pendahuluan gtj

37
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gigi tiruan jembatan adalah gigi tiruan yang mengganti satu atau lebih gigi yang hilang, dan dilekatkan ke satu atau lebih gigi asli atau akar gigi yang bertindak sebagai penyangga. Preparasi gigi penyangga merupakan tindakan yang penting dalam perawatan gigi tiruan jembatan. Preparasi bertujuan untuk menghilangkan daerah undercut, memungkinkan pembentukan retainer atau mahkota sesuai dengan bentuk anatomi gigi yang dipreparasi, membangun bentuk retensi dan menghilangkan jaringan-jaringan yang lapuk oleh karies. Prinsip preparasi gigi penyangga adalah mendapatkan bentuk akhir yang menjamin retensi yang sebesar-besarnya bagi retainer. Untuk mencapai hal tersebut dibuat dasar-dasar bentuk retensi preparasi yaitu kemiringan dinding-dinding aksial, bentuk peparasi mengikuti bentuk anatomi gigi, dan pengambilan jaringan gigi yang cukup untuk memberi ketebalan pada bahan retainer. Disamping dasar-dasar bentuk retensi, ada faktor lain yang mempengaruhi retensi preparasi, seperti bentuk dan ukuran gigi, luas bidang permukaan preparasi, dan kekasaran permukaan preparasi. 1

Transcript of pendahuluan gtj

Page 1: pendahuluan gtj

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gigi tiruan jembatan adalah gigi tiruan yang mengganti satu atau lebih gigi

yang hilang, dan dilekatkan ke satu atau lebih gigi asli atau akar gigi yang

bertindak sebagai penyangga. Preparasi gigi penyangga merupakan tindakan yang

penting dalam perawatan gigi tiruan jembatan. Preparasi bertujuan untuk

menghilangkan daerah undercut, memungkinkan pembentukan retainer atau

mahkota sesuai dengan bentuk anatomi gigi yang dipreparasi, membangun bentuk

retensi dan menghilangkan jaringan-jaringan yang lapuk oleh karies.

Prinsip preparasi gigi penyangga adalah mendapatkan bentuk akhir yang

menjamin retensi yang sebesar-besarnya bagi retainer. Untuk mencapai hal

tersebut dibuat dasar-dasar bentuk retensi preparasi yaitu kemiringan dinding-

dinding aksial, bentuk peparasi mengikuti bentuk anatomi gigi, dan pengambilan

jaringan gigi yang cukup untuk memberi ketebalan pada bahan retainer.

Disamping dasar-dasar bentuk retensi, ada faktor lain yang mempengaruhi retensi

preparasi, seperti bentuk dan ukuran gigi, luas bidang permukaan preparasi, dan

kekasaran permukaan preparasi.

Prosedur pencetakan harus dilakukan dengan seksama untuk mendapatkan

cetakan yang tepat dan teliti. Karena hal ini akan mempengaruhi hasil akhir gigi

tiruan jembatan dan memudahkan kerja operator dan operator dapat bekerja

dengan tenang dan hati-hati.

Pemilihan warna gigi merupakan pertimbangan estetis yang nampak

mudah namun sulit dalam mempraktekkan. Kesalahan interpretasi warna oleh

operator ataupun berbeda pemahaman antara operator dan tekniker akan

mempengaruhi estetik dari pasien.

Pertimbangan biomekanis dan biologis jaringan sekitar gigi tiruan

jembatan setelah insersi perlu menjadi evaluasi oleh operator agar gigi tiruan

dapat bertahan lama, tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada rongaa mulut

pasien, dan dapat berfungsi sebagaimana tujuan pembuatannya.

1

Page 2: pendahuluan gtj

Penatalaksanaan gigi tiruan jembatan yang baik dan benar menjadi salah

satu penentu keberhasilan perawatan didukung dengan skill operator dan tekniker

gigi. Oleh karena itu penting bagi seorang operator untuk mengetahui prinsip-

prinsip preparasi, prosedur pencetakan, pertimbangan estetik, biologi dan

biomekanis, insersi dan kontrol pasien.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana tahapan preparasi gigi penyangga pada gigi tiruan jembatan?

2. Bagaimana prosedur pencetakan pada pembuatan gigi tiruan jembatan

sementara?

3. Apa saja yang menjadi pertimbangan estetik dan pertimbangan biologis

pada penatalaksanaan gigi tiruan jembatan?

4. Bagaimana tahapan insersi gigi tiruan jembatan dan evaluasi yang

dilakukan ketika kontrol kembali ke dokter gigi?

1.3 Tujuan

1. Memahami dan menjelaskan tahapan preparasi gigi abutment pada gigi

tiruan jembatan.

2. Memahami dan menjelaskan prosedur pencetakan pada pembuatan gigi

tiruan jembatan sementara.

3. Memahami dan menjelaskan pertimbangan estetik dan pertimbangan

biologis pada penatalaksanaan gigi tiruan jembatan.

4. Memahami dan menjelaskan tahapan insersi gigi tiruan jembatan dan

evaluasi yang dilakukan ketika kontrol kembaki ke dokter gigi.

2

Page 3: pendahuluan gtj

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prinsip dan Persyaratan Preparasi Gigi Penyangga Gigi Tiruan

Jembatan

Preparasi merupakan suatu tindakan pengerindaan atau pengasahan gigi

untuk tujuan menyediakan tempat bagi bahan restorasi mahkota tiruan atau

sebagian pegangan gigi tiruan jembatan (Prajitno, 1991).

2.1.1 Tujuan preparasi

1. Menghilangkan daerah gerong

2. Memberi tempat bagi bahan retainer atau mahkota

3. Menyesuaikan sumbu mahkota

4. Memungkinkan pembentukan retainer sesuai bentuk anatomi

5. Membangun bentuk retensi

6. Menghilangkan jaringan yang lapuk oleh karies jika ada (Prajitno, 1991).

2.1.2 Prinsip Preparasi

1. Aspek biologis memperhatikan :

a. Struktur gigi yang dipertahankan

b. Menghindari overcontouring

c. Supragingival margins,agar lebih mudah dibersihkan

d. Oklusi yang harmoni

e. Proteksi untuk mencegah fraktur gigi

2. Aspek mekanis :

a. Retention form

b. Resistence form

c. Deformasi

3. Aspek estetik :

a. Tampilan yang minimal dari logam

b. Ketebalan maksimal dari porselen

c. Permukaan oklusal porselen

3

Page 4: pendahuluan gtj

d. Subgingival margin

Restorasi yang optimal harus memenuhi aspek biologis, aspek mekanis,

dan aspek estetik (Prajitno, 1991).

2.1.3 Persyaratan preparasi

1. Kemiringan dinding-dinding aksial

Preparasi dinding aksial yang saling sejajar terhadap poros gigi sulit untuk

menentukan arah pemasangan. Disamping itu, semen juga sulit keluar dari tepi

retainer sehingga jembatan tidak bisa duduk sempurna pada tempatnya. Untuk itu,

dibuat kemiringan yang sedikit konus ke arah oklusal. Craige (1978) mengatakan

bahwa kemiringan dinding aksial optimal berkisar 10-15 derajat. Sementara

menurut Martanto (1981), menyatakan bahwa kemiringan maksimum dinding

aksial preparasi 7 derajat. Sedangkan Prayitno HR (1991) memandang

kemiiringan dinding aksial preparasi 5-6 derajat sebagai kemiringan yang paling

ideal. Kemiringan yang lebih kecil sulit diperoleh karena dapat menyebabkan

daerah gerong yang tidak terlihat dan menyebabkan retainer tidak merapat ke

permukaan gigi. Retensi sangat berkurang jika derajat kemiringan dinding aksial

preparasi meningkat. Kegagalan pembuatan jembatan akibat hilangnya retensi

sering terjadi bila kemiringan dinding aksial preparasi melebihi 30 derajat.

Preparasi gigi yang terlalu konus mengakibatkan terlalu banyak jaringan gigi yang

dibuang sehingga dapat menyebabkan terganggunya vitalitas pulpa seperti

hipersensitifitas, pulpitis, dan bahkan nekrose pulpa. Kebanyakan literatur

mengatakan kemiringan dinding aksial preparasi berkisar 5-7 derajat, namun

kenyataaannya sulit dlicapai karena faktor keterbatasan secara intra oral

(Martanto, 1985).

2. Ketebalan preparasi

Jaringan gigi hendaklah diambil seperlunya karena dalam melakukan

preparasi kita harus mengambil jaringan gigi seminimal mungkin. Ketebalan

preparasi berbeda sesuai dengan kebutuhan dan bahan yang digunakan sebagai

retainer maka ketebalan pengambilan jaringan gigi berkisar antara 1-1,5 mm

sedangkan jika menggunakan logam porselen pengambilan jaringan gigi berkisar

4

Page 5: pendahuluan gtj

antara 1,5–2 mm. Pengambilan jaringan gigi yang terlaluy berlebihan dapat

menyebakan terganggu vitalitas pulpa seperti hipersensitivitas pulpa, pulpitis, dan

nekrosis pulpa. Pengamnbilan jaringan yang terlalu sedikit dapat mengurangin

retensi retainer sehingga menyebabkan perubahan bentuk akibat daya kunyah

(Martanto, 1985).

3. Kesejajaran preparasi

Preparsi harus membentuk arah pemasangan dan pelepasan yang sama

antara satu gigi penyangga dengan gigi penyangga lainnya. Arah pemasangan

harus dipilih yang paling sedikit mengorbankan jaringan keras gigi, tetapi dapat

menyebabkan jembatan duduk sempurna pada tempatnya (Martanto, 1985).

4. Preparasi mengikuti anatomi gigi

Preparasi ynag tidak mengikuti anatomi gigi dapat membahayakan

vitalitas pulpa juga dapat mengurangi retensi retainer gigi tiruan jembatan

tersebut. Preparasi pada oklusal harus disesuaikan dengan morfologi oklusal.

Apabila preparsai tidak mengukuti morfologi gigi maka pulpa dapat terkena

sehingga menimbulkan reaksi negatif pada pulpa (Martanto, 1985).

5. Pembulatan sudut-sudut preparasi

Preparasi yang dilakukan akan menciptakan sudut-sudut yang merupakan

pertemuan dua bidang preparasi. Sudut-sudut ini harus dibulatkan karena sudut

yang tajam dapat menimbulkan tegangan atau stress pada restorasi dan sulit dalam

pemasangan jembatan (Martanto, 1985).

2.2 Tahapan Penatalaksanaan Pembuatan Gigi Tiruan Tetap

1. Perawatan pendahuluan

2. Pencetakan diagnostik dilanjutkan pembuatan model studi.

3. Preparasi gigi penyangga, langkah-langkah preparasi gigi penyangga:

a. Anestesi lokal agar tidak ngilu saat preparasi.

       b. Mengurangi permukaan mesial dan distal

c. Mengurangi permukaan bukal

d. Pengurangan permukaan lingual

5

Page 6: pendahuluan gtj

e. Mengurangi permukaan oklusal

4. Pembuatan cetakan dari gigi yang telah dipreparasi untuk mendapatkan model

kerja

5. Pemilihan warna gigi

6. Pembuatan temporary bridge (mahkota sementara)

Jembatan sementara yang baik adalah mampu memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

a. Pelindungan pulpa

b. Stabilitas kedudukan

c. Fungsi oklusal

d. Mudah dibersihkan

e. Tepi retainer yang tepat (tidak menyebabkan peradangan mukosa)

f. Kekuatan dan retensi

g. Estetis (terutama pada gigi depan)

7. Pengiriman model kerja ke laboratorium dental (proses laboratorium)

8. Pelepasan mahkota sementara

9. Pemasangan / insersi dan penyemenan

10. Kontrol

6

Page 7: pendahuluan gtj

MAPPING

7

Gigi Tiruan Tetap

Komponen Bahan

Retainer Pontik Konektor Abutment

Penatalaksanaan

Preparasi Gigi Penyangga

Prosedur pencetakan

Pertimbangan Estetik

Insersi

Kontrol

Page 8: pendahuluan gtj

BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Tahapan Preparasi Gigi Penyangga pada Gigi Tiruan Jembatan

1. Pengurangan bagian insisal

Pengurangan pada bagian insisal adalah sebesar 1.5-2 mm dengan sudut

45 derajat.

Tujuan pengurangan pada bagian insisal antara lain:

a) memberi ketebalan mahkota jaket antara inti dengan gigi antagonis

b) menghindari patahnya mahkota jaket terhadap pengunyahan

c) oklusi dapat diperbaiki (Prajitno, 1991).

2. Pengurangan permukaan proksimal

Pengurangan pada bagian proksimal adalah sebesar 6 derajat Pengurangan

bagian proksimal yang melebihi 6 derajat akan mengurangi resistensi dan retensi

inti kurang. Pengasahan bagian proksimal dengan menggunakan round end

tapered cylindrical diamond bur dengan ketebalan 1- 1,5 mm. Tujuan

pengurangan permukaan proksimal:

a) menghilangkan kecembungan yang menghalangi masuknya mahkota ke

bagian servikal

b) mensejajarkan bidang proksimal mesial distal sehingga mahkota jaket

masuk tanpa hambatan

c) untuk ketebalan bahan mahkota jaket (Prajitno, 1991).

Gambar 1. Pengurangan permukaan proksimal, bukal, lingual, dan insisal

8

Page 9: pendahuluan gtj

3. Pengurangan permukaan labial

Tujuan pengurangan permukaan labial adalah untuk ketebalan mahkota

jaket bagian labial (estetika). Pengasahan pada 2/3 incisal sebesar 1-1,5 mm

dengan round end tapered cylindrical diamond bur. Jika menggunakan porselen

ketebalan pengasahan sekitar 1,5-2 mm (Prajitno, 1991).

4. Pengurangan permukaan lingual atau palatal

Preparasi bagian palatal mengikuti kontur gigi dengan tidak

menghilangkan singulum. Pengasahan menggunakan round end tapered

cylindrical diamond bur sebesar 1-1,5mm pada 2/3 incisal dan 0,5mm pada 1/3

servikal (Prajitno, 1991).

5. Preparasi daerah servikal

Pada preparasi daerah servikal untuk mendapatkan bentukan finishing line

yang baik maka dilakukan retraksi gingiva dengan cara sebagai berikut:

a) Gigi pegangan diisolasi dengan cotton roll, kemudian dikeringkan

b) Benang retraksi direndam di dalam larutan adrenalin

c) Benang dilingkarkan ke sekeliling gigi pegangan, kemudian ditekan ke arah

apikal

d) Benang dimasukkan ke dalam sulkus gingiva dengan bantuan instrumen

seperti sonde

e) Dibiarkan selama 10 menit

f) Benang diangkat dari sulkus gingiva

Setelah gingiva diretraksi dilakukan pembentukan finish line menggunakan round

end tapered cylindrical diamond bur (Martanto, 1985).

Gambar 2. a) Knife edge, b) Chamfer, c) Shoulder, d) Bevel Shoulder

9

Page 10: pendahuluan gtj

Ada beberapa bentuk servikal:

a. Knife-edge

Tipe ini memerlukan pengurangan gigi yang paling sedikit. Terkadang

digunakan pada gigi yang berbentuk bell-shaped, karena pembutannya yang

lebih sulit, sehingga dapat menyebabkan pengurangan gigi yang berlebihan.

b. Chamfer

Tipe ini sering dipilih sebagai akhiran tepi untuk restorasi ekstrakoronal,

mudah dibentuk, dan memberikan ruang untuk ketebalan yang memadai pada

restorasi emas tanpa menyebabkan kontur yang berlebihan dari restorasi.

Menghasilkan konsentrasi tekanan yang lebih rendah, dan dengan mudah dapat

masuk ke celah gingiva. Desain ini memberi tempat yang terbatas untuk

restorasi metal keramik sehingga menghasilkan distorsi margin yang besar dan

estetis yang kurang baik. Selain itu, ketahanan desain ini terhadap tekanan

vertikal kurang baik.

c. Shoulder

Tipe ini dipilih terutama pada situasi dimana bagian terbesar material

diperlukan untuk memperkuat restorasi pada daerah tepi gigi, seperti untuk

restorasi all-porcelain atau restorasi metal keramik. Desain ini sulit dipreparasi,

undercut minimum, dan tahan terhadap distorsi margin. Selain itu, shoulder akan

menghasilkan tekanan yang paling sedikit di daerah servikal dan memberikan

tempat maksimum untuk porselen dan metal, sehingga porselen dapat dibakar

pada tepi metal dan menghasilkan estetis yang baik

d. Shoulder bevel

Desain ini lebih sering digunakan oleh beberapa dokter yang percaya

bahwa tepi bevel lebih mudah dalam mendapatkan cetakannya dan dapat

membuat tepi gigi dari restorasi tuang lebih mudah dipolis. Bevel biasanya

dikombinasikan untuk bentuk proksimal box. Bevel tersebut bertujuan untuk:

- Mengkompensir kekurangan dalam kecermatan selama proses casting dan

penyemenan.

- Proteksi terhadap enamel margin.

- Memungkinkan burnishing setelah penyemenan.

10

Page 11: pendahuluan gtj

- Menambah retensi.

Chamfer dan shoulder memberi bentuk akhiran tepi yang jelas, yang bisa

diidentifikasikan dalam preparasi mahkota sementara dan die. Chamfer

membutuhkan pengurangan aksial yang minimal dan cocok untuk restorasi all-

ceramic konservatif. Kedalaman preparasi margin shoulder menurut Rouse et al

(2001) berkisar 1-1,5 mm untuk memberikan ketepatan, kedudukan maksimum,

dan estetis yang baik. Menurut Dykema et al (1986), lebar standar preparasi

chamfer berkisar 0,3-0,5 pada restorasi mahkota metal-keramik.

Gambar 3. Pembentukan akhiran servikal

6. Pembulatan dinding aksial dan tepi insisal

3.2 Prosedur Pencetakan pada Pembuatan Gigi Tiruan Jembatan Sementara

Pembuatan cetakan dari gigi yang telah dipreparasi untuk mendapatkan

model kerja. Caranya:

1. Bahan cetak double impression dengan tenik one stage/ phase (direct)

a) Putty (kotak) : aduk bahan putty, letakkan didasar sendok cetak yang

tujuannya untuk menstabilkan kedudukan sendok cetak didalam mulut,

ambil perbandingan 1:1 rubber base : katalis lalu aduk hingga warna

berubah hijau, lalu letakkan pada dasar sendok cetak dan pada daerah yang

telah dipreparasi harus dicekungkan untuk menyediakan bahan yang

kedua.

11

Page 12: pendahuluan gtj

b) Aduk light body, setelah homogen, masukkan kedalam injeksi kemudian

injeksikan ke gigi yang telah dipreparasi pada mulut pasien, sisanya pada

bagian yang dicekungkan tadi.

c) Kemudian cetakkan kedalam mulut pasien

d) Cor cetakan dengan hard stone.

2. Bahan double impression dengan teknik two phase

Aduk bahan putty sampai homogen letakkan ke sendok cetak, setelah rata

masukkan ke dalam mulut pasien tanpa melepas crown sementara. Pada bagian

anterior gigi yang dipreparasi tidak perlu dicekungkan. Setelah mengeras ambil

sendok cetak tersebut dari mulut pasien, kemudian aduk light body yang terdiri

dari basa dan katalis, setelah homogen masukan ke dalam injeksi kemudian

injeksikan ke gigi yang telah dipreparasi tadi. Masukkan cetakan putty tadi ke

dalam mulut. Setelah keras keluarkan dari mulut pasien (Aryanto dan Gunadi,

1991).

Pembuatan mahkota sementara dibuat dari self curing acrylic dengan

metode indirek sebagai berikut:

a. Gigi sebelum dipreparasi dicetak menggunakan bahan cetak elastomer (I).

b. Gigi sesudah dipreparasi dicetak menggunakan bahan cetak alginat kemudian

diisi dengan gips stone. Setelah gips stone mengeras dan dilepas dari cetakan

didapatlah model gigi setelah preparasi (II).

c. Cetakan (I) diisi dengan self curing acrylic

d. Model gigi setelah preparasi (II) dimasukkan ke hasil cetakan (I) yang telah

diisi self curing acrylic.

e. Fiksasi sampai self curing acrylic mengeras

f. Lakukan pengurangan pada mahkota sementara tersebut dan cobakan pada

pasien Mahkota sementara yang tidak pas dikurangi sampai benar-benar pas

beroklusi dengan gigi antagonisnya. Mahkota sementara disemen dengan

semen sementara fletcher dan larutan eugenol (Aryanto dan Gunadi, 1991).

12

Page 13: pendahuluan gtj

Pembuatan mahkota sementara dibuat dari self curing acrylic dengan

metode direk sebagai berikut:

a. Pada model kerja dibuatkan model malam pada daerah edentulusnya sehingga

membentuk deretan gigi yang utuh.

b. Cek oklusinya dengan gigi antagonisnya.

c. Cetak dengan alginate menggunakan sendok cetak sebagian.

d. Berilah malam lunak pada daerah undercut.

e. Buatlah adonan akrilik yang warnanya sesuai dengan warna gigi.

f. Masukkan adonan akrilik ke dalam cetakan alginate.

g. Sebelum di cetakkan lagi, permukaan preparasi diulasi dengan silicon grease

dan segera cetakkan alginate beradonan akrilik pada pasiennya dengan posisi

dan kedudukan yang benar.

h. Akrilik yang tersisa digunakan untuk mengecek apakah sudah terasa plastis,

yaitu saat untuk mengeluar-masukkan cetakan tersebut.

i. Hasil cetakkan dirapikan dan dilakukan pemolesan.

j. Penyemenan menggunakan zinc okside eugenol.

Jembatan sementara harus diteliti ketepatannya di dalam mulut, meskipun

hanya sementara pemakaiannya. Dalam hal itu dapat digunakan articulating paper

untuk mengecek oklusinya supaya tidak terjadi kontak premature dengan gigi

antagonisnya (Aryanto dan Gunadi, 1991).

3.3 Pertimbangan Estetik pada Penatalaksanaan Gigi Tiruan Jembatan

Sistem warna Munsell merupakan suatu sistem untuk menyesuaikan warna

gigi tiruan dengan warna asli dalam kedokteran gigi. Untuk menetapkan suatu

warana tanpa kesalahan perlu digunakan tiga parameter yaitu hue, chroma, dan

value yang menjadi standard untuk menggambarkan warna gigi.

13

Page 14: pendahuluan gtj

Gambar 4. Sistem warna Munsell

1. Hue

Hue berhubungan terhadap karakteristik warna yang memberikan suatu

identifikasi dan perbedaan dari suatu warna terhadap warna yang lainnya. Merah

adalah hue, demikian juga kuning, biru dan warna lain yang telah diketahui

namanya.

Salah satu warna dapat dicampur dengan warna lain sebagai warna

tambahan dan dapat dicapai dalam variasi warna yang berkelanjutan dari satu

warna terhadap warna yang lainnya. Contohnya, merah dan kuning dicampur

dalam suatu proporsi untuk mendapatkan seluruh hue dari merah sampai orange

ke kuning. Kemudian Munsell menggunakan symbol untuk mendesain 10 sektor

hue yaitu R, YR, Y, GY, G, BG, B, PB, P, dan PR. R untuk merah, YR untuk

merah-kuning, Y untuk kuning, GY untuk kuning-ungu, G untuk hijau, BG untuk

hijau-biru, B untuk biru, PB untuk biru-ungu dan P untuk ungu (Annusavice,

2003).

2. Chroma

Chroma adalah suatu kualitas yang membedakan warna yang kuat dari

satu warna yang lemah. Chroma merupakan intensitas warna yang memisahkan

hue dari value. Chroma menunjukkan sejumlah warna dalam hue, dihubungkan

sebagai lingkaran dari pusat seperti jari-jri dalam kumparan.

Chroma berhubungan dengan banyaknya pigmen yang ada pada warna

yang digambarkan pada awalnya. Jika warna memiliki konsentrasi yang kuat pada

pigmen hue, maka warnanya kuat. Skala chrome dari /0 untuk abu-abu netrak

ke /10, /12, /14 dan seterusnya (Annusavice, 2003).

14

Page 15: pendahuluan gtj

3. Value.

Value adalah kualitas warna yang digambarkan dengan istilah gelap dan

terang yang berhubungan dengan pencahayaan. Hal ini merupakan tingkat

kecerahan. Value merupakan parameter fotometrik yang diasosiasikan dengan

pemantulan total yaitu kecerahan atau kegelapan warna. Hue yang diukur dari

putih absolute atau hitam absolute disebut value.

Value menunjukkan tingkat kecerahan atau kegelapan warna yang

dihubungkan dengan skala abu-abu normal yang meluas dari hitam absolute ke

putih absolute. Symbol 0 untuk hitam absolute, symbol 10 untuk putih absolute,

symbol 5 untuk abu-abu sedang dan semua warna chromatic antara hitam absolute

dan putih absolute. Hitam dan putih disebut warna netral karena tidk memiliki

hue.

Warna hitam dan putih dihasilkan dari pancaran cahaya objek yang tidak

dapat diabsorbsi pada posisi spectrum tetapi direfleksikan keseluruh pancaran

cahaya. Objek yang direfleksikan dari banyak pancaran cahaya adalah warna putih

sebaliknya objek yang sedikit pancaran cahaya adalah hitam (Annusavice, 2003).

Gambar 5. Tabel warna value dan chroma

Prosedur:

Teknik ini menggunakan beberapa shade guide yang disusun berdasarkan

hue, chrome, value cincin tabung enamel dan dentine yang merupakan standard

15

Page 16: pendahuluan gtj

satuan shade guide yang berasal dari pabrik. Pemilihan warna dengan system

Munsell dimulai denagn langkah hue, value, dan chroma.

1. Langkah Hue

Langkah dalam memilih hue adalah

a. Hal penting pertama kali dalam memilih warna gigi adalah ketika pasien

duduk pertama kali dikursi unit, pilih sumber cahaya dari berbagai cahaya

yang berada disekeliling pasien.

b. Perhatikan sekeliling mulut secara misalnya mahkota gigi, akhiran servikal

dan tepi insisal. Buat taksiran umum hue, gigi umumnya coklat, kuning, atau

abu-abu.

c. Gunakan shade guide yang disusun berdasarkan hue yaitu shade guide yang

memiliki 4 warna dasar yaitu A, B, C, dan D. A menunjukkan warna

kecoklatan, B warna kekuningan, C warna keabu-abuan dan D warna semu

merah jambu. Lampu dihidupkan pada jarak 20 cm dari lengkung gigi dan

shade guide disusun dengan 4 warna dasar, masing-masing 2 diseberang dan

2 diseberangnya.

d. Mata operator kemudian diistirahatkan dengan melihat kea rah latar belakang

warna biru. Kuning yang umumnya warna gigi dapat diimbangi dengan

warna biru sebagai warna komplementer. Melihat kea rah latar belakang biru

kira-kira 1 menit meningkatkan kesensitifan mata terhadap warna kuning.

e. Misalkan pilihan hue adalah A1, dan ketiga warna dasar lainnya diletakkan di

samping.

f. Jika hue telah ditetapkan, misalkan pilihan adalah A, dan ketiga warna dasar

lainnya diletakkan di samping. Menentukan hue dilakukan dengan

mengobservasi bagian servik gigi. Melihat ke bagian servik dapat

meningkatkan penerimaan chroma sementara melihat ke insisal dapat

menurunkan penerimaan chroma, sehingga lebih sulit mendapatkan hue. Bila

kaninus ada, itulah gigi yang paling baik untuk memilih hue karena memiliki

chroma yang paling tinggi (Anggraeni, 2003).

2. Langkah Chroma

Langkah dalam memilih chroma adalah:

16

Page 17: pendahuluan gtj

a. Pilih chroma berdasarkan hue yang telah ditetapkan. Chroma dari hue dipilih

dengan membandingkan shade guide dengan bagian tenagh gigi, bila tidak

sesuai warna dasar diturunkan. Hal ini lebih mudah karena yang ada hanya

chroma yang berbeda pada hue yang sama.

b. Gunakan shade guide yang disusun berdasarkan hue, dibagi lagi atas chroma,

misalnya A terbagi atas A1, A2, A3 dan A4 yan memiliki hue yang sama

tetapi berbeda chroma. Hal yang sama juga untuk B, C, dan D. misalnya

chroma yang dipilih adalah A2.

c. Mata istirahatkan lagi dengan melihat kea rah latar belakang warna biru

sebagai warna komplementer. Perbedaan chroma warna dasar yang sama

sangat dekat satu sama lain pada shade guide buatan pabrik, dapat

membingunkan dalam menyesuaikan warna. Hal ini membuat orang melihat

perbedaan hue lebih efektif karena chroma lebih kuat. Hal ini merupakan

langkah sulit sebab tidak banyak bedanya antara warna-warna tersebut.

d. Jika chroma telah ditetapkan, pilih warna dentin dan enamel dengan cincin

warna dentin dan enamel. Sesuaikan waran dentin dengan cincin warna

dentin. Kadang-kadang perlu dilakukan perbaikan, nomor chroma dentin

yang dipilih dicatat. Gunakan latar belakang biru lagi untuk mengistirahatkan

mata.

e. Sesuaikan warna enamel dengan cincin warna enamel. Observasi harus

dilakukan pada bagian insisal gigi yang enamelnya lebih tebal dan nomor

enamel dicatat (Anggraeni, 2003).

3. Langkah value

Langkah dalam memilih value adalah:

a. Pilih value dengan memicingkan mata. Memicinkan mata menyebabkan rods

pada mata lebih sensitive dari pada cones terhadap warna, rods bertanggung

jawab membantu menentukan value. Hindari pertimbangan terhadap hue dan

chroma.

b. Gunakan shade guide yang disusun berdasarkan value yang merupakan

buatan pabrik.

17

Page 18: pendahuluan gtj

c. Value yang telah dipilih digunakan untuk memilih porselen yang inti. Ini

adalah tahap kritis untuk memilih value yang lebih penting daripada pilihan

hue. Bila value ini salah, efeknya akan kurang baik untuk warna bagian servik

gigi. Teknik ini dapat dibantu dengan penggambaran peta corak gigi (dental

shape tab) (Anggraeni, 2003).

Gambar 6. Dental Shape Tab

Faktor-faktor yang mempengaruhi warna

1. Kondisi pengamatan

Waktu yang tepat untuk pemilihan warna gigi tiruan adalah pada saat

pemeriksaan pertama. Pada saat menentukan warna sangat dipengaruhi oleh

kondisi pengamatan yaitu sumber cahaya pada praktek dan laboratorium, latar

belakang objek seperti warna dinding, baju dan make-up pasien serta keadaan

objek.

a. Sumber cahaya.

Cahaya terdiri dari berbagai panjang gelombang yang tergantung pada

sumber cahaya. Terdapat berbagai sumber cahaya yang menghasilakan efek yang

berbeda pada suatu benda, disebut metamerisme. Sebuah benda akan tampak

berbeda jika dilihat pada dua sumber cahaya yang berbeda, misalnya benda yang

dilihat di bawah sinar matahari akan berubah jika benda tersebut dilihat di bawah

sinar fluoresen atau lampu pijar. Cahaya lampu fluoresen cenderung untuk

menghasilakan spectrum warna biru sedangkan lampu pijar menonjolkan

spectrum warna kuning-merah, sebaiknya membandingkan dan mengurangi

pengaruh metamerisme (Annusavice, 2003).

18

Page 19: pendahuluan gtj

Cahaya dapat bersifat alami maupun buatan, dalam setiap kategori ada

keanekaragaman baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya alami berasal

dari matahari baik secara langsung maupun tidak langsung. Kualitas warna,

beraneka ragam dari kemerah-merahan sampai putih kekuning-kuningan. Pada

saat warna diseleksi pasien harus duduk denagn kepala tegak terhadap mata

operator. Mata operator harus mampu bertahan pada pasien dan sumber cahaya

sewaktu memilih warana (Annusavice, 2003).

Pada waktu langit cerah akan menunjukkan cahaya dengan komponen biru

lebih besar daripada awal pagi atau lewat sore hari dimana matahari lebih

memiliki komponen kuning. Dalam pemilihan warna yang paling baik adalah

menggunakan sumber cahaya matahari, terutama siang hari atau sore hari, saat

matahari tepat diatas kepala sehingga mengurangi pengaruh atmosfer terhadap

perubahan warna. Ketika menentukan warna pasien sebaiknya berada dekat

jendela sehingga cahaya matahari dapat berperan langsung. Ketika timbul

keraguan dalam menentukan pilihan warna, dengan melihat objek pada cahaya

berbeda baik alami maupun buatan dengan jarak yang berbeda pula akan sangat

membantu dokter gigi. Hal ini juga merupakan praktek yang baik untuk

memeriksa pilihan warna dengan bantuan asisten (Anggraeni, 2003).

b. Latar Belakang Objek

Latar belaknag terlihat sebagai suatu efek yang berarti pada warana yang

dipusatkan. Latar belakang gelap membuat warna terlihat lebih terang daripada

warna yang sama terhadap latar belakang lebih terang.

Warna gorden jendela, warna dinding praktek, lipstick pasien dapat

mempengaruhi warna yang muncul pada daerah mulut. Cahaya harus memancar

secara merata, tanpa ada bayangan bibir yang berlipstik di dekat gigi untuk

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satu faktor mempengaruhi

dalam pemilihan warna adlah penggunaan lipstick, yang merupakan latar

belakang selain garis bibir. Gigi merupakan warna netral, sehingga gigi yang

berdekatan dengan lipstick berwarna merah akan terlihat kehijauan. Sebaiknya

hapus lipstick terlebih dahulu (Anggraeni, 2003).

19

Page 20: pendahuluan gtj

Dinding yang digunakan sebagai latar belakang sebaiknya diberi warna

dinding abu-abu netral atau warna gelap. Bagian insisal gigi sangat dipengaruhi

oleh warna gelap sebagai latar belakang, sehingga memiliki translusensi tinggi

pada enamel (Anggraeni, 2003).

c. Keadaan objek

Warna dari suatu objek tergantung dari sifat yang dimiliki benda tersebut,

pada benda yang tembus cahaya akan mengabsorbsi cahaya yang melaluinya,

sehingga warna dari benda tersebut akan berbeda dengan warna yang dihasilkan

dari benda yang berkilat, dengan sifatnya memantulkan memantulkan cahaya

yang diterimanya. Lain halnya dengan benda yang mempunyai permukaan

bersifat fluoresen, benda tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi

sebagian cahaya dan menunjukkan warna yang lebih muda daripada benda yang

opak. Beberapa bahan kedokteran gigi seperti porselen mengandung bahan

fluoresen (Anggraeni, 2003).

Permukaan objek dan bentuk sama pentingnya dalam memilih warna gigi,

permukaan halus dapat direfleksikan lebih banyak cahaya yang membelakangi

operator. Kekasaran pada permukaan gigi akan mengurangi level warna dasarnya.

Karakteristik gigi yang termasuk dalam bentuk insisal, garis retak dan stein

berguna sekali dalam menempatkan warna dan karakter gigi. Gigi asli

menunjukkan peningkatan penyerapan cahaya pada bagian insisal daripada bagian

sentral dan penurunan cahaya terhadap bagian servikal (Anggraeni, 2003).

2. Daya Penglihatan Mata terhadap Objek

Warna dapat dirubah oleh objek ketika ditangkap mata. Ketika

menentukan warna gigi, dokter gigi harus memandang lurus kearah objek Karena

cone sebagai penerima warna sangat banyak di dekat pusat retina.

Warna dipengaruhi oleh beberapa variable yaitu daya penglihatan mata,

sumber cahaya, latar belakang dan keadaan objek. Variable mata yaitu daya

penglihatan mata dapat dikontrol denagn membatasi variable sumber cahaya, latar

belakang dan keadaann objek (Anggraeni, 2003).

20

Page 21: pendahuluan gtj

Mata peka sekali terhadap cahaya yang diterimanya. Tetapi cepat lelah

dalam menerima rangsangan. Mata kurang peka terhadap wana yang peralihannya

lembut seperti pada warna gigi asli. Mata cepat elelah dalam menerima

rangsangan untuk satu warna secara terus-menerus maka dianjurkan hanya

dilakukan dalam 5 detik saja untuk menentukan warna gigi tiruan. Setelah 5 detik

kemampuan retina untuk menyesuaikan warna-warna lembut berkurang, karena

itu dalam pemilihan warna terlebih dahulu dialihkan ke objek warna netral yaitu

warna biru sebelum memandang kembali gigi tersebut (Anggraeni, 2003).

Warna sebaiknya dipilih ketika pemeriksaan awal untuk mencegah

kelelahan mata yang dapat terjadi. Suatu kesalahan besar jika memilih warna

ketika mata lelah. Mata harus cepat menangkap dan mencoba menyeimbangkan

perbedaan shade guide sehingga tahap ini tidak menghabiskan banyak waktu.

Untuk membantu mata ada baiknya memilih shade guide yang berwarna terang

kemudian ke shade guide yang gelap (Anggraeni, 2003).

3.4 Tahapan Insersi Gigi Tiruan Jembatan dan Evaluasi yang Dilakukan

Ketika Kontrol Kembali ke Dokter Gigi

Try In:

Try in atau pengepasan GTC dengan sementasi menggunakan campuran

serbuk fletcher dan larutan eugenol selama 1 minggu. Yang harus diperhatikan

adalah kontak proksimal antara GTC dengan gigi sebelahnya, pemeriksaan pada

tepi GTC tidak boleh menekan gingiva, dan pemeriksaan kontak oklusal. Dilihat

retensi dan stabilisasinya. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika try-in adalah:

retensi, stabilisasi, oklusi, dan kenyamanan pasien.

1. Retensi

Kemampuan GTC untuk melawan gaya pemindah yang cenderung memindahkan

gigi tiruan kearah oklusal. Cara mengecek retensi gigi tiruan adalah dengan cara

memasang gigi tiruan tersebut ke dalam mulut pasien. Jika tidak mempunyai

retensi maka gigi tiruan tersebut akan terlepas setelah dipasang, namun jika tidak

terlepas berarti gigi tiruan tersebut sudah mempunyai retensi.

21

Page 22: pendahuluan gtj

2. Stabilisasi

Merupakan perlawanan atau ketahanan GTC terhadap gaya yang menyebabkan

perpindahan tempat atau gaya horizontal. Stabilisasi terlihat dalam keadaan

berfungsi, misal pada mastikasi. Pemeriksaan stabilisasi gigi tiruan dengan cara

menekan bagian gigi tiruan secara bergantian. Gigi tiruan tidak boleh

menunjukkan pergerakan pada saat tes ini.

3. Oklusi

Pemeriksaan aspek oklusi pada saat posisi sentrik, lateral dan anteroposterior.

Caranya dengan memakai kertas artikulasi yang diletakkan di antara gigi atas dan

bawah, kemudian pasien diminta melakukan gerakan mengunyah. Setelah itu

kertas artikulasi diangkat dan dilakukan pemeriksaan oklusal gigi. Pada keadaan

normal terlihat warna yang tersebar secara merata pada permukaan gigi. Bila

terlihat warna yang tidak merata pada oklusal gigi maka terjadi traumatik oklusi

oleh karena itu dilakukan pengurangan pada gigi yang bersangkutan dengan

metode selective grinding. Pengecekan oklusi ini dilakukan sampai tidak terjadi

traumatik oklusi (Basker, 2003).

Insersi :

Satu minggu setelah pengepasan kemudian dilakukan insersi GTC dengan

sementasi menggunakan SIK tipe I. Sebelumnya dilakukan pemeriksaan subjektif,

ditanyakan apakah ada keluhan dari pasien setelah GTC dipasang dan dipakai.

Pemeriksaan objektif dilihat dari keadaan jaringan lunak di sekitar daerah

GTC apakah ada peradangan atau tidak, periksa retensi dan oklusi pasien. Jika

tidak ada peradangan, retensi dan oklusi pasien baik maka dilakukan penyemenan

GTC. Penyemenan GTC:

1. GTC dibersihkan dan disterilkan lalu dikeringkan, gigi abutment yang akan

dipasang GTC juga dikeringkan.

2. Semen diaduk untuk mendapatkan konsistensi yang baik untuk penyemenan,

kemudian dioleskan pada bagian dalam dari GTC.

3. GTC dipasang dan pasien diinstruksikan untuk dalam posisi oklusi sentrik

beberapa menit.

22

Page 23: pendahuluan gtj

4. Kelebihan semen yang mengalir ke gingival diambil kemudian dibersihkan.

5. Instruksikan pada pasien untuk menjaga kebersihan mulut dan diminta untuk

tidak makan atau menggigit makanan yang keras dulu.

6. Bila ada keluhan rasa sakit segera kontrol.

Setelah dilakukan penyemenan, dicek kembali retensi, stabilisasi dan

oklusi (dengan articulating paper) (Basker, 2003).

Instruksi:

Instruksi untuk memeliharaan gigi tiruan jembatan yang telah dipasangkan :

1. Penyikatan yang baik ( tekanan ringan dan sikat yang lunak)

2. Pemakaian dental floss, oral irigating & alat pembersih lainnya yangberfungsi

untuk membersihkan daerah yang sukar terlihat (daerah interdetal/ dasar

pontik).

Kontrol :

1. Pemeriksaan subyektif : menanyakan apakah ada keluhan dari pasien setelah

GTC dipasang dan dipakai.

2. Pemeriksaan obyektif : melihat keadaan jaringan lunak disekitar daerah GTC,

apakah ada peradangan atau tidak. Memeriksa retensi, stabilisasi, dan oklusi

pasien.

23

Page 24: pendahuluan gtj

BAB 4. KESIMPULAN

1. Tahap preparasi gigi penyangga antara lain:

a. Pengurangan bagian insisal

b. Pengurangan permukaan proksimal

c. Pengurangan permukaan labial

d. Pengurangan permukaan lingual atau palatal

e. Preparasi daerah servikal

f. Pembulatan dinding aksial dan tepi insisal

2. Pembuatan cetakan pada proses pembuatan gigi tiruan tetap sementara

menggunakan bahan cetak double impression dengan tenik one stage/ phase

(direct) dan bahan double impression dengan teknik two phase. Teknik

pembuatan gigi tiruan tetap sementara ada dua cara yaitu, indirek dan direk.

3. Pertimbangan estetik bisa dicapai melalui pemilihan warna gigi tiruan yang

tepat dengan sistem warna Munsell yang menggunakan tiga parameter yaitu

hue, chroma, value.

4. Tahap insersi dilakukan satu minggu setelah tahapan pengepasan atau pasang

coba, bila tidak ada keluhan dan kelainan pada mukosa di sekitar gigi tiruan

dilakukan penyemenan.

24

Page 25: pendahuluan gtj

DAFTAR PUSTAKA

Anggreini, F. 2003. Teknik Penentuan Warna dengan Sistem Munsel pada

Restorasi Porselen. Medan: USU.

Annusavice. 2003. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC.

Aryanto, Gunadi H., dkk. 1991. Buku Ajar Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan

Jilid I. Jakarta: Hipokrates.

Aryanto, Gunadi H., dkk. 1993. Buku Ajar Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan

Jilid II. Jakarta: Hipokrates.

Basker RM. 2003. Perawatan Prostodontik Bagi Pasien Tak Bergigi Edisi 3.

Jakarta: EGC.

Martanto, P. 1985. Teori dan Praktek Ilmu Mahkota dan Jembatan Jilid 1 Edisi 2.

Bandung: Penerbit Alumni.

Prajitno, H.R. 1991. Ilmu Geligi Tiruan Jembatan: Pengetahuan Dasar dan

Rancangan Pembuatan. Jakarta: EGC.

25