PENELITIAN AWAL GUNUNG API PURBA DI DAERAH...
Transcript of PENELITIAN AWAL GUNUNG API PURBA DI DAERAH...
1
PENELITIAN AWAL GUNUNG API PURBA DI DAERAH MANGGARAI
BARAT, FLORES, NUSA TENGGARA BARAT, INDONESIA
Oleh:
Hill. Gendoet Hartono1), Partama Misdiyanta1), Djoko Purwanto2), Faidzil
Chabib3), dan Ones Kambu3) 1) Pengajar di Jurusan Teknik Geologi, STTNAS, Yogyakarta
2) Staf LP3M STTNAS, Yogyakarta 3) Mahasiswa Teknik Geologi STTNAS, Yogyakarta
E-mail: [email protected]
Abstrak
Pulau Flores terletak di antara busur Sunda di bagian barat dan busur
Banda di bagian timur serta di perbatasan antara cekungan Flores di utara dan
cekungan Savu di selatan. Secara umum tataan geologi Pulau Flores bagian utara
sangat rumit, tersusun oleh batuan berumur Tersier seperti batuan beku, klastika
gunung api dan batuan sedimen, sedangkan bagian selatan terdapat gunung api
aktif. Daerah penelitian terletak di Gololajang, Manggarai Barat tersusun sebagian
besar oleh batuan gunung api yang membentuk bentang alam berelief kasar dan
beberapa diantaranya memperlihatkan bentuk bulan sabit dengan batuan intrusi di
bagian dalamnya. Genesis yang meliputi proses, umur, sumber material dan
lingkungan pengendapan hingga saat ini masih diperdebatkan dan diteliti oleh
para ahli kebumian. Stratigrafi yang ada mencerminkan kerumitan tersebut
terlebih bila dikaitkan dengan pentarikhan umur absolut terhadap batuan beku dan
batuan gunung api yang terletak berdekatan dengan batuan sedimen yang menjadi
dasar penyatuan. Metode pendekatan yang dilakukan adalah pembelajaran geologi
gunung api. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Formasi Kiro, Formasi
Nangapanda dan Formasi Bari sebagai penyusun utama. Formasi Kiro dan
Nangapanda umumnya disusun oleh material asal gunung api yang terdiri atas
batuan intrusi, batuan gunung api produk lelehan dan letusan dengan berbagai
variasi komposisinya. Berdasarkan analisis bentang alam dan stratigrafi gunung
api maka daerah Gololajang dan sekitarnya disusun oleh satuan gunung api
Khuluk Gololajang, Khuluk Tueng, Khuluk Mawe, yang berkembang di dalam
Bregada Ruteng.
Kata-kata kunci: Pulau Flores, gunung api, khuluk, bregada.
2
PENDAHULUAN
Pulau Flores terletak di antara busur Sunda di bagian barat dan busur
Banda di bagian timur serta di perbatasan antara cekungan Flores di utara dan
cekungan Savu di selatan (Gambar 1). Busur Banda terbentang dari Bali ke arah
timur melalui Sumbawa, Flores dan pulau-pulau kecil timur Flores serta
melengkung ke arah utara menyerupai bentuk sendok (Katili, 1975; Hamilton,
1978). Keberadaan Pulau Flores khususnya dan kepulauan Indonesia bagian timur
tidak terlepas dari peran gerak-gerak tektonik lempeng samudera dan lempeng
benua yang menyertainya.
Gambar 1. Peta yang memperlihatkan Pulau Flores yang terletak diantara busur
Sunda di bagian barat dan busur Banda di bagian timur (Wensink dan van Bergen,
1995).
Penelitian geologi telah banyak dilakukan, sebagai contoh Abbot dan
Chamalaun (1981); Katili dan Sudradjat (1989); Abdullah et al. (2000); dan
Soeria-Atmadja et al. (2001), namun penelitian tentang keberadaan gunung api
purba yang dikaitkan dengan genesis, lokasi sumber erupsinya belum banyak
dilakukan, terlebih bila dihubungkan dengan keberadaan mineralisasi primer.
Tujuan penelitian awal ini adalah untuk mengungkap keberadaan tubuh
gunung api purba dan suksesi pembentukan batuan gunung api di Daerah
Manggarai Barat, Flores berdasar litostratigrafi yang dilandasi pemahaman
volkanologi dan citra Landsat. Metode pendekatan yang dilakukan adalah
3
penelitian geologi permukaan, sedangkan untuk mengetahui keberadaan gunung
api purba dengan menerapkan prinsip geologi ”The present is the key to the past”
serta pemerian berbagai jenis batuan gunung api yang tersingkap di permukaan
bumi, dan kompilasi data sekunder yang terkait dengan topik bahasan.
Lokasi daerah yang menjadi fokus pembahasan adalah Desa Gololajang,
Desa Goloriwu, Kecamatan Macang Pacar dan sekitarnya, lebih kurang 30 km
sebelah baratlaut dari kota Ruteng, Manggarai Barat (Gambar 2). Lokasi ini
dipilih karena terkait dengan pekerjaan pemetaan mineral ekonomi mangan (Mn)
yang diberikan oleh pihak PT. GEORE bekerja sama dengan Jurusan Teknik
Geologi STTNAS. Pekerjaan lapangan berlangsung selama satu bulan pada bulan
Nopember tahun 2008.
Gambar 2. Lokasi daerah penelitian, daerah pemetaan mineral mangan PT.
GEORE (tanda kotak).
Daerah penelitian menjadi penting untuk studi magmatisme-volkanisme,
stratigrafi gunung api karena di bagian selatan dan tenggara dibangun oleh tubuh
gunung api berumur Kuarter yaitu G. Wae Sano dan G. Anak Ranakah, sedangkan
4
di bagian utara Pulau Flores dibangun oleh batuan asal gunung api berumur
Tersier. Sementara itu di bagian timulaut daerah penelitian tepatnya di Teluk Reo
dijumpai eksplorasi dan eksploitasi mineral ekonomi asal gunung api. Di sisi lain
penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap tataan geologi gunung api
Pulau Flores bagian barat dan dapat menjadi konsep pendukung pencarian sumber
daya geologi asal gunung api.
DASAR TEORI
Secara sederhana magma didefinisikan sebagai material induk pembentuk
batuan beku atau disebut sebagai zat batuan yang mencair. Magma dicirikan oleh
komposisi yang didominasi silika (SiO2), bersuhu tinggi dan mempunyai
kemampuan untuk mengalir. Grove (2000) mendifinikasn magma sebagai batuan
pijar yang terdiri dari tiga atau lebih komponen lelehan cair silikat, kristal padat
dan gelembung gas. Magma yang membeku di dalam bumi akan menghasilkan
batuan intrusi atau batuan plutonik, sedangkan lava adalah magma yang membeku
di permukaan bumi. Di pihak lain, Condie (1982) menyebutkan bahwa
kebanyakan kemunculan magma dihasilkan di batas lempeng, kecuali pada sesar
transform yang bilamanapun ada dihasilkan magma dalam jumlah sedikit.
Lingkungan dimana magma dihasilkan dapat dikelompokkan ke dalam
lingkungan tepi lempeng (plate margin) dan bagian tengah lempeng (intraplate).
Macdonald (1972) mendifinisikan gunung api sebagai tempat atau bukaan
yang menjadi titik awal bagi batuan pijar dan atau gas yang keluar ke permukaan
bumi dan bahan sebagai produk yang menumpuk di sekitar bukaan tersebut
membentuk bukit atau gunung. Tempat atau bukaan tersebut disebut kawah atau
kaldera, sedangkan batuan pijar dan gas adalah magma. Batuan atau endapan
gunung api adalah bahan padat berupa batuan atau endapan yang terbentuk
sebagai akibat kegiatan gunung api, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hartono (2009, in press) menyebutkan bahwa bentuk tubuh gunung api
komposit yang dibangun oleh perselingan berbagai jenis batuan gunung api
(koheren lava dan piroklastika) membentuk suatu keteraturan-keteraturan sesuai
jarak pengendapan dari pusat erupsinya. Peneliti sebelumnya seperti Williams dan
MacBirney (1979) membagi sebuah kerucut gunung api komposit menjadi tiga
zona (Gambar 3), yakni Zona Pusat (Central Zone; di dalam sekitar 0,5 hingga 2
km dari zona pusat), Zona Proksi (Proximal Zone; di atas 5 hingga 15 km dari
zona pusat), dan Zona Distal (Distal Zone; lebih daripada 5 hingga 15 dari zona
pusat). (1) Zona Pusat disusun oleh batuan intrusi dan kubah lava; (2) Zona Proksi
disusun oleh aliran lava dan bahan piroklastika, serta perselingan antara lava dan
bahan piroklastika; (3) Zona Distal disusun oleh material hasil pengerjaan ulang
bahan asal gunung api.
TATAAN GEOLOGI
Indonesia merupakan tempat pertemuan, interaksi dan tumbukan tiga
lempeng kerak tektonik. Ketiga lempeng tektonik yang terlibat tersebut meliputi
Lempeng Pasifik, Lempeng Hindia-Australia, dan Lempeng Eropa-Asia serta
5
ketiganya bergerak dengan kecepatan yang tidak sama. Pergerakan lempeng-
lempeng itulah yang diperkirakan bertanggung jawab terhadap kehadiran ratusan
gunung api aktif dan tidak aktif di wilayah Indonesia (Katili, 1975).
Gambar 3. Penampang variasi fasies dasar batuan gunung api yang berkaitan
dengan pusat gunung api (modifikasi dari Williams dan MacBirney, 1979).
Pulau Flores sedikitnya terdapat 13 gunung api aktif yang berjajar di
bagian selatan berarah barat – timur dan terdapat sekurangnya 5 gunung api yang
merupakan lapangan panas bumi, sedangkan gunung api yang kegiatannya terjadi
pada masa prasejarah lebih kurang sejumlah 4 buah (van Padang, 1951). Di pihak
lain, Soeria-Atmadja et al. (2001) menyebutkan bahwa terdapat dua jalur
magmatik sejajar yang menyusun busur Sunda – Banda yaitu jalur magmatik
berumur Tersier Awal dan Tersier Akhir – Kuarter (Gambar 4). Hendaryono et al.
(2001) memperkirakan bahwa di Pulau Flores, Indonesia Timur mengalami dua
siklus kegiatan magmatisme yang didasarkan pada sistesa penampang stratigrafi
yang didukung pentharikan umur radiometri 40K-40Ar. Volkanisme pertama
berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Atas. Kegiatan volkanisme tertua
menunjukkan umur 27,7 – 25 juta tahun lalu dan periode yang lebih muda
menunjukkan umur 16 – 8,4 juta tahun lalu. Volkanisme kedua terjadi pada akhir
Miosen hingga Plio-Kuarter yang menunjuk pada angka 6,7 hingga 1,2 juta tahun
lalu. Selain hal tersebut, peneliti ini juga memperlihatkan analisis unsure oksida
utama dengan kisaran kandungan silika antara 50 – 70 % berat dan kandungan
K2O umumnya kurang dari 1 % berat yang menunjuk pada tipe magma tholeiit
hingga kapur alkali normal.
Selain pernyataan yang disebutkan sebelumnya, Katili (1975) juga
menyatakan bahwa terdapat perbedaan tataan geologi antara sistem palung busur
Jawa dengan sistem palung busur Timor. Pada Gambar 5 memperlihatkan adanya
dua fase perkembangan busur Banda. Di dalam fase awal, lempeng samudera
Hindia-Australia menunjam di bawah lempeng samudera Banda, dan dalam fase
akhir diikuti oleh subduksi kerak benua Australia ke dalam zona subduksi busur
6
Banda sebagai pengapungan Australia yang menerus ke arah utara. Genrich et al.
(1996) menyebutkan bahwa pengukuran geodetik sistem informasi geografis pada
30 lokasi di Indonesia (termasuk di Ruteng) dan 4 lokasi di Australia
menunjukkan bahwa daerah pinggir benua Australia tumbuh di busur kepulauan
Banda. Peristiwa ini memberikan gambaran adanya persentuhan kerak benua
Australia dengan kerak benua Eurasia, yang memberikan pengaruh perkembangan
struktur geologi, stratigrafi, geokimia, magmatisme dan volkanisme pada wilayah
Indonesia bagian timur (Carter et al. 1976; Elburg et al. ?; McCaffrey dan Abers,
1991; Macpherson dan Hall, 1999).
Gambar 4. Jalur gunung api Oligosen-Miosen dan Pliosen-Kuarter dalam Busur
Sunda-Banda (Sumatra-Flores) menurut Soeria-Atmadja et al. (2001).
Bacharudin (1988; dalam Katili dan Sudradjat, 1989) melakukan analisis
berdasarkan citra Landsat daerah Flores Barat. Hasil analisis memperlihatkan
adanya dominasi litologi berupa batuan sedimen berumur Miosen di bagian utara
dan batuan gunung api berumur Kuarter di bagian selatan, yang kedua batuan
tersebut memperlihatkan penyebaran barat – timur (Gambar 6). Namun, di pihak
lain (Koesoemadinata et al. 1994) menyatakan bahwa bagian utara terutama
disusun oleh batuan gunung api yang dimasukkan ke dalam kelompok Formasi
Kiro (Tmk) berumur Miosen Awal. Formasi Kiro merupakan batuan tertua di
Flores Barat terdiri dari breksi, lava, tuf dengan sisipan batupasir tuf yang
mempunyai kedudukan jurus tenggara hingga timurlaut dan kemiringan antara 10
o – 20o. Breksi dengan komponen pecahan andesit dan basal, dan di beberapa
7
tempat telah mengalami alterasi dan mineralisasi membentuk magnetit dan
mangan.
Gambar 5. Penampang utara-selatan yang memotong Timor-Flores (Katili, 1975),
memperlihatkan konfigurasi lempeng bawah permukaan dan perkiraan genesis
Pulau Timor dan Pulau Flores.
Gambar 6. Hasil interpretasi geologi Flores Barat dari citra Landsat (Bacharudin,
1988; dalam Katili dan Sudradjat, 1989).
8
Stratigrafi atau urut-urutan litologi yang menyusun Pulau Flores secara
umum dari tua ke muda (Gambar 7) menurut Koesoemadinata et al. (1994) adalah
Formasi Kiro (Tmk) berumur Miosen Awal, kemudian menumpang menjari di
atasnya Formasi Nangapanda (Tmn), Formasi Bari (Tmb), Formasi Tanahau
(Tmt) berumur Miosen Tengah, selanjutnya diterobos batuan granit (Tmg) dan
batuan diorit (Tmd) berumur Miosen Akhir. Setelah itu berkembang di atasnya
Formasi Waihekang (Tmpw) yang menjari dengan Formasi Laka (Tmpl) berumur
Pliosen, dan kemudian ditutupi oleh produk kegiatan gunung api tua (QTv)
berumur Pleistosen. Secara tidak selaras di atasnya diendapkan kelompok batuan
dan endapan paling muda atau sekarang masih berlangsung pembentukannya yang
diwakili oleh batuan gunung api muda (Qhv), undak pantai (Qct), batugamping
koral (Ql), dan aluvium (Qal).
Gambar 7. Stratigrafi Pulau Flores, Nusa Tenggara pada lembar Ruteng
(Koesoemadinata et al. 1994).
HASIL PENELITIAN
Kegiatan pemetaan lapangan geologi menghasilkan 202 lokasi pengamatan
geologi terpilih yang tersebar di daerah penelitian (Gambar 8). Dari hasil
pengamatan litologi dan pemerian megaskopis dapat dibagi ke dalam 4 kelompok
batuan segar yaitu batuan beku masif, batuan gunung api breksi piroklastik,
batuan gunung api tuf, dan batuan sedimen karbonat yaitu batugamping,
sedangkan kelompok yang lain terdiri dari 2 kelompok batuan terubah yaitu
batuan ubahan yang mengandung mangan dan tubuh bijih mangan (Mn). Hampir
setengah dari daerah penelitian terdapat batuan yang mengandung unsur mangan
(walaupun diperkirakan dalam kadar kecil) dan hanya sebagian kecil di daerah
9
tenggara yaitu di daerah Tueng kurang lebih satu kilometer persegi disusun oleh
tubuh bijih mangan (manganese ore body). Ciri fisik bijih mangan yaitu warna
hitam arang-mengkilat, dapat berupa abu hitam dan padat, berat, kenampakan
permukaan sering memperlihatkan bentuk membulat. Hasil analisis laboratorium
berupa petrografi, geokimia (AAS), dan analisis kadar mangan terhadap sampel
terpilih menjadi milik PT. GEORE dan tidak diperbolehkan untuk dipublikasi.
Gambar 8. Lokasi pengamatan geologi dan pengambilan contoh setangan batuan
segar dan batuan yang diperkirakan mengandung mineral bijih mangan (Mn) di
daerah penelitian.
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis citra Landsat yang
dipandu oleh peta topografi, daerah penelitian berbentuk perbukitan
bergelombang kuat yang berelief kasar – sangat kasar berarah relatir barat – timur,
dan terdapat tonjolan-tonjolan bukit yang membentuk bentang alam anomali yaitu
relatif melingkar dan membuka ke suatu arah tertentu (Gambar 9). Pada Gambar
9B memperlihatkan adanya perbedaan pola kontur daerah penelitian bagian barat
dan bagian timur. Bentang alam bagian barat membentuk perbukitan
bergelombang lemah, berelief relatif landai dengan beda tinggi antara + 825 m
dpl. hingga + 625 m dpl. Bentang alam ini diwakili oleh Desa Gololajang dan
melandai ke arah bagian barat dan utara, sedangkan bentang alam bagian timur
10
bergelombang kasar – sangat kasar, berelief kuat dengan beda tinggi antara +
1000 m dpl. hingga + 275 m dpl. Bentang alam bagian timur diwakili oleh Desa
Goloriwu dan Desa Tueng. Kedua bentang alam utama tersebut dibatasi oleh
aliran sungai utama Wae Songkang yang arah alirannya ke utara hingga bermuara
di Teluk Reo (lihat Gambar 9A).
Pada Gambar 9C terdapat bentukan – bentukan yang relatif melingkar –
setengah melingkar menyerupai bulan sabit (half moon) atau menyerupai bentuk
tapal kuda (horseshoe shape). Daerah penelitian sedikitnya disusun oleh tiga
bentuk – bentuk bentang alam melingkar – setengah melingkar yaitu di bagian
timur diwakili oleh Desa Gololajang dan Desa Tueng, sedangkan di bagian barat
diwakili oleh Desa Golomawe. Tampak bagian dalam pada ketiga tinggian yang
membentuk bentang alam anomali ini terdapat bentuk tonjolan dan rendahan.
Bentuk tonjolan tersebut disusun oleh batuan terobosan (Gambar 10), sedangkan
bentuk rendahan disusun oleh batuan yang telah mengalami alterasi dan tererosi
sehingga membentuk cekungan. Bentuk lengkungan bagian luar yang lebih besar
disusun oleh perselingan breksi gunung api dan lava membentuk gawir terjal.
Gambar 9. Lokasi penelitian bagian dari wilayah Flores Barat: A) Tampak dari
citra Landsat; B) Tampak pola kontur dan pola aliran sungai, dan C) Tampak hasil
olahan tiga dimensi yang menunjukkan relief kasar melingkar-setengah melingkar
menyerupai bentuk bulan sabit.
11
Gambar 10. Batuan intrusi andesit yang memperlihatkan bentuk kerucut simetri di
Desa Gololajang. A) Tampak dekat, dan B) tampak jauh dengan latarbelakang
gawir terjal yang melingkupinya.
Tampak juga pada Gambar 9C bahwa daerah bukaan dikuasai oleh aliran
lava dan material gunung api lainnya, kecuali pada daerah bukaan yang
menempati bagian timurlaut. Pada daerah yang terakhir ini bentuk lengkungannya
paling besar dan mempunyai relief lebih rendah dibanding dua bentukan lainnya.
Pola pengaliran daerah penelitian dibangun oleh tiga sungai utama yaitu
Wai Songkang, Wai Pou – Wai Kodal, dan Wae Raeng. Ketiga sungai utama di
daerah penelitian ini kemudian menyatu di sebelah utara yaitu di Desa Kombo
pada aliran sungai utama Wai Ncuring yang arah alirannya ke timurlaut dan
membelok ke utara menuju Teluk Reo. Cabang – cabang sungai mengalir
mengikuti bentuk bentang alamnya yaitu berpola memusat dan kemudian menyatu
di daerah bukaan bilamana aliran tersebut di dalam daerah kawah, sedangkan
berpola menyebar menjauhi daerah sumber/ kawahnya.
Secara umum batuan yang menyusun daerah penelitian berupa batuan
beku, breksi andesit, breksi pumis tuf, dan batugamping (Gambar 11). Menurut
Koesoemadinata et al. (1994) batuan – batuan tersebut dikelompokkan ke dalam
Formasi Kiro, Formasi Nangapanda, dan Formasi Bari. Daerah penelitian dikuasai
oleh batuan beku, dan batuan gunung api (Gambar 12). Batuan beku di sini terdiri
dari batuan beku intrusi dalam (diorit), dan batuan beku intrusi dangkal (andesit)
atau koheren lava. Batuan intrusi ini dilingkupi perselingan breksi andesit, lava,
dan tuf. Di bagian barat laut daerah penelitian dijumpai breksi pumis yang
berselingan dengan tuf yang mempunyai kemiringan 15o ke arah baratlaut.
Batuan beku intrusi yang tersingkap di Desa Gololajang berkomposisi dari
diorit dan andesit porfiri – andesit, sedangkan di Desa Tueng dan Desa Golomawe
berkomposisi andesit porfiri – andesit afanit. Breksi andesit disusun oleh
komponen bom dan blok gunung api, umumnya berkomposisi andesit. Singkapan
breksi andesit ini sering dijumpai berselingan dengan lava andesit dan batutuf.
Lava andesit sering memperlihatkan struktur permukaan kasar dan menyudut
(breksi autoklastika). Kelompok ini membentuk bentang alam tinggian berelief
kasar dan mempunyai kemiringan melandai menjauhi bentang alam intrusi.
12
Gambar 11. Berbagai ragam jenis batuan di daerah penelitian: A) batuan beku
andesit; B) breksi andesit; C) batutuf; D) batugamping; E) intrusi sill basal
diantara tuf; dan F) batuan beku andesit porfiri dengan struktur kolumnar.
Batugamping berkembang baik di bagian utara dan bagian timur daerah
penelitian, umumnya berlapis dan di beberapa lokasi dijumpai batugamping koral
atau reef dalam bentuk bongkah. Batugamping yang tersingkap di utara
menempati daerah dataran, sedangkan di timurlaut dan timur menempati daerah
dengan lereng terjal menempel di atas breksi gunung api.
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa kekar dan
sesar mendatar (diperkirakan) mengkiri memotong diagonal berarah baratlaut –
13
tenggara daerah penelitian. Struktur geologi yang lain berupa intrusi, perlapisan
batuan (radier), struktur melingkar, dan kekar pendinginan pada batuan beku.
Gambar 12. Peta geologi daerah penelitian yang didominasi batuan beku dan
batuan gunung api, dan sedikit batuan sedimen.
DISKUSI
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, genesis daerah penelitian dapat
disimpulkan berasosiasi dengan peran gerak-gerak lempeng tektonik, dan
magmatisme – volkanisme (misal: Katili, 1975 dan Soeria-Atmadja et al., 2001).
Namun demikian, penelitian awal ini menunjukkan bahwa distribusi produk
kegiatan gunung api mempunyai keteraturan-keteraturan yang signifikan, seperti
misalnya bentuk struktur setengah melingkar membuka ke suatu arah berasosiasi
dengan letusan gunung api sektoral; batuan intrusi dikungkungi atau dilingkupi
oleh perselingan batuan beku luar dan piroklastika artinya perselingan batuan ini
merupakan produk primer gunung api yang berasosiasi dengan endapan di sekitar
lubang kawah; kemiringan batuan gunung api fragmental berupa tuf dan lapili
hingga breksi halus berbentuk radier mengikuti bentuk kerucut gunung api,
14
kemiringan perlapisan batuan tersebut berasosiasi dengan kemiringan awal (initial
dip) yang dibangun oleh batuan hasil kegiatan erupsi gunung api.
Bentang alam perbukitan bergelombang kuat dan berelief kasar bukan
semata-mata merupakan produk akhir dari suatu kegiatan tektonik rejim
kompresif dan pelapukan batuan, melainkan kemungkinan berhubungan dengan
sisa tubuh gunung api (volcanic edifice) in situ dan resistensi batuan penyusun.
Artinya suatu gunung api membangun tubuhnya sendiri terkait dengan perilaku
magmanya. Misalkan magma dengan komposisi menengah hingga asam
mempunyai kecenderungan untuk membangun tubuhnya setinggi dan sebesar
mungkin, tetapi berbeda dengan magma berkomposisi basa hanya mampu
membangun tubuhnya kecil dan landai.
Berdasarkan pentharikan umur absolut (K-Ar) yang dilakukan oleh
Hendaryono et al. (2001) bahwa batuan intrusi tertua berumur 16 – 13 juta tahun
lalu (jtl.); 12 – 8 jtl., dan kemudian disusul intrusi yang menunjukkan umur 6,7 jtl.
- 3,9 jtl. dan menerus hingga sekarang. Peneliti tersebut juga menyatakan bahwa
batuan intrusi tersebut menerobos seluruh batuan sedimen dan batuan gunung api
klastik yang ada. Pernyataan umur batuan intrusi ini menunjukkan bahwa telah
terjadi erupsi gunung api secara menerus di daerah Flores, NTT. Hal tersebut
dapat diinterpretasikan dengan terjadinya proses pengkayaan unsur di dalam
batuan yang mempunyai sifat ekonomi, karena batuan yang diterobos berulang-
ulang akan mengalami alterasi dan mungkin juga terjadi mineralisasi. Selain hal
tersebut, pentharikan umur juga mendukung terhadap pemahaman terjadinya
suksesi gunung api secara umum di daerah penelitian. Menurut hemat penulis
berdasarkan hasil analisis awal stratigrafi gunung api bahwa daerah penelitian
berkembang secara normal, artinya fase pembangunan membangun gunung api
komposit (Ruteng) hingga mencapai ketinggian maksimum, kemudian mengalami
fase penghancuran berupa letusan kuat yang diikuti pembentukan bregada
(kaldera), terbukti dengan adanya produk letusan berupa breksi pumis tuf dan
tersingkapnya batuan beku dalam berkomposisi diorit. Suksesi berikutnya
terbentuklah beberapa gunung api komposit (Khuluk Gololajang, Khuluk Tueng,
dan Khuluk Golomawe) di dalam kaldera. Suksesi gunung api berlanjut namun
kegiatannya terletak di sebelah selatan gunung api purbanya (misal: G. Anak
Ranakah, G. Mawe Sano, dan G. Todo). Hal ini berbeda dengan perkembangan
suksesi gunung api yang terjadi di Pulau Jawa yaitu terbalik, artinya gunung api
komposit Kuarter berkembang atau terjadi di sebelah utara gunung api purbanya.
Permasalahan ini kemungkinan berhubungan dengan penunjaman, yaitu di Pulau
Flores lempeng yang menunjam menjadi pendek dan terjal, sedangkan di Pulau
Jawa panjang dan sudut tunjamannya landai.
Berdasarkan kenampakan geomorfologi gunung api (Gambar 9C) Khuluk
Gololajang yang terletak di timurlaut memperlihatkan bentang alam berelief kasar
dan sudah rusak, bentuk kawah melebar sebagai akibat peran erosi lanjut. Hal
yang berbeda ditunjukkan oleh bentuk gunung api komposit Tueng dan
Golomawe yang masih cukup jelas yaitu struktur bukaan relatif masih sempit dan
bentuk aliran lava yang mengalir ke arah selatan menjauhi daerah sumber dan
mengisi daerah bukaan masih dapat diamati. Batuan intrusi dalam pada kedua
khuluk yang disebut terakhir ini tidak dijumpai. Oleh sebab itu, kenampakan
15
bentang alam di daerah penelitian dibangun oleh bentang alam gunung api berupa
produk erupsi lelehan dan produk erupsi letusan serta batuan intrusi, namun
kedudukan gunung apinya dikendalikan oleh keberadaan tataan tektoniknya.
Sehubungan dengan proses pelapukan lanjut dan erosi yang cukup intensif
di daerah penelitian terutama di bagian utara dan tengah, kemungkinan hal inilah
yang menjadi penyebab kenapa produk alterasi dan mineralisasi tidak dijumpai
secara ekonomis. Kemungkinan yang pertama adalah produk akhir alterasi dan
mineralisasi telah tererosi dan tertransport secara alami dalam waktu yang panjang
ke tempat lain melalui sungai-sungai utama dan mengendap di daerah muara Reo,
sedangkan kemungkinan kedua yaitu proses magmatisme – volkanisme tidak
menghasilkan atau tidak terjadi pengkayaan bijih primer.
KESIMPULAN
Dari hasil analisis bentang alam, pemerian rinci batuan, dan hasil diskusi
dapat disimpulkan bahwa :
Bentuk bentang alam daerah penelitian dibangun oleh kegiatan gunung api
purba yaitu kegiatan intrusi, erupsi meleleh, dan erupsi letusan, serta proses
eksogenik yang sekarang masih berlangsung.
Daerah penelitian yang umumnya disusun oleh stratigrafi batuan beku
plutonik dan koheren lava (intrusi dangkal dan batuan gunung api) yang
tergabung dalam Formasi Kiro, Formasi Nangapanda dan Formasi Bari
membentuk Khuluk Gololajang, Khuluk Tueng, Khuluk Mawe, dan
merupakan bagian dari Bregada Ruteng.
Daerah penelitian merupakan bagian suksesi gunung api Bregada (Kaldera)
dan gunung api Khuluk.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada panitia penyelenggara seminar
ReTII ke 4, STTNAS sehingga makalah ini dapat dipresentasikan dan
dipublikasikan, dan kepada pimpinan PT. GEORE yang telah memfasilitasi
selama observasi di lapangan serta Bapak Benny Padjo, kepala Dinas Kamar
Dagang dan Industri Labuan Bajo, Manggarai Barat atas kerjasamanya yang baik
selama kerja lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abbot M.J, dan Chamalaun F.H. 1981. Geochronology of Some Banda Arc
Volcanics. The Geology and Tectonics of Eastern Indonesia, Geological
Research and Development Centre, Eds: Barber A.J. dan Wiryosujono.
Spec. Publ. No. 2. hal. 253-268.
Abdullah C.I., Rampnoux J.P., Bellon H., Maury R.C., dan Soeria-Atmadja R.
2000. The Evolution On Sumba Island (Indonesia) Revisited in The Light of
16
New Data On The Geochronology and Geochemistry of The Magmatic
Rocks. J. Asian Earth Sci., 18, hal. 533-546.
Carter D.J., Audley-Charles M.G., dan Barber A.J. 1976. Stratigraphical analysis
of island arc—continental margin collision in eastern Indonesia. Journal of
the Geological Society. Vol. 132. issue 2. hal. 179-198.
Condie, K.C., 1982. Plate Tectonics & Crustal Evolution, Pergamon Press. 2nd
Ed. 310 hal.
Elburg M.A., van Bergen M.J., dan Foden J.D. Subducted Upper and Lower
Continental Crust Contributes to Magmatism in The Collision Sector of The
Sunda-BandaArc, Indonesia. www.geophysics.rice.Edu/sota/papers/Elburg,
MarlinaElburgSOTA.pdf
Genrich J.F., Bock Y., McCaffrey R., Calais E., Stevens C.W., dan Subarya C.
1996. Accretion of The Southern Banda Arc to The Australian Plate Margin
Determined by Global Positioning System Meauserement, Tectonics, Vol. 2,
No. 15. hal. 288-295.
Grove T.L. 2000. Origin of Magma, in Sigurdsson, H., Houghton, B., McNutt,
S.R., Rymer, H., Stix, J., (Ed.), Encyclopedia of Volcanoes, Academic
Press., San Diego, hal. 133-147.
Hamilton W. 1979. Tectonics of The Indonesian Region, Geol. Surv. Prof. Pap.
1078. 345 hal.
Hartono, G., 2009. Petrologi Batuan Beku dan Gunung Api, UNPAD Press., 105
hal. In press.
Hendaryono, Rampnoux J.P., Bellon H., Maury R.C., Abdullah C.I., dan Soeria-
Atmadja R. 2001. New Data on The Geology and Geodynamic of Flores
Island, Eastern Indonesia. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan ke 30 IAGI
dan ke 10 GEOSEA: Dedicating Geoscience to Regional Prosperity and
Conservation, IAGI, Yogyakarta, hal. 195-199.
Katili J.A. 1975. Volcanism and Plate Tectonics in The Indonesian Island Arcs.
Tectonophysics, 26. in Geotectonics of Indonesia: A Modern View. hal.
200-224.
Katili J.A., dan Sudradjat A. 1989. A Short Note on The Birth of a Volcano in
Flores Island. Geologi Indonesia. Majalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Volume Khusus 60 Tahun Prof. Dr. J.A. Katili. IAGI. Eds: Sudradjat A.,
Tjia H.D., Asikin S., dan Katili, A.N. Jakarta. hal.397-411.
Koesoemadinata S., Noya Y., dan Kadarisman, D. 1994. Peta Geologi Lembar
Ruteng, Nusa Tenggara, Skala 1:250.000, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
Macdonald, A.G., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New
Jersey, 510h.
Macpherson C.G., dan Hall R. 1999. Tectonic Control of Geochemical Evolution
in Arc Magmatism of SE Asia. Proceeding 4th PACRIM Congress,
Australian Institute of Mining and Metallurgy. hal. 359-368.
McCaffrey R., dan Abers G.A. 1991. Orogeny in Arc-Continent Collision: The
Banda Arc and Western New Guinea. Geology. Vol. 19. hal. 563-566.
17
Neumann van Padang M., 1951. Catalogue of The Active Volcanoes of The World
Including Solfatara Fields: Indonesia, Part 1. International Volcanological
Association. 271 hal.
Soeria-Atmadja R., Sunarya Y., Sutanto, dan Hendaryono, 2001. Epithermal
Gold-Copper Mineralization, Late Neogene Calc-Alkaline to Potassic Calc-
Alcaline Magmatism and Cristal Extensión in The Sunda-Banda Arc.
Indonesian Island Arcs: Magmatism. Mineralization, and Tectonic Setting.
Eds: R.P. Koesoemadinata dan D. Noeradi. Penerbit ITB. hal. 100-111.
Wensink H., dan van Bergen M.J. 1995. The Tectonic Emplacement of Sumba in
The Sunda – Banda Arc: Paleomagnetic and Geochemical Evidence From
The Early Miocene Jawila Volcanics, Tectonophysics, 250. hal. 15-30.
Williams dan Mac Birney. 1979. Volcanology, Freeman, Cooper & Co., San
Francisco. 397 hal.