Pendidikan Indonesia Kini

40

Click here to load reader

Transcript of Pendidikan Indonesia Kini

Page 1: Pendidikan Indonesia Kini

PENDIDIKAN INDONESIA KINI: Materialisasi Pendidikan Oleh Rum RosyidPeraturan Presiden (Perpres) No 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan bagian dari skenario asing menuju neoliberalisme pendidikan di Indonesia. Karena itu, keduanya harus dikaji ulang. Demikian rangkuman pendapat mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi, pakar pendidikan Winarno Surakhmad, dan Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa Darmaningtyas yang dihubungi Suara Pembaharuan, secara terpisah di Jakarta, Senin (3/9). Ketiganya mengingatkan pemerintah dan DPR agar tidak gegabah mengesahkan RUU BHP menjadi UU, serta meninjau ulang Perpers 77/2007, karena dampaknya akan sangat fatal bagi pendidikan nasional. ”Dalam perpres tersebut terkait kepemilikan saham asing di sektor pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal dan menjadikan pendidikan sebagai komoditas sama sekali tidak sesuai dengan ideologi negara kita,” ujar Sofian Effendi.

Dikatakan, revisi amat diperlukan guna menyelamatkan makna pendidikanyang tercantum dalam UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dari upaya-upaya liberalisasi pendidikan kepada warga negara oleh negara asing. Sofian melanjutkan, pemberlakuan Perpres 77/2007 akan berimplikasi pada menjamurnya institusi-institusi pendidikan berbendera asing yang memperebutkan penduduk usia sekolah di Indonesia. ”Muatannya jelas, mereka melihat angka sekitar 103 juta penduduk kita yang membutuhkan pendidikan itu sebagai pasar. Akibatnya, akan terjadi komersialisasi pendidikan dan sekolah yang hanya berjualan gelar,” katanya.Bahaya lain dari masuknya modal asing pendidikan, lanjut Sofian, pemerintah akan terbebani untuk mengalokasikan anggaran kepada semua institusi pendidikan yang ada. Diterangkan, sesuai WTO, pemerintah tidak boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap sekolah dalam memberikan bantuan, termasuk status kepemilikan modal sekolah tersebut.

Artinya, semua sekolah dan perguruan tinggi, baik itu negeri atau pun swasta dan milik modal asing atau pun domestik, harus diperlakukan sama oleh pemerintah dalam hal alokasi anggaran. ”Nah, kalau ini sampai terjadi, saya khawatir anggaran pemerintah yang sudah minim ini akan semakin terbagi ke banyak institusi. Pendidikan kita akan hancur lama-kelamaan,” katanya. Soal skenario asing dalam koridor neoliberalisme pendidikan di Indonesia, Sofian mengatakan, UU 20/2003 tentang Sisdiknas mensyaratkan pendidikan perlu diselenggarakan dalam sebuah badan hukum yang diatur dalam UU sendiri. Aturan ini, kata Sofian, memancing pemerintah untuk membuat RUU BHP. Kemudian, tiba-tiba pemerintah mengeluarkan Perpres 77/2007 yang memungkinkan pendidikan dimasuki oleh modal asing.

Dengan demikian, menurut Sofian, sangat terlihat benang merah kepentingan negara-negara adikuasa yang menganggap angka usia belajar penduduk Indonesia sebagai pasar yang menggiurkan. Sofian menambahkan, meminta pemerintah merevisi Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang dikeluarkan BPS pada tahun 2000.Menurutnya, KBLI inilah yang menjadi penyebab utama pendidikan dimasukkan dalam

Page 2: Pendidikan Indonesia Kini

kategori komoditas usaha yang bisa menerima modal asing. Sofian menilai, sebelum menyusun KBLI pemerintah kemungkinan belum membaca seluruh naskah International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) Revisi 3 Tahun 1990 yang menjadi rujukan pembuatan KBLI. ”Kalau merujuknya benar, pastinya pemerintah tidak akan memasukkan bidang pendidikan yang merupakan sektor public services menjadi sektor komoditas umum,” jelasnya.

Winarno Surakhmad mengatakan, terlalu dini bagi pemerintah untuk Menerapkan BHP selama pendidikan nasional belum dibenahi. ”benahi dulu pendidikan nasional, baru kemudian melangkah maju,” katanya. Ditegaskan, pendidikan nasional tidak bisa dijadikan komoditas karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. ”Perpres dan BHP itulah yang akan membawa dunia pendidikan nasional menjadi komoditas,” katanya. Sementara itu, Darmaningtyas mengatakan, semua stakeholders yang terkait dengan kepentingan pendidikan harus mencegah agar pendidikan nasional Indonesia tidak menjadi sumber pendapatan asing. Untuk itu, lanjutnya, pemerintah khususnya harus mengkaji ulang Perpres No 77/2007 dengan mencabut atau mengeluarkan bidang pendidikan sebagai bagian usaha bidang penanaman modal.

Komersialisasi PendidikanSampai saat ini, dalam kenyataannya, negara tak pernah menjalankan secara konsekuen amanat UUD 1945 dalam persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru, pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan. Bertambahnya populasi manusia Indonesia semasa Orde Baru tak pernah dihadapi dengan persiapan infrastruktur sosial, termasuk pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, pemerintah justru tak pernah dengan serius memperhatikan persoalan ini. Pemerintah Orde Baru justru lebih membiarkan anak-anak Indonesia masuk ke dalam jeratan pendidikan swasta. Memang begitu banyak dibangun SD-SD Inpres, tetapi sangat jelas kelanjutan dari pendidikan dasar tersebut sangat tidak diperhatikan. Bahkan kini, program SD Inpres ini sepertinya sama sekali ditinggalkan, jika kita melihat begitu banyak gedung-gedung SD Inpres, terutama di daerah pedesaan, yang nyaris rubuh dan hanya memiliki beberapa orang guru saja untuk mendidik semua tingkat kelas yang ada. Dengan pembenaran kesulitan semacam inilah, pintu untuk pendidikan swasta, di bawah naungan yayasan-yayasan yang kebanyakan bersifat keagamaan, masuk memanfaatkan segenap potensi pasar yang ada. Berdirilah sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang kini semakin jelas terlihat tujuan mereka sebenarnya: uang.

Seiring dengan pertumbuhan industri, kebutuhan akan tenaga kerja terdidikpun muncul, terutama dengan keahlian yang benar-benar seperti yang diinginkan oleh para pemilik perusahaan. Kebutuhan tersebut ternyata tak terjawab oleh adanya sekolah-sekolah kejuruan yang ada. Untuk menjawab keinginan ini, negara memperkenalkan sistem pendidikan D1, D2, dan D3. Iming-iming cepatnya lulusan diploma mendapatkan pekerjaan, membuat program ini laku diminati orang dan berbondong-bondong lulusan SMA menyertakan dirinya ke dalam program ini.

Page 3: Pendidikan Indonesia Kini

Tahun-tahun terakhir dari masa Orde Barupun kita mulai mendengar istilah “Link and Match” yang bermakna hubungan yang katanya harmonis antara dunia Industri dan Pendidikan. Tujuan dari model pendidikan seperti ini, menurut Wardiman Djojonegoro, adalah setiap peserta didik dapat langsung mendapatkan pelatihan yang menggunakan perkembangan teknologi terakhir sehingga memudahkan ia untuk bekerja nantinya dan pihak industri mendapatkan pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya.

“Link and Match” meski belum sempat diterapkan secara efektif, namun minimal ia adalah salah satu gerbang masuknya pengaruh perusahaan-perusahaan besar ke dalam sistem pendidikan Indonesia. Pemerintah begitu bersemangatnya, sehingga merasa harus memberikan insentif berupa pembebasan pajak bagi industri yang menjalankan konsep ini, atau yang sering disebut Pendidikan Sistem Ganda[1]. Dalam kenyataannya kemudian, pelibatan dunia industri justru membuka kesadaran bagi dunia industri untuk mentenderkan riset dan pengembangan produknya di kampus-kampus. Dan juga membuka kesadaran di kalangan kampus, bahwa kampus dapat dijadikan lahan bisnis yang cukup besar.

Hasil akhir dari sistem pendidikan yang dibangun oleh Orde Baru adalah sebuah mimpi buruk. Dari penelitian yang dilakukan Departemen Pendidikan dan PBB[2] menyatakan, di tingkat Sekolah Dasar misalnya, hanya separuh siswa SD di Indonesia yang lulus pada tahun keenam, 65 persen lulus pada tahun ketujuh, dan 70 persen yang lulus pada tahun kedelapan. Penyebaran kualitas pendidikan pun sangat menyedihkan. 80 persen calon mahasiswa PTN terbaik berasal dari sekolah-sekolah di Jawa. Lihat saja skor rata-rata untuk penerimaan mahasiswa baru (UMPTN) tahun 2000 yaitu 771, sedangkan di luar Jawa hanya berkisar 400-600.

Salah satu argumen yang berkembang tentang sumber persoalan ini adalah karena pola kebijakan pendidikan yang sentralistis, di mana pusat mengatur mulai dari jam belajar, metode belajar, dan target yang harus dicapai. Akibatnya, terdapat keterbatasan sekolah dalam mengatasi berbagai macam masalah, karena sekolah dan guru hanyalah pelaksana yang selalu dibelenggu oleh aturan-aturan baku yang ditetapkan oleh pusat. Akan tetapi, benarkah argumen ini?

Intervensi komersialisasi justru menjadi penyebab utama dari segudang persoalan di atas. Ia menyebabkan membengkaknya iuran pendidikan yang harus dibayar orang tua siswa akibat adanya pengutipan oleh birokrasi sekolah atau kampus. Ia menyebabkan adanya buku-buku tidak bermutu yang malah dipakai oleh sekolah-sekolah. Ia menyebabkan munculnya sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang materi pengajarannya harus dengan sangat terpaksa kini diragukan. Pemerintah yang cuci tangan dari kewajibannya dan pembukaan pendidikan untuk komersialisasi jelas adalah penyebab utama dari amburadulnya hasil pendidikan Orde Baru.

Anggaran Pendidikan dan Subsidi Pendidikan

[[

Page 4: Pendidikan Indonesia Kini

Semasa Orde Baru, dana pendidikan yang dikeluarkan tak lebih dari 8 persen dari APBN. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand, maka dapat terlihat bahwa pemerintah Indonesia tak pernah memperhatikan pendidikan. Sejak tahun anggaran 1992, 1993, 1994, 1995, 1996 Thailand masing-masing mengalokasikan 18,8 persen, 19,3 persen, 19,5 persen, 18,9 dan 20,40 persen maka untuk periode yang sama Indonesia hanya 8,08 persen, 7,69 persen, 7,1 persen, 6,73 persen, dan 6,96 persen. Untuk hal yang sama, sering disebut-sebut Malaysia sudah mengalokasikan 25 persen sejak tahun 1974.

Anggaran pendidikan saat ini sangat memperlihatkan bahwa pemerintah memang benar-benar melepaskan tanggungjawabnya dari dunia pendidikan, apalagi memasukkan pendidikan sebagai salah satu yang diberikan tanggungjawabnya kepada pemerintah daerah.

Sebelumnya, untuk kasus Universitas Indonesia, pemerintah menanggung subsidi untuk setiap mahasiswa sebesar 2,5 juta rupiah persemesternya untuk menghadapi kebutuhan sekitar 7 juta per semester per mahasiswa. Pemerintah lalu memotong subsidi ini, dengan alasan agar dapat digunakan di pendidikan dasar-menengah. Akibatnya, iuran SPP yang ditanggung mahasiswa UI meningkat menjadi 750.000 rupiah dari 450.000 rupiah[4]. Dan inipun harus ditambah dengan dana DPKP yang menyebabkan total biaya yang ditanggung per mahasiswa lebih dari 1 juta per semester.

Lucunya, setelah mengatakan bahwa pemotongan subsidi untuk perguruan tinggi karena pemerintah ingin menggunakan dananya di pendidikan dasar dan menengah, diumumkanlah pemberlakuan otonomi pendidikan yang termasuk dalam paket otonomi daerah. Dalam otonomi pendidikan ini juga diperkenalkan manajemen pendidikan berbasis sekolah yang dapat disimpulkan dengan singkat: uang SPP SD-SMTA naik.

Konsep yang berlaku dalam otonomi pendidikan adalah apa yang disebut manajemen pendidikan berbasis sekolah dan kampus. Sekolah dan kampus bertanggung jawab atas keuangan, kegiatan atau program, sarana-prasarana, dan komponen-komponen penunjang pendidikan lainnya. Sekolah dan kampuslah yang merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol dirinya dalam melakukan pembangunan diri ataupun pendidikan bagi siswa-siswanya.

Otonomi pendidikan ini juga sejalan dengan otonomi daerah yang berlaku 1 Januari 2001 lalu. Berbagai Pemerintah Daerah Tingkat I dan II sudah menyatakan kesiapan dirinya. Mereka terutama adalah daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang kaya. Sebagai contoh Pemda Kalimantan Timur yang mengklaim sudah menyiapkan anggaran pendidikan sebesar 340 milyar rupiah dan dengan tambahan dana dari sektor kehutanan sebesar dua dolar per meter kubik kayu hutan industri yang dimilikinya. Salah satu kabupatennya, Kutai Kertanegara, yang kaya akan hasil tambang minyak dan emas bahkan akan menggratiskan sekolah sampai SMA.

Namun tak semua provinsi dan kabupaten seperti Kalimantan Timur dan Kutai

[

Page 5: Pendidikan Indonesia Kini

Kertanegara. Provinsi dan kabupaten yang selama ini miskin kekayaan alam dan berjubel penduduknya tidak akan mengalami keindahan dunia pendidikan seperti yang dialami Kaltim dan Kutai. Artinya, ada beberapa hal yang harus dicermati dalam pelaksanaan otonomi pendidikan.

Peran Birokrasi Kampus dan Sekolah untuk Menyediakan DanaDesentralisasi pendidikan dimulai dengan memberi peran kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten atau kotamadya sebagai basis pengelolaan pendidikan dasar. Sedangkan untuk pendidikan tinggi. Pertama, otonomi daerah telah menyebabkan kembalinya sumber-sumber daya untuk pendidikan ke daerah-daerah. Asumsi dari otonomi daerah, atau lebih tepatnya sumber kepalsuannya, setiap daerah memiliki potensinya masing-masing sehingga justru dengan otonomi daerah setiap daerah bisa mencapai tingkat kemakmuran.

Mari kita lihat kenyataannya, tak usah jauh-jauh dari pusat kekuasaan. Di Jabotabek dan Jawa Barat masih banyak SD-SD yang fasilitasnya dan mutu pendidikan yang diperoleh siswa-siswanya sama-sama menyedihkan dengan di daerah-daerah lainnya. Dibandingkan dengan SD-SD yang berada dalam perkembangan infrastruktur di daerah-daerah luar Jawa di mana alam masih menjadi sumber keterbatasan, sebenarnya SD-SD di Jawa, di mana segala macam fasilitas telah tersedia, ternyata memiliki nasib sama-sama menyedihkan.

Yang tak kalah penting adalah kondisi yang sangat dipenuhi ketimpangan di awal pemberlakuan pendidikan. Kondisi SD-SD di Jawa Barat dan SD-SD di Papua jelas sangat jauh berbeda baik dari segi fasilitas, tenaga pengajar, kemampuan siswa, dan mutu pendidikannya. Atau dalam contoh ekstrem, sebuah SMA negeri unggulan di Jakarta dengan semua ruang kelas ber-AC, memiliki lab komputer, dan segudang fasilitas lainnya bisa beroperasi karena SPPnya mencapai ratusan ribu rupiah. Bahkan saat ini juga telah muncul sekolah-sekolah plus dari swasta yang berfasilitas hebat dan berstandar pendidikan internasional[5]. Ya, sekolah-sekolah ini memang berkualitas karena dananya juga berasal dari murid-muridnya yang kaya. Tapi bagaimana menciptakan pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat? Dengan otonomi pendidikan, menyerahkan segala urusan pembiayaan kepada kampus dan sekolah? Jelas tidak. Otonomi pendidikan justru akan menghambat pemerataan mutu pendidikan baik antar daerah dan juga antar lapisan-lapisan ekonomi masyarakat.

Jika begitu, otonomi pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolahnya menjadi upaya cuci tangan pemerintahan dari tanggung jawab membenahi segala macam kerusakan yang telah terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia.

Kedua, otonomi pendidikan tidaklah berarti peningkatan porsi anggaran pendidikan, atau titik perhatian pemerintah. Padahal, penyebab utama rendahnya mutu pendidikan Indonesia adalah rendahnya dana yang dialokasikan untuk sektor pendidikan. Jangan pernah tertipu oleh jumlah uang yang dianggarkan untuk pendidikan, tapi perhatikanlah persentasinya dari total anggaran. Jika alokasi anggarannya tetap rendah, maka justru

[

Page 6: Pendidikan Indonesia Kini

otonomi pendidikan justru akan menyengsarakan siswa-siswa. Kenapa? Karena otonomi pendidikan juga berarti menyerahkan tanggung jawab penyediaan dana kepada sekolah-sekolah, dan yang paling mudah untuk mendapatkan dana adalah menaikkan iuran sekolah.

Seperti yang pernah diungkapkan di atas, masuknya intervensi industri ke dalam kampus telah menciptakan basis bisnis baru, riset dan pengembangan produk. Awalnya, ladang bisnis ini dijalankan secara diam-diam ataupun bahkan diselimuti oleh institusi-institusi penelitian kampus untuk membiayai berbagai macam kegiatan akademik. Yang digunakan juga fasilitas-fasilitas kampus. Kenapa tidak? Di negara-negara maju hal ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Apalagi hampir kebanyakan tenaga pengajar yang dinilai terbaik oleh kampus-kampus Indonesia dididik di negara-negara tersebut.

Namun lama kelamaan, ia menjadi lahan bisnis yang menguntungkan, terutama untuk beberapa kalangan di dalam kampus yang dekat dengan fasilitas penelitian dan pengembangan kampus. Dan pihak birokrasi kampuspun mulai melihat riset IPTEK sebagai lahan bisnis yang dapat memberikan pemasukkan untuk anggaran kampus, ataupun anggaran pribadi jika person-personnya terlibat KKN.

Dunia bisnis dengan dunia kampus memiliki perbedaan yang mendasar. Jika dunia kampus adalah bertugas melayani masyarakat, dunia bisnis memiliki hanya satu kepentingan: memperkaya para pemegang saham. Apa jadinya jika fasilitas penelitian di kampus-kampus lebih banyak dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan komersil? Semua pusat perhatian penelitian di kampus akan lebih banyak tercurah kepada kepentingan-kepentingan para pemilik modal, bukan mayoritas masyarakat.

Saat inipun, banyak tugas-tugas akhir mahasiswa S1, terutama di fakultas-fakultas teknik, sudah sangat banyak dipengaruhi oleh pengembangan fasilitas penilitian kampus sebagai sarana bisnis. Banyak dosen-dosen pembimbing yang juga terlibat proyek penelitian dengan berbagai perusahaan justru memanfaatkan tenaga gratisnya para mahasiswa tugas akhir tersebut untuk membantu menyelesaikan proyeknya.

Pengaruh Korporat di dalam Sekolah dan KampusKonsep otnomi kampus juga memperkenalkan model performance contract untuk pemberian subsidi pendidikan. Misal, di kampus A pemerintah memberikan sejumlah bantuan (block grant) yang diikat oleh sejumlah persyaratan seperti jumlah kelulusan yang dihasilkan dan kualitas dari kelulusan tersebut haruslah mencapai standar tertentu.

Jika kuantitas dan kualitas yang ditentukan tidak dapat dipenuhi, maka akan menjadi evaluasi dalam pemberian bantuan selanjutnya. Bisa jadi evaluasi tersebut menjadi alasan pengurangan subsidi yang diberikan ke kampus A tersebut.

Sistem semacam ini tak ubahnya membuat kampus menjadi pabrik sarjana, dimana manusia-manusia yang dididik di dalam kampus-kampus benar-benar hanya siap untuk menjadi mur dan baut dunia industri. Kurikulum jelas akan benar-benar dipengaruhi prasyarat-prasyarat yang tercantum dalam kontrak bantuan. Lihat saja betapa besar

Page 7: Pendidikan Indonesia Kini

genjotan yang dilakukan pihak birokrasi kampus untuk mempercepat masa studi seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri. Di banyak kampus negeri saat ini, dalam satu tahun dapat mengadakan tiga kali masa persidangan skripsi ataupun tugas akhir. Ini juga ditambah dengan batas maksimum masa studi yang perpanjangannya diembel-embeli dengan penambahan beban SPP. Dan semua itu sama sekali tidak memperhatikan apa yang diperoleh setiap wisudawan selama masa studinya di kampus-kampus tersebut.

Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat ini diwujudkan oleh pemerintah melalui penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi yang tertuang dalam dokumen Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada awal kemerdekaan, Indonesia mewarisi banyak sekolah-sekolah peninggalan Belanda, baik sekolah dasar, menengah maupun pendidikan tinggi. Adanya infrastruktur pendidikan peninggalan Belanda tersebut mempermudah pemerintah dalam menstrategikan penyelenggaraan pendidikan, dalam artian tidak memulainya dari titik nihil. Kenyataan inilah yang menimbulkan kesadaran pemerintah akan pentingnya pendidikan.

Pada awal kemerdekaan, Indonesia memberikan perhatian yang cukup besar pada penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini terbukti dengan restrukturisasi perguruan tinggi yang sebelumnya dikelola oleh Belanda, yakni Universiteit van Indonesie (Universitas Indonesia) terestrukturisasi menjadi ITB, IPB, Unpad, Unair dan Unhas. Kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi ini juga terlihat pada banyaknya perubahan sistem penyelenggaraan pendidikan tinggi. Perubahan tersebut tercermin pada Kerangka Pembangunan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (KPPT-JP) yang ditetapkan oleh pemerintah sejak tahun 1975. Dokumen KPPT-JP ini selalu diperbaiki setiap sepuluh tahun sekali dengan pemberian penekanan tertentu pada arah pengembangannya. Pengalihan status sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), adalah bentuk lain dari neoliberalisme di bidang pendidikan. Dengan pendekatan neoliberalisme itulah, pemerintah secara sadar dan sistematis menutup akses orang miskin untuk menikmati pendidikan dari taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD) sekolah Menengah sampai perguruan tinggi. Penegasan itu dilontarkan pakar pendidikan Prof HAR Tilaar dalam percakapan dengan Pembaruan di Jakarta, Kamis (15/3). Dia menegaskan, sejak awal menolak pembentukan BHMN pada PTN, karena napasnya mengabaikan semangat dan nilai-nilai UUD 1945.

Dalam KPPT-JP III (1996-2005) mulai dirintis reformasi kebijakan perguruan tinggi secara menyeluruh. Salah satu hasil kebijakan ini adalah dikeluarkannya peraturan pemerintah yang mengatur penetapan perguruan tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). Menurut pemerintah, PT BHMN merupakan bentuk ‘kemasan’ perguruan tinggi yang memiliki lima prinsip utama dalam penyelenggaraanya, yaitu kualitas, otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi. Kelima prinsip tersebut pada akhirnya menjadi paradigma baru bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Apabila kita lihat lebih teliti dari sejarah munculnya konsep PT BHMN ini, maka kita akan berpikir bahwa konsep ini tidaklah murni dari pemikiran bangsa ini, melainkan didapatkan dari kebijakan global yang dipelopori oleh UNESCO yang tercantum dalam dokumen “World

Page 8: Pendidikan Indonesia Kini

Declaration on Higher Education for Twenty-First Century” di Paris tahun 1988. Deklarasi inilah yang akhirnya menjadi sumber utama bagi konsep paradigma baru penyelenggaraan perguruan tinggi di Indonesia.

Dengan berpegang teguh pada deklarasi tersebut, pemerintah melakukan reformasi dalam penyelanggaraan pendidikan tinggi. Reformasi ini dimulai dengan merevisi KPPT-JP III dan mengeluarkan PP No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum. Berbekal PP inilah, kemudian pemerintah menetapkan UI, UGM, ITB, dan IPB sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) pada tahun 2000 dan dua tahun kemudian menyusul UPI, USU dan UNAIR. Konsep PT BHMN yang memiliki semangat kemandirian PT dalam pengelolaan pendidikan ini kemudian sah diterapkan dan seiring dengan itu biaya masuk perguruan tinggi dan biaya kuliah di PT BHMN melonjak naik.

Dikatakan, BHMN tersebut telah melengkapi luka orang miskin, yang tertutup aksesnya mengenyam pendidikan, karena selama ini sistem pendidikan nasional secara umum telah mengarah pada neoliberalisme. Munculnya sekolah-sekolah internasional mulai dari TK sampai SMA dengan biaya yang begitu mahal, telah menutup peluang orang miskin mendapatkan pendidikan, meskipun secara konstitusi setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. ''Sejak diberlakukannya BHMN, tidak ada lagi kesempatan bagi si Ucok (miskin-Red.) untuk masuk ke PTN, apalagi pada fakultas Kedokteran yang harus dibayar Rp 45 juta bahkan ratusan juta rupiah. Memang ada PTN yang menawarkan beasiswa, tetapi itu hanya kamulflase menarik minat, Padahal setelah masuk biaya yang dibayar pun tetap selangit,'' ujarnya.

Menurut HAR Tilaar, BHMN telah mengubah orientasi PTN menjadi sebuah perusahaan pencari duit. Kalau nanti Badan Hukum Pendidikan menjadi UU menurut HAR Tilaar yang pernah di Bappenas itu, jelas akan lebih parah lagi. Negara yang kaya seperti Jerman kata HAR Tilaar, pemerintahnya masih bertanggung jawab atas biaya pendidikan bagi rakyatnya sampai perguruan tinggi dengan pembebasan sumbangan pembangunan pendidikan (SPP). ''Kita ini memang kaya, tetapi penduduknya kere, lalu pemerintahnya mau lepas tangan dari tanggung jawab negara atas biaya pendidikan rakyatnya, lalu kapan lagi orang miskin menikmati pendidikan,'' tanyanya. Seperti diberikatan sebelumnya, pakar pendidikan lainnya Darmaningtyas yang juga Pengurus Majelis Perguruan Taman Siswa menilai, BHMN menutup akses orang miskin ke PTN (Pembaruan, 14/3). Bahkan pakar pendidikan Prof Dr Winarno Surakhmad menilai, BHMN telah menghambat demokrasi dan pemerataan pembangunan di bidang pendidikan (Pembaruan, 15/3). Penetapan PT BHMN bukanlah suatu langkah akhir dari reformasi penyelenggaraan pendidikan tinggi, melainkan sebuah masa transisi atau ‘masa uji coba’ menuju reformasi yang lebih besar.

Pemerintah berkeinginan untuk menerapkan ‘konsep kemandirian’ tersebut pada seluruh perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Berpedoman pada KPPT-JP III (revisi), pemerintah mengusulkan perubahan atas undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas). Setelah melalui pergulatan yang cukup panjang dan melelahkan, usulan atas perubahan UU Sisdiknas tersebut dikabulkan oleh DPR pada Juli 2003 dan saat itulah mulai sah diterapkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Page 9: Pendidikan Indonesia Kini

Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam UU Sisdiknas 2003 diamanatkan pada seluruh satuan penyelenggara pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah dan tinggi untuk mengubah dirinya menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Bentuk BHP untuk seluruh satuan pendidikan inilah yang menjadi agenda besar pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan.

BHP ini adalah badan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal, yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. BHP ini memiliki sepuluh prinsip yang sangat baik jika dilaksanakan dengan benar, yaitu prinsip Nirlaba, Prinsip Otonom, Prinsip Akuntabel, Prinsip Transparan, Prinsip Penjaminan Mutu, Prinsip Layanan Prima, Prinsip Akses yang Berkeadilan, Prinsip keberagaman, Prinsip Keberlanjutan, dan Prinsip Partisipasi atas tanggung jawab negara.

Darmaningtyas dan Winarno pun mengingatkan agar para rektor PTN lainnya yang belum berstatus BHMN untuk mengambil hikmah dari realitas selama ini. Keduanya menyarankan agar BHMN ditinjau kembali dan BHP ditolak, karena BHP justru akan memperparah sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. BHP ini adalah badan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal, yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. BHP ini memiliki sepuluh prinsip yang sangat baik jika dilaksanakan dengan benar, yaitu prinsip Nirlaba, Prinsip Otonom, Prinsip Akuntabel, Prinsip Transparan, Prinsip Penjaminan Mutu, Prinsip Layanan Prima, Prinsip Akses yang Berkeadilan, Prinsip keberagaman, Prinsip Keberlanjutan, dan Prinsip Partisipasi atas tanggung jawab negara.

Membandingkan Kuba dengan Indonesia tentu terdapat banyak perbedaan, baik itu yang fundamental (pokok) maupun yang komplementer. Kuba yang sosialistik (karena di bawah kekuasaan Partai Komunis) tentunya berbeda dari Indonesia yang baru saja melewati satu fase pemerintahan otoriter dan pro-pasar. Karenanya sistem pendidikan kedua negara ini juga berbeda secara fundamental. Sehingga alangkah tidak layak kiranya jika tiba-tiba sistem pendidikan Kuba diterapkan di Indonesia tanpa memperhatikan aspek kesejarahan dan kenyataan faktual di Indonesia. Maka yang paling mungkin dilakukan adalah menemukan relevansi yang kira-kira bisa menjadi pencerahan terhadap system pendidikan Indonesia.

Pengesahan UU BHP merupakan hal yang tidak dikehendaki banyak pihak karena terdapat beberapa hal di dalamnya yang bertentangan dengan filosofi dan tujuan pendidikan di Indonesia. Meskipun telah berkali-kali mengalami revisi—yang makin mem-“permak” wajah BHP menjadi lebih ramah, masih terdapat beberapa hal krusial yang perlu kita tinjau ulang. UU BHP ini mencakup hal-hal yang umum dan memiliki celah yang menimbulkan tanda tanya besar bagi aplikasinya nanti. Di antara celah-celah tersebut, berikut 4 aspek yang dapat KM ITB analisis:

Aspek pertama dilihat dari sisi pendanaan suatu institusi pendidikan yang berbentuk badan hukum. Pada pasal 41 ayat 4 disebutkan bahwa pada Pemerintah dan Pemerintah

Page 10: Pendidikan Indonesia Kini

Daerah menanggung paling sedikit sepertiga (1/3) dari biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah (SMA,ed.). Demikian pula halnya pada Pasal 41 ayat 7 yang menyebutkan bahwa peserta didik yang menanggung paling banyak sepertiga (1/3) dari biaya operasional tersebut.Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana institusi pendidikan tersebut memenuhi sepertiga sisanya ? Mengingat hal ini tidak disebutkan pada pasal ini.Telah diketahui bersama bahwa institusi penyelenggara pendidikan menengah (SMA dan sederajat) bukanlah institusi yang dapat menjadikan ‘penjualan’ riset—seperti halnya institusi pendidikan tinggi—sebagai salah satu sumber pemasukan dana. Pernahkah kita berpikir bagaimana SMA-SMA ini mencari biaya pendidikannya nanti?Selanjutnya adalah aspek pendanaan pada perguruan tinggi. Pada pasal 41 ayat 6 disebutkan bahwa Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit seperdua (1/2) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi”. Tidak ada ketentuan yang mengatur proporsi kontribusi pendanaan antara pemerintah dan BHPP. Artinya, bisa saja dana yang diberikan pemerintah lebih sedikit daripada yang dibebankan kepada BHPP. Dengan kata lain, BHPP (institusi pendidikan tinggi dalam BHP) memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada pra-BHP, sehingga perhatian dari BHPP tersita cukup banyak untuk mengurusi masalah keuangan.Pada kondisi seperti ini terdapat beberapa hal yang dikhawatirkan akan terjadi :Keraguan atas kinerja mengajar dosen Terdapat pembagian keuntungan antara dosen yang menerima proyek dan institusi yang menaunginya. Dapat dilihat bahwa proyek-proyek yang dikerjakan dosen adalah salah satu sumber pemasukan BHP. Adalah tidak salah jika dosen mengerjakan banyak proyek untuk tambahan pemasukan mengingat gaji mereka selama ini. Namun, timbul kekawatiran bahwa waktu dan tenaga dosen akan tersita untuk kegiatan tersebut dan mengurangi perhatiannya pada kegiatan mengajar sehingga proses pendidikan tidak maksimal. Lalu bagaimanakah dengan amanat dharma pendidikan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi?Adanya kekhawatiran penelitian tidak lagi bersemangat pada Tri Dharma PT. Tidak dapat dipungkiri bahwa BHP mengadopsi bentuk perusahaan dan menejerial modern dimana efektivitas dan efisiensi menjadi kata kuncinya. Hal ini dapat terwujud melalui spesialisasi dan profesionalitas. tidak salah jika dikatakan bahwa kedua hal inilah yang sebenarnya menjadi tujuan dari otonomi kampus. Dengan spesialisasi dan profesionalitas diharapkan bahwa lulusan PT dapat siap memasuki dunia kerja segera setelah lulus dan ikut bersaing dalam kompetisi global. Hal ini pasti ikut membentuk watak dan karakter mahasiswanya yang akan cenderung menjadi pragmatis dan tidak multi-disiplin. Hal tersebut juga dapat berdampak pada penelitian, baik yang dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa. Orientasi penelitian dapat terfokus hanya pada kerja profesionalitas yang menghasilkan keuntungan. Namun kita tidak dapat melupakan adanya tujuan mulia PT yang tertuang dalam tri darma PT yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Bagaimana posisi penelitian tersebut di hadapan tri darma PT, khususnya pengabdian masayarakat? Pasal 41 ayat 9 mengatakan bahwa biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi paling banyak sepertiga dari biaya operasional. Terdapat kejanggalan dalam ayat tersebut. Jika seperdua (1/2) biaya operasional ditanggung oleh Pemerintah dan BHP dengan sepertiganya (1/3) ditanggung

Page 11: Pendidikan Indonesia Kini

oleh peserta didik, maka siapa yang menanggung seperenam (1/6) sisanya? Hal itu juga tidak dijelaskan dalam RUU BHP ini.Beberapa ketidakjelasan pada masalah pendanaan institusi pendidikan yang berbentuk BHP tersebut, baik pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi merupakan hal yang krusial. Hal ini disebabkan karena kaitannya yang erat dengan kemampuan institusi pendidikan untuk bertahan dan tentunya dengan aspek pengelolaan pendidikan itu sendiri. Satu hal yang perlu direnungkan bersama, terlaksananya pendidikan di suatu negara merupakan tanggung jawab dari pemerintah suatu negara (sebagaimana yang telah diamanahkan konstitusi). Termasuk pula masalah pendanaan suatu institusi pendidikan. Pemerintah tidak boleh berlepas tangan atau berpuas diri dengan sekedar berpartisipasi tanpa melihat kadar ketercukupan dan kualitas pendidikan akibat dari kontribusi tersebut.

Otonomisasi Kurikulum dalam BHPAspek kedua adalah dari sisi kurikulum. Pada pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa salah satu prinsip pengelolaan pendidikan formal oleh Badan Hukum Pendidikan adalah Otonomi, yaitu kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri dalam bidang akademik maupun non-akademik. Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan kemandirian dalam bidang akademik. Kemudian pada pasal 33 ayat 2 tentang tugas dan wewenang organ pengelola pendidikan tinggi salah satunya adalah menyusun dan menetapkan kebijakan akademik bersama dengan organ representasi pendidik. Pada penjelasan UU BHP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan akademik antara lain meliputi kebijakan tentang kurikulum dan pembelajaran.

Terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi dari hal tersebut. Salah satunya adalah sejauh manakah kewenangan organ pengelola pendidikan dan organ representasi pendidik dalam menetapkan kebijakan akademik termasuk kurikulum? Apakah kurikulum tesebut benar-benar bebas disusun sesuai dengan kebutuhan dan keinginan organ tersebut, ataukan ada koridor-koridor dasar yang ditentukan Pemerintah dalam menetapkan kurikulum? Perlu diingat bahwa kurikulum merupakan hal amat penting dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum merepresentasikan tujuan dan esensi dari pelaksanaan suatu pendidikan. Jika memang benar tujuan pendidikan negara kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas SDM bangsa ini, maka mau tidak mau Pemerintah harus melakukan kontrol yang sangat terperinci terhadap kurikulum dalam menjamin ketercapaian tujuan pendidikan karena kurikulum sangat terkait dengan apa-apa yang diajarkan kepada peserta didik. Kontrol Pemerintah terhadap kurikulum bukan berarti menyamaratakan materi-materi pengajaran pada setiap institusi pendidikan tinggi. Namun yang perlu dijaga adalah nilai-nilai dan tujuan dari materi pengajaran tersebut yang diperuntukan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia demi kemajuan Bangsa.

Aspek ketiga dipandang dari sisi peran dari organ representasi pemangku kepentingan. Pada BAB IV UU BHP mengenai Tata Kelola, pasal 15 ayat 2 mengatakan bahwa Organ Badan Hukum Pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum pendidikan terdiri atas 4 elemen:1. Organ representasi pemangku kepentingan2. Organ representasi pendidik

Page 12: Pendidikan Indonesia Kini

3. Organ audit bidang non-akademik4. Organ pengelola pendidikanPada pasal 18 ayat 1 disebutkan bahwa organ representasi pemangku kepentingan merupakan organ tertinggi badan hukum pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan formal. Pada pasal yang sama ayat 3 dikatakan bahwa organ representasi pemangku kepentingan di dalam badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi paling sedikit terdiri atas pendiri atau wakil pendiri; wakil organ representasi pendidik; pemimpin organ pengelola pendidikan; wakil tenaga kependidikan dan wakil unsur masyarakat. Pasal 19 ayat 3 menyatakan bahwa pada pendidikan tinggi jumlah anggota organ representasi pemangku kepentingan yang berasal dari wakil organ representasi pendidik, pemimpin organ pengelola pendidikan, dan wakil tenaga kependidikan adalah paling banyak sepertiganya (1/3). Hal tersebut berarti duapertiga (2/3) anggota dari organ ini berarti berasal dari Pemerintah dan wakil unsur masyarakat. Sayangnya, tidak disebutkan lebih lanjut berapa persentase pemerintah yang harus menjadi anggota organ representasi pemangku kepentingan. Yang disebutkan hanya bahwa jumlah anggota yang berasal dari pendiri dan wakil pendiri (Pemerintah atau pemerintah daerah) dapat lebih dari 1 orang. Artinya satu orang pun tidak masalah. Hal ini berbahaya mengingat organ represetasi pemangku kepentingan merupakan organ tertinggi dalam institusi badan hukum pendidikan yang mengatur seluruh aspek strategis dalam pengelolaan badan hukum pendiidkan (pasal 22). Seluruh organ lainnya bertindak untuk dan atas nama organ representasi pemangku kepentingan. Jika sebagian besar anggota organ ini adalah wakil unsur masyarakat, tidak pernah didefinisikan dengan jelas siapa saja yang dimaksudkan wakil unsur mayarakat tersebut. Masyarakat mana yang ternyata mendapat peluang istimewa untuk mengatur institusi pendidikan ini? Apakah ada standar kapabilitas dan kualifikasi tertentu? Wewenang yang sangat besar ditambah dengan ketiadaan dominasi pemerintah dalam keanggotaan organ ini memungkinkan masuknya berbagai kepentingan dalam penyelenggaraan pendidikan Indonesia. Kontrol Pemerintah pun bersifat amat minimalis dalam hal ini.Terdapat pula hal menarik dalam hal tata kelola BHP. Pasal 18 ayat 6 menyebutkan bahwa Pemimpin organ pengelola pendidikan tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan di dalam organ representasi pemangku kepentingan. Jika memang institusi badan hukum pendidikan adalah institusi yang menjunjung tinggi profesionalitas, mengapa dalam pengambilan keputusan bukan porsi akademisi yang diperbanyak? Bukankah itu justru mengebiri potensi insan akademis untuk mengatur dirinya sendiri? Alih-alih membentuk otonomi kampus, BHP justru membentuk otokrasi kampus yang dipegang oleh ’masyarakat’. Dengan catatan, definisi , criteria dan kualifikasi masyarakat ini belum diatur dalam UU BHP ini. Kejanggalan terakhir adalah adanya dewan audit di bawah Organ Representasi Pemangku Kepentingan ini. Jika mengusung asas transparan dan akuntabilitas, bukankah seharusnya dewan audit berada secara independen dan dari pihak ekternal? Terlebih lagi, dalam UU BHP ini belum dijelaskan secara terperinci bagaimana Organ Representasi Pemangku Kepentingan mengatur organ-organ di bawahnya.

Page 13: Pendidikan Indonesia Kini

Aspek keempat adalah dari sisi pembubaran BHP. Bentuk Badan Hukum Pendidikan memungkinkan suatu institusi pendidikan untuk mengalami pembubaran yang disebabkan salah satunya karena pailit. Hal tersebut terdapat dalam pasal 57. Sangat jelas terlihat, bahwa BHP menjadikan institusi pendidikan analog dengan perusahaan dimana ketika terjadi defisit anggaran, institusi tersebut dapat dinyatakan pailit dan bubar. Mengingat pendidikan merupakan hal pokok yang menentukan kualitas SDM bangsa dan dengan sendirinya juga berpengaruh terhadap kemajuan-kemunduran bangsa ini, maka pembubaran (kepailitan) adalah hal yang tidak boleh terjadi pada suatu institusi pendidikan di suatu negara. Apalagi mempertimbangkan belum dilakukannya analisis fisibilitas dan analisis kemampuan pendanaan dan pengelolaan pendidikan secara mandiri dalam jangka panjang oleh elemen-elemen pendidikan Indonesia yang menjadi objek dari BHP ini. Hal ini dapat dilihat dari belum dilakukannya evalusasi keberjalanan 7 PT BHMN, terutama 4 kampus yang pertama kali mengalami BHMN-isasi (UI, IPB, UGM, ITB). Padahal dalam keberjalanannya, BHMN-isasi ini bukan berarti tanpa masalah sama sekali.Tidak dapat dipungkiri, terdapat pula sejumlah argumentasi postif yang dijadikan justifikasi dari legalisasi RUU BHP menjadi UU. Diantaranya adalah sebagai berikut: Konsep BHP akan mewujudkan ’good university governance’Efektivitas dan efisiensi kinerja institusi menjadi hal yang sangat diperhatikan dalam institusi berbentuk badan hukum. Profesionalitas ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip BHP, yakni transparansi dan akuntabilias. Apabila dibandingkan dengan sistem sebelumnya, dimana aliran birokrasi sangat panjang, dalam konsep BHP kini terdapat simplifikasi dengan kemandirian yang dimiliki oleh institusi BHP. Kemandirian yang memicu kreativitas, inovasi dan memaksimalkan potensi diriInstitusi BHP akan semakin diarahkan untuk menjadi institusi yang mandiri, baik secara pengelolan administrasi, kegiatan akademik, financial maupun pengontrolan kualitas. Dengan ini, institusi tersebut, mau tidak mau, harus dapat bertahan dan memberikan kinerja terbaiknya berdasar pada potensi sendiri dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Efeknya adalah kreativitas dan inovasi menjadi hal yang mutlak dibutuhkan. Melihat analisis yang dikemukakan sebelumnya, terdapat beberapa hal yang perlu ditelaah lebih lanjut. Terkait dengan kelebihan sistem BHP yang dikemukakan, baik itu dari sisi kemandirian, kualitas dan kuantitas penelitian, layanan fasilitas, serta konsep ‘good governance university’, kesemuanya memang sesuatu yang diperlukan dan merupakan kebutuhan yang mendesak bagi dunia pendidikan guna mendukung tujuan pendidikan nasional. Namun, kemudian muncul pertanyaan:Apakah semua kelebihan yang diharapkan dari sistem BHP ini hanya dapat terjadi pada suatu sistem pendidikan dengan bentuk Badan Hukum? Tidak bisakah semua itu diraih dengan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari sistem pendidikan yang ada sekarang?Kelebihan sistem BHP yang banyak disuarakan sesungguhnya merupakan hal-hal yang dapat diperoleh dari sistem pendidikan yang berlaku saat ini. Bukankah peningkatan kualitas pendidikan, daya inovasi dan kreativitas peserta didik, pemenuhan sarana dan prasarana pelengkap pendidikan, efisiensi birokrasi, dsb dapat pula tercapai dengan sistem pendidikan yang ada sekarang? Tentunya dengan berbagai perbaikan dan

Page 14: Pendidikan Indonesia Kini

peningkatan efisiensi. Lantas jika memang demikian, mengapa BHP tetap merupakan sesuatu yang seolah ‘harus dilakukan’? Protes yang berdatangan dari berbagai kalangan terkait pengesahan RUU BHP ini tidak membuat Pemerintah urung mengesahkannya. Alih-alih membatalkan, Pemerintah malah membuat modifikasi dan penyesuaian sehingga RUU ini mengalami berbagai perubahan dengan proses penggodokan yang sangat panjang (2003-2008). Mengapa arus bersusah-susah ‘mengotak-atik’ sebuah RUU agar dapat disahkan? Apalagi mengingat hal-hal substansial dari BHP yang tidak sesuai dengan tujuan dan filosofi pendidikan Indonesia. Jika memang yang diinginkan Pemerintah adalah tercapainya sistem pendidikan yang lebih baik, bukankah lebih efektif jika Pemerintah membenahi segala inefisiensi dan inefektivitas dari sistem pendidikan sekarang ketimbang mengubahnya menjadi sistem pendidikan lain yang menuai kontra dari banyak kalangan? Apakah BHP merupakan harga mutlak tercapainya suatu sistem pendidikan ideal?

Ada apa dibalik usaha untuk mengesahkan Badan Hukum Pendidikan?Perlu diperhatikan bahwa filosofi yang digunakan oleh para Pemerintah dalam penyusunan RUU BHP sebagaimana tertuang dalam naskah akademik pendirian BHP adalah bahwa Badan Hukum Pendidikan merupakan suatu badan hukum yang mandiri dan kemandiriannya dapat dijaga dari intervensi pemerintah. Implikasi yang paling jelas dari filosofi ini adalah kentalnya nuansa eliminasi peran Negara dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian. Pendidikan, di Negara manapun merupakan suatu hal esensial yang menjamin maju-tidaknya Negara tersebut. Perhatian yang buruk dari Pemerintah terhadap kebutuhan ini akan berakibat fatal pada keberadaan bahkan keberlangsungan Negara. Pendidikan merupakan hak sekaligus kebutuhan masyarakat yang pemenuhannya wajib dijamin oleh Negara sebagaimana tertuang dalam pasal 31 UUD 1945.

Perlu diperhatikan, bahwa penolakan terhadap BHP bukan berarti menerima sistem pendidikan yang ada sekarang. Kami tidak menutup mata bahwa sistem pendidikan saat ini masih jauh dari kondisi ideal dan banyak sekali hal-hal yang perlu diperbaiki. Namun, perubahan sistem pendidikan menjadi BHP bukanlah solusi untuk mencapai kondisi pendidikan ideal, justru malah makin menjauhkan pendidikan kita dari kondisi idealnya. 8 tahun keberjalanan BHP pada 4 kampus besar (ITB, UI, UGM, IPB) belum dilakukan evaluasinya secara keseluruhan. Apakah penerapan sistem Badan Hukum Pendidikan pada 4 kampus tersebut memberikan suatu perubahan yang signifikan seperti yang diharapkan dapat terjadi dengan penerapan BHP ataukah malah sebaliknya? Bijaksanakah Pemerintah jika menerapkan sebuah sistem pendidikan baru yang menuai banyak kontra dan belum dapat diketahui efektivitasnya?Urgensitas Perbaikan. Tak dapat disangkal, sistem pendidikan kita saat ini masih memiliki berbagai problematika yang menunggu penyelesaian yang akurat dan benar-benar solutif. Terlebih lagi mempertimbangkan posisi penting dari pendidikan sebagai produsen pokok generasi penerus dan pembangun bangsa. Karenanya, tak heran jika saat ini kita melihat berbagai upaya peningkatan kualitas pendidikan yang dilakukan pemerintah, baik dari segi makro (sistem integral) maupun mikro (hal-hal substansial).Akan tetapi, seperti yang tertera di sebuah artikel berjudul “Stop Privatisasi PTN” oleh Darminingtyas, Anggota DewanPenasihat The Center for the Betterment of Education

Page 15: Pendidikan Indonesia Kini

(CBE) di Kompas terbitan 14 Juli 2003, kembali menunjukkan kesalahpahaman publik termasuk para pengamat tentang perubahan yang sedang berlangsung di perguruan tinggi.Upaya untuk membebaskan PTN dari belenggu birokrasi pemerintah yang kaku, konvensional dan berbudaya total compliance privatisasi, kapitalisasi dan komersialisasi PTN.

Bukan Harga Mutlak. Terlebih lagi, apabila kita mencoba pada posisi objektif, yaitu dengan mempertimbangan berbagai sisi positif dan negative dari BHP ini (sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya), maka sesungguhnya BHP bukanlah harga mutlak sebagai solusi atas kebobrokan sistem saat ini. Sebagai catatan penting, dengan menolak sistem BHP sebagai solusi pendidikan, bukan berarti kita menerima secara utuh-utuh kekurangan yang ada pada sistem saat ini. Kita sepakat akan satu hal: urgensitas dan kebutuhan akan perbaikan sistem pendidikan. Namun perbaikan ini tidak harus dengan sistem BHP, yang alih-alih menjadi solusi, ia justru membaluti pendidikan dengan komersialisasi dan amputasi intervensi pemerintah dari kewajiban fundamentalnya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan juga tujuan pendidikan nasional yang sebelumnya telah digariskan.

Dari Sosialisme ke NeoliberalismeIndonesia di era Soekarno (Orde Lama), sebagaimana Kuba sekarang, merupakan negara yang sarat dengan cita-cita sosialisme. Cita-cita sosialisme ini termasuk juga dalam bidang pendidikan. Statuta Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat tegas menyatakan bahwa tujuan UGM adalah menyokong sosialisme pendidikan. Namun pada tahun 1992, di bawah kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti dengan banyak perubahan pada isinya di mana salah satu perubahannya adalah menghilangkan pasal mengenai tujuan menyokong sosialisme pendidikan Indonesia.Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945. Indonesia bahkan mampu mengekspor guru ke Negara tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa ke luar negeri, dan menyebarkan mahasiswa-mahasiswa ke seluruh penjuru negeri untuk mengatasi buta huruf. Tahun 1960-an terjadi peningkatan luar biasa perguruan-perguruan tinggi yang sekaligus berarti peningkatan jumlah mahasiswa dan pelajar di seluruh negeri. Tenaga-tenaga pengajar diupah dengan layak, bahkan menjadi primadona pekerjaan bagi rakyat. Jargon “study, work, rifle” atau “belajar, berkarya, dan senjata”yang dipakai Kuba sekarang merupakan satu jargon yang juga dipakai oleh beberapa organisasi mahasiswa dan pelajar pada era tersebut.Semangat antikolonialisme setelah lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang diejawantahkan dengan semangat membangun sosialisme, termasuk dalam hal pendidikan. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di perguruan tinggi atau sekolah. Diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialis (seperti dilakukan kolonial Belanda). Rezim berganti, ideologi dan politik pendidikan pun berganti. Awalnya perubahan ideologi dan politik ini belum berubah tajam, sampai suatuhari terjadi krisis minyak dunia pada awal 1980-an, yang membuat negara mengetatkan anggaran. Ketergantungan pada ekspor minyak seketika mendatangkan malapetaka karena harga minyak turun drastis di kala utang luar negeri juga jatuh tempo. Anggaran untuk public diketatkan termasuk di bidang pendidikan. Seketika rakyat masuk dalam

Page 16: Pendidikan Indonesia Kini

sistem pendidikan pasar yang memperbesar ketimpangan si kaya dan si miskin. Gaji guru tidak lagi mampu mendukung kebutuhan minimal untuk mengajar dengan tekun dan baik. Ekstensifikasi pendidikan berjalan lambat karena keterbatasan anggaran.

Ketidakpuasan menggejala pada rakyat, karena akses terhadap pendidikan yang makin berkurang. Sekolah dan perguruan tinggi swasta menggejala karena keterbatasan pemerintah untuk menyediakan sekolah-sekolah baru. Ekstensifikasi pasar ini kemudian diimbangi oleh Orde Baru dengan proses indoktrinasi. Peng-asastunggal-an ideology Pancasila melalui pengajaran Pancasila dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi, penataran P4 bagi pegawai negeri sipil dan militer, pelarangan ideologi-ideologi tertentu untuk dipelajari, pembelokan sejarah, dan banyak doktrinasi lain adalah contoh-contoh proses tersebut. Pada era ini pula mahasiswa dibungkam dengan pembubaran dewan-dewan mahasiswa dan pelarangan mahasiswa berpolitik melalui kebijakan NKK/ BKK.

Dalam sistem pendidikan yang ada, berkembanglah ideologi pasar sebagai konsekuensi Indonesia berada dalam peta kapitalisme global. Pendidikan direndahkan posisinya sebagai alat elevasi sosial untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ilmu direndahkan menjadi deretan angka-angka indeks prestasi (IP). Akses masuk semakin terbatas karena formasi sosial tidak memungkinkan warga masyarakat kebanyakan (miskin) menginjak bangku sekolah yang lebih tinggi. Kecenderungan mahasiswa berasal dari kalangan menengah ke atas terus meningkat dari tahun ke tahun. Penelitian majalah Balairung UGM pada tahun 2000 membuktikan terjadi tren penurunan anak buruh, petani, dan anak guru yang menginjak bangku kuliah di UGM. Karena pada saat yang sama indoktrinasi dari negara juga berlangsung, muncul kritik-kritik dari kalangan pengamat pendidikan yang kritis namun liberal yang memandang terjadinya paradoks dalam dunia pendidikan karena sama sekali tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak muncul ketidakpuasan dan perlawanan dari dalam kalangan akademisi pendidikan terhadap intervensi negara dalam kurikulum pendidikan. Ketidakpuasan muncul karena mereka menganggap tidak efisien.

Ketidakpuasan dan perlawanan dari dalam kampus ini menyemai bibit perlawanan mahasiswa. Pada tahun 1994 misalnya berdiri Dewan Mahasiswa UGM yang tegas menolak korporatisme negara terhadap kampus. Langsung atau tidak langsung, masifnya demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998 merupakan imbas dari kebijakan pendidikan yang korporatis dan tidak demokratis di perguruan-perguruan tinggi.“Reformasi 1998″ memanglah pas disebut sebagai reformasi. Diakui atau tidak, momen ini merupakan awal perubahan bentuk kapitalisme di Indonesia. Ditandatanganinya letter of intents antara pemerintah Indonesia dan IMF menjadi legitimasi formal bagi kapitalisme untuk mengembangkan neoliberalisme yang berpijak pada tiga program utama, yakni deregulasi ekonomi, liberalisasi, dan privatisasi. Di bidang pendidikan, pada tahun 1999, dengan dana dari Bank Dunia, ditandatangani kesepakatan melakukan pilot project “Otonomi Kampus” pada empat perguruan tinggi negeri utama di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Beramai-ramai akademisi yang kabarnya “reformis” dari empat perguruan tinggi ini mendukung program baru ini. Inilah

Page 17: Pendidikan Indonesia Kini

antitesa dari system pendidikan Orde Baru yang mengekang perguruan tinggi melaluikorporatisme birokrasi dan kurikulum.

Korporatisasi yang berkedok “otonomi perguruan tinggi” dipandang sebagai suatu kemajuan, lebih baik, dan tentunya lebih menjamin prospek yang bagus bagi mereka, misalnya dalam hal fasilitas dan tunjangan sebagai tenaga pengajar. Padahal, inilah era neoliberalisme! Dari Egalitarianisme ke Militerisme Orde Lama merupakan satu fase yang mirip dengan fase pascarevolusi demokratik di Prancis pada 1789. Saat itu di mana-mana muncul semangat egalitarianisme yang mengejawantah dalam masyarakat.Panggilan-panggilan terhadap orang, baik yang sudah berumur maupun belum, disamaratakan dengan sebutan “bung”. “Bung” merupakan pengganti sebutan orang yang tidak mengenal strata kelas, status, dan umur. Semangat ini merupakan refleksi masyarakat terhadap kolonialisme yang membuat masyarakat berkasta-kasta berdasarkan warna kulit, agama, dan asal daerah. Inilah orde di mana semua orang merasasejajar, tanpa dibedakan warna kulit, keturunan, agama, dan sebagainya.

Begitu juga dalam dunia pendidikan. Orde Lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan bangsa.Di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa, ditandai dengan fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa. Mahasiswa bebas beroroganisasi sesuai dengan pilihan atau keinginannya. Kebebasan berpendapat, memang sempat muncul juga pembredelan pers oleh Soekarno, namun relatif lebih baik dibandingkan masa Orde Baru yang pada suatu waktu (setelah peristiwa demonstrasimahasiswa 1978) pernah membredel 15 media massa sekaligus. Inilah salah satu era keemasan bagi gagasan dan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Sebaliknya, di era Orde Baru kebebasan ini sedikit demi sedikit direnggut sampai tak tersisa sama sekali. Membaca buku tertentu bahkan dianggap sebagai tindakan kriminal. Kebebasan berorganisasi dikooptasi dengan adanya organisasi-organisasi yang sudah korporatis pada kekuasaan, sehingga menganalisasi politik mahasiswa. Kebebasan akademis dikekang dengan perlunya izin kegiatan dari pihak yang berwenang.Peristiwa meninggalnya Wahyu Hidayat, praja STPDN, karena kekejaman para seniornya pada tahun 2004 merupakan wujud dari masuknya warna militerisme pada pendidikan di Indonesia. Hal ini adalah bentuk lain dari korporatisme pendidikan yang terjadi di Indonesia. Lembaga pendidikan semacam ini lahir dari rahim rezim militer Orde Baru yang masuk ke ranah sipil. Di perguruan-perguruan tinggi swasta dan negeri, hal ini mewujud dengan adanya resimen mahasiswa. Resimen mahasiswa (menwa) merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa yang berafiliasi langsung ke institusi-institusi militer seperti kodam.

Di dalam kelas ataupun birokrasinya, reproduksi sistem ini juga berlangsung. Dosen seringkali dipandang oleh mahasiswa sebagai orang yang ditakuti, berkuasa. Birokrasi perguruan tinggi berkembang begitu kuat tanpa adanya kebebasan berserikat bagi civitas-civitas akademika, kecuali terbatas pada mahasiswa. Namun, bagi karyawan-karyawan

Page 18: Pendidikan Indonesia Kini

nonpengajar di perguruan tinggi, seringkali posisi mereka sangat lemah secara politik dan hukum, seperti halnya kelas pekerja lain di Indonesia. Penelitian pers mahasiswa Mahkamah Fakultas Hukum UGM pada tahun 2000 mengungkapkan sekitar seperempat karyawan UGM merupakan karyawan honorer dengan status tidak jelas dan upah tidaksesuai dengan upah minimum regional (sekarang upah minimum provinsi) yang berlaku.

Seleksi Kelas dalam Pendidikan NeoliberalMasuk dalam era neoliberal, seleksi kelas dalam mengakses pendidikan semakin menguat. Ditambah lagi dengan lahirnya UU Sistem Pendidikan Nasional yang baru, yang telah melegalkan pengalihan tanggung jawab negara kepada masyarakat (baca masyarakat pemilik uang). Berbagai kampus, tidak terbatas pada empat kampus pilot project mencari sumber pendanaan baru termasuk dengan memungut lebih untuk mahasiswa-mahasiswa baru. Harian Kompas (18/6/2003) mengungkapkan munculnya model baru penerimaan mahasiswa seperti dengan menambah kuota 10% hingga 20% dari formasi mahasiswa baru jalur reguler dengan tariff mahal, bahkan mencapai Rp 150 juta.Jauh hari sebelumnya, Republika (16/8/2002) menulis, 11,7 juta anak tidak pernah sekolah dan putus sekolah (berumur 10 - 14 tahun) dan 5,2 juta anak usia sekolah tidak mampu membaca, menulis, dan berhitung. Tentunya angka putus sekolah ini semakin jadi tren seperti juga tren angka pengangguran yang terus meningkat yang diakibatkan salah satunya oleh angka putus sekolah karena alasan ekonomi. Republika menyajikan data bahwa hanya 11% tamatan SLTA yang bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Situasi ini menunjukkan tren angkatan kerja Indonesia pada saat ini bukanlah well-educated dan skilled karena sebagian besar hanyalah lulusan SLTA atau lebih rendah. Selain itu, ternyata lulusan perguruan tinggi Indonesia pun tidak cukup berkualitas. Jacob Nuwa Wea (Menaker) seperti dikutip detik.com (16/4/2002) mengatakan 30% pasar tenaga kerja Indonesia diisi tenaga kerja asing (ekspatriat).Pernyataan ini menandaskan bahwa link and match yang diinginkan kapitalisme dalam sistem pendidikan Indonesia belumlah sepenuhnya terwujud.

Anarkisme sistem pendidikan di bawah neoliberalisme menempatkan rakyat sebagai komoditas pendidikan, bukan berfungsi sebagai sarana bagi rakyat untuk menjadi lebih baik: link and match dengan keadaan. Setelah pencanangan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau korporatisasi perguruan tinggi, perguruan-perguruan tinggi tersebut berlomba-lomba membuka jalur penerimaan baru yang tak mengindahkan saringan akademik. Terjadi lonjakan kuota mahasiswa baru yang diterima di berbagai perguruan tinggi negeri sebagai konsekuensi dari kebijakan ini. Kuota ini tentunya tidak direncanakan secara nasional, terintegrasi dengan kebijakan tenaga kerja, namun tidak lain hanyalah cara untuk mendapatkan dana tambahan bagi perguruan-perguruan tinggi tersebut.

Pelajaran dari KubaDari keadaan pendidikan Indonesia yang seperti itu, ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari sistem pendidikan Kuba (Ministerio de Educación Superior, 2001). Terdapat empat hal berikut yang bisa dipelajari. Pertama, pendidikan gratis untuk seluruh warga negara.Pemerintah Kuba memandang pendidikan merupakan bagian terpenting dalam

Page 19: Pendidikan Indonesia Kini

mempertahankan revolusi Kuba, di mana rakyat mempunyai hak yang sama dalam mengakses pendidikan dan negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan. Akses yang sama ini diwujudkan dalam bentuk pendidikan gratis bagi seluruh warga negara. Sehingga tidak mengherankan, Kuba sekarang menempati posisi teratas di dunia untukangka melek huruf dan angka rata-rata sekolah per kapita.Kedua, jaminan terhadap persamaan hak ini diwujudkan dengan pendidikan diselenggarakan oleh negara sehingga bisa mewujudkan angka perbandingan guru dan pelajar yang luar biasa, yaitu satu tenaga pengajar untuk 13,6 pelajar. Pemerintah Kuba membelanjakan US$ 1,585 miliar atau setara Rp 13,4725 triliun per tahun untuk pendidikan dengan penduduk 11 juta (bandingkan Indonesia yang hanya membelanjakan Rp 11,5528 triliun pada tahun anggaran 2002 dengan penduduk 220 juta).

Ketiga, dengan adanya penyelenggaraan oleh negara, terdapat system yang terintegrasi antara orang-orang yang sedang belajar dengan kebutuhan tenaga kerja dan lapangan pekerjaan yang tersedia di seluruh negeri. Dengan ini, persoalan link and match menjaditerpecahkan dengan sistem pendidikan yang terintegrasi secara nasional. Dari sekolah menengah, seorang warga negara dipersiapkan untuk memilih mengikuti pra-universitas atau pendidikan teknisi dan profesional yang akan mengarahkan pada dunia kerja. Dari pra-universitas bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi untuk memperdalam bidang akademik yang ingin diperdalam atau menjadi tenaga pengajar. Keempat, dengan menggunakan seleksi akademis itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi benar-benar berada di tangan yang tepat, dengan kompetensi akademis yang benar-benar diarahkan oleh negara. Lulusan-lulusan perguruan tinggi terbaik diarahkan masuk ke 211lembaga-lembaga penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi dari berbagai kajian yang tersebar di seluruh negeri.

World Social Forum (WSF) secara historis merupakan forum gerakan sosial untuk menyikapi isu-isu yang mengemuka di dunia. Secara pararel, WSF yang merupakan open space kerakyatan juga selalu vis-a-vis dengan World Economic Forum (WEF) yang dilaksanakan di resor ski mewah di kota Davos, Swiss. Dengan ini, semangat WSF sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan rakyat global terhadap kebijakan dan praktek neokolonialisme-imperialisme yang dikontrol oleh korporasi-korporasi besar multinasional. Di seluruh dunia pada hari yang sama, jutaan rakyat, organisasi, jaringan dan gerakan mengadakan aksi untuk menunjukkan bahwa “another world is possible”, dunia yang berbeda, dunia yang berkeadilan sangat mungkin diwujudkan. Dunia tanpa kemiskinan, pengangguran, kebodohan dan ketidaksetaraan. Inilah semangat yang diusung oleh gerakan rakyat dalam melawan kebijakan neoliberalisme yang membunuh, dengan kredo Konsensus Washington: privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi.

Dampak buruk praktek kebijakan neoliberalDampak mengerikan yang paling nyata dari praktek kebijakan neoliberal di negeri ini adalah pada bidang pangan dan pertanian. Hampir semua produk pertanian diimpor. Beras, kacang kedelai, gula, susu, buah-buahan sejak lama menjadi komoditas impor yang telah membunuh jutaan petani di dalam negeri. Kenapa Negeri agraris yang gemah ripah loh jinawi ini tak bisa memenuhi kebutuhan pangan? kebutuhan paling pokok rakyat. Impor tiap tahun terus meningkat, seperti beras (2006 sebesar 840 ribu ton, 2007

Page 20: Pendidikan Indonesia Kini

sebesar 1,5 juta ton) dan kedelai (2006 sebesar 1.2 juta ton, 2007 sebesar 1.5 juta ton). Akibat kebijakan liberalisasi dan privatisasi pangan ini, kaum tani semakin menderita karena didera murahnya banjir komoditas impor, sehingga pasar dan harga domestik kita pun hancur.Selanjutnya, ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya diperkirakan antara 3 sampai 4 milyar dollar AS. Pasir kita dicuri dengan nilai yang minimal sekitar 3 milyar dollar AS. Hasil perikanan dan kelautan kita pun dikeruk untuk diekspor ke negara-negara kaya, macam Singapura, Jepang, Korea, Cina, Uni Eropa dan bahkan AS.Di ranah lingkungan, negara kita yang dikaruniai hutan yang demikian luas dan lebatnya, negara produsen eksportir kayu terbesar di dunia, dihadapkan pada hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang praktis nihil karena dikorup. Sudahpun gundul, masih saja terjadi penebangan liar yang diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2 milyar dollar AS. Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dengan manfaat terbesar jatuh pada kontraktor asing dan kroni Indonesianya secara individual. Rakyat yang adalah pemilik dari bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tetap berkubang dalam kemiskinan dan keterbelakangan.Di ranah industri, yang kita banggakan hanyalah industri manufaktur yang sifatnya industri tukang jahit dan perakitan yang bekerja atas upah kerja dari para majikan asing dengan laba yang berlipat-lipat ganda. Sementara mereka menikmati kekayaan itu, para buruh di Indonesia tetap hidup dalam ketertindasan karena upah murah. Saat ini hampir seluruh dari pertumbuhan ekonomi di negeri ini tunduk atas modal privat dan asing, jumlahnya hingga 74 persen dari total investasi di Indonesia.Dalam konteks ini, iklim liberalisasi dan privatisasi di Indonesia tentu sudah mencapai batas yang mengkhawatirkan, sehingga tak lagi menjamin hak-hak konstitusi rakyat. Bahkan modal asing dibiarkan menggurita: Hak Guna Usaha (HGU) diperpanjang menjadi 95 tahun untuk mengeruk hasil bumi kita, cabang-cabang produksi yang seharusnya dikuasai negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat dibuka untuk diprivatisasi seperti pendidikan dan kesehatan. Hal ini termaktub dalam cengkraman neoliberalisme yang paling mutakhir: privatisasi, liberalisasi dan deregulasi yang ada di dalam UU Penanaman Modal (UU No. 25/2007). Ini jelas merupakan capital violence yang berwujud menjadi judicial violence, yang menihilkan Hak Asasi Manusia, hak-hak konstitusi rakyat.Inilah negara besar bernama Indonesia. Bahkan menjelang satu abad kebangkitan nasional, tetap terpuruk dalam jurang nista penjajahan ekonomi. Lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia, ADB, JBIC) telah berperan membangkrutkan negeri ini dengan utang yang begitu besar. Hingga saat ini, jumlah utang luar negeri pemerintah mencapai lebih dari Rp 1.500 trilyun. Dengan rata-rata pembayaran utang cicilan pokok dan bungan utang setiap tahunnya berjumlah Rp 150 trilyun. Pembayaran utang tersebut telah mengorbankan alokasi anggaran negara untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan pekerjaan.Resultan dari proses ini juga berakibat pada ketidakadilan gender yang menyebabkan ketidaksetaraan, beban ganda, kekerasan, diskriminasi, stereotyping dan marginalisasi perempuan. Sebuah situasi yang sehari-hari dihadapi oleh perempuan dalam menghadapi perekonomian yang makin menyulitkan keberlanjutan kehidupan perempuan dan keluarganya.

Page 21: Pendidikan Indonesia Kini

Perjuangan rakyatTetapi, rakyat Indonesia memilih untuk bangkit. Membangun optimisme untuk kehidupan yang lebih baik. Membuka peta jalan baru bagi terwujudnya keadilan sosial, sebagai amanat suci konstitusi. Melawan ketidakadilan ekonomi-politik yang disebabkan oleh pemodal dan segelintir orang: korporasi transnasional seperti Chevron, Caltex, Freeport, Newmont, Cargill, Mosanto, Nestle, dan ratusan lainnya? yang tanpa ampun mengangkangi kedaulatan rakyat dan terus menguras kekayaan alam negeri ini.Hari ini, rakyat tertindas di seluruh dunia menyerukan kata yang sama. Melawan ketidakadilan global dan menyerukan perubahan tata kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan ekologi baru. Melawan dominasi praktek neoliberalisme yang melestarikan penjajahan yang mewariskan kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan ketidaksetaraan.Sebagai bagian dari gerakan dunia tersebut, kami gerakan rakyat di Indonesia yang terdiri dari ormas petani, buruh, nelayan, miskin kota, perempuan, aktivis HAM, gerakan anti utang dan gerakan lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme - Neoimperialisme (GERAK LAWAN), mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk : Melaksanakan Pembaruan Agraria Sejati dan meredistribusikan tanah untuk petani, sesuai dengan amanat UU Pokok Agraria 1960. Menghentikan impor dan liberalisasi pangan untuk mewujudkan kedaulatan pangan bangsa.Membangun industri nasional yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan buruh, serta menolak privatisasi cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak Menghapuskan utang lama dan menolak utang baru .Mencabut UU Penanaman Modal (UU No. 25/2007) .Memberikan pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat .Mewujudkan keadilan iklim untuk melawan pemanasan global .Menegakkan keadilan jender dengan meningkatkan akses dan kontrol perempuan dalam pengambilan keputusan. (Wallohu A’lam Bishawab).

KepustakaanCahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan, From:

http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia 2010 Ade Cahyana.htm, sabtu, 16/9/ 2006, jam. 13.10.

Freire, Paulo, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya, LP3ES, Jakarta.  

Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1999, Jakarta.

Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta. 

Musa, Ibrahim,  Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah, From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002 

Nomida Musnir, Diana, 2000, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis, dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru

Page 22: Pendidikan Indonesia Kini

Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta.  

Purbo, Onno W., Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan, From: http://bebas.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/pergeseran-drastis-paradigma-dunia-pendidikan-1998.rtf, 7/11/2003. 

Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta. 

--------, 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan, Jurnal Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437, Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta. 

----------, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara Mitos dan Realitas.

Suryadi, Ace, Pengelolaan Pendidikan Perlu Paradigma Baru, From:http://www. Kompas.com/kompas-cetak/0010/16/DIKBUD/peng09.htm.,akses, Sabtu, 23/8/ 2003. 

Suyanto & Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta. 

Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global], PSAP Muhammadiyah, Jakarta. 

Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara bangsa Indonesia", Makalah, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.

Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang.

Yacub, Muhammad, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu opini mengenai reformasi_s.htm, akses, Rabu,20/9/2006, jam.13.35. 

Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta.Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997

Tempo, 7 Januari 2001Lewat Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kompas, Rabu, 24

Februari 1999Sekolah Plus, Menghitung Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001Kasrai, Reza, Corporate University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur

2001. http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.aspRUU BHP, Skenario Neoliberalisme, SUARA PEMBARUAN DAILY, September 5,

2007 BHMN, Neoliberalisme Pendidikan, Suara Pembaruan March 15, 2007Muhammad Roqib, M.Ag , Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya

Memajukan Bangsa, Jumat, 2008 Agustus 08Pan Mohamad Faiz (New Delhi) , Polemik Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan,

Dimuat pada H.U. Seputar Indonesia (05/05/07)Pan Mohamad Faiz , Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan, Pikiran

Rakyat Bandung , October 05, 2006Abu Khaulah Zainal Abidin , “Ideologi Pendidikan Kita” Maret 22, 2008, Posted by

rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.

Page 23: Pendidikan Indonesia Kini

Greg Russell, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi (terj.), Demokrasi, Office of International Information Programs, US. Dept. of States., tanpa tahun.

Richard C.Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat (terj.), Office of International Information Programs – United States Dept. of States, 2000.

The center on Education Policy, Washington D.C., The Federal Role in US Education, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Tiffany Danitz, The Standards Revolution In U.S. Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Anonim, The Federal Role in Education - Overview , US Department of Education in http://www.ed.gov

Anonim, College Rankings, America’s "Top" Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Judith S. Eaton, An Overview of U.S. Accreditation, publication of Council for Higher Education Accreditation, tanpa tahun .

Robert H. Bruininks, Public Universities In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

James W. Wagner, What Is A Large, Private Research University?, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Anonim, The Cost Of College In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Martina Schulze, Possible Sources Of Financial Aid, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Margaret S. Branson, At The Core Of U.S. Education, A Passion For Learning, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Hizbut Tahrir, How the Khilafah was Destroyed, Khilafah Publication, London 2000Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar , Tuesday, March 18, 2008

http://www.fppm.org/Info%20Anda/pendidikan%20yang%20membebaskan.htm.Mansour Faqih dan Toto Rahardjo. Pendidikan yang membebaskan, 09 Agustus 2002

http://www.pikiran-rakyat.com/Artikel/0802.htm. Ahmad Dahidi & Miftachul Amri. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah Refleksi. 22 Mei

2003.Agus Syafii <agussyafii@yaho...>, Problem Pendidikan di Era Reformasi, February 18,

2008 Kepentingan Politik Masih Terlihat Lebih Menonjol, http://www.kompas.co.id/kompas-

cetak/0708/08/humaniora/3750060.htmPendidikan Indonesia Alami Proses Involusi, Harian Kompas, 4 September 2004Agung Pramanto (JIP'98)/Redaksi AP, Dilema Otonomi Pendidikan: Catatan Dari

Seminar Otonomi Pendidikan Nasional 2001 SMFSUI Otonomi Pendidikan Masih Hadapi Banyak Kendala, Jakarta, Sinar Harapan, 2003St Kartono , Memahami Otonomi Pendidikan beserta Implikasinya, SUARA

PEMBARUAN DAILY , 2002

Page 24: Pendidikan Indonesia Kini

Uni Eropa: Perdamaian Aceh Bukti Kekuatan Soft Power, TEMPO Interaktif, Jakarta, Rabu, 13 Desember 2006 | 21:15 WIB

"Soft Power" dan Jejak Bush , Kompas, 21 Nopember 2006Muhammad Roqib, M.Ag, Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya

memajukan Bangsa, http://roqibstain.blogspot.com/2008/08/politik-pendidikan-dan-pendidikan.html

Marsudi Budi Utomo, 50 Tahun RI-Jepang, December 24, 2007Novian Widiadharma, UIN Yogyakarta , Art, Soft Power, dan Tata Dunia Baru,

Wednesday, 13 August 2008 07:15 Nurani Soyomukti (Esai Politik): "Soft Power", Strategi Gerakan Anti Teror(Isme),

Sabtu, 2007 Agustus 25Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan, SBY dan "Soft Power" , URL Source:

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htmMegawati: Pandangan Tentang Pendidikan Murah dan Gratis, Menyesatkan, Rabu, 05

Mei 2004Khoirul Anwar , Membangun Moral di abad Global , 15 Juni 2008 - 17:05  Iskandar Alisjahbana , Cyberspace dari Peradaban Gelombang-Ketiga "Sifat dan Hakekat

Manusia & Masyarakat di Dalam Era-Informasi" , Edisi ke Tujuh, April 1997Baridul Islam Pr, “Abuse of Power” Kaum Intelektual, Purwokerto, 16 Maret 2003Anonym, Masalah Pendidikan Di Indonesia, August 29, 2007 Yusufhadi Miarso, Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di

Perguruan Tinggi, Disampaikan dalam Semiloka Pengajaran dan Program Magang, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP-UI, 2 Mei 2008

Banathy, Bela H. (1991). Systems Design of Education. A journey to create the future. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications

Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. Online Learning. Concept, strategies and application. Columbus,OH : Pearson. 2005

Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom-Kencana

Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle. (eds.)(1994). Systemic Change in Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications

Toffler, Alvin. The Third Wave. London : Pan Books Ltd.UNSCTD. Knowledge Society. Published for and on behalf of The Unted Nations.

Oxford,NY : Oxford University Press. 1998 Tim MWA Wakil Mahasiswa KM ITB dan Kastrat Kabinet KM ITB, Positioning Paper.

Pernyataan Sikap KM ITB terhadap RUU BHP BHP: Gaya Baru Otokrasi Pendidikan Indonesia

NIM. Sistem Pendidikan Yang Berkarakter dan Berbudaya, February 28, 2007Benedict Richard O'Gorman Anderson. Imagined Communities: Reflections on the

Origin and Spread of Nationalism. Edition: 2, revised. Verso, 1991Bertrand Russell. Power: A New Social Analysis. Edition: 2. W.W.Norton & company,

1938Chantal Mouffe . Gramsci and Marxist Theory: essays. Routledge, 1979Dewey, John, 1974, The Child and The Curriculum,and The School and Society, Chicago

and London, The University of Chicago Press.

Page 25: Pendidikan Indonesia Kini

Giddens, Anthony, The Nation States and Violence: Volume Two of a ContemporaryImmanuel Maurice Wallerstein, Immanuel Wallerstein. The Modern World-system II. Edition: 2. Academic Press, 1980

Masinambow, EKM (ed), 1997, Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, Jakarta, AAI dan Yayasan Obor Indonesia.

McQuail, Denis, 2000, Mass Communication Theories, Fourth edition, Sage Publication, London

Michael Wallerstein : The Political Economy of Inequality, Unions, amd Social Democracy. New York: Cambridge University Press, 2008

Renate Holub. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. Routledge, 1992Rudolf Ekstein, Robert S. Wallerstein. The Teaching and Learning of Psychotherapy.

Edition: 2. Basic Books, 1958Siswanta, Relasi kekuasaan: telaah pemikiran Antonio Gramsci dalam konteks politik

Indonesia kontemporer.  Media Wacana, 2006Sutaarga, Moh. Amir. 1997/1998. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum.

Jakarta: Proyek Pembangunan Permuseuman JakartaVedi R. Hadiz, Benedict Richard O'Gorman Anderson. Politik, budaya, dan perubahan

sosial: Ben Anderson dalam studi politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Yayasan SPES, 1992

FX Sugiyanto, Ilusi Kurikulum Pendidikan dalam Kuasa Neoliberalisme , Saturday, 02 August 2008