PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah (2000) yang bahwa...
-
Upload
trinhtuyen -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah (2000) yang bahwa...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Buku Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya (2000) yang
disusun oleh Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan (KDI-Keolahragaan) merupakan
referensi berbahasa Indonesia terbaru dan paling awal yang dapat ditemui setelah
adanya Deklarasi Surabaya 1998 tentang ilmu keolahragaan. Nilai penting buku
ini bila dilihat dari konstruksi bangunan ilmu keolahragaan di Indonesia adalah
bahwa landasan filsafat yang secara umum memuat landasan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis telah dipaparkan sebagai basis meta teoritis ilmu
keolahragaan sebagai ilmu mandiri. Beberapa buku berbahasa Indonesia yang
terbit setelah itu, sejauh yang dapat dilacak, tidak lagi berpusat pada landasan
filsafati ini. Proyek-proyek penelitian dan pengembangan ilmu keolahragaan
dengan dasar kefilsafatan di Indonesia, tentu saja penting untuk dilakukan sesuai
relevansi kompetensi penulisnya. Peneliti menganggap bahwa buku KDI-
Keolahragaan merupakan referensi berbahasa Indonesia yang harus dikritisi dan
diinterpretasikan secara tepat dan kontekstual dalam rangka pelandasan filosofis
pengembangan ilmu keolahragaan.
Pelandasan filosofis di sini berarti pengkajian yang mendasar tentang ciri
khas ilmu keolahragaan dilihat dari bangunan ilmu pendukungnya. KDI-
Keolahragaan sebenarnya sudah memformulasikan landasan filsafati ini, namun
2
masih bersifat umum dan perlu penelitian lebih lanjut. Format penelitian untuk
landasan pengembangan ilmu keolahragaan ini oleh karenanya harus muncul dari
filsafat sebagai bidang kajian yang diakui secara luas (world wide) bertanggung
jawab untuk mengajukan analisis kritis dan memberikan landasan teoritis bagi
ilmu-ilmu lain (misalnya diulas dalam Schick, 1997). Klarifikasi dan justifikasi
adalah dua proses utama peran filsafat dalam bidang-bidang kajiannya (Hardman
dan Jones, 2010: 2), di mana penelitian ini mengoperasionalkan keduanya sebagai
upaya merekonstruksi filsafat ilmu keolahragaan.
Rekonstruksi melalui klarifikasi dan justifikasi ini melibatkan pemahaman
yang baik tentang “sistem” filsafat yang hendak direkonstruksikan. Rekonstruksi
berarti tindakan atau proses merekonstruksi atau direkonstruksi. Istilah ini tidak
dimaksudkan sebagai kesan, model masa lalu sebagaimana tergambar dalam
rekonstruksi suatu tindak kriminal, namun mengarah pada makna membangun
kembali apa yang sudah rusak atau hancur. Secara singkat, rekonstruksi berarti
penyusunan/penggambaran kembali (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008:
1189). Proses rekonstruksi dalam penelitian ini mempertahankan nilai-nilai primer
seperti objek material dan formal ilmu keolahragaan (ontologi) atau kajian muatan
ilmu keolahragaan (epistemologi), meskipun bisa jadi ada beberapa modifikasi
(penambahan/pengurangan) dalam aktivitas membangun kembali landasan filsafat
ilmu keolahragaan.
Salah satu peran rekonstruksi dalam filsafat ditunjukkan oleh Mario Bunge
(2001: 220-224) dengan menyebut rangkaian 13 konsep berkebalikan arah makna
(misalnya otentik/palsu atau berguna/tak berguna) untuk menunjuk “filsafat” atau
3
“ilmu” yang sesungguhnya pseudo-filsafat atau pseudo-ilmu. Keterbukaan
terhadap kritik-(re)konstruktif adalah harga mati sistem/aliran filsafat (dan ilmu)
apapun. Sebagaimana ditekankan Mario Bunge (2001: 10), rekonstruksi dalam
filsafat adalah keniscayaan sejarah kefilsafatan ketika suatu sistem filsafat
mengalami krisis. Krisis yang dimaksud Bunge mengarah pada “filsafat yang
buruk” yang memblokir pandangan suatu gagasan-gagasan atau apapun, dengan
mengklaim bahwa “sistem” filsafat tertentu itu dapat dipahami tanpa bantuan
argumentasi atau pengalaman lain. Mengadopsi penegasan Bunge ini, apa yang
terdokumentasikan di buku KDI-Keolahragaan jika itu dianggap sebagai suatu
“sistem” filsafat, maka tergolong “filsafat yang buruk” ketika menolak kehadiran
penalaran argumentatif selain yang tertera di buku itu. Tentu saja, para penyusun
buku tersebut tidak memaksudkannya demikian. Namun fakta menunjukkan
bahwa persoalan landasan filsafat ilmu keolahragaan – di Indonesia, namun bisa
jadi juga global – tidak memperoleh pembaruan sama sekali semenjak “sistem”
filsafat (landasan filsafat) itu dituliskan terakhir kalinya. Hal ini mengarah pada
terciptanya “filsafat yang buruk”, suatu alasan mendasar dan tak terbantahkan
bagi penelitian ini untuk diajukan sebagai suatu usaha urgen: rekonstruksi.
Penelitian untuk filsafat ilmu keolahragaan ini diarahkan pada pengenalan
dan pemetaan wilayah-wilayah ilmu keolahragaan dilihat dari perspektif holistik,
radikal, komprehensif, sinoptik-diakronik, dan sekaligus mampu mencerminkan
implementasi kebijakan publik keolahragaan, terutama sistem pembinaan
olahraga, baik di lingkungan formal maupun non-formal. Penelitian seperti ini
tentu cukup sulit untuk ditangkap urgensinya, apalagi untuk bidang budaya praktis
4
seperti olahraga, kecuali apabila ada kesadaran kritis bahwa besar kokohnya
bangunan suatu ilmu, tetap tidak bisa lepas dari landasan/basement filosofinya,
baik filosofi dalam arti filsafat yang diterapkan untuk bidang praktis (misalnya
filsafat olahraga atau filsafat ilmu) maupun filosofi dalam arti hidden philosophy.
Sebagaimana filsafat pendidikan, filsafat hukum, dan lain-lainnya, filsafat
olahraga muncul sebagai sub-disiplin filosofis yang khas. Sejumlah persoalan
filosofis utama dalam sub-disiplin ini menarik untuk digeluti oleh mayoritas
ilmuwan. Ketertarikan utama tersebut adalah isu hakikat etis di mana perilaku dan
semua atmosfir moral di dalamnya diperiksa dan dievaluasi. Pembaca karya-karya
filsafat olahraga akan lebih familier dengan debat-debat etis tentang benar-salah
terkait substansi-substansi yang meningkatkan penampilan, nilai penting fair play,
dan persoalan keadilan/kesamaan dalam partisipasi olahraga (Hardman dan Jones,
2010: 3). Filsafat olahraga, dengan demikian lebih didominasi dengan perdebatan
nilai-nilai (terutama nilai etis) dalam analisisnya terhadap olahraga sebagai salah
satu fenomena sosial. Istilah “filsafat olahraga” lebih menunjuk pada salah satu
bidang teori dalam bidang ilmu keolahragaan, dan tidak berwenang untuk
menggambarkan dan menjustifikasi secara komprehensif teoritis-konseptual
keberadaan ilmu keolahragaan sebagai disiplin ilmiah yang menjadi wilayah
kajian “filsafat ilmu keolahragaan” (Pramono, 2004: 1). Kedua sub-disiplin
tersebut, baik filsafat olahraga (filsafat tentang olahraga) maupun filsafat ilmu
keolahragaan (ilmu keolahragaan ditinjau dari sudut pandang filsafat ilmu)
dipergunakan dalam penelitian ini dengan titik awal berupa kajian “ontologi
tubuh” yang diimplementasikan ke dalam landasan filosofis ilmu keolahragaan.
5
Ontologi membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain
merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari
ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Dimensi
ontologi ilmu keolahragaan dengan demikian terkait dengan kajian filosofis
terkait permasalahan apa objek studi ilmu keolahragaan yang dianggap unik dan
tidak dikaji oleh disiplin ilmu lainnya, serta memetakan medan kajian ilmu
keolahragaan sebagai suatu rincian objek formalnya, dan pembahasan tentang
maksud dan sasaran ilmu keolahragaan yang merupakan persoalan atau fokus
penting dalam membangun dasar-dasar teoritis ilmu keolahragaan dari aspek
ontologis ini (KDI Keolahragaan, 2000: 6, 9; Haag, 1994: 9).
Gerak manusia sebagai objek material ilmu keolahragaan (KDI
Keolahragaan, 2000: 6), mensyaratkan konsep tubuh sebagai wahana gerak itu.
Tidak ada olahraga tanpa tubuh. Mengonstruksi konsep keolahragaan, berarti juga
harus dilandasi konstruksi konsep tubuh yang kongruen. Filsafat berperan penting
untuk memberikan landasan di tingkat prareflektif tentang tubuh ini dan sekaligus
memberikan evaluasi kritis atas bangunan konsep reflektifnya. Tinjauan ontologis
tentang tubuh dengan demikian merupakan tinjauan ontologis terhadap salah satu
aspek konseptual dari objek material ilmu keolahragaan, yang pada gilirannya
secara konstruktif memperkokoh landasan filosofis ilmu keolahragaan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti menganggap penting penelitian
untuk mengupayakan rekonstruksi filsafat ilmu keolahragaan melalui kajian
ontologis tubuh sebagai komponen penting olahraga. Hal ini akan dieksplorasi
peneliti dengan menelaah salah satu pandangan filosofis tentang tubuh, yakni
6
konsep tubuh-subjek, pandangan Maurice Merleau-Ponty yang terkenal dengan
paham tubuh-subjek, yang menganggap tubuh tidak sekedar objek, tetapi sebagai
subjek. Pandangan tubuh-subjek Merleau-Ponty dipilih peneliti untuk dieksplorasi
dalam penelitian ini disebabkan oleh dua alasan.
Alasan pertama bercorak objektif: bahwa Merleau-Ponty adalah salah
seorang filsuf orisinil dan paling menarik di abad ke-20, di mana karya-karyanya
mencakup spektrum luas yang melibatkan berbagai bidang disiplin dan subjek
yang senantiasa mendudukkan gagasan-gagasan Merleau-Ponty dengan cara yang
terbedakan dari gagasan-gagasan tokoh lain, dengan referensi “kekal” tentang
ketubuhan, perseptual, dan tema eksistensial yang secara orisinil diinspirasikan
Merleau-Ponty (Carman, 2008: 1 dan 3). Kekuatan dimensi baru pemikirannya
bahkan menawarkan solusi bagi permasalahan-permasalahan filsafat tradisional
(Hass, 2008: 2). Gail Weiss (2008: 1) menyebut spektrum luas pemikiran
Merleau-Ponty sebagai “interdisciplinary scholar” yang mengkaji secara standar
kontemporer berbagai disiplin: neurofisiologi, psikologi gestalt dan
perkembangan, teori politik, teori sastra dan estetika, antropologi, dan linguistik.
Pengembangan deskripsi fenomenologisnya tentang persepsi, bahasa, kehidupan
politik, seni, literatur, dan sejarah, secara aktif dikuatkan oleh berbagai disiplin
tersebut yang dielaborasikan dengan cara yang sungguh-sungguh orisinil dan
berbeda, dari keutamaan tubuh yang hidup dalam pengalaman keseharian. Tidak
mengherankan jika filsafat Merleau-Ponty berpengaruh luas tidak hanya terhadap
para filsuf kontinental, namun juga terhadap para pakar kesusastraan, ilmuwan
kognitif, arsitek, antropologis, teoris feminis, psikoanalitik, kritikus ras, dan
7
kebudayaan. Filsafat tubuh Merleau-Ponty penting dikaji secara ontologis untuk
memberikan landasan bagi filsafat (dan juga ilmu), dalam mengembangkan
berbagai proyek pemikiran. Penelitian ini juga menjadi salah satu tema bidang
keilmuan yang terinspirasi kuat pandangan fenomenologi tubuh Merleau-Ponty
terhadap disiplin yang relatif baru: Ilmu Keolahragaan.
Alasan kedua lebih subjektif: setelah membaca beberapa pemikiran filsafat
(terbanyak dari filsuf Barat), peneliti berkesimpulan bahwa tubuh cenderung
dianggap sebagai sesuatu yang kehadirannya acapkali tidak sepenting jiwa (atau
juga roh), dan ini mengindikasikan kurang dihargainya tubuh dalam proyek-
proyek filsafat. Kurang dihargainya tubuh ini menjadi pemicu keresahan
intelektual peneliti, khususnya karena posisi keterlibatan profesi peneliti di bidang
pengembangan ilmu keolahragaan yang mensyaratkan wawasan komprehensif
tersendiri terhadap tubuh. Merleau-Ponty dengan ontologi tubuhnya, menjadi
“titik terang” yang sejak tahun 2003 membantu peneliti menjawab berbagai
permasalahan mendasar baik dalam kaitannya dengan kebertubuhan maupun ilmu
keolahragaan.
Filsafat tidak dimaksudkan sebagai penyedia solusi langsung persoalan
praktis sehari-hari. Penelitian ini meskipun hendak merekonstruksi landasan
filsafat ilmu keolahragaan berdasarkan ontologi tubuh Merleau-Ponty, memang
juga tidak berorientasi pemaksaan filsafat sebagai solusi berbagai permasalahan
olahraga (dan ilmu keolahragaan), tetapi menekankan pada suatu hubungan tak
langsung yang diandaikan antara pandangan kefilsafatan yang dianut dengan
orientasi konsep/tindakan di ranah keilmuan dan praktek olahraga keseharian.
8
2. Rumusan Masalah
a) Apa hakikat tubuh menurut Merleau-Ponty?
b) Bagaimana perspektif ontologi terhadap fenomenologi tubuh?
c) Apa sumbangan kajian ontologi tubuh Merleau-Ponty dalam rangka
rekonstruksi filsafat ilmu keolahragaan?
3. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian ini: dari segi isu-isu persoalan filsafat cabang keilmuan
khusus, penelitian ini menawarkan hal yang baru yakni kajian filsafat di ranah
ilmu keolahragaan yang bukan semata-mata persoalan etika, tetapi juga persoalan
ontologi, epistemologi dan filsafat manusia.
Hampir tidak ada karya pemikiran/penelitian akademisi Indonesia yang
membahas tentang tema ontologi atau bahkan filsafat ilmu keolahragaan. Tesis S2
penulis terkait dengan tema disertasi ini, namun lebih banyak mengupas
pengembangan ilmu keolahragaan dalam koridor epistemologi keilmuan, belum
ditujukan untuk mengonstruksi ulang filsafat ilmu keolahragaan:
Made Pramono, 2003, Peran Fenomenologi Tubuh dalam Pengembangan Ilmu Keolahragaan, Tesis, Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta, tidak diterbitkan.
Peneliti memang bermaksud memperdalam materi kebertubuhan dalam ilmu
keolahragaan sebagai suatu ”road map” yang lazim dilakukan di dunia akademik,
sehingga tesis peneliti merupakan rangkaian tanggung jawab kompetensi peneliti
untuk diteruskan di tingkat disertasi S3.
Tenggang waktu antara tesis (2003) sebagai usaha awal peneliti, hingga
pembuatan disertasi ini (2013) dengan tema tubuh dalam kerangka filsafat sebagai
9
pusat pembahasannya, sudah dikembangkan dan dipublikasikan peneliti ke
berbagai karya buku, artikel jurnal, maupun prosiding pertemuan ilmiah. Sitasi
berbagai karya pihak lain terhadap tulisan peneliti juga sudah banyak (bisa
diperiksa melalui browsing pencarian di internet). Disertasi ini hendak
mengangkat tema yang serupa namun lebih intensif dan ekstensif, untuk
menemukan teori baru tentang tema-tema terkait (baik itu tema tubuh, filsafat
olahraga, dan lain-lain secara mandiri maupun integral).
Skripsi Agrita Widiasari (Universitas Indonesia, 2012) berjudul “Tubuh dan
Persepsi sebagai Sarana Epistemologis: Diskursus Tubuh Difabel Dalam
Kerangka Pikir Merleau-Ponty” merupakan salah satu tulisan ilmiah yang
mendeskripsikan aplikasi pemikiran tubuh dari Merleau-Ponty ke wilayah
difabilitas. Pada 13 November 2013, ringkasan disertasi doktoral Sumaryanto di
Fakultas Filsafat UGM berjudul “Eksistensi Olahraga dalam Perspektif Filosofis
dan Kebermaknaannya dalam Kehidupan” disampaikan penulisnya dalam pidato
pengukuhan Guru Besar di Universitas Negeri Yogyakarta. Meskipun tesis Made
Pramono juga disitasi, namun disertasi tersebut lebih bermuara pada aspek
aksiologis olahraga. Intisari aksiologis disertasi Sumaryanto (ditulis bersama Joko
Siswanto dan Achmad Dardiri) juga pernah dipublikasikan dalam bentuk artikel
jurnal, yakni dalam Cakrawala Pendidikan Jurnal Ilmiah Pendidikan, Mei 2011,
Th XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY, dengan judul “Dimensi Aksiologis
dalam Olahraga: Relevansinya dengan Pembentukan Karakter Bangsa”.
10
4. Manfaat Penelitian
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Analisis Tubuh-Subjek secara kritis diharapkan mampu menjadi pandangan
filsafat tubuh yang baru sebagai basis rekonstruksi, evaluasi kritis, dan
analisis wacana dalam bidang olahraga baik dalam arti pra-konsepsi pelatihan
olahraga, pendidikan jasmani, olahraga rekreasi, dan rehabilitasi olahraga,
maupun dalam arti strategi pengembangan ilmu keolahragaan.
b. Bagi Filsafat
Dimensi baru pemikiran Merleau-Ponty, terutama dalam kaitannya dengan
penghargaan ultimate dan total terhadap tubuh, merupakan gagasan tak
terbantahkan tentang nilai penting tubuh untuk tidak diremehkan dalam
berbagai wacana filsafat. Penelitian-penelitian filsafat yang berkaitan dengan
hakikat manusia pada akhirnya perlu mempertimbangkan konsep tubuh tidak
semata-mata sebagai objek yang bisa diabaikan.
c. Bangsa Indonesia
Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya sebagai salah satu pilar tujuan
pembangunan, mensyaratkan kebijakan yang tepat dalam membentuk
manusia yang sehat dan bugar jasmaninya. Analisis kritis dan evaluasi
kebijakan kelembagaan melalui kajian ontologi tubuh ini, menemukan
argumentasi fundamentalnya.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui makna tubuh dalam konsep tubuh-subjek Merleau-Ponty.
11
2. Analisis kritis konsep tubuh-subjek Merleau-Ponty dengan mempergunakan
perspektif ontologi.
3. Refleksi kajian ontologi tubuh Merleau-Ponty dalam rangka rekonstruksi
filsafat ilmu keolahragaan.
C. Tinjauan Pustaka
Kesadaran bahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional mulai
muncul pertengahan abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan melalui
Deklarasi Ilmu Keolahragaan tahun 1998 pada Seminar dan Lokakarya Nasional
Ilmu Keolahragaan di Surabaya. Beberapa akademisi dan masyarakat awam
memang masih pesimis terhadap eksistensi ilmu keolahragaan, khususnya di
Indonesia, terutama dengan melihat kajian dan wacana akademis yang masih
sangat terbatas dan kurang integral. Sebagai suatu ilmu baru yang diakui secara
luas, ilmu keolahragaan berkembang seiring kompleksitas permasalahan yang ada
dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai bergairah menunjukkan
eksistensi ilmu baru ini ke arah kemapanan (Pramono, 2004: 3).
Kajian terhadap fenomena keolahragaan bisa didekati dari berbagai aliran
dan/atau cabang filsafat sesuai penekanan pemikiran tentang objek tersebut.
Khusus dalam hal dimensi keilmuan keolahragaan, tinjauan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis adalah tiga landasan penelaahannya (Tim Dosen
Filsafat Ilmu UGM, 2001: 90). Penelitian ini berangkat dari kajian ontologi
tentang tubuh dalam kerangka olahraga, untuk direfleksikan ke dalam tiga
landasan penelaahan ilmu keolahragaan tersebut.
12
Pembahasan dari aspek ontologi berusaha menjawab persoalan apa objek
studi ilmu keolahragaan yang dianggap unik dan tidak dikaji oleh disiplin ilmu
lainnya. Selain itu, perlu juga memetakan medan kajian ilmu keolahragaan
sebagai suatu rincian objek formalnya, serta pembahasan tentang maksud dan
sasaran ilmu keolahragaan yang merupakan persoalan atau fokus penting dalam
membangun dasar-dasar teoritis ilmu keolahragaan dari aspek ontologis ini (KDI
Keolahragaan, 2000: 6, 9; Haag, 1994: 9). Gerak manusia merupakan objek
material dari ilmu keolahragaan (KDI Keolahragaan, 2000: 6), dan ini
mengindikasikan betapa vitalnya kajian tentang tubuh sebagai syarat mutlak yang
harus selalu diandaikan keberadaannya untuk mengkaji objek material tersebut.
Olahraga, dengan demikian, secara hakiki berurusan dengan tubuh.
Konsekuensinya, ilmu keolahragaanpun juga berurusan dengan konsep tubuh.
Oxford English Dictionary mendefinisikan tubuh sebagai ‘kerangka atau
struktur fisik atau material manusia atau hewan; seluruh organisme material ini
dilihat sebagai sebuah entitas organik’ (Synnott, 2003: 23). Opini yang muncul
terhadap pendefinisian tubuh seperti rumusan di atas beraneka ragam. Namun
setidaknya, satu hal yang tentu semua orang sepakat, satu-satunya entitas yang
mampu berpikir tentang tubuh, pasti juga memiliki jiwa.
Filsafat tubuh setelah masa-masa Yunani Kuno bergantian antara pandangan
metafisik yang monistik dengan dualistik, antara yang idealistik dengan yang
materialistik, antara yang mengutamakan jiwa dengan yang mengutamakan tubuh.
Di sini bisa ditemukan aliran idealisme dan materialisme di masa-masa Romawi,
arus pemikiran Yahudi, di masa dominasi gereja atau di masa renaissance, dan
13
juga di jaman modern. Kekayaan tersembunyi pemikiran di daerah Asia tentang
tubuh juga penting maknanya, yang pada awal-awal abad ke-21 ini menjadi
fenomena tersendiri (Capra, 1997; Chopra, 1996).
Konsekuensi dari semua itu, permainan olahraga cukup “serius” untuk
diangkat ke tingkat penghargaan budaya yang lebih tinggi (Hatab, 1998: 106),
sehingga filsafat mau tak mau harus berani mengkaji ulang “tradisinya” sendiri
yang menekankan jiwa atas tubuh, harmoni atas konflik, dan mengakui bahwa
olahraga memiliki kandungan nilai-nilai fundamental bagi keberadaan manusia.
Begitulah, di dunia Yunani Kuno, lokus asal muasal pemikiran filsafat Barat,
olahraga tak hanya populer, tetapi menempati penghargaan kultural terhormat
(Pramono, 2003: 32).
Salah satu arus pemikiran filsafat tubuh yang gemanya sampai sekarang
masih sangat terasa dan merasuki hampir segala sendi kemanusiaan adalah
pandangan Descartes tentang tubuh sebagai mesin. Pernyataannya yang terkenal
“cogito, ergo sum” menjadi lambang penekanan rasionalitas di dunia Barat saat
ini. Pemisahan substansi tubuh (res extensa) dengan jiwa (res cogitans)
menelurkan konsep dunia mekanis yang saat ini masih menjadi dasar bagi
sebagian besar ilmu, dan memengaruhi secara luar biasa banyak aspek kehidupan
(Capra, 1997: 32).
Pengaruh fisiologi mekanistik Cartesian terhadap pemahaman kontemporer
tentang olahraga (termasuk ranah kajian filsafat olahraga) juga luar biasa. Filsafat
olahraga penuh dengan penegasan dan pernyataan kembali (baik secara implisit
maupun eksplisit) dualisme Cartesian, meskipun kadang-kadang ada juga yang
14
menegaskan sebaliknya. Tingkat penerimaan yang terorganisir dari masyarakat
olahraga terhadap kerangka kerja ilmu-ilmu alam serta penerapan skema
behavioristik dan stimulus-respon merupakan bukti yang jelas untuk hal ini, yang
meneguhkan pemahaman bahwa perwujudan manusia (atlet) lebih sering
diobjektivikasi dan direduksi sedemikian rupa (Meier, dalam Morgan dan Meier
(ed.), 1995: 91).
Pro dan kontra terhadap pandangan dualistik-dikotomis tubuh dan jiwa yang
diasalkan pada Descartes bertengger di salah satu puncak diskusi kefilsafatan,
misalnya yang paling gencar adalah apa yang disuarakan oleh Maurice Marleau-
Ponty dengan fenomenologi tubuh. Fenomenologi eksistensial pada umumnya,
dan konsepsi Merleau-Ponty pada khususnya, didasarkan pada doktrin bahwa
“kekhasan paling final dari kesadaran manusiawi, yang mewarnai seluruh
manifestasinya, adalah kesadaran menubuh”. Kontingensi manusia,
keterbatasannya, dan “berada-dalam-dunia”-nya sebagai subjek, dianggap sebagai
titik awalnya. Konsekuensinya, kategori-kategori Cartesian ditentang sebagai
persangkaan yang lemah dan salah arah (Lawrence dan O’Connor, 1967: 10).
Dillon (1988: ix) menyebut kekhususan tema pemikiran Merleau-Ponty
yang diinterpretasikan dalam keterjalinannya dengan pemikiran para filsuf lain,
adalah tema ontologi. Apa yang disuguhkan Dillon dalam ontologi Merleau-Ponty
bisa menjadi dasar bagi tema besar lainnya, yakni fenomenologi tubuh. Dualisme
ontologis menjadi pusat permasalahan ontologi yang dieksplorasi Merleau-Ponty.
Pendekatan yang diambil Merleau-Ponty menghadapi permasalahan tersebut,
adalah pendekatan fenomenologi di mana fenomena dibebaskan dari kekangan
15
tradisional ke tataran imanensi, mengembalikan transendensinya, dan kembali
pada opini manusia sebagai ukuran kebenarannya (Dillon, 1988: xi).
Tubuh dan subjek tidak merupakan dua hal, tetapi tubuh itu sendiri adalah
subjek. Pendirian tentang tubuh-subjek Merleau-Ponty ini mengatasi dualisme
Cartesian. Tubuh dan jiwa bagi Descartes merupakan dua faktor tersendiri. “Aku”
yang sebenarnya adalah jiwa, dan tubuh adalah objek atau mesin yang digunakan
oleh jiwa (Bertens, 2001: 140). Oleh karena itu, pemahaman eksistensi yang
terpisah, secara empatik ditolak. “Tubuh-subjek” adalah entitas atau realitas
tunggal yang bukan mental bukan pula fisik, tetapi serempak keduanya (Meier,
dalam Morgan dan Meier (ed.), 1995: 91). Tegasnya, pendapat ini menganggap
tubuh tidak sekadar objek, tetapi sebagai subjek. Konsep ini, disebut dengan
konsep “tubuh-subjek”.
Apa yang difilsafatkan Merleau-Ponty bisa dikatakan merupakan alternatif
dari tradisi Cartesian yang mendominasi pemikiran, ilmu, dan kultur Barat
sebagaimana yang ditulis Husserl sebagai krisis, dan alternatif dari
ketidakcukupan filsafat kontemporer untuk menyediakan resolusi permasalahan
kehidupan dari krisis tersebut. Merleau-Ponty menyadarkan pembacanya terhadap
kesesatan praanggapan yang menjadi dasar berpikir dan bertindak (Dillon, 1988:
6-7). “Kesesatan praanggapan” inilah yang memicu peneliti menggunakan
perspektif fenomenologi tubuh Merleau-Ponty dalam menelaah olahraga, untuk
dikonstruksikan pembahasannya pada pelandasan filsafat ilmu terhadap ilmu
keolahragaan (filsafat ilmu keolahragaan).
16
Perspektif Merleau-Ponty adalah perspektif alternatif dalam rangka
rekonstruksi filsafat ilmu keolahragaan yang berangkat dari persoalan tubuh.
Namun rekonstruksi itu sendiri bersifat niscaya, mengingat posisi stagnan
intelektualitas keolahragaan dalam mengupayakan tinjauan ulang maupun
pembaharuan atau pengayaan terhadap filsafat ilmu keolahragaan. Mario Bunge
(2001: 10) menegaskan hal ini “Every time philosophy seemed to hit a dead end,
attempts were made to reconstruct it”. Berbagai pandangan dalam sejarah
kefilsafatan seperti Cartesianisme, Leibnizisme, Kantianisme, Empirisme Klasik,
Materialisme Dialektis, Pragmatisme, Fenomenologi, dan sebagainya
menunjukkan jejak keniscayaan bahwa ketika sistem-sistem filsafat tersebut mulai
stagnan atau “dicukupkan”, maka muncul pemikir-pemikir pembaharu yang
menawarkan alternatif pemikiran entah dalam arti modifikasi, pengayaan, bahkan
penolakan terhadap sistem filsafat yang direkonstruksinya. Apalagi filsafat ilmu
keolahragaan yang bisa dikatakan masih baru dan jelas perlu upaya rekonstruksi
agar tidak menggumpal menjadi krisis filsafat, sebagaimana disebutkan Bunge.
D. Landasan Teori
Salah satu tugas ontologi adalah refleksi atas realitas sebagai fakta, atau,
menemukan secara konkrit makna yang-ada. Lebih khusus, tugas ontologi
material adalah apakah dalam yang-ada terdapat keumuman, keajegan dan isi
hakiki yang umum yang selanjutnya dapat berdeferensiasi. Tugas ontologi formal
adalah menyelidiki struktur-struktur paling atas, ketentuan-ketentuan dan
keajegan yang dimiliki sesuatu yang-ada sebagai adanya (Siswanto, 2004: 44, 58).
17
Peneliti mempersamakan metafisika dengan ontologi sebagaimana
dieksplisitkan oleh Joko Siswanto (2004: 4-6) untuk menggeneralisir pandangan
kontemporer yang mengabaikan skema Wolff tentang metafisika umum dan
metafisika khusus. Peneliti mempertahankan istilah ontologi untuk mempersempit
pembahasan dengan pengkhususan pada suatu metafisika umum, dan menghindari
kosmologi metafisik, psikologi rasional, dan teologi natural sebagai pembidangan
objek formal penelitian ini. Tubuh sebagai “yang dikaji secara ontologis”, dengan
demikian, dibahas dalam kerangka “tubuh dalam keumumannya”, “tubuh sebagai
yang-ada” yang dilihat dalam keumumannya, tanpa bergantung pada adanya
observasi ilmiah dan eksperimen.
Olahraga mensyaratkan tubuh, karena tubuh inilah yang menjadikan gerak
itu mungkin. Refleksi atas realitas tubuh, dalam penelitian ini berarti mengkaji
tubuh sebagai fakta gerak olahraga secara ontologis. Realitas olahraga yang
multidimensional berakar pada pemahaman prareflektif tentang substansi
kebertubuhan, gerak, maupun interrelasinya dengan aspek kejiwaan. Pandangan
tentang tubuh ini menempati posisi penting dalam sejarah pemikiran manusia,
sehingga analisis kritis kefilsafatan tentang itu perlu diketengahkan dengan
menelaah terutama aliran-aliran dominan tentang tubuh, dalam hal ini konsep
tubuh-subjek yang diketengahkan Merleau-Ponty.
Tubuh yang dikaji dalam penelitian ini adalah tubuh sebagai yang-ada
dalam keumumannya, bukan tubuh yang dikaji hanya dalam keterkaitan terbatas
dengan hakikat manusia dalam arti filsafat manusia (atau merujuk pada Wolff:
psikologi rasional). Peneliti menggunakan perspektif ontologi sebagai objek
18
formal penelitian ini dalam rangka mengarahkan proses konstruksi filsafat tubuh
yang paling mendasar atau mengakar, sekaligus paling umum atau universal,
darinya kajian-kajian terapan seperti filsafat ilmu, filsafat sosial, atau filsafat
manusia dikonstitusikan (Coffey, 2011: 33).
Berbagai konsep dan penjelasan tentang tubuh dalam kerangka ilmu
keolahragaan ditelaah dan diklarifikasi secara kritis. Penelaahan dan
pengklarifikasian ini menurut Parson (2007: 2) bersifat self-referential, reflective,
dan melampaui (“meta”, cenderung “parasitical”), karena bergantung pada
konsep-konsep lain sebelum adanya penjelasan konvensional kebertubuhan.
Dengan demikian urutan kedua ilmu keolahragaan (dalam hal ini tentang tubuh)
tidak hendak memberi penjelasan tentang olahraga itu sendiri, namun dapat dan
akan memberi penjelasan serta berbagai pendekatan tentang ilmu keolahragaan.
Upaya menjelaskan tubuh dalam olahraga perlu – secara implisit maupun
eksplisit – untuk menggunakan pandangan ontologis tertentu tentang apa saja
yang mungkin dikonsepsikan dari tubuh dalam realitas olahraga. Konsepsi tubuh
tersebut dalam sejarah filsafat cenderung didominasi oleh pandangan ontologis
yang mendudukkan tubuh sebagai objek dan menegaskan posisi dualistik dalam
melihat problem tubuh dan jiwa. Berbagai varian pandangan ini mengikutsertakan
posisi materialisme, spiritualisme, idealisme, realisme, fenomenalisme,
empirisme, rasionalisme/intelektualisme, dan seterusnya yang secara ontologis
menghadapkan tubuh sebagai hal yang harus diperbedakan dengan jiwa. Posisi
monisme dalam mengkaji permasalahan tubuh mencakup berbagai pemikiran
yang melihat ketunggalan tubuh dan jiwa. Konsep tubuh-subjek Merleau-Ponty
19
dalam penelitian ini menawarkan salah satu pandangan ontologis tersebut, dengan
dimensi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan filsafat tradisional yang
sudah ada.
E. Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian
Objek material penelitian ini adalah konsep tubuh-subjek Merleau-Ponty,
sedangkan objek formalnya adalah perspektif ontologi. Penelitian ini dapat
dikategorikan sebagai penelitian historis-faktual (Bakker dan Zubair, 1990: 61),
atau sebagai penelitian tentang problema filosofis (Kaelan, 2005: 255). Materi
penelitian ini adalah referensi pustaka yang diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Sumber data primer:
1) Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, Ilmu Keolahragaan dan Rencana
Pengembangannya (2000). Buku sederhana ini (belum ada daftar
pustakanya) sangat penting posisinya, karena merupakan referensi satu-
satunya di Indonesia yang berbicara filsafat ilmu maupun strategi dasar
pengembangan ilmu keolahragaan, sebelum Made Pramono menerbitkan
buku Filsafat Olahraga pada tahun 2004. Konstruksi awal dimensi
ontologis ilmu keolahragaan dalam penelitian ini, diketengahkan oleh buku
tersebut.
2) Referensi tentang Tubuh-Subjek atau Fenomenologi Tubuh, misalnya M.
Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception (1962), The Visible and the
Invisible (1968), atau The Incarnate Subject: Malebranche, Maine De
20
Biran, And Bergson On The Union Of Body And Soul (2001), termasuk
buku-buku pembahas Merleau-Ponty bertema fenomenologi tubuh seperti
M.C. Dillon, Merleau-Ponty's Ontology (1988).
b. Sumber data sekunder:
1) Buku-buku terkait dimensi ontologi (elementer), seperti misalnya buku
Joko Siswanto, Metafisika Sistematik (2004), atau Poli, Roberto dan Seibt,
Johanna (eds.), Theory and Applications of Ontology: Philosophical
Perspectives, (2010).
2) Buku-buku terkait dimensi ontologi keolahragaan dan kebertubuhan,
seperti misalnya William J. Morgan dan Klause V. Meier, Philosophic
Inquiry in Sport, (1995) atau Anthony Synnott, Tubuh Sosial: Simbolisme,
Diri, dan Masyarakat (2003).
c. Sumber data tersier:
Buku-buku, artikel, esai, hasil seminar, lokakarya, diskusi (online maupun
offline) dan eksplorasi internet terkait tema-tema antropologi
fenomenologis, ontologi, filsafat ilmu, olahraga dengan multidimensinya,
serta referensi filsuf-filsuf terkait kajian ini.
2. Jalan Penelitian
Penelitian ini mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
a) Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data mengenai konstruksi
dimensi ontologis ilmu keolahragaan yang sudah ada, dan juga data
mengenai konsep tubuh-subjek, baik dari sumber primer maupun
sekunder.
21
b) Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data sesuai dengan kategori
yang ditetapkan secara sistematis. Sesuai maksud penelitian ini, maka
data diklasifikasikan dalam dua kategori utama: konsep tubuh (tinjauan
umum kefilsafatan maupun khusus secara ontologis) dan konsep filsafat
ilmu keolahragaan.
c) Analisis data guna memperoleh makna dari konsep yang diteliti
berdasarkan landasan teori.
d) Interpretasi data hasil analisis untuk memperoleh pemahaman yang jelas
tentang konsep tubuh, lalu diarahkan pada pemahaman yang tepat
tentang rekonstruksi filsafat ilmu keolahragaan.
e) Menyusun laporan hasil penelitian.
3. Analisis Hasil
Rencana tahapan analisisnya sebagai berikut:
a) Kesinambungan historis
Pemikiran Merleau-Ponty tentang tubuh adalah objek kajian penelitian
ini yang menurut Koren (dalam Kaelan, 2005: 46) mensyaratkan kajian
kepustakaan intensif menyangkut aspek historis. Tahap analisis
kesinambungan historis melacak pandangan filsafati mengenai tubuh
yang bermuara dan terkonsentrasi pada pandangan tubuh-subjek
Merleau-Ponty, serta relevansinya dengan wacana filsafat ilmu
keolahragaan untuk memperoleh benang merah pemahaman lengkap
filsafat ilmu keolahragaan dengan berfokus pada konsep ontologis
tubuh.
22
b) Hermeneutik
Prinsip kerja hermeneutika adalah untuk menangkap objective geist
(makna terdalam, hakikat nilai) yang terkandung dalam objek penelitian
(Schleiermacher, dalam Kaelan, 2005: 80), dalam hal ini fenomenologi
tubuh Merleau-Ponty. Konsep tubuh-subjek diterjemahkan konteks
pikiran zaman dahulu itu (konteks pemikiran Maurice Merleau-Ponty)
ke dalam terminologi dan pemahaman yang sesuai dengan cara berpikir
aktual (terutama relevansinya dengan pengembangan ilmu
keolahragaan).
c) Heuristik
Penelitian ini diupayakan untuk dapat membuka jalan baru dalam
merekonstruksi filsafat ilmu keolahragaan dengan menganalisis
pandangan tubuh-subjek secara ontologis. Heuristika digunakan peneliti
dalam rangka rekonstruksi ini, sebagai metode untuk menemukan dan
mengembangkan metode baru (jalan baru bagi rekonstruksi) dalam
suatu ilmu dan juga filsafat (Peursen, dalam Kaelan, 2005: 96).
Pendeskripsian sistem kerja metode (context of justification) yang
melahirkan dualisme Cartesian adalah langkah awal menuju proses
kritik terhadap paradigma tersebut untuk menemukan jalan atau
alternatif baru dengan mengetengahkan cara berfilsafat Merleau-Ponty
(context of discovery) dalam mengupayakan sistem filsafat tubuh,
sehingga keterbukaan dan dinamika refleksi filsafat tentang tubuh tetap
terjaga.
23
F. Sistematika Penulisan
Disertasi ini dibagi dalam enam bab. Pendahuluan sebagai bab pertama ini
berisi enam sub pokok bahasan mencakup latar belakang penelitian, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika
penulisan. Bab kedua menjelaskan diskursus ontologi, dalam arti mengemukakan
berbagai penjelasan tentang ontologi, persoalan-persoalan ontologi, aliran-aliran
ontologi, penjelasan singkat metode ontologi, serta landan ontologis ilmu dan
ontologi tubuh sebagai relevansi penelitian.
Bab ketiga membahas tentang objek material penelitian, yakni tubuh-subjek
Merleau-Ponty. Bab keempat adalah tentang fenomenologi tubuh yang ditelaah
secara ontologis. Tubuh sebagai kajian ontologi menjadi pembahasan di subbab
pertama, dilanjutkan dengan eksplorasi rediscovery of the body melalui daging,
lalu tubuh, dunia, dan kesadaran, dan ditutup dengan evaluasi kritis. Bab kelima
membahas tentang upaya implementatif penelitian ini, yakni filsafat ilmu
keolahragaan berbasis ontologi tubuh. Bab ini mencakup lima subbab yang
semuanya bermuara pada konstruksi filsafat ilmu keolahragaan yang mengkaji
pengembangan ilmu keolahragaan dengan berbasis ontologi tubuh. Subbab
tersebut adalah filsafat ilmu keolahragaan bukan filsafat olahraga, landasan
filsafat ilmu keolahragaan, landasan ontologis ilmu keolahragaan, landasan
epistemologis ilmu keolahragaan, dan landasan aksiologis ilmu keolahragaan.
Muara dari semua bab sebelumnya adalah pada bab keenam, penutup, yang
terbagi dalam kesimpulan dan saran-saran.