penelitian final.doc
-
Upload
dennys-bercia -
Category
Documents
-
view
172 -
download
0
description
Transcript of penelitian final.doc
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Sebagai kota yang berada di daratan rendah, Jakarta tidak terlepas dari ancaman
banjir yang sewaktu-waktu dapat menyerang. Menurut catatan sejarah Ibukota Jakarta
telah dilanda banjir sejak tahun 1621. Salah satu bencana banjir terparah yang pernah
terjadi di Batavia adalah banjir yang terjadi di bulan Februari 1918. Saat itu hampir
sebagian besar wilayah Batavia terendam air. Daerah yang terparah saat itu adalah
gunung Sahari, Kampung Tambora, Suteng, Kampung Klenteng akibat bendungan
kali Grogol jebol.
Hingga kini banjir pun belum berhenti di Jakarta. Apalagi ketika musim
penghujan telah tiba. Oleh karena banjir yang terus menerus melanda sebagian
wilayah di Jakarta kini kota Jakarta telah terkenal dengan Kota Banjir. Walau
demikian warga Jakarta tidak berhenti mencoba menanggulangi banjir di Ibukota
tercinta ini.
Sehubungan dengan cara untuk mencoba menanggulangi banjir tersebut, maka
berbagai maslah penyebab banjir pun mulai muncul dari masalah sampah, curah
hujan yang tinggi, peluapan air yang berlebihan, pecahnya bendungan sungai, serapan
air yang buruk, hingga pemukiman liar dan pemukiman padat penduduk. Dan warga
yang terkena banjir selalu mengambil strategi sendiri untuk menanggulangi banjir
ketika banjir datang ke rumah mereka.
Banjir yang terjadi selalu menimbulkan kerugian bagi mereka yang terkena
banjir baik secara langsung maupun tidak langsung yang dikenal sebagai dampak
banjir.
1
Dampak banjir yang terjadi sering kali menganggu kesehatan lingkungan dan
kesehatan warga. Lingkungan tidak sehat karena segala sampah dan kotoran yang
hanyut seringkali mencemari lingkungan . Sampah-sampah terbawa air dan
membusuk mengakibatkan penyakit gatal-gatal di kulit, dan lalat banyak beterbangan
karena sampah yang membusuk sehingga sakit perut juga banyak terjadi. Sumber air
bersih tercemar sehingga mereka yang terkena banjir kesulitan air bersih dan
mengkonsumsinya karena darurat, sebagai penyebab diare.
Penyakit Diare merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak di seluruh dunia, yang menyebabkan satu biliun kejadian sakit
dan 3-5 juta kematian setiap tahunnya. Di Amerika Serikat, ada 20-35 juta kejadian
diare terjadi setiap tahunnya, sedangkan pada 16,5 juta anak sebelum berusia 5
tahun menghasilkan 2,1-3,7 juta anak yang harus berobat ke dokter akibat dari
penyakit diare tersebut (Nelson, 2000). Selain itu 500 bayi dan anak di Amerika
Serikat meninggal karena diare pertahunnya (Kumar Vinay, 2007).
Sampai saat ini penyakit diare masih menjadi salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia dengan angka kesakitan yang tinggi yaitu 200 -
400 kejadian diare di antara 1000 penduduk setiap tahunnya. Di berbagai daftar
urutan penyebab kunjungan pasien ke puskesmas atau balai pengobatan, diare hampir
selalu termasuk kedalam urutan ke 3 terbesar angka kesakitan. Dengan demikian di
Indonesia diperkirakan ditemukan penderita diare sekitar 60 juta kejadian setiap
tahunnya, sebagian besar (70-80%) dari penderita ini adalah anak di bawah umur 5
tahun (Widoyono, 2008). Bayi dan anak balita merupakan kelompok usia yang paling
banyak menderita diare, kerentanan kelompok usia ini juga banyak dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu umur anak, pemberian ASI, status gizi anak dan status
imunisasi campak.
2
Diare adalah buang air besar dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair
dengan kandungan air tinja lebih banyak daripada biasanya atau dengan frekuensi
lebih dari 3x sehari yakni lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam (Simadibrata,
2007). Kematian karena diare di negara berkembang terjadi terutama pada anak-anak
yang berusia kurang dari 5 tahun dimana 2/3 diantaranya tinggal di daerah atau
lingkungan yang buruk, kumuh, padat dengan sistem pembuangan sampah yang
tidak memenuhi syarat, keterbatasan sumber air bersih, kurangnya sumber
bahan makanan disertai cara penyimpanan yang tidak memenuhi syarat, tingkat
pendidikan yang rendah serta kurangnya fasilitias pelayanan kesehatan (Setiawan,
2007).
Mekanisme penularan yang utama untuk patogen penyebab diare adalah
melalui fekal-oral, dengan makanan dan air yang merupakan media penghantar untuk
kebanyakan kejadian diare (Nelson, 2000). Maka dari itu peran kesehatan lingkungan
disini sangatlah penting seperti penyediaan air bersih, pembuangan sampah,
pembuangan limbah rumah tangga dan pembuangan kotoran manusia (Mubarak,
2009).
Kelurahan Pejaten Timur, Jakarta Selatan di pilih menjadi tempat penelitian
dikarenakan menurut catatan di puskesmas kelurahan Pejaten Timur angka
kejadian diare pada anak di sana khususnya pada balita menempati posisi yang
cukup tinggi setelah penyakit ISPA dan penyakit infeksi kulit. Selain itu RW 05,
RW 07 dan RW 08 dipilih dikarenakan daerah di lingkungan tersebut
merupakan daerah yang rawan banjir pada musim penghujan. Dimana hal
tersebut nantinya akan sangat berkaitan erat dengan peran kesehatan
lingkungan sebagai faktor penyebab angka kejadian penyakit diare
(Puskesmas Pejaten Timur 2012).
Berdasarkan uraian-uraian di atas penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
faktor kesehatan lingkungan apa sajakah yang mempunyai hubungan bermakna
3
dengan angka kejadian diare pada anak balita, khususnya penulis melakukan
penelitian di Kelurahan Pejaten Timur Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan,
sehingga diharapkan bisa dilakukan tindakan pencegahan untuk menekan angka
kejadian diare tersebut.
1.2. PERUMUSAN MASALAH
Prevalensi angka kejadian diare pada balita di Jakarta masih sangat tinggi dan
prevalensi tersebut meningkat dengan adanya banjir di beberapa wilayah. Berbagai
studi berbasiskan populasi telah dilakukan untuk mengidentifikasi pelbagai faktor
resiko terjadinya diare. Dengan demikian, masalah penelitian ini adalah faktor apa
saja yang mempengaruhi kejadian diare pada anak balita pasca banjir terutama di
Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Tahun 2013
1.3. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Tercapainya penurunan kejadian diare pasca banjir pada balita
2. Tujuan Khusus
a) Didapatkan gambaran usia balita di Kelurahan Pejanten Timur
b) Didapatkan gambaran jenis kelamin balita di Kelurahan Pejanten Timur
c) Didapatkan gambaran pemberian ASI eksklusif pada balita di Kelurahan
Pejanten Timur
d) Didapatkan gambaran status gizi balita di Kelurahan Pejanten Timur
e) Didapatkan gambaran imunisasi campak pada balita di Kelurahan Pejanten
Timur
4
f) Didapatkan gambaran usia ibu yang memiliki balita di Kelurahan Pejanten
Timur
g) Didapatkan gambaran pendidikan ibu yang memiliki balita di Kelurahan
Pejanten Timur
h) Didapatkan gambaran pengetahuan ibu mengenai diare di Kelurahan Pejanten
Timur
i) Didapatkan gambaran pengadaan sarana air bersih di Kelurahan Pejanten
Timur
j) Didapatkan gambaran pengadaan jamban di Kelurahan Pejanten Timur
k) Didapatkan gambaran pengelolaan sampah di Kelurahan Pejanten Timur
l) Diketahuinya hubungan antara faktor lingkungan (Pengadaan sarana air
bersih, jamban dan pengelolaan sampah) terhadap angka kejadian diare pada
anak balita di Kelurahan Pejaten Timur.
m) Diketahuinya hubungan antara faktor anak (usia, ASI ekslusif, status gizi,
imunisasi campak, kebersihan tangan dan kuku) terhadap angka kejadian diare
pada anak balita di Kelurahan Pejaten Timur.
n) Diketahuinya hubungan antara faktor ibu (usia pendidikan, pengetahuan,
penghasilan, kebiasaan mencuci tangan sebelum memberikan makan pada
anak) terhadap angka kejadian diare pada anak balita di Kelurahan Pejaten
Timur.
5
1.4. HIPOTESIS
Berdasarkan variabel yang diteliti maka hipotesis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a) Ada hubungan antara faktor lingkungan (Pengadaan sarana air bersih, jamban
dan pengelolaan sampah) terhadap angka kejadian diare pada anak balita di
Kelurahan Pejaten Timur.
b) Ada hubungan antara faktor anak (usia, ASI ekslusif, status gizi, imunisasi
campak, kebersihan tangan dan kuku) terhadap angka kejadian diare pada
anak balita di Kelurahan Pejaten Timur.
c) Ada hubungan antara faktor ibu (usia pendidikan, pengetahuan, penghasilan,
kebiasaan mencuci tangan sebelum memberikan makan pada anak) terhadap
angka kejadian diare pada anak balita di Kelurahan Pejaten Timur.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat bagi peneliti
Untuk menambah pengalaman belajar serta wawasan tentang ilmu kedokteran
khususnya tentang hubungan kesehatan lingkungan dengan penyakit diare dan juga
untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah didapat khususnya dalam
melakukan penelitian ilmiah.
2. Manfaat bagi masyarakat
Memberikan gambaran kesehatan untuk masyarakat umumnya mengenai
pentingnya kebersihan dan kesehatan lingkungan.
6
3. Manfaat bagi instansi kesehatan
Bagi instansi kesehatan yang terkait yaitu Puskesmas Kelurahan
Pejaten Timur, untuk mengetahui gambaran hubungan antara PHBS dan faktor
lingkungan di masyarakat terhadap angka kejadian diare dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang belum diteliti pada penelitian ini.
Meningkatkan promosi kesehatan dalam upaya pencegahan terjadinya diare pasca
banjir
4. Manfaat bagi institusi pendidikan
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan data awal dan acuan bagi peneliti
selanjutnya yang ingin meneliti lebih dalam mengenai kesehatan lingkungan.
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada faktor PHBS dan faktor lingkungan
di Posyandu Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan,
Tahun 2013.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Banjir
2.1.1 Definisi
Banjir adalah peristiwa tergenang dan terbenamnya daratan (yang biasanya
kering) karena volume air yang meningkat. Banjir dapat terjadi karena peluapan air
yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan besar, peluapan air sungai, atau
pecahnya bendungan sungai.Di banyak daerah yang gersang di dunia, tanahnya
mempunyai daya serapan air yang buruk, atau jumlah curah hujan melebihi
kemampuan tanah untuk menyerap air. Ketika hujan turun, yang kadang terjadi
adalah banjir secara tiba-tiba yang diakibatkan terisinya saluran air kering dengan air.
2.1.2 Penyebab Banjir
Banjir merupakan bencana yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-
hari, baik yang terjadi di lingkungan sekitar kita maupun yang jauh dari tempat kita
berada. Banjir sangat merugikan karena bisa merusak roda perekonomian di suatu
daerah, menghentikan aktivitas kegiatan manusia, meninggalkan kerusakan harta
benda, menebar penyakit, bahkan dapat pula menelan korban jiwa.
Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat menyebabkan banjir :
1. Luapan Air Sungai
Sungai yang lebar dan kedalamannya tidak berubah, namun di sekitarnya
terjadi peningkatan jumlah penduduk yang sangat signifikan dapat menyebabkan
ketidakmampuan sungai untuk menampung secara keseluruhan air buangan, air hujan
8
dan sampah yang masuk ke dalamnya. Jika sudah penuh, maka air akan menggenangi
pinggiran sungai dan daerah rendah lainnya.
2. Pendangkalan Sungai, Kali, Selokan, Danau, Situ, Dll
Jika orang-orang selalu membuang sampah di sungai atau terus-menerus
terjadi erosi tanah di sekitarnya, maka akan terjadi pendangkalan. Sungai, danau dan
selokan yang dangkal tidak akan mampu menampung air dalam jumlah besar
sehingga air akan meluap menggenangi sekitarnya dan daerah-daerah yang rendah.
3. Kegagalan Tanah Menyerap Air
Jika jumlah luas keseluruhan lahan terbuka hijau dan tanah kosong berkurang
drastis di suatu daerah akibat berbagai sebab, maka air hujan yang turun akan
langsung meluncur dengan cepat ke selokan, sungai dan akhirnya ke laut. Jika air
yang meluncur tersebut sangat banyak jumlahnya, maka otomatis tidak akan
tertampung di saluran air yang ada. Walhasil air yang tidak dapat ditampung oleh
saluaran pembuangan air akan tergenang bebas dan menyebabkan banjir.
4. Penggundulan Hutan
Hutan yang berisi berbagai macam pohon-pohon lebat nan rindang serta
semak belukar yang rimbun dengan lantai hutan yang penuh dengan kompos alami
sampah hutan dapat menyerap air hujan dalam jumlah besar. Jika hutan digunduli dan
dipersempit, maka air hujan akan meluncur ke sungai dan kemudian berakhir di laut.
Jika sungai tidak mampu menampung air dalam jumlah besar, maka akan terjadi
banjir di sekitar sungai dan daerah rendah yang ada di sekitarnya.
9
5. Air Bah / Banjir Bandang
Air bah atau air banjir bandang yang datangnya cepat dan tiba-tiba bisa saja
terjadi akibat terjadinya sesuatu hal seperti jebol tanggul, jebol bendungan, tanah
longsor, hujan lebat di daerah sekitar hulu sungai, salju mencair masal secara tiba-tiba
dan lain sebagainya. Banjir yang tiba-tiba ini bisa saja langsung menghajar dan
menggenangi daerah pemukiman penduduk.
6. Hujan Deras Yang Lama
Jika hujan terjadi dengan intensitas yang tinggi dalam waktu yang panjang
bisa mengakibatkan suatu daerah yang tidak biasa banjir menjadi banjir jika tidak
sigap menghadapi kuantitas air yang tidak wajar di luar kebiasaan normalnya.
7. Air Laut Pasang (Rob)
Permukaan air laut yang dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dan
permukaan daratan yang terus-menerus ambles mengakibatkan pada saat air pasang,
daerah-daerah pantai dan daerah yang rendah akan digenangi air laut yang asin.
8. Saluran Air Mampet
Jika got, selokan, comberan, parit dan atau sebangsanya mampet karena
sampah, maka aliran air akan terhambat, dengan begitu air yang tidak bisa menembus
barikade sampah tersebut akan meluap dan menggenangi di sekitar saluran air
tersebut. Oleh sebab itu perlu kesadaran masyarakat yang tinggi untuk tidak
membuang sampah sembarangan di mana pun berada. Terkadang orang menganggap
kali sebagai tempat membuang sampah yang sah, sehingga saat sampah menyangkut
dan menghambat laju air, maka bisa mengakibatkan banjir.
10
9. Perubahan Sistem Drainase Pembuangan Air
Suatu daerah yang biasanya tidak banjir bisa saja menjadi daerah langganan
banjir baru jika daerah di sekitarnya melakukan sesuatu yang mengubah sistem
drainase yang sudah ada tanpa memperhatikan amdal (analisis mengenai dampak
lingkungan). Contohnya seperti peninggian masal suatu wilayah rendah untuk
komplek perumahan baru, menyempitkan saluran air yang ada untuk suatu
pembangunan, hilangnya daerah rawa-rawa untuk dijadikan mall, dan lain
sebagainya.
10. Tsunami Air Laut
Adanya gempa bumi, pergeseran lempengan bumi, tumbukan meteor besar,
ledakan bom, angin besar, tanah longsor, es longsor, dan lain sebagainya bisa saja
menyebabkan gelombang tinggi air laut yang menyapu suatu daratan baik skala kecil
maupun besar. Banjir air laut akibat sunami bisa mencapai ketinggian ratusan meter
sehingga dapat menewaskan banyak orang yang dilaluinya.
2.1.3. Penanganan Banjir
Berikut ini beberapa cara untuk menanggulangi banjir.
1. Memfungsikan sungai dan selokan sebagaimana mestinya. Sungai dan
selokan adalah tempat aliran air, jangan sampai fungsinya berubah menjadi
tempat sampah.
2. Larangan membuat rumah di dekat sungai. Biasanya, yang mendirikan rumah
di dekat sungai adalah para pendatang yang datang ke kota besar hanya
dengan modal nekat. Akibatnya, keberadaan mereka bukannya membantu
peningkatan perekonomian. Malah sebaliknya, merusak lingkungan. Itu
11
sebabnya, pemerintah seharusnya tegas, melarang membuat rumah di dekat
sungai dan melarang orang-orang tanpa tujuan tidak jelas datang ke kota
dalam jangka waktu lama (untuk menetap).
3. Menanam p ohon dan pohon-pohon yang tersisa tidak ditebangi lagi. Pohon
adalah salah satu penopang kehidupan di suatu kota. Bayangkan, bila sebuah
kota tidak memiliki pohon sama sekali. Apa yang akan terjadi? Pohon selain
sebagai penetralisasi pencemaran udara di siang hari, sebagai pengikat air di
saat hujan melalui akar-akarnya. Bila sudah tidak ada lagi pohon, bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi bila hujan tiba
2.2 Kesehatan Lingkungan
2.2.1 Definisi
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lainnya (UU RI No.23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup).
Kesehatan Lingkungan adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang
optimal, sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang
optimal pula (Mubarak, 2009).
12
2.2.2. Tujuan & Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan
Secara umum tujuan dan ruang lingkup kesehatan lingkungan
adalah (Chandra, 2006):
1) Melakukan korelasi atau perbaikan terhadap segala bahaya dan ancaman pada
kesehatan dan kesejahteraan hidup manusia.
2) Melakukan usaha pencegahan dengan cara mengatur sumber- sumber lingkungan
dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan hidup manusia.
3) Melakukan kerja sama dan menerapkan program terpadu di antara masyarakat
dan isntitusi pemerintah serta lembaga non- pemerintah dalam menghadapi
bencana alam atau wabah penyakit menular.
Sedangkan tujuan dan ruang lingkup kesehatan lingkungan secara khusus
meliputi usaha-usaha perbaikan atau pengendalian terhadap lingkungan hidup
manusia yang diantaranya berupa (Chandra, 2006) :
1) Penyediaan air bersih yang cukup dan memenuhi persyaratan kesehatan.
2) Makanan dan minuman yang diproduksi dalam skala besar dan dikonsumsi secara
luas oleh masyarakat.
3) Pencemaran udara akibat sisa pembakaran kendaraan bermotor, batubara,
kebakaran hutan atau gas beracun yang berbahaya bagi kesehatan dan makhluk hidup
lain dan menjadi penyebab perubahan ekosistem.
4) Limbah cair dan padat yang berasal dari rumah tangga, pertanian, peternakan,
industri, rumah sakit, dan lain-lain.
5) Kontrol terhadap vektor-vektor penyakit dan cara memutuskan rantai penularan
penyakitnya.
13
6) Perumahan dan bangunan yang layak huni dan memenuhi syarat kesehatan.
7) Kebisingan, radiasi dan kesehatan kerja.
8) Survei sanitasi untuk perencanaan, pemantauan dan evaluasi program kesehatan
lingkungan.
2.2.3 Sanitasi Sumber Air
Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara.
Sekitar tiga per empat bagian dari tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorangpun
dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpa air. Kebutuhan air rata-rata setiap
individu per hari berkisar antara 150-200 liter/35-40 galon, kebutuhan tersebut
bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan dan kebiasaan
masyarakat. Berdasarkan analisis WHO pada negara-negara maju setiap orang
memerlukan air antara 60-120 liter perhari, sedangkan pada negara berkembang tiap
orang memerlukan air antara 30-60 liter per hari (Mubarak, 2009).
Air yang berada di permukaan bumi ini dapat berasal dari berbagai
sumber, berdasarkan letak sumbernya air dapat dibagi menjadi (Chandra, 2006):
a) Air Angkasa atau Air Hujan
Air angkasa atau air hujan merupakan sumber utama air di bumi. Air ini
dapat dijadikan sebagai sumber air minum. Walau pada saat presipitasi
merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami pencemaran
ketika berada di atmosfer. Pencemaran tersebut dapat disebabkan oleh partikel debu,
mikroorganisme dan juga gas.
14
b) Air Permukaan
Air permukaan adalah air yang terdapat pada permukaan tanah, air tersebut
meliputi badan-badan air semacam sungai, danau, telaga, waduk yang sebagian
besar berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Oleh karena keadaannya
yang terbuka, maka air permukaan mudah terkena pengaruh pencemaran, baik oleh
tanah, sampah maupun lainnya.
c) Air Tanah (Ground Water)
Air tanah berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi yang kemudian
mengalami penyerapan ke dalam tanah dan mengalami proses filtrasi alamiah,
sehingga membuat air tanah menjadi lebih baik dan lebih murni dibandingkan dengan
proses yang telah dialami air hujan tersebut.
Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan
tidak berbau (Slamet, 2009). Air dinyatakan tercemar apabila mengandung bibit
penyakit, parasit, bahan-bahan kimia yang berbahaya dan sampah atau limbah
industri. Berikut ini merupakan batasan-batasan sumber air yang bersih dan aman
(Chandra, 2006):
a) Bebas dari kontaminasi kuman atau bibit penyakit
b) Bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan beracun
c) Tidak berasa dan tidak berbau
d) Dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik/rumah tangga
e) Memenuhi standar minimal yang ditentukan oleh WHO atau Departemen
Kesehatan RI
15
2.2.4. Penyediaan Jamban Keluarga
Di negara berkembang, masih banyak terjadi pembuangan tinja secara
sembarangan akibat tingkat sosial ekonomi yang rendah, pengetahuan
dibidang kesehatan lingkungan yang kurang dan kebiasaan buruk dalam
pembuangan tinja yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kondisi tersebut
biasanya ditemukan terutama pada masyarakat di pedesaan dan daerah kumuh
perkotaan (Chandra, 2006).
Untuk menentukan letak pembuangan kotoran, terlebih dahulu kita harus
memperhatikan ada atau tidaknya sumber-sumber air. Harus diperhatikan juga
keadaan tanah, kemiringannya, permukaan tanah, pengaruh banjir pada musim hujan
dan sebagainya (Mubarak, 2009). Menurut konstruksi dan cara
mempergunakannya. Dikenal macam- macam tempat pembuangan tinja
(jamban/kakus), yaitu (Notoatmodjo,2007) :
a) Jamban Cemplung
Bentuk jamban ini adalah yang paling sederhana yang sering dijumpai
masyarakat di pedesaan. Jamban cemplung ini hanya terdiri atas sebuah galian yang
di atasnya diberi lantai dan tempat jongkok. Jamban semacam ini masih
menimbulkan gangguan karena baunya.
b) Jamban Plengsengan
Nama jamban ini berasal dari kata ”melengseng” yang artinya miring dan
digunakan karena dari lubang tempat jongkok ke tempat penampungan kotoran
dihubungkan oleh suatu saluran yang miring.
16
c) Jamban Bor
Dinamakan demikian karena tempat penampungan kotorannya dibuat
dengan menggunakan bor. Jamban bor mempunyai keuntungan bau yang
ditimbulkan sangat berkurang, akan tetapi kekurangannya adalah perembesan kotoran
akan lebih jauh dan mengotori air tanah.
d) Jamban Leher Angsa (Angsatrine / Water Seal Latrine)
Jamban jenis ini di bawah tempat jongkoknya ditempatkan atau dipasang alat
yang berbentuk seperti leher angsa yang disebut bowl. Bowl ini berfungsi mencegah
timbulnya bau karena terhalang oleh air yang selalu terdapat dalam bagian yang
melengkung.
e) Jamban di atas Balong/Empang (Fishpond Latrine)
Jamban jenis ini semacam rumah-rumahan di atas kolam, rawa, balong,
empang atau sungai. Kerugiannya adalah mengotori air permukaan tersebut
sehingga bibit penyakit yang terdapat di dalamnya dapat tersebar melalui media
air tersebut.
f) Jamban Septic Tank
Dipergunakan nama septic tank karena dalam pembuangan kotoran terjadi
proses pembusukan oleh kuman-kuman pembusuk yang bersifat anaerob.
Bahaya terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat pembuangan tinja
secara tidak baik adalah pencemaran tanah, pencemaran air, kontaminasi makanan
dan perkembangbiakan lalat (Chandra, 2006). Penyakit-penyakit yang dapat
terjadi akibat keadaan tersebut misalnya adalah diare, disentri, tifoid, penyakit
infeksi cacing, penyakit infeksi gastrointestinal lain.
17
2.2.5. Sarana Pembuangan Sampah
Menurut definisi (WHO) Sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak
dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan
manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya.
Sampah, baik kuantitas maupun kualitasnya sangat dipengaruhi oleh berbagai
kegiatan dan taraf hidup manusia. Beberapa faktor yang penting antara lain adalah
(Slamet, 2009):
a) Jumlah penduduk, semakin banyak penduduknya maka akan semakin
banyak pula sampahnya. Pengelolaan sampah inipun berpacu dengan laju
pertambahan penduduk.
b) Keadaan sosial ekonomi, semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat maka
semakin banyak jumlah perkapita sampah yang dibuang.
c) Kemajuan Teknologi, dengan kemajuan teknologi akan menambah jumlah
maupun kualitas sampah, karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara
pengepakan dan produk manufaktur yang semakin beragam pula.
Berdasarkan zat kimia yang terkandung didalamnya, sampah terbagi menjadi
sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik misalnya sisa makanan,
daun, sayuran, buah. Sedangkan sampah anorganik misalnya logam, barang
pecah belah atau abu. Berdasarkan bisa atau tidaknya dibakar, sampah terbagi
menjadi sampah yang mudah terbakar misalnya kertas, plastik, daun kering, kayu.
Dan sampah yang tidak mudah terbakar misalnya kaleng, besi, gelas. Jika
berdasarkan dapat atau tidaknya membusuk, sampah terbagi menjadi sampah yang
mudah membusuk misalnya sisa makanan. Dan sampah yang sulit membusuk
misalnya plastik (Mukono, 2008).
18
Berdasarkan ciri atau karakteristiknya, sampah dapat dibedakan menjadi
(Notoatmodjo, 2007):
a) Garbage, terdiri atas zat-zat yang mudah membusuk dan dapat terurai dengan
cepat, khususnya jika cuaca panas. Sampah jenis ini dapat ditemukan ditempat
pemukiman, rumah makan, pasar, dan sebagainya.
b) Rubbish, terbagi menjadi 2 yaitu rubbish yang mudah terbakar yang terdiri atas
zat-zat organik misalnya kayu, kertas, daun kering. Dan rubbish yang tidak
mudah terbakar yang terdiri atas zat-zat anorganik misalnya kaca, kaleng.
c) Ashes, merupakan semua sisa pembakaran industri.
d) Street Sweeping, merupakan sampah dari jalan atau trotoar akibat aktivitas mesin
atau manusia.
e) Dead Animal, merupakan bangkai binatang besar misal anjing atau kucing yang
mati akibat kecelakaan atau secara alami.
f) House Hold Refuse, merupakan sampah campuran (berasal dari rubbish,
garbage, ashes) yang berasal dari perumahan.
g) Abandoned Vehicles, merupakan jenis sampah yang berasal dari bangkai
kendaraan.
h) Demolotion Waste & Constructions Waste merupakan sampah yang berasal dari
sisa-sisa hasil pembangunan atau perombakan gedung.
i) Sampah Industri, merupakan sampah yang berasal dari industri pengolahan hasil
bumi, tumbuh-tumbuhan dan industri lainnya.
j) Sewage Solid, terdiri dari benda-benda solid atau kasar yang umumnya
berupa zat organik hasil saringan pada pintu masuk pusat pengolahan air buangan.
19
k) Sampah Khusus, yaitu sampah yang membutuhkan penanganan khusus dalam
pengelolaannya. Misal kaleng, zat radioaktiif.
Pengelolaan sampah mempunyai pengaruh terhadap masyarakat dan
lingkungannya. Pengaruh dari pengelolaan sampah yang tidak benar tampak pada 3
aspek yaitu (Mukono, 2008):
a) Aspek Kesehatan
Sampah dapat memberikan tempat tinggal yang baik bagi vektor penyebab
penyakit, seperti serangga, tikus, cacing dan jamur. Dan dari vektor tersebut dapat
menimbulkan penyakit seperti diare dengan vektor pembawanya adalah lalat.
b) Aspek Lingkungan
Sampah dapat mempengaruhi estetika lingkungan, penurunan kualitas
udara dan pencemaran air.
c) Aspek Sosial Masyarakat
Pengelolaan sampah yang tidak baik dapat mencerminkan status keadaan
sosial masyarakat.
2.2.6 Penyakit Diare
2.2.6.1 Definisi
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair
atau setengah cair dengan kandungan air tinja lebih banyak daripada biasanya yakni
lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam (Simadibrata, 2007). Diare merupakan salah
satu penyebab kematian terbesar pada anak-anak di seluruh dunia karena pada usia
tersebut sangat rentan terhadap dehidrasi (Nelson, 2000).
20
2.2.6.2 Klasifikasi
Diare dapat di klasifikasikan berdasarkan:
1) Lamanya waktu diare (Simadibrata, 2007):
a) Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 15 hari, sedangkan
menurut World Gastroenterology Organisation global guidelines 2005, diare akut
didefinisikan sebagai pasase tinja yang cair/lembek dengan jumlah lebih banyak dari
normalnya dan berlangsung kurang dari 14 hari.
b) Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari c) Diare Persisten
merupakan kelanjutan dari diare akut, peralihan antara diare akut dan kronik.
2) Berdasarkan Mekanisme Patofisiologiknya (Simadibrata, 2007):
a) Diare Osmotik, disebabkan meningkatnya tekanan osmotik intralumen dari usus
halus yang disebabkan oleh obat- obat/zat kimia yang hiperosmotik, malabsorpsi
umum dan defek dari absorpsi mukosa usus.
b) Diare Sekretorik, disebabkan meningkatnya sekresi air dan elektrolit dari usus,
menurunnya absorpsi. Penyebab dari diare ini antara lain karena efek enterotoksin
pada infeksi Vibrio cholerae atau Escherichia coli, penyakit yang menghasilkan
hormon, reaksi ileum dan efek obat laksatif.
3) Berdasarkan ditemukannya darah yang terlihat secara kasat mata disebut dengan
Disentri (Kumar Vinay, 2007).
2.2.6.3 Etiologi
Diare disebabkan oleh banyak penyebab dan dapat dibedakan menjadi diare
infeksi dan diare non-infeksi (Nelson, 2000).
21
1) Diare Infeksi dapat disebabkan oleh beberapa jenis agen-agen penyebab, yaitu
(Brooks, 2005):
a) Enteropatogen Bakteri
Enteropatogen bakteri dapat menyebabkan diare radang atau non radang dan
enteropatogen spesifik dapat disertai dengan salah satu manifestasi klinis. Umumnya
diare radang akibat Aeromonas spp, Campylobacter jejuni, Clostridium difficle, E.
coli enteroinvasif, E. coli enterohemorhagik, Salmonella spp, Shigella spp, Vibrio
parahaemolyticus dan Yersinia enterocolitica. Sedangkan diare non radang dapat
disebabkan oleh E. coli enteropatogen, E.coli enterotoksik, dan Vibrio cholerae.
b) Enteropatogen Parasit
Enteropatogen parasit yang paling sering di Amerika Serikat adalah Giardia
lamblia. Patogen yang lainnya adalah Entamoeba histolytica, Cryptosporidium,
Strongyloides stercoralis, Isospora belli dan Enterocytozoon bieneusi.
c) Enteropatogen Virus
Penyebab gastroenteritis virus adalah Rotavirus, Adenovirus enterik,
Astovirus, Kalsivirus dan Virus Norwalk.
2) Sedangkan diare non-infeksi disebabkan oleh (Nelson, 2000):
a) Kesukaran Makan
b) Kelainan Struktur Anatomi pada saluran cerna, misal pada atrofi mikrovilli,
penyakit Hirschprung, dan sebagainya.
c) Pada Malabsorpsi
d) Pada Endokrinopati
e) Pada Keracunan Makanan
22
f) Pada Neoplasma
g) Macam-macam lainnya, misal karena obat pencahar, alergi susu, penyakit
Crohn, kolitis ulseratif, pada penyakit defisiensi imun.
2.2.6.4 Faktor Risiko
Kelompok risiko tinggi yang mungkin mengalami diare infeksi adalah
(Nasronudin, 2007):
1) Orang yang baru saja bepergian ke negara berkembang, daerah tropis. Misal pada
orang yang sering berkemah atau pergi ke tempat endemik.
2) Orang dengan imunosupresi dan imunodefisiensi, misal pada penderita HIV atau
penekanan sistem imun karena obat-obatan.
3) Orang yang baru saja menggunakan obat-obatan antimikroba pada institusi,
misal di rumah sakit.
4) Makanan atau keadaan makan yang tidak biasa, misal makan makanan
mentah atau mengkonsumsi makanan yang terpapar agen penyebab diare, misal:
Salmonella, Shigella.
2.2.6.5. Gejala Klinis
Secara umum gejala klinis yang timbul akibat diare adalah (Nasronudin, 2007):
1) Akibat kehilangan cairan tubuh:
a) turgor kulit berkurang
b) nadi lemah
c) takikardi
d) mata cekung
23
e) suara parau
f) kulit dingin
g) jari-jari sianosis
h) membran mukosa kering
i) buang air kecil kurang (anuria)
2) Akibat gangguan keseimbangan asam basa dan kehilangan elektrolit:
a) defisit bikarbonat (asidosis), dengan gejala: muntah, pernafasan cepat
dan dalam
b) defisiensi kalium, dengan gejala: lemah otot, aritmia jantung, ileus paralitik
c) kejang dan kom
2.2.6.7. Patofisiologi
Mekanisme utama dalam diare adalah terjadinya kelainan transport air dan
elektrolit. Distensi usus akibat bertambahnya cairan dan gas di lumen usus akan
merangsang timbulnya hiperperistalsis (Silbernagl, 2007). Ada beberapa
mekanisme utama patofisiologi dasar diare. Yang pertama, diare sekretorik akibat
sekresi air dan elektrolit yang berlebihan ke usus akibat rangsangan toksin suatu
bakteri pada mukosa usus. Yang kedua merupakan diare osmotik akibat makanan
yang mengandung zat yang sukar diserap. Yang ketiga akibat gangguan transport
ion, misal karena ketidakmampuan usus menyerap ion klor, akhirnya terjadi diare
akibat kekacauan motilitas usus seperti pada sindrom kolon iritabel. Dan yang
keempat adalah gabungan dari mekanisme tersebut (Sjamsuhidayat, 2005).
24
2.2.6.8. Diagnosis
Beberapa hal yang perlu dilakukan bila mendapatkan pasien terutama anak
dengan diare akut (Nelson, 2000):,
1) menilai tingkat dehidrasi dan memberikan pengganti cairan dan
elektrolit
2) mencegah penyebaran enteropatogen
3) menentukan agen etiologi dan memberikan terapi spesifik jika terindikasi.
2.2.6.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien diare adalah rehidrasi dengan menilai dari derajat
dehidrasinya. Dehidrasi dapat timbul jika diare berat dan asupan oral terbatas karena
nausea atau muntah terutama pada anak- anak dan lansia. Dehidrasi bermanifestasi
sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah frekuensi urin pada
keadaan yang lanjut dapat mengarah ke gagal ginjal akut (Nelson, 2000).
Derajat Dehidrasi akibat diare pada anak dibedakan menjadi tiga yaitu
(Suraatmaja, 2010):
1) Tanpa dehidrasi, biasanya anak tampak normal, tidak ada tanda- tanda dehidrasi
2) Dehidrasi ringan/sedang, menyebabkan anak tampak rewel atau gelisah, mata
sedikit cekung, merasa haus, turgor kulit agak lambat jika dicubit
3) Dehidrasi berat, terjadi penurunan kesadaran pada anak, mata tampak cekung,
tidak bisa minum atau malas minum, turgor kulit sangat lama kembalinya jika
dicubit, nafas cepat dan anak terlihat lemah. Sedangkan derajat dehidrasi
menurut keadaan klinisnya terbagi atas (Simadibrata, 2007):
1) Dehidrasi ringan, jika kekurangan cairan < 5% berat badan
25
2) Dehidrasi sedang, jika kekurangan cairan 5-10% berat badan
3) Dehidrasi berat, jika kekurangan cairan > 10% berat badan
Tujuan Pengobatan yang efektif dalam menangani anak-anak yang menderita
diare akut menurut WHO adalah (Suraatmaja, 2010):
1) Penggantian cairan (rehidrasi), cairan diberikan secara oral untuk mengatasi
dehidrasi.
2) Pemberian makanan terutama ASI dan makanan lunak selama diare dan masa
penyembuhan tetap dilakukan untuk mencegah kekurangan gizi.
3) Tidak menggunakan obat antidiare, antibiotika diberikan hanya pada kasus yang
sudah diketahui secara pasti apa agen yang menjadi penyebab diare tersebut.
Misalnya pada kasus kolera atau disentri yang disebabkan oleh Shigella.
4) Memberikan petunjuk dan edukasi yang efektif bagi ibu serta pengasuh dalam
penanganan dan pencegahan masalah diare
5) Diberikan terapi tambahan misalnya dengan pemberian suplemen zinc untuk
mengurangi lama dan beratnya diare.
2.2.6.10. Pencegahan
Penyakit diare dapat dicegah melalui promosi kesehatan lingkungan, yaitu
(Widoyono, 2008):
1) Menggunakan sumber air bersih dan memasak air hingga mendidih
sebelum diminum untuk mematikan sebagian besar kuman penyakit.
2) Mencuci tangan dengan sabun pada waktu sebelum makan, sesudah makan
dan sesudah buang air besar.
26
3) Menggunakan jamban yang sehat untuk keluarga dan membuang tinja bayi dan
anak dengan benar.
4) Menjaga higienitas makanan dan minuman.
5) Pengelolaan pembuangan sampah yang baik dan benar.
2.2.6.11. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Diare
Banyak faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya diare pada bayi dan
balita. Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal–oral yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung
dengan tangan penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau
tidak langsung melalui lalat. (melalui 4 F = finger, flies, fluid, field). Adapun faktor
resiko terjadinya diare yaitu :
Faktor Anak
Bayi dan anak balita merupakan kelompok usia yang paling banyak menderita
diare, kerentanan kelompok usia ini juga banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu umur anak, pemberian ASI, status gizi anak dan status imunisasi campak.
a. Faktor umur
Sebagian besar diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insidensi
tertinggi terjadi pada kelompok umur 6 sampai 11 bulan, pada saat diberikan
makanan pendamping ASI (Juffrie, 2011). Hal ini dikarenakan belum terbentuknya
kekebalan alami dari anak usia dibawah satu tahun. Pola ini menggambarkan
kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi,
pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung
27
dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai dapat merangkak (Depkes,
1999).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinthamurniwaty (2005) terhadap
faktor-faktor risiko kejadian diare akut di Semarang menyatakan bahwa kelompok
umur yang paling banyak menderita diare adalah umur < 24 bulan yaitu sebesar 58,68
%, kemudian 24-36 bulan sebesar 24,65 %, sedangkan paling sedikit umur 37- 60
bulan 16,67 %.
b. Status Gizi
Status gizi pada anak sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit diare.
Pada anak yang menderita kurang gizi dan gizi buruk yang mendapatkan asupan
makan yang kurang mengakibatkan episode diare akutnya menjadi lebih berat dan
mengakibatkan diare yang lebih lama dan sering. Risiko meninggal akibat diare
persisten dan atau disentri sangat meningkat bila anak sudah mengalami kurang gizi.
Beratnya penyakit, lamanya dan risiko kematian karena diare meningkat pada anak-
anak dengan kurang gizi, apalagi pada yang menderita gizi buruk (Palupi, 2009). Dari
penelitian yang dilakukan oleh Adisasmito (2007) terhadap beberapa penelitian faktor
risiko diare di Indonesia didapatkan hasil bahwa status gizi yang buruk
merupakan faktor risiko terjadinya diare. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sinthamurniwaty (2005) yang menyatakan bahwa balita dengan status
gizi rendah mempunyai risiko 4,21 kali terkena diare akut dibanding balita dengan
status gizi baik.
28
c. Status Imunisasi Campak
Menurut Suraatmaja (2007), pada balita, 1-7% kejadian diare berhubungan
dengan campak, dan diare yang terjadi pada campak umumnya lebih berat dan
lebih lama (susah diobati, cendrung menjadi kronis) karena adanya kelainan pada
epitel usus. Diare dan disentri lebih sering terjadi atau berakibat berat pada anak-
anak dengan campak atau menderita campak dalam 4 minggu terakhir. Hal ini
disebabkan karena penurunan kekebalan pada penderita (Depkes, 1999).
Faktor Orang tua
Peranan orang tua dalam pencegahan dan perawatan anak dengan diare
sangatlah penting. Faktor yang mempengaruhinya yaitu umur ibu, tingkat pendidikan,
pengetahuan ibu mengenai hidup sehat dan pencegahan terhadap penyakit.
Rendahnya tingkat pendidikan ibu dan kurangnya pengetahuan ibu tentang
pencegahan diare dan perawatan anak dengan diare merupakan penyebab anak
terlambat ditangani dan terlambat mendapatkan pertolongan sehingga beresiko
mengalami dehidrasi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hermin (1994), ditemukan bahwa
kelompok ibu dengan status pendidikan SLTP keatas mempunyai kemungkinan 1,25
kali memberikan cairan rehidrasi oral dengan baik pada balita dibanding dengan
kelompok ibu dengan status pendidikan SD kebawah. Dari penelitian Cholis
Bachroen dan Soemantri (1993) diketahui pendidikan merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap morbiditas anak balita, begitu pula hasil penelitian Sunoto
(1990). Tingkat pengetahuan ibu, sikap dan perilaku keluarga dalam tatalaksana
penderita diare mencegah terjadinya kondisi anak dengan dehidrasi (Sukawana,
2000). Sementara itu dari hasil survei yang dilakukan oleh SDKI (2007) terhadap
29
pengetahuan ibu tentang diare didapatkan data bahwa pengetahuan ibu tentang
pemberian paket oralit lebih rendah pada wanita dengan kelompok umur 15-19
tahun dibandingkan dengan wanita yang lebih tua. Sementara itu pendidikan ibu
mempunyai hubungan yang positif dengan pengetahuan ibu tentang pemberian paket
oralit.
Faktor lingkungan
Di daerah kumuh yang padat penduduk, kurang air bersih dengan sanitasi
yang jelek akan mengakibatkan penyakit mudah menular. Pada beberapa tempat
shigellosis yaitu penyebab diare merupakan penyakit endemik, infeksi dapat
berlangsung sepanjang tahun, terutama pada bayi dan anak- anak yang berumur 6
bulan sampai 3 tahun (Depkes, 1999).
Penularan penyakit diare sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana
sebagian besar penularan melalui faecal- oral yang sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan sarana air bersih dan jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan
serta perilaku sehat dari keluarga.
Hyegine dan Kebersihan diri
Perilaku hyegine dan kebersihan ibu dan anak mempunyai pengaruh terhadap
pencegahan terjadinya diare pada bayi dan balita, salah satu perilaku hidup bersih
yang sering dilakukan adalah mencuci tangan sebelum dan sesudah makan pada
anak dan juga setelah anak buang air besar (Hira, 2002). Banyak penyakit mudah
ditularkan melalui makanan yang terkontaminasi atau dari tangan ke mulut. Perilaku
mencuci tangan mengurangi risiko penularan penyakit pada saluran cerna (tinja)
30
maupun saluran pernafasan. (SDKI, 2007). Tangan yang kotor dan kuku panjang
merupakan sarana berkembang biaknya agen kuman dan bakteri terutama penyebab
penyakit diare. Oleh sebab itu pentingnya orang tua memperhatikan kebersihan
tangan dan kuku pada anak usia bayi dan balita, dimana pada usia ini anak
berada pada tahapan dimana lebih cendrung untuk memasukkan benda atau
tangan ke dalam mulut.
31
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
III.1. KERANGKA TEORI
32
Faktor Resiko
EksternalInternal
Penyakit Diare
Balita
(sebagai Host)Agen Penyakit
Penyimpanan sampah
Pengumpulan sampah
Pembuangan sampah
Sarana air bersih
Penyediaan Jamban
Pengelolaan sampah individu
Syarat pembuangan kotoran
Syarat bangunan jamban
LingkunganJenis Kelamin
Usia
Status Gizi
Imunisasi campak
Banjir
Faktor Ibu :
Usia
Pendidikan
Pengetahuan
Mencuci tangan sebelum memberikan makan
Keterangan :
= Variabel yang tidak diteliti
= variable diteliti secara univariat dan bivariat
Bagan 2.1 kerangka teori
III.2. KERANGKA KONSEP
Bagan 2.2 Kerangka Konsep
33
Faktor Anak :
Usia Jenis Kelamin Pemberian ASI Ekslusif Satus Gizi Imunisasi Campak
Kejadian diare pada balita 0-5tahun pasca banjir
Faktor Ibu :
Usia Pendidikan Pengetahuan Kebiasaan mencuci tangan
sebelum memberikan makan pada anak
Faktor Lingkungan :
Pengadaan sarana air bersih
Pengadaan jamban Pengelolaan sampah
III.3 Definisi operasional
Variabel Definisi Operasional
Cara Ukur dan Alat ukur
Hasil Ukur Skala
Variabel Dependen
Kejadian Diare Bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari 3 atau lebih disertai dengan perubahan konsistensi feses menjadi encer
0 = Tidak diare
1 = Diare
Nominal
Variabel Independent
Usia anak Lamanya hidup yang dihitung berdasarkan bulan kelahiran
Cara ukur: melihat catatan medis dan mengisi berdasarkan ulang tahun terakhir dalam tahun
Alat ukur : Kuesioner
1 = 0-24 bulan
2 =25-59 bulan
Interval
Jenis Kelamin Identitas diri atau seksual anak sejak ia dilahirkan
Melihat catatan medis dan melihat langsung pasien
1 = perempuan
2 = laki-laki
Nominal
Asi ekslusif Pemberian hanya ASI saja
Jawaban yang ada di
1= mendapatkan
Ordinal
34
sampai usia bayi 6 bulan
kuesioner ASI eksklusif
2 = tidak mendapatkan ASI eksklusif
Imunisasi campak
Cakupan pemberian imunisasi campak yang didapatkan dalam 1 tahun pertama
Jawaban yang ada di kuesioner
0 = mendapatkan imunisasi campak
1 = tidak mendapatkan imunisasi campak
2 = belum cukup umur
Nominal
Status Gizi Keadaan tubuh balita yang diukur dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) lalu dibandingkan dengan standart WHO dan dikelompokkan berdasarkan nilai Z score pada standart
Cara ukur : Melihat dari catatan Kartu Menuju Sehat (KMS)
0 = Normal
1 = kurang gizi
2 = gizi buruk
Ordinal
Usia ibu Lamanya hidup yang dihitung berdasarkan
Berdasarkan isi kuesioner yang ditulis
1 = 20-30 tahun (tidak berisiko)
Ordinal
35
tahun kelahiran ibu 2= <20 dan >30 tahun (berisiko)
Pendidikan Ibu Pendidikan formal terakhir yang diikuti dan dinyatakan lulus
Melihat dari pendidikan ibu yang diisi dari kuesioner
1=Tinggi (SLTA/AKA/ PT)
2=Rendah (SD - SMP)
Ordinal
Pengetahuan Pemahaman tentang subtansi yang diukur berdasarkan nilai/skor terhadap jawaban yang benar (Arikunto, 1993)
Cara Ukur : Dengan melihat skor yang diperoleh responden, kemudian membandingka n dengan skor maksimal dan dikalikan 100
Alat Ukur : Kuesioner
0=Baik, bila nilai/skor ≥ 76%
1=Cukup, bila nilai skor 56-75 %
2=Kurang baik bila nilai/skor ≤ 55 %
Interval
Kebiasaan cuci tangan
Perilaku ibu untuk membersihkan tangan sebelum memberikan makan anak dengan menggunakan sabun
Jawaban dari kuesioner
1=Selalu
2=Kadang- kadang
3= Jarang
4=Tidak pernah
Ordinal
36
Penghasilan Kondisi keuangan atau penghasilan yang diperoleh keluarga per bulan
Catatan Ukur : Jawaban dari kuesioner
Alat Ukur : kuesioner
1=Tinggi, bila penghasilan
per bulan >1jt
2=Rendah bila penghasilan
per bulan <1 jt
Ordinal
Sarana air bersih
Sumber air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang memenuhi syarat kualitas air bersih
Kuesioner 1 = Tidak memenuhi kualitas air bersih ( nilai 0-7)
2= Memenuhi kualitas air bersih ( 8-11)
Ordinal
Penyediaan jamban
Jenis tempat buang air besar yang digunakan oleh keluarga yang memenuhi syarat pembuangan kotoran sesuai aturan kesehatan
Kuesioner 1= Jamban yang tidak memenuhi aturan kesehatan (0-7)
2 = Jamban yang memenuhi aturan kesehatan (8-10)
Ordinal
Pengelolaan Pembuangan
Jenis tempat dan
Kuesioner 1 = Tidak memenuhi
Ordinal
37
Sampah pengelolaan sampah perorangan yang meliputi : Penyimpanan, Pengumpulan, dan Pembuangan
kesehatan (0-7)
2 = Memenuhi kesehatan (8-11)
38
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah observasi analitik dengan pendekatan desain “Cross
sectional”.
4.2 Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar
Minggu, Jakarta Selatan karena Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti memiliki
kerjasama dengan Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu dan saat ini peneliti sedang
sedang ditugaskan ditempat tersebut. Penelitian dilakukan pada tanggal 25
Februari 2013 – 20 Maret 2013.
4.3 Subyek penelitian
1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh balita (berumur 0 - 5 tahun) di Posyandu
Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Tahun 2013.
39
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah seluruh ibu-ibu yang dipilih secara acak dari 25
Posyandu yang ada di Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta
Selatan yang mewakili seluruh populasi.
Adapun kriteria inklusi dari sampel dalam penelitian ini sebagai berikut:
a) Ibu yang memiliki anak usia 0 sampai 5 tahun yang mengunjungi
Posyandu tersebut di hari pengambilan data Kelurahan Pejaten Timur,
Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
b) Bersedia menjadi responden dan menandatangani informed consent
c) Responden yang komunikatif
Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Tidak bersedia untuk menjadi responden
b) Responden yang tidak komunikatif
4.4 Teknik sampling
Sampel diambil dengan menggunakan metode Cluster Random Sampling,
yaitu proses penarikan sampel secara acak pada kelompok individu dalam populasi
yang terjadi secara alamiah (Dahlan, 2009). Cara ini sangat efisien bila populasi
tersebar luas dalam suatu wilayah sehingga tidak mungkin untuk membuat daftar
seluruh populasi tersebut (S. Sudigdo, 2008).
Proses pengambilan sampel dengan teknik ini dilakukan berdasarkan tingkat
wilayah secara bertahap. Tahap pertama dengan menentukan wilayahnya yaitu
Kelurahan Pejaten Timur Kecamatan Pasar Minggu. Peneliti kemudian mendatangi
kantor kelurahan dan mendapatkan informasi bahwa Kelurahan Pejaten Timur
40
mempunyai 11 RW dengan jumlah Posyandu sebanyak 25 lokasi yang letaknya
berjauhan kemudian dipilih secara acak 2 Posyandu yang balitanya diambil secara
acak sebagai sampel.
Jumlah sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebanyak 48
responden. Jumlah sampel ini didapat dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (S.Sudigdo, 2008):
n = (Za)2 PQ
(d)2
Keterangan :
n = besarnya sampel
a = batas kemaknaan, yang digunakan adalah 0,05
Za = untuk a sebesar 0,05 dari tabel dua arah didapatkan nilai 1,96
P = proporsi penyakit diare
Q = 1-P
d = Akurasi dari ketepatan pengukuran untuk p > 10% adalah 0,05
Rumus untuk menghitung besar jumlah sampel ini digunakan pada sampel tunggal
untuk estimasi proporsi suatu populasi, dimana dalam rumus ini diperlukan 3
informasi, yaitu (S. Sudigdo, 2008):
1. Proporsi penyakit yang akan dicari, P
2. Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki, d
3. Tingkat kemaknaan, a
41
Proporsi yang digunakan berdasarkan angka proporsi kejadian diare di
Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar minggu, Jakarta Selatan tahun 2011
sebesar 17%. berdasarkan rumus di atas didapatkan sampel:
n = (1,96) 2 x 0,17 x (1-0,17)
(0,05) 2
= 216,819 dibulatkan menjadi 217
n = 217 responden
Rumus Populasi finit:
n = Besar sample yang di butuhkan untuk populasi finit
No = Besar sample dari populasi infinit = 217 responden
N = Besar sample populasi finit ( penderita penyakit diare di Kelurahan Pejaten
Timur Januari 2013sampai Februari 2013 )
n = 217 = 43,87867
(1+217/56)
n = 43,8786 dibulatkan menjadi 44
Sample akhir, N1 = n + n (10%)
N1 = 44 + 44 (0.1)
42
N1 = 48.4
Jadi besar sampel penelitian 48 sampel
4.5 Identifikasi variable penelitian
Variabel independent :
1. Faktor usia balita
2. Faktor jenis kelamin balita
3. Faktor pemberian ASI eksklusif
4. Faktor gizi balita
5. Faktor imunisasi campak
6. Faktor usia ibu dari balita yang diambil sebagai sampel
7. Faktor pendidikan ibu
8. Faktor pengetahuan ibu terhadap diare
9. Faktor penghasilan keluarga
10. Penyediaan sarana air bersih
11. Penyediaan jamban keluarga
12. Pengelolaan pembuangan sampah
Variabel dependen :
Penyakit diare pada anak balita pasca banjir.
43
4.6 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian ini diambil dengan menggunakan kuesioner yang berisi
pertanyaan tertutup dan terbuka tentang variabel-variabel penelitian yang diberikan
langsung kepada responden untuk diisi, dan melalui proses wawancara.
4.7 CARA PENGUMPULAN DATA
4.7.1 Alur Pengumpulan Data
Gambar 4.8. Alur Pengumpulan Data
44
Proposal disetujui
Saringan populasi
Mengumpulkan sampel
Peneliti melakukan wawancara dan kuesioner
Peneliti mengumpulkan data
Peneliti mengolah dan menganalisis data dalam bentuk
tabular, tekstular dan grafik dengan menggunakan Microsoft
Word dan SPSS 17,0
Penyajian data dalam bentuk presentasi
4.7.2 Pengumpulan Data Primer
Data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dan kuesioner pada
responden yang dilakukan di Posyandu Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar
Minggu, Jakarta Selatan.
4.7.3 Pengumpulan Data Sekunder
Data yang diperoleh dari pencatatan kejadian penyakit diare yang didapatkan
dari laporan surveillance Puskesmas Kelurahan Pejaten Timur.
4.7.4 Pengumpulan Data Tersier
Data diperoleh dari buku teks, jurnal, dan penelitian yang ada sebelumnya.
4.8 Rencana pengolahan dan analisis data
Data yang telah berhasil diperoleh diolah secara elektronik setelah melalui
proses penyuntingan, pemindahan data ke komputer dan tabulasi. Data yang
terkumpul dari hasil kuesioner diolah, dianalisis dan dimasukkan dalam program
computer Microsoft office excel 2007 dan SPSS 17.0.
Adapun langkah-langkah pengolahan data dilakukan seperti tahap-tahap
dibawah ini :
1. Cleaning
Memeriksa kelengkapan data, kelengkapan kuesioner, apakah semua
pertanyaan telah dijawab dengan lengkap dan benar.
Memeriksa kesinambungan data, dalam arti tidak ditemukannya data atau
keterangan antara satu dengan yang lainnya.
Memeriksa keseragaman data, apakah ukuran yang digunakan dalam
mengumpulkan data sudah seragam atau tidak.
45
2. Coding
Pengkodean data (data coding) yaitu mengklasifikasikan data dan memberi
kode atau simbol tertentu, misal berupa angka untuk setiap jawaban.
3. Editing
Pengeditan data (editing) yaitu mengeluarkan data yang dianggap janggal,
yaitu dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan melihat
kelogisannya. Setelah dicek kembali untuk memastikan data tersebut telah
bersih dari kesalahan, maka data tersebut siap untuk dianalisa.
4. Entry
Pemasukan data (data entry) yaitu memasukkan data kedalam program
computer yaitu SPSS untuk kemudian dianalisa.
4.9 Analisa Data
4.9.1 Analisa Univariat
Analisa menggunakan distribusi frekuensi data berdasarkan nilai rata-
rata (mean) terhadap variabel-variabel yang diteliti.
4.9.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat yang digunakan adalah uji statistik chi-square, untuk
mencari hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel dependen
dengan variabel independen yang mengacu pada nilai p-value <0,05.
4.10 Penyajian Data
Tekstural, hasil penelitian disajikan dalam bentuk kalimat.
46
Tabulasi, hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel.
Grafik, hasil penelitian disajikan dalam bentuk diagram pie dan diagram
batang
4.11 Jadwal Kegiatan Penelitian
Tahapan KegiatanWaktu Dalam Minggu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
47
A Perencanaan
1 Orientasi dan Identifikasi Masalah
2 Pemilihan Topik
3 Penelurusan kepustakaan
4 Pembuatan Proposal
5 Konsultasi dengan pembimbing
6 Pembuatan questionnaire
7 Presentasi Proposal
B Pelaksanaan
1 Ujicoba questionnaire
2 Pengumpulan data dan Survey
3 Pengolahan data
4 Analisis data
5 Konsultasi dengan Pembimbing
C Pelaporan Hasil
1 Penulisan laporan sementara
2 Diskusi
3 Presentasi hasil laporan sementara
4 Revisi
5
Presentasi Hasil akhir
(puskesmas dan trisakti)
6 Penulisan laporan akhir
Tabel 2. Jadwal kegiatan
4.12 Perkiraan Biaya Penelitian
Penggandaan Kuesioner Rp. 250.000,-
Transportasi Rp. 200.000,-
48
Kertas A4 Rp 30,000,-
Tinta Printer Rp. 220.000,-
Cenderamata Rp 100,000,-
Biaya tak terduga: Rp. 300.000,-
Rp. 1.100.000,-
DAFTAR PUSTAKA
49
1. Sastroasmoro Sudigdo, Ismael Sofyan. (2008). Dasar-dasar
Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV. Sagung Seto.
2. Brooks Geo F, Butel Janet S, Moerse Stephen A. Jawetz, Melnick, &
adelberg’s (2005). Medical Microbiology twenty second ed. Jakarta :
Salemba Medika.
3. Chandra Budiman. (2006). Pengantar kesehatan Lingkungan. Jakarta :
EGC
4. Dahlan M. Sopiyudin. ( 2009). Langkah-langkah Membuat Proposal
Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan . Jakarta : Sagung Seto.
5. Dahlan M. Sopiyudin. ( 2009). Besar Sampel dan Cara Pengambilan
Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan . Jakarta :
salemba Medika.
6. Dahlan M. Sopiyudin. ( 2009). Statistik untuk Kedokteran dan
Kesehatan. Jakarta : salemba Medika.
7. Departemen Kesehatan RI (2000). Buku Pedoman Pelaksanaan
Program P2 Diare. Jakarta : Ditjen PPm dan PL
8. Kumar Vinay, Cotran RS, Robbins SL. (2007). Robbins Basic
Pathology, 7th ed.Jakarta: EGC.
9. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. (2000). Nelson
Textbook of Pediatrics, 15th ed. Jakarta : EGC
10. Widoyono. (2008). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan,
Pencegahan & Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.
50