Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK...

42
PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020 KERTAS KERJA Diajukan Kepada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan-persyaratan untuk mencapai Gelar Sarjana Ekonomi FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS PROGRAM STUDI : STUDI PEMBANGUNAN UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS 2013

Transcript of Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK...

Page 1: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS

UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA:

PERIODE 1996 -2009

Oleh :

YUSTINUS WAHYUDI

NIM : 222009020

KERTAS KERJA

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Guna Memenuhi Sebagian dari

Persyaratan-persyaratan untuk mencapai Gelar Sarjana Ekonomi

FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS

PROGRAM STUDI : STUDI PEMBANGUNAN

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

2013

Page 2: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020
Page 3: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020
Page 4: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020
Page 5: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

1

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perekonomian terbuka sebagai tatanan baru perekonomian dunia telah memberikan celah

bagi semua negara untuk berinteraksi dan berintegrasi satu sama lain. Batas-batas

wilayah suatu negara menjadi semakin tak kentara. Ini berarti bahwa area-area saling

terhubung dalam perkembangan teknologi dan liberalisasi yang memungkinkan mobilitas

yang lebih tinggi bagi arus barang dan arus uang. Lebih jauh, terbukanya suatu

perekonomian akan memberikan tantangan tersendiri bagi suatu negara khususnya bagi

negara yang sedang berkembang. Di satu sisi, integrasi yang lebih besar dalam sektor

keuangan akan memberikan banyak manfaat terutama dengan masuknya inovasi

keuangan dalam bentuk aliran modal asing sebagai pembiayaan investasi. Di sisi lain,

integrasi tersebut juga membuka kesempatan bagi terjadinya suatu bentuk krisis yang

dapat ditularkan melalui hubungan dagang dengan negara lain. Beberapa gelombang

krisis telah menerpa perekonomian dunia selama dekade 1990-an yaitu Exchange Rate

Mechanism (ERM) tahun 1992-1993 di Eropa, Tequila Effect di Meksiko tahun 1994-

1995, Asia 1997-1998, Rusia 1998 sampai dengan krisis di Argentina tahun 2001.

Selanjutnya, krisis Asia tahun 1997 memberikan pelajaran berharga tentang kerentanan

dan kerapuhan terbukanya suatu perekonomian terhadap terjadinya krisis. Terjadinya

krisis di suatu wilayah negara atau perekonomian dapat menular dengan cepat ke wilayah

lainnya. Radelet dan Sachs (1998), serta Abiad (1999), menyatakan bahwa krisis di

Thailand memiliki karakteristik generasi pertama yang disebabkan oleh

ketidakseimbangan fundamental dalam kebijakan yang digunakan pemerintah dan sistem

nilai tukar yang dianut. Pembiayaan defisit fiskal dan sistem nilai tukar tetap yang

dianut, akan memaksa terjadinya pengurangan cadangan devisa yang dimiliki. Ketika

cadangan devisa telah berkurang, maka saat itulah merupakan saat yang rentan bagi

perekonomian karena serangan spekulatif akan mengganggu nilai tukar mata uang

domestik. Sementara itu, krisis di Indonesia dan Philipina pada awalnya merupakan

contagion effect akibat melemahnya nilai tukar Baht Thailand yang pada akhirnya

berkembang menjadi krisis ekonomi. Hal senada juga diungkapkan Gerlach dan Smets

(1995), krisis mata uang merupakan fenomena regional terkait dengan contagion effect,

sementara pengaruh efek ekonomi spesifik relatif lemah.

Page 6: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

2

Rapuh dan rentannya suatu perekonomian akan terjadinya krisis juga dapat dipelajari dari

pengalaman krisis mata uang di Rusia pada tahun 1998. Mata uang Rusia, yaitu rubble,

mengalami kolaps yang diakibatkan tidak hanya oleh contagion effect dari krisis Asia,

namun terutama karena guncangan (shock) yang tercipta oleh kombinasi jatuhnya harga

minyak dunia dan lemahnya perekonomian Rusia kala itu. Harga minyak dunia sedikit

demi sedikit menyeret perekonomian Rusia tenggelam ke dalam pusaran krisis.

Kombinasi yang terjadi terlebih dikarenakan eratnya kebijakan fiskal dan kuatnya

ketergantungan anggaran dengan sektor energi (Kirsanova dan Vines, 2001).

Selain itu, belajar dari pengalaman krisis yang dialami Rusia pada tahun 1998, naiknya

harga minyak dunia secara terus menerus dan adanya ketergantungan anggaran

pemerintah yang begitu tinggi terhadap sektor energi menjadi suatu pelajaran berharga.

Peningkatan harga minyak dunia tidak terelakkan karena minyak bumi sebagai sumber

daya yang tidak dapat diperbaharui dalam waktu singkat, persediaannya mulai menipis.

Di lain pihak, permintaan minyak dunia tetap tinggi.

Fluktuasi yang terjadi pada harga minyak dunia akan memberikan kontribusi pengaruh

dan dampak yang signifikan bagi perkembangan ekonomi global. Pergerakan harga yang

terjadi secara drastis dan cepat akan melemahkan perekonomian di seluruh dunia,

termasuk menurunnya pertumbuhan ekomomi, meningkatnya tekanan inflasi hingga

mendorong ketidakpastian kondisi ekonomi. Hal ini dikarenakan minyak bumi sebagai

sumber energi utama dunia sangat besar pengaruhnya terhadap perekonomian global.

Minyak bumi memainkan peranan yang cukup penting dalam pertumbuhan ekonomi

suatu negara. Purwanti (2011) menjelaskan bahwa salah satu faktor penggerak

perekonomian dunia saat ini adalah minyak bumi. Kinerja harga minyak bumi dunia

menjadi tolak ukur bagi kinerja perekonomian dunia karena perannya dipandang penting

dalam fungsi produksi. Lebih spesifik, harga minyak dunia yang bergejolak fluktuatif

khususnya akan memberikan dampak yang besar kepada negara-negara pengimpor

minyak1

1 Jennifer C. Dawson, Akram (2004), Bergvall (2004), Amano and van Norden (1998), Chadhuri and Daniel (1998) dalam “The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic

. Hal ini tercermin dalam tekanan depresiasi bagi mata uang negara-negara

pengimpor minyak ketika harga minyak dunia meningkat.

Page 7: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

3

Demikian pula dengan Indonesia. Peningkatan harga minyak dunia kini tidak

menguntungkan bagi Indonesia. Dahulu Indonesia merupakan negara pengekspor minyak

yang tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sejak

1962 sampai dengan tahun 2009. Tingginya pertumbuhan konsumsi bahan bakar minyak

(BBM) dalam negeri dan kurangnya investasi dalam penyediaan sumber daya energi

alternatif kemudian memaksa Indonesia untuk menunda sementara keanggotaan

penuhnya dalam OPEC. Kemudian Indonesia mengubah orientasinya menjadi negara

pengimpor minyak karena berjuang demi mencukupi kebutuhan dalam negeri. Dengan

berubahnya orientasi ekspor-impor, Indonesia tidak bisa lagi menikmati pendapatan yang

tinggi dari naiknya harga minyak dunia. Sebaliknya, naiknya harga minyak dunia akan

semakin menekan nilai tukar rupiah dan anggaran negara lewat subsidi BBM yang terus

membebani.

Grafik 1. Perkembangan harga minyak dunia, Kurs dan Inflasi di Indonesia tahun

2000 - 2009

Sumber: International Financial Statistics (IFS)

Peningkatan harga minyak dunia yang terus terjadi juga memberikan dampak terhadap

perekonomian Indonesia. Ketika harga minyak dunia menembus angka di atas 100 dollar

per barel di tahun 2008, inflasi pun merangkak naik dengan pertumbuhan sebesar 3,48%

dari kuartal sebelumnya. Sebaliknya, ketika harga minyak dunia terjun bebas di akhir

0

50

100

150

200

250

300

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

18000

20000

kursinflasiharga minyak dunia

Page 8: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

4

tahun 2008, inflasi pun sedikit melambat dengan pertumbuhan hanya sebesar 0,38% dari

kuartal sebelumnya. Pun demikian, kurs nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika

mengalami fluktuasi yang cukup tajam. Berbeda dengan pergerakan inflasi, kurs nilai

tukar rupiah terhadap dollar Amerika mengalami apresiasi ketika harga minyak dunia

meningkat. Namun, ketika harga minyak dunia mengalami penurunan yang cukup

signifikan di akhir tahun 2008, kurs nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika malah

mengalami depresiasi yang cukup tinggi dengan laju sebesar 13,41% dari kuartal

sebelumnya.

Belajar dari pengalaman kasus krisis mata uang Rusia, sangat relevan bila langkah awal

pembentukan sebuah kerangka model sistem deteksi dini krisis mata uang di Indonesia

dapat melibatkan peranan harga minyak dunia di dalamnya. Keterkaitan dan

ketergantungan perekonomian Indonesia akan fluktuasi harga minyak dunia perlu dilihat

lebih dalam. Ketika perekonomian Indonesia menjadi sangat dipengaruhi oleh fluktuasi

harga minyak dunia, maka di saat itu pula gejala krisis sudah mulai terpapar.

Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk memberikan pemahaman peranan harga minyak

dunia terhadap perekonomian Indonesia. Pemahaman tersebut dapat disadari sebagai

langkah awal untuk menyadari ketergantungan perekonomian terhadap salah satu faktor

global yaitu harga minyak dunia. Ketergantungan yang teramat tinggi dapat memberikan

celah bagi terbukanya suatu kerawanan akan terjadinya krisis ekonomi khususnya krisis

mata uang. Dalam hal ini, peranan harga minyak dunia selanjutnya dapat digunakan

dalam pembentukan model sistem deteksi dini krisis mata uang.

Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dikemukakan

rumusan permasalahan penelitian, yaitu bagaimana peranan harga minyak dunia sebagai

indikator yang digunakan dalam pembentukan model sistem deteksi dini krisis mata uang

untuk Indonesia.

Page 9: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

5

II. KAJIAN TEORI

Krisis merupakan bentuk gangguan stabilitas dalam tatanan suatu perekonomian.

Stabilitas yang dimaksud adalah stabilitas sistem keuangan yang ditujukan untuk

menciptakan kestabilan lembaga dan pasar keuangan, dimana gangguan stabilitas sistem

keuangan yang utama adalah krisis perbankan dan krisis mata uang (Batunanggar, 2003

dan Agung et.al, 2002). Berkenaan dengan itu, kerangka pemikiran stabilitas sistem

keuangan harus disusun sebagai suatu rangkaian proses yang diawali dengan pemantauan

dan identifikasi kemungkinan terjadinya krisis (crisis prevention) hingga upaya

pemulihan dan penyelesaian apabila krisis telah terjadi (crisis resolution). Namun

demikian, upaya pencegahan terjadinya krisis harus lebih dikedepankan ketimbang

upaya-upaya pemulihan ketika krisis telah terjadi.

Penelitian ini memberi perhatian khususnya terhadap suatu bentuk volatilitas ekonomi

yaitu pergerakan harga minyak dunia dan peranannya dalam pembentukan krisis mata

uang. Lebih jauh, pemahaman yang lebih dalam tentang determinan dan kondisi

terjadinya krisis mata uang merupakan informasi yang sangat penting. Walaupun

pemahaman lebih dalam terhadap krisis tidak menjamin bahwa krisis dapat dihindari

secara keseluruhan, paling tidak dapat membantu meminimalisasi kerusakan dan dampak

terjadinya krisis (Krugman, 1999).

Tinjauan literatur berikut akan meliputi gambaran krisis keuangan yang terdiri dari krisis

perbankan dan krisis mata uang, fluktuasi harga minyak dunia beserta hubungan antara

peranan harga minyak dunia dan krisis mata uang serta penelitian terdahulu dan studi

yang telah dilakukan sebelumnya mengenai model-model sistem deteksi dini (Early

Warning System) krisis mata uang.

Krisis Keuangan (Krisis Finansial)

Krisis keuangan pada intinya dapat dibagi dua (Goldstein, Kaminsky dan Reinhart,

2000), yaitu krisis mata uang (currency) dan krisis perbankan (banking). Krisis mata

uang sering didefinisikan sebagai suatu peristiwa terjadinya depresiasi nilai tukar mata

uang domestik terhadap mata uang asing, berbarengan dengan menurunnya cadangan

devisa (foreign reserve) dan meningkatnya suku bunga jangka pendek secara tidak wajar.

Krisis perbankan lebih sulit untuk didefinisikan namun dapat dilihat dengan

menggunakan dua pendekatan yaitu “indicators-based” dan “events-based”. Beberapa

Page 10: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

6

instrumen indicators based adalah non-performing loans ratio (NPLs ratio), biaya

operasi penyelamatan bank dan kerugian modal bank. Sementara events based melihat

krisis dari terjadinya penarikan simpanan besar-besaran oleh nasabah (rush), penutupan

bank, penggabungan beberapa bank (merger) dan pengambilalihan oleh pemerintah dan

intervensi pemerintah terhadap sektor keuangan.

Lebih jauh, krisis mata uang dan krisis perbankan dapat berlanjut menjadi krisis

keuangan yang begitu hebat apabila kedua krisis tersebut datang secara bersamaan. Salah

satu penyebab terjadinya krisis perbankan diawali oleh terjadinya krisis mata uang.

Sebaliknya, keterpurukan sektor perbankan justru menyebabkan terjadinya krisis mata

uang. Dan apabila kedua krisis tersebut datang secara bersamaan, maka terjadilah krisis

kembar atau twin crisis. Keterkaitan antara krisis mata uang dan krisis perbankan

dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain Eichengreen, Rose dan Wyplosz (1994),

Sachs dan Velasco (1996), Goldfajn dan Valdes (1997) serta Kaminsky, Lizondo dan

Reinhart (1998). Hubungan kausal dan hubungan dua arah yang dimiliki oleh krisis

perbankan dan krisis mata uang menyebabkan kedua tipe krisis tersebut terkadang sulit

untuk dipisahkan secara spesifik. Secara teori, tekanan dalam mata uang domestik akan

menyebabkan permasalahan dalam sektor perbankan jika sektor perbankan memiliki

liabilitas dalam mata uang asing yang cukup besar. Sebaliknya, banking distress dapat

menyebabkan serangan spekulasi terhadap mata uang domestik jika para spekulan

mengantisipasi trade-off yang terjadi antara devaluasi kurs nilai tukar dan kerugian

dalam sistem perbankan.

Istilah financial crisis atau krisis keuangan merupakan situasi dimana aset institusi

keuangan kehilangan nilainya secara tiba-tiba. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20,

krisis keuangan yang terjadi banyak dikaitkan dengan situasi panik pada sistem

perbankan (bankrush) dan resesi yang timbul beriringan dengan situasi panik yang

terjadi. Situasi lain dimana krisis keuangan terjadi yaitu mencakup krisis bursa saham,

gelembung harga aset, krisis mata uang dan kegagalan dalam sistem perbankan. Krisis

keuangan merupakan gejolak dalam pasar keuangan yang mengganggu kapasitas pasar

untuk mengalokasikan modal (capital), intermediasi keuangan dan investasi (Richard

Portes, 1998).

Page 11: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

7

Krisis Perbankan

Menurut Hardy dan Pazarbasiglu (1998), definisi krisis perbankan adalah apabila sistem

perbankan mengalami salah satu dari kondisi-kondisi sebagai berikut:

a. Tingginya kredit macet (NPL) yang melebihi 10% dari seluruh aset atau 2% dari

Produk Domestik Bruto (PDB).

b. Biaya penyelamatan perbankan melebihi 2% dari PDB.

c. Nasionalisasi atau pengambil alihan perbankan oleh pemerintah.

d. Penarikan dana besar-besaran oleh nasabah.

e. Penutupan bank oleh pemerintah baik sementara atau selamanya.

Krisis perbankan dapat dipicu oleh berbagai risiko yang bersumber dari elemen-elemen

yang terkait dengan sistem keuangan. Elemen-elemen tersebut saling terkait satu sama

lain, yaitu: lingkungan makroekonomi yang stabil, lembaga finansial yang dikelola yang

baik, pasar keuangan yang efisien, kerangka pengawasan prudensial yang sehat dan

sistem pembayaran yang aman dan handal (McFarlane, 1999).

Menurut Berg dan Pattilo (1999) penyebab krisis perbankan dibedakan menjadi dua

bagian yaitu adanya gangguan terhadap fundamental ekonomi, yaitu inflasi,

pertumbuhan ekonomi dan neraca pembayaran, kedua adalah adanya serangan spekulasi

yang mempercepat terjadinya krisis (self-fulfilling crisis). Sedangkan menurut McKinnon

dan Pill (1994) penyebab krisis perbankan adalah ketidakteraturan aliran modal dalam

perekonomian dan sektor perbankan serta asuransi deposito dan masalah moral hazard.

Sementara Caprio dan Klingebiel (1996) mengemukakan krisis perbankan di negara

maju umumnya karena faktor dari luar negeri seperti perbedaan tingkat bunga domestik

dengan di luar negeri, siklus bisnis dan hutang luar negeri. Demikian juga Kibritcioglu

(2004) menyebutkan bahwa penyebab utama krisis perbankan adalah meledaknya kredit,

resesi ekonomi dan overvaluation dari mata uang domestik.

Industri perbankan yang memiliki fungsi intermediasi untuk mengatur sistem

pembayaran menimbulkan pandangan bahwa permasalahan di sektor perbankan dapat

menyebabkan efek negatif terhadap perekonomian yang dampaknya jauh lebih besar

dibandingkan dengan jatuhnya bidang industri lain. Beberapa analisis menurut Hadad,

Santoso dan Arianto (2003), mengutarakan alasan yang mendukung pernyataan bahwa

industri perbankan merupakan industri yang memerlukan perhatian khusus, yaitu rasio

kas terhadap aset yang rendah, rasio modal terhadap aset yang rendah dan rasio dana

Page 12: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

8

jangka pendek terhadap total deposit yang tinggi. Dengan memperhatikan kondisi

tersebut, penarikan dana dalam jumlah besar akan mengakibatkan bank-bank kesulitan

untuk mengembalikan dana milik masyarakat. Sebagai solusinya, bank-bank tersebut

akan menjual aset yang ada dengan harga murah, kondisi ini akan menimbulkan tekanan

yang besar pada perbankan dan menurunnya rentabilitas perbankan akan memicu

timbulnya krisis.

Gambar 1. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Krisis Keuangan Dan Perbankan

Krisis Mata Uang

Pembahasan mengenai sistem peringatan dini krisis mata uang akan diawali dengan

tinjauan beberapa definisi tentang konsep krisis mata uang. Terjadinya krisis mata uang

sering didefinisikan sebagai suatu peristiwa terjadinya depresiasi nilai tukar mata uang

suatu negara terhadap mata uang asing biasanya Dollar Amerika, menurunnya cadangan

devisa (foreign reserve) dan meningkatnya suku bunga jangka pendek (short-term

interest rate) secara tidak wajar (Goldstein, Kaminsky dan Reinhart, 2000).

Page 13: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

9

Selanjutnya, krisis mata uang dapat dipahami secara lebih dalam. Penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya tentang krisis mata uang banyak mengupas tentang pentingnya

nilai tukar dan cadangan devisa yang dimiliki suatu negara. Vitalnya peran yang diemban

oleh nilai tukar mata uang dan cadangan devisa telah menjadi aktor sentral dalam

pembahasan berbagai literatur tentang krisis mata uang. Beberapa paper, seperti Vlaar

(1998) mengemukakan bahwa indikator utama krisis mata uang berdasarkan kurs nilai

tukar nominal dan turunnya cadangan devisa, terutama pada negara berkembang. Ito dan

Orii (2009) mendefinisikan krisis sebagai kombinasi depresiasi nilai tukar, meningkatnya

tingkat suku bunga dan penurunan cadangan devisa.

Lebih jauh, krisis mata uang secara umum dapat dilihat sebagai situasi ketika serangan

spekulasi terhadap mata uang mengakibatkan penurunan nilai tukar nominal secara

tajam. Beberapa peneliti, seperti Obstfeld (1994) dan Singh (1999) juga menyatakan

bahwa definisi situasi serangan spekulatif tidak hanya berakibat kepada devaluasi sebuah

mata uang namun juga mengurangi cadangan devisa mata uang asing. Dalam hal ini,

serangan spekulasi yang dilakukan terhadap mata uang dapat dilancarkan dengan

memanfaatkan guncangan eksternal seperti fluktuasi harga minyak dunia yang

berdampak terhadap kebijakan fiskal suatu negara.

Teori krisis yang telah berkembang mengelompokkan terjadinya krisis mata uang dalam

beberapa generasi. Zhuang (2005) mengelompokkan krisis mata uang ke dalam tiga

kelompok generasi. Pengelompokkan ini lebih didasarkan pada fokus sumber terjadinya

krisis. Fokus dari masing-masing generasi adalah sebagai berikut: generasi pertama,

fokus kepada terjadinya inkonsistensi antara kebijakan makro dan sistem peg atau

pematokan nilai tukar yang menyebabkan terjadinya krisis membuat sistem peg tersebut

tidak berkesinambungan. Sistem peg tersebut menyebabkan nilai tukar riil mata uang

berada dalam kondisi over valued. Kebijakan ini akan bertentangan dengan kebijakan

makro lainnya yaitu peningkatan ekspor non migas. Dengan nilai tukar yang terlalu kuat,

maka efeknya adalah biaya produksi menjadi lebih mahal dan ketika ekspor dilakukan

nilai Dollar yang diperoleh eksportir dalam rupiah menjadi lebih rendah. Situasi ini

membuat produsen enggan meningkatkan ekspor dan lebih suka menjual barangnya di

dalam negeri, yang mengakibatkan kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspor tidak

optimal.

Page 14: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

10

Generasi kedua, fokus kepada trade-offs (pilihan) antara bermacam sasaran kebijakan

makro suatu negara dimana krisis dapat terjadi ketika suatu negara mengalami perubahan

kebijakan dari satu rezim ke rezim yang lain. Selanjutnya, generasi ketiga adalah fokus

kepada terjadinya penarikan simpanan di bank secara besar-besaran (rush) akibat

kepanikan keuangan yang disebabkan oleh perubahan mendadak terhadap persepsi pasar.

Selanjutnya, berdasarkan faktor-faktor penyebab krisis mata uang, penelitian yang telah

dilakukan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Generasi pertama dirintis oleh

Krugman (1979) yang terpusat pada inkonsistensi sistem nilai tukar tetap dan

fundamental ekonomi dalam negeri seperti kebijakan fiskal dan moneter ekspansif yang

berlebihan. Dalam hal ini, krisis mata uang terjadi karena cadangan devisa berkurang.

Generasi kedua menjelaskan bahwa krisis mata uang dapat terjadi tanpa adanya

perubahan dalam fundamental ekonomi atau ketika tidak adanya inkonsistensi antara

kebijakan yang diambil dengan sistem nilai tukar yang dianut. Lebih jauh, krisis mata

uang merupakan pergeseran antara multiple monetary equilibria sebagai respon terhadap

self-fulfilling speculative attacks (Obstfeld, 1986, 1994). Selanjutnya, generasi ketiga

lebih terfokus pada contagion effect dan spillover effect atau alasan terjadinya krisis di

suatu negara akan berpengaruh terhadap krisis di negara lainnya, seperti dikemukakan

oleh Masson (1998).

Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, Singh (1999) menyebutkan bahwa secara

makro model krisis berdasarkan pada tiga generasi model terdahulu. Model generasi

pertama menyatakan bahwa lemahnya fundamental ekonomi menyebabkan

perekonomian menjadi semakin rapuh terhadap serangan spekulatif, sedangkan model

generasi kedua lebih kepada ekspektasi self-fulfilling sebagai penyebab utama krisis,

namun dengan tidak mengesampingkan peran lemahnya fundamental ekonomi. Kedua

model tersebut lazim dikenal sebagai model krisis mata uang. Di lain pihak, model

generasi ketiga menggabungkan lemahnya fundamental ekonomi dari model generasi

sebelumnya dengan lemahnya sektor perbankan untuk menjelaskan krisis keuangan.

Untuk alasan ini, model generasi ketiga juga dikenal dengan twin crises atau model krisis

mata uang dan krisis perbankan.

Fluktuasi Harga Minyak Dunia dan Dampaknya terhadap Perekonomian

Fluktuasi harga minyak dunia telah memiliki sejarah yang panjang. Di tahun 1970-an,

harga minyak dunia berada dalam kisaran USD 3.00 per barel sampai dengan USD 13.55

Page 15: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

11

per barel. Sedangkan, 30 tahun berselang, harga minyak dunia telah menembus angka

diatas USD 100 per barel. Berbagai faktor dan peristiwa telah menghantar perjalanan

harga minyak dunia sampai sekarang ini, diantaranya adalah gejolak yang terjadi di

negara Timur Tengah seperti revolusi Iran dan Perang Teluk, terbentuknya OPEC, krisis

ekonomi di Asia, serangan teroris sampai kepada krisis utang luar negeri yang mendera

negara-negara Eropa.

Perilaku harga minyak dunia serupa dengan komoditas lainnya dalam hal pergerakan

keseimbangan permintaan dan penawaran. Namun, di saat harga komoditas lain relatif

stabil, harga minyak cenderung lebih volatile (Reigner, 2007). Beberapa pendekatan

dalam memahami perilaku pergerakan harga minyak dunia, antara lain: pertama,

pendekatan Hoteling (1931) yang menjelaskan bahwa volatilitas harga minyak terjadi

karena minyak merupakan sumber daya yang dapat habis. Kedua, harga minyak dunia

ditentukan oleh kondisi ekonomi global dan ketiga adalah faktor-faktor eksternal yang

turut mempengaruhi seperti aktivitas OPEC, spekulan dan kondisi pasar. Sementara itu,

Kaufman dan Ullmann (2009) menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak dunia di

tahun 2008 dapat dijelaskan dengan kombinasi faktor-faktor fundamental ekonomi dan

perilaku spekulatif yang terjadi.

Lebih jauh, ketidakstabilan harga minyak dunia juga memiliki dampak yang sangat luas

terhadap aktivitas perekonomian dalam segala aspek. Hal ini telah diteliti dalam studi-

studi empirik yang dilakukan antara lain oleh Sadorsky (1999), yang melakukan

pengujian hubungan antara harga minyak dunia dan pasar bursa saham. Sari (2006)

memeriksa hubungan keterkaitan antara harga minyak, harga saham, tingkat bunga dan

output di negara berkembang seperti Turki. Sementara, Aliyu (2009) meneliti tentang

hubungan harga minyak dunia terhadap kurs nilai tukar dan tingkat bunga di Nigeria.

Secara umum, penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menemukan bahwa

volatilitas harga minyak dunia memberikan dampak negatif.

Selanjutnya, Roubini dan Setser (2004) menyatakan bahwa fluktuasi maupun

peningkatan harga minyak dunia akan memberikan dampak bagi perekonomian setiap

negara di dunia. Besarnya pengaruh yang diberikan tergantung dari beberapa hal, seperti

besarnya guncangan harga minyak, durasi atau lamanya guncangan tersebut berlangsung,

dependensi dari negara tersebut dalam penggunaan minyak dalam perekonomian serta

respon kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di negara tersebut.

Page 16: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

12

Adebiyi et all (2009) menjelaskan bahwa pergerakan dan guncangan harga minyak dapat

mempengaruhi aktivitas riil ekonomi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap

perekonomian suatu negara. Mekanisme transmisi dampak pergerakan harga minyak

terhadap aktivitas riil ekonomi dapat dilihat melalui sisi penawaran (supply) maupun dari

sisi permintaan (demand). Dari sisi supply, kenaikan harga minyak akan menimbulkan

guncangan negatif pada sisi penawaran (negative supply-side shock). Artinya, kenaikan

harga minyak akan menyebabkan naiknya ongkos energi bagi perusahaan (dunia usaha),

yang pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan perusahaan untuk menambah atau

mengurangi jumlah produksi. Dari sisi demand, kenaikan harga minyak akan

mempengaruhi kemampuan daya beli konsumen.

Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Bacon dan Kojima (2008). Tingkat

volatilitas harga minyak di Ghana, Chili, India, Filipina dan Thailand diteliti selama

periode Juli tahun 1999 sampai Maret tahun 2007 untuk melihat dampak yang

ditimbulkan terhadap kurs nilai tukar dan kondisi fiskal. Beberapa kebijakan digulirkan

terkait dengan fluktuasi harga minyak dunia yang terjadi, seperti hedging, skema harga

dan pengurangan konsumsi minyak demi tercapainya ketahanan energi dalam negeri.

Sementara untuk kasus Indonesia, harga minyak dunia dijadikan sebagai asumsi dasar

penetapan APBN setiap tahunnya. Kuncoro (2010) menemukan bahwa peningkatan

harga minyak dunia berpengaruh sekitar 0,02 persen terhadap kebijakan fiskal dan sangat

rawan dalam keberlanjutannya. Dalam hal ini, penetapan harga bahan bakar minyak

(BBM) yang lebih rendah dari harga pasar dalam jangka panjang akan sangat menguras

anggaran pemerintah lewat beban subsidi yang harus ditanggung.

Peranan Harga Minyak Dunia Dalam Krisis Mata Uang

Peranan harga minyak dunia dalam pengembangan model Early Warning System krisis

mata uang masih terbatas. Tidak banyak penelitian krisis mata uang yang melibatkan

peranan harga minyak dunia di dalamnya. Beberapa studi sebelumnya tentang peranan

harga minyak dunia dalam pengembangan model EWS krisis mata uang, diantaranya

adalah:

Kirsanova dan Vines (2001) menggambarkan bagaimana sebuah model krisis yang

tercipta dari guncangan (shock) yang berakibat pada runtuhnya sistem nilai tukar tetap

yang dianut Rusia. Kelemahan utama perekonomian Rusia saat itu adalah kebijakan

pemerintah yang sangat rapuh terhadap guncangan dari luar yaitu volatilitas harga

Page 17: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

13

minyak dunia, karena kebijakan fiskal yang terkait erat dengan sektor energi. Dalam hal

ini, situasi yang terjadi adalah disiplin fiskal yang lemah dan kuatnya ketergantungan

anggaran terhadap penerimaan dari sektor energi, khususnya minyak bumi.

Edison (2003) mengembangkan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Kaminsky,

Lizondo dan Reinhart dengan menambahkan jumlah negara observasi dan jumlah

variabel indikator di dalamnya. Harga minyak dunia merupakan salah satu variabel

tambahan yang dimasukkan dalam model sistem deteksi dini. Peningkatan harga minyak

dunia yang terjadi merupakan hal yang terkait dengan terjadinya resesi.

Early Warning System Model

Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, model EWS dapat dikelompokkan

menjadi 2 kelompok utama, yaitu (1) leading indicator model dan (2) discrete dependent

variable model. Penjelasan dan beberapa analisis mengenai kedua kelompok utama

model EWS akan disajikan berikut beserta kelebihan dan kekurangannya.

1. Leading Indicator Model

Leading Indicator Model dapat digunakan untuk memberi prediksi terjadinya krisis nilai

tukar di masa depan. Model ini menggunakan variabel-variabel ekonomi sebagai

indikator terjadinya krisis mata uang baik secara individual maupun kelompok. Secara

garis besar, Leading Indicator Model dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

individual leading indicator model dan composit leading indicator model.

1.1 Individual Leading Indicator Model

Seperti istilahnya, Individual Leading Indicator Model merupakan model yang

menggunakan single leading indicator sebagai variabel penjelas di satu sisi dan variabel

dependen di sisi lainnya. Satu variabel sebagai variabel dependen, misalnya krisis nilai

tukar, dan variabel lain sebagai indikator utama. Ide yang mendasari model ini adalah

variabel krisis nilai tukar akan mengeluarkan sinyal terjadinya krisis jika tekanan nilai

tukar pasar atau Exchange Market Pressure (EMP) di atas ambang batas (threshold) dan

tidak mengeluarkan sinyal ketika EMP dibawah atau sama dengan ambang batas

(threshold). Ambang ditetapkan berdasarkan rata-rata EMP atau standar deviasi EMP.

Lebih jauh, hubungan antara variabel krisis nilai tukar dan leading indicator akan terlihat

dan dijelaskan melalui sebuah perangkat “Jendela”, dimana perangkat ini merupakan

Page 18: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

14

rentang waktu yang digunakan untuk menguji adanya korelasi antara krisis nilai tukar

dengan indikator yang digunakan.

1.2 Composite Leading Indicator Model

Composite Leading Indicator Model adalah pengembangan dari model terdahulunya

yaitu, Individual Leading Indicator Model. Model ini dibuat dari beberapa indikator

individu. Dengan harapan dapat memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dalam

memprediksi krisis, lebih efisien (kesalahan sinyal rendah), probabilita dari krisis yang

mengikuti sinyal yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan model individual.

Kelemahan utama dari model ini sama dengan Individual Leading Indicator Model yaitu

kehilangan informasi yang disebabkan oleh tidak menggunakan variabel diskret.

Ada dua metode untuk membangun sebuah indikator komposit. Secara umum perbedaan

utama antara metode terletak pada prosedur dan ekstraksi sinyal dari indikator individu.

Metode pertama yang digunakan oleh Kaminsky (1998) adalah semua sinyal yang

dikeluarkan oleh individual leading indicator diubah menjadi sebuah indikator komposit.

Sebaliknya, metode kedua yang digunakan oleh Herrera dan Garcia (1999) adalah sinyal

dikeluarkan oleh indikator komposit itu sendiri, bukan dari individual leading indicator.

2. Discrete Dependent Variable Model

Discrete Dependent Variable Model dapat dibangun dengan dua metodologi. Metodologi

yang pertama ialah dengan menggunakan dua kategori, misalnya 0 dan 1, pada variabel

dependen dalam model linear seperti logit dan probit. Cara lainnya adalah dengan

menggunakan model multinomial jika menggunakan lebih dari dua kategori.

Dengan menggunakan pendekatan Discrete Dependent Variable Model, kemungkinan

kehilangan informasi akan lebih kecil jika dibandingkan dengan leading indicator model.

Hal ini disebabkan oleh karena variabel independen menggunakan nilai aslinya, terutama

untuk variabel yang kontinyu. Kelemahan utama model ini adalah tingkat determinan

diantara variabel-variabel independen ketika seluruh variabel digunakan secara bersama-

sama. Tingkat kepekaan antara satu variabel independen dengan variabel lainnya tidak

dapat ditentukan apabila salah satu variabel dikeluarkan dari dalam model.

Page 19: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

15

Studi Sebelumnya tentang Model Early Warning System

Studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya mengenai Early Warning System untuk

krisis mata uang, diantaranya adalah:

1. Kaminsky, Lizondo dan Reinhart (1998)

Kaminsky, Lizondo dan Reinhart mendefinisikan krisis mata uang sebagai kondisi

dimana Exchange Market Pressure (EMP) terletak diatas rata-rata EMP ditambah 3 kali

standar deviasi dari nilai EMP itu sendiri. EMP sendiri didefinisikan sebagai nilai

pembobotan dari variabel nilai tukar nominal dan cadangan devisa internasional yang

berfluktuasi setiap bulannya dengan bobot yang lebih besar diberikan kepada komponen

lainnya yang fluktuasinya lebih rendah.

Sebagai salah satu pionir yang mencoba membuat metode peramalan dan prediksi

terjadinya krisis, Kaminsky, Lizondo dan Reinhart menggunakan beberapa macam

variabel sebagai individual leading indicator dari krisis nilai tukar, diantaranya yaitu

output nasional (GDP), ekspor, Real Effective Exchange Rates (REER), stock index, rasio

dari broad money terhadap cadangan internasional.

Perilaku dari masing-masing indikator dapat disusun dalam sebuah jendela. Kotak A

adalah bulan yang menunjukkan indikator yang mengeluarkan sinyal baik. Sedangkan,

kotak B adalah bulan yang menunjukkan indikator yang mengeluarkan sinyal buruk

(noise). Sementara itu, kotak C adalah bulan yang menunjukkan indikator yang gagal

mengeluarkan sinyal padahal terjadi krisis. Kotak D adalah bulan yang menunjukkan

indikator yang tidak mengeluarkan sinyal dan tidak terjadi krisis. Untuk masing-masing

indikator, KRL membentuk ambang optimal threshold yang didefinisikan sebagai batas

yang dapat meminimumkan noise-to-signal ratio B/A. Batas ini dihitung dengan

menggunakan persentil dari masing-masing negara.

Tabel 1. Hubungan antara sinyal dan krisis

Ada krisis Tidak ada krisis

Ada sinyal A B

Tidak ada sinyal C D Sumber: Kaminsky, Lizondo dan Reinhart (1998)

Page 20: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

16

Metode Kaminsky, Lizondo dan Reinhart memang kompleks dan memerlukan

pengertian yang mendalam, namun tidak terlalu menghasilkan hasil yang sempurna.

Metode ini gagal untuk memprediksikan 91% terjadinya krisis dan 44% alarm yang

dihasilkan positif salah. Variabel yang signifikan dihasilkan dalam penelitian ini adalah

nilai tukar riil, pertumbuhan ekspor, ratio M2 terhadap cadangan devisa dan

pertumbuhan harga saham.

2. Berg dan Pattillo (1999)

Berg dan Pattillo mengevaluasi model Kaminsky, Lizondo dan Reinhart serta

memberikan alternatif model dalam memprediksi krisis. Berg dan Pattillo

mengaplikasikan indikator-indikator dan batas threshold yang digunakan oleh Kaminsky,

Lizondo dan Reinhart ke dalam model probit dengan menggunakan metode regresi

dalam usaha menyempurnakan model EWS.

Regresi pertama yang dilakukan adalah regresi probit untuk setiap indikator dengan

menggunakan threshold Kaminsky, Lizondo dan Reinhart sebagai batasan dan

mengestimasi kemungkinan terjadinya krisis dalam waktu 24 bulan berikutnya. Regresi

selanjutnya dengan menggunakan dummy variabel untuk setiap indikator, 1 jika di

bawah threshold dan 0 untuk sebaliknya. Regresi ketiga menggunakan linear continuous

variable untuk melihat persentase perubahan dari setiap indikator yang kemudian

dinormalisasikan ke dalam persentil. Walaupun model yang dibuat dapat memberikan

hasil yang mendekati sempurna, namun model tersebut tidak dapat memberi penjelasan

secara spesifik. Model yang paling kuat yang dihasilkan memiliki adjusted-R2 sebesar

0,145. Variabel yang memiliki hasil signifikan dari model ini adalah nilai tukar riil,

pertumbuhan ekspor, ratio current account terhadap GDP, ratio M2 terhadap cadangan

devisa dan pertumbuhan cadangan devisa.

3. Edison (2003)

Edison menggunakan tehnik ekstraksi sinyal Kaminsky, Lizondo dan Reinhart dan

pendekatan probit Berg dan Pattillo, membuat beberapa tambahan dalam strategi

penelitiannya. Edison menambahkan lima negara ke dalam sample, memasukkan

indikator global seperti harga minyak dunia dan output negara G-7 sebagai gambaran

kondisi pasar global. Perubahan yang dilakukan menghasilkan sedikit kemajuan namun

menambah perkembangan model yang dibuat. Edison menekankan kepada pentingnya

Page 21: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

17

fluktuasi nilai tukar riil, short term debt dan ratio M2 terhadap cadangan devisa dalam

memprediksikan krisis mata uang. Hasilnya variabel nilai tukar riil, pertumbuhan ekspor

dan ratio M2 terhadap cadangan devisa terbukti signifikan dalam model yang diteliti.

Sementara, indikator global yang ditambahkan dalam penelitian, seperti harga minyak

dunia, ternyata tidak signifikan.

Aspek lain yang menarik dalam penelitian Edison adalah ia menguji kekuatan model

dengan menggunakan definisi krisis, yaitu indeks Frankel-Rose dengan indeks

Kaminsky-Reinhart. Indeks Frankel-Rose lebih inklusif sehingga dapat memberikan

Edison sample yang lebih luas dalam memilih data. Hasil yang didapat berguna untuk

menghilangkan kritik potensial bahwa hasil yang diberikan model EWS sangat

bergantung kepada definisi krisis yang digunakan.

4. Kumar, Moorthy dan Perraudin (2003)

Kumar, Moorthy dan Perraudin mengikuti struktur dasar model probabilitas yang

dilakukan Berg-Pattillo, namun berbeda dalam 3 aspek kunci. Pertama, Kumar, Moorthy

dan Perraudin lebih memilih untuk menggunakan logit ketimbang probit. Rasionalitas

yang dikedepankan adalah berdasarkan skewed distribution dari variabel dependen,

terdapat lebih banyak observasi non-krisis dibandingkan observasi krisis. Menurut

Kumar, Moorthy dan Perraudin, strategi dengan logit lebih baik digunakan untuk

mengolah karakteristik seperti ini. Kedua, Kumar, Moorthy dan Perraudin menggunakan

variabel dengan lag, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang lebih menjelaskan

krisis sebagai pertemuan berbagai pergerakan secara bersama-sama diantara sistem yang

berbeda. Mereka menambahkan lag pada setiap variabel dengan harapan untuk

menguatkan hasil. Ketiga, Kumar, Moorthy dan Perraudin memilih definisi krisis yang

terkait erat dengan indeks Franklin-Rose. Dengan definisi ini, hasil yang didapat model

lebih kuat, yakni dapat memprediksi 34% krisis secara tepat dan 69% pada waktu

normal.

5. Ali Ari (2008)

Ali Ari mengembangkan model binomial dan multivariat logit dalam mengestimasi

kemampuan prediksi dari 16 indikator yang digunakan dalam sampel yang meliputi

periode Januari tahun 1990 hingga Desember tahun 2002. Sebagai tambahan, penelitian

yang dilakukan juga mencoba kinerja model pada periode yang berbeda atau periode di

Page 22: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

18

luar sampel yaitu Januari 2003 hingga Desember 2008. Hasilnya adalah krisis mata uang

yang menghantam perekonomian Turki disebabkan oleh defisit anggaran yang

berlebihan, tingginya pertumbuhan jumlah uang beredar, peningkatan hutang luar negeri

secara tajam dalam jangka pendek, resiko dalam sistem perbankan serta external shocks.

Penelitian ini menggunakan Index of Speculative Presurre (ISP) sebagai kondisi

terkoreksinya nilai tukar, berkurangnya cadangan devisa dan naiknya tingkat bunga

domestik. Krisis mata uang terjadi apabila nilai ISP melebihi threshold yang ditetapkan,

yaitu 1,5; 2; 2,5; dan 3 kali standar deviasi ditambah nilai rata-rata ISP.

6. Eric Alexander Sugandi (2004)

Penelitian yang dilakukan Sugandi (2004) dengan menggunakan pendekatan Leading

Indicator dalam upaya membangun sistem deteksi dini krisis mata uang untuk Indonesia

menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu pendekatan composite leading indicator dapat

digunakan dalam proses membangun sistem deteksi dini krisis krisis mata uang di

Indonesia karena model yang digunakan lebih efisien dalam menghasilkan sinyal

peringatan dan memberi probabilitas yang tinggi akan kemungkinan terjadinya krisis.

Dua variabel yang dikedepankan dalam kinerja pembentukan model adalah

penyimpangan nilai tukar riil rupiah terhadap trend value-nya dan pertumbuhan tabungan

dalam valuta asing. Kombinasi kedua variabel tersebut merupakan indikator komposit

terbaik dalam menjelaskan kemungkinan terjadinya krisis mata uang di Indonesia.

7. Ulan Danih (2006)

Penelitian yang dilakukan Ulan Danih (2006) dalam membangun sistem deteksi dini

dengan Signal Approach Model (SAM) dapat mendeteksi terjadinya krisis di Indonesia

dengan periode krisis nilai tukar yaitu dari Agustus 1997 hingga Oktober 1998 dan

periode krisis perbankan yaitu Agustus 1997 hingga Mei 1999. Kinerja indikator terbaik

untuk krisis mata uang adalah Real Effective Exchange Rates (REER) dengan

kemungkinan memprediksi sebesar 67 persen, diikuti oleh kredit domestik dan jumlah

uang beredar (M2). Sedangkan untuk indikator krisis perbankan adalah nilai tukar dan

kredit domestik. Selanjutnya, kemungkinan sinyal salah yang berarti sinyal tersebut

ternyata tidak menjelaskan kondisi nilai tukar yang rentan selama 12 bulan ke depan

yaitu sebesar 4 persen. Dengan demikian, sistem deteksi dini ini mampu

mengidentifikasikan sinyal 10 bulan sebelum krisis mata uang terjadi dan 5 bulan

Page 23: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

19

sebelum krisis perbankan terjadi, apabila krisis setaraf periode sebelumnya terjadi

kembali.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan teori yang telah diulas sebelumnya, maka dirumuskan

hipotesis sebagai berikut:

• Diduga harga minyak dunia jenis WTI berpengaruh positif terhadap probabilitas

terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009. Bila harga minyak

naik, maka probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-

2009 semakin besar.

• Diduga nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika berpengaruh positif

terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009.

Bila nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika naik, maka probabilitas

terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009 semakin besar.

• Diduga tingkat inflasi berpengaruh positif terhadap probabilitas terjadinya krisis

mata uang di Indonesia periode 1996-2009. Bila tingkat inflasi tinggi, maka

probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009 semakin

besar.

• Diduga ratio jumlah uang beredar terhadap cadangan devisa berpengaruh positif

terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009.

Semakin besar ratio jumlah uang beredar terhadap cadangan devisa, maka

probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009 semakin

besar.

• Diduga ratio belanja pemerintah terhadap output nasional berpengaruh positif

terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009.

Semakin besar ratio belanja pemerintah terhadap output nasional, maka

probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009 semakin

besar.

Page 24: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

20

Kerangka Pemikiran

Dari uraian sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar

peranan variabel harga minyak dunia di dalam sistem deteksi dini krisis mata uang di

Indonesia. Secara garis besar, kerangka pemikiran penelitian ini adalah sebagai berikut:

III. METODOLOGI

Jenis dan sumber data

Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder, yaitu data yang diambil dari

berbagai terbitan dan publikasi yang telah tersedia, diantaranya adalah data yang

bersumber dari publikasi International Financial Statistics (IFS) terbitan International

Monetary Fund (IMF) dan Energy Information Administration (EIA) untuk data harga

minyak dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) atau yang lebih dikenal dengan

minyak light sweet. Data sekunder yang digunakan pada studi ini adalah data kuartalan

pada periode tahun 1996 hingga tahun 2009.

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan paket program

Microsoft Excel dan Eviews 6. Sebelum data siap diolah dan dianalisis, data harus

melalui proses pengolahan tersendiri, seperti membuat data riil untuk data Consumer

Price Index (CPI) karena data tersebut berbentuk nominal.

Latar Belakang

•adanya krisis mata uang sebelumnya

•peningkatan harga minyak dunia

•ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap harga minyak dunia

Tujuan Penelitian

•mengetahui peranan harga minyak dunia dalam sistem deteksi dini krisis mata uang bagi Indonesia

Analisis Ekonometri

•membuat model logit untuk melihat peranan variabel-variabel makro, terutama harga minyak dunia, dalam model sistem deteksi dini krisis mata uang

Page 25: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

21

Tahapan Pembentukan Model Sistem Deteksi Dini

Model sistem deteksi dini terhadap krisis mata uang dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan discrete dependent variable dengan membentuk model logit. Mengacu

kepada penelitian yang dilakukan Ali Ari (2008), adapun tahapan pembentukan model

yang harus dilalui, yaitu:

1) Penyusunan indeks krisis

Indeks krisis dibangun sebagai variabel dependen dalam menjelaskan episode krisis.

Definisi krisis mata uang yang akan digunakan berperan penting dalam penyusunan

indeks krisis. Beberapa peneliti menggunakan definisi krisis yaitu depresiasi atau

devaluasi mata uang (Frankel dan Rose, 1996, serta Kumar, Moorthy dan Perraudin,

2003). Sementara, Eichengreen (1994,1995,1996) dan Kaminsky (1998) menyusun

indeks krisis berdasarkan definisi krisis mata uang ketika suatu mata uang tertentu

berada dalam tekanan spekulatif yang berat. Definisi ini dapat diartikan sebagai

kondisi dimana serangan spekulasi mengarah kepada devaluasi mata uang dan otoritas

berwenang mempertahankan nilai tukar mata uang dengan melakukan intervensi

lewat cadangan devisa dan menaikkan tingkat bunga domestik. Indeks krisis yang

kemudian disebut sebagai Index of Speculative Presurre (ISP), dimana s

melambangkan perubahan (riil atau nominal) kurs nilai tukar mata uang, r merupakan

perubahan cadangan devisa dan i yang melambangkan pergerakan tingkat bunga.

Sementara, σ melambangkan invers dari standar deviasi variabel tersebut.

ISPt = 1𝜎𝜎𝜎𝜎

∆ st - 1𝜎𝜎𝜎𝜎

∆ rt + 1𝜎𝜎𝜎𝜎

∆it [1]

Lebih lanjut, invers dari standar deviasi dimaksudkan sebagai pembobotan komponen

penyusun indeks krisis yang dilakukan agar semua variabel memiliki equal variances

atau menyamakan volatilitasnya serta menghindari kemungkinan salah satu

komponen penyusun dalam mendominasi indeks tersebut (Aziz, Caramazza dan

Salgado, 2000).

Nilai ISP dalam penelitian ini merupakan komposisi dari perubahan nilai tukar riil

mata uang, perubahan cadangan devisa yang dimiliki dan pergerakan tingkat bunga.

Dalam hal ini, nilai ISP akan menggambarkan situasi krisis mata uang yang tercermin

dalam situasi serangan spekulatif terhadap nilai mata uang dan intervensi otoritas

Page 26: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

22

keuangan dalam menjaga kurs dengan mengurangi cadangan devisa dan menaikkan

tingkat bunga.

ISPt = 1𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎

�𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝑅𝑅−𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝑅𝑅 −1𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎 𝑅𝑅−1

� - 1𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎

�𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝑅𝑅−𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝑅𝑅−1𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝑅𝑅−1

� + 1𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎

(𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝑅𝑅 − 𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝑅𝑅 − 1) [2]

Dimana:

REER = (NER x P*) / P

REER = Real Effective Exchange Rate

NER = Nominal Exchange Rate (Rp/USD)

P* = Consumer Price Index Amerika Serikat

P = Consumer Price Index Indonesia

RES = International reserves minus Gold

NIR = Nominal Interest Rate

σ REER, σ RES, σ NIR = standar deviasi dari masing-masing komponen

2) Menentukan ambang batas (arbitrary threshold)

Setelah menentukan indeks krisis beserta komponen penyusunnya dan melakukan

pembobotan, selanjutnya dilakukan penentuan ambang batas (arbitrary threshold).

Ketika indeks krisis melewati batas, maka observasi yang dilakukan akan

dikategorikan sebagai krisis. Dalam hal ini, indeks krisis diubah menjadi binary

variable yaitu bernilai 1 jika terjadi krisis dan bernilai 0 untuk sebaliknya.

Ct = �1 𝜎𝜎𝑖𝑖 𝜎𝜎𝜎𝜎𝐼𝐼𝑅𝑅 > ∅ 𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝐼𝐼 + 𝜇𝜇𝜎𝜎𝜎𝜎𝐼𝐼 0 𝜎𝜎𝑖𝑖 𝑜𝑜𝑅𝑅ℎ𝑒𝑒𝜎𝜎𝑒𝑒𝜎𝜎𝜎𝜎𝑒𝑒

� [3]

Secara umum, threshold level penilaian terjadi atau tidaknya krisis (Ct) ditetapkan

dengan beragam ambang batas (arbitrary threshold), yakni ∅, dikalikan dengan

standar deviasi dari indeks (𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝐼𝐼) dan ditambah dengan mean dari indeks (𝜇𝜇𝜎𝜎𝜎𝜎𝐼𝐼).

Ambang batas (arbitrary threshold) merupakan standar deviasi dari indeks krisis

(ISP) ditambah mean dari indeks krisis (ISP) tersebut. Nilai dari ambang batas

(arbitrary threshold) yang biasa digunakan dalam studi-studi terdahulu mencakup 1.5

kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP (Eichengreen, Rose dan Wyplosz,

1994,1996) sampai 3 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP (Kaminsky, Reinhart

Page 27: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

23

dan Lizondo, 1997). Penelitian ini mencoba melihat dengan menggunakan ambang

batas (arbitrary threshold) sebesar 1,5 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP.

C1t = �1 𝑗𝑗𝜎𝜎𝑗𝑗𝑗𝑗 𝜎𝜎𝜎𝜎𝐼𝐼𝑅𝑅 > 1,5 𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝐼𝐼𝑅𝑅 + 𝜇𝜇𝜎𝜎𝜎𝜎𝐼𝐼𝑅𝑅 0 𝑗𝑗𝜎𝜎𝑗𝑗𝑗𝑗 𝜎𝜎𝑒𝑒𝑠𝑠𝑗𝑗𝑠𝑠𝜎𝜎𝑗𝑗𝑠𝑠𝑠𝑠𝑗𝑗

� [4]

Sebagai tambahan, penelitian ini juga mencoba melihat kemampuan ambang batas

(arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP untuk

menjelaskan terjadi atau tidaknya suatu krisis.

C2t = �1 𝑗𝑗𝜎𝜎𝑗𝑗𝑗𝑗 𝜎𝜎𝜎𝜎𝐼𝐼𝑅𝑅 > 1 𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝐼𝐼𝑅𝑅 + 𝜇𝜇𝜎𝜎𝜎𝜎𝐼𝐼𝑅𝑅 0 𝑗𝑗𝜎𝜎𝑗𝑗𝑗𝑗 𝜎𝜎𝑒𝑒𝑠𝑠𝑗𝑗𝑠𝑠𝜎𝜎𝑗𝑗𝑠𝑠𝑠𝑠𝑗𝑗

� [5]

3) Memilih metodologi yang digunakan

Untuk mengetahui pengaruh dan tingkat signifikansi masing-masing indikator

terhadap krisis mata uang yang terjadi di Indonesia maka digunakan model Logit.

Model Logit merupakan model ekonometrika yang digunakan untuk melihat pengaruh

variabel independen terhadap variabel dependen, dimana variabel dependen

merupakan variabel diskret (dummy variabel) yang bernilai 1 dan 0, sedangkan

variabel independennya bersifat non-diskrit.

Pendekatan discrete dependent variable dapat menganalisis probabilitas terjadinya

suatu event; dalam hal ini krisis mata uang, berdasarkan sekumpulan indikator yang

diteliti. Berbeda dengan pendekatan sinyal. Metode pendekatan sinyal bertujuan untuk

memonitor perilaku yang tidak biasa dari indikator sebelum terjadinya krisis dan

mengevaluasi setiap indikator dalam kemampuan forecasting-nya. Selain itu,

pendekatan ini tidak dapat memberikan test statistik dan estimasi probabilitas yang

diperlukan. Lebih jauh, beberapa informasi yang terkandung dalam setiap indikator

dapat hilang ketika indikator yang digunakan diubah atau ditransformasikan ke dalam

sinyal biner.

Pendekatan discrete dependent variable memiliki keunggulan untuk merangkum

informasi tentang probabilitas terjadinya krisis dalam bahasa yang mudah dimengerti,

misalnya nilai 1 untuk krisis yang terjadi dan nilai 0 untuk non krisis. Sebagai

Page 28: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

24

tambahan, pendekatan ini mencakup seluruh indikator dalam sistem deteksi dini

secara simultan dalam satu kerangka pemikiran, melihat kontribusi yang diberikan

setiap indikator secara marjinal dan peneliti dapat membuang indikator yang tidak

berkontribusi signifikan dalam analisis. Lebih jauh, pendekatan ini memberikan test

statistik secara langsung untuk mengukur ketepatan hasil estimasi yang dilakukan.

Akan tetapi, interpretasi koefisien hasil estimasi dalam pendekatan discrete dependent

variable memang tidak mudah. Hal ini dikarenakan sifat non linier dari model dalam

pendekatan ini. Lebih lanjut, tidak seperti pendekatan sinyal, pendekatan ini tidak bisa

membuat peringkat terhadap indikator berdasarkan kemampuan dalam ketepatan

forecasting terjadinya krisis.

Determinan Krisis

Langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah memilih variabel yang dapat digunakan

untuk penyusunan model dalam pendekatan discrete dependent variable. Beberapa

indikator dapat dikedepankan sebagai faktor kunci yang potensial dalam menyebabkan

terjadinya krisis, diantaranya adalah overvaluations dari mata uang domestik, ratio antara

M2 dan cadangan devisa, pertumbuhan kredit domestik, ratio hutang luar negeri dan

cadangan devisa serta terjadinya krisis di negara lain. Indikator-indikator tersebut

berguna dalam memberikan informasi dan signifikansi dalam memprediksi terjadinya

krisis.

Lebih jauh, pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan satu

negara (one-country-approach) dengan batasan terjadinya krisis di Indonesia pada tahun

1996 hingga tahun 2009. Batasan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

tahun 1996 kuartal 1 hingga tahun 2009 kuartal 4. Hal ini memiliki alasan utama yaitu

episode krisis yang baru-baru ini terjadi di Indonesia berada pada periode tersebut.

Model Logit

Dalam penelitian ini, variabel dependen adalah krisis di Indonesia periode 1996 – 2009,

sedangkan variabel independen adalah harga minyak dunia jenis WTI (OIL), nilai tukar

riil Rupiah terhadap Dollar Amerika (REER), tingkat inflasi (INFLASI), ratio jumlah

uang beredar terhadap cadangan devisa (M2DEVISA) serta ratio belanja pemerintah

terhadap output nasional (GOVGDP).

Page 29: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

25

Krisis merupakan variabel dummy dimana terjadi dua karakteristik probabilitas yang

ditunjukkan dengan angka satu (yang berarti krisis sedang terjadi) dan nol (yang berarti

tidak terjadi krisis).

Secara umum model logit dapat dinyatakan sebagai berikut:

Li = Log 𝐼𝐼𝜎𝜎1−𝐼𝐼𝜎𝜎

= b0 + ∑ 𝑠𝑠𝑗𝑗 𝑋𝑋𝜎𝜎𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗=1 [6]

Dimana

Li : variabel dependen (=1 bila terjadi krisis dan =0 bila tidak terjadi krisis)

Pi : probabilitas

Xij : variabel independen

Dari model umum tersebut, diperoleh model logit untuk krisis di Indonesia, yaitu sebagai

berikut:

Li = Log 𝐼𝐼𝜎𝜎1−𝐼𝐼𝜎𝜎

= b0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + b5 X5 [7]

Dimana:

X1 : Harga minyak dunia jenis WTI

X2 : Real Effective Exchange Rate (REER)

X3 : Tingkat Inflasi

X4 : Ratio M2 dan cadangan devisa

X5 : Ratio Belanja Pemerintah dan GDP

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Periode Krisis

Berdasarkan ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1,5 kali standar deviasi diatas

nilai tengah ISP, hanya mampu mengidentifikasi terjadinya krisis di periode 1996 hingga

1999 dan periode 2005 saja. Berbeda dengan hasil tersebut, nilai indeks dengan ambang

batas (arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP, nilai

indeks mengidentifikasi beberapa periode terjadinya krisis mata uang, yaitu tahun 1996

hingga 1999, 2005 hingga 2006, serta periode tahun 2008.

Page 30: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

26

Pemilihan besarnya ambang batas (arbitrary threshold) yang akan digunakan,

sepenuhnya diserahkan kepada peneliti. Nilai ambang batas (arbitrary threshold) yang

sering digunakan adalah 1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Walaupun

demikian, penulis mencoba menggunakan besaran nilai ambang batas (arbitrary

threshold) yang lain, yaitu sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Dalam

hal ini, semakin besar nilai ambang batas (arbitrary threshold) yang digunakan, maka

jumlah krisis yang teridentifikasi akan semakin rendah.

Gambar 2. Identifikasi Periode Krisis

0

1

2

1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

ISP> 1 SD

0

1

2

1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008

ISP> 1,5 SD

Page 31: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

27

Hasil Estimasi Model Logit

Estimasi dengan model logit diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 2. Koefisien dan Probabilitas Variabel Bebas

1 SD 1,5 SD

KOEFISIEN PROBABILITY KOEFISIEN PROBABILITY

OIL -0,045062 0,1450 -0,119950 0,0958

REER -9,83E-05 0,3334 -0,000113 0,2507

INFLASI 45,25869 0,0336 24,79216 0,1035

M2DEVISA 1,021303 0,3351 0,791984 0,5286

GOVGDP -0,064941 0,8728 0,359413 0,4937 Sumber: diolah

Dari regresi yang telah dilakukan, nampak bahwa hanya variabel harga minyak dunia

(OIL) yang signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis dengan

menggunakan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1,5 kali standar deviasi di

atas nilai tengah ISP. Signifikansi pengaruh variabel harga minyak dunia (OIL) terhadap

probabilitas terjadinya krisis berada pada α = 10%.

Selain itu, hasil tambahan yang didapatkan dalam estimasi dengan model logit adalah

variabel tingkat inflasi (INFLASI) signifikan berpengaruh terhadap probabilitas

terjadinya krisis dengan menggunakan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1

kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Sementara signifikansi pengaruh variabel

tingkat inflasi (INFLASI) terhadap probabilitas terjadinya krisis berada pada α = 5%.

Nilai McFadden R2 dari hasil estimasi dengan nilai ambang batas (arbitrary threshold)

sebesar 1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP adalah 0,268244. Hal ini berarti

bahwa variabel bebas dalam model mampu menerangkan perubahan probabilitas

terjadinya krisis sebesar 26,82 persen atau 73,18 persen diterangkan oleh variabel lain di

luar model. Sementara itu, nilai McFadden R2 dari hasil estimasi dengan nilai ambang

batas (arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP adalah

0,271512. Hal ini berarti bahwa variabel bebas dalam model mampu menerangkan

perubahan probabilitas terjadinya krisis sebesar 27,15 persen atau 72,85 persen

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Di samping itu, nilai McFadden R2 yang

Page 32: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

28

didapat dari hasil estimasi dengan menggunakan kedua nilai threshold (0,271512 dan

0,268244) masih dapat diterima sebagai nilai yang bagus tapi tidak memuaskan. Nilai

McFadden R2 dalam model logit umumnya berkisar antara 20 persen hingga 40 persen

(Ali Ari, 2008). Walaupun demikian, dalam binary regressand models, pengukuran

goodness of fit bukanlah menjadi hal utama yang harus dilakukan. Yang menjadi

masalah utama dalam analisis dan pembahasan hasil estimasi dengan model logit adalah

tanda yang diharapkan (expected signs) dari koefisien variabel independen dan

signifikansi regresi (Gujarati, 2004).

Interpretasi Odds Ratio

Dari hasil estimasi model logit dengan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar

1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP, hubungan antara variabel bebas terhadap

variabel tak bebas memiliki interpretasi sebagai berikut: variabel harga minyak dunia

(OIL) dalam hasil estimasi memiliki koefisien -0,11995. Hal ini berarti penurunan harga

minyak dunia sebesar 1 dollar akan menyebabkan peningkatan secara rata-rata pada

probabilitas terjadinya krisis mata uang sebesar 0,12 apabila variabel-variabel lain

dianggap konstan. Ukuran probabilitas (terms of odds) dari variabel harga minyak dunia

diketahui dari antilog koefisien harga minyak dunia sebesar 0,8869. Hal ini berarti

variabel harga minyak dunia (OIL) dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya krisis

sebanyak 0,8869 kali daripada kemungkinan tidak terjadi krisis.

Tanda koefisien dari variabel harga minyak dunia (OIL) ternyata tidak sesuai dengan

dugaan awal. Koefisien variabel harga minyak dunia (OIL) memiliki tanda negatif atau

berkebalikan arah dengan probabilitas terjadinya krisis mata uang. Artinya, semakin

harga minyak dunia meningkat, maka probabilitas terjadinya krisis mata uang di

Indonesia akan berkurang. Kemungkinan krisis mata uang akan terjadi jika harga minyak

dunia mengalami penurunan.

Secara teori, fluktuasi yang terjadi dengan harga minyak dunia memiliki banyak

pengaruh kepada perekonomian, misalnya terhadap nilai tukar mata uang domestik

tingkat bunga maupun output. Apabila ditelisik lebih dalam, hampir semua pengaruh

harga minyak terjadi ketika harga mengalami peningkatan atau kenaikan.

Page 33: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

29

Penelitian ini menghasilkan temuan yang berbeda dengan hipotesis awal dan penelitian-

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Peningkatan harga minyak dunia diduga

memiliki pengaruh positif terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang. Terlebih

bagi Indonesia yang saat ini telah menjadi negara pengimpor minyak. Meningkatnya

harga minyak dunia akan memberikan tekanan nilai tukar kepada Indonesia karena

valuta asing, dalam hal ini Dollar Amerika, akan lebih banyak dibutuhkan untuk

membeli minyak. Hasil penelitian menemukan bahwa harga minyak dunia memiliki

pengaruh negatif terhadap probabilitas krisis mata uang. Lebih spesifik, kemungkinan

krisis mata uang akan terjadi jika harga minyak dunia turun bukan ketika harga minyak

dunia mengalami peningkatan. Lebih jauh, penelitian ini menemukan hal yang berbeda

dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang telah dilakukan

Edison (2003). Hasil penelitian ini menemukan bahwa harga minyak dunia memiliki

pengaruh signifikan terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang, walaupun

pengaruhnya tidak terlalu besar.

Ketidaksesuaian hasil estimasi peranan harga minyak dunia dengan dugaan awal

didukung oleh fakta bahwa di kuartal ke-4 tahun 2008 harga minyak dunia mengalami

penurunan tajam dari 104,11 US dolar per barel ke 41,12 US dolar per barel sementara

nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika melonjak dari kisaran Rp. 9.000 per US dolar

ke Rp 11.023 per US dolar. Melonjaknya harga minyak dunia yang sempat menembus

angka 100 US dolar per barel pada kuartal pertama tahun 2008 menjadi tidak berarti

karena perekonomian dunia sedang lesu sebagai imbas dari krisis subprime mortgage di

Amerika Serikat dan krisis hutang yang melanda Eropa. Resesi global yang terjadi

kemudian menurunkan permintaan akan minyak mentah dunia sehingga harga minyak

dunia pun turun drastis.

Fenomena tersebut diduga karena harga minyak dunia berperan secara tidak langsung

kepada stabilitas sistem keuangan. Penurunan harga minyak dunia sebagai bagian dari

berkurangnya permintaan akan komoditas minyak merupakan gejala melemahnya

perekonomian global yang disusul kemudian dengan perilaku para pelaku pasar yang

mengamankan aset-asetnya, menarik modal yang sudah ditanamkan atau tidak jadi

menanamkan modalnya. Peristiwa keluarnya modal asing dari perekonomian domestik

inilah yang kemudian akan melemahkan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata

uang asing. Terkoreksinya nilai tukar ke posisi yang lemah akan membuat otoritas

Page 34: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

30

moneter bergerak melakukan intervensi di pasar keuangan dengan mengurangi cadangan

devisa.

Harga minyak dunia lebih memiliki pengaruh langsung kepada sektor riil. Fluktuasi

harga minyak dunia akan berpengaruh terhadap produk turunan atau hasil olahan dari

minyak mentah yang dikonsumsi masyarakat, seperti BBM, dan mendorong terjadinya

cost push inflation. Lebih jauh, lonjakan harga minyak dunia akan direspon oleh otoritas

fiskal dengan penyesuaian kebijakan pengeluaran pemerintah terkait dengan kebijakan

subsidi bahan bakar yang diberikan untuk menjaga daya beli masyarakat.

Selanjutnya, dari hasil estimasi model logit dengan nilai ambang batas (arbitrary

threshold) sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP, hubungan antara

variabel bebas terhadap variabel tak bebas memiliki interpretasi sebagai berikut: variabel

inflasi (INFLASI) dalam hasil estimasi memiliki koefisien positif, yakni 45,25869. Hal

ini berarti kenaikan pertumbuhan inflasi sebesar 1 persen akan menyebabkan

peningkatan secara rata-rata pada probabilitas terjadinya krisis mata uang sebesar 45,26

apabila variabel-variabel lain dianggap konstan. Ukuran probabilitas (terms of odds) dari

variabel inflasi diketahui dari antilog koefisien inflasi sebesar 4,5248E+19. Hal ini

berarti variabel inflasi dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya krisis sebanyak 4,52

kali daripada kemungkinan tidak terjadi krisis.

Dampak yang ditimbulkan oleh inflasi kepada probabilitas terjadinya krisis mata uang

memiliki arah yang sama. Dalam hal ini, jika inflasi meningkat maka probabilitas

terjadinya krisis juga demikian. Salah satu konsekuensi dari inflasi yang tinggi adalah

mata uang yang mengalami depresiasi karena berkurangnya daya beli mata uang

domestik terhadap mata uang asing. Hal ini terjadi karena perilaku para pelaku pasar

dalam menanggapi tingginya inflasi yang terjadi. Inflasi yang tinggi identik dengan

resiko yang semakin tinggi pula. Resiko inilah yang kemudian mendorong para pelaku

pasar untuk mengambil keputusan, seperti membawa modal ke luar negeri (capital

outflow) atau tidak jadi menanamkan modalnya ke negara ini. Apabila hal tersebut

terjadi, maka jumlah mata uang asing yang ditawarkan akan semakin berkurang dan

kelangkaan tersebut akan memicu naiknya harga mata uang asing, yang selanjutnya akan

membuat mata uang domestik terdepresiasi. Melemahnya nilai tukar mata uang domestik

akan mendorong otoritas moneter untuk melakukan intervensi di pasar uang dengan

Page 35: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

31

menggunakan cadangan devisa yang dimiliki. Lebih jauh, kondisi inflasi yang tinggi

akan menyebabkan naiknya tingkat bunga. Dengan meningkatnya inflasi, tingkat bunga

juga akan meningkat sebagai bagian dari kebijakan moneter yang ditempuh untuk

mengerem tekanan inflationary. Dengan demikian, pengaruh inflasi terhadap probabilitas

terjadinya krisis mata uang sejalan dengan definisi krisis mata uang yang digunakan

dalam penelitian ini, yaitu perubahan nilai tukar, cadangan devisa yang berkurang dan

kenaikan tingkat bunga.

Pengaruh Negatif Harga Minyak Dunia Terhadap Probabilitas Krisis Dari Sisi

Importir Dan Eksportir

Probabilitas krisis mata uang akan semakin besar jika nilai ISP juga makin besar, dimana

nilai ISP merupakan definisi krisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu nilai tukar

yang terkoreksi, penurunan cadangan devisa dan tingkat suku bunga yang bertambah.

Volatilitas harga minyak dunia membawa konsekuensi berbeda kepada setiap negara.

Volatilitas harga minyak dunia dapat didefinisikan sebagai tingkat perubahan dalam

harga, baik harga yang meningkat maupun turun, pada periode waktu tertentu. Semakin

besar selisih perubahan atau semakin cepat perubahan tersebut terjadi, maka volatilitas

semakin tinggi. Negara produsen dan pengekspor minyak akan meraup keuntungan

ketika harga minyak dunia meningkat, sementara negara pengimpor minyak akan

mengalami dampak yang tidak diinginkan terhadap neraca perdagangan, terutama di

sektor eksternal.

Krisis mata uang sendiri dapat terjadi baik pada negara eksportir minyak maupun negara

importir minyak. Gejolak yang terjadi pada nilai tukar mata uang, baik apresiasi maupun

depresiasi, akan dikategorikan sebagai krisis apabila melewati threshold tertentu.

Bagi negara eksportir minyak, penurunan harga minyak akan mempengaruhi

perekonomian melalui berkurangnya penerimaan dan kesejahteraan. Transfer

kesejahteraan dari negara importir minyak ke negara eksportir minyak akan berkurang

seiring dengan harga minyak yang murah. Keuntungan yang didapat dari perdagangan

minyak tidak akan sebanyak dibandingkan ketika harga minyak sedang mahal.

Bagaimanapun, hal ini akan tergantung dari seberapa besar sektor perdagangan minyak

berkontribusi terhadap perekonomian negara pengekspor minyak. Jika negara

pengekspor minyak sangat menggantungkan penerimaannya dari sektor minyak, maka

Page 36: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

32

aktifitas perekonomian negara tersebut akan mengalami penurunan dan akan berakibat

pada munculnya tekanan inflasi dan tekanan nilai tukar mata uang domestik.

Selanjutnya, turunnya harga minyak dapat berpengaruh terhadap perekonomian melalui

efek perdagangan internasional. Turunnya harga minyak akan menyebabkan

meningkatnya permintaan minyak dari negara importir minyak kepada negara eksportir

minyak. Jika permintaan minyak terus bertambah maka dapat berakibat memicu naiknya

harga minyak kembali menemukan keseimbangan harga yang baru dan hal ini akan

mendorong kegiatan ekspor di negara eksportir minyak.

Bagi negara importir minyak, harga minyak yang mengalami penurunan merupakan

berkah tersendiri. Negara importir minyak akan membutuhkan valuta asing yang lebih

sedikit untuk membeli minyak dari negara eksportir minyak. Di samping itu, harga

energi yang lebih rendah kemudian akan mempengaruhi fungsi produksi agregat karena

perusahaan akan memilih untuk menambah jumlah output yang dihasilkan dari proses

produksi. Bertambahnya output dan pendapatan perusahaan kemudian akan membuat

aktifitas konsumsi dan investasi meningkat seiring dengan meningkatnya kesejahteraan

negara pengimpor minyak.

V. SIMPULAN

Simpulan

Nilai indeks yang digunakan (ISP) mampu mengidentifikasi beberapa periode krisis mata

uang yang terjadi di Indonesia. Diantaranya adalah tahun 1996 hingga 1999 dan periode

2005 dengan menggunakan ambang batas 1,5 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP.

Namun, ketika menggunakan ambang batas 1 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP,

periode yang teridentifikasi adalah tahun 1996 hingga 1999, 2005 hingga 2006, serta

periode tahun 2008.

Dengan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan model logit, terdapat dua

variabel bebas yang signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis mata

uang di Indonesia tahun 1996 - 2009, yaitu variabel harga minyak dunia dan variabel

tingkat inflasi. Variabel harga minyak dunia signifikan berpengaruh terhadap probabilitas

terjadinya krisis dengan menggunakan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar

1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Sementara, hasil tambahan yang

didapatkan dalam estimasi dengan model logit adalah variabel tingkat inflasi signifikan

Page 37: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

33

berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis dengan menggunakan nilai ambang

batas (arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP.

Kedua variabel yang signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis mata

uang di Indonesia, yaitu tingkat inflasi dan harga minyak dunia, ternyata memiliki

perbedaan dalam cara memengaruhi terjadinya krisis mata uang. Probabilitas terjadinya

krisis akan meningkat seiring dengan tekanan inflasi yang besar, namun tidak demikian

dengan harga minyak dunia. Peranan variabel harga minyak dunia sebagai indikator yang

digunakan dalam pembentukan model sistem deteksi dini krisis mata uang untuk

Indonesia tidak terlalu besar. Variabel harga minyak dunia dalam hasil estimasi memiliki

koefisien negatif, yaitu -0,11995 dan ukuran probabilitas (terms of odds) dari variabel

harga minyak dunia sebesar 0,8869. Hal ini berarti variabel harga minyak dunia dapat

menyebabkan kemungkinan terjadinya krisis sebanyak 0,8869 kali daripada

kemungkinan tidak terjadi krisis. Dengan demikian, variabel harga minyak dunia tidak

cocok untuk dimasukkan ke dalam model sistem deteksi dini krisis mata uang untuk

Indonesia.

Saran

Penyusunan sistem deteksi dini krisis mata uang di Indonesia perlu melihat variabel

tingkat inflasi sebagai indikator utama penyebab krisis. Pemerintah agar melakukan

pemantauan pergerakan variabel, khususnya tingkat inflasi, yang mampu memprediksi

krisis mata uang untuk mengantisipasi krisis sedini mungkin.

Pengendalian inflasi dapat dilakukan dari sisi moneter oleh Bank Indonesia sebagai

otoritas moneter maupun kebijakan disinflasi dari sisi penawaran agregat oleh

pemerintah terkait langsung dengan sisi produksi dan distribusi barang konsumen.

Dari sisi moneter, Bank Indonesia dapat mengarahkan kebijakan moneter agar mencapai

target inflasi seperti yang ditetapkan dengan menggunakan instrumen kebijakan suku

bunga. Pengendalian inflasi dapat dilakukan dengan menaikkan suku bunga secara

bertahap dan pengetatan kredit yang bertujuan untuk memperkuat nilai tukar dan

mengembalikan kepercayaan pasar.

Selain itu, stabilitas harga dapat dicapai dengan memperhatikan ekspektasi inflasi yang

berkembang di masyarakat. Dalam kaitannya dengan kebijakan moneter untuk

mengendalikan inflasi, salah satu faktor terpenting dari segi efektifitas dan efisiensi

Page 38: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

34

pelaksanaannya oleh BI adalah pemahaman mengenai terbentuknya ekspektasi inflasi

oleh para pelaku ekonomi. Bank sentral perlu meningkatkan transparansi pelaksanaan

tugasnya dengan secara eksplisit memberikan informasi yang lengkap mengenai

perkembangan terakhir laju inflasi dan hal-hal yang melatarbelakangi penetapan suatu

sasaran laju inflasi serta informasi variabel lain seperti pertumbuhan uang beredar,

perkembangan nilai tukar, yang konsisten dengan pencapaian sasaran laju inflasi. Di

samping itu, stabilitas nilai tukar juga harus tetap mendapat perhatian dalam upaya

menunjang penurunan ekspektasi inflasi masyarakat.

Page 39: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

Daftar Pustaka

Abiad, Abdul G, 1999. Early Warning System For Currency Crises: A Markov-Switching Approach with Application to Southeast Asia,--------

Adebiyi, M.A., Adenuga, A.O., Abeng, M.O. dan Omanukwue, P.N, 2009. Oil Price Shocks, Exchange Rate and Stock Market Behaviour: Empirical Evidence from Nigeria, Research Paper, pp 1 – 41, Central Bank of Nigeria.

Agung, J., E. Sukawati, R. Morena, D. Hermawan dan B. Mukti, 2002. Desain Sistem Deteksi Dini dalam Rangka Monitoring Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jakarta.

Akram, Farooq Q, 2004. ”Oil Prices and Exchange Rates: Norwegian Evidence”, dalam Jennifer C. Dawson, The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV.

Aliyu, S.U.R, 2009. Impact of Oil Price Shock and Exchange Rate Volatility on Economic Growth in Nigeria: An Empirical Investigation, Research Journal of International Studies, 11, 4-15.

Amano, Robert A and Simon van Norden, 1998. ”Exchange Rates and Oil Prices”, dalam Jennifer C. Dawson, The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV.

Ari, Ali, 2008. An Early Warning Signals Approach for Currency Crises: The Turkish Case, Universite du Sud, Toulon-Var, MPRA Paper No. 25858, October 2010.

Aziz J., Caramazza F. and Salgado R, 2000. Currency crises: In search of common elements, IMF Working Paper, 00-67.

Bacon, R, and M. Kojima, 2008. Coping with Oil Price Volatility, Energy Sector Management Assistance Program, Special Report 005/08, The World Bank, Washington.

Bank Indonesia, 2011. Laporan Perekonomian Indonesia 2011. Batunagar, S, 2003. Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan, Pengembangan Perbankan, Edisi

99 Maret-April, Jakarta. Berg, Andrew dan Catherine Pattillo, Are Currency Crises Predictable?, IMF Staff Papers,

vol. 46 No. 2, June 1999. Bergvall, Anders, 2004. ”What Determines Real Exchange Rates? The Nordic Countries”, dalam

Jennifer C. Dawson, The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV.

Bussiere, Matthieu dan Marcel Fratzscher, 2006. Towards a New Early Warning System of Financial Crises, Journal of International Money and Finance 25.

Caprio, Gerard and Daniela Klingebiel, 1996. Bank Insolvencies: Cross-Country Experience. World Bank Policy Research Working Paper No. 1620, July 1996.

Chauduri, Kausik and Betty C. Daniel, 1998. ”Long-Run Equilibrium Real Exchange Rates and Oil Prices”, dalam Jennifer C. Dawson, The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV.

Page 40: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

Danih, Ulan, 2006. Sistem Deteksi Dini Krisis Nilai Tukar dan Krisis Perbankan di Indonesia periode 1995 – 2005, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Dawson, Jennifer C, 2004. The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV.

Edison H.J, 2003. Do indicators of financial crises work? An evaluation of an early warning system, International Journal of Finance and Economics, 8, pp.11-53.

Eichengreen B., Rose A.K. and Wyplosz C, 1994. Speculative attacks on pegged exchange rates: An empirical exploration with special reference to the European Monetary System, NBER Working Paper, 4898.

Eichengreen B., Rose A.K. and Wyplosz C, 1995. Exchange Rate Mayhem: The Antecedents and Aftermath of Speculative Attacks, Economic Policy, 21, pp. 249-312.

Eichengreen B., Rose A.K. et Wyplosz C, 1996. Contagious Currency Crises, NBER Working Paper, 5681.

Eichengreen, Barry, Andrew K. Rose and Charles Wyplosz, 1996.”Contagious Currency Crisis: First Tests”, dalam Takatoshi Ito and Keisuke Orii, Early Warning System of Currency Crises, Policy Research Institute, Ministry of Finance, Japan, Public Policy Review vol. 5 No. 1, October 2009.

Energy Information Administration. Cushing, OK WTI Spot Price FOB (Dollars per Barrel), http://tonto.eia.gov/dnav/pet/hist/LeafHandler.ashx?n=PET&s=RWTC&f=M, (12 Juni 2013)

Farlane, Mc, I.J, 1999. The Stability of Financial Sistem, Reserve Bank of Australia Bulletin, August 1999.

Frankel, Jeffrey and Andrew Rose, 1996. Currency Crashes in Emerging Markets: An Empirical Treatement, Journal of International Economics, vol 41, pp. 351-66.

Gerlach, Stefans and Frank Smets, 1994.”Contagious Speculative Attacks”, dalam Graciela Kaminsky, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of Currency Crises, IMF Staff Papers, vol. 45 No. 1, March 1998.

Goldfajn, L, Valdes, R., 1997. Capital Flows and the Twin Crises: The Role of Liquidity, IMF Working Paper, No. 97-87.

Goldstein, M, Graciela Kaminsky and Carmen M. Reinhart, 2000. “Assessing Financial Vulnerability: An Early Warning System for Emerging Markets”, dalam Thangjam Rajeshwar Singh, Ordered Probit Model of Early Warning System for Predicting Financial Crisis in India, Reserve Bank of India.

Gujarati D.N, 2004. Basic econometrics, New York, McGraw-Hill, 4th edition. Hadad, M. D, W. Santoso dan B. Arianto, 2003. Indikator Awal Krisis Perbankan, Bank

Indonesia, Jakarta. Hardy, C Daniel and Pazarbasioglu Ceyla, 1998. Leading Indicators of Banking Crises: Was

Asia Different?, IMF Working Paper, June 1998.

Page 41: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

Herrera, S, Dan Garcia, 1999. User’s Guide to An Early Warning System for Macroeconomic Vulnerability in Latin American Countries. World Bank Working Paper 2233, September 1999.

Hotelling, H, 1931. The Economics of Exhaustible Resources, Journal of Political Economy 39, 137-75.

International Monetary Fund, __. International Financial Statistics, berbagai edisi. Ito, Takatoshi and Keisuke Orii, 2009. Early Warning System of Currency Crises, Policy

Research Institute, Ministry of Finance, Japan, Public Policy Review vol. 5 No. 1, October 2009.

Kaminsky G, 1998. Currency and Banking Crises: The Early Warnings of Distress, International Finance Discussion Papers, No. 629, October 1998.

Kaminsky, Graciela L, 2000. Currency and Banking Crises: The Early Warnings of Distress, George Washington University, July 2000.

Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, 1998. Leading Indicators of Currency Crises, IMF Staff Papers, vol. 45 No. 1, March 1998.

Kaufmann, R.K, and B. Ullman, 2009. Oil Prices, Speculation, and Fundamentals: Interpreting Causal Relationships among Spot and Future Prices, Energy Economics, 31, 550-558.

Kibritcioglu, A, 2003. Monitoring Banking Sector Fragility, The Arab Bank Review, 5-2, pp.51-66.

Kirsanova, Tatiana and David Vines, 2001. Collapse of Oil Prices and Currency Crisis in Russia, __, June 2001.

Krugman, Paul, 1979.”A Model of Balance of Payments Crises”, dalam Graciela Kaminsky, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of Currency Crises, IMF Staff Papers, vol. 45 No. 1, March 1998.

Krugman, Paul, 1999. :What Happened to Asia?”, dalam Andrew Kindman, Currency Crisis Early Warning Systems: Robust Adjustments to the Signal-Based Approach, Duke University, April 2010.

Kumar, M., Moorthy, U. and W. Perraudin, 2003. Predicting emerging market currency crashes, Journal of Empirical Finance, 10, pp. 427-454.

Kuncoro, H, 2010. State Budget Sustainability and Its Implication for Financial System Stability, Paper Presented in the Discussion on Financial System Stability, Central Bank of Indonesia, November, 29.

Masson, Paul, 1998.”Contagion: Monsoonal Effects, Spillovers adn Jumps between Multiple Equilibria”, dalam Abiad, Abdul G, Early Warning System For Currency Crises: A Markov-Switching Approach with Application to Southeast Asia, 1999.

McKinnon, R.I, and Pill H, 1996. “Credible liberalizations and international capital flows: The “overborrowing syndrome” dalam Ito T. and Krueger A.O, Financial deregulation and Integration in East Asia, Chicago, The University of Chicago Press.

Page 42: Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang ......PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020

Mishkin, F, 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Market, 6th Edition, USA, Addison Wesley.

Obstfeld, Maurice, 1986. “Rational and Self-Fulfilling Balance of Payment Crises”, dalam Peter JG Vlaar, Early Warning System for Currency Crises, De Economist.

Obstfeld, Maurice, 1994. The Logic of Currency Crises, Banque de France- cahiers economiques et monetaires no. 43, 1994.

Oktavilia, Shanty, 2008. Deteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: Identifikasi Variabel Makro dengan Model Logit, Universitas Negeri Semarang, Jejak, vol.1 no.1, September 2008.

Portes, Richard, 1998. An Analysis of Financial Crisis: Lessons for the International Financial System, IMF Conference Chicago, 8-10 October 1998.

Purwanti, Dewi, 2011. Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia Terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara ASEAN+3, Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Radelet, Steven and Jeffrey Sachs, 1998. “The Onset of The East Asian Financial Crisis”, dalam Andrew Berg dan Catherine Pattillo, Are Currency Crises Predictable?, IMF Staff Papers, vol. 46 No. 2, June 1999.

Reigner, E, 2007. Oil and Energy Price Volatility, Energy Economics 29, 405-27. Roubini, N. and B. Setser, 2004. The Effects of the Recent Oil Price Shock on the U.S. and

Global Economy, ___ Sachs, Jeffrey, Aaron Tornell and Andres Velasco, 1996. “Financial Crises in Emerging

Markets: The Lessons from 1995”, dalam Andrew Berg dan Catherine Pattillo, Are Currency Crises Predictable?, IMF Staff Papers, vol. 46 No. 2, June 1999.

Sadorsky, P, 1999. Oil Price Shocks and Stock Market Activity, Energy Economics, 21(5), 449-469.

Sari, R, 2006. The Relationship between Stock Returns, Crude Oil Prices, Interest Rates, and Output: Evidence from a Developing Economy, Empirical Economics Letters, 5(4), 205-220.

Singh, Thangjam Rajeshwar, 1999. Ordered Probit Model of Early Warning System for Predicting Financial Crisis in India, Reserve Bank of India.

Sugandi, Eric Alexander, 2004. Constructing Early Warning System of Currency Crises for Indonesia: Leading Indicator Approach, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni 2004.

Vlaar, Peter JG, 1998. Early Warning System for Currency Crises, De Economist. Zuang, J, 2005. Early Warning System for Financial Crises, Asian Development Bank.