Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi
-
Upload
sulistiyanti -
Category
Documents
-
view
4.967 -
download
0
description
Transcript of Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi
PENDIDIKAN, KEMISKINAN, DANPENDIDIKAN, KEMISKINAN, DAN
PERTUMBUHAN EKONOMIPERTUMBUHAN EKONOMI
Oleh:
Sulistiyanti
Pendidikan, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi saling
terkait satu sama lain. Tingkat pendidikan yang rendah sering
kita jumpai melekat pada penduduk yang kurang beruntung
perekonomiannya (miskin secara materi/ekonomi). Rendahnya
pendidikan yang dimiliki oleh penduduk miskin ini membuat
mereka kurang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang
memadai, sehingga menghambat mereka untuk memperoleh
pekerjaan yang layak. Kemiskinan juga menghambat mereka
untuk mengkonsumsi nutrisi bergizi, dan dengan rendahnya
tingkat pengetahuan yang mereka miliki, mereka kurang bisa
memelihara lingkungan yang menyehatkan. Dari sudut pandang
ekonomi, kesemuanya itu akan menghasilkan sumber daya
manusia yang kurang berkualitas, atau dapat dikatakan memiliki
tingkat produktivitas yang rendah. Hal ini juga berimbas pada
terbatasnya upah/pendapatan yang dapat mereka peroleh.
Pada skala makro, produktivitas tenaga kerja rata-rata yang
rendah akan menghasilkan output agregat yang rendah pula bila
tidak diimbangi dengan tingginya produktivitas input lainnya.
Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja
1
adalah melalui investasi modal insani/human capital investment.1
Investasi dalam human capital menghasilkan pengembangan
teknis, proses-proses produksi dan produk-produk baru serta
meningkatkan efisiensi ekonomi. Sebagaimana perkembangan
phisical capital, human capital turut andil dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi akan
mendorong lebih banyak penggunaan input-input dan
terciptanya kesempatan kerja yang lebih luas. Meningkatnya
pendapatan juga dapat diartikan dengan semakin besarnya
kesempatan untuk investasi modal insani, baik dalam konteks
individu maupun agregat.
Perkembangan perekonomian yang disertai dengan
berkembangnya teknologi, informasi dan komunikasi akan
membutuhkan pekerja-pekerja yang lebih trampil dan
berpengetahuan, di mana hanya dapat disediakan oleh tenaga
kerja terdidik/trampil. Mereka yang tidak masuk dalam kategori
ini (biasanya kelompok masyarakat miskin yang tidak punya
kesempatan untuk melanjutkan ke sekolah tinggi), tertahan pada
sektor-sektor tradisional. Ini membuat perekonomian tetap
mempertahankan sistem dualismenya, dan ketimpangan tetap
bertahan.
PendidikanPendidikan
Pendidikan diartikan sebagai pengetahuan atau ketrampilan
yang diperoleh dan dikembangkan dari sebuah proses belajar.
Merujuk pada UU No. 20 tahun 2003 pasal 13, jalur pendidikan
terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang
dapat saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain.
1 Modal insani dapat diartikan sebagai kemampuan dan keahlian manusia dalam suatu kegiatan produktif, untuk memperoleh pendapatan dan standar kehidupan yang layak. Dalam Dictionary of Economics human capital diartikan sebagai ‘the body of human knowledge that contributes “know how” to productive activity’.
2
Pendidikan formal diselenggarakan oleh lembaga-lembaga
pendidikan (sekolah). Pendidikan formal di Indonesia berjenjang
mulai dari pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs), pendidikan
menengah (SMA/MA dan SMK/MAK) dan pendidikan tinggi.
Sedangkan kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga
dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Pendidikan nonformal (pasal 26 UU No. 20 tahun 2003),
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan
layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal
berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan
fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan
kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan
kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan
pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga
pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat,
dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Sedangkan pendidikan informal merupakan kegiatan
pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan,
berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Ketentuan mengenai
pengakuan terhadap hasil pendidikan informal diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. Apapun jenis pendidikannya,
kesemuanya menuju pada satu hal, yaitu proses pembelajaran
untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta kualitas
hidup manusia.
3
KemiskinanKemiskinan
Kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang dalam
kamus besar Bahasa Indonesia berarti serba kekurangan. Adanya
prefik dan afik ke-an menunjukkan sifatnya yang plural. Jadi
kemiskinan menunjukkan adanya sekelompok orang yang serba
kekurangan. Masyarakat subsisten yang tidak berpenghasilan
atau berpenghasilan tapi rendah, bisa jadi tidak merasa miskin
karena mereka merasa sudah terpenuhi kebutuhannya.
Sebaliknya penduduk urban yang berpenghasilan sedang,
mungkin merasa selalu kekurangan karena gaya hidup hedonis
yang mereka jalani, atau lingkungan budaya tidak sehat yang
mereka hadapi. Dalam hal ini meski kelihatannya mereka
berkecukupan, namun apabila selalu merasa kekurangan,
mereka bisa kita katakan miskin.
Dalam sudut pandang kerangka analisis ekonomi, konsep
kemiskinan yang dibangun bisa dilihat secara relatif ataupun
secara absolut. Kemiskinan relatif mengukur kesenjangan dalam
distribusi pendapatan, yang antara lain dapat diukur dengan
koefisien Gini. Kemiskinan absolut menentukan tingkat penda-
patan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan fisik minimum berupa kecukupan sandang, pangan
dan perumahan yang dapat menjamin kelangsungan hidup
(Todaro, 2000).
Pendidikan, Pendapatan dan KemiskinanPendidikan, Pendapatan dan Kemiskinan
Membicarakan kemiskinan tidak hanya membicarakan
dimensi ekonomi saja, melainkan multi dimensi yang
menyangkut keterbatasan seseorang dalam segala bidang.
Termasuk keterbatasan akses terhadap sumber-sumber
4
kehidupan seperti akses air bersih, akses terhadap sumber daya
alam, akses terhadap partisipasi politik, ataupun akses terhadap
faktor-faktor produksi fisik dan non fisik (pendidikan dan
kesehatan). Kekurangan dalam pendapatan membuat seseorang
lebih berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan pokok. Mereka
kurang memberi perhatian pada gizi, pendidikan, ataupun
perawatan kesehatan. Padahal elemen-elemen ini merupakan
aset yang cukup penting dalam matapencaharian seseorang.
Seseorang dengan tingkat pendidikan rendah kurang terakomo-
dasi dalam pasar kerja yang memberi jaminan upah layak.
Pendapatan yang rendah membuat penduduk miskin kurang
memperhatikan atau tidak dapat mengakses pendidikan dan
kesehatan dengan baik, sehingga produktivitaspun rendah, dan
oleh karena itu pendapatan yang diperolehpun rendah. Situasi ini
berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya, membentuk
sebuah perangkap kemiskinan.
Pendapatan seseorang diperoleh dari kegiatan/pekerjaan
yang dilakukannya. Mengikuti DFID-World Bank, aset-aset yang
dibutuhkan untuk memperoleh upah/pendapatan
diidentifikasikan menjadi: (Mukherjee et al, 2002)
1. human capital (pendidikan, keahlian dan kesehatan)
2. natural capital (tanah, air, laut, hutan, dan sumber daya la-
in)
3. financial capital (tabungan, sumber-sumber kredit)
4. physical capital (infrastruktur; listrik, transportasi, energi,
peralatan ataupun mesin-mesin)
5. social capital (budaya, jaringan, hubungan kepercayaan,
lembaga-lembaga masyarakat, akses terhadap lembaga-
lembaga sosial)
5
Akses terhadap kelima aset ini sangat berperan bagi
seseorang untuk memperoleh pendapatannya. Seseorang yang
berpendidikan kedokteran misalnya, bisa berpraktek dokter,
berpendidian akuntansi dapat bekerja sebagai akuntan, dan
seterusnya. Pendidikan merupakan bagian dari modal
insani/human capital2 yang berperan dalam peningkatan produk-
tivitas seseorang. Seseorang bekerja sebagai nelayan karena dia
punya akses untuk ke laut. Demikian juga seseorang dapat
menjadi pengusaha apabila dia punya tabungan cukup atau
punya akses terhadap sumber-sumber kredit.
Beberapa penelitian menemukan bahwa perbedaan penda-
patan seseorang atau pekerja terutama karena perbedaan
tingkat pendidikan dan status kesehatan mereka, atau dengan
kata lain perbedaan dalam derajad modal insani/human capital.
Perkins et al menggambarkan adanya korelasi yang kuat antara
tingkat upah/pendapatan dengan lamanya waktu sekolah di
Mexico 1963 (Perkins et al 2001:321). Penelitian yang dilakukan
oleh Mincer mendapatkan bahwa pendapatan individual pekerja
Amerika berhubungan positif dengan pendidikan. Di negara ber-
kembang, Sahn dan Alderman menemukan bahwa pendidikan
berpengaruh positif terhadap upah/pendapatan di Sri Lanka. Ke-
simpulan yang sama juga dihasilkan oleh Khan dan Irfan (1985),
Shabbir (1991), Alderman (1996), Nasir dan Nazli (2000), dari
hasil penelitiannya di Pakistan (Mughal 2007).
Mudah dimengerti jika seseorang yang tidak bependidikan
atau berpendidikan rendah sulit untuk memperoleh
upah/pendapatan yang layak. Selanjutnya dengan rendahnya
pendapatan, mereka akan kesulitan untuk mengakses pen-
2 Richard Goode (1959) mengatakan bahwa human capital consisted of knowledge, skills, attitudes, aptitudes and other acquired traits that contribute to production (Mughal, 2007). Menurut Theodore W. Schultz (1961) modal insani dapat dikembangkan melalui: i) pendidikan formal, ii) program-program pembelajaran dan pelatihan, iii) pelatihan kerja (on the job training), iv) fasilitas kesehatan, dan v) migrasi dan mobilitas kerja.
6
didikan tinggi yang relatif membutuhkan biaya lebih mahal.
Seperti digambarkan oleh Todaro, di kebanyakan negara-negara
berkembang biaya-biaya pendidikan per murid di jenjang yang
lebih tinggi jauh melampaui biaya pendidikan di tingkat dasar
(Todaro 2000). Selain hambatan finansial, penduduk miskin juga
terhambat pada standard kualifikasi yang dimiliki. Hal ini dise-
babkan karena kemiskinan telah memaksa mereka untuk bekerja
lebih keras, dan mengabaikan kualitas nutrisi dan kesehatan
keluarga mereka sehingga kemampuan anak-anak keluarga
miskin dalam menyerap pelajaran relatif rendah. Keterkaitan
antara pendidikan (sebagai bagian dari modal insani) dengan
kemiskinan digambarkan dalam Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Pendidikan dan Kemiskinan
Sumber: Mughal, Waris Hameed, 2007.
Gambar 1 menunjukkan bahwa kemiskinan (yang disertai
dengan rendahnya pendapatan) menyebabkan rendahnya
investasi modal insani. Rendahnya modal insani ini
mengakibatkan terjadinya ‘malnutrisi’ (kurang gizi), tingkat
kesehatan dan pendidikan rendah. Faktor-faktor ini menghambat
7
kesempatan mereka untuk memperoleh pekerjaan dengan
upah/pendapatan layak.
Sebaliknya yang terjadi pada mereka yang beruntung
perekonomiannya, mereka dapat mengkonsumsi nutrisi bergizi,
memelihara kesehatan, memfasilitasi anak-anak mereka dengan
buku-buku, uang saku, les, maupun peralatan-peralatan yang
dapat menunjang pembelajaran mereka sehingga memiliki
kesempatan yang lebih besar untuk mencapai pendidikan tinggi
dan kesempatan kerja yang lebih baik. Jadi pola distribusi
pendapatan yang timpang akan berimbas pula pada pola
distribusi investasi human capital, sehingga tanpa intervensi
kebijakan dari pemerintah, maka sistem akan melestarikan
ketimpangan tersebut.
Pendidikan, Kesempatan Kerja dan PengangguranPendidikan, Kesempatan Kerja dan Pengangguran
Sebagian besar pembicaraan mengenai pendidikan dan
pembangunan ekonomi pada umumnya, serta tentang
pendidikan dan kesempatan kerja pada khususnya, berkisar
diantara 2 proses ekonomi yang fundamental, yakni:
1. Interaksi antara permintaan yang bermotivasi ekonomis
dan penawaran yang bermotivasi politik sebagai
tanggapannya, dalam menentukan berapa banyak sekolah
akan didirikan, siapa saja yang mendirikan,
macam/program apa yang dilakukan.
2. Analisis manfaat-biaya baik yang berskala individual
maupun skala sosial, dari masing-masing tingkatan
pendidikan, dan implikasi-implikasi yang ditimbulkan
terhadap strategi investasi di bidang pendidikan.
8
Dari sisi permintaan, ada 2 hal yang paling berpengaruh
tehadap permintaan pendidikan; pertama adalah harapan untuk
mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi. Ini
merupakan manfaat pendidikan secara individual (private bene-
fits of education). Kedua biaya-biaya sekolah yang harus
ditanggung oleh siswa dan atau keluarganya, baik yang bersifat
langsung maupun tidak langsung. Dari faktor pertama yang
membuat seseorang merasa perlu untuk bersekolah, dapat
ditarik kesimpulan bahwa permintaan terhadap pendidikan
merupakan permintaan turunan (derived demand) dari
permintaan terhadap kesempatan kerja. Bagi sebagian besar
masyarakat, terutama masyarakat miskin, pendidikan tidak
sekedar untuk alasan-alasan nonekonomis seperti reputasi,
gengsi, atau kepuasan batin, melainkan untuk alasan ekonomis.
Mereka menginginkan pendidikan sebagai wahana dalam rangka
‘mengamankan’ kesempatan mereka untuk memperoleh
pekerjaan dengan penghasilan baik. Manfaat-manfaat yang
mungkin dapat diperoleh inilah yang kemudian dipertimbangkan
dengan biaya-biayanya.
Tabel 1. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Menurut Pendidikan tahun 2006
PendidikanAngkatan Kerja Pekerja Penganggur
Juta % Juta % Juta %
Maksimum SD 56,47 53,13 52,95 55,63 2,84 25,60
SMP 21,90 20,61 19,04 20,01 4,02 36,23
SMA 14,80 13,93 11,96 12,57 1,68 15,13
SMK 7,13 6,71 5,93 6,23 0,80 7,20
Diploma 2,45 2,30 2,15 2,26 0,45 4,08
Universitas 3,53 3,32 3,16 3,31 1,31 11,76
Jumlah 106,28 100 95,18 100 11,11 100
Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2007
9
Tabel 1 menunjukkan jumlah angkatan kerja3, pekerja dan
penganggur menurut tingkat pendidikan yang diselesaikan.
Sebagian besar angkatan kerja di Indonesia hanya berpendidikan
SD. Dari 106,28 juta angkatan kerja pada 2006, sebesar 53,13%
hanya berpendidikan maksimum Sekolah Dasar. Lulusan SMP
20,61%, lulusan SMA dan SMK 20,64 sisanya 5,62% lulusan
perguruan tinggi. Angkatan kerja yang terserap di pasar kerja,
sebanyak 95,18 juta, dengan komposisi 55,63% maksimum SD,
20,01% lulusan SMP, 18,8% lulusan SMA dan SMK, 5,57% lulusan
perguruan tinggi. Jika dilihat dari prosentasenya, lulusan
universitas yang terserap di pasar kerja sebesar 89,52%. Sedang
lulusan SMP hanya 0,87% saja.
Apabila kita perhatikan distribusi penganggur, 25,6%
berpendidikan maksimum SD, 36,23% berpendidikan SMP,
22,33% berpendidikan SMA/SMK dan 15,84% berpendidikan
Diploma dan Universitas. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
pendidikan formal seseorang, semakin besar kemungkinan
terserap di pasar kerja. Cukup tingginya angka penganggur di
tingkat pendidikan tinggi menunjukkan bahwa jumlah
penganggur terdidik cukup besar, sekitar 1,31 juta penganggur
berpendidikan universitas. Besarnya penganggur terdidik bisa
jadi karena mereka terlalu memilih-milih pekerjaan yang seki-
ranya dapat memberikan penghasilan yang cukup untuk
menutup biaya pendidikan yang telah dijalani, sehingga
penganggur jenis ini hanya bersifat sementara, atau kita sebut
penganggur friksional.
3 Angkatan kerja didefinisikan sebagai penduduk usia kerja (berumur 15 tahun ke atas) yang selama seminggu sebelum pencacahan, bekerja atau punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja, dan mereka yang tidak bekerja tetapi mencari pekerjaan. Sedangkan pekerja adalah angkatan kerja yang beruntung memperoleh pekerjaan. Pen-duduk usia kerja yang tidak masuk ke dalam pasar kerja, tidak tergolong dalam angkatan kerja. Mereka dikelompokkan sebagai bukan angkatan kerja, tercakup di dalamnya adalah pelajar/mahasiswa, pengurus rumah tangga, dan penerima pendapatan selain pekerja seperti pensiunan.
10
Seseorang merasa perlu untuk sekolah, karena ada harapan
untuk dapat terserap di pasar kerja yang dapat menjamin pene-
rimaan upah cukup. Tenaga kerja dengan pendidikan formal
tinggi lebih banyak mendapat kesempatan kerja di sektor
modern dengan upah tinggi. Berikut ini adalah tabel yang
menunjukkan tingkat penyerapan tenaga kerja menurut pen-
didikan di sektor formal dan informal pada tahun 2006.4
Tabel 2. Tenaga Kerja di Sektor Formal dan Informal Menurut Pendidikan Tahun 2006.
PendidikanSektor Usaha
Formal % Informal % Total
Tidak/belum pernah sekolah
339.156 6,61
4.795.314 93,39
5.134.470
Tidak/belum tamat SD 1.349.2
67 11,29 10.605.0
70 88,71 11.954.
337
SD 5.838.4
88 16,72 29.075.5
35 83,28 34.914.
023
SMTP Umum 5.184.9
04 30,17 12.001.1
21 69,83 17.186.
025
SMTP Kejuruan 340.9
59 28,75 845.06
1 71,25 1.186.0
20
SMTA Umum 7.257.5
24 56,18 5.661.58
3 43,82 12.919.
107
SMTA Kejuruan 4.138.5
03 66,21 2.111.75
7 33,79 6.250.2
60
Diploma I/II 1.030.3
80 91,72 92.991 8,28 1.123.3
71
Diploma III 1.181.8
46 85,48 200.77
7 14,52 1.382.6
23
Universitas 3.011.3
10 88,39 395.38
9 11,61 3.406.6
99
Jumlah
29.672.337
65.784.598
95.456.935
Sumber: Statistik Indonesia 2007, diolah
4 Pekerja digolongkan sebagai pekerja sektor formal apabila status pekerjaan utamanya berusaha dengan pegawai/buruh atau sebagai pekerja/buruh/karyawan.
11
Seperti terlihat dalam Tabel 2, semakin tinggi pendidikan
pekerja, semakin besar proporsi yang terserap di sektor formal.
Dari 5,13 juta tenaga kerja tidak bependidikan pada tahun 2006,
sebesar 93,39% bekerja di sektor informal. Lebih dari 69%
pekerja berpendidikan dasar bekerja di sektor informal.
Sebaliknya tenaga kerja berpendidikan menengah ke atas, lebih
dari separoh (>50%) bekerja di sektor formal. Proporsi tenaga
kerja berpendidikan tinggi yang bekerja di sektor formal sebesar
91,72% untuk lulusan Diploma I/II, 85,48% untuk Diploma III dan
88,39% untuk universitas.
Dari sisi penawaran, jumlah sekolah pada tingkat sekolah
dasar, menengah dan universitas lebih banyak ditentukan oleh
proses politik, yang sering tidak ada sangkut pautnya dengan
kriteria ekonomi. Sering kita mendengar program-program studi
atau lembaga-lembaga pendidikan yang tutup setelah beberapa
saat berjalan, akibat dari ‘over supply’ karena kurang matangnya
proses pengambilan keputusan.
Permintaan terhadap tingkat pendidikan yang dianggap
harus dicapai untuk mendapatkan pekerjaan berpenghasilan
tinggi di sektor modern, ditentukan oleh kombinasi dari variabel
berikut: (Todaro, 2000)
1. Perbedaan tingkat upah di sektor modern yang
membutuhkan pendidikan tertentu, dengan sektor-sektor
lain (misal pertanian keluarga, usaha kecil, sektor informal,
dan sebagainya). Semakin besar perbedaan penghasilan
yang terjadi, semakin besar pula permintaan terhadap
pendidikan.
2. Besar kecilnya kemungkinan untuk mendapatkan
pekerjaan di sektor modern. Apabila pertumbuhan
kesempatan kerja melebihi pertumbuhan angkatan kerja,
yang artinya pengangguran semakin rendah, maka
12
semakin besar seseorang untuk memperoleh pekerjaan.
Karena kemungkinan sukses di dunia kerja berbanding
terbalik dengan tingkat pengangguran, maka kita dapat
mengungkap bahwa tingkat permintaan terhadap
pendidikan, katakanlah SMA/SMK berbanding terbalik
dengan tingkat pengangguran di kalangan SMA/SMK.
3. Biaya-biaya langsung pendidikan individual. Biaya-biaya ini
meliputi SPP, buku-buku, pakaian seragam, transportasi,
dan ongkos-ongkos lainnya. Bagi penduduk miskin, biaya-
biaya ini cukup memberatkan. Semakin mahal biaya-biaya
pendidikan individual, semakin rendah permintaan
pendidikan.
4. Biaya-biaya pendidikan yang bersifat tidak langsung atau
opportunity cost. Investasi pendidikan bagi seorang anak
bukan hanya meliputi biaya-biaya langsung ataupun biaya-
biaya moneter yang harus dikeluarkan secara nyata, akan
tetapi juga biaya-biaya yang berupa pendapatan potensial
yang harus dikorbankan, apalagi bila dia sudah dapat
memberikan kontribusi terhadap penghasilan keluarga.
Kita sudah dapat menduga bahwa permintaan pendidikan
berhubungan terbalik dengan opportunity cost.
Sebenarnya masih ada beberapa variabel nonekonomi yang
dapat mempengaruhi permintaan pendidikan, misalnya budaya.
Di kalangan masyarakat agraris, seringkali orang tua lebih suka
anaknya bekerja di sawah daripada bersekolah. Kadang kala,
anak laki-laki lebih diprioritaskan untuk mengenyam pendidikan
tinggi daripada anak perempuan.
Ekonomi yang terus tumbuh berbuah pada terjadinya
pergeseran-pergeseran struktur pekerjaan ke arah yang lebih
teknis dan profesional, sehingga
13
kebutuhan-kebutuhan/permintaan tenaga kerja juga bergeser ke
arah yang lebih spesifik. Sementara itu dari sisi penawaran
tenaga kerja, terdapat bermacam-macam tipe karakter; tenaga
kerja berpendidikan rendah, sedang ataupun berpendidikan
tinggi. Tenaga kerja berpendidikan menengah dan berpendidikan
tinggi sekalipun berbeda spesifikasinya. Apabila spesifikasi yang
dibutuhkan (permintaan) tidak sesuai dengan spesifikasi yang
ditawarkan, maka terjadilah apa yang dinamakan pengangguran
terdidik. Bisa juga terjadi tenaga kerja berpendidikan tinggi
menempati posisi yang seharusnya ditempati oleh tenaga kerja
dengan pendidikan lebih rendah, yang biasa disebut educational
deepening (Perkins et al, 2001:332). Ini merupakan sebuah
pemborosan sumber daya, karena investasi yang telah dilakukan
untuk pendidikan yang seharusnya dapat digunakan untuk hal
yang lebih produktif, menjadi sia-sia.
Tabel 3. Pengangguran Menurut Pendidikan 2003-2008 (dalam ribu)
Tahun
Tdk sek&blm
tamat sek.SD SMP SMA SMK
Diploma,
Akade
mi
Univer-
sitasJUMLAH
2003 1062,9 2.495,92.458,
92.435,
81.037,
1202,8 245,9 9.939,3
2004 1004,3 2.275,32.690,
92.441,
21.254,
3237,3 348,1 10.251,4
Feb-2005
1012,8 2.541,02.680,
82.680,
81.230,
8322,8 385,4 10.854,4
Nop-2005
938 2.729,93.151,
23.069,
32.037,
6308,5 395,5 12.630,0
Feb-2006
849,5 2.675,52.860,
02.842,
91.204,
1297,2 375,6 11.104,8
Agst-2006
782 2.589,72.730,
02.851,
51.305,
2278,1 395,6 10.932,1
Feb-2007
666,1 2.753,52.643,
12.630,
41.114,
7330,3 409,9 10.548,0
Agst-2007
532,88 2.179,82.264,
22.532,
21.538,
3397,2 566,6 10.011,2
14
Feb-2008
528,2 2.216,72.166,
62.204,
41.165,
6519,9 626,2 9.427,6
Sumber: Kompas 22/08/2008
Fenomena penganggur terdidik yang terjadi di Indonesia
cukup memprihatinkan, terutama lulusan perguruan tinggi.
Penganggur berpendidikan tinggi justru menunjukkan trend yang
meningkat dari 202.800 orang pada 2003 untuk penganggur
berpendidikan diploma, menjadi 519.900 orang pada Februari
2008, atau naik ± 2,56 kali lipat. Penganggur berpendidikan
universitas naik dari 245.900 orang pada 2003 menjadi 626.200
pada 2008, naik ± 2,55 kali lipat. Kondisi ini menunjukkan
sebuah paradox, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan justru
tingkat penganggurannya semakin bertambah dari tahun ke
tahun.
Jumlah penganggur berpendidikan menengah pada tahun
2003 sebanyak 3,473 juta, menurun menjadi 3,370 juta pada
Februari 2008. Akan tetapi bila dipisahkan antara yang
berpendidikan umum dan berpendidikan kejuruan, maka peng-
anggur berpendidikan menengah kejuruan justru mangalami
peningkatan dari 1,0371 juta orang menjadi 1,165 juta orang
pada Februari 2008.
Secara umum, tingkat pengangguran mengalami kenaikan
selama tahun 2003-2005, kemudian menurun sampai 2008.
Tahun 2005 merupakan periode yang sulit bagi perekonomian,
karena pada waktu itu terjadi kenaikan harga BBM sebagai
akibat kebijakan pengurangan subsidi bahan bakar oleh
pemerintah. Namun dengan kombinasi berbagai kebijakan anti
kemiskinan dan kebijakan yang menstimulus perekonomian,
keadaan mulai membaik. Jumlah pengangguran terus berkurang
dari 12,6 juta pada November 2006 menjadi 9,4 juta pada
Februari 2008.
15
Jika dilihat dari komposisinya, penganggur pada Februari
2008 yang terbanyak adalah angkatan kerja yang berpendidikan
SD sebesar 2,2 juta orang (23,51%), SMA 2,2 juta (23,38%), SMP
2,1 juta (22,98%) dan SMK 1,2 juta (12,36%), Universitas 626,2
ribu (6,6%) dan Diploma/Akademi 519,9 ribu (5,5%). Sedangkan
sebelumnya pada tahun 2003, penganggur terbanyak dari
lulusan SD 2,496 juta (25,11%), lulusan SMP 2,459 juta (24,74),
lulusan SMA 2,436 juta (24,51%), penganggur tak terdidik 1,063
juta (10,69%), lulusan SMK 1,037 juta (10,43%) dan lulusan
Universitas serta Diploma/Akademi masing-masing 245,9 ribu
dan 202,8 ribu (masing-masing sekitar 2%). Jadi benar bahwa
pendidikan yang sangat rendah lebih berpeluang untuk menjadi
penganggur.
Namun demikian, pada saat terjadi peningkatan jumlah
penganggur di semua tingkat pendidikan pada Nov. 2005,
penganggur tidak terdidik (tidak pernah sekolah dan belum
tamat sekolah) justru menunjukkan penurunan. Artinya mereka
mampu mempertahankan pekerjaannya. Penurunan ini terus
terjadi sampai Februari 2008. Sedangkan penganggur
berpendidikan SMA mula-mula naik dari 2003-2005, kemudian
terus turun sampai 2008. Di sisi lain, tidak seperti yang diharap-
kan, penganggur bependidikan SMK meningkat dari 1,037 juta
pada 2003 menjadi 1,166 juta pada Februari 2008. Situasi ini
bisa jadi disebabkan karena pertumbuhan penawaran tenaga
kerja SMK yang terlalu cepat dibandingkan pertumbuhan
kebutuhan/kesempatan kerjanya, meningkatnya partisipasi kerja
tamatan SMK, ataupun karena tidak berimbangnya jumlah spesi-
fikasi/jurusan SMK dengan kebutuhan dunia usaha.
16
Pendidikan dan Pertumbuhan EkonomiPendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi
Schiff (1999) melihat bahwa negara-negara miskin yang
dapat tumbuh lebih cepat dari pada negara-negara lain adalah
mereka yang memiliki stok awal human capital melampaui rata-
rata human capital negara-negara miskin lain. Sebagai contoh
negara-negara berkembang di Asia Timur memiliki kenaikan PDB
per kapita yang tinggi selama 3 dekade terakhir; 10 kali di
Malaysia, 65 kali di Republik Korea, 13 kali di Thailand.
Sementara negara-negara berkembang lain seperti Bhutan,
Kamboja dan negara-negara berkembang di Asia Selatan yakni
Bangladesh, India dan Pakistan hanya mempunyai kenaikan
pendapatan rata-rata antara 2-5 kali dalam periode yang sama
(Mamoon 2007). Padahal pada tahun 1960-an kondisi negara-
negara ini relatif sama dalam tahapan pembangunannya.
Negara-negara Asia Timur pada saat itu jauh memimpin dalam
human capitalnya. Tingkat melek huruf negara-negara Asia
Timur pada saat itu 71% di Korea, 68% di Thailand dan lebih dari
50% di Malaysia. Di sisi lain, di negara-negara kurang
berkembang di Asia Timur dan di negara-negara berkembang di
Asia Selatan tingkat melek hurufnya hanya 9% di Nepal, 15% di
Pakistan, dan 38% di Kamboja. Pada tahun 1990-an, tingkat
melek huruf di Korea 98%, dan di Malaysia sekitar 90%.
Kemajuan ekonomi di Asia Timur selama tahun 1980-an mungkin
terjadi karena majunya human capital endowment mereka yang
telah dibangun sejak 1960-an atau lebih awal.
Tabel 4. Tingkat Melek Huruf, Partisipasi Sekolah, PDB per kapita, dan Human Development Index Beberapa Negara 2005
Negara % Tingkat melek huruf
% partisip
asi sekolah
PDB per kapita (PPP US$)
HDI
17
(usia >15 th)
Italy 98,4 90,6 28.529 0,941
Israel 97,1 89,6 25.864 0,932
Portugal 93,8 89,8 20.410 0,897
Kuwait 93,3 74,9 26.321 0,891
Singapore 92,5 87,3 29.663 0,922
Brunai Darussalam 92,7 77,7 28.161 0,894
Korea - 96,0 22.02
9 0,921
Malaysia 88,7 74,3 10.88
2 0,811
Thailand 92,6 71,2 8.67
7 0,781
China 90,9 69,1 6.75
7 0,777
Philippines 92,6 81,1 5.13
7 0,771
Indonesia 90,4 68,2 3.84
3 0,728
Papua New Guinea 57,3 40,7 2.532 0,530
India 61 63,8 3.45
2 0,619
Cambodia 73,6 60,0 2.72
7 0,598
Myanmar 89,9 49,5 1.027 0,583
Pakistan 49,9 40,0 2.370 0,551
Bangladesh 47,5 56,0 2.053 0,547
Nigeria 69,1 56,2 1.128 0,470
Congo 67,2 33,7 714 0,411
Ethiopia 35,9 42,1 1.055 0,406
Developing contries 76,7 64,1 5.28
2 0,691
East Asia & the Pacific 90,7 69,4 6.60
4 0,771
Latin America & the Caribbean 90,3 81,2
8.417 0,803
South Asia 59,5 60,3 3.41
6 0,611
Sub-Saharan Africa 60,3 50,6 1.99
8 0,493
18
Central, Eastern Europe & the CIS 99 83,5
9.527 0,808
Sumber: UNDP World Bank, Human Development Report 2007
Tabel 4 melaporkan bahwa ada kecenderungan yang positif
antara PDB per kapita dengan tingkat melek huruf dan tingkat
partisipasi sekolah. Pada tahun 2005, tingkat melek huruf di
Indonesia sebesar 90,4%, tingkat partisipasi sekolah 68,2% dan
PDB perkapita US $ 3.843. Di Singapura, PDB per kapita relatif
tinggi yaitu sebesar US $ 29.663, dan tingkat melek huruf serta
partisipasi sekolahnya berturut-turut 92,5% dan 87,3%. Se-
dangkan di Malaysia, PDB per kapitanya sebesar US $ 10.882
dengan tingkat melek huruf dan partisipasi sekolah sebesar
88,7% dan 74,3%. Secara rata-rata PDB per kapita di Asia Timur
dan Pasifik sebesar US $ 6.604, dengan tingkat melek huruf
90,7% dan partisipasi sekolah 69,4%. Angka-angka ini relatif
tinggi dibandingkan rata-rata di Sub-Sahara Afrika di mana PDB
per kapitanya hanya US $ 1.998, tingkat melek huruf 60,3% dan
partisipasi sekolah 50,6%. Semakin tingginya PDB per kapita juga
diikuti oleh semakin membaiknya kualitas hidup, yang tercermin
dari Human Capital Index/HDI5.
Komponen-komponen human capital, sebagaimana
dikatakan oleh Goode maupun Becker, dapat menambah
pengetahuan dan teknologi serta kemampuan dan keahlian
seseorang, sehingga dapat membuat proses produksi lebih
efisien. Penyebaran pengetahuan dan teknologi dapat membuat
5 HDI merupakan indikator yang diperkenalkan oleh UNDP pada 1990 untuk mengukur kesejahteraan yang lebih universal. HDI ini kemudian di Indonesiakan menjadi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM disusun dari tiga komponen yaitu: lamanya hidup, diukur dengan harapan hidup pada saat lahir, tingkat pendidikan diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk 15 tahun ke atas (dengan bobot 2/3) dan rata-rata lamanya sekolah (dengan bobot 1/3), dan tingkat kehidupan layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan purchasing power parity (PPP rupiah).
19
produksi secara umum menjadi lebih efisien sehingga
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi dalam human
capital selain mempengaruhi produktivitas individual, juga
memiliki dampak eksternal secara sosial. Pendidikan yang lebih
tinggi membuat tingkat kesehatan publik lebih baik, kriminalitas
lebih rendah, lingkungan yang lebih baik, partisipasi politik
masyarakat lebih luas, yang semuanya berdampak pada pertum-
buhan ekonomi yang lebih baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Robert J. Barro dengan
menggunakan data-data dari 100 negara selama 1965-1995
telah membuktikan adanya keterkaitan antara human capital
dengan pertumbuhan ekonomi (Barro, 2001). Sedang menurut
Romer (1990), human capital berpengaruh pada munculnya
gagasan-gagasan dan teknologi-teknologi baru, yang mana
selanjutnya mempengaruhi kualitas tenaga kerja dan
pertumbuhan ekonomi (Hanushek & Kimko, 2000). Investasi
modal insani merupakan investasi nonmaterial yang penting
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
mendorong pertumbuhan ekonomi (Meier 1995). Rendahnya
human capital di negara berkembang dapat dianggap sebagai
penyebab langgengnya kemiskinan di sana. Menurut Goode tidak
efisiennya human capital di negara berkembang ini menjadi
alasan penting mengapa tingkat output rendah dan kemiskinan
tetap bertahan. Aktivitas pendidikan merupakan pilihan orang
secara individual. Akan tetapi dapat mempunyai dampak baik
secara mikro maupun makro, sebagaimana digambarkan oleh
Katharina Michaelowa sebagai berikut (Dahlin, 2002):
Gambar 2. Dampak Pendidikan pada Tingkat Mikro dan Makro
20
Sumber: Dahlin, 2002.
Dari Gambar 2 dapat ditunjukkan bahwa ada keterkaitan
yang saling mempengaruhi antara pendidikan dengan
eksternalitas serta efek-efek tak langsung lain yang
berhubungan dengan pendidikan, kesehatan dan pertumbuhan
penduduk, seperti kesehatan yang baik, mortalitas rendah,
fertilitas rendah (aspek mikro). Variabel-variabel ini mempe-
ngaruhi dan juga dipegaruhi oleh pendidikan. Penduduk yang
berpendidikan lebih mampu untuk memelihara kesehatan,
sehingga tingkat mortalitas rendah, dan juga umumnya mampu
mengendalikan fertilitas. Pendidikan dan variabel-variabel yang
dimaksud mempengaruhi produktivitas seseorang sehingga
berpengaruh pula pada pendapatan. Pendidikan yang dijalani
oleh seseorang juga dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya
(eksternalitas positif) dan dapat meningkatkan partisipasi
angkatan kerja. Dilihat dari aspek makro, pendidikan
berpengaruh pada tingkat kesehatan, tingkat fertilitas (rendah),
mortalitas (rendah) yang kesemuanya itu membawa dampak
pada laju pertumbuhan penduduk yang rendah dan tingkat
kesehatan yang lebih baik pada angkatan kerja. Bersama-sama
21
dengan peningkatan produktivitas individual maupun
masyarakat, dan meningkatnya tingkat partisipasi kerja
penduduk, maka dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan (dan kesehatan), sebagai bagian dari human
capital dapat mengubah cara berpikir seseorang menjadi lebih
imajinatif, kreatif, dan sistematis, serta lebih cepat dalam
menyerap informasi dan menggunakannya sehingga aktivitas
yang dikerjakan bisa dilakukan dengan efisien.
Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan KemiskinanPertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Kemiskinan
Pendidikan digambarkan dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi, seperti yang telah dibuktikan oleh
beberapa peneliti. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi juga dapat
mempengaruhi kemajuan pendidikan masyarakat. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi meningkatkan kemampuan masyarakat
(dan pemerintah) dalam mengembangkan sistem pendidikannya.
Dan yang lebih penting, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat
meningkatkan kualitas hidup manusia; baik kesehatan maupun
pendidikan, serta dapat meningkatkan kesempatan kerja dan
mengurangi pengangguran.
Kualitas hidup manusia yang lebih baik merupakan tujuan
yang akan dicapai dalam pembangunan ekonomi di kebanyakan
negara-negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Salah
satu pilarnya adalah pemberantasan kemiskinan dan
peningkatan pencapaian tingkat pendidikan.6 Perekonomian yang
tumbuh dengan baik, dapat membawa perubahan struktural
6 Seperti dicanangkan dalam deklarasi internasional mengenai millenium development goals pada tahun 2000 bahwa diharapkan pada tahun 2015 kemiskinan dan kelaparan di negara-negara berkembang sudah dapat diberantas hingga 50% (goal 1) dan semua anak di manapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar (goal 2) (United Nations, 2008:12)
22
dalam penciptaan kesempatan kerja7, mengurangi pengangguran
dan menurunkan tingkat kemiskinan. Dalam skala mikro, per-
tumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan modal
insani, produktivitas tenaga kerja, upah/pendapatan dan
menurunkan kemiskinan. Keterkaitan antara pertumbuhan
ekonomi, kesempatan kerja dan kemiskinan dapat digambarkan:
Gambar 3. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Penurunan Kemiskinan.
7 Prosentase perubahan kesempatan kerja yang diakibatkan oleh setiap persen pertumbuhan ekonomi menunjukkan elastisitas kesempatan kerja (employment elasticity)
23
Economic
growth
Productive capacity
Employment with rising
productivity
Increased productive capacity
Higher expenditure on health, education, and skill
development
Higher income of the poor
Sumber: Islam, Rizwanul, 2004
Kemiskinan sangat erat sekali hubungannya dengan relatif
sempitnya kesempatan kerja, terutama bagi angkatan kerja yang
tidak berpendidikan dan tidak mempunyai keahlian.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membutuhkan lebih
banyak tenaga kerja terutama di sektor-sektor yang
menggunakan tenaga kerja secara intensif, sehingga dapat
menyediakan kesempatan kerja yang lebih luas. Namun
demikian tidak semua tipe angkatan kerja dapat terserap dalam
sektor-sektor ini. Perkembangan teknologi yang cepat dan
terintegrasi dalam perkembangan perekonomian menuntut
pengetahuan dan ketrampilan tenaga kerja yang semakin maju,
di mana mayoritas dimiliki oleh tenaga kerja berpendidikan
tinggi. Mereka yang tidak dapat berintegrasi dalam sistem
perekonomian ini menjadi tertinggal. Oleh karena itu mereka
harus menyesuaikan diri dengan meningkatkan
keahlian/ketrampilannya. Dalam hal ini tenaga kerja berpendi-
dikan vokasional/kejuruan lebih diharapkan mampu memenuhi
kebutuhan sektor-sektor ekonomi.
Perencanaan Tenaga Kerja (Perencanaan Tenaga Kerja (Manpower PlanningManpower Planning))
Ada anggapan bahwa tingkat pendidikan tertentu diperlukan
jika seseorang mau mengisi sebuah peranan pekerjaan tertentu.
Pertumbuhan ekonomi diharapkan menggeser struktur pekerjaan
ke arah yang lebih profesional, teknis, dan pekerja industri harus
mengikuti pola yang didefinisikan dari pengembangan
pendidikan untuk menentukan jenis-jenis pelatihan yang
dibutuhkan. Untuk itu diperlukan adanya manpower planning.
24
Manpower planning mendasarkan diri pada anggapan bahwa
kebutuhan perekonomian untuk tenaga kerja terdidik dapat
diprediksi dan pertumbuhan perencanaan sistem pendidikan
untuk menghindari kekurangan-kekurangan tenaga kerja yang
dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan surplus tenaga
kerja yang memboroskan sumber daya pendidikan sehingga
memperbanyak pengangguran terdidik ataupun ‘brain drain’.
Adapun metode dalam manpower planning adalah dengan
membandingkan proyeksi permintaan tenaga kerja yang
dibutuhkan dengan proyeksi penawaran tenaga kerja. Untuk
memprediksi kebutuhan tenaga kerja di masa datang, langkah-
langkah yang dilakukan adalah:
1. Prediksi dengan menggunakan proyeksi pekerjaan atau
ekstrapolipolatsi dari kecenderungan di masa lampau.
2. Mengestimasi perubahan struktural output sektoral dari
tingkat pertumbuhan keseluruhan.
3. Tenaga kerja sektoral diestimasi menggunakan asumsi
pertumbuhan produktifitas tenaga kerja atau elastisitas
pertumbuhan tenaga kerja relatif terhadap pertumbuhan
output
4. Tenaga kerja industri dibagi kedalam kategori pekerjaan
menggunakan asumsi mengenai struktur persyaratan pada
masing-masing industri.
5. Persyaratan pekerjaan diterjemahkan ke dalam masalah
pendidikan melalui asumsi tentang pendidikan macam apa
yang tepat untuk masing-masing kelompok pekerjaan.
Kelima tahapan ini dilakukan untuk memperkirakan
persyaratan tenaga kerja beberapa tahun mendatang. Untuk
memperkirakan penawaran tenaga kerja pada tahun tertentu,
pertama kita menyesuaikan stok tenaga kerja sekarang dengan 25
mempertimbangkan pengunduran diri, kematian, emigrasi, dan
penarikan kembali dari angkatan kerja. Selanjutnya,
memproyeksikan kenaikan penawaran tenaga kerja melalui
output dari sistem sekolah, immigrasi, dan angkatan kerja yang
baru masuk. Proyeksi penawaran tenaga kerja dibandingkan
dengan proyeksi persyaratannya. Jika terjadi gap, harus
dilakukan percepatan enrollment sekolah. Adakalanya
menggunakan cara lain yaitu dengan meng-upgrade pekerja-
pekerja kurang trampil atau memasukkan pekerja-pekerja asing.
PenutupPenutup
Pendidikan merupakan aset yang yang melekat pada
seseorang, di mana sangat berperan dalam mencapai tingkatan
produktivitas pada setiap kegiatan yang dilakukannya. Sudah
banyak studi yang membuktikan secara empiris bahwa
pencapaian pendidikan mempunyai andil pada perolehan
pendapatan. Sebaliknya, perolehan pendapatan seseorang mem-
pengaruhi pencapaian pendidikan anggota keluarganya.
Seseorang dengan pendapatan berlebih mempunyai kesempatan
untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai pendidikan tinggi
dan dapat memilih sekolah yang berkualitas bagus. Hal yang
sebaliknya terjadi pada mereka yang tergolong miskin. Penduduk
miskin harus bekerja keras untuk memperoleh pendapatan, dan
mereka mungkin mengenyampingkan masalah pendidikan dan
kesehatan anggota keluarga mereka. Tidak jarang anak-anak
dari keluarga miskin harus ikut bekerja membantu orang tuanya,
sehingga tingkat pencapaian pendidikannya rendah.
Pola distribusi pendapatan yang timpang akan berdampak
pada pola pencapaian pendidikan yang timpang pula. Anak-anak
dari keluarga miskin cenderung mempunyai tingkat pencapaian
26
pendidikan rendah. Disamping karena keterbatasan dana untuk
membiayai sekolah, juga karena keterbatasan gizi yang mareka
asup, dan keterbatasan sarana serta prasarana menyebabkan
daya pikir dan kreativitas mereka terhambat. Hal ini
mempersempit kesempatan untuk memperolah pekerjaan
dengan upah/pendapatan layak, sehingga mereka tetap
terbelenggu dalam kemiskinan.
Untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan
pendapatan, diperlukan intervensi pemerintah melalui kebijakan-
kebijakan yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi yang
memperluas kesempatan kerja. Selain itu juga memperluas
akses bagi penduduk miskin untuk memperoleh layanan
pendidikan dan kesehatan yang layak sebagai investasi dalam
modal insani. Kebijakan dalam bidang pendidikan diutamakan
pada pendidikan kejuruan/vokasional di tingkat lanjutan setelah
pencapaian pendidikan dasar. Ini perlu dirancang dalam suatu
manpower planning.
27