pendidikan indonesia

6
Dilema Pendidikan Tanpa Filosofi Permasalahan pendidikan di negeri ini tak kunjung usai, pemerintah sendiri pun tak pernah lelah dan berhenti untuk terus memperbaiki dilema pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari rendahnya pemahaman filosofi pendidikan yang diterapkan oleh para penentu kebijakan-kebijakan pendidikan. Arogansi pendidikan tanpa filosof, buah dari wacana kebijakan yang salah kaprah. Ujung- ujungnya menimbulkan pertanyaan tersendiri apakah filosofi pendidikan ini belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia, hingga dunia pendidikan tak kunjung berkembang? Lalu bagaimana memanfaatkan filosofi pendidikan agar mendasari sendi-sendi pendidikan nasional? Sebuah kebijakan tanpa mengacu pada filosofi, bagaikan nasi tanpa garam, hambar tak berbekas. Bila ditelaah lebih dalam rendahnya mutu kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah karena memang penentu kebijakan pendidikan ini belum menyentuh sendi-sendi rakyat, apa yang diperlukan dan dibutuhkan oleh kepribadian serta karakteristik bangsa. Hingga sudah selayaknya, kebijakan pendidikan masih harus ditinjau ulang lebih mendalam. Menurut kajian penulis, adanya dua acuan agar kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah mengacu pada kerangka filosofi. Pertama, kajian filosofi pendidikan sedemikian rupa seharusnya dibentuk berdasarkan pada nilai-nilai nulur Pancasila baik dari sisi relegi (agama), sosial (masyarakat), budaya (karakter dan kepribadian), etika (moral) dan estetika (keindahan). Acuan kedua, melihat bahwa filosofi pendidikan di negeri ini belum menjadikan acuan untuk pengembangan afeksi pada diri peserta didik. Nilai afeksi (perilaku) ini tidak terlepas dari kognitif dan psikomotorik, namun yang ada sekarang pemerintah dalam menentukan kebijakan pendidikan hanya menitik beratkan kepada nilai kognitif, peserta didik diperas keilmuannya hingga memutilasi nilai afeksi dan psikomotoriknya yang semakin luntur. Kenyataannya kebijakan pendidikan yang ada sekarang bisa dikatakan nihil tanpa tujuan pendidikannya yang nyata bagi kehidupan pendidikan. Buktinya semakin banyaknya tingkat pengangguran karena tidak melahirkan lulusan yang siap kerja, semakin maraknya tingkat kejahatan bukan sekedar kejahatan “kelas teri” bahkan kejahatan “kerah putih” semakin merajalela dan sebagainya. Kedua hal tersebut, secara nyata dalam kajian filosofi pendidikan saat ini terkait dengan adanya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang dianggap telah mengingkari makna dan hakekat filosofi pendidikan itu sendiri. Peserta didik hanya dipaku dalam tingkat kognitif, selain itu nilai-nilai nulur

description

Pendidikan ibdonesia

Transcript of pendidikan indonesia

Dilema Pendidikan Tanpa Filosofi

Permasalahan pendidikan di negeri ini tak kunjung usai, pemerintah sendiri pun tak pernah lelah dan berhenti untuk terus memperbaiki dilema pendidikan. Hal ini tidak terlepas dari rendahnya pemahaman filosofi pendidikan yang diterapkan oleh para penentu kebijakan-kebijakan pendidikan. Arogansi pendidikan tanpa filosof, buah dari wacana kebijakan yang salah kaprah. Ujung-ujungnya menimbulkan pertanyaan tersendiri apakah filosofi pendidikan ini belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia, hingga dunia pendidikan tak kunjung berkembang? Lalu bagaimana memanfaatkan filosofi pendidikan agar mendasari sendi-sendi pendidikan nasional? Sebuah kebijakan tanpa mengacu pada filosofi, bagaikan nasi tanpa garam, hambar tak berbekas. Bila ditelaah lebih dalam rendahnya mutu kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah karena memang penentu kebijakan pendidikan ini belum menyentuh sendi-sendi rakyat, apa yang diperlukan dan dibutuhkan oleh kepribadian serta karakteristik bangsa. Hingga sudah selayaknya, kebijakan pendidikan masih harus ditinjau ulang lebih mendalam. Menurut kajian penulis, adanya dua acuan agar kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah mengacu pada kerangka filosofi. Pertama, kajian filosofi pendidikan sedemikian rupa seharusnya dibentuk berdasarkan pada nilai-nilai nulur Pancasila baik dari sisi relegi (agama), sosial (masyarakat), budaya (karakter dan kepribadian), etika (moral) dan estetika (keindahan). Acuan kedua, melihat bahwa filosofi pendidikan di negeri ini belum menjadikan acuan untuk pengembangan afeksi pada diri peserta didik. Nilai afeksi (perilaku) ini tidak terlepas dari kognitif dan psikomotorik, namun yang ada sekarang pemerintah dalam menentukan kebijakan pendidikan hanya menitik beratkan kepada nilai kognitif, peserta didik diperas keilmuannya hingga memutilasi nilai afeksi dan psikomotoriknya yang semakin luntur.

Kenyataannya kebijakan pendidikan yang ada sekarang bisa dikatakan nihil tanpa tujuan pendidikannya yang nyata bagi kehidupan pendidikan. Buktinya semakin banyaknya tingkat pengangguran karena tidak melahirkan lulusan yang siap kerja, semakin maraknya tingkat kejahatan bukan sekedar kejahatan kelas teri bahkan kejahatan kerah putih semakin merajalela dan sebagainya. Kedua hal tersebut, secara nyata dalam kajian filosofi pendidikan saat ini terkait dengan adanya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang dianggap telah mengingkari makna dan hakekat filosofi pendidikan itu sendiri. Peserta didik hanya dipaku dalam tingkat kognitif, selain itu nilai-nilai nulur Pancasila di nomor duakan tanpa melihat betapa pentingnya nilai-nilai Pancasila bagi pembentukan diri mereka (peserta didik) dalam mengarungi hidupnya.

Mengurai pada pertanyaan dasar sebelumnya, apakah filosofi pendidikan ini belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia? Adalah benar adanya, karena para penentu kebijakan cenderung instan (cepat memutuskan tanpa mengkaji lebih dalam) hingga wajar saja dunia pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan generasi-generasi yang handal dan siap bersaing tak kunjung tercapai, bahkan mengalami kemunduran bahkan di tingkat ASEAN pun Indonesia, lulusan pendidikan Indonesia ditutup sebelah mata Lalu bagaimana memanfaatkan filosofi pendidikan agar mendasari sendi-sendi pendidikan nasional? Menurut Freire, seorang filosof, mengemukakan filosofi pendidikan merupakan penjabaran pendidikan yang harus berorientasi kepada pengenalan realitas manusia dan dirinya sendiri. Hal ini benar adanya, karena dengan berpendidikan berarti memanusiakan manusia menjadi dirinya, bukan menjadi objek tertentu tapi membentuk dirinya sebagai subjek dalam segala kehidupannya. Hingga wujud dari pembentukan manusia seutuhnya (sesuai tujuan pendidikan nasional) bukan isapan jempol semata. Tapi dengan pemanfaatan filosofi pendidikan sedikit banyak bisa mewujudkannya.

Selain itu, melihat pula dari metode horisontal (pendekatan matematis) yang mempunyai beberapa kata-kata kunci, kongkrit, penyelidikan dan transformatif hingga tumbuhkan rasa percaya diri terhadap kemampuan numerik dan logika serta daya kreatifitas siswa dalam memecahkan berbagai soal sebagai embrio melatih pemecahan masalah kehidupannya Memang pada dasarnya tujuan pendidikan adalah menggali kepribadian, proses diri dan mental (sanggup hadapi derasnya perputaran roda zaman). Namun realitasnya, sekolah yang ada sekarang di Indoensia menjadikan peserta didik sebagai proses pembodohan, mencetak bonsai-bonsai, bibit-bibit pohon besar diubah mejadi kerdil. Sedih memeng tapi begitulah adanya Karena kebijakan pendidikan yang ada sekarang tanpa disadari membentuk anak-anak didik dengan desain-nya untuk diseragamkan menjadi tidak kreatif dan mudah putus asa.

TINJAUAN KEBENARAN DALAM

UJIAN NASIONAL SECARA FILSAFAT

A. Penggolongan Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan alam mulai berdiri sendiri sejak abad ke 17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan Auguste Comte (dalam Koento Wibisono,1996) sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Dalam penggolongan ilmu pengetahuan (epistemologi) tersebut, dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Kimia, Biologi dan Sosiologi. Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan, Dalam urutan itu, setiap ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang Gie, 1999).

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang disusun metodis, sistematis dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut. Secara sistematis ilmu pengetahuan disusun menjadi beberapa kelompok mata pelajaran di sekolah, seperti: Matematika, B. Indonesia, B. Inggris, Fisika, Kimia, Biologi dan sebagainya.

B. Kebenaran dalam Ujian Nasional secara Filsafat

Pro dan kontra pelaksanaan ujian nasional setiap tahun sepertinya tak pernah berakhir. Akan tetapi pemerintah tetap mensyaratkan pelaksanaan ujian nasional tersebut dengan alasan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Selain dari itu, setiap tahun pemerintah menaikkan nilai minimal kelulusan, seperti tahun ini nilai minimal yang harus dicapai oleh siswa adalah 5,25 untuk dapat lulus dari sekolah dan mendapatkan Ijasah. Istilah lulus dan tidak lulus bagi siswa kelas 3 telah menjadi momok yang sangat menakutkan, bayangkan hanya karena nilai mereka < 5,25 pada salah satu mata pelajaran tertentu (misal: kimia) mereka menjadi tidak lulus dari sekolah. Walaupun bagi mereka yang tidak lulus tersebut berhak untuk mengikuti ujian nasional kembali tahun berikutnya atau mengikuti ujian Paket C, sepertinya hal itu sangatlah tidak adil bagi mereka, yang telah bersusah payah menempuh belajar selama 3 tahun.

Kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica pada filsafat pengetahuan adalah Segala manusia ingin mengetahui, objek materialnya adalah gejala manusia tahu. Filsafat menggali kebenaran (lawan kepalsuan), kepastian (lawan ketidakpastian), obyektifitas (lawan subjektivitas), abstraksi, intuisi, dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan (Bertens, 1987). Untuk itu, proses pengetahuan itu terus berlangsung sepanjang hayat manusia tidak berhenti dengan adanya istilah lulus/tidak lulus dalam ujian nasional. Akan tetapi, seorang siswa mungkin akan merasa tertekan dan frustasi bahkan mencoba bunuh diri karena ia tidak lulus dalam ujian nasional (hal ini pernah dialami oleh salah seorang siswa penulis). Jadi Ujian Nasional itu sendiri telah mengkebiri hakikat ilmu pengetahuan yang bersifat kontinyuitas sepanjang hayat siswa itu sendiri.

Sehingga, setiap tahun pihak sekolah (guru dan Kepala Sekolah) ada saja yang berusaha membantu (walaupun dengan cara-cara yang kurang terpuji misalnya) setiap siswanya agar dapat lulus, seperti mengirimkan jawaban lewat SMS, merubah jawaban siswa, dan sebagainya. Hal ini jelas bertentangan dengan hati nurani seorang guru dan juga bertentangan dengan filsafat kebenaran dan kejujuran dalam ilmu pengetahuan.

Filsafat berasal dari kata Yunani Philosophia yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah Philos (philia, cinta) dan Sophia (kearifan) menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun cakupan pengertian Sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu Sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).

Oleh karena itu, setiap guru merasa bahwa hal tersebut bertentangan dengan hati nurani dan kebenaran dalam filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Soeparmo (1984), filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran.

Apakah alasan para guru tersebut, sehingga mau untuk melakukan tindakan tidak terpuji dengan membantu siswanya pada saat ujian nasional? Pertama, para guru tersebut berpendapat bahwa nilai minimal yang ditetapkan Pemerintah terlalu tinggi dengan tidak mempertimbangkan kondisi riil setiap sekolah, mereka beralasan kemampuan siswa di sekolahnya tidak akan dapat mencapai nilai standar minimal 5,25 setiap mata pelajaran. Hal ini dibuktikan dengan nilai-nilai Try Out yang telah diberikan nilainya tidak lebih dari 3,00. Kedua, karena, fasilitas dan sarana/prasarana sekolah masih banyak yang kurang. Seperti sekolahnya tidak memiliki Laboratorium, Ruangan Multimedia, Perpustakaan dan atau ruangan kelasnya kurang. Ketiga, dukungan stakeholder dan orang tua siswa dalam rangka kemajuan sekolah sangat kurang. Seperti kurang pedulinya orang tua terhadap biaya sekolah anaknya, orang tua yang tidak mampu secara ekonomi, atau orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan anaknya (biasanya orang tuanya kawin lagi). Keempat, tuntutan dari Kepala Sekolah dan Pejabat di atasnya agar siswanya lulus 98%. Hal ini berkaitan dengan nama baik Pemerintah Daerah, juga dengan keberhasilan pembangunan di daerah tersebut. Atau lebih tepatnya mungkin agar dapat terpilih kembali pada Pemilu yang akan datang.

Oleh karena itu, karena terlalu banyaknya kepentingan terhadap hasil ujian nasional. Maka, selain guru juga banyak pihak-pihak yang merasa bertanggung jawab untuk mensukseskan ujian nasional. Bahkan hal tersebut dilakukan secara sistematik dan teorganisir dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait dibidang pendidikan. Dengan cara mengkatrol (menaikkan) nilai hasil ujian siswa menjadi 5,25. Karena alasan-alasan tersebut di atas, maka sepertinya tindakan-tindakan membantu siswa agar dapat lulus menemukan pembenaran, walaupun secara nurani itu bertentangan.

C. Simpulan dan Saran

Adanya ujian nasional menurut penulis memang diperlukan dalam rangka menilai proses pendidikan yang telah berlangsung. Akan tetapi proses penilaian tersebut haruslah mengutamakan kaidah-kaidah kejujuran dan kebenaran, keterukuran dan kemampuan siswa. Sesuai dengan kaidah filsafat ilmu itu sendiri. filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristic, dan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia

Penulis menyarankan kepada Pemerintah Pusat supaya ujian nasional bukanlah menjadi syarat siswa untuk dapat lulus/tidak lulus dari sekolah. Karena hal tersebut telah mendorong terjadinya berbagai kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional.

D. Daftar Pustaka

Bertens, K., 1987., Panorama Filsafat Modern, Gramedia: Jakarta, p.14

Koento Wibisono S. dkk., 1996., Arti perkembangan menurut filsafat positivisme Auguste Comte, Cetakan ke-2 Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, p.8

Soeparmo, A. H., 1984., Struktur Keilmuwan dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam, Penerbit Airlangga University Press, Surabaya, p.11

The Liang Gie., 1999., Pengantar Filsafat Ilmu, Cetakan ke-4, Penerbit Liberty: Yogyakarta p. 29, 31