. Hal ini tentu sangat kontradiktif dengan persepsi pemerintah
kota Salatiga dengan semboyan HATTI BERIMANnya. Terlebih pada akhirnya pemerintah
Salatiga seolah menutup-nutupi kenyataan ini dari pemberitaan luar. Hal ini menimbulkan
pertanyaan apakah kondisi keagamaan masyarakat Salatiga sudah mengalami pergeseran
sehingga slogan HATTI BERIMAN tersebut layak untuk digugat kenyataanya. Oleh karena
itulah peneliti melakukan penelitian ini dengan judul “CIU DAN KEMATIAN MASSAL DI
SALATIGA, STUDI ATAS KORBAN MINUMAN KERAS OPLOSAN DI SALATIGA”.
1.2 Fokus Penelitian/Rumusan Masalah
Terkait dengan latar belakang masalah di atas, permasalahan utama yang akan dikaji
dalam penelitian ini dipertajam dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan korban meminum ciu/minuman keras
oplosan?
2. Diantara faktor-faktor yang ada manakah yang paling dominan?
3. Bagaimanakah reaksi masyarakat sekitar akan adanya korban ciu tersebut?
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai beriktu:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan korban meminum
ciu/minuman keras oplosan
2. Untuk mengetahui factor paling dominan yang menyebabkan korban meminum
ciu.
3. Untuk mengetahui reaksi masyarakat sekitar akan adanya korban ciu tersebut
1.4 Kegunaan penelitian/signifikasi penelitian
Penelitian ini berguna untuk menemukan solusi alternative dalam
mengahadapi problem-problem social. Penelitian ini juga berguna untuk para peminat
studi keislaman, agar mereka mengetahui seberapa besar tantangan Agama Islam
dalam mengahadapi perubahan masyarakat yang terjadi secara terus menerus.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian dan pendekatan
Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan
filosofis, interpretasi realitas dengan menghindari detail-detail persoalan lain yang bukan
merupakan fokus pembahasan.
1.7.2 Kehadiran peneliti
Penelitian ini bersifat observasi
1.7.3 Lokasi Penelitian
Penelitian ini bertempat di dusun Banjaran RT 07 RW 07 Mangun Sari, Kecamatan
Kota Salatiga, Jawa Tengah.
1.7.4 Kebutuhan dan sumber data
Jenis data yang digunkan dalam penelitian ini adalah:
a. Data primer : data hasil observasi, dokumentasi dan wawancara
b. Data sekunder : data hasil telaah pustaka
1.7.5 Analisis data
Adapun analisis atas data dilakukan setelah proses pengumpulan data selesai, diawali
dengan proses reduksi/seleksi datauntuk mendapatkan informasi yang lebih terfokus pada
rumusan persoalan yang ingin dijawab oleh peneliti ini, kemudian disusul oleh proses
diskripsi yakni menyusun data itu menjadi sebuah teks naratif. Pada saat penyusunan teks
naratif inilah dilakukan analisis data dan dibangun teori-teori yang siap untuk diuji kembali
kebenaranya dengan tetap berpegang teguh pada pendekatan filosofis, setelah proses
deskripsi selesai barulah dilakukan proses penyimpulan. mendapatkan hasil yang akurat
kemudian dibuatlah sebuah teks naratif kedua berupa laporan akhir penelitian.
1.7.7 Tahapan-Tahapan Penelitian
Penelitian ini melewati tahap-tahap sebagai berikut:
1. Pengumpulan data
2. Pemilihan data yang sesuai dengan fokus pembahasan
3. Pemilihan data yang valid
4. Analisis awal
5. Penyusunan teks dan penarikan kesimpulan awal
6. Analisis kesimpulan adakah data yang kurang valid dimasukkan
7. Penyusunan teks dan laporan akhir penelitian
BAB II
PAPARAN DATA
3.1 Monografi daerah kelurahan Mangunsari
3.1.1 Jumlah penduduk berdasarkan usia
Jumlah penduduk kelurahan Mangunsari adalah 16.423, dengan kelompok usia 0-4 tahun
sebanyak 1.417, 5-9 sebanyak 1.384, 10-14 sebanyak 1525, 15-19 sebanyak 1.784, 20-24
sebanyak 1.587, 25-29 sebanyak 2.327, 30-39 sebanyak 2.109, 40-49 sebanyak 1.804, 50-59
sebanyak 1.395, >60 sebanyak 1.053.
3.1.2 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian
Buruh tani sebanyak 97, Pengusaha sebanyak 209, Buruh Industri sebanyak 3.456, Buruh
Bangunan sebanyak 1.967, pedagang sebanyak 2.289, Pengangkutan sebanyak 719,
PNS/ABRI sebanyak 1.081, pensiunan sebanyak 936, lain-lain sebanyak 2.221.
3.1.3 Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan
Tamatan akademi/sarjana sebanyak 1.019, tamatan SLTA sebanyak 4.346, tamatan SLTP
sebanyak 3.352, tamatan SD sebanyak 3.046, tidak tamat SD sebanyak 567, belum tamat SD
sebanyak 2.023, tidak sekolah sebanyak 747.
3.1.4 Jumlah penduduk berdasarkan agama
Kelurahan Mangunsari yang terdiri dari 8 RW ini memiliki penduduk Islam sebanyak 11.371,
Kristen Katholik sebanyak 1.614, Kristen Protestan sebanyak 3.274, Budha sebanyak 20,
hindu sebanyak 4 orang.
3.1.5 Institusi pendidikan
Terdapat 7 SD Negeri, 1 SD Swasta, 1 Madrasah Ibtidaiyyah, 2 SMP, 3 SMA, 1 SMK, 1
sekolah Internasional, 2 SMEA, 1 Universitas, 1 Pondok Pesantren, dan 1 SJTKI.
3.1.6 Tempat Ibadah
Terdapat 17 Masjid dan 6 Gereja
3.2 Hasil wawancara
3.2.1 Boidata Suwito
Nama Lengkap : Suwito
Umur : 31 Tahun
Pekerjaan : Pengamen
Alamat : RT 07 RW 07 Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti
Salatiga
Pendidikan terakhir : SMA Kristen Salatiga
Istri : Priyani
Anak : 2 Orang
3.2.2 Kondisi Masyarakat RT 07 RW 07
Menurut penuturan Bapak Nur Cahyo selaku ketua RT 07 RW 07
menyebutkan bahwa pada umumnya RT tersebut dalam keadaan aman dan
tentram tanpa adanya permasalahan yang berarti, terutama dalam kerukunan
umat beragama. Meskipun jumlah penduduk Islam disini hampir sebanding
dengan penduduk Kristen(Islam sebanyak 125 dan Kristen sebanyak 75
warga) ini terdapat kebiasaan yang unik, yaitu adanya perayaan tahun baru
Muharram yang dilaksanakan bersama-sama dengan umat Kristen. Di RT ini
terdapat 1 buah Gereja dan satu buah mushola yang terletak hampir
berdekatan. Setiap malam jumat terdapat kegiatan Tahlilan dan yasinan untuk
warga muslim, dan setiap minggu terdapat kegiatan agama bagi warga Kristen.
Dari segi perekonomian warga RT ini masuk dalam golongan
menengah ke bawah, rumah-rumah di desa ini sangat sederhana dengan
tingkat kepadatan yang tinggi, tingkat pendidikan warga di RT ini mayoritas
adalah SMA disusul SD lalu Sarjana. Ketika ditanya tentang hal-hal yang
berhubungan dengan Bapak Suwito Ketua RT enggan untuk menyampaikan
penjelasan dikarenakan termasuk hak privasi keluarganya, terjadinya maslah
minuman keras menurut Ketua RT tersebut juga merupakan urusan pribadi
Bapak Suwito. Beliau hanya menuturkan bahwa bapak Suwito kurang aktif
dalam kegiatan RT, saat ditanya tentang watak/karakter anggota keluarga
bapak Suwito Ketua RT tersebut juga tidak dapat memberikan jawaban
dikarenakan kurang mengenal mereka.
3.2.3 Hasil wawancara dengan Keluarga Bapak Suwito
Bapak Suwito tinggal dirumah mertuanya yang berada di RT 07 RW
07. Rumah keluarga tersebut tergolong sangat sederhana bahkan tidak
memenuhi standar rumah keluarga, dengan hanya berdinding bambu dan
sedikit tembok pada bagian depan rumah. Lantai rumah pada bagian ruang
tamu sudah diplester sedangkan pada bagian belakang masih berupa tanah.
Rumah kecil tersebut dihuni oleh empat orang. Namun walaupun demikian
keluarga bapak Suwito merupakan keluarga yang sangat ramah.
Menurut penuturan istri dari Bapak Suwito(Ibu Priyani) Bapak Suwito
telah memiliki kebiasaan buruk sejak masa SMA, hal ini sangat dipengaruhi
oleh teman-teman SMA nya, Sejak kecil Bapak Suwito merupakan korban
perceraian dan hanya ikut dengan Bapak dan kakanya, walaupun berasal dari
keluarga yang baik-baik akan tetapi Bapak Suwito sejak remaja telah memiliki
kebiasaan-kebiasaan buruk sering mencuri, merokok sejak usia dini dan lain
lainya. Pihak keluarganya pun telah berusaha menasehatinnya tapi pengaruh
buruk teman-teman Bapak Suwito lebih kuat. Kondisi Bapak Suwito semakin
buruk ketika Ibunya meninggal, Bapak Suwito mulai memiliki kebiasaan
buruk untuk minum-minuman keras, hal ini sangat dipengaruhi oleh teman-
teman remajanya. Sejak memiliki hobi minuman keras ini bapak Suwito mulai
memikirkan untuk bekerja demi menyalurkan hobinya tersebut dan Bapak
Suwito memilih untuk menjadi pengamen, hal ini banyak didorong oleh
keinginan teman-temanya yang banyak berada di jalanan baik sebagai preman
maupun pengamen. Setelah menikah bapak Suwito tinggal di rumah Keluarga
istrinya, meskipun telah menikah kebiasaan-kebiasaan buruk bapak Suwito
tidak berubah bahkan semakin menjadi jadi, mabuk menjadi kegiatan rutin
dari bapak Suwito. Keluarga istri pun telah menasehati tapi tetap tidak
dihiraukan sehingga pada akhirnya terjadilah tragedi minuman oplosan
tersebut. Pada awalnya tidak ada ketakutan sama sekali dari keluarga akan
terjadinya kematian akibat minuman keras oplosan. Hal ini dikarenakan bapak
Suwito telah sering melakukanya dan tidak ada bahaya sama sekali. Bahkan
pada siang hari kejadian Bapak Suwito masih meminum miras oplosan dan
tidak terjadi apapun dan pada malam harinya Bapak Suwito membeli
minuman oplosan itu kembali dan terjadilah kejadian tersebut. Pada awalnya
Bapak Suwito hanya mengalami gangguan mata dan pendengaran akan tetapi
setelah tiga hari bapak Suwito mengalami kebutaan dan karena itulah dia dia
dibawa ke Rumah Sakit Paru dan meninggal disana. Setelah Bapak Suwito
meninggal keluarganya pun melaporkanya kepada kepolisian dan baru setelah
ada laporan tersebut polisi menindak lanjuti dengan menangkap Produsen
minuman keras oplosan tersebut. Setelah Bapak Suwito meninggal terdapat isu
adanya kompensasi sebesar Rp.3000.000,- dari pemerintah akan tetapi sampai
saat ini hal tersebut belum terwujud.
Menurut Ibu mertua bapak Suwito adalah orang yang keras kepala,
emosional dan tertutup, bahkan dia tidak dapat bergaul dengan masyarakat
sekitar dan lebih memilih untuk bergaul bersama teman-teman jalananya.
Bapak Suwito dikenal tidak suka mengikuti kegiataan keagamaan di RT nya
dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk melakukan hal-hal yang
negative. Secara tingkat religiusitas Bapak Suwito tergolong sangat rendah,
dia sangat jarang melaksanakan sholat lima waktu terlebih puasa Ramadhan
dan ibadah-ibadah wajib lainya. Menurut penuturanya bapak Suwito sering
meminum-minuman keras terutama ketika dia mengalami masalah dalam hal
ekonomi.
3.2.4 Biodata Bapak Jerry
Nama : Paul Jerry Novianto
Umur : 30 tahun
Agama : Kristen
Pekerjaan : Pengamen
Alamat : Ngawen, RT 08/RW 06, Kelurahan Mangunsari, Kota Salatiga
Anak : 1
3.2.5 Kondisi RT 08/RW06
Bapak Jerry bertempat tinggal di RT 08/RW 06 , secara umum RT
tersebut berada dalam keadaan aman. Menurut salah satu tokoh masyarakat di
RT ini mayoritas penduduknya beragama Kristen. Akan tetapi walaupun
dalam keadaan aman RT ini banyak penduduk yang memiliki hobi meminum
minuman keras, dan para penduduk lain yang tidak minum minuman keraspun
merasa tidak terganggu karena menggangap hal tersebut bukan merupakan
suatu pelanggaran karena sudah menjadi adat kebiasaan masyarakat RT
tersebut. Keadaan demikian tentu sangat menunjang pelaku minuman keras
tersebut, karena mereka tidak terusik dalam menyalurkan kegemaranya. Saat
ditanya tentang kondisi Bapak Jerry mereka juga menggangap bahwa itu
adalah resiko dari bapak Jerry sendiri dan bukan urusan mereka.
3.2.5 Hasil Wawancara dengan Keluarga Bapak Jerry
Paul Jerry Novianto, biasa dipanggil Jerry oleh lingkungan sekitar.
Dikenal sebagai sosok yang pendiam dan jarang bersosialisasi di masyarakat.
Kesehariaannya dia mengamen di perempatan-perempatan lampu merah yang
ada di Salatiga. Dia mengamen sudah sejak SMA. Selain mengamen, dia
sering nongkrong di gereja, tapi tujuannya latihan musik bersama teman-
temannya, karena latar belakang keluarganya pecinta seni.
Meskipun demikian dalam hal ekonomi bapak Jerry masih tergolong
sebagai penduduk miskin, dan karena himpitan ekonomi tersebutlah dia
memutuskan untuk mengamen
Sebagai umat Kristiani, Jerry tidak begitu taat terhadap agama yang
dianutnya, beribadah di gerejapun jarang. Kalau di agama Islam dikenal ada
sebutan Islam KTP, Jerry termasuk yang demikian. Jerry memiliki seorang
istri bernama Asih dan seorang anak bernama Yogi. Terhadap keluarganya,
dia dikenal sebagai kepala keluarga dan ayah yang penyayang. Menurut
keluarganya Jerry semakin sering minum-minuman keras jika terjadi
permasalahan dalam keluarganya terutama dalam hal ekonomi.
Jerry mulai mengenal minum-minuman keras sejak SMA, dan menjadi
pecandu sampai akhir hayatnya. Disamping pengaruh lingkungan, ayahnya
sendiri juga sering minum-minuman keras. Kejadian tragis yang menimpa
Jerry hingga harus merenggut nyawanya, bermula ketika malam-malam dia
dan teman-temannya nongkrong sambil minum-minum di sekitar taman sari
tepatnya....sampai pagi. Kemudian pagi itu dia pulang ke rumah langsung
tidur, siangnya ketika bangun baru terasa pusing-pusing dan batuk, keluarga
membawanya ke rumah sakit Puri Asih Salatiga dan sempat dirawat sehari
hingga akhirnya dia meninggal dunia pada Minggu sore pukul 17.45.
BAB III
ANALISIS
3.1 Tinjauan umum perkembangan ilmu Kriminologi
Tindakan kriminal merupakan suatu bentuk penyimpangan di dalam
masyarakat, oleh karena itu tindakan kriminal ini seharusnya menimbulkan
menimbulkan respon dari masyarakat. Menurut Bemmelen yang disebut tindakan
kriminal atau kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian,
ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan,
dan untuk menentramkan masyarakat, negara harus menjatuhkan pidana kepada
penjahat. Sedangkan menurut Paul Medikdo kejahatan adalah perbuatan pelanggaran
norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan
yang merugikan dan menjengkelkan, sehingga tak boleh dibiarkan.
Dari beberapa teori pengertian tindakan criminal tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa suatu kejahatan pasti menimbulkan kerugian di masyarakat, oleh
karena itu masyarakat meresponnya melalui lembaga Negara.
Akan tetapi hal ini tidak lagi berlaku demikian pada masyarakat-masyarakat
yang individualis dengan mobilitas yang tinggi. Kontrol social di masyarakat macam
ini sangat kurang sehingga walaupun beberapa jenis macam kejahatan itu merugikan
mereka, toh mereka merasa tidak dirugikan karena mereka merasa bahwa hal tersebut
bukanlah urusan mereka dan merupakan urusan pribadi pelaku kejahatan tersebut.
Masyarakat seperti ini banyak di jumpai di daerah-daerah kota yang sudah
terpengaruh dengan arus kapitalisasi yang kuat. Minuman keras, judi dan prositusi
misalnya masyarakat-masyarakat sekarang cenderung permisif akan tindakan criminal
yang diatur dalam hokum pidana bahkan juga pada hukum Agama.
Untuk memahami bentuk masyarakat dan tindakan criminal yang semakin
kompleks tersebutlah diperlukan ilmu-ilmu atau teori-teori kriminologi yang baru
yang dapat menjelaskan fenomena diatas.
Menurut Bonger terdapat beberapa macam ilmu kriminologi yang sesuai dengan
perkembangan manusia yaitu sebagai berikut:
• Antropologi Kriminil
Yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (Somatis).
• Sosiologi Kriminil
Yaitu Ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.
• Psikologi Kriminil
Yaitu ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.
• Psikopatologi dan Neuropatologi
Yaitu ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.
• Penologi
ilmu tentang tumbuh berkembangnya hukuman.
Teori-teori sosiologi sendiri mengalami beberapa pembagian yaitu:
• Macro Theory (teori yang menjelaskan kejahatan dari struktur sosial dan dampaknya)
• Micro Theory (teori yang menjelaskan mengapa seseorang melakukan kejahatan)
• Bridging Theory (teori yang menjelaskan kejahatan dari keduanya)
Klasifikasi Teori- teori Kriminologi
Secara garis besar teori-teori kriminologi dikategorikan dalam 3 perspektif:
1. Kejahatan dari faktor biologis dan psychologis
2. Kejahatan dari faktor sosiologis
3. Kejahatan dari faktor lainnya
3.2 Minuman keras dan tindakan kriminal
Penggunaan minuman keras jelas-jelas telah di larang dalam hukum pidana terlebih
dalam hukum agama. Dalam hal ini hukum pidana memberi batasan kadar membahayakan
dari minuman keras tersebut oleh karena itu hanya beberapa produsen terntentu saja yang
sudah memenuhi standar kesehatan yang mampu memproduksi minuman tersebut. Dalam
buku III tentang pelanggran hukum pidana secara kurang tegas melarang minuman keras baik
dari segi pelaku ataupun produsen pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 536.
(1) (s.d.u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Barangsiapa berada dijalan umum dalam keadaan
mabuk, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima
rupiah.
(2) Bila pada waktu melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya
pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama atau yang
diterangkan dalam pasal 492, maka pidana denda dapat diganti dengan pidana
kurungan paling lama tiga hari.
(3) Bila terjadi pengulangan kedua dalam satu tahun setelah pemidanaan pertama
berakhir dan menjadi tetap, maka dikenakan pidana kurungan paling lama dua
minggu.
(4) Pada pengulangan ketiga atau lebih dalam satu tahun, setelah pemidanaan yang
kemudian karena pengulangan kedua atau lebih menjadi tetap, dikenakan pidana
kurungan paling lama tiga bulan. (KUHP 45, 300, 492.)
Pasal 537.
(s.d. u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Barangsiapa menjual atau memberikan minuman
keras atau arak di luar kantin tentara kepada anggota Angkatan Bersenjata di bawah
pangkat letnan atau kepada istri, anak atau pelayannya, diancam dengan pidana kurungan
paling lama tiga minggu atau pidana denda paling tinggi seribu lima ratus rupiah.
(KUHP 300, 538.)
Pasal 538.
(s.d.u. dg. UU No. 18/prp/1960.) Penjual minuman keras atau wakilnya yang pada waktu
menjalankan pekerjaannya itu memberikan atau menjual minuman keras atau arak
kepada seorang anak di bawah umur enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan
paling lama tiga minggu atau pidana denda paling tinggi seribu lima ratus rupiah.
(KUHP 300, 537.)
Pasal 539.
(s.d.u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) Barangsiapa menyediakan secara cuma-cuma
minuman keras atau arak atau menjanjikan sebagai hadiah pada waktu diadakan pesta
keramaian untuk umum atau pertunjukan rakyat atau pada waktu diselenggarakan pawai
untuk umum, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua belas hari atau pidana
denda paling tinggi tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Oleh karena masih terdapat celah-celah dalam undang-undang ini yang dapat digunakan
para pelaku dan produsen dalam peredaran minuman keras maka hukum pidana ini dilengkapi
lagi dengan undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika dan UU No. 22 tahun
1997 tentang narkotika, dalam hal ini minuman keras oplosan jelas-jelas telah melanggar
ketentuan tersebut dan seharusnya pemerintah lebih tanggap dengan adanya peredaran
minuman keras ini.
Akan tetapi tindak kejahatan harus dilihat dari beberapa sisi bukan hanya sisi
ketersediaan minuman keras tersebut yang menarik pelaku untuk melakukan kejahatan tapi
juga sisi psikologis, social, pendidikan dan religiusitas seperti teori yang dituturkan diatas,
dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan terdapat beberapa variasi penyebab pelaku
dan korban minuman keras melakukan tindakan kriminal tersebut. Hal tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Faktor ekonomi
Dari hasil wawancara yang ada memperlihatkan bahwa faktor ekonomi
menempati posisi yang penting dalam proses pelaku meminum-minuman keras.
Dengan tidak memiliki pekerjaan dan hanya menggantungkan hidup sebagai seorang
pengamen pelaku menjadi rentan untuk meminum minuman keras. Para pelaku
melakukanya terutama untuk menghilangkan problem-problem kehidupan yang
mereka alami terutama dalam masalah materi yang selalu menghimpit keluarga
mereka. Selain itu minuman keras oplosan dengan harga yang murah merupakan
pendorong mereka untuk memilih jenis minuman keras ini dibanding minuman keras
lainya, dan dengan adanya minuman keras oplosan ini mereka masih dapat
menyalurkan kegemaran mereka untuk meminum minuman keras yang memang
sudah mereka miliki sejak lama.
2. Faktor pergaulan
Dari proses wawancara tersebut dapat dilihat betapa besar pengaruh dari
pergaulan para pelaku dalam membawa pelaku untuk melakukan tindakan kriminal
berupa minum-minuman keras. Hal ini dapat difahami dikarenakan seorang teman
tentu dapat dengan mudah mempengaruhi teman yang lain, baik dalam masalah yang
positif terlebih yang negative. Seseorang dalam kelompok tertentu akan diakui
statusnya jika memiliki kebiasaan seperti kelompok tersebut misalnya dalam
kelompok peminum maka seseorang akan dianggap statusnya sebagai anggota
kelompok jika melakukan kebiasaan tersebut. Bahkan peminum yang memiliki
kekuatan lebih dengan tidak mudah mabuk akan memiliki kebanggaan tersendiri.
Selain itu seorang peminum yang ingin insaf dengan berhenti meminum-minuman
keras tersebut tentunya akan mendapat sanksi dari kelompok peminum tadi baik
berupa pengucilan ataupun hal lainya. Dalam suatu kelompok tersebut biasanya ada
sistem traktiran, anggota yang tidak mampu membeli minuman keras akan dibelikan
anggota lainya, selain itu ada juga sistem iuran dengan mengumpulkan uang dari para
anggota sepergaulan dan digunakan untuk mabuk bersama. Hal-hal seperti inilah yang
menyebabkan ikatan antara pergaulan mereka semakin kuat dan semakin kecil
kemungkinan untuk berhenti.
Ikatan pergaulan mereka tidak hanya sebatas ikatan pertemanan saja akan
tetapi lebih dari itu, mereka memiliki ikatan psikologis dengan memiliki keinginan,
tujuan, dan cara-cara berfikir yang sama. Selain itu jika pelaku sudah memiliki ikatan
pergaulan dengan suatu kelompok maka dia cenderung untuk menutup diri pada
kelompok lain yang tidak sefaham seperti kelompok masyarakat, kelompok remaja
masjid dan lainya.
3. Faktor Lingkungan
Lingkungan sekitar para pelaku terutama pada kasus Bapak Suwito juga
mempengaruhi pelaku untuk melakukan tindakan minum-minuman keras tersebut
meski secara tidak langsung. Walaupun lingkungan para peminum tersebut tergolong
lingkungan yang baik dengan terjaminya keamanan dan kehidupan keagamaan yang
harmonis akan tetapi tindakan anggota masyarakat yang acuh tak acuh akan kondisi
para pelaku memberikan kesan permisif pada tindakan pelaku tersebut. Dalam suatu
masyarakat yang masih mempunyai kontrol sosial yang kuat jika terdapat anggota
yang melakukan tindakan kriminal maka masyarakat tersebut akan peduli dengan
memberikan sanksi yang tegas, tentunya keluarga dari pelaku dan pelaku sendiri akan
mengalami tekanan psikologis dari sanksi dari masyarakat tersebut. Akan tetapi
masyarakat yang ada pada para pelaku adalah masyarakat yang kontrol sosialnya
sudah mulai pudar sampai-sampai satu anggota masyarakat tidak mengetahui karakter
anggota masyarakat lain walaupun rumah mereka sangat berdekatan.
Hal ini dapat difahami melihat kondisi lingkungan pelaku yang tergolong
dalam masyarakat urban, menurut Durkhem jika sebuah masyarakat sederhana
berkembang menjadi suatu masyarakat yang modern dan kota maka kedekatan
(intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan satu set norma-norma umum (a
common set of rules) akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi terpisah-pisah dan
dalam ketiadaan satu set aturan-aturan umum, tindakan-tindakan serta harapan-
harapan orang di satu sector mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan
orang lain. Dengan tidak dapat diperidiksinya perilaku, sistem tersebut secara
bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berada dalam kondisi anomie.
Sedangkan untuk kasus Bapak Jerry dapat dijelaskan dengan teori Natural
Urban Areas dari Robert Park dan Ernest Burgess yang meneliti tentang karakteristik
daerah tempat kediaman para penjahat untuk menjelaskan tingginya angka kejahatan,
kota menurut Burgess dibagi menjadi beberapa zona yaitu :
Zona 1, berada tepat di pusat, disebut the loop (lingkaran/pusat) karena distrik
pusat bisnis di down town ini dipisahkan oleh suatu lingkaran sistem. Area ini dihuni
oleh kantor-kantor komersial, kantor-kantor hokum, pusat retail, dan beberapa pusat
rekreasi komersial.
Zona 2 adalah zona transisi. Orang-orang miskin kota, tidak berpendidikan
serta tidak beruntung hidup di zona ini, di rumah-rumah petak yang reot di dekat
pabrik-pabrik tua. Karena terdesak oleh distrik bisnis, membawa perpindahan
penghuni secara konstan, pola pola social di zona ini melemahkan ikatan-ikatan
keluarga yang mengikat bersama para penduduk dan mengakibatkan disorganisasi
social. Disorganisasi inilah yang menurut Burgess dan Park diyakini menjadi sumber
dari macam-macam patologi termasuk kejahatan.
Zona 3 dihuni oleh kelas pekerja yaitu orang-orang yang dengan pekerjaanya
berkemungkinan untuk menikmati kemudahan yang ditawarkan kota mereka.
4. Faktor keturunan/keluarga
Dari hasil wawancara tersebut terlihat jelas bahwa kedua pelaku berasal dari
keluarga yang bermasalah meskipun permasalahan mereka cenderung berbeda. Bapak
Suwito misalnya, sejak kecil dia merupakan korban dari broken home, kedua orang
tuanya bercerai. Ayah Suwito menetap di Mangunsari dan Ibunya menetap di Jakarta.
Perceraian dalam keluarganya tentunya memberikan dampak negative yang besar
kepada anak-anak. Hal ini dikarenakan seorang anak membutuhkan perhatian yang
lebih dari kedua orang tuanya dan anak korban perceraian akan kekurangan perhatian
sehingga mereka akan mencari tempat-tempat lain/pergaulan lain untuk mengalihkan
kehausan mereka aklan perhatian orang tua. Pada saat inilah seorang anak sangat
rentan untuk jatuh dalam pergaulan yang salah. Dampak seperti ini akan sangat
mempengaruhi psikologis pelaku sejak kecil sampai dewasa. Mereka cenderung
mencari pemuas lain untuk melampiaskan keinginan mereka yang tidak terpenuhi dan
pilihan mereka jatuh kepada minuman keras.
Psikolog John Bowlby mempelajari kebutuhan akan kehangatan dan afeksi
(kasih sayang) sejak lahir dan konsekuensi jika tidak mendapat hal itu. Dia
mengajukan theory of attachment(teori kasih sayang) yang terdiri atas tujuh hal
penting yaitu :
a. Specifity (kasih sayang yang bersifat selektif)
b. Duration (kasih sayang yang berlangsung lama dan bertahan)
c. Engagement of emotion (melibatkan emosi)
d. Ontogeny (rangkaian perkembangan, anak membentuk kasih sayang pada satu
figure utama)
e. Learning (kasih sayang hasil interaksi yang mendasar)
f. Organization (kasih sayang mengikuti suatu organisasi perkembangan)
g. Biological function (perilaku kasih sayang memiliki fungsi biologis yaitu
survival). Menurut Bowlby, orang yang sudah biasa menjadi penjahat
umumnya memiliki ketidak mampuan membentuk ikatan-ikatan kasih sayang.
Para kriminolog juga menguji pengaruh ketidakhadiran seorang ibu, baik
karena kematian, perceraian atau ditinggalkan. Studi terhadap 201 orang yang
dilakukan oleh Joan Mc Cord menyimpulkan bahwa variable kasih sayang
serta pengawasan ibu yang kurang cukup, konflik orang tua, kurangnya
percaya diri sang ibu, kekerasan ayah secara signifikan mempunyai hubungan
terhadap kejahatan yang dilakukan terhadap orang atau harta
kekayaan(Santoso, 2002:54)
Sedangkan Jerry mendapatkan kebiasaan minum minuman keras selain dari
teman pergaulan juga didorong oleh faktor keturunan yang teramat kuat, hal ini dapat
terlihat dengan kondisi Bapak dari Jerry yang juga seorang peminum. Memang dalam
agama Kristen ada golongan-golongan tertentu yang memperbolehkan meminum
minuman keras, tapi kebolehan ini hanya pada waktu-waktu tertentu dan tidak boleh
melampaui batas.
Kondisi Orang tua Jerry yang juga merupakan pecandu minuman keras
tentunya memberikan semacam izin dari Jerry untuk juga meniru tindakanya tersebut
dan dari perilaku orang tuanya jugalah Jerry sejak kecil mendapatkan alasan
pembenar baginya. Dengan keadaan Jerry yang sejak kecil telah sering melihat
ayahnya meminum minuman keras Jerry kecil sudah terdidik untuk memahami bahwa
minum-minuman keras bukan merupakan suatu bentuk penyimpangan yang diancam
oleh hukum pidana dan Agama.
Menurut Dugdale, kriminalitas merupakan sifat bawaan yang diwariskan
melalui gen-gen. dalam bukunya Dugdale (dan penganut teori lain) menelusuri
riwayat atau sejarah keluarga melalui beberapa generasi. Dugdale sendiri mempelajari
kehidupan lebih dari seribu anggota satu keluarga yang disebutnya Jukes.
Ketertarikanya pada keluarga itu dimulai saat dia menemukan enam orang yang saling
berhubungan di suatu penjara di New York. Mengikuti satu cabang keluaraga itu,
keturunan dari Jukes, yang dia sebut sebagai mother Criminal, Dugdle mendapati
diantara seribuan anggota keluarga itu 280 fakir miskin, 60 pencuri, 7 orang
pembunuh, 40 orang penjahat lain, 40 orang penderita penyakit kelaimin, dan 50
orang pelacur (Santoso, 2002:52).
Selain itu keluarga sendiri merupakan tempat pertama bagi seorang anak
untuk menimba ilmu, oleh karena itu jika kondisi keluarga sudah bermasalah maka
kemungkinan seorang anak untuk tumbuh secara normal pun kecil. Kriminalitas
dilihat dari factor genetis menurut Adopsi studies mengklasifikasikan beberapa
pembagian kemungkinan seseorang melakukan tindakan kriminal sebagai berikut :
- Orang tua angkat dan kandung tidak melakukan kejahatan, prosentasenya 13,5%
- Orang tua angkat kriminal, orang tua kandung tidak , 14,7%
- Orang tua angkat tidak, orang tua kandung kriminal, 20%
- Dua-duanya kriminal, 24,5%
5. Faktor Psikologis
Dari data hasil wawancara dapat dilihat bahwa para pelaku adalah seseorang
yang keras kepala dan cenderung penutup. Mereka cenderung menutup diri akan hal-
hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Hal ini dapat terlihat dengan
tindakan mereka yang cenderung menjauh dari kegiatan masyarakat yang berbau
positif seperti kerja bakti, kegiatan keagamaan rapat RT serta hal lainya.
Akan tetapi kondisi psikologis seperti ini tentunya dibangun dari factor lain
seperti pergaulan dan keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Sigmund Freud
bahwa Kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku criminal dengan suatu
conscience (hati nurai) yang baik, dia begitu menguasai sehingga menimbulkan
perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-
dorongan individu dan bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera.
- Tindakan dan tingkah laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat
perkembangan masa kanak-kanak mereka,
- Tingkah laku dan motif bawah sadar adalah jalin menjalin, dan interaksi itu mesti
diuraikan bila kita ingin mengerti kejahatan.
- Kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik psikologis.
6. Faktor Spritualitas
Dari hasil wawancara dapat dilihat bahwa kedua pelaku tersebut memiliki
tingkat spiritualitas yang rendah. Hal ini terlihat dengan keadaan pelaku yang jarang
mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan, sering tidak sholat, bahkan melanggar
hukum agama. Agama sendiri tentu akan mengharamkan adanya tindakan kriminal
dan inilah yang tidak difahami oleh kedua pelaku tersebut. Meskipun mereka tahu
bahwa tindakan mereka dilarang oleh agama tapi mereka mencari alasan pembenar
bagi tindakan mereka. Alasan-alasan pembenar inilah yang membuat tingkat
spiritualitas mereka semakin rendah.
7. Faktor penegakan hukum
Salah satu penyebab timbulnya korban minuman keras oplosan adalah
lemahnya penegakan hukum terutama dalam hal ini yang disoroti adalah pemerintah
Kota Salatiga, pemerintah dirasa kurang tanggap bahkan kurang jeli dalam melihat
kejahatan di Kota Salatiga. Entah mungkin ada unsur politis ataupun hal lainya,
seperti halnya tempat-tempat prostitusi di beberapa daerah yang seolah-oleh
mendapatkan legitimasi dari pemerintah begitu juga peredaran minuman keras di
Salatiga. Tanggapan pemerintah yang kurang responsive ini membuat pelaku merasa
aman dan tidak mendapatkan sanksi pidana jika melakukan pesta miras dengan alasan
polisi tidak akan tahu jika mereka melakukan pesta miras.
Kejahatan dalam hukum pidana memang pada umumnya berupa delik aduan,
akan tetapi walaupun begitu aparatur penegak hukum juga harus aktif dalam mencari
celah-celah dimana seseorang dapat melakukan pelanggaran hukum. Hal ini dapat
dilakukan dengan rajin mengadakan operasi-operasi kriminal. Bukan hanya operasi
lalu lintas saja yang digalakkan tapi juga operasi perjudian, pelacuran dan minuman
keras tersebut.
BAB IV
PENUTUP
Tindakan kriminal berbentuk minum-minuman keras bukan lagi hal yang tabu pada
zaman sekarang ini. Dengan bertambahnya problem-problem kehidupan, seseorang
cenderung untuk mencari tempat pelarian dan salah satu pilihan mereka jatuh kepada
minuman keras. Mereka sendiri memiliki alasan-alasan pembenar bagi tindakan yang
mereka lakukan.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh jawaban dari rumusan
masalah yang tertulis di bab I yaitu :
1. Ada beberapa factor yang menyebabkan seseorang meminum-minuman keras
yaitu factor ekonomi, pergaulan, lingkungan, keluarga/keturunan, psikologis,
spiritualitas dan penegakan hukum.
2. Diantara factor-faktor tersebut paling dominan adalah factor pergaulan pelaku.
Hal ini dapat dilihat dari kesamaan proses para pelaku mulai bergantung pada
minuman keras.
3. Reaksi masyarakat adalah cenderung mendiamkan sehingga memberikan kesan
permisif akan terjadinya fenomena minuman keras tersebut, bahkan satu
masyarakat yang didiami oleh Jerry menggangap minuman keras tersebut bukan
merupakan suatu penyimpangan dan mereka ikut melestarikan kebiasaan tersebut.
Oleh karena itu hal yang lebih membahayakan pada zaman sekarang ini yaitu
runtuhnya kontrol social yang diakibatkan karena individualisme masyarakat yang semakin
tinggi ditambah dengan pola hidup pragmatis, mereka cenderung tidak peduli atas apa yang
terjadi dengan anggota masyarakat lain bahkan mereka cenderung permisif atas tindakan
kriminal anggota masyarakatnya dengan catatan tidak mergikan diri mereka karena tindakan
kriminal tersebut merupakan urusan pribadi pelaku.
Sedangkan untuk pemerintah sendiri diharapkan untuk tidak setengah-setengah dalam
melakukan penegakan hukum. Hukum harus dibebaskan dari unsure apapun apalagi
terhadap unsure politis. Terutama hal ini ditujukan kepada kepolisian Salatiga yang
diahrapkan tidak hanya bertugas menjaga keamanan kota Salatiga saja akan tetapi juga ikut
dalam pemberdayaan manusia di Salatiga agar tidak hanya religius secara simbol saja akan
tetapi juga religius dalam realitanya.