PENDAHULUAN (Autosaved)

37

Click here to load reader

description

pendahuluan

Transcript of PENDAHULUAN (Autosaved)

Page 1: PENDAHULUAN (Autosaved)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Apa kesamaan dari kasus kapas transgenik di Sulawesi Selatan,

lumpur Sidoarjo, pencemaran di Teluk Buyat, atau bahkan penurunan

kualitas di wilayah pertambangan Papua? Pencemaran-pencemaran

lingkungan tersebut semuanya diakibatkan dari aktivitas korporasi. Hal

tersebut tidaklah mengherankan, karena korporasi cenderung melakukan

aktivitas yang berskala besar dalam menjalankan usahanya. Dalam suatu

produksi, perusahaan produksi menghabiskan berbagai macam raw

material dalam jumlah besar yang diolah dengan proses yang bermacam-

macam pula. Penggunaan bahan-bahan yang diambil dari alam

merupakan media lingkungan, yang kalau tidak diperhatikan

ppenggunaannya maka kita akan mengalami kelangkaan, dan penurunan

kualitas lingkungan. Dampak dari aktivitas usaha korporasi pun sangat

besar terhadap lingkungan hal tersebut terjadi terutama karena sisa-sisa

dari produksi- yang biasa disebut dengan limbah dibuang ke media

lingkungan.

Baku mutu dari limbah memang ditentukan dalam rangka

penegakan hukum administrasi. Tetapi, penegakan hukum administrasi

terkadang masih terdapat suatu pelanggaran oleh korporasi. Untuk itu,

diperlukan instrumen penegakan hukum yang lebih kuat agar instrumen

hukum administrasi dapat dipatuhi oleh korporasi. Salah satunya adalah

dengan mengintroduksikan hukum pidana dalam hukum lingkungan.

Hukum pidana selama ini dikenal sebagai hukum yang

menggunakan “siksaan jasmaniah” kepada seseorang. Karena sifatnya

yang dapat mengurangi/ melanggar hak asasi orang lain semestinya baru

boleh ditegakkan setelah diusahakannya pendekatan hukum lain. Hal

itulah yang kemudian kita kenal dengan asas subsidiaritas. Begitu juga

dalam melawan “korporasi jahat”, harus diutamakan hukum selain pidana

terlebih dahulu. Tetapi bagaimana jika pelanggaran atau kejahatan

korporasi telah menimbulkan dampak yang besar terhadap masyarakat,

1 | P a g e

Page 2: PENDAHULUAN (Autosaved)

terhadap hal yang demikian, digunakan instrumen pidana dalam

penegakan hukum lingkungan.

Muncul masalah baru terkait dengan implementasi hukum pidana

dalam memelihara dan melindungi lingkungan. Apakah bisa

menggunakan asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang sama dalam

hukum pidana yang menghukum orang perorang dengan pelaku

perusakan lingkungan yang notabene bukan dilakukan perorangan, yaitu

oleh korporasi? Kalaupun bisa, bagaimana cara pembuktiannya?

Bagaimana pejatuhan sanksi dan pemidanaannya? Dikategorkan sebagai

pidana apa kejahatan yang dilakukan oleh korporasi tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan kami coba bahas dalam makalah

singkat ini.

Perdebatan mengenai penggunaan hukum pidana dalam

perlindungan lingkungan pernah disampaikan oleh beberapa pakar.

Seperti pernah disampaikan oleh Michael Faure bahwa: Applying the

criminal law to environmental pollution has always been problematic due

to the structure of environmental legislation. The basic problem is that

environmental interest and values do not enjoy an absolute protection in

the law (such as is the case with traditional values protected by the

criminal law).1

Bagaimanapun juga, penyidikan serta pelaksanaan sanksi sanksi

pidana merupakan bagian akhir dari penegakan hukum. Hal yang perlu

ada terlebih dahulu adalah penegakan preventif seperti misalnya

pengawasan atas pelaksanaan peraturan (compliance)2 dalam bidang

administrasi.

1.2. POKOK PERMASALAHAN

Makalah ini akan dibagi ke dalam beberapa pembahasan sesuai

permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1 Faure , M . 2006 “Towards a new model of criminalization of environmental pollution: the case of Indonesia ”. in : M.Faure and N. Niessen . Environmental law in development lesson from Indonesia experience, page 1882 Harjasumantri, Kusnadi. Hukum Tata Lingkungan cet. Ke-18. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 399

2 | P a g e

Page 3: PENDAHULUAN (Autosaved)

1. Apakah kasus ini memenuhi persyaratan untuk dikatakan sebagai

tindak pidana korporasi dan apakah perbedaan antara tindak pidana

korporasi dengan penyertaan?

2. Apakah hakim mampu membedakan pidana umum dan pidana

khusus, serta delik materil dan delik formil?

3. Bagaimana pendapat hakim terkait dengan kausalitas dan

kesengajaan?

1.3. TUJUAN PENULISAN

Setiap orang tentu mempunyai tujuan dalam melakukan suatu hal,

tak terkecuali kami, dengan menulis makalah ini, penulis mempunyai

tujuan yaitu:

1. Mengetahui dan memahami apakah kasus ini memenuhi

persyaratan untuk dikatakan sebagai tindak pidana korporasi atau

tidak dan mengetahui perbedaan antara tindak pidana korporasi

dengan penyertaan.

2. Mampu membedakan yang mana pidana umum dan yang mana

pidana khusus, serta mana delik materil dan mana delik formil.

3. Memahami kasus dalam hal terkait dengan kausalitas dan

kesengajaan.

3 | P a g e

Page 4: PENDAHULUAN (Autosaved)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. KASUS POSISI

Berikut adalah kasus posisi dari kasus pencemaran Waduk Saguling

ini sampai dengan sidang pada Pengadilan Negeri Bale Bandung:

1. PT Senayan Sandang Makmur berdiri sejak tahun 1995 bergerak di

bidang usaha industri tekstil.

2. Terdakwa I adalah Rino Turino Chernawan, selaku Direktur Utama

PT Senayan Sandang Makmur yang bertugas melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan serta pengoperasian IPAL

(Instalasi Pengelolaan Air Limbah), mengontrol jalannya

perusahaan, mengambil kebijakan-kebijakan terkait instansi dan

melaporkan mengenai kegiatan operasional perusahaan kepada

pemilik.

3. Terdakwa II adalah Djuwito selaku Kepala Bagian Maintenance PT

Senayan Sandang Makmur sejak tahun 1996 hingga kasus

disidangkan bertugas sebagai kepala pelaksana pengolahan IPAL,

bertugas mengawasi pengolahan dan pembuangan limbah cair.

4. Bahwa sebagai akibat proses produksi PT Senayan Sandang

Makmur tersebut mengeluarkan limbah cair yang dibuang melalui

saluran yang mengalir ke selokan pasir paku yang arahnya menuju

ke Waduk Saguling.

5. Bahwa Terdakwa I memberi perintah kepada Terdakwa II untuk

membuat dan memasang saluran gorong-gorong dengan maksud

untuk melepaskan atau membuang limbah cair hasil produksi

dialirkan ke selokan pasir paku yang langsung mengalir menuju ke

Waduk Saguling tanpa melalui proses IPAL setiap saat terutama

kalau turun hujan padahal mereka Terdakwa mengetahui bahwa

membuang limbah cair secara langsung dapat mengakibatkan

pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup.

4 | P a g e

Page 5: PENDAHULUAN (Autosaved)

6. Bahwa oleh karena IPAL tidak dioperasikan, maka limbah cair yang

dibuang tersebut, melampaui baku mutu yang ditetapkan

berdasarkan SK Gubernur terhadap air limbah tersebut.

7. Bahwa oleh karena limbah cair PT Senayan Sandang Makmur yang

dialirkan ke Waduk Saguling tersebut diatas baku mutu,

mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan/ rusaknya

lingkungan hidup pada Waduk Saguling misalnya biota air atau

habitat makhluk hidup termasuk manusia yang berinteraksi

langsung dengan aliran air tersebut mengalami gatal-gatal serta air

tersebut tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.

8. Bahwa terdakwa dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan

tuntutan dalam bentuk primair subsidier yang terdiri dari:

- Primair : melanggar pasal 41 ayat (1) jo pasal

46 UU 23/1997 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP

- Subsidair : melanggar pasal 43 ayat (1) jo pasal

46 UU 23/1997 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP

- Lebih Subsidair : melanggar pasal 44 ayat (1) jo pasal

46 UU 23/1997 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP

- Lebih Subsidair Lagi :melanggar pasal 42 ayat (1) jo pasal

46 UU 23/1997 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP

9. Bahwa terdakwa I dan II pernah diperiksa oleh Penyidik Kepolisan

Daerah Jawa Barat, keduanya memberikan keterangan bahwa

mereka tidak mengetahui ada saluran air limbah By Pass dan ada

pipa yang bocor.

2.2. ANALISIS TERHADAP KUALIFIKASI KASUS: KEJAHATAN

KORPORASI ATAUKAH PENYERTAAN

Dalam prakteknya di Indonesia, berbicara mengenai korporasi

berkaitan erat dengan badan hukum, dan pada kenyataannya

kebanyakan badan hukum yang kita kenal di Indonesia adalah berbentuk

Perseroan Terbatas (PT).

Dalam dunia internasional sudah terdapat banyak pendapat ahli

atau doktrin mengenai tindak pidana atau kejahatan korporasi. Beberapa

5 | P a g e

Page 6: PENDAHULUAN (Autosaved)

diantaranya, menurut Black’s Law Dictionary, kejahatan korporasi

merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan oleh karena

itu dapat dibebankan pada suatu korporasi, karena aktivitas – aktivitas

dari pegawai atau karyawannya (seperti penerapan harga, pembuangan

limbah, dsb). Sally A. Simpson menyatakan bahwa secara garis besar ada

3 ide pokok3 mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan kejahatan

korporasi bukan hanya berupa tindak pidana saja melainkan termasuk

juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, subjek

hukum yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana korporasi

adalah badan hukumnya sendiri dan perwakilannya. Ketiga, motivasi atas

tindak pidana atau kejahatan korporasi yang dilakukan bukanlah semata –

mata untuk kepentingan perorangan melainkan untuk kepentingan dari

korporasi atau badan hukum tersebut.

Menurut Djoko Sarwoko, kejahatan korporasi adalah apabila

beberapa orang eksekutif telah melakukan perbuatan pidana baik atas

nama pribadi maupun atas nama korporasi yang dilakukan semata – mata

untuk kepentingan dan keuntungan korporasi. Kemudian menurutnya

dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatn korporasi terdapat 3

hal yang penting yaitu :

1. Pertanggungjawaban pidana korporasi

2. Sistem pemidanaan terhadap korporasi

3. Tehnik penyidikan yang efektif

Menurutnya secara fisik semua kegiatan korporasi diwakili oleh satu

atau beberapa eksekutif korporasi yang apabila suatu korporasi

melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana korporasi, hal tersebut

adalah perwujudan dari perbuatan eksekutifnya. Apabila ternyata para

eksekutif korporasinya terbukti telah melakukan tindak pidana walaupun

semata – mata untuk kepentingan korporasi, maka pribadi pelakunyalah

yang layak diminta pertanggungjawaban secara pidana bukanlah

korporasinya yang secara fisik tidak ada.

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sampai

sekarang berlaku di Indonesia hanya menetapkan bahwa yang menjadi

3 Simpson, Sally S. Corporate Crime, Law, and Social Control. 2002. Cambridge: Cambridge University Press

6 | P a g e

Page 7: PENDAHULUAN (Autosaved)

subjek dari tindak pidana adalah orang – perorangan. Hal tersebut

merupakan kelemahan, karena pada kenyataanya banyak badan – badan

hukum Indonesia yang melakukan tindak pidana atau kejahatan korporasi

dan mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Indonesia

sebagai negara hukum pun, belum pernah mencoba menutupi kelemahan

tersebut dengan merubah KUHPnya. Sementara di Belanda yang

merupakan asal – usul KUHP Indonesia, telah memperbaharui KUHPnya

sejak tanggal 23 Juni 1976, dimana di dalamnya terdapat Pasal 51 yang

menyatakan bahwa sebuah korporasi atau badan hukum dapat dijadikan

sebagai suatu subjek hukum pidana. Salah satu kelemahan KUHP

Indonesia yang disebutkan di atas telah ditutupi dengan terbitnya UU No.

7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana

Ekonomi, yang dalam Pasal 15 UU tersebut menyatakan bahwa suatu

korporasi atau badan hukum dapat menjadi suatu subjek hukum pidana.

Selain yang diatur pada UU tersebut pengaturan mengenai kejahatan atau

tindak pidana korporasi juga tersebar dalam berbagai peraturan

perundang – udanganan lainnya contohnya UU No. 11/PNPS/1964 tentang

Pemberantasan Subversi, UU No. 38/2004 tentang Jalan, dll.

Penyertaan

Penyertaan dalam hubungannya dengan tindak pidana diatur dalam

Pasal 55 sampai 56 KUHP dimana berdasarkan pasal-pasal tersebut,

penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu:

a. Pembuat/Dader (Pasal 55) yang terdiri dari:

1. pelaku (pleger)

2. yang menyuruh lakukan (doenpleger)

3. yang turut serta (medepleger)

4. penganjur (uitlokker)

b. Pembantu/Medeplichtige (Pasal 56) yang terdiri dari:

1. pembantu pada saat kejahatan dilakukan;

2. pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang

memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab

7 | P a g e

Page 8: PENDAHULUAN (Autosaved)

atas kejahatan. Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan

dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan

sebagai alat. Medepleger adalah orang yang dengan sengaja turut

berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Penganjur adalah

orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak

pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh

undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu,

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, atau

penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.

Pembantuan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, ada dua

jenis:

a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana

pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP.

b. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan

cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip

dengan penganjuran (uitlokking).

Berdasarkan kedua teori di atas mengenai kejahatan korporasi dan

penyertaan dalam tindak pidana, menurut penulis, tindak pidana yang

dituduh dilakukan oleh terdakwa yang terdapat dalam kasus pada

putusan No. 50/Pid.B/2004/P.N.B.B adalah berupa kejahatan atau tindak

pidana korporasi. Alasan kami menyatakan hal tersebut merupakan

kejahatan atau tindak pidana korporasi adalah karena menurut kami apa

yang terjadi dalam kasus tersebut memenuhi unsur – unsur kejahatan

atau tindak pidana korporasi yang dikemukakan oleh Djoko Sarwoko.

Unsur – unsur yang terpenuhi tersebut adalah :

1. Secara fisik semua kegiatan korporasi diwakili oleh satu

atau beberapa eksekutif korporasi.

Dalam kasus tersebut terdapat bahwa yang secara garis besar

terlibat dalam kegiatan pengolahan dan pelepasan limbah adalah

terdakwa I sebagai direktur utama, Bpk. Habinsaran Sagala sebagai

manager maintenance yang merupakan bawahan terdakwa I dan

atasan terdakwa II, serta terdakwa II yang bertanggungjawab dalam

8 | P a g e

Page 9: PENDAHULUAN (Autosaved)

bidang pengolahan limbah sebagai Kepala Pelaksana Pengolahan

IPAL yang ditunjuk secara lisan oleh Bpk. Habinsaran Sagala.

2. Apabila suatu korporasi melakukan suatu kejahatan atau

tindak pidana korporasi, hal tersebut adalah perwujudan

dari perbuatan eksekutifnya.

Pada kasus tersebut para pihak yang terlibat sudah mengetahui

bahwa limbah yang dihasilkan melebihi batas baku mutu yang

diperbolehkan sesuai dengan SK Gubernur Jawa Barat No. 39/2000.

Namun, mereka tetap mengalirkan limbah tersebut tanpa diproses

terlebih dahulu melalui gorong – gorong yang pada akhirnya akan

menuju pada Waduk Saguling. Akibatnya air pada waduk tersebut

menjadi tercemar dimana biota airnya mati semua, akan

mengakibatkan gatal – gatal bagi manusia yang mengalami kontak

langsung dengan air tersebut, dan air tersebut tidak lagi berfungsi

sebagaimana mestinya.

3. Apabila ternyata para eksekutif korporasinya terbukti telah

melakukan tindak pidana walaupun semata – mata untuk

kepentingan korporasi, maka pribadi pelakunyalah yang

layak diminta pertanggungjawaban secara pidana bukanlah

korporasinya yang secara fisik tidak ada

Dalam kasus ini dengan tidak dilakukannya pemrosesan limbah

dengan IPAL oleh PT. Senayan Sandang Makmur maka biaya yang

seharusnya dikeluarkan untuk pemrosesan tersebut tidaklah

dikeluarkan dan menyebabkan menurunnya total pengeluaran yang

dikeluarkan oleh PT. Senayan Sandang Makmur. Jadi terlihat bahwa

tindakan yang dilakukan oleh terdakwa I, Bpk. Habinsaran Sagala,

dan terdakwa II merupakan semata – mata untuk kepentingan PT.

Senayan Sandang Makmur. Oleh karena itu terpenuhilah unsur yang

disebut di atas, sehingga pihak – pihak yang seharusnya dapat

dimnta pertanggungjawabannya adalah ketiga pihak yang disebut di

atas dengan mengacu pada tuntutan primair dan subsidair, dimana

mereka telah melanggar Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 46 UU No.

9 | P a g e

Page 10: PENDAHULUAN (Autosaved)

23/1997 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP serta melanggar Pasal 43 ayat

(1) jo Pasal 46 UU No. 23/1997 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Kesimpulannya, tim penulis setuju bahwa tindak pidana dalam

kasus merupakan kejahatan atau tindak pidana korporasi karena telah

memenuhi unsur – unsur yang telah disebut di atas berdasarkan pendapat

ahli Djoko Sarwoko mengenai tindak pidana korporasi.

Kasus ini sebenarnya dapat diproses oleh penyidik dengan dua cara,

yaitu dengan jalur pemidanaan korporasi atau dengan membuktikan

adanya penyertaan saja. Apabila dilihat dari fakta persidangan yang ada

memang lebih mudah untuk dibuktikan unsur penyertaan pidananya.

Tetapi, menurut kelompok kami kasus ini lebih tepat jika ditempatkan

sebagai kasus pidana korporasi, mengingat adanya unsur tindak pidana

korporasi dan adanya ancaman yang besar terhadap lingkungan.

2.3. ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MENGENAI PEMBUKTIAN

UNSUR-UNSUR SANKSI PIDANA

Dalam kasus waduk saguling jaksa penuntut umum membuat jenis

tuntutan dengan bentuk berlapis, dimana jaksa penuntut umum

melakukan tuntutan kepada terdakwa dimana apabila tuntutan yang

pertama (primair) tidak terpenuhi maka terdakwa tidak langsung bebas

karena masih ada tuntutan selanjutnya (subsidair) dan seterusnya ada

tuntutan yang dibawah lagi. Dengan menggunakan jenis tuntutan ini

maka terdakwa tidak dapat mudah bebas dari tuntutan penuntut umum.

Dalam hukum pidana terdapat dua jenis delik yaitu delik umum dan

delik khusus. Delik umum adalah delik yang pengaturannya sudah diatur

didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sedangkan delik khusus

adalah delik yang pengaturan di luar KUHP dan diatur didalam Undang-

Undang tersendiri. Contoh dari delik umum adalah pembunuhan,

pencurian, penganiayaan dan sebagainya, sedangkan contoh dari delik

khusus adalah tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan

tindak pidana pencemaran lingkungan.

10 | P a g e

Page 11: PENDAHULUAN (Autosaved)

Selain itu delik dalam hukum pidana dapat juga dibedakan menjadi

delik materiil dan delik formil. Delik materiil adalah delik yang dilihat dari

akibat yang ditimbulkan dari perbuatan subjek hukum. Sedangkan delik

formil adalah delik yang dilihat dari perbuatan subjek hukum tersebut.

Didalam tuntutannya, jaksa penuntunt umum menuntut terdakwa

dengan 4 tuntutan dalam bentuk primair subsidier. Tuntutan terdiri

dari:

- Primair : melanggar pasal 41 ayat (1) jo pasal 46 UU

23/1997 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP

- Subsidair : melanggar oasal 43 ayat (1) jo pasal 46 UU

23/1997 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP

- Lebih Subsidair : melanggar pasal 44 ayat (1) jo pasal 46 UU

23/1997 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP

- Lebih Subsidair Lagi :melanggar pasal 42 ayat (1) jo pasal 46 UU

23/1997 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP

Berikut ini akan kami uraikan unsur unsur pidana dari pasal-pasal yang

dituntut oleh jaksa penuntut umum kepada terdakwa.

1. Pasal 41 UU 23/1997:

- Barang siapa: Mengatur mengenai subjek hukum yang melakukan

tindak pidana. Dalam kasus yang melakukan tindak pidana adalah Rino

Turino Cenawan selaku dirut PT SSM dan Djuwito sebagai kepala

bagian maintenance PT. SSM mereka berdua bertindak mewakili PT

SSM. Sehingga pada kasus subjk hukumnya adalah badan hukum.

Unsur ini terpenhi

- Secara melawan hukum melakukan perbuatan yang

menyebaban kerusakan lingkungan. Perbuatan yang dimaksud

disini adalah tidak melakukan Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL)

dan membuang limbah ke waduk saguling dimana limbah tersebut

memiliki baku mutu lingkungan diatas yang seharusnya.

Dalam SK guberbur Jabar No. 6 tahun 1999 baku mutu yang

diperkenankan adalah :

a. Pada saluran inlet : BOD-5 hasilnya 65 ppm seharusnya 60 ppm

11 | P a g e

Page 12: PENDAHULUAN (Autosaved)

COD hasilnya 170 ppm seharusnya 150 ppm

TSS hasilnya 48 ppm seharusnya 50 ppm

PH 8,2 seharusnya 6,0-9,0

b. Pada saluran outlet : BOD-5 hasilnya 61 ppm seharunya 60 ppm

COD hasilnya 162 ppm seharusnya 150 ppm

TSS hasilnya 98 ppm seharusnya 50 ppm

PH 8,2 seharusnya 6,0 – 9,0

Apabila kita lihat dari cara penjabaran pasal 41 tersebut, maka pasal

ini adalah kejahatan umum dimana memiliki delik Materil dan

hukumannya lebih berat dibandingkan delik khusus, pengaplikasian

kejahatan umum menitikberatkan pada akibat aktual yaitu menyebabkan

pencemaran. Dalam rangka pembuktiannya yang dilihat adalah akibat dari

suatu perbuatan hukum tersebut apakah ada pencemaran atau tidak.

Dalam kasus akibat dari suatu perbuatan adalah terjadinya pencemaran

lingkungan di Waduk Saguling. Apabila hanya dilihat dari akibat

perbuatannya memang terjadi pencemaran lingkungan namun sulit

dibuktikan apakah pencemaran lingkungan tersebut adalah akibat yang

ditimbulkan oleh PT SSM karena tidak melakukan IPAL. Baku mutu

lingkungan sebagai indikator untuk menentukan apakah Waduk Saguling

tercemar berbeda dengan baku emisi yang merupakan instrumen hukum

administrasi, konsekuensinya, pembuktian adanya pencemaran karena

aktivitas PT SSM akan semakin sulit. Dalam penelitian yang dilakukan oleh

saksi sugiantoro dan 4 anggota polri, diterangakn bahwa memang PT SSM

mengeluarkan limbah yang melebihi emisi yang diperbolehkan untuk

dikeluarkan. Dan apabila kita hanya melihat dari limbah yg dikeluarkan

oleh PT SSM saja maka memang PT SSM terbukti melakukan pelanggaran

administrasi. Dikarenakan dalam Perbuatan melawan hukum di hukum

pidana yang dapat dijadikan dasar penuntutan dibagi menjadi 2 jenis PMH

menurut pendapat Pompe, PMH formil dan PMH materil. Jika sebuah

perbuatan dianggap sebagai tindak pidana karena adanya PMH materil

saja (seperti pendapat Pompe), maka pasal 41 dan 42 adalah

“administratively independent crimes” . Apabila mengikuti pendapat

12 | P a g e

Page 13: PENDAHULUAN (Autosaved)

Pompe pasal ini tidak memperhatikan terjadinya pelanggaran administrasi

yang ditetapkan atau tidak (pelanggaran baku mutu emisi pabrik), selama

ada akibat dari perbuatan PT.SSM yang menimbulkan pencemaran

lingungan maka pasal ini dapat diterapkan. Harus dibuktikan bahwa di

selokan pasir paku hanya PT SSM yang membuang limbah. Namun

faktanya dalam kasus bukan hanya PT SSM yang membuang limbah di

selokan pasirpaku. Karena masih ada PT lain dan juga ditemukan imbah

rumah tangga di jalur pembuangan limbah PT SSM. Jadi tuntutan ini

pembuktiannya lemah, karena meskipun limbah PT. SSM melebihi baku

mutu emisi namun tidak dapat dipastikan pelanggaran administrasi

tersebut berakibat pencemaran lingkungan.

Kelemahan cara penerapan dari pasal ini juga sudah di bahas dalam

jurnal yang dibuat oleh Michael Faure yang mengatakan“in sum, this

provision may play some role, but it will be extremely difficult to apply.

Given its focus on intent, unlawfulness and environmental pollution. It can

be effectively only be applied in exceptional cases where someone

intentionally breaches the law and where it is clear that his or her action

has resulted in environmental pollution and/or damage. These cases may

be very rare and

therefore this provision is certainly not capable of catching the major

cases of

environmental pollution where someone simply violates the conditions of

a licence and therefore emits illegally into soil, water or air”4 Jadi

penerapan dari pasal 41 sulit untuk dilakukan karena harus dapat

dipastikan bahwa terjadinya pencemaran lingkungan memang merupakan

akibat yang muncul dari satu pencemar saja, dalam hal ini PT.SSM harus

merupakan satu satunya pihak yang membuang limbah di pasir paku.

2. Pasal 43 uu 23/1997

- Dengan melanggar ketentuan yang berlaku, dalam kasus PT. SSM

dalam melakukan pembuangan limbah tidak melakukan proses IPAL

4Faure , M . 2006 “Towards a new model of criminalization of environmental pollution: the case of Indonesia ”. in : M.Faure and N. Niessen . Environmental law in development lesson from Indonesia experience, page 205

13 | P a g e

Page 14: PENDAHULUAN (Autosaved)

yang seharusnya wajib dilakukan bagi setiap kegiatan usaha yang

menghasulkan limbah cair.

- Sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau

komponen lain yang berbahasa dan beracun masuk diatas atau

kedalam tanah udara dan air. Dalam kasus dikatahui bahwa PT.

SSM membuang limbah cairnya yang tidak melalui proses IPAL

terlebih dahulu padahal alat yang digunakan untuk melakukan IPAL

sedang rusak. Dengan kata lain pembuangan limbah tersebut bebas

dari unsur kekhilafan dan pembuangan limbah tersebut memang

dilakukan dengan sengaja.

- Padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa

perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum

dan nyawa orang lain. Dalam kasus PT. SSM seharusnya sudah

mengetahui bahwa limbah cair yang dikeluarkan oleh perusahaannya

tanpa melakukan proses IPAL terlebih dahulu dapat menyebabkan

pencemaran lingkungan

Dalam putusan hakim, tuntutan subsidair ini dinilai tidak dapat

dikualifikasi bahwa dengan sengaja membuang zat berbahaya ke

lingkungan hidup. Akan tetapi menurut pendapat kelompok kami,

seharusnya sudah dapat dibuktikan dalam kesaksian bahwa peralatan

untuk melakukan IPAL yang dimiliki PT SSM tidak dapat berfungsi

dengan baik. Sehingga menurut pendapat kelompok kami, seharusnya

PT SSM dapat menghentikan sementara proses produksinya sampai

peralatan untuk melakukan IPAL dapat berfungsi dengan baik. Fakta

bahwa mereka tetap melakukan pembuangan limbah, menunjukkan

adanya unsur kesengajaan dalam pembuangan limbah tersebut. Maka

alasan hakim tentang unsur ketidaksengajaan tidak dapat dibuktikan.

Menurut kelompok kami, hakim juga tidak mengetahui bahwa pasal

43 UU 23/1997 adalah kejahatan khusus yang salah satu ciri-cirinya

adalah merupakan delik formil. Dengan delik formil tersebut maka

yang seharusnya dibuktikan adalah ada atau tidaknya perbuatan yang

disebutkan didalam pasal tersbut. Pasal tersebut menyatakan tidak

14 | P a g e

Page 15: PENDAHULUAN (Autosaved)

boleh melepaskan atau membuang zat atau komponen lain yang

berbahaya kedalam lingkungan dengan sengaja. Karena unsur

kesengajaan sudah dapat dibuktikan maka yang seharusnya

dibuktikan lagi adalah perbuatan melepaskan zat berbahaya tersebut.

Karena PT SSM sudah terbukti membuang zat tersebut kedalam

selokan pasirpaku maka unsur-unsur dalam pasal ini dapat dibuktikan

dan dapat digunakan sebagai dasar penuntutan. Salah satu ciri lain

dari kejahatan khusus adalah ”administrative dependent Crime”

dimana suatu perbuatan dianggap sebuah pidana apabila melanggar

ketentuan administratif. Dalam kasus sudah terbukti bahwa limbah

yang dikeluarkan PT.SSM melewati batas limbah yang boleh

dikeluarkan menurut SK guberbur Jabar No. 6 tahun 1999, sehingga

memang terjadi pelanggaran administrasi. Meskipun belum dapat

dibuktikan bahwa pencemaran waduk saguling tersebut adalah akibat

dari limbah yang dikeluarkan PT.SSM karena banyak pabrik lain yang

membuang disana serta ada limbah rumah tangga. Pasal 43 ini adalah

delik formil sehingga yang dilihat bukan akibatnya tapi adanya

perbuatan yang disinyalir dapat menimbulkan pencemaran akibat dari

pelanggaran administratif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kami

tidak sependapat dengan keputusan hakim yang menyatakan bahwa

pasal ini tidak dapat digunakan sebagai dasar tuntutan. Kelompok

kami berpendapat bahwa tuntutan subsidair ini dapat diterima

sehingga pelaku seharusnya dapat dihukum pidana penjara maksimal

6 tahun dan denda maksimum 300 juta, menurut ketentuan pasal 43

uu 23/1997. Namun penggunaan pasal ini juga terdapat kendala

karena harus bergantung dari pelanggaran administrasi, padahal

terdapat kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan meskipun

baku mutu emisi dari suatu perusahaan tidak melanggar ketentuan

administrasi.

Dikarenakan menurut kelompok kami dakwaan subsidair sudah dapat

dibuktikan semua unsur-unsurnya,maka dakwaan berlapis lainnya

yang berada di bawah dakwaan subsidair sudah tidak perlu dibuktikan

unsur-unsurnya. Dan terhadap terdakwa dapat dikenakan pasal 43 UU

15 | P a g e

Page 16: PENDAHULUAN (Autosaved)

23/1997 dengan ancaman hukuman penjara maksimal 6 tahun dan

denda maksimal 300 juta.

Dalam kasus pertimbangan hakim yang menggunakan pasal 44 UU

23/1997 dengan pertimbangan kealpaan yang didasarkan pada hukum

pidana adalah sikap tidak hati-hati, tidak melakkan perbuatan-

perbuatan pencegahan yang seyogyanya dilakukan atau ceroboh. Hal

tersebut berarti hakim menggunakan delik umum.karena

menggunakan ketentuan dari KUHP. Akan tetapi kasus ini seharusnya

didasarkan pada ketentuan hukum pidana lingkungan yang notabene

adalah delik khusus. Kealpaan didalam hukum lingkungan berbeda

dengan kealpaan yang diatur dalam KUHP. Kealpaan dalam hukum

lingkungan jika dilihat dalam teori baku mutu lingkungan adalah,

adalah jika subjek terkait telah melakukan perbuatan administrasi agar

limbah yang dikeluarkan sesuai baku mutu emisi. Namun ketika limbah

dilepas ke lingkungan tetap terjadi pencemaran lingkungan. Dalam

kasus kelompok kami beranggapan bahwa hakim salah mengartikan

makna kealpaan, dan jika pasal ini diterapkan malah tuntutan tidak

dapat dikabulkan. Dikarenakan perbuatan PT. SSM bukanlah kealpaan

melainkan adalah kesengajaan seperti yang sudah dijelaskan diatas.

Sehingga kelompok kami menyimpulkan bahwa hakim melakukan

miskonsepsi dalam penggunaan kealpaan dalam pasal ini.

2.4. ANALISIS KRITIS PENDAPAT HAKIM MENGENAI KAUSALITAS

DAN KESENGAJAAN

Kasus pencemaran lingkungan pada Waduk Saguling merupakan

salah satu kasus pencemaran yang dilakukan oleh sebuah badan hukum.

Namun apakah pencemaran lingkungan pada waduk saguling memang

diakibatkan oleh kesalahan dari badan hukum tersebut atau disebabkan

oleh hal yang lain.

Dalam hal ini hakim berpendapat bahwa PT. Senayang Sandang Makmur

memang merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran di

waduk saguling. Hal ini didasarkan pada pasal 44 ayat 1 jo pasal 46 UU 23

16 | P a g e

Page 17: PENDAHULUAN (Autosaved)

tahun 1997, dimana hakim berpendapat bahwa PT. Senayang Sandang

Makmur telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut. Dimana PT.

Senayang Sandang Makmur telah melakukan perbuatan tidak hati-hati

yaitu:

Tidak segera menutup saluran yang menyebabkan adanya aliran

limbah yang langsung menuju selokan Desa pasirpaku

Tidak segera membuat saluran tersendiri air limbah rumah tangga

yang melalui lokasi PT. Senayang Sandang Makmur sehingga

bercampur dengan limbah PT. Senayang Sandang Makmur

Tidak segera memperbaiki IPAL (Intsalasi pengelolahan air limbah)

yang ada sehingga dapat menampung dan memproses seluruh

limbah yang ada/ mengalir ke PT. Senayang Sandang Makmur

Dimana seharusnya manajemen PT. Senayang Sandang Makmur

menyadari bahwa beberapa unsur kimia yang terbuang seperti BOD.5,

COD, TSS secara komulatif akan berbahaya bagi bagi biota dan biologi

sekitar Desa pasir paku yang pada ujungnya akan merusak lingkungan

waduk saguling dan membahayakan kesehatan masyarakat disekitarnya.

Dari pendapat hakim dapat ditentukan bahwa tindakan tidak hati-

hati yang dilakukan PT. Senayang Sandang Makmur merupakan penyebab

dari kerusakan lingkungan di Waduk Saguling.

Untuk memastikan suatu sebab dari suatu peristiwa pidana, kami

menggunakan ajaran kausalitas yaitu sebab menyebab antara masing-

masing peristiwa sosial. Dimana Ajaran kausalitas ini adalah ajaran yang

mempermasalahkan hingga seberapa jauh sesuatu tindakan itu dapat

dipandang sebagai penyebab dari sesuatu keadaan atau hingga berapa

jauh sesuatu keadaan itu dapat dipandang sebagai suatu akibat dari

sesuatu tindakan, dan sampai dimana seseorang yang telah melakukan

tindaka tersebut dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum

pidana. Dalam hal ini bisa diilustrasikan sebagai berikut “Muncul suatu

akibat (Kerusakan lingkungan) pertanyaan (apa sebab Kerusakan

lingungan)”. Dimana ajaran kausalitas diperlukan apabila terdapat pada

delik yang mensyaratkan adanya akibat dari salah satu delik dibawah ini:

17 | P a g e

Page 18: PENDAHULUAN (Autosaved)

a. Delik Materil

Kesempurnaan delik tergantung pada terjadinya akibat yang

diamanatkan UU

b. Delik yang Dikualifisir

Suatu delik yang mempunyai suatu unsur bentuk dasar, tetapi

terdapat penambahan unsur-unsur yang memperberat pidana

Dibutuhkan ajaran kausalitas untuk mencari tahu sejauh mana

seseorang bertanggung jawab atas suatu akibat yang timbul karena

perbuatannya

c. Delik Omisi Tidak Murni

Seseorang melanggar suatu larangan dilakukan secara pasif

co : penjaga kereta yang seharusnya menutup palang pintu kereta

api malah tidak ditutup

Dalam kasus ini PT. Senayan Sandang Makmur telah memenuhi syarat

Delik materil yaitu dikarenakan kesempurnaan delik terjadi akibat yang

diamanatkan Undang-Undang. Dimana delik pada pasal 44 ayat 1 jo pasal

46 UU 23 tahun 1997 baru akan terpenuhi secara sempurna blai akibat

yang ditentukan oleh Undang-undang terjadi yaitu terjadi kerusakan atau

pencemaran lingkungan hidup. Selain itu pasal 44 ayat 1 jo pasal 46 UU

23 tahun 1997 juga memenuhi delik omisi tidak murni, hal ini

dikarenakan pelaku dalam hal ini PT. Selayang Sandang Makmur tidak

melakukan kewajibannya yang dibebankan padanya dan dengan itu

menciptakan suatu akibat yang sebenarnya tidak boleh ia ciptakan

dimana ia sekaligus melanggar suatu larangan dan perintah undang-

undang(diamana PT. Selayang Sandang Makmur tidak melakuan

kewajibannya untuk mengelola dan mengolah air limbah dari usahanya

dengan baik sehingga terjadi pencemaran di waduk saguling yang

seharusnya tidak terjadi bila ia melakukan kewajibannya dengan baik.

Berdasarkan ajaran-ajaran kausalitas, apabila ditelusuri faktor-faktor

PT. Senayang Sandang Makmur melaukan tindakan pencemaran

lingkungan hidup di waduk saguling ialah bahwa terjadi kelalaian yang

dilakukan PT. Senayang Sandang Makmur seperti yang sudah dijelaskan

diatas.

18 | P a g e

Page 19: PENDAHULUAN (Autosaved)

1. Ajaran teori Conditio sine qua non

Menurut ajaran ini bahwa sebab semua faktor-faktor yang ada

adalah merupakan rangkaian yang saling berhubungan. Dimana

tindakan yang dilakukan PT. Senayang Sandang Makmur

disebabkan faktor-faktor kelalaian yang dilakukan oleh para

terdakwa sebagai Direktur Utama dan kabag maintenance PT.

Senayang Sandang Makmur sehingga IPAL tidak berjalan dengan

semana dimaksudkan.

Dalam hal ini semua faktor adalah bahwa semua faktor

berkaitan dengan akibat yang timbul. Sehingga dalam kasus ini

faktor-faktor tersebut dapat menjadi dasar agar para terdakwa

dihukum.

2. Teori mengindividualisir

Karl Binding dalam teorinya mengatakan bahwa faktor

penyebab adalah faktor yang terpenting dan seimbang dengan

akibat yang timbul. Bahwa dalam peristiwa yang menimbulkan

akibat, akibat itu terjadi oleh karena faktor yang menyebabkan

timbulnya akibat lebih unggul dari pada faktor yang negatif atau

faktor yang bertahan/ meniadakan akibat.

Menurut teori mengindividualisir ini bahwa, yang dilihat adalah

tindakan konkrit atau nyata yang menimbulkan akibat. Maka dilihat

pada peristiwa tersebut tindakan PT. Senayang Sandang Makmur

yang membiarkan IPAL nya tidak diperbaiki dan tidak segera

menutup saluran yang menyebabkan adanya aliran limbah yang

langsung menuju selokan Desa pasirpaku sebagai sebab

pencemaran lingkungan hidup di waduk saguling.

3. Teori menggeneralisir

Teori ini menganut ajaran pembatasan, mendasarkan

penelitiannya kepada fakta sebelum delik terjadi, yaitu fakta yang

pada umumnya menurut perhitungan yang layak, dapat dianggap

sebagai yang menimbukan akibat tersebut.

Pada peristiwa pencemaran di waduk saguling yang

dilakukan oleh PT. Senanyang Sandang Makmur dimana padanya

19 | P a g e

Page 20: PENDAHULUAN (Autosaved)

didakwakan telah melanggar Pasal 44 ayat 1 jo pasal 46 UU 23

tahun 1997. Bila saja PT. Senayang Sandang Makmur melakukan

pencemaran lingkungan secara sengaja maka kemungkinan PT.

Senayang Sandang Makmur dapat didakwa dengan Pasal 44 ayat 1

jo pasal 46 UU 23 tahun 1997.

Untuk menelaah peristiwa tersebut, teori menggeneralisir ada

beberapa teori:

a. Teori adequat subjektif atau teori keseimbangan subjektif.

Menurut teori ini bahwa peristiwa/ kelakuan yang timbul

adalah kelakuan yang menurut perhitungan yang layak seimbang

denganakibat tersebut. Sedang yang dimaksud dengan

perhitungan yang layak ialah peristiwa yang diketahui atau yang

harus diketahui oleh pelaku. Dalam halini unsur kesalahan

dihubungkan dengan kesengajaan terhadap akibat yang

ditimbulkan.

Bila mana akibat yang terjadi itu tidak dikehendaki oleh

PT. Senayang Sandang Makmur untuk terjadi maka terhadap

pelaku benar telah melakukan tindak pidanat secara

tidaksengaja atau dikarenakan kelalaian sebagaimana yang

dimaksud pada pasal 44 ayat 1 jo pasal 46 UU 23 tahun 1997.

b. Teori adequat objektif atau keseimbangan objektif

Dalam teori ini, tentang bagaimana alam pikiran/batin

si pembuat tidaklah penting , melainkan kenyataan objektif

perbuatan itu apakah menurut akal dan dapat dipikirkan untuk

menimbulkan akibat. Perhitungan layak dalamteori ini bukan

hanya apa yang diketahui oleh pelaku , tetapi juga apa yang

diketahui oleh hakim.

Kesimpulannya bahwa memang benar bahwa PT. Senayang Sandang

Makmur merupakan penyebab dari pencemaran lingkungan pada waduk

saguling .

Penerapan ajaran-ajaran kausalitas (sebab-akibat) dalam praktek, adalah

lebih serasi jika disesuaikan dengan perkembangan hukum yang hidup

dalam masyarakat. Artinya secara kasuistis diadakan keseimbangan

20 | P a g e

Page 21: PENDAHULUAN (Autosaved)

antara kesadaran hukum perorangan atau kelompok masyarakat tertentu

dengan masyarakat pada umumnya, dan berpedoman pada ajaran

conditio sine qua non, teori umum keseimbangan dan teori khusus secara

seimbang.

Saran yang kami sampaikan lewat makalah ini bahwa walaupun

undang-undang berusaha membatasi perumusan sebab dan akibat, untuk

kebutuhan dalam praktek hukum sehari-hari, perluasan atau penyempitan

dari hal-hal yang dipandang sebagai sebab atau akibat sebisa mungkin

diminimalisir. Untuk itu haruslah selalu diperhatikan mengenai kepastian

hukum dalam arti tidak boleh menyimpang dari undang-undang yang

dipadukan dengan kesadaran hukum masyarakat yang masih hidup.

Meskipun tidak adanya penentuan ajaran-ajaran mana yang mutlak

dipakai dari sekian banyak ajaran. Kiranya penggunaan ajaran-ajaran

tersebut tentulah harus dengan itikad baik untuk mencapai tujuan hukum

dan terciptanya keseimbangan antara keadilan dan ketertiban.

2.4. PENERAPAN ASAS SUBSIDIARITAS TERHADAP KASUS

PENCEMARAN DI INDONESIA

Penegakan hukum lingkungan yang mengedepankan model

pidana administratif didasarkan pada sulitnya membuktikan tindak

pidana lingkungan hidup dan banyaknya industri atau kegiatan usaha

yang mendapat izin dari pemerintah ternyata melakukan pencemaran

atau perusakan lingkungan hidup. Sanksi yang diberikan lebih

ditekankan kepada penjatuhan pidana denda daripada menjatuhkan

pidana penjara.

Regulator telah menyatakan bahwa asas subsidiaritas akan tetap

dipertahankan, dan bahkan semakin dipertegas. Seperti diketahui,

asas subsidiaritas adalah asas yang menyatakan bahwa hukum pidana

seyogyanya digunakan sebagai langkah akhir. Asas yang termuat pada

bagian penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup (PLH) ini, mensyaratkan tiga hal yang harus

terpenuhi sebelum hukum pidana diterapkan. Ketiga syarat itu adalah

21 | P a g e

Page 22: PENDAHULUAN (Autosaved)

sanksi bidang hukum lain tidak efektif, tingkat kesalahan pelaku atau

akibatnya relatif besar, dan menimbulkan keresahan masyarakat.

Ketiga syarat itu lah yang harus diuji sebelum menerapkan

hukum pidana dalam kasus ini.

1. Sanksi hukum lain yang tidak efektif. Dalam kasus ini sanksi lain

yang digunakan adalah hukum administrasi. SK Gubernur yang

mengatur tentang limbah yang dibuang itu harus dilihat apakah

terdapat sanksi atau tidak. Kemudian dilihat apakah PT Senayang

Sandang Makmur ini sudah ditindak apa belum karena melanggar

ketentuan. Seandainya PT Senayan Sandang Makmur belum ditindak

dengan menggunakan hukum administrasi, maka penegakan hukum

pidana belum tepat untuk diterapkan.

2.Tingkat kesalahan pelaku atau akibatnya yang besar. Pelaku

memang telah membuat kesalahan yang besar, yaitu dengan tidak

menerapkan IPAL pada saat membuang limbah hingga dapat

mencemarkan Waduk Saguling. Sehingga tidak diragukan lagi

tentang kesalahan dari pelaku ini. Hal menarik yang kami lihat

adalah akibatnya, bahwa apakah benar kesalahan pelaku ini telah

menyebabkan kerusakan lingkungan yang besar. Bukan menjadi

rahasia umum lagi bahwa dalam satu sungai bisa terdapat beberapa

pabrik yang membuang limbah ke dalamnya. Dengan demikian

peluang perusahaan lain juga besar untuk dapat mencemari Waduk

Saguling ini. Jadi, seandainya hanya PT Senayan Sandang Makmur

saja yang diproses ke Pengadilan, hal ini tidak adil karena

perusahaan lain tidak disidik dan disidangkan juga.

3. Menimbulkan keresahan masyarakat. Keresahan masyarakat

adalah suatu keadaan dimana masyarakat mengalami perasaan

tertekan akibat adanya suatu ancaman yang besar. Dalam kasus ini

bisa saja terjadi keresahan masyarakat yang dimaksud, sebab

Waduk Saguling adalah sumber kehidupan masayarakat dalam arti

menjadi sumber air minum, sumber irigasi, penyerapan air dan

fungsi penting lain. Apabila Waduk Saguling yang luas itu tercemar,

tentu masyarakat sekitar akan merasa resah.

22 | P a g e

Page 23: PENDAHULUAN (Autosaved)

Melihat bahwa syarat satu belum terpenuhi dan syarat dua yang

masih sulit dibuktikan, kami menganggap bahwa sebenarnya

seharusnya kasus ini harus dibawa ke ranah hukum administrasi

terlebih dahulu, yaitu dengan menerapkan sanksi administrasi yang

ada pada SK Gubernur Jawa Barat tentang air limbah.

Guru Besar Hukum Lingkungan dari Universitas Padjajaran Prof.

M. Daud Silalahi mengungkapkan, UU PLH mengadopsi asas

subsidiaritas dari Primary Jurisdiction Doctrine yang dianut oleh

negara-negara penganut sistem hukum common law. Pertimbangan

dimasukkannya asas ini dalam UU PLH adalah terkait karakteristik

dasar kasus-kasus lingkungan yang sangat bergantung pada penilaian

keahlian. Kasus lingkungan sulit untuk dijabarkan secara hukum

apabila tidak dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan ilmiah.

Dalam sistem hukum Amerika, kasus lingkungan bahkan disebut

sebagai “It’s more technical rather than legal issue.”

Prof. M. Daud Silalhi berpendapat bahwa asas subsidiaritas masih

layak dan relevan untuk dipertahankan. Dia membantah anggapan

yang mengatakan bahwa asas ini menunjukkan keberpihakan kepada

kepentingan bisnis. Asas subsidiaritas justru dimaksudkan agar

penyidik lebih hati-hati dalam penanganan kasus lingkungan, agar

kasusnya kuat dan dapat dimenangkan. Asas subsidiaritas akan tetap

dipertahankan, namun pengaturannya akan diperjelas dan lebih

komprehensif yaitu dimuat dalam batang tubuh dan penjelasan pasal;

sehingga dalam penerapannya hakim tidak memiliki multitafsir.

Berbeda dengan Prof. M. Daud Silalahi, Mas Achmad Santosa, peneliti

senior Indonesian Center for Environmetal Law (ICEL) memandang

perlu menghilangkan asas subsidiaritas dalam hukum lingkungan. Asas

subsidiaritas menurutnya sudah old-fashion (kuno). Belanda pun juga

demikian, karena dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat,

pengungkapan kejahatan korporasi tidak bisa lagi menggunakan asas

subsidiaritas.

Dalam jurnal yang dikemukakan M. Faure (2006) diketahui

23 | P a g e

Page 24: PENDAHULUAN (Autosaved)

bahwa penegakan hukum lingkungan di Belanda sangat

mengedepankan model pidana administratif. Latar belakang kebijakan

hukum pidana yang demikian didasarkan pada kenyataan sulitnya

pembuktian tindak pidana lingkungan hidup seperti yang saat ini

dihadapi oleh Indonesia. Oleh karena itu, dibuatlah peraturan yang

mengkriminalisasi tindakan-tindakan administrasi yang dianggap

melanggar hukum.

Latar belakang lain adalah banyaknya industri atau kegiatan usaha

yang mendapat izin dari pemerintah ternyata melakukan pencemaran

atau perusakan lingkungan hidup. Sebenarnya ini merupakan akar

permasalahan lingkungan hidup pada saat ini. Para pelaku bisnis

merasa tidak bersalah disebabkan ia telah mendapat izin dari

pemerintah. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, mengapa

mereka mendapatkan izin, padahal salah satu syarat untuk mendapat

izin usaha adalah adanya rekomendasi tentang analisis mengenai

dampak lingkungan termasuk didalamnya juga mengenai rencana

pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan

(RPL). Pertanyaan lebih lanjut: Apakah AMDAL yang disusun tersebut

sudah benar atau ternyata fiktif? Apakah pemerintah tidak memeriksa

kebenaran AMDAL tersebut? Jika AMDAL-nya benar, apakah

pemerintah melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan AMDAL

tersebut? Jika ternyata RKL dan RPL tidak dilaksanakan, apakah

pemerintah telah melakukan tindakan berupa sanksi adminsitrasi

kepada pelaku?

Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan terkait

pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikriminalisasi sekalipun

sepintas terlihat sebagai perbuatan administratif. Tentu saja, sanksi

yang diberikan lebih ditekankan kepada penjatuhan pidana denda

daripada menjatuhkan pidana penjara.

Model penegakan hukum dengan mengoptimalkan penerapan

pidana administrasi ini memiliki banyak keuntungan. Antara

lain:5

5 http://azamul.wordpress.com/2007/07/04/asas-subsidiaritas-dalam-uu-pokok-lingkungan-hidup-plh/

24 | P a g e

Page 25: PENDAHULUAN (Autosaved)

1. akan memudahkan bagi penegak hukum dalam melakukan

pembuktian perkara disebabkan bentuk rumusan delik yang

dibuat pada umumnya adalah delik formil;

2. Pada hakikatnya ketika perbuatan-perbuatan dalam rangka

persiapan untuk melakukan perbuatan pencemaran dan atau

perusakan lingkungan hidup dikriminalisasi menjadi suatu

perbuatan pidana yang berdiri sendiri, maka kita telah selangkah

lebih maju dalam mencegah terjadinya pencemaran dan atau

perusakan lingkungan hidup;

3. Dengan efek pencegahan sejak dini maka niat pelaku bisnis

untuk melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup

demi pertimbangan ekonomi dapat lebih ditekan, apalagi dengan

sanksi-sanksi dalam bentuk denda diyakini lebih berdayaguna

dalam mematikan motif ekonomi ini;

4. Dengan model penegakan hukum pidana administratif tersebut,

maka kita dapat menuntun kepada terciptanya rezim anti

pencemaran dan perusakan lingkungan hidup;

Dalam rangka penyusunan penegakan hukum lingkungan di

Indonesia, tidak ada salahnya pemikiran di atas lebih dijadikan sebagai

pertimbangan untuk dikembangkan sebagai model penegakan hukum

lingkungan daripada berfikir untuk tetap mempertahankan atau tidak

asas subsidiaritas.

25 | P a g e

Page 26: PENDAHULUAN (Autosaved)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. SIMPULAN

Dari uraian dalam Bab I sampai dengan Bab III diatas kami

menyimpulkan:

Bahwa tindak pidana yang dituduh dilakukan oleh terdakwa yang

terdapat dalam kasus ini adalah berupa kejahatan atau tindak pidana

korporasi. Alasannya karena memenuhi unsur – unsur kejahatan atau

tindak pidana korporasi.

Bahwa bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi belum

dibahami benar-benar oleh aparat penegak hukum sehingga terjadi

keragu-raguan dalam penanganan perkara kasus ini. Demikian halnya

juga dengan asas subsidiaritas, penyidik dan hakim belum

mempertimbangkan asas ini. Seharusnya hakim atau penyidik meneliti

terlebih dahulu apakah sudah dilakukan penegakan hukum

administrasi terlebih dahulu terhadap pelanggaran yang dilakukan PT

SSM.

Bahwa hakim seharusnya sudah dapat mempertimbangkan

kesaksian bahwa peralatan untuk melakukan IPAL yang dimiliki PT SSM

26 | P a g e

Page 27: PENDAHULUAN (Autosaved)

tidak dapat berfungsi dengan baik. Fakta bahwa mereka tetap

melakukan pembuangan limbah selama beberapa tahun, menunjukkan

adanya unsut kesengajaan dalam pembuangan limbah tersebut. Maka

alasan hakim tentang unsur ketidaksengajaan adalah kurang rasional.

Bahwa tuntutan subsidair ini dapat diterima sehingga pelaku

seharusnya dapat dihukum pidana penjara maksimal 6 tahun dan

denda maksimum 300 juta, menurut ketentuan pasal 43 uu 23/1997.

Penerapan ajaran-ajaran kausalitas (sebab-akibat) dalam praktek

lebih serasi jika disesuaikan dengan perkembangan hukum yang hidup

dalam masyarakat. Artinya, secara kasuistis diadakan keseimbangan

antara kesadaran hukum perorangan atau kelompok masyarakat tertentu

dengan masyarakat pada umumnya, dan berpedoman pada ajaran

conditio sine qua non, teori umum keseimbangan dan teori khusus secara

seimbang.

3.2. SARAN

Kedepannya diharapkan aparat penegak hukum dapat mempunyai

pemahaman tentang kejahatan korporasi sebagai tindak pidana khusus.

Sehingga proses pemidanaan di bidang lingkungan diaksanakan sesuai

dengan asas dan peraturan terkait tindak pidana korporasi. Sanksi yang

dikenakan di samping direksi atau penanggung jawab kegiatan dapat

dikenakan pidana penjara, perusahaan yang bersangkutan juga dapat

dikenakan denda.

Walaupun undang-undang berusaha membatasi perumusan sebab

dan akibat, perluasan atau penyempitan dari hal-hal yang dipandang

sebagai sebab atau akibat sebisa mungkin diminimalisir. Untuk itu

haruslah selalu diperhatikan mengenai kepastian hukum dalam arti tidak

boleh menyimpang dari undang-undang dan kesadaran hukum

masyarakat. Meskipun tidak adanya penentuan ajaran-ajaran mana yang

mutlak dipakai dari sekian banyak ajaran. Kiranya penggunaan ajaran-

ajaran tersebut tentulah harus dengan itikad baik untuk mencapai tujuan

hukum dan terciptanya keseimbangan antara keadilan dan ketertiban.

27 | P a g e

Page 28: PENDAHULUAN (Autosaved)

Terakhir, perekrutan hakim untuk kasus lingkungan seharusnya

diambil dari orang yang ahli di bidang lingkungan agar tidak terjadi lagi

penerapan hukum yang keliru. Misalnya dengan adanya hakim ad hoc

dalam peradilan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Black, Henry Campbell. 1991. Black’s Law Dictionary. Minnesota: West

Publishing.

Faure , M . 2006 “Towards a new model of criminalization of

environmental pollution: the case of Indonesia ”. in : M.Faure

and N. Niessen . Environmental law in development lesson from

Indonesia experience.

Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan edisi kedelapan

Cet. ke-18. 2005. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kusumohardjo, Budiono. Filsafat Hukum cet. ke-1. 2011. Bandung:

Mandar Maju.

Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 50/Pid.B/2004/P.N.B.B

28 | P a g e

Page 29: PENDAHULUAN (Autosaved)

http://azamul.wordpress.com/2007/07/04/asas-subsidiaritas-dalam-uu-

pokok-lingkungan-hidup-plh/

Simpson, Sally S. Corporate Crime, Law, and Social Control. 2002.

Cambridge: Cambridge University Press

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup cet. ke-3. 2001. Bandung: Citra Umbara.

29 | P a g e