Pendidikan Progresif John Dewey
Transcript of Pendidikan Progresif John Dewey
Dr. Yuliani, M.A.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT dan rasa syukur yang sangat
mendalam. Berkat dan rahmatNya penelitian ini dapat diselesaikan. Shalawat dan
salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing dan
menjadi suri teladan yang baik bagi umat seantero alam ini bagi manusia (dan
khususnya penulis) agar senantiasa menjadi pembelajar dan pendidik yang berakhlak
dan cerdas baik intelektual, emosional dan spiritual agar dapat berhubungan dengan
baik dengan sang Pemilik alam semesta ini dan dengan manusia lainnya.
Penelitian ini membahas tentang pendidikan progresif John Dewey (studi
kasus di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan. Fenomena yang
terkadang terjadi di sekolah-sekolah bahwa masih menggunakan metode teacher centered. Oleh karena itu, melalui pendidikan progressivisme John Dewey membuat
metode ada perubahan bahwa peserta didik tidak dianggap sebagai objek pendidikan
tetapi sebagai subjek pendidikan agar minat dan kreativitas peserta didik dapat
tersalurkan sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan.
Buku ini, yang merupakan disertasi penulis, tidak akan selesai dengan
sempurna tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Lc, MA sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Prof. Dr. H. Jamhari, MA sebagai Direktur Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, sebagai promotor yang telah mendidik,
membimbing, mengayomi dan memberikan ide dan gagasan yang kreatif
dalam penyelesaian penelitian ini.
4. Prof. Dr. H. Suwito, MA sebagai promotor yang telah mendidik,
membimbing dan memberikan ide kreatif-imajinatif kepada penulis sehingga
penelitian ini dapat diselesaikan.
5. Prof. Dr. H. Didin Saefuddin, MA sebagai ketua prodi doktor Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Seluruh dosen, karyawan dan pustakawan Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
pendidikan.
7. Prof. Dr. H. Thib Raya, Dekan dan Seluruh dosen PAI UMT cikokol-
Tangerang yang turut membantu dan memberikan support kepada penulis
proses pendidikan di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Ayahanda Emid Mina Kurniawan dan ibunda Masnaeni (almarhumah), yang
selalu mendukung dan berdoa untuk penulis agar senantiasa menjadi
penuntut ilmu hingga akhir hayat.
9. Ayah mertua Marzuki (alamarhum) dan ibu mertua Juarsih (almarhumah)
yang tidak ada henti-hentinya mendorong penulis agar menjadi pecinta ilmu.
10. Seluruh teman-teman Program Doktor (S3) sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada umumnya dan angkatan 2015 pada khususnya
iv
yang telah memberikan motivasi dan bantuan moril dan materil kepada
penulis sehingga penelitian ini bisa diselesaikan.
11. Segenap civitas akademika FAI UMT Tangerang
12. Segenap civitas akademika MAN Insan Cendekia Serpong
13. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Deni Kurniawan,
S.Pd (suami) Muhammad Ridho Kurniawan, Muhammad Fuqoha ar-Rasyid
(almarhum), Muhammad Ashraf Mumtaz, Fauzah Azhima Salsabila serta
Syifa Intan Nuraini (anak-anak) yang telah ikhlas dan sabar memberikan
dukungan selama proses pendidikan.
14. Abu Airin, S. Pd.I penulis mengucapkan terima kasih atas segala doa dan
bantuan selama ini.
15. Asep Abdurrahman, MA kandidat doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
penulis mengucapkan terima kasih atas bantuannya.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini memiliki kekurangan. Oleh karena
itu kritik, saran, dan masukan demi kesempurnaan sangat diharapkan dari semua
pihak. Semoga setiap bantuan yang telah diberikan dibalas oleh Allah dengan
kebaikan.
Jakarta, September 2019
Yuliani
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin digunakan dalam karya ilmiah ini merujuk
pada modul berlaku pada Pedoman SPs UIN Syarif Hidayatullah.
A. Konsonan
q : ق z : ز A : ا
k : ك s : س B : ب
l : ل sh : ش T : ت
m : م {s : ص Th : ث
n : ن {d : ض J : ج
h : ه {t : ط {h : ح
w : و }z : ظ Kh : خ
’ : ء ‘ : ع D : د
y : ي gh : غ Dh : ذ
f : ف R : ر
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin
Fath}ah a>
Kasrah i>
D}ammah u>
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Huruf Nama
Fath}ah dan ya a dan i ai ى
Fath}ah dan waw a dan w aw و
C. Maddah
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fath}ah dan alif a> a dan garis di تا atas
يى Kasrah dan ya i> i dan garis di
atas
D}amma dan waw u> u dan garis di و atas
vi
D. Ta Marbut}ah Ta mabut}ah ditulis dengan huruf “h”, baik dirangkai dengan kata
sesudahnya, maupun tidak, seperti mar’ah ( مرأة) atau madrasah ( مدرسة)
Contoh:
المنورةالمدينة Madi>nah al-Munawwarah
E. Shaddah Shaddah / tashdi>d dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf sama dengan
huruf ber-shaddah.
Contoh:
Nazzala نزل
F. Kata Sandang
Kata sandang “ال” dilambangkan berdasarkan huruf mengikutinya, jika
huruf al-shamsiyah, maka ditulis sesuai haruf tersebut, sedangkan “al” jika diikuti
huruf qamaiyah. Kemudian, “” ditulis lengkap.
Contoh:
al-Shams الشمس
al-Qamar القمر
G. Pengecualian
Penulisan transliterasi tidak digunakan pada kosa kata Arab telah menjadi
baku dan masuk pada kamus bahasa Indonesia, seperti lafaz “Allah”, kecuali beraitan
dengan konteks tertentu mengharuskan untuk menggunakan transliterasi pada
isitilah tersebut.
vii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ..................................................................................................... i
Kata Pengantar .................................................................................................... iii
Pedoman Transliterasi ......................................................................................... v
Daftar Isi .............................................................................................................. vii
Daftar Singkatan .................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Permasalahan ............................................................................. 17
1. Identifikasi Masalah ............................................................. 17
2. Rumusan Masalah ................................................................ 17
3. Pembatasan Masalah ............................................................ 17
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 18
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian .......................................... 18
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan .......................................... 19
F. Metodologi Penelitian ................................................................ 22
G. Sistematika Pembahasan ............................................................ 29
BAB II EPISTIMOLOGI PENDIDIKAN PROGRESIF JOHN DEWEY
DALAM PERSPEKIF PENDIDIKAN ISLAM DAN
RELEVANSINYA BAGI PENDIDIKAN ISLAM ....................... 31
A. Munculnya Pergerakan Progresif .............................................. 37
B. Pendidikan Progressif John Dewey dalam Perspektif
Pendidikan Islam ....................................................................... 51
C. Makna Pendidikan Islam dan pendidikan Progresif John
Dewey ........................................................................................ 62
1. Pendidikan Islam .................................................................. 62
2. Pendidikan progresif John Dewey ........................................ 75
D. Relevansi pendidikan Islam dengan pendidikan
Progresif..................................................................................... 79
BAB III PROFIL DAN PENDIDIKAN MAN INSAN CENDIKIA
SERPONG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
PROGRESIF JOHN DEWEY ...................................................... 85
A. Profil dan Gambar MAN Insan Cendikia Serpong .................... 85
1. Sejarah Singkat Berdiri MAN Insan Cendikia ..................... 86
2. Prestasi Madrasah ................................................................. 89
3. Visi dan Misi MAN Insan Cendikia Serpong ....................... 91
4. Tujuan MAN Insan Cendikia Serpong ................................ 91
5. Target dan Strategi MAN Insan Cendikia Serpong
Tangerang ............................................................................. 92
6. Motto Madrasah.................................................................... 93
7. Budaya Madrasah (SCHOOL CULTURE) ........................... 93
8. Profil Kompetensi Lulusan ................................................... 94
viii
9. Data MAN Serpong Tangerang ........................................... 94
10. Data Siswa MAN Insan Cendikia Serpong .......................... 95
11. Sarana dan Prasarana MAN Insan Cendikia ......................... 96
B. Model-model Pembelajaran ....................................................... 102
1. Kooperatif (Cooperative Learning) ...................................... 107
2. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) .............................................................................. 113
3. Constructivism (Konstruktivisme) ........................................ 128
4. Questioning (Bertanya) ........................................................ 131
5. Learning Community (Masyarakat Belajar) ......................... 133
6. Reflection (Umpan Balik) ..................................................... 133
7. Authentic Assessment (Penilaian Sebenarnya)...................... 134
8. Inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis,
konjektur, generalisasi, menemukan) ................................... 138
9. Pembelajaran Berbasis Masalah ........................................... 142
10. TGT (Teams Games Tournament) ........................................ 150
C. MAN Insan Cendikia Serpong sebagai Madrasah Unggul ........ 156
D. Problematika Madrasah Di Indonesia ........................................ 165
E. Mutu MAN Insan Cendikia Serpong ......................................... 167
1. Kurikulum............................................................................. 168
2. Guru dan tenaga kependidikan lainnya ................................ 174
3. Siswa dan kesiswaan ............................................................ 174
4. Sarana kependidikan ............................................................. 174
5. Supervisi dan akreditasi ........................................................ 174
6. Pembiayaan........................................................................... 175
7. Tata kerja organisasi ............................................................. 175
BAB IV PENDIDIKAN PROGRESIF JOHN DEWEY ............................. 187
A. Kehidupan Dewey dan Pendidikannya ...................................... 187
B. Karir Dan Karya Dewey ............................................................ 189
C. Corak Pemikiran Dewey ............................................................ 193
D. Sejarah dan Perkembangan Progresif John Dewey ................... 195
1. Fase awal perkembangan progresif ..................................... 196 2. Perkembangan progresif pada abad ke-16 ......................... 196 3. Perkembangan progresif pada abad ke-19 dan 20 .............. 197 4. Perkembangan progresif di Amerika dan Uni Soviet ........... 198
E. Tokoh-tokoh Aliran Progresif ................................................... 201
F. Pandangan Hidup (Falsafah) dan Pemikiran John Dewey ......... 202
G. Pemikiran Pendidikan Progresif John Dewey ........................... 217
1. Pandangan Progresif tentang Kurikulum .............................. 217
2. Pandangan Progresif Tentang Peserta Didik ...................... 222 3. Pandangan Progresif John Dewey tentang Pendidik ............ 234
4. Pandangan Progresif John Dewey dalam Belajar ................ 237
5. Pandangan Progresif John Dewey tentang Tujuan Pendidikan ............................................................................ 238
ix
H. Tinjauan Kritis Terhadap Pemikiran Dewey ............................. 239
1. Kelebihan-Kelebihan ............................................................ 239
2. Kekurangan-Kekurangan ...................................................... 240
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 243
A. Kesimpulan ................................................................................ 243
B. Impilkasi .................................................................................... 244
C. Saran-saran ................................................................................ 245
Daftar Pustaka ................................................................................................... 247
Glosarium ............................................................................................................ 259
Indeks ................................................................................................................. 269
Biodata Penulis ................................................................................................... 273
x
DAFTAR SINGKATAN
5K :Keterbukaan, Kebersamaan, Keteladanan, Keadilan dan
Kenyamanan.
BJ : Bacharuddin Jusuf
BPPT : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
CTL : Contextual Teaching and Learning
DDCH : Duduk Dengar Catat Habis
DEPDIKNAS : Departemen Pendidikan Nasional
DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
FKOT : Forum Komunikasi Orang Tua
IC : Insan Cendikia
IMTAK : Iman dan Taqwa
IPA : Ilmu Pengetahuan Alam
IPB : Institut Pertanian Bogor
IPS : Ilmu Pengetahuan Sosial
IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
ITB : Institut Teknik Bandung
ITS : Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
KBK : Kompetensi Berbasis Kompetensi
KBM : Kegiatan Belajar Mengajar
KIP : Kartu Indonesia Pintar
KPS : Kartu Perlindungan Sosial
KTSP : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
LKS : Lembar Kerja Siswa
MAFIKIBI : Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi
MAN : Madrasaha Aliyah Negeri
MI : Madrasah Ibtidaiyah
MIN : Madrasah Ibtidaiyah Negeri
MTs : Madrasah Tsanawiyah
PBI : Problem Based Instruction
PBL : Problem Based Learning
PBM : Pembelajaran Berbasis Masalah
PSBB : Pusat Sumber Belajar Bersama
PTN : Perguruan Tinggi Negeri
RPP : Rencana Pelaksanaan pembelajaran
SDM : Sumber Daya Manusia
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SMK : Sekolah Menengah Kejuruan
SNMPTN : Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
xi
SPMB : Seleksi Penerimaan Siswa Baru
STEP : Science and Technology Equity Program
TGT : Teams Games Tournament
TQE : Total Quality Education
TQM : Total Quality Management
UGM : Universitas Gajah Mada
UI : Universitas Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah salah satu wadah yang berisi suatu proses belajar mengajar
yang diartikan sebagai suatu rangkaian interaksi antara pelajar dan guru dalam
mencapai tujuan1. Pendidikan juga diartikan sebagai suatu proses pertumbuhan
individu yang berlangsung sepanjang hayat. Hal ini berkaitan dengan konsep
pendidikan seumur hidup yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dengan
kehidupan manusia. Sehingga, konsekuensinya harus dilaksanakan dengan sebaik–
baiknya untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Pendidikan adalah alat atau
sarana bagi setiap manusia untuk mengembangkan keilmuan dan pengetahuan.
Oleh karena itu pendidikan diharapkan memiliki konsep pendidikan dan dasar-
dasar yang tertata, dan memiliki etika. Aktivitas pendidikan baik dalam
penyusunan konsep teoritis maupun dalam pelaksanaan operasionalnya harus
memiliki dasar yang kokoh dengan berpedoman kepada etika akademis2.
Pendidikan dinilai memiliki peranan yang cukup penting dalam perkembangan
bangsa dan negara. Majunya pendidikan dalam suatu negara akan memberikan
pengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia yang ada di dalamnya3. Berikut
ada beberapa pengalaman dalam pembelajaran dalam sebuah penelitian.
1Tri Rizqi Ariantoro, Dampak Game Online Terhadap Prestasi Belajar Pelajar,
Jutim, Vol 1, No. 1, Desember (2016) 2Mursal Aziz, Etika Akademis Dalam Pendidikan Islam, Jurnal Tarbiyah, Vol. 25,
No. 1, Januari-Juli (2018) 3Nur Aini Musariffah, Hubungan Penggunaan Smartphone dengan Minat Belajar
Siswa SMA Negeri 1 Gedangan Sidoarjo, JUPE. Volume 6 Nomor 3 Tahun (2018), h. 133
- 137
2
Sebuah penelitian menyatakan4, bahwa bisa diketahui metode
pembelajaran Pancasila, khususnya di tingkat pendidikan dasar dan menengah,
berupa pengajaran mimbar, yakni di satu sisi pendidik sangat aktif dengan
menggunakan metode ceramah mengenai mata pelajaran Pancasila, sedangkan di
sisi lain peserta didik lebih pasif karena hanya mendengarkan dan mencoba
memahami materi yang disampaikan oleh pendidik. Hal ini tidak sepenuhnya
salah karena metode pembelajaran seperti inilah yang dikritik oleh pendidikan
progresif. Pembelajaran yang memberi otoritas yang berlebihan terhadap pendidik
dan teks yang disampaikan tidak akan merasakan berkemajuan karena dalam
metode ini, banyak potensi peserta didik yang tidak diberi kesempatan untuk
berkembang. Ada hal yang menarik yang bisa diambil dari pendidikan progresif di
dalam problem solving pendidikan Pancasila ini adalah mengenai pentingnya
menekankan aspek pengalaman dalam proses belajar. Masyarakat telah sejak lama
mengenal peribahasa bahwa “Experience is the best teacher”. Oleh karena itu
konsep learning by doing yang diusung oleh pendidikan progresif, perlu untuk
diaplikasikan dalam sistem pembelajaran Pancasila, dengan mayoritas isi atau
materi Pancasila berkaitan dengan aspek kehidupan sosial. Caranya adalah seperti
yang telah dikemukakan di atas, yaitu dengan menghadirkan semacam contoh
kasus kepada peserta didik, kemudian pendidik memberikan fasilitas kepada
peserta didik bahwa bagaimana cara Pancasila melihat kasus tersebut atau
bagaimana peserta didik mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam memecahkan
persoalan tersebut. Perlu diingat bahwa pendidikan progresif menekankan
pentingnya pengalaman di dalam keberhasilan pendidikan, dan pengalaman
tentunya adalah pengalaman sebagaimana yang dialami ketika peserta didik
berada pada lingkungan sosial masyarakat yang sesungguhnya.
Berlandaskan kajian fenomenologis tersebut, khususnya di tingkat
pendidikan dasar dan menengah, satu persoalan besar yang menyebabkan gagalnya
pendidikan Pancasila yang disebabkan karena pemilihan metode pembelajaran
yang kurang tepat. Metode pembelajaran Pancasila dengan cara kuliah mimbar,
yang menekankan peran aktif pendidik dengan berceramah di depan kelas, kiranya
memiliki kelemahan. Kelemahannya tidak hanya sebagaimana yang dikemukakan
oleh pendidikan progresif, yaitu bahwa metode semacam ini tidak membawa
kemajuan, namun juga lemah karena tidak sesuai dengan materi Pancasila yang
meskipun abstrak, sangatlah aplikatif dalam praktek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Metode ini oleh karenanya perlu disempurnakan dengan
belajar pada pendidikan progresif. Pendidikan yang menekankan pentingnya
pengalaman dalam proses belajar. Pengalaman adalah guru yang terbaik, oleh
karenanya proses belajar perlu mengakomodasi peran pengalaman tersebut dengan
menghadirkan contoh kasus yang konkret dan empiris sehingga dengan
4Reno Wikandaru, Aliran Pendidikan Pendidikan progresif dan Konribusinya Dalam
Pengembangan Pendidikan Pancasila di Indonesia Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume II, No 1,
Januari (2015)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
3
mengalami, peserta didik akan lebih mengerti dan memahami, sehingga tujuan
pendidikan pun bisa tercapai. Inilah kontribusi utama dari pendidikan progresif
yang bisa dipakai di dalam pengajaran pendidikan di Indonesia, termasuk juga
dalam pendidikan Pancasila.
Memahami hasil penelitian yang telah diteliti, bahwa model problem solving untuk pembelajaran fisika dilaksanakan dengan lima step pembelajaran,
yaitu: (1) menampilkan masalah secara fisika (2) memahami masalah (3) evaluasi
dan perluasan terhadap hasil pemecahan, (4) menjalankan rencana, dan (5)
merencanakan strategi pemecahan.5 Senada dengan berdasarkan penelitian ini,
maka sebaiknya guru tetap berupaya memberikan perhatian terhadap penggunaan
berbagai metode pembelajaran, khususnya penggunaan metode problem solving,
yang terbukti secara parsial dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
Begitu pula perlu meningkatkan kemandirian belajar siswa, agar siswa dapat lebih
bertanggung jawab terhadap keberhasilan belajarnya.6
Berdasarkan hasil penelitian bahwa modul sains berbasis problem solving method merupakan salah satu metode yang dipergunakan sebagai alat bantu guru
sains dalam proses belajar mengajar sains, baik di kelas maupun di laboratorium
yang kontennya terkait problema-problema sains yang harus dicari solusinya oleh
siswa secara logis terarah dan sistematis. Hal ini dimaksudkan agar guru sains
dengan mudah menyampaikan materi sains kepada siswa dan dapat mendeteksi
kompetensi siswa dalam unjuk kerja. Siswa akan lebih mudah belajar sains, karena
di dalam modul sains berbasis problem solving method yang dikembangkan ada
berbagai masalah-masalah sains yang dapat dikerjakan oleh siswa, baik secara
individual maupun secara kelompok.7
Masalah selanjutnya adalah bagaimana mengajarkan keterampilan berpikir
secara eksplisit dan memadukannya dengan materi pembelajaran khususnya mata
pelajaran matematika yang dapat membantu para siswa untuk mengembangkan
kemampuan berpikirnya. Di lain pihak objek matematika yang abstrak menjadikan
matematika dianggap sulit oleh siswa, khususnya bagi tingkat SD yang umumnya
masih berada pada tahapan berpikir konkrit akan menghambat kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa8. Pada umumnya pembelajaran di sekolah masih
5Eko Swistoro Warimun, Penerapan model pembelajaran problem solving fisika
Pada pembelajaran topik optika pada mahasiswa Pendidikan fisika Jurnal Exacta, Vol. X.
No. 2 Desember (2015), h. 111 6Suhendri & Mardalena, Pengaruh Metode Pembelajaran Problem Solving Terhadap
Hasil Belajar Matematika Ditinjau Dari Kemandirian. Belajar, Jurnal Formatif 3(2): h.105-
114 Pengaruh Metode Pembelajaran Problem Solving Terhadap Hasil Belajar Matematika
Ditinjau Dari Kemandirian Belajar 7Izaak H. Wenno, pengembangan model modul IPA berbasis problem solving
method, Berdasarkan karakteristik siswa dalam pembelajaran di Smp/Mts, Cakrawala
Pendidikan, Juni (2015) 8R. Rosnawati, enam tahapan aktivitas dalam pembelajaran matematika untuk
mendayagunakan berpikir tingkat tinggi siswa Prosiding Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
4
terfokus pada guru, dan belum berpusat pada siswa. Pembelajaran di sekolah lebih
bersifat menghafal atau pengetahuan faktual, hal ini menjadikan pembelajaran
tidak searah dengan tujuan pendidikan Nasional. Salah satu tujuan pendidikan
Nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa berpikir kritis, berpikir
logis, sistematis, bersifat objektif, jujur dan disiplin dalam memandang dan
menyelesaikan masalah yang berguna untuk kehidupan dalam masyarakat
termasuk dunia kerja. Mata pelajaran hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan,
untuk dapat melatih siswa memiliki keterampilan berpikir. Salah satu
keterampilan berpikir adalah berpikir tingkat tinggi (higher order thinking).
Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan suatu kemampuan berpikir yang
tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja, namun membutuhkan
kemampuan lain yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir kreatif dan kritis.
Akibat berbagai strategi pembelajaran yang diterapkan tidak didasarkan
pada tipe belajar dan karakter dari siswa-siswa SMP/MTs dalam pembelajaran
sains akan memberikan dampak yang negatif bagi siswa dalam mempelajari
konsep-konsep sains. Oleh sebab itu, pembelajaran yang baik dan menyenangkan
adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menyampaikan ide/gagasan menurut apa yang mereka ketahui. Proses
pembelajaran seperti ini akan mengubah paradigma dalam proses pembelajaran
sains yang tadinya berpusat pada pendidik (teacher centered) menjadi
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered) yang dapat
mendorong peserta didik berimplikasi secara aktif dalam membangun
pengetahuan, sikap dan perilaku. Melalui proses pembelajaran dengan keterlibatan
aktif siswa ini berarti guru sains tidak mengambil hak siswa untuk belajar dalam
arti yang sesungguhnya. Dalam proses pembelajaran sains yang berpusat pada
siswa, maka siswa memperoleh kesempatan dan fasilitasi untuk membangun
sendiri pengetahuannya, sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang
mendalam, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas prestasi belajar siswa.
Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi manusia,
karena melalui pendidikan manusia dapat memahami apa arti dan hakikat hidup,
serta untuk apa dan bagaimana menjalankan tugas hidup dan kehidupan secara
benar. Pendidikan juga berperan penuh dalam pembentukan kepribadian yang
unggul dengan menitikberatkan pada proses pematangan kualitas logika, hati,
akhlak dan keimanan.9 Tujuan pendidikan yang akan dicapai adalah tujuan yang
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, seperti yang tercantum dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 pada Bab II pasal 3, dijelaskan
bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei
(2015) 9 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. I, h. 10
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
5
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.10
Berdasarkan tujuan tersebut pemerintah Indonesia memiliki tanggung
jawab mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang berkualitas.
Pendidikan nasional bukan hanya sebatas peningkatan kualitas kehidupan namun
pendidikan juga meningkatkan harkat dan martabat seseorang di mata Allah. Hal
ini dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Mujadalah ayat 1111. Ayat tersebut
menjelaskan bahwa tujuan dari kepemilikan ilmu pengetahuan bukan semata-mata
mencerdaskan akal pikiran, akan tetapi untuk meningkatkan keimanan dan
keyakinan kepada Allah. Oleh karenanya maka perlu dirumuskan pendangan hidup
Islam dapat mengarahkan tujuan dan sasaran pendidikan Islam.
Sebagai landasan pandangan seorang muslim disebutkan dalam surat al-
Imran ayat 1912seorang muslim wajib mentaati ajaran Islam dan menjaga agar
rahmat Allah tetap bersama dirinya. Ia harus mampu memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaranNya yang didorong oleh iman sesuai dengan akidah Islamiah.
Untuk itulah manusia harus dididik melalui proses pendidikan.
Namun perjalanan panjang pendidikan di Indonesia hingga kini masih
diliputi kendala yang cukup mendasar. Sebagai contoh, persoalan yang
menyangkut kesejahteraan guru, kesediaan guru baik dari segi kuantitas maupun
kualitas, ketersediaan fasilitas belajar, managemen kelembagaan, muatan
kurikulum dan tumpukan persoalan lain yang masih terkait. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika kualitas hasil belajar siswa masih rendah.
Proses pendidikan tidak terlepas dari proses belajar mengajar dan hasil
belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru
yang kompeten akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar
siswa berada pada tingkat optimal. Akan tetapi kenyataannya mununjukkan
bahwa selama ini kebanyakan guru menggunakan pembelajaran yang kurang tepat.
10Lukmanul Hakim, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung: CV. Wacana Prima,
2009), h. 92 11 QS, [58 ]:11
12 QS. [3]:19
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
6
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peran yang amat
penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa yang
bersangkutan. Untuk itu pembangunan nasional di bidang pendidikan merupakan
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia
Indonesia, guna mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur, serta
memungkinkan setiap warga negaranya mengembangkan diri, baik dalam aspek
jasmaniah maupun rohaniah, berdasarkan falsafah Pancasila.13 Artinya pendidikan
menjadi andalan utama negara untuk meningkatkan kamajuan sebuah negara.
Tanpa pendidikan, maka diyakini manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi
manusia pada masa lampau.14
Disadari bahwa semakin maju peradaban suatu masyarakat akan semakin
bertambah banyak masalah yang harus dihadapi, termasuk dalam bidang
pendidikan. Permasalahan pendidikan adalah amat banyak, antara satu masalah
dengan masalah yang lain mempunyai hubungan yang kompleks di Indonesia
dibandingkan dengan permasalahan pendidikan. Kompleksitas permasalahan
pendidikan tu muncul tidak saja karena tuntutan perubahan internal dalam skala
nasional bahkan skala lokal.15
Salah satu permasalahan yang menjadi tanggung jawab pendidikan adalah
mengenai kondisi sekolah sekarang ini nampaknya sudah teralinasi dengan
maraknya siswa yang disibukkan dengan media sosial yang hadir sebagai dampak
dari globalisasi. Salah satu dampak dari penggunaan full time mereka terhadap
gadjet yang seluruh aplikasinya berisi sosial media dan browser adalah adanya
generasi yang lebih suka mencari jawaban dari internet dari pada berdiskusi untuk
memecahkan sebuah permasalahan. Jika hal tersebut berlanjut tanpa adanya
filtrasi yang kuat dari pendidikan maka akibat yang ditimbulkan hanyalah dampak
negatif. Dengan istilah lain ialah lahirnya handphone yang smart dan manusia
yang bodoh atau idiot.
Semua bentuk permasalahan pendidikan yang ada seolah membuat
akademisi menjadi geram dan mulai mencari cara agar pendidikan Indonesia
bangkit dan membawa Indonesia pada pemecahan masalah pendidikan yang
continues dan berharap. Hingga sampailah negara Indonesia pada fase dimana
Indonesia membuat kebijakan untuk mengganti kurikulum, memberi subsidi
besar-besaran dalam pendidikan atau bahkan meningkakan kesejahteraan guru
sebagai pemangku utama pendidikan.
Meskipun telah berkali-kali Indonesia mencari konsep pendidikan melalui
merubah kurikulum dan menetapkan berbagai kebijakan. Akan tetapi akan
menjadi sia-sia ketika guru sebagai penopang utama pendidikan tetap
menggunakan pola lama dalam pembelajarannya. Bahwa konsep pendidikan di
13Ali Rohmat, Kapita Selekta Pendidikan, (Yogyakarta, Penerbit Teras, 2004), h. 7 14Hujair Syaukani, Pendidikan Islam di Indonesia, Suatu Kajian Upaya Membangun
Masa Depan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), h. 211 15Ali Rohmat, Kapita Selekta Pendidikan, (Yogyakarta, Penerbit Teras, 2004), h. 3-4
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
7
Indonesia hanya akan menghasilkan output yang cerdas secara akademik dan
kognitif tetapi nihil diafektif dan psikomotorik.
Konsep yang seperti ini dijelaskan oleh Paulo Freire bahwa selama ini
pendidikan masih mengikuti sistem “gaya bank”, yakni guru mengajar murid
diajar, guru mengetahui segala sesuatu murid idak tahu apa-apa, guru berpikir
murid dipikirkan, guru bercerita murid patuh mendengarkan, guru menentukan
peraturan murid diatur, guru memilih dan memaksakan pilihannya murid
menyetujuinya, guru adalah subjek dalam belajar dan murid adalah objek belaka.16
Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, para guru sering menganggap
anak didik merupakan anak manis yang patuh, memiliki disiplin yang tinggi dan
mudah beradaptasi, bukan merupaka anak didik yang memiliki keunikan-keunikan
yang harus dipahami dan potensi-potensi yang harus digali. Kenyataan tersebut
hampir melanda semua lembaga pendidikan.17 Percaya atau tidak praktek
pembelajaran di kelas antara guru dan murid seperti di atas sampai sekarang ini
masih sangat umum ada di tengah-tengah pendidikan di negara Indonesia.
Dalam konsep pendidikan lama situasi pembelajaran didominasi oleh
guru. Siswa lebih bersifat pasif menerima sepenuhnya materi apa saja yang
disampaikan dan diberikan guru. Kurikulum, mutlak direncanakan, disusun dan
dibuat oleh pemerintah dan guru atau sekolah tanpa mengikutsertakan siswa.
Terkait dengan hal tersebut berdasarkan studi psikologi dan sosiologi pendidikan,
masyarakat pendidikan umumnya menghendaki perubahan dan hendaknya konsep
pendidikan terutama dalam pengajaran agar lebih memperhatikan minat,
kebutuhan dan kesiapan siswa untuk belajar.18
Pendidikan dalam perjalanannya selalu mencari format pola pendidikan
tersebut, yaitu memanusiakan manusia. Meskipun dalam kenyataannya praktek
pendidikan tradisional seperti pembelajaran konvensional atau teacher centered masih saja dipraktekan dalam pembelajaran di dalam kelas.
Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan
menurut pemahamannya tentang pendidikan itu sendiri, tujuan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan pendidikan. John Dewey sebagai salah satu tokoh
pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola pendidikan
progresif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan keterlibatan
peserta didik dalam pendidikan atau student centered dan pembelajaran berbasis
pengalaman siswa. Pola pendidikan pendidikan progresif menuntut para peserta
didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif,
mendengarkan, mengikuti, mentaati dan mencontoh guru tanpa mengetahui apaka
yang diikutinya baik atau buruk.19
16 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: LP3S, 1985), h. 51-52 17 Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), h. 188 18Wasti Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 205 19Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipasif Menimbang Konsep Fitrah dan
Pendidikan progresif John Dewey, (Yogyakarta: Safira Insani Press & MSI UII, 2004), h.3
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
8
Dalam rangka menyiapkan diri untuk kehidupan masa depannya siswa di
sekolah harus dibekali dengan pembelajaran dan proses pendidikan yang betul-
betul melibatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat sekolah. Dalam hal
mengimplementasikan pendidikan nasional tersebut bahwa kemampuan murid
dapat dikembangkan secara aktif, akan membentuk karakter pada peserta didik
masing-masing. Pendidikan karakter pada hakikatnya adalah sebuah perjuangan
bagi setiap individu yang menghayati kebebasannya dalam berinteraksi, sehingga
setiap individu dapat mengukuhkan dirinya sebagai pribadi yang unik dan khas
yang memiliki integritas moral yang dapat dipertanggungjawabkan.20 Pendidikan
karakter tidak hanya penanaman nilai-nilai saja namun lebih dari itu, yakni
menciptakan suatu lingkungan yang kondusif, dimana setiap individu dapat
menikmati kebebasannya untuk kehidupan moral yang baik. Tujuan diatas
menjelaskan bahwa budaya sekolah Islami ini sangat berperan penting dalam
menunjang pembelajaran Pendidikan Agama Islam, yang mana tujuan dari
pembelajaran mengimplementasikan manusia Indonesia yang taat beragama dan
berakhlak mulia, yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas,
berdisiplin, bertoleransi, produktif, jujur, adil, etis menjaga keharmonisan dan
sosial dan mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah. Kemudian,
dengan adanya sekolah berkualitas dengan muatan mata pelajaran agama lebih
banyak menjadi pilihan pertama bagi orang tua untuk anak-anaknya ke sekolah
sehingga sekolah yang berkualitas rendah akan ditinggalkan. Orang tua cenderung
memilih sekolah yang banyak muatan agama karena dasar atau pondasi hidup
individu dalam mencegah pengaruh negatif dari era globalisasi. Dengan demikian
penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak lepas dari nilai-nilai, norma prilaku,
keyakinan. Mengingat begitu pentingnya peran pendidikan, maka pendidikan
harus dirancang dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Artinya, pendidikan
harus dikembangkan menuju kearah yang lebih maju dengan memperhatikan
berbagai potensi peserta didik dan sumber daya manusia yang dimiliki. Oleh
karena itu, pendidikan hendaknya tidak hanya berpusat pada pendidik tetapi
dipusatkan pada peserta didik. Peran guru hanya sebatas sebagai pembimbing dan
fasilitator terhadap pengembangan potensi peserta didik. Berkaitan dengan
persoalan tersebut, terdapat salah satu manhaj dalam filsafat pendidikan yang
mendukung berkemajuan dalam pelaksananaan pendidikan. Aliran filsafat ini
dimaksud adalah pendidikan progresif. Aliran ini merupakan sebuah gerakan yang
menentang pelaksanaan pendidikan.
Adapun ide dan pelaksanaan pendidikan harus berjalan dinamis sesuai
dengan dinamika manusia dan masyarakat. Pendidikan selalu mengalami
perkembangan seiring dengan berkembangnya sosial budaya dan berkembangnya
iptek. Sedangkan untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan, ada tiga disiplin
ilmu yang membantu filsafat pendidikan, yaitu: 1 etika atau teori tentang nilai, 2
20Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta; Rajawali Press, 2012),
h. 162
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
9
teori ilmu pengetahuan atau epistimologi, dan 3 teori tentang realitas atau
kenyataan dan yang ada dibalik kenyataan, yang disebut metafisika.21Dalam
perjalanan sejarahnya, Dalam filsafat khususnya filsafat pendidikan lahir berbagai
aliran pemikiran yang mewarnai dunia pendidikan, diantaranya: pendidikan
progresif, perennialisme, rekonstruksionalisme, dan essensialisme. Dalam tulisan
ini penulis mencoba membahas tentang pendidikan progresif dalam pendidikan
Islam.
Menurut bahasa istilah pendidikan progresif berarti bergerak maju. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata progresif diartikan sebagai
ke arah kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan sekarang; dan bertingkat-tingkat
naik. Dengan demikian, secara singkat progresif dapat dimaknai sebagai suatu
gerakan perubahan menuju perbaikan. Sering pula istilah pendidikan progresif
dikaitkan dengan kata progres, yaitu kemajuan, yang mana kemajuan ini akan
membawa sebuah perubahan. Pendapat lain menyebutkan bahwa pendidikan
progresif sebuah aliran yang menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat.22
Artinya bahwa pendidikan progresif merupakan suatu pendidikan yang
menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar upaya pemberian sekumpulan
pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi beragam aktivitas yang
mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka secara menyeluruh,
sehingga mereka dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah, seperti
penyediaan ragam data empiris dan informasi teoritis, memberikan analisis,
pertimbangan, dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang
paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang tengah dihadapi.
Pendidikan progresif berkeyakinan bahwa adanya kekuatan alamiah manusia,
yakni kekuatan itu berasal dari warisan sejak lahir (man’s natural powers).23
Secara tradisional seperti halnya aliran esensialisme dan perennialisme.
Pendidikan progresif mendukung adanya pelaksanaan pendidikan yang dipusatkan
pada peserta didik dan mengembangkan berbagai kemampuannya sebagai bekal
menghadapi kehidupan sosial di lingkungannya. Sejalan dengan itu, Lebih lanjut
mereka menjelaskan bahwa manusia sejak lahir telah membawa bakat dan
kemampuan atau potensi dasar, terutama daya akalnya, sehingga manusia akan
dapat mengatasi segala problematika hidupnya, baik itu tantangan, hambatan,
ancaman maupun gangguan yang timbul dari lingkungan hidupnya.
Beberapa penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan progresif
adalah pendidikan bertujuan ke arah berkemajuan dalam praktik pendidikan.
Dengan kata lain, pendidikan harus mampu membawa perubahan pada diri peserta
didik menjadi pribadi yang tangguh dan mampu menghadapi berbagai persolan
21Arifin Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005),
h. 3 22Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 151 23Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan
Pendidikan. (Jakarta: Rajawali Press. 2012), h. 83
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
10
serta dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial di masyarakat. Oleh
karena itu, pendidikan progresif sangat menghendaki adanya pemecahan masalah
dalam proses pendidikan. Adapun tokoh-tokoh utama dari pendidikan progresif
yaitu: John Dewey, William James, dan Hans Vaihinger. Pengewajantahan dalam
pendidikan dapat diketahui dari beberapa aspek, di antaranya sebagai berikut:
tujuan pendidikan, kurikulum makna pendidikan, belajar, dan peran guru dalam
pembelajaran. Pendidikan progresif dalam sejarahnya telah muncul pada abad ke-
19, pada awal abad ke-20 perkembangannya secara pesat baru terlihat, khususnya
di negara Amerika Serikat. Selanjutmya, Secara implisit pengewajantahan
pendidikan progresif ini dalam pendidikan ialah menekankan pendidikan
demokratis dan menghargai berbagai potensi yang dimiliki oleh anak, serta
pembelajarannya lebih ke arah pada peserta didik, sedangkan pendidik hanya
sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah bagi perkembangan peserta didik.24
Sesuai dengan namanya, teori pendidikan progresif merupakan teori
pendidikan yang fokus kepada kemajuan peserta didik. Kemajuan atau progres
tersebut adalah kemajuan dalam arti beralih dari zaman dahulu yang selalu
menekankan berpusat kepada pendidik dan teks yang berlebihan. Menurut
pendidikan progresif, pendidikan otoriter semacam itu memiliki banyak
kelemahan karena secara ontologis, pandangan tersebut memang sudah keliru.
Bagi pendidikan progresif, manusia secara kodrati sudah dibekali dengan berbagai
kemampuan, sehingga secara kodrati juga sudah berpiawai dalam melihat dan
memecahkan masalah yang mengganggu eksistensinya. Pendidikan yang otoriter
menurut pendidikan progresif akan mengalami kegagalan dan hanya akan
menghadapi berbagai kesulitan dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang baik,
karena tidak memberi ruang yang semestinya kepada kemampuan manusia yang
sebenarnya justru merupakan “motor penggerak” atau daya kreatif dalam
menyelesaikan persoalan yang dihadapi di dalam kehidupan.
Berdasarkan beberapa prinsip pokok yang diuraikan di atas, tampak
bahwa aliran pendidikan progresif ini yang menekankan pentingnya aspek
pengalaman di dalam proses belajar (learning by doing). Oleh karenanya, teori
pendidikan progresif juga mengusung metode pendidikan alternatif yang
memanfaatkan aktivitas peserta didik, serta mendasarkan proses pembelajaran
pada pengalaman dan pemecahan masalah (problem solving). Peserta didik, oleh
pendidikan progresif bukan ditempatkan sebagai subjek pendidikan, melainkan
sebagai orang yang belajar (peserta didik/learner). Asumsi mengenai peserta didik
tersebut membawa implikasi tersendiri karena bagi pendidikan progresif
pendidikan, pendidikan lebih ditempatkan sebagai aktivitas dan pengalaman
daripada sebagai pembelajaran verbal dan literal, yang pada akhirnya hanya akan
melahirkan proses pendidikan yang individual dan kompetitif. Berkaitan dengan
peran institusi pendidikan di dalam proses belajar, pendidikan progresif
24M. Fadlillah, Pendidikan progresif Dalam Pendidikan Di Indonesia, Jurnal
Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 5 No. 1 Januari (2017)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
11
menempatkan sekolah atau institusi pendidikan sebagai tempat yang memberikan
kebebasan penuh kepada peserta didik untuk melakukan eksperimen, dalam arti
memperkaya pengalaman seluas-luasnya. Pendidikan progresif juga menekankan
pentingnya proses belajar sebagai pembelajaran mengenai problem solving. Oleh
karenanya, dalam rangka membekali peserta didik dengan kemampuan problem solving tersebut, sekolah juga menjadi tempat yang menyediakan semacam
simulasi kepada peserta didik mengenai realitas yang biasa dihadapi dalam
kehidupan yang sebenarnya, dan kemudian memberi kebebasan kepada peserta
didik untuk memecahkan persoalan yang diajukan tersebut. Peran institusi
pendidikan yang semacam ini, menurut pendidikan progresif sangatlah penting
karena sejalan dengan asumsi dasar mengenai nilai, pendidikan progresif memiliki
pandangan mengenai arti pentingnya konteks sosial dalam proses pembelajaran.
Nilai tidaklah bersifat eksklusif karena keberadaannya bukan tidak ditentukan
oleh faktor-faktor yang lain. Oleh karenanya berbagai jenis nilai, baik terkait
dengan nilai kebenaran (soal pengetahuan), maupun nilai kebaikan (soal moral),
dikatakan ada apabila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil
eksperimentasi yang dialami manusia di dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Hakikat pendidikan itu sendiri memiliki korelasi kepada pandangan
tentang hakikat manusia. Ada beberapa pandangan manusia menurut para tokoh,
seperti diutarakan Dewantara,25 menurutnya “manusia itu pada dasarnya
merupakan makhluk yang berdiri sendiri dan bertanggungjawab atas
eksistensinya.” Hakikat pendidikan dalam ajaran Islam adalah mengembalikan
nilai-nilai Illahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan al-Quran dan al-
Hadits, sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah. Melalui pendidikan, anak
diarahkan kepada hakikat kehidupan manusia untuk pembentukan kepribadian
yaitu pengembangan manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk
susila, dan makhluk beragama (religius).
Pandangan pendidikan progresif tentang pendidikan dan manusia,
berpendirian bahwa manusia itu mempunyai potensi untuk melihat dan
memecahkan masalah-masalah yang bersifat mengganggu eksistensi manusia
dalam usaha untuk mengalami kemajuan. Sementara esensialisme berpendirian
bahwa pendidikan berfungsi sebagai pemelihara kebudayaan.26 Hal ini diperkuat
oleh John Dewey dalam bukunya Democration and Education27 bahwa “Education is not infrenquently defined as consisting in the acquisition of thos habits that effectan adjustment of an individual and his environment” yang artinya
pendidikan tidak selalu diartikan sebagai pencapaian kemahiran dari kebiasaan
yang berdampak penyesuaian pada individu dan lingkungannya. Kemahiran
25 H.A.R Tilaar, & Nugroho, Riant, Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), h. 46 26H.M Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 17 27John Dewey, Democracy and Education, (New york: Mcmillan Company, 1961),
h. 46
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
12
seorang individu dapat diperoleh karena kebiasaan yang Dewey lakukan sehingga
menimbulkan sebuah peraturan untuk dirinya dan lingkungannya. Sedangkan
kebudayaan itu memiliki konsep, para ahli sosial mengartikan konsep kebudayaan
itu dalam arti yang sangat luas, yaitu seluruh total dalam ide, hasil karya manusia
yang tidak berakar dari nalurinya dan karena itu hanya dicetuskan oleh manusia
sesudah adanya suatu proses belajar. Dan budaya diyakini mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan organisasi.
Dalam buku Democracy and Education, Dewey menerangkan mengenai
pendidikan dalam diskursus pengalaman. Menurutnya, “education is that reconstruction or reorganization of experience wich adds to the meaning of experience, and wich increases ability to direct the course of subsequent experience” (pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman serta
meningkatkan kemampuan untuk menentukan arah bagi pengalaman
berikutnya).28 Selain John Dewey, pendidikan dipandang oleh Noam Chomsky
adalah tulang punggung dari masyarakat yang beradab. Di dalam masyarakat
demokratis, pendidikan mempunyai peranan penting untuk menciptakan,
menyebarkan, dan merawat prinsip-prinsip ideal demokrasi. Ada hubungan yang
amat erat antara prinsip-prinsip demokratis di satu sisi, dan paradigma pendidikan
demokratis di sisi lain.29
Pendidikan dipandang John Dewey sebagai sebuah rekonstruksi atau
reorganisasi pengalaman agar lebih berarti, sehingga pengalaman tersebut dapat
mengarahkan pengalaman yang akan dapat berikutnya.30 Selain itu Pemikirannya
yang utama tentang pendidikan adalah: (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah
berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan
kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar
dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya
prosedur demokratis sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan
dengan dunia nyata dan bertujuan mengembangkan dunia tersebut.31Pendidikan
sesungguhnya bertujuan untuk memanusiakan manusia. Ketika seorang anak
28Syabuddin Gade, Perbandingan Konsep Dasar Pendidikan antara Ia dan Asy-
Syaibani Jurnal Ilmiah Didaktika Agustus VOL. XII NO. 1, (2015), h. 86-105 29Reza A.A, Wattimena Pendidikan Manusia-Manusia Demokratis Filsafat
Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta Keterbatasannya Pada Konteks Indonesia,
Jurnal Filasafat, h. 150 30John Dewey, Democracy And Education: An Introduction to The Philosophy of
Education (NewYork:Mc Graw Hill Book Company) 31Paryanto, Penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif Tipe Group Investigation
Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Teori Pemesinan Dasar, JPTK, Vol. 19, No.2,
Oktober (2015)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
13
manusia lahir ke dunia, ia dibekali dengan berbagai potensi yang harus
diaktualisasikan.32
Proses aktualisasi potensi secara sengaja inilah yang merupakan proses
pendidikan. Proses ini berlangsung sampai seorang anak mencapai kedewasaan.
Kedewasaan diri dapat ditunjukkan juga dengan kepribadian yang matang yaitu
kepribadian yang menunjukkan karakter diri sebagai manusia yang baik, manusia
yang mengaktualisasikan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dalam hidupnya.
Dengan kata lain, pendidikan mempunyai dua tujuan utama, yaitu peserta didik
menjadi cerdas sekaligus baik.
Manusia adalah ciptaan Allah SWT sebaik-baik makhluk yang
disempurnakan dengan akal fikiran. Maka dari itu Ibnu Arabi dalam Samsul Nizar
melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa “tak ada makhluk Allah
yang lebih bagus daripada manusia yang memiliki daya hidup, mengetahui
berkehendak berbicara, melihat, mendengar berfikir dan memutuskan.”33Ini
menandakan bahwa penghargaan terhadap manusia sangatlah tinggi, oleh
karenanya sebagai manusia dalam hal ini dituntut harus mampu menempatkan diri
sebagai hamba Tuhan pada satu sisi dan disisi lain sebagai makhluk sosial.
Artinya manusia harus mampu menjalin hubungan baik dengan Allah Swt sebagai
bentuk penghambaan serta makhluk lainnya sebagai hubungan secara horizontal.
Oleh karenanya hakikat pendidikan sebagai proses pemanusiawian manusia
(humanisasi) sering tidak terwujud karena terjebak pada penghancuran nilai
kemanusiaan (dehumanisasi),34 agar manusia mampu untuk melaksanakan tugas
dan fungsinya, maka manusia harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan manusia diperoleh baik melalui pengalaman maupun
pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Untuk itu manusia harus
mendayagunakan potensi yang dianugerahkan kepadanya secara bertanggung
jawab dalam rangka merealisasikan tujuan dan fungsi penciptaannya di alam ini
baik sebagai ‘abd maupun sebagai khalifah fil ardl. Tanpa tanggapan dan sikap yang jelas tentang manusia, proses pendidikan
akan meraba-raba dan tidak jelas. Manusia merupakan makhluk yang
multidimensi. Mengkaji manusia dari satu dimensi, stagnasi pemikiran akan
dibawa oleh kapabilitas manusia, serta dijadikannya sebagai subjek objek yang
tidak dinamis. Hakikat manusia tidak akan pernah ditemukan secara utuh karena
setiap kali seseorang selesai memahami satu dimensi manusia, maka kemudian
32Rukiyati, Y. Ch. Nany Sutarini, P. Priyoyuwono, Penanaman Nilai Karakter
Tanggung Jawab dan Kerja Sama Terintegrasi dalam Perkuliahan Ilmu Pendidikan Jurnal
Pendidikan Karakter,Tahun IV, Nomor 2, Juni (2014) 33Samsul Nizar,”Filsafat Pendidkan Islam Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis,”
Jurnal Sistem Pendidikan Perspektif Filsafat Islam dan Barat, Tajdid Vol. XIV, No. 1,
Januari-Juni (2015) 34Arbayah, Model Pembelajaran Humanistik. Dinamika Ilmu Vol 13. No. 2,
Desember (2013)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
14
akan muncul dimensi lain yang belum dibahas.35 Pendidikan bisa mempunyai
banyak arti, tergantung dari mana pendidikan itu dipandang. Jika salah dalam
memandang, maka pendidikan justru dapat dijadikan legitimasi untuk berbuat
sesuatu yang tidak benar. Dengan kata lain, manusia mempergunakan
pendidikannya untuk menciptakan dan memainkan peranan sendiri tanpa
ditentukan oleh faktor di luar manusia.
Ungkapan di atas menyiratkan akan arti bahwa pendidikan setara dengan
histori manusia, eksistensi manusia adalah buktinya yang merupakan hasil dari
serangkaian proses pendidikan yang telah seusia histori manusia. Oleh karena itu,
aktivitas pendidikan seakan tidak akan pernah termakan zaman atau lapuk
termakan waktu. Aktivitas pendidikan yang akan selalu bergumul dengan
khazanah intelektual dan perkembangan ilmu sains dan teknologi, selalu menuntut
tidak statis terhadap berbagai kemajuan dan pengetahuan masyarakat. Pendidikan
diproses sebagai alat dan direkonstruksi kebudayaan baru maka wajib
menciptakan situasi yang edukatif yang hasilnya akan dapat mewarnai output (keluaran) sehingga peserta didik tercipta menjadi manusia-manusia yang inisiatif,
adaptif (mudah menyesuaikan dengan keadaan), berkompetitif, dan kreatif
sanggup menjawab tantangan zamannya sehingga berkualitas unggul.
Pendidikan harus dijadikan sebagai penyaring antara kekuatan positif dan
negatif dari perkembangan pengetahuan dan teknologi.36 Progresif dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi mengantarkan bangsa Indonesia ke masa transisi yang
sangat sulit. Kehidupan politik, ekonomi dan sosial sangat berbarengan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi perubahan ini perlu dihadapi sangat
cepat dan tepat sehingga masyarakat kita akan menjadi sasaran negatif dari
sebuah teknologi, akan tetapi dapat menjadi pemain untuk mengarahkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang ada dimanfaatkan menjadi kekuatan yang dapat
membangun masyarakat Indonesia yang lebih baik. Idealnya untuk dapat
memberikan arah yang jelas terhadap perubahan ini.
Setiap muslim meyakini Nabi Muhammad SAW membawa agama Islam
adalah agama yang sempurna. al-Qur’an sebagai sumber utamanya diyakini
sebagai kitab suci yang berisi petunjuk dan pedoman yang lengkap. Oleh
karenanya, al-Qur’an memberikan pengakuan bahwa dirinya sebagai kitab
petunjuk yang membimbing manusia ke arah jalan hidup yang paling lurus.37
Selain al-Qur’an adalah al-Hadits yang dijadikan sebagai sumber utama yang
kedua. Hadits Nabi berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an; menjelaskan makna-
makna atau maksud-maksud yang terkandung dalam al-Qur’an yang masih
bersifat umum atau global, seperti menerangkan masalah tata cara shalat, puasa
35Maragustam Siregar, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah
Pendidikan Islam), (Yogyakarta : Nuha Litera, 2010), h. 57. 36Ridwan Idris, Perubahan Budaya dan Ekonomi Indonesia dan Pengaruhnya
terhadap Pendidikan, Lentera Pendidikan Vol 14 No. 2 Desember (2014), h. 219-231 37Noor Rohman Fauzan, Perspektif Islam Tentang Demokratisasi Pandidikan, Jurnal
Tarbawi Vol. II. No. 2. Juli - Desember (2014)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
15
dan haji, dan juga masalah bermuamalah (berinteraksi) dalam kehidupan sehingga
setiap individu mampu berperan secara aktif, positif dan akurat. Dari paparan
uraian tersebut dapat ditarik suatu pengertian, bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah,
sebagai petunjuk bagi umat manusia memuat nilai-nilai luhur yang mendorong
manusia agar selalu meningkatkan kualitas dirinya dengan berbekal ilmu
pengetahuan (belajar/mencari ilmu), sehingga menjadi orang-orang yang selalu
dalam petunjuk Allah (al-muhtadin). Oleh karena itu, sejak awal kenabian, Nabi
Muhammad SAW sudah melakukan aktivitas-aktivitas pembelajaran-pengajaran
(pendidikan). Istilah pendidikan digunakan dengan kata tarbiyah. kata itu
merupakan salah satu term dalam bahasa arab yang mempunyai banyak arti.
biasanya kata ini diartikan pendidikan itu merupakan pandangan Islam.38
Kuatnya pengaruh pendidikan barat terhadap pendidikan terjadi dihampir
semua negara. Akibatnya pendidikan Islam mengalami banyak kelemahan
terutama pada sistem pendidikan Islam. Pendidikan Islam ideal yang mencakup
berbagai dimensi guna mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut maka para pakar
pendidikan Islam dan para pengambil kebijakan dalam pendidikan Islam harus
mengadakan pembaruan-pembaruan secara komprehensif. Epistemologi
pendidikan Barat menguasai seluruh wilayah dunia, sehingga tidak mempedulikan
adanya alternatif-alternatif epistemologi lain, para ilmuwan muslim juga
mengikuti bahkan tidak jarang yang mengandalkan epistemologi pendidikan barat
tanpa koreksi sama sekali. Secara intelektual sebenarnya umat Islam menjadi
terjajah oleh barat sampai saat ini.
Selama ini gaung pendidikan yang bercorak liberasi dan demokratisasi
lebih terdengar disuarakan oleh para pakar pendidikan modern (Barat), salah
satunya John Dewey 1859-1952, seorang pelopor Pendidikan progresif39.
Pendidikan progresif adalah suatu paham dan perkumpulan yang didirikan pada
tahun 1918, bukan suatu bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri,
suatu gerakan yang kuat selama dua puluh tahunan yang berada di Amerika
Serikat. Tidak sedikit guru merasa ragu terhadap gerakan ini, karena guru telah
mempelajari dan memahami filsafat Dewey,40 sebagai reaksi terhadap filsafat
lainnya. Masa itu adalah ketika John Dewey menjabat seorang profesor filsafat
dan kepala Universitas Chicago, Teori Dewey tentang sekolah adalah “Pendidikan
progresif”41 yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya dari pada mata
38M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Islam Holistik Ulumuna, Volume XV
Nomor 1 Juni (2011) 39Agus Supriyanto,”Studi Deskriptif tentang Tokoh-tokoh Filsafat Pendidikan
Barat”, Turast, Vol. 6, No. 1, Januari (2014) 40Eric M. Boyer John Dewey And Growth As "End-In-Itself Soundings: An
Interdisciplinary Journal, Penn State University Press Vol. 93, No. 1/2 (Spring/Summer
2014), h. 21-47 41David Schultz, From the Editor-John Dewey's Dream, Journal of Public Affairs
Education, National Association of Schools of Public Affairs and Administration
(NASPAA)Vol. 17, No. 1 (Winter 2011), h. ii-iv
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
16
pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Student centered Curriculum” dan
“Student centered School”. Para pengikut aliran progresif sendiri mengkritik
filsafat Dewey. Pengikut paham progresif mengharapkan perubahan yang sangat
cepat, agar lebih cepat mencapai tujuan. Sedangkan perubahan masyarakat yang
dilontarkan oleh Dewey adalah perubahan secara evolusi.
John Dewey adalah seorang anggota serikat guru pertama, ia adalah orang
yang serius dalam bidang hak guru dan kebebasan belajar (academic freedom)42.
Adapun ide filsafat Dewey yang utama sangat kental dengan problema pendidikan
yang konkrit, baik teori maupun praktek diantara karya-karya Dewey dianggap
penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang
paling fenomenal Democracy and Education (1916), yang memberikan pengaruh
paling besar dalam pendidikan dan dipromosikan banyak reformasi pendidikan
melalui sekolah eksperimentalnya. Pandangan John Dewey bahwa anak-anak
harus didorong untuk mengembangkan free personalities dan bahwa mereka harus
diajarkan bagaimana untuk berpikir dan untuk membuat penilaian daripada hanya
memiliki kepala mereka diisi dengan pengetahuan. Dia juga percaya bahwa
sekolah adalah tempat di mana anak-anak harus belajar untuk hidup secara
kooperatif. Pendidikan dan pembelajaran di sekolah selama ini dinilai kurang
demokratis. Kurangnya ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi
menunjukkan eksistensinya dengan perspektif mereka sendiri menunjukkan hal
itu. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan
yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi tantangan dan lebih
kompetitif .
Peserta didik masih saja dijadikan sebagai obyek pendidikan. Kritik dan
keprihatinan tersebut sangat beralasan. Realitas proses pembelajaran yang terjadi
di sekolah-sekolah selama ini sama sekali tidak memberikan peluang kepada
peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis
mereka. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu
apa-apa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali dan disuapi.
Setiap hari diindoktrinasi dan brainwashing terus saja terjadi terhadap anak-anak.
Anak-anak terus saja dianggap sebagai bejana kosong yang siap dijejali aneka
bahan dan kepentingan demi keuntungan semata. Berpuluh-puluh tahun anak-anak
menghadapi pada hafalan kering tanpa adanya kesempatan untuk mengembangkan
daya eksplorasi dan kreativitas. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh
kepala sekolah MAN I Insan Cendikia Serpong bahwa membangun kreativitas itu
penting yang harus dimiliki oleh guru agar peserta didik mempunyai kreativitas
yang tinggi dalam pembelajaran.43 Di MAN IC berkurilulum tiga belas hal ini
42Kathleen Weiler, What Can We Learn from Progressive Education? University of
Illinois Press:The Radical Teacher, No. 69, Progressive Education (May 2004), h. 4-9 43Hasil wawancara dengan Ibu Persahini Sidik, M. Si (Kepala Madrasah MAN Insan
Cendikia Insan Serpong) pada 6 Februari 2018
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
17
cocok dengan pendidikan progresif ingin berkemajuan dalam belajar karena dilihat
dari prestasi dan outputnya. Maka dari itu penulis memilih MAN IC sebagai studi
kasus dalam penelitian ini.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah Berdasarkan latar belakang masalah, dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
a. Metode pembelajaran dalam sekolah masih banyak yang menggunakan
teacher centered
b. Usaha dalam peningkatan mutu dalam sekolah masih kurang
c. Kondisi di kelas yang kurang kondusif ketika belajar mengajar
berlangsung
d. Melemahnya minat peserta didik dalam belajar karena metodenya kurang
memadai
e. Peserta didik belum berakhlak mulia
f. Metode student centered yang belum mencapai target seutuhnya
g. Penanganan khusus bagi peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan
belum ada
2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini merupakan sebuah pertanyaan
yang akan dijawab melalui data yang ada.44 Berdasarkan pembatasan masalah
di atas, maka penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti,
yaitu:
a. Bagaimana pendidikan progresif John Dewey?
b. Bagaimana pendidikan MAN IC Serpong apabila ditinjau dari pendidikan
progresif John Dewey?
c. Bagaimana konsep pendidikan progresif John Dewey dalam perspektif
Islam?
3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini dibatasi agar lebih
spesifik, terarah dan mendalam, meliputi:
a. Fokus Penelitian
Penelitian ini membahas tentang model pendidikan pendidikan
progresif John Dewey di MAN Insan Cendikia Serpong, yaitu sebuah
model pendidikan yang mampu merubah model pembelajaran tradisional
menuju perubahan yang berkemajuan.
b. Lokasi Penelitian
44Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan kuantitatif, kualitatif
(Bandung: Alfabeta, 2010), h. 55
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
18
Penelitian ini hanya membahas tentang pendidikan pendidikan
progresif John Dewey di MAN Insan Cendikia. Sedangkan tokoh
pendidikan progresif selain John Dewey tidak dibahas dalam penelitian
ini.
c. Waktu Penelitian
Penelitian yang membahas tentang pendidikan pendidikan progresif
John Dewey ini dibatasi pada tahun pelajaran 2017/2018.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus dan pokok permasalahan yang sudah disebutkan diatas,
maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana pendidikan progresif John Dewey
2. Untuk mengungkapkan keterkaitan antara pendidikan pendidikan
progresif John Dewey dengan realitas pendidikan di MAN IC Serpong
3. Untuk menganalisis bagaimana konsep pendidikan progresif John Dewey
dalam perspektif Islam
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Signifikansi atau arti penting yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan gambaran model pendidikan khususnya pada sekolah-sekolah
umumnya kepada masyarakat di Indonesia
2. Dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi masyarakat dalam
pendidikan tentang implementasi pendidikan progresif John Dewey dalam
pembelajaran MAN IC Serpong
3. Untuk menambah khazanah keilmuan dan wawasan bagi peneliti
khususnya dan pembaca yang berniat mengadakan penelitian lebih lanjut
tentang pendidikan progresif John Dewey
Selanjutnya, manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini dibedakan
menjadi dua yaitu: manfaat teoritis dan manfaat praktis:
a. Manfaat Teoritis:
Dari gambaran latar belakang di atas, maka penelitian akan
menghasilkan sebuah teori bahwa “metode itu lebih penting dari pada
materi” teori ini perlu dikaji lebih dalam agar aplikasi metode
pembelajaran dalam kelas semakin dinamis sesuai dengan realitas
masyarakat Indonesia
b. Manfaat Praktis
Konsekuensi dari hasil penelitian ini adalah: adanya sebuah model
pendidikan yang mampu merubah manusia yang berkemajuan untuk
mempertahankan hidup dan dapat memecahkan masalahnya sendiri. Dan
model pendidikan itu adalah pendidikan progresif.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
19
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Penelitian Terdahulu Yang Relevan merupakan salah satu cara yang
digunakan untuk menunjukkan integritas (kejujuran) peneliti dalam menyusun
sebuah karya ilmiah. Dan dimaksudkan juga untuk menghindari duplikasi bahwa
topik yang diambil peneliti belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya serta
menjelaskan posisi peneliti yang bersangkutan. Untuk mendukung penelaahan
yang lebih komprehensif, peneliti berusaha melakukan peninjauan terhadap karya-
karya ilmiah yang relevan, berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan terkait
dengan pendidikan pendidikan progresif, terdapat beberapa hasil penelitian
terdahulu yang dianggap relevam, antara lain:
Disertasi yang ditulis oleh Julie Bolkin O’connor dengan judul A Qualitative Case Study of Teacher Perceptions of the Motivation of Students in Humane Education, disertasinya mengulas tentang motivasi dan keterlibatan
membantu siswa berhasil di sekolah. Ketika siswa bersikap apatis dan tidak
diinvestasikan dalam pelajaran mereka, mereka mungkin mengalami masalah
akademik yang parah. Karakter pendidikan adalah instruksi eksplisit dari nilai-
nilai positif dan telah ditemukan untuk meningkatkan siswa motivasi dan
keterlibatan. Jenis pendidikan karakter adalah pendidikan manusiawi. Penelitian
ini dilakukan untuk menguji masalah tidak mengetahui aspek manusiawi apa
pendidikan paling berkontribusi pada motivasi dan keterlibatan siswa. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi persepsi guru tentang bagaimana
pendidikan manusiawi, khususnya kesejahteraan hewan, mempengaruhi motivasi
dan keterlibatan siswa. Hasil dari studi kasus ini dapat menginformasikan para
pendidik ketika memilih materi kurikulum dan ruang kelas yang efektif untuk
tujuan membantu siswa motivasi dan keterlibatan.45
Buku yang semula merupakan tesis oleh Muis Sad Iman dengan judul
Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah Dan Pendidikan progresif John Dewey. Dalam buku mengulas bahwa aliran pendidikan progressivsme John
Dewey tidak menyetujui pendidikan yang otoriter, sebab akan mematikan pribadi-
pribadi yang gembira menghadapi pelajaran dan sekaligus mematikan daya kreasi
baik secara fisik maupun psikis anak didik46
Selanjutnya, Muhammad Rahmatullah, Pendidikan Kepesantrenan Dalam Perspektif Pendidikan progresif John Dewey, hasil penelitian ini adalah
Pendidikan pesantren adalah salah satu sistem pendidikan yang khas dan
tradisional di Indonesia. Pendidikan semacam ini dianggap tak lagi relevan di
dunia modern. Pendidikan pesantren bersifat lebih bebas dan lebih terbuka. Dari
fakta tersebut, ada keterkaitan antara pendidikan pesantren dan aliran pendidikan
45Julie Bolkin O’connor, A Qualitative Case Study of Teacher Perceptions of the
Motivation of Students in Humane Education, (San Diego California: ProQuest LLC,
January 2018) 46 Muis Said Iman, “Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan
Prohressif John Dewey”, (Yogyakarta: Safira Insani Press & MSI UII, 2004)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
20
pendidikan progresif yang diajukan oleh John Dewey. Dewey mensyaratkan
pendidikan harus diajarkan dengan melibatkan peserta didik secara langsung
dengan penyelidikan dan eksperimen. Materi yang diajarkan harus praktis dalam
kehidupan. Selain itu, sekolah harus demokratis sehingga mencerminkan sistem
sosial yang diwakili sekolah tersebut. Dari pengamatannya, ditemukan bahwa
pondok pesantren Islam bisa dikategorikan ke dalam pendidikan progresif.47
Selanjutnya, M. Fadlillah, Pendidikan progresif Dalam Pendidikan Di Indonesia, menurutnya Pendidikan progresif merupakan aliran filsafat pendidikan
modern yang menghendaki adanya perubahan pelaksanaan pendidikan menjadi
lebih maju. Pendidikan progresif ini mengutamakan penyelenggaraan pendidikan
di sekolah berpusat pada anak dan menjadikan pendidik hanya sebatas sebagai
fasilitaor, pembimbing, dan pengarah bagi peserta didik. Adapun tujuan dari
pendidikan progresif dalam pendidikan ialah ingin merubah praktik pendidikan
yang selama ini terkesan otoriter menjadi demokratis dan lebih menghargai
potensi dan kemampuan anak, serta mendorong untuk dilaksanakannya
pembelajaran yang lebih banyak melibatkan peserta didik. Dengan menerapkan
pendidikan progresif dalam pendidikan, harapannya dapat membawa perubahan
dan kemajuan pendidikan di Indonesia menjadi lebih berkualitas, sehingga mampu
mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia.48
Penelitian lain yang dilakukan oleh Vega Ricky Salu dan Triyanto Filsafat Pendidikan Pendidikan progresif dan Implikasinya dalam Pendidikan Seni di Indonesia, menurut keduanya filsafat pendidikan progresif menekankan pada
peningkatan kemampuan peserta didik melalui pengalaman, kemampuan
diri/kemandirian, dan selalu memperoleh perubahan-perubahan secara pribadi
yang dapat menimbulkan apresiasi dan kreasi peserta didik. Dalam pendidikan
seni, pendidikan progresif memiliki peranan yang sangat krusial khsususnya dalam
pengembangan potensi peserta didik melalui seni dan oleh seni. Pengembangan
dimaksud adalah bahwa peserta didik dapat memperoleh pengetahuan dalam
berkesenian secara mandiri dan terus mengembangkannya/progres menjadi
keunggulan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.49
Selanjutnya Ricardo F. Nanuru, Pendidikan progresif Pendidikan dan Relevansinya di Indonesia, menurutnya Pendidikan merupakan bagian penting
yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Setiap manusia pasti
berpendidikan, tergantung apakah pendidikan yang diperolehnya itu diterima
secara formal atau non formal. Pendidikan berperan penting dalam kehidupan
bermasyarakat, dimana pendidikan menyumbang bagi perkembangan pola pikir
47Muhammad Rahmatullah Pendidikan Kepesantrenan Dalam Perspektif Pendidikan
progresif John Dewey, Didaktika Religia Volume 3, No. 2 Tahun 2015 48 M. Fadlillah, Pendidikan progresif Dalam Pendidikan Di Indonesia, Jurnal
Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 5 No. 1 Januari 2017 49 Vega Ricky Salu dan Triyanto Filsafat Pendidikan Pendidikan progresif dan
Implikasinya dalam Pendidikan Seni di Indonesia, Jurnal Imajinasi Vol. XI No. 1 - Januari
2017
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
21
anggota masyarakat yang akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat
itu sendiri. Tulisan ini bertujuan melihat kondisi pendidikan di Indonesia dari
sudut pandang pendidikan progresif, dengan harapan dapat memberi sedikit
masukkan bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Berdasarkan pembahasan
yang dilakukan ternyata pendidikan progresif yang menekankan pada kebebasan
individu anak dalam berkreasi dapat menjadi tawaran yang menarik bagi
perkembangan pendidikan di Indonesia. SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang
menurutnya penuh dengan tawaran kreativitas dapat diangkat kembali sebagai
usaha pemerintah dalam menyikapi persoalan pendidikan dalam hubungannya
dengan dunia kerja. Dengan memberikan ruang yang lebih banyak dan terbuka
bagi pengembangan SMK, diharapkan progresivitas pendidikan di Indonesia dapat
lebih ditingkatkan.50
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Fitri Al Faris, Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Pendidikan progresif, menurutnya Kurikulum
pendidikan di Indonesia telah berkembang dalam beberapa kali namun landasan
filsafat yang digunakan jarang digali. Landasan filsafat yang digunakan menjadi
pemikiran menarik karena dengan landasan filsafat yang jelas maka arah dan
tujuan pendidikan menjadi jelas. Hasil penelitian ini yang utama menemukan
bahwa hakikat kurikulum pendidikan 2013 adalah meningkatkan basis perubahan
pada sikap, pengetahuan dan keterampilan pada diri peserta didik demi
terciptanya pendidikan karakter yang baik. Tujuan yang ingin dicapai dalam
kurikulum 2013 adalah menghasilkan generasi yang kreatif dan inovatif dengan
harapan mampu meminimalisir kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan
peradaban bangsa. Kurikulum 2013 memiliki landasan filsafat eklektik
inkorporatif yang berarti mengambil unsur-unsur yang baik dari aliran-aliran
filsafat pendidikan untuk diintegrasikan dengan sistem pendidikan nasional.
Pendidikan progresif sebagai salah satu aliran filsafat pendidikan memiliki
warnayang dominan dalam kurikulum 2013 terbukti dengan sistem pendidikan
yang sangat menitikberatkan murid sebagai subjek pendidikan, guru bertindak
sebagai fasilitator, serta mata pelajaran yang terintegrasi dalam satu unit.
Kurikulum 2013 menunjukkan kalau anak atau subjek pendidikan harus diberi
pelajaran dan pengajaran sesuai dengan perkembangan zaman agar tidak
menghasilkan generasi usang serta tiga kompetensi utama dalam diri anak harus
dinilai secara keseluruhan (sikap, pengetahuan, dan ketrampilan).51
Penelitian yang dilakukan oleh Kathleen Weiler52 dengan hasil penelitian
Kathleen mengungkapkan bahwa dia berasumsi bahwa anak-anak tumbuh menjadi
masyarakat yang demokratis dimana mereka dapat berkembang: Liberty tidak
50 Ricardo F. Nanuru, Pendidikan progresif Pendidikan dan Relevansinya di
Indonesia, Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 51Fitri Al Faris, kurikulum 2013 Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Pendidikan
progresif, Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 2, Agustus 2015 52Kathleen Weiler, What Can We Learn from Progressive Education?University of
Illinois Press:The Radical Teacher, No. 69, Progressive Education (May 2004), h. 4-9
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
22
berarti penghapusan memaksakan pada kehidupan setiap individu dalam
masyarakat, sehingga satu individual menjadi sebagai anggota masyarakat. Tapi
kebebasan bagi anak adalah kesempatan untuk menguji semua karakter dan
kecenderungan pada dunianya agar mereka menemukan jati dirinya dan agar tidak
menutupi karakter mereka sehingga ia bisa menyingkirkan yang membahayakan
mereka, dan kelak mengembangkan mereka berguna untuk dirinya dan orang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Zhixin Su53 dengan hasil penelitiannya
mengungkapkan bahwa Dengan menganjurkan "learning by doing," Ia mendorong
siswa untuk memperoleh pengetahuan yang berguna dengan memecahkan masalah
dalam kegiatan mereka sendiri diselenggarakan di sekitar berbagai jenis
pengetahuan. Meng juga sangat menganggap "learning by doing" Ia dan
mengamati bahwa metode Ia membangun koneksi yang sangat baik antara teori
dan praktek dan memotivasi siswa untuk melakukan upaya yang diperlukan dalam
belajar. Di tengah-tengah dua interpretasi yang berlawanan, Wu menawarkan
posisi eklektik: "Kami tidak ingin anak-anak untuk belajar dengan melakukan,
tapi kami tidak menentang partisipasi anak dalam praktek Kita bisa
bereksperimen dengan struktur yang berbeda dari kurikulum untuk menciptakan
kondisi. Untuk anak-anak untuk menerapkan apa yang mereka pelajari dalam
praktek". Pada dasarnya, posisi ini ingin mempertahankan tradisional, berpusat
pada guru,-peserta didik kelas orientasi tapi pada saat yang sama menciptakan
tambahan, learning by doing kegiatan untuk siswa. Sehingga ide-ide dia ini telah
digunakan terbatas dalam pandangan ini untuk meningkatkan praktek pendidikan
Cina.
Secara umum, beberapa literatur yang dijadikan sebagai penelitian
terdahulu yang relevan tersebut pastinya memiliki persamaan yaitu sama-sama
mengkaji tentang pendidikan progresif. Meskipun ada persamaan dalam
pembahasannya, namun secara khusus ada perbedaannya. Penelitian di atas
banyak menggunakan pendekatan filosofis, sementara penelitian ini menggunakan
pendekatan pendidikan. Yaitu pendekatan pendidikan pendidikan progresif John
Dewey dengan teorinya Education is not preparation of life but education is life itself.
F. Metodologi Penelitian
1. Objek Penelitian
Objek studi penelitian ini adalah pendidikan progresif John Dewey di
MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang Selatan, teruama pada aspek
kelembagaan, kegiatan belajar mengajar, kurikulum dan ketanagaan.
53Zhixin Su, A Critical Evaluation of John Dewey's Influence on Chinese Education,
Ameican Journal of Education,The University of Chicago Press Vol. 103, No. 3 (May,
1995), h. 302-325
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
23
Penulis merasa bahwa madrasah ini layak dilakukan sebuah penelitian,
mengingat madrasah ini sebagai model bagi madrasah-madrasah yang lain dan
sebagai madrasah unggulan dari berbagai prestasi-prestasi siswanya.
Penulis memilih teori pendidikan progresif John Dewey (1859-1952)
karena bersifat eksploratif. Menurut Dewey, belajar adalah pengalaman nyata
di lapangan.54 Dewey berargumen bahwa pendidikan merupakan transaksi
antara person dan lingkungannya.55 Atau dengan kata lain, pembelajaran
berpusat kepada peserta didik yang memiliki variasi proses dan pengalaman
belajar di setiap lembaga pendidikan.56
Selain itu, Dewey memandang peserta didik sebagai suatu yang fungsional
dalam hidup sosial. Peserta didik dalam pandangan pendidikan progresif adalah
organisme yang mengalami proses pengalaman. Sebab peserta didik merupakan
bagian integral dari lingkungan, peristiwa-peristiwa yang terjadi di
masyarakat, interaksi sosial, perasaan, pikiran dan benda-benda di sekitarnya.57
Jika lingkungan belajar itu menyenangkan maka kondisi tersebut berdampak
kepada pengalaman belajar dan kondisi kejiwaan yang didapat oleh peserta
didik. Karena menurut Dewey, pendidikan adalah rekonstruksi atau
reorganisasi pengalaman serta menigkatkan kemampuan untuk menentukan
arah bagi pengalaman berikutnya berangkat dari pengalaman yang didapat
sebelumnya.58Tetapi seluruh situasi sosial yang teliti yang meliputi aspek
tempat (place), pelaku (actor) dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara
sinergis. Situasi sosial ini di dalam kelas adalah ruang kelas, guru-murid, serta
aktivitas belajar mengajar.59
2. Sumber Data Penelitian
Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif60. Sementara sumber
penelitian terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber
data primer, merupakan hasil observasi, in-dept interview dan dokumentasi
dari data utama yang penulis dapati di lokasi penelitian, terdapat tiga jenis
54Muhammad Allazam, “Learning From Dewey and Vigotsky Perspective”,
International Journal of Scientific & Enginering Research, Vol. 6, No. 7 (2015) 55Saifullah Idris, Demokrasi dan Filsafat Pendidikan (Banda Aceh:Ar-Raniry Press,
2014), h. 42 56Keiran Egan, Getting It Wrong from the Begenning Our Progressivist Inheritence
from Herbert Spance, John Dewey amd Jean Peaget (Binghamton: Vail Ballou, 2002), h.
53-58 57Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila..., h. 250 58 Syabuddin Gade, “Perbandingan Konsep Dasar Pendidikan antara Dewey dan
Asy-Syaibani” Jurnal Didaktika, Vol. XII, No. 1, (2011), h. 86 59 Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 285 60 Kennet Wain, Higher Education in Europe, Education and Tolerance, Journal for
Tolerance and Education, Vol. 21, No. 1 (2001)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
24
data primer yaitu pertama dokumentasi, seperti dokumentasi sejarah,
pembelajaran, sumber daya manusia, nilai-nilai, prestasi dari madrasah.
Kedua data wawancara seperti kepala madrasah, guru, dan konsumen
lembaga pendidikan MAN IC Serpong, dan ketiga observasi dengan
mengamati secara langsung kegiatan belajar mengajar di MAN IC Serpong
dengan alamat Jl. Cendikia BSD City, Serpong Kota Tangerang Selatan
Provinsi Banten 15310.
Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini menggunakan
beberapa buku, jurnal yang terkait dengan isu yang akan diteliti.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebagaimana proses kerja dalam penelitian kualitatif, yaitu
peneliti itu sendiri merupakan instrumen kunci, baik dalam
pengumpulan data maupun analisis datanya.61 Dalam proses
pengumpulan data kajian ini lebih banyak berdasarkan dari pada
aktivitas pendidikan di MAN Insan Cendikia Serpong.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, In-depth Interview dan dokumentasi. Observasi, yaitu mengamati secara
langsung proses pendidikan dan berbagai aktivitas lainnya di MAN
Insan Cendikia. Observasi ini diarahkan untuk memahami setting of education bagaimana pendidikan dilakukan, peneliti meninjau dari
pendidikan pendidikan progresif apakah ada keterkaitan dengan
pendidikan di MAN Insan Cendikia. Teknik selanjutnya adalah
wawancara mendalam (in-depth Interview). Melalui teknik ini, banyak
hal yang diperoleh dari informan.62
Melengkapi berbagai teknik di atas, studi dokumentasi diperlukan
terutama untuk memperkaya landasan-landasan teori dan eksplorasi
data masa lalu yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Yaitu
pengumpulan data berdasarkan dokumen tertulis berupa kurikulum
pembelajaran, dokumentasi sejarah, pembelajaran, sumber daya
61 Penggunaan manusia sebagai instrumen dalam penelitian kualitatif mempunyai
beberapa keuntungan, yaitu: a) responsif, manusia dapat merasa dan merespons; b) Adaptif;
manusia fleksibel sehingga dapat berfungsi multi-purpose dan mengumpulkan informasi
multi-factors secara serempak; c) Holistic emphasis; hanya manusialah alat yang dapat
memahami keseluruhan konteks; d) Memungkinkan perluasan pengetahuan secara
langsung; e) Memungkinkan pemrosesan data segera sehingga dapat mengemukakan
hipotesis di lapangan; g) Kesempatan untuk mencari respon yang artifisial. lihat Aminuddin
Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra, (Malang:Hiski,
1990), h. 15-16 62Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1998), h. 145
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
25
manusia, nilai-nilai, prestasi dari madrasah. Kaitannya dengan fokus
penelitian ini, metode dokumentasi digunakan untuk mengungkapkan
data tentang implikasi pendidikan pendidikan progresif di MAN Insan
Cendikia Serpong.
4. Teknik Analisis Data
Metode penelitian berfungsi sebagai alat untuk mengkaji dan
menguraikan permasalahan yang ditemukan di lapangan dengan
menggunakan metode perbandingan antara teori, data dan realitas yang
ditemukan di lapangan yang disebut triangulasi.63 Komponen metode
penelitian sini terdiri dari objek penelitian ini terdiri atas obyek
penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data
dan pendekatan untuk menghasilkan kesimpulan.64
Teknik analisis data menggunakan pendekatan deskripsi dengan
pendekatan teori pendidikan progresif sebagai dasar kajian serta
sejarah sosial sebagai teknik pendekatan untuk melihat, mengungkap
kembali, dan menata ulang sejarah masa lalu yang yang berhubungan
dan pengaruh untuk kondisi saat ini. Pengaruh dinamika sosial
merupakan bagian dari kajian melihat keberhasilan di sekolah MAN I
IC di Serpong dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.65
Data diperoleh dengan Teknik: Pertama, studi dokumentasi, yaitu
suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis
dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun
elektronik66. Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang
berasal dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tujuan dan
fokus penelitian sebagai bahan dasar data awal. Kedua, observasi,
yaitu, peneliti menggunakan jenis observasi non partisipan, di mana
peneliti berada di luar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam
63Koentjaranigrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia,
1981), h. 1-14 64Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV (Yogyakarta:Rake
Sarasin, 2000), h. 20-23 65Penelitian studi kasus adalah lebih dari sekedar melakukan peneliitian pada
individu atau situasi tunggal. Pendekatan ini memiliki potensi untuk menangani secara
sederhana melalui situasi yang kompleks. Pada penelitian ini memungkinkan peneliti untuk
mengumpulkan data dari berbagai sumber. Lihat Pamela Baxte and Susan Jack :Qualitative
Case Studi Metology: Study Design and Implementation for Novine Reseacrhers “The
Qualitative Report 13,4 (Desember, 2008); 556 http://www.nova.edu/ssss/QR/QR13-
4/baxter.pdf (diakses pada tanggal 12 januari 2018) 66Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2009), h. 221
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
26
kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti merasa lebih
leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi. Ketiga,
wawancara, yaitu suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan
informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan
atau tanya jawab67.
Dalam penelitian ini digunakan wawancara mendalam (indepth interview) kepada informan yang terlibat langsung dalam proses
penyelenggaraan pendidikan MAN IC Serpong, yaitu: Kepala MAN
IC, Wakil Kepala Madrasah, dewan guru. Wawancara dikembangkan
dengan sifat terbuka dan terstruktur. Hal tersebut dilakukan dengan
pertimbangan agar peneliti dapat mengajukan berbagai pertanyaan
tentang pokok kajian. Di samping itu, melalui pengkondisian suasana
yang nyaman, santai, dapat sekaligus disesuaikan pertanyaan dengan
konteks aktual saat wawancara berlangsung. Bahkan dapat
dikembangkan berbagai pertanyaan yang lebih kompleks, namun tetap
fleksibel tergantung pada perkembangan dan situasi wawancara.
Wawancara ini dilakukan untuk mendalami berbagai temuan
dokumenter dan hasil observasi atau pengamatan terkait proses
penyelenggaraan MA IC Serpong. Validasi data dilakukan melalui
trianggulasi, yaitu, teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data.68 Jadi untuk
menjaga keabsahan dan keajegan data dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan triangulasi metode, triangulasi sumber data, dan
triangulasi waktu. Adapun teknis analisis yang digunakan dalam
penelitian ini mencakup tiga proses seperti yang dikemukakan oleh
Miles dan Huberman, yaitu: 1. Reduksi data, yaitu setelah data
terkumpul melalui wawancara dan studi dokumentasi, direduksi
sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi data yang dianggap tidak
sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. 2. Penyajian data dengan
cara mengorganisasikan dan memaparkan data sedemikian rupa. Jika
dianggap perlu, untuk data yang memiliki kompleksitas tinggi
digunakan tabulasi distribusi frekuensi guna lebih mudah dibaca,
dipahami dan diinterpretasikan. 3. Penggambaran dan pembuktian
yang melibatkan peneliti dalam interpretasi terhadap data yang
67Satori, Djam’an dan Aan Komariah, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung:
Alfabeta, 2010), h. 130 68Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2008), h. 330
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
27
disajikan sehingga dapat dipahami maksudnya, kemudian ditarik
kesimpulan yang bertalian dengan tujuan penelitian69 Data primer hasil wawancara dan observasi kemudian dianalisis dengan
metode triangulasi70 yaitu perbandingan antara data observasi dari kunjungan
kepada pihak terkait71 dengan data hasil wawancara,72 dan data dokumentasi
kegiatan,73 sedangkan data pendukung atau sekunder penulis peroleh dari berbagai
macam literatur, buku, jurnal, artikel dan lain sebagainya, yang memiliki
keterkaitan dengan penelitian ini digunakan untuk memahami teori dan
permasalahan yang ada.
Setelah data terkumpul tahapan selanjutnya adalah pengolahan data
menuju tahapan kesimpulan dengan melewati berbagai tahapan sebagai berikut,
yaitu pertama pengkatagorian tema dan masalah, kedua klarifikasi tema dan
masalah, ketiga perbandingan masalah dengan teori dan keempat analisis dalam
mencari temuan kesimpulan, dalam tahapan analisis digunakan pendekatan teori
metodologi penelitian fenomenologi dalam menangkap makna fenomena realitas
yang ada dalam pelaksanaan pendidikan progresif.
Peneliti telah melakukan analisis data dalam penelitian kualitatif seperti
yang telah diungkapkan sepanjang program penelitian dimulai termasuk analisis
data selama pengumpulan data tidak untuk menunggu selesainya proses
pengumpulan data, tetapi kegiatan-kegiatan yang dianggap sebagai proses analisis
data selama proses pengumpulan data antara lain: a pembuatan rencana
pengumpulan data berikutnya berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data
berikutnya, b penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data (informasi, situasi,
dokumen) berikutnya, c menetapkan fokus penelitian apakah tetap sebagaimana
yang telah direncanakan atau perlu dirubah, dan e penyusunan temuan-temuan
sementara berdasarkan data yang telah terkumpul.74
5. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan gagagsan-gagasan baru yang
cukup aktual dalam kerangka penemuan teori baru itu merupakan tujuan
penelitian eksploratif obyek utama yang menjadi fokus penelitian ini adalah ide
(gagasan) seorang tokoh filosof yakni John Dewey mengenai gagasan pendidikan
69Norman K Denzin,. dan Yonna S. Lincoln (Eds) Handbook of Qualitative
Research, Thousand Oaks, (California: SAGE Publications, 1994), h. 429 70Merupakan teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai
teknik pengumpulan data dan sumber yang sudah ada. Baca selengkapnya Sugiono,
Metodologi Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R & D (Bandung:Alfabeta, 2009), h. 241 71Sugiono, Metodologi Penelitian Kuntitatif kualitatif dan R & D
(Bandung:Alfabeta, 2009), h. 227 72Sugiono, Metodologi…. h. 231 73Sugiono, Metodologi… h. 240 74Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama, h. 192-193
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
28
progresif dan pengaruhnya terhadap pendidikan Islam.75 Maka dari itu penelitian
ini termasuk studi pemikiran yang bersifat pendekatan filosofis (psylosophycal approach).76 Pendekatan filosofis pada dasarnya berusaha memaparkan dasar
keilmuan, serta hakikat atau hikmah suatu obyek formalnya. Filsafat mencari
sesuatu yang mendalam, mendasar, yang terdapat di balik yang bersifat
lahiriyah.77 Pendekatan filosofis digunakan manusia agar dapat mengandung arti
terhadap sesuatu yang ditemukannya, selain itu juga dapat pelajaran dan hikmah
yang terkandung dalam suatu objek.78 Pemikir merumuskan dan mengkaji ide-ide
dasar yang dapat digunakan Pendekatan filosofis.79
Selain pendekatan penelitian filosofis penelitian ini juga menggunakan
dalam pendekatan fenomenologi. Pendidikan fenomenologi artinya bahwa
pendekatan ini berasal dari pengalaman inderawi terhadap gejala, yang kemudian
pengalaman itu harus dijelaskan dan ditafsirkan.80
Pendekatan fenomenologi ini memandang kenyataan itu sebagai sesuatu
yang utuh, karena itu objek harus dilihat dalam suatu konteks natural, tidak dalam
bentuk yang terfragmentasi. Dalam pendekatan penelitian ini, subjek dan objek
tidak dapat dipisahkan serta aktif bersama dalam memahami berbagai fenomena.81
Melalui pendekatan ini, penulis akan berusaha menemukan fenomena-
fenomena dalam pemberlajaran di MAN IC Serpong yang di dalamnya terdapat
pendidikan progresif John Dewey.
Adapun yang dijadikan subyek dalam penelitian ini adalah:
a. Kepala madrasah, sebagai informan terkait gambaran umum madrasah dan
pemahaman tentang konsep pendidikan progresif John Dewey serta bentuk
pelaksanaannya di Madrasah
b. Kepala tata usaha MAN IC Serpong yang dalam hal ini sebagai nara sumber
terkait guru, data guru, data siswa dan dokumen sekolah yang sekiranya
penulis butuhkan.
75Menurut Jujun S. Suriasumantri, salah satu obyek penelitian itu adalah ide
merupakan gagasan manusia. Gagasan manusia itu meliputi antara lain filsafat, etika,
estetika, dan teori ilmiah. M. Deden Riwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam,
(Bandung: Nuansa, 2001), Cet. Ke-I, h. 75-76 76Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001), cet. Ke-I, h. 45 77Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h.
42-43 78Abuddin Nata, Metodologi …, h. 45 79Pendekatan filosofis dalam perspektif metode penelitian filsafat dilakukan dengan
cara menggunakan segala unsur metodis umum yang berlaku bagi pemikiran filsafat. Anton
Baker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1990), h. 63-65 80Amirul Hadi dan Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Bandung: Pusakan
Setia), h. 67 81 Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset,
2012)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
29
c. Para guru dari beberapa guru bidang studi dan beberapa siswa MAN IC
Serpong.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: bab pertama
merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini, penulis mengemukakan uraian latar
belakang masalah, dari latar belakang masalah tersebut, permasalahan dalam
penelitian ini dibagi menjadi tiga poin yaitu identifikasi masalah, batasan
masalah dan rumusan masalah. Kemudian penelitian terdahulu yang relevan, dan
manfaat penelitian. Termasuk di dalam uraian pendahuluan adalah hal-hal yang
berhubungan dengan metode penelitian yang digunakan, serta sistematika
penulisan yang menjadi garis besar materi dalam sebuah penelitian sebagai bagian
akhir dari uraian bab ini.
Selanjutnya Bab kedua, membahas tentang pendidikan pendidikan
progresif yang ditinjau dari berbagai perspektif. Dalam kajian ini diawali dengan
wacana pendidikan progresif dalam perspektif para ilmuan. Selain dari perspektif
para ilmuan, dirasa penting juga untuk menuliskan tentang bagaimana dasar dan
landasan pendidikan pendidikan progresif dalam al-Qur’an, dengan tujuan untuk
menegaskan konstruksi dari pendidikan progresif itu sendiri, sehingga
pemahaman-pemahaman selanjutnya bisa menjadi fokus. Yang selanjutnya
diarahkan kepada: nilai-nilai pendidikan progresif, yaitu membahas tentang dasar
dan awal berkembangnya pendidikan pendidikan progresif dalam ranah pendidikan
di Indonesia. Kedua nilai-nilai dan dasar pendidikan progresif dalam al-Qur’an
sebagai sumber dan rujukan pendidikan agama. Alasan dari pengambilan teori-
teori tersebut adalah karena pada pendidikan progresif menempatkan suatu
kemajuan dalam belajar dan tekhik mencapai kebebasan peserta didik menjadi
fokus utama dalam pendidikan berkualitas. Dalam kontek perkembangan lembaga
pendidikan mayoritas memakai pendidikan pendidikan progresif memberikan efek
kemajuan lembaga pendidikan yang berkualitas.
Bab ketiga membahas tentang gambaran umum MAN I IC Serpong, serta
komponen pendidikannya. Pada bab ini terdapat informasi data yang
menggambarkan kondisi implementasi pendidikan progresif pada lembaga
pendidikan MAN I IC Serpong, yaitu membahas profil dan gambaran MAN IC
Serpong, Visi dan Misi MAN IC Serpong, Tujuan MAN IC Serpong, target dan
strategi MAN IC Serpong, Motto MAN IC Serpong, budaya MAN IC Serpong,
profil kompetensi lulusan, data MAN IC Serpong. Poin penting pembahasan ini
menggambarkan bahwa MAN Insan Cendikia selanjutnya“Pembahasan
selanjutnya yaitu bab keempat. Pembahasan bab ini adalah menggambarkan
tentang model-model Pembelajaran di MAN Insan Cendikia yang akan melahirkan
kesimpulan bahwa pembelajaran di MAN para pendidik di sana sebagai
motivator, fasilitator sehingga para peserta didik mampu memecahkan masalah
dalam pembelajaran, selanjutnya MAN sebagai madrasah unggul dan bermutu.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
30
Bab keempat membahas bagaimana pandangan pendidikan progresif
tentang kurikulum, pendidikan, peserta didik, belajar, tujuan pendidikan dan apa
saja kekurangan dan kelebihan dari pemikiran John Dewey yang dapat
meningkatkan kebebasan siswa untuk mendorong siswa menjadi lebih kreatif,
inovatif dalam pembelajaran di kelas. Dan pada akhirnya terdapat kesimpulan
yang berfungsi pendidikan progresif sebagai sebuah jalan untuk mencapai
kesuksesan sekolah.
Bab terakhir adalah bab keenam, pada bab ini berisi kesimpulan, hasil dari
penelitian yang dilakukan kurang lebih sepuluh bulan (mulai dari bulan januari-
november 2018), kemudian implikasi apa yang diharapkan yang selanjutnya
terdapat rekomendasi-rekomendasi sebagai studi pendalaman yang tentu saja akan
dijadikan tolok ukur model pendidikan pendidikan progresif di Indonesia.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
31
BAB II
EPISTIMOLOGI PENDIDIKAN PROGRESIF JOHN DEWEY
DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN RELEVANSINYA BAGI
PENDIDIKAN ISLAM
Bab ini mengemukakan wacana tentang pendidikan progresif dalam
perspektif pendidikan Islam, dasar dan landasan dalam al-Qur’an, makna
pendidikan progresif John Dewey. Hal ini dirasa penting untuk dibahas,
mengingat Indonesia adalah negara yang berkembang, jika pendidikan yang ada di
Indonesia tidak dimanage dengan baik maka pasti akan terjadi degradasi
pendidikan kalau sudah terjadi degradasi pendidikan maka berpengaruh kepada
moralitas sumber daya manusia yang tidak bermoral. Di sinilah peran penting
pendidikan sebagai salah satu sarana untuk memajukan tingkat pendidikan di
mata dunia. Dengan demikian dibutuhkan suatu model pendidikan yang telah
ditawarkan oleh tokoh pendidikan yaitu John Dewey.
Menurut John Dewey pendidikan progresif bertujuan umum yaitu warga
masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang studi
seperti; IPA, Sejarah, keterampilan serta hal-hal yang berguna atau yang langsung
dirasakan oleh masyarakat. Pendidikan progresif tidak menghendaki adanya mata
pelajaran yang diberikan secara terpisah, tapi harus disampaikan secara
terintegrasi dalam unit. Karena perubahan yang selalu terjadi maka diperlukan
fleksibilitas dalam pelaksanaannya, dalam artian tidak kaku, tidak menghindar
dari perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu, bersifat ingin tahu, toleran dan
berpandangan luas serta terbuka.1
1La Rajab, Filsafat Pendidikan Islam (Suatu Analisis Filosofis Pemikiran
Pendidikan Islam), Jurnal Biology Science & Education (2014)
32
Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang kata progresif, jika ditambah
dengan akhiran -isme maka menjadi progressivisme. Progressivisme merupakan
salah satu aliran dari filsafat pendidikan dan perlu dikemukakan aliran-aliran yang
ada di filsafat pendidikan. Di antaranya sebagai berikut:
Pertama aliran essensialisme, aliran ini merupakan aliran yang didasari
nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Pada zaman
renaissance inilah aliran Essensialisme mulai muncul, dengan ciri-ciri utama yang
berbeda dengan progresif, aliran ini memandang bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan nilai-nilai yang mempunya tata yang
jelas.2 Aliran essensialisme ini ialah suatu aliran filsafat yang mengharapnya
kembali manusia kepada kebudayaan lama. Aliran ini menanggap bahwa
kebudayaan menganggap perbudayaan berpekerti baik. Essensialisme modern
dalam pendidikan merupakan bentuk proses dari skeptisisme dan sinisme dari
progresif terhadap nilai-nilai yang terletak pada warisan budaya. Tokoh yang
terdapat pada aliran Essensialisme yakni George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-
1831) mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi
suatu pemahaman yang mnggunakan landasan spiritual, Hegel juga berpendapat
bahwa sejarah adalah manifestasi dari berfikirnya Tuhan, yang berfikir dan
mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia yang
nyata dalam arti spiritual. Berbeda dengan George Santayana yang memadukan
antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa yang mengatakan
bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan konsep tunggal, karena minat yang
kualitasnya ditentukan oleh seorang tersebut. Idealisme menjunjung asa otoriter
atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat
menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).
Pandangan essensialisme dan penerapannya di bidang pendidikan
mengenai belajar essensialisme sebagai filsafat hidup memulai tinjauan terhadap
pribadi individu, bahwa seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah
memahaminya sendiri. Segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui
indera memperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman terlebih
dahulu (Immanuel Khan). Seorang filosof dan ahli sosiologi yang bernama Roose
L.Finney menerangkan tentang hakikat sosial dari kehidupan mental. Dengan
keadaan rohani yang pasif, oleh karena itu disebut mental. Jadi belajar adalah
menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru
yang timbul uantuk ditambah dan dikurangi serta diteruskan kepada angkatan
berikutnya.
Pada dasarnya, filsafat pendidikan esensialisme bertitik tolak dari
kebenaran yang dianggap telah terbukti selama berabad-abad lamanya. Jika dilihat
dari segi proses perkembangannya, esensialisme merupakan perpaduan antara ide-
2Nilai-nilai sangat penting dalam pendidikan. Lihat: Nyong Eka Teguh Iman
Santosa (2012). Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Akhir Zaman. Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
33
ide filsafat idealisme dan realisme. Aliran tersebut akan tampak lebih mantap dan
kaya akan ide-ide, apabila hanya mengambil salah satu dari aliran atau posisi
sepihak. Pertemuan dua aliran tersebut bersifat elektik, yakni keduanya berposisi
sebagai pendukung, tidak ada yang melebur menjadi satu atau tidak melepaskan
identitas dan ciri masing-masing.3 Esensialisme yang bekembang pada zaman
renaissance mempunyai tinjauan yang bebeda dengan progresif, yaitu mengenai
pendidikan dan kebudayaan.
Kedua, aliran parennialisme. Pada zaman kehidupan modern saat ini
banyak hal yang menimbulkan krisis berbagai bidang kehidupan manusia,
terutama dalam bidang pendidikan. Aliran ini dianggap sebagai “regresif road to culture” yaitu kembali, mundur kepada masa lampau. Parennialisme memberikan
pemecahan dengan jalan “kembali kepada kebudayaan masa lampau”, kebudayaan
yang dianggap ideal. Karena itu parennialisme memandang pendidikan sebagai
jalan kembali, atau proses pengembalian keadaan manusia sekarang serta
kebudayaan ideal yang dimaksud “education as cultural regression” Parennialisme
memilih prinsip demikian karena realita zaman modern memberi alasan obyektif,
memberi kondisi atau pilihan itu. Aliran ini berharap agar manusia dapat
memahami ide sebagai suatu asa yang komprehensif. Pandangan parenialisme
tentang belajar, tuntutan tertinggi dalam belajar menurut parennialisme, adalah
latihan dan disiplin mental. Maka, teori dan praktik pendidikan mengarah kepada
tuntutan tersebut. Teori dasar menurut aliran parennialisme: mental disiplin
sebagai teori dasar, menurut parennialisme berpendapat salah satu kewajiban
tertinggi dalam belajar, atau keutamaan dalam proses belajar. Rasionalitas dan
asas kemerdekaan, Asas berfikir ini harus menjadi tujuan utama pendidikan,
otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Fungsi belajar harus
diabdikan bagi tujuan itu, yaitu aktualisasi diri manusia sebagai makhluk rasional
yang bersifat merdeka. Learning to reason (belajar untuk berfikir), Parennialisme
tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidik
anak. Kecakapan membaca, menulis, dan berhitung merupakan landasan dasar.
Dan berdasarkan pertahanan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok
pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Filsafat pendidikan
parennialisme mempunyai empat prinsip dalam pembelajaran secara umum yang
mesti dimiliki manusia, yaitu: 1. Kebenaran bersifat universal dan tidak
tergantung pada tempat, waktu, dan orang. 2. Kebenaran dapat ditemukan dalam
karya-karya agung. 3. Pendidikan adalah kegiatan liberal untuk mengembangkan
nalar. 4. Pendidikan yang baik melibatkan pencarian pemahaman atas kebenaran.
Ketiga aliran eksistensialisme, aliran eksistensialisme merupakan filsafat
dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomenologinya, yang dikemukakan
oleh Hussel (1813- 1938). Aliran ini dikemukakan oleh filsafat Jerman Martin
Heldegger (1889-1938). Manusia dapat menjadi individu yang autentik jika
3Muhammad Anwar, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Group As’adi
2015)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
34
memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan, itu yang
dikemukakan oleh Kiergaard. Eksistensialisme merupakan filsafat yang
memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara
manusia berada di dunia. Jadi, aliran eksistensialisme dapat disimpulkan bahwa
aliran yang memandang bahwa tidak ada alam semesta selain alam manusia. 1.
Tujuan pendidikan, tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu
agar mampu mengembangkan semua potensi untuk pemenuhan diri dan memberi
bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. 2.
Peran guru, melindungi dan memelihara kebebasan akademik, dimana mungkin
guru pada hari ini, besok lusa menjadi murid. Para guru harus memberi kebebasan
terhadap siswa untuk memilih dan memberi mereka pengalaman yang akan
membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. 3. Peserta didik,
aliran eksistensialisme ini memandang siswa sebagai makhluk rasional dengan
pilihan bebas tanggung jawab atas pilihannya. Di dalam aliran ini para siswa juga
dipandang sebagai makhluk yang utuh yaitu akal pikiran, rohani, dan jasmani yang
seluruhnya itu merupakan kebulatan dan semua itu perlu dikembangkan.
Keempat aliran progressivisme, aliran progressivisme dapat diartikan
aliran yang mengharapkan perubahan secara cepat, dalam aliran ini
memprioritaskan akan bahwa pendidikan bukan hanya kumpulan pengetahuan
kepada peserta didik, tetapi juga kepada pendidikan karakter dan kemampuan
berfikir sehingga dapat berfikir secara sistematis dengan beranalisis untuk
memecahkan masalah yang ada.4
Dalam pendidikan progresif juga pandangan hidup yang mempunyai sifat-
sifat : 1. Fleksibel ( tidak kaku, tidak menolak perubahan, dan tidak terikat ikatan
tertentu ) 2. Curious (ingin mengetahui, ingin menyelidik) 3. Toleran dan open-
minded pendidikan progresif. Dalam ini proses belajar mengajar di kelas ditandai
dengan beberapa hal diantaranya :
1. Merencanakan pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan
2. Pembelajaran yang berinteraksi langsung dengan alam
3. Pembelajaran yang mengasah pola fikir terhadap peserta didik
4. Mengajarkan pembelajaran sosial yang peka terhadap lingkungan sisoal
5. Pendidikan sebagai modal utama untuk berkembang. Prinsip dasar
progresivisme menurut pendapat George F Kneller “pendidikan harus lebih
aktif dan terfokus kepada minat bakat peserta didik, peran guru yang lebih
spesifik kepada penasehat terhadap peserta didik. “Pemikiran Progresif dan
penerapannya di bidang pendidikan antara lain: memberikan kebebasan
peserta didik secara fisik maupun pola pikir, untuk membantu
mengembangkan bakat dan kemampuan dari peserta didik. Oleh sebab itu
aliran ini tidak mendukung pendidikan secara otoriter, memberikan sistem
kurikulum yang bersifat fleksibel dan terbuka, sehingga sistem kurikulum
4Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, ( Pekanbaru: LSFK2P, 2005), h. 161-
162
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
35
dapat dirubah dan dipergunakan sesuai zamannya, memberikan pembelajaran
secara utuh dan tidak terpisah. Dalam tahap ini diharapkan supaya peserta
didik berkembang secara utuh baik dari segi fisik, psikis, kognitif, efektif dan
juga psikomotorik.
Progresif menganggap bahwa pendidikan penuh dengan fleksibilitas, serba
terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran,
serta nilai-nilai yang dimilikinya dapat berubah dan berkembang. Oleh karena itu,
aliran esensialisme memandang bahwa pendidikan bertumpu pada dasar
pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk yang dapat menjadi sumber
timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah, tidak
menentu dan kurang stabil. Maka dari itu, idealnya pendidikan harus berpijak di
atas nilai-nilai yang sekiranya dapat mendatangkan kestabilan, telah teruji oleh
waktu, tahan lama, serta nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan telah terseleksi.
Adapun nilai-nilai yang dianggap dapat dijadikan pijakan, yaitu nilai-nilai yang
berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif. Puncak refleksi dari gagasan
ini adalah pada pertengahan abad kesembilan belas5.
Jika menyinggung filsafat pendidikan tentunya ada filsafat pendidikan
barat dan Islam, dari keempat aliran itu merupakan filsafat pendidikan barat,
adapun filsafat pendidikan Islam dalam hal ini mengemukakan filsafat pendidikan
Islam yang kita kehendaki adalah suatu pemikiran yang serba mendalam,
mendasar, sistematis, terpadu dan logis serta menyeluruh tertuang dan tersusun ke
dalam suatu bentuk pemikiran atau konsepsi sebagai suatu sistem di mana sistem
itu adalah suatu keseluruhan yang bulat yang terdiri dari sub-sub sistem (bagian-
bagian atau komponen-komponen) yang satu sama lain mempunyai kaitan
pengertian sebagai suatu kebulatan yang utuh. Bila dihubungkan dengan Islam
jelas bahwa falsafah tersebut merupakan pemunculan atau perwujudan dari
berbagai sumber daya fikiran, perasaan dan kemauan yang bersumberkan pada
ajaran Agama Islam yang dinyatakan oleh ahl fikir yang bernafaskan atau bersendi
kan Islam disepanjang waktu, tempat dan zaman.
Mengingat karena filsafat pendidikan Islam adalah filsafat tentang
pendidikan yang tidak dibatasi oleh lingkungan kelembagaan Islam saja atau oleh
ilmu pengetahuan dan pengalaman keislaman semata-mata, melainkan
menjangkau segala ilmu dan pengalaman yang luas, seluas aspirasi masyarakat
muslim, maka pandangan dasar yang dijadikan titik tolak studinya adalah ilmu
pengetahuan teoritis dan praktis yang mencakup dalam berbagai bidang keilmuan
yang ada hubungannya dengan persoalan kependidikan yang ada dan yang akan
ada dalam masyarakat yang berkembang terus tanpa mengalami suatu
kemandekan. Dan inilah yang merupakan salah satu ciri masyarakat modern
sekarang, di mana dinamika hidupnya terus maju dan melaju sesuai dengan
tuntutan kebutuhan hidupnya yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
5Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi
Offset, 1997)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
36
Mengikuti dan memback-up masyarakat yang bertendensi ke arah
perubahan sosial yang menyeluruh itulah yang merupakan salah satu tugas studi
filsafat pendidikan Islam, sebab ia harus mampu menyerap dan
mengakomodasikan serta mampu menginterpretasikan segala tuntutan zaman dari
masyarakat. Tentunya segala sesuatu harus dipelajari atas dasar sikap selektif
terhadap segala gejala kemajuan dan perkembangan yang tidak menyalahi kaidah-
kaidah Islam, dan tidaklah berlebihan jika penulis mengatakan bahwa di sinilah
keuntungan kita karena agama berwatak dan berkemampuan untuk melakukan
akulturasi dan bahkan dalam batas-batas tertentu dapat melakukan akomodasi
terhadap segala gejala cultural yang diterima secara selektif. Oleh sebab itu sikap
dinamis dan fleksibel Islam sebagai agama dan kebudayaan dan ruang lingkup
perluasan pemikiran falsafah pendidikan sampai jauh ke depan sedalam dan seluas
di masa kini, lampau, sejalan dengan nilai-nilai yang mendasarinya.
Terbukti dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam tentang gejala
hidup duniawi dalam segala bidang, para filosof muslim dapat mengungkapkan ke
dunia Barat pada khususnya bahwa Islam ternyata tidak hanya malacak masalah-
masalah keagamaan semata, melainkan juga menggerakkan aspirasi manusia
dalam penggalian ilmu pengetahuan yang oleh dunia saat ini tetap diingat sebagai
basis pengetahuan yang berdaya untuk dikembangkan seperti halnya ilmu al-
Jabba>r penggali utamanya adalah Ibnu Jabir dari Afrika Utara, ilmu optik yang
pernah digali oleh ar-Ra>zi. Selain itu beberapa pemikir tentang Pendidikan Islam
yang tercatat dalam sejarah seperti pendiri sekolah-sekolah yang terkenal antara
lain; Nuruddin Zanky dan Nidza>m al-Mulky yang hidup di zaman Ha>run al-Rasyi>d
abad IV H. yang pernah merintis ke arah pendidikan formal berupa sekolah yang
diiringi dengan metode pengajaran yang student centered pada masanya.
Itu artinya sejarah telah menorehkan jauh sebelum zaman John Dewey
pada dasarnya Islam telah menggunakan metode student centered, hanya saja
tidak diungkap dan kurang dikenal sebagaimana yang telah ditawarkan oleh John
Dewey. Senada dengan hal itu menurut Suwito, institusi pendidikan Islam pada
zaman khali>fah al-Ma’mun (813-833 M) telah mempraktikkan konsep pendidikan
progresif di Bayt al-Hikmah.6 Konsep itu antara lain: Pertama, nilai-nilai
kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan kesetaraan, Kedua, perbedaan
kultural dan agama bukan penghalang dalam melakukan penerjemahan7 dari
konsep itu implikasinya bahwa pendidikan progresif bebas berekspresi artinya
bebas berfikir tanpa batas karena peserta didik memiliki potensi masing-masing,
6 Suwito, et.al, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2005), h.88 7 Para penerjemah yang memiliki perbedaan etnik kulturaldan agama, yaitu: 1)
Abu Sahl Fazhl bin Nawbakht, berkebangsaan Persia; 2) Alan al-Syu’ubi, brekebangsaan
Persia; 3) Yuhanna (John) bin Masuya, berkebangsaan Syiria; 4) Hunayn bin Ishak,
beragama Kristen Nestorian dari Hirah; 5) Qutha bin Luqa, beragama Kristen Yacobite; 6)
Abu Bisr Matta ibn Yunus, beragama Kristen Nestorian; 7) Ishak bin Hunayn beragama
Kristen Nestorian, dan 8) Hubaish beragama Kristen. Suwito, et al, Sejarah Sosial
Pendidikan Islam... h.29
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
37
open minded artinya keterbukaan atau transparan tidak ada perbedaan antara
peserta didik dan pendidik semua sama sebagai pembelajar. Adapun perbedaan
kultural tidak melihat dari mana latar belakang mereka sebagai pembelajar entah
itu seorang petani, pekerja, tukang jahit, tukang sepatu dan lain sebagainya,
semua mereka berkumpul ingin belajar yang nantinya akan dibentuk kurikulum
yang sesuai dengan dengan potensi mereka masing-masing. Di sinilah peran
pendidikan Islam untuk mengingatkan bahwa yang dituju oleh al-Qur’an bukanlah
Tuhan in himself dan as-sunnah dan juga manusia dan tingkah lakunya8 Apa yang
dijelaskan oleh Suwito, menunjukkan bahwa jauh sebelum pendidikan Islam
masuk ke ranah modernitas, pendidikan Islam telah berbicara banyak tentang
pendidikan progresif. Sehingga apa yang telah diterapkan pada zaman khali>fah al-
Ma’mu>n tersebut, bisa dijadikan contoh atau rujukan dalam
mengimplementasikan sekaligus bisa menjadi sebuah tawaran yang akan merubah
pendidikan di Indonesia lebih baik dan maju lagi.
A. Munculnya Pergerakan Progresif
Pada tahun 1890-an, bangsa Amerika berjuang dengan sebuah krisis
kepemimpinan dan identitas. Sebuah kesederhanaan menyucikan pandangan yang
dikaitkan dengan perkampungan dan batas Amerika hilang di bawah pengaruh
urbanisasi dan industrialisasi, dan tidak ada jalan untuk mengembalikan yang
hilang tersebut. Di samping itu, bahkan mesin, pabrik, dan kota telah membawa
kemakmuran, adalah sulit bagi rata-rata warga untuk mempercayai kekuatan baru
ini. Isu ini sangat luas dalam pikiran Dewey dan kolega barunya di Universitas
Chicago.9
Beberapa pakar Amerika, seperti ahli sejarah Frederick Jackson Turner,
melihat lenyap batas tersebut seperti sebuah kehilangan yang tragis bagi negara.
Kekuatan urbanisasi dan industrialisasi adalah menghasilkan sebuah civilisasi
yang didasari dari alam, kata Turner, dan hasil akhir akan tidak dapat dielakkan
menjadi kemunduran dan dekadensi. Di Universitas Yale, William Graham
Sumner melihat masalah tersebut sangat berbeda. Seruan pada pandangan
evolusioner Herbert Spencer yang optimistik, dia mengkombinasikan sentuhan
setengah sosial Darwin dengan sebuah keyakinan dalam kemajuan sosial. Sumner
berargumen bahwa sebuah kebijakan ekonomi pasar dan bertahan pada kepantasan
tersebut adalah makna yang benar bagi kebebasan orang Amerika yang demokratis
dan kehidupan yang harmonis dengan alam demikan juga membutuhkan kondisi
perkembangan ekonomi. Pandangan Sumner membangkitkan respon yang antusias
diantara pemimpin industri dan finansial Amerika, tetapi pasar pada tahun 1890-
8Fazlur Rahman menjelaskan bahwa, yang dituju oleh al-Qur’an bukanlah Tuhan,
melainkan manusia dan tingkah lakunya. Fazlur Rahman, Tema-Tema al-Qur’an,
terjemahan Anas Mahyuddin, (Bandung:Pustaka, 1993) 4 9 Steven C. Rockefeller, John Dewey: Religious Faith and Democratic Humanism,
(New York: Columbia University Press, 1991), h.221.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
38
an jelas dimaksudkan sebuah tujuan untuk merealisasi sebuah harapan ideal
Jefferson tentang sebuah republik yang semua warna kulit adalah sama dan bebas
secara bersama menjanjikan sebuah pemerintahan sendiri. Mark Twain
menyimpulkan bahwa tidak ada kehidupan yang dekat dengan alam dan demikian
juga kemajuan teknologi yang ilmiah akan memecahkan masalah-masalah tersebut
yang dihadapi Amerika, karena masalah utamanya adalah keterbatasan-
keterbatasan dan kelemahan-kelemahan sikap manusia kita. Dalam pandangan
Mark Twain, sumber kejahatan adalah berkedudukan di dalam sikap manusia itu
sendiri. Itulah awal kemunculan gerakan progresif sebagai sebuah kekuatan politik
pada masa tersebut yang meninggalkan bangsa keluar dari kebingungannya dan
memberikannya sebuah pemimpin dan rasa percaya diri yang baru. Progresif
adalah dibuat lebih energik, optimistik, mencerahkan pemuda Amerika middle-class seperti Jane Addams dan John Dewey, yang selama 1880-an dan 1890-an
yang secara bertahap bergerak menuju kepada cara berpikir baru tentang situasi
Amerika. Mereka melihat tidak ada rasa mencoba untuk memelihara sebuah masa
lalu yang telah pergi. Mereka mengharapkan masa depan. Mereka percaya bahwa
lingkungan urban industri itu sendiri menyiapkan Amerika pada sebuah batas
tantangan baru dengan kemungkinan yang besar.
John Dewey sebagai pakar filsafat pendidikan. Selain itu, Dewey juga
dikenal sebagai seorang filosof naturalistic, Dia mencari objek penjelasannya dan
kejadian-kejadian yang dapat diperoleh oleh indera kita yang berkenaan dengan
fenomena alam. Dia menolak penjelasan-penjelasan yang bersifat supernatural.
Dia percaya kepada method of science dan mendorong manusia untuk
mempergunakan dalam aktivitasnya. Dalam filsafat pendidikannya, Dewey
dipengaruhi oleh idealisme seorang filosof German yang sangat terkenal, yaitu
George Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel percaya bahwa hanya pikiran dan
pemikiran manusia yang nyata melalui partisipasi dalam semangat universal,
menuju proses dialektika terhadap pemecahan kembali yang bertentangan melalui
sintesis.10 Selain Hegel, yang mewarnai perjalanan pemikiran Dewey, adalah
William James dengan pragmatismenya juga merasuki perjalanan pemikirannya.
Artinya, dia menolak pandangan yang mengatakan bahwa kebenaran itu pasti,
tetap dan tidak berubah. Kebenaran itu pada dasarnya ditentukan dari sebuah
hasil idea. Pada abad ke XX, bentuk pandangan pragmatisme yang lebih umum
dan merata telah dikonstruk oleh John Dewey, pandangan tersebut, kadang-
kadang dikatakan dengan istilah instrumentalism. Dewey, sebagai pemikir
Amerika yang sangat berpengaruh pada masanya, mengembangkan sebuah teori
pengetahuan yang didasarkan pada bidang biologi dan peranan psikologi yang
memainkan peran dalam urusan-urusan kemanusiaan, dan kemudian mencoba
10 Nel Noddings, Philosophy of Education, (USA: Westview Press, Inc 1995) 24.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
39
untuk menerapkan konsep ini sebagai petunjuk dalam aktivitas-aktivitas
intelektual manusia terhadap masalah-masalah sosial kontemporer.11
Dalam Pendidikan, menekankan proses pendidikannya sebagai sebuah
transaksi antara person dengan lingkungannya. Progresif adalah sebuah reaksi
yang menentang pandangan tradisionalisme dalam sekolah, dan menekankan
kebebasan terhadap keinginan-keinginan dan keperluan/tuntutan si anak.
Sedangkan rekonstruktivisme berargumen bahwa sekolah-sekolah tersebut harus
memainkan peranan yang sangat penting dalam perubahan dan budaya-kritis.12
Di samping itu, filsafat Dewey biasanya juga dikenal dengan
instrumentalism atau experimentalism, yang membawa kepada suatu teori
pendidikannya yaitu learning by doing dan menentang kebiasaan belajar dan
metode-metode mengajar yang otoriter dan dogmatis. Dia mendirikan sebuah
laboratorium dan tempat workshop yang dapat mengasuh dan mengembangkan
kreativitas dan kerjasama antar siswa. Di sini Dewey mempertahankan bahwa
masyarakat yang demokratis harus menanamkan kebiasaan penyelidikan dan
antipati terhadap kekakuan dan cara-cara diktator dalam masyarakatnya.
Pemikiran Dewey diadopsi dan dirubah bentuknya dengan pergerakan pendidikan
progresif (progressive education).13
Meskipun Filsafat Hegelian mempengaruhi Dewey semasa mudanya, ini
masih memiliki dunia abadi dan absolutnya yang lebih nyata daripada proses
sementara. Ini tidak mungkin bertempat dalam pikiran Dewey, baginya semua
realitas adalah sementara, dan proses, kendali evolusioner, tidak seperti Hegel,
yang mengungkapkan ideal abadi.14 Dengan demikian, dasar pemikiran filsafat
Dewey adalah pertama sekali dibentuk oleh pengaruh absolutisme Hegel dan
naturalisme Darwin dan juga pragmatisme William James. Tetapi perlu
dipertimbangkan juga sebelum itu, bahwa perjalanan pemikiran Dewey
dipengaruhi oleh Ralph Waldo Emerson.15 Kehadiran Emerson dalam
pemikirannya bukan hanya selalu pada ketajaman dan kecepatan pikirannya, dan
pengaruh Emerson tidak dirasakan secara langsung, tetapi mulai dari karir
permulaan Dewey sampai karir berikutnya, memperlihatkan sebuah identitas yang
tersembunyi, atau dapat kita katakan sebagai sebuah semangat yang diwarisi dari
Emerson. Dengan kata lain Emerson lah yang pertama sekali memformat
11Richard H. Popkin dan Avrum Stroll (ed.), Philosophy Made Simple,(London:
Heinemann, 1992), h.268. 12Gerald L. Gutek, Philosophical and Ideological Perspectives on Education,
(New Jersey: Prentice Hall Inc., 1998), h.9. 13Lihat dalam, The Encyclopedia Americana, (USA: Americana Corporation,
1990) h.46. 14Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-
politik Zaman Kuno hingga Sekarang, alih bahasa Sigit Jatmiko dkk, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 1068. 15 Neil Coughlan, Young John Dewey: An Essay in American Intellectual History,
(Chicago: University of Chicago Press, 1993), h.7-9.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
40
pemikiran Dewey, kemudian diikuti oleh Hegel, Darwin, dan William James.
Untuk memahami gagasan dan pendirian John Dewey tentang pendidikan,
sebaiknya akan dilihat falsafah hidup Dewey. Menurut Dewey, filsafat adalah
memberikan garis-garis pengarahan bagi tindakan dan kenyataan hidup. Dengan
demikian, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis
yang tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan penyelidikan
serta mengolah pengalamannya tersebut secara aktif dan kritis. Hanya dengan cara
seperti itu, filsafat dapat menyusun tatanan norma dan nilai. Menurut Dewey,
filsafat dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, malah filsafat adalah dasar bagi
teori pendidikan. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan dan
mengembangkan sikap hidup demokratis. Proses pendidikan harus dilangsungkan
dengan berpangkal pada pengalaman peserta didik sendiri, dan tidak semua
pengalaman itu berfaedah. Oleh karena itu, sekolah harus memberikan ”bahan
pelajaran” sebagai pengalaman-pengalaman yang berfaedah demi masa depan
peserta didik dan sekaligus pengalaman itu merupakan hal yang dapat dialami
peserta didik pada saat sekarang ini.
Dalam bidang filsafat, mula-mula Dewey menganut prinsip idealisme
Hegel, tetapi kemudian ia beralih kepada aliran pragmatisme William James.
Dengan demikian, bagi Dewey seluruh tindakan berpikir manusia seharusnya
mengarah kepada perbaikan hidup. Semua kebenaran mengandung perangai
pragmatis, artinya kebenaran itu disubordinasikan pada tujuan tertentu, yaitu pada
sifat alamiah manusia dan karena itu harus diuji dari segi kehidupan praktis. Jadi
suatu kriteria mutlak untuk menilai kebenaran tidak ada. Benar salahnya sesuatu
gagasan akan terbukti dari penerapannya, pada berhasil tidaknya pikiran itu dalam
praktik.
Robert B Westbrook, dalam karyanya, mengatakan bahwa John Dewey
telah menjadi seorang filosof yang sangat penting dalam sejarah masyarakat
Amerika modern, pengabdian, penyerangan dan penghormatan oleh kaum laki-laki
dan perempuan diseluruh dunia. Karirnya menjangkau tiga generasi pemikiran dan
kehidupan masyarakat Amerika, dan pemikirannya didengar di tengah
kontropersial budaya dari tahun 1890an sampai meninggalnya pada tahun 1952
dalam usia 92 tahun. Dalam karirnya yang lama ini, Dewey telah mengembangkan
sebuah filsafat, yang dikenal dengan sebutan the unity of theory and practice dan
persatuan ini telah menunjukkan karyanya sebagai aktivis politik dan intelektual
yang kritis.16
Bagi Dewey, metode filsafat adalah seperti metode science yaitu
eksperimentalisme, karena pikiran kita adalah suatu alat untuk digunakan dalam
memecahkan masalah-masalah kemanusiaan. Dewey juga salah seorang filosof
yang banyak bergelut dalam masalah-masalah pendidikan. Dengan demikian,
karya-karyanya memberikan implikasi terhadap pendidikan. Untuk itu, dapat
16Robert B. Westbrook, John Dewey and American Democracy, (Cornell
University Press, 1991) x
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
41
dilihat aspek-aspek filsafat pendidkan Dewey, diantaranya adalah: pendidikan
sebagai pelestarian dan rekonstruksi; sekolah dan masyarakat, masyarakat
demokrasi dan pendidikan; eksperimen belajar dan mengajar, perkembangan/
pertumbuhan sebagai tujuan pendidikan, kurikulum yang bersifat eksperimen dan
rekonstruksi pendidikan dan pengalaman.17
Pendidikan Dewey sebuah proses kehidupan dan bukan sebuah persiapan
untuk hidup dimasa depan. Karena pendidikan merupakan sebuah metode
reformasi dan kemajuan sosial yang sangat fundamental. Dimana para pemimpin
pendidikan berbicara tentang budaya, perkembangan personaliti, dan sebagainya,
sebagai tujuan dari pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan bukanlah sesuatu
yang dipaksakan kepada anak-anak dan manusia dewasa, tetapi pendidikan adalah
pertumbahan dan perkembangan kapasitas makhluk hidup sebagai sebuah
keberkatan pada waktu lahir,18 dan juga manusia lahir telah memiliki potensi baik
dan buruk, dan juga berhubungan dengan, baik dengan lingkungan yang
berpendidikan maupun dengan lingkungan yang tidak berpendidikan, yang akan
menuntun mereka menuju kepada sebuah kehidupan yang layak.19
Ide-ide Dewey di atas, didapati beberapa persamaan dengan konsep atau
pemikiran-pemikiran pendidikan yang kemukakan oleh Rousseau, tetapi didapati
juga beberapa perbedaan. Seperti Dewey tidak percaya bahwa setiap anak yang
dilahirkan akan membawa sifat baik, demikian juga, sebagaimana kebanyakan
pendidik-pendidik agama lakukan, setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan
berdosa dan butuh kepada suatu penyelamatan. Sedangkan persamaan utama
antara Dewey dan Rousseau adalah pada penekanan mereka terhadap aktivitas dan
motivasi anak itu sendiri. Secara periodik, para pendidik memperbaharui argumen
Dewey dan Rousseau pada pewarisan aktivitas-aktivitas, dan ketika ini terjadi,
maka akan ada keinginan yang tiba-tiba yang menggerakkan di dalam kelas.
Dalam konteks yang lain, Dewey juga sering mengtakan bahwa kata education sama artinya dengan kata growth, dan kata growth tersebut merupakan salah satu
kiasan atau metafor idiologi yang sangat penting. Karena kebanyakan orang
berfikir bahwa pendidikan itu sebagai sebuah perusahaan yang mempunyai tujuan
ideal seseroang yang khusus atau way of life seseorang. Dalam konteks progresif,
yang merupakan aliran filsafat pendidikan bergaya Amerika dan berlatar belakang
filsafat pragmatisme, Dewey mengajukan bahwa system pendidikan harus
mencoba untuk mengembangkan metode-metode problem solving. Jika pelajar
mempelajari bagaimana menyelesaikan masalah, mereka akan lebih baik terhadap
kehidupan dalam merubah dunia dengan manifold perplexities and ever-new
17Gerald L. Gutek, Philosophical and Ideological Voices in Education, (Good
Read, 1988), h.83 dan 98 18Ralph B. Win (editor), Lincoln Dictionary, (New York: Philosophical Library,
Inc, 1959), h. 31-32 19Nel Noddings, Philosophy of Education, (Universitas Michigan, Westview Press,
1995), h.16
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
42
problem. Pendidikan seperti ini akan mencoba orang/masyarakat untuk hidup
dalam sebuah masyarakat yang demokratis, dan akan mempertahankan
perkembangan organisasi politik dan organisasi sosial seperti ini. A democratic society is one that is better able to confront new situations, and try new solutions, since it does not have any rigid or preconceived ideology.20
Selanjutnya, bagi progresif, demokrasi adalah suatu pola dan program
bagi seluruh scope kehidupan. Demokrasi adalah suatu perwujudan dari pada nilai-
nilai fundamental, sikap dan praktek-prakteknya. Demokrasi juga nilai ideal yang
wajib dilaksanakan sepenuhnya dalam semua bidang kehidupan termasuk didalm
seni dan keagamaan. Dilihat dari segi ontology, demokrasi adalah pengalaman
dinamis dan interdependensi antara sesama manusia. Karena demokrasi adalah
jalan keluar, kanalisasi bagi dorongan-dorongan yang dalam pada setiap pribadi.
Seperti self-respect, martabat, hasrat bersatu, dan rasa tanggungjawab dalam
kehidupan manusia. Dari segi epistemologi, demokrasi adalah benih dan buah dari
pada praktek-praktek intelegensi21 yang luas.karena demokrasi merupakan usaha
mencari nilai-nilai kebenaran seperti proses ilmu pengetahuan dalam mencari
kebenaran. Dengan kata lain, demokrasi adalah ide-ide, pemikiran-pemikiran yang
dilaksanakn di dalam pergaulan sosial. Dalam arti yang ideal, demokrasi
merupakan jalan menuju kepada kebahagiaan, nilai indiviudal, dan sekaligus nilai
sosial. Selain itu, dalam bidang pengetahuan politik, Pemikiran Dewey dimulai
dari karir profesionalnya, sampai setelah pensiunnya dari tugas-tugas akademik,
Dewey adalah perwujudan intelektual publik. Pada periode perang dunia kedua
pada abad ke-20, secara khusus penting sebagai sebuah contoh perjanjiannya
secara sistematis yang berhubungan dengan pertemuan tantangan filsafat ketika
Dewey berusaha untuk menghubungkan dengan persoalan-persoalan men dan
women. Itu sudah berjalan satu periode dimana kaum liberal Amerika melalui
rekonstruksi yang sangat signifikan, baik teori mapun praktek. Dewey telah
memberikan sebuah suara yang sangat signifikan dalam perbendaharaan politik
Amerika. Selama periode ini, Dewey mengabdikan dirinya untuk memperhalus
teori politiknya dan mengembangkan implikasi-implikasi filsafat sosialnya dalam
sebuah seri karyanya yang disusun sekitar persoalan-persoalan politik yang
sepesifik. Sebagai seorang Filosof yang sangat terkenal di Amerika, Dewey juga
salah seorang pendiri aliran pragmatisme, sebagai seorang penggerak filsafat di
Amerika, Dewey sendiri suka dipanggil sebagai instrumentalism. Pada tahun
1979, Richard Rorty mengatakan dalam bukunya Philosophy and the Mirror of Nature, bahwa Dewey demikian juga Heidegger dan Wittgenstein, adalah satu
dari tiga filosof yang sangat penting di negara kita.22
20 Richard H. Popkin dan Avrum Stroll (ed), Philosophy Made Simple (New York:
Crown Publishing, 1992), h.270 21Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 2006), h. 248. 22Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature: Thirtieth-Anniversary Edition,
(New York, Princeton University Press, 1979), h.5
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
43
Dari salah satu karya monumentalnya, Democracy and Education, disitu
jelas menunjukkan bahwa Dewey melihat filsafat pendidikan sebagai hati dari
semua filsafat, tidak hanya sebagai salah satu cabang dari filsafat. Tentu,
Pendidikan adalah hasratnya. Sementara itu, para pendidik liberal telah memuji
Dewey tentang pemikiran pendidikan progresifnya, dan para konservatif
menyalahkannya tentang hilangnya respek tradisi intelektual dan mutu
akademik.23 Sebagai pendidik, Dewey telah membagun sebuah sekolah experimen,
yang kemudian dikenal dengan Laboratory School. Dalam sekolah tersebut,
Dewey telah menempatkan pendekatan tentang keahlian-keahlian yang praktis,
seperti memasak, berkebun, menyapu, bertukang (kayu), ini diberikan untuk kelas
rendah. Di samping itu, sekolah ini juga melayani mereka sebagai pekerja. Lebih
jauh lagi, fokusnya adalah tentang hubungan antara kehidupan diluar sekolah
dengan aktivitas-aktivitas sehari-hari, kemudian tentang seni bakat alami yang
aktivitas-aktivitasnya itu muncul secara ideal.24 Kepakaran dan keterlibatan
Dewey dalam berbagai dimensi kehidupan dan keilmuan telah membuatnya, tidak
hanya terpaku di kursi akademik, tetapi juga peduli pada unsur-unsur atau
kegiatan-kegiatan diluar akademik, yaitu politik dan sosial kemasyarakatan.
Sehingga, baginya, melihat demokrasi sebagai bentuk associated living sesuai
dengan metode sains, dan Dewey, khsusunya, tertarik dengan koneksi antara
demokrasi dan pendidikan. Dalam bukunya yang sangat komfrehensif tentang
pendidikan, democracy and education, Dia telah mengeksplor koneksi-koneksi ini
secara serius.25
Demokrasi26 masyarakat Amerika akan menemukan penerimaan dalam
demokrasi industri. Mereka dengan antusias merangkul Darwin, tetapi mereka
menolak sosial Darwin dan pasar terhadap cabang pembaharuan Darwin yang
meletakkan keyakinan dalam perencanaan sosial dan sains sosial. Dalam
pandangan mereka, tidak ada ide, hukum, atau institusi adalah sebuah ketetapan
yang absolut diatas kritisme dan di samping perubahan. Manusia/makhluk hidup
dalam sebuah proses perkembangan sejarah boleh dan harus mengubah
lingkungan sosial demikian juga membetulkannya. Kaum progresif tidak
menggunakan ide-ide yang usang. Mereka percaya bahwa individu-individu
dengan sosial yang alamiah akan menemukan makna dan kebebasan dalam
masyarakat yang bekerja bersama secara koperatif, terlebih dalam sebuah
23Alan Ryan, John Dewey and the High Tide of American Liberalism, (dalam
Journal PhilPapers, Entries 475, 1995), h.340 24Philip W. Jackson, The Moral Life of Schools, (Jossey-Bass Inc U.S, 1998) 166 25 Nel Noddings, Philosophy of Education .... h.34 26Lihat dalam The New Encyclopaedia Britanica, vol. 4, Micropaedia,Ready
Reference, Encyclopedia Britania Inc. (Chicago: University of Chicago Press, 1988) 5; lihat
juga dalam Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, alih bahasa: Wahib
Wahab, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), 71; lihat juga Robert A. Dahl, Perihal
Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara singkat, alih bahasa: A.
Rahman Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obro Indonesia, 2001), h.13-14.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
44
kompetisi yang brutal. Lagi pula, batas masyarakat Amerika yang baru meliputi
sosial dan kekuatan ekonomi yang tidak mungkin individu akan mengatur seperti
seorang individu. Apa yang dibutuhkan adalah regulasi pemerintah tentang
ekonomi dan sebuah rekonstruksi yang utama tentang institusi-institusi sosial
yang akan menghapuskan ketidakadilan, dan mendorong orang dengan
kecenderungan alami mereka untuk berkerjasama. Kejahatan ada, tetapi akan
dipecahkan oleh transfer lingkungan sosial dan pendidikan yang universal.
Nampaknya diberikan sumber alam yang tidak ada batasnya dan sebuah sistem
industri yang mampu memproduksikan secara berlimpah kepada semua orang,
kaum progresif menegaskan kembali kemajuan keyakinan masyarakat Amerika.
Mereka bermimpi akan menempati dunia baru yang bercita-cita tinggi pada
sebuah masyarakat demokrasi yang memenuhi syarat untuk membebaskan
penekanan dan korupsi yang tumbuh dari tradisi-tradisi dunia lama yang feodal
dan otoriter. Untuk membentuk tugas mereka, mereka perlu alat-alat kritik sosial
yang baru dan metode-metode perubahan sosial yang baru. Kecerdasan, sains, dan
pendidikan yang berdampingan dengan keyakinan moral dan usaha yang koperatif
akan memecahkan masalah tersebut.
Bagi Dewey, demokrasi tidak terbatas pada sebuah bentuk pemerintahan
tertentu, di mana rakyat secara umum memilih pemimpinnya, seperti memilih
wakil
rakyat, presiden, gubernur, bupati dan lain-lain. Bentuk pemerintahan ini secara
bergilir melaksanakan sebuah seri dari prosedur-prosedur dan institusi-institusi,
yaitu seperti pemilihan-pemilihan populer secara umum, hak pilih yang universal,
kebebasan press, partai-partai politik, dan lain-lain. Jadi demokrasi hanya sering
dipahami atau diidentikkan dengan prosedur-prosedur seperti itu, karena kita
berpikir bahwa demokrasi itu hanya sebuah ide politik atau semacam negara
bagian.27 Jika berpikir bahwa demokrasi seperti itu, berarti kehilangan makna
esensialnya. Institusi-institusi politik yang demokratis adalah bukan suatu tujuan
dan nilai yang sudah final, tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai sebuah cara
manusia hidup dengan benar. Artinya, demokrasi pada dasarnya adalah sebuah ide
sosial, sebuah model kehidupan yang berasosiasi dan sebuah pandangan hidup
tertentu.28
Demokrasi sebagai sebuah model kehidupan yang berasosiasi,29
kedengarannya sama dengan apa yang Dewey percaya pada sebuah lingkungan
belajar seharusnya juga ditampilkan. Dewey mendukung pengalaman-pengalaman
edukatif dalam lingkungan belajar yang menyadari bahwa interaksi dan
kontinuitas antara anggota dari sebuah pengalaman. Kepercayaan Dewey bahwa
27 Lihat dalam Jo Ann, Boydston, (ed.) John Dewey, The Later Works: 1925-1953,
Jilid, 2 (Carbondale, USA: Southern Illinois University Press, 1969), h.325. 28Jo Ann, Boydston, (ed.) John Dewey, The Middle Works: 1925-1953,Jilid, 9
(Carbondale, USA: Southern Illinois University Press, 1969), h.93. 29John Dewey, The School and Society, (Carbondale: Southern Illinois University,
1976), h.101
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
45
belajar terjadi dalam situasi sosial, melalui pengalaman-pengalaman yang bersifat
komunikatif. Dalam observasi-observasinya tentang sekolah-sekolah yang menjadi
model, dia mendiskusikan hasil-hasil yang panjang jangkauannya berdasarkan
fakta dimana perkampungan sekolah terletak dalam sebuah masyarakat yang
demokratis, dan benar-benar merefleksikan kondisi-kondisi masyarakat tersebut.30
Dewey memandang sekolah sebagai salah satu tempat dimana siswa dapat
mempergunakan praktek-praktek demokrasi diatas terhadap individu, kebebasan,
dan persamaan, dan juga hubungan-hubungan sosial yang berubah-rubah, tidak
hanya untuk ditanamkan pada masyarakat yang demokratis, tetapi juga untuk
memupuk keberlanjutan perkembangan dan belajar. Sebagai pelajar, untuk
melanjutkan kebutuhan-kebutuhan mereka dan juga kebutuhan-kebutuhan
kelompok, mereka akan memecahkan masalah dan mengevaluasi hasil-hasil,
menggunakan strategi-strategi dan mencari jawaban-jawaban, yang akan memberi
kontribusi terhadap pengalaman pelajar tersebut. Karakteristik-karakteristik
demokrasi tentu telah didiskusikan, diterjemahkan ke dalam sebuah sistem
reformasi pendidikan dan Dewey percaya dan akan memfasilitasi penemuan
kembali ide-ide demokrasi kita melalui pendidikan masyarakat yang
berkelanjutan.31
Dewey menghubungkan keberadaan demokrasi yang berkelanjutan dengan
pendidikan pada saat penerimaan generasi baru, karena seperti ide-ide demokratis
harus di perbaharui secara berkelanjutan dengan merubah setiap wajah generasi
baru. Dalam ungkapannya: It is because the conditions of life change, that the problem of maintaining a democracy becomes new and the burden that is put upon the school, upon the educational system is not that of stating merely the ideas of the men who made this country, their hopes and their intentions, but of teaching what democratic society means under existing conditions.32
Dewey menghargai sekolah-sekolah sebagai tempat untuk menjamin
regenerasi dari demokrasi dan bagaimana mendidik anak-anaknya dalam
masyarakat yang demokratis. Para pelajar tidak hanya membutuhkan kesempatan
untuk mempraktekkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kelas, mereka juga butuh
untuk mendemontrasikan kepada yang lain sebagai model-model yang punya
peranan. Model penggunaan prinsip-prinsip demokrasi untuk pemuda, pelajar-
pelajar yang sedikit pengalaman dengan mengamati, memberikan kesempatan para
pelajar untuk berpartisipasi dan berpendapat dalam proses demokrasi. Campbell
menjelaskan bahwa perhatian Dewey tertuju pada metode pendidikan yang cocok
untuk hidup dalam sebuah masyarakat yang demokratis. Dia mengatakan,
”sekolah-sekolah dimana semua keputusan-keputusan itu dibuat untuk para
30John Dewey, School of Tomorrow, (New York: E.P. Dutton & Co., Inc 1962),
h.164 31 R. Boisvert, “John Dewey.., h.166. 32John Dewey, Philosophy of Education Problem of Men, (Ames Iowa: Littlefield
Adam & Co, 1946), h. 40.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
46
pelajar, dimana tanggung jawab para pemuda baik individu maupun kolektif
adalah tidak dikembangkan, tidak akan membantu perkembangan sebuah
penyelidikan, masyarakat yang demokratis.33
Lebih dari mendukung para pendidik untuk mengajarkan prinsip-prinsip
demokrasi di sekolah, Dewey mendesak bahwa para pendidik harus komit untuk
membangun sebuah atmosfir demokrasi di dalam kelas. Para pelajar membutuhkan
kesempatan-kesempatan untuk membuat pilihan dalam kehidupannya dan
menunjang hasil-hasil dari pilihan tersebut, untuk sebuah derajat tertentu yang
mereka butuh untuk belajar yang otonomi. Membuat pilihan tidak hanya
membangkitkan sebuah rasa tanggung jawab dan komitmen terhadap apa yang
dilakukan oleh para pelajar-pelajar, dan akan membolehkan pelajar untuk
mempraktekkan serta membuat pilhan yang tepat melalui pengalaman langsung,
kadang-kadang Dewey mendukung kehidupan dan belajar dalam sebuah
lingkungan yang demokratis, menurut standar Dewey, apakah yang terbaik untuk
melanjutkan ide-ide demokrasi, dari pada membuat pelajar hanya belajar sejarah
secara detail dari struktur pemerintahan untuk mendapatkan sebuah pemahaman
praktis yang demokratis. Boisvert mengidentifikasikan karya Dewey berikut
”proposisi-proposisi untuk reformasi pendidikan” yang berhubungan dan
mendukung keberlanjutan ide-ide demokrasi:
1. Sebuah sistem pendidikan dalam masyarakat demokrasi tidak semestinya
terbuka terhadap semua penduduknya, tetapi semsetinya membuat sebuah
usaha yang dikonsepnya untuk mensukseskan pendidikan yang baik.
2. Sistem pendidikan harus membantu meningkatkan kebebasan sebagai
kekuatan untuk memilih dan membangun kegiatan dan aktivitas
kehidupan yang memadai. Yaitu membantu perkembangan individualitas.
Sekolah dapat melakukan ini dengan membangun sebuah masyarakat yang
menekankan pada tujuan-tujuan dan kegiatan serta aktivitas kelompok
yang sama.
3. Pendidikan yang demokratis harus lebih luas menjangkau keinginan
pelajar. Memahami sejarah, sains, melukis, music, dan literatur adalah
sebagai prasyarat-prasyarat untuk mematahkan rintangan-rintangan antara
kelas-kelas dan membangun sebuah keadaan untuk membagi keinginan-
keinginan yang lebih luas.
4. Pendidikan dalam masyarakat yang demokratis harus juga menanamkan
kebiasaan-kebiasaan memperhatikan yang lain sebelum membuat
keputusan-keputusan. Pandangan/cara hidup yang demokratis adalah tidak
didominasi oleh sikap-sikap yang disimpulkan dalam slogan ” tinggal saya
sendiri”, ”lakukan sesuatu sendiri”, atau ”itu terserah pada individu”. Ini
adalah kehidupan demokratis bukan hadiah. Pratek-praktek yang
demokratis adalah ditandai dengan memperhatikan yang lain dan
33J. Campbell, Understanding John Dewey, (Chicago, IL: Open Court, 1995),
h.218-219.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
47
mempertimbangan konsekuensi-konsekuensi, dan bagaimana mereka
mempengaruhi mereka secara langsung yang keuntungannya dirasakan
oleh wakilnya.
Empat dalil/pernyataan di atas merangkul beberapa kepercayaan-
kepercayaan para pendidik dewasa ini yang menjadi pegangan sebagai ide-ide
pendidikan. Ide-ide tersebut mempromosikan pendidikan bagi semua masyarakat
yang baik dengan kepercayaan bahwa semua anak-anak dapat belajar, memperluas
ruang lingkup keinginan-keinginan pelajar dalam memahami sejarah, sains, seni,
dan membuat anak-anak bekerjasama mengenai hal ihwal pembelajaran dan
aktivitas-aktivitasnya. Namun demikian, dalam beberapa cara, ide-ide di atas
merintangi peranan kaum tradisionalis pada sekolah kita. Seperti: sistem
pendidikan sekarang tidak selalu memberi wewenang para peserta didik dengan
mengizinkan mereka untuk memilih atau menyelesaikan kegiatan-kegiatan/tugas-
tugas kehidupan, tetapi melanjutkan untuk menentukan pelajaran-pelajaran dan
kebutuhan-kebutuhan kelas yang menggunakan sebuah model otoriter. Dalam
masalah yang sama, mereka juga mengecilkan keunikan-keunikan para peserat
didik dimana mendorong keseragaman diantara mereka melalui harapan-harapan
dalam kelas dan rumusan-rumusan berkelompok. Lagi pula, para pelajar sering
bekerja dan berpikir secara terpisah, dari pada berpartisipasi secara bebas dalam
pertukaran ilmu pengetahuan dan memperhatikan terhadap yang lain
disekelilingnya. Sebaliknya, Alexander menjelaskan bahwa inti konsep demokrasi
Dewey adalah saling berhubungan antara ide-ide masyarakat dengan kreativitas
individu34. Dewey tidak menilai salah satu yang di atas lebih tinggi terhadap yang
lain, mereka berdua adalah bagian-bagian yang diperlukan secara keseluruhan.
Dewey mendukung perkembangan sebagai sebuah yang bersifat individual supaya
menambah jumlah masyarakat yang kurang. Dari pandangan Dewey, kekuatan-
kekuatan/tenaga-tenaga unik kita dapat mempertinggi masyarakat secara
keseluruhan. Hubungan ini butuh dan peduli terhadap satu sama lain adalah
menciptakan demokrasi.
Dewey melihat bahwa belajar terjadi dimana komunikasi dan
partisipasinya merupakan faktor-faktor yang sangat esensial. Cuffaro
menyarankan bahwa filsafat pendidikan Dewey menimbulkan visinya tentang
masyarakat yang demokratis. Di samping itu, dia menyatakan bahwa visinya
tentang demokrasi mendatangkan pluralitas dan perbedaan, menolak rintangan-
rintangan yang bercerai-berai dan berpisah-pisah. Boisvert, juga membagi
pandangan ini kepada tiga karakteristik demokrasi berdasarkan pendirian Dewey
34T. Alexander, “Educating the Democratic Heart: Pluralism, Traditions, and The
Humanities, dalm J. Garrison (Ed), The New Scholarship
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
48
tentang demokrasi sebagai sebuah ide sosial, yaitu: a. individuality, b. freedom dan equality, dan c. fluid socialrelation.35
1. Individuality adalah sebuah istilah yang menunjukkan egosentris yang
memisahkan kita dari yang lain, tetapi individuality menekankan
keunikan dan bakat-bakat khusus apa yang diberikan kepada kelompok.
Melalui perkembangan setiap individu, sehingga mampu berkontribusi
kepada masyarakat menurut cara kita sendiri. Sebaliknya, jika kita fokus
pada individualism, maka kita tidak menanamkan ide-ide demokrasi
selama kita tidak membentuk sebuah model kehidupan yang berasosiasi
dengan yang lain. Sementara, kita fokus pada individual-individual itu
sendiri, daripada bagaimana individualitas seseorang dapat
menguntungkan masyarakat. Dalam sebuah demokrasi, para anggota
cemas mengenai apakah tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan
mereka dapat mempengaruhi anggota masyarakat yang lain, dan cara
mereka memberikan kontribusi terhadap perkembangan masyarakat.
2. Freedom dan equality meliputi lebih dari ketidakleluasaan atau persamaan
sejenis. Secara langsung, mereka berhubungan dengan perkembangan
personal. Kata-kata yang digunakan sekarang menggambarkan arti
kebebasan yang sebenarnya. Dewey memberi wewenang (empower), perjanjian (engagement), dan kapasitas (effectuate), untuk bertindak
dengan cara-cara yang mempertinggi perkembangan. Kata-kata ini
menunjukkan pada kepentingan untuk berkembang secara individual.
Demikian juga, equality tidak berarti sama atau serupa saja, tetapi jauh
dari itu. Lebih suka, menyarankan kekhasan yang tidak dapat digantikan
dan membuatnya mungkin untuk menjadi dinilai bersama. Lagi pula,
melalui kekhasan dan kesempatan untuk mengembangkan bakat-bakat
yang berbeda dapat dibagi dengan yang lain, dapat mengembangkan
seperti individu-individu, demikian juga dalam berasosiasi dengan yang
lain, dapat mempunyai kesempatan menilai yang lain terhadap kekhasan-
kekhasan mereka dan menjadi bernilai bagi kita. Belajar untuk
menghargai perbedaan-perbedaan yang lain, kita harus mengerti
perbedaan-perbedaan kita melalui keterbukaan orang yang berbeda dengan
3. Fluid social relations, hubungan-hubungan sosial yang tidak kaku dan
saling memahami antara satu dengan yang lainnya. Hubungan-hubungan
sosial yang tidak kaku tersebut berhubungan dengan sebuah kemampuan
masyarakat untuk menyerap batasan-batasan yang dimiliki oleh setiap
kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda. Anggota-anggota yang
mempunyai kelebihan dari bermacam-macam kelompok tersebut dapat
35R. Boisvert, “John Dewey: An”old-Fashioned” Reformer”, dalam J. Garrison
(ed.), The New Scholarship on Dewey,(Boston: Kluwer Academic Publishers, 1995) 157-
173.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
49
berpartisipasi atau berpindah ke dalam setiap kelompok-kelompok yang
lain, masyarakat demokratis memahami apa yang dihadapi oleh setiap
anggotanya terhadap perbedaanperbedaan yang lain. Ini boleh dilakukan
untuk mengikat masyarakat secara bersama-sama, dan membongkar
rintangan-rintangan di antara sesama mereka.36
Progresif dalam pendidikan adalah bagian dari gerakan reformasi umum
sosial-politik yang menandai kehidupan Amerika di akhir abad 19 dan awal abad
20 di saat Amerika berusaha menyesuaikan diri dengan urbanisasi dan
industrialisasi masif. Progresif sebagai sebuah teori pendidikan muncul sebagai
bentuk reaksi terbatas terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode-
metode formal pengajaran, belajar mental (kejiwaan). Dan kesustraan klasik
peradaban Barat. Tokoh utama yang melandasi pendidikan progresif adalah John
Dewey, Sigmund Freud, dan Jean Jacques Rousseau.37 Ciri-ciri utama pendidikan
progresif ialah didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu
mempunyai kemampuan-kemampuan dan dapat menghadapi dan mengatasi
masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu
sendiri dengan skill dan kekuatannya sendiri.
Pandangan-pandangan progresif dianggap sebagai the liberal road to culture. Dalam arti bahwa liberal dimaksudkan sebagai fleksibel, berani, toleran
dan bersikap terbuka. Liberal dalam arti lainnya ialah bahwa pribadi-pribadi
penganutnya tidak hanya memegang sikap seperti tersebut di atas, melainkan juga
selalu bersifat penjelajah, peneliti secara kontinue demi pengembangan
pengalaman. Liberal dalam arti menghormati martabat manusia sebagai subjek di
dalam hidupnya dan dalam arti demokrasi, yang memberi kemungkinan dan
prasyarat bagi perkembangan tiap pribadi manusia sebagaimana potensi yang ada
padanya. Sebagai konsekwensi dari pendapatnya aliran ini kurang menyetujui
adanya pendidikan yang bercorak otoriter. Pendidikan progresif mempunyai watak
yang dapat digolongkan sebagai (1) negative and diagnostic yang berarti bersikap
anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam segala bentuk; (2) positive and remedial, yakni suatu pernyataan dan kepercayaan atas kemampuan manusia
sebagai subjek yang memiliki potensi- potensi alamiah, terutama kekuatan self-regenerative untuk menghadapi dan mengatasi semua problem hidupnya.38
Lingkungan dan pengalaman mendapat perhatian cukup dari aliran ini.
Sehubungan dengan ini, menurut progresif, ide-ide, teori-teori atau cita-cita itu
tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini haruslah
dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud baik yang lain. Di
samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup
36John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of
Education, (New York: The Macmillan Company, 1927), h.166. 37 Maragustam Siregar, Filsafat Progressivime....,h.1-2. 38Maragustam Siregar, Filsafat Progressivime.... 3-6.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
50
yang mempunyai banyak. Dikatakan Pragmatisme karena sebab asas utama dalam
kehidupan manusia ialah untuk tetap survive terhadap semua tantangan-tantangan
hidup manusia, harus praktis; melihat segala sesuatu dari segi kegunaannya.
Dikatakan Instrumentalisme, karena intelegensi manusia sebagai kekuatan utama
haruslah dianggap sebagai alat (instrumen) untuk menghadapi semua tantangan
dan problem. Dikatakan Exsperimen karena asas eksperimen adalah alat utama
untuk menguji kebenaran suatu teori. Sedang dikatakan Environmentalisme,
karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan
kepribadian. persoalan yang silih berganti.
a. Ontologi Progresif:
Pandangan ontologi progresif bertumpu pada tiga hal yakni asas hereby (asas keduniaan), pengalaman sebagai realita dan pikiran (mind) sebagai
fungsi manusia yang unik. Ontologi Progresif adalah sebagai berikut: 1) Asas
Hereby ialah adanya kehidupan realita yang amat luas tidak terbatas sebab
kenyataan alam semesta adalah kenyataan dalam kehidupan manusia. 2)
Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu. Manusia
punya potensi pikiran (mind) yang berperan dalam pengalaman. Eksistensi
dan realita mind hanyalah di dalam aktivitas, dalam tingkah laku. John
Dewey mengatakan, pengalaman adalah key concept manusia atas segala
sesuatu. Pengalaman ialah suatu realita yang telah meresap dan membina
pribadi. Pengalaman menurut Progresif: a) Dinamis, hidup selalu dinamis,
menuntut adaptasi, dan readaptasi dalam semua variasi perubahan terus
menerus. b) Temporal (perubahan dari waktu ke waktu); c) Spatial yakni
terjadi disuatu tempat tertentu dalam lingkungan hidup manusia; d)
Pluralistis yakni terjadi seluas adanya hubungan dan antraksi dalam mana
individu terlibat. Demikian pula subyek yang mengalami pengalaman itu,
menangkapnya, dengan seluruh kepribadiannya dengan rasa, karsa, pikir dan
pancainderanya. Sehingga pengalaman itu bersifat pluralistis. 3) Pikiran
(mind) sebagai fungsi manusia yang unik Manusia hidup karena fungsi-fungsi
jiwa yang ia miliki. Potensi intelegensi ini meliputi kemampuan mengingat,
imaginasi, menghubung-hubungkan, merumuskan, melambangkan dan
memecahkan masalah serta komunikasi dengan sesamanya. Mind ini ialah
integrasi di dalam kepribadian, bukan suatu entity (kesatuan lahir) sendiri.
Eksistensi dan realita mind hanyalah di dalam aktivitas. Mind adalah apa
yang manusia lakukan. Mind pada prinsipnya adalah berperan di dalam
pengalaman.
b. Epistemologi Progresif:
Pandangan epistemologi progresif ialah bahwa pengetahuan itu
informasi, fakta, hukum, prinsip, proses, dan kebiasaan yang terakumulasi
dalam pribadi sebagai proses interaksi dan pengalaman. Pengetahuan
diperoleh manusia baik secara langsung melalui pengalaman dan kontak
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
51
dengan segala realita dalam lingkungan, ataupun pengetahuan diperoleh
langsung melalui catatan-catatan. Pengetahuan adalah hasil aktivitas
tertentu. Makin sering kita menghadapi tuntutan lingkungan dan makin
banyak pengalaman kita dalam praktik, maka makin besar persiapan kita
menghadapi tuntutan masa depan. Pengetahuan harus disesuaikan dan
dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan. Kebenaran adalah
kemampuan suatu ide memecahkan masalah, kebenaran adalah konsekuen
daripada sesuatu ide, realita pengetahuan dan daya guna dalam hidup.
c. Aksiologi Progresif:
Dalam pandangan progresif di bidang aksiologi ialah nilai timbul karena
manusia mempunyai bahasa, dengan demikian menjadi mungkin adanya
saling hubungan. Jadi masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai.
Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak,
perasaan, kecerdasan dari individu-individu. Nilai itu benar atau tidak benar,
baik atau buruk apabila menunjukkan persesuaian dengan hasil pengujian
yang dialami manusia dalam pergaulan. Pandangan pendidikan progresif
menghendaki yang progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai
rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan hendaklah bukan
hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik untuk diterima saja,
melainkan yang lebih penting daripada itu adalah melatih kemampuan
berpikir dengan memberikan stimuli-stimuli. Mengenai belajar, progresif
memandang peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi
yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain.
Kelebihan yang bersifat kreatif dan dinamis, peserta didik mempunyai bekal
untuk menghadapi dan memecahkan problem-problemnya. Sedangkan bidang
kurikulum progresif memandang bahwa selain kemajuan, lingkungan dan
pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresif. Untuk itu
pendidikan progresif menunjukkan dengan konsep dasarnya, jenis kurikulum
yang program pengajarannya dapat mempengaruhi anak belajar secara
edukatif baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
Tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang baik pula.
B. Pendidikan Progresif John Dewey dalam Perspektif Pendidikan Islam
Adapun dalam hal dasar-dasar pendidikan Ibn Khaldūn dan John Dewey
adalah benar-benar sangat berbeda. Ibn Khaldūn beranjak dari sikap keagamaan,
yakni berdasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam yaitu: al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Saw. Pemikirannya juga dipengaruhi oleh para filosof Yunani seperti Plato,
Aristoteles dan lain-lainya. Jadi, dasar pendidikannya bersifat teosentris, dimana
di dalamnya menganut asas-asas teologis. Sedangkan dasar pendidikan John
Dewey bersumber pada pemikiran rasional dan empiris, yakni filsafat
pragmatisme serta beberapa pemikiran dari para tokoh filosof sebelumnya dan
lainnya yang ada pada saat itu. Dasar ini bersifat antroposentris, dimana
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
52
menggantungkan segala sesuatu pada kekuatan manusia, tanpa dikaitkan dengan
kemahakuasaan Tuhan. Mengenai kesamaan perencanaan pengajaran dalam
pandangan Ibn Khaldūn dan John Dewey adalah sama-sama merencanakan
pendidikan serta memiliki tujuan demi kepentingan dan kebutuhan manusia sesuai
dengan potensi fitrah dan dorongan hati, namun kedudukannya berbeda. Ibn
Khaldūn memandang perencanaan pendidikan sebagai bahan mata pelajaran yang
dipersiapkan kepada peserta didik. Dalam hal ini perencanaan pendidikan bahan
mata pelajaran terbagi kepada beberapa bagian berdasarkan kegunaan dan
prioritas.
Masing-masing memiliki sifat dan nilai yang berbeda (ada yang kurang
penting dan ada yang sangat penting). Perencanaan pendidikan bukan hanya
rencana pengajaran yang ada pada bahan pelajaran saja, akan tetapi harus juga
menyesuaikan dengan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu
‘aqliyat (filsafat), harus menyesuaikan dengan kepentingan, manfaat, fungsi serta
kebutuhan peserta didik dalam mempersiapkan rencana proses pengajaran untuk
mencapai arah tujuan pendidikannya. Sedangkan menurut pandangan John Dewey,
perencanaan pendidikan adalah perangkat bahan pembelajaran yang berpusat pada
pengalaman kehidupan peserta didik yang menjadi pusat acuan bagi pendidik
dalam menentukan rencana proses pendidikan. Dalam hal perencanaan
pembelajaran ini, John Dewey tidak memberikan batasan tentang bahan pelajaran
secara jelas yang harus dimiliki oleh pendidik sebagaimana Ibn Khaldūn, karena
untuk menyusun bahan pelajaran harus menyesuaikan dengan pengalaman
kehidupan peserta didik. Dalam metode, Ibn Khaldūn dan John Dewey sama-sama
menganggapnya sebagai suatu hal yang penting dalam proses pendidikan.
Menurut keduanya, metode tersebut dilakukan demi mencapai tujuan yang
diinginkan dari proses pembelajaran dan pendidikan tersebut. Akan tetapi,
mengenai macam dan penerapannya, Ibn Khaldūn dan John Dewey memiliki
konsep yang berbeda.
Konsep pendidikan Ibn Khaldūn dari pandangannya terhadap manusia
sebagai pelaku sejarah juga sebagai makhluk ciptaan Allah, makhluk yang
diciptakan dengan segala potensi dilengkapi dengan panca indera pendengaran,
penglihatan dan akal untuk menjadi intelek murni dan memiliki jiwa perspektif.
Pemikirannya yang cemerlang memiliki corak religius logik. Ia termasuk
perenialis essensialism, dikatakan perenialis karena ia menggunakan dasar
pemikirannya dibangun atas al-Qur’an, as-Sunnah dan atsar para sahabat Nabi.
Dikatakan essensialisme karena ia sendiri juga menjunjung tinggi terhadap nilai-
nilai yang dianggapnya penting. Tujuan pendidikannya untuk memberikan
kesempatan kepada pikiran untuk aktif bekerja bagi terbukanya pikiran dan
kematangan individu serta kematangan berpikir bagi kemajuan agama, ilmu
industri dan sistem sosial. Ia memandang perencanaan pendidikan sebagai materi
bahan pelajaran yang harus dipersiapkan pendidik sesuai dengan klasifikasi dan
prioritas berbagai ilmu pengetahuan untuk mencapai arah tujuan pendidikan.
Adapun mengenai metode dianjurkannya menggunakan metode yang bervariasi
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
53
dan disesuaikan dengan tingkat kecakapan dan kecerdasan daya tangkap siswa.
Adapun macam-macam metodenya ada empat: metode pentahapan, metode
pengulangan, metode karyawisata (riḥlah), dan metode latihan atau praktek
(tadrīb). John Dewey dalam konsepnya juga berangkat dari pandangannya
terhadap manusia. Konsepsinya bersifat antroposentris, yakni semata-mata
menggantungkan pada kekuatan manusia, tanpa dikaitkan dengan kekuasaan
Tuhan. Baginya, manusia adalah subyek yang memiliki kemampuan, kekuatan,
kepribadian dan eksistensi yang mampu merubah realitas. Pemikirannya tentang
pendidikan bercorak radikal, dalam aspek psikologis ia lebih mengedepankan
kebebasan manusia. Hal ini sesuai dengan pengalaman peserta didik (demokratis)
yang terlihat dari perjuangannya melawan berbagai bentuk dominasi dalam proses
pengajaran pada sekolah tradisional. Sedangkan aspek sosiologis ia mengarahkan
pada kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya sesuai pengalaman sosial peserta
didik.
Dasar pengajaran John Dewey berlandaskan pada pemikiran rasional dan
empiris yakni filsafat, dalam psikologi ia menganut teori behaviorisme, serta
beberapa pemikiran dari para tokoh filsafat sebelumnya dan yang ada pada saat
itu. Tujuan pendidikannya berorientasi pada kebahagiaan kehidupan duniawi saja.
Dalam hal perencanaan pengajaran harus menyesuaikan dengan dorongan hati, dan
pengalaman kehidupan manusia (peserta didik) dengan melalui pembebasan
menuju humanisasi.
Secara substansial, Islam dan barat memiliki pandangan yang sama
tentang pendidikan. Keduanya sama-sama berorientasi pada pembentukan
kepribadian dan intelektual anak, yaitu terbentuknya pribadi cerdas yang
berakhlak mulia. Dalam Islam, al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’ ulama sebagai
landasan dalam membangun sketsa pendidikan. Sedangkan progresif berpaham
nasionalisme yang menjadi pijakan mendasarnya. Dalam hal itu, maka masing-
masing peradaban ini mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga output
yang produknya memiliki ciri-ciri yang berbeda. Menurut pandangan Hegel
sebagai representasi dari tokoh barat, pendidikan juga dapat didefinisikan sesuatu
yang hal yang fakta yang progresif dari yang subyektif atau negatif, dan bertumpu
pada potensi moral. Maka demikian, untuk itu seseorang yang hendak mencapai
moral yang positif, maka seseorang hendaklah menjunjung tinggi moral hidup
secara universal pada lingkarannya. Pada akhirnya, seseorang hendak menggapai
keunggulan dan memperoleh moral yang mutlak lewat pendidikan. Hal ini tidak
jauh berbeda dengan pandangan Ibnu Sina> sebagai salah satu Tokoh Pendidikan
Islam yang mengintegrasikan antara nilai-nilai idealistis dengan pandangan
pragmatis. Ia memadukan antara materi-materi pelajaran atau teori-teori yang
dipelajari anak di sekolah dengan lapangan pekerjaan yang diminatinya. Bagi Ibnu
Sina> hal-hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam sistem pendidikan adalah
meneliti tingkat kecerdasan, karakteristik dan bakat-bakat yang dimiliki anak,
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
54
serta memeliharanya dalam rangka menentukan pilihan yang disenangi untuk
masa yang akan datang.39
Apabila memperhatikan ayat-ayat yang pertama kali diturunkan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad, maka nyatalah bahwa Allah telah menekankan
perlunya orang belajar baca tulis dan belajar ilmu pengetahuan. Firman Allah
dalam Surat Al-‘Alaq ayat 1-540. Dari ayat-ayat tersebut, jelaslah bahwa agama
Islam mendorong umatnya agar menjadi umat yang pandai, dimulai dengan belajar
baca tulis dan diteruskan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Islam
disamping menekankan kepada umatnya untuk belajar juga menyuruh umatnya
untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain, jadi Islam mewajibkan umatnya
belajar dan mengajar. Melakukan proses belajar dan mengajar adalah bersifat
manusiawi, yaitu sesuai dengan harkat kemanusiaannya, sebagai makhluk homo
educandus, dalam arti manusia itu sebagai makhluk yang dapat dididik dan dapat
mendidik.
Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits yang menjelaskan hal tersebut antara
lain.41 Surah at-Taubah ayat 12242, surah al-Ma>idah ayat 6743 dan surah az-Zuma>r
ayat 944. Surat-surat tersebut menjelaskan bahwa Pendidikan merupakan disiplin
ilmu yang di dalamnya mengandung berbagai dimensi. Seperti dimensi manusia
sebagai subyek atau pelaku pendidikan (baik berstatus sebagai pendidik atau
39Moh. Wardi, Relevansi Pemikiran Ibnu Sina Dan George Wilhelm Friedrich
Hegel Tentang Pendidikan, at-turas Vol I, No 1, Januari sampai Juni 2014 40 QS al-Alaq
41Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Bumi Aksara, 1991), 98-99 42 QS al-Taubah /9:122 :
43 QS al-ma>idah /5:67 :
44 QS az zuma>r / 39:9 :
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
55
peserta didik), maupun dimensi landasan, tujuan, materi atau kurikulum,
metodologi, dan dimensi institusi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dimensi-dimensi tersebut merupakan faktor penting yang mendukung
keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan pendidikan, dan masing-masing dimensi
ini memiliki paradigma fungsional sendiri-sendiri dan saling terkait untuk
bersinergi dalam sebuah sistem pendidikan. Pendidikan merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. John Dewey dalam
Jalaludin menyatakan, bahwa: Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi
sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan
membukakan serta membentuk disiplin ilmu. Pernyataan ini setidaknya
mengisyaratkan bahwa bagaimanapun sederhananya suatu komunitas manusia,
memerlukan adanya pendidikan. Maka dalam pengertian umum, kehidupan dari
komunitas tersebut akan ditentukan aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab
pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia, karena
pendidikan Islam berorientasi dalam memberikan bekal kepada manusia untuk
mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan
menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan generasi sejalan dengan
tuntutan masyarakat. Semestinya pendidikan Islam selalu diperbaharui konsep dan
aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis
dan temporal, agar manusia tidak hanya menginginkan kebahagiaan hidup setelah
mati (eskatologis), namun kebahagiaan di duniapun bisa diraihnya, Pada
kehidupan masyarakat yang semakin berbudaya dengan tuntutan hidup yang
makin tinggi, pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan,
melainkan kepada pengembangan kemampuan-kemampuan teoritis dan praktis
berdasarkan konsep-konsep berpikir ilmiah. Dalam perkembangannya, pendidikan
Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya
mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau
dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon dari sejarah
pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan
pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang
bercorak tradisionalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan
Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada
aspek doktriner normatif yang cenderung eksklusifliteralis, apologetis. Sementara
pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh
mendasarnya.
Secara teori, pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu merupakan konsep
pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dapat dikembangkan dari
hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits baik dari segi
sistem, proses, dan produk yang diharapkan mampu membudayakan umat manusia
agar bahagia dan sejahtera dalam hidupnya. Dari segi teori, pendidikan Islam
dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang bersifat progresif
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
56
menuju kearah kemampuan optimal anak didik yang berlangsung diatas landasan
nilai-nilai ajaran Islam.45
Perbedaaan yang mendasar antar pendidikan progresif dan pendidikan
Islam meliputi landasan filosofis yang dibangun baik itu mengenai ontologi,
epistimologi maupun aksiologi, serta mengenai nilai yang dibangun dan tujuan
pendidikan. Sekalipun terdapat perbedaan dan persamaan antara pendidikan
progresif dan pendidikan Islam, namun pada keduanya terdapat satu pola
hubungan yang saling melengkapi.
Dalam hal ini, pendidik dianggap sebagai fasilitator sekaligus partner bagi
siswa. Pendidik menjadi teman perangsang bagi siswa. Begitupun juga dengan
peserta didik, dianggap sebagai subyek Pendidikan religius dimulai guru kepada
siswa agar praktek pendidikan bersifat mengarahkan, memandirikan dan
memperdayakan siswa sebagai makhluk berdimensi horisontal dan vertikal
sekaligus. Dari beberapa uraian singkat tentang pemikiran pendidikan anak baik di
dunia. Islam maupun Barat, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
pendidikan anak merupakan satu hal yang sangat penting. Pendidikan pada masa
kanak-kanak akan sangat menentukan kehidupan mereka di masa mendatang.
Pemikir pendidikan anak di dunia Islam lebih cenderung bersifat filosofis religius,
sedangkan pemikir dari Barat cenderung pada bersifat psikologis akademis.
Meskipun terdapat perbedaan kecenderungan, namun dari beberapa pemikiran
tersebut dapat ditarik benang merah yang saling melengkapi yaitu bahwa
pendidikan anak harus bersifat komprehensif bukan hanya berdimensi filosofis
religius atau psikologis akademis, melainkan paduan di antara keduanya yang
aktif. Peserta didik memiliki peran sebagai subyek pencipta kembali, dan penemu
ulang. Jadi keduanya sama-sama menjadi subyek yang belajar, subyek yang
bertindak dan berfikir, dan pada saat yang bersamaan berbicara menyatakan hasil
tindakan dan buah pikirannya. Dalam prosesnya menggunakan metode problem solving, learning by doing dan metode disiplin.
Dalam hal ini, pendidik dianggap sebagai fasilitator sekaligus partner bagi
siswa. Pendidik menjadi teman perangsang bagi siswa. Begitupun juga dengan
peserta didik, dianggap sebagai subyek yang aktif. Peserta didik memiliki peran
sebagai subyek pencipta kembali, dan penemu ulang. Jadi keduanya sama-sama
menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berfikir, dan pada saat
yang bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Dalam
prosesnya menggunakan metode problem solving, learning by doing dan metode
disiplin. Dari pemikiran Ibn Khaldūn dan John Dewey dapat dilihat sisi persamaan
maupun perbedaannya. Ibn Khaldūn yang bersifat religius logik karena
dipengaruhi oleh penguasaannya dalam ilmu syari’at (agama), dalam
kepribadiannya penuh nilai-nilai Islami lebih menekankan pada spiritualitas
manusia dalam membangun peradaban. Sedangkan John Dewey bersifat radikal
45Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta:Ciputat
Pers, Juli 2002), 9-10
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
57
dan ekstrem, hal ini terlihat dari gagasan-gagasan pendidikan progresifnya yang
diperjuangkan untuk melawan otoritas pengajaran tradisional yang status quo. Ia
lebih mengedepankan kebebasan manusia dalam hal ini sesuai dengan keinginan
peserta didik (demokratis). Kedua tokoh tersebut sama-sama muncul dari sosio-
kultural yang tidak humanis. Keduanya mengakui keberadaan dan eksistensi
manusia yang mana dengan fitrah dan dorongan hati kemanusiannya. Sedangkan
sisi perbedaannya tampak jelas dalam konsepsi pendidikan yang masing-masing
mereka tawarkan. Dua konsep tersebut dapat dipadukan namun tidak secara
keseluruhan, sebab konsep pendidikan John Dewey tidak sepenuhnya cocok
dengan konsep ajaran Islam.
Pendidikan progresif Dewey yang mengandung asas pendidikan
partisipatif menyatakan bahwa kurikulum pendidikan harus berisi pengalaman-
pengalaman peserta didik yang mana pengalaman tersebut didiskusikan di ruang
sekolah dan jika terdapat masalah social yang dialami oleh peserta didik, maka
harus didiskusikan bersama upaya pemecahannya. Dengan demikian kurikulum
pendidikan progresif Dewey berupa kurikulum berbasis pengalaman hidup. Dalam
hal ini kurikulum pendidikan progresif sejalan dengan kurikulum pendidikan
Islam. Dalam Islam, muatan kurikulum pendidikannya juga berisi tentang
persoalan-persoalan kemanusiaan yang didiskusikan untuk dicari pemecahannya
melalui ruang pendidikan, baik formal, non formal atau informal.
Dalam kurikulum pendidikan progresif, materi pelajaran juga berupa teori-
teori yang relevan dengan kebutuhan peserta didik. Dalam pendidikan Islam
kurikulum pendidikannya juga berisi tentang teori-teori yang dikemukakan oleh
ulama atau ilmuan muslim sebelumnya, bahkan teori-teori non muslim yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Islam terkadang dipakai dalam pendidikan Islam.
Dengan demikian sampai disini, antara kurikulum pendidikan progresif dengan
kurikulum pendidikan Islam tidak ditemukan suatu perbedaan yang signifikan.
Selain itu pendidikan progresif amat menekankan materi kurikulum
pendidikan yang bersifat praktis pragmatis. Hal ini sejalan dengan asas
kemanfaatan dalam pendidikan Islam. Islam menekankan adanya nilai guna atau
asas kemanfaatan dalam kurikulum pendidikannya. Dalam artian, materi pelajaran
yang diberikan kepada peserta didik harus berupa materi-materi yang bersifat
praktis dan tidak hanya teoritis, agar bisa dimanfaatkan agar bisa dimanfaatkan
oleh peserta didik dalam praktik kehidupannya. Dengan begitu kurikulum
pendidikan yang bersifat praktis-pragmatis diikuti dalam pendidikan progresif dan
pendidikan Islam. Asas kemanfaatan dalam pendidikan Islam memberikan bekal
yang berguna bagi kepentingan peserta didik di dunia dan akhirat. Bedanya,
pendidikan progresif Dewey hanya menekankan pada aspek tujuan duniawi,
sementara pendidikan Islam menekankan aspek keduanya; dunia dan akhirat.
Lebih lanjut pendidikan progresif Dewey menekankan perlunya materi
kurikulum pendidikan yang tidak terlalu padat, karena bisa membuat peserta didik
stress dan tidak enjoy dalam proses belajarnya. Kurikulum pendidikan perlu
diusahakan seminimal mungkin tetapi mendalam dalam proses pembelajarannya.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
58
Kalau suatu kurikulum sudah dikuasai oleh peserta didik, maka perlu ditambahkan
materi kurikulum yang lain. Ini juga tidak bertentangan dengan konsep kurikulum
pendidikan Islam. Menurut al-Gha>zali, dalam mempelajari suatu ilmu, jangan
pindah dulu ke ilmu lain, sebelum ilmu yang dipelajari dikuasai.
Progresif menolak corak otoriter yang terjadi di masa lalu dan sekarang.
Pendidikan yang otoriter diasumsikan dapat menghambat dalam menanggapi
tujuan-tujuan karena kurang menerima kemampuan yang dimiliki manusia dalam
kegiatan belajar mengajar. Padahal dalam pendidikan secara universal bagaikan
motor penggerak sebagai proses untuk mencapai kamajuan atau “progres”.
Dengan demikian bagi progresif, ide-ide teori-teori dan atau cita-cita tidaklah
cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada (being).46 Sejalan dengan itu
progresif merupakan suatu aliran yang berdasar pada sebuah asumsi bahwa
manusia itu mempunyai potensi yang wajar dan dapat mengatasi berbagai
permasalahan yang mengancam manusia itu sendiri.
Menurut Priyo Dwiarso siswa harus memiliki jiwa merdeka, dalam arti
merdeka lahir, batin serta tenaganya. Jiwa merdeka ini sangat diperlukan
sepanjang zaman agar bangsa Indonesia tidak didikte negara lain. Sistem among melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan mematikan
jiwa merdekanya, mematikan kreativitasnya.47
Bertolak dari keberadaan teori pendidikan tradisional yang memberikan
porsi berlebihan bagi otoritas pendidik dan cara belajar pasif yang hanya fokus
pada kajian tekstual, aliran progresif berkembang dan menawarkan perspektif,
cara, dan metode yang baru dalam sistem pembelajaran. Asumsi aliran ini adalah
bahwa peserta didik diberikan kebebasan proses belajar, peserta didik berpotensi
untuk berkemajuan, bisa berjalan dengan optimal karena dengan kebebasan,
potensi manusia untuk maju dan berkembang.
Dari sudut epistemologi, pengetahuan merupakan produk dari pengalaman
yang menggunakan metode saintifik. Sebagai penulis produktif, untuk
menjelaskan idenya itu Dewey menulis sejumlah buku, antara lain: Democracy and Education dan Experience and Education. Senafas dengan Dewey, KH.
Ahmad Dahlan juga memandang bahwa pengamalan (amal saleh) sangat penting
dalam proses pendidikan. Hal ini dapat kita simak dari pesan dan kata-kata
hikmah yang berulangkali disampaikan kepada peserta didiknya berikut ini:
“sedikit bicara, tapi perbanyaklah bekerja “siapa menanam, akan mengetam”;
hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di
Muhammadiyah”. Pesan-pesan demikian menegaskan bahwa Kyai Dahlan
memandang perbuatan/amal saleh itu sangat penting. Sebab dengan
berbuat/beramal saleh seseorang akan mendapatkan pengalaman baru, pengalaman
46Ilun Mualifah, Progressivime John Dewey dan Pendidikan Partisipatif
Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 01 No. 01 Mei (2013) 47Priyo Dwiarso, Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta:Majelis
Luhur Pesatuan, 2010), h. 6.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
59
itu akan digunakan untuk meningkatkan kualitas perbuatan/pengalaman
berikutnya sehingga menjadi lebih realistik.48
Senada dengan konsep Ki Hadjar Dewantara adalah peserta didik tidak
bisa lepas dari kehendakNya, tetapi akan bahagia jika dapat menyatukan diri
dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan. Kemajuan tersebut seperti
bertumbuhnya tiap-tiap benih suatu pohon yang kemudian berkembang menjadi
besar dan akhirnya hidup dengan keyakinan bahwa dharmaNya akan dibawa hidup
terus dengan tumbuhnya lagi benih-benih yang disebarkan.49 Pada sistem among
mengatakan bahwa sistem among yang berjiwa kekeluargaan ada 2 dasar, yaitu:
pertama, fitrah sebagai syarat kemajuan dengan dan sebaik-baiknya; kedua,
kebebasan sebagai syarat menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan
batin anak agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir serta
bertindak merdeka. Pada bagian lain dikatakan bahwa fitrah merupakan batas
perkembangan potensi kodrati anak didik dalam proses perkembangan
kepribadiannya. Perkembangan yang sesuai dengan kodrat alam akan berjalan
lancar dan wajar karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang menjadi
satu dengan fitrah manusia.
Pemikiran John Dewey memberikan rujukan tentang pusat dalam
pembelajaran adalah anak yang berproses dalam pengalamannya. Garis besar
pemikiran John Dewey dan telah banyak memberikan kontribusi terhadap konsep
konsep pendidikan perlu digaris bawahi. Menurut Garforth terdapat tiga pengaruh
pemikiran John Dewey.50
Pertama, Dewey melahirkan konsepsi baru tentang kesosialan pendidikan.
Disini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan pula
oleh Plato. Kedua, Dewey memberikan substansi baru terhadap konsep
keberpusatan pendidikan pada anak (child-centredness). Ketiga, proyek dan
problem solving yang mekar dari sentral konsep John Dewey tentang pengalaman
telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas.
Di samping itu pendidikan progresif Dewey menekankan adanya
kurikulum pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kerja. Jadi kurikulumnya
harus berbasis kepada kebutuhan kerja. Hal ini agak tidak sejalan dengan konsep
pendidikan Islam. Dalam pendidikan Islam, kurikulum pendidikannya tidak
dirancang untuk memenuhi kebutuhan kerja, sehingga tidak mesti memberikan
materi kurikulum yang berbasis pada kebutuhan kerja. Meski demikian bukan
berarti pendidikan Islam menolak muatan kurikulum pendidikan yang berorietasi
48Mohamad Ali, Sodiq A. Kuntoro, Sutrisno, Pendidikan Berkemajuan: Refleksi
praksis pendidikan K.H. Ahmad Dahlan, Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan
Aplikasi Volume 4, No 1, Juni (2016 ) 49Henricus Suparlan, Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya
bagi Pendidikan Indonesia, Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 1, (Februari 2015) 50Tita Rostitawati, Konsep Pendidikan John Dewey, dalam jurnal Tadbir
Manajemen Pendidikan Islam IAIN Sulan Amai Gorontalo, Vol. 2, no.2 (Agustus, 2014), h.
136.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
60
pada kerja. Hal ini terbukti terdapat ayat dalam al-Quran. Akan tetapi, orientasi
tersebut bukan menjadi tujuan utama. Kurikulum pendidikan Islam lebih
berorientasi pada kebutuhan penataan moral peserta didik. Pemenuhan kebutuhan
kerja hanya sebagai orientasi kedua setelah pemenuhan kebutuhan moral.
Pendidikan progresif Dewey sangat menekankan adanya proses
pendidikan yang demokratis, terbuka dan anti otoriter. Pendidikan demokratis
sejalan dengan pendidikan pembebasan dalam pendidikan Islam yang
membutuhkan ruang dialogis dan komunikatif serta terbuka dalam proses
pembelajarannya. Dalam hal ini M. Athiyah al-Abrasyi51dalam konsep al-Tarbiyah al-istiqla>liyah (pendidikan pembebasan) menyatakan: “bahwa asas terpenting al-Tarbiyah al- istiqla>liyah adalah membiasakan peserta didik berpegang teguh pada
kemampuan diri sendiri sebagai refleksi dasar dari sikap percaya diri, percaya
dengan pikiran sendiri. Azas ini hanya dipakai jika proses pendidikan dilakukan
dengan terbuka dan dialogis.”
Meskipun demikian, jika dicermati lebih mendalam, akan tampak
perbedaan yang sangat esensial antara teori progresif dengan teori yang
didasarkan pada kajian pendidikan Islam. Mengingat, dalam pendidikan Islam ada
sesuatu yang tidak pernah disinggung oleh teori progresif yaitu nilai-nilai
Ila>hiyah.
Nilai-nilai pendidikan progresif Dewey tidak mengarahkan untuk
mengenal diri sendiri. Pendidikan yang dikembangkan Dewey juga tidak
mengarahkan pengetahuan peserta didik kepada pencipta manusia atau Tuhan
padahal mengenal Tuhan sebenarnya adalah kebutuhan mendasar manusia,
sehingga perlu dilakukan lebih lanjut guna memagari kesucian fitrah manusia.
Dewey tampaknya menolak adanya hereditas, yakni menyangkal keabsolutan
eksistensi dari pembawaan. Karena menurutnya hereditas itu bagian dari
lingkungan. Hereditas dibentuk berdasar pengalaman bukan sejak lahir.52
Dewey juga menegaskan proses pendidikan yang seumur hidup (long life education). Hal ini sejalan dengan konsep pendidikan Muhaimin53 menegaskan
sebuah prinsip yang menjadi dasar bagi proses pendidikan Islam, yaitu prinsip
pendidikan Islam, yaitu prinsip pendidikan seumur hidup. Prinsip ini
berpandangan bahwa setiap manusia diharapkan untuk selalu berkembang
sepanjang hidupnya, yang menegaskan bahwa masa sekolah bukan satu-satunya
masa bagi seseorang untuk belajar, melainkan hanya sebagian dari waktu belajar
yang akan berlangsung seumur hidup. Kata Nabi: tuntutlah ilmu dari buaian
51 M. Athiyah al-Abrasy, Ruh al-Islam (Mesir: Mathba’ah lajnah al-Bayan al-
‘Arabi, 1964), h. 285. 52 Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif (Yogyakarta: Safiria Insani Press&MSI
UII, 2004), h. 116-117. 53 Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam (Solo: Ramadlan, 1993), h.38.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
61
sampai liang lahad. Setiap saat umat Islam dianjurkan memohon kepada Allah
agar senantiasa bertambah ilmu pengetahuannya.54
Dengan memahami kajian di atas maka dapat ditegaskan bahwa belajar
tanpa batas bukan sekedar belajar sepanjang hayat, dan juga bukan sekedar untuk
hidup, melainkan lebih dari itu. Menurut Noeng Muhajir, belajar tanpa batas
setidak-tidaknya mengandung tiga makna, yaitu pengembangan optimal
kemampuan manusia, pengembangan optimal kesejahteraan manusiawinya
manusia sebagai makhluk social dan makhluk ciptaan Allah.55 Dalam kaitan ini
konsep pendidikan seumur hidup Dewey sejalan dengan konsep pendidikan Islam.
Dewey menyatakan bahwa hidup itu merupakan pendidikan atau pendidikan
merupakan kehidupan itu sendiri. Bedanya, konsep pendidikan Dewey memang
tidak mengarahkan peserta didik untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Tujuan pendidikan progresif Dewey lebih menekankan pada tujuan
pendidikan yang bersifat pragmatis di dunia. Dalam artian, pendidikan harus bisa
membekali peserta didik berbagai materi yang bisa difungsikan untuk bekerja
dalam hidup. Orientasi pendidikan yang dikenalkan oleh Dewey dalam konsep
progresifnya bersifat duniawi dan sama sekali tidak menyinggung pembekalan
kepada peserta didik akan materi-materi yang dibutuhkan untuk kehidupan setelah
mati (eskatologis). Bisa jadi, hal ini karena rapuhnya keyakinan Dewey akan
adanya dunia metafisika. Sehingga konsep pendidikannya sama sekali tidak
berdimensi Ilahiyah. Dalam hal ini tujuan pendidikan Dewey jelas tidak sejalan
dengan pendidikan Islam.
Tujuan pendidikan Islam sangat kental bernuansa religius dan penuh
dengan dimensi Ilahiyah. Meski demikian pendidikan Islam tidak menolak
pentingnya pemberian bekal bagi peserta didik akan hal-hal yang berguna dalam
kehidupan di dunia. Pendidikan Islam juga sangat menekankan pentingnya
pembekalan hidup di dunia pendidikan, karena memang kehidupan di dunia
merupakan ladang untuk mencapai kehidupan yang baik di akhirat.
Konsep pendidikan progresif John Dewey merupakan konsep pendidikan
yang mengacu pada teori-teori John Dewey yang berpijak pada asas-asas
pendidikan progresif John Dewey menjadikan pengalaman hidup manusia sebagai
pijakan dalam melakukan perubahan-perubahan ke depan melalui proses
pendidikan.
54 QS thaahaa /20:114
55 M. Jidar Wahyudi, Nalar Pendidikan Qur’ani (Yogyakarta:Apeiron Philotes,
2006), 66
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
62
Konsep pendidikan progresif John Dewey yang mengandung asas
pendidikan partisipatif dalam pandangan pendidikan Islam bisa dipertegas: bahwa
terdapat beberapa aspek kesesuaian (terutama dalam hal kemanfaatan yang
bersifat duniawi), dan terdapat banyak aspek perbedaan yang sangat prinsip
(terutama mengenai hal-hal yang bersifat metafisik-spiritual). Dengan demikian
ketika akan menerapkan pendidikan progresif Dewey di dalam kehidupan umat
Islam, perlu difilter terlebih dahulu dengan kacamata nilai-nilai Islam. Apabila
tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka perlu diterapkan, namun apabila
bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka tidak perlu diterapkan (cukup
dijadikan pengetahuan saja).
C. Makna Pendidikan Islam dan Pendidikan Progresif John Dewey
1. Pendidikan Islam
Pengajaran pertama dalam Islam adalah pada ketika Jibril datang
menemui Nabi Muhammad Saw. yang sedang berada di gua Hira. Dalam
pengajarannya Jibril meminta kepada Nabi Saw. untuk membaca dan mengikuti
apa yang dibacakan kepadanya. Surat al-Alaq ayat 1 sampai 5 merupakan bukti
bahwa kemunculan Islam ditandai dengan pengajaran dan pendidikan sebagai
pondasi utama setelah iman, islam dan ihsan. Yaitu terdapat pada makna ayat al-
Quran: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling
pemurah. Dia yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia yang tidak diketahuinya.” Dari ayat al-Quran di atas
paling tidak mengisyaratkan ada empat pokok bahasan, yaitu pertama, manusia
sebagai subyek dalam membaca, memperhatikan, merenung, meneliti dengan asas
niat yang baik yang ditandai dengan menyebut nama Tuhan. Kedua, objek yang
dibaca, diperhatikan, dan direnungkan, yaitu materi dan proses penciptaan hingga
menjadi manusia sempurna. Ketiga, media dalam melakukan aktivitas membaca
dan lain-lain. Dan keempat, motivasi dan potensi yang dimiliki oleh manusia, rasa
ingin tahu. Pemahaman ayat di atas semakna jika dikaitkan dengan faktor-faktor
yang berkaitan dengan proses pendidikan dalam arti mikro, yaitu: pendidik, anak
didik, dan alat-alat pendidikan, baik yang bersifat materiil maupun nonmateriil.56
Pendidikan merupakan proses terus menerus dalam kehidupan manusia dari masa
umur 0 (nol) menuju manusia sempurna (dewasa). Bahkan Muhammad Abd. Alim
mengatakan bahwa pendidikan itu dimulai dari ketika memilih perempuan sebagai
isteri. Pendapat ini didasari dari hadis Nabi Saw, yaitu “Takhayyaru > li nutfikum fa
innal Irqa dassas”. Artinya: “pilihlah olehmu tempat benih kamu, sebab akhlak
ayah itu menurun kepada anak”.57 oleh karena Islam sangat menaruh perhatian
56 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), Cet-
1, 8 57Muhammad Abd. Alim, al-Tarbiyah wa alTanmiyah.. 44-45.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
63
terhadap pendidikan, khususnya proses pertumbuhan anak dari awal pemilihan
tempat benih sampai membentuk pribadi individu dalam kehidupan. Dan yang
turut berperan dalam pembinaan kepribadian dan pendidikan anak adalah orang
tua, masyarakat dan sekolah.
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia;
aspek rohaniah, dan jasmaniah, juga harus berlangsung secara bertahap. Sebab
tidak ada satupun makhluk ciptaan Allah yang secara langsung tercipta dengan
sempurna tanpa melalui suatu proses.58 Kematangan dan kesempurnaan yang
diharapkan bertitik tolak pada pengoptimalan kemampuannya dan potensinya.
Tujuan yang diharapkan tersebut mencakup dimensi vertikal sebagai hamba
Tuhan; dan dimensi horisontal sebagai makhluk individual dan sosial. Hal ini
dimaknai bahwa tujuan pendidikan dalam pengoptimalan kemampuan atau potensi
manusia terdapat keseimbangan dan keserasian hidup dalam berbagai dimensi.
Demikian pula yang diharapkan oleh pendidikan agama Islam.59 Muhaimin
berpendapat bahwa pendidikan agama Islam bermakna upaya mendidikkan agama
Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi pandangan dan sikap hidup
seseorang. Dari aktivitas mendidikkan agama Islam itu bertujuan untuk membantu
seseorang atau sekelompok anak didik dalam menanamkan dan
menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai
pandangan hidupnya. Sementara itu Harun Nasution yang dikutip oleh Syahidin
mengartikan tujuan PAI (secara khusus di sekolah umum) adalah untuk
membentuk manusia takwa, yaitu manusia yang patuh kepada Allah dalam
menjalankan ibadah dengan menekankan pembinaan kepribadian muslim, yakni
pembinaan akhla>kul kari>mah, meski mata pelajaran agama tidak diganti mata
pelajaran akhlak dan etika.60
Dalam term yang serupa (menurut penulis) dengan pendidikan agama
Islam adalah Pendidikan Islam. al-Syaibani mengartikannya sebagai “usaha
pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkah laku individu dan pada
kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat dan pada kehidupan alam
sekitar pada proses kependidikan”.61 Sedang al-Nahlawi> memberikan pengertian
pendidikan Islam adalah “sebagai pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga
dapat memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam
58 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam h.12. 59Term pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam menurut sementara
kalangan pemikir pendidikan Islam adalah dua aspek yang berbeda. Misalnya Ahmad
Tafsir membedakan antara pendidikan agama Islam (PAI) dan pendidikan Islam. PAI
dibakukan sebagai nama kegiatan mendidikkan agama Islam. Muhaimin mendukung
pendapat di atas, bahwa pendidikan agama Islam merupakan salah satu bagian dari
pendidikan Islam. Muhaimin, h. 6. 60Syahidin, Aplikasi Metode Pendidikan Qurani dalam Pembelajaran Agama di
Sekolah, (Tasikmalaya: Ponpes Suryalaya Tasikmalaya, 2005) h. 20. 61al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Alih Bahasa:Hasan
Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), cet-1, h.399.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
64
kehidupan individu maupun masyarakat (kolektif)”.62 Hal yang senada juga
disampaikan Muhammad Fa>dhil al-Jamaly; mendefinisikan pendidikan Islam
sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup
lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang
mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik
yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun
perbuatannya.63 Ahmad D. Marimba; mengemukakan bahwa pendidikan Islam
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya
kepribadiannya yang utama (insan kamil).64 Juga Ahmad Tafsir; mendefinisikan
pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada
seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.65
Dari definisi pendidikan agama Islam dan beberapa definisi pendidikan
Islam di atas, terdapat kemiripan makna yaitu keduanya sama-sama mengandung
arti pertama, adanya usaha dan proses penanaman sesuatu (pendidikan) secara
kuntinue. Kedua, adanya hubungan timbal balik antara orang pertama (orang
dewasa, guru, pendidik) kepada orang kedua, yaitu peserta dan anak didik. dan
ketiga adalah akhlakul karimah sebagai tujuan akhir. Namun tidak kalah
pentingnya dari aspek epistemologi bahwa pembinaan dan pengoptimalan potensi;
penanaman nilai-nilai Islam dalam jiwa, rasa, dan pikir; serta keserasian dan
keseimbangan. Muhaimin memberikan karakteristik PAI yang berbeda dengan
yang lain, yaitu:
a. PAI berusaha menjaga akidah peserta didik agar tetap kokoh dalam
situasi dan kondisi apapun.
b. PAI berusaha menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai yang
tertuang dan yang terkandung dalam al-Quran dan as-Sunnah serta
otentisitas keduanya sebagai sumber utama ajaran Islam.
c. PAI menonjolkan kesatuan iman, ilmu, dan amal dalam kehidupan
keseharian.
d. PAI berusaha membentuk dan mengembangkan kesalehan individu dan
sekaligus kesalehan sosial.
e. PAI menjadi landasan moral dan etika dalam pengembangan iptek dan
budaya serta aspekaspek kehidupan lainnya.
f. Substansi PAI mengandung entitas-entitas yang bersifat rasional dan
supra rasional.
62Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibiha,
(Damaskus: Daar al-Fikr, 1999), h. 20. 63al-Rasyidin dan H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat
Press, 1995) h. 31- 32. 64al-Rasyidin dan H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam…. h. 32. 65Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1994), cet-2, 32
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
65
g. PAI berusaha menggali, mengembangkan dan mengambil ibrah dari
sejarah dan kebudayaan (peradaban) Islam., dan
h. Dalam beberapa hal, PAI mengandung pemahaman dan penafsiran yang
beragam, sehingga memerlukan sikap terbuka dan toleran atau semangat
ukhuwah Islamiyah.
Epistemologi; Kaitannya dengan PAI dan Pendidikan Islam Sejak
dikenalnya filsafat dalam kehidupan manusia, maka sesuai dengan asal-usul kata
dari filsafat itu sendiri, yaitu philos yang berarti cinta dan sophos yang berarti
kebenaran, maka sejak itulah pencarian manusia terhadap kebenaran mulai
dilakukan, pengetahuan manusia tentang alampun mulai berkembang, dari
pengetahuan animisme dan dinamisme dengan pengembangan berbagai mitos
tentang para dewa dengan berbagai kesaktian dan perangainya sehingga
selanjutnya manusia mencoba untuk menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu
mitos. Manusia tidak lagi menatap kehidupan ini dari balik harum dupa dan asap
kemenyan. Filsafat, cenderung diidentikkan dengan menjawab berbagai
pertanyaan tentang pelbagai segi kehidupan manusia. Pertanyaan-pertanyaan ini
meliputi dari bagaimana kita memperoleh pengetahuan sampai pertanyaan-
pertanyaan mengenai yang benar, yang baik, yang indah, hakikat sesuatu, dan
sebagainya. DW. Hamlyn dalam bukunya, History of Epistemologi yang dikutip
oleh Amsal Bakhtiar, epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-
pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawabannya atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki.66 Muthahhari menyebutkan bahwa ada
empat sumber epistemologi, yakni: alam, rasio, hati dan sejarah.67 Dalam bahasa
yang berbeda Noeng Muhadjir mengatakan bahwa dalam pengenalan terhadap
beragam objek bisa diserap lewat indera, akal rasio, akal budi, dan intuisi serta
keimanan.68 Jadi, dari sumber epistimologi tersebut dalam prosesnya akan
melahirkan ilmu pengetahuan yang merupakan sebuah keharusan dalam
membangun peradaban. Jika epistimologi dikaitkan dengan pendidikan agama
Islam, maka yang menjadi objek pembahasannya adalah seluk beluk pengetahuan
agama Islam, hakikat agama Islam, sumber agama Islam, metode dan cara
mendidikkan agama Islam, dan evaluasi dan tujuan mendidikkan agama Islam.
Sementara itu menurut Mujamil Qomar, jika epistimologi dikaitkan dengan
pendidikan Islam, maka pembahasannya meliputi; pembahasan yang berkaitan
dengan seluk beluk pengetahuan pendidikan Islam mulai dari hakekat pendidikan
Islam, asal-usul pendidikan Islam, sumber pendidikan Islam, metode membangun
66Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), h.
148. 67Rudhy Suharto, Ilmu dan Epistemologi, (Jakarta: Al-Huda, tt), h. 1. 68Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komperatif,
(Yogyakarta, Rake Sarasin, 1998), Cet.-2, h. 56.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
66
pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam, sasaran pendidikan Islam, macam-
macam pendidikan Islam dan sebagainya. Pendidikan Agama Islam dan
Pendidikan Islam; Tinjauan Isi/Materi Isi atau materi tidak terlepas dari konsep
kurikulum.
Pemahaman yang berbeda dalam memandang arti kurikulum, pertama,
kurikulum yang menekankan aspek isi, di mana masyarakat dianggap bersifat
statis, yang menentukan aspek dalam pembelajaran adalah para pendidik. Kedua,
kurikulum yang menekankan pada proses dan pengalaman yang sudah tentu
melibatkan anak didik. Sehingga tidak muncul anggapan bahwa tidak ada
kurikulum standar, yang ada hanyalah kurikulum minimal yang dalam
implementasinya dikembangkan bersama peserta didik. Menurut Ashan yang
dikutip oleh E. Mulyasa, menyatakan: Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan kurikulum yang berbasis kompetensi, yaitu penetapan kompetensi
yang akan dicapai, pengembangan strategi untuk mencapai kompetensi, dan
evaluasi. Kompetensi yang ingin dicapai merupakan pernyataan (goal statement) yang hendak diperoleh peserta didik, menggambarkan hasil belajar (learning outcomes) pada aspek pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Strategi
mencapai kompetensi adalah upaya untuk membantu peserta didik dalam
menguasai kompetensi yang ditetapkan, misalnya: membaca, menulis,
mendengarkan, berkreasi, dan mengobservasi, sampai terbentuk suatu kompetensi.
Sedangkan evaluasi merupakan kegiatan penilaian terhadap pencapaian
kompetensi bagi setiap peserta didik. Inti dari pembahasan kurikulum diatas
adalah mengenai pengetahuan yang didapat, penerapan dari pengetahuan tersebut
dan aspek nilai. Semua aspek ini bila ditinjau dari pandangan pendidikan agama
Islam saling mendukung dan tidak terdapat kontradiktif di mana kurikulum
pendidikan nasional bertujuan menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, menumbuhkan penalaran yang baik (mau belajar, ingin
tahu, kreatif dan bertanggung jawab)69. Dalam pendidikan agama Islam terdapat
tiga materi pokok yaitu akidah, ibadah dan akhlak. Sedang dalam bahasa
pendidikan Islam, ketiga term tersebut dijabarkan dengan istilah pengenalan
kepada Allah SWT, potensi dan fungsi manusia, dan akhlak. Di atas adalah
penjelasan makna pendidikan agama Islam, adapun makna pendidikan Islam
sebagai berikut:
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai
ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Quran dan al-Hadits serta dalam
pemikiran para ulama dan dalam praktik sejarah umat Islam.70 Pendidikan Islam
memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan pengertian pendidikan
secara umum. Beberapa pakar pendidikan Islam memberikan rumusan pendidikan
69E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan
Implementasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. Ke-6, h. 41-42. 70Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional Hingga
Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005) h. 249.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
67
Islam, diantaranya Yu>suf Qardha>wi, mengatakan pendidikan Islam adalah
pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak
dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup,
baik dalam keadaan aman maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi
masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya.
Pendidikan adalah proses bimbingan atau pertolongan yang sengaja atau
sadar diberikan oleh orang dewasa (pendidik) terhadap perkembangan jasmani dan
rohani anak yang belum dewasa (anak didik) untuk membentuk kedewasaan
(kepribadiannya). Pendidikan merupakan pemberdayaan manusia dalam menjalani
kehidupan dan sekaligus untuk memperbaiki masa depan. Pendidikan merupakan
suatu upaya mewariskan nilai yang akan menjadi penolong dan penuntun dalam
menjalani kehidupan, sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat
manusia71. Tanpa pendidikan manusia sekarang tidak akan berbeda dengan
manusia masa lampau, bahkan akan lebih rendah atau jelek kualitasnya.
Masyarakat madani dapat diwujudkan antara lain dengan melalui peningkatan
pendidikan umatnya. Hal ini berlaku juga bagi bangsa Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam72). Oleh karena itu menurut John Dewey pendidikan
diartikan sebagai social continuity of life. Ada juga yang mengartikan bahwa
pendidikan adalah it more narrowly as transmission from some person to others of the skills, the arts and the sciences. Maka dengan melalui pendidikan Islam
manusia akan mampu mengembangkan dirinya dan meningkatkan potensinya
untuk memperbaiki kehidupan di masa depannya. Oleh karena itu institusi
pendidikan Islam peran sertanya untuk perbaikan aspek kehidupan sangat penting
dan dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. Lembaga pendidikan Islam
dituntut perannya untuk peduli dalam rangka memperbaiki kehidupan masyarakat.
Jadi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah segala usaha atau
bimbingan untuk mengembangkan jasmani rohani (fitrah manusia dan sumber
daya insani) yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam, yakni berdasarkan ajaran agama
Islam.
Secara mikro, telaah Ilmu Pendidikan Islam menyangkut seluruh
komponen yang termasuk dalam pendidikan Islam73. Sedangkan secara makro,
objek formal Ilmu Pendidikan Islam ialah upaya normatif (sesuai dengan ajaran
dan nilai-nilai yang terkandung dalam fenomena qauliyah dan kauniyah)
keterkaitan pendidikan Islam dengan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan
agama baik dalam skala kedaerahan, nasional maupun internasional.74 Objek
71Mansur, Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar 2004) h. 4. 72Azwar Anas. Yogyakarta: Tiara Wacana Price, Kingsley (USA: Allyn and Bacon
1993) h. XIII. 73Abuddin Nata, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005) h. 150. 74Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011) h. 45.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
68
kajian pendidikan Islam senantiasa bersumber dari landasan normatif Islam yaitu
al-Qur’an (qauliyah) melalui pengalaman batin Nabi Muhammad SAW yang
kemudian kita kenal dengan wahyu, kemudian disampaikan kepada seluruh umat
dan alam semesta (kauniyah). Dari kedua landasan inilah kemudian digali dan
dikaji sehingga melahirkan konsep dan teori pendidikan yang bersifat universal.
Kemudian, teori dan konsep yang bersifat universal tersebut dikaji melalui
kegiatan eksprimen dan penelitian ilmiah yang pada gilirannya akan melahirkan
teori-teori atau Ilmu Pendidikan Islam dan diuraikan secara operasional untuk
kemudian dikembangkan menjadi metode, kurikulum dan teknik pendidikan Islam.
Kajian pendidikan Islam senantiasa bertolak pada problem yang ada di dalamnya,
kesenjangan antara fakta dan realita, kontroversi antara teori dan empiris. Maka
dari itulah, wilayah kajian pendidikan Islam bermuara pada tiga problem pokok,
antara lain:
a. Foundational problems, yang terdiri dari atas religious foundation and philosophic foundational problems, empiric fondational problems (masalah
dasar, fondasi agama dan masalah landasan filosofis empiris) yang
didalamnya menyangkut dimensi-dimensi dan kajian tentang konsep
pendidikan yang bersifat universal, seperti hakikat manusia, masyarakat,
akhlak, hidup, ilmu pengetahuan, iman, ulul albab dan lain sebagainya.
Yang semuanya bersumber dari kajian fenomena qauliyah dan fenomena
kauniyah yang membutuhkan pendekatan filosofis.
b. Structural problems (masalah struktural). Ditinjau dari struktur demografis
dan geografis bisa dikategorikan ke dalam kota, pinggiran kota, desa dan
desa terpencil. Dari struktur perkembangan jiwa manusia bisa dikategorikan
ke dalam masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan manula. Dari struktur
ekonomi dikategorikan ke dalam masyarakat kaya, menengah dan miskin.
Dari struktur rumah tangga, terdapat rumah tangga karier dan non karier.
Dari struktur jenjang pendidikan bisa dikategorikan ke dalam pendidikan
anak usia dini, pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi.
c. Operational problem (masalah operasional). Secara mikro akan
berhubungan dengan berbagai komponen pendidikan Islam, misalnya
hubungan interaktif lima faktor pendidikan yaitu tujuan pendidikan,
pendidik dan tenaga kependidikan, peserta didik dan alat-alat pendidikan
Islam (kurikulum, metodologi, manajemen, administrasi, sarana dan
prasarana, media, sumber dan evaluasi) dan lingkungan atau konteks
pendidikan. Atau bisa bertolak dari hubungan input, proses dan output.
Sedangkan secara makro, menyangkut keterkaitan pendidikan Islam dengan
sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama baik yang bersifat
Nasional dan Internasional75.
75 Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam... h. 45.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
69
Dari beberapa literatur dapat disebutkan bahwa epistemologi adalah teori
pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan
dari objek yang ingin dipikirkan.76 D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi
sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan
dan pengandaipengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya
sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. Selanjutnya, pengertian
epistemologi yang lebih jelas, diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa
epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur,
metode, dan validitas ilmu pengetahuan.77 Landasan epistemologi memiliki arti
yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat
berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang
kokoh. Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah, yaitu cara yang
dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah
merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan
merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode ilmiah. Dengan demikian,
metode ilmiah merupakan penentu layak-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu,
sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan.
Dari pengertian, ruang lingkup, objek, dan landasan epistemologi ini,
dapat kita disimpulkan bahwa epistemologi merupakan salah satu komponen
filsafat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan
cara, proses, dan prosedur bagaimana ilmu itu diperoleh. Dalam pembahasan ini
epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang
dapat dipakai untuk membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada komponen-
komponen lainnya, sebab metode atau pendekatan tersebut paling dekat dengan
upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun
aplikatif. Epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik,
pemberi solusi, penemu, dan pengembang. Pendekatan epistemologi memerlukan
cara atau metode tertentu, sebab ia menyajikan proses pengetahuan di hadapan
siswa dibandingkan hasilnya. Pendekatan epistemologi ini memberikan
pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui
proses sesuatu kegiatan pasti mengetahui hasilnya. Sebaliknya, banyak yang
mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui prosesnya. Bisa dipastikan bahwa
jika pendekatan epistemologi ini benar-benar diimplementasikan dalam proses
belajar mengajar di lembaga pendidikan Islam, siswa dapat memiliki kemampuan
memproses pengetahuan dari awal hingga wujud hasilnya. Jika pendidikan Islam
mengedepankan pendekatan epistemologi dalam proses belajar mengajarnya, maka
pendidikan Islam akan banyak menelorkan lulusan-lulusan yang berjiwa produsen,
76Ihsan Hamdani, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998),
h. 16. 77Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta:
Kalam Mulia, 2006) h. 4.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
70
peneliti, penemu, penggali, dan pengembang ilmu pengetahuan. Karena
epistemologi merupakan pendekatan yang berbasis proses, maka epistemologi
melahirkan konsekuensi-konsekuensi logis dan problematika yang sangat
kompleks, yaitu :
a. Pendidikan Islam seringkali dikesankan sebagai pendidikan yang
tradisional dan konservatif, hal ini wajar karena orang memandang bahwa
kegiatan pendidikan Islam dihinggapi oleh lemahnya penggunaan
metodologi pembelajaran yang cenderung tidak menarik perhatian dan
memberdayakan.
b. Pendidikan Islam terasa kurang concern terhadap persoalan bagaimana
mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi suatu
“makna dan nilai” yang perlu di internalisasikan dalam diri seseorang
lewat berbagai cara, media dan forum.
c. Metodologi pengajaran agama berjalan secara konvensional tradisional,
yakni menitikberatkan pada aspek korespondensi tekstual yang lebih
menekankan yang sudah ada pada kemampuan anak didik untuk
menghafal teks-teks keagamaan daripada isu-isu sosial keagamaan yang
dihadapi pada era modern seperti kriminalitas, kesenjangan sosial dan lain
lain.
d. Pengajaran agama yang bersandar pada bentuk metodologi yang bersifat
statis indoktrinatif-doktriner.78 Problematika Aksiologi Pendidikan Islam Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, pada
umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat
banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah
nilai yang khusus seperti epistemologis, etika dan estetika. Epistemologi
bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan
masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.79
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau
moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab
dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik
dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara
dan tujuan (means and ends). Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari
Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos”
yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari
nilai.80 Kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana
78Mujtahid, Reformulasi Pendidikan Islam; Meretas Mindset Baru, Meraih
Paradigma Unggul (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), h. 37. 79Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta.
Penerbit Tiara Wacana, 1996), h. 327. 80Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alfabeta,
2007), h. 36.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
71
nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material). Demikian
juga dengan kaum realis, mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada
tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, dan
berfikir logis. Kaum pragmatis pun berbeda, menurut mereka, suatu aktifitas
dikatakan baik apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai
instrumental dan sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.
Dari lima komponen dalam pendidikan Islam (tujuan pendidikan, pendidik dan
tenaga pendidikan, peserta didik dan alat-alat pendidikan Islam dan lingkungan
atau konteks pendidikan., ketika dikaitkan dengan dimensi aksiologis, maka
terdapat problem antara lain:
a. Tujuan pendidikan Islam kurang berorientasi pada nilai-nilai kehidupan
masa yang akan datang, belum mampu menyiapkan generasi yang sesuai
dengan kemajuan zaman.
b. Pendidik dan tenaga pendidikannya mulai memudar dengan doktrin awal
pendidikan Islam tentang konsep nilai ibadah dan dakwah syiar Islam.
Pendidik juga disibukkan dengan hal-hal teknis seperti tunjangan honor,
tunjangan fungsional dan tunjangan sertifikasi.
c. Di kalangan peserta didikpun dalam menuntut ilmu cenderung
mengesampingkan nilai-nilai ihsan, kerahmatan dan amanah dalam
mengharap ridha Allah.
Ontologi merupakan cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan
hakikat hidup. Ontologi diartikan juga dengan hakikat apa yang terjadi. Masalah-
masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian ontologi menurut Muhaimin
adalah dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai
pandangan manusia, masyarakat dan dunia.81 Lalu pendirian mengenai pandangan
manusia, masyarakat dan dunia yang seperti apa atau yang bagaimana yang
dikehendaki dan sesuai dengan pendidikan nasional. Menurut Al-Qur’an, manusia
diberi tugas Allah sebagai khali>fah. Manusia mendapatkan wewenang dan kuasa
untuk melaksanakan pendidikan terhadap dirinya sendiri dan manusia pun
mempunyai potensi untuk melaksanakannya. Dengan demikian pendidikan
merupakan tanggung jawab manusia sendiri. Untuk dapat mendidik dirinya
sendiri, manusia harus memahami dirinya sendiri. Apa hakikat manusia,
bagaimana hakikat hidup dan kehidupannya? Apa tujuan hidup dan apa pula tugas
hidupnya? Dimensi ontologis mengarahkan kurikulum agar lebih banyak memberi
peserta didik untuk berhubungan langsung dengan fisik objek-objek, serta
berkaitan dengan pelajaran yang memanipulasi benda-benda dan materi-materi
kerja. Dimensi ini menghasilkan verbal learning (belajar verbal), yaitu berupa
kemampuan memperoleh data dan informasi yang harus dipelajari dan dihafalkan.
Dimensi ini diambil dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh Allah SWT.
81Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian ilosofis dan
Kerangka Operasionalnya (Bandung: Trigenda karya, 1993), h. 115.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
72
kepada Nabi Adam, dengan mengajarkan nama-nama benda, seperti termaktub
dalam firman Allah: (QS. al-Baqarah: 31).82
Implikasi dimensi ontologi dalam kurikulum pendidikan ialah bahwa
pengalaman yang ditanamkan kepada peserta didik tidak hanya sebatas pada alam
fisik tapi juga alam tak terbatas. Maksud alam tak terbatas adalah alam rohaniah
atau spiritual, yang mengantarkan manusia pada keabadian. Di samping itu, perlu
juga ditanamkan pengetahuan tentang hukum dan sistem kesemestaan yang
melahirkan perwujudan harmoni dalam alam semesta yang menentukan kehidupan
manusia di masa depan.
Problema epistemologi pendidikan Islam dapat diatasi dengan
melaksanakan langkah-langkah berikut:
a. Menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu
tidak bebas nilai, tetapi bebas untuk dinilai. Itulah sebabnya diperlukan
adanya pencerahan dalam mengupayakan integralisasi keilmuan.83
b. Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara
guru dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis,
optimis, dinamis, inovatif, memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan
siswa dapat pula mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan. Intinya,
pendekatan epistemologi ini menuntut pada guru dan siswa untuk sama-sama
aktif dalam proses belajar mengajar.84
c. Merubah paradigma ideologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada
wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma ideologis ini karena otoritasnya dapat
mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis. Praktis
paradigma ideologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau
pemikiran bebas bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal, wahyu
sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti,
melakukan observasi, dan menemukan ilmu pengetahuan85 dengan petunjuk
wahyu Allah SWT. Dan paradigma ilmiah saja tanpa berpijak pada wahyu,
tetap akan menjadi sekuler. Karena itu, agar epistemologi pendidikan Islam
terwujud, maka konsekuensinya harus berpijak pada wahyu Allah.
d. Guna menopang dan mendasari pendekatan epistemologi ini, maka perlu
dilakukan rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual
ini, menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan
yang bersumber pada hasil penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah)
maupun penelitian terhadap ayat qauliyah atau naqliyah (al-Qur’an dan al-
82Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV Penerbit
Jumanatul Ali-Art, 2004), h. 7. 83Muhammad In’am Esha, Institusional Transformation, Reformasi dan
Modernisasi Pendidikan Tinggi Islam (Malang: UIN-Malang Press), h. 81. 84Sutrisno, Pembaharuan Dan Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta:
Fadilatama, 2011), h. 105. 85Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam
(Jakarta:Kalam Mulia, 2006), h. 4.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
73
Sunnah) merupakan ilmu Allah SWT. Ini berarti bahwa semua ilmu
bersumber dari Allah. Realisasinya, bagi penyusun kurikulum yang berbasis
tauhid ini harus memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang Islam.
Karena kurikulum merupakan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan.
Terkait dengan pengembangan kurikulum pendidikan Islam, hal-hal yang
sifatnya masih melangit, dogmatis, dan transendental perlu diturunkan dan
dikaitkan dengan dunia empiris di lapangan. Ilmu-ilmu yang berbasis pada
realitas pengalaman empiris, seperti sosiologi, psikologi, filsafat kritis yang
sifatnya membumi perlu dijadikan dasar pembelajaran, sehingga ilmu betul-
betul menyentuh persoalan-persoalan dan pengalaman empiris.86
e. Epistemologi pendidikan Islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis
antara akal dan wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan
pada pertumbuhan yang integral antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Semua
dimensi ini bergerak saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga
perpaduan seluruh dimensi ini mampu menelorkan manusia paripurna yang
memiliki keimanan yang kokoh, kedalaman spiritual, keluasan ilmu
pengetahuan, dan memiliki budi pekerti mulia yang berpijak pada “semua
bersumber dari Allah, semua milik Allah, difungsikan untuk menjalankan
tugasnya sebagai khalifah Allah dan sebagai abdullah, dan akan kembali
kepada Allah (mentauhidkan Allah)”.
Konsekuensi yang lain adalah merubah pendekatan dari pendekatan
teoritis atau konseptual pada pendekatan kontekstual atau aplikatif. Dari sini
pendidikan Islam harus menyediakan berbagai media penunjang untuk
mencapai hasil pendidikan yang diharapkan. Menurut perspektif Islam bahwa
media pendidikan Islam adalah seluruh alam semesta atau seluruh ciptaan
Allah SWT. Sabda Rasulullah Saw. yang artinya “berpikirlah kamu sekalian tentang makhluk ciptaan Allah, jangan kamu berpikir tentang Allah sesungguhnya kalian tidak akan mampu memikirkan-Nya.” (HR.Abu Syekh
dari Ibn Abbas).
f. Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik yang meliputi
kompetensi personal, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan
kompetensi sosial.87 Sehingga dengan pemenuhan kompetensi inilah, seorang
tenaga pendidik mampu menemukan metode yang diharapkan sebagaimana
harapan dalam kajian epistemologis.
Aksiologis membahas tentang hakikat nilai, yang didalamnya meliputi
baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang
cara dan tujuan (means and ends). Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak
baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia. pendidikan Islam
86 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 152. 87Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 16.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
74
diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan
dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya
kondisi mental-moral dan spiritual religius menjadi target arah pengembangan
sistem pendidikan Islam. Oleh sebab itu, berdasarkan pada pendekatan etik moral
pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan
dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan
tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi
dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.
Selain konteks etika profetik, aksiologis dalam pendidikan Islam meliputi
estetika yang merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi yang
berhubungan dengan seni.88 Dengan seni itulah, nantinya bisa dijadikan sebagai
media dan alat kesenangan, sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang
pengalaman. Namun, lebih jauh dari itu, maka dalam dunia pendidikan hendaklah
nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembangan pendidikan
yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, di mana setiap persoalan
pendidikan Islam dilihat dari perspektif yang mengikutsertakan kepentingan
masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat
luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu
kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam) sehingga pendidikan Islam
tetap memiliki daya tarik dan kajian yang senantiasa berkesinambungan serta
relevan hingga akhir zaman. Ada beberapa nilai etika profetik dalam rangka
pengembangan dan penerapan Ilmu Pendidikan Islam, yaitu:
a. Nilai ibadah, yakni bagi praktisi dan pemerhati pendidikan Islam, dalam
segala proses dan berfikirnya senantiasa tercatat sebagai ibadah,
sebagaimana Firman-Nya: (QS. Ali Imran: 191).
b. Nilai ihsan, yakni penyelenggaraan pendidikan Islam hendaknya
dikembangkan atas dasar berbuat baik terhadap sesama. Allah berfirman
(QS. al-Qashash: 77)
c. Nilai masa depan, pendidikan Islam hendaknya ditujukan untuk
mengantisipasi masa depan yang lebih baik, karena mendidik berarti
menyiapkan generasi yang hidup dengan tantangan yang jauh berbeda
dengan periode sebelumnya, yakni menyiapkan sumber daya manusia
yang cakap, terampil dan profesional. Sebagaimana firman-Nya (QS. al-
Hasyr: 18)
d. Nilai kerahmatan, yakni ilmu pendidikan Islam hendaknya ditujukan bagi
kepentingan dan kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam semesta,
sebagaimana termaktub dalam (QS.al- Anbiya’: 107)
88Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam & Dakwah (Yogyakarta : SIPress, 1994), h. 25.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
75
e. Nilai dakwah, yakni penerapan dan pengembangan ilmu pendidikan Islam
merupakan wujud penyebaran syiar Islam, sebagaimana dalam (QS.
Hamim al-Sajadah: 33)
Maka kemudian, jika landasan ini senantiasa menjadi pegangan hidup
dalam lingkup pendidikan Islam, maka unsur aksiologis pendidikan Islam tetap
abadi dan sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat.
Agar Ilmu Pendidikan Islam tidak kehilangan daya tarik, kaitannya
dengan kelembagaan dan fungsionalnya, diperlukan adanya perubahan paradigma,
bangunan dan kerangka berfikir yang memadai dalam penyelenggaraan pendidikan
Islam. Diperlukan pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan dunia.
Manusia diciptakan didunia diberi tugas Allah sebagai khalifah. Manusia
mendapatkan wewenang dan kuasa untuk melaksanakan pendidikan terhadap
dirinya sendiri. Dengan demikian, pendidikan merupakan tanggung jawab manusia
sendiri untuk dapat mendidik dirinya sendiri, memahami hakikat kemanusiaannya,
hakikat hidup dan kehidupannya serta tujuan dan tugas dalam kehidupannya yang
kemudian dikenal dengan istilah ontologis. Kajian tentang epistemologi
pendidikan Islam mampu mengarahkan pada ranah kemajuan pendidikan Islam,
manakala kita sebagai bagian dari pemerhati pendidikan mampu menghilangkan
paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai,
tetapi bebas untuk dinilai. Merubah paradigma ideologis menjadi paradigma
ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma ideologis ini
karena otoritasnya-dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan
dinamis. Merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada
pendekatan kontekstual atau aplikatif.
Dalam rangka menyebarluaskan misi agama Islam melalui media dan
pengajaran Ilmu Pendidikan Islam, maka para praktisi dan pemerhati pendidikan
Islam hendaknya menanamkan nilai-nilai aksiologis yang terdapat dalam Ilmu
Pendidikan Islam antara lain: dalam pendidikan Islam terdapat nilai-nilai ibadah,
nilai ihsan, nilai dan orientasi masa depan, nilai dakwah Islamiyah dan nilai-nilai
kerahmatan bagi seluruh alam.
2. Pendidikan Progresif John Dewey
Pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah
berpusat pada anak (student centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan
pendidikan yang berpusat pada guru (teacher centered) atau bahan pelajaran
(subject centered).89
Aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh dalam abad ke-20 ini
adalah aliran progresif. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di
89Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-
dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006), h.142
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
76
Amerika Serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan pada
umumnya terdorong oleh aliran progresif ini.90 Maksudnya adalah pandangan
hidup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut; fleksibel (tidak kaku, tidak
menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), curios (ingin
mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati
terbuka). Progresif menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif.
Tujuan pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang
terus-menerus, agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu
mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dari
lingkungan.91
Sejarah Progresif sebagai gerakan pendidikan, progresif merupakan bagian
dari gerakan reformasi sosio politik abad ke-19 dan awal abad ke- 20 di Amerika
Serikat. Salah satu tokohnya adalah John Dewey. Bagi Dewey, potensi yang
dipunyai manusia itu dapat melihat dan memecahkan masalah yang mengganggu
eksistensi manusia. 92 Dalam pandangan progresif pendidikan adalah media yang
dipersiapkan untuk menumbuhkembangkan potensi anak didik agar survive atau
bertahan diri terhadap semua hambatan dan rintangan dalam hidup yang secara
praktek yang akan selalu menjalani berbagai kemajuan93.
Asas progresif diakui dan dikembangkan dalam sebuah kehidupan yang
nyata, tujuan untuk manusia agar senantiasa bisa survive menghadapi semua
tantangan dan rintangan hidup. Aliran ini disebut juga dengan nama
instrumentalis, eksperimentalis, dan environmentalis. Instrumentalis beranggapan
bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Eksperimentalis
mengakui dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu
teori. Environmentalis menganggap bahwa lingkungan hidup itu mempengaruhi
pembinaan kepribadian. Adapun tokoh-tokoh dari progresif antara lain adalah
John Dewey, Ferdinant Schiller James, Hans Vaihinger, dan Georges Santayana.
Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada
peserta didik. Peserta didik diberikan kesempatan dan kebaikan dalam berpikir
dan secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan
kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa hambatan oleh rintangan yang
dibuat oleh orang lain. Dengan demikian, pendidikan progesif Dewey menolak
pendidikan yang otoriter. John Dewey berpendapat bahwa pendidikan sebagai
proses dan sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan peserta didik dapat
mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian dan pengalaman lingkungan alam
sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu
90Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 20. 91Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), h. 41. 92Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002),
h. 28. 93Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h.156.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
77
dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja tetapi di alam
terbuka pun bisa untuk belajar. Progresif ini memandang bahwa peserta didik
memiliki akal dan kecerdasan masing-masing. Hal itu ditunjukkan dengan realitas
kehidupan bahwa manusia mempunyai kelebihan jika dibanding makhluk lain.
Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif yang terus survive yang didukung oleh
kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Dalam
meningkatan kecerdasan peserta didik menjadi tugas utama pendidik, yang secara
teori mengerti karakter dan potensi peserta didiknya masing-masing. Peserta didik
tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan ruhani, namun juga
termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam
pengalamannya. Jasmani dan ruhani, terutama kecerdasan, sangat perlu
dioptimalkan setiap waktu.94
Dari serangkaian penjelasan di atas bahwa pendidikan berarti proses
menumbuhkembangkan dari bermacam kemampuan yang telah ada di dalam
manusia itu sendiri, contoh kemampuan bakat-bakat, talenta, kemampuan fisik
dan daya-daya seni, akademis, relasional. Bila dihubungkan dengan pendidikan di
Indonesia pada era ini, jadi progresif mempunyai kontribusi yang cukup besar,
terutama dalam orientasi dan komprehensif dalam pendidikan yang sesungguhnya.
Di dalam pendidikan sudah semestinya dilaksanakan dengan memprioritaskan
bermacam potensi yang dipunyai oleh anak didik, serta berusaha untuk
menyiapkan anak didik agar cakap menghadang tantangan dan memecahkan
masalah setiap persoalan yang dihadapi di lingkungannya. Perihal tersebut seirama
dengan interpretasi pendidikan di Indonesia, yaitu usaha sadar dan terencana
untuk mengimplementasikan kondisi belajar dan proses pembelajaran supaya anak
didik secara aktif dan kreatif membentangkan kemampuan dirinya untuk
mempunyai kapasitas spiritual yang tinggi agar cerdas spiritual dalam religuisitas,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian bahwa,
pendidikan tidak hanya diintrepetasikan hanya sebagai transfer pengetahuan saja.
Dengan mengaplikasikan pendidikan progresif maka anak didik diberikan
kesempatan yang baik, baik secara fisik maupun cara berpikir, guna
mengembangkan potensi bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya
tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Dengan demikian
dapat dipahami, bahwa pendidikan progesif telah memberikan kontribusi yang
besar di dunia pendidikan di Indonesia. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar
kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Sebuah penelitian95
mengemukakan bahwa manusia menurut Ibn Khaldūn sebagai mahkluk ciptaan
Allah dengan segala potensi dilengkapi panca indera dan akal untuk menjadi
94Tutuk Ningsih, Telaah Konsepsi Pendidikan dan Implikasinya Bagi Terwujudnya
Masyarakat Madani di Indonesia Insania, Vol. 14, No. 1 Jan-Apr 2009 95T. Saiful Akbar Manusia Dan Pendidikan Menurut Pemikiran Ibn Khaldun Dan
John Dewey, Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2015, VOL. 15, NO. 2, 223
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
78
intelek. Tujuan pendidikan adalah untuk membuka pikiran dan kematangan
individu bagi kemajuan agama, industri dan sistem sosial. Eksistensi manusia terpaut dengan masa lalunya sekaligus mengarah ke
masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian, manusia berada
dalam perjalanan hidup, dalam perkembangan dan pengembangan diri. Ia adalah
manusia tetapi sekaligus “belum selesai” mewujudkan dirinya sebagai manusia.
Manusia sebagai mahluk yang berpikir atau “homo sapiens” mahluk yang
berbentuk “homo faber” mahluk yang dapat dididik (homo educandum) dan
dengan kedudukannya sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk lainnya
haruslah menempatkan manusia sebagai pribadi yang utuh dalam kaitannya
dengan kepentingan perkembangan kognitif, psikomotorik dan afektif.96
Dalam Pendidikan, progresif Dewey, menekankan proses pendidikannya
sebagai sebuah transaksi antara person dengan lingkungannya. Progresif adalah
sebuah reaksi yang menentang pandangan tradisionalisme dalam sekolah, dan
menekankan kebebasan terhadap keinginan-keinginan dan keperluan/tuntutan si
anak. Sedangkan rekonstruktivisme berargumen bahwa sekolah-sekolah tersebut
harus memainkan peranan yang sangat penting dalam perubahan dan budaya-
kritis.97 Di samping itu, filsafat Dewey biasanya juga dikenal dengan
instrumentalism atau experimentalism, yang membawa kepada suatu teori
pendidikannya yaitu learning by doing dan menentang kebiasaan belajar dan
metode-metode mengajar yang otoriter dan dogmatis. Dia mendirikan sebuah
laboratorium dan tempat workshop yang dapat mengasuh dan mengembangkan
kreativitas dan kerjasama antar siswa. Di sini Dewey mempertahankan bahwa
masyarakat yang demokratis harus menanamkan kebiasaan penyelidikan dan
antipati terhadap kekakuan dan cara-cara diktator dalam masyarakatnya.
Pemikiran Dewey diadopsi dan dirubah bentuknya dengan pergerakan pendidikan
progresif (progressive education).98 Meskipun Filsafat Hegelian mempengaruhi
Dewey semasa mudanya, ini masih memiliki dunia abadi dan absolutnya yang
lebih nyata daripada proses sementara. Ini tidak mungkin bertempat dalam pikiran
Dewey, baginya semua realitas adalah sementara, dan proses, kendali evolusioner,
tidak seperti Hegel, yang mengungkapkan ideal abadi.99 Dengan demikian, dasar
pemikiran filsafat Dewey adalah pertama sekali dibentuk oleh pengaruh
absolutisme Hegel dan naturalisme Darwin dan juga pragmatisme William James.
96Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2008), 2 97Gerald L. Gutek, Philosophical and Ideological Perspectives on Education,
(New Jersey: Prentice Hall Inc., 1998) 9. 98Lihat dalam, The Encyclopedia Americana, (USA: Americana Corporation,
1980) 46. 99 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-
politik Zaman Kuno hingga Sekarang, alih bahasa Sigit Jatmiko dkk, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), 1068.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
79
Tetapi perlu dipertimbangkan juga sebelum itu, bahwa perjalanan pemikiran
Dewey dipengaruhi oleh Ralph Waldo Emerson.100
Kehadiran Emerson dalam pemikirannya bukan hanya selalu pada
ketajaman dan kecepatan pikirannya, dan pengaruh Emerson tidak dirasakan
secara langsung, tetapi mulai dari karir permulaan Dewey sampai karir berikutnya,
memperlihatkan sebuah identitas yang tersembunyi, atau dapat kita katakan
sebagai sebuah semangat yang diwarisi dari Emerson. Dengan kata lain Emerson
lah yang pertama sekali memformat pemikiran Dewey, kemudian diikuti oleh
Hegel, Darwin, dan William James. Untuk memahami gagasan dan pendirian John
Dewey tentang pendidikan, sebaiknya akan dilihat falsafah hidup Dewey. Menurut
Dewey, filsafat adalah memberikan garis-garis pengarahan bagi tindakan dan
kenyataan hidup. Dengan demikian, filsafat tidak boleh tenggelam dalam
pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada
pengalaman, dan penyelidikan serta mengolah pengalamannya tersebut secara
aktif dan kritis. Hanya dengan cara seperti itu, filsafat dapat menyusun tatanan
norma dan nilai. Menurut Dewey, filsafat dan pendidikan tidak dapat dipisahkan,
malah filsafat adalah dasar bagi teori pendidikan. Maksud dan tujuan sekolah
adalah untuk membangkitkan dan mengembangkan sikap hidup demokratis.
Proses pendidikan harus dilangsungkan dengan berpangkal pada pengalaman
peserta didik sendiri, dan tidak semua pengalaman itu berfaedah. Oleh karena itu,
sekolah harus memberikan ”bahan pelajaran” sebagai pengalaman-pengalaman
yang berfaedah demi masa depan peserta didik dan sekaligus pengalaman itu
merupakan hal yang dapat dialami peserta didik pada saat sekarang ini. Dalam
bidang filsafat, mula-mula Dewey menganut prinsip idealisme Hegel, tetapi
kemudian ia beralih kepada aliran pragmatisme William James. Dengan demikian,
bagi Dewey seluruh tindakan berpikir manusia seharusnya mengarah kepada
perbaikan hidup.
D. Relevansi pendidikan progresif terhadap pendidikan Islam
Dalam proses belajar, seorang siswa harus memusatkan perhatiannya pada
pemecahan suatu masalah pokok, harus berpandangan luas menerima semua
sumber informasi atau saran yang masuk akal, harus dapat tertarik pada
keuntungan dan kerugian yang akan diperolehnya dan ia harus mau menerima
segala akibat dari kesimpulan atau keputusan yang dibuatnya.
Dalam pembelajaran John Dewey memberikan kebebasan pada murid
untuk memilih kegiatan yang mereka sukai dan menganjurkan pengajaran secara
individu serta paritisipasi sosial para murid dalam kegiatan-kegiatan kelompok.
Dewey yakin bahwa pendidikan umum yang dikelola dengan baik, akan
memperbaiki suatu masyarakat dan dikatakannya pula bahwa sekolah yang baik
100Neil Coughlan, Young John Dewey: An Essay in American Intellectual History,
(Chicago: University of Chicago Press, 1973), 7-9
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
80
harus merupakan miniatur masyarakatnya, murid harus menggunkan bangunan,
alat-alat, permainan, pengamatan alam, pengungkapan diri (bukan hanya patuh
pada orang lain) dan hasil aktivitas sebagai cara belajar atau pengembangan
dirinya, murid harus mempelajari pranata-pranata sosial dan cara hidup dengan
jalan ikut berperan serta dalam sekolah maupun masyarakat, dan yang terakhir
adalah pendidikan harus menunjang kelangsungan pranata, adat istiadat,
keterampilan dan pengetahuan dari generasi yang satu ke generasi yang
berikutnya.101
Dalam buku yang dikutip Iman bagi Dewey kedudukan pendidikan sejalan
dengan konsep pertumbuhan manusia. Ia akan terus mengakui sepanjang manusia
tersebut masih tumbuh, pendidikan masih terus berjalan. Hal ini sesuai dengan
prinsip long life education. Islam juga mengenal istilah ini yang didasarkan pada
sebuah ajaran Nabi, bahwa belajar adalah dari ayunan sampai meninggal. Konsep
pendidikan sejalan dengan konsep pertumbuhan menjadikan pengalaman sebagai
dasar pijak untuk memberikan materi pendidikan. Belajar berdasarkan pengalaman
dalam Islam juga ditekankan, setidaknya denagn sebuah ayat al-Qur’an yang
menganjurkan untuk selalu menjadikan pengalaman sebagai bahan perenungan
bagi perbaikan pada hari berikutnya.
Konsep pendidikan berdasarkan pengalaman inilah yang dapat
dikembangkan sebagai basis pendidikan partisipatif. Peserta didik diberikan
pendidikan sesuai dengan kadar pengalaman yang dimiliki, sehingga lebih
memungkinkan untuk melibatkannya secara aktif dalam setiap proses
pendidikan.102
Pendidikan Islam sebagai pendidikan yang didasarkan pada landasan
idealnya, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, dan juga berdasarkan atas realitas socio-historis dan socio-cultural masyarakat Islam itu sendiri, tentu harus mempunyai
sebuah kerangka ideal-teoritis untuk mengantisipasi persoalan-persoalan umat
manusia secara umum, dan khususnya persoalan-persoalan pendidikan masyarakat
Islam. Untuk itu kerangka ideal pendidikan Islam adalah dengan menggunakan
interpretasi konstruktif-kontinuitas dan hermeneutika, atau tidak hanya
mengandalkan pada teks-teks ideal saja untuk menyelesaikan berbagai persoalan
pendidikan, tetapi juga mengandalkan teori-teori filsafat dan sains dalam
menyelesaikan berbagai persoalan pendidikan. dengan interpretasi yang
konstruktif dan kontinuitas, maka persoalan-persoalan akan terpecahkan.
Interpretasi di sini dimaksudkan adalah untuk menginterpretasikan teks-teks ideal
pendidikan Islam (al-Qur’an dan al-Hadits) sesuai dengan aturan-aturan penafsiran
yang ada, yaitu dengan merujuk kepada kaidah-kaidah klasik dan juga merujuk
kepada kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan sains modern. Selanjutnya,
101 Samuel Smith, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang
Pendidikan, alih bahasa Bumi Aksara, (Tanpa kota: Bumi Aksara, 2006), h. 256. 102Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press,
2004), h. 126
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
81
penafsiran-penafsiran terhadap teks itu tidak terbatas pada karya ulama-ulama
klasik saja. Artinya, ketika ada persoalan umat, maka persoalan-persoalan tersebut
tidak terpecahkan apabila kita hanya berpegang pada karya klasik tersebut,
walaupun persoalan-persoalan yang muncul di kalangan umat, tidak tertera
penafsirannya di dalam kitab tersebut. Maka yang timbul kemudian adalah
pemaksaan kehendak atas teks-teks mulia tersebut dengan menafsirkan sesuai
dengan keinginannya sendiri tanpa dibarengi dengan ilmu pengetahuan yang
memadai. Sebaliknya, ketika muncul persoalan di kalangan umat, maka rujukan
kita untuk menyelesaikan persoalan tersebut hanya dengan rujukan sains dan ilmu
pengetahuan modern saja. Maka akibatnya argumen, pendapat dan penyelesaian
terhadap persoalan tersebut akan mengalami kedangkalan dan tidak mempunyai
landasan yang kuat. Karena penafsirannya tidak didasarkan atas ilmu-ilmu yang
paling mendasar seperti pengetahuan penafsir tentang historisitas dan konteks
turunnya teks-teks tersebut. Dengan demikian, dalam menyelesaikan persoalan-
persoalan yang dihadapi umat, baik itu berupa persoalan-persoalan yang
menyangkut dengan hukum, pendidikan, sejarah, dan teologi maupun persoalan
kemasyarakatan, psikologi, ekonomi, pertanian dan lain-lain, dengan melakukan
penafsiran secara konstruktif dan terus menerus. Karena dengan berkembangnya
berbagai macam sains dan ilmu pengetahuan, yang semakin hari semakin
berkembang dan melahirkan ilmu-ilmu baru, maka persoalan-persoalan yang
dihadapi umat juga semakin komplek, baik itu berupa persoalan-persoalan
individu maupun persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Di samping
menggunakan interpretasi dan hermeneutika dalam merumuskan kerangka ideal
pendidikan Islam, juga digunakan filsafat, sains dan ilmu pengetahuan.
Penggunaan filsafat di sini supaya konsep-konsep yang dihasilkan dari penafsiran
terhadap teks-teks tersebut tidak kering nilai dan menghasilkan penafsiran yang
lebih mendalam dan mendasar. Karena filsafat adalah landasan berpijak dari setiap
ilmu pengetahuan yang mengandung unsur-unsur kebijaksanaan dari setiap teori
dan konsep yang dirumuskannya.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang begitu pesat, tidak menutup
kemungkinan akan lahirnya teori-teori baru. Dengan lahirnya teori-teori baru,
maka akan ada konsekuensi-konsekuensi yang muncul, baik itu berupa positif
maupun negatif. Konsekuensi positif akan bermanfaat bagi kehidupan manusia
dalam rangka mencari kehidupan yang lebih layak dan pantas dengan
menggunakan perspektif-perspektif baru tersebut. Dengan demikian, keperluan
akan perspektif baru tersebut dalam menghayati dan memaknai teks juga sangat
dibutuhkan. Karena perspektif baru tersebut adalah berangkat dari realitas yang
ada. Dan realitas tersebut akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan
zaman. Di sinilah perlu kepada perspektif baru untuk meneropong persoalan-
persoalan yang muncul di kalangan masyarakat. Sebaliknya dengan konsekuensi
negatif, akan ada pergesekan dan pergeseran nilai-nilai akibat terbentur antara
teori yang ditemukan dengan realitas masyarakat yang ada. Dengan demikian,
keperluan akan nilai-nilai yang absolut, dinamis, dan kerangka teori yang ideal
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
82
mutlak diperlukan. Karena hanya dengan sistem nilai dan kerangka pendidikan
yang ideal seseorang atau suatu kelompok masyarakat akan mampu bertahan
dalam perkembangan dunia yang semakin hari semakin mengglobal. Berdasarkan
penjelasan di atas, maka kerangka ideal pendidikan Islam dapat dirumuskan, yaitu:
Pertama, Islam sebagai agama yang membawa misis rahmat bagi seluruh
alam memerlukan sarana untuk menerapkannya secara efektif dan efisien. Sarana
tersebut salah satunya adalah pendidikan.103 al-Qur’an dan al-Hadits sebagai
sumber utama pendidikan, teori-teori filsafat, ilmu pengetahuan dan sains sebagai
sumber tambahan pendidikan Islam.
Kedua, manusia yang mempunyai karakter sebagai pelaksana pendidikan.
Maka di sini manusia dapat berperan sebagai pembawa berita/pendidik dan juga
dapat berperan sebagai penerima berita/subyek didik. Dengan demikian, integritas
orang yang membawa pesan/pendidik sangat dibutuhkan. Dan juga
memperhatikan aspek perkembangan subyek didik juga sangat dianjurkan dalam
rangka mencapai kesuksesan internalisasi nilai atau nilai-nilai demokrasi.
Ketiga, pendidikan Islam adalah pendidikan yang multi dimensi dan multi
interdisipliner. Maka di sini internalisasi sebagai salah model atau pendekatan
dalam proses pendidikan adalah sangat menentukan keberhasilan proses
pendidikan dan khusus aspek tingkah laku dan sikap dari sasaran internalisasi
tersebut. Kepekaan dalam melihat persoalan dari berbagai dimensi dan bahkan
multi dan antar disiplin keilmuan akan sangat membantu para pekerja pendidikan.
Karena melihat hanya dari satu dimensi saja dari sekian banyak dimensi yang ada
dalam mencapai tujuan pendidikan secara umum dan tujuan internalisasi secara
khusus adalah sudah tidak berlaku lagi atau sistem yang sudah usang. Ini terjadi
diakibatkan oleh berkembangnya ilmu pengetahuan sains dengan sangat cepat
akhir-akhir ini. Dengan demikian, usaha untuk melihat berbagai persoalan tersebut
dari berbagai dimensi memang sangat dibutuhkan, mengingat hari demi hari
model, pendekatan, dan metode yang digunakan juga harus bervariasi. Karena
konteks pendidikan yang dihadapi oleh subyek didik sekarang sangat berbeda
dengan apa yang dihadapi oleh subyek didik beberapa dasawarsa yang lalu.
Keempat, pendidikan Islam adalah pendidikan yang berorientasi kepada
dunia dan akhirat. Di sini mungkin yang sangat membedakan antara konsep
pendidikan Islam dengan yang lainnya. Tujuan yang ingin dicapai dalam proses
pendidikan Islam adalah bukan hanya pencapai untuk kebersihan di dunia ini saja
atau yang nampak dilihat di dunia saja, tetapi ada tujuan yang ingin dicapai lebih
jauh lagi bahkan tidak dapat dirasakan sekarang adalah tujuan di akhirat kelak.
Karena tujuan ini masih jauh, abstrak, dan bersifat ideal, maka tidak mudah bagi
pemikir di luar Islam untuk merumuskannya.
Kelima, pendidikan Islam adalah pendidikan universal tidak terbatas pada
suatu negara atau suatu ras dan golongan tertentu. Di sini juga membuktikan
103 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 211.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
83
bahwa, ketika berbicara Islam, maka kita berbicara hal yang universal, tidak
dibatasi oleh negara, ras, suku, golongan, partai politik dan lain-lain. Karena Islam
memandang semua manusia itu sama posisinya di mata Tuhan, kecuali orang yang
paling bertaqwa. Dan Islam itu diturunkan adalah bagi kemaslahatan umat dunia,
bukan untuk satu golongan dan kaum tertentu saja.
Keenam, pendidikan Islam selalu memerlukan kepada konsep-konsep yang
dinamis dan konstruktif. Islam memandang dunia sebagai sesuatu yang
berkembang, berubah, dan kadang-kadang perlu untuk perbaharuinya. Karena
kehidupan di dunia ini ada batasnya, berarti semua sesuatu yang bersifat makhluk
adalah dibatasi oleh ruang dan waktu, maka di sini perlu kepada perubahan.
Karena
konteks tersebut akan selalu mempengaruhi konstruksi sebuah teori, konsep, dan
pendapat seseorang.
Konsep pendidikan progresif John Dewey merupakan konsep pendidikan
yang mengacu pada teori-teori John Dewey yang berpijak pada asas-asas
pendidikan progresif John Dewey menjadikan pengalaman hidup manusia sebagai
pijakan dalam melakukan perubahan-perubahan ke depan melalui proses
pendidikan. Konsep pendidikan progresif John Dewey yang mengandung asas
pendidikan partisipatif dalam pandangan pendidikan Islam bisa dipertegas: bahwa
terdapat beberapa aspek kesesuaian (terutama dalam hal kemanfaatan yang
bersifat duniawi), dan terdapat banyak aspek perbedaan yang sangat prinsip
(terutama mengenai hal-hal yang bersifat metafisik-spiritual).
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
84
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
85
BAB III
PROFIL DAN PENDIDIKAN
MAN INSAN CENDIKIA SERPONG
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN PROGRESSIF
A. Profil dan Gambar MAN Insan Cendikia Serpong
Berdasarkan hasil wawancara1 bahwa lokasi MAN IC Serpong letaknya
sangat strategis.
Secara geografis MAN Insan Cendikia berlokasi di lingkungan yang
sangat kondusif untuk proses pembelajaran sekolah. MAN Insan Cendikia berada
di lingkungan yang jauh dari pemukiman penduduk. Jarak MAN Insan Cendikia
sekitar ±200 meter dari jalan raya, sehingga dapat meminimalisir terganggunya
proses KBM dari keramaian kendaraan dan membuat proses KBM berjalan lebih
nyaman dan tenang. Suasananya terlihat nyaman, asri karena ditumbuhi banyak
pohon-pohon sehingga para siswa terasa lebih nyaman ketika belajar dan bermain
di lingkungan madrasah. Akses menuju MAN Insan Cendikia Serpong sangat
strategis. Dari arah Jalan Raya Pamulang mengikuti arah jalur menuju kota BSD
Serpong. Apabila melewati akses/rute tol, maka dapat menggunakan jalur tol
Jakarta Serpong. Dan letak MAN Insan Cendikia ini hanya sekitar 3 km setelah
keluar dari tol Serpong. Selain itu, tidak jauh dari MAN Insan Cendikia Serpong
di sebelah barat, terdapat Pusat Kesehatan Masyarakat kota Tangerang Selatan.
1 Hasil wawancara kepala humas MAN IC (Drs. Abd. Jalil, M.Pd, Wawancara, 15 Februari
2017)
86
Gambar 1.3 Madrasah Insan Cendikia Serpong Tangerang
1. Sejarah Singkat Berdiri MAN Insan Cendikia
Selayang Pandang MAN Insan Cendikia Serpong Sejarah Berdiri MAN IC
Serpong awaalnya bernama SMU Insan Cendikia. Berdiri pada tahun 1996, atas
gagasan Menristek pada waktu itu BJ. Habibie. Ide dasar gagasan itu berangkat
dari kepeduliannya atas dunia pesantren yang dianggap tertinggal dalam dunia
saintek dibandingkan sekolah umum. Di bawah koordinasi Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) melalui program STEP (Science and Technology Equity Program) mendirikan Magnet School (SMU Insan Cendikia). Dengan
political will yang kuat, BPPT telah merancang seluruh proses pendirian itu mulai
dari: rekrutmen guru, pengadaan sarana dan prasarana dan penetapan kurikulum
yang dikonvergensikan dengan dunia pesantren, termasuk dengan sistem asrama
(boarding). Dengan persiapan yang matang dan penanganan yang profesional serta
dedikasi yang tinggi para guru yang direkrut secara terbuka dan ketat, SMU Insan
Cendikia dengan cepat telah menunjukkan keberhasilan yang menakjubkan.
Dengan pengembangan fasilitas secara bertahap serta tingkat gaji yang memadai
serta besarnya ruang kebebasan yang diberikan para guru untuk mencari format
yang diidealkan secara otonom, secara pelan-pelan tapi pasti, SMU Insan Cendikia
telah menemukan formatnya seperti yang sekarang. Salah satu keunggulan sekolah
ini adalah kemampuannya mengabungkan secara seimbang antara penguasaan
saintek dan pengetahuan agama, yang dirumuskan dalam keseimbangan antara
IPTEK dan IMTAK. Sistem boarding dan beasiswa penuh bagi para siswa, telah
menjadi model sekolah yang paling ideal. Pada waktu itu, hanya membuka satu
jurusan IPA saja sesuai dengan target yang hendak dicapai. Fase ini sering disebut
sebagai fase pertama atau perintisan antara tahun 1996-2000. Setelah Indonesia
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
87
dilanda krisis moneter dan ekonomi yang sangat dahsyat, membuat kemampuan
negara sangat terbatas, sehingga sejumlah hak istimewa yang diberikan kepada
siswa dicabut. Sekolah sepenuhnya dikembalikan pada kemampuan orang tua
tanpa mengubah sistem pendidikan yang sudah mapan.
Bermodal kepercayaan atas prestasi kelulusan yang dapat diandalkan,
serta besarnya jumlah alumni yang diterima di Universitas favorit, membuat SMU
Insan Cendikia yang kemudian berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri Insan
Cendikia Serpong ini, mendapatkan kepercayaan yang luar biasa dari masyarakat.
Dicabutnya subsidi dari pemerintah ternyata tidak dengan sendirinya
menyusutkan hasrat orang tua untuk menyekolahkan anaknya di MAN Insan
Cendikia Serpong. Dengan dibukanya partisipasi masyarakat dalam pendanaan ini,
Madrasah Insan Cendikia, ternyata malah dapat membangun 8 gedung dan
prestasi sekolahnya juga tidak mengalami penyusutan. Masyarakat tetap
bersemangat untuk menyekolahkan anaknya di MAN Insan Cendikia Serpong
yang berhasil menciptakan anak didiknya cerdas secara intelektual dan sekaligus
cerdas secara spiritual2. Pelajaran yang dapat dipetik dalam fase ini, dengan
dibukanya kesempatan orang tua untuk berpartisipasi dalam menanggung biaya
pendidikan, ternyata mereka tetap antusias dan bahkan dapat membantu
menyumbang pembangunan infrastruktur pada waktu itu belum terselesaikan.
Kepercayaan terhadap hasil mutu pendidikan yang dipertontonkan SMU Insan
Cendikia telah membuat orang tua murid tidak keberatan untuk menanggung
biaya pendidikan, yang semula disponsori pemerintah via-BPPT. Bahkan, sebagai
konsekuensi atas biaya besar yang dikeluarkan, mereka menjadi sangat peduli
terhadap proses pendidikan di sekolah ini. Orang tua sangat aktif di komite
sekolah untuk mengontrol proses pendidikan yang sedang berjalan.
Rasa memiliki (sense of belonging) dan kepedulian orang tua dalam proses
belajar mengajar menjadi sangat tinggi. Kelemahannya, oleh karena biaya
pendidikan sistem boarding sangat mahal, siswa miskin berbakat cenderung tidak
mendapatkan tempat yang memadai. Secara tidak disadari sekolah menjadi elite
dan tanpa sengaja menjadi diskriminatif. Unsur pasar menjadi bekerja lebih
dominan. Fase ini sering disebut sebagai periode kedua. Dalam fase kedua
(periode 2001-2006), sekolah ini diserahkan ke Kementrian Agama dan berubah
menjadi Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia Serpong. Pada periode kedua
awal sampai tahun 2006 ini, Kementrian Agama (Pemerintah) pada dasarnya
masih menjalankan periode “pasar” yang berangkat dari kemampuan orang tua
siswa. Baru pada tahun 2006-2015, seluruh biaya pendidikan di MAN IC kembali
ditanggung penuh oleh negara. Kelebihan dari sistem beasiswa penuh, orang tua
(terutama yang miskin), tidak terbebani biaya pendidikan yang sangat tinggi.
Dalam tahap tertentu pendidikan telah memberi peluang bagi mereka yang tidak
mampu dan berprestasi. Meskipun dalam modal sosial berbeda, siswa miskin tetap
2 Hasil wawancara kamad MAN IC (Dra. Persahini Sidik, M.Si, Wawancara, 15
Februari 2017)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
88
akan berlaga dalam memulai yang tidak sama. Dalam persaingan yang sepenuhnya
adil akibat modal sosial yang berbeda jika tidak ada kebijakan afirmatif terhadap
kelompok siswa yang tidak beruntung (miskin), membuat mereka tetap tidak
mendapatkan porsi yang memadai. Dengan dikembalikannya biaya pendidikan
yang sepenuhnya ditanggung negara melalui sistem DIPA (Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran)
Pertama, dengan sistem DIPA, sangat ketat pertanggungjawabannya dan
tidak fleksibel. Para guru, terutama kepala sekolah menjadi banyak terbebani oleh
persoalan administrasi. Kepala sekolah yang dalam fase pertama dan kedua
sepenuhnya dapat berkonsentrasi dalam pengelolaan pendidikan, kini 80 persen
waktunya habis untuk mengurus manajemen keuangan. Dibanding dalam fase
Pertama, meskipun pada waktu itu, seluruh sistem pendidikan juga ditanggung
negara, tetapi dalam bidang administrasi seluruhnya ditanggung BPPT. Guru
tinggal mengajar dan berkreativitas. Kedua, partisipasi orang tua murid menjadi
sangat rendah. Mereka merasa seluruh kebutuhannya telah ditanggung negara.
Akibatnya orang tua tinggal menunggu anaknya lulus, tanpa harus merasa perlu
mendampingi seluruh proses pendidikan yang sedang berjalan. Oleh karena dalam
biaya pendidikan tidak seluruhnya tercover dalam DIPA. Dan ketika orang tua
diminta untuk membantu berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak ada dalam
anggaran DIPA, mereka cenderung enggan melakukannya. Dengan kata lain,
akibat tidak seimbangnya antara negara (state) dan masyarakat (society) sikap
rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat (orang tua) menjadi sangat rendah.
Ketiga, dengan tidak adanya sistem silang (yang mampu membantu yang tidak
mampu), kemudahan beasiswa yang diberikan negara cenderung tidak tepat
sasaran. Dalam kenyataan, sebagian besar di antara mereka adalah kelompok
mampu, yang seharusnya tidak layak menerima beasiswa. Sebaliknya, kelompok
miskin, cenderung tidak mendapatkan porsi yang memadai. Keterbatasan dalam
mempersiapkan diri agar diterima di MAN IC Serpong yang persaingannya sangat
ketat (dari 4000 pendaftar yang diterima hanya 120 siswa terpilih), tanpa proteksi
terbatas, membuat mereka cenderung terpinggirkan. Dengan kata lain, dalam
bahasa yang ekstrim MAN IC tanpa disadari akhirnya cenderung menjadi sekolah
elit. Beasiswa yang diberikan pemerintah dalam perspektif keuangan jadi
cenderung mubazir. Membiayai siswa yang orang tuanya mampu membayarnya
(seperti orang diperlihatkan dalam fase kedua), merupakan cara kerja yang tidak
berusaha menyeimbangkan antara: pemerintah, pasar, dan masyarakat. Setelah
melalui perjalanan panjang, dalam rangka memberi layanan pendidikan pada MAN
IC yang berkeadilan, maka terhitung mulai tahun pelajaran 2015/2016 peserta
didik baru MAN IC dikenakan biaya personal berupa biaya makan, pakaian
seragam, dan kebutuhan tinggal di asrama yang tidak dianggarkan dalam DIPA
MAN IC, kecuali bagi peserta didik yang berasal dari keluarga kurang mampu
yang dibuktikan dengan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) dan/atau Kartu
Indonesia Pintar (KIP). (Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
89
Kementerian Agama Nomor 3192 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia).
Walaupun berada di bawah naungan Departemen Agama namun
kurikulum sekolah tetap berbasis pada Sekolah Menengah Umum (SMU) dan
memakai bahasa Arab tentunya. Sekolah MAN Insan Cendikia Serpong ini
memiliki dua program jurusan, yaitu program IPA dan IPS. Siswa di sekolah ini
merupakan siswa yang berprestasi, prestasi-prestasi yang telah dicapai oleh siswa-
siswi MAN Insan Cendikia Serpong, antara lain:
2. Prestasi Madrasah
Prestasi MAN tidak bisa diragukan lagi bahwa di sana banyak sekali
mendapatkan penghargaan-penghargaan dari siswa siswi yang membanggakan
seperti contoh lulus ujian Nasional dengan kategori secara rata-rata kategori A,
diterima di Perguruan Tinggi Negeri 98%, diterima di Perguruan Tinggi di luar
negeri, mendapat medali pada olimpiade Sains International, mendapat medali
pada olimpiade Sains Nasional, mendapat medali pada Kompetisi Sains
Madrsah (KSM), mendapatkan kejuaraan pada lomba-lomba akademik dan non
akademik yang diselenggarakan perguruan tinggi, kementrian/lembaga.
Selain siswa-siswi yang mendapatkan penghargaan-penghargaan maka
guru-guru di MAN juga bisa dibanggakan seperti contoh prestasi pendidik dan
tenaga kependidikan antara lain: mendapat kejuaraan dalam lomba guru
berprestasi, memiliki kompetensi profesional dalam bidangnya, mendapat
kejuaraan dalam lomba inovasi pembelajaran, mendapat kejuaraan dalam
penulisan bahan ajar.
Di samping prestasi siswa siswi, prestasi pendidik, prestasi madrasah juga
mendapatkan penghargaan, prestasi madrasah seperti contoh model madrasah
tingkat nasional untuk pengembangan akademik, perpustakaan sekolah digital
terbaik tingkat nasional, madrasah sehat tingkat provinsi dan peraih nilai UN
tertinggi secara nasional.
Berikut ini nama-nama siswa berprestasi dapat dilihat pada tabel:
Tabel 3.1 hasil Ujian Nasional Nilai Ujian Nasional 5 tahun terakhir
NO Tahun
Pelajaran
Rata-rata Ujian Nasional IPA
B. Ind B. Ing Mat Fisika Kimia Biologi Jumlah Rata2
1 2011/2012 8,66 8,58 9,17 9,10 9,09 8,43 53,03 8,84
2 2012/2013 8,49 8,90 9,23 9,49 9,37 8,49 53,97 8,99
3 2013/2014 8,70 8,22 8,81 9,21 8,47 8,94 52,35 8,73
4 2014/2015 85,97 84,28 86,52 90,44 86,49 84,91 518,61 86,44
5 2015/2016 82,88 77,07 85,65 87,59 86,96 82,68 502,83 83,81
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
90
NO Tahun
Pelajaran
Rata-rata Ujian Nasional IPS
B. Ind B. Ing Mat Eko Sos Geo Jumlah Rata2
1 2011/2012 8,49 7,99 9,59 8,83 8,71 8,23 51,84 8,64
2 2012/2013 8,70 8,69 9,51 8,82 8,33 7,95 52,00 8,67
3 2013/2014 8,71 7,62 9,58 8,80 8,26 8,42 51,59 8,59
4 2014/2015 86.06 80,35 87,43 81,25 83,71 74,88 493,68 82,28
5 2015/2016 81,60 73,93 91,75 88,58 74,73 88,53 499,12 83,19
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ketercapaian dalam nilai ujian
mendapatkan hasil yang sangat memuaskan rata-rata setiap tahun cenderung naik
sehingga tidak salah bahwa Prof. DR. B.J. Habibie memprakarsai pendirian
Magnet School tahun 1996 sebagai embrio MAN Insan Cendikia
1. Pengelolaan MAN Insan Cendikia
▪ 1996-2000 oleh BPPT dengan beasiswa penuh
▪ 2000-2007 oleh Kementerian Agama (ada partisipasi orang tua)
▪ 2007- 2014 program subsidi penuh dari Kemenag RI
▪ 2015-sekarang Subsidi Kemenag RI dan sharing personal cost dengan
orang tua siswa
3. Lokasi MAN Insan Cendikia
▪ 1996 MAN Insan Cendikia Serpong
▪ 1997 MAN Insan Cendikia Gorontalo
▪ 2012 MAN Insan Cendikia Jambi
▪ 2015 Berdiri 5 MAN Insan Cendikia baru
▪ 2016 Berdiri 8 MAN Insan Cendikia baru
Untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi
dalam penguasaan IPTEK yang didasari nilai keimanan dan ketakwaan, pada
tahun 1996 BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) mendirikan SMU
Insan Cendikia di Serpong melalui program penyetaraan IPTEK STEP (Science and Technology Equity Program) bagi sekolah-sekolah yang berada dilingkungan
pondok pesantren. Pada tahun pelajaran pertama (1996/1997), penerimaan siswa
SMU Insan Cendikia diprioritaskan bagi siswa-siswi SMU/MA kelas satu dan
siswa-siswi lulusan SMP/MTs berprestasi yang berasal dari pondok pesantren dan
sekolah Islam lainnya. Akan tetapi, mulai tahun pelajaran kedua (1997/1998)
SMU Insan Cendikia memberi kesempatan pula kepada siswa-siswi SLTP umum
dan MTs baik negeri maupun swasta. Sejak tahun pelajaran 2000/2001 SMU Insan
cendikia baik yang berada di Serpong maupun di Gorontalo dilimpahkan
pengelolaannya oleh BPPT kepada Departemen Agama RI. Untuk tetap
mempertahankan ciri khas penguasaan IPTEK dan IMTAK, maka dalam
pengelolaan dan pembinaannya Departemen Agama dan Madrasah Aliyah Insan
Cendikia dengan tanpa mengurangi dan mengubah sistem pengajaran secara
keseluruhan yang telah berjalan selama ini.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
91
Pada tahun 2001, dengan SK Menteri Agama RI, Nomor 490 Tahun 2001
SMU Insan Cendikia Serpong berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN)
Insan Cendikia Serpong.1 Madrasah ini sebagai salah satu sekolah yang berasrama
(Boarding School) yang mempunyai visi dan misi sebagai berikut.
3. Visi dan Misi MAN Insan Cendikia Serpong
MAN Insan Cendikia adalah “Terwujudnya sumber daya manusia yang
berkualitas tinggi dalam keimanan dan ketakwaan, menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi, dan mengaktualisasikan diri dalam kehidupan masyarakat.”
Penjelasan dari visi diatas adalah dengan melalui proses pendidikan mampu
menciptakan manusia yang berkualitas tingi bukan hanya dalam bidang akademik,
teknologi tetapi yang sangat penting dalam bidang agama. Karena di sekolah ini
Oleh karena itu MAN ini sudah melahirkan siswa-siswa yang berkualitas.
a. Misi
1) Menyiapkan calon pemimpin masa depan yang menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, mempunyai daya juang tinggi, mampu
berkomunikasi dalam bahasa internasional, inovatif, dan mempunyai
landasan iman dan takwa yang kuat
2) Membentuk sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan yang
professional
3) Menjadikan MAN Insan Cendikia Serpong sebagai madrasah model dalam
pengembangan pengajaran iptek dan imtak bagi lembaga pendidikan
lainnya.
Pernyataan makna diatas pernyataan misi dimaksud adalah:
1) Melalui pendidikan dan keterampilan di madrasah ini diharapkan mampu
menfasilitasi pribadi yang dapat meciptakan calon pemimpin yang dapat
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu
2) berkomunikasi dalam bahasa Internasional. Dan menciptakan calon
pemimpin yang mempunyai landasan iman dan takwa yang kuat
3) Dengan kegiatan pengajaran dan pendidikan yang dilakukan di madrasah
ini dengan menonjolkan iptek dan imtak nya dapat menjadikan madrasah
model dalam pengembangan pengajaran iptek dan imtak dibanding dengan
pendidikan lainnya.
4. Tujuan MAN Insan Cendikia Serpong
a. Meningkatnya jaminan mutu kepada masyarakat terhadap keseimbangan
kualitas IPTEK dan IMTAK dalam sistem kehidupan pada MAN Insan
Cendikia Serpong melalui penguatan program kegiatan yang
berkelanjutan sistem akademik dan kehidupan asrama.
b. Peningkatan kemampuan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan
dalam berbahasa Internasional.
c. Terlaksananya optimalisasi peran serta masyarakat dan alumni dalam
membantu pengembangan layanan terhadap perserta didik.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
92
d. Terlaksananya pengembangan program pembinaan berkelanjutan terhadap
mutu pendidik dan tenaga kependidikan
e. Menyusun pola kerja pendidik dan tenaga kependidikan berdasarkan pola
efektivitas pencapaian target kerja personal dan teamwork.
f. Memperkokoh jalinan persaudaraan antar personal dengan
mengembangkan prinsip saling menghormati, menghargai, dan menjaga
kenyamanan menjalankan tanggungjawab kerja masing-masing personal
g. Membangun sistem manajmen umum yang profesional, tangguh dan
terukur, sehingga MAN Insan Cendikia Serpong memiliki kemampuan
memberdayakan dirinya lebih optimal serta dapat menangkap peluang
program pemerintah dengan lebih maksimal.
h. Memelihara dan memanfaatkan dukungan pemerintah dan masyarakat
untuk menguatkan pengembangan profesionalitas SDM Pendidik dan
Tenaga Kependidikan serta meningkatkan daya dukung sarana prasarana
madrasah secara terencana
i. Menjadikan MAN Insan Cendikia Serpog sebagai pusat pengembangan
madrasah unggul dan pusat pembinaan SDM madrasah di Indonesia
j. Terselenggaranya Unit Hubungan Masyarakat yang peka, tangkas,
produktif, dan hangat.
5. Target dan Strategi MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang
a. Diterimanya lulusan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia di perguruan
tinggi yang berkualitas baik di dalam maupun di luar negeri (> 90% per
tahun)
b. Diperolehnya prestasi akademik yang baik bagi alumnus Madrasah Aliyah
Negeri Insan Cendikia selama di perguruan tinggi.
c. Terciptanya kehidupan religius di lingkungan madrasah yang
diperlihatkan dengan perilaku ikhlas, mandiri, sederhana, ukhuwah dan
bebas berkreasi.
Adapun Strategi MAN Insan Cendikia sebagai berikut:
a. Menjaring calon peserta didik sebagai input dari lulusan MTs dan SLTP
dengan beberapa tes, diantaranya:
1) Tes psikologi
2) Tes potensi akademik (matematika, fisika, biologi, bahasa Inggris,
pendidikan agama Islam, kemampuan baca tulis al-Qur’an)
3) Tes kesehatan dan wawancara
b. Mengembangkan proses pembelajaran yang diarahkan pada penguasaan
“basic knowledge of science and technology” dan “leadership lifeskill”
atas dasar “asah, asih, asuh dan ajrih”.
c. Menyiapkan tenaga pendidik yang profesional dengan menerapkan “merit system” dalam bidang kesejahteraannya.
d. Menyediakan sarana dan prasarana guna mendukung penguasaan ““basic knowledge of science and technology”
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
93
e. Mengadakan kerjasama pendidikan dengan berbagai pihak terkait baik di
dalam maupun luar negeri.
f. Mengadakan pelatihan berkala bagi guru dan karyawan
g. Memberikan kesempatan mengikuti pendidikan formal S2 baik di dalam
maupun di luar negeri
h. Menyediakan perpustakaan yang memadai
i. Melakukan studi banding ke sekolah atau lembaga lain
j. Memberikan wawasan iptek (tentang penerapan pelajaran MAFIKIBI)
bagi guru dan peserta didik secara periodik.
6. Motto Madrasah
Prestasi, Mandiri dan Islami
7. Budaya Madrasah (SCHOOL CULTURE) Budaya madrasah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh
madrasah atau falsafah yang menuntun kebijakan madrasah terhadap semua
unsur dan komponen madrasah termasuk stakeholders pendidikan, seperti
cara melaksanakan pekerjaan di madrasah serta asumsi atau kepercayaan
dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya madrasah merujuk pada
suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara
bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami,
yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama
diantara seluruh unsur dan personil madrasah baik itu kepala madrasah, guru,
staf, peserta didik dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama
dengan madrasah.
Budaya madrasah yang dikembangkan di MAN Insan Cendikia adalah:
a. Aqidah yang kuat,
b. Menjaga adab pergaulan putra-putri (tidak berjabat dan bersentuhan
putra-putri yang bukan mahram, tidak berduaan apalagi ber-kholwat) c. Afsyus salam (menebar salam) kepada siapa saja,
d. Santun, hormat pada yang lebih tua dan sayang pada yang muda dan
membiasakan menebar senyum kepada siapa saja
e. Kejujuran dalam semua aspek dilatihkan dan dibiasakan dengan tidak
pernah nyontek dan berbuat curang dalam semua kegiatan
f. Taat beribadah dengan sholat berjamaah di masjid 5 waktu sholat dan
mengamalkan amalan-amalan sunnah.
g. Disiplin dalam memanfaatkan waktu dan disiplin tugas
h. Mandiri dan bertanggungjawab tercermin dari ucapan dan perilaku
i. Berprestasi dengan membiasakan semangat kompetisi secara sehat baik di
internal madrasah maupun lomba-lomba ke luar madrasah.
j. Ukhuwah Islamiyah (baik ketika masih aktif di MBI maupun sudah
menjadi alumni)
k. Tertib tetapi tetap kritis
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
94
l. Mencintai belajar dan pekerjaan
m. Kreatif dan inovatif,
n. Menghargai dan apresiasi terhadap nilai-nilai seni
8. Profil Kompetensi Lulusan
a. Aspek Afektif 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
2) Memiliki nilai-nilai etika dan estetika.
3) Memiliki nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan humaniora.
b. Aspek Kognitif Menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemampuan akademik untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
c. Aspek Praktik 1) Memiliki keterampilan berkomunikasi (Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Bahasa Arab), kecakapan hidup, dan mampu beradaptasi
dengan perkembangan lingkungan sosial, budaya dan lingkungan alam,
baik lokal, regional, maupun global.
2) Memiliki kesehatan jasmani - rohani dan kemampuan kewirausahaan
(entrepreneurship) yang bermanfaat untuk melaksanakan tugas dan
kegiatan sehari-hari, terutama untuk membantu tugas atau aktivitas
belajar.
9. Data MAN Serpong Tangerang
Kepala Madrasah Insan Cendikia adalah Persahini, M.Si. Beliau menjabat
sebagai kepala madrasah mulai dari tahun 2014 hingga sekarang di MAN Insan
Cendikia Serpong dan tahun 2012-sekarang menjadi kepala madrasah di Insan
Cendikia Serpong. Tenaga pendidik dan kependidikan yang berada di MAN
Insan Cendikia ini berjumlah 103 orang, tetapi jumlah tenaga pendidiknya
berjumlah 50 orang dan pembina asrama berjumlah 6 orang. Pendidikan
terakhir guru S1 (28 orang), S2 (21 orang), S3 (1 orang), dengan latar belakang
pendidikan berasal dari Universitas ternama seperti ITB, IPB, LIPIA,
UIN/IAIN, UNJ/IKIP, UPI, UIJ, dll.
Dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh tenaga pendidik di
Madrasah ini baik diharapkan mereka dapat membantu siswa dalam mengikuti
proses pembelajaran dengan baik serta memberikan ilmu yang bermanfaat kepada
siswa. Di Madrasah ini juga disediakan asrama bagi guru-guru yang sebagian
rumahnya jauh dari sekolah atau bukan di daerah Tangerang Selatan dan Serpong,
termasuk guru baru diwajibkan untuk tinggal di asrama. Tetapi karena kapasitas
di asrama tidak banyak jadi hanya sebagian guru yang tinggal di asrama, dan
sebagian guru lagi dapat tinggal di rumahnya masing-masing terutama guru-guru
senior atau guru yang sudah lama mengajar di madrasah ini. Guru yang tinggal di
asrama juga untuk membantu siswanya saat siswa tidak mengerti dengan
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
95
pelajarannya. Guru-guru yang tinggal di asrama memiliki tanggunga jawab dalam
hal mengontrol dan membimbing siswa pada kegiatan siswa di malam hari.
Pada malam hari guru yang tinggal diasrama juga melakukan kegiatan
pembelajaran Agama kepada siswa. Jadi guru di MAN Insan Cendikia Serpong ini
bukan hanya bisa mengajar dalam bidang akademis tetapi dalam bidang Agama
Islam mereka juga harus menguasai. Selain itu, di MAN Insan Cendikia Serpong
memiliki program Gura (Guru Asuh), setiap guru mempunyai 9-10 siswa asuh.
Program ini dilaksanakan agar guru asuh dapat menggantikan posisi orang tua
mereka selama mereka berada di asrama.
10. Data Siswa MAN Insan Cendikia Serpong
Data siswa di Madrasah ini berjumlah 439 orang dengan 22 rombongan
belajar. Jumlah kelas X 139 orang, jumlah kelas XI 142 orang, dan jumlah kelas
XII 158 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.2
Jumlah Siswa dan Rombongan Belajar
Tahun
Pelajaran
Kelas X Kelas XI Kelas XII
Jumlah
Rombel
Jumlah
Siswa
Jumlah
Rombel
Jumlah
Siswa
Jumlah
Rombel
Jumlah
Siswa
2015/2016 8 166 6 119 6 118
2016/2017 7 144 8 158 6 119
2017/2018 7 139 7 142 8 158
Pada awalnya berdiri Madrasah jumlah siswa hanya bisa menerima 5 kelas
dengan kapasitas masing-masing 24 siswa, tetapi sekarang ditambah menjadi 6
kelas dengan kapasitas 20 siswa. Banyaknya siswa yang mendaftar kurang lebih
dari 5000 orang yang diterima hanya 600 siswa, dan itu juga akan diseleksi
potensi akademiknya sehingga hanya 120 siswa yang dapat masuk dan diterima di
MAN Insan Cendikia Serpong. Dengan seleksi yang sangat ketat menunjukkan
bahwa siswasiswa yang terpilih di madrasah ini merupakan siswa-siswa yang
dapat menghasilkan lulusan terbaik, baik dalam bidang akademis maupun bidang
keimanan dan ketakwaannya. Struktur kurikulum meliputi pembelajaran siang
hari yang meliputi seluruh mata pelajaran dan malam hari yang meliputi
pembelajaran agama bersifat aplikatif dan psikomotor.
Dengan terbatasnya jumlah siswa yang terima di MAN Insan Cendikia
pada setiap tahunnya, diharapkan dapat menghasilkan lulusan terbaik, unggulan
dan diterima di universitas-universitas terbaik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Adapun proses seleksi siswa di MAN Insan Cendikia terdiri dari:
a. Penyerahan dan seleksi berkas
b. Mengikuti tes tulis
c. Tes kesehatan
11. Sarana dan Prasarana MAN Insan Cendikia
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
96
Kondisi sarana dan prasarana MAN IC Serpong, dengan gedung-
gedung atau bangunan yang relatif megah, meskipun sebagian besar gedung
lama, namun yang lebih penting adalah sehat dan kondusif sebagai tempat
berlangsunganya proses pendidikan yang baik. Sehingga telah mengubah citra
yang pernah disandang madrasah dengan bangunan seadanya, atau bahkan reot
dan tidak higienis, kian semakin memudar. Dengan demikian, sarana prasana
yang ada tersebut bisa dijadikan sebagai salah satu acuan dalam pembukaan
MAN IC di daerah lainnya. Pengembangan MAN IC Gagasan Dasar MAN IC
Serpong adalah sebuah model pendidikan terpadu yang menawarkan
pendidikan agama Islam sebagai ciri khas utamanya dengan pendalaman pada
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembeda MAN IC Serpong dengan
madrasah lainnya adalah desain akademik yang mengacu kepada Standar
Nasional Pendidikan, dan manajemennya berbasis IT.
Pendidik dan tenaga kependidikan memenuhi kualifikasi yang
disyaratkan, dan fasilitas pembelajaran lengkap serta modern. Para siswa-
siswi wajib tinggal di asrama yang dikelola secara profesional. Para pengelola
dan siswa-siswi MAN IC Serpong berkomunikasi dalam tiga bahasa, yaitu,
bahasa Indonesia, Inggris dan Arab sesuai aturan yang ditetapkan dan
diberlakukan terhadap seluruh civitas akademika. Ilmu yang dikembangkan di
MAN IC Serpong bertumpu pada 3 (tiga) hadlarah (peradaban): 1)
Hadlaratun-naṣ (peradaban teks, kitab). 2) Hadlaratul ‘ilmi (peradaban ilmu);
3) Hadlaratul-falsafah (peradaban filsafat). Bagi MAN IC Serpong, tiga
hadlarah tersebut menjadi paradigma baru. Belajar dari kelemahan madrasah
dan sekolah umum selama ini, MAN IC Serpong harus melakukan upaya
pengembangan kurikulum.
Tujuan pengembangan tersebut diharapkan mampu meminimalisasi
semaksimal mungkin kelemahan dari kedua model pendidikan tersebut.
Sehingga, MAN IC Serpong memiliki identitas yang kuat dan karakteristik
keilmuan yang khas. Selama ini kurikulum madrasah sudah mengajarkan ilmu-
ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman. Akan tetapi, masih belum bisa
mengangkat citra madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menjadi pilihan
utama peserta didik. Karena masih dipandang belum dapat memenuhi aspirasi
tinggi peserta didik untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi berbasis sains dan
teknologi. Dengan kata lain, prestasi madrasah dalam bidang pembelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi belum optimal. Demikian pula dalam bidang
kajian ilmu keagamaan sering dikatakan bahwa lulusan madrasah belum
memuaskan dalam penguasaan ilmu-ilmu dasar keagamaan, termasuk
penguasaan ilmu alat (bahasa) Arab. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa
lulusan madrasah ada di dalam dilema. Di satu sisi penguasaan ilmu umum
kurang memadai, dan penguasaan ilmu agama dipandang kurang mencukupi.
Selain itu, meskipun telah diwacanakan cukup lama tentang integrasi ilmu
umum dan ilmu agama, selama ini belum ada madrasah yang berhasil
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
97
memadukan keduanya dengan cukup memuaskan3 Sejak didirikan MAN Insan
Cendikia Serpong pada tahun 1996, sudah dilengkapi dengan sarana dan
prasarana yang memadai untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Dan
seiring perkembangan waktu MAN Insan Cendikia terus menerus menambah
sarana dan prasarana sesuai kebutuhan. Hingga kini sudah berdiri 24 gedung
permanen di atas lahan 5,7 hektar. Sarana dan prasarana yang ada di Insan
Cendikia Serpong terdiri dari:
a. Masjid Cendikia (2 lantai) dengan kapasitas 500 jamaah.
b. Gedung administrasi (2 lantai) yang mencakup ruang tamu, ruang audio-
visual, ruang kepala madrasah berserta wakil dan ruang tata usaha.
c. Gedung Pendidikan, terdiri dari atas dua lantai yang mencakup 15 ruang
kelas dengan 24 siswa tiap kelas, 1 ruang multimedia, ruang guru, ruang
bimbingan konseling, bank mini dan ruang osis.
d. Laboratorium fisika, kimia, biologi dan TIK (masing-masing dua ruang),
Lab. Bahasa, Lab. Visual, dan Lab. Komputer (masing-masing satu ruang
dengan kapasitas 24 siswa).
e. Laboratorium komputer bagi guru.
f. Laboratorium TIK 2 lantai (dilengkapi 50 komputer yang terhubung
dengan internet).
g. Ruang perpustakaan dengan “sistem otomatis” dan sistem perpustakaan
digital dilengkapi dengan fasilitas internet dan televisi berlangganan.
h. Gedung serbaguna, kapasitas 500 orang.
i. Dua unit gedung asrama putra dengan kapasitas 185 orang. Masing-
masing kamar terdiri dari 4 tempat tidur, 4 lemari, 4 meja belajar, dan
j. 2 kamar mandi.
k. Dua unit gedung asrama putrid dengan kapasitas 185 orang. Masing-
masing kamar terdiri 4 tempat tidur, 4 lemari, 4 meja belajar, dan 2 kamar
mandi.
l. Asrama guru terdiri dari 2 lantai.
m. Gedung pelatihan 2 lantai.
n. Rumah Diknas kepala madrasah, para wakil kepala adrasah, guruguru, dan
Pembina asarama.
o. Poliklinik umum dan gigi.
p. Kantin dengan kapasitas 375 orang.
q. Hotspot
r. Sarana olahraga (lapangan sepak bola, basket, bola voli, tenis meja, dan
bulu tangkis).
Berangkat dari tanggung jawab pendidikan oleh orang tua dan guru untuk
mengajar anak dan murid mereka, maka sudah seharusnya orang tua dan guru
tersebut menyediakan sarana-sarana belajar yang bermanfaat dalam semua
3 Hasil wawancara dan Reisa Suci Arimbi, S. Psi. Wawancara, 18 Februari 2018).
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
98
lapangan ilmu pengetahuan agar anak-anak mereka memperoleh pendidikan dan
latihan yang
memadai. Sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah merupakan faktor
pendukung
terlaksananya program sekolah, khususnya kegiatan pembelajaran yang dilakukan
guru. Sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah harus dikelola dengan baik,
dengan tujuan jika warga sekolah hendak memerlukan atau menggunakannya,
maka sarana dan prasarana tersebut dalam keadaan siap pakai4. Menurut
perspektif pemerintah, kegiatan manajemen sarana dan prasarana pendidikan
setidak-tidaknya memiliki delapan (8) mata rantai kegiatan. Sementara menurut
Peraturan Menteri No 24 Tahun 2007 bahwa Standar Nasional Pendidikan tentang
Sarana dan Prasarana mencakup tujuh (7) kegiatan manajemen. Guna
mengoptimalkan pengadaan, penyaluran, inventarisasi, pemeliharaan,
penyimpanan dan pengahapusan sarana dan prasarana pendidikan, maka
diperlukan perencanaan yang matang, sehingga sekolah dituntut untuk memiliki
kemandirian untuk mengatur dan mengurus sekolah menurut kebutuhan
berdasarkan aspirasi dan partisipasi warga sekolah dengan tetap mengacu pada
peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku.
Dari serangkaian penjelasan di atas berdasarkan gambaran umum MAN
Insan Cendikia Serpong, prestasi-prestasi yang diraih oleh siswa-siswi MAN Insan
Cendikia maka terbukti setiap tahun mengalami kemajuan dalam pendidikan hal
ini berkaitan dengan pendidikan progressif menginginkan kemajuan yang dinamis
bukan statis maka dapat disimpulkan bahwa MAN Insan Cendikia mengarah
kepada pendidikan progressif.
Sebuah penelitian5, menyatakan bahwa demokratisasi dan globalisasi
usaha peningkatan kualitas pendidikan kualitas pembelajaran dan kualitas sistem
penilaian. Ketiganya saling terkait, sistem pembelajaran yang baik akan
menghasilkan kualitas belajar yang baik. Selanjutnya sistem penilaian yang baik
akan mendorong guru untuk menentukan strategi mengajar yang baik dan
memotivasi siswa unutk belajar yang lebih baik. Berbicara mengenai madrasah
paling tidak, ada empat karakteristik madrasah yang dapat diidentifikasikan,
sebagai berikut:
Pertama, madrasah milik masyarakat (Community Based Education).6
Artinya, madrasah berkembang dari masyarakat dan untuk masuyarakat. Oleh
karena itu, dari segi kuantitas berkembang sangat pesat, meskipun dari segi
4Mona Novita, Sarana Dan Prasarana Yang Baik Menjadi Bagian Ujung Tombak
Keberhasilan Lembaga Pendidikan Islam, Nur El-Islam,Volume 4, Nomor 2, Oktober 2017 5Makmuri Sukarno, Mengembangkan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia
Untuk Menjawab Tantangan Modernisasi, Demokratisasi Dan Globalisasi, Jurnal
Kependudukan Indonesia Vol. 9, No. 2, Desember (2014) 6Community Based Education merupakan kebijakan yang memberikan kekuasaan
bagi masyarakat untuk ikut serta dalam pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat
sekitar.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
99
kualitas perkembangannya sangat lamban. Ketertarikan masyarakat kepada
masyarakat kepada madrasah lebih terlihat sebagai ikatan emosional keagamaan.
Dengan kata lain, keinginan masyarakat untuk berperan serta dalam pendidikan
juga didorong oleh motivasi keagamaan untuk ber-tafaqquh fi al-din. Kedua, madrasah sebagai manajemen berbasis sekolah (School Based
Management). Keragaman dan kebebasan tidak tergantung kepada pusat dan
birokrasi menjadikan madrasah banyak yang bergengsi. Konsep School Based Management dan Community Based Education merupakan kenyataan tuntutan
untuk memunculkan kembali kemandirian dan otonomi sekolah. Kedua hal
tersebut selama ini dalam perkembangannya hilang, terhapus oleh konsep
sentralisasi dan penyeragaman.
Ketiga, madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-din, agar peserta didik
mempelajari dan menularkan kepada orang lain pemahaman agama baik secara
formal/syar’i ataupun secara fungsional. Karena itu madrasah tidak terpisahkan
dengan dakwah hanya lebih dominan pendidikan.
Keempat, madrasah sebagai lembaga kaderisasi dan mobilitas umat Islam.
Dari proses pendidikan di madrasah terbentuk pribadi muslim yang saleh dengan
pengguasaan ilmu agama secara luas, konsisten dan mendalam.7 Secara historis
kehadiran dan perkembangan madrasah merupakan lembaga pendidikan yang lahir
dari, oleh, dan untuk masyarakat.8
Secara formal, madrasah di Indonesia hanya terdiri dari madrasah negeri
dan swasta. Namun, pada awalnya, seluruh madrasah di lingkungan Departemen
Agama adalah madrasah swasta yang diprakarsai pendiriannya oleh masyarakat
Islam setempat. Madrasah negeri pada umumnya berasal dari madrasah swasta
yang dinegerikan. Kelahiran madrasah di Indonesia diawali ketika Departeman
Agama didirikan, di mana salah satu bagian pendidikan adalah mengadakan suatu
pilot project sekolah yang akan menjadi contoh bagi orang-orang atau organisasi
yang ingin mendirikan sekolah secara partikelir (swasta). Tugas ini mengandung
maksud sekolah agama milik pemerintah diperlukan sebagai panutan atau contoh
bagi pihak swasta dalam mengelola pendidikan agama. Pendirian madrasah negeri
merupakan sisi lain, dari benuk bantuan dan pembinaan terhadap madrasah
swasta. Adapun Madrasah Aliyah Insan Cendikia yang ada di Gorontalo dan
Serpong, madrasaha tersebut ditunjang dana dan fasilitas yang memadai sehingga
pembinaannya sangat maju, sementara yang dipresentasikan dalam penelitian ini
adalah Madrasah Aliyah Insan Cendikia Serpong Tangerang.
Menurut Rahim9, madrasah ibtidaiyah negeri sebagian besar berasal dari
madrasah-madrasah yang semula diasuh oleh Pemerintah Daerah di beberapa
7Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Logos,
2005), h. 38-40 8M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2001), h. 17 9Husni Rahim. Madrasah dalam Politik, ....h. 161-162
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
100
daerah seperti Aceh, Lampung, dan Surakarta. Sejak tahun 1946 ada 205 sekolah
rendah Islam (sebutan untuk Madrasah Ibtidaiyah)10 yang diasuh oleh Pemerintah
Daerah Aceh yang dengan kesepakatan Menteri Agama No.1 Tahun 1959,
pengasuhan dan pemeliharaannya.
Sedangkan Madrasah swasta yang terbilang unggul dapat dihitung jari, itu
juga karena di back up oleh yayasan swasta yang sudah mapan, baik dari sisi usia
maupun tingkat kematangan penanganan pendidikan madrasah, misalnya
Madrasah Aliyah Insan Cendikia Serpong dan Madrasah Aliyah Insan Cendikia di
Gorontalo yang dulu dibina BPPT pada masa Presiden B.J Habibi dan sekarang
dialihkan kepada Depag. Kedua madrasah ini dijadikan model percontohan dalam
pengembangan pengajaran ilmu pengetahuan dan teknologi bagi lembaga
pendidikan lainnya.11 Dalam hal ini penulis tertarik dengan Madrasah Aliyah
Negeri Insan Cendikia Serpong untuk dijadikan tempat penelitian karena melihat
kualitas pendidikan MAN Insan Cendikia Serpong.
Kualitas pendidikan dipengaruhi banyak faktor, yaitu siswa, pengelola
sekolah (kepala sekolah, karyawan, dan dewan/komite sekolah), lingkungan
sekolah (orangtua, masyarakat, sekolah), kualitas pembelajaran, kurikulum dan
sebagainya.12 Hal senada juga disampaikan oleh Djemari Mardapi,13 bahwa Minat
belajar besar sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar sebab dengan minat
seseorang akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat
seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu. Misalnya seorang anak menaruh
minat terhadap bidang kesenian, maka ia akan berusaha untuk mengetahui lebih
banyak tentang kesenian.14
10Dalam peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa jenjang
pendidikan madrasah terdiri atas: a) Madrasah Tingkat Rendah, dengan lama berlajar
sekurang-kurangnya empat tahun dan berumur 6-15 tahun; b) madrasahlanjutan dengan
masa belajar sekurang-kurangnya tiga tahun setelah tamat dari Madrasah Tingkat Rendah
dan berumur 11 tahun ke atas. Peraturan ini ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan
Menteri Agama No.7 Tahun 1952 yang berlaku untuk seluruh wilayah RI. Dalam peratuan
tersebut dinyatakan bahwa pendidikan madrasah adalah: a) Madrasah Rendah (sekarang
Madrasah Ibtidaiyah), dengan masa belajar 6 tahun; b). Madrasah Lanjutan Tingkat
Pertama (sekarang Madrasah Tsanawiyah), Madrasah Lanjutan Atas (sekarang Madrasah
Aliyah), lama belajar 3 tahun setelah tamat dari Madrasah Tsanawiyah. 11Jamaludin, Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2003), h. 99 12 Edy Suharyono, pengalaman penigkatan mutu pendidikan melalui
pengembangan sekolah di SMAN I Kasihan Bantul, Makalah disajikan dalam seminar
Nasional Peningkatan Mutu pendidikan Melalui pengembangan Budaya sekolah, tanggal 23
November 2005 di Universitas Negeri Yogyakarta. 13Djemari Mardapi, Desain dan pembelajaran mahasiswa. Makalah disajikan
dalam lokakarya sistem jaminan mutu proses pembelajaran, tanggal 19 Juni 2003, di
Universitas Gajah Mada 14Usman Uzer, Menjadi guru profesional, (Bandung:Penerbit PT Remaja
Rosdakarya, 2003), h. 27
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
101
Dalam dunia pendidikan belajar dan pembelajaran tidak hanya terjadi di
sekolah saja, tetapi di tiga pusat yang lazim dikenal dengan tri pusat pendidikan.
Tri pusat pendidikan adalah tempat di mana anak mendapatkan pengajaran baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan keluarga (informal),
sekolah (fomal) maupun masyarakat (non formal). Seseorang dikatakan belajar
jika dalam dirinya terjadi aktivitas yang mengakibatkan perubahan tingkah laku
dan dapat diamati relatif lama. Dalam proses belajar, setiap siswa harus
diupayakan untuk terlibat secara aktif guna mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini
memerlukan bantuan dari guru untuk memotivasi dan mendorong agar siswa
dalam proses belajar terlibat secara totalitas. Guru harus menguasai baik materi
maupun strategi dalam pembelajaran. Slameto15 menyatakan bahwa guru dalam
mengajar harus efektif baik untuk dirinya maupun untuk pembelajar. Untuk
melaksanakan pembelajaran yang efektif diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Belajar secara aktif, baik mental maupun fisik.
2. Guru harus mempergunakan banyak metode pada waktu mengajar
3. Motivasi.
4. Kurikulum yang baik dan seimbang
5. Guru perlu mempertimbangkan perbedaan individual.
6. Guru akan mengajar efektif bila selalu membuat perencanaan sebelum
mengajar.
7. Pengaruh guru yang sugestif perlu diberikan pula kepada siswa.
8. Seorang guru harus memiliki keberanian menghadapi siswa-siswanya.
9. Guru harus mampu menciptakan suasana demokratis di sekolah.
10. Guru perlu memberikan masalah-masalah yang merangsang untuk berfikir
11. Semua pelajaran yang diberikan pada siswa perlu diintegrasikan.
12. Pelajaran di sekolah perlu dihubungkan dengan kehidupan yang nyata di
masyarakat.
13. Dalam interaksi belajar mengajar, guru harus banyak memberi kebebasan
pada siswa.
14. Pengajaran remedial
Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa yang penting dalam
proses belajar mengajar, guru sebagai pengajar tidak mendominasi kegiatan, tetapi
menciptakan atmosfer belajar siswa serta memberikan motivasi dan bimbingan
agar siswa mengembangkan potensi dan kreativitasnya masing-masing. Perilaku
guru akan berkorelasi positif dengan prestasi siswa jika mampu mengalokasikan
dan menggunakan waktu dalam belajar.
Dalam pendidikan, prinsip-prinsip progresif dapat dipaparkan sebagai
berikut;16 1) Proses pendidikan menemukan asal-muasal dan tujuannya pada anak
15Slameto, Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta: PT
Rineka Cipta), h. 92-94 16 George R. Knight, Filsafat Pendidikan ..., h. 148-155.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
102
2) Subyek-subyek didik adalah aktif bukan pasif 3) Peran guru adalah penasihat,
pembimbing, dan pemandu, daripada sebagai rujukan otoriter (tidak bisa dibantah)
dan pengarah ruang kelas 4) Sekolah adalah sebuah dunia kecil (miniatur)
masyarakat besar 5) Aktivitas ruang kelas memfokuskan pada pemecahan masalah
daripada metode-metode artifisial (buatan) untuk pengajaran materi kajian 6)
Atmosfer sekolah harus kooperatif dan demokratis. Dari pemaparan tersebut,
penulis akan mencoba menganalisis kegiatan belajar mengajar di Man Insan
Cendikia berdasarkan pandangan pendidikan progresif, karena di madrasah
tersebut sebagai pusat dari semua madrasah dan sebagai sekolah unggulan.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka penulis ingin menganalisis
kegiatan belajar mengajar di MAN Insan Cendikia. Untuk membelajarkan siswa
sesuai dengan cara gaya belajar mereka sehingga tujuan pembelajaran dapat
dicapai dengan optimal ada berbagai model pembelajaran. Dalam prakteknya, guru
harus ingat bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala
situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang
tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas
media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian
bahwa model-model yang dikembangkan di MAN Insan Cendikia dan dijadikan
alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kondisi yang dihadapi sebagai berikut:
B. Model-model Pembelajaran
Sebuah penelitian,17 menyatakan bahwa Model pembelajaran kooperatif
tipe Pair Checks pemecahan masalah untuk meningkatkan social skill dilakukan
dengan proses pembelajaran. Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok dan satu
kelompok terdiri dari dua orang saja. Mereka harus berusaha untuk menyelesaikan
suatu masalah, kemudian hasil diskusi kelompok mereka akan dicek oleh pasangan
dari kelompok lain. Di akhir proses pembelajaran siswa diberi tugas rumah untuk
mengerjakan soal yang ada dibuku paket siswa. Hal ini bertujuan supaya pada
pertemuan selanjutnya siswa sudah belajar tentang materi yang akan dipelajari di
sekolah.
Belajar merupakan suatu aktivitas dilakukan secara disengaja dalam upaya
memperoleh perubahan dan perbaikan. Hal ini sesuai pendapat Suyono dan
Hariyanto18 bahwa ”belajar adalah suatu aktivitas atas suatu proses untuk
memperoleh pengetahuan, meningkatkan keterampilan, memperbaiki perilaku,
sikap dan mengokohkan kepribadian”. Menurut Hamalik19bahwa “belajar adalah
modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening of behavior through experience)”. Sedangkan
17R. Lestari, S. Linuwih, Penerapan Model Pembelajaran kooperatif Tipe Pair
Checks Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Social Skill Siswa, Jurnal
Pendidikan Fisika Indonesia 8 (2012), h. 194 18Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011), h. 9 19 Hamalik, Psikologi Belajar Mengajar (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 27
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
103
menurut Santoso20 bahwa “belajar adalah proses interaksi dan bukan sekedar
proses penyerapan yang berlangsung tanpa usaha yang aktif dari individu yang
belajar”.
Kegiatan belajar yang dilakukan menghasilkan suatu hasil dalam bentuk
perubahan ke arah yang lebih baik yang disebut hasil belajar. Hasil belajar
dikatakan pula sebagai akhir atau puncak dari kegiatan belajar. Hal ini sesuai
pendapat Dimyati dan Moedjiono21 bahwa”hasil belajar merupakan suatu puncak
proses belajar”. Menurut Slameto22 bahwa “hasil belajar merupakan perubahan
tingkah laku yang terjadi secara berkesinambungan dan tidak statis”. Sedangkan
menurut hasil penelitian23 bahwa “hasil belajar adalah pola-pola perubahan
tingkah laku seseorang yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan/atau psikomotor
setelah menempuh kegiatan belajar tertentu yang tingkat kualitas perubahannya
sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang ada dalam diri siswa dan lingkungan
sosial yang mempengaruhinya”.
Pada hakikatnya kata model memiliki definisi yang berbeda-beda sesuai
dengan bidang ilmu atau pengetahuan yang mengadopsinya. Salah satu definisi
model seperti yang dikemukakan Dilworth (dalam Sakdiahwati) berikut, “A model is an abstract representation of some real world process, system, subsystem. Model are used in all aspect of life. Model are useful in depicting alternatives and in analysing their performance”. Berdasarkan pendapat tersebut
dapat dikatakan bahwa model merupakan representasi abstrak dari proses, sistem,
atau subsistem yang konkret. Model digunakan dalam seluruh aspek kehidupan.
Model bermanfaat dalam mendeskripsikan pilihan-pilihan dan dalam menganalisis
tampilan-tampilan pilihan tersebut.24
Model adalah konstruksi yang bersifat teoritis dari konsep.25 Jadi, model
di sini adalah perencanaan pelaksanaan pembelajaran yang tersusun secara
sistematis yang berasal dari teori-teori tertentu yang membentuk sebuah konsep.
Model adalah bentuk reprensentasi akurat, sebagai proses aktual yang
memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan
20Santoso, Prolematika Pendidikan dan Cara Pemecahannya. (Jakarta: Kreasi
Pena Gading, 2000), h. 39 21Dimyati dan Moedjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2006), h. 20 22Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2003), h. 194 23Supardi U.S. dan Susilo, Penerapan Model Pembelajaran Team Assisted
Individualization Berbantuan Lembar Kerja Siswa Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas
Proses dan Hasil Belajar Matematika Siswa MTs, Jurnal Formatif, (2011), h. 192-207. 24Sakdiahwati, Makalah: ”Penerapan Model Sinektik Dalam Meningkatkan
Kreativitas Menulis Studi Kuasi Eksperimen dalam Pembelajaran Menulis pada
SiswaKelas I SMPN di Kota Palembang)”,dalam http://www.puslitjaknov.depdiknas.go.id.
tt. 25Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Renika Cipta,
2004), h. 95
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
104
model itu. Pengertian model pembelajaran, merupakan landasan praktik
pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan belajar, yang
dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi
kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di depan kelas. Memilih
suatu model mengajar, harus sesuaikan dengan realitas yang ada dan situasi kelas
yang ada, serta pandangan hidup yang akan dihasilkan dari proses kerjasama
dilakukan antara guru dan peserta didik.26
Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling
mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat dalam sistem
pembelajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga
laboratorium. Material meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur, fotografi,
slide, dan film, audio dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari
ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer. Prosedur, meliputi
jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan
sebagainya.27
Adapun dari sumber lainnya, model pembelajaran adalah kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu dan berfungsi sebagai
pedoman bagi perancang pembelajaran dan para pengajar/tutor dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivititas pembelajaran.28
Menurut Suyatno, model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang
tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas.
Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi siswa dengan
pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Pendekatan adalah konsep dasar
yang mewadahi, menginsipirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran
dengan cakupan teoretis tertentu. Metode pembelajaran adalah prosedur, urutan,
langkah-langkah, dan cara yang digunakan guru dalam pencapaian tujuan
pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa metode pembelajaran merupakan jabaran
dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode
pembelajaran. Dapat pula dikatakan bahwa metode adalah prosedur pembelajaran
yang difokuskan ke pencapaian tujuan. Dari metode, teknik pembelajaran
diturunkan secara aplikatif, nyata, dan praktis di kelas saat pembelajaran
berlangsung. Teknik adalah cara kongkret yang dipakai saat proses pembelajaran
berlangsung. Guru dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode
yang sama. Satu metode dapat diaplikasikan melalui berbagai teknik
26Wowo Sunaryo Kuswana, Model Pembelajaran Dalam Konteks Kurikulum
2004, makalah, dalam http://energimandiri.com. tt. 27 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007),
h. 57 28Hiryanto,Model-modelPembelajaran,dalam
masririt.files.wordpress.com/2007/12/model-model-pembelajaran.ppt. 18 November 2016.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
105
pembelajaran. Bungkus dari penerapan pendekatan, metode, dan teknik
pembelajaran tersebut dinamakan model pembelajaran.29
Adapun menurut Trianto, model pembelajaran adalah suatu perencanaan
atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran
mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk di
dalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran,
lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas.30 Dan dalam tulisannya Akhmad
Sudrajat mengemukakan, apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan
bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh
maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran.31
Jadi, model pembelajaran adalah suatu perencanaan yang dibuat sesuai
dengan kurikulum, didalamnya terdapat langkah-langkah secara tersusun sebagai
pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas atau pembelajaran tutorial.
Dan pelaksanaannya sangat tergantung pada guru yang bersangkutan.
Adapun ciri-ciri dari model pembelajaran seorang guru sebelum memilih
sebuah model pembelajaran maka sebaiknya terlebih dahulu tahu mengenai sifat-
sifat atau ciri-ciri sehingga dalam pelaksanaannya sebuah model pembelajaran
akan berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Pada umumnya model-
model mengajar yang baik memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang dapat dikenali
secara umum sebagai berikut:
1. Memiliki prosedur yang sistematik. Jadi, sebuah model mengajar
merupakan prosedur yang sistematik untuk memodifikasi perilaku siswa,
yang didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu.
2. Hasil belajar ditetapkan secara khusus. Setiap model mengajar
menentukan tujuan-tujuan khusus hasil belajar yang diharapkan dicapai
siswa secara rinci dalam bentuk unjuk kerja yang dapat diamati. Apa yang
harus dipertunjukkan oleh siswa setelah menyelesaikan urutan
3. Pengajaran disusun secara rinci dan khusus.
4. Penetapan lingkungan secara khusus. Menetapkan keadaan lingkungan
secara spesifik dala model mengajar.
5. Ukuran keberhasilan. Menggambarkan dan menjelaskan hasil-hasil belajar
dalam bentuk perilaku yang seharusnya ditunjukkan oleh siswa setelah
menempuh dan menyelesaikan urutan pengajaran.
29Suyatno, Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran
dalam http://www.klubguru.com, 03 Maret 2017. 30Trianto, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek,
(Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher, 2007), h. 1 31Akhmad Sudrajat, Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan
Model Pembelajaran, dalam http://www.psbpsma. org/content/blog/pengertian-
pendekatan-strategi-metode-teknik-taktikdan-model-pembelajaran. 03 Oktober 2017
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
106
6. Interaksi dengan lingkungan. Semua model mengajar menetapkan cara
yang memungkinkan siswa melakukan interaksi dan bereaksi dengan
lingkungan.32
Dari sifat-sifat atau ciri-ciri umum yang dimiliki oleh sebuah model
pembelajaran, maka akan mempermudah guru dalam hal memilih dan
memprediksi proses pelaksanaan sebuah model pembelajaran. sehingga guru tahu
kriteria sebuah model pembelajaran haruslah memiliki prosedur yang sistematik
(seperti pembuatan RPP), tetapi dengan hasil belajar dengan lingkungan belajar
yang telah ditetapkan secara khusus, evaluasi tingkat keberhasilan telah
ditentukan dan siswa diajak berinteraksi dan bereaksi dengan lingkungan sekitar
setiap kali KBM berlangsung.
Pembelajaran merupakan usaha sadar dan disengaja oleh guru untuk
membuat siswa belajar dengan jalan mengaktifkan faktor intern dan ekstern dalam
kegiatan belajar mengajar. Sedangkan pembelajaran harus disesuaikan dengan
materi dan tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dalam proses pembelajaran
keaktifan siswa lebih diutamakan sehingga mereka mempunyai kebebasan yang
bertanggung jawab untuk mengungkapkan ide atau gagasan dalam pemikirannya.
Sistem pembelajaran memiliki tiga ciri khas, yaitu: rencana, kesalingtergantungan
(interdependence) dan tujuan. Rencana ialah penataan ketenagaan, material, dan
prosedur, yang merupakan unsur-unsur sistem pembelajaran, dalam suatu rencana
khusus. Unsur-unsur sistem pembelajaran saling tergantung (interdependence), serasi dalam suatu keseluruhan. Setiap unsur bersifat penting, dan masing-masing
memberikan sumbangannya kepada sistem pembelajaran. Sistem pembelajaran
mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai. Tujuan utama sistem
pembelajaran agar siswa belajar secara efisien dan efektif.33
Proses belajar mengajar memiliki empat komponen yaitu tujuan, bahan,
metode dan alat, serta penilaian. Keempat komponen tersebut tidaklah berdiri
sendiri, tetapi saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain
(interelasi). Tujuan merupakan rumusan tingkah laku dan kemampuan yang harus
dicapai dan dimiliki peserta didik setelah menyelesaikan pengalamannya dan
kegiatan belajar dalam proses pengajaran. Isi tujuan pengajaran pada hakikatnya
adalah hasil belajar.
Adapun Ciri-ciri pembelajaran tersebut terletak pada unsur-unsur dinamis
dalam proses belajar yaitu: a Motivasi belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai
serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga
seseorang itu mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan
berusaha untuk mengelakkan perasaan tidak senang atau suka itu. b Bahan belajar,
bahan belajar merupakan isi dalam pembelajaran. bahan atau materi belajar perlu
berorientasi pada tujuan yang akan dicapai siswa dan memperhatikan karakteristik
32Buchari Alma, Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar,
(Bandung: Alfabeta, 2008), h. 102-103. 33 Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara. 2003), h. 66
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
107
siswa agar dapat diminati siswa. c Alat bantu belajar, alat bantu belajar atau
media belajar merupakan alat yang dapat membentuk siswa belajar untuk
mencapai tujuan belajar misalnya media cetak, media elektronika dan lain-lain. d
Suasana belajar, suasana belajar yang dapat menimbulkan aktivitas atau kegiatan
dalam belajar siswa adalah adanya komunikasi dua arah, kegairahan dan
kegembiraan belajar. e. Kondisi siswa yang belajar.
Ciri-ciri pembelajaran sebenarnya adalah upaya guru mengatur unsur-
unsur dalam pembelajaran, sehingga dapat mengaktifkan siswa dalam kegiatan
belajar mengajar agar terjadi proses belajar dan tujuan belajar dapat tercapai.
Pembelajaran dapat terjadi apabila unsur-unsur dinamis dapat terpenuhi. Adanya
motivasi belajar, bahan belajar, alat bantu belajar, suasana belajar, dan kondisi
siswa belajar sangat mempengaruhi keberhasilan proses belajar. Untuk itu,
kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada peran dan partisipasi siswa, bukan
peran guru yang dominan, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator (memberi
kemudahan pada siswa untuk belajar), motivator dan sebagai pembimbing
(memberi bimbingan kepada siswa yang memerlukan).34
1. Kooperatif (Cooperative Learning).
Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode
pengajaran di mana siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling
membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Para siswa
diharapkan dapat saling membantu, mendiskusikan dan berargumentasi, untuk
mengasah pengetahuan yang mereka kuasai dan menutup kesenjangan dalam
pemahaman masing-masing.35 Dalam prakteknya di lapangan, guru menjadi orang
yang lebih aktif dalam proses pembelajaran dibandingkan dengan peserta didik.
Hal itu mengakibatkan peserta didik menjadi pasif dan merasa jenuh dalam proses
belajar. Sikap peserta didik pun menjadi takut dengan matematika. Kejenuhan
tersebut dapat dilihat dari penerimaan materi. Mereka cenderung diam dan tidak
berani mengeluarkan pendapat. Hal tersebut terjadi karena monotonnya
pembelajaran yang dilaksanakan sehingga pikiran peserta didik tidak tereksplor
dengan maksimal. Akibatnya kemampuan penalaran dan komunikasi matematik
peserta didik tidak berkembang dengan baik.
Guru merupakan motor utama yang memiliki tanggung jawab langsung
untuk menterjemahkan kurikulum ke dalam aktivitas pembelajaran dan bukan
satu-satunya sumber utama pengetahuan. Hal tersebut dapat dilihat dari tugas dan
peran guru, antara lain sebagai komunikator, fasilitator, motivator, model,
evaluator, sumber belajar dan administrator. berkaitan dengan tugas guru tersebut,
maka seorang guru harus memiliki keterampilan untuk melaksanakan
34Gino, Suwarni, Suripto, Maryanto dan Sutijan, Belajar dan Pembelajaran I.
(Surakarta: UNS Press, 2000), h. 36-39 35Slavin, R. E, Cooperative Learning Teori Riset Dan Praktik, (Bandung:Nusa
Media, 2008), h. 4
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
108
pembelajaran di kelas dengan sebaik-baiknya agar siswa mendapatkan hasil
belajar yang optimal. konsep listrik cukup akrab dengan kehidupan sehari-hari
siswa. melalui penerapan pembelajaran kooperatif pada konsep listrik ini,
diharapkan dapat merespon keluhan akan rendahnya pemahaman konseptual
siswa. hal ini senada dengan hasil penelitian36 menyatakan guru merupakan sosok
yang keberadaannya tidak dapat digantikan oleh media atau fasilitas pembelajaran
apapun. Kehadiran guru masih tetap diperlukan, sebagaimana dikemukakan
Supandi37 “Kehadiran guru sebagai sosok yang berdiri di depan kelas
keberadaannya sampai kapanpun tidak dapat digantikan oleh media pembelajaran
secanggih apapun. Guru harus tetap melaksanakan pembelajaran secara langsung
di depan siswa”. Oleh karena itu apapun alasannya guru harus mengajar langsung
di depan siswa agar tujuan pembelajaran yang ditetapkan dapat tercapai.
Suatu penelitian38, menyatakan bahwa proses pembelajaran dapat
terlaksana dengan baik, maka salah satu yang perlu dibenahi adalah perbaikan
kualitas tenaga pengajarnya. Dengan perbaikan ini, guru paling tidak dapat
mengorganisasi pembelajaran dengan jalan menggunakan teori-teori belajar, serta
mendesain pembelajaran yang dapat menimbulkan minat serta memotivasi siswa
dalam belajar. Dalam pembelajaran matematika, guru tidak cukup terfokus hanya
pada satu model dan metode tertentu saja. Guru perlu mencoba menerapkan
berbagai model dan metode yang sesuai dengan tuntutan materi pembelajaran,
termasuk dalam penerapan model pembelajaran kooperatif dengan metode belajar
kelompok. Pemilihan model dan metode yang tepat tersebut akan dapat
meningkatkan pencapaian hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan. Senada
dengan guru biologi di MAN Insan Cendikia Serpong kelas X39 menyatakan
bahwa guru harus kaya dengan model-model pembelajaran dan mempraktikkan di
kelas agar pembelajaran lebih kooperatif antara murid dengan murid dan dengan
kelompok lainnya serta guru sebagai fasilitator untuk murid.
Model yang relevan diperlukan untuk mengoptimalkan, meningkatkan,
dan menumbuhkembangkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematik
peserta didik. Salah satu cara memperbaiki rendahnya penalaran dan komunikasi
matematik peserta didik adalah dengan cara mengubah model pembelajaran yang
biasa digunakan dengan model pembelajaran yang lebih mendukung aktivitas
peserta didik dalam memahami suatu materi dan lebih menekankan peserta didik
36Yani Nurhaeni Meningkatkan Pemahaman Siswa Pada Konsep Listrik Melalui
Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Siswa Kelas IX SMPN 43 Bandung, Jurnal
Penelitian Pendidikan Vol. 12 No. 1 April 2011, h. 78-79 37Supandi, Peranan Guru dalam Proses Pembelajaran. (Jakarta: Depdikbud,
1992), h. 23 38Ning Endah Sri Rejeki meningkatkan hasil belajar matematika melalui model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw Pada siswa kelas VIII G semester 2 SMP negeri 2
toroh grobogan, Jurnal Lemlit, Volume 3 Nomer 2 Desember 2009 39Hasil wawancara dengan guru biologi kelas X di MAN IC Serpong Tangerang
pada tanggal 20 Februari 2018
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
109
berperan aktif dalam pembelajaran sehingga dapat meningkatkan penalaran dan
komunikasi matematik peserta didik. Model pembelajaran yang efektif dan
diperkirakan dapat meningkatkan kualitas penalaran dan komunikasi matematik
peserta didik adalah model pembelajaran kooperatif, sebab dalam pembelajaran
kooperatif, peserta didik ditekankan untuk lebih aktif.
Berbagai model pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas siswa saat
ini telah banyak dikemukakan. Salah satu model yang dapat digunakan untuk
meningkatkan aktivitas belajar adalah model cooperative learning atau
pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu model
pembelajaran yang digunakan untuk proses belajar, dengan pembelajaran
kooperatif siswa akan lebih mudah menemukan secara komprehensif konsep-
konsep yang sulit jika mereka mendiskusikan dengan siswa yang lain tentang
masalah yang dihadapi.
Dalam prosesnya peserta didik dituntut untuk bekerja sama dengan teman
sekelompoknya untuk memahami sesuatu permasalahan sehingga proses penalaran
dan komunikasi lebih baik dan lebih mudah untuk dijelaskan.Pembelajaran
kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana siswa
bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama
lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Para siswa diharapkan dapat saling
membantu, mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan
yang mereka kuasai dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-
masing.40 Langkah-langkah pembelajaran kooperatif menurut Arends41 dapat
dilihat pada Tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif
No Fase Perilaku Guru
1 Fase pertama menyampaikan
tujuan dan motivasi siswa
Guru menyampaikan tujuan-tujuan
pembelajaran dan memberikan motivasi
belajar pada siswa.
2 Fase kedua menyampaikan
informasi
Guru menyampaikan informasi kepada
siswa baik dengan peragaan
(demonstrasi) atau dengan teks.
3 Fase ketiga mengorganisasikan
siswa dalam kelompok belajar.
Guru menjelaskan pada siswa
bagaimana cara membentuk kelompok
belajar dan membantu setiap kelompok
membuat perubahan yang efisien.
4 Fase keempat membantu kerja
kelompok dalam belajar
Guru membantu kelompok-kelompok
belajar pada saat mereka mengerjakan
tugas.
40Slavin, R. E, Cooperative Learning Teori Riset Dan Praktik, (Bandung:Nusa
Media, 2008), h. 4 41Arends, R. I, Classroom Intruction And Management. (USA: The MC. Graw Hill
Companies, Inc, 1997), h. 113
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
110
5 Fase kelima Mengujikan materi
Guru mengujikan semua materi
pelajaran atau kelompok-kelompok
menyajikan hasil-hasil pekerjaan
mereka.
6 Fase keenam menyediakan
penghargaan
Guru memberikan cara-cara untuk
menghargai baik usaha maupun prestasi
belajar individu dan kelompok.
Belajar kooperatif merupakan belajar dengan pendekatan pengajaran
melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi
belajar guna mencapai tujuan belajar. Menurut Lie42, ”Metode pembelajaran
kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok”. Ada unsur-unsur
dasar pembelajaran kooperatif yang membedakanya dengan pembagian kelompok
asal-asalan. Pengelompokan heterogenitas (keanekaragaman) merupakan ciri yang
menonjol dalam metode pembelajaran ini. Kelompok heterogenitas dapat dibentuk
dengan mempertimbangkan keanekaragaman gender, latar belakang agama, sosio-
ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Menurut Arends43 disebutkan
bahwa “the tree instructional goals of cooperative learning are academic achievement, acceptance of diversity and development of social skill”. Hasil
belajar pada pembelajaran kooperatif menurut Arends dapat dilihat pada Gambar
2
Gambar 4.1 Model Pembelajaran Kooperatif
Metode pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai 3 tujuan
utama yaitu: pencapaian akademik, penerimaan atau perbedaan dan
42 Lie, A, Cooperative Learning, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004) 43Arends, Learning to Teach Fifth Edition. (New York: Mc. Graw Hill Company,
2001), 315
Cooperative
Learning
Academic Achievement
Acceptance
of Diversity
Social Skill
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
111
mengembangkan kemampuan sosial. Pembelajaran kooperatif dapat memberikan
keuntungan pada siswa yang berpencapaian rendah dan siswa yang berpencapaian
tinggi dalam proses pembelajaran. Siswa yang berpencapaian lebih tinggi dapat
mengajari siswa yang berpencapaian rendah. Ini memberikan keuntungan terhadap
siswa yang berpencapaian tinggi karena dengan membagikan ide atau
pengetahuannya, siswa tersebut menjadi lebih dalam pengetahuannya tentang
materi atau bahan ajar. Sedangkan siswa yang berpencapaian rendah lebih tertarik
dalam belajar. Menurut Slavin44 ”Pembelajaran kooperatif bukan hanya sebuah
teknik pengajaran yang ditujukan untuk meningkatkan pencapaian prestasi para
siswa, ini juga merupakan cara untuk menciptakan keceriaan, lingkungan yang
prososial di dalam kelas, yang merupakan salah satu manfaat penting untuk
memperluas perkembangan interpersonal dan keefektivan”.
Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk mampu berpartisipasi aktif
dan berkomunikasi. Antara lain keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap
sopan terhadap teman, mengkritik ide, dan bukan mengkritik teman, berani
mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain yang bermanfaat.
Menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja
diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya
memperoleh teguran dari guru tetapi juga dari sesama siswa.
Pembelajaran kooperatif sudah dikenal dalam pembelajaran sehari-hari
dalam pelaksanaannya masih ada yang menganggap sebegai belajar kelompok
biasa. Berikut beberapa pengertian pembelajaran kooperatif menurut para ahli.
Slavin dalam Isjoni45 menyatakan bahwa Cooperative Learning adalah suatu
model pembalajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok
kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur heterogen.
Huda46 menyatakan bahwa:
Pembelajaran kooperatif merupakan kemandirian belajar pembelajaran
kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus
didasarkan pada perubahan informasi secara sosial diantara kelompok-
kelompok pembelajar yang di dalamnya seiap pembelajar bertanggung
jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan
pembelajaran anggota-anggota yang lain.
Isjoni47 berpendapat bahwa Cooperative Learning adalah suatu model
pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar
mengajar yang berpusat pada siswa (student oriented), terutama untuk mengatasi
44Slavin, R. E, Cooperative Learning Teori Riset Dan Praktik.... 100 45Slavin RE, Coopereatif Learning: Suatu Pengantar Kepada Teori Tes dan
Pengukuran, (Jakarta: Dikti PPLPTK, 2010), h. 12 46M. Huda, Cooperative Learning: Metode, Teknik, Struktur, dan Model
Penerapan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), h. 29 47Isjoni, Cooperative Learning Efekivitas Pembelajaran Kelompok,
(Bandung:Alfabeta, 2010), h. 16
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
112
permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat
bekerjasama dengan orang lain, agresif, dan tidak peduli pada yang lain.
Belajar kelompok biasa belum tentu menjadikan semua peserta didik
untuk aktif belajar. Biasamya peserta didik saling mangandalkan dalam
menyelesaikan tugas atau membagi tugas yang tidak menuntut semua anggotanya
untuk memahami materi. Suprijono48 menyatakan bahwa “pembelajaran
kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok
termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh atau diarahkan oleh guru”.
Pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran kolaboratif yang saling
membagi tugas dalam kelompoknya. Pada dasarnya pembelajaran kooperatif
menuntut semua peserta didik untuk aktif belajar.
Roger dan David Johnson dalam Suprijono49 berpendapat bahwa tidak
semua belajar kelompok dapat dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk
mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalm model pembelajaran kooperatif
harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah sebagai beriku.
a. Positive interdependence (saling ketergantungan positif)
b. Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan)
c. Face to face promotive interaction (interaksi promotif)
d. Interpersonal skill (komunikasi antar anggota)
e. Group Processing (pemprosesan kelompok)
Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk mampu berpartisipasi aktif
dan berkomunikasi. Antara lain keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap
sopan terhadap teman, mengkritik ide, dan bukan mengkritik teman, berani
mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain yang bermanfaat.
Menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja
diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya
memperoleh teguran dari guru tetapi juga dari sesama siswa.
Pada tahun 1916, John Dewey, menulis buku berjudul “Democracy and Education” Di dalam buku itu dia menyatakan bahwa kelas seharusnya cermin
masyarakat yang Iebih besar dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar
tentang kehidupan nyata. Dewey mengharuskan guru menciptakan suatu sistem
sosial yang dicirikan dengan prosedur demokrasi dan proses ilmiah di dalam
lingkungan belajarnya. Tanggungjawab utama mereka adalah memotivasi siswa
untuk bekerja secara kooperatif dan memikirkan masalah sosial penting yang
muncul pada hari itu dalam kelas. Di samping upaya pemecahan masalah di dalam
kelompok kecil mereka, siswa belajar menghormati satu sama lainnya melalui
interaksi. Pendapat Dewey tersebut dikembangkan oleh Herbert Thelan
tahun1954, dengan argumentasi bahwa kelas haruslah merupakan laboratorium
48A. Suprijono, Cooperative Learning; Teori & Aplikasi PAIKEM, (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2010), h. 54 49A. Suprijono, Cooperative Learning... h. 58
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
113
atau miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial dan
antar pribadi. Dewey dan Thelan berpendapat bahwa tingkah laku kooperatif
merupakan dasar demokrasi, dan sekolah dipandang sebagai laboratorium untuk
mengembangkan tingkah laku demokrasi sehingga terjadi rasa tanggung jawab
yang sama dalam mencapai keberhasilan50.
2. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Suatu penelitian51menyatakakan bahwa pencapaian Kemampuan
Pemahaman matematis siswa, yang pembelajarannya menggunakan pendekatan
Kontekstual lebih baik daripada yang cara konvensional. Pencapaian siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual mendapat
pencapaian yang bagus sedangkan kelas yang pembelajarannya konvensional
masih sangat kurang. Selain itu juga peningkatan kemampuan pemahaman
matematis siswa, yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual
lebih baik daripada yang cara konvensional. Peningkatan kemampuan siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual mendapat
pencapaian yang bagus sedangkan kelas yangg pembelajarannya konvensional
masih sangat kurang.
Pendefinisian pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yang
dikemukakan oleh ahli sangatlah beragam, namun pada dasarnya memuat faktor-
faktor yang sama. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka.52 Menurut E. Mulyasa53, pendekatan pembelajaran kontekstual
(Contextual Teaching and Learning) atau sering disingkat dengan CTL adalah
suatu konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi
pelajaran dengan dunia nyata, sehingga para siswa mampu menghubungkan dan
menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Johnson54
menyebutkan bahwa CTL merupakan sebuah sistem yang merangsang otak untuk
menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. CTL adalah suatu sistem
50Kusen, Strategi Pembelajaran Kooperatif Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar,
Ta’dib, Volume 19, No. 1 Juni (2016), h. 36 51Ratna Sariningsih Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemahaman Matematis Siswa SMP, Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP
Siliwangi Bandung, Vol 3, No.2, September 2014, h. 161 52Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
(Jakarta: Kencana, (2006), h. 253 53 E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 207-218 54 Johnson, Elaine B, Contextual Teaching and Learning: what it is and why it’s
here to stay Ibnu Setiawan. Terjemahan, (Bandung: MLC, 2009), h. 57
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
114
pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan
menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari
siswa. Johnson55 juga mengungkapkan bahwa untuk membantu mengembangkan
potensi siswa, CTL memberikan kesempatan untuk menggunakan keahlian
berpikir pada tingkatan yang lebih tinggi dalam dunia nyata. Dengan begitu siswa
sedikit demi sedikit akan membangkitkan kebiasaan berpikir dengan baik,
berpikiran terbuka, mendengarkan orang lain dengan tulus, berpikir sebelum
bertindak, mendasari kesimpulan dengan bukti kuat, dan melatih imajinasi.
Johnson56 juga Pembelajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam
aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan
konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para
siswa melihat makna di dalam tugas sekolah. Ketika para siswa menyusun proyek
atau menemukan permasalahan yang menarik, ketika mereka membuat pilihan dan
menarik tanggung jawab, mencari informasi dan menarik kesimpulan, ketika
mereka secara aktif memilih, menyusun, mengatur, menyentuh, merencanakan,
menyelidiki, mempertanyakan, dan membuat keputusan, mereka mengaitkan isi
akademis dengan konteks dalam situasi kehidupan, dan dengan cara ini mereka
menemukan makna. Apabila dalam pembelajaran matematika siswa diberikan
masalah yang dekat dengan kehidupan mereka melalui pembelajaran kontekstual,
maka siswa akan mencoba untuk menghubungkan dan mengkonstruksi
pemahaman konsep secara teoritis atau abstrak sesuai dengan sifat matematika
dan pengalaman yang pernah mereka dapat. Pengalaman yang dimaksud adalah
segala aktivitas atau kegiatan yang pernah siswa alami sebelum pembelajaran atau
saat pembelajaran berlangsung. Sehingga diharapkan melalui proses berpikir siswa
tersebut, kemampuan analisis siswa dalam memecahkan masalah melalui
pembelajaran kontekstual akan meningkat. Dengan demikian dimungkinkan
pembelajaran kontekstual dapat mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Seperti hasil penelitian57 berdasarkan uraian di atas perlu
dilakukan penelitian mengenai optimalisasi kemampuan siswa sekolah dasar
dalam hal memecahkan masalah matematika melalui paradigma pembelajaran
yang mengorientasikan siswa untuk memecahkan masalah yang dekat dengan
pengalaman siswa melalui pembelajaran kontekstual. Salah satu hal yang dapat
dilakukan adalah dengan meneliti pengaruh pembelajaran kontekstual terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sekolah dasar dan hasil yang
diperolehnya adalah ada pengaruh pembelajaran kontekstual terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa SD. Sementara itu pembelajaran
55 Johnson, Elaine B, Contextual Teaching and Learning: what it is and why it’s
here to stay, h. 182 56Johnson, E.B, Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-
Mengajar Mengasikkan dan Bermakna (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h. 35 57Mohammad Faizal Amir Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Dasar, Oktober 2015, h. 34-
35
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
115
kontekstual memiliki tingkat pengaruh besar terhadap kemampuan pemecahan
masalah siswa SD.
Suatu penelitian58, menyatakan bahwa salah satu upaya untuk mengatasi
krisis karakter adalah menanamkan kembali nilai-nilai karakter mulia pada peserta
didik yang diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Mata pelajaran Fisika
merupakan salah satu mata pelajaran di SMA yang dapat dijadikan sebagai sarana
pengimplementasian nilai-nilai karakter bagi peserta didik. Mata pelajaran fisika
adalah salah satu mata pelajaran dalam rumpun sains yang mempelajari fenomena
alam, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini jelas mengindikasikan
bahwa banyak bagian dari fisika yang dapat digunakan untuk
mengimplementasikan nilai-nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini
berkembang tuntutan untuk mengedepankan membangun karakter bangsa. Dunia
pendidikan diharapkan dapat berperan dalam proses pembangunan karakter
bangsa. Tenaga pendidik hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam
pembelajaran di kelas59. Senada dengan guru Pkn di MAN IC Serpong kelas XI60
menyatakan sangatlah penting ketika mengajar haruslah menonjolkan nilai-nilai
karakter kepada peserta didik agar mereka bukan hanya faham dalam pendidikan
kewarganegaraan tetapi bagaimana cara mengaplikasikan nilai-nilai karakter
dalam diri mereka.
Dalam diskursus tentang pendidikan, terdapat dua hal yang sering
dipertentangkan tetapi saling bersimbiosis mutualistik yaitu antara teori dan
praktik. Kita diingatkan oleh filsuf pendidikan John Dewey, bahwa teori pada
endingnya dan seyogyanya akan menjadi sesuatu yang paling praktis. Selain itu
menurut Beauchhamp, semua teori diturunkan dari teori-teori yang ada pada tiga
kategori ilmu, yaitu humaniora, ilmu alam, dan ilmu sosial.
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching & Learning/CTL)
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan
mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat61. Kelebihan pendekatan ini
58Sri Wahyu Widyaningsih dan Irfan Yusuf Penerapan Pembelajaran Listrik
Dinamis Model Kooperatif Tipe Stad Menggunakan Pendekatan CTL Dengan Integrasi
Nilai-Nilai Karakter Terhadap Aktivitas Dan Hasil Belajar Peserta Didik, Pancaran, Vol. 4,
No. 2, Mei 2015, h. 224-225 59 Widyaningsih, S.W, Pembentukan Karakter Bertanggung Jawab dan Rasa Ingin
Tahu Melalui Penerapan Metode Quantum Learning dengan Menggunakan Media Alat
Peraga Sederhana pada Pembelajaran Fisika. Prosiding Seminar Nasional MIPA dan
Pendidikan MIPA UNP Tahun 2011“Integrasi Pendidikan Berkarakter dalam Kurikulum
MIPA dan Pendidikan MIPA”. 2011, h. 298 60 Hasil wawancara dengan guru Pkn kelas XI di MAN IC Serpong Tangerang
pada tanggal 06 Maret 2018 61 Nurhadi, Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. (Jakarta: Grasindo, 2004),
h. 103.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
116
yaitu hasil pembelajaran diharapkan alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja
dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dengan konsep
tersebut guru tidak hanya sekedar memberikan informasi tetapi lebih banyak
berurusan dengan strategi untuk membantu siswa mencapai tujuannya.
Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual (CTL) adalah salah satu topik
hangat dalam salah satu topik hangat dalam dunia pendidikan saat ini. CTL
menawarkan jalan menuju keunggulan akademis yang dapat diikuti oleh semua
peserta didik. Hal ini bisa terjadi karena CTL sesuai dengan cara kerja otak dan
prinsip-prinsip yang menyokong sistem kehidupan. Penemuan-penemuan terbaru
dalam ilmu pengetahuan modern tentang otak, dan prinsip-prinsip dasar tertentu
yang menyokong semua sistem kehidupan dan keseluruhan alam semesta, menjadi
dasar bagi pembelajaran dan pengajaran kontekstual. CTL adalah sebuah sistem
menyeluruh yang menyerupai cara kerja alam bekerja. Alih-alih mempertahankan
dualism antara pikiran dan tindakan yang telah melumpuhkan pendidikan Amerika
semenjak metode itu dipakai, CTL justru ingin menyatukan konsep dan praktik.62
Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang
menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal. Siswa harus
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Bahwa pengetahuan
tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta. Fakta atau proposisi yang terpisah,
tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.63
CTL dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20
sekolah dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunai pendidikan di Amerika
Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada
guru-guru dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di
Amerika Serikat, melalui Direktorat SLTP Depdiknas Pendekatan Kontekstual
62Ibnu Setiawan (pen.), Contextual Teaching and Learning, (Bandung: Kaifa
Learning, 2010), h. 65. 63http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2120608-landasan-filosofi-ctl.
Lebih lengkapnya lihat Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003, h. 26 Menurut
filsafat konstruktivisme oleh Suparno menyatakan bahwa ”pengetahuan itu adalah bentukan
(konstruksi) siswa sendiri yang sedang belajar “. Pengetahuan seseorang tentang anjing
adalah bentukan siswa sendiri yang terjadi karena siswa mengolah, mencerna dan akhirnya
merumuskan pengertian tentang anjing. Jadi menurut filosofi konstruktivisme pengetahuan
merupakan bentukan (konstruksi) dari orang yang sedang belajar, yaitu dengan
mengembangkan ide-ide dan pengertian yang dimiliki oleh pribadi orang belajar tersebut.
Dengan cara ini siswa dapat menjalani proses mengkonstruksi pengetahuan baik berupa
konsep, ide maupun pengertian tentang sesuatu yang sedang dipelajarinya. Agar proses
pembentukan pengetahuan dapat berkembang dengan baik, maka kehadiran pengalaman
menjadi sangat penting untuk tidak membatasi pengetahuan siswa. Pengetahuan yang
dibentuk dengan sendirinya oleh siswa ini dapat memunculkan atau mendorong terhadap
siswa untuk mencari dan menemukan pengalaman baru. Lihat
http://sutisna.cm/artikel/artikel-kependidikan/pembelajaran-menurut-filsafat-
konstruktivisme/
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
117
atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat US Departement of Education tahun 2001. Dalam
konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa
mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menghadari bahwa
apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan
membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal
yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk
menggapainya.
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa
dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan strategi
daripada memberi informasi. Guru hanya megelola kelas sebagai sebuah tim yang
bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar
mengajar lebih diwarnai Student centered daripada teacher centered. Menurut
Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Mengkaji
konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa. 2) Memahami latar belakang
dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama. 3)
Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya
memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam
pembelajaran kontekstual. 4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep
atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki
siswa dan lingkungan hidup mereka. 5) Melaksanakan penilaian terhadap
pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap
rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya.
Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk
belajar yang penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing),
menerapkan (applying), bekerjasama (cooperating) dan mentransfer
(transferring).64 Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual
64http://ipotes.wordpress.com/2008/05/13/pendekatan-kontekstual-atau-contextual-
teaching-and-learning-ctl/. Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan
inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru
dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang
sudah diketahui siswa dengan informasi baru. Mengalami merupakan inti belajar
kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman
maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat
memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan
masalah. Guru dapet memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic dan
relevan. Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan
yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi
masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
118
(CTL) memiliki tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism),
menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang
sebenarnya (Authentic).
Dalam wacana pendidikan, ada dua tataran yang kerap menjadi diskursus,
yakni teori dan praktik. John Dewey mengingatkan kita bahwa teori pada akhirnya
dan seyogyanya akan bermetamorfosis menjelma menjadi sesuatu yang sangat
praktis. Dalam perjalanan waktu, beragam teori muncul secara silih berganti, baik
teori itu bersifat baru, ataupun menguatkan teori sebelumnya, ataupun antitesis
dari teori sebelumnya, dan terkadang teori itu merupakan sinergisitas dari
berbagai pendekatan cabang disiplin ilmu, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Beauchamp.65 Semua teori termanifestasikan ke dalam tiga kategori ilmu, yaitu
humaniora, ilmu alam, dan ilmu sosial. CTL juga merupakan sinergisitas dari
berbagai disiplin ilmu.
Untuk memahami hubungan teori dan implementasinya dalam dunia
pendidikan, ada empat konsep kunci yang saling berkaitan, yaitu teaching, learning, instruction, dan curriculum. Keterkaitannya dapat diuraikan sebagai
berikut. Teaching adalah refleksi sistem kepribadian sang guru yang bertindak
secaraq profesional; learning adalah refleksi sistem kepribadian siswa yang
menunjukkan prilakunya, terkait dengan tugas yang diberikan; instruction adalah
sistem sosial tempat berlangsunya sistem pembelajaran; sedangkan curriculum
adalah sistem sosial yang berujung pada sebuah rencana pengajaran.66 Johnson
memberikan gambaran sederhana tentang CTL, sebagai berikut :
“…an education process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic they are studing by connecting academic subjects with the context their daily lives, that is, with context of their personal, social, and cultural circumstance. To achive this aim, the system encompasses the following eight components; making meaningfull connection, doing significant work, self-regulation learning, collaborating, critical and creative thingking, nurturing the individual, reaching high standarts, using authentic assesment.
“…sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para
siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkan subyek-subyek akademik dengan konteks keseharian mereka,
yaitu yang berkaitan dengan keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Untuk
mencapai tujuan ini sistem tersebut mencakup delapan komponen, berikut:
membanti siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus
pada pemahaman bukan hapalan. 65Beauchamp, George A, dalam Curriculum Theory, (Wilmette : The Kagg Press,
1975), h. 3-6. 66Zais, Robert S.,Curriculum: Principles and Foundations, (tt., tp. 1976), h. 94
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
119
membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang
berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerja sama,
berfikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang,
mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian otentik.67
Komponen-komponen individual dari sistem CTL merupakan bagian-
bagian yang saling berhubungan di dalam satu sistem yang memang masih
dikatakan baru, tetapi nilai dari setiap komponen itu sudah dikenal lama. Selama
bertahun-tahun para guru yang kreatif dan inovatif telah melakukan serangkaian
terobosan dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan menggunakan dan
mengembangkan metode-metode pengajaran yang dikolaborasikan dengan
komponen-komponen CTL untuk penggalian makna.
Ketika guru menggunakan metode mengajar yang sesuai dengan
komponen-komponen CTL, yang seusai dengan kebutuhan siswa guna mencari
makna dan kebutuhan otak untuk menjalin pola-pola, secara intuitif mereka
mengikuti cara yang sesuai dengan penemuan-penemuan dalam psikologi dan
penelitian tentang otak. Mereka menghubungkan isi dari subyek-subyek akademik
dengan pengalaman-pengalaman para siswa sendiri untuk memberi makna pada
pelajaran. Pada waktu yang bersamaan, tanpa disadari, mereka telah mengikuti
tiga prinsip yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern sebagai prinsip yang
menunjang dan mengatur segalanya di alam semesta. Dengan kata lain, cara kerja
CTL sama dengan cara kerja alam. Kesesuaiannya dengan cara alam adalah alasan
mendasar yang menyebabkan sistem CTL memiliki kekuatan yang luar biasa
untuk meningkatkan kinerja siswa.68
Dalam proses pembelajaran, peserta didik perlu mengerti apa makna yang
dipelajarinya, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana cara
mencapainya. Dengan demikian, mereka menyadari bahwa kegiatan pembelajaran
yang diikutinya berguna bagi kehidupan. Apabila kondisi tersebut telah terbentuk,
67Elaine B. Johnson, CTL; Contextual Teaching and Learning, (California :
Corwin Press, 2002), h. 25. Lihat terjemahannya di Ibnu Setiawan, pen., Contextual
Teaching and Learning …, h. 67. Kedelapan hal ini merupakan komponen pendting dalam
implementasi CTL. Perlu dipahami bahwa CTL merupakan pendekatan pendidikan yang
tidak hanya sekedar menuntu para siswa dalam menggabunghkan subyek-subyek akademik
dalam konteks keadaan mereka sendiri, tetapi CTL juga melibatkan siswa dalam mencari
makna “konteks” itu sendiri. CTL mendorong siswa untuk melihat, bahwa manusia sendiri
memilih kapasitas dan tanggung jawab untuk memengaruhi dan membentuk sedertan
konteks yang meliputi keluarga, kelas, klub, tempat kerja, masyarakat, dan lingkungan
tempat tinggal, hingga ekosistem. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual memberikan
dua pertanyaan penting bagi siswa, yaitu: (1) konteks-konteks apakah yang tepat untuk
dicari? (2) Langkah-langkah kreatif apakah yang harus saya ambil untuk membentuk dan
memberi makna konteks? 68John Dewey, Democracy and Education, (New York: Free Press, 1916/1966).
Lihat juga E.L. Thornidke, The Psycholigy of Aritmethic, (New York: Macmillan, 1992).
Lihat juga Susan Kovalik dan Karen Olsen, ITI-The Model; Integrated Thematic
Instruction, Edisi ketiga, (Kent, WA :Susan Susan Kovalic and Assoc, 1997).
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
120
maka peserta didik akan termotivasi untuk mengikuti dan berpartisipasi dalam
kegiatan pembelajaran, sehingga tujuan akan tercapai secara optimal.
Salah satu pendekatan yang sesuai dengan kondisi tersebut adalah
Contextual Teaching and Learning (CTL). CTL merupakan pendekatan dalam
proses pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara utuh dan menggunakan
pendekatan langsung kepada peserta didik sehingga peserta didik mampu
mengikuti secara teori serta mengimplementasikannya. Sanjaya69 mengemukakan
bahwa ada tiga hal yang harus dipahami dalam pembelajaran kontekstual yaitu: 1)
CTL menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik untuk menemukan
materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara
langsung, 2) CTL mendorong agar peserta didik dapat menemukan hubungan
antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya peserta didik
dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah
dengan kehidupan nyata, dan 3) CTL mendorong peserta didik untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupannya. Pada pembelajaran CTL, proses
pembelajaran berlangsung secara alamiah, peserta didik bekerja mencari dan
mengalami pengetahuannya sendiri bukan sekedar mentransfer pengetahuan dari
guru ke peserta didik.
Sekarang ini pembelajaran yang dilaksanakan masih banyak yang
menggunakan pembelajaran konvensional dan model pembelajaran langsung yang
hanya menekankan pada tuntutan kurikulum sehingga dalam prakteknya peserta
didik bersifat pasif dalam proses belajar. Keterlibatan peserta didik cenderung
terminimalisasi sehingga mengakibatkan kemampuan penalaran dan komunikasi
matematik peserta didik kurang dikembangkan dengan baik.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual memiliki perbedaan yang
nyata dari pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Perbedaan
tersebut meliputi berbagai macam aspek, baik aspek siswa, aspek guru, maupun
strategi yang dikembangkan dalam proses pembelajaran. Beberapa perbedaan
antara pendekatan kontekstual dan pendekatan konvensional dapat dilihat pada
tabel berikut.
Pada mulanya Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian
John Dewey. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam
kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.70
Suherli berpendapat bahwa dewasa ini, masih terdapat sistem
pembelajaran yang bersifat teoritis. Sebagian besar siswa belum dapat menangkap
makna dari apa yang mereka peroleh dari pembelajaran untuk dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari hari. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa “pada
69Sanjaya, W, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
(Jakarta: Inter Pratama, 2006), h. 109-110 70Rusman, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru,
Ed. II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 193.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
121
umumnya siswa tidak dapat menghubungkan apa yang telah mereka pelajari
dengan cara pemanfaatan pengetahuan tersebut dikemudian hari“.71 Oleh sebab
itu, dalam kondisi seperti ini guru atau pendidik harus mampu merancang sebuah
pembelajaran yang benar-benar dapat membekali siswa baik pengetahuan secara
teoritis maupun praktik. Dalam hal ini, guru harus pandai mencari dan
menciptakan kondisi belajar yang memudahkan siswa dalam memahami,
memaknai, dan menghubungkan materi pelajaran yang mereka pelajari. Sejauh ini
pendidikan masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai
perangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai
sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi
belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah model belajar baru yang labih
memberdayakan peserta didik. Sebuah model belajar yang tidak mengharuskan
siswa menghapal fakta-fakta, tetapi suatu model pembelajaran yang mendorong
siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Pembelajaran
yang berorientasi pada penguasaan materi dianggap gagal menghasilkan peserta
didik yang aktif, kreatif dan inovatif.
Peserta didik berhasil mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam
membekali peserta didik memecahkan persoalan dalam hidup jangka panjang.
Oleh karena itu perlu ada perubahan model pembelajaran yang lebih bermakna
sehingga dapat membekali peserta didik dalam mendekati permasalahan hidup
yang dihadapi sekarang maupun yang akan datang. Model pembelajaran yang
cocok untuk hal di atas adalah pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL). Model kontekstual merupakan konsep belajar yang
beranggapan bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara
ilmiah, artinya belajar akan lebih bermakna jika anak bekerja dan mengalami
sendiri apa yang dipelajarinya, bukan sekedar mengetahuinya. Pembelajaran tidak
hanya sekedar kegiatan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa, tetapi
bagaimana siswa mampu memaknai apa yang dipelajari itu. Oleh karena itu,
strategi pembelajaran lebih utama dari sekedar hasil. Dalam hal ini siswa perlu
mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan
bagaimana mencapainya. Mereka menyadari bahwa apa yang dipelajari akan
berguna bagi hidupnya kelak. Dengan demikian, mereka akan belajar lebih
semangat dan penuh kesadaran. Menurut Nadawidjaya (dalam Kunandar), dalam
pembelajaran kontekstual tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam
menemukan sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) melalui
pembelajaran secara sendiri bukan apa kata guru. Siswa benar-benar mengalami
dan menemukan sendiri apa yang dipelajari sebagai hasil rekonstruksi sendiri.
Dengan demikian, siswa akan lebih produktif dan inovatif. Pembelajaran
kontekstual akan mendorong ke arah belajar aktif. Belajar aktif adalah suatu
71Suherli, Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching And
Learning).Lihathttp://irfarazak.blogspot.com/2009/04/model-pembelajar ankontekstual.
html
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
122
sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental,
intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan
antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik72 Konsep belajar aktif sudah
dikembangkan oleh Confusius kira-kira 2.400 tahun yang lalu dengan
mengungkapkan teori sebagai berikut. Apa yang saya dengar saya lupa; apa yang
saya lihat saya ingat; dan apa yang saya kerjakan saya paham.
Teori ini kemudian berkembang lebih lanjut oleh Mel Silberman dalam
bukunya Active Learning, yang menyatakan bahwa: Apa yang saya dengar saya
lupa: apa yang saya ingat saya ingat sedikit; apa yang saya lihat, dengar,
diskusikan dan kerjakan saya dapat pengetahuan dan keterampilan; dan apa yang
saya ajarkan saya kuasai. Melalui landasan filosofi konstruktivisme, Contextual Teaching Learning (CTL) dipromosikan menjadi alternatif model pembelajaran
yang baru. Melalui model CTL, siswa diharapkan belajar melalui mengalami
bukan menghapal.
Adapun karakteristik pembelajaran kontekstual menurut Muslich,
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang
diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata
atau pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah
(learning in real life setting). b. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan
tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning). c. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna
kepada siswa (learning by doing). d. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling
mengoreksi antarteman (learning in a group). e. Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan,
bekerja sama, dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara
mendalam (learning to know each other deeply). f. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan
mementingkan kerja sama (learning to ask, to inquiry, to work together). g. Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan (learning as an
enjoy activit73. Adapun dalam sosialisasi oleh Depdiknas, karakteristik pembelajaran
berbasis kontekstual, yaitu:
a. Kerjasama
b. Saling menunjang
72Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) Dan Sukses Dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2009), h. 294 73Masnur Muslich, Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual,(Jakarta:
Bumi Aksara, 2009), h. 42
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
123
c. Menyenangkan
d. Tidak membosankan
e. Belajar dengan bergairah
f. Pembelajaran terintegrasi
g. Menggunakan berbagai sumber
h. Siswa aktif.74
Sedangkan menurut Kunandar, ciri-ciri pembelajaran kontekstual antara
lain:
a. Adanya kerjasama antara semua pihak
b. Menekankan pentingnya pemecahan masalah atau problem
c. Bermuara pada keragaman konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda
d. Saling menunjang
e. Menyenangkan, tidak membosankan
f. Belajar dengan bergairah
g. Pembelajaran terintegrasi
h. Menggunakan berbagai sumber
i. Siswa aktif
j. Sharing dengan teman
k. Siswa kritis, guru kreatif
l. Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta,
gambar, artikel, humor dan sebagainya
m. Laporan kepada orang tua bukan saja rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan
hasil praktikum, karangan siswa, dan sebagainya.75
Jadi pada model pembelajaran kontekstual ini, meliputi: adanya umpan
balik, penggunaan berbagai alat bantu, belajar kelompok, model demokrasi,
peningkatan pemahaman siswa, evaluasi berdasarkan penilaian autentik,
pembelajaran diformat berdasarkan tempat dan waktu yang tersedia, dan
informasi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Pembelajaran dengan pendekatan CTL dalam pelaksanaannya mengacu
kepada pembelajaran efektif. Menurut Nurhadi, 76 pembelajaran dengan
pendekatan CTL melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni:
a. Pemodelan (Modelling) 2) Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan
belajar.
3) Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya.
b. Konstruktivisme (Constructivism)
74 Sosialisasi KTSP oleh Depdiknas, ktsp.diknas.go.id/download/ktsp_smp/16.ppt.
tt. 75Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2007), h. 298-299. 76Nurhadi, Pendekatan Kontekstual, (Jakarta: Dirjen Dikdasmen, 2002), h. 10
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
124
1) Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar
pada pengetahuan awal
2) Pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”mengkonstruksi” bukan
menerima pengetahuan
c. Bertanya (Questioning)
1) Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan
berpikir siswa.
2) Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang
berbasis
d. Inkuiri (Inquiry)
1) Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman
2) Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis
e. Masyarakat Belajar (Learning Community)
1) Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.
2) Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
3) Tukar pengalaman
4) Berbagi ide
f. Repleksi (Reflection)
1) Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari
2) Mencatat apa yang telah dipelajari
3) Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok.
g. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment) 1) Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa
2) Penilaian produk (kinerja)
3) Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual
Berikut ini penjelasan mengenai tujuh komponen utama pembelajaran
efektif dalam hubungannya dengan pembelajaran CTL antara lain sebagai berikut:
1. Modelling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-
tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, contoh)
Hasil penelitian,77mengungkapkan bahwa penerapan strategi
modelling the way dapat meningkatkan hasil belajar PAI siswa kelas IV
SD Negeri 010 Banjar Panjang Kecamatan Kerumutan Kabupaten
Pelalawan. Keberhasilan ini disebabkan dengan penerapan strategi
modelling the way yang dilakukan guru telah berada pada klasifikasi
tingkat kesempurnaan sangat sempurna sehingga siswa cenderung lebih
positif dalam menerima pelajaran yang diberikan guru dengan klasifikasi
sangat tinggi dengan demikian tingkat perolehan siswa akan meningkat
77Euis Anegawati, penerapan Strategi Pembelajaran Modelling The Way Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) Siswa Kelas IV SD Negeri
010 Banjar Panjang Kecamatan Kerumutan Jurnal Primary Program Studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, Vol 5, Nomor 3
Edisi Khusus HUT PGRI Ke-71 Tanggal 25 November 2016, 633
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
125
dan pada gilirannya dapat meningkatkan hasil belajarnya. Berdasarkan
hasil tes yang dilakukan terhadap materi pelajaran yang dipelajari
diketahui bahwa telah terjadi peningkatan hasil belajar siswa pada siklus I
peningkatan hasil belajar siswa mencapai 71%. Setelah dilakukan siklus
ke II ternyata terjadi lagi peningkatan memcapai 85%. Penerapan strategi
Modelling The Way secara benar dalam pembelajaran PAI dapat
meningkatkan hasil belajar siswa dan siswa yang kurang aktif akan
menjadi lebih aktif dalam belajar sehingga perolehan siswa lebih baik dari
sebelumnya. Senada dengan keterangan hasil wawancara guru PAI di
MAN IC Serpong78 mengatakan bahwa dengan guru menerapkan suatu
strategi modelling akan kondusif di dalam kelas, siswa akan akif dalam
belajar di kelas.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa model berarti
Pola (contoh, acuan, ragam) dari suatu yang akan dibuat atau di hasilkan.
a. Orang yang akan dipakai sebagai contoh untuk dilukis.
b. Orang yang pekerjaannya memperagakan pakaian.
c. Barang tiruan. 79
Modelling adalah hal yang menjadi model. Berdasarkan defenisi
tersebut, dalam penelitian ini model adalah sebagai contoh. Contoh yang
dimaksudkan adalah pilihan kata (diksi), pelafalan, intonasi, dan
ketepatan isi untuk dicontoh oleh siswa. Artinya, ada pesan yang akan
disampaikan dan guru memberikan contoh cara menyampaikan pesan
tersebut kepada pihak lain. Misalnya pesan dari ayah kepada kakak untuk
di sampaikan kepada adik-adiknya dengan tepat tampa mengubah pesan
tersebut. Teknik pemodelan atau Modelling The Way adalah suatu bagian
dari metode mengajar dengan cara mengadakan latihan yang berulang-
ulang sampai siswa mahir melakukan apa yang telah di pelajari. Teknik ini
berlandaskan bahwa pembelajaran yang dilakukan secara berulang-ulang
menghasilkan lebih maksimal jika dibandingkan dengan pekerjaan yang
dilakukan hanya sekali-sekali. Teknik pemodelan harus memperhatikan
beberapa hal, yang dimaksud adalah :
a. Harus membangkitkan motivasi, minat, gairah anak dalam belajar.
b. Harus dapat menjamin perkembangan anak belajar.
c. Dapat membangun ekspresi kreatif dan kepribadian siswa.
d. Dapat merangsang untuk belajar lebih giat
e. Dapat membantu anak untuk belajar sendiri.
f. Penyajian yang bersifat verbalisme
g. Dapat membimbing untuk bertanggung jawab80
78 Hasil wawancara dengan guru PAI kelas X di MAN IC Serpong Tangerang pada
tanggal 16 April 2018 79Ronggo Wasito, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Kencana, 2008), h.
241
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
126
Adapun keunggulan dan Kelemahan dari strategi pembelajaran Modelling The Way antara lain adalah digunakan khusus untuk menata sajian atau
konsep atau prinsip atau prosedur pada pokok bahasan tertentu dari materi
pelajaran yang dipelajari dan dengan demikian akan memudahkan pemahaman
bagi siswa. Kelemahan dari strategi pembelajaran Modelling The Way, dalam
proses pembelajaran pada materi-materi yang sulit akan menyita waktu
pelajaran lain, karena dalam penanaman konsep yang rumit akan
menggunakan waktu yang lama sehingga siswa benar-benar mengerti dari
konsep dan prinsip yang ditanamkan.
Adapun langkah-langkah Modelling The Way Secara operasional
kegiatan proses pembelajaran Modelling The Way selama pembelajaran dapat
dijelaskan sebagai berikut.81
a. Setelah pembelajaran satu topik tertentu, identifikasi beberapa situasi
b. umum di mana siswa /mahasiswa di tuntut untuk mengunakan
c. keterampilan yang dibahas.
d. Bagi kelas ke dalam beberapa kelompok kecil menurut jumlah
e. siswa/mahasiswa yang diperlukan untuk mendemonstrasi satu skenario
f. (minimal 2 atau 3 orang)
g. Beri waktu 10-15 menit untuk menciptakan skenario.
h. Beri waktu 5-7 menit untuk latihan.
i. Secara bergiliran tiap kelompok mendemonstrasikan skenario
masingmasing.
j. Berkesempatan untuk memberikan feedback pada setiap demonstrasi yang
dilakukan.
Pemodelan adalah proses penampilan suatu contoh agar orang lain
berpikir, bekerja, dan belajar. Pemodelan tidak jarang memerlukan siswa
untuk berpikir dengan mengeluarkan suara keras dan mendemonstrasikan
apa yang akan dikerjakan siswa. Pada saat pembelajaran, sering guru
memodelkan bagaimana agar siswa belajar. Guru menunjukkan bagaimana
melakukan sesuatu untuk mempelajari sesuatu yang baru. Guru bukan
satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
Pemodelan ini akan lebih baik jika dilakukan melalui lesson study, dimana
dengan menerapkan lesson study, guru akan bekerjasama dengan guru lain
untuk memberikan hasil yang optimal. In’am82 mengungkapkan bahwa
lesson study merupakan suatu cara efektif yang dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran yang dilakukan guru dan aktivitas belajar siswa.
80Warkanis, Pengantar Ilmu Komunikasi. (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,
2005), h. 69 81 Hisyam Zaini, Strategi Pembelajaran Aktif (Jakarta: CRSD, 2010), h. 79 82In’am, A, Peningkatan Kualitas Pembelajaran melalui Lesson Study Berbasis
Metakognisi. Scientific Journal UMM. 2009, h. 125-135.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
127
Pemodelan dalam pembelajaran antara lain dapat menumbuhkan rasa
ingin tahu, menghargai orang lain, dan rasa percaya diri.
Menurut Meil Silbermen dalam Komarudin Hidayat83 modelling the way merupakan teknik memberi peserta didik kesempatan untuk
berlatih melalui demonstrasi keterampilan khusus yang diajarkan di kelas.
Demonstrasi sering merupakan alternatif yang tepat untuk bermain peran
sehingga keterampilan berbicara siswa dapat terlatih.
Menurut Hisyam Zaini, dkk84 Modelling The Way memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktikan keterampilan
spesifik yang dipelajari di kelas melalui demonstrasi. Peserta didik akan
mempunyai wawasan yang luas dan keberanian dalam berbicara sehingga
potensi yang ada pada diri setiap siswa dapat dilihat dengan adanya
demonstrasi tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
modelling The Way adalah model yang memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk ikut berperan aktif dalam proses pembelajaran melalui
demonstrasi kecakapan.
Gambar 2.4 Hasil Pekerjaan Kelompok siswa MAN Insan Cendikia
Serpong yang Dipresentasikan di kelas
83 Komarudin Hidayat, Active Learning, Yogyakarta: Pustaka Insan Cendikia,
2007, h. 223 84 Hisyam Zaini, Strategi Pembelajaran Aktif, (Yogyakarta:Pu staka Insan Madani,
2008), h. 76
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
128
Gambar di atas menunujukkan bahwa siswi MAN Insan Cendikian
Serpong kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktikan keterampilan
spesifik yang dipelajari di kelas melalui demonstrasi. Peserta didik akan
mempunyai wawasan yang luas dan keberanian dalam berbicara sehingga potensi
yang ada pada diri setiap siswa dapat dilihat dengan adanya demonstrasi tersebut.
3. Constructivism (Konstruktivisme)
Hasil penelitian85, bahwa hasil temuan menunjukkan: 1) tidak ada
perbedaan signifikan hasil belajar siswa antara kelas yang menggunakan dan tidak
menggunakan media pembelajaran film animasi sebelum perlakuan, 2) ada
perbedaan hasil belajar siswa di kelas yang tidak menggunakan media pembe-
lajaran film animasi sebelum dan sesudah perlakuan, 3) ada perbedaan hasil belajar
siswa di kelas yang menggunakan media pembelajaran film animasi sebelum dan
sesudah perlakuan, 4) ada perbedaan signifikan hasil belajar siswa antara kelas
yang menggunakan dan tidak menggunakan media pembelajaran film animasi
setelah perlakuan, 5) ada perbedaan peningkatan (gain) hasil belajar siswa antara
kelas yang menggunakan dan tidak menggunakan media pembelajaran film
animasi, dan 6) kendala yang ditemui terkait dengan pemanfaatan media
pembelajaran film animasi dalam proses pembelajaran yakni: a) kurangnya
kompetensi guru dalam merancang dan mengelola penggunaan media dalam
kegiatan pembelajaran dan b) keterbatasan muatan materi film animasi yang tidak
sepenuhnya mampu mengakomodir kebutuhan pembelajaran. Senada dengan guru
IPA di MAN IC Serpong Tangerang86mengemukakan bahwa ketika mengajar
harus memakai media pembelajaran dengan tujuan agar proses belajar mengajar
tercipta kondusif, peserta didik cepat memahami materi yang guru berikan,
peserta didik tidak merasakan jemu atau bosan dalam menerima suatu materi.
Konstruktivisme dianggap pandangan baru dalam dunia pendidikan, meskipun
sebenarnya konstruktivisme merupakan pandangan baru dalam fislafat. Pandangan
ini dikemukakan oleh Giambattista Vico dalam Poejiadi87 ‘...apa yang dipelajari
akan bermakna bagi individu apabila bahan ajar yang dikaji dimulai dari apa yang
telah diketahui peserta didik sebelumnya’. Menurut filsafat konstruktivisme,
pengetahuan itu merupakan bentukan siswa yang sedang belajar. Siswa
membentuk pengetahuannya lewat interaksi dengan bahan yang dipelajari atau
pengalaman baru melalui inderanya. Pembentukan itu dapat secara personal
maupun sosial. Otak siswa pada dasarnya tidak seperti gelas kosong yang siap
diisi dengan air dalam artian siap diisi dengan air dengan semua informasi yang
85N.Imamah, Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Pembelajaran Kooperatif
Berbasis Konstruktivisme Dipadukan Dengan Video Animasi Materi Sistem Kehidupan
Tumbuhan, JPII 1, (2012), h. 34 86Hasil wawancara dengan guru IPA Biologi kelas XI di MAN IC Serpong
Tangerang pada tanggal 07 Mei 2018 87Anna Poejiadi, Pengantar Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung: Yayasan
Cendrawasih, 2001), h. 4
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
129
berasal dari pikiran guru. Otak siswa tidak kosong tetapi telah berisi pengetahuan-
pengetahuan yang dikonstruksi anak sendiri sewaktu anak berinteraksi dengan
lingkungan.
Pengetahuan itu dibangun sedikit demi sedikit, kemudian hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap diambil dan
diingat. Tetapi manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengetahuan nyata. Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa
pengetahuan tidak utuh ditransfer dari pikiran guru ke pikiran siswa, tetapi
siswalah yang harus akif secara mental membangun pengetahuan dan pemahaman
dalam proses pembelajaran.
Pandangan ini memberikan pengertian kepada para pendidik, bahwa dalam
mengajarkan ilmu pengetahuan perlu dikaitkan dengan pengetahuan sebelumnya
dan kejadian lain yang diketahuinya sehingga tiap individu dapat membangun
pengetahuannya dengan lebih bermakna. Hal ini sesuai dengan pendapat Ausabel
dalam Dahar88 yang menyatakan bahwa ‘...belajar bermakna merupakan proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat pada
struktur kognitif seseorang’. Menurut Gaili et all dalam Isnawar89 bahwa
pendekatan konstrukivisme merupakan pembelajaran yang menekankan
pentingnya peran pengetahuan awal dalam belajar’. Dalam merancang kegiatan-
kegiatan di kelas, guru harus membuat program pengajarannya atas dasar
pengetahuan awal siswa. Dalam kenyataannya jka guru tidak mengetahui
pengetahuan aawal siswa maka sering terjadi miskonsepsi. Bila terjadi
miskonsepsi, maka akan menimbulkan kesulitan belajar.
Menurut Bettencourt, Shymansky, Watts dan Pope dalam Suparno90
bahwa bagi konstruktivisme, pembelajaran adalah kegiatan yang akif dimana
peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik mancari arti
sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan
ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka.
Keutamaan pembelajaran berdasarkan konstruktivisme91dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Pembelajaran konstruktivisme memberikan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa
siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa
memberikan penjelasan tentang gagasannya.
88 Dahar, Ratna Wilis, Teori-teori Belajar, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001), 137 89Isnawar, Pembelajaran Pesawa Sederhana dengan Model Siklus Belajar Empiris
Induktif untuk meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir Rasional Siswa
SMP, Tesis Program Pasca Sarjana UPI Bandung, 2005, h. 10 90Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), h. 95 91Rustaman et al, Strategi Belajar Mengajar Biologi, (Bandung:UPI, 2003), h. 203
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
130
b. Pembelajaran konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki oleh siswa atau rancangan kegiatan
yang disesuaikan dengan gagasan awal siswa dengan maksud agar siswa
memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan diberi
kesempatan untuk merangkai fenomena sehingga siswa memperluas
pengetahuan mereka tentang fenomena yang menantang siswa.
c. Pembelajaran konstruktivisme kesempatan siswa untuk berpikir tentang
pengalamannya agar siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi
tentang teori dan model, mengenalkan gagasan-gagasan sains pada saat
yang tepat.
d. Pembelajaran konstruktivisme memberikan kesempatan siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh
kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks baik yang sudah
dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk
menggunakan berbagai strategi belajar.
e. Pembelajaran konstruksivisme mendorong siswa untuk menggunakan
berbagai strategi belajar.
f. Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak dan
menghindari kesan selalu ada satu “jawaban yang benar”.
Konstruktivisme menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita
peroleh adalah konstruktivisme kita sendiri. Sehingga pengetahuan
bukanlah suatu barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran orang
yang mempunyai pengetahuan. Menurut Glasersfeld dalam Maria92 ‘...bila
seorang guru mentransfer konsep, ide dan pikirannya kepada siswa,
pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa
lewat pengalamannya’. Proses belajar menurut pandangan
konstruktivisme bukanlah penambahan informasi baru secara sederhana,
melainkan suatu proses interaksi antara pengetahuan baru dengan
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Melalui proses interaksi inilah
memungkinkan adanya penolakan terhadap beberapa hal, yaitu
meningkatkan peran siswa, memberanikan siswa, menyusun suatu
inisiatif, belajar merupakan suatu proses menyibukkan siswa, menekankan
penilaian terhadap kinerja pemahaman, menghadapkan pada dunia nyata,
menggambarkan kepercayaan dan sikap, serta memberikan kesempatan
mengkonstruksi pengetahuan baru dan pemahaman dari pengalamannya
secara autentik.
Konstruktivisme memandang belajar sebagai proses belajar aktif
seseorang dalam membangun pengetahuan yang bermakna dalam dirinya
sendiri melalui interaksi antara konsep-konsep yang dimiliki siswa.
92 Maria, Penerapan Model Belajar Generatif dam Pembelajaran Rangkaian
Listrik Searah, Tesis PPS UPI, 1999, h. 7
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
131
Konsep yang telah dimiliki siswa. Konsep yang elah dimiliki siswa
sebelum pembelajaran sering disebut sebagai konsep awal, dan pada
umumnya konsep ini tidak konsisten dengan konsep ilmuan.
Menurut pandangan konstruktivisme keberhasilan belajar bukan
hanya bergantung lingkungan atau kondisi belajar melainkan juga pada
pengetahuan awal siswa. Pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara
utuh dari pikiran guru ke siswa, namun secara aktif dibangun oleh siswa
sendiri melalui pengalaman nyata. Konstruktuvusme merupakan kegiatan
aktif, yang mana siswa membangun sendiri pengetahuannya93. Namun
masih banyak guru yang antipati terhadap konstruktivisme karena mereka
dalam mengajar (teacher centered). Pembelajaran dan perspektif
konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti. Pertama, pembelajaran
konstruktivisme berkaitan dengan penegtahuan awal (prior knowledge)
siswa. Kedua, pembelajaran konstruktivisme mengandung kegiatan nyata
(experience). Ketiga, dalam pembelajaran konstruktivisme membentuk
kepekaan siswa terhadap lingkungan (sense making).
Kontruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan
Contectual teaching and learning (CTL), yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, dan hasilnya diperluas
melalui konteks yang terbatas (sempit) serta tidak sekonyong-konyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep atau
kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia haif rus
mengontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman
nyata. Dengan dasar itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses
“mengkonstruksi” bukan “menerima” pengetahuan. Dalam proses
pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui
keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran siswa menjadi pusat
kegiatan bukan guru. Penerapan teori belajar konstruktivisme dalam
pembelajaran dapat mengembangkan berbagai karakter, antara lain
berfikir kritis dan logis, mandiri, cinta ilmu, rasa ingin tahu, menghargai
orang lain, bertanggung jawab, dan percaya diri.
4. Questioning (Bertanya)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Masnur
Muslich94menyampaikan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam
pembelajaran berkaitan dengan komponen bertanya, antara lain: a. Penggalian
informasi lebih efektif apabila dilakukan melalui bertanya. b. Konfirmasi terhadap
apa yang sudah diketahui lebih efektif melalui bertanya. c. Dalam rangka
93Paul Suparno, Filsafat konstrukivisme dalam pendidikan, (Yogyakarta , 1997),
62 94Masnur Muslich. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), 45
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
132
penambahan atau pemantapan pemahaman lebih efektif dilakukan lewat diskusi
baik dalam kelompok maupun kelas. d. Bertanya kepada siswa dapat mendorong
guru untuk membimbing dan menilai kemampuan berpikir para siswa. e. Dalam
kegiatan pembelajaran bertanya berguna untuk menggali informasi, mengetahui
pemahaman siswa, membangkitkan respon kepada siswa, mengetahui sejauh mana
keingintahuan siswa, memfokuskan perhatian siswa, mengetahui hal-hal yang
sudah diketahui siswa, membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa,
dan mengorganisasikan kembali pengetahuan siswa. Dalam pembelajaran CTL,
guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan tetapi memancing agar
siswa dapat menemukan sendiri. Karena itu peran bertanya sangat penting, sebab
melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa
untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
Aktivitas bertanya terjadi antara siswa dengan guru pada awal
pembelajaran yaitu saat guru memberikan apersepsi. Guru melakukannya untuk
membantu mengkonstruksi pengetahuan siswa. Sedangkan pada saat pertengahan
pembelajaran, aktivitas bertanya bukan hanya antara guru dengan siswa tapi juga,
terjadi antara siswa dengan siswa dalam kelompok bahkan antar kelompok. Siswa
bertanya kepada guru ketika mengalami kesulitan Selain itu, siswa juga sering
bertanya kepada observer.
Gambar 3.4 Siswa MAN Insan Cendikia bertanya kepada guru ketika mengalami
kesulitan dalam pembelajaran
Gambar di atas menggambarkan proses pembelajaran di MAN Insan
Cendikia. Di sana penulis cermati bahwa sangat kondusif tidak ada peserta didik
yang main-main atau tidur, ketika peserta didik mengalami kesulitan dalam
memahami materi saat itu juga bertanya kepada guru yang bersangkutan bukan
hanya dengan guru tetapi berdiskusi dengan teman atau kelompok yang lain.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
133
5. Learning Community (Masyarakat Belajar)
Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendiri, tetapi
membutuhkan bantuan orang lain. Sehingga konsep learning community (masyarakat belajar) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja
sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar
kelompok, dan antara orang yang tahu dan belum tahu baik di dalam kelas
maupun di luar kelas. Masyarakat belajar dapat terjadi apabila terjalin komunikasi
dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran
saling belajar.95
Masyarakat belajar adalah sekelompok siswa yang terikat dalam kegiatan
belajar agar terjadi proses belajar lebih dalam. Semua siswa harus mempunyai
kesempatan untuk bicara dan berbagi ide, mendengarkan ide siswa lain dengan
cermat, dan bekerjasama untuk membangun pengetahuan dengan teman di dalam
kelompoknya. Konsep ini didasarkan pada ide bahwa belajar secara bersama lebih
baik daripada belajar secara individual. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada
proses komunikasi dua arah. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat
belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus
juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling
belajar ini bisa terjadi jika tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak
ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap
paling tahu. Semua pihak mau saling mendengarkan. Penerapan prinsip
masyarakat belajar di dalam proses pembelajaran dapat mengembangkan berbagai
karakter, antara lain kerjasama, menghargai pendapat orang lain, santun,
demokratis, patuh pada aturan sosial, dan tanggung jawab.
6. Reflection (Umpan Balik)
Refleksi merupakan komponen terpenting dari setiap pembelajaran, yaitu
dengan perenungan kembali tentang pengetahuan apa yang baru dipelajari atau
berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Siswa
mengendapkan apa yang baru dipelajari sebagai struktur pengetahuan yang baru,
yang merupakan revisi dari pengetahuan sebelumnya.96
Dalam pembelajaran dengan pendekatan CTL, setiap akhir pembelajaran,
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk merenung atau mengingat
kembali apa yang telah dipelajarinya. Guru membiarkan secara bebas siswa
menafsirkan pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang
pengalaman belajarnya97
95Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran...h. 265 96Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi
Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif danBerkualitas. Jakarta:
Kencana, (2009), h. 174 97Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran h... 266
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
134
Refleksi dilakukan agar siswa memikirkan kembali apa yang telah mereka
pelajari dan lakukan selama proses pembelajaran untuk membantu mereka
menemukan makna personal masing-masing. Refleksi biasanya dilakukan pada
akhir pembelajaran antara lain melalui diskusi, tanyajawab, penyampaian kesan
dan pesan, menulis jurnal, saling memberi komentar karya, dan catatan pada buku
harian. Refleksi dalam pembelajaran antara lain dapat menumbuhkan kemampuan
berfikir logis dan kritis, mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri, dan
menghargai pendapat orang lain.
Menurut guru Agama pendidikan Islam di MAN Insan Cendikia Serpong98
refleksi biasanya dilakukan tanya jawab di awal dan di akhir pembelajaran, di awal
pembelajaran guru bertanya kembali pelajaran yang sudah di pelajari sebelumnya,
dan di akhir pembelajaran guru bertanya kembali materi yang baru saja dipelajari
sehingga siswa dapat mengingat kembali materi yang sudah diberikan oleh guru.
7. Authentic Assessment (Penilaian Sebenarnya)
Penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru
untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan
siswa.99 Menurut Masnur Muslich,100 penilaian autentik dalam pembelajaran CTL
diarahkan pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data yang telah
terkumpul ketika atau dalam proses pembelajaran siswa berlangsung, bukan
semata-mata hasil pembelajaran. Data penilaian yang dikumpulkan harus
diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses
pembelajaran sehingga data penilaian yang diperoleh disebut data autentik. Pada
penilaian autentik, guru menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh
siswa.
Istilah “penilaian” dalam bahasa Indonesia dapat bersinonim dengan
“evaluasi” (evaluation) dan kini juga popular istilah assessment. Ada banyak
definisi penilaian yang dikemukakan orang, yang, walau berbeda rumusan, pada
umumnya menunjuk pada pengertian yang hamper sama. Menurut Linch101
penilaian adalah usaha yang sistematis untuk mengumpulkan informasi untuk
membuat pertimbangan dan keputusan. Brown102 yang sengaja memilih istilah tes
dan mengartikannya sebagai cara pengukuran keterampilan, pengetahuan, atau
penampilan seseorang dalam konteks yang sengaja ditentukan. Atau, penilaian
98 Hasil wawancara dengan guru pendidikan Islam, pada tanggal 16 April 2018 99Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran h... 267 100Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h 47 101Lynch, Brian K, Language Program Evaluation (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), h. 2 102Brown, Douglas H, Language Assessment, Principle and Classroom Practices, (
San Francisco: Longman, 2004), h. 3
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
135
diartikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur
pencapaian hasil belajar peserta didik103.
Model penilaian otentik (authentic assessment) dewasa ini banyak
dibicarakan di dunia pendidikan karena model ini direkomendasikan, atau bahkan
harus ditekankan, penggunaannya dalam kegiatan menilai hasil belajar pembelajar.
Salah satu permasalahan yang muncul adalah belum tentu semua guru/dosen
memahami konsep dan pelaksanaan penilaian otentik.
Penilaian otentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus.
Dengan demikian, seluruh tampilan siswa dalam rangkaian kegiatan pembelajaran
dapat dinilai secara objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya
berdasarkan hasil akhir (produk) saja. Lagi pula amat banyak kinerja siswa yang
ditampilkan selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran sehingga penilaiannya
haruslah dilakukan selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan proses
pembelajaran. Jika dilihat dari sudut pandang teori Bloom sebuah model yang
dijadikan acuan pengembangan penilaian dalam beberapa kurikulum di Indonesia
sebelum ini penilaian haruslah mencakup ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Cara penilaian juga bermacam-macam, dapat menggunakan model nontes
dan tes sekaligus, serta dapat dilakukan kapan saja bersamaan dengan kegiatan
pembelajaran. Namun, semuanya harus tetap terencana secara baik. Misalnya,
dengan memberikan tes (ulangan) harian, latihan-latihan di kelas, penugasan,
wawancara, pengamatan, angket, catatan lapangan/harian, portofolio, dan lain-
lain. Penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara atau model, menyangkut
berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang kemudian disebut
sebagai penilaian otentik. Otentik dapat berarti dan sekaligus menjamin: objektif,
nyata, konkret, benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan bermakna.
Penilaian otentik menekankan kemampuan pembelajar untuk mendemonstrasikan
pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna. Kegiatan penilaian tidak
sekedar menanyakan atau menyadap pengetahuan yang telah diketahui
pembelajar, melainkan kinerja secara nyata dari pengetahuan yang telah dikuasai.
Sebagaimana dinyatakan Mueller penilaian otentik merupakan: a form of
assessment in which students are asked to perform realworld tasks that
demonstrate meaningful application of essential knowledge and skills. Jadi,
penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang menghendaki pembelajar
untuk menunjukkan kinerja di dunia nyata secara bermakna yang merupakan
penerapan esensi pengetahuan dan keterampilan.
Menurut Stiggins104 dalam Mueller, penilaian otentik merupakan penilaian
kinerja (perfomansi) yang meminta pembelajar untuk mendemonstrasikan
103 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Pendidikan Nasional, h. 3 104 John Mueller, Authentic Assessment Toolbox. North Central Collegehttp://
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
136
keterampilan dan kompetensi tertentu yang merupakan penerapan pengetahuan
yang dikuasainya.
Manfaat Penggunaan Penilaian Otentik Mengapa penilaian otentik kini
disarankan penggunaannya, apakah model itu berbeda dan menjanjikan hasil yang
secara teoretis berbeda dengan model penilaian tradisional Karena penilaian
otentik menekankan capaian pembelajar untuk menunjukkan kinerja, doing
something, kesiapan pembelajaran untuk berunjuk kerja selepas mengikuti
kegiatan pembelajaran tentu lebih signifikan. Selain itu, ada beberapa manfaat
lain penggunaan penilaian otentik, sebagaimana dikemukakan Mueller, yaitu
sebagai berikut. Pertama, penggunaan penilaian otentik memungkinkan
dilakukannya pengukuran secara langsung terhadap kinerja pembelajar sebagai
indikator capain kompetensi yang dibelajarkan. Penilaian yang hanya mengukur
capaian pengetahuan yang telah dikuasai pembelajar hanya bersifat tidak
langsung. Tetapi, penilaian otentik menuntutpembelajar untuk berunjuk kerja
dalam situasi yang konkret dan sekaligus bermakna yang secara otomatis juga
mencerminkan penguasaan dan keterampilan keilmuannnya. Unjuk kerja tersebut
bersifat langsung, langsung terkait dengan konteks situasi dunia nyata dan
tampilannya juga dapat diamati langsung. Hal itu lebih mencerminkan tingkat
capaian pada bidang yang dipelajari. Misalnya, dalam belajar berbicara bahasa
target, pembelajar tidak hanya berlatih mengucapkan lafal, memilih kata, dan
menyusun kalimat, melainkan juga mempratikkannya dalam situasi konkret dan
dengan topik aktual-realistik sehingga menjadi lebih bermakna. Kedua, penilaian
otentik memberi kesempatan pembelajar untuk mengkonstruksikan hasil
belajarnya. Penilaian haruslah tidak sekadar meminta pembelajar mengulang apa
yang telah dipelajari karena hal demikian hanyalah melatih mereka menghafal dan
mengingat saja yang kurang bermakna. Dengan penilaian otentik pembelajar
diminta untuk mengkonstruksikan apa yang telah diperoleh ketika mereka
dihadapkan pada situasi konkret. Dengan cara ini pembelajar akan menyeleksi dan
menyusun jawaban berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan analisis situasi
yang dilakukan agar jawabannya relevan dan bermakna. Ketiga, penilaian otentik
memungkinkan terintegrasikannya kegiatan pengajaran, belajar, dan penilaian
menjadi satu paket kegiatan yang terpadu.
Dalam pembelajaran tradisional, juga model penilaian tradisional, antara
kegiatan pengajaran dan penilaian merupakan sesuatu yang terpisah, atau sengaja
dipisahkan. Namun, tidak demikian halnya dengan model penilaian otentik.
Ketiga hal tersebut, yaitu aktivitas guru membelajarkan, siswa belajar, dan guru
menilai capaian hasil belajar pembelajar, merupakan satu rangkaian yang memang
sengaja didesain demikian. Ketika guru membelajarkan suatu topik dan
pembelajar aktif mempelajari, penilaiannya bukan semata berupa tagihan terhadap
penguasaan topik itu, melainkan pembelajar juga diminta untuk berunjuk kerja
www.noctrl.edu/, Naperville, http://jonathan.- mueller.faculty.noctrl.edu/toolbo
x/index.htm (Diunduh 27 Agustus 2017)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
137
mempraktikkannya dalam sebuah situasi konkret yang sengaja diciptakan.
Keempat, penilaian otentik memberi kesempatan pembelajar untuk menampilkan
hasil belajarnya, unjuk kerjanya, dengan cara yang dianggap paling baik.
Singkatnya, model ini memungkinkan pembelajar memilih sendiri cara, bentuk,
atau tampilan yang menurutnya paling efektif. Hal itu berbeda dengan penilaian
tradisional, misalnya bentuk tes pilihan ganda, yang hanya memberi satu cara
untuk menjawab dan tidak menawarkan kemungkinan lain yang dapat dipilih.
Jawaban pembelajar dengan model ini memang seragam, dan itu memudahkan kita
mengolahnya, tetapi itu menutup kreativitas pembelajar untuk mengkreasikan
jawaban atau kinerjanya. Padahal, unsur kreativitas atau kemampuan berkreasi
merupakan hal esensial yang harus diusahakan ketercapaiannya dalam tujuan
pembelajaran.
Penilaian autentik sesungguhnya adalah suatu istilah yang diciptakan
untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif. Berbagai metode tersebut
memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kemampuannya untuk
menyelesaikan tugas-tugas, memecahkan masalah, atau mengekspresikan
pengetahuannya dengan cara mensimulasikan situasi yang dapat ditemui di dalam
dunia nyata di luar lingkungan sekolah. Berbagai simulasi tersebut semestinya
dapat mengekspresikan prestasi (performance) yang ditemui di dalam praktek
dunia nyata seperti tempat kerja. Penilaian autentik seharusnya dapat menjelaskan
bagaimana siswa menyelesaikan masalah dan dimungkinkan memiliki lebih dari
satu solusi yang benar. Strategi penilaian yang cocok dengan kriteria yang
dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari beberapa teknik penilaian. Penilaian
autentik dalam pembelajaran dapat mengembangkan berbagai karakter antara lain
kejujuran, tanggung jawab, menghargai karya dan prestasi orang lain,
kedisiplinan, dan cinta ilmu.
Menurut guru biologi di MAN Insan Cendikia Serpong105 bahwa saya
ketika menilai siswa ketika performance di depan kelas menjelaskan materi yang
terkait dengan tema, menyelesaikan tugas-tugas, bagaimana siswa dapat
memecahkan masalah dalam materi yang diberikan sehingga dari hal-hal tersebut
siswa dapat mengembangkan karakter mereka masing-masing antara lain
kejujuran, tanggung jawab, menghargai karya dan prestasi orang lain,
kedisiplinan, dan cinta ilmu.
Dalam Penilaian dapat dilakukan tidak hanya oleh guru, akan tetapi dapat
dilakukan oleh teman lain atau orang lain. Authentic assessment memiliki enam
karakteristik sebagai berikut.
a. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
b. Dapat digunakan untuk penilaian formatif maupun sumatif.
c. Penilaian dilakukan terhadap keterampilan dan performansi bukan
mengingat fakta.
105 Hasil wawancara dengan guru biologi di MAN Insan Cendikia Serpong pada
tanggal 17 juli 2018
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
138
d. Penilaian dilakukan berkesinambungan.
e. Penilaian dilakukan secara terintegrasi.
f. Penilaian dapat digunakan sebagai umpan balik106
Gambar 4.4 Siswa Mempresentasikan Hasil Diskusi Kelompok
di layar infocus
Gambar di atas menunjukkan bahwa beberapa siswa sedang
mempresentasikan hasil kelompok dapat menjelaskan bagaimana siswa
menyelesaikan masalah dan dimungkinkan memiliki lebih dari satu solusi
yang benar.
8. Inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi,
menemukan)
Hasil penelitian107, menyimpulkan bahwa Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa penerapan pembelajaran inkuiri terbimbing
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ketrampilan proses sains
dasar siswa kelas VIII SMP Negeri 7 Surakarta.
Secara umum proses inkuiri menurut Sanjaya108dapat dilakukan
melalui beberapa langkah, yaitu: 1. Merumuskan masalah; 2. Mengajukan
hipotesis; 3. Mengumpulkan data; 4. Menguji data berdasarkan data yang
ditemukan; dan 5. Membuat kesimpulan. Pendekatan inkuiri induktif, oleh
106Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi
Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, h. 175 107Wiwin Ambarsari, Slamet Santosa, Maridi, Penerapan Pembelajaran Inkuiri
Terbimbing Terhadap Keterampilan Proses Sains Dasar Pada Pelajaran Biologi Siswa
Kelas VIII SMP Negeri 7 Surakarta, Pendidikan Biologi Vol. 5, No. 1, 93 108Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi, (Jakarta: Prenata Media Group, 2008), h. 119
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
139
Orlich, dkk109 dapat dibedakan menjadi inkuiri terbimbing dan inkuiri tak
terbimbing. Perbedaan diantara keduanya yaitu, data atau fakta, kemudian
siswa membuat generalisasi dengan bantuan guru, disebut inkuiri induktif
terbimbing. Jika siswa menemukan sendiri spesifiksi sebelum membuat
generalisasi, maka dinamakan inkuiri induktif tak terbimbing.
Langkah pertama yaitu merumuskan masalah, guru membimbing
siswa menentukan suatu masalah yang terkait dengan pelajaran yang
disampaikan, kemudian siswa memikirkan sendiri jawabannya. Langkah
kedua yaitu mengajukan hipotesis, guru membimbing siswa menemukan
jawaban sementara atas masalah yang ditemukan. Langkah ketiga yaitu
mengumpulkan data, siswa melakukan eksperimen sederhana. Langkah
keempat menguji data berdasarkan data yang ditemukan, siswa menguji
hasil eksperimen dengan fakta-fakta dan teori yang terkait. Langkah
kelima membuat kesimpulan siswa mempresentasikan hasil diskusinya
didepan kelas dan membuat kesimpulan.
Suryobroto110, menyatakan ada beberapa kelebihan pembelajaran
inkuiri antara lain: membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak
persediaan dan penguasaan keterampilan dan proses kognitif siswa,
membangkitkan gairah pada siswa misalkan siswa merasakan jerih payah
penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan,
memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan
kemampuan, membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya
kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan, siswa
terlibat langsung dalam belajar sehingga termotivasi untuk belajar, srategi
ini berpusat pada anak, misalkan memberi kesempatan kepada mereka dan
guru berpartisipasi sebagai sesama dalam mengecek ide. Guru menjadi
teman belajar, terutama dalam situasi penemuan yang jawabanya belum
diketahui.
Menemukan (inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan
pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran yang dilakukan guru dan aktivitas belajar siswa.
Cerbin dan Kopp111 menemukan bahwa lesson study sangat efektif untuk
109 Orlich, D. C., Harder, R. J., Callahan, R. C., & Gibson, H. W, Teaching
Strategies A Guided to Better Instruction, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1998), h.
297 110 Suryosubroto B, Proses Belajar Mengajar di Sekolah. (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2002),h. 201 111 Cerbin, W., B. Kopp, Lesson study as a Model for Building Pedagogical
Knowledge and Improving Teaching. International Journal of Teaching and Learning in
Higher Education. (2006), h. 250- 257.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
140
meningkatkan pengembangan siswa pada pembelajaran. Marsigit 112 juga
menemukan bahwa kegiatan lesson study dapat meningkatkan antusiasme
siswa, motivasi, kegiatan, dan kinerja. Pemodelan dalam pembelajaran
antara lain dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, menghargai orang lain,
dan rasa percaya diri.
Inquiry artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan
penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Dengan demikian dalam proses
perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal,
akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat
menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya.113 Siklus menemukan
(inquiry) yang terdiri atas: observasi, bertanya, mengajukan dugaan (hipotesis),
mengumpulkan data, dan menyimpulkan, merupakan sebuah proses terarah dan
jelas yang digunakan dalam kegiatan mental. Menurut Johnson,114 proses terarah
dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah,
mengambil keputusan, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah
dinamakan berpikir kritis.
Gambar 4.5 siswa MAN Insan Cendikia sedang mempertunjukan hasil temuan
dalam bidang IPTEK
112 Marsigit, Mathematics Teachers’ Professional Development through Lesson
study in Indonesia. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education.
(2007), h.141-144. 113 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran h,.. 263 114 Johnson, Elaine B, Contextual Teaching and Learning: what it is and why it’s
here to stay.... h.183
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
141
Gambar di atas menunjukkan para siswa MAN Insan Cendikia
memperlihatkan hasil temuan di bidang IPTEK. Hal ini terbukti dari metode
inquiri bahwa Siklus menemukan (inquiry) yang terdiri atas: observasi, bertanya,
mengajukan dugaan (hipotesis), mengumpulkan data, dan menyimpulkan,
merupakan sebuah proses terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan
mental. Proses terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti
memecahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis asumsi, dan
melakukan penelitian ilmiah dinamakan berpikir kritis.
Beberapa pendekatan CTL menurut Saliman, adalah sebagai berikut:
a. Problem-Based Learning, yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk
belajar melalui berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah dalam
rangka memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi
pelajaran.
b. Authentic Instruction, yaitu pendekatan pengajaran yang menperkenankan
siswa untuk mempelajari konteks bermakna melalui pengembangan
keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam
konteks kehidupan nyata.
c. Inquiry-Based Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang mengikuti
metodologi sains dan memberi kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
d. Project-Based Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang
memperkenankan siswa untuk bekerja mandiri dalam mengkonstruk
pembelajarannya (pengetahuan dan keterampilan baru), dan
mengkulminasikannya dalam produk nyata.
e. Work-Based Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan
siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi ajar
dan menggunakannya kembali di tempat kerja.
f. Service Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu
penerapan praktis dari pengetahuan baru dan berbagai keterampilan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat melalui proyek/tugas terstruktur dan
kegiatan lainnya.
g. Cooperative Learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang menggunakan
kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam rangka memaksimalkan
kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Dengan tujuh pendekatan tersebut, maka keberhasilan pembelajaran
kontekstual, baik proses maupun hasil belajarnya akan terwujud secara nyata
dalam proses pembelajaran di sekolah bagi siswa. Dengan pendekatan tersebut
siswa akan lebih kreatif, mandiri, aktif, dan inovatif. Siswa lebih mampu
mengelaborasi muatan-muatan pembelajaran secara kontekstual yang berbasis
dunia nyata. Keberhasilan dengan pendekatan tersebut bukan tanpa alasan. Paling
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
142
tidak dalam pandangan penulis, keberhasilan tersebut berwujud nyata dengan
beberapa alasan sebagai berikut ;
a. Materi dipilih berdasarkan kebutuhan siswa dan materi tersebut terkait
dengan konteks kehidupan nyata/masalah.
b. Belajar dapat dilaksanakan di berbagai tempat, konteks dan kondisi.
c. Keterlibatan siswa secara aktif
d. Terjadinya kolaborasi dan kerjasama antar siswa
e. Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.
f. Pembelajaran dilakukan berdasarkan kebutuhan siswa, sehingga siswa sadar
betul akan pentingnya proses belajar yang dialaminya
g. Merangsang berpikir kritis siswa terhadap persoalan-persoalan yang dipelajari
h. Siswa menguasai materi dengan seperangkat kompetensi yang dimiliki.
Pembelajaran kontekstual merupakan salah satu alternatif pembelajaran
yang dapat mengurangi verbalisme dan teoritis. Di samping itu, pembelajaran ini
dapat memberikan penguatan pemahaman secara komprehensif melalui
penghubungan makna atau maksud dari ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa
dengan pengalaman langsung dalam kehidupan yang nyata. Melalui model
pembelajaran kontekstual, pengalaman belajar bukan hanya terjadi dan dimiliki
ketika seseorang siswa berada di dalam kelas, tetapi jauh lebih penting dari itu
adalah bagaimana membawa pengalaman belajar tersebut keluar dari kelas, yaitu
pada saat ia dituntut untuk menanggapi dan memecahkan permasalahan yang
nyata yang dihadapi sehari-hari. Sehingga pembelajaran kontekstual ini idealnya
mengkaitkan permasalahan pada dunia nyata kepada teori yang akan dipelajarkan
atau disajikan pada siswa, dan siswa secara aktif memecahkan permasalahan
tersebut sesuai apa yang ia dapatkan melalui pengalaman dan dihubungkan dengan
teori yang ia pelajari di sekolah oleh gurunya.
Semangat atau motivasi belajar langsung bersumber dari kehendak atau
cita-cita atau pun tujuan tertent yang telah dimiliki oleh siswa terlebih dahulu,
sehingga guru hanya mengarahkan dan membantu sebagai fasilitator. Dan siswa
menjadi lebih aktif dikarenakan dia yang belajar, dia yang mengalami, dan pada
akhirnya dia juga yang akan mengaplikasikan ilmu pengethuan yang dimilikinya
di dalam kehidupan bermasyarakat.
9. Pembelajaran Berbasis Masalah
Hasil penelitian,115 menyatakan bahwa guru memberikan respon yang
positif terhadap pembelajaran berbasis masalah yang tercermin dari minatnya
untuk mengetahui lebih jauh mengenai pembelajaran ini. Guru juga menyatakan
bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat melatih siswa untuk: bekerja sama
dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas tugas, berpikir matematik, dan
115Yanto Permana dan Utari Sumarmo, Mengembangkan kemampuan Penalaran
dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis masalah, educationist
vol. I no. 2/juli 2007, h. 122
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
143
menciptakan suasana sehingga siswa lebih aktif belajar di dalam kelas. Siswa aktif
selama proses pembelajaran berbasis masalah. Ini terlihat dari siswa mau bekerja
sama, saling membantu dan saling memberikan pendapat (sharing ideas) dalam
menyelesaikan tugas tugas atau soal soal yang diberikan.
Senada dengan penelitian,116 menyatakan bahwa berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model PBL
yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII SMPN 19 Palu pada
materi panjang garissinggung persekutuan dua lingkaran, mengikuti langkah-
langkah model PBL yakni (1) siswa diberikan kesempatan untuk terlibat langsung
dalam topik yang sedang dipelajari yaitu dengan mengorientasikan siswa pada
masalah menggunakan video atau animasi, kemudian guru meminta siswa
mengamati (membaca) dan memahami masalah secara individu agar siswa dapat
benar-benar memperhatikan masalah yang disajikan dan aktif mencari tahu cara
penyelesaian masalah, (2) semua siswa langsung membentuk kelompok sesuai
dengan anggota kelompok yang telah ditentukan oleh guru secara heterogen untuk
menyelesaikan LKS yang diberikan, (3) siswa mampu untuk mengungkapkan ide-
ide mereka dalam menjawab masalah yang ada dalam LKS melalui diskusi
kelompok dan guru memberikan bantuan sejauh mana yang diperlukan saja kepada
siswa dalam mengungkapkan idenya untuk menjawab LKS, (4) siswa mampu
mempresentasikan hasil pekerjaan kelompoknya dengan penguasaan topik dan
proses pengerjaan yang cukup baik, dan guru menunjuk siswa untuk presentasi
secara acak agar siswa dapat bertanggung jawab di dalam kelompoknya, (5) siswa
mampu menganalisis hasil proses pemecahan masalah pada hasil presentasi tiap-
tiap kelompok dengan kemampuan intelektual yang telah mereka peroleh dan
mampu menemukan kesalahan dan menjelaskan dengan baik jawaban yang benar
saat tanya jawab, pada saat mengevaluasi hasil proses pemecahan masalah guru
harus memimpin diskusi kelas dengan cara semenarik mungkin agar semua siswa
mau terlibat aktif dalam proses diskusi. Kemudian guru membimbing siswa untuk
menyimpulkan hasil penemuannya agar siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan
yang diperoleh pada saat bekerja dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah.
Senada dengan penelitian117 menyatakan ada beberapa hal penting yang
perlu dicermati dalam pelaksanaan strategi pembelajaran pemecahan masalah
berorientasi kearifan lokal Bali agar dapat dilaksanakan secara efektif, khususnya
dalam pembelajaran Matematika SMP, yaitu: (1) pada awal pembelajaran, siswa
agar diberikan masalah sebagai motivator bagi mereka untuk mempelajari materi
selanjutnya dan biarkan mereka untuk mencari jawaban sendiri sesuai dengan
116Muhammad Fachri Baharuddin Paloloang, Penerapan Model Problem Based
Learning (PBL) Untuk Meningkatkan Hasil Belajarsiswa Pada Materi Panjang Garis
Singgung Persekutuan Dua Lingkaran Di Kelas VIII Smp Negeri 19 Palu, Jurnal
Elektronik Pendidian Matematika Tadulako, Volume 2 Nomor 1, September 2014, h. 76 117 N.N. Parwati, Pengembangan Model Pembelajaran Pemecahan Masalah
Berorientasi Kearifan Lokal Pada Siswa Smp Di Kota Singaraja, Jurnal Pendidikan
Indonesia, Vol. 4, No.2, Oktober 2015, h. 615
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
144
pengetahuan yang telah dimiliki; (2) berikan siswa motivasi belajar dengan
mengingatkan/membaca dan merenungkan slogan-slogan/petuah-petuah yang
diangkat dari kearifan lokal yang mengandung pesan-pesan moral untuk
memperkuat karakter positif siswa; (2) ciptakan situasi yang menyenangkan bagi
siswa, misalnya mengajak mereka bernyanyi dengan membuat syair lagu yang
dikaitkan dengan materi yang sedang dibahas atau mengemas pembelajaran dalam
bentuk permainan; (3) masalah yang disajikan untuk siswa adalah masalah yang
kontekstual/sesuai dengan lingkungan sehari-hari siswa, sehingga materi
matematika yang sedang dipelajari dapat dilihat langsung manfaatnya atau dapat
dibayangkan dalam pikiran siswa; (4) pelaksanaan pembelajaran yang bertipe
problem solving, agar diberikan berupa masalah matematika terbuka maupun
masalah matematika tertutup; (5) lakukan kegiatan pembelajaran dalam bentuk
kerja kelompok, dengan membentuk kelompok yang heterogen; dan (6) guru
mengambil peran sebagai fasilitator dan mediator yang kreatif.
Senada dengan pendapat guru Kimia bahwa sebelum pembelajaran siswa
harus dimotivasi terlebih dahulu dikarenakan jadwal di madrasah ini padat, karena
di asrama mereka harus mengikuti peraturan asrama sehingga jam tidur mereka
sedikit, tidak sedikit dari siswa di MAN yang merasakan lelah, hal ini membuat
guru-guru harus memacu semangat belajar mereka dengan memotivaor lewat
orang-orang sukses dengan ilmunya masing-masing, apalagi saya memegang
materi kimia yang tidak sedikit banyak istilah-istilah kimia yang dijumpai jadi
peran guru disini sebagai motivator dan fasilitator untuk siswa dalam problem solving.
Selanjutnya penelitian yang lain118, menyatakan bahwa Pengumpulan
informasi dilakukan dengan melakukan studi pendahuluan yang meliputi studi
pustaka dan survei lapangan. Studi pustaka dilakukan dengan mengkaji teori
mengenai pembelajaran IPA terpadu dan segala informasi yang dibutuhkan
mengenai pengembangan perangkat pembelajaran IPA berbasis PBL yang
mengacu pada Kurikulum 2013. Sedangkan survei lapangan dilakukan di SMP
agar memperoleh informasi mengenai pelaksanaan pembelajaran IPA berdasarkan
Kurikulum 2013 dan karakteristik peserta didik. Oleh karena itu, melalui studi
pendahuluan ini dapat diketahui permasalahan guru dan peserta didik mengenai
pembelajaran IPA khususnya berkaitan dengan pemecahan masalah dan scientific attitude.
Penelitian selanjutnya119 mengenai penerapan PBM untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan komunikasi matematis siswa SD juga
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis
118Rina Rahayu dan Endang W. Laksono FX, Pengembangan Perangkat
Pembelajaran IPA Berbasis Problem-Based Learning Di SMP, Jurnal Kependidikan,
Volume 45, Nomor 1, Mei 2015, h. 32-33 119Fachrurazi.. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan
KemampuanBerpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar, Genta Mulia
Volume IX No. 2, 2011, h. 56-70
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
145
dan kemampuan komunikasi siswa antara siswa yang diajarkan dengan model
PBM dan konvensional ditinjau dari faktor pembelajaran dan level sekolah.
Peningkatan dengan model PBM lebih tinggi dari pada konvensional. Hal lain
yang diperoleh selain peningkatan kemampuan berpikir kritis dengan
menggunakan PBM menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memberikan sikap
positif saat diajarkan dengan model PBM. Sikap positif ini akan memberikan
pengaruh yang besar terhadap kemampuan berpikir kritis siswa.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan pengaruh model PBM
terhadap kemampuan berpikir kritis. Sedangkan Penelitian yang dilakukan
Padmavathy & Mareesh120 mengenai keefektivan model PBM dalam proses
pebelajaran matematika pada tingkat sekolah menengah menunjukkan bahwa ada
pengaruh model PBM dalam pembelajaran matematika.
Istilah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) diadopsi dari istilah Inggris
yaitu Problem Based Instruction (PBI). Model pembelajaran berbasis masalah ini
telah dikenal sejak zaman John Dewey. Model pembelajaran ini mulai diterapkan
karena secara umum pembelajaran ini diawali dengan penyajian situasi masalah
autentik dan bermakna kepada siswa sehingga siswa dapat melakukan proses
penyelidikan dan inkuiri dengan mudah. Masalah yang diberikan diawal
pembelajaran digunakan sebagai pemicu proses pembelajaran. Hal ini sejalan
dengan pendapat Arends dalam Trianto121 menyatakan bahwa model pembelajaran
berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa
mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun
pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir
tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Penelitian
yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) telah banyak
dilakukan. Pada umumnya hasil dari penelitian tersebut dapat meningkatkan hasil
belajar siswa. Pada subbab ini akan diperlihatkan penelitan-penelitian yang
relevan yang berguna sebagai rujukan bagi penelitian yang akan dilakukan, dan
agar tidak terjadi pengulangan judul dari penelitian yang sudah dibuat. Berikut ini
diperlihatkan berbagai penelitian yang telah dilakukan.
Penelitian selanjutnya122 mengenai pengembangan kemampuan berpikir
kritis mahasiswa melalui pembelajaran berdasarkan masalah pada mata kuliah
fisika lingkungan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kemampuan berpikir
kritis siswa dapat dikembangkan dengan model menggunakan model PBM.
Aspek-aspek berpikir kritis yang dapat dikembangkan diantaranya:
120Padmavathy & Mareesh, Effectiveness of Problem Based Learning in
Mathematics. International Multidisciplinary e-Journal, 2013, h. 45-51 121Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan
dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 92 122Dwijananti, P & Yulianti, D. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis
Mahasiswa Melalui Pembelajaran Problem Based Instruction Pada Mata Kuliah Fisika
Lingkungan. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 2010, h. 108-114.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
146
mengklasifikasi, mengasumsi, memprediksi, membuat hipotesis, mengevaluasi,
menganalisis dan membuat kesimpulan. Penelitian ini termasuk PTK, dimana
terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa di setiap siklus. Kedua
penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan model PBM dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis. Pendidikan matematika di sekolah ditujukan agar
siswa memiliki daya nalar yang baik terutama ketika menyelesaikan masalah
dalam mata pelajaran matematika. Usniati123 menemukan bahwa salah satu
kecenderungan yang menyebabkan siswa gagal menguasai dengan baik pokok-
pokok bahasan dalam matematika yaitu siswa kurang memahami dan
menggunakan nalar yang baik dalam menyelesaikan soal yang diberikan. Begitu
juga dengan pendapat Rosnawati124 yang mengemukakan bahwa rata-rata
persentase yang paling rendah yang dicapai oleh peserta didik Indonesia adalah
dalam domain kognitif pada level penalaran yaitu 17%. Padahal kemampuan
penalaran menjadi salah satu tujuan dalam pembelajaran matematika di sekolah
yaitu melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan,
mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, serta mengembangkan
kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ide-ide melalui
lisan, tulisan, gambar, grafik, peta, diagram, dan sebagainya125.
Secara rinci diuraikan dalam KTSP dalam Depdiknas 2006, peserta didik
harus memiliki kemampuan menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti,
atau menjelaskan gagasan dan peryataan matematika. Penalaran merupakan suatu
kegiatan atau proses berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat pernyataan
baru yang didasarkan pada pernyataan sebelumnya dan kebenarannya telah
dibuktikan. Turmudi126 mengatakan bahwa kemampuan penalaran matematis
merupakan suatu kebiasaan otak seperti halnya kebiasaan lain yang harus
dikembangkan secara konsisten menggunakan berbagai macam konteks, mengenal
penalaran dan pembuktian merupakan aspek-aspek fundamental dalam
matematika. Dengan penalaran matematis, siswa dapat mengajukan dugaan
kemudian menyusun bukti dan melakukan manipulasi terhadap permasalahan
123 Usniati, Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematika Melalui
Pendekatan Pemecahan Masalah. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif
Hidayatulloh: Tidak Diterbitkan, 2011 124Rosnawati, “Kemampuan penalaran matematika siswa SMP Indonesia pada
TIMSS 2011”. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,
2011 125Depdiknas, Kurikulum Standar Kompetensi Matematika Sekolah Menengah
Atas dan Madrasah aliyah. Jakarta: Depdiknas, 2006 126Turmudi, Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika Siswa dalam
Pelajaran Matematika. Disertasi doktor pada PPS IKIP Bandung: Tidak dipublikasikan,
2008
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
147
matematika serta menarik kesimpulan dengan benar dan tepat. Senada dengan127
guru bahasa Inggris di MAN Insan Cendikia mengungkapkan bahwa butuh
penalaran yang ekstra di samping itu sebelum memulai pelajaran menurutnya saya
sering memberikan motivasi-motivasi dalam bentuk cerita kehidupan orang-orang
sukses agar peserta didik termotivasi mau belajar dengan sungguh-sungguh,
karena dengan kesungguhan apapun bisa berhasil.
Untuk dapat meningkatkan kualitas dalam pembelajaran para ahli
pembelajaran menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktifistik
dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan adanya perubahan paradigma belajar
tersebut terjadi perubahan fokus pembelajaran dari berpusat pada guru kepada
belajar berpusat pada siswa. Pembelajaran dengan lebih memberikan nuansa yang
harmonis antara guru dan siswa dengan memberi kesempatan seluas-luasnya
kepada siswa untuk berperan aktif dan mengkonstruksi konsep-konsep yang
dipelajarinya. Pembelajaran yang berpusat pada siswa mempunyai tujuan agar
siswa memiliki motivasi tinggi dan kemampuan belajar mandiri serta
bertanggungjawab untuk selalu memperkaya dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, keterampilan dan sikap. Ada beberapa pembelajaran yang berpusat
pada siswa yaitu salah satunya adalah pembelajaran berbasis masalah.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu metode dalam pembelajaran
yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan baru. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut
mahasiswa akan mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan atas
masalah tersebut. Punaji Setyosari128 menyatakan bahwa pembelajaran berbasis
masalah adalah suatu metode atau cara pembelajaran yang ditandai oleh adanya
masalah nyata, a real-world problems sebagai konteks bagi mahasiswa untuk
belajar kritis dan ketrampilan memecahkan masalah dan memperoleh
pengetahuan. Gardner129 menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah
merupakan alternatif model pembelajaran yang menarik dalam pembelajaran
ruang kelas yang tradisional. Dengan model pembelajaran berbasis masalah, dosen
menyajikan kepada mahasiswa sebuah masalah, bukan kuliah atau tugas. Sehingga
mahasiswa menjadi lebih aktif belajar untuk menemukan dan menyelesaikan
masalah.
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) juga telah memberikan
kesempatan belajar berbagai peran orang dewasa bagi siswa melalui keterlibatan
mereka pengalaman nyata atau simulasi serta menjadi pembelajaran yang otonom
dan mandiri sehingga dapat menambah kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah sesuai dengan tujuan pembelajaran dengan konsep PBM. Selain itu juga
127 Hasil wawancara dengan guru bahasa inggris pada tanggal 22 Agustus di MAN
IC Serpong Tangerang 128Punaji Setyosari. Belajar berbasis masalah (Problem Based Learning). Makalah
disampaikan dalam Pelatihan Dosen-dosen PGSD FIP UNY di Malang. 2006 129Gardner,J.W.Problem-basedlearning.Diambil
http://www.studygs.net/pbl.htm,http://media-grafika.com/model-modelpembelajaran
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
148
PBM dapat mengembangkan kemampuan berfikir siswa yang kritis dan analisis
dalam menghadapi masalah dalam pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat
Wang dkk130 yang mengemukakan bahwa PBM merupakan metode pembelajaran
yang bisa menumbuhkembangkan kemampuan berfikir siswa, melatih
keterampilan menyelesaikan masalah serta meningkatkan penguasaan materi
pembelajaran. Pembelajaran berbasis masalah mempunyai tujuan untuk
mengembangkan dan menerapkan kecakapan yang penting yaitu pemecahan
masalah berdasarkan keterampilan belajar sendiri atau kerjasama kelompok dam
memperoleh pengetahuan yang luas. Dosen mempunyai peran untuk memberikan
inspirasi agar potensi dan kemampuan mahasiswa dimaksimalkan. Pembelajaran
berbasis masalah memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Belajar diawali dengan masalah
b. Masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa
c. Mengorganisasikan pelajaran seputar masalah
d. Mahasisawa diberikan tanggungjawab yang besar untuk melakukan proses
belajar secara mandiri
e. Menggunakan kelompok kecil
f. Mahasiswa dituntut untuk mendemonstrasikan apa yang telah dipelajari
dalam bentuk kinerja
Pembelajaran berdasarkan masalah memiliki prosedur yang jelas dalam
melibatkan peserta didik untuk mengidentifikasi permasalahan. John Dewey
dalam Wina Sanjaya131, menjelaskan 6 langkah strategi pembelajaran berdasarkan
masalah yang kemudian dinamakan metode pemecahan masalah (problem solving), yaitu :
a. Merumuskan masalah, yakni langkah peserta didik dalam menentukan
masalah yang akan dipecahkan.
b. Menganalisis masalah, yakni langkah peserta didik meninjau masalah secara
kritis dari berbagai sudut pandang.
c. Merumuskan hipotesis, yakni langkah peserta didik dalam merumuskan
pemecahan masalah berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
d. Mengumpulkan data, yakni langkah peserta didik untuk mencari informasi
dalam upaya pemecahan masalah.
e. Pengujian hipotesis, yakni langkah peserta didik untuk merumuskan
kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan.
f. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yakni langkah peserta didik
menggambarkan rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.
130Wang, H.C.A.Thompson daam Schuller, C.F.1998 Essential Components of
problem Based Learning for the k-12 in quary science instruction. (online),
(http//searchyahoo.com di akses 28 Juli 2016). 131 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.217
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
149
Menurut Trianto132, peran guru dalam pembelajaran berdasarkan masalah
adalah sebagai berikut:
a. Mengajukan masalah sesuai dengan kehidupan nyata sehari-hari.
b. Membimbing penyelidikan misal melakukan eksperimen.
c. Menfasilitasi dialog peserta didik.
d. Mendukung belajar peserta didik.
Tabel 4. 2 sintaks untuk model Problem Based Learning (PBL) dapat disajikan
menurut Arends133
No Fase Perilaku Guru
1 Fase pertama memberikan
orientasi tentang permasalahannya
kepada peserta didik
Guru membahas tujuan pelajaran,
mendeskripsikan berbagai kebutuhan
logistik penting, dan memotivasi
peserta didik untuk terlibat dalam
kegiatan mengatasi masalah.
2 Fase kedua Mengorganisasikan
peserta didik untuk meneliti
Guru membantu peserta didik untuk
mendefinisikandan
mengorganisasikan tugas-tugas
belajar yang terkait dengan
permasalahannya.
3 Fase ketiga membantu investigasi
mandiri dan kelompok
Guru mendorong peserta didik untuk
mendapatkan informasi yang tepat,
4 Fase keempat mengembangkan
dan mempresentasikan hasil karya
dan memamerkan
melaksanakan eksperimen, dan
mencari penjelasan dan solusi. Guru
membantu peserta didik dalam
merencanakan dan menyiapkan hasil
karya yang tepat, seperti laporan,
rekaman video, dan model-model, dan
membantu mereka untuk
menyampaikannya kepada orang lain.
5 Fase kelima menganalisis dan
mengevaluasi proses mengatasi
masalah
Guru membantu peserta didik untuk
melakukan refleksi terhadap
penyelidikannya dan proses-proses
yang mereka gunakan.
Dari uraian di atas jelas bahwa dalam pembelajaran berbasis masalah
dimulai dengan adanya permasalahan. Masalah yang dijadikan pembelajaran dapat
muncul dari mahasiswa atau dosen. Sehingga mahasiswa dapat memilih masalah
yang dianggap menarik untuk dijadikan pembelajaran.
132 Trianto, Model Pembelajaran Terpadu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 97 133 Arends, Richard, Learning to Teach. Penerjemah: Helly Prajitno & Sri
Mulyani. (New York: McGraw Hill Company, 2008), h. 57
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
150
10. TGT (Teams Games Tournament) Sebuah penelitian,134menyatakan Education game adalah permainan yang
bersifat mendidik. Permainan edukatif adalah suatu kegiatan yang sangat
menyenangkan dan dapat merupakan cara atau alat pendidikan yang bersifat
mendidik. Dengan kata lain, permainan edukatif merupakan sebuah bentuk
kegiatan mendidik yang dilakukan dengan menggunakan cara atau alat yang
bersifat mendidik pula. Sehingga permainan edukatif bermanfaat untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa, berpikir, serta bergaul dengan
lingkungannya. Disamping itu, permainan edukatif juga bermanfaat untuk
menguatkan dan menerampilkan anggota badan si anak, mengembangkan
kepribadian, mendekatkan hubungan antara pengasuh dengan anak didik, serta
menyalurkan kegiatan anak.
Senada dengan penelitian135 menyatakan bahwa berdasarkan hasil
penelitian rata-rata skor motivasi siswa sebelum menggunakan pembelajaran
berbasis turnamen dan games yaitu 72,55. Sedangkan rata-rata skor motivasi
belajar siswa setelah pembelajaran berbasis turnamen dan games yaitu 74,35.
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa angka P-value untuk t-test yaitu 0,001.
Hal ini berarti 0,001 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis
turnamen dan games berpengaruh signifikan terhadap motivasi belajar geografi
siswa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut peneliti merekomendasikan
pembelajaran berbasis turnamen dan games dapat diterapkan di kelas pada siswa
terutama mata pelajaran geografi.
Pembelajaran di kelas dapat diterapkan dengan berbagai strategi. Strategi
pembelajaran sangat penting untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Selain
itu, pembelajaran di kelas akan lebih efektif jika memahami bagaimana peserta
didik belajar.136 Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam peningkatan
motivasi belajar siswa yaitu pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Pembelajaran berbasis turnamen dan games merupakan salah satu
pembelajaran yang dapat diterapkan di MAN Insan Cendikia Serpong.
Pembelajaran ini dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Siswa
lebih termotivasi belajar saat diberi pilihan, melibatkan diri dalam tantangan yang
sesuai dengan kemampuan, dan menerima penghargaan yang memiliki nilai
informasi137. Dengan adanya turnamen dan games, siswa akan lebih aktif dan
bersemangat. Pembelajaran dengan turnamen membuat siswa merasa tertantang
134 M. Rohwati, Penggunaan Education Game Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Ipa Biologi Konsep Klasifikasi Makhluk Hidup, JPII 1 (1) (2012), h. 76 135 Kurnia Dewi Anjani, Ach. Fatchan, Ach. Amirudin dalam jurnalnya yang
berjudul Pengaruh Pembelajaran Berbasis Turnamen Dan Games Terhadap Motivasi
Belajar Siswa, Jurnal Pendidikan, Vol. 1, No. 9, Bln September, (2016), h. 178 136Purnomo, A, Peran Motivasi Dalam Pembelajaran Konstruktivisme. (Malang:
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang, 2016) 137 Santrock, J.W, Psikologi Pendidikan. (Jakarta: Salembai Humanika, 2014)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
151
dan penasaran dalam menguji kemampuannya, sedangkan dengan games atau
permainan membuat siswa merasa senang dan tidak bosan dalam pembelajaran.
Model pembelajaran kooperaif Teams Games Tournaments (TGT)
termasuk ke dalam metode-metode Students Teams Leraning. Huda138
berpendapat bahwa metode Teams Games Tournaments (TGT) dikembangkan
oleh Slavin dan rekan-rekannya. Penerapan Teams Games Tournaments (TGT)
mirip dengan STAD dalam hal komposisi kelompok, format instruksional, lembar
kerja. Bedanya, jika STAD dfokus pada komposisi kelompok berdasarkan
kemampuan, ras etnik dan gender, maka Teams Games Tournaments (TGT)
umumnya fokus hanya pada level kemampuan saja. Selain itu, jika STAD, yang
digunakan adalah kuis, maka dalam Teams Games Tournaments (TGT) istilah
tersebut biasanya berganti menjadi game akademik.
DeVries, Edward, & Wells139 berpendapat Teams Games Tournaments (TGT) meningkatkan perasaan para siswa bahwa hasil yang mereka keluarkan
tergantung pada kinerka dan bukan pada keberuntungan. Pengalaman dan temuan
tersebut diharapkan menjadi dasar dalam meningkatkan keaktifan dan motivasi
belajar peserta didik sehingga berpengaruh terhadap prestasi belajar mereka.
Sesuai dengan teori belajar140 bahwa ada hubungan langsung antara domain
kognitif dengan sosial budaya.
Slavin141berpendapat bahwa ada langkah-langkah atau komponen utama
yang dilakukan dalam model pembelajaran kooperatif Teams Games Tournaments (TGT), yaitu sebagai berikut:
a. Presentasi Kelas
Pertama-tama materi diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas.
Ini merupakan pengajaran langsung yang sering kali dilakukan atau diskusi
pelajaran yang dipimpin oleh guru, tetapi dapat juga memasukkan
presentasi audivisual.
b. Belajar Kelompok (Tim)
Tim terdiri dari tiga sampai empat siswa yang memiliki seluruh bagian
dari kelas dalam hal kinereja akademik, jenis kelamin, ras, dan etnisitas.
Fungsi utama dari tim ini adalah memastikan bahwa semua anggota tim
benar-benar belajar, dan lebih khusus lagi, adalah untuk mempersiapkan
anggota untuk dapat mengerjakan soal-soal games dengan baik.
c. Game Game terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang
dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperoleh dari presentasi
138 M. Huda, Cooperative Learning: Efektivitas Pembelajaran Kelompok,
(Bandung: Alfabeta, 2011), h. 116 139 Slavin, Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. (Bandung: Nusa
Media, 2009), h. 129 140 Isjoni, Cooperative Learning: Efektivitas Pembelajaran Kelompok, (Bandung:
Alfabeta, 2010), h. 40 141 Slavin, Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik...h. 143-167
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
152
di kelas dan pelaksanaan kerja tim. Game tersebut dimainkan di atas meja
dengan tiga orang siswa, yang masing-masing mewakili tim yang berbeda.
Kebanyakan Game hanya berupa nomor-nomor pertanyaan yang ditulis
pada lembar yang sama. Seorang siswa mengambil sebiah kartu
bernomordan harusmenjawab pertanyaan sesuai nomor yang tertera pada
kartu tersebut. Sebuah aturan tentang penantang memperbolehkan para
pemain saling menantang jawaban masing-masing.
d. Rekognisi Tim Guru boleh memberikan sertifikat kepada tim-tim yang memenuhi
kriteria. Tim baik hanya akan menerima ucapan selamat di dalam kelas.
Selain atau sebagai tambahan sertifikat, tim yang sukses dapat ditampilkan
pada papan mingguan dengan menempatkan foto dan nama tim mereka
pada tempat kehormatan. Apapun yang dilakukan untuk menghargai tim
berprestasi, sangat penting untuk mengoneksikan bahwa kesuksesan tim itu
(bukan hanya kesuksesan individu) merupakan sesuatu yang penting, karena
inilah yang akan memotovasi para peserta didik untuk membantu teman
satu timnya belajar.
Model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT)
memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Suarjana yang merupakan kelebihan
dan kelemahan dari pembelajaran TGT antara lain sebagai berikut:
a. Lebih meningkatkan pencurahan waktu untuk tugas
b. Mengedepankan penerimaan terhadap perbedaan individu
c. Dengan waktu yang sedikit dapat menguasai materi secara mendalam
d. Proses belajar mengajar berlangsung dengan keaktivan dari siswa
e. Mendidik siswa untuk berlaih bersosialisasi dengan orang lain
f. Motivasi belajar lebih tinggi
g. Hasil belajar lebih baik
h. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
Sedangkan kelemahan TGT adalah:
1) Bagi guru
a) Sulitnya peneglompokan siswa yang mempunyai kemampuan heterogen
dari segi akademis. Kelemahan ini akan dapat diatasi jika guru yang
bertindak sebagai pemegang kendalu teliti dalam menentukan pembagian
kelompok
b) Waktu yang dihabiskan untuk diskusi oleh siswa cukup banyak sehingga
melewati waktu yang sudah ditetapkan. Kesulitan ini dapat diatasi jika
guru mampu menguasai kelas secara menyeluruh
2) Bagi siswa
Masih adanya siswa berkemampuan tinggi kurang terbiasa dan sulit
memberikan penjelasan kepada siswa lainnya. Untuk mengatasi kelemahan
ini, tugas guru adalah membimbing dengan baik siswa yang mempunyai
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
153
kemampuan akademik tinggi agar dapat dan mampu menularkan
pengetahuannya kepada siswa yang lain.
Kelebihan dan kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) yang telah diuraikan harus dikuasai oleh guru agar
dapat pada saat pembelajaran berlangsung dapat meminimalisasi kelemahan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan ahwa pembelajaran kooperatif
Teams Games Tournament (TGT) adalah suatu model pembelajaran berkelompok
yang beranggotakan 3 sampai 4 orang dengan kemampuan heterogen, yang saling
bekerjasama supaya seluruh anggotanya memahami materi, sehingga dapat
bersaing dengan kelompok lain dalam meja game/turnamen untuk mendapatkan
predikat sebagai kelompok terbaik. Suasana kompetitif seperti ini menciptakan
kondisi kompetitif yang positif untuk membentuk kemandirian belajar sehingga
seluruh peserta didik dapat memahami materi, dan akhirnya dapat mengasah
kemampuan peserta didik.
Pada dasarnya pembelajaran berbasis turnamen dan games memiliki
kesamaan dengan STAD. Perbedaannya hanyalah pada turnamen kelompok tidak
ada kuis, tetapi ada lomba antar kelompok142. Selain itu, menurut Ahsan143
pembelajaran berbasis turnamen dan games juga memiliki beberapa kelebihan,
yakni (1) proses belajar mengajar berlangsung dengan keaktifan dari siswa, (2)
mendidik siswa untuk berlatih bersosialisasi dengan orang lain, (3) motivasi
belajar lebih tinggi, (4) meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan toleransi.
Dengan demikian, pembelajaran berbasis turnamen dan games memiliki peran
yang cukup penting dalam meningkatkan motivasi belajar siswa. Motivasi belajar
melibatkan proses yang memberikan energi, mengarahkan, dan mempertahankan
perilaku belajar siswa. Motivasi yang ada pada siswa terdapat dua macam, yaitu
motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik terkait dengan
melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Dalam hal ini, siswa
belajar karena ingin mendapatkan sesuatu baik dari guru maupun orang lain.
Motivasi intrinsik yaitu motivasi yang muncul dari dalam diri seseorang tanpa
memerlukan rangsangan dari luar. Dengan demikian, siswa belajar bukan karena
adanya keinginan untuk mendapatkan sesuatu, tetapi kebutuhan diri atau
dorongan dari dirinya untuk memahami suatu materi pembelajaran.
Pembelajaran turnamen dan games lebih dikenal dengan istilah TGT (Teams Games Tournament). Pembelajaran ini pertama kali diterapkan John
Hopkins oleh De Vries dan Edwards. De vries dan Edwards melakukan penelitian
mengenai pengaruh TGT dan variasi dua struktur terhadap proses pembelajaran di
142Sumarmi, Model-Model Pembelajaran Geografi, (Malang: Aditya Media
Publishing, 2012) 143 Ahsan, Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT). Online, 2012
(http://modelpembelajarankooperatif.blogspot.co.id/2012/08/teams-games-tournaments
gt.html),diakses 28 Mei 2017.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
154
kelas, sikap, dan prestasi siswa sekolah menengah pertama. Menurut Slavin144
secara umum TGT sama saja dengan STAD kecuali satu hal, yaitu TGT menggunakan turnamen akademik dan menggunakan kuis-kuis, serta sistem skor
individu, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim untuk memenangkan
turnamen pembelajaran. Pembelajaran berbasis turnamen dan games sangat
menarik minat siswa untuk belajar. Hal tersebut dikarenakan siswa dituntut untuk
aktif dalam kelompok mereka. Tidak hanya itu, siswa juga lebih tertantang dalam
turnamen kelompok serta dapat belajar dengan penuh keceriaan melalui games.
Komponen dalam pembelajaran berbasis turnamen dan games antara lain
(1) penyajian kelas, (2) diskusi Kelompok, (3) games atau permainan, (4)
turnamen, dan (5) penghargaan kelompok. Masing-masing komponen dalam
pembelajaran berbasis turnamen dan games memiliki ciri tersendiri. Penyajian
kelas yaitu siswa harus benar-benar memerhatikan dan memahami materi yang
diberikan guru. Hal tersebut perlu dilakukan guru karena akan membantu siswa
bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
Diskusi kelompok merupakan salah satu bagian dari pembelajaran
berbasis turnamen dan game yang di dalamnya terdapat muatan kerjasama,
toleransi, memacu keaktifan siswa, kemampuan berpikir kritis, dan kreativitas.
Dengan adanya diskusi kelompok siswa belajar memahami karakter temannya,
sehingga membuat siswa mampu menghargai perbedaan antara dirinya dengan
temannya. Komponen berikutnya yaitu games atau permainan, dalam permainan
siswa dapat belajar lebih menyenangkan dan ceria, sedangkan dalam komponen
turnamen, siswa cenderung merasa tertantang dan bersemangat menjadi pemenang
dan menguji kemampuannya dalam memahami materi yang disampaikan oleh
guru, komponen yang terakhir yaitu penghargaan kelompok. Penghargaan
kelompok merupakan salah satu pemacu motivasi ekstrinsik siswa. Dengan
adanya hadiah atau penghargaan terhadap pemenang turnamen maka motivasi
siswa akan lebih meningkat.
Motivasi belajar pada siswa sangat diperlukan guna menunjang
keberhasilan pelaksanaan pembelajaran di kelas. Motivasi adalah suatu proses
diinisiasikannya dan dipertahankannya aktivitas yang diarahkan pada pencapaian
tujuan145. Motivasi penting dalam menetukan seberapa banyak siswa akan belajar
dari suatu kegiatan pembelajaran atau seberapa banyak menyerap informasi yang
disajikan kepada mereka. Siswa yang termotivasi untuk belajar sesuatu akan
144Slavin, R.E, Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Terjemahan oleh
Yusron dan Zubaedi, (Bandung: Nusa Media, 2005) 145Pintrich, R.P., dkk, Motivasi Dalam Pendidikan Teori, Penelitian, dan Aplikasi.
(Jakarta: PT Indeks, 2012)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
155
menggunakan proses kognitif yang lebih tinggi dalam mempelajari materi itu,
sehingga siswa akan menyerap dan mengendapkan materi itu dengan lebih baik146
Motivasi belajar dibedakan atas dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan
motivasi ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik terkait dengan melakukan sesuatu untuk
mendapatkan sesuatu yang lain. Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh
insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Motivasi intrinsik melibatkan
motivasi internal dalam melakukan sesuatu demi minat sendiri. Siswa yang
termotivasi secara intrinsik, mengerjakan tugas-tugas karena mereka mendapati
tugas-tugas tersebut menyenangkan. Selain itu, kedua jenis motivasi tersebut juga
memiliki kekuatan dan arah. Siswa dengan tujuan yang sama mungkin memiliki
kekuatan motivasi yang berbeda147. Oleh karena itu, kedua jenis motivasi tersebut
sangat penting dimiliki oleh siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya.
Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas
tiap kelompok bisa sama bisaberbeda. Setelah memperoleh tugas, setiap kelompok
bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamika
kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok,
suasana diskuisi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi permainan
(games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah, lembut, santun, dan ada
sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehuingga
terjadi diskusi kelas.Jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam
beberapa pertemuan, atau dalam rangak mengisi waktu sesudah UAS menjelang
pembagian raport.
Gambar 4.6 siswa MAN Insan Cendikia
Serpong Tangerang sedang belajar sambil bermain
146 Zaldy, R, Motivasi dan Minat Belajar Siswa. Online
http://rafyberbagy.blogspot.com/2012/12/motivasi-dan-minat-belajar-siswa.html),2012,
diakses 3 Januari 2015. 147Marshall, dkk, Handbook Teaching and Learning Strategi Peningkatan Mutu
Pendidikan di Perguruan Tinggi. (Pekanbaru: Zanafa Publishing, 2013)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
156
Gambar di atas menunjukkan bahwa pelajar serta didik di MAN Insan
Cendikia Serpong sedang belajar sambil bermain bagaimana caranya agar balon
itu tidak jatuh maka butuh kerja sama yang baik dalam mempertahankan tali
masing-masing.
Dari serangkaian penjelasan pendidikan tentang metode-metode
pembelajaran di atas dan hasil wawancara dari beberapa informan maka dapat
dikemukakan bahwa pendidikan MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang dalam
pelaksanaan atau implementasi pendidikan Progresif John Dewey adalah dengan
cara: 1). Membawa pendidikan dan pembelajaran ke arah progresif, 2). Merubah
pendidikan otoriter menjadi pendidikan demokratis, 3). Menyesuaikan pola
pendidikan dengan kebutuhan siswa, 4). Mengaktifkan siswa dalam pelaksanaan
pendidikan di sekolah, 5). Menjadikan sekolah sebagai agen rekonstruksi sosial
dan moral, 6). Mengawali pembelajaran dengan memberi motivasi kepada siswa,
7). Melaksanakan pembelajaran secara kontekstual, 8). Melibatkan siswa dalam
memanfaatkan media pembelajaran, 9). Menumbuhkan peran aktif siswa dalam
pembelajaran, 10). Mengajak siswa untuk berpikir kritis secara mandiri dan
problem solving, 11). Menumbuhkan keceriaan dan antusiasme siswa dalam
belajar.
Maka dengan demikian bahwa model-model pembelajaran dan hasil
wawancara terindikasi mengarah kepada pendidikan progressif.
C. MAN Insan Cendikia Serpong sebagai Madrasah Unggul
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan unggul adalah lebih tinggi, pandai, kuat, dan sebagainya daripada yang
lain; terbaik; terutama. sedangkan Keunggulan artinya keadaan unggul;
kecakapan, kebaikan dan sebagainya yang lebih dari pada yang lain. Secara
ontologis sekolah unggul dalam perspektif Departemen Pendidikan Nasional
adalah sekolah yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran
(output) pendidikannya. Untuk mencapai keunggulan tersebut maka masukan
(input), proses pendidikan, guru dan tenaga kependidikan, manajemen, layanan
pendidikan, serta sarana penunjangnya harus diarahkan untuk menunjang
tercapainya tujuan tersebut.148 Menurut Mastuhu konsep sekolah/madrasah unggul
berangkat dari proses manajemen yang mendesain sedemikian rupa konsistensi
visi dan misi serta konsistensi tujuan dengan target diimplementasikan dalam
program kerja dengan mengakomodir keinginan lingkungan strategis (internal dan
eksternal) dengan mengacu pada ukuran kualitas yang ditentukan.149 Penjelasan
ini memberikan gambaran konsep madrasah unggulan bahwa untuk mencapai
keunggulan tersebut maka masukan (input), proses pendidikan, guru dan tenaga
148Muhammad, Konsep Pengembangan Madrasah Unggul, Kreatif, Vol. 4, No. 1
(Januari 2009), h. 39 149 Mastuhu, Menata Ulang Pendidikan Nasional Abad 21. (Jakarta: INIS, 2002),
h. 78
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
157
kependidikan, manajemen, layanan pendidikan, serta sarana penunjangnya harus
diarahkan untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut Menurut Abudinata
madrasah unggulan adalah madrasah yang memadukan antara keungulan dalam
bidang sains, ketrampilan dan teknologi dengan keunggulan dalam bidang
pengetahuan keagamaan termasuk di dalamnya keunggulan dalam keimanan dan
ketaqwaan.150 Sedangkan menurut Maimun dan Fitri, Madrasah memilki
keungggulan jika inputnya (siswa) potensial, proses berkualitas (tujuan, pendidik,
siswa, bahan, metode/sarana, dana, alat media dan manajemen), Outputnya
berkualitas (alumni) dan outcomenya baik (alumni yang bergabung dengan
masyarakat.151
Dengan demikian madrasah unggulan dapat didefinisikan sebagai
madrasah yang dikembangkan dan dikelola sebaik-baiknya dengan mengarahkan
semua komponennya untuk mencapai hasil lulusan yang lebih baik dan cakap dari
pada lulusan madrasah lainnya.152
Sebagian besar mutu pendidikan pada lembaga pendidikan Islam
khususnya madrasah di Indonesia saat ini masih dirasakan belum
menggembirakan, bahkan bisa dikatakan memprihatinkan.153 Walaupun dalam
realitanya, tidak semua Madrasah di Indonesia berstatus rendahan atau berkualitas
minim. Ada beberapa madrasah yang mampu bersaing dan menunjukkan kuali-tas
terbaiknya, baik dari sisi prestasi maupun prosesnya. Sten brink dalam
penelitiannya tentang lembaga pendidikan Islam di Indonesia menyimpulkan
bahwa saat ini pendidikan madrasah banyak yang bisa bersaing dengan pendidikan
sekolah umum.154 Adapun beberapa contoh madrasah yang sudah memiliki
prestasi yang cukup membanggakan, seperti Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN)
Malang 1, MTsN 1 dan MAN 3 Malang Jawa Timur, MI dan MTs Pembangunan
Kompleks UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, MAS Al-Irsyad Demak, Jawa Tengah
dan MAN Insan Cendikia Serpong, dan masih banyak yang lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa madrasah saat ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena
madrasah tersebut tidak hanya mampu bersaing dengan madrasah-madrasah
lainnya di bawah naungan Kementerian Agama, namun juga sekolah-sekolah
150Abudinata, Reposisi Madrasah dalam Memasuki Indonesia Baru, makalah
disampaikan pada seminar Evaluasi Kurikulum Madrasah Tahun 1994. Litbang Depag.
Jakarta, 6-7 Desember 2011 151Agus Maimun dan Agus Zaenul Fitri, Sekolah Unggulan Lembaga Pendidikan
Alternatif di Era Kompetitif, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h. 26. 152Sumarni, Profil Madrasah Tsanawiyah Unggul:MTs Negeri Winong, Kabupaten
Pati, Jawa Tengah Volume 13, Nomor 3, Desember 2015 153Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru (Jakarta: Logos, 2000), lihat juga dalam Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) 154 Karel Stonbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern, (Jakarta: PT LP3ES, 1996), h. 34
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
158
umum dibawah naungan kemendikbud, bahkan prestasi akademik maupun non
akademik kadang-kadang melebihi dari sekolah-sekolah umum.155
Sejarah membuktikan bahwa peran dan sumbangan Madrasah sangat besar
terhadap tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sumbangan itu bisa dilihat dari beberapa madrasah yang berdiri secara tradisional
atas prakarsa dan partisipasi masyarakat melalui semangat lillahi ta’ala sudah
banyak muncul di daerah-daerah terpencil. Sehingga secara kuantitatif, data
Departemen Agama RI tahun 2000-2001 menyebutkan bahwa terdapat 36.105
madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.156 Departemen Agama
mencatat bahwa jumlah lembaga pendidikan madrasah tidak kurang dari 18 % dari
seluruh lembaga pendidikan di Indonesia. Pada umumnya, 95% madrasah
berstatus swasta dan hanya sebagian kecil yang berstatus Negeri.157 Hal ini
menunjukkan bahwa motivasi masyarakat muslim untuk menyelenggarakan
pendidikan dalam bentuk Lembaga Madrasah sebenarnya sangat tinggi yang
ditandai dengan banyaknya jumlah lembaga pendidikan Islam seperti MI, MTs
maupun MA baik yang berstatus negeri maupun swasta, tetapi dalam
kenyataannya semangat dan motivasi yang tinggi tersebut belum sepenuhnya
didukung oleh sikap profesionalisme dalam penyelenggaraannya, sehingga sering
terjadi kesenjangan antara kualitas dan kuantitas dalam pengelolaan lembaga
Madrasah.
Analisa serangkaian data di atas maka MAN Insan Cendikia Serpong
sebagai Madrasah Aliyah unggulan yang secara akademik dalam upaya mencapai
sintesis ideal tersebut didukung subsidi pemerintah. Seperti, pengadaan sarana
prasarana, tenaga pendidik, rekrutmen siswa. Rekruitmen guru sebagai tenaga
pendidik dilakukan melalui selekasi ketat dan secara otonom (oleh institusi). Di
sisi lain kurikulum yang diterapkan berorientasi terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang diintegrasikan dengan penguasaan agama, yaitu,
melalui pembelajaran yang bertumpu pada tiga bidang hadlarah dengan
mengadopsi sistem boarding dari pesantren. Dengan demikian potret MAN Insan
Cendikia Serpong sebagai madrasah pencetak calon saintis berkarakter Islam ini
bisa menjadi model bagi pengembangan Madrasah Akademik di daerah lainnya.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki peran sebagai
pewarisan budaya melalui pendidikan yang bersistem nilai dan kepercayaan,
pengetahuan dan norma-norma serta adat kebiasaan dan berbagai perilaku
155Djoyonegoro, Lima Tahun Mengemban Tugas Pengembangan SDM. Tantangan
yang tiada hentinya. (Jakarta: Balitbang: Depdikbud) 156Mastuki, Seri Informasi Pendidikan Islam No.6, Menulususri Pertumbuhan
Madrasah di Indonesia. (Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Kelembagaan
Agama Islam, Bagian Proyek EMIS Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar, 2001). 157Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an (Pergulatan
Membangun Tradisi dan Aksi Penidikan Islam). (Malang: Aditya Media bekerjasama
dengan UIN Malang Press. 2004), h. 216.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
159
tradisional yang telah membudaya pada satu generasi ke generasi berikutnya158. Di
lain pihak madrasah juga berperan sebagai agent of change yang berupaya untuk
membuang unsur budaya lama yang dipandang tidak cocok dan perlunya
memasukkan unsur budaya baru159. Keberadaan madrasah begitu penting dalam
menciptakan kader-kader bangsa yang berwawasan keislaman dan berjiwa
nasionalisme yang tinggi. Menurut Subhan160, salah satu kelebihan yang dimiliki
madrasah adalah adanya integrasi ilmu umum dan ilmu agama. Namun demikian
kita tidak bisa menampik kesan bahwa madrasah terlihat masih jalan di tempat
walau terdapat beberapa madrasah yang relatif bagus seperti: MAN Insan
Cendikia, MAN Malang dan Madrasah Aliyah lainnya. Akan tetapi jumlahnya
masih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan madrasah. Bahkan
sampai saat ini masih ada image masyarakat terhadap madrasah yang sering
mengidentikkan dengan lembaga pendidikan second class, tidak maju, kumuh dan
citra negatif lainnya masih sering menempel di madrasah yang harus diubah
dengan cara unjuk prestasi dan unjuk bukti. Menurut Suryadi161, permasalahan
utama dalam lembaga pendidikan Islam adalah berkenaan dengan pengelolaan
atau manajemennya. Hal tersebut mempengaruhi rendahnya kualitas lembaga
pendidikan Islam Indonesia.
Dengan demikian, untuk mewujudkan madrasah yang unggul dan bagus,
diperlukan strategi-strategi yang harus dikembangkan untuk menciptakan citra
positif madrasah sehingga dapat mendorong akselerasi peningkatan kualitas
madrasah. Oleh sebab itu, Kementerian Agama secara spesifik membuat program
khusus unggulan bagi madrasah. Hal tersebut dapat dilihat dalam KMA Nomor 60
Tahun 2015 yang berbunyi: “Kementerian menyelenggarakan paling sedikit 1
(satu) Madrasah Aliyah Negeri Unggulan di setiap provinsi (pasal 1); Masyarakat
dapat menyelenggarakan Madrasah Aliyah Unggulan (pasal 2); Madrasah Aliyah
unggulan bertahap berupa: a) Madrasah Akademik; b) Madrasah Keterampilan dan
c) Madrasah Keagamaan (pasal 3) Kementerian menyusun peta pengembangan
mutu madrasah sacara terencana, berjenjang, bertahap dan berkelanjutan
berdasarkan hasil akreditasi madrasah, ujian nasional, ujian akhir madrasah
berstandar nasional dan criteria lainya (pasal 4). Peta pengembangan dimaksud
ayat (3) digunakan untuk menyusun rencana strategis dan rencana tahunan
pengembangan mutu madrasah secara nasional (pasal 5). Kementerian Agama
bekerja sama dengan pemerintah daerah dan/atau masyarakat dalam pengembngan
158Ida Rochmawati, Optimalisasi Peran Madrasah dalam Pengembangan Sistem
Nilai Masyarakat, 2012, h.164 159Alif Nurlaila, Strategi Kepala Madrasah alam Meningkatkan Citra Madrasah di
Madrasah Aliyah Negeri Kandat, Tesis, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang, 2015 160Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan
antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) 161Suryadi, Manajemen Mutu Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Sarana Panca Karya
Nusa. 2009), h.28
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
160
mutu madrasah (pasal 6). Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaran
Madrasah Aliyah Unggulan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh Direktur Jenderal (pasal 7)”. Namun demikian, untuk mewujudkan
madarasah unggulan seperti di atas perlu persiapan panjang dan matang,
mengingat ada beberapa permasalahan yang biasa menjadi penyebab kemandegan.
Menurut Rohiat162, tiga faktor utama penyebab rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia, sebagaimana yang disampaikan oleh Husaini Usman, yaitu; 1)
Penyelenggaraan pendidikan menekankan pada hasil tidak konsisten; 2)
Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara terpusat dan tidak holistik; 3) Peran
serta masyarakat dalam dunia pendidikan sangat minim.
Bagi madrasah, secara rinci dapat dikemukakan beberapa pokok
permasalahan baik pada tingkat pengelolaan maupun kebijakan sebagai berikut:
Pertama, kurikulum madrasah yang belum fokus. Hal ini terlihat banyaknya
materi yang diajarkan sementara waktu tidak memadai. Pada tingkat Aliyah,
misalnya siswa yang ingin mendalami ilmu-ilmu keagamaan masih juga dibebani
mata pelajaran lain yang tidak relevan dalam jumlah yang cukup banyak.
Sebaliknya siswa yang mengambil jurusan IPA harus pula dibebani dengan
banyaknya mata pelajaran lain yang tidak berhubungan secara langsung. Hal lain,
pada kurikulum madrasah masih terdapat duplikasi materi yang diajarkan
berulangulang pada mata pelajaran yang berbeda dan juga pada tingkat yang
berbeda. Kedua, pengembangan madrasah masih bersifat tambal sulam. Hal ini
terlihat dengan adanya program “keterampilan” yang ditempelkan pada program
regular. Hal tersebut sebagai respon terhadap tingginya lulusan Madrasah Aliyah
yang tidak bisa melanjutkan pada jenjang Pendidikan Tinggi. Program-program
tersebut sangat banyak manfaatnya, namun tidak semua MA bisa menjaga
keberlangsungan program tersebut. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka
perlu dikembangkan madrasah-madrasah unggul dengan manajemen yang
profesional dalam rangka meningkatkan mutu atau kualitas pendidikan, khususnya
pendidikan yang berbasis agama. Inovasi pendidikan khususnya madrasah sangat
penting dilakukan, seiring dengan dinamika sosial dan pembangunan yang berjalan
semakin cepat. Inovasi madrasah untuk pembangunan berkelanjutan menjadi
sangat penting, mengingat saat ini Indonesia mempunyai persoalan yang semakin
serius dalam dunia pendidikan, akibat dari krisis multi dimensi. Madrasah Aliyah
Negeri Insan Cendikia (MAN IC) Serpong merupakan salah satu bentuk Madrasah
Aliyah Akademik unggulan, yang berangkat dari keinginan untuk menciptakan
madrasah yang menjadi central for excellence. Dengan tujuan, mempersiapkan
sumber daya manusia yang siap pakai untuk masa depan. MAN-IC, yang didirikan
dengan semangat Islam-Modernis, merupakan madrasah percontohan, terutama
dalam pembelajaran agama, sains dan teknologi. Sekarang lembaga ini tidak
hanya ditantang oleh tantangan lama, yaitu menemukan karakter keislaman dan
ke- Indonesiaan dan tantangan modernisasi, melainkan juga tantangan baru, yaitu
162 Rohiat, Manajemen Sekolah, (Bandung: Refi kaditama, 2010), h. 13
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
161
demokratisasi (termasuk otonomi daerah) dan globalisasi163. Berdasarkan data
dokumentasi, tingkat kelulusan mendekati angka seratus persen dan sebagian
besar alumninya diterima di perguruan tinggi ternama (ITB, UI, UGM, ITS, IPB,
dan sejenisnya). Bahkan sebagian di antaranya telah mendapatkan beasiswa di
berbagai negara seperti Jepang, Jerman, Australia, Malaysia, Mesir, dan
Singapura. Hal ini membuktikan bahwa sistem pendidikan madrasah yang
ditangani secara profesional telah mampu bersaing dalam tingkat internasional.
Pada tahun pelajaran 2015-2016 Kementerian Agama RI melalui Direktorat
Pengembangan Madrasah Aliyah Akademik (Studi MAN Insan Cendikia Serpong)
.Pendidikan Islam telah mengembangkan MAN Insan Cendikia di berbagai daerah
sebagai model pendidikan madrasah nasional yang unggul, berwawasan keislaman
rahmatan lil ‘alamin, dan berkarakter Pancasila. Pengembangan madrasah baik di
daerah maupun di perkotaan memiliki akses yang sama dalam perbaikan yang
berkelanjutan untuk membangun citra yang positif di masyarakat.
Lembaga pendidikan Islam yang keberadaannnya merata di wilayah
daerah maupun perkotaan memerlukan penanganan serta perhatian yang serius.
Peluang pendidikan Islam dalam memberikan layanan pendidikan yang berkualitas
amat diperlukan mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam.164
Pembangunan dan pengembangan sektor pendidikan tidak akan pernah mencapai
tujuan akhir yang sempurna dan final. Hal ini terjadi karena konteks pendidikan
selalu dinamis, berubah dan tidak pernah konstan, sesuai dengan perubahan
masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih-lebih dalam era global. Di
era global ini terjadi proses globalisasi yang bersifat universal dan
internasionalitas. Menurut H.A.R Tilaar, bahwa era global itu ditandai dengan
“dunia tanpa batas (borderless world), kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
dan aplikasinya di dalam kehidupan manusia, kesadaran terhadap hak dan
kewajiban asasi manusia (human rights and obligations), dan kerjasama serta
kompetisi antarbangsa (mega competition society)”165. Dengan demikian, mencari
orientasi yang tepat ke depan untuk merespon geostrategi budaya bagi madrasah
di Indonesia dan MAN Insan Cendikia khususnya, merupakan kebutuhan strategis
yang dapat disumbangkan kepada umat. Sejauh ini umat dan juga madrasah
tampak terserak-serak dan globalisasi tampak telah membuahkan polarisasi: di
satu pihak oleh tarikan globalisme Islam dan di lain pihak oleh tarikan demokrasi
Barat. Sementara tuntutan keseimbangan, yang sekaligus memperhatikan tuntutan
lokalisme yang memberikan identitas asli di satu pihak dan menghadapi
tumbuhnya tantangan atau peluang yang diberikan oleh konfusianisme merupakan
titik gelap (black-spot) dalam orientasi bagi sebagian besar madrasah, bahkan
163Makmuri Sukarno, Ana Saidi dan Marzuki Wahid, Rapid Assesment:
Mengembangkan Model, 2013 164Bimas Islam, Index Jumlah Pesebaran Umat Beragama. (Jakarta: Kementerian
Agama Republik Indonesia, 2011) 165H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2014)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
162
hampir semua sekolah di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut, guna mendukung
program revitalitasi dan pengembangan Madrasah Insan Cendikia ke berbagai
daerah, Balai Litbang Agama Jakarta telah melakukan penelitian mendalam
terkait bagaimana model MAN Insan Cendikia yang lebih baik. Dan agar dapat
dirumuskan madrasah sebagai model yang aplikatif agar bisa direplikasi di tempat
lain serta mampu mendorong munculnya keunggulan lokal yang khas.
Permasalahan ini diteliti dengan tujuan untuk mengembangkan model MAN Insan
Cendikia yang dapat direplikasi di berbagai daerah yang menjadi sasaran program
pendidikan Kementrian Agama RI. Kerangka Konsep Pengembangan Pendidikan
Pengembangan pendidikan menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan dari
masa ke masa. Isu ini selalu juga muncul tatkala orang membicarakan tentang hal-
hal yang berkaitan dengan pendidikan.
Dalam pengembangan pendidikan, secara umum dapat diberikan dua buah
model pengembangan yaitu: Pertama, top-down model, yaitu pengembangan
pendidikan yang dilakukan oleh pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang
diterapkan kepada bawahan; Kedua, bottom-up model, yaitu model
pengembangan yang bersumber dan hasil kerja dari bawah, dilaksanakan sebagai
upaya meningkatkan penyelenggaraan dan mutu pendidikan. Pengembangan
pendidikan di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan empat strategi dasar,
yaitu: Pertama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Kedua,
relevansi. Ketiga, peningkatan kualitas. Kempat, efisiensi. Secara umum, strategi
tersebut dapat dibagi menjadi dua dimensi yang meliputi peningkatan mutu dan
pemerataan pendidikan. Pembangunan peningkatan mutu diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pendidikan. Dimensi
pemerataan pendidikan diharapkan apat memberikan kesempatan yang sama
dalam memperoleh pendidikan bagi semua usia sekolah166. Peningkatan mutu,
relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan, lembaga pendidikan madrasah
memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan jenis sekolah lainnya. Menurut
Mulyono167, keunggulan paling unggul yang dimiliki madrasah antara lain: daya
hidup (survival), daya juang, daya tahan, daya adaptasi maupun evolusi, dan daya
keanekaragaman (varitas). Daya hidup, daya juang dan daya tahan madrasah dapat
dibuktikan bahwa madrasah mampu hidup di segala zaman dan keadaan, yaitu,
sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang, kemerdekaan, revolusi politik orba, Orde
Baru, reformasi hingga abad 21 yang semakin menunjukan eksistensinya.
Pengembangan madrasah unggulan tidak dapat ditangani secara persial atau
setengah-setengah. Tetapi memerlukan pemikiran pengembangan yang utuh dan
komprehensif serta langkah dan upaya yang visibel, fleksibel dan kredibel.
Bahkan, ketika dihadapkan pada kebijakan pembangunan nasional bidang
166Leutuan, Harun Al Rasyid. "Strategi Pengembangan Pendidikan di Indonesia",
dalam https:// harunalrasyidleutuan.wordpress.com, diunduh pada tanggal 15 April 2017 167Mulyono, El-Hikmah (Jurnal Kependidikan dan Keagamaan) Volume VIII
Nomor 1. (Malang: Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang, 2010)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
163
pendidikan yang mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa.
Tujuan utama dan pertama adalah untuk memberdayakan semua warga
Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga
mampu dan pro aktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah Hal tersebut
sejalan dengan teori Human Capital yang menyebutkan bahwa investasi sumber
daya manusia sangat ditentukan oleh harapan nilai balik budaya dan
sosialekonomi seumur hidup yang dibayangkan lebih tinggi daripada kesempatan
yang hilang.168 Teori ini dapat menerangkan mengapa anak-anak dan anak muda
lebih menguntungkan untuk menerima investasi pada pendidikan, di samping
bermigrasi dan mencari kerja ke tempat yang padat jenis pekerjaan. Karena,
mereka cenderung akan menerima nilai baik investasi yang lebih tinggi
dibandingkan kelompok usia lainnya. Pendidikan generasi muda, dalam
hubungannya dengan investasi ke depan adalah merupakan tenaga yang
diharapkan sebagai kekuatan untuk melakukan reproduksi dan transformasi
budaya, sosial dan ekonomi di masa depan. Oleh karena itu pendidikan atau
pelatihan generasi muda menjadi prioritas investasi, baik oleh masyarakat, negara,
maupun dunia usaha/perusahaan.
Pengembangan MAN IC adalah model satuan pendididikan yang
memadukan Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan pengayaan pada bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai ciri khas utamanya. Institusi pendidikan ini
dibangun dan dikembangkan bertujuan untuk: 1) Menghasilkan lulusan yang
berkarakter Islami, berwawasan keindonesiaan, kebangsaan, internasional dan
kemanusiaan; 2) Menghasilkan lulusan yang menguasai dasar-dasar ilmu
pengetahuan keislaman, sains, teknologi, ilmu sosial dan seni budaya untuk
meraih prestasi baik tingkat nasional maupun internasional; 3) Membentuk
lulusan yang berkarakter dan mampu melakukan perubahan yang didasari oleh
prinsip-prinsip Islam rahmatan lil’alamin. Pembangunan dan pengembangan MAN
IC dilakukan di seluruh Indonesia untuk pemerintah daerah yang memenuhi syarat
dan menyatakan kesediaan untuk bekerjasama dalam pelaksanaan pembangunan
dan pengembangan MAN IC, sesuai dengan pedoman sarana prasarana yang telah
disetujui oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam. Kebijakan Kementerian Agama
RI terhadap pelaksanaan pembangunan dan pengembangunan MAN IC dilakukan
secara terencana sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan, dan
sistem penjaminan mutu pendidikan nasional. Berdasarkan pengalaman dalam
pengelolaan madrasah, Kementerian Agama menyadari sepenuhnya bahwa
keterlibatan Pemerintah Daerah sangat penting agar madrasah dapat berkembang
dengan baik sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan
168Gary Becker. Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with
Special Reference to Education. (New Yourk and London: Colombia University Press,
1975), h. 9
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
164
Kementerian Agama untuk membangun dan mengembangkan MAN IC di setiap
provinsi dikembangkan dalam format kemitraan dengan ketentuan-ketentuan yang
diuraikan dalam buku pedoman pembangunan lembaga pendidikan tersebut.
MAN IC Serpong lahir karena dorongan kebutuhan ideal yaitu kemauan
keras mewujudkan lembaga pendidikan setingkat sekolah menengah atas berbasis
madrasah yang lulusanya (output) kuat di bidang iptek sekaligus kuat di bidang
ketakwaan atau keagamaan. Hal tersebut sebagai wujud pedulian dalam memberi
jawaban terhadap tantangan strategis yang dihadapi umat waktu itu, yaitu,
terutama kelemahan dan kesenjangan di bidang imtak dan iptek. Bagian penting
dari komitmen MAN IC Serpong untuk mencapai sintesis ideal itu adalah antara
lain: Subsidi pemerintah yang kuat untuk sarana prasarana dan subsidi bagi siswa.
Di sisi lain, rekrutmen guru dan siswa secara otonomi serta kurikulum yang tajam
dan fokus pada pengembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sisi
lain, yang tidak kalah penting adalah system metodologi pembelajaran yang
diintegrasikan dengan penguasaan aga yang bertumpu pada 3 bidang hadlarah
dengan mengadopsi sistem boarding dari pesantren.
Sistem MAN IC Serpong dengan model asrama ini telah menunjukkan
keberhasilan yang menonjol. Mulai dari tingkat kelulusan yang mencapai 100%
(seratus persen), jumlah lulusan yang banyak diterima di perguruan tinggi favorit
(ITB, UGM, UI, IPB, UNAIR dan sebaginya) sampai menerima beasiswa ke luar
negeri. Seperti, Amerika, Rusia, Australia, Singapura, Jepang, Mesir dan
sebaginya telah menjadi kebanggan tersendiri. Potret madrasah pencetak calon
saintis berkarakter Islam ini bisa menjadi model bagi pengembangan MAN IC
yang lainnya di wilayah Nusantara ini. Pengembangan MAN IC keberbagai daerah
tidak dapat ditangani secara persial atau setengah-setengah. Tetapi hendaknya
melalui pemikiran pengembangan yang utuh dan komprehensif serta langkah dan
upaya yang visibel, fleksibel dan kredibel. Hal tersebut penting dipertimbangkan
terutama ketika dihadapkan pada kebijakan pembangunan nasional bidang
pendidikan yang mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara
Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan
pro aktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Untuk itu, kunci
pengembangan MAN IC Serpong, harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
Penyamaan visi dan misi, ketersediaan tenaga pendidikan yang profesional,
kelengkapan sarana dan prasarana, sistem manajemen profesional yang modern,
transparan dan demokratis, serta adanya kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan tantangan dunia modern. Selain itu madrasah perlu senantiasa
meningkatkan kualitas, mengembangkan inovasi dan kreativitas, membangun
jaringan kerjasama (networking), dan memahami karakteristik pelaksanaan
otonomi daerah. Dengan demikian, input dan output menjadi baik sesuai yang
dibutuhkan masyarakat pendukung. Berdasarkan hal tersebut di atas
direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
165
1. Semangat awal pendirian MAN IC Serpong dimaksudkan untuk
memprioritaskan para santri agar menguasai sains dan teknologi, maka
penerimaan peserta didik hendaknya diprioritaskan dari lulusan Madrasah
Tsanawiyah dan Pesantren. Misalnya melalui kuota, yang besarannya
disesuaikan proporsi demografis santri/ MTs. di daerah yang
bersangkutan, dan tetap menggunakan seleksi yang ketat.
2. Model rekrutmen guru yang didasarkan pada keahlian, profesionalitas, dan
kompetensi sosial dan bukan pada semata-mata kriteria formal
(sertifikasi) atau kriteria subjektifitas lainnya, telah menghasilkan guru
yang memiliki komitmen, maka model ini hendaknya tetap dipertahankan.
3. Salah satu tujuan MAN IC Serpong adalah mencetak para santri ahli
dalam bidang sains dan teknologi. Maka perlu ditegaskan kembali visi-
misi tersebut; dalam bentuk desain akademik yang riil. Perlu ditinjau
kembali program tahfiz Al-Qur'an. Sementara untuk program
pembelajaran dan penilaian sains harus ditingkatkan.
4. Keberhasilan MAN IC Serpong bisa direplikasi di berbagai daerah, dengan
mempertimbangkan secara mendalam keseimbangan pembiayaan, yaitu:
negara (state), dunia usaha (market) dan masyarakat (society) hingga
akhirnya keberadaan MAN IC akan lebih lestari karena relatif tidak
bergantung sepenuhnya pada politik pendidikan pemerintah yang
cenderung berubah-ubah.
5. MAN IC di masa yang akan datang dituntut profesionalisme dan tuntutan
jaman, maka diperlukan badan otonomi khusus, (semacam Gugus Tugas)
di tingkat Pusat yang tugas utamanya melakukan perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi seluruh program yang berkaitan dengan MAN IC
seluruh Indonesia.
D. Problematika Madrasah Di Indonesia
Sebagai upaya inovasi dan revitalisasi dalam Sistem Pendidikan Islam,
madrasah khususnya Madrasah aliyah tidak bisa lepas dari berbagai problema
yang dihadapi. Problema-problema tersebut menurut Darmu’in, antara lain:
Pertama, Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan
madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa
pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia.
Kedua, Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah.169 Dengan demikian,
maka di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah biasa karena memiliki
muatan secara kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain,
madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian
dikenal dengan madrasah diniyah. Sebagai sub sistem pendidikan nasional,
169Darmuin. Prospek Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah terhadap
Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama Fak. Tarbiyah lAIN
Walisongo Semarang. 2002).
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
166
madrasah belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan
lainnya. Efek pensejajaran madrasah dengan sekolah umum yang berakibat
berkurangnya proporsi pendidikan agama dari 60% agama dan 40% umum
menjadi 30% agama dan 70% umum dirasa sebagai tantangan yang melemahkan
eksistensi pendidikan Islam khususnya madrasah.
Beberapa permasalahan yang muncul kemudian, antara lain: pertama, Berkurangnya muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upaya
pendangkalan pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum
keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri dirasa belum mampu
mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi. Akhirnya terjadi
tamatan/lulusan madrasah serba tanggung, yaitu pengetahuan agamanya tidak
mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah. Kedua, kesenjangan
antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya juga menjadi
masalah yang belum tuntas diselesaikan. Kesenjangan tersebut meliputi beberapa
hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan
sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak
langsung kepada mutu pendidikan. Masalah tersebut muncul karena adanya SKB
tiga menteri yang belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain
dari departemen terkait.170
Hasil penelitian171 menyatakan peningkatan mutu pendidikan sangat
berkaitan erat dengan masalah SDM, oleh karena itu proses rekrutmen SDM
merupakan hal yang sangat penting sekali dan hanya akan dapat diperoleh melalui
upaya rekrutmen yang efektif. Oleh karena itu beberapa aspek guru professional
yang harus menjadi perhatian adalah mekanisme penerimaan, pembinaan
profesional, pengembangan karir dan tingkat kesejahteraan guru. tenaga pendidik
dalam lembaga pendidikan di sekolah adalah berusaha mencari guru yang
memiliki kompetensi, kecakapan dan ahli dalam mendidik dan mengajar sesuai
bidangnya di samping itu yang sangat penting dimiliki oleh seorang guru adalah
sifat jujur serta memiliki jasmani yang sehat sehingga dapat menjalankan
tugasnya dalam mencerdaskan anak bangsa. Berdasarkan firman Allah SWT
dalam surah Al-Qoshos ayat 26 sebagai berikut172 “Salah seorang dari kedua
wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada
kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".”
170 Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas. (Bandung: Mizan, 1998) 171 K.A. Rahman, Ardiansyah, dan Marwazi, dalam jurnalnya Rekrutmen Tenaga
Pendidik dalam Peningkatan Mutu Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia Jambi Nadwa
Jurnal Pendidikan Islam Vol. 9, Nomor 1, April 2015 172 QS al-Qoshos 28:26
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
167
Pendidikan bermutu adalah pendidikan yang mampu melakukan proses
pematangan kualitas peserta didik yang dikembangkan dengan cara membebaskan
peserta didik dari ketidaktahuan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan,
ketidakbenaran, ketidakjujuran, dan dari buruknya akhlak dan keimanan.
Pendidikan bermutu lahir dari sistem perencanaan yang baik (good planning system) dengan materi dan sistem tata kelola yang baik (good governance system) dan disampaikan oleh guru yang baik (good teachers) dengan komponen
pendidikan yang bermutu, khususnya guru.173
E. Mutu MAN Insan Cendikia Serpong
Pada era kontemporer dunia pendidikan model pengelolaannya berbasis
industri. Pengelolaan model ini mengandaikan adanya upaya pihak pengelola
institusi pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan
manajemen perusahaan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih
populer dengan sebutan istilah Total Quality Education (TQE), dasar dari
manajemen ini di kembangkan dari konsep Total Quality Management (TQM),
yang pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis kemudian diterapkan pada dunia
pendidikan.174
Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada masukan,
proses, luaran, dan dampaknya. Mutu masukan dapat dili-hat dari beberapa sisi.
Pertama, kondisi baik atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala
sekolah, guru, laboran, staf tata usaha, dan siswa. Kedua, memenuhi atau tidaknya
kriteria masukan meterial berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, prasarana,
sarana sekolah, dan lain-lain. Ketiga, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan
yang berupa perangkat lunak, seperti peraturan, struk-tur organisasi, deskripsi
kerja, dan struktur organisasi. Keempat, masukan yang bersifat harapan dan
kebutuhan, seperti visi, motivasi, ketekunan, dan cita-cita.175
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan, maka yang dimaksud dengan
mutu madrasah pada penelitian ini adalah madrasah yang memiliki dan
melahirkan peserta didik yang berkualitas dengan segudang prestasi baik prestasi
yang sifatnya di dalam (intern) madrasah maupun di luar (ekstern) madrasah,
sehingga madrasah ini dikenal dengan sebutan madrasah yang bermutu dan
berkualitas. Adapun indikator pencapaian mutu madrasah yang paling menonjol
173Dedi Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2012), h.120 174Edward Sallis, Total Quality Management In Education, (Jogjakarta: IRCiSoD,
2006), h.5 175Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah dari Birokrasi ke Lembaga
Akademik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.53
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
168
saat ini adalah (1) Mutu input pembelajaran, (2) Mutu proses pembelajaran, dan
(3) Mutu output pembelajaran.176
Pendirian madrasah model termasuk di dalamnya Madrasah Aliyah Negeri
IC Serpong adalah perwujudan dari kebijakan dari Kementrian Agama RI untuk
meningkatkan kualitas pendidikan madrasah. Oleh karena itu tujuan program ini
dimaksudkan untuk menghasilkan out put pendidikan yang memiliki keunggulan:
1) keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2) nasionalisme dan
patriotisme yang tinggi, 3) wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi, 4) motivasi
dan komitmen yang tinggi untuk mencapai prestasi dan keunggulan serta memiliki
kepribadian yang kokoh, 5) kepekaan sosial dan kepemimpinan, serta 6) disiplin
yang tinggi dan kondisi fisik yang prima.177 Dengan tujuan tersebut di atas, maka
sasaran yang hendak dicapai dalam mendirikan madrasah model adalah
menjadikan Madrasah Model sebagai: 1) lembaga pendidikan yang berkualitas, 2)
lembaga pendidikan yang mampu mendemonstrasikan proses pembelajaran yang
konprehensif dan memfokuskan kegiatannya pada upaya memfasilitasi proses
belajar siswa aktif, dinamis, mandiri dan mantap, 3) lembaga pendidikan
percontohan yang mampu menyebarluaskan kinerja profesionalnya bagi
pembinaan dan pengembangan pengelolaan madrasah lain yang sejenis, negeri
maupun swasta melalui Pusat Sumber Belajar Bersama (PSBB).178 Dalam rangka
mewujudkan tujuan dan sasaran di atas, maka pemerintah menyusun langkah-
langkah konkrit yang meliputi beberapa aspek yang tergambar sangat ideal
tentang pelaksanaan pendidikan di Madrasah Model serta mengarah kepada
pencapaian tujuan tersebut, sebagaimana yang dikemukakan Sumardi sebagai
berikut:
1. Kurikulum
MAN IC Serpong sebagai sebuah lembaga pendidikan menengah perlu
mengubah realitas tersebut, yaitu melalui upaya pengembangan keilmuan menjadi
satu bangunan keilmuan dengan menggunakan pendekatan integrasi interkoneksi.
Dengan demikian, semua mata pelajaran yang dikembangkan tidak lagi mata
pelajaran yang berdiri sendiri, melainkan saling berkaittan satu dengan yang lain.
Sehingga mermajadi satu bangunan ilmu yang saling melengkapi dan
menyempurnakan. Pendekatan yang mengkaitkan ilmu agama dengan sains dan
teknologi dijadikan pola bersama dengan menerapkan metodologi yang terus
menerus dikembangkan. Penerapan pendekatan integratif interkonektif tersebut,
MAN IC Serpong diharapkan menjadi pelopor, yaitu, dalam upaya menjembatani
176 Euis Karwati dan Donni Juni Priansa, Kinerja dan profesionalisme kepala
sekolah Membangun Sekolah yang bermutu, (Bandung: Alfabeta, 2013) h. 54 177Departemen Agama RI., Pedoman Penyusunan Master Plan MA Model,
(Jakarta: proyek Pengembangan Madrasah Aliyah Direktorat Pembinaan Perguruan Agama
Islam, 1997/1998), h. 13-14 178Mulyanto Sumardi dan Didin Syaifuddin, Pedoman Pengembangan dan
Pengelolaan Madrasah Model, (Jakarta: BEP, 2000), h. 2
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
169
dikotomi ilmu pengetahuan yang sudah demikian menyejarah untuk mencapai
ilmu pengetahuan yang integratif dan interkonektif. Diharapkan, pada gilirannya
dapat mengantarkan alumni yang profesional, berpandangan luas, menguasai sains
dan teknologi sekaligus Islamis yang humanis. Desain Akademik Integrasi dan
interkoneksi ketiga bidang hadlarah tersebut diharapkan dapat melahirkan alumni
MAN IC Serpong yang kuat akidah, luas dan dalam pemikiran, serta ahli di
bidangnya. Sehingga, alumni MAN IC Serpong dapat diterima di perguruan-
perguruan tinggi terkemuka, baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk
mewujudkan cita-cita tersebut diperlukan sebuah rancangan kurikulum yang
integratif. Kurikulum merupakan pemandu utama bagi penyelenggaraan
pendidikan secara formal. Di sisi lain, menjadi pedoman bagi setiap guru, kepala
madrasah, dan kerangka (frame work) proses pendidikan pada lembaga
bersangkutan. Singkatnya kurikulum sebagai pengejawantahan dari tujuan-tujuan
pendidikan yang ingin dicapai. Dialog keilmuan di MAN IC Serpong, selain
bersifat integratif dan interkoneksitas internal ilmu-ilmu keislaman, juga
dikembangkan integritas dan interkoneksi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu
umum. Integrasi dan interkoneksi keilmuan ini diwujudkan dan dikembangkan di
dalam kelas dan aktivitas di luar kelas.
MAN IC Serpong yang akan dijadikan sebagai model percontohan MAN IC
di daerah lain harus bisa menemukan pola yang aplikatif, yaitu dengan maksud
agar dapat direplikasi di tempat lain serta mampu mendorong munculnya
keunggulan lokal yang khas. Hal itu sangat ditentukan oleh desain kurikulum yang
akan digunakan. Kurikulum yang akan dikembangkan harus mengakomodasi
tuntutan kebutuhan masyarakat dan perubahan global. Kurikulum yang
dikembangkan di samping mengacu pada standar isi dan proses, juga mengacu
pada visi dan misi madrasah, yaitu yang dirumuskan berdasar pada potensi yang
dimiliki oleh daerah serta karakteristik yang menjadi ikon madrasah bersangkutan.
Karena status madrasah pada semua jenjang telah disamakan (eguivalen) dengan
sekolah umum, maka kurikulum komponen pendidikan umum madrasah
sepenuhnya (100%) mengikuti kurikulum yang ditetapkan Diknas. Dengan
demikian isi pendidikan madrasah tidak lagi memiliki perbedaan yang terlalu
subtansial dan sustantif dengan sekolah umum. Padahal, madrasah sesuai dengan
akar eksistensi dan pengalaman histories, semestinya memiliki ciri dan karakter
pendidikan Islam. Oleh karena itu, madrasah perlu mengembangkan kurikulum
pendidikan Islam, baik melalui celah muatan lokal, maupun dengan penambahan
waktu belajar yang khusus untuk materi keislaman.179
Berdasarkan hal tersebut di atas, sebagai sebuah madrasah yang dirancang
dengan sistem sekolah berasrama (boarding school), maka kurikulum didesain
mencakup tidak hanya kegiatan pembelajaran di kelas, akan tetapi termasuk juga
179Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kompas,
2002), h. 115
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
170
dalam kegiatan peserta didik selama berada di asrama. Kegiatan di asrama
menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan kegiatan di kelas.
Konsekuensi pada tataran implementasi kurikulum adalah menghindari
pembatasan waktu antara pembelajaran formal di kelas dan pembelajaran
nonformal di asrama. Dengan kata lain, tidak ada lagi pemilahan antara
pembelajaran asrama dan kelas. Esensinya pembelajaran yang telah diprogramkan
dan didesain dalam kurikulum dapat dilakukan di kelas, di perpustakaan, di
laboratorium, di masjid, di asrama, atau di lingkungan madrasah. Dalam konteks
ini dipandang perlu memberikan poin-poin sebagai penekanan dalam
mengembangkan kurikulum MAN IC dengan tidak meninggalkan prinsip dan ruh
pengembangan Kurikulum 2013 yang diamanahkan oleh Kementerian Agama.
Oleh sebab itu, kurikulum MAN IC Serpong menganut prinsip-prinsip sebagai
berikut: 1) Mengikuti Standar Nasional Pendidikan; 2) Berbasis Islam Indonesia;
3) Menghargai kebhinekaan Nusantara; 4) Mengkaitkan antara teori, praktik, dan
transformasi; 5) Menyeimbangkan aspek kognisi, afeksi, dan psikomotor; dan 6)
Menyeimbangkan kecerdasan: intelektual, emosional, spiritual, dan sosial. Dengan
pertimbangan tersebut, struktur kurikulum MAN IC Serpong merupakan bentuk
pengembangan struktur Kurikulum 2013. Bentuk pengembangan dilakukan
berdasarkan pada visi dan misi MAN IC Serpong dan juga mempertimbangkan
berbagai aspek yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik serta tuntutan.
Kurikulum ini dikembangkan dengan mempertim-bangkan kebutuhan peserta
didik dan memperhatikan kondisi serta potensi lingkungan daerah di wilayah
madrasah berada.
Struktur kurikulum MAN IC Serpong disesuaikan dengan orientasi visi dan
misi yang telah dirumuskan. Struktur kurikulum didasarkan pada jurusan yang
dibuka dan dikembangkan. Struktur kurikulumnya meliputi: Pertama, Program
bersama yang diikuti oleh seluruh peserta didik pada kelas X. program bersama
meliputi: 1) Mata Pelajaran; 2) Muatan Lokal; dan 3) Pengembangan Diri. Kedua,
Program Jurusan (IPA dan IPS). Struktur kurikulum pada program ini berbeda-
beda sesuai dengan jurusan yang diikuti peserta didik setelah memasuki kelas XI
dan XII. Perbedaan yang menyolok tentu saja pada mata pelajaran yang diberikan.
Program IPA mata pelajarannya lebih berorientasi pada rumpun mata pelajaran
IPA. Demikian halnya Program IPS berbasis pada rumpun mata pelajaran IPS.
Sementara Muatan Lokal dan Pengembangan Diri bisa bermuatan sama kendati
pun program studi yang berbeda. Ketiga, Program Khusus. Program ini diikuti
oleh seluruh peserta didik baik pada program bersama (kelas X) maupun program
jurusan (kelas XI. XII), program khusus merupakan pengembangan dari. Struktur
kurikulum pada poin (1) dan (2) yang bertujuan mengakomodasi tuntutan visi dan
misi madrasah yang telah dirumuskan yang menunjukkan ciri khas MAN IC.
Program Khusus meliputi: a) Program Penambahan Alokasi Waktu. Program ini
berupa penambahan alokasi waktu pada mata pelajaran tertentu yang telah
ditetapkan dalam standar isi dan standar proses. Program ini dimaksudkan untuk
menunjang dan mendukung penguasaan ke dalam materi oleh peserta didik. b)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
171
Program Penambahan Mata Pelajaran. Program ini dilakukan untuk memfasilitasi
tuntutan visi, misi, dan profil lulusan yang belum terakomodasi dalam mata
pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. c) Program Kunjungan Sosial.
Kegiatan ini dilakukan secara terprogram dan terstruktur dalam struktur
kurikulum. Program ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan aspek
kepekaan sosial peserta didik. Program ini dapat dialokasikan setiap akhir pekan.
Sistem Pembelajaran Sistem pembelajaran di MAN IC Serpong yang ditawarkan
mencakup tiga bagian yaitu: 1) Moving Class; merupakan pola pembelajaran
dinamis yang bertujuan untuk lebih membangun nuansa akademik siswa sesuai
dengan tuntutan materi dan kompetensi yang harus dimiliki siswa; 2) Praktik
Lapangan; merupakan pelaksanaan pembelajaran di alam yang bertujuan untuk
membantu siswa mengembangkan performance atau kinerja sesuai dengan
kompetensi pembelajaran; 3) Pelayanan Team Teaching terhadap Siswa;
merupakan suatu pelayanan pembelajaran secara tim dari setiap rumpun atau
kelompok mata pelajaran terhadap siswa. Secara khusus pelaksanaan pelayanan
Team Teaching mencakup setiap rumpun/kelompok mata pelajaran yang meliputi:
Rumpun Agama, bahasa, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Sosial.
Pembelajaran berlangsung tidak hanya di sekolah, namun juga di asrama. Karena
sebagian guru tinggal di asrama khusus guru.
Dengan demikian, memudahkan siswa ketika hendak berdiskusi mengenai
kesulitan yang dihadapi dalam pelajaran atau program tutorial. Bentuk kegiatan
tutorial meliputi: Pertama, diskusi antara peserta didik dengan guru/tutor tentang
materi pokok yang belum dikuasai. Kedua, latihan soal yang berkaitan dengan
materi pokok yang belum ikuasai (soal yang dibahas di kelas dan soal yang
dibawa siswa). Ketiga, dilaksanakan dalam situasi informal, setelah jam sekolah
usai (16.00-17.30), dan pada jam belajar mandiri (20.00-22.00). Keempat,
guru/tutor menjemput bola, dengan datang ke asrama peserta didik, baik putra
maupun putri untuk mengetahui apakah ada di antara peserta didik yang belum
menguasai materi pokok pelajaran tertentu. Pembina asrama siap dengan perannya
sebagai pengasuh dan ‘pengganti orang tua” bagi para siswa di asrama. Setiap
hari, aktivitas siswa dimulai pukul 04.00 sampai pukul 22.00. Para siswa terus
berpacu dengan belajar, belajar dan belajar. Walau begitu, jiwa sosial tidak lupa
dipupuk. Mereka ada kegiatan Sekolah Ahad, Di sekolah Ahad ini, siswa-siswi
menjadi guru mengaji atau pelajaran umum bagi anak-anak sekitar madrasah.
Tidak heran, kemudian animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di
madrasah ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah siswa yang diterima
tiap tahun tetap 120 anak, dengan demikian, tingkat seleksi semakin ketat.
Sistem Penilaian Penilaian atau assessment adalah istilah umum yang
mencakup semua metode yang biasa digunakan untuk menilai kerja individu
peserta didik atau kelompok. Proses penilaian mencakup pengumpulan bukti
untuk menunjukkan pencapaian pembelajaran peserta didik. Pengembangan sistem
penilaian MAN IC Serpong didasarkan pada visi dan misi, serta profil kompetensi
lulusan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan relevansi program
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
172
pembelajaran dengan keadaan dan kebutuhan MAN IC Serpong. Profil
Kompetensi Luluusan MAN IC Serpong meliputi: 1) Aspek Afektif meliputi :
Keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT; memiliki nilai-etika, estetika dan
memiliki nilai-nilai demokrasi, toleransi dan humanis. 2) Aspek Kognitif meliputi
: Penguasaan ilmu, teknologi dan kemampuan akademik untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi; 3) Aspek Psikomotor meliputi (a)
Memiliki keterampilan berkomunikasi dengan tiga bahasa (Indonesia, Bahasa
Inggris, Bahasa Arab), kecakapan hidup, dan mampu beradaptasi dengan
perkembangan lingkungan sosial, budaya dan lingkungan alam, baik lokal,
regional, maupun global, (b) Memiliki kesehatan jasman irohani dan kemampuan
kewirausahaan (entrepreneurship) yang bermanfaat untuk melaksanakan tugas
atau kegiatan seharihari, terutama untuk membantu tugas dan aktivitas belajar.
Penilaian berhubungan dengan setiap bagian dari proses pendidikan, bukan hanya
keberhasilan belajar saja, tetapi mencakup semua proses mengajar dan belajar.
Penilaian tidak terbatas pada karakteristik peserta didik saja, tetapi juga
mencakup karakteristik metode mengajar, kurikulum, fasilitas dan administrasi
sekolah. Instrumen penilaian bisa berupa metode atau prosedur formal atau
informal, untuk menghasilkan informasi tentang peserta didik, yaitu: tes tulis, tes
lisan, lembar pengamatan, pedoman wawancara, tugas ramah, dan sebagainya.
Penilaian juga diartikan sebagai kegiatan kegunaan suatu objek. Objek evaluasi
adalah program yang hasilnya memiliki banyak dimensi. Seperti kemampuan,
kreativitas, sikap, minat, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam kegiatan evaluasi
alat ukur yang digunakan juga bervariasi tergantung pada jenis data yang
diperoleh.
Penerapan sistem penilaian di MAN IC Serpong adalah memperhatikan
prinsip-prinsip penilaian sebagai berikut:1) Menilai semua kompetensi dasar; 2)
Penilaian dapat dilakukan pada satu atau lebih kompetensi dasar; 3) Hasil
penilaian dianalisis dan di tindak lanjuti melalui program remedial atau program
pengayaan; 4) Penilaian meliputi kompetensi dasar-kompetensi dasar dalam ranah
kognitif, psikomotor, dan afektif. Aspek afektif diukur melalui pengamatan dan
kuesioner. Adapun sistem penilaian yang diterapkan di MAN IC mencakup 3
(tiga) hal, yaitu: 1) jenis ujian; 2) pengolahan; dan 3) pelaporan hasil ujian
(Prestasi MAN IC bukan hanya berhasil mengangkat citra madrasah yang di masa
lalu cenderung dipandang sebelah mata. Tetapi, telah mampu melampaui sekolah-
sekolah umum yang difavoritkan. MAN IC bukan hanya berhasil melampaui
target yang umumnya ingin dicapai, seperti tingkat kelulusan 100%, dan dapat
diterima di Perguruan Tinggi ternama. MAN IC juga telah memperlihatkan
prestasi yang melampaui sekolah-sekolah umum favorit, terutama atas banyaknya
alumni yang diterima di perguruan tinggi luar negeri dengan beasiswa. Pada tahun
pelajaran 2014-2015, selain tingkat kelulusannya 100%, nilai Ujian Nasional
tahun 2015 juga membanggakan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2012
misalnya, nilai sempurna (10) diraih oleh sebagian siswa MAN IC Serpong. Di
bidang fisika 3 siswa dan bidang matematika 4 siswa IPA dan 4 siswa IPS. Nilai
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
173
tertinggi 57,50 (IPA) dan 54,60 (IPS), angkatan ini menambah prestasi yang sudah
banyak ditorehkan sebelumnya. Sebanyak 49% siswa kelas XII telah diterima di
beberapa perguruan tinggi dalam maupun luar negeri. Terdapat 11 siswa yang
menerima undangan dari perguruan tinggi luar negeri, yang berasal dari Tohoku
University, Nanyang Technological University, Kyoto University. Sementara 23
siswa lainnya mendapat undangan dari PTN dalam negeri, seperti UI, ITB, UGM,
dan UNAIR. Sekitar 51% siswa akan melakukan tes SNMPTN. (Insan Cendikia,
Tahun VIII, Edisi 1 Januari 2012). Tahun Pelajaran 2011-2012, lulusan yang
diterima di universitas luar negeri ada 11 siswa mendapat beasiswa (8 di Jepang,
1 di Singapura dan 1 siswa di Malaysia, 1 siswa di Jerman). Tahun 2012 yang
diterima di ITB 17 siswa, di UI 3 siswa, di UGM 1 siswa dan di UNS 1 siswa.
Sedangkan lulus SNMPTN jalur undangan berjumlah 23 siswa dari 44 yang
didaftarkan (52%). Adapun yang lulus perguruan tinggi swasta berbeasiswa ada 17
orang. Dengan rincian 11 siswa di STT Telkom dan 6 orang di Universitas Bakrie.
Sementara jika dilihat sejak tahun 1998-2011 lulusan MAN IC Serpong yang
diterima di berbagai universitas favorit antara lain di ITB berjumlah 374 siswa
(32,2%), UGM berjumlah 241 siswa (20,1%), Universitas Indonesia berjumlah 198
siswa (16,5%), UNPAD berjumlah 76 siswa (6,3%), universitas negeri lainnya
berjumlah 196 siswa (16,4%), dan Universitas Swasta berjumlah 51 (4,3%).
Adapun yang diterima di universitas luar negeri dalam periode yang sama antara
lain; Jepang berjumlah 24 (2,0%); Malaysia berjumlah 8 siswa (0,7%); Jerman
berjumlah 9 siswa (0,8%); Mesir berjumlah 4 siswa (0,3%); Amerika berjumlah 3
siswa (0,3%); Korea berjumlah 2 siswa (0,2%); Rusia berjumlah 1 siswa (0,1%);
Australia berjumlah 1 siswa (0,1%); Singapura berjumlah 8 siswa (0,7%); Belanda
berjumlah 1 siswa (0,1%); dan Qatar berjumlah 1 siswa (0,1%). Prestasi yang
sangat sulit ditandingi oleh sekolah menengah atas manapun juga (Sukarno, Saidi
dan Wahid, 2013: 58). Prestasi lain yang diperoleh dalam bidang ekonomi dan
science tingkat nasional sejak tahun 2002 sampai 2013 berjumlah 37 buah medali
dan 6 buah medali di tingkat internasional. Berbagai torehan prestasi diraih
kembali pada tahun 2014
Keberhasilan pendidikan di madrasah tidak hanya dapat diukur dengan
perolehan hasil Ujian Nasional para lulusannya, tetapi masih ada indikator lain,
yaitu penguasaan lulusan terhadap kemampuan dasar dari mutu pelajaran. Untuk
ini, pimpinan Madrasah Model perlu mengevaluasi pencapaian kompetensi dasar,
dengan melakukan pertemuan secara berkala dengan guru mata pelajaran guna
menyusun rencana penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Model, menyusun
program pembelajaran dengan menggunakan modul-modul kemampuan dasar,
mengikutsertakan guru-guru dalam program pelatihan dan penugasan serta
memfungsikan jajaran Madrasah Model dalam penyelenggaraan pembelajaran
berbasis kemampuan dasar. Pimpinan Madrasah model yang progresif seperti ini
yang diharapkan membawa kemajuan lembaga pendidikan tersebut.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
174
2. Guru dan tenaga kependidikan lainnya
Madrasah Model harus mempunyai guru dan tenaga kependidikan yang
sesuai dengan jenis dan jenjang yang dibutuhkan kurikulum dan sesuai dengan
perhitungan berdasarkan jumlah kelas dan jurusan yang ditawarkan. Untuk ini,
Kepala Madrasah perlu membuat man power development plan yang berisi jenis
dan jenjang guru-guru yang dibutuhkan madrasah berdasarkan mata pelajaran
yang diajukan sesuai kurikulum yang diterapkan. Dengan data guru yang ada saat
itu, maka dibuat daftar kekurangan dan kelebihan guru juga tenaga lainnya
berdasarkan kebutuhan guru yang diperlukan di madrasah tersebut, termasuk
pendataan tentang peningkatan kompetensi dan kemampuan dalam pelaksanaan
pembelajaran.
3. Siswa dan kesiswaan
Proses penerimaan siswa-siswa baru perlu diatur melalui langkah-langkah
strategis agar lulusannya kelak dapat memenuhi stándar tertentu sehingga bisa
bersaing dengan lulusan lainnya diterima di Perguruan Tinggi ternama. Juga harus
dapat menyalurkan bakat dan minat siswa yang dikemas dalam berbagai kegiatan
kesiswaan.
4. Sarana kependidikan
Semua sarana pendidikan yang dimiliki Madrasah Model maliputi ruang
kelas, laboratorium, perpustakaan, ruang media pembelajaran, sarana olah raga,
kesenian dan sarana keagamaan merupakan persyaratan uama agar madarasah lain
dapat mencontoh, baik dalam organisasi ruang, kebutuhan alat dan manajemennya
agar dapat berfungsi dengan baik bagi penyelenggaraan pendidikan. Ruang
pembelajaran misalnya tidak hanya menjadi media penyampaian informasi oleh
guru kepaa siswa, tetapi sedapat mungkin dapat ditingkatkan fungsinya menjadi
ruangan yang memfasilitasi proses pembelejaran untuk mata pelajaran tertentu.
Komponen lingkungan, Pimpinan Madrasah, seluruh guru dan staf lainnya
perlu meningkatkan kerja sama dan memanfaatkan seoptimal mungkin komponen
lingkungan di sekitar maupun di luar Madrasah, baik lingkungan fisik,
sosial/masyarakat dan instansi terkait. Salah satu upaya adalah dengan melakukan
inventarisasi ketiga lingkungan tersebut dan diseleksi untuk menetapkan
lingkungan mana yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan pembelajaran.
Pemanfaatan tersebut seperti menjadi donatur, nara sumber, tempat praktek atau
latihan keterampilan dan sebagainya.
5. Supervisi dan akreditasi
Kelemahan utama dalam kegiatan supervisi akademik di Madrasah Model
dan madrasah lainnya adalah para supervisor kurang menguasai materi bidang
studi, sehingga proses pembinaan guru dan kualitas pembelajaran tidak terjadi
bahkan juga menjadi rendah. Ada dua alternatif untuk mengatasi masalah ini,
yaitu 1) memperbaiki dan meningkatkan kualitas para pengawas yang ada atau 2)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
175
merekrut supervisor yang sama sekali baru untuk dididik menjadi pengawas
profesional. Sistem akriditasi dilakukan didahului dengan proses evaluasi diri dari
madrasah yang bersangkutan, yang hasilnya dituliskan dalam bentuk dokumen dan
merupakan profil madrasah. Evaluasi diri dilakukan terhadap enam komponen
yang menjadi penentu keberhasilan madrasah, meliputi guru dan personil lainnya,
siswa, kurikulum, sarana dan prasarana, pengelolaan, serta lingkungan dan situasi
umum madrasah.
6. Pembiayaan
Anggaran Madrasah Model sudah tersedia melalui DMAP, akan tetapi
untuk keberlangsungan kegiatan, tambahan anggara rutin perlu disediakan oleh
pemerintah. Sudah bisa dibayangkan dana tersebut masih belum cukup terutamai
dengan adanya lembaga PSBB. Oleh karena itu, Madrasah perlu menggali sumber-
sumber lain misalnya melalui kegiatan “adopsi sekolah”, program transisi kerja,
layanan masyarakat BP3 dan kerja sama dengan dunia usaha.
7. Tata kerja organisasi
Pengembangan tata kerja organisasi Madrasah Model diarahkan secara
bertahap kepada tercapainya kondisi organisasi yang baku. Salah satu yang
penting dalam upaya ini adalah adanya kesepakatan bersama tentang prinsip-
prinsip efisiensi, fungsionalisasi dan sustainability. Prinsip efisiensi dan
keberlangsungan dapat terjamin apabila sejak awal ada fungsionalisasi, artinya
lembaga kependidikan dan pelatihan yang sudah ada hendaknya dilibatkan dalam
pengembangan Madrasah Model dan PSBB. Untuk itu, perlu digariskan dengan
tegas hubungan fungsional antara lembaga-lembaga tersebut. Berdasarkan
penjelasan di atas, maka salah satu komponen yang menjadi perhatian dalam
peningkatan mutu pendidikan madarash adalah guru sebagai ujung tombak
pendidikan. Artinya guru-guru yang bertugas di MAN Model harus memiliki
kompetensi, minimal sebagaimana yang disyaratkan dan diamanahkan dalam
Peraturan Pemerintah, karena akan teruasa sulit untuk meningkatkan mutu
pendidikan jika guru-gurunya tidak memiliki kompetensi untuk menjadi seorang
guru, yang meliputi kompetensi akademik, kompetensi paedagogik, kompetensi
kepribadian dan kompetensi sosial.
Anas Suprapto, 180Madrasah dewasa ini menjadi salah satu pilihan
masyarakat. Terjadi perubahan persepsi terhadap lembaga pendidikan (madrasah)
dari underestimate oleh sebagian besar masyarakat menjadi simpati dan percaya
dengan keberadaan dan layanan pendidikan madrasah. Kendati demikian, belum
semua madrasah menjadikan kemajuan tersebut sebagai bagian yang direncanakan
dan dikelola secara profesional. Pengelolaan secara professional ini salah satu
180Anas Suprapto, dalam jurnalnya Manajemen Pencitraan Di Madrasah
Berprestasi (Madrasah Aliyah Negeri Bangil Dan Madrasah Aliyah Negeri Kraton
Pasuruan), Jurnal MPI Manajemen Pencitraan di Madrasah,Vol 1, No 2, 2016, h. 156
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
176
indikatornya adalah memasukkan strategi marketing karena realitasnya madrasah
masuk dalam wilayah komoditas. Penelitian ini memfokuskan pada : 1. Aspek
yang melandasi manajemen pencitraan 2. Pola manajemen pencitraan yang
dilakukan, dan 3. Implementasi manajemen pencitraan dalam mewujudkan
madrasah yang berprestasi
Madrasah perlu mendapat perhatian yang memadai dikarenakan alasan etis
dan tuntutan moral dalam berbangsa dan bernegara seperti diamanatkan oleh
UUD 1945, terdapat juga alasan praktis pragmatis, yaitu bahwa perbaikan
terhadap madrasah lebih mudah dan murah.181 Setidaknya bila dilihat dari
perspektif teori pendidikan Yunani Kuno, terdapat tiga aspek pendidikan yaitu :
Etika (akhlak), civic dan pengetahuan. Berdasarkan hasil penelitian Tim Studi
pengembangan Sub sektor Madrasah Kementerian Agama tahun 2003 ditemukan
bahwa ada beberapa ungkapan umum yang menunjukkan perbandingan
keuntungan Madrasah dibandingkan sekolah umum, yaitu :
a. Berakar kuat
b. Madrasah di Indonesia adalah unik
c. Berkembang di masa krisis
d. Pro miskin
e. Mendukung gender
f. Menyediakan nilai dan norma kesholehan sebagai jawaban terhadap tuntutan
keluarga.
Meskipun dalam perkembangan sampai saat ini, madrasah tidak lagi
ekslusif dengan menerima fiqh dan hadis saja182 tetapi berbagai disiplin ilmu
lainnya juga diterima. Namun dalam pelaksanan pendidikannya masih sangat perlu
dikembangkan. Madrasah atau sekolah harus dipahami sebagai satu kesatuan
sistem pendidikan yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling bergantung
satu sama lain. Dengan demikian, pengembangan kompetensi pada diri siswa tidak
dapat diserahkan hanya pada kegiatan belajar-mengajar (KBM) di kelas,
melainkan juga pada iklim kehidupan dan budaya sekolah secara keseluruhan.
Setiap sekolah sebagai suatu kesatuan diharapkan mampu memberikan
pengalaman belajar kepada seluruh siswanya untuk menguasai keempat
kompetensi di atas sesuai dengan jenjang pendidikannya dan misi khusus yang
diembannya.
Di negara maju seperti Amerika, untuk menunjukkan sekolah yang bermutu,
tidak menggunakan istilah unggulan (excellent), melainkan effective, develop,
181 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos,
2001), h. xv 182Husni Rahim, Rusydy Zakaria, Jejen Musfah, Fauzan, Madrasah Sebagai
Alternatif Pendidikan Unggul, Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press,
(2011), h. 20
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
177
accelerate, dan essensial.183 Sekolah efektif diartikan sebagai sekolah yang mampu
mengoptimalkan semua masukan dan proses bagi ketercapaian output pendidikan,
yaitu prestasi sekolah, terutama prestasi siswa yang ditandai dengan dimilikinya
semua kemampuan berupa kompetensi yang dipersyaratkan di dalam belajar.184
Hal ini merujuk bahwa efektivitas sekolah menunjukkan adanya proses
perekayasaan berbagai sumber dan metode yang diarahkan pada terjadinya
pembelajaran di sekolah secara optimal.
Beberapa determinasi dominan madrasah efektif itu terdiri dari : (1)
Kompetensi Guru Madrasah yang memadai (2) Komitmen SDM Madrasah yang
tinggi (3) Monitoring prestasi siswa (4) Partisipasi orang tua (5) Kebijakan di
Madrasah (6) Kepemimpinan kepala madrasah (7) Kurikulum madrasah (8) Sistem
Evaluasi Belajar di Madrasah (9) Budaya dan Iklim madrasah, dan (10) Prestasi
siswa.
MAN Insan Cendikia Serpong merupakan madrasah unggulan program
Kementerian Agama Republik Indonesia selain MAN Insan Cendikia Gorontalo.
Bahkan sejak tahun 2013 Kementerian Agama membuka madrasah serupa di Riau
dan akan direncanakan akan membuka madrasah serupa di beberapa kota di
Indonesia. Bagi sebuah madrasah seperti MAN Insan Cendikia Serpong, visi dan
misi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam proses peningkatan mutu dan
kepemimpinan. Karena dalam visi tersebut memuat seperangkat nilai, semangat
atau tujuan serta target sekolah yang harus dicapai di masa yang akan datang. Visi
harus diinternalisasikan dalam keseharian aktivitas sekolah dan warganya dalam
melakukan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Menjadi madrasah
unggulan mempunyai beban dan tanggung jawab yang besar, karena selalu
dituntut untuk menjaga kualitasnya. Namun kepala madrasah Insan Cendikia
Serpong tampaknya kurang setuju untuk dikatakan unggulan, dia hanya akan
berusaha secara optimal untuk memfungsikan komponen dan unsur-unsur yang
ada sesuai fungsinya.
a. Kompetensi SDM Madrasah
Salah satu faktor yang membuat MAN Insan Cendikia Serpong
menjadi benchmark bagi sekolah lain adalah dari segi SDMnya yang
mempunyai kompetensi akademik di atas standar, maksudnya lebih dari 60%
guru yang mengajar di Insan Cendikia lulusan pasca sarjana sesuai bidang
keahliannya. Bentuk tanggung jawab dengan kompetensi yang dimiliki
kepala sekolah maupun guru dan tenaga kependidikan terwujud dalam
professional kerja dan harapan yang tinggi akan mutu madrasah. Masing-
masing guru dan karyawan terlihat sudah ada sebelum jam kerja mulai, dan
183 http:www.suaramerdeka.com /harian/0508/23/x_opi.html, diakses pada tanggal
06 Januari 2018 184 Komariah, Aan, dan Cepi Triatna, Visionary Leadership; Menuju Sekolah
Efektif. (Jakarta:Bumi Aksara, 2006), 36
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
178
masing-masing sudah membawa persiapan alat-alat kerjanya. Sistem
boarding yang menuntut jam kerja 24 jam, membuat guru dan tenaga
pendidikan lainnya membutuhkan energi ekstra. Tak jarang ketika jam
istirahat ada saja yang masih harus dikerjakan. Untuk terus menyesuaikan
dengan tuntutan ilmu pengetahuan yang terus berkembang, MAN Insan
Cendikia mempunyai beberapa kegiatan pengembangan sumber daya manusia
seperti yang tercantum pada buku pedoman akademik pembelajaran tahun
2012.
Hampir setiap guru di MAN Insan Cendikia sudah tersertifikasi
sebagai tenaga pendidik yang dilakukan pemerintah. Artinya standard
professional dari kinerja guru Insan Cendikia tidak diragukan lagi. Di
samping itu, prestasi yang diraih siswa-siswi Insan Cendikia menunjukkan
bukti sebagai hasil kerja dari kepemimpinan kepala madrasah dan gurunya.
Di samping itu tanggung jawab pada tugas dan wewenang kepala
madrasah dan guru serta karyawan madrasah Insan Cendikia menjadi nilai
tersendiri dalam mencapai tujuan madrasah. Keikhlasan yang ditunjukkan
oleh SDM MAN Insan Cendikia sebagai modal plus dalam meningkatkan
kinerja personil sehingga pencapaian sasaran tidak terasa memberatkan.
Keberadaan manajemen SDM dalam organisasi pendidikan (sekolah)
dapat menunjang tercapainya tujuan sekolah. Karena itu, salah satu ciri
sekolah yang efektif adalah adanya pengelolaan tenaga kependidikan yang
efektif. Implikasinya adalah penataan tenaga kependidikan harus dilakukan
dengan berlandaskan kepada filosofi, prinsip, konsep dasar, dan strategi
manajemen SDM.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari segi kompetensi, SDM
Madrasah Insan Cendikia sudah mencukupi sebagai salah satu faktor input
untuk madrasah efektif.
b. Komitmen Sumber Daya Manusia
Ada hal menarik yang ditemukan di MAN IC Serpong berkenaan
dengan masalah komitmen warga madrasah, yaitu Kepala sekolah membuat
komitmen dalam bentuk kontrak kerja langsung dengan Direktur Pendidikan
Madrasah Kementerian Agama RI. Kontrak kerja ini dibuat atas inisiatif
sendiri sebagai komitmennya dalam bekerja. (bentuk kontrak terlampir) Di
samping itu, kontrak kerja ini dibuat agar pencapaian tujuan kerja menjadi
jelas dan terarah, dan mendorong lebih kuat (energy) sehingga dalam
pencapaian targetnya dapat dengan mudah dievaluasi. Tidak hanya masalah
materi yang menjadikan warga madrasah betah mengabdi di Insan Cendikia,
tetapi terlihat dari suasana yang cukup jauh dari kebisingan hiruk pikuk
aktivitas kota dan kebersamaan yang hangat sehingga menimbulkan saling
percaya yang cukup tinggi mejadi faktor tersendiri. Di tambah dengan
lingkungan yang aman, seluruh wilayah madrasah dan asrama dibatasi dengan
pagar tembok setinggi ± 2 m. Hal ini membuat kinerja menjadi lebih baik dan
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
179
efektif dibandingkan dengan di tempat lainnya. Monitoring prestasi siswa
Ada tim kedisiplinan yang bertugas memantau kegiatan siswa dalam
kesehariannya, baik di asrama maupun di luar asrama. Begitu juga beberapa
program pada bidang kesiswaan seperti terdapat dalam buku Pedoman
pembelajaran (SD) sebagai berikut: Pembinaan kesiswaan adalah usaha,
tindakan, atau kegiatan yang diselenggarakan oleh sekolah secara efektif dan
efisien untuk mengoptimalkan potensi siswa agar tumbuh dan berkembang
secara utuh dalam berbagai aspek kehidupannya, baik di sekolah maupun
diluar sekolah sehingga terbentuk individu siswa yang sesuai dengan tujuan
pendidikan di sekolah Insan Cendikia pada khususnya dan tujuan pendidikan
nasional pada umumnya.
Adanya kontrak kerja yang dibuat kepala madrasah MAN Insan
Cendikia Serpong merupakan salah satu bentuk komitmen awal dalam
melaksanakan tugas masing-masing warga madrasah. Komitmen ini sangat
diperlukan dalam sebuah madrasah sebagai organisasi pendidikan dimana
seseorang (SDM) memihak organisasi tertentu serta tujuan dan keinginannya
untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Komitmen
yang tinggi yang ditunjukkan SDM warga MAN Insan Cendikia
menunjukkan bahwa kesadaran akan pencapaian tujuan sesuai dengan
kesepakatan-kesepakatan sebelumnya. MAN Insan Cendikia nampaknya
berusaha mengikat warganya untuk terus menyadarkan bahwa setiap orang
yang terlibat di madrasah merupakan bagian dari organisasi yang tidak
terpisah. Membangun kepercayaan merupakan cara untuk menciptakan
komitmen. Kepercayaan dari warga madrasah tidak akan diperoleh apabila
mereka hanya diperlakukan sebagai salah satu faktor produksi, bukan sebagai
asset utama madrasah. Selain itu karyawan tidak merasa sebagai bagian dari
organisasi apabila tidak dihargai oleh organisasinya. Pemberian reward dan
pengembangan kompetensi di MAN Insan Cendikia merupakan cara untuk
meningkatkan komitmen organisasi yang pada akhirnya akan berpengaruh
pada kepuasan kerja warga madrasah. Karena kepuasan kerja karyawan
berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi. Kepuasan kerja yang
rendah cenderung mengakibatkan komitmen terhadap organisasi yang rendah
pula.
c. Partisipasi orang tua
Di MAN IC Serpong, dalam rangka mewadahi partisipasi orang tua
dibentuk sebuah wadah bersama yang dinamakan FKOT (forum Komunikasi
Orang tua) yang ada setiap kelas. Sedangkan Komite terdiri hanya
perwakilan dari FKOT tersebut. Jadi komunikasi dengan orang tua murid ada
tiap kelas. Semua orang tua bisa berkomunikasi dengan guru dan sekolah
melalui FKOT itu. Sedangkan Komite itu sifatnya hanya menjembatani
antara sekolah dengan pihak-pihak lain. Setidaknya ada 4 saung yang telah
dibangun oleh komite madrasah Insan Cendikia Serpong, yang digunakan
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
180
untuk belajar mandiri siswa baik perseorangan maupun kelompok. Saung itu
terletak di antara plaza madrasah, kantin dan asrama siswa.
Orang tua harus menjadi patner sekolah dalam melaksanakan
pendidikan dan pembelajaran, karena kerjasama diantara keduanya sangat
penting dalam membentuk pribadi peserta didik. Dalam suasana yang
demikian, sekolah memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagaian patner orang
tua dan sebagai penghasil tenaga kerja terdidik. Sebagai partner orang tua,
sekolah akan dipengaruhi oleh corak pengalaman seseorang didalam
lingkungan orang tua, bahan bacaan, tontonan dan kondisi sosial ekonomi.
Sekolah juga harus bertanggung jawab terhadap perubahan orang tua yang
dapat dilakukan melalui fungsi layananan bimbingan, dan forum komunikasi
antara sekolah dengan orang tua. Disisi lain, kesadaran peserta didik untuk
mendayagunakan orang tua sebagai sumber belajar dipengaruhi oleh kegiatan
dan pengalaman belajar yang diikutinya disekolah. Model partisipasi yang
sudah berjalan di Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia Serpong adalah
dengan dibentuknya Forum Komunikasi Orang Tua (FKOT) di masing-
masing kelas, dan Komite Madrsah di tingkat sekolah yang merupakan
perwakilan anggota FKOT. Model seperti ini sepertinya efektif dalam jalinan
komunikasi antara sekolah dan orang tua.
Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa sekolah dan
orang tua merupakan partnership dalam berbagai aktivitas yang berkaitan
dengan aspek-aspek pendidikan, diantaranya: (1) sekolah dengan orang tua
merupakan satu keutuhan dalam menyelenggarakan pendidikan dan
pembinaan pribadi peserta didik; (2) sekolah dengan tenaga kependidikan
menyadari pentingnya kerjasama dengan orang tua, bukan saja dalam
melakukan pembaharuan tetapi juga dalam menerima berbagai konsekuensi
dan dampaknya, serta mencari alternative pemecahannya; (3) sekolah dengan
orang tua sekitar memiliki andil dan mengambil bagian serta bantuan dalam
pendidikan di sekolah, untuk mengembangkan berbagai potensi secara
optimal sesuai dengan harapan peserta didik.
d. Kebijakan di madrasah
Suasana keterbukaan dan kenyamanan di lingkungan MAN IC Serpong
menjadi faktor yang sangat signifikan dalam memotivasi semua warga IC.
Hal ini menunjukkan betapa kesungguhan itu diciptakan tanpa paksaan.
Masing-masing mengerjakan tugas sesuai Tupoksi dengan kesungguhan dan
tanpa ada rasa cemas. Budaya saling melayani antar warga yang tercipta
dalam setiap perilaku di MAN IC menjadi motivasi tersendiri bagi semua
orang untuk bekerja lebih baik. Di samping ada reward yang mengapresiasi
setiap pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Kepemimpinan kepala
madrasah Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi dalam menentukan
tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,
mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu juga
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
181
mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya,
pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara
hubungan kerjasama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerjasama
dari orang-orang di luar kelompok atau organisasi. Dari penuturan Kepala
Madrasah, didapat beberapa keterangan berkenaan dengan kepemimpinan dan
manajemen di MAN IC Serpong. Kepala Madrasah menerapkan prinsip
manajemen di MAN IC itu terdiri dari 5K, yaitu Keterbukaan, Kebersamaan,
Keteladanan, Keadilan dan Kenyamanan.
Dalam setiap keputusannya Kepala MAN Insan Cendikia Serpong
berupaya untuk bermusyawarah terlebih dahulu, baik tingkat pimpinan
maupun guru dan karyawan. Hal ini sesuai dengan prinsip pengambilan
keputusan model win win solution dan tidak berbenturan dengan peraturan
yang ada, di mana semuanya mempunyai tugas yang sama dan tidak
menguntungkan sepihak. Dengan demikian setiap kebijakannya dalam
pengelolaan, monitoring evaluasi dan lain sebagainya berjalan sesuai
kesepakatan yang memunculkan tanggung jawab bersama, terutama setiap
kebijakan tersebut berorientasi pada peningkatan mutu madrasah. Berbagai
kebijakan untuk mereformasi madrasah dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan perlu dengan seksama memperhatikan dan memahami keunikan
sekolah agar upaya perubahan dapat berhasil dengan baik dan sudah
dilakukan oleh pimpinan MAN Insan Cendikia.
Dalam konteks organisasi madrasah sebagai suatu sistem, semua warga
madrasah Insan cendikia Serpong baik dimensi individu dan dimensi
organisasi berinteraksi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sebagai
1embaga pendidikan tempat terjadinya proses pembelajaran, maka mengelola
organisasi madrasah memerlukan kebijakan manajemen dan kepemimpinan
yang dapat memberi ruang bagi tumbuh dari berkembangnya pembelajaran
dari mulai tataran individu sampai tataran organisasi yang dapat mendorong
berkembangnya kreativitas dan inovasi, untuk itu diperlukan respon yang
tepat serta budaya organisasi yang terbuka dan kondusif bagi berkembangnya
kebebasan berekspresi. Setiap individu anggota organisasi madrasah
mempunyai latar belakang pribadi yang berbeda-beda, yang akan memberikan
dampak pada kontribusi mereka bagi organisasi, untuk itu organisasi perlu
mengelola hal tersebut secara efektif untuk dapat menumbuhkan sinergitas
dalam organisasi diantara berbagai individu yang terlibat di dalamnya,
sehingga pembelajaran mereka dalam organisasi madrasah dapat memberikan
kontribusi bagi inovasi pendidikan.
e. Kurikulum madrasah
MAN Insan Cendikia menggunakan kurikulum Diknas (SMA) dan
kurikulum Kemenag (MA) yang diperkaya sesuai visi dan misi sekolah.
Artinya, struktur program kurikulum diperkaya dengan penguasaan base
Insan Cendikia knowledge of science and technology (program pemantapan
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
182
Iptek) dan peningkatan kualitas Imtak. Untuk itu dilakukan penambahan jam
tatap muka untuk bidang-bidang MAFIKIBI (Matematika, Fisika, Kimia, dan
Biologi), pendidikan agama Islam, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab. Program
penunjang kurikulum didesain sedemikian rupa untuk mempersiapkan para
siswa tuntas dalam belajar dan membantu siswa siap menghadapi Ujian
Nasional, ujian masuk Perguruan Tinggi baik di dalam maupun di luar negeri.
Program penunjang itu di antaranya : Program klinik mata pelajaran bagi
siswa yang mengalami kesulitan belajar, program pengayaan berupa study
club, studi lapangan terpadu bagi seluruh siswa, bimbingan intensif UN dan
SPMB. Selain itu, dikembangkan juga kurikulum tersembunyi (hidden curiculum) dalam program pembinaan dan pembiasaan hidup dengan nilai-
nilai Islami, pengembangan diri, dan pendidikan kecakapan hidup (leadership life skill).
Kurikulum gabungan dari Kementerian Pendidikan dan Kementerian
Agama serta adopsi (bencmarking) kurikulum dari beberapa lembaga di luar
negeri yang diterapkan di MAN Insan Cendikia, merupakan kurikulum
pengembangan yang disesuaikan dengan tuntutan perkembangan
pengetahuan dan informasi. Kurikulum MAN Insan Cendikia
mengembangkan keharmonisan pemilikan kemampuan logika, etika, estetika,
dan kinestika. Dengan demikian, kurikulum dapat membantu peserta didik
agar berkembang sebagai individu sesuai dengan bakat dan kemampuannya,
serta tumbuh menjadi warga negara yang bertanggungjawab dan dapat
dipercaya.
Prinsip dasar pengembangan kurikulum berbasis kompetensi sebagai
suatu proses yang dinamik adalah: keseimbangan etika, logika, estetika, dan
kinestika; kesamaan memperoleh kesempatan; memperkuat identitas
nasional; menghadapi abad pengetahuan; menyongsong tantangan teknologi
informasi dan komunikasi; mengembangkan keterampilan hidup;
mengintegrasikan unsur-unsur penting ke dalam kurikuler; pendidikan
alternatif; berpusat pada anak sebagai pembangun pengetahuan; pendidikan
multikultur dan multibahasa; penilaian berkelanjutan dan komprehensif; dan
pendidikan sepanjang hayat.
Beberapa program penguatan materi pembelajaran, program
keagamaan, muatan lokal, keputrian dan keterampilan yang dimasukkan
dalam kurikulum MAN Insan Cendikia merupakan hasil pengolahan dan
pengembangan madrasah menuju pencapaian target yang telah ditetapkan.
hal ini cukup potensial dalam membagun sebuah madrasah yang efektif,
dimana outputnya dibekali penguasaan pengetahuan yang terus dapat
dikembangkannya secara mandiri.
8. Evaluasi
Penerapan system penilaian di MAN Insan Cendikia memperhatikan
prinsip-prinsip penilaian sebagai berikut :
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
183
1) Penilaian untuk semua kompetensi dasar
2) Penilaian dapat dilakukan pada satu atau lebih kompetensi dasar
3) Hasil penilaian dianalisis dan ditindak lanjuti melalui program
remedial atau program pengayaan
4) Penilaian meliputi seluruh kompetensi dasar dalam ranah kognitif,
psikomotor dan afektif. Aspek afektif diukur melalui pengamatan dan
kuesioner.
Untuk mendorong motivasi peserrta didik dalam meningkatkan hasil
belajarnya pada setiap mata pelajaran, maka pada setiap akhir semester
diberikan penghargaan kepada setiap peserta didik yang memperoleh nilai
tertinggi pada setiap mata pelajaran dan penghargaan kepada peserta didik-
peserta didik yang mencapai prestasi akademik terbaik pada semua mata
pelajaran (peringkat 1-3)
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk
mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang
terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut
untuk memperbaiki dan meyempurnakan proses belajar mengajar di
madrasah. Penilaian hasil belajar baik melalui tes harian, formatif dan
sumatif serta tagihan-tagihan lain di MAN Insan Cendikia Serpong
merupakan salah satu bentuk evaluasi yang dilakukan madrasah. Penilaian ini
dilakukan pada semua mata pelajaran dan dilakukan oleh guru bidang studi
yang berangkutan.
Evaluasi yang dilakukan MAN Insan Cendikia Serpong tidak hanya
dilakukan pada hasil pembelajaran saja, tetapi juga program dan kegiatan
yang dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam mengevaluasi madrasah
harus dilakukan pada semua hal yang berkaitan dengan proses pencapaian
tujuan.
Dengan demikian evaluasi pembelajaran hendaknya (a) dirancang
sedemikian rupa, sehingga jelas abilitas yang harus dievaluasi, materi yang
akan dievaluasi, alat evaluasi dan interpretasi hasil evaluasi, (b) menjadi
bagian integral dari proses pembelajaran, (c) agar hasilnya objektif, evaluasi
harus menggunakan berbagai alat (instrumen) dan sifatnya komprehensif, (d)
diikuti dengan tindak lanjut
9. Budaya madrasah
Menurut Kepala Sekolahnya, berkenaan dengan budaya organisasi di MAN
IC Serpong ini adalah diterapkannya kebiasaan dalam budaya kerja bagaimana
setiap orang saling melayani. Ada semacam kebiasaan Budaya saling melayani. Di
mana kepala sekolah melayani wakil-wakil, melayani guru-guru, dan melayani
anak-anak, dan seterusnya, karena budaya melayani itu lebih penting daripada
budaya dilayani. Kalau sudah setiap orang punya rasa melayani, maka tidak ada
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
184
lagi rasa jumawa yang merasa seseorang lebih tinggi, lebih terhormat, dan lain
sebagainya dari orang lain.
Kasus MAN Insan Cendikia Serpong yang berkenaan dengan budaya
madrasah cukup unik dan sebenarnya tidak terlalu beda dengan madrasah lainya di
Indonesia. Misalnya kebiasaan mengucapkan salam, disiplin waktu dan
kebersihan, melayani, penghargaan, penghormatan dan lainnya terlihat jelas dalam
kegiatan keseharian warga madrasah.
Hal-hal sederhana di atas yang dilakukan warga madrasah Insan Cendikia
Serpong menunjukkan kepribadian dan hasil pendidikannya, sekaligus proses yang
berpengaruh signifikan pada pencapaian tujuan madrasah. Budaya madrasah
merupakan kepribadian organisasi yang membedakan antara satu madrasah
dengan madrasah lainnva, bagaimana seluruh anggota organisasi sekolah berperan
dalam melaksanakan tugasnya tergantung pada keyakinan, nilai dan norma yang
menjadi bagian dari budaya madrasah tersebut.
Asumsi, keyakinan dan nilai-nilai yang terinternalisasikan pada setiap
anggota organisasi sekolah merupakan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman
dalam melaksanakan pekerjaan dalam mencapai tujuan sekolah yang telah
ditetapkan. Budaya sekolah akan membentuk situasi organisasi sekolah baik itu
situasi fisik maupun sosial, dan kondisi ini menunjukan suatu iklim sekolah,
dengan demikian budaya sekolah pada dasarnya akan membentuk iklim sekolah
10. Prestasi siswa
Kompetensi lulusan MAN IC Serpong juga dapat diandalkan untuk bisa
hidup mandiri di tengah masyarakat. Sehingga walaupun mereka belum
berkesempatan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, mereka sudah
dibekali dengan berbagai kompetensi yang dirasa cukup untuk mandiri. Misalnya
keterampilan menjahit, kegiatan keagamaan, praktek mengajar dan lain-lain bisa
menjadi kemampuan yang bisa diandalkan untuk mandiri. Kegiatan akademik
yang menonjol dari prestasi madrasah ini yaitu diraihnya berbagai penghargaan
dari keikut sertaannya pada berbagai lomba, baik yang tingkat nasional maupun
tingkat internasional. Prestasi terakhir yang di raih berkenaan dengan pelaksanaan
Ujian Nasional tahun 2013 yang belum lama selesai.
Prestasi madrasah dalam bidang akademik yang diperoleh MAN Insan
Cendikia Serpong cukup banyak. Hal ini menunjukkan kualitas sebuah madrasah
yang unggul. Begitu juga nilai para siswa lulusan MAN Insan Cendikia
memperoleh yudisium sangat memuaskan. Tetapi prestasi non akademik tidak
terlalu menonjol di MAN Insan Cendikia, terutama dalam bidang keagamaan.
Padahal sebagai sebuah madrasah yang berlabel Islam, prestasi kegiatan
keagamaan minimal berbanding lurus dengan prestasi akademiknya.
Begitu juga terlihat dari sebaran alumni MAN Insan Cendikia Serpong,
setiap tahunnya hampir tidak ada yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan
tinggi agama. Walaupun hal ini bukan menjadi ukuran tingkat penguasaan
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
185
keagamaan dan keshalehan seseorang, tetapi setidaknya ada kaderisasi ke arah
sana.
Penyeleksian siswa dari awal yang dilakukan MAN Insan Cendikia Serpong
merupakan monitoring awal prestasi dan kemampuan siswa. Proses rutin ini
merupakan pengumpulan data dan pengukuran kemajuan atas kemajuan siswa
tersebut ke depan. Dalam hal memantau perubahan, yang fokus pada proses dan
keluaran, meliputi dua subjek yang harus dilakukan, yaitu : Monitoring
melibatkan perhitungan atas apa dilakukan dan monitoring melibatkan
pengamatan atas kualitas dari layanan yang kita berikan. Keberhasilan proses
pemantauan ditentukan oleh penilaian yang secara rinci dapat memberikan umpan
balik berupa gambaran yang jelas tentang tingkat keberhasilan dalam mencapai
tujuan dan sasaran yang dikehendaki. Kepala Sekolah dan guru tidak akan dapat
membuat saran-saran untuk pebaikan organisasi dan program sekolah yang
diinginkan, kecuali jika pada mereka tersedia hasil-hasil penilaian. Pembentukan
tim kedisiplinan di MAN Insan Cendikia Serpong juga merupakan salah satu alat
pemantauan dapat berfungsi sebagai pencegah terjadinya penyimpangan. Apabila
dalam tindakan pemantauan ditemukan hambatan atau penyimpangan hendaknya
diambil tindakan positif berupa perbaikan atau perubahan dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itu pemberian reward bagi siswa yang berprestasi dan pembinaan
sebagai punishment baik akademik maupun non akademik (termasuk di dalamnya
perilaku siswa) yang dilakukan MAN Insan Cendikia Serpong merupakan
tindakan efektif dalam monitoring kemajuan siswa.
Dari serangkaian penjelasan dan hasil wawancara pada bab ini maka dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran di MAN Insan Cendikia menggunakan metode
student centered, para pendidik di sana hanya sebagai motivator, fasilitator,
mediator sehingga siswalah yang harus bisa memecahkan masalah ketika belajar
di kelas.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
186
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
187
BAB IV
PENDIDIKAN PROGRESIF JOHN DEWEY
Pendidikan progresif menekankan pada pemaksimalan potensi manusia
dalam upaya menghadapi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Di samping
itu, progresif bahwa akal manusia sangat aktif dan ingin selalu meneliti, tidak pasif
dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan
kebenarannnya secara empiris.1
Adapun penjelasan tentang John Dewey sebagai berikut:
A. Kehidupan Dewey dan Pendidikannya
John Dewey dilahirkan di Burlington, Vermont pada tanggal 20 Oktober 1859
sebagai anak seorang pemilik toko. Ayahnya seorang pengusaha grosir kelas
menengah. Ibunya suka melakukan pekerjaan yang sifatnya membantu keluarga
keluarga miskin yang hidup di tengah-tengah arus industri Burlington. Sebagai
anak yang pemalu, Dewey muda menghabiskan masa kecilnya pada perusahaan
saudaranya, Davis. Meskipun Dia tidak suka sekolah, Dewey muda gemar
membaca buku dan berfikir (contemplatif). Untuk mendapatkan uang membeli
buku, Dewey muda bekerja mengantarkan koran setiap hari. Dan ketika lagi tidak
membaca buku, Dewey menikmati petualangannya di Lake Champlain dan Green
Mountains. Kemping dan memancing ikan adalah sangat sering dikerjakan oleh
Dewey, ini mungkin merupakan penghormatan yang sangat kuat terhadap sifat-
sifat alami pemikiran Dewey yang mendasari awal pengalamanya 2). Dewey
pertama kali masuk sekolah pada sekolah umum dan menamatkanya diusia dua
belas tahun. Kemudian pada umur enam belas tahun, tepatnya bulan September
tahun 1875, Dewey masuk Universitas Vermont. Kurikulum Universitas tersebut
pada saat itu masih bersifat tradisional, yaitu mahasiswa masih diharuskan untuk
1Uyoh Sadullah. Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), h.
120.
188
mengambil mata kuliah-mata kuliah seperti bahasa Yunani dan Latin, Sastra
Inggris, Matematika, Sejarah, Imu alam dan Retorika.
Dewey selesai pada tahun 1879 dengan menguasai bidang politik, sosial,
dan filsafat moral dan memulai karir mengajarnya pertama sekali adalah pada
SMA di kota minyak Pensylvania. Pada bulan September tahun 1882, Dewey
masuk Universitas Johns Hopkins untuk memulai studi pascasarjana dalam bidang
filsafat dengan mengambil mata kuliah minor, yaitu sejarah dan ilmu politik. Pada
Universitas Johns Hopkins, Dewey merasa dipengaruhi oleh pemikiran professor
George Sylvester Morris, yang mengajar di Universitas tersebut pada jurusan
filsafat, sebagai professor kunjungan/visiting prefesor dari Universitas Michigan.
Morris adalah orang yang memperkenalkan tentang idea absolute kepada Dewey
dari filosof Jerman, G. W. F. Hegel (1770-1831). Hegel adalah filosof anti-
dualistik, dia mengerti kehidupan, ide-ide, dan perkembangan spirit. Dengan
penekanannya tentang sistesis dan continuiti, sistem Hegel betentangan dengan
intuisi Dewey belajar di Universitas Vermont. Dari filsafat Hegel, Dewey
menemukan apa yang telah diperoleh selama belajar di Coleg. Dewey
menyelesaikan studi doktornya pada tahun 1884, dengan judul disertasinya tentang:
The Psychology of Kant. Kemudian dia menerima sebuah tawaran dari Morris
untuk bergabung dengan jurusan flsafat di Universitas Michigan di An Arbor
sebagai asisten profesor. Di Michigan, Dewey mengajar etika, sejarah filsafat,
logika, dan psikologi. Dengan pembelajarannya, dia menghasilkan publikasi
beberapa artikel, dan juga buku pertamanya, Psychology of Kant yang terbit pada
tahun 1887. Dalam buku tersebut, Dewey berusaha untuk mendemontrasikan
bahwa penemuan-penemuannya tentang psikologi ilmiah telah mengkofirmasi
metafisik idealistik Hegel. Meskipun buku itu keberatan untuk mengkritisi secara
kasar, dan Dewey telah mendapatkan perhatian ilmiah. Buku yang kedua, studi
tentang filsafat Leibniz, yang diterbitkan pada tahun berikutnya. Dewey menikah
dengan Alice Chipman (1859-1927), yang merupakan alumni pascasarjana
Universitas Michigan, pada tangal 28 Juli 1886, dan istrinya ini juga menjadi
seorang pendidik profesional yang banyak membantu, khususnya dalam mengelola
labolatorium sekolahnya. Kemudian mereka dikaruniai enam orang putra-putri:
Frederick (1887-1967), Evelyn (1889-196), dan Morris (1893-1895), ketiga mereka
ini lahir ketika mereka bertugas di Michigan. Sedangkan yang tiga orang lagi lahir
di Chicago, yaitu: Gordon (1896-1904), Lucy (1897), dan Jane (1900) (John J.
McDermott (ed), 1981.
Ada dua persoalan besar yang menimpa keluarga Dewey, kedua-duanya
merupakan tragedi bencana alam. Kedua musibah ini terjadi pada saat sepuluh
tahun Dewey berada di Chicago. Pertama pada tahun 1895, meninggal anak
ketiganya, Morris, karena tragedi Milan, pada usia dua setangah tahun.
Kematiannya yang tragis, menimbulkan luka yang panjang dalam kehidupan
Dewey dan istrinya, Alice. Belum sampai sepuluh tahun kematian Morris,
kemudian kematian menimpa keluarga Dewey lagi, yaitu anaknya yang keempat,
Gordon karena menderita penyakit demam (tiphus). Kejadian ini terjadi ketika
Dewey dan keluarganya sedang berlibur, sebelum memulai kehidupan mereka di
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
189
Universitas Columbia. Kematian Gordon, membuat Dewey dan keluarga kembali
mengulangi kesedihannya ketika Morris meninggal Seusai Dewey mendapat
diploma ujian kandidat di Universitas Vermont (1879) ia menjadi guru selama 2
tahun. Tiga tahum kemudian ia menjadi mahasiswa lagi dan mendapatkan gelar
doktor filsafat (Ph.D) di Universitas John Hopkins (1884). Kemudian ia diangkat
menjadi dosen, lalu asisten profesor dan kemudian menjadi profesor di Michigan.
Kemudian dia pergi ke Universitas Chicago dan mengajar di sana sebagai profesor
filsafat (1894)2. Dewey sebagai profesor filsafat di Chicago, ia juga memimpin
bagian pedagogik dan mendirikan suatu sekolah untuk menguji dan
mempraktekkan teorinya. Sekolah yang didirikan Dewey bukanlah suatu model,
melainkan sekolah percobaan yang digabungkan pada Universitasnya di Chicago.
Reputasi John Dewey sebagai seorang pendidik profesional bermula dari
peranannya sebagai ketua jurusan filsafat, psikologi dan pedagogi pada Universitas
chicago. Pada sekolah tersebut mendirikan sekolah percobaan, untuk menguji dan
mempraktekkan teorinya. Pada labolatorium sekolah itu, Dewey memprakarsai
eksperimen dengan menggabungkan secara efekif teori pendidikan dengan praktek
pendidikan. Keberhasilannya mengajak orang tua murid untuk berpartisipasi
bersama guru dalam proses pendidikan anak, menjadi dasar bagi gagasannya yang
paling berpengaruh dalam pendidikan.3
Sekitar tahun 1904 sampai 1931 dia meninggalkan Universitas tersebut,
lalu pergi ke Universitas Colombia di New York. Ketika Dewey mengajar di
Universitas Colombia, ia mempunyai banyak waktu luang untuk melakukan
penelitian dan melakukan perjalanan ke Eropa dan Asia. Dia mengunjungi Cina
dan Jepang, pertemuan tersebut sangatlah penting terlebih ketika ia di Jepang
memberikan penyuluhan mengenai Reconstruction of Philosophy (merekonstruksi
filsafat). Pada tahun 1924 Dewey mengunjungi Turki, di sana ia membuat
organisasi Turkish Educational System. Dua tahun kemudian saat saat musim panas
dia bergabung dengan Universitas Mexico. Pada tahun 1928 dia mengunjungi
Rusia dan melakukan perbaikan sisttem pendidikan di sana. Dewey tinggal di New
York lebih dari 40 tahun sampai dia pensiun dari mengajar dalam tahun 1930. Dan
akhirnya Dewey meninggal di kota ini pada tanggal 1 Juni 19524
.
B. Karir Dan Karya Dewey
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa Dewey memulai karir
mengajarnya pada SMA di kota minyak Pensylvania. Dia mengajar di sana selama
dua tahun dalam mata pelajaran Bahasa Latin, Aljabar, dan Sains, dengan gaji
empat puluh dolar sebulan. Pengalaman mengajar di sekolah tersebut sangat
penting bagi Dewey. Karena dia belajar untuk hidup dalam isolasi yang
komparatif, yaitu setia terhadap pengajaran dan pemikirannya. Dan selama periode
2 Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2001), h. 149. 3John Dewey, Pengalaman dan Pendidikan, Penerjemah: John De Santo,
(Yogyakarta: Kepel Press, 2002), h. VII. 4 Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, ... h. 150.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
190
ini, Dewey memutuskan untuk melanjutkan filsafatnya. Pegalamannya dengan
siswa dan sekolah tempat dia mengajar telah memulai suatu keinginan yang abadi
dalam masalah-masalah dan urusan-urusan pendidikan (John J. McDermott (ed),
1981: xvi). Pada tahun 1881, Dewey menulis sebuah essay tentang filsafat dengan
judul The Metaphysical Assumptions of Materialisme. Dia mengirim essay tersebut
kepada W.H. Harris, editor Jurnal Speculative Philosophy. Kemudian kembali ke
Burlington pada bulan Juni tahun 1881, Dewey membuat hubungan kembali
dengan guru filsafatnya dari Coleg, H.A.P. Torrey. Dengan pengajaran privat dari
Torrey, Dewey belajar membaca bahasa Jerman dan membaca teks-teks klasik
tentang filsafat. Kemudian dengan dorongan dari Torrey dan respon dari Harris,
Dewey memutuskan untuk berkarir dalam bidang filsafat. Karya Dewey pertama
sekali tentang Psikologi, diterbitkan pada tahun 1887, yang membuat hubungan
antara studi psikologi secara ilmiah dengan filsafat idealis Jerman. Dan Dewey
untuk sementara waktu mengajar di Lake View Seminary Academy sambil
menunggu panggilan dari Harris.
Pada tahun 1884 Dewey diangkat menjadi dosen, lalu asisten profesor dan
kemudian profesor di Universitas Michigan. Di sini Dewey mengajar mata kuliah
filsafat Jerman dan Britis, khususnya tentang neo-Hegelian, seorang idealis asal
Jerman. Dan pada Universitas ini juga Dewey menjadi ketua jurusan filsafat mulai
dari tahun 1889 hingga tahun 1894. Pada tahun 1888, Dewey bergabung dengan
Universitas Minnesota, kemudian pada tahun 1889, Dewey juga diangkat menjadi
profesor filsafat pada Universitas Minesota. Pada tahun berikutnya diangkat
menjadi sebagai ketua jurusan filsafat, psikologi, dan pendidikan. Setelah setahun
bertugas di situ, pada tahun 1894, Dewey kembali ke Universitas Michigan. Dan di
Universitas Chicago, Dewey juga dipecayakan sebagai ketua jurusan filsafat,
psikologi dan pedagogy pada tahun 1893, menduduki jabatan sebagai ketua
perkumpulan profesor filsafat pada tahun 1894. Pada tahun ini juga Dewey
membina hubungan dengan filosof George Herbart Mead. Pada tahun 1888, karena
hasil publikasinya yang mengharumkan, kemudian Dewey diajak untuk bergabung
dengan salah satu fakultas di Universitas Minnesota sebagai profesor Mental dan
Filsafat Moral, dan Dewey berada disini sangat singkat. Kemudian pada tahun
1889, Dewey kembali ke Ann Arbor untuk mengisi kekosongan jabatan ketua
jurusan filsafat yang ditinggalkan Morris, karena meninggal dunia pada tahun
1888. Selama paroh kedua di Michigan, pemikiran Dewey mulai bergeser dari
Hegelianisme. Sebab musabab yang membuat Dewey berubaha adalah studi klasik
tentang William James pada tahun 1890, The Principles of Psycology. Seperti
Dewey, William James juga menolak katagori dualistik filsafat tradisional, namun
demikian tidak seperti Dewey, James tidak mengambil tempat perlindungan pada
idealistick metafisik Hegel. Pada tahun 1893, Dewey meninggalkan Michigan dan
menuju ke Chicago atas rekomendasi Tufts. Dan Dewey ditawarkan sebagai ketua
professor dalam bidang filsafat di Universitas Chicago pada tahun 1894.
Keberadaan Dewey di Chicago membuat suatu pase yang sangat penting
dalam perkembangan intelektualnya, dimana selama periode tersebut Dewey
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
191
memunculkan keahliannya tentang filsafatnya. Yaitu mempublikasi beberapa
artikel
penting dalam bidangnya seperti teori logika, filsafat sosial dan epistemology. Pada
tahun kedua keberadaannya di Chicago, Dewey telah mengembangkan suatu
jurusan filsafat yang sangat berpengaruh. Pada tahun 1903 muncul sebuah koleksi
artikel yang ditulis oleh Jurusan Filsafat Chicago dibawah judul Studies in Logical
Theory. Meskipun kumpulan artikel itu merefleksikan perbedaan kepentingan-
kepentingan filsafat diantara pengarang, tetapi menghadirkan perkembangan yang
koperatif terhadap perspektif filsafat yang berbeda. Pada tahun 1904, para penulis
yang terlibat pada artikel tersebut, Studi in Logical Theory, dikenal sebagai
“Chicago School”, atau “Chicago Pramatists”, dan Dewey terpilih sebagai
pemimpin mereka. Selama masih di Chicago, Dewey menjadi tertarik tentang teori
pendidikan. Jurusan filsafat Chicago merasa bertanggung jawab terhadap tawaran
Universitas dalam bidang pedagogy. Dewey menangkap tawaran ini untuk
memberikan pandangan-pandangan filsafat dan psikologinya. Pada tahun 1895,
Dewey membuka sebuah sekolah dasar, dibawah bantuan jurusan filsafat Chicago,
yaitu University Elementary School, kemudian dikenal dengan Laboratory School,
dan dikenal juga dengan Dewey’s School, yang dipamerkan selama hampir delapan
tahun. Pengalaman yang didapati dari sekolah laboratorium tersebut menolong
Dewey dalam mengembangkan filsafat pendidikan secara komprehensif dimana
Dewey sangat dikenal. Penyerangannya pertama sekali terhadap filsafat pendidikan
sehingga menimbulkan beberapa publikasi seminar tentang pendidikan dan dua
buah buku: The School and Society, dan The Child and the Curriculum. Selama
beberapa tahun di Chicago, usaha-usaha Dewey bergeser kepada aktivitas-aktivitas
sosial. Di Chicago, Dewey membangun hubungan dengan Jane Addams dan
perkampungan sosialnya, Hull House. Dewey menjabat sebagai dewan pengurus
pertama Hull House dan ditawarkan sebagai dosen dan memimpin ke lompok
diskusi tentang penerbitan isu-isu sosial. Pengalaman Dewey di Hull House,
kemudian berdampak dan mempengaruhi pemikiran-pemikirannya, yaitu Dewey
mengatakan bahwa para filosof harus sibuk dengan isu-isu yang dihadapi
masyarakat luas sedangkan filsafat pada dasarnya adalah mengkritisi masalah-
masalah sosial. Berbeda dengan Universitas yang mengelilingi sekolah
laboratorium, kemudian Dewey meninggalkan Chicago pada tahun 1904. Dewey
bergabung dengan jurusan psikologi dan filsafat Universitas Columbia di kota New
York pada bulan Februari tahun 1905. Di Columbia, Dewey melanjutkan projek
filsafat yang pernah dirintisnya di Chicago, yaitu mempublikasikan satu seri artikel
dan buku yang sekarang menjadi sesuatu pekerjaan yang sangat penting terhadap
perkembangan filsafat abad ke-20. Melalui hubungannya dengan Columbia
Teachers College, Dewey melanjutkan karyanya tentang teori pendidikan. Karya
tersebut dikeluarkan pada tahun 1911, How We Think, dan pada tahun 1916 karya
besarnya tentang filsafat pendidikan, Democracy and Education. Kemudian Dewey
dikenal dengan pemimpin gerakan progresif dalam pendidikan dan dipertimbangan
sebagai teori-teori pendidikan yang sangat penting. Selama di Universitas
Columbia, Dewey terlibat dalam berbagai organisasi, yaitu pada tahun 1905-1906
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
192
ia memegang jabatan sebagai pimpinan American Philosopical Assosiation.
Kemudian mendirikan American Assosiation of University Professor, dan Dewey
menjadi presiden pertamanya.
Pada tahun berikutnya, Dewey menjadi anggota Teacher Union, tetapi
kemudian ia tinggalkan, karena apa yang disinyalirnya sebagai kecendrungan kiri
yang berkembang dalam organisasi tersebut. Pada tahun 1920, Dewey
menyumbangkan gagasan yang baik terhadap terbentuknya The American Civil
Liberties. Ketika memasuki masa pensiunnya pada tahun 1930, katalog tentang
karya-karya Dewey adalah sangat mengherankan. Dewey mengajar di Jepang pada
tahun 1919, di China tahun 1920, dan pada tahun 1929, Dewey menyampaikan
“Gifford Lectures” di Universitas Edinburgh, dimana Dewey mempublikasikan
karya utamanya tentang epistemologi, The Quest for Certainty. Kuliah-kuliahnya
di Negara-negara bagian menghasilkan beberapa karya utama, termasuk Human
Nature and Conduct, tahun 1922, Experience and Nature, tahun 1925, dan The
Public and Its Problems, tahun 1926.
Aktivitas-aktivitas Dewey tidak terbatas dalam bidang akademik. Dengan
mendapat panggilan dari pemerintah Turki, pada tahun 1924, Dewey mengunjungi
Turki untuk mengevaluasi sistem pendidikan. Dia menghasilkan sebuh laporan
yang menyeluruh dan membuat sejumlah usulan untuk diadopsi. Dewey
mengunjungi Uni Soviet dalam tujuan yang sama pada tahun 1928. Di samping itu,
Dewey juga menolong untuk mendirikan American Assosiation of University
Professors, dan National Assosiation for the Advancement of Colored People,
Dewey adalah instrumen dalam mengorganisasi The American Civil Liberties
Union”, berpartisipasi dalam memperjuangkan hak pilih wanita, memimpin sebuah
pergerakan terhadap penjahat perang, dan mengepalai organisasi-organisasi aktivis
politik. Dewey pensiun dari mengajar tidak membuat mundurnya keterlibatannya
dalam politik dan filsafat. Sebagai profesor emiritus dari Universitas Columbia,
dalam masyarakat, Dewey menghasilkan beberapa karya filsafat yang sangat
penting. Pada tahun1931, dia meyampaikan kuliah pertama William James di
Universitas Harvard, sehingga menghasilkan sebuah karya tentang estetika, Art as
Experience, tahun 1934. Dalam Terry Foundation Lecturesnya di Universitas Yale
tahun 1934, Dewey mengembangkan filsafat agama yang kontroversial, yaitu A
Common Faith. Dua karya penting tentang filsafat politik terbit tahun 1930-an:
Liberalism and Social Action, dan tahun 1935, Freedom and Culture, tahun 1938.
Dan pada tahun 1938, dikeluarkan Dewey’s Magnum Opus yang mensintesiskan
teori logika dan metodologi ilmiah, Logic: The Theory of Inquiry. Dalam bidang
politik, Dewey tanpa kenal lelah bekerja untuk mempromosikan demokrasi. Dewey
meminta organisasi dari partai demokrasi yang ketiga untuk memperdulikan
masyarakat Amerika dari gangguan depresi. Dia menulis ratusan artikel,
menyampaikan pidato di radio, dan dia telah berbicara ke seluruh negara bagian
sebelum organisasi-organisasi politik berbicara. Mungkin keberanian pertujukan
politik Dewey yang sangat besar terjadi pada tahun 1937, pada usia 78 tahun,
berangkat ke kota Mexico untuk memimpin rapat Commission of Inquiry into the
Charges Made, dan melawan Leon Trotsky di pengadilan Moscow. Meskipun
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
193
Dewey tidak bersimpati dengan ideologi Trotsky, Dia percaya orang buangan
Soviet adalah telah diberi kuasa kepada sebuah pengadilan yang adil. Dewey
menyimpulkan untuk berpartisipasi dalam The Inquiry telah menemukan beberapa
kritik yang bengis dan kejam dari surat kabar komunis Amerika, mereka yang
mendukung regim Stalin. Sedangkan Stalin telah mencoba dan menghukum
Trotsky dan anaknya selama terjadinya pengadilan politik pada tahun 1936 dan
1937, dimana komisi Dewey, sudah lebih dikenal, telah menemukan Leon Trotsky
dan anaknya tidak bersalah dari pengkhianatan dan pembunuhan sebagaimana yang
diduga oleh Stalin. Pada tahun 1940, Dewey kembali membuat kehebohan
kontropersial politik dalam mengpertahankan prinsip-prinsip kebebasan
masyarakat. Pada bulan Februari tahun 1940, City College of New York
mengumumkan perjanjian terhadap para Britis yang kontroversial dan mashur,
Bertrand Russel di dewan yang berbeda di jurusan filsafat. Russell terkenal dengan
pandangan ateis dan non-tradisional yang berkenaan dengan perkawinan dan seks.
Dan pada tahun 1949, usianya yang sembilan puluh tahun, Dewey bersama dengan
Arthur Bentley mengeluarkan karya terakhirnya yang berjudul Knowing and the
Known. John Dewey menghembuskan nafas yang terakhir pada tanggal 1 Juni 1952
di New York City karena menderita radang paru-paru. Pada saat menjelang
meninggalnya, Dewey masih mengeluarkan artikel-artikel, essay-essay dan review-
review, dan menjalankan aktivitas politiknya. Dewey tidak hidup dengan
kontemplasi yang berpisah, tetapi hidup dengan aktivitas langsung dan konstan.
C. Corak Pemikiran Dewey
John Dewey adalah seorang filosof kelahiran Amerika yang mempunyai
pandangan-pandangan yang berbeda dengan filosof-filosof kenamaan Eropa.
Memang tradisi filsafat di Amerika tidak begitu kesohor jika dibandingkan dengan
tradisi filsafat di benua Eropa, tetapi Dewey telah melampau pemikiran-pemikiran
para pemikir Eropa pada masanya. Sebagai seorang filosof, Dewey mempunyai
pandangan dan corak pemikirannya sendiri. Corak pemikiran tersebut adalah
dikenal dengan nama pragmatisme dan dia adalah seorang pragmatis. Pragmatisme
sering juga disebut dengan instrumentalisme. Menurut Dewey tugas filsafat adalah
memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh
karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis
yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki
serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Menurut Dewey pemikiran kita
berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke
pengalaman-pengalaman. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan,
yang mengandung di dalamnya pemisahan antara subyek dan objek, pemisahan
antara pelaku dan sasarannya. Instrumentalisme adalah suatu usaha untuk
menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-
pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-
macam itu. Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali ditentukan tidak boleh
diganggu-gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang
tetap. Segala pernyataan kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah. Manusia
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
194
adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya diberi cap masyarakatnya.
Akan tetapi dilain pihak masyarakat di sekitar manusia itu, dengan segala
lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat
memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Ilmu mendidik tidak dapat
dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan
sikap hidup demokratis dan untuk mempertimbangkannya.
Penulis mengutip mengenai gambaran umum sosok John Dewey sebagai
penggerak pendidikan progressif adalah sebagai berikut:
“John Dewey is probably most famous for his role in what is called
progressive education. Progressive education is essentially a view of
education that emphasizes the need to learn by doing. Dewey believed that
human being learn through a ‘hands on’approach. This places Dewey
educaional point of view, the means that students must interact with their
environment in order to adapt and learn. Dewey felt that the same idea
was true for taechers and thats teachers and students must learn together.
His view of the classroom was deeply rooted in democratic ideals, which
promoted equal voice among all participants in the learning experience.”5
John Dewey paling terkenal dengan perannya dalam apa yang disebut
pendidikan progressif. Pendidikan progressif pada dasarnya adalah pandangan
pendidikan yang menekankan kebutuhan untuk belajar dengan melakukan. Dewey
percaya bahwa manusia belajar melalui tangan pendekatan. Ini menempatkan
Dewey dalam filsafat pendidikan pragmatisme. Pragmatis percaya bahwa realitas
harus dialami. Dari sudut pendidikan Dewey, ini berarti bahwa siswa harus
berinteraksi dengan lingkungan mereka untuk beradaptasi dan belajar. Dewey
merasa bahwa ide yang sama juga berlaku untuk guru dan siswa harus belajar
bersama-sama. Pandangannya tentang kelas itu berakar dalam cia-cita demokrasi,
yang dilakukan dengan cara yang sama diantara semua peserta dalam pengalaman
belajar. Artinya bahwa pendidikan progressif adalah sebuah konsep pendidikan
yang menekankan bahwa pengalaman adalah sebuah proses belajar yang berharga
learning by doing artinya belajar dengan melakukan. Filosofi pendidikan yang
John Dewey pakai adalah pragmatis artinya sebuah hal yang nyata adalah hal yang
dialami sebagai sebuah pengalaman. Dalam konteks pembelajaran, guru dan murid
sama-sama seorang pembelajar yang sedang belajar bersama dalam suasana kelas
yang demokratis yakni keduanya secara bersama berpartisipasi aktif dalam
pengalaman pembelajaran.
Peserta didik atau anak-anak, menurut Dewey, tidak hadir di sekolah
seperti sebuah papan tulis kosong uang padanya guru tinggal menuliskan mata
pelajaran mengenai peradaban. Pada saat anak memasuki ruang sekolah, ia
sebenarnya sudah sangat aktif, dan persoalan pendidikan adalah persoalan tentang
bagaimana guru dapat mengendalikan aktivitas anak-anak itu, bagaimana guru
5 Adam Jordan, John Dewey on Education: Impact & Theory, diakses pada laman
http://study.com/academy/lesson/John-Dewey-on-educaion-impact-theory.html.Pada
oktober 2017, pukul 11.48 WIB
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
195
dapat mengarahkan aktivitas mereka.6 Konsep dari John Dewey yang demikianlah
yang kemudian melahirkan sebuah konsep pendidikan progressif dalam
pengembangan pendidikan di dunia. Penulis yakini bahwa konsep yang demikian
itu telah dilaksanakan di Madrasah unggulan yakni MAN IC Serpong Tangerang
Selatan.
D. Sejarah dan Perkembangan Progresif John Dewey
Progresif bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran filsafat
yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang
didirikan pada tahun 1918. selama dua puluh tahunan merupakan suatu gerakan
yang kuat di Amerika Serikat. Banyak guru yang ragu terhadap gerakan ini, karena
guru telah mempelajari dan memahami filsafat Dewey, sebagai reaksi terhadap
filsafat lainnya. Kaum progresif sendiri mengkritik filsafat Dewey. Perubahan
masyarakat yang dilontarkan oleh Dewey adalah perubahan secara evolusi,
sedangkan kaum progresif mengharapkan perubahan yang sangat cepat, agar lebih
cepat mencapai tujuan. Gerakan progresif terkenal luas karena reaksinya terhadap
formalime dan sekolah tradisional yang membosankan, yang menekankan disiplin
keras, belajar pasif, dan banyak hal-hal kecil yang tidak bermanfaat dalam
pendidikan. Lebih jauh gerakan ini dikenal karena dengan imbauannya kepada
guru-guru: “Kami mengharapkan perubahan, serta kemajuan yang lebih cepat
setelah perang dunia pertama.” Banyak guru yang mendukungnya, sebab gerakan
pendidikan progresif merupakan semacam kendaraan mutakhir untuk digelarkan.7
Dengan melandanya Adjusment pada tahun tiga puluhan, progresif
melancarkan gerakannya dengan ide-ide perubahan social. Perubahan yang lebih
diutamakan adalah perkembangan individual, yang mencangkup berupa cita-cita,
seperti Cooperation, Sharing, dan Adjusment, yaitu kerjasama dalam semua aspek
kehidupan, turut ambil bagian dalam semua kegiatan, dan memiliki daya
fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Pada
tahun 1944 gerakan ini dibubarkan dan memilih ganti nama menjadi American
Educational Fellowship. Gerakan progressif mengalami kemunduran setelah Rusia
berhasil meluncurkan satelit pertamanya, yaitu Sputnik. Selanjutnya cara kerja dari
perkumpulan ini lebih menunjukkan karya-karya individual, seperti George
Axtelle, William O Stanley, Ernest Bayley, Lawrence, B. Thomas, dan Frederick C
Neff.
Adapun perkembangan progresif adalah sebagai berikut; pada abad ke-19
Perkembangan progresif sebagai aliran filsafat pendidikan, baru muncul dengan
jelas. Akan tetapi garis perkembangannya dapat ditelusuri hingga tokoh-tokoh
filosof Yunani. Secara ringkas perkembangan dapat dibagi dalam beberapa fase;
6 Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta: Kanisius, 2004),
h. 104. 7 Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat ... h. 142.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
196
1. Fase awal perkembangan progresif
Awal perkembangan progresif dapat diketahui dari tokoh-tokoh filosof Yunani
kuno, seperti;
a. Heraklitus (544-484 SM). Pada salah satu pemikirannya, yaitu bahwa sifat
yang terutama dari realita ialah perubahan. Dengan berpijak pada konsep
segala sesuatu itu berubah, dapat diartikan bahwa dengan perubahan itu akan
tercipta kemajuan atau progresif, pada masa ini, akar progresif dalam filsafat
Heraklitus dapat ditelusuri tidak ada sesuatu yang tetap dalam dunia ini,
semuanya berubah-ubah kecuali asas perubahan itu sendiri.
b. Protagoras (480-410 SM). kebenaran dan norma atau nilai tidak bersifat
mutlak, melainkan relatif, yakni bergantung pada waktu dan tempat adalah
ajaran dari Protagoras. Dia adalah seorang shopis yang mengajarkan bahwa
dengan demikian nilai akan terus mengalami perubahan, perkembangan dan
kemajuan sesuai dengan situasi dan kondisi.
c. Socrates (469-399 SM). Berusaha menyatukan epistemologi dengan
aksiologi. Socrates mengajarkan bahwa “pengetahuan adalah kunci
kebijakan, yang berarti bahwa kekuatan intelektual dan pengetahuan yang
baik, dijadikan pedoman bagi manusia untuk melakukan yang baik”. Dengan
kemampuan itu manusia akan terus melakukan perubahan untuk menuju
kemajuan.
d. Aristoteles (383-322 SM). Menyarankan jalan tengah, dalam kehidupan.
Dengan menghindari ekstrimitas dalam kehidupan, manusia dapat
menggagas perubahan dan kemajuan secara lebih jernih dan tertata dengan
baik, sehingga sikap moderasi merupakan salah satu langkah menuju
kemajuan8
2. Perkembangan progresif pada abad ke-16
Dalam asas modern, para filosof abad ke-16 juga memberikan kontribusi
pemikiran terhadap dasar-dasar perkembangan progresif. Di antara filosof tersebut,
meliputi;
a. Francis Bacon (1561-1626). Memberikan sumbangan pemikiran dalam
proses terjadinya aliran progresif, yaitu dengan upayanya untuk mei dan
merevisi metode eksperimentil (metode ilmiah dalam ilmu pengetahuan
alam).
b. John Locke (1632-1704). Pemikiran progresif dapat dilacak dalam
ajaranya mengenai kebebasan politik.
c. Jean Jaques Rousseau (1721-1778). Dengan keyakinannya bahwa
manusia lahir sebagai makhluk yang baik; artinya kebaikan berada dalam
manusia melulu karena kodrat yang baik ada pada manusia. Oleh karena
itu pastilah manusia menghendaki kemajuan.
8 Zuhairni dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 22-
23.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
197
d. Immanuel Kant (1724-1804). Berpandangan bahwa memuliakan,
mendukung kepribadian dan memberi jalan kepada manusia untuk
berkedudukan yang tinggi. Hal ini senada dengan konsep progresif yang
selalu menginginkan perubahan dan berkemajuan.
e. Hegel, mengajarkan bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis,
selamanya berada dalam keadaan gerak, dalam proses perubahan dan
penyesuaian yang tak ada hentinya.9
3. Perkembangan progresif pada abad ke-19 dan 20
Progresif adalah suatu ajaran filsafat yang memiliki karakter yang dapat
digolongkan sebagai negative and diagnostic dan positive and remidal10. Negative
and diagnostic berarti bersikap anti terhadap otoritarianisme dan obsolutisme
dalam segala bentuk. Penolakan tesebut berlaku baik untuk tradisi kuno maupun
modern seperti, agama, moral, sosial, politik dan ilmu pengetahuan. Sebaliknya
dengan positive and remedial, berarti suatu pernyataan dan kepercayaan atas
kemampuan manusia sebagai subjek yang memiliki potensi-potensi alamiah,
terutama kekuatan-kekuatan untuk menghadapi dan mengatasi semua problem
hidupnya. Dalam perkembangannya istilah progresif sering disebut sebagai,
Pragmatisme, Instrumentalisme, Experimentalisme dan Environmentalisme.
Masing-masing istilah itu merupakan perwujudan ide yang mendasarinya. Yakni;
a. Penamaan progresif, karena aliran ini mengikrarkan dan selalu berjuang
untuk mengembangkan progresivitas dalam semua cakrawala, terlebih
kepada diri manusia sebagai subjek.
b. Pragmatis, aliran ini mengutamakan survive terhadap semua rintangan dan
tantangan hidup manusia yang menuntut serba cepat dan praktis, karena
melihat segala sesuatu dari kegunaanya. Pragmatisme dianggap filsafat yang
asli dan tipis bangsa Amerika. Terutama bergerak dalam filsafat logika dan
epistemologi.
c. Instrumentalisme karena aliran ini menganggap bahwa potensi inteligensi
kekuatan yang diandalakn di aliran ini, segala sesuatu menganggap sebagai
alat (instrumen) untuk menghadapi semua rintangan tantangan dan masalah
dalam kehidupannya. Inteligensi bukanlah tujuan, melainkan alat untuk
hidup, untuk kesejahteraan dan mengembangkan kepribadian manusia.
d. Experimentalisme berarti bahwa aliran ini mempraktekkan asas eksperimen
(percobaan ilmiah) adalah alat yang berfungsi untuk menguji kebenaran
suatu teori. Eksperimen-eksperimen tersebut memberi pembuktian apakah
suatu ide, teori ataupun pandangan suatu kebenaran atau tidak.
e. Environmentalisme, karena aliran ini menganggap bahwa lingkungan hidup
dan rintangan-rintangan di dalamnya mendorong manusia untuk survive,
agar bisa berkembang demi hidupnya. Lingkungan adalah medan tempat
9 Zuhairni dkk, Filsafat Pendidikan Islam,... h. 23-24. 10 Mohammmad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), h. 228.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
198
berlangsungnya proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya11.
Mengingat lingkungan sebagai bentuk proses perubahan yang konstan. Alat-
alat tersebut berupa ketrampilan problem solving, berguna untuk
mendefinisikan, menganalisis dan memecahkan masalah. Proses belajar
terfokus pada tingkah laku yang kooperatif dan disiplin, keduanya
diperlukan bagi fungsionalisasi peran individu dalam sebuah masyarakat
yang demokratis.
4. Perkembangan progresif di Amerika dan Uni Soviet
Meskipun tokoh-tokoh progresif yang terkenal ada di Amerika, namun
sejak Perang Dunia 1. Di Amerika sudah ada sejenis perang dingin dinamakan
modren dan madzhab tradisional. Madzhab tradisional dipandang hanya sebagai
dasar-dasar esensial pengetahuan, untuk menjadi titik tolak bagi anak didik dalam
kehidupannya dikemudian hari. Madzhab progresif mempertahankan bahwa
sekolah itu harus mencerminkan keadaan masyarakat sekelilingnya dan anak-anak
harus dipersiapkan untuk menjadi warga yang baik bagi masyarakat. Jadi tugas
pendidikan adalah menyesuaikan anak didik untuk hidup. Sehingga progresif
mengutamakan perhatiannya ke masa depan, masa lalu sekedar dijadikan sebagai
pelajaran untuk menghadapi masa depan.12
Pada tahun 1896, John Dewey mendirikan sebuah sekolah percobaan di
Universitas Chicago, dan sejak saat itu dapat dikatakan Amerika Serikat terus
mengadakan percobaan di segala lapangan pendidikan. Akan tetapi yang menjadi
bulan-bulanan percobaan itu adalah sekolah rendah. Gagasan-gagasan Ia, sangat
mempengaruhi praktek pengajaran di sekolah rendah. Salah satu karya yang sangat
mempengaruhi pendidikan rendah yaitu School and society (1899). Pada awal abad
ke-20 di antara pendidik Amerika Serikat banyak melontarkan kritik keras, dengan
mengatakan bahwa anak-anak sekolah rendah, sudah terlalu lama diperlakukan
hanya sebagai tikus percobaan saja dan tidak sebagai manusia. Terlalu banyak ahli
yang sok ilmiah dan memperlakukan sekolah itu sebagai laboratorium dan bukan
tempat manusia yang hidup dan berjiwa. Hal-hal yang menyimpang dari
kesungguhan pengabdian pada pendidikan tentu saja tidak selayaknya dibebankan
pada Dewey. Gagasan yang dimulai oleh Ia ialah suatu reaksi melawan kufur yang
waktu itu merajalela. Maka berdirilah sekolah-sekolah yang dinamakan child-
centered (berpusat pada anak didik, bukan pada guru atau mata pelajaran). Akan
tetapi praktek inipun, mendapat serangan pula, karena dianggap sangat merugikan
kepentingan masyarakat. Padahal pendidikan di Amerika Serikat waktu itu yang
menjadi primadona adalah pendidikan yang menganggap kepentingan masyarakat
sebagai unsur terpenting dalam pendidikan. Kemudian dinamakan pendidikan
community-centered, dimana diusahakan agar anak didik mempunyai pengertian
yang sebaik-baiknya untuk mengenal alam sekelilingnya. Sesungguhnya
11 Mohammmad Noor Syam, Filsafat Pendidikan … h. 229 12Imam Barnadib, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna Dan Perspektif
Beberapa Teori Pendidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), h. 18-19.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
199
pembedaan kedua pusat orientasi, antara child centered dan community centered
bukanlah teori dan praktek pendidikan progresif.13 Aliran ini menyadari bahwa
tiada pendidikan yang mungkin melaksanakan salah satu pilihan, sebab keduanya
adalah vital.
Hal ini dilakukan agar anak didik terpupuk rasa cinta dan setia pada cita-
cita demokrasi yang dijunjung tinggi dan dipraktekkan Amerika. Dan menjadi ciri
khas pendidikan di Amerika yaitu bahwa titik berat pengajaran terletak pada
belajar dalam kumpulan (kelompok) dan kerjasama. Dalam kegiatan ini biasanya
yang dipelajari adalah suatu topik. Masyarakat Amerika terus melontarkan
kritikan-kritikan atas pendidikan negerinya, puncaknya terjadi sesudah perang
dunia kedua. Pergolakan dalam dunia pendidikan dapat dikelompokkan dalam dua
golongan. Pertama, dengan metode progresif, pendidikan Amerika bukan lagi jadi
pembawa nila-nilai kebudayaan dari bangsa itu. Kedua, mengkonstantir bahwa
kepandaian anak didik dalam mata pelajaran dasar (baca tulis hitung) sudah jauh
berkurang sebagai akibat dari cara-cara mengajar progresif itu. Dalam situasi
seperti ini, para pemimpin perusahaan, pabrik, dan jawatan-jawatan di Amerika
sudah lama mengeluh bahwa tamatan sekolah menengah yang menjadi pegawai
sangat rendah mutu pegetahuannya. Orang tua juga sering ragu akan kemampuan
anak-anaknya, karena kemajuan tidak dinyatakan dengan angka atau haruf,
melainkan dengan komentar-komentar yang sering mirip dengan lelucon. Para guru
sekolah menengah mengeluh peserta didik-peserta didik sampai di tangan mereka
tanpa persiapan yang cukup. Karena kemampuan membaca mereka, itu sama
dengan kemampuan mengerti yang ada pada anak kelas 4 atau 5 sekolah dasar.
Atas dasar itu, tugas para guru sekolah menengah yang terutama adalah mengobati
kekurangan itu (remedial teaching). Hal itu dilakukan agar tujuan dari sekolah
menengah dapat tercapai. Adapun tujuan tersebut, meliputi:
1) Untuk memasuki pekerjaan yang sesuai dengan tenaganya, serta
memberikan kesempatan pada kepribadian dan kecakapan hidupnya
tumbuh, supaya kelak dimasyarakat dapat bermanfaat mempunyai
tanggung jawab sebagai warga negara Amerika.
2) Untuk menumbuhkan cara berfikir yang logis, serta suka melakukan kajian
dan penelitian.
13Child Centered, gunanya sebagai dasar kurikulum dan prinsip pendidikan watak
dan proses perkembangan anak. Jadi, pusat orientasi ialah psikologi anak. Kurikulum
diarahkan supaya efektif dalam pengembangan kepribadian anak sebagai totalitas.
Kurikulum harus mengandung unsur-unsur yang kaya bagi perkembangan prakarsa,
perasaan, pikiran-pikiran spontan dan kreatif, ekspresi, sikap sosial dan kritis. Konsekuensi
dari asas ini adalah guru harus benar-benar mengenal individualitas anak didik. Sedangkan
Community Centered, merupakan suatu deskripsi dari hasil eksperimen tahun 1930-an yang
memusatkan perhatian dan memakai masyarakat sebagai satu totalitas medan orientasi
pendidikan. Masyarakat yang meliputi baik lingkungan alamiah maupun sosial berfungsi
sebagai laboratorium belajar. Lihat Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar
Filsafat Pendidikan Pancasila, h. 256.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
200
3) Menghargai budi pekerti yang luhur, untuk dapat menegakkan kehidupan
masyarakat yang demokratis.14
Amerika dan Uni Soviet merupakan negara-negara yang sedikit banyak
berusaha, menggunakan sekolah dan perguruan tinggi mereka menjadi sebuah alat,
untuk mengubah masyarakat mereka. Orang-orang Amerika ditekankan pada usaha
menjadikan suatu bangsa dari sekian banyak imigran yang berbeda asal-usulnya,
dan membawa mereka pada semangat puritan dan demokratis, yang menjadi dasar
konstitusi dan deklarasi kemerdekaan, sebagaimana ditafsirkan paling sedikit oleh
generasi-generasi berikutnya. Namun kedua bangsa itu telah menggunakan sistem
pendidikan sebagai alat untuk kemajuan ekonomi, dan keduanya memiliki
patriotisme mendalam yang diungkapkan dalam pelajaran-pelajaran mereka di
sekolah.15 Akibatnya meskipun menunjukkan perbedaan, tetapi terdapat persamaan
antara tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan baik di Amerika maupun Uni
soviet. Meskipun menuai banyak kritikan, namun progresif telah memberikan
sumbangan yang besar dalam dunia pendidikan pada abad 20. Karena telah
menempatkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak di
beri kebebasan baik secara fisik maupun cara berfikir, untuk mengembangkan
bakat dan kemampuan terpendam dalam dirinya tanpa adanya hambatan dan
rintangan yang dibuat orang lain. Oleh karena itu, progresif tidak menyetujui
pendidikan otoriter.16
Oleh karena itu anak didik diposisikan sebagai pembelajar yang mampu
untuk berfikir dan menjelajah kebutuhan-kebutuhan pribadi dan minatnya, maka
peran guru adalah membimbing bagi anak didik dalam aktivitas dan proyek
penyelesaian problemnya. Guru yang progresif harus membantu anak didik
membedakan problem yang berarti, melokalisir data yang relevan, mengintepretasi
dan menilai akurasi data, dan memformulasikan kesimpulan. Untuk itu dibutuhkan
guru yang sabar, kreatif, fleksibel, interdisipliner dan cerdas. Seleksi natural,
progresif menempatkan manusia dalam kedudukan yang sentral dalam perubahan
dan perkembangan. Alasan utama yang menumbuhkan pandangan ini, bahwa
manusia kemudian peran sekolah progresif adalah sebagai mikrokosmos dari
masyarakat yang luas. Ini berarti anak didik dapat belajar problem dan isu yang
dihadapi masyarakat. Sehingga sekolah menjadi laboratorium yang hidup, sebuah
model kerja dari demokrasi. Dalam perkembangannya sampai dewasa ini, progresif
14Mahmud Yunus, Perbandingan Pendidikan Di Negara Islam dan Intisari
Pendidikan Barat, (Jakarta: Al-Hidayah, 1969), h. 135. 15 John Vaizey, Pendidikan Didunia Modern, terj. L.P. Murtini, (Jakarta: Gunung
Agung, 1974), h. 75. 16Menurut Progresif, pendidikan otoriter dapat mematikan pemikiran anak didik
untuk hidup sebagai individu yang gembira dalam mengadapi pelajaran, dan mematikan
daya kreasi anak didik baik secara fisik maupun psikis. Lihat, Hamdani Ali, Filsafat
Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1978), 146, lihat George R, Knight, Issue and
Alternatives In Educational Philishophy, (Michigan : Andrews University Press, 1982), h.
82-86.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
201
mempunyai dua corak, yakni seleksi natural (natural selection) dan
eksperimentalisme (experimentalism).17 Corak seleksi natural mempunyai potensi
atau kemampuan yang dapat dikembangkan melebihi yang dimilki mahluk lain. Ini
terbukti dengan adanya akal budi dengan kreasinya dalam membentuk ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban yang digunakan sebagai tumpuan
kehidupan sepanjang masa. Eksperimentalisme, pendukung progresif memandang
bahwa apa yang menjadi pegangan dalam wawasan seleksi natural itu perlu
ditingkatkan dengan berpegangan pada doktrin, bahwa pendidikan itu adalah
integral (bagian) dari hidup. Dalam hubungan itu, dikaitkan pula dengan
eksperimentalisme yang pada waktu itu menjadi teori pendidikan John Dewey.
Keterangan lebih dalam dari darwinisme sosial, sedangkan corak
eksperimentalisme bersumber pada teori pendidikan dari John Dewey.
E. Tokoh-tokoh Aliran Progresif
Filsafat pendidikan progresif dikembangkan oleh para ahli pendidikan
seperti John Dewey, William Kilpatrik, George Count, dan Harold Rugg diawal
abad 20. Tokoh-tokoh progresif antara lain:
a. William James (11 Januari 1842-26 Agustus 1910)
William James seorang Psychologist dan seorang filosof Amerika yang
terkenal. Sebagai penulis yang brilian, dosen serta penceramah dibidang filsafat,
juga dikenal sebagai pendiri pragmatisme. Dia menegaskan bahwa fungsi otak dan
pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu
pengetahuan alam. Buku karangannya adalah Principle of Psichology yang terbit
tahun 1890 yang membahas dan mengembangkan ide-ide tersebut, dengan cepat
menjadi buku klasik dalam bidang itu , hal inilah yang mengantar William James
terkenal sebagai ahli filsafat Pragmatisme dan Empirisme Radikal.
b. John Dewey (20 Oktober 1859-1 juni 1952)
John Dewey adalah seorang professor di Universitas Chicago dan
Columbia (Amerika). Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progresif” yang
lebih menekankan pada anak didik dan minatnya dari pada mata pelajarannya
sendiri. Maka muncullah “Child Centered Curriculum” dan “Child Centered
School”. Adapun ide filsafatnya yang utama, berkisar dalam hubungan dengan
problema pendidikan yang konkrit, baik teori maupun praktek. Diantara karya-
karya Dewey dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and
Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922),
Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and
Education (1916). John Dewey adalah seorang professor di Universitas
Chicago dan Columbia (Amerika).
b. Hans Vaihinger (1852-1933)
17Imam Barnadib, Dasar-Dasar Kependidikan, Maemahami Makna Dan
Perspektif Beberapa Teori Pendidikan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1996), h. 19-21.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
202
Hans Vaihinger menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis.
Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan, satu-satunya ukuran
bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani pragma) untuk
mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya
buatan semata-mata jika pengertian itu berguna untuk menguasai dunia,
bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain
kecuali kekeliruan yang berguna saja.
c. George Santaya dan Ferdinant Schiller
Kedua tokoh ini amat sukar untuk memberikan sifat bagi hasil
pemikiran mereka, karena banyak pengaruh yang bertentangan dengan apa
yang dialaminya.
Adapun Karya-karya John Dewey adalah sebagai berikut: Selama
bergabung di Universitas Colombia ia aktif di bidang filsafat. Di sini
terciptalah buku-bukunya yang termasyhur. Dalam bidang filsafat, buku
John Dewey yang paling penting adalah Experience and Nature, he Quest
for Certainty, logic, Essay in Experimental Logic dan masih banyak yang
lainnya. Dalam dunia pendidikan, School and Society, Democracy and
Education keduanya merupakan buku John Dewey yang dikatakan
terpopuler.
Dewey mengenalkan filsafat sosialnya dengan karyanya yang
terbaik Character and Events, dan Freedom and Culture. Dia juga
membahas tentang filsafat politik melalui karyanya The Public and its
Problems. Dewey juga berkontribusi dalam bidang seni dan diungkapkan
dengan karyanya Art as Experience. Dalam bidang agama ada karyanya
yang berjudul A common faith is most vital, namun jarang ditemui karya
John Dewey yang membahas agama.18
F. Pandangan Hidup (Falsafah) dan Pemikiran John Dewey
Sebelum memahami pendirian Dewey mengenai pendidikan dan
pengajaran, sebaiknya dibentangkan terlebih dahulu tentang dasar pokok dari
pandangan hidupnya. Karena menurut pendapat Dewey bahwa filsafat serta
pendidikan itu tidak dapa dipisahkan dan filsafat merupakan dasar dari teori
pendidikan. Pandangan hidup John Dewey meliputi beberapa teori sebagai berikut:
1. Dasar pokok dari filsafatnya adalah teori evolusi dari Darwin. Dalam tahun
lahir Dewey (1859) diterbitkan buku Ch. R. Darwin (1809-1882) on the Origin
of Species by Means of Natural Selection tentang asal mula jenis disebabkan
seleksi alam. Dalam pokoknya teori evolusi itu mengajarkan bahwa hidup di
dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan selalu
berkembang maju serta meningkat.
Pandangan Darwin tentang manusia sebagai makhluk yang berubah
dan berkembang di tengah-tengah suatu lingkungan yang melindungi dan
18Fredrick Mayer, A history of Modern Philosophy, (California: University of
Radlands, 2000), h. 537
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
203
sekaligus mengancam kehidupannya adalah sesuatu yang menentukan bagi
Dewey. Makhluk hidup dan lingkungan, perkembangan dan perjuangan,
kekhawatiran dan ketenangan merupakan unsur-unsur campuran dalam
pemikirannya inilah lain konsepnya yang paling sentral yaitu memahami
pengalaman dan hubungannya dengan alam tak lain dari memahami makna.
Menjelaskan teori John Dewey tentang pengalaman berarti mulai memasuki
konsepnya tentang manusia. Dewey menekankan bahwa manusia pada
dasarnya adalah organisme yang berkembang dalam waktu, dan ciptaan yang
kehidupannya dapat dilukiskan paling jelas dalam hubungan masyarakat. Maka
tiap orang sebagai unsur masyarakat dan suatu mata rantai satu masa ke masa
yang lain wajib ikut bekerja untuk kemajuan masyarakatnya. Begitulah
kemajuan masyarakat itu hanya dapat dicapai dengan kerja dan kerjasama
dalam filsafat John Dewey.
2. John Dewey pula penganut teori pragmatisme atau dapat disebut dengan
progresif. Teori ini secara garis besarnya mengatakan bahwa ukuran untuk
segala perbuatan memiliki menfaat dalam setiap prakteknya dan hasil yang
dapat memajukan hidup. Pandangan-pandangan penganut pragmatisme
dianggap sebagai “The Liberal Road to Culture”. Liberal dimaksudkan sebagai
fleksibel, berani, toleran dan bersikap terbuka. Penganut pragmatisme tidak
hanya memegang sikap tersebut melainkan juga bersifat penjelajah, peniliti
secara continue demi pengembangan pengalaman. Progresif menganggap
pendidikan sebagai cultural transition. Progresif percaya bahwa pendidikan
dapat menolong manusia dalam menghadapi periode transisi antara zaman
tradisional yang segera berakhir, untuk siap memasuki zaman modern yang
segera kita masuki.
mungkin tidak benar di masa mendatang Aliran ini berpendapat bahwa
pengetahuan yang benar pada masa kini. Pendidikan harus terpusat pada anak
bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.19 Progresif menurut
Djumransyah, selalu berhubungan dengan pengertian The liberal road to culture
yakni liberal bersifat fleksibel, toleran dan bersifat terbuka, serta ingin mengetahui
dan menyelidiki demi pengembangan pengalaman.20 Progresif bertujuan memberi
keahlian dan alat yang diperlukan kepada individu untuk berinteraksi dengan
lingkungan yang senantiasa berubah secara konstan. Progresif berpendapat tidak
ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresif bersifat dinamis dan
temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis.
Menurut progresif, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman
baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar
berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks.
Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang
19Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
2006), h. 54. 20H.M. Djumransyah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayu Media,
2004) Cet. I, h. 175.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
204
setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pengaruh aliran filsafat
progresif dalam konteks pembelajaran tematik. pada pandangan bahwa proses
pembelajaran perlu menekankan pada pembentukan kreativitas, pemberian
serangkaian kegiatan, suasana yang alamiah, dan memperhatikan pengalaman
peserta didik. Dalam konsepsi progresif, setiap pembelajaran selalu menghadapkan
peserta didik pada problematika yang membutuhkan penyelesaian (problem
solving). upaya untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dalam
pembelajaran dilakukan melalui permasalahan yang muncul dalam pembelajaran
dilakukan melalui proses pemilihan dan penyusunan ulang, baik pengetahuan
maupun pengalaman belajar yang dimiliki peserta didik. Dengan demikian, dari
waktu ke waktu peserta didik akan mengalami perkembangan dalam memahami
dan menyelesaikan berbagai persoalan, bukan hanya menyangkut materi
pembelajaran, tetapi juga menyangkut problem individualnya sebagai pribadi,
anggota keluarga dan bagian dari masyarakat.
Dewey berkata, filsafat klasik menggambarkan bahwa dalam alam terdapat
tata terib feodalisme keluarga, kekeluargaan. Kata hukum “alam” menunjukkan
asal sosial dari kategori-kategori filsafat tersebut. Tiap masyarakat membentuk diri
dengan gambarannya sendiri. Oleh karena itu, ilmu pendidikan John Dewey lebih
condong untuk membentuk manusia yang dapat mengabdi pada masyarakat.
“pertumbuhan adalah satu-satunya tujuan dari moral.21
Ciri utama dari progresif yakni mempercayai manusia sebagai subyek yang
memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya yang
multikompleks dengan kemampuan dan kekuatan sendiri. Dan dengan kemampuan
itu manusia dapat memecahkan semua problemnya secara intelegen, dengan
intelegensi aktif. Dalam makna ini, maka liberalisme di atas berarti menghormati
martabat manusia, menghormati harga diri manusia sebagai subjek di dalam
hidupnya. Dalam arti demokrasi, pandangan-pandangan progresif merupakan cara
berpikir liberal yang memberi kemungkinan dan prasyarat bagi perkembangan tiap
pribadi manusia sebagaimana potensi yang ada padanya.22
3. Dalam hal kejiwaan ia menganut behaviorisme (teori hal tingkah laku).
Beberapa pengertian pokok mengenai behaviorisma diantaranya:
a. Kehidupan jiwa digerakkan dari luar, tidak dari dalam
b. Tiap perbuatan atau tingkah laku manusia adalah reaksi atas perangsang
(stimulus) dari luar. Stimulus-respons merupakan perangsang langsung
yang menimbulkan reaksi.
c. Perbuatan manusia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.
Lingkungan hidup ini terus menerus merupakan perangsang, dan
perangsang dapat dilihat melalui kebiasaan. Begitulah perbuatan manusia
merupakan deretan kebiasaan. Manusia adalah makhluk repleks atau
makhluk kebiasaan.
21Rosjidi, Mencari Agama pada Abad XX wasiat filsafat, (Jakara: PT. Bulan
Bintang, 1986), h. 121. 22 Muhammad Noor Syam,... . h. 227.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
205
Alam sekitar atau lingkungan hidup kita selalu mengandung bahaya dan
menimbulkan berbagai kesulitan yang menghambat kemajuan, jika kita tidak dapat
mengatasinya bahaya itu akan selalu ada dan berganti-ganti sifatnya sesuai dengan
masyarakat yang selalu berubah pula. Zaman dahulu sering banjir sehingga
mendatangkan binatang buas, lalu sekarang lalu lintas kurang berperan total, udara
dan air kotor, kepadatan penduduk dan sebagainya yang dapat membahayakan
kehidupan manusia. Kita wajib bertindak guna mengatasi kesulitan dari luar
dengan kerja badan atau rohani, terutama berpikir. Kita harus berpikir dan bekerja,
karena berpikir tidak lain adalah reaksi atau perangsang dari luar, yaitu kesulitan.
Dengan ini jelaslah bahwa dasar ilmu kejiwaan dari John Dewey itu behaviorisme.
Ternyata bahwa bekerja dan berbuat itu termasuk proses dalam evolusi.
Dan barang siapa yang dapat mengatasi kesulitan atau berbuat yang tidak
bermanfaat guna menyesuaikan diri dengan alamnya, jadi kalah dalam perjuangan
untuk hidup (The Strunggle for Life) dan akan tenggelam atau lenyap dari
masyarakat. Ia terseleksi oleh alam dan disingkirkan. Tinggalah yang kuat, artinya
yang dapat bertahan menyesuaikan diri dengan alamnya atau lingkungan hidup
maupun ekologinya (The Survival of The Fittes).
Adapun pemikiran pendidikan John Dewey sebagai berikut: menurut
Dewey tidak diutamakan pendidikan kecerdasan, tetapi kecerdasan sosial dan
kesusilaan. Kecerdasan penting tetapi bukanlah hal yang utama, tetapi pendidikan
kemasyarakatan dan kesusilaan menurut Dewey amat erat kaitannya. Dan untuk
mencapai pendidikan kemasyarakatan dan pendidikan kesusilaan, John Dewey
menginginkan pendidikan untuk anak berdasarkan atas 2 segi yaitu psikologi dan
sosiologi.
1. Dasar Psikologi. Cara memberi pengajaran wajib disesuaikan dengan tingkatan
perkembangan, cara berpikir dan cara bekerja anak. Penentuan bahan
pengajaran wajib disesuaikan dengan perhatian dan keperluan anak, sebagai
akibat dari instingnya. Maka segala sesuatu wajib disesuaikan dengan insting
anak.23Dewey mengenal empat macam insting, yaitu:
a. Insting sosial. Insting sosial yang dimaksud oleh Dewey ialah keinginan
anak mengadakan hubungan dengan orang di sekitarnya. Insting sosial
sebagai proses pertumbuhan dan proses dimana anak didik dapat
mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Kita
amati anak bermain bersama temannya akan mudah bermain jika tidak ada
teman anak akan merasa kesulitan dalam bermain. Alat permainan saja
belum cukup untuk anak, ia masih memerlukan temannya untuk bermain
bersama. Ada alat penghubung sosial yang dipergunakan dalam pergaulan,
yaitu bahasa. Bahasa tidak hanya menjadi alat penghubung dalam
pergaulan anak, tetapi juga generasi lampau.
Anak adalah organisme yang mengalami satu proses pengalaman, sebab ia
merupakan bagian integral dari lingkungannya dengan peristiwa-peristiwa,
23Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan
Progresif John Dewey (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), cet I, h. 71.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
206
antar hubungan, perasaan pikiran dan benda-benda. Anak dalam
lingkungannya selalu mengalami perubahan proses pendidikan untuk
latihan dan penyempurnaan intelegensi. Sekolah merupakan lembaga
pembinaan anak yang paling efektif, jika sekolah tersebut didasarkan pada
prinsip-prinsip pendidikan yang tepat. 24
b. Insting menyelidiki. Bukti adanya insting menyelidiki ialah bahwa anak itu
suka merusak segala sesuatu yang ia pegang. Alat permainan yang dibeli
mahal oleh orang tua untuknya sebentar saja ia rusak, karena ingin
menyelidiki seluk beluk permainan itu. Ia ingin mengetahui apa sebabnya
mobil dapat berjalan, apa isi dari perahunya, apakah bonekanya berdarah
seperti dirinya apabila ditusuk pisau dan sebagainya.
c. Insting kesenian. Insting kesenian adalah kelanjutan dari insting
membangun. Anak ingin menghias hasil perbuatannya, agar menjadi lebih
baik dipandang mata. Rumah-rumahan yang baru saja selesai tidak
ditinggalkan begitu saja; rumah itu dihias dengan berbagai alat, bendera,
daun, tanaman, gambaran dan sebagainya. Kesukaan anak untuk menari,
menyanyi, menggambar dengan warna menambah bukti bahwa anak ada
insting kesenian itu.
2. Dasar Sosiologi. Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran
adalah kepentingan kemajuan masyarakat. Tiap anggota masyarakat
berkewajiban mengembangkannya dan anak wajib dibimbing ke arah itu.
Bahan pengajaran perlu diambil dari problem masyarakat. Dewey pula
menemukan tentang gagasan pemikirannya, yaitu pendidikan seluruh rakyat,
pendidikan suatu bangsa, dan melalui keduanya akan menghantarkan
pendidikan ke suatu zaman. Hal ini merupakan usaha untuk mengarahkan
kembali seluruh kebudayaan pada suatu taraf yang paling mendasar yakni
transformasi sosial. Transformasi sosial yaitu perubahan kondisi sosial,
ekonomi, dan politik secara mendasar. Hal ini akan berhasil jika seluruh
penduduk dilibatkan.
Pendidikan yang diusung oleh John Dewey itu terkenal dengan pendidikan
progresif yaitu pendidikan yang dijalankan secara demokratis. Pada tataran
praktisnya, dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, peserta didik harus
berperan aktif dalam proses belajar ataupun dalam menentukan materi pelajaran.
Dalam istilah yang dikembangkan konsep pendidikan progresif John Dewey
tersebut disebut pendidikan progressif.25
“Dewey continually argues that education and learning are social and
interactive processes, and thus the school itself is a social reformn can should take
place. In addition, he believed thats students thrive in an environment where they
are allowed to experience and interact with the curriculum, and all students should
have the opportunity to take part in their own learning. (My Pedagogic Creed,
24 Muhammad Noor Syam, Pendidikan Partisipatif ... h. 249-250. 25Zulkarnain el Lomboky, Konsep Pendidikan sebuah Tinjauan Kritis (majalah
Gontor Media Parekat Umat, edisi 03 tahun IX Juli 2011, h. 28.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
207
Dewey, 1897). Since education is a social process, and there are many kinds of
socieies, a criterion for educational criticism and consruction implies a particular
social ideal”.26
Dewey berpendapat bahwa pendidikan dan pembelajaran adalah proses
sosial dan interaktif, dan dengan demikian sekolah itu sendiri adalah lembaga
sosial dimana reformasi sosial dapat dan harus dilakukan. Selain itu, ia percaya
bahwa berkembang dalam lingkungan dimana mereka diizinkan untuk mengalami
dan berinteraksi dengan kurikulum, dan semua siswa harus memiliki kesempatan
untuk diambil bagian dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena pendidikan
merupakan proses sosial, dan ada banyak jenis masyarakat, kriteria untuk kritik
pendidikan dan konstruksi menyiratkan ideal sosial tertentu.
Dalam bukunya berjudul My Pedagogy Creed dan Democracy and
Education, Dewey menjelaskan bahwa pendidikan dan pembelajaran tak ubahnya
adalah sebuah proses interaktif. Sekolah adalah institusi sosial yang mana
reformasi sosial dapat dan harus dilakukan. Ia berpendapat bahwa siswa harus
berkembang dalam lingkungannya dan berhak berinteraksi dengan kurikulum serta
setiap siswa berhak untuk mengambil bagian dalam proses pembelajaran mereka
sendiri. Karena pendidikan merupakan proses sosial, dan ada banyak jenis
masyarakat, kriteria untuk kritik pendidikan dan konstruksi menyiratkan ideal
masyarakat sosial tertentu. Sehingga benar adanya bahwa output sebuah lembaga
pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan ideal masyarakat tertentu. Dalam
alinea lain, John Dewey menjelaskan tentang tujuan pendidikan sebagai suatu
bentuk konservatif dan progressif, yaitu:
All education forms character, mental and moral, but formation consist in
the selection and coordination of native activities so that may utilize the subject
matter of the social environment. Moreover, the formation is not only a formation
of native of activities but it takes place through them. It is a process of
reconstruction, reorganization.27
Semua pendidikan membentuk karakter, mental dan moral, tetapi formasi
terdiri dalam pemilihan dan koordinasi kegiatan asli sehingga mungkin untuk
memanfaatkan siswa sebagai subjek lingkungan sosial. Selain itu informasi tidak
hanya pembentukan kegiatan asli, tetapi dapat terjadi dengan cara melibatkan
mereka. Itu adalah sebuah proses rekonstruksi dan reorganisasi.
Artinya bahwa semua jenis pendidikan adalah sebuah proses yang secara
berkelanjutan guna membentuk karakter, mental, dan moral manusia. Tetapi proses
tersebut adalah berupa aktivitas nyata dengan memanfaatkan sebuah maeri yang
berkenaan dengan lingkungan sosial, sehingga siswa dilibatkan dalam aktivitas
dalam lingkungan masyarakat sekolahnya. Sehingga serangkaian tersebut adalah
sebagai proses rekonstruksi pembentukan karakter, mental dan moral.
26 John Dewey, Democracy and Education, (New York: Macmillan, 1916), h. 95 27 John Dewey, Democracy ..., h. 69.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
208
Konsep pendidikan menurut aliran progresif sebagaimana sesuai dengan
aliran progresif John Dewey adalah sebagai berikut:28
Tabel 5.1 Komponen Pendidikan Progresif John Dewey
No
Komponen
Keterangan
1 Hakikat pendidikan Menghendaki pendidikan yang pada
hakikatnya progresif, tujuan
pendidikan hendaknya diartikan
sebagai rekonstruksi pengalaman
yang terus menerus, agar peserta
didik dapat berbuat sesuai intelegen
dan mampu mengadakan penyesuaian
dan penyesuaian kembali sesuai
dengan tuntunan dari lingkungan
2 Tujuan pendidikan - Siswa memiliki keterampilan, alat
dan pengalaman sosial (interaksi
dengan lingkungan)
- Siswa memiliki kemampuan
problem solving (personal
maupun sosial)
- Tujuan pendidikan keseluruhan
adalah melatih anak agar kelak
dapat bekerja. Bekerja secara
sistematis, mencintai kerja, dan
bekerja dengan otak dan hati.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
pendidikan harusnya merupakan
pengembangan sepenuhnya bakat
dan minat setiap anak.
4 Kurikulum - Kurikulum dibangun dari
pengalaman personal dan sosial
siswa
- Ilmu sosial sebagai inti untuk
problem solving
- Keterampilan komunikasi, proses
matematika, scintific inquiry
secara interdisiplner sebagai alat
problem solving
- Buku sebagai alat proses belajar,
28Basuki As’adi dan Miftahul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan,
(Jakarta:Stain PO Press, 2010), h. 43-46.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
209
bukan sebagai pengetahuan
pokok
- Kurikulum pendidikan progressif
adalah berisi studi tentang dirinya
sendiri, studi tentang lingkungan
sosial, studi tentang lingkungan
alam dan studi tentang seni.
5 Metode - Metode belajar aktif. Metode
pendidikan progresif lebih
berupaya penyediaan lingkungan
dan fasilitas yang memungkinkan
berlangsungnya proses belajar
secara bebas pada setiap anak
untuk mengembangkan bakat dan
minatnya.
- Metode memonitor kegiatan
belajar. Mengikuti proses
kegiatan-kegiatan anak belajar
sendiri, sambil memberikan
bantuan-bantuan tertentu apabila
diperlukan yang sifatnya
memperlancar proses
berlangsungnya kegiatan-
kegiatan belajar tersebut.
- Metode penelitian ilmiah.
Pendidikan progresif merintis
digunakannya metode penelitian
ilmiah yang tertuju pada
penyusunan konsep, sedangkan
metode pemecahan masalah lebih
tertuju pada pemecahana
masalah-masalah kritis.
- Pemerintahan pelajar. Pendidikan
progresif memperkenalkan
pemerintahan pelajaran dalam
kehidupan sekolah (student
goverment) dalam rangka
demokratisasi dalam kehidupan
sekolah, sehingga pelajar
diberikan kesempatan untuk turut
serta dalam penyelenggaraan
kehidupan di sekolah
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
210
6 Pengajar - pembimbing dalam proyek dan
aktivitas problem solving
- guru dalam melakukan tugasnya
dalam praktek pendidikan
berpusat pada anak. Adapun
peran guru sebagai (a) fasilitator,
atau orang yang menyediakan
dirinya untuk memberikan jalan
bagi kelancaran proses belajar
sendiri siswa; (b) motivator, atau
orang yang mampu
membangkitkan minat siswa
untuk terus belajar sendiri (c)
konselor, atau orang dapat
membantu siswa menemukan dan
mengatasi sendiri masalah-
masalah yang dihadapi setiap
siswa dalam kegiatannya belajar
sendiri. (d) guru mempunyai
pemahaman yang baik tentang
karakteristik siswa, dan teknik-
teknik memimpin perkembangan
siswa, serta kecintaan pada anak
agar dapat melaksanakan
peranan-peranan yang baik.29
Untuk itu guru harus sabar,
fleksibel, interdispliner, cerdas
dan kreatif.
Dalam bukunya yang berjudul Experience and Education, John Dewey
menyusun pendidikan progresif terhadap materi pokok pelajaran. Bahwa telah
menjadi ajaran pokok pendidikan gaya baru bahwa pembelajaran harus dimulai
dengan pengalaman yang telah dimiliki para pelajar, hal ini adalah titik awal bagi
proses belajar selanjutnya. Tugas pendidik adalah memilih hal-hal tertentu dalam
lingkup pengalaman yang ada, yang mengandung janji dan kemampuan untuk
menyajikan sejumlah masalah baru yang dengan cara merangsang cara observasi
dan pertimbangan baru akan memperluas bidang pengalaman selanjutnya. Langkah
berikutnya adalah perkembangan progresif dari apa yang telah dialami untuk
menjadi bentuk pengalaman yang lebih penuh, lebih kaya dan juga lebih tersusun,
29 Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PR Raja Grafindo
Persada, 2014), h. 147-148.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
211
yaitu suatu bentuk pengalaman yang secara berangsur mendekati bentuk penyajian
materi pelajaran bagi pribadi matang yang lebih terampil.30
Dalam konsep pendidikan lama, situasi pembelajaran didominasi oleh
guru. Siswa lebih bersifat pasif menerima sepenuhnya materi apa saja yang
disampaikan oleh guru. Kurikulum mutlak direncanakan, disusun dan dibuat oleh
pemerinah dan guru atau sekolah tanpa mengikutsertakan siswa. Sehubungan
dengan hal tersebut John Dewey mengemukakan ide dan gagasannya dalam konsep
pendidikan progresif, sebagaimana berikut:31
1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar secara perorangan
(individually learning).
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar melalui pengalaman
(learning by experience).
3. Guru memberi dorongan semangat dan motivasi bukan hanya pemerintah.
Artinya bahwa guru memberikan penjelasan tentang arah kegiatan
pembelajaran yang merupakan kebutuhan siswa.
4. Guru mengikutsertakan siswa dalam berbagai aktivitas kehidupan belajar
di sekolah yang mencakup pengajaran, administrasi dan bimbingan.
5. Guru memberi arahan dan bimbingan sepenuhnya agar siswa menyadari
bahwa hidup itu dinamis dan mengalami perubahan yang begitu cepat.
Keterlibatan peserta didik adalah syarat pertama dalam kegiatan belajar di
kelas. Untuk terjadinya keterlibatan peserta didik harus memahami dan memiliki
tujuan yang ingin dicapai. Keterlibatan peserta didik itu pun harus memiliki arti
penting sebagai bagian dari dirinya dan perlu diarahkan secara baik dari sumber
belajar. Dalam bukunya Sudjana mengemukakan bahwa syarat kelas yang efektif
adalah adanya keterlibatan, tanggung jawab dan umpan balik dari peserta didik.32
Untuk mengukur keberhasilan pola pendidikan progresif, sekolah dapat
mengetahui melalui pengamatan sejauh mana pendidikan atau sekolah itu sendiri
mampu mengeksplorasi kecerdasan, minat dan bakat peserta didik serta
mengembangkan secara baik dan maksimal. Dengan demikian pendidikan yang
progresif akan menciptakan kondisi pembelajaran yang selalu sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan peserta didik (pembelajar).
Selain di atas konsep pendidikan yang diuraikan oleh Dewey tersebut tidak
ditemui dasar pemikirannya yang menunjukkan dan mengarahkan pada kebenaran
Tuhan. Ditinjau dari konsep pendidikan Islam, maka konsep pendidikan Dewey
tidak menunjukkan proses pendalaman agama, proses mengenal pencipta manusia,
dan proses mengenal dirinya sendiri, melainkan seperti yang dikatakannya bahwa,
“it is the very nature of life to strive to continue in being. Since this continance can
be secured only by constant renewals, life is a self-renewing process. What
nutrition and reproduction are to physiological life, education it is social life”.
30 Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif... h. 80. 31 Wasti Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 3-5. 32 Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta:Bumi Aksara, 2011), h.
189.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
212
Seolah pendidikan kata Dewey adalah kebutuhan sosial karena solidaritas sosial ini
akan memunculkan ketentuan-ketentuan yang dianut oleh masyarakat tersebut.33
Dari sini tampak bahwa pernyataan Dewey tersebut, tidak menunjukkan dan
mengarahkan pada ketentuan Tuhan dan kebenaran-Nya. Tampak bahwa sosial
inilah orientasi pendidikannya. Masyarakatlah yang akan membuat ketentuan-
ketentuan atau peraturan dalam kehidupan. Dari sini sekaligus menunjukkan bahwa
pendidikan menurut Dewey hanya mengarah kepada kehidupan dunia saja. Seolah
tidak ada lagi kehidupan sesudah manusia mati. Dalam pandangan Islam, Konsep
pendidikan Islam mempunyai dua orientasi pendidikan, yaitu orientasi kehidupan
duniawiyah dan orientsi kehidupan ukhrawiyah. Karena proses pendidikan dalam
Islam mengorientasikan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, yaitu bahagia
dunia dan akhirat34
Adapun sekolah yang dikehendaki John Dewey adalah sekolah kerja.
Sekolah percobaan yang didirikan pada bulan oktober tahun 1895 dan digabungkan
pada Universitas Chicago itu berkembang dengan baik kira-kira 60 tahun sesudah
didirikan sekolah itu sudah kurang lebih 800 orang muridnya. Dewey memberikan
nama sekolah percobaannya dengan nama sekolah progressif. Maksud dengan
nama itu hendak dikemukakan bahwa metode dan alat-alat pelajaran yang
digunakan sekolah itu senantiasa merupakan yang terbaik. Nilai dari setiap alat
akhirnya akan ditentukan dari hasil yang diperoleh.
Metode yang digunakan pada sekolah progressif itu kadang-kadang
memang agak ganjil tampaknya. Murid-murid disuruh belajar memecahkan soal-
soal yang dihadapinya. Latihan-latihan wajib pula diberikan supaya anak dapat
menaklukan segala kesulitan yang mungkin dihadapinya kelak. Sekolah
mengajarkan anak untuk berpikir perihal segala sesuatu yang mengandung nilai
bagi hidup kita. Berpikir itu mungkin hanya sesudah anak menerima bekal
pengetahuan yang cukup dari seorang pendidik. Jadi, seharusnyalah seorang
pendidik memilih masalah-masalah yang tepat di sekolah percobaan. Masalah-
masalah itu terdapat diberbagai lapangan.
Sekolah percobaan selalu berikhtiar supaya anak menggunakan segala
sesuatu yang dianugerahkan alam kepadanya ketika dilahirkan. Ia harus maju,
karena itu anak harus bersungguh-sungguh. Anak-anak di sekolah percobaan
umumnya tak banyak menimbulkan kesulitan karena murid diajak mencapai
tujuannya dengan jalan menggerakan perhatiannya. Selain itu, ditujukan kepada
faedah belajar dan bekerja. Hal itu membangkitkan dan mengukuhkan perhatian
pula. Karena itu guru perlu memahami arah perhatian murid-muridnya dan pandai
33Taufik Abdullah, “Agama Sebagai Kekuatan Sosial”, dalam Taufik Abdullah dan
M. Rusli Karim. Ed, Metode Penelitian Agama, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 1991), h. 31. 34M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 112.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
213
menggunakan perhartian.35 Sebagaimana sekolah kerja John Dewey yang telah
dipaparkan di atas, maka Dewey mengkritik sekolah tradisional mengenai:
a. Bahan pengajaran.
Di sekolah tradisional terlalu banyak mata pelajaran yang diajarkan, karena
tujuan sekolah tradisional ialah agar para siswa kelak dapat menduduki jabatan
intelektual. Bahan materi pelajaran menjadi pusat (materi-sentris). Itu tidak sesuai
dengan kenyataan, karena hanya sebagian kecil saja yang terdapat pada bahan
materi pelajaran dibutuhkan untuk masa yang akan datang.
Adapun tugas sekolah adalah sebagai berikut: pertama, sekolah hendaknya
dapat menggantikan faktor-faktor pendidikan dalam keluarga (nilai kerjasama,
tolong-menolong, dan tanggung jawab hidup). Sekolah hendaknya dapat menjadi
fungsi sebagai sekolah kerja. Kedua, sekolah hendaknya mencerminkan
masyarakat, yang inti dari pelajaran sekolah berhubungan dengan masyarakat.
Peserta didik memasuki lapangan penghidupan yang sesungguhnya dengan pola
belajar sambil bekerja. Ketiga, sekolah hendaknya sanggup menyiapkan peserta
didik dengan cara melatih untuk memikul tanggung jawab, inisiatif, dan pandangan
sosial dalam menghadapi masa depan.
Dalam bukunya Democracy and Education, Dewey menawarkan suatu
konsep pendidikan yang adaptif dan progresif bagi perkembangan masa depan.
Pendidikan harus mampu membekali anak didik sesuai dengan kebutuhan yang ada
pada lingkungan sosialnya. Untuk merealisasikan konsepnya tersebut, ia
menawarkan dua metode pendekatan dalam pengajaran, yaitu: Pertama, Problem
Solving Method. Metode problem solving, anak didik dihadapkan pada berbagai
situasi dan masalah-masalah yang menantang, dan anak didik diberi kebebasan
sepenuhnya untuk memecahkan problem tersebut sesuai perkembangan
kemampuannya. Dalam proses belajar mengajar seperti ini, guru bukan satu-
satunya sumber belajar atau ilmu, bahkan kedudukan guru hanya membantu siswa
dalam memecahkan kesulitan yang dihadapinya. Kedua, Learning by Doing
Method. Metode ini sebagai upaya untuk menjembatani kesenjangan antara dunia
pendidikan dengan kebutuhan dalam masyarakat. Supaya anak didik bila telah
menyelesaikan pendidikannya bisa eksis dalam masyarakat, maka sejak di sekolah
perlu dibekali dengan berbagai keahlian praktis, sesuai dengan kebutuhan
masyarakat sosialnya.36
Maka perlulah mata pelajaran yang banyak jumlahnya dan menimbulkan
pendidikan intelektual itu dikurangi dan diganti dengan pengajaran dan latihan
bekerja. Dewey berkata: tidak hanya dengan berhitung orang dididik berpikir,
melainkan juga dengan bekerja. Dengan bekerja dengan berupa apapun, pikiran
dan intelegensi orang dapat dididik.
Pendidikan bukanlah hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak
didik saja, melainkan yang terpenting ialah kemampuan berpikir secara ilmiah.
35Siahaan, John Dewey, Penganut Filsafat Pragmatisme Penganjur Sekolah
Karya, (Jakarta: KU, 1985), h. 67-68 36 Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan, h. 261-262.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
214
Semua itu dilakukan agar orang akan dapat bertindak dengan intelegen sesuai
dengan tuntutan dari lingkungan.37Pengetahuan yang diberikan di sekolah
tradisional kepada murid merupakan pengetahuan yang telah disiapkan dan telah
terpecahkan kesulitannya terlebih dulu oleh orang dewasa, anak tinggal
mendengarkan, percaya dan menghafal saja. Itu tidak ada gunanya. Anak harus
mengalami proses berpikir sendiri dari permulaan hingga akhir, sesuai dengan
tingkat kemajuannya sendiri. Karena itu janganlah guru berpikir dan memecahkan
masalah untuknya. Hal ini menjadikan siswa lebih mempunyai potensi untuk
mengerti, memecahkan masalah, komunikasi dan daya cipta.
Bahan pengajaran di sekolah tradisional diberikan secara terpisah. Mata
pengajaran tidak memiliki hubungan dengan mata pengajaran yang lain. Bahan
pengajaran yang diberikan di sekolah tidak ada hubungannya dengan kebutuhan
anak dalam hidupnya di masyarakat. Karena itu pengalaman yang didapatkan anak
di sekolah tidak dapat digunakan di masyarakat. Begitulah pengajaran teori di
sekolah dengan praktek dalam kehidupan di masyarakat terpisah, sekolah
diisolasikan. Keadaan itu wajib diubah. Mata pengajaran yang satu wajib
dihubungkan dengan mata pengajaran lain. Bahan pengajaran di sekolah wajib
dapat dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat, sesuai dan memenuhi
kebutuhannya. Murid perlu diberikan kesempatan untuk belajar dari pengalaman
yang pernah dialaminya, kemudian diintegrasikan dengan teori yang anak didapati
di sekolah. Siswa wajib disadarkan bahwa pengajaran di sekolah serta pengalaman
yang ia alami akan diterapkan di dalam kehidupan yang selalu berubah.
b. Guru dan cara mengajar.
Di sekolah tradisional gurulah yang menentukan segala sesuatu. Gurulah
yang memaksakan bahan pengajaran kepada anak, memecahkan masalah untuk
anak, guru yang senantiasa aktif. Dengan begitu tidak mungkin anak mempunyai
perhatian yang spontan atau minat langsung. Bahkan siswa hanya memperhatikan
secara terpaksa karena guru menakuti siswa dalam berbagai hukuman.
Menurut Dewey, tidak perlu adanya minat paksaan, sebab kecuali minat
tidak langsung ditimbulkan pada anak. Misalkan anak menyukai ilmu alam, tetapi
untuk mendapatkan ilmu alam itu dengan baik perlulah ia berhitung. Berhitung
yang tidak disukai anak. Untuk itu, guru wajib membangkitkan semangat anak
untuk berhitung dengan menyadarkan anak bahwa berhitung itu penting untuk ilmu
alam. Maka bagaimanapun sulitnya berhitung, anak tersebut harus mempelajari
berhitung dengan sebaik-baiknya demi ilmu alam yang ia sukai. Adanya integrasi
antara ilmu pengetahuan alam dengan ilmu pengetahuan matematika. Guru di
sekolah hanya berfungsi sebagai penunjuk jalan saja, pengamat tingkah laku anak
untuk dapat mengetahui hal yang menarik minat anak.
c. Murid dan cara belajar.
John Dewey ingin mengubah bentuk pengajaran tradisional, dimana
terdapat cara belajar DDCH (duduk, dengar, catat, hafal), murid bersifat reseptif
37Jalaludin dan Abdullah, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1997), h. 77.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
215
dan pasif saja. Hanya menerima pengetahuan sebanyak-banyaknya dari guru,
tanpa melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar, guru
mendominasi kegiatan belajar. Murid tanpa diberikan kebebasan sama sekali
untuk bersikap dan berbuat. Segala sesuatu terletak di luar minat anak.
Keadaan seperti itu wajib diubah. Anak harus bekerja bersama-sama,
menyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan sendiri,
membangun sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya. Dengan jalan ini anak
belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Learning by doing adalah hal
yang dikehendaki John Dewey dalam sekolah.
Anak harus dididik kecerdasannya, agar padanya timbul hasrat untuk
menyelidiki secara teratur dan akhirnya dapat berpikir secara keilmuan, obyektif
dan logis. Hal yaing harus diperhatikan adalah jalan berpikir, bukan yang
dipikirkan. Jadi pendidikan formal bukan materil yang dialami sebagai pengalaman
negatif haruslah disadari dan dijadikan suatu pengalaman positif dengan mengubah
cara bertindak.
d. Penyelenggara sekolah.
Alat pelajaran dan peraturan di sekolah tradisional seakan-akan memaksa
anak untuk pasif, dari segi perbuatan di sekolah yang begitu kaku maupun bentuk
bangunan sekolah, rencana pelajaran, dan metode pelajaran. Hal tersebut bersifat
mengikat, tidak memberikan kebebasan kepada anak maupun guru. Karena itu
sekolah terpisah dari rumah, alam sekitar, lingkungan hidup, perindustrian,
perdagangan dan sebagainya. Tidak ada kesempatan untuk mengadakan
penyelidikan (survey) dan percobaan. Jumlah mata pelajaran terlalu banyak dan di
dalam kelas terlalu banyak murid.
Sekolah kerja harus menyelenggarakan dan mengatur sekolahnya agar
anak dapat bekerja dengan bebas dan spontan. Gedung dan alat pembelajaran wajib
disesuaikan dengan tujuan itu antara berbagai tingkatan sekolah, dari sekolah
rendah sampai sekolah tinggi harus ada satu organisasi yang sama. Pendapat John
Dewey tentang sekolah kerja ini sesuai dengan prinsip filsafat aliran progresif
mengenai komponen pendidikan, sebagai berikut:
Dalam bidang pendidikan, John Dewey telah banyak mencurahkan
perhatiannya, yang mendasari pemikirannya ini adalah analisisnya terhadap
manusia. Menurutnya, manusia dengan bekerja (beraktivitas) mendapat
pengalaman dan pengetahuan. Pengetahuan itu menimbulkan pengertian mengenai
benda, makhluk, gejala, dalil teori yang berguna untuk mencapai tujuan.
Menurutnya manusia dengan bekerja (beraktivitas) memberikan pengalaman, dan
pengalaman memimpin berfikirnya manusia, sehingga manusia dapat bertindak
bijaksana dan benar serta mempengaruhi pula pada budi pekerti. Begitulah
pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, juga sumber dari nilai.38 Oleh
karena itu dalam bukunya How We Think, Dewey berkata bahwa pangkal berfikir
38Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Yasbit,
FIP IKIP), h. 66-68.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
216
ialah suatu keadaan yang menimbulkan sikap ragu-ragu. Karena sikap ragu-ragu itu
maka timbullah hasrat untuk menghilangkannya atau mengatasinya.39
John Dewey mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk rasional
(makhluk berfikir), bahkan menurutnya segala sesuatu yang ada di muka bumi ini
adalah buah dari aktivitas otak manusia. Semua hal yang terjadi dalam masyarakat
jika ditelusuri secara mendalam, maka akan dijumpai bahwa manusialah sebagai
faktor dan aktor utama.40 Akal merupakan sarana bagi manusia yang dapat
mengadakan pembaharuan, rekontruksi dan reorganisasi.41 Karena itu manusia
mampu berkembang ke arah yang tidak dapat diramalkan. Dengan akal manusia
senantiasa dinamis dan progresif. Dewey menentang teori yang mengatakan bahwa
karakter manusia itu statis dan tidak dapat berkembang. Menurutnya pandangan
demikian merupakan teori atau doktrin yang bersifat mengekang dan pesimistik.
Dengan demikian, hakikat manusia menurut John Dewey adalah sebagai
mahkluk yang mempunyai kekuatan dan pola serta watak, fikir, rasa dan semangat
atau kemauan serta nafsu dan insting. Hal ini didasari oleh kebebasan manusia
yang bagi John Dewey termanifestasi dalam dirinya sendiri. Manusia adalah
pribadi-pribadi yang mampu melaksanakan nilai-nilai yang menjadi tujuan dalam
hidupnya.42 Menurutnya, pengembangan kodrat manusia tersebut harus dilakukan
dan menjadi keharusan dari pendidikan. Bagi Dewey, Education is growth,
development, life. Ini berarti bahwa proses pendidikan itu tidak mempunyai tujuan
di luar dirinya, tetapi terdapat dalam pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan juga
bersifat kontinu, merupakan reorganisasi, rekonstruksi, dan pengubahan
pengalaman hidup.43 Pendidikan itu adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan
untuk hidup. Kehidupan yang baik adalah kehidupan intelegen, yaitu kehidupan
yang mencakup interpretasi dan rekonstruksi pengalaman. Artinya pendidikan itu
adalah pertumbuhan berikutnya. Jadi, pendidikan itu merupakan organisasi
pengalaman hidup, pembentukan kembali pengalaman hidup, dan juga perubahan
pengalaman hidup itu sendiri. mengenai hidup, pada dasarnya adalah proses
perbaikan diri. Maka kelestarian hidup itu hanya dapat dijaga dengan perbaikan
yang bersifat konstan.
Hal ini sangat alami dalam kehidupan adalah bekerja keras untuk
menyambung hidup. Jika dilihat dari pemikiran dasar dan tujuan pendidikan John
Dewey, penulis menarik kesimpulan secara umum mengenai dasar atau sumber
yang dijadikan pijakan pendidikannya adalah: pertama, dasar pokok dari
39John Dewey, How We Think, (Boston: D.C. Heath and Co. 1933), h. 4. 40John Dewey, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan, (Jakarta: Saksama, 1955),
terj. E. M. Aritonang, h. 238-239. 41John Dewey, Democracy and Education, (New York: The MacMillan Company,
1950), h. 340. 42Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1989), h. 17. 43Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 40.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
217
filsafatnya teori evolusi dari Darwin; Kedua, teori pragmatisme. Ketiga, dalam
kejiwaan ia menganut teori behaviorisme (teori hal tingkah laku) serta
berlandaskan pada filsafat pragmatisme dan pengalaman yang merupakan dasar
bagi pengetahuan dan kebijakan. Adapun tujuan pendidikannya secara sosiologis
adalah untuk menjadikan peserta didik atau warga masyarakat yang demokratis
sesuai dengan kehendak kebudayaan bangsa atau negaranya, dan hal-hal yang
berguna atau langsung dirasakan oleh masyarakat serta mencapai kekebalan semua
generasi penerus masyarakat yang dididik. Sedangkan secara psikologis tujuan
khusus pendidikan adalah untuk menjadi peserta didik yang mempunyai
keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya untuk
menghadapi serta menyiapkan masa depannya. Pandangan progressif John Dewey
dan pragmatisme John Dewey tentang bahan pelajaran (kurikulum) bertumpu pada
pandangannya tentang anak didik. Mereka beranggapan bahwa anak didik adalah
mahluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan mahluk-mahluk lain, yaitu akal
(pikiran) dan kecerdasan. Akal (pikiran) dan kecerdasan adalah bekal untuk
menghadapi dan memecahkan problema-problema. Pikiran anak-anak itu aktif dan
kreatif, tidak secara pasif begitu saja menerima apa yang diberikan gurunya.44
John Dewey mengulas secara rinci tentang metode pengajaran, dimana
metode pengajaran tersebut diterapkan disesuaikan dengan perkembangan peserta
didik. Dapat ditarik benang merah bahwa metode yang diterapkan meliputi; (1)
metode pengajaran progresif, yakni Learning by Doing Method; (2) metode
pemecahan masalah (problem solving) dan; (3) Metode pengajaran disiplin.
Ketiganya menggunakan pendekatan psikologis dan sosiologis serta secara kusus
menggunakan dengan metode pengajaran disiplin dengan menyesuaikan terhadap
potensi, minat dan bakat, perkembangan, pengalaman, karakter dan daya tangkap
siswa atau peserta didik. Hakikat pendidikan menurut Ibn Khaldūn dan John
Dewey memiliki titik temu pada proses pemanusiaan, hanya saja pada konsep Ibn
Khaldūn dimaknai sebagai proses-proses yang bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat, mengembangkan potensi (fitrah) serta terwujudnya
kemampuan manusia untuk melaksanakan tugas-tugas keduniaan dengan baik demi
terciptanya peradaban umat manusia. Sedangkan John Dewey hakekat
pendidikannya adalah pembebasan manusia (perserta didik) dari tindakan
dominasi, otoriter menuju pada demokratis, dengan melalui proses humanisasi
yang merupakan pengukuhan manusia sebagai subyek, memiliki kekuatan,
kemampuan dan pola yang berpotensi sebagai dorongan untuk memilih dan
mengubah duniannya dan memecahkan persoalan yang terjadi.
G. Pemikiran Pendidikan Progresif John Dewey
1. Pandangan Progresif tentang Kurikulum
Pengertian kata kurikulum ada korelasi dengan bidang olahraga terbukti
dengan asal kata kurikulum berasal dari bahasa latin yang berarti kereta pacu atau
lapangan yang dipakai untuk perlombaan memacu kereta. ‘Currerre’ berarti lari.
44Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat ... h. 130.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
218
Jadi dengan kurikulum dimaksudkan suatu jarak yang harus ditempuh oleh kereta
yang dipacu oleh suatu perlombaan dari awal sampai akhir. Hal ini menyiratkan
bahwa dalam kurikulum terdapat suatu tujuan yang hendak ditempuh oleh para
peserta lomba dalam suatu kurun waktu yang telah ditetapkan. Pengertian
kurikulum dalam bidang olahraga tersebut kemudian diterapkan dalam bidang
pendidikan.45
Diakui bahwa hasil-hasil pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan.
Hadirnya kurikulum KBK berarti menuntut diimplementasikannya pembelajaran
inovatif Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan banyak upaya telah
dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dirasakan secara
nasional adalah perubahan kurikulum, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) di perguruan tinggi. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang lebih
bersifat student centered. Artinya, pembelajaran yang lebih memberikan peluang
kepada mahasiswa untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri dan
dimediasi oleh teman sebaya46.
Adapun sikap progresif yang meliahat segala sesuatu berdasarkan atas
fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam
pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat
eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Yang dimaksud
dengan pengalaman yang edukatif adalah pengalaman apa saja yang serasi dengan
tujuan menurut prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan, yang setiap
proses belajar yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik.47
Menurut Jalaluddin yang mengutip dari Iskandar Wiryokusumo dan Usman
Mulyadi, seolah yang baik itu adalah sekolah yang dapat memberi jaminan para
siswanya selama belajar, maksudnya yaitu sekolah harus mampu membantu dan
menolong siswanya untuk tumbuh dan berkembang serta memberi keleluasan
tempat untuk para siswanya dalam mengembangkan bakat dan minatnya melalui
bimbingan guru dan tanggung jawab kepala sekolah. Karena tidak ada acuan
standar secara global terhadap kurikulum maka seharusnya terbuka, kemungkinan
akan adanya peninjauan dan penyempurnaan. Denagan fleksibilitas ini dapat
membuka lebar-lebar bahwa ada kemungkinan bagi pendidikan untuk
memperhatikan anak didik dengan segala potensi anak didik dan memiliki sifat-
sifat dan kebutuhannya masing-masing sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
setempat. Oleh karena sifat kurikulum progresif yang tidak beku dan dapat direvisi
ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman.
45Widodo Agus Syahrir Syam, Pengembangan Kurikulum Program Studi Bahasa
dan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dipenogoro, Parole, Vol. 2 No. 1,
April 2011 46Eko Swistoro Warimun, penerapan model pembelajaran problem solving fisika
Pada pembelajaran topik optika pada mahasiswa Pendidikan fisika, Jurnal Exacta, Vol. X.
No. 2 Desember 2012 47Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Andi Offset, 1997), h. 36
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
219
Jenis ini, dilukiskan oleh Theodore Brameld sebagai kurikulum yang melepaskan
semua garis penyekat mata pelajaran dan menekankan pada unit-unit.
Dengan adanya belajar maka tercipta pengalaman-pengalaman itu
diperoleh sebagai akibat dari belajar. Peserta didik yang belajar di sekolah akan
mendapatkan pengalaman-pengalaman dari lingkungan sekolah. Maka,
pengalaman-pengalaman itu yang nantinya akan diaplikasikan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Progresif menolak dengan adanya mata pelajaran yang
diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam satu unit, diharapkan anak
didik dapat berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek
kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dengan berlandaskan sekolah sambil
berbuat inilah praktek kerja di Laboratorium, di Bengkel, di Kebun (lapangan)
merupakan kegiatan belajar yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning
by doing. Selain learning by doing, menurut pandangan progressif John Dewey
bahwa yang maju adalah tipe “Core Curriculum” yang bersifat eksperimental
karena sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan masyarakat.
Implikasi pandangan Dewey tentang pendidikan yang berlandaskan aliran
progresif menyatakan bahwa aktivitas peserta didik perbanyak terlebih dahulu
dalam berpartisipasi pada kegiatan fisik, baru kemudian diarahkan pada
peminatan48 Progresif memiliki pandangan bahwa kurikulum merupakan
pengalaman mendidik, bersifat eksperimental, dan adanya rencana serta susunan
langkah yang teratur. Pengalaman belajar berupa pengalaman apa saja yang serasi
dengan tujuan menurut prinsip-prinsip yang telah digariskan dalam pendidikan, di
mana setiap proses pembelajaran yang ada membantu pertumbuhan dan
perkembangan peserta didik. Dalam prakteknya, progresif merupakan aliran
pendidikan yang berpusat pada siswa. Secara lebih spesifik, proses pembelajaran
penekanan lebih besar diarahkan pada kreativitas, aktivitas, belajar naturalistik,
hasil belajar dunia nyata (empiris), dan pengalaman teman sebaya. Menurut
Dewey, dalam konteks sekolah progresif lebih menekankan pada peserta didik dan
minatnya dibanding pada mata pelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, muncul istilah
child centered curriculum dan child centered school. Progresif mempersiapkan
peserta didik masa kini dibanding masa depan yang belum jelas. Hal ini
diungkapkan juga oleh Dewey, bahwa menurut Dewey pendidikan adalah proses
dari kehidupan dan bukan persiapan hidup di masa yang akan datang.
Hadirnya kurikulum KBK berarti menuntut diimplementasikannya
pembelajaran inovatif. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang lebih
bersifat student centered. Artinya, pembelajaran yang lebih memberikan peluang
kepada mahasiswa untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri dan
dimediasi oleh teman sebaya. Pembelajaran inovatif mendasarkan diri pada
paradigma konstruktivistik. Pembelajaran yang inovatif bertolak belakang dengan
pembelajaran tradisional yang selama ini diterapkan. Pembelajaran inovatif
menekankan pada karakteristik pembelajaran yang mengubah paradigma mengajar
48Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi
Offset, 1997)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
220
menjadi belajar. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, banyak upaya telah
dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dirasakan secara
nasional adalah perubahan kurikulum, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) di perguruan tinggi49. Namun, diakui bahwa hasil-hasil pendidikan di
Indonesia masih jauh dari harapan.
Adapun nilai-nilai yang tercermin pada sikap dapat berbanding lurus
dengan keterampilan yang diperoleh peserta didik melalui pengetahuan di bangku
sekolah merupakan yang selalu ditanamkan dan diusahakan oleh kurikulum 2013.
Apabila dihubungkan dengan kurikulum yang diterapkan di Indonesia sekarang ini,
maka pandangan aliran progresif tersebut sangat relevan dan mempengaruhi,
bahkan menjadi salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum tersebut.
Kurikulum yang dimaksud ialah kurikulum 2013. Kurikulum ini mulai
diberlakukan di Indonesia pada akhir 2013 atau awal tahun 2014. Kurikulum 2013
dimaknai sebagai kurikulum yang dikembangkan dalam rangka meningkatkan dan
menyeimbangkan antara kemampuan soft skill dan hard skill yang berupa kognitif
(pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan).
Aliran progresif merupakan salah satu aliran dari filsafat pendidikan yang
bertumpu pada proses pandangan bahwa kurikulum 2013 secara teoritis lebih
bertumpu pada anak atau siswa sebagai subjek didik bukan sebagai objek didik.
Kurikulum 2013 menghendaki bahwa agar anak atau subjek didik tidak menjadi
generasi yang tidak paham dengan perkembangan zaman. Progressnya suatu
pendidikan yang diinginkan dalam Kurikulum 2013 adalah suatu progress yang
sifatnya kreatif dan inovatif.50 Aliran progresif dikatakan sebagai salah satu yang
mengasaskan pada pengembangan Kurikulum 2013, dikarenakan dalam
Kurikulum 2013 adanya pendekatan pembelajaran yang digunakan ialah
pendekatan saintifiks. Di mana pendekatan saintifiks ini lebih bertumpu pada
pemecahan sebuah masalah (problem solving). Maksud dari pendekatan saintifik
yaitu pembelajaran dilakukan dengan kegiatan mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, menalar, dan mengkomunikasikan. Jadi dapat dipahami
bahwa Kurikulum 2013 sangat relevan dengan pandangan aliran progresif.
Kurikulum 2013, hanya diterapkan pada sekolah yang terpilih menjadi sekolah
piloting. Sekolah yang terpilih salah satunya SMA Negeri 1 Singaraja. Sekolah ini
sudah menerapkan kurikulum 2013 dari tahun pelajaran 2013/2014. Kurikulum
2013 menekankan pada penggunaan model-model pembelajaran yang lebih
inovatif. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang bersifat berpusat pada
siwa (student center). Pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mendiri (self directed) dan dimediasi
oleh teman sebaya (peer mediated instruction), tetapi bagaimanapun guru tetap
49Eko Swistoro Warimun , Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving Fisika
Pada Pembelajaran Topik Optika Pada Mahasiswa Pendidikan Fisika, Jurnal Exacta, Vol.
X. No. 2 Desember 2012 50Fitri Al Faris, Kurikulum 2013 Dalam PerspektifFilsafat Pendidikan Progresif,
Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 2, Agustus 2015
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
221
memegang peranan penting dalam terjadinya kesuksesan belajar dan pembelajaran
karena guru yang merupakan pihak yang langsung berhubungan dengan siswa
dalam proses belajar mengajar. Hal tersebut sesuai dengan dengan tugas dan
tanggung jawab utama seorang guru yaitu salah satunya melaksanakan kegiatan
pembelajaran siswa51.
Fungsi pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses pewarisan nilai-
nilai Islami untuk menggembangkan potensi manusia, dan sekaligus proses
produksi nilai-nilai budaya Islam baru sebagai hasil interaksi potensi dengan
lingkungan dan konteks zamannya sesuai ruang lingkup filsafat pendidikan Islam
di atas mengandung indikasi filsafat pendidikan Islam sebagai sebuah disiplin
ilmu52 Perspektif Islam, pendidikan menempati ruang yang tinggi nan strategis,
dikarenakan hanya dengan pendidikan orang berilmu, dan dengan ilmu orang akan
mengenal dirinya, Tuhannya, dan alam semesta. Selain itu, hanya dengan
pendidikanlah seseorang dapat memahami posisi dirinya di samping posisi Tuhan,
sehingga akan muncul kesadaran tentang ibadah dan mematuhi Tuhannya. Dalam
urusan dunia, dengan pendidikan manusia akan mampu menghadapi berbagai
rintangan selama menjalani hidup dan kehidupannya. Khusus ilmu, dalam ajaran
Islam merupakan hal yang sangat penting, sehingga menuntut ilmu hukumnya
wajib. Dibandingkan dengan hal lain, ilmu memiliki keunggulan luar biasa, bahkan
ibadah pun tidak akan diterima tanpa didasari ilmu. Demikian pula apabila
dikaitkan dengan strata sosial. Tinggi rendahnya derajat seseorang di sisi Allah, di
samping iman dan takwa ditentukan oleh kualitas keilmuannya. Maka ilmu dapat
berpengaruh dengan kualitas seseorang, maka keberadaan pendidikan sebagai alat
untuk proses perolehan ilmu menjadi sangat penting. Karena itu, proses
penggalian ilmu harus berkesinambungan dilakukan, dimana pun dan kapanpun,
baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Essensi pendidikan dalam ajaran
Islam dipahami sebagai internalisasi nilai-nilai ajaran Islam terhadap peserta didik
dan memproses transformasi melalui pengolahan potensi sesuai fitrahnya agar
memperoleh keseimbangan hidup dalam semua aspeknya, terutama keseimbangan
antara dunia dan akhirat. Dalam hal pendidikan secara umum, kurikulum
merupakan pokok dari suatu pendidikan yang tidak hanya saja dimaknai sebagai
seperangkat rentetan mata pelajaran yang ditawarkan sebagai hatinya pendidikan
yang dijadikan sebagai sebuah program pendidikan di sekolah, tetapi kurikulum
pun memiliki makna yang cakupannya lebih luas. Dengan demikian itu, para pakar
memaknai kurikulum dengan titik berat yang berbeda. Selain itu, kurikulum
dijadikan acuan juga oleh pengelola lembaga pendidikan, karena sarana dan
prasarana serta pendukung lainnya harus disiapkan agar benar-benar sesuai dengan
tuntutan kurikulum.
51Putu Lidya Suky Parwathi, dkk Keterampilan Guru dalam Mengelola Kelas pada
Pembelajaran Prakarya dan Kewirausahaan di SMA Negeri 1 Singaraja, Jurnal Pendidikan
Teknologi dan Kejuruan Vol. 14, No. 2, Juli (2017), h. 188. 52Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam. (Ciputat: Wacana Ilmu dan Pemikiran,
1996)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
222
Berdasarkan uraian kurikulum di MAN Insan Cendikia pada bab
sebelumnya bahwa di MAN Insan Cendikia Serpong menggunakan kurikulum tiga
belas maka dengan pernyataan berikut Aliran progresif dikatakan sebagai salah
satu yang mengasaskan pada pengembangan Kurikulum 2013, dikarenakan dalam
Kurikulum 2013 adanya pendekatan pembelajaran yang digunakan ialah
pendekatan saintifiks. Di mana pendekatan saintifiks ini lebih bertumpu pada
pemecahan sebuah masalah (problem solving). Maksud dari pendekatan saintifik
yaitu pembelajaran dilakukan dengan kegiatan mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, menalar, dan mengkomunikasikan. Jadi dapat dipahami
bahwa Kurikulum 2013 sangat relevan dengan pandangan aliran progresif. Maka
dapat disimpulkan bahwa pendidikan di MAN Insan Cendikia mengarah kepada
pendidikan progresif.
2. Pandangan Progresif Tentang Peserta Didik
Indikasi dari keberhasilan pendidikan adalah keterlibatan penuh dari anak
didik sebagai warga belajar dalam proses pembelajaran. Keterlibatan yang
dimaksud adalah pengalaman seluruh potensi anak didik, mulai dari panca indera
contohnya telinga, mata. Selain itu konsepsi terhadap sesuatu yang dimiliki anak
didik adalah hal yang pundamental dalam proses pembelajaran. Progresif sangat
memperhatikan keterlibatan anak didik dalam proses pembelajaran. Adapun
konsepsi anak didik menurut progresif, sebagai berikut; 53
Anak merupakan suatu makhluk alami yang berhubungan dengan makhluk
alami lain dan seperti juga objek alamiah lain anak didik merupakan bahan analisa
ilmiah dan sekaligus sebagai suatu perkembangan sendiri. Anak dalam pandangan
progresif merupakan aliran yang mengalami satu proses pengalaman, karena anak
merupakan bagian pemersatu dari lingkungan dengan kejadian-kejadian, antar
hubungan, perasaan, pikiran dan benda-benda.54 Dalam salah satu prinsip yang
dikembangkan progresif the processs of education find its genesis and purpose in
the child. 55 Bahwa dalam proses pendidikan asal dari tujuan pendidikan adalah
pada anak didik. Pendidikan tradisional tidak menempatkan anak didik pada peran
sentral. Akan tetapi anak didik dicoba untuk menentukan bahan pelajaran, apakah
anak didik tertarik atau tidak. Sebaliknya Progresif memposisikan peserta didik
sebagai pusat dalam pembelajaran pada kurikulum dan metode sesuai dengan
kebutuhan, minat dan inisiatif anak didik.
Progresif memandang anak mempunyai hasrat atau naluri alamiah untuk
belajar dan menemukan sesuatu disekitarnya, hasrat alamiah tersebut dibawa sejak
lahir. Akan tetapi anak didik juga memiliki kebutuhan pasti yang harus dipenuhi
dalam kehidupannya. Sehingga dalam proses pembelajaran dibutuhkan bagaimana
53Anis Ma'sumah, Pendekatan CTL (Contextual Teaching and learning) dalam
Pembelajaran KBK, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 12, Nomor 2, Oktober 2003, h. 190. 54Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, h. 250. 55 George R. Knight, Issue and Alternatives In Educational Philishophy, h. 82.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
223
anak didik dalam memecahkan problemnya sesuai dengan hasrat nalurinya. Minat
anak adalah inti dari pokok permulaan terhadap pengalaman pembelajaran. Dalam
hal ini sudut pandang progresif mengenai anak didik, memulai dengan anak didik
adalah sebuah cara dalam pendidikan yang sangat mudah dan alami. Metode ini
menggunakan sumber motivasi dari minat alamiah anak sehingga membantu siswa
dan guru bekerjasama dan itu lebih baik daripada menghilangkan perlawanan satu
dengan yang lain dalam hubungan perlawanan. Cara ini terbuka untuk diterapkan
pada setiap kelas dan menciptakan hubungan antara guru dan anak didik secara
alamiah.
Pendidikan progresif ini pernah berjaya di Amerika. Dalam pendidikan,
progresif merupakan satu bahagian dari gerakan reformis umum bidang sosial-
politik yang mengetarai kehidupan orang Amerika. Progresif merupakan teori yang
mucul dalam reaksi terhadap pendidikan tradisional yang selalu menitik beratkan
kepada metode formal pengajaran. Di dalam teori ini menitik beratkan beberapa
prinsip, antara lain; 1) Proses pendidikan berawal dan berakhir pada peserta didik;
2) Peserta didik adalah sesuatu yang aktif, bukan pasif; 3) Peran guru hanya
sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah; 4) Sekolah harus menciptakan iklim
yang bersifat kooperatif dan demokratif; 5) Aktivitas pembelajaran lebih focus
pada pemecahan masalah bukan untuk mengajarkan materi kajian. Menurut
pandangan progressif John Dewey, proses pendidikan memiliki dua bidang
garapan, yaitu psikologis dan sosiologis. Dilihat dari segi psikologis, pendidik
harus dapat mengetahui potensi dan daya yang ada pada peserta didik untuk
dikembangkan. Dengan mengenal hal tersebut, pendidik dapat memilih cara yang
tepat dan landasan apa yang akan digunakan. Jika memperhatikan peran pandangan
progressif John Dewey di beberapa negara maju, psikologi yang banyak digunakan
adalah aliran behaviorisme dan pragmatisme. Hal ini sejalan dengan teori bahwa
aliran progresif disebut juga instrumentalisme, eksperimental, atau
environmentalisme yang erat kaitannya dengan alat, pengalaman, lingkungan, serta
kemajuan dan manfaat dari suatu aktivitas yang dilakukan, termasuk aktivitas
pendidikan.56 Dilihat dari segi sosiologis, guru harus faham arah potensi dan daya
itu harus diarahkan agar potensi yang dimiliki peserta didik dapat dirubah menjadi
sesuatu yang berguna bagi anak tersebut.
Dalam pendidikan, terutama jalur pendidikan formal, kurikulum
memegang peranan penting. Kurikulum merupakan fundamental dalam pendidikan
tidak saja dimaknai sebagai seperangkat mata pelajaran yang dirancang untuk
disajikan dalam sebuah program sekolah, melainkan memiliki arti yang lebih luas.
Oleh karena itu, para pakar memaknai kurikulum dengan perpektif yang berbeda.
Bahkan ada yang melihat dari arti sempit dan arti luas, ada juga yang melihat dari
segi fungsi atau kegunaannya, ada juga yang melihat dari segi ruang lingkupnya.
56H.A. Yunus, Telaah Aliran Pendidikan Progresif Dan Esensialisme Dalam
Perspektif Filsafat Pendidikan, Jurnal Cakrawala Pendas, Vol. 2, NO. 1 Januari 2016
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
224
Pendidikan hendaknya lebih melihat ke masa depan, bersifat kreatif dan
dinamis, serta kurikulumnya bersifat eksperimental dan fleksibel.57 Mengingat
bahwa kemampuan manusia harus berkembang secara maksimal, maka pendidikan
harus menempatkan peserta didik sebagai pusat kegiatan pedagogis. Pendidikan
yang hanya berpusat pada kepentingan pendidik hanya akan memasung
perkembangan seluruh potensi anak. Pendidikan dan kemajuan ilmu pengetahuan
harus memberikan kemajuan pada anak didik. Melalui pendidikan, unsur-unsur
kebudayaan dapat ditransformasikan dan dengan itu pembaharuan kehidupan dapat
dilakukan, seperti dikemukakan oleh Dewey dalam Renewal of Life by
Transmission58. Manusia tumbuh dan berkembang di tengah-tengah lingkungan
hidupnya, baik lingkungan fisik, hayati, sosial dan budaya, politik, maupun
lingkungan religius. Menurut Dewey, lingkungan hidup ini secara konstruktif dapat
dimanfaatkan untuk merangsang kemajuan manusia. Baginya lingkungan harus
dipelajari dan menjadi sumber belajar yang tidak ada habis-habisnya serta
berfungsi sebagai laboratorium, sehingga Dewey mendirikan sekolah laboratorium.
Namun demikian, bila lingkungan sekitar itu tidak dimanfaatkan bagi kepentingan
pedagogis perkembangan anak, maka lingkungan sekitar itu justru akan
mencelakakan dan menghambat perkembangan anak, seperti dikemukakan oleh
Dewey: In Brief, the environment consist of these conditions that promote or
hinder, stimulates or in habit, the characteristic of a living being Progresif Dewey
di bidang epistemologi terletak dalam ketidaksamaan antara ilmu pengetahuan dan
kebenaran. Pengetahuan itu merupakan penjelasan-penjelasan yang terhimpun
dalam pengalaman dan siap pakai untuk digunakan. Kegiatan mengetahui bukan
sekedar pasif tetapi suatu proses aktif dalam aspek kerja dan kehidupan. Di bidang
aksiologi, Dewey juga tidak membedakan antara nilai intrinsik dan instrumental.
Baginya nilai itu mempunyai kualitas sosial. Nilai hanya dapat dipahami sejauh
dihubungkan dengan orang lain, sebab manusia tidak dapat hidup sendirian dan
terpisah dari lingkungan sosialnya, tetapi justru ia berada di tengah-tengah mereka.
Jadi, ada hubungan individu dan sosial. Ajaran Ia tentang pendidikan yang bersifat
progresif dapat dikemukakan, sebagai berikut: 1. Anak harus dibebaskan untuk
dapat berkembang secara wajar. 2. Minat yang dirangsang dengan langsung
pengalaman adalah metode terbaik untuk stimulasi belajar anak. 3. pendidik harus
menjadi seorang pembimbing dalam membimbing proses belajar peserta didik.
Guru dapat berpartisipasi bermain bersama, memberi contoh, membangkitkan
kreativitas peserta didik. 4. Harus ada kerjasama yang baik antara sekolah, keluarga
dan masyarakat. Terciptanya lingkungan yang kondusif bagi pendidikan praktek,
maka bakat dan minat peserta didik dapat terpupuk. 5. Sekolah berkemajuan
hendaklah menjadi laboratorium untuk melakukan reformasi pedagogis dan
eksperimentasi. 6. Kurikulum harus bersifat fleksibel dan berpusat pada anak
57Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta, 1988), h. 36-37. 58John Dewey, Art as Experience, in The Philosophy of John Dewey, (Chicago:
Chicago Press, 1961), h. 1
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
225
didukung oleh pengalaman. Bagi pendidikan praktek mata pelajaran yang relevan
lebih diutamakan ketimbang mata pelajaran yang hanya bersifat informatif.
Mengikuti ajaran Dewey yang bersifat progresif, perlu pula dikembangkan
tentang hubungan sekolah dan masyarakat seperti dikemukakan oleh Ia di dalam
School and Social Progress. Demokrasi dalam pendidikan, menurut Dewey59
terletak dalam hal berikut ini: 1. Pendidikan bersifat demokratis dan sebab itu harus
berpusat atau berorientasi pada anak didik. Seorang pendidik hanya berfungsi
sebagai pembimbing dan anak diberi kebebasan untuk memilih sesuatu yang
terbaik sesuai dengan potensinya sehingga ia berkembang secara optimal. 2.
Lingkungan harus bersifat kondusif bagi perkembangan seluruh anak dan karena
itu anak tidak boleh dipisahkan dari lingkungan dan pengalamannya. Lingkungan
sangat berperan karena merupakan sumber dalam inspirasi belajar sehingga anak
aktif di dalam belajar. 3. Kurikulum bersifat fleksibel maka kurikulum harus lebih
banyak bersangkutan dengan proses belajar daripada sekedar untuk memperoleh
seperangkat informasi. Kurikulum ini disusun berdasarkan tujuan pendidikan yang
berorientasi pada anak. Dalam prosesnya, pendidikan berjalan secara demokratis
yang tercermin dari minimalisasi peran pendidikan (guru) terhadap proses belajar
anak. 4. Tujuan pendidikan harus mampu membentuk manusia dekokratis. Konsep-
konsep pendidikan yang bersifat demokratis di atas oleh Dewey dituangkan dalam
karyakaryanya, seperti: Democracy an Education (1964); Philosophy of Education
(1958); dan Experience and Nature (1925). Seluruh pemikiran Dewey tentang
demokrasi pendidikan itu tidak dijumpai di dalam teori-teori pendidikan tradisional
konservatif sehingga Dewey dipandang sebagai penganut progresif. Pemikiran
seperti ini tidak seluruhnya relevan bagi Pendidikan praktek secara umum.
Pendidikan progresif bila diterapkan di bidang seni, maka mata pelajaran yang
relevan bagi praktek musik lebih diutamakan.
Peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan itu merupakan pandnagan
aliran progresif. Hal ini terbukti dengan fakta bahwa manusia mempunyai
kelebihan jika dibanding makhluk lain. Sifat dinamis dan kreatif yang didukung
oleh kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Peserta
didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga
termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam
pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan perlu dioptimalkan.
Artinya, peserta didik diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin
mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung disekitarnya,
sehingga suasana belajar timbul di dalam maupun di luar sekolah.60 Itu merupakan
yang dimiliki oleh manusia.
Guru-guru progresif memulai dengan posisi di mana keberadaan siswa
melalui interaksi keseharian di kelas, mengarahkan siswa untuk melihat bahwa
mata pelajaran yang akan dipelajari dapat meningkatkan hidup. Peran guru dalam
59John Dewey, Art as Experience .... h. 6-7. 60Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2006), h. 55.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
226
suatu kelas yang berorientasi secara progresif adalah berfungsi sebagai seorang
pembimbing atau orang yang menjadi sumber, yang pada intinya memiliki
tanggung jawab untuk memfasilitasi pembelajaran siswa. Guru progresif berusaha
untuk memberi siswa pengalaman-pengalaman yang meniru kehidupan keseharian
sebanyak mungkin.61Proses belajar terpusat kepada anak, namun hal ini tidak
berarti bahwa anak akan diizinkan untuk mengikuti semua keinginannya, karena ia
belum cukup matang untuk menentukan yang memadai. Anak memang banyak
berbuat dalam menentukan proses belajar, namun ia bukan penentu akhir. Siswa
membutuhkan bimbingan dan arahan dari guru dalam melaksanakan aktivitasnya.
Pengalaman anak adalah rekonstruksi yang terus-menerus dari keinginan dan
kepentingan pribadi. Mereka aktif bergerak untuk mendapatkan isi mata pelajaran
yang logis. Guru mempengaruhi pertumbuhan siswa tidak denga menjejalkan
informasi ke dalam kepala anak, melainkan dengan pengawasan lingkungan
dimana pendidikan berlangsung. Para pendidik yang memiliki suatu orientasi
progresif memberi kepada para siswa sejumlah kebebasan dalam menentukan
pengalaman-pengalaman sekolah mereka.
Di Indonesia, menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pada Pasal 1 angka 4, dinyatakan bahwa “Peserta didik adalah anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu”.
Pandangan progressif John Dewey mengenai belajar bertumpu pada
pandangan peserta didik sebagai mahluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan
mahluk lain.62 secara institusional sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu
merawat dan manjamin kemerdekaan berpikir dan berkarya kepada para peserta
didik, sehingga peserta didik memilki kebebasan dan aktualisasi diri. Maka
demikian, pendidik tetap berkewajiban membimbing dan mengontrol peserta didik
agar tetap mengoreksi kekeliruan-kekeliruan ketika dihadapkan kepada peserta
didik, khususnya dalam metodologi berpikir. Maka demikian itu, prasyarat yang
harus dilakukan oleh peserta didik adalah sikap aktif dan kreatif, tidak hanya
menanti datangnya pendidik dalam mengajar dan memberikan ilmunya kepada
peserta didik. Peserta didik dilarang diperlakukan seperti bejana yang tidak berisi,
yang hendak dituang oleh penggunanya. Jika hal itu terjadi demikian, maka
prosedur pembelajaran hanya berupa transfer of knowledge dari seorang pendidik
kepada muridnya. Tentu saja cara demikian tidak akan membawa hasil apalagi
mencerdasakan sehingga dapat dikatakan bahwa upaya mencapai tujuan
pendidikan mengalami kegagalan. Adapun teori progresif memposisikan peserta
didik pada kedudukam inti dalam proses pembelajaran. Karena peserta didik
mempunyai tendensi alamiah untuk belajar dan menciptakan sesuatu tentang
dunianya di alam sekitarnya dan juga mempunyai keperluan-keperluan tertentu
yang harus terlaksana dalam kehidupannya. Tendensi dan keinginan tersebut akan
61Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, ... h. 143. 62Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi
Offset, 1997
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
227
menganugerahkan kepada peserta didik berupa minat yang jelas dalam
mempelajari berbagai masalah-masalah hidup. Peserta didik adalah makhluk yang
memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk lain karena peserta didik
memiliki potensi kecerdasan. Oleh karena itu, setiap peserta didik mempunyai
potensi atau kemampuan sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan dan
memecahkan permasalahan-permasalahan yang mungkin merintanginya.
Berkenaan dengan hal ini, tugas guru atau pendidik adalah meninggikan tingkat
kecerdasan potensial atau fitrah yang telah dimiliki sejak lahir menjadi kecerdasan
realitas dalam pendidikan untuk dapat merespon segala perubahan yang terjadi di
lingkungan di mana ia hidup dan beraktivitas.
Ada beberapa distingsi kepribadian dari setiap anak didik dalam
pendidikan, masalah distingsi anak didik harus mendapat atensi yang sangat serius
dari seorang pendidik, sebab hal ini berhubungan dengan pengelolahan
pembelajaran agar dapat kondusif. Perbedaan anak didik yang harus diperhatikan
dalam pengajaran meliputi tiga dimensi, yaitu; biologis, psikologis dan
kecerdasan.63 Perbedaan individual anak didik didasarkan pada pemikiran tokoh
progresif, yakni William James menekankan segi psikologis, Thomas C. Peirce
memusatkan pada aspek logis atau intelektual dan Dewey sendiri memandang
manusia dari segi biologis.64
a. Perbedaan Biologis
Aspek biologis tidak boleh diabaikan dalam pendidikan Dewey
mengatakan, bahwa: Manusia pada dasarnya adalah organisme yang berkembang
dalam waktu, dan ciptaan yang kehidupannya dapat dilukiskan paling jelas dalam
hubungan masyarakat dan relasi objektivnya dengan medium yang mengitarinya,
baik secara alamiah maupun kultural.65 Dalam hal ini, bahwa tidak ada seorang
yang dilahirkan di dunia ini memiliki raga yang sama. Anak kembar dari sel telur
yang sama ternyata mempunyai bentuk postur tubuh atau jasad yang berbeda.
Maka banyak orang yang mengatakan bahwa anak kembar itu serupa tapi tak sama.
Artinya, dalam hal-hal tertentu anak kembar mempunyai beberapa kesamaan dan
perbedaan. Adapun kesamaan dan perbedaannya, entah itu warna rambut, warna
kulit, mata, jenis kelamin, bentuk tubuh, dan sebagainya. Seluruhnya itu adalah
ciri-ciri peserta didik yang dibawa sejak lahir.
Terkait dengan kesehatan penglihatan oleh mata dan pendengaran oleh
telinga yang lansung berkaitan dengan penerimaan bahan pelajaran di kelas. Kedua
aspek ini sangat penting dalam pendidikan. Karena tanpa kesempurnaan biologis,
seseorang tidak dapat melihat sesuatu dengan obyektif bila matanya buta atau
terkena cacat. Penyakit yang biasa menyerang mata misalnya myopi (rabun jauh),
hypermetropy (rabun dekat), presbyopi (mata tua), xerophtalmin (rabun malam),
trachoma (penyakit mata yang disebabkan oleh virus), juling conjungtives
63Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 55. 64 John E. Smith, The Spirit Of American Philosophy… h. 138 65 John E. Smith, The Spirit Of American Philosophy… h. 139
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
228
(peradangan selaput mata, infeksi karena debu atau kotoran lain, sering terjadi pada
musim kemarau), buta warna, katarak. Kemudian yang berhubungan dengan
gangguan pendengaran, misalnya saluran telinga tersumbat oleh minyak telinga
(seruman), ketegangan pada gendang telinga, tulang-tulang pendengaran
terganggu, dan sebagainya. Serta penyakit yang bersifat sementara, misalnya
penyakit batuk, influenza, malaria, sakit mata, sakit kepala, bisul, hipertensi (darah
tinggi), anemia (darah rendah), dan sebagainya, yang kesemuanya berpengaruh
terhadap pengelolahan kelas dan pengajaran. Di dalam aspek biologis ini tidak
dapat dianggap sebagai aspek yang kurang penting jadi sangatlah fundamental. Hal
ini terkait dengan pengaturan tempat duduk, pengelompokkan anak didik di kelas,
pengaturan jadwal pelajaran, dan sebagainya. Pengelolaan pembelajaran yang
hanya memperhatikan aspek mental anak didik dengan memarginalkan aspek
biologis, dapat menyebabkan kondisi belajar di kelas menjadi kurang kondusif,
suasana belajar menjadi tegang, kaku, bising dan dapat tidak menguntungkan bagi
peserta didik. Untuk itu seorang pendidik, harus memperhatikan kondisi fisik
individu, sejauhmana perkembangan fisiknya pada suatu fase, sikap dan minatnya
terhadap pelajaran, karena hal itu dapat mempengaruhi kesuksesan belajar yang
mungkin dicapai. Disamping itu, umur kronologis sebagai satu hal yang
dipergunakan untuk menetapkan tingkat kematangan belajar dan karenanya
menunjukkan kemungkinan untuk dapat dididik. Itulah aspek biologis lainnya
adalah hal-hal yang menyangkut kesehatan anak didik.
b. Perbedaan Psikologis
Pemahaman terhadap perbedaan psikologis anak didik merupakan strategi
yang ampuh untuk mendukung keberhasilan kegiatan interaksi edukatif.66 Betapa
kompleksnya permasalahan psikologis anak didik ini menambah beban tugas guru
menjadi ekstra hati-hati. Perbedaan demi perbedaan dalam masalah psikologis anak
didik sebaiknya harus pahami guru, sehingga hal itu dapat dimanfaatkan untuk
melakukan pendekatan yang akurat terhadap anak didik. Disamping tiga perbedaan
individu tersebut dalam proses pendidikan.
Sebagai mahluk, akal dan kecerdasan yang merupakan potensi dan
kelebihan dibanding dengan mahluk-mahluk lain yang dimiliki oleh anak didik.
Seperti yang dikutip Knight, Dewey mengatakan dalam bukunya The School and
Society, “the child is already intensely active, and the question of education is the
question of taking hold of his activities, of giving them direction”.67 Anak selalu
siap aktif atau mempunyai semangat untuk aktif, dan permasalahan pendidikan
adalah persoalan bagaimana menangani keaktivan anak itu, dan bagaimana
memberikan arahan bagi mereka.
Sehubungan dengan ini usaha untuk meningkatkan kecerdasan adalah
tugas utama dalam lapangan pendidikan.68 Dengan sifatnya yang dinamis, aktif,
66 Saiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif… h. 61. 67 George R. Knight, Issue and Alternatives In Educational Philishophy… h. 83. 68 Imam Barnadib, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna Dan Perspektif
Beberapa Teori Pendidikan… h. 35.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
229
kreatif dan dengan kecerdasannya, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi
dan memecahkan masalah, kesatuan jasmani dan rohani saja, melainkan juga
manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam
pengalamannya anak didik hendaklah dipandang tidak hanya itu saja. Jasmani dan
rohani terutama kecerdasan perlu difungsikan dalam diri anak didik aktif dan
manfaat dalam lingkungan sepenuhnya. Anak didik perlu mendapatkan kesempatan
yang cukup untuk dengan bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam
kejadian-kejadian yang berlangsung disekitarnya. Hal ini terutama yang berkenaan
dengan kejadian pada kebudayaan. secara fisik maupun dalam cara mereka berfikir,
sejalan dengan hal itu dalam sekolah progresif mengutamakan kemerdekaan bagi
anak didik. Anak didik didorong dan diberanikan untuk memiliki dan bertindak
melaksanakan kebebasan mereka, Anak didik diberi kemerdekaan untuk
memberikan ide-ide dan mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri, sehingga
anak didik dapat berpotensi tanpa hambatan dari pihak manapun.
c. Perbedaan kecerdasan
Kecerdasan adalah salah satu komponen yang ikut memberikan efek
keberhasilan belajar peserta didik.69 Kecerdasan adalah salah satu komponen yang
selalu tidak pernah bosan untuk dijadikan perbincangan dalam dunia pendidikan.
Inteligensi terutama ialah kemampuan untuk menafsirkan dan menafsirkan
kembali baik suatu alternatif maupun konsekuensi-konsekuensi yang
ditimbulkannya.70 Progresif memaknai inteligensi sebagai kemampuan bertingkah
laku secara rutin dengan ketaatan yang buta atas kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
kecerdasan hanya bersifat pembawaan setiap anak didik mempunyai yang
kecerdasan uang berbeda-beda. Ada kesulitan dalam membedakan ukuran
kecerdasan terkait tinggi atau rendahnya kecerdasan pada seorang peserta didik.
Faktor lingkunganlah dalam bentuk pengalaman yang anak peroleh selama
hidupnya menjadi penyebab sulitnya pengukuran kecerdasan. Lingkungan juga
memberikan efek dalam pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Guru perlu
mengetahui dan memahami, terutama dalam hubungannya dengan
pengelompokkan anak didik di kelas untuk mengatasi dan memecahkan masalah
dalam membedakan setiap individualnya dalam bidang kecerdasan. Adapun
metodenya adalah peserta didik yang kurang cerdas jangan digabungkan dengan
anak yang memiliki kecerdasannya yang setingkat dengannya, tetapi perlu
digabungkan dengan anak-anak lebih cerdas darinya. Dengan ekspektasinya adalah
anak yang kurang cerdas itu dapat terpacu untuk lebih kreatif, ikut terlibat langsung
dengan motivasi tinggi dalam bekerjasama dengan kawan-kawan kelompoknya.
Kepentingan lainnya agar guru dapat dengan mudah mengadakan pendekatan
dengan anak didik untuk memberikan bimbingan, bagaimana cara belajar yang
baik.
69 Saiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, h. 57. 70 Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, h. 238.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
230
Sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk kecil.
Sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat,
perlu dilakukan secara teratur sebagai jalannya dalam lingkungan sekolah. Dalam
hal ini, bahwa proses pendidikan mencakup keikutsertaan anak didik secara aktif
untuk membangun kepribadiannya. Jadi ada kegiatan pendidikan diri atau pemesua
diri.71 Untuk mengembangkan hal itu, maka gagasan atau kenyataan yang
menunjukkan dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat (sebagai sesuatu
yang nyata) perlu dihapuskan. Sebab anak itu juga aktif memilih dengan kemauan
sendiri, mencari, menjaga instansi, menerima, ataupun menolak semua pengaruh
edukatif dan mereduksi secara aktif terhadap upaya pendidikan. Hal ini berkaitan
erat dengan proses belajar mengajar, dimana guru sebagai teman untuk berdiskusi,
penasehat, pembimbing, teman untuk memecahkan masalah dan bukan mendoktrin
anak didik.
Knight mengatakan “the role of the teacher can be seen as that of helping
the student learn by himself so that he will be a sel-sufficient adult in a changing
environment”.72 Bahwa tugas guru dapat terlaksana atau terwujud ketika guru
membantu anak didik mempelajari bagaimana belajar menemukan dengan mandiri
sampai anak didik menjadi cukup dewasa dalam lingkungan yang berubah-ubah.
Hal yang penting dalam masalah keaktivan anak didik dalam pendidikan
merupakan anak didik dapat memahami belajar yang edukatif, dan bukan yang mis
edukatif. Paling utama adalah belajar, secara bijaksana ditujukan untuk mencapai
hasil-hasil konstruktif, nilai dan syaratsyaratnya ditentukan berdasarkan konsepsi
tentang hidup dan kebudayaan yang baik, sebagaimana dikehendaki oleh suatu
Negara. Sedangkan kedua, ialah belajar mis edukatif, adalah ditentukan oleh suatu
yang kurang mendorong kearah perkembangan dinamis, karena kemungkinan
mengandung unsur-unsur yang saling berlawanan. Belajar yang mis-edukatif tidak
bersifat serasi dengan tujuan. Suasana belajar yang edukatif dapat ditimbulkan
baik di dalam maupun luar sekolah yang bertumpu kepada nilai-nilai tersebut. Oleh
sebab itu maka pendidikan itu tidak lain hanya hidup itu sendiri.73 Progresif lahir di
atas dasar filsafat pragmatisme, kemudian berkembang, mempengaruhi teori
rekontruksionisme. Tidak hanya itu progresif juga mempengaruhi faham
humanisme, sampai pada gagasan yang fenomenal bahwa pengalaman adalah unsur
penting dalam pendidikan, dan menempatkan anak didik sebagai subjek dalam
pendidikan. Dalam penempatan anak didik sebagai pusat dalam pendidikan
(student centered), terdapat perbedaan yang mendasar pada pendidikan masa itu
(tradisional), sebagai lawan dari pendidikan yang berbasis masyarakat, (community
centered). Akan tetapi pembedaan antara keduanya, bukanlah pada pendidikan
progresif berupa teori dan praktek, aliran ini menyadari bahwa tidak ada
71Kartini Kartono, Pengatar Ilmu Mendidik Teoritis, Apakah Pendidikan Masih
Perlukah?, (Bandung : Mandar Maju, 1992), h. 123. 72 George R knight, Issue and Alternatives In Educational Philishophy, h. 84. 73 Imam Barnadib, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna Dan Perspektif
Beberapa Teori Pendidikan, h. 36.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
231
pendidikan yang mungkin melaksanakan salah satu pilihan, sebab keduanya adalah
penting, perbedaan penekanannya. Hal ini didasarkan pada keadaan real bahwa
akhirnya anak didik akan kembali pada masyarakat. Sehingga yang berhubungan
dengan masyarakat juga harus diajarkan, agar anak didik tidak asing dalam
kehidupan masyarakat yang sebenarnya.
Pengaruh progresif pada masa sekarang, banyak digunakan dalam
pelatihan-pelatihan LSM, dalam pembelajaran yang berbasis CTL74 (contextual
teaching and learning), Quantum Learning, dan pada sistem pembelajaran yang
menekankan pada anak didik untuk belajar dengan fun dan enjoy. Berpijak dari
uraian yang telah dibahas, terlihat bahwa progressvisme menghendaki agar
pendidikan dilaksanakan secara integral dengan melibatkan komponen pendidikan,
(anak didik, pendidik, lingkungan dan pengalaman), agar anak didik pada akhirnya
mampu menghadapi perkembangan Zaman. Hal ini merupakan segi positif dari
progresif, sedangkan segi negatif aliran ini tidak adanya tujuan dalam jangka
panjang yakni kebutuhan batiniah anak didik atau aspek spritual. Kurang
menyetujui pendidikan bercorak otoriter dan absolut dalam bentuk apapun seperti;
agama, politik dan moral. Dalam konteks pendidikan, di dalam sekolah seharusnya
ada kehidupan dan lingkungan belajar yang demokratis dengan itu akan
menjadikan semua orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan sesuai
realitas masyarakat itu. Inti pragmatisme dalam pendidikan adalah bahwa:
1. Peserta didik merupakan subjek pendidikan yang memiliki pengalaman. Dia
adalah individu yang memiliki kecerdasan dan mampu menggunakannya untuk
memecahkan masalah. Pengalaman sekolah merupakan bagian dari hidup,
tidak sekedar sebagai persiapan untuk hidup. Cara seseorang belajar di sekolah
tidaklah secara kualitatif berbeda dari caranya belajar dalam lingkungan
kehidupan lainnya. Pengalaman dan tindakannya penuh dengan pemikiran
reflektif. Gagasan hasil pemikirannya berkembang menjadi sarana untuk bisa
hidup berhasil.
2. Pendidik bukan hanya orang yang tahu akan semua kebutuhan peserta didik
tetapi untuk mengarahkan kepada kemajuan masa depannya. Guru berperan
menanamkan pengetahuan yang esensial bagi diri peserta didik. Tak seorang
pun mengetahui kebutuhan orang lain di waktu yang akan datang, karena dunia
selalu berubah. Guru adalah pendamping, penasehat, dan pemandu yang lebih
berpengalaman bagi peserta didik dalam pengalaman pendidikan.
Pengalamannya menjadi dasar dalam menjalankan tugasnya, tetapi tidak boleh
didasarkan pada kebutuhan guru.
3. Kurikulum diharuskan berdasarkan dengan kebutuhan peserta didik yang
menitikberatkan metode daripada materi. Materi di sekolah hendaknya sesuai
dengan kebutuhan subjek peserta didik sehingga harus terbuka dan alamiah.
Kurikulum tidak boleh menimbulkan permasalahan dan pengalaman yang
menjadikan peserta didik tertekan. Bahan pembelajaran yang tersedia harus
74 Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidkan: Mazhab-mazhab Filsafat
Pendidikan, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 144-146.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
232
memuat teknik pemecahan masalah yang menarik bagi peserta didik dalam
pengalaman hidup keseharian
4. Metode pembelajaran diharuskan dengan kemerdekaan kepada peserta didik
untuk mengeksplor pengalaman belajar yang bermanfaat. Cara ini menekankan
partisipasi dan pengalaman peserta didik dalam belajar. Ruang kelas tidak
hanya sekolah, tapi juga semua tempat untuk belajar. Metode unggulan adalah
metode proyek yang menekankan pengalaman nyata yang lebih memotivasi
karena nilai intrinsik; dan lebih bermakna karena siswa terlibat langsung.
Meski demikian kaum pragmatis tidak menolak sumber belajar lainnya.
5. Kebijakan pendidikan mengikuti arus perubahan sosial. Lembaga pendidikan
harus mengajarkan cara mengelola perubahan itu dengan sehat. Sekolah
mengharuskan peserta didik belajar bagaimana belajar sehingga dapat
beradaptasi dengan dunia yang terus berubah. Sekolah harus merupakan
lingkungan belajar dan kehidupan yang demokratis, semua orang berpartisipasi
dalam mengambil keputusan. Semua kebijakan dievaluasi dengan parameter
konsekuensi sosial.75
Belajar bukan hanya dari membaca buku dan mendapatkan penjelasan guru
di kelas, tetapi juga dari pengalaman-pengalaman kehidupan disepanjang kita
hidup di dunia. Dasar-dasar kiblat dari teori progresif suatu bentuk perhatian
terhadap anak sebagai peserta didik dalam pendidikan. Adapun gagasan-gagasan
progresif memberikan efek yang sangat dipengaruhi oleh pragmatisme itu sangat
bertumpu adanya kemerdekaan berfikir dan berkarya untk mengaktualisasi diri
bagi peserta didik supaya kreatif. Paham ini sangat mendasar akan terpenuhinya
kebutuhan dan kepentingan anak. Anak harus aktif mengkonstruksi pengalaman
kehidupannya masing-masing.
John Dewey merupakan salah satu tokoh aliran progresif di Amerika, telah
mengarang sebuah buku yang cukup terkenal di dunia pendidikan yang berjudul
Democracy and Education, menstimulir bahwa pendidikan yang ditetapkan harus
berdasarkan semangat keterbukaan dan demokrasi. Di samping itu pendidikan
harus dapat dinikmati manusia secara universal karena pendidikan sudah menjadi
bagian dari kebutuhan dasar manusia secara universal. John Dewey menekankan
pentingnya proses belajar yang disertai dengan praktik nyata dalam konteks
aplikasi pendidikan, adagium yang sangat terkenal dari teori ini adalah learning by
doing. Istilah ini kemudian digunakan para teoritikus dan praktisi pendidikan di
negara-negara berkembang dan negara maju di dunia.76 Teori pendidikan progresif
menitikberatkan kemerdekaan potensi diri agar memiliki sifat kreatif dan inovatif
sehingga menghendaki sebuah petisi tercipta lingkungan belajar yang demokratis
dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan. Kalangan progresif berjuang
untuk mengimplementasikan pendidikan yang lebih berkemajuan bagi kelompok
75 George R. Knight dalam Musthofa Rahman, Humanisasi Pendidikan…, h. 81-
82. 76John Dewey, Democracy and education... h. 254.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
233
social, sejak dekade 1920-an hingga 1950-an pendidikan progresif ini menjadi teori
dominan dalam pendidikan Amerika .
Di Indonesia, menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pada Pasal 1 angka 4, dinyatakan bahwa “Peserta didik adalah anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu”.
Teori progresif menempatkan peserta didik pada posisi sentral dalam melakukan
pembelajaran. Karena peserta didik mempunyai kecenderungan alamiah untuk
belajar dan menemukan sesuatu tentang dunia di sekitarnya dan juga memiliki
kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus terpenuhi dalam kehidupannya.
Kecenderungan dan kebutuhan tersebut akan memberikan kepada peserta didik
suatu minat yang jelas dalam mempelajari berbagai persoalan.
Peserta didik adalah makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan
makhluk-makhluk lain karena peserta didik memiliki potensi kecerdasan. Oleh
karena itu, setiap peserta didik mempunyai potensi atau kemampuan sebagai bekal
untuk menghadapi kehidupan dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang
mungkin merintanginya. Berkenaan dengan hal ini, tugas guru atau pendidik adalah
meningkatkan kecerdasan potensial yang telah dimiliki sejak lahir menjadi
kecerdasan realitas dalam lapangan pendidikan untuk dapat merespon segala
perubahan yang terjadi di lingkungan di mana ia hidup dan beraktivitas. Pandangan
progressif John Dewey mengenai belajar bertumpu pada pandangan peserta didik
sebagai mahluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan mahluk lain.77
Secara institusional sekolah sebagai lembaga pendidikan harus memelihara
dan menjamin kebebasan berpikir dan berkreasi kepada para peserta didik,
sehingga mereka memilki kemandirian dan aktualisasi diri. Namun demikian,
pendidik tetap berkewajiban mengawasi dan mengontrol mereka guna meluruskan
kesalahan yang dihadapi peserta didik, khususnya dalam metodologi berpikir.
Dengan demikian prasyarat yang harus dilakukan oleh peserta didik adalah sikap
aktif dan kreatif, bukan hanya menunggu kedatangan guru dalam mengisi dan
mentransfer ilmunya kepada mereka. Peserta didik tidak boleh diperlakukan seperti
bejana kosong yang akan diisi oleh penggunanya. Jika yang terjadi demikian, maka
proses pembelajaran hanya berwujud transfer of knowledge dari seorang guru
kepada murid. Tentu saja cara demikian tidak akan membawa hasil apalagi
mencerdaskan sehingga dapat dikatakan bahwa upaya mencapai tujuan pendidikan
mengalami kegagalan.
Menurut penulis berdasarkan hasil penelitian dari observasi di MAN Insan
Cendikia Serpong terkait peserta didik bahwa di sana peserta didik tidak sebagai
objek pendidikan tetapi subjek pendidikan, para pendidik di sana sadar betul bahwa
peserta didik bukan orang dewasa dalam bentuk mini tetapi mereka mempunyai
dunianya sendiri artinya mereka bebas untuk berkreatif sehingga mereka mudah
sekali membentuk nilai-nilai karakter tentunya dalam arahan peserta didik maka di
77Imam Barnabid, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi
Offset, 1997)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
234
sana tidak sedikit dari peserta didik cerdas, inovatif sehingga mereka banyak yang
mendapatkan prestasi-prestasi dalam belajar baik di negara sendiri maupun di luar
negeri.
3. Pandangan progressif John Dewey tentang Pendidik
Perubahan paradigma pembelajaran dari pandangan mengajar ke
pandangan belajar atau pembelajaran teacher centered ke pembelajaran student
centered membawa konsekuensi perubahan yang mendasar dalam proses
pembelajaran di kelas.78 Perubahan tersebut menuntut agar guru tidak lagi sebagai
sumber informasi melainkan sebagai teman belajar. Siswa dipandang sebagai
mahluk yang aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya
sendiri. Dalam mengelola pembelajaran masih rendah dan perlu ditingkatkan untuk
mencapai ketuntasan hasil belajar yang ditetapkan dan kompetensi yang lainnya.
Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa kualitas guru79 Guru hanya sekedar
memberikan informasi kepada siswa, tanpa melibatkan siswa dalam proses untuk
mendapatkan informasi.
Guru selalu menuntut siswa untuk belajar, tetapi tidak mengajarkan
bagaimana siswa seharusnya belajar dan menyelesaikan masalah. Berlakunya
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), menuntut perubahan paradigma
pembelajaran, salah satunya adalah pembelajaran yang berpusat pada guru beralih
pada siswa (student centered).80 Proses pembelajaran selama ini masih didominasi
oleh guru sehingga belum memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang
secara mandiri melalui penemuan dan proses berpikir. Cara guru mengajar yang
hanya satu arah (teacher centered) menyebabkan penumpukan informasi atau
konsep saja yang kurang bermanfaat bagi siswa.
Guru wajib tahu untuk mengarahkan kemajuan kepada peserta didik dan
perkembangannya, karena peserta didik hidup di lingkungan yang selalu terjadi
proses interaksi dengan sesamanya dan berkesinambungan. Dalam penerapannya,
prinsip berkesinambungan mengandung arti bahwa masa depan wajib selalu
digadang-gadangkan di setiap pendidikan secara teoritis, John Dewey
mengemukakan bahwa dalam hal ini, guru wajib menciptakan suasana yang
kondusif dan dapat mengelola kelas di dalam kelas dengan cara mengkonstruksi
kesadaran bersama dari setiap peserta didik dalam upaya mencapai tujuan bersama.
78Dian Usdiyana, Tia Purniati, Kartika Yulianti, dan Eha Harningsih,
meningkatkan kemampuan berpikir logis siswa SMP Melalui pembelajaran matematika
realistik, Jurnal Pengajaran MIPA, Vol. 13 No. 1 April (2009) 79Nur Efendi, pengaruh pembelajaran reciprocal teaching dipadukan think pair
share terhadap peningkatan kemampuan metakognitif belajar biologi siswa sma
berkemampuan akademik berbeda Di kabupaten sidoarjo, Jurnal Santiaji Pendidikan,
Volume 3, Nomor 2, Juli (2013) 80U. Setyorini, S.E. Sukiswo, B. Subali, penerapan model problem based learning
untuk Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP, Jurnal Pendidikan Fisika
Indonesia 7, (2011)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
235
Upaya tersebut harus sesuai dengan tanggungjawab masing-masing antara pendidik
dan peserta didik dalam proses pembelajaran di dalam kelas.81
Berkenaan hal tersebut, teori progresif menyatakan bahwa tugas pokok
pendidik adalah sebagai pembimbing aktivitas peserta didik dan berusaha untuk
memberikan kemungkinan terhadap terciptanya lingkungan terbaik yang
memungkinkan terjadinya proses belajar. Guru sebagai pembimbing, tidak boleh
menonjolkan diri, melainkan harus bersikap demokratis dan memperhatikan hak-
hak alamiah dari para peserta didik secara keseluruhan. Pendekatan yang
digunakan dalam proses ini adalah pendekatan psikologis dengan keyakinan bahwa
memotivasi lebih penting daripada sekedar memberi informasi. Pendidik dan
peserta didik bekerja sama dalam mengembangkan program belajar dan aktualisasi
potensi peserta didik dalam kepemimpinan dan kemampuan lain yang dikehendaki
dalam pendidikan. Dengan demikian dalam teori ini pendidik harus memiliki
kelebihan dibanding manusia lainnya, antara lain jeli, teliti, cermat, konstan, tekun,
luwes dalam menganalisis apa saja yang menjadi kebutuhan peserta didik, juga
sanggup mengevaluasi potensi-potensi peserta didik dalam konteks praktis,
higienis dan dan realistis. Hasil dari evaluasi menjadi tumpuan untuk memastikan
motif dan strategi-strategi pembelajaran ke masa depan. Dengan istilah lain
pendidik wajib memiliki kreativitas dalam mengolah peserta didik, dalam arti
hendak bertumbuhkembang dan bervariasi.
Di Indonesia, menurut Undang-Undang No. 14 tahun 2004 tentang Guru
dan Dosen, pada Pasal 1 ayat 1 dikemukakan bahwa “Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Dalam UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional “Pendidik adalah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”.
Menurut pandangan pendidikan progresif guru adalah penasihat,
pembimbing, pengarah dan bukan sebagai orang pemegang otoritas penuh yang
dapat berbuat apa saja (otoriter) terhadap muridnya. Guru disebut sebagai
pembimbing karena mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman yang banyak di
bidang pendidikan, memahami karakter peserta didik yang secara otomatis
(semestinya) guru mampu menjadi penasihat manakala peserta didik mengalami
jalan buntu dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu peran
utama pendidik adalah membantu peserta didik bagaimana mereka harus belajar
dengan diri mereka sendiri, sehingga peserta didik akan berkembang menjadi orang
dewasa yang mandiri dalam lingkungannya yang akan selalu berubah.
Secara teoritis, John Dewey mengemukakan bahwa guru harus mengetahui
ke arah mana anak akan berkembang, karena anak hidup dalam lingkungan yang
81Muis, I.S.Pendidikan Partisiptif Menimbang Konsep Fitrah dan Progesivisme
John Dewey, (Yogyakarta: Safaria Insania Press, 2004)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
236
senantiasa terjadi proses interaksi dalam sebuah situasi yang silih berganti dan
berkelanjutan. Dalam penerapannya, prinsip keberlanjutan mengandung arti bahwa
masa depan harus selalu diperhitungkan di setiap tahapan dalam proses pendidikan.
Dalam hal ini, guru harus mampu menciptakan suasana kondusif di dalam kelas
dengan cara membangun kesadaran bersama dari setiap individu dalam upaya
mencapai tujuan bersama. Upaya tersebut sesuai dengan tanggungjawab masing-
masing dalam konteks pembelajaran di dalam kelas, dan selalu konsisten pada
tujuan tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, teori progresif menyatakan bahwa
tugas pendidik adalah sebagai pembimbing aktivitas peserta didik dan berusaha
untuk memberikan kemungkinan terhadap terciptanya lingkungan terbaik yang
memungkinkan terjadinya proses belajar. Guru sebagai pembimbing, tidak boleh
menonjolkan diri, melainkan harus bersikap demokratis dan memperhatikan hak-
hak alamiah dari para peserta didik secara keseluruhan. Pendekatan yang
digunakan dalam proses ini adalah pendekatan psikologis dengan keyakinan bahwa
memotivasi lebih penting daripada sekedar memberi informasi. Pendidik dan
peserta didik bekerja sama dalam mengembangkan program belajar dan aktualisasi
potensi peserta didik dalam kepemimpinan dan kemampuan lain yang dikehendaki
dalam pendidikan.
Dengan demikian dalam teori ini pendidik harus memiliki kelebihan
dibanding manusia lainnya, antara lain jeli, teliti, telaten, konsisten, luwes, dan
cermat dalam mengamati apa yang menjadi kebutuhan peserta didik, juga sanggup
menguji dan mengevaluasi kemampuan-kemampuan peserta didik dalam tataran
praktis dan realistis. Hasil evaluasi menjadi acuan untuk menentukan pola dan
strategi pembelajaran selanjutnya. Dengan kata lain pendidik harus mempunyai
kreatifitas dalam mengelola peserta didik, dalam arti akan berkembang dan
bervariasi sebanyak variasi para peserta didik yang berada di bawah
tanggungjawabnya.
Berdasarkan observasi penulis terkait dengan pendidik di MAN Insan
Cendikia bahwa pendidik menempatkan dirinya fasilitator, motivaor, mediator
bukan hanya serta merta memberikan materi (transfer of knowledge). Pendidik juga
penasihat, pembimbing, pengarah dan bukan sebagai orang pemegang otoritas
penuh yang dapat berbuat apa saja (otoriter) terhadap muridnya. Guru disebut
sebagai pembimbing karena mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
banyak di bidang pendidikan, memahami karakter peserta didik yang secara
otomatis (semestinya) guru mampu menjadi penasihat manakala peserta didik
mengalami jalan buntu dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. Oleh karena
itu peran utama pendidik adalah membantu peserta didik bagaimana mereka harus
belajar dengan diri mereka sendiri, sehingga peserta didik akan berkembang
menjadi orang dewasa yang mandiri dalam lingkungannya yang akan selalu
berubah.
Dapat disimpulkan bahwa di MAN menggunakan metode student centered
bukan teacher centered itu terbukti dengan hasil observasi yang telah dilakukan
penulis.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
237
4. Pandangan Progresif John Dewey dalam Belajar
Dalam hal ini, belajar seharusnya diaplikasikan dengan memperhatikan
bermacam-macam kemampuan yang dipunyai oleh anak didik. Dengan demikian,
dalam perspektif progresif bahwa belajar harus disentralkan pada diri peserta,
bukan pendidik atau materi ajar, peserta didik diberi kebebasan untuk
mengembangkan bakat dan kemampuannya baik secara fisik maupun cara
berpikirnya. Peserta didik bebas juga dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang
dibuat oleh orang lain. Dengan demikian, progresif tidak menyetujui pendidikan
otoriter, sebab akan mematikan daya kreasi peserta didik baik secara fisik mapupun
psikis. Berkaitan dengan hal tersebut, John Dewey sebagai salah seorang tokoh
progresif, memiliki peranan yang cukup besar. Dimana alirannya ini sangat
berpengaruh terhadap pembaharuan pendidikan dan dengan pandangannya,
progresif dianggap sebagai the liberal road to culture dalam artian bahwa liberal
berarti berani toleran dan transparan. Menurut aliran progresif istilah belajar
berawal dari hipotesis bahwa peserta didik bukan manusia dewasa dalam bentuk
mini, melainkan manusia seutuhnya yang memiliki kemampuan untuk survive dan
mampu tumbuhkembang sehingga menjadi manusia yang aktif, inovatif, kreatif,
dan dinamis serta memiliki motivasi untuk memenuhi kebutuhannya82.
Aliran progresif mempunyai konsep bahwa anak didik mempunyai akal
dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan
dengan makhluk-makhluk lain. Pandangan mengenai belajar, Kelebihan anak didik
memiliki potensi akal dan kecerdasan dengan sifat kreatif dan dinamis, anak didik
mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problem-problemnya.83
Pendidikan sebagai wahana yang paling efektif dalam melaksanakan proses
pendidikan tentulah berorientasi kepada sifat dan hakikat anak didik sebagai
manusia yang berkemajuan. Usaha-usaha yang dilakukan adalah bagaimana
menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi dan stimulus sehingga akal
dan kecerdasan anak didik dapat difungsikan dan berkembang dengan baik.
Dalam abad ke-20 ini terjadi perubahan besar mengenai konsepsi
pendidikan dan pengajaran. Perubahan tersebut membawa perubahan pula dalam
cara mengajar belajar di sekolah. Hal itu yang kini berangsur-angsur beralih
menuju kea rah penyelenggaraan sekolah progresif, sekolah kerja, sekolah
pembangunan dan CBSA. John Dewey hendak mengalihkan metode pengajaran
konservatif, konservatif mencirikan cara belajar DDCH (Duduk, dengar, catat,
hafal), jadi dengan belajar DDCH peserta didik akan bersifat reseptif dan pasif saja.
Maka dengan hal itu maka Dewey mengalihkannya dengan student centered,
Dewey berpandangan bahwa pembelajaran konservatif hanya menerima materi
pelajaran atau ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dari seorang pendidik, tanpa
melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses belajar mengajar. Pendidik
82 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2012),
h. 89. 83Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1997), h. 75.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
238
sepertinya hanya menguasai medan di kelas. Peserta didik tanpa diberi
kemerdekaan sama sekali untuk berpikir dan berkarya. Maka dapat diambil suatu
konklusi asas progresif dalam belajar bertitik tolak dari asumsi bahwa anak didik
bukan manusia dewasa dalam bentuk mini.84
Selain daripada itu, aliran progresif berspektif bahwa belajar adalah suatu
teknik yang berasaskan pada kelebihan akal manusia yang bersifat kreatif, inovatif
dan dinamis sebagai fitrah dasar manusia dalam memecahkan berbagai masalah
kehidupan.
Dalam prakteknya, pendidikan yang berlandaskan aliran progresif
memerlukan model yang sesuai. Di Indonesia, pendidikan seringkali mendapat
kritikan dari berbagai pihak, karena dianggap belum memiliki model yang jelas
dengan acuan yang pasti, bahkan ada yang menganggap bernuansa coba-coba.
Alasan yang sering dikemukakan karena penampilan pendidikan itu sendiri masih
abstrak dan masih belum menyentuh realitas budaya Indonesia yang khas.
Berkaitan dengan konteks pendidikan modern saat ini, pendidikan di Indonesia
lebih mengedepankan corak atau pola pemikiran rasionalis-empiris, kemudian
berkembang berbagai konsep atau teori pendidikan nativisme, empirisme, dan
konverguensi. Di samping itu, muncul pula aliran progresif, essensialisme,
perenialisme, dan rekonstruksionisme.
Menurut penulis berdasarkan hasil observasi terkait masalah belajar di
MAN Insan Cendikia bahwa intinya bagaimana mengajarkan cara belajar yang
tepat, sehingga seseorang dapat belajar setiap saat dari realitas secara mandiri, baik
di dalam maupun di luar sekolah, pada saat, sedang, ataupun setelah menyelesaikan
pendidikan formal. Dengan demikian sekolah akan dapat menghasilkan individu-
individu yang cerdas, kreatif, dan inovatif yang pada gilirannya nanti dapat
melakukan transformasi budaya positif ke arah yang lebih baik dari masyarakat
yang progresif. Jika seseorang telah memiliki kemampuan seperti itu, di mana pun
berada akan mampu bertahan dari berbagai hambatan dan mampu memecahkan
masalah kehidupan.
5. Pandangan Progressif John Dewey tentang Tujuan Pendidikan
Dalam hal ini, ilmu pengetahuan yang berujung jadi pengalaman yang
dipelajari hendaklah bersifat realitas atau bukti sesuai dengan kehidupan nyata
terbukti. Maka demikian itu, seorang pendidik hendaklah dapat membimbing
peserta didiknya agar dapat berpiawai menemukan solusi atau memecahkan
masalah yang ada dalam kehidupan mereka masing-masing. Terkait dengan tujuan
pendidikan, maka aliran progresif lebih menandaskan untuk memberikan
pengalaman empiris kepada peserta didik, sehingga peserta didik berkarakter yang
selalu belajar, berpikir dan berkarya85, maksudnya aliran progresif dalam
pendidikan dimaksudkan untuk memberikan banyak pengalaman kepada peserta
didik dalam upaya mencari solusi untuk memecahkan masalah yang dihadapi di
lingkungan mereka untuk mengisi hidup ini.
84Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan,... h. 77. 85 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 156
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
239
Pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta
didik, tetapi yang paling fundamental adalah melatih untuk berpiawai berpikir
secara ilmiah. Dalam ranah pendidikan di Indonesia, oleh sebab itu maka tujuan
pendidikan menurut pandangan progressif John Dewey ini sangat selaras dengan
tujuan pendidikan nasional yang di Indonesia. Menurut Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditandaskan bahwa pendidikan
bertujuan untuk bertumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
cakap, kreatif, mandiri, berakhlak mulia, sehat, berilmu, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggungjawab. Jadi bersumber dari penjelasan tersebut,
maka aliran progresif sangat singkron dengan tujuan pendidikan yang ada di
Indonesia. Menurut Barnadib, sebagaimana dikutip Jalaluddin dan Abdullah Idi 86progresif menginginkan pendidikan yang berkemajuan. Dalam hal ini, tujuan
pendidikan haruslah diinterpretasikan sebagai pembangunan pengalaman yang
berkelanjutan.
Menurut penulis berdasarkan hasil observasi di MAN Insan Cendikia
Serpong bahwa memberikan fasilitas dengan seluas-luasnya agar dipergunakan
untuk berkarya. Sehingga membentuk karakter sebagai pembelajar, berpikir,
berinovasi maka hal ini peserta didik bisa berpiawai dalam upaya mencari solusi
untuk memecahkan masalah yang dihadapi di lingkungan mereka untuk mengisi
hidup ini. Hal ini sangat cocok dengan tujuan pendidikan progresif.
H. Tinjauan Kritis Terhadap Pemikiran Dewey
John Dewey, sebagai seorang pemikir, yang sangat terkenal pada masanya
adalah seorang manusia yang mempunyai kelebihan dan juga kekurangan. Di
samping, sebagai seorang pemikir, beliau juga banyak disukai oleh teman, murid,
kerabat dan masyarakata lainnya. Halyang sebaliknya juga terjadi dalam kehidupan
beliau, yaitu ada juga diantara masyarakat, murid, teman dan bahkan kerabat yang
tidak suka pada beliau, baik mengenai pemikiran dan ide-idenya, maupun sikap
dan tingkah laku beliau selama keterlibatannya dalam dunia akademik dan dunia
sosial lainnya. Terlepas dari semua itu, beliau telah memberikan kontribusi yang
sangat luarbiasa terhadap perkembangan ilmu pengetahun, pola pikir, dan sains
pada masyarakat Amerika khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Untuk
pada bagi anak akan dikemukakan kelebihan-kelebihan dan kekurangan-
kekurangan yang miliki beliau selama berkiprah dalam dunia akademik dan sosial
kemasyarakatan lainnya.
1. Kelebihan-Kelebihan
a. John Dewey adalah salah seorang pendiri aliran filsafat pragmatisme dan
aliran filsafat pendidikan progresifisme di Amerika Serikat.
b. Dewey juga dikenal sebagai orang yang pertama sekali menerapkan
konsep-konsep demokrasi dalam pendidikan.
86Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan
Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2012)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
240
c. Dewey juga memeiliki konsep pendidikan yang sangat brillian sehingga
melahirkan sebuahSekolah Laboratorium, dimana guru hanya sebagai
pemandu terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh murid-muridnya.
Konsep ini kemudian juga dikenal sebagai learning by doing.
d. Dewey juga terlibat dalam kegiatan organisasi yang bersifat akademis dan
politis.
e. Dewey dikenal tidak hanya d negara asalnya Amerika, tetapi beliau juga
sering diundang unutkmemberikan kuliah-kuliahnya di luar negeri.
f. Konsep lain dari pragmatismenya yang sangat terkenal adalah
instrumentalisme atau ekperimtalisme.
g. Hampir semua negara di dunia ini sekarang menggunakan konsep-konsep
pendidikan yang dicetuskan oleh Dewey
2. Kekurangan-Kekurangan
a. John Dewey memang banyak mencetuskan ide-ide brilliannya, tetapi ide-
ide tersebut sangat susah untuk dimengerti, karena alur pikirannya yang
sampaikan melalui tulisannya adalah sangat berbelit-belit dan terkadang
berulang-berulang.
b. Dilihat dari segi konsruksi ide-idenya, beliau berangkat dari pengalaman-
pengalamandisekelilingnya.Artinyaide-ide
didasarkan pada fakta-fakta dilapangan semata, tanpa mengindahkan fakta-
fakta yang lain seperti kebenaran-kebenaran yang datang dari sang
pencipta.
c. Ide pragmatismenya adalah sangat bagus jika diterapkan di negara asalnya,
tetapi untukmenerapkan di negara-negara berkembang atau negara-negara
yang menganut sistem kenegaraan berdasarkan agama tertentu, maka
penerapan akan mengalami kemunduran. Karena aliran pragmatisme tidak
menerima kebenaran absolut.
Pendidikan menuntut adanya perubahan, dan pendidikan yang otoriter
yang mematikan ide-ide kreasi siswa untuk diubah menjadi pendidikan yang
demokratis, di mana siswa memiliki kesempatan untuk dapatmenciptakan ide-ide
kreatif Pendidikan yang berpusat pada guru dituntut untuk diubah menjadi
pendidikan yang berpusat pada siswa, di mana siswa secara aktif dapat
berpartisipasi dalam penciptaan pengetahuan dan nilai-nilai. Pendidikan yang tidak
mengijinkan kerjasama dalam memahami pengetahuan dituntut untuk diubah
menjadi pendidikan yang kooperatif di mana dalam proses pemahaman
pengetahuan dan nilai-nilai siswa diberi kesempatan untuk bekerja bersama.
Di samping tuntutan terhadap proses pendidikan, pandangan terhadap
pengetahuan dan nilai-nilai juga seharusnya dituntut untuk mengalami perubahan.
Pengetahuan dan nilai-nilai yang sering dijadikan sebagai materistatis yang sekedar
diterima dan diingat harus diubah pemahamannya sebagai suatu konsteks
pemikiran, ide-ide kehidupan yang dinamis untuk dapat dilakukan dalam
kehidupan dan bagi tujuan perbaikan kehidupan. Guru dan siswa harus menyadari
dan memahami hakikat pengetahuan dan nilai bagi perubahan kehidupan sehingga
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
241
mereka membangun kerjasama membangun pengetahuan, nilai, dan keterampilan
bagi tujuan perubahan atauperbaikan martabat kehidupan manusia.
Namun, pendidikan yang memberi kebebasan pada individu siswa untuk
dapat menggunakan seluruh potensinya secara penuh sehingga menjadi manusia
yang produktif, tetapi tetap harus berpegang pada sisi lain pengembangan karakter
manusia yang mulia (akhlakul kharimah) sehingga kemuliaan karakter dapat
mengarahkan kehiduparmya yang produktif dan membawa kebaikan bagi orang
lain dan diri sendira. Dengan demikian, akan tercipta kehidupan yang penuh
dengan hubungan persaudaraan, keaktivan dan persamaan, keharmonisan, dan
sejahtera dalam kehidupan manusia. Dalam pendidikan Islam sangat
memperhatikan tentang humanisme atau memanusiakan manusia, hal ini terbukti
dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang manusia dari
mulai penciptaan, potensi yang dimilikinya, pengelola dimuka bumi ini dan
ditinggikan derajat manusia dibandingkan dengan mahluk-mahluk Allah lainya,
tetapi humanisasi yang diterapkan dalam al-Qur’an tidak meninggalkan peran
manusia di bumi ini sebagai hamba yang diwajibkan umtuk mengabdi pada
kholiqNya.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
242
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
243
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, tinjauan pendidikan
progresif John Dewey di MAN IC Serpong Tangerang, peneliti dapat menarik
kesimpulan,
1. Sesuai dengan namanya, pendidikan progresif John Dewey merupakan
teori pendidikan yang fokus kepada kemajuan atau liberasi peserta didik.
Kemajuan atau progres tersebut adalah kemajuan dalam arti beralih dari
aliran jaman dahulu yang selalu menekankan berpusat kepada pendidik
dan teks yang berlebihan. Menurut progresif, pendidikan otoriter semacam
itu memiliki banyak kelemahan karena secara ontologis, pandangan
tersebut memang sudah keliru. Bagi progresif, manusia secara kodrati
sudah dibekali dengan berbagai kemampuan, sehingga secara kodrati juga
sudah berpiawai dalam melihat dan memecahkan masalah yang
mengganggu eksistensinya. Pendidikan yang otoriter menurut progresif
akan mengalami kegagalan dan hanya akan menghadapi berbagai kesulitan
dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang baik, karena tidak memberi ruang
yang semestinya kepada kemampuan manusia yang sebenarnya justru
merupakan motor penggerak atau daya kreatif dalam menyelesaikan
persoalan yang dihadapi di dalam kehidupan.
2. Pelaksanaan pendidikan di MAN Insan Cendikia mengarah kepada
pendidikan progresif John Dewey yaitu: a) membawa pendidikan ke arah
progresif, b). Merubah pendidikan otoriter menjadi pendidikan
demokratis, c). Menyesuaikan pola pendidikan dengan kebutuhan siswa,
d). Mengaktifkan siswa dalam implementasi pendidikan di sekolah, dan
e). Menjadikan sekolah sebagai agen rekonstruksi sosial dan moral. Hal ini
dapat dibuktikan dalam dua situasi. Pertama, dilaksanakan dalam
pembelajaran di dalam kelas. Pelaksanaan pendidikan progressif dalam
244
kelas pembelajaran di kelas dilaksanakan dengan cara: a). Mengawali
pembelajaran dengan motivasi kepada siswa, b). Melaksanakan
pembelajaran yang bersifat kontekstual, c). Melibatkan siswa dalam
memanfaatkan media pembelajaran, d). Menumbuhkan peran aktif siswa
dalam pembelajaran, e). Mengajak siswa berpikir kritis secara mandiri dan
problem solving, f). Menumbuhkan keceriaan dan antusiasme siswa dalam
belajar. Kedua, dilaksanakan dalam proses pelaksanaan dalam proses
pelaksanaan kegiatan pengembangan di MAN IC Serpong. Dalam tinjauan
pendidikan progressif John Dewey pada MAN Insan Cendikia bahwa
pendidikan di MAN ada pengaruh yang kuat karena dilihat dari prestasi-
prestasi yang telah dicapai selama ini sehingga MAN Insan Cendikia
dijadikan sebagai model bagi madrasah-madrasah yang lain.
3. Konsep pendidikan progressif John Dewey merupakan konsep pendidikan
yang mengacu pada teori-teori John Dewey yang berpijak pada asas-asas
pendidikan progressif John Dewey menjadikan pengalaman hidup manusia
sebagai pijakan dalam melakukan perubahan-perubahan ke depan melalui
proses pendidikan. Konsep pendidikan progressif John Dewey yang
mengandung asas pendidikan partisipatif dalam pandangan pendidikan
Islam bisa dipertegas: bahwa terdapat beberapa aspek kesesuaian
(terutama dalam hal kemanfaatan yang bersifat duniawi), dan terdapat
banyak aspek perbedaan yang sangat prinsip (terutama mengenai hal-hal
yang bersifat metafisik-spiritual).
B. Implikasi
Berdasarkan temuan dalam penyusunan penelitian ini,
diidentifikasikan bahwa dalam pendidikan tradisional dan sampai saat ini
masih ditemukan metode teacher centered, pendidikan masih ada unsur
otoriter yaitu siswa hanya dijadikan objek pendidikan. Dalam hal ini pendidik
semestinya sadar bahwa siswa bukan orang dewasa dalam bentuk mini tetapi
memiliki perasaan, potensi yang belum digali dan diolah.
Dalam hal ini, pendidik dianggap sebagai fasilitator sekaligus partner
bagi siswa. Pendidik menjadi teman perangsang bagi siswa. Begitupun juga
dengan peserta didik, dianggap sebagai subyek Pendidikan religius dimulai
guru kepada siswa agar praktek pendidikan bersifat mengarahkan,
memandirikan dan memperdayakan siswa sebagai makhluk berdimensi
horisontal dan vertikal sekaligus. Dari beberapa uraian singkat tentang
pemikiran pendidikan anak baik di dunia. Islam maupun Barat, maka dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya pendidikan anak merupakan satu hal yang
sangat penting. Pendidikan pada masa kanak-kanak akan sangat menentukan
kehidupan mereka di masa mendatang. Pemikir pendidikan anak di dunia
Islam lebih cenderung bersifat filosofis religius, sedangkan pemikir dari Barat
cenderung pada bersifat psikologis akademis. Meskipun terdapat perbedaan
kecenderungan, namun dari beberapa pemikiran tersebut dapat ditarik benang
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
245
merah yang saling melengkapi yaitu bahwa pendidikan anak harus bersifat
komprehensif bukan hanya berdimensi filosofis religius atau psikologis
akademis, melainkan paduan di antara keduanya yang aktif. Peserta didik
memiliki peran sebagai subyek pencipta kembali, dan penemu ulang. Jadi
keduanya sama-sama menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan
berfikir, dan pada saat yang bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan
dan buah pikirannya. Dalam prosesnya menggunakan metode problem solving,
learning by doing dan metode disiplin.
C. Saran-saran
Pendidikan progressif merupakan salah satu konsep pendidikan dari sekian
banyak konsep pendidikan yang ada dan bisa dilaksanakan di Indonesia.
Pendidikan progresif bisa dilaksanakan secara parsial atau secara total dalam
sebuah lembaga pendidikan. Dalam kata lain konsep pendidikan progresif
adalah salah satu ide dalam referensi pelaksanaan pendidikan. Oleh karena itu,
demi terwujudnya pola pendidikan masyarakat dan peserta didik penulis
memberikan beberapa saran yaitu:
1. Saran untuk kepala sekolah, agar lebih memberikan peluang kepada siswa
untuk mengembangkan segala potensi serta minat dan bakatnya.
Sebaiknya kepala sekolah juga perlu mengadakan pelatihan agar seluruh
guru memahami konsep pendidikan yang sekiranya bisa dilaksanakan di
sekolah sehingga proses pembelajaran tidak hanya sekedar proses transfer knowledge tetapi proses memanusiakan manusia.
2. Saran untuk seluruh guru di sekolah sebaiknya guru sebagai pendidik
harus memahami konsep. Sehingga pola pembelajaran mengarah pada
mengaktifkan siswa. Agar siswa memiliki pengalaman belajar yang tak
terlupakan seumur hidup. Guru hendaknya aktif memperbarui metode
belajar dan media belajar, hal ini bertujuan agar tercipta pembelajaran
yang membangkitkan semangat dan keceriaan siswa belajar. Guru perlu
memilih pendekatan serta metode pembelajaran yang sesuai agar anak
lebih berminat dan aktif dalam belajar. Guru harus lebih berkreatif
mengkombinasikan metode-metode yang umumnya tidak pernah
digunakan atau metode yang cenderung lebih cocok digunakan untuk
materi pelajaran. Guru mampu mempertahankan semangat belajar peserta
didik, dan memberikan motivasi kepada guru yang lain dalam rangka
menciptakan pembelajaran aktif.
3. Saran untuk peserta didik hendaknya memperhatikan pelajaran yang
disampaikan oleh guru dengan sungguh-sungguh. Peserta didik
hendaknya lebih aktif lagi dalam kegiatan pembelajaran. Seluruh peserta
didik hendaknya menjaga akhlak baik kepada guru maupun teman.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
246
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
247
DAFTAR PUSTAKA
Sumber dari Buku
Abdillah, Masykuri Demokrasi di Persimpangan Makna, alih bahasa: Wahib
Wahab, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999
Aan, Komariah dan Triatna, Cepi. Visionary Leadership; Menuju Sekolah Efektif. Jakarta:Bumi Aksara, 2006
A, Lie. Cooperative Learning. Jakarta:Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2004
Alim, Muhammad Abd. Al-Tarbiyah wa alTanmiyah fi al-Islam, Riyadh: KSA,
1992
Anas, Azwar. Yogyakarta: Tiara Wacana Price, Kingsley (USA: Allyn and Bacon
1993
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Alexander, T. “Educating the Democratic Heart: Pluralism, Traditions, and The
Humanities, dalm J. Garrison (Ed), The New Scholarship Ali, Hamdani. Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Kota Kembang, 2001
Alm, Buchari. Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar, Bandung: Alfabeta, 2008
al-Nahlawi, Abdurrahman. Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibiha,
Damaskus: Daar al-Fikr, 1999
al-Rasyidin dan Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press,
1995
al-Syaibany. Falsafah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Alih Bahasa:Hasan
Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999
Arends, Learning to Teach Fifth Edition. New York: Mc. Graw Hill Company,
2001
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat
Pers, Juli 2002
As’adi, Basuki. dan Ulum, Miftahul. Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta:Stain PO Press, 2010
Azra, Azyumardi. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas, 2002
…….., Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru Jakarta: Logos, 2000
Bahri. Djamarah Syaiful. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Jakarta:
Rineka Cipta, 2000
Barnadib, Imam. Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna Dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996
………, Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2012
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
248
Becker, Gary. Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education, New York and London: Colombia University Press,
1975
Bimas, Islam. Index Jumlah Pesebar an Umat Beragama, Jakarta: Kementerian
Agama Republik Indonesia, 2011
Boisvert, R. “John Dewey: An”old-Fashioned” Reformer”, dalam J. Garrison (ed.),
The New Scholarship on Dewey,(Boston: Kluwer Academic Publishers,
1995
Boydston, Jo Ann, (ed.) John Dewey, The Later Works: 1925-1953, Jilid, 2
Carbondale, USA: Southern Illinois University Press, 1969
Campbell, J. Understanding John Dewey, Chicago, IL: Open Court, 1995
Coughlan, Neil. Young John Dewey: An Essay in American Intellectual History, Chicago: University of Chicago Press, 1993
Dahl, Robert A. Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara singkat, alih bahasa: A. Rahman Zainuddin, Jakarta: Yayasan Obro
Indonesia, 2001
Danim, Sudarwan. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003
…….., Visi Baru Manajemen Sekolah dari Birokrasi ke Lembaga Akademik,
Jakarta: Bumi Aksara, 2006
Darmuin. Prospek Pendidikan m di Indonesia: Suatu Telaah terhadap Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama Fak. Tarbiyah
lAIN Walisongo Semarang. 2002
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV Penerbit
Jumanatul Ali-Art, 2004
Dewey, John. Art as Experience, in The Philosophy of John Dewey, Chicago:
Chicago Press, 1961
........, Democracy and Education, An Introduction To the Philosophy of Education, New York: The Macmillan Company, 1964
…….., Pengalaman dan Pendidikan, Penerjemah: John De Santo, Yogyakarta:
Kepel Press, 2002
…….., The School and Society, (Carbondale: Southern Illinois University, 1976
…….., School of Tomorrow, New York: E.P. Dutton & Co, Inc 1962
…….., Philosophy of Education Problem of Men, Ames Iowa: Littlefield Adam &
Co, 1946
Dimyati dan Moedjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2006
Djoyonegoro, Lima Tahun Mengemban Tugas Pengembangan SDM. Tantangan yang tiada hentinya. Jakarta: Balitbang: Depdikbud
Djumransyah, H.M. Pengantar Filsafat Pendidikan,Malang: Bayu Media, 2004
Dwiarso, Priyo. Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara, Yogyakarta:Majelis
Luhur Pesatuan, 2010
E, Smith John. The Spirit Of American Philosophy
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
249
Fadjar, Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1998
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3S, 1985
Gandhi, HW Teguh Wangsa. Filsafat Pendidkan: Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2013
Gutek, Gerald L. Philosophical and Ideological Perspectives on Education, New
Jersey: Prentice Hall Inc., 1998
Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta: Kanisius, 2004
Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2007
…….., Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009
Hamdani, Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998
Hakim, Lukmanul. Perencanaan Pembelajaran, Bandung: CV. Wacana Prima,
2009
Hartono, Agung. dan Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2008
Henderson, S V P. Introduction to Philosophy of Education, Chicago: University
of Chicago Press, 1959
Huda, M. Cooperative Learning: Metode, Teknik, Struktur, dan Model Penerapan, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011
I.S, Muis. Pendidikan Partisiptif Menimbang Konsep Fitrah dan Progesivisme John Dewey, Yogyakarta: Safaria Insania Press, 2004
Idi, Abdullah. dan Jalaluddin, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press, 2012
…….., Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997
Imam, Suprayogo. Pendidikan Berparadigma Al-Qur’an (Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Penidikan Islam. Malang : Aditya Media bekerjasama
dengan UIN Malang Press. 2004
In’am Esha, Muhammad. Institusional Transformation, Reformasi dan Modernisasi Pendidikan Tinggi Islam, Malang: UIN-Malang Press
Irfan, M Islamy. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi
Aksara, 2001
Isjoni, Cooperative Learning Efekivitas Pembelajaran Kelompok, Bandung:Alfabeta, 2010
Jamaludin, Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2003
Jackson, Philip W. The Moral Life of Schools, Jossey-Bass Inc U.S, 1998
Kartono, Kartini. Pengatar Ilmu Mendidik Teoritis, Apakah Pendidikan Masih Perlukan?, Bandung: Mandar Maju, 1992
Karwati, Euis. dan Juni, Priansa Donni. Kinerja dan profesionalisme kepala sekolah Membangun Sekolah yang bermutu, Bandung: Alfabeta, 2013
Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono Yogyakarta.
Penerbit Tiara Wacana, 1996
Knight, George R. Issue and Alternatives In Educational Philishophy, Michigan :
Andrews University Press, 1982
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
250
Maimun, Agus. dan Zaenul, Fitri Agus. Sekolah Unggulan Lembaga Pendidikan Alternatif di Era Kompetitif, Malang: UIN Maliki Press, 2010Dakir,
Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta, Renika Cipta, 2004
Mansur, Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar 2004
Mastuhu, Menata Ulang Pendidikan Nasional Abad 21. Jakarta: INIS, 2002,
Mastuki, Seri Informasi Pendidikan Islam No.6, Menulususri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia. Jakarta : Departemen Agama RI, Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Bagian Proyek EMIS Perguruan
Agama Islam Tingkat Dasar. 2001
Mayer, Fredrick. A history of Modern Philosophy, California: University of
Radlands, 2000
Mohammmad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
Surabaya: Usaha Nasional, 1996
Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2006
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004
…….., Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta:
Rajawali Pers, 2011
…….., dan Mujib, Abdul. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian ilosofis dan Kerangka Operasionalnya, Bandung: Trigenda karya, 1993
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Bandung: Refika Aditama, 2011
Mulkhan, Munir. Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan Islam & Dakwah, Yogyakarta : SIPress, 1994
Mulyasana, Dedi. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2012
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, Yogyakarta, Rake Sarasin, 1998
Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004
Muzayyin, Arifin. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005
Nata, Abuddin. Reposisi Madrasah dalam Memasuki Indonesia Baru, makalah
disampaikan pada seminar Evaluasi Kurikulum Madrasah Tahun 1994.
Litbang Depag. Jakarta, 6-7 Desember 2011
…….., Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: Wacana Ilmu dan Pemikiran, 1996
…….., Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta; Rajawali Press, 2012
…….., Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005
……., Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000,
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
251
Noor Syam, Mohammad. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 2006
Noddings, Nel. Philosophy of Education, Universitas Michigan, Westview Press,
1995
Popkin, Richard H. dan Stroll, Avrum (ed.), Philosophy Made Simple,London:
Heinemann, 1992
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005
R E, Slavin. Cooperative Learning Teori Riset Dan Praktik. Bandung:Nusa
Media, 2008
…….., Coopereatif Learning: Suatu Pengantar Kepada Teori Tes dan Pengukuran, Jakarta: Dikti PPLPTK, 2010
R I, Arends. Classroom Intruction And Management. USA: The MC. Graw Hill
Companies, Inc, 1997
…….., Classroom Intruction And Management. USA: The MC. Graw Hill
Companies, Inc, 1997
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2001
…….., Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Logos, 2005
…….., Zakaria Rusydy, Musfah Jejen, Fauzan, Madrasah Sebagai Alternatif Pendidikan Unggul, Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press, 2011
Rochmawati, Ida. Optimalisasi Peran Madrasah dalam Pengembangan Sistem Nilai Masyarakat, 2012
Rockefeller, Steven C. John Dewey: Religious Faith and Democratic Humanism, New York: Columbia University Press, 1991
Rohiat, Manajemen Sekolah, Bandung: Refi kaditama, 2010
Rahman, Fazlur. Tema-Tema al-Qur’an, terjemahan Anas Mahyuddin, Bandung:Pustaka, 1993
Rockefeller, Steven C. John Dewey: Religious Faith and Democratic Humanism, New York: Columbia University Press, 1991
Rohmat, Ali. Kapita Selekta Pendidikan, Yogyakarta:Penerbit Teras, 2004
Rosjidi. Mencari Agama pada Abad XX Wasiat Filsafat, Jakara: PT. Bulan
Bintang, 1986
Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature: Thirtieth-Anniversary Edition, (New
York, Princeton University Press, 1979
Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-politik Zaman Kuno hingga Sekarang, alih bahasa Sigit Jatmiko dkk,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Ryan, Alan. John Dewey and the High Tide of American Liberalism, dalam
Journal PhilPapers, Entries 475, 1995
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Penerbit Alfabeta, 2007
Said, Iman Muis. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progressif John Dewey, Yogyakarta: Safira Insani Press & MSI UII, 2004
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
252
Smith, Samuel. Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan, alih bahasa Bumi Aksara, Tanpa kota: Bumi Aksara, 2006
Sad Iman, Muis. Pendidikan Partisipatif, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004
Sallis, Edward. Total Quality Management In Education, Jogjakarta: IRCiSoD,
2006
Santoso, Prolematika Pendidikan dan Cara Pemecahannya. Jakarta: Kreasi Pena
Gading, 2000
Siregar, Maragustam. Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam, Yogyakarta : Nuha Litera, 2010
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2003
Soemanto, Wasti. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2006
Stonbrink, Karel. Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: PT LP3ES, 1996
Subhan, Arief. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012
Sudiyono, HM. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan kuantitatif, kualitatif Bandung: Alfabeta, 2010
Suharto, Rudhy. Ilmu dan Epistemologi, Jakarta: Al-Huda, tt
Sukarno, Makmuri. Saidi Ana dan Wahid Marzuki, Rapid Assesment:
Mengembangkan Model, 2013
Sumardi, Mulyanto. dan Syaifuddin Didin, Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Madrasah Model, Jakarta: BEP, 2000
Sunarto dan Hartono, Agung. Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2008
Supandi, Peranan Guru dalam Proses Pembelajaran, Jakarta: Depdikbud, 1992
Suprijono, A Cooperative Learning; Teori & Aplikasi PAIKEM, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010
Suryadi, Manajemen Mutu Berbasis Sekolah, Bandung: PT Sarana Panca Karya
Nusa. 2009
Suwarni, Suripto, Gino, Maryanto. dan Sutijan, Belajar dan Pembelajaran I.
Surakarta: UNS Press, 2000
Suwarno, Wiji. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2006
Sutrisno, Pembaharuan Dan Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Fadilatama, 2011
Suyono dan Hariyanto. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011
Suwito, et al. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana 2006
Syaukani, Hujair. Pendidikan Islam di Indonesia, Suatu Kajian Upaya Membangun Masa Depan, Yogyakarta: Aditya Media, 1997
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
253
Syahidin, Aplikasi Metode Pendidikan Qurani dalam Pembelajaran Agama di Sekolah, Tasikmalaya: Ponpes Suryalaya Tasikmalaya, 2005
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1994
Tilaar, HAR. & Nugroho, Riant, Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009
…….., Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014
Trianto, Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek, Jakarta:Prestasi
Pustaka Publisher, 2007
The Encyclopedia Americana, USA: Americana Corporation, 1990
Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Uzer Usman, Moh. Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2010
Vaizey, John. Pendidikan Didunia Modern, terj. L.P. Murtini, Jakarta: Gunung
Agung, 1974
Warul, Walidin AK. Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldūn Perspektif Pendidikan Modern, Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003
Weiler, Kathleen. What Can We Learn from Progressive Education?University of
Illinois Press:The Radical Teacher, No. 69, Progressive Education May
2004
Westbrook, Robert B. John Dewey and American Democracy, (Cornell University
Press, 1991
Win (editor), Ralph B. Lincoln Dictionary, New York: Philosophical Library, Inc,
1959
Yunus, Mahmud. Perbandingan Pendidikan Di Negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat, Jakarta: Al-Hidayah, 1969
Zaini, Syahminan. Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta:
Kalam Mulia, 2006
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Sumber dari Jurnal
AA, Reza. “Wattimena Pendidikan Manusia-Manusia Demokratis Filsafat
Pendidikan Noam Chomsky Relevansi Serta Keterbatasannya Pada Konteks
Indonesia”, Jurnal Filasafat Aziz, Mursal Etika Akademis dalam Pendidikan Islam, Jurnal Tarbiyah, Vol. 25,
No. 1, Januari-Juli 2018
Akbar, T Saiful. “Manusia dan Pendidikan Menurut Pemikiran Ibn Khaldun dan
John Dewey”, Jurnal Ilmiah Didaktika Februari 2015, VOL. 15, NO. 2, 223
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
254
AlFaris, Fitri. “Kurikulum 2013 dalam Perspektif Filsafat Pendidikan
Progressivisme”, Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 2, Agustus (2015)
Arbayah, “Model Pembelajaran Humanistik. Dinamika Ilmu” Vol 13. No. 2,
Desember (2013)
Ariantoro, Tri Rizqi “Dampak Game Online Terhadap Prestasi Belajar Pelajar”,
JUTIM, Vol 1, No. 1, Desember (2016)
Asyiah, Nur. “Ideologi dalam Pendidikan Islam”, Jurnal Islamika, Volume 13
Nomor 2 Tahun (2013)
Boyer, Eric M. “John Dewey And Growth As "End-In-Itself” Soundings: An Interdisciplinary Journal, Penn State University Press Vol. 93, No. 1/2
Spring/Summer (2010)
Departemen, Agama RI. Pedoman Penyusunan Master Plan MA Model, Jakarta:
proyek Pengembangan Madrasah Aliyah Direktorat Pembinaan Perguruan
Agama Islam, (1997/1998)
Efendi, Nur. “Pengaruh Pembelajaran Reciprocal Teaching Dipadukan Think Pair Share Terhadap Peningkatan Kemampuan Metakognitif Belajar Biologi
Siswa Sma Berkemampuan Akademik Berbedadi Kabupaten Sidoarjo”,
Jurnal Santiaji Pendidikan, Volume 3, Nomor 2, Juli (2013)
Fadlillah, M. “Aliran Progresivisme dalam Pendidikan Di Indonesia”, Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 5 No. 1 Januari (2017)
Gade, Syabuddin. “Perbandingan Konsep Dasar Pendidikan antara Ia dan Asy-
Syaibani” Jurnal Ilmiah Didaktika Agustus VOL. XII NO. 1, (2011)
Idris, Ridwan. “Perubahan Budaya dan Ekonomi Indonesia dan Pengaruhnya
terhadap Pendidikan”, Lentera Pendidikan Vol 14 No. 2 Desember (2014)
Kusen, “Strategi Pembelajaran Kooperatif Dalam Meningkatkan Motivasi
Belajar”, Ta’dib, Volume 19, No. 1 Juni (2016)
Lestari, RS. Linuwih. “Penerapan Model Pembelajaran kooperatif Tipe Pair Checks Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Social Skill Siswa”,
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia (2012)
Mardalena, Suhendri. “Pengaruh Metode Pembelajaran Problem Solving Terhadap
Hasil Belajar Matematika Ditinjau Dari Kemandirian Belajar”, Jurnal Formatif
Ma'sumah, Anis. “Pendekatan CTL (Contextual Teaching and learning) dalam
Pembelajaran KBK”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 12, Nomor 2,
Oktober (2003)
Mualifah, Ilun. “Progresivisme John Dewey dan Pendidikan Partisipatif
Pendidikan Islam”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 01 No. 01 Mei
(2013)
Muhammad, “Konsep Pengembangan Madrasah Unggul” Kreatif, Vol. 4, No. 1
(Januari 2009)
Mulyono, El-Hikmah (Jurnal Kependidikan dan Keagamaan) Volume VIII Nomor
1. Malang: Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang (2010)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
255
Musariffah, Nur Aini Hubungan Penggunaan Smartphone dengan Minat Belajar
Siswa SMA Negeri 1 Gedangan Sidoarjo, JUPE. Volume 6 Nomor 3
Tahun (2018), 133 - 137
Nany, Sutarini. P, Priyoyuwono Rukiyati. “Penanaman Nilai Karakter Tanggung
Jawab dan Kerja Sama Terintegrasi dalam Perkuliahan Ilmu Pendidikan
“Jurnal Pendidikan Karakter,Tahun IV, Nomor 2, Juni (2014)
Nizar, Samsul. ”Filsafat Pendidkan Islam Pendekatan Historis Teoritis dan
Praktis,” Jurnal Sistem Pendidikan Perspektif Filsafat Islam dan Barat”,
Tajdid Vol. XIV, No. 1, Januari-Juni (2015)
Novita, Mona. “Sarana dan Prasarana Yang Baik Menjadi Bagian Ujung Tombak
Keberhasilan Lembaga Pendidikan Islam, Nur el-Islam,Volume 4,
Nomor 2, Oktober (2017)
Noor, Rohman Fauzan. “Perspektif Islam Tentang Demokratisasi Pandidikan”,
Jurnal Tarbawi Vol. II. No. 2. Juli - Desember (2014)
Paryanto, “Penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif Tipe Group Investigation
Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Teori Pemesinan Dasar”, JPTK, Vol. 19, No.2, Oktober (2010)
Rahman, KA. Ardiansyah. dan Marwazi, “Rekrutmen Tenaga Pendidik dalam
Peningkatan Mutu Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia Jambi
Nadwa”Jurnal Pendidikan Islam Vol. 9, Nomor 1, April (2015)
Rejeki, Sri. Ning, Endah. “Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Siswa Kelas VIII G
Semester 2 Smp Negeri 2 Toroh Grobogan”, Jurnal Lemlit, Volume 3
Nomer 2 Desember (2009)
Rosnawati, R. enam tahapan aktivitas dalam pembelajaran matematika untuk
mendayagunakan berpikir tingkat tinggi siswa Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas
Negeri Yogyakarta, 16 Mei M 507, (2009)
Rostitawati, Tita. “Konsep Pendidikan John Dewey”, Jurnal Tadbir Manajemen Pendidikan Islam IAIN Sultan Amai Gorontalo, Vol. 2 No. 2 (2014)
Schultz, David. “From the Editor John Dewey's Dream”, Journal of Public Affairs Education, National Association of Schools of Public Affairs and
Administration (NASPAA)Vol. 17, No. 1 Winter (2011)
Setyorini, U Sukiswo. B, Subali. “Penerapan Model Problem Based Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP”, Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, (2011)
Su, Zhixin. A Critical Evaluation of John Dewey's Influence on Chinese
Education, American Journal of Education,The University of Chicago Press
Vol. 103, No. 3 (1995)
Suky Parwathi, Putu Lidya dkk Keterampilan Guru dalam Mengelola Kelas pada
Pembelajaran Prakarya dan Kewirausahaan di SMA Negeri 1 Singaraja,
Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Vol. 14, No. 2, Juli (2017), 188
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
256
Sukarno, Makmuri. “Mengembangkan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendikia
Untuk Menjawab Tantangan Modernisasi, Demokratisasi Dan Globalisasi”,
Jurnal Kependudukan Indonesia, Vol. 9, No. 2, Desember (2014)
Sumarni, “Profil Madrasah Tsanawiyah Unggul:MTs Negeri Winong, Kabupaten
Pati, Jawa Tengah” Volume 13, Nomor 3, Desember 2015
Supardi U.S. dan Susilo, “Penerapan model pembelajaran team assisted
individualization berbantuan lembar kerja siswa dalam upaya meningkatkan
kualitas proses dan hasil belajar matematika siswa MTs”, Jurnal Formatif, (2011)
Suprapto, Anas. “Manajemen Pencitraan Di Madrasah Berprestasi (Madrasah
Aliyah Negeri Bangil Dan Madrasah Aliyah Negeri Kraton Pasuruan”,
Jurnal MPI Manajemen Pencitraan di Madrasah,Vol 1, No 2, (2016)
Supriyanto, Agus.”Studi Deskriptif tentang Tokoh-tokoh Filsafat Pendidikan
Barat”, Turast, Vol. 6, No. 1, Januari (2010)
Swistoro, Warimun Eko. “Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving Fisika
Pada Pembelajaran Topik Optika Pada Mahasiswa Pendidikan Fisika”,
Jurnal Exacta, Vol. X. No. 2 Desember 2012
Syahrir, Syam Widodo Agus. “Pengembangan Kurikulum Program Studi Bahasa
dan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dipenogoro”, Parole,
Vol. 2 No. 1, April (2011)
Triana, Habsari Novi. “Implementasi Filsafat Perenialisme Dalam Pembelajaran
Sejarah”, Jurnal Agastya Vol 03 No 01 Januari (2013)
Tutuk, Ningsih. “Telaah Konsepsi Pendidikan dan Implikasinya Bagi
Terwujudnya Masyarakat Madani di Indonesia Insania” Vol. 14, No. 1 Jan-
Apr (2009)
Usdiyana, Dian. Purniati, Tia. Yulianti, Kartika. dan Eha, Harningsih.
"Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis Siswa Smp Melalui
Pembelajaran Matematika Realistik, Jurnal Pengajaran MIPA, Vol. 13 No. 1
April 2009
Wardi, Moh. Relevansi Pemikiran Ibnu Sina Dan George Wilhelm Friedrich Hegel
Tentang Pendidikan, at-turas Vol I, No 1, Januari sampai Juni 2014
Warimun,Eko Swistoro. “Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving Fisika
Pada Pembelajaran Topik Optika Pada Mahasiswa Pendidikan Fisika”, Jurnal Exacta, Vol. X. No. 2 Desember (2012)
Weiler, Kathleen. What Can We Learn from Progressive Educaion?University of
Illinois Press:The Radical Teacher, No. 69, Progressive Education, 2004
Wenno, Izaak. “Pengembangan Model Modul Ipa Berbasis Problem Solving Method, Berdasarkan Karakteristik Siswa Dalam Pembelajaran Di
SMP/MTS, Cakrawala Pendidikan, Juni, Th. XXIX, No. 2, (2010)
Wikandaru, Reno. “Aliran Pendidikan Progresivisme dan Konribusinya Dalam
Pengembangan Pendidikan Pancasila di Indonesia” Jurnal Ilmiah CIVIS,
Volume II, No 1, Januari (2012)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
257
Yani, Nurhaeni. “Meningkatkan Pemahaman Siswa Pada Konsep Listrik Melalui
Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Siswa Kelas IX SMPN 43
Bandung”, Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 12 No. 1 April (2011)
Yunus, HA. “Telaah Aliran Pendidikan Progresivisme Dan Esensialisme Dalam
Perspektif Filsafat Pendidikan”, Jurnal Cakrawala Pendas, Vol. 2, NO. 1
Januari (2016)
Zainuddin, M. “Paradigma Pendidikan Islam Holistik” Ulumuna, Volume XV
Nomor 1 Juni (2011)
Zulkarnain, el Lomboky. “Konsep Pendidikan sebuah Tinjauan Kritis” (Majalah
Gontor Media Parekat Umat, edisi 03 tahun IX Juli (2011)
Sumber dari Internet
Adam Jordan, John Dewey on Education: Impact & Theory, diakses pada
lamanhttp://study.com/academy/lesson/John-Dewey-on-educaion-impact-
theory.html. Pada oktober 2017, pukul 11.48 WIB
Sunaryo Kuswana Wowo, Model Pembelajaran Dalam Konteks Kurikulum Suyatno, Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran
dalam http://www.klubguru.com, 03 Maret 2017.
Hiryanto,Model-modelPembelajaran,dalam
masririt.files.wordpress.com/2007/12/model-model-pembelajaran.ppt. 18
November 2016.
Akhmad Sudrajat, Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model Pembelajaran, dalam http://www.psbpsma.
org/content/blog/pengertian- pendekatan-strategi-metode-teknik-taktikdan-
model-pembelajaran. 03 Oktober 2017
Leutuan, Al Rasyid Harun. "Strategi Pengembangan Pendidikan di Indonesia",
dalam https:// harunalrasyidleutuan.wordpress.com, diunduh pada tanggal
15 April 2017
http:www.suaramerdeka.com /harian/0508/23/x_opi.html, diakses pada tanggal 06
Januari 20
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
258
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
259
GLOSARIUM
Afektif = memiliki 2 arti. Afektif adalah sebuah homonim
karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang
sama tetapi maknanya berbeda. Afektif memiliki arti
dalam bidang ilmu psikologi dan linguistik. Afektif
memiliki arti dalam kelas adjektiva atau kata sifat
sehingga afektif dapat mengubah kata benda atau kata
ganti, biasanya dengan menjelaskannya atau
membuatnya menjadi lebih spesifik. Berikut Adalah
Arti, Makna, Dan Pengertian Dari "Afektif":
Afektif dalam bidang psikologi berarti berkenaan
dengan perasaan (seperti takut, cinta). Afektif dalam
bidang psikologi berarti berarti mempunyai gaya atau
makna yang menunjukkan perasaan (tentang gaya
bahasa atau makna)
Aksiologi =memiliki 2 arti. Aksiologi adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Aksiologi memiliki arti dalam kelas nomina atau kata
benda sehingga aksiologi dapat menyatakan nama dari
seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang
dibendakan. Berikut Adalah Arti, Makna, Dan
Pengertian Dari "aksiologi": aksiologi dalam
kelas nomina berarti berarti kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia. aksiologi dalam
kelas nomina berarti berarti kajian tentang nilai,
khususnya etika
Contoh: Kita harus melembagakan dan
membudayakan ilmu pada setiap domain epistemologi
ataupun aksiologi profesi guru
Aplikatif = memiliki 1 arti. Aplikatif memiliki arti dalam
kelas adjektiva atau kata sifat sehingga aplikatif dapat
mengubah kata benda atau kata ganti, biasanya
dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi
lebih spesifik. berarti mengenai (berkenaan dengan)
penerapan.
260
Brainwashing = atau indoktrinasi, memiliki 1 arti. Indoktrinasi
memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda
sehingga indoktrinasi dapat menyatakan nama dari
seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang
dibendakan. berarti pemberian ajaran secara
mendalam (tanpa kritik) atau penggemblengan
mengenai suatu paham atau doktrin tertentu dengan
melihat suatu kebenaran dari arah tertentu saja.
Browser = memiliki 1 arti. Browser memiliki arti dalam
kelas nomina atau kata benda sehingga browser dapat
menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua
benda dan segala yang dibendakan. Artinya pencarian
kandungan makna di internet.
Cendikia =memiliki 1 arti. Berilmu berasal dari kata dasar ilmu.
Berilmu memiliki arti dalam kelas verba atau kata
kerja sehingga berilmu dapat menyatakan suatu
tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian
dinamis lainnya. berarti mempunyai
ilmu. Berilmu juga berarti
berpengetahuan. Berilmu juga berarti pandai.
Community based education =Pendidikan berbasis masyarakat adalah
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan
agama, sosial, budaya, aspirasi, dan
potensi masyarakat sebagai basisnya.
Demokrasi =memiliki 2 arti. Demokrasi adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Demokrasi memiliki arti dalam bidang ilmu politik
dan pemerintahan. Demokrasi memiliki arti dalam
kelas nomina atau kata benda sehingga demokrasi
dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau
semua benda dan segala yang dibendakan. berarti
(bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh
rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan
wakilnya. Demokrasi juga berarti pemerintahan
rakyat. Berarti juga gagasan atau pandangan hidup
yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban
serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
261
Dimensi = memiliki 1 arti. Dimensi memiliki arti dalam
kelas nomina atau kata benda sehingga dimensi dapat
menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua
benda dan segala yang dibendakan. berarti ukuran
(panjang, lebar, tinggi, luas, dan
sebagainya). Dimensi juga berarti matra
Contoh: Garis mempunyai satu dimensi, film
tiga dimensi.
Eksistensialisme = filsafat yang memandang segala gejala berpangkal
pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada
di dunia. Jadi, aliran eksistensialisme dapat
disimpulkan bahwa aliran yang memandang bahwa
tidak ada alam semesta selain alam manusia. 1.
Tujuan pendidikan, tujuan pendidikan adalah untuk
mendorong setiap individu agar mampu
mengembangkan semua potensi untuk pemenuhan diri
dan memberi bekal pengalaman yang luas dan
komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. 2.
Peran guru, melindungi dan memelihara kebebasan
akademik, dimana mungkin guru pada hari ini, besok
lusa menjadi murid. Para guru harus memberi
kebebasan terhadap siswa untuk memilih dan
memberi mereka pengalaman yang akan membantu
mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. 3.
Peserta didik, aliran eksistensialisme ini memandang
siswa sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas
tanggung jawab atas pilihannya. Di dalam aliran ini
para siswa juga dipandang sebagai makhluk yang utuh
yaitu akal pikiran, rohani, dan jasmani yang
seluruhnya itu merupakan kebulatan dan semua itu
perlu dikembangkan
Empiris = memiliki 1 arti. Empiris memiliki arti dalam
kelas adjektiva atau kata sifat sehingga empiris dapat
mengubah kata benda atau kata ganti, biasanya
dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi
lebih spesifik. berarti berdasarkan pengalaman
(terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan,
pengamatan yang telah dilakukan).
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
262
Epistimologi = pengetahuan itu informasi, fakta, hukum, prinsip,
proses, dan kebiasaan yang terakumulasi dalam
pribadi sebagai proses interaksi dan pengalaman.
Esensialisme =yakni guru mengajar murid diajar, guru mengetahui
segala sesuatu murid idak tahu apa-apa, guru berpikir
murid dipikirkan, guru bercerita murid patuh
mendengarkan, guru menentukan peraturan murid
diatur, guru memilih dan memaksakan pilihannya
murid menyetujuinya, guru adalah subjek dalam
belajar dan murid adalah objek belaka
Eskatologis = memiliki 1 arti. Eskatologis memiliki arti dalam
kelas adjektiva atau kata sifat sehingga eskatologis
dapat mengubah kata benda atau kata ganti, biasanya
dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi
lebih spesifik. berarti mengenai hal-hal terakhir,
seperti kematian, hari kiamat, kebangkitan
Evolusi = memiliki 1 arti. Evolusi memiliki arti dalam
kelas nomina atau kata benda sehingga evolusi dapat
menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua
benda dan segala yang dibendakan. berarti perubahan
(pertumbuhan, perkembangan) secara berangsur-
angsur dan perlahan-lahan (sedikit demi sedikit)
Fenomenologis =memiliki 3 arti. Fenomena adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Fenomena memiliki arti dalam kelas nomina atau kata
benda sehingga fenomena dapat menyatakan nama
dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala
yang dibendakan. berarti hal-hal yang dapat
disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan
serta dinilai secara ilmiah
(seperti fenomena alam). Fenomena juga berarti
gejala Contoh: Gerhana adalah salah
satu fenomena alam. juga berarti keajaiban
Contoh: Sementara masyarakat tidak percaya akan
adanya pemimpin yang berwibawa, tokoh itu
merupakan fenomena tersendiri. juga berarti
kenyataan. Contoh: Peristiwa itu
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
263
merupakan fenomena sejarah yang tidak dapat
diabaikan
Fleksibel =memiliki 2 arti. Fleksibel adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Fleksibel memiliki arti dalam kelas adjektivaatau kata
sifat sehingga fleksibel dapat mengubah kata benda
atau kata ganti, biasanya dengan menjelaskannya atau
membuatnya menjadi lebih spesifik.berarti
lentur. Fleksibel juga berarti mudah dibengkokkan,
berarti luwes. Fleksibel juga berarti mudah dan cepat
menyesuaikan diri.
Gadget = memiliki 1 arti. Gadget memiliki arti dalam
kelas nomina atau kata benda sehingga gadget dapat
menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua
benda dan segala yang dibendakan. berarti peranti
elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis.
Gaya bank = suatu sistem atau istilah yakni guru mengajar murid
diajar, guru mengetahui segala sesuatu murid idak
tahu apa-apa, guru berpikir murid dipikirkan, guru
bercerita murid patuh mendengarkan, guru
menentukan peraturan murid diatur, guru memilih dan
memaksakan pilihannya murid menyetujuinya, guru
adalah subjek dalam belajar dan murid adalah objek
belaka.
Growth = memiliki 1 arti. Pertumbuhan berasal dari kata
dasar tumbuh. Pertumbuhan memiliki arti dalam
kelas nomina atau kata benda sehingga pertumbuhan
dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau
semua benda dan segala yang dibendakan. berarti hal
(keadaan) tumbuh. Pertumbuhan juga berarti
perkembangan (kemajuan dan sebagainya)
Hereditas =memiliki 1 arti. Hereditas memiliki arti dalam
kelas nomina atau kata benda sehingga hereditas dapat
menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua
benda dan segala yang dibendakan. berarti penurunan
sifat genetik dari orang tua ke anak
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
264
Hermeneutika = salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang
interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari
kata kerja dalam bahasa Yunani
Insan =memiliki 1 arti. Insan memiliki arti dalam
kelas nomina atau kata benda sehingga insan dapat
menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua
benda dan segala yang dibendakan. Berarti manusia.
Instrumentalism = suatu paham beranggapan bahwa kemampuan
intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan, dan untuk mengembangkan
kepribadian manusia. Aliran eksperimentalisme
mengakui dan mempraktikkan asas eksperimen untuk
menguji kebenaran suatu teori.
Intuisi =memiliki 1 arti. Intuisi memiliki arti dalam
kelas nomina atau kata benda sehingga intuisi dapat
menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua
benda dan segala yang dibendakan. berarti daya atau
kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu
tanpa dipikirkan atau dipelajari. Intuisi juga berarti
bisikan hati. Intuisi juga berarti gerak hati.
Kognitif =memiliki 2 arti. Kognitif adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Kognitif memiliki arti dalam kelas nomina atau kata
benda sehingga kognitif dapat menyatakan nama dari
seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang
dibendakan. berarti berhubungan dengan atau
melibatkan kognisi juga berarti berdasar kepada
pengetahuan faktual yang empiris.
Kompetensi =memiliki 2 arti. kompetensi adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
kompetensi memiliki arti dalam kelas nomina atau
kata benda sehingga kognitif dapat menyatakan nama
dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala
yang dibendakan. Berarti kewenangan (kekuasaan)
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
265
untuk menentukan (memutuskan sesuatu); berarti juga
kemampuan menguasai gramatika suatu bahasa secara
abstrak atau batiniah`
Komprehensi =memiliki 3 arti. komprehensif adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Fenomena memiliki arti dalam kelas nomina atau kata
benda sehingga fenomena dapat menyatakan nama
dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala
yang dibendakan. bersifat mampu menangkap
(menerima) dengan baik; berarti juga luas dan lengkap
(tentang ruang lingkup atau isi); berarti juga
mempunyai dan memperlihatkan wawasan yang luas
Kontribusi =memiliki 2 arti. kontribusi adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Kognitif memiliki arti dalam kelas nomina atau kata
benda sehingga kognitif dapat menyatakan nama dari
seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang
dibendakan. uang iuran (kepada perkumpulan dan
sebagainya); sumbangan
Laboratory school = istilah lain dari sekolah experimen yang didirikan
oleh John Dewey, Dalam Sekolah tersebut, Dewey
telah menempatkan penekatan tentang keahlian-
keahlian yang praktis, seperti memasak, berkebun,
menyapu, bertukang (kayu), ini diberikan untuk kelas
rendah. Di samping itu, sekolah ini juga melayani
mereka sebagai pekerja. Lebih jauh lagi, fokusnya
adalah tentang hubungan antara kehidupan diluar
sekolah dengan aktivitas-aktivitas sehari-hari,
kemudian tentang seni bakat alami yang aktivitas-
aktivitasnya itu muncul secara ideal
Long life education = sebuah prinsip yang menjadi dasar bagi proses
pendidikan Islam, yaitu prinsip pendidikan Islam,
yaitu prinsip pendidikan seumur hidup. Prinsip ini
berpandangan bahwa setiap manusia diharapkan untuk
selalu berkembang sepanjang hidupnya, yang
menegaskan bahwa masa sekolah bukan satu-satunya
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
266
masa bagi seseorang untuk belajar, melainkan hanya
sebagian dari waktu belajar yang akan berlangsung
seumur hidup.
Motivasi =memiliki 2 arti. Motivasi adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Motivasi memiliki arti dalam kelas nomina atau kata
benda sehingga aksiologi dapat menyatakan nama dari
seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang
dibendakan. Berarti dororngan yang timbul pada diri
seseorang secara sadar untuk melakukan sesuatu
tindakan dengan tujuan tertentu, berarti juga usaha
yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok
orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena
ingin mencapai tuuuan yang dikehendakinya atau
mendapatkan kepuasan dengan perbuatannya.
Norma =memiliki 2 arti. Norma adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Aksiologi memiliki arti dalam kelas nomina atau kata
benda sehingga norma dapat menyatakan nama dari
seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang
dibendakan. Artinya aturan atau ketentuan yang
mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai
sebagai panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku
yang sesuai dan berterima, setiap warga masyarakat
harus menaati norma yang berlaku.
Pragmatisme = Kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu
ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan
dan sebagainya, bergantung pada penerapannya bagi
penerapannya bagi kepentingan manusia, juga berarti
paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang
tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus;
berarti juga pandangan yang memberi penjelasan yang
berguna tentang sesuatu permasalahan dengan melihat
sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan
praktis.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
267
Progresif = ke arah kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan
keadaan sekarang
Progressivisme = berakar dari kata progresif berarti bergerak maju.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan
bahwa kata progresif diartikan sebagai ke arah
kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan sekarang; dan
bertingkat-tingkat naik. Dengan demikian, secara
singkat progresif dapat dimaknai sebagai suatu
gerakan perubahan menuju perbaikan. Sering pula
istilah progresivisme dikaitkan dengan kata progres,
yaitu kemajuan. Artinya progesivisme merupakan
salah satu aliran yang menghendaki suatu kemajuan,
yang mana kemajuan ini akan membawa sebuah
perubahan
Psikomotorik = memiliki 1 arti. psikomotorik memiliki arti dalam
kelas nomina atau kata benda sehingga psikomotorik
dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau
semua benda dan segala yang dibendakan. Artinya
berhubungan dengan aktivitas fisik yang berkaitan
dengan proses mentak dan psikologi
Rekonstruksi =memiliki 2 arti. Rekonstruksi adalah memiliki arti
dalam kelas nomina atau kata benda sehingga
aksiologi dapat menyatakan nama dari seseorang,
tempat, atau semua benda dan segala yang
dibendakanpengembalian seperti semula akan
dilaksanakan juga berarti penyusunan (penggambaran)
kembali
Stagnasi =memiliki 2 arti. Stagnasi adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Aksiologi memiliki arti dalam kelas nomina atau kata
benda sehingga stagnasi dapat menyatakan nama dari
seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang
dibendakan. Berarti keadaan terhenti (tidak bergerak,
tidak aktif, tidak jalan); kemacetan, berarti juga
keadaan tidak maju atau maju tetapi pada tingkat yang
sangat lambat; berarti juga keadaan tidak
mengalir(mengarus).
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
268
Student centered =suatu istilah yang dipakai dalam pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik
Survival =memiliki 2 arti. Survival adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan
dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Survival memiliki arti dalam kelas nomina atau kata
benda sehingga survival dapat menyatakan nama dari
seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang
dibendakankondisi bertahan hidup; tersisa hidup,
sebuah proses alami yang menghasilkan evolusi
organisme terbaik yang disesuaikan dengan
lingkungan, sesuatu yang bertahan Hidup atau
berlanjut lebih lama dari, atau di luar keberadaan,
orang lain, benda, atau peristiwa; hidup lebih lama.
Teacher centered =suatu istilah yang dipakai dalam pembelajaran yang
berpusat pada guru.
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
269
INDEKS
AAbuddin Nata, 8, 28, 67, 82, 221
Active Learning, 122, 127
afektif, 78, 103, 122, 135, 172, 183,
219, 220, 259
Ahmad D. Marimba, 64
Ahmad Dahlan, 58, 59
aksiologi, 51, 56, 70, 196, 224, 259,
266, 267
Alexander, 47, 247
al-Gha>zali, 58
al-Hadits, 11, 14, 53, 55, 66, 80, 82
al-Nahlawi, 63, 64, 247
al-Quran, 11, 60, 62, 64, 66
al-Syaibani, 63
al-Tarbiyah al-istiqla>liyah, 60
Amerika, 7, 10, 15, 37, 38, 40, 41,
42, 43, 49, 76, 116, 164, 173, 176,
192, 193, 195, 197, 198, 199, 200,
201, 223, 232, 239, 240
Amsal Bakhtiar, 65
Aristoteles, 51, 196
Armai Arief, 56
Authentic, 118, 124, 134, 135, 137,
141
authentic assessment, 134, 135
Azyumardi Azra, 69, 157, 169
B Barat, 13, 15, 36, 39, 49, 56, 78, 161,
195, 200, 244, 249, 251, 253, 255,
256
Beauchamp, 118
Bettencourt, 129
biologi, 38, 92, 97, 108, 137, 234
Boisvert, 45, 46, 47, 48, 248
C Campbell, 45, 46, 248
Confusius, 122
constructivism, 118
Constructivism, 123, 128
Cooperative Learning, 107, 109, 110,
111, 112, 141, 151, 154, 247, 249,
251, 252
CTL, 113, 115, 116, 118, 119, 120,
121, 122, 123, 124, 131, 132, 133,
134, 141, 222, 231, 254
Cuffaro, 47
curriculum, 118, 206, 219
D D.W. Hamlyn, 69
Darwin, 37, 39, 43, 78, 79, 202, 217
Democracy and Education, 11, 12,
16, 43, 49, 58, 112, 119, 191, 201,
202, 207, 213, 216, 232, 248
E E. Mulyasa, 66, 113
Education game, 150
epistemologi, 15, 42, 50, 58, 64, 65,
69, 72, 75, 192, 196, 197, 224, 259
equality, 48
eskatologis, 55, 61, 262
270
evaluation, 134
experimentalism, 39, 78, 201
F Fa>dhil al-Jamaly, 64
Ferdinant Schiller James, 76
Fluid social relations, 48
Foundational problems, 68
Frederick Jackson Turner, 37
Freedom, 16, 48, 192, 201, 202
G Gaili, 129
Georges Santayana, 76
Giambattista Vico, 128
Glasersfeld, 130
good governance system, 167
good planning system, 167
good teachers, 167
H H.A.R Tilaar, 11, 161
Hans Vaihinger, 10, 76, 201, 202
Hegelian, 39, 78, 190
Herbert Spencer, 37
History of Epistemologi, 65
Hisyam Zaini, 126, 127
homo educandum, 78
homo faber, 78
homo sapiens, 78
horisontal, 56, 63, 244
I Ibn Khaldūn, 51, 52, 56, 77, 217, 253
Ibnu Sina, 53, 54, 256
Ilahiyah, 61
Individuality, 48
inquiry, 122, 139, 140, 141, 208
Inquiry, 118, 124, 138, 140, 141, 192
instruction, 118, 148, 220
instrumentalism, 38, 39, 42, 78
IPTEK, 86, 90, 91, 140, 141
J Jane Addams, 38, 191
John Dewey, 7, 10, 11, 12, 15, 16,
17, 18, 19, 20, 22, 23, 27, 28, 30,
31, 36, 37, 38, 39, 40, 43, 44, 45,
46, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 55, 56,
58, 59, 61, 62, 67, 75, 76, 77, 79,
83, 112, 115, 118, 119, 120, 145,
148, 156, 187, 189, 193, 194, 195,
198, 201, 202, 203, 204, 205, 206,
207, 208, 210, 211, 212, 213, 214,
215, 216, 217, 219, 223, 224, 225,
226, 232, 233, 234, 235, 237, 238,
239, 240, 243, 244, 248, 249, 251,
253, 254, 255, 257, 265
K kauniyah, 67, 68, 72
Ki Hadjar Dewantara, 58, 59, 248
Komarudin Hidayat, 127
Konstruktivisme, 120, 123, 128, 129,
130, 150
KTSP, 122, 123, 131, 134, 145, 146,
234
Kurikulum 2013, 21, 144, 170, 220,
222, 254
L Laboratory School, 43, 191
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
271
learning, 2, 10, 12, 22, 33, 39, 56, 66,
71, 78, 102, 109, 110, 117, 118,
122, 131, 133, 194, 206, 211, 219,
222, 231, 232, 234, 240, 245, 254
Learning Community, 118, 124, 133
lesson study, 126, 139
LKS, 143
M M. Athiyah al-Abrasyi, 60
MAN IC, 16, 17, 18, 24, 26, 28, 29,
85, 86, 87, 88, 96, 108, 115, 125,
128, 147, 160, 163, 164, 165, 168,
169, 170, 171, 172, 178, 179, 180,
183, 184, 195, 243, 244
Mark Twain, 38
Mel Silberman, 122
metafor, 41
method of science, 38
modeling, 118
Modelling, 123, 124, 125, 126, 127
Mueller, 135, 136
Muhammad, 14, 19, 20, 23, 33, 54,
62, 64, 68, 72, 143, 156, 204, 206,
247, 249, 254
Mujamil Qomar, 65, 66
N Nadawidjaya, 121
naqliyah, 72
Noeng Muhajir, 25, 61
Nurhadi, 115, 123
O Ontologi, 50, 71
ontologi progresif, 50
ontology, 42
Operational problem, 68
otoriter, 10, 19, 20, 32, 34, 39, 44,
47, 49, 58, 60, 76, 78, 102, 156,
200, 217, 231, 235, 236, 237, 240,
243, 244
P PAI, 63, 64, 65, 124, 125, 163
paradigma, 4, 12, 55, 72, 75, 96, 114,
147, 219, 234
PBI, 145
PBL, 143, 144, 149
PBM, 144, 145, 147
Pendidikan Islam, 1, 4, 6, 8, 9, 11,
14, 15, 31, 34, 36, 51, 53, 54, 55,
56, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65,
66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74,
75, 76, 80, 82, 88, 98, 157, 158,
159, 161, 163, 165, 166, 176, 196,
197, 212, 216, 221, 222, 247, 249,
250, 251, 252, 253, 254, 255, 257
performance, 103, 137, 171
Plato, 51, 59
Priyo Dwiarso, 58
problem solving, 2, 3, 10, 41, 56, 59,
144, 148, 156, 198, 204, 208, 210,
213, 217, 218, 220, 222, 244, 245
Problematika Aksiologi, 70
Problem-Based Learning, 141, 144
profetik, 74
progressive education, 39, 78, 194
Project-Based Learning, 141
psikologi, 7, 38, 53, 73, 81, 92, 104,
119, 188, 189, 190, 191, 199, 205,
223, 259, 267
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan
272
psikomotorik, 7, 35, 78, 122, 135,
219, 220, 267
Q qauliyah, 67, 68, 72
Questioning, 118, 124, 131
R radikal, 53, 56
Ralph Waldo Emerson, 39, 79
reflection, 118
Reflection, 124, 133
Rousseau, 41, 49, 196
S SDM, 92, 158, 166, 177, 178, 179,
248
self-respect, 42
Service Learning, 141
Shymansky, 129
SKB, 166
STAD, 151, 153, 154
status quo, 57
Stiggins, 135
Structural problems, 68
T tadrīb, 53
teacher centered, 4, 7, 17, 75, 117,
131, 234, 236, 244
teaching, 45, 117, 118, 131, 199,
231, 234
TGT, 150, 151, 152, 153, 155
TQE, 167
V vertikal, 56, 63, 244
W William Graham, 37
William James, 10, 38, 39, 40, 78,
79, 190, 192, 201, 227
Work-Based Learning, 141
Y Yale, 37, 192
Pendidikan Progresif John Dewey Tinjauan di MAN Insan Cendikia Serpong Tangerang-Selatan