Pendidikan Progresif John Dewey

282
Dr. Yuliani, M.A. Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Transcript of Pendidikan Progresif John Dewey

Page 1: Pendidikan Progresif John Dewey

Dr. Yuliani, M.A.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 2: Pendidikan Progresif John Dewey

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT dan rasa syukur yang sangat

mendalam. Berkat dan rahmatNya penelitian ini dapat diselesaikan. Shalawat dan

salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing dan

menjadi suri teladan yang baik bagi umat seantero alam ini bagi manusia (dan

khususnya penulis) agar senantiasa menjadi pembelajar dan pendidik yang berakhlak

dan cerdas baik intelektual, emosional dan spiritual agar dapat berhubungan dengan

baik dengan sang Pemilik alam semesta ini dan dengan manusia lainnya.

Penelitian ini membahas tentang pendidikan progresif John Dewey (studi

kasus di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan. Fenomena yang

terkadang terjadi di sekolah-sekolah bahwa masih menggunakan metode teacher centered. Oleh karena itu, melalui pendidikan progressivisme John Dewey membuat

metode ada perubahan bahwa peserta didik tidak dianggap sebagai objek pendidikan

tetapi sebagai subjek pendidikan agar minat dan kreativitas peserta didik dapat

tersalurkan sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan.

Buku ini, yang merupakan disertasi penulis, tidak akan selesai dengan

sempurna tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Lc, MA sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Prof. Dr. H. Jamhari, MA sebagai Direktur Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

3. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, sebagai promotor yang telah mendidik,

membimbing, mengayomi dan memberikan ide dan gagasan yang kreatif

dalam penyelesaian penelitian ini.

4. Prof. Dr. H. Suwito, MA sebagai promotor yang telah mendidik,

membimbing dan memberikan ide kreatif-imajinatif kepada penulis sehingga

penelitian ini dapat diselesaikan.

5. Prof. Dr. H. Didin Saefuddin, MA sebagai ketua prodi doktor Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6. Seluruh dosen, karyawan dan pustakawan Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

pendidikan.

7. Prof. Dr. H. Thib Raya, Dekan dan Seluruh dosen PAI UMT cikokol-

Tangerang yang turut membantu dan memberikan support kepada penulis

proses pendidikan di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Ayahanda Emid Mina Kurniawan dan ibunda Masnaeni (almarhumah), yang

selalu mendukung dan berdoa untuk penulis agar senantiasa menjadi

penuntut ilmu hingga akhir hayat.

9. Ayah mertua Marzuki (alamarhum) dan ibu mertua Juarsih (almarhumah)

yang tidak ada henti-hentinya mendorong penulis agar menjadi pecinta ilmu.

10. Seluruh teman-teman Program Doktor (S3) sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada umumnya dan angkatan 2015 pada khususnya

Page 3: Pendidikan Progresif John Dewey

iv

yang telah memberikan motivasi dan bantuan moril dan materil kepada

penulis sehingga penelitian ini bisa diselesaikan.

11. Segenap civitas akademika FAI UMT Tangerang

12. Segenap civitas akademika MAN Insan Cendekia Serpong

13. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Deni Kurniawan,

S.Pd (suami) Muhammad Ridho Kurniawan, Muhammad Fuqoha ar-Rasyid

(almarhum), Muhammad Ashraf Mumtaz, Fauzah Azhima Salsabila serta

Syifa Intan Nuraini (anak-anak) yang telah ikhlas dan sabar memberikan

dukungan selama proses pendidikan.

14. Abu Airin, S. Pd.I penulis mengucapkan terima kasih atas segala doa dan

bantuan selama ini.

15. Asep Abdurrahman, MA kandidat doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

penulis mengucapkan terima kasih atas bantuannya.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini memiliki kekurangan. Oleh karena

itu kritik, saran, dan masukan demi kesempurnaan sangat diharapkan dari semua

pihak. Semoga setiap bantuan yang telah diberikan dibalas oleh Allah dengan

kebaikan.

Jakarta, September 2019

Yuliani

Page 4: Pendidikan Progresif John Dewey

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin digunakan dalam karya ilmiah ini merujuk

pada modul berlaku pada Pedoman SPs UIN Syarif Hidayatullah.

A. Konsonan

q : ق z : ز A : ا

k : ك s : س B : ب

l : ل sh : ش T : ت

m : م {s : ص Th : ث

n : ن {d : ض J : ج

h : ه {t : ط {h : ح

w : و }z : ظ Kh : خ

’ : ء ‘ : ع D : د

y : ي gh : غ Dh : ذ

f : ف R : ر

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin

Fath}ah a>

Kasrah i>

D}ammah u>

2. Vokal Rangkap

Tanda Nama Gabungan Huruf Nama

Fath}ah dan ya a dan i ai ى

Fath}ah dan waw a dan w aw و

C. Maddah

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fath}ah dan alif a> a dan garis di تا atas

يى Kasrah dan ya i> i dan garis di

atas

D}amma dan waw u> u dan garis di و atas

Page 5: Pendidikan Progresif John Dewey

vi

D. Ta Marbut}ah Ta mabut}ah ditulis dengan huruf “h”, baik dirangkai dengan kata

sesudahnya, maupun tidak, seperti mar’ah ( مرأة) atau madrasah ( مدرسة)

Contoh:

المنورةالمدينة Madi>nah al-Munawwarah

E. Shaddah Shaddah / tashdi>d dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf sama dengan

huruf ber-shaddah.

Contoh:

Nazzala نزل

F. Kata Sandang

Kata sandang “ال” dilambangkan berdasarkan huruf mengikutinya, jika

huruf al-shamsiyah, maka ditulis sesuai haruf tersebut, sedangkan “al” jika diikuti

huruf qamaiyah. Kemudian, “” ditulis lengkap.

Contoh:

al-Shams الشمس

al-Qamar القمر

G. Pengecualian

Penulisan transliterasi tidak digunakan pada kosa kata Arab telah menjadi

baku dan masuk pada kamus bahasa Indonesia, seperti lafaz “Allah”, kecuali beraitan

dengan konteks tertentu mengharuskan untuk menggunakan transliterasi pada

isitilah tersebut.

Page 6: Pendidikan Progresif John Dewey

vii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ..................................................................................................... i

Kata Pengantar .................................................................................................... iii

Pedoman Transliterasi ......................................................................................... v

Daftar Isi .............................................................................................................. vii

Daftar Singkatan .................................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Permasalahan ............................................................................. 17

1. Identifikasi Masalah ............................................................. 17

2. Rumusan Masalah ................................................................ 17

3. Pembatasan Masalah ............................................................ 17

C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 18

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian .......................................... 18

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan .......................................... 19

F. Metodologi Penelitian ................................................................ 22

G. Sistematika Pembahasan ............................................................ 29

BAB II EPISTIMOLOGI PENDIDIKAN PROGRESIF JOHN DEWEY

DALAM PERSPEKIF PENDIDIKAN ISLAM DAN

RELEVANSINYA BAGI PENDIDIKAN ISLAM ....................... 31

A. Munculnya Pergerakan Progresif .............................................. 37

B. Pendidikan Progressif John Dewey dalam Perspektif

Pendidikan Islam ....................................................................... 51

C. Makna Pendidikan Islam dan pendidikan Progresif John

Dewey ........................................................................................ 62

1. Pendidikan Islam .................................................................. 62

2. Pendidikan progresif John Dewey ........................................ 75

D. Relevansi pendidikan Islam dengan pendidikan

Progresif..................................................................................... 79

BAB III PROFIL DAN PENDIDIKAN MAN INSAN CENDIKIA

SERPONG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN

PROGRESIF JOHN DEWEY ...................................................... 85

A. Profil dan Gambar MAN Insan Cendikia Serpong .................... 85

1. Sejarah Singkat Berdiri MAN Insan Cendikia ..................... 86

2. Prestasi Madrasah ................................................................. 89

3. Visi dan Misi MAN Insan Cendikia Serpong ....................... 91

4. Tujuan MAN Insan Cendikia Serpong ................................ 91

5. Target dan Strategi MAN Insan Cendikia Serpong

Tangerang ............................................................................. 92

6. Motto Madrasah.................................................................... 93

7. Budaya Madrasah (SCHOOL CULTURE) ........................... 93

8. Profil Kompetensi Lulusan ................................................... 94

Page 7: Pendidikan Progresif John Dewey

viii

9. Data MAN Serpong Tangerang ........................................... 94

10. Data Siswa MAN Insan Cendikia Serpong .......................... 95

11. Sarana dan Prasarana MAN Insan Cendikia ......................... 96

B. Model-model Pembelajaran ....................................................... 102

1. Kooperatif (Cooperative Learning) ...................................... 107

2. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and

Learning) .............................................................................. 113

3. Constructivism (Konstruktivisme) ........................................ 128

4. Questioning (Bertanya) ........................................................ 131

5. Learning Community (Masyarakat Belajar) ......................... 133

6. Reflection (Umpan Balik) ..................................................... 133

7. Authentic Assessment (Penilaian Sebenarnya)...................... 134

8. Inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis,

konjektur, generalisasi, menemukan) ................................... 138

9. Pembelajaran Berbasis Masalah ........................................... 142

10. TGT (Teams Games Tournament) ........................................ 150

C. MAN Insan Cendikia Serpong sebagai Madrasah Unggul ........ 156

D. Problematika Madrasah Di Indonesia ........................................ 165

E. Mutu MAN Insan Cendikia Serpong ......................................... 167

1. Kurikulum............................................................................. 168

2. Guru dan tenaga kependidikan lainnya ................................ 174

3. Siswa dan kesiswaan ............................................................ 174

4. Sarana kependidikan ............................................................. 174

5. Supervisi dan akreditasi ........................................................ 174

6. Pembiayaan........................................................................... 175

7. Tata kerja organisasi ............................................................. 175

BAB IV PENDIDIKAN PROGRESIF JOHN DEWEY ............................. 187

A. Kehidupan Dewey dan Pendidikannya ...................................... 187

B. Karir Dan Karya Dewey ............................................................ 189

C. Corak Pemikiran Dewey ............................................................ 193

D. Sejarah dan Perkembangan Progresif John Dewey ................... 195

1. Fase awal perkembangan progresif ..................................... 196 2. Perkembangan progresif pada abad ke-16 ......................... 196 3. Perkembangan progresif pada abad ke-19 dan 20 .............. 197 4. Perkembangan progresif di Amerika dan Uni Soviet ........... 198

E. Tokoh-tokoh Aliran Progresif ................................................... 201

F. Pandangan Hidup (Falsafah) dan Pemikiran John Dewey ......... 202

G. Pemikiran Pendidikan Progresif John Dewey ........................... 217

1. Pandangan Progresif tentang Kurikulum .............................. 217

2. Pandangan Progresif Tentang Peserta Didik ...................... 222 3. Pandangan Progresif John Dewey tentang Pendidik ............ 234

4. Pandangan Progresif John Dewey dalam Belajar ................ 237

5. Pandangan Progresif John Dewey tentang Tujuan Pendidikan ............................................................................ 238

Page 8: Pendidikan Progresif John Dewey

ix

H. Tinjauan Kritis Terhadap Pemikiran Dewey ............................. 239

1. Kelebihan-Kelebihan ............................................................ 239

2. Kekurangan-Kekurangan ...................................................... 240

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 243

A. Kesimpulan ................................................................................ 243

B. Impilkasi .................................................................................... 244

C. Saran-saran ................................................................................ 245

Daftar Pustaka ................................................................................................... 247

Glosarium ............................................................................................................ 259

Indeks ................................................................................................................. 269

Biodata Penulis ................................................................................................... 273

Page 9: Pendidikan Progresif John Dewey

x

DAFTAR SINGKATAN

5K :Keterbukaan, Kebersamaan, Keteladanan, Keadilan dan

Kenyamanan.

BJ : Bacharuddin Jusuf

BPPT : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

CTL : Contextual Teaching and Learning

DDCH : Duduk Dengar Catat Habis

DEPDIKNAS : Departemen Pendidikan Nasional

DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran

FKOT : Forum Komunikasi Orang Tua

IC : Insan Cendikia

IMTAK : Iman dan Taqwa

IPA : Ilmu Pengetahuan Alam

IPB : Institut Pertanian Bogor

IPS : Ilmu Pengetahuan Sosial

IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

ITB : Institut Teknik Bandung

ITS : Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

KBK : Kompetensi Berbasis Kompetensi

KBM : Kegiatan Belajar Mengajar

KIP : Kartu Indonesia Pintar

KPS : Kartu Perlindungan Sosial

KTSP : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

LKS : Lembar Kerja Siswa

MAFIKIBI : Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi

MAN : Madrasaha Aliyah Negeri

MI : Madrasah Ibtidaiyah

MIN : Madrasah Ibtidaiyah Negeri

MTs : Madrasah Tsanawiyah

PBI : Problem Based Instruction

PBL : Problem Based Learning

PBM : Pembelajaran Berbasis Masalah

PSBB : Pusat Sumber Belajar Bersama

PTN : Perguruan Tinggi Negeri

RPP : Rencana Pelaksanaan pembelajaran

SDM : Sumber Daya Manusia

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SMK : Sekolah Menengah Kejuruan

SNMPTN : Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri

Page 10: Pendidikan Progresif John Dewey

xi

SPMB : Seleksi Penerimaan Siswa Baru

STEP : Science and Technology Equity Program

TGT : Teams Games Tournament

TQE : Total Quality Education

TQM : Total Quality Management

UGM : Universitas Gajah Mada

UI : Universitas Indonesia

Page 11: Pendidikan Progresif John Dewey

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah salah satu wadah yang berisi suatu proses belajar mengajar

yang diartikan sebagai suatu rangkaian interaksi antara pelajar dan guru dalam

mencapai tujuan1. Pendidikan juga diartikan sebagai suatu proses pertumbuhan

individu yang berlangsung sepanjang hayat. Hal ini berkaitan dengan konsep

pendidikan seumur hidup yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dengan

kehidupan manusia. Sehingga, konsekuensinya harus dilaksanakan dengan sebaik–

baiknya untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Pendidikan adalah alat atau

sarana bagi setiap manusia untuk mengembangkan keilmuan dan pengetahuan.

Oleh karena itu pendidikan diharapkan memiliki konsep pendidikan dan dasar-

dasar yang tertata, dan memiliki etika. Aktivitas pendidikan baik dalam

penyusunan konsep teoritis maupun dalam pelaksanaan operasionalnya harus

memiliki dasar yang kokoh dengan berpedoman kepada etika akademis2.

Pendidikan dinilai memiliki peranan yang cukup penting dalam perkembangan

bangsa dan negara. Majunya pendidikan dalam suatu negara akan memberikan

pengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia yang ada di dalamnya3. Berikut

ada beberapa pengalaman dalam pembelajaran dalam sebuah penelitian.

1Tri Rizqi Ariantoro, Dampak Game Online Terhadap Prestasi Belajar Pelajar,

Jutim, Vol 1, No. 1, Desember (2016) 2Mursal Aziz, Etika Akademis Dalam Pendidikan Islam, Jurnal Tarbiyah, Vol. 25,

No. 1, Januari-Juli (2018) 3Nur Aini Musariffah, Hubungan Penggunaan Smartphone dengan Minat Belajar

Siswa SMA Negeri 1 Gedangan Sidoarjo, JUPE. Volume 6 Nomor 3 Tahun (2018), h. 133

- 137

Page 12: Pendidikan Progresif John Dewey

2

Sebuah penelitian menyatakan4, bahwa bisa diketahui metode

pembelajaran Pancasila, khususnya di tingkat pendidikan dasar dan menengah,

berupa pengajaran mimbar, yakni di satu sisi pendidik sangat aktif dengan

menggunakan metode ceramah mengenai mata pelajaran Pancasila, sedangkan di

sisi lain peserta didik lebih pasif karena hanya mendengarkan dan mencoba

memahami materi yang disampaikan oleh pendidik. Hal ini tidak sepenuhnya

salah karena metode pembelajaran seperti inilah yang dikritik oleh pendidikan

progresif. Pembelajaran yang memberi otoritas yang berlebihan terhadap pendidik

dan teks yang disampaikan tidak akan merasakan berkemajuan karena dalam

metode ini, banyak potensi peserta didik yang tidak diberi kesempatan untuk

berkembang. Ada hal yang menarik yang bisa diambil dari pendidikan progresif di

dalam problem solving pendidikan Pancasila ini adalah mengenai pentingnya

menekankan aspek pengalaman dalam proses belajar. Masyarakat telah sejak lama

mengenal peribahasa bahwa “Experience is the best teacher”. Oleh karena itu

konsep learning by doing yang diusung oleh pendidikan progresif, perlu untuk

diaplikasikan dalam sistem pembelajaran Pancasila, dengan mayoritas isi atau

materi Pancasila berkaitan dengan aspek kehidupan sosial. Caranya adalah seperti

yang telah dikemukakan di atas, yaitu dengan menghadirkan semacam contoh

kasus kepada peserta didik, kemudian pendidik memberikan fasilitas kepada

peserta didik bahwa bagaimana cara Pancasila melihat kasus tersebut atau

bagaimana peserta didik mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam memecahkan

persoalan tersebut. Perlu diingat bahwa pendidikan progresif menekankan

pentingnya pengalaman di dalam keberhasilan pendidikan, dan pengalaman

tentunya adalah pengalaman sebagaimana yang dialami ketika peserta didik

berada pada lingkungan sosial masyarakat yang sesungguhnya.

Berlandaskan kajian fenomenologis tersebut, khususnya di tingkat

pendidikan dasar dan menengah, satu persoalan besar yang menyebabkan gagalnya

pendidikan Pancasila yang disebabkan karena pemilihan metode pembelajaran

yang kurang tepat. Metode pembelajaran Pancasila dengan cara kuliah mimbar,

yang menekankan peran aktif pendidik dengan berceramah di depan kelas, kiranya

memiliki kelemahan. Kelemahannya tidak hanya sebagaimana yang dikemukakan

oleh pendidikan progresif, yaitu bahwa metode semacam ini tidak membawa

kemajuan, namun juga lemah karena tidak sesuai dengan materi Pancasila yang

meskipun abstrak, sangatlah aplikatif dalam praktek kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. Metode ini oleh karenanya perlu disempurnakan dengan

belajar pada pendidikan progresif. Pendidikan yang menekankan pentingnya

pengalaman dalam proses belajar. Pengalaman adalah guru yang terbaik, oleh

karenanya proses belajar perlu mengakomodasi peran pengalaman tersebut dengan

menghadirkan contoh kasus yang konkret dan empiris sehingga dengan

4Reno Wikandaru, Aliran Pendidikan Pendidikan progresif dan Konribusinya Dalam

Pengembangan Pendidikan Pancasila di Indonesia Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume II, No 1,

Januari (2015)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 13: Pendidikan Progresif John Dewey

3

mengalami, peserta didik akan lebih mengerti dan memahami, sehingga tujuan

pendidikan pun bisa tercapai. Inilah kontribusi utama dari pendidikan progresif

yang bisa dipakai di dalam pengajaran pendidikan di Indonesia, termasuk juga

dalam pendidikan Pancasila.

Memahami hasil penelitian yang telah diteliti, bahwa model problem solving untuk pembelajaran fisika dilaksanakan dengan lima step pembelajaran,

yaitu: (1) menampilkan masalah secara fisika (2) memahami masalah (3) evaluasi

dan perluasan terhadap hasil pemecahan, (4) menjalankan rencana, dan (5)

merencanakan strategi pemecahan.5 Senada dengan berdasarkan penelitian ini,

maka sebaiknya guru tetap berupaya memberikan perhatian terhadap penggunaan

berbagai metode pembelajaran, khususnya penggunaan metode problem solving,

yang terbukti secara parsial dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa.

Begitu pula perlu meningkatkan kemandirian belajar siswa, agar siswa dapat lebih

bertanggung jawab terhadap keberhasilan belajarnya.6

Berdasarkan hasil penelitian bahwa modul sains berbasis problem solving method merupakan salah satu metode yang dipergunakan sebagai alat bantu guru

sains dalam proses belajar mengajar sains, baik di kelas maupun di laboratorium

yang kontennya terkait problema-problema sains yang harus dicari solusinya oleh

siswa secara logis terarah dan sistematis. Hal ini dimaksudkan agar guru sains

dengan mudah menyampaikan materi sains kepada siswa dan dapat mendeteksi

kompetensi siswa dalam unjuk kerja. Siswa akan lebih mudah belajar sains, karena

di dalam modul sains berbasis problem solving method yang dikembangkan ada

berbagai masalah-masalah sains yang dapat dikerjakan oleh siswa, baik secara

individual maupun secara kelompok.7

Masalah selanjutnya adalah bagaimana mengajarkan keterampilan berpikir

secara eksplisit dan memadukannya dengan materi pembelajaran khususnya mata

pelajaran matematika yang dapat membantu para siswa untuk mengembangkan

kemampuan berpikirnya. Di lain pihak objek matematika yang abstrak menjadikan

matematika dianggap sulit oleh siswa, khususnya bagi tingkat SD yang umumnya

masih berada pada tahapan berpikir konkrit akan menghambat kemampuan

berpikir tingkat tinggi siswa8. Pada umumnya pembelajaran di sekolah masih

5Eko Swistoro Warimun, Penerapan model pembelajaran problem solving fisika

Pada pembelajaran topik optika pada mahasiswa Pendidikan fisika Jurnal Exacta, Vol. X.

No. 2 Desember (2015), h. 111 6Suhendri & Mardalena, Pengaruh Metode Pembelajaran Problem Solving Terhadap

Hasil Belajar Matematika Ditinjau Dari Kemandirian. Belajar, Jurnal Formatif 3(2): h.105-

114 Pengaruh Metode Pembelajaran Problem Solving Terhadap Hasil Belajar Matematika

Ditinjau Dari Kemandirian Belajar 7Izaak H. Wenno, pengembangan model modul IPA berbasis problem solving

method, Berdasarkan karakteristik siswa dalam pembelajaran di Smp/Mts, Cakrawala

Pendidikan, Juni (2015) 8R. Rosnawati, enam tahapan aktivitas dalam pembelajaran matematika untuk

mendayagunakan berpikir tingkat tinggi siswa Prosiding Seminar Nasional Penelitian,

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 14: Pendidikan Progresif John Dewey

4

terfokus pada guru, dan belum berpusat pada siswa. Pembelajaran di sekolah lebih

bersifat menghafal atau pengetahuan faktual, hal ini menjadikan pembelajaran

tidak searah dengan tujuan pendidikan Nasional. Salah satu tujuan pendidikan

Nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa berpikir kritis, berpikir

logis, sistematis, bersifat objektif, jujur dan disiplin dalam memandang dan

menyelesaikan masalah yang berguna untuk kehidupan dalam masyarakat

termasuk dunia kerja. Mata pelajaran hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan,

untuk dapat melatih siswa memiliki keterampilan berpikir. Salah satu

keterampilan berpikir adalah berpikir tingkat tinggi (higher order thinking).

Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan suatu kemampuan berpikir yang

tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja, namun membutuhkan

kemampuan lain yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir kreatif dan kritis.

Akibat berbagai strategi pembelajaran yang diterapkan tidak didasarkan

pada tipe belajar dan karakter dari siswa-siswa SMP/MTs dalam pembelajaran

sains akan memberikan dampak yang negatif bagi siswa dalam mempelajari

konsep-konsep sains. Oleh sebab itu, pembelajaran yang baik dan menyenangkan

adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk

menyampaikan ide/gagasan menurut apa yang mereka ketahui. Proses

pembelajaran seperti ini akan mengubah paradigma dalam proses pembelajaran

sains yang tadinya berpusat pada pendidik (teacher centered) menjadi

pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered) yang dapat

mendorong peserta didik berimplikasi secara aktif dalam membangun

pengetahuan, sikap dan perilaku. Melalui proses pembelajaran dengan keterlibatan

aktif siswa ini berarti guru sains tidak mengambil hak siswa untuk belajar dalam

arti yang sesungguhnya. Dalam proses pembelajaran sains yang berpusat pada

siswa, maka siswa memperoleh kesempatan dan fasilitasi untuk membangun

sendiri pengetahuannya, sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang

mendalam, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas prestasi belajar siswa.

Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi manusia,

karena melalui pendidikan manusia dapat memahami apa arti dan hakikat hidup,

serta untuk apa dan bagaimana menjalankan tugas hidup dan kehidupan secara

benar. Pendidikan juga berperan penuh dalam pembentukan kepribadian yang

unggul dengan menitikberatkan pada proses pematangan kualitas logika, hati,

akhlak dan keimanan.9 Tujuan pendidikan yang akan dicapai adalah tujuan yang

sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, seperti yang tercantum dalam Undang-

Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 pada Bab II pasal 3, dijelaskan

bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei

(2015) 9 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. I, h. 10

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 15: Pendidikan Progresif John Dewey

5

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab.10

Berdasarkan tujuan tersebut pemerintah Indonesia memiliki tanggung

jawab mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang berkualitas.

Pendidikan nasional bukan hanya sebatas peningkatan kualitas kehidupan namun

pendidikan juga meningkatkan harkat dan martabat seseorang di mata Allah. Hal

ini dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Mujadalah ayat 1111. Ayat tersebut

menjelaskan bahwa tujuan dari kepemilikan ilmu pengetahuan bukan semata-mata

mencerdaskan akal pikiran, akan tetapi untuk meningkatkan keimanan dan

keyakinan kepada Allah. Oleh karenanya maka perlu dirumuskan pendangan hidup

Islam dapat mengarahkan tujuan dan sasaran pendidikan Islam.

Sebagai landasan pandangan seorang muslim disebutkan dalam surat al-

Imran ayat 1912seorang muslim wajib mentaati ajaran Islam dan menjaga agar

rahmat Allah tetap bersama dirinya. Ia harus mampu memahami, menghayati dan

mengamalkan ajaranNya yang didorong oleh iman sesuai dengan akidah Islamiah.

Untuk itulah manusia harus dididik melalui proses pendidikan.

Namun perjalanan panjang pendidikan di Indonesia hingga kini masih

diliputi kendala yang cukup mendasar. Sebagai contoh, persoalan yang

menyangkut kesejahteraan guru, kesediaan guru baik dari segi kuantitas maupun

kualitas, ketersediaan fasilitas belajar, managemen kelembagaan, muatan

kurikulum dan tumpukan persoalan lain yang masih terkait. Oleh karena itu, tidak

mengherankan jika kualitas hasil belajar siswa masih rendah.

Proses pendidikan tidak terlepas dari proses belajar mengajar dan hasil

belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru

yang kompeten akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar

siswa berada pada tingkat optimal. Akan tetapi kenyataannya mununjukkan

bahwa selama ini kebanyakan guru menggunakan pembelajaran yang kurang tepat.

10Lukmanul Hakim, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung: CV. Wacana Prima,

2009), h. 92 11 QS, [58 ]:11

12 QS. [3]:19

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 16: Pendidikan Progresif John Dewey

6

Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peran yang amat

penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa yang

bersangkutan. Untuk itu pembangunan nasional di bidang pendidikan merupakan

upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia

Indonesia, guna mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur, serta

memungkinkan setiap warga negaranya mengembangkan diri, baik dalam aspek

jasmaniah maupun rohaniah, berdasarkan falsafah Pancasila.13 Artinya pendidikan

menjadi andalan utama negara untuk meningkatkan kamajuan sebuah negara.

Tanpa pendidikan, maka diyakini manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi

manusia pada masa lampau.14

Disadari bahwa semakin maju peradaban suatu masyarakat akan semakin

bertambah banyak masalah yang harus dihadapi, termasuk dalam bidang

pendidikan. Permasalahan pendidikan adalah amat banyak, antara satu masalah

dengan masalah yang lain mempunyai hubungan yang kompleks di Indonesia

dibandingkan dengan permasalahan pendidikan. Kompleksitas permasalahan

pendidikan tu muncul tidak saja karena tuntutan perubahan internal dalam skala

nasional bahkan skala lokal.15

Salah satu permasalahan yang menjadi tanggung jawab pendidikan adalah

mengenai kondisi sekolah sekarang ini nampaknya sudah teralinasi dengan

maraknya siswa yang disibukkan dengan media sosial yang hadir sebagai dampak

dari globalisasi. Salah satu dampak dari penggunaan full time mereka terhadap

gadjet yang seluruh aplikasinya berisi sosial media dan browser adalah adanya

generasi yang lebih suka mencari jawaban dari internet dari pada berdiskusi untuk

memecahkan sebuah permasalahan. Jika hal tersebut berlanjut tanpa adanya

filtrasi yang kuat dari pendidikan maka akibat yang ditimbulkan hanyalah dampak

negatif. Dengan istilah lain ialah lahirnya handphone yang smart dan manusia

yang bodoh atau idiot.

Semua bentuk permasalahan pendidikan yang ada seolah membuat

akademisi menjadi geram dan mulai mencari cara agar pendidikan Indonesia

bangkit dan membawa Indonesia pada pemecahan masalah pendidikan yang

continues dan berharap. Hingga sampailah negara Indonesia pada fase dimana

Indonesia membuat kebijakan untuk mengganti kurikulum, memberi subsidi

besar-besaran dalam pendidikan atau bahkan meningkakan kesejahteraan guru

sebagai pemangku utama pendidikan.

Meskipun telah berkali-kali Indonesia mencari konsep pendidikan melalui

merubah kurikulum dan menetapkan berbagai kebijakan. Akan tetapi akan

menjadi sia-sia ketika guru sebagai penopang utama pendidikan tetap

menggunakan pola lama dalam pembelajarannya. Bahwa konsep pendidikan di

13Ali Rohmat, Kapita Selekta Pendidikan, (Yogyakarta, Penerbit Teras, 2004), h. 7 14Hujair Syaukani, Pendidikan Islam di Indonesia, Suatu Kajian Upaya Membangun

Masa Depan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), h. 211 15Ali Rohmat, Kapita Selekta Pendidikan, (Yogyakarta, Penerbit Teras, 2004), h. 3-4

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 17: Pendidikan Progresif John Dewey

7

Indonesia hanya akan menghasilkan output yang cerdas secara akademik dan

kognitif tetapi nihil diafektif dan psikomotorik.

Konsep yang seperti ini dijelaskan oleh Paulo Freire bahwa selama ini

pendidikan masih mengikuti sistem “gaya bank”, yakni guru mengajar murid

diajar, guru mengetahui segala sesuatu murid idak tahu apa-apa, guru berpikir

murid dipikirkan, guru bercerita murid patuh mendengarkan, guru menentukan

peraturan murid diatur, guru memilih dan memaksakan pilihannya murid

menyetujuinya, guru adalah subjek dalam belajar dan murid adalah objek belaka.16

Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, para guru sering menganggap

anak didik merupakan anak manis yang patuh, memiliki disiplin yang tinggi dan

mudah beradaptasi, bukan merupaka anak didik yang memiliki keunikan-keunikan

yang harus dipahami dan potensi-potensi yang harus digali. Kenyataan tersebut

hampir melanda semua lembaga pendidikan.17 Percaya atau tidak praktek

pembelajaran di kelas antara guru dan murid seperti di atas sampai sekarang ini

masih sangat umum ada di tengah-tengah pendidikan di negara Indonesia.

Dalam konsep pendidikan lama situasi pembelajaran didominasi oleh

guru. Siswa lebih bersifat pasif menerima sepenuhnya materi apa saja yang

disampaikan dan diberikan guru. Kurikulum, mutlak direncanakan, disusun dan

dibuat oleh pemerintah dan guru atau sekolah tanpa mengikutsertakan siswa.

Terkait dengan hal tersebut berdasarkan studi psikologi dan sosiologi pendidikan,

masyarakat pendidikan umumnya menghendaki perubahan dan hendaknya konsep

pendidikan terutama dalam pengajaran agar lebih memperhatikan minat,

kebutuhan dan kesiapan siswa untuk belajar.18

Pendidikan dalam perjalanannya selalu mencari format pola pendidikan

tersebut, yaitu memanusiakan manusia. Meskipun dalam kenyataannya praktek

pendidikan tradisional seperti pembelajaran konvensional atau teacher centered masih saja dipraktekan dalam pembelajaran di dalam kelas.

Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan

menurut pemahamannya tentang pendidikan itu sendiri, tujuan dan segala sesuatu

yang berhubungan dengan pendidikan. John Dewey sebagai salah satu tokoh

pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola pendidikan

progresif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan keterlibatan

peserta didik dalam pendidikan atau student centered dan pembelajaran berbasis

pengalaman siswa. Pola pendidikan pendidikan progresif menuntut para peserta

didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif,

mendengarkan, mengikuti, mentaati dan mencontoh guru tanpa mengetahui apaka

yang diikutinya baik atau buruk.19

16 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: LP3S, 1985), h. 51-52 17 Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2003), h. 188 18Wasti Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 205 19Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipasif Menimbang Konsep Fitrah dan

Pendidikan progresif John Dewey, (Yogyakarta: Safira Insani Press & MSI UII, 2004), h.3

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 18: Pendidikan Progresif John Dewey

8

Dalam rangka menyiapkan diri untuk kehidupan masa depannya siswa di

sekolah harus dibekali dengan pembelajaran dan proses pendidikan yang betul-

betul melibatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat sekolah. Dalam hal

mengimplementasikan pendidikan nasional tersebut bahwa kemampuan murid

dapat dikembangkan secara aktif, akan membentuk karakter pada peserta didik

masing-masing. Pendidikan karakter pada hakikatnya adalah sebuah perjuangan

bagi setiap individu yang menghayati kebebasannya dalam berinteraksi, sehingga

setiap individu dapat mengukuhkan dirinya sebagai pribadi yang unik dan khas

yang memiliki integritas moral yang dapat dipertanggungjawabkan.20 Pendidikan

karakter tidak hanya penanaman nilai-nilai saja namun lebih dari itu, yakni

menciptakan suatu lingkungan yang kondusif, dimana setiap individu dapat

menikmati kebebasannya untuk kehidupan moral yang baik. Tujuan diatas

menjelaskan bahwa budaya sekolah Islami ini sangat berperan penting dalam

menunjang pembelajaran Pendidikan Agama Islam, yang mana tujuan dari

pembelajaran mengimplementasikan manusia Indonesia yang taat beragama dan

berakhlak mulia, yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas,

berdisiplin, bertoleransi, produktif, jujur, adil, etis menjaga keharmonisan dan

sosial dan mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah. Kemudian,

dengan adanya sekolah berkualitas dengan muatan mata pelajaran agama lebih

banyak menjadi pilihan pertama bagi orang tua untuk anak-anaknya ke sekolah

sehingga sekolah yang berkualitas rendah akan ditinggalkan. Orang tua cenderung

memilih sekolah yang banyak muatan agama karena dasar atau pondasi hidup

individu dalam mencegah pengaruh negatif dari era globalisasi. Dengan demikian

penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak lepas dari nilai-nilai, norma prilaku,

keyakinan. Mengingat begitu pentingnya peran pendidikan, maka pendidikan

harus dirancang dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Artinya, pendidikan

harus dikembangkan menuju kearah yang lebih maju dengan memperhatikan

berbagai potensi peserta didik dan sumber daya manusia yang dimiliki. Oleh

karena itu, pendidikan hendaknya tidak hanya berpusat pada pendidik tetapi

dipusatkan pada peserta didik. Peran guru hanya sebatas sebagai pembimbing dan

fasilitator terhadap pengembangan potensi peserta didik. Berkaitan dengan

persoalan tersebut, terdapat salah satu manhaj dalam filsafat pendidikan yang

mendukung berkemajuan dalam pelaksananaan pendidikan. Aliran filsafat ini

dimaksud adalah pendidikan progresif. Aliran ini merupakan sebuah gerakan yang

menentang pelaksanaan pendidikan.

Adapun ide dan pelaksanaan pendidikan harus berjalan dinamis sesuai

dengan dinamika manusia dan masyarakat. Pendidikan selalu mengalami

perkembangan seiring dengan berkembangnya sosial budaya dan berkembangnya

iptek. Sedangkan untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan, ada tiga disiplin

ilmu yang membantu filsafat pendidikan, yaitu: 1 etika atau teori tentang nilai, 2

20Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta; Rajawali Press, 2012),

h. 162

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 19: Pendidikan Progresif John Dewey

9

teori ilmu pengetahuan atau epistimologi, dan 3 teori tentang realitas atau

kenyataan dan yang ada dibalik kenyataan, yang disebut metafisika.21Dalam

perjalanan sejarahnya, Dalam filsafat khususnya filsafat pendidikan lahir berbagai

aliran pemikiran yang mewarnai dunia pendidikan, diantaranya: pendidikan

progresif, perennialisme, rekonstruksionalisme, dan essensialisme. Dalam tulisan

ini penulis mencoba membahas tentang pendidikan progresif dalam pendidikan

Islam.

Menurut bahasa istilah pendidikan progresif berarti bergerak maju. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata progresif diartikan sebagai

ke arah kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan sekarang; dan bertingkat-tingkat

naik. Dengan demikian, secara singkat progresif dapat dimaknai sebagai suatu

gerakan perubahan menuju perbaikan. Sering pula istilah pendidikan progresif

dikaitkan dengan kata progres, yaitu kemajuan, yang mana kemajuan ini akan

membawa sebuah perubahan. Pendapat lain menyebutkan bahwa pendidikan

progresif sebuah aliran yang menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat.22

Artinya bahwa pendidikan progresif merupakan suatu pendidikan yang

menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar upaya pemberian sekumpulan

pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi beragam aktivitas yang

mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka secara menyeluruh,

sehingga mereka dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah, seperti

penyediaan ragam data empiris dan informasi teoritis, memberikan analisis,

pertimbangan, dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang

paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang tengah dihadapi.

Pendidikan progresif berkeyakinan bahwa adanya kekuatan alamiah manusia,

yakni kekuatan itu berasal dari warisan sejak lahir (man’s natural powers).23

Secara tradisional seperti halnya aliran esensialisme dan perennialisme.

Pendidikan progresif mendukung adanya pelaksanaan pendidikan yang dipusatkan

pada peserta didik dan mengembangkan berbagai kemampuannya sebagai bekal

menghadapi kehidupan sosial di lingkungannya. Sejalan dengan itu, Lebih lanjut

mereka menjelaskan bahwa manusia sejak lahir telah membawa bakat dan

kemampuan atau potensi dasar, terutama daya akalnya, sehingga manusia akan

dapat mengatasi segala problematika hidupnya, baik itu tantangan, hambatan,

ancaman maupun gangguan yang timbul dari lingkungan hidupnya.

Beberapa penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan progresif

adalah pendidikan bertujuan ke arah berkemajuan dalam praktik pendidikan.

Dengan kata lain, pendidikan harus mampu membawa perubahan pada diri peserta

didik menjadi pribadi yang tangguh dan mampu menghadapi berbagai persolan

21Arifin Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005),

h. 3 22Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 151 23Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan

Pendidikan. (Jakarta: Rajawali Press. 2012), h. 83

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 20: Pendidikan Progresif John Dewey

10

serta dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial di masyarakat. Oleh

karena itu, pendidikan progresif sangat menghendaki adanya pemecahan masalah

dalam proses pendidikan. Adapun tokoh-tokoh utama dari pendidikan progresif

yaitu: John Dewey, William James, dan Hans Vaihinger. Pengewajantahan dalam

pendidikan dapat diketahui dari beberapa aspek, di antaranya sebagai berikut:

tujuan pendidikan, kurikulum makna pendidikan, belajar, dan peran guru dalam

pembelajaran. Pendidikan progresif dalam sejarahnya telah muncul pada abad ke-

19, pada awal abad ke-20 perkembangannya secara pesat baru terlihat, khususnya

di negara Amerika Serikat. Selanjutmya, Secara implisit pengewajantahan

pendidikan progresif ini dalam pendidikan ialah menekankan pendidikan

demokratis dan menghargai berbagai potensi yang dimiliki oleh anak, serta

pembelajarannya lebih ke arah pada peserta didik, sedangkan pendidik hanya

sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah bagi perkembangan peserta didik.24

Sesuai dengan namanya, teori pendidikan progresif merupakan teori

pendidikan yang fokus kepada kemajuan peserta didik. Kemajuan atau progres

tersebut adalah kemajuan dalam arti beralih dari zaman dahulu yang selalu

menekankan berpusat kepada pendidik dan teks yang berlebihan. Menurut

pendidikan progresif, pendidikan otoriter semacam itu memiliki banyak

kelemahan karena secara ontologis, pandangan tersebut memang sudah keliru.

Bagi pendidikan progresif, manusia secara kodrati sudah dibekali dengan berbagai

kemampuan, sehingga secara kodrati juga sudah berpiawai dalam melihat dan

memecahkan masalah yang mengganggu eksistensinya. Pendidikan yang otoriter

menurut pendidikan progresif akan mengalami kegagalan dan hanya akan

menghadapi berbagai kesulitan dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang baik,

karena tidak memberi ruang yang semestinya kepada kemampuan manusia yang

sebenarnya justru merupakan “motor penggerak” atau daya kreatif dalam

menyelesaikan persoalan yang dihadapi di dalam kehidupan.

Berdasarkan beberapa prinsip pokok yang diuraikan di atas, tampak

bahwa aliran pendidikan progresif ini yang menekankan pentingnya aspek

pengalaman di dalam proses belajar (learning by doing). Oleh karenanya, teori

pendidikan progresif juga mengusung metode pendidikan alternatif yang

memanfaatkan aktivitas peserta didik, serta mendasarkan proses pembelajaran

pada pengalaman dan pemecahan masalah (problem solving). Peserta didik, oleh

pendidikan progresif bukan ditempatkan sebagai subjek pendidikan, melainkan

sebagai orang yang belajar (peserta didik/learner). Asumsi mengenai peserta didik

tersebut membawa implikasi tersendiri karena bagi pendidikan progresif

pendidikan, pendidikan lebih ditempatkan sebagai aktivitas dan pengalaman

daripada sebagai pembelajaran verbal dan literal, yang pada akhirnya hanya akan

melahirkan proses pendidikan yang individual dan kompetitif. Berkaitan dengan

peran institusi pendidikan di dalam proses belajar, pendidikan progresif

24M. Fadlillah, Pendidikan progresif Dalam Pendidikan Di Indonesia, Jurnal

Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 5 No. 1 Januari (2017)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 21: Pendidikan Progresif John Dewey

11

menempatkan sekolah atau institusi pendidikan sebagai tempat yang memberikan

kebebasan penuh kepada peserta didik untuk melakukan eksperimen, dalam arti

memperkaya pengalaman seluas-luasnya. Pendidikan progresif juga menekankan

pentingnya proses belajar sebagai pembelajaran mengenai problem solving. Oleh

karenanya, dalam rangka membekali peserta didik dengan kemampuan problem solving tersebut, sekolah juga menjadi tempat yang menyediakan semacam

simulasi kepada peserta didik mengenai realitas yang biasa dihadapi dalam

kehidupan yang sebenarnya, dan kemudian memberi kebebasan kepada peserta

didik untuk memecahkan persoalan yang diajukan tersebut. Peran institusi

pendidikan yang semacam ini, menurut pendidikan progresif sangatlah penting

karena sejalan dengan asumsi dasar mengenai nilai, pendidikan progresif memiliki

pandangan mengenai arti pentingnya konteks sosial dalam proses pembelajaran.

Nilai tidaklah bersifat eksklusif karena keberadaannya bukan tidak ditentukan

oleh faktor-faktor yang lain. Oleh karenanya berbagai jenis nilai, baik terkait

dengan nilai kebenaran (soal pengetahuan), maupun nilai kebaikan (soal moral),

dikatakan ada apabila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil

eksperimentasi yang dialami manusia di dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Hakikat pendidikan itu sendiri memiliki korelasi kepada pandangan

tentang hakikat manusia. Ada beberapa pandangan manusia menurut para tokoh,

seperti diutarakan Dewantara,25 menurutnya “manusia itu pada dasarnya

merupakan makhluk yang berdiri sendiri dan bertanggungjawab atas

eksistensinya.” Hakikat pendidikan dalam ajaran Islam adalah mengembalikan

nilai-nilai Illahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan al-Quran dan al-

Hadits, sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah. Melalui pendidikan, anak

diarahkan kepada hakikat kehidupan manusia untuk pembentukan kepribadian

yaitu pengembangan manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk

susila, dan makhluk beragama (religius).

Pandangan pendidikan progresif tentang pendidikan dan manusia,

berpendirian bahwa manusia itu mempunyai potensi untuk melihat dan

memecahkan masalah-masalah yang bersifat mengganggu eksistensi manusia

dalam usaha untuk mengalami kemajuan. Sementara esensialisme berpendirian

bahwa pendidikan berfungsi sebagai pemelihara kebudayaan.26 Hal ini diperkuat

oleh John Dewey dalam bukunya Democration and Education27 bahwa “Education is not infrenquently defined as consisting in the acquisition of thos habits that effectan adjustment of an individual and his environment” yang artinya

pendidikan tidak selalu diartikan sebagai pencapaian kemahiran dari kebiasaan

yang berdampak penyesuaian pada individu dan lingkungannya. Kemahiran

25 H.A.R Tilaar, & Nugroho, Riant, Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2009), h. 46 26H.M Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 17 27John Dewey, Democracy and Education, (New york: Mcmillan Company, 1961),

h. 46

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 22: Pendidikan Progresif John Dewey

12

seorang individu dapat diperoleh karena kebiasaan yang Dewey lakukan sehingga

menimbulkan sebuah peraturan untuk dirinya dan lingkungannya. Sedangkan

kebudayaan itu memiliki konsep, para ahli sosial mengartikan konsep kebudayaan

itu dalam arti yang sangat luas, yaitu seluruh total dalam ide, hasil karya manusia

yang tidak berakar dari nalurinya dan karena itu hanya dicetuskan oleh manusia

sesudah adanya suatu proses belajar. Dan budaya diyakini mempunyai pengaruh

terhadap kehidupan organisasi.

Dalam buku Democracy and Education, Dewey menerangkan mengenai

pendidikan dalam diskursus pengalaman. Menurutnya, “education is that reconstruction or reorganization of experience wich adds to the meaning of experience, and wich increases ability to direct the course of subsequent experience” (pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman serta

meningkatkan kemampuan untuk menentukan arah bagi pengalaman

berikutnya).28 Selain John Dewey, pendidikan dipandang oleh Noam Chomsky

adalah tulang punggung dari masyarakat yang beradab. Di dalam masyarakat

demokratis, pendidikan mempunyai peranan penting untuk menciptakan,

menyebarkan, dan merawat prinsip-prinsip ideal demokrasi. Ada hubungan yang

amat erat antara prinsip-prinsip demokratis di satu sisi, dan paradigma pendidikan

demokratis di sisi lain.29

Pendidikan dipandang John Dewey sebagai sebuah rekonstruksi atau

reorganisasi pengalaman agar lebih berarti, sehingga pengalaman tersebut dapat

mengarahkan pengalaman yang akan dapat berikutnya.30 Selain itu Pemikirannya

yang utama tentang pendidikan adalah: (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah

berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan

kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar

dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya

prosedur demokratis sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan

dengan dunia nyata dan bertujuan mengembangkan dunia tersebut.31Pendidikan

sesungguhnya bertujuan untuk memanusiakan manusia. Ketika seorang anak

28Syabuddin Gade, Perbandingan Konsep Dasar Pendidikan antara Ia dan Asy-

Syaibani Jurnal Ilmiah Didaktika Agustus VOL. XII NO. 1, (2015), h. 86-105 29Reza A.A, Wattimena Pendidikan Manusia-Manusia Demokratis Filsafat

Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta Keterbatasannya Pada Konteks Indonesia,

Jurnal Filasafat, h. 150 30John Dewey, Democracy And Education: An Introduction to The Philosophy of

Education (NewYork:Mc Graw Hill Book Company) 31Paryanto, Penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif Tipe Group Investigation

Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Teori Pemesinan Dasar, JPTK, Vol. 19, No.2,

Oktober (2015)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 23: Pendidikan Progresif John Dewey

13

manusia lahir ke dunia, ia dibekali dengan berbagai potensi yang harus

diaktualisasikan.32

Proses aktualisasi potensi secara sengaja inilah yang merupakan proses

pendidikan. Proses ini berlangsung sampai seorang anak mencapai kedewasaan.

Kedewasaan diri dapat ditunjukkan juga dengan kepribadian yang matang yaitu

kepribadian yang menunjukkan karakter diri sebagai manusia yang baik, manusia

yang mengaktualisasikan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dalam hidupnya.

Dengan kata lain, pendidikan mempunyai dua tujuan utama, yaitu peserta didik

menjadi cerdas sekaligus baik.

Manusia adalah ciptaan Allah SWT sebaik-baik makhluk yang

disempurnakan dengan akal fikiran. Maka dari itu Ibnu Arabi dalam Samsul Nizar

melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa “tak ada makhluk Allah

yang lebih bagus daripada manusia yang memiliki daya hidup, mengetahui

berkehendak berbicara, melihat, mendengar berfikir dan memutuskan.”33Ini

menandakan bahwa penghargaan terhadap manusia sangatlah tinggi, oleh

karenanya sebagai manusia dalam hal ini dituntut harus mampu menempatkan diri

sebagai hamba Tuhan pada satu sisi dan disisi lain sebagai makhluk sosial.

Artinya manusia harus mampu menjalin hubungan baik dengan Allah Swt sebagai

bentuk penghambaan serta makhluk lainnya sebagai hubungan secara horizontal.

Oleh karenanya hakikat pendidikan sebagai proses pemanusiawian manusia

(humanisasi) sering tidak terwujud karena terjebak pada penghancuran nilai

kemanusiaan (dehumanisasi),34 agar manusia mampu untuk melaksanakan tugas

dan fungsinya, maka manusia harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan manusia diperoleh baik melalui pengalaman maupun

pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Untuk itu manusia harus

mendayagunakan potensi yang dianugerahkan kepadanya secara bertanggung

jawab dalam rangka merealisasikan tujuan dan fungsi penciptaannya di alam ini

baik sebagai ‘abd maupun sebagai khalifah fil ardl. Tanpa tanggapan dan sikap yang jelas tentang manusia, proses pendidikan

akan meraba-raba dan tidak jelas. Manusia merupakan makhluk yang

multidimensi. Mengkaji manusia dari satu dimensi, stagnasi pemikiran akan

dibawa oleh kapabilitas manusia, serta dijadikannya sebagai subjek objek yang

tidak dinamis. Hakikat manusia tidak akan pernah ditemukan secara utuh karena

setiap kali seseorang selesai memahami satu dimensi manusia, maka kemudian

32Rukiyati, Y. Ch. Nany Sutarini, P. Priyoyuwono, Penanaman Nilai Karakter

Tanggung Jawab dan Kerja Sama Terintegrasi dalam Perkuliahan Ilmu Pendidikan Jurnal

Pendidikan Karakter,Tahun IV, Nomor 2, Juni (2014) 33Samsul Nizar,”Filsafat Pendidkan Islam Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis,”

Jurnal Sistem Pendidikan Perspektif Filsafat Islam dan Barat, Tajdid Vol. XIV, No. 1,

Januari-Juni (2015) 34Arbayah, Model Pembelajaran Humanistik. Dinamika Ilmu Vol 13. No. 2,

Desember (2013)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 24: Pendidikan Progresif John Dewey

14

akan muncul dimensi lain yang belum dibahas.35 Pendidikan bisa mempunyai

banyak arti, tergantung dari mana pendidikan itu dipandang. Jika salah dalam

memandang, maka pendidikan justru dapat dijadikan legitimasi untuk berbuat

sesuatu yang tidak benar. Dengan kata lain, manusia mempergunakan

pendidikannya untuk menciptakan dan memainkan peranan sendiri tanpa

ditentukan oleh faktor di luar manusia.

Ungkapan di atas menyiratkan akan arti bahwa pendidikan setara dengan

histori manusia, eksistensi manusia adalah buktinya yang merupakan hasil dari

serangkaian proses pendidikan yang telah seusia histori manusia. Oleh karena itu,

aktivitas pendidikan seakan tidak akan pernah termakan zaman atau lapuk

termakan waktu. Aktivitas pendidikan yang akan selalu bergumul dengan

khazanah intelektual dan perkembangan ilmu sains dan teknologi, selalu menuntut

tidak statis terhadap berbagai kemajuan dan pengetahuan masyarakat. Pendidikan

diproses sebagai alat dan direkonstruksi kebudayaan baru maka wajib

menciptakan situasi yang edukatif yang hasilnya akan dapat mewarnai output (keluaran) sehingga peserta didik tercipta menjadi manusia-manusia yang inisiatif,

adaptif (mudah menyesuaikan dengan keadaan), berkompetitif, dan kreatif

sanggup menjawab tantangan zamannya sehingga berkualitas unggul.

Pendidikan harus dijadikan sebagai penyaring antara kekuatan positif dan

negatif dari perkembangan pengetahuan dan teknologi.36 Progresif dalam ilmu

pengetahuan dan teknologi mengantarkan bangsa Indonesia ke masa transisi yang

sangat sulit. Kehidupan politik, ekonomi dan sosial sangat berbarengan dengan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi perubahan ini perlu dihadapi sangat

cepat dan tepat sehingga masyarakat kita akan menjadi sasaran negatif dari

sebuah teknologi, akan tetapi dapat menjadi pemain untuk mengarahkan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang ada dimanfaatkan menjadi kekuatan yang dapat

membangun masyarakat Indonesia yang lebih baik. Idealnya untuk dapat

memberikan arah yang jelas terhadap perubahan ini.

Setiap muslim meyakini Nabi Muhammad SAW membawa agama Islam

adalah agama yang sempurna. al-Qur’an sebagai sumber utamanya diyakini

sebagai kitab suci yang berisi petunjuk dan pedoman yang lengkap. Oleh

karenanya, al-Qur’an memberikan pengakuan bahwa dirinya sebagai kitab

petunjuk yang membimbing manusia ke arah jalan hidup yang paling lurus.37

Selain al-Qur’an adalah al-Hadits yang dijadikan sebagai sumber utama yang

kedua. Hadits Nabi berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an; menjelaskan makna-

makna atau maksud-maksud yang terkandung dalam al-Qur’an yang masih

bersifat umum atau global, seperti menerangkan masalah tata cara shalat, puasa

35Maragustam Siregar, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah

Pendidikan Islam), (Yogyakarta : Nuha Litera, 2010), h. 57. 36Ridwan Idris, Perubahan Budaya dan Ekonomi Indonesia dan Pengaruhnya

terhadap Pendidikan, Lentera Pendidikan Vol 14 No. 2 Desember (2014), h. 219-231 37Noor Rohman Fauzan, Perspektif Islam Tentang Demokratisasi Pandidikan, Jurnal

Tarbawi Vol. II. No. 2. Juli - Desember (2014)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 25: Pendidikan Progresif John Dewey

15

dan haji, dan juga masalah bermuamalah (berinteraksi) dalam kehidupan sehingga

setiap individu mampu berperan secara aktif, positif dan akurat. Dari paparan

uraian tersebut dapat ditarik suatu pengertian, bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah,

sebagai petunjuk bagi umat manusia memuat nilai-nilai luhur yang mendorong

manusia agar selalu meningkatkan kualitas dirinya dengan berbekal ilmu

pengetahuan (belajar/mencari ilmu), sehingga menjadi orang-orang yang selalu

dalam petunjuk Allah (al-muhtadin). Oleh karena itu, sejak awal kenabian, Nabi

Muhammad SAW sudah melakukan aktivitas-aktivitas pembelajaran-pengajaran

(pendidikan). Istilah pendidikan digunakan dengan kata tarbiyah. kata itu

merupakan salah satu term dalam bahasa arab yang mempunyai banyak arti.

biasanya kata ini diartikan pendidikan itu merupakan pandangan Islam.38

Kuatnya pengaruh pendidikan barat terhadap pendidikan terjadi dihampir

semua negara. Akibatnya pendidikan Islam mengalami banyak kelemahan

terutama pada sistem pendidikan Islam. Pendidikan Islam ideal yang mencakup

berbagai dimensi guna mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut maka para pakar

pendidikan Islam dan para pengambil kebijakan dalam pendidikan Islam harus

mengadakan pembaruan-pembaruan secara komprehensif. Epistemologi

pendidikan Barat menguasai seluruh wilayah dunia, sehingga tidak mempedulikan

adanya alternatif-alternatif epistemologi lain, para ilmuwan muslim juga

mengikuti bahkan tidak jarang yang mengandalkan epistemologi pendidikan barat

tanpa koreksi sama sekali. Secara intelektual sebenarnya umat Islam menjadi

terjajah oleh barat sampai saat ini.

Selama ini gaung pendidikan yang bercorak liberasi dan demokratisasi

lebih terdengar disuarakan oleh para pakar pendidikan modern (Barat), salah

satunya John Dewey 1859-1952, seorang pelopor Pendidikan progresif39.

Pendidikan progresif adalah suatu paham dan perkumpulan yang didirikan pada

tahun 1918, bukan suatu bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri,

suatu gerakan yang kuat selama dua puluh tahunan yang berada di Amerika

Serikat. Tidak sedikit guru merasa ragu terhadap gerakan ini, karena guru telah

mempelajari dan memahami filsafat Dewey,40 sebagai reaksi terhadap filsafat

lainnya. Masa itu adalah ketika John Dewey menjabat seorang profesor filsafat

dan kepala Universitas Chicago, Teori Dewey tentang sekolah adalah “Pendidikan

progresif”41 yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya dari pada mata

38M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Islam Holistik Ulumuna, Volume XV

Nomor 1 Juni (2011) 39Agus Supriyanto,”Studi Deskriptif tentang Tokoh-tokoh Filsafat Pendidikan

Barat”, Turast, Vol. 6, No. 1, Januari (2014) 40Eric M. Boyer John Dewey And Growth As "End-In-Itself Soundings: An

Interdisciplinary Journal, Penn State University Press Vol. 93, No. 1/2 (Spring/Summer

2014), h. 21-47 41David Schultz, From the Editor-John Dewey's Dream, Journal of Public Affairs

Education, National Association of Schools of Public Affairs and Administration

(NASPAA)Vol. 17, No. 1 (Winter 2011), h. ii-iv

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 26: Pendidikan Progresif John Dewey

16

pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Student centered Curriculum” dan

“Student centered School”. Para pengikut aliran progresif sendiri mengkritik

filsafat Dewey. Pengikut paham progresif mengharapkan perubahan yang sangat

cepat, agar lebih cepat mencapai tujuan. Sedangkan perubahan masyarakat yang

dilontarkan oleh Dewey adalah perubahan secara evolusi.

John Dewey adalah seorang anggota serikat guru pertama, ia adalah orang

yang serius dalam bidang hak guru dan kebebasan belajar (academic freedom)42.

Adapun ide filsafat Dewey yang utama sangat kental dengan problema pendidikan

yang konkrit, baik teori maupun praktek diantara karya-karya Dewey dianggap

penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang

paling fenomenal Democracy and Education (1916), yang memberikan pengaruh

paling besar dalam pendidikan dan dipromosikan banyak reformasi pendidikan

melalui sekolah eksperimentalnya. Pandangan John Dewey bahwa anak-anak

harus didorong untuk mengembangkan free personalities dan bahwa mereka harus

diajarkan bagaimana untuk berpikir dan untuk membuat penilaian daripada hanya

memiliki kepala mereka diisi dengan pengetahuan. Dia juga percaya bahwa

sekolah adalah tempat di mana anak-anak harus belajar untuk hidup secara

kooperatif. Pendidikan dan pembelajaran di sekolah selama ini dinilai kurang

demokratis. Kurangnya ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi

menunjukkan eksistensinya dengan perspektif mereka sendiri menunjukkan hal

itu. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan

yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi tantangan dan lebih

kompetitif .

Peserta didik masih saja dijadikan sebagai obyek pendidikan. Kritik dan

keprihatinan tersebut sangat beralasan. Realitas proses pembelajaran yang terjadi

di sekolah-sekolah selama ini sama sekali tidak memberikan peluang kepada

peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis

mereka. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu

apa-apa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali dan disuapi.

Setiap hari diindoktrinasi dan brainwashing terus saja terjadi terhadap anak-anak.

Anak-anak terus saja dianggap sebagai bejana kosong yang siap dijejali aneka

bahan dan kepentingan demi keuntungan semata. Berpuluh-puluh tahun anak-anak

menghadapi pada hafalan kering tanpa adanya kesempatan untuk mengembangkan

daya eksplorasi dan kreativitas. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh

kepala sekolah MAN I Insan Cendikia Serpong bahwa membangun kreativitas itu

penting yang harus dimiliki oleh guru agar peserta didik mempunyai kreativitas

yang tinggi dalam pembelajaran.43 Di MAN IC berkurilulum tiga belas hal ini

42Kathleen Weiler, What Can We Learn from Progressive Education? University of

Illinois Press:The Radical Teacher, No. 69, Progressive Education (May 2004), h. 4-9 43Hasil wawancara dengan Ibu Persahini Sidik, M. Si (Kepala Madrasah MAN Insan

Cendikia Insan Serpong) pada 6 Februari 2018

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 27: Pendidikan Progresif John Dewey

17

cocok dengan pendidikan progresif ingin berkemajuan dalam belajar karena dilihat

dari prestasi dan outputnya. Maka dari itu penulis memilih MAN IC sebagai studi

kasus dalam penelitian ini.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah Berdasarkan latar belakang masalah, dapat

diidentifikasi sebagai berikut:

a. Metode pembelajaran dalam sekolah masih banyak yang menggunakan

teacher centered

b. Usaha dalam peningkatan mutu dalam sekolah masih kurang

c. Kondisi di kelas yang kurang kondusif ketika belajar mengajar

berlangsung

d. Melemahnya minat peserta didik dalam belajar karena metodenya kurang

memadai

e. Peserta didik belum berakhlak mulia

f. Metode student centered yang belum mencapai target seutuhnya

g. Penanganan khusus bagi peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan

belum ada

2. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini merupakan sebuah pertanyaan

yang akan dijawab melalui data yang ada.44 Berdasarkan pembatasan masalah

di atas, maka penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti,

yaitu:

a. Bagaimana pendidikan progresif John Dewey?

b. Bagaimana pendidikan MAN IC Serpong apabila ditinjau dari pendidikan

progresif John Dewey?

c. Bagaimana konsep pendidikan progresif John Dewey dalam perspektif

Islam?

3. Pembatasan Masalah

Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini dibatasi agar lebih

spesifik, terarah dan mendalam, meliputi:

a. Fokus Penelitian

Penelitian ini membahas tentang model pendidikan pendidikan

progresif John Dewey di MAN Insan Cendikia Serpong, yaitu sebuah

model pendidikan yang mampu merubah model pembelajaran tradisional

menuju perubahan yang berkemajuan.

b. Lokasi Penelitian

44Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan kuantitatif, kualitatif

(Bandung: Alfabeta, 2010), h. 55

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 28: Pendidikan Progresif John Dewey

18

Penelitian ini hanya membahas tentang pendidikan pendidikan

progresif John Dewey di MAN Insan Cendikia. Sedangkan tokoh

pendidikan progresif selain John Dewey tidak dibahas dalam penelitian

ini.

c. Waktu Penelitian

Penelitian yang membahas tentang pendidikan pendidikan progresif

John Dewey ini dibatasi pada tahun pelajaran 2017/2018.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus dan pokok permasalahan yang sudah disebutkan diatas,

maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan bagaimana pendidikan progresif John Dewey

2. Untuk mengungkapkan keterkaitan antara pendidikan pendidikan

progresif John Dewey dengan realitas pendidikan di MAN IC Serpong

3. Untuk menganalisis bagaimana konsep pendidikan progresif John Dewey

dalam perspektif Islam

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Signifikansi atau arti penting yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan gambaran model pendidikan khususnya pada sekolah-sekolah

umumnya kepada masyarakat di Indonesia

2. Dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi masyarakat dalam

pendidikan tentang implementasi pendidikan progresif John Dewey dalam

pembelajaran MAN IC Serpong

3. Untuk menambah khazanah keilmuan dan wawasan bagi peneliti

khususnya dan pembaca yang berniat mengadakan penelitian lebih lanjut

tentang pendidikan progresif John Dewey

Selanjutnya, manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini dibedakan

menjadi dua yaitu: manfaat teoritis dan manfaat praktis:

a. Manfaat Teoritis:

Dari gambaran latar belakang di atas, maka penelitian akan

menghasilkan sebuah teori bahwa “metode itu lebih penting dari pada

materi” teori ini perlu dikaji lebih dalam agar aplikasi metode

pembelajaran dalam kelas semakin dinamis sesuai dengan realitas

masyarakat Indonesia

b. Manfaat Praktis

Konsekuensi dari hasil penelitian ini adalah: adanya sebuah model

pendidikan yang mampu merubah manusia yang berkemajuan untuk

mempertahankan hidup dan dapat memecahkan masalahnya sendiri. Dan

model pendidikan itu adalah pendidikan progresif.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 29: Pendidikan Progresif John Dewey

19

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Penelitian Terdahulu Yang Relevan merupakan salah satu cara yang

digunakan untuk menunjukkan integritas (kejujuran) peneliti dalam menyusun

sebuah karya ilmiah. Dan dimaksudkan juga untuk menghindari duplikasi bahwa

topik yang diambil peneliti belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya serta

menjelaskan posisi peneliti yang bersangkutan. Untuk mendukung penelaahan

yang lebih komprehensif, peneliti berusaha melakukan peninjauan terhadap karya-

karya ilmiah yang relevan, berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan terkait

dengan pendidikan pendidikan progresif, terdapat beberapa hasil penelitian

terdahulu yang dianggap relevam, antara lain:

Disertasi yang ditulis oleh Julie Bolkin O’connor dengan judul A Qualitative Case Study of Teacher Perceptions of the Motivation of Students in Humane Education, disertasinya mengulas tentang motivasi dan keterlibatan

membantu siswa berhasil di sekolah. Ketika siswa bersikap apatis dan tidak

diinvestasikan dalam pelajaran mereka, mereka mungkin mengalami masalah

akademik yang parah. Karakter pendidikan adalah instruksi eksplisit dari nilai-

nilai positif dan telah ditemukan untuk meningkatkan siswa motivasi dan

keterlibatan. Jenis pendidikan karakter adalah pendidikan manusiawi. Penelitian

ini dilakukan untuk menguji masalah tidak mengetahui aspek manusiawi apa

pendidikan paling berkontribusi pada motivasi dan keterlibatan siswa. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi persepsi guru tentang bagaimana

pendidikan manusiawi, khususnya kesejahteraan hewan, mempengaruhi motivasi

dan keterlibatan siswa. Hasil dari studi kasus ini dapat menginformasikan para

pendidik ketika memilih materi kurikulum dan ruang kelas yang efektif untuk

tujuan membantu siswa motivasi dan keterlibatan.45

Buku yang semula merupakan tesis oleh Muis Sad Iman dengan judul

Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah Dan Pendidikan progresif John Dewey. Dalam buku mengulas bahwa aliran pendidikan progressivsme John

Dewey tidak menyetujui pendidikan yang otoriter, sebab akan mematikan pribadi-

pribadi yang gembira menghadapi pelajaran dan sekaligus mematikan daya kreasi

baik secara fisik maupun psikis anak didik46

Selanjutnya, Muhammad Rahmatullah, Pendidikan Kepesantrenan Dalam Perspektif Pendidikan progresif John Dewey, hasil penelitian ini adalah

Pendidikan pesantren adalah salah satu sistem pendidikan yang khas dan

tradisional di Indonesia. Pendidikan semacam ini dianggap tak lagi relevan di

dunia modern. Pendidikan pesantren bersifat lebih bebas dan lebih terbuka. Dari

fakta tersebut, ada keterkaitan antara pendidikan pesantren dan aliran pendidikan

45Julie Bolkin O’connor, A Qualitative Case Study of Teacher Perceptions of the

Motivation of Students in Humane Education, (San Diego California: ProQuest LLC,

January 2018) 46 Muis Said Iman, “Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan

Prohressif John Dewey”, (Yogyakarta: Safira Insani Press & MSI UII, 2004)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 30: Pendidikan Progresif John Dewey

20

pendidikan progresif yang diajukan oleh John Dewey. Dewey mensyaratkan

pendidikan harus diajarkan dengan melibatkan peserta didik secara langsung

dengan penyelidikan dan eksperimen. Materi yang diajarkan harus praktis dalam

kehidupan. Selain itu, sekolah harus demokratis sehingga mencerminkan sistem

sosial yang diwakili sekolah tersebut. Dari pengamatannya, ditemukan bahwa

pondok pesantren Islam bisa dikategorikan ke dalam pendidikan progresif.47

Selanjutnya, M. Fadlillah, Pendidikan progresif Dalam Pendidikan Di Indonesia, menurutnya Pendidikan progresif merupakan aliran filsafat pendidikan

modern yang menghendaki adanya perubahan pelaksanaan pendidikan menjadi

lebih maju. Pendidikan progresif ini mengutamakan penyelenggaraan pendidikan

di sekolah berpusat pada anak dan menjadikan pendidik hanya sebatas sebagai

fasilitaor, pembimbing, dan pengarah bagi peserta didik. Adapun tujuan dari

pendidikan progresif dalam pendidikan ialah ingin merubah praktik pendidikan

yang selama ini terkesan otoriter menjadi demokratis dan lebih menghargai

potensi dan kemampuan anak, serta mendorong untuk dilaksanakannya

pembelajaran yang lebih banyak melibatkan peserta didik. Dengan menerapkan

pendidikan progresif dalam pendidikan, harapannya dapat membawa perubahan

dan kemajuan pendidikan di Indonesia menjadi lebih berkualitas, sehingga mampu

mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia.48

Penelitian lain yang dilakukan oleh Vega Ricky Salu dan Triyanto Filsafat Pendidikan Pendidikan progresif dan Implikasinya dalam Pendidikan Seni di Indonesia, menurut keduanya filsafat pendidikan progresif menekankan pada

peningkatan kemampuan peserta didik melalui pengalaman, kemampuan

diri/kemandirian, dan selalu memperoleh perubahan-perubahan secara pribadi

yang dapat menimbulkan apresiasi dan kreasi peserta didik. Dalam pendidikan

seni, pendidikan progresif memiliki peranan yang sangat krusial khsususnya dalam

pengembangan potensi peserta didik melalui seni dan oleh seni. Pengembangan

dimaksud adalah bahwa peserta didik dapat memperoleh pengetahuan dalam

berkesenian secara mandiri dan terus mengembangkannya/progres menjadi

keunggulan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.49

Selanjutnya Ricardo F. Nanuru, Pendidikan progresif Pendidikan dan Relevansinya di Indonesia, menurutnya Pendidikan merupakan bagian penting

yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Setiap manusia pasti

berpendidikan, tergantung apakah pendidikan yang diperolehnya itu diterima

secara formal atau non formal. Pendidikan berperan penting dalam kehidupan

bermasyarakat, dimana pendidikan menyumbang bagi perkembangan pola pikir

47Muhammad Rahmatullah Pendidikan Kepesantrenan Dalam Perspektif Pendidikan

progresif John Dewey, Didaktika Religia Volume 3, No. 2 Tahun 2015 48 M. Fadlillah, Pendidikan progresif Dalam Pendidikan Di Indonesia, Jurnal

Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 5 No. 1 Januari 2017 49 Vega Ricky Salu dan Triyanto Filsafat Pendidikan Pendidikan progresif dan

Implikasinya dalam Pendidikan Seni di Indonesia, Jurnal Imajinasi Vol. XI No. 1 - Januari

2017

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 31: Pendidikan Progresif John Dewey

21

anggota masyarakat yang akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat

itu sendiri. Tulisan ini bertujuan melihat kondisi pendidikan di Indonesia dari

sudut pandang pendidikan progresif, dengan harapan dapat memberi sedikit

masukkan bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Berdasarkan pembahasan

yang dilakukan ternyata pendidikan progresif yang menekankan pada kebebasan

individu anak dalam berkreasi dapat menjadi tawaran yang menarik bagi

perkembangan pendidikan di Indonesia. SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang

menurutnya penuh dengan tawaran kreativitas dapat diangkat kembali sebagai

usaha pemerintah dalam menyikapi persoalan pendidikan dalam hubungannya

dengan dunia kerja. Dengan memberikan ruang yang lebih banyak dan terbuka

bagi pengembangan SMK, diharapkan progresivitas pendidikan di Indonesia dapat

lebih ditingkatkan.50

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Fitri Al Faris, Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Pendidikan progresif, menurutnya Kurikulum

pendidikan di Indonesia telah berkembang dalam beberapa kali namun landasan

filsafat yang digunakan jarang digali. Landasan filsafat yang digunakan menjadi

pemikiran menarik karena dengan landasan filsafat yang jelas maka arah dan

tujuan pendidikan menjadi jelas. Hasil penelitian ini yang utama menemukan

bahwa hakikat kurikulum pendidikan 2013 adalah meningkatkan basis perubahan

pada sikap, pengetahuan dan keterampilan pada diri peserta didik demi

terciptanya pendidikan karakter yang baik. Tujuan yang ingin dicapai dalam

kurikulum 2013 adalah menghasilkan generasi yang kreatif dan inovatif dengan

harapan mampu meminimalisir kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan

peradaban bangsa. Kurikulum 2013 memiliki landasan filsafat eklektik

inkorporatif yang berarti mengambil unsur-unsur yang baik dari aliran-aliran

filsafat pendidikan untuk diintegrasikan dengan sistem pendidikan nasional.

Pendidikan progresif sebagai salah satu aliran filsafat pendidikan memiliki

warnayang dominan dalam kurikulum 2013 terbukti dengan sistem pendidikan

yang sangat menitikberatkan murid sebagai subjek pendidikan, guru bertindak

sebagai fasilitator, serta mata pelajaran yang terintegrasi dalam satu unit.

Kurikulum 2013 menunjukkan kalau anak atau subjek pendidikan harus diberi

pelajaran dan pengajaran sesuai dengan perkembangan zaman agar tidak

menghasilkan generasi usang serta tiga kompetensi utama dalam diri anak harus

dinilai secara keseluruhan (sikap, pengetahuan, dan ketrampilan).51

Penelitian yang dilakukan oleh Kathleen Weiler52 dengan hasil penelitian

Kathleen mengungkapkan bahwa dia berasumsi bahwa anak-anak tumbuh menjadi

masyarakat yang demokratis dimana mereka dapat berkembang: Liberty tidak

50 Ricardo F. Nanuru, Pendidikan progresif Pendidikan dan Relevansinya di

Indonesia, Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 51Fitri Al Faris, kurikulum 2013 Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Pendidikan

progresif, Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 2, Agustus 2015 52Kathleen Weiler, What Can We Learn from Progressive Education?University of

Illinois Press:The Radical Teacher, No. 69, Progressive Education (May 2004), h. 4-9

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 32: Pendidikan Progresif John Dewey

22

berarti penghapusan memaksakan pada kehidupan setiap individu dalam

masyarakat, sehingga satu individual menjadi sebagai anggota masyarakat. Tapi

kebebasan bagi anak adalah kesempatan untuk menguji semua karakter dan

kecenderungan pada dunianya agar mereka menemukan jati dirinya dan agar tidak

menutupi karakter mereka sehingga ia bisa menyingkirkan yang membahayakan

mereka, dan kelak mengembangkan mereka berguna untuk dirinya dan orang lain.

Penelitian yang dilakukan oleh Zhixin Su53 dengan hasil penelitiannya

mengungkapkan bahwa Dengan menganjurkan "learning by doing," Ia mendorong

siswa untuk memperoleh pengetahuan yang berguna dengan memecahkan masalah

dalam kegiatan mereka sendiri diselenggarakan di sekitar berbagai jenis

pengetahuan. Meng juga sangat menganggap "learning by doing" Ia dan

mengamati bahwa metode Ia membangun koneksi yang sangat baik antara teori

dan praktek dan memotivasi siswa untuk melakukan upaya yang diperlukan dalam

belajar. Di tengah-tengah dua interpretasi yang berlawanan, Wu menawarkan

posisi eklektik: "Kami tidak ingin anak-anak untuk belajar dengan melakukan,

tapi kami tidak menentang partisipasi anak dalam praktek Kita bisa

bereksperimen dengan struktur yang berbeda dari kurikulum untuk menciptakan

kondisi. Untuk anak-anak untuk menerapkan apa yang mereka pelajari dalam

praktek". Pada dasarnya, posisi ini ingin mempertahankan tradisional, berpusat

pada guru,-peserta didik kelas orientasi tapi pada saat yang sama menciptakan

tambahan, learning by doing kegiatan untuk siswa. Sehingga ide-ide dia ini telah

digunakan terbatas dalam pandangan ini untuk meningkatkan praktek pendidikan

Cina.

Secara umum, beberapa literatur yang dijadikan sebagai penelitian

terdahulu yang relevan tersebut pastinya memiliki persamaan yaitu sama-sama

mengkaji tentang pendidikan progresif. Meskipun ada persamaan dalam

pembahasannya, namun secara khusus ada perbedaannya. Penelitian di atas

banyak menggunakan pendekatan filosofis, sementara penelitian ini menggunakan

pendekatan pendidikan. Yaitu pendekatan pendidikan pendidikan progresif John

Dewey dengan teorinya Education is not preparation of life but education is life itself.

F. Metodologi Penelitian

1. Objek Penelitian

Objek studi penelitian ini adalah pendidikan progresif John Dewey di

MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang Selatan, teruama pada aspek

kelembagaan, kegiatan belajar mengajar, kurikulum dan ketanagaan.

53Zhixin Su, A Critical Evaluation of John Dewey's Influence on Chinese Education,

Ameican Journal of Education,The University of Chicago Press Vol. 103, No. 3 (May,

1995), h. 302-325

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 33: Pendidikan Progresif John Dewey

23

Penulis merasa bahwa madrasah ini layak dilakukan sebuah penelitian,

mengingat madrasah ini sebagai model bagi madrasah-madrasah yang lain dan

sebagai madrasah unggulan dari berbagai prestasi-prestasi siswanya.

Penulis memilih teori pendidikan progresif John Dewey (1859-1952)

karena bersifat eksploratif. Menurut Dewey, belajar adalah pengalaman nyata

di lapangan.54 Dewey berargumen bahwa pendidikan merupakan transaksi

antara person dan lingkungannya.55 Atau dengan kata lain, pembelajaran

berpusat kepada peserta didik yang memiliki variasi proses dan pengalaman

belajar di setiap lembaga pendidikan.56

Selain itu, Dewey memandang peserta didik sebagai suatu yang fungsional

dalam hidup sosial. Peserta didik dalam pandangan pendidikan progresif adalah

organisme yang mengalami proses pengalaman. Sebab peserta didik merupakan

bagian integral dari lingkungan, peristiwa-peristiwa yang terjadi di

masyarakat, interaksi sosial, perasaan, pikiran dan benda-benda di sekitarnya.57

Jika lingkungan belajar itu menyenangkan maka kondisi tersebut berdampak

kepada pengalaman belajar dan kondisi kejiwaan yang didapat oleh peserta

didik. Karena menurut Dewey, pendidikan adalah rekonstruksi atau

reorganisasi pengalaman serta menigkatkan kemampuan untuk menentukan

arah bagi pengalaman berikutnya berangkat dari pengalaman yang didapat

sebelumnya.58Tetapi seluruh situasi sosial yang teliti yang meliputi aspek

tempat (place), pelaku (actor) dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara

sinergis. Situasi sosial ini di dalam kelas adalah ruang kelas, guru-murid, serta

aktivitas belajar mengajar.59

2. Sumber Data Penelitian

Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif60. Sementara sumber

penelitian terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber

data primer, merupakan hasil observasi, in-dept interview dan dokumentasi

dari data utama yang penulis dapati di lokasi penelitian, terdapat tiga jenis

54Muhammad Allazam, “Learning From Dewey and Vigotsky Perspective”,

International Journal of Scientific & Enginering Research, Vol. 6, No. 7 (2015) 55Saifullah Idris, Demokrasi dan Filsafat Pendidikan (Banda Aceh:Ar-Raniry Press,

2014), h. 42 56Keiran Egan, Getting It Wrong from the Begenning Our Progressivist Inheritence

from Herbert Spance, John Dewey amd Jean Peaget (Binghamton: Vail Ballou, 2002), h.

53-58 57Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan

Pancasila..., h. 250 58 Syabuddin Gade, “Perbandingan Konsep Dasar Pendidikan antara Dewey dan

Asy-Syaibani” Jurnal Didaktika, Vol. XII, No. 1, (2011), h. 86 59 Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 285 60 Kennet Wain, Higher Education in Europe, Education and Tolerance, Journal for

Tolerance and Education, Vol. 21, No. 1 (2001)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 34: Pendidikan Progresif John Dewey

24

data primer yaitu pertama dokumentasi, seperti dokumentasi sejarah,

pembelajaran, sumber daya manusia, nilai-nilai, prestasi dari madrasah.

Kedua data wawancara seperti kepala madrasah, guru, dan konsumen

lembaga pendidikan MAN IC Serpong, dan ketiga observasi dengan

mengamati secara langsung kegiatan belajar mengajar di MAN IC Serpong

dengan alamat Jl. Cendikia BSD City, Serpong Kota Tangerang Selatan

Provinsi Banten 15310.

Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini menggunakan

beberapa buku, jurnal yang terkait dengan isu yang akan diteliti.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebagaimana proses kerja dalam penelitian kualitatif, yaitu

peneliti itu sendiri merupakan instrumen kunci, baik dalam

pengumpulan data maupun analisis datanya.61 Dalam proses

pengumpulan data kajian ini lebih banyak berdasarkan dari pada

aktivitas pendidikan di MAN Insan Cendikia Serpong.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, In-depth Interview dan dokumentasi. Observasi, yaitu mengamati secara

langsung proses pendidikan dan berbagai aktivitas lainnya di MAN

Insan Cendikia. Observasi ini diarahkan untuk memahami setting of education bagaimana pendidikan dilakukan, peneliti meninjau dari

pendidikan pendidikan progresif apakah ada keterkaitan dengan

pendidikan di MAN Insan Cendikia. Teknik selanjutnya adalah

wawancara mendalam (in-depth Interview). Melalui teknik ini, banyak

hal yang diperoleh dari informan.62

Melengkapi berbagai teknik di atas, studi dokumentasi diperlukan

terutama untuk memperkaya landasan-landasan teori dan eksplorasi

data masa lalu yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Yaitu

pengumpulan data berdasarkan dokumen tertulis berupa kurikulum

pembelajaran, dokumentasi sejarah, pembelajaran, sumber daya

61 Penggunaan manusia sebagai instrumen dalam penelitian kualitatif mempunyai

beberapa keuntungan, yaitu: a) responsif, manusia dapat merasa dan merespons; b) Adaptif;

manusia fleksibel sehingga dapat berfungsi multi-purpose dan mengumpulkan informasi

multi-factors secara serempak; c) Holistic emphasis; hanya manusialah alat yang dapat

memahami keseluruhan konteks; d) Memungkinkan perluasan pengetahuan secara

langsung; e) Memungkinkan pemrosesan data segera sehingga dapat mengemukakan

hipotesis di lapangan; g) Kesempatan untuk mencari respon yang artifisial. lihat Aminuddin

Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra, (Malang:Hiski,

1990), h. 15-16 62Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:

Rineka Cipta, 1998), h. 145

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 35: Pendidikan Progresif John Dewey

25

manusia, nilai-nilai, prestasi dari madrasah. Kaitannya dengan fokus

penelitian ini, metode dokumentasi digunakan untuk mengungkapkan

data tentang implikasi pendidikan pendidikan progresif di MAN Insan

Cendikia Serpong.

4. Teknik Analisis Data

Metode penelitian berfungsi sebagai alat untuk mengkaji dan

menguraikan permasalahan yang ditemukan di lapangan dengan

menggunakan metode perbandingan antara teori, data dan realitas yang

ditemukan di lapangan yang disebut triangulasi.63 Komponen metode

penelitian sini terdiri dari objek penelitian ini terdiri atas obyek

penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data

dan pendekatan untuk menghasilkan kesimpulan.64

Teknik analisis data menggunakan pendekatan deskripsi dengan

pendekatan teori pendidikan progresif sebagai dasar kajian serta

sejarah sosial sebagai teknik pendekatan untuk melihat, mengungkap

kembali, dan menata ulang sejarah masa lalu yang yang berhubungan

dan pengaruh untuk kondisi saat ini. Pengaruh dinamika sosial

merupakan bagian dari kajian melihat keberhasilan di sekolah MAN I

IC di Serpong dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.65

Data diperoleh dengan Teknik: Pertama, studi dokumentasi, yaitu

suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis

dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun

elektronik66. Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang

berasal dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tujuan dan

fokus penelitian sebagai bahan dasar data awal. Kedua, observasi,

yaitu, peneliti menggunakan jenis observasi non partisipan, di mana

peneliti berada di luar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam

63Koentjaranigrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia,

1981), h. 1-14 64Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV (Yogyakarta:Rake

Sarasin, 2000), h. 20-23 65Penelitian studi kasus adalah lebih dari sekedar melakukan peneliitian pada

individu atau situasi tunggal. Pendekatan ini memiliki potensi untuk menangani secara

sederhana melalui situasi yang kompleks. Pada penelitian ini memungkinkan peneliti untuk

mengumpulkan data dari berbagai sumber. Lihat Pamela Baxte and Susan Jack :Qualitative

Case Studi Metology: Study Design and Implementation for Novine Reseacrhers “The

Qualitative Report 13,4 (Desember, 2008); 556 http://www.nova.edu/ssss/QR/QR13-

4/baxter.pdf (diakses pada tanggal 12 januari 2018) 66Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2009), h. 221

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 36: Pendidikan Progresif John Dewey

26

kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti merasa lebih

leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi. Ketiga,

wawancara, yaitu suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan

informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan

atau tanya jawab67.

Dalam penelitian ini digunakan wawancara mendalam (indepth interview) kepada informan yang terlibat langsung dalam proses

penyelenggaraan pendidikan MAN IC Serpong, yaitu: Kepala MAN

IC, Wakil Kepala Madrasah, dewan guru. Wawancara dikembangkan

dengan sifat terbuka dan terstruktur. Hal tersebut dilakukan dengan

pertimbangan agar peneliti dapat mengajukan berbagai pertanyaan

tentang pokok kajian. Di samping itu, melalui pengkondisian suasana

yang nyaman, santai, dapat sekaligus disesuaikan pertanyaan dengan

konteks aktual saat wawancara berlangsung. Bahkan dapat

dikembangkan berbagai pertanyaan yang lebih kompleks, namun tetap

fleksibel tergantung pada perkembangan dan situasi wawancara.

Wawancara ini dilakukan untuk mendalami berbagai temuan

dokumenter dan hasil observasi atau pengamatan terkait proses

penyelenggaraan MA IC Serpong. Validasi data dilakukan melalui

trianggulasi, yaitu, teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data.68 Jadi untuk

menjaga keabsahan dan keajegan data dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan triangulasi metode, triangulasi sumber data, dan

triangulasi waktu. Adapun teknis analisis yang digunakan dalam

penelitian ini mencakup tiga proses seperti yang dikemukakan oleh

Miles dan Huberman, yaitu: 1. Reduksi data, yaitu setelah data

terkumpul melalui wawancara dan studi dokumentasi, direduksi

sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi data yang dianggap tidak

sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. 2. Penyajian data dengan

cara mengorganisasikan dan memaparkan data sedemikian rupa. Jika

dianggap perlu, untuk data yang memiliki kompleksitas tinggi

digunakan tabulasi distribusi frekuensi guna lebih mudah dibaca,

dipahami dan diinterpretasikan. 3. Penggambaran dan pembuktian

yang melibatkan peneliti dalam interpretasi terhadap data yang

67Satori, Djam’an dan Aan Komariah, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung:

Alfabeta, 2010), h. 130 68Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2008), h. 330

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 37: Pendidikan Progresif John Dewey

27

disajikan sehingga dapat dipahami maksudnya, kemudian ditarik

kesimpulan yang bertalian dengan tujuan penelitian69 Data primer hasil wawancara dan observasi kemudian dianalisis dengan

metode triangulasi70 yaitu perbandingan antara data observasi dari kunjungan

kepada pihak terkait71 dengan data hasil wawancara,72 dan data dokumentasi

kegiatan,73 sedangkan data pendukung atau sekunder penulis peroleh dari berbagai

macam literatur, buku, jurnal, artikel dan lain sebagainya, yang memiliki

keterkaitan dengan penelitian ini digunakan untuk memahami teori dan

permasalahan yang ada.

Setelah data terkumpul tahapan selanjutnya adalah pengolahan data

menuju tahapan kesimpulan dengan melewati berbagai tahapan sebagai berikut,

yaitu pertama pengkatagorian tema dan masalah, kedua klarifikasi tema dan

masalah, ketiga perbandingan masalah dengan teori dan keempat analisis dalam

mencari temuan kesimpulan, dalam tahapan analisis digunakan pendekatan teori

metodologi penelitian fenomenologi dalam menangkap makna fenomena realitas

yang ada dalam pelaksanaan pendidikan progresif.

Peneliti telah melakukan analisis data dalam penelitian kualitatif seperti

yang telah diungkapkan sepanjang program penelitian dimulai termasuk analisis

data selama pengumpulan data tidak untuk menunggu selesainya proses

pengumpulan data, tetapi kegiatan-kegiatan yang dianggap sebagai proses analisis

data selama proses pengumpulan data antara lain: a pembuatan rencana

pengumpulan data berikutnya berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data

berikutnya, b penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data (informasi, situasi,

dokumen) berikutnya, c menetapkan fokus penelitian apakah tetap sebagaimana

yang telah direncanakan atau perlu dirubah, dan e penyusunan temuan-temuan

sementara berdasarkan data yang telah terkumpul.74

5. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan gagagsan-gagasan baru yang

cukup aktual dalam kerangka penemuan teori baru itu merupakan tujuan

penelitian eksploratif obyek utama yang menjadi fokus penelitian ini adalah ide

(gagasan) seorang tokoh filosof yakni John Dewey mengenai gagasan pendidikan

69Norman K Denzin,. dan Yonna S. Lincoln (Eds) Handbook of Qualitative

Research, Thousand Oaks, (California: SAGE Publications, 1994), h. 429 70Merupakan teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai

teknik pengumpulan data dan sumber yang sudah ada. Baca selengkapnya Sugiono,

Metodologi Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R & D (Bandung:Alfabeta, 2009), h. 241 71Sugiono, Metodologi Penelitian Kuntitatif kualitatif dan R & D

(Bandung:Alfabeta, 2009), h. 227 72Sugiono, Metodologi…. h. 231 73Sugiono, Metodologi… h. 240 74Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama, h. 192-193

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 38: Pendidikan Progresif John Dewey

28

progresif dan pengaruhnya terhadap pendidikan Islam.75 Maka dari itu penelitian

ini termasuk studi pemikiran yang bersifat pendekatan filosofis (psylosophycal approach).76 Pendekatan filosofis pada dasarnya berusaha memaparkan dasar

keilmuan, serta hakikat atau hikmah suatu obyek formalnya. Filsafat mencari

sesuatu yang mendalam, mendasar, yang terdapat di balik yang bersifat

lahiriyah.77 Pendekatan filosofis digunakan manusia agar dapat mengandung arti

terhadap sesuatu yang ditemukannya, selain itu juga dapat pelajaran dan hikmah

yang terkandung dalam suatu objek.78 Pemikir merumuskan dan mengkaji ide-ide

dasar yang dapat digunakan Pendekatan filosofis.79

Selain pendekatan penelitian filosofis penelitian ini juga menggunakan

dalam pendekatan fenomenologi. Pendidikan fenomenologi artinya bahwa

pendekatan ini berasal dari pengalaman inderawi terhadap gejala, yang kemudian

pengalaman itu harus dijelaskan dan ditafsirkan.80

Pendekatan fenomenologi ini memandang kenyataan itu sebagai sesuatu

yang utuh, karena itu objek harus dilihat dalam suatu konteks natural, tidak dalam

bentuk yang terfragmentasi. Dalam pendekatan penelitian ini, subjek dan objek

tidak dapat dipisahkan serta aktif bersama dalam memahami berbagai fenomena.81

Melalui pendekatan ini, penulis akan berusaha menemukan fenomena-

fenomena dalam pemberlajaran di MAN IC Serpong yang di dalamnya terdapat

pendidikan progresif John Dewey.

Adapun yang dijadikan subyek dalam penelitian ini adalah:

a. Kepala madrasah, sebagai informan terkait gambaran umum madrasah dan

pemahaman tentang konsep pendidikan progresif John Dewey serta bentuk

pelaksanaannya di Madrasah

b. Kepala tata usaha MAN IC Serpong yang dalam hal ini sebagai nara sumber

terkait guru, data guru, data siswa dan dokumen sekolah yang sekiranya

penulis butuhkan.

75Menurut Jujun S. Suriasumantri, salah satu obyek penelitian itu adalah ide

merupakan gagasan manusia. Gagasan manusia itu meliputi antara lain filsafat, etika,

estetika, dan teori ilmiah. M. Deden Riwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam,

(Bandung: Nuansa, 2001), Cet. Ke-I, h. 75-76 76Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2001), cet. Ke-I, h. 45 77Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h.

42-43 78Abuddin Nata, Metodologi …, h. 45 79Pendekatan filosofis dalam perspektif metode penelitian filsafat dilakukan dengan

cara menggunakan segala unsur metodis umum yang berlaku bagi pemikiran filsafat. Anton

Baker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,

1990), h. 63-65 80Amirul Hadi dan Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Bandung: Pusakan

Setia), h. 67 81 Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset,

2012)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 39: Pendidikan Progresif John Dewey

29

c. Para guru dari beberapa guru bidang studi dan beberapa siswa MAN IC

Serpong.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: bab pertama

merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini, penulis mengemukakan uraian latar

belakang masalah, dari latar belakang masalah tersebut, permasalahan dalam

penelitian ini dibagi menjadi tiga poin yaitu identifikasi masalah, batasan

masalah dan rumusan masalah. Kemudian penelitian terdahulu yang relevan, dan

manfaat penelitian. Termasuk di dalam uraian pendahuluan adalah hal-hal yang

berhubungan dengan metode penelitian yang digunakan, serta sistematika

penulisan yang menjadi garis besar materi dalam sebuah penelitian sebagai bagian

akhir dari uraian bab ini.

Selanjutnya Bab kedua, membahas tentang pendidikan pendidikan

progresif yang ditinjau dari berbagai perspektif. Dalam kajian ini diawali dengan

wacana pendidikan progresif dalam perspektif para ilmuan. Selain dari perspektif

para ilmuan, dirasa penting juga untuk menuliskan tentang bagaimana dasar dan

landasan pendidikan pendidikan progresif dalam al-Qur’an, dengan tujuan untuk

menegaskan konstruksi dari pendidikan progresif itu sendiri, sehingga

pemahaman-pemahaman selanjutnya bisa menjadi fokus. Yang selanjutnya

diarahkan kepada: nilai-nilai pendidikan progresif, yaitu membahas tentang dasar

dan awal berkembangnya pendidikan pendidikan progresif dalam ranah pendidikan

di Indonesia. Kedua nilai-nilai dan dasar pendidikan progresif dalam al-Qur’an

sebagai sumber dan rujukan pendidikan agama. Alasan dari pengambilan teori-

teori tersebut adalah karena pada pendidikan progresif menempatkan suatu

kemajuan dalam belajar dan tekhik mencapai kebebasan peserta didik menjadi

fokus utama dalam pendidikan berkualitas. Dalam kontek perkembangan lembaga

pendidikan mayoritas memakai pendidikan pendidikan progresif memberikan efek

kemajuan lembaga pendidikan yang berkualitas.

Bab ketiga membahas tentang gambaran umum MAN I IC Serpong, serta

komponen pendidikannya. Pada bab ini terdapat informasi data yang

menggambarkan kondisi implementasi pendidikan progresif pada lembaga

pendidikan MAN I IC Serpong, yaitu membahas profil dan gambaran MAN IC

Serpong, Visi dan Misi MAN IC Serpong, Tujuan MAN IC Serpong, target dan

strategi MAN IC Serpong, Motto MAN IC Serpong, budaya MAN IC Serpong,

profil kompetensi lulusan, data MAN IC Serpong. Poin penting pembahasan ini

menggambarkan bahwa MAN Insan Cendikia selanjutnya“Pembahasan

selanjutnya yaitu bab keempat. Pembahasan bab ini adalah menggambarkan

tentang model-model Pembelajaran di MAN Insan Cendikia yang akan melahirkan

kesimpulan bahwa pembelajaran di MAN para pendidik di sana sebagai

motivator, fasilitator sehingga para peserta didik mampu memecahkan masalah

dalam pembelajaran, selanjutnya MAN sebagai madrasah unggul dan bermutu.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 40: Pendidikan Progresif John Dewey

30

Bab keempat membahas bagaimana pandangan pendidikan progresif

tentang kurikulum, pendidikan, peserta didik, belajar, tujuan pendidikan dan apa

saja kekurangan dan kelebihan dari pemikiran John Dewey yang dapat

meningkatkan kebebasan siswa untuk mendorong siswa menjadi lebih kreatif,

inovatif dalam pembelajaran di kelas. Dan pada akhirnya terdapat kesimpulan

yang berfungsi pendidikan progresif sebagai sebuah jalan untuk mencapai

kesuksesan sekolah.

Bab terakhir adalah bab keenam, pada bab ini berisi kesimpulan, hasil dari

penelitian yang dilakukan kurang lebih sepuluh bulan (mulai dari bulan januari-

november 2018), kemudian implikasi apa yang diharapkan yang selanjutnya

terdapat rekomendasi-rekomendasi sebagai studi pendalaman yang tentu saja akan

dijadikan tolok ukur model pendidikan pendidikan progresif di Indonesia.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 41: Pendidikan Progresif John Dewey

31

BAB II

EPISTIMOLOGI PENDIDIKAN PROGRESIF JOHN DEWEY

DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN RELEVANSINYA BAGI

PENDIDIKAN ISLAM

Bab ini mengemukakan wacana tentang pendidikan progresif dalam

perspektif pendidikan Islam, dasar dan landasan dalam al-Qur’an, makna

pendidikan progresif John Dewey. Hal ini dirasa penting untuk dibahas,

mengingat Indonesia adalah negara yang berkembang, jika pendidikan yang ada di

Indonesia tidak dimanage dengan baik maka pasti akan terjadi degradasi

pendidikan kalau sudah terjadi degradasi pendidikan maka berpengaruh kepada

moralitas sumber daya manusia yang tidak bermoral. Di sinilah peran penting

pendidikan sebagai salah satu sarana untuk memajukan tingkat pendidikan di

mata dunia. Dengan demikian dibutuhkan suatu model pendidikan yang telah

ditawarkan oleh tokoh pendidikan yaitu John Dewey.

Menurut John Dewey pendidikan progresif bertujuan umum yaitu warga

masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang studi

seperti; IPA, Sejarah, keterampilan serta hal-hal yang berguna atau yang langsung

dirasakan oleh masyarakat. Pendidikan progresif tidak menghendaki adanya mata

pelajaran yang diberikan secara terpisah, tapi harus disampaikan secara

terintegrasi dalam unit. Karena perubahan yang selalu terjadi maka diperlukan

fleksibilitas dalam pelaksanaannya, dalam artian tidak kaku, tidak menghindar

dari perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu, bersifat ingin tahu, toleran dan

berpandangan luas serta terbuka.1

1La Rajab, Filsafat Pendidikan Islam (Suatu Analisis Filosofis Pemikiran

Pendidikan Islam), Jurnal Biology Science & Education (2014)

Page 42: Pendidikan Progresif John Dewey

32

Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang kata progresif, jika ditambah

dengan akhiran -isme maka menjadi progressivisme. Progressivisme merupakan

salah satu aliran dari filsafat pendidikan dan perlu dikemukakan aliran-aliran yang

ada di filsafat pendidikan. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama aliran essensialisme, aliran ini merupakan aliran yang didasari

nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Pada zaman

renaissance inilah aliran Essensialisme mulai muncul, dengan ciri-ciri utama yang

berbeda dengan progresif, aliran ini memandang bahwa pendidikan harus berpijak

pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan nilai-nilai yang mempunya tata yang

jelas.2 Aliran essensialisme ini ialah suatu aliran filsafat yang mengharapnya

kembali manusia kepada kebudayaan lama. Aliran ini menanggap bahwa

kebudayaan menganggap perbudayaan berpekerti baik. Essensialisme modern

dalam pendidikan merupakan bentuk proses dari skeptisisme dan sinisme dari

progresif terhadap nilai-nilai yang terletak pada warisan budaya. Tokoh yang

terdapat pada aliran Essensialisme yakni George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-

1831) mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi

suatu pemahaman yang mnggunakan landasan spiritual, Hegel juga berpendapat

bahwa sejarah adalah manifestasi dari berfikirnya Tuhan, yang berfikir dan

mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia yang

nyata dalam arti spiritual. Berbeda dengan George Santayana yang memadukan

antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa yang mengatakan

bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan konsep tunggal, karena minat yang

kualitasnya ditentukan oleh seorang tersebut. Idealisme menjunjung asa otoriter

atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat

menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).

Pandangan essensialisme dan penerapannya di bidang pendidikan

mengenai belajar essensialisme sebagai filsafat hidup memulai tinjauan terhadap

pribadi individu, bahwa seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah

memahaminya sendiri. Segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui

indera memperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman terlebih

dahulu (Immanuel Khan). Seorang filosof dan ahli sosiologi yang bernama Roose

L.Finney menerangkan tentang hakikat sosial dari kehidupan mental. Dengan

keadaan rohani yang pasif, oleh karena itu disebut mental. Jadi belajar adalah

menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru

yang timbul uantuk ditambah dan dikurangi serta diteruskan kepada angkatan

berikutnya.

Pada dasarnya, filsafat pendidikan esensialisme bertitik tolak dari

kebenaran yang dianggap telah terbukti selama berabad-abad lamanya. Jika dilihat

dari segi proses perkembangannya, esensialisme merupakan perpaduan antara ide-

2Nilai-nilai sangat penting dalam pendidikan. Lihat: Nyong Eka Teguh Iman

Santosa (2012). Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Akhir Zaman. Universitas

Muhammadiyah Sidoarjo.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 43: Pendidikan Progresif John Dewey

33

ide filsafat idealisme dan realisme. Aliran tersebut akan tampak lebih mantap dan

kaya akan ide-ide, apabila hanya mengambil salah satu dari aliran atau posisi

sepihak. Pertemuan dua aliran tersebut bersifat elektik, yakni keduanya berposisi

sebagai pendukung, tidak ada yang melebur menjadi satu atau tidak melepaskan

identitas dan ciri masing-masing.3 Esensialisme yang bekembang pada zaman

renaissance mempunyai tinjauan yang bebeda dengan progresif, yaitu mengenai

pendidikan dan kebudayaan.

Kedua, aliran parennialisme. Pada zaman kehidupan modern saat ini

banyak hal yang menimbulkan krisis berbagai bidang kehidupan manusia,

terutama dalam bidang pendidikan. Aliran ini dianggap sebagai “regresif road to culture” yaitu kembali, mundur kepada masa lampau. Parennialisme memberikan

pemecahan dengan jalan “kembali kepada kebudayaan masa lampau”, kebudayaan

yang dianggap ideal. Karena itu parennialisme memandang pendidikan sebagai

jalan kembali, atau proses pengembalian keadaan manusia sekarang serta

kebudayaan ideal yang dimaksud “education as cultural regression” Parennialisme

memilih prinsip demikian karena realita zaman modern memberi alasan obyektif,

memberi kondisi atau pilihan itu. Aliran ini berharap agar manusia dapat

memahami ide sebagai suatu asa yang komprehensif. Pandangan parenialisme

tentang belajar, tuntutan tertinggi dalam belajar menurut parennialisme, adalah

latihan dan disiplin mental. Maka, teori dan praktik pendidikan mengarah kepada

tuntutan tersebut. Teori dasar menurut aliran parennialisme: mental disiplin

sebagai teori dasar, menurut parennialisme berpendapat salah satu kewajiban

tertinggi dalam belajar, atau keutamaan dalam proses belajar. Rasionalitas dan

asas kemerdekaan, Asas berfikir ini harus menjadi tujuan utama pendidikan,

otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Fungsi belajar harus

diabdikan bagi tujuan itu, yaitu aktualisasi diri manusia sebagai makhluk rasional

yang bersifat merdeka. Learning to reason (belajar untuk berfikir), Parennialisme

tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidik

anak. Kecakapan membaca, menulis, dan berhitung merupakan landasan dasar.

Dan berdasarkan pertahanan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok

pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Filsafat pendidikan

parennialisme mempunyai empat prinsip dalam pembelajaran secara umum yang

mesti dimiliki manusia, yaitu: 1. Kebenaran bersifat universal dan tidak

tergantung pada tempat, waktu, dan orang. 2. Kebenaran dapat ditemukan dalam

karya-karya agung. 3. Pendidikan adalah kegiatan liberal untuk mengembangkan

nalar. 4. Pendidikan yang baik melibatkan pencarian pemahaman atas kebenaran.

Ketiga aliran eksistensialisme, aliran eksistensialisme merupakan filsafat

dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomenologinya, yang dikemukakan

oleh Hussel (1813- 1938). Aliran ini dikemukakan oleh filsafat Jerman Martin

Heldegger (1889-1938). Manusia dapat menjadi individu yang autentik jika

3Muhammad Anwar, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Group As’adi

2015)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 44: Pendidikan Progresif John Dewey

34

memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan, itu yang

dikemukakan oleh Kiergaard. Eksistensialisme merupakan filsafat yang

memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara

manusia berada di dunia. Jadi, aliran eksistensialisme dapat disimpulkan bahwa

aliran yang memandang bahwa tidak ada alam semesta selain alam manusia. 1.

Tujuan pendidikan, tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu

agar mampu mengembangkan semua potensi untuk pemenuhan diri dan memberi

bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. 2.

Peran guru, melindungi dan memelihara kebebasan akademik, dimana mungkin

guru pada hari ini, besok lusa menjadi murid. Para guru harus memberi kebebasan

terhadap siswa untuk memilih dan memberi mereka pengalaman yang akan

membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. 3. Peserta didik,

aliran eksistensialisme ini memandang siswa sebagai makhluk rasional dengan

pilihan bebas tanggung jawab atas pilihannya. Di dalam aliran ini para siswa juga

dipandang sebagai makhluk yang utuh yaitu akal pikiran, rohani, dan jasmani yang

seluruhnya itu merupakan kebulatan dan semua itu perlu dikembangkan.

Keempat aliran progressivisme, aliran progressivisme dapat diartikan

aliran yang mengharapkan perubahan secara cepat, dalam aliran ini

memprioritaskan akan bahwa pendidikan bukan hanya kumpulan pengetahuan

kepada peserta didik, tetapi juga kepada pendidikan karakter dan kemampuan

berfikir sehingga dapat berfikir secara sistematis dengan beranalisis untuk

memecahkan masalah yang ada.4

Dalam pendidikan progresif juga pandangan hidup yang mempunyai sifat-

sifat : 1. Fleksibel ( tidak kaku, tidak menolak perubahan, dan tidak terikat ikatan

tertentu ) 2. Curious (ingin mengetahui, ingin menyelidik) 3. Toleran dan open-

minded pendidikan progresif. Dalam ini proses belajar mengajar di kelas ditandai

dengan beberapa hal diantaranya :

1. Merencanakan pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan

2. Pembelajaran yang berinteraksi langsung dengan alam

3. Pembelajaran yang mengasah pola fikir terhadap peserta didik

4. Mengajarkan pembelajaran sosial yang peka terhadap lingkungan sisoal

5. Pendidikan sebagai modal utama untuk berkembang. Prinsip dasar

progresivisme menurut pendapat George F Kneller “pendidikan harus lebih

aktif dan terfokus kepada minat bakat peserta didik, peran guru yang lebih

spesifik kepada penasehat terhadap peserta didik. “Pemikiran Progresif dan

penerapannya di bidang pendidikan antara lain: memberikan kebebasan

peserta didik secara fisik maupun pola pikir, untuk membantu

mengembangkan bakat dan kemampuan dari peserta didik. Oleh sebab itu

aliran ini tidak mendukung pendidikan secara otoriter, memberikan sistem

kurikulum yang bersifat fleksibel dan terbuka, sehingga sistem kurikulum

4Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, ( Pekanbaru: LSFK2P, 2005), h. 161-

162

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 45: Pendidikan Progresif John Dewey

35

dapat dirubah dan dipergunakan sesuai zamannya, memberikan pembelajaran

secara utuh dan tidak terpisah. Dalam tahap ini diharapkan supaya peserta

didik berkembang secara utuh baik dari segi fisik, psikis, kognitif, efektif dan

juga psikomotorik.

Progresif menganggap bahwa pendidikan penuh dengan fleksibilitas, serba

terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran,

serta nilai-nilai yang dimilikinya dapat berubah dan berkembang. Oleh karena itu,

aliran esensialisme memandang bahwa pendidikan bertumpu pada dasar

pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk yang dapat menjadi sumber

timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah, tidak

menentu dan kurang stabil. Maka dari itu, idealnya pendidikan harus berpijak di

atas nilai-nilai yang sekiranya dapat mendatangkan kestabilan, telah teruji oleh

waktu, tahan lama, serta nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan telah terseleksi.

Adapun nilai-nilai yang dianggap dapat dijadikan pijakan, yaitu nilai-nilai yang

berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif. Puncak refleksi dari gagasan

ini adalah pada pertengahan abad kesembilan belas5.

Jika menyinggung filsafat pendidikan tentunya ada filsafat pendidikan

barat dan Islam, dari keempat aliran itu merupakan filsafat pendidikan barat,

adapun filsafat pendidikan Islam dalam hal ini mengemukakan filsafat pendidikan

Islam yang kita kehendaki adalah suatu pemikiran yang serba mendalam,

mendasar, sistematis, terpadu dan logis serta menyeluruh tertuang dan tersusun ke

dalam suatu bentuk pemikiran atau konsepsi sebagai suatu sistem di mana sistem

itu adalah suatu keseluruhan yang bulat yang terdiri dari sub-sub sistem (bagian-

bagian atau komponen-komponen) yang satu sama lain mempunyai kaitan

pengertian sebagai suatu kebulatan yang utuh. Bila dihubungkan dengan Islam

jelas bahwa falsafah tersebut merupakan pemunculan atau perwujudan dari

berbagai sumber daya fikiran, perasaan dan kemauan yang bersumberkan pada

ajaran Agama Islam yang dinyatakan oleh ahl fikir yang bernafaskan atau bersendi

kan Islam disepanjang waktu, tempat dan zaman.

Mengingat karena filsafat pendidikan Islam adalah filsafat tentang

pendidikan yang tidak dibatasi oleh lingkungan kelembagaan Islam saja atau oleh

ilmu pengetahuan dan pengalaman keislaman semata-mata, melainkan

menjangkau segala ilmu dan pengalaman yang luas, seluas aspirasi masyarakat

muslim, maka pandangan dasar yang dijadikan titik tolak studinya adalah ilmu

pengetahuan teoritis dan praktis yang mencakup dalam berbagai bidang keilmuan

yang ada hubungannya dengan persoalan kependidikan yang ada dan yang akan

ada dalam masyarakat yang berkembang terus tanpa mengalami suatu

kemandekan. Dan inilah yang merupakan salah satu ciri masyarakat modern

sekarang, di mana dinamika hidupnya terus maju dan melaju sesuai dengan

tuntutan kebutuhan hidupnya yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.

5Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi

Offset, 1997)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 46: Pendidikan Progresif John Dewey

36

Mengikuti dan memback-up masyarakat yang bertendensi ke arah

perubahan sosial yang menyeluruh itulah yang merupakan salah satu tugas studi

filsafat pendidikan Islam, sebab ia harus mampu menyerap dan

mengakomodasikan serta mampu menginterpretasikan segala tuntutan zaman dari

masyarakat. Tentunya segala sesuatu harus dipelajari atas dasar sikap selektif

terhadap segala gejala kemajuan dan perkembangan yang tidak menyalahi kaidah-

kaidah Islam, dan tidaklah berlebihan jika penulis mengatakan bahwa di sinilah

keuntungan kita karena agama berwatak dan berkemampuan untuk melakukan

akulturasi dan bahkan dalam batas-batas tertentu dapat melakukan akomodasi

terhadap segala gejala cultural yang diterima secara selektif. Oleh sebab itu sikap

dinamis dan fleksibel Islam sebagai agama dan kebudayaan dan ruang lingkup

perluasan pemikiran falsafah pendidikan sampai jauh ke depan sedalam dan seluas

di masa kini, lampau, sejalan dengan nilai-nilai yang mendasarinya.

Terbukti dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam tentang gejala

hidup duniawi dalam segala bidang, para filosof muslim dapat mengungkapkan ke

dunia Barat pada khususnya bahwa Islam ternyata tidak hanya malacak masalah-

masalah keagamaan semata, melainkan juga menggerakkan aspirasi manusia

dalam penggalian ilmu pengetahuan yang oleh dunia saat ini tetap diingat sebagai

basis pengetahuan yang berdaya untuk dikembangkan seperti halnya ilmu al-

Jabba>r penggali utamanya adalah Ibnu Jabir dari Afrika Utara, ilmu optik yang

pernah digali oleh ar-Ra>zi. Selain itu beberapa pemikir tentang Pendidikan Islam

yang tercatat dalam sejarah seperti pendiri sekolah-sekolah yang terkenal antara

lain; Nuruddin Zanky dan Nidza>m al-Mulky yang hidup di zaman Ha>run al-Rasyi>d

abad IV H. yang pernah merintis ke arah pendidikan formal berupa sekolah yang

diiringi dengan metode pengajaran yang student centered pada masanya.

Itu artinya sejarah telah menorehkan jauh sebelum zaman John Dewey

pada dasarnya Islam telah menggunakan metode student centered, hanya saja

tidak diungkap dan kurang dikenal sebagaimana yang telah ditawarkan oleh John

Dewey. Senada dengan hal itu menurut Suwito, institusi pendidikan Islam pada

zaman khali>fah al-Ma’mun (813-833 M) telah mempraktikkan konsep pendidikan

progresif di Bayt al-Hikmah.6 Konsep itu antara lain: Pertama, nilai-nilai

kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan kesetaraan, Kedua, perbedaan

kultural dan agama bukan penghalang dalam melakukan penerjemahan7 dari

konsep itu implikasinya bahwa pendidikan progresif bebas berekspresi artinya

bebas berfikir tanpa batas karena peserta didik memiliki potensi masing-masing,

6 Suwito, et.al, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2005), h.88 7 Para penerjemah yang memiliki perbedaan etnik kulturaldan agama, yaitu: 1)

Abu Sahl Fazhl bin Nawbakht, berkebangsaan Persia; 2) Alan al-Syu’ubi, brekebangsaan

Persia; 3) Yuhanna (John) bin Masuya, berkebangsaan Syiria; 4) Hunayn bin Ishak,

beragama Kristen Nestorian dari Hirah; 5) Qutha bin Luqa, beragama Kristen Yacobite; 6)

Abu Bisr Matta ibn Yunus, beragama Kristen Nestorian; 7) Ishak bin Hunayn beragama

Kristen Nestorian, dan 8) Hubaish beragama Kristen. Suwito, et al, Sejarah Sosial

Pendidikan Islam... h.29

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 47: Pendidikan Progresif John Dewey

37

open minded artinya keterbukaan atau transparan tidak ada perbedaan antara

peserta didik dan pendidik semua sama sebagai pembelajar. Adapun perbedaan

kultural tidak melihat dari mana latar belakang mereka sebagai pembelajar entah

itu seorang petani, pekerja, tukang jahit, tukang sepatu dan lain sebagainya,

semua mereka berkumpul ingin belajar yang nantinya akan dibentuk kurikulum

yang sesuai dengan dengan potensi mereka masing-masing. Di sinilah peran

pendidikan Islam untuk mengingatkan bahwa yang dituju oleh al-Qur’an bukanlah

Tuhan in himself dan as-sunnah dan juga manusia dan tingkah lakunya8 Apa yang

dijelaskan oleh Suwito, menunjukkan bahwa jauh sebelum pendidikan Islam

masuk ke ranah modernitas, pendidikan Islam telah berbicara banyak tentang

pendidikan progresif. Sehingga apa yang telah diterapkan pada zaman khali>fah al-

Ma’mu>n tersebut, bisa dijadikan contoh atau rujukan dalam

mengimplementasikan sekaligus bisa menjadi sebuah tawaran yang akan merubah

pendidikan di Indonesia lebih baik dan maju lagi.

A. Munculnya Pergerakan Progresif

Pada tahun 1890-an, bangsa Amerika berjuang dengan sebuah krisis

kepemimpinan dan identitas. Sebuah kesederhanaan menyucikan pandangan yang

dikaitkan dengan perkampungan dan batas Amerika hilang di bawah pengaruh

urbanisasi dan industrialisasi, dan tidak ada jalan untuk mengembalikan yang

hilang tersebut. Di samping itu, bahkan mesin, pabrik, dan kota telah membawa

kemakmuran, adalah sulit bagi rata-rata warga untuk mempercayai kekuatan baru

ini. Isu ini sangat luas dalam pikiran Dewey dan kolega barunya di Universitas

Chicago.9

Beberapa pakar Amerika, seperti ahli sejarah Frederick Jackson Turner,

melihat lenyap batas tersebut seperti sebuah kehilangan yang tragis bagi negara.

Kekuatan urbanisasi dan industrialisasi adalah menghasilkan sebuah civilisasi

yang didasari dari alam, kata Turner, dan hasil akhir akan tidak dapat dielakkan

menjadi kemunduran dan dekadensi. Di Universitas Yale, William Graham

Sumner melihat masalah tersebut sangat berbeda. Seruan pada pandangan

evolusioner Herbert Spencer yang optimistik, dia mengkombinasikan sentuhan

setengah sosial Darwin dengan sebuah keyakinan dalam kemajuan sosial. Sumner

berargumen bahwa sebuah kebijakan ekonomi pasar dan bertahan pada kepantasan

tersebut adalah makna yang benar bagi kebebasan orang Amerika yang demokratis

dan kehidupan yang harmonis dengan alam demikan juga membutuhkan kondisi

perkembangan ekonomi. Pandangan Sumner membangkitkan respon yang antusias

diantara pemimpin industri dan finansial Amerika, tetapi pasar pada tahun 1890-

8Fazlur Rahman menjelaskan bahwa, yang dituju oleh al-Qur’an bukanlah Tuhan,

melainkan manusia dan tingkah lakunya. Fazlur Rahman, Tema-Tema al-Qur’an,

terjemahan Anas Mahyuddin, (Bandung:Pustaka, 1993) 4 9 Steven C. Rockefeller, John Dewey: Religious Faith and Democratic Humanism,

(New York: Columbia University Press, 1991), h.221.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 48: Pendidikan Progresif John Dewey

38

an jelas dimaksudkan sebuah tujuan untuk merealisasi sebuah harapan ideal

Jefferson tentang sebuah republik yang semua warna kulit adalah sama dan bebas

secara bersama menjanjikan sebuah pemerintahan sendiri. Mark Twain

menyimpulkan bahwa tidak ada kehidupan yang dekat dengan alam dan demikian

juga kemajuan teknologi yang ilmiah akan memecahkan masalah-masalah tersebut

yang dihadapi Amerika, karena masalah utamanya adalah keterbatasan-

keterbatasan dan kelemahan-kelemahan sikap manusia kita. Dalam pandangan

Mark Twain, sumber kejahatan adalah berkedudukan di dalam sikap manusia itu

sendiri. Itulah awal kemunculan gerakan progresif sebagai sebuah kekuatan politik

pada masa tersebut yang meninggalkan bangsa keluar dari kebingungannya dan

memberikannya sebuah pemimpin dan rasa percaya diri yang baru. Progresif

adalah dibuat lebih energik, optimistik, mencerahkan pemuda Amerika middle-class seperti Jane Addams dan John Dewey, yang selama 1880-an dan 1890-an

yang secara bertahap bergerak menuju kepada cara berpikir baru tentang situasi

Amerika. Mereka melihat tidak ada rasa mencoba untuk memelihara sebuah masa

lalu yang telah pergi. Mereka mengharapkan masa depan. Mereka percaya bahwa

lingkungan urban industri itu sendiri menyiapkan Amerika pada sebuah batas

tantangan baru dengan kemungkinan yang besar.

John Dewey sebagai pakar filsafat pendidikan. Selain itu, Dewey juga

dikenal sebagai seorang filosof naturalistic, Dia mencari objek penjelasannya dan

kejadian-kejadian yang dapat diperoleh oleh indera kita yang berkenaan dengan

fenomena alam. Dia menolak penjelasan-penjelasan yang bersifat supernatural.

Dia percaya kepada method of science dan mendorong manusia untuk

mempergunakan dalam aktivitasnya. Dalam filsafat pendidikannya, Dewey

dipengaruhi oleh idealisme seorang filosof German yang sangat terkenal, yaitu

George Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel percaya bahwa hanya pikiran dan

pemikiran manusia yang nyata melalui partisipasi dalam semangat universal,

menuju proses dialektika terhadap pemecahan kembali yang bertentangan melalui

sintesis.10 Selain Hegel, yang mewarnai perjalanan pemikiran Dewey, adalah

William James dengan pragmatismenya juga merasuki perjalanan pemikirannya.

Artinya, dia menolak pandangan yang mengatakan bahwa kebenaran itu pasti,

tetap dan tidak berubah. Kebenaran itu pada dasarnya ditentukan dari sebuah

hasil idea. Pada abad ke XX, bentuk pandangan pragmatisme yang lebih umum

dan merata telah dikonstruk oleh John Dewey, pandangan tersebut, kadang-

kadang dikatakan dengan istilah instrumentalism. Dewey, sebagai pemikir

Amerika yang sangat berpengaruh pada masanya, mengembangkan sebuah teori

pengetahuan yang didasarkan pada bidang biologi dan peranan psikologi yang

memainkan peran dalam urusan-urusan kemanusiaan, dan kemudian mencoba

10 Nel Noddings, Philosophy of Education, (USA: Westview Press, Inc 1995) 24.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 49: Pendidikan Progresif John Dewey

39

untuk menerapkan konsep ini sebagai petunjuk dalam aktivitas-aktivitas

intelektual manusia terhadap masalah-masalah sosial kontemporer.11

Dalam Pendidikan, menekankan proses pendidikannya sebagai sebuah

transaksi antara person dengan lingkungannya. Progresif adalah sebuah reaksi

yang menentang pandangan tradisionalisme dalam sekolah, dan menekankan

kebebasan terhadap keinginan-keinginan dan keperluan/tuntutan si anak.

Sedangkan rekonstruktivisme berargumen bahwa sekolah-sekolah tersebut harus

memainkan peranan yang sangat penting dalam perubahan dan budaya-kritis.12

Di samping itu, filsafat Dewey biasanya juga dikenal dengan

instrumentalism atau experimentalism, yang membawa kepada suatu teori

pendidikannya yaitu learning by doing dan menentang kebiasaan belajar dan

metode-metode mengajar yang otoriter dan dogmatis. Dia mendirikan sebuah

laboratorium dan tempat workshop yang dapat mengasuh dan mengembangkan

kreativitas dan kerjasama antar siswa. Di sini Dewey mempertahankan bahwa

masyarakat yang demokratis harus menanamkan kebiasaan penyelidikan dan

antipati terhadap kekakuan dan cara-cara diktator dalam masyarakatnya.

Pemikiran Dewey diadopsi dan dirubah bentuknya dengan pergerakan pendidikan

progresif (progressive education).13

Meskipun Filsafat Hegelian mempengaruhi Dewey semasa mudanya, ini

masih memiliki dunia abadi dan absolutnya yang lebih nyata daripada proses

sementara. Ini tidak mungkin bertempat dalam pikiran Dewey, baginya semua

realitas adalah sementara, dan proses, kendali evolusioner, tidak seperti Hegel,

yang mengungkapkan ideal abadi.14 Dengan demikian, dasar pemikiran filsafat

Dewey adalah pertama sekali dibentuk oleh pengaruh absolutisme Hegel dan

naturalisme Darwin dan juga pragmatisme William James. Tetapi perlu

dipertimbangkan juga sebelum itu, bahwa perjalanan pemikiran Dewey

dipengaruhi oleh Ralph Waldo Emerson.15 Kehadiran Emerson dalam

pemikirannya bukan hanya selalu pada ketajaman dan kecepatan pikirannya, dan

pengaruh Emerson tidak dirasakan secara langsung, tetapi mulai dari karir

permulaan Dewey sampai karir berikutnya, memperlihatkan sebuah identitas yang

tersembunyi, atau dapat kita katakan sebagai sebuah semangat yang diwarisi dari

Emerson. Dengan kata lain Emerson lah yang pertama sekali memformat

11Richard H. Popkin dan Avrum Stroll (ed.), Philosophy Made Simple,(London:

Heinemann, 1992), h.268. 12Gerald L. Gutek, Philosophical and Ideological Perspectives on Education,

(New Jersey: Prentice Hall Inc., 1998), h.9. 13Lihat dalam, The Encyclopedia Americana, (USA: Americana Corporation,

1990) h.46. 14Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-

politik Zaman Kuno hingga Sekarang, alih bahasa Sigit Jatmiko dkk, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2002), h. 1068. 15 Neil Coughlan, Young John Dewey: An Essay in American Intellectual History,

(Chicago: University of Chicago Press, 1993), h.7-9.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 50: Pendidikan Progresif John Dewey

40

pemikiran Dewey, kemudian diikuti oleh Hegel, Darwin, dan William James.

Untuk memahami gagasan dan pendirian John Dewey tentang pendidikan,

sebaiknya akan dilihat falsafah hidup Dewey. Menurut Dewey, filsafat adalah

memberikan garis-garis pengarahan bagi tindakan dan kenyataan hidup. Dengan

demikian, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis

yang tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan penyelidikan

serta mengolah pengalamannya tersebut secara aktif dan kritis. Hanya dengan cara

seperti itu, filsafat dapat menyusun tatanan norma dan nilai. Menurut Dewey,

filsafat dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, malah filsafat adalah dasar bagi

teori pendidikan. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan dan

mengembangkan sikap hidup demokratis. Proses pendidikan harus dilangsungkan

dengan berpangkal pada pengalaman peserta didik sendiri, dan tidak semua

pengalaman itu berfaedah. Oleh karena itu, sekolah harus memberikan ”bahan

pelajaran” sebagai pengalaman-pengalaman yang berfaedah demi masa depan

peserta didik dan sekaligus pengalaman itu merupakan hal yang dapat dialami

peserta didik pada saat sekarang ini.

Dalam bidang filsafat, mula-mula Dewey menganut prinsip idealisme

Hegel, tetapi kemudian ia beralih kepada aliran pragmatisme William James.

Dengan demikian, bagi Dewey seluruh tindakan berpikir manusia seharusnya

mengarah kepada perbaikan hidup. Semua kebenaran mengandung perangai

pragmatis, artinya kebenaran itu disubordinasikan pada tujuan tertentu, yaitu pada

sifat alamiah manusia dan karena itu harus diuji dari segi kehidupan praktis. Jadi

suatu kriteria mutlak untuk menilai kebenaran tidak ada. Benar salahnya sesuatu

gagasan akan terbukti dari penerapannya, pada berhasil tidaknya pikiran itu dalam

praktik.

Robert B Westbrook, dalam karyanya, mengatakan bahwa John Dewey

telah menjadi seorang filosof yang sangat penting dalam sejarah masyarakat

Amerika modern, pengabdian, penyerangan dan penghormatan oleh kaum laki-laki

dan perempuan diseluruh dunia. Karirnya menjangkau tiga generasi pemikiran dan

kehidupan masyarakat Amerika, dan pemikirannya didengar di tengah

kontropersial budaya dari tahun 1890an sampai meninggalnya pada tahun 1952

dalam usia 92 tahun. Dalam karirnya yang lama ini, Dewey telah mengembangkan

sebuah filsafat, yang dikenal dengan sebutan the unity of theory and practice dan

persatuan ini telah menunjukkan karyanya sebagai aktivis politik dan intelektual

yang kritis.16

Bagi Dewey, metode filsafat adalah seperti metode science yaitu

eksperimentalisme, karena pikiran kita adalah suatu alat untuk digunakan dalam

memecahkan masalah-masalah kemanusiaan. Dewey juga salah seorang filosof

yang banyak bergelut dalam masalah-masalah pendidikan. Dengan demikian,

karya-karyanya memberikan implikasi terhadap pendidikan. Untuk itu, dapat

16Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy, (Cornell

University Press, 1991) x

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 51: Pendidikan Progresif John Dewey

41

dilihat aspek-aspek filsafat pendidkan Dewey, diantaranya adalah: pendidikan

sebagai pelestarian dan rekonstruksi; sekolah dan masyarakat, masyarakat

demokrasi dan pendidikan; eksperimen belajar dan mengajar, perkembangan/

pertumbuhan sebagai tujuan pendidikan, kurikulum yang bersifat eksperimen dan

rekonstruksi pendidikan dan pengalaman.17

Pendidikan Dewey sebuah proses kehidupan dan bukan sebuah persiapan

untuk hidup dimasa depan. Karena pendidikan merupakan sebuah metode

reformasi dan kemajuan sosial yang sangat fundamental. Dimana para pemimpin

pendidikan berbicara tentang budaya, perkembangan personaliti, dan sebagainya,

sebagai tujuan dari pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan bukanlah sesuatu

yang dipaksakan kepada anak-anak dan manusia dewasa, tetapi pendidikan adalah

pertumbahan dan perkembangan kapasitas makhluk hidup sebagai sebuah

keberkatan pada waktu lahir,18 dan juga manusia lahir telah memiliki potensi baik

dan buruk, dan juga berhubungan dengan, baik dengan lingkungan yang

berpendidikan maupun dengan lingkungan yang tidak berpendidikan, yang akan

menuntun mereka menuju kepada sebuah kehidupan yang layak.19

Ide-ide Dewey di atas, didapati beberapa persamaan dengan konsep atau

pemikiran-pemikiran pendidikan yang kemukakan oleh Rousseau, tetapi didapati

juga beberapa perbedaan. Seperti Dewey tidak percaya bahwa setiap anak yang

dilahirkan akan membawa sifat baik, demikian juga, sebagaimana kebanyakan

pendidik-pendidik agama lakukan, setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan

berdosa dan butuh kepada suatu penyelamatan. Sedangkan persamaan utama

antara Dewey dan Rousseau adalah pada penekanan mereka terhadap aktivitas dan

motivasi anak itu sendiri. Secara periodik, para pendidik memperbaharui argumen

Dewey dan Rousseau pada pewarisan aktivitas-aktivitas, dan ketika ini terjadi,

maka akan ada keinginan yang tiba-tiba yang menggerakkan di dalam kelas.

Dalam konteks yang lain, Dewey juga sering mengtakan bahwa kata education sama artinya dengan kata growth, dan kata growth tersebut merupakan salah satu

kiasan atau metafor idiologi yang sangat penting. Karena kebanyakan orang

berfikir bahwa pendidikan itu sebagai sebuah perusahaan yang mempunyai tujuan

ideal seseroang yang khusus atau way of life seseorang. Dalam konteks progresif,

yang merupakan aliran filsafat pendidikan bergaya Amerika dan berlatar belakang

filsafat pragmatisme, Dewey mengajukan bahwa system pendidikan harus

mencoba untuk mengembangkan metode-metode problem solving. Jika pelajar

mempelajari bagaimana menyelesaikan masalah, mereka akan lebih baik terhadap

kehidupan dalam merubah dunia dengan manifold perplexities and ever-new

17Gerald L. Gutek, Philosophical and Ideological Voices in Education, (Good

Read, 1988), h.83 dan 98 18Ralph B. Win (editor), Lincoln Dictionary, (New York: Philosophical Library,

Inc, 1959), h. 31-32 19Nel Noddings, Philosophy of Education, (Universitas Michigan, Westview Press,

1995), h.16

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 52: Pendidikan Progresif John Dewey

42

problem. Pendidikan seperti ini akan mencoba orang/masyarakat untuk hidup

dalam sebuah masyarakat yang demokratis, dan akan mempertahankan

perkembangan organisasi politik dan organisasi sosial seperti ini. A democratic society is one that is better able to confront new situations, and try new solutions, since it does not have any rigid or preconceived ideology.20

Selanjutnya, bagi progresif, demokrasi adalah suatu pola dan program

bagi seluruh scope kehidupan. Demokrasi adalah suatu perwujudan dari pada nilai-

nilai fundamental, sikap dan praktek-prakteknya. Demokrasi juga nilai ideal yang

wajib dilaksanakan sepenuhnya dalam semua bidang kehidupan termasuk didalm

seni dan keagamaan. Dilihat dari segi ontology, demokrasi adalah pengalaman

dinamis dan interdependensi antara sesama manusia. Karena demokrasi adalah

jalan keluar, kanalisasi bagi dorongan-dorongan yang dalam pada setiap pribadi.

Seperti self-respect, martabat, hasrat bersatu, dan rasa tanggungjawab dalam

kehidupan manusia. Dari segi epistemologi, demokrasi adalah benih dan buah dari

pada praktek-praktek intelegensi21 yang luas.karena demokrasi merupakan usaha

mencari nilai-nilai kebenaran seperti proses ilmu pengetahuan dalam mencari

kebenaran. Dengan kata lain, demokrasi adalah ide-ide, pemikiran-pemikiran yang

dilaksanakn di dalam pergaulan sosial. Dalam arti yang ideal, demokrasi

merupakan jalan menuju kepada kebahagiaan, nilai indiviudal, dan sekaligus nilai

sosial. Selain itu, dalam bidang pengetahuan politik, Pemikiran Dewey dimulai

dari karir profesionalnya, sampai setelah pensiunnya dari tugas-tugas akademik,

Dewey adalah perwujudan intelektual publik. Pada periode perang dunia kedua

pada abad ke-20, secara khusus penting sebagai sebuah contoh perjanjiannya

secara sistematis yang berhubungan dengan pertemuan tantangan filsafat ketika

Dewey berusaha untuk menghubungkan dengan persoalan-persoalan men dan

women. Itu sudah berjalan satu periode dimana kaum liberal Amerika melalui

rekonstruksi yang sangat signifikan, baik teori mapun praktek. Dewey telah

memberikan sebuah suara yang sangat signifikan dalam perbendaharaan politik

Amerika. Selama periode ini, Dewey mengabdikan dirinya untuk memperhalus

teori politiknya dan mengembangkan implikasi-implikasi filsafat sosialnya dalam

sebuah seri karyanya yang disusun sekitar persoalan-persoalan politik yang

sepesifik. Sebagai seorang Filosof yang sangat terkenal di Amerika, Dewey juga

salah seorang pendiri aliran pragmatisme, sebagai seorang penggerak filsafat di

Amerika, Dewey sendiri suka dipanggil sebagai instrumentalism. Pada tahun

1979, Richard Rorty mengatakan dalam bukunya Philosophy and the Mirror of Nature, bahwa Dewey demikian juga Heidegger dan Wittgenstein, adalah satu

dari tiga filosof yang sangat penting di negara kita.22

20 Richard H. Popkin dan Avrum Stroll (ed), Philosophy Made Simple (New York:

Crown Publishing, 1992), h.270 21Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan

Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 2006), h. 248. 22Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature: Thirtieth-Anniversary Edition,

(New York, Princeton University Press, 1979), h.5

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 53: Pendidikan Progresif John Dewey

43

Dari salah satu karya monumentalnya, Democracy and Education, disitu

jelas menunjukkan bahwa Dewey melihat filsafat pendidikan sebagai hati dari

semua filsafat, tidak hanya sebagai salah satu cabang dari filsafat. Tentu,

Pendidikan adalah hasratnya. Sementara itu, para pendidik liberal telah memuji

Dewey tentang pemikiran pendidikan progresifnya, dan para konservatif

menyalahkannya tentang hilangnya respek tradisi intelektual dan mutu

akademik.23 Sebagai pendidik, Dewey telah membagun sebuah sekolah experimen,

yang kemudian dikenal dengan Laboratory School. Dalam sekolah tersebut,

Dewey telah menempatkan pendekatan tentang keahlian-keahlian yang praktis,

seperti memasak, berkebun, menyapu, bertukang (kayu), ini diberikan untuk kelas

rendah. Di samping itu, sekolah ini juga melayani mereka sebagai pekerja. Lebih

jauh lagi, fokusnya adalah tentang hubungan antara kehidupan diluar sekolah

dengan aktivitas-aktivitas sehari-hari, kemudian tentang seni bakat alami yang

aktivitas-aktivitasnya itu muncul secara ideal.24 Kepakaran dan keterlibatan

Dewey dalam berbagai dimensi kehidupan dan keilmuan telah membuatnya, tidak

hanya terpaku di kursi akademik, tetapi juga peduli pada unsur-unsur atau

kegiatan-kegiatan diluar akademik, yaitu politik dan sosial kemasyarakatan.

Sehingga, baginya, melihat demokrasi sebagai bentuk associated living sesuai

dengan metode sains, dan Dewey, khsusunya, tertarik dengan koneksi antara

demokrasi dan pendidikan. Dalam bukunya yang sangat komfrehensif tentang

pendidikan, democracy and education, Dia telah mengeksplor koneksi-koneksi ini

secara serius.25

Demokrasi26 masyarakat Amerika akan menemukan penerimaan dalam

demokrasi industri. Mereka dengan antusias merangkul Darwin, tetapi mereka

menolak sosial Darwin dan pasar terhadap cabang pembaharuan Darwin yang

meletakkan keyakinan dalam perencanaan sosial dan sains sosial. Dalam

pandangan mereka, tidak ada ide, hukum, atau institusi adalah sebuah ketetapan

yang absolut diatas kritisme dan di samping perubahan. Manusia/makhluk hidup

dalam sebuah proses perkembangan sejarah boleh dan harus mengubah

lingkungan sosial demikian juga membetulkannya. Kaum progresif tidak

menggunakan ide-ide yang usang. Mereka percaya bahwa individu-individu

dengan sosial yang alamiah akan menemukan makna dan kebebasan dalam

masyarakat yang bekerja bersama secara koperatif, terlebih dalam sebuah

23Alan Ryan, John Dewey and the High Tide of American Liberalism, (dalam

Journal PhilPapers, Entries 475, 1995), h.340 24Philip W. Jackson, The Moral Life of Schools, (Jossey-Bass Inc U.S, 1998) 166 25 Nel Noddings, Philosophy of Education .... h.34 26Lihat dalam The New Encyclopaedia Britanica, vol. 4, Micropaedia,Ready

Reference, Encyclopedia Britania Inc. (Chicago: University of Chicago Press, 1988) 5; lihat

juga dalam Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, alih bahasa: Wahib

Wahab, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), 71; lihat juga Robert A. Dahl, Perihal

Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara singkat, alih bahasa: A.

Rahman Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obro Indonesia, 2001), h.13-14.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 54: Pendidikan Progresif John Dewey

44

kompetisi yang brutal. Lagi pula, batas masyarakat Amerika yang baru meliputi

sosial dan kekuatan ekonomi yang tidak mungkin individu akan mengatur seperti

seorang individu. Apa yang dibutuhkan adalah regulasi pemerintah tentang

ekonomi dan sebuah rekonstruksi yang utama tentang institusi-institusi sosial

yang akan menghapuskan ketidakadilan, dan mendorong orang dengan

kecenderungan alami mereka untuk berkerjasama. Kejahatan ada, tetapi akan

dipecahkan oleh transfer lingkungan sosial dan pendidikan yang universal.

Nampaknya diberikan sumber alam yang tidak ada batasnya dan sebuah sistem

industri yang mampu memproduksikan secara berlimpah kepada semua orang,

kaum progresif menegaskan kembali kemajuan keyakinan masyarakat Amerika.

Mereka bermimpi akan menempati dunia baru yang bercita-cita tinggi pada

sebuah masyarakat demokrasi yang memenuhi syarat untuk membebaskan

penekanan dan korupsi yang tumbuh dari tradisi-tradisi dunia lama yang feodal

dan otoriter. Untuk membentuk tugas mereka, mereka perlu alat-alat kritik sosial

yang baru dan metode-metode perubahan sosial yang baru. Kecerdasan, sains, dan

pendidikan yang berdampingan dengan keyakinan moral dan usaha yang koperatif

akan memecahkan masalah tersebut.

Bagi Dewey, demokrasi tidak terbatas pada sebuah bentuk pemerintahan

tertentu, di mana rakyat secara umum memilih pemimpinnya, seperti memilih

wakil

rakyat, presiden, gubernur, bupati dan lain-lain. Bentuk pemerintahan ini secara

bergilir melaksanakan sebuah seri dari prosedur-prosedur dan institusi-institusi,

yaitu seperti pemilihan-pemilihan populer secara umum, hak pilih yang universal,

kebebasan press, partai-partai politik, dan lain-lain. Jadi demokrasi hanya sering

dipahami atau diidentikkan dengan prosedur-prosedur seperti itu, karena kita

berpikir bahwa demokrasi itu hanya sebuah ide politik atau semacam negara

bagian.27 Jika berpikir bahwa demokrasi seperti itu, berarti kehilangan makna

esensialnya. Institusi-institusi politik yang demokratis adalah bukan suatu tujuan

dan nilai yang sudah final, tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai sebuah cara

manusia hidup dengan benar. Artinya, demokrasi pada dasarnya adalah sebuah ide

sosial, sebuah model kehidupan yang berasosiasi dan sebuah pandangan hidup

tertentu.28

Demokrasi sebagai sebuah model kehidupan yang berasosiasi,29

kedengarannya sama dengan apa yang Dewey percaya pada sebuah lingkungan

belajar seharusnya juga ditampilkan. Dewey mendukung pengalaman-pengalaman

edukatif dalam lingkungan belajar yang menyadari bahwa interaksi dan

kontinuitas antara anggota dari sebuah pengalaman. Kepercayaan Dewey bahwa

27 Lihat dalam Jo Ann, Boydston, (ed.) John Dewey, The Later Works: 1925-1953,

Jilid, 2 (Carbondale, USA: Southern Illinois University Press, 1969), h.325. 28Jo Ann, Boydston, (ed.) John Dewey, The Middle Works: 1925-1953,Jilid, 9

(Carbondale, USA: Southern Illinois University Press, 1969), h.93. 29John Dewey, The School and Society, (Carbondale: Southern Illinois University,

1976), h.101

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 55: Pendidikan Progresif John Dewey

45

belajar terjadi dalam situasi sosial, melalui pengalaman-pengalaman yang bersifat

komunikatif. Dalam observasi-observasinya tentang sekolah-sekolah yang menjadi

model, dia mendiskusikan hasil-hasil yang panjang jangkauannya berdasarkan

fakta dimana perkampungan sekolah terletak dalam sebuah masyarakat yang

demokratis, dan benar-benar merefleksikan kondisi-kondisi masyarakat tersebut.30

Dewey memandang sekolah sebagai salah satu tempat dimana siswa dapat

mempergunakan praktek-praktek demokrasi diatas terhadap individu, kebebasan,

dan persamaan, dan juga hubungan-hubungan sosial yang berubah-rubah, tidak

hanya untuk ditanamkan pada masyarakat yang demokratis, tetapi juga untuk

memupuk keberlanjutan perkembangan dan belajar. Sebagai pelajar, untuk

melanjutkan kebutuhan-kebutuhan mereka dan juga kebutuhan-kebutuhan

kelompok, mereka akan memecahkan masalah dan mengevaluasi hasil-hasil,

menggunakan strategi-strategi dan mencari jawaban-jawaban, yang akan memberi

kontribusi terhadap pengalaman pelajar tersebut. Karakteristik-karakteristik

demokrasi tentu telah didiskusikan, diterjemahkan ke dalam sebuah sistem

reformasi pendidikan dan Dewey percaya dan akan memfasilitasi penemuan

kembali ide-ide demokrasi kita melalui pendidikan masyarakat yang

berkelanjutan.31

Dewey menghubungkan keberadaan demokrasi yang berkelanjutan dengan

pendidikan pada saat penerimaan generasi baru, karena seperti ide-ide demokratis

harus di perbaharui secara berkelanjutan dengan merubah setiap wajah generasi

baru. Dalam ungkapannya: It is because the conditions of life change, that the problem of maintaining a democracy becomes new and the burden that is put upon the school, upon the educational system is not that of stating merely the ideas of the men who made this country, their hopes and their intentions, but of teaching what democratic society means under existing conditions.32

Dewey menghargai sekolah-sekolah sebagai tempat untuk menjamin

regenerasi dari demokrasi dan bagaimana mendidik anak-anaknya dalam

masyarakat yang demokratis. Para pelajar tidak hanya membutuhkan kesempatan

untuk mempraktekkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kelas, mereka juga butuh

untuk mendemontrasikan kepada yang lain sebagai model-model yang punya

peranan. Model penggunaan prinsip-prinsip demokrasi untuk pemuda, pelajar-

pelajar yang sedikit pengalaman dengan mengamati, memberikan kesempatan para

pelajar untuk berpartisipasi dan berpendapat dalam proses demokrasi. Campbell

menjelaskan bahwa perhatian Dewey tertuju pada metode pendidikan yang cocok

untuk hidup dalam sebuah masyarakat yang demokratis. Dia mengatakan,

”sekolah-sekolah dimana semua keputusan-keputusan itu dibuat untuk para

30John Dewey, School of Tomorrow, (New York: E.P. Dutton & Co., Inc 1962),

h.164 31 R. Boisvert, “John Dewey.., h.166. 32John Dewey, Philosophy of Education Problem of Men, (Ames Iowa: Littlefield

Adam & Co, 1946), h. 40.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 56: Pendidikan Progresif John Dewey

46

pelajar, dimana tanggung jawab para pemuda baik individu maupun kolektif

adalah tidak dikembangkan, tidak akan membantu perkembangan sebuah

penyelidikan, masyarakat yang demokratis.33

Lebih dari mendukung para pendidik untuk mengajarkan prinsip-prinsip

demokrasi di sekolah, Dewey mendesak bahwa para pendidik harus komit untuk

membangun sebuah atmosfir demokrasi di dalam kelas. Para pelajar membutuhkan

kesempatan-kesempatan untuk membuat pilihan dalam kehidupannya dan

menunjang hasil-hasil dari pilihan tersebut, untuk sebuah derajat tertentu yang

mereka butuh untuk belajar yang otonomi. Membuat pilihan tidak hanya

membangkitkan sebuah rasa tanggung jawab dan komitmen terhadap apa yang

dilakukan oleh para pelajar-pelajar, dan akan membolehkan pelajar untuk

mempraktekkan serta membuat pilhan yang tepat melalui pengalaman langsung,

kadang-kadang Dewey mendukung kehidupan dan belajar dalam sebuah

lingkungan yang demokratis, menurut standar Dewey, apakah yang terbaik untuk

melanjutkan ide-ide demokrasi, dari pada membuat pelajar hanya belajar sejarah

secara detail dari struktur pemerintahan untuk mendapatkan sebuah pemahaman

praktis yang demokratis. Boisvert mengidentifikasikan karya Dewey berikut

”proposisi-proposisi untuk reformasi pendidikan” yang berhubungan dan

mendukung keberlanjutan ide-ide demokrasi:

1. Sebuah sistem pendidikan dalam masyarakat demokrasi tidak semestinya

terbuka terhadap semua penduduknya, tetapi semsetinya membuat sebuah

usaha yang dikonsepnya untuk mensukseskan pendidikan yang baik.

2. Sistem pendidikan harus membantu meningkatkan kebebasan sebagai

kekuatan untuk memilih dan membangun kegiatan dan aktivitas

kehidupan yang memadai. Yaitu membantu perkembangan individualitas.

Sekolah dapat melakukan ini dengan membangun sebuah masyarakat yang

menekankan pada tujuan-tujuan dan kegiatan serta aktivitas kelompok

yang sama.

3. Pendidikan yang demokratis harus lebih luas menjangkau keinginan

pelajar. Memahami sejarah, sains, melukis, music, dan literatur adalah

sebagai prasyarat-prasyarat untuk mematahkan rintangan-rintangan antara

kelas-kelas dan membangun sebuah keadaan untuk membagi keinginan-

keinginan yang lebih luas.

4. Pendidikan dalam masyarakat yang demokratis harus juga menanamkan

kebiasaan-kebiasaan memperhatikan yang lain sebelum membuat

keputusan-keputusan. Pandangan/cara hidup yang demokratis adalah tidak

didominasi oleh sikap-sikap yang disimpulkan dalam slogan ” tinggal saya

sendiri”, ”lakukan sesuatu sendiri”, atau ”itu terserah pada individu”. Ini

adalah kehidupan demokratis bukan hadiah. Pratek-praktek yang

demokratis adalah ditandai dengan memperhatikan yang lain dan

33J. Campbell, Understanding John Dewey, (Chicago, IL: Open Court, 1995),

h.218-219.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 57: Pendidikan Progresif John Dewey

47

mempertimbangan konsekuensi-konsekuensi, dan bagaimana mereka

mempengaruhi mereka secara langsung yang keuntungannya dirasakan

oleh wakilnya.

Empat dalil/pernyataan di atas merangkul beberapa kepercayaan-

kepercayaan para pendidik dewasa ini yang menjadi pegangan sebagai ide-ide

pendidikan. Ide-ide tersebut mempromosikan pendidikan bagi semua masyarakat

yang baik dengan kepercayaan bahwa semua anak-anak dapat belajar, memperluas

ruang lingkup keinginan-keinginan pelajar dalam memahami sejarah, sains, seni,

dan membuat anak-anak bekerjasama mengenai hal ihwal pembelajaran dan

aktivitas-aktivitasnya. Namun demikian, dalam beberapa cara, ide-ide di atas

merintangi peranan kaum tradisionalis pada sekolah kita. Seperti: sistem

pendidikan sekarang tidak selalu memberi wewenang para peserta didik dengan

mengizinkan mereka untuk memilih atau menyelesaikan kegiatan-kegiatan/tugas-

tugas kehidupan, tetapi melanjutkan untuk menentukan pelajaran-pelajaran dan

kebutuhan-kebutuhan kelas yang menggunakan sebuah model otoriter. Dalam

masalah yang sama, mereka juga mengecilkan keunikan-keunikan para peserat

didik dimana mendorong keseragaman diantara mereka melalui harapan-harapan

dalam kelas dan rumusan-rumusan berkelompok. Lagi pula, para pelajar sering

bekerja dan berpikir secara terpisah, dari pada berpartisipasi secara bebas dalam

pertukaran ilmu pengetahuan dan memperhatikan terhadap yang lain

disekelilingnya. Sebaliknya, Alexander menjelaskan bahwa inti konsep demokrasi

Dewey adalah saling berhubungan antara ide-ide masyarakat dengan kreativitas

individu34. Dewey tidak menilai salah satu yang di atas lebih tinggi terhadap yang

lain, mereka berdua adalah bagian-bagian yang diperlukan secara keseluruhan.

Dewey mendukung perkembangan sebagai sebuah yang bersifat individual supaya

menambah jumlah masyarakat yang kurang. Dari pandangan Dewey, kekuatan-

kekuatan/tenaga-tenaga unik kita dapat mempertinggi masyarakat secara

keseluruhan. Hubungan ini butuh dan peduli terhadap satu sama lain adalah

menciptakan demokrasi.

Dewey melihat bahwa belajar terjadi dimana komunikasi dan

partisipasinya merupakan faktor-faktor yang sangat esensial. Cuffaro

menyarankan bahwa filsafat pendidikan Dewey menimbulkan visinya tentang

masyarakat yang demokratis. Di samping itu, dia menyatakan bahwa visinya

tentang demokrasi mendatangkan pluralitas dan perbedaan, menolak rintangan-

rintangan yang bercerai-berai dan berpisah-pisah. Boisvert, juga membagi

pandangan ini kepada tiga karakteristik demokrasi berdasarkan pendirian Dewey

34T. Alexander, “Educating the Democratic Heart: Pluralism, Traditions, and The

Humanities, dalm J. Garrison (Ed), The New Scholarship

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 58: Pendidikan Progresif John Dewey

48

tentang demokrasi sebagai sebuah ide sosial, yaitu: a. individuality, b. freedom dan equality, dan c. fluid socialrelation.35

1. Individuality adalah sebuah istilah yang menunjukkan egosentris yang

memisahkan kita dari yang lain, tetapi individuality menekankan

keunikan dan bakat-bakat khusus apa yang diberikan kepada kelompok.

Melalui perkembangan setiap individu, sehingga mampu berkontribusi

kepada masyarakat menurut cara kita sendiri. Sebaliknya, jika kita fokus

pada individualism, maka kita tidak menanamkan ide-ide demokrasi

selama kita tidak membentuk sebuah model kehidupan yang berasosiasi

dengan yang lain. Sementara, kita fokus pada individual-individual itu

sendiri, daripada bagaimana individualitas seseorang dapat

menguntungkan masyarakat. Dalam sebuah demokrasi, para anggota

cemas mengenai apakah tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan

mereka dapat mempengaruhi anggota masyarakat yang lain, dan cara

mereka memberikan kontribusi terhadap perkembangan masyarakat.

2. Freedom dan equality meliputi lebih dari ketidakleluasaan atau persamaan

sejenis. Secara langsung, mereka berhubungan dengan perkembangan

personal. Kata-kata yang digunakan sekarang menggambarkan arti

kebebasan yang sebenarnya. Dewey memberi wewenang (empower), perjanjian (engagement), dan kapasitas (effectuate), untuk bertindak

dengan cara-cara yang mempertinggi perkembangan. Kata-kata ini

menunjukkan pada kepentingan untuk berkembang secara individual.

Demikian juga, equality tidak berarti sama atau serupa saja, tetapi jauh

dari itu. Lebih suka, menyarankan kekhasan yang tidak dapat digantikan

dan membuatnya mungkin untuk menjadi dinilai bersama. Lagi pula,

melalui kekhasan dan kesempatan untuk mengembangkan bakat-bakat

yang berbeda dapat dibagi dengan yang lain, dapat mengembangkan

seperti individu-individu, demikian juga dalam berasosiasi dengan yang

lain, dapat mempunyai kesempatan menilai yang lain terhadap kekhasan-

kekhasan mereka dan menjadi bernilai bagi kita. Belajar untuk

menghargai perbedaan-perbedaan yang lain, kita harus mengerti

perbedaan-perbedaan kita melalui keterbukaan orang yang berbeda dengan

3. Fluid social relations, hubungan-hubungan sosial yang tidak kaku dan

saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Hubungan-hubungan

sosial yang tidak kaku tersebut berhubungan dengan sebuah kemampuan

masyarakat untuk menyerap batasan-batasan yang dimiliki oleh setiap

kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda. Anggota-anggota yang

mempunyai kelebihan dari bermacam-macam kelompok tersebut dapat

35R. Boisvert, “John Dewey: An”old-Fashioned” Reformer”, dalam J. Garrison

(ed.), The New Scholarship on Dewey,(Boston: Kluwer Academic Publishers, 1995) 157-

173.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 59: Pendidikan Progresif John Dewey

49

berpartisipasi atau berpindah ke dalam setiap kelompok-kelompok yang

lain, masyarakat demokratis memahami apa yang dihadapi oleh setiap

anggotanya terhadap perbedaanperbedaan yang lain. Ini boleh dilakukan

untuk mengikat masyarakat secara bersama-sama, dan membongkar

rintangan-rintangan di antara sesama mereka.36

Progresif dalam pendidikan adalah bagian dari gerakan reformasi umum

sosial-politik yang menandai kehidupan Amerika di akhir abad 19 dan awal abad

20 di saat Amerika berusaha menyesuaikan diri dengan urbanisasi dan

industrialisasi masif. Progresif sebagai sebuah teori pendidikan muncul sebagai

bentuk reaksi terbatas terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode-

metode formal pengajaran, belajar mental (kejiwaan). Dan kesustraan klasik

peradaban Barat. Tokoh utama yang melandasi pendidikan progresif adalah John

Dewey, Sigmund Freud, dan Jean Jacques Rousseau.37 Ciri-ciri utama pendidikan

progresif ialah didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu

mempunyai kemampuan-kemampuan dan dapat menghadapi dan mengatasi

masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu

sendiri dengan skill dan kekuatannya sendiri.

Pandangan-pandangan progresif dianggap sebagai the liberal road to culture. Dalam arti bahwa liberal dimaksudkan sebagai fleksibel, berani, toleran

dan bersikap terbuka. Liberal dalam arti lainnya ialah bahwa pribadi-pribadi

penganutnya tidak hanya memegang sikap seperti tersebut di atas, melainkan juga

selalu bersifat penjelajah, peneliti secara kontinue demi pengembangan

pengalaman. Liberal dalam arti menghormati martabat manusia sebagai subjek di

dalam hidupnya dan dalam arti demokrasi, yang memberi kemungkinan dan

prasyarat bagi perkembangan tiap pribadi manusia sebagaimana potensi yang ada

padanya. Sebagai konsekwensi dari pendapatnya aliran ini kurang menyetujui

adanya pendidikan yang bercorak otoriter. Pendidikan progresif mempunyai watak

yang dapat digolongkan sebagai (1) negative and diagnostic yang berarti bersikap

anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam segala bentuk; (2) positive and remedial, yakni suatu pernyataan dan kepercayaan atas kemampuan manusia

sebagai subjek yang memiliki potensi- potensi alamiah, terutama kekuatan self-regenerative untuk menghadapi dan mengatasi semua problem hidupnya.38

Lingkungan dan pengalaman mendapat perhatian cukup dari aliran ini.

Sehubungan dengan ini, menurut progresif, ide-ide, teori-teori atau cita-cita itu

tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini haruslah

dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud baik yang lain. Di

samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup

36John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of

Education, (New York: The Macmillan Company, 1927), h.166. 37 Maragustam Siregar, Filsafat Progressivime....,h.1-2. 38Maragustam Siregar, Filsafat Progressivime.... 3-6.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 60: Pendidikan Progresif John Dewey

50

yang mempunyai banyak. Dikatakan Pragmatisme karena sebab asas utama dalam

kehidupan manusia ialah untuk tetap survive terhadap semua tantangan-tantangan

hidup manusia, harus praktis; melihat segala sesuatu dari segi kegunaannya.

Dikatakan Instrumentalisme, karena intelegensi manusia sebagai kekuatan utama

haruslah dianggap sebagai alat (instrumen) untuk menghadapi semua tantangan

dan problem. Dikatakan Exsperimen karena asas eksperimen adalah alat utama

untuk menguji kebenaran suatu teori. Sedang dikatakan Environmentalisme,

karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan

kepribadian. persoalan yang silih berganti.

a. Ontologi Progresif:

Pandangan ontologi progresif bertumpu pada tiga hal yakni asas hereby (asas keduniaan), pengalaman sebagai realita dan pikiran (mind) sebagai

fungsi manusia yang unik. Ontologi Progresif adalah sebagai berikut: 1) Asas

Hereby ialah adanya kehidupan realita yang amat luas tidak terbatas sebab

kenyataan alam semesta adalah kenyataan dalam kehidupan manusia. 2)

Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu. Manusia

punya potensi pikiran (mind) yang berperan dalam pengalaman. Eksistensi

dan realita mind hanyalah di dalam aktivitas, dalam tingkah laku. John

Dewey mengatakan, pengalaman adalah key concept manusia atas segala

sesuatu. Pengalaman ialah suatu realita yang telah meresap dan membina

pribadi. Pengalaman menurut Progresif: a) Dinamis, hidup selalu dinamis,

menuntut adaptasi, dan readaptasi dalam semua variasi perubahan terus

menerus. b) Temporal (perubahan dari waktu ke waktu); c) Spatial yakni

terjadi disuatu tempat tertentu dalam lingkungan hidup manusia; d)

Pluralistis yakni terjadi seluas adanya hubungan dan antraksi dalam mana

individu terlibat. Demikian pula subyek yang mengalami pengalaman itu,

menangkapnya, dengan seluruh kepribadiannya dengan rasa, karsa, pikir dan

pancainderanya. Sehingga pengalaman itu bersifat pluralistis. 3) Pikiran

(mind) sebagai fungsi manusia yang unik Manusia hidup karena fungsi-fungsi

jiwa yang ia miliki. Potensi intelegensi ini meliputi kemampuan mengingat,

imaginasi, menghubung-hubungkan, merumuskan, melambangkan dan

memecahkan masalah serta komunikasi dengan sesamanya. Mind ini ialah

integrasi di dalam kepribadian, bukan suatu entity (kesatuan lahir) sendiri.

Eksistensi dan realita mind hanyalah di dalam aktivitas. Mind adalah apa

yang manusia lakukan. Mind pada prinsipnya adalah berperan di dalam

pengalaman.

b. Epistemologi Progresif:

Pandangan epistemologi progresif ialah bahwa pengetahuan itu

informasi, fakta, hukum, prinsip, proses, dan kebiasaan yang terakumulasi

dalam pribadi sebagai proses interaksi dan pengalaman. Pengetahuan

diperoleh manusia baik secara langsung melalui pengalaman dan kontak

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 61: Pendidikan Progresif John Dewey

51

dengan segala realita dalam lingkungan, ataupun pengetahuan diperoleh

langsung melalui catatan-catatan. Pengetahuan adalah hasil aktivitas

tertentu. Makin sering kita menghadapi tuntutan lingkungan dan makin

banyak pengalaman kita dalam praktik, maka makin besar persiapan kita

menghadapi tuntutan masa depan. Pengetahuan harus disesuaikan dan

dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan. Kebenaran adalah

kemampuan suatu ide memecahkan masalah, kebenaran adalah konsekuen

daripada sesuatu ide, realita pengetahuan dan daya guna dalam hidup.

c. Aksiologi Progresif:

Dalam pandangan progresif di bidang aksiologi ialah nilai timbul karena

manusia mempunyai bahasa, dengan demikian menjadi mungkin adanya

saling hubungan. Jadi masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai.

Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak,

perasaan, kecerdasan dari individu-individu. Nilai itu benar atau tidak benar,

baik atau buruk apabila menunjukkan persesuaian dengan hasil pengujian

yang dialami manusia dalam pergaulan. Pandangan pendidikan progresif

menghendaki yang progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai

rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan hendaklah bukan

hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik untuk diterima saja,

melainkan yang lebih penting daripada itu adalah melatih kemampuan

berpikir dengan memberikan stimuli-stimuli. Mengenai belajar, progresif

memandang peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi

yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain.

Kelebihan yang bersifat kreatif dan dinamis, peserta didik mempunyai bekal

untuk menghadapi dan memecahkan problem-problemnya. Sedangkan bidang

kurikulum progresif memandang bahwa selain kemajuan, lingkungan dan

pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresif. Untuk itu

pendidikan progresif menunjukkan dengan konsep dasarnya, jenis kurikulum

yang program pengajarannya dapat mempengaruhi anak belajar secara

edukatif baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.

Tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang baik pula.

B. Pendidikan Progresif John Dewey dalam Perspektif Pendidikan Islam

Adapun dalam hal dasar-dasar pendidikan Ibn Khaldūn dan John Dewey

adalah benar-benar sangat berbeda. Ibn Khaldūn beranjak dari sikap keagamaan,

yakni berdasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam yaitu: al-Qur’an dan Sunnah

Nabi Saw. Pemikirannya juga dipengaruhi oleh para filosof Yunani seperti Plato,

Aristoteles dan lain-lainya. Jadi, dasar pendidikannya bersifat teosentris, dimana

di dalamnya menganut asas-asas teologis. Sedangkan dasar pendidikan John

Dewey bersumber pada pemikiran rasional dan empiris, yakni filsafat

pragmatisme serta beberapa pemikiran dari para tokoh filosof sebelumnya dan

lainnya yang ada pada saat itu. Dasar ini bersifat antroposentris, dimana

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 62: Pendidikan Progresif John Dewey

52

menggantungkan segala sesuatu pada kekuatan manusia, tanpa dikaitkan dengan

kemahakuasaan Tuhan. Mengenai kesamaan perencanaan pengajaran dalam

pandangan Ibn Khaldūn dan John Dewey adalah sama-sama merencanakan

pendidikan serta memiliki tujuan demi kepentingan dan kebutuhan manusia sesuai

dengan potensi fitrah dan dorongan hati, namun kedudukannya berbeda. Ibn

Khaldūn memandang perencanaan pendidikan sebagai bahan mata pelajaran yang

dipersiapkan kepada peserta didik. Dalam hal ini perencanaan pendidikan bahan

mata pelajaran terbagi kepada beberapa bagian berdasarkan kegunaan dan

prioritas.

Masing-masing memiliki sifat dan nilai yang berbeda (ada yang kurang

penting dan ada yang sangat penting). Perencanaan pendidikan bukan hanya

rencana pengajaran yang ada pada bahan pelajaran saja, akan tetapi harus juga

menyesuaikan dengan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu

‘aqliyat (filsafat), harus menyesuaikan dengan kepentingan, manfaat, fungsi serta

kebutuhan peserta didik dalam mempersiapkan rencana proses pengajaran untuk

mencapai arah tujuan pendidikannya. Sedangkan menurut pandangan John Dewey,

perencanaan pendidikan adalah perangkat bahan pembelajaran yang berpusat pada

pengalaman kehidupan peserta didik yang menjadi pusat acuan bagi pendidik

dalam menentukan rencana proses pendidikan. Dalam hal perencanaan

pembelajaran ini, John Dewey tidak memberikan batasan tentang bahan pelajaran

secara jelas yang harus dimiliki oleh pendidik sebagaimana Ibn Khaldūn, karena

untuk menyusun bahan pelajaran harus menyesuaikan dengan pengalaman

kehidupan peserta didik. Dalam metode, Ibn Khaldūn dan John Dewey sama-sama

menganggapnya sebagai suatu hal yang penting dalam proses pendidikan.

Menurut keduanya, metode tersebut dilakukan demi mencapai tujuan yang

diinginkan dari proses pembelajaran dan pendidikan tersebut. Akan tetapi,

mengenai macam dan penerapannya, Ibn Khaldūn dan John Dewey memiliki

konsep yang berbeda.

Konsep pendidikan Ibn Khaldūn dari pandangannya terhadap manusia

sebagai pelaku sejarah juga sebagai makhluk ciptaan Allah, makhluk yang

diciptakan dengan segala potensi dilengkapi dengan panca indera pendengaran,

penglihatan dan akal untuk menjadi intelek murni dan memiliki jiwa perspektif.

Pemikirannya yang cemerlang memiliki corak religius logik. Ia termasuk

perenialis essensialism, dikatakan perenialis karena ia menggunakan dasar

pemikirannya dibangun atas al-Qur’an, as-Sunnah dan atsar para sahabat Nabi.

Dikatakan essensialisme karena ia sendiri juga menjunjung tinggi terhadap nilai-

nilai yang dianggapnya penting. Tujuan pendidikannya untuk memberikan

kesempatan kepada pikiran untuk aktif bekerja bagi terbukanya pikiran dan

kematangan individu serta kematangan berpikir bagi kemajuan agama, ilmu

industri dan sistem sosial. Ia memandang perencanaan pendidikan sebagai materi

bahan pelajaran yang harus dipersiapkan pendidik sesuai dengan klasifikasi dan

prioritas berbagai ilmu pengetahuan untuk mencapai arah tujuan pendidikan.

Adapun mengenai metode dianjurkannya menggunakan metode yang bervariasi

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 63: Pendidikan Progresif John Dewey

53

dan disesuaikan dengan tingkat kecakapan dan kecerdasan daya tangkap siswa.

Adapun macam-macam metodenya ada empat: metode pentahapan, metode

pengulangan, metode karyawisata (riḥlah), dan metode latihan atau praktek

(tadrīb). John Dewey dalam konsepnya juga berangkat dari pandangannya

terhadap manusia. Konsepsinya bersifat antroposentris, yakni semata-mata

menggantungkan pada kekuatan manusia, tanpa dikaitkan dengan kekuasaan

Tuhan. Baginya, manusia adalah subyek yang memiliki kemampuan, kekuatan,

kepribadian dan eksistensi yang mampu merubah realitas. Pemikirannya tentang

pendidikan bercorak radikal, dalam aspek psikologis ia lebih mengedepankan

kebebasan manusia. Hal ini sesuai dengan pengalaman peserta didik (demokratis)

yang terlihat dari perjuangannya melawan berbagai bentuk dominasi dalam proses

pengajaran pada sekolah tradisional. Sedangkan aspek sosiologis ia mengarahkan

pada kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya sesuai pengalaman sosial peserta

didik.

Dasar pengajaran John Dewey berlandaskan pada pemikiran rasional dan

empiris yakni filsafat, dalam psikologi ia menganut teori behaviorisme, serta

beberapa pemikiran dari para tokoh filsafat sebelumnya dan yang ada pada saat

itu. Tujuan pendidikannya berorientasi pada kebahagiaan kehidupan duniawi saja.

Dalam hal perencanaan pengajaran harus menyesuaikan dengan dorongan hati, dan

pengalaman kehidupan manusia (peserta didik) dengan melalui pembebasan

menuju humanisasi.

Secara substansial, Islam dan barat memiliki pandangan yang sama

tentang pendidikan. Keduanya sama-sama berorientasi pada pembentukan

kepribadian dan intelektual anak, yaitu terbentuknya pribadi cerdas yang

berakhlak mulia. Dalam Islam, al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’ ulama sebagai

landasan dalam membangun sketsa pendidikan. Sedangkan progresif berpaham

nasionalisme yang menjadi pijakan mendasarnya. Dalam hal itu, maka masing-

masing peradaban ini mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga output

yang produknya memiliki ciri-ciri yang berbeda. Menurut pandangan Hegel

sebagai representasi dari tokoh barat, pendidikan juga dapat didefinisikan sesuatu

yang hal yang fakta yang progresif dari yang subyektif atau negatif, dan bertumpu

pada potensi moral. Maka demikian, untuk itu seseorang yang hendak mencapai

moral yang positif, maka seseorang hendaklah menjunjung tinggi moral hidup

secara universal pada lingkarannya. Pada akhirnya, seseorang hendak menggapai

keunggulan dan memperoleh moral yang mutlak lewat pendidikan. Hal ini tidak

jauh berbeda dengan pandangan Ibnu Sina> sebagai salah satu Tokoh Pendidikan

Islam yang mengintegrasikan antara nilai-nilai idealistis dengan pandangan

pragmatis. Ia memadukan antara materi-materi pelajaran atau teori-teori yang

dipelajari anak di sekolah dengan lapangan pekerjaan yang diminatinya. Bagi Ibnu

Sina> hal-hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam sistem pendidikan adalah

meneliti tingkat kecerdasan, karakteristik dan bakat-bakat yang dimiliki anak,

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 64: Pendidikan Progresif John Dewey

54

serta memeliharanya dalam rangka menentukan pilihan yang disenangi untuk

masa yang akan datang.39

Apabila memperhatikan ayat-ayat yang pertama kali diturunkan oleh

Allah kepada Nabi Muhammad, maka nyatalah bahwa Allah telah menekankan

perlunya orang belajar baca tulis dan belajar ilmu pengetahuan. Firman Allah

dalam Surat Al-‘Alaq ayat 1-540. Dari ayat-ayat tersebut, jelaslah bahwa agama

Islam mendorong umatnya agar menjadi umat yang pandai, dimulai dengan belajar

baca tulis dan diteruskan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Islam

disamping menekankan kepada umatnya untuk belajar juga menyuruh umatnya

untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain, jadi Islam mewajibkan umatnya

belajar dan mengajar. Melakukan proses belajar dan mengajar adalah bersifat

manusiawi, yaitu sesuai dengan harkat kemanusiaannya, sebagai makhluk homo

educandus, dalam arti manusia itu sebagai makhluk yang dapat dididik dan dapat

mendidik.

Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menjelaskan hal tersebut antara

lain.41 Surah at-Taubah ayat 12242, surah al-Ma>idah ayat 6743 dan surah az-Zuma>r

ayat 944. Surat-surat tersebut menjelaskan bahwa Pendidikan merupakan disiplin

ilmu yang di dalamnya mengandung berbagai dimensi. Seperti dimensi manusia

sebagai subyek atau pelaku pendidikan (baik berstatus sebagai pendidik atau

39Moh. Wardi, Relevansi Pemikiran Ibnu Sina Dan George Wilhelm Friedrich

Hegel Tentang Pendidikan, at-turas Vol I, No 1, Januari sampai Juni 2014 40 QS al-Alaq

41Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Bumi Aksara, 1991), 98-99 42 QS al-Taubah /9:122 :

43 QS al-ma>idah /5:67 :

44 QS az zuma>r / 39:9 :

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 65: Pendidikan Progresif John Dewey

55

peserta didik), maupun dimensi landasan, tujuan, materi atau kurikulum,

metodologi, dan dimensi institusi dalam penyelenggaraan pendidikan.

Dimensi-dimensi tersebut merupakan faktor penting yang mendukung

keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan pendidikan, dan masing-masing dimensi

ini memiliki paradigma fungsional sendiri-sendiri dan saling terkait untuk

bersinergi dalam sebuah sistem pendidikan. Pendidikan merupakan bagian yang

tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. John Dewey dalam

Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi

sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan

membukakan serta membentuk disiplin ilmu. Pernyataan ini setidaknya

mengisyaratkan bahwa bagaimanapun sederhananya suatu komunitas manusia,

memerlukan adanya pendidikan. Maka dalam pengertian umum, kehidupan dari

komunitas tersebut akan ditentukan aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab

pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.

Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia, karena

pendidikan Islam berorientasi dalam memberikan bekal kepada manusia untuk

mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan

menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan generasi sejalan dengan

tuntutan masyarakat. Semestinya pendidikan Islam selalu diperbaharui konsep dan

aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis

dan temporal, agar manusia tidak hanya menginginkan kebahagiaan hidup setelah

mati (eskatologis), namun kebahagiaan di duniapun bisa diraihnya, Pada

kehidupan masyarakat yang semakin berbudaya dengan tuntutan hidup yang

makin tinggi, pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan,

melainkan kepada pengembangan kemampuan-kemampuan teoritis dan praktis

berdasarkan konsep-konsep berpikir ilmiah. Dalam perkembangannya, pendidikan

Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya

mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau

dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon dari sejarah

pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan

pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang

bercorak tradisionalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan

Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada

aspek doktriner normatif yang cenderung eksklusifliteralis, apologetis. Sementara

pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh

mendasarnya.

Secara teori, pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu merupakan konsep

pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dapat dikembangkan dari

hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits baik dari segi

sistem, proses, dan produk yang diharapkan mampu membudayakan umat manusia

agar bahagia dan sejahtera dalam hidupnya. Dari segi teori, pendidikan Islam

dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang bersifat progresif

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 66: Pendidikan Progresif John Dewey

56

menuju kearah kemampuan optimal anak didik yang berlangsung diatas landasan

nilai-nilai ajaran Islam.45

Perbedaaan yang mendasar antar pendidikan progresif dan pendidikan

Islam meliputi landasan filosofis yang dibangun baik itu mengenai ontologi,

epistimologi maupun aksiologi, serta mengenai nilai yang dibangun dan tujuan

pendidikan. Sekalipun terdapat perbedaan dan persamaan antara pendidikan

progresif dan pendidikan Islam, namun pada keduanya terdapat satu pola

hubungan yang saling melengkapi.

Dalam hal ini, pendidik dianggap sebagai fasilitator sekaligus partner bagi

siswa. Pendidik menjadi teman perangsang bagi siswa. Begitupun juga dengan

peserta didik, dianggap sebagai subyek Pendidikan religius dimulai guru kepada

siswa agar praktek pendidikan bersifat mengarahkan, memandirikan dan

memperdayakan siswa sebagai makhluk berdimensi horisontal dan vertikal

sekaligus. Dari beberapa uraian singkat tentang pemikiran pendidikan anak baik di

dunia. Islam maupun Barat, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya

pendidikan anak merupakan satu hal yang sangat penting. Pendidikan pada masa

kanak-kanak akan sangat menentukan kehidupan mereka di masa mendatang.

Pemikir pendidikan anak di dunia Islam lebih cenderung bersifat filosofis religius,

sedangkan pemikir dari Barat cenderung pada bersifat psikologis akademis.

Meskipun terdapat perbedaan kecenderungan, namun dari beberapa pemikiran

tersebut dapat ditarik benang merah yang saling melengkapi yaitu bahwa

pendidikan anak harus bersifat komprehensif bukan hanya berdimensi filosofis

religius atau psikologis akademis, melainkan paduan di antara keduanya yang

aktif. Peserta didik memiliki peran sebagai subyek pencipta kembali, dan penemu

ulang. Jadi keduanya sama-sama menjadi subyek yang belajar, subyek yang

bertindak dan berfikir, dan pada saat yang bersamaan berbicara menyatakan hasil

tindakan dan buah pikirannya. Dalam prosesnya menggunakan metode problem solving, learning by doing dan metode disiplin.

Dalam hal ini, pendidik dianggap sebagai fasilitator sekaligus partner bagi

siswa. Pendidik menjadi teman perangsang bagi siswa. Begitupun juga dengan

peserta didik, dianggap sebagai subyek yang aktif. Peserta didik memiliki peran

sebagai subyek pencipta kembali, dan penemu ulang. Jadi keduanya sama-sama

menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berfikir, dan pada saat

yang bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Dalam

prosesnya menggunakan metode problem solving, learning by doing dan metode

disiplin. Dari pemikiran Ibn Khaldūn dan John Dewey dapat dilihat sisi persamaan

maupun perbedaannya. Ibn Khaldūn yang bersifat religius logik karena

dipengaruhi oleh penguasaannya dalam ilmu syari’at (agama), dalam

kepribadiannya penuh nilai-nilai Islami lebih menekankan pada spiritualitas

manusia dalam membangun peradaban. Sedangkan John Dewey bersifat radikal

45Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta:Ciputat

Pers, Juli 2002), 9-10

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 67: Pendidikan Progresif John Dewey

57

dan ekstrem, hal ini terlihat dari gagasan-gagasan pendidikan progresifnya yang

diperjuangkan untuk melawan otoritas pengajaran tradisional yang status quo. Ia

lebih mengedepankan kebebasan manusia dalam hal ini sesuai dengan keinginan

peserta didik (demokratis). Kedua tokoh tersebut sama-sama muncul dari sosio-

kultural yang tidak humanis. Keduanya mengakui keberadaan dan eksistensi

manusia yang mana dengan fitrah dan dorongan hati kemanusiannya. Sedangkan

sisi perbedaannya tampak jelas dalam konsepsi pendidikan yang masing-masing

mereka tawarkan. Dua konsep tersebut dapat dipadukan namun tidak secara

keseluruhan, sebab konsep pendidikan John Dewey tidak sepenuhnya cocok

dengan konsep ajaran Islam.

Pendidikan progresif Dewey yang mengandung asas pendidikan

partisipatif menyatakan bahwa kurikulum pendidikan harus berisi pengalaman-

pengalaman peserta didik yang mana pengalaman tersebut didiskusikan di ruang

sekolah dan jika terdapat masalah social yang dialami oleh peserta didik, maka

harus didiskusikan bersama upaya pemecahannya. Dengan demikian kurikulum

pendidikan progresif Dewey berupa kurikulum berbasis pengalaman hidup. Dalam

hal ini kurikulum pendidikan progresif sejalan dengan kurikulum pendidikan

Islam. Dalam Islam, muatan kurikulum pendidikannya juga berisi tentang

persoalan-persoalan kemanusiaan yang didiskusikan untuk dicari pemecahannya

melalui ruang pendidikan, baik formal, non formal atau informal.

Dalam kurikulum pendidikan progresif, materi pelajaran juga berupa teori-

teori yang relevan dengan kebutuhan peserta didik. Dalam pendidikan Islam

kurikulum pendidikannya juga berisi tentang teori-teori yang dikemukakan oleh

ulama atau ilmuan muslim sebelumnya, bahkan teori-teori non muslim yang tidak

bertentangan dengan nilai-nilai Islam terkadang dipakai dalam pendidikan Islam.

Dengan demikian sampai disini, antara kurikulum pendidikan progresif dengan

kurikulum pendidikan Islam tidak ditemukan suatu perbedaan yang signifikan.

Selain itu pendidikan progresif amat menekankan materi kurikulum

pendidikan yang bersifat praktis pragmatis. Hal ini sejalan dengan asas

kemanfaatan dalam pendidikan Islam. Islam menekankan adanya nilai guna atau

asas kemanfaatan dalam kurikulum pendidikannya. Dalam artian, materi pelajaran

yang diberikan kepada peserta didik harus berupa materi-materi yang bersifat

praktis dan tidak hanya teoritis, agar bisa dimanfaatkan agar bisa dimanfaatkan

oleh peserta didik dalam praktik kehidupannya. Dengan begitu kurikulum

pendidikan yang bersifat praktis-pragmatis diikuti dalam pendidikan progresif dan

pendidikan Islam. Asas kemanfaatan dalam pendidikan Islam memberikan bekal

yang berguna bagi kepentingan peserta didik di dunia dan akhirat. Bedanya,

pendidikan progresif Dewey hanya menekankan pada aspek tujuan duniawi,

sementara pendidikan Islam menekankan aspek keduanya; dunia dan akhirat.

Lebih lanjut pendidikan progresif Dewey menekankan perlunya materi

kurikulum pendidikan yang tidak terlalu padat, karena bisa membuat peserta didik

stress dan tidak enjoy dalam proses belajarnya. Kurikulum pendidikan perlu

diusahakan seminimal mungkin tetapi mendalam dalam proses pembelajarannya.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 68: Pendidikan Progresif John Dewey

58

Kalau suatu kurikulum sudah dikuasai oleh peserta didik, maka perlu ditambahkan

materi kurikulum yang lain. Ini juga tidak bertentangan dengan konsep kurikulum

pendidikan Islam. Menurut al-Gha>zali, dalam mempelajari suatu ilmu, jangan

pindah dulu ke ilmu lain, sebelum ilmu yang dipelajari dikuasai.

Progresif menolak corak otoriter yang terjadi di masa lalu dan sekarang.

Pendidikan yang otoriter diasumsikan dapat menghambat dalam menanggapi

tujuan-tujuan karena kurang menerima kemampuan yang dimiliki manusia dalam

kegiatan belajar mengajar. Padahal dalam pendidikan secara universal bagaikan

motor penggerak sebagai proses untuk mencapai kamajuan atau “progres”.

Dengan demikian bagi progresif, ide-ide teori-teori dan atau cita-cita tidaklah

cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada (being).46 Sejalan dengan itu

progresif merupakan suatu aliran yang berdasar pada sebuah asumsi bahwa

manusia itu mempunyai potensi yang wajar dan dapat mengatasi berbagai

permasalahan yang mengancam manusia itu sendiri.

Menurut Priyo Dwiarso siswa harus memiliki jiwa merdeka, dalam arti

merdeka lahir, batin serta tenaganya. Jiwa merdeka ini sangat diperlukan

sepanjang zaman agar bangsa Indonesia tidak didikte negara lain. Sistem among melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan mematikan

jiwa merdekanya, mematikan kreativitasnya.47

Bertolak dari keberadaan teori pendidikan tradisional yang memberikan

porsi berlebihan bagi otoritas pendidik dan cara belajar pasif yang hanya fokus

pada kajian tekstual, aliran progresif berkembang dan menawarkan perspektif,

cara, dan metode yang baru dalam sistem pembelajaran. Asumsi aliran ini adalah

bahwa peserta didik diberikan kebebasan proses belajar, peserta didik berpotensi

untuk berkemajuan, bisa berjalan dengan optimal karena dengan kebebasan,

potensi manusia untuk maju dan berkembang.

Dari sudut epistemologi, pengetahuan merupakan produk dari pengalaman

yang menggunakan metode saintifik. Sebagai penulis produktif, untuk

menjelaskan idenya itu Dewey menulis sejumlah buku, antara lain: Democracy and Education dan Experience and Education. Senafas dengan Dewey, KH.

Ahmad Dahlan juga memandang bahwa pengamalan (amal saleh) sangat penting

dalam proses pendidikan. Hal ini dapat kita simak dari pesan dan kata-kata

hikmah yang berulangkali disampaikan kepada peserta didiknya berikut ini:

“sedikit bicara, tapi perbanyaklah bekerja “siapa menanam, akan mengetam”;

hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di

Muhammadiyah”. Pesan-pesan demikian menegaskan bahwa Kyai Dahlan

memandang perbuatan/amal saleh itu sangat penting. Sebab dengan

berbuat/beramal saleh seseorang akan mendapatkan pengalaman baru, pengalaman

46Ilun Mualifah, Progressivime John Dewey dan Pendidikan Partisipatif

Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 01 No. 01 Mei (2013) 47Priyo Dwiarso, Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta:Majelis

Luhur Pesatuan, 2010), h. 6.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 69: Pendidikan Progresif John Dewey

59

itu akan digunakan untuk meningkatkan kualitas perbuatan/pengalaman

berikutnya sehingga menjadi lebih realistik.48

Senada dengan konsep Ki Hadjar Dewantara adalah peserta didik tidak

bisa lepas dari kehendakNya, tetapi akan bahagia jika dapat menyatukan diri

dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan. Kemajuan tersebut seperti

bertumbuhnya tiap-tiap benih suatu pohon yang kemudian berkembang menjadi

besar dan akhirnya hidup dengan keyakinan bahwa dharmaNya akan dibawa hidup

terus dengan tumbuhnya lagi benih-benih yang disebarkan.49 Pada sistem among

mengatakan bahwa sistem among yang berjiwa kekeluargaan ada 2 dasar, yaitu:

pertama, fitrah sebagai syarat kemajuan dengan dan sebaik-baiknya; kedua,

kebebasan sebagai syarat menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan

batin anak agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir serta

bertindak merdeka. Pada bagian lain dikatakan bahwa fitrah merupakan batas

perkembangan potensi kodrati anak didik dalam proses perkembangan

kepribadiannya. Perkembangan yang sesuai dengan kodrat alam akan berjalan

lancar dan wajar karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang menjadi

satu dengan fitrah manusia.

Pemikiran John Dewey memberikan rujukan tentang pusat dalam

pembelajaran adalah anak yang berproses dalam pengalamannya. Garis besar

pemikiran John Dewey dan telah banyak memberikan kontribusi terhadap konsep

konsep pendidikan perlu digaris bawahi. Menurut Garforth terdapat tiga pengaruh

pemikiran John Dewey.50

Pertama, Dewey melahirkan konsepsi baru tentang kesosialan pendidikan.

Disini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan pula

oleh Plato. Kedua, Dewey memberikan substansi baru terhadap konsep

keberpusatan pendidikan pada anak (child-centredness). Ketiga, proyek dan

problem solving yang mekar dari sentral konsep John Dewey tentang pengalaman

telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas.

Di samping itu pendidikan progresif Dewey menekankan adanya

kurikulum pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kerja. Jadi kurikulumnya

harus berbasis kepada kebutuhan kerja. Hal ini agak tidak sejalan dengan konsep

pendidikan Islam. Dalam pendidikan Islam, kurikulum pendidikannya tidak

dirancang untuk memenuhi kebutuhan kerja, sehingga tidak mesti memberikan

materi kurikulum yang berbasis pada kebutuhan kerja. Meski demikian bukan

berarti pendidikan Islam menolak muatan kurikulum pendidikan yang berorietasi

48Mohamad Ali, Sodiq A. Kuntoro, Sutrisno, Pendidikan Berkemajuan: Refleksi

praksis pendidikan K.H. Ahmad Dahlan, Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan

Aplikasi Volume 4, No 1, Juni (2016 ) 49Henricus Suparlan, Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya

bagi Pendidikan Indonesia, Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 1, (Februari 2015) 50Tita Rostitawati, Konsep Pendidikan John Dewey, dalam jurnal Tadbir

Manajemen Pendidikan Islam IAIN Sulan Amai Gorontalo, Vol. 2, no.2 (Agustus, 2014), h.

136.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 70: Pendidikan Progresif John Dewey

60

pada kerja. Hal ini terbukti terdapat ayat dalam al-Quran. Akan tetapi, orientasi

tersebut bukan menjadi tujuan utama. Kurikulum pendidikan Islam lebih

berorientasi pada kebutuhan penataan moral peserta didik. Pemenuhan kebutuhan

kerja hanya sebagai orientasi kedua setelah pemenuhan kebutuhan moral.

Pendidikan progresif Dewey sangat menekankan adanya proses

pendidikan yang demokratis, terbuka dan anti otoriter. Pendidikan demokratis

sejalan dengan pendidikan pembebasan dalam pendidikan Islam yang

membutuhkan ruang dialogis dan komunikatif serta terbuka dalam proses

pembelajarannya. Dalam hal ini M. Athiyah al-Abrasyi51dalam konsep al-Tarbiyah al-istiqla>liyah (pendidikan pembebasan) menyatakan: “bahwa asas terpenting al-Tarbiyah al- istiqla>liyah adalah membiasakan peserta didik berpegang teguh pada

kemampuan diri sendiri sebagai refleksi dasar dari sikap percaya diri, percaya

dengan pikiran sendiri. Azas ini hanya dipakai jika proses pendidikan dilakukan

dengan terbuka dan dialogis.”

Meskipun demikian, jika dicermati lebih mendalam, akan tampak

perbedaan yang sangat esensial antara teori progresif dengan teori yang

didasarkan pada kajian pendidikan Islam. Mengingat, dalam pendidikan Islam ada

sesuatu yang tidak pernah disinggung oleh teori progresif yaitu nilai-nilai

Ila>hiyah.

Nilai-nilai pendidikan progresif Dewey tidak mengarahkan untuk

mengenal diri sendiri. Pendidikan yang dikembangkan Dewey juga tidak

mengarahkan pengetahuan peserta didik kepada pencipta manusia atau Tuhan

padahal mengenal Tuhan sebenarnya adalah kebutuhan mendasar manusia,

sehingga perlu dilakukan lebih lanjut guna memagari kesucian fitrah manusia.

Dewey tampaknya menolak adanya hereditas, yakni menyangkal keabsolutan

eksistensi dari pembawaan. Karena menurutnya hereditas itu bagian dari

lingkungan. Hereditas dibentuk berdasar pengalaman bukan sejak lahir.52

Dewey juga menegaskan proses pendidikan yang seumur hidup (long life education). Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan Muhaimin53 menegaskan

sebuah prinsip yang menjadi dasar bagi proses pendidikan Islam, yaitu prinsip

pendidikan Islam, yaitu prinsip pendidikan seumur hidup. Prinsip ini

berpandangan bahwa setiap manusia diharapkan untuk selalu berkembang

sepanjang hidupnya, yang menegaskan bahwa masa sekolah bukan satu-satunya

masa bagi seseorang untuk belajar, melainkan hanya sebagian dari waktu belajar

yang akan berlangsung seumur hidup. Kata Nabi: tuntutlah ilmu dari buaian

51 M. Athiyah al-Abrasy, Ruh al-Islam (Mesir: Mathba’ah lajnah al-Bayan al-

‘Arabi, 1964), h. 285. 52 Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif (Yogyakarta: Safiria Insani Press&MSI

UII, 2004), h. 116-117. 53 Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam (Solo: Ramadlan, 1993), h.38.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 71: Pendidikan Progresif John Dewey

61

sampai liang lahad. Setiap saat umat Islam dianjurkan memohon kepada Allah

agar senantiasa bertambah ilmu pengetahuannya.54

Dengan memahami kajian di atas maka dapat ditegaskan bahwa belajar

tanpa batas bukan sekedar belajar sepanjang hayat, dan juga bukan sekedar untuk

hidup, melainkan lebih dari itu. Menurut Noeng Muhajir, belajar tanpa batas

setidak-tidaknya mengandung tiga makna, yaitu pengembangan optimal

kemampuan manusia, pengembangan optimal kesejahteraan manusiawinya

manusia sebagai makhluk social dan makhluk ciptaan Allah.55 Dalam kaitan ini

konsep pendidikan seumur hidup Dewey sejalan dengan konsep pendidikan Islam.

Dewey menyatakan bahwa hidup itu merupakan pendidikan atau pendidikan

merupakan kehidupan itu sendiri. Bedanya, konsep pendidikan Dewey memang

tidak mengarahkan peserta didik untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Tujuan pendidikan progresif Dewey lebih menekankan pada tujuan

pendidikan yang bersifat pragmatis di dunia. Dalam artian, pendidikan harus bisa

membekali peserta didik berbagai materi yang bisa difungsikan untuk bekerja

dalam hidup. Orientasi pendidikan yang dikenalkan oleh Dewey dalam konsep

progresifnya bersifat duniawi dan sama sekali tidak menyinggung pembekalan

kepada peserta didik akan materi-materi yang dibutuhkan untuk kehidupan setelah

mati (eskatologis). Bisa jadi, hal ini karena rapuhnya keyakinan Dewey akan

adanya dunia metafisika. Sehingga konsep pendidikannya sama sekali tidak

berdimensi Ilahiyah. Dalam hal ini tujuan pendidikan Dewey jelas tidak sejalan

dengan pendidikan Islam.

Tujuan pendidikan Islam sangat kental bernuansa religius dan penuh

dengan dimensi Ilahiyah. Meski demikian pendidikan Islam tidak menolak

pentingnya pemberian bekal bagi peserta didik akan hal-hal yang berguna dalam

kehidupan di dunia. Pendidikan Islam juga sangat menekankan pentingnya

pembekalan hidup di dunia pendidikan, karena memang kehidupan di dunia

merupakan ladang untuk mencapai kehidupan yang baik di akhirat.

Konsep pendidikan progresif John Dewey merupakan konsep pendidikan

yang mengacu pada teori-teori John Dewey yang berpijak pada asas-asas

pendidikan progresif John Dewey menjadikan pengalaman hidup manusia sebagai

pijakan dalam melakukan perubahan-perubahan ke depan melalui proses

pendidikan.

54 QS thaahaa /20:114

55 M. Jidar Wahyudi, Nalar Pendidikan Qur’ani (Yogyakarta:Apeiron Philotes,

2006), 66

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 72: Pendidikan Progresif John Dewey

62

Konsep pendidikan progresif John Dewey yang mengandung asas

pendidikan partisipatif dalam pandangan pendidikan Islam bisa dipertegas: bahwa

terdapat beberapa aspek kesesuaian (terutama dalam hal kemanfaatan yang

bersifat duniawi), dan terdapat banyak aspek perbedaan yang sangat prinsip

(terutama mengenai hal-hal yang bersifat metafisik-spiritual). Dengan demikian

ketika akan menerapkan pendidikan progresif Dewey di dalam kehidupan umat

Islam, perlu difilter terlebih dahulu dengan kacamata nilai-nilai Islam. Apabila

tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka perlu diterapkan, namun apabila

bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka tidak perlu diterapkan (cukup

dijadikan pengetahuan saja).

C. Makna Pendidikan Islam dan Pendidikan Progresif John Dewey

1. Pendidikan Islam

Pengajaran pertama dalam Islam adalah pada ketika Jibril datang

menemui Nabi Muhammad Saw. yang sedang berada di gua Hira. Dalam

pengajarannya Jibril meminta kepada Nabi Saw. untuk membaca dan mengikuti

apa yang dibacakan kepadanya. Surat al-Alaq ayat 1 sampai 5 merupakan bukti

bahwa kemunculan Islam ditandai dengan pengajaran dan pendidikan sebagai

pondasi utama setelah iman, islam dan ihsan. Yaitu terdapat pada makna ayat al-

Quran: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah

menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling

pemurah. Dia yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia

mengajarkan kepada manusia yang tidak diketahuinya.” Dari ayat al-Quran di atas

paling tidak mengisyaratkan ada empat pokok bahasan, yaitu pertama, manusia

sebagai subyek dalam membaca, memperhatikan, merenung, meneliti dengan asas

niat yang baik yang ditandai dengan menyebut nama Tuhan. Kedua, objek yang

dibaca, diperhatikan, dan direnungkan, yaitu materi dan proses penciptaan hingga

menjadi manusia sempurna. Ketiga, media dalam melakukan aktivitas membaca

dan lain-lain. Dan keempat, motivasi dan potensi yang dimiliki oleh manusia, rasa

ingin tahu. Pemahaman ayat di atas semakna jika dikaitkan dengan faktor-faktor

yang berkaitan dengan proses pendidikan dalam arti mikro, yaitu: pendidik, anak

didik, dan alat-alat pendidikan, baik yang bersifat materiil maupun nonmateriil.56

Pendidikan merupakan proses terus menerus dalam kehidupan manusia dari masa

umur 0 (nol) menuju manusia sempurna (dewasa). Bahkan Muhammad Abd. Alim

mengatakan bahwa pendidikan itu dimulai dari ketika memilih perempuan sebagai

isteri. Pendapat ini didasari dari hadis Nabi Saw, yaitu “Takhayyaru > li nutfikum fa

innal Irqa dassas”. Artinya: “pilihlah olehmu tempat benih kamu, sebab akhlak

ayah itu menurun kepada anak”.57 oleh karena Islam sangat menaruh perhatian

56 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), Cet-

1, 8 57Muhammad Abd. Alim, al-Tarbiyah wa alTanmiyah.. 44-45.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 73: Pendidikan Progresif John Dewey

63

terhadap pendidikan, khususnya proses pertumbuhan anak dari awal pemilihan

tempat benih sampai membentuk pribadi individu dalam kehidupan. Dan yang

turut berperan dalam pembinaan kepribadian dan pendidikan anak adalah orang

tua, masyarakat dan sekolah.

Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia;

aspek rohaniah, dan jasmaniah, juga harus berlangsung secara bertahap. Sebab

tidak ada satupun makhluk ciptaan Allah yang secara langsung tercipta dengan

sempurna tanpa melalui suatu proses.58 Kematangan dan kesempurnaan yang

diharapkan bertitik tolak pada pengoptimalan kemampuannya dan potensinya.

Tujuan yang diharapkan tersebut mencakup dimensi vertikal sebagai hamba

Tuhan; dan dimensi horisontal sebagai makhluk individual dan sosial. Hal ini

dimaknai bahwa tujuan pendidikan dalam pengoptimalan kemampuan atau potensi

manusia terdapat keseimbangan dan keserasian hidup dalam berbagai dimensi.

Demikian pula yang diharapkan oleh pendidikan agama Islam.59 Muhaimin

berpendapat bahwa pendidikan agama Islam bermakna upaya mendidikkan agama

Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi pandangan dan sikap hidup

seseorang. Dari aktivitas mendidikkan agama Islam itu bertujuan untuk membantu

seseorang atau sekelompok anak didik dalam menanamkan dan

menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai

pandangan hidupnya. Sementara itu Harun Nasution yang dikutip oleh Syahidin

mengartikan tujuan PAI (secara khusus di sekolah umum) adalah untuk

membentuk manusia takwa, yaitu manusia yang patuh kepada Allah dalam

menjalankan ibadah dengan menekankan pembinaan kepribadian muslim, yakni

pembinaan akhla>kul kari>mah, meski mata pelajaran agama tidak diganti mata

pelajaran akhlak dan etika.60

Dalam term yang serupa (menurut penulis) dengan pendidikan agama

Islam adalah Pendidikan Islam. al-Syaibani mengartikannya sebagai “usaha

pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkah laku individu dan pada

kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat dan pada kehidupan alam

sekitar pada proses kependidikan”.61 Sedang al-Nahlawi> memberikan pengertian

pendidikan Islam adalah “sebagai pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga

dapat memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam

58 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam h.12. 59Term pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam menurut sementara

kalangan pemikir pendidikan Islam adalah dua aspek yang berbeda. Misalnya Ahmad

Tafsir membedakan antara pendidikan agama Islam (PAI) dan pendidikan Islam. PAI

dibakukan sebagai nama kegiatan mendidikkan agama Islam. Muhaimin mendukung

pendapat di atas, bahwa pendidikan agama Islam merupakan salah satu bagian dari

pendidikan Islam. Muhaimin, h. 6. 60Syahidin, Aplikasi Metode Pendidikan Qurani dalam Pembelajaran Agama di

Sekolah, (Tasikmalaya: Ponpes Suryalaya Tasikmalaya, 2005) h. 20. 61al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Alih Bahasa:Hasan

Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), cet-1, h.399.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 74: Pendidikan Progresif John Dewey

64

kehidupan individu maupun masyarakat (kolektif)”.62 Hal yang senada juga

disampaikan Muhammad Fa>dhil al-Jamaly; mendefinisikan pendidikan Islam

sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup

lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang

mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik

yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun

perbuatannya.63 Ahmad D. Marimba; mengemukakan bahwa pendidikan Islam

adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap

perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya

kepribadiannya yang utama (insan kamil).64 Juga Ahmad Tafsir; mendefinisikan

pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada

seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.65

Dari definisi pendidikan agama Islam dan beberapa definisi pendidikan

Islam di atas, terdapat kemiripan makna yaitu keduanya sama-sama mengandung

arti pertama, adanya usaha dan proses penanaman sesuatu (pendidikan) secara

kuntinue. Kedua, adanya hubungan timbal balik antara orang pertama (orang

dewasa, guru, pendidik) kepada orang kedua, yaitu peserta dan anak didik. dan

ketiga adalah akhlakul karimah sebagai tujuan akhir. Namun tidak kalah

pentingnya dari aspek epistemologi bahwa pembinaan dan pengoptimalan potensi;

penanaman nilai-nilai Islam dalam jiwa, rasa, dan pikir; serta keserasian dan

keseimbangan. Muhaimin memberikan karakteristik PAI yang berbeda dengan

yang lain, yaitu:

a. PAI berusaha menjaga akidah peserta didik agar tetap kokoh dalam

situasi dan kondisi apapun.

b. PAI berusaha menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai yang

tertuang dan yang terkandung dalam al-Quran dan as-Sunnah serta

otentisitas keduanya sebagai sumber utama ajaran Islam.

c. PAI menonjolkan kesatuan iman, ilmu, dan amal dalam kehidupan

keseharian.

d. PAI berusaha membentuk dan mengembangkan kesalehan individu dan

sekaligus kesalehan sosial.

e. PAI menjadi landasan moral dan etika dalam pengembangan iptek dan

budaya serta aspekaspek kehidupan lainnya.

f. Substansi PAI mengandung entitas-entitas yang bersifat rasional dan

supra rasional.

62Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibiha,

(Damaskus: Daar al-Fikr, 1999), h. 20. 63al-Rasyidin dan H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat

Press, 1995) h. 31- 32. 64al-Rasyidin dan H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…. h. 32. 65Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 1994), cet-2, 32

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 75: Pendidikan Progresif John Dewey

65

g. PAI berusaha menggali, mengembangkan dan mengambil ibrah dari

sejarah dan kebudayaan (peradaban) Islam., dan

h. Dalam beberapa hal, PAI mengandung pemahaman dan penafsiran yang

beragam, sehingga memerlukan sikap terbuka dan toleran atau semangat

ukhuwah Islamiyah.

Epistemologi; Kaitannya dengan PAI dan Pendidikan Islam Sejak

dikenalnya filsafat dalam kehidupan manusia, maka sesuai dengan asal-usul kata

dari filsafat itu sendiri, yaitu philos yang berarti cinta dan sophos yang berarti

kebenaran, maka sejak itulah pencarian manusia terhadap kebenaran mulai

dilakukan, pengetahuan manusia tentang alampun mulai berkembang, dari

pengetahuan animisme dan dinamisme dengan pengembangan berbagai mitos

tentang para dewa dengan berbagai kesaktian dan perangainya sehingga

selanjutnya manusia mencoba untuk menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu

mitos. Manusia tidak lagi menatap kehidupan ini dari balik harum dupa dan asap

kemenyan. Filsafat, cenderung diidentikkan dengan menjawab berbagai

pertanyaan tentang pelbagai segi kehidupan manusia. Pertanyaan-pertanyaan ini

meliputi dari bagaimana kita memperoleh pengetahuan sampai pertanyaan-

pertanyaan mengenai yang benar, yang baik, yang indah, hakikat sesuatu, dan

sebagainya. DW. Hamlyn dalam bukunya, History of Epistemologi yang dikutip

oleh Amsal Bakhtiar, epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat

yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-

pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawabannya atas pernyataan

mengenai pengetahuan yang dimiliki.66 Muthahhari menyebutkan bahwa ada

empat sumber epistemologi, yakni: alam, rasio, hati dan sejarah.67 Dalam bahasa

yang berbeda Noeng Muhadjir mengatakan bahwa dalam pengenalan terhadap

beragam objek bisa diserap lewat indera, akal rasio, akal budi, dan intuisi serta

keimanan.68 Jadi, dari sumber epistimologi tersebut dalam prosesnya akan

melahirkan ilmu pengetahuan yang merupakan sebuah keharusan dalam

membangun peradaban. Jika epistimologi dikaitkan dengan pendidikan agama

Islam, maka yang menjadi objek pembahasannya adalah seluk beluk pengetahuan

agama Islam, hakikat agama Islam, sumber agama Islam, metode dan cara

mendidikkan agama Islam, dan evaluasi dan tujuan mendidikkan agama Islam.

Sementara itu menurut Mujamil Qomar, jika epistimologi dikaitkan dengan

pendidikan Islam, maka pembahasannya meliputi; pembahasan yang berkaitan

dengan seluk beluk pengetahuan pendidikan Islam mulai dari hakekat pendidikan

Islam, asal-usul pendidikan Islam, sumber pendidikan Islam, metode membangun

66Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), h.

148. 67Rudhy Suharto, Ilmu dan Epistemologi, (Jakarta: Al-Huda, tt), h. 1. 68Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komperatif,

(Yogyakarta, Rake Sarasin, 1998), Cet.-2, h. 56.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 76: Pendidikan Progresif John Dewey

66

pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam, sasaran pendidikan Islam, macam-

macam pendidikan Islam dan sebagainya. Pendidikan Agama Islam dan

Pendidikan Islam; Tinjauan Isi/Materi Isi atau materi tidak terlepas dari konsep

kurikulum.

Pemahaman yang berbeda dalam memandang arti kurikulum, pertama,

kurikulum yang menekankan aspek isi, di mana masyarakat dianggap bersifat

statis, yang menentukan aspek dalam pembelajaran adalah para pendidik. Kedua,

kurikulum yang menekankan pada proses dan pengalaman yang sudah tentu

melibatkan anak didik. Sehingga tidak muncul anggapan bahwa tidak ada

kurikulum standar, yang ada hanyalah kurikulum minimal yang dalam

implementasinya dikembangkan bersama peserta didik. Menurut Ashan yang

dikutip oleh E. Mulyasa, menyatakan: Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam

pengembangan kurikulum yang berbasis kompetensi, yaitu penetapan kompetensi

yang akan dicapai, pengembangan strategi untuk mencapai kompetensi, dan

evaluasi. Kompetensi yang ingin dicapai merupakan pernyataan (goal statement) yang hendak diperoleh peserta didik, menggambarkan hasil belajar (learning outcomes) pada aspek pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Strategi

mencapai kompetensi adalah upaya untuk membantu peserta didik dalam

menguasai kompetensi yang ditetapkan, misalnya: membaca, menulis,

mendengarkan, berkreasi, dan mengobservasi, sampai terbentuk suatu kompetensi.

Sedangkan evaluasi merupakan kegiatan penilaian terhadap pencapaian

kompetensi bagi setiap peserta didik. Inti dari pembahasan kurikulum diatas

adalah mengenai pengetahuan yang didapat, penerapan dari pengetahuan tersebut

dan aspek nilai. Semua aspek ini bila ditinjau dari pandangan pendidikan agama

Islam saling mendukung dan tidak terdapat kontradiktif di mana kurikulum

pendidikan nasional bertujuan menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa, menumbuhkan penalaran yang baik (mau belajar, ingin

tahu, kreatif dan bertanggung jawab)69. Dalam pendidikan agama Islam terdapat

tiga materi pokok yaitu akidah, ibadah dan akhlak. Sedang dalam bahasa

pendidikan Islam, ketiga term tersebut dijabarkan dengan istilah pengenalan

kepada Allah SWT, potensi dan fungsi manusia, dan akhlak. Di atas adalah

penjelasan makna pendidikan agama Islam, adapun makna pendidikan Islam

sebagai berikut:

Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai

ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Quran dan al-Hadits serta dalam

pemikiran para ulama dan dalam praktik sejarah umat Islam.70 Pendidikan Islam

memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan pengertian pendidikan

secara umum. Beberapa pakar pendidikan Islam memberikan rumusan pendidikan

69E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan

Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. Ke-6, h. 41-42. 70Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional Hingga

Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005) h. 249.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 77: Pendidikan Progresif John Dewey

67

Islam, diantaranya Yu>suf Qardha>wi, mengatakan pendidikan Islam adalah

pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak

dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup,

baik dalam keadaan aman maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi

masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya.

Pendidikan adalah proses bimbingan atau pertolongan yang sengaja atau

sadar diberikan oleh orang dewasa (pendidik) terhadap perkembangan jasmani dan

rohani anak yang belum dewasa (anak didik) untuk membentuk kedewasaan

(kepribadiannya). Pendidikan merupakan pemberdayaan manusia dalam menjalani

kehidupan dan sekaligus untuk memperbaiki masa depan. Pendidikan merupakan

suatu upaya mewariskan nilai yang akan menjadi penolong dan penuntun dalam

menjalani kehidupan, sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat

manusia71. Tanpa pendidikan manusia sekarang tidak akan berbeda dengan

manusia masa lampau, bahkan akan lebih rendah atau jelek kualitasnya.

Masyarakat madani dapat diwujudkan antara lain dengan melalui peningkatan

pendidikan umatnya. Hal ini berlaku juga bagi bangsa Indonesia yang mayoritas

penduduknya beragama Islam72). Oleh karena itu menurut John Dewey pendidikan

diartikan sebagai social continuity of life. Ada juga yang mengartikan bahwa

pendidikan adalah it more narrowly as transmission from some person to others of the skills, the arts and the sciences. Maka dengan melalui pendidikan Islam

manusia akan mampu mengembangkan dirinya dan meningkatkan potensinya

untuk memperbaiki kehidupan di masa depannya. Oleh karena itu institusi

pendidikan Islam peran sertanya untuk perbaikan aspek kehidupan sangat penting

dan dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. Lembaga pendidikan Islam

dituntut perannya untuk peduli dalam rangka memperbaiki kehidupan masyarakat.

Jadi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah segala usaha atau

bimbingan untuk mengembangkan jasmani rohani (fitrah manusia dan sumber

daya insani) yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam, yakni berdasarkan ajaran agama

Islam.

Secara mikro, telaah Ilmu Pendidikan Islam menyangkut seluruh

komponen yang termasuk dalam pendidikan Islam73. Sedangkan secara makro,

objek formal Ilmu Pendidikan Islam ialah upaya normatif (sesuai dengan ajaran

dan nilai-nilai yang terkandung dalam fenomena qauliyah dan kauniyah)

keterkaitan pendidikan Islam dengan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan

agama baik dalam skala kedaerahan, nasional maupun internasional.74 Objek

71Mansur, Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar 2004) h. 4. 72Azwar Anas. Yogyakarta: Tiara Wacana Price, Kingsley (USA: Allyn and Bacon

1993) h. XIII. 73Abuddin Nata, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2005) h. 150. 74Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam

(Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 45.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 78: Pendidikan Progresif John Dewey

68

kajian pendidikan Islam senantiasa bersumber dari landasan normatif Islam yaitu

al-Qur’an (qauliyah) melalui pengalaman batin Nabi Muhammad SAW yang

kemudian kita kenal dengan wahyu, kemudian disampaikan kepada seluruh umat

dan alam semesta (kauniyah). Dari kedua landasan inilah kemudian digali dan

dikaji sehingga melahirkan konsep dan teori pendidikan yang bersifat universal.

Kemudian, teori dan konsep yang bersifat universal tersebut dikaji melalui

kegiatan eksprimen dan penelitian ilmiah yang pada gilirannya akan melahirkan

teori-teori atau Ilmu Pendidikan Islam dan diuraikan secara operasional untuk

kemudian dikembangkan menjadi metode, kurikulum dan teknik pendidikan Islam.

Kajian pendidikan Islam senantiasa bertolak pada problem yang ada di dalamnya,

kesenjangan antara fakta dan realita, kontroversi antara teori dan empiris. Maka

dari itulah, wilayah kajian pendidikan Islam bermuara pada tiga problem pokok,

antara lain:

a. Foundational problems, yang terdiri dari atas religious foundation and philosophic foundational problems, empiric fondational problems (masalah

dasar, fondasi agama dan masalah landasan filosofis empiris) yang

didalamnya menyangkut dimensi-dimensi dan kajian tentang konsep

pendidikan yang bersifat universal, seperti hakikat manusia, masyarakat,

akhlak, hidup, ilmu pengetahuan, iman, ulul albab dan lain sebagainya.

Yang semuanya bersumber dari kajian fenomena qauliyah dan fenomena

kauniyah yang membutuhkan pendekatan filosofis.

b. Structural problems (masalah struktural). Ditinjau dari struktur demografis

dan geografis bisa dikategorikan ke dalam kota, pinggiran kota, desa dan

desa terpencil. Dari struktur perkembangan jiwa manusia bisa dikategorikan

ke dalam masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan manula. Dari struktur

ekonomi dikategorikan ke dalam masyarakat kaya, menengah dan miskin.

Dari struktur rumah tangga, terdapat rumah tangga karier dan non karier.

Dari struktur jenjang pendidikan bisa dikategorikan ke dalam pendidikan

anak usia dini, pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.

c. Operational problem (masalah operasional). Secara mikro akan

berhubungan dengan berbagai komponen pendidikan Islam, misalnya

hubungan interaktif lima faktor pendidikan yaitu tujuan pendidikan,

pendidik dan tenaga kependidikan, peserta didik dan alat-alat pendidikan

Islam (kurikulum, metodologi, manajemen, administrasi, sarana dan

prasarana, media, sumber dan evaluasi) dan lingkungan atau konteks

pendidikan. Atau bisa bertolak dari hubungan input, proses dan output.

Sedangkan secara makro, menyangkut keterkaitan pendidikan Islam dengan

sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama baik yang bersifat

Nasional dan Internasional75.

75 Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam... h. 45.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 79: Pendidikan Progresif John Dewey

69

Dari beberapa literatur dapat disebutkan bahwa epistemologi adalah teori

pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan

dari objek yang ingin dipikirkan.76 D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi

sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan

dan pengandaipengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya

sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. Selanjutnya, pengertian

epistemologi yang lebih jelas, diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa

epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur,

metode, dan validitas ilmu pengetahuan.77 Landasan epistemologi memiliki arti

yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat

berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang

kokoh. Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah, yaitu cara yang

dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah

merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan

merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode ilmiah. Dengan demikian,

metode ilmiah merupakan penentu layak-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu,

sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan.

Dari pengertian, ruang lingkup, objek, dan landasan epistemologi ini,

dapat kita disimpulkan bahwa epistemologi merupakan salah satu komponen

filsafat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan

cara, proses, dan prosedur bagaimana ilmu itu diperoleh. Dalam pembahasan ini

epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang

dapat dipakai untuk membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada komponen-

komponen lainnya, sebab metode atau pendekatan tersebut paling dekat dengan

upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun

aplikatif. Epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik,

pemberi solusi, penemu, dan pengembang. Pendekatan epistemologi memerlukan

cara atau metode tertentu, sebab ia menyajikan proses pengetahuan di hadapan

siswa dibandingkan hasilnya. Pendekatan epistemologi ini memberikan

pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui

proses sesuatu kegiatan pasti mengetahui hasilnya. Sebaliknya, banyak yang

mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui prosesnya. Bisa dipastikan bahwa

jika pendekatan epistemologi ini benar-benar diimplementasikan dalam proses

belajar mengajar di lembaga pendidikan Islam, siswa dapat memiliki kemampuan

memproses pengetahuan dari awal hingga wujud hasilnya. Jika pendidikan Islam

mengedepankan pendekatan epistemologi dalam proses belajar mengajarnya, maka

pendidikan Islam akan banyak menelorkan lulusan-lulusan yang berjiwa produsen,

76Ihsan Hamdani, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998),

h. 16. 77Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta:

Kalam Mulia, 2006) h. 4.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 80: Pendidikan Progresif John Dewey

70

peneliti, penemu, penggali, dan pengembang ilmu pengetahuan. Karena

epistemologi merupakan pendekatan yang berbasis proses, maka epistemologi

melahirkan konsekuensi-konsekuensi logis dan problematika yang sangat

kompleks, yaitu :

a. Pendidikan Islam seringkali dikesankan sebagai pendidikan yang

tradisional dan konservatif, hal ini wajar karena orang memandang bahwa

kegiatan pendidikan Islam dihinggapi oleh lemahnya penggunaan

metodologi pembelajaran yang cenderung tidak menarik perhatian dan

memberdayakan.

b. Pendidikan Islam terasa kurang concern terhadap persoalan bagaimana

mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi suatu

“makna dan nilai” yang perlu di internalisasikan dalam diri seseorang

lewat berbagai cara, media dan forum.

c. Metodologi pengajaran agama berjalan secara konvensional tradisional,

yakni menitikberatkan pada aspek korespondensi tekstual yang lebih

menekankan yang sudah ada pada kemampuan anak didik untuk

menghafal teks-teks keagamaan daripada isu-isu sosial keagamaan yang

dihadapi pada era modern seperti kriminalitas, kesenjangan sosial dan lain

lain.

d. Pengajaran agama yang bersandar pada bentuk metodologi yang bersifat

statis indoktrinatif-doktriner.78 Problematika Aksiologi Pendidikan Islam Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, pada

umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat

banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah

nilai yang khusus seperti epistemologis, etika dan estetika. Epistemologi

bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan

masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.79

Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau

moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab

dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik

dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara

dan tujuan (means and ends). Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari

Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos”

yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari

nilai.80 Kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana

78Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam; Meretas Mindset Baru, Meraih

Paradigma Unggul (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), h. 37. 79Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta.

Penerbit Tiara Wacana, 1996), h. 327. 80Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alfabeta,

2007), h. 36.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 81: Pendidikan Progresif John Dewey

71

nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material). Demikian

juga dengan kaum realis, mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada

tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, dan

berfikir logis. Kaum pragmatis pun berbeda, menurut mereka, suatu aktifitas

dikatakan baik apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai

instrumental dan sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.

Dari lima komponen dalam pendidikan Islam (tujuan pendidikan, pendidik dan

tenaga pendidikan, peserta didik dan alat-alat pendidikan Islam dan lingkungan

atau konteks pendidikan., ketika dikaitkan dengan dimensi aksiologis, maka

terdapat problem antara lain:

a. Tujuan pendidikan Islam kurang berorientasi pada nilai-nilai kehidupan

masa yang akan datang, belum mampu menyiapkan generasi yang sesuai

dengan kemajuan zaman.

b. Pendidik dan tenaga pendidikannya mulai memudar dengan doktrin awal

pendidikan Islam tentang konsep nilai ibadah dan dakwah syiar Islam.

Pendidik juga disibukkan dengan hal-hal teknis seperti tunjangan honor,

tunjangan fungsional dan tunjangan sertifikasi.

c. Di kalangan peserta didikpun dalam menuntut ilmu cenderung

mengesampingkan nilai-nilai ihsan, kerahmatan dan amanah dalam

mengharap ridha Allah.

Ontologi merupakan cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan

hakikat hidup. Ontologi diartikan juga dengan hakikat apa yang terjadi. Masalah-

masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi menurut Muhaimin

adalah dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai

pandangan manusia, masyarakat dan dunia.81 Lalu pendirian mengenai pandangan

manusia, masyarakat dan dunia yang seperti apa atau yang bagaimana yang

dikehendaki dan sesuai dengan pendidikan nasional. Menurut Al-Qur’an, manusia

diberi tugas Allah sebagai khali>fah. Manusia mendapatkan wewenang dan kuasa

untuk melaksanakan pendidikan terhadap dirinya sendiri dan manusia pun

mempunyai potensi untuk melaksanakannya. Dengan demikian pendidikan

merupakan tanggung jawab manusia sendiri. Untuk dapat mendidik dirinya

sendiri, manusia harus memahami dirinya sendiri. Apa hakikat manusia,

bagaimana hakikat hidup dan kehidupannya? Apa tujuan hidup dan apa pula tugas

hidupnya? Dimensi ontologis mengarahkan kurikulum agar lebih banyak memberi

peserta didik untuk berhubungan langsung dengan fisik objek-objek, serta

berkaitan dengan pelajaran yang memanipulasi benda-benda dan materi-materi

kerja. Dimensi ini menghasilkan verbal learning (belajar verbal), yaitu berupa

kemampuan memperoleh data dan informasi yang harus dipelajari dan dihafalkan.

Dimensi ini diambil dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh Allah SWT.

81Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian ilosofis dan

Kerangka Operasionalnya (Bandung: Trigenda karya, 1993), h. 115.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 82: Pendidikan Progresif John Dewey

72

kepada Nabi Adam, dengan mengajarkan nama-nama benda, seperti termaktub

dalam firman Allah: (QS. al-Baqarah: 31).82

Implikasi dimensi ontologi dalam kurikulum pendidikan ialah bahwa

pengalaman yang ditanamkan kepada peserta didik tidak hanya sebatas pada alam

fisik tapi juga alam tak terbatas. Maksud alam tak terbatas adalah alam rohaniah

atau spiritual, yang mengantarkan manusia pada keabadian. Di samping itu, perlu

juga ditanamkan pengetahuan tentang hukum dan sistem kesemestaan yang

melahirkan perwujudan harmoni dalam alam semesta yang menentukan kehidupan

manusia di masa depan.

Problema epistemologi pendidikan Islam dapat diatasi dengan

melaksanakan langkah-langkah berikut:

a. Menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu

tidak bebas nilai, tetapi bebas untuk dinilai. Itulah sebabnya diperlukan

adanya pencerahan dalam mengupayakan integralisasi keilmuan.83

b. Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara

guru dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis,

optimis, dinamis, inovatif, memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan

siswa dapat pula mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan. Intinya,

pendekatan epistemologi ini menuntut pada guru dan siswa untuk sama-sama

aktif dalam proses belajar mengajar.84

c. Merubah paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada

wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma ideologis ini karena otoritasnya dapat

mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis. Praktis

paradigma ideologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau

pemikiran bebas bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal, wahyu

sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti,

melakukan observasi, dan menemukan ilmu pengetahuan85 dengan petunjuk

wahyu Allah SWT. Dan paradigma ilmiah saja tanpa berpijak pada wahyu,

tetap akan menjadi sekuler. Karena itu, agar epistemologi pendidikan Islam

terwujud, maka konsekuensinya harus berpijak pada wahyu Allah.

d. Guna menopang dan mendasari pendekatan epistemologi ini, maka perlu

dilakukan rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual

ini, menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan

yang bersumber pada hasil penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah)

maupun penelitian terhadap ayat qauliyah atau naqliyah (al-Qur’an dan al-

82Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV Penerbit

Jumanatul Ali-Art, 2004), h. 7. 83Muhammad In’am Esha, Institusional Transformation, Reformasi dan

Modernisasi Pendidikan Tinggi Islam (Malang: UIN-Malang Press), h. 81. 84Sutrisno, Pembaharuan Dan Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta:

Fadilatama, 2011), h. 105. 85Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam

(Jakarta:Kalam Mulia, 2006), h. 4.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 83: Pendidikan Progresif John Dewey

73

Sunnah) merupakan ilmu Allah SWT. Ini berarti bahwa semua ilmu

bersumber dari Allah. Realisasinya, bagi penyusun kurikulum yang berbasis

tauhid ini harus memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang Islam.

Karena kurikulum merupakan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan.

Terkait dengan pengembangan kurikulum pendidikan Islam, hal-hal yang

sifatnya masih melangit, dogmatis, dan transendental perlu diturunkan dan

dikaitkan dengan dunia empiris di lapangan. Ilmu-ilmu yang berbasis pada

realitas pengalaman empiris, seperti sosiologi, psikologi, filsafat kritis yang

sifatnya membumi perlu dijadikan dasar pembelajaran, sehingga ilmu betul-

betul menyentuh persoalan-persoalan dan pengalaman empiris.86

e. Epistemologi pendidikan Islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis

antara akal dan wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan

pada pertumbuhan yang integral antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Semua

dimensi ini bergerak saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga

perpaduan seluruh dimensi ini mampu menelorkan manusia paripurna yang

memiliki keimanan yang kokoh, kedalaman spiritual, keluasan ilmu

pengetahuan, dan memiliki budi pekerti mulia yang berpijak pada “semua

bersumber dari Allah, semua milik Allah, difungsikan untuk menjalankan

tugasnya sebagai khalifah Allah dan sebagai abdullah, dan akan kembali

kepada Allah (mentauhidkan Allah)”.

Konsekuensi yang lain adalah merubah pendekatan dari pendekatan

teoritis atau konseptual pada pendekatan kontekstual atau aplikatif. Dari sini

pendidikan Islam harus menyediakan berbagai media penunjang untuk

mencapai hasil pendidikan yang diharapkan. Menurut perspektif Islam bahwa

media pendidikan Islam adalah seluruh alam semesta atau seluruh ciptaan

Allah SWT. Sabda Rasulullah Saw. yang artinya “berpikirlah kamu sekalian tentang makhluk ciptaan Allah, jangan kamu berpikir tentang Allah sesungguhnya kalian tidak akan mampu memikirkan-Nya.” (HR.Abu Syekh

dari Ibn Abbas).

f. Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik yang meliputi

kompetensi personal, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan

kompetensi sosial.87 Sehingga dengan pemenuhan kompetensi inilah, seorang

tenaga pendidik mampu menemukan metode yang diharapkan sebagaimana

harapan dalam kajian epistemologis.

Aksiologis membahas tentang hakikat nilai, yang didalamnya meliputi

baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang

cara dan tujuan (means and ends). Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak

baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia. pendidikan Islam

86 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 152. 87Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2010), h. 16.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 84: Pendidikan Progresif John Dewey

74

diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan

dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh

komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya

kondisi mental-moral dan spiritual religius menjadi target arah pengembangan

sistem pendidikan Islam. Oleh sebab itu, berdasarkan pada pendekatan etik moral

pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan

dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan

tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi

dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.

Selain konteks etika profetik, aksiologis dalam pendidikan Islam meliputi

estetika yang merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi yang

berhubungan dengan seni.88 Dengan seni itulah, nantinya bisa dijadikan sebagai

media dan alat kesenangan, sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang

pengalaman. Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah

nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembangan pendidikan

yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, di mana setiap persoalan

pendidikan Islam dilihat dari perspektif yang mengikutsertakan kepentingan

masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat

luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu

kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam) sehingga pendidikan Islam

tetap memiliki daya tarik dan kajian yang senantiasa berkesinambungan serta

relevan hingga akhir zaman. Ada beberapa nilai etika profetik dalam rangka

pengembangan dan penerapan Ilmu Pendidikan Islam, yaitu:

a. Nilai ibadah, yakni bagi praktisi dan pemerhati pendidikan Islam, dalam

segala proses dan berfikirnya senantiasa tercatat sebagai ibadah,

sebagaimana Firman-Nya: (QS. Ali Imran: 191).

b. Nilai ihsan, yakni penyelenggaraan pendidikan Islam hendaknya

dikembangkan atas dasar berbuat baik terhadap sesama. Allah berfirman

(QS. al-Qashash: 77)

c. Nilai masa depan, pendidikan Islam hendaknya ditujukan untuk

mengantisipasi masa depan yang lebih baik, karena mendidik berarti

menyiapkan generasi yang hidup dengan tantangan yang jauh berbeda

dengan periode sebelumnya, yakni menyiapkan sumber daya manusia

yang cakap, terampil dan profesional. Sebagaimana firman-Nya (QS. al-

Hasyr: 18)

d. Nilai kerahmatan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi

kepentingan dan kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam semesta,

sebagaimana termaktub dalam (QS.al- Anbiya’: 107)

88Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan

Islam & Dakwah (Yogyakarta : SIPress, 1994), h. 25.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 85: Pendidikan Progresif John Dewey

75

e. Nilai dakwah, yakni penerapan dan pengembangan ilmu pendidikan Islam

merupakan wujud penyebaran syiar Islam, sebagaimana dalam (QS.

Hamim al-Sajadah: 33)

Maka kemudian, jika landasan ini senantiasa menjadi pegangan hidup

dalam lingkup pendidikan Islam, maka unsur aksiologis pendidikan Islam tetap

abadi dan sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat.

Agar Ilmu Pendidikan Islam tidak kehilangan daya tarik, kaitannya

dengan kelembagaan dan fungsionalnya, diperlukan adanya perubahan paradigma,

bangunan dan kerangka berfikir yang memadai dalam penyelenggaraan pendidikan

Islam. Diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia.

Manusia diciptakan didunia diberi tugas Allah sebagai khalifah. Manusia

mendapatkan wewenang dan kuasa untuk melaksanakan pendidikan terhadap

dirinya sendiri. Dengan demikian, pendidikan merupakan tanggung jawab manusia

sendiri untuk dapat mendidik dirinya sendiri, memahami hakikat kemanusiaannya,

hakikat hidup dan kehidupannya serta tujuan dan tugas dalam kehidupannya yang

kemudian dikenal dengan istilah ontologis. Kajian tentang epistemologi

pendidikan Islam mampu mengarahkan pada ranah kemajuan pendidikan Islam,

manakala kita sebagai bagian dari pemerhati pendidikan mampu menghilangkan

paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai,

tetapi bebas untuk dinilai. Merubah paradigma ideologis menjadi paradigma

ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma ideologis ini

karena otoritasnya-dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan

dinamis. Merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada

pendekatan kontekstual atau aplikatif.

Dalam rangka menyebarluaskan misi agama Islam melalui media dan

pengajaran Ilmu Pendidikan Islam, maka para praktisi dan pemerhati pendidikan

Islam hendaknya menanamkan nilai-nilai aksiologis yang terdapat dalam Ilmu

Pendidikan Islam antara lain: dalam pendidikan Islam terdapat nilai-nilai ibadah,

nilai ihsan, nilai dan orientasi masa depan, nilai dakwah Islamiyah dan nilai-nilai

kerahmatan bagi seluruh alam.

2. Pendidikan Progresif John Dewey

Pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah

berpusat pada anak (student centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan

pendidikan yang berpusat pada guru (teacher centered) atau bahan pelajaran

(subject centered).89

Aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh dalam abad ke-20 ini

adalah aliran progresif. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di

89Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-

dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2006), h.142

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 86: Pendidikan Progresif John Dewey

76

Amerika Serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan pada

umumnya terdorong oleh aliran progresif ini.90 Maksudnya adalah pandangan

hidup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut; fleksibel (tidak kaku, tidak

menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), curios (ingin

mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati

terbuka). Progresif menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif.

Tujuan pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang

terus-menerus, agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu

mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dari

lingkungan.91

Sejarah Progresif sebagai gerakan pendidikan, progresif merupakan bagian

dari gerakan reformasi sosio politik abad ke-19 dan awal abad ke- 20 di Amerika

Serikat. Salah satu tokohnya adalah John Dewey. Bagi Dewey, potensi yang

dipunyai manusia itu dapat melihat dan memecahkan masalah yang mengganggu

eksistensi manusia. 92 Dalam pandangan progresif pendidikan adalah media yang

dipersiapkan untuk menumbuhkembangkan potensi anak didik agar survive atau

bertahan diri terhadap semua hambatan dan rintangan dalam hidup yang secara

praktek yang akan selalu menjalani berbagai kemajuan93.

Asas progresif diakui dan dikembangkan dalam sebuah kehidupan yang

nyata, tujuan untuk manusia agar senantiasa bisa survive menghadapi semua

tantangan dan rintangan hidup. Aliran ini disebut juga dengan nama

instrumentalis, eksperimentalis, dan environmentalis. Instrumentalis beranggapan

bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk

kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Eksperimentalis

mengakui dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu

teori. Environmentalis menganggap bahwa lingkungan hidup itu mempengaruhi

pembinaan kepribadian. Adapun tokoh-tokoh dari progresif antara lain adalah

John Dewey, Ferdinant Schiller James, Hans Vaihinger, dan Georges Santayana.

Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada

peserta didik. Peserta didik diberikan kesempatan dan kebaikan dalam berpikir

dan secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan

kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa hambatan oleh rintangan yang

dibuat oleh orang lain. Dengan demikian, pendidikan progesif Dewey menolak

pendidikan yang otoriter. John Dewey berpendapat bahwa pendidikan sebagai

proses dan sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan peserta didik dapat

mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian dan pengalaman lingkungan alam

sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu

90Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 20. 91Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2004), h. 41. 92Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002),

h. 28. 93Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h.156.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 87: Pendidikan Progresif John Dewey

77

dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja tetapi di alam

terbuka pun bisa untuk belajar. Progresif ini memandang bahwa peserta didik

memiliki akal dan kecerdasan masing-masing. Hal itu ditunjukkan dengan realitas

kehidupan bahwa manusia mempunyai kelebihan jika dibanding makhluk lain.

Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif yang terus survive yang didukung oleh

kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Dalam

meningkatan kecerdasan peserta didik menjadi tugas utama pendidik, yang secara

teori mengerti karakter dan potensi peserta didiknya masing-masing. Peserta didik

tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan ruhani, namun juga

termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam

pengalamannya. Jasmani dan ruhani, terutama kecerdasan, sangat perlu

dioptimalkan setiap waktu.94

Dari serangkaian penjelasan di atas bahwa pendidikan berarti proses

menumbuhkembangkan dari bermacam kemampuan yang telah ada di dalam

manusia itu sendiri, contoh kemampuan bakat-bakat, talenta, kemampuan fisik

dan daya-daya seni, akademis, relasional. Bila dihubungkan dengan pendidikan di

Indonesia pada era ini, jadi progresif mempunyai kontribusi yang cukup besar,

terutama dalam orientasi dan komprehensif dalam pendidikan yang sesungguhnya.

Di dalam pendidikan sudah semestinya dilaksanakan dengan memprioritaskan

bermacam potensi yang dipunyai oleh anak didik, serta berusaha untuk

menyiapkan anak didik agar cakap menghadang tantangan dan memecahkan

masalah setiap persoalan yang dihadapi di lingkungannya. Perihal tersebut seirama

dengan interpretasi pendidikan di Indonesia, yaitu usaha sadar dan terencana

untuk mengimplementasikan kondisi belajar dan proses pembelajaran supaya anak

didik secara aktif dan kreatif membentangkan kemampuan dirinya untuk

mempunyai kapasitas spiritual yang tinggi agar cerdas spiritual dalam religuisitas,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian bahwa,

pendidikan tidak hanya diintrepetasikan hanya sebagai transfer pengetahuan saja.

Dengan mengaplikasikan pendidikan progresif maka anak didik diberikan

kesempatan yang baik, baik secara fisik maupun cara berpikir, guna

mengembangkan potensi bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya

tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Dengan demikian

dapat dipahami, bahwa pendidikan progesif telah memberikan kontribusi yang

besar di dunia pendidikan di Indonesia. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar

kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Sebuah penelitian95

mengemukakan bahwa manusia menurut Ibn Khaldūn sebagai mahkluk ciptaan

Allah dengan segala potensi dilengkapi panca indera dan akal untuk menjadi

94Tutuk Ningsih, Telaah Konsepsi Pendidikan dan Implikasinya Bagi Terwujudnya

Masyarakat Madani di Indonesia Insania, Vol. 14, No. 1 Jan-Apr 2009 95T. Saiful Akbar Manusia Dan Pendidikan Menurut Pemikiran Ibn Khaldun Dan

John Dewey, Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2015, VOL. 15, NO. 2, 223

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 88: Pendidikan Progresif John Dewey

78

intelek. Tujuan pendidikan adalah untuk membuka pikiran dan kematangan

individu bagi kemajuan agama, industri dan sistem sosial. Eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya sekaligus mengarah ke

masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian, manusia berada

dalam perjalanan hidup, dalam perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah

manusia tetapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan dirinya sebagai manusia.

Manusia sebagai mahluk yang berpikir atau “homo sapiens” mahluk yang

berbentuk “homo faber” mahluk yang dapat dididik (homo educandum) dan

dengan kedudukannya sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk lainnya

haruslah menempatkan manusia sebagai pribadi yang utuh dalam kaitannya

dengan kepentingan perkembangan kognitif, psikomotorik dan afektif.96

Dalam Pendidikan, progresif Dewey, menekankan proses pendidikannya

sebagai sebuah transaksi antara person dengan lingkungannya. Progresif adalah

sebuah reaksi yang menentang pandangan tradisionalisme dalam sekolah, dan

menekankan kebebasan terhadap keinginan-keinginan dan keperluan/tuntutan si

anak. Sedangkan rekonstruktivisme berargumen bahwa sekolah-sekolah tersebut

harus memainkan peranan yang sangat penting dalam perubahan dan budaya-

kritis.97 Di samping itu, filsafat Dewey biasanya juga dikenal dengan

instrumentalism atau experimentalism, yang membawa kepada suatu teori

pendidikannya yaitu learning by doing dan menentang kebiasaan belajar dan

metode-metode mengajar yang otoriter dan dogmatis. Dia mendirikan sebuah

laboratorium dan tempat workshop yang dapat mengasuh dan mengembangkan

kreativitas dan kerjasama antar siswa. Di sini Dewey mempertahankan bahwa

masyarakat yang demokratis harus menanamkan kebiasaan penyelidikan dan

antipati terhadap kekakuan dan cara-cara diktator dalam masyarakatnya.

Pemikiran Dewey diadopsi dan dirubah bentuknya dengan pergerakan pendidikan

progresif (progressive education).98 Meskipun Filsafat Hegelian mempengaruhi

Dewey semasa mudanya, ini masih memiliki dunia abadi dan absolutnya yang

lebih nyata daripada proses sementara. Ini tidak mungkin bertempat dalam pikiran

Dewey, baginya semua realitas adalah sementara, dan proses, kendali evolusioner,

tidak seperti Hegel, yang mengungkapkan ideal abadi.99 Dengan demikian, dasar

pemikiran filsafat Dewey adalah pertama sekali dibentuk oleh pengaruh

absolutisme Hegel dan naturalisme Darwin dan juga pragmatisme William James.

96Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT Rineka

Cipta, 2008), 2 97Gerald L. Gutek, Philosophical and Ideological Perspectives on Education,

(New Jersey: Prentice Hall Inc., 1998) 9. 98Lihat dalam, The Encyclopedia Americana, (USA: Americana Corporation,

1980) 46. 99 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-

politik Zaman Kuno hingga Sekarang, alih bahasa Sigit Jatmiko dkk, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2002), 1068.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 89: Pendidikan Progresif John Dewey

79

Tetapi perlu dipertimbangkan juga sebelum itu, bahwa perjalanan pemikiran

Dewey dipengaruhi oleh Ralph Waldo Emerson.100

Kehadiran Emerson dalam pemikirannya bukan hanya selalu pada

ketajaman dan kecepatan pikirannya, dan pengaruh Emerson tidak dirasakan

secara langsung, tetapi mulai dari karir permulaan Dewey sampai karir berikutnya,

memperlihatkan sebuah identitas yang tersembunyi, atau dapat kita katakan

sebagai sebuah semangat yang diwarisi dari Emerson. Dengan kata lain Emerson

lah yang pertama sekali memformat pemikiran Dewey, kemudian diikuti oleh

Hegel, Darwin, dan William James. Untuk memahami gagasan dan pendirian John

Dewey tentang pendidikan, sebaiknya akan dilihat falsafah hidup Dewey. Menurut

Dewey, filsafat adalah memberikan garis-garis pengarahan bagi tindakan dan

kenyataan hidup. Dengan demikian, filsafat tidak boleh tenggelam dalam

pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada

pengalaman, dan penyelidikan serta mengolah pengalamannya tersebut secara

aktif dan kritis. Hanya dengan cara seperti itu, filsafat dapat menyusun tatanan

norma dan nilai. Menurut Dewey, filsafat dan pendidikan tidak dapat dipisahkan,

malah filsafat adalah dasar bagi teori pendidikan. Maksud dan tujuan sekolah

adalah untuk membangkitkan dan mengembangkan sikap hidup demokratis.

Proses pendidikan harus dilangsungkan dengan berpangkal pada pengalaman

peserta didik sendiri, dan tidak semua pengalaman itu berfaedah. Oleh karena itu,

sekolah harus memberikan ”bahan pelajaran” sebagai pengalaman-pengalaman

yang berfaedah demi masa depan peserta didik dan sekaligus pengalaman itu

merupakan hal yang dapat dialami peserta didik pada saat sekarang ini. Dalam

bidang filsafat, mula-mula Dewey menganut prinsip idealisme Hegel, tetapi

kemudian ia beralih kepada aliran pragmatisme William James. Dengan demikian,

bagi Dewey seluruh tindakan berpikir manusia seharusnya mengarah kepada

perbaikan hidup.

D. Relevansi pendidikan progresif terhadap pendidikan Islam

Dalam proses belajar, seorang siswa harus memusatkan perhatiannya pada

pemecahan suatu masalah pokok, harus berpandangan luas menerima semua

sumber informasi atau saran yang masuk akal, harus dapat tertarik pada

keuntungan dan kerugian yang akan diperolehnya dan ia harus mau menerima

segala akibat dari kesimpulan atau keputusan yang dibuatnya.

Dalam pembelajaran John Dewey memberikan kebebasan pada murid

untuk memilih kegiatan yang mereka sukai dan menganjurkan pengajaran secara

individu serta paritisipasi sosial para murid dalam kegiatan-kegiatan kelompok.

Dewey yakin bahwa pendidikan umum yang dikelola dengan baik, akan

memperbaiki suatu masyarakat dan dikatakannya pula bahwa sekolah yang baik

100Neil Coughlan, Young John Dewey: An Essay in American Intellectual History,

(Chicago: University of Chicago Press, 1973), 7-9

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 90: Pendidikan Progresif John Dewey

80

harus merupakan miniatur masyarakatnya, murid harus menggunkan bangunan,

alat-alat, permainan, pengamatan alam, pengungkapan diri (bukan hanya patuh

pada orang lain) dan hasil aktivitas sebagai cara belajar atau pengembangan

dirinya, murid harus mempelajari pranata-pranata sosial dan cara hidup dengan

jalan ikut berperan serta dalam sekolah maupun masyarakat, dan yang terakhir

adalah pendidikan harus menunjang kelangsungan pranata, adat istiadat,

keterampilan dan pengetahuan dari generasi yang satu ke generasi yang

berikutnya.101

Dalam buku yang dikutip Iman bagi Dewey kedudukan pendidikan sejalan

dengan konsep pertumbuhan manusia. Ia akan terus mengakui sepanjang manusia

tersebut masih tumbuh, pendidikan masih terus berjalan. Hal ini sesuai dengan

prinsip long life education. Islam juga mengenal istilah ini yang didasarkan pada

sebuah ajaran Nabi, bahwa belajar adalah dari ayunan sampai meninggal. Konsep

pendidikan sejalan dengan konsep pertumbuhan menjadikan pengalaman sebagai

dasar pijak untuk memberikan materi pendidikan. Belajar berdasarkan pengalaman

dalam Islam juga ditekankan, setidaknya denagn sebuah ayat al-Qur’an yang

menganjurkan untuk selalu menjadikan pengalaman sebagai bahan perenungan

bagi perbaikan pada hari berikutnya.

Konsep pendidikan berdasarkan pengalaman inilah yang dapat

dikembangkan sebagai basis pendidikan partisipatif. Peserta didik diberikan

pendidikan sesuai dengan kadar pengalaman yang dimiliki, sehingga lebih

memungkinkan untuk melibatkannya secara aktif dalam setiap proses

pendidikan.102

Pendidikan Islam sebagai pendidikan yang didasarkan pada landasan

idealnya, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, dan juga berdasarkan atas realitas socio-historis dan socio-cultural masyarakat Islam itu sendiri, tentu harus mempunyai

sebuah kerangka ideal-teoritis untuk mengantisipasi persoalan-persoalan umat

manusia secara umum, dan khususnya persoalan-persoalan pendidikan masyarakat

Islam. Untuk itu kerangka ideal pendidikan Islam adalah dengan menggunakan

interpretasi konstruktif-kontinuitas dan hermeneutika, atau tidak hanya

mengandalkan pada teks-teks ideal saja untuk menyelesaikan berbagai persoalan

pendidikan, tetapi juga mengandalkan teori-teori filsafat dan sains dalam

menyelesaikan berbagai persoalan pendidikan. dengan interpretasi yang

konstruktif dan kontinuitas, maka persoalan-persoalan akan terpecahkan.

Interpretasi di sini dimaksudkan adalah untuk menginterpretasikan teks-teks ideal

pendidikan Islam (al-Qur’an dan al-Hadits) sesuai dengan aturan-aturan penafsiran

yang ada, yaitu dengan merujuk kepada kaidah-kaidah klasik dan juga merujuk

kepada kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan sains modern. Selanjutnya,

101 Samuel Smith, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang

Pendidikan, alih bahasa Bumi Aksara, (Tanpa kota: Bumi Aksara, 2006), h. 256. 102Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press,

2004), h. 126

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 91: Pendidikan Progresif John Dewey

81

penafsiran-penafsiran terhadap teks itu tidak terbatas pada karya ulama-ulama

klasik saja. Artinya, ketika ada persoalan umat, maka persoalan-persoalan tersebut

tidak terpecahkan apabila kita hanya berpegang pada karya klasik tersebut,

walaupun persoalan-persoalan yang muncul di kalangan umat, tidak tertera

penafsirannya di dalam kitab tersebut. Maka yang timbul kemudian adalah

pemaksaan kehendak atas teks-teks mulia tersebut dengan menafsirkan sesuai

dengan keinginannya sendiri tanpa dibarengi dengan ilmu pengetahuan yang

memadai. Sebaliknya, ketika muncul persoalan di kalangan umat, maka rujukan

kita untuk menyelesaikan persoalan tersebut hanya dengan rujukan sains dan ilmu

pengetahuan modern saja. Maka akibatnya argumen, pendapat dan penyelesaian

terhadap persoalan tersebut akan mengalami kedangkalan dan tidak mempunyai

landasan yang kuat. Karena penafsirannya tidak didasarkan atas ilmu-ilmu yang

paling mendasar seperti pengetahuan penafsir tentang historisitas dan konteks

turunnya teks-teks tersebut. Dengan demikian, dalam menyelesaikan persoalan-

persoalan yang dihadapi umat, baik itu berupa persoalan-persoalan yang

menyangkut dengan hukum, pendidikan, sejarah, dan teologi maupun persoalan

kemasyarakatan, psikologi, ekonomi, pertanian dan lain-lain, dengan melakukan

penafsiran secara konstruktif dan terus menerus. Karena dengan berkembangnya

berbagai macam sains dan ilmu pengetahuan, yang semakin hari semakin

berkembang dan melahirkan ilmu-ilmu baru, maka persoalan-persoalan yang

dihadapi umat juga semakin komplek, baik itu berupa persoalan-persoalan

individu maupun persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Di samping

menggunakan interpretasi dan hermeneutika dalam merumuskan kerangka ideal

pendidikan Islam, juga digunakan filsafat, sains dan ilmu pengetahuan.

Penggunaan filsafat di sini supaya konsep-konsep yang dihasilkan dari penafsiran

terhadap teks-teks tersebut tidak kering nilai dan menghasilkan penafsiran yang

lebih mendalam dan mendasar. Karena filsafat adalah landasan berpijak dari setiap

ilmu pengetahuan yang mengandung unsur-unsur kebijaksanaan dari setiap teori

dan konsep yang dirumuskannya.

Kemajuan ilmu pengetahuan yang begitu pesat, tidak menutup

kemungkinan akan lahirnya teori-teori baru. Dengan lahirnya teori-teori baru,

maka akan ada konsekuensi-konsekuensi yang muncul, baik itu berupa positif

maupun negatif. Konsekuensi positif akan bermanfaat bagi kehidupan manusia

dalam rangka mencari kehidupan yang lebih layak dan pantas dengan

menggunakan perspektif-perspektif baru tersebut. Dengan demikian, keperluan

akan perspektif baru tersebut dalam menghayati dan memaknai teks juga sangat

dibutuhkan. Karena perspektif baru tersebut adalah berangkat dari realitas yang

ada. Dan realitas tersebut akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan

zaman. Di sinilah perlu kepada perspektif baru untuk meneropong persoalan-

persoalan yang muncul di kalangan masyarakat. Sebaliknya dengan konsekuensi

negatif, akan ada pergesekan dan pergeseran nilai-nilai akibat terbentur antara

teori yang ditemukan dengan realitas masyarakat yang ada. Dengan demikian,

keperluan akan nilai-nilai yang absolut, dinamis, dan kerangka teori yang ideal

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 92: Pendidikan Progresif John Dewey

82

mutlak diperlukan. Karena hanya dengan sistem nilai dan kerangka pendidikan

yang ideal seseorang atau suatu kelompok masyarakat akan mampu bertahan

dalam perkembangan dunia yang semakin hari semakin mengglobal. Berdasarkan

penjelasan di atas, maka kerangka ideal pendidikan Islam dapat dirumuskan, yaitu:

Pertama, Islam sebagai agama yang membawa misis rahmat bagi seluruh

alam memerlukan sarana untuk menerapkannya secara efektif dan efisien. Sarana

tersebut salah satunya adalah pendidikan.103 al-Qur’an dan al-Hadits sebagai

sumber utama pendidikan, teori-teori filsafat, ilmu pengetahuan dan sains sebagai

sumber tambahan pendidikan Islam.

Kedua, manusia yang mempunyai karakter sebagai pelaksana pendidikan.

Maka di sini manusia dapat berperan sebagai pembawa berita/pendidik dan juga

dapat berperan sebagai penerima berita/subyek didik. Dengan demikian, integritas

orang yang membawa pesan/pendidik sangat dibutuhkan. Dan juga

memperhatikan aspek perkembangan subyek didik juga sangat dianjurkan dalam

rangka mencapai kesuksesan internalisasi nilai atau nilai-nilai demokrasi.

Ketiga, pendidikan Islam adalah pendidikan yang multi dimensi dan multi

interdisipliner. Maka di sini internalisasi sebagai salah model atau pendekatan

dalam proses pendidikan adalah sangat menentukan keberhasilan proses

pendidikan dan khusus aspek tingkah laku dan sikap dari sasaran internalisasi

tersebut. Kepekaan dalam melihat persoalan dari berbagai dimensi dan bahkan

multi dan antar disiplin keilmuan akan sangat membantu para pekerja pendidikan.

Karena melihat hanya dari satu dimensi saja dari sekian banyak dimensi yang ada

dalam mencapai tujuan pendidikan secara umum dan tujuan internalisasi secara

khusus adalah sudah tidak berlaku lagi atau sistem yang sudah usang. Ini terjadi

diakibatkan oleh berkembangnya ilmu pengetahuan sains dengan sangat cepat

akhir-akhir ini. Dengan demikian, usaha untuk melihat berbagai persoalan tersebut

dari berbagai dimensi memang sangat dibutuhkan, mengingat hari demi hari

model, pendekatan, dan metode yang digunakan juga harus bervariasi. Karena

konteks pendidikan yang dihadapi oleh subyek didik sekarang sangat berbeda

dengan apa yang dihadapi oleh subyek didik beberapa dasawarsa yang lalu.

Keempat, pendidikan Islam adalah pendidikan yang berorientasi kepada

dunia dan akhirat. Di sini mungkin yang sangat membedakan antara konsep

pendidikan Islam dengan yang lainnya. Tujuan yang ingin dicapai dalam proses

pendidikan Islam adalah bukan hanya pencapai untuk kebersihan di dunia ini saja

atau yang nampak dilihat di dunia saja, tetapi ada tujuan yang ingin dicapai lebih

jauh lagi bahkan tidak dapat dirasakan sekarang adalah tujuan di akhirat kelak.

Karena tujuan ini masih jauh, abstrak, dan bersifat ideal, maka tidak mudah bagi

pemikir di luar Islam untuk merumuskannya.

Kelima, pendidikan Islam adalah pendidikan universal tidak terbatas pada

suatu negara atau suatu ras dan golongan tertentu. Di sini juga membuktikan

103 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2000), h. 211.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 93: Pendidikan Progresif John Dewey

83

bahwa, ketika berbicara Islam, maka kita berbicara hal yang universal, tidak

dibatasi oleh negara, ras, suku, golongan, partai politik dan lain-lain. Karena Islam

memandang semua manusia itu sama posisinya di mata Tuhan, kecuali orang yang

paling bertaqwa. Dan Islam itu diturunkan adalah bagi kemaslahatan umat dunia,

bukan untuk satu golongan dan kaum tertentu saja.

Keenam, pendidikan Islam selalu memerlukan kepada konsep-konsep yang

dinamis dan konstruktif. Islam memandang dunia sebagai sesuatu yang

berkembang, berubah, dan kadang-kadang perlu untuk perbaharuinya. Karena

kehidupan di dunia ini ada batasnya, berarti semua sesuatu yang bersifat makhluk

adalah dibatasi oleh ruang dan waktu, maka di sini perlu kepada perubahan.

Karena

konteks tersebut akan selalu mempengaruhi konstruksi sebuah teori, konsep, dan

pendapat seseorang.

Konsep pendidikan progresif John Dewey merupakan konsep pendidikan

yang mengacu pada teori-teori John Dewey yang berpijak pada asas-asas

pendidikan progresif John Dewey menjadikan pengalaman hidup manusia sebagai

pijakan dalam melakukan perubahan-perubahan ke depan melalui proses

pendidikan. Konsep pendidikan progresif John Dewey yang mengandung asas

pendidikan partisipatif dalam pandangan pendidikan Islam bisa dipertegas: bahwa

terdapat beberapa aspek kesesuaian (terutama dalam hal kemanfaatan yang

bersifat duniawi), dan terdapat banyak aspek perbedaan yang sangat prinsip

(terutama mengenai hal-hal yang bersifat metafisik-spiritual).

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 94: Pendidikan Progresif John Dewey

84

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 95: Pendidikan Progresif John Dewey

85

BAB III

PROFIL DAN PENDIDIKAN

MAN INSAN CENDIKIA SERPONG

DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN PROGRESSIF

A. Profil dan Gambar MAN Insan Cendikia Serpong

Berdasarkan hasil wawancara1 bahwa lokasi MAN IC Serpong letaknya

sangat strategis.

Secara geografis MAN Insan Cendikia berlokasi di lingkungan yang

sangat kondusif untuk proses pembelajaran sekolah. MAN Insan Cendikia berada

di lingkungan yang jauh dari pemukiman penduduk. Jarak MAN Insan Cendikia

sekitar ±200 meter dari jalan raya, sehingga dapat meminimalisir terganggunya

proses KBM dari keramaian kendaraan dan membuat proses KBM berjalan lebih

nyaman dan tenang. Suasananya terlihat nyaman, asri karena ditumbuhi banyak

pohon-pohon sehingga para siswa terasa lebih nyaman ketika belajar dan bermain

di lingkungan madrasah. Akses menuju MAN Insan Cendikia Serpong sangat

strategis. Dari arah Jalan Raya Pamulang mengikuti arah jalur menuju kota BSD

Serpong. Apabila melewati akses/rute tol, maka dapat menggunakan jalur tol

Jakarta Serpong. Dan letak MAN Insan Cendikia ini hanya sekitar 3 km setelah

keluar dari tol Serpong. Selain itu, tidak jauh dari MAN Insan Cendikia Serpong

di sebelah barat, terdapat Pusat Kesehatan Masyarakat kota Tangerang Selatan.

1 Hasil wawancara kepala humas MAN IC (Drs. Abd. Jalil, M.Pd, Wawancara, 15 Februari

2017)

Page 96: Pendidikan Progresif John Dewey

86

Gambar 1.3 Madrasah Insan Cendikia Serpong Tangerang

1. Sejarah Singkat Berdiri MAN Insan Cendikia

Selayang Pandang MAN Insan Cendikia Serpong Sejarah Berdiri MAN IC

Serpong awaalnya bernama SMU Insan Cendikia. Berdiri pada tahun 1996, atas

gagasan Menristek pada waktu itu BJ. Habibie. Ide dasar gagasan itu berangkat

dari kepeduliannya atas dunia pesantren yang dianggap tertinggal dalam dunia

saintek dibandingkan sekolah umum. Di bawah koordinasi Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi (BPPT) melalui program STEP (Science and Technology Equity Program) mendirikan Magnet School (SMU Insan Cendikia). Dengan

political will yang kuat, BPPT telah merancang seluruh proses pendirian itu mulai

dari: rekrutmen guru, pengadaan sarana dan prasarana dan penetapan kurikulum

yang dikonvergensikan dengan dunia pesantren, termasuk dengan sistem asrama

(boarding). Dengan persiapan yang matang dan penanganan yang profesional serta

dedikasi yang tinggi para guru yang direkrut secara terbuka dan ketat, SMU Insan

Cendikia dengan cepat telah menunjukkan keberhasilan yang menakjubkan.

Dengan pengembangan fasilitas secara bertahap serta tingkat gaji yang memadai

serta besarnya ruang kebebasan yang diberikan para guru untuk mencari format

yang diidealkan secara otonom, secara pelan-pelan tapi pasti, SMU Insan Cendikia

telah menemukan formatnya seperti yang sekarang. Salah satu keunggulan sekolah

ini adalah kemampuannya mengabungkan secara seimbang antara penguasaan

saintek dan pengetahuan agama, yang dirumuskan dalam keseimbangan antara

IPTEK dan IMTAK. Sistem boarding dan beasiswa penuh bagi para siswa, telah

menjadi model sekolah yang paling ideal. Pada waktu itu, hanya membuka satu

jurusan IPA saja sesuai dengan target yang hendak dicapai. Fase ini sering disebut

sebagai fase pertama atau perintisan antara tahun 1996-2000. Setelah Indonesia

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 97: Pendidikan Progresif John Dewey

87

dilanda krisis moneter dan ekonomi yang sangat dahsyat, membuat kemampuan

negara sangat terbatas, sehingga sejumlah hak istimewa yang diberikan kepada

siswa dicabut. Sekolah sepenuhnya dikembalikan pada kemampuan orang tua

tanpa mengubah sistem pendidikan yang sudah mapan.

Bermodal kepercayaan atas prestasi kelulusan yang dapat diandalkan,

serta besarnya jumlah alumni yang diterima di Universitas favorit, membuat SMU

Insan Cendikia yang kemudian berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri Insan

Cendikia Serpong ini, mendapatkan kepercayaan yang luar biasa dari masyarakat.

Dicabutnya subsidi dari pemerintah ternyata tidak dengan sendirinya

menyusutkan hasrat orang tua untuk menyekolahkan anaknya di MAN Insan

Cendikia Serpong. Dengan dibukanya partisipasi masyarakat dalam pendanaan ini,

Madrasah Insan Cendikia, ternyata malah dapat membangun 8 gedung dan

prestasi sekolahnya juga tidak mengalami penyusutan. Masyarakat tetap

bersemangat untuk menyekolahkan anaknya di MAN Insan Cendikia Serpong

yang berhasil menciptakan anak didiknya cerdas secara intelektual dan sekaligus

cerdas secara spiritual2. Pelajaran yang dapat dipetik dalam fase ini, dengan

dibukanya kesempatan orang tua untuk berpartisipasi dalam menanggung biaya

pendidikan, ternyata mereka tetap antusias dan bahkan dapat membantu

menyumbang pembangunan infrastruktur pada waktu itu belum terselesaikan.

Kepercayaan terhadap hasil mutu pendidikan yang dipertontonkan SMU Insan

Cendikia telah membuat orang tua murid tidak keberatan untuk menanggung

biaya pendidikan, yang semula disponsori pemerintah via-BPPT. Bahkan, sebagai

konsekuensi atas biaya besar yang dikeluarkan, mereka menjadi sangat peduli

terhadap proses pendidikan di sekolah ini. Orang tua sangat aktif di komite

sekolah untuk mengontrol proses pendidikan yang sedang berjalan.

Rasa memiliki (sense of belonging) dan kepedulian orang tua dalam proses

belajar mengajar menjadi sangat tinggi. Kelemahannya, oleh karena biaya

pendidikan sistem boarding sangat mahal, siswa miskin berbakat cenderung tidak

mendapatkan tempat yang memadai. Secara tidak disadari sekolah menjadi elite

dan tanpa sengaja menjadi diskriminatif. Unsur pasar menjadi bekerja lebih

dominan. Fase ini sering disebut sebagai periode kedua. Dalam fase kedua

(periode 2001-2006), sekolah ini diserahkan ke Kementrian Agama dan berubah

menjadi Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia Serpong. Pada periode kedua

awal sampai tahun 2006 ini, Kementrian Agama (Pemerintah) pada dasarnya

masih menjalankan periode “pasar” yang berangkat dari kemampuan orang tua

siswa. Baru pada tahun 2006-2015, seluruh biaya pendidikan di MAN IC kembali

ditanggung penuh oleh negara. Kelebihan dari sistem beasiswa penuh, orang tua

(terutama yang miskin), tidak terbebani biaya pendidikan yang sangat tinggi.

Dalam tahap tertentu pendidikan telah memberi peluang bagi mereka yang tidak

mampu dan berprestasi. Meskipun dalam modal sosial berbeda, siswa miskin tetap

2 Hasil wawancara kamad MAN IC (Dra. Persahini Sidik, M.Si, Wawancara, 15

Februari 2017)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 98: Pendidikan Progresif John Dewey

88

akan berlaga dalam memulai yang tidak sama. Dalam persaingan yang sepenuhnya

adil akibat modal sosial yang berbeda jika tidak ada kebijakan afirmatif terhadap

kelompok siswa yang tidak beruntung (miskin), membuat mereka tetap tidak

mendapatkan porsi yang memadai. Dengan dikembalikannya biaya pendidikan

yang sepenuhnya ditanggung negara melalui sistem DIPA (Daftar Isian

Pelaksanaan Anggaran)

Pertama, dengan sistem DIPA, sangat ketat pertanggungjawabannya dan

tidak fleksibel. Para guru, terutama kepala sekolah menjadi banyak terbebani oleh

persoalan administrasi. Kepala sekolah yang dalam fase pertama dan kedua

sepenuhnya dapat berkonsentrasi dalam pengelolaan pendidikan, kini 80 persen

waktunya habis untuk mengurus manajemen keuangan. Dibanding dalam fase

Pertama, meskipun pada waktu itu, seluruh sistem pendidikan juga ditanggung

negara, tetapi dalam bidang administrasi seluruhnya ditanggung BPPT. Guru

tinggal mengajar dan berkreativitas. Kedua, partisipasi orang tua murid menjadi

sangat rendah. Mereka merasa seluruh kebutuhannya telah ditanggung negara.

Akibatnya orang tua tinggal menunggu anaknya lulus, tanpa harus merasa perlu

mendampingi seluruh proses pendidikan yang sedang berjalan. Oleh karena dalam

biaya pendidikan tidak seluruhnya tercover dalam DIPA. Dan ketika orang tua

diminta untuk membantu berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak ada dalam

anggaran DIPA, mereka cenderung enggan melakukannya. Dengan kata lain,

akibat tidak seimbangnya antara negara (state) dan masyarakat (society) sikap

rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat (orang tua) menjadi sangat rendah.

Ketiga, dengan tidak adanya sistem silang (yang mampu membantu yang tidak

mampu), kemudahan beasiswa yang diberikan negara cenderung tidak tepat

sasaran. Dalam kenyataan, sebagian besar di antara mereka adalah kelompok

mampu, yang seharusnya tidak layak menerima beasiswa. Sebaliknya, kelompok

miskin, cenderung tidak mendapatkan porsi yang memadai. Keterbatasan dalam

mempersiapkan diri agar diterima di MAN IC Serpong yang persaingannya sangat

ketat (dari 4000 pendaftar yang diterima hanya 120 siswa terpilih), tanpa proteksi

terbatas, membuat mereka cenderung terpinggirkan. Dengan kata lain, dalam

bahasa yang ekstrim MAN IC tanpa disadari akhirnya cenderung menjadi sekolah

elit. Beasiswa yang diberikan pemerintah dalam perspektif keuangan jadi

cenderung mubazir. Membiayai siswa yang orang tuanya mampu membayarnya

(seperti orang diperlihatkan dalam fase kedua), merupakan cara kerja yang tidak

berusaha menyeimbangkan antara: pemerintah, pasar, dan masyarakat. Setelah

melalui perjalanan panjang, dalam rangka memberi layanan pendidikan pada MAN

IC yang berkeadilan, maka terhitung mulai tahun pelajaran 2015/2016 peserta

didik baru MAN IC dikenakan biaya personal berupa biaya makan, pakaian

seragam, dan kebutuhan tinggal di asrama yang tidak dianggarkan dalam DIPA

MAN IC, kecuali bagi peserta didik yang berasal dari keluarga kurang mampu

yang dibuktikan dengan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) dan/atau Kartu

Indonesia Pintar (KIP). (Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 99: Pendidikan Progresif John Dewey

89

Kementerian Agama Nomor 3192 Tahun 2013 Tentang Pedoman

Penyelenggaraan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia).

Walaupun berada di bawah naungan Departemen Agama namun

kurikulum sekolah tetap berbasis pada Sekolah Menengah Umum (SMU) dan

memakai bahasa Arab tentunya. Sekolah MAN Insan Cendikia Serpong ini

memiliki dua program jurusan, yaitu program IPA dan IPS. Siswa di sekolah ini

merupakan siswa yang berprestasi, prestasi-prestasi yang telah dicapai oleh siswa-

siswi MAN Insan Cendikia Serpong, antara lain:

2. Prestasi Madrasah

Prestasi MAN tidak bisa diragukan lagi bahwa di sana banyak sekali

mendapatkan penghargaan-penghargaan dari siswa siswi yang membanggakan

seperti contoh lulus ujian Nasional dengan kategori secara rata-rata kategori A,

diterima di Perguruan Tinggi Negeri 98%, diterima di Perguruan Tinggi di luar

negeri, mendapat medali pada olimpiade Sains International, mendapat medali

pada olimpiade Sains Nasional, mendapat medali pada Kompetisi Sains

Madrsah (KSM), mendapatkan kejuaraan pada lomba-lomba akademik dan non

akademik yang diselenggarakan perguruan tinggi, kementrian/lembaga.

Selain siswa-siswi yang mendapatkan penghargaan-penghargaan maka

guru-guru di MAN juga bisa dibanggakan seperti contoh prestasi pendidik dan

tenaga kependidikan antara lain: mendapat kejuaraan dalam lomba guru

berprestasi, memiliki kompetensi profesional dalam bidangnya, mendapat

kejuaraan dalam lomba inovasi pembelajaran, mendapat kejuaraan dalam

penulisan bahan ajar.

Di samping prestasi siswa siswi, prestasi pendidik, prestasi madrasah juga

mendapatkan penghargaan, prestasi madrasah seperti contoh model madrasah

tingkat nasional untuk pengembangan akademik, perpustakaan sekolah digital

terbaik tingkat nasional, madrasah sehat tingkat provinsi dan peraih nilai UN

tertinggi secara nasional.

Berikut ini nama-nama siswa berprestasi dapat dilihat pada tabel:

Tabel 3.1 hasil Ujian Nasional Nilai Ujian Nasional 5 tahun terakhir

NO Tahun

Pelajaran

Rata-rata Ujian Nasional IPA

B. Ind B. Ing Mat Fisika Kimia Biologi Jumlah Rata2

1 2011/2012 8,66 8,58 9,17 9,10 9,09 8,43 53,03 8,84

2 2012/2013 8,49 8,90 9,23 9,49 9,37 8,49 53,97 8,99

3 2013/2014 8,70 8,22 8,81 9,21 8,47 8,94 52,35 8,73

4 2014/2015 85,97 84,28 86,52 90,44 86,49 84,91 518,61 86,44

5 2015/2016 82,88 77,07 85,65 87,59 86,96 82,68 502,83 83,81

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 100: Pendidikan Progresif John Dewey

90

NO Tahun

Pelajaran

Rata-rata Ujian Nasional IPS

B. Ind B. Ing Mat Eko Sos Geo Jumlah Rata2

1 2011/2012 8,49 7,99 9,59 8,83 8,71 8,23 51,84 8,64

2 2012/2013 8,70 8,69 9,51 8,82 8,33 7,95 52,00 8,67

3 2013/2014 8,71 7,62 9,58 8,80 8,26 8,42 51,59 8,59

4 2014/2015 86.06 80,35 87,43 81,25 83,71 74,88 493,68 82,28

5 2015/2016 81,60 73,93 91,75 88,58 74,73 88,53 499,12 83,19

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ketercapaian dalam nilai ujian

mendapatkan hasil yang sangat memuaskan rata-rata setiap tahun cenderung naik

sehingga tidak salah bahwa Prof. DR. B.J. Habibie memprakarsai pendirian

Magnet School tahun 1996 sebagai embrio MAN Insan Cendikia

1. Pengelolaan MAN Insan Cendikia

▪ 1996-2000 oleh BPPT dengan beasiswa penuh

▪ 2000-2007 oleh Kementerian Agama (ada partisipasi orang tua)

▪ 2007- 2014 program subsidi penuh dari Kemenag RI

▪ 2015-sekarang Subsidi Kemenag RI dan sharing personal cost dengan

orang tua siswa

3. Lokasi MAN Insan Cendikia

▪ 1996 MAN Insan Cendikia Serpong

▪ 1997 MAN Insan Cendikia Gorontalo

▪ 2012 MAN Insan Cendikia Jambi

▪ 2015 Berdiri 5 MAN Insan Cendikia baru

▪ 2016 Berdiri 8 MAN Insan Cendikia baru

Untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi

dalam penguasaan IPTEK yang didasari nilai keimanan dan ketakwaan, pada

tahun 1996 BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) mendirikan SMU

Insan Cendikia di Serpong melalui program penyetaraan IPTEK STEP (Science and Technology Equity Program) bagi sekolah-sekolah yang berada dilingkungan

pondok pesantren. Pada tahun pelajaran pertama (1996/1997), penerimaan siswa

SMU Insan Cendikia diprioritaskan bagi siswa-siswi SMU/MA kelas satu dan

siswa-siswi lulusan SMP/MTs berprestasi yang berasal dari pondok pesantren dan

sekolah Islam lainnya. Akan tetapi, mulai tahun pelajaran kedua (1997/1998)

SMU Insan Cendikia memberi kesempatan pula kepada siswa-siswi SLTP umum

dan MTs baik negeri maupun swasta. Sejak tahun pelajaran 2000/2001 SMU Insan

cendikia baik yang berada di Serpong maupun di Gorontalo dilimpahkan

pengelolaannya oleh BPPT kepada Departemen Agama RI. Untuk tetap

mempertahankan ciri khas penguasaan IPTEK dan IMTAK, maka dalam

pengelolaan dan pembinaannya Departemen Agama dan Madrasah Aliyah Insan

Cendikia dengan tanpa mengurangi dan mengubah sistem pengajaran secara

keseluruhan yang telah berjalan selama ini.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 101: Pendidikan Progresif John Dewey

91

Pada tahun 2001, dengan SK Menteri Agama RI, Nomor 490 Tahun 2001

SMU Insan Cendikia Serpong berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN)

Insan Cendikia Serpong.1 Madrasah ini sebagai salah satu sekolah yang berasrama

(Boarding School) yang mempunyai visi dan misi sebagai berikut.

3. Visi dan Misi MAN Insan Cendikia Serpong

MAN Insan Cendikia adalah “Terwujudnya sumber daya manusia yang

berkualitas tinggi dalam keimanan dan ketakwaan, menguasai ilmu pengetahuan

dan teknologi, dan mengaktualisasikan diri dalam kehidupan masyarakat.”

Penjelasan dari visi diatas adalah dengan melalui proses pendidikan mampu

menciptakan manusia yang berkualitas tingi bukan hanya dalam bidang akademik,

teknologi tetapi yang sangat penting dalam bidang agama. Karena di sekolah ini

Oleh karena itu MAN ini sudah melahirkan siswa-siswa yang berkualitas.

a. Misi

1) Menyiapkan calon pemimpin masa depan yang menguasai ilmu

pengetahuan dan teknologi, mempunyai daya juang tinggi, mampu

berkomunikasi dalam bahasa internasional, inovatif, dan mempunyai

landasan iman dan takwa yang kuat

2) Membentuk sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan yang

professional

3) Menjadikan MAN Insan Cendikia Serpong sebagai madrasah model dalam

pengembangan pengajaran iptek dan imtak bagi lembaga pendidikan

lainnya.

Pernyataan makna diatas pernyataan misi dimaksud adalah:

1) Melalui pendidikan dan keterampilan di madrasah ini diharapkan mampu

menfasilitasi pribadi yang dapat meciptakan calon pemimpin yang dapat

menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu

2) berkomunikasi dalam bahasa Internasional. Dan menciptakan calon

pemimpin yang mempunyai landasan iman dan takwa yang kuat

3) Dengan kegiatan pengajaran dan pendidikan yang dilakukan di madrasah

ini dengan menonjolkan iptek dan imtak nya dapat menjadikan madrasah

model dalam pengembangan pengajaran iptek dan imtak dibanding dengan

pendidikan lainnya.

4. Tujuan MAN Insan Cendikia Serpong

a. Meningkatnya jaminan mutu kepada masyarakat terhadap keseimbangan

kualitas IPTEK dan IMTAK dalam sistem kehidupan pada MAN Insan

Cendikia Serpong melalui penguatan program kegiatan yang

berkelanjutan sistem akademik dan kehidupan asrama.

b. Peningkatan kemampuan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan

dalam berbahasa Internasional.

c. Terlaksananya optimalisasi peran serta masyarakat dan alumni dalam

membantu pengembangan layanan terhadap perserta didik.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 102: Pendidikan Progresif John Dewey

92

d. Terlaksananya pengembangan program pembinaan berkelanjutan terhadap

mutu pendidik dan tenaga kependidikan

e. Menyusun pola kerja pendidik dan tenaga kependidikan berdasarkan pola

efektivitas pencapaian target kerja personal dan teamwork.

f. Memperkokoh jalinan persaudaraan antar personal dengan

mengembangkan prinsip saling menghormati, menghargai, dan menjaga

kenyamanan menjalankan tanggungjawab kerja masing-masing personal

g. Membangun sistem manajmen umum yang profesional, tangguh dan

terukur, sehingga MAN Insan Cendikia Serpong memiliki kemampuan

memberdayakan dirinya lebih optimal serta dapat menangkap peluang

program pemerintah dengan lebih maksimal.

h. Memelihara dan memanfaatkan dukungan pemerintah dan masyarakat

untuk menguatkan pengembangan profesionalitas SDM Pendidik dan

Tenaga Kependidikan serta meningkatkan daya dukung sarana prasarana

madrasah secara terencana

i. Menjadikan MAN Insan Cendikia Serpog sebagai pusat pengembangan

madrasah unggul dan pusat pembinaan SDM madrasah di Indonesia

j. Terselenggaranya Unit Hubungan Masyarakat yang peka, tangkas,

produktif, dan hangat.

5. Target dan Strategi MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang

a. Diterimanya lulusan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia di perguruan

tinggi yang berkualitas baik di dalam maupun di luar negeri (> 90% per

tahun)

b. Diperolehnya prestasi akademik yang baik bagi alumnus Madrasah Aliyah

Negeri Insan Cendikia selama di perguruan tinggi.

c. Terciptanya kehidupan religius di lingkungan madrasah yang

diperlihatkan dengan perilaku ikhlas, mandiri, sederhana, ukhuwah dan

bebas berkreasi.

Adapun Strategi MAN Insan Cendikia sebagai berikut:

a. Menjaring calon peserta didik sebagai input dari lulusan MTs dan SLTP

dengan beberapa tes, diantaranya:

1) Tes psikologi

2) Tes potensi akademik (matematika, fisika, biologi, bahasa Inggris,

pendidikan agama Islam, kemampuan baca tulis al-Qur’an)

3) Tes kesehatan dan wawancara

b. Mengembangkan proses pembelajaran yang diarahkan pada penguasaan

“basic knowledge of science and technology” dan “leadership lifeskill”

atas dasar “asah, asih, asuh dan ajrih”.

c. Menyiapkan tenaga pendidik yang profesional dengan menerapkan “merit system” dalam bidang kesejahteraannya.

d. Menyediakan sarana dan prasarana guna mendukung penguasaan ““basic knowledge of science and technology”

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 103: Pendidikan Progresif John Dewey

93

e. Mengadakan kerjasama pendidikan dengan berbagai pihak terkait baik di

dalam maupun luar negeri.

f. Mengadakan pelatihan berkala bagi guru dan karyawan

g. Memberikan kesempatan mengikuti pendidikan formal S2 baik di dalam

maupun di luar negeri

h. Menyediakan perpustakaan yang memadai

i. Melakukan studi banding ke sekolah atau lembaga lain

j. Memberikan wawasan iptek (tentang penerapan pelajaran MAFIKIBI)

bagi guru dan peserta didik secara periodik.

6. Motto Madrasah

Prestasi, Mandiri dan Islami

7. Budaya Madrasah (SCHOOL CULTURE) Budaya madrasah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh

madrasah atau falsafah yang menuntun kebijakan madrasah terhadap semua

unsur dan komponen madrasah termasuk stakeholders pendidikan, seperti

cara melaksanakan pekerjaan di madrasah serta asumsi atau kepercayaan

dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya madrasah merujuk pada

suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara

bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami,

yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama

diantara seluruh unsur dan personil madrasah baik itu kepala madrasah, guru,

staf, peserta didik dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama

dengan madrasah.

Budaya madrasah yang dikembangkan di MAN Insan Cendikia adalah:

a. Aqidah yang kuat,

b. Menjaga adab pergaulan putra-putri (tidak berjabat dan bersentuhan

putra-putri yang bukan mahram, tidak berduaan apalagi ber-kholwat) c. Afsyus salam (menebar salam) kepada siapa saja,

d. Santun, hormat pada yang lebih tua dan sayang pada yang muda dan

membiasakan menebar senyum kepada siapa saja

e. Kejujuran dalam semua aspek dilatihkan dan dibiasakan dengan tidak

pernah nyontek dan berbuat curang dalam semua kegiatan

f. Taat beribadah dengan sholat berjamaah di masjid 5 waktu sholat dan

mengamalkan amalan-amalan sunnah.

g. Disiplin dalam memanfaatkan waktu dan disiplin tugas

h. Mandiri dan bertanggungjawab tercermin dari ucapan dan perilaku

i. Berprestasi dengan membiasakan semangat kompetisi secara sehat baik di

internal madrasah maupun lomba-lomba ke luar madrasah.

j. Ukhuwah Islamiyah (baik ketika masih aktif di MBI maupun sudah

menjadi alumni)

k. Tertib tetapi tetap kritis

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 104: Pendidikan Progresif John Dewey

94

l. Mencintai belajar dan pekerjaan

m. Kreatif dan inovatif,

n. Menghargai dan apresiasi terhadap nilai-nilai seni

8. Profil Kompetensi Lulusan

a. Aspek Afektif 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

2) Memiliki nilai-nilai etika dan estetika.

3) Memiliki nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan humaniora.

b. Aspek Kognitif Menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemampuan akademik untuk

melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

c. Aspek Praktik 1) Memiliki keterampilan berkomunikasi (Bahasa Indonesia, Bahasa

Inggris, Bahasa Arab), kecakapan hidup, dan mampu beradaptasi

dengan perkembangan lingkungan sosial, budaya dan lingkungan alam,

baik lokal, regional, maupun global.

2) Memiliki kesehatan jasmani - rohani dan kemampuan kewirausahaan

(entrepreneurship) yang bermanfaat untuk melaksanakan tugas dan

kegiatan sehari-hari, terutama untuk membantu tugas atau aktivitas

belajar.

9. Data MAN Serpong Tangerang

Kepala Madrasah Insan Cendikia adalah Persahini, M.Si. Beliau menjabat

sebagai kepala madrasah mulai dari tahun 2014 hingga sekarang di MAN Insan

Cendikia Serpong dan tahun 2012-sekarang menjadi kepala madrasah di Insan

Cendikia Serpong. Tenaga pendidik dan kependidikan yang berada di MAN

Insan Cendikia ini berjumlah 103 orang, tetapi jumlah tenaga pendidiknya

berjumlah 50 orang dan pembina asrama berjumlah 6 orang. Pendidikan

terakhir guru S1 (28 orang), S2 (21 orang), S3 (1 orang), dengan latar belakang

pendidikan berasal dari Universitas ternama seperti ITB, IPB, LIPIA,

UIN/IAIN, UNJ/IKIP, UPI, UIJ, dll.

Dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh tenaga pendidik di

Madrasah ini baik diharapkan mereka dapat membantu siswa dalam mengikuti

proses pembelajaran dengan baik serta memberikan ilmu yang bermanfaat kepada

siswa. Di Madrasah ini juga disediakan asrama bagi guru-guru yang sebagian

rumahnya jauh dari sekolah atau bukan di daerah Tangerang Selatan dan Serpong,

termasuk guru baru diwajibkan untuk tinggal di asrama. Tetapi karena kapasitas

di asrama tidak banyak jadi hanya sebagian guru yang tinggal di asrama, dan

sebagian guru lagi dapat tinggal di rumahnya masing-masing terutama guru-guru

senior atau guru yang sudah lama mengajar di madrasah ini. Guru yang tinggal di

asrama juga untuk membantu siswanya saat siswa tidak mengerti dengan

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 105: Pendidikan Progresif John Dewey

95

pelajarannya. Guru-guru yang tinggal di asrama memiliki tanggunga jawab dalam

hal mengontrol dan membimbing siswa pada kegiatan siswa di malam hari.

Pada malam hari guru yang tinggal diasrama juga melakukan kegiatan

pembelajaran Agama kepada siswa. Jadi guru di MAN Insan Cendikia Serpong ini

bukan hanya bisa mengajar dalam bidang akademis tetapi dalam bidang Agama

Islam mereka juga harus menguasai. Selain itu, di MAN Insan Cendikia Serpong

memiliki program Gura (Guru Asuh), setiap guru mempunyai 9-10 siswa asuh.

Program ini dilaksanakan agar guru asuh dapat menggantikan posisi orang tua

mereka selama mereka berada di asrama.

10. Data Siswa MAN Insan Cendikia Serpong

Data siswa di Madrasah ini berjumlah 439 orang dengan 22 rombongan

belajar. Jumlah kelas X 139 orang, jumlah kelas XI 142 orang, dan jumlah kelas

XII 158 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.2

Jumlah Siswa dan Rombongan Belajar

Tahun

Pelajaran

Kelas X Kelas XI Kelas XII

Jumlah

Rombel

Jumlah

Siswa

Jumlah

Rombel

Jumlah

Siswa

Jumlah

Rombel

Jumlah

Siswa

2015/2016 8 166 6 119 6 118

2016/2017 7 144 8 158 6 119

2017/2018 7 139 7 142 8 158

Pada awalnya berdiri Madrasah jumlah siswa hanya bisa menerima 5 kelas

dengan kapasitas masing-masing 24 siswa, tetapi sekarang ditambah menjadi 6

kelas dengan kapasitas 20 siswa. Banyaknya siswa yang mendaftar kurang lebih

dari 5000 orang yang diterima hanya 600 siswa, dan itu juga akan diseleksi

potensi akademiknya sehingga hanya 120 siswa yang dapat masuk dan diterima di

MAN Insan Cendikia Serpong. Dengan seleksi yang sangat ketat menunjukkan

bahwa siswasiswa yang terpilih di madrasah ini merupakan siswa-siswa yang

dapat menghasilkan lulusan terbaik, baik dalam bidang akademis maupun bidang

keimanan dan ketakwaannya. Struktur kurikulum meliputi pembelajaran siang

hari yang meliputi seluruh mata pelajaran dan malam hari yang meliputi

pembelajaran agama bersifat aplikatif dan psikomotor.

Dengan terbatasnya jumlah siswa yang terima di MAN Insan Cendikia

pada setiap tahunnya, diharapkan dapat menghasilkan lulusan terbaik, unggulan

dan diterima di universitas-universitas terbaik di dalam negeri maupun di luar

negeri. Adapun proses seleksi siswa di MAN Insan Cendikia terdiri dari:

a. Penyerahan dan seleksi berkas

b. Mengikuti tes tulis

c. Tes kesehatan

11. Sarana dan Prasarana MAN Insan Cendikia

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 106: Pendidikan Progresif John Dewey

96

Kondisi sarana dan prasarana MAN IC Serpong, dengan gedung-

gedung atau bangunan yang relatif megah, meskipun sebagian besar gedung

lama, namun yang lebih penting adalah sehat dan kondusif sebagai tempat

berlangsunganya proses pendidikan yang baik. Sehingga telah mengubah citra

yang pernah disandang madrasah dengan bangunan seadanya, atau bahkan reot

dan tidak higienis, kian semakin memudar. Dengan demikian, sarana prasana

yang ada tersebut bisa dijadikan sebagai salah satu acuan dalam pembukaan

MAN IC di daerah lainnya. Pengembangan MAN IC Gagasan Dasar MAN IC

Serpong adalah sebuah model pendidikan terpadu yang menawarkan

pendidikan agama Islam sebagai ciri khas utamanya dengan pendalaman pada

bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembeda MAN IC Serpong dengan

madrasah lainnya adalah desain akademik yang mengacu kepada Standar

Nasional Pendidikan, dan manajemennya berbasis IT.

Pendidik dan tenaga kependidikan memenuhi kualifikasi yang

disyaratkan, dan fasilitas pembelajaran lengkap serta modern. Para siswa-

siswi wajib tinggal di asrama yang dikelola secara profesional. Para pengelola

dan siswa-siswi MAN IC Serpong berkomunikasi dalam tiga bahasa, yaitu,

bahasa Indonesia, Inggris dan Arab sesuai aturan yang ditetapkan dan

diberlakukan terhadap seluruh civitas akademika. Ilmu yang dikembangkan di

MAN IC Serpong bertumpu pada 3 (tiga) hadlarah (peradaban): 1)

Hadlaratun-naṣ (peradaban teks, kitab). 2) Hadlaratul ‘ilmi (peradaban ilmu);

3) Hadlaratul-falsafah (peradaban filsafat). Bagi MAN IC Serpong, tiga

hadlarah tersebut menjadi paradigma baru. Belajar dari kelemahan madrasah

dan sekolah umum selama ini, MAN IC Serpong harus melakukan upaya

pengembangan kurikulum.

Tujuan pengembangan tersebut diharapkan mampu meminimalisasi

semaksimal mungkin kelemahan dari kedua model pendidikan tersebut.

Sehingga, MAN IC Serpong memiliki identitas yang kuat dan karakteristik

keilmuan yang khas. Selama ini kurikulum madrasah sudah mengajarkan ilmu-

ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman. Akan tetapi, masih belum bisa

mengangkat citra madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menjadi pilihan

utama peserta didik. Karena masih dipandang belum dapat memenuhi aspirasi

tinggi peserta didik untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi berbasis sains dan

teknologi. Dengan kata lain, prestasi madrasah dalam bidang pembelajaran

ilmu pengetahuan dan teknologi belum optimal. Demikian pula dalam bidang

kajian ilmu keagamaan sering dikatakan bahwa lulusan madrasah belum

memuaskan dalam penguasaan ilmu-ilmu dasar keagamaan, termasuk

penguasaan ilmu alat (bahasa) Arab. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa

lulusan madrasah ada di dalam dilema. Di satu sisi penguasaan ilmu umum

kurang memadai, dan penguasaan ilmu agama dipandang kurang mencukupi.

Selain itu, meskipun telah diwacanakan cukup lama tentang integrasi ilmu

umum dan ilmu agama, selama ini belum ada madrasah yang berhasil

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 107: Pendidikan Progresif John Dewey

97

memadukan keduanya dengan cukup memuaskan3 Sejak didirikan MAN Insan

Cendikia Serpong pada tahun 1996, sudah dilengkapi dengan sarana dan

prasarana yang memadai untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Dan

seiring perkembangan waktu MAN Insan Cendikia terus menerus menambah

sarana dan prasarana sesuai kebutuhan. Hingga kini sudah berdiri 24 gedung

permanen di atas lahan 5,7 hektar. Sarana dan prasarana yang ada di Insan

Cendikia Serpong terdiri dari:

a. Masjid Cendikia (2 lantai) dengan kapasitas 500 jamaah.

b. Gedung administrasi (2 lantai) yang mencakup ruang tamu, ruang audio-

visual, ruang kepala madrasah berserta wakil dan ruang tata usaha.

c. Gedung Pendidikan, terdiri dari atas dua lantai yang mencakup 15 ruang

kelas dengan 24 siswa tiap kelas, 1 ruang multimedia, ruang guru, ruang

bimbingan konseling, bank mini dan ruang osis.

d. Laboratorium fisika, kimia, biologi dan TIK (masing-masing dua ruang),

Lab. Bahasa, Lab. Visual, dan Lab. Komputer (masing-masing satu ruang

dengan kapasitas 24 siswa).

e. Laboratorium komputer bagi guru.

f. Laboratorium TIK 2 lantai (dilengkapi 50 komputer yang terhubung

dengan internet).

g. Ruang perpustakaan dengan “sistem otomatis” dan sistem perpustakaan

digital dilengkapi dengan fasilitas internet dan televisi berlangganan.

h. Gedung serbaguna, kapasitas 500 orang.

i. Dua unit gedung asrama putra dengan kapasitas 185 orang. Masing-

masing kamar terdiri dari 4 tempat tidur, 4 lemari, 4 meja belajar, dan

j. 2 kamar mandi.

k. Dua unit gedung asrama putrid dengan kapasitas 185 orang. Masing-

masing kamar terdiri 4 tempat tidur, 4 lemari, 4 meja belajar, dan 2 kamar

mandi.

l. Asrama guru terdiri dari 2 lantai.

m. Gedung pelatihan 2 lantai.

n. Rumah Diknas kepala madrasah, para wakil kepala adrasah, guruguru, dan

Pembina asarama.

o. Poliklinik umum dan gigi.

p. Kantin dengan kapasitas 375 orang.

q. Hotspot

r. Sarana olahraga (lapangan sepak bola, basket, bola voli, tenis meja, dan

bulu tangkis).

Berangkat dari tanggung jawab pendidikan oleh orang tua dan guru untuk

mengajar anak dan murid mereka, maka sudah seharusnya orang tua dan guru

tersebut menyediakan sarana-sarana belajar yang bermanfaat dalam semua

3 Hasil wawancara dan Reisa Suci Arimbi, S. Psi. Wawancara, 18 Februari 2018).

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 108: Pendidikan Progresif John Dewey

98

lapangan ilmu pengetahuan agar anak-anak mereka memperoleh pendidikan dan

latihan yang

memadai. Sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah merupakan faktor

pendukung

terlaksananya program sekolah, khususnya kegiatan pembelajaran yang dilakukan

guru. Sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah harus dikelola dengan baik,

dengan tujuan jika warga sekolah hendak memerlukan atau menggunakannya,

maka sarana dan prasarana tersebut dalam keadaan siap pakai4. Menurut

perspektif pemerintah, kegiatan manajemen sarana dan prasarana pendidikan

setidak-tidaknya memiliki delapan (8) mata rantai kegiatan. Sementara menurut

Peraturan Menteri No 24 Tahun 2007 bahwa Standar Nasional Pendidikan tentang

Sarana dan Prasarana mencakup tujuh (7) kegiatan manajemen. Guna

mengoptimalkan pengadaan, penyaluran, inventarisasi, pemeliharaan,

penyimpanan dan pengahapusan sarana dan prasarana pendidikan, maka

diperlukan perencanaan yang matang, sehingga sekolah dituntut untuk memiliki

kemandirian untuk mengatur dan mengurus sekolah menurut kebutuhan

berdasarkan aspirasi dan partisipasi warga sekolah dengan tetap mengacu pada

peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku.

Dari serangkaian penjelasan di atas berdasarkan gambaran umum MAN

Insan Cendikia Serpong, prestasi-prestasi yang diraih oleh siswa-siswi MAN Insan

Cendikia maka terbukti setiap tahun mengalami kemajuan dalam pendidikan hal

ini berkaitan dengan pendidikan progressif menginginkan kemajuan yang dinamis

bukan statis maka dapat disimpulkan bahwa MAN Insan Cendikia mengarah

kepada pendidikan progressif.

Sebuah penelitian5, menyatakan bahwa demokratisasi dan globalisasi

usaha peningkatan kualitas pendidikan kualitas pembelajaran dan kualitas sistem

penilaian. Ketiganya saling terkait, sistem pembelajaran yang baik akan

menghasilkan kualitas belajar yang baik. Selanjutnya sistem penilaian yang baik

akan mendorong guru untuk menentukan strategi mengajar yang baik dan

memotivasi siswa unutk belajar yang lebih baik. Berbicara mengenai madrasah

paling tidak, ada empat karakteristik madrasah yang dapat diidentifikasikan,

sebagai berikut:

Pertama, madrasah milik masyarakat (Community Based Education).6

Artinya, madrasah berkembang dari masyarakat dan untuk masuyarakat. Oleh

karena itu, dari segi kuantitas berkembang sangat pesat, meskipun dari segi

4Mona Novita, Sarana Dan Prasarana Yang Baik Menjadi Bagian Ujung Tombak

Keberhasilan Lembaga Pendidikan Islam, Nur El-Islam,Volume 4, Nomor 2, Oktober 2017 5Makmuri Sukarno, Mengembangkan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia

Untuk Menjawab Tantangan Modernisasi, Demokratisasi Dan Globalisasi, Jurnal

Kependudukan Indonesia Vol. 9, No. 2, Desember (2014) 6Community Based Education merupakan kebijakan yang memberikan kekuasaan

bagi masyarakat untuk ikut serta dalam pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat

sekitar.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 109: Pendidikan Progresif John Dewey

99

kualitas perkembangannya sangat lamban. Ketertarikan masyarakat kepada

masyarakat kepada madrasah lebih terlihat sebagai ikatan emosional keagamaan.

Dengan kata lain, keinginan masyarakat untuk berperan serta dalam pendidikan

juga didorong oleh motivasi keagamaan untuk ber-tafaqquh fi al-din. Kedua, madrasah sebagai manajemen berbasis sekolah (School Based

Management). Keragaman dan kebebasan tidak tergantung kepada pusat dan

birokrasi menjadikan madrasah banyak yang bergengsi. Konsep School Based Management dan Community Based Education merupakan kenyataan tuntutan

untuk memunculkan kembali kemandirian dan otonomi sekolah. Kedua hal

tersebut selama ini dalam perkembangannya hilang, terhapus oleh konsep

sentralisasi dan penyeragaman.

Ketiga, madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-din, agar peserta didik

mempelajari dan menularkan kepada orang lain pemahaman agama baik secara

formal/syar’i ataupun secara fungsional. Karena itu madrasah tidak terpisahkan

dengan dakwah hanya lebih dominan pendidikan.

Keempat, madrasah sebagai lembaga kaderisasi dan mobilitas umat Islam.

Dari proses pendidikan di madrasah terbentuk pribadi muslim yang saleh dengan

pengguasaan ilmu agama secara luas, konsisten dan mendalam.7 Secara historis

kehadiran dan perkembangan madrasah merupakan lembaga pendidikan yang lahir

dari, oleh, dan untuk masyarakat.8

Secara formal, madrasah di Indonesia hanya terdiri dari madrasah negeri

dan swasta. Namun, pada awalnya, seluruh madrasah di lingkungan Departemen

Agama adalah madrasah swasta yang diprakarsai pendiriannya oleh masyarakat

Islam setempat. Madrasah negeri pada umumnya berasal dari madrasah swasta

yang dinegerikan. Kelahiran madrasah di Indonesia diawali ketika Departeman

Agama didirikan, di mana salah satu bagian pendidikan adalah mengadakan suatu

pilot project sekolah yang akan menjadi contoh bagi orang-orang atau organisasi

yang ingin mendirikan sekolah secara partikelir (swasta). Tugas ini mengandung

maksud sekolah agama milik pemerintah diperlukan sebagai panutan atau contoh

bagi pihak swasta dalam mengelola pendidikan agama. Pendirian madrasah negeri

merupakan sisi lain, dari benuk bantuan dan pembinaan terhadap madrasah

swasta. Adapun Madrasah Aliyah Insan Cendikia yang ada di Gorontalo dan

Serpong, madrasaha tersebut ditunjang dana dan fasilitas yang memadai sehingga

pembinaannya sangat maju, sementara yang dipresentasikan dalam penelitian ini

adalah Madrasah Aliyah Insan Cendikia Serpong Tangerang.

Menurut Rahim9, madrasah ibtidaiyah negeri sebagian besar berasal dari

madrasah-madrasah yang semula diasuh oleh Pemerintah Daerah di beberapa

7Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Logos,

2005), h. 38-40 8M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Bumi

Aksara, 2001), h. 17 9Husni Rahim. Madrasah dalam Politik, ....h. 161-162

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 110: Pendidikan Progresif John Dewey

100

daerah seperti Aceh, Lampung, dan Surakarta. Sejak tahun 1946 ada 205 sekolah

rendah Islam (sebutan untuk Madrasah Ibtidaiyah)10 yang diasuh oleh Pemerintah

Daerah Aceh yang dengan kesepakatan Menteri Agama No.1 Tahun 1959,

pengasuhan dan pemeliharaannya.

Sedangkan Madrasah swasta yang terbilang unggul dapat dihitung jari, itu

juga karena di back up oleh yayasan swasta yang sudah mapan, baik dari sisi usia

maupun tingkat kematangan penanganan pendidikan madrasah, misalnya

Madrasah Aliyah Insan Cendikia Serpong dan Madrasah Aliyah Insan Cendikia di

Gorontalo yang dulu dibina BPPT pada masa Presiden B.J Habibi dan sekarang

dialihkan kepada Depag. Kedua madrasah ini dijadikan model percontohan dalam

pengembangan pengajaran ilmu pengetahuan dan teknologi bagi lembaga

pendidikan lainnya.11 Dalam hal ini penulis tertarik dengan Madrasah Aliyah

Negeri Insan Cendikia Serpong untuk dijadikan tempat penelitian karena melihat

kualitas pendidikan MAN Insan Cendikia Serpong.

Kualitas pendidikan dipengaruhi banyak faktor, yaitu siswa, pengelola

sekolah (kepala sekolah, karyawan, dan dewan/komite sekolah), lingkungan

sekolah (orangtua, masyarakat, sekolah), kualitas pembelajaran, kurikulum dan

sebagainya.12 Hal senada juga disampaikan oleh Djemari Mardapi,13 bahwa Minat

belajar besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar sebab dengan minat

seseorang akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat

seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu. Misalnya seorang anak menaruh

minat terhadap bidang kesenian, maka ia akan berusaha untuk mengetahui lebih

banyak tentang kesenian.14

10Dalam peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa jenjang

pendidikan madrasah terdiri atas: a) Madrasah Tingkat Rendah, dengan lama berlajar

sekurang-kurangnya empat tahun dan berumur 6-15 tahun; b) madrasahlanjutan dengan

masa belajar sekurang-kurangnya tiga tahun setelah tamat dari Madrasah Tingkat Rendah

dan berumur 11 tahun ke atas. Peraturan ini ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan

Menteri Agama No.7 Tahun 1952 yang berlaku untuk seluruh wilayah RI. Dalam peratuan

tersebut dinyatakan bahwa pendidikan madrasah adalah: a) Madrasah Rendah (sekarang

Madrasah Ibtidaiyah), dengan masa belajar 6 tahun; b). Madrasah Lanjutan Tingkat

Pertama (sekarang Madrasah Tsanawiyah), Madrasah Lanjutan Atas (sekarang Madrasah

Aliyah), lama belajar 3 tahun setelah tamat dari Madrasah Tsanawiyah. 11Jamaludin, Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 2003), h. 99 12 Edy Suharyono, pengalaman penigkatan mutu pendidikan melalui

pengembangan sekolah di SMAN I Kasihan Bantul, Makalah disajikan dalam seminar

Nasional Peningkatan Mutu pendidikan Melalui pengembangan Budaya sekolah, tanggal 23

November 2005 di Universitas Negeri Yogyakarta. 13Djemari Mardapi, Desain dan pembelajaran mahasiswa. Makalah disajikan

dalam lokakarya sistem jaminan mutu proses pembelajaran, tanggal 19 Juni 2003, di

Universitas Gajah Mada 14Usman Uzer, Menjadi guru profesional, (Bandung:Penerbit PT Remaja

Rosdakarya, 2003), h. 27

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 111: Pendidikan Progresif John Dewey

101

Dalam dunia pendidikan belajar dan pembelajaran tidak hanya terjadi di

sekolah saja, tetapi di tiga pusat yang lazim dikenal dengan tri pusat pendidikan.

Tri pusat pendidikan adalah tempat di mana anak mendapatkan pengajaran baik

secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan keluarga (informal),

sekolah (fomal) maupun masyarakat (non formal). Seseorang dikatakan belajar

jika dalam dirinya terjadi aktivitas yang mengakibatkan perubahan tingkah laku

dan dapat diamati relatif lama. Dalam proses belajar, setiap siswa harus

diupayakan untuk terlibat secara aktif guna mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini

memerlukan bantuan dari guru untuk memotivasi dan mendorong agar siswa

dalam proses belajar terlibat secara totalitas. Guru harus menguasai baik materi

maupun strategi dalam pembelajaran. Slameto15 menyatakan bahwa guru dalam

mengajar harus efektif baik untuk dirinya maupun untuk pembelajar. Untuk

melaksanakan pembelajaran yang efektif diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Belajar secara aktif, baik mental maupun fisik.

2. Guru harus mempergunakan banyak metode pada waktu mengajar

3. Motivasi.

4. Kurikulum yang baik dan seimbang

5. Guru perlu mempertimbangkan perbedaan individual.

6. Guru akan mengajar efektif bila selalu membuat perencanaan sebelum

mengajar.

7. Pengaruh guru yang sugestif perlu diberikan pula kepada siswa.

8. Seorang guru harus memiliki keberanian menghadapi siswa-siswanya.

9. Guru harus mampu menciptakan suasana demokratis di sekolah.

10. Guru perlu memberikan masalah-masalah yang merangsang untuk berfikir

11. Semua pelajaran yang diberikan pada siswa perlu diintegrasikan.

12. Pelajaran di sekolah perlu dihubungkan dengan kehidupan yang nyata di

masyarakat.

13. Dalam interaksi belajar mengajar, guru harus banyak memberi kebebasan

pada siswa.

14. Pengajaran remedial

Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa yang penting dalam

proses belajar mengajar, guru sebagai pengajar tidak mendominasi kegiatan, tetapi

menciptakan atmosfer belajar siswa serta memberikan motivasi dan bimbingan

agar siswa mengembangkan potensi dan kreativitasnya masing-masing. Perilaku

guru akan berkorelasi positif dengan prestasi siswa jika mampu mengalokasikan

dan menggunakan waktu dalam belajar.

Dalam pendidikan, prinsip-prinsip progresif dapat dipaparkan sebagai

berikut;16 1) Proses pendidikan menemukan asal-muasal dan tujuannya pada anak

15Slameto, Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta: PT

Rineka Cipta), h. 92-94 16 George R. Knight, Filsafat Pendidikan ..., h. 148-155.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 112: Pendidikan Progresif John Dewey

102

2) Subyek-subyek didik adalah aktif bukan pasif 3) Peran guru adalah penasihat,

pembimbing, dan pemandu, daripada sebagai rujukan otoriter (tidak bisa dibantah)

dan pengarah ruang kelas 4) Sekolah adalah sebuah dunia kecil (miniatur)

masyarakat besar 5) Aktivitas ruang kelas memfokuskan pada pemecahan masalah

daripada metode-metode artifisial (buatan) untuk pengajaran materi kajian 6)

Atmosfer sekolah harus kooperatif dan demokratis. Dari pemaparan tersebut,

penulis akan mencoba menganalisis kegiatan belajar mengajar di Man Insan

Cendikia berdasarkan pandangan pendidikan progresif, karena di madrasah

tersebut sebagai pusat dari semua madrasah dan sebagai sekolah unggulan.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka penulis ingin menganalisis

kegiatan belajar mengajar di MAN Insan Cendikia. Untuk membelajarkan siswa

sesuai dengan cara gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat

dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, guru

harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala

situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang

tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas

media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian

bahwa model-model yang dikembangkan di MAN Insan Cendikia dan dijadikan

alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kondisi yang dihadapi sebagai berikut:

B. Model-model Pembelajaran

Sebuah penelitian,17 menyatakan bahwa Model pembelajaran kooperatif

tipe Pair Checks pemecahan masalah untuk meningkatkan social skill dilakukan

dengan proses pembelajaran. Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok dan satu

kelompok terdiri dari dua orang saja. Mereka harus berusaha untuk menyelesaikan

suatu masalah, kemudian hasil diskusi kelompok mereka akan dicek oleh pasangan

dari kelompok lain. Di akhir proses pembelajaran siswa diberi tugas rumah untuk

mengerjakan soal yang ada dibuku paket siswa. Hal ini bertujuan supaya pada

pertemuan selanjutnya siswa sudah belajar tentang materi yang akan dipelajari di

sekolah.

Belajar merupakan suatu aktivitas dilakukan secara disengaja dalam upaya

memperoleh perubahan dan perbaikan. Hal ini sesuai pendapat Suyono dan

Hariyanto18 bahwa ”belajar adalah suatu aktivitas atas suatu proses untuk

memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku,

sikap dan mengokohkan kepribadian”. Menurut Hamalik19bahwa “belajar adalah

modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening of behavior through experience)”. Sedangkan

17R. Lestari, S. Linuwih, Penerapan Model Pembelajaran kooperatif Tipe Pair

Checks Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Social Skill Siswa, Jurnal

Pendidikan Fisika Indonesia 8 (2012), h. 194 18Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: PT. Remaja

Rosdakarya, 2011), h. 9 19 Hamalik, Psikologi Belajar Mengajar (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 27

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 113: Pendidikan Progresif John Dewey

103

menurut Santoso20 bahwa “belajar adalah proses interaksi dan bukan sekedar

proses penyerapan yang berlangsung tanpa usaha yang aktif dari individu yang

belajar”.

Kegiatan belajar yang dilakukan menghasilkan suatu hasil dalam bentuk

perubahan ke arah yang lebih baik yang disebut hasil belajar. Hasil belajar

dikatakan pula sebagai akhir atau puncak dari kegiatan belajar. Hal ini sesuai

pendapat Dimyati dan Moedjiono21 bahwa”hasil belajar merupakan suatu puncak

proses belajar”. Menurut Slameto22 bahwa “hasil belajar merupakan perubahan

tingkah laku yang terjadi secara berkesinambungan dan tidak statis”. Sedangkan

menurut hasil penelitian23 bahwa “hasil belajar adalah pola-pola perubahan

tingkah laku seseorang yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan/atau psikomotor

setelah menempuh kegiatan belajar tertentu yang tingkat kualitas perubahannya

sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang ada dalam diri siswa dan lingkungan

sosial yang mempengaruhinya”.

Pada hakikatnya kata model memiliki definisi yang berbeda-beda sesuai

dengan bidang ilmu atau pengetahuan yang mengadopsinya. Salah satu definisi

model seperti yang dikemukakan Dilworth (dalam Sakdiahwati) berikut, “A model is an abstract representation of some real world process, system, subsystem. Model are used in all aspect of life. Model are useful in depicting alternatives and in analysing their performance”. Berdasarkan pendapat tersebut

dapat dikatakan bahwa model merupakan representasi abstrak dari proses, sistem,

atau subsistem yang konkret. Model digunakan dalam seluruh aspek kehidupan.

Model bermanfaat dalam mendeskripsikan pilihan-pilihan dan dalam menganalisis

tampilan-tampilan pilihan tersebut.24

Model adalah konstruksi yang bersifat teoritis dari konsep.25 Jadi, model

di sini adalah perencanaan pelaksanaan pembelajaran yang tersusun secara

sistematis yang berasal dari teori-teori tertentu yang membentuk sebuah konsep.

Model adalah bentuk reprensentasi akurat, sebagai proses aktual yang

memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan

20Santoso, Prolematika Pendidikan dan Cara Pemecahannya. (Jakarta: Kreasi

Pena Gading, 2000), h. 39 21Dimyati dan Moedjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,

2006), h. 20 22Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. (Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 2003), h. 194 23Supardi U.S. dan Susilo, Penerapan Model Pembelajaran Team Assisted

Individualization Berbantuan Lembar Kerja Siswa Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas

Proses dan Hasil Belajar Matematika Siswa MTs, Jurnal Formatif, (2011), h. 192-207. 24Sakdiahwati, Makalah: ”Penerapan Model Sinektik Dalam Meningkatkan

Kreativitas Menulis Studi Kuasi Eksperimen dalam Pembelajaran Menulis pada

SiswaKelas I SMPN di Kota Palembang)”,dalam http://www.puslitjaknov.depdiknas.go.id.

tt. 25Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Renika Cipta,

2004), h. 95

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 114: Pendidikan Progresif John Dewey

104

model itu. Pengertian model pembelajaran, merupakan landasan praktik

pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan belajar, yang

dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi

kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di depan kelas. Memilih

suatu model mengajar, harus sesuaikan dengan realitas yang ada dan situasi kelas

yang ada, serta pandangan hidup yang akan dihasilkan dari proses kerjasama

dilakukan antara guru dan peserta didik.26

Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur

manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling

mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat dalam sistem

pembelajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga

laboratorium. Material meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur, fotografi,

slide, dan film, audio dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari

ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur, meliputi

jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan

sebagainya.27

Adapun dari sumber lainnya, model pembelajaran adalah kerangka

konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan

pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu dan berfungsi sebagai

pedoman bagi perancang pembelajaran dan para pengajar/tutor dalam

merencanakan dan melaksanakan aktivititas pembelajaran.28

Menurut Suyatno, model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang

tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas.

Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi siswa dengan

pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Pendekatan adalah konsep dasar

yang mewadahi, menginsipirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran

dengan cakupan teoretis tertentu. Metode pembelajaran adalah prosedur, urutan,

langkah-langkah, dan cara yang digunakan guru dalam pencapaian tujuan

pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa metode pembelajaran merupakan jabaran

dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode

pembelajaran. Dapat pula dikatakan bahwa metode adalah prosedur pembelajaran

yang difokuskan ke pencapaian tujuan. Dari metode, teknik pembelajaran

diturunkan secara aplikatif, nyata, dan praktis di kelas saat pembelajaran

berlangsung. Teknik adalah cara kongkret yang dipakai saat proses pembelajaran

berlangsung. Guru dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode

yang sama. Satu metode dapat diaplikasikan melalui berbagai teknik

26Wowo Sunaryo Kuswana, Model Pembelajaran Dalam Konteks Kurikulum

2004, makalah, dalam http://energimandiri.com. tt. 27 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007),

h. 57 28Hiryanto,Model-modelPembelajaran,dalam

masririt.files.wordpress.com/2007/12/model-model-pembelajaran.ppt. 18 November 2016.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 115: Pendidikan Progresif John Dewey

105

pembelajaran. Bungkus dari penerapan pendekatan, metode, dan teknik

pembelajaran tersebut dinamakan model pembelajaran.29

Adapun menurut Trianto, model pembelajaran adalah suatu perencanaan

atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan

pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran

mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk di

dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran,

lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas.30 Dan dalam tulisannya Akhmad

Sudrajat mengemukakan, apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan

bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh

maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran.31

Jadi, model pembelajaran adalah suatu perencanaan yang dibuat sesuai

dengan kurikulum, didalamnya terdapat langkah-langkah secara tersusun sebagai

pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas atau pembelajaran tutorial.

Dan pelaksanaannya sangat tergantung pada guru yang bersangkutan.

Adapun ciri-ciri dari model pembelajaran seorang guru sebelum memilih

sebuah model pembelajaran maka sebaiknya terlebih dahulu tahu mengenai sifat-

sifat atau ciri-ciri sehingga dalam pelaksanaannya sebuah model pembelajaran

akan berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Pada umumnya model-

model mengajar yang baik memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang dapat dikenali

secara umum sebagai berikut:

1. Memiliki prosedur yang sistematik. Jadi, sebuah model mengajar

merupakan prosedur yang sistematik untuk memodifikasi perilaku siswa,

yang didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu.

2. Hasil belajar ditetapkan secara khusus. Setiap model mengajar

menentukan tujuan-tujuan khusus hasil belajar yang diharapkan dicapai

siswa secara rinci dalam bentuk unjuk kerja yang dapat diamati. Apa yang

harus dipertunjukkan oleh siswa setelah menyelesaikan urutan

3. Pengajaran disusun secara rinci dan khusus.

4. Penetapan lingkungan secara khusus. Menetapkan keadaan lingkungan

secara spesifik dala model mengajar.

5. Ukuran keberhasilan. Menggambarkan dan menjelaskan hasil-hasil belajar

dalam bentuk perilaku yang seharusnya ditunjukkan oleh siswa setelah

menempuh dan menyelesaikan urutan pengajaran.

29Suyatno, Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran

dalam http://www.klubguru.com, 03 Maret 2017. 30Trianto, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek,

(Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher, 2007), h. 1 31Akhmad Sudrajat, Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan

Model Pembelajaran, dalam http://www.psbpsma. org/content/blog/pengertian-

pendekatan-strategi-metode-teknik-taktikdan-model-pembelajaran. 03 Oktober 2017

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 116: Pendidikan Progresif John Dewey

106

6. Interaksi dengan lingkungan. Semua model mengajar menetapkan cara

yang memungkinkan siswa melakukan interaksi dan bereaksi dengan

lingkungan.32

Dari sifat-sifat atau ciri-ciri umum yang dimiliki oleh sebuah model

pembelajaran, maka akan mempermudah guru dalam hal memilih dan

memprediksi proses pelaksanaan sebuah model pembelajaran. sehingga guru tahu

kriteria sebuah model pembelajaran haruslah memiliki prosedur yang sistematik

(seperti pembuatan RPP), tetapi dengan hasil belajar dengan lingkungan belajar

yang telah ditetapkan secara khusus, evaluasi tingkat keberhasilan telah

ditentukan dan siswa diajak berinteraksi dan bereaksi dengan lingkungan sekitar

setiap kali KBM berlangsung.

Pembelajaran merupakan usaha sadar dan disengaja oleh guru untuk

membuat siswa belajar dengan jalan mengaktifkan faktor intern dan ekstern dalam

kegiatan belajar mengajar. Sedangkan pembelajaran harus disesuaikan dengan

materi dan tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dalam proses pembelajaran

keaktifan siswa lebih diutamakan sehingga mereka mempunyai kebebasan yang

bertanggung jawab untuk mengungkapkan ide atau gagasan dalam pemikirannya.

Sistem pembelajaran memiliki tiga ciri khas, yaitu: rencana, kesalingtergantungan

(interdependence) dan tujuan. Rencana ialah penataan ketenagaan, material, dan

prosedur, yang merupakan unsur-unsur sistem pembelajaran, dalam suatu rencana

khusus. Unsur-unsur sistem pembelajaran saling tergantung (interdependence), serasi dalam suatu keseluruhan. Setiap unsur bersifat penting, dan masing-masing

memberikan sumbangannya kepada sistem pembelajaran. Sistem pembelajaran

mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai. Tujuan utama sistem

pembelajaran agar siswa belajar secara efisien dan efektif.33

Proses belajar mengajar memiliki empat komponen yaitu tujuan, bahan,

metode dan alat, serta penilaian. Keempat komponen tersebut tidaklah berdiri

sendiri, tetapi saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain

(interelasi). Tujuan merupakan rumusan tingkah laku dan kemampuan yang harus

dicapai dan dimiliki peserta didik setelah menyelesaikan pengalamannya dan

kegiatan belajar dalam proses pengajaran. Isi tujuan pengajaran pada hakikatnya

adalah hasil belajar.

Adapun Ciri-ciri pembelajaran tersebut terletak pada unsur-unsur dinamis

dalam proses belajar yaitu: a Motivasi belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai

serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga

seseorang itu mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan

berusaha untuk mengelakkan perasaan tidak senang atau suka itu. b Bahan belajar,

bahan belajar merupakan isi dalam pembelajaran. bahan atau materi belajar perlu

berorientasi pada tujuan yang akan dicapai siswa dan memperhatikan karakteristik

32Buchari Alma, Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar,

(Bandung: Alfabeta, 2008), h. 102-103. 33 Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara. 2003), h. 66

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 117: Pendidikan Progresif John Dewey

107

siswa agar dapat diminati siswa. c Alat bantu belajar, alat bantu belajar atau

media belajar merupakan alat yang dapat membentuk siswa belajar untuk

mencapai tujuan belajar misalnya media cetak, media elektronika dan lain-lain. d

Suasana belajar, suasana belajar yang dapat menimbulkan aktivitas atau kegiatan

dalam belajar siswa adalah adanya komunikasi dua arah, kegairahan dan

kegembiraan belajar. e. Kondisi siswa yang belajar.

Ciri-ciri pembelajaran sebenarnya adalah upaya guru mengatur unsur-

unsur dalam pembelajaran, sehingga dapat mengaktifkan siswa dalam kegiatan

belajar mengajar agar terjadi proses belajar dan tujuan belajar dapat tercapai.

Pembelajaran dapat terjadi apabila unsur-unsur dinamis dapat terpenuhi. Adanya

motivasi belajar, bahan belajar, alat bantu belajar, suasana belajar, dan kondisi

siswa belajar sangat mempengaruhi keberhasilan proses belajar. Untuk itu,

kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada peran dan partisipasi siswa, bukan

peran guru yang dominan, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator (memberi

kemudahan pada siswa untuk belajar), motivator dan sebagai pembimbing

(memberi bimbingan kepada siswa yang memerlukan).34

1. Kooperatif (Cooperative Learning).

Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode

pengajaran di mana siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling

membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Para siswa

diharapkan dapat saling membantu, mendiskusikan dan berargumentasi, untuk

mengasah pengetahuan yang mereka kuasai dan menutup kesenjangan dalam

pemahaman masing-masing.35 Dalam prakteknya di lapangan, guru menjadi orang

yang lebih aktif dalam proses pembelajaran dibandingkan dengan peserta didik.

Hal itu mengakibatkan peserta didik menjadi pasif dan merasa jenuh dalam proses

belajar. Sikap peserta didik pun menjadi takut dengan matematika. Kejenuhan

tersebut dapat dilihat dari penerimaan materi. Mereka cenderung diam dan tidak

berani mengeluarkan pendapat. Hal tersebut terjadi karena monotonnya

pembelajaran yang dilaksanakan sehingga pikiran peserta didik tidak tereksplor

dengan maksimal. Akibatnya kemampuan penalaran dan komunikasi matematik

peserta didik tidak berkembang dengan baik.

Guru merupakan motor utama yang memiliki tanggung jawab langsung

untuk menterjemahkan kurikulum ke dalam aktivitas pembelajaran dan bukan

satu-satunya sumber utama pengetahuan. Hal tersebut dapat dilihat dari tugas dan

peran guru, antara lain sebagai komunikator, fasilitator, motivator, model,

evaluator, sumber belajar dan administrator. berkaitan dengan tugas guru tersebut,

maka seorang guru harus memiliki keterampilan untuk melaksanakan

34Gino, Suwarni, Suripto, Maryanto dan Sutijan, Belajar dan Pembelajaran I.

(Surakarta: UNS Press, 2000), h. 36-39 35Slavin, R. E, Cooperative Learning Teori Riset Dan Praktik, (Bandung:Nusa

Media, 2008), h. 4

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 118: Pendidikan Progresif John Dewey

108

pembelajaran di kelas dengan sebaik-baiknya agar siswa mendapatkan hasil

belajar yang optimal. konsep listrik cukup akrab dengan kehidupan sehari-hari

siswa. melalui penerapan pembelajaran kooperatif pada konsep listrik ini,

diharapkan dapat merespon keluhan akan rendahnya pemahaman konseptual

siswa. hal ini senada dengan hasil penelitian36 menyatakan guru merupakan sosok

yang keberadaannya tidak dapat digantikan oleh media atau fasilitas pembelajaran

apapun. Kehadiran guru masih tetap diperlukan, sebagaimana dikemukakan

Supandi37 “Kehadiran guru sebagai sosok yang berdiri di depan kelas

keberadaannya sampai kapanpun tidak dapat digantikan oleh media pembelajaran

secanggih apapun. Guru harus tetap melaksanakan pembelajaran secara langsung

di depan siswa”. Oleh karena itu apapun alasannya guru harus mengajar langsung

di depan siswa agar tujuan pembelajaran yang ditetapkan dapat tercapai.

Suatu penelitian38, menyatakan bahwa proses pembelajaran dapat

terlaksana dengan baik, maka salah satu yang perlu dibenahi adalah perbaikan

kualitas tenaga pengajarnya. Dengan perbaikan ini, guru paling tidak dapat

mengorganisasi pembelajaran dengan jalan menggunakan teori-teori belajar, serta

mendesain pembelajaran yang dapat menimbulkan minat serta memotivasi siswa

dalam belajar. Dalam pembelajaran matematika, guru tidak cukup terfokus hanya

pada satu model dan metode tertentu saja. Guru perlu mencoba menerapkan

berbagai model dan metode yang sesuai dengan tuntutan materi pembelajaran,

termasuk dalam penerapan model pembelajaran kooperatif dengan metode belajar

kelompok. Pemilihan model dan metode yang tepat tersebut akan dapat

meningkatkan pencapaian hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan. Senada

dengan guru biologi di MAN Insan Cendikia Serpong kelas X39 menyatakan

bahwa guru harus kaya dengan model-model pembelajaran dan mempraktikkan di

kelas agar pembelajaran lebih kooperatif antara murid dengan murid dan dengan

kelompok lainnya serta guru sebagai fasilitator untuk murid.

Model yang relevan diperlukan untuk mengoptimalkan, meningkatkan,

dan menumbuhkembangkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematik

peserta didik. Salah satu cara memperbaiki rendahnya penalaran dan komunikasi

matematik peserta didik adalah dengan cara mengubah model pembelajaran yang

biasa digunakan dengan model pembelajaran yang lebih mendukung aktivitas

peserta didik dalam memahami suatu materi dan lebih menekankan peserta didik

36Yani Nurhaeni Meningkatkan Pemahaman Siswa Pada Konsep Listrik Melalui

Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Siswa Kelas IX SMPN 43 Bandung, Jurnal

Penelitian Pendidikan Vol. 12 No. 1 April 2011, h. 78-79 37Supandi, Peranan Guru dalam Proses Pembelajaran. (Jakarta: Depdikbud,

1992), h. 23 38Ning Endah Sri Rejeki meningkatkan hasil belajar matematika melalui model

pembelajaran kooperatif tipe jigsaw Pada siswa kelas VIII G semester 2 SMP negeri 2

toroh grobogan, Jurnal Lemlit, Volume 3 Nomer 2 Desember 2009 39Hasil wawancara dengan guru biologi kelas X di MAN IC Serpong Tangerang

pada tanggal 20 Februari 2018

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 119: Pendidikan Progresif John Dewey

109

berperan aktif dalam pembelajaran sehingga dapat meningkatkan penalaran dan

komunikasi matematik peserta didik. Model pembelajaran yang efektif dan

diperkirakan dapat meningkatkan kualitas penalaran dan komunikasi matematik

peserta didik adalah model pembelajaran kooperatif, sebab dalam pembelajaran

kooperatif, peserta didik ditekankan untuk lebih aktif.

Berbagai model pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas siswa saat

ini telah banyak dikemukakan. Salah satu model yang dapat digunakan untuk

meningkatkan aktivitas belajar adalah model cooperative learning atau

pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu model

pembelajaran yang digunakan untuk proses belajar, dengan pembelajaran

kooperatif siswa akan lebih mudah menemukan secara komprehensif konsep-

konsep yang sulit jika mereka mendiskusikan dengan siswa yang lain tentang

masalah yang dihadapi.

Dalam prosesnya peserta didik dituntut untuk bekerja sama dengan teman

sekelompoknya untuk memahami sesuatu permasalahan sehingga proses penalaran

dan komunikasi lebih baik dan lebih mudah untuk dijelaskan.Pembelajaran

kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana siswa

bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama

lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Para siswa diharapkan dapat saling

membantu, mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan

yang mereka kuasai dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-

masing.40 Langkah-langkah pembelajaran kooperatif menurut Arends41 dapat

dilihat pada Tabel di bawah ini.

Tabel 4.1 Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif

No Fase Perilaku Guru

1 Fase pertama menyampaikan

tujuan dan motivasi siswa

Guru menyampaikan tujuan-tujuan

pembelajaran dan memberikan motivasi

belajar pada siswa.

2 Fase kedua menyampaikan

informasi

Guru menyampaikan informasi kepada

siswa baik dengan peragaan

(demonstrasi) atau dengan teks.

3 Fase ketiga mengorganisasikan

siswa dalam kelompok belajar.

Guru menjelaskan pada siswa

bagaimana cara membentuk kelompok

belajar dan membantu setiap kelompok

membuat perubahan yang efisien.

4 Fase keempat membantu kerja

kelompok dalam belajar

Guru membantu kelompok-kelompok

belajar pada saat mereka mengerjakan

tugas.

40Slavin, R. E, Cooperative Learning Teori Riset Dan Praktik, (Bandung:Nusa

Media, 2008), h. 4 41Arends, R. I, Classroom Intruction And Management. (USA: The MC. Graw Hill

Companies, Inc, 1997), h. 113

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 120: Pendidikan Progresif John Dewey

110

5 Fase kelima Mengujikan materi

Guru mengujikan semua materi

pelajaran atau kelompok-kelompok

menyajikan hasil-hasil pekerjaan

mereka.

6 Fase keenam menyediakan

penghargaan

Guru memberikan cara-cara untuk

menghargai baik usaha maupun prestasi

belajar individu dan kelompok.

Belajar kooperatif merupakan belajar dengan pendekatan pengajaran

melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi

belajar guna mencapai tujuan belajar. Menurut Lie42, ”Metode pembelajaran

kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok”. Ada unsur-unsur

dasar pembelajaran kooperatif yang membedakanya dengan pembagian kelompok

asal-asalan. Pengelompokan heterogenitas (keanekaragaman) merupakan ciri yang

menonjol dalam metode pembelajaran ini. Kelompok heterogenitas dapat dibentuk

dengan mempertimbangkan keanekaragaman gender, latar belakang agama, sosio-

ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Menurut Arends43 disebutkan

bahwa “the tree instructional goals of cooperative learning are academic achievement, acceptance of diversity and development of social skill”. Hasil

belajar pada pembelajaran kooperatif menurut Arends dapat dilihat pada Gambar

2

Gambar 4.1 Model Pembelajaran Kooperatif

Metode pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai 3 tujuan

utama yaitu: pencapaian akademik, penerimaan atau perbedaan dan

42 Lie, A, Cooperative Learning, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004) 43Arends, Learning to Teach Fifth Edition. (New York: Mc. Graw Hill Company,

2001), 315

Cooperative

Learning

Academic Achievement

Acceptance

of Diversity

Social Skill

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 121: Pendidikan Progresif John Dewey

111

mengembangkan kemampuan sosial. Pembelajaran kooperatif dapat memberikan

keuntungan pada siswa yang berpencapaian rendah dan siswa yang berpencapaian

tinggi dalam proses pembelajaran. Siswa yang berpencapaian lebih tinggi dapat

mengajari siswa yang berpencapaian rendah. Ini memberikan keuntungan terhadap

siswa yang berpencapaian tinggi karena dengan membagikan ide atau

pengetahuannya, siswa tersebut menjadi lebih dalam pengetahuannya tentang

materi atau bahan ajar. Sedangkan siswa yang berpencapaian rendah lebih tertarik

dalam belajar. Menurut Slavin44 ”Pembelajaran kooperatif bukan hanya sebuah

teknik pengajaran yang ditujukan untuk meningkatkan pencapaian prestasi para

siswa, ini juga merupakan cara untuk menciptakan keceriaan, lingkungan yang

prososial di dalam kelas, yang merupakan salah satu manfaat penting untuk

memperluas perkembangan interpersonal dan keefektivan”.

Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk mampu berpartisipasi aktif

dan berkomunikasi. Antara lain keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap

sopan terhadap teman, mengkritik ide, dan bukan mengkritik teman, berani

mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain yang bermanfaat.

Menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja

diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya

memperoleh teguran dari guru tetapi juga dari sesama siswa.

Pembelajaran kooperatif sudah dikenal dalam pembelajaran sehari-hari

dalam pelaksanaannya masih ada yang menganggap sebegai belajar kelompok

biasa. Berikut beberapa pengertian pembelajaran kooperatif menurut para ahli.

Slavin dalam Isjoni45 menyatakan bahwa Cooperative Learning adalah suatu

model pembalajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok

kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur heterogen.

Huda46 menyatakan bahwa:

Pembelajaran kooperatif merupakan kemandirian belajar pembelajaran

kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus

didasarkan pada perubahan informasi secara sosial diantara kelompok-

kelompok pembelajar yang di dalamnya seiap pembelajar bertanggung

jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan

pembelajaran anggota-anggota yang lain.

Isjoni47 berpendapat bahwa Cooperative Learning adalah suatu model

pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar

mengajar yang berpusat pada siswa (student oriented), terutama untuk mengatasi

44Slavin, R. E, Cooperative Learning Teori Riset Dan Praktik.... 100 45Slavin RE, Coopereatif Learning: Suatu Pengantar Kepada Teori Tes dan

Pengukuran, (Jakarta: Dikti PPLPTK, 2010), h. 12 46M. Huda, Cooperative Learning: Metode, Teknik, Struktur, dan Model

Penerapan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), h. 29 47Isjoni, Cooperative Learning Efekivitas Pembelajaran Kelompok,

(Bandung:Alfabeta, 2010), h. 16

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 122: Pendidikan Progresif John Dewey

112

permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat

bekerjasama dengan orang lain, agresif, dan tidak peduli pada yang lain.

Belajar kelompok biasa belum tentu menjadikan semua peserta didik

untuk aktif belajar. Biasamya peserta didik saling mangandalkan dalam

menyelesaikan tugas atau membagi tugas yang tidak menuntut semua anggotanya

untuk memahami materi. Suprijono48 menyatakan bahwa “pembelajaran

kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok

termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh atau diarahkan oleh guru”.

Pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran kolaboratif yang saling

membagi tugas dalam kelompoknya. Pada dasarnya pembelajaran kooperatif

menuntut semua peserta didik untuk aktif belajar.

Roger dan David Johnson dalam Suprijono49 berpendapat bahwa tidak

semua belajar kelompok dapat dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk

mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalm model pembelajaran kooperatif

harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah sebagai beriku.

a. Positive interdependence (saling ketergantungan positif)

b. Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan)

c. Face to face promotive interaction (interaksi promotif)

d. Interpersonal skill (komunikasi antar anggota)

e. Group Processing (pemprosesan kelompok)

Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk mampu berpartisipasi aktif

dan berkomunikasi. Antara lain keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap

sopan terhadap teman, mengkritik ide, dan bukan mengkritik teman, berani

mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain yang bermanfaat.

Menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja

diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya

memperoleh teguran dari guru tetapi juga dari sesama siswa.

Pada tahun 1916, John Dewey, menulis buku berjudul “Democracy and Education” Di dalam buku itu dia menyatakan bahwa kelas seharusnya cermin

masyarakat yang Iebih besar dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar

tentang kehidupan nyata. Dewey mengharuskan guru menciptakan suatu sistem

sosial yang dicirikan dengan prosedur demokrasi dan proses ilmiah di dalam

lingkungan belajarnya. Tanggungjawab utama mereka adalah memotivasi siswa

untuk bekerja secara kooperatif dan memikirkan masalah sosial penting yang

muncul pada hari itu dalam kelas. Di samping upaya pemecahan masalah di dalam

kelompok kecil mereka, siswa belajar menghormati satu sama lainnya melalui

interaksi. Pendapat Dewey tersebut dikembangkan oleh Herbert Thelan

tahun1954, dengan argumentasi bahwa kelas haruslah merupakan laboratorium

48A. Suprijono, Cooperative Learning; Teori & Aplikasi PAIKEM, (Yogyakarta:

Pustaka Belajar, 2010), h. 54 49A. Suprijono, Cooperative Learning... h. 58

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 123: Pendidikan Progresif John Dewey

113

atau miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial dan

antar pribadi. Dewey dan Thelan berpendapat bahwa tingkah laku kooperatif

merupakan dasar demokrasi, dan sekolah dipandang sebagai laboratorium untuk

mengembangkan tingkah laku demokrasi sehingga terjadi rasa tanggung jawab

yang sama dalam mencapai keberhasilan50.

2. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)

Suatu penelitian51menyatakakan bahwa pencapaian Kemampuan

Pemahaman matematis siswa, yang pembelajarannya menggunakan pendekatan

Kontekstual lebih baik daripada yang cara konvensional. Pencapaian siswa yang

memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual mendapat

pencapaian yang bagus sedangkan kelas yang pembelajarannya konvensional

masih sangat kurang. Selain itu juga peningkatan kemampuan pemahaman

matematis siswa, yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual

lebih baik daripada yang cara konvensional. Peningkatan kemampuan siswa yang

memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual mendapat

pencapaian yang bagus sedangkan kelas yangg pembelajarannya konvensional

masih sangat kurang.

Pendefinisian pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yang

dikemukakan oleh ahli sangatlah beragam, namun pada dasarnya memuat faktor-

faktor yang sama. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang

menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat

menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi

kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam

kehidupan mereka.52 Menurut E. Mulyasa53, pendekatan pembelajaran kontekstual

(Contextual Teaching and Learning) atau sering disingkat dengan CTL adalah

suatu konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi

pelajaran dengan dunia nyata, sehingga para siswa mampu menghubungkan dan

menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Johnson54

menyebutkan bahwa CTL merupakan sebuah sistem yang merangsang otak untuk

menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. CTL adalah suatu sistem

50Kusen, Strategi Pembelajaran Kooperatif Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar,

Ta’dib, Volume 19, No. 1 Juni (2016), h. 36 51Ratna Sariningsih Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan

Pemahaman Matematis Siswa SMP, Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP

Siliwangi Bandung, Vol 3, No.2, September 2014, h. 161 52Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

(Jakarta: Kencana, (2006), h. 253 53 E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan

Menyenangkan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 207-218 54 Johnson, Elaine B, Contextual Teaching and Learning: what it is and why it’s

here to stay Ibnu Setiawan. Terjemahan, (Bandung: MLC, 2009), h. 57

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 124: Pendidikan Progresif John Dewey

114

pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan

menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari

siswa. Johnson55 juga mengungkapkan bahwa untuk membantu mengembangkan

potensi siswa, CTL memberikan kesempatan untuk menggunakan keahlian

berpikir pada tingkatan yang lebih tinggi dalam dunia nyata. Dengan begitu siswa

sedikit demi sedikit akan membangkitkan kebiasaan berpikir dengan baik,

berpikiran terbuka, mendengarkan orang lain dengan tulus, berpikir sebelum

bertindak, mendasari kesimpulan dengan bukti kuat, dan melatih imajinasi.

Johnson56 juga Pembelajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam

aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan

konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para

siswa melihat makna di dalam tugas sekolah. Ketika para siswa menyusun proyek

atau menemukan permasalahan yang menarik, ketika mereka membuat pilihan dan

menarik tanggung jawab, mencari informasi dan menarik kesimpulan, ketika

mereka secara aktif memilih, menyusun, mengatur, menyentuh, merencanakan,

menyelidiki, mempertanyakan, dan membuat keputusan, mereka mengaitkan isi

akademis dengan konteks dalam situasi kehidupan, dan dengan cara ini mereka

menemukan makna. Apabila dalam pembelajaran matematika siswa diberikan

masalah yang dekat dengan kehidupan mereka melalui pembelajaran kontekstual,

maka siswa akan mencoba untuk menghubungkan dan mengkonstruksi

pemahaman konsep secara teoritis atau abstrak sesuai dengan sifat matematika

dan pengalaman yang pernah mereka dapat. Pengalaman yang dimaksud adalah

segala aktivitas atau kegiatan yang pernah siswa alami sebelum pembelajaran atau

saat pembelajaran berlangsung. Sehingga diharapkan melalui proses berpikir siswa

tersebut, kemampuan analisis siswa dalam memecahkan masalah melalui

pembelajaran kontekstual akan meningkat. Dengan demikian dimungkinkan

pembelajaran kontekstual dapat mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah

matematika siswa. Seperti hasil penelitian57 berdasarkan uraian di atas perlu

dilakukan penelitian mengenai optimalisasi kemampuan siswa sekolah dasar

dalam hal memecahkan masalah matematika melalui paradigma pembelajaran

yang mengorientasikan siswa untuk memecahkan masalah yang dekat dengan

pengalaman siswa melalui pembelajaran kontekstual. Salah satu hal yang dapat

dilakukan adalah dengan meneliti pengaruh pembelajaran kontekstual terhadap

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sekolah dasar dan hasil yang

diperolehnya adalah ada pengaruh pembelajaran kontekstual terhadap kemampuan

pemecahan masalah matematika siswa SD. Sementara itu pembelajaran

55 Johnson, Elaine B, Contextual Teaching and Learning: what it is and why it’s

here to stay, h. 182 56Johnson, E.B, Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-

Mengajar Mengasikkan dan Bermakna (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h. 35 57Mohammad Faizal Amir Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Dasar, Oktober 2015, h. 34-

35

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 125: Pendidikan Progresif John Dewey

115

kontekstual memiliki tingkat pengaruh besar terhadap kemampuan pemecahan

masalah siswa SD.

Suatu penelitian58, menyatakan bahwa salah satu upaya untuk mengatasi

krisis karakter adalah menanamkan kembali nilai-nilai karakter mulia pada peserta

didik yang diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Mata pelajaran Fisika

merupakan salah satu mata pelajaran di SMA yang dapat dijadikan sebagai sarana

pengimplementasian nilai-nilai karakter bagi peserta didik. Mata pelajaran fisika

adalah salah satu mata pelajaran dalam rumpun sains yang mempelajari fenomena

alam, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini jelas mengindikasikan

bahwa banyak bagian dari fisika yang dapat digunakan untuk

mengimplementasikan nilai-nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini

berkembang tuntutan untuk mengedepankan membangun karakter bangsa. Dunia

pendidikan diharapkan dapat berperan dalam proses pembangunan karakter

bangsa. Tenaga pendidik hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam

pembelajaran di kelas59. Senada dengan guru Pkn di MAN IC Serpong kelas XI60

menyatakan sangatlah penting ketika mengajar haruslah menonjolkan nilai-nilai

karakter kepada peserta didik agar mereka bukan hanya faham dalam pendidikan

kewarganegaraan tetapi bagaimana cara mengaplikasikan nilai-nilai karakter

dalam diri mereka.

Dalam diskursus tentang pendidikan, terdapat dua hal yang sering

dipertentangkan tetapi saling bersimbiosis mutualistik yaitu antara teori dan

praktik. Kita diingatkan oleh filsuf pendidikan John Dewey, bahwa teori pada

endingnya dan seyogyanya akan menjadi sesuatu yang paling praktis. Selain itu

menurut Beauchhamp, semua teori diturunkan dari teori-teori yang ada pada tiga

kategori ilmu, yaitu humaniora, ilmu alam, dan ilmu sosial.

Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching & Learning/CTL)

merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang

diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat

hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan

mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat61. Kelebihan pendekatan ini

58Sri Wahyu Widyaningsih dan Irfan Yusuf Penerapan Pembelajaran Listrik

Dinamis Model Kooperatif Tipe Stad Menggunakan Pendekatan CTL Dengan Integrasi

Nilai-Nilai Karakter Terhadap Aktivitas Dan Hasil Belajar Peserta Didik, Pancaran, Vol. 4,

No. 2, Mei 2015, h. 224-225 59 Widyaningsih, S.W, Pembentukan Karakter Bertanggung Jawab dan Rasa Ingin

Tahu Melalui Penerapan Metode Quantum Learning dengan Menggunakan Media Alat

Peraga Sederhana pada Pembelajaran Fisika. Prosiding Seminar Nasional MIPA dan

Pendidikan MIPA UNP Tahun 2011“Integrasi Pendidikan Berkarakter dalam Kurikulum

MIPA dan Pendidikan MIPA”. 2011, h. 298 60 Hasil wawancara dengan guru Pkn kelas XI di MAN IC Serpong Tangerang

pada tanggal 06 Maret 2018 61 Nurhadi, Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. (Jakarta: Grasindo, 2004),

h. 103.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 126: Pendidikan Progresif John Dewey

116

yaitu hasil pembelajaran diharapkan alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja

dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dengan konsep

tersebut guru tidak hanya sekedar memberikan informasi tetapi lebih banyak

berurusan dengan strategi untuk membantu siswa mencapai tujuannya.

Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual (CTL) adalah salah satu topik

hangat dalam salah satu topik hangat dalam dunia pendidikan saat ini. CTL

menawarkan jalan menuju keunggulan akademis yang dapat diikuti oleh semua

peserta didik. Hal ini bisa terjadi karena CTL sesuai dengan cara kerja otak dan

prinsip-prinsip yang menyokong sistem kehidupan. Penemuan-penemuan terbaru

dalam ilmu pengetahuan modern tentang otak, dan prinsip-prinsip dasar tertentu

yang menyokong semua sistem kehidupan dan keseluruhan alam semesta, menjadi

dasar bagi pembelajaran dan pengajaran kontekstual. CTL adalah sebuah sistem

menyeluruh yang menyerupai cara kerja alam bekerja. Alih-alih mempertahankan

dualism antara pikiran dan tindakan yang telah melumpuhkan pendidikan Amerika

semenjak metode itu dipakai, CTL justru ingin menyatukan konsep dan praktik.62

Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang

menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal. Siswa harus

mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Bahwa pengetahuan

tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta. Fakta atau proposisi yang terpisah,

tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.63

CTL dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20

sekolah dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunai pendidikan di Amerika

Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada

guru-guru dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di

Amerika Serikat, melalui Direktorat SLTP Depdiknas Pendekatan Kontekstual

62Ibnu Setiawan (pen.), Contextual Teaching and Learning, (Bandung: Kaifa

Learning, 2010), h. 65. 63http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2120608-landasan-filosofi-ctl.

Lebih lengkapnya lihat Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003, h. 26 Menurut

filsafat konstruktivisme oleh Suparno menyatakan bahwa ”pengetahuan itu adalah bentukan

(konstruksi) siswa sendiri yang sedang belajar “. Pengetahuan seseorang tentang anjing

adalah bentukan siswa sendiri yang terjadi karena siswa mengolah, mencerna dan akhirnya

merumuskan pengertian tentang anjing. Jadi menurut filosofi konstruktivisme pengetahuan

merupakan bentukan (konstruksi) dari orang yang sedang belajar, yaitu dengan

mengembangkan ide-ide dan pengertian yang dimiliki oleh pribadi orang belajar tersebut.

Dengan cara ini siswa dapat menjalani proses mengkonstruksi pengetahuan baik berupa

konsep, ide maupun pengertian tentang sesuatu yang sedang dipelajarinya. Agar proses

pembentukan pengetahuan dapat berkembang dengan baik, maka kehadiran pengalaman

menjadi sangat penting untuk tidak membatasi pengetahuan siswa. Pengetahuan yang

dibentuk dengan sendirinya oleh siswa ini dapat memunculkan atau mendorong terhadap

siswa untuk mencari dan menemukan pengalaman baru. Lihat

http://sutisna.cm/artikel/artikel-kependidikan/pembelajaran-menurut-filsafat-

konstruktivisme/

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 127: Pendidikan Progresif John Dewey

117

atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang

membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia

nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota

keluarga dan masyarakat US Departement of Education tahun 2001. Dalam

konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa

mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menghadari bahwa

apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan

membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal

yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk

menggapainya.

Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa

dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan strategi

daripada memberi informasi. Guru hanya megelola kelas sebagai sebuah tim yang

bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar

mengajar lebih diwarnai Student centered daripada teacher centered. Menurut

Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Mengkaji

konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa. 2) Memahami latar belakang

dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama. 3)

Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya

memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam

pembelajaran kontekstual. 4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep

atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki

siswa dan lingkungan hidup mereka. 5) Melaksanakan penilaian terhadap

pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap

rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya.

Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk

belajar yang penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing),

menerapkan (applying), bekerjasama (cooperating) dan mentransfer

(transferring).64 Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual

64http://ipotes.wordpress.com/2008/05/13/pendekatan-kontekstual-atau-contextual-

teaching-and-learning-ctl/. Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan

inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru

dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang

sudah diketahui siswa dengan informasi baru. Mengalami merupakan inti belajar

kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman

maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat

memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.

Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan

masalah. Guru dapet memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic dan

relevan. Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan

yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi

masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 128: Pendidikan Progresif John Dewey

118

(CTL) memiliki tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism),

menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang

sebenarnya (Authentic).

Dalam wacana pendidikan, ada dua tataran yang kerap menjadi diskursus,

yakni teori dan praktik. John Dewey mengingatkan kita bahwa teori pada akhirnya

dan seyogyanya akan bermetamorfosis menjelma menjadi sesuatu yang sangat

praktis. Dalam perjalanan waktu, beragam teori muncul secara silih berganti, baik

teori itu bersifat baru, ataupun menguatkan teori sebelumnya, ataupun antitesis

dari teori sebelumnya, dan terkadang teori itu merupakan sinergisitas dari

berbagai pendekatan cabang disiplin ilmu, sebagaimana yang diungkapkan oleh

Beauchamp.65 Semua teori termanifestasikan ke dalam tiga kategori ilmu, yaitu

humaniora, ilmu alam, dan ilmu sosial. CTL juga merupakan sinergisitas dari

berbagai disiplin ilmu.

Untuk memahami hubungan teori dan implementasinya dalam dunia

pendidikan, ada empat konsep kunci yang saling berkaitan, yaitu teaching, learning, instruction, dan curriculum. Keterkaitannya dapat diuraikan sebagai

berikut. Teaching adalah refleksi sistem kepribadian sang guru yang bertindak

secaraq profesional; learning adalah refleksi sistem kepribadian siswa yang

menunjukkan prilakunya, terkait dengan tugas yang diberikan; instruction adalah

sistem sosial tempat berlangsunya sistem pembelajaran; sedangkan curriculum

adalah sistem sosial yang berujung pada sebuah rencana pengajaran.66 Johnson

memberikan gambaran sederhana tentang CTL, sebagai berikut :

“…an education process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic they are studing by connecting academic subjects with the context their daily lives, that is, with context of their personal, social, and cultural circumstance. To achive this aim, the system encompasses the following eight components; making meaningfull connection, doing significant work, self-regulation learning, collaborating, critical and creative thingking, nurturing the individual, reaching high standarts, using authentic assesment.

“…sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para

siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara

menghubungkan subyek-subyek akademik dengan konteks keseharian mereka,

yaitu yang berkaitan dengan keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Untuk

mencapai tujuan ini sistem tersebut mencakup delapan komponen, berikut:

membanti siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.

Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus

pada pemahaman bukan hapalan. 65Beauchamp, George A, dalam Curriculum Theory, (Wilmette : The Kagg Press,

1975), h. 3-6. 66Zais, Robert S.,Curriculum: Principles and Foundations, (tt., tp. 1976), h. 94

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 129: Pendidikan Progresif John Dewey

119

membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang

berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerja sama,

berfikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang,

mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian otentik.67

Komponen-komponen individual dari sistem CTL merupakan bagian-

bagian yang saling berhubungan di dalam satu sistem yang memang masih

dikatakan baru, tetapi nilai dari setiap komponen itu sudah dikenal lama. Selama

bertahun-tahun para guru yang kreatif dan inovatif telah melakukan serangkaian

terobosan dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan menggunakan dan

mengembangkan metode-metode pengajaran yang dikolaborasikan dengan

komponen-komponen CTL untuk penggalian makna.

Ketika guru menggunakan metode mengajar yang sesuai dengan

komponen-komponen CTL, yang seusai dengan kebutuhan siswa guna mencari

makna dan kebutuhan otak untuk menjalin pola-pola, secara intuitif mereka

mengikuti cara yang sesuai dengan penemuan-penemuan dalam psikologi dan

penelitian tentang otak. Mereka menghubungkan isi dari subyek-subyek akademik

dengan pengalaman-pengalaman para siswa sendiri untuk memberi makna pada

pelajaran. Pada waktu yang bersamaan, tanpa disadari, mereka telah mengikuti

tiga prinsip yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern sebagai prinsip yang

menunjang dan mengatur segalanya di alam semesta. Dengan kata lain, cara kerja

CTL sama dengan cara kerja alam. Kesesuaiannya dengan cara alam adalah alasan

mendasar yang menyebabkan sistem CTL memiliki kekuatan yang luar biasa

untuk meningkatkan kinerja siswa.68

Dalam proses pembelajaran, peserta didik perlu mengerti apa makna yang

dipelajarinya, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana cara

mencapainya. Dengan demikian, mereka menyadari bahwa kegiatan pembelajaran

yang diikutinya berguna bagi kehidupan. Apabila kondisi tersebut telah terbentuk,

67Elaine B. Johnson, CTL; Contextual Teaching and Learning, (California :

Corwin Press, 2002), h. 25. Lihat terjemahannya di Ibnu Setiawan, pen., Contextual

Teaching and Learning …, h. 67. Kedelapan hal ini merupakan komponen pendting dalam

implementasi CTL. Perlu dipahami bahwa CTL merupakan pendekatan pendidikan yang

tidak hanya sekedar menuntu para siswa dalam menggabunghkan subyek-subyek akademik

dalam konteks keadaan mereka sendiri, tetapi CTL juga melibatkan siswa dalam mencari

makna “konteks” itu sendiri. CTL mendorong siswa untuk melihat, bahwa manusia sendiri

memilih kapasitas dan tanggung jawab untuk memengaruhi dan membentuk sedertan

konteks yang meliputi keluarga, kelas, klub, tempat kerja, masyarakat, dan lingkungan

tempat tinggal, hingga ekosistem. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual memberikan

dua pertanyaan penting bagi siswa, yaitu: (1) konteks-konteks apakah yang tepat untuk

dicari? (2) Langkah-langkah kreatif apakah yang harus saya ambil untuk membentuk dan

memberi makna konteks? 68John Dewey, Democracy and Education, (New York: Free Press, 1916/1966).

Lihat juga E.L. Thornidke, The Psycholigy of Aritmethic, (New York: Macmillan, 1992).

Lihat juga Susan Kovalik dan Karen Olsen, ITI-The Model; Integrated Thematic

Instruction, Edisi ketiga, (Kent, WA :Susan Susan Kovalic and Assoc, 1997).

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 130: Pendidikan Progresif John Dewey

120

maka peserta didik akan termotivasi untuk mengikuti dan berpartisipasi dalam

kegiatan pembelajaran, sehingga tujuan akan tercapai secara optimal.

Salah satu pendekatan yang sesuai dengan kondisi tersebut adalah

Contextual Teaching and Learning (CTL). CTL merupakan pendekatan dalam

proses pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara utuh dan menggunakan

pendekatan langsung kepada peserta didik sehingga peserta didik mampu

mengikuti secara teori serta mengimplementasikannya. Sanjaya69 mengemukakan

bahwa ada tiga hal yang harus dipahami dalam pembelajaran kontekstual yaitu: 1)

CTL menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik untuk menemukan

materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara

langsung, 2) CTL mendorong agar peserta didik dapat menemukan hubungan

antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya peserta didik

dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah

dengan kehidupan nyata, dan 3) CTL mendorong peserta didik untuk dapat

menerapkannya dalam kehidupannya. Pada pembelajaran CTL, proses

pembelajaran berlangsung secara alamiah, peserta didik bekerja mencari dan

mengalami pengetahuannya sendiri bukan sekedar mentransfer pengetahuan dari

guru ke peserta didik.

Sekarang ini pembelajaran yang dilaksanakan masih banyak yang

menggunakan pembelajaran konvensional dan model pembelajaran langsung yang

hanya menekankan pada tuntutan kurikulum sehingga dalam prakteknya peserta

didik bersifat pasif dalam proses belajar. Keterlibatan peserta didik cenderung

terminimalisasi sehingga mengakibatkan kemampuan penalaran dan komunikasi

matematik peserta didik kurang dikembangkan dengan baik.

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual memiliki perbedaan yang

nyata dari pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Perbedaan

tersebut meliputi berbagai macam aspek, baik aspek siswa, aspek guru, maupun

strategi yang dikembangkan dalam proses pembelajaran. Beberapa perbedaan

antara pendekatan kontekstual dan pendekatan konvensional dapat dilihat pada

tabel berikut.

Pada mulanya Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian

John Dewey. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam

kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit

yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.70

Suherli berpendapat bahwa dewasa ini, masih terdapat sistem

pembelajaran yang bersifat teoritis. Sebagian besar siswa belum dapat menangkap

makna dari apa yang mereka peroleh dari pembelajaran untuk dapat diterapkan

dalam kehidupan sehari hari. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa “pada

69Sanjaya, W, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

(Jakarta: Inter Pratama, 2006), h. 109-110 70Rusman, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru,

Ed. II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 193.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 131: Pendidikan Progresif John Dewey

121

umumnya siswa tidak dapat menghubungkan apa yang telah mereka pelajari

dengan cara pemanfaatan pengetahuan tersebut dikemudian hari“.71 Oleh sebab

itu, dalam kondisi seperti ini guru atau pendidik harus mampu merancang sebuah

pembelajaran yang benar-benar dapat membekali siswa baik pengetahuan secara

teoritis maupun praktik. Dalam hal ini, guru harus pandai mencari dan

menciptakan kondisi belajar yang memudahkan siswa dalam memahami,

memaknai, dan menghubungkan materi pelajaran yang mereka pelajari. Sejauh ini

pendidikan masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai

perangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai

sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi

belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah model belajar baru yang labih

memberdayakan peserta didik. Sebuah model belajar yang tidak mengharuskan

siswa menghapal fakta-fakta, tetapi suatu model pembelajaran yang mendorong

siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Pembelajaran

yang berorientasi pada penguasaan materi dianggap gagal menghasilkan peserta

didik yang aktif, kreatif dan inovatif.

Peserta didik berhasil mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam

membekali peserta didik memecahkan persoalan dalam hidup jangka panjang.

Oleh karena itu perlu ada perubahan model pembelajaran yang lebih bermakna

sehingga dapat membekali peserta didik dalam mendekati permasalahan hidup

yang dihadapi sekarang maupun yang akan datang. Model pembelajaran yang

cocok untuk hal di atas adalah pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL). Model kontekstual merupakan konsep belajar yang

beranggapan bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara

ilmiah, artinya belajar akan lebih bermakna jika anak bekerja dan mengalami

sendiri apa yang dipelajarinya, bukan sekedar mengetahuinya. Pembelajaran tidak

hanya sekedar kegiatan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa, tetapi

bagaimana siswa mampu memaknai apa yang dipelajari itu. Oleh karena itu,

strategi pembelajaran lebih utama dari sekedar hasil. Dalam hal ini siswa perlu

mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan

bagaimana mencapainya. Mereka menyadari bahwa apa yang dipelajari akan

berguna bagi hidupnya kelak. Dengan demikian, mereka akan belajar lebih

semangat dan penuh kesadaran. Menurut Nadawidjaya (dalam Kunandar), dalam

pembelajaran kontekstual tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam

menemukan sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) melalui

pembelajaran secara sendiri bukan apa kata guru. Siswa benar-benar mengalami

dan menemukan sendiri apa yang dipelajari sebagai hasil rekonstruksi sendiri.

Dengan demikian, siswa akan lebih produktif dan inovatif. Pembelajaran

kontekstual akan mendorong ke arah belajar aktif. Belajar aktif adalah suatu

71Suherli, Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching And

Learning).Lihathttp://irfarazak.blogspot.com/2009/04/model-pembelajar ankontekstual.

html

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 132: Pendidikan Progresif John Dewey

122

sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental,

intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan

antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik72 Konsep belajar aktif sudah

dikembangkan oleh Confusius kira-kira 2.400 tahun yang lalu dengan

mengungkapkan teori sebagai berikut. Apa yang saya dengar saya lupa; apa yang

saya lihat saya ingat; dan apa yang saya kerjakan saya paham.

Teori ini kemudian berkembang lebih lanjut oleh Mel Silberman dalam

bukunya Active Learning, yang menyatakan bahwa: Apa yang saya dengar saya

lupa: apa yang saya ingat saya ingat sedikit; apa yang saya lihat, dengar,

diskusikan dan kerjakan saya dapat pengetahuan dan keterampilan; dan apa yang

saya ajarkan saya kuasai. Melalui landasan filosofi konstruktivisme, Contextual Teaching Learning (CTL) dipromosikan menjadi alternatif model pembelajaran

yang baru. Melalui model CTL, siswa diharapkan belajar melalui mengalami

bukan menghapal.

Adapun karakteristik pembelajaran kontekstual menurut Muslich,

mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang

diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata

atau pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah

(learning in real life setting). b. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan

tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning). c. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna

kepada siswa (learning by doing). d. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling

mengoreksi antarteman (learning in a group). e. Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan,

bekerja sama, dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara

mendalam (learning to know each other deeply). f. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan

mementingkan kerja sama (learning to ask, to inquiry, to work together). g. Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan (learning as an

enjoy activit73. Adapun dalam sosialisasi oleh Depdiknas, karakteristik pembelajaran

berbasis kontekstual, yaitu:

a. Kerjasama

b. Saling menunjang

72Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) Dan Sukses Dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada, 2009), h. 294 73Masnur Muslich, Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual,(Jakarta:

Bumi Aksara, 2009), h. 42

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 133: Pendidikan Progresif John Dewey

123

c. Menyenangkan

d. Tidak membosankan

e. Belajar dengan bergairah

f. Pembelajaran terintegrasi

g. Menggunakan berbagai sumber

h. Siswa aktif.74

Sedangkan menurut Kunandar, ciri-ciri pembelajaran kontekstual antara

lain:

a. Adanya kerjasama antara semua pihak

b. Menekankan pentingnya pemecahan masalah atau problem

c. Bermuara pada keragaman konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda

d. Saling menunjang

e. Menyenangkan, tidak membosankan

f. Belajar dengan bergairah

g. Pembelajaran terintegrasi

h. Menggunakan berbagai sumber

i. Siswa aktif

j. Sharing dengan teman

k. Siswa kritis, guru kreatif

l. Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta,

gambar, artikel, humor dan sebagainya

m. Laporan kepada orang tua bukan saja rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan

hasil praktikum, karangan siswa, dan sebagainya.75

Jadi pada model pembelajaran kontekstual ini, meliputi: adanya umpan

balik, penggunaan berbagai alat bantu, belajar kelompok, model demokrasi,

peningkatan pemahaman siswa, evaluasi berdasarkan penilaian autentik,

pembelajaran diformat berdasarkan tempat dan waktu yang tersedia, dan

informasi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Pembelajaran dengan pendekatan CTL dalam pelaksanaannya mengacu

kepada pembelajaran efektif. Menurut Nurhadi, 76 pembelajaran dengan

pendekatan CTL melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni:

a. Pemodelan (Modelling) 2) Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan

belajar.

3) Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya.

b. Konstruktivisme (Constructivism)

74 Sosialisasi KTSP oleh Depdiknas, ktsp.diknas.go.id/download/ktsp_smp/16.ppt.

tt. 75Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada, 2007), h. 298-299. 76Nurhadi, Pendekatan Kontekstual, (Jakarta: Dirjen Dikdasmen, 2002), h. 10

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 134: Pendidikan Progresif John Dewey

124

1) Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar

pada pengetahuan awal

2) Pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”mengkonstruksi” bukan

menerima pengetahuan

c. Bertanya (Questioning)

1) Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan

berpikir siswa.

2) Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang

berbasis

d. Inkuiri (Inquiry)

1) Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman

2) Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis

e. Masyarakat Belajar (Learning Community)

1) Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.

2) Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.

3) Tukar pengalaman

4) Berbagi ide

f. Repleksi (Reflection)

1) Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari

2) Mencatat apa yang telah dipelajari

3) Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok.

g. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment) 1) Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa

2) Penilaian produk (kinerja)

3) Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual

Berikut ini penjelasan mengenai tujuh komponen utama pembelajaran

efektif dalam hubungannya dengan pembelajaran CTL antara lain sebagai berikut:

1. Modelling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-

tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh)

Hasil penelitian,77mengungkapkan bahwa penerapan strategi

modelling the way dapat meningkatkan hasil belajar PAI siswa kelas IV

SD Negeri 010 Banjar Panjang Kecamatan Kerumutan Kabupaten

Pelalawan. Keberhasilan ini disebabkan dengan penerapan strategi

modelling the way yang dilakukan guru telah berada pada klasifikasi

tingkat kesempurnaan sangat sempurna sehingga siswa cenderung lebih

positif dalam menerima pelajaran yang diberikan guru dengan klasifikasi

sangat tinggi dengan demikian tingkat perolehan siswa akan meningkat

77Euis Anegawati, penerapan Strategi Pembelajaran Modelling The Way Untuk

Meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) Siswa Kelas IV SD Negeri

010 Banjar Panjang Kecamatan Kerumutan Jurnal Primary Program Studi Pendidikan Guru

Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, Vol 5, Nomor 3

Edisi Khusus HUT PGRI Ke-71 Tanggal 25 November 2016, 633

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 135: Pendidikan Progresif John Dewey

125

dan pada gilirannya dapat meningkatkan hasil belajarnya. Berdasarkan

hasil tes yang dilakukan terhadap materi pelajaran yang dipelajari

diketahui bahwa telah terjadi peningkatan hasil belajar siswa pada siklus I

peningkatan hasil belajar siswa mencapai 71%. Setelah dilakukan siklus

ke II ternyata terjadi lagi peningkatan memcapai 85%. Penerapan strategi

Modelling The Way secara benar dalam pembelajaran PAI dapat

meningkatkan hasil belajar siswa dan siswa yang kurang aktif akan

menjadi lebih aktif dalam belajar sehingga perolehan siswa lebih baik dari

sebelumnya. Senada dengan keterangan hasil wawancara guru PAI di

MAN IC Serpong78 mengatakan bahwa dengan guru menerapkan suatu

strategi modelling akan kondusif di dalam kelas, siswa akan akif dalam

belajar di kelas.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa model berarti

Pola (contoh, acuan, ragam) dari suatu yang akan dibuat atau di hasilkan.

a. Orang yang akan dipakai sebagai contoh untuk dilukis.

b. Orang yang pekerjaannya memperagakan pakaian.

c. Barang tiruan. 79

Modelling adalah hal yang menjadi model. Berdasarkan defenisi

tersebut, dalam penelitian ini model adalah sebagai contoh. Contoh yang

dimaksudkan adalah pilihan kata (diksi), pelafalan, intonasi, dan

ketepatan isi untuk dicontoh oleh siswa. Artinya, ada pesan yang akan

disampaikan dan guru memberikan contoh cara menyampaikan pesan

tersebut kepada pihak lain. Misalnya pesan dari ayah kepada kakak untuk

di sampaikan kepada adik-adiknya dengan tepat tampa mengubah pesan

tersebut. Teknik pemodelan atau Modelling The Way adalah suatu bagian

dari metode mengajar dengan cara mengadakan latihan yang berulang-

ulang sampai siswa mahir melakukan apa yang telah di pelajari. Teknik ini

berlandaskan bahwa pembelajaran yang dilakukan secara berulang-ulang

menghasilkan lebih maksimal jika dibandingkan dengan pekerjaan yang

dilakukan hanya sekali-sekali. Teknik pemodelan harus memperhatikan

beberapa hal, yang dimaksud adalah :

a. Harus membangkitkan motivasi, minat, gairah anak dalam belajar.

b. Harus dapat menjamin perkembangan anak belajar.

c. Dapat membangun ekspresi kreatif dan kepribadian siswa.

d. Dapat merangsang untuk belajar lebih giat

e. Dapat membantu anak untuk belajar sendiri.

f. Penyajian yang bersifat verbalisme

g. Dapat membimbing untuk bertanggung jawab80

78 Hasil wawancara dengan guru PAI kelas X di MAN IC Serpong Tangerang pada

tanggal 16 April 2018 79Ronggo Wasito, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Kencana, 2008), h.

241

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 136: Pendidikan Progresif John Dewey

126

Adapun keunggulan dan Kelemahan dari strategi pembelajaran Modelling The Way antara lain adalah digunakan khusus untuk menata sajian atau

konsep atau prinsip atau prosedur pada pokok bahasan tertentu dari materi

pelajaran yang dipelajari dan dengan demikian akan memudahkan pemahaman

bagi siswa. Kelemahan dari strategi pembelajaran Modelling The Way, dalam

proses pembelajaran pada materi-materi yang sulit akan menyita waktu

pelajaran lain, karena dalam penanaman konsep yang rumit akan

menggunakan waktu yang lama sehingga siswa benar-benar mengerti dari

konsep dan prinsip yang ditanamkan.

Adapun langkah-langkah Modelling The Way Secara operasional

kegiatan proses pembelajaran Modelling The Way selama pembelajaran dapat

dijelaskan sebagai berikut.81

a. Setelah pembelajaran satu topik tertentu, identifikasi beberapa situasi

b. umum di mana siswa /mahasiswa di tuntut untuk mengunakan

c. keterampilan yang dibahas.

d. Bagi kelas ke dalam beberapa kelompok kecil menurut jumlah

e. siswa/mahasiswa yang diperlukan untuk mendemonstrasi satu skenario

f. (minimal 2 atau 3 orang)

g. Beri waktu 10-15 menit untuk menciptakan skenario.

h. Beri waktu 5-7 menit untuk latihan.

i. Secara bergiliran tiap kelompok mendemonstrasikan skenario

masingmasing.

j. Berkesempatan untuk memberikan feedback pada setiap demonstrasi yang

dilakukan.

Pemodelan adalah proses penampilan suatu contoh agar orang lain

berpikir, bekerja, dan belajar. Pemodelan tidak jarang memerlukan siswa

untuk berpikir dengan mengeluarkan suara keras dan mendemonstrasikan

apa yang akan dikerjakan siswa. Pada saat pembelajaran, sering guru

memodelkan bagaimana agar siswa belajar. Guru menunjukkan bagaimana

melakukan sesuatu untuk mempelajari sesuatu yang baru. Guru bukan

satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.

Pemodelan ini akan lebih baik jika dilakukan melalui lesson study, dimana

dengan menerapkan lesson study, guru akan bekerjasama dengan guru lain

untuk memberikan hasil yang optimal. In’am82 mengungkapkan bahwa

lesson study merupakan suatu cara efektif yang dapat meningkatkan

kualitas pembelajaran yang dilakukan guru dan aktivitas belajar siswa.

80Warkanis, Pengantar Ilmu Komunikasi. (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,

2005), h. 69 81 Hisyam Zaini, Strategi Pembelajaran Aktif (Jakarta: CRSD, 2010), h. 79 82In’am, A, Peningkatan Kualitas Pembelajaran melalui Lesson Study Berbasis

Metakognisi. Scientific Journal UMM. 2009, h. 125-135.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 137: Pendidikan Progresif John Dewey

127

Pemodelan dalam pembelajaran antara lain dapat menumbuhkan rasa

ingin tahu, menghargai orang lain, dan rasa percaya diri.

Menurut Meil Silbermen dalam Komarudin Hidayat83 modelling the way merupakan teknik memberi peserta didik kesempatan untuk

berlatih melalui demonstrasi keterampilan khusus yang diajarkan di kelas.

Demonstrasi sering merupakan alternatif yang tepat untuk bermain peran

sehingga keterampilan berbicara siswa dapat terlatih.

Menurut Hisyam Zaini, dkk84 Modelling The Way memberi

kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktikan keterampilan

spesifik yang dipelajari di kelas melalui demonstrasi. Peserta didik akan

mempunyai wawasan yang luas dan keberanian dalam berbicara sehingga

potensi yang ada pada diri setiap siswa dapat dilihat dengan adanya

demonstrasi tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

modelling The Way adalah model yang memberikan kesempatan kepada

peserta didik untuk ikut berperan aktif dalam proses pembelajaran melalui

demonstrasi kecakapan.

Gambar 2.4 Hasil Pekerjaan Kelompok siswa MAN Insan Cendikia

Serpong yang Dipresentasikan di kelas

83 Komarudin Hidayat, Active Learning, Yogyakarta: Pustaka Insan Cendikia,

2007, h. 223 84 Hisyam Zaini, Strategi Pembelajaran Aktif, (Yogyakarta:Pu staka Insan Madani,

2008), h. 76

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 138: Pendidikan Progresif John Dewey

128

Gambar di atas menunujukkan bahwa siswi MAN Insan Cendikian

Serpong kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktikan keterampilan

spesifik yang dipelajari di kelas melalui demonstrasi. Peserta didik akan

mempunyai wawasan yang luas dan keberanian dalam berbicara sehingga potensi

yang ada pada diri setiap siswa dapat dilihat dengan adanya demonstrasi tersebut.

3. Constructivism (Konstruktivisme)

Hasil penelitian85, bahwa hasil temuan menunjukkan: 1) tidak ada

perbedaan signifikan hasil belajar siswa antara kelas yang menggunakan dan tidak

menggunakan media pembelajaran film animasi sebelum perlakuan, 2) ada

perbedaan hasil belajar siswa di kelas yang tidak menggunakan media pembe-

lajaran film animasi sebelum dan sesudah perlakuan, 3) ada perbedaan hasil belajar

siswa di kelas yang menggunakan media pembelajaran film animasi sebelum dan

sesudah perlakuan, 4) ada perbedaan signifikan hasil belajar siswa antara kelas

yang menggunakan dan tidak menggunakan media pembelajaran film animasi

setelah perlakuan, 5) ada perbedaan peningkatan (gain) hasil belajar siswa antara

kelas yang menggunakan dan tidak menggunakan media pembelajaran film

animasi, dan 6) kendala yang ditemui terkait dengan pemanfaatan media

pembelajaran film animasi dalam proses pembelajaran yakni: a) kurangnya

kompetensi guru dalam merancang dan mengelola penggunaan media dalam

kegiatan pembelajaran dan b) keterbatasan muatan materi film animasi yang tidak

sepenuhnya mampu mengakomodir kebutuhan pembelajaran. Senada dengan guru

IPA di MAN IC Serpong Tangerang86mengemukakan bahwa ketika mengajar

harus memakai media pembelajaran dengan tujuan agar proses belajar mengajar

tercipta kondusif, peserta didik cepat memahami materi yang guru berikan,

peserta didik tidak merasakan jemu atau bosan dalam menerima suatu materi.

Konstruktivisme dianggap pandangan baru dalam dunia pendidikan, meskipun

sebenarnya konstruktivisme merupakan pandangan baru dalam fislafat. Pandangan

ini dikemukakan oleh Giambattista Vico dalam Poejiadi87 ‘...apa yang dipelajari

akan bermakna bagi individu apabila bahan ajar yang dikaji dimulai dari apa yang

telah diketahui peserta didik sebelumnya’. Menurut filsafat konstruktivisme,

pengetahuan itu merupakan bentukan siswa yang sedang belajar. Siswa

membentuk pengetahuannya lewat interaksi dengan bahan yang dipelajari atau

pengalaman baru melalui inderanya. Pembentukan itu dapat secara personal

maupun sosial. Otak siswa pada dasarnya tidak seperti gelas kosong yang siap

diisi dengan air dalam artian siap diisi dengan air dengan semua informasi yang

85N.Imamah, Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Pembelajaran Kooperatif

Berbasis Konstruktivisme Dipadukan Dengan Video Animasi Materi Sistem Kehidupan

Tumbuhan, JPII 1, (2012), h. 34 86Hasil wawancara dengan guru IPA Biologi kelas XI di MAN IC Serpong

Tangerang pada tanggal 07 Mei 2018 87Anna Poejiadi, Pengantar Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Yayasan

Cendrawasih, 2001), h. 4

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 139: Pendidikan Progresif John Dewey

129

berasal dari pikiran guru. Otak siswa tidak kosong tetapi telah berisi pengetahuan-

pengetahuan yang dikonstruksi anak sendiri sewaktu anak berinteraksi dengan

lingkungan.

Pengetahuan itu dibangun sedikit demi sedikit, kemudian hasilnya

diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan

bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap diambil dan

diingat. Tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi

makna melalui pengetahuan nyata. Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa

pengetahuan tidak utuh ditransfer dari pikiran guru ke pikiran siswa, tetapi

siswalah yang harus akif secara mental membangun pengetahuan dan pemahaman

dalam proses pembelajaran.

Pandangan ini memberikan pengertian kepada para pendidik, bahwa dalam

mengajarkan ilmu pengetahuan perlu dikaitkan dengan pengetahuan sebelumnya

dan kejadian lain yang diketahuinya sehingga tiap individu dapat membangun

pengetahuannya dengan lebih bermakna. Hal ini sesuai dengan pendapat Ausabel

dalam Dahar88 yang menyatakan bahwa ‘...belajar bermakna merupakan proses

dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat pada

struktur kognitif seseorang’. Menurut Gaili et all dalam Isnawar89 bahwa

pendekatan konstrukivisme merupakan pembelajaran yang menekankan

pentingnya peran pengetahuan awal dalam belajar’. Dalam merancang kegiatan-

kegiatan di kelas, guru harus membuat program pengajarannya atas dasar

pengetahuan awal siswa. Dalam kenyataannya jka guru tidak mengetahui

pengetahuan aawal siswa maka sering terjadi miskonsepsi. Bila terjadi

miskonsepsi, maka akan menimbulkan kesulitan belajar.

Menurut Bettencourt, Shymansky, Watts dan Pope dalam Suparno90

bahwa bagi konstruktivisme, pembelajaran adalah kegiatan yang akif dimana

peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik mancari arti

sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan

ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka.

Keutamaan pembelajaran berdasarkan konstruktivisme91dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Pembelajaran konstruktivisme memberikan kepada siswa untuk

mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa

siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa

memberikan penjelasan tentang gagasannya.

88 Dahar, Ratna Wilis, Teori-teori Belajar, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001), 137 89Isnawar, Pembelajaran Pesawa Sederhana dengan Model Siklus Belajar Empiris

Induktif untuk meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir Rasional Siswa

SMP, Tesis Program Pasca Sarjana UPI Bandung, 2005, h. 10 90Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta:

Kanisius, 2001), h. 95 91Rustaman et al, Strategi Belajar Mengajar Biologi, (Bandung:UPI, 2003), h. 203

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 140: Pendidikan Progresif John Dewey

130

b. Pembelajaran konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan

dengan gagasan yang telah dimiliki oleh siswa atau rancangan kegiatan

yang disesuaikan dengan gagasan awal siswa dengan maksud agar siswa

memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan diberi

kesempatan untuk merangkai fenomena sehingga siswa memperluas

pengetahuan mereka tentang fenomena yang menantang siswa.

c. Pembelajaran konstruktivisme kesempatan siswa untuk berpikir tentang

pengalamannya agar siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi

tentang teori dan model, mengenalkan gagasan-gagasan sains pada saat

yang tepat.

d. Pembelajaran konstruktivisme memberikan kesempatan siswa untuk

mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh

kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks baik yang sudah

dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk

menggunakan berbagai strategi belajar.

e. Pembelajaran konstruksivisme mendorong siswa untuk menggunakan

berbagai strategi belajar.

f. Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang

mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak dan

menghindari kesan selalu ada satu “jawaban yang benar”.

Konstruktivisme menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita

peroleh adalah konstruktivisme kita sendiri. Sehingga pengetahuan

bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran orang

yang mempunyai pengetahuan. Menurut Glasersfeld dalam Maria92 ‘...bila

seorang guru mentransfer konsep, ide dan pikirannya kepada siswa,

pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa

lewat pengalamannya’. Proses belajar menurut pandangan

konstruktivisme bukanlah penambahan informasi baru secara sederhana,

melainkan suatu proses interaksi antara pengetahuan baru dengan

pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Melalui proses interaksi inilah

memungkinkan adanya penolakan terhadap beberapa hal, yaitu

meningkatkan peran siswa, memberanikan siswa, menyusun suatu

inisiatif, belajar merupakan suatu proses menyibukkan siswa, menekankan

penilaian terhadap kinerja pemahaman, menghadapkan pada dunia nyata,

menggambarkan kepercayaan dan sikap, serta memberikan kesempatan

mengkonstruksi pengetahuan baru dan pemahaman dari pengalamannya

secara autentik.

Konstruktivisme memandang belajar sebagai proses belajar aktif

seseorang dalam membangun pengetahuan yang bermakna dalam dirinya

sendiri melalui interaksi antara konsep-konsep yang dimiliki siswa.

92 Maria, Penerapan Model Belajar Generatif dam Pembelajaran Rangkaian

Listrik Searah, Tesis PPS UPI, 1999, h. 7

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 141: Pendidikan Progresif John Dewey

131

Konsep yang telah dimiliki siswa. Konsep yang elah dimiliki siswa

sebelum pembelajaran sering disebut sebagai konsep awal, dan pada

umumnya konsep ini tidak konsisten dengan konsep ilmuan.

Menurut pandangan konstruktivisme keberhasilan belajar bukan

hanya bergantung lingkungan atau kondisi belajar melainkan juga pada

pengetahuan awal siswa. Pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara

utuh dari pikiran guru ke siswa, namun secara aktif dibangun oleh siswa

sendiri melalui pengalaman nyata. Konstruktuvusme merupakan kegiatan

aktif, yang mana siswa membangun sendiri pengetahuannya93. Namun

masih banyak guru yang antipati terhadap konstruktivisme karena mereka

dalam mengajar (teacher centered). Pembelajaran dan perspektif

konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti. Pertama, pembelajaran

konstruktivisme berkaitan dengan penegtahuan awal (prior knowledge)

siswa. Kedua, pembelajaran konstruktivisme mengandung kegiatan nyata

(experience). Ketiga, dalam pembelajaran konstruktivisme membentuk

kepekaan siswa terhadap lingkungan (sense making).

Kontruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan

Contectual teaching and learning (CTL), yaitu bahwa pengetahuan

dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, dan hasilnya diperluas

melalui konteks yang terbatas (sempit) serta tidak sekonyong-konyong.

Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep atau

kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia haif rus

mengontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman

nyata. Dengan dasar itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses

“mengkonstruksi” bukan “menerima” pengetahuan. Dalam proses

pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui

keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran siswa menjadi pusat

kegiatan bukan guru. Penerapan teori belajar konstruktivisme dalam

pembelajaran dapat mengembangkan berbagai karakter, antara lain

berfikir kritis dan logis, mandiri, cinta ilmu, rasa ingin tahu, menghargai

orang lain, bertanggung jawab, dan percaya diri.

4. Questioning (Bertanya)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Masnur

Muslich94menyampaikan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam

pembelajaran berkaitan dengan komponen bertanya, antara lain: a. Penggalian

informasi lebih efektif apabila dilakukan melalui bertanya. b. Konfirmasi terhadap

apa yang sudah diketahui lebih efektif melalui bertanya. c. Dalam rangka

93Paul Suparno, Filsafat konstrukivisme dalam pendidikan, (Yogyakarta , 1997),

62 94Masnur Muslich. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.

(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), 45

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 142: Pendidikan Progresif John Dewey

132

penambahan atau pemantapan pemahaman lebih efektif dilakukan lewat diskusi

baik dalam kelompok maupun kelas. d. Bertanya kepada siswa dapat mendorong

guru untuk membimbing dan menilai kemampuan berpikir para siswa. e. Dalam

kegiatan pembelajaran bertanya berguna untuk menggali informasi, mengetahui

pemahaman siswa, membangkitkan respon kepada siswa, mengetahui sejauh mana

keingintahuan siswa, memfokuskan perhatian siswa, mengetahui hal-hal yang

sudah diketahui siswa, membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa,

dan mengorganisasikan kembali pengetahuan siswa. Dalam pembelajaran CTL,

guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar

siswa dapat menemukan sendiri. Karena itu peran bertanya sangat penting, sebab

melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa

untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.

Aktivitas bertanya terjadi antara siswa dengan guru pada awal

pembelajaran yaitu saat guru memberikan apersepsi. Guru melakukannya untuk

membantu mengkonstruksi pengetahuan siswa. Sedangkan pada saat pertengahan

pembelajaran, aktivitas bertanya bukan hanya antara guru dengan siswa tapi juga,

terjadi antara siswa dengan siswa dalam kelompok bahkan antar kelompok. Siswa

bertanya kepada guru ketika mengalami kesulitan Selain itu, siswa juga sering

bertanya kepada observer.

Gambar 3.4 Siswa MAN Insan Cendikia bertanya kepada guru ketika mengalami

kesulitan dalam pembelajaran

Gambar di atas menggambarkan proses pembelajaran di MAN Insan

Cendikia. Di sana penulis cermati bahwa sangat kondusif tidak ada peserta didik

yang main-main atau tidur, ketika peserta didik mengalami kesulitan dalam

memahami materi saat itu juga bertanya kepada guru yang bersangkutan bukan

hanya dengan guru tetapi berdiskusi dengan teman atau kelompok yang lain.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 143: Pendidikan Progresif John Dewey

133

5. Learning Community (Masyarakat Belajar)

Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendiri, tetapi

membutuhkan bantuan orang lain. Sehingga konsep learning community (masyarakat belajar) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja

sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar

kelompok, dan antara orang yang tahu dan belum tahu baik di dalam kelas

maupun di luar kelas. Masyarakat belajar dapat terjadi apabila terjalin komunikasi

dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran

saling belajar.95

Masyarakat belajar adalah sekelompok siswa yang terikat dalam kegiatan

belajar agar terjadi proses belajar lebih dalam. Semua siswa harus mempunyai

kesempatan untuk bicara dan berbagi ide, mendengarkan ide siswa lain dengan

cermat, dan bekerjasama untuk membangun pengetahuan dengan teman di dalam

kelompoknya. Konsep ini didasarkan pada ide bahwa belajar secara bersama lebih

baik daripada belajar secara individual. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada

proses komunikasi dua arah. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat

belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus

juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling

belajar ini bisa terjadi jika tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak

ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap

paling tahu. Semua pihak mau saling mendengarkan. Penerapan prinsip

masyarakat belajar di dalam proses pembelajaran dapat mengembangkan berbagai

karakter, antara lain kerjasama, menghargai pendapat orang lain, santun,

demokratis, patuh pada aturan sosial, dan tanggung jawab.

6. Reflection (Umpan Balik)

Refleksi merupakan komponen terpenting dari setiap pembelajaran, yaitu

dengan perenungan kembali tentang pengetahuan apa yang baru dipelajari atau

berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Siswa

mengendapkan apa yang baru dipelajari sebagai struktur pengetahuan yang baru,

yang merupakan revisi dari pengetahuan sebelumnya.96

Dalam pembelajaran dengan pendekatan CTL, setiap akhir pembelajaran,

guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk merenung atau mengingat

kembali apa yang telah dipelajarinya. Guru membiarkan secara bebas siswa

menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang

pengalaman belajarnya97

95Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran...h. 265 96Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi

Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif danBerkualitas. Jakarta:

Kencana, (2009), h. 174 97Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran h... 266

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 144: Pendidikan Progresif John Dewey

134

Refleksi dilakukan agar siswa memikirkan kembali apa yang telah mereka

pelajari dan lakukan selama proses pembelajaran untuk membantu mereka

menemukan makna personal masing-masing. Refleksi biasanya dilakukan pada

akhir pembelajaran antara lain melalui diskusi, tanyajawab, penyampaian kesan

dan pesan, menulis jurnal, saling memberi komentar karya, dan catatan pada buku

harian. Refleksi dalam pembelajaran antara lain dapat menumbuhkan kemampuan

berfikir logis dan kritis, mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri, dan

menghargai pendapat orang lain.

Menurut guru Agama pendidikan Islam di MAN Insan Cendikia Serpong98

refleksi biasanya dilakukan tanya jawab di awal dan di akhir pembelajaran, di awal

pembelajaran guru bertanya kembali pelajaran yang sudah di pelajari sebelumnya,

dan di akhir pembelajaran guru bertanya kembali materi yang baru saja dipelajari

sehingga siswa dapat mengingat kembali materi yang sudah diberikan oleh guru.

7. Authentic Assessment (Penilaian Sebenarnya)

Penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru

untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan

siswa.99 Menurut Masnur Muslich,100 penilaian autentik dalam pembelajaran CTL

diarahkan pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data yang telah

terkumpul ketika atau dalam proses pembelajaran siswa berlangsung, bukan

semata-mata hasil pembelajaran. Data penilaian yang dikumpulkan harus

diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses

pembelajaran sehingga data penilaian yang diperoleh disebut data autentik. Pada

penilaian autentik, guru menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh

siswa.

Istilah “penilaian” dalam bahasa Indonesia dapat bersinonim dengan

“evaluasi” (evaluation) dan kini juga popular istilah assessment. Ada banyak

definisi penilaian yang dikemukakan orang, yang, walau berbeda rumusan, pada

umumnya menunjuk pada pengertian yang hamper sama. Menurut Linch101

penilaian adalah usaha yang sistematis untuk mengumpulkan informasi untuk

membuat pertimbangan dan keputusan. Brown102 yang sengaja memilih istilah tes

dan mengartikannya sebagai cara pengukuran keterampilan, pengetahuan, atau

penampilan seseorang dalam konteks yang sengaja ditentukan. Atau, penilaian

98 Hasil wawancara dengan guru pendidikan Islam, pada tanggal 16 April 2018 99Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran h... 267 100Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.

(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h 47 101Lynch, Brian K, Language Program Evaluation (Cambridge: Cambridge

University Press, 1996), h. 2 102Brown, Douglas H, Language Assessment, Principle and Classroom Practices, (

San Francisco: Longman, 2004), h. 3

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 145: Pendidikan Progresif John Dewey

135

diartikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur

pencapaian hasil belajar peserta didik103.

Model penilaian otentik (authentic assessment) dewasa ini banyak

dibicarakan di dunia pendidikan karena model ini direkomendasikan, atau bahkan

harus ditekankan, penggunaannya dalam kegiatan menilai hasil belajar pembelajar.

Salah satu permasalahan yang muncul adalah belum tentu semua guru/dosen

memahami konsep dan pelaksanaan penilaian otentik.

Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus.

Dengan demikian, seluruh tampilan siswa dalam rangkaian kegiatan pembelajaran

dapat dinilai secara objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya

berdasarkan hasil akhir (produk) saja. Lagi pula amat banyak kinerja siswa yang

ditampilkan selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran sehingga penilaiannya

haruslah dilakukan selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan proses

pembelajaran. Jika dilihat dari sudut pandang teori Bloom sebuah model yang

dijadikan acuan pengembangan penilaian dalam beberapa kurikulum di Indonesia

sebelum ini penilaian haruslah mencakup ranah kognitif, afektif, dan

psikomotorik.

Cara penilaian juga bermacam-macam, dapat menggunakan model nontes

dan tes sekaligus, serta dapat dilakukan kapan saja bersamaan dengan kegiatan

pembelajaran. Namun, semuanya harus tetap terencana secara baik. Misalnya,

dengan memberikan tes (ulangan) harian, latihan-latihan di kelas, penugasan,

wawancara, pengamatan, angket, catatan lapangan/harian, portofolio, dan lain-

lain. Penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara atau model, menyangkut

berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang kemudian disebut

sebagai penilaian otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin: objektif,

nyata, konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan bermakna.

Penilaian otentik menekankan kemampuan pembelajar untuk mendemonstrasikan

pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna. Kegiatan penilaian tidak

sekedar menanyakan atau menyadap pengetahuan yang telah diketahui

pembelajar, melainkan kinerja secara nyata dari pengetahuan yang telah dikuasai.

Sebagaimana dinyatakan Mueller penilaian otentik merupakan: a form of

assessment in which students are asked to perform realworld tasks that

demonstrate meaningful application of essential knowledge and skills. Jadi,

penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang menghendaki pembelajar

untuk menunjukkan kinerja di dunia nyata secara bermakna yang merupakan

penerapan esensi pengetahuan dan keterampilan.

Menurut Stiggins104 dalam Mueller, penilaian otentik merupakan penilaian

kinerja (perfomansi) yang meminta pembelajar untuk mendemonstrasikan

103 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang

Standar Pendidikan Nasional, h. 3 104 John Mueller, Authentic Assessment Toolbox. North Central Collegehttp://

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 146: Pendidikan Progresif John Dewey

136

keterampilan dan kompetensi tertentu yang merupakan penerapan pengetahuan

yang dikuasainya.

Manfaat Penggunaan Penilaian Otentik Mengapa penilaian otentik kini

disarankan penggunaannya, apakah model itu berbeda dan menjanjikan hasil yang

secara teoretis berbeda dengan model penilaian tradisional Karena penilaian

otentik menekankan capaian pembelajar untuk menunjukkan kinerja, doing

something, kesiapan pembelajaran untuk berunjuk kerja selepas mengikuti

kegiatan pembelajaran tentu lebih signifikan. Selain itu, ada beberapa manfaat

lain penggunaan penilaian otentik, sebagaimana dikemukakan Mueller, yaitu

sebagai berikut. Pertama, penggunaan penilaian otentik memungkinkan

dilakukannya pengukuran secara langsung terhadap kinerja pembelajar sebagai

indikator capain kompetensi yang dibelajarkan. Penilaian yang hanya mengukur

capaian pengetahuan yang telah dikuasai pembelajar hanya bersifat tidak

langsung. Tetapi, penilaian otentik menuntutpembelajar untuk berunjuk kerja

dalam situasi yang konkret dan sekaligus bermakna yang secara otomatis juga

mencerminkan penguasaan dan keterampilan keilmuannnya. Unjuk kerja tersebut

bersifat langsung, langsung terkait dengan konteks situasi dunia nyata dan

tampilannya juga dapat diamati langsung. Hal itu lebih mencerminkan tingkat

capaian pada bidang yang dipelajari. Misalnya, dalam belajar berbicara bahasa

target, pembelajar tidak hanya berlatih mengucapkan lafal, memilih kata, dan

menyusun kalimat, melainkan juga mempratikkannya dalam situasi konkret dan

dengan topik aktual-realistik sehingga menjadi lebih bermakna. Kedua, penilaian

otentik memberi kesempatan pembelajar untuk mengkonstruksikan hasil

belajarnya. Penilaian haruslah tidak sekadar meminta pembelajar mengulang apa

yang telah dipelajari karena hal demikian hanyalah melatih mereka menghafal dan

mengingat saja yang kurang bermakna. Dengan penilaian otentik pembelajar

diminta untuk mengkonstruksikan apa yang telah diperoleh ketika mereka

dihadapkan pada situasi konkret. Dengan cara ini pembelajar akan menyeleksi dan

menyusun jawaban berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan analisis situasi

yang dilakukan agar jawabannya relevan dan bermakna. Ketiga, penilaian otentik

memungkinkan terintegrasikannya kegiatan pengajaran, belajar, dan penilaian

menjadi satu paket kegiatan yang terpadu.

Dalam pembelajaran tradisional, juga model penilaian tradisional, antara

kegiatan pengajaran dan penilaian merupakan sesuatu yang terpisah, atau sengaja

dipisahkan. Namun, tidak demikian halnya dengan model penilaian otentik.

Ketiga hal tersebut, yaitu aktivitas guru membelajarkan, siswa belajar, dan guru

menilai capaian hasil belajar pembelajar, merupakan satu rangkaian yang memang

sengaja didesain demikian. Ketika guru membelajarkan suatu topik dan

pembelajar aktif mempelajari, penilaiannya bukan semata berupa tagihan terhadap

penguasaan topik itu, melainkan pembelajar juga diminta untuk berunjuk kerja

www.noctrl.edu/, Naperville, http://jonathan.- mueller.faculty.noctrl.edu/toolbo

x/index.htm (Diunduh 27 Agustus 2017)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 147: Pendidikan Progresif John Dewey

137

mempraktikkannya dalam sebuah situasi konkret yang sengaja diciptakan.

Keempat, penilaian otentik memberi kesempatan pembelajar untuk menampilkan

hasil belajarnya, unjuk kerjanya, dengan cara yang dianggap paling baik.

Singkatnya, model ini memungkinkan pembelajar memilih sendiri cara, bentuk,

atau tampilan yang menurutnya paling efektif. Hal itu berbeda dengan penilaian

tradisional, misalnya bentuk tes pilihan ganda, yang hanya memberi satu cara

untuk menjawab dan tidak menawarkan kemungkinan lain yang dapat dipilih.

Jawaban pembelajar dengan model ini memang seragam, dan itu memudahkan kita

mengolahnya, tetapi itu menutup kreativitas pembelajar untuk mengkreasikan

jawaban atau kinerjanya. Padahal, unsur kreativitas atau kemampuan berkreasi

merupakan hal esensial yang harus diusahakan ketercapaiannya dalam tujuan

pembelajaran.

Penilaian autentik sesungguhnya adalah suatu istilah yang diciptakan

untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif. Berbagai metode tersebut

memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kemampuannya untuk

menyelesaikan tugas-tugas, memecahkan masalah, atau mengekspresikan

pengetahuannya dengan cara mensimulasikan situasi yang dapat ditemui di dalam

dunia nyata di luar lingkungan sekolah. Berbagai simulasi tersebut semestinya

dapat mengekspresikan prestasi (performance) yang ditemui di dalam praktek

dunia nyata seperti tempat kerja. Penilaian autentik seharusnya dapat menjelaskan

bagaimana siswa menyelesaikan masalah dan dimungkinkan memiliki lebih dari

satu solusi yang benar. Strategi penilaian yang cocok dengan kriteria yang

dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari beberapa teknik penilaian. Penilaian

autentik dalam pembelajaran dapat mengembangkan berbagai karakter antara lain

kejujuran, tanggung jawab, menghargai karya dan prestasi orang lain,

kedisiplinan, dan cinta ilmu.

Menurut guru biologi di MAN Insan Cendikia Serpong105 bahwa saya

ketika menilai siswa ketika performance di depan kelas menjelaskan materi yang

terkait dengan tema, menyelesaikan tugas-tugas, bagaimana siswa dapat

memecahkan masalah dalam materi yang diberikan sehingga dari hal-hal tersebut

siswa dapat mengembangkan karakter mereka masing-masing antara lain

kejujuran, tanggung jawab, menghargai karya dan prestasi orang lain,

kedisiplinan, dan cinta ilmu.

Dalam Penilaian dapat dilakukan tidak hanya oleh guru, akan tetapi dapat

dilakukan oleh teman lain atau orang lain. Authentic assessment memiliki enam

karakteristik sebagai berikut.

a. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.

b. Dapat digunakan untuk penilaian formatif maupun sumatif.

c. Penilaian dilakukan terhadap keterampilan dan performansi bukan

mengingat fakta.

105 Hasil wawancara dengan guru biologi di MAN Insan Cendikia Serpong pada

tanggal 17 juli 2018

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 148: Pendidikan Progresif John Dewey

138

d. Penilaian dilakukan berkesinambungan.

e. Penilaian dilakukan secara terintegrasi.

f. Penilaian dapat digunakan sebagai umpan balik106

Gambar 4.4 Siswa Mempresentasikan Hasil Diskusi Kelompok

di layar infocus

Gambar di atas menunjukkan bahwa beberapa siswa sedang

mempresentasikan hasil kelompok dapat menjelaskan bagaimana siswa

menyelesaikan masalah dan dimungkinkan memiliki lebih dari satu solusi

yang benar.

8. Inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi,

menemukan)

Hasil penelitian107, menyimpulkan bahwa Hasil penelitian

memperlihatkan bahwa penerapan pembelajaran inkuiri terbimbing

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ketrampilan proses sains

dasar siswa kelas VIII SMP Negeri 7 Surakarta.

Secara umum proses inkuiri menurut Sanjaya108dapat dilakukan

melalui beberapa langkah, yaitu: 1. Merumuskan masalah; 2. Mengajukan

hipotesis; 3. Mengumpulkan data; 4. Menguji data berdasarkan data yang

ditemukan; dan 5. Membuat kesimpulan. Pendekatan inkuiri induktif, oleh

106Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi

Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, h. 175 107Wiwin Ambarsari, Slamet Santosa, Maridi, Penerapan Pembelajaran Inkuiri

Terbimbing Terhadap Keterampilan Proses Sains Dasar Pada Pelajaran Biologi Siswa

Kelas VIII SMP Negeri 7 Surakarta, Pendidikan Biologi Vol. 5, No. 1, 93 108Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis

Kompetensi, (Jakarta: Prenata Media Group, 2008), h. 119

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 149: Pendidikan Progresif John Dewey

139

Orlich, dkk109 dapat dibedakan menjadi inkuiri terbimbing dan inkuiri tak

terbimbing. Perbedaan diantara keduanya yaitu, data atau fakta, kemudian

siswa membuat generalisasi dengan bantuan guru, disebut inkuiri induktif

terbimbing. Jika siswa menemukan sendiri spesifiksi sebelum membuat

generalisasi, maka dinamakan inkuiri induktif tak terbimbing.

Langkah pertama yaitu merumuskan masalah, guru membimbing

siswa menentukan suatu masalah yang terkait dengan pelajaran yang

disampaikan, kemudian siswa memikirkan sendiri jawabannya. Langkah

kedua yaitu mengajukan hipotesis, guru membimbing siswa menemukan

jawaban sementara atas masalah yang ditemukan. Langkah ketiga yaitu

mengumpulkan data, siswa melakukan eksperimen sederhana. Langkah

keempat menguji data berdasarkan data yang ditemukan, siswa menguji

hasil eksperimen dengan fakta-fakta dan teori yang terkait. Langkah

kelima membuat kesimpulan siswa mempresentasikan hasil diskusinya

didepan kelas dan membuat kesimpulan.

Suryobroto110, menyatakan ada beberapa kelebihan pembelajaran

inkuiri antara lain: membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak

persediaan dan penguasaan keterampilan dan proses kognitif siswa,

membangkitkan gairah pada siswa misalkan siswa merasakan jerih payah

penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan,

memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan

kemampuan, membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya

kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan, siswa

terlibat langsung dalam belajar sehingga termotivasi untuk belajar, srategi

ini berpusat pada anak, misalkan memberi kesempatan kepada mereka dan

guru berpartisipasi sebagai sesama dalam mengecek ide. Guru menjadi

teman belajar, terutama dalam situasi penemuan yang jawabanya belum

diketahui.

Menemukan (inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan

pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang

diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat dapat meningkatkan

kualitas pembelajaran yang dilakukan guru dan aktivitas belajar siswa.

Cerbin dan Kopp111 menemukan bahwa lesson study sangat efektif untuk

109 Orlich, D. C., Harder, R. J., Callahan, R. C., & Gibson, H. W, Teaching

Strategies A Guided to Better Instruction, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1998), h.

297 110 Suryosubroto B, Proses Belajar Mengajar di Sekolah. (Jakarta: PT Rineka

Cipta, 2002),h. 201 111 Cerbin, W., B. Kopp, Lesson study as a Model for Building Pedagogical

Knowledge and Improving Teaching. International Journal of Teaching and Learning in

Higher Education. (2006), h. 250- 257.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 150: Pendidikan Progresif John Dewey

140

meningkatkan pengembangan siswa pada pembelajaran. Marsigit 112 juga

menemukan bahwa kegiatan lesson study dapat meningkatkan antusiasme

siswa, motivasi, kegiatan, dan kinerja. Pemodelan dalam pembelajaran

antara lain dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, menghargai orang lain,

dan rasa percaya diri.

Inquiry artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan

penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan dan

keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat

fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses

perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal,

akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat

menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.113 Siklus menemukan

(inquiry) yang terdiri atas: observasi, bertanya, mengajukan dugaan (hipotesis),

mengumpulkan data, dan menyimpulkan, merupakan sebuah proses terarah dan

jelas yang digunakan dalam kegiatan mental. Menurut Johnson,114 proses terarah

dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah,

mengambil keputusan, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah

dinamakan berpikir kritis.

Gambar 4.5 siswa MAN Insan Cendikia sedang mempertunjukan hasil temuan

dalam bidang IPTEK

112 Marsigit, Mathematics Teachers’ Professional Development through Lesson

study in Indonesia. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education.

(2007), h.141-144. 113 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran h,.. 263 114 Johnson, Elaine B, Contextual Teaching and Learning: what it is and why it’s

here to stay.... h.183

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 151: Pendidikan Progresif John Dewey

141

Gambar di atas menunjukkan para siswa MAN Insan Cendikia

memperlihatkan hasil temuan di bidang IPTEK. Hal ini terbukti dari metode

inquiri bahwa Siklus menemukan (inquiry) yang terdiri atas: observasi, bertanya,

mengajukan dugaan (hipotesis), mengumpulkan data, dan menyimpulkan,

merupakan sebuah proses terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan

mental. Proses terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti

memecahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis asumsi, dan

melakukan penelitian ilmiah dinamakan berpikir kritis.

Beberapa pendekatan CTL menurut Saliman, adalah sebagai berikut:

a. Problem-Based Learning, yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang

menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk

belajar melalui berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah dalam

rangka memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi

pelajaran.

b. Authentic Instruction, yaitu pendekatan pengajaran yang menperkenankan

siswa untuk mempelajari konteks bermakna melalui pengembangan

keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam

konteks kehidupan nyata.

c. Inquiry-Based Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang mengikuti

metodologi sains dan memberi kesempatan untuk pembelajaran bermakna.

d. Project-Based Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang

memperkenankan siswa untuk bekerja mandiri dalam mengkonstruk

pembelajarannya (pengetahuan dan keterampilan baru), dan

mengkulminasikannya dalam produk nyata.

e. Work-Based Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan

siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi ajar

dan menggunakannya kembali di tempat kerja.

f. Service Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu

penerapan praktis dari pengetahuan baru dan berbagai keterampilan untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat melalui proyek/tugas terstruktur dan

kegiatan lainnya.

g. Cooperative Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang menggunakan

kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam rangka memaksimalkan

kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.

Dengan tujuh pendekatan tersebut, maka keberhasilan pembelajaran

kontekstual, baik proses maupun hasil belajarnya akan terwujud secara nyata

dalam proses pembelajaran di sekolah bagi siswa. Dengan pendekatan tersebut

siswa akan lebih kreatif, mandiri, aktif, dan inovatif. Siswa lebih mampu

mengelaborasi muatan-muatan pembelajaran secara kontekstual yang berbasis

dunia nyata. Keberhasilan dengan pendekatan tersebut bukan tanpa alasan. Paling

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 152: Pendidikan Progresif John Dewey

142

tidak dalam pandangan penulis, keberhasilan tersebut berwujud nyata dengan

beberapa alasan sebagai berikut ;

a. Materi dipilih berdasarkan kebutuhan siswa dan materi tersebut terkait

dengan konteks kehidupan nyata/masalah.

b. Belajar dapat dilaksanakan di berbagai tempat, konteks dan kondisi.

c. Keterlibatan siswa secara aktif

d. Terjadinya kolaborasi dan kerjasama antar siswa

e. Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.

f. Pembelajaran dilakukan berdasarkan kebutuhan siswa, sehingga siswa sadar

betul akan pentingnya proses belajar yang dialaminya

g. Merangsang berpikir kritis siswa terhadap persoalan-persoalan yang dipelajari

h. Siswa menguasai materi dengan seperangkat kompetensi yang dimiliki.

Pembelajaran kontekstual merupakan salah satu alternatif pembelajaran

yang dapat mengurangi verbalisme dan teoritis. Di samping itu, pembelajaran ini

dapat memberikan penguatan pemahaman secara komprehensif melalui

penghubungan makna atau maksud dari ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa

dengan pengalaman langsung dalam kehidupan yang nyata. Melalui model

pembelajaran kontekstual, pengalaman belajar bukan hanya terjadi dan dimiliki

ketika seseorang siswa berada di dalam kelas, tetapi jauh lebih penting dari itu

adalah bagaimana membawa pengalaman belajar tersebut keluar dari kelas, yaitu

pada saat ia dituntut untuk menanggapi dan memecahkan permasalahan yang

nyata yang dihadapi sehari-hari. Sehingga pembelajaran kontekstual ini idealnya

mengkaitkan permasalahan pada dunia nyata kepada teori yang akan dipelajarkan

atau disajikan pada siswa, dan siswa secara aktif memecahkan permasalahan

tersebut sesuai apa yang ia dapatkan melalui pengalaman dan dihubungkan dengan

teori yang ia pelajari di sekolah oleh gurunya.

Semangat atau motivasi belajar langsung bersumber dari kehendak atau

cita-cita atau pun tujuan tertent yang telah dimiliki oleh siswa terlebih dahulu,

sehingga guru hanya mengarahkan dan membantu sebagai fasilitator. Dan siswa

menjadi lebih aktif dikarenakan dia yang belajar, dia yang mengalami, dan pada

akhirnya dia juga yang akan mengaplikasikan ilmu pengethuan yang dimilikinya

di dalam kehidupan bermasyarakat.

9. Pembelajaran Berbasis Masalah

Hasil penelitian,115 menyatakan bahwa guru memberikan respon yang

positif terhadap pembelajaran berbasis masalah yang tercermin dari minatnya

untuk mengetahui lebih jauh mengenai pembelajaran ini. Guru juga menyatakan

bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat melatih siswa untuk: bekerja sama

dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas tugas, berpikir matematik, dan

115Yanto Permana dan Utari Sumarmo, Mengembangkan kemampuan Penalaran

dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis masalah, educationist

vol. I no. 2/juli 2007, h. 122

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 153: Pendidikan Progresif John Dewey

143

menciptakan suasana sehingga siswa lebih aktif belajar di dalam kelas. Siswa aktif

selama proses pembelajaran berbasis masalah. Ini terlihat dari siswa mau bekerja

sama, saling membantu dan saling memberikan pendapat (sharing ideas) dalam

menyelesaikan tugas tugas atau soal soal yang diberikan.

Senada dengan penelitian,116 menyatakan bahwa berdasarkan hasil

penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model PBL

yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMPN 19 Palu pada

materi panjang garissinggung persekutuan dua lingkaran, mengikuti langkah-

langkah model PBL yakni (1) siswa diberikan kesempatan untuk terlibat langsung

dalam topik yang sedang dipelajari yaitu dengan mengorientasikan siswa pada

masalah menggunakan video atau animasi, kemudian guru meminta siswa

mengamati (membaca) dan memahami masalah secara individu agar siswa dapat

benar-benar memperhatikan masalah yang disajikan dan aktif mencari tahu cara

penyelesaian masalah, (2) semua siswa langsung membentuk kelompok sesuai

dengan anggota kelompok yang telah ditentukan oleh guru secara heterogen untuk

menyelesaikan LKS yang diberikan, (3) siswa mampu untuk mengungkapkan ide-

ide mereka dalam menjawab masalah yang ada dalam LKS melalui diskusi

kelompok dan guru memberikan bantuan sejauh mana yang diperlukan saja kepada

siswa dalam mengungkapkan idenya untuk menjawab LKS, (4) siswa mampu

mempresentasikan hasil pekerjaan kelompoknya dengan penguasaan topik dan

proses pengerjaan yang cukup baik, dan guru menunjuk siswa untuk presentasi

secara acak agar siswa dapat bertanggung jawab di dalam kelompoknya, (5) siswa

mampu menganalisis hasil proses pemecahan masalah pada hasil presentasi tiap-

tiap kelompok dengan kemampuan intelektual yang telah mereka peroleh dan

mampu menemukan kesalahan dan menjelaskan dengan baik jawaban yang benar

saat tanya jawab, pada saat mengevaluasi hasil proses pemecahan masalah guru

harus memimpin diskusi kelas dengan cara semenarik mungkin agar semua siswa

mau terlibat aktif dalam proses diskusi. Kemudian guru membimbing siswa untuk

menyimpulkan hasil penemuannya agar siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan

yang diperoleh pada saat bekerja dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah.

Senada dengan penelitian117 menyatakan ada beberapa hal penting yang

perlu dicermati dalam pelaksanaan strategi pembelajaran pemecahan masalah

berorientasi kearifan lokal Bali agar dapat dilaksanakan secara efektif, khususnya

dalam pembelajaran Matematika SMP, yaitu: (1) pada awal pembelajaran, siswa

agar diberikan masalah sebagai motivator bagi mereka untuk mempelajari materi

selanjutnya dan biarkan mereka untuk mencari jawaban sendiri sesuai dengan

116Muhammad Fachri Baharuddin Paloloang, Penerapan Model Problem Based

Learning (PBL) Untuk Meningkatkan Hasil Belajarsiswa Pada Materi Panjang Garis

Singgung Persekutuan Dua Lingkaran Di Kelas VIII Smp Negeri 19 Palu, Jurnal

Elektronik Pendidian Matematika Tadulako, Volume 2 Nomor 1, September 2014, h. 76 117 N.N. Parwati, Pengembangan Model Pembelajaran Pemecahan Masalah

Berorientasi Kearifan Lokal Pada Siswa Smp Di Kota Singaraja, Jurnal Pendidikan

Indonesia, Vol. 4, No.2, Oktober 2015, h. 615

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 154: Pendidikan Progresif John Dewey

144

pengetahuan yang telah dimiliki; (2) berikan siswa motivasi belajar dengan

mengingatkan/membaca dan merenungkan slogan-slogan/petuah-petuah yang

diangkat dari kearifan lokal yang mengandung pesan-pesan moral untuk

memperkuat karakter positif siswa; (2) ciptakan situasi yang menyenangkan bagi

siswa, misalnya mengajak mereka bernyanyi dengan membuat syair lagu yang

dikaitkan dengan materi yang sedang dibahas atau mengemas pembelajaran dalam

bentuk permainan; (3) masalah yang disajikan untuk siswa adalah masalah yang

kontekstual/sesuai dengan lingkungan sehari-hari siswa, sehingga materi

matematika yang sedang dipelajari dapat dilihat langsung manfaatnya atau dapat

dibayangkan dalam pikiran siswa; (4) pelaksanaan pembelajaran yang bertipe

problem solving, agar diberikan berupa masalah matematika terbuka maupun

masalah matematika tertutup; (5) lakukan kegiatan pembelajaran dalam bentuk

kerja kelompok, dengan membentuk kelompok yang heterogen; dan (6) guru

mengambil peran sebagai fasilitator dan mediator yang kreatif.

Senada dengan pendapat guru Kimia bahwa sebelum pembelajaran siswa

harus dimotivasi terlebih dahulu dikarenakan jadwal di madrasah ini padat, karena

di asrama mereka harus mengikuti peraturan asrama sehingga jam tidur mereka

sedikit, tidak sedikit dari siswa di MAN yang merasakan lelah, hal ini membuat

guru-guru harus memacu semangat belajar mereka dengan memotivaor lewat

orang-orang sukses dengan ilmunya masing-masing, apalagi saya memegang

materi kimia yang tidak sedikit banyak istilah-istilah kimia yang dijumpai jadi

peran guru disini sebagai motivator dan fasilitator untuk siswa dalam problem solving.

Selanjutnya penelitian yang lain118, menyatakan bahwa Pengumpulan

informasi dilakukan dengan melakukan studi pendahuluan yang meliputi studi

pustaka dan survei lapangan. Studi pustaka dilakukan dengan mengkaji teori

mengenai pembelajaran IPA terpadu dan segala informasi yang dibutuhkan

mengenai pengembangan perangkat pembelajaran IPA berbasis PBL yang

mengacu pada Kurikulum 2013. Sedangkan survei lapangan dilakukan di SMP

agar memperoleh informasi mengenai pelaksanaan pembelajaran IPA berdasarkan

Kurikulum 2013 dan karakteristik peserta didik. Oleh karena itu, melalui studi

pendahuluan ini dapat diketahui permasalahan guru dan peserta didik mengenai

pembelajaran IPA khususnya berkaitan dengan pemecahan masalah dan scientific attitude.

Penelitian selanjutnya119 mengenai penerapan PBM untuk meningkatkan

kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa SD juga

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis

118Rina Rahayu dan Endang W. Laksono FX, Pengembangan Perangkat

Pembelajaran IPA Berbasis Problem-Based Learning Di SMP, Jurnal Kependidikan,

Volume 45, Nomor 1, Mei 2015, h. 32-33 119Fachrurazi.. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan

KemampuanBerpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar, Genta Mulia

Volume IX No. 2, 2011, h. 56-70

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 155: Pendidikan Progresif John Dewey

145

dan kemampuan komunikasi siswa antara siswa yang diajarkan dengan model

PBM dan konvensional ditinjau dari faktor pembelajaran dan level sekolah.

Peningkatan dengan model PBM lebih tinggi dari pada konvensional. Hal lain

yang diperoleh selain peningkatan kemampuan berpikir kritis dengan

menggunakan PBM menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memberikan sikap

positif saat diajarkan dengan model PBM. Sikap positif ini akan memberikan

pengaruh yang besar terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan pengaruh model PBM

terhadap kemampuan berpikir kritis. Sedangkan Penelitian yang dilakukan

Padmavathy & Mareesh120 mengenai keefektivan model PBM dalam proses

pebelajaran matematika pada tingkat sekolah menengah menunjukkan bahwa ada

pengaruh model PBM dalam pembelajaran matematika.

Istilah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) diadopsi dari istilah Inggris

yaitu Problem Based Instruction (PBI). Model pembelajaran berbasis masalah ini

telah dikenal sejak zaman John Dewey. Model pembelajaran ini mulai diterapkan

karena secara umum pembelajaran ini diawali dengan penyajian situasi masalah

autentik dan bermakna kepada siswa sehingga siswa dapat melakukan proses

penyelidikan dan inkuiri dengan mudah. Masalah yang diberikan diawal

pembelajaran digunakan sebagai pemicu proses pembelajaran. Hal ini sejalan

dengan pendapat Arends dalam Trianto121 menyatakan bahwa model pembelajaran

berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa

mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun

pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir

tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Penelitian

yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) telah banyak

dilakukan. Pada umumnya hasil dari penelitian tersebut dapat meningkatkan hasil

belajar siswa. Pada subbab ini akan diperlihatkan penelitan-penelitian yang

relevan yang berguna sebagai rujukan bagi penelitian yang akan dilakukan, dan

agar tidak terjadi pengulangan judul dari penelitian yang sudah dibuat. Berikut ini

diperlihatkan berbagai penelitian yang telah dilakukan.

Penelitian selanjutnya122 mengenai pengembangan kemampuan berpikir

kritis mahasiswa melalui pembelajaran berdasarkan masalah pada mata kuliah

fisika lingkungan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kemampuan berpikir

kritis siswa dapat dikembangkan dengan model menggunakan model PBM.

Aspek-aspek berpikir kritis yang dapat dikembangkan diantaranya:

120Padmavathy & Mareesh, Effectiveness of Problem Based Learning in

Mathematics. International Multidisciplinary e-Journal, 2013, h. 45-51 121Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan

dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). (Jakarta:

Kencana, 2011), h. 92 122Dwijananti, P & Yulianti, D. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis

Mahasiswa Melalui Pembelajaran Problem Based Instruction Pada Mata Kuliah Fisika

Lingkungan. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 2010, h. 108-114.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 156: Pendidikan Progresif John Dewey

146

mengklasifikasi, mengasumsi, memprediksi, membuat hipotesis, mengevaluasi,

menganalisis dan membuat kesimpulan. Penelitian ini termasuk PTK, dimana

terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa di setiap siklus. Kedua

penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan model PBM dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kritis. Pendidikan matematika di sekolah ditujukan agar

siswa memiliki daya nalar yang baik terutama ketika menyelesaikan masalah

dalam mata pelajaran matematika. Usniati123 menemukan bahwa salah satu

kecenderungan yang menyebabkan siswa gagal menguasai dengan baik pokok-

pokok bahasan dalam matematika yaitu siswa kurang memahami dan

menggunakan nalar yang baik dalam menyelesaikan soal yang diberikan. Begitu

juga dengan pendapat Rosnawati124 yang mengemukakan bahwa rata-rata

persentase yang paling rendah yang dicapai oleh peserta didik Indonesia adalah

dalam domain kognitif pada level penalaran yaitu 17%. Padahal kemampuan

penalaran menjadi salah satu tujuan dalam pembelajaran matematika di sekolah

yaitu melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan,

mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, serta mengembangkan

kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ide-ide melalui

lisan, tulisan, gambar, grafik, peta, diagram, dan sebagainya125.

Secara rinci diuraikan dalam KTSP dalam Depdiknas 2006, peserta didik

harus memiliki kemampuan menggunakan penalaran pada pola dan sifat,

melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti,

atau menjelaskan gagasan dan peryataan matematika. Penalaran merupakan suatu

kegiatan atau proses berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat pernyataan

baru yang didasarkan pada pernyataan sebelumnya dan kebenarannya telah

dibuktikan. Turmudi126 mengatakan bahwa kemampuan penalaran matematis

merupakan suatu kebiasaan otak seperti halnya kebiasaan lain yang harus

dikembangkan secara konsisten menggunakan berbagai macam konteks, mengenal

penalaran dan pembuktian merupakan aspek-aspek fundamental dalam

matematika. Dengan penalaran matematis, siswa dapat mengajukan dugaan

kemudian menyusun bukti dan melakukan manipulasi terhadap permasalahan

123 Usniati, Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematika Melalui

Pendekatan Pemecahan Masalah. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif

Hidayatulloh: Tidak Diterbitkan, 2011 124Rosnawati, “Kemampuan penalaran matematika siswa SMP Indonesia pada

TIMSS 2011”. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,

2011 125Depdiknas, Kurikulum Standar Kompetensi Matematika Sekolah Menengah

Atas dan Madrasah aliyah. Jakarta: Depdiknas, 2006 126Turmudi, Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika Siswa dalam

Pelajaran Matematika. Disertasi doktor pada PPS IKIP Bandung: Tidak dipublikasikan,

2008

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 157: Pendidikan Progresif John Dewey

147

matematika serta menarik kesimpulan dengan benar dan tepat. Senada dengan127

guru bahasa Inggris di MAN Insan Cendikia mengungkapkan bahwa butuh

penalaran yang ekstra di samping itu sebelum memulai pelajaran menurutnya saya

sering memberikan motivasi-motivasi dalam bentuk cerita kehidupan orang-orang

sukses agar peserta didik termotivasi mau belajar dengan sungguh-sungguh,

karena dengan kesungguhan apapun bisa berhasil.

Untuk dapat meningkatkan kualitas dalam pembelajaran para ahli

pembelajaran menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktifistik

dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan adanya perubahan paradigma belajar

tersebut terjadi perubahan fokus pembelajaran dari berpusat pada guru kepada

belajar berpusat pada siswa. Pembelajaran dengan lebih memberikan nuansa yang

harmonis antara guru dan siswa dengan memberi kesempatan seluas-luasnya

kepada siswa untuk berperan aktif dan mengkonstruksi konsep-konsep yang

dipelajarinya. Pembelajaran yang berpusat pada siswa mempunyai tujuan agar

siswa memiliki motivasi tinggi dan kemampuan belajar mandiri serta

bertanggungjawab untuk selalu memperkaya dan mengembangkan ilmu

pengetahuan, keterampilan dan sikap. Ada beberapa pembelajaran yang berpusat

pada siswa yaitu salah satunya adalah pembelajaran berbasis masalah.

Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu metode dalam pembelajaran

yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan

mengintegrasikan pengetahuan baru. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut

mahasiswa akan mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan atas

masalah tersebut. Punaji Setyosari128 menyatakan bahwa pembelajaran berbasis

masalah adalah suatu metode atau cara pembelajaran yang ditandai oleh adanya

masalah nyata, a real-world problems sebagai konteks bagi mahasiswa untuk

belajar kritis dan ketrampilan memecahkan masalah dan memperoleh

pengetahuan. Gardner129 menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah

merupakan alternatif model pembelajaran yang menarik dalam pembelajaran

ruang kelas yang tradisional. Dengan model pembelajaran berbasis masalah, dosen

menyajikan kepada mahasiswa sebuah masalah, bukan kuliah atau tugas. Sehingga

mahasiswa menjadi lebih aktif belajar untuk menemukan dan menyelesaikan

masalah.

Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) juga telah memberikan

kesempatan belajar berbagai peran orang dewasa bagi siswa melalui keterlibatan

mereka pengalaman nyata atau simulasi serta menjadi pembelajaran yang otonom

dan mandiri sehingga dapat menambah kemampuan siswa dalam memecahkan

masalah sesuai dengan tujuan pembelajaran dengan konsep PBM. Selain itu juga

127 Hasil wawancara dengan guru bahasa inggris pada tanggal 22 Agustus di MAN

IC Serpong Tangerang 128Punaji Setyosari. Belajar berbasis masalah (Problem Based Learning). Makalah

disampaikan dalam Pelatihan Dosen-dosen PGSD FIP UNY di Malang. 2006 129Gardner,J.W.Problem-basedlearning.Diambil

http://www.studygs.net/pbl.htm,http://media-grafika.com/model-modelpembelajaran

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 158: Pendidikan Progresif John Dewey

148

PBM dapat mengembangkan kemampuan berfikir siswa yang kritis dan analisis

dalam menghadapi masalah dalam pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat

Wang dkk130 yang mengemukakan bahwa PBM merupakan metode pembelajaran

yang bisa menumbuhkembangkan kemampuan berfikir siswa, melatih

keterampilan menyelesaikan masalah serta meningkatkan penguasaan materi

pembelajaran. Pembelajaran berbasis masalah mempunyai tujuan untuk

mengembangkan dan menerapkan kecakapan yang penting yaitu pemecahan

masalah berdasarkan keterampilan belajar sendiri atau kerjasama kelompok dam

memperoleh pengetahuan yang luas. Dosen mempunyai peran untuk memberikan

inspirasi agar potensi dan kemampuan mahasiswa dimaksimalkan. Pembelajaran

berbasis masalah memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Belajar diawali dengan masalah

b. Masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa

c. Mengorganisasikan pelajaran seputar masalah

d. Mahasisawa diberikan tanggungjawab yang besar untuk melakukan proses

belajar secara mandiri

e. Menggunakan kelompok kecil

f. Mahasiswa dituntut untuk mendemonstrasikan apa yang telah dipelajari

dalam bentuk kinerja

Pembelajaran berdasarkan masalah memiliki prosedur yang jelas dalam

melibatkan peserta didik untuk mengidentifikasi permasalahan. John Dewey

dalam Wina Sanjaya131, menjelaskan 6 langkah strategi pembelajaran berdasarkan

masalah yang kemudian dinamakan metode pemecahan masalah (problem solving), yaitu :

a. Merumuskan masalah, yakni langkah peserta didik dalam menentukan

masalah yang akan dipecahkan.

b. Menganalisis masalah, yakni langkah peserta didik meninjau masalah secara

kritis dari berbagai sudut pandang.

c. Merumuskan hipotesis, yakni langkah peserta didik dalam merumuskan

pemecahan masalah berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

d. Mengumpulkan data, yakni langkah peserta didik untuk mencari informasi

dalam upaya pemecahan masalah.

e. Pengujian hipotesis, yakni langkah peserta didik untuk merumuskan

kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan.

f. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yakni langkah peserta didik

menggambarkan rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.

130Wang, H.C.A.Thompson daam Schuller, C.F.1998 Essential Components of

problem Based Learning for the k-12 in quary science instruction. (online),

(http//searchyahoo.com di akses 28 Juli 2016). 131 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.217

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 159: Pendidikan Progresif John Dewey

149

Menurut Trianto132, peran guru dalam pembelajaran berdasarkan masalah

adalah sebagai berikut:

a. Mengajukan masalah sesuai dengan kehidupan nyata sehari-hari.

b. Membimbing penyelidikan misal melakukan eksperimen.

c. Menfasilitasi dialog peserta didik.

d. Mendukung belajar peserta didik.

Tabel 4. 2 sintaks untuk model Problem Based Learning (PBL) dapat disajikan

menurut Arends133

No Fase Perilaku Guru

1 Fase pertama memberikan

orientasi tentang permasalahannya

kepada peserta didik

Guru membahas tujuan pelajaran,

mendeskripsikan berbagai kebutuhan

logistik penting, dan memotivasi

peserta didik untuk terlibat dalam

kegiatan mengatasi masalah.

2 Fase kedua Mengorganisasikan

peserta didik untuk meneliti

Guru membantu peserta didik untuk

mendefinisikandan

mengorganisasikan tugas-tugas

belajar yang terkait dengan

permasalahannya.

3 Fase ketiga membantu investigasi

mandiri dan kelompok

Guru mendorong peserta didik untuk

mendapatkan informasi yang tepat,

4 Fase keempat mengembangkan

dan mempresentasikan hasil karya

dan memamerkan

melaksanakan eksperimen, dan

mencari penjelasan dan solusi. Guru

membantu peserta didik dalam

merencanakan dan menyiapkan hasil

karya yang tepat, seperti laporan,

rekaman video, dan model-model, dan

membantu mereka untuk

menyampaikannya kepada orang lain.

5 Fase kelima menganalisis dan

mengevaluasi proses mengatasi

masalah

Guru membantu peserta didik untuk

melakukan refleksi terhadap

penyelidikannya dan proses-proses

yang mereka gunakan.

Dari uraian di atas jelas bahwa dalam pembelajaran berbasis masalah

dimulai dengan adanya permasalahan. Masalah yang dijadikan pembelajaran dapat

muncul dari mahasiswa atau dosen. Sehingga mahasiswa dapat memilih masalah

yang dianggap menarik untuk dijadikan pembelajaran.

132 Trianto, Model Pembelajaran Terpadu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 97 133 Arends, Richard, Learning to Teach. Penerjemah: Helly Prajitno & Sri

Mulyani. (New York: McGraw Hill Company, 2008), h. 57

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 160: Pendidikan Progresif John Dewey

150

10. TGT (Teams Games Tournament) Sebuah penelitian,134menyatakan Education game adalah permainan yang

bersifat mendidik. Permainan edukatif adalah suatu kegiatan yang sangat

menyenangkan dan dapat merupakan cara atau alat pendidikan yang bersifat

mendidik. Dengan kata lain, permainan edukatif merupakan sebuah bentuk

kegiatan mendidik yang dilakukan dengan menggunakan cara atau alat yang

bersifat mendidik pula. Sehingga permainan edukatif bermanfaat untuk

meningkatkan kemampuan berbahasa, berpikir, serta bergaul dengan

lingkungannya. Disamping itu, permainan edukatif juga bermanfaat untuk

menguatkan dan menerampilkan anggota badan si anak, mengembangkan

kepribadian, mendekatkan hubungan antara pengasuh dengan anak didik, serta

menyalurkan kegiatan anak.

Senada dengan penelitian135 menyatakan bahwa berdasarkan hasil

penelitian rata-rata skor motivasi siswa sebelum menggunakan pembelajaran

berbasis turnamen dan games yaitu 72,55. Sedangkan rata-rata skor motivasi

belajar siswa setelah pembelajaran berbasis turnamen dan games yaitu 74,35.

Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa angka P-value untuk t-test yaitu 0,001.

Hal ini berarti 0,001 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis

turnamen dan games berpengaruh signifikan terhadap motivasi belajar geografi

siswa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut peneliti merekomendasikan

pembelajaran berbasis turnamen dan games dapat diterapkan di kelas pada siswa

terutama mata pelajaran geografi.

Pembelajaran di kelas dapat diterapkan dengan berbagai strategi. Strategi

pembelajaran sangat penting untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Selain

itu, pembelajaran di kelas akan lebih efektif jika memahami bagaimana peserta

didik belajar.136 Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam peningkatan

motivasi belajar siswa yaitu pelaksanaan pembelajaran di kelas.

Pembelajaran berbasis turnamen dan games merupakan salah satu

pembelajaran yang dapat diterapkan di MAN Insan Cendikia Serpong.

Pembelajaran ini dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Siswa

lebih termotivasi belajar saat diberi pilihan, melibatkan diri dalam tantangan yang

sesuai dengan kemampuan, dan menerima penghargaan yang memiliki nilai

informasi137. Dengan adanya turnamen dan games, siswa akan lebih aktif dan

bersemangat. Pembelajaran dengan turnamen membuat siswa merasa tertantang

134 M. Rohwati, Penggunaan Education Game Untuk Meningkatkan Hasil Belajar

Ipa Biologi Konsep Klasifikasi Makhluk Hidup, JPII 1 (1) (2012), h. 76 135 Kurnia Dewi Anjani, Ach. Fatchan, Ach. Amirudin dalam jurnalnya yang

berjudul Pengaruh Pembelajaran Berbasis Turnamen Dan Games Terhadap Motivasi

Belajar Siswa, Jurnal Pendidikan, Vol. 1, No. 9, Bln September, (2016), h. 178 136Purnomo, A, Peran Motivasi Dalam Pembelajaran Konstruktivisme. (Malang:

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang, 2016) 137 Santrock, J.W, Psikologi Pendidikan. (Jakarta: Salembai Humanika, 2014)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 161: Pendidikan Progresif John Dewey

151

dan penasaran dalam menguji kemampuannya, sedangkan dengan games atau

permainan membuat siswa merasa senang dan tidak bosan dalam pembelajaran.

Model pembelajaran kooperaif Teams Games Tournaments (TGT)

termasuk ke dalam metode-metode Students Teams Leraning. Huda138

berpendapat bahwa metode Teams Games Tournaments (TGT) dikembangkan

oleh Slavin dan rekan-rekannya. Penerapan Teams Games Tournaments (TGT)

mirip dengan STAD dalam hal komposisi kelompok, format instruksional, lembar

kerja. Bedanya, jika STAD dfokus pada komposisi kelompok berdasarkan

kemampuan, ras etnik dan gender, maka Teams Games Tournaments (TGT)

umumnya fokus hanya pada level kemampuan saja. Selain itu, jika STAD, yang

digunakan adalah kuis, maka dalam Teams Games Tournaments (TGT) istilah

tersebut biasanya berganti menjadi game akademik.

DeVries, Edward, & Wells139 berpendapat Teams Games Tournaments (TGT) meningkatkan perasaan para siswa bahwa hasil yang mereka keluarkan

tergantung pada kinerka dan bukan pada keberuntungan. Pengalaman dan temuan

tersebut diharapkan menjadi dasar dalam meningkatkan keaktifan dan motivasi

belajar peserta didik sehingga berpengaruh terhadap prestasi belajar mereka.

Sesuai dengan teori belajar140 bahwa ada hubungan langsung antara domain

kognitif dengan sosial budaya.

Slavin141berpendapat bahwa ada langkah-langkah atau komponen utama

yang dilakukan dalam model pembelajaran kooperatif Teams Games Tournaments (TGT), yaitu sebagai berikut:

a. Presentasi Kelas

Pertama-tama materi diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas.

Ini merupakan pengajaran langsung yang sering kali dilakukan atau diskusi

pelajaran yang dipimpin oleh guru, tetapi dapat juga memasukkan

presentasi audivisual.

b. Belajar Kelompok (Tim)

Tim terdiri dari tiga sampai empat siswa yang memiliki seluruh bagian

dari kelas dalam hal kinereja akademik, jenis kelamin, ras, dan etnisitas.

Fungsi utama dari tim ini adalah memastikan bahwa semua anggota tim

benar-benar belajar, dan lebih khusus lagi, adalah untuk mempersiapkan

anggota untuk dapat mengerjakan soal-soal games dengan baik.

c. Game Game terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang

dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperoleh dari presentasi

138 M. Huda, Cooperative Learning: Efektivitas Pembelajaran Kelompok,

(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 116 139 Slavin, Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. (Bandung: Nusa

Media, 2009), h. 129 140 Isjoni, Cooperative Learning: Efektivitas Pembelajaran Kelompok, (Bandung:

Alfabeta, 2010), h. 40 141 Slavin, Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik...h. 143-167

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 162: Pendidikan Progresif John Dewey

152

di kelas dan pelaksanaan kerja tim. Game tersebut dimainkan di atas meja

dengan tiga orang siswa, yang masing-masing mewakili tim yang berbeda.

Kebanyakan Game hanya berupa nomor-nomor pertanyaan yang ditulis

pada lembar yang sama. Seorang siswa mengambil sebiah kartu

bernomordan harusmenjawab pertanyaan sesuai nomor yang tertera pada

kartu tersebut. Sebuah aturan tentang penantang memperbolehkan para

pemain saling menantang jawaban masing-masing.

d. Rekognisi Tim Guru boleh memberikan sertifikat kepada tim-tim yang memenuhi

kriteria. Tim baik hanya akan menerima ucapan selamat di dalam kelas.

Selain atau sebagai tambahan sertifikat, tim yang sukses dapat ditampilkan

pada papan mingguan dengan menempatkan foto dan nama tim mereka

pada tempat kehormatan. Apapun yang dilakukan untuk menghargai tim

berprestasi, sangat penting untuk mengoneksikan bahwa kesuksesan tim itu

(bukan hanya kesuksesan individu) merupakan sesuatu yang penting, karena

inilah yang akan memotovasi para peserta didik untuk membantu teman

satu timnya belajar.

Model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT)

memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Suarjana yang merupakan kelebihan

dan kelemahan dari pembelajaran TGT antara lain sebagai berikut:

a. Lebih meningkatkan pencurahan waktu untuk tugas

b. Mengedepankan penerimaan terhadap perbedaan individu

c. Dengan waktu yang sedikit dapat menguasai materi secara mendalam

d. Proses belajar mengajar berlangsung dengan keaktivan dari siswa

e. Mendidik siswa untuk berlaih bersosialisasi dengan orang lain

f. Motivasi belajar lebih tinggi

g. Hasil belajar lebih baik

h. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi

Sedangkan kelemahan TGT adalah:

1) Bagi guru

a) Sulitnya peneglompokan siswa yang mempunyai kemampuan heterogen

dari segi akademis. Kelemahan ini akan dapat diatasi jika guru yang

bertindak sebagai pemegang kendalu teliti dalam menentukan pembagian

kelompok

b) Waktu yang dihabiskan untuk diskusi oleh siswa cukup banyak sehingga

melewati waktu yang sudah ditetapkan. Kesulitan ini dapat diatasi jika

guru mampu menguasai kelas secara menyeluruh

2) Bagi siswa

Masih adanya siswa berkemampuan tinggi kurang terbiasa dan sulit

memberikan penjelasan kepada siswa lainnya. Untuk mengatasi kelemahan

ini, tugas guru adalah membimbing dengan baik siswa yang mempunyai

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 163: Pendidikan Progresif John Dewey

153

kemampuan akademik tinggi agar dapat dan mampu menularkan

pengetahuannya kepada siswa yang lain.

Kelebihan dan kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) yang telah diuraikan harus dikuasai oleh guru agar

dapat pada saat pembelajaran berlangsung dapat meminimalisasi kelemahan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan ahwa pembelajaran kooperatif

Teams Games Tournament (TGT) adalah suatu model pembelajaran berkelompok

yang beranggotakan 3 sampai 4 orang dengan kemampuan heterogen, yang saling

bekerjasama supaya seluruh anggotanya memahami materi, sehingga dapat

bersaing dengan kelompok lain dalam meja game/turnamen untuk mendapatkan

predikat sebagai kelompok terbaik. Suasana kompetitif seperti ini menciptakan

kondisi kompetitif yang positif untuk membentuk kemandirian belajar sehingga

seluruh peserta didik dapat memahami materi, dan akhirnya dapat mengasah

kemampuan peserta didik.

Pada dasarnya pembelajaran berbasis turnamen dan games memiliki

kesamaan dengan STAD. Perbedaannya hanyalah pada turnamen kelompok tidak

ada kuis, tetapi ada lomba antar kelompok142. Selain itu, menurut Ahsan143

pembelajaran berbasis turnamen dan games juga memiliki beberapa kelebihan,

yakni (1) proses belajar mengajar berlangsung dengan keaktifan dari siswa, (2)

mendidik siswa untuk berlatih bersosialisasi dengan orang lain, (3) motivasi

belajar lebih tinggi, (4) meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan toleransi.

Dengan demikian, pembelajaran berbasis turnamen dan games memiliki peran

yang cukup penting dalam meningkatkan motivasi belajar siswa. Motivasi belajar

melibatkan proses yang memberikan energi, mengarahkan, dan mempertahankan

perilaku belajar siswa. Motivasi yang ada pada siswa terdapat dua macam, yaitu

motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik terkait dengan

melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Dalam hal ini, siswa

belajar karena ingin mendapatkan sesuatu baik dari guru maupun orang lain.

Motivasi intrinsik yaitu motivasi yang muncul dari dalam diri seseorang tanpa

memerlukan rangsangan dari luar. Dengan demikian, siswa belajar bukan karena

adanya keinginan untuk mendapatkan sesuatu, tetapi kebutuhan diri atau

dorongan dari dirinya untuk memahami suatu materi pembelajaran.

Pembelajaran turnamen dan games lebih dikenal dengan istilah TGT (Teams Games Tournament). Pembelajaran ini pertama kali diterapkan John

Hopkins oleh De Vries dan Edwards. De vries dan Edwards melakukan penelitian

mengenai pengaruh TGT dan variasi dua struktur terhadap proses pembelajaran di

142Sumarmi, Model-Model Pembelajaran Geografi, (Malang: Aditya Media

Publishing, 2012) 143 Ahsan, Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT). Online, 2012

(http://modelpembelajarankooperatif.blogspot.co.id/2012/08/teams-games-tournaments

gt.html),diakses 28 Mei 2017.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 164: Pendidikan Progresif John Dewey

154

kelas, sikap, dan prestasi siswa sekolah menengah pertama. Menurut Slavin144

secara umum TGT sama saja dengan STAD kecuali satu hal, yaitu TGT menggunakan turnamen akademik dan menggunakan kuis-kuis, serta sistem skor

individu, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim untuk memenangkan

turnamen pembelajaran. Pembelajaran berbasis turnamen dan games sangat

menarik minat siswa untuk belajar. Hal tersebut dikarenakan siswa dituntut untuk

aktif dalam kelompok mereka. Tidak hanya itu, siswa juga lebih tertantang dalam

turnamen kelompok serta dapat belajar dengan penuh keceriaan melalui games.

Komponen dalam pembelajaran berbasis turnamen dan games antara lain

(1) penyajian kelas, (2) diskusi Kelompok, (3) games atau permainan, (4)

turnamen, dan (5) penghargaan kelompok. Masing-masing komponen dalam

pembelajaran berbasis turnamen dan games memiliki ciri tersendiri. Penyajian

kelas yaitu siswa harus benar-benar memerhatikan dan memahami materi yang

diberikan guru. Hal tersebut perlu dilakukan guru karena akan membantu siswa

bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.

Diskusi kelompok merupakan salah satu bagian dari pembelajaran

berbasis turnamen dan game yang di dalamnya terdapat muatan kerjasama,

toleransi, memacu keaktifan siswa, kemampuan berpikir kritis, dan kreativitas.

Dengan adanya diskusi kelompok siswa belajar memahami karakter temannya,

sehingga membuat siswa mampu menghargai perbedaan antara dirinya dengan

temannya. Komponen berikutnya yaitu games atau permainan, dalam permainan

siswa dapat belajar lebih menyenangkan dan ceria, sedangkan dalam komponen

turnamen, siswa cenderung merasa tertantang dan bersemangat menjadi pemenang

dan menguji kemampuannya dalam memahami materi yang disampaikan oleh

guru, komponen yang terakhir yaitu penghargaan kelompok. Penghargaan

kelompok merupakan salah satu pemacu motivasi ekstrinsik siswa. Dengan

adanya hadiah atau penghargaan terhadap pemenang turnamen maka motivasi

siswa akan lebih meningkat.

Motivasi belajar pada siswa sangat diperlukan guna menunjang

keberhasilan pelaksanaan pembelajaran di kelas. Motivasi adalah suatu proses

diinisiasikannya dan dipertahankannya aktivitas yang diarahkan pada pencapaian

tujuan145. Motivasi penting dalam menetukan seberapa banyak siswa akan belajar

dari suatu kegiatan pembelajaran atau seberapa banyak menyerap informasi yang

disajikan kepada mereka. Siswa yang termotivasi untuk belajar sesuatu akan

144Slavin, R.E, Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Terjemahan oleh

Yusron dan Zubaedi, (Bandung: Nusa Media, 2005) 145Pintrich, R.P., dkk, Motivasi Dalam Pendidikan Teori, Penelitian, dan Aplikasi.

(Jakarta: PT Indeks, 2012)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 165: Pendidikan Progresif John Dewey

155

menggunakan proses kognitif yang lebih tinggi dalam mempelajari materi itu,

sehingga siswa akan menyerap dan mengendapkan materi itu dengan lebih baik146

Motivasi belajar dibedakan atas dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan

motivasi ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik terkait dengan melakukan sesuatu untuk

mendapatkan sesuatu yang lain. Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh

insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Motivasi intrinsik melibatkan

motivasi internal dalam melakukan sesuatu demi minat sendiri. Siswa yang

termotivasi secara intrinsik, mengerjakan tugas-tugas karena mereka mendapati

tugas-tugas tersebut menyenangkan. Selain itu, kedua jenis motivasi tersebut juga

memiliki kekuatan dan arah. Siswa dengan tujuan yang sama mungkin memiliki

kekuatan motivasi yang berbeda147. Oleh karena itu, kedua jenis motivasi tersebut

sangat penting dimiliki oleh siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya.

Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas

tiap kelompok bisa sama bisaberbeda. Setelah memperoleh tugas, setiap kelompok

bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamika

kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok,

suasana diskuisi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi permainan

(games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah, lembut, santun, dan ada

sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehuingga

terjadi diskusi kelas.Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam

beberapa pertemuan, atau dalam rangak mengisi waktu sesudah UAS menjelang

pembagian raport.

Gambar 4.6 siswa MAN Insan Cendikia

Serpong Tangerang sedang belajar sambil bermain

146 Zaldy, R, Motivasi dan Minat Belajar Siswa. Online

http://rafyberbagy.blogspot.com/2012/12/motivasi-dan-minat-belajar-siswa.html),2012,

diakses 3 Januari 2015. 147Marshall, dkk, Handbook Teaching and Learning Strategi Peningkatan Mutu

Pendidikan di Perguruan Tinggi. (Pekanbaru: Zanafa Publishing, 2013)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 166: Pendidikan Progresif John Dewey

156

Gambar di atas menunjukkan bahwa pelajar serta didik di MAN Insan

Cendikia Serpong sedang belajar sambil bermain bagaimana caranya agar balon

itu tidak jatuh maka butuh kerja sama yang baik dalam mempertahankan tali

masing-masing.

Dari serangkaian penjelasan pendidikan tentang metode-metode

pembelajaran di atas dan hasil wawancara dari beberapa informan maka dapat

dikemukakan bahwa pendidikan MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang dalam

pelaksanaan atau implementasi pendidikan Progresif John Dewey adalah dengan

cara: 1). Membawa pendidikan dan pembelajaran ke arah progresif, 2). Merubah

pendidikan otoriter menjadi pendidikan demokratis, 3). Menyesuaikan pola

pendidikan dengan kebutuhan siswa, 4). Mengaktifkan siswa dalam pelaksanaan

pendidikan di sekolah, 5). Menjadikan sekolah sebagai agen rekonstruksi sosial

dan moral, 6). Mengawali pembelajaran dengan memberi motivasi kepada siswa,

7). Melaksanakan pembelajaran secara kontekstual, 8). Melibatkan siswa dalam

memanfaatkan media pembelajaran, 9). Menumbuhkan peran aktif siswa dalam

pembelajaran, 10). Mengajak siswa untuk berpikir kritis secara mandiri dan

problem solving, 11). Menumbuhkan keceriaan dan antusiasme siswa dalam

belajar.

Maka dengan demikian bahwa model-model pembelajaran dan hasil

wawancara terindikasi mengarah kepada pendidikan progressif.

C. MAN Insan Cendikia Serpong sebagai Madrasah Unggul

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa yang dimaksud

dengan unggul adalah lebih tinggi, pandai, kuat, dan sebagainya daripada yang

lain; terbaik; terutama. sedangkan Keunggulan artinya keadaan unggul;

kecakapan, kebaikan dan sebagainya yang lebih dari pada yang lain. Secara

ontologis sekolah unggul dalam perspektif Departemen Pendidikan Nasional

adalah sekolah yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran

(output) pendidikannya. Untuk mencapai keunggulan tersebut maka masukan

(input), proses pendidikan, guru dan tenaga kependidikan, manajemen, layanan

pendidikan, serta sarana penunjangnya harus diarahkan untuk menunjang

tercapainya tujuan tersebut.148 Menurut Mastuhu konsep sekolah/madrasah unggul

berangkat dari proses manajemen yang mendesain sedemikian rupa konsistensi

visi dan misi serta konsistensi tujuan dengan target diimplementasikan dalam

program kerja dengan mengakomodir keinginan lingkungan strategis (internal dan

eksternal) dengan mengacu pada ukuran kualitas yang ditentukan.149 Penjelasan

ini memberikan gambaran konsep madrasah unggulan bahwa untuk mencapai

keunggulan tersebut maka masukan (input), proses pendidikan, guru dan tenaga

148Muhammad, Konsep Pengembangan Madrasah Unggul, Kreatif, Vol. 4, No. 1

(Januari 2009), h. 39 149 Mastuhu, Menata Ulang Pendidikan Nasional Abad 21. (Jakarta: INIS, 2002),

h. 78

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 167: Pendidikan Progresif John Dewey

157

kependidikan, manajemen, layanan pendidikan, serta sarana penunjangnya harus

diarahkan untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut Menurut Abudinata

madrasah unggulan adalah madrasah yang memadukan antara keungulan dalam

bidang sains, ketrampilan dan teknologi dengan keunggulan dalam bidang

pengetahuan keagamaan termasuk di dalamnya keunggulan dalam keimanan dan

ketaqwaan.150 Sedangkan menurut Maimun dan Fitri, Madrasah memilki

keungggulan jika inputnya (siswa) potensial, proses berkualitas (tujuan, pendidik,

siswa, bahan, metode/sarana, dana, alat media dan manajemen), Outputnya

berkualitas (alumni) dan outcomenya baik (alumni yang bergabung dengan

masyarakat.151

Dengan demikian madrasah unggulan dapat didefinisikan sebagai

madrasah yang dikembangkan dan dikelola sebaik-baiknya dengan mengarahkan

semua komponennya untuk mencapai hasil lulusan yang lebih baik dan cakap dari

pada lulusan madrasah lainnya.152

Sebagian besar mutu pendidikan pada lembaga pendidikan Islam

khususnya madrasah di Indonesia saat ini masih dirasakan belum

menggembirakan, bahkan bisa dikatakan memprihatinkan.153 Walaupun dalam

realitanya, tidak semua Madrasah di Indonesia berstatus rendahan atau berkualitas

minim. Ada beberapa madrasah yang mampu bersaing dan menunjukkan kuali-tas

terbaiknya, baik dari sisi prestasi maupun prosesnya. Sten brink dalam

penelitiannya tentang lembaga pendidikan Islam di Indonesia menyimpulkan

bahwa saat ini pendidikan madrasah banyak yang bisa bersaing dengan pendidikan

sekolah umum.154 Adapun beberapa contoh madrasah yang sudah memiliki

prestasi yang cukup membanggakan, seperti Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN)

Malang 1, MTsN 1 dan MAN 3 Malang Jawa Timur, MI dan MTs Pembangunan

Kompleks UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, MAS Al-Irsyad Demak, Jawa Tengah

dan MAN Insan Cendikia Serpong, dan masih banyak yang lainnya. Hal ini

menunjukkan bahwa madrasah saat ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena

madrasah tersebut tidak hanya mampu bersaing dengan madrasah-madrasah

lainnya di bawah naungan Kementerian Agama, namun juga sekolah-sekolah

150Abudinata, Reposisi Madrasah dalam Memasuki Indonesia Baru, makalah

disampaikan pada seminar Evaluasi Kurikulum Madrasah Tahun 1994. Litbang Depag.

Jakarta, 6-7 Desember 2011 151Agus Maimun dan Agus Zaenul Fitri, Sekolah Unggulan Lembaga Pendidikan

Alternatif di Era Kompetitif, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h. 26. 152Sumarni, Profil Madrasah Tsanawiyah Unggul:MTs Negeri Winong, Kabupaten

Pati, Jawa Tengah Volume 13, Nomor 3, Desember 2015 153Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium

Baru (Jakarta: Logos, 2000), lihat juga dalam Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif

Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) 154 Karel Stonbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam

Kurun Modern, (Jakarta: PT LP3ES, 1996), h. 34

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 168: Pendidikan Progresif John Dewey

158

umum dibawah naungan kemendikbud, bahkan prestasi akademik maupun non

akademik kadang-kadang melebihi dari sekolah-sekolah umum.155

Sejarah membuktikan bahwa peran dan sumbangan Madrasah sangat besar

terhadap tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sumbangan itu bisa dilihat dari beberapa madrasah yang berdiri secara tradisional

atas prakarsa dan partisipasi masyarakat melalui semangat lillahi ta’ala sudah

banyak muncul di daerah-daerah terpencil. Sehingga secara kuantitatif, data

Departemen Agama RI tahun 2000-2001 menyebutkan bahwa terdapat 36.105

madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.156 Departemen Agama

mencatat bahwa jumlah lembaga pendidikan madrasah tidak kurang dari 18 % dari

seluruh lembaga pendidikan di Indonesia. Pada umumnya, 95% madrasah

berstatus swasta dan hanya sebagian kecil yang berstatus Negeri.157 Hal ini

menunjukkan bahwa motivasi masyarakat muslim untuk menyelenggarakan

pendidikan dalam bentuk Lembaga Madrasah sebenarnya sangat tinggi yang

ditandai dengan banyaknya jumlah lembaga pendidikan Islam seperti MI, MTs

maupun MA baik yang berstatus negeri maupun swasta, tetapi dalam

kenyataannya semangat dan motivasi yang tinggi tersebut belum sepenuhnya

didukung oleh sikap profesionalisme dalam penyelenggaraannya, sehingga sering

terjadi kesenjangan antara kualitas dan kuantitas dalam pengelolaan lembaga

Madrasah.

Analisa serangkaian data di atas maka MAN Insan Cendikia Serpong

sebagai Madrasah Aliyah unggulan yang secara akademik dalam upaya mencapai

sintesis ideal tersebut didukung subsidi pemerintah. Seperti, pengadaan sarana

prasarana, tenaga pendidik, rekrutmen siswa. Rekruitmen guru sebagai tenaga

pendidik dilakukan melalui selekasi ketat dan secara otonom (oleh institusi). Di

sisi lain kurikulum yang diterapkan berorientasi terhadap pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang diintegrasikan dengan penguasaan agama, yaitu,

melalui pembelajaran yang bertumpu pada tiga bidang hadlarah dengan

mengadopsi sistem boarding dari pesantren. Dengan demikian potret MAN Insan

Cendikia Serpong sebagai madrasah pencetak calon saintis berkarakter Islam ini

bisa menjadi model bagi pengembangan Madrasah Akademik di daerah lainnya.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki peran sebagai

pewarisan budaya melalui pendidikan yang bersistem nilai dan kepercayaan,

pengetahuan dan norma-norma serta adat kebiasaan dan berbagai perilaku

155Djoyonegoro, Lima Tahun Mengemban Tugas Pengembangan SDM. Tantangan

yang tiada hentinya. (Jakarta: Balitbang: Depdikbud) 156Mastuki, Seri Informasi Pendidikan Islam No.6, Menulususri Pertumbuhan

Madrasah di Indonesia. (Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Kelembagaan

Agama Islam, Bagian Proyek EMIS Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar, 2001). 157Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an (Pergulatan

Membangun Tradisi dan Aksi Penidikan Islam). (Malang: Aditya Media bekerjasama

dengan UIN Malang Press. 2004), h. 216.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 169: Pendidikan Progresif John Dewey

159

tradisional yang telah membudaya pada satu generasi ke generasi berikutnya158. Di

lain pihak madrasah juga berperan sebagai agent of change yang berupaya untuk

membuang unsur budaya lama yang dipandang tidak cocok dan perlunya

memasukkan unsur budaya baru159. Keberadaan madrasah begitu penting dalam

menciptakan kader-kader bangsa yang berwawasan keislaman dan berjiwa

nasionalisme yang tinggi. Menurut Subhan160, salah satu kelebihan yang dimiliki

madrasah adalah adanya integrasi ilmu umum dan ilmu agama. Namun demikian

kita tidak bisa menampik kesan bahwa madrasah terlihat masih jalan di tempat

walau terdapat beberapa madrasah yang relatif bagus seperti: MAN Insan

Cendikia, MAN Malang dan Madrasah Aliyah lainnya. Akan tetapi jumlahnya

masih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan madrasah. Bahkan

sampai saat ini masih ada image masyarakat terhadap madrasah yang sering

mengidentikkan dengan lembaga pendidikan second class, tidak maju, kumuh dan

citra negatif lainnya masih sering menempel di madrasah yang harus diubah

dengan cara unjuk prestasi dan unjuk bukti. Menurut Suryadi161, permasalahan

utama dalam lembaga pendidikan Islam adalah berkenaan dengan pengelolaan

atau manajemennya. Hal tersebut mempengaruhi rendahnya kualitas lembaga

pendidikan Islam Indonesia.

Dengan demikian, untuk mewujudkan madrasah yang unggul dan bagus,

diperlukan strategi-strategi yang harus dikembangkan untuk menciptakan citra

positif madrasah sehingga dapat mendorong akselerasi peningkatan kualitas

madrasah. Oleh sebab itu, Kementerian Agama secara spesifik membuat program

khusus unggulan bagi madrasah. Hal tersebut dapat dilihat dalam KMA Nomor 60

Tahun 2015 yang berbunyi: “Kementerian menyelenggarakan paling sedikit 1

(satu) Madrasah Aliyah Negeri Unggulan di setiap provinsi (pasal 1); Masyarakat

dapat menyelenggarakan Madrasah Aliyah Unggulan (pasal 2); Madrasah Aliyah

unggulan bertahap berupa: a) Madrasah Akademik; b) Madrasah Keterampilan dan

c) Madrasah Keagamaan (pasal 3) Kementerian menyusun peta pengembangan

mutu madrasah sacara terencana, berjenjang, bertahap dan berkelanjutan

berdasarkan hasil akreditasi madrasah, ujian nasional, ujian akhir madrasah

berstandar nasional dan criteria lainya (pasal 4). Peta pengembangan dimaksud

ayat (3) digunakan untuk menyusun rencana strategis dan rencana tahunan

pengembangan mutu madrasah secara nasional (pasal 5). Kementerian Agama

bekerja sama dengan pemerintah daerah dan/atau masyarakat dalam pengembngan

158Ida Rochmawati, Optimalisasi Peran Madrasah dalam Pengembangan Sistem

Nilai Masyarakat, 2012, h.164 159Alif Nurlaila, Strategi Kepala Madrasah alam Meningkatkan Citra Madrasah di

Madrasah Aliyah Negeri Kandat, Tesis, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana

Malik Ibrahim Malang, 2015 160Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan

antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) 161Suryadi, Manajemen Mutu Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Sarana Panca Karya

Nusa. 2009), h.28

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 170: Pendidikan Progresif John Dewey

160

mutu madrasah (pasal 6). Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaran

Madrasah Aliyah Unggulan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)

ditetapkan oleh Direktur Jenderal (pasal 7)”. Namun demikian, untuk mewujudkan

madarasah unggulan seperti di atas perlu persiapan panjang dan matang,

mengingat ada beberapa permasalahan yang biasa menjadi penyebab kemandegan.

Menurut Rohiat162, tiga faktor utama penyebab rendahnya kualitas pendidikan

Indonesia, sebagaimana yang disampaikan oleh Husaini Usman, yaitu; 1)

Penyelenggaraan pendidikan menekankan pada hasil tidak konsisten; 2)

Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara terpusat dan tidak holistik; 3) Peran

serta masyarakat dalam dunia pendidikan sangat minim.

Bagi madrasah, secara rinci dapat dikemukakan beberapa pokok

permasalahan baik pada tingkat pengelolaan maupun kebijakan sebagai berikut:

Pertama, kurikulum madrasah yang belum fokus. Hal ini terlihat banyaknya

materi yang diajarkan sementara waktu tidak memadai. Pada tingkat Aliyah,

misalnya siswa yang ingin mendalami ilmu-ilmu keagamaan masih juga dibebani

mata pelajaran lain yang tidak relevan dalam jumlah yang cukup banyak.

Sebaliknya siswa yang mengambil jurusan IPA harus pula dibebani dengan

banyaknya mata pelajaran lain yang tidak berhubungan secara langsung. Hal lain,

pada kurikulum madrasah masih terdapat duplikasi materi yang diajarkan

berulangulang pada mata pelajaran yang berbeda dan juga pada tingkat yang

berbeda. Kedua, pengembangan madrasah masih bersifat tambal sulam. Hal ini

terlihat dengan adanya program “keterampilan” yang ditempelkan pada program

regular. Hal tersebut sebagai respon terhadap tingginya lulusan Madrasah Aliyah

yang tidak bisa melanjutkan pada jenjang Pendidikan Tinggi. Program-program

tersebut sangat banyak manfaatnya, namun tidak semua MA bisa menjaga

keberlangsungan program tersebut. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka

perlu dikembangkan madrasah-madrasah unggul dengan manajemen yang

profesional dalam rangka meningkatkan mutu atau kualitas pendidikan, khususnya

pendidikan yang berbasis agama. Inovasi pendidikan khususnya madrasah sangat

penting dilakukan, seiring dengan dinamika sosial dan pembangunan yang berjalan

semakin cepat. Inovasi madrasah untuk pembangunan berkelanjutan menjadi

sangat penting, mengingat saat ini Indonesia mempunyai persoalan yang semakin

serius dalam dunia pendidikan, akibat dari krisis multi dimensi. Madrasah Aliyah

Negeri Insan Cendikia (MAN IC) Serpong merupakan salah satu bentuk Madrasah

Aliyah Akademik unggulan, yang berangkat dari keinginan untuk menciptakan

madrasah yang menjadi central for excellence. Dengan tujuan, mempersiapkan

sumber daya manusia yang siap pakai untuk masa depan. MAN-IC, yang didirikan

dengan semangat Islam-Modernis, merupakan madrasah percontohan, terutama

dalam pembelajaran agama, sains dan teknologi. Sekarang lembaga ini tidak

hanya ditantang oleh tantangan lama, yaitu menemukan karakter keislaman dan

ke- Indonesiaan dan tantangan modernisasi, melainkan juga tantangan baru, yaitu

162 Rohiat, Manajemen Sekolah, (Bandung: Refi kaditama, 2010), h. 13

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 171: Pendidikan Progresif John Dewey

161

demokratisasi (termasuk otonomi daerah) dan globalisasi163. Berdasarkan data

dokumentasi, tingkat kelulusan mendekati angka seratus persen dan sebagian

besar alumninya diterima di perguruan tinggi ternama (ITB, UI, UGM, ITS, IPB,

dan sejenisnya). Bahkan sebagian di antaranya telah mendapatkan beasiswa di

berbagai negara seperti Jepang, Jerman, Australia, Malaysia, Mesir, dan

Singapura. Hal ini membuktikan bahwa sistem pendidikan madrasah yang

ditangani secara profesional telah mampu bersaing dalam tingkat internasional.

Pada tahun pelajaran 2015-2016 Kementerian Agama RI melalui Direktorat

Pengembangan Madrasah Aliyah Akademik (Studi MAN Insan Cendikia Serpong)

.Pendidikan Islam telah mengembangkan MAN Insan Cendikia di berbagai daerah

sebagai model pendidikan madrasah nasional yang unggul, berwawasan keislaman

rahmatan lil ‘alamin, dan berkarakter Pancasila. Pengembangan madrasah baik di

daerah maupun di perkotaan memiliki akses yang sama dalam perbaikan yang

berkelanjutan untuk membangun citra yang positif di masyarakat.

Lembaga pendidikan Islam yang keberadaannnya merata di wilayah

daerah maupun perkotaan memerlukan penanganan serta perhatian yang serius.

Peluang pendidikan Islam dalam memberikan layanan pendidikan yang berkualitas

amat diperlukan mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam.164

Pembangunan dan pengembangan sektor pendidikan tidak akan pernah mencapai

tujuan akhir yang sempurna dan final. Hal ini terjadi karena konteks pendidikan

selalu dinamis, berubah dan tidak pernah konstan, sesuai dengan perubahan

masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih-lebih dalam era global. Di

era global ini terjadi proses globalisasi yang bersifat universal dan

internasionalitas. Menurut H.A.R Tilaar, bahwa era global itu ditandai dengan

“dunia tanpa batas (borderless world), kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi

dan aplikasinya di dalam kehidupan manusia, kesadaran terhadap hak dan

kewajiban asasi manusia (human rights and obligations), dan kerjasama serta

kompetisi antarbangsa (mega competition society)”165. Dengan demikian, mencari

orientasi yang tepat ke depan untuk merespon geostrategi budaya bagi madrasah

di Indonesia dan MAN Insan Cendikia khususnya, merupakan kebutuhan strategis

yang dapat disumbangkan kepada umat. Sejauh ini umat dan juga madrasah

tampak terserak-serak dan globalisasi tampak telah membuahkan polarisasi: di

satu pihak oleh tarikan globalisme Islam dan di lain pihak oleh tarikan demokrasi

Barat. Sementara tuntutan keseimbangan, yang sekaligus memperhatikan tuntutan

lokalisme yang memberikan identitas asli di satu pihak dan menghadapi

tumbuhnya tantangan atau peluang yang diberikan oleh konfusianisme merupakan

titik gelap (black-spot) dalam orientasi bagi sebagian besar madrasah, bahkan

163Makmuri Sukarno, Ana Saidi dan Marzuki Wahid, Rapid Assesment:

Mengembangkan Model, 2013 164Bimas Islam, Index Jumlah Pesebaran Umat Beragama. (Jakarta: Kementerian

Agama Republik Indonesia, 2011) 165H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta,

2014)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 172: Pendidikan Progresif John Dewey

162

hampir semua sekolah di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, guna mendukung

program revitalitasi dan pengembangan Madrasah Insan Cendikia ke berbagai

daerah, Balai Litbang Agama Jakarta telah melakukan penelitian mendalam

terkait bagaimana model MAN Insan Cendikia yang lebih baik. Dan agar dapat

dirumuskan madrasah sebagai model yang aplikatif agar bisa direplikasi di tempat

lain serta mampu mendorong munculnya keunggulan lokal yang khas.

Permasalahan ini diteliti dengan tujuan untuk mengembangkan model MAN Insan

Cendikia yang dapat direplikasi di berbagai daerah yang menjadi sasaran program

pendidikan Kementrian Agama RI. Kerangka Konsep Pengembangan Pendidikan

Pengembangan pendidikan menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan dari

masa ke masa. Isu ini selalu juga muncul tatkala orang membicarakan tentang hal-

hal yang berkaitan dengan pendidikan.

Dalam pengembangan pendidikan, secara umum dapat diberikan dua buah

model pengembangan yaitu: Pertama, top-down model, yaitu pengembangan

pendidikan yang dilakukan oleh pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang

diterapkan kepada bawahan; Kedua, bottom-up model, yaitu model

pengembangan yang bersumber dan hasil kerja dari bawah, dilaksanakan sebagai

upaya meningkatkan penyelenggaraan dan mutu pendidikan. Pengembangan

pendidikan di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan empat strategi dasar,

yaitu: Pertama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Kedua,

relevansi. Ketiga, peningkatan kualitas. Kempat, efisiensi. Secara umum, strategi

tersebut dapat dibagi menjadi dua dimensi yang meliputi peningkatan mutu dan

pemerataan pendidikan. Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat

meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pendidikan. Dimensi

pemerataan pendidikan diharapkan apat memberikan kesempatan yang sama

dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah166. Peningkatan mutu,

relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan, lembaga pendidikan madrasah

memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan jenis sekolah lainnya. Menurut

Mulyono167, keunggulan paling unggul yang dimiliki madrasah antara lain: daya

hidup (survival), daya juang, daya tahan, daya adaptasi maupun evolusi, dan daya

keanekaragaman (varitas). Daya hidup, daya juang dan daya tahan madrasah dapat

dibuktikan bahwa madrasah mampu hidup di segala zaman dan keadaan, yaitu,

sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang, kemerdekaan, revolusi politik orba, Orde

Baru, reformasi hingga abad 21 yang semakin menunjukan eksistensinya.

Pengembangan madrasah unggulan tidak dapat ditangani secara persial atau

setengah-setengah. Tetapi memerlukan pemikiran pengembangan yang utuh dan

komprehensif serta langkah dan upaya yang visibel, fleksibel dan kredibel.

Bahkan, ketika dihadapkan pada kebijakan pembangunan nasional bidang

166Leutuan, Harun Al Rasyid. "Strategi Pengembangan Pendidikan di Indonesia",

dalam https:// harunalrasyidleutuan.wordpress.com, diunduh pada tanggal 15 April 2017 167Mulyono, El-Hikmah (Jurnal Kependidikan dan Keagamaan) Volume VIII

Nomor 1. (Malang: Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang, 2010)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 173: Pendidikan Progresif John Dewey

163

pendidikan yang mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata

sosial yang kuat dan berwibawa.

Tujuan utama dan pertama adalah untuk memberdayakan semua warga

Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga

mampu dan pro aktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah Hal tersebut

sejalan dengan teori Human Capital yang menyebutkan bahwa investasi sumber

daya manusia sangat ditentukan oleh harapan nilai balik budaya dan

sosialekonomi seumur hidup yang dibayangkan lebih tinggi daripada kesempatan

yang hilang.168 Teori ini dapat menerangkan mengapa anak-anak dan anak muda

lebih menguntungkan untuk menerima investasi pada pendidikan, di samping

bermigrasi dan mencari kerja ke tempat yang padat jenis pekerjaan. Karena,

mereka cenderung akan menerima nilai baik investasi yang lebih tinggi

dibandingkan kelompok usia lainnya. Pendidikan generasi muda, dalam

hubungannya dengan investasi ke depan adalah merupakan tenaga yang

diharapkan sebagai kekuatan untuk melakukan reproduksi dan transformasi

budaya, sosial dan ekonomi di masa depan. Oleh karena itu pendidikan atau

pelatihan generasi muda menjadi prioritas investasi, baik oleh masyarakat, negara,

maupun dunia usaha/perusahaan.

Pengembangan MAN IC adalah model satuan pendididikan yang

memadukan Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan pengayaan pada bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi sebagai ciri khas utamanya. Institusi pendidikan ini

dibangun dan dikembangkan bertujuan untuk: 1) Menghasilkan lulusan yang

berkarakter Islami, berwawasan keindonesiaan, kebangsaan, internasional dan

kemanusiaan; 2) Menghasilkan lulusan yang menguasai dasar-dasar ilmu

pengetahuan keislaman, sains, teknologi, ilmu sosial dan seni budaya untuk

meraih prestasi baik tingkat nasional maupun internasional; 3) Membentuk

lulusan yang berkarakter dan mampu melakukan perubahan yang didasari oleh

prinsip-prinsip Islam rahmatan lil’alamin. Pembangunan dan pengembangan MAN

IC dilakukan di seluruh Indonesia untuk pemerintah daerah yang memenuhi syarat

dan menyatakan kesediaan untuk bekerjasama dalam pelaksanaan pembangunan

dan pengembangan MAN IC, sesuai dengan pedoman sarana prasarana yang telah

disetujui oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam. Kebijakan Kementerian Agama

RI terhadap pelaksanaan pembangunan dan pengembangunan MAN IC dilakukan

secara terencana sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan, dan

sistem penjaminan mutu pendidikan nasional. Berdasarkan pengalaman dalam

pengelolaan madrasah, Kementerian Agama menyadari sepenuhnya bahwa

keterlibatan Pemerintah Daerah sangat penting agar madrasah dapat berkembang

dengan baik sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan

168Gary Becker. Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with

Special Reference to Education. (New Yourk and London: Colombia University Press,

1975), h. 9

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 174: Pendidikan Progresif John Dewey

164

Kementerian Agama untuk membangun dan mengembangkan MAN IC di setiap

provinsi dikembangkan dalam format kemitraan dengan ketentuan-ketentuan yang

diuraikan dalam buku pedoman pembangunan lembaga pendidikan tersebut.

MAN IC Serpong lahir karena dorongan kebutuhan ideal yaitu kemauan

keras mewujudkan lembaga pendidikan setingkat sekolah menengah atas berbasis

madrasah yang lulusanya (output) kuat di bidang iptek sekaligus kuat di bidang

ketakwaan atau keagamaan. Hal tersebut sebagai wujud pedulian dalam memberi

jawaban terhadap tantangan strategis yang dihadapi umat waktu itu, yaitu,

terutama kelemahan dan kesenjangan di bidang imtak dan iptek. Bagian penting

dari komitmen MAN IC Serpong untuk mencapai sintesis ideal itu adalah antara

lain: Subsidi pemerintah yang kuat untuk sarana prasarana dan subsidi bagi siswa.

Di sisi lain, rekrutmen guru dan siswa secara otonomi serta kurikulum yang tajam

dan fokus pada pengembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sisi

lain, yang tidak kalah penting adalah system metodologi pembelajaran yang

diintegrasikan dengan penguasaan aga yang bertumpu pada 3 bidang hadlarah

dengan mengadopsi sistem boarding dari pesantren.

Sistem MAN IC Serpong dengan model asrama ini telah menunjukkan

keberhasilan yang menonjol. Mulai dari tingkat kelulusan yang mencapai 100%

(seratus persen), jumlah lulusan yang banyak diterima di perguruan tinggi favorit

(ITB, UGM, UI, IPB, UNAIR dan sebaginya) sampai menerima beasiswa ke luar

negeri. Seperti, Amerika, Rusia, Australia, Singapura, Jepang, Mesir dan

sebaginya telah menjadi kebanggan tersendiri. Potret madrasah pencetak calon

saintis berkarakter Islam ini bisa menjadi model bagi pengembangan MAN IC

yang lainnya di wilayah Nusantara ini. Pengembangan MAN IC keberbagai daerah

tidak dapat ditangani secara persial atau setengah-setengah. Tetapi hendaknya

melalui pemikiran pengembangan yang utuh dan komprehensif serta langkah dan

upaya yang visibel, fleksibel dan kredibel. Hal tersebut penting dipertimbangkan

terutama ketika dihadapkan pada kebijakan pembangunan nasional bidang

pendidikan yang mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata

sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara

Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan

pro aktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Untuk itu, kunci

pengembangan MAN IC Serpong, harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:

Penyamaan visi dan misi, ketersediaan tenaga pendidikan yang profesional,

kelengkapan sarana dan prasarana, sistem manajemen profesional yang modern,

transparan dan demokratis, serta adanya kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat dan tantangan dunia modern. Selain itu madrasah perlu senantiasa

meningkatkan kualitas, mengembangkan inovasi dan kreativitas, membangun

jaringan kerjasama (networking), dan memahami karakteristik pelaksanaan

otonomi daerah. Dengan demikian, input dan output menjadi baik sesuai yang

dibutuhkan masyarakat pendukung. Berdasarkan hal tersebut di atas

direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 175: Pendidikan Progresif John Dewey

165

1. Semangat awal pendirian MAN IC Serpong dimaksudkan untuk

memprioritaskan para santri agar menguasai sains dan teknologi, maka

penerimaan peserta didik hendaknya diprioritaskan dari lulusan Madrasah

Tsanawiyah dan Pesantren. Misalnya melalui kuota, yang besarannya

disesuaikan proporsi demografis santri/ MTs. di daerah yang

bersangkutan, dan tetap menggunakan seleksi yang ketat.

2. Model rekrutmen guru yang didasarkan pada keahlian, profesionalitas, dan

kompetensi sosial dan bukan pada semata-mata kriteria formal

(sertifikasi) atau kriteria subjektifitas lainnya, telah menghasilkan guru

yang memiliki komitmen, maka model ini hendaknya tetap dipertahankan.

3. Salah satu tujuan MAN IC Serpong adalah mencetak para santri ahli

dalam bidang sains dan teknologi. Maka perlu ditegaskan kembali visi-

misi tersebut; dalam bentuk desain akademik yang riil. Perlu ditinjau

kembali program tahfiz Al-Qur'an. Sementara untuk program

pembelajaran dan penilaian sains harus ditingkatkan.

4. Keberhasilan MAN IC Serpong bisa direplikasi di berbagai daerah, dengan

mempertimbangkan secara mendalam keseimbangan pembiayaan, yaitu:

negara (state), dunia usaha (market) dan masyarakat (society) hingga

akhirnya keberadaan MAN IC akan lebih lestari karena relatif tidak

bergantung sepenuhnya pada politik pendidikan pemerintah yang

cenderung berubah-ubah.

5. MAN IC di masa yang akan datang dituntut profesionalisme dan tuntutan

jaman, maka diperlukan badan otonomi khusus, (semacam Gugus Tugas)

di tingkat Pusat yang tugas utamanya melakukan perencanaan,

pelaksanaan, evaluasi seluruh program yang berkaitan dengan MAN IC

seluruh Indonesia.

D. Problematika Madrasah Di Indonesia

Sebagai upaya inovasi dan revitalisasi dalam Sistem Pendidikan Islam,

madrasah khususnya Madrasah aliyah tidak bisa lepas dari berbagai problema

yang dihadapi. Problema-problema tersebut menurut Darmu’in, antara lain:

Pertama, Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan

madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa

pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia.

Kedua, Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah.169 Dengan demikian,

maka di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah biasa karena memiliki

muatan secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain,

madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian

dikenal dengan madrasah diniyah. Sebagai sub sistem pendidikan nasional,

169Darmuin. Prospek Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah terhadap

Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama Fak. Tarbiyah lAIN

Walisongo Semarang. 2002).

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 176: Pendidikan Progresif John Dewey

166

madrasah belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan

lainnya. Efek pensejajaran madrasah dengan sekolah umum yang berakibat

berkurangnya proporsi pendidikan agama dari 60% agama dan 40% umum

menjadi 30% agama dan 70% umum dirasa sebagai tantangan yang melemahkan

eksistensi pendidikan Islam khususnya madrasah.

Beberapa permasalahan yang muncul kemudian, antara lain: pertama, Berkurangnya muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upaya

pendangkalan pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum

keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri dirasa belum mampu

mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi. Akhirnya terjadi

tamatan/lulusan madrasah serba tanggung, yaitu pengetahuan agamanya tidak

mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah. Kedua, kesenjangan

antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya juga menjadi

masalah yang belum tuntas diselesaikan. Kesenjangan tersebut meliputi beberapa

hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan

sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak

langsung kepada mutu pendidikan. Masalah tersebut muncul karena adanya SKB

tiga menteri yang belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain

dari departemen terkait.170

Hasil penelitian171 menyatakan peningkatan mutu pendidikan sangat

berkaitan erat dengan masalah SDM, oleh karena itu proses rekrutmen SDM

merupakan hal yang sangat penting sekali dan hanya akan dapat diperoleh melalui

upaya rekrutmen yang efektif. Oleh karena itu beberapa aspek guru professional

yang harus menjadi perhatian adalah mekanisme penerimaan, pembinaan

profesional, pengembangan karir dan tingkat kesejahteraan guru. tenaga pendidik

dalam lembaga pendidikan di sekolah adalah berusaha mencari guru yang

memiliki kompetensi, kecakapan dan ahli dalam mendidik dan mengajar sesuai

bidangnya di samping itu yang sangat penting dimiliki oleh seorang guru adalah

sifat jujur serta memiliki jasmani yang sehat sehingga dapat menjalankan

tugasnya dalam mencerdaskan anak bangsa. Berdasarkan firman Allah SWT

dalam surah Al-Qoshos ayat 26 sebagai berikut172 “Salah seorang dari kedua

wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada

kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk

bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".”

170 Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas. (Bandung: Mizan, 1998) 171 K.A. Rahman, Ardiansyah, dan Marwazi, dalam jurnalnya Rekrutmen Tenaga

Pendidik dalam Peningkatan Mutu Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia Jambi Nadwa

Jurnal Pendidikan Islam Vol. 9, Nomor 1, April 2015 172 QS al-Qoshos 28:26

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 177: Pendidikan Progresif John Dewey

167

Pendidikan bermutu adalah pendidikan yang mampu melakukan proses

pematangan kualitas peserta didik yang dikembangkan dengan cara membebaskan

peserta didik dari ketidaktahuan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan,

ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan dari buruknya akhlak dan keimanan.

Pendidikan bermutu lahir dari sistem perencanaan yang baik (good planning system) dengan materi dan sistem tata kelola yang baik (good governance system) dan disampaikan oleh guru yang baik (good teachers) dengan komponen

pendidikan yang bermutu, khususnya guru.173

E. Mutu MAN Insan Cendikia Serpong

Pada era kontemporer dunia pendidikan model pengelolaannya berbasis

industri. Pengelolaan model ini mengandaikan adanya upaya pihak pengelola

institusi pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan

manajemen perusahaan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih

populer dengan sebutan istilah Total Quality Education (TQE), dasar dari

manajemen ini di kembangkan dari konsep Total Quality Management (TQM),

yang pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis kemudian diterapkan pada dunia

pendidikan.174

Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada masukan,

proses, luaran, dan dampaknya. Mutu masukan dapat dili-hat dari beberapa sisi.

Pertama, kondisi baik atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala

sekolah, guru, laboran, staf tata usaha, dan siswa. Kedua, memenuhi atau tidaknya

kriteria masukan meterial berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, prasarana,

sarana sekolah, dan lain-lain. Ketiga, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan

yang berupa perangkat lunak, seperti peraturan, struk-tur organisasi, deskripsi

kerja, dan struktur organisasi. Keempat, masukan yang bersifat harapan dan

kebutuhan, seperti visi, motivasi, ketekunan, dan cita-cita.175

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan, maka yang dimaksud dengan

mutu madrasah pada penelitian ini adalah madrasah yang memiliki dan

melahirkan peserta didik yang berkualitas dengan segudang prestasi baik prestasi

yang sifatnya di dalam (intern) madrasah maupun di luar (ekstern) madrasah,

sehingga madrasah ini dikenal dengan sebutan madrasah yang bermutu dan

berkualitas. Adapun indikator pencapaian mutu madrasah yang paling menonjol

173Dedi Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2012), h.120 174Edward Sallis, Total Quality Management In Education, (Jogjakarta: IRCiSoD,

2006), h.5 175Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah dari Birokrasi ke Lembaga

Akademik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.53

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 178: Pendidikan Progresif John Dewey

168

saat ini adalah (1) Mutu input pembelajaran, (2) Mutu proses pembelajaran, dan

(3) Mutu output pembelajaran.176

Pendirian madrasah model termasuk di dalamnya Madrasah Aliyah Negeri

IC Serpong adalah perwujudan dari kebijakan dari Kementrian Agama RI untuk

meningkatkan kualitas pendidikan madrasah. Oleh karena itu tujuan program ini

dimaksudkan untuk menghasilkan out put pendidikan yang memiliki keunggulan:

1) keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2) nasionalisme dan

patriotisme yang tinggi, 3) wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi, 4) motivasi

dan komitmen yang tinggi untuk mencapai prestasi dan keunggulan serta memiliki

kepribadian yang kokoh, 5) kepekaan sosial dan kepemimpinan, serta 6) disiplin

yang tinggi dan kondisi fisik yang prima.177 Dengan tujuan tersebut di atas, maka

sasaran yang hendak dicapai dalam mendirikan madrasah model adalah

menjadikan Madrasah Model sebagai: 1) lembaga pendidikan yang berkualitas, 2)

lembaga pendidikan yang mampu mendemonstrasikan proses pembelajaran yang

konprehensif dan memfokuskan kegiatannya pada upaya memfasilitasi proses

belajar siswa aktif, dinamis, mandiri dan mantap, 3) lembaga pendidikan

percontohan yang mampu menyebarluaskan kinerja profesionalnya bagi

pembinaan dan pengembangan pengelolaan madrasah lain yang sejenis, negeri

maupun swasta melalui Pusat Sumber Belajar Bersama (PSBB).178 Dalam rangka

mewujudkan tujuan dan sasaran di atas, maka pemerintah menyusun langkah-

langkah konkrit yang meliputi beberapa aspek yang tergambar sangat ideal

tentang pelaksanaan pendidikan di Madrasah Model serta mengarah kepada

pencapaian tujuan tersebut, sebagaimana yang dikemukakan Sumardi sebagai

berikut:

1. Kurikulum

MAN IC Serpong sebagai sebuah lembaga pendidikan menengah perlu

mengubah realitas tersebut, yaitu melalui upaya pengembangan keilmuan menjadi

satu bangunan keilmuan dengan menggunakan pendekatan integrasi interkoneksi.

Dengan demikian, semua mata pelajaran yang dikembangkan tidak lagi mata

pelajaran yang berdiri sendiri, melainkan saling berkaittan satu dengan yang lain.

Sehingga mermajadi satu bangunan ilmu yang saling melengkapi dan

menyempurnakan. Pendekatan yang mengkaitkan ilmu agama dengan sains dan

teknologi dijadikan pola bersama dengan menerapkan metodologi yang terus

menerus dikembangkan. Penerapan pendekatan integratif interkonektif tersebut,

MAN IC Serpong diharapkan menjadi pelopor, yaitu, dalam upaya menjembatani

176 Euis Karwati dan Donni Juni Priansa, Kinerja dan profesionalisme kepala

sekolah Membangun Sekolah yang bermutu, (Bandung: Alfabeta, 2013) h. 54 177Departemen Agama RI., Pedoman Penyusunan Master Plan MA Model,

(Jakarta: proyek Pengembangan Madrasah Aliyah Direktorat Pembinaan Perguruan Agama

Islam, 1997/1998), h. 13-14 178Mulyanto Sumardi dan Didin Syaifuddin, Pedoman Pengembangan dan

Pengelolaan Madrasah Model, (Jakarta: BEP, 2000), h. 2

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 179: Pendidikan Progresif John Dewey

169

dikotomi ilmu pengetahuan yang sudah demikian menyejarah untuk mencapai

ilmu pengetahuan yang integratif dan interkonektif. Diharapkan, pada gilirannya

dapat mengantarkan alumni yang profesional, berpandangan luas, menguasai sains

dan teknologi sekaligus Islamis yang humanis. Desain Akademik Integrasi dan

interkoneksi ketiga bidang hadlarah tersebut diharapkan dapat melahirkan alumni

MAN IC Serpong yang kuat akidah, luas dan dalam pemikiran, serta ahli di

bidangnya. Sehingga, alumni MAN IC Serpong dapat diterima di perguruan-

perguruan tinggi terkemuka, baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk

mewujudkan cita-cita tersebut diperlukan sebuah rancangan kurikulum yang

integratif. Kurikulum merupakan pemandu utama bagi penyelenggaraan

pendidikan secara formal. Di sisi lain, menjadi pedoman bagi setiap guru, kepala

madrasah, dan kerangka (frame work) proses pendidikan pada lembaga

bersangkutan. Singkatnya kurikulum sebagai pengejawantahan dari tujuan-tujuan

pendidikan yang ingin dicapai. Dialog keilmuan di MAN IC Serpong, selain

bersifat integratif dan interkoneksitas internal ilmu-ilmu keislaman, juga

dikembangkan integritas dan interkoneksi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu

umum. Integrasi dan interkoneksi keilmuan ini diwujudkan dan dikembangkan di

dalam kelas dan aktivitas di luar kelas.

MAN IC Serpong yang akan dijadikan sebagai model percontohan MAN IC

di daerah lain harus bisa menemukan pola yang aplikatif, yaitu dengan maksud

agar dapat direplikasi di tempat lain serta mampu mendorong munculnya

keunggulan lokal yang khas. Hal itu sangat ditentukan oleh desain kurikulum yang

akan digunakan. Kurikulum yang akan dikembangkan harus mengakomodasi

tuntutan kebutuhan masyarakat dan perubahan global. Kurikulum yang

dikembangkan di samping mengacu pada standar isi dan proses, juga mengacu

pada visi dan misi madrasah, yaitu yang dirumuskan berdasar pada potensi yang

dimiliki oleh daerah serta karakteristik yang menjadi ikon madrasah bersangkutan.

Karena status madrasah pada semua jenjang telah disamakan (eguivalen) dengan

sekolah umum, maka kurikulum komponen pendidikan umum madrasah

sepenuhnya (100%) mengikuti kurikulum yang ditetapkan Diknas. Dengan

demikian isi pendidikan madrasah tidak lagi memiliki perbedaan yang terlalu

subtansial dan sustantif dengan sekolah umum. Padahal, madrasah sesuai dengan

akar eksistensi dan pengalaman histories, semestinya memiliki ciri dan karakter

pendidikan Islam. Oleh karena itu, madrasah perlu mengembangkan kurikulum

pendidikan Islam, baik melalui celah muatan lokal, maupun dengan penambahan

waktu belajar yang khusus untuk materi keislaman.179

Berdasarkan hal tersebut di atas, sebagai sebuah madrasah yang dirancang

dengan sistem sekolah berasrama (boarding school), maka kurikulum didesain

mencakup tidak hanya kegiatan pembelajaran di kelas, akan tetapi termasuk juga

179Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kompas,

2002), h. 115

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 180: Pendidikan Progresif John Dewey

170

dalam kegiatan peserta didik selama berada di asrama. Kegiatan di asrama

menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan kegiatan di kelas.

Konsekuensi pada tataran implementasi kurikulum adalah menghindari

pembatasan waktu antara pembelajaran formal di kelas dan pembelajaran

nonformal di asrama. Dengan kata lain, tidak ada lagi pemilahan antara

pembelajaran asrama dan kelas. Esensinya pembelajaran yang telah diprogramkan

dan didesain dalam kurikulum dapat dilakukan di kelas, di perpustakaan, di

laboratorium, di masjid, di asrama, atau di lingkungan madrasah. Dalam konteks

ini dipandang perlu memberikan poin-poin sebagai penekanan dalam

mengembangkan kurikulum MAN IC dengan tidak meninggalkan prinsip dan ruh

pengembangan Kurikulum 2013 yang diamanahkan oleh Kementerian Agama.

Oleh sebab itu, kurikulum MAN IC Serpong menganut prinsip-prinsip sebagai

berikut: 1) Mengikuti Standar Nasional Pendidikan; 2) Berbasis Islam Indonesia;

3) Menghargai kebhinekaan Nusantara; 4) Mengkaitkan antara teori, praktik, dan

transformasi; 5) Menyeimbangkan aspek kognisi, afeksi, dan psikomotor; dan 6)

Menyeimbangkan kecerdasan: intelektual, emosional, spiritual, dan sosial. Dengan

pertimbangan tersebut, struktur kurikulum MAN IC Serpong merupakan bentuk

pengembangan struktur Kurikulum 2013. Bentuk pengembangan dilakukan

berdasarkan pada visi dan misi MAN IC Serpong dan juga mempertimbangkan

berbagai aspek yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik serta tuntutan.

Kurikulum ini dikembangkan dengan mempertim-bangkan kebutuhan peserta

didik dan memperhatikan kondisi serta potensi lingkungan daerah di wilayah

madrasah berada.

Struktur kurikulum MAN IC Serpong disesuaikan dengan orientasi visi dan

misi yang telah dirumuskan. Struktur kurikulum didasarkan pada jurusan yang

dibuka dan dikembangkan. Struktur kurikulumnya meliputi: Pertama, Program

bersama yang diikuti oleh seluruh peserta didik pada kelas X. program bersama

meliputi: 1) Mata Pelajaran; 2) Muatan Lokal; dan 3) Pengembangan Diri. Kedua,

Program Jurusan (IPA dan IPS). Struktur kurikulum pada program ini berbeda-

beda sesuai dengan jurusan yang diikuti peserta didik setelah memasuki kelas XI

dan XII. Perbedaan yang menyolok tentu saja pada mata pelajaran yang diberikan.

Program IPA mata pelajarannya lebih berorientasi pada rumpun mata pelajaran

IPA. Demikian halnya Program IPS berbasis pada rumpun mata pelajaran IPS.

Sementara Muatan Lokal dan Pengembangan Diri bisa bermuatan sama kendati

pun program studi yang berbeda. Ketiga, Program Khusus. Program ini diikuti

oleh seluruh peserta didik baik pada program bersama (kelas X) maupun program

jurusan (kelas XI. XII), program khusus merupakan pengembangan dari. Struktur

kurikulum pada poin (1) dan (2) yang bertujuan mengakomodasi tuntutan visi dan

misi madrasah yang telah dirumuskan yang menunjukkan ciri khas MAN IC.

Program Khusus meliputi: a) Program Penambahan Alokasi Waktu. Program ini

berupa penambahan alokasi waktu pada mata pelajaran tertentu yang telah

ditetapkan dalam standar isi dan standar proses. Program ini dimaksudkan untuk

menunjang dan mendukung penguasaan ke dalam materi oleh peserta didik. b)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 181: Pendidikan Progresif John Dewey

171

Program Penambahan Mata Pelajaran. Program ini dilakukan untuk memfasilitasi

tuntutan visi, misi, dan profil lulusan yang belum terakomodasi dalam mata

pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. c) Program Kunjungan Sosial.

Kegiatan ini dilakukan secara terprogram dan terstruktur dalam struktur

kurikulum. Program ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan aspek

kepekaan sosial peserta didik. Program ini dapat dialokasikan setiap akhir pekan.

Sistem Pembelajaran Sistem pembelajaran di MAN IC Serpong yang ditawarkan

mencakup tiga bagian yaitu: 1) Moving Class; merupakan pola pembelajaran

dinamis yang bertujuan untuk lebih membangun nuansa akademik siswa sesuai

dengan tuntutan materi dan kompetensi yang harus dimiliki siswa; 2) Praktik

Lapangan; merupakan pelaksanaan pembelajaran di alam yang bertujuan untuk

membantu siswa mengembangkan performance atau kinerja sesuai dengan

kompetensi pembelajaran; 3) Pelayanan Team Teaching terhadap Siswa;

merupakan suatu pelayanan pembelajaran secara tim dari setiap rumpun atau

kelompok mata pelajaran terhadap siswa. Secara khusus pelaksanaan pelayanan

Team Teaching mencakup setiap rumpun/kelompok mata pelajaran yang meliputi:

Rumpun Agama, bahasa, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Sosial.

Pembelajaran berlangsung tidak hanya di sekolah, namun juga di asrama. Karena

sebagian guru tinggal di asrama khusus guru.

Dengan demikian, memudahkan siswa ketika hendak berdiskusi mengenai

kesulitan yang dihadapi dalam pelajaran atau program tutorial. Bentuk kegiatan

tutorial meliputi: Pertama, diskusi antara peserta didik dengan guru/tutor tentang

materi pokok yang belum dikuasai. Kedua, latihan soal yang berkaitan dengan

materi pokok yang belum ikuasai (soal yang dibahas di kelas dan soal yang

dibawa siswa). Ketiga, dilaksanakan dalam situasi informal, setelah jam sekolah

usai (16.00-17.30), dan pada jam belajar mandiri (20.00-22.00). Keempat,

guru/tutor menjemput bola, dengan datang ke asrama peserta didik, baik putra

maupun putri untuk mengetahui apakah ada di antara peserta didik yang belum

menguasai materi pokok pelajaran tertentu. Pembina asrama siap dengan perannya

sebagai pengasuh dan ‘pengganti orang tua” bagi para siswa di asrama. Setiap

hari, aktivitas siswa dimulai pukul 04.00 sampai pukul 22.00. Para siswa terus

berpacu dengan belajar, belajar dan belajar. Walau begitu, jiwa sosial tidak lupa

dipupuk. Mereka ada kegiatan Sekolah Ahad, Di sekolah Ahad ini, siswa-siswi

menjadi guru mengaji atau pelajaran umum bagi anak-anak sekitar madrasah.

Tidak heran, kemudian animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di

madrasah ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah siswa yang diterima

tiap tahun tetap 120 anak, dengan demikian, tingkat seleksi semakin ketat.

Sistem Penilaian Penilaian atau assessment adalah istilah umum yang

mencakup semua metode yang biasa digunakan untuk menilai kerja individu

peserta didik atau kelompok. Proses penilaian mencakup pengumpulan bukti

untuk menunjukkan pencapaian pembelajaran peserta didik. Pengembangan sistem

penilaian MAN IC Serpong didasarkan pada visi dan misi, serta profil kompetensi

lulusan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan relevansi program

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 182: Pendidikan Progresif John Dewey

172

pembelajaran dengan keadaan dan kebutuhan MAN IC Serpong. Profil

Kompetensi Luluusan MAN IC Serpong meliputi: 1) Aspek Afektif meliputi :

Keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT; memiliki nilai-etika, estetika dan

memiliki nilai-nilai demokrasi, toleransi dan humanis. 2) Aspek Kognitif meliputi

: Penguasaan ilmu, teknologi dan kemampuan akademik untuk melanjutkan

pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi; 3) Aspek Psikomotor meliputi (a)

Memiliki keterampilan berkomunikasi dengan tiga bahasa (Indonesia, Bahasa

Inggris, Bahasa Arab), kecakapan hidup, dan mampu beradaptasi dengan

perkembangan lingkungan sosial, budaya dan lingkungan alam, baik lokal,

regional, maupun global, (b) Memiliki kesehatan jasman irohani dan kemampuan

kewirausahaan (entrepreneurship) yang bermanfaat untuk melaksanakan tugas

atau kegiatan seharihari, terutama untuk membantu tugas dan aktivitas belajar.

Penilaian berhubungan dengan setiap bagian dari proses pendidikan, bukan hanya

keberhasilan belajar saja, tetapi mencakup semua proses mengajar dan belajar.

Penilaian tidak terbatas pada karakteristik peserta didik saja, tetapi juga

mencakup karakteristik metode mengajar, kurikulum, fasilitas dan administrasi

sekolah. Instrumen penilaian bisa berupa metode atau prosedur formal atau

informal, untuk menghasilkan informasi tentang peserta didik, yaitu: tes tulis, tes

lisan, lembar pengamatan, pedoman wawancara, tugas ramah, dan sebagainya.

Penilaian juga diartikan sebagai kegiatan kegunaan suatu objek. Objek evaluasi

adalah program yang hasilnya memiliki banyak dimensi. Seperti kemampuan,

kreativitas, sikap, minat, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam kegiatan evaluasi

alat ukur yang digunakan juga bervariasi tergantung pada jenis data yang

diperoleh.

Penerapan sistem penilaian di MAN IC Serpong adalah memperhatikan

prinsip-prinsip penilaian sebagai berikut:1) Menilai semua kompetensi dasar; 2)

Penilaian dapat dilakukan pada satu atau lebih kompetensi dasar; 3) Hasil

penilaian dianalisis dan di tindak lanjuti melalui program remedial atau program

pengayaan; 4) Penilaian meliputi kompetensi dasar-kompetensi dasar dalam ranah

kognitif, psikomotor, dan afektif. Aspek afektif diukur melalui pengamatan dan

kuesioner. Adapun sistem penilaian yang diterapkan di MAN IC mencakup 3

(tiga) hal, yaitu: 1) jenis ujian; 2) pengolahan; dan 3) pelaporan hasil ujian

(Prestasi MAN IC bukan hanya berhasil mengangkat citra madrasah yang di masa

lalu cenderung dipandang sebelah mata. Tetapi, telah mampu melampaui sekolah-

sekolah umum yang difavoritkan. MAN IC bukan hanya berhasil melampaui

target yang umumnya ingin dicapai, seperti tingkat kelulusan 100%, dan dapat

diterima di Perguruan Tinggi ternama. MAN IC juga telah memperlihatkan

prestasi yang melampaui sekolah-sekolah umum favorit, terutama atas banyaknya

alumni yang diterima di perguruan tinggi luar negeri dengan beasiswa. Pada tahun

pelajaran 2014-2015, selain tingkat kelulusannya 100%, nilai Ujian Nasional

tahun 2015 juga membanggakan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2012

misalnya, nilai sempurna (10) diraih oleh sebagian siswa MAN IC Serpong. Di

bidang fisika 3 siswa dan bidang matematika 4 siswa IPA dan 4 siswa IPS. Nilai

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 183: Pendidikan Progresif John Dewey

173

tertinggi 57,50 (IPA) dan 54,60 (IPS), angkatan ini menambah prestasi yang sudah

banyak ditorehkan sebelumnya. Sebanyak 49% siswa kelas XII telah diterima di

beberapa perguruan tinggi dalam maupun luar negeri. Terdapat 11 siswa yang

menerima undangan dari perguruan tinggi luar negeri, yang berasal dari Tohoku

University, Nanyang Technological University, Kyoto University. Sementara 23

siswa lainnya mendapat undangan dari PTN dalam negeri, seperti UI, ITB, UGM,

dan UNAIR. Sekitar 51% siswa akan melakukan tes SNMPTN. (Insan Cendikia,

Tahun VIII, Edisi 1 Januari 2012). Tahun Pelajaran 2011-2012, lulusan yang

diterima di universitas luar negeri ada 11 siswa mendapat beasiswa (8 di Jepang,

1 di Singapura dan 1 siswa di Malaysia, 1 siswa di Jerman). Tahun 2012 yang

diterima di ITB 17 siswa, di UI 3 siswa, di UGM 1 siswa dan di UNS 1 siswa.

Sedangkan lulus SNMPTN jalur undangan berjumlah 23 siswa dari 44 yang

didaftarkan (52%). Adapun yang lulus perguruan tinggi swasta berbeasiswa ada 17

orang. Dengan rincian 11 siswa di STT Telkom dan 6 orang di Universitas Bakrie.

Sementara jika dilihat sejak tahun 1998-2011 lulusan MAN IC Serpong yang

diterima di berbagai universitas favorit antara lain di ITB berjumlah 374 siswa

(32,2%), UGM berjumlah 241 siswa (20,1%), Universitas Indonesia berjumlah 198

siswa (16,5%), UNPAD berjumlah 76 siswa (6,3%), universitas negeri lainnya

berjumlah 196 siswa (16,4%), dan Universitas Swasta berjumlah 51 (4,3%).

Adapun yang diterima di universitas luar negeri dalam periode yang sama antara

lain; Jepang berjumlah 24 (2,0%); Malaysia berjumlah 8 siswa (0,7%); Jerman

berjumlah 9 siswa (0,8%); Mesir berjumlah 4 siswa (0,3%); Amerika berjumlah 3

siswa (0,3%); Korea berjumlah 2 siswa (0,2%); Rusia berjumlah 1 siswa (0,1%);

Australia berjumlah 1 siswa (0,1%); Singapura berjumlah 8 siswa (0,7%); Belanda

berjumlah 1 siswa (0,1%); dan Qatar berjumlah 1 siswa (0,1%). Prestasi yang

sangat sulit ditandingi oleh sekolah menengah atas manapun juga (Sukarno, Saidi

dan Wahid, 2013: 58). Prestasi lain yang diperoleh dalam bidang ekonomi dan

science tingkat nasional sejak tahun 2002 sampai 2013 berjumlah 37 buah medali

dan 6 buah medali di tingkat internasional. Berbagai torehan prestasi diraih

kembali pada tahun 2014

Keberhasilan pendidikan di madrasah tidak hanya dapat diukur dengan

perolehan hasil Ujian Nasional para lulusannya, tetapi masih ada indikator lain,

yaitu penguasaan lulusan terhadap kemampuan dasar dari mutu pelajaran. Untuk

ini, pimpinan Madrasah Model perlu mengevaluasi pencapaian kompetensi dasar,

dengan melakukan pertemuan secara berkala dengan guru mata pelajaran guna

menyusun rencana penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Model, menyusun

program pembelajaran dengan menggunakan modul-modul kemampuan dasar,

mengikutsertakan guru-guru dalam program pelatihan dan penugasan serta

memfungsikan jajaran Madrasah Model dalam penyelenggaraan pembelajaran

berbasis kemampuan dasar. Pimpinan Madrasah model yang progresif seperti ini

yang diharapkan membawa kemajuan lembaga pendidikan tersebut.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 184: Pendidikan Progresif John Dewey

174

2. Guru dan tenaga kependidikan lainnya

Madrasah Model harus mempunyai guru dan tenaga kependidikan yang

sesuai dengan jenis dan jenjang yang dibutuhkan kurikulum dan sesuai dengan

perhitungan berdasarkan jumlah kelas dan jurusan yang ditawarkan. Untuk ini,

Kepala Madrasah perlu membuat man power development plan yang berisi jenis

dan jenjang guru-guru yang dibutuhkan madrasah berdasarkan mata pelajaran

yang diajukan sesuai kurikulum yang diterapkan. Dengan data guru yang ada saat

itu, maka dibuat daftar kekurangan dan kelebihan guru juga tenaga lainnya

berdasarkan kebutuhan guru yang diperlukan di madrasah tersebut, termasuk

pendataan tentang peningkatan kompetensi dan kemampuan dalam pelaksanaan

pembelajaran.

3. Siswa dan kesiswaan

Proses penerimaan siswa-siswa baru perlu diatur melalui langkah-langkah

strategis agar lulusannya kelak dapat memenuhi stándar tertentu sehingga bisa

bersaing dengan lulusan lainnya diterima di Perguruan Tinggi ternama. Juga harus

dapat menyalurkan bakat dan minat siswa yang dikemas dalam berbagai kegiatan

kesiswaan.

4. Sarana kependidikan

Semua sarana pendidikan yang dimiliki Madrasah Model maliputi ruang

kelas, laboratorium, perpustakaan, ruang media pembelajaran, sarana olah raga,

kesenian dan sarana keagamaan merupakan persyaratan uama agar madarasah lain

dapat mencontoh, baik dalam organisasi ruang, kebutuhan alat dan manajemennya

agar dapat berfungsi dengan baik bagi penyelenggaraan pendidikan. Ruang

pembelajaran misalnya tidak hanya menjadi media penyampaian informasi oleh

guru kepaa siswa, tetapi sedapat mungkin dapat ditingkatkan fungsinya menjadi

ruangan yang memfasilitasi proses pembelejaran untuk mata pelajaran tertentu.

Komponen lingkungan, Pimpinan Madrasah, seluruh guru dan staf lainnya

perlu meningkatkan kerja sama dan memanfaatkan seoptimal mungkin komponen

lingkungan di sekitar maupun di luar Madrasah, baik lingkungan fisik,

sosial/masyarakat dan instansi terkait. Salah satu upaya adalah dengan melakukan

inventarisasi ketiga lingkungan tersebut dan diseleksi untuk menetapkan

lingkungan mana yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan pembelajaran.

Pemanfaatan tersebut seperti menjadi donatur, nara sumber, tempat praktek atau

latihan keterampilan dan sebagainya.

5. Supervisi dan akreditasi

Kelemahan utama dalam kegiatan supervisi akademik di Madrasah Model

dan madrasah lainnya adalah para supervisor kurang menguasai materi bidang

studi, sehingga proses pembinaan guru dan kualitas pembelajaran tidak terjadi

bahkan juga menjadi rendah. Ada dua alternatif untuk mengatasi masalah ini,

yaitu 1) memperbaiki dan meningkatkan kualitas para pengawas yang ada atau 2)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 185: Pendidikan Progresif John Dewey

175

merekrut supervisor yang sama sekali baru untuk dididik menjadi pengawas

profesional. Sistem akriditasi dilakukan didahului dengan proses evaluasi diri dari

madrasah yang bersangkutan, yang hasilnya dituliskan dalam bentuk dokumen dan

merupakan profil madrasah. Evaluasi diri dilakukan terhadap enam komponen

yang menjadi penentu keberhasilan madrasah, meliputi guru dan personil lainnya,

siswa, kurikulum, sarana dan prasarana, pengelolaan, serta lingkungan dan situasi

umum madrasah.

6. Pembiayaan

Anggaran Madrasah Model sudah tersedia melalui DMAP, akan tetapi

untuk keberlangsungan kegiatan, tambahan anggara rutin perlu disediakan oleh

pemerintah. Sudah bisa dibayangkan dana tersebut masih belum cukup terutamai

dengan adanya lembaga PSBB. Oleh karena itu, Madrasah perlu menggali sumber-

sumber lain misalnya melalui kegiatan “adopsi sekolah”, program transisi kerja,

layanan masyarakat BP3 dan kerja sama dengan dunia usaha.

7. Tata kerja organisasi

Pengembangan tata kerja organisasi Madrasah Model diarahkan secara

bertahap kepada tercapainya kondisi organisasi yang baku. Salah satu yang

penting dalam upaya ini adalah adanya kesepakatan bersama tentang prinsip-

prinsip efisiensi, fungsionalisasi dan sustainability. Prinsip efisiensi dan

keberlangsungan dapat terjamin apabila sejak awal ada fungsionalisasi, artinya

lembaga kependidikan dan pelatihan yang sudah ada hendaknya dilibatkan dalam

pengembangan Madrasah Model dan PSBB. Untuk itu, perlu digariskan dengan

tegas hubungan fungsional antara lembaga-lembaga tersebut. Berdasarkan

penjelasan di atas, maka salah satu komponen yang menjadi perhatian dalam

peningkatan mutu pendidikan madarash adalah guru sebagai ujung tombak

pendidikan. Artinya guru-guru yang bertugas di MAN Model harus memiliki

kompetensi, minimal sebagaimana yang disyaratkan dan diamanahkan dalam

Peraturan Pemerintah, karena akan teruasa sulit untuk meningkatkan mutu

pendidikan jika guru-gurunya tidak memiliki kompetensi untuk menjadi seorang

guru, yang meliputi kompetensi akademik, kompetensi paedagogik, kompetensi

kepribadian dan kompetensi sosial.

Anas Suprapto, 180Madrasah dewasa ini menjadi salah satu pilihan

masyarakat. Terjadi perubahan persepsi terhadap lembaga pendidikan (madrasah)

dari underestimate oleh sebagian besar masyarakat menjadi simpati dan percaya

dengan keberadaan dan layanan pendidikan madrasah. Kendati demikian, belum

semua madrasah menjadikan kemajuan tersebut sebagai bagian yang direncanakan

dan dikelola secara profesional. Pengelolaan secara professional ini salah satu

180Anas Suprapto, dalam jurnalnya Manajemen Pencitraan Di Madrasah

Berprestasi (Madrasah Aliyah Negeri Bangil Dan Madrasah Aliyah Negeri Kraton

Pasuruan), Jurnal MPI Manajemen Pencitraan di Madrasah,Vol 1, No 2, 2016, h. 156

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 186: Pendidikan Progresif John Dewey

176

indikatornya adalah memasukkan strategi marketing karena realitasnya madrasah

masuk dalam wilayah komoditas. Penelitian ini memfokuskan pada : 1. Aspek

yang melandasi manajemen pencitraan 2. Pola manajemen pencitraan yang

dilakukan, dan 3. Implementasi manajemen pencitraan dalam mewujudkan

madrasah yang berprestasi

Madrasah perlu mendapat perhatian yang memadai dikarenakan alasan etis

dan tuntutan moral dalam berbangsa dan bernegara seperti diamanatkan oleh

UUD 1945, terdapat juga alasan praktis pragmatis, yaitu bahwa perbaikan

terhadap madrasah lebih mudah dan murah.181 Setidaknya bila dilihat dari

perspektif teori pendidikan Yunani Kuno, terdapat tiga aspek pendidikan yaitu :

Etika (akhlak), civic dan pengetahuan. Berdasarkan hasil penelitian Tim Studi

pengembangan Sub sektor Madrasah Kementerian Agama tahun 2003 ditemukan

bahwa ada beberapa ungkapan umum yang menunjukkan perbandingan

keuntungan Madrasah dibandingkan sekolah umum, yaitu :

a. Berakar kuat

b. Madrasah di Indonesia adalah unik

c. Berkembang di masa krisis

d. Pro miskin

e. Mendukung gender

f. Menyediakan nilai dan norma kesholehan sebagai jawaban terhadap tuntutan

keluarga.

Meskipun dalam perkembangan sampai saat ini, madrasah tidak lagi

ekslusif dengan menerima fiqh dan hadis saja182 tetapi berbagai disiplin ilmu

lainnya juga diterima. Namun dalam pelaksanan pendidikannya masih sangat perlu

dikembangkan. Madrasah atau sekolah harus dipahami sebagai satu kesatuan

sistem pendidikan yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling bergantung

satu sama lain. Dengan demikian, pengembangan kompetensi pada diri siswa tidak

dapat diserahkan hanya pada kegiatan belajar-mengajar (KBM) di kelas,

melainkan juga pada iklim kehidupan dan budaya sekolah secara keseluruhan.

Setiap sekolah sebagai suatu kesatuan diharapkan mampu memberikan

pengalaman belajar kepada seluruh siswanya untuk menguasai keempat

kompetensi di atas sesuai dengan jenjang pendidikannya dan misi khusus yang

diembannya.

Di negara maju seperti Amerika, untuk menunjukkan sekolah yang bermutu,

tidak menggunakan istilah unggulan (excellent), melainkan effective, develop,

181 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos,

2001), h. xv 182Husni Rahim, Rusydy Zakaria, Jejen Musfah, Fauzan, Madrasah Sebagai

Alternatif Pendidikan Unggul, Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press,

(2011), h. 20

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 187: Pendidikan Progresif John Dewey

177

accelerate, dan essensial.183 Sekolah efektif diartikan sebagai sekolah yang mampu

mengoptimalkan semua masukan dan proses bagi ketercapaian output pendidikan,

yaitu prestasi sekolah, terutama prestasi siswa yang ditandai dengan dimilikinya

semua kemampuan berupa kompetensi yang dipersyaratkan di dalam belajar.184

Hal ini merujuk bahwa efektivitas sekolah menunjukkan adanya proses

perekayasaan berbagai sumber dan metode yang diarahkan pada terjadinya

pembelajaran di sekolah secara optimal.

Beberapa determinasi dominan madrasah efektif itu terdiri dari : (1)

Kompetensi Guru Madrasah yang memadai (2) Komitmen SDM Madrasah yang

tinggi (3) Monitoring prestasi siswa (4) Partisipasi orang tua (5) Kebijakan di

Madrasah (6) Kepemimpinan kepala madrasah (7) Kurikulum madrasah (8) Sistem

Evaluasi Belajar di Madrasah (9) Budaya dan Iklim madrasah, dan (10) Prestasi

siswa.

MAN Insan Cendikia Serpong merupakan madrasah unggulan program

Kementerian Agama Republik Indonesia selain MAN Insan Cendikia Gorontalo.

Bahkan sejak tahun 2013 Kementerian Agama membuka madrasah serupa di Riau

dan akan direncanakan akan membuka madrasah serupa di beberapa kota di

Indonesia. Bagi sebuah madrasah seperti MAN Insan Cendikia Serpong, visi dan

misi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam proses peningkatan mutu dan

kepemimpinan. Karena dalam visi tersebut memuat seperangkat nilai, semangat

atau tujuan serta target sekolah yang harus dicapai di masa yang akan datang. Visi

harus diinternalisasikan dalam keseharian aktivitas sekolah dan warganya dalam

melakukan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Menjadi madrasah

unggulan mempunyai beban dan tanggung jawab yang besar, karena selalu

dituntut untuk menjaga kualitasnya. Namun kepala madrasah Insan Cendikia

Serpong tampaknya kurang setuju untuk dikatakan unggulan, dia hanya akan

berusaha secara optimal untuk memfungsikan komponen dan unsur-unsur yang

ada sesuai fungsinya.

a. Kompetensi SDM Madrasah

Salah satu faktor yang membuat MAN Insan Cendikia Serpong

menjadi benchmark bagi sekolah lain adalah dari segi SDMnya yang

mempunyai kompetensi akademik di atas standar, maksudnya lebih dari 60%

guru yang mengajar di Insan Cendikia lulusan pasca sarjana sesuai bidang

keahliannya. Bentuk tanggung jawab dengan kompetensi yang dimiliki

kepala sekolah maupun guru dan tenaga kependidikan terwujud dalam

professional kerja dan harapan yang tinggi akan mutu madrasah. Masing-

masing guru dan karyawan terlihat sudah ada sebelum jam kerja mulai, dan

183 http:www.suaramerdeka.com /harian/0508/23/x_opi.html, diakses pada tanggal

06 Januari 2018 184 Komariah, Aan, dan Cepi Triatna, Visionary Leadership; Menuju Sekolah

Efektif. (Jakarta:Bumi Aksara, 2006), 36

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 188: Pendidikan Progresif John Dewey

178

masing-masing sudah membawa persiapan alat-alat kerjanya. Sistem

boarding yang menuntut jam kerja 24 jam, membuat guru dan tenaga

pendidikan lainnya membutuhkan energi ekstra. Tak jarang ketika jam

istirahat ada saja yang masih harus dikerjakan. Untuk terus menyesuaikan

dengan tuntutan ilmu pengetahuan yang terus berkembang, MAN Insan

Cendikia mempunyai beberapa kegiatan pengembangan sumber daya manusia

seperti yang tercantum pada buku pedoman akademik pembelajaran tahun

2012.

Hampir setiap guru di MAN Insan Cendikia sudah tersertifikasi

sebagai tenaga pendidik yang dilakukan pemerintah. Artinya standard

professional dari kinerja guru Insan Cendikia tidak diragukan lagi. Di

samping itu, prestasi yang diraih siswa-siswi Insan Cendikia menunjukkan

bukti sebagai hasil kerja dari kepemimpinan kepala madrasah dan gurunya.

Di samping itu tanggung jawab pada tugas dan wewenang kepala

madrasah dan guru serta karyawan madrasah Insan Cendikia menjadi nilai

tersendiri dalam mencapai tujuan madrasah. Keikhlasan yang ditunjukkan

oleh SDM MAN Insan Cendikia sebagai modal plus dalam meningkatkan

kinerja personil sehingga pencapaian sasaran tidak terasa memberatkan.

Keberadaan manajemen SDM dalam organisasi pendidikan (sekolah)

dapat menunjang tercapainya tujuan sekolah. Karena itu, salah satu ciri

sekolah yang efektif adalah adanya pengelolaan tenaga kependidikan yang

efektif. Implikasinya adalah penataan tenaga kependidikan harus dilakukan

dengan berlandaskan kepada filosofi, prinsip, konsep dasar, dan strategi

manajemen SDM.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari segi kompetensi, SDM

Madrasah Insan Cendikia sudah mencukupi sebagai salah satu faktor input

untuk madrasah efektif.

b. Komitmen Sumber Daya Manusia

Ada hal menarik yang ditemukan di MAN IC Serpong berkenaan

dengan masalah komitmen warga madrasah, yaitu Kepala sekolah membuat

komitmen dalam bentuk kontrak kerja langsung dengan Direktur Pendidikan

Madrasah Kementerian Agama RI. Kontrak kerja ini dibuat atas inisiatif

sendiri sebagai komitmennya dalam bekerja. (bentuk kontrak terlampir) Di

samping itu, kontrak kerja ini dibuat agar pencapaian tujuan kerja menjadi

jelas dan terarah, dan mendorong lebih kuat (energy) sehingga dalam

pencapaian targetnya dapat dengan mudah dievaluasi. Tidak hanya masalah

materi yang menjadikan warga madrasah betah mengabdi di Insan Cendikia,

tetapi terlihat dari suasana yang cukup jauh dari kebisingan hiruk pikuk

aktivitas kota dan kebersamaan yang hangat sehingga menimbulkan saling

percaya yang cukup tinggi mejadi faktor tersendiri. Di tambah dengan

lingkungan yang aman, seluruh wilayah madrasah dan asrama dibatasi dengan

pagar tembok setinggi ± 2 m. Hal ini membuat kinerja menjadi lebih baik dan

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 189: Pendidikan Progresif John Dewey

179

efektif dibandingkan dengan di tempat lainnya. Monitoring prestasi siswa

Ada tim kedisiplinan yang bertugas memantau kegiatan siswa dalam

kesehariannya, baik di asrama maupun di luar asrama. Begitu juga beberapa

program pada bidang kesiswaan seperti terdapat dalam buku Pedoman

pembelajaran (SD) sebagai berikut: Pembinaan kesiswaan adalah usaha,

tindakan, atau kegiatan yang diselenggarakan oleh sekolah secara efektif dan

efisien untuk mengoptimalkan potensi siswa agar tumbuh dan berkembang

secara utuh dalam berbagai aspek kehidupannya, baik di sekolah maupun

diluar sekolah sehingga terbentuk individu siswa yang sesuai dengan tujuan

pendidikan di sekolah Insan Cendikia pada khususnya dan tujuan pendidikan

nasional pada umumnya.

Adanya kontrak kerja yang dibuat kepala madrasah MAN Insan

Cendikia Serpong merupakan salah satu bentuk komitmen awal dalam

melaksanakan tugas masing-masing warga madrasah. Komitmen ini sangat

diperlukan dalam sebuah madrasah sebagai organisasi pendidikan dimana

seseorang (SDM) memihak organisasi tertentu serta tujuan dan keinginannya

untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Komitmen

yang tinggi yang ditunjukkan SDM warga MAN Insan Cendikia

menunjukkan bahwa kesadaran akan pencapaian tujuan sesuai dengan

kesepakatan-kesepakatan sebelumnya. MAN Insan Cendikia nampaknya

berusaha mengikat warganya untuk terus menyadarkan bahwa setiap orang

yang terlibat di madrasah merupakan bagian dari organisasi yang tidak

terpisah. Membangun kepercayaan merupakan cara untuk menciptakan

komitmen. Kepercayaan dari warga madrasah tidak akan diperoleh apabila

mereka hanya diperlakukan sebagai salah satu faktor produksi, bukan sebagai

asset utama madrasah. Selain itu karyawan tidak merasa sebagai bagian dari

organisasi apabila tidak dihargai oleh organisasinya. Pemberian reward dan

pengembangan kompetensi di MAN Insan Cendikia merupakan cara untuk

meningkatkan komitmen organisasi yang pada akhirnya akan berpengaruh

pada kepuasan kerja warga madrasah. Karena kepuasan kerja karyawan

berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi. Kepuasan kerja yang

rendah cenderung mengakibatkan komitmen terhadap organisasi yang rendah

pula.

c. Partisipasi orang tua

Di MAN IC Serpong, dalam rangka mewadahi partisipasi orang tua

dibentuk sebuah wadah bersama yang dinamakan FKOT (forum Komunikasi

Orang tua) yang ada setiap kelas. Sedangkan Komite terdiri hanya

perwakilan dari FKOT tersebut. Jadi komunikasi dengan orang tua murid ada

tiap kelas. Semua orang tua bisa berkomunikasi dengan guru dan sekolah

melalui FKOT itu. Sedangkan Komite itu sifatnya hanya menjembatani

antara sekolah dengan pihak-pihak lain. Setidaknya ada 4 saung yang telah

dibangun oleh komite madrasah Insan Cendikia Serpong, yang digunakan

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 190: Pendidikan Progresif John Dewey

180

untuk belajar mandiri siswa baik perseorangan maupun kelompok. Saung itu

terletak di antara plaza madrasah, kantin dan asrama siswa.

Orang tua harus menjadi patner sekolah dalam melaksanakan

pendidikan dan pembelajaran, karena kerjasama diantara keduanya sangat

penting dalam membentuk pribadi peserta didik. Dalam suasana yang

demikian, sekolah memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagaian patner orang

tua dan sebagai penghasil tenaga kerja terdidik. Sebagai partner orang tua,

sekolah akan dipengaruhi oleh corak pengalaman seseorang didalam

lingkungan orang tua, bahan bacaan, tontonan dan kondisi sosial ekonomi.

Sekolah juga harus bertanggung jawab terhadap perubahan orang tua yang

dapat dilakukan melalui fungsi layananan bimbingan, dan forum komunikasi

antara sekolah dengan orang tua. Disisi lain, kesadaran peserta didik untuk

mendayagunakan orang tua sebagai sumber belajar dipengaruhi oleh kegiatan

dan pengalaman belajar yang diikutinya disekolah. Model partisipasi yang

sudah berjalan di Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia Serpong adalah

dengan dibentuknya Forum Komunikasi Orang Tua (FKOT) di masing-

masing kelas, dan Komite Madrsah di tingkat sekolah yang merupakan

perwakilan anggota FKOT. Model seperti ini sepertinya efektif dalam jalinan

komunikasi antara sekolah dan orang tua.

Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa sekolah dan

orang tua merupakan partnership dalam berbagai aktivitas yang berkaitan

dengan aspek-aspek pendidikan, diantaranya: (1) sekolah dengan orang tua

merupakan satu keutuhan dalam menyelenggarakan pendidikan dan

pembinaan pribadi peserta didik; (2) sekolah dengan tenaga kependidikan

menyadari pentingnya kerjasama dengan orang tua, bukan saja dalam

melakukan pembaharuan tetapi juga dalam menerima berbagai konsekuensi

dan dampaknya, serta mencari alternative pemecahannya; (3) sekolah dengan

orang tua sekitar memiliki andil dan mengambil bagian serta bantuan dalam

pendidikan di sekolah, untuk mengembangkan berbagai potensi secara

optimal sesuai dengan harapan peserta didik.

d. Kebijakan di madrasah

Suasana keterbukaan dan kenyamanan di lingkungan MAN IC Serpong

menjadi faktor yang sangat signifikan dalam memotivasi semua warga IC.

Hal ini menunjukkan betapa kesungguhan itu diciptakan tanpa paksaan.

Masing-masing mengerjakan tugas sesuai Tupoksi dengan kesungguhan dan

tanpa ada rasa cemas. Budaya saling melayani antar warga yang tercipta

dalam setiap perilaku di MAN IC menjadi motivasi tersendiri bagi semua

orang untuk bekerja lebih baik. Di samping ada reward yang mengapresiasi

setiap pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Kepemimpinan kepala

madrasah Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi dalam menentukan

tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,

mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu juga

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 191: Pendidikan Progresif John Dewey

181

mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya,

pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara

hubungan kerjasama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerjasama

dari orang-orang di luar kelompok atau organisasi. Dari penuturan Kepala

Madrasah, didapat beberapa keterangan berkenaan dengan kepemimpinan dan

manajemen di MAN IC Serpong. Kepala Madrasah menerapkan prinsip

manajemen di MAN IC itu terdiri dari 5K, yaitu Keterbukaan, Kebersamaan,

Keteladanan, Keadilan dan Kenyamanan.

Dalam setiap keputusannya Kepala MAN Insan Cendikia Serpong

berupaya untuk bermusyawarah terlebih dahulu, baik tingkat pimpinan

maupun guru dan karyawan. Hal ini sesuai dengan prinsip pengambilan

keputusan model win win solution dan tidak berbenturan dengan peraturan

yang ada, di mana semuanya mempunyai tugas yang sama dan tidak

menguntungkan sepihak. Dengan demikian setiap kebijakannya dalam

pengelolaan, monitoring evaluasi dan lain sebagainya berjalan sesuai

kesepakatan yang memunculkan tanggung jawab bersama, terutama setiap

kebijakan tersebut berorientasi pada peningkatan mutu madrasah. Berbagai

kebijakan untuk mereformasi madrasah dalam rangka meningkatkan kualitas

pendidikan perlu dengan seksama memperhatikan dan memahami keunikan

sekolah agar upaya perubahan dapat berhasil dengan baik dan sudah

dilakukan oleh pimpinan MAN Insan Cendikia.

Dalam konteks organisasi madrasah sebagai suatu sistem, semua warga

madrasah Insan cendikia Serpong baik dimensi individu dan dimensi

organisasi berinteraksi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sebagai

1embaga pendidikan tempat terjadinya proses pembelajaran, maka mengelola

organisasi madrasah memerlukan kebijakan manajemen dan kepemimpinan

yang dapat memberi ruang bagi tumbuh dari berkembangnya pembelajaran

dari mulai tataran individu sampai tataran organisasi yang dapat mendorong

berkembangnya kreativitas dan inovasi, untuk itu diperlukan respon yang

tepat serta budaya organisasi yang terbuka dan kondusif bagi berkembangnya

kebebasan berekspresi. Setiap individu anggota organisasi madrasah

mempunyai latar belakang pribadi yang berbeda-beda, yang akan memberikan

dampak pada kontribusi mereka bagi organisasi, untuk itu organisasi perlu

mengelola hal tersebut secara efektif untuk dapat menumbuhkan sinergitas

dalam organisasi diantara berbagai individu yang terlibat di dalamnya,

sehingga pembelajaran mereka dalam organisasi madrasah dapat memberikan

kontribusi bagi inovasi pendidikan.

e. Kurikulum madrasah

MAN Insan Cendikia menggunakan kurikulum Diknas (SMA) dan

kurikulum Kemenag (MA) yang diperkaya sesuai visi dan misi sekolah.

Artinya, struktur program kurikulum diperkaya dengan penguasaan base

Insan Cendikia knowledge of science and technology (program pemantapan

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 192: Pendidikan Progresif John Dewey

182

Iptek) dan peningkatan kualitas Imtak. Untuk itu dilakukan penambahan jam

tatap muka untuk bidang-bidang MAFIKIBI (Matematika, Fisika, Kimia, dan

Biologi), pendidikan agama Islam, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab. Program

penunjang kurikulum didesain sedemikian rupa untuk mempersiapkan para

siswa tuntas dalam belajar dan membantu siswa siap menghadapi Ujian

Nasional, ujian masuk Perguruan Tinggi baik di dalam maupun di luar negeri.

Program penunjang itu di antaranya : Program klinik mata pelajaran bagi

siswa yang mengalami kesulitan belajar, program pengayaan berupa study

club, studi lapangan terpadu bagi seluruh siswa, bimbingan intensif UN dan

SPMB. Selain itu, dikembangkan juga kurikulum tersembunyi (hidden curiculum) dalam program pembinaan dan pembiasaan hidup dengan nilai-

nilai Islami, pengembangan diri, dan pendidikan kecakapan hidup (leadership life skill).

Kurikulum gabungan dari Kementerian Pendidikan dan Kementerian

Agama serta adopsi (bencmarking) kurikulum dari beberapa lembaga di luar

negeri yang diterapkan di MAN Insan Cendikia, merupakan kurikulum

pengembangan yang disesuaikan dengan tuntutan perkembangan

pengetahuan dan informasi. Kurikulum MAN Insan Cendikia

mengembangkan keharmonisan pemilikan kemampuan logika, etika, estetika,

dan kinestika. Dengan demikian, kurikulum dapat membantu peserta didik

agar berkembang sebagai individu sesuai dengan bakat dan kemampuannya,

serta tumbuh menjadi warga negara yang bertanggungjawab dan dapat

dipercaya.

Prinsip dasar pengembangan kurikulum berbasis kompetensi sebagai

suatu proses yang dinamik adalah: keseimbangan etika, logika, estetika, dan

kinestika; kesamaan memperoleh kesempatan; memperkuat identitas

nasional; menghadapi abad pengetahuan; menyongsong tantangan teknologi

informasi dan komunikasi; mengembangkan keterampilan hidup;

mengintegrasikan unsur-unsur penting ke dalam kurikuler; pendidikan

alternatif; berpusat pada anak sebagai pembangun pengetahuan; pendidikan

multikultur dan multibahasa; penilaian berkelanjutan dan komprehensif; dan

pendidikan sepanjang hayat.

Beberapa program penguatan materi pembelajaran, program

keagamaan, muatan lokal, keputrian dan keterampilan yang dimasukkan

dalam kurikulum MAN Insan Cendikia merupakan hasil pengolahan dan

pengembangan madrasah menuju pencapaian target yang telah ditetapkan.

hal ini cukup potensial dalam membagun sebuah madrasah yang efektif,

dimana outputnya dibekali penguasaan pengetahuan yang terus dapat

dikembangkannya secara mandiri.

8. Evaluasi

Penerapan system penilaian di MAN Insan Cendikia memperhatikan

prinsip-prinsip penilaian sebagai berikut :

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 193: Pendidikan Progresif John Dewey

183

1) Penilaian untuk semua kompetensi dasar

2) Penilaian dapat dilakukan pada satu atau lebih kompetensi dasar

3) Hasil penilaian dianalisis dan ditindak lanjuti melalui program

remedial atau program pengayaan

4) Penilaian meliputi seluruh kompetensi dasar dalam ranah kognitif,

psikomotor dan afektif. Aspek afektif diukur melalui pengamatan dan

kuesioner.

Untuk mendorong motivasi peserrta didik dalam meningkatkan hasil

belajarnya pada setiap mata pelajaran, maka pada setiap akhir semester

diberikan penghargaan kepada setiap peserta didik yang memperoleh nilai

tertinggi pada setiap mata pelajaran dan penghargaan kepada peserta didik-

peserta didik yang mencapai prestasi akademik terbaik pada semua mata

pelajaran (peringkat 1-3)

Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk

mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang

terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut

untuk memperbaiki dan meyempurnakan proses belajar mengajar di

madrasah. Penilaian hasil belajar baik melalui tes harian, formatif dan

sumatif serta tagihan-tagihan lain di MAN Insan Cendikia Serpong

merupakan salah satu bentuk evaluasi yang dilakukan madrasah. Penilaian ini

dilakukan pada semua mata pelajaran dan dilakukan oleh guru bidang studi

yang berangkutan.

Evaluasi yang dilakukan MAN Insan Cendikia Serpong tidak hanya

dilakukan pada hasil pembelajaran saja, tetapi juga program dan kegiatan

yang dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam mengevaluasi madrasah

harus dilakukan pada semua hal yang berkaitan dengan proses pencapaian

tujuan.

Dengan demikian evaluasi pembelajaran hendaknya (a) dirancang

sedemikian rupa, sehingga jelas abilitas yang harus dievaluasi, materi yang

akan dievaluasi, alat evaluasi dan interpretasi hasil evaluasi, (b) menjadi

bagian integral dari proses pembelajaran, (c) agar hasilnya objektif, evaluasi

harus menggunakan berbagai alat (instrumen) dan sifatnya komprehensif, (d)

diikuti dengan tindak lanjut

9. Budaya madrasah

Menurut Kepala Sekolahnya, berkenaan dengan budaya organisasi di MAN

IC Serpong ini adalah diterapkannya kebiasaan dalam budaya kerja bagaimana

setiap orang saling melayani. Ada semacam kebiasaan Budaya saling melayani. Di

mana kepala sekolah melayani wakil-wakil, melayani guru-guru, dan melayani

anak-anak, dan seterusnya, karena budaya melayani itu lebih penting daripada

budaya dilayani. Kalau sudah setiap orang punya rasa melayani, maka tidak ada

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 194: Pendidikan Progresif John Dewey

184

lagi rasa jumawa yang merasa seseorang lebih tinggi, lebih terhormat, dan lain

sebagainya dari orang lain.

Kasus MAN Insan Cendikia Serpong yang berkenaan dengan budaya

madrasah cukup unik dan sebenarnya tidak terlalu beda dengan madrasah lainya di

Indonesia. Misalnya kebiasaan mengucapkan salam, disiplin waktu dan

kebersihan, melayani, penghargaan, penghormatan dan lainnya terlihat jelas dalam

kegiatan keseharian warga madrasah.

Hal-hal sederhana di atas yang dilakukan warga madrasah Insan Cendikia

Serpong menunjukkan kepribadian dan hasil pendidikannya, sekaligus proses yang

berpengaruh signifikan pada pencapaian tujuan madrasah. Budaya madrasah

merupakan kepribadian organisasi yang membedakan antara satu madrasah

dengan madrasah lainnva, bagaimana seluruh anggota organisasi sekolah berperan

dalam melaksanakan tugasnya tergantung pada keyakinan, nilai dan norma yang

menjadi bagian dari budaya madrasah tersebut.

Asumsi, keyakinan dan nilai-nilai yang terinternalisasikan pada setiap

anggota organisasi sekolah merupakan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman

dalam melaksanakan pekerjaan dalam mencapai tujuan sekolah yang telah

ditetapkan. Budaya sekolah akan membentuk situasi organisasi sekolah baik itu

situasi fisik maupun sosial, dan kondisi ini menunjukan suatu iklim sekolah,

dengan demikian budaya sekolah pada dasarnya akan membentuk iklim sekolah

10. Prestasi siswa

Kompetensi lulusan MAN IC Serpong juga dapat diandalkan untuk bisa

hidup mandiri di tengah masyarakat. Sehingga walaupun mereka belum

berkesempatan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, mereka sudah

dibekali dengan berbagai kompetensi yang dirasa cukup untuk mandiri. Misalnya

keterampilan menjahit, kegiatan keagamaan, praktek mengajar dan lain-lain bisa

menjadi kemampuan yang bisa diandalkan untuk mandiri. Kegiatan akademik

yang menonjol dari prestasi madrasah ini yaitu diraihnya berbagai penghargaan

dari keikut sertaannya pada berbagai lomba, baik yang tingkat nasional maupun

tingkat internasional. Prestasi terakhir yang di raih berkenaan dengan pelaksanaan

Ujian Nasional tahun 2013 yang belum lama selesai.

Prestasi madrasah dalam bidang akademik yang diperoleh MAN Insan

Cendikia Serpong cukup banyak. Hal ini menunjukkan kualitas sebuah madrasah

yang unggul. Begitu juga nilai para siswa lulusan MAN Insan Cendikia

memperoleh yudisium sangat memuaskan. Tetapi prestasi non akademik tidak

terlalu menonjol di MAN Insan Cendikia, terutama dalam bidang keagamaan.

Padahal sebagai sebuah madrasah yang berlabel Islam, prestasi kegiatan

keagamaan minimal berbanding lurus dengan prestasi akademiknya.

Begitu juga terlihat dari sebaran alumni MAN Insan Cendikia Serpong,

setiap tahunnya hampir tidak ada yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan

tinggi agama. Walaupun hal ini bukan menjadi ukuran tingkat penguasaan

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 195: Pendidikan Progresif John Dewey

185

keagamaan dan keshalehan seseorang, tetapi setidaknya ada kaderisasi ke arah

sana.

Penyeleksian siswa dari awal yang dilakukan MAN Insan Cendikia Serpong

merupakan monitoring awal prestasi dan kemampuan siswa. Proses rutin ini

merupakan pengumpulan data dan pengukuran kemajuan atas kemajuan siswa

tersebut ke depan. Dalam hal memantau perubahan, yang fokus pada proses dan

keluaran, meliputi dua subjek yang harus dilakukan, yaitu : Monitoring

melibatkan perhitungan atas apa dilakukan dan monitoring melibatkan

pengamatan atas kualitas dari layanan yang kita berikan. Keberhasilan proses

pemantauan ditentukan oleh penilaian yang secara rinci dapat memberikan umpan

balik berupa gambaran yang jelas tentang tingkat keberhasilan dalam mencapai

tujuan dan sasaran yang dikehendaki. Kepala Sekolah dan guru tidak akan dapat

membuat saran-saran untuk pebaikan organisasi dan program sekolah yang

diinginkan, kecuali jika pada mereka tersedia hasil-hasil penilaian. Pembentukan

tim kedisiplinan di MAN Insan Cendikia Serpong juga merupakan salah satu alat

pemantauan dapat berfungsi sebagai pencegah terjadinya penyimpangan. Apabila

dalam tindakan pemantauan ditemukan hambatan atau penyimpangan hendaknya

diambil tindakan positif berupa perbaikan atau perubahan dalam pelaksanaannya.

Oleh karena itu pemberian reward bagi siswa yang berprestasi dan pembinaan

sebagai punishment baik akademik maupun non akademik (termasuk di dalamnya

perilaku siswa) yang dilakukan MAN Insan Cendikia Serpong merupakan

tindakan efektif dalam monitoring kemajuan siswa.

Dari serangkaian penjelasan dan hasil wawancara pada bab ini maka dapat

disimpulkan bahwa pembelajaran di MAN Insan Cendikia menggunakan metode

student centered, para pendidik di sana hanya sebagai motivator, fasilitator,

mediator sehingga siswalah yang harus bisa memecahkan masalah ketika belajar

di kelas.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 196: Pendidikan Progresif John Dewey

186

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 197: Pendidikan Progresif John Dewey

187

BAB IV

PENDIDIKAN PROGRESIF JOHN DEWEY

Pendidikan progresif menekankan pada pemaksimalan potensi manusia

dalam upaya menghadapi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Di samping

itu, progresif bahwa akal manusia sangat aktif dan ingin selalu meneliti, tidak pasif

dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan

kebenarannnya secara empiris.1

Adapun penjelasan tentang John Dewey sebagai berikut:

A. Kehidupan Dewey dan Pendidikannya

John Dewey dilahirkan di Burlington, Vermont pada tanggal 20 Oktober 1859

sebagai anak seorang pemilik toko. Ayahnya seorang pengusaha grosir kelas

menengah. Ibunya suka melakukan pekerjaan yang sifatnya membantu keluarga

keluarga miskin yang hidup di tengah-tengah arus industri Burlington. Sebagai

anak yang pemalu, Dewey muda menghabiskan masa kecilnya pada perusahaan

saudaranya, Davis. Meskipun Dia tidak suka sekolah, Dewey muda gemar

membaca buku dan berfikir (contemplatif). Untuk mendapatkan uang membeli

buku, Dewey muda bekerja mengantarkan koran setiap hari. Dan ketika lagi tidak

membaca buku, Dewey menikmati petualangannya di Lake Champlain dan Green

Mountains. Kemping dan memancing ikan adalah sangat sering dikerjakan oleh

Dewey, ini mungkin merupakan penghormatan yang sangat kuat terhadap sifat-

sifat alami pemikiran Dewey yang mendasari awal pengalamanya 2). Dewey

pertama kali masuk sekolah pada sekolah umum dan menamatkanya diusia dua

belas tahun. Kemudian pada umur enam belas tahun, tepatnya bulan September

tahun 1875, Dewey masuk Universitas Vermont. Kurikulum Universitas tersebut

pada saat itu masih bersifat tradisional, yaitu mahasiswa masih diharuskan untuk

1Uyoh Sadullah. Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), h.

120.

Page 198: Pendidikan Progresif John Dewey

188

mengambil mata kuliah-mata kuliah seperti bahasa Yunani dan Latin, Sastra

Inggris, Matematika, Sejarah, Imu alam dan Retorika.

Dewey selesai pada tahun 1879 dengan menguasai bidang politik, sosial,

dan filsafat moral dan memulai karir mengajarnya pertama sekali adalah pada

SMA di kota minyak Pensylvania. Pada bulan September tahun 1882, Dewey

masuk Universitas Johns Hopkins untuk memulai studi pascasarjana dalam bidang

filsafat dengan mengambil mata kuliah minor, yaitu sejarah dan ilmu politik. Pada

Universitas Johns Hopkins, Dewey merasa dipengaruhi oleh pemikiran professor

George Sylvester Morris, yang mengajar di Universitas tersebut pada jurusan

filsafat, sebagai professor kunjungan/visiting prefesor dari Universitas Michigan.

Morris adalah orang yang memperkenalkan tentang idea absolute kepada Dewey

dari filosof Jerman, G. W. F. Hegel (1770-1831). Hegel adalah filosof anti-

dualistik, dia mengerti kehidupan, ide-ide, dan perkembangan spirit. Dengan

penekanannya tentang sistesis dan continuiti, sistem Hegel betentangan dengan

intuisi Dewey belajar di Universitas Vermont. Dari filsafat Hegel, Dewey

menemukan apa yang telah diperoleh selama belajar di Coleg. Dewey

menyelesaikan studi doktornya pada tahun 1884, dengan judul disertasinya tentang:

The Psychology of Kant. Kemudian dia menerima sebuah tawaran dari Morris

untuk bergabung dengan jurusan flsafat di Universitas Michigan di An Arbor

sebagai asisten profesor. Di Michigan, Dewey mengajar etika, sejarah filsafat,

logika, dan psikologi. Dengan pembelajarannya, dia menghasilkan publikasi

beberapa artikel, dan juga buku pertamanya, Psychology of Kant yang terbit pada

tahun 1887. Dalam buku tersebut, Dewey berusaha untuk mendemontrasikan

bahwa penemuan-penemuannya tentang psikologi ilmiah telah mengkofirmasi

metafisik idealistik Hegel. Meskipun buku itu keberatan untuk mengkritisi secara

kasar, dan Dewey telah mendapatkan perhatian ilmiah. Buku yang kedua, studi

tentang filsafat Leibniz, yang diterbitkan pada tahun berikutnya. Dewey menikah

dengan Alice Chipman (1859-1927), yang merupakan alumni pascasarjana

Universitas Michigan, pada tangal 28 Juli 1886, dan istrinya ini juga menjadi

seorang pendidik profesional yang banyak membantu, khususnya dalam mengelola

labolatorium sekolahnya. Kemudian mereka dikaruniai enam orang putra-putri:

Frederick (1887-1967), Evelyn (1889-196), dan Morris (1893-1895), ketiga mereka

ini lahir ketika mereka bertugas di Michigan. Sedangkan yang tiga orang lagi lahir

di Chicago, yaitu: Gordon (1896-1904), Lucy (1897), dan Jane (1900) (John J.

McDermott (ed), 1981.

Ada dua persoalan besar yang menimpa keluarga Dewey, kedua-duanya

merupakan tragedi bencana alam. Kedua musibah ini terjadi pada saat sepuluh

tahun Dewey berada di Chicago. Pertama pada tahun 1895, meninggal anak

ketiganya, Morris, karena tragedi Milan, pada usia dua setangah tahun.

Kematiannya yang tragis, menimbulkan luka yang panjang dalam kehidupan

Dewey dan istrinya, Alice. Belum sampai sepuluh tahun kematian Morris,

kemudian kematian menimpa keluarga Dewey lagi, yaitu anaknya yang keempat,

Gordon karena menderita penyakit demam (tiphus). Kejadian ini terjadi ketika

Dewey dan keluarganya sedang berlibur, sebelum memulai kehidupan mereka di

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 199: Pendidikan Progresif John Dewey

189

Universitas Columbia. Kematian Gordon, membuat Dewey dan keluarga kembali

mengulangi kesedihannya ketika Morris meninggal Seusai Dewey mendapat

diploma ujian kandidat di Universitas Vermont (1879) ia menjadi guru selama 2

tahun. Tiga tahum kemudian ia menjadi mahasiswa lagi dan mendapatkan gelar

doktor filsafat (Ph.D) di Universitas John Hopkins (1884). Kemudian ia diangkat

menjadi dosen, lalu asisten profesor dan kemudian menjadi profesor di Michigan.

Kemudian dia pergi ke Universitas Chicago dan mengajar di sana sebagai profesor

filsafat (1894)2. Dewey sebagai profesor filsafat di Chicago, ia juga memimpin

bagian pedagogik dan mendirikan suatu sekolah untuk menguji dan

mempraktekkan teorinya. Sekolah yang didirikan Dewey bukanlah suatu model,

melainkan sekolah percobaan yang digabungkan pada Universitasnya di Chicago.

Reputasi John Dewey sebagai seorang pendidik profesional bermula dari

peranannya sebagai ketua jurusan filsafat, psikologi dan pedagogi pada Universitas

chicago. Pada sekolah tersebut mendirikan sekolah percobaan, untuk menguji dan

mempraktekkan teorinya. Pada labolatorium sekolah itu, Dewey memprakarsai

eksperimen dengan menggabungkan secara efekif teori pendidikan dengan praktek

pendidikan. Keberhasilannya mengajak orang tua murid untuk berpartisipasi

bersama guru dalam proses pendidikan anak, menjadi dasar bagi gagasannya yang

paling berpengaruh dalam pendidikan.3

Sekitar tahun 1904 sampai 1931 dia meninggalkan Universitas tersebut,

lalu pergi ke Universitas Colombia di New York. Ketika Dewey mengajar di

Universitas Colombia, ia mempunyai banyak waktu luang untuk melakukan

penelitian dan melakukan perjalanan ke Eropa dan Asia. Dia mengunjungi Cina

dan Jepang, pertemuan tersebut sangatlah penting terlebih ketika ia di Jepang

memberikan penyuluhan mengenai Reconstruction of Philosophy (merekonstruksi

filsafat). Pada tahun 1924 Dewey mengunjungi Turki, di sana ia membuat

organisasi Turkish Educational System. Dua tahun kemudian saat saat musim panas

dia bergabung dengan Universitas Mexico. Pada tahun 1928 dia mengunjungi

Rusia dan melakukan perbaikan sisttem pendidikan di sana. Dewey tinggal di New

York lebih dari 40 tahun sampai dia pensiun dari mengajar dalam tahun 1930. Dan

akhirnya Dewey meninggal di kota ini pada tanggal 1 Juni 19524

.

B. Karir Dan Karya Dewey

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa Dewey memulai karir

mengajarnya pada SMA di kota minyak Pensylvania. Dia mengajar di sana selama

dua tahun dalam mata pelajaran Bahasa Latin, Aljabar, dan Sains, dengan gaji

empat puluh dolar sebulan. Pengalaman mengajar di sekolah tersebut sangat

penting bagi Dewey. Karena dia belajar untuk hidup dalam isolasi yang

komparatif, yaitu setia terhadap pengajaran dan pemikirannya. Dan selama periode

2 Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2001), h. 149. 3John Dewey, Pengalaman dan Pendidikan, Penerjemah: John De Santo,

(Yogyakarta: Kepel Press, 2002), h. VII. 4 Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, ... h. 150.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 200: Pendidikan Progresif John Dewey

190

ini, Dewey memutuskan untuk melanjutkan filsafatnya. Pegalamannya dengan

siswa dan sekolah tempat dia mengajar telah memulai suatu keinginan yang abadi

dalam masalah-masalah dan urusan-urusan pendidikan (John J. McDermott (ed),

1981: xvi). Pada tahun 1881, Dewey menulis sebuah essay tentang filsafat dengan

judul The Metaphysical Assumptions of Materialisme. Dia mengirim essay tersebut

kepada W.H. Harris, editor Jurnal Speculative Philosophy. Kemudian kembali ke

Burlington pada bulan Juni tahun 1881, Dewey membuat hubungan kembali

dengan guru filsafatnya dari Coleg, H.A.P. Torrey. Dengan pengajaran privat dari

Torrey, Dewey belajar membaca bahasa Jerman dan membaca teks-teks klasik

tentang filsafat. Kemudian dengan dorongan dari Torrey dan respon dari Harris,

Dewey memutuskan untuk berkarir dalam bidang filsafat. Karya Dewey pertama

sekali tentang Psikologi, diterbitkan pada tahun 1887, yang membuat hubungan

antara studi psikologi secara ilmiah dengan filsafat idealis Jerman. Dan Dewey

untuk sementara waktu mengajar di Lake View Seminary Academy sambil

menunggu panggilan dari Harris.

Pada tahun 1884 Dewey diangkat menjadi dosen, lalu asisten profesor dan

kemudian profesor di Universitas Michigan. Di sini Dewey mengajar mata kuliah

filsafat Jerman dan Britis, khususnya tentang neo-Hegelian, seorang idealis asal

Jerman. Dan pada Universitas ini juga Dewey menjadi ketua jurusan filsafat mulai

dari tahun 1889 hingga tahun 1894. Pada tahun 1888, Dewey bergabung dengan

Universitas Minnesota, kemudian pada tahun 1889, Dewey juga diangkat menjadi

profesor filsafat pada Universitas Minesota. Pada tahun berikutnya diangkat

menjadi sebagai ketua jurusan filsafat, psikologi, dan pendidikan. Setelah setahun

bertugas di situ, pada tahun 1894, Dewey kembali ke Universitas Michigan. Dan di

Universitas Chicago, Dewey juga dipecayakan sebagai ketua jurusan filsafat,

psikologi dan pedagogy pada tahun 1893, menduduki jabatan sebagai ketua

perkumpulan profesor filsafat pada tahun 1894. Pada tahun ini juga Dewey

membina hubungan dengan filosof George Herbart Mead. Pada tahun 1888, karena

hasil publikasinya yang mengharumkan, kemudian Dewey diajak untuk bergabung

dengan salah satu fakultas di Universitas Minnesota sebagai profesor Mental dan

Filsafat Moral, dan Dewey berada disini sangat singkat. Kemudian pada tahun

1889, Dewey kembali ke Ann Arbor untuk mengisi kekosongan jabatan ketua

jurusan filsafat yang ditinggalkan Morris, karena meninggal dunia pada tahun

1888. Selama paroh kedua di Michigan, pemikiran Dewey mulai bergeser dari

Hegelianisme. Sebab musabab yang membuat Dewey berubaha adalah studi klasik

tentang William James pada tahun 1890, The Principles of Psycology. Seperti

Dewey, William James juga menolak katagori dualistik filsafat tradisional, namun

demikian tidak seperti Dewey, James tidak mengambil tempat perlindungan pada

idealistick metafisik Hegel. Pada tahun 1893, Dewey meninggalkan Michigan dan

menuju ke Chicago atas rekomendasi Tufts. Dan Dewey ditawarkan sebagai ketua

professor dalam bidang filsafat di Universitas Chicago pada tahun 1894.

Keberadaan Dewey di Chicago membuat suatu pase yang sangat penting

dalam perkembangan intelektualnya, dimana selama periode tersebut Dewey

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 201: Pendidikan Progresif John Dewey

191

memunculkan keahliannya tentang filsafatnya. Yaitu mempublikasi beberapa

artikel

penting dalam bidangnya seperti teori logika, filsafat sosial dan epistemology. Pada

tahun kedua keberadaannya di Chicago, Dewey telah mengembangkan suatu

jurusan filsafat yang sangat berpengaruh. Pada tahun 1903 muncul sebuah koleksi

artikel yang ditulis oleh Jurusan Filsafat Chicago dibawah judul Studies in Logical

Theory. Meskipun kumpulan artikel itu merefleksikan perbedaan kepentingan-

kepentingan filsafat diantara pengarang, tetapi menghadirkan perkembangan yang

koperatif terhadap perspektif filsafat yang berbeda. Pada tahun 1904, para penulis

yang terlibat pada artikel tersebut, Studi in Logical Theory, dikenal sebagai

“Chicago School”, atau “Chicago Pramatists”, dan Dewey terpilih sebagai

pemimpin mereka. Selama masih di Chicago, Dewey menjadi tertarik tentang teori

pendidikan. Jurusan filsafat Chicago merasa bertanggung jawab terhadap tawaran

Universitas dalam bidang pedagogy. Dewey menangkap tawaran ini untuk

memberikan pandangan-pandangan filsafat dan psikologinya. Pada tahun 1895,

Dewey membuka sebuah sekolah dasar, dibawah bantuan jurusan filsafat Chicago,

yaitu University Elementary School, kemudian dikenal dengan Laboratory School,

dan dikenal juga dengan Dewey’s School, yang dipamerkan selama hampir delapan

tahun. Pengalaman yang didapati dari sekolah laboratorium tersebut menolong

Dewey dalam mengembangkan filsafat pendidikan secara komprehensif dimana

Dewey sangat dikenal. Penyerangannya pertama sekali terhadap filsafat pendidikan

sehingga menimbulkan beberapa publikasi seminar tentang pendidikan dan dua

buah buku: The School and Society, dan The Child and the Curriculum. Selama

beberapa tahun di Chicago, usaha-usaha Dewey bergeser kepada aktivitas-aktivitas

sosial. Di Chicago, Dewey membangun hubungan dengan Jane Addams dan

perkampungan sosialnya, Hull House. Dewey menjabat sebagai dewan pengurus

pertama Hull House dan ditawarkan sebagai dosen dan memimpin ke lompok

diskusi tentang penerbitan isu-isu sosial. Pengalaman Dewey di Hull House,

kemudian berdampak dan mempengaruhi pemikiran-pemikirannya, yaitu Dewey

mengatakan bahwa para filosof harus sibuk dengan isu-isu yang dihadapi

masyarakat luas sedangkan filsafat pada dasarnya adalah mengkritisi masalah-

masalah sosial. Berbeda dengan Universitas yang mengelilingi sekolah

laboratorium, kemudian Dewey meninggalkan Chicago pada tahun 1904. Dewey

bergabung dengan jurusan psikologi dan filsafat Universitas Columbia di kota New

York pada bulan Februari tahun 1905. Di Columbia, Dewey melanjutkan projek

filsafat yang pernah dirintisnya di Chicago, yaitu mempublikasikan satu seri artikel

dan buku yang sekarang menjadi sesuatu pekerjaan yang sangat penting terhadap

perkembangan filsafat abad ke-20. Melalui hubungannya dengan Columbia

Teachers College, Dewey melanjutkan karyanya tentang teori pendidikan. Karya

tersebut dikeluarkan pada tahun 1911, How We Think, dan pada tahun 1916 karya

besarnya tentang filsafat pendidikan, Democracy and Education. Kemudian Dewey

dikenal dengan pemimpin gerakan progresif dalam pendidikan dan dipertimbangan

sebagai teori-teori pendidikan yang sangat penting. Selama di Universitas

Columbia, Dewey terlibat dalam berbagai organisasi, yaitu pada tahun 1905-1906

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 202: Pendidikan Progresif John Dewey

192

ia memegang jabatan sebagai pimpinan American Philosopical Assosiation.

Kemudian mendirikan American Assosiation of University Professor, dan Dewey

menjadi presiden pertamanya.

Pada tahun berikutnya, Dewey menjadi anggota Teacher Union, tetapi

kemudian ia tinggalkan, karena apa yang disinyalirnya sebagai kecendrungan kiri

yang berkembang dalam organisasi tersebut. Pada tahun 1920, Dewey

menyumbangkan gagasan yang baik terhadap terbentuknya The American Civil

Liberties. Ketika memasuki masa pensiunnya pada tahun 1930, katalog tentang

karya-karya Dewey adalah sangat mengherankan. Dewey mengajar di Jepang pada

tahun 1919, di China tahun 1920, dan pada tahun 1929, Dewey menyampaikan

“Gifford Lectures” di Universitas Edinburgh, dimana Dewey mempublikasikan

karya utamanya tentang epistemologi, The Quest for Certainty. Kuliah-kuliahnya

di Negara-negara bagian menghasilkan beberapa karya utama, termasuk Human

Nature and Conduct, tahun 1922, Experience and Nature, tahun 1925, dan The

Public and Its Problems, tahun 1926.

Aktivitas-aktivitas Dewey tidak terbatas dalam bidang akademik. Dengan

mendapat panggilan dari pemerintah Turki, pada tahun 1924, Dewey mengunjungi

Turki untuk mengevaluasi sistem pendidikan. Dia menghasilkan sebuh laporan

yang menyeluruh dan membuat sejumlah usulan untuk diadopsi. Dewey

mengunjungi Uni Soviet dalam tujuan yang sama pada tahun 1928. Di samping itu,

Dewey juga menolong untuk mendirikan American Assosiation of University

Professors, dan National Assosiation for the Advancement of Colored People,

Dewey adalah instrumen dalam mengorganisasi The American Civil Liberties

Union”, berpartisipasi dalam memperjuangkan hak pilih wanita, memimpin sebuah

pergerakan terhadap penjahat perang, dan mengepalai organisasi-organisasi aktivis

politik. Dewey pensiun dari mengajar tidak membuat mundurnya keterlibatannya

dalam politik dan filsafat. Sebagai profesor emiritus dari Universitas Columbia,

dalam masyarakat, Dewey menghasilkan beberapa karya filsafat yang sangat

penting. Pada tahun1931, dia meyampaikan kuliah pertama William James di

Universitas Harvard, sehingga menghasilkan sebuah karya tentang estetika, Art as

Experience, tahun 1934. Dalam Terry Foundation Lecturesnya di Universitas Yale

tahun 1934, Dewey mengembangkan filsafat agama yang kontroversial, yaitu A

Common Faith. Dua karya penting tentang filsafat politik terbit tahun 1930-an:

Liberalism and Social Action, dan tahun 1935, Freedom and Culture, tahun 1938.

Dan pada tahun 1938, dikeluarkan Dewey’s Magnum Opus yang mensintesiskan

teori logika dan metodologi ilmiah, Logic: The Theory of Inquiry. Dalam bidang

politik, Dewey tanpa kenal lelah bekerja untuk mempromosikan demokrasi. Dewey

meminta organisasi dari partai demokrasi yang ketiga untuk memperdulikan

masyarakat Amerika dari gangguan depresi. Dia menulis ratusan artikel,

menyampaikan pidato di radio, dan dia telah berbicara ke seluruh negara bagian

sebelum organisasi-organisasi politik berbicara. Mungkin keberanian pertujukan

politik Dewey yang sangat besar terjadi pada tahun 1937, pada usia 78 tahun,

berangkat ke kota Mexico untuk memimpin rapat Commission of Inquiry into the

Charges Made, dan melawan Leon Trotsky di pengadilan Moscow. Meskipun

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 203: Pendidikan Progresif John Dewey

193

Dewey tidak bersimpati dengan ideologi Trotsky, Dia percaya orang buangan

Soviet adalah telah diberi kuasa kepada sebuah pengadilan yang adil. Dewey

menyimpulkan untuk berpartisipasi dalam The Inquiry telah menemukan beberapa

kritik yang bengis dan kejam dari surat kabar komunis Amerika, mereka yang

mendukung regim Stalin. Sedangkan Stalin telah mencoba dan menghukum

Trotsky dan anaknya selama terjadinya pengadilan politik pada tahun 1936 dan

1937, dimana komisi Dewey, sudah lebih dikenal, telah menemukan Leon Trotsky

dan anaknya tidak bersalah dari pengkhianatan dan pembunuhan sebagaimana yang

diduga oleh Stalin. Pada tahun 1940, Dewey kembali membuat kehebohan

kontropersial politik dalam mengpertahankan prinsip-prinsip kebebasan

masyarakat. Pada bulan Februari tahun 1940, City College of New York

mengumumkan perjanjian terhadap para Britis yang kontroversial dan mashur,

Bertrand Russel di dewan yang berbeda di jurusan filsafat. Russell terkenal dengan

pandangan ateis dan non-tradisional yang berkenaan dengan perkawinan dan seks.

Dan pada tahun 1949, usianya yang sembilan puluh tahun, Dewey bersama dengan

Arthur Bentley mengeluarkan karya terakhirnya yang berjudul Knowing and the

Known. John Dewey menghembuskan nafas yang terakhir pada tanggal 1 Juni 1952

di New York City karena menderita radang paru-paru. Pada saat menjelang

meninggalnya, Dewey masih mengeluarkan artikel-artikel, essay-essay dan review-

review, dan menjalankan aktivitas politiknya. Dewey tidak hidup dengan

kontemplasi yang berpisah, tetapi hidup dengan aktivitas langsung dan konstan.

C. Corak Pemikiran Dewey

John Dewey adalah seorang filosof kelahiran Amerika yang mempunyai

pandangan-pandangan yang berbeda dengan filosof-filosof kenamaan Eropa.

Memang tradisi filsafat di Amerika tidak begitu kesohor jika dibandingkan dengan

tradisi filsafat di benua Eropa, tetapi Dewey telah melampau pemikiran-pemikiran

para pemikir Eropa pada masanya. Sebagai seorang filosof, Dewey mempunyai

pandangan dan corak pemikirannya sendiri. Corak pemikiran tersebut adalah

dikenal dengan nama pragmatisme dan dia adalah seorang pragmatis. Pragmatisme

sering juga disebut dengan instrumentalisme. Menurut Dewey tugas filsafat adalah

memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh

karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis

yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki

serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Menurut Dewey pemikiran kita

berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke

pengalaman-pengalaman. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan,

yang mengandung di dalamnya pemisahan antara subyek dan objek, pemisahan

antara pelaku dan sasarannya. Instrumentalisme adalah suatu usaha untuk

menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-

pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-

macam itu. Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali ditentukan tidak boleh

diganggu-gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang

tetap. Segala pernyataan kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah. Manusia

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 204: Pendidikan Progresif John Dewey

194

adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya diberi cap masyarakatnya.

Akan tetapi dilain pihak masyarakat di sekitar manusia itu, dengan segala

lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat

memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Ilmu mendidik tidak dapat

dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan

sikap hidup demokratis dan untuk mempertimbangkannya.

Penulis mengutip mengenai gambaran umum sosok John Dewey sebagai

penggerak pendidikan progressif adalah sebagai berikut:

“John Dewey is probably most famous for his role in what is called

progressive education. Progressive education is essentially a view of

education that emphasizes the need to learn by doing. Dewey believed that

human being learn through a ‘hands on’approach. This places Dewey

educaional point of view, the means that students must interact with their

environment in order to adapt and learn. Dewey felt that the same idea

was true for taechers and thats teachers and students must learn together.

His view of the classroom was deeply rooted in democratic ideals, which

promoted equal voice among all participants in the learning experience.”5

John Dewey paling terkenal dengan perannya dalam apa yang disebut

pendidikan progressif. Pendidikan progressif pada dasarnya adalah pandangan

pendidikan yang menekankan kebutuhan untuk belajar dengan melakukan. Dewey

percaya bahwa manusia belajar melalui tangan pendekatan. Ini menempatkan

Dewey dalam filsafat pendidikan pragmatisme. Pragmatis percaya bahwa realitas

harus dialami. Dari sudut pendidikan Dewey, ini berarti bahwa siswa harus

berinteraksi dengan lingkungan mereka untuk beradaptasi dan belajar. Dewey

merasa bahwa ide yang sama juga berlaku untuk guru dan siswa harus belajar

bersama-sama. Pandangannya tentang kelas itu berakar dalam cia-cita demokrasi,

yang dilakukan dengan cara yang sama diantara semua peserta dalam pengalaman

belajar. Artinya bahwa pendidikan progressif adalah sebuah konsep pendidikan

yang menekankan bahwa pengalaman adalah sebuah proses belajar yang berharga

learning by doing artinya belajar dengan melakukan. Filosofi pendidikan yang

John Dewey pakai adalah pragmatis artinya sebuah hal yang nyata adalah hal yang

dialami sebagai sebuah pengalaman. Dalam konteks pembelajaran, guru dan murid

sama-sama seorang pembelajar yang sedang belajar bersama dalam suasana kelas

yang demokratis yakni keduanya secara bersama berpartisipasi aktif dalam

pengalaman pembelajaran.

Peserta didik atau anak-anak, menurut Dewey, tidak hadir di sekolah

seperti sebuah papan tulis kosong uang padanya guru tinggal menuliskan mata

pelajaran mengenai peradaban. Pada saat anak memasuki ruang sekolah, ia

sebenarnya sudah sangat aktif, dan persoalan pendidikan adalah persoalan tentang

bagaimana guru dapat mengendalikan aktivitas anak-anak itu, bagaimana guru

5 Adam Jordan, John Dewey on Education: Impact & Theory, diakses pada laman

http://study.com/academy/lesson/John-Dewey-on-educaion-impact-theory.html.Pada

oktober 2017, pukul 11.48 WIB

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 205: Pendidikan Progresif John Dewey

195

dapat mengarahkan aktivitas mereka.6 Konsep dari John Dewey yang demikianlah

yang kemudian melahirkan sebuah konsep pendidikan progressif dalam

pengembangan pendidikan di dunia. Penulis yakini bahwa konsep yang demikian

itu telah dilaksanakan di Madrasah unggulan yakni MAN IC Serpong Tangerang

Selatan.

D. Sejarah dan Perkembangan Progresif John Dewey

Progresif bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran filsafat

yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang

didirikan pada tahun 1918. selama dua puluh tahunan merupakan suatu gerakan

yang kuat di Amerika Serikat. Banyak guru yang ragu terhadap gerakan ini, karena

guru telah mempelajari dan memahami filsafat Dewey, sebagai reaksi terhadap

filsafat lainnya. Kaum progresif sendiri mengkritik filsafat Dewey. Perubahan

masyarakat yang dilontarkan oleh Dewey adalah perubahan secara evolusi,

sedangkan kaum progresif mengharapkan perubahan yang sangat cepat, agar lebih

cepat mencapai tujuan. Gerakan progresif terkenal luas karena reaksinya terhadap

formalime dan sekolah tradisional yang membosankan, yang menekankan disiplin

keras, belajar pasif, dan banyak hal-hal kecil yang tidak bermanfaat dalam

pendidikan. Lebih jauh gerakan ini dikenal karena dengan imbauannya kepada

guru-guru: “Kami mengharapkan perubahan, serta kemajuan yang lebih cepat

setelah perang dunia pertama.” Banyak guru yang mendukungnya, sebab gerakan

pendidikan progresif merupakan semacam kendaraan mutakhir untuk digelarkan.7

Dengan melandanya Adjusment pada tahun tiga puluhan, progresif

melancarkan gerakannya dengan ide-ide perubahan social. Perubahan yang lebih

diutamakan adalah perkembangan individual, yang mencangkup berupa cita-cita,

seperti Cooperation, Sharing, dan Adjusment, yaitu kerjasama dalam semua aspek

kehidupan, turut ambil bagian dalam semua kegiatan, dan memiliki daya

fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Pada

tahun 1944 gerakan ini dibubarkan dan memilih ganti nama menjadi American

Educational Fellowship. Gerakan progressif mengalami kemunduran setelah Rusia

berhasil meluncurkan satelit pertamanya, yaitu Sputnik. Selanjutnya cara kerja dari

perkumpulan ini lebih menunjukkan karya-karya individual, seperti George

Axtelle, William O Stanley, Ernest Bayley, Lawrence, B. Thomas, dan Frederick C

Neff.

Adapun perkembangan progresif adalah sebagai berikut; pada abad ke-19

Perkembangan progresif sebagai aliran filsafat pendidikan, baru muncul dengan

jelas. Akan tetapi garis perkembangannya dapat ditelusuri hingga tokoh-tokoh

filosof Yunani. Secara ringkas perkembangan dapat dibagi dalam beberapa fase;

6 Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta: Kanisius, 2004),

h. 104. 7 Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat ... h. 142.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 206: Pendidikan Progresif John Dewey

196

1. Fase awal perkembangan progresif

Awal perkembangan progresif dapat diketahui dari tokoh-tokoh filosof Yunani

kuno, seperti;

a. Heraklitus (544-484 SM). Pada salah satu pemikirannya, yaitu bahwa sifat

yang terutama dari realita ialah perubahan. Dengan berpijak pada konsep

segala sesuatu itu berubah, dapat diartikan bahwa dengan perubahan itu akan

tercipta kemajuan atau progresif, pada masa ini, akar progresif dalam filsafat

Heraklitus dapat ditelusuri tidak ada sesuatu yang tetap dalam dunia ini,

semuanya berubah-ubah kecuali asas perubahan itu sendiri.

b. Protagoras (480-410 SM). kebenaran dan norma atau nilai tidak bersifat

mutlak, melainkan relatif, yakni bergantung pada waktu dan tempat adalah

ajaran dari Protagoras. Dia adalah seorang shopis yang mengajarkan bahwa

dengan demikian nilai akan terus mengalami perubahan, perkembangan dan

kemajuan sesuai dengan situasi dan kondisi.

c. Socrates (469-399 SM). Berusaha menyatukan epistemologi dengan

aksiologi. Socrates mengajarkan bahwa “pengetahuan adalah kunci

kebijakan, yang berarti bahwa kekuatan intelektual dan pengetahuan yang

baik, dijadikan pedoman bagi manusia untuk melakukan yang baik”. Dengan

kemampuan itu manusia akan terus melakukan perubahan untuk menuju

kemajuan.

d. Aristoteles (383-322 SM). Menyarankan jalan tengah, dalam kehidupan.

Dengan menghindari ekstrimitas dalam kehidupan, manusia dapat

menggagas perubahan dan kemajuan secara lebih jernih dan tertata dengan

baik, sehingga sikap moderasi merupakan salah satu langkah menuju

kemajuan8

2. Perkembangan progresif pada abad ke-16

Dalam asas modern, para filosof abad ke-16 juga memberikan kontribusi

pemikiran terhadap dasar-dasar perkembangan progresif. Di antara filosof tersebut,

meliputi;

a. Francis Bacon (1561-1626). Memberikan sumbangan pemikiran dalam

proses terjadinya aliran progresif, yaitu dengan upayanya untuk mei dan

merevisi metode eksperimentil (metode ilmiah dalam ilmu pengetahuan

alam).

b. John Locke (1632-1704). Pemikiran progresif dapat dilacak dalam

ajaranya mengenai kebebasan politik.

c. Jean Jaques Rousseau (1721-1778). Dengan keyakinannya bahwa

manusia lahir sebagai makhluk yang baik; artinya kebaikan berada dalam

manusia melulu karena kodrat yang baik ada pada manusia. Oleh karena

itu pastilah manusia menghendaki kemajuan.

8 Zuhairni dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 22-

23.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 207: Pendidikan Progresif John Dewey

197

d. Immanuel Kant (1724-1804). Berpandangan bahwa memuliakan,

mendukung kepribadian dan memberi jalan kepada manusia untuk

berkedudukan yang tinggi. Hal ini senada dengan konsep progresif yang

selalu menginginkan perubahan dan berkemajuan.

e. Hegel, mengajarkan bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis,

selamanya berada dalam keadaan gerak, dalam proses perubahan dan

penyesuaian yang tak ada hentinya.9

3. Perkembangan progresif pada abad ke-19 dan 20

Progresif adalah suatu ajaran filsafat yang memiliki karakter yang dapat

digolongkan sebagai negative and diagnostic dan positive and remidal10. Negative

and diagnostic berarti bersikap anti terhadap otoritarianisme dan obsolutisme

dalam segala bentuk. Penolakan tesebut berlaku baik untuk tradisi kuno maupun

modern seperti, agama, moral, sosial, politik dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya

dengan positive and remedial, berarti suatu pernyataan dan kepercayaan atas

kemampuan manusia sebagai subjek yang memiliki potensi-potensi alamiah,

terutama kekuatan-kekuatan untuk menghadapi dan mengatasi semua problem

hidupnya. Dalam perkembangannya istilah progresif sering disebut sebagai,

Pragmatisme, Instrumentalisme, Experimentalisme dan Environmentalisme.

Masing-masing istilah itu merupakan perwujudan ide yang mendasarinya. Yakni;

a. Penamaan progresif, karena aliran ini mengikrarkan dan selalu berjuang

untuk mengembangkan progresivitas dalam semua cakrawala, terlebih

kepada diri manusia sebagai subjek.

b. Pragmatis, aliran ini mengutamakan survive terhadap semua rintangan dan

tantangan hidup manusia yang menuntut serba cepat dan praktis, karena

melihat segala sesuatu dari kegunaanya. Pragmatisme dianggap filsafat yang

asli dan tipis bangsa Amerika. Terutama bergerak dalam filsafat logika dan

epistemologi.

c. Instrumentalisme karena aliran ini menganggap bahwa potensi inteligensi

kekuatan yang diandalakn di aliran ini, segala sesuatu menganggap sebagai

alat (instrumen) untuk menghadapi semua rintangan tantangan dan masalah

dalam kehidupannya. Inteligensi bukanlah tujuan, melainkan alat untuk

hidup, untuk kesejahteraan dan mengembangkan kepribadian manusia.

d. Experimentalisme berarti bahwa aliran ini mempraktekkan asas eksperimen

(percobaan ilmiah) adalah alat yang berfungsi untuk menguji kebenaran

suatu teori. Eksperimen-eksperimen tersebut memberi pembuktian apakah

suatu ide, teori ataupun pandangan suatu kebenaran atau tidak.

e. Environmentalisme, karena aliran ini menganggap bahwa lingkungan hidup

dan rintangan-rintangan di dalamnya mendorong manusia untuk survive,

agar bisa berkembang demi hidupnya. Lingkungan adalah medan tempat

9 Zuhairni dkk, Filsafat Pendidikan Islam,... h. 23-24. 10 Mohammmad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan

Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), h. 228.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 208: Pendidikan Progresif John Dewey

198

berlangsungnya proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya11.

Mengingat lingkungan sebagai bentuk proses perubahan yang konstan. Alat-

alat tersebut berupa ketrampilan problem solving, berguna untuk

mendefinisikan, menganalisis dan memecahkan masalah. Proses belajar

terfokus pada tingkah laku yang kooperatif dan disiplin, keduanya

diperlukan bagi fungsionalisasi peran individu dalam sebuah masyarakat

yang demokratis.

4. Perkembangan progresif di Amerika dan Uni Soviet

Meskipun tokoh-tokoh progresif yang terkenal ada di Amerika, namun

sejak Perang Dunia 1. Di Amerika sudah ada sejenis perang dingin dinamakan

modren dan madzhab tradisional. Madzhab tradisional dipandang hanya sebagai

dasar-dasar esensial pengetahuan, untuk menjadi titik tolak bagi anak didik dalam

kehidupannya dikemudian hari. Madzhab progresif mempertahankan bahwa

sekolah itu harus mencerminkan keadaan masyarakat sekelilingnya dan anak-anak

harus dipersiapkan untuk menjadi warga yang baik bagi masyarakat. Jadi tugas

pendidikan adalah menyesuaikan anak didik untuk hidup. Sehingga progresif

mengutamakan perhatiannya ke masa depan, masa lalu sekedar dijadikan sebagai

pelajaran untuk menghadapi masa depan.12

Pada tahun 1896, John Dewey mendirikan sebuah sekolah percobaan di

Universitas Chicago, dan sejak saat itu dapat dikatakan Amerika Serikat terus

mengadakan percobaan di segala lapangan pendidikan. Akan tetapi yang menjadi

bulan-bulanan percobaan itu adalah sekolah rendah. Gagasan-gagasan Ia, sangat

mempengaruhi praktek pengajaran di sekolah rendah. Salah satu karya yang sangat

mempengaruhi pendidikan rendah yaitu School and society (1899). Pada awal abad

ke-20 di antara pendidik Amerika Serikat banyak melontarkan kritik keras, dengan

mengatakan bahwa anak-anak sekolah rendah, sudah terlalu lama diperlakukan

hanya sebagai tikus percobaan saja dan tidak sebagai manusia. Terlalu banyak ahli

yang sok ilmiah dan memperlakukan sekolah itu sebagai laboratorium dan bukan

tempat manusia yang hidup dan berjiwa. Hal-hal yang menyimpang dari

kesungguhan pengabdian pada pendidikan tentu saja tidak selayaknya dibebankan

pada Dewey. Gagasan yang dimulai oleh Ia ialah suatu reaksi melawan kufur yang

waktu itu merajalela. Maka berdirilah sekolah-sekolah yang dinamakan child-

centered (berpusat pada anak didik, bukan pada guru atau mata pelajaran). Akan

tetapi praktek inipun, mendapat serangan pula, karena dianggap sangat merugikan

kepentingan masyarakat. Padahal pendidikan di Amerika Serikat waktu itu yang

menjadi primadona adalah pendidikan yang menganggap kepentingan masyarakat

sebagai unsur terpenting dalam pendidikan. Kemudian dinamakan pendidikan

community-centered, dimana diusahakan agar anak didik mempunyai pengertian

yang sebaik-baiknya untuk mengenal alam sekelilingnya. Sesungguhnya

11 Mohammmad Noor Syam, Filsafat Pendidikan … h. 229 12Imam Barnadib, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna Dan Perspektif

Beberapa Teori Pendidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), h. 18-19.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 209: Pendidikan Progresif John Dewey

199

pembedaan kedua pusat orientasi, antara child centered dan community centered

bukanlah teori dan praktek pendidikan progresif.13 Aliran ini menyadari bahwa

tiada pendidikan yang mungkin melaksanakan salah satu pilihan, sebab keduanya

adalah vital.

Hal ini dilakukan agar anak didik terpupuk rasa cinta dan setia pada cita-

cita demokrasi yang dijunjung tinggi dan dipraktekkan Amerika. Dan menjadi ciri

khas pendidikan di Amerika yaitu bahwa titik berat pengajaran terletak pada

belajar dalam kumpulan (kelompok) dan kerjasama. Dalam kegiatan ini biasanya

yang dipelajari adalah suatu topik. Masyarakat Amerika terus melontarkan

kritikan-kritikan atas pendidikan negerinya, puncaknya terjadi sesudah perang

dunia kedua. Pergolakan dalam dunia pendidikan dapat dikelompokkan dalam dua

golongan. Pertama, dengan metode progresif, pendidikan Amerika bukan lagi jadi

pembawa nila-nilai kebudayaan dari bangsa itu. Kedua, mengkonstantir bahwa

kepandaian anak didik dalam mata pelajaran dasar (baca tulis hitung) sudah jauh

berkurang sebagai akibat dari cara-cara mengajar progresif itu. Dalam situasi

seperti ini, para pemimpin perusahaan, pabrik, dan jawatan-jawatan di Amerika

sudah lama mengeluh bahwa tamatan sekolah menengah yang menjadi pegawai

sangat rendah mutu pegetahuannya. Orang tua juga sering ragu akan kemampuan

anak-anaknya, karena kemajuan tidak dinyatakan dengan angka atau haruf,

melainkan dengan komentar-komentar yang sering mirip dengan lelucon. Para guru

sekolah menengah mengeluh peserta didik-peserta didik sampai di tangan mereka

tanpa persiapan yang cukup. Karena kemampuan membaca mereka, itu sama

dengan kemampuan mengerti yang ada pada anak kelas 4 atau 5 sekolah dasar.

Atas dasar itu, tugas para guru sekolah menengah yang terutama adalah mengobati

kekurangan itu (remedial teaching). Hal itu dilakukan agar tujuan dari sekolah

menengah dapat tercapai. Adapun tujuan tersebut, meliputi:

1) Untuk memasuki pekerjaan yang sesuai dengan tenaganya, serta

memberikan kesempatan pada kepribadian dan kecakapan hidupnya

tumbuh, supaya kelak dimasyarakat dapat bermanfaat mempunyai

tanggung jawab sebagai warga negara Amerika.

2) Untuk menumbuhkan cara berfikir yang logis, serta suka melakukan kajian

dan penelitian.

13Child Centered, gunanya sebagai dasar kurikulum dan prinsip pendidikan watak

dan proses perkembangan anak. Jadi, pusat orientasi ialah psikologi anak. Kurikulum

diarahkan supaya efektif dalam pengembangan kepribadian anak sebagai totalitas.

Kurikulum harus mengandung unsur-unsur yang kaya bagi perkembangan prakarsa,

perasaan, pikiran-pikiran spontan dan kreatif, ekspresi, sikap sosial dan kritis. Konsekuensi

dari asas ini adalah guru harus benar-benar mengenal individualitas anak didik. Sedangkan

Community Centered, merupakan suatu deskripsi dari hasil eksperimen tahun 1930-an yang

memusatkan perhatian dan memakai masyarakat sebagai satu totalitas medan orientasi

pendidikan. Masyarakat yang meliputi baik lingkungan alamiah maupun sosial berfungsi

sebagai laboratorium belajar. Lihat Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar

Filsafat Pendidikan Pancasila, h. 256.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 210: Pendidikan Progresif John Dewey

200

3) Menghargai budi pekerti yang luhur, untuk dapat menegakkan kehidupan

masyarakat yang demokratis.14

Amerika dan Uni Soviet merupakan negara-negara yang sedikit banyak

berusaha, menggunakan sekolah dan perguruan tinggi mereka menjadi sebuah alat,

untuk mengubah masyarakat mereka. Orang-orang Amerika ditekankan pada usaha

menjadikan suatu bangsa dari sekian banyak imigran yang berbeda asal-usulnya,

dan membawa mereka pada semangat puritan dan demokratis, yang menjadi dasar

konstitusi dan deklarasi kemerdekaan, sebagaimana ditafsirkan paling sedikit oleh

generasi-generasi berikutnya. Namun kedua bangsa itu telah menggunakan sistem

pendidikan sebagai alat untuk kemajuan ekonomi, dan keduanya memiliki

patriotisme mendalam yang diungkapkan dalam pelajaran-pelajaran mereka di

sekolah.15 Akibatnya meskipun menunjukkan perbedaan, tetapi terdapat persamaan

antara tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan baik di Amerika maupun Uni

soviet. Meskipun menuai banyak kritikan, namun progresif telah memberikan

sumbangan yang besar dalam dunia pendidikan pada abad 20. Karena telah

menempatkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak di

beri kebebasan baik secara fisik maupun cara berfikir, untuk mengembangkan

bakat dan kemampuan terpendam dalam dirinya tanpa adanya hambatan dan

rintangan yang dibuat orang lain. Oleh karena itu, progresif tidak menyetujui

pendidikan otoriter.16

Oleh karena itu anak didik diposisikan sebagai pembelajar yang mampu

untuk berfikir dan menjelajah kebutuhan-kebutuhan pribadi dan minatnya, maka

peran guru adalah membimbing bagi anak didik dalam aktivitas dan proyek

penyelesaian problemnya. Guru yang progresif harus membantu anak didik

membedakan problem yang berarti, melokalisir data yang relevan, mengintepretasi

dan menilai akurasi data, dan memformulasikan kesimpulan. Untuk itu dibutuhkan

guru yang sabar, kreatif, fleksibel, interdisipliner dan cerdas. Seleksi natural,

progresif menempatkan manusia dalam kedudukan yang sentral dalam perubahan

dan perkembangan. Alasan utama yang menumbuhkan pandangan ini, bahwa

manusia kemudian peran sekolah progresif adalah sebagai mikrokosmos dari

masyarakat yang luas. Ini berarti anak didik dapat belajar problem dan isu yang

dihadapi masyarakat. Sehingga sekolah menjadi laboratorium yang hidup, sebuah

model kerja dari demokrasi. Dalam perkembangannya sampai dewasa ini, progresif

14Mahmud Yunus, Perbandingan Pendidikan Di Negara Islam dan Intisari

Pendidikan Barat, (Jakarta: Al-Hidayah, 1969), h. 135. 15 John Vaizey, Pendidikan Didunia Modern, terj. L.P. Murtini, (Jakarta: Gunung

Agung, 1974), h. 75. 16Menurut Progresif, pendidikan otoriter dapat mematikan pemikiran anak didik

untuk hidup sebagai individu yang gembira dalam mengadapi pelajaran, dan mematikan

daya kreasi anak didik baik secara fisik maupun psikis. Lihat, Hamdani Ali, Filsafat

Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1978), 146, lihat George R, Knight, Issue and

Alternatives In Educational Philishophy, (Michigan : Andrews University Press, 1982), h.

82-86.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 211: Pendidikan Progresif John Dewey

201

mempunyai dua corak, yakni seleksi natural (natural selection) dan

eksperimentalisme (experimentalism).17 Corak seleksi natural mempunyai potensi

atau kemampuan yang dapat dikembangkan melebihi yang dimilki mahluk lain. Ini

terbukti dengan adanya akal budi dengan kreasinya dalam membentuk ilmu

pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban yang digunakan sebagai tumpuan

kehidupan sepanjang masa. Eksperimentalisme, pendukung progresif memandang

bahwa apa yang menjadi pegangan dalam wawasan seleksi natural itu perlu

ditingkatkan dengan berpegangan pada doktrin, bahwa pendidikan itu adalah

integral (bagian) dari hidup. Dalam hubungan itu, dikaitkan pula dengan

eksperimentalisme yang pada waktu itu menjadi teori pendidikan John Dewey.

Keterangan lebih dalam dari darwinisme sosial, sedangkan corak

eksperimentalisme bersumber pada teori pendidikan dari John Dewey.

E. Tokoh-tokoh Aliran Progresif

Filsafat pendidikan progresif dikembangkan oleh para ahli pendidikan

seperti John Dewey, William Kilpatrik, George Count, dan Harold Rugg diawal

abad 20. Tokoh-tokoh progresif antara lain:

a. William James (11 Januari 1842-26 Agustus 1910)

William James seorang Psychologist dan seorang filosof Amerika yang

terkenal. Sebagai penulis yang brilian, dosen serta penceramah dibidang filsafat,

juga dikenal sebagai pendiri pragmatisme. Dia menegaskan bahwa fungsi otak dan

pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu

pengetahuan alam. Buku karangannya adalah Principle of Psichology yang terbit

tahun 1890 yang membahas dan mengembangkan ide-ide tersebut, dengan cepat

menjadi buku klasik dalam bidang itu , hal inilah yang mengantar William James

terkenal sebagai ahli filsafat Pragmatisme dan Empirisme Radikal.

b. John Dewey (20 Oktober 1859-1 juni 1952)

John Dewey adalah seorang professor di Universitas Chicago dan

Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progresif” yang

lebih menekankan pada anak didik dan minatnya dari pada mata pelajarannya

sendiri. Maka muncullah “Child Centered Curriculum” dan “Child Centered

School”. Adapun ide filsafatnya yang utama, berkisar dalam hubungan dengan

problema pendidikan yang konkrit, baik teori maupun praktek. Diantara karya-

karya Dewey dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and

Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922),

Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and

Education (1916). John Dewey adalah seorang professor di Universitas

Chicago dan Columbia (Amerika).

b. Hans Vaihinger (1852-1933)

17Imam Barnadib, Dasar-Dasar Kependidikan, Maemahami Makna Dan

Perspektif Beberapa Teori Pendidikan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996), h. 19-21.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 212: Pendidikan Progresif John Dewey

202

Hans Vaihinger menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis.

Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan, satu-satunya ukuran

bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani pragma) untuk

mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya

buatan semata-mata jika pengertian itu berguna untuk menguasai dunia,

bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain

kecuali kekeliruan yang berguna saja.

c. George Santaya dan Ferdinant Schiller

Kedua tokoh ini amat sukar untuk memberikan sifat bagi hasil

pemikiran mereka, karena banyak pengaruh yang bertentangan dengan apa

yang dialaminya.

Adapun Karya-karya John Dewey adalah sebagai berikut: Selama

bergabung di Universitas Colombia ia aktif di bidang filsafat. Di sini

terciptalah buku-bukunya yang termasyhur. Dalam bidang filsafat, buku

John Dewey yang paling penting adalah Experience and Nature, he Quest

for Certainty, logic, Essay in Experimental Logic dan masih banyak yang

lainnya. Dalam dunia pendidikan, School and Society, Democracy and

Education keduanya merupakan buku John Dewey yang dikatakan

terpopuler.

Dewey mengenalkan filsafat sosialnya dengan karyanya yang

terbaik Character and Events, dan Freedom and Culture. Dia juga

membahas tentang filsafat politik melalui karyanya The Public and its

Problems. Dewey juga berkontribusi dalam bidang seni dan diungkapkan

dengan karyanya Art as Experience. Dalam bidang agama ada karyanya

yang berjudul A common faith is most vital, namun jarang ditemui karya

John Dewey yang membahas agama.18

F. Pandangan Hidup (Falsafah) dan Pemikiran John Dewey

Sebelum memahami pendirian Dewey mengenai pendidikan dan

pengajaran, sebaiknya dibentangkan terlebih dahulu tentang dasar pokok dari

pandangan hidupnya. Karena menurut pendapat Dewey bahwa filsafat serta

pendidikan itu tidak dapa dipisahkan dan filsafat merupakan dasar dari teori

pendidikan. Pandangan hidup John Dewey meliputi beberapa teori sebagai berikut:

1. Dasar pokok dari filsafatnya adalah teori evolusi dari Darwin. Dalam tahun

lahir Dewey (1859) diterbitkan buku Ch. R. Darwin (1809-1882) on the Origin

of Species by Means of Natural Selection tentang asal mula jenis disebabkan

seleksi alam. Dalam pokoknya teori evolusi itu mengajarkan bahwa hidup di

dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan selalu

berkembang maju serta meningkat.

Pandangan Darwin tentang manusia sebagai makhluk yang berubah

dan berkembang di tengah-tengah suatu lingkungan yang melindungi dan

18Fredrick Mayer, A history of Modern Philosophy, (California: University of

Radlands, 2000), h. 537

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 213: Pendidikan Progresif John Dewey

203

sekaligus mengancam kehidupannya adalah sesuatu yang menentukan bagi

Dewey. Makhluk hidup dan lingkungan, perkembangan dan perjuangan,

kekhawatiran dan ketenangan merupakan unsur-unsur campuran dalam

pemikirannya inilah lain konsepnya yang paling sentral yaitu memahami

pengalaman dan hubungannya dengan alam tak lain dari memahami makna.

Menjelaskan teori John Dewey tentang pengalaman berarti mulai memasuki

konsepnya tentang manusia. Dewey menekankan bahwa manusia pada

dasarnya adalah organisme yang berkembang dalam waktu, dan ciptaan yang

kehidupannya dapat dilukiskan paling jelas dalam hubungan masyarakat. Maka

tiap orang sebagai unsur masyarakat dan suatu mata rantai satu masa ke masa

yang lain wajib ikut bekerja untuk kemajuan masyarakatnya. Begitulah

kemajuan masyarakat itu hanya dapat dicapai dengan kerja dan kerjasama

dalam filsafat John Dewey.

2. John Dewey pula penganut teori pragmatisme atau dapat disebut dengan

progresif. Teori ini secara garis besarnya mengatakan bahwa ukuran untuk

segala perbuatan memiliki menfaat dalam setiap prakteknya dan hasil yang

dapat memajukan hidup. Pandangan-pandangan penganut pragmatisme

dianggap sebagai “The Liberal Road to Culture”. Liberal dimaksudkan sebagai

fleksibel, berani, toleran dan bersikap terbuka. Penganut pragmatisme tidak

hanya memegang sikap tersebut melainkan juga bersifat penjelajah, peniliti

secara continue demi pengembangan pengalaman. Progresif menganggap

pendidikan sebagai cultural transition. Progresif percaya bahwa pendidikan

dapat menolong manusia dalam menghadapi periode transisi antara zaman

tradisional yang segera berakhir, untuk siap memasuki zaman modern yang

segera kita masuki.

mungkin tidak benar di masa mendatang Aliran ini berpendapat bahwa

pengetahuan yang benar pada masa kini. Pendidikan harus terpusat pada anak

bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.19 Progresif menurut

Djumransyah, selalu berhubungan dengan pengertian The liberal road to culture

yakni liberal bersifat fleksibel, toleran dan bersifat terbuka, serta ingin mengetahui

dan menyelidiki demi pengembangan pengalaman.20 Progresif bertujuan memberi

keahlian dan alat yang diperlukan kepada individu untuk berinteraksi dengan

lingkungan yang senantiasa berubah secara konstan. Progresif berpendapat tidak

ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresif bersifat dinamis dan

temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis.

Menurut progresif, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman

baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar

berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks.

Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang

19Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media,

2006), h. 54. 20H.M. Djumransyah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayu Media,

2004) Cet. I, h. 175.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 214: Pendidikan Progresif John Dewey

204

setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pengaruh aliran filsafat

progresif dalam konteks pembelajaran tematik. pada pandangan bahwa proses

pembelajaran perlu menekankan pada pembentukan kreativitas, pemberian

serangkaian kegiatan, suasana yang alamiah, dan memperhatikan pengalaman

peserta didik. Dalam konsepsi progresif, setiap pembelajaran selalu menghadapkan

peserta didik pada problematika yang membutuhkan penyelesaian (problem

solving). upaya untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dalam

pembelajaran dilakukan melalui permasalahan yang muncul dalam pembelajaran

dilakukan melalui proses pemilihan dan penyusunan ulang, baik pengetahuan

maupun pengalaman belajar yang dimiliki peserta didik. Dengan demikian, dari

waktu ke waktu peserta didik akan mengalami perkembangan dalam memahami

dan menyelesaikan berbagai persoalan, bukan hanya menyangkut materi

pembelajaran, tetapi juga menyangkut problem individualnya sebagai pribadi,

anggota keluarga dan bagian dari masyarakat.

Dewey berkata, filsafat klasik menggambarkan bahwa dalam alam terdapat

tata terib feodalisme keluarga, kekeluargaan. Kata hukum “alam” menunjukkan

asal sosial dari kategori-kategori filsafat tersebut. Tiap masyarakat membentuk diri

dengan gambarannya sendiri. Oleh karena itu, ilmu pendidikan John Dewey lebih

condong untuk membentuk manusia yang dapat mengabdi pada masyarakat.

“pertumbuhan adalah satu-satunya tujuan dari moral.21

Ciri utama dari progresif yakni mempercayai manusia sebagai subyek yang

memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya yang

multikompleks dengan kemampuan dan kekuatan sendiri. Dan dengan kemampuan

itu manusia dapat memecahkan semua problemnya secara intelegen, dengan

intelegensi aktif. Dalam makna ini, maka liberalisme di atas berarti menghormati

martabat manusia, menghormati harga diri manusia sebagai subjek di dalam

hidupnya. Dalam arti demokrasi, pandangan-pandangan progresif merupakan cara

berpikir liberal yang memberi kemungkinan dan prasyarat bagi perkembangan tiap

pribadi manusia sebagaimana potensi yang ada padanya.22

3. Dalam hal kejiwaan ia menganut behaviorisme (teori hal tingkah laku).

Beberapa pengertian pokok mengenai behaviorisma diantaranya:

a. Kehidupan jiwa digerakkan dari luar, tidak dari dalam

b. Tiap perbuatan atau tingkah laku manusia adalah reaksi atas perangsang

(stimulus) dari luar. Stimulus-respons merupakan perangsang langsung

yang menimbulkan reaksi.

c. Perbuatan manusia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.

Lingkungan hidup ini terus menerus merupakan perangsang, dan

perangsang dapat dilihat melalui kebiasaan. Begitulah perbuatan manusia

merupakan deretan kebiasaan. Manusia adalah makhluk repleks atau

makhluk kebiasaan.

21Rosjidi, Mencari Agama pada Abad XX wasiat filsafat, (Jakara: PT. Bulan

Bintang, 1986), h. 121. 22 Muhammad Noor Syam,... . h. 227.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 215: Pendidikan Progresif John Dewey

205

Alam sekitar atau lingkungan hidup kita selalu mengandung bahaya dan

menimbulkan berbagai kesulitan yang menghambat kemajuan, jika kita tidak dapat

mengatasinya bahaya itu akan selalu ada dan berganti-ganti sifatnya sesuai dengan

masyarakat yang selalu berubah pula. Zaman dahulu sering banjir sehingga

mendatangkan binatang buas, lalu sekarang lalu lintas kurang berperan total, udara

dan air kotor, kepadatan penduduk dan sebagainya yang dapat membahayakan

kehidupan manusia. Kita wajib bertindak guna mengatasi kesulitan dari luar

dengan kerja badan atau rohani, terutama berpikir. Kita harus berpikir dan bekerja,

karena berpikir tidak lain adalah reaksi atau perangsang dari luar, yaitu kesulitan.

Dengan ini jelaslah bahwa dasar ilmu kejiwaan dari John Dewey itu behaviorisme.

Ternyata bahwa bekerja dan berbuat itu termasuk proses dalam evolusi.

Dan barang siapa yang dapat mengatasi kesulitan atau berbuat yang tidak

bermanfaat guna menyesuaikan diri dengan alamnya, jadi kalah dalam perjuangan

untuk hidup (The Strunggle for Life) dan akan tenggelam atau lenyap dari

masyarakat. Ia terseleksi oleh alam dan disingkirkan. Tinggalah yang kuat, artinya

yang dapat bertahan menyesuaikan diri dengan alamnya atau lingkungan hidup

maupun ekologinya (The Survival of The Fittes).

Adapun pemikiran pendidikan John Dewey sebagai berikut: menurut

Dewey tidak diutamakan pendidikan kecerdasan, tetapi kecerdasan sosial dan

kesusilaan. Kecerdasan penting tetapi bukanlah hal yang utama, tetapi pendidikan

kemasyarakatan dan kesusilaan menurut Dewey amat erat kaitannya. Dan untuk

mencapai pendidikan kemasyarakatan dan pendidikan kesusilaan, John Dewey

menginginkan pendidikan untuk anak berdasarkan atas 2 segi yaitu psikologi dan

sosiologi.

1. Dasar Psikologi. Cara memberi pengajaran wajib disesuaikan dengan tingkatan

perkembangan, cara berpikir dan cara bekerja anak. Penentuan bahan

pengajaran wajib disesuaikan dengan perhatian dan keperluan anak, sebagai

akibat dari instingnya. Maka segala sesuatu wajib disesuaikan dengan insting

anak.23Dewey mengenal empat macam insting, yaitu:

a. Insting sosial. Insting sosial yang dimaksud oleh Dewey ialah keinginan

anak mengadakan hubungan dengan orang di sekitarnya. Insting sosial

sebagai proses pertumbuhan dan proses dimana anak didik dapat

mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Kita

amati anak bermain bersama temannya akan mudah bermain jika tidak ada

teman anak akan merasa kesulitan dalam bermain. Alat permainan saja

belum cukup untuk anak, ia masih memerlukan temannya untuk bermain

bersama. Ada alat penghubung sosial yang dipergunakan dalam pergaulan,

yaitu bahasa. Bahasa tidak hanya menjadi alat penghubung dalam

pergaulan anak, tetapi juga generasi lampau.

Anak adalah organisme yang mengalami satu proses pengalaman, sebab ia

merupakan bagian integral dari lingkungannya dengan peristiwa-peristiwa,

23Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan

Progresif John Dewey (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), cet I, h. 71.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 216: Pendidikan Progresif John Dewey

206

antar hubungan, perasaan pikiran dan benda-benda. Anak dalam

lingkungannya selalu mengalami perubahan proses pendidikan untuk

latihan dan penyempurnaan intelegensi. Sekolah merupakan lembaga

pembinaan anak yang paling efektif, jika sekolah tersebut didasarkan pada

prinsip-prinsip pendidikan yang tepat. 24

b. Insting menyelidiki. Bukti adanya insting menyelidiki ialah bahwa anak itu

suka merusak segala sesuatu yang ia pegang. Alat permainan yang dibeli

mahal oleh orang tua untuknya sebentar saja ia rusak, karena ingin

menyelidiki seluk beluk permainan itu. Ia ingin mengetahui apa sebabnya

mobil dapat berjalan, apa isi dari perahunya, apakah bonekanya berdarah

seperti dirinya apabila ditusuk pisau dan sebagainya.

c. Insting kesenian. Insting kesenian adalah kelanjutan dari insting

membangun. Anak ingin menghias hasil perbuatannya, agar menjadi lebih

baik dipandang mata. Rumah-rumahan yang baru saja selesai tidak

ditinggalkan begitu saja; rumah itu dihias dengan berbagai alat, bendera,

daun, tanaman, gambaran dan sebagainya. Kesukaan anak untuk menari,

menyanyi, menggambar dengan warna menambah bukti bahwa anak ada

insting kesenian itu.

2. Dasar Sosiologi. Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran

adalah kepentingan kemajuan masyarakat. Tiap anggota masyarakat

berkewajiban mengembangkannya dan anak wajib dibimbing ke arah itu.

Bahan pengajaran perlu diambil dari problem masyarakat. Dewey pula

menemukan tentang gagasan pemikirannya, yaitu pendidikan seluruh rakyat,

pendidikan suatu bangsa, dan melalui keduanya akan menghantarkan

pendidikan ke suatu zaman. Hal ini merupakan usaha untuk mengarahkan

kembali seluruh kebudayaan pada suatu taraf yang paling mendasar yakni

transformasi sosial. Transformasi sosial yaitu perubahan kondisi sosial,

ekonomi, dan politik secara mendasar. Hal ini akan berhasil jika seluruh

penduduk dilibatkan.

Pendidikan yang diusung oleh John Dewey itu terkenal dengan pendidikan

progresif yaitu pendidikan yang dijalankan secara demokratis. Pada tataran

praktisnya, dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, peserta didik harus

berperan aktif dalam proses belajar ataupun dalam menentukan materi pelajaran.

Dalam istilah yang dikembangkan konsep pendidikan progresif John Dewey

tersebut disebut pendidikan progressif.25

“Dewey continually argues that education and learning are social and

interactive processes, and thus the school itself is a social reformn can should take

place. In addition, he believed thats students thrive in an environment where they

are allowed to experience and interact with the curriculum, and all students should

have the opportunity to take part in their own learning. (My Pedagogic Creed,

24 Muhammad Noor Syam, Pendidikan Partisipatif ... h. 249-250. 25Zulkarnain el Lomboky, Konsep Pendidikan sebuah Tinjauan Kritis (majalah

Gontor Media Parekat Umat, edisi 03 tahun IX Juli 2011, h. 28.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 217: Pendidikan Progresif John Dewey

207

Dewey, 1897). Since education is a social process, and there are many kinds of

socieies, a criterion for educational criticism and consruction implies a particular

social ideal”.26

Dewey berpendapat bahwa pendidikan dan pembelajaran adalah proses

sosial dan interaktif, dan dengan demikian sekolah itu sendiri adalah lembaga

sosial dimana reformasi sosial dapat dan harus dilakukan. Selain itu, ia percaya

bahwa berkembang dalam lingkungan dimana mereka diizinkan untuk mengalami

dan berinteraksi dengan kurikulum, dan semua siswa harus memiliki kesempatan

untuk diambil bagian dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena pendidikan

merupakan proses sosial, dan ada banyak jenis masyarakat, kriteria untuk kritik

pendidikan dan konstruksi menyiratkan ideal sosial tertentu.

Dalam bukunya berjudul My Pedagogy Creed dan Democracy and

Education, Dewey menjelaskan bahwa pendidikan dan pembelajaran tak ubahnya

adalah sebuah proses interaktif. Sekolah adalah institusi sosial yang mana

reformasi sosial dapat dan harus dilakukan. Ia berpendapat bahwa siswa harus

berkembang dalam lingkungannya dan berhak berinteraksi dengan kurikulum serta

setiap siswa berhak untuk mengambil bagian dalam proses pembelajaran mereka

sendiri. Karena pendidikan merupakan proses sosial, dan ada banyak jenis

masyarakat, kriteria untuk kritik pendidikan dan konstruksi menyiratkan ideal

masyarakat sosial tertentu. Sehingga benar adanya bahwa output sebuah lembaga

pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan ideal masyarakat tertentu. Dalam

alinea lain, John Dewey menjelaskan tentang tujuan pendidikan sebagai suatu

bentuk konservatif dan progressif, yaitu:

All education forms character, mental and moral, but formation consist in

the selection and coordination of native activities so that may utilize the subject

matter of the social environment. Moreover, the formation is not only a formation

of native of activities but it takes place through them. It is a process of

reconstruction, reorganization.27

Semua pendidikan membentuk karakter, mental dan moral, tetapi formasi

terdiri dalam pemilihan dan koordinasi kegiatan asli sehingga mungkin untuk

memanfaatkan siswa sebagai subjek lingkungan sosial. Selain itu informasi tidak

hanya pembentukan kegiatan asli, tetapi dapat terjadi dengan cara melibatkan

mereka. Itu adalah sebuah proses rekonstruksi dan reorganisasi.

Artinya bahwa semua jenis pendidikan adalah sebuah proses yang secara

berkelanjutan guna membentuk karakter, mental, dan moral manusia. Tetapi proses

tersebut adalah berupa aktivitas nyata dengan memanfaatkan sebuah maeri yang

berkenaan dengan lingkungan sosial, sehingga siswa dilibatkan dalam aktivitas

dalam lingkungan masyarakat sekolahnya. Sehingga serangkaian tersebut adalah

sebagai proses rekonstruksi pembentukan karakter, mental dan moral.

26 John Dewey, Democracy and Education, (New York: Macmillan, 1916), h. 95 27 John Dewey, Democracy ..., h. 69.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 218: Pendidikan Progresif John Dewey

208

Konsep pendidikan menurut aliran progresif sebagaimana sesuai dengan

aliran progresif John Dewey adalah sebagai berikut:28

Tabel 5.1 Komponen Pendidikan Progresif John Dewey

No

Komponen

Keterangan

1 Hakikat pendidikan Menghendaki pendidikan yang pada

hakikatnya progresif, tujuan

pendidikan hendaknya diartikan

sebagai rekonstruksi pengalaman

yang terus menerus, agar peserta

didik dapat berbuat sesuai intelegen

dan mampu mengadakan penyesuaian

dan penyesuaian kembali sesuai

dengan tuntunan dari lingkungan

2 Tujuan pendidikan - Siswa memiliki keterampilan, alat

dan pengalaman sosial (interaksi

dengan lingkungan)

- Siswa memiliki kemampuan

problem solving (personal

maupun sosial)

- Tujuan pendidikan keseluruhan

adalah melatih anak agar kelak

dapat bekerja. Bekerja secara

sistematis, mencintai kerja, dan

bekerja dengan otak dan hati.

Untuk mencapai tujuan tersebut,

pendidikan harusnya merupakan

pengembangan sepenuhnya bakat

dan minat setiap anak.

4 Kurikulum - Kurikulum dibangun dari

pengalaman personal dan sosial

siswa

- Ilmu sosial sebagai inti untuk

problem solving

- Keterampilan komunikasi, proses

matematika, scintific inquiry

secara interdisiplner sebagai alat

problem solving

- Buku sebagai alat proses belajar,

28Basuki As’adi dan Miftahul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan,

(Jakarta:Stain PO Press, 2010), h. 43-46.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 219: Pendidikan Progresif John Dewey

209

bukan sebagai pengetahuan

pokok

- Kurikulum pendidikan progressif

adalah berisi studi tentang dirinya

sendiri, studi tentang lingkungan

sosial, studi tentang lingkungan

alam dan studi tentang seni.

5 Metode - Metode belajar aktif. Metode

pendidikan progresif lebih

berupaya penyediaan lingkungan

dan fasilitas yang memungkinkan

berlangsungnya proses belajar

secara bebas pada setiap anak

untuk mengembangkan bakat dan

minatnya.

- Metode memonitor kegiatan

belajar. Mengikuti proses

kegiatan-kegiatan anak belajar

sendiri, sambil memberikan

bantuan-bantuan tertentu apabila

diperlukan yang sifatnya

memperlancar proses

berlangsungnya kegiatan-

kegiatan belajar tersebut.

- Metode penelitian ilmiah.

Pendidikan progresif merintis

digunakannya metode penelitian

ilmiah yang tertuju pada

penyusunan konsep, sedangkan

metode pemecahan masalah lebih

tertuju pada pemecahana

masalah-masalah kritis.

- Pemerintahan pelajar. Pendidikan

progresif memperkenalkan

pemerintahan pelajaran dalam

kehidupan sekolah (student

goverment) dalam rangka

demokratisasi dalam kehidupan

sekolah, sehingga pelajar

diberikan kesempatan untuk turut

serta dalam penyelenggaraan

kehidupan di sekolah

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 220: Pendidikan Progresif John Dewey

210

6 Pengajar - pembimbing dalam proyek dan

aktivitas problem solving

- guru dalam melakukan tugasnya

dalam praktek pendidikan

berpusat pada anak. Adapun

peran guru sebagai (a) fasilitator,

atau orang yang menyediakan

dirinya untuk memberikan jalan

bagi kelancaran proses belajar

sendiri siswa; (b) motivator, atau

orang yang mampu

membangkitkan minat siswa

untuk terus belajar sendiri (c)

konselor, atau orang dapat

membantu siswa menemukan dan

mengatasi sendiri masalah-

masalah yang dihadapi setiap

siswa dalam kegiatannya belajar

sendiri. (d) guru mempunyai

pemahaman yang baik tentang

karakteristik siswa, dan teknik-

teknik memimpin perkembangan

siswa, serta kecintaan pada anak

agar dapat melaksanakan

peranan-peranan yang baik.29

Untuk itu guru harus sabar,

fleksibel, interdispliner, cerdas

dan kreatif.

Dalam bukunya yang berjudul Experience and Education, John Dewey

menyusun pendidikan progresif terhadap materi pokok pelajaran. Bahwa telah

menjadi ajaran pokok pendidikan gaya baru bahwa pembelajaran harus dimulai

dengan pengalaman yang telah dimiliki para pelajar, hal ini adalah titik awal bagi

proses belajar selanjutnya. Tugas pendidik adalah memilih hal-hal tertentu dalam

lingkup pengalaman yang ada, yang mengandung janji dan kemampuan untuk

menyajikan sejumlah masalah baru yang dengan cara merangsang cara observasi

dan pertimbangan baru akan memperluas bidang pengalaman selanjutnya. Langkah

berikutnya adalah perkembangan progresif dari apa yang telah dialami untuk

menjadi bentuk pengalaman yang lebih penuh, lebih kaya dan juga lebih tersusun,

29 Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PR Raja Grafindo

Persada, 2014), h. 147-148.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 221: Pendidikan Progresif John Dewey

211

yaitu suatu bentuk pengalaman yang secara berangsur mendekati bentuk penyajian

materi pelajaran bagi pribadi matang yang lebih terampil.30

Dalam konsep pendidikan lama, situasi pembelajaran didominasi oleh

guru. Siswa lebih bersifat pasif menerima sepenuhnya materi apa saja yang

disampaikan oleh guru. Kurikulum mutlak direncanakan, disusun dan dibuat oleh

pemerinah dan guru atau sekolah tanpa mengikutsertakan siswa. Sehubungan

dengan hal tersebut John Dewey mengemukakan ide dan gagasannya dalam konsep

pendidikan progresif, sebagaimana berikut:31

1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar secara perorangan

(individually learning).

2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar melalui pengalaman

(learning by experience).

3. Guru memberi dorongan semangat dan motivasi bukan hanya pemerintah.

Artinya bahwa guru memberikan penjelasan tentang arah kegiatan

pembelajaran yang merupakan kebutuhan siswa.

4. Guru mengikutsertakan siswa dalam berbagai aktivitas kehidupan belajar

di sekolah yang mencakup pengajaran, administrasi dan bimbingan.

5. Guru memberi arahan dan bimbingan sepenuhnya agar siswa menyadari

bahwa hidup itu dinamis dan mengalami perubahan yang begitu cepat.

Keterlibatan peserta didik adalah syarat pertama dalam kegiatan belajar di

kelas. Untuk terjadinya keterlibatan peserta didik harus memahami dan memiliki

tujuan yang ingin dicapai. Keterlibatan peserta didik itu pun harus memiliki arti

penting sebagai bagian dari dirinya dan perlu diarahkan secara baik dari sumber

belajar. Dalam bukunya Sudjana mengemukakan bahwa syarat kelas yang efektif

adalah adanya keterlibatan, tanggung jawab dan umpan balik dari peserta didik.32

Untuk mengukur keberhasilan pola pendidikan progresif, sekolah dapat

mengetahui melalui pengamatan sejauh mana pendidikan atau sekolah itu sendiri

mampu mengeksplorasi kecerdasan, minat dan bakat peserta didik serta

mengembangkan secara baik dan maksimal. Dengan demikian pendidikan yang

progresif akan menciptakan kondisi pembelajaran yang selalu sesuai dengan

keinginan dan kebutuhan peserta didik (pembelajar).

Selain di atas konsep pendidikan yang diuraikan oleh Dewey tersebut tidak

ditemui dasar pemikirannya yang menunjukkan dan mengarahkan pada kebenaran

Tuhan. Ditinjau dari konsep pendidikan Islam, maka konsep pendidikan Dewey

tidak menunjukkan proses pendalaman agama, proses mengenal pencipta manusia,

dan proses mengenal dirinya sendiri, melainkan seperti yang dikatakannya bahwa,

“it is the very nature of life to strive to continue in being. Since this continance can

be secured only by constant renewals, life is a self-renewing process. What

nutrition and reproduction are to physiological life, education it is social life”.

30 Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif... h. 80. 31 Wasti Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 3-5. 32 Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta:Bumi Aksara, 2011), h.

189.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 222: Pendidikan Progresif John Dewey

212

Seolah pendidikan kata Dewey adalah kebutuhan sosial karena solidaritas sosial ini

akan memunculkan ketentuan-ketentuan yang dianut oleh masyarakat tersebut.33

Dari sini tampak bahwa pernyataan Dewey tersebut, tidak menunjukkan dan

mengarahkan pada ketentuan Tuhan dan kebenaran-Nya. Tampak bahwa sosial

inilah orientasi pendidikannya. Masyarakatlah yang akan membuat ketentuan-

ketentuan atau peraturan dalam kehidupan. Dari sini sekaligus menunjukkan bahwa

pendidikan menurut Dewey hanya mengarah kepada kehidupan dunia saja. Seolah

tidak ada lagi kehidupan sesudah manusia mati. Dalam pandangan Islam, Konsep

pendidikan Islam mempunyai dua orientasi pendidikan, yaitu orientasi kehidupan

duniawiyah dan orientsi kehidupan ukhrawiyah. Karena proses pendidikan dalam

Islam mengorientasikan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, yaitu bahagia

dunia dan akhirat34

Adapun sekolah yang dikehendaki John Dewey adalah sekolah kerja.

Sekolah percobaan yang didirikan pada bulan oktober tahun 1895 dan digabungkan

pada Universitas Chicago itu berkembang dengan baik kira-kira 60 tahun sesudah

didirikan sekolah itu sudah kurang lebih 800 orang muridnya. Dewey memberikan

nama sekolah percobaannya dengan nama sekolah progressif. Maksud dengan

nama itu hendak dikemukakan bahwa metode dan alat-alat pelajaran yang

digunakan sekolah itu senantiasa merupakan yang terbaik. Nilai dari setiap alat

akhirnya akan ditentukan dari hasil yang diperoleh.

Metode yang digunakan pada sekolah progressif itu kadang-kadang

memang agak ganjil tampaknya. Murid-murid disuruh belajar memecahkan soal-

soal yang dihadapinya. Latihan-latihan wajib pula diberikan supaya anak dapat

menaklukan segala kesulitan yang mungkin dihadapinya kelak. Sekolah

mengajarkan anak untuk berpikir perihal segala sesuatu yang mengandung nilai

bagi hidup kita. Berpikir itu mungkin hanya sesudah anak menerima bekal

pengetahuan yang cukup dari seorang pendidik. Jadi, seharusnyalah seorang

pendidik memilih masalah-masalah yang tepat di sekolah percobaan. Masalah-

masalah itu terdapat diberbagai lapangan.

Sekolah percobaan selalu berikhtiar supaya anak menggunakan segala

sesuatu yang dianugerahkan alam kepadanya ketika dilahirkan. Ia harus maju,

karena itu anak harus bersungguh-sungguh. Anak-anak di sekolah percobaan

umumnya tak banyak menimbulkan kesulitan karena murid diajak mencapai

tujuannya dengan jalan menggerakan perhatiannya. Selain itu, ditujukan kepada

faedah belajar dan bekerja. Hal itu membangkitkan dan mengukuhkan perhatian

pula. Karena itu guru perlu memahami arah perhatian murid-muridnya dan pandai

33Taufik Abdullah, “Agama Sebagai Kekuatan Sosial”, dalam Taufik Abdullah dan

M. Rusli Karim. Ed, Metode Penelitian Agama, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: PT. Tiara

Wacana, 1991), h. 31. 34M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis

Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 112.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 223: Pendidikan Progresif John Dewey

213

menggunakan perhartian.35 Sebagaimana sekolah kerja John Dewey yang telah

dipaparkan di atas, maka Dewey mengkritik sekolah tradisional mengenai:

a. Bahan pengajaran.

Di sekolah tradisional terlalu banyak mata pelajaran yang diajarkan, karena

tujuan sekolah tradisional ialah agar para siswa kelak dapat menduduki jabatan

intelektual. Bahan materi pelajaran menjadi pusat (materi-sentris). Itu tidak sesuai

dengan kenyataan, karena hanya sebagian kecil saja yang terdapat pada bahan

materi pelajaran dibutuhkan untuk masa yang akan datang.

Adapun tugas sekolah adalah sebagai berikut: pertama, sekolah hendaknya

dapat menggantikan faktor-faktor pendidikan dalam keluarga (nilai kerjasama,

tolong-menolong, dan tanggung jawab hidup). Sekolah hendaknya dapat menjadi

fungsi sebagai sekolah kerja. Kedua, sekolah hendaknya mencerminkan

masyarakat, yang inti dari pelajaran sekolah berhubungan dengan masyarakat.

Peserta didik memasuki lapangan penghidupan yang sesungguhnya dengan pola

belajar sambil bekerja. Ketiga, sekolah hendaknya sanggup menyiapkan peserta

didik dengan cara melatih untuk memikul tanggung jawab, inisiatif, dan pandangan

sosial dalam menghadapi masa depan.

Dalam bukunya Democracy and Education, Dewey menawarkan suatu

konsep pendidikan yang adaptif dan progresif bagi perkembangan masa depan.

Pendidikan harus mampu membekali anak didik sesuai dengan kebutuhan yang ada

pada lingkungan sosialnya. Untuk merealisasikan konsepnya tersebut, ia

menawarkan dua metode pendekatan dalam pengajaran, yaitu: Pertama, Problem

Solving Method. Metode problem solving, anak didik dihadapkan pada berbagai

situasi dan masalah-masalah yang menantang, dan anak didik diberi kebebasan

sepenuhnya untuk memecahkan problem tersebut sesuai perkembangan

kemampuannya. Dalam proses belajar mengajar seperti ini, guru bukan satu-

satunya sumber belajar atau ilmu, bahkan kedudukan guru hanya membantu siswa

dalam memecahkan kesulitan yang dihadapinya. Kedua, Learning by Doing

Method. Metode ini sebagai upaya untuk menjembatani kesenjangan antara dunia

pendidikan dengan kebutuhan dalam masyarakat. Supaya anak didik bila telah

menyelesaikan pendidikannya bisa eksis dalam masyarakat, maka sejak di sekolah

perlu dibekali dengan berbagai keahlian praktis, sesuai dengan kebutuhan

masyarakat sosialnya.36

Maka perlulah mata pelajaran yang banyak jumlahnya dan menimbulkan

pendidikan intelektual itu dikurangi dan diganti dengan pengajaran dan latihan

bekerja. Dewey berkata: tidak hanya dengan berhitung orang dididik berpikir,

melainkan juga dengan bekerja. Dengan bekerja dengan berupa apapun, pikiran

dan intelegensi orang dapat dididik.

Pendidikan bukanlah hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak

didik saja, melainkan yang terpenting ialah kemampuan berpikir secara ilmiah.

35Siahaan, John Dewey, Penganut Filsafat Pragmatisme Penganjur Sekolah

Karya, (Jakarta: KU, 1985), h. 67-68 36 Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan, h. 261-262.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 224: Pendidikan Progresif John Dewey

214

Semua itu dilakukan agar orang akan dapat bertindak dengan intelegen sesuai

dengan tuntutan dari lingkungan.37Pengetahuan yang diberikan di sekolah

tradisional kepada murid merupakan pengetahuan yang telah disiapkan dan telah

terpecahkan kesulitannya terlebih dulu oleh orang dewasa, anak tinggal

mendengarkan, percaya dan menghafal saja. Itu tidak ada gunanya. Anak harus

mengalami proses berpikir sendiri dari permulaan hingga akhir, sesuai dengan

tingkat kemajuannya sendiri. Karena itu janganlah guru berpikir dan memecahkan

masalah untuknya. Hal ini menjadikan siswa lebih mempunyai potensi untuk

mengerti, memecahkan masalah, komunikasi dan daya cipta.

Bahan pengajaran di sekolah tradisional diberikan secara terpisah. Mata

pengajaran tidak memiliki hubungan dengan mata pengajaran yang lain. Bahan

pengajaran yang diberikan di sekolah tidak ada hubungannya dengan kebutuhan

anak dalam hidupnya di masyarakat. Karena itu pengalaman yang didapatkan anak

di sekolah tidak dapat digunakan di masyarakat. Begitulah pengajaran teori di

sekolah dengan praktek dalam kehidupan di masyarakat terpisah, sekolah

diisolasikan. Keadaan itu wajib diubah. Mata pengajaran yang satu wajib

dihubungkan dengan mata pengajaran lain. Bahan pengajaran di sekolah wajib

dapat dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat, sesuai dan memenuhi

kebutuhannya. Murid perlu diberikan kesempatan untuk belajar dari pengalaman

yang pernah dialaminya, kemudian diintegrasikan dengan teori yang anak didapati

di sekolah. Siswa wajib disadarkan bahwa pengajaran di sekolah serta pengalaman

yang ia alami akan diterapkan di dalam kehidupan yang selalu berubah.

b. Guru dan cara mengajar.

Di sekolah tradisional gurulah yang menentukan segala sesuatu. Gurulah

yang memaksakan bahan pengajaran kepada anak, memecahkan masalah untuk

anak, guru yang senantiasa aktif. Dengan begitu tidak mungkin anak mempunyai

perhatian yang spontan atau minat langsung. Bahkan siswa hanya memperhatikan

secara terpaksa karena guru menakuti siswa dalam berbagai hukuman.

Menurut Dewey, tidak perlu adanya minat paksaan, sebab kecuali minat

tidak langsung ditimbulkan pada anak. Misalkan anak menyukai ilmu alam, tetapi

untuk mendapatkan ilmu alam itu dengan baik perlulah ia berhitung. Berhitung

yang tidak disukai anak. Untuk itu, guru wajib membangkitkan semangat anak

untuk berhitung dengan menyadarkan anak bahwa berhitung itu penting untuk ilmu

alam. Maka bagaimanapun sulitnya berhitung, anak tersebut harus mempelajari

berhitung dengan sebaik-baiknya demi ilmu alam yang ia sukai. Adanya integrasi

antara ilmu pengetahuan alam dengan ilmu pengetahuan matematika. Guru di

sekolah hanya berfungsi sebagai penunjuk jalan saja, pengamat tingkah laku anak

untuk dapat mengetahui hal yang menarik minat anak.

c. Murid dan cara belajar.

John Dewey ingin mengubah bentuk pengajaran tradisional, dimana

terdapat cara belajar DDCH (duduk, dengar, catat, hafal), murid bersifat reseptif

37Jalaludin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama,

1997), h. 77.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 225: Pendidikan Progresif John Dewey

215

dan pasif saja. Hanya menerima pengetahuan sebanyak-banyaknya dari guru,

tanpa melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar, guru

mendominasi kegiatan belajar. Murid tanpa diberikan kebebasan sama sekali

untuk bersikap dan berbuat. Segala sesuatu terletak di luar minat anak.

Keadaan seperti itu wajib diubah. Anak harus bekerja bersama-sama,

menyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan sendiri,

membangun sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya. Dengan jalan ini anak

belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Learning by doing adalah hal

yang dikehendaki John Dewey dalam sekolah.

Anak harus dididik kecerdasannya, agar padanya timbul hasrat untuk

menyelidiki secara teratur dan akhirnya dapat berpikir secara keilmuan, obyektif

dan logis. Hal yaing harus diperhatikan adalah jalan berpikir, bukan yang

dipikirkan. Jadi pendidikan formal bukan materil yang dialami sebagai pengalaman

negatif haruslah disadari dan dijadikan suatu pengalaman positif dengan mengubah

cara bertindak.

d. Penyelenggara sekolah.

Alat pelajaran dan peraturan di sekolah tradisional seakan-akan memaksa

anak untuk pasif, dari segi perbuatan di sekolah yang begitu kaku maupun bentuk

bangunan sekolah, rencana pelajaran, dan metode pelajaran. Hal tersebut bersifat

mengikat, tidak memberikan kebebasan kepada anak maupun guru. Karena itu

sekolah terpisah dari rumah, alam sekitar, lingkungan hidup, perindustrian,

perdagangan dan sebagainya. Tidak ada kesempatan untuk mengadakan

penyelidikan (survey) dan percobaan. Jumlah mata pelajaran terlalu banyak dan di

dalam kelas terlalu banyak murid.

Sekolah kerja harus menyelenggarakan dan mengatur sekolahnya agar

anak dapat bekerja dengan bebas dan spontan. Gedung dan alat pembelajaran wajib

disesuaikan dengan tujuan itu antara berbagai tingkatan sekolah, dari sekolah

rendah sampai sekolah tinggi harus ada satu organisasi yang sama. Pendapat John

Dewey tentang sekolah kerja ini sesuai dengan prinsip filsafat aliran progresif

mengenai komponen pendidikan, sebagai berikut:

Dalam bidang pendidikan, John Dewey telah banyak mencurahkan

perhatiannya, yang mendasari pemikirannya ini adalah analisisnya terhadap

manusia. Menurutnya, manusia dengan bekerja (beraktivitas) mendapat

pengalaman dan pengetahuan. Pengetahuan itu menimbulkan pengertian mengenai

benda, makhluk, gejala, dalil teori yang berguna untuk mencapai tujuan.

Menurutnya manusia dengan bekerja (beraktivitas) memberikan pengalaman, dan

pengalaman memimpin berfikirnya manusia, sehingga manusia dapat bertindak

bijaksana dan benar serta mempengaruhi pula pada budi pekerti. Begitulah

pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, juga sumber dari nilai.38 Oleh

karena itu dalam bukunya How We Think, Dewey berkata bahwa pangkal berfikir

38Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Yasbit,

FIP IKIP), h. 66-68.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 226: Pendidikan Progresif John Dewey

216

ialah suatu keadaan yang menimbulkan sikap ragu-ragu. Karena sikap ragu-ragu itu

maka timbullah hasrat untuk menghilangkannya atau mengatasinya.39

John Dewey mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk rasional

(makhluk berfikir), bahkan menurutnya segala sesuatu yang ada di muka bumi ini

adalah buah dari aktivitas otak manusia. Semua hal yang terjadi dalam masyarakat

jika ditelusuri secara mendalam, maka akan dijumpai bahwa manusialah sebagai

faktor dan aktor utama.40 Akal merupakan sarana bagi manusia yang dapat

mengadakan pembaharuan, rekontruksi dan reorganisasi.41 Karena itu manusia

mampu berkembang ke arah yang tidak dapat diramalkan. Dengan akal manusia

senantiasa dinamis dan progresif. Dewey menentang teori yang mengatakan bahwa

karakter manusia itu statis dan tidak dapat berkembang. Menurutnya pandangan

demikian merupakan teori atau doktrin yang bersifat mengekang dan pesimistik.

Dengan demikian, hakikat manusia menurut John Dewey adalah sebagai

mahkluk yang mempunyai kekuatan dan pola serta watak, fikir, rasa dan semangat

atau kemauan serta nafsu dan insting. Hal ini didasari oleh kebebasan manusia

yang bagi John Dewey termanifestasi dalam dirinya sendiri. Manusia adalah

pribadi-pribadi yang mampu melaksanakan nilai-nilai yang menjadi tujuan dalam

hidupnya.42 Menurutnya, pengembangan kodrat manusia tersebut harus dilakukan

dan menjadi keharusan dari pendidikan. Bagi Dewey, Education is growth,

development, life. Ini berarti bahwa proses pendidikan itu tidak mempunyai tujuan

di luar dirinya, tetapi terdapat dalam pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan juga

bersifat kontinu, merupakan reorganisasi, rekonstruksi, dan pengubahan

pengalaman hidup.43 Pendidikan itu adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan

untuk hidup. Kehidupan yang baik adalah kehidupan intelegen, yaitu kehidupan

yang mencakup interpretasi dan rekonstruksi pengalaman. Artinya pendidikan itu

adalah pertumbuhan berikutnya. Jadi, pendidikan itu merupakan organisasi

pengalaman hidup, pembentukan kembali pengalaman hidup, dan juga perubahan

pengalaman hidup itu sendiri. mengenai hidup, pada dasarnya adalah proses

perbaikan diri. Maka kelestarian hidup itu hanya dapat dijaga dengan perbaikan

yang bersifat konstan.

Hal ini sangat alami dalam kehidupan adalah bekerja keras untuk

menyambung hidup. Jika dilihat dari pemikiran dasar dan tujuan pendidikan John

Dewey, penulis menarik kesimpulan secara umum mengenai dasar atau sumber

yang dijadikan pijakan pendidikannya adalah: pertama, dasar pokok dari

39John Dewey, How We Think, (Boston: D.C. Heath and Co. 1933), h. 4. 40John Dewey, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan, (Jakarta: Saksama, 1955),

terj. E. M. Aritonang, h. 238-239. 41John Dewey, Democracy and Education, (New York: The MacMillan Company,

1950), h. 340. 42Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1989), h. 17. 43Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,

(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 40.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 227: Pendidikan Progresif John Dewey

217

filsafatnya teori evolusi dari Darwin; Kedua, teori pragmatisme. Ketiga, dalam

kejiwaan ia menganut teori behaviorisme (teori hal tingkah laku) serta

berlandaskan pada filsafat pragmatisme dan pengalaman yang merupakan dasar

bagi pengetahuan dan kebijakan. Adapun tujuan pendidikannya secara sosiologis

adalah untuk menjadikan peserta didik atau warga masyarakat yang demokratis

sesuai dengan kehendak kebudayaan bangsa atau negaranya, dan hal-hal yang

berguna atau langsung dirasakan oleh masyarakat serta mencapai kekebalan semua

generasi penerus masyarakat yang dididik. Sedangkan secara psikologis tujuan

khusus pendidikan adalah untuk menjadi peserta didik yang mempunyai

keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya untuk

menghadapi serta menyiapkan masa depannya. Pandangan progressif John Dewey

dan pragmatisme John Dewey tentang bahan pelajaran (kurikulum) bertumpu pada

pandangannya tentang anak didik. Mereka beranggapan bahwa anak didik adalah

mahluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan mahluk-mahluk lain, yaitu akal

(pikiran) dan kecerdasan. Akal (pikiran) dan kecerdasan adalah bekal untuk

menghadapi dan memecahkan problema-problema. Pikiran anak-anak itu aktif dan

kreatif, tidak secara pasif begitu saja menerima apa yang diberikan gurunya.44

John Dewey mengulas secara rinci tentang metode pengajaran, dimana

metode pengajaran tersebut diterapkan disesuaikan dengan perkembangan peserta

didik. Dapat ditarik benang merah bahwa metode yang diterapkan meliputi; (1)

metode pengajaran progresif, yakni Learning by Doing Method; (2) metode

pemecahan masalah (problem solving) dan; (3) Metode pengajaran disiplin.

Ketiganya menggunakan pendekatan psikologis dan sosiologis serta secara kusus

menggunakan dengan metode pengajaran disiplin dengan menyesuaikan terhadap

potensi, minat dan bakat, perkembangan, pengalaman, karakter dan daya tangkap

siswa atau peserta didik. Hakikat pendidikan menurut Ibn Khaldūn dan John

Dewey memiliki titik temu pada proses pemanusiaan, hanya saja pada konsep Ibn

Khaldūn dimaknai sebagai proses-proses yang bertujuan untuk mencapai

kebahagiaan dunia dan akhirat, mengembangkan potensi (fitrah) serta terwujudnya

kemampuan manusia untuk melaksanakan tugas-tugas keduniaan dengan baik demi

terciptanya peradaban umat manusia. Sedangkan John Dewey hakekat

pendidikannya adalah pembebasan manusia (perserta didik) dari tindakan

dominasi, otoriter menuju pada demokratis, dengan melalui proses humanisasi

yang merupakan pengukuhan manusia sebagai subyek, memiliki kekuatan,

kemampuan dan pola yang berpotensi sebagai dorongan untuk memilih dan

mengubah duniannya dan memecahkan persoalan yang terjadi.

G. Pemikiran Pendidikan Progresif John Dewey

1. Pandangan Progresif tentang Kurikulum

Pengertian kata kurikulum ada korelasi dengan bidang olahraga terbukti

dengan asal kata kurikulum berasal dari bahasa latin yang berarti kereta pacu atau

lapangan yang dipakai untuk perlombaan memacu kereta. ‘Currerre’ berarti lari.

44Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat ... h. 130.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 228: Pendidikan Progresif John Dewey

218

Jadi dengan kurikulum dimaksudkan suatu jarak yang harus ditempuh oleh kereta

yang dipacu oleh suatu perlombaan dari awal sampai akhir. Hal ini menyiratkan

bahwa dalam kurikulum terdapat suatu tujuan yang hendak ditempuh oleh para

peserta lomba dalam suatu kurun waktu yang telah ditetapkan. Pengertian

kurikulum dalam bidang olahraga tersebut kemudian diterapkan dalam bidang

pendidikan.45

Diakui bahwa hasil-hasil pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan.

Hadirnya kurikulum KBK berarti menuntut diimplementasikannya pembelajaran

inovatif Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan banyak upaya telah

dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dirasakan secara

nasional adalah perubahan kurikulum, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi

(KBK) di perguruan tinggi. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang lebih

bersifat student centered. Artinya, pembelajaran yang lebih memberikan peluang

kepada mahasiswa untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri dan

dimediasi oleh teman sebaya46.

Adapun sikap progresif yang meliahat segala sesuatu berdasarkan atas

fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam

pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat

eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Yang dimaksud

dengan pengalaman yang edukatif adalah pengalaman apa saja yang serasi dengan

tujuan menurut prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan, yang setiap

proses belajar yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik.47

Menurut Jalaluddin yang mengutip dari Iskandar Wiryokusumo dan Usman

Mulyadi, seolah yang baik itu adalah sekolah yang dapat memberi jaminan para

siswanya selama belajar, maksudnya yaitu sekolah harus mampu membantu dan

menolong siswanya untuk tumbuh dan berkembang serta memberi keleluasan

tempat untuk para siswanya dalam mengembangkan bakat dan minatnya melalui

bimbingan guru dan tanggung jawab kepala sekolah. Karena tidak ada acuan

standar secara global terhadap kurikulum maka seharusnya terbuka, kemungkinan

akan adanya peninjauan dan penyempurnaan. Denagan fleksibilitas ini dapat

membuka lebar-lebar bahwa ada kemungkinan bagi pendidikan untuk

memperhatikan anak didik dengan segala potensi anak didik dan memiliki sifat-

sifat dan kebutuhannya masing-masing sesuai dengan keadaan dan kebutuhan

setempat. Oleh karena sifat kurikulum progresif yang tidak beku dan dapat direvisi

ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman.

45Widodo Agus Syahrir Syam, Pengembangan Kurikulum Program Studi Bahasa

dan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dipenogoro, Parole, Vol. 2 No. 1,

April 2011 46Eko Swistoro Warimun, penerapan model pembelajaran problem solving fisika

Pada pembelajaran topik optika pada mahasiswa Pendidikan fisika, Jurnal Exacta, Vol. X.

No. 2 Desember 2012 47Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Andi Offset, 1997), h. 36

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 229: Pendidikan Progresif John Dewey

219

Jenis ini, dilukiskan oleh Theodore Brameld sebagai kurikulum yang melepaskan

semua garis penyekat mata pelajaran dan menekankan pada unit-unit.

Dengan adanya belajar maka tercipta pengalaman-pengalaman itu

diperoleh sebagai akibat dari belajar. Peserta didik yang belajar di sekolah akan

mendapatkan pengalaman-pengalaman dari lingkungan sekolah. Maka,

pengalaman-pengalaman itu yang nantinya akan diaplikasikan sesuai dengan

kebutuhan masyarakat. Progresif menolak dengan adanya mata pelajaran yang

diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam satu unit, diharapkan anak

didik dapat berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek

kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dengan berlandaskan sekolah sambil

berbuat inilah praktek kerja di Laboratorium, di Bengkel, di Kebun (lapangan)

merupakan kegiatan belajar yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning

by doing. Selain learning by doing, menurut pandangan progressif John Dewey

bahwa yang maju adalah tipe “Core Curriculum” yang bersifat eksperimental

karena sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan masyarakat.

Implikasi pandangan Dewey tentang pendidikan yang berlandaskan aliran

progresif menyatakan bahwa aktivitas peserta didik perbanyak terlebih dahulu

dalam berpartisipasi pada kegiatan fisik, baru kemudian diarahkan pada

peminatan48 Progresif memiliki pandangan bahwa kurikulum merupakan

pengalaman mendidik, bersifat eksperimental, dan adanya rencana serta susunan

langkah yang teratur. Pengalaman belajar berupa pengalaman apa saja yang serasi

dengan tujuan menurut prinsip-prinsip yang telah digariskan dalam pendidikan, di

mana setiap proses pembelajaran yang ada membantu pertumbuhan dan

perkembangan peserta didik. Dalam prakteknya, progresif merupakan aliran

pendidikan yang berpusat pada siswa. Secara lebih spesifik, proses pembelajaran

penekanan lebih besar diarahkan pada kreativitas, aktivitas, belajar naturalistik,

hasil belajar dunia nyata (empiris), dan pengalaman teman sebaya. Menurut

Dewey, dalam konteks sekolah progresif lebih menekankan pada peserta didik dan

minatnya dibanding pada mata pelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, muncul istilah

child centered curriculum dan child centered school. Progresif mempersiapkan

peserta didik masa kini dibanding masa depan yang belum jelas. Hal ini

diungkapkan juga oleh Dewey, bahwa menurut Dewey pendidikan adalah proses

dari kehidupan dan bukan persiapan hidup di masa yang akan datang.

Hadirnya kurikulum KBK berarti menuntut diimplementasikannya

pembelajaran inovatif. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang lebih

bersifat student centered. Artinya, pembelajaran yang lebih memberikan peluang

kepada mahasiswa untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri dan

dimediasi oleh teman sebaya. Pembelajaran inovatif mendasarkan diri pada

paradigma konstruktivistik. Pembelajaran yang inovatif bertolak belakang dengan

pembelajaran tradisional yang selama ini diterapkan. Pembelajaran inovatif

menekankan pada karakteristik pembelajaran yang mengubah paradigma mengajar

48Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi

Offset, 1997)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 230: Pendidikan Progresif John Dewey

220

menjadi belajar. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, banyak upaya telah

dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dirasakan secara

nasional adalah perubahan kurikulum, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi

(KBK) di perguruan tinggi49. Namun, diakui bahwa hasil-hasil pendidikan di

Indonesia masih jauh dari harapan.

Adapun nilai-nilai yang tercermin pada sikap dapat berbanding lurus

dengan keterampilan yang diperoleh peserta didik melalui pengetahuan di bangku

sekolah merupakan yang selalu ditanamkan dan diusahakan oleh kurikulum 2013.

Apabila dihubungkan dengan kurikulum yang diterapkan di Indonesia sekarang ini,

maka pandangan aliran progresif tersebut sangat relevan dan mempengaruhi,

bahkan menjadi salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum tersebut.

Kurikulum yang dimaksud ialah kurikulum 2013. Kurikulum ini mulai

diberlakukan di Indonesia pada akhir 2013 atau awal tahun 2014. Kurikulum 2013

dimaknai sebagai kurikulum yang dikembangkan dalam rangka meningkatkan dan

menyeimbangkan antara kemampuan soft skill dan hard skill yang berupa kognitif

(pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan).

Aliran progresif merupakan salah satu aliran dari filsafat pendidikan yang

bertumpu pada proses pandangan bahwa kurikulum 2013 secara teoritis lebih

bertumpu pada anak atau siswa sebagai subjek didik bukan sebagai objek didik.

Kurikulum 2013 menghendaki bahwa agar anak atau subjek didik tidak menjadi

generasi yang tidak paham dengan perkembangan zaman. Progressnya suatu

pendidikan yang diinginkan dalam Kurikulum 2013 adalah suatu progress yang

sifatnya kreatif dan inovatif.50 Aliran progresif dikatakan sebagai salah satu yang

mengasaskan pada pengembangan Kurikulum 2013, dikarenakan dalam

Kurikulum 2013 adanya pendekatan pembelajaran yang digunakan ialah

pendekatan saintifiks. Di mana pendekatan saintifiks ini lebih bertumpu pada

pemecahan sebuah masalah (problem solving). Maksud dari pendekatan saintifik

yaitu pembelajaran dilakukan dengan kegiatan mengamati, menanya,

mengumpulkan informasi, menalar, dan mengkomunikasikan. Jadi dapat dipahami

bahwa Kurikulum 2013 sangat relevan dengan pandangan aliran progresif.

Kurikulum 2013, hanya diterapkan pada sekolah yang terpilih menjadi sekolah

piloting. Sekolah yang terpilih salah satunya SMA Negeri 1 Singaraja. Sekolah ini

sudah menerapkan kurikulum 2013 dari tahun pelajaran 2013/2014. Kurikulum

2013 menekankan pada penggunaan model-model pembelajaran yang lebih

inovatif. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang bersifat berpusat pada

siwa (student center). Pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa

untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mendiri (self directed) dan dimediasi

oleh teman sebaya (peer mediated instruction), tetapi bagaimanapun guru tetap

49Eko Swistoro Warimun , Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving Fisika

Pada Pembelajaran Topik Optika Pada Mahasiswa Pendidikan Fisika, Jurnal Exacta, Vol.

X. No. 2 Desember 2012 50Fitri Al Faris, Kurikulum 2013 Dalam PerspektifFilsafat Pendidikan Progresif,

Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 2, Agustus 2015

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 231: Pendidikan Progresif John Dewey

221

memegang peranan penting dalam terjadinya kesuksesan belajar dan pembelajaran

karena guru yang merupakan pihak yang langsung berhubungan dengan siswa

dalam proses belajar mengajar. Hal tersebut sesuai dengan dengan tugas dan

tanggung jawab utama seorang guru yaitu salah satunya melaksanakan kegiatan

pembelajaran siswa51.

Fungsi pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses pewarisan nilai-

nilai Islami untuk menggembangkan potensi manusia, dan sekaligus proses

produksi nilai-nilai budaya Islam baru sebagai hasil interaksi potensi dengan

lingkungan dan konteks zamannya sesuai ruang lingkup filsafat pendidikan Islam

di atas mengandung indikasi filsafat pendidikan Islam sebagai sebuah disiplin

ilmu52 Perspektif Islam, pendidikan menempati ruang yang tinggi nan strategis,

dikarenakan hanya dengan pendidikan orang berilmu, dan dengan ilmu orang akan

mengenal dirinya, Tuhannya, dan alam semesta. Selain itu, hanya dengan

pendidikanlah seseorang dapat memahami posisi dirinya di samping posisi Tuhan,

sehingga akan muncul kesadaran tentang ibadah dan mematuhi Tuhannya. Dalam

urusan dunia, dengan pendidikan manusia akan mampu menghadapi berbagai

rintangan selama menjalani hidup dan kehidupannya. Khusus ilmu, dalam ajaran

Islam merupakan hal yang sangat penting, sehingga menuntut ilmu hukumnya

wajib. Dibandingkan dengan hal lain, ilmu memiliki keunggulan luar biasa, bahkan

ibadah pun tidak akan diterima tanpa didasari ilmu. Demikian pula apabila

dikaitkan dengan strata sosial. Tinggi rendahnya derajat seseorang di sisi Allah, di

samping iman dan takwa ditentukan oleh kualitas keilmuannya. Maka ilmu dapat

berpengaruh dengan kualitas seseorang, maka keberadaan pendidikan sebagai alat

untuk proses perolehan ilmu menjadi sangat penting. Karena itu, proses

penggalian ilmu harus berkesinambungan dilakukan, dimana pun dan kapanpun,

baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Essensi pendidikan dalam ajaran

Islam dipahami sebagai internalisasi nilai-nilai ajaran Islam terhadap peserta didik

dan memproses transformasi melalui pengolahan potensi sesuai fitrahnya agar

memperoleh keseimbangan hidup dalam semua aspeknya, terutama keseimbangan

antara dunia dan akhirat. Dalam hal pendidikan secara umum, kurikulum

merupakan pokok dari suatu pendidikan yang tidak hanya saja dimaknai sebagai

seperangkat rentetan mata pelajaran yang ditawarkan sebagai hatinya pendidikan

yang dijadikan sebagai sebuah program pendidikan di sekolah, tetapi kurikulum

pun memiliki makna yang cakupannya lebih luas. Dengan demikian itu, para pakar

memaknai kurikulum dengan titik berat yang berbeda. Selain itu, kurikulum

dijadikan acuan juga oleh pengelola lembaga pendidikan, karena sarana dan

prasarana serta pendukung lainnya harus disiapkan agar benar-benar sesuai dengan

tuntutan kurikulum.

51Putu Lidya Suky Parwathi, dkk Keterampilan Guru dalam Mengelola Kelas pada

Pembelajaran Prakarya dan Kewirausahaan di SMA Negeri 1 Singaraja, Jurnal Pendidikan

Teknologi dan Kejuruan Vol. 14, No. 2, Juli (2017), h. 188. 52Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam. (Ciputat: Wacana Ilmu dan Pemikiran,

1996)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 232: Pendidikan Progresif John Dewey

222

Berdasarkan uraian kurikulum di MAN Insan Cendikia pada bab

sebelumnya bahwa di MAN Insan Cendikia Serpong menggunakan kurikulum tiga

belas maka dengan pernyataan berikut Aliran progresif dikatakan sebagai salah

satu yang mengasaskan pada pengembangan Kurikulum 2013, dikarenakan dalam

Kurikulum 2013 adanya pendekatan pembelajaran yang digunakan ialah

pendekatan saintifiks. Di mana pendekatan saintifiks ini lebih bertumpu pada

pemecahan sebuah masalah (problem solving). Maksud dari pendekatan saintifik

yaitu pembelajaran dilakukan dengan kegiatan mengamati, menanya,

mengumpulkan informasi, menalar, dan mengkomunikasikan. Jadi dapat dipahami

bahwa Kurikulum 2013 sangat relevan dengan pandangan aliran progresif. Maka

dapat disimpulkan bahwa pendidikan di MAN Insan Cendikia mengarah kepada

pendidikan progresif.

2. Pandangan Progresif Tentang Peserta Didik

Indikasi dari keberhasilan pendidikan adalah keterlibatan penuh dari anak

didik sebagai warga belajar dalam proses pembelajaran. Keterlibatan yang

dimaksud adalah pengalaman seluruh potensi anak didik, mulai dari panca indera

contohnya telinga, mata. Selain itu konsepsi terhadap sesuatu yang dimiliki anak

didik adalah hal yang pundamental dalam proses pembelajaran. Progresif sangat

memperhatikan keterlibatan anak didik dalam proses pembelajaran. Adapun

konsepsi anak didik menurut progresif, sebagai berikut; 53

Anak merupakan suatu makhluk alami yang berhubungan dengan makhluk

alami lain dan seperti juga objek alamiah lain anak didik merupakan bahan analisa

ilmiah dan sekaligus sebagai suatu perkembangan sendiri. Anak dalam pandangan

progresif merupakan aliran yang mengalami satu proses pengalaman, karena anak

merupakan bagian pemersatu dari lingkungan dengan kejadian-kejadian, antar

hubungan, perasaan, pikiran dan benda-benda.54 Dalam salah satu prinsip yang

dikembangkan progresif the processs of education find its genesis and purpose in

the child. 55 Bahwa dalam proses pendidikan asal dari tujuan pendidikan adalah

pada anak didik. Pendidikan tradisional tidak menempatkan anak didik pada peran

sentral. Akan tetapi anak didik dicoba untuk menentukan bahan pelajaran, apakah

anak didik tertarik atau tidak. Sebaliknya Progresif memposisikan peserta didik

sebagai pusat dalam pembelajaran pada kurikulum dan metode sesuai dengan

kebutuhan, minat dan inisiatif anak didik.

Progresif memandang anak mempunyai hasrat atau naluri alamiah untuk

belajar dan menemukan sesuatu disekitarnya, hasrat alamiah tersebut dibawa sejak

lahir. Akan tetapi anak didik juga memiliki kebutuhan pasti yang harus dipenuhi

dalam kehidupannya. Sehingga dalam proses pembelajaran dibutuhkan bagaimana

53Anis Ma'sumah, Pendekatan CTL (Contextual Teaching and learning) dalam

Pembelajaran KBK, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2003, h. 190. 54Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan

Pancasila, h. 250. 55 George R. Knight, Issue and Alternatives In Educational Philishophy, h. 82.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 233: Pendidikan Progresif John Dewey

223

anak didik dalam memecahkan problemnya sesuai dengan hasrat nalurinya. Minat

anak adalah inti dari pokok permulaan terhadap pengalaman pembelajaran. Dalam

hal ini sudut pandang progresif mengenai anak didik, memulai dengan anak didik

adalah sebuah cara dalam pendidikan yang sangat mudah dan alami. Metode ini

menggunakan sumber motivasi dari minat alamiah anak sehingga membantu siswa

dan guru bekerjasama dan itu lebih baik daripada menghilangkan perlawanan satu

dengan yang lain dalam hubungan perlawanan. Cara ini terbuka untuk diterapkan

pada setiap kelas dan menciptakan hubungan antara guru dan anak didik secara

alamiah.

Pendidikan progresif ini pernah berjaya di Amerika. Dalam pendidikan,

progresif merupakan satu bahagian dari gerakan reformis umum bidang sosial-

politik yang mengetarai kehidupan orang Amerika. Progresif merupakan teori yang

mucul dalam reaksi terhadap pendidikan tradisional yang selalu menitik beratkan

kepada metode formal pengajaran. Di dalam teori ini menitik beratkan beberapa

prinsip, antara lain; 1) Proses pendidikan berawal dan berakhir pada peserta didik;

2) Peserta didik adalah sesuatu yang aktif, bukan pasif; 3) Peran guru hanya

sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah; 4) Sekolah harus menciptakan iklim

yang bersifat kooperatif dan demokratif; 5) Aktivitas pembelajaran lebih focus

pada pemecahan masalah bukan untuk mengajarkan materi kajian. Menurut

pandangan progressif John Dewey, proses pendidikan memiliki dua bidang

garapan, yaitu psikologis dan sosiologis. Dilihat dari segi psikologis, pendidik

harus dapat mengetahui potensi dan daya yang ada pada peserta didik untuk

dikembangkan. Dengan mengenal hal tersebut, pendidik dapat memilih cara yang

tepat dan landasan apa yang akan digunakan. Jika memperhatikan peran pandangan

progressif John Dewey di beberapa negara maju, psikologi yang banyak digunakan

adalah aliran behaviorisme dan pragmatisme. Hal ini sejalan dengan teori bahwa

aliran progresif disebut juga instrumentalisme, eksperimental, atau

environmentalisme yang erat kaitannya dengan alat, pengalaman, lingkungan, serta

kemajuan dan manfaat dari suatu aktivitas yang dilakukan, termasuk aktivitas

pendidikan.56 Dilihat dari segi sosiologis, guru harus faham arah potensi dan daya

itu harus diarahkan agar potensi yang dimiliki peserta didik dapat dirubah menjadi

sesuatu yang berguna bagi anak tersebut.

Dalam pendidikan, terutama jalur pendidikan formal, kurikulum

memegang peranan penting. Kurikulum merupakan fundamental dalam pendidikan

tidak saja dimaknai sebagai seperangkat mata pelajaran yang dirancang untuk

disajikan dalam sebuah program sekolah, melainkan memiliki arti yang lebih luas.

Oleh karena itu, para pakar memaknai kurikulum dengan perpektif yang berbeda.

Bahkan ada yang melihat dari arti sempit dan arti luas, ada juga yang melihat dari

segi fungsi atau kegunaannya, ada juga yang melihat dari segi ruang lingkupnya.

56H.A. Yunus, Telaah Aliran Pendidikan Progresif Dan Esensialisme Dalam

Perspektif Filsafat Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendas, Vol. 2, NO. 1 Januari 2016

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 234: Pendidikan Progresif John Dewey

224

Pendidikan hendaknya lebih melihat ke masa depan, bersifat kreatif dan

dinamis, serta kurikulumnya bersifat eksperimental dan fleksibel.57 Mengingat

bahwa kemampuan manusia harus berkembang secara maksimal, maka pendidikan

harus menempatkan peserta didik sebagai pusat kegiatan pedagogis. Pendidikan

yang hanya berpusat pada kepentingan pendidik hanya akan memasung

perkembangan seluruh potensi anak. Pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan

harus memberikan kemajuan pada anak didik. Melalui pendidikan, unsur-unsur

kebudayaan dapat ditransformasikan dan dengan itu pembaharuan kehidupan dapat

dilakukan, seperti dikemukakan oleh Dewey dalam Renewal of Life by

Transmission58. Manusia tumbuh dan berkembang di tengah-tengah lingkungan

hidupnya, baik lingkungan fisik, hayati, sosial dan budaya, politik, maupun

lingkungan religius. Menurut Dewey, lingkungan hidup ini secara konstruktif dapat

dimanfaatkan untuk merangsang kemajuan manusia. Baginya lingkungan harus

dipelajari dan menjadi sumber belajar yang tidak ada habis-habisnya serta

berfungsi sebagai laboratorium, sehingga Dewey mendirikan sekolah laboratorium.

Namun demikian, bila lingkungan sekitar itu tidak dimanfaatkan bagi kepentingan

pedagogis perkembangan anak, maka lingkungan sekitar itu justru akan

mencelakakan dan menghambat perkembangan anak, seperti dikemukakan oleh

Dewey: In Brief, the environment consist of these conditions that promote or

hinder, stimulates or in habit, the characteristic of a living being Progresif Dewey

di bidang epistemologi terletak dalam ketidaksamaan antara ilmu pengetahuan dan

kebenaran. Pengetahuan itu merupakan penjelasan-penjelasan yang terhimpun

dalam pengalaman dan siap pakai untuk digunakan. Kegiatan mengetahui bukan

sekedar pasif tetapi suatu proses aktif dalam aspek kerja dan kehidupan. Di bidang

aksiologi, Dewey juga tidak membedakan antara nilai intrinsik dan instrumental.

Baginya nilai itu mempunyai kualitas sosial. Nilai hanya dapat dipahami sejauh

dihubungkan dengan orang lain, sebab manusia tidak dapat hidup sendirian dan

terpisah dari lingkungan sosialnya, tetapi justru ia berada di tengah-tengah mereka.

Jadi, ada hubungan individu dan sosial. Ajaran Ia tentang pendidikan yang bersifat

progresif dapat dikemukakan, sebagai berikut: 1. Anak harus dibebaskan untuk

dapat berkembang secara wajar. 2. Minat yang dirangsang dengan langsung

pengalaman adalah metode terbaik untuk stimulasi belajar anak. 3. pendidik harus

menjadi seorang pembimbing dalam membimbing proses belajar peserta didik.

Guru dapat berpartisipasi bermain bersama, memberi contoh, membangkitkan

kreativitas peserta didik. 4. Harus ada kerjasama yang baik antara sekolah, keluarga

dan masyarakat. Terciptanya lingkungan yang kondusif bagi pendidikan praktek,

maka bakat dan minat peserta didik dapat terpupuk. 5. Sekolah berkemajuan

hendaklah menjadi laboratorium untuk melakukan reformasi pedagogis dan

eksperimentasi. 6. Kurikulum harus bersifat fleksibel dan berpusat pada anak

57Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta, 1988), h. 36-37. 58John Dewey, Art as Experience, in The Philosophy of John Dewey, (Chicago:

Chicago Press, 1961), h. 1

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 235: Pendidikan Progresif John Dewey

225

didukung oleh pengalaman. Bagi pendidikan praktek mata pelajaran yang relevan

lebih diutamakan ketimbang mata pelajaran yang hanya bersifat informatif.

Mengikuti ajaran Dewey yang bersifat progresif, perlu pula dikembangkan

tentang hubungan sekolah dan masyarakat seperti dikemukakan oleh Ia di dalam

School and Social Progress. Demokrasi dalam pendidikan, menurut Dewey59

terletak dalam hal berikut ini: 1. Pendidikan bersifat demokratis dan sebab itu harus

berpusat atau berorientasi pada anak didik. Seorang pendidik hanya berfungsi

sebagai pembimbing dan anak diberi kebebasan untuk memilih sesuatu yang

terbaik sesuai dengan potensinya sehingga ia berkembang secara optimal. 2.

Lingkungan harus bersifat kondusif bagi perkembangan seluruh anak dan karena

itu anak tidak boleh dipisahkan dari lingkungan dan pengalamannya. Lingkungan

sangat berperan karena merupakan sumber dalam inspirasi belajar sehingga anak

aktif di dalam belajar. 3. Kurikulum bersifat fleksibel maka kurikulum harus lebih

banyak bersangkutan dengan proses belajar daripada sekedar untuk memperoleh

seperangkat informasi. Kurikulum ini disusun berdasarkan tujuan pendidikan yang

berorientasi pada anak. Dalam prosesnya, pendidikan berjalan secara demokratis

yang tercermin dari minimalisasi peran pendidikan (guru) terhadap proses belajar

anak. 4. Tujuan pendidikan harus mampu membentuk manusia dekokratis. Konsep-

konsep pendidikan yang bersifat demokratis di atas oleh Dewey dituangkan dalam

karyakaryanya, seperti: Democracy an Education (1964); Philosophy of Education

(1958); dan Experience and Nature (1925). Seluruh pemikiran Dewey tentang

demokrasi pendidikan itu tidak dijumpai di dalam teori-teori pendidikan tradisional

konservatif sehingga Dewey dipandang sebagai penganut progresif. Pemikiran

seperti ini tidak seluruhnya relevan bagi Pendidikan praktek secara umum.

Pendidikan progresif bila diterapkan di bidang seni, maka mata pelajaran yang

relevan bagi praktek musik lebih diutamakan.

Peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan itu merupakan pandnagan

aliran progresif. Hal ini terbukti dengan fakta bahwa manusia mempunyai

kelebihan jika dibanding makhluk lain. Sifat dinamis dan kreatif yang didukung

oleh kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Peserta

didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga

termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam

pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan perlu dioptimalkan.

Artinya, peserta didik diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin

mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung disekitarnya,

sehingga suasana belajar timbul di dalam maupun di luar sekolah.60 Itu merupakan

yang dimiliki oleh manusia.

Guru-guru progresif memulai dengan posisi di mana keberadaan siswa

melalui interaksi keseharian di kelas, mengarahkan siswa untuk melihat bahwa

mata pelajaran yang akan dipelajari dapat meningkatkan hidup. Peran guru dalam

59John Dewey, Art as Experience .... h. 6-7. 60Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,

2006), h. 55.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 236: Pendidikan Progresif John Dewey

226

suatu kelas yang berorientasi secara progresif adalah berfungsi sebagai seorang

pembimbing atau orang yang menjadi sumber, yang pada intinya memiliki

tanggung jawab untuk memfasilitasi pembelajaran siswa. Guru progresif berusaha

untuk memberi siswa pengalaman-pengalaman yang meniru kehidupan keseharian

sebanyak mungkin.61Proses belajar terpusat kepada anak, namun hal ini tidak

berarti bahwa anak akan diizinkan untuk mengikuti semua keinginannya, karena ia

belum cukup matang untuk menentukan yang memadai. Anak memang banyak

berbuat dalam menentukan proses belajar, namun ia bukan penentu akhir. Siswa

membutuhkan bimbingan dan arahan dari guru dalam melaksanakan aktivitasnya.

Pengalaman anak adalah rekonstruksi yang terus-menerus dari keinginan dan

kepentingan pribadi. Mereka aktif bergerak untuk mendapatkan isi mata pelajaran

yang logis. Guru mempengaruhi pertumbuhan siswa tidak denga menjejalkan

informasi ke dalam kepala anak, melainkan dengan pengawasan lingkungan

dimana pendidikan berlangsung. Para pendidik yang memiliki suatu orientasi

progresif memberi kepada para siswa sejumlah kebebasan dalam menentukan

pengalaman-pengalaman sekolah mereka.

Di Indonesia, menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, pada Pasal 1 angka 4, dinyatakan bahwa “Peserta didik adalah anggota

masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses

pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu”.

Pandangan progressif John Dewey mengenai belajar bertumpu pada

pandangan peserta didik sebagai mahluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan

mahluk lain.62 secara institusional sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu

merawat dan manjamin kemerdekaan berpikir dan berkarya kepada para peserta

didik, sehingga peserta didik memilki kebebasan dan aktualisasi diri. Maka

demikian, pendidik tetap berkewajiban membimbing dan mengontrol peserta didik

agar tetap mengoreksi kekeliruan-kekeliruan ketika dihadapkan kepada peserta

didik, khususnya dalam metodologi berpikir. Maka demikian itu, prasyarat yang

harus dilakukan oleh peserta didik adalah sikap aktif dan kreatif, tidak hanya

menanti datangnya pendidik dalam mengajar dan memberikan ilmunya kepada

peserta didik. Peserta didik dilarang diperlakukan seperti bejana yang tidak berisi,

yang hendak dituang oleh penggunanya. Jika hal itu terjadi demikian, maka

prosedur pembelajaran hanya berupa transfer of knowledge dari seorang pendidik

kepada muridnya. Tentu saja cara demikian tidak akan membawa hasil apalagi

mencerdasakan sehingga dapat dikatakan bahwa upaya mencapai tujuan

pendidikan mengalami kegagalan. Adapun teori progresif memposisikan peserta

didik pada kedudukam inti dalam proses pembelajaran. Karena peserta didik

mempunyai tendensi alamiah untuk belajar dan menciptakan sesuatu tentang

dunianya di alam sekitarnya dan juga mempunyai keperluan-keperluan tertentu

yang harus terlaksana dalam kehidupannya. Tendensi dan keinginan tersebut akan

61Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, ... h. 143. 62Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi

Offset, 1997

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 237: Pendidikan Progresif John Dewey

227

menganugerahkan kepada peserta didik berupa minat yang jelas dalam

mempelajari berbagai masalah-masalah hidup. Peserta didik adalah makhluk yang

memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk lain karena peserta didik

memiliki potensi kecerdasan. Oleh karena itu, setiap peserta didik mempunyai

potensi atau kemampuan sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan dan

memecahkan permasalahan-permasalahan yang mungkin merintanginya.

Berkenaan dengan hal ini, tugas guru atau pendidik adalah meninggikan tingkat

kecerdasan potensial atau fitrah yang telah dimiliki sejak lahir menjadi kecerdasan

realitas dalam pendidikan untuk dapat merespon segala perubahan yang terjadi di

lingkungan di mana ia hidup dan beraktivitas.

Ada beberapa distingsi kepribadian dari setiap anak didik dalam

pendidikan, masalah distingsi anak didik harus mendapat atensi yang sangat serius

dari seorang pendidik, sebab hal ini berhubungan dengan pengelolahan

pembelajaran agar dapat kondusif. Perbedaan anak didik yang harus diperhatikan

dalam pengajaran meliputi tiga dimensi, yaitu; biologis, psikologis dan

kecerdasan.63 Perbedaan individual anak didik didasarkan pada pemikiran tokoh

progresif, yakni William James menekankan segi psikologis, Thomas C. Peirce

memusatkan pada aspek logis atau intelektual dan Dewey sendiri memandang

manusia dari segi biologis.64

a. Perbedaan Biologis

Aspek biologis tidak boleh diabaikan dalam pendidikan Dewey

mengatakan, bahwa: Manusia pada dasarnya adalah organisme yang berkembang

dalam waktu, dan ciptaan yang kehidupannya dapat dilukiskan paling jelas dalam

hubungan masyarakat dan relasi objektivnya dengan medium yang mengitarinya,

baik secara alamiah maupun kultural.65 Dalam hal ini, bahwa tidak ada seorang

yang dilahirkan di dunia ini memiliki raga yang sama. Anak kembar dari sel telur

yang sama ternyata mempunyai bentuk postur tubuh atau jasad yang berbeda.

Maka banyak orang yang mengatakan bahwa anak kembar itu serupa tapi tak sama.

Artinya, dalam hal-hal tertentu anak kembar mempunyai beberapa kesamaan dan

perbedaan. Adapun kesamaan dan perbedaannya, entah itu warna rambut, warna

kulit, mata, jenis kelamin, bentuk tubuh, dan sebagainya. Seluruhnya itu adalah

ciri-ciri peserta didik yang dibawa sejak lahir.

Terkait dengan kesehatan penglihatan oleh mata dan pendengaran oleh

telinga yang lansung berkaitan dengan penerimaan bahan pelajaran di kelas. Kedua

aspek ini sangat penting dalam pendidikan. Karena tanpa kesempurnaan biologis,

seseorang tidak dapat melihat sesuatu dengan obyektif bila matanya buta atau

terkena cacat. Penyakit yang biasa menyerang mata misalnya myopi (rabun jauh),

hypermetropy (rabun dekat), presbyopi (mata tua), xerophtalmin (rabun malam),

trachoma (penyakit mata yang disebabkan oleh virus), juling conjungtives

63Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif,

(Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 55. 64 John E. Smith, The Spirit Of American Philosophy… h. 138 65 John E. Smith, The Spirit Of American Philosophy… h. 139

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 238: Pendidikan Progresif John Dewey

228

(peradangan selaput mata, infeksi karena debu atau kotoran lain, sering terjadi pada

musim kemarau), buta warna, katarak. Kemudian yang berhubungan dengan

gangguan pendengaran, misalnya saluran telinga tersumbat oleh minyak telinga

(seruman), ketegangan pada gendang telinga, tulang-tulang pendengaran

terganggu, dan sebagainya. Serta penyakit yang bersifat sementara, misalnya

penyakit batuk, influenza, malaria, sakit mata, sakit kepala, bisul, hipertensi (darah

tinggi), anemia (darah rendah), dan sebagainya, yang kesemuanya berpengaruh

terhadap pengelolahan kelas dan pengajaran. Di dalam aspek biologis ini tidak

dapat dianggap sebagai aspek yang kurang penting jadi sangatlah fundamental. Hal

ini terkait dengan pengaturan tempat duduk, pengelompokkan anak didik di kelas,

pengaturan jadwal pelajaran, dan sebagainya. Pengelolaan pembelajaran yang

hanya memperhatikan aspek mental anak didik dengan memarginalkan aspek

biologis, dapat menyebabkan kondisi belajar di kelas menjadi kurang kondusif,

suasana belajar menjadi tegang, kaku, bising dan dapat tidak menguntungkan bagi

peserta didik. Untuk itu seorang pendidik, harus memperhatikan kondisi fisik

individu, sejauhmana perkembangan fisiknya pada suatu fase, sikap dan minatnya

terhadap pelajaran, karena hal itu dapat mempengaruhi kesuksesan belajar yang

mungkin dicapai. Disamping itu, umur kronologis sebagai satu hal yang

dipergunakan untuk menetapkan tingkat kematangan belajar dan karenanya

menunjukkan kemungkinan untuk dapat dididik. Itulah aspek biologis lainnya

adalah hal-hal yang menyangkut kesehatan anak didik.

b. Perbedaan Psikologis

Pemahaman terhadap perbedaan psikologis anak didik merupakan strategi

yang ampuh untuk mendukung keberhasilan kegiatan interaksi edukatif.66 Betapa

kompleksnya permasalahan psikologis anak didik ini menambah beban tugas guru

menjadi ekstra hati-hati. Perbedaan demi perbedaan dalam masalah psikologis anak

didik sebaiknya harus pahami guru, sehingga hal itu dapat dimanfaatkan untuk

melakukan pendekatan yang akurat terhadap anak didik. Disamping tiga perbedaan

individu tersebut dalam proses pendidikan.

Sebagai mahluk, akal dan kecerdasan yang merupakan potensi dan

kelebihan dibanding dengan mahluk-mahluk lain yang dimiliki oleh anak didik.

Seperti yang dikutip Knight, Dewey mengatakan dalam bukunya The School and

Society, “the child is already intensely active, and the question of education is the

question of taking hold of his activities, of giving them direction”.67 Anak selalu

siap aktif atau mempunyai semangat untuk aktif, dan permasalahan pendidikan

adalah persoalan bagaimana menangani keaktivan anak itu, dan bagaimana

memberikan arahan bagi mereka.

Sehubungan dengan ini usaha untuk meningkatkan kecerdasan adalah

tugas utama dalam lapangan pendidikan.68 Dengan sifatnya yang dinamis, aktif,

66 Saiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif… h. 61. 67 George R. Knight, Issue and Alternatives In Educational Philishophy… h. 83. 68 Imam Barnadib, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna Dan Perspektif

Beberapa Teori Pendidikan… h. 35.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 239: Pendidikan Progresif John Dewey

229

kreatif dan dengan kecerdasannya, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi

dan memecahkan masalah, kesatuan jasmani dan rohani saja, melainkan juga

manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam

pengalamannya anak didik hendaklah dipandang tidak hanya itu saja. Jasmani dan

rohani terutama kecerdasan perlu difungsikan dalam diri anak didik aktif dan

manfaat dalam lingkungan sepenuhnya. Anak didik perlu mendapatkan kesempatan

yang cukup untuk dengan bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam

kejadian-kejadian yang berlangsung disekitarnya. Hal ini terutama yang berkenaan

dengan kejadian pada kebudayaan. secara fisik maupun dalam cara mereka berfikir,

sejalan dengan hal itu dalam sekolah progresif mengutamakan kemerdekaan bagi

anak didik. Anak didik didorong dan diberanikan untuk memiliki dan bertindak

melaksanakan kebebasan mereka, Anak didik diberi kemerdekaan untuk

memberikan ide-ide dan mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga

anak didik dapat berpotensi tanpa hambatan dari pihak manapun.

c. Perbedaan kecerdasan

Kecerdasan adalah salah satu komponen yang ikut memberikan efek

keberhasilan belajar peserta didik.69 Kecerdasan adalah salah satu komponen yang

selalu tidak pernah bosan untuk dijadikan perbincangan dalam dunia pendidikan.

Inteligensi terutama ialah kemampuan untuk menafsirkan dan menafsirkan

kembali baik suatu alternatif maupun konsekuensi-konsekuensi yang

ditimbulkannya.70 Progresif memaknai inteligensi sebagai kemampuan bertingkah

laku secara rutin dengan ketaatan yang buta atas kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.

kecerdasan hanya bersifat pembawaan setiap anak didik mempunyai yang

kecerdasan uang berbeda-beda. Ada kesulitan dalam membedakan ukuran

kecerdasan terkait tinggi atau rendahnya kecerdasan pada seorang peserta didik.

Faktor lingkunganlah dalam bentuk pengalaman yang anak peroleh selama

hidupnya menjadi penyebab sulitnya pengukuran kecerdasan. Lingkungan juga

memberikan efek dalam pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Guru perlu

mengetahui dan memahami, terutama dalam hubungannya dengan

pengelompokkan anak didik di kelas untuk mengatasi dan memecahkan masalah

dalam membedakan setiap individualnya dalam bidang kecerdasan. Adapun

metodenya adalah peserta didik yang kurang cerdas jangan digabungkan dengan

anak yang memiliki kecerdasannya yang setingkat dengannya, tetapi perlu

digabungkan dengan anak-anak lebih cerdas darinya. Dengan ekspektasinya adalah

anak yang kurang cerdas itu dapat terpacu untuk lebih kreatif, ikut terlibat langsung

dengan motivasi tinggi dalam bekerjasama dengan kawan-kawan kelompoknya.

Kepentingan lainnya agar guru dapat dengan mudah mengadakan pendekatan

dengan anak didik untuk memberikan bimbingan, bagaimana cara belajar yang

baik.

69 Saiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, h. 57. 70 Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan

Pancasila, h. 238.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 240: Pendidikan Progresif John Dewey

230

Sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk kecil.

Sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat,

perlu dilakukan secara teratur sebagai jalannya dalam lingkungan sekolah. Dalam

hal ini, bahwa proses pendidikan mencakup keikutsertaan anak didik secara aktif

untuk membangun kepribadiannya. Jadi ada kegiatan pendidikan diri atau pemesua

diri.71 Untuk mengembangkan hal itu, maka gagasan atau kenyataan yang

menunjukkan dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat (sebagai sesuatu

yang nyata) perlu dihapuskan. Sebab anak itu juga aktif memilih dengan kemauan

sendiri, mencari, menjaga instansi, menerima, ataupun menolak semua pengaruh

edukatif dan mereduksi secara aktif terhadap upaya pendidikan. Hal ini berkaitan

erat dengan proses belajar mengajar, dimana guru sebagai teman untuk berdiskusi,

penasehat, pembimbing, teman untuk memecahkan masalah dan bukan mendoktrin

anak didik.

Knight mengatakan “the role of the teacher can be seen as that of helping

the student learn by himself so that he will be a sel-sufficient adult in a changing

environment”.72 Bahwa tugas guru dapat terlaksana atau terwujud ketika guru

membantu anak didik mempelajari bagaimana belajar menemukan dengan mandiri

sampai anak didik menjadi cukup dewasa dalam lingkungan yang berubah-ubah.

Hal yang penting dalam masalah keaktivan anak didik dalam pendidikan

merupakan anak didik dapat memahami belajar yang edukatif, dan bukan yang mis

edukatif. Paling utama adalah belajar, secara bijaksana ditujukan untuk mencapai

hasil-hasil konstruktif, nilai dan syaratsyaratnya ditentukan berdasarkan konsepsi

tentang hidup dan kebudayaan yang baik, sebagaimana dikehendaki oleh suatu

Negara. Sedangkan kedua, ialah belajar mis edukatif, adalah ditentukan oleh suatu

yang kurang mendorong kearah perkembangan dinamis, karena kemungkinan

mengandung unsur-unsur yang saling berlawanan. Belajar yang mis-edukatif tidak

bersifat serasi dengan tujuan. Suasana belajar yang edukatif dapat ditimbulkan

baik di dalam maupun luar sekolah yang bertumpu kepada nilai-nilai tersebut. Oleh

sebab itu maka pendidikan itu tidak lain hanya hidup itu sendiri.73 Progresif lahir di

atas dasar filsafat pragmatisme, kemudian berkembang, mempengaruhi teori

rekontruksionisme. Tidak hanya itu progresif juga mempengaruhi faham

humanisme, sampai pada gagasan yang fenomenal bahwa pengalaman adalah unsur

penting dalam pendidikan, dan menempatkan anak didik sebagai subjek dalam

pendidikan. Dalam penempatan anak didik sebagai pusat dalam pendidikan

(student centered), terdapat perbedaan yang mendasar pada pendidikan masa itu

(tradisional), sebagai lawan dari pendidikan yang berbasis masyarakat, (community

centered). Akan tetapi pembedaan antara keduanya, bukanlah pada pendidikan

progresif berupa teori dan praktek, aliran ini menyadari bahwa tidak ada

71Kartini Kartono, Pengatar Ilmu Mendidik Teoritis, Apakah Pendidikan Masih

Perlukah?, (Bandung : Mandar Maju, 1992), h. 123. 72 George R knight, Issue and Alternatives In Educational Philishophy, h. 84. 73 Imam Barnadib, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna Dan Perspektif

Beberapa Teori Pendidikan, h. 36.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 241: Pendidikan Progresif John Dewey

231

pendidikan yang mungkin melaksanakan salah satu pilihan, sebab keduanya adalah

penting, perbedaan penekanannya. Hal ini didasarkan pada keadaan real bahwa

akhirnya anak didik akan kembali pada masyarakat. Sehingga yang berhubungan

dengan masyarakat juga harus diajarkan, agar anak didik tidak asing dalam

kehidupan masyarakat yang sebenarnya.

Pengaruh progresif pada masa sekarang, banyak digunakan dalam

pelatihan-pelatihan LSM, dalam pembelajaran yang berbasis CTL74 (contextual

teaching and learning), Quantum Learning, dan pada sistem pembelajaran yang

menekankan pada anak didik untuk belajar dengan fun dan enjoy. Berpijak dari

uraian yang telah dibahas, terlihat bahwa progressvisme menghendaki agar

pendidikan dilaksanakan secara integral dengan melibatkan komponen pendidikan,

(anak didik, pendidik, lingkungan dan pengalaman), agar anak didik pada akhirnya

mampu menghadapi perkembangan Zaman. Hal ini merupakan segi positif dari

progresif, sedangkan segi negatif aliran ini tidak adanya tujuan dalam jangka

panjang yakni kebutuhan batiniah anak didik atau aspek spritual. Kurang

menyetujui pendidikan bercorak otoriter dan absolut dalam bentuk apapun seperti;

agama, politik dan moral. Dalam konteks pendidikan, di dalam sekolah seharusnya

ada kehidupan dan lingkungan belajar yang demokratis dengan itu akan

menjadikan semua orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan sesuai

realitas masyarakat itu. Inti pragmatisme dalam pendidikan adalah bahwa:

1. Peserta didik merupakan subjek pendidikan yang memiliki pengalaman. Dia

adalah individu yang memiliki kecerdasan dan mampu menggunakannya untuk

memecahkan masalah. Pengalaman sekolah merupakan bagian dari hidup,

tidak sekedar sebagai persiapan untuk hidup. Cara seseorang belajar di sekolah

tidaklah secara kualitatif berbeda dari caranya belajar dalam lingkungan

kehidupan lainnya. Pengalaman dan tindakannya penuh dengan pemikiran

reflektif. Gagasan hasil pemikirannya berkembang menjadi sarana untuk bisa

hidup berhasil.

2. Pendidik bukan hanya orang yang tahu akan semua kebutuhan peserta didik

tetapi untuk mengarahkan kepada kemajuan masa depannya. Guru berperan

menanamkan pengetahuan yang esensial bagi diri peserta didik. Tak seorang

pun mengetahui kebutuhan orang lain di waktu yang akan datang, karena dunia

selalu berubah. Guru adalah pendamping, penasehat, dan pemandu yang lebih

berpengalaman bagi peserta didik dalam pengalaman pendidikan.

Pengalamannya menjadi dasar dalam menjalankan tugasnya, tetapi tidak boleh

didasarkan pada kebutuhan guru.

3. Kurikulum diharuskan berdasarkan dengan kebutuhan peserta didik yang

menitikberatkan metode daripada materi. Materi di sekolah hendaknya sesuai

dengan kebutuhan subjek peserta didik sehingga harus terbuka dan alamiah.

Kurikulum tidak boleh menimbulkan permasalahan dan pengalaman yang

menjadikan peserta didik tertekan. Bahan pembelajaran yang tersedia harus

74 Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidkan: Mazhab-mazhab Filsafat

Pendidikan, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 144-146.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 242: Pendidikan Progresif John Dewey

232

memuat teknik pemecahan masalah yang menarik bagi peserta didik dalam

pengalaman hidup keseharian

4. Metode pembelajaran diharuskan dengan kemerdekaan kepada peserta didik

untuk mengeksplor pengalaman belajar yang bermanfaat. Cara ini menekankan

partisipasi dan pengalaman peserta didik dalam belajar. Ruang kelas tidak

hanya sekolah, tapi juga semua tempat untuk belajar. Metode unggulan adalah

metode proyek yang menekankan pengalaman nyata yang lebih memotivasi

karena nilai intrinsik; dan lebih bermakna karena siswa terlibat langsung.

Meski demikian kaum pragmatis tidak menolak sumber belajar lainnya.

5. Kebijakan pendidikan mengikuti arus perubahan sosial. Lembaga pendidikan

harus mengajarkan cara mengelola perubahan itu dengan sehat. Sekolah

mengharuskan peserta didik belajar bagaimana belajar sehingga dapat

beradaptasi dengan dunia yang terus berubah. Sekolah harus merupakan

lingkungan belajar dan kehidupan yang demokratis, semua orang berpartisipasi

dalam mengambil keputusan. Semua kebijakan dievaluasi dengan parameter

konsekuensi sosial.75

Belajar bukan hanya dari membaca buku dan mendapatkan penjelasan guru

di kelas, tetapi juga dari pengalaman-pengalaman kehidupan disepanjang kita

hidup di dunia. Dasar-dasar kiblat dari teori progresif suatu bentuk perhatian

terhadap anak sebagai peserta didik dalam pendidikan. Adapun gagasan-gagasan

progresif memberikan efek yang sangat dipengaruhi oleh pragmatisme itu sangat

bertumpu adanya kemerdekaan berfikir dan berkarya untk mengaktualisasi diri

bagi peserta didik supaya kreatif. Paham ini sangat mendasar akan terpenuhinya

kebutuhan dan kepentingan anak. Anak harus aktif mengkonstruksi pengalaman

kehidupannya masing-masing.

John Dewey merupakan salah satu tokoh aliran progresif di Amerika, telah

mengarang sebuah buku yang cukup terkenal di dunia pendidikan yang berjudul

Democracy and Education, menstimulir bahwa pendidikan yang ditetapkan harus

berdasarkan semangat keterbukaan dan demokrasi. Di samping itu pendidikan

harus dapat dinikmati manusia secara universal karena pendidikan sudah menjadi

bagian dari kebutuhan dasar manusia secara universal. John Dewey menekankan

pentingnya proses belajar yang disertai dengan praktik nyata dalam konteks

aplikasi pendidikan, adagium yang sangat terkenal dari teori ini adalah learning by

doing. Istilah ini kemudian digunakan para teoritikus dan praktisi pendidikan di

negara-negara berkembang dan negara maju di dunia.76 Teori pendidikan progresif

menitikberatkan kemerdekaan potensi diri agar memiliki sifat kreatif dan inovatif

sehingga menghendaki sebuah petisi tercipta lingkungan belajar yang demokratis

dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan. Kalangan progresif berjuang

untuk mengimplementasikan pendidikan yang lebih berkemajuan bagi kelompok

75 George R. Knight dalam Musthofa Rahman, Humanisasi Pendidikan…, h. 81-

82. 76John Dewey, Democracy and education... h. 254.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 243: Pendidikan Progresif John Dewey

233

social, sejak dekade 1920-an hingga 1950-an pendidikan progresif ini menjadi teori

dominan dalam pendidikan Amerika .

Di Indonesia, menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, pada Pasal 1 angka 4, dinyatakan bahwa “Peserta didik adalah anggota

masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses

pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu”.

Teori progresif menempatkan peserta didik pada posisi sentral dalam melakukan

pembelajaran. Karena peserta didik mempunyai kecenderungan alamiah untuk

belajar dan menemukan sesuatu tentang dunia di sekitarnya dan juga memiliki

kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus terpenuhi dalam kehidupannya.

Kecenderungan dan kebutuhan tersebut akan memberikan kepada peserta didik

suatu minat yang jelas dalam mempelajari berbagai persoalan.

Peserta didik adalah makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan

makhluk-makhluk lain karena peserta didik memiliki potensi kecerdasan. Oleh

karena itu, setiap peserta didik mempunyai potensi atau kemampuan sebagai bekal

untuk menghadapi kehidupan dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang

mungkin merintanginya. Berkenaan dengan hal ini, tugas guru atau pendidik adalah

meningkatkan kecerdasan potensial yang telah dimiliki sejak lahir menjadi

kecerdasan realitas dalam lapangan pendidikan untuk dapat merespon segala

perubahan yang terjadi di lingkungan di mana ia hidup dan beraktivitas. Pandangan

progressif John Dewey mengenai belajar bertumpu pada pandangan peserta didik

sebagai mahluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan mahluk lain.77

Secara institusional sekolah sebagai lembaga pendidikan harus memelihara

dan menjamin kebebasan berpikir dan berkreasi kepada para peserta didik,

sehingga mereka memilki kemandirian dan aktualisasi diri. Namun demikian,

pendidik tetap berkewajiban mengawasi dan mengontrol mereka guna meluruskan

kesalahan yang dihadapi peserta didik, khususnya dalam metodologi berpikir.

Dengan demikian prasyarat yang harus dilakukan oleh peserta didik adalah sikap

aktif dan kreatif, bukan hanya menunggu kedatangan guru dalam mengisi dan

mentransfer ilmunya kepada mereka. Peserta didik tidak boleh diperlakukan seperti

bejana kosong yang akan diisi oleh penggunanya. Jika yang terjadi demikian, maka

proses pembelajaran hanya berwujud transfer of knowledge dari seorang guru

kepada murid. Tentu saja cara demikian tidak akan membawa hasil apalagi

mencerdaskan sehingga dapat dikatakan bahwa upaya mencapai tujuan pendidikan

mengalami kegagalan.

Menurut penulis berdasarkan hasil penelitian dari observasi di MAN Insan

Cendikia Serpong terkait peserta didik bahwa di sana peserta didik tidak sebagai

objek pendidikan tetapi subjek pendidikan, para pendidik di sana sadar betul bahwa

peserta didik bukan orang dewasa dalam bentuk mini tetapi mereka mempunyai

dunianya sendiri artinya mereka bebas untuk berkreatif sehingga mereka mudah

sekali membentuk nilai-nilai karakter tentunya dalam arahan peserta didik maka di

77Imam Barnabid, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi

Offset, 1997)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 244: Pendidikan Progresif John Dewey

234

sana tidak sedikit dari peserta didik cerdas, inovatif sehingga mereka banyak yang

mendapatkan prestasi-prestasi dalam belajar baik di negara sendiri maupun di luar

negeri.

3. Pandangan progressif John Dewey tentang Pendidik

Perubahan paradigma pembelajaran dari pandangan mengajar ke

pandangan belajar atau pembelajaran teacher centered ke pembelajaran student

centered membawa konsekuensi perubahan yang mendasar dalam proses

pembelajaran di kelas.78 Perubahan tersebut menuntut agar guru tidak lagi sebagai

sumber informasi melainkan sebagai teman belajar. Siswa dipandang sebagai

mahluk yang aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya

sendiri. Dalam mengelola pembelajaran masih rendah dan perlu ditingkatkan untuk

mencapai ketuntasan hasil belajar yang ditetapkan dan kompetensi yang lainnya.

Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa kualitas guru79 Guru hanya sekedar

memberikan informasi kepada siswa, tanpa melibatkan siswa dalam proses untuk

mendapatkan informasi.

Guru selalu menuntut siswa untuk belajar, tetapi tidak mengajarkan

bagaimana siswa seharusnya belajar dan menyelesaikan masalah. Berlakunya

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), menuntut perubahan paradigma

pembelajaran, salah satunya adalah pembelajaran yang berpusat pada guru beralih

pada siswa (student centered).80 Proses pembelajaran selama ini masih didominasi

oleh guru sehingga belum memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang

secara mandiri melalui penemuan dan proses berpikir. Cara guru mengajar yang

hanya satu arah (teacher centered) menyebabkan penumpukan informasi atau

konsep saja yang kurang bermanfaat bagi siswa.

Guru wajib tahu untuk mengarahkan kemajuan kepada peserta didik dan

perkembangannya, karena peserta didik hidup di lingkungan yang selalu terjadi

proses interaksi dengan sesamanya dan berkesinambungan. Dalam penerapannya,

prinsip berkesinambungan mengandung arti bahwa masa depan wajib selalu

digadang-gadangkan di setiap pendidikan secara teoritis, John Dewey

mengemukakan bahwa dalam hal ini, guru wajib menciptakan suasana yang

kondusif dan dapat mengelola kelas di dalam kelas dengan cara mengkonstruksi

kesadaran bersama dari setiap peserta didik dalam upaya mencapai tujuan bersama.

78Dian Usdiyana, Tia Purniati, Kartika Yulianti, dan Eha Harningsih,

meningkatkan kemampuan berpikir logis siswa SMP Melalui pembelajaran matematika

realistik, Jurnal Pengajaran MIPA, Vol. 13 No. 1 April (2009) 79Nur Efendi, pengaruh pembelajaran reciprocal teaching dipadukan think pair

share terhadap peningkatan kemampuan metakognitif belajar biologi siswa sma

berkemampuan akademik berbeda Di kabupaten sidoarjo, Jurnal Santiaji Pendidikan,

Volume 3, Nomor 2, Juli (2013) 80U. Setyorini, S.E. Sukiswo, B. Subali, penerapan model problem based learning

untuk Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP, Jurnal Pendidikan Fisika

Indonesia 7, (2011)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 245: Pendidikan Progresif John Dewey

235

Upaya tersebut harus sesuai dengan tanggungjawab masing-masing antara pendidik

dan peserta didik dalam proses pembelajaran di dalam kelas.81

Berkenaan hal tersebut, teori progresif menyatakan bahwa tugas pokok

pendidik adalah sebagai pembimbing aktivitas peserta didik dan berusaha untuk

memberikan kemungkinan terhadap terciptanya lingkungan terbaik yang

memungkinkan terjadinya proses belajar. Guru sebagai pembimbing, tidak boleh

menonjolkan diri, melainkan harus bersikap demokratis dan memperhatikan hak-

hak alamiah dari para peserta didik secara keseluruhan. Pendekatan yang

digunakan dalam proses ini adalah pendekatan psikologis dengan keyakinan bahwa

memotivasi lebih penting daripada sekedar memberi informasi. Pendidik dan

peserta didik bekerja sama dalam mengembangkan program belajar dan aktualisasi

potensi peserta didik dalam kepemimpinan dan kemampuan lain yang dikehendaki

dalam pendidikan. Dengan demikian dalam teori ini pendidik harus memiliki

kelebihan dibanding manusia lainnya, antara lain jeli, teliti, cermat, konstan, tekun,

luwes dalam menganalisis apa saja yang menjadi kebutuhan peserta didik, juga

sanggup mengevaluasi potensi-potensi peserta didik dalam konteks praktis,

higienis dan dan realistis. Hasil dari evaluasi menjadi tumpuan untuk memastikan

motif dan strategi-strategi pembelajaran ke masa depan. Dengan istilah lain

pendidik wajib memiliki kreativitas dalam mengolah peserta didik, dalam arti

hendak bertumbuhkembang dan bervariasi.

Di Indonesia, menurut Undang-Undang No. 14 tahun 2004 tentang Guru

dan Dosen, pada Pasal 1 ayat 1 dikemukakan bahwa “Guru adalah pendidik

profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,

melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini

jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Dalam UU

No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional “Pendidik adalah tenaga

kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar,

widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan

kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”.

Menurut pandangan pendidikan progresif guru adalah penasihat,

pembimbing, pengarah dan bukan sebagai orang pemegang otoritas penuh yang

dapat berbuat apa saja (otoriter) terhadap muridnya. Guru disebut sebagai

pembimbing karena mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman yang banyak di

bidang pendidikan, memahami karakter peserta didik yang secara otomatis

(semestinya) guru mampu menjadi penasihat manakala peserta didik mengalami

jalan buntu dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu peran

utama pendidik adalah membantu peserta didik bagaimana mereka harus belajar

dengan diri mereka sendiri, sehingga peserta didik akan berkembang menjadi orang

dewasa yang mandiri dalam lingkungannya yang akan selalu berubah.

Secara teoritis, John Dewey mengemukakan bahwa guru harus mengetahui

ke arah mana anak akan berkembang, karena anak hidup dalam lingkungan yang

81Muis, I.S.Pendidikan Partisiptif Menimbang Konsep Fitrah dan Progesivisme

John Dewey, (Yogyakarta: Safaria Insania Press, 2004)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 246: Pendidikan Progresif John Dewey

236

senantiasa terjadi proses interaksi dalam sebuah situasi yang silih berganti dan

berkelanjutan. Dalam penerapannya, prinsip keberlanjutan mengandung arti bahwa

masa depan harus selalu diperhitungkan di setiap tahapan dalam proses pendidikan.

Dalam hal ini, guru harus mampu menciptakan suasana kondusif di dalam kelas

dengan cara membangun kesadaran bersama dari setiap individu dalam upaya

mencapai tujuan bersama. Upaya tersebut sesuai dengan tanggungjawab masing-

masing dalam konteks pembelajaran di dalam kelas, dan selalu konsisten pada

tujuan tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, teori progresif menyatakan bahwa

tugas pendidik adalah sebagai pembimbing aktivitas peserta didik dan berusaha

untuk memberikan kemungkinan terhadap terciptanya lingkungan terbaik yang

memungkinkan terjadinya proses belajar. Guru sebagai pembimbing, tidak boleh

menonjolkan diri, melainkan harus bersikap demokratis dan memperhatikan hak-

hak alamiah dari para peserta didik secara keseluruhan. Pendekatan yang

digunakan dalam proses ini adalah pendekatan psikologis dengan keyakinan bahwa

memotivasi lebih penting daripada sekedar memberi informasi. Pendidik dan

peserta didik bekerja sama dalam mengembangkan program belajar dan aktualisasi

potensi peserta didik dalam kepemimpinan dan kemampuan lain yang dikehendaki

dalam pendidikan.

Dengan demikian dalam teori ini pendidik harus memiliki kelebihan

dibanding manusia lainnya, antara lain jeli, teliti, telaten, konsisten, luwes, dan

cermat dalam mengamati apa yang menjadi kebutuhan peserta didik, juga sanggup

menguji dan mengevaluasi kemampuan-kemampuan peserta didik dalam tataran

praktis dan realistis. Hasil evaluasi menjadi acuan untuk menentukan pola dan

strategi pembelajaran selanjutnya. Dengan kata lain pendidik harus mempunyai

kreatifitas dalam mengelola peserta didik, dalam arti akan berkembang dan

bervariasi sebanyak variasi para peserta didik yang berada di bawah

tanggungjawabnya.

Berdasarkan observasi penulis terkait dengan pendidik di MAN Insan

Cendikia bahwa pendidik menempatkan dirinya fasilitator, motivaor, mediator

bukan hanya serta merta memberikan materi (transfer of knowledge). Pendidik juga

penasihat, pembimbing, pengarah dan bukan sebagai orang pemegang otoritas

penuh yang dapat berbuat apa saja (otoriter) terhadap muridnya. Guru disebut

sebagai pembimbing karena mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman yang

banyak di bidang pendidikan, memahami karakter peserta didik yang secara

otomatis (semestinya) guru mampu menjadi penasihat manakala peserta didik

mengalami jalan buntu dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. Oleh karena

itu peran utama pendidik adalah membantu peserta didik bagaimana mereka harus

belajar dengan diri mereka sendiri, sehingga peserta didik akan berkembang

menjadi orang dewasa yang mandiri dalam lingkungannya yang akan selalu

berubah.

Dapat disimpulkan bahwa di MAN menggunakan metode student centered

bukan teacher centered itu terbukti dengan hasil observasi yang telah dilakukan

penulis.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 247: Pendidikan Progresif John Dewey

237

4. Pandangan Progresif John Dewey dalam Belajar

Dalam hal ini, belajar seharusnya diaplikasikan dengan memperhatikan

bermacam-macam kemampuan yang dipunyai oleh anak didik. Dengan demikian,

dalam perspektif progresif bahwa belajar harus disentralkan pada diri peserta,

bukan pendidik atau materi ajar, peserta didik diberi kebebasan untuk

mengembangkan bakat dan kemampuannya baik secara fisik maupun cara

berpikirnya. Peserta didik bebas juga dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang

dibuat oleh orang lain. Dengan demikian, progresif tidak menyetujui pendidikan

otoriter, sebab akan mematikan daya kreasi peserta didik baik secara fisik mapupun

psikis. Berkaitan dengan hal tersebut, John Dewey sebagai salah seorang tokoh

progresif, memiliki peranan yang cukup besar. Dimana alirannya ini sangat

berpengaruh terhadap pembaharuan pendidikan dan dengan pandangannya,

progresif dianggap sebagai the liberal road to culture dalam artian bahwa liberal

berarti berani toleran dan transparan. Menurut aliran progresif istilah belajar

berawal dari hipotesis bahwa peserta didik bukan manusia dewasa dalam bentuk

mini, melainkan manusia seutuhnya yang memiliki kemampuan untuk survive dan

mampu tumbuhkembang sehingga menjadi manusia yang aktif, inovatif, kreatif,

dan dinamis serta memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhannya82.

Aliran progresif mempunyai konsep bahwa anak didik mempunyai akal

dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan

dengan makhluk-makhluk lain. Pandangan mengenai belajar, Kelebihan anak didik

memiliki potensi akal dan kecerdasan dengan sifat kreatif dan dinamis, anak didik

mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problem-problemnya.83

Pendidikan sebagai wahana yang paling efektif dalam melaksanakan proses

pendidikan tentulah berorientasi kepada sifat dan hakikat anak didik sebagai

manusia yang berkemajuan. Usaha-usaha yang dilakukan adalah bagaimana

menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi dan stimulus sehingga akal

dan kecerdasan anak didik dapat difungsikan dan berkembang dengan baik.

Dalam abad ke-20 ini terjadi perubahan besar mengenai konsepsi

pendidikan dan pengajaran. Perubahan tersebut membawa perubahan pula dalam

cara mengajar belajar di sekolah. Hal itu yang kini berangsur-angsur beralih

menuju kea rah penyelenggaraan sekolah progresif, sekolah kerja, sekolah

pembangunan dan CBSA. John Dewey hendak mengalihkan metode pengajaran

konservatif, konservatif mencirikan cara belajar DDCH (Duduk, dengar, catat,

hafal), jadi dengan belajar DDCH peserta didik akan bersifat reseptif dan pasif saja.

Maka dengan hal itu maka Dewey mengalihkannya dengan student centered,

Dewey berpandangan bahwa pembelajaran konservatif hanya menerima materi

pelajaran atau ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dari seorang pendidik, tanpa

melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses belajar mengajar. Pendidik

82 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2012),

h. 89. 83Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama,

1997), h. 75.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 248: Pendidikan Progresif John Dewey

238

sepertinya hanya menguasai medan di kelas. Peserta didik tanpa diberi

kemerdekaan sama sekali untuk berpikir dan berkarya. Maka dapat diambil suatu

konklusi asas progresif dalam belajar bertitik tolak dari asumsi bahwa anak didik

bukan manusia dewasa dalam bentuk mini.84

Selain daripada itu, aliran progresif berspektif bahwa belajar adalah suatu

teknik yang berasaskan pada kelebihan akal manusia yang bersifat kreatif, inovatif

dan dinamis sebagai fitrah dasar manusia dalam memecahkan berbagai masalah

kehidupan.

Dalam prakteknya, pendidikan yang berlandaskan aliran progresif

memerlukan model yang sesuai. Di Indonesia, pendidikan seringkali mendapat

kritikan dari berbagai pihak, karena dianggap belum memiliki model yang jelas

dengan acuan yang pasti, bahkan ada yang menganggap bernuansa coba-coba.

Alasan yang sering dikemukakan karena penampilan pendidikan itu sendiri masih

abstrak dan masih belum menyentuh realitas budaya Indonesia yang khas.

Berkaitan dengan konteks pendidikan modern saat ini, pendidikan di Indonesia

lebih mengedepankan corak atau pola pemikiran rasionalis-empiris, kemudian

berkembang berbagai konsep atau teori pendidikan nativisme, empirisme, dan

konverguensi. Di samping itu, muncul pula aliran progresif, essensialisme,

perenialisme, dan rekonstruksionisme.

Menurut penulis berdasarkan hasil observasi terkait masalah belajar di

MAN Insan Cendikia bahwa intinya bagaimana mengajarkan cara belajar yang

tepat, sehingga seseorang dapat belajar setiap saat dari realitas secara mandiri, baik

di dalam maupun di luar sekolah, pada saat, sedang, ataupun setelah menyelesaikan

pendidikan formal. Dengan demikian sekolah akan dapat menghasilkan individu-

individu yang cerdas, kreatif, dan inovatif yang pada gilirannya nanti dapat

melakukan transformasi budaya positif ke arah yang lebih baik dari masyarakat

yang progresif. Jika seseorang telah memiliki kemampuan seperti itu, di mana pun

berada akan mampu bertahan dari berbagai hambatan dan mampu memecahkan

masalah kehidupan.

5. Pandangan Progressif John Dewey tentang Tujuan Pendidikan

Dalam hal ini, ilmu pengetahuan yang berujung jadi pengalaman yang

dipelajari hendaklah bersifat realitas atau bukti sesuai dengan kehidupan nyata

terbukti. Maka demikian itu, seorang pendidik hendaklah dapat membimbing

peserta didiknya agar dapat berpiawai menemukan solusi atau memecahkan

masalah yang ada dalam kehidupan mereka masing-masing. Terkait dengan tujuan

pendidikan, maka aliran progresif lebih menandaskan untuk memberikan

pengalaman empiris kepada peserta didik, sehingga peserta didik berkarakter yang

selalu belajar, berpikir dan berkarya85, maksudnya aliran progresif dalam

pendidikan dimaksudkan untuk memberikan banyak pengalaman kepada peserta

didik dalam upaya mencari solusi untuk memecahkan masalah yang dihadapi di

lingkungan mereka untuk mengisi hidup ini.

84Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan,... h. 77. 85 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 156

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 249: Pendidikan Progresif John Dewey

239

Pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta

didik, tetapi yang paling fundamental adalah melatih untuk berpiawai berpikir

secara ilmiah. Dalam ranah pendidikan di Indonesia, oleh sebab itu maka tujuan

pendidikan menurut pandangan progressif John Dewey ini sangat selaras dengan

tujuan pendidikan nasional yang di Indonesia. Menurut Undang-Undang No. 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditandaskan bahwa pendidikan

bertujuan untuk bertumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

cakap, kreatif, mandiri, berakhlak mulia, sehat, berilmu, dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggungjawab. Jadi bersumber dari penjelasan tersebut,

maka aliran progresif sangat singkron dengan tujuan pendidikan yang ada di

Indonesia. Menurut Barnadib, sebagaimana dikutip Jalaluddin dan Abdullah Idi 86progresif menginginkan pendidikan yang berkemajuan. Dalam hal ini, tujuan

pendidikan haruslah diinterpretasikan sebagai pembangunan pengalaman yang

berkelanjutan.

Menurut penulis berdasarkan hasil observasi di MAN Insan Cendikia

Serpong bahwa memberikan fasilitas dengan seluas-luasnya agar dipergunakan

untuk berkarya. Sehingga membentuk karakter sebagai pembelajar, berpikir,

berinovasi maka hal ini peserta didik bisa berpiawai dalam upaya mencari solusi

untuk memecahkan masalah yang dihadapi di lingkungan mereka untuk mengisi

hidup ini. Hal ini sangat cocok dengan tujuan pendidikan progresif.

H. Tinjauan Kritis Terhadap Pemikiran Dewey

John Dewey, sebagai seorang pemikir, yang sangat terkenal pada masanya

adalah seorang manusia yang mempunyai kelebihan dan juga kekurangan. Di

samping, sebagai seorang pemikir, beliau juga banyak disukai oleh teman, murid,

kerabat dan masyarakata lainnya. Halyang sebaliknya juga terjadi dalam kehidupan

beliau, yaitu ada juga diantara masyarakat, murid, teman dan bahkan kerabat yang

tidak suka pada beliau, baik mengenai pemikiran dan ide-idenya, maupun sikap

dan tingkah laku beliau selama keterlibatannya dalam dunia akademik dan dunia

sosial lainnya. Terlepas dari semua itu, beliau telah memberikan kontribusi yang

sangat luarbiasa terhadap perkembangan ilmu pengetahun, pola pikir, dan sains

pada masyarakat Amerika khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Untuk

pada bagi anak akan dikemukakan kelebihan-kelebihan dan kekurangan-

kekurangan yang miliki beliau selama berkiprah dalam dunia akademik dan sosial

kemasyarakatan lainnya.

1. Kelebihan-Kelebihan

a. John Dewey adalah salah seorang pendiri aliran filsafat pragmatisme dan

aliran filsafat pendidikan progresifisme di Amerika Serikat.

b. Dewey juga dikenal sebagai orang yang pertama sekali menerapkan

konsep-konsep demokrasi dalam pendidikan.

86Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan

Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2012)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 250: Pendidikan Progresif John Dewey

240

c. Dewey juga memeiliki konsep pendidikan yang sangat brillian sehingga

melahirkan sebuahSekolah Laboratorium, dimana guru hanya sebagai

pemandu terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh murid-muridnya.

Konsep ini kemudian juga dikenal sebagai learning by doing.

d. Dewey juga terlibat dalam kegiatan organisasi yang bersifat akademis dan

politis.

e. Dewey dikenal tidak hanya d negara asalnya Amerika, tetapi beliau juga

sering diundang unutkmemberikan kuliah-kuliahnya di luar negeri.

f. Konsep lain dari pragmatismenya yang sangat terkenal adalah

instrumentalisme atau ekperimtalisme.

g. Hampir semua negara di dunia ini sekarang menggunakan konsep-konsep

pendidikan yang dicetuskan oleh Dewey

2. Kekurangan-Kekurangan

a. John Dewey memang banyak mencetuskan ide-ide brilliannya, tetapi ide-

ide tersebut sangat susah untuk dimengerti, karena alur pikirannya yang

sampaikan melalui tulisannya adalah sangat berbelit-belit dan terkadang

berulang-berulang.

b. Dilihat dari segi konsruksi ide-idenya, beliau berangkat dari pengalaman-

pengalamandisekelilingnya.Artinyaide-ide

didasarkan pada fakta-fakta dilapangan semata, tanpa mengindahkan fakta-

fakta yang lain seperti kebenaran-kebenaran yang datang dari sang

pencipta.

c. Ide pragmatismenya adalah sangat bagus jika diterapkan di negara asalnya,

tetapi untukmenerapkan di negara-negara berkembang atau negara-negara

yang menganut sistem kenegaraan berdasarkan agama tertentu, maka

penerapan akan mengalami kemunduran. Karena aliran pragmatisme tidak

menerima kebenaran absolut.

Pendidikan menuntut adanya perubahan, dan pendidikan yang otoriter

yang mematikan ide-ide kreasi siswa untuk diubah menjadi pendidikan yang

demokratis, di mana siswa memiliki kesempatan untuk dapatmenciptakan ide-ide

kreatif Pendidikan yang berpusat pada guru dituntut untuk diubah menjadi

pendidikan yang berpusat pada siswa, di mana siswa secara aktif dapat

berpartisipasi dalam penciptaan pengetahuan dan nilai-nilai. Pendidikan yang tidak

mengijinkan kerjasama dalam memahami pengetahuan dituntut untuk diubah

menjadi pendidikan yang kooperatif di mana dalam proses pemahaman

pengetahuan dan nilai-nilai siswa diberi kesempatan untuk bekerja bersama.

Di samping tuntutan terhadap proses pendidikan, pandangan terhadap

pengetahuan dan nilai-nilai juga seharusnya dituntut untuk mengalami perubahan.

Pengetahuan dan nilai-nilai yang sering dijadikan sebagai materistatis yang sekedar

diterima dan diingat harus diubah pemahamannya sebagai suatu konsteks

pemikiran, ide-ide kehidupan yang dinamis untuk dapat dilakukan dalam

kehidupan dan bagi tujuan perbaikan kehidupan. Guru dan siswa harus menyadari

dan memahami hakikat pengetahuan dan nilai bagi perubahan kehidupan sehingga

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 251: Pendidikan Progresif John Dewey

241

mereka membangun kerjasama membangun pengetahuan, nilai, dan keterampilan

bagi tujuan perubahan atauperbaikan martabat kehidupan manusia.

Namun, pendidikan yang memberi kebebasan pada individu siswa untuk

dapat menggunakan seluruh potensinya secara penuh sehingga menjadi manusia

yang produktif, tetapi tetap harus berpegang pada sisi lain pengembangan karakter

manusia yang mulia (akhlakul kharimah) sehingga kemuliaan karakter dapat

mengarahkan kehiduparmya yang produktif dan membawa kebaikan bagi orang

lain dan diri sendira. Dengan demikian, akan tercipta kehidupan yang penuh

dengan hubungan persaudaraan, keaktivan dan persamaan, keharmonisan, dan

sejahtera dalam kehidupan manusia. Dalam pendidikan Islam sangat

memperhatikan tentang humanisme atau memanusiakan manusia, hal ini terbukti

dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang manusia dari

mulai penciptaan, potensi yang dimilikinya, pengelola dimuka bumi ini dan

ditinggikan derajat manusia dibandingkan dengan mahluk-mahluk Allah lainya,

tetapi humanisasi yang diterapkan dalam al-Qur’an tidak meninggalkan peran

manusia di bumi ini sebagai hamba yang diwajibkan umtuk mengabdi pada

kholiqNya.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 252: Pendidikan Progresif John Dewey

242

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 253: Pendidikan Progresif John Dewey

243

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, tinjauan pendidikan

progresif John Dewey di MAN IC Serpong Tangerang, peneliti dapat menarik

kesimpulan,

1. Sesuai dengan namanya, pendidikan progresif John Dewey merupakan

teori pendidikan yang fokus kepada kemajuan atau liberasi peserta didik.

Kemajuan atau progres tersebut adalah kemajuan dalam arti beralih dari

aliran jaman dahulu yang selalu menekankan berpusat kepada pendidik

dan teks yang berlebihan. Menurut progresif, pendidikan otoriter semacam

itu memiliki banyak kelemahan karena secara ontologis, pandangan

tersebut memang sudah keliru. Bagi progresif, manusia secara kodrati

sudah dibekali dengan berbagai kemampuan, sehingga secara kodrati juga

sudah berpiawai dalam melihat dan memecahkan masalah yang

mengganggu eksistensinya. Pendidikan yang otoriter menurut progresif

akan mengalami kegagalan dan hanya akan menghadapi berbagai kesulitan

dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang baik, karena tidak memberi ruang

yang semestinya kepada kemampuan manusia yang sebenarnya justru

merupakan motor penggerak atau daya kreatif dalam menyelesaikan

persoalan yang dihadapi di dalam kehidupan.

2. Pelaksanaan pendidikan di MAN Insan Cendikia mengarah kepada

pendidikan progresif John Dewey yaitu: a) membawa pendidikan ke arah

progresif, b). Merubah pendidikan otoriter menjadi pendidikan

demokratis, c). Menyesuaikan pola pendidikan dengan kebutuhan siswa,

d). Mengaktifkan siswa dalam implementasi pendidikan di sekolah, dan

e). Menjadikan sekolah sebagai agen rekonstruksi sosial dan moral. Hal ini

dapat dibuktikan dalam dua situasi. Pertama, dilaksanakan dalam

pembelajaran di dalam kelas. Pelaksanaan pendidikan progressif dalam

Page 254: Pendidikan Progresif John Dewey

244

kelas pembelajaran di kelas dilaksanakan dengan cara: a). Mengawali

pembelajaran dengan motivasi kepada siswa, b). Melaksanakan

pembelajaran yang bersifat kontekstual, c). Melibatkan siswa dalam

memanfaatkan media pembelajaran, d). Menumbuhkan peran aktif siswa

dalam pembelajaran, e). Mengajak siswa berpikir kritis secara mandiri dan

problem solving, f). Menumbuhkan keceriaan dan antusiasme siswa dalam

belajar. Kedua, dilaksanakan dalam proses pelaksanaan dalam proses

pelaksanaan kegiatan pengembangan di MAN IC Serpong. Dalam tinjauan

pendidikan progressif John Dewey pada MAN Insan Cendikia bahwa

pendidikan di MAN ada pengaruh yang kuat karena dilihat dari prestasi-

prestasi yang telah dicapai selama ini sehingga MAN Insan Cendikia

dijadikan sebagai model bagi madrasah-madrasah yang lain.

3. Konsep pendidikan progressif John Dewey merupakan konsep pendidikan

yang mengacu pada teori-teori John Dewey yang berpijak pada asas-asas

pendidikan progressif John Dewey menjadikan pengalaman hidup manusia

sebagai pijakan dalam melakukan perubahan-perubahan ke depan melalui

proses pendidikan. Konsep pendidikan progressif John Dewey yang

mengandung asas pendidikan partisipatif dalam pandangan pendidikan

Islam bisa dipertegas: bahwa terdapat beberapa aspek kesesuaian

(terutama dalam hal kemanfaatan yang bersifat duniawi), dan terdapat

banyak aspek perbedaan yang sangat prinsip (terutama mengenai hal-hal

yang bersifat metafisik-spiritual).

B. Implikasi

Berdasarkan temuan dalam penyusunan penelitian ini,

diidentifikasikan bahwa dalam pendidikan tradisional dan sampai saat ini

masih ditemukan metode teacher centered, pendidikan masih ada unsur

otoriter yaitu siswa hanya dijadikan objek pendidikan. Dalam hal ini pendidik

semestinya sadar bahwa siswa bukan orang dewasa dalam bentuk mini tetapi

memiliki perasaan, potensi yang belum digali dan diolah.

Dalam hal ini, pendidik dianggap sebagai fasilitator sekaligus partner

bagi siswa. Pendidik menjadi teman perangsang bagi siswa. Begitupun juga

dengan peserta didik, dianggap sebagai subyek Pendidikan religius dimulai

guru kepada siswa agar praktek pendidikan bersifat mengarahkan,

memandirikan dan memperdayakan siswa sebagai makhluk berdimensi

horisontal dan vertikal sekaligus. Dari beberapa uraian singkat tentang

pemikiran pendidikan anak baik di dunia. Islam maupun Barat, maka dapat

disimpulkan bahwa pada dasarnya pendidikan anak merupakan satu hal yang

sangat penting. Pendidikan pada masa kanak-kanak akan sangat menentukan

kehidupan mereka di masa mendatang. Pemikir pendidikan anak di dunia

Islam lebih cenderung bersifat filosofis religius, sedangkan pemikir dari Barat

cenderung pada bersifat psikologis akademis. Meskipun terdapat perbedaan

kecenderungan, namun dari beberapa pemikiran tersebut dapat ditarik benang

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 255: Pendidikan Progresif John Dewey

245

merah yang saling melengkapi yaitu bahwa pendidikan anak harus bersifat

komprehensif bukan hanya berdimensi filosofis religius atau psikologis

akademis, melainkan paduan di antara keduanya yang aktif. Peserta didik

memiliki peran sebagai subyek pencipta kembali, dan penemu ulang. Jadi

keduanya sama-sama menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan

berfikir, dan pada saat yang bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan

dan buah pikirannya. Dalam prosesnya menggunakan metode problem solving,

learning by doing dan metode disiplin.

C. Saran-saran

Pendidikan progressif merupakan salah satu konsep pendidikan dari sekian

banyak konsep pendidikan yang ada dan bisa dilaksanakan di Indonesia.

Pendidikan progresif bisa dilaksanakan secara parsial atau secara total dalam

sebuah lembaga pendidikan. Dalam kata lain konsep pendidikan progresif

adalah salah satu ide dalam referensi pelaksanaan pendidikan. Oleh karena itu,

demi terwujudnya pola pendidikan masyarakat dan peserta didik penulis

memberikan beberapa saran yaitu:

1. Saran untuk kepala sekolah, agar lebih memberikan peluang kepada siswa

untuk mengembangkan segala potensi serta minat dan bakatnya.

Sebaiknya kepala sekolah juga perlu mengadakan pelatihan agar seluruh

guru memahami konsep pendidikan yang sekiranya bisa dilaksanakan di

sekolah sehingga proses pembelajaran tidak hanya sekedar proses transfer knowledge tetapi proses memanusiakan manusia.

2. Saran untuk seluruh guru di sekolah sebaiknya guru sebagai pendidik

harus memahami konsep. Sehingga pola pembelajaran mengarah pada

mengaktifkan siswa. Agar siswa memiliki pengalaman belajar yang tak

terlupakan seumur hidup. Guru hendaknya aktif memperbarui metode

belajar dan media belajar, hal ini bertujuan agar tercipta pembelajaran

yang membangkitkan semangat dan keceriaan siswa belajar. Guru perlu

memilih pendekatan serta metode pembelajaran yang sesuai agar anak

lebih berminat dan aktif dalam belajar. Guru harus lebih berkreatif

mengkombinasikan metode-metode yang umumnya tidak pernah

digunakan atau metode yang cenderung lebih cocok digunakan untuk

materi pelajaran. Guru mampu mempertahankan semangat belajar peserta

didik, dan memberikan motivasi kepada guru yang lain dalam rangka

menciptakan pembelajaran aktif.

3. Saran untuk peserta didik hendaknya memperhatikan pelajaran yang

disampaikan oleh guru dengan sungguh-sungguh. Peserta didik

hendaknya lebih aktif lagi dalam kegiatan pembelajaran. Seluruh peserta

didik hendaknya menjaga akhlak baik kepada guru maupun teman.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 256: Pendidikan Progresif John Dewey

246

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 257: Pendidikan Progresif John Dewey

247

DAFTAR PUSTAKA

Sumber dari Buku

Abdillah, Masykuri Demokrasi di Persimpangan Makna, alih bahasa: Wahib

Wahab, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999

Aan, Komariah dan Triatna, Cepi. Visionary Leadership; Menuju Sekolah Efektif. Jakarta:Bumi Aksara, 2006

A, Lie. Cooperative Learning. Jakarta:Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2004

Alim, Muhammad Abd. Al-Tarbiyah wa alTanmiyah fi al-Islam, Riyadh: KSA,

1992

Anas, Azwar. Yogyakarta: Tiara Wacana Price, Kingsley (USA: Allyn and Bacon

1993

Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003

Alexander, T. “Educating the Democratic Heart: Pluralism, Traditions, and The

Humanities, dalm J. Garrison (Ed), The New Scholarship Ali, Hamdani. Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Kota Kembang, 2001

Alm, Buchari. Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar, Bandung: Alfabeta, 2008

al-Nahlawi, Abdurrahman. Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibiha,

Damaskus: Daar al-Fikr, 1999

al-Rasyidin dan Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press,

1995

al-Syaibany. Falsafah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Alih Bahasa:Hasan

Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999

Arends, Learning to Teach Fifth Edition. New York: Mc. Graw Hill Company,

2001

Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat

Pers, Juli 2002

As’adi, Basuki. dan Ulum, Miftahul. Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta:Stain PO Press, 2010

Azra, Azyumardi. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas, 2002

…….., Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru Jakarta: Logos, 2000

Bahri. Djamarah Syaiful. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Jakarta:

Rineka Cipta, 2000

Barnadib, Imam. Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna Dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996

………, Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2012

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994

Page 258: Pendidikan Progresif John Dewey

248

Becker, Gary. Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education, New York and London: Colombia University Press,

1975

Bimas, Islam. Index Jumlah Pesebar an Umat Beragama, Jakarta: Kementerian

Agama Republik Indonesia, 2011

Boisvert, R. “John Dewey: An”old-Fashioned” Reformer”, dalam J. Garrison (ed.),

The New Scholarship on Dewey,(Boston: Kluwer Academic Publishers,

1995

Boydston, Jo Ann, (ed.) John Dewey, The Later Works: 1925-1953, Jilid, 2

Carbondale, USA: Southern Illinois University Press, 1969

Campbell, J. Understanding John Dewey, Chicago, IL: Open Court, 1995

Coughlan, Neil. Young John Dewey: An Essay in American Intellectual History, Chicago: University of Chicago Press, 1993

Dahl, Robert A. Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara singkat, alih bahasa: A. Rahman Zainuddin, Jakarta: Yayasan Obro

Indonesia, 2001

Danim, Sudarwan. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2003

…….., Visi Baru Manajemen Sekolah dari Birokrasi ke Lembaga Akademik,

Jakarta: Bumi Aksara, 2006

Darmuin. Prospek Pendidikan m di Indonesia: Suatu Telaah terhadap Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama Fak. Tarbiyah

lAIN Walisongo Semarang. 2002

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV Penerbit

Jumanatul Ali-Art, 2004

Dewey, John. Art as Experience, in The Philosophy of John Dewey, Chicago:

Chicago Press, 1961

........, Democracy and Education, An Introduction To the Philosophy of Education, New York: The Macmillan Company, 1964

…….., Pengalaman dan Pendidikan, Penerjemah: John De Santo, Yogyakarta:

Kepel Press, 2002

…….., The School and Society, (Carbondale: Southern Illinois University, 1976

…….., School of Tomorrow, New York: E.P. Dutton & Co, Inc 1962

…….., Philosophy of Education Problem of Men, Ames Iowa: Littlefield Adam &

Co, 1946

Dimyati dan Moedjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT. Rineka Cipta,

2006

Djoyonegoro, Lima Tahun Mengemban Tugas Pengembangan SDM. Tantangan yang tiada hentinya. Jakarta: Balitbang: Depdikbud

Djumransyah, H.M. Pengantar Filsafat Pendidikan,Malang: Bayu Media, 2004

Dwiarso, Priyo. Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara, Yogyakarta:Majelis

Luhur Pesatuan, 2010

E, Smith John. The Spirit Of American Philosophy

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 259: Pendidikan Progresif John Dewey

249

Fadjar, Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1998

Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3S, 1985

Gandhi, HW Teguh Wangsa. Filsafat Pendidkan: Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2013

Gutek, Gerald L. Philosophical and Ideological Perspectives on Education, New

Jersey: Prentice Hall Inc., 1998

Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta: Kanisius, 2004

Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2007

…….., Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009

Hamdani, Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998

Hakim, Lukmanul. Perencanaan Pembelajaran, Bandung: CV. Wacana Prima,

2009

Hartono, Agung. dan Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT Rineka

Cipta, 2008

Henderson, S V P. Introduction to Philosophy of Education, Chicago: University

of Chicago Press, 1959

Huda, M. Cooperative Learning: Metode, Teknik, Struktur, dan Model Penerapan, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011

I.S, Muis. Pendidikan Partisiptif Menimbang Konsep Fitrah dan Progesivisme John Dewey, Yogyakarta: Safaria Insania Press, 2004

Idi, Abdullah. dan Jalaluddin, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press, 2012

…….., Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997

Imam, Suprayogo. Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an (Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Penidikan Islam. Malang : Aditya Media bekerjasama

dengan UIN Malang Press. 2004

In’am Esha, Muhammad. Institusional Transformation, Reformasi dan Modernisasi Pendidikan Tinggi Islam, Malang: UIN-Malang Press

Irfan, M Islamy. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi

Aksara, 2001

Isjoni, Cooperative Learning Efekivitas Pembelajaran Kelompok, Bandung:Alfabeta, 2010

Jamaludin, Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, Jakarta: Logos Wacana

Ilmu, 2003

Jackson, Philip W. The Moral Life of Schools, Jossey-Bass Inc U.S, 1998

Kartono, Kartini. Pengatar Ilmu Mendidik Teoritis, Apakah Pendidikan Masih Perlukan?, Bandung: Mandar Maju, 1992

Karwati, Euis. dan Juni, Priansa Donni. Kinerja dan profesionalisme kepala sekolah Membangun Sekolah yang bermutu, Bandung: Alfabeta, 2013

Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono Yogyakarta.

Penerbit Tiara Wacana, 1996

Knight, George R. Issue and Alternatives In Educational Philishophy, Michigan :

Andrews University Press, 1982

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 260: Pendidikan Progresif John Dewey

250

Maimun, Agus. dan Zaenul, Fitri Agus. Sekolah Unggulan Lembaga Pendidikan Alternatif di Era Kompetitif, Malang: UIN Maliki Press, 2010Dakir,

Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta, Renika Cipta, 2004

Mansur, Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar 2004

Mastuhu, Menata Ulang Pendidikan Nasional Abad 21. Jakarta: INIS, 2002,

Mastuki, Seri Informasi Pendidikan Islam No.6, Menulususri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia. Jakarta : Departemen Agama RI, Direktorat

Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Bagian Proyek EMIS Perguruan

Agama Islam Tingkat Dasar. 2001

Mayer, Fredrick. A history of Modern Philosophy, California: University of

Radlands, 2000

Mohammmad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,

Surabaya: Usaha Nasional, 1996

Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2006

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2004

…….., Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta:

Rajawali Pers, 2011

…….., dan Mujib, Abdul. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian ilosofis dan Kerangka Operasionalnya, Bandung: Trigenda karya, 1993

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Bandung: Refika Aditama, 2011

Mulkhan, Munir. Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan Islam & Dakwah, Yogyakarta : SIPress, 1994

Mulyasana, Dedi. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2012

Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, Yogyakarta, Rake Sarasin, 1998

Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004

Muzayyin, Arifin. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005

Nata, Abuddin. Reposisi Madrasah dalam Memasuki Indonesia Baru, makalah

disampaikan pada seminar Evaluasi Kurikulum Madrasah Tahun 1994.

Litbang Depag. Jakarta, 6-7 Desember 2011

…….., Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: Wacana Ilmu dan Pemikiran, 1996

…….., Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta; Rajawali Press, 2012

…….., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2005

……., Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2000,

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 261: Pendidikan Progresif John Dewey

251

Noor Syam, Mohammad. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 2006

Noddings, Nel. Philosophy of Education, Universitas Michigan, Westview Press,

1995

Popkin, Richard H. dan Stroll, Avrum (ed.), Philosophy Made Simple,London:

Heinemann, 1992

Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005

R E, Slavin. Cooperative Learning Teori Riset Dan Praktik. Bandung:Nusa

Media, 2008

…….., Coopereatif Learning: Suatu Pengantar Kepada Teori Tes dan Pengukuran, Jakarta: Dikti PPLPTK, 2010

R I, Arends. Classroom Intruction And Management. USA: The MC. Graw Hill

Companies, Inc, 1997

…….., Classroom Intruction And Management. USA: The MC. Graw Hill

Companies, Inc, 1997

Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2001

…….., Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Logos, 2005

…….., Zakaria Rusydy, Musfah Jejen, Fauzan, Madrasah Sebagai Alternatif Pendidikan Unggul, Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2011

Rochmawati, Ida. Optimalisasi Peran Madrasah dalam Pengembangan Sistem Nilai Masyarakat, 2012

Rockefeller, Steven C. John Dewey: Religious Faith and Democratic Humanism, New York: Columbia University Press, 1991

Rohiat, Manajemen Sekolah, Bandung: Refi kaditama, 2010

Rahman, Fazlur. Tema-Tema al-Qur’an, terjemahan Anas Mahyuddin, Bandung:Pustaka, 1993

Rockefeller, Steven C. John Dewey: Religious Faith and Democratic Humanism, New York: Columbia University Press, 1991

Rohmat, Ali. Kapita Selekta Pendidikan, Yogyakarta:Penerbit Teras, 2004

Rosjidi. Mencari Agama pada Abad XX Wasiat Filsafat, Jakara: PT. Bulan

Bintang, 1986

Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature: Thirtieth-Anniversary Edition, (New

York, Princeton University Press, 1979

Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-politik Zaman Kuno hingga Sekarang, alih bahasa Sigit Jatmiko dkk,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Ryan, Alan. John Dewey and the High Tide of American Liberalism, dalam

Journal PhilPapers, Entries 475, 1995

Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Penerbit Alfabeta, 2007

Said, Iman Muis. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progressif John Dewey, Yogyakarta: Safira Insani Press & MSI UII, 2004

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 262: Pendidikan Progresif John Dewey

252

Smith, Samuel. Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan, alih bahasa Bumi Aksara, Tanpa kota: Bumi Aksara, 2006

Sad Iman, Muis. Pendidikan Partisipatif, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004

Sallis, Edward. Total Quality Management In Education, Jogjakarta: IRCiSoD,

2006

Santoso, Prolematika Pendidikan dan Cara Pemecahannya. Jakarta: Kreasi Pena

Gading, 2000

Siregar, Maragustam. Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam, Yogyakarta : Nuha Litera, 2010

Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka

Cipta, 2003

Soemanto, Wasti. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2006

Stonbrink, Karel. Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: PT LP3ES, 1996

Subhan, Arief. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2012

Sudiyono, HM. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2009

Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan kuantitatif, kualitatif Bandung: Alfabeta, 2010

Suharto, Rudhy. Ilmu dan Epistemologi, Jakarta: Al-Huda, tt

Sukarno, Makmuri. Saidi Ana dan Wahid Marzuki, Rapid Assesment:

Mengembangkan Model, 2013

Sumardi, Mulyanto. dan Syaifuddin Didin, Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Madrasah Model, Jakarta: BEP, 2000

Sunarto dan Hartono, Agung. Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT Rineka

Cipta, 2008

Supandi, Peranan Guru dalam Proses Pembelajaran, Jakarta: Depdikbud, 1992

Suprijono, A Cooperative Learning; Teori & Aplikasi PAIKEM, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010

Suryadi, Manajemen Mutu Berbasis Sekolah, Bandung: PT Sarana Panca Karya

Nusa. 2009

Suwarni, Suripto, Gino, Maryanto. dan Sutijan, Belajar dan Pembelajaran I.

Surakarta: UNS Press, 2000

Suwarno, Wiji. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2006

Sutrisno, Pembaharuan Dan Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta:

Fadilatama, 2011

Suyono dan Hariyanto. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Remaja

Rosdakarya, 2011

Suwito, et al. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana 2006

Syaukani, Hujair. Pendidikan Islam di Indonesia, Suatu Kajian Upaya Membangun Masa Depan, Yogyakarta: Aditya Media, 1997

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 263: Pendidikan Progresif John Dewey

253

Syahidin, Aplikasi Metode Pendidikan Qurani dalam Pembelajaran Agama di Sekolah, Tasikmalaya: Ponpes Suryalaya Tasikmalaya, 2005

Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam Bandung: Remaja Rosdakarya,

1994

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 1994

Tilaar, HAR. & Nugroho, Riant, Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2009

…….., Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014

Trianto, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek, Jakarta:Prestasi

Pustaka Publisher, 2007

The Encyclopedia Americana, USA: Americana Corporation, 1990

Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997

Uzer Usman, Moh. Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2010

Vaizey, John. Pendidikan Didunia Modern, terj. L.P. Murtini, Jakarta: Gunung

Agung, 1974

Warul, Walidin AK. Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldūn Perspektif Pendidikan Modern, Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003

Weiler, Kathleen. What Can We Learn from Progressive Education?University of

Illinois Press:The Radical Teacher, No. 69, Progressive Education May

2004

Westbrook, Robert B. John Dewey and American Democracy, (Cornell University

Press, 1991

Win (editor), Ralph B. Lincoln Dictionary, New York: Philosophical Library, Inc,

1959

Yunus, Mahmud. Perbandingan Pendidikan Di Negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat, Jakarta: Al-Hidayah, 1969

Zaini, Syahminan. Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta:

Kalam Mulia, 2006

Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Sumber dari Jurnal

AA, Reza. “Wattimena Pendidikan Manusia-Manusia Demokratis Filsafat

Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta Keterbatasannya Pada Konteks

Indonesia”, Jurnal Filasafat Aziz, Mursal Etika Akademis dalam Pendidikan Islam, Jurnal Tarbiyah, Vol. 25,

No. 1, Januari-Juli 2018

Akbar, T Saiful. “Manusia dan Pendidikan Menurut Pemikiran Ibn Khaldun dan

John Dewey”, Jurnal Ilmiah Didaktika Februari 2015, VOL. 15, NO. 2, 223

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 264: Pendidikan Progresif John Dewey

254

AlFaris, Fitri. “Kurikulum 2013 dalam Perspektif Filsafat Pendidikan

Progressivisme”, Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 2, Agustus (2015)

Arbayah, “Model Pembelajaran Humanistik. Dinamika Ilmu” Vol 13. No. 2,

Desember (2013)

Ariantoro, Tri Rizqi “Dampak Game Online Terhadap Prestasi Belajar Pelajar”,

JUTIM, Vol 1, No. 1, Desember (2016)

Asyiah, Nur. “Ideologi dalam Pendidikan Islam”, Jurnal Islamika, Volume 13

Nomor 2 Tahun (2013)

Boyer, Eric M. “John Dewey And Growth As "End-In-Itself” Soundings: An Interdisciplinary Journal, Penn State University Press Vol. 93, No. 1/2

Spring/Summer (2010)

Departemen, Agama RI. Pedoman Penyusunan Master Plan MA Model, Jakarta:

proyek Pengembangan Madrasah Aliyah Direktorat Pembinaan Perguruan

Agama Islam, (1997/1998)

Efendi, Nur. “Pengaruh Pembelajaran Reciprocal Teaching Dipadukan Think Pair Share Terhadap Peningkatan Kemampuan Metakognitif Belajar Biologi

Siswa Sma Berkemampuan Akademik Berbedadi Kabupaten Sidoarjo”,

Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli (2013)

Fadlillah, M. “Aliran Progresivisme dalam Pendidikan Di Indonesia”, Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 5 No. 1 Januari (2017)

Gade, Syabuddin. “Perbandingan Konsep Dasar Pendidikan antara Ia dan Asy-

Syaibani” Jurnal Ilmiah Didaktika Agustus VOL. XII NO. 1, (2011)

Idris, Ridwan. “Perubahan Budaya dan Ekonomi Indonesia dan Pengaruhnya

terhadap Pendidikan”, Lentera Pendidikan Vol 14 No. 2 Desember (2014)

Kusen, “Strategi Pembelajaran Kooperatif Dalam Meningkatkan Motivasi

Belajar”, Ta’dib, Volume 19, No. 1 Juni (2016)

Lestari, RS. Linuwih. “Penerapan Model Pembelajaran kooperatif Tipe Pair Checks Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Social Skill Siswa”,

Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia (2012)

Mardalena, Suhendri. “Pengaruh Metode Pembelajaran Problem Solving Terhadap

Hasil Belajar Matematika Ditinjau Dari Kemandirian Belajar”, Jurnal Formatif

Ma'sumah, Anis. “Pendekatan CTL (Contextual Teaching and learning) dalam

Pembelajaran KBK”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 12, Nomor 2,

Oktober (2003)

Mualifah, Ilun. “Progresivisme John Dewey dan Pendidikan Partisipatif

Pendidikan Islam”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 01 No. 01 Mei

(2013)

Muhammad, “Konsep Pengembangan Madrasah Unggul” Kreatif, Vol. 4, No. 1

(Januari 2009)

Mulyono, El-Hikmah (Jurnal Kependidikan dan Keagamaan) Volume VIII Nomor

1. Malang: Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang (2010)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 265: Pendidikan Progresif John Dewey

255

Musariffah, Nur Aini Hubungan Penggunaan Smartphone dengan Minat Belajar

Siswa SMA Negeri 1 Gedangan Sidoarjo, JUPE. Volume 6 Nomor 3

Tahun (2018), 133 - 137

Nany, Sutarini. P, Priyoyuwono Rukiyati. “Penanaman Nilai Karakter Tanggung

Jawab dan Kerja Sama Terintegrasi dalam Perkuliahan Ilmu Pendidikan

“Jurnal Pendidikan Karakter,Tahun IV, Nomor 2, Juni (2014)

Nizar, Samsul. ”Filsafat Pendidkan Islam Pendekatan Historis Teoritis dan

Praktis,” Jurnal Sistem Pendidikan Perspektif Filsafat Islam dan Barat”,

Tajdid Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni (2015)

Novita, Mona. “Sarana dan Prasarana Yang Baik Menjadi Bagian Ujung Tombak

Keberhasilan Lembaga Pendidikan Islam, Nur el-Islam,Volume 4,

Nomor 2, Oktober (2017)

Noor, Rohman Fauzan. “Perspektif Islam Tentang Demokratisasi Pandidikan”,

Jurnal Tarbawi Vol. II. No. 2. Juli - Desember (2014)

Paryanto, “Penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif Tipe Group Investigation

Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Teori Pemesinan Dasar”, JPTK, Vol. 19, No.2, Oktober (2010)

Rahman, KA. Ardiansyah. dan Marwazi, “Rekrutmen Tenaga Pendidik dalam

Peningkatan Mutu Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia Jambi

Nadwa”Jurnal Pendidikan Islam Vol. 9, Nomor 1, April (2015)

Rejeki, Sri. Ning, Endah. “Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Siswa Kelas VIII G

Semester 2 Smp Negeri 2 Toroh Grobogan”, Jurnal Lemlit, Volume 3

Nomer 2 Desember (2009)

Rosnawati, R. enam tahapan aktivitas dalam pembelajaran matematika untuk

mendayagunakan berpikir tingkat tinggi siswa Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas

Negeri Yogyakarta, 16 Mei M 507, (2009)

Rostitawati, Tita. “Konsep Pendidikan John Dewey”, Jurnal Tadbir Manajemen Pendidikan Islam IAIN Sultan Amai Gorontalo, Vol. 2 No. 2 (2014)

Schultz, David. “From the Editor John Dewey's Dream”, Journal of Public Affairs Education, National Association of Schools of Public Affairs and

Administration (NASPAA)Vol. 17, No. 1 Winter (2011)

Setyorini, U Sukiswo. B, Subali. “Penerapan Model Problem Based Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP”, Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, (2011)

Su, Zhixin. A Critical Evaluation of John Dewey's Influence on Chinese

Education, American Journal of Education,The University of Chicago Press

Vol. 103, No. 3 (1995)

Suky Parwathi, Putu Lidya dkk Keterampilan Guru dalam Mengelola Kelas pada

Pembelajaran Prakarya dan Kewirausahaan di SMA Negeri 1 Singaraja,

Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Vol. 14, No. 2, Juli (2017), 188

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 266: Pendidikan Progresif John Dewey

256

Sukarno, Makmuri. “Mengembangkan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia

Untuk Menjawab Tantangan Modernisasi, Demokratisasi Dan Globalisasi”,

Jurnal Kependudukan Indonesia, Vol. 9, No. 2, Desember (2014)

Sumarni, “Profil Madrasah Tsanawiyah Unggul:MTs Negeri Winong, Kabupaten

Pati, Jawa Tengah” Volume 13, Nomor 3, Desember 2015

Supardi U.S. dan Susilo, “Penerapan model pembelajaran team assisted

individualization berbantuan lembar kerja siswa dalam upaya meningkatkan

kualitas proses dan hasil belajar matematika siswa MTs”, Jurnal Formatif, (2011)

Suprapto, Anas. “Manajemen Pencitraan Di Madrasah Berprestasi (Madrasah

Aliyah Negeri Bangil Dan Madrasah Aliyah Negeri Kraton Pasuruan”,

Jurnal MPI Manajemen Pencitraan di Madrasah,Vol 1, No 2, (2016)

Supriyanto, Agus.”Studi Deskriptif tentang Tokoh-tokoh Filsafat Pendidikan

Barat”, Turast, Vol. 6, No. 1, Januari (2010)

Swistoro, Warimun Eko. “Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving Fisika

Pada Pembelajaran Topik Optika Pada Mahasiswa Pendidikan Fisika”,

Jurnal Exacta, Vol. X. No. 2 Desember 2012

Syahrir, Syam Widodo Agus. “Pengembangan Kurikulum Program Studi Bahasa

dan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dipenogoro”, Parole,

Vol. 2 No. 1, April (2011)

Triana, Habsari Novi. “Implementasi Filsafat Perenialisme Dalam Pembelajaran

Sejarah”, Jurnal Agastya Vol 03 No 01 Januari (2013)

Tutuk, Ningsih. “Telaah Konsepsi Pendidikan dan Implikasinya Bagi

Terwujudnya Masyarakat Madani di Indonesia Insania” Vol. 14, No. 1 Jan-

Apr (2009)

Usdiyana, Dian. Purniati, Tia. Yulianti, Kartika. dan Eha, Harningsih.

"Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis Siswa Smp Melalui

Pembelajaran Matematika Realistik, Jurnal Pengajaran MIPA, Vol. 13 No. 1

April 2009

Wardi, Moh. Relevansi Pemikiran Ibnu Sina Dan George Wilhelm Friedrich Hegel

Tentang Pendidikan, at-turas Vol I, No 1, Januari sampai Juni 2014

Warimun,Eko Swistoro. “Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving Fisika

Pada Pembelajaran Topik Optika Pada Mahasiswa Pendidikan Fisika”, Jurnal Exacta, Vol. X. No. 2 Desember (2012)

Weiler, Kathleen. What Can We Learn from Progressive Educaion?University of

Illinois Press:The Radical Teacher, No. 69, Progressive Education, 2004

Wenno, Izaak. “Pengembangan Model Modul Ipa Berbasis Problem Solving Method, Berdasarkan Karakteristik Siswa Dalam Pembelajaran Di

SMP/MTS, Cakrawala Pendidikan, Juni, Th. XXIX, No. 2, (2010)

Wikandaru, Reno. “Aliran Pendidikan Progresivisme dan Konribusinya Dalam

Pengembangan Pendidikan Pancasila di Indonesia” Jurnal Ilmiah CIVIS,

Volume II, No 1, Januari (2012)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 267: Pendidikan Progresif John Dewey

257

Yani, Nurhaeni. “Meningkatkan Pemahaman Siswa Pada Konsep Listrik Melalui

Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Siswa Kelas IX SMPN 43

Bandung”, Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 12 No. 1 April (2011)

Yunus, HA. “Telaah Aliran Pendidikan Progresivisme Dan Esensialisme Dalam

Perspektif Filsafat Pendidikan”, Jurnal Cakrawala Pendas, Vol. 2, NO. 1

Januari (2016)

Zainuddin, M. “Paradigma Pendidikan Islam Holistik” Ulumuna, Volume XV

Nomor 1 Juni (2011)

Zulkarnain, el Lomboky. “Konsep Pendidikan sebuah Tinjauan Kritis” (Majalah

Gontor Media Parekat Umat, edisi 03 tahun IX Juli (2011)

Sumber dari Internet

Adam Jordan, John Dewey on Education: Impact & Theory, diakses pada

lamanhttp://study.com/academy/lesson/John-Dewey-on-educaion-impact-

theory.html. Pada oktober 2017, pukul 11.48 WIB

Sunaryo Kuswana Wowo, Model Pembelajaran Dalam Konteks Kurikulum Suyatno, Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran

dalam http://www.klubguru.com, 03 Maret 2017.

Hiryanto,Model-modelPembelajaran,dalam

masririt.files.wordpress.com/2007/12/model-model-pembelajaran.ppt. 18

November 2016.

Akhmad Sudrajat, Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model Pembelajaran, dalam http://www.psbpsma.

org/content/blog/pengertian- pendekatan-strategi-metode-teknik-taktikdan-

model-pembelajaran. 03 Oktober 2017

Leutuan, Al Rasyid Harun. "Strategi Pengembangan Pendidikan di Indonesia",

dalam https:// harunalrasyidleutuan.wordpress.com, diunduh pada tanggal

15 April 2017

http:www.suaramerdeka.com /harian/0508/23/x_opi.html, diakses pada tanggal 06

Januari 20

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 268: Pendidikan Progresif John Dewey

258

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 269: Pendidikan Progresif John Dewey

259

GLOSARIUM

Afektif = memiliki 2 arti. Afektif adalah sebuah homonim

karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang

sama tetapi maknanya berbeda. Afektif memiliki arti

dalam bidang ilmu psikologi dan linguistik. Afektif

memiliki arti dalam kelas adjektiva atau kata sifat

sehingga afektif dapat mengubah kata benda atau kata

ganti, biasanya dengan menjelaskannya atau

membuatnya menjadi lebih spesifik. Berikut Adalah

Arti, Makna, Dan Pengertian Dari "Afektif":

Afektif dalam bidang psikologi berarti berkenaan

dengan perasaan (seperti takut, cinta). Afektif dalam

bidang psikologi berarti berarti mempunyai gaya atau

makna yang menunjukkan perasaan (tentang gaya

bahasa atau makna)

Aksiologi =memiliki 2 arti. Aksiologi adalah

sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan

dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.

Aksiologi memiliki arti dalam kelas nomina atau kata

benda sehingga aksiologi dapat menyatakan nama dari

seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang

dibendakan. Berikut Adalah Arti, Makna, Dan

Pengertian Dari "aksiologi": aksiologi dalam

kelas nomina berarti berarti kegunaan ilmu

pengetahuan bagi kehidupan manusia. aksiologi dalam

kelas nomina berarti berarti kajian tentang nilai,

khususnya etika

Contoh: Kita harus melembagakan dan

membudayakan ilmu pada setiap domain epistemologi

ataupun aksiologi profesi guru

Aplikatif = memiliki 1 arti. Aplikatif memiliki arti dalam

kelas adjektiva atau kata sifat sehingga aplikatif dapat

mengubah kata benda atau kata ganti, biasanya

dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi

lebih spesifik. berarti mengenai (berkenaan dengan)

penerapan.

Page 270: Pendidikan Progresif John Dewey

260

Brainwashing = atau indoktrinasi, memiliki 1 arti. Indoktrinasi

memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda

sehingga indoktrinasi dapat menyatakan nama dari

seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang

dibendakan. berarti pemberian ajaran secara

mendalam (tanpa kritik) atau penggemblengan

mengenai suatu paham atau doktrin tertentu dengan

melihat suatu kebenaran dari arah tertentu saja.

Browser = memiliki 1 arti. Browser memiliki arti dalam

kelas nomina atau kata benda sehingga browser dapat

menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua

benda dan segala yang dibendakan. Artinya pencarian

kandungan makna di internet.

Cendikia =memiliki 1 arti. Berilmu berasal dari kata dasar ilmu.

Berilmu memiliki arti dalam kelas verba atau kata

kerja sehingga berilmu dapat menyatakan suatu

tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian

dinamis lainnya. berarti mempunyai

ilmu. Berilmu juga berarti

berpengetahuan. Berilmu juga berarti pandai.

Community based education =Pendidikan berbasis masyarakat adalah

penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan

agama, sosial, budaya, aspirasi, dan

potensi masyarakat sebagai basisnya.

Demokrasi =memiliki 2 arti. Demokrasi adalah

sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan

dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.

Demokrasi memiliki arti dalam bidang ilmu politik

dan pemerintahan. Demokrasi memiliki arti dalam

kelas nomina atau kata benda sehingga demokrasi

dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau

semua benda dan segala yang dibendakan. berarti

(bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh

rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan

wakilnya. Demokrasi juga berarti pemerintahan

rakyat. Berarti juga gagasan atau pandangan hidup

yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban

serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 271: Pendidikan Progresif John Dewey

261

Dimensi = memiliki 1 arti. Dimensi memiliki arti dalam

kelas nomina atau kata benda sehingga dimensi dapat

menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua

benda dan segala yang dibendakan. berarti ukuran

(panjang, lebar, tinggi, luas, dan

sebagainya). Dimensi juga berarti matra

Contoh: Garis mempunyai satu dimensi, film

tiga dimensi.

Eksistensialisme = filsafat yang memandang segala gejala berpangkal

pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada

di dunia. Jadi, aliran eksistensialisme dapat

disimpulkan bahwa aliran yang memandang bahwa

tidak ada alam semesta selain alam manusia. 1.

Tujuan pendidikan, tujuan pendidikan adalah untuk

mendorong setiap individu agar mampu

mengembangkan semua potensi untuk pemenuhan diri

dan memberi bekal pengalaman yang luas dan

komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. 2.

Peran guru, melindungi dan memelihara kebebasan

akademik, dimana mungkin guru pada hari ini, besok

lusa menjadi murid. Para guru harus memberi

kebebasan terhadap siswa untuk memilih dan

memberi mereka pengalaman yang akan membantu

mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. 3.

Peserta didik, aliran eksistensialisme ini memandang

siswa sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas

tanggung jawab atas pilihannya. Di dalam aliran ini

para siswa juga dipandang sebagai makhluk yang utuh

yaitu akal pikiran, rohani, dan jasmani yang

seluruhnya itu merupakan kebulatan dan semua itu

perlu dikembangkan

Empiris = memiliki 1 arti. Empiris memiliki arti dalam

kelas adjektiva atau kata sifat sehingga empiris dapat

mengubah kata benda atau kata ganti, biasanya

dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi

lebih spesifik. berarti berdasarkan pengalaman

(terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan,

pengamatan yang telah dilakukan).

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 272: Pendidikan Progresif John Dewey

262

Epistimologi = pengetahuan itu informasi, fakta, hukum, prinsip,

proses, dan kebiasaan yang terakumulasi dalam

pribadi sebagai proses interaksi dan pengalaman.

Esensialisme =yakni guru mengajar murid diajar, guru mengetahui

segala sesuatu murid idak tahu apa-apa, guru berpikir

murid dipikirkan, guru bercerita murid patuh

mendengarkan, guru menentukan peraturan murid

diatur, guru memilih dan memaksakan pilihannya

murid menyetujuinya, guru adalah subjek dalam

belajar dan murid adalah objek belaka

Eskatologis = memiliki 1 arti. Eskatologis memiliki arti dalam

kelas adjektiva atau kata sifat sehingga eskatologis

dapat mengubah kata benda atau kata ganti, biasanya

dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi

lebih spesifik. berarti mengenai hal-hal terakhir,

seperti kematian, hari kiamat, kebangkitan

Evolusi = memiliki 1 arti. Evolusi memiliki arti dalam

kelas nomina atau kata benda sehingga evolusi dapat

menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua

benda dan segala yang dibendakan. berarti perubahan

(pertumbuhan, perkembangan) secara berangsur-

angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit)

Fenomenologis =memiliki 3 arti. Fenomena adalah

sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan

dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.

Fenomena memiliki arti dalam kelas nomina atau kata

benda sehingga fenomena dapat menyatakan nama

dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala

yang dibendakan. berarti hal-hal yang dapat

disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan

serta dinilai secara ilmiah

(seperti fenomena alam). Fenomena juga berarti

gejala Contoh: Gerhana adalah salah

satu fenomena alam. juga berarti keajaiban

Contoh: Sementara masyarakat tidak percaya akan

adanya pemimpin yang berwibawa, tokoh itu

merupakan fenomena tersendiri. juga berarti

kenyataan. Contoh: Peristiwa itu

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 273: Pendidikan Progresif John Dewey

263

merupakan fenomena sejarah yang tidak dapat

diabaikan

Fleksibel =memiliki 2 arti. Fleksibel adalah

sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan

dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.

Fleksibel memiliki arti dalam kelas adjektivaatau kata

sifat sehingga fleksibel dapat mengubah kata benda

atau kata ganti, biasanya dengan menjelaskannya atau

membuatnya menjadi lebih spesifik.berarti

lentur. Fleksibel juga berarti mudah dibengkokkan,

berarti luwes. Fleksibel juga berarti mudah dan cepat

menyesuaikan diri.

Gadget = memiliki 1 arti. Gadget memiliki arti dalam

kelas nomina atau kata benda sehingga gadget dapat

menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua

benda dan segala yang dibendakan. berarti peranti

elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis.

Gaya bank = suatu sistem atau istilah yakni guru mengajar murid

diajar, guru mengetahui segala sesuatu murid idak

tahu apa-apa, guru berpikir murid dipikirkan, guru

bercerita murid patuh mendengarkan, guru

menentukan peraturan murid diatur, guru memilih dan

memaksakan pilihannya murid menyetujuinya, guru

adalah subjek dalam belajar dan murid adalah objek

belaka.

Growth = memiliki 1 arti. Pertumbuhan berasal dari kata

dasar tumbuh. Pertumbuhan memiliki arti dalam

kelas nomina atau kata benda sehingga pertumbuhan

dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau

semua benda dan segala yang dibendakan. berarti hal

(keadaan) tumbuh. Pertumbuhan juga berarti

perkembangan (kemajuan dan sebagainya)

Hereditas =memiliki 1 arti. Hereditas memiliki arti dalam

kelas nomina atau kata benda sehingga hereditas dapat

menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua

benda dan segala yang dibendakan. berarti penurunan

sifat genetik dari orang tua ke anak

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 274: Pendidikan Progresif John Dewey

264

Hermeneutika = salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang

interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari

kata kerja dalam bahasa Yunani

Insan =memiliki 1 arti. Insan memiliki arti dalam

kelas nomina atau kata benda sehingga insan dapat

menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua

benda dan segala yang dibendakan. Berarti manusia.

Instrumentalism = suatu paham beranggapan bahwa kemampuan

intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk

kesejahteraan, dan untuk mengembangkan

kepribadian manusia. Aliran eksperimentalisme

mengakui dan mempraktikkan asas eksperimen untuk

menguji kebenaran suatu teori.

Intuisi =memiliki 1 arti. Intuisi memiliki arti dalam

kelas nomina atau kata benda sehingga intuisi dapat

menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua

benda dan segala yang dibendakan. berarti daya atau

kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu

tanpa dipikirkan atau dipelajari. Intuisi juga berarti

bisikan hati. Intuisi juga berarti gerak hati.

Kognitif =memiliki 2 arti. Kognitif adalah

sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan

dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.

Kognitif memiliki arti dalam kelas nomina atau kata

benda sehingga kognitif dapat menyatakan nama dari

seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang

dibendakan. berarti berhubungan dengan atau

melibatkan kognisi juga berarti berdasar kepada

pengetahuan faktual yang empiris.

Kompetensi =memiliki 2 arti. kompetensi adalah

sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan

dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.

kompetensi memiliki arti dalam kelas nomina atau

kata benda sehingga kognitif dapat menyatakan nama

dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala

yang dibendakan. Berarti kewenangan (kekuasaan)

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 275: Pendidikan Progresif John Dewey

265

untuk menentukan (memutuskan sesuatu); berarti juga

kemampuan menguasai gramatika suatu bahasa secara

abstrak atau batiniah`

Komprehensi =memiliki 3 arti. komprehensif adalah

sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan

dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.

Fenomena memiliki arti dalam kelas nomina atau kata

benda sehingga fenomena dapat menyatakan nama

dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala

yang dibendakan. bersifat mampu menangkap

(menerima) dengan baik; berarti juga luas dan lengkap

(tentang ruang lingkup atau isi); berarti juga

mempunyai dan memperlihatkan wawasan yang luas

Kontribusi =memiliki 2 arti. kontribusi adalah

sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan

dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.

Kognitif memiliki arti dalam kelas nomina atau kata

benda sehingga kognitif dapat menyatakan nama dari

seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang

dibendakan. uang iuran (kepada perkumpulan dan

sebagainya); sumbangan

Laboratory school = istilah lain dari sekolah experimen yang didirikan

oleh John Dewey, Dalam Sekolah tersebut, Dewey

telah menempatkan penekatan tentang keahlian-

keahlian yang praktis, seperti memasak, berkebun,

menyapu, bertukang (kayu), ini diberikan untuk kelas

rendah. Di samping itu, sekolah ini juga melayani

mereka sebagai pekerja. Lebih jauh lagi, fokusnya

adalah tentang hubungan antara kehidupan diluar

sekolah dengan aktivitas-aktivitas sehari-hari,

kemudian tentang seni bakat alami yang aktivitas-

aktivitasnya itu muncul secara ideal

Long life education = sebuah prinsip yang menjadi dasar bagi proses

pendidikan Islam, yaitu prinsip pendidikan Islam,

yaitu prinsip pendidikan seumur hidup. Prinsip ini

berpandangan bahwa setiap manusia diharapkan untuk

selalu berkembang sepanjang hidupnya, yang

menegaskan bahwa masa sekolah bukan satu-satunya

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 276: Pendidikan Progresif John Dewey

266

masa bagi seseorang untuk belajar, melainkan hanya

sebagian dari waktu belajar yang akan berlangsung

seumur hidup.

Motivasi =memiliki 2 arti. Motivasi adalah

sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan

dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.

Motivasi memiliki arti dalam kelas nomina atau kata

benda sehingga aksiologi dapat menyatakan nama dari

seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang

dibendakan. Berarti dororngan yang timbul pada diri

seseorang secara sadar untuk melakukan sesuatu

tindakan dengan tujuan tertentu, berarti juga usaha

yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok

orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena

ingin mencapai tuuuan yang dikehendakinya atau

mendapatkan kepuasan dengan perbuatannya.

Norma =memiliki 2 arti. Norma adalah

sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan

dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.

Aksiologi memiliki arti dalam kelas nomina atau kata

benda sehingga norma dapat menyatakan nama dari

seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang

dibendakan. Artinya aturan atau ketentuan yang

mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai

sebagai panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku

yang sesuai dan berterima, setiap warga masyarakat

harus menaati norma yang berlaku.

Pragmatisme = Kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu

ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan

dan sebagainya, bergantung pada penerapannya bagi

penerapannya bagi kepentingan manusia, juga berarti

paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang

tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus;

berarti juga pandangan yang memberi penjelasan yang

berguna tentang sesuatu permasalahan dengan melihat

sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan

praktis.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 277: Pendidikan Progresif John Dewey

267

Progresif = ke arah kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan

keadaan sekarang

Progressivisme = berakar dari kata progresif berarti bergerak maju.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan

bahwa kata progresif diartikan sebagai ke arah

kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan sekarang; dan

bertingkat-tingkat naik. Dengan demikian, secara

singkat progresif dapat dimaknai sebagai suatu

gerakan perubahan menuju perbaikan. Sering pula

istilah progresivisme dikaitkan dengan kata progres,

yaitu kemajuan. Artinya progesivisme merupakan

salah satu aliran yang menghendaki suatu kemajuan,

yang mana kemajuan ini akan membawa sebuah

perubahan

Psikomotorik = memiliki 1 arti. psikomotorik memiliki arti dalam

kelas nomina atau kata benda sehingga psikomotorik

dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau

semua benda dan segala yang dibendakan. Artinya

berhubungan dengan aktivitas fisik yang berkaitan

dengan proses mentak dan psikologi

Rekonstruksi =memiliki 2 arti. Rekonstruksi adalah memiliki arti

dalam kelas nomina atau kata benda sehingga

aksiologi dapat menyatakan nama dari seseorang,

tempat, atau semua benda dan segala yang

dibendakanpengembalian seperti semula akan

dilaksanakan juga berarti penyusunan (penggambaran)

kembali

Stagnasi =memiliki 2 arti. Stagnasi adalah

sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan

dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.

Aksiologi memiliki arti dalam kelas nomina atau kata

benda sehingga stagnasi dapat menyatakan nama dari

seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang

dibendakan. Berarti keadaan terhenti (tidak bergerak,

tidak aktif, tidak jalan); kemacetan, berarti juga

keadaan tidak maju atau maju tetapi pada tingkat yang

sangat lambat; berarti juga keadaan tidak

mengalir(mengarus).

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 278: Pendidikan Progresif John Dewey

268

Student centered =suatu istilah yang dipakai dalam pembelajaran yang

berpusat pada peserta didik

Survival =memiliki 2 arti. Survival adalah

sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan

dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.

Survival memiliki arti dalam kelas nomina atau kata

benda sehingga survival dapat menyatakan nama dari

seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang

dibendakankondisi bertahan hidup; tersisa hidup,

sebuah proses alami yang menghasilkan evolusi

organisme terbaik yang disesuaikan dengan

lingkungan, sesuatu yang bertahan Hidup atau

berlanjut lebih lama dari, atau di luar keberadaan,

orang lain, benda, atau peristiwa; hidup lebih lama.

Teacher centered =suatu istilah yang dipakai dalam pembelajaran yang

berpusat pada guru.

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 279: Pendidikan Progresif John Dewey

269

INDEKS

AAbuddin Nata, 8, 28, 67, 82, 221

Active Learning, 122, 127

afektif, 78, 103, 122, 135, 172, 183,

219, 220, 259

Ahmad D. Marimba, 64

Ahmad Dahlan, 58, 59

aksiologi, 51, 56, 70, 196, 224, 259,

266, 267

Alexander, 47, 247

al-Gha>zali, 58

al-Hadits, 11, 14, 53, 55, 66, 80, 82

al-Nahlawi, 63, 64, 247

al-Quran, 11, 60, 62, 64, 66

al-Syaibani, 63

al-Tarbiyah al-istiqla>liyah, 60

Amerika, 7, 10, 15, 37, 38, 40, 41,

42, 43, 49, 76, 116, 164, 173, 176,

192, 193, 195, 197, 198, 199, 200,

201, 223, 232, 239, 240

Amsal Bakhtiar, 65

Aristoteles, 51, 196

Armai Arief, 56

Authentic, 118, 124, 134, 135, 137,

141

authentic assessment, 134, 135

Azyumardi Azra, 69, 157, 169

B Barat, 13, 15, 36, 39, 49, 56, 78, 161,

195, 200, 244, 249, 251, 253, 255,

256

Beauchamp, 118

Bettencourt, 129

biologi, 38, 92, 97, 108, 137, 234

Boisvert, 45, 46, 47, 48, 248

C Campbell, 45, 46, 248

Confusius, 122

constructivism, 118

Constructivism, 123, 128

Cooperative Learning, 107, 109, 110,

111, 112, 141, 151, 154, 247, 249,

251, 252

CTL, 113, 115, 116, 118, 119, 120,

121, 122, 123, 124, 131, 132, 133,

134, 141, 222, 231, 254

Cuffaro, 47

curriculum, 118, 206, 219

D D.W. Hamlyn, 69

Darwin, 37, 39, 43, 78, 79, 202, 217

Democracy and Education, 11, 12,

16, 43, 49, 58, 112, 119, 191, 201,

202, 207, 213, 216, 232, 248

E E. Mulyasa, 66, 113

Education game, 150

epistemologi, 15, 42, 50, 58, 64, 65,

69, 72, 75, 192, 196, 197, 224, 259

equality, 48

eskatologis, 55, 61, 262

Page 280: Pendidikan Progresif John Dewey

270

evaluation, 134

experimentalism, 39, 78, 201

F Fa>dhil al-Jamaly, 64

Ferdinant Schiller James, 76

Fluid social relations, 48

Foundational problems, 68

Frederick Jackson Turner, 37

Freedom, 16, 48, 192, 201, 202

G Gaili, 129

Georges Santayana, 76

Giambattista Vico, 128

Glasersfeld, 130

good governance system, 167

good planning system, 167

good teachers, 167

H H.A.R Tilaar, 11, 161

Hans Vaihinger, 10, 76, 201, 202

Hegelian, 39, 78, 190

Herbert Spencer, 37

History of Epistemologi, 65

Hisyam Zaini, 126, 127

homo educandum, 78

homo faber, 78

homo sapiens, 78

horisontal, 56, 63, 244

I Ibn Khaldūn, 51, 52, 56, 77, 217, 253

Ibnu Sina, 53, 54, 256

Ilahiyah, 61

Individuality, 48

inquiry, 122, 139, 140, 141, 208

Inquiry, 118, 124, 138, 140, 141, 192

instruction, 118, 148, 220

instrumentalism, 38, 39, 42, 78

IPTEK, 86, 90, 91, 140, 141

J Jane Addams, 38, 191

John Dewey, 7, 10, 11, 12, 15, 16,

17, 18, 19, 20, 22, 23, 27, 28, 30,

31, 36, 37, 38, 39, 40, 43, 44, 45,

46, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 55, 56,

58, 59, 61, 62, 67, 75, 76, 77, 79,

83, 112, 115, 118, 119, 120, 145,

148, 156, 187, 189, 193, 194, 195,

198, 201, 202, 203, 204, 205, 206,

207, 208, 210, 211, 212, 213, 214,

215, 216, 217, 219, 223, 224, 225,

226, 232, 233, 234, 235, 237, 238,

239, 240, 243, 244, 248, 249, 251,

253, 254, 255, 257, 265

K kauniyah, 67, 68, 72

Ki Hadjar Dewantara, 58, 59, 248

Komarudin Hidayat, 127

Konstruktivisme, 120, 123, 128, 129,

130, 150

KTSP, 122, 123, 131, 134, 145, 146,

234

Kurikulum 2013, 21, 144, 170, 220,

222, 254

L Laboratory School, 43, 191

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 281: Pendidikan Progresif John Dewey

271

learning, 2, 10, 12, 22, 33, 39, 56, 66,

71, 78, 102, 109, 110, 117, 118,

122, 131, 133, 194, 206, 211, 219,

222, 231, 232, 234, 240, 245, 254

Learning Community, 118, 124, 133

lesson study, 126, 139

LKS, 143

M M. Athiyah al-Abrasyi, 60

MAN IC, 16, 17, 18, 24, 26, 28, 29,

85, 86, 87, 88, 96, 108, 115, 125,

128, 147, 160, 163, 164, 165, 168,

169, 170, 171, 172, 178, 179, 180,

183, 184, 195, 243, 244

Mark Twain, 38

Mel Silberman, 122

metafor, 41

method of science, 38

modeling, 118

Modelling, 123, 124, 125, 126, 127

Mueller, 135, 136

Muhammad, 14, 19, 20, 23, 33, 54,

62, 64, 68, 72, 143, 156, 204, 206,

247, 249, 254

Mujamil Qomar, 65, 66

N Nadawidjaya, 121

naqliyah, 72

Noeng Muhajir, 25, 61

Nurhadi, 115, 123

O Ontologi, 50, 71

ontologi progresif, 50

ontology, 42

Operational problem, 68

otoriter, 10, 19, 20, 32, 34, 39, 44,

47, 49, 58, 60, 76, 78, 102, 156,

200, 217, 231, 235, 236, 237, 240,

243, 244

P PAI, 63, 64, 65, 124, 125, 163

paradigma, 4, 12, 55, 72, 75, 96, 114,

147, 219, 234

PBI, 145

PBL, 143, 144, 149

PBM, 144, 145, 147

Pendidikan Islam, 1, 4, 6, 8, 9, 11,

14, 15, 31, 34, 36, 51, 53, 54, 55,

56, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65,

66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74,

75, 76, 80, 82, 88, 98, 157, 158,

159, 161, 163, 165, 166, 176, 196,

197, 212, 216, 221, 222, 247, 249,

250, 251, 252, 253, 254, 255, 257

performance, 103, 137, 171

Plato, 51, 59

Priyo Dwiarso, 58

problem solving, 2, 3, 10, 41, 56, 59,

144, 148, 156, 198, 204, 208, 210,

213, 217, 218, 220, 222, 244, 245

Problematika Aksiologi, 70

Problem-Based Learning, 141, 144

profetik, 74

progressive education, 39, 78, 194

Project-Based Learning, 141

psikologi, 7, 38, 53, 73, 81, 92, 104,

119, 188, 189, 190, 191, 199, 205,

223, 259, 267

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan

Page 282: Pendidikan Progresif John Dewey

272

psikomotorik, 7, 35, 78, 122, 135,

219, 220, 267

Q qauliyah, 67, 68, 72

Questioning, 118, 124, 131

R radikal, 53, 56

Ralph Waldo Emerson, 39, 79

reflection, 118

Reflection, 124, 133

Rousseau, 41, 49, 196

S SDM, 92, 158, 166, 177, 178, 179,

248

self-respect, 42

Service Learning, 141

Shymansky, 129

SKB, 166

STAD, 151, 153, 154

status quo, 57

Stiggins, 135

Structural problems, 68

T tadrīb, 53

teacher centered, 4, 7, 17, 75, 117,

131, 234, 236, 244

teaching, 45, 117, 118, 131, 199,

231, 234

TGT, 150, 151, 152, 153, 155

TQE, 167

V vertikal, 56, 63, 244

W William Graham, 37

William James, 10, 38, 39, 40, 78,

79, 190, 192, 201, 227

Work-Based Learning, 141

Y Yale, 37, 192

Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan