PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah...

54
PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta) Disertasi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Pendidikan Islam Oleh : HENI LESTARI 10.3.00.0.16.01.0071 Promotor Prof. Dr. DEDE ROSYADA, M.A Prof. Dr. ABUDDIN NATA, M.A SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H / 2017 M

Transcript of PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah...

Page 1: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)

Disertasi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Doktor dalam Bidang Pendidikan Islam

Oleh :

HENI LESTARI

10.3.00.0.16.01.0071

Promotor

Prof. Dr. DEDE ROSYADA, M.A

Prof. Dr. ABUDDIN NATA, M.A

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H / 2017 M

Page 2: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

iii

PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Heni Lestari

NIM : 10.3.00.0.16.01.0071

Judul Disertasi : Pendidikan Agama dan Nasionalisme

(Studi pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)

Menyatakan draft disertasi ini telah diperbaiki sesuai dengan saran

verifikasi yaitu penambahan jurnal ilmiah.

Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dijadikan

pertimbangan untuk menempuh Ujian Terbuka (Promosi)

Jakarta, .………………. 2017

Saya yang membuat pernyataan,

Heni Lestari

Page 3: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Heni Lestari

NIM : 10.3.00.0.16.01.0071

Judul Disertasi : Pendidikan Agama dan Nasionalisme

(Studi pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)

Menyatakan bahwa seluruh isi disertasi ini adalah murni hasil karya

penulis, kecuali bagian-bagian tertentu yang penulis kutip dari sumbernya.

Jika terbukti ditemukan plagiasi dalam tulisan ini, maka penulis bersedia

mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, …………………..2017

Saya yang membuat pernyataan,

Heni Lestari

Page 4: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

vii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disertasi dengan judul: “Pendidikan Agama dan Nasionalisme (Studi

pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta )” yang ditulis oleh Heni Lestari,

Konsentrasi Pendidikan Islam, NIM: 10.3.00.0.16.01.0071, telah disetujui

untuk diajukan pada Ujian Terbuka (Promosi).

Jakarta, 2017

Pembimbing I

Prof. Dr. DEDE ROSYADA, M.A ________________________

Page 5: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

ix

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disertasi dengan judul: “Pendidikan Agama dan Nasionalisme (Studi

pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)” yang ditulis oleh Heni Lestari,

Konsentrasi Pendidikan Islam, NIM: 10.3.00.0.16.01.0071, telah disetujui

untuk diajukan pada Ujian Terbuka (Promosi).

Jakarta, 2017

Pembimbing II

Prof. Dr. ABUDDIN NATA, M.A ________________________

Page 6: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

xi

PERSETUJUAN HASIL UJIAN PROMOSI DOKTOR

Disertasi dengan judul: “Pendidikan Agama dan Nasionalisme (Studi

pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)” yang ditulis oleh Heni Lestari,

Pendidikan Islam, NIM: 10.3.00.0.16.01.0071 telah dinyatakan lulus Ujian

Promosi Doktor yang diselenggarakan pada hari/tanggal: Kamis, 14

Desember 2017.

Disertasi ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para penguji

dan dapat dicetak menjadi buku ber-ISBN.

Jakarta, 14 Desember 2017

TIM PENGUJI

No. Nama Penguji Tanda Tangan Tanggal

1.

Prof. Dr. Masykuri Abdillah

(Ketua Sidang/merangkap

Penguji)

2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA

(Pembimbing/Penguji)

3. Prof. Dr. Abuddin Nata, MA

(Pembimbing/Penguji)

4. Prof. Dr. Husni Rahim

(Penguji)

5. Prof. Dr. Armai Arief, M.Ag

(Penguji)

6. Prof. Dr. Zulkifli, MA

(Penguji)

7. Prof. Dr. Didin Saepudin, M.A

(Sekretaris Sidang)

Page 7: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

xiii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah

Swt, karena atas perkenan-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan

disertasi ini yang merupakan salah satu persyaratan akademik guna

memperoleh gelar Doktor dalam bidang Pendidikan Islam pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad Saw beserta

keluarga, sahabat, serta umatnya yang senantiasa mengikuti ajarannya hingga

akhir zaman.

Judul yang diangkat dalam penulisan disertasi ini adalah “Pendidikan

Agama dan Nasionalisme (Studi Pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta)”.

Judul ini penulis ambil dengan pertimbangan bahwa pembinaan sikap mental

spiritual yang diberikan dalam pendidikan agama yang selanjutnya mendasari

tingkah laku manusia dalam berbagai bidang kehidupan, menjadi sarana yang

efektif untuk menanamkan wawasan kebangsaan kepada peserta didik yang

merupakan generasi penerus yang akan menegakkan eksistensi dan

melanjutkan estafeta pembangunan bangsa.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang penulis hormati:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai promotor dan pembimbing I. Di

tengah kesibukan yang begitu padat beliau berkenan untuk terus

membimbing penulis hingga selesainya disertasi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, selaku Direktur SPs UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Prof. Dr. Didin Saepudin, M.A. selaku kepala program Doktor

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A. selaku promotor dan pembimbing II

yang telah memberikan arahan, ide dan gagasan yang membuka

cakrawala berpikir penulis sehingga penulis terus melakukan

penyempurnaan-penyempurnaan dalam penulisan disertasi.

5. Prof. Dr. Husni Rahim, Prof. Dr. Armai Arief, M.Ag, serta Prof. Dr. M.

Bambang Pranowo, M.A. yang telah memberikan kritik, saran, dan

koreksinya pada saat ujian pendahuluan sehingga memantik kreativitas

berpikir penulis dalam menyempurnakan penulisan disertasi ini.

6. Bapak dan ibu dosen pada SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta

seluruh staff dan karyawan SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

terus membimbing, mengarahkan dan memberi dukungan kepada penulis

pada saat penyelesaian studi dan pada saat penyelesaian penulisan

disertasi ini.

7. Seluruh civitas akademika SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tak

dapat penulis sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa terima

kasih penulis atas segala arahan dan bimbingannya selama ini.

Page 8: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

xiv

8. Seluruh guru, karyawan, dan staff SDIT Insan Mandiri dan SDIT Buahati

yang telah bersedia menjadi nara sumber pengambilan data-data yang

mendukung penelitian dalam penulisan disertasi ini.

9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam Jaringan

Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia, khususnya Bapak Dr. Fahmi

Alaydrus dan Bapak Sukro Muhab, M.Si selaku pembina dan ketua JSIT

Indonesia yang telah memberikan data-data kepada penulis baik melalui

wawancara langsung maupun melalui focus group discussion.

10. Suami terkasih Dr. karim Santoso, M.Si dan ananda Nabiel Muhamad

serta ibunda Hj Rohaya beserta seluruh keluarga besar H. Rauf dan

keluarga besar H. Badri atas segala dukungannya kepada penulis dalam

penyelesaian studi dan penulisan disertasi ini.

11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namun

tidak mengurangi rasa terima kasih dan penghargaan penulis kepada

mereka. Semoga Allah Swt memberikan balasan kebaikan dan

keberkahan yang berlimpah dan tercatat sebagai amal shalih yang

pahalanya akan terus mengalir hingga hari kebangkitan kelak.

Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini laksana

setetes embun di lautan samudera nan luas dan masih jauh dari kata sempurna.

Harapan penulis disertasi ini dapat memberikan setitik manfaat bagi

pendidikan Islam untuk terus mengembangkan perannya dalam mendidik

anak bangsa yang memiliki keimanan yang tinggi dan rasa nasionalisme yang

kokoh. Penulis juga mengharap kritik dan saran yang konstruktif dari seluruh

pembaca untuk perbaikan dan penyempurnaan proses penulisan dan penelitian

berikutnya.

Jakarta, 4 Nopember 2017

Penulis

Page 9: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

xv

ABSTRAK

Penelitian dalam disertasi ini menyimpulkan bahwa pendidikan nilai-

nilai agama di Sekolah Islam Terpadu (SIT) yang diberikan secara integral

dan holistik melalui integrasi dengan mata pelajaran umum yang ada dalam

kurikulum utama (written curriculum) dan kurikulum pendukung (hidden

curriculum) serta dalam proses pembelajaran, dapat menumbuhkan nilai-nilai

nasionalisme yang terangkum dalam empat pilar kebangsaan, seperti

memelihara persatuan dan kesatuan, gotong royong, tolong menolong,

musyawarah dan mufakat, toleransi dan lain-lain.

Temuan ini sejalan dengan pendapat; UU Sistem Pendidikan Nasional

No 20 tahun 2003 pasal 1, PP No 55 tahun 2007 pasal 1, serta pendapat Azra

(2012), Rosyada (2013), Abuddin Nata (2011), serta Mastuhu (2003); bahwa

pendidikan agama yang integrated yang diberikan melalui proses

pembelajaran yang holistik dapat melahirkan peserta didik yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan mampu

menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama

yang merupakan unsur-unsur dari nasionalisme.

Disertasi ini tidak sependapat dengan pandangan nasionalisme Barat

yang dipelopori oleh Kohn (1985), Gellner (1994) dan Hegel (2009) yang

memandang bahwa nasionalisme adalah sebuah fenomena sosial yang tidak

terkait dengan nilai-nilai agama sehingga melahirkan corak nativis, radikal,

sektarian dan rasisme yang akan melahirkan bibit-bibit radikalisme dan

fanatisme yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Disertasi ini juga tidak

sependapat dengan pemikiran kubu konservatif revivalis fundamentalis yang

diwakili oleh al-Afgani (1990) dan Naqvi (1996), yang berpandangan bahwa

nasionalisme yang dikehendaki Islam adalah satu kesatuan umat dalam

khila<fah Isla<miyyah bukan pengkotak-kotakkan berdasarkan geografis.

Penelitian dalam disertasi ini termasuk dalam jenis penelitian

kualitatif dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Sedangkan

instrumen pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan studi

dokumentasi yang dianalisis dengan teknik triangulasi.

Page 10: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

xvii

ABSTRACT

The research in this dissertation concludes that education of religious

values in Integrated Islamic School (SIT) is given integrally and holistically

through the integration of general subjects in the written curriculum and

hidden curriculum can foster the values of nationalism that summarized in

four pillars of nationality, such as maintaining unity, mutual cooperation,

discussion and consensus, tolerance and others.

This finding is aligned with constitution of national education system

number of 20 in 2003 chapter one and the regulation of government number

of 55 in 2007, azra’s opinion (2012), Rosyada’s opinion (2013), Nata’s

opinion (2011) and Mastuhu’s opinion (2003) which they said that the

integrated religious education is given through a holistic learning process will

be able to make students having faith to God Almighty, be cautious to God,

noble students and able to maintain peace and harmony of inter-religious

relationships that are elements of nationalism.

This dissertation does not agree with the view of Western nationalism

pioneered by Kohn (1985), Gellner (1994) and Hegel (2009) which sees that

nationalism is a social phenomenon unrelated to religious values resulting in a

nativist, radical, sectarian and racist pattern that will cause the seeds of

radicalism and fanaticism that are inconsistent with the purpose of education.

This dissertation does not agree with the conservative fundamentalist

revivalist conscience as represented by al-Afgani (1990) and Naqvi (1996),

who assumes that nationalism in Islam is one unity of the ummah in khila<fah

Isla<miyyah. It’s not a geographically- based.

The research in this dissertation is included in the type of qualitative

research by using a method of descriptive qualitative. While instrument of

data collecting in the form of interview, observation and study of

documentation that are analyzed by triangulation technique.

Page 11: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

xix

ملخص

هذه الرسالة أن التعليم للقيم الدينية يف املدرسة اإلسالمية وخيلص البحث يف

املتكاملة بشكل متكامل وشامل من خالل دمج املوضوعات العامة يف املناهج ملخصا يف أربع الدراسية الرئيسية ودعم املناهج الدراسية ميكن أن تعزز قيم الوطنية

تبادلة، واملساعدة، واملداوتات، ركائز للجنسية، مثل احلفاظ على الوحدة، واملساعدة امل .والتوافق، والتسامح، وغري ذلك

، 0222لعام 02ويناسب هذا اتاستنتاج مع قانون نظام التعليم الوطين رقم ، و (0212)، ورشدا (0210)وآراء أزرا 1، املادة 0222لعام 55، من القانون رقم 1املادة

قالوا أن التعليم الديين املتكامل سوف أنه ( 0222) ، و ماستوهو(0211)أبودين انات يكون املتعلمني املؤمنني واملتقني هللا عز وجل، وهلم اخالق حممودة وقادرون على

.احلفاظ على السالم والوائم بني عالقاهتم و بني األداين اليت هي عناصر الوطنية( 1895)الغربية اليت قادها كوهن يتفق مع وجهة نظر الوطنية تا ا البحث هذ

ظاهرة اجتماعية تا عالقة هلا أن الوطنية الذين يرون( 0228) و هيجل( 1881) وجيلنرور ابلقيم الدينية، وتلد النشطاء، الراديكايل، الطائفي، العنصرية اليت ستحمل بذ

تفق أيضا مع يتا ا البحث هذ .فق مع الغرض من التعليمي تا يتذالتطرف والتعصب الالذي ، (1881) ونقفي( 1882) يف اإلحياء الذي ميثله األفغاينضمري األصوليني احملافظني

يف اخلالفة اتاسالمية وليست املستندة من األمةهو وحدة يف اإلسالم الوطنية يراين أن .إىل اجلغرافية

. يتم هذا البحث يف نوع البحث النوعي ابستخدام األسلوب النوعي الوصفي ويتم حتليل. حظة ودراسة الوئائقللمقابالت واملالوأداة جلمع البياانت يف شكل دراسة

.البياانت بواسطة تقنية التثليث

Page 12: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

xxi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Konsonan

B = ب Z = ز F = ف

T = ت S = س Q = ق

Th = ث Sh = ش K = ك

J = ج ṣ = ص L = ل

ḥ = ح ḍ = ض M = م

Kh = خ ṭ = ط N = ن

D = د ẓ = ظ H = ه

Dh = ع = ‘ ذ W = و

R = ر Gh = غ Y = ى

Vokal Pendek : a = ‘ i = ِ u = ِ

Vokal Panjang : ā = ا ī = ى ū = و

Diftong : ay = اى aw = او

Page 13: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

xxiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ....................................................................... xiii

ABSTRAK ........................................................................................... xv

ABSTRACT ...................................................................................... xvii

xix ............................................................................................... ملخص

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN............................. xxi

DAFTAR ISI .................................................................................... xxiii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1

B. Permasalahan ................................................................... 27

C. Tujuan dan Urgensi Penelitian ........................................ 29

D. Manfaat Penelitian ........................................................... 30

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................. 30

F. Metodologi Penelitian ..................................................... 34

G. Sistematika Penulisan ...................................................... 39

BAB II ISLAM DAN NASIONALISME .......................................... 41 A. Nasionalisme dalam Perspektif Umum-Kajian atas

Nasionalisme Barat dan Timur ........................................ 41

B. Nasionalisme Indonesia ................................................... 52

C. Nasionalisme Perspektif Islam ........................................ 56

D. Nasionalisme Islam yang Dipraktekkan di Indonesia ..... 70

E. Nilai-Nilai Nasionalisme dalam Pendidikan Agama....... 75

F. Nasionalisme dalam Pendidikan Islam............................ 77

BAB III PROFIL SEKOLAH ISLAM TERPADU ......................... 89 A. Nasionalisme dalam Potret Lembaga Pendidikan

Islam di Indonesia ........................................................... 89

B. Pendidikan Nasionalisme di Sekolah Islam Terpadu ...... 99

C. Profil Sekolah Islam Terpadu Yang Bernaung Di

Bawah JSIT Indonesia ................................................... 136

BAB IV ANALISIS PENANAMAN NASIONALISME DI

SEKOLAH ISLAM TERPADU ........................................ 159 A. Menggagas Pendidikan Nasionalisme di Sekolah

Islam Terpadu ................................................................ 159

B. Kurikulum dan Nasionalisme di Sekolah Islam

Terpadu .......................................................................... 179

C. Nasionalisme dan Proses Pembelajaran di Sekolah

Islam Terpadu ................................................................ 189

Page 14: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

xxiv

D. Pendidikan Nasionalisme di Sekolah Negeri dan

Swasta Non Sekolah Islam Terpadu (SIT) .................... 192

BAB V PENUTUP ............................................................................ 197 A. Kesimpulan .................................................................... 197

B. Saran. ............................................................................. 198

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 199

GLOSARIUM ................................................................................... 209

INDEKS ............................................................................................. 211

Page 15: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ditinjau dari aspek teoritis maupun empiris, nasionalisme dan

pendidikan dalam konteks Indonesia adalah dua hal yang saling

mempengaruhi. Secara teori atau konsep hal ini terlihat dari arti pendidikan

itu sendiri, di mana pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara

sadar dan terencana guna mengembangkan potensi spiritual, intelektual, dan

emosional peserta didik yang merupakan potensi fitrah yang diberikan oleh

Tuhan yang bertujuan agar peserta didik memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan

negaranya.1 Hal ini juga sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan agama

sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah, bahwa fungsi dan tujuan

pendidikan agama dan keagamaan adalah membentuk manusia Indonesia

yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak

mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Menurut Qard{a<wi< pendidikan agama yang dapat

melahirkan manusia-manusia beriman dan bertakwa serta mampu menjaga

dan memelihara kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan antar manusia

adalah pendidikan agama yang diberikan secara utuh dalam memahami

pengetahuan agama serta melalui proses belajar yang tidak indoktriner.2

Karenanya jika merujuk pada pendapat Qard{a<wi<, pendidikan agama yang

dapat mendukung proses penanaman nasionalisme adalah pendidikan agama

yang diberikan secara integrated-holistic serta melalui proses pembelajaran

1 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, No. 20 tahun 2003, Bab I,

pasal 1, lihat juga PP No 55 tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan

Keagamaan, Bab I pasal 1 dan Bab II pasal 2. Lihat juga UU RI No. 14 Tahun 2005

Tentang Guru dan Dosen. Depdiknas, Rencana Strategis Departemen Pendidikan

Nasional Tahun 2005- 2009, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2005).

Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan

(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 32. Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar

(Yogyakarta: Taman Siswa, 1961), 2. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis

dan Praktis (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), 11. Ahmad D. Marimba,

Pengantar Filasafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), 193. Mahmud

Yunus, al-Tarbiyyah wa al-Ta’li<m, (Ponorogo: Darussalam PP. Wali Songo), 12.

Lihat juga Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta:

Hidakarya Agung, 1990) 70. 2 Yusuf Al-Qard{a<wi<, Al-S{ah{wah al-Isla<miyyah bayn al-Juhu<d wa al-

Tat{t{arruf (Cairo: Bank al-Taqwa<, 1406 H), 59.

Page 16: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

2

yang melibatkan unsur kognitif, afektif dan psikomotor peserta didik secara

simultan.

Dari pengertian dan paparan di atas dapat dilihat bahwa sasaran akhir

dari pendidikan dan pendidikan agama adalah melahirkan peserta didik yang

memiliki integritas diri dalam bentuk kekuatan iman yang mengejawantah

dalam bentuk kemampuan menjawab tantangan hidup dan mampu berbuat

untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera di muka bumi. Pendidikan yang

mampu mencetak manusia untuk mengambil bagian secara aktif, kreatif, dan

kritis dalam membangun diri dan lingkungannya baik dalam skala mikro

maupun makro. Oleh karena itu diperlukan penataan kembali pendidikan

nasional yang menyeimbangkan antara sisi intelektual (sisi

kognitif/akademis), sisi emosional (sisi karakter) dan sisi spiritual (niai-nilai

agama) karena tak dapat dipungkiri ketiga hal ini diperlukan untuk menumbuh

kembangkan sisi individual dan sosial peserta didik yang dibingkai dengan

keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana amanah UU. Oleh

karenanya dalam konteks Indonesia tidak ada pertentangan antara tujuan

pendidikan secara umum dan tujuan pendidikan agama yang diberikan di

lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada di dalam wilayah hukum

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara empiris hubungan timbal balik antara pendidikan dan

nasionalisme dapat terlihat dalam salah satu episode perjalanan sejarah bangsa

Indonesia ketika pada awal abad ke-20 Belanda menjalankan Politik Etis

(balas budi)3. Politik Etis merupakan bentuk balas budi pemerintah Belanda

atas keuntungan-keuntungan yang diperolehnya di Hindia selama dasawarsa-

dasawarsa lalu. Didirikanlah kemudian lembaga-lembaga pendidikan formal

seperti Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau sekolah Belanda untuk bumi

putera yang diperuntukkan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli

dan setara dengan pendidikan dasar atau SD, Meer Uitgebred Lager

Onderwijs (MULO) yang setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama,

3 Berkembangnya pemerintah kolonial lain di Asia Tenggara memaksa

Belanda untuk pertama kali berkaca diri dengan membandingkan antara

pemerintahannya dengan hasil-hasil yang telah dicapai oleh pemerintah kolonial lain

seperti Inggris dan Prancis. Politik Etis yang merupakan bentuk tanggung jawab

moral pemerintih kolonial Belanda terhadap pribumi (rakyat Indonesia) yang

mengalami penderitaan luar biasa akibat politik tanam paksa kolonial Belanda. Politik

etis ini dipelopori oleh Pieter Brooshooft dan C. Th Van de Venter yang membuka

mata pemerintah colonial Belanda untuk lebih memperhatikan nasib rakyat pribumi.

Menurut Van Deventer yang dimuat dalam tulisannya di majalah De Gids tahun 1899,

pemerintah kolonial Belanda mempunyai utang kehormatan (Een Eereschuld) kepada

warga pribumi yang harus dibayar dengan melakukan tiga hal-yang dikenal dengan

“Trilogi Van Deventer”, yaitu irigasi, emigrasi, dan edukasi. Lihat Akira Nagazumi,

Bangkinya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918, (Jakarta:Pustaka Utama

Grafiti,1989), 26-27

Page 17: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

3

School tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) yang merupakan sekolah

pendidikan dokter untuk pribumi di Batavia dan lain-lain. Pada akhirnya

lembaga-lembaga pendidikan ini memunculkan kesadaran kebangsaan pada

diri peserta didiknya saat itu dalam bentuk menyadari akan kondisi

penderitaan bangsanya sebagai akibat dari penjajahan Belanda. Dari

kesadaran kebangsaan inilah kaum terdidik kemudian mendirikan organisasi-

organisasi pergerakan yang tujuan utamanya adalah Indonesia merdeka dalam

rangka menaikkan harkat dan martabat bangsa. Berdirilah kemudian

organisasi Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, Jong Sumatera, Jong

Ambon, Jong Celebes dan lain-lain.

Dalam masyarakat Islam salah satu dampak dari politik etis ini adalah

lahirlah kemudian gerakan sosial keagamaan seperti Sarekat Dagang Islam

(SDI), Persyarikatan Ulama di Majalengka, Muhammadiyah, Persatuan Islam

(Persis), Nahdlatul Ulama (NU), serta berdiri juga partai-partai politik seperti

Sarekat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam

(SDI), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan Partai Islam Indonesia

(PII). Dari organisasi-organisasi gerakan sosial keagamaan dan partai politik

Islam inilah selanjutnya terbangun karakter kebangsaan yang diawali dengan

membangun persatuan dan kesatuan (unity) yang merupakan unsur utama

dalam membangun nasionalisme, kebebasan (liberty), kesamaan (equality),

demokrasi, kepribadian nasional serta prestasi kolektif.)4 Tak ada diskursus

dan silang pendapat terkait hal ini karena ajaran Islam yang bersumber dari

Alquran dan Hadis memang menyerukan kepada persatuan dan anti

perpecahan, kesamaan dan kebebasan karena mereka meyakini bahwa sebagai

sebuah kepercayaan Islam memang menentang sikap memusuhi bangsa lain

yang merupakan salah satu ciri atau karakteristik utama dari nasionalisme5.

Dalam konteks Indonesia persatuan, kesamaan dan kebebasan inilah yang

kemudian mendasari semangat untuk membela kepentingan bangsa di atas

kepentingan pribadi dan golongan. Puncak dari semangat inilah yang

kemudian melahirkan Sumpah Pemuda pada 1928.6 Dalam sejarah perjuangan

kemerdekaan Indonesia, Sumpah Pemuda merupakan puncak dan representasi

4 Sartono Kartodirjo, Multidimensi Pembangunan Bangsa Etos Nasionalisme

Dan Negara Kesatuan (Yogyakarta: Kanisisus, 1999), 60. 5 Hazem Zaki Nusaibeh, Gagasan-Gasanan Nasionalisme Arab (Jakarta:

Bhratara, 1969), 17. Lihat juga Muhammad Youseef Moussa, Islam and Humanity’s

Need of it (Cairo: The Supreme Council for Islamic Affairs, 1379H), 55. 6Sumpah Pemuda lahir dari kesadaran para pemuda akan pentingnya

memperkuat persatuan di antara perkumpulan organisasi kepemudaan dan

membangkitkan kesadaran bahwa mereka berbangsa dan bertumpah darah satu

Indonesia. Hamid Darmadi, Kebangkitan Nasional, Pancasila dan UUD 1945 Kunci

Pemersatu Bangsa (Yogyakarta: Suluh Media, 2017), 42-43.

Page 18: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

4

dari paham nasionalisme sebagai dampak dari kesadaran intelektual yang

terbangun sebagai hasil dari politik etis.

Lahirnya Sumpah Pemuda kala itu dapat dikatakan merupakan

representasi atau bibit-bibit lahirnya paham nasionalisme dalam pengertian

etik, yakni membangun visi, karakter dan paham kebangsaan sebagaimana

tercermin dalam teks Sumpah Pemuda. Namun di beberapa negara Islam

paham nasionalisme ini sudah lebih dulu diterapkan tepatnya di penghujung

abad ke-19 yang dipelopori oleh Jamaludin al-Afghani dengan seruannya

untuk menentang imperialisme negara-negara Barat baik dalam bidang

ekonomi, militer maupun politik terhadap negara-negara Islam baik melalui

perjuangan fisik maupun meningkatkan kesadaran intelektual serta seruan

untuk kembali pada Islam.7 Seruan untuk kembali kepada Islam dilandasi oleh

pemahaman bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam menentang

imperialisme satu negara atas negara lain karena hal ini bertentangan dengan

nilai-nilai humanisme yang terkandung dalam ajaran Islam yang bertolak dari

teoantroposentrisme ajaran tauhid; kesatuan (unity), kebebasan (liberty),

kesamaan (equality) yang merupakan unsur-unsur dalam nasionalisme.

Karenanya sebagaimana dikatakan Boisard, nasionalisme Islam tidak bersifat

agresif, eksklusif dan etnosentrisme serta ekspansionis sebagaimana

nasionalisme Eropa.8 Hal-hal inilah antara lain yang menguatkan bahwa

faktor pendidikan agama memberikan pengaruh yang besar dalam

menumbuhkan paham nasionalisme melalui nilai-nilai kemanusiaan karena

Islam memberikan dasar-dasar etika dan landasan moral dalam kehidupan

bermasyarakat yang dinamis.

Dengan demikian dalam konteks Indonesia dan negara-negara Islam

saat itu, membangun nasionalisme melalui kesadaran intelektual dan kembali

kepada nilai-nilai agama merupakan pandangan yang menguatkan bahwa

cinta tanah air yang merupakan semangat utama dari nasionalisme tidak

hanya sebatas perjuangan fisik bersenjata tapi juga nilai-nilai luhur lainnya

yang bersifat educative seperti kesadaran akan kondisi penderitaan bangsanya

akibat penjajahan, rasa persamaan nasib dan kesadaran untuk menjalin

persatuan sebagamana telah dipaparkan di atas. Berdasarkan pandangan-

pandangan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan nasionalisme

merupakan dua hal yang saling mempengaruhi dan pendidikan Islam yang

bersumber dari ajaran Islam yang bertolak dari teoantroposentrisme dari

ajaran tauhid mendukung pendapat ini. Munculnya paham radikalisme dalam

masyarakat Islam sebagaimana dikatakan Qardhawy ketika teks-teks agama

hanya dipahami secara literal tidak kontekstual.

7 Jhon I Esposito, Islam Dan politik (Jakarta: Bulan Bintanng, 1990), 82.

8 Marcel A. Boisard, L’ Humanisme De L’Islam, (Jakarta, Bulan

Bintang,1980), terj, 334-335

Page 19: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

5

Hubungan antara pendidikan agama dan nasionalisme terlihat ketika

kualitas pendidikan memberi pengaruh pada tumbuh dan berkembangnya

suatu bangsa. Hal ini terlihat saat kaum terpelajar di Indonesia yang lahir dari

politik etis Belanda telah mempengaruhi dalam perkembangan paham

nasionalisme di Indonesia. Beberapa tokoh muda melihat nasionalisme etik

perlu dirubah menjadi nasionalisme dalam pengertian politik. Tokoh

nasionalis muslim yang secara langsung mengambil peran yang demikian

antara lain adalah HOS Tjokroaminoto melalui organisasi keislaman Sarekat

Islam (SI) yang dipimpinnya sejak bulan Mei 1912 di mana salah satu

programnya adalah meningkatkan pendidikan untuk meningkatkan derajat

rakyat Indonesia.9 Pada dekade pertama, SI di bawah kepemimpinan HOS

Tjokroaminoto mengejewantah menjadi organisasi politik besar yang

merekrut anggota dari berbagai kelas dan aliran. Pekerjaan ini dengan mudah

dilakukan, karena ideologi bangsa ketika itu hanya satu yakni persatuan dan

anti-kolonialisme. SI berupaya memperjuangkan lahirnya pemerintahan yang

berdaulat bagi penduduk Indonesia. Nasionalisme yang ada dalam pemikiran

HOS Tjokroaminoto dan tercermin dalam pergerakan SI yang dipimpinnya

dilandasi oleh semangat hubb al-wat{an min al-i<ma<n di mana cinta tanah air

merupakan bagian dari iman dan ini merupakan aplikasi dari nilai-nilai yang

ada dalam Alquran dan Hadis yang menyerukan persatuan dan menentang

kolonialisme. Dengan demikian nilai-nilai kebangsaan yang tumbuh sebagai

buah dari pendidikan keagamaan yang berkualitas pada hakikatnya telah

tumbuh dan berkembang melalui sebuah sejarah panjang bangsa Indonesia

dan tercermin dalam watak, kepribadian, sikap dan tingkah laku bangsa saat

itu. Dengan demikian dalam konteks Indonesia terlihat bahwa pendidikan

Islam yang berkualitas dapat memberikan penanaman nasionalisme kepada

peserta didiknya.

Berkaca dari politik etis di atas di mana pendidikan memberikan

kontribusi dalam pembebasan suatu bangsa dari imperialisme dan

kolonialisme, maka di zaman kolonial pendidikan ini seperti pisau bermata

dua dan mengandung tujuan yang memiliki beberapa arti penting. Dari kaca

mata kaum kolonial, pendidikan menjadi sarana penting untuk melancarkan

dominasi ekonomi, politik dan sosial-budaya sebagaimana kolonialis Belanda

menggunakan politik etis-edukasi sebagai jalan merintis ekspansi kapitalnya

di wilayah Hindia-Belanda. Pendidikan juga menjadi sarana penaklukan

politik, yakni penyerapan kaum priyayi ke dalam lembaga pendidikan

kolonial untuk mensuplai tenaga ambtenaar bagi administrasi kolonial saat

itu.10

Selain itu pendidikan bagi kaum kolonial juga menjadi sarana untuk

9 A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil (Jakarta: Grafiti Press,

1985), 89. 10

Tenaga ambtenaar merupakan istilah dari bahasa Belanda yang berarti

tenaga resmi atau pegawai negeri Kolonial.

Page 20: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

6

menanamkan mental inferior pada rakyat jajahan. Sebaliknya bagi kaum

pergerakan di masa-masa awal sangat menyadari arti penting pendidikan

untuk menumbuhkan kesadaran anak bangsa agar terbebas dari belenggu

penjajahan dan sebagai senjata untuk memerdekakan manusia. Hal ini

sebagaimana dikatakan oleh RA Kartini bahwa dengan pendidikan orang akan

dapat mengatakan tidak atas eksplotasi bangsa lain kepada bangsanya.11

Pada

akhirnya hal ini menginspirasi kaum pergerakan yang mencoba mendorong

pendidikan alternatif sebagai senjata melawan kolonialisme, seperti Ki Hajar

Dewantara yang mendirikan Taman Siswa dan Haji Ahmad Dahlan yang

mendirikan Muhammadiyah sebagai perwujudan kesadaran akan pentingnya

pendidikan untuk membangun kejayaan bangsa.

Melalui lembaga pendidikan yang didirikan oleh tokoh-tokoh

pergerakan kebangsaan, ide-ide kebangsaan dan kemerdekaan ditanamkan

bukan hanya kepada para kaum priyayi dan bangsawan namun juga kepada

rakyat jelata. Dalam perkembanganya kemudian seiring dengan

perkembangan dunia, hubungan antara pendidikan dan nasionalisme semakin

jelas benang merahnya ketika nasionalisme sebagai sebuah ide modern masuk

ke dalam kesadaran pribumi melalui lembaga pendidikan, khususnya melalui

bacaan. Inilah antara lain benang merah mengapa para pelopor nasionalisme

pribumi adalah kaum terdidik yang sudah tercerahkan pemikirannya seperti

Raden Ajeng Kartini, Tirto Adhisoerjo, Wahidin Soedirohoesodo dan Tjipto

Mangoenkoesoemo. Pendidikan melalui bacaan berkontribusi dalam

melahirkan pengetahuan untuk membaca keadaan, mengetahui akar masalah

dan menyusun strategi untuk mengubahnya. Karena itu, selain faktor-faktor

material, yakni pengalaman sebagai sebuah bangsa terjajah dan kesadaran

sosial, bacaan juga berkontribusi dalam munculnya kesadaran sebagai nation;

kesamaan kehendak, kesamaan nasib dan kesamaan cita-cita.

Pentingnya peran pendidikan dalam menanamkan nasionalisme

terlihat juga dari ide para pendiri bangsa yang meletakkan pendidikan sebagai

aspek penting dalam perjuangan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945

bahwa salah satu tujuan kita berbangsa dan bernegara adalah mencerdaskan

kehidupan bangsa.12

Inilah integrasi pendidikan dengan cita-cita kemerdekaan

Indonesia bahwa berdirinya sebuah bangsa tidak bisa dilepaskan dari

keberhasilan pendidikan. Oleh karenanya sebuah bangsa yang merdeka

hendaknya memperhatikan kualitas pendidikannya yang bertujuan

11

Kaum pergerakan sangat menyadari arti dan penting pendidikan

sebagaimana surat Kartini kepada E.H. Zeehandelaar, pada tanggal 12 Januari 1900

yang berbunyi: “Oh, sekarang saya mengerti, mengapa orang tidak setuju dengan

kemajuan orang Jawa. Kalau orang Jawa berpengetahuan, ia tidak akan lagi

mengiyakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin dikatakan atau diwajibkan

oleh atasannya.” 12

Lihat Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.

Page 21: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

7

mencerdaskan bangsanya. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah sebuah

konsepsi budaya bukan sekedar mencerdaskan otak bangsa. Hal ini terlihat

dari konsep pendidikan yang diusung oleh Taman Siswa, Muhammadiyah

dan NU yang menegaskan misinya yaitu menjadikan pendidikan sebagai

pencerahan budaya dan mempertebal keindonesiaan. Dari sini jelas terlihat

bahwa kemerdekaan tidak hanya dimaknai sebagai pembebasan bangsa dari

belenggu ekonomi-politik yang kolonialistik, tetapi juga pembebasan dari

kebodohan dan keterbelakangan. Karena kebodohan dan keterbelakangan

telah dimanfaatkan oleh kolonialisme untuk memelihara kekuasaannya selama

ratusan tahun.13

Pendidikan yang mampu menanamkan rasa kepekaan dan

kepedulian terhadap bangsa, karena pendidikan saja tidak cukup untuk

membangun bangsa dan negara tanpa ada rasa kepekaan dan kepedulian. Dua

hal inilah yang bisa dilihat dari para tokoh pendidikan Indonesia ketika

mereka merumuskan sistem pendidikan di Indonesia. Kepekaan dan

kepedulian terhadap lingkungan akan melahirkan keinginan untuk menjaga

bangsa dan negaranya agar tetap aman dan sejahtera.

Dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia tersebut dapat dilihat bahwa

lahirnya nasionalisme tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan khususnya

pendidikan yang dilakukan di lembaga formal kelembagaan yang bernama

sekolah. Pendidikan yang dilakukan di sekolah dalam konteks Indonesia

terbukti telah memunculkan kesadaran pada diri peserta didik saat itu akan

kebangsaannya dalam bentuk menyadari akan kondisi penderitaan bangsanya

sebagai akibat dari penjajahan. Hal ini membuktikan bahwa sekolah

merupakan tempat pendidikan dan pembentukan jiwa serta semangat bagi

generasi muda melalui penanaman sentimen kebangsaan yang saat itu

mengalami penjajahan, melalui bacaan, melalui pencerahan budaya dan

dengan mempertebal keindonesiaan. Lingkungan makro yang melingkupi

Indonesia saat itu berupa kolonialisme dan imperialisme asing tak dapat

dipungkiri memang membuka jalan bagi penanaman nasionalisme sehingga

tidak ada kendala ideologi apapun dalam penanaman nasionalisme Indonesia

saat itu. Oleh karena itu di era kemerdekaan seperti sekarang kirannya perlu

dirumuskan kembali konsep dan praktek pendidikan yang dapat

menumbuhkan jiwa nasionalisme di kalangan anak bangsa yang akhir-akhir

ini semakin memudar seiring dengan arus globalisasi yang kian menggerus

bangsa ini, yaitu sebuah konsep pendidikan yang di satu sisi dapat menjawab

peluang dan tantangan persoalan kontemporer global dan di sisi lain juga

13

Rudi Hartono. Pendidikan dan Nasionalisme. Artikel ini disampaikan

dalam seminar bertajuk “Menerapkan Nilai-Nilai Nasionalisme Dalam Pendidikan

untuk Menciptakan Generasi Berkarakter Kebangsaan”, di kampus Universitas

Sarjanawiyata Tamansiswa, Jogjakarta, 15 November 2014. Diunduh pada tanggal 19

Januari 2017 pukul 09:38.

Page 22: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

8

dapat menjadikan peserta didik orang-orang yang memiliki integritas

kebangsaan yang kuat.

Dalam perspektif Islam hakikat pendidikan dan nasionalisme ini

sejalan dengan misi ajaran Islam yang rah{matan lī al-‘a<lami<n yang

mengejawantah dalam pribadi tiap individu muslim.14 Dalam konteks

Indonesia pribadi muslim yang rah{matan lī al-‘a<lami<n sebagaimana dikatakan

Azra adalah pribadi yang dapat menjadi manusia seutuhnya yang tidak hanya

cerdas secara intelektual tapi juga cerdas moral dan spiritual. Jika merujuk

pada pendapat al-As{faha<ni<,15

di mana kata ar-rah{mah terkadang

berkonotasi al-riqqah (kelembutan), al-ih{sa<n (kebajikan), al-akhya<r (kebaikan), dan al-ni’mah (kenikmatan), maka pribadi muslim yang

rah{matan lī al-‘a<lami<n adalah pribadi yang memiliki sifat-sifat mulia tersebut

sebagaimana pribadi Nabi Muhammad Saw. Dalam konteks yang lebih luas

Nata mengartikan rah{matan lī al-‘a<lami<n yaitu terciptanya kehidupan dunia

yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari sehingga seluruh makhluk yang

ada di dalamnya hidup dengan rasa aman dan nyaman serta penuh persatuan

di mana misi rah{matan lī ‘al-a<lami<n ini hanya dapat diemban oleh seorang

muslim yang mampu berperan sebagai khalifah yang dapat memberi

kemaslahatan melalui kemuliaan sifat-sifatnya serta dapat melestarikan dan

mengembangkan nilai-nilai kebajikan di muka bumi.16

Sehubungan dengan

itu maka pendidikan kepada manusia dalam pandangan Islam merupakan hal

utama yang diperlukan untuk melahirkan khalifah-khalifah sebagaimana

tujuan penciptaan manusia dalam Islam.

Merujuk pada term rah{matan lī al-‘a<lami<n sebagaimana uraian di atas,

karenanya pendidikan Islam merupakan salah satu alat pendidikan yang dapat

difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup

manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial sesuai dengan tujuan

14

Menurut Azra, term rah{matan lī al-‘a<lami<n merujuk pada pribadi seorang

hamba yang selalu bertakwa kepada-Nya yang dalam konteks sosial-masyarakat,

bangsa dan negara adalah pribadi yang dapat membawa maslahat atau kebaikan bagi

lingkungannya. Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di

Tengah Tantangan Milenium III (Jakarta: Kencana Prenada Media Gorup, 2012), 8. 15

Al-Raghi<b al-As{faha<ni<, Al-Mufrada<t fi< Ghari>b al-Qur’a<n, Maktabah Naza<r

Must{afa al-Ba<z, (I/253-254). 16

Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan

Islam (Jakarta: Grasindo, 2001), 100. A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam

(Jakarta: Fajar Dunia, 1999), 32-33. Hal ini juga merupakan rumusan tentang tujuan

pendidikan Islam sebagaimana yang telah disepakati dalam Kongres Pendidikan Islam

se-Dunia yang kedua tentang pendidikan Islam yang diselenggarakan pada 1980 di

Islamabad. Lihat juga, Alquran surat al-Baqarah ayat 30.

Page 23: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

9

penciptaannya.17

Penisbatan gelar khalifah kepada manusia yang merupakan

makhluk pribadi dan sosial mengandung amanah tugas yang harus dipikulnya,

yaitu memimpin, mengelola dan memelihara hidup dan kehidupan dalam

rangka mencapai tujuan kedamaian, keharmonisan dan kesejahteraan sebagai

perwujudan kasih sayang Allah Swt (rah{matan lī al-‘a<lami<n). Dengan

demikian pendidikan Islam di mana di dalamnya terkandung ajaran nilai-nilai

agama Islam memiliki korelasi dengan nasionalisme mengingat nilai-nilai

yang terkandunng dalam ajaran Islam mengandung substansi nilai-nilai

nasionalisme yaitu menciptakan kehidupan yang penuh kedamaian dan

persatuan dalam rangka mencapai kemaslahatan dalam hidup dan kehidupan

manusia melalui pengembangan sifat-sifat mulia seorang muslim sesuai

dengan ajaran nilai-nilai Islam.

Ditinjau dari aspek sosiologis, pendidikan Islam dan nasionalisme

sudah sejak lama memiliki hubungan yang erat dan saling mempengaruhi

dalam rangka menciptakan kehidupan berbangsa yang harmonis, karena pada

hakikatnya risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw merupakan

sebuah risalah dalam usaha membangun masyarakat Islam yang beriman,

berakhlak mulia, berbudi luhur dan mulia perangainya sebagaimana makna

yang terkandung dalam misi Islam yang rahmatan li< al-‘a<lami<n yang melatar

belakangi pemikiran tokoh-tokoh Islam yang hidup di abad ke-19 dan awal

abad ke-20 dalam mempersepsikan nasionalisme.18

Berdasarkan hal ini tokoh-

tokoh pembaru politik pada zaman kebangkitan Islam tersebut menuangkan

gagasan-gagasan politiknya termasuk gagasan tentang nasionalisme yang

tetap berpegang pada kaidah-kaidah politik dalam Islam yang tercantum

dalam Alquran. Salah satu gagasan yang muncul terkait nasionalisme ini

adalah bahwa dasar kesatuan umat manusia adalah berdasarkan kesamaan,

kebebasan dan persaudaraan dengan berpegang pada prinsip tauhid bukan

berdasarkan geografis. Dengan demikian menurut mereka Islam menolak

hubungan rasial berdasarkan kebudayaan, bahasa dan geografis sebagai dasar

kesatuan umat manusia.

Pandangan para tokoh Islam pada abad kebangkitan Islam tersebut

pada akhirnya memunculkan diskursus tentang nasionalisme dalam perspektif

Islam, sebab nasionalisme yang muncul sekarang ini mengabaikan unsur

agama dalam kesatuan politik.19

Peniadaan unsur agama dalam membangun

wacana nasionalisme inilah yang pada akhirnya menimbulkan pandangan

yang beragam dari tokoh Islam. Menurut Iqbal bagi seorang muslim seluruh

pelosok dunia adalah tempat tinggal dan tempat peribadatan karena seluruh

17

Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga

Pendidikan Islam Klasik (Bandung: Penerbit Angkasa, 2004), Cet. I, 4. 18

Lihat kembali misi ajaran Islam yang rahmatan li< ‘al-a<lami<n. 19

Muhammad Aziz Ahmed, Pemikiran Politik Iqbal (Semarang: Risalah

Bandung & CV. Toha Putera, 1983), 22.

Page 24: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

10

permukaan bumi adalah wilayah kedaulatan Allah. Meski nasionalisme dalam

pandangan Iqbal menolak pengkotak-kotakkan manusia berdasarkan

geografis, ras atau kesamaan warna kulit dan bahasa, namun tidak

mengabaikan semangat untuk berdamai dengan sesama manusia.20

Pandangan

Iqbal yang berpendapat tidak ada konsep nasionalisme dalam Islam lebih

dikarenakan karena praktek nasionalisme yang disaksikannya terutama

nasionalisme dalam konsepsi Barat memiliki sifat individualisme dan egoisme

yang berlebihan. Negara dan bangsa dalam pandangan politik Islam menurut

Iqbal bukanlah nasionalisme apalagi imperialisme, melainkan sebuah lembaga

bangsa-bangsa yang mengakui adanya batas territorial. Sedangkan perbedaan

yang ada pada diri manusia yang ada di dalamnya (perbedaan rasial) hanyalah

untuk memudahkan pengenalan saja. Dengan demikian nasionalisme yang

ditentang Iqbal adalah nasionalisme Barat karena nasionalisme Barat

mengandung benih-benih materialisme yang atheis serta penuh dengan

semangat kolonialisme yang bertujuan untuk memecah belah dunia muslim.

Sejalan dengan Iqbal, Mohammad Natsir yang merupakan salah

seorang tokoh pembaharu politik Islam Indonesia mengatakan ikatan

kebangsaan tidak ada salahnya digunakan oleh orang Islam untuk

mengumpulkan mereka dalam satu ikatan namun dengan tetap menghormati

kepentingan dan hak-hak golongan lain, di samping tidak memunculkan

ta’as{s{ub kebangsaan yang menutup keadilan bagi golongan lain. Ikatan

kebangsaan juga hendaknya tidak membuat terputusnya ukhuwwah dengan

kaum muslimin dari berbagai bangsa dengan dalih teritori ataupun dalih

sentimen kebangsaan lainnya.21

Natsir beranggapan bahwa nasionalisme tidak

bertentangan dengan Islam selama rasa cinta terhadap tanah air itu tidak

menomor duakan Tuhan karena Islam secara diametral tidak bertentangan

dengan nasionalisme bahkan Islam turut serta dalam membangun rasa cinta

terhadap tanah air. Dengan demikian nasionalisme dalam pandangan Natsir

tetap dalam bingkai Islam di mana ukuran benar atau salah dalam memaknai

dan praktek nasionalisme adalah dengan timbangan ajaran Islam. Itulah

mengapa nasionalisme dalam perspektif Islam tidak membenarkan dalih right

or wrong is my country yang menyebabkan suatu bangsa merasa berhak untuk

menjajah bangsa lain dengan dalih apapun.

Pandangan Iqbal dan Natsir sebagaimana uraian sebelumnya

menegaskan bahwa nasionalisme yang digagas Barat yang pada akhirnya

melahirkan kolonialisme dan imperialisme tidak sesuai dengan ajaran tauhid

yang menekankan keadilan di semua aspek kehidupan yang memperjuangkan

20

Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama Dalam Islam

(Djakarta: Tintamas, 1966), 155. 21

Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942 (Jakarta:

LP3ES, 1980), 397. Lihat juga M. Natsir, Islam Sebagai Ideologi (Jakarta: Pustaka

Penyiaran Ilmu, 1950), 21.

Page 25: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

11

golongan masyarakat lemah dan termarjinalkan.22

Sesuai dengan misi ajaran

Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, praktek nasionalisme dalam

perspektif Islam menurut Iqbal dan Natsir menolak imperialisme,

kolonialisme dan materialisme atas nama negara bangsa yang bernuansa

narsistik dan egoistik karena bertentangan dengan nilai-nilai humanisme

Islam. Dari sinilah terlihat hubungan antara pendidikan Islam dan

nasionalisme. Pendidikan Islam sebagai sebuah pranata sosial menentang

praktek nasionalisme yang mengandung dehumanisasi karena tidak sejalan

dengan hakikat, tujuan, dan fungsi pendidikan Islam, yaitu melahirkan

pemakmur-pemakmur bumi yang memiliki tugas memimpin, mengelola dan

memelihara hidup dan kehidupan dalam rangka mencapai tujuan kedamaian,

keharmonisan dan kesejahteraan sebagai perwujudan kasih sayang Allah Swt.

Sebagai sebuah konsep politik dalam Islam, konsep nasionalisme

pernah dilontarkan oleh Ibnu Khaldun dengan mengambil term ‘as{a<biyyah.23

‘as{a<biyyah di sini berarti solidaritas, perasaan sekelompok (group feeling) dan

kesadaran kelompok (group consciousness). Persamaan nasionalisme dan

‘as{a<biyyah bahwa keduanya bertujuan untuk terciptanya suatu negara

kebangsaan. Hal ini sebagaimana dikatakan Gellner bahwa nasionalisme

memiliki aspek sentimen (perasaan bersama) yang akan berubah menjadi

kesadaran dan gerakan sosial.24

Nasionalisme menurut Gellner adalah sebuah

prinsip, maka sentimen akan memunculkan dampak gerakan yang positif jika

prinsip-prinsip tersebut dijalankan secara konsisten. Namun sentimen akan

berujung gerakan negatif jika terjadi pelanggaran terhadap prinsip tersebut.

Berbeda dengan konsep ‘as{a<biyyah, negara yang menjadi tujuannya

merupakan alat yang penting dalam rangka menegakkan sendi-sendi agama,

sebab tanpa negara sendi-sendi agama tidak akan dapat terwujud di muka

bumi. Sementara dalam pandangan Barat agama dan negara adalah dua hal

yang masing-masing berdiri sendiri. Karenanya dalam konsep ‘as{a<biyyah,

sentimen dan gerakan dilakukan dengan pertimbangan nilai-nilai agama

bukan bersifat etnocentris. Meski demikian menurut Azra, Islam secara

normatif maupun historis tidak memiliki masalah yang signifikan dengan

nasionalisme karena Islam tidak pernah mempertentangkan antara keislaman

(keimanan) dengan etnik.25

Pandangan Azra ini salah satunya dilihat dari

22

Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1999), cet 1, 33. 23

Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme (Jakarta: Logos Wacana

Ilmu, 1999) cet 1, 138. 24

Ernest Gellner, Nations and Nationalism, (NY:Cornell University

Press,1983), 1 25

Salah satu alasan yang dikemukakan Azra untuk mendukung pendapatnya

ini adalah bagaimana hadirnya kolonialisme oleh Belanda dan bangsa-bangsa lain

terhadap Indonesia, telah meniadakan sentimen etnisitas lokal (kedaerahan), menjadi

Page 26: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

12

sudut pandang bahwa sejak awal mula Islam disebarkan di Indonesia

berlangsung dengan cara damai, sehingga hal ini membuat karakter

penyebaran Islam di Indonesia dengan cara mengakomodir kepercayaan dan

kebudayaan lokal yang begitu beragam di Indonesia, atau dengan kata lain

banyak terjadi pribumisasi Islam. Bahkan, menurut Azra Islamlah yang

menjadi pendorong munculnya nasionalisme di Indonesia. Karenanya

etnocentris dalam pandangan Azra bukanlah pemberhalaan terhadap suku,

puak dan sebagainya tapi lebih kepada penghormatan dan penghargaan

terhadap keragaman yang memang diciptakan Tuhan.

Relasi Nasionalisme dan Islam diungkapkan oleh Hasan Al-Bana

dalam risalah al-Mu'tamar al-Kha<mis. Al-Banna mengatakan bahwa “relasi

antara Islam dan nasionalisme tidak selalu bersifat taraddud atau kontradiktif.

Menjadi muslim yang baik tidak selalu berarti anti-nasionalisme."26

Nasionalisme dalam pandangan Al-Banna mengandung unsur-unsur kecintaan

dan kerinduan terhadap tanah air, keharusan bekerja serius untuk

membebaskan tanah air dari penjajah demi membela kehormatannya, serta

memperkuat ikatan antar anggota masyarakat di wilayahnya. Hal ini

dikarenakan seorang muslim yang baik adalah mereka yang berpegang teguh

pada ajaran moral yang dilandasi nilai-nilai ajaran Islam yang rah{matan lī al-

‘a<lamīn yang mengejawantah dalam pribadi seorang muslim sebagaimana

dikatakan Azra, Nata dan al-Ashfahani, pribadi yang dapat mengemban

amanah tugas yang harus dipikulnya, yaitu memimpin, mengelola dan

memelihara hidup dan kehidupan dalam rangka mencapai tujuan kedamaian,

keharmonisan dan kesejahteraan sebagai perwujudan kasih sayang Allah Swt

(rah{matan li< al-‘a<lami<n). Nasionalisme sebagaimana pandangan Al-Banna ini

sejalan dengan hakikat nasionalisme yaitu sebagai suatu paham (ajaran) untuk

mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu

bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai,

mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan

kekuatan bangsa.

Pernyataan yang sama juga dijelaskan oleh Ali Maschan Moesa

bahwa agama tidak bertentangan dengan nasionalisme. Bahkan, agama bisa

menjadi perekat bangsa dan menciptakan solidaritas yang kuat antar bangsa.27

sentiment etnisitas untuk menumbuhkan loyalitas kepada etnis yang lebih tinggi atau

luas. Dengan demikian Azra menolak anggapan yang menyatakan bahwa Islam hanya

akan menimbulkan dampak negatif terhadap nasionalisme. Lihat, Azyumardi Azra,

Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia: Perspektif Islam dan Ketahanan

Budaya (Jakarta: LIPI Press, 2011), 107. Lihat juga, Alquran surat al-Hujurat ayat 13. 26

Hasan al-Banna, Majmū’āt al-Rasāil, Terj. Kumpulan Risalah Dakwah

Hasan al-Banna (Jakarta: Al I’tishom Cahaya Umat, 2012), 56. 27

Ali Maschan Moesa lebih melihat agama sebagai basis kehidupan

masyarakat atau kepribadian umat (paradigm Islam kultural), dari pada harus

Page 27: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

13

Pendapat Moesa ini menegaskan bahwa Islam dan nasionalisme saling

bersinergi dalam mewujudkan keutuhan dan karakter suatu bangsa. Islam

menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya rasa nasionalisme

bangsa. Menurut Moesa, relasi antara Islam dan nasionalisme sangat

memungkinkan mengingat ajaran Islam yang integral dan komprehensif bisa

menjadi perekat hubungan antar bangsa baik secara internal maupun

eksternal. Dengan demikian, nasionalisme dalam kaca mata Islam bukanlah

merupakan hal yang baru atau asing, karena sebagian umat Islam percaya

bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam dan bahkan merupakan

bagian dari Islam itu sendiri. Dari beberapa pandangan di atas terlihat bahwa

sebagian tokoh-tokoh Islam memandang dan membangun nasionalisme secara

normatif dimana nasionalisme diartikan sebagai cinta tanah air, membebaskan

negara dari imperialisme, merapatkan barisan dan merekatkan tali

persaudaraan adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.

Secara empirik masyarakat Islam sesungguhnya sangat akrab dengan

nilai-nilai yang ada dalam nasionalisme. Banyak ajaran-ajaran Islam yang

menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan yang demokratis. Hal

ini sebagaimana dikatakan Sukarno terlihat dari prinsip kesamarataan dalam

hak dan kewajiban yang dikenal dalam masyarakat Islam yang pada akhirnya

akan menuntut terbinanya kehidupan yang demokratis.28

Rusaknya tatanan

masyarakat Islam yang demokratis dimulai ketika rusaknya budi pekerti para

pemeluk Islam itu sendiri. Itulah mengapa menurut Sukarno yang terpenting

bagi umat Islam adalah bagaimana mengetahui dan menghayati jiwa Islam

yang hakiki. Banyaknya umat Islam yang belum memahami Islam sesuai

dengan jiwanya yang pada akhirnya umat hanya memahami Islam sesuai

teksnya dan kurang menyesuaikan dengan realita kehidupan yang sebenarnya.

Padahal semangat yang dijiwai ajaran-ajaran Islam akan membawa

masyarakat Islam mencapai puncak kejayaan sebagaimana pernah terjadi

dalam sejarah Islam.

Usaha-usaha untuk mengembalikan kejayaan masyarakat Islam

menurut Sukarno secara riil dapat dilakukan dengan menyamai

kemasyarakatan musuh kita dalam hal ini Barat.29

Dalam usahanya meniru

Barat sebagai awal memajukan masyarakat Islam, pertama yang menurut

Sukarno perlu mendapat perhatian adalah masalah-masalah yang berkaitan

membentuk suatu komunitas agama yang di sisi lain mengeksploitasi hak umat lain.

Lihat, Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama

(Yogyakarta: LKiS, 2007), 12. 28

Soekarno, Surat-surat Islam dari Endeh”, dalam Soekarno, Di Bawah

Bendera Revolusi (Djakarta: Gunung Agung, 1965), 327. 29

Dalam konsep nasionalismenya Sukarno menyebut bangsa Barat sebagai

musuh karena Barat lah yang merupakan pelopor kolonialisme dan imperialisme di

muka bumi ini.

Page 28: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

14

dengan pendidikan. Dalam hal pendidikan dan pengetahuan Islam, Sukarno

tidak menganut paham dikotomis yang memisahkan antara pengetahuan

agama dan pengetahuan umum.30

Pandangan Sukarno ini sedikit banyak

dipengaruhi oleh fakta sejarah bahwa pendidikan yang dijiwai ajaran Islam

terbukti telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan Islam dalam berbagai bidang

hingga lahirlah kemudian para cendekiawan muslim dalam pemikiran politik

dan ketatanegaraan seperti Ibn Abi < al-Rabi’< (abad ke-9), al-Farabi< (870-950),

al-Ma<wardi< (947-1058), Niz{a<mul Muluk (1017-1091), al-Ghaza<li< (1058-

1111), Ibn Khaldu<n (1332-1406), dan Ibn Taimiyah (1263-1328).31

Dengan

demikian terdapat hubungan timbal balik antara nasionalisme dan pendidikan

khususnya pendidikan Islam di mana dengan pendidikan Islam yang di

dalamnya diajarkan nilai-nilai agama Islam terbukti secara konsep dan fakta

dapat melahirkan orang-orang yang memiliki kesadaran akan jati dirinya dan

bangsanya serta dorongan untuk berbuat yang terbaik bagi kemakmuran dan

kejayaan bangsanya.

Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, penanaman wawasan

kebangsaan dalam dunia pendidikan Islam menurut Kartodirdjo, diberikan

antara lain melalui pemberian pemahaman kepada peserta didiknya untuk

menghilangkan faham fanatisme suku. Ia menjelaskan, ini merupakan hakikat

dari faham nasionalisme, di mana tidak ada faham rasisme dan sukuisme.

Bukti-bukti yang menunjukkan hal ini antara lain adalah kehadiran para

peserta didik yang berasal dari berbagai suku dan etnis pada lembaga

pendidikan Islam pada masa tersebut. Hal ini dimungkinkan mengingat nilai-

nilai yang terkandung dalam ajaran Islam memang mengajarkan untuk

menghilangkan paham etnocentris (supremasi suku).32

Hal ini sejalan dengan

hakikat dan tujuan pendidikan Islam yaitu rahmatan li< al-‘a<lami<n yang

mengandung nilai-nilai humanisme yang universal bagi seluruh makhluk

seperti kasih sayang, menghormati dan menghargai pluralisme serta tidak

mengenal etnisitas maupun sektarianisme. Inilah nilai-nilai nasionalisme yang

terkandung dalam pendidikan Islam. Karenanya dari pandangan ini dapat

dikatakan bahwa lembaga pendidikan Islam menjadikan ajaran Islam sebagai

wawasan dasar nasionalisme.

Dalam perkembangannya lembaga pendidikan Islam di Indonesia

terus bermetamorfosis sehingga lahirlah kemudian lembaga pendidikan Islam

semisal pesantren dan madrasah yang merupakan lembaga pendidikan Islam

30

Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme, 128. 31

Haroon Khan Sherwan, Mempelajari Pendapat-pendapat Sardjana-

sardjana Islam tentang Administrasi Negara (Djakarta: Tintamas, 1964) 32

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah: Maha Karya Perjuangan

Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(Bandung: Grafindo Media Pratama, 2012), 138. Lihat juga surat al-Hujurat ayat 13

dan surat ar-Ruum ayat 22.

Page 29: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

15

yang pada masa-masa awal sejarah perjalanan perjuangan bangsa ini memiliki

peranan yang sangat krusial. Melalui pendirian pesantren dan madrasah

tersebut tokoh-tokoh Islam berhasil melahirkan para pejuang pembela negara

dari cengkeraman penjajah. Keberadaan madrasah dan pondok pesantren yang

merupakan salah satu sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat yang telah

berurat berakar dalam masyarakat Indonesia sangat diperhitungkan oleh

bangsa-bangsa imperialis yang pernah menancapkan kuku-kuku

imperialismenya di bumi Nusantara ini. Peran para santri dalam membela

tanah airnya itulah yang menjadi alasan utama mengapa pada masa

pemerintahan kolonial Belanda, pendirian-pendirian sekolah Islam tidak

selalu berjalan mulus karena dibatasi oleh pemerintah kolonial Belanda.33

Kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda tersebut memang cukup

beralasan, karena sekolah-sekolah Islam saat itu sangat kritis dalam

menentang kebijakan imperial kaum kolonial.

Peran lembaga pendidikan Islam dalam penanaman nasionalisme

sebagaimana paparan di atas menegaskan, bahwa pendidikan Islam yang

menjadikan nilai-nilai agama Islam sebagai landasan pelaksanaannya, tidak

hanya memberikan penekanan pada aspek spiritual namun juga moral dan

intelektual. Keterkaitan antara pendidikan agama dan nasionalisme jika

merujuk pada pendapat Al-Ghulayani,34

bahwa pendidikan Islam adalah

sebuah proses penanaman akhlak yang mulia dalam jiwa anak sehingga

akhlak tersebut menjadi malakah (hal-hal yang meresap) dalam jiwa yang

pada akhirnya membuahkan kemuliaan, kebaikan, serta cinta beramal untuk

kepentingan negara. Inilah antara lain hubungan antara pendidikan agama

dan nasionalisme. Hubungan antara pendidikan agama dan nasionalisme jika

merujuk pada pandangan Maarif,35

adalah bahwa pendidikan Islam bertujuan

meningkatkan sikap kritis terhadap dunia. Sikap kritis ini yang pada akhirnya

mampu menggerakkan individu untuk memelihara dan memakmurkan bumi

sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi dalam

rangka mewujudkan rahmat bagi seluruh alam (rah{matan li< al-‘a<lami<n).

Penekanan aspek spiritual pada pendidikan Islam untuk menegaskan

bahwa pada akhirnya tujuan pendidikan Islam bermuara pada pembentukan

manusia sesuai dengan kodratnya yang menyangkut dimensi imanensi

(horizontal) yang menyangkut hubungan dengan alam semesta dan sesamanya

33

Nasution, Sejarah Pendidikan Islam (Surabaya: Bumi Aksara, 1995), 145

Lihat juga Gani Jumat, Nasionalisme Ulama, Pemikiran Politik Kebangsaan Sayyid

‘Idrus Bin Salim Aljufry 1391-1969 (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012), 49-50. 34

Must{afa Al-Ghula<ya<ni<, Id{at Al-Na<shi’i<n, (Beirut: Al-Maktabah Al-

Ans{a<riyyah, 1993), hlm. 185. 35

Ahmad Syafii Maarif, Pendidikan Islam Sebagai Paradigma Pembebasan,

dalam Muslih Usa, (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta

(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1991), 22.

Page 30: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

16

serta dimensi transendensi (vertical) yaitu hubungan dan pertanggungjawaban

manusia kepada Yang Maha Pencipta,36

yang didasari pada Alquran, hadis

dan sejarah Islam sebagai acuan dalam setiap aspek penyelenggaraannya.

Implikasi dari hal ini kemudian bahwa pendidikan Islam tidak hanya sebatas

transfer of knowledge, namun mencakup juga transfer of value serta memiliki

dimensi dunia dan akhirat.37

Oleh karena itu pendidikan Islam berorientasi

pada pembentukan insan kamil,yaitu manusia yang sempurna dari segi wujud,

pengetahuan dan sifat-sifatnya karena ia merupakan citra Tuhan di mana pada

dirinya tercermin nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara utuh.38

Karenanya

jika mengacu pada hakikat dan tujuan pendidikan Islam tersebut, maka

pendidikan Islam hendaknya berada pada barisan terdepan dalam menciptakan

manusia-manusia yang berguna bagi masyarakat karena pendidikanlah yang

secara langsung berhadapan dengan umat manusia.39

Dengan demikian

pendidikan agama yang diberikan di lembaga pendidikan Islam secara

shumuliyah (komprehensif) bukan parsial baik secara tekstual maupun

kontekstual dan ditujukan agar terinternalisasinya nilai-nilai Islam dalam

kehidupan sehari-hari peserta didik, akan dapat menghasilkan peserta didik

yang mampu berperan sebagai individu-individu yang menebar kebajikan di

tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu tindakan kekerasan atau

radikalisme yang mengatas namakan agama bukanlah imbas dari pendidikan

agama yang diberikan secara komperehensif dan kontekstual. Menurut

Turmudzi, tindakan radikalisme biasanya bertolak dari gerakan politik yang

mendasarkan diri pada suatu doktrin keagamaan serta pengajaran nilai-nilai

agama yang literal bebas dari kompromi, penjinakan dan reinterpretasi

penafsiran.40 Oleh karena itu pembelajaran nilai-nilai agama yang kontekstual

akan dapat memberikan bekal kepada peserta didik untuk dapat menjadi

warga masyarakat yang mampu beerperan dalam menjawab tantangan

kehidupan yang semakin kompleks seiring dengan kemajuan di bidang

ekonomi, politik dan sosial budaya.

Pendidikan agama yang komperehensif dan kontekstual dalam

lembaga pendidikan Islam menuntut untuk melibatkan segenap komponen

yang ada dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Beberapa komponen

36

Muslih Usa, ed., Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: PT. Tiara

Wacana, 1991), 31. 37

Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam

(Bandung: Al-Ma’arif, 1980), 94. 38

Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi (Jakarta:Paramadina,1997), 49. 39

Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan

Islam, 100. 40

Endang Turmudzi dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI

Press, 2004), 5. Lihat juga Yu<suf Al-Qard{a<wi<, Al-S{ah{wah al-Isla<<miyyah bayn al-

Juhu<d wa al-Tat{t{arruf (Cairo: Bank al-Taqwa<, 1406 H), 59

Page 31: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

17

dalam lembaga pendidikan Islam terutama komponen utamanya seperti

kurikulum, proses pembelajaran, tenaga kependidikan dan kegiatan-kegiatan

yang diselenggarakan di lembaga pendidikan Islam harus mengacu pada

terinternalisasinya nilai-nilai Islam dalam keseluruhan sistem sosial budaya

dan pembentukan wawasan intelektual,41

baik nilai-nilai ketauhidan maupun

nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang di dalamnya terkandung substansi dari

nilai-nilai nasionalisme.

Kesimpulan yang bisa diambil kemudian adalah, bahwa dalam

konteks keindonesiaan tidak ada kontradiksi antara tujuan pendidikan Islam

dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang telah dirumuskan oleh

para pakar pendidikan dan tokoh agama di mana salah satu fungsi pendidikan

baik langsung maupun tidak langsung memiliki korelasi dengan penanaman

nilai-nilai nasionalisme. Pendidikan Islam yang secara fundamental

berlandaskan Alquran dan hadis sebagai acuannya, mengandung implikasi

bahwa dalam prosesnya senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai ideal Islam yang

goal-nya adalah melahirkan manusia-manusia sempurna (aḥsan al-taqwi<m),

dalam arti bertauhid dan bermoral (al-akhlāq al-karīmah) yang dalam

terminologi Islam disebut dengan individu yang memiliki karakter rah{matan

li< al-‘a<lami<n.

Berbeda dengan pendidikan Islam yang secara fundamental

berlandaskan Alquran dan hadis sebagai acuannya, pendidikan dalam

perspektif Barat yang sekuler, liberal, pragmatis dan materialis hanya

mendasarkan atas hasil pemikiran manusia dalam menuju kemaslahatan

umum atau humanisme universal. Oleh karenanya konsep pendidikan yang

menganut paham inilah yang pada akhirnya menjadi ajang pertarungan

ideologis yang acapkali berbenturan dengan kepentingan antara manusia satu

dengan yang lain dan antara bangsa satu dengan yang lain,42

karena tujuan

hidup yang ditetapkan hanya mendasarkan pada pandangan manusia seperti

yang terjadi pada masa Yunani kuno di mana orang-orang Sparta pada masa

Yunani lama berpendapat bahwa tujuan hidup adalah untuk berbakti pada

negara dan memperkuat negara melalui kekuatan fisik semata sehingga

41

Lihat, UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan

nasional berfungsi kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Lihat juga PP No 55 tahun 2007 yang berbunyi, “Pendidikan agama berfungsi

membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yanng

Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan

hubungan inter dan antar umat beragama. 42

Arifin, Kapita Kapita Selekta Pendidikan Islam- slam dan Umum (Jakarta:

Bumi Aksara, 2000), 52.

Page 32: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

18

mereka yang kuat secara fisik dapat menguasai bangsa yang lemah.

Dampaknya kemudian di satu sisi Barat maju dalam peradabannya sebagai

akibat dari kemajuan pendidikan namun orientasi tujuan pendidikannya pada

akhirnya beralih pada usaha mencari keuntungan dengan jalan apapun baik

melalui eksploitasi, kolonialisme dan imperialisme yang pada akhirnya

mengkonstruksi paham nasionalisme Barat.

Penentangan terhadap konsep nasionalisme oleh sebagian ulama

Islam biasanya bermula dari penentangan mereka terhadap konsep

nasionalisme versi barat karena Barat menjadikan konsep nasionalisme

sebagai sarana untuk memecah belah kesatuan umat Islam dengan

menciptakan sekat-sekat geografis sehingga kekuatan umat Islam terpecah

dan akhirnya lemah. Hal ini tentu akan memudahkan barat untuk memuluskan

program imperialisme dan kolonialismenya. Nasionalisme Barat yang

memuat unsur imperialisme dan kolonialisme selain tidak sejalan dengan

nilai-nilai ajaran Islam juga bertentangan dengan fungsi pendidikan baik

dalam tinjauan Indonesia maupun tinjauan Islam.

Dari penjelasan-penjelasan di atas terlihat bahwa sesungguhnya nilai-

nilai yang terkandung dalam ajaran Islam memiliki korelasi dengan konsep

nasionalisme. Karenanya lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga yang

menyelenggarakan pendidikan berbasis Islam yang goal-nya adalah

melahirkan peserta didik yang memiliki al-akhla<q al-kari<mah yang membawa

kebaikan bagi bangsa dan negaranya (rah{matan li< al-‘alami<n) berperan besar

dalam menanamkan jiwa nasionalisme kepada para peserta didiknya. Oleh

karena itulah corak pendidikan yang dikehendaki oleh Islam menurut Maarif

adalah pendidikan yang mampu membentuk manusia yang unggul secara

intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan.43

Jika

diterjemahkan dalam praktek di lapangan, corak pendidikan Islam

sebagaimana dikatakan Maarif ini adalah pendidikan yang dapat melahirkan

peserta didik yang bukan hanya dapat menjawab tantangan global di bidang

teknologi tapi juga dapat menjadi manusia berbudaya yang memiliki

kepekaan dan tanggung jawab sosial melalui kerja-kerja nyata di masyarakat

sebagaimana tujuan dan hakikat pendidikan Islam. Karenanya merosotnya

tatanan nilai-nilai di masyarakat termasuk rapuhnya nilai-nilai yang

nasionalisme menunjukkan rapuhnya landasan moral dan nilai-nilai agama

dalam pendidikan.

Lembaga pendidikan Islam sebagai salah satu lembaga pendidikan

merupakan salah satu lembaga formal yang memegang peranan penting dalam

memperkuat tatanan nilai-nilai dan menjaga kelangsungan hidup bangsa dan

negara. Untuk itu sekolah perlu merekonstruksi kembali konsep dan sistem

43

A. Syafi'i Ma'arif, Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di

Indonesia, dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, ed. Muslih Usa

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 155

Page 33: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

19

pendidikannya sesuai dengan moral dan nilai-nilai ajaran agama Islam. Bukan

konsep pendidikan sekuler seperti yang dikemukakan al-Nahlawi,44

yang

memisahkan dimensi agamis dalam tatanannya yang kini banyak mewarnai

tatanan pendidikan pada umumnya. Akibat lanjutnya adalah bermunculannya

out put dari berbagai institusi pendidikan yang menguasai pengetahuan hanya

dari segi kognitif dan cenderung mengabaikan aspek afektif yang pada

akhirnya mendorong lahirnya paham-paham sekuler seperti imperialisme,

kolonialisme dan materialisme.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan yang

menyatakan bahwa ajaran Islam dan kekerasan memiliki hubungan yang erat

mengingat banyaknya fenomena tindakan terorisme dan radikalisme yang

mengatas namaka Islam tidak akan terjadi jika nilai-nilai yang ada dalam

agama Islam tidak dipahami secara eksklusif, skriptualis dan tidak

dikontekstualkan dalam kehidupan. Karenanya jika ajaran-ajaran agama

dipahami demikian maka akan terjadi pemberontakan dan tindak kekerasan

sebagai bentuk protes terhadap tatanan yang ada dalam masyarakat yang

dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Namun hal ini pun tidak

sepenuhnya benar. Menurut hasil penelitian, sebagian besar pelaku tindak

kekerasan yang tergabung dalam Al-Qaedah adalah mereka yang mengenyam

pendidikan umum Barat bukan pendidikan agama.45

Oleh karena itu

berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bawa tindakan radikalisme

bukan disebabkan oleh teks ajaran agama atau kurikulum pendidikan agama

melainkan lebih karena dipicu oleh kondisi sosial politik yang melatar

belakanginya ditambah lagi dengan pemahaman agama yang eksklusif dan

parsial.

Tidak signifikannya hubungan antara tindak kekerasan dan teks

ajaran agama serta kurikulum pendidikan agama secara tidak langsung

menunjukkan bahwa pendidikan Islam yang berlandaskan ajaran tauhid

mendukung nilai-nilai humanisme sebagaimana juga terkandung dalam nilai-

nilai nasionalisme. Hal ini karena aspek transendental, yaitu domain iman

dalam pendidikan Islam disamping tiga domain kognitif, afektif dan

psikomotorik yang dikembangkan Bloom, mengajarkan nilai-nilai kebajikan.

Dengan adanya aspek transendental inilah pendidikan yang integral akan

terwujud, yaitu metode pendidikan yang menciptakan keseimbangan dalam

pemahaman dan penghayatan peserta didik sehingga dapat mengamalkan

ilmunya dengan baik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai keagamaan.

Inilah antara lain makna dari konsep pendidikan keterpaduan yang dikemukakan al-Attas di mana seluruh kegiatan pendidikan dijiwai oleh nilai-

44

Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Isam di Rumah, Sekolah dan

Masyarakat, terj. Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 118 45

Lihat Tim Peneliti Staf Ahli Bidang Sosial Budaya Badan Intelijen

Negara, Deradikalisasi,(Jakarta:BIN RI,2009),48

Page 34: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

20

nilai agama yang bersumber dari ajaran Islam. Implikasi dari pendidikan yang

terpadu menurut al-At{t{a<s adalah seluruh komponen yang ada dalam dalam

lembaga pendidikan yang antara lain mencakup tujuan pendidikan yang

terangkum dalam visi dan misi lembaga pendidikan Islam, kurikulum, metode

pendidikan, guru atau pendidik, peserta didik, serta lingkungan pendidikan

hendaknya dijiwai atau diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam baik secara

normatif maupun empirik. Beberapa komponen pendidikan yang ada dalam sebuah sekolah yang

cukup signifikan dalam memberikan memberikan pendidikan yang bermuatan

nasionalisme adalah komponen kurikulum dan komponen pendidik atau guru.

Kurikulum dan guru mempunya peranan strategis dalam membentuk karakter

anak didik sebagaimana tercantum dalam UU No 20/2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional dan ketentuan pasal 1 UU No 14/2005 tentang Undang-

Undang Guru dan Dosen.46

Sebagai sebuah seperangkat rencana dan

pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang

digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk

mencapai tujuan pendidikan, kurikulum memegang peranan strategis dalam

mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum yang di dalamnya terintegrasi dengan

pendidikan karakter dan menyebar dalam setiap mata pelajaran akan sangat

mendukung pendidikan karakter yang bermuatan nasionalisme.47

Karenanya

dalam UU Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan tentang rambu-rambu

kurikulum yang antara lain harus mengundang peningkatan iman dan takwa,

akhlak mulia, kompetensi atau keterampilan serta nilai-nilai persatuan dan

kebangsaan.

Selain kurikulum, peran guru sebagai role model sangat

mempengaruhi keberhasilan pendidikan di sekolah tak terkecuali dalam hal

pendidikan nasionalisme. Oleh karena itulah diperlukan pendidik yang

memiliki karakter kuat (integritas) dan cerdas. Dengan demikian guru yang

cerdas dan memiliki integritas jika dipadukan dengan kurikulum yang

mengandung kompetensi peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia,

kompetensi dan keterampilan, serta nilai-nilai kebangsaan akan memberi

pengaruh yang kuat dalam menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan pada

generasi bangsa. Sesuai dengan hakikat dan tujuan pendidikan Islam yang

menjadikan nilai-nilai Islam sebagai acuan, maka konsekuensinya adalah

46

UU no 20/2003 dan ketentuan pasal 1 UU no 14/2005 menegaskan bahwa

guru memiliki tugas utama yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,

melatih menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dengan demikian peran guru sangat

penting dalam keberhasilan belajar di sekolah. Lihat juga Permendiknas nomor

22/2006 tentang Standar Isi. 47

Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2011).

Lihat juga Zubaidi, Pendidikan Berbasis Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2009), 23.

Page 35: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

21

terintegrasinya nilai-nilai Islam dalam komponen-komponen tersebut. Dengan

adanya integrasi ini niscaya akan terbangun kultur atau budaya sekolah yang

kondusif bagi pembentukan kristalisasi nilai-nilai agama dalam diri peserta

didik.

Perdebatan yang terjadi di kalangan pakar pendidikan juga

memunculkan diskursus, apakah konsep-konsep pembelajaran dan proses

pembelajaran yang ditawarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut

telah memberikan atau menanamkan wawasan kebangsaan kepada peserta

didiknya. Karena, lembaga-lembaga pendidikan seyogyanya menjadi tempat

pendidikan dan pembentukan jiwa serta semangat bagi generasi muda, untuk

menanamkan semangat nasionalisme maupun penguatan terhadap karakter

bangsa.48

Dan pendidikan Islam yang pada hakikatnya bertujuan menjadikan

nilai-nilai dasar Islam itu fungsional dalam diri seorang muslim, termasuk

dalam menjawab peluang dan tantangan persoalan kontemporer global, maka

seyogyanya pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan

Islam bukan hanya berbicara tentang peserta didik sebagai seorang makhluk

individu namun juga peserta didik sebagai makhluk sosial.

Dalam penelitian disertasi ini, Sekolah Islam Terpadu (SIT) menjadi

subyek penelitian terkait konsep dan praktek pendidikan nasionalisme di

lembaga pendidikan Islam. Pemilihan SIT sebagau subyek penelitian

dilandasi oleh beberapa kekhasannya yaitu; berdasarkan dokumen

pendiriannya SIT termasuk dalam katagori lembaga pendidikan umum yang

bernafaskan Islam dan kurikulum yang digunakan adalah kurikulum nasional

yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia namun dalam penyelenggaraan pendidikannya SIT

mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kurikulum nasional yang

digunakannya di samping juga memiliki kurikulum tersendiri yang merupakan

ciri khas dari sekolah SIT, seperti kurikulum tah{si<n dan tah{fi<z{ al-qur’a<n,

pendalaman Agama Islam, Bahasa Arab dan kurikulum Pramuka SIT yang

diambil dari kurikulum pramuka nasional namun di dalamnya terdapat

integrasi nilai Islam dalam kegiatan-kegiatan kepramukaan.49

Selain keempat

kurikulum ini yang tergolong dalam written curriculum, terdapat juga hidden

48

Nasionalisme dalam arti cinta tanah air, merupakan salah satu potensi

(fitrah) yang dimiliki manusia, dan pendidikan Islam hendaknya diarahkan untuk

membentuk manusia agar mampu mengoptimalkan semua potensinya. Adapun

potensi-potensi manusia yang lainnya adalah yang perlu dikembangkan dalam

penyelenggaraan pendidikan Islam adalah; fit{rah agama, fit{rah intelek, fit{rah sosial,

fit{rah susila, fit{rah ekonomi, fit{rah seni, fit{rah kemajuan, kemerdekaan, keadilan,

ingin dihargai, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Lihat, Armai Arief, Membumikan

Nilai-nilai Islam Dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: Suara ADI, 2009), Cet. I, 43-

45 49

Lihat lampiran II

Page 36: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

22

curriculum berupa pembiasaan ibadah dan adab islami serta kegiatan

pembinaan yang merupakan ciri khas SIT lainnya. Pengambilan SIT sebagai

subyek penelitian dilandasi oleh pemikiran bahwa pendidikan Islam secara

ideal memiliki ciri-ciri; ajaran tauhid dan persatuan, memuliakan manusia,

memandang hukum alam sebagai ketentuan Tuhan, menghargai akal dan

ilmu, memberikan kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan persaudaraan,

mengutamakan amal, mengajarkan kehidupan sosial, mengutamakan

toleransi, mengutamakan kepemimpinan yang beriman, dan menghendaki

ulama yang ahli dalam bidangnya.50

Ciri-ciri pendidikan Islam sebagaimana

dikemukakan oleh Nata ini tercermin dalam dokumen kurikulum tertulis

(written curiculum) khas SIT. Ajaran tauhid yang merupakan ciri khas

pendidikan Islam terlihat pada written curiculum SIT di mana SIT melakukan

integrasi nilai-nilai Islam dalam kompetensi dasar (KD) yang ada pada

kurikulum nasional yang di dalamnya terkandung ajaran persatuan,51

memuliakan manusia,52

memberikan kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan

persaudaraan,53

mengutamakan amal, mengajarkan kehidupan sosial,

mengutamakan toleransi, mengutamakan kepemimpinan yang beriman dan

ahli dalam bidangnya.54

Berdasarkan ciri-ciri tersebut ada beberapa point yang

menurut penulis mengandung semangat nasionalisme seperti persatuan,

memuliakan manusia, persaudaraan, mengajarkan kehidupan sosial dan

toleransi. Untuk melihat hal ini komponen yang akan dikaji dan dianalisis

adalah komponen kurikulum dan proses pembelajaran. Dua hal ini penting

untuk dikaji dan dianalisis karena dari sini akan terlihat mengenai tujuan, isi,

bahan pengajaran, serta proses pembelajaran yang dilaksanakan.55

Dan

kurikulum yang akan dikaji dalam penelitian ini bukan hanya kurikulum yang

dipelajari di dalam kelas saja (written curriculum) namun juga kurikulum

yang berbentuk hidden curriculum, yaitu berupa lingkungan sekolah, suasana

kelas, pola interaksi guru dengan siswa di dalam dan di luar kelas, bahkan

kebijakan dan manajemen sekolah. Kedua kurikulum ini penting untuk dikaji

50

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2011), 339. 51

Lihat lampiran I kurikulum PKn kelas 1 KD 1.1 52

Lihat lampiran 1kurikulum kurikulum PKn kelas 1 KD 1.2 53

Lihat lampiran 1 kurikulum PKn kelas 2 KD 1.1, KD 1.2, KD 2.1, KD 2.2, 54

Lihat lampiran 1kurikulum PKn di semua kelas yang di dalamnya memuat

nilai-nilai nasionalisme yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran

Islam. Lihat juga lampiran 2 kurikulum Pendidikan Agama Islam SIT yang

diterbitkan oleh JSIT Indonesia serta dokumen enam dasar pembinaan khas SIT. 55

Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai

tujuan, isi, dan bahan pengajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Lihat

pengertian kurikulum menurut Undang-undang no 20 tahun 2003

Page 37: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

23

karena merupakan bagian integral dalam proses pendidikan.56

Hal ini

sebagaimana amanat dalam kurikulum 2013 bahwa perlunya meleburkan

nilai-nilai moral di semua mata pelajaran serta dalam kegiatan ekstrakurikuler

dan kokurikuler.57

Sesuai dengan amanat tersebut maka selain kurikulum dan

proses pembelajaran, komponen pendidik dan tenaga kependidikan serta

lingkungan atau atmosfer akademik yang terdapat dalam Sekolah Islam

Terpadu juga memainkan peran penting dalam pendidikan nasionalisme.

Bagaimana peran mereka dalam pemberian pendidikan nasionalisme dalam

proses pembelajaran serta peran mereka dalam menciptakan atmosfer

akademik yang mendukung penanaman nilai-nilai nasionalisme di sekolah

yang dijadikan subyek penelitian.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, SIT yang didirikan di era

tahun 90-an, keberadaannya memang cukup mendapat respon positif

masyarakat karena pengaruh lingkungan makro yang mengelilinginya, yaitu

meningkatnya kesadaran ber-Islam di masyarakat terutama kalangan ekonomi

menengah atas yang dampaknya adalah kecenderungan mereka untuk

memasukkan anak-anaknya ke sekolah Islam yang tidak hanya concern

terhadap pembinaan akademik tapi juga concern terhadap pendidikan moral

value.58 Hal ini sebagaimana dikatakan Azra,

59 bahwa sebagai salah satu

pranata pendidikan Islam di Indonesia, Sekolah Islam Terpadu merupakan

sekolah yang berbasis pada antara integrasi ilmu sains dan Islam dan

menjadikan pendidikan karakter sebagai pilar utama dalam proses

penyelenggaraannya.

Terkait dengan pembentukan moral bangsa, Sekolah Islam Terpadu

telah menetapkan standar mutunya, yaitu “Pendidikan harus diarahkan pada

pengembangan seluruh potensi yg dimiliki seseorang. Potensi ini tidak

terbatas fisik dan intelektual namun juga budi pekerti, moral dan spiritual.

Selain itu pendidikan juga harus mampu menyiapkan seseorang agar dapat

hidup bermasyarakat dan bermakna untuk masyarakat”. Implementasi model

pendidikan ini telah direalisasikan sejak berdirinya sekolah-sekolah Islam

Terpadu tahun 1993. Pembinaan karakter di SIT telah dilaksanakan bahkan

56

Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis (Jakarta: Kencana,

2013), 31-32. 57

Salah satu amanat yang tercantum dalam kurikulum 2013 adalah bahwa

pendidikan karakter yang terintegrasi dalam seluruh pembelajaran pada setiap bidang

studi dan dihubungkan dengan konteks kehidupan sehari-hari dan menekankan pada

keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas keilmuan

dan kegiatan yang kondusif. 58

Wawancara dengan Fahmi Alaydrus, salah satu pendiri SIT Nurul Fikri

Depok dan juga salah satu pendiri Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) 59

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah

Tantangan Milenium III, 87-88.

Page 38: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

24

jauh sebelum Kurikulum 2013 dilaksanakan. Pendidikan karakter yang

berlandaskan nilai-nilai Islam tidak sekedar menjadi bagian dari mata

pelajaran tapi menjadi budaya sekolah yang terintegrasi dengan seluruh sendi-

sendi kehidupan di sekolah dan di luar sekolah. “Di sinilah peran dan peluang

kami untuk turut serta dalam pembinaan moral bangsa.”60

Hal ini sejalan

dengan pendidikan Islam yang merupakan bagian dari aspek ajaran Islam di

mana tujuannya tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yaitu

menjadi pribadi hamba yang bertakwa kepada-Nya. Dalam konteks kehidupan

berbangsa dan bernegara, pribadi takwa inilah yang dapat membawa

rah{matan li< al-‘a<lami<n baik dalama skala kecil maupun besar.61

Itulah

mengapa kemunculan lembaga pendidikan ini yang memadukan antara

pengetahuan agama dan umum diharapkan mampu menghasilkan anak didik

yang tidak hanya baik akademiknya, tapi juga memiliki akidah yang bersih,

mampu beribadah dengan benar dan mampu menghafal Alquran.62

Alquran

memberikan prinsip sangat penting bagi pendidikan Islam sebagaimana

dikatakan beberapa pakar pendidikan Islam;63

penghormatan kepada akal

manusia, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusia, memelihara

kebutuhan sosial, mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan

bagi manusia, menawarkan hubungan yang erat, harmonis dan seimbang

dengan Tuhan, manusia dan alam, pendidikan yang demokratis, egaliter, adil,

dinamis, manusiawi dan sesuai dengan fitrah manusia. Selain itu prinsip

pendidikan Islam adalah pendidikan yang mendukung kecerdasan akal,

spiritual, sosial, emosional, kinestetis, seni, etika dan lainnya. Inilah tugas

berat pendidikan Islam, karena sebagai khalifah manusia memiliki tanggung

jawab besar karena di samping mengabdi kepada Allah dengan menjalankan

segala perintahNya juga memainkan perannya di masyarakat karena dalam

Alquran dan Hadis proporsi terbesar dari isinya tentang urusan muamalah.

Istilah “terpadu” dalam term Sekolah Islam Terpadu adalah sebagai

penguat (muakkid) dari Islam itu sendiri, yaitu Islam yang utuh menyeluruh,

integral bukan parsial, shumu<liyyah bukan juz’iyyah. Dalam aplikasinya

60

. Lihat, “Pernyataan Sikap Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT)”,

menanggapi pelaksanaan kurikulum 2013, yang dimuat di www.jsit-indonesia.com,

pada tanggal 9 Desember 2014 61

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah

Tantangan Milenium III, 8. 62

Sukro Muhab, Ketua Umum Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), saat

wawancara dengan Harian Umum Republika pada tanggal 31 Januari 2014, pada

acara Milad X JSIT 63

Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, 196.

Lihat juga Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah

Tantangan Milenium III, 9. Lihat juga Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan

Pendekatan Multidisipliner (Jakarta: Rajawali Press, 2010). Abuddin Nata, Ilmu

Pendidikan Islam. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam.

Page 39: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

25

kemudian, Sekolah Islam Terpadu menerapkan pendekatan penyelenggaraan

pendidikannya dengan memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama

menjadi satu jalinan kurikulum. Dengan pendekatan ini, semua mata pelajaran

dan semua kegiatan sekolah tidak terlepas dari bingkai ajaran dan pesan nilai

Islam.64

Jika dipahami secara sosiologis65

dan sesuai dengan tujuan

pendidikan Islam sebagaimana uraian sebelumnya, tantangan bagi SIT adalah

membumikan shumu<liyyah Islam dalam komponen-komponen

penyelenggaraan pendidikan nasionalisme dalam konteks kehidupan

berbangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang plural.

Untuk melengkapi penelitian, penulis juga mengobservasi bagaimana

peran SIT dalam membumikan shumu<liyyah Islam dalam konsep pendidikan

integral atau terpadu yang diusungnya dalam menjawab tantangan zaman dan

memberikan pendidikan nasionalisme di tengah problematika kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi karena tak dapat dipungkiri akibat perkembangan

teknologi batasan negara dan sosial masyarakat semakin mudah diakses oleh

para siswa, ditambah dengan keberadaan media-media sosial seperti akses

internet, facebook, twitter, youtube, whatshaap dan lain-lain yang berdampak

pada penggerusan rasa nasionalisme seperti berkurangnya rasa cinta terhadap

tanah air yang ditunjukkan dengan kurang mengenalnya budaya negara

sendiri, lagu kebangsaan yang mulai ditinggalkan dan dilupakan siswa dan

digantikan dengan lagu lain yang sangat mudah diakses dan terjadinya

dekadensi moral yang harus diwaspadai antara lain meningkatnya kekerasan

di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk, pengaruh

peer group yang kuat dalam tindak kekerasan, semakin kaburnya pedoman

baik dan buruk, semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,

membudayanya ketidak jujuran, adanya rasa caling curiga dan kebencian

64

SIT sebagai sekolah yang memiliki beberapa kekhasan jika dibandingkan

dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu penanaman nilai-nilai Islam secara

komprehensif. Oleh karena itu, kurikulum yang digunakan di lembaga ini selain

menggunakan kurikulum nasional secara utuh juga melakukan pengembangan-

pengembangan pada kurikulumnya. Pengembangan dilakukan dengan memadukan

nilai-nilai Islam dalam semua aspek kompetensi yang akan dicapai oleh peserta didik.

Hal ini berarti kompetensi tersebut ada pada kurikulum nasional namun diperluas atau

diperdalam dengan nilai-nilai Islam. Hasil wawancara dengan Fahmi Alaydrus,

pendiri Sekolah Islam Terpadu Nurul Fikri Depok dan juga Pendidiri Jaringan

Sekolah Islam Terpadu. 65

Sesunggunya banyak ajaran Islam yang baru dapat dipahami secara utuh

jika menggunakan tinjauan sosiologis. Itulah mengapa untuk membumikan tujuan

pendidikan Islam harus disertakan aspek-aspek sosiologis karena Islam memiliki

perhatian dan keselarasan dengan kehidupan manusia. Lihat Abuddin Nata,

Metodologi Studi Islam, 39.

Page 40: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

26

antar sesama, dan lain-lain.66

Kondisi ini pada puncaknya akan menyebabkan

pudarnya tenggang rasa, hormat menghormati, teposalira, serta semakin

memudarnya rasa toleransi yang pada akhirnya akan menghancurkan

eksistensi suatu bangsa.

Peran SIT dalam membumikan shumu<liyyah Islam sebagaimana

tergambar dalam konsep keterpaduannya yang menerapkan pendekatan

penyelenggaraan pendidikannya dengan memadukan pendidikan umum dan

pendidikan agama menjadi satu jalinan kurikulum sehingga dengan

pendekatan ini semua mata pelajaran dan semua kegiatan sekolah tidak

terlepas dari bingkai ajaran dan pesan nilai Islam sebagaimana dikatakan

Natsir pendidikan Islam integral yang mengajarkan pendidikan agama dan

pendidikan umum secara integral mampu membangkitkan umat Islam dari

keterpurukan,67

karena semakin seseorang memahami nilai-nilai ajaran Islam

secara utuh maka akan semakin muncul kesadarannya untuk melakukan

kebaikan-kebaikan yang membawa kemaslahatan bagi lingkungannya.

Makna keterpaduan lainnya dalam konsep SIT adalah dalam metode

pembelajaran yang mengoptimalkan ranah kognitif, afektif, dan

konatif/psikomotor sehingga dengan memadukan ketiga ranah ini dalam

proses pembelajaran peserta didik diajarkan untuk berpikir integral dalam

memahami suatu konsep. Keterpaduan dalam konsep SIT juga mengandung

makna memadukan antara pendidikan aqliyah, ruhiyah, dan jasadiyah

sehingga peserta peserta didik menjadi anak yang berkembang kemampuan

aqal dan intelektualnya, meningkat kualitas keimanan dan ketakwaannya

kepada Allah Swt, memiliki akhlak yang mulia, sehat dan bugar jasmaninya,

serta memiliki ketrampilan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan dalam

hal pemberdayaan lingkungan keterpaduan dalam konsep SIT berarti

memadukan keterlibatan dan partisipasi aktif lingkungan belajar yang

meliputi sekolah, rumah, dan masyarakat. Sinkronisasi antara peran guru,

orang tua, dan masyarakat dalam proses pengelolaan sekolah dan

pembelajaran sehingga terjadi sinergi yang konstruktif dalam membangun

kompetensi dan karakter siswa.

Konsep keterpaduan yang merupakan kekhasan SIT yang di dalamnya

mengandung penekanan pada pendidikan karakter atau akhlak sebagaimana

paparan di atas merupakan sebuah peluang bagi SIT untuk memberikan

pendidikan nasionalisme karena dalam perspektif Islam pembentukan karakter

bangsa merupakan pembentukan karakter ummat dalam rangka terbentuknya

muslim ideal (insan kamil) yaitu seorang pribadi muslim yang memiliki

66

Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk

Membangun Bangsa (Jakarta: BP Migas dan Star Energy, 2004), 8. 67

Thohir Luth, Mohammad Natsir Dakwah dan Pemikirannya (Jakarta:

Gema Insani Press, 1999), 12. Lihat juga “Sekolah Islam Terpadu Konsep dan

Aplikasinya” (Jakarta: Jaringan Sekolah Islam Terpadu, 2006), 57-58.

Page 41: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

27

kesadaran ideal (kesadaran keislaman), kesadaran tempat (kesadaran

keindonesiaan), dan kesadaran waktu (kesadaran kemoderenan). Dengan tiga

kesadaran ini, seorang muslim akan memiliki kearifan, kemuliaan, dan

kejayaan. Inilah puncak karakter dari seorang muslim yang merupakan

indikator dari ketakwaannya kepada Tuhan. Hal inilah yang seharusnya

ditekankan dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Penataan kembali pendidikan nasional yang menyeimbangkan antara

sisi intelektual (sisi kognitif/akademis), sisi emosional (sisi karakter) dan sisi

spiritual (niai-nilai agama) merupakan sebuah kebutuhan dalam rangka

mengembangkan jiwa cinta damai dan kemerdekaan, serta menjunjung tinggi

ideologi negara dan pemerintahan yang dibingkai dengan keimanan kepada

Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan substansi dasar dari nasionalisme.

Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, korelasi antara pendidikan dan

nasionalisme ini diperkuat dengan tinjauan dari aspek teoritis maupun empiris

di mana keduanya memperlihatkan bahwa sasaran akhir dari pendidikan Islam

adalah adalah melahirkan manusia Indonesia seutuhnya atau insan kamil yang

dapat menjadi khalifah-khalifah yang bertugas sebagai pemelihara dan

pemakmur bumi.

Dalam prakteknya korelasi antara nasionalisme dan pendidikan Islam

masih mengalami kendala-kendala yang menghambat karena adanya

diskursus antara Islam di satu sisi dan nasionalisme di sisi lain yang

disebabkan oleh beberapa hal yaitu; nasionalisme dan Islam memiliki

hubungan yang diametral karena nasionalisme mengabaikan unsur-unsur

agama, nasionalisme mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan geografis, ras

dan bahasa sedangkan Islam memandang bahwa seluruh pelosok dunia adalah

wilayah kedaulatan Allah sehingga bagi seorang muslim seluruh pelosok

dunia adalah kedaulatannya. Perbedaan dalam aspek ini yang pada akhirnya

memunculkan perbedaan cara pandang dalam memahami nasionalisme dan

aplikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Implikasinya

kemudian lahirlah dua kubu dalam masyarakat muslim yang masing-masing

memiliki pemahaman tersendiri tentang nasionalisme; kubu yang menolak

mentah-mentah paham nasionalisme karena nasionalisme dianggap lahir dari

Barat dan mengandung benih-benih materialisme yang ateis serta penuh

semangat kolonialisme. Kubu yang kedua adalah kubu yang menerima paham

nasionalisme namun tetap berpegang pada kaidah-kaidah Islam yang

tercantum dalam Alquran.

Meski pada akhirnya tokoh-tokoh Islam memandang dan membangun

nasionalisme secara normatif dimana nasionalisme diartikan sebagai cinta

tanah air, membebaskan negara dari imperialisme, merapatkan barisan dan

merekatkan tali persaudaraan adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam,

namun tak dapat dielakkan dua kubu pemahaman yang sudah mengkristal

Page 42: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

28

tersebut pada akhirnya mewarnai pendidikan nasionalisme yang diberikan di

lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah dan lembaga

pendidikan Islam lainnya seperti sekolah Islam terpadu (SIT). Pesantren dan

madrasah yang merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia

terbukti dalam sejarah memiliki peran besar dalam penanaman nasionalisme

kepada peserta didiknya melalui; pembentukan al-akhla<q al-kari<mah peserta

didik, pemberian pemahaman untuk menghilangkan paham fanatisme suku,

perjuangan nyata dalam mengusir penjajah dan turut berperan aktif dalam

proses berdirinya NKRI melalui perjuangan fisik saat itu. Peran lembaga

pendidikan Islam semisal pesantren dan madrasah dalam penanaman

nasionalisme saat itu menegaskan bahwa pendidikan Islam memberikan

penekanan tidak hanya pada aspek spiritual namun juga sosial-emosional dan

intelektual.

Dalam era kemerdekaan dan globalisasi seperti sekarang ini, peran

sekolah dalam menjaga kelangsungan hidup bangsa dan negara dapat dilihat

dari komponen penting yang ada dalam sebuah sekolah dalam memberikan

pendidikan yang bermuatan nasionalisme seperti kurikulum, proses

pembelajaran dan keberadaan pendidik dan tenaga kependidikan (tendik). Dua

komponen mempunya peranan strategis dalam membentuk karakter anak

didik sebagaimana tercantum dalam UU No 20/2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, PP No 55 tahun 2007 dan ketentuan pasal 1 UU No

14/2005 tentang Undang-Undang Guru dan Dosen.

Penelitian dalam disertasi ini menjadikan SIT subyek penelitian untuk

melihat pendidikan nasionalisme dalam penyelenggaraan pendidikan dalam

lembaga pendidikan yang mengusung konsep keterpaduan seperti yang

dilakukan oleh SIT yang merumuskan beberapa konsep dan strategi dalam

kurikulum dan proses pembelajaran berupa; integrasi nilai-nilai Islam dengan

kurikulum nasional yang digunakannya, merumuskan kurikulum penunjang

yang mengacu pada kekhasannya seperti kurikulum tah{si<n dan tah{fi<z{ al-

qur’a<n, kurikulum Pendidikan Agama Islam, kurikulum Bahasa Arab dan

kurikulum Pramuka SIT, metode pembelajaran yang mengoptimalkan ranah

kognitif, afektif, dan konatif/psikomotor sehingga dengan memadukan ketiga

ranah ini dalam proses pembelajaran peserta didik diajarkan untuk berpikir

integral dalam memahami suatu konsep, memadukan keterlibatan dan

partisipasi aktif lingkungan belajar yang meliputi sekolah, rumah, dan

masyarakat, serta penekanan pada pendidikan karakter atau akhlak dalam

setiap kegiatannya.

Berdasarkan identifikasi-identifikasi di atas, penelitian dalam disertasi

ini melakukan analisis terhadap komponen kurikulum, proses pembelajaran

dan kurikulum agama yang terdapat dalam Sekolah Islam Terpadu. Hal ini

penting untuk dikaji dan dianalisis karena dari sini akan terlihat mengenai

tujuan, isi, bahan pengajaran, serta proses pembelajaran yang memuat nilai-

nilai nasionalisme yang dilaksanakan.

Page 43: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

29

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah

sebagaimana dikemukakan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah; Bagaimana Proses Penanaman Nilai-nilai Nasionalisme

yang Dilakukan Pada Sekolah Islam Terpadu? yang selanjutnya penulis

rumuskan dalam sub pertanyaan berikut:

1. Bagaimana nasionalisme dalam perspektif SIT?

2. Bagaimana konstruksi kurikulum SIT dalam memuat pendidikan

nasionalisme?

3. Bagaimana penanaman nasionalisme dalam kurikulum Pendidikan Agama

Islam SIT? 4. Bagaimana penanaman nasionalisme dalam proses pembelajaran di SIT?

Penelitian ini bertujuan untuk melihat, memaparkan dan menganalisis

bagaimana SIT memberikan pendidikan agama yang dapat menumbukan

semangat nasionalisme pada komponen-komponen kurikulum dan proses

pembelajaran di lembaga pendidikannya. Permasalahan tersebut perlu

dipaparkan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam penelitian ini.

3. Pembatasan Masalah

Sebagai sebuah sistem, lembaga pendidikan Islam memiliki beberapa

komponen yang kesemuanya saling berkaitan dan saling memberikan

pengaruh bagi keberhasilan sebuah pendidikan. Dalam penulisan disertasi ini

penulis membatasi hanya pada empat komponen pendidikan yang ada dalam

SIT untuk melihat bagaimana SIT memberikan pendidikan nasionalisme,

yaitu:

1. Nasionalisme dalam perspektif pendidik dan tenaga kependidikan di SIT.

2. Nasionalisme dalam kurikulum utama dan kurikulum pendukung di SIT.

3. Nasionalisme dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam SIT.

4. Penanaman nilai-nilai nasionalisme pada proses pembelajaran di SIT.

Pembatasan masalah di atas bukan menafikan unsur-unsur lain yang

ada dalam lembaga pendidikan Islam di SIT. Pembatasan pada empat aspek di

atas bertujuan untuk lebih membuat analisa yang tajam dan terinci mengenai

pemberian pendidikan nasionalisme di SIT.

C. Tujuan dan Urgensi Penelitian

Berdasarkan judul penelitian, latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah:

1. Memberikan gambaran ragam pemahaman mengenai nasionalisme di

lembaga pendidikan Islam Terpadu.

2. Memaparkan integrasi nilai-nilai Islam dalam kurikulum nasional yang

dikonstruksi sesuai kekhasan SIT yang dapat menumbuhkan jiwa

nasionalisme kepada peserta didik.

Page 44: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

30

3. Memaparkan desain kurikulum Pendidikan Agama Islam SIT yang

memuat unsur-unsur nasionalisme.

4. Memaparkan model dan strategi pembelajaran SIT dalam memberikan

pendidikan nasionalisme.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat Antara lain:

1. Memberikan kontribusi kepada sekolah-sekolah Islam bagaimana

menanamkan jiwa nasionalisme dan patriotisme dalam diri siswa-

siswanya dalam bingkai keimanan kepada Allah Swt.

2. Sebagai acuan bagi pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan

dalam merumuskan konsep pembelajaran karakter yang dapat

menguatkan nilai-nilai nasionalisme di sekolah-sekolah.

3. Memberikan sumbangan pemikiran dalam bentuk gambaran bahwa

konsep keterpaduan dalam pendidikan dapat menguatkan pendidikan

nasionalisme kepada peserta didik.

4. Sebagai bahan masukan kepada sekolah Islam terpadu yang dikelola oleh

organisasi apapun, bahwa pendidikan Islam dalam konteks Indonesia

selalu bersinergi dengan nilai-nilai Islam.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Berdasarkan penelusuran studi pustaka dan penelitian terdahulu

tentang pendidikan agama dan nasionalisme baik dalam bentuk buku,

ensiklopedi, jurnal dan disertasi, sudah banyak ditemukan pembahasan secara

lengkap dan spesifik tentang peran pendidikan agama dalam penanaman

nasionalisme di lembaga pendidikan Islam. Beberapa kajian terdahulu dalam

bentuk buku yang relevan dengan penulisan disertasi ini antara lain adalah:

Pertama, Abuddin Nata, Pendidikan Islam adalah pendidikan yang

seluruh komponen pendidikannya seperti visi, misi, tujuan, kurikulum, proses

belajar mengajar dan lainnya didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam

sebagaimana terdapat dalam Alquran dan Sunah yang menawarkan hubungan

yang erat, harmonis dan seimbang dengan Tuhan, manusia dan alam.

Pendidikan Islam juga adalah pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai

demokratis, egaliter, keadilan, humanisme dan sesuai dengan fitrah manusia.68

Dengan demikian nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama pada

dasarnya berkorelasi dengan nilai-nilai nasionalisme.

Kedua, Azyumardi Azra, dalam perspektif Islam pendidikan

merupakan salah satu aspek saja dari keseluruhan ajaran Islam. Karenanya

tujuan pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari tujuan hidup manusia

dalam Islam yaitu menjadi pribadi yang bertakwa kepada-Nya dan dalam

68

Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner.

Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam.

Page 45: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

31

konteks sosial masyarakat, bangsa dan negara, pribadi yang bertakwa ini

digambarkan Azra sebagai pribadi yang rah{matan li< al-‘a<lami<n,69

pribadi yang

memiliki akhlak mulia dan dapat membawa kemaslahatan bagi diri dan

lingkungannya. Karenanya pribadi yang rah{matan li< al-‘a<lami<n adalah pribadi

pribadi muslim yang religius sekaligus juga nasionalis.

Ketiga, A. Malik Fadjar, Pendidikan Islam dimana pendirian dan

penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan cita-cita untuk

mengejawantahkan nilai-nilai agama Islam yang tujuannya adalah

menciptakan muslim paripurna atau insan kamil, seorang muslim yang dapat

mengaktualisasikan esensi ajaran-ajaran Islam yang rah{matan li< al-‘a<lami<n.70

Untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan Islam itu peran guru agama

yang profesional dan memiliki kekuatan moral disertai metodologi pengajaran

yang menekankan pada penilaian perilaku dan kesalehan pribadi dan sosial

dalam keseharian akan mendukung penanaman nilai-nilai nasionalisme.

Keempat, Dede Rosyada, melalui pengembangan kurikulum, baik

written curriculum maupun hidden curriculum serta proses pembelajaran yang

demokratis dan memberdayakan potensi siswa dapat mendukung penanaman

nilai-nilai nasionalisme dan implementasinya dalam keseharian peserta

didik.71

Karenanya penanaman nilai-nilai nasionalisme dalam lembaga

pendidikan akan efektif jika diberikan secara komperehensif melalui

komponen kurikulum dan proses pembelajaran.

Kelima, hasil penelitian LIPI tahun 2009, menurut hasil penelitian ini,

sebagian besar pelaku tindak kekerasan yang mengatas namakan agama

(Islam), adalah mereka yang mengenyam pendidikan umum Barat bukan

pendidikan agama.72

Oleh karena itu berdasarkan penelitian ini dapat

disimpulkan bawa tindakan radikalisme bukan disebabkan oleh teks ajaran

agama atau kurikulum pendidikan agama, melainkan lebih karena dipicu oleh

kondisi sosial politik yang melatar belakanginya ditambah lagi dengan

pemahaman agama yang eksklusif dan parsial.

Adapun tulisan lain yang relevan dengan penelitian ini karena memuat

kajian tentang relasi Islam dan nasionalisme adalah;

Pertama, Azyumardi Azra, menurut Azra pada dasarnya keislaman

dan keindonesiaan telah terintegrasi dan melembaga pada berbagai level baik

secara individual, sosial, maupun organisasional. Hal ini dikarenakan Islam

69

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di Tengah

Tantangan Milenium III. 70

A. Malik Fajar, dkk, Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam

(Yogyakarta: Aditya Media, 2004). A. Malik Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam

(Jakarta: LP3NI, 1998). 71

Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis. 72

Lihat Tim Peneliti Staf Ahli Bidang Sosial Budaya Badan Intelijen

Negara, Deradikalisasi,(Jakarta:BIN RI,2009),48

Page 46: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

32

tidak memiliki masalah yang signifikan dengan nasionalisme sehingga

keislaman dan kebangsaan bukanlah sesuatu yang bertentangan. Integrasi

antara keislaman dan kebangsaan dalam konteks Indonesia menurut Azra

antara lain terlihat dalam hal pribumisasi Islam melalui akulturasi dengan

budaya lokal.73

Akulturasi ini dimungkinkan mengingat karakteristik ajaran

Islam yang global dapat dikorelasikan dengan dengan budaya yang ada di

masyarakat selama tidak mengorbankan nilai-nilai aqidah yang sudah qat{’i<. Kedua, Ahmad Syafii Ma’arif, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan

dan Kemanusiaan, menurut Maarif, meski secara semantik istilah

nasionalisme tidak ditemukan dalam khasanah Islam, namun secara realitas

empirik nasionalisme Islam terlihat dari bagaimana seorang muslim

melakukan kerja-kerja nyata untuk kemakmuran dan kedamaian negerinya.

Hal ini karena secara implisit pesan normatif yang ada dalam ajaran Islam dan

tercantum dalam Alquran mendorong setiap pemeluknya untuk berbuat baik

dan berbakti kepada alam semesta baik berupa alam di mana ia tinggal (tanah

airnya), maupun alam di luar tanah airnya sebagai bukti universalitas Islam

(rah{matan li< al-‘alami<n). Karenanya dalam konteks Indonesia, nasionalisme

adalah bagaimana bekerja dan berkarya dalam rangka memberi solusi dalam

permasalahan-permasalahan bangsa.74

Ketiga, Komarudin Hidayat, Menjadi Indonesia. Relasi Islam dan

nasionalisme dalam sejarah Indonesia terlihat dari perjuangan umat Islam

Indonesia yang konsisten menentang kolonialisme Barat hingga mencapai

puncaknya dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal

17 Agustus 1945. Ini menegaskan bahwa Islam tidak bertentangan dan

kontradiktif dengan nasionalisme. Justru melalui Islamlah nasioalisme

Indonesia tumbuh subur. Bahkan, ketika berbagai organisasi kebangsaan

bermuculan mengusung ide kebangsaan, namun membatasi diri pada suku

bangsa masing-masing, pergerakan Islamlah yang mula-mula menanamkan

bibit persatuan Indonesia.75

Keempat, Achmad Mubarok, Nasional Religius Jati Diri Bangsa

Indonesia. Relasi nasionalisme dan Islam dirumuskan Mubarok dengan

“nasionalis religious”, yaitu mereka yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai

keagamaan dalam segala sendi kehidupan termasuk dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan jati diri nasionalis religius ini

73

Azyumardi Azra, Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim Dari Australia

Hingga Timur Tengah (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), 143. Lihat juga Azyumardi

Azra, Nasionalisme, Etnisitas, dan Agma di Indonesia: Perspektif Islam dan

Ketahanan Budaya, 107. 74

Ahmad Syafii Ma’arif, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan

Kemanusiaan (Jakarta: Mizan Pustaka, 2015), 20. 75

Komarudin Hidayat, Ahmad Gaus, Menjadi Indonesia (Jakarta: Mizan,

2006).

Page 47: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

33

tercermin dari saling menghormati dan memberi manfaat dalam perbedaan,

menghormati hak asasi dalam beragama, mengembangkan musyawarah

dengan menghormati hak mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas.

Dengan kata lain, nasionalis religius meliputi semua aspek kehidupan seorang

muslim dalam berinteraksi dengan masyarakat.76

Sedangkan beberapa kajian terdahulu yang relevan dan berupa

disertasi adalah:

Pertama, Ali Maschan Moesa, Agama (Islam) tidak bertentangan

dengan naionalisme, justru agama bisa menjadi perekat antar bangsa. Oleh

karena itu Islam dan nasionalisme saling bersinergi dalam mewujudkan

keutuhan dan karakter suatu bangsa. Menurut Moesa, relasi antara Islam dan

nasionalisme sangat memungkinkan mengingat ajaran Islam yang integral dan

komprehensif bisa menjadi perekat hubungan antar bangsa baik secara

internal maupun eksternal. Penelitian Moesa terhadap nasionalisme kyai

memperlihatkan bagaimana seorang kyai mengkonstruksi pemahaman

nasionalisme Islamnya dalam bentuk kerja-kerja nyata dalam membangun

bangsa.77

Kedua, Gani Jumat, menyatakan bahwa sejak zaman pra kemerdekaan

para ulama telah berperan dalam meletakkan fondasi atau wawasan

kebangsaan. Fondasi dari wawasan kebangsaan para ulama ini didasarkan

pada dua aspek, yaitu aspek normatif yang diambil dari hadits Nabi Saw

bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman (hub al-wat{an min al-ima<n),

sedangkan landasan normatif lainnya diambil dari Al-quran surah al-Hujurat

ayat 13, di mana dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa kehidupan

berbangsa dan bersuku-suku adalah sebuah keniscayaan. Berdasarkan kedua

landasan normatif inilah maka para ulama merumuskan trilogi ukhuwah;

ukhuwwah isla<miyyah (saudara seiman), ukhuwwah insa<niyyah (saudara

sesama manusia) dan ukhuwwah wat{aniyyah (saudara sebangsa). Sedangkan

aspek historis dari fondasi kebangsaan para ulama adalah berdasarkan pada

Piagam Madinah (Mi<tha<q al-Madi<nah). Karenanya Piagam Madinah

merupakan prototype nasionalisme dalam konteks Islam karena mengandung

prinsip-prinsip dasar hidup bermasyarakat dan bernegara yang sangat

modern.78

Berbeda dengan kajian dan penelitian-penelitian sebelumnya yang

melihat relasi antara agama dan nasionalisme, penelitian dalam disertasi ini

melihat bagaimana relasi antara pendidikan agama dan nasionalisme dalam

76

Achmad Mubarok, Nasional Religius Jati Diri Bangsa Indonesia (Jakarta:

Mubarok Institut, 2010). 77

Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis

Agama. 78

Gani Jumat, Nasionalisme Ulama, Pemikiran Politik Kebangsaan Sayyid

‘Idrus Bin Salim Aljufry 1391-1969, 49-50.

Page 48: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

34

lembaga pendidikan Islam yang dikontekstualkan melalui komponen-

komponen pendidikan yang ada di sekolah. Adapun pandangan para peneliti

sebelumnya yang melihat relasi antara pendidikan agama dan nasionalisme,

penulis jadikan bahan acuan untuk menganalisis relasi Islam dan nasionalisme

serta bagaimana lembaga pendidikan Islam memberikan pendidikan

nasionalisme kepada peserta didiknya.

Selain kajian-kajian dan penelitian-penelitian yang telah tercantum di

atas, kajian-kajian dan penelitian-penelitian lain yang terkait dengan

penelitian dalam disertasi ini, baik berupa buku, jurnal dan sebagainya akan

menjadi rujukan pula dalam penelitian ini. Buku kekhasan Sekolah Islam

Terpadu yang menjadi rujukan utama dalam disertasi ini, akan menjadikan

penelitian dalam disertasi ini menjadi berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini ingin memperoleh informasi tentang peran pendidikan

agama dalam menanamkan nasionalisme pada lembaga pendidikan Islam.

Adapun lembaga pendidikan Islam yang dijadikan subyek penelitian adalah

Sekolah Islam Terpadu (SIT) di Jakarta dan berada di bawah naungan

Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia. Untuk mendapatkan

jawaban atas rumusan masalah penelitian dalam disertasi ini maka metodologi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian dalam disertasi ini termasuk dalam jenis penelitian

kualitatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, di mana

prosedur penelitiannya pada akhirnya akan menghasilkan data deskriptif,

yaitu berupa kata-kata tertulis dari orang atau perilaku yang diamati.

Penelitian dengan menggunakan metode ini percaya bahwa uraian yang kaya

mengenai dunia sosial sangat bernilai,79

serta mengandung unsur-unsur

pendukung yang kompleks. Metode penelitian kualitatif yang digunakan

dalam penulisan disertasi ini adalah studi kasus. Penggunaan pendekatan studi

kasus pada penelitian ini didasarkan pada beberapa alasan:80

(1) Studi kasus

merupakan salah satu metode atau strategi penelitian kualitatif yang muncul

pada masa keemasan penelitian kualitatif yang bersifat spesifik, khusus, dan

berskala lokal. (2) studi kasus banyak digunakan dalam penelitian bidang

pendidikan, khususnya tentang effective schools, yang sekarang banyak

mendapat perhatian dari para pengambil kebijakan, peneliti, dan praktisi

79

Yvonna S. Lincoln, Norman Denzin, Handbook of Qualitative Researc

(London: Sage Publication, 2001), 14. Lihat juga, Jhon W. Cresswel, Research

Design:Qualitative and Quantitative Approach (London: Sage Publication, 1994), 21 80

Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2006), 118

Page 49: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

35

pendidikan, yang peneliti menjadi salah satu unsur di dalamnya atau

setidaknya peneliti ikut terlibat secara mendalam. (3) Studi kasus juga berlaku

apabila, suatu pertanyaan ”bagaimana” (how) dan ”mengapa” (why) diajukan

mengenai seperangkat peristiwa masa kini, yang mustahil atau sukar dikontrol

oleh peneliti.

Untuk menemukan data yang valid dalam penelitian ini maka

pengambilan data dilakukan sealamiah mungkin (natural setting)81, hal ini

berarti pengambilan data dilakukan dalam situasi normal tidak dimanipulasi.

Dalam penelitian ini penulis melakukan observasi partisipasi yang

melibatkan peneliti secara langsung dalam kegiatan pengamatan penelitian.

Kegiatan ini dilakukan dalam rangka pengambilan data mengenai masalah

penelitian yaitu bagaimana konstruksi nasionalisme yang dipahami oleh

lembaga SIT dan bagaimana pendidikan agama yang diberikan di SIT

mengajarkan nilai-nilai nasionalisme melalui kurikulum dan dalam proses

pembelajaran.

2. Fokus Penelitian

Fokus penelitian dalam disertasi ini membahas bagaimana pendidikan

agama yang dilaksanakan di SIT dan korelasinya dalam menanamkan nilai-

nilai nasionalisme melalui konstruksi kurikulum dan proses pembelajaran.

3. Sumber Data

3.1. Data Primer (primary sources), adalah data yang diambil langsung dari

para informan di lapangan atau data yang didapat langsung dari tangan

pertama atau subyek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini data primer yang

digunakan adalah: Buku-buku yang diterbitkan oleh Jaringan sekolah Islam terpadu (JSIT), kurikulum kekhasan SIT, kurikulum Pendidikan

Agama SIT serta arsip-arsip sekolah yang dijadikan subyek penelitian.

Selain itu juga data primer didapat dari wawancara dengan pendiri dan

pengurus JSIT, Kepala Sekolah beserta wakil-wakilnya serta sebelas

guru dari SDIT Buahati dan SDIT Insan Mandiri. Selain itu penulis

juga melakukan observasi langsung untuk mendapatkan data yang

terkait dengan proses pembelajaran, kegiatan pembiasaan serta kegiatan

pembinaan.

3.2. Data Sekunder (secondary sources), adalah data yang didapat

melalui tangan kedua atau orang lain yang dapat memberikan informasi

tentang subyek yang akan diteliti, atau melalui tulisan yang

menggambarkan tentang subyek yang dimaksud. Dalam penelitian ini

81

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R dan D

(Bandung: Alfabeta, 2008) 8. Lihat juga, Agus Salim, Teori dan Paradigma

Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 118

Page 50: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

36

data sekunder diperlukan sebagai pelengkap atau pendukung data

primer seperti kurikulum nasional yang diterbitkan Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, tulisan-tulisan dari para tokoh dan pakar

pendidikan mengenai SIT dan juga wawancara dengan orang tua siswa.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik/metode pengumpulan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

4.1. Observasi Peneliti menggunakan metode observasi langsung untuk mengetahui

bagaimana proses pembelajaran yang memuat penanaman nilai-nilai

nasionalisme serta bagaimana SIT menciptakan atmosfer akademik yang

mendukung penanaman nilai-nilai nasionalisme. Oleh karenanya peneliti

terjun langsung ke sekolah-sekolah Islam terpadu yang berada di bawah

naungan Jaringan sekolah Islam terpadu (JSIT) yang berada di wilayah

Jakarta. Dengan menggunakan instrumen pengamatan disertai dengan

pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau perilaku objek sasaran, penulis

memfokuskan observasi penelitian ini pada: (a) pelaksanaan pendidikan

nasionalisme melalui proses pembelajaran; (b) faktor pendukung lainnya

dalam penanaman nasionalisme kepada peserta didik.

4.2. Wawancara Wawancara dilakukan guna memperoleh informasi tentang konstruksi

pemahaman nasionalisme lembaga pendidikan SIT beserta pendidik dan

tenaga kependidikan yang ada di dalamnya. Wawancara penulis lakukan

terhadap beberapa guru sebagai sampel dan kepala sekolah yang merupakan

informan utama yang ada di sekolah melalui teknik wawancara terbuka dan

dalam suasana yang sealamiah mungkin. Penulis juga mewawancarai satu

orang key informan atau informan utama yang merupakan salah satu

penggagas berdirinya SIT dan Jaringan sekolah Islam terpadu (JSIT)

Indonesia yang kini anggotanya sudah menyebar hampir di seluruh Indonesia.

4.3. Studi Dokumentasi

Dalam penelitian ini studi dokumentasi bertujuan untuk mencari,

mengumpulkan, dan melengkapi data yang terkait dengan masalah penelitian

yaitu bagaimana SIT memasukkan nasionalisme dalam pendidikan dokumen

kurikulumnya. Adapun dokumen dan arsip-arsip sekolah yang diteliti berupa

dokumen kurikulum dan perangkatnya yang digunakan di sekolah. Untuk

melengkapi data ini penulis juga melihat dokumen tertulis berupa profil

sekolah, foto-foto kegiatan peserta didik di sekolah, serta laporan-laporan

kegiatan sekolah.

Page 51: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

37

5. Teknik Analisa Data

Untuk memeriksa keabsahan data dilakukan teknik analisa data

dengan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan

data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi

yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya.82

Teknik triangulasi yang digunakan meliputi: (a) triangulasi sumber;83

(b)

triangulasi pengumpulan data;84

(c) triangulasi waktu atau suasana.85

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian adalah melalui

tahapan sebagai berikut:86

5.1. Pengumpulan data; pengumpulan data dilakukan setelah penulis

menetapkan batasan penelitian. Selanjutnya penulis mengumpulkan data-data

yang terkait penelitian ini yang dimulai dari pengumpulan dokumen-dokumen

dan bahan-bahan visual lainnya, melakukan wawancara dengan pihak-pihak

yang berkompeten, serta melakukan pengamatan (observasi) yang bertujuan

untuk mencocokkan data yang didapat dari kajian dokumen dan wawancara.87

5.2. Reduksi data; reduksi data dibutuhkan mengingat data yang

didapat melalui penelitian kualitatif sangat banyak. Untuk itu peneliti perlu

menyortir data/informasi sesuai dengan kebutuhan penelitian.88

Data yang

penulis ambil dibatasi hanya pada data yang berkenaan dengan pendidikan

nasionalisme yang dilaksanakan di SIT.

82

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2006), 330 83

Triangulasi sumber dilakukan untuk mengecek kredibilitas data yang

didapat dari beberapa sumber. Data-data yang didapat dari berbagai sumber tersebut

kemudian dideskripsikan menurut temuan, mana data yang sama dan mana yang

berbeda. 84

Triangulasi teknik pengumpulan data dilakukan peneliti dengan cara

mengecek data kepada sumber yang sama, namun dengan teknik yang berbeda.

Sebagai contoh jika peneliti mengambil data dengan teknik observasi untuk melihat

bagaimana pendidikan nasionalisme di SIT melalui proses pembelajaran, maka data-

data yang didapat melalui teknik observasi ini akan dicek lagi dengan memakai teknik

wawancara dan dokumentasi. 85

Triangulasi waktu peneliti lakukan dengan cara melakukan pengecekan

informasi melalui observasi dalam waktu yang berbeda. Hal ini dilakukan secara

berulang-ulang sampai ditemukan kepastian datanya. 86

Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif Untuk Studi Agama

(Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijajaga, 2012), 130 87

Jhon W. Creswell, Research Design, Qualitative dan Quantitative

Approaches (Jakarta: KIK Press, 2003), 143 88

Jhon W. Creswell, Research Design, Qualitative dan Quantitative

Approaches, 147

Page 52: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

38

5.3. Setelah data direduksi dan didapatkan data yang akurat terkait

masalah penelitian, penulis melakukan kajian terhadap dokumen dan data-

data yang sudah didapatkan.

5.4. Penyajian data; Penyajian data dilakukan setelah penulis selesai

melakukan kajian dokumen atau data. Penyajian data ini dilakukan dalam

bentuk cerita atau gambar dan juga naskah kualitatif, baik deskriptif atau

naratif.89

Naskah naratif merupakan bentuk tampilan/penyajian data yang

sering muncul dalam penelitian kualitatif.90

5.5. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi. Penarikan kesimpulan

dilakukan peneliti setelah data disajikan. Penarikan kesimpulan ini berupa

hasil penelitian berdasarkan data-data yang didapat peneliti terkait dengan

pertanyaan penelitiannya.

6. Langkah-langkah Penelitian

Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah:

a) Melakukan wawancara, observasi, dan pengumpulan dokumen untuk

mendapatkan data yang diperlukan.

b) Menginterpretasi data-data yang telah terkumpul sesuai dengan kebutuhan

penelitian.

c) Pengolahan data dan menganalisisnya.

d) Menyusun dan menyajikan data sebagai hasil dari penelitian secara

deskriptif.

e) Memverifikasi dan menarik kesimpulan untuk mendapatkan kesimpulan

yang komprehensif dan integral sebagai hasil dari penelitian.

7. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di sekolah dasar Islam terpadu (SDIT)

yang berada di DKI Jakarta yang berada di bawah naungan Jaringan Sekolah

Islam Terpadu (JSIT). Pemilihan tempat penelitian ini dilakukan dengan

beberapa pertimbangan, yaitu; (a) Belum ada penelitian sebelumnya terkait

tentang penanaman nasionalisme di SIT, (b) SIT yang berada di bawah

naungan JSIT Indonesia memiliki beberapa kekhasan terutama dalam

memberikan pendidikan agama yang terintegrasi di semua mata pelajaran dan

kegiatan di mana hal ini terlihat dari pengintegrasian antara kurikulum umum

dengan nilai-nilai Islam, (c) kedekatan peneliti dengan subyek penelitian

sehingga penulis memiliki referensi yang cukup.

Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015 sampai

dengan Februari 2016 dengan tahapan dalam penelitian sebagai berikut:

89

Jhon W. Creswell, Research Design, Qualitative dan Quantitative

Approaches, 147 90

M.B. Miles & Huberman, Qualitative Data Analysis: a Sourcebook of New

Method (Beverly Hills, CA: Sage, 1984), 45

Page 53: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

39

1. Pembangunan rapport antara peneliti dengan subyek penelitian baik

secara informal dan formal pada bulan Juli 2015.

2. Penyusunan proposal penelitian dimulai pada bulan Juli-September 2015.

3. Pengumpulan data di lapangan dilakukan pada bulan Oktober sampai

dengan Januari 2016.

4. Analisis data dan penyusunan laporan penelitian dilakukan pada bulan

Februari 2016.

8. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah Sekolah Islam Terpadu yang

berada di bawah Jaringan sekolah Islam terpadu (JSIT) Indonesia, yang

meliputi para pendirinya, kepala sekolah beserta wakil-wakilnya, guru atau

pendidik dan kependidikan yang ada di Sekolah Islam Terpadu yang menjadi

anggota JSIT, kurikulum Sekolah. Pemilihan subjek ini didasarkan dengan

kesesuaian antara data yang diperlukan dalam penelitian ini terkait dengan

bagaimana pendidikan agama diberikan di SIT sehingga dapat menumbuhkan

jiwa nasionalisme.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan bentuk karya tulis yang sistematis, jelas dan

terarah, penulis membagi disertasi ini menjadi lima bab di mana masing-

masing bab merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan.

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan, yang terdiri dari latar

belakang masalah yang menguraikan tentang perdebatan antara hubungan

nasionalisme dan pendidikan serta bagaimana pendidikan agama memberikan

atau menanamkan jiwa nasionalisme. Bab ini juga terdiri dari beberapa sub

bab yaitu permasalahan yang terdiri dari identifikasi masalah, pembatasan

masalah, dan perumusan masalah. Selanjutnya adalah sub bab tujuan dan

urgensi penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, serta

metode penelitian.

Bab kedua, merupakan kajian teori yang membahas tentang teori-teori

dan perdebatan akademik tentang Islam dan nasionalisme. Karenanya

pembahasan dalam bab ini meliputi nasionalisme dalam perspektif umum,

Nasionalisme Indonesia, nilai-nilai nasionalisme dalam pendidikan agama,

nasionalisme Islam yang dipraktekkan di Indonesia serta nasionalisme dalam

lembaga pendidikan Islam yang meliputi pembahasan tentang kurikulum,

proses pembelajaran, serta peran pendidik dan tenaga kependidikan dalam

menanamkan nasionalisme di lembaga pendidikan Islam.

Bab ketiga, merupakan pokok pembahasan tentang profil lembaga

pendidikan Islam yang mengusung konsep sekolah Islam terpadu (SIT).

Sesuai dengan perumusan masalah dalam penelitian ini, maka komponen yang

akan dibahas dalam bab ini adalah sejarah pendirian, filosofi dan prinsip-

prinsip penyelenggaraan SIT, kurikulum yang digunakan, metode dan strategi

Page 54: PENDIDIKAN AGAMA DAN NASIONALISME (Studi pada Sekolah ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41660/1/HENI... · 9. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam

40

pembelajaran, serta peran pendidik dan tenaga kependidikan dalam

memberikan pendidikan nasionalisme kepada peserta didiknya.

Bab keempat, berisi analisa hasil penelitian mengenai hubungan

antara pendidikan agama dan nasionalisme pada SIT berdasarkan komponen

yang telah diuraikan pada bab tiga.

Bab kelima, merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dari

hasil penelitian dan saran-saran penulis terkait dengan pendidikan

nasionalisme di Sekolah Islam pada umumnya dan sekolah Islam terpadu

khususnya.