Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

34
PENDIDIKAN, KEMISKINAN, DAN PENDIDIKAN, KEMISKINAN, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI PERTUMBUHAN EKONOMI Oleh: Sulistiyanti Pendidikan, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi saling terkait satu sama lain. Tingkat pendidikan yang rendah sering kita jumpai melekat pada penduduk yang kurang beruntung perekonomiannya (miskin secara materi/ekonomi). Rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh penduduk miskin ini membuat mereka kurang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, sehingga menghambat mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Kemiskinan juga menghambat mereka untuk mengkonsumsi nutrisi bergizi, dan dengan rendahnya tingkat pengetahuan yang mereka miliki, mereka kurang bisa memelihara lingkungan yang menyehatkan. Dari sudut pandang ekonomi, kesemuanya itu akan menghasilkan sumber daya manusia yang kurang berkualitas, atau dapat dikatakan memiliki tingkat produktivitas yang rendah. 1

description

Education, poverty and economic growth are linked each other. Inequality in income brings a matter to a head inequality in education and makes a circle.

Transcript of Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Page 1: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

PENDIDIKAN, KEMISKINAN, DANPENDIDIKAN, KEMISKINAN, DAN

PERTUMBUHAN EKONOMIPERTUMBUHAN EKONOMI

Oleh:

Sulistiyanti

Pendidikan, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi saling

terkait satu sama lain. Tingkat pendidikan yang rendah sering

kita jumpai melekat pada penduduk yang kurang beruntung

perekonomiannya (miskin secara materi/ekonomi). Rendahnya

pendidikan yang dimiliki oleh penduduk miskin ini membuat

mereka kurang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang

memadai, sehingga menghambat mereka untuk memperoleh

pekerjaan yang layak. Kemiskinan juga menghambat mereka

untuk mengkonsumsi nutrisi bergizi, dan dengan rendahnya

tingkat pengetahuan yang mereka miliki, mereka kurang bisa

memelihara lingkungan yang menyehatkan. Dari sudut pandang

ekonomi, kesemuanya itu akan menghasilkan sumber daya

manusia yang kurang berkualitas, atau dapat dikatakan memiliki

tingkat produktivitas yang rendah. Hal ini juga berimbas pada

terbatasnya upah/pendapatan yang dapat mereka peroleh.

Pada skala makro, produktivitas tenaga kerja rata-rata yang

rendah akan menghasilkan output agregat yang rendah pula bila

tidak diimbangi dengan tingginya produktivitas input lainnya.

Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja

1

Page 2: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

adalah melalui investasi modal insani/human capital investment.1

Investasi dalam human capital menghasilkan pengembangan

teknis, proses-proses produksi dan produk-produk baru serta

meningkatkan efisiensi ekonomi. Sebagaimana perkembangan

phisical capital, human capital turut andil dalam mendorong

pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi akan

mendorong lebih banyak penggunaan input-input dan

terciptanya kesempatan kerja yang lebih luas. Meningkatnya

pendapatan juga dapat diartikan dengan semakin besarnya

kesempatan untuk investasi modal insani, baik dalam konteks

individu maupun agregat.

Perkembangan perekonomian yang disertai dengan

berkembangnya teknologi, informasi dan komunikasi akan

membutuhkan pekerja-pekerja yang lebih trampil dan

berpengetahuan, di mana hanya dapat disediakan oleh tenaga

kerja terdidik/trampil. Mereka yang tidak masuk dalam kategori

ini (biasanya kelompok masyarakat miskin yang tidak punya

kesempatan untuk melanjutkan ke sekolah tinggi), tertahan pada

sektor-sektor tradisional. Ini membuat perekonomian tetap

mempertahankan sistem dualismenya, dan ketimpangan tetap

bertahan.

PendidikanPendidikan

Pendidikan diartikan sebagai pengetahuan atau ketrampilan

yang diperoleh dan dikembangkan dari sebuah proses belajar.

Merujuk pada UU No. 20 tahun 2003 pasal 13, jalur pendidikan

terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang

dapat saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain.

1 Modal insani dapat diartikan sebagai kemampuan dan keahlian manusia dalam suatu kegiatan produktif, untuk memperoleh pendapatan dan standar kehidupan yang layak. Dalam Dictionary of Economics human capital diartikan sebagai ‘the body of human knowledge that contributes “know how” to productive activity’.

2

Page 3: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Pendidikan formal diselenggarakan oleh lembaga-lembaga

pendidikan (sekolah). Pendidikan formal di Indonesia berjenjang

mulai dari pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs), pendidikan

menengah (SMA/MA dan SMK/MAK) dan pendidikan tinggi.

Sedangkan kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga

dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Pendidikan nonformal (pasal 26 UU No. 20 tahun 2003),

diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan

layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,

penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka

mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal

berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan

penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan

fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian

profesional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan

kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan

kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan

keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,

pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan

untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan

pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga

pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat,

dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

Sedangkan pendidikan informal merupakan kegiatan

pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan,

berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Ketentuan mengenai

pengakuan terhadap hasil pendidikan informal diatur lebih lanjut

dengan peraturan pemerintah. Apapun jenis pendidikannya,

kesemuanya menuju pada satu hal, yaitu proses pembelajaran

untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta kualitas

hidup manusia.

3

Page 4: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

KemiskinanKemiskinan

Kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang dalam

kamus besar Bahasa Indonesia berarti serba kekurangan. Adanya

prefik dan afik ke-an menunjukkan sifatnya yang plural. Jadi

kemiskinan menunjukkan adanya sekelompok orang yang serba

kekurangan. Masyarakat subsisten yang tidak berpenghasilan

atau berpenghasilan tapi rendah, bisa jadi tidak merasa miskin

karena mereka merasa sudah terpenuhi kebutuhannya.

Sebaliknya penduduk urban yang berpenghasilan sedang,

mungkin merasa selalu kekurangan karena gaya hidup hedonis

yang mereka jalani, atau lingkungan budaya tidak sehat yang

mereka hadapi. Dalam hal ini meski kelihatannya mereka

berkecukupan, namun apabila selalu merasa kekurangan,

mereka bisa kita katakan miskin.

Dalam sudut pandang kerangka analisis ekonomi, konsep

kemiskinan yang dibangun bisa dilihat secara relatif ataupun

secara absolut. Kemiskinan relatif mengukur kesenjangan dalam

distribusi pendapatan, yang antara lain dapat diukur dengan

koefisien Gini. Kemiskinan absolut menentukan tingkat penda-

patan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan fisik minimum berupa kecukupan sandang, pangan

dan perumahan yang dapat menjamin kelangsungan hidup

(Todaro, 2000).

Pendidikan, Pendapatan dan KemiskinanPendidikan, Pendapatan dan Kemiskinan

Membicarakan kemiskinan tidak hanya membicarakan

dimensi ekonomi saja, melainkan multi dimensi yang

menyangkut keterbatasan seseorang dalam segala bidang.

Termasuk keterbatasan akses terhadap sumber-sumber

4

Page 5: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

kehidupan seperti akses air bersih, akses terhadap sumber daya

alam, akses terhadap partisipasi politik, ataupun akses terhadap

faktor-faktor produksi fisik dan non fisik (pendidikan dan

kesehatan). Kekurangan dalam pendapatan membuat seseorang

lebih berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan pokok. Mereka

kurang memberi perhatian pada gizi, pendidikan, ataupun

perawatan kesehatan. Padahal elemen-elemen ini merupakan

aset yang cukup penting dalam matapencaharian seseorang.

Seseorang dengan tingkat pendidikan rendah kurang terakomo-

dasi dalam pasar kerja yang memberi jaminan upah layak.

Pendapatan yang rendah membuat penduduk miskin kurang

memperhatikan atau tidak dapat mengakses pendidikan dan

kesehatan dengan baik, sehingga produktivitaspun rendah, dan

oleh karena itu pendapatan yang diperolehpun rendah. Situasi ini

berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya, membentuk

sebuah perangkap kemiskinan.

Pendapatan seseorang diperoleh dari kegiatan/pekerjaan

yang dilakukannya. Mengikuti DFID-World Bank, aset-aset yang

dibutuhkan untuk memperoleh upah/pendapatan

diidentifikasikan menjadi: (Mukherjee et al, 2002)

1. human capital (pendidikan, keahlian dan kesehatan)

2. natural capital (tanah, air, laut, hutan, dan sumber daya la-

in)

3. financial capital (tabungan, sumber-sumber kredit)

4. physical capital (infrastruktur; listrik, transportasi, energi,

peralatan ataupun mesin-mesin)

5. social capital (budaya, jaringan, hubungan kepercayaan,

lembaga-lembaga masyarakat, akses terhadap lembaga-

lembaga sosial)

5

Page 6: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Akses terhadap kelima aset ini sangat berperan bagi

seseorang untuk memperoleh pendapatannya. Seseorang yang

berpendidikan kedokteran misalnya, bisa berpraktek dokter,

berpendidian akuntansi dapat bekerja sebagai akuntan, dan

seterusnya. Pendidikan merupakan bagian dari modal

insani/human capital2 yang berperan dalam peningkatan produk-

tivitas seseorang. Seseorang bekerja sebagai nelayan karena dia

punya akses untuk ke laut. Demikian juga seseorang dapat

menjadi pengusaha apabila dia punya tabungan cukup atau

punya akses terhadap sumber-sumber kredit.

Beberapa penelitian menemukan bahwa perbedaan penda-

patan seseorang atau pekerja terutama karena perbedaan

tingkat pendidikan dan status kesehatan mereka, atau dengan

kata lain perbedaan dalam derajad modal insani/human capital.

Perkins et al menggambarkan adanya korelasi yang kuat antara

tingkat upah/pendapatan dengan lamanya waktu sekolah di

Mexico 1963 (Perkins et al 2001:321). Penelitian yang dilakukan

oleh Mincer mendapatkan bahwa pendapatan individual pekerja

Amerika berhubungan positif dengan pendidikan. Di negara ber-

kembang, Sahn dan Alderman menemukan bahwa pendidikan

berpengaruh positif terhadap upah/pendapatan di Sri Lanka. Ke-

simpulan yang sama juga dihasilkan oleh Khan dan Irfan (1985),

Shabbir (1991), Alderman (1996), Nasir dan Nazli (2000), dari

hasil penelitiannya di Pakistan (Mughal 2007).

Mudah dimengerti jika seseorang yang tidak bependidikan

atau berpendidikan rendah sulit untuk memperoleh

upah/pendapatan yang layak. Selanjutnya dengan rendahnya

pendapatan, mereka akan kesulitan untuk mengakses pen-

2 Richard Goode (1959) mengatakan bahwa human capital consisted of knowledge, skills, attitudes, aptitudes and other acquired traits that contribute to production (Mughal, 2007). Menurut Theodore W. Schultz (1961) modal insani dapat dikembangkan melalui: i) pendidikan formal, ii) program-program pembelajaran dan pelatihan, iii) pelatihan kerja (on the job training), iv) fasilitas kesehatan, dan v) migrasi dan mobilitas kerja.

6

Page 7: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

didikan tinggi yang relatif membutuhkan biaya lebih mahal.

Seperti digambarkan oleh Todaro, di kebanyakan negara-negara

berkembang biaya-biaya pendidikan per murid di jenjang yang

lebih tinggi jauh melampaui biaya pendidikan di tingkat dasar

(Todaro 2000). Selain hambatan finansial, penduduk miskin juga

terhambat pada standard kualifikasi yang dimiliki. Hal ini dise-

babkan karena kemiskinan telah memaksa mereka untuk bekerja

lebih keras, dan mengabaikan kualitas nutrisi dan kesehatan

keluarga mereka sehingga kemampuan anak-anak keluarga

miskin dalam menyerap pelajaran relatif rendah. Keterkaitan

antara pendidikan (sebagai bagian dari modal insani) dengan

kemiskinan digambarkan dalam Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Pendidikan dan Kemiskinan

Sumber: Mughal, Waris Hameed, 2007.

Gambar 1 menunjukkan bahwa kemiskinan (yang disertai

dengan rendahnya pendapatan) menyebabkan rendahnya

investasi modal insani. Rendahnya modal insani ini

mengakibatkan terjadinya ‘malnutrisi’ (kurang gizi), tingkat

kesehatan dan pendidikan rendah. Faktor-faktor ini menghambat

7

Page 8: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

kesempatan mereka untuk memperoleh pekerjaan dengan

upah/pendapatan layak.

Sebaliknya yang terjadi pada mereka yang beruntung

perekonomiannya, mereka dapat mengkonsumsi nutrisi bergizi,

memelihara kesehatan, memfasilitasi anak-anak mereka dengan

buku-buku, uang saku, les, maupun peralatan-peralatan yang

dapat menunjang pembelajaran mereka sehingga memiliki

kesempatan yang lebih besar untuk mencapai pendidikan tinggi

dan kesempatan kerja yang lebih baik. Jadi pola distribusi

pendapatan yang timpang akan berimbas pula pada pola

distribusi investasi human capital, sehingga tanpa intervensi

kebijakan dari pemerintah, maka sistem akan melestarikan

ketimpangan tersebut.

Pendidikan, Kesempatan Kerja dan PengangguranPendidikan, Kesempatan Kerja dan Pengangguran

Sebagian besar pembicaraan mengenai pendidikan dan

pembangunan ekonomi pada umumnya, serta tentang

pendidikan dan kesempatan kerja pada khususnya, berkisar

diantara 2 proses ekonomi yang fundamental, yakni:

1. Interaksi antara permintaan yang bermotivasi ekonomis

dan penawaran yang bermotivasi politik sebagai

tanggapannya, dalam menentukan berapa banyak sekolah

akan didirikan, siapa saja yang mendirikan,

macam/program apa yang dilakukan.

2. Analisis manfaat-biaya baik yang berskala individual

maupun skala sosial, dari masing-masing tingkatan

pendidikan, dan implikasi-implikasi yang ditimbulkan

terhadap strategi investasi di bidang pendidikan.

8

Page 9: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Dari sisi permintaan, ada 2 hal yang paling berpengaruh

tehadap permintaan pendidikan; pertama adalah harapan untuk

mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi. Ini

merupakan manfaat pendidikan secara individual (private bene-

fits of education). Kedua biaya-biaya sekolah yang harus

ditanggung oleh siswa dan atau keluarganya, baik yang bersifat

langsung maupun tidak langsung. Dari faktor pertama yang

membuat seseorang merasa perlu untuk bersekolah, dapat

ditarik kesimpulan bahwa permintaan terhadap pendidikan

merupakan permintaan turunan (derived demand) dari

permintaan terhadap kesempatan kerja. Bagi sebagian besar

masyarakat, terutama masyarakat miskin, pendidikan tidak

sekedar untuk alasan-alasan nonekonomis seperti reputasi,

gengsi, atau kepuasan batin, melainkan untuk alasan ekonomis.

Mereka menginginkan pendidikan sebagai wahana dalam rangka

‘mengamankan’ kesempatan mereka untuk memperoleh

pekerjaan dengan penghasilan baik. Manfaat-manfaat yang

mungkin dapat diperoleh inilah yang kemudian dipertimbangkan

dengan biaya-biayanya.

Tabel 1. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Menurut Pendidikan tahun 2006

PendidikanAngkatan Kerja Pekerja Penganggur

Juta % Juta % Juta %

Maksimum SD 56,47 53,13 52,95 55,63 2,84 25,60

SMP 21,90 20,61 19,04 20,01 4,02 36,23

SMA 14,80 13,93 11,96 12,57 1,68 15,13

SMK 7,13 6,71 5,93 6,23 0,80 7,20

Diploma 2,45 2,30 2,15 2,26 0,45 4,08

Universitas 3,53 3,32 3,16 3,31 1,31 11,76

Jumlah 106,28 100 95,18 100 11,11 100

Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2007

9

Page 10: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Tabel 1 menunjukkan jumlah angkatan kerja3, pekerja dan

penganggur menurut tingkat pendidikan yang diselesaikan.

Sebagian besar angkatan kerja di Indonesia hanya berpendidikan

SD. Dari 106,28 juta angkatan kerja pada 2006, sebesar 53,13%

hanya berpendidikan maksimum Sekolah Dasar. Lulusan SMP

20,61%, lulusan SMA dan SMK 20,64 sisanya 5,62% lulusan

perguruan tinggi. Angkatan kerja yang terserap di pasar kerja,

sebanyak 95,18 juta, dengan komposisi 55,63% maksimum SD,

20,01% lulusan SMP, 18,8% lulusan SMA dan SMK, 5,57% lulusan

perguruan tinggi. Jika dilihat dari prosentasenya, lulusan

universitas yang terserap di pasar kerja sebesar 89,52%. Sedang

lulusan SMP hanya 0,87% saja.

Apabila kita perhatikan distribusi penganggur, 25,6%

berpendidikan maksimum SD, 36,23% berpendidikan SMP,

22,33% berpendidikan SMA/SMK dan 15,84% berpendidikan

Diploma dan Universitas. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi

pendidikan formal seseorang, semakin besar kemungkinan

terserap di pasar kerja. Cukup tingginya angka penganggur di

tingkat pendidikan tinggi menunjukkan bahwa jumlah

penganggur terdidik cukup besar, sekitar 1,31 juta penganggur

berpendidikan universitas. Besarnya penganggur terdidik bisa

jadi karena mereka terlalu memilih-milih pekerjaan yang seki-

ranya dapat memberikan penghasilan yang cukup untuk

menutup biaya pendidikan yang telah dijalani, sehingga

penganggur jenis ini hanya bersifat sementara, atau kita sebut

penganggur friksional.

3 Angkatan kerja didefinisikan sebagai penduduk usia kerja (berumur 15 tahun ke atas) yang selama seminggu sebelum pencacahan, bekerja atau punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja, dan mereka yang tidak bekerja tetapi mencari pekerjaan. Sedangkan pekerja adalah angkatan kerja yang beruntung memperoleh pekerjaan. Pen-duduk usia kerja yang tidak masuk ke dalam pasar kerja, tidak tergolong dalam angkatan kerja. Mereka dikelompokkan sebagai bukan angkatan kerja, tercakup di dalamnya adalah pelajar/mahasiswa, pengurus rumah tangga, dan penerima pendapatan selain pekerja seperti pensiunan.

10

Page 11: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Seseorang merasa perlu untuk sekolah, karena ada harapan

untuk dapat terserap di pasar kerja yang dapat menjamin pene-

rimaan upah cukup. Tenaga kerja dengan pendidikan formal

tinggi lebih banyak mendapat kesempatan kerja di sektor

modern dengan upah tinggi. Berikut ini adalah tabel yang

menunjukkan tingkat penyerapan tenaga kerja menurut pen-

didikan di sektor formal dan informal pada tahun 2006.4

Tabel 2. Tenaga Kerja di Sektor Formal dan Informal Menurut Pendidikan Tahun 2006.

PendidikanSektor Usaha

Formal % Informal % Total

Tidak/belum pernah sekolah

339.156 6,61

4.795.314 93,39

5.134.470

Tidak/belum tamat SD 1.349.2

67 11,29 10.605.0

70 88,71 11.954.

337

SD 5.838.4

88 16,72 29.075.5

35 83,28 34.914.

023

SMTP Umum 5.184.9

04 30,17 12.001.1

21 69,83 17.186.

025

SMTP Kejuruan 340.9

59 28,75 845.06

1 71,25 1.186.0

20

SMTA Umum 7.257.5

24 56,18 5.661.58

3 43,82 12.919.

107

SMTA Kejuruan 4.138.5

03 66,21 2.111.75

7 33,79 6.250.2

60

Diploma I/II 1.030.3

80 91,72 92.991 8,28 1.123.3

71

Diploma III 1.181.8

46 85,48 200.77

7 14,52 1.382.6

23

Universitas 3.011.3

10 88,39 395.38

9 11,61 3.406.6

99

Jumlah

29.672.337  

65.784.598  

95.456.935

Sumber: Statistik Indonesia 2007, diolah

4 Pekerja digolongkan sebagai pekerja sektor formal apabila status pekerjaan utamanya berusaha dengan pegawai/buruh atau sebagai pekerja/buruh/karyawan.

11

Page 12: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Seperti terlihat dalam Tabel 2, semakin tinggi pendidikan

pekerja, semakin besar proporsi yang terserap di sektor formal.

Dari 5,13 juta tenaga kerja tidak bependidikan pada tahun 2006,

sebesar 93,39% bekerja di sektor informal. Lebih dari 69%

pekerja berpendidikan dasar bekerja di sektor informal.

Sebaliknya tenaga kerja berpendidikan menengah ke atas, lebih

dari separoh (>50%) bekerja di sektor formal. Proporsi tenaga

kerja berpendidikan tinggi yang bekerja di sektor formal sebesar

91,72% untuk lulusan Diploma I/II, 85,48% untuk Diploma III dan

88,39% untuk universitas.

Dari sisi penawaran, jumlah sekolah pada tingkat sekolah

dasar, menengah dan universitas lebih banyak ditentukan oleh

proses politik, yang sering tidak ada sangkut pautnya dengan

kriteria ekonomi. Sering kita mendengar program-program studi

atau lembaga-lembaga pendidikan yang tutup setelah beberapa

saat berjalan, akibat dari ‘over supply’ karena kurang matangnya

proses pengambilan keputusan.

Permintaan terhadap tingkat pendidikan yang dianggap

harus dicapai untuk mendapatkan pekerjaan berpenghasilan

tinggi di sektor modern, ditentukan oleh kombinasi dari variabel

berikut: (Todaro, 2000)

1. Perbedaan tingkat upah di sektor modern yang

membutuhkan pendidikan tertentu, dengan sektor-sektor

lain (misal pertanian keluarga, usaha kecil, sektor informal,

dan sebagainya). Semakin besar perbedaan penghasilan

yang terjadi, semakin besar pula permintaan terhadap

pendidikan.

2. Besar kecilnya kemungkinan untuk mendapatkan

pekerjaan di sektor modern. Apabila pertumbuhan

kesempatan kerja melebihi pertumbuhan angkatan kerja,

yang artinya pengangguran semakin rendah, maka

12

Page 13: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

semakin besar seseorang untuk memperoleh pekerjaan.

Karena kemungkinan sukses di dunia kerja berbanding

terbalik dengan tingkat pengangguran, maka kita dapat

mengungkap bahwa tingkat permintaan terhadap

pendidikan, katakanlah SMA/SMK berbanding terbalik

dengan tingkat pengangguran di kalangan SMA/SMK.

3. Biaya-biaya langsung pendidikan individual. Biaya-biaya ini

meliputi SPP, buku-buku, pakaian seragam, transportasi,

dan ongkos-ongkos lainnya. Bagi penduduk miskin, biaya-

biaya ini cukup memberatkan. Semakin mahal biaya-biaya

pendidikan individual, semakin rendah permintaan

pendidikan.

4. Biaya-biaya pendidikan yang bersifat tidak langsung atau

opportunity cost. Investasi pendidikan bagi seorang anak

bukan hanya meliputi biaya-biaya langsung ataupun biaya-

biaya moneter yang harus dikeluarkan secara nyata, akan

tetapi juga biaya-biaya yang berupa pendapatan potensial

yang harus dikorbankan, apalagi bila dia sudah dapat

memberikan kontribusi terhadap penghasilan keluarga.

Kita sudah dapat menduga bahwa permintaan pendidikan

berhubungan terbalik dengan opportunity cost.

Sebenarnya masih ada beberapa variabel nonekonomi yang

dapat mempengaruhi permintaan pendidikan, misalnya budaya.

Di kalangan masyarakat agraris, seringkali orang tua lebih suka

anaknya bekerja di sawah daripada bersekolah. Kadang kala,

anak laki-laki lebih diprioritaskan untuk mengenyam pendidikan

tinggi daripada anak perempuan.

Ekonomi yang terus tumbuh berbuah pada terjadinya

pergeseran-pergeseran struktur pekerjaan ke arah yang lebih

teknis dan profesional, sehingga

13

Page 14: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

kebutuhan-kebutuhan/permintaan tenaga kerja juga bergeser ke

arah yang lebih spesifik. Sementara itu dari sisi penawaran

tenaga kerja, terdapat bermacam-macam tipe karakter; tenaga

kerja berpendidikan rendah, sedang ataupun berpendidikan

tinggi. Tenaga kerja berpendidikan menengah dan berpendidikan

tinggi sekalipun berbeda spesifikasinya. Apabila spesifikasi yang

dibutuhkan (permintaan) tidak sesuai dengan spesifikasi yang

ditawarkan, maka terjadilah apa yang dinamakan pengangguran

terdidik. Bisa juga terjadi tenaga kerja berpendidikan tinggi

menempati posisi yang seharusnya ditempati oleh tenaga kerja

dengan pendidikan lebih rendah, yang biasa disebut educational

deepening (Perkins et al, 2001:332). Ini merupakan sebuah

pemborosan sumber daya, karena investasi yang telah dilakukan

untuk pendidikan yang seharusnya dapat digunakan untuk hal

yang lebih produktif, menjadi sia-sia.

Tabel 3. Pengangguran Menurut Pendidikan 2003-2008 (dalam ribu)

Tahun

Tdk sek&blm

tamat sek.SD SMP SMA SMK

Diploma,

Akade

mi

Univer-

sitasJUMLAH

2003 1062,9 2.495,92.458,

92.435,

81.037,

1202,8 245,9 9.939,3

2004 1004,3 2.275,32.690,

92.441,

21.254,

3237,3 348,1 10.251,4

Feb-2005

1012,8 2.541,02.680,

82.680,

81.230,

8322,8 385,4 10.854,4

Nop-2005

938 2.729,93.151,

23.069,

32.037,

6308,5 395,5 12.630,0

Feb-2006

849,5 2.675,52.860,

02.842,

91.204,

1297,2 375,6 11.104,8

Agst-2006

782 2.589,72.730,

02.851,

51.305,

2278,1 395,6 10.932,1

Feb-2007

666,1 2.753,52.643,

12.630,

41.114,

7330,3 409,9 10.548,0

Agst-2007

532,88 2.179,82.264,

22.532,

21.538,

3397,2 566,6 10.011,2

14

Page 15: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Feb-2008

528,2 2.216,72.166,

62.204,

41.165,

6519,9 626,2 9.427,6

Sumber: Kompas 22/08/2008

Fenomena penganggur terdidik yang terjadi di Indonesia

cukup memprihatinkan, terutama lulusan perguruan tinggi.

Penganggur berpendidikan tinggi justru menunjukkan trend yang

meningkat dari 202.800 orang pada 2003 untuk penganggur

berpendidikan diploma, menjadi 519.900 orang pada Februari

2008, atau naik ± 2,56 kali lipat. Penganggur berpendidikan

universitas naik dari 245.900 orang pada 2003 menjadi 626.200

pada 2008, naik ± 2,55 kali lipat. Kondisi ini menunjukkan

sebuah paradox, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan justru

tingkat penganggurannya semakin bertambah dari tahun ke

tahun.

Jumlah penganggur berpendidikan menengah pada tahun

2003 sebanyak 3,473 juta, menurun menjadi 3,370 juta pada

Februari 2008. Akan tetapi bila dipisahkan antara yang

berpendidikan umum dan berpendidikan kejuruan, maka peng-

anggur berpendidikan menengah kejuruan justru mangalami

peningkatan dari 1,0371 juta orang menjadi 1,165 juta orang

pada Februari 2008.

Secara umum, tingkat pengangguran mengalami kenaikan

selama tahun 2003-2005, kemudian menurun sampai 2008.

Tahun 2005 merupakan periode yang sulit bagi perekonomian,

karena pada waktu itu terjadi kenaikan harga BBM sebagai

akibat kebijakan pengurangan subsidi bahan bakar oleh

pemerintah. Namun dengan kombinasi berbagai kebijakan anti

kemiskinan dan kebijakan yang menstimulus perekonomian,

keadaan mulai membaik. Jumlah pengangguran terus berkurang

dari 12,6 juta pada November 2006 menjadi 9,4 juta pada

Februari 2008.

15

Page 16: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Jika dilihat dari komposisinya, penganggur pada Februari

2008 yang terbanyak adalah angkatan kerja yang berpendidikan

SD sebesar 2,2 juta orang (23,51%), SMA 2,2 juta (23,38%), SMP

2,1 juta (22,98%) dan SMK 1,2 juta (12,36%), Universitas 626,2

ribu (6,6%) dan Diploma/Akademi 519,9 ribu (5,5%). Sedangkan

sebelumnya pada tahun 2003, penganggur terbanyak dari

lulusan SD 2,496 juta (25,11%), lulusan SMP 2,459 juta (24,74),

lulusan SMA 2,436 juta (24,51%), penganggur tak terdidik 1,063

juta (10,69%), lulusan SMK 1,037 juta (10,43%) dan lulusan

Universitas serta Diploma/Akademi masing-masing 245,9 ribu

dan 202,8 ribu (masing-masing sekitar 2%). Jadi benar bahwa

pendidikan yang sangat rendah lebih berpeluang untuk menjadi

penganggur.

Namun demikian, pada saat terjadi peningkatan jumlah

penganggur di semua tingkat pendidikan pada Nov. 2005,

penganggur tidak terdidik (tidak pernah sekolah dan belum

tamat sekolah) justru menunjukkan penurunan. Artinya mereka

mampu mempertahankan pekerjaannya. Penurunan ini terus

terjadi sampai Februari 2008. Sedangkan penganggur

berpendidikan SMA mula-mula naik dari 2003-2005, kemudian

terus turun sampai 2008. Di sisi lain, tidak seperti yang diharap-

kan, penganggur bependidikan SMK meningkat dari 1,037 juta

pada 2003 menjadi 1,166 juta pada Februari 2008. Situasi ini

bisa jadi disebabkan karena pertumbuhan penawaran tenaga

kerja SMK yang terlalu cepat dibandingkan pertumbuhan

kebutuhan/kesempatan kerjanya, meningkatnya partisipasi kerja

tamatan SMK, ataupun karena tidak berimbangnya jumlah spesi-

fikasi/jurusan SMK dengan kebutuhan dunia usaha.

16

Page 17: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Pendidikan dan Pertumbuhan EkonomiPendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi

Schiff (1999) melihat bahwa negara-negara miskin yang

dapat tumbuh lebih cepat dari pada negara-negara lain adalah

mereka yang memiliki stok awal human capital melampaui rata-

rata human capital negara-negara miskin lain. Sebagai contoh

negara-negara berkembang di Asia Timur memiliki kenaikan PDB

per kapita yang tinggi selama 3 dekade terakhir; 10 kali di

Malaysia, 65 kali di Republik Korea, 13 kali di Thailand.

Sementara negara-negara berkembang lain seperti Bhutan,

Kamboja dan negara-negara berkembang di Asia Selatan yakni

Bangladesh, India dan Pakistan hanya mempunyai kenaikan

pendapatan rata-rata antara 2-5 kali dalam periode yang sama

(Mamoon 2007). Padahal pada tahun 1960-an kondisi negara-

negara ini relatif sama dalam tahapan pembangunannya.

Negara-negara Asia Timur pada saat itu jauh memimpin dalam

human capitalnya. Tingkat melek huruf negara-negara Asia

Timur pada saat itu 71% di Korea, 68% di Thailand dan lebih dari

50% di Malaysia. Di sisi lain, di negara-negara kurang

berkembang di Asia Timur dan di negara-negara berkembang di

Asia Selatan tingkat melek hurufnya hanya 9% di Nepal, 15% di

Pakistan, dan 38% di Kamboja. Pada tahun 1990-an, tingkat

melek huruf di Korea 98%, dan di Malaysia sekitar 90%.

Kemajuan ekonomi di Asia Timur selama tahun 1980-an mungkin

terjadi karena majunya human capital endowment mereka yang

telah dibangun sejak 1960-an atau lebih awal.

Tabel 4. Tingkat Melek Huruf, Partisipasi Sekolah, PDB per kapita, dan Human Development Index Beberapa Negara 2005

Negara % Tingkat melek huruf

% partisip

asi sekolah

PDB per kapita (PPP US$)

HDI

17

Page 18: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

(usia >15 th)

Italy 98,4 90,6 28.529 0,941

Israel 97,1 89,6 25.864 0,932

Portugal 93,8 89,8 20.410 0,897

Kuwait 93,3 74,9 26.321 0,891

Singapore 92,5 87,3 29.663 0,922

Brunai Darussalam 92,7 77,7 28.161 0,894

Korea - 96,0 22.02

9 0,921

Malaysia 88,7 74,3 10.88

2 0,811

Thailand 92,6 71,2 8.67

7 0,781

China 90,9 69,1 6.75

7 0,777

Philippines 92,6 81,1 5.13

7 0,771

Indonesia 90,4 68,2 3.84

3 0,728

Papua New Guinea 57,3 40,7 2.532 0,530

India 61 63,8 3.45

2 0,619

Cambodia 73,6 60,0 2.72

7 0,598

Myanmar 89,9 49,5 1.027 0,583

Pakistan 49,9 40,0 2.370 0,551

Bangladesh 47,5 56,0 2.053 0,547

Nigeria 69,1 56,2 1.128 0,470

Congo 67,2 33,7 714 0,411

Ethiopia 35,9 42,1 1.055 0,406

Developing contries 76,7 64,1 5.28

2 0,691

East Asia & the Pacific 90,7 69,4 6.60

4 0,771

Latin America & the Caribbean 90,3 81,2

8.417 0,803

South Asia 59,5 60,3 3.41

6 0,611

Sub-Saharan Africa 60,3 50,6 1.99

8 0,493

18

Page 19: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Central, Eastern Europe & the CIS 99 83,5

9.527 0,808

Sumber: UNDP World Bank, Human Development Report 2007

Tabel 4 melaporkan bahwa ada kecenderungan yang positif

antara PDB per kapita dengan tingkat melek huruf dan tingkat

partisipasi sekolah. Pada tahun 2005, tingkat melek huruf di

Indonesia sebesar 90,4%, tingkat partisipasi sekolah 68,2% dan

PDB perkapita US $ 3.843. Di Singapura, PDB per kapita relatif

tinggi yaitu sebesar US $ 29.663, dan tingkat melek huruf serta

partisipasi sekolahnya berturut-turut 92,5% dan 87,3%. Se-

dangkan di Malaysia, PDB per kapitanya sebesar US $ 10.882

dengan tingkat melek huruf dan partisipasi sekolah sebesar

88,7% dan 74,3%. Secara rata-rata PDB per kapita di Asia Timur

dan Pasifik sebesar US $ 6.604, dengan tingkat melek huruf

90,7% dan partisipasi sekolah 69,4%. Angka-angka ini relatif

tinggi dibandingkan rata-rata di Sub-Sahara Afrika di mana PDB

per kapitanya hanya US $ 1.998, tingkat melek huruf 60,3% dan

partisipasi sekolah 50,6%. Semakin tingginya PDB per kapita juga

diikuti oleh semakin membaiknya kualitas hidup, yang tercermin

dari Human Capital Index/HDI5.

Komponen-komponen human capital, sebagaimana

dikatakan oleh Goode maupun Becker, dapat menambah

pengetahuan dan teknologi serta kemampuan dan keahlian

seseorang, sehingga dapat membuat proses produksi lebih

efisien. Penyebaran pengetahuan dan teknologi dapat membuat

5 HDI merupakan indikator yang diperkenalkan oleh UNDP pada 1990 untuk mengukur kesejahteraan yang lebih universal. HDI ini kemudian di Indonesiakan menjadi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM disusun dari tiga komponen yaitu: lamanya hidup, diukur dengan harapan hidup pada saat lahir, tingkat pendidikan diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk 15 tahun ke atas (dengan bobot 2/3) dan rata-rata lamanya sekolah (dengan bobot 1/3), dan tingkat kehidupan layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan purchasing power parity (PPP rupiah).

19

Page 20: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

produksi secara umum menjadi lebih efisien sehingga

meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi dalam human

capital selain mempengaruhi produktivitas individual, juga

memiliki dampak eksternal secara sosial. Pendidikan yang lebih

tinggi membuat tingkat kesehatan publik lebih baik, kriminalitas

lebih rendah, lingkungan yang lebih baik, partisipasi politik

masyarakat lebih luas, yang semuanya berdampak pada pertum-

buhan ekonomi yang lebih baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Robert J. Barro dengan

menggunakan data-data dari 100 negara selama 1965-1995

telah membuktikan adanya keterkaitan antara human capital

dengan pertumbuhan ekonomi (Barro, 2001). Sedang menurut

Romer (1990), human capital berpengaruh pada munculnya

gagasan-gagasan dan teknologi-teknologi baru, yang mana

selanjutnya mempengaruhi kualitas tenaga kerja dan

pertumbuhan ekonomi (Hanushek & Kimko, 2000). Investasi

modal insani merupakan investasi nonmaterial yang penting

untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan

mendorong pertumbuhan ekonomi (Meier 1995). Rendahnya

human capital di negara berkembang dapat dianggap sebagai

penyebab langgengnya kemiskinan di sana. Menurut Goode tidak

efisiennya human capital di negara berkembang ini menjadi

alasan penting mengapa tingkat output rendah dan kemiskinan

tetap bertahan. Aktivitas pendidikan merupakan pilihan orang

secara individual. Akan tetapi dapat mempunyai dampak baik

secara mikro maupun makro, sebagaimana digambarkan oleh

Katharina Michaelowa sebagai berikut (Dahlin, 2002):

Gambar 2. Dampak Pendidikan pada Tingkat Mikro dan Makro

20

Page 21: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Sumber: Dahlin, 2002.

Dari Gambar 2 dapat ditunjukkan bahwa ada keterkaitan

yang saling mempengaruhi antara pendidikan dengan

eksternalitas serta efek-efek tak langsung lain yang

berhubungan dengan pendidikan, kesehatan dan pertumbuhan

penduduk, seperti kesehatan yang baik, mortalitas rendah,

fertilitas rendah (aspek mikro). Variabel-variabel ini mempe-

ngaruhi dan juga dipegaruhi oleh pendidikan. Penduduk yang

berpendidikan lebih mampu untuk memelihara kesehatan,

sehingga tingkat mortalitas rendah, dan juga umumnya mampu

mengendalikan fertilitas. Pendidikan dan variabel-variabel yang

dimaksud mempengaruhi produktivitas seseorang sehingga

berpengaruh pula pada pendapatan. Pendidikan yang dijalani

oleh seseorang juga dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya

(eksternalitas positif) dan dapat meningkatkan partisipasi

angkatan kerja. Dilihat dari aspek makro, pendidikan

berpengaruh pada tingkat kesehatan, tingkat fertilitas (rendah),

mortalitas (rendah) yang kesemuanya itu membawa dampak

pada laju pertumbuhan penduduk yang rendah dan tingkat

kesehatan yang lebih baik pada angkatan kerja. Bersama-sama

21

Page 22: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

dengan peningkatan produktivitas individual maupun

masyarakat, dan meningkatnya tingkat partisipasi kerja

penduduk, maka dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Pendidikan (dan kesehatan), sebagai bagian dari human

capital dapat mengubah cara berpikir seseorang menjadi lebih

imajinatif, kreatif, dan sistematis, serta lebih cepat dalam

menyerap informasi dan menggunakannya sehingga aktivitas

yang dikerjakan bisa dilakukan dengan efisien.

Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan KemiskinanPertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Kemiskinan

Pendidikan digambarkan dapat mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi, seperti yang telah dibuktikan oleh

beberapa peneliti. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi juga dapat

mempengaruhi kemajuan pendidikan masyarakat. Pertumbuhan

ekonomi yang tinggi meningkatkan kemampuan masyarakat

(dan pemerintah) dalam mengembangkan sistem pendidikannya.

Dan yang lebih penting, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat

meningkatkan kualitas hidup manusia; baik kesehatan maupun

pendidikan, serta dapat meningkatkan kesempatan kerja dan

mengurangi pengangguran.

Kualitas hidup manusia yang lebih baik merupakan tujuan

yang akan dicapai dalam pembangunan ekonomi di kebanyakan

negara-negara berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Salah

satu pilarnya adalah pemberantasan kemiskinan dan

peningkatan pencapaian tingkat pendidikan.6 Perekonomian yang

tumbuh dengan baik, dapat membawa perubahan struktural

6 Seperti dicanangkan dalam deklarasi internasional mengenai millenium development goals pada tahun 2000 bahwa diharapkan pada tahun 2015 kemiskinan dan kelaparan di negara-negara berkembang sudah dapat diberantas hingga 50% (goal 1) dan semua anak di manapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar (goal 2) (United Nations, 2008:12)

22

Page 23: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

dalam penciptaan kesempatan kerja7, mengurangi pengangguran

dan menurunkan tingkat kemiskinan. Dalam skala mikro, per-

tumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan modal

insani, produktivitas tenaga kerja, upah/pendapatan dan

menurunkan kemiskinan. Keterkaitan antara pertumbuhan

ekonomi, kesempatan kerja dan kemiskinan dapat digambarkan:

Gambar 3. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Penurunan Kemiskinan.

7 Prosentase perubahan kesempatan kerja yang diakibatkan oleh setiap persen pertumbuhan ekonomi menunjukkan elastisitas kesempatan kerja (employment elasticity)

23

Economic

growth

Productive capacity

Employment with rising

productivity

Increased productive capacity

Higher expenditure on health, education, and skill

development

Higher income of the poor

Page 24: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Sumber: Islam, Rizwanul, 2004

Kemiskinan sangat erat sekali hubungannya dengan relatif

sempitnya kesempatan kerja, terutama bagi angkatan kerja yang

tidak berpendidikan dan tidak mempunyai keahlian.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membutuhkan lebih

banyak tenaga kerja terutama di sektor-sektor yang

menggunakan tenaga kerja secara intensif, sehingga dapat

menyediakan kesempatan kerja yang lebih luas. Namun

demikian tidak semua tipe angkatan kerja dapat terserap dalam

sektor-sektor ini. Perkembangan teknologi yang cepat dan

terintegrasi dalam perkembangan perekonomian menuntut

pengetahuan dan ketrampilan tenaga kerja yang semakin maju,

di mana mayoritas dimiliki oleh tenaga kerja berpendidikan

tinggi. Mereka yang tidak dapat berintegrasi dalam sistem

perekonomian ini menjadi tertinggal. Oleh karena itu mereka

harus menyesuaikan diri dengan meningkatkan

keahlian/ketrampilannya. Dalam hal ini tenaga kerja berpendi-

dikan vokasional/kejuruan lebih diharapkan mampu memenuhi

kebutuhan sektor-sektor ekonomi.

Perencanaan Tenaga Kerja (Perencanaan Tenaga Kerja (Manpower PlanningManpower Planning))

Ada anggapan bahwa tingkat pendidikan tertentu diperlukan

jika seseorang mau mengisi sebuah peranan pekerjaan tertentu.

Pertumbuhan ekonomi diharapkan menggeser struktur pekerjaan

ke arah yang lebih profesional, teknis, dan pekerja industri harus

mengikuti pola yang didefinisikan dari pengembangan

pendidikan untuk menentukan jenis-jenis pelatihan yang

dibutuhkan. Untuk itu diperlukan adanya manpower planning.

24

Page 25: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

Manpower planning mendasarkan diri pada anggapan bahwa

kebutuhan perekonomian untuk tenaga kerja terdidik dapat

diprediksi dan pertumbuhan perencanaan sistem pendidikan

untuk menghindari kekurangan-kekurangan tenaga kerja yang

dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan surplus tenaga

kerja yang memboroskan sumber daya pendidikan sehingga

memperbanyak pengangguran terdidik ataupun ‘brain drain’.

Adapun metode dalam manpower planning adalah dengan

membandingkan proyeksi permintaan tenaga kerja yang

dibutuhkan dengan proyeksi penawaran tenaga kerja. Untuk

memprediksi kebutuhan tenaga kerja di masa datang, langkah-

langkah yang dilakukan adalah:

1. Prediksi dengan menggunakan proyeksi pekerjaan atau

ekstrapolipolatsi dari kecenderungan di masa lampau.

2. Mengestimasi perubahan struktural output sektoral dari

tingkat pertumbuhan keseluruhan.

3. Tenaga kerja sektoral diestimasi menggunakan asumsi

pertumbuhan produktifitas tenaga kerja atau elastisitas

pertumbuhan tenaga kerja relatif terhadap pertumbuhan

output

4. Tenaga kerja industri dibagi kedalam kategori pekerjaan

menggunakan asumsi mengenai struktur persyaratan pada

masing-masing industri.

5. Persyaratan pekerjaan diterjemahkan ke dalam masalah

pendidikan melalui asumsi tentang pendidikan macam apa

yang tepat untuk masing-masing kelompok pekerjaan.

Kelima tahapan ini dilakukan untuk memperkirakan

persyaratan tenaga kerja beberapa tahun mendatang. Untuk

memperkirakan penawaran tenaga kerja pada tahun tertentu,

pertama kita menyesuaikan stok tenaga kerja sekarang dengan 25

Page 26: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

mempertimbangkan pengunduran diri, kematian, emigrasi, dan

penarikan kembali dari angkatan kerja. Selanjutnya,

memproyeksikan kenaikan penawaran tenaga kerja melalui

output dari sistem sekolah, immigrasi, dan angkatan kerja yang

baru masuk. Proyeksi penawaran tenaga kerja dibandingkan

dengan proyeksi persyaratannya. Jika terjadi gap, harus

dilakukan percepatan enrollment sekolah. Adakalanya

menggunakan cara lain yaitu dengan meng-upgrade pekerja-

pekerja kurang trampil atau memasukkan pekerja-pekerja asing.

PenutupPenutup

Pendidikan merupakan aset yang yang melekat pada

seseorang, di mana sangat berperan dalam mencapai tingkatan

produktivitas pada setiap kegiatan yang dilakukannya. Sudah

banyak studi yang membuktikan secara empiris bahwa

pencapaian pendidikan mempunyai andil pada perolehan

pendapatan. Sebaliknya, perolehan pendapatan seseorang mem-

pengaruhi pencapaian pendidikan anggota keluarganya.

Seseorang dengan pendapatan berlebih mempunyai kesempatan

untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai pendidikan tinggi

dan dapat memilih sekolah yang berkualitas bagus. Hal yang

sebaliknya terjadi pada mereka yang tergolong miskin. Penduduk

miskin harus bekerja keras untuk memperoleh pendapatan, dan

mereka mungkin mengenyampingkan masalah pendidikan dan

kesehatan anggota keluarga mereka. Tidak jarang anak-anak

dari keluarga miskin harus ikut bekerja membantu orang tuanya,

sehingga tingkat pencapaian pendidikannya rendah.

Pola distribusi pendapatan yang timpang akan berdampak

pada pola pencapaian pendidikan yang timpang pula. Anak-anak

dari keluarga miskin cenderung mempunyai tingkat pencapaian

26

Page 27: Pendidikan Kemiskinan Dan Pertumbuhan Ekonomi

pendidikan rendah. Disamping karena keterbatasan dana untuk

membiayai sekolah, juga karena keterbatasan gizi yang mareka

asup, dan keterbatasan sarana serta prasarana menyebabkan

daya pikir dan kreativitas mereka terhambat. Hal ini

mempersempit kesempatan untuk memperolah pekerjaan

dengan upah/pendapatan layak, sehingga mereka tetap

terbelenggu dalam kemiskinan.

Untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan

pendapatan, diperlukan intervensi pemerintah melalui kebijakan-

kebijakan yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi yang

memperluas kesempatan kerja. Selain itu juga memperluas

akses bagi penduduk miskin untuk memperoleh layanan

pendidikan dan kesehatan yang layak sebagai investasi dalam

modal insani. Kebijakan dalam bidang pendidikan diutamakan

pada pendidikan kejuruan/vokasional di tingkat lanjutan setelah

pencapaian pendidikan dasar. Ini perlu dirancang dalam suatu

manpower planning.

27