Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

121

Transcript of Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Page 1: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...
Page 2: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Dasar-Dasar Perencanaan Pendidikan 25

Page 3: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Judul dan nomor urut dalam seri ini adalah

1. Apakall Perencanaan Pendidikan itu ? Philip H. Coombs

2. Hubungan Rencana Pendidikan dtngan Henearía Ekonomi dan Sostai R. Poignant

3. Perencanaan Pendidikan dan Sumber Day a Manusia F. Harbison

A. Perencanaan dan Administrator Pendidikan C E . Beeby

5. Konteks Sosial Perencanaan Pendidikan CA. Anderson

6. Maya Rencana Pendidikan J. Vaizey, J.D. Chesswas

7. M as alali Pendidikan di Daerah Pedesaan V.L. Griffiths

8. Perencanaan Pendidikan : Peranan Penasihat Adam Curie

9. Aspek-aspek Demografis pada Perencanaan Pendidikan Ta Ngoc Châu

10. Analisis Maya dan Pengeluaran untnk Pendidikan J. Hallak

11. Identilas Profesional Perencana Pendidikan Adam Curie

12. Kondisi untuk Keberhasilan Perencanaan Pendidikan G.C. Ruscoe

13. Analisii Biaya dan Manfaat pada Perencanaan Pendidiknn Maureen Woodhall

14. Rencana Pendidikan dan Peinuda tanpa Pekerjaan Archibald Callaway

15. Politik Perencanaan Pendidikan di Negara lieikembang C D . Rowley

16. Perencanaan Pendidikan untuk Masyarakat Atajemuk Chai Hon-Chan

17. Perencanaan Kurikulutn Sekolah Dasar di Negata Heikembang II.W.R. Hawes

18. Delajar di Luar Negeri dan Perkembangan Pendidikan William D. Carter '

19. Perencanaan Pendidikan yang Realistik K.R. McKinnon

20. Merencanakan Pendidikan Sehubungan dengan Pembangunan Daerah Pedesaan G.M. Coverdale

11

Page 4: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

21. Pilihan dan Keputusan dalam Perencanaan Pendidikan John D. Montgomery

22. Meiencanakan Kurikulum Sekolah Arieh Lewy

23. Faktor Biaya dalam Perencanaan Teknologi Pendidikan yang Bersistem Dean T. Jamison

24. Perencanaan dan Pendidikan Seumur Hidup Pierre Furter

25. Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang Kritis Martin Carnoy

26. Merencanakan Kebutuhan akan Tenaga Pengajar dan Penyediaantiya Peter William

27. Perencanaan Pemeliharaan dan Pendidikan Anak Usia Balita di Negara Berkembang

Alastair Heron

23. Media Komunikasi di Bidang Pendidikan untuk Negara Berpenghasilan Rendan : Implikasi untuk Perencanaan

Emile G. McAnany dan John K. Mayo 29. Perencanaan Pendidikan Non-Formal

David R. Evans

30. Pendidikan, Latihan dan Sektor Tradisional Jacques Hallak dan Françoise Caillods

iii

Page 5: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

CAR 32.

International Institute for Educational Planning

PENDIDIKAN DAN PENEMPATAN TENAGA KERJA Sebuah Penilaian Yang Kritis

Oleh

Martin Carnoy

Penerjemah

Soeheba Kramadibrata I.I.E.P.- 1.1.P.E. Ttut E.Oelocroin 7S016 PftRIS

-9 .AVR.1987

CENTRE DE DOCUMENTATION

1986

PENERBIT BHRATARA KARYA AKSARA — JAKARTA

dan

UNESCO : PARIS

v

Page 6: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Education and employment : a critical appraisal

Published in 1977 by the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 7, Place de Fontenoy, 75700, Paris © Unesco 1977

Indonesian translation published in 1986 This translation © PT Bhratara Karya Aksara

Hak penerbitan edisi bahasa Indonesia 1986 pada PT Bhratara Karya Aksara — Jakarta

ISBN 979 — 410 — 004 — 8

Dilarang memperbanyak dan atau menyebarluaskan buku ini seluruh atau sebagian dengan cara menjiplak, mencetak, memfotokopi dan membajak atau dengan cara lain tanpa izin tertulis dari Penerbit Bhratara Karya Aksara.

Bagi yang melakukan pelanggaran ini akan di kenakan hukuman sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

VI

Page 7: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

D A F T A R I S I

DASAR-DASAR PERENCANAAN PENDIDIKAN ix KATA PENGANTAR xi

1 PENDAHULUAN 1 1.1 Apakah pengangguran itu masalah penting ? 5 1.2 Pengangguran dan setengah pengangguran 9 1.3 Penyebaran pengangguran 12 1.4 Apakah peran perencana pendidikan dalam me-

mecahkan masalah pengangguran dan setengah pengangguran? 15

2 BEBERAPA TEORI MENGENAI PASARAN TENAGA KERJA DAN PENGANGGURAN 19 2.1 Teori ortodoks 19 2.2 Beberapa teori dualistik pasaran tenaga kerja 29 2.3 Beberapa teori radikal tentang produksi dan per-

pangsaan pasaran tenaga kerja 33

3 MASALAH PENEMPATAN TENAGA KERJA DI NEGARA-NEGARA NONINDUSTRI : SEBUAH IN­TERPRETASI 43 3.1 Perkembangan kapitalisme di negara-negara ber-

penghasilan rendah 43 3.2 Pendidikan untuk pembangunan 50 3.3 Perluasan pendidikan dalam suatu perekonomian

yang ditandai oleh pengangguran 57 3.4 Masalah penempatan tenaga kerja dalam pereko­

nomian yang menempatkan tenaga kerja penuh 62

Page 8: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

4 BERBAGAI TINDAKAN KEBIJAKAN BAGI PARA PERENCANA 69 4.1 Suatu pendekatan alternatif 78 4.2 Tindakan-tindakan disarankan 83 4.2.1 Suatu kebijakan umum untuk meningkatkan pe-

nempatan tenaga kerja 83 4.2.3 Menciptakan kesempatan kerja 88 4.2.4 Pendidikan dan penempatan tenaga kerja 93 4.2.5 Perihal pendidikan dan pekerjaan 96

KEPUSTAKAAN 103

viii

Page 9: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

DASAR-DASAR PERENCANAAN PENDIDIKAN

Rangkaian buku kecil ini terutama ditujukan kepada dua kelom-pok orang : pertama, mereka yang bertugas — atau yang sedang menyiapkan diri untuk itu — dalam perencanaan dan administras! pendidikan, khususnya di negara-negara berkembang. Selanjutnya, ia juga ditujukan kepada mereka yang walau kurang mendalami bidang tersebut, seperti pejabat senior pemerintah atau pemimpin rakyat, namun menghendaki pengertian yang lebih umum perihal perencanaan pendidikan, dan ingin mengetahui bagaimana peren­canaan pendidikan dapat menunjang pembangunan nasional pada umumnya. Ia disusun baik untuk belajar sendiri maupun untuk dimasukkan dalam suatu program pendidikan formal.

Sejak rangkaian buku kecil ini diperkenalkan pada tahun 1967, baik dalam praktek maupun konsep perencanaan pendidikan mengalami banyak perubahan yang mendasar. Banyak dari pan-dangan yang mendasari usaha-usaha awal dengan menempatkan-nya secara masuk akal dalam proses pengembangan pendidikan telah lama ditinggalkan atau setidak-tidaknya dikecam. Sementara itu, cakupan perencanaan pendidikan itu sendiri telah diperluas. Selain itu, sekarang sistem pendidikan formal pada sekolah-sekolah meliputi usaha pendidikan penting lainnya yang diberikan dalam sistem pendidikan nonformal di kalangan orang-orang dewasa, Perhatian yang dicurahkan terhadap pertumbuhan dan perluasan sistem pendidikan diberikan dengan melengkapi atau bahkan meng-gantinya sama sekali, antara lain memberi kesempatan dan ke-untungan kepada berbagai wilayah, kelompok-kelompok sosia!, etnik, dan kelompok pria dan wanita untuk mengikuti pendidikan. Perencanaan, implementasi, dan evaluasi penemuan dan pemba-ruan isi dan substansi pendidikan paling tidak menjadi sama pen-

ix DPP-25 (2)

Page 10: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

tingnya — sebagai bahan renungan para perencana dan administra­tor pendidikan — dengan ramalan, ukuran, sistem pendidikan, dan hasilnya. Selanjutnya, proses perencanaan pendidikan itu sendiri mengalami perubahan dengan lebih mencurahkan perhatian pada implementasi dan evaluasi rencana dan rancangannya, serta me-nyelidiki kemungkinan-kemungkinan seperti perencanaan terpadu, partisipasi, dan perencanaan mikro.

Salah satu tujuan buku kecil ini ialah untuk menjelaskan ke-ragaman pandangan bcrbagai pengarang, yang mempunyai latar belakang dan disiplin ilmu yang berbeda, dan untuk mengkomu-nikasikan pengalaman rnereka itu melalui berbagai aspek, teori, dan praktek yang berubah-ubah dalam perencanaan pendidikan.

Sungguhpun rangkaian buku kecil ini telah direncanakan ber-dasarkan suatu pola tertentu, namun tidak dilakukan usaha untuk menghindari perbedaan, bahkan pertentangan di antara berbagai sudut pandangan para pengarangnya. Lembaga Internasional untuk Perencanaan Pendidikan (International Institute for Educational Planning) ini sendiri tidak ingin menggariskan suatu doktrin resmi apa pun kepada para perencana. Dengan demikian, walaupun pandangan para pengarang menjadi tanggung jawab masing-masing, yang senantiasa tidak sama dengan pandangan Unesco atau Lembaga Internasional untuk Perencanaan Pendidikan, ia menjamin bahwa akan banyak menarik perhatian di dalam pa­saran gagasan (perencanaan pendidikan) internasional.

Dengan mengingat latar belakang sidang pembaca yang sa-ngat berbeda, maka kepada pengarang diletakkan beban yang berat untuk memperkenalkan subjek masing-masing mulai dari awal, di samping harus menjelaskan istilah-istilah teknis yang telah biasa bagi scbagian sidang pembaca namun masih asing bagi yang lain. Dalam pada itu, para pengarang tetap menaati standar ilmiah dan dengan pengecualian dalam beberapa bidang spesialisasi ter­tentu, demi para pembaca, pengarang berusaha melakukan penye-derhanaan dalam penulisannya tanpa sedikit pun mengorbankan kadarnya. Gara pendekatan ini mempunyai keuntungan bahwa dengan demikian rancangan buku kecil ini dapat dicernakan oleh pembaca umum.

x

Page 11: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

KATA PENGANTAR

Hubungan antara pendidikan dan penempatan tenaga kerja (employment) telah lama menjadi perhatian dan kegiatan utama perencanaan pendidikan. Sesungguhnya salah satu sebab penting mengapa perencanaan pendidikan dalam satu atau lain bentuk diterapkan di banyak negara ialah adanya keinginan untuk mem-peroleh suatu jenjang yang lebih serasi antara lulusan pelbagai tingkat dan berbagai sektor sistem pendidikan di satu pihak dan kebutuhan serta kemampuan (menyerap) pasaran tenaga kerja di pihak Iain. Perkiraan kebutuhan akan tenaga kerja dijadikan da-sar bagi sejumlah besar rencana pendidikan selama dua puluh tahun belakangan ini, dan masih saja memainkan peranan penting dalam perencanaan pendidikan. Berbarengan dengan itu, hu­bungan antara pendidikan dan penempatan tenaga kerja tetap menghadapi berbagai masalah: ekspansi sistem pendidikan lebih laju perkembangannya daripada daya serap pasaran tenaga kerja; perkembangan pendidikan membangkitkan harapan-harapan pada pihak anak didik dan keluarganya, yang tidak dapat ditampung oleh suatu ekonomi yang pertumbuhannya lebih lamban; terdapat perbedaan yang menyolok antara lulusan sekolah dengan kesem-patan kerja di berbagai daerah di sebuah negara, demikian juga dalam jenis pekerjaan, jenis sekolah, dan sebagainya.

Akibatnya ialah timbulnya pengangguran (unemployment) atau setengah pengangguran (underemployment) di antara para lulusan sekolah — sejak lulusan sekolah dasar sampai dengan lu­lusan perguruan tinggi — yang menjadi pemikiran dan kepriha-tinan yang semakin besar, bahkan bisa merupakan gangguan po-litik yang potensial di banyak negara. Keadaannya mengkhawatirkan sehingga patutlah dipermasalahkan, apakah para perencana pen­didikan masih mempunyai — demikian pun apabila mereka mem-punyainya — pengertian yang memadai perihal seluruh rangkaian dinamika dunia ketenagakerjaan pada umumnya, dan khususnya serba rumitnya pasaran tenaga kerja. Akhir-akhir ini oleh sejumlah

xi

Page 12: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

ahli ckonomi telah banyak dilakukan upaya untuk memperoleh lebih banyak pengertian pcrihal masalah pengangguran dalam rangka masalah pembangunan dan keterbelakangan (underdeve­lopment). Berkaitan dengan ini, kami di International Institute for Educational Planning (Lembaga Internasional untuk Perenca-naan Pendidikan) berpendapat bahwa sudah waktunyalah sekarang untuk berbagi dengan sidang pembaca Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan suatu penilaian kritis perihal perkembangan mutakhir dalam bidang pengetahuan ini.

Martin Carnoy, seorang ahli ekonomi pembangunan yang terkenal dan sekarang mengajar di Stanford University, dengan menarik dari pengalaman risetnya yang lúas di Amerika Latin dan Afrika serta berdasarkan renungan teoretisnya mengenai hubungan antara masalah pembangunan dan penempatan tenaga kerja mem-berikan penilaian yang kritis. Pembahasan yang dilakukannya jauh melampaui hal-hal yang berkaitan dengan yang bersifat teknis dan metodologis yang menjadi ciri khas dari berbagai model ke-tenagakerjaan dalam perencanaan pendidikan, yang telah dikenal sampai kini; ia menempatkan masalah-masalah pengangguran dan setengah pengangguran dalam kerangka yang lebih luas, yaitu dalam kaitan dengan keadaan sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi oleh negara-negara berkembang. Dari análisis ini timbul-lah beberapa pemasalahan yang ditujukan kepada para perencana pendidikan yang mungkin dapat membangkitkan diskusi dan pe-mikiran lebih lanjut mengenai peran perencana pendidikan dalam memahami, dan dengan demikian diharapkan dapat memecahkan masalah pengangguran dan setengah pengangguran. Kami sangat menghargai, sebagaimana kami pun yakin para pembaca buku kecil ini akan menghargainya pula, cara yang serba terbuka dan terus terang yang digunakan oleh Carnoy dalam membahas masa­lah-masalah yang sangat penting ini. Demikian juga dengan cara-nya menunjukkan kepada kita betapa hubungan antara pendidikan dan penempatan tenaga kerja adalah sedemikian rupa hingga tidak mungkin masalahnya akan terpecahkan hanya dengan penyelesaian teknis belaka, melainkan harus ditinjau secara menyeluruh dalam kerangka politik ekonomi pembangunan.

Hans N. Weiler

Direktur HEP

xii

Page 13: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

1. PENDAHULUAN

Sepuluh tahun yang lalu para ahli ekonomi di negara industri merasa cemas akan terjadi kemacetan dalam pertumbuhan ekono­mi di negara-negara nonindustri. Hal ini disebabkan negara-negara itu tidak memiliki tenaga kerja golongan menengah dan atas. Pe-rencanaan tenaga kerja dimaksudkan sebagai salah satu pemecahan masalah ini. Akan tetapi, belum sampai sepuluh tahun sejak masa itu, ternyata bahwa negara-negara nonindustri itu menghadapi ke-nyataan adanya kelebihan tenaga kerja berpendidikan tinggi; ting-kat rata-rata pendidikan di kalangan tenaga kerja telah meningkat dan demikian pula tingkat rata-rata pendidikan di kalangan tenaga kerja yang menganggur. Ditambah lagi, pengangguran tidak me-nunjukkan tanda-tanda berkurang, walaupun para penganggur itu — secara pukul rata — teoretis lebih memadai untuk berperan serta dalam pertumbuhan ekonomi.

Sebagai contoh dari masalah ini, Tabel 1 memperlihatkan per­tumbuhan pengangguran terbuka yang makin meningkat di Ame­rika Latin antara tahun 1950 dan tahun 1965. The Organization of American States (Organisasi negara-negara Amerika) (1971 : 1) melukiskan keadaan ini sebagai berikut.

Situasi umum penempatan tenaga kerja di seluruh Amerika Latin merupakan suatu ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan struk­tur perekonomian yang ada di belahan benua itu. Pertumbuhan pen­duduk yang meningkat di kawasan itu, perpindahan penduduk dari pedesaan ke daerah perkotaan yang meningkat, serta laju pertumbuhan tenaga kerja yang pesat merupakan bagian dari situasi sosial-ekonomis yang banyak menimbulkan permasalahan. Hal ini secara singkat dapat dikatakan sebagai suatu krisis penempatan tenaga kerja (employment) yang terlihat relatif besar, terutama di daerah-daerah perkotaan serta raeluasnya keadaan para pekerja yang bekerja tidak sepenuhnya (undtr-employment) dan peran serta mereka yang rendah tingkatnya.

Ï

Page 14: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Tabel 1. Penduduk, angkatan kerja dan penempatan tenaga kerja di Amerika Latin tahun 1950 — 1965

Jumlah penduduk (dalam ribuan)

Tingkat kesehatan (persentase dari jumlah Angkatan kerja (dalam ribuan) Pekerja (dalam ribuan) Penganggur (dalam ribuan) Tingkat pengangguran

penduduk)

(persentase dari angkatan kerja)

Sumber : Organisasi negara-negara

1950

151.116

34,85

52.664

49.739

2.925

5,60

1955

173.104

34,80

60.240

56.077

4.163

6,90

Amerika, 1971 : him.

1960

199.307

34,70

69.160

62.866

6.294

9,10

2

1965

229.691

34,60

79.473

70.651

1.882

11,10

Di Asia, mungkin keadaannya lebih parah (Mehta, 1968 : 24- 25) Rencana pengembangan industri yang terlebih dahulu dari negara-negara ECAFE tidak membuat dampak yang besar pada situasi penem­patan tenaga kerja (employment) dalam keseluruhannya, dan kesem-patan kerja selalu ketinggalan oleh pertumbuhan tenaga kerja. Di be-berapa negara seperti India, Pakistan, dan Srilangka jumlah pengang­gur dan setengah penganggur (under-employed) pada akhir masa ren­cana di atas, tampaknya lebih banyak daripada jumlah mereka yang diperhitungkan pada permulaan rencana. Ini menunjukkan bahwa ke-sempatan mendapatkan lapangan kerja - baru akan selalu tertinggal oleh laju pertumbuhan tenaga kerja. Data yang demikian ini menim-bulkan kesan bahwa masalah penempatan tenaga kerja menjadi sangat serius. Di Republik Korea, meskipun diadakan usaha industrialisas!, jumlah penganggur dalam tahun 1963 mencapai 703.000 orang, dan jumlah orang-orang yang setengah menganggur mencapai 2.200.000 orang. Biarpun industri-industri berkembang pesat, jumlah penganggur di Filipina meningkat dari 540.000 orang dalam tahun 1959, menjadi 577.000 orang dalam tahun 1960, 618.000 orang dalam tahun 1961, 662.000 orang dalam tahun 1962. Di India diperkirakan ada sekitar 5 juta orang penganggur pada awal kurun waktu Rencana Kedua, dan jumlah ini diperkirakan telah membengkak menjadi 9 juta orang pada awal kurun waktu Rencana Ketiga. Pada awal kurun waktu Rencana Keempat jumlah penganggur itu diperkirakan menjadi antara 9 — 10 juta orang. Di negara-negara lain seperti Indonesia, Burma, atau Re­publik Vietnam rencana pembangunannya praktis tidak dilaksanakan karena ketidakstabilan politik dan ekonomi, juga karena sangat kurang-nya sumber-sumber luar dan dalam negeri. Oleh karena itu, dampak

2

Page 15: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

rencana pembangunan dalam menyediakan lapangan pekerjaan jauh Iebih tidak berarti.

Sejak awal tahun 1960-an pengangguran di antara para lu-lusan sekolah dasar di Afrika Barat parah sekali (Callaway, 1961). Setelah merdeka dengan makin berkembangnya sekolah, masalah pengangguran meluas ke golongan tenaga kerja lulusan sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, walaupun tingkat pengetahuan para lulusannya cukup memadai (Thias dan Carnoy, 1969).

Turnham (1971) melaporkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Columbia dalam akhir tahun 1960-an mencapai 13,6%, untuk Venezuela angka ini berjumlah 7,9%, Malaysia 9,8% Fili­pina 11,6%, Srilangka 15%, Ghanall,6%, dan Kenya 14,9%. Dalam kurun waktu yang sama, angka ini untuk Chili sekitar 8% (Calvo at al., 1975) dan pada tahun 1976 angka ini hampir men­capai 20% (Frank, 1975). Tingkat pengangguran di Puerto Rico dalam tahun-tahun 1940-an, 1950-an, dan permulaan tahun 1960 berjumlah sekitar 12 — 14% (Carnoy, 1972), walaupun laju emigrasi massalnya sangat pesat. Penelitian terakhir di beberapa daerah perkotaan Mexico (Secretaria de Industrias y Comercio, 1975) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka resmi, yakni sebanyak 8% di Mexico City, Monterey, dan Guadalajara. Ten-tunya angka-angka ini dilaporkan untuk suatu masa (akhir tahun 1960-an) ketika kondisi ekonomi di negara-negara industri sedang relatif baik, dan oleh karena itu permintaan atas (dan harga) ba-rang-barang pokok dari Dunia Ketiga (selain minyak dan gula) relatif tinggi dibandingkan dengan situasi dalam tahun 1974 — 1975.

Banyak alasan dikemukakan para ahli ekonomi mengenai ting-ginya tingkat pengangguran itu: umumnya, karena berkaitan de­ngan tidak tersedianya modal di negara-negara berpenghasilan ren­dali dan kesukaran menciptakan lapangan pekerjaan yang cukup jumlahnya bagi tenaga kerja yang melimpah. Lebih lanjut dika-takan bahwa kesulitan itu menjadi lebih parah karena pesatnya pertumbuhan penduduk serta rendahnya tingkat pendidikan (ke-terampilan) golongan usia angkatan kerja (hai ini mempersulit penempatan tenaga kerja serta penarikan modal asing). Sehu-bungan dengan análisis ini, pemecahan masalah pengangguran dapat diatasi dengan cara memperluas pembentukan modal fisik dan memperluas bidang pendidikan. Dengan bertambahnya modal

3

Page 16: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

akan tercipta banyak lapangan pekerjaan, dan dengan tingkat pen-didikan yang lebih tinggi akan menurunkan angka kelahiran (wa-nita-wanita yang terdidik akan memiliki lebih sedikit anak-anak), dan dengan demikian penduduk lebih memperoleh lapangan pe­kerjaan.

Walaupun ada beberapa bukti bahwa dengan lebih terdidik-nya kaum wanita dapat menurunkan angka kelahiran (Holsinger, 1975; Todaro, 1977), namun mengurangnya laju pertumbuhan penduduk ternyata sangat lamban. Bahkan sama sekali tidak ber-kurang di negara-negara berpenghasilan rendah yang sedang me-nuju industrialisasi, meskipun ada kenaikan dalam tingkat rata-rata pendidikan di antara para wanitanya. Jadi, efek pendidikan terhadap penyediaan tenaga kerja, paling untung pun, bersifat jangka panjang. Selanjutnya, kenaikan modal setiap tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi yang meninggi tidak menekan jumlah pengangguran. Selain itu, tersedianya para tenaga kerja yang ber-pendidikan tinggi rupanya tidak banyak menolong dalam meme-cahkan masalah pengangguran, kecuali mempertinggi tingat rata-rata pendidikan di antara para penganggur.1)

Kegagalan strategi pembangunan untuk menekan tingkat pengangguran yang tinggi menimbulkan persoalan yang serius. Da­lam hai ini potensi kebijakan pendidikan dalam usahanya menem-patkan tenaga kerja penuh di dalam masyarakat berpenghasilan ren­dah di bawah organisasi produksi kapitalis perlu dipermasalahkan.

Dalam strategi pembangunan pada tahun 1950-an dan 1960-an, tentunya pendidikan dan para perencananya memegang peran utama dalam usaha memajukan pembangunan dan menciptakan kondisi untuk penempatan tenaga kerja penuh. Akan tetapi, bila pendidikan itu tidak mempunyai pengaruh yang berarti dalam menurunkan pengangguran, maka peran perencanaan pendidikan dalam menciptakan kondisi itu sangat terbatas. Hal inilah yang akan disoroti dan diteliti di dalam buku ini. Kita akan menganalisis, apakah kiranya ada suatu program pendidikan khusus yang dicip-takan di dalam perekonomian kapitalis, yang ternyata tidak banyak pengaruhnya terhadap masalah penempatan tenaga kerja dalam dua dasa warsa terakhir ini. Jika memang demikian halnya, maka

1. Untuk ringkasan segi-segi umum ini mengenai pengangguran di negara-negara berpenghasilan rendah lihat Bamett, di dalam Edwards, 1974.

4

Page 17: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

dengan memperbaiki kekurangan-kekurangan program itu, kebi-jakan pendidikan dapat menjadi alat yang efektif untuk menekan tingkat pengangguran. Kepustakaan yang mutakhir (lihat misal-nya, Blaug, 1973 ; Faure et al; 1972) secara tidak langsung me-nyatakan bahwa beberapa masalah pengangguran, terutama pengangguran di antara orang-orang berpendidikan dapat ditekan dengan memperbaiki sistem pendidikan. Misalnya, dengan cara memberikan peran lebih besar terhadap bidang pertanian di seko-lah-sekolah yang berada di pedesaan (pendidikan di luar sekolah), menyesuaikan kurikulum sekolah lanjutan pcrtama dengan lapang-an pekerjaan yang tersedia, dan seterusnya.

Di samping itu, ada kemungkinan sebab-sebab struktural yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan perekonomian kapi-talis, hai ini mungkin menyebabkan rencana pendidikan agak tidak relevan dengan persoalan penempatan tenaga kerja. Mungkin pula pengangguran orang berpendidikan itu merupakan suatu kondisi yang sangat disukai kaum majikan di kawasan perkotaan (suatu hasil yang diinginkan dari investasi prasarana yang dilakukan Ne­gara demi kepentingan kaum majikan itu, kendatipun ada kemung-kinan-kemungkinan politik yang tidak dikehendaki). Dengan kata lain, pengangguran yang terus-menerus berlangsung di mana-mana dan munculnya pengangguran orang-orang berpendidikan, bisa saja merupakan hai yang efisien dari suatu sistem yang dalam segi-segi lainnya cukup rasional. Akan tetapi, dapat juga merupakan akibat logis dan yang justru diinginkan untuk menghindari keku-rangan tenaga kerja pada semua tingkat keterampilan dan untuk menekan besarnya upah serta untuk meningkatkan produktivitas.

Sebelum melangkah ke penelitian mengenai hubungan yang mungkin ada antara pendidikan, penempatan tenaga kerja, dan teori-teori ekonomi yang melatarbelakanginya, kiranya perlu di-jawab pertanyaan berikut ini. Apakah pengangguran itu betul-betul merupakan masalah penting dan apakah pengangguran orang-orang berpendidikan itu harus ditangani secara terpisah dari pengang­guran orang yang tidak berpendidikan?

1.1 Apakah pengangguran itu masalah penting?

Walaupun pertanyaan ini tampaknya merupakan pertanyaan retoris, yang tidak memerlukan jawaban, akan tetapi ada gunanya untuk

5

Page 18: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

dibicarakan. Blaug (1973), misalnya, mengemukakan bahwa mak-sud sebenarnya Program Penempatan Tenaga Kerja Sedunia (World Employment Programme) dari Organisasi Buruh Intemasional ( ILO) ialah untuk membantu negara-negara berpenghasilan ren-dah dengan memusatkan kebijakan ekonominya pada penyediaan lapangan kerja. Akan tetapi, setelah permasalahannya diteliti oleh ILO maksud ini diubah menjadi suatu "usaha untuk mencari penekanan bahwa kemiskinan sebagai masalah penting pembangun-an ekonomi" (him. 2). Dalam laporan ILO Columbia (1971), ma­salah penempatan tenaga kerja didefinisikan ulang sebagai "perta-ma masalah penghasilan yang tidak mencukupi dan yang kedua kurang adanya kesempatan kerja". Dengan demikian, sasaran akhir kebijakan itu bukan semata-mata memberikan lebih banyak pekerjaan, akan tetapi menciptakan banyak pekerjaan yang sifatnya memberikan cukup penghasilan untuk mempertahankan standar hidup yang layak (Blaug, 1973 : 2 — 3) . Selanjutnya Blaug me-ngatakan bahwa cara pendekatan berdasarkan penghasilan guna mengukur tingkat pengangguran adalah lebih luas daripada cara (definisi) tradisional mengenai pengangguran terbuka ditambah setengah pengangguran sebagaimana yang akan kita bahas berikut ini. Selanjutnya jika sekali menerapkan hai ini sebagai cara pen­dekatan yang menyeluruh terhadap masalah tenaga kerja, maka análisis dari masalahnya menjadi análisis atas pertanyaan, "Meng­apa negara-negara tertentu miskin, dan mengapa jumlah penem­patan tenaga kerja di negara-negara miskin itu rendah sekali" (him. 5 ) .

Alasan untuk membenarkan pernyataan mereka bahwa ma­salah pengangguran itu sesungguhnya merupakan masalah kemis­kinan tidak bisa dipungkiri. Pada umumnya mereka yang cende-rung menjadi penganggur ialah orang-orang yang paling cocok untuk menjadi orang miskin. Pengangguran yang terus-menerus berlangsung, menurut definisi itu, akan berakibat timbulnya ke­miskinan. Namun, pengangguran harus dibedakan dari pengertian berpenghasilan rendah yang keduanya merupakan dua komponen kemiskinan yang dapat diperbandingkan ; jika seorang buruh me-nerima penghasilan rendah, dan dijamin bahwa penghasilannya yang rendah itu dapat diperoleh tiap minggu dan tiap tahun se-lama ia hidup (disesuaikan dengan perubahan harga barang-barang), maka dia mempunyai kepastian bahwa dia beserta ke-

6

Page 19: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

luarganya bisa mengatasi kelaparan. Suatu unsur kemiskinan, yakni ketidakpastian dan ketakutan telah disingkirkan. Memang unsur ketidakpastian yang menyertai tingkat pengangguran yang tinggi, bahkan pada waktu-waktu tertentu makin meningkat tidak terbatas pada mereka yang miskin. Seperti pekerja-pekerja profesional di negara-negara berpenghasilan tinggi akhirnya mengetahui adanya ancaman tidak akan memperoleh penghasilan, dan efek psikologis dari kondisi demikian dirasakan oleh sebagian besar penduduk di semua perekonomian kapitalis, meskipun dengan sedikit penge-cualian. Jadi, kita bisa mengemukakan alasan bahwa penghapusan pengangguran (atau pemberian jaminan adanya lapangan peker-jaan bagi mereka yang mau bekerja) dengan sendirinya merupakan masalah yang penting di dalam pembangunan, meskipun di dalam perekonomian pekerjaan yang dijamin seperti itu memberikan upah rendah.

Pekerjaan yang terjamin — tidak adanya pengangguran ter-buka — bukan saja merupakan masalah yang bisa dipisahkan dari soal penghasilan rendah, akan tetapi tampaknya jauh lebih mudah untuk menekan tingkat pengangguran dengan cepat daripada me-naikkan penghasilan per capita yang dilakukan dalam kurun waktu yang panjang. Beberapa pemerintahan sosialis, seperti di Bulgaria, Cina, Cuba, Polandia, Rumania, Rusia, dan Yugoslavia — semua-nya negara-negara berpenghasilan rendah pada saat revolusi me­reka — relatif cepat telah berhasil menekan jumlah pengangguran, begitu mereka melembagakan suatu kebijakan pekerjaan terjamin. Sebaliknya, usaha meningkatkan penghasilan per capita di negara negara tersebut temyata merupakan suatu tugas yang lebih sukar.

Jika penganggur itu kaum yang berpendidikan, mungkin ada biaya tambahan yang menjadi tanggungan masyarakat di samping keresahan psikologis yang timbul dalam diri si penganggur : pen-didikan betul-betul memakan biaya dari sumber-sumber pereko­nomian; sebagian biaya itu ditanggung oleh mereka yang meng-ikuti pendidikan secara langsung, dan sebagian lagi umumnya oleh pembayar pajak. (Masalah yang terakhir ini pernah diteliti oleh Jallade (1974) dari sistem perpajakan Columbia menunjukkan bahwa pajak-pajak dan pengeluaran negara Columbia itu regresif, cenderung menurun, sehingga kita bisa menduga bahwa orang-orang yang relatif miskin di negara-negara berpenghasilan rendah, memberikan subsidi terhadap pendidikan orang-orang yang relatif

7

Page 20: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

berada). Selanjutnya, dalam tulisan Coombs (1968) World edu­cational crisis disinggung bahwa penganggur berpendidikan bisa merupakan suatu ancaman politik terhadap orde yang sedang ber-kuasa, hai itu tidak akan terjadi pada penganggur yang tidak ber­pendidikan. Kedua faktor tersebut (biaya dan ancaman politik) menimbulkan keprihatinan karena gagalnya usaha memberikan la-pangan kerja kepada orang-orang berpendidikan dalam bidang-bidang yang sesuai dengan keahlian mereka.

Meskipun ada rasa prihatin itu kita harus bertanya, apakah tersedianya cadangan penganggur berpendidikan tidak berfungsi sama sekali? Ataukah hai ini merupakan suatu penghamburan sumber-sumber daya, meskipun di suatu negara berpenghasilan rendah ternyata masih kekurangan tenaga kerja yang berpendi­dikan? Dalam satu hai, adanya penganggur berpendidikan itu ber-arti mendorong orang-orang berpendidikan yang bekerja untuk bekerja lebih keras, karena mereka yang telah bekerja itu takut akan menjadi penganggur (diganti oleh orang yang lebih muda dan lebih terdidik). Penganggur berpendidikan itu juga menekan upah pekerja berpendidikan dan dapat menahan kenaikan upah. Kenaikan upah bisa terjadi jika jumlah lulusan pendidikan bisa berkurang. Dari segi mana pun orang melihat masalahnya bahwa semakin banyak jumlah lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi — juga jika mereka semua tidak berhasil mendapat peker-jaan — bisa bermanfaat lagi kenaikan tingkat pengembalian modal fisik atau paling tidak menahan jatuhnya pengembalian modal itu. Jadi, dapat juga dikatakan bahwa para kapitalis dan para pe-mimpin perusahaan raksasa tidak menaruh perhatian khusus ter­hadap tindakan-tindakan yang dapat memecahkan masalah pe-ngangguran orang-orang yang tidak berpendidikan dan berpendi­dikan. Kelebihan tenaga kerja yang berpendidikan mempunyai nilai yang berarti bagi kaum kapitalis itu. Tentunya harus kita sadari bahwa melimpahnya tenaga kerja berpendidikan tinggi, berarti tersedianya tenaga kerja terampil dalam jumlah banyak yang diperlukan oleh majikan. Namun, para majikan sering menge-luh karena keterampilan para lulusan pendidikan tinggi ini tidak cocok dengan keterampilan yang mereka butuhkan.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa pengangguran orang-orang yang tidak berpendidikan dan yang berpendidikan merupa­kan masalah penting yang tidak dapat dipisahkan dari masalah

8

Page 21: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

kemiskinan. Bahkan tidak bisa lepas dari pertumbuhan ekonomi karena masalahnya mempunyai kaitan psikologis dan distribusi jangkauannya berbeda di luar masalah efisiensi ekonomi. Jika ha-nya dilihat dari satu segi, penganggur berpendidikan seyogianya diperlakukan lain dari pengangguran total. Dengan demikian, kita dapat mempengaruhi pihak penyedia tenaga kerja berpendidikan dengan kebijakan pengeluaran belanja pemerintah secara langsung (kebijakan yang mempengaruhi suplai seluruh tenaga kerja ber-sifat jangka panjang). Ditambah pula, para penganggur berpen­didikan telah banyak memakan biaya dari sumber daya masyara-kat dibandingkan dengan penganggur yang tidak berpendidikan. Pe­nganggur berpendidikan mungkin juga merupakan ancaman ter-hadap stabilitas politik di dalam masyarakat, sedangkan pengang­gur yang tidak berpendidikan tidak mempunyai kemungkinan itu. Sebaliknya, ada análisis lain yang mengatakan bahwa penganggur berpendidikan merupakan suatu kelanjutan logis dari suatu kebi­jakan ekonomi yang berorientasi memperoleh keuntungan seba-nyak-banyaknya tanpa memungkiri kemungkinan kebenaran dari perbedaan biaya-biaya sosial antara penganggur berpendidikan dan yang tidak berpendidikan. Usaha mencapai ongkos atau biaya yang sebesar-besarnya itu, meliputi pula kelebihan suplai pekerjaan yang lebih terampil maupun yang kurang terampil. Dalam arti demikian, implikasinya ialah penganggur yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan merupakan bagian dari masalah yang sama, yakni mereka menciptakan kelebihan tenaga kerja. Olch karena itu, masalah pengangguran orang-orang yang berpendi­dikan dan pemecahan masalahnya dalam análisis itu tidak bisa dipisahkan dari masalah pengangguran total.

1.2 Pengangguran dan setengah pengangguran Cara tradisional yang digunakan oleh kebanyakan negara untuk mengukur tingkat pengangguran ialah dengan cara menghitung tiap orang tanpa pekerjaan dan mereka yang sedang mencari pe­kerjaan, dan bersedia menerima upah yang berlaku saat itu sesuai dengan survei penempatan tenaga kerja. InÜah yang disebut dengan pengangguran terbuka. Akan tetapi, dalam keadaan tingkat pe­ngangguran terbuka yang tinggi itu, banyak orang mencari peker­jaan di pasaran tenaga kerja yang sempit menjadi putus asa untuk melaksanakan keinginannya. Dalam hai ini tidak ditemukan jalan untuk mengetahui jumlah mereka yang segan mencari pekerjaan.

9

Page 22: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Lebih lanjut kita hanya dapat mengukur tingkat kesertaan tenaga kerja dalam suatu waktu: dalam masa-masa yang relatif banyak pengangguran, maka tingkat kesertaan tenaga kerja dapat pula menurun, dan dengan demikian menunjukkan jumlah orang-orang yang tidak berani memasuki pasaran tenaga kerja (Lihat Tabel 1. untuk turunnya tingkat kesertaan tenaga kerja di Amerika Latin).

Di lain pihak hasil penghitungan pengangguran terbuka dapat menyesatkan: pertama, tingkat persentase pengangguran menunjuk­kan persentase orang-orang yang sedang mencari pekerjaan dan yang sedang menganggur dalam suatu minggu tertentu. Mcmang ini merupakan petunjuk persentase jumlah penganggur dalam satu minggu — minggu yang mana tidak menjadi soal — dari tahun yang sedang berjalan. Akan tetapi, tingkat persentase ini tidak termasuk tenaga kerja (buruh) yang menganggur pada suatu saat di dalam setahun. Jadi, tingkat persentase pengangguran itu tidak menunjukkan persentase penduduk yang menderita keresahan ka-rena tidak mempunyai pekerjaan selama beberapa kurun waktu dalam setahun. Misalnya, dalam suatu masa, lama waktu seseorang di USA menganggur dalam setahun sekitar 15 minggu: dalam ta­hun 1974 ketika jumlah rata-rata penganggur kira-kira 5 juta orang, di antara mereka itu sejumlah 18,3 juta orang tidak bekcr-ja pada suatu kurun waktu di dalam tahun itu (Dollars and sense, 1976: 10). Mereka ini kira-kira 22% dari seluruh jumlah tenaga kerja. Dengan kata lain angka pengangguran terbuka tidak mem-berikan petunjuk yang pasti, berapa persenkah dari jumlah tenaga kerja yang bekerja untuk sebagian waktu dalam setahun. Angka-angka pada tahun 1974 untuk USA meliputi — tanpa dikatakan dengan jelas — kurang dari 80% dari penduduk yang tingkat ekonominya tinggi bekerja penuh dalam setahun.

Kedua, angka tersebut belakangan ini pun tidak sepenuhnya menjangkau masalah "setengah pengangguran yang terlihat dan yang tidak terlihat". Tidak saja pada sebagian besar tenaga kerja di negara-negara berpenghasilan rendah yang dalam setahun mung-kin hanya bekerja beberapa minggu saja, meskipun mereka itu ingin bekerja lebih lama. Akan tetapi, banyak dari mereka itu be­kerja dalam tiap minggunya kurang dari jumlah jam kerja penuh. Dalam hasil survei mengenai penempatan tenaga kerja dilaporkan bahwa seseorang bekerja dalam minggu yang tertentu biasanya

10

Page 23: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

tidak diperinci jumlah jam kerja dalam seminggunya. Orang bisa saja hanya bekerja 10 jam dalam satu minggu, namun orang itu tercatat sebagai orang yang bekerja. Hal ini kebetulan tidak terbatas pada negara-negara berpenghasilan rendah. Di USA dalam per-tengahan tahun 1960-an kurang lebih 45% dari tenaga kerja bekerja sambilan (kurang dari 40 jam dalam seminggu) atau se-lama sebagian waktu saja dari setahunnya (kurang dari 50 minggu dalam setahun). Sekarang di dalam suatu negara berpenghasilan tinggi, sebagian besar tenaga kerja yang bekerja sambilan atau yang bekerja sebagian waktu dari setahun itu mungkin memilih beker­ja yang kurang dari waktu penuh (full-time). Tanpa suatu pola percobaan, sukar untuk mengatakan jumlah setengah pengangguran yang terdiri atas orang-orang yang melakukannya dengan sukarela dan orang-orang yang terpaksa untuk melakukannya. Makin rendah penghasilan rata-rata keluarga di suatu negara, maka lebih besar kemungkinannya mereka bekerja penggal waktu karena terpaksa. Hal ini disebabkan adanya asumsi bahwa kurva suplai (tenaga kerja) ter jal menegak, sehingga baik laki-laki maupun perempuan berkecenderungan untuk bekerja lebih lama dan minggu yang lebih banyak, jika mereka itu miskin tetapi tidak demikian mereka yang sudah berada dalam tingkat konsumsi tinggi.

Ketiga, definisi setengah pengangguran mengandung penger-tian lebih luas, yakni orang-orang yang bekerja dalam minggu-minggu dan jam-jam yang lebih sedikit daripada waktu bekerja yang mereka inginkan, karena tidak tersedianya pekerjaan penuh waktu. Mereka bekerja dalam tugas-tugas yang tidak sepenuhnya me-manfaatkan keterampilan mereka, atau mereka sebetulnya dapat ber-produksi lebih banyak jika tugasnya diorganisasi secara lain. Se-bagaimana dicatat oleh Blaug (1973 : 4) definisi ini merupakan definisi produktivitas dari pekerjaan tidak penuh waktu dan ia mengemukakan bahwa pekerjaan itu produktivitasnya lebih rendah daripada yang dapat mereka hasilkan, bilamana mereka dipeker-jakan lebih efektif. Bagian yang paling menarik perhatian dari pe-mikiran di atas ialah dampaknya yang tidak langsung terhadap kemampuan manusia di dalam pekerjaannya. Sehu'bungan dengan hai di atas Jensen (1972) menunjukkan (dengan menggunakan data Inkeles-Smith: Inkeles and Smith; 1974) adanya pertambahan tingkat kecerdasan para pekerja yang bekerja di pabrik, sedangkan tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian atau di daerah per-kotaan (bukan pabrik) tidak memperoleh penambahan tingkat ke­

l l

Page 24: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

cerdasan. Jika penelitian Jensen itu betul, berarti sebagian besar penduduk di negara berpenghasilan rendah bukan saja bekerja ti-dak penuh waktu, juga mereka itu tidak mencapai tingkat kualitas tertentu karena jenis pekerjaannya tidak memerlukan pemikian yang relatif berat jika dibandingkan dengan kemampuannya.

Keempat, sifat pengangguran mungkin berlainan bagi yang ber-pendidikan dan bagi yang tidak berpendidikan. Mungkin kita me-ngetahui bahwa penganggur berpendidikan rata-rata lebih muda da-ripada mereka yang tidak berpendidikan. Pengangguran di antara yang berpendidikan mungkin timbul, terutama pada waktu setelah wisuda sekolah dan merupakan masa ''pencarían" pekerjaan yang se-suai dengan harapan para lulusan pendidikan. Hal ini dapat merupa­kan keputusan rasional dari pihak pencari pekerjaan, apalagi jika pe­kerjaan yang mereka kehendaki itu merupakan penentu bagi masa depannya. Jelaslah, bahwa kita harus membedakan pengangguran karena tengah menunggu pekerjaan yang sesuai, dan pengangguran sebagai akibat diberhentikan dari pekerjaan, yang sebetulnya ma-sih diinginkan terus dipegang oleh pekerja yang bersangkutan.

1.3 Penyebaran pengangguran Meskipun tingkat pengangguran di dalam masyarakat nonindustri demikian tinggi dan meliputi mereka yang berpendidikan, namun tampaknya pengangguran terbuka lebih rendah di tingkat golongan berpendidikan tinggi daripada di tingkat golongan yang berpen­didikan lebih rendah. Tidak mustahil hai ini terjadi, jika kita menganalisis tingkat-tingkat pengangguran di dalam kelompok-kelompok usia atau angkatan kerja (Blaug, 1973:9- 11 : Blaug et al., 1969). Di sini tampak bahwa permintaan tenaga kerja berpendi­dikan tinggi tumbuh lebih cepat daripada permintaan tenaga kerja yang kurang berpendidikan; para majikan menempatkan pekerja yang lebih tinggi pendidikannya sebagai pengganti rekan-rekannya yang kurang pendidikannya dalam perbandingan yang menurun antara tenaga kerja dan modal1).

1. Carnoy dan Marenbach, 1975. Kami telah menunjukkan bahwa di USA angka kematian orang-orang yang kembali ke sekolah dasar menurun, walau-pun ada penurunan jumlah orang berpendidikan sekolah dasar di dalam ang­katan kerja; secara kuantitas orang-orang yang kembali ke universitas tetap stabil dan orang-orang yang kembali ke pelajaran tingkat sarjana naik, de­mikian pula jumlah tenaga kerja berpendidikan tinggi cepat naiknya. (Kami hanya mempunyai data angka untuk kurun waktu 1959—1965 tentang penghasilan para lulusan pendidikan sarjana di dalam angkatan kerja .

12

Page 25: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Berdasarkan keadaan dcmikian, kita dapat membuat hipótesis bahwa pengangguran terbuka lebih banyak timbul di beberapa golongan daripada di dalam galongan tertentu, seperti tersebut di atas dan penghapusan pengangguran itu mempunyai dampak yang bersifat menyebar (distributional consequences).

Pertama, latar belakang tingkat sosial merupakan suatu faktor penting yang menentukan seseorang memperoleh pendidikan. Bila latar belakangnya miskin, ia cenderung mendapatkan pendidikan lebih rendali, dan sebaliknya bila berasal dari kaum berada, ia akan memperoleh pendidikan lebih tinggi. Pengangguran terbuka dirasakan lebih parah oleh golongan miskin daripada oleh kaum berada. Tingkat pengangguran umumnya lebih rendah di antara mereka yang berpendidikan tinggi daripada mereka yang berpcn-didikan rendah.

Kedua, pengaruh pengangguran terbuka berbeda bagi orang-orang yang berlainan tingkat sosialnya, meskipun pendidikan me­reka itu sama tingginya. Mereka yang berasal dari tingkat sosial lebih rendah lebih banyak menjadi penganggur daripada mereka yang berasal dari tingkat sosial lebih tinggi, meskipun tingkat pen-didikannya sama (Carnoy, Sack dan Thias, 1976). Sebagian efck ini berasal dari jenis-jenis pendidikan yang diperoleh pelbagai kelas sosial; anak-anak dari keluarga berada masuk sekolah khusus atau sekolah-sekolah dan perguruan tinggi pemerintah yang lebih baik (di kota atau di pinggiran kota yang biayanya tinggi), sedangkan anak-anak dari keluarga miskin bersekolah di daerah pedesaan (Mwaniki, 1973). Para majikan mungkin lebih suka menerima tenaga kerja yang berasal dari kalangan berada daripada anak-anak yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Sebagian disebabkan pula oleh hubungan niaga yang kurang berkembang di antara ke-luarga-keluarga miskin.

Penyebab lain yang menjadikan tersebarnya pengangguran ter­buka seperti temyata di atas ialah orang-orang yang kurang ber­pendidikan dan berasal dari kelas-kelas sosial lebih rendah, jam kerja dalam setiap minggunya lebih pendek, dan juga mereka da­lam setahun bekerja lebih sedikit jumlah minggunya daripada mereka yang lebih baik pendidikannya (Eckaus, 1973). Bahkan pada tingkat perguruan tinggi, dalam hubungan pekerjaan biasa-nya para mahasiswa yang berasal dari kelas menengah bawah, se-

DPP-25 (3) 13

Page 26: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

perd mahasiswa pendidikan dan ilmu-ilmu kemanusiaan dalam setiap tahunnya bekerja lebih sedikit jumlah minggunya daripada mahasiswa fakultas teknik dan kedokteran (Carnoy, 1975). Me­reka yang memperoleh lebih banyak pendidikan dan pendidikan yang lebih bergengsi, memperoleh pekerjaan yang bukan saja memberikan upah lebih tinggi untuk tiap jam kerjanya, tetapi juga memungkinkan bekerja lebih lama dalam setiap tahunnya. Jadi, mereka yang memperoleh pendidikan lebih baik itu, di sam-ping lebih besar kemungkinannya untuk memperoleh pekerjaan, juga pintu lebih terbuka untuk pekerjaan-pekerjaan yang membe­rikan kemungkinan untuk mendapat penghasilan lebih tinggi dan lebih banyak waktu bekerja.

Akhirnya, kita harus mengakui bahwa pengangguran di antara penduduk berusia muda (usia antara 15 — 24 tahun) persentase-nya cukup tinggi. Hai ini sangat mempengaruhi perkiraan-perkiraan kita mengenai hubungan antara pendidikan dan pengangguran, oleh karena mereka itu lebih banyak mengenyam pendidikan daripada pa­ra tenaga kerja yang lebih tua (Blaug, 1973). Memang betul bahwa mereka lebih sedikit tanggungan keluarganya, dan dengan demiki-an sedikit alasannya untuk merasa resah karena menganggur. Jadi, para percncana pendidikan itu bisa mengemukakan bahwa biaya sosial pengangguran jauh lebih rendah daripada pengangguran yang terbagi-bagi merata mehputi semua kelompok umur. Dalam arti ini, maka sistem ekonomi tampaknya menjadi rasional dengan rnembebaskan risiko terbesar dari pengangguran itu kepada kelom­pok yang paling sedikit merasakan derita akibat pengangguran. Akan tetapi, pola pengangguran semacarn ini melibatkan berbagai aspek penting dalam perencanaan pendidikan seperti dapat kita lihat: adanya tingkat pengangguran penuh dan setengah pengang­guran yang tinggi di kalangan pemuda berarti biaya untuk pendi­dikan tambahan menjadi lebih rendah dan lebih menekankan pada pengembangan sekolah sambil meningkatkan pendidikan rata-rata para penganggur dan memperbanyak jumlah tenaga kerja terampil (yang bekerja penggal waktu).

Dengan adanya pikiran-pikiran mengenai pengangguran ini, se­tengah pengangguran dan penyebaran pengangguran menghantui análisis kita, maka dalam diri perencana kebijakan dapat timbul pertanyaan, apakah kiranya yang harus dilakukan untuk memecah-kan masalah pengangguran. Kami menyarankan, agar perencana

14

Page 27: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

tetap memperhatikan biaya sosia! dari pengangguran itu dengan melihatnya dari sudut pandangan ini: Kebijakan ekonomi manakah yang dapat menolong semua orang di dalam masyarakat berpeng-hasilan rendah tertentu untuk menikmati penghasilan secara terus-menerus dari pekerjaan mereka serta menolongnya untuk bisa bekerja penuh waktu jika mereka menghendakinya. Tampaknya hai ini tidak memecahkan masalah penghasilan rendah dan kepuasan pekerja, karena mungkin saja upah yang diberikan untuk pekerjaan penuh waktu itu sangat rendah dan jenis pekerjaannya sukar serta tidak disukai. Selain itu, juga tidak memecahkan masalah konsumsi ren­dah per capita karena — seperti halnya di Cuba — pekerjaan itu bisa saja ada dan penghasilannya cukup tinggi, namun tidak ba-nyak barang untuk dibeli. Meskipun demikian, kami tetap berpen-dapat bahwa penempatan tenaga kerja penuh (full employment) merupakan unsur penting untuk mengurangi keresahan para pe­kerja, dan mungkin juga tingkat produktivitasnya menurun. Hal ini selalu melekat pada pengangguran di pasaran tenaga kerja (kami beranggapan bahwa bekerja penuh dapat menurunkan ting­kat perpindahan kerja, sedikitnya menekan keresahan yang menyer-tai kepindahan kerja, jika waktu mencari pekerjaan menjadi lebih lama dalam keadaan menganggur). Suatu kebijakan penempatan tenaga kerja penuh mungkin saja menurunkan produktivitas rata-rata, namun ada jalan lain yang lebih manusiawi untuk mening-katkan produktivitas tanpa para pekerja terancam kehilangan pe­kerjaan. Sama dengan hai itu masalah kondisi kerja dan kepuasan pekerja dapat ditangani, terlepas dari masalah pengangguran.

1.4 Apakah peran perencana pendidikan dalam memecahkan masalah pengangguran dan setengah pengangguran?

Dengan memperhatikan masalah di atas dan merenungkannya, timbuUah pertanyaan, apakah yang dapat dilakukan perencana pendidikan untuk memperbaiki keadaan pengangguran di dalam masyarakat berpenghasilan rendah? Kami ingin mempertahankan pendapat kami bahwa jawaban atas pertanyaan ini untuk sebagian besar terletak pada pandangan si perencana itu terhadap cara kerja perekonomian dan sifat hasil pasaran tenaga kerja.

Di satu pihak kita dapat beranggapan bahwa perkembangan kapitalistis membawa banyak keuntungan yang secara teknis menen-tukan semua orang yang bekerja dan hidup di dalam ekonomi itu.

15

Page 28: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Kemudian kita beranggapan bahwa penyimpangan-penyimpangan, dalam perekonomian dan pasaran tenaga kerja merupakan sebab utama timbulnya pengangguran, dan ketidakefisienan investasi umum pemerintah merupakan satu hai yang menentukan adanya pengangguran atau setengah pengangguran di antara orang-orang yang berpendidikan. Berdasarkan asumsi ini, perencanaan pendi-dikan menyebabkan terciptanya pengangguran dalam hal-hal seba-gai berikut.

(a) Mempercepat perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota, oleh karena pendidikan umum yang disediakan di pedesaan tidak berguna untuk memperbanyak produksi pertanian, na-mun mereka tetap menaruh harapan memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang ternyata tidak bisa dipenuhi oleh daerah pedesaan.

(b) Memberikan pendidikan terlampau banyak kepada masyara-kat bila dibandingkan dengan pekerjaan yang dapat mereka peroleh, sehingga mereka lebih menyukai tidak bekerja selama waktu yang lama daripada menerima pekerjaan yang lebih rendah dan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan.

(c) Pemberian pendidikan yang tidak tepat kepada mereka, se­hingga mereka tidak memperoleh pekerjaan yang cocok de­ngan keterampilan yang diperolehnya di sekolah. Sebaliknya si perencana pendidikan dapat membantu mengurangi pe­ngangguran orang-orang berpendidikan dengan :

1. membuat pendidikan dengan biaya lebih murah dan co­cok dengan pekerjaan-pekerjaan rendah yang sangat ba­nyak jumlahnya di dalam kehidupan perekonomian (ter-utama pekerjaan di daerah pedesaan), dan dengan de-mikian mengurangi atau mengubah harapan-harapan para lulusan sekolah.

2. mengurangi jumlah lulusan sekolah yang meninggalkan lembaga-lembaga pendidikan.

3. melaksanakan kecocokan yang lebih baik antara keteram-pilan-keterampilan yang tingkatnya lebih tinggi dan di-butuhkan oleh perekonomian dan keterampilan yang diajarkan di sekolah-sekolah (Blaug, 1973; Emmerij, 1972)

16

Page 29: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Akan tetapi, di bawah asumsi "rasionalitas" perekonomian ka-pitalistis, muncul pertanyaan serius, apakah perencanaan pendi-dikan harus disalahkan karena banyaknya pengangguran di antara orang-orang berpendidikan. Seperti dikatakan oleh Blaug, pengang-guran di antara orang-orang berpendidikan mungkin lebih meru-pakan suatu masalah pengangguran orang-orang muda daripada kenyataan bahwa pekerja itu "terlalu terdidik" atau "salah didik". Pertanyaan mengenai peran sang perencana, karena itu akan ter-geser ke masalah memecahkan pengangguran orang-orang muda.

Berdasarkan sejumlah asumsi yang berlainan satu sama lain mengenai perkembanggan perekonomian kapitalis dan struktur pa­saran tenaga kerja yang dihasilkannya, proses produksi diorganisasi terutama untuk menguntungkan pemilik modal, para manajer dan kawan-kawannya di birokrasi. Sebagian besar peran serta pekerja dalam proses produksi itu dimanfaatkan untuk mencapai sasaran kelompok-kelompok elite tersebut. Beberapa asumsi itu menunjukkan bahwa pengangguran itu bukan hasil, bukan akibat dari distorsi dalam sistem produksi yang sebetulnya sehat dan la-sional, akan tetapi mcrupakan akibat upaya kaum elite kapitalis atau birokrat yang berubah mencapai keuntungan semaksimal mungkin bagi dirinya sendiri. Program-program investasi umum pemerintah di bidang pendidikan, yang tampaknya tidak efisien dinilai dari sudut pandang orang-orang yang miskin dan masyarakat pedesa-an, biasanya cukup rasional menurut ukuran sasaran para kapitalis atau birokrat. Berdasarkan asumsi ini, untuk melemparkan kesa-lahan kepada perluasan bidang pendidikan yang menyebabkan terjadinya pengangguran di antara orang-orang berpendidikan, tidaklah tepat. Dalam hai ini perhatian harus dialihkan untuk mencari penyebab-penyebab timbulnya pengangguran itu yang ter-letak dalam sifat produksi kapitalistis. Terutama disebabkan hu-bungan yang tidak harmonis antara para kapitalis atau pengelola dengan pekerja dan tekanan yang dilakukan para kapitalis agar kebijakan negara dapat membangkitkan surplus tenaga kerja dan tenaga kerja terampil. Mempertinggi pendidikan tenaga kerja da­lam análisis ini tidak meningkatkan atau mengurangi pengangguran dalam jumlah yang berarti: usaha itu hanya menaikkan tingkat pendidikan rata-rata di antara tenaga kerja yang bekerja maupun di antara mereka yang menganggur. Peningkatan pendidikan itu dapat juga mengubah sifat setengah pengangguran: setengah pe-

17

Page 30: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

ngangguran di daerah pedesaan (dalam arti kata jumlah jam kerja dalam setahun) bergeser menjadi pengangguran terbuka di daerah perkotaan dan para pekerja menjadi makin terdidik (dalam hu-bungan dengan harapan-harapannya) jika dikaitkan dengan peker-jaan yang mereka pegang, dan kemudian menambah "setengah pengangguran di daerah perkotaan.

Dalam tulisan ini, kita akan meneliti teori-teori pasaran te-naga kerja yang mendasari pandangan-pandangan yang saling ber-beda mengenai pendidikan dan pengangguran serta aneka ragam strategi yang timbul dari teori-teori itu.

18

Page 31: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

2. BEBERAPA TEORI MENGENAI PASARAN TENAGA KERJA DAN PENGANGGURAN

Peran pendidikan dalam usaha memecahkan masalah pengang-guran akhirnya tergantung pada cara kita menilai berlangsungnya perekonomian dan pasaran tenaga kerjanya. Agar kita bisa mengerti keterangan yang diberikan ahli ekonomi mengenai pengangguran dan strategi-strateginya, pertama-tama kita harus mengenai model yang mendasarinya. Di sini akan diketengahkan tiga macam teori itu : teori ortodoks mengenai pasaran tenaga kerja yang berkesinam«-bungan, teori dualistik pasaran tenaga kerja, dan teori Marxis atau radikal, terutama mengenai pasaran tenaga kerja yang terbagi menjadi pangsa-pangsa, dan angkatan cadangan penganggur.

2.1 Teori ortodoks Perkembangan teori ortodoks (orthodox theory of development) atau disebut juga teori neo klasik, berakar pada ideologi kapitalis, Teori ini bertalian erat dengan suatu organisasi produksi kapitalistis yang diidam-idamkan pengikutnya sebagai sesuatu yang ideal, ken-datipun banyak orang menekankan pada pendekatan empirisnya yang mampu memecahkan segala persoalan. Oleh karena itu, ba­nyak ahli ekonomi ortodoks mendekati masalah pembangunan itu sebagai masalah mengorganisasi perekonomian dengan suatu cara yang sangat mirip dengan sistem bebas berusaha (free-enterprise) yang "terkendali". Selain itu, juga memberikan ciri khas kepada mereka yang bekerja di dalam sistem itu seperti pekerja-pekerja, para manajer, dan para pengusaha di dalam perekonomian industri. Tentunya banyak ahli ekonomi ortodoks mengakui adanya perbe-daan antara masalah pembangunan negara-negara nonindustri yang sekarang sedang berkembang dan pola-pola perkembangan negara­

is

Page 32: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

negara industri pada masa seratus tahun yang silam. Kendatipun demikian, di dalam teori ortodoks itu terdapat garis lurus dan ke-sinambungan perubahan: perkembangan adalah suatu proses yang garisnya lurus dan berlanjut serta jalannya naik terus. Ini berarti pula suatu pendekatan historis terhadap perubahan ekonomi dan melihat masalah-masalah yang timbul di negara-negara berpeng-hasilan rendah pada masa kini sebagai suatu kekurangan dan ke-tcrtinggalan yang membuat negara-negara berpenghasilan tinggi semakin kaya. Selanjutnya, proses produksi dalam teori ini merupa-kan suatu proses, yakni tiap pribadi berpartisipasi dalam kedudukan yang sama derajatnya dan tiap pribadi itu mempunyai pilihan bebas, meskipun ada beberapa yang lebih pandai dan mempunyai motivasi lebih besar daripada yang lainnya. Pada dasarnya teori ortodoks itu bebas dari pertentangan antara golongan yang menyatu dengannya karena kepentingan-kepentingan dan kemungkinan-ke-mungkinan pribadi orang-orang itu menguasai yang lebih besar pengaruhnya daripada hubungan kelompok. Sama pula halnya pandangan teori ini mengenai hubungan ekonomi di antara negara-negara kapitalis, lepas dari hubungan politik. Negara kaya dan miskin berniaga di dalam pasaran internasional sebagai rekan yang sama derajatnya dan pasaran itu dikuasai oleh harga barang dan jasa yang ditentukan secara objektif.

Dalam konteks ini pandangan teori ortodoks mengenai pe-nempatan tenaga kerja (employment) dan pengangguran bersum-ber pada konsepsi keseimbangan yang bersaingan dan produktivitas marginal: dalam keseimbangan persaingan, seorang buruh memper-oleh upah yang sama dengan sumbangan marginalnya (marginal contribution) kepada produksi. Jika terjadi campur tangán dalam keseimbangan persaingan itu, baik dalam pasaran produknya mau-pun dalam pasaran tenaga kerjanya sendiri, sehingga mengubah harga faktor-faktor yang dimasukkan produksi, maka sebagai hafil campur tangán itu terjadilah pengangguran. Dengan kata lain, mereka yang ingin bekerja lebih banyak daripada lapangan peker-jaan yang tersedia dengan upah yang berlaku, karena upah lebih tinggi daripada produk marginal mereka yang menganggur.

Dalam pola-pola perkembangan ortodoks yang mula-mula, para pekerja diperlakukan sebagai satu kesatuan hidup serba sama atau homogen. Oleh karena itu, para ahli ekonomi menganggap produk marginal seorang pekerja itu seolah-olah sama saja dengan

20

Page 33: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

hasil kerja seseorang yang bekerja selama berjam-jam. Akan tetapi, dalam dua puluh tahun belakangan ini, perekonomian neo klasik telah memasukkan perbedaan keterampilan ke dalam gagasan ka­um pekerja melalui teori modal manusia (human capital theory). Dalam teori modal manusia apa yang dibutuhkan dan disediakan dalam pasaran tenaga kerja, bukanlah tenaga kerja homogen alian tetapi karakteristik tenaga kerja.

Teori modal manusia berpendapat bahwa kemampuan pro-duksi para pekerja atau nilai pekerjaannya dalam struktur produksi ditentukan oleh jumlah yang mereka '"tanamkan" di dalam inves-tasi-investasi modal manusia yang menghasilkan pendapatan. Di antara yang ditanamkan itu antara lain kesehatan yang lebih baik serta pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian, konsepsinya terdapat pada keputusan dan pilihan yang dilakukan oleh setiap pekerja dalam hai penanaman kapasitas produksi. Selain itu, juga tergantung pada keputusan masing-masing majikan untuk mem-beri upah tertentu kepada mereka yang mempunyai kemampuan berbeda, yang digabungkan lagi dengan masukan lain dalam pro­duksi dan harga-harga yang berlaku bagi berbagai kemampuan produksi.

Dalam penjelasan dan cara memecahkan masalah pengang-guran, perekonomian ortodoks menggunakan konsepsi kerja menu-rut jam-jam kerja serta modal manusia (karakteristik pekerja). Dalam hai keduanya, yakni pemakaian jam kerja dan modal ma­nusia, teori itu berpendapat bahwa ada hukum-hukum umum yang berlaku sama bagi semua pribadi di dalam pasaran tenaga kerja, Jadi, apakah itu merupakan jam kerja (man-hour) atau pendi­dikan dalam setahun, mekanisme pasaran memperlakukan masukan-masukan itu secara sama di seluruh pasaran tenaga kerja di dalam ekonomi itu: telah menjadi asumsi bahwa dalam satu keseimbang-an persaingan, maka pasaran untuk jam kerja (man-hours of work) atau bagi berbagai investasi dalam keterampilan akan menjadi "cerah"; jika tidak demikian paling tidak dapat dikatakan bahwa pasaran itu tidak dalam keadaan keseimbangan persaingan, pada distorsi-distorsi. Jika berbagai distorsi itu dapat düenyapkan, maka dapat dicapai penempatan tenaga kerja penuh (full-employment).

Beberapa implikasi teori ortodoks untuk strategi penempatan tenaga kerja penuh akan menjadi jelas: pengangguran disebabkan adanya distorsi-distorsi di dalam perekonomian; lenyapkanlah dis-

21

Page 34: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

torsi itu dan capailah penempatan tenaga kerja penuh. Kaitan antara pendidikan dan pengangguran menurut teori ortodoks da-lam bentuk yang murni menyalahkan masalah pengangguran itu kepada orang-orang yang menganggur. Dalam hai ini, pengang­guran yang terdapat dalam suatu perekonomian yang mengalami distorsi di dalam pasaran. Pengangguran itu, misalnya, disebabkan oleh campur tangán negara yang tidak wajar ke dalam sistem per­ekonomian, atau oleh adanya monopoli dalam produksi, yang se-muanya di luar kemampuan masing-masing pekerja. Oleh sebab itu, tiap pegawai yang mempunyai kesanggupan akan dihadapkan pada suatu rentetan keputusan investasi modal manusia. Bila orang-orang itu mengambil keputusan untuk investasi yang tepat, mereka akan masuk ke dalam barisan yang bekerja. Sebaliknya bilamana keputusan mereka itu salah, mereka akan masuk ke dalam barisan penganggur. Jadi, mereka yang tidak bekerja adalah yang tidak diinvestasikan dalam pasangan karakteristik yang "tepat". Dalam hai ini termasuk jumlah atau jenis pendidikan yang tepat, yang dapat memberikan kemungkinan besar untuk bekerja dengan upah yang berlaku, yang tentunya telah terkena akibat distorsi itu.

Tentu saja model itu tidak mëmperlakukan sasaran pekerja semata-mata dalam ukuran kemungkinan dipekerjakan, karena orang-orang itu juga tidak semata-mata mementingkan memperoleh pekerjaan, akan tetapi juga memperhatikan kepastian bekerja dan penghasilan (upah) yang bisa diharapkan. Ada orang-orang yang mungkin lebih menyukai bekerja di bidang kesenian, misalnya san-diwara, meskipun kemungkinan adanya pengangguran sangat besar. Akan tetapi, pekerjaan semacam ini mempunyai harapan besar untuk memperoleh penghasilan tinggi. Selain itu, ada pula peker­jaan berpenghasilan rendah yang disukai orang, karena besar ke-mungkinannya untuk bekerja secara terus-menerus (misalnya meng-ajar di sekolah-sekolah dasar). Walaupun demikian, dalam model ortodoks orang-orang yang kurang berpendidikan lebih banyak menganggur jika dibandingkan dengan orang-orang yang lebih berpendidikan, karena mereka tidak mempunyai pasangan karak­teristik yang cocok untuk bekerja dalam kondisi-kondisi perekono­mian tertentu. Cara pemecahan masalah ini ialah dengan mem-perbaiki distorsi-distorsi dalam perekonomian yang telah mengaki-batkan terciptanya pengangguran. Selain itu, dengan membekali buruh dengan pasangan karakteristik, termasuk kuantitas dan jenis

22

Page 35: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

pendidikan, dapat memperbesar kemungkinan mereka memper-oleh pekerjaan, atau dengan menerapkan kedua cara perbaikan tersebut secara bersama-sama.

Kami memperoleh sebagian besar pemikiran ini dari beberapa laporan (yang baru-baru ini) mengenai pengangguran. Diawali de­ngan karya War on Poverty (Perang Melawan Kemiskinan) di USA sepuluh tahun yang lalu, dalam usaha mengumpulkan sejumlah uang untuk biaya pendidikan dan pelatihan bagi para penganggur muda (Levin, 1976, analisisnya yang sangat baik mengenai kegagalan teori ortodoks untuk mengurangi pengangguran dalam kurun wak-tu itu), dan sekarang mencapai puncaknya dalam serentetan laporan dari ILO. Adapun pemecahan masalah dari "jenis" ini telah disa-rankan, misalnya (Blaug, 1973: 5 - 6 yang meringkaskan laporan ILO Columbia):

... nilai tukar uang yang terlalu tinggi, dikaitkan dengan suatu sistem jatah impor dan tingkat bunga yang disubsidi, telah menurunkan harga modal. Sedangkan suatu perundang-undangan perburuhan yang rumit telah menaikkan upah buruh sebenarnya bagi majikan. Serupa dengan itu ... kemampuan pertanian untuk menyerap lagi tambahan orang-orang untuk dipekerjakan telah tertahan oleh kegagalan usaha dalam mendobrak pemilikan tanah secara besar-besaran dan memajukan per­tanian keluarga. Akhirnya yang sangat kontroversial ialah pernyataan tegas laporan ILO Columbia yang ternyata sangat diragukan bahwa ada hubungan langsung antara masalah penempatan tenaga kerja (employment problem) dan penyebaran penghasilan yang sangat tidak merata yang menandai karakteristik negara Columbia yang hampir sama dengan semua negara berkembang.

Setelah Blaug mengeritik konsepsi laporan ILO tentang "ke-tidakcocokan" antara harapan para lulusan sekolah yang dihasilkan oleh sistem pendidikan tradisional di satu pihak dan kesempatan kerja yang disediakan oleh pasaran tenaga kerja. Blaug berpenda-pat bahwa masalah pengangguran orang-orang berpendidikan se­benarnya terletak pada struktur upah di dalam perekonomian : upah orang-orang yang berpendidikan ditetapkan terlalu tinggi oleh bi-rokrasi pemerintahan (hai ini disebabkan mereka tidak menjadi bagian dari perekonomian pertukaran yang berusaha memperoleh keuntungan semaksimal mungkin, sehingga tidak menentukan upah yang sama dengan produk marginal). Suatu "struktur upah yang terkena distorsi "secara serentak mengakibatkan" investasi terlalu banyak" di dalam pendidikan dan pengangguran orang-orang yang berpendidikan.

23

Page 36: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Derivan demikian, distorsi-distorsi itu menciptakan pengang-guran. Sehubungan dengan hai ini, ada kesepakatan. Di samping itu, tampaknya ada perbedaan yang sangat besar dalam teori or-todoks, mengenai alasan-alasan yang mendorong setiap pribadi mengambil cara-cara investasi yang mungkin mempertahankan atau lebih mempertinggi kemungkinan mereka untuk bekerja. Di satu pihak, laporan ILO itu menunjukkan bahwa ada Iembaga-lembaga yang menyebabkan distorsi (sekolah-sekolah negeri) yang mcmbuat suatu produk tidak cocok sebagai masukan dalam suatu proses produksi kapitalis modern. Di lain pihak, Blaug berpendapat bahwa pribadi-pribadi itu di dalam investasinya tidak tersesat (me-mang mereka membayangkan upah yang mereka harapkan itu semaksimal mungkin), namun dengan upah yang berlaku, sistem itu tidak mempekerjakan semua orang yang menginginkan peker­jaan dengan upah tinggi.

Alasan lain yang diberikan sebagai penyebab kesalahan inves­tasi adalah sebagai berikut. (a) Sistem informasi yang tidak efisien menyebabkan para anak

didik tidak mengetahui jenis pekerjaan yang tersedia, sehingga mereka mudah melakukan kesalahan investasi dalam keteram-pilan ;

(b) Ketidakseimbangan atau penyesuaian di dalam perekonomian, karena adanya jenis-jenis baru di bidang teknologi menyebab­kan sekelompok besar pekerja meninggalkan pekerjaannya karena mereka tidak terlatih untuk melakukan jenis pekerjaan baru itu.

Kedua penyebab tersebut dikatakan positif, walaupun tanpa bukti memoiokkan para anak didik ke dalam posisi penilaian tidak betul atas kemampuan atau keterampilan tertentu yang mereka miliki. Begitu melakukan investasi itu, si anak didik merasa tidak mempu-nyai pekerjaan, atau dalam hai kedua, dia mendapatkan peker­jaan, akan tetapi beberapa tahun kemudian diberhentikan dari pekerjaannya. Hai ini disebabkan jenis pekerjaan yang sesuai de­ngan pendidikannya telah menjadi usang1).

1. Dalam masa Revolusi Industri di Inggris, misalnya, pekerjaan pertukangan digeser setiap sepuluh tahun dan untuk memenuhi permintaan tumbuhlah dengan pesat kelas-kelas buruh terampil baru, misalnya tukang-tukang mesin. Keterampilan ini kemudian menurun sebagai pertukangan dan pada gilirannya diganti oleh buruh dengan keterampilan yang lebih baru lagi (Thompson, 1963).

24

Page 37: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

fierdasarkan análisis im sebab-sebab terjadinya pengangguran dan menurut asumsi teori ekonomi ortodoks mengenai pasaran tenaga kerja yang berkesinambungan, bertambahnya suplai tena-ga kerja yang berpendidikan akan diserap oleh pasaran tenaga kerja itu, jika upah buruh berpendidikan jatuh dibandingkan de-ngan upah buruh yang kurang berpendidikan. Jadi, kebijakan yang diambil untuk menekan jumlah penganggur berpendidikan ialah dengan menurunkan upah buruh yang berpendidikan, terutama di sektor umum dan sektor pemerintahan yang selama ini upahnya tinggi. Jika hai ini tidak dapat memperbaiki masalah penempatan tenaga kerja karena "kekakuan-kekakuan" di dalam pasaran tenaga kerja, maka efek jangka panjangnya dari penurunan upah akan menyebabkan turunnya suplai tenaga kerja berpendidikan karena hasil investasi dalam pendidikan menurun2). Sama halnya jika meninggikan biaya pendidikan seseorang dengan membebaninya a tau Keluarganya sebagian biaya dari keseluruhan biaya pendidikan yang dinaikkan. Hai ini cenderung untuk menurunkan suplai te­naga kerja berpendidikan dibandingkan dengan permintaannya.

Namun, bagaimanakah halnya dengan hubungan antara pe-nambahan pendidikan dan pengangguran dalam keseluruhannya? Apakah teori ortodoks membcrikan petunjuk tentang adanya kaitan antara peningkatan pendidikan kalangan tenaga kerja di satu pihak dan penempatan tenaga kerja (employment) di lain pihak? Teori ortodoks hanya memberikan sedikit adanya rekomendasi kebijakan itu. Di satu pihak mereka yang berpendidikan tampaknya mem-punyai kemungkinan lebih besar untuk memperoleh pekerjaan dari-pada mereka yang kurang berpendidikan, terutama jika orang-orang yang bekerja di daerah pedesaan dikecualikan dari análisis ini. Namun, hai ini tidak perlu diartikan (walaupun banyak pe-rencana menginterpretasikan data-datanya (demikian) bahwa de­ngan meningkatnya tingkat rata-rata pendidikan akan mengurangi angka pengangguran menjadi lebih rendah. Dengan meningkatnya jumlah orang-orang yang lebih baik pendidikannya dibandingkan dengan pekerjaan tingkat tinggi yang tersedia, maka nilai pendi­dikan yang lebih tinggi itu dalam kaitannya dengan penempatan tenaga kerja penuh (full-employment) akan menurun; teori ortodoks

2. Tampaknya hai ini telah terjadi di Turki dalam tahun-tahun 1930-an dan 1940-an pada waktu pemerintah menurunkan gaji mereka yang berpen­didikan lebih tinggi (Ozelli, 1968).

25

Page 38: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

meramalkan hasil macam itu. Kendatipun terjadi penurunan nilai pendidikan, namun teori ini mcngatakan bahwa investasi yang di-perbanyak di bidang pendidikan akan meningkatkan laju pertum-buhan ekonomi dan seterusnya meningkatkan jumlah pekerjaan yang tersedia bagi tiap orang1). Walaupun tanpa bukti, pengga-bungan antara penurunan tingkat kelahiran dan meningkatnya pendidikan rata-rata kaum wanita merupakan alasan satu-satunya dari teori ortodoks yang menunjang meningkatnya penempatan te-naga kerja dalam keseluruhannya (overall employment) sebagai hasil pendidikan di kalangan tenaga kerja yang ditingkatkan. Ironis-nya dalam alasan itu, pengangguran orang-orang berpendidikan mungkin akan bertambah, sedangkan tingkat pengangguran dalam keseluruhannya menurun. Hal ini banyak tergantung pada pola investasi di dalam pendidikan. Jika tingkat rata-rata pendidikan di kalangan tenaga kerja ditingkatkan dengan investasi yang hebat di dalam pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dtngan ting­kat lainnya, maka análisis ortodoks akan meramalkan bahwa pe­ngangguran di antara orang-orang berpendidikan tinggi cenderung terjadi daripada bila tingkat pendidikan dasar dan menengah di­tingkatkan dengan investasi yang relatif besar.

Semua ini tampaknya menunjukkan adanya hubungan positif antara pendidikan yang ditingkatkan dan penempatan tenaga kerja dalam keseluruhannya. Namun, peningkatan pendidikan menurut teori ortodoks mungkin memproduksi suatu kenaikan dalam ting­kat penempatan tenaga kerja (karena efek pertumbuhan dan tingkat kelahiran) dengan menambah pengangguran terbuka: Peningkatan pendidikan di lingkungan pedesaan mungkin meningkatkan per-pindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan. (Todaro menerjemahkan setengah pengangguran di lingkungan pe­desaan menjadi pengangguran terbuka di daerah perkotaan). Se-kali lagi, pemecahan masalah yang disarankan oleh teori ortodoks berada dalam usaha melenyapkan "distorsi-distorsi" yang membuat perbedaan upah terus-menerus di antara para pekerja di daerah perkotaan dan pedesaan (pinggiran?) dan para pegawai pemerin-tah. Dengan membetulkan nilai tukar uang, menurunkan tarif-tarif pelindung industri, menarik kembali persetujuan-persetujuan kolek-tif dari serikat-serikat pekerja, maka tingkat upah di daerah per­kotaan akan menurun dibandingkan dengan upah di lingkungan

1. Lihat Carnoy, 1977 dan Hallak, 1974 untuk ringkasan alasan-alasan tersebut.

26

Page 39: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

pedesaan (pertanian). Dan hai ini selanjutnya dapat menahan arus perpindahan penduduk ke kota dan menurunkan tingkat pe-angguran terbuka.

Dengan meninjau kembali ramalan-ramalan teori ortodoks dan pemecahan masalah yang disarankannya, maka hanya timbul sedikit keraguan, bahwa análisis teori itu mengandung kebenaran. Misalnya, mungkin saja dengan bertambahnya jumlah lulusan pen-didikan tinggi akan menekan upah mereka dan akan meningkatkan kemungkinan mereka menjadi penganggur: menurunkan upah pe-gawai pemerintah yang berpendidikan tinggi, seperti yang dikemu-kakan oleh Blaug, mungkin akan mengurangi tekanan terhadap beberapa perguruan tinggi dan cenderung untuk mengurangi pc-ngangguran lulusannya: memberikan penyuluhan yang lebih baik di sekolah-sekolah mungkin saja dapat mengurangi waktu menung-gu untuk mendapatkan pekerjaan, jika anak didik itu meninggal-kan sekolah; dan menurunkan upah buruh akan dapat memper-besar kemungkinan orang memperoleh pekerjaan. Mengurangi sub-sidi kepada modal (tingkat bunga rendah, tarif-tarif pelindung, nilai tukar uang yang pro-modal dapat juga memperlambat peng-gunaan teknologi yang intensif modal dan sebaliknya dapat me­ningkatkan perkembangan tenaga kerja, dan kemudian teknologi yang menciptakan lapangan kerja (ILO, 1971).

Sekalipun semuanya itu secara análisis betul dan kebijakan-kebijakan yang disarankan itu membantu menurunkan pengang-guran, namun ada dua kesulitan dalam anjuran teori ortodoks itu. Pertama, muncul pertanyaan, apakah pemecahan masalah yang disarankan itu, seperti mengusahakan adanya keserasian yang lebih baik antara kurikulum dan kesempatan kerja dapat berbuat lebih, tidak hanya menurunkan pengangguran dan pengangguran orang-orang terdidik yang relatif sedikit, tetapi juga dalam jangka panjang ; dengan menghabiskan energi dan sumber-sumber daya dalam melak-sanakan pemecahan masalah tersebut bisa jadi menjadi jalan yang penuh kekecewaan yang hams ditempuh oleh para perencana. Kedua, yang lebih penting, kesemua konsepsi itu untuk menghilangkan distorsi-distorsi di dalam perekonomian dan pasaran tenaga kerja sebagai dasar untuk memecahkan masalah pengangguran serta menghindari masalah yang lebih besar, yaitu mengapa ada yang disebut distorsi? Mengetengahkan — seperti dilakukan dalam la-poran ILO — suatu penyebaran penghasilan yang lebih merata

27

Page 40: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

mungkin dapat meningkatkan penempatan tenaga kerja (employ­ment), yaitu dengan cara mengubah pola konsumsi ke arah peng-gunaan tenaga kerja (Blaug, 1973 : 6) atau dengan mengubah pola daftar harga (semua tarif), nilai tukar uang ataupun undang-undang perburuhan, akan meningkatkan penempatan tenaga ker­ja. Selain itu, suatu kebijakan menurunkan gaji para birokrat pe-merintahan yang berpendidikan tinggi (universitas) akan mengu-rangi rangsangan untuk mengikuti pendidikan universitas, dan sebagainya, yang tidak berarti memecahkan masalah pengangguran dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan tersebut.

Perekonomian ortodoks itu memang tampaknya menghindari implikasi-implikasi politik dari "distorsi-distorsi" itu, namun di sam-ping itu perekonomian ortodoks mempunyai pandangan istimewa mengenai peran negara dalam perkembangan kapitalis : pandangan ini yang dikembangkan oleh Sohumpeter (1951), mengatakan bah-wa birokrasi pemerintahan bertindak hampir semuanya untuk mak-sud-maksud sendiri (birokrasi), yang dengan efisien menghambat jalannya sistem bebas berusaha yang netral secara politis. Tarif­tarif, nilai tukar uang, perundang-undangan perburuhan, dan se­bagainya muncul dari suatu birokrasi pemerintahan. Sebagai biro­krasi, pemerintah ikut campur tangán sesuai dengan interpretasinya sendiri yang otonom mengenai keperluan-keperluan sosial yang dirasakan sesuai dan perlu oleh pimpinannya agar dapat lolos da­lam kehidupan politis. Jadi, korelasi berbagai distorsi itu ada di tangán para perencana dan para politikus yang berpikiran jauh ke depan; atau di dalam model yang paling ortodoks adalah peng-hapusan campur tangán pemerintah dari pasaran. Oleh karena itu, berbagai distorsi itu merupakan kesalahan yang dapat dibetulkan jika pemerintah cepat tanggap dan cepat mengambil keputusan untuk melakukan perbaikan. Pengangguran dan pengangguran orang-orang berpendidikan merupakan akibat dari kesalahan-ke-salahan itu; selanjutnya setiap jenis pengangguran dinilai sebagai suatu hai yang tidak efisien, yang disebabkan oleh campur tangán pemerintah yang tidak efisien di dalam perekonomian bebas ber­usaha yang sebetulnya efisien. Di samping itu, perekonomian orto­doks berasumsi bahwa adanya distorsi karena tiap orang mempu­nyai hak yang sama untuk mendekati negara; para buruh dan ma-jikan di dalam perekonomian kapitalis merupakan unsur-unsur yang sederajat peran sertanya dalam proses politik dan ekonomi. Itulah sebabnya konsep sumber harga murni dari perubahan tek-

28

Page 41: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

nologi dan pengangguran, serta asumsi penting bahwa nilai mo­dal dan pekerja akan sama dengan suatu keseimbangan harga yang netral. Keseimbangan harga ini didasarkan pada peringkat ma-sukan produktivitas marginal yang objektif, dan masukan itu sen-diri berdasarkan barga barang.

2.2 Beberapa teori dualistik pasaran tenaga kerja Salah satu di antara sekian banyak teori yang menentang pendapat teori neo klasik mengenai masalah pembangunan ialah konsepsi ekonomi dualistik (Boeke, 1953; Higgins, 1959; Myint, 1964). Aliran Dualistik mengemukakan bahwa hambatan yang terdapat di dalam pembangunan menyebabkan adanya hal-hal yang tidak lu-rus (non-linear). Ada bagian-bagian ekonomi yang dikembangkan dan ada yang tidak, dan hai ini bukan semata-mata karena adanya sumber-sumber daya di satu sektor dan tidak adanya faktor ini di bagian lain. Hal ini terutama disebabkan oleh sifat tenaga kerja atau sifat yang mengorganisasi produksi di suatu sektor memang berlainan dengan yang melakukan itu di bagian lain. Akibatnya, perubahan sektor yang ketinggalan menjadi lebih sukar daripada yang dikatakan oleh teori neo klasik.

Pada mulanya dualisme itu dilihat sebagai masalah kebuda-yaan: di dalam sektor produksi "modern" atau yang berada di bawah kekuasaan produksi Eropa, responsi para pekerja terhadap rangsangan-rangsangan upah sama seperti halnya di negara-negara industri. Demudan pula pasaran tenaga kerjanya seperti halnya pasaran tenaga kerja Eropa. Akan tetapi, di dalam sektor "tradi-sional" para individu tidak dijejali dengan etik kapitalis dalam hai penimbunan dan persaingan. Oleh karena itu, mereka bekerja ha-nya untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan ekonominya. Upah yang lebih tinggi di sektor tradisional, menurut teori ini hanya mengaki-batkan berkurangnya pekerjaan orang-orang pribumi.

Adanya setengah pengangguran (underemployment) di daerah-daerah pedesaan adalah akibat dari tiap-tiap orang tidak bekerja lebih keras. Hai ini bisa dimengerti karena mereka telah memper-oleh semua yang dibutuhkan dalam pola budaya kehidupan, se-hingga bekerja penggal waktu pun bukan lagi masalah bagi me­reka. Dalam hai ini, pengangguran terbuka merupakan rekacipta sektor-sektor kapitalis modern, karena dalam masyarakat pedesaan tradisional pekerjaan yang tersedia dipikul oleh semua anggota

DPP-25 (4) 29

Page 42: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

masyarakat itu, scdangkan yang tidak bisa bekerja diurus oleh me-reka yang ikut serta bekerja.

Masalah yang perlu dibahas sampai ke hal-hal yang paling kecil mengenai sebab-sebab pengangguran dan perbedaan-perbe-daan upah di daerah perkotaan dan pedesaan adalah versi teknik perekonomian dualistik itu. Sektor modern dalam versi itu mem-berikan upah yang relatif tinggi dan menggunakan teknologi mo­dern. Akan tetapi, yang dipekerjakan di sektor modern hanya seba-gian atau sejumlah kecü dari seluruh tenaga kerja. Kebanyakan dari tenaga kerja yang ada adalah di sektor pertanian atau di bidang produksi jasa yang upahnya rendah, dengan upah yang sekedar cukup untuk menyambung hidup. Pada sektor ini masih digunakan teknologi yang sederhana serta banyak menyerap tenaga kerja. Ada-pun inti teknologi dualistik (teknologi yang berdwirangkap) terle-tak pada teknologi yang digunakan dalam kedua sektor itu: tekno­logi intensif modal (yang diimpor dari Eropa) di sektor modern yang memperkerjakan buruh dalam jumlah relatif sedikit diban-ding dengan modal yang ditanam, dan teknologi intensif tenaga kerja di sektor tradisional. Tenaga kerja tradisional yang bisa ma-suk ke dalam sektor modern sangat terbatas: investasi yang diting-gikan di sektor modern, sedikit sekali membuka kesempatan kerja baru. Bersamaan dengan itu, investasi dan tabungan di sektor tra­disional terhalangi, karena keadaan tenaga kerja di sektor ini ber-sifat sekedar untuk menyambung hidup dan pertumbuhan pendu-duknya berjalan menurut teori Maldius.

Teknologi yang dualistis secara tidak langsung telah mengaki-batkan satu model "persaingan pekerjaan" pasaran tenaga kerja (Thurow dan Lucas, 1972). Menurut model itu "produktivitas" adalah suatu lambang pekerjaan, dan bukan merupakan lambang orang. Berbagai pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerja de­ngan menggunakan peralatan modern mendatangkan hasil yang sangat produktif, dan orang-orang antre untuk mendapatkan pe­kerjaan yang demikian. Sekali buruh itu dipekerjakan, keterampilan kognitif yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitasnya sampai ke tingkat produktivitas pekerjaan, diperolehnya melalui program pendidikan formal dan nonformal. Patokan yang diguna­kan majikan dalam memilih pegawai baru ialah dengan menguji calon-calon pegawai itu, dapat dilatih atau tidak. Calon pegawai yang mempunyai ciri-ciri latar belakang, seperti kebangsaan, jenis

30

Page 43: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

kelamin, pendidikan, usia, test psikologi, dan pengalaman yang me-nurut sang majikan meringankan biaya-biaya latihan akan diterima di antara para pencan pekerjaan dan mendapat pekerjaan yang "paling baik".

Teknologi yang dualistis dan model persaingan pekerjaan me-ngemukakan bahwa upah itu tidak merupakan suatu fungsi suplai tenaga kerja; adanya antrean pencari pekerjaan itu tidak menye-babkan jatuhnya upah, karena upah itu merupakan fungsi peker­jaan dan fungsi orang-orang. Sedangkan sifat dan bakat pekerja­an itu bukan fungsi teknologi yang berkaitan dengan pekerjaan itu. Pengangguran merupakan suatu fungsi pula dari investasi da-lam modal fisik dan intensitas modal dari modal itu. Jadi, setengah pengangguran (underemployment) dan pengangguran sangat ber-gantung pada kemampuan sektor modem untuk menyerap tenaga kerja ke dalam pekerjaan modern yang penuh waktu (full time).

Dalam model ini, pendidikan memainkan peran ganda. Pada sa-tu pihak tenaga kerja terdidik lebih bisa dilatih, dan karena itu berada di tingkat paling depan dari antrean pencari pekerjaan untuk mem-peroleh pekerjaan tetap yang ada hubungannya dengan sektor mo­dern intensif modal. Di lain pihak, kenaikan tingkat rata-rata pen­didikan sedikit pengaruhnya terhadap jumlah lapangan pekerjaan macam tersebut di atas, juga terhadap produktivitas pekerja da­lam pekerjaan-pekerjaan modern (modern jobs). Hal ini disebab-kan lowongan kerja atau kemampuan penempatan tenaga kerja dalam sektor modern banyak bergantung pada investasi modal dan teknologi yang kebanyakan dari luar negeri. Bukan sebaliknya, yakni dari pendidikan tenaga kerja yang dipekerjakan. Demikian pula, produktivitas itu adalah suatu fungsi dari pekerjaan itu dan bukan dari sifat-sifat pekerja. Kemudian, pendidikan itu mempunyai aki-bat yang bersifat berpencar dan terbagi-bagi (siapa saja yang akan memperoleh pekerjaan dan siapa yang tidak). Namun, pendi­dikan tidak menaikkan pertumbuhan (terkecuali dengan menurun-kan biaya pendidikan, yang hai ini masih merupakan kemungkinan) ataupun memperbesar kemungkinan untuk mendapat pekerjaan di sektor modern. Variabel-variabel itu ditentukan öleh hal-hal di luar pendidikan, biasanya oleh teknologi asing dan investasi dari luar negeri.

Selanjutnya, dalam model persaingan pekerjaan itu penam-bahan jumlah tenaga kerja berpendidikan tidak mempengaruhi

31

Page 44: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

tingkat upah para pekerja berpendidikan. Dalam teori ortodoks upah-upah yang kaku dan pengangguran (kegagalan pasaran un-tuk menekan upah dan membersihkan pasaran bagi tenaga kerja) hams diterangkan dalam hubungan campur tangán pihak peme-rintah yang membuat perundang-undangan perburuhan untuk me-netapkan upah paling rendah dan mengesahkan serikat pekerja yang mempunyai hak tawar-menawar kolektif (colletive bargaining rights). Hal ini dianggap sebagai distorsi-distorsi eksternal di dalam pasaran tenaga kerja. Akan tetapi, model persaingan pekerjaan itu memandang upah yang kaku itu sebagai satu cara para kapitalis mengelola pasaran tenaga kerja: mereka mengaitkan upah tertentu dengan teknologi tertentu atau ciri-ciri pekerjaan, sehingga sang majikan terikat untuk membayar sejumlah upah agar suatu pe­kerjaan diselesaikan dan untuk menentukan jumlah orang yang liendak dipekerjakan. Pada gilirannya, teknologi yang dipilih untuk membuat suatu produk khas, terutama ditentukan oleh teknologi yang digunakan negara-negara industri maju, karena teknologi itu-lah yang dikenal para kapitalis dan para teknisinya. Oleh karena itu, pengangguran merupakan suatu fungsi dari keputusan para kapi­talis, dan bukan fungsi keputusan pemerintah yang dipengaruhi peker­ja. Selain itu, perubahan ciri-ciri keterampilan tenaga kerja tidak akan dapat berbuat banyak untuk mengubah struktur upah atau un­tuk mengubah jumlah orang yang dipekerjakan di sektor modern.

Adanya birokrasi yang besar di samping sektor kapitalis mo­dern kecil di kebanyakan negara berpenghasilan rendah — birokrasi yang mempekerjakan sebagian besar tenaga kerja berpendidikan -— membuat model persaingan pekerjaan atau kedwirangkapan men-jadi rumit: bagaimanakah cara menentukan struktur upah di dalam birokrasi itu? Apakah pernah ada "teknologi" birokrasi yang di-impor yang dapat mencegah jatuhnya upah di sektor pemerintahan? Sedikitnya ada kebenaran bahwa struktur upah di dalam dan tek­nologi birokrasi pemerintahan di banyak negara diwarisi dari pe-nguasa-penguasa kolonial dan dengan demikian merupakan sektor modern yang diimpor. Jadi, di samping kemungkinan pendapat Blaug itu benar bahwa struktur upah yang demikian itu di sektor pemerintahan untuk sebagian besar harus dicari kesalahannya pada suplai tenaga kerja terdidik yang terlalu banyak; kemungkinan lain bahwa struktur upah macam itu tidak bebas dari suatu organisasi tertentu yang memproduksi barang-barang dan jasa-jasa; mereko-mendasi perubahan upah yang berbeda-beda di sektor pemerintah-

32

Page 45: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

an mungkin mengikutsertakan perubahan teknologi yang diguna-kan untuk memproduksi jasa-jasa pemerintahan, dan juga untuk memproduksi barang-barang industri.

2.3 Beberapa tcori radikal ten tang produksi dan perpangsaan pasaran tenaga kerja

Berlainan dengan teori ortodoks dan teori ekonomi dualistik, teori ekonomi radikal berasumsi bahwa hubungan sosial dasar dengan produksi di bawah sistem kapitalisme bukan merupakan mekanisme harga ataupun teknologi, akan tetapi merupakan hubungan sang kapitalis dengan si pekerja, yang di dalam kondisi-kondisi modern terjelma dalam hubungan antara si pekerja dan si pengelola. Di samping adanya kepentingan sang pengelola untuk memelihara hu­bungan ini dalam bentuk kerja sama agar pekerja itu yakin dan mau berbuat sesuai dengan sasaran sang pengelola, maka menurut teori radikal hubungan antara pekerja dan si pengelola itu pada dasarnya berlawanan satu sama lain dan berpangkal pada perten-tangan antara majikan dan pekerja mengenai surplus produksi.

Kebalikan dari teori ekonomi ortodoks, maka teori radikal ini mempunyai riwayat jelas dan memusatkan perhatiannya pada sifat historis dari perjuangan kaum pekerja melawan pemilik dan penge­lola modal. Selain itu, jika pemilik dan pengelola modal itu bukan orang-orang pri'bumi, tetapi orang-orang asing, maka teori radikal itu meliputi sejarah perjuangan antara modal asing (yang didukung oleh berbagai organisasi militer) buruh, dan petani. Jadi, perkem-bangan itu adalah suatu proses sejarah yang tidak bergaris lurus (non-linear), yang dialektik dan berakar pada pertikaian kelas dan berusaha mengubah sifat lembaga-Iembaga ekonomi dan sosial yang menganakemaskan satu kelas di atas kelas lainnya.

Model perpangsaan pasaran tenaga kerja yang membatasi ra­dikal ialah suatu model kekuatan sistematis yang membatasi pilihan-pilihan yang tersedia bagi berbagai gugusan di barisan tenaga kerja. Unit utama dari análisis tidak merupakan pribadi dan bebas me-milih, akan tetapi lebih merupakan golongan atau kelas-kelas yang menghadapi berbagai situasi pasaran tenaga kerja secara objektif, yang mematangkan selera golongan atau kelas-kelas itu secara sis­tematis. Selain itu, juga membatasi ruang lingkup pilihan mereka yang efektif. Perilaku golongan atau kelas-kelas ini kemudian me­matangkan perkembangan teknologi dan struktur pekerjaän yang

33

Page 46: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

berikutnya. Teori ortodoks memerincikan parameter-parameter ke-lembagaan dan kemudian menganalisis keseimbangan yang dihasil-kan dari berbagai pilihan tiap-tiap orang. Mereka berusaha memper-oleh penghasilan semaksimal mungkin dalam parameter-parameter tersebut. Berbagai teori perpangsaan mencoba menerangkan per-kembangan lembaga sebagai hasil interaksi tiap-tiap pribadi, yang secara objektif mempunyai kepentingan berlainan; kepentingan-kepentingan yang ditentukan oleh perkembangan lembaga-lembaga yang terlebih dulu berlangsung.

Oleh karena itu, teori perpangsaan pasaran tenaga kerja men­coba menyangkal beberapa asumsi teori ortodoks bàhwa majikan yang senantiasa berusaha memperoleh keuntungan semaksimal mungkin itu menilai para pekerjanya menurut karakternya. Di samping itu, semua pekerja mempunyai jangkauan luas dalam pilihannya di antara sekian banyak pekerjaan dan di antara aneka ragam bentuk pendidikan. Teori perpangsaan pasaran tenaga kerja mengatakan bahwa pasaran tenaga kerja itu terpecah menjadi ke-lompok-kelompok yang keras hati, gigih, yang bisa dikenal dari karakter kelompok yang agak permanen. Mereka yang termasuk dalam salah satu kelompok itu mempunyai pola-pola kehidupan kerja yang berlainan, yang timbul bukan dari pilihan pribadi atau dari evaluasi pribadi majikan, akan tetapi sebagian besar dari struk­tur pasaran tenaga kerja untuk seperangkat pekerjaan tertentu.

Jika di dalam pasaran tenaga kerja itu ada ciri-ciri khas per­pangsaan, yang setiap pangsa, pada gilirannya memperoleh im-balan yang berlainan (baik mengenai upah ataupun kepastian be-kerja) bukan karena perbedaan produktivitas marginal, tetapi ka­rena dasar-dasar politile dan sosial, maka pola penempatan tenaga kerja (employment) tidak akan terpengaruh, oleh perubahan-peru-bahan dalam struktur ekonomi atau perubahan dalam penyebaran dan tingkat pendidikan serta oleh karateristik pribadi. Misalnya, perkembangan sektor modern dibanding dengan sektor tradisional. Terkecuali jika perubahan perubahan itu mempengaruhi kekuasaan politik dari berbagai pangsa, terutama kesanggupan pekerja dalam tiap pangsa tersebut untuk meningkatkan kepastian kerja selama hidupnya dibandingkan dengan para pekerja dalam pangsa lain-nya. Karena itu masalah penempatan tenaga kerja — pengangguran setengah pengangguran — menurut teori radikal, mula-mula bu-kanlah masalah teknologi (pertumbuhan ekonomi) dan bukanlah

34

Page 47: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

masalah ciri khas manusia dari pekerja, meskipun hai itu merupa-kan variabel-variabel penting. Hal itu terutama merupakan ma­salah politik yang bergantung pada kekuasaan politik yang dimiliki organisasi-organisasi pekerja yang berhubungan dengan para pe-milik modal dan para manajer. Model perpangsaan pasaran tenaga kerja mengemukakan bahwa suatu kebijakan untuk mencapai kon-disi, yakni semua orang dapat memperoleh pekerjaan memerlukan syarat sebagai berikut. Semua pekerja harus memenangkan kekua­saan politik dengan mengorbankan para pemilik modal. Hal ini dilakukan agar mereka dapat mengubah praktek-praktek menerima orang menjadi pekerja dan mengubah hak-hak istimewa pimpinan perusahaan dalam soal melepas dan menerima pegawai serta da-lam masalah penerapan jenis-jenis teknologi untuk memproduksi barang-barang. Demikianlah análisis historis teori-teori perpangsaan mengemukakan bahwa perpangsaan itu adalah hasil dari makin terbaginya tenaga kerja (memisahkan satu kelompok dari kelom-pok lainnya), sehingga para pekerja itu akan bersaing satu sama lain untuk memperoleh kepastian bekerja dan untuk mendapatkan sebagaian dari kue upah itu. Mereka bukannya bersatu padu de­ngan rekan-rekan lainnya untuk mencapai suatu kebijakan yang menginginkan semua pekerja dapat bekerja dan untuk meningkat-kan upah yang berkaitan dengan hasil modal1).

Teori perpangsaan juga tidak sependapat secara mutlak dengan model persaingan pekerjaan mengenai masalah suplai te­naga kerja yang mempengaruhi tingkat upah dan produktivitas. Menurut análisis radikal, upah buruh yang tetap rendah serta da­pat meningkatnya produktivitas, disebabkan adanya berisan ca-dangan penganggur (suatu antrean). Adanya pengangguran di dalam perekonomian pada semua tingkat keterampilan merupakan kepentingan para kapitalis dan para manajernya, supaya dapat me-ngendalikan tuntutan-tuntutan buruh dan mengadudomba berbagai golongan pekerja dalam perjuangannya untuk mendapatkan kepasti­an. bekerja dan pembagian upah. Pengangguran orang-orang ber-

1. Kiranya contoh terbaik dalam masa yang baru lalu dari proses demikian adalah yang ditanggulangi oleh pekerja yang terorganisasi di Swedia; di situ pekerja terorganisasi mengendalikan kekuasaan perundang-undangan dan lambat laun terus maju mempersempit hak-hak istimewa yang dipe-gang manajer dalam kaitannya dengan keputusan-keputusan mempekerja-kan orang. Di samping itu, Swedia merupakan negara yang pengangguran-nya paling rendah di antara negara-negara industri kapitalis.

35

Page 48: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

pendîdikan menurut teori ini, merupakan perpanjangan atau per-luasan porsi pekerja di belakang meja yang sedang tumbuh pesât, metode yang digunakan oleh para majikan untuk mengendalikan angkatan kerja tidak terampil yang murah. Begitu para pekerja kantor dan teknisi mulai merasakan bahwa mereka itu bisa me-nuntut kondisi kerja yang berlainan dengan kondisi pekerja tidak terampil dan karyawan pabrik, maka jumlah lulusan pendidikan yang dilatih untuk melakukan pekerjaan kantor makin diperbanyak dibanding lapangan pekerjaan yang tersedia. Oleh karena itu, para teknisi dan calon birokrat tidak lagi mempunyai kepastian untuk, mendapatkan pekerjaan, bahkan mungkin tidak lagi mempunyaïl harapan untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam keadaan demikian, kiranya tuntutan-tuntutan golongan pekerja itu dan kekuatan po-litiknya akan berkurang (Braverman, 1975, bab 15).

Tanpa membahas bagian-bagian kecil dari model perpang-saan pasaran tenaga kerja, yang ditempat lain telah dipaparkan dalam garis besamya (Carter dan Carnoy, 1974) dapat diutarakan secara ringkas beberapa segi dari model-model tersebut. Pertama, semua bentuk yang berlainan dari perpangsaan itu mengakibatkan munculnya hipótesis yang perlu dibuktikan. Seperti diketahui da­lam pasaran tenaga kerja itu ada beberapa jenis pekerjaan, yang masing-masing mempunyai kriteria yang jelas dalam prosedur pe-nempatan tenaga kerja, misalnya dalam hai kenaikan pangkat pe-gawai, pengawasan pegawai dan tentang kondisi-kondisi pekerjaan, serta tingkat upah. Tiap tingkat upah itu berkaitan dengan go-longan-golongan yang saling berbeda, biasanya dalam arti kata siapa saja yang dapat memegang pekerjaan tertcntu. Pangsa yang berbeda-beda itu dahulu disebut sebagai "pangsa yang terutama ti­dak tergantung pada siapa pun jua, yang merdeka" dan termasuk pekerjaan yang memerlukan tindakan kreatif serta prakarsa dari pihak pekerja yang disebut sebagai "pangsa lebih rendah pertama" termasuk pekerjaan yang memerlukan keseragaman terhadap nor­ma-norma yang disyaratkan oleh pihak luar (kebalikan dari inter-nalisasi norma-norma yang disyaratkan oleh pekerjaan yang bebas dari siapa pun jua) dan yang disebut sebagai "pangsa kedua" me-liputi pekerjaan yang paling sedikit memerlukan pelatihan di tempat kerja, ditambah keterampilan yang dapat melayani perintah-perin-tah langsung yang sederliana.

36

Page 49: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Keterangan teoretìs yang utama dan perpangsaan ini ialah apa yang disebut sebagai bentuk "kontrol sosial". Rumusan yang paling jelas dari teori ini diberikan oleh Cordon, Reich dan Ed­wards (1973 dan 1975). Perbcdaan-perbedaan di antara pendapat mereka mengenai segmentasi dengan pendapat Piore (1973) ke-banyakan berasal dari penolakan mereka terhadap asumsi Piore bahwa "produktivitas" itu pada pokoknya merupakan suatu hu-bungan teknis, yang ditentukan oleh jumlah dan jenis-jenis mesin yang tersedia. Menurut Gordon, Reich, dan Edwards "produktivi­tas" terutama berakar pada hubungan-hubungan sosial, bukan pada hubungan teknologi. Pada kenyataannya, perkembangan teknologi sendiri dipaksakan oleh kebutuhan untuk memproduksi ulang hu­bungan sosial produksi yang telah ada. Mereka yang penghasilan dan kedudukan sosialnya bergantung pada bisa atau tidaknya mem-pertahankan kekuasaan atas proses produksi, hanya akan berminat pada perundang-undangan teknologi yang dapat memperkuat pe-nguasaan mereka atas produksi.

Dalam versi radikal model perpangsaan pasaran tenaga kerja, identitas penghasilan produktivitas sebagian besar ditinggalkan, walaupun dalam pasaran tenaga kerja sekunder upah itu dinilai lebih erat bertalian dengan suplai dan permintaan atas tenaga kerja. Struktur upah dalam teori ini dijelaskan oleh adanya faktor-faktor yang berlainan, tergantung pada versi mana dari teori itu yang digunakan. Akan tetapi, di dalam semua versi, struktur upah itu dipengaruhi dan terutama dikuasai oleh beberapa faktor yang berubah-ubah dan tumbuh di dalam diri setiap individu: masalah seks, rasisme, adad istiadat, "metode memecah belah dan menakluk-kan" yang dilakukan oleh majikan dalam organisasi produksinya, kekuasaan monopoli, sifat pasaran perusahaan bagi barang-barang-nya, pertimbangan-pertimbangan status, dan pertahanan struktur kelas dalam menghadapi aturan yang mengutamakan hal-hal yang pantas dihargai. Semua itu adalah faktor-faktor tidak produktif, dan tidak manusiawi yang mempengaruhi struktur upah, balk yang berada di antara pangsa-pangsa pasaran tenaga kerja maupun di dalam pangsa-pangsa itu sendiri.

Oleh karena itu, masalah struktur penempatan tenaga kerja di dalam teori perpangsaan pasaran tenaga kerja, berpindah dari faktor penganalisis yang mempengaruhi produktivitas ke análisis struktur institusional, dari upah dan penempatan tenaga kerja itu

37

Page 50: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

sendiri, serta kekuatan sosial politik ekonomi yang mempengaruhi perubahan-perubahan dalam struktur itu. Teori ini secara tersirat menyatakan bahwa struktur penempatan tenaga kerja itu tidak di-tentukan, apalagi harus terikat oleh distribusi produktivitas. Karena itu, korelasi pendidikan dan pengalaman dengan penempatan tenaga kerja tidak membuat pendidikan dan pengalaman menjadi suatu sumbangan bagi kemungkinan produktivitas yang lebih tinggi serta kemungkinan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik. Ke-mudian pertalian antara ciri khas pekerja dan penempatan tenaga kerja tidak bersifat ekonomis (dalam arti menaikkan produksi), akan tetapi bersifat sosial-institusional.

Teori perpangsaan maju selangkah lagi dengan mengatakan bahwa di dalam bagian-bagian pasaran tenaga kerja, seperti yang terdapat di bagian sekunder sifat pasarannya menyebabkan pengang-guran lebih tinggi daripada yang terdapat di dalam pangsa primer yang lebih rendah tingkatnya dan pangsa primer yang bebas (pri­mary subordinate and primary independent segments) (Harrison, 1972). Dengan kata lain, baik majikan maupun para pekerja su-dah memperkirakan terlebih dahulu akan adanya pemberhentian pekerjaan secara besar-besaran yang sering terjadi dan akan ada sejumlah pekerjaan yang tidak ada kepastian kesinambungannya. Kemudian organisasi produksi dilaksanakan oleh para majikan dengan mengingatkan kemungkinan-kemungkinan itu. Begitu pola-pola macam ini melembaga, maka pekerja mulai menerima pengang-guran sewaktu-waktu (periodic unemployment) sebagai pola hi-dupnya dan hai ini ikut menurunkan tuntutan-tuntutan politik me-reka atas sistem itu. Tambahan lagi, hubungan antara pendidikan dan pengalaman di satu pihak dengan penempatan tenaga kerja di lain pihak (jumlah minggu kerja dalam setahun dan jumlah jam kerja dalam seminggu) mungkin bisa menjadi kurang penting di dalam pasaran tenaga kerja sekunder daripada di dalam pasaran tenaga kerja primer, meskipun pendidikan dan pengalaman bisa menentukan orang memperoleh pekerjaan penuh waktu (full time).

Selanjutnya, implikasi análisis radikal untuk kebijakan penem­patan tenaga kerja dalam beberapa segi berlawanan dengan teori ortodoks, yaitu sebagai berikut.

1. Menurut teori ortodoks pengangguran tenaga kerja tidak teram-pil merupakan akibat kurangnya pendidikan dan pelatihan (ku­rang persiapan untuk dipekerjakan) ; teori perpangsaan menya-

38

Page 51: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

takan bahwa pengangguran tenaga kerja tidak terampil itu lebih banyak merupakan akibat pekerjaan yang tidak dapat dikerja-kan oleh mereka yang tidak terampil itu; pekerjaan-pekerjaan demikian melekat, sifatnya tidak stabil untuk memenuhi kebu-tuhan-kebutuhan para kapitalis atau manajer. Jadi, meskipun dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan kepada mereka akan menambah kemungkinan mereka yang tidak terampil memperoleh kesempatan kerja.

2. Adanya pengangguran tenaga kerja tidak terampil dalam jum-lah yang disebabkan urbanisasi (perpindahan penduduk dari pedesaan ke perkotaan) dan terbatasnya kemampuan daerah perkotaan untuk menyerap mereka, menurut teori perpangsaan, bukanlah hasil distorsi-distorsi di dalam sistem pasaran bebas, akan tetapi merupakan akibat dari kebijakan negara yang se-laras dengan tekanan kaum kapitalis agar upah tetap rendah. Jadi, setiap usaha mengalihkan kebijakan agar semua pekerja memperoleh pekerjaan akan menemui perlawanan gigih dari pihak pemilik modal atau pengusaha, terkecuali dengan cara menekan upah pekerja sekunder ataupun pekerja yang meme-gang pekerjaan lebih rendah "statusnya" (primary subordinate workers).

3. Meskipun misalnya upah itu ditekan serendah-rendahnya, pe-nempatan tenaga kerja penuh (full employment) menurut teori pasaran tenaga kerja radikal tidak akan tercapai sepenuhnya; teknologi yang berkembang pesat di sektor modern dan yang di-impor dari negara-negara industri berakibat para pekerja kha-watir akan kehilangan pekerjaan. Memang para kapitalis lebih menyukai teknologi yang dapat mengurangi jumlah tenaga ker­ja, karena pekerja itu merupakan faktor tetap dalam perseng-ketaan kelas dan mereka selalu bertentangan dengan tujuan ka­um kapitalis. Jadi, meskipun upah itu sangat rendah, para pena-nam modal akan lebih menyukai teknologi yang mempekerjakan sedikit mungkin pekerja untuk tiap dolar yang ia tanamkan.

Dengan demikian, kebijakan penempatan tenaga kerja menurut teori perpangsaan ini menitikberatkan pada sifat pasaran-pasaran tenaga kerja, bukan pada sifat khas pekerja di dalam pasaran itu. Jika orang-orang yang berpendidikan itu menganggur, misalnya, maka teori perpangsaan akan memusatkan perhatian pada meng-analisis sifat pekerjaan yang berubah-ubah yang dikerjakan para

39

Page 52: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

lulusan universitär dan lulusan sekolah menengah, bukan pada sifat pendidikan mereka atau pada ketidakcocokan antara pendidikan dan pekerjaan. Jika tingkat pengangguran di antara orang yang kurang pendidikannya lebíh tinggi daripada mereka yang lebih ber-pendidikan, maka análisis perpangsaan akan mengkaji perbedaan-perbedaan sifat khas pekerjaan bagi tenaga kerja daripada sifat khas pekerja di dalam pekerjaan tersebut. Suatu kebijakan mengenai penempatan tenaga kerja penuh bagi tiap golongan ini akan meng-hadapi perubahan di dalam ciri khas pekerjaan (the employment characteristics of the jobs) dalam tiap pangsa, yang tiap-tiap pangsa ditandai oleh pengangguran yang sangat tinggi.

Ditinjau dari sudut teori radikal, hai ini senantiasa terpusat pada pandangan negara dan kebijakannya dalam menempatkan tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hai ini bukan karena negara ikut mencampuri berlangsungnya sis-tem bebas berusaha, sebagaimana dikemukakan teori ortodoks, akan tetapi negara merupakan sumber kekuatan dalam memberikan tun-jangan kepada kaum kapitalis dalam usaha mempertahankan ke-untungannya ketika menghadapi kegelisahan dan tuntutan pekerja untuk memperoleh sebagian besar surplusnya. Pada saat yang sama, aparat negara itu menj adi arena utama dari persengketaan antara kelas petani dan pekerja di satu pihak melawan kaum borjuis indus­tri atau manajer, borjuis niaga, dan tuan-tuan tanah di lain pihak (di banyak negara kaum borjuis industri dan borjuis niaga telah menjadi pemilik tanah-tanah pertanian). Maka melalui aparat ne-garalah dipamerkan kekuasaan politik atas penghasilan dan kepas-tian bekerja yang dimiliki para pekerja dan kaum pekerja dalam keseluruhannya. Dikemukakan pula bahwa campur tangán negara melalui kebijakan langsung atau tidak langsung dapat mengubah upah serta kondisi kerja dari berbagai golongan pekerja yang ber-beda-beda dengan lebih cepat dan lebih mempunyai arti daripada yang dapat dicapai oleh perubahan sifat pribadi para pekerja.

Kita pun tidak perlu menganggap struktur pekerjaan itu seolah-olah ditentukan oleh jenis keluaran (output) yang diproduksi, ter-utama jika kita menganut versi Gordon-Reich-Edwards mengenai teori perpangsaan ; dalam versi itu yang menentukan produksi bukan-lah efisiensi produksi, akan tetapi usaha memperoleh keuntungan se-maksimal mungkin yang dilakukan oleh para kapitalis; ikut pula me­nentukan organisasi produksi, pembagian tugas pekerja the division

40

Page 53: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

of labour), struktur penempatan tenaga kerja, setengah penganguran, dan pengangguran (the employment underemployment/unemploy­ment structure). Jadi, kekhususan pekerjaan dan jenis orang yang melaksanakan pekerjaan itu, pada akhirnya tidak bisa dipisah-kan satu sama lain. Kekhususan pekerjaan angkatan kerja (the employment characteristics of jobs) serta pendidikan di berbagai pekerjaan yang berlainan menurut Gordon-Reich-Edwards (GRE) lebih beranekaragam daripada modal manusia (dan majikan) yang kita perkirakan.

Namun, perubahan-perubahan dalam pola investasi ke dalam pendidikan dan pelatihan, serta perubahan-perubahan pola organi­sas! pendidikan dan pelatihan dapat dikaitkan dengan perubahan pola penempatan tenaga kerja dan dengan tingkat pengangguran a tau setengah pengangguran, jika kekuatan-kekuatan yang meng-ubah pendidikan dan penempatan tenaga kerja melakukan perubah­an-perubahan itu dalam kurun waktu yang sama dan dengan cara yang sama. Kita bisa membayangkan bahwa suatu pemerintahan "progresif" akan mengubah pola perbelanjaannya untuk pendidikan, dan pada saat yang sama melaksanakan suatu kebijakan yang tepat menempatkan tenaga kerja penuh.

Sampai saat ini tidak ada satu pun pembahasan dalam bidang ini yang menyinggung potensi pendidikan dalam ikut memantapkan struktur penempatan tenaga kerja, juga dalam hai mengubah ke-biasaan penentuan bagi mereka yang mendapatkan pekerjaan stabil dan yang tidak stabil. Teori perpangsaan versi GRE merupakan teori yang berlandaskan kelas, yang bukan saja membicarakan karakteristik pekerjaan pada angkatan kerja, ia juga menentukan golongan masyarakat dengan pekerjaan yang sesuai. Ada kemung-kinan, meskipun hai itu tidak akan terwujud, bahwa negara akan ikut mencampuri sistem pendidikan tanpa ikut campur dalam masa-lah struktur pekerjaan dalam rangka mengubah sifat kelas atau ke-bangsaan dari sistem pendidikan dan pelatihan. Jadi, suatu kebijakan dapat dilembagakan, yakni bahwa para petani dan orang-orang dari kelas pekerja diperbolehkan mengikuti pendidikan lebih tinggi dan dalam jumlah yang lebih banyak daripada persentase jumlah golongan mereka ini, dalam kaitan dengan seluruh jumlah pendu-duk. Jika praktek penerimaan tenaga kerja tidak berubah — pen­didikan bertahun-tahun masih digunakan sebagai faktor penentu yang penting untuk memasuki berbagai pangsa pasaran tenaga kerja — maka perubahan ketentuan untuk mengikuti pendidikan

41

Page 54: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

bagi kelas-kelas sosial yang berlainan dapat mengubah mobilitas antargcnerasi. Perubahan ini berlangsung di antara pekerjaan yang lebih dan kurang stabil, tanpa mengubah pola antargenerasi dari pe­kerjaan yang diduduki. Tentunya tidak mudah untuk membayang-kan suatu kebijakan demikian itu, jika tidak ada perubahan dalam cara produksi, atau sedikitnya tidak ada perubahan yang radikal dalam pengendalian kekuasaan politik atau militer. Akan tetapi, ada kemungkinan dan secara teoretis bermanfaat untuk membedakan perubahan mobilitas antargenerasi dan perubahan dalam penye-baran tenaga kerja (dengan memakai ukuran waktu bekerja dalam setahun) dengan peran pendidikan di tiap-tiap bidang itu. Jika pendidikan tetap merupakan suatu kriteria penting dalam menye-leksi orang untuk dipekerjakan, maka peran pendidikan itu dalam perubahan mobilitas menjadi lebih masuk akal daripada perannya dalam perubahan tingkat pengangguran atau dalam distribusi pe-kerjaan-pekerjaan yang stabil atau tidak stabil di dalam suatu or-ganisasi pekerjaan tertentu.

42

Page 55: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

3. MASALAH PENEMPATAN TENAGA KERJA DI NEGA­RA-NEGARA NONINDUSTRI: SEBUAH INTERPRETASI

Setelah kita menelusuri berbagai asumsi mengenai pembangunan dan pasaran tenaga kerja, sekarang kita dapat menunjukkan inter­pretasi yang lebih kita "utamakan" tentang masalah penempatan tenaga kerja dan peran pendidikan di dalam masalah yang diha-dapi negara-negara kapitalis nonindustri. Dalam bab ini kita bahas juga masalah pengangguran di negara-negara sosialis. Dalam bab berikutnya kita akan menganalisis berbagai kemungkinan untuk memecahkan masalah pengangguran di dalam perekonomian kapi­talis dalam hubungan dengan pembicaraan ini.

3.1 Perkembangan kapitalisme dì negara-negara berpenghasilaii rendah

Kebanyakan negara berpenghasilan rendah LICS memproduksi barang dengan organisasi produksi kapitalis. Adapun yang diuta-makan dalam pembahasan ini ialah adanya kemungkinan untuk meningkatkan keluaran material dengan cepat di bawah sis-tem kapitalisme, meskipun sistem ini begitu rumit dan luas ruang lingkupnya. Misalnya masalah pembangunan yang demikian luas — apa saja yang diproduksi, siapa yang mendapat bagian untuk memproduksi hasil itu, dan siapa saja yang mendapat bagian meng-konsumsinya — justru timbul dari cara-cara sistem kapitalisme yang memproduksi hasil material yang meninggi itu. Ciri-ciri perkem­bangan kapitalisme di negara-negara berpenghasilan rendah, sa-ngat berbeda pada satu negara dengan negara lainnya, akan tetapi dapat dikemukakan beberapa kenyataan umum yang membantu kita untuk mengetahui problem dasarnya.

Pertama, perkembangan kapitalisme berlandaskan pemilikan barang secara pribadi, termasuk di dalamnya alat-alat produksi, dan berdasarkan hak pribadi untuk memperoleh perlindungan bagi barangnya dan terhadap pelanggaran miliknya. Menurut teori, se-

43

Page 56: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

tiap orang dalam perekonomian kapitalisme bisa memiliki modal dan menggunakannya untuk berproduksi; akan tetapi dalam prak-tek, distribusi modal untuk produksi sangat terpusatkan. Hanya se-kelompok kecil orang dalam suatu perekonomian kapitalisme yang membuat keputusan tentang jenis barang yang harus diproduksi dan tentang cara produksi itu dilaksanakan. Selanjutnya oleh ka-rena para pemilik modal itu minatnya terutama ditujukan untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dari modalnya, maka mereka itu cenderung untuk memanfaatkan segala macam cara dan upaya yang dapat dilakukan, termasuk pula — jika mungkin —> aparat negara, untuk meningkatkan pengembalian modalnya dan mempertahankan kekuasaannya atas pengendalian alat-alat pro­duksi.

Kedua, tidak mengherankan di bawah kondisi demudan tekno-logi yang dikembangkan oleh para pemilik modal itu, ditujukan kepada penurunan ongkos-ongkos para pekerja (to lowering labour cost), dengan jalan mengendalikan organisasi pekerja dan menge-sampingkan sejauh mungkin komponen tenaga kerja terampil dari tiap proses produksi (Braverman, 1975). Di negara-negara berpeng-hasilan rendah teknologi yang digunakan untuk memproduksi ba-rang-barang pabrik, biasanya diimpor dari luar negeri dan tentu saja memproduksi ulang produksi di negara-negara berpenghasilan tinggi. Dasar alasan yang biasa dikemukakan oleh para ahli eko-nomi ialah bahwa hai ini merupakan salah-alokasi sumber-sumber daya. Hal ini disebabkan pengimporan teknologi dari negara-ne­gara berpenghasilan tinggi mengakibatkan suatu proses produksi yang lebih berlandaskan pada tingkat upah pekerja yang berlaku di negara-negara itu daripada berasaskan pada tingkat upah pe­kerja yang lebih rendah yang biasa dibayarkan di negara-negara berpenghasilan rendah. Kita mempunyai anggapan bahwa teknologi itu dikembangkan di negara-negara berpenghasilan tinggi terutama untuk memecahkan masalah buruh di dalam produksi, yang tidak ada sangkut-pautnya dengan tingkat upah dalam keseluruhan-nya. Di samping itu, kita juga beranggapan bahwa masalah pekerja di negara-negara berpenghasilan rendah dalam industri-industri pabrik sangat mirip dengan masalah yang dijumpai di negara-negara berpenghasilan tinggi — yaitu mengesampingkan komponen tenaga kerja terampil dan penguasaan pengendalian dalam pengelolaan pekerja. Dengan demikian, impor teknologi dari luar negeri oleh kaum borjuis dalam negeri tidak mengakibatkan salah-alokasi sum-

44r

Page 57: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

ber-sumber daya, dalam arti kata kepentingan-kepentingan kelas, karena teknologi yang diimpor itu telah membuktikan ketepatguna-annya dalam mencapai kedua sasaran itu. Setidak-tidaknya impor teknologi itu, membuat duplikat proses produksi di negara-negara berpenghasilan tinggi di sektor "modern" dan hanya secara berang-sur-angsur dapat menembus ke dalam produksi agraris dan marginal.

Ketiga, dengan demikian organisasi kerja di negara-negara berpenghasilan rendali yang berdasarkan kapitalisme, dilakukan sebagai kelanjutan lembaga-lembaga kapitalisme di negara-negara berpenghasilan tinggi. Di sini termasuk pula unsur-unsur pemba-gian tenaga kerja di negara-negara berpenghasilan tinggi itu, serta keputusan manajemen yang diambii di dalam perusahaan-perusa-haan besar asing, untuk lebih meningkatkan kesejahteraan umum-nya semaksimal mungkin daripada mengurus dan memperhatikan kesejahteraan cabangnya di negara-negara berpenghasilan rendah. Keputusan-keputusan manajemen yang diambil oleh perusahaan-perusahaan asing itu, meliputi kemungkinan untuk menurunkan pertumbuhan cabangnya di negara-negara berpenghasilan rendah (Chase, Dunn, 1975), pengambilan sumber-sumber daya yang ber-harga dengan harga lebih rendah untuk negara berpenghasilan ting­gi, pengendalian keputusan-keputusan keuangan dan pemasaran-pemasaran utama, dan seterusnya. (Bernet dan Müller, 1975). Wa-laupun perusahaan-perusahaan multinasional itu merupakan suatu segi penting untuk memahami produksi dan distribusi di negara-negara berpenghaslian rendah, penting juga untuk memahami bah-wa organisasi kerja di lembaga perekonomian lainnya juga merupa­kan suatu kelanjutan dari kebutuhan negara-negara berpenghasilan tinggi. Gontohnya, barang-barang ekspor utama melibatkan seba-gian besar pekerja sektor pertanian di negara-negara berpenghasilan rendah untuk memproduksi barang-barang konsumsi di negara-negara yang telah terkena industrialisasi. Upah pekerja di sektor ekspor utama dan organisasi pekerja untuk memproduksi barang-barang ekspor ini sangat dipengaruhi oleh harga perekonomian in-ternasional dan oleh jenis-jenis barang utama yang diminta negara-negara industri.1)

1. Masalah perbudakan boleh jadi bukan merupakan cara produksi kapitalisti», akan tetapi berkaitan erat dengan kebutuhan produksi kapitalistis di Eropa dan Amerika Serikat. Oleh karena itu pernah orang mengetengahkan bahwa perbudakan itu merupakan suatu kelanjutan dari produksi kapitalistis yang

DPP-25 (5) 45

Page 58: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Keempat, pembagian teknologi dalam dua bagian dan pem-bagian pekerja menjadi sektor "tradisional" dan sektor "modern" bisa dimengerti dengan menganalisis peran tiap sektor dalam proses perkembangan negara-negara kapitalis yang berpenghasilan rendah. Di dalam sektor modern yang dinamis, sektor ini lebih mempriori-taskan memproduksi barang konsumsi yang diperuntukkan bagi negara-negara kapitalis di luar negeri dan golongan berpenghasilan tinggi, serta di konsumsi oleh industri-industri dinamis di dalam negeri (barang-barang modal), di atas kebutuhan penduduk dalam negeri sendiri. Dengan kata lain, sektor-sektor dinamis di negara-negara berpenghasilan rendah yang berlandaskan kapitalisme, ada-lah sektor ekspor dan sektor barang modal. Sektor-sektor inilah yang menjadi tempat peralihan surplus negara kapitalis yang sedang dalam proses modernisasi, yang dilayani oleh lembaga-lembaga keuangan dan yang didukung oleh negara dengan berbagai sub-sidi tidak langsung. Di samping itu, sektor "tradisional" mempro­duksi "barang-barang upah" — barang-barang yang dikonsunisi oleh penerima-penerima upah domestik. Hal ini meliputi berbagai tekstil yang bermutu rendah, alat-alat rumah tangga murah, dan barang-barang kebutuhan pokok yang dikonsumsi di daerah pede-saan dan daerah pinggiran kota.

Selanjutnya dapat kita lihat bahwa sektor modern ditandai oleh monopoli produksi. Beberapa perusahaan besar yang meng-hasilkan produksi dengan persentase tinggi dan yang mempekerja-kan pekerja dalam persentase tinggi di dalam sektor industri. Se-dangkan sektor tradisional mempunyai ciri khas: kondisi persaingan seru, banyak perusahaan kecil saling bersaing dalam pasar barang. Jadi, suatu kelompok kapitalis — baik asing maupun domestik — di negara-negara berpenghasilan rendah sedang dengan cepat mem-perluas produksi barang-barang yang diproduksi pada kondisi-kon-disi monopoli kapitalis di pasaran domestik, sambii mungkin ber­saing untuk memperoleh pasaran ekspor di luar negeri, dalam kon-disi-kondisi yang lebih bersaing. Suatu kelompok lain, terdiri atas "kapitalis-kapitalis yang tidak maju" (petani-petani yang hidup di bawah garis kehidupan yang layak, tidak termasuk yang melayani kebutuhan mereka sendiri), hanya melayani kebutuhan dalam ne-

berhubungan dengan kondisi-kondisi khusus dalam pertanian perkebunan (Genovese, 1965).

46

Page 59: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

gerì dan beroperasi di dalam pasaran ini di bawah kondisi-kondisi persaingan.

Meskipun kedua sektor tersebut berbeda dalam tipe organisasi kapitalis dalam produksi (hukum monopoli lawan hukum persa­ingan)1), keduanya berproduksi untuk memperbesar keuntungan semaksimal mungkin dan mendistribusikan barang-barang kepada yang membayar dengan harga yang paling tinggi dan bukannya kepada orang-orang yang membutuhkan barang-barang. Selanjut-nya, di tiap-tiap sektor, barang-barang diproduksi sedemikian agar memperoleh keuntungan semaksimal mungkin jika itu berarti mera-bantu menurunkan upah maka demikianlah yang dilakukan; bila usaha itu berarti menambah pengangguran, maka itulah yang di-laksanakan; demikian pula usaha itu berarti memperhebat pengua-saan atas proses kerja oleh para kapitalis atau manajer, berarti mem-bahayakan kesehatan dan keamanan para pekerja.

Kelima, dalam prakteknya hai tersebut mengakibatkan dua­lisme di dalam sektor-sektor produksi; dengan upah yang lebih tinggi, teknologi "moderen" mengalami pembagian tenaga kerja yang rumit. Termasuk di dalamnya perpangsaan pasaran tenaga kerja, di bagian sektor pabrik yang memproduksi barang-barang untuk mereka yang berpenghasilan tinggi dan untuk konsumsi luar negeri. Selain, itu, memproduksi barang modal yang awet untuk pabrik dan jenis-jenis jasa untuk negara-negara yang berpenghasilan tinggi. Pada sektor tradisional upah lebih rendah serta pembagian tenaga kerja kurang merata. Oleh karena sektor modem itu meng-gunakan metode-metode produksi yang diimpor langsung dari ne­gara-negara berpenghasilan tinggi, serta sektor modem itu berusaha untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin, maka sasaran utama dari sektor modem itu bukanlah penyerapan tenaga kerja dari sektor-sektor produksi pertanian dan tradisional di daerah per-kotaan yang hidupnya di bawah garis penghidupan yang layak. Pada saat yang sama untuk pertumbuhan sektor "modem" selan-

1. Tanpa pembahasan yang mendetail, di sini kita bisa mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan monopoli menghadapi pasaran yang lebih stabil daripada yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan yang saling bersaingan. Oleh karena itu, ada kernungkinan bahwa perusahaan-perusahaan mono­poli akan mencoba menstabilisasikar: tenaga kerja dan pasaran mereka de­ngan rangkaian mekanisme pengendalian dan hierarki manajemennya, su-atu hai yang tidak bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang sa-. ling bersaingan (Gordon, Reich dan Edwards, 1973).

47

Page 60: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

jutnya tergantung pada dana penanaman modal dan surplus yang dihasilkan oleh sektor tradisional, termasuk ekspor pertanian. J adi, di satu pihak, sektor modern menyerap surplus dari sektor tradisio­nal, dan demikian menciptakan kesukaran-kesukaran bagi pekerja untuk memperolch penghidupan di sektor tradisional itu. Sedang-kan di pihak lain pada saat yang bersamaan sektor modem secara kontinu memasukkan teknologi dan praktek-praktek manajemen, sehingga mengurangi jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk tambahan modal fisik. Hal ini menekan tenaga kerja dalam jumlah banyak meninggalkan sektor tradisional meskipun di sektor modern menimbulkan kesulitan untuk menyerap tenaga kerja.

Sebagai akibatnya, kita melihat di negara-negara berpengha-silan rendah, negara kapitalis yang sedang menuju industrialisasi timbul fenomena umum, yaitu meningkatnya pengangguran dan pertumbuhan urban "marginal" dalam jumlah besar. Mereka sibuk dengan kegiatan yang mendapat penghasilan sedikit di sektor per-industrian atau usaha-usaha jasa "tradisional" di daerah perkotaan dan yang berada di daerah pinggiran seperti sektor pabrik atau jasa-jasa modern. Sebagian besar dari ketimpangan pemerataan pengha­silan yang senantiasa bertambah, tentunya disebabkan oleh pengang­guran yang meningkat dan oleh perbedaan yang makin besar antara upah di sektor modern dan upah di sektor tradisional. Lebih-lebih dengan timbulnya para manajer, suatu kelas orang-orang profesio­nal, yang terlibat dalam pengendahan produksi, distribusi dan masalah-masalah perburuhan yang dijumpai dalam perusahaan-perusahaan besar di sektor modern, dan dalam birokrasi negara, yang mengutamakan pelayanan kepada sektor modem itu.

Akhirnya, bisa dikatakan bahwa tiada kesangsian tentang ada-nya kemungkinan untuk meningkatkan produk nasional kotor 'GNP) per capita yang disertai laju perkembangan jenis ini yang sangat pesat. Akan tetapi, jelaslah kiranya, keikutsertaan rakyat dalam peningkatan GNP ini terbatas pada golongan kecil yang bisa masuk ke dalam sektor ekonomi yang sedang bertumbuh dan bersedia membayar upah tinggi kepada orang-orang untuk melakukan fungsi kontrol atas pekerja-pekerjanya dan kepada me­reka yang masuk ke dalam birokrasi negara dan dibayar untuk membantu dan bekerja sama dengan sektor-sektor dinamis. Me-mang banyak bukti yang menunjukkan adanya ketimpangan peng­hasilan yang miskin hebat di dalam perekonomian berpenghasilan rendah dalam pertumbuhan industrialisasinya" (Adelman dan Mor-

48

Page 61: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

ris, 1973; Barkin, 1971; Langoni, 1973). Ada pula bukti — di-bahas dalam seksi 1 — bahwa pengangguran bertambah dalam proses pertumbuhan. Jadi, di samping mengakui bahwa pertum­buhan kapitalisme menghasilkan suatu kueh yang lebih besar, kita hams menerima bahwa mayoritas penduduk negara-negara kapi-talis berpenghasilan rendah tidak pernah ikut serta dalam proses pertumbuhan itu dan di tahun-tahun kemudian pun tidak akan ikut serta sama sekali. Memang, sebagaimana telah kita kemuka-kan, jika sektor modern itu — untuk dana-dana investasinya — berçantung pada surplus perekonomian yang dihasilkan oleh sektor tradisional dan pada penanaman modal asing, maka tidak ada alasan untuk mengharapkan bahwa proses perkembanean ini akan mampu memecahkan masalah-masalah distribusi pendapatan dan pengangguran yang ditimbulkan olehnya.

Model ini juga mengatakan bahwa pengangguran itu bukanlah merupakan suatu distorsi, suatu penyimpangan dalam perkembang-an kapitalisme — hasil campur tangán di luar mekanisme pasaran — akan tetapi, merupakan bagian dan bingkisan dari perkembang-an kapitalisme di negara-negara berpenghasilan rendah (hai ini untuk sebagian besar merupakan ciri khas di negara-negara ka­pitalisme berpenghasilan tinggi). Kita mengemukakan bahwa yang menciptakan kondisi adanya pengangguran adalah para kapitalis dan negara, yang mendukung para kapitalis dalam menentukan pilihan barang-barang yang akan mereka buat, dan dalam hai teknologi yang mereka pergunakan. Kedua pilihan ini telah diam-bil secara historis, demikian yang kita kemukakan, dan bukan atas dasar alasan efisiensi (produksi semaksimal mungkin), akan tetapi atas dasar pertimbangan memperoleh keuntungan semak­simal mungkin, dan hai ini bukan saja berlandaskan atas nilai pro­duksi, juga berdasarkan atas distribusi surplus porduksi antara mo­dal dan tenaga kerja. Jadi, pengangguran itu, terutama disebab-kan oleh keputusan-keputusan investasi dan produksi, yang cende-rung menentang penggunaan jumlah tenaga kerja sebanyak-banyak-nya dalam pekerjaan penuh waktu yang memberikan upah layak. 1 )

1. Contohnya, investasi pemerintah dalam produksi pertanian mungkin mem-punyai implikasi-implikasi penting untuk mengurangi pengangguran dan mengurangi mengalirnya pekerja-pekerja dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan serta menambah suplai makanan. Namun, investasi tersebut akan menurunnya tingkat keuntungan para industrialis di daerah perkotaan karena meningginya upah tenaga kerja tidak terampil di daerah perkotaan dan

49

Page 62: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

3.2 Pendidikan untuk pembangunan

Secara panjang lebar telah diutarakan beberapa ciri khas perkem-bangan perekonomian kapitalistis di negara-negara berpenghasilan rendah, karena hai ini merupakan pokok persoalan untuk mem-peroleh pengertian tentang perkembangannya, agar kita dapat me-mahami sistem pendidikan dan perubahan pendidikan di negara-negara berpenghasilan rendah. Jenis sistem pendidikan apakah yang dapat kita harapkan untuk disajikan oleh negara dalam jenis situasi pembangunan itu? Apakah kita dapat mengharapkan bah-wa semua orang akan memperoleh pendidikan yang dapat mem-bantu mereka berperan serta dalam proses pertumbuhan pereko­nomian dan dalam membuat keputusan untuk produksi? Ataukah kita ini lebih mengharapkan anak-anak kita dididik di lembaga-lem-baga sekolah formal agar cocok dengan kebutuhan ketenagaker-jaan kapitalisme (yang meliputi beberapa orang pekerja dengan upah tinggi dan juga jumlah penganggur yang banyak) dan agar percaya kepada ideologi yang membenarkan ketimpangan sistem produksi kapitalisme? Bagaimanakah kiranya sistem pendidikan itu mendistribusikan pendidikan di dalam suatu masyarakat, yang ke-nyataannya hasil produksi serta kesempatan kerja tidak pernah merata.

Untuk menjawab semua pertanyaan itu kita harus menjelas-kan dahulu bahwa penyebaran pendidikan Barat ke negara-negara Dunia Ketiga, dilaksanakan dalam rangka impérialisme dan kolo-nialisme (dan penyebaran merkantilisme dan kapitalisme) dan dalam bentuk dan tujuannya sekarang tidak bisa dipisahkan dari konteks ini. Jadi, walaupun pendidikan yang berasal dari metropol itu mempromosikan perubahan dari hierarki satu ke hierarki lain — dari hierarki tradisional dalam kebudayaan yang menjadi koloni ke suatu bentuk hierarki dalam merkantilisme Eropa atau kapitalisme — namun, perubahan itu telah ditentukan dengan saksama sebe-lumnya. Sistem pendidikan, karena datangnya dari metropol, untuk sebagian besar berlandaskan atas kebutuhan penanam modal, pe­dagang, dan budayawan dari metropol. Dalam konteks pemerin-tahan kolonial, misalnya, sekolah-sekolah Barat di India dan Afrika, membantu perkembangan kaum elite pribumi, yang akhirnya be-

juga karena mengurangnya investasi pemerlntah dalam infrastruktur di daerah perkotaan yang mensubsidi pertumbuhan industri.

50

Page 63: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

kerja sebagai administrator-administrator tingkat menengah. Sclain itu, mereka juga bekerja sebagai perantara dari pedagang-pedagang metropol dengan para pekerja perkebunan serta petani-petani kecil yang memproduksi barang untuk diekspor. Jadi, orang-orang India dan Afrika yang berpendidikan secara sadar dan tidak sadar — karena mereka merupakan bagian dari sistem perekonomian yang mengutamakan keuntungan semaksimal mungkin dari modal para kapitalis metropol — bertindak melibatkan orang-orang pribumi ke dalam produksi barang-barang yang dibutuhkah oleh pasaran metropol. Mereka yang berpendidikan itu, membantu mengubah struktur sosial agar sesuai dengan konsepsi Eropa mengenai beker­ja dan hubungan antarmanusia (untuk contoh-contoh yang lebih terperinci, lihat Carnoy, 1974).

Tujuan pendidikan Barat baik yang jelas maupun yang ter-sembunyi sebagaimana yang telah melembaga di dunia dilaksana-kan oleh para utusan pekabar Injil (Afrika jajahan Inggris), ad­ministrator-administrator asing (Afrika jajahan Perancis, India ja­jahan Inggris) dan oleh pemerintah setempat yang bergantung pada penanaman modal, perdagangan dan bantuan militer asing (Amerika Latin), pendidikan itu membuat orang-orang pribumi berguna dalam hierarki baru, bukan sebaliknya untuk membantu mengembangkan hubungan antarsosial yang membawa mereka ja-uh melampaui struktur sosial itu, mencapai struktur-struktur sosial lainnya. Jadi, pendidikan di negara-negara berpenghasilan rendah ti­dak membantu orang-orang mencapai tingkat yang melewati hierarki kapitalis atau asing ataupun hierarki kelas terkendali, akan tetapi hierarki kapitalis atau asing itu, tanpa menghiraukan apakah pendi­dikan itu berguna atau tidak lagi bagi orang-orang pribumi itu. Wa-laupun model pendidikan baru itu keadaannya telah bergeser dari mo­del yang mempunyai ciri khas India dan Afrika pada permulaan abad ini, yang berkaitan dengan Amerika Latin, sampai sekarang ma-sih diterapkan di negara-negara berpenghasilan rendah. Kita na-makan itu sebagai aspek kolonisasi dari pendidikan. Perubahan bentuk hierarki tradisional menjadi hierarki kapitalis terjadi, scti-daknya di sektor-sektor tertentu, akan tetapi alat-alat untuk meng-ubahnya tidak diberikan di sekolah-sekolah. Sekolah merupakan suatu lembaga kolonial, pegawai-pegawainya — melalui peran mere­ka di dalam sistemnya — akhirnya berusaha (walaupun tidak selalu berhasil, lihat di bawah) membuat anak didik sesuai dengan ce-takan, berusaha membentuk anak-anak didik menjadi orang-orang

M

Page 64: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

yang memainkan peran yang telah ditentukan terlebih dahulu dan untuk melakukan tugas-tugas yang didasarkan atas kelas sosial me-reka. Baik anak-anak maupun orang-orang dewasa (termasuk gu­ru-guru) tidak diarahkan ke pengertian tentang hubungan mereka dengan lembaga-lembaga (termasuk sekolah-sekolah mereka) dan tentang kemungkinan mereka untuk bisa mengubah lembaga-lem­baga itu agar cocok dengan kebutuhan mereka. Struktur dan isi pendidikan ditentukan oleh birokrasi negara, yang mewakili ke-pentingan kelas-kelas tertentu dan kepentingan ini justru dijaga dan dipertahankan oleh sekolah-sekolah. Pendirian dan pembuka¿n sekolah itu sendiri merupakan suatu jenis perubahan. Akan tetapi, dengan didirikan dan dibukanya sekolah itu, organisasinya dibuat sedemikian rapa agar anak-anak didik itu diarahkan ke suatu tingkat kesadaran sosial dan tidak lebih dari itu.

Negara di dalam perekonomian kapitalisme yang berpengha-silan rendah, merupakan suatu hai penting yang menentukan peran sekolah-sekolah dalam proses "pembangunan". Negara di Dunia Ketiga sekarang ini, bertindak sebagai "pembina" pembangunan melalui jalan tertentu; di dalam perekonomian yang berpenghasilan rendah negara berfunggsi sebagai perantara bagi penanam modal asing, pemerintah asing, borjuis domestik, kaum ningrat yang telah sampai ke posisi berada, dan kelas-kelas menengah (peripheral classes) di masyarakat berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, ne­gara menyajikan suatu ideologi pembangunan melalui sistem seko­lah dan lembaga-lembaganya, yang mencerminkan dominasi ke-lompok-kelompok tertentu di masyarakat, yang berhasil mengenda-likan alat-alat negara selama kurun waktu tertentu. Kebanyakan pemerintah negara-negara dari Dunia Ketiga yang berpenghasilan rendah menunjang jenis perkembangan kapitalisme yang diuraikan di atas, mendorong suatu ideologi yang bukan saja dipersiapkan cocok untuk kebutuhan-kebutuhan borjuis domestik dan unsur oli-garki tradisional di dalam masyarakatnya, akan tetapi juga memu-askan kebutuhan-kebutuhan ideologi para penanam modal asing dan pemerintah asing, dengan menggunakan pengaruhnya yang kuat ke dalam masyarakat itu. Jadi, suksesnya perekonomian bor­juis domestik dan mungkin juga birokrasi pemerintah domestik secara berkesinambungan tergantung pada bantuan negara-negara industri dan para penanam modal asing, yang kemungkinan besar mereka akan mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan demudan rupa, sehingga sesuai dengan kebutuhan kekuasaan asing

52

Page 65: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

itu. Sistem sekolah yang diterapkan mencerminkan ancangan kon-disi awal perkembangan ini; yang bukan saja dalam hai menso-sialisasikan anak-anak sekolah agar mereka cocok dengan berbagai bagian dari suatu hierarki yang berdasarkan kelas, yang disusun untuk memproduksi barang-barang di bawah proses pembangunan ini — dengan cara pemberian jenis pelajaran tertentu dan da­lam jumlah tertentu pula — juga dalam hai usaha untuk meng-gugah rasa suka dan memelihara rasa ini terhadap kebudayaan yang diprapersiapkan oleh peran perantara negara di dalam pi-kiran anak-anak sekolah. Contohnya, penggunaan bahasa Prancis dan Inggris di banyak negara Afrika dan Asia sebagai bahasa yang dominan sesuai dengan cara budaya ini. Seperti yang dipa-parkan oleh Frantz Fanon dan Albert Memmi (Fanon, 1968; Memmi, 1965), pengajaran bahasa asing mengubah kepribadian anale. Pelajaran ini menimbulkan identifikasi yang terbagi-bagi da­lam jiwa anak-anak, yang menyebabkan anak-anak itu menemukan kesulitan untuk mengenal diri dalam menentukan masuk budaya manakah mereka itu atau untuk menentukan keinginannya masuk budaya manakah. Di satu pihak anak-anak itu menganggap bu­daya tradisional sebagai berada di bawah norma dan di lain pihak mereka itu tidak bisa menjadi anggota penuh dari kebudayaan asing yang disajikan kepada mereka sebagai suatu hai yang meng-giurkan dan hebat. Jadi, negara itu dalam pelayanannya kepada modal asing dan kepada perantara-perantara domestik (apakah itu perantara-perantara kapitalis ataupun perantara-perantara birokrasi) dengan melalui sekolah-sekolah untuk perkembangan pribadi men-jauhkan dan mempersulit pencapaian kebutuhan manusiawi di da­lam masyarakat, yang berasaskan sumber-sumber daya dan kemam-puan mandili.

Oleh karena itu, pendidikan formal yang diberikan negara, untuk sebagian besar atau seluruhnya diorganisasi untuk memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok yang menguasai aparat negara. Da­lam hai negara kapitalis berpenghasilan rendah yang terdapat bor-juis "modern" domestik yang mengendalikan atau mempengaruhi kekuasaan negara, kita melihat bahwa negara itu digunakan seba­gai mekanisme penunjang bagi kebutuhan akan tenaga kerja dan bagi posisi ideologi borjuis itu dalam penafsirannya mengenai cara sebaik-baiknya untuk pembangunan. Sebagaimana telah dibahas, posisi itu pada pokoknya membawa perekonomian domestik ke ambang dunia "modern" melalui impor teknologi, memelihara ber-

53

Page 66: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

langsungnya produksi barang-barang untuk konsumsi orang-orang asing dan sedikit penduduk di dalam negeri sendiri. Selain itu, juga melalui rasionalisasi lembaga-lembaga domestik lainnya, termasuk birokrasi negara dan sekolah-sekolah, agar sesuai dengan sektor-sektor produksi modern.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa proses modernisasi ini menghasilkan kedwirangkapan, bahkan di sektor industri. Ke-butuhan akan tenaga buruh bagi perekonomian sektor industri mo­dern dan bagi perekonomian sektor tradisional, sangat berbeda. Per-bedaan ini mungkin tidak disebabkan oleh perbedaan teknologi yang digunakan di dalam sektor tersebut, akan tetapi lebih disebab­kan hierarki yang dikembangkan di sektor produksi modern berla-inan dengan apa yang dikembangkan di sektor produksi tradisional (Stone, 1974). Selain itu, surplus sektor tradisional dikuras dan digunakan untuk membayar pertumbuhan sektor modern. Hal ini berakibat nilai tambahan pendidikan di sektor tradisional sangat berkurang, jika dibandingkan dengan pertumbuhan perekonomian yang pesat.

Dì bawah kondisi demikian, tidak jarang terjadi bahwa pen­didikan di daerah pedesaan lebih diabaikan oleh para kapitalis dari-pada pendidikan di daerah perkotaan; hai ini dilakukan pula oleh para teknokrat atau manajer yang menguasai perekonomian negara berpenghasilan rendah yang sedang dalam proses modernisasi dan industrialisasi. Meskipun demikikan, para kapitalis dan para mana­jer ini merasa bertanggung jawab terhadap pembentukan cadangan kelompok besar pekerja terampil dan setengah terampil di daerah-daerah perkotaan, sehingga mereka berhasil menekan upah buruh terampil. Dengan demikian, perluasan industri dan pengumpulan modal (keuntungan) lebih cepat. Mereka itu juga menaruh per-hatian terhadap usaha memasyarakatkan anak-anak yang berasal dari golongan penduduk yang hidupnya pas-pasan (marginal po­pulations), agar mau menerima nasib yang ada yaitu di tangga bawah dari struktur kelas di daerah perkotaan. Negara yang sedang menuju modernisasi dapat memperluas sekolah-sekolah dasar dan sekolah-sekolah lanjutan pertama di daerah perkotaan secara besar-besaran, agar terbentuk suatu cadangan besar tenaga kerja terdidik dan untuk menunjang pengabsahan ketimpangan-ketimpangan pro­ses pembangunan (Carnoy, 1974).

54

Page 67: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Selanjutnya dapat kita amati bahwa sistem pendidikan di nc-gara-negara kapitalis berpenghasilan rendah yang sedang dalam proses industrialisasi, ditandai oleh disparitas (perbedaan) yang sa-ngat besar antara sistem pendidikan di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan, bahkan di tingkat pendidikan dasar. Perlengkapan sekolah-sekolah di pedesaan serba kurang; pelajaran-pelajaran bagi beberapa tingkat kelas, diberikan di sekolah-sekolah yang hanya mempunyai satu ruang kelas, dan hai ini terjadi di banyak tempat; dan biasanya, oleh karena kekurangan ruang kelas atau kurang mo­tivasi, anak-anak didik di daerah pedesaan harus menyelesaikan sekolahnya dalam beberapa tahun saja. Selanjutnya kurikulum bagi sekolah-sekolah di pedesaan sama saja dengan kurikuklum bagi sekolah di daerah perkotaan atau yang dikembangkan di daerah perkotaan, bahkan sama dengan yang diperuntukkan di ibukota ne-gara-negara asing yang sudan melakukan industrialisasi. Di daerah perkotaan, jumlah dan mutu sekolah, sangat beraneka ragam, ter-gantung pada aneka ragam kelas-kelas sosial yang ada di daerah perkotaan. Di banyak negara yang sedang "melaksanakan moderni-sasi" terdapat bagian penting dari pendidikan lanjutan yang dise-diakan, yang merupakan sekolah lanjutan "pribadi". Sekolah ini menerapkan sistem "penyaringan" yang efektif untuk menghalangi anak-anak dari keluarga miskin masuk ke pendidikan universitas yang disediakan negara. Anak-anak dari keluarga kelas pekerja, yang mencapai sekolah lanjutan biasanya disalurkan ke pendidikan kejuruan, bukan ke pendidikan persiapan akademis yang mutlak diperlukan agar memenuhi persyaratan masuk ke pendidikan uni­versitas. Akhirnya, jika tingkat universitas meluas sebagai responsi terhadap keperluan perusahaan-perusahaan dan birokrasi negara, maka ada perbedaan besar dalam upah mereka. Penghasilan yang berkaitan dengan keahlian bagi anak-anak yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah akan berbeda dengan mereka yang memer-lukan belajar penuh waktu — seperti bidang kedokteran dan bi-dang teknik, sehingga sukar untuk menuntut ilmu-ilmu ini sambii bekerja — yang pelajarannya terutama diikuti oleh pemuda atau pemudi yang berasal dari keluarga berpenghasilan tinggi.

Seluruh sistem pendidikan bertingkat-tingkat menurut kelas so­sial, dan kebanyakan sumber daya negara mengalir untuk menun-jang jenis-jenis pendidikan guna mempersiapkan anak-anak didik agar dapat bekerja di sektor "modern" dan untuk menunjang pen­didikan tingkat manajer dan bidang teknik yang dibutuhkan sektor

55

Page 68: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

itu.1) Sebaliknya, anak-anak yang besar kemungkinannya bekerja di sektor itu, sangat sedikit menerima iatah sumber-sumber daya nega­ra yans: difninakan baei pendidikan.2) Tambahan lagi, kurikulum di berbagai tinsrkat pendidikan diprogramkan untuk mempersiapkan tenaga ken'a di sektor modern. Jika anak-anak didik itu memper-oleh pekeriaan di sektor itu, maka pendidikan mereka itu tidak bisa diçunakan dalam berbaçai kegiatan di sektor perekonomian pertanian atau sektor perekonomian marginal di daerah perkotaan, karena memaner mereka tidak dipersiapkan untuk pekerjaan itu. Walaupun demikian, pendidikan memainkan peran pentins: dalam menanamkan kepercayaan kepada anak-anak didik itu bahwa ke-tidakberhasilan mereka itu bukanlah merupakan kegaçralan sistem pendidikannya, akan tetapi merupakan kegaeralan mereka sendiri karena tidak sukses di sekolah, dan dengan demikian tidak dapat memperoleh pekeriaan yang memberikan upah tinggi. Inilah fungsi "Pengaibsahan" utama dari pendidikkan umum vans; diselenggara-kan pemerintah. Walaupun sistem pendidikan itu berkembansr pe­sât dan tingkat rata-rata pendidikan meninarkat, {umlah pekerjaan yang tersedia di sektor modern tidak bertambah secenat itu, se-hinsfsra kita merasakan bahwa sukses di bidang pendidikan belum meniadi jaminan untuk mendapat pekerjaan di sektor itu bagi ba-nyak orang. Bahkan, meskipun mereka itu memperoleh lebih banvak pendidikan, mereka masih saia belum siap untuk melaksanakan tugas-tugas secara efektif yang diperlukan di sektor tradisional.

1. Foster mengemukakan bahwa beberapa sistem sekolah di Afrika terbuka bagi anak-anak kelas sosial rendah. Akan tetapi di Kenya misalnya, ada bukti bahwa jenis sekolah lanjutan — yang biayanya rendah atau tinggi — yang dimasuki oleh para lulusan sekolah dasar, sangat ketat menilai kelas sosial calon-calon muridnya dan dalam pasaran tenaga kerja yang banyak penganggurnya, jenis sekolah lanjutan tempat anak didik itu belajar, men-jadi unsur penentu suksesnya ekonomi di kemudian hari (Mwaniki, 1973).

2. Persentase sumber-sumber daya negara yang digunakan bagi pendidikan tingkat univeritas, jika dibandingkan dengan yang digunakan untuk seko-lah-sekolah dasar, hampir di semua negara berpenghasilan rendah dan yang tergantung pada luar negeri, menyolok sekali. Banyak di antara negara-negara tersebut menyisihkan 2 5 % sampai 3 0 % dari seluruh biaya pen­didikan untuk tingkat universitas, sedangkan pelajar-pelajar yang masuk università« kurang dari 2 — 3 % . Negara yang relatif progresif seperti Mexico dalam tahun 1963 telah menyisihkan lebih dari 10%, dana pe­merintah bagi universitas, yang hanya menampung 1% dari seluruh jumlah anak-anak didik (Carnoy, 1964).

56

Page 69: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Oemikìanlah, yang terjadi dalam situasi "pembangunan" se-perti yang kita jumpai di negara-negara kapitalis yang dalam pro­ses industrialisas^ kebanyakan orang memperoleh pendidikan yang tidak menolong mereka mendapatkan pekerjaan di sektor modern dengan upah tinggi atau upah kelas menengah, dan juga tidak menolong mereka untuk ikut serta memodernisasikan sektor tradi-sional. Hai ini bukan merupakan hai yang kebetulan, juga bukan merupakan hasil "ketidakefisienan" sistem pendidikan, akan tetapi lebih bersifat perencanaan pendidikan yang lahir dari proses sejarah dan diciptakan agar berfungsi sedemikian rupa, sehingga masyara-kat dibiarkan tidak mampu berperan aktif dalam pembangunan eosial dan ekonomi. Hai ini dilatarbelakangi oleh organisasi pereko-nomian yang lebih mengutamakan memperoleh keuntungan seba-nyak-banyaknya bagi sekelompok kecil orang daripada untuk ma-syarakat banyak. Pendidikan bahkan lebih jauh melangkahnya: pendidikan ini berusaha menanamkan keyakinan kepada anak-anak didik dan sekelurganya bahwa tingkat kemampuan rendah yang dicapai oleh anak-anak didik setelah selesai sekolahnya merupakan kemampuan maksimum yang bisa mereka capai. Jadi, sistem pen­didikan itu bukan saja gagal menolong pribadi-pribadi untuk me-manfaatkan produktivitas ekonomi dan sosial mereka semaksimal mungkin, akan tetapi dalam perkembangan macam ini, timbul ke-harusan untuk meyakinkan orang-orang yang bekerja di bawah potensi produktivitas mereka, bahwa mereka itu berada dalam po­sisi yang paling baik yang dapat mereka peroleh dan cocok dengan kemampuannya. Selain itu, juga untuk meyakinkan bahwa mereka itu sebetulnya telali ditolong oleh sistem itu sehingga mencapai posisi yang "paling baik".

3.3 Perluasan pendidikan dalam suatu perekonomian yang di-tandai oleh pengangguran

Menurut pengamatan kita, negara di dalam perekonomian kapitalis memperluas pendidikan untuk sebagian besar sesuai dengan yang dibutuhkan modal industri, walaupun ada pula kemungkinan bah­wa negara modem menanggapi desakan dari kaum pekerja dan kelas menengah untuk memperbesar investasi dalam pendidikan (pendidikan lanjutan untuk anak-anak kaum pekerja dan pendi­dikan universitas bagi kelas menengah), jika saja investasi itu tidak berlawanan dengan kebutuhan para kapitalis. Adanya pengang­guran cenderung memperbanyak permintaan akan pendidikan yang

57

Page 70: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

diajukan oleh anak-anak yang berumur layak sekolah. Hal ini da-pat merupakan sumber pertentangan dalam perkembangan pereko-nomian kapitalis.

Bagaimanakah caranya pengangguran dapat memberikan sum-bangan untuk perluasan pendidikan? Sebagaimana telah di kemu-kakan, bahwa pengangguran itu lebih terkonsentrasi di kalangan tenaga kerja muda usia daripada di dalam kelompok pekerja-pe-kerja tua. Pada permulaan perluasan pendidikan di dalam suatu masyarakat perekonomian, hampir semuanya dari mereka yang telah menyelesaikan sekolah dasar, memperoleh pekerjaan penuh dalam sektor-sektor yang upahnya lebih tinggi. Akan tetapi, kita melihat bahwa sektor modern itu dalam hai penyerapan orang-orang yang berpendidikan (dalam hai ini, lulusan sekolah dasar) lajunya tidak secepat perluasan pendidikan. Memang demikianlah halnya bahwa persyaratan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik di waktu lampau yang memerlukan pendidikan penuh di se­kolah dasar, telah mendesak pemerintah untuk memperluas sekolah-sekolah dasar. Hal ini cocok dengan kebutuhan para kapitalis akan pekerja yang disosialisasikan. Akan tetapi, begitu dirasakan lebih sulit oleh mereka — lulusan sekolah dasar — untuk memperoleh pekerjaan-pekerjaan yang lebih baik, maka mulailah muncul de-sakan yang dipusatkan pada perluasan sekolah lanjutan, hai ini di-terima sebagai alasan baik oleh para majikan unuk mensyaratkan lulusan sekolah lanjutan bagi pekerjaan yang dahulunya diisi oleh lulusan sekolah dasar. Keseganan masuk sekolah lanjutan karena pertimbangan-pertimbangan biaya telah banyak berkurang, karena sulitnya memperoleh pekerjaan sangat dirasakan oleh para lulusan sekolah dasar. Dengan kata lain, pengangguran yang meningkat di antara lulusan sekolah dasar memperkecil penghasilan yang tidak dapat dinikmati oleh mereka yang ragu-ragu, apakah masuk atau tidak masuk ke sekolah lanjutan. Oleh karena biaya pengadaan dan pengelolaan sekolah lanjutan itu — seperti gaji guru-guru dan biaya untuk barang-barang modal di sekolah-sekolah itu — dibiayai oleh dana pemerintah, maka penghasilan yang tidak dapat dinik­mati dan yang terus menurun itu, dengan sangat menyolok mening-katkan keuntungan pihak swasta dalam hubungannya dengan biaya bagi mereka yang ingin masuk ke sekolah lanjutan. Akhirnya, dengan pesatnya perluasan pendidikan lanjutan itu, terjadilah akibat yang sama pada tingkat ini, yaitu lulusan sekolah lanjutan itu makin terkena oleh lajunya pengangguran. Pada gilirannya biaya bagi se-

58

Page 71: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

seorang untuk menuntut ilmu di universitär turun jika dibanding-kan dengan keuntungan yang bisa diperoleh untuk kepentingannya. Bagaimana pun juga yang paling merasakan akibat pengangguran itu adalah golongan anak-anak muda. Penghasilan para lulusan sekolah lanjutan dalam tahun-tahun pertama setelah lulus sekolah, lebih menurun karena ledakan pengangguran daripada penghasilan rakan-rekan mereka yang lebih tua dan penghasilan para lulusan universitas. Kemudian biaya-biaya pribadi menurun dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan yang di kemudian hari diharap-kan dari pendidikkan tingkat universitas dan dorongan untuk me­nuntut ilmu di universitas bertambah di kalangan lulusan sekolah lanjutan (lihat Blaug et al., 1969; Carnoy 1972; Thias dan Carnoy, 1969).

Dalam model perluasan pendidikan ini, kita telah mengguna-kan perangkat yang digunakan teori neo-klasik yang terdiri atas tingkat-tingkat hasil, sebagai suatu kunci untuk memaparkan perila-ku individu dan perilaku kelompok. Akan tetapi, kita tidak perlu se­cara mutlak mempercayai perangkat ini, agar memperoleh análisis yang sama tentang perluasan pendidikan: dengan meluasnya pendi­dikan yang dilakukan oleh negara- untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja murah dan yang disosialisasikan di sektor modern, ma-ka tingkat rata-rata para penganggur meningkat. Kelompok-kelom-pok pekerja yang berada di posisi yang agak diistimewakan, akan merasakan bahwa anak-anaknya akan mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menjadi penganggur atau memperoleh pekerjaan yang kurang memberikan kepastian kerja, jika anak-anaknya itu mem­peroleh pendidikan yang sama seperti yang didapatkan oleh orang tuanya. Disamping tekanan sektor "modern" para orang tua mau-pun para anak didik berkeinginan agar dirinya memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi untuk mengimbangi laju pembangun-an yang terus meningkat. Tekanan dari sektor kapitalis untuk mem-perbanyak suplai pekerja terampil, bahkan di tingkat keterampilan tinggi (agar mereka bisa menekan biaya-biaya dari keterampilan ini) menciptakan berbagai suplai keterampilan di tingkat-tingkat lebih rendah dan membangkitkan tekanan dari pihak anak-anak didik sendiri yang menginginkan lebih banyak pendidikan.

Memang betul bahwa sampai sekarang para kapitalis industri tidak pernah bersikap melawan terhadap ledakan dunia pendidikan, namun meluasnya pendidikan yang pesat di antara para pekerja

59

Page 72: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

dan periganggur yang berpendidikan, bisa menimbulkan kontra-diksi-kontradiksi di dalam perkembangan kapitalis.

Fertama, tampaknya ada rasa takut yang semakin mencekam di kalangan dunia internasional "progresií" bahwa pengangguran di antara orang-orang yang berpendidikan yang makin meningkat, akan menjadi suatu aiicaman yang sangat berarti tcrhadap stabilitas politik negara yang pro berusaha bebas (proprivate enterprise) dari-pada ancaman semacam itu dari pihak golongan penganggur yang kurang berpendidikan. Jadi, perluasan pendidikan yang dibutuhkan oleh kaum kapitalis untuk mempertinggi keuntungan mereka, dapat membahayakan perluasan kapitalis secara kontinu, jika aspek poli­tik dari pengangguran berpendidikan itu benar. Tentunya kontra-diksi utama ini disebabkan oleh ketidakmampuan atau ketidakma-uan pihak kapitalis untuk menyerap tenaga kerja yang tersedia di bagian pekerjaan waktu penuh. Kontradiksi ini mengandung be-nih bagi kemungkinan timbulnya kontradiksi kedua di antara pe­nganggur berpendidikan yang lebih terkena pengaruh politik.

Kedua, bertambahnya tingkat rata-rata pendidikan di kalangan tenaga kerja yang pesat dan terutama pertumbuhan lulusan pen­didikan yang lebih tinggi tingkatnya yang jauh melampaui kapa-sitas mereka yang bisa ditampung di dalam jenis-jenis pekerjaan yang mereka harapkan, menimbulkan kesenjangan antara harapan para lulusan pendidikan di semua tingkat dan pekerjaan yang akhir-nya mereka dapatkan. Pertumbuhan kesempatan kerja di sektor modern lebih lamban daripada pertumbuhan lulusan pendidikan. Pekerjaan-pekerjaan senantiasa ditingkatkan, dalam arti kata pen­didikan para pekerja, akan tetapi siiat pekerjaannya sendiri tidak banyak berubah. Dapat dikatakan bahwa secara psikologis akan tumbuh perasaan asing terhadap peningkatan itu, kecuali jika para lulusan sekolah itu tidak diberi harapan yang muluk-muluk (expec­tations of graduates are lowered) sebelum mereka mulai bekerja (Coleman et. al., 1973). Oleh karena itu, perasaan tidak puas di dalam pekerjaan akan bertambah walaupun banyak tenaga kerja menganggur siap sedia untuk mengambil alih pekerjaan tersebut. Orang-orang yang tidak bekerja keras dan merasa tidak puas itu, nampaknya tidak menurunkan produktivitas. Hal ini berarti bah­wa rasa takut kehilangan pekerjaan — dan bukannya rasa men-dapat kepuasan dalam pekerjaan — makin menjadi alat untuk menguasai tenaga kerja.

60

Page 73: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Ketiga, ada pula suatu kontradiksi dalam hai pemanfaatan sumber-sumber daya di dalam perekonomian bcrpenghasilan ren­dali. Biasanya perekonomian ini "miskin dalam hai sumber daya manusia dan sumber daya fisik", akan tetapi lebih banyak modal manusia diinvestasikan daripada yang bisa digunakan sepenuhnya. Dengan kata lain, tersedia sumber daya modal manusia yang tidak dimanfaatkan jika perekonomian justru kekurangan modal dalam arti umum. Dalam pengamatan (in out mode) hai ini adaiah aki-bat keinginan untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dari para kapitalis dan para manajer: kebijakan pemerintah lebih ditujukan pada pertumbuhan memperoleh keuntungan daripada ke arah pertumbuhan kesempatan bekerja. Hal ini menjurus ke "peng-hamburan" sumber-sumber daya manusia yang "langka" (dilihat dari sudut sosial). Kontradiksi ini timbul jika penghamburan itu sedemikian besarnya, sehingga mempunyai efek penting terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Walaupun tingkat-tingkat keuntungan bisa saja tetap tinggi, bahkan juga dengan laju pertumbuhan eko­nomi yang rendah, suatu perekonomian statis bisa menjurus ke kc-kacauan dan ketidakstabilan politik. Pada gilirannya hai ini bisa mengganggu perluasan kapitalis dan reproduksi sistem produksi kapitalis.

Selanjutnya perluasan pendidikan di samping hierarki repro­duksi dan perluasan kapitalis yang menentukan (Bowles dan Gin-tis, 1974; Carnoy, 1974), menyangkut kontradiksi-kontradiksi bagi perluasan berikutnya, terutama oleh karena meluasnya pekerja yang menganggur yang berlangsung terus-menerus dalam perekonomian kapitalis, walaupun ada pertumbuhan perekonomian yang pesat. Na-mun, kita harus mengerti bahwa adanya sekelompok besar tenaga kerja yang menganggur, juga merupakan tekanan yang terus-mene­rus bagi pekerja sendiri — baik yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan — untuk selalu berlaku sesuai dengan norma-norma produksi dan dengan perilaku pekerja yang baik. Demikian pula, perluasan pendidikan berarti pemasyarakatan pekerja yang meningkat di tempat kerjanya (Inkeles, 1974). Jadi, di samping berbagai kontradiksi yang ditimbulkan oleh pengangguran dan pen­didikan dalam perluasan kapitalis, pengangguran dan pendidikan itu merupakan komponen-komponen yang menentukan bagi per­luasan kapitalis itu.

Seperti yang akan kita bahas dalam bagian berikut, peme-

DPP-25 (6) 61

Page 74: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

cahan masalah pengangguran orang-orang yang berpendidikan yang disarankan oleh para ahli ckonomi ortodoks, berakar pada usaha mcnengahi kontradiksi-kontradiksi yang ditimbulkan oleh perluasan pendidikan. Usaha menengahi ini tergantung pada penurunan se­cara langsung jumlah relatif orang-orang yang berpendidikan ting-gi serta penurunan harapan para lulusan perguruan tinggi terhadap pekerjaan yang bisa mereka peroleh. Jadi, walaupun hai ini bu-kanlah maksud dari pemecahan masalah yang disarankan, akan tetapi penerapannya justru memungkinkan untuk membiarkan pe­ngangguran terus berlangsung, sebagai suatu alat untuk mengenda-likan pekerja, dan dcngan demikian menurunkan upah tenaga ker-ja yang dapat menguntungkan para kapitalis. Sebaliknya, alterna­tif yang kita sarankan, memusatkan perhatian pada pemanfaatan yang lebih baik dari tenaga kerja terdidik dan beralih ke arah ke-bijakan penempatan tenaga kerja penuh dengan cara penciutan pengangguran orang-orang berpendidikan; dengan demikian me-ngurangi hak-hak istimewa para kapitalis dan manajer dalam hai mengambil keputusan.

3.4 Masalah penempatan tenaga kerja dalam perekonomian yany menempatkan tenaga kerja penuh

Analisis kita mcngenai masalah penempatan tenaga kerja dalam perekonomian kapitalis, menyarankan agar kita meninggalkan sikap percaya diri terhadap perluasan kapitalis dalam memecahkan ma­salah pengangguran dan setengah pengangguran. Telah di kemu-kakan bahwa sistem pendidikan di negara-negara berpenghasilan rendah tidak dengan sendirinya berarti "terbelakang" atau terlalu "tradisional", akan tetapi lebih cocok dihubungkan dengan bidang produksi yang timbul dari ketergantungan kepada kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang ada di dalam masyarakat itu. Jadi, per-ubahan dalam struktur organisasi produksi sekarang dan dalam sis­tem pendidikan yang menunjangnya bisa saja memperbaiki situasi penempatan tenaga kerja. Bahkan bisa meiiekan tingkat pengang­guran orang-orang berpendidikan (membiarkan semua tingkat pe­kerja dipekerjakan tidak akan berubah) jika hai ini didukung oleh kebijakan politik yang berupa pembatasan siswa untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi. Namun, perubahan ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam menghilangkan tingkat pengangguran terbuka yang tinggi yang ada di negara-negara berpenghasilan ren­dah.

62

Page 75: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Oleh karena itu, kesimpulan kita jika suatu negara bcrpcng-hasilan rendah memang serius hendak membangkitkan suatu pcr-ekonomian yang mampu menempatkan seluruh tenaga kerja, ne­gara itu harus mempertimbangkan alternatif-alternatif lain di sam-ping produksi kapitalis. Kita mengemukakan bahwa sektor umum, pemerintah akhimya harus memikul beban tanggung jawab terha-dap adanya kesempatan kerja bagi semua tenaga kerja, baik dengan cara menyediakan kredit bagi serikat-serikat pekerja atau dengan cara langsung memberikan pekerjaan pada pekerja. Walaupun de-mikian, kita menyadari bahwa kebijakan macam itu, jika dilaksa-nakan akan menimbulkakn masalah tersendiri: pada saat itu telah ada beberapa jenis perekonomian sosialis yang berlainan satu sama lain, yang beroperasi dengan mempekerjakan tenaga kerja yang ter-sedia, serta menghadapi kesulitan-kesulitan jenis baru.

Pada dasarnya, jika suatu perekonomian sudah beralih ke si­tuasi penempatan semua tenaga kerja atau semua tenaga kerja mendapat pekerjaan yang terjamin kesinambungannya, maka ba-haya pengangguran — yang digunakan secara efektif oleh para majikan dalam produksi kapitalis untuk meningkatkan produktivi-tas pekerja — dapat disingkirkan. Unsur ketidaktenteraman batin pekerja yang melekat sebagai hai yang tidak dapat dipisahkan dari kemiskinan dijiwai oleh bahaya pengangguran. Unsur ini yang di-hapus oleh kebijakan untuk menciptakan kondisi penempatan tena­ga kerja yang tersedia, tidak bisa diandalkan lebih lama lagi untuk membelenggu para pekerja agar mereka bekerja keras. Masalah produktivitas dalam perekonomian sosialis tentunya makin runiit karena perbedaan upah yang makin kecil antara pekerja berpeng-hasilan paling tinggi dan yang berpenghasilan paling rendah.

Hal ini rupanya pada batas-batas tertentu mengurangi perangsang untuk naik pangkat, dan tidak tersedianya barang-barang kebu-tuhan sehari-hari juga menurunkan gairah untuk memperoleh peng-hasilan lebih banyak.

Meskipun demikian, di berbagai negara sosialis itu insentif upah (wage incentive) masih cukup memberikan motivasi kepada pekerja untuk meningkatkan produksi, dan berbagai insentif lain-nya. Pertama, kita harus menyadari bahwa pekerja yang merasakan hasil kerjanya menghasilkan keuntungan bagi mereka dalam suatu bentuk, baik dalam investasi yang dilakukan negara untuk kehi-

63

Page 76: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

dupan yang lebih baik di kemudian hari, maupun dalam perluasan suatu perusahaan yang dikelola oleh para pekerja seadiri (yang memungkinkan mereka untuk memperbaiki konsumsinya) dan ti-dak memberi keuntungan bagi seorang majikan yang berusaha un­tuk diri pribadinya, akan berproduksi lebih efisien (Carnoy dan Levin, 1976; Melmen, 1956). Kedua, dalam kondisi demikian kelompok-kelompok pekerja bisa dirangsang untuk bersaing dengan kelompok-kelompok pekerja lainnya, semata-mata demi produksi yang lebih tinggi, jika mereka itu menyesuaikan diri dengan sa-saran-sasaran politik negara. Ketiga, biasanya kedudukan perorang-an di dalam unit-unit produksi berkaitan dengan produktivitas per-seorangan yang berkepentingan atau dengan produktivitas kelom-pok dan juga dengan "kesadaran" politik dan kepemimpinannya.

Selanjutnya ada pergcseran dari pemanfaatan rasa takut men-jadi penganggur dan dari insentií upan semata-mata ke insentii upah yang ditambah dengan sistem insentii rumit yang tidak beru-pa upah, dan berasal dari rasa kesatuan yang lebih mendalam de­ngan sasaran-sasaran politik negara. (Percampuran insentii-insentii yang disebut terdahulu, tergantung pada pangsa pasaran tenaga kerja; pangsa yang lebih tinggi atau keterampilan yang langka men-dapat insentií upah, dan peKerja yang berada dalam pasaran te­naga kerja sekunder mendapat insentií pengangguran). Dalam sis­tem insentií semacam itu, jumlah hasil kerja untuk sebagian besar tergantung pada kepercayaan para pekerja. Hasil kerja mereka itu akan membawanya ke arah keuntungan di kemudian hari bagi mereka pribadi atau bagi mereka sebagai kelompok, sebagai hasil perbaikan ekonomi nasional dan bahkan sebagai akibat dari per-ubahan politik di Dunia Ketiga. Di samping adanya dorongan untuk memproduksi lebih banyak demi maksud-maksud politik na­sional dan ekonomi dalam perekonomian kapitalis, sarana utama di dalam perekonomian itu untuk meningkatkan hasil produksi, di-pusatkan pada keuntungan dan kerugian perorangan sebagai akibat dari produktivitas yang lebih tinggi atau lebih rendah; di dalam perekonomian sosialis, proyek sosialis itu sendiri menjadi suatu insentii utama untuk meningkatkan hasil produksi.

Kepercayaan yang lebih mendalam atas insentií yang tidak berupa upah, dan penangguhan yang dipaksakan untuk memper-oleh imbalan bagi peningkatan produktivitas yang dilakukan oleh pekerja perorangan, tidak selamanya mendatangkan sukses. Sekali-

64

Page 77: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

pun doronsran itu berhasil, namun ada sebagian pekeria yang mungkin tidak memberikan responsi terhadap kondisi produksi so-sialis yang dipaksakan itu. Pada tingkat penghapusan pengangguran terbuka dan pengurangan perbedaan upah yang menurunkan rang-sangan untuk bekerja, pengangguran terbuka itu diganti oleh se-tengah pengangguran yang lebih parah, terutama di daerah-daerah perkotaan. Dengan kata Iain, oleh karena berbagai sebab, orang-orang bisa saja bekerja lebih sedikit, walupun mereka itu mempu-nyai pekerjaan penuh waktu (full time). Misalnya di Kuba, pada akhir tahun 1960-an, timbul suatu masalah yang gawat, baik di pedesaan maupun di daerah perkotaan, yaitu pekeria hanva be-keria empat iam, bukan delapan jam seharinva. Hal ini tidak di-sebabkan tidak ada dorongan untuk bekerja lebih eiat, bahkan jika ada pun, barang-barang keperluan hidup yang tidak dibari merata demikian langkanya, sehingga tambahan penghasilan tidak bisa digunakan untuk tambahan konsumsi. Tambahan lagi dengan ada-nva sebagian besar kelompok orang-orang berumur belasan tahun tidak bersekolah, atau tidak bekerja, meskinun ada pekerjaan yang belum diisi (Carnoy dan Wertheim, 1975).1)

Masalah setengah pengangguran yang sama jenisnya, baik dahulu maupun sekarang sampai batas-batas tertentu terdapat di dalam perekonomian sosialis. Perhatikanlah bahwa kita tidak mem-bicarakan setengah pengangguran yang disebabkan oleh tidak efi-siennya proses perencanaan atau sistem distribusi. Setengah pe­ngangguran itu merupakan akibat dari tidak adanya pemasukan bahan pada saat dan tempat yang tepat, yang membiarkan pekerja tidak bekerja kendatipun produktivitasnya tinggi. Walaupun jelas bahwa setengah pengangguran semacam itu merupakan masalah di dalam rencana perekonomian sosialis (sering ìuga di dalam per­ekonomian kapitalis), sebagian besar dari negara-negara berpeng-hasilan rendah, khususnya di daerah pedesaan yang memproduksi bahan makanan pokok dan hasil pertanian untuk ekspor, rupanya kurang peka terhadap hai itu. Mereka lebih mengetahui setengah pengangguran sebagai orang-orang yang bekerjanya jauh lebih se-

1. Kedua masalah tersebut telah dipecahkan atau dalam proses pemecahan, pada masa pertengahan tahun 1970-an: Kuba kembali ke insentif upah dan ke pengadaan barang-barang kebutuhan hidup yang bemilai tinçgi, seperti pesawat televisi; anak-anak belasan tahun langsung dipekerjakan sebagai angkatan bersenjata, di proyek-proyek bangunan, dan disekolahkan di sekolah-sekolah kejuruan.

65

Page 78: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

dikit darípada kemampuannya, karena mereka itu tidak mempunyai motivasi untuk bekerja giat dan tidak mempunyai rasa takut akan kehilangan pekerjaan atau tidak akan mendapat makan.

Apakah yang bisa dikatakan tentang setengah pengangguran dari orang-orang berpendidikan di dalam perekonomian sosialls? Salah satu sasaran kebijakan yang paling penting di semua rencana perekonomian ialah meningkatkan persiapan pendidikan formal semua pekerja dalam perekonomian itu agar mereka itu percaya bahwa persiapan pendidikan formal itu akan meningkatkan pro-duktivitas. Seperti halnya dalam perekonomian kapitalis, dalam arti bahwa pendidikan formal memberikan pengalaman nonkognitif bersama disertai informasi kognitif bersama, maka produktivitas para pekerja yang bekerja bersama-sama dengan pekerja-pekerja lainnya bisa saja ditingkatkan, terutama jika pekerjaan yang di-berikan kepada mereka itu memberikan peluang untuk memperoleh pengalaman berdasarkan atas pendidikan formalnya. Akan tetapi, seperti di dalam perekonomian kapitalis masyarakat sosialis itu ha­ms berhadapan dengan kesulitan dalam membuat orang mau me-nerima pendidikan kejuruan, jika pendidikan kejuruan itu diang-gap lebih rendah tingkatnya daripada pendidikan akademis, untuk mencapai kedudukan. Selanjutnya ada tekanan yang makin keras mengenai waktu untuk memperluas pendidikan universitas dan sis-tern sekolah sampai tingkat yang cukup tinggi dan berfungsi sebagai unsur penguat bagi struktur "kelas" teknokrat sosialis baru, wa-laupun tekanan itu tidak begitu keras seperti halnya di masyarakat kapitalis. Beberapa negara sosialis, seperti Cina, berjuang terus mene-rus untuk menghindarkan timbulnya suatu hierarki baru yang per-manen, dengan cara misalnya saja, membatasi pendidikan universi­tas. Eropa Timur dan Republik Soviet Rusia, kendatipun banyak mekanisme perbaikan yang diterapkan dalam hai pembagian tem-pat-tempat di universitas agar anak-anak petani dan pekerja men-dapatkan peluang yang lebih besar untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi, memperbolehkan perkembangan hierarki-hierarki baru (Tomaia, Kwiecinski dan Borowicz, 1976).

Namun, di dalam masyarakat sosialis tidak ada pengangguran orang-orang berpendidikan. Satu hai yang jelas, oleh karena kaum pekerja dan petani merupakan tiang utama politik pemerintahan sosialis, maka persentase anggaran pendidikan yang dimanfaatkan bagi sekolah dasar, sekolah lanjutan, dan latihan-latihan bagi orang

66

Page 79: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

dewasa lebih besar daripada yang digunakan bagi universitas-uni-versitas. Perluasan pendidikan universitas di Eropa Timur misal-nya, dalam tahun-tahun belakangan ini memang cepat, akan tetapi perluasan ini baru berlangsung setelah selama lebih dari dua puluh tahun melakukan investasi pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih rendah dan dalam perluasan industri. Kuba tidak pernah memulai perluasan pendidikan universitas hingga tahun 1967, lebih dari tujuh tahun sesudah revolusi tahun 1959 baru ada perluasan itu yang terbatas pada fakultas teknik tertentu. Sebagaimana telah dikatakan, Cina telah melakukan pembatasan pendidikan universitas, terutama setelah Revolusi Kebudayaannya. Jadi, setengah pengang-guran orang-orang yang berpendidikan sebagian besar dibatasi oleh perluasan pendidikan tingkat tinggi yang berlangsung relatif lebih lamban di masyarakat sosialis. Pembatasan ini dimungkinkan ka-rena adanya perbedaan dasar politik antara pemerintahan sosialis dan pemerintahan kapitalis, dan karena tidak adanya kekosongan bagi orang-orang yang berpendidikan lebih rendah tingkatnya.

Tambahan lagi, setengah pengangguran dari orang-orang ber­pendidikan dibatasi oleh pengawasan yang ketat terhadap subjek studi yang bisa dituntut oleh para pemuda atau pemudi ketika mere-ka memasuki pendidikan universitas. Contohnya sebagaimana halnya terjadi di dalam perekonomian kapitalis, ilmu kedokteran di dalam perekonomian sosialis merupakan cabang ilmu pengetahuan yang sangat disukai, terutama oleh karena gengsi yang diperoleh bila masuk ke fakultas kedokteran. Demikianlah, di beberapa negara sosialis, seorang dokter mempunyai kesempatan lebih banyak dári para ahli lainnya untuk mendapatkan penghasilan lain di samping gaji tetapnya dengan cara menangani pasien-pasien luar. Sejak la­ma kebanyakan masyarakat sosialis merasakan adanya surplus dok­ter, jika dibandingkan dengan ahli-ahli lainnya. Tindakan yang diambil Kuba untuk menangani masalah ini ialah dengan cara mempersulit memasuki fakultas kedokteran sambil menyalurkan pelajar-pelajar yang cerdas untuk karir-karir yang lebih teknis si-fatnya (Camoy dan Wertheim, 1975). Polandia meninggikan angka-angka prestasi sebagai syarat untuk memasuki fakultas-fakultas lainnya, agar gengsinya naik dan dapat menyamai gengsi fakultas kedokteran (Tomaia, Kwiecinski dan Borowics, 1976). Rusia telah lama berusaha agar profesi kedokteran itu lebih banyak diduduki kaum wanita dan menurunkan gaji dokter, dan dengan demikian

67

Page 80: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

secara efektif menyebabkan para pria menuntut ilmu-ilmu lainnya. Demikian pula, pilihan karir di dalam rencana perekonomian di-pengaruhi oleh tindakan-tindakan langsung (penghapusan fakultas-fakultas tertentu atau memperkec.il jumlah fakultas) atau tindakan tidak langsung dengan cara menjanjikan insentif-insentif bukan berupa upah jika memasuki fakultas itu.

Semua perubahan jumlah lulusan perguruan tinggi ini dikait-kan dengan perencanaan tenaga kerja bagi perluasan industri atau perluasan pertanian. Di samping itu, walaupun rencana macam ini mempunyai nama tidak baik di negara kapitalis berpenghasilan ren­dali (Blaug, 1970), rencana pendidikan bagi orang-orang profesio­nal di dunia sosialis bisa lebih erat kaitannya dengan rencana pereko­nomian. Selanjutnya, pendidikan tingkat tinggi dihubungkan de­ngan kenyataan adanya pekerjaan; hai ini dilakukan di sejumlah besar negara dengan mensyaratkan bahwa orang-orang yang mengikuti pendidikan tinggi itu harus direkomendasikan dari suatu situasi pekerjaan agar memperoleh pendidikan yang lebih tinggi (Cina), atau harus bekerja di suatu pekerjaan tertentu, sebagai ba-gian dari pendidikan universitasnya (Kuba dan kebanyakan negara Eropa Timur). Perkaitan yang erat antara pendidikan dan peker­jaan — mereka yang memperoleh pendidikan yang lebih tinggi harus bekerja agar bisa meneruskan pendidikannya — mengurangi kemungkinan memberikan pendidikan kepada orang-orang untuk pekerjaan yang memang tidak ada. Jadi, di negara-negara sosialis berpenghasilan rendah, paradoks sumber-sumber daya manusia yang "langka" dan setengah penganggur atau penganggur •— yang ber-pendidikan tinggi — sangat dikurangi oleh tindakan pembatasan dan pengawasan, yang sulit dicapai di dalam masyarakat yang kelas menengah dan borjuisnya mempunyai kepentingan tetap dalam uni-versitas yang diperlukan dan disubsidi, serta pula merupakan sa-rana efektif untuk mengabsahkan struktur kelas-kelas yang telah ada. Apakah nantinya universitas itu sampai pada fungsi yang sama untuk digunakan oleh kelas teknokrat dan kemudian juga menjurus ke perluasan yang berlebihan (overexpansion) dan ke pendidikan yang berlebihan (overeducation) dari kaum pekerja di dalam per­ekonomian sosialis? Hal itu merupakan soal yang harus dijawab di kemudian hari.

68

Page 81: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

4. BERBAGAI TINDAKAN KEBIJAKAN BAGI PARA PERENCANA

Sebelum kita mulai pembicaraan mengenai saran pemecahan ma-salah pengangguran atau setengah pengangguran, dan peran pendi-dikan terlebih dahulu akan diulas kembali pemecahan masalahnya yang disebut Gorz (1967) sebagai perbaikan reformis (reformist reforms). Menurut Gorz, perbaikan ini mempunyai pembatas utama: pemeliharaan kelangsungan orde sosial kapitalis dan sistem produksi-nya. Oleh karena itu, pembaharuan atau perbaikan yang dian jurkan untuk memecahkan masalah pengangguran harus dilaksanakan de-ngan menentang masalah berdasarkan asumsi bahwa sistem pro-duksi sendiri tidak bisa dan hendaknya juga jangan diubah, sebab sistem itu efisien dan wajar, kendatipun di dalamnya mengandung banyak kekurangan yang perlu diperbaiki.

Ajuran dari para pendukung pembaharuan muncul dalam la-poran ILO; konferensi-konferensi badan dan lembaga internati­onal,1) dan laporan khusus mengenai pendidikan (Coombs, 1968; Coombs dan Ahmed, 1974; Faure at al., 1972; Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan, 1973). Blaug (1973) me-ringkaskan semua anjuran itu dalam dua perangkat pemecahan masalah bagi pengangguran orang-orang berpendidikan — "tra-disional" dan "radikal" — akan tetapi yang tampil dari kedua perangkat pemecahan masalah itu ialah keragu-raguannya dalam menangani masalah penempatan tenaga kerja sebagai bagian dan

1. Lihat Edwards, 1974, mengenai kumpulan esai tentang pengangguran di negara-negara yang kurang berkembang, yang dipersiapkan untuk lembaga itu; terutama Edwards dan Todaro (1973).

69

Page 82: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

bingkisan dari suatu sistem kapitalis mcngenai produksi. Tenaga-tenaga yang berkaitan dengan sistem produksi itu (misalnya perten-tangan kelas) dijauhi meskipun hai ini ikut menentukan dalam menerangkan pengangguran. Seperti yang sekarang kita bahas, bahkan pemecahan masalah disebut 'radikal" pun — yang berakar pada análisis ortodoks dan dualistis (dualist) dan pasaran tenaga kerja di negara-negara berpenghasilan rendah — lebih merupakan usaha menengahi kontradiksi-konstradiksi yang mutlak ada dalam pendidikan yang sedang meluas di dalam perekonomian kapitalis yang banyak menempatkan tenaga kerja. Ringkasan yang dibuat Blaug dari pemecahan masalah yang dianjurkan adalah sebagai berikut.

Pertama, pengontrolan secara kuantitatif anak-anak didik yang hendak masuk ke universitas merupakan jawaban satu-satunya yang paling penting terhadap masalah pengangguran orang-orang ber-pendidikan. Jelaslah jika terlalu banyak lulusan universitas yang hams ditampung di dalam lapangan pekerjaan akan mengurangi scjumlah lulusan bara untuk memasuki pasaran tenaga kerja. De­ngan demikian, pengurangan lulusan bara ini cenderung untuk mengurangi pengangguran lulusan universitas, yang pada gilirannya dapat menghemat sumber-sumber daya yang digunakan untuk pen­didikan dan (mudah-mudahan) menurunkan harapan muluk para pemuda atau pemudi — mengenai pekerjaan yang diharapkan bisa diperoleh — yang memasuki dunia pekerjaan. Selain itu, karena estimasi keuntungan sosial (social rate) dari keuntungan pendidikan tinggi bagi sejumlah negara nampaknya lebih rendah daripada pe-nilaian sosial terhadap pendidikan dasar dan pendidikan Ianjutan1) maka hai ini menandai pembatasan nilai (the value of restricting) untuk memberikan pendidikan yang lebih tinggi dan memanfaat-kan sumber-sumber daya untuk menciptakan lebih banyak pe­kerjaan atau kesempatan bekerja. Dengan melakukan hai itu, ne­gara dapat "memperbaiki struktur pengangguran orang-orang ber-pendidikan — sambil menghindari penggunaan sumber-sumber daya mahal untuk mencetak lulusan universitas yang tidak bisa dipeker-

1. Psacharopoulus (1972) mengemukakan bahwa penilaian sosial terhadap pendidikan yang lebih tinggi memang lebih rendah, sedangkan Carnoy (1972) mengatakan bahwa tampaknya saja lebih rendah, oleh karena kelas sosial tidak diperhitungkan dalam usaha menjelaskan adanya perbedaan penghasilan lulusan dari tingkat-tingkat sekolah yang berlainan.

70

Page 83: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

jakan — walaupun tidak dikemukakan bahwa pembatasan pembe-rian pendidikan yang lebih tinggi itu akan dengan sendirinya mere-dakan pengangguran terbuka dan setengah pengangguran (Blaug, 1973 : 42).

Pengontrolan secara kuantitatif dapat dicapai dengan cara yang berikut ini.

(a) Langsung, dengan menurunkan jumlah tempat yang disediakan dan mensyaratkan angka-angka lebih tinggi bagi yang ikut serta dalam ujian masuk atau membuat ujian lebih sukar;

(b) Memindahkan beban biaya pendidikan yang lebih tinggi dari pemerintah kepada para orang tua murid; dikombinasikan dengan beasiswa atau pinjaman kepada anak-anak didik yang membutuhkannya, dengan peraturan harus membayar biaya pendidikan bagi universitas dan pendidikan lanjutan, (menu-rut Blaug) akan memungkinkan bentuk kombinasi sosial yang lain yang diinginkan anak-anak didik.

(c) Seleksi, dengan pemberian jatah pada tingkat pendidikan yang langsung berada di bawah tingkat universitas (sekolah lanjutan atas), sebagai suatu jenis pengontrolan kuantitatif bisa pula ada manfaatnya untuk mempengaruhi distribusi menurut dae-rah atau menurut suku dan anak-anak yang dikontrol secara kuantitatif;

(d) Penangguhan masuk ke universitas selama dua atau tiga tahun sesudah menyelesaikan pendidikan lanjutan atas; selama ta-hun-tahun penangguhan itu, para lulusan sekolah lanjutan itu berkecimpung di lapangan pekerjaan dan mereka bisa menda-pat gambaran lebih jelas tentang kenyataan-kenyataan bekerja dan tentang kesempatan yang tersedia. Selain itu, penangguhan masuk ke universitas itu juga akan mengakibatkan pengurangan jumlah orang yang mengikuti kuliah di universitas, setidak-tidaknya selama kurun waktu permulaan (pada saat kelompok yang ditangguhkan masuknya ke universitas mulai masuk ke universitas, maka jumlah anak-anak didik yang diterima akan meningkat lagi, terkecuali jika pembatasan kuantitatif lainnya diberlakukan).

Kedua, sarana lainnya yang juga penting untuk mengurangi permintaan akan pendidikan universitas dalam sistem ekonomi or-

71

Page 84: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

todoks, ialah mencampuri segi pcrbedaan upah di pasaran tenaga keria. Oleh karena pendidikan universitas disubsidi pemerintah, maka — demikianlah dikatakan orang — keuntungan rata-rata sosial dapat saja rendan. Akan tetapi, keuntungan perorangan da-pat jauh lebih tinggi dan dapat digunakan sebagai perangsang ím-tuk meneruskan pendidikannya, meskipun mendatangkan sedikit keuntungan bagi masyarakat jika yang bersangkutan melakukan-nva. Di sini dapat kita lihat keuntungan yang sepadan dengan biaya yang dikeluarkan, atau penejhasilan vang dilepaskan sepadan dengan biaya-biava langsung untuk pendidikan yang dikeluarkan oleh seseorang. Oleh karena pemerintah di kebanvakan negara yang berpenghasilan rendah itu bukan saia memberikan pendidikan se-mata-mata, akan tetapi berperan pula sebagai majikan utama yang mempekeriakan tenaga kerja berpendidikan, maka kemungkinan campur tanfrannya dapat mengubah struktur upah di dalam pe-merintahan. Dengan demikian, dapat menurunkan keuntungan per-orangan terhadap pendidikan dan besfitu ju<*a menurunkan per-mintaan akan pendidikan yang lebih tinggi. Di samping dikemuka-kan bahwa tenaga kerja berpendidikan mendapat upah "sangat tinerçi" di linHcungan pemerintahan, juea dikatakan bahwa skala upahnya dikaitkan secara kaku denean latar belakang pendidikan dan umur, sehingga sanerai menurunkan insentif untuk melaksana-kan tupas dencran baik: becitu seseorang telah menjadi angçota bi-rokrasi pemerintahan, ia telah teriamin mendapat upah tinggi dan kenaikan upah semata-mata didasarkan atas berlakunya waktu.

Seperti telah diteeaskan sebelumnya, di dalam tahun-tahun 1930-an dan 1940-an Turki telah menurunkan perbedaan gaii pe-gawai-pegawai pemerintah lulusan universitas, sehingga tindakan ini akhirnya berakibat menurunnya permintaan akan pendidikan universitas di negara itu (Ozeli, 1968). Akan tetapi, dalam tahun 1950-an ketika Turki mulai dengan modernisasinva, ne?ara ini me-rasakan sangat kekurangan insinyur dan ahli-ahli teknik. Di sam­ping itu, kita tidak mempunyai data berapa orang Turki yang perd ke luar negeri untuk belajar dan bekerja. Kebiiakan macam ini bisa saja menurunkan pengangsfuran orang-orang berpendidikan di dalam negeri, dan dengan demikian berarti ada kecenderungan hilangnya sumber daya manusia karena emigrasi ini.

Ketiga, kurikulum pendidikan diubah menjadi kurikulum ke-juruan. Alasan pengubahan ini karena ada anggapan bahwa peker-

72

Page 85: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

jaan-pekerjaan yang tersedia "tidak cocok" dcngaii pendidikan aka-demis tradisional. Oleh karena itu, banyak anggota pembaharu mengemukakan bahwa masalah pengangguran bisa diredakan de-ngan cara mempersiapkan anak didik dapat melakukan pekerjaan yang tersedia di pasaran tenaga kerja. Selanjutnya, anggota-anggota pembaharu itu menyatakan bahwa perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke kawasan kota didorong oleh peadidikan di se-kolah-sekolah dasar di pedesaan yang berorientasi ke daerah perko-taan: oleh karena anak-anak muda itu tidak diberikan pelajaran keterampilan dalam bidang pertanian, mereka itu cenderung untuk meninggalkan daerahnya untuk memperoleh pekerjaan di kota-kota. Selain memecahkan masalah perpindahan tersebut, perubahan ku-rikulum sekolah yang berorientasi ke daerah pedesaan, dinilai oleh beberapa anggota pembaharu sebagai sarana utama untuk meme­cahkan masalah setengah pengangguran di daerah pedesaan dan masalah pembangunan (Coombs dan Ahmed, 1974).

Meskipun kita sependapat dengan Blaug bahwa pengubahan kurikulum sekolah menjadi kurikulum kejuruan, termasuk pcncan-tuman pengalaman kerja di dalam kurikulum sekolah temyata hai ini tidak membuat anak-anak didik menjadi lebih siap menghadapi pasaran pekerjaan. Kenyataannya riwayat pendidikan kejuruan da­lam usaha mencapai sasaran tersebut di negara-negara seperti Ame­rika Serikat (Grubb dan Lazerson, 1975) dan di Ghana (Foster, 1965) agak menyedihkan. Jadi, prasangka praktis terhadap kuriku­lum sekolah mungkin saja merupakan sesuatu yang baik, karena bisa membuat sekolah itu tidak begitu membosankan dan mungkin bisa membuat anak-anak didik dari kaum menengah tidak mengang-gap rendali pekerjaan fisik dan membuat mereka mempunyai "kc-percayaan diri" (Blaug, 1973 : 53)

... kita tidak boleh berpikir mengenai gagasan pengalaman kerja se­bagai suatu pemberian obat — terutama untuk jangka pendek — ter­hadap pengangguran orang-orang berpendidikan atau pengangguran terbuka, ataupun terhadap kemiskinan.

Mengenai masalah perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan dikatakan,

Apapun yang mungkin dipikirkan orang luar, kebanyakan dari para pendidik akan mengakui bahwa pemberian pelajaran pertanian di se­kolah tidak bisa mengekang orang-orang Afrika untuk tetap bermukim di daerah pedesaan; hai ini hanya bisa tercapai dengan membuat daerah pedesaan lebih nyaman untuk hidup dan bertempat tinggal .... Yang dikatakan ini bukan bermaksud untuk memungkiri keharusan

73

Page 86: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

agar beiusaha menyajikan beberapa asas sederhana mengenai penggu-naan tanah dan pemcliharaan ternak yang lebih baik kepada anak-anak didik di sekolah dasar dan pada umumnya mengajarkan ilmu hitung, ilmu pengetahuan dan bahkan bahasa Inggris dan hal-hal yang berkaitan dengan pertanian. Akan tetapi mengajarkan "mencintai per-tanian:' akan memerlukan bukan saja perubahan kurikulum, akan tetapi juga suatu perubahan besar dalam pendidikan guru-gurunya, yang ha-nya bisa sukses dengan suatu gerakan nasional untuk mengembangkan kemajuan daerah pedesaan. (him. 51)

Sejalan dengan itu dianjurkan untuk mengalihkan harapan anak-anak didik mengenai pekerjaan yang akan mereka peroleh, sebelum mereka terjun ke dalam pasaran tenaga kerja sebagai ja­lan agar mereka yang berpendidikan lebih tinggi mau mengisi lo-wongan kerja yang lebih erat hubungannya dengan pendidikan sekolah lanjutan. Ada beberapa buah karya ilmiah yang belum la­ma terbit di Institut Internasional untuk Perencanaan Pendidikan, menganjurkan agar mendamaikan sikap dan harapan anak-anak didik lulusan perguruan tinggi serta para majikan untuk mengeta-hui bisa tidaknya para lulusan pendidikan dipekerjakan dengan sis-tem informasi pendidikan atau tenaga kerja yang perlu dimanfaatkan oleh anak-anak didik, lulusan pendidikan dan para pembuat ke-putusan tingkat nasional (Sanyal dan Yacoub, 1975).

Ada kemungkinan cerah bahwa jenis sistem informasi itu akhirnya akan membuat para lulusan universitas mau menerima pekerjaan yang statusnya lebih rendah, sambii menghibur diri me­reka dengan devaluasi pendidikan universitas (the devaluation of university training). Akan tetapi, sistem informasi tersebut hanya akan memecahkan masalah pengangguran orang-orang yang ber­pendidikan saja, kalau memang bisa memecahkan masalah itu. jika para lulusan universitas itu mulai mau menerima pekerjaan yang statusnya lebih rendah, maka para lulusan sekolah lanjutan akan menemui kesukaran lebih parah untuk mendapatkan peker­jaan. Jika mereka yang disebut belakangan ini pada gilirannya me­nerima devaluasi pendidikan sekolah lanjutan, mereka akan lebih mendesak agar universitas diperluas atau agar mereka itu meng-gantikan tempat para lulusan sekolah dasar dan demikian seterus-nya. Proses informasi macam itu sama sekali tidak ada manfaatnya dalam hai menciptakan kesempatan kerja; proses ini hanya mem­buat orang geser-menggeser satu sama lain tanpa ujung pangkal.

Keempat, pendidikan untuk bekerja sendiri (self-employment) dinilai sebagai suatu pemecahan masalah penempatan tenaga ker-

74

Page 87: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

ja yang bisa dipertimbangkan, asal saja pendidikan formal itu bisa menanamkan "motivasi untuk berhasil" di dalam diri anak-anak didiknya, suatu motivasi yang bisa membawa mereka kepada po­sisi "bekerja sendiri" dan "menciptakan kesempatan kerja", bukan saja bagi mereka sendiri akan tetapi juga bagi orang-orang lain. Namun Blaug tidak memberikan harapan banyak bagi perkem-bangan nilai-nilai demikian di dalam masyarakat yang sedang ber-kembang, yang lebih berorientasi pada perencanaan terpusat dan pada mempekerjakan (wage employment) orang-orang yang diberi upah di sektor umum daripada ke wiraswastaan di sektor tanpa organisas!. Blaug selanjutnya menekankan bahwa proses pemba-ngunan nampaknya lebih berkaitan dengan menurunnya orang yang bekerja sendiri (self-employment) daripada dengan pening-katannya.

Kelima, pendidikan luar sekolah, pendidikan nonformal, pro­gram-program pemberantasan buta huruf, dan sistem pendidikan yang meniadakan sifat sekolah. Nampaknya mengumpulkan ber-bagai saran untuk pemecahan masalah pengangguran ini di bawah satu kategori tidak pada tempatnya, akan tetapi masing-masing an juran ini merupakan variasi-variasi dari gagasan yang sama: se­kolah memakan banyak biaya, banyak anak-anak usia sekolah tidak tertampung di bangku sekolah (terutama di daerah pedesaan). Se-Iain itu, pendidikan sekolah tidak cukup berorientasi kepada peker-jaan atau kepada kebutuhan masyarakat, dan bahkan dalam kaitan-nya dengan pendidikan yang meniadakan sifat sekolah, sekolah-sekolah itu menghalangi belajar. Fleksibilitas dari alternatif pendi­dikan yang disodorkan itu ialah biaya lebih rendah dan segi-segi belajar yang relevan dengan kemungkinan pendidikan di luar se­kolah yang bisa didapatkan banyak negara, merupakan hai yang menarik, baik bagi para pendidik maupun bagi para ahli ilmu so-sial (lihat Labelle, 1975, mengenai suatu pembahasan "teori" pen­didikan nonformal). Akan tetapi memang ada campuran berbagai sebab yang cukup banyak mengapa sampai golongan tersebut ter-tarik kepada gagasan itu, dari keinginan yang tidak dikeluarkan untuk menengahi kontradiksi-kontradiksi dalam perkembangan ka-pitalis (Coombs dan Ahmed, 1975; Faure et al., 1972) sampai dengan motivasi yang agak jelas untuk memanfaatkan pendidikan nonformal (termasuk pendidikan melek huruf) sebagai sarana untuk mengubah struktur masyarakat kapitalis (Freiré, 1971; II-lich, 1971; Reimer, 1971). Apa pun motivasinya dalam konteks

75

Page 88: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

perkembangan kapitalis justru alasan yang sama yang dipakai oleh Blaug sehubungan dengan perubahan kurikulum pendidikan men-jadi kurikulum kejuruan di sekolah-sekolah, bisa diterapkan pada setiap jenis pendidikan nonformal: sumber utama dari kontradiksi dalam perkembangan kapitalis, termasuk pengangguran, adalah sistem produksinya sendiri. Pendidikan nonformal memang lebih murali biayanya daripada pendidikan formal dan anak-anak didik yang mengikuti pendidikan nonformal mungkin lebih bermotivasi. Akan tetapi, dalam kenyataannya hasil yang didapatkan (jalan masuk ke pekerjaan yang memberikan upah lebih tinggi dan lebih bergengsi) dari pendidikan di luar sekolah, walaupun mungkin cukup tinggi bila dibandingkan dengan seluruh biaya, yang dike-luarkan, mungkin jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil relatif (yang dirasakan oleh tiap-tiap orang) ataupun dengan hasil mutlak dari pendidikan formal. Oleh karena itu, orang-orang yang mengikuti pendidikan nonformal, besar kemungkinannya termasuk golongan orang-orang yang tidak bisa masuk dalam proses pembe-rian diploma pendidikan formal yang hasilnya tinggi, dan di dalam masyarakat kapitalis mereka itu adalah dari kelas sosial paling rendah. Memang kita melihat bahwa di dalam sektor umum yang terlibat program-program pendidikan nonformal, maka "kesempat-an-kesempatan" pendidikan yang murah biayanya hasilnya rendah, disisihkan khusus bagi penduduk daerah pedesaan dan penduduk perkotaan yang hidupnya setengah-setengah atau tidak pasti (the ru­ral urban marginal populations) tanpa kemungkinan dapat mema-suki pendidikan formal (Coombs dan Ahmed, 1975; Papagiannis, dalam proses penerbitan). Berdasarkan alasan ini argumentasi Foster mengenai pendidikan kejuruan yang dianggapnya sebagai buah pi-kiran yang keliru, temyata dapat digunakan di dalam pendidikan luar sekolah: dengan adanya struktur imbalan-imbalan (the struc­ture oj rewards) di dalam masyarakat kapitalis yang berpenghasilan rendah, maka pendidikan nonformal merupakan suatu komoditi yang tidak akan laku bagi siapa pun, kecuali jika alternatif yang nilainya lebih tinggi.

Yang cukup menarik perhatian ialah argumentasi Illich me­ngenai pendidikan luar sekolah yang digunakan untuk menunjang pendidikan nonformal yang diperuntukkan bagi kaum miskin. Di sini ia tidak menyebut-nyebut soal sistem pendidikan yang sangat bertingkat-tingkat ataupun menyebut efeknya terhadap antargene-rasi dari pendidikan yang sifat sekolahnya ditiadakan lagi bagi

76

Page 89: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

suatu kelompok masyarakat, di samping pendidikan formal bagi kelompok Iain. Tentunya, strategi macam itu tídak bisa dinilai sc-bagai sesuatu yang dapat menurunkan pengangguran, walaupun strategi itu bisa saja menurunkan harapan orang-orang yang ber-pendidikan lebih rendah terhadap pekerjaan yang bisa diperoleh-nya. Kita mengatakan "bisa saja" oleh karcna tiada bukti, bahwa mereka yang mengikuti pendidikan luar sekolah, harapannya me-ngenai pekerjaan yang bakal diperolehnya betul-betul lebih rendah. Bahkan mungkin pula keluarga-keluarga dari kelas lebih bavvah akan sangat merasa tertekan karena tidak diperbolehkan memasuk-kan anak-anaknya ke sekolah-sekolah formal.

Pada umumnya, kita cenderung untuk mengeritik pemecahan masalah tersebut sebagai sesuatu yang tidak sungguh-sungguh da-lam menghadapi masalah pengangguran. Memang benar bahwa pengangguran orang-orang berpendidikan bisa diredakan dengan mengurangi jumlah orang yang masuk ke sekolah, terutama ke sekolah yang lebih tinggi tingkatnya. Pengurangan ini bisa dilaku-kan dengan cara pengontrolan kuantitatif (quantitative controls), dengan cara mengubah struktur upah, atau (untuk waktu tidak lama) dengan cara penangguhan masuk ke perguruan tinggi sete-lah menyelesaikan sekolah lanjutan atas. Usaha ini bisa mengheniat sumber-sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk mengembang-kan kesempatan kerja dan untuk kemudian dapat memberikan masukan bagi pemecahan masalah pengangguran dalam keselu-ruhannya, meskipun jumlah persentase sumber-sumber daya yang banyak digunakan dalam pendidikan tinggi itu diperuntukkan gaji guru-guru (yang tentunya menjadi pengangguran jika dilakukan pengurangan pendidikan yang lebih tinggi).

Daya tarik utama dari pengurangan pendidikan yang lebih tinggi itu, nampaknya bukan saja tidak memecahkan masalah pe­ngangguran dalam keseluruhannya, akan tetapi lebih merupakan kekhawatiran bahwa pengangguran orang-orang berpendidikan se-dikit banyak dalam segi politik lebih berbahaya daripada pengang­guran orang-orang yang tidak berpendidikan dan mereka yang agak miskin. Kasus Srilangka merupakan suatu contoh baik dalam bal penempatan tenaga kerja, dalam hai prestasi sarán untuk meme­cahkan masalah pengangguran dan kemiskinan di dalam masyara­kat kapitalis yang menuju industrialisas! (yang mempunyai jauh lebih banyak sumber-sumber daya). Program pembuatan kuriku-

DPP-25 (7) 77

Page 90: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

ium kejuruan dan program-program pelatihan dan pendidikan khusus bagi 'mereka yang sukar dipekerjakan" tidak berjalan (Le­vin, 1976).

Akhirnya, seperti yang dikemukakan oleh Blaug, jawaban-jawaban "kuantitatif dan kualitatif" yang berdasarkan pendidikan terhadap pemecahan masalah pengangguran, menjauhi dasar po-litik, sosial, ekonomi sistem pendidikan. Apakah sistem itu berdiri sendiri atau terpisah dari struktur sosial dan struktur produksi? Apakah keputusan pendidikan itu bebas dari hubungan kekuatan di dalam masyarakat? Dari berbagai saran pemecahan masalah pengangguran yang banyak ini, kita mendapat kesan bahwa kita ini teknokrat dan perencana, bisa membuat saran kita di terima baik oleh struktur kekuatan politik dengan cara memperlihatkan hasil "rational" dari saran-saran kita itu. Contohnya, mengurangi pen­didikan lebih tinggi merupakan jawaban terus terang terhadap pengangguran orang-orang berpendidikan, akan tetapi apakah me-nuntun kita untuk mempercayai bahwa pemerintah akan mau mengambil keputusan politik ini? Mungkin, kendatipun adanya pengangguran orang-orang berpendidikan, mobilitas kaum urban kelas menengah yang sedang muncul (yang bisa jadi merupakan suatu bagian penting dari asas politik bagi pemerintahan yang mendukung bebas berusaha) cukup diperkuat oleh pendidikan uni-versitas yang diperluas; berlanggsungnya perluasan itu merupakan soal politik yang menentukan bagi kelompok itu ( Schief elbein, 1975). mungkin juga ada penempatan tenaga kerja berpendidikan, perusahaan-perusahaan besar menganggap hai itu menguntungkan kepentingannya, jika upah tenaga kerja yang berpendidikan lebih tinggi jatuh dengan berlalunya waktu (memang di negara seperti India, pengangguran orang-orang yang berpendidikan akhirnya mengakibatkan penurunan yang terus menerus dalam penghasilan yang sebenarnya, yang ada hubungannya dengan syarat-syarat pen­didikan - Blaug, 1973: 62). Dengan adanya dua desakan ini agar dilaksanakan perluasan pendidikan universitas, pemerintah mana-kah yang mendukung perkembangan kapitalis yang akan berhasil menghentikan perluasan itu?

4.1 Suatu pendekatan alternatif.

Menurut pendapat penulis mengenai masalah pengangguran, pe-musatan perhatian pada ''distorsi'' di dalam sistem pasaran "bebas

78

Page 91: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

berusaha" untuk meredakan pengangguran, tidak ada manfaatnya. Yang lebih diperlukan ialah kita harus mempertimbangkan strategi penempatan tenaga kerja dalam segi-segi (a) konteks politiknya, (b) sifat pengangguran di berbagai pangsa pasaran tenaga kerja yang saling berlainan.

Berurusan dengan pengangguran "secara politis" berarti kita harus membicarakan pengangguran itu sebagai bagian pertentangan antara modal dan pekerja mengenai penggunaan sumber-sumber daya. Sebagaimana telah kita ketahui, tidak ada bukti bahwa para industrialis dan pemilik tanah merasa mempunyai tanggung jawab untuk memecahkan masalah pengangguran yang parah di negara-negara berpenghasilan rendan. Memang dilihat dari sudut keun-tungannya yang maksimal, melaksanakan tanggung jawab itu bu-kan merupakan suatu kepentingan bagi mereka. Pengangguran untuk sebagian besar merupakan masalah ketenagakerjaan dan hanya berlangsung di dalam masyarakat kapitalis. Di sana pekerja yang memegang dan menggunakan kekuatan politik cukup besar, dapat menekan pengangguran sampai pada tingkat yang rendah.1)

Tentunya, konsepsi yang dijalankan organisasi pekerja dalam menggunakan kekuatan politik yang menjadi basis strategi penem­patan tenaga kerja penuh bertentangan dengan strategi ekonomi neoklasik: pada akhirnya organisasi-organisasi pekerja itu merupa­kan suatu sumber distorsi dalam operasi sistem pasaran bebas ka-rena ia mendorong penyebab terjadinya pengangguran dengan me-ningkatnya upah di atas produktivitas marginal pekerja. Karena kita tidak sependapat dengan asumsi bahwa produktivitas marginal itu menyamai upah dan menentukan penempatan tenaga kerja sebagai suatu hai yang melekat pada modal neoklasik, maka kita

1. Hal ini menimbulkan masalah pen ting mengenai peran serikat-serikat pe­kerja (atau disebut sindikat pekerja) dalam hai menjaga tetap adanya pekerjaan. Seperti kita ketahui, sindikat-sindikat pekerja di dalam pereko-nomian kapitalis banyak ragamnya dalam hai kekuatan politiknya. Dalam waktu-waktu perekonomian sedang sulit atau dalam situasi ketika kekuatan pekerja pada keseluruhannya sedang rendah, sindikat-sindikat itu sering berfunggsi untuk meningkatkan kondisi ekonomi anggota-anggotanya, de­ngan mengesampingkan orang-orang bukan anggota sindikat. Akan tetapi, jika dikatakan bahwa mengesampingkan mereka merupakan tindakan dari sindikat buruh, maka hai ini merupakan omong kosong belaka, sebaliknya, suatu perserikatan pekerja yang kuat akan berusaha memperbanyak ang-gotanya dan memperoleh keuntungan ekonomi yang lebih tinggi untuk tenaga kerja dengan mengorbankan kepentingan modal.

79

Page 92: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

tidak bisa menerima hubungan kausal antara serikat-serikat peker-ja, aksi-aksi mengenai upah, dan pengangguran secara keseluruhan-nya. Bukanlah merupakan kepentingan scrikat pekerja, jika ada angkatan cadangan yang terdiri atas penganggur-penganggur; de-ngan makin sempitnya pasaran tenaga kerja, makin besar pula pengaruh ekonomi yang dikuasai serikat-serikat pekerja. Akan te-, tapi, para industrialis — baik asing maupun domestik •— secara finansial memperoleh keuntungan dari adanya angkatan cadangan itu: cadangan itu terus-menerus menekan upah pekerja. Hanya ke-khawatiran terhadap kemungkinan adanya reaksi politis dari pe­ngangguran yang parah — yang akhimya menyebabkan produksi kapitalis tidak stabil — dan rasa takut dari pihak industrialis yang progresif, bahwa efek sampingan sosial dari perkembangan kapitalis yang merugikan itu akan menghapuskan keabsahan sistem itu, yang membuat kaum borjuis, kelas menengah, dan birokrasi yang ber-sekutu siap untuk mengurangi pengangguran. Kita harus realistis mengenai tidak adanya kesanggupan golongan-golongan yang di-sebut belakangan ini dalam hai memecahkan masalah pengang­guran, jika terdapat sarana-sarana lain, termasuk penahanan lang-sung (direct repression) dan pemasyarakatan pendidikan yang da-pat menjadi tempat berpaling dan bisa dilaksanakan.

Dengan demikian, strategi kita untuk memecahkan masalah itu bergantung pada pembentukan kekuatan politik di antara para pekerja yang menganggur dan yang bekerja serta para petani. Hal ini tidak berarti bahwa para perencana dan politikus harus meng-abaikan pendidikan para kapitalis, manajer, dan pemilik tanah ke jurusan perlunya implementasi kebijakan untuk mcredakan pengang­guran. Akan tetapi, pendidikan itu bisa dipercepat jika kaum pekerja dan petani merupakan faktor politik yang penting. Strategi kita tidak pula berarti bahwa semua serikat pekerja itu sama efektifnya. Meng-ingat pasaran tenaga kerja yang berpangsa-pangsa akan ada dorong-an bagi sindikat-sindikat pekerja dalam perkembangan kapitalis yang berusaha melindungi para pekerja mereka sendiri yang mendatang-kan keuntungan ekonomi bagi mereka. Ternyata serikat-serikat pe­kerja tidak ikut berperan dalam gcrakan kolektif yang mendorong kenaikan upah pada umumnya dan memperoleh kesempatan kerja penuh, dengan mengorbankan keuntungan kaum kapitalis. Para kapitalis yang berkepentingan, menurut análisis kita, berupaya me-mecah-belah berbagai kelompok pekerja satu sama lain dengan membuat kelompok-kelompok itu saling bersaingan dalam usaha

80

Page 93: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

mereka mempenoleh upah lebih besar. Suatu serikat pekerja yang menyadari perpangsaan ini dan mengetahui peranan kebersamaan yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi penempatan tenaga kerja penuh, jelas akan lebih efektif sebagai landasan politik daripada sindikat pekerja yang semata-mata memperhatikan upah para ang-gotanya. Selanjutnya, jika perpangsaan dianggap sebagai suatu bagian yang penting dari pasaran tenaga kerja, maka strategi g o longan pekerja atau strategi pemerintah yang mendukung pekerja untuk meredakan pengangguran harus beraneka ragam sesuai der ngan pangsa tenaga kerja yang ditangani. Pendeknya, kita harus mulai dari kondisi tiap-tiap pangsa pasaran tenaga kerja sebagai-mana adanya.

Kemudian, berdasarkan asumsi adanya pemerintahan yang mendukung pekerja atau adanya gerakan pekerja yang kuat dalam suatu masyarakat kapitalis, jenis-jenis kebijakan manakah yang bisa dilaksanakan untuk meredakan pengangguran? Dan peran apakah yang bisa dimainkan oleh pendidikan dalam kebijakan-kebijakan itu?

Kita dapat membagi para penganggur itu dalam beberapa go-longan besar yaitu sebagai berikut.

(1) Sejumlah besar penganggur yang marginal adalah tenaga kcr* ja dari daerah perkotaan (urban). Angkatan muda, pekerja kelas sosial rendah, termasuk generasi pendatang yang perta^ ma dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan dan banyak wanita tergolong dalam kategori ini.

(2) Penganggur terampil dalam usia kerja yang paling baik. Go-longan ini akhirnya menghadapi ancaman ketinggalan zaman oleh karena hadirnya mesin-mesin baru atau reorganisasi in­dustri, karena perusahaan-perusahaan itu dijualbelikan.

(3) Penganggur-penganggur muda yang terdidik baik. Di beberapa negara penganggur muda terdidik, karena lebih lama berusaha untuk memperoleh pekerjaan yang mereka inginkan, sehingga menjadi makin langkanya pekerjaan itu untuk sejumlah lu-lusan pendidikan; harapan mereka tidak cukup kuat, cepat menurun kembali. Akan tetapi, di negara-negara lain anak-anak muda terdidik sama keadaannya dengan penganggur* penganggur yang pendidikannya lebih rendah: mereka itu me-rupakan golongan marginal baru di dalam tenaga kerja inti,

81

Page 94: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

dan seperti halnya dengan kelompok-kelompok pemuda mar­ginal lainnya mereka itu mungkin harus beberapa tahun mengisi pekerjaan yang bersifat sementara, atau pekerjaan yang tidak ada harapan untuk mencapai kemajuan, sebelum mereka itu memperoleh pekerjaan tetap. Jika kita menyarankan beberapa kebijakan untuk meredakan pe-

ngangguran, kita harus berhadapan dengan sifat-sifat yang ber« lainan dari pengangguran di tiap kelompok itu dan harus menya-takan dengan jelas, efek apakah yang akan menimpa tiap golongan dari kebijakan yang disarankan itu. Misalnya saja, muncul keragu-raguan tentang apa saja gunanya pendidikan yang tinggi dan le-bih banyak latihan bagi golongan tenaga kerja marginal, jika ting-kat rata-rata pendidikan di dalam tenaga kerja itu juga sedang meningkat. Seperti halnya telah ditekankan, hai ini akan mening-katkan pendidikan rata-rata si penganggur, akan tetapi tidak akan menciptakan pekerjaan. Di lain pihak, memberikan latihan ulang kepada penganggur dalam usia kerja yang paling baik, mungkin bisa mengatasi kesulitan dalam menemukan pekerjaan baru, jika pekerjaan yang sekarang telah ketinggalan zaman. Pekerja terampil yang mempunyai pekerjaan juga berada dalam suatu posisi yang memungkinkan ia untuk berorganisasi agar ada perlindungan pe­kerjaan: suatu strategi untuk melindungi pekerjaan akan melibat-kan suatu perjuangan agar pekerjaan mereka terpelihara jika ter-jadi penutupan pabrik dan jika terjadi pemecatan pekerja secara massai, serta suatu perjuangan agar kebijakan mengenai penerimaan pekerja baru dan pekerja yang diberhentikan, dimasukkan pula ke dalam kesepakatan kerja antara pekerja dan majikan atas dasar kesepakatan bersama. Jadi, strategi bagi buruh yang telah bekerja dan yang terampil serta pernah bekerja lama dalam tenaga kerja inti di daerah perkotaan, berlainan dengan strategi mereka yang menemui kesukaran untuk memasuki pekerjaan-pekerjaan inti di daerah perkotaan (core urban jobs).

Perhatikanlah lagi bahwa strategi yang disarankan di sini di-buat dalam suatu konteks politik khusus (in a particular political context): kita beranggapan bahwa pekerja dan petani mempunyai cukup kekuatan politik untuk menekan para kapitalis agar mereka membuat perubahan-perubahan yang berlawanan dengan kepen-tingan-kepentingannya dan bahwa pemerintahnya cukup bersifat majemuk atau mempunyai cukup kepentingan birokrasi untuk

82

Page 95: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

mempertahankan stabilitas politik agar bisa mèluluskan beberapa tuntutan pekcrja. Spektrum dari kemungkinan-kemungkinan politik yang disajikan oleh beberapa asumsi ini sungguh luas, dan tentu-nya kita tidak beranggapan bahwa ada situasi yang statis. Sebalik-nya, strategi-strategi yang disarankan, direncanakan untuk meme-cahkan masalah pengangguran dengan pengambilalihan kekuasaan politik dan ekonomi yang senantiasa makin bertambah oleh kaum buruh secara dinamis (lihat Gorz, 1967).

4.2 Tindakan-tindakan disarankan

4.2.1 Suatu kebijakan umum untuk meningkatkan penempatan tenaga kerja

Organisasi Buruh Internasional (lihat laporan ILO Ceuntry Report) dan organisasi-organisasi lainnya menyarankan bahwa penempatan tenaga kerja dapat ditingkatkan dengan cara mengembangkan dan menggunakan teknologi yang menerapkan padat tenaga kerja dan dengan membuat produksi pertanian (yang menyerap banyak te­naga kerja) yang lebih banyak hasilnya. Kita berpendapat sama bahwa kebijakan umum ini dapat berjalan dan dapat menciptakan lebih banyak penempatan tenaga kerja, walaupun mungkin dengan pengorbanan keuntungan. Namun, implikasi politik dari kebijakan ini di negara-negara berpenghasilan rendah dan menganut pereko-nomian pasaran bebas akan menjadi jelas; menurut pandangan kita bukanlah suatu kebetulan atau rencana buruk yang menye-babkan adanya teknologi padat modal atau adanya penanaman modal yang berorientasi ke daerah perkotaan, nama lebih merupa-kan kebijakan yang berorientasi khusus untuk mensubsidi dan men­ciptakan iklim baik bagi teknologi dan investasi jenis itu. Satu-sa-tunya jalan untuk meningkatkan intensitas kerja (selama sektor swasta membuat keputusan-keputusan investasi modal dan perkem-bangan teknologi) ialah dengan cara memberikan subsidi kepada penggunaan tenaga kerja, dan bukan sebaliknya kepada pengguna-an modal. Satu-satunya jalan untuk membuat kehidupan di daerah pedesaan lebih berhasil — lebih menguntungkan melakukan pena­naman modal di bidang pertanian kecil-kecilan — ialah dengan cara mengubah struktur harga sedemikian rupa, sehingga lebih memberikan peluang bagus bagi produksi pertanian, terutama pro­duksi bahan-bahan pokok yang dikonsumsi di dalam negeri.1)

1. Dalam suatu makalahnya baru-baru ini, T.W. Schultz mengemukakan

83

Page 96: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Dalam pemerintahan yang tidak mau menasionalisasikan pro-duksi atau mengintensifkan penggunaan tenaga kerja secara lang-sung dengan cara campur tangán negara dalam proses produksi, maka pemerintah itu masih harus berhadapan dengan kekuatan politik dari borjuis dan kaum menengah di daerah perkotaan, da­lam hai membuat perubahan yang akan mengutamakan petani-petani pedesaan dan pekerja di daerah perkotaan. Jika harga bahan-bahan pokok diperbolehkan naik, (memanjakan petani-petani kecil), maka upah pekeria yang sebenarnya di daerah per­kotaan akan menurun, terkecuali jika upah nominal mereka dinaik-kan. Pada gilirannya, hai ini akan menurunkan keuntungan, t«*r-utama di kalangan industri yang bersaingan atau di antara industri-industri yang mengekspor hasilnya ke pasaran dunia yang bersa­ingan. Selanjutnya, penggantian subsidi-subsidi modal dengan sub-sidi-subsidi pekerja atau dengan promosi teknologi yang menerap-kan tenaga kerja secara intensif juga akan memberikan angin lebih baik bagi pekerja daripada bagi modal. Hanya suatu pemerintahan yang cukup kekuatan politiknya untuk menahan tekanan para pe-milik modal di daerah perkotaan dapat menghilangkan subsidi-subsidi modal yang diberikan dan menggantikan subsidi itu dengan subsidi pekerja. Selain itu, dapat membiarkan harga hasil pertanian lebih meningkat walaupun banyak perusahaan mungkin membiarkan adanya subsidi modal dan pekerja itu, oleh karena besar kecilnya keuntungannya tidak terpengaruh oleh perubahan pemberian sub­sidi itu.

Pada saat yang bersamaan, lambannya tenaga kerja yang mengalir dari daerah pedesaan membuat daerah itu menjadi lebih menguntungkan untuk hidup, oleh karena lebih banyak tersedia kredit berbunga rendah bagi petani-petani kecil, pembaharuan-pembaharuan dalam pemilikan tanah, harga hasil-hasil pertanian yang tinggi, dan sebagainya dapat mendorong meningkatkan upah pekerja di daerah pertanian jika suplai tenaga kerja murah dipeng-aruhi oleh kebijakan tersebut. Sebagaimana telah kita kemukakan di atas, perpindahan pekerja secara massai dari pedesaan ke kota-kota telah menyebabkan timbulnya kampung-kampung yang kotor di daerah perkotaan, atau bahkan juga akan sangat menguntung­kan pemilik-pemilik modal di daerah perkotaan yang justru mencari

bahwa harga-harga barang pertanian, terutama harus mencerminkan ni'.ai pasaran dunianya untuk membuat penghidupan di daerah pedesaan lebih produktif (Schultz, 1976).

84

Page 97: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

tenaga kerja murah. Jadi, semua kebijakan termaksud di atas, jika dilaksanakan mempunyai implikasi penting bagi perubahan-per-ubahan dalam distribusi produk-produk di antara penduduk pe-kerja, dan tidak ayal lagi akan ditentang hebat oleh kelompok-kelompok yang akan menderita kerugian akibat perubahan dalam kebijakan itu. Para perencana hendaknya jangan naif terhadap implikasi politik dari kebijakan penempatan tenaga kerja penuh.

Selanjutnya, agar dapat menanggulangi efek atas tumbuhnya pelarían yang mungkin terjadi dari modal asing dan modal domes-tik karena ketakutan, sebagai akibat dari kebijakan yang menyokong pekerja, maka menanamkan dana-dana pemerintah (public funds) langsung ke dalam produksi dan meningkatkan produktivitas pekerja akan meniadi keharusan. Dengan metode-metode produksi yang menggunakan pekerja secara intensif, sarana-sarana utama yang ter-sedia bagi sektor pemerintah atau publik untuk mencapai hasil yang lebih tinggi bagi setiap pekerja diselesaikan dengan cara mobilisasi massa dan motivasi politik. Oleh karena itu, strategi penempatan tenaga kerja penuh mempunyai arti bukan saja melaksanakan ke­bijakan yang berlawanan dengan kepentingan para kapitalis dan para manajer, akan tetapi juga mempersiapkan diri bagi kemung-kinan timbulnya reaksi dari pihak sektor-sektor produksi swasta se­bagai responsinya terhadap tindakan pemerintah yang mendukung pekerja. Berbagai kebijakan mobilisasi massa biasanya bersifat ber-tentangan dengan kepentingan modal swasta, oleh karena modal swasta itu memerlukan pengembangan kesadaran berusaha bersa-ma atau kesadaran "percaya kepada diri sendiri", yang berlawanan dengan konsepsi bahwa modal swasta seharusnya membuat kepu-tusan untuk massa pekerja dan petani di dalam masyarakat.

4.2.2 Pertindungan pekerjaan

Orang-orang yang sekarang bekerja dalam berbagai jenis peker­jaan, yang secara tradisional tidak banyak pengangguran, seperti tenaga-tenaga operasi yang terampil, karyawan di bidang pema-saran, berkenaan dengan pekerjaan juru tulis, tenaga-tenaga ahli, dan sebagainya, harus ingat bahwa sektor-sektor dinamis dari sis-tern berusaha sendiri (the private-enterprise) yang memberikan upah tinggi, senantiasa mencari jalan untuk mengganti mereka de­ngan pekerja-pekerja yang upahnya lebih murah. Misalnya peng-gantian pekerja pria oleh pekerja wanita, pekerja terampil oleh

85

Page 98: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

orang yang kurang terampil dengan menggunakan teknologi yang berlainan, dan pekerja domestik oleh tenaga asing yang murah. Atau memperluas suplai pekerja melalui pendidikan dan pelatihan yang dibiayai pemerintah, sehingga pekerja-pekerja tersebut ditekan dengan cara menurunkan upah mereka. Jadi, bagi pekerja-pekerja itu, suatu gerakan untuk melindungi pekerjaannya, harus menjadi unsur kunci bagi strategi penempatan tenaga kerja penuh. Seba-gaimana telah dibahas di atas, perlindungan pekerjaan berarti suatu perjuangan untuk memelihara atau menjaga tetap bisa bekerja, jika pekerja menghadapi penutupan perusahaan dan pemberhen-tian pekerja secara massai, yaitu melalui perjuangan untuk dapat memasukkan kebijakan dalam hai mempekerjakan dan memecat orang dalam persetujuan kerja bersama, baik jaminan pendidikan-ulang serta penempatan-ulang, dalam kasus produksi yang tidak menjamin kelangsungan hidup perusahaan (in the case of non viability of existing production).

Hal perlindungan pekerjaan itu sifatnya lebih merupakan su­atu masalah yang timbul dalam masa pertumbuhan ekonomi yang lamban, daripada dalam période perluasan perekonomian yang pe­sât. Namun, dalam jangka panjang, jaminan terhadap tenaga kerja terampil atas beberapa jenis pekerjaan — bahkan pekerjaan yang memerlukan pendidikan ulang — mengikuti perputaran perekono­mian. Pengalaman pekerja pabrik sepeda motor Triumph di Ing-gris membuktikan bahwa keahlian-keahlian pekerja di pabrik ter­sebut dalam jangka panjang bisa dengan sukses melindungi mereka dari pekerjaannya dan bahwa masalah penutupan pabrik dan pe-mecatan pekerja secara massai bisa dicegah oleh tindakan-tindakan pekerja (Garnoy dan Levin, 1976). Selanjutnya hai ini menambah adanya indikasi bahwa peran serta pekerja dalam pengambilan keputusan mempekerjakan dan memberhentikan pekerja, bisa men-janjikan orang bisa bekerja tenis secara pasti.

Perlindungan pekerjaan juga mempunyai implikasi-implikasi bagi perencanaan pendidikan. Dalam situasi sekarang, pekerja-pekerja terampil di satu pihak bisa berpendirian menentukan per­luasan pendidikan, karena ada kemungkinan seorang pekerja muda yang lebih berpendidikan bisa mengancam dan bersikap menuntut pekerjaan mereka itu. Namun, di lain pihak mereka itu setuju de­ngan perluasan pendidikan, karena dengan demikian anak-anaknya dapat diharapkan mempunyai kesempatan memperoleh pekerjaan

86

Page 99: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

yang lebih baik. Bagi yang mendukung pembatasan perluasan uni-versitas dengan cara penjatahan atau dengan cara pemungutan biaya yang tinggi kepada setiap anak didik mungkin atas dasar perlindungan dari para profesional yang baru dipekerjakan. Juga ada kemungkinan bahwa mereka itu menentang pembatasan per­luasan universitas berdasarkan anggapan anak-anaknya tidak dapat diterima di universitas. Lamanya waktu kerja mempunyai tempat pula dalam bayangan mereka tentang kepastian bekerja. Oleh ka-rena itu, para pekerja yang lebih tua dan para profesional pada umumnya mendukung kebijakan perluasan pendidikan, karena ka-rir anak-anaknya menjadi variabel yang lebih penting daripada ke-tidakpastian pekerjaannya.

Jika organisasi-organisasi pekerja dapat menjamin para pekerja atas kelangsungan pekerjaannya dan berbagai jaminan melalui proses politik, tekanan yang meningkat untuk perluasan pendidikan nampaknya merupakan efek sektor pendidikan. Oleh karena itu, para pekerja terampil tidak lagi khawatir akan kehilangan peker-jaan mereka, berpindah kepada lulusan yang tinggi pendidikannya, maka perlawanan dari berbagai kelompok pekerja terhadap perlu­asan pendidikan juga akan lenyap. Akan tetapi, efek lainnya dari perlindungan pekerjaan, mungkin akan menutupi efek yang satu itu. Misalnya, perlindungan pekerjaan yang efektif, mungkin akan mengurangi tekanan pihak majikan terhadap perluasan pendidikan, oleh karena ancaman kuat dari angkatan cadangan pemuda pe­ngangguran yang lebih tinggi pendidikannya, akan dibuat sangat menurun: seorang pekerja terampil tidak bisa ditakut-takuti oleh adanya pengangguran orang-orang yang terampil, jika — misalnya saja — organisasi pekerjaan mempunyai hak veto dalam keputusan mempekerjakan pekerja dan atau memecat pekerja di pabrik atau di perusahaan pertanian yang bersifat komersial. Kemudian, setiap lanjutan perlindungan pekerjaan yang menjadi program pekerjaan dengan jaminan (dibahas di bawah ini) mungkin akan meningkat-kan penghasilan, yang dengan rela telah ditinggalkan oleh para pemuda dan pemudi yang meneruskan sekolahnya. Dengan kata lain, pengangguran pemuda dan pemudi yang menurun akan me-ningkatkan biaya sekolah setiap orang. Tidak lagi menjadi keha-rusan mengikuti pendidikan yang lebih tinggi untuk mendapatkan pekerjaan. Pada hakikatnya perlindungan pekerjaan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan perluasan pendidikan, jika perlindungan pekerjaan itu tidak hanya terbatas pada kelompok kecil yang terdiri

87

Page 100: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

atas pekerja-pekerja "pilihan". Sebagaimana halnya dengaii kea-daan sckarang di banyak negara yang berpenghasilan rendah, te-kanan untuk memperoleh pendidikan agar bisa mendapatkan pe-kerjaan-pekerjaan terpilih itu makin meningkaí.

4.2.3 Menciptakan kesempatan kerja

Sekarang tinggal kelompok penganggur yang cukup besar jumlah-nya ftenaga kerja marginal) dan kelompok penganggur yang jauh lebih kecil, yaitu lulusan universitas yang muda usia. Masalah pe-nemp;itan tenaga kerja yang paling sulit ialah penempatan golong-an ya.ng pertama di atas. Sebagian dari penganggur golongan ini bisa diserap oleh industri swasta dengan cara memberikan subsidi kepada industri ini (dan sebagian dalam jangka panjang dengan laju pertumbuhan penduduk yang lebih rendah). Bentuk subsidi-subsidi itu adalah sebagai berikut.

Pertama, subsidi langsung kepada perusahaan untuk pekerja yang dipekerjakan. Jika subsidi ini berupa subsidi bagi upah pe­kerja (suatu keringanan pajak yang didasarkan atas jumlah upah yang dibayarkan), maka akan ada prasangka pemanjaan terhadap angkatan kerja yang lebih terdidik dan yang diberi upah lebih tinggi, yang untuk kemudian dapat menekan angkatan kerja mar­ginal. Jadi, kita lebih cenderung untuk menyarankan — bila dite-rapkan subsidi berupa keringanan pajak pekerja atau bentuk sub­sidi lainnya — subsidi yang didasarkan atas jumlah pekerja yang dipekerjakan atau atas dasar jumlah rekening upah (yang disebut belakangan ini untuk menghindari daftar pekerja fiktif (mythical workers), untuk memperoleh keringanan pajak). Dengan kata lain, rumus subsidi itu harus memberikan peningkatan penempatan te-naga kerja dengan lebih banyak upah yang dibayar.

Kedua, di kebanyakan negara (negara-negara yang berpeng­hasilan rendah dan negara-negara industri), sistem keamanan so-sial diorganisasi sedemikian rupa, sehingga upah para pekerja yang berpenghasilan rendah lebih berat dikenakan pajak daripada upah pekerja yang berpenghasilan tinggi; majikan yang menggu-nakan teknik yang lebih intensif memanfaatkan tenaga kerja di­kenakan pajak (majikan itu dikenakan pajak untuk tiap pekerja tambahan yang ia pekerjakan secara permanen), dan di dalam banyak kasus, majikan itu menurut perbandingan lebih berat ter-kena pajak untuk karyawannya yang berupah rendah daripada

88

Page 101: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

yang berupah tinggi. Misalnya, di Amerika Serikat, hanya sejumlah US$ 15.000 dari penghasilan pertama seorang pekerja, yang di-kenakan pajak untuk maksud-maksud keamanan sosial (baik uang sumbangan dari majikan maupun uang sumbangan dari pekerja sendiri). Jadi, dilihat dari sudut majikan ada sedikit prasangka terhadap sedikitnya pekerja yang berupah agak tinggi, dibanding-kan dengan pekerja yang berupah lebih rendah. Kita cenderung menganjurkan perubahan asas pajak keamanan sosial, yaitu suatu pajak daftar upah (a payroll tax) menjadi suatu pajak langsung yang progresif atas penghasilan, baik penghasilan pribadi ataupun penghasilan perusahaan. Dengan demikian, sistem perpajakan akan menjadi lebih progresif dan akan menghapus efek anti mempeker-jakan karyawan dari pajaknya (the anti - labour hiring effect of the tax). Suatu rencana peralihan yang mungkin diterapkan untuk menggeser bagian pajak-pajak keamanan sosial menjadi pajak peng­hasilan pribadi dan perseroan-perseroan yang langsung dan progre­sif ialah dengan cara menghilangkan atau mengucilkan pajak ke­amanan sosial (baik sumbangan majikan maupun sumbangan pe­kerja), jumlah upah yang paling sedikit dibayarkan dijadikan sa-saran pajak penghasilan langsung yang progresif, sambil tetap me-nerapkan rencana pajak keamanan sosial atas upah yang lebih ting­gi. Hak demikian ini akan mempunyai efek mendorong para ma­jikan untuk mempekerjakan buruh yang kurang terampil dan lebih rendah upahnya.

Di satu pihak berhasil anjuran itu mungkin ada efeknya atas meningkatnya jumlah pekerja, terutama orang-orang tidak teram­pil, yang paling cenderung untuk menjadi penganggur. Di lain pihak pada kenyataannya banyak orang yang mencari pekerjaan di negara-negara yang sedang berkembang tidak dipekerjakan ( atau untuk hai yang sama di negara-negara industri maju), tanpa cam-pur tangán langsung dari pihak pemerintah dalam pasaran-pasaran tenaga kerja, suatu campur tangán yang jangkauannya lebih jauh daripada pemberian subsidi pekerja kepada sektor swasta dan du-kungan perlindungan pekerjaan oleh kelompok-kelompok pekerja. Dengan kata lain, tiada bukti bahwa suatu sistem pasaran bebas akan "menghilangkan" pengangguran di negara-negara berkembang pada tingkat upah yang tinggi dan yang hanya memungkinkan orang hidup kurang layak, terutama karena pemerintahnya sudah menjadi majikan penting. Dalam membahas penempatan tenaga kerja, soal utamanya ialah bagaimana caranya agar pemerintah dapat mem-

89

Page 102: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

pekerjakan orang-orang termaksud di atas. Pembahasannya berkisar di sekitar tiga konsepsi utama yang berikut ini.

(1) Penempatan tenaga kerja secara langsung oleh pemerintah di proyek-proyek pemerintah, seperti pembuatan jalan, bendung-an, sistem saluran pembuangan air kotor, irigasi, pembangun-an gedung sekolah, dan sebagainya. Mempekerjakan orang se­cara langsung demikian ini ìalah menciptakan kesempatan kerja dengan cepat; yang kurang menguntungkan ialah elek perkalian penempatan tenaga kerja begitu kecil dan proyek-pro­yek besar pemerintah terseout mempunyai kecenderungan me-nyebabkan inflasi, oleh karena lama waktu yang diperlukan dari kebanyakan proyek mempunyai efek pada produksi barang.i) Di pihak lain pemerintah bisa saja langsung menuju ke pro­duksi barang-barang konsumsi, produk-produk pertanian, de­ngan mempekerjakan banyak penganggur dalam produksi itu dan sambil memusatkan perhatian atas proyek-proyek yang membutuhkan investasi modal yang kecil. Alasan yang dilon-tarkan sebagai lawan dari campur tangán langsung pihak pe­merintah dalam menempatkan tenaga kerja dari jenis bela-kangan ini ialah bahwa sektor pemenntah itu merupakan pro-dusen yang tidak efisien dibandingkan dengan perusahaan swasta. Akan tetapi, jika sasaran produksi itu bukan saja harga rendah, tetapi juga meliputi usaha menempatkan tenaga kerja penuh, maka sektor pemerintah bisa betul-betul efisien dari pada sektor swasta.

(2) Kita perkirakan bahwa ada lagi hai yang merugikan kalau pemerintah secara langgsung menciptakan kesempatan bekerja: jika hanya ada seorang majikan yang didesentralisasi dan ti­dak ada pengontrolan oleh buruh dan manajer lokal dalam hai menangani produksi, maka ada bahaya besar timbulnya norma-norma birokratis yang menguasai norma-norma pro­duksi dan norma-norma penempatan tenaga kerja, juga ada-nya kemungkinan mematikan perangsang untuk meningkatkan

1. Segi positifnya ialah bahwa penghasilan yang diperoleh oleh para pekerja dari proyek-proyek itu mungkin hampir seluruhnya dihabiskan untuk men-cukupi kebutuhan makanan dan pakaian sederhana dan barang-barang pokok lainnya, yang semuanya diproduksi oleh metode-metode yang re­latif padat tenaga kerja. Hal ini mungkin mempunyai efek majemuk pada penempatan tenaga kerja, asal pemerintah mengizinkan harga barang-barang tersebut naik, sedikilnya dalam jangka pendek.

90

Page 103: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

produktivitas dan kreativitas. Oleh karena itu, kita lebih menyu-kai koperasi atau bekerja sama dalam berproduksi yang dibiayai pemenntah sebagai sarana untuk menciptakan kesempatan be­kerja, daripada pemberi pekerjaan secara langsung oleh pe­menntah. Koperasi ini bisa merupakan unit-unit produksi yang dikontrol oleh pekerja pemakai barang hasil produksi dan bisa berproduksi sesuai dengan rencana sektor. Koperasi itu bisa mempekerjakan orang-orang muda, orang-orang lebih tua yang dianggap terlalu tua (who are considered too old) oleh para majikan untuk bekerja di sektor swasta, tenaga ahli-tenaga ahli muda yang tidak memperoleh pekerjaan di sektor swasta atau di sektor pemerintahan, dan tenaga kerja marginal yang usia kerjanya paling baik. Koperasi-koperasi itu bisa membentuk jaringan-jaringan perniila dari unit-unit produksi yang di-desentralisasi dan diorganisasi untuk memproduksi barang dan bagi masyarakat, untuk produksi nasional dan sasaran-sasaran konsumsi, dan bahkan untuk ekspor. Hal ini bisa meliputi transportasi, bahan makanan, barang-barang yang mudah di-produksi dan praktis, termasuk persaingan dengan produksi-produksi swasta dari barang-barang yang sama.

('ó) Baik pembiayaan koperasi maupun pemberian pekerjaan seca­ra langsung oleh pemenntah kepada para penganggur, bisa dikaitkan dengan program-program latihan. Dalam hai itu bukan program latihan bagi pekerjaan-pekerjaan di sektor swasta, akan tetapi program-program yang akan memberikan keterampilan yang dibutuhkan di koperasi-koperasi penghasil lokal, yakni di pabrik-pabrik yang dikelola oleh pekerja dengan mendapat kredit dati pemerintah dan untuk tenaga kerja di sektor pemerintahan sendiri. Program-program latihan itu di-sesuaikan dengan usaha mempersiapkan orang-orang bagi pe­kerjaan-pekerjaan yang telah ada, yang di dalamnya sektor pemerintah akan melakukan pengawasan, sehingga terdapat adanya sedikit kaitan antara latihan-latihan yang diberikan dan pekerjaan-pekerjaan yang bisa didapatkan. Yang merupa­kan hai penting ialah latihan itu bisa berlangsung sebagai bagian dari pekerjaan, dan akan timbul lebih banyak kesem­patan untuk berlangsungnya latihan itu di antara pekerja te-rampil dan pekerja tidak terampil dan juga dengan cara be­kerja bergiliran (Carnoy dan Levin, 1976)

91

Page 104: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pengurangan pe-ngangguran dengan cara ini, terutama di antara kaum pemuda, akan cenderung menghambat perluasan pendidikan, karena kesem-patan-kesempatan untuk meningkatkan penghasilan terbuka bagi mereka. Kemudian kalau kenaikan pangkat atau pekerjaan Iebih baik di koperasi-koperasi yang dikendalikan pekerja yang kurang berlandaskan pendidikan, akan tetapi lebih menekankan pada baik tidaknya menjalankan tugas (apakah para pekerja kiranya lebih mungkin untuk memberikan penghargaan atas baiknya menjalan­kan tugas daripada para manajer?), seperti halnya yang dianjur-kan oleh Blaug bagi sektor pemerintah, maka hai itu akan berarti kurang menaruh perhatian pada pendidikan sebagai sarana untuk penempatan tenaga kerja dan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik. Kita katakan bahwa kebijakan penempatan tenaga kerja penuh dengan cara ini akan mengurangi penggunaan pen­didikan terutama untuk memperoleh diploma, dan pemanfaatan pendidikan itu akan meningkat dalam memenuhi kebutuhan ke-terampilan di dalam proses produksi.

Semua program ini berorientasi pada pembangunan suatu struktur penempatan tenaga kerja yang paralel dengan sektor swas-ta, dan bahkan dalam beberapa kasus bersaingan dengan sektor itu. sasaran utama struktur paralel ini lebih ditujukan pada penempatan tenaga kerja daripada upaya memperoleh keuntungan. Walaupun dengan ukuran norma keuntungan struktur ini mungkin saja ku­rang "efisien" dibandingkan dengan sektor swasta, namun diukur dengan norma-norma pembangunan manusia, struktur ini bisa jauh lebih efisien. Struktur ini juga mungkin bisa memproduksi suatu rangkaian barang dan jasa yang benar-benar ada manfaatnya da­lam perekonomian, dan jika direncanakan baik-baik bisa mencipta-kan unit-unit yang dikontrol oleh pekerja dan pengelolaannya jauh lebih demokratis daripada perusahaan-perusahaan swasta.

Dalam strategi ini, masalah pengangguran orang-orang yang berpendidikan diatasi dengan dua cara yang berikut ini. Periamo, anak-anak muda yang baru lulus dari sekolah bisa mendapatkan pekerjaan dalam sektor pemerintah. Selain itu, mereka dapat me-manfaatkan ketcrampilan formalnya dalam memberikan latihan ke-pada pekerja-pekerja lain atau di dalam produksinya sendiri. Me­reka itu bisa pula belajar keterampilan-keterampilan baru dalam sektor pcmerintahan untuk kemudian berpindah ke sektor swasta

92

Page 105: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

dengan membawa persiapan yang lebih baik untuk bekerja. Kedua, pengangguran orang-orang berpendidikan akan berkurang karena desakan untuk masuk ke universitas sehubungan dengan tersedianya pekerjaan bagi lulusan sekolah lanjutan, bahkan bagi lulusan se-kolah dasar dengan adanya kemungkinan meneruskan sekoláh di kemüdian hari.

Adapun yang menjadi inti dari strategi yang dianjurkan ini ialah bahwa pemecahan masalah pengangguran dan pengangguran orang-orang yang berpendidikan, juga masalah perpindahan pen-dudük yang tidak bisa dikendalikan dari daerah pedesaan ke perkam-pungan-perkampungan kotor di kota-kota, bukannya terletak pada mcrombak dan membangun kembali struktur sistem pendidikan atàupun menciptakan bentuk-bentuk pendidikan baru, akan tetapi terletak pada membongkar dan membangun kembali struktur sis­tem produksi. Kita peicaya bahwa tidak lama lagi akan muncul pengusana-pengusaha perorangan yang mengorganisasi pembiayaan, pemasaran, dan produksi untuk tenaga kerja baru; walaupun ter-dapat banyak pengusaha berbakat di negara-negara berpenghasilan rendah, produksi barang dan jasa di bawah organisasi produksi kapitalis tidak akan secara maksimal menciptakan kesempatan be­kerja, dan produksi macam ini akan berusaha memperoleh keun-tungan semaksimal mungkin (hasil dari inventasi). Selanjutnya, pro­duksi barang-barang di negara-negara berpenghasilan rendah dimo­nopoli oleh kaum kapitalis, lebih-lebih di pasaran kredit berlang-sung gejala monopoli itu. Kemampuan berusaha secara bersama dan secara koperasi merupakan suatu pemecahan masalah yang lebih bisa dan lebih layak dilaksanakan dalam mengatasi masalah pengangguran di negara-negara berpenghasilan rendah. Lebih lan-jut jenis pembangunan kembali struktur (restructuring) macam ini, kita percaya akan berhasil jika melibatkan massa pemuda yang menganggur serta tenaga kerja marginal ke dalam produksi dina-mis yang dibiayai pemerintah dan dikontrol oleh pekerja, baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan.

4.2.4 Pendidikan dan penempatan tenaga kerja

Sang perencana dengan mudah mengetengahkan alasan bahwa da­lam kebanyakan perekonomian negara-negara berpenghasilan rendah kemungkinan adariya perubahan dalam struktur produksi dan struk­tur mobilisasi massa demikian jauhnya, sehingga hai itu menjadi

DPP-25 (8) 93

Page 106: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

impian belaka. Akan tetapi, anjuran kita hendaknya dinilai seba-gai berikut: suatu cita-cita harus dipikirkan dalam membuat pe-rencanaan pendidikan dan program penempatan tenaga kerja. Sebagaimana sang perencana harus berhadapan dengan pembaha-ruan-pembaharuan pendidikan alternatif, maka ia harus menilai rencana-rencana itu bukan saja mengenai seberapa banyak keku-atan ekonomi relatifnya dari rencana akan dipindahtangankan kc-pada para pekerja dan petani. Kita telah mengemukakan bahwa pada umumnya pembaharuan pendidikan tidak memindahkan perékonomian ke arah penempatan tenaga kerja penuh bagi si penganggur: pembaharuan itu hanya berpengaruh pada peralihan keinginan si miskin, yakni berharap agar anak-anaknya mendapat pekerjaan yang lebih baik atau mereka itu dapat mempertinggi produktivitasnya (dan penghasilan) sementara itu, mereka menda-patkan pula sedikit dari mobilitas dan produktivitas itu. Pembaha­ruan pendidikan yang kita kemukakan hendaknya dinilai oleh pe­rencana atas dasar eko-politik, disertai kesadaran bahwa perubahan-perubahan baru dalam pendidikan yang dikombinasikan dengan program penempatan tenaga kerja penuh, betul-betul dalam mem­buat dan menentukan kondisi yang meningkatkan kekuatan eko­nomi masyarakat. Dengan demikian, pembaharuan pendidikan, terutama dimaksudkan untuk membantu kelompok-kelompok ber-penghasilan rendah, hendaknya dikombinasikan dengan program-program ekonomi bagi si miskin. Jika tidak, pembaharuan pendi­dikan itu tidak lebih daripada suatu penengah kontradiksi-kontra-diksi, suatu penangguhan dalam hai menangani masalah kemis-kinan dan partisipasi massa dalam kehidupan ekonomi dan politik negara.

Hal ini berarti, misalnya, penerapan pendidikan nonformal di daerah pedesaan atau daerah perkotaan marginal, seharusnya dilakukan bersama-sama dengan program-program ekonomi yang membuat orang-orang di kawasan tersebut mampu memperoleh kekuatan ekonomi, dengan pengorbanan kelompok-kelompok yang lebih kaya di masyarakat. Tanpa program ekonomi itu, pendidikan noni ormai hanya menjadi sarana untuk memberikan harapan ke-pada si miskin, yang hanya sedikit kemungkinannya mendapatkan kemajuan ekonomi. Oleh karena itu, pendidikan di daerah pede­saan itu perlu disertai dengan pemberian kredit kepada petani-petani kecil dan penetapan harga yang lebih tinggi bagi produk yang mereka hasilkan. Selain itu, juga diperlukan pembaharuan

94

Page 107: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

dalam hai pemilikan tanah, nasìhat-nasìhat penataan koperasi-kopcrasi, dan tentang pembelian atau penyewaan mesin atau alat pertanian. Pendidikan demikian itu kiranya yang akan memungkin-kan tercapainya produktivitas lebih tinggi dan penempatan tenaga kerja lebih banyak di daerah-daerah pedesaan. Sama halnya de-ngan program pendidikan kejuruan bagi pekerja di daerah per-kotaan, seyogianya dikaitkan dengan penempatan tenaga kerja itu pada akhir proses pendidikan, seperti yang kita paparkan di atas.

Namun, sang perencana itu harus berhati-hati dalam mem-perkirakan — setidaknya agak berhati-hati — orang-orang yang akan dibebani biaya untuk meningkatkan kekuatan ekonomi si mis-kin. Dalam hai peningkatan kekuatan ekonomi si miskin. Dalam hai ini terutama bagi pekerja pertanian, misalnya, tambahan ke-untungan dari bahan makanan hasil pertanian sebagian mungkin akan dipikul oleh pekerja-pekerja di daerah perkotaan dan beban itu tidak akan begitu terasa bagi mereka yang berpenghasilan ting­gi dan para pemilik modal (karena golongan yang berpenghasilan rendah di kota, seperti kaum pekerja, sebagian besar penghasilan-nya dihabiskan untuk membeli bahan makanan, terutama bahan makanan yang diproduksi dalam negeri — lain halnya dengan me­reka yang berpenghasilan tinggi). Agar perkiraan ini tidak menjadi kenyataan, para perencana yang merasa bertanggung jawab atas nasib baik golongan berpenghasilan rendah, seyogianya mengem-bangkan suatu sistem harga dan pengontrolan, sehingga biaya biaya peningkatan penghasilan petani dialihkan menjadi beban me-; reka yang berpenghasilan lebih tinggi, termasuk juga para pemilik modal fisik. Bersamaan dengan itu, mereka juga mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan produksi sebagai responsi atas ke-naikan penghasilan.

Sama halnya dengan uraian di atas ialah upah yang lebih tinggi dan kesempatan kerja yang lebih banyak yang ditawarkan kepada pekerja-pekerja terampil di daerah perkotaan, dapat dibia-yai dengan pengambüan surplus si miskin di daerah pedesaan yang lebih besar atau dengan mengusir mereka dari tanah pedesaan serta menekan upah yang dibayarkan kepada pekerja tidak terampil. Metode ini tampaknya bisa diterapkan di kebanyakan negara ka-pitalis untuk mengadu domba kelas pekerja terampil serta dalam hai peraduan politik antara pekerja terampil di satu pihak dengan pekerja-pekerja tidak terampil di lain pihak (lihat pembahasan

95

Page 108: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

perpangsaan di atas). Sang perencana yang berminat dalam pening-katan penempatan tenaga kerja (berikut pemindahan kekuatan ekonomi ke tangán si miskin) bukan saja harus merencanakan rancangan pembaharuan pendidikan untuk menolong si miskin memperoleh keterampilan, akan tetapi juga harus bekerja sama dengan para perencana ekonomi. Mereka ini dapat menyarankan kepada sang perencana mengenai pendistribusian dan penempatan tenaga kerja, yang mungkin bisa diikutsertakan dengan pembaha­ruan pendidikan agar efektif bagi orang-orang yang hendak dito-long itu. Koordinasi pembaharuan pendidikan dengan perencana-an ekonomi ini untuk penempatan tenaga kerja serta distribusi ulang dari kekuatan ekonomi merupakan kebalikan dari kebanyakan proses perencanaan di negara-negara kapitalis berpenghasilan ren­dali. Di negara-negara ini keputusan pembaharuan pendidikan berada di bawah perangkat pendidikan dan ekonomi yang objektif yang sebagian besar ditentukan oleh golongan-golongan yang ke-pentingannya berkaitan dengan pemeliharaan ekonomi yang kele-bihan tenaga kerja dan tenaga kerja terampil. Bahkan, berkaitan dengan reproduksi organisasi produksi kapitalis, meskipun dengan pengorbanan terus berlangsungnya kemiskinan dan pengangguran.

4.2.5 Perihal pendidikan dan pekerjaan

Walaupun kita tidak banyak melihat peran pendidikan semata (yang tidak dikombinasikan dengan program penurunan tingkat pengangguran yang tinggi dalam beberapa golongan penganggur), ada saja kemungkinan pendidikan itu makin dikaitkan dengan pe­kerjaan. Hai ini pernah dianjurkan di Amerikan Serikat dan di negara-negara kapitalis lainnya (lihat misalnya Coleman et ai, 1973) sebagai suatu sarana untuk mengubah harapan para pemu-da mengenai kesempatan kerja agar dapat meredakan ketegangan poUtik yang ditimbulkan oleh penganggur yang berpendidikan dan setengah pengangguran. Negara-negara seperti Panama telah me-mulai programnya di daerah-daerah pedesaan, yakni anak-anak didik sekolah menengah tingkat pertama bekerja beberapa jam dalam seminggu di lahan pertanian yang ada kaitannya dengan sekolah (Del Cid, 1976). Penjualan hasil pertanian ini dapat mem-bantu meringankan biaya sekolah. Sedangkan proses mengerjakan lahan pertanian, sebagai bagian dari kurikulum sekolah, bertujuan untuk menyiapkan anak-anak didik menjadi petani yang lcbih pro­duktiv Meksiko telah mengembangkan program pendidikan lan-

96

Page 109: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

jutan yang lebih tinggi (bachillerato) yang anak-anak didiknya bekerja di proyek-proyek sosial yaner merupakan bagian dari pcn-didikan mereka (Omelas, 1976). Dalam beberapa segi, program Meksiko ini sama dengan proerram yang dilaksanakan di Antioch ; College, Ohio (Amerika Serikat), yang mengizinkan anak-anak didiknya bekerja selama satu tahun untuk memperoleh kredit ku-liah, dan program di Goddard College, Vermont (Anerika Serikat) mengintergrasikan pendidikan universitas dengan pekerjaan.

Program-program macam itu menarik perhatian dan merupa­kan usaha yang bermanfaat untuk membuat pendidikan lebih "relevan" bagi anak-anak didik dalam pelbagai tingkat pendidikan. Sehubungan dengan sekolah di pedesaan Panama juga direncana-kan agar sekolah-sekolah lanjutan yang diselenggarakan pemerintah memuneut biaya sekolah serendah munçkin. Akan tetapi, sebagai-mana dikemukakan oleh Blaug, ada bahayanya program pendi­dikan atau pekerjaan semacam itu di dalam perekonomian kapitalis — terutama yang diberikan kepada anak-anak petani dan pekerja-pekerja di daerah perkotaan — adanya program itu memäng da-pat meningkatkan keterampilan anak-anak itu, namun keterampilan itu dinilai rendah di dalam perekonomian dan besar kemunsrkinan-nya ketiriggalan zaman atau tidak bisa dipergunakan di dalam pe-keriaan, sehingga makin menghukum anak-anak dari kelas-kelas sosial itu. Di sini kita perhatikan, lagi-lagi beban denta itu menimpa' mereka yang berada dalam pangsa tenasra keria yang paling ren­dah, meskipun pendidikan mereka telah ditingkatkan.

Dalam kaitan ini, kita harus membandingkan efek pembaha-ruan pendidikan atau pekerjaan dan berlangsungnya pembaharuan di negara Cina dan Kuba, sebagai tempat pembaharuan itu berasal. Di negara Cina pendidikan lanjutan dan yang lebih tinggi dikaitkan langsung dengan tempat-tempat bekerja^ baik di daerah pedesaan maupun di kawasan perkotaan. Memang demikianlah halnya, anak-anak muda dipilih untuk masuk ke lembaga-lembaga pendidikan yang lebih tinggi oleh teman-teman sekerja mereka, baik atas dasar kemampuannya untuk berprestasi di perguruan tinggi, maupun atas dasar presetasi kerjanya. Bahkan selama mereka masih bersekolah, para anak didik senantiasa menerapkan pengetahuannya dalam si-tuasi-situasi bekerja (lembaga pendidikan lebih tinggi berhubungan dengan unit-unit produksi). Setelah menyelesaikan pendidikannya, anak-anak didik itu kembali ke tempat kerja mereka semula. Kemu-

97

Page 110: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

dian masalah penempatan tcnaga kerja berpcndidikan dan setengah pengangguran pada pokoknya tidak ada, dan biaya untuk pendi-dikan yang lebih tinggi tingkatnya di dalam syarat-syarat penda-patan yang terdahulu sangat dikurangi (Lembaga Pendidikan, Ing-gris-Cina, Januari 1974).

Di Kuba, masalah kekurangan tenada kerja di bidang perta-nian, sebagian besar diakibatkan oleh definisi bahwa pertanian me-rupakan sektor utama (dalam tahun 1963) dalam pembangunan Kuba. Tanggung jawab terhadap ideologi untuk mengintegrasikan sektor-sektor pedesaan dan perkotaan dan tanggung jawab untuk mengembangkan "manusia bara" yang berorientasi kerja, telah membawa orang Kuba ke pembangunan utama yaitu berdirinya "sekolah-sekolah bagi pedesaan". Dalam perkembangan ini anak-anak didik sekolah lanjutan dari daerah perkotaan menghabiskan waktu belajarnya selama 45 hari dalam setahun untuk bekerja dalam produksi pertanian. Di "sekolah-sekolah di pedesaan" itu anak-anak didik sekolah lanjutan dari daerah pedesaan dan per­kotaan, hidup bersama-sama dalam asrama sekolah-sekolah pede­saan, sambil bekerja sebagai pekerja pertanian selama duapuluh jam dalam semin^eu. Mereka bekerja di lahan-lahan pertanian yang dikelola sekolah (termasuk pula partisipasi para anak didik) dan hasil kerja mereka dikaitkan dengan rencana pertanian. "Se­kolah-sekolah di pedesaan" telah menjadi penamnilan utama dari perluasan pendidikan di Kuba, sejak tahun 1969. Kiranya perlu dite«raskan lagi, mereka yang hidup di asrama sekolah-sekolah itu adalah anak-anak didik dari daerah perkotaan dan pedesaan, dan bukan hanya anak-anak didik sekolah pedesaan saia. Tentu saja sekolah-sekolah kejuruan (menurut model Sekolah Kejuruan Lenin di Havana) sebaorai perkecualian, dan sekolah ini direncanakan akan dibansrun di tiap-tiap provinsi di Kuba yang berjumlah enam belas provinsi. Semua sekolah laniutan yanç ada di daerah pede­saan anak-anak didiknya haras bekerja di lahan pertanian karena merupakan bagian dari kurikulum pelajaran biasa, dalam perpu-taran waktu belajar yang lamanya empat tahun. Bahkan sekolah-sekolah kejuruan di daerah perkotaan murid-muridnya mempro-duksi barang pabrik. Misalnya, anak-anak didik di Sekolah Keju­ruan Lenin membuat semua radio transistor di Kuba, di samping merakit dan memasang komputer-komputer mini ( Carnoy dan Wer-theim, 1975).

98

Page 111: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Maksud pembahasan kita bukannya sampai ke detail-detailnya. mengenai sifat pembaharuan pendidikan di Cina dan Kuba, akan tetapi dengan cerita singkat ini hendaknya dapat memperjelas, bah-wa temyata sangat banyak yang dapat menjadi pelajaran dari pe-ngalaman-pengalaman ini bagi para perencana pendidikan di ne-gara-negara berpenghasilan rendah. Kedua negara itu telah mehu-runkan biaya pengadaan pendidikan sekolah menengah tingkat pertama dan sekolah menengah tingkat atas bagi oranç-orang mu­da, dan tampaknya tanpa menurunkan kualitas pendidikan di ting­kat akademis. Pada kenyataannya ada bukti bahwa bagi Kuba pres­tasi akademik betul-betul meningkat cukup baik di "sekolah-sekolah di pedesaan", melebihi prestasi bentuk pendidikan tradisional. Pro-duksi pertanian dan industri yang dihasilkan oleh murid-murid se­kolah menençah bukan saja menurunkkan biaya pendidikan, tetapi tidalk mustahil juga menghasilkan keuntungan material bersih bagi sektor pendidikan lanjutan, di samping hasil akademik atau hasil kejuruan yang semuanya diangap sebagai produktivitas yang me­ningkat di waktu yang akan datang bagi anak-anak didik yang ter-libat dalam pendidikan itu (Carnoy dan Wertheim, 1975). Pada. saat yang bersamaan, situasi pendidikan atau pekerjaan memenuh^ cita-cita ideologi sosial tentang membangun koperasi dan hai me­nurunkan perbedaan-perbedaan di antara pengalaman di pedesaan dan di kawasan perkotaan.

Program-program macam itu, akan sukar diselipkan dalam konteks perkembangan kapitalis, terutama jika diingat ada maksud untuk mencapai sasaran yang sama. Orang-orang tua dari kelas atas dan kelas menengah rupanya tidak akan menerima persyaratan mengikuti sekolah, yang anak-anaknya harus melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian atau bahkan di dalam pekerjaan pabrik. Memang, inti pendidikan kapitalis ialah mempersiapkan anak-anak untuk peran-peran kelas yang berlainan. Kendatipun demikian, sesuai dengan pandangan kita, bahwa perencana pen­didikan dapat selalu ingat kepada cita-cita "impian", sambil aktif di dalam "politik nyata" dari masyarakat. Dalam hai ini kita dapat menganjurkan bahwa bisa diambii tindakan untuík mengembang-kan program-program kerja, terutama pada tingkat-tinsrkat pendi­dikan yang lebih tinggi di negara-negara berepenghasilan rendah untuk menurunkan atau mengurangi jarak antara pekerja produksi dan tenaga ahli di waktu yang akan datang. Program-program, kerja juga bisa memperkirakan pasaran tenaga kerja untuk peker-

99

Page 112: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

jaan-pekerjaan tertentu. Akan tetapi, hendaknya juga dijelaskan bahwa masih ada kemungkinan besar akan terjadinya pengangguran orang-orang berpendidikan, terkecuali jika seringkali diadakan pe-ngontrolan pasaran tenaga kerja dan jumlah serta jenis orang-orang yang sedang mengikuti pendidikan di universitas swasta dan universitas negeri.

Apakah yang dapat dikatakan tentang program-program kerja atau belajar pada tinerkat-tin<ïkat pendidikan yang lebih réndah? Di Panama, anak-anak didik di daerah pedesaan bekerja di lahan per-tanian yang berhubunggan dengan sekolah. Tentunya belajar atau bekerja itu bermanfaat untuk meningkatkan keterarhpilan bértani dan mungkin dapat meringankan biaya sekolah, jika hasil produksi pertanian itu dijual ke pasaran. Akan tetapi, sekolah-sekolah di pe­desaan itu tidak dengan sendirinya meningkatkan kesempataii ker­ja di kawasan pedesaan dan mungkin saja hasilnya secara eköno-mis sangat rendah, terkecuali jika jenis program pendidikan itu dilcombinasikan dengan perubahan-perubahan dalam berbagai ke­mungkinan perbaikan ekonomi dari penghidupan di pedesaan. Me-mang, selama program-program itu terus mengajarkan subjek-sub-jek akademik, yang dapat berguna bagi usaha dalam mencari pe-kerjaan di kawasan kota, besar kemungkinan program itu tidak dapat membendung arus perpindahan penduduk desa ke kota. Jadi, pem-baharuan dari pendidikan produksi itu dapat menekan biaya se­kolah anak-anak muda di pedesaan, meskipun adanya pembaharuan macam itu tampaknya tidak dapat diharapkan akan memeçahkan masalah pengangguran. Sebaliknya, sekolah-sekolah produksi di pe­desaan yang dikombinasikan dengan pembaharuan struktural, yang rnengutamakan kaum petani, betul-betul dapat diharapkan sum-banorannya ba<n peningkatan pekerjaan di pedesaan dengan produk-tivitas yang lebih tinggi dan mengurangi arus perpindahan pendu­duk desa ke kota (dan pada gilirannya mungkin pula menurunkan pengangguran di kawasan kota).

Selain itu, program-program kerja atau belajar itu akan sejalan dengan koperasi-koperasi produksi dan Iain-lain usaha pemerintah untuk menciptakan kesempatan kerja. Jika anak-anak muda yang telah bekerja itu mendapat rekomendasi untuk mengikuti pendi­dikan universitas dari tempat kerjanya, diprioritaskan atas orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan, mungkin merupakan rangr sangan yang cukup besar bagi mereka yang akan memperoleh pe* kerjaan, sebelum masuk ke pendidikan universitas.

100

Page 113: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Walaupun kernungkinan itu ada, kita tidak bisa mengharap-kan bahwa situasi bersekolah atau bekerja baik di pedesaan maupun di daerah perkotaah (dengan pendidikan kejuruan bagi anak-anak pekerja di daeräh kota) dapat membaginya ke dalam dua bagian: pedesaan dän perkotaan ataü menghancurkan struktur kelas di daerah pedesaan dan perkotaan, kecuali jika tiap orang diharuskan mengikuti pendidikan itu. Pembangunan sekolah-sekolah produksi bagi suatu kelas dalam masyarakat, yang dikombinasikan dengan pendidikan akademis akan mengantarkan anak-anak didik ke pen­didikan tine:kat universitas terutama bagi anak-anak dari kelas so-siaT yang. lebih tinggi, mungkin bisa menghapuskan pengangguran qrang-orang berpendidikan (menurunkan desakan terhadap perlu-asan. universitas dengan cara pembatasan masuk ke universitas) tanpa.menyentuh tingkat pengangguran yang tinggi di antara pe­kerja pedesaan dan para urban yang miskin.

Perkembangan pendidikan yang berkaitan dan bekerja sama dengan produksi memberikan kemungkinan yang menarik perhati-an, bahkan di dalam masyarakat kapitalis, terutama mengenai segi kemampuannya membiayai kebutuhan sendiri. Akan tetapi, pro­gram-program jenis itu — seperti kita harapkan dapat dipaparkan dengan jetas — dalam dirinya tidak mengurangi pengangguran ataupun memberikan kekuatan ekonomi kepada si miskin. Pada kenyataannya, menugaskan anak-anak didik menangani produksi pertanian dan industri, Sementara itu pengangguran tenaga kerja aktif tetap ada, tidak membuat satu sama lain mempunyai banyak arti. Inilah yang menimbulkan situasi dilematis, yakni semua pi-lihan, masing-masing kesulitan dan keberatan dalam masyarakat kapitalis berpenghasilan rendah yang kekurangan penghasilan per capita, akan tetapi, entah bagaimana tidak mampu mempekerjakan pekerja yang mempunyai kemampuan untuk berproduksi. Banyak anjuran yang di kemukakan dalam rencana tindakan kita memer-lukan pengorganisasian kembali dalam memproduksi barang, ter­utama perubahan pengontrolan atas pembuatan keputusan dalam hai produksi dan pemberian prioritas terhadap penempatan tenaga keria dengan pendapatan keuntungan yang lebih dari cukup. Per-ubahan-perubahan macam ini tidak akan mudah dibuat di negara-negara berpenghasilan rendah; tentu saja kita bertanya-tanya, apa-kah perubahan benar-benar dapat dibuat tanpa organisasi secara besar-besaran dari golongan pekerja dan petani. Selain itu, apakah tidak ada pertikaian di antara mereka yang ingin mengembangkan

101

Page 114: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

ekonomi dengan cara yang memberikan keuntungan kepada kaum borjuis daerah perkotaan dan kaum menengah di satu pihak, dan mereka yang menghendaki perkembangan melalui struktur politik dan ekonomi berdasarkan kepentingan masyarakat lúas di lain pi­hak. Pertikaian ini ditekankan pada kepentingan yang besar peng-aruhnya di dunia dalam hai pemilihan pembangunan ekonomi.

Oleh karena itu, kita mengingatkan agar para perencana itu berhati-hati terhadap anggapan bahwa pembaharuan yang "tidak baru" dapat dibuat dengan mudah. Selain itu, hendaklah sang perencana itu berhati-hati pula terhadap kepastian bahwa masalah pengangguran dan pengangguran orang-orang yang berpendidikan dapat dipecahkan dengan cara membuat perkembangan kapitalis lebih "rasional". Pengangguran dan kelanjutannya dengan pembe-rian jaminan kerja akan memukul beberapa kekuatan yang menda-sar dalam hubungan proses produksi. Jenis anjuran yang telah kita buat hanya dapat dilaksanakan dalam kondisi-kondisi politik tertentu, dan harus merupakan bagian dari keseluruhan strategi untuk meng-ubah pengontrolan terhadap cara memproduksi barang-barang, dan orang-orang yang mendapat hasil produksi, karena itu memerlukan organisasi massa yang berlatar belakang politik (the organization of a mass political base). Akhirnya, situasi tiap negara adalah khas, dan strategi yang dipakai untuk meningkatkan penempatan tenaga kerja harus muncul dari kebudayaan, ekonomi. dan politik masya­rakat khas itu.

102

Page 115: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

KEPUSTAKAAN

Adelman, I., dan Morris, C.T. Economic growth and social equity in developing countries. Stanford, Calif., Stanford Univer­sity Press, 1973.

Anglo-Chinese Educational Institute. Education in China. London, ECEI, 1974.

Barkin, D. "Acceso a la education superior y beneficios que reporta en Mexico", Revista del Centro de Estudios Educativos, 1971.

Barnet, R., dan Muller, R. Global Reach. New York, Simon & Schuster, 1975.

Blaug, M. An Introduction to the economics of education. London, Allen Lane The Penguin Press, 1970.

, Education and the employment problem in developing countries. Geneva, International Labour Office, 1973.

, Layard, R., dan Woodhall, M. The causes of graduate unemployment in India. London, Allen Lane The Penguin Press, 1969.

Boeke, J.H. Economics and economic policy of dual societies. New York, 1953.

Bowles, S., dan Gintis, H. Schooling and Capitalist America. New York, Basic Books, 1974.

Braverman, H. Labor and monopoly capital: the degredation of work in the 20th century. New York, Monthly Review Press, 1975.

Callaway, A. "School leavers in Nigeria", West Africa, 25 Maret, 1 April, 8 April, dan 15 April, 1961.

103

Page 116: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Calvo, C. et al. Education and reform in Chile, 1964 — 1970. Palo Alto, Calif., Center for Economic Studies, 1975 (mimeo).

Carnoy, M. The cost and return to schooling in Mexico. (Un­published Ph.D. dissertation, University of Chicago De­partment of Economics, 1964).

— — , "Class analysis and investment in human resources", Review of radical political economics, Nos. 3 dan 4, Fall-Winter 1971.

, "The rate of return to school and the increase in human resources in Puerto Rico", Comparative education review, Vol. 61 No. 1, Februari 1972.

, Education as cultural imperialism. New York, David McKay, 1974.

, "University Education in the economic development of Peru", Consejo Nacional de Universidades Peruanas, Lima, 1975.

, Education and economic development: the first gene­ration", Economic development and cultural change, Vol. 25, Suplemen, 1977.

, dan Levin, H. The limits of educational reform. New York, David McKay, 1976.

, dan Marenbach, D. "The return to schooling in the United States", Journal of human resources, Vol. 10 no. 3, Summer 1975.

, Sack,R., dan Thias, H. The payoff to better schooling: a case study of Tunisian secondary school. Washington. World Bank, 1976.

, dan Wertheim, J. Economic change and educational re­form in Cuba, 1955 - 1974. Washington. World Bank, 1975.

Carter, M., dan Carnoy, M. "Theories of labor markets and worker productivity". Palo Alto, Center for Economic Studies, 1974.

Chase-Dunn, C. "International economic dependence in the world system". (Unpublished Ph.D. dissertation, Stanford Uni­versity, 1975).

104

Page 117: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Coleman, J., et al. Youth : the transition to adulthood. Chicago, University of Chicago Press, 1973.

Coombs, P.H. The world educational crisis: a system analysis. New York, London, Toronto, Oxford University Press, 1968.

—' , dan Ahmed, M. Attacking rural poverty: how nonformal education can help. Baltimore, Johns Hopkins Press, 1974.

Del : Cid, CE. "La reforma educativa de Panama en las areas rurales". Stanford University School of Education, Agustus 1976 (mimeo).

Dollars and sense. Somerville, Economie Affairs Bureau: No. 17, Mei 1976.

Eckaus, R. Estimating the returns to education: a disaggregated approach. Berkeley, The Carnegie Commission, 19/3.

Edwards, E.O. (ed.). Employment in developing nations: report on a Ford Foundation Study. New York, Columbia Uni­versity Press, 1974.

, dan Todaro, M. "Educational demand and supply in the context of growing unemployment in less developed coun­tries", World development, Maret-April 1973.

Edwards, R., Reich, M., dan Gordon, D. Conference on labor mar­ket segregation, Harvard University. Lexington, D.C. Heath, 1975.

Emmery, L. "Research priorities of the world employment pro­gramme", International labour review, Vol. 105 No. 5, Mei 1972.

Fanon, F. The wretched of the earth. New York, Grove Press, 1968.

Faure, E., et al. Learning to be: the world of education today and tomorrow. Paris, Unesco, 1972.

Foster, P. Education and social change in Ghana. London. Rout-ledge and Kegan Paul, 1965.

Freiré, P, Pedagogy of the oppressed. New York, Herder and Her­der. 1971.

Frank, A.G. "An open letter about Chile to Arnold Harberger and Milton Friedman", Review of radical political economics, Vol. 7 No. 2, Summer 1975.

105

Page 118: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Genovese, E. The political economy of slavery: studies in the eco­nomy and sociology of the slave south. New York, Pan­theon Books, 1965.

Gordon, D., Reich, M., dan Edwards, ,R. "A theory of labor market segmentation". American economic review, Vol. LXIII No. 2. Mei 1973.

Gorz, A. Strategy for labor: a radical approach. Boston, Beacon Press, 1967.

Grubb, N., dan Lazerson, M. "Rally round the workplace: con­tinuities and fallacies in career education", Harvard edu­cational review, Vol. 45, November 1975.

Hallak, J. A qui profite l'école. Paris, Press Universitaries de France, 1974.

Harrison, B. "Education and underemployment in the urban ghetto" American economic review, Desember 1972.

Higgins, B. Economic development: principles, problems and poli­cies. New York, Norton, 1959.

Holsinger, D.B., dan Kasarda, J.D. "Does schooling affect bir­thrates?", School review, Vol. 84 No. 1, November 1975.

Iüich, I. Deschooling society. New York, Harper and Row, 1971.

Inkeles, A., dan Smith, D. Becoming modern: individual change in six developing countries. Cambridge, Mass., Harvard University Press, 1974.

International Labour Office. The Colombia employment programme. Geneva, International Labour Office, 1971.

Jallade, J.P. Public expenditures on education and income distri­bution in Colombia, Washington, World Bank, 1974.

Jensen, A.R. Genetics and education. New York. Harser and Row, 1972.

Labelle, T. (ed.) Educational alternatives in Latin America: social change and social stratification. Los Angeles, UCLA Latin American Center Publications, 1975.

Langoni, C. La distribucao da renda a desenvolvimento economico do Brasil. Rio de Janeiro, Editora Expressâo e Cultura, 1973.

106

Page 119: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Levin, H. "Educational reform: its meaning", in Carnoy, M. dan Levin, H. (eds.), The limits of educational reform. New York, David McKey, 1976.

Mebta, M. Industrialization and employment with special reference to countries of the ECAFE. Bangkok, Asian Institute for Economic Development and Planning, 1968.

Melmen, S. Dynamic factors in industrial productivity. Oxford, Basil Blackwell, 1956.

Memmi, A. The colonizer and the colonized. Boston. Orion Press, 1965.

Mwaniki, D.N. "Education and socio-economic development in Kenya: a study of the distribution of resources for edu­cation" (Unpublished Ph. D. dissertation, Stanford Uni­versity, 1973)

Myint, U.H. The economic of developing countries. New York, Praeger, 1964.

Organization of American States, General Secretariat. Employment and growth in the strategy of Latin American develop­ment: implications for the seventies. VII Annual Meeting of the Inter-American Economic and Social Council (CIES), Panama, September 1971.

Órnelas, C. "The politics of the College of Sciences and Humanities (CCH) in Mexico". Stanford University School of Edu­cation, 1976 (mimeo).

Ozelli, T. "Costs and returns of educational investment in the First Turkish Republic". (Unpublished Ph. D. dissertation, Columbia University, 1968).

Papagiannis, G. Nonformal education and national development: a study of the thai mobile training school and its effects on adult participants. Stanford University Ph. D. dissertation, dalam proses penerbitan.

Piore, M. "On the technological foundations of economic dualism". Massachusetts Institute of Technology, Working Paper No. 110, Mei 1973.

Reimer, E. School is ded: an essay on alternatives in education. New York, Doubleday, 1971.

107

Page 120: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...

Saiiyal, B.C., dan Yacoub, E.S.A. Higher education and employ­ment in the Sudan. Paris, International Institute for Edu­cational Planning, 1975.

Schiefelbein, E. "The politics of national planning: the Chilean case". Educational planning journal of the international planners, Vol. 1 No. 3, Januari 1975.

Schultz, T.W. "On economics, agriculture and the political eco­nomy". Paper preapared for the International Conference of Agricultural Economists, Nairobi, 26 Juli — 4 Agustus 1976.

Schumpeter, J.A. Imperialism and social classes. New York, Agus­tus, M. Kelley, 1951.

Secretaria de Industrias y Comercio, Dirección General De Està-distica. Encuesta de Hogres. Mexico, Document ENH-P-l , 1975.

Stone, K. "The origins of job structure in the steel industry". Radical review of political economics, Vol. 6 No. 2, Sum­mer 1974.

Thias, H., dan Carnoy, M. "Cost-benefit analysis of education: a case study on Kenya". Washington, World Bank (Occa­sional Paper), 1969.

Thompson, E.P. Making of the English working class. New York, Vantage Books, 1963.

Thurow, L., dan Lucas, R. "The American distribution: a struc­tural problem". (Hearings before the Joint Ekonomic Committee) Washinton, U.S. Government Printing Of­fice, Maret 1972.

Todaro, M.P. "Education, migration and fertility". Dalam Simmon, J. (ed.), Investment in education: national strategy opti­ons for developing countries. Washington, The World Bank, (dalam proses penerbitah)

Tomaia, J., Kwiecinski, Z., dan Borowicz, R. "Access to higher education: reform in Poland". Washington, World Bank Economics Dept., September 1976 (mimeo).

Turnham, D. The employment problem in less developed countries: a review of evidence. Paris, OECD Development Centre, 1971.

108

Page 121: Pendidikan dan Penempatan Tenaga Kerja: Sebuah Penilaian yang ...