PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id 1.pdfhukum yang berisikan kebenaran dan keadilan. Agar ... seseorang...
Transcript of PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id 1.pdfhukum yang berisikan kebenaran dan keadilan. Agar ... seseorang...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah Negara hukum, pernyataan tersebut diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam
amandemennya yang ketiga tanggal 10 November 2001. Sebagai konsekuensi dari
paham Negara hukum, maka seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara harus berdasarkan pada dan tidak boleh menyimpang
pada norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia, artinya hukum harus
dijadikan panglima dalam setiap penyelesaian permasalahan yang berkenaan
dengan individu, masyarakat dan Negara.
Dalam kepustakaan hukum Indonesia terdapat beragam pengertian
Negara hukum yang diartikan oleh para ahli hukum. Mochtar Kusumaatmadja
memberikan pengertian Negara hukum sebagai Negara yang berdasarkan hukum,
dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan
hukum.1 Sementara H.Muchsin memberikan ciri-ciri khusus dari suatu Negara
hukum yaitu :
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
1Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Pemantap Cita Hukum dan Asas-asasHukum Nasional Dimasa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah, Jakarta,hal.1.
2
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suau
kekuasaan atau kekuatan apapun juga ; dan
3. Legalitas dalam segala bentuknya.2
Philipus M.Hadjon mendeskripsikan konsep Negara hukum Pancasila
yaitu terjalinnya hubungan fungsional yang professional antara kekuasaan-
kekuasaan Negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah, sedangkan
peradilan merupakan sarana terakhir dan tentang hak-hak asasi manusia tidaklah
hanya menekan hak dan kewajiban.3 Pengertian resmi mengenai Negara hukum
tercantum dalam penjelasan Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 37 tahun
2008 Tentang Ombusdman Republik Indonesia yang dirumuskan : “Negara
hukum adalah negara yang termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus
berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bertujuan
meningkatkan kehidupan demokratis yang sejahtera, berkeadilan, dan
bertanggung jawab”.
Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan
hukum yang berisikan kebenaran dan keadilan. Agar kepentingan manusia
terlindungi hukum harus dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya hukum
dapat berjalan seara normal, tertib dan efektif, tetapi dapat juga terjadi
pelanggaran hukum. Dalam hal terjadi pelanggaran hukum maka harus dilakukan
upaya penegakkan hukum, inilah hukum ini menjadi kenyataan.
2 H.Muchsin, 2005, Ikhtisar Hukum Indonesia, Badan Penerbit Islam,Jakarta, hal.11.
3 Philipus M.Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat DiIndonesia, Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsip Penanganannya Oleh PengadilanDalam Lingkugan Peradilan Umum Dan Pembentukkan Peradilan Administrasi,Pradaban, Surabaya, hal.80.
3
Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam penegakkan hukum lazimnya
terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum
(rechtssicherheit), kemanfaatan (zueckmassigkzit), dan keadilan (gerechtigkeit).4
Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dalam lalu lintas hukum pada
umumnya memerlukan alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan
kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Dalam kaitannya
dengan pembuktian kepastian hak dan kewajiban hukum seseorang dalam
kehidupan masyarakat, salah satunya dilakukan dengan peran yang dimainkan
oleh notaris. Pentingnya peranan notaris dalam membantu menciptakan kepastian
dan perlindungan hukum bagi masyarakat, lebih bersifat preventif, atau bersifat
pencegahan terjadinya masalah hukum, dengan cara penerbitan akta autentik yang
dibuat di hadapannya terkait dengan status hukum, hak dan kewajiban seseorang
dalam hukum berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan
dalam hal terjadi sengketa antara para pihak dan/atau penerima hak dari padanya
mengenai hak dan kewajiban yang terkait.
Pentingnya notaris juga dapat dilihat dari kepastiannya dalam
memberikan legal advice, dan melakukan verifikasi terhadap sebuah perjanjian,
apakah sebuah perjanjian telah dibuat sesuai dengan kaidah pembuatan perjanjian
yang benar dan tidak merugikan salah satu pihak, atau perjanjian tersebut dibuat
dengan tidak memenuhi syarat. Sebaliknya apabila tugas dan wewenang yang
diberikan oleh negara kepada notaris tidak dilaksanakan dengan tepat dan sebaik-
baiknya, maka kekeliruan dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh notaris dapat
4Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang PenemuanHukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, hal.1.
4
menimbulkan terganggunya kepastian hukum dan rasa keadilan di dalam
masyarakat.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5491) (selanjutnya
disebut UUJN-P) jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) (selanjutnya
disebut UUJN), notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Sebagai pejabat
umum yang memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat secara profesional,
notaris wajib untuk patuh dan tunduk kepada aturan-aturan yang membatasi,
mengatur dan juga menuntun perilaku notaris dalam melaksanakan jabatannya.
Hal ini sesuai dengan sumpah/janji jabatan notaris yang termuat dalam Pasal 4
ayat (2) UUJN-P bahwa seorang notaris akan patuh dan setia kepada:
1. Pancasila;
2. UUD 1945;
3. Undang-undang Jabatan Notaris;
4. Peraturan perundang-undangan lainnya;
5. Kode Etik Notaris.
5
Profesi notaris dikenal dalam anggapan masyarakat sebagai profesi yang
terhormat (Officium Nobile) karena profesi ini bertugas melayani masyarakat
umum, tugas pelayanan itulah yang mengangkat kehormatan dan wibawa notaris
sebagai sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi yang membutuhkan
keprofesionalitasan maka tanggung jawab notaris sebagai seorang profesional
terhadap klien sangat berat, dimana ia harus memegang teguh etika profesi.
Memegang teguh etika profesi sangat erat hubunganya dengan pelaksanaan tugas
profesi dengan baik, karena didalam kode etik profesi itulah ditentukan segala
prilaku yang dimiliki oleh seorang notaris. Namun sebagaimana dua sisi mata
uang, kedudukan yang terhormat juga memberikan beban dan tanggung jawab
bagi setiap notaris untuk menjaga wibawa dan kehormatan profesinya tersebut.
Notaris selaku pejabat yang berwenang membuat akta autentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1)
UUJN-P, harus dapat mempertimbangkan dan menganalisa dengan cermat dalam
proses pembuatan akta autentik tersebut sejak para pihak datang menghadapnya
dan mengemukakan keterangan-keterangan baik berupa srayat-syarat formil
maupun syarat-syarat administrasi yang menjadi dasar pembuatan akta sampai
dengan tanggung jawab terhadap bentuk akta autentik tersebut. Hal ini
dikarenakan berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN-P, notaris diberikan
kewenangan untuk memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta.
6
Notaris dalam hal membuat alat bukti tertulis yang merupakan alat bukti
autentik, adalah merelatir kehendak dari para pihak/penghadap untuk dinyatakan
dalam akta yang dibuat dihadapannya, agar tidak melanggar undang-undang,
sekaligus agar kehendak para pihak terlaksana secara baik dan benar. Dengan
merelatir dan melakukan fungsi sebagai pejabat publik yang berwenang untuk
memberikan penyuluhan hukum tersebut bisa diartikan notaris tidak pasif atau
berperan sebagai dictaphone yang hanya menerima begitu saja apa yang diminta
oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta, tetapi juga harus berperan aktif
dengan membuat penilaian terhadap isi dari akta yang dimintakan kepadanya dan
tidak perlu ragu untuk menyatakan keberatan/menolak jika pihak yang
memintanya tidak sesuai dengan kelayakan maupun undang-undang. Fungsi
keberadaan notaris di dalam memberikan jasanya sekaligus agar tidak berbenturan
maupun melanggar hukum, karena fungsi notaris adalah secara professional
terikat, sejauh kemampuannya untuk mencegah penyalahgunaan dari ketentuan
hukum dan kesempatan yang diberikan oleh hukum. Perlu menjadi perhatian
bahwa notaris bukan merupakan juru tulis kliennya, oleh karena itu notaris perlu
mengkaji apakah yang diminta para klien tidak melanggar/bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, atau bahkan telah terjadi praktek penyelundupan
hukum.5
Dewasa ini penyelundupan hukum dengan akta notariil dianggap sebagai
jalan keluar untuk melewati batasan-batasan dalam beberapa tindakan tertentu
yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Penyelundupan hukum
5A.A.Andi Prajitno, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan SiapaNotaris Di Indonesia, Putra Media Nusantara, Surabaya, hal.3-4.
7
muncul sebagai suatu konsep baru yang dilahirkan oleh individu tertentu untuk
mencapai keinginannya yang sesungguhnya telah dilarang oleh peraturan
perundang-undangan. Salah satu tindakan yang melahirkan konsep baru sebagai
upaya penyelundupan hukum adalah keinginan orang asing untuk
memiliki/menguasai hak milik atas tanah di Indonesia dengan instrumen
perjanjian nominee secara notariil. Dengan kata lain suatu perjanjian nominee
merupakan perjanjian yang dibuat antara seseorang yang menurut hukum tidak
dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu (hak milik), dalam hal ini yakni
orang asing dengan Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI), dengan
maksud agar orang asing tersebut dapat menguasai (memiliki) tanah hak milik
secara de facto, namun secara legal-formal (dejure) tanah hak milik tersebut
diatasnamakan WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya oleh orang
asing (bertindak selaku nominee).6
Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2043 (selanjutnya disebut UUPA) dengan jelas
menyebutkan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya
dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta dengan jelas mengatur bahwa hanya
WNI yang dapat mempunyai hak milik. Hal ini kemudian dipertegas kembali
dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yaitu disebutkan setiap jual beli, penukaran,
6Maria S.W. Sumardjono, 2012, Penguasaan Tanah Oleh Warga NegaraAsing Melalui Perjanjian Nominee, Rapat Kerja Wilayah Ikatan Notaris Indonesia(INI) Pengurus Wilayah Bali dan NTT, Denpasar, hal.2
8
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada seorang warga negara disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada negara.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UUPA apabila orang asing memperoleh
tanah hak milik karena warisan atau akibat percampuran harta, maka hak milik
tersebut wajib dilepaskan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya
hak tersebut. Apabila hal tersebut tidak dilaksanakan maka hak milik atas tanah
tersebut menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.7
Sebagaimana telah diketahui kenyataan ini terjadi, sesuatu yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,yaitu penguasaan hak milik
atas tanah oleh orang asing jelas secara implisit dilarang oleh UUPA sebagaimana
telah dipaparkan di atas, masih ada notaris yang bersedia mengakomodir
penguasaan hak milik atas tanah oleh orang asing dengan membuatkan akta
perjanjian nominee. Akta notariil yang bermaksud memindahkan tanah hak milik
secara tidak langsung kepada orang asing tersebut misalnya adalah dibuat dalam
bentuk akta pernyataan kepemilikan dan akta kuasa tersebut dapat menimbulkan
akibat hukum dan akan membawa notaris selaku pejabat yang berwenang dalam
membuat akta memiliki tanggung jawab dari segi aspek hukum dan kode etik.
7 Gde Widhi Wiratama, Ida Bagus Rai Djaja, Pengaturan MengenaiPerjanjian Nominee Dan Keabsahannya (Ditinjau Dari Kitab Undang-UndangHukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang PeraturanDasar Pokok-Pokok Agraria), Makalah. Hukum Bisnis Fakultas HukumUniversitas Udayana, hal. 3.
9
Dalam kaitan hal itulah penulis tertarik untuk meneliti “ASPEK HUKUM
PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA
PERJANJIAN NOMINEE”.Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui
mengenai tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perjanjian nominee dan
mengetahui apakah akibat hukum terhadap akta perjanjian nominee.
Penelitian ini merupakan penelitian yang masih original atau asli karena
belum ada penelitian secara khusus menulis dengan judul ini, meskipun demikian
ada beberapa tulisan yang mirip tetapi tidak sama secara substantial. Adapun judul
beserta rumusan masalah penelitian lain yang tidak sama dengan penelitian ini
adalah :
1. Tesis berjudul Kepemilikan Hak Atas Tanah Bagi Warga Negara Asing Dan
Kewarganegaraan Ganda, yang disusun pada tahun 2012 oleh Michael Wisnoe
Berata mahasiswa Program Studi Kenotariatan Universitas Indonesia
Depok.Tesis ini membahas tentang kepemilikan hak-hak atas tanah bagi
Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA) yang ditinjau dari UUPA
dan Undang-Undang Kewarganegaraan, dalam kesimpulannya disebutkan
bahwa seseorang selain mempunyai kewarganegaraan Indonesia, juga
mempunyai kewarganegaraan lain (asing). Hal ini dapat terjadi karena adanya
perkawinan campuran antara WNI dengan WNA, yang menyebabkan anak-
anak keturunan mereka akan mempunyai kewarganegaraan ganda. Apabila
anak hasil dari perkawinan campuran tersebut tetap menginginkan
kewarganegaraan Indonesia-nya tidak hilang, anak-anak keturunannya juga
tetap sebagai WNI, dan agar dapat memiliki tanah yang berstatus hak milik
10
atau hak guna bangunan, maka harus diperlakukan sebagai seorang WNI
sampai berusia 18 tahun, apabila nanti ingin melepaskan WNI-nya barulah
sertipikat tanah-nya gugur dan kembali ke Negara.
2. Tesis yang berjudul Wanprestasi Dalam Penggunaan Nominee Pada Perjanjian
Yang Dibuat Dibawah Tangan Berkaitan Dengan Kepemilikan Tanah Di Bali
yang disusun pada tahun 2010 oleh G. Agus Permana Putra, mahasiswa
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.
Tesis ini membahas tentang penggunaan nominee pada perjanjian dibawah
tangan sah atau tidak ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria dan
bagaimana akibat hukum apabila WNI wanprestasi dalam penggunaan
nominee pada perjanjian yang dibuat dibawah tangan, dalam kesimpulannya
disebutkan bahwa penggunaan nominee pada perjanjian dibawah tangan
dikatakan perjanjian simulasi sehingga dapat menjadi penyebab perjanjian
tersebut tidak sah atau batal demi hukum, dan dalam kesimpulan kedua
disimpilkan bahwa wanprestasi dalam penggunaan nomineepada perjanjian di
bawah tangan diselesaikan dengan teknik non litigasi, musyawarah dan
negosiasi untuk mencapai mufakat dengan tetap terlaksananya ganti rugi dari
tindakan wanprestasi tersebut.
3. Tesis yang berjudul Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing Di
Kabupaten Badung yang disusun pada tahun 2007 oleh I Nyoman Sumardika,
mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.Tesis
ini membahas mengenai bentuk perbuatan hukum apa saja yang dilakukan
WNA untuk mengikat WNI dalam menguasai tanah di Kabupaten Badung dan
11
bagaimana bentuk penguasaan tanah oleh WNA di Kabupaten Badung yang
berindikasi penyelundupan hukum”, dalam kesimpulannya disebutkan bahwa
bentuk perbuatan hukum yang dilakukan oleh WNA untuk mengikat WNI
dalam menguasai tanah di Kabupaten Badung adalah melalui instrument akta
notaris berupa Akta Sewa Menyewa Tanah, Akta Perjanjian Pendahuluan
Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Akta Kuasa, Akta
Perjanjian Pembaharuan Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Akta
Perjanjian Pendahuluan Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Akta
Perjanjian Pembaharuan Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Akta Pengakuan
Hutang Dengan Jaminan, Akta Pernyataan Dan Kuasa, Akta Kuasa
Menggunakan Dan Mendirikan Bangunan, Akta Kuasa Menyewakan, Akta
Pemberian Hak Tangunggan, Akta Kuasa Menjual, Akta Kuasa Roya, dan
Akta Perpanjangan Sewa Menyewa. Adapun mengenai bentuk penguasaan
tanah oleh WNA di Kabupaten Badung yang berindikasi penyelundupan
hukum adalah terjadinya pemilikan semu berkarakter “Hak Milik Plus” karena
secara formal WNA tidak memiliki tanah namun secara material melalui
instrument akta notaris, WNA dapat menguasai tanah melebihi sifat hak milik,
misalnya kebal hukum dan tidak hapus karena fungsi sosial tanah.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah
yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai
berikut:
12
1. Bagaimana tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perjanjian
nominee?
2. Apakah akibat hukum terhadap akta perjanjian nominee?
1.3. Tujuan Penelitian
Agar penulisan karya ilmiah ini memiliki maksud yang jelas, maka harus
memiliki suatu tujuan guna mencapai target yang dikehendaki. Adapun tujuan
penulisan ini dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang
bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan umum
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk melatih diri dalam
menyampaikan pikiran secara tertulis, melaksanakan Tri Dharma Perguruan
Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa
mengenai suatu permasalahan hukum, sebagaimana yang dibahas dalam penelitian
ini terkait dengan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perjanjian
nominee. Selain itu penulisan ini juga bertujuan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum Kenotariatan, sebagai media untuk
mengemukakan pendapat secara tertulis, kritis dan sistematis serta objektif, serta
sebagai pemenuhan syarat untuk menyelesaikan jenjang strata 2 (dua) di Magister
Kenotariatan Universitas Udayana.
13
1.3.2. Tujuan khusus
Penulisan ini bertujuan khusus untuk mengetahui batasan tanggungjawab
notaris dalam pembuatan akta perjanjian nomine. Selain itu bertujuan pula untuk
menganalisis akibat hukum terhadap akta perjanjian nominee.
1.4. Manfaat Penelitian
Setiap penulisan yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan
manfaat. Manfaat tersebut baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan
ilmu pengetahuan.
1.4.1. Manfaat teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat memberikan masukan atau sumbangan
pemikiran guna pengembangan ilmu hukum. Pengembangan ilmu hukum yang
dimaksud khususnya hukum kenotarisan dan hukum perjanjian di bidang
kenotariatan, terkait dengan tanggung jawab seorang notaris dan akibat hukum
suatu perjanjian nominee.
1.4.2. Manfaat praktis
Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi pihak yang terkait dengan penulisan dan pembahasan tesis ini. Pihak yang
dimaksud adalah:
1. Bagi masyarakat, diharapkan mendapatkan informasi mengenai akibat hukum
perjanjian nominee yang sering dijadikan sarana oleh orang asing untuk
menguasai tanah hak milik di wilayah Indonesia.
14
2. Bagi praktisi hukum khususnya notaris, diharapkan menambah pemahaman
mengenai tugas dan jabatannya sehingga dapat memberikan penyuluhan
hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Dengan demikian dalam
membidani lahirnya suatu akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapannya,
seorang notaris dapat dengan tepat menerapkan hukum sesuai dengan
peraturan dan ketentuan undang-undang yang berlaku.
1.5. Landasan Teoritis
Untuk meneliti mengenai suatu permasalahan hukum, maka pembahasan
adalah relevan apabila dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep
hukum dan asas-asas hukum.Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis
dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk
menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.8
1.5.1. Teori penguasaan tanah
Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai baik dalam arti
fisik maupun dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan beraspek publik.
Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya
memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah
yang dimiliki tersebut. Penguasaan yuridis yang seharusnya memberi kewenangan
untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya bisa saja
penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain. Misalnya, apabila tanah yang
dikuasai tersebut disewakan kepada pihak lain maka tanah tersebut dikuasai
8Salim H.S, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, RajawaliPers, Jakarta, hal. 54.
15
secara fisik oleh pihak lain dengan hak sewa. Atau tanah tersebut dikuasai secara
fisik oleh pihak lain tanpa hak, dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak
penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang
bersangkutan secara fisik kepadanya.9
Hukum tanah mengenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi
kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor
pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah
yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang
empunya tanah.10
Hak penguasaan atas tanah adalah hak penguasaan yang didasarkan pada
suatu hak maupun suatu kuasa yang pada kenyataannya memberikan wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya orang yang
mempunyai hak. Menurut Oloan Sitorus pengertian penguasaan dalam hak
penguasaan atas tanah berisi kewenangan yang luas, bahkan hak penguasaan atas
tanah lebih luas dari pada hak atas tanah.11 Susunan penguasaan hak atas tanah
secara berjenjang dalam hukum tanah nasional adalah sebagai berikut:12
1. Hak Bangsa sebagaimana dalam Pasal 1 UUPA, merupakan hak penguasaan
atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah dalam wilayah negara,
yang merupakan tanah bersama. Hak bangsa ini dalam Penjelasan Umum
9Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: sejarah pembentukanundang-undang pokok agraria, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,hal.23.
10Ibid.11Oloan Sitorus, 2004, Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah, Mitra
Kebijakan Hukum Tanah Indonesia, Jakarta, hal. 13.12Boedi Harsono, Op. Cit.,hal. 40-41.
16
Angka II dinyatakan sebagai hak ulayat yang diangkat pada tingkat yang
paling atas dan pada tingkat nasional meliputi semua tanah di seluruh wilayah
negara.
2. Hak menguasai dari negara yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
merupakan hak penguasaan terhadap hak atas tanah sebagai penugasan
pelaksana hak bangsa yang termasuk bidang hukum publik, meliputi semua
tanah bersama bangsa Indonesia.
3. Hak Ulayat dari masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataan
masih ada. Hak ulayat merupakan hak penguasaan hak atas tanah bersama
masyarakat Hukum Adat tertentu.
4. Hak Perorangan yang memberikan kewenangan untuk memakai, dalam arti
menguasai, menggunakan dan/atau mengambil manfaat tertentu dari suatu
bidang tanah tertentu, yang terdiri dari :
a. Hak atas tanah, berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai yang ketentuan-ketentuan pokoknya terdapat dalam UUPA.
Disamping itu, juga ada hak lain dalam hukum adat setempat, yang
merupakan hak penguasaan atas tanah untuk dapat memberikan
kewenangan kepada pemegang haknya agar dapat memakai suatu bidang
tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi kebutuhan pribadi atau
usahanya (Pasal 4, 9, 26, dan Bab II UUPA).
b. Hak atas tanah wakaf merupakan penguasaan atas suatu bidang tanah
tertentu bekas hak milik (wakaf) yang oleh pemiliknya dipisahkan dari
harta kekayaan dan melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan
17
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Agama Islam
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 UUPA jo Pasal 1 PP Nomor 28
Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.
c. Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga jaminan hak atas tanah
dalam hukum tanah nasional, merupakan hak penguasaan hak atas tanah
yang memberi kewenangan kepada kreditur tertentu untuk menjual lelang
bidang tanah tertentu yang dijadikan jaminan bagi pelunasaan piutang
tertentu dalam hal debitur wanprestasi dan mengambil pelunasan dari hasil
penjualan tersebut, dengan hak mendahului dari hak-hak kreditur yang
lain. Hal ini diatur dalam Pasal 57 UUPA jo Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.
Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,hak bangsa sebagaimana
urutan perjenjangan secara vertikal di atas menempati kedudukan tertinggi.
Selanjutnya hak menguasai negara yang bersumber dari hak bangsa pada
hakekatnya merupakan penugasan kepada negara untuk menguasai dalam arti
mengatur, mengurus dan mengawasi pelaksanaan penggunaan hak-hak atas tanah.
Pembatasan kekuasaan yang bersumber kepada otoritas penguasaan negara
tersebut merupakan pelaksanaan asas negara hukum Pancasila. Secara
konsepsional hak penguasaan negara ditujukan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat yang meliputi kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan
18
dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur.13
1.5.2. Teori perjanjian nominee
Perjanjian merupakan salah satu instrumen yang sangat penting sebagai
upaya untuk menjaga hak dan kewajiban para pihak sendiri sehingga transaksi
dapat dilaksanakan, dapat juga ditegaskan bahwa :In general, a promise, that
performance of which has economic significance, gives rises to right which will
be protected by court action, whereas a promise which has only social
significance does not give rise to such rights.14 Hal ini berarti bahwa secara umum
perjanjian dengan makna ekonomi akan memberikan hak perlindungan hukum,
sedangkan perjanjian yang hanya dengan makna sosial tidak memberikan hak-hak
tersebut.
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata) menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Perjanjian sebagaimana dimaksud adalah merupakan bentuk dari
perwujudan adanya suatu perikatan.
Dalam Pasal 1233 KUHPerdata tertulis “tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Pasal 1234 KUHPerdata
tertulis “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
13I Nyoman Sumardika, 2007, Penguasaan Tanah Oleh Warga NegaraAsing Di Kabupaten Badung, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta, hal. 39.
14Harold F. Lusk, Bussines Law, 1969, Principle and Cases, Homewood,Richard D. Irwin, Inc, Illinois, hal. 82.
19
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Perikatan sebagai bentuk perjanjian
merupakan undang-undang bagi para pihak yang terlibat. Oleh karena itu,
perjanjian merupakan kesepakatan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang
terkait di dalamnya.
Kesepakatan antara para pihak merupakan bagian dari syarat sahnya
suatu perjanjian. Sebagaimana dimaksud pada Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4
(empat) syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;15
Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian
(consensus). Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia-sekata antara
pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Persetujuan kehendak
itu bersifat bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak
ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Sebelum ada persetujuan,
biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata dikatakan tidak cakap membuat
perjanjian ialah orang yang belum dewasa, di bawah pengampuan dan wanita
bersuami.Tapi sebagai perkembangannya wanita yang telah bersuami sudah
dianggap cakap dalam melakukan perbuatan hukum.
Syarat kesatu dan kedua mengenai kata sepakat dan kecapakan dari para pihak
yang mengadakan perjanjian merupakan syarat subyektif yang bilamana tidak
15 G. Agus Permana Putra, 2010, Wanprestasi Dalam PenggunaanNominee Pada Perjanjian Yang Dibuat Dibawah Tangan Berkaitan DenganKepemilikan Tanah Di Bali, Program Studi Magister Kenotariatan UniversitasDiponegoro, Semarang, hal. 31.
20
dipenuhi maka perjanjian yang telah diadakan dapat dimintakan
pembatalannya.
3. Suatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu
dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan pokok perjanjian. Prestasi itu
harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.Apa yang
diperjanjikan juga harus jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak
disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.
Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah
untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul
perselisihan dalam melaksanakan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga
perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek
perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, maka perjanjian batal demi hukum
(void nietig).
4. Suatu sebab yang halal.
Sebab atau causa diartikan sebagai isi dari perjanjian. Sesuai dengan
pengertian Wirjono Prodjodikoro bahwa causa dalam perjanjian adakah isi
dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian
itu. 16 Mengenai isi dari perjanjian harus halal artinya tidak bertentangan
dengan undang-undang, norma kesusilaan, dan ketertiban umum. Tidak
bertentangan dengan undang-undang dalam kaitan penguasaan tanah oleh
orang asing semestinya ditafsirkan bahwa perjanjian yang dibuat tidak
16Wirjono Prodjodikoro, 1980, Asas-Asas Perjanjian, Sumur, Bandung,hal.35.
21
bertentangan dengan UUPA. Secara subtantif ketentuan-ketentuan UUPA
yang tidak dapat disimpangi adalah Pasal 9, Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (2).17
Selanjutnya mengenai syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat
obyektif, karena menyangkut perjanjiannya sendiri, atau obyek daripada
perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek atau para pihak tersebut. Bila
syarat ketiga dan keempat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi
hukum, berarti sejak semula dianggap tidak pernah terjadi suatu perjanjian.
Akibat dari kebatalan apakah karena batal demi hukum atau setelah adanya
tuntutan akan kebatalannya mempunyai akibat yang sama, yaitu tidak
mempunyai akibat hukum.18
Orang asing sebagai pemegang hak milik atas tanah sebenarnya tidak
mungkin terjadi. Karena seperti disebut di atas, hukum tanah nasional mengatur
bahwa hanya WNI saja yang berhak untuk memiliki tanah dengan hak milik di
wilayah Indonesia. Hukum tanah nasional tidak memberikan ruang bagi orang
asing untuk memiliki tanah dengan hak milik di wilayah Indonesia. Akan tetapi
Indonesian nominee digunakan sebagai upaya dengan maksud agar orang asing
dapat memiliki tanah secara absolut. Hal ini menjadi solusi untuk dapat
menguasai tanah hak milik yang dilakukan dengan membuat perjanjian antara
orang asing dan Indonesian nominee tersebut.
17Maria S.W Sumardjono, 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan HakAtas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan HukumAsing, Kompas, Jakarta, hal. 17.
18Herlien Budiono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di BidangKenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 381.
22
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia
dijadikan dasar sehingga Indonesian nominee secara sukarela sepakat untuk
mengikatkan dirinya sebagai pelaksana suatu perjanjian dengan orang asing yang
hendak membeli tanah dengan hak milik. Selain itu perjanjian antara orang asing
dan Indonesian nominee muncul karena dianggap adanya asas kebebasan
berkontrak yang berlaku di Indonesia. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
menyebutkan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas bahwa orang bebas untuk mengadakan kontrak dengan siapa pun
menyimpulkan adanya kebabasan dari seseorang untuk dapat melakukan
hubungan khususnya dalam bidang hukum. Bahkan asas ini oleh beberapa ahli
hukum dianggap bukan saja sebagai suatu hak subyektif melainkan juga
merupakan suatu hak asasi manusia untuk dapat melakukan komunikasi dengan
sesamanya ataupun untuk mengurus harta kekayaannya.19
Kebebasan berkontrak dalam arti kata materiil berarti bahwa para pihak
bebas mengadakan kontrak mengenai hal yang diinginkannya asalkan causa-nya
halal. Kebebasan berkontrak dalam arti formil adalah perjanjian yang terjadi atas
setiap kehendak dari para pihak.20 Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa pada
permulaan abad ini makin banyak pemerintah ikut campur dalam bidang hukum
perdata, seperti adanya peraturan sewa beli di Belanda dan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di
19C.Asser-A.S. Hartkamp, 1989, Verbintenissenrecht, Algemene Leer derOvereenkomsten, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, hal. 40.
20Herlien Budiono, Op. Cit, hal. 12.
23
Indonesia, yang mengakibatkan bahwa kebebasan berkontrak sudah semakin
berkurang dan berarah menjadi hukum kontrak yang direglementasikan.21 Oleh
karena itu, menurut Pitlo kebebasan berkontrak adalah suatu fictie.22
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu, sehingga
setiap orang/para pihak bebas membuat perjanjian yang isinya adalah apa saja
sesuai dengan kesepakatan yang dikehendaki bersama. Akan tetapi dengan
adanya ketentuan yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian seperti
tersebut di atas. Jadi asas kebebasan berkontrak itu sebenarnya dibatasi oleh
syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1320
ayat (3) dan (4) KUH Perdata yang harus ditaati agar perjanjian tidak batal demi
hukum terhindar dari kebatalan (perjanjian batal demi hukum) karena
dilanggarnya syarat-syarat obyektif sahnya perjanjian.23
Suatu perjanjian dengan causa yang tidak halal dapat digunakan sebagai
alasan batalnya perjanjian.24Dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa
suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang
palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Ketentuan ini berhubungan pula
dengan Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu sebab adalah
21 J.H.M. van Erp, 1990, Contract als Rechbetrekking, EenRechtsvergelijkende Studie, diss. Brabant, hal. 13.
22 A. Pitlo, 1969,Evolutie in het Privaatrecht, W.E.J. Tjennk-Willing,Haarlem, hal. 173.
23I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, ImplementasiKetentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, UdayanaUniversity Press, Denpasar, hal. 47 dan hal. 62.
24A.C. van Schaick, 1994, Contractsvrijheid en Nietigheid, W.E.J. TjeenkWillink, Zwoole, hal. 208.
24
terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum.
1.5.3. Teori pertanggungjawaban (notaris)
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus
hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang
luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang
pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan
kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya
atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-
undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan kecakapan
meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang
dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability
menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat
kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility
menunjuk pada pertanggungjawaban politik.25
Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg
dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:
1. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya
itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab
ditujukan pada manusia selaku pribadi.
25 Ridwan H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja GrafindoPersada, Jakarta, hal. 335-337.
25
2. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan.
Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah
kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan
ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada
tanggung jawab yang harus ditanggung.26
Dalam kaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris maka diperlukan
tanggung jawab profesional berhubungan dengan jasa yang diberikan. Menurut
Komar Kantaatmaja sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyatakan tanggung
jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan
dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggung jawab profesional
ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak memenuhi
perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian
penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.27
Tanggung jawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah laku
manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya,
merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya.
Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian
dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu
dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh
26Ibid.,hal. 365.27 Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi
Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 82.
26
kesadaran intelektualnya.28 Tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung
jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan dalam arti
tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak
disadari akibatnya.
Sikap professional dalam notaris dalam memberikan pelayanannya
adalah dengan bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat.
Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas
moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam
memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-cita
luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena
sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan
memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan
bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu,
yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-
mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama
manusia. Bertanggung jawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul
akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan
dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan
berdosa kepada Tuhan.29
Notaris dalam menjalankan jabatannya mempunyai tanggung jawab
moral terhadap profesinya. Menurut Paul F. Camanisch sebagaimana dikutip oleh
28Masyhur Efendi, 1994, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia DalamHukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 121.
29Abdulkadir Muhamad, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti,Bandung, hal. 60.
27
K. Bertens menyatakan bahwa profesi adalah suatu masyarakat moral (moral
community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kelompok profesi
memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jawab khusus. Sebagai profesi,
kelompok ini mempunyai acuan yang disebut Kode Etik Profesi. 30 Kode etik
tersebut secara faktual merupakan norma-norma atau ketentuan, yang ditetapkan
dan diterima oleh seluruh anggota kelompok profesi.
Landasan filosofis dibentuknya UUJN adalah terwujudnya jaminan
kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran
dan keadilan melalui akta yang dibuat oleh notaris. Di dalam Pasal 1 angka 1
UUJN-P menyebutkan notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Notaris dalam
menjalankan kewenangannya tidak lepas dari tugas dan kewajibannya sebagai
pejabat umum yang diberi kepercayaan oleh masyarakat dalam membuat akta
autentik, dimana akta autentik merupakan alat bukti yang terkuat dan terpenuh,
yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum,
dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa.
Dengan bertambahnya tuntutan masyarakat akan pentingnya kekuatan
pembuktian suatu akta, menuntut peranan notaris sebagai pejabat umum harus
selalu dapat mengikuti perkembangan hukum dalam memberikan jasanya kepada
masyarakat yang memerlukan dan menjaga akta-akta yang dibuatnya untuk selalu
dapat memberikan kepastian hukum. Dengan demikian diharapkan bahwa
30 E.Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum : Norma-Norma BagiPenegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hal. 147.
28
keberadaan akta autentik sebagai produk hukum notaris akan memberikan
jaminan kepastian hukum bagi para pihak dengan menjadi alat bukti terkuat dan
terpenuh.
Notaris bukan hanya mengesahkan atau men-stempel akta perjanjian
tetapi ikut ambil bagian memenuhi dan merelatir kehendak pihak-pihak yang
memerlukan dan mengatur agar tidak melanggar/bertentangan dengan undang-
undang. Perlu diingat dan dipahami bahwa mengatur disini maksudnya adalah
notaris tidak boleh membantu pihak atau para pihak mencarikan jalan keluar atau
solusi dalam membuat akta-akta yang kelihatannya tidak melanggar dengan
membuat akta yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Perilaku
seperti ini dapat dikatakan sebagai Dader Intelektual.31
Proses pembuatan akta sebagaimana tersebut di atas merupakan
penyelundupan hukum dan melanggar hukum serta melanggar sumpah jabatan
maupun sumpah pejabat. Permintaan pembuatan akta seperti tersebut, notaris
harus menolak secara tegas karena selain merupakan pelanggaran jabatan, akta
yang dibuat tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya pasti merugikan
pihak lain. Akta sebagaimana dimaksud salah satunya dikenal sebagai Akta
Antidateren, yaitu isi akta ditulis tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Contohnya adalah Akta Pernyataan Pembeli dalam perbuatan hukum jual beli
tanah, dalam hal ini pembeli sebenarnya adalah orang yang menurut undang-
undang tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah tertentu.32
31A.A. Andi Prajitno, Op.Cit., hal.38.32Op.Cit., hal. 38-40.
29
Akta seperti tersebut di atas merupakan penyelunduan hukum dan apabila
dijadikan alat bukti sebagai proses litigasi (berperkara dipengadilan) akan menjadi
gugur sebagai alat bukti tertulis otentik dan akan menjadi akta di bawah tangan
serta tidak berlaku bagi pihak ketiga. Hal tersebut terjadi karena apabila terjadi
penyelundupan hukum, pasti mempunyai maksud tertentu dan pasti merugikan
pihak ketiga, maka seharusnya akta seperti ini batal demi hukum (nieteg).33
1.5.4. Teori pertanggungjawaban perdata
Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang
diantara mereka itu tidak terdapat suatu perjanjian (hubungan hukum perjanian),
maka berdasarkan undang-undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum
antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu.34 Hal tersebut diatur dalam
pasal 1365 KUHPerdata bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena sahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1365
KUHPerdata adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu
sebagai berikut :35
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan ;
33Op.Cit., hal. 40.34A.Z. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua,
Diapit Media, Jakarta, hal.77.35 Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.3.
30
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian) ;
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut :
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian) sebagaian terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana
terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata.
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam pasal
1367 KUHPerdata.
Istilah perbuatan melawan hukum sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad
diartikan secara sempit, yakni perbuatan yang bertentangan dengan hak oang lain
yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran
yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti
kerguian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak
bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah
bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang
diwajibkan dalam pergaulan masyarakat.
31
Pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya
keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan
Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan antara lain sebagai berikut :36
Bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikansuatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan kewajibanhukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan yang baik,pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karenasalahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugianpada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.
Dengan meninjau perumusan luas dari onrechmatige daad, maka yang
termasuk perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan :
1. Bertentangan dengan hak orang lain, atau
2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau
3. Bertentangan dengan kesusilaan baik, atau
4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan
tidak disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam pasal 1366
KUHPerdata, bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Tanggung jawab atas
perbuatan melawan hukum ini merupakan tanggung jawab perbuatan melawan
hukum secara langsung. Selain itu dikenal juga perbuatan melawan hukum secara
tidak langsung menurut pasal 1367 KUHPerdata yakni :
36M.A. Moegni Djojodirdjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, cetakankedua, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.25-26.
32
1. Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya ;
2. Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan
oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap
siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali ;
3. Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk
mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang
kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan
mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini
dipakainya ;
4. Guru-guru dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab tentang kerugian
yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama
waktu orang-orang ini berada dibawah pengawasan mereka ;
5. Tanggung jawab yang disebutkan diatas berakhir, jika orang tua, wali-
wali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan
bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka
seharusnya bertanggung jawab.
Ada beberapa unsur kesalahan perdata menurut Abdulkadir Muhammad,
yakni :37
37Abdul Kadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,hal.197.
33
1. Pelanggaran HakHukum mengakui hak-hak tertentu naik mengenai hak pribadi maupun halkebendaan dan akan melindunginya dengan memaksa pihak yangmelanggar untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggarhaknya.
2. Unsur KesalahanPertanggungjawaban dalam kesalahan perdata biasanya memerlukan suatuunsur kesalahan atau kesengajaan pada pihak yang melakukan pelanggaran,walaupun tingkat kesengajaan yang diperlukan biasanya kecil.
3. Kerugian yang dideritaUnsur ysng esensial dari kesalahan perdata pada umumnya adalah adanyakerugian yang diderita akibat sebuah perbuatan meskipun kerugian darikesalahan perdata tidak selalu jalan berbarengan karena masih adakesalahan perdata dimana apabila perbuatan salah dari seseorang digugatmaka si tergugat sendiri yang harus membuktikan kerugian yangdideritanya. Bentuk kesalahan perdata, antara lain :(1) Kesalahan perdata terhadap orang, misalnya pemukulan.(2) Kesalahan perdata terhadap tanah misalnya gangguan langsung
terhadap tanah milik orang lain(3) Kesalahan perdata terhadap barang misalnya gangguan terhadap orang
lain secara langsung, tidak sah dan fisik(4) Kesalahan terhadap nama baik (martabat), misalnya pencemaran nama
baik.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk memecahkan
masalah yang dihadapi secara sistematis dengan metode dan teknik tertentu yang
bersifat ilmiah. Artinya bahwa metode atau teknik yang digunakan tersebut
bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisanya dan
dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang
ditimbulkan faktor tersebut.38
38 Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, 2004, Metode PenelitianHukum, Universitas Muhammadiyah, Surakarta, hal. 1.
34
Soerjono Soekanto menyebutkan,“Penelitian merupakan suatu kegiatan
ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara
metodelogis, sistematis, dan konsisten”. 39 Berikutnya Peter Mahmud Marzuki
mengatakan bahwa “Penelitian Hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas
isu hukum yang timbul. Hasil yang dicapai bukanlah menerima atau menolak
hipotesis yang diajukan, melainkan memberi deskripsi mengenai apa yang
seyogyanya atas isu yang diajukan”.40
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro tentang penelitian hukum dikatakan
bahwa penelitian hukum dapat dibedakan menjadi penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut
juga penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum sosiologis atau empiris
terutama meneliti data primer.41
Untuk mendapatkan hasil yang mempunyai validitas yang tinggi serta
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka diperlukan suatu metode
penelitian yang tepat untuk memberikan pedoman serta arah dalam mempelajari
serta memahami obyek yang diteliti sehingga penelitian akan berjalan dengan baik
39Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, UIPress, Jakarta, hal. 4.
40 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media,Jakarta, hal. 103.
41 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum danYuritmetri,, Graha Indonesia, Jakarta, hal. 9.
35
dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan.42Metode penelitian adalah
suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
ilmu pengetahuan dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.43
1.6.1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Metode penelitian
normatif adalah penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.44 Penelitian ini dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka dan data-data sekunder atau penelitian kepustakaan.
Dengan demikian semua permasalahan dalam penelitian ini akan dikaji
berdasarkan sumber hukum kepustakaan undang-undang maupun berdasarkan
pandangan dari pakar hukum.
1.6.2. Jenis pendekatan
Pendekatan terhadap kedua pokok permasalahan dalam penelitian ini
didasarkan pendekatan perundang-undangan khususnya KUHPerdata, UUPA dan
UUJN. Selain itu sebagai pendukung digunakan pendekatan analisis konsep
hukum dan pendekatan kasus yaitu dengan cara melakukan telaah terhadap akta
notaris yang menimbulkan peralihan tanah atas tanah oleh orang asing.
42 Komarudin, 1979, Metode Penelitian Tesis dan Skripsi, AlumniBandung, Bandung, hal. 27.
43 Sutrisno Hadi, 1979, Metode Research, Yayasan Penerbit FakultasPsikologi UGM, Yogyakarta, hal. 4.
44 Johnny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian HukumNormatif, UMM Press, hal. 57.
36
1.6.3. Sumber bahan hukum
Sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini terdapat beberapa bahn
hukum.Adapun bahan hukum pokok tersebut terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier (sebagai penunjang bahan
hukum primer dan sekunder).45
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat. Dalam
penelitian ini digunakan bahan hukum primer sebagai berikut :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
- Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043;
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4379;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 20014 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5491;
45Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 7.
37
- Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 3643.
- Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 3643.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Dalam bahan hukum sekunder terdapat informasi
atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu buku-buku kepustakaan
mengenai perjanjian, pertanahan, kenotarisan, jurnal hukum, karya tulis ilmiah,
dan beberapa sumber dari internet.
1.6.4 Teknik pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research). Penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
yaitu merupakan teknik pengumpulan data dengan jalan membaca, mengkaji, serta
mempelajari buku-buku yang relevan dengan obyek yang diteliti, termasuk buku-
buku referensi, makalah, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen serta
sumber-sumber lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
38
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder, dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif
dan teknik argumentatif. Teknik analisis deskriptif dipergunakan dalam
menganalisa, karena teknik diskriptif adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat
dihindari penggunaannya. Deskriptif berarti menguraikan apa adanya terhadap
suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.
Teknik argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin
menunjukkan kedalaman penalaran hukum. Teknik evaluasi yang dimaksud
adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau
salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi,
pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer
maupun dalam bahan hukum sekunder.