PENDAHULUAN 1.1 (Pusat Bahasa, 2008; SIL, 2006). Penutur...
-
Upload
nguyenminh -
Category
Documents
-
view
223 -
download
0
Transcript of PENDAHULUAN 1.1 (Pusat Bahasa, 2008; SIL, 2006). Penutur...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa Ciacia merupakan salah satu bahasa yang dituturkan oleh sebagian
besar masyarakat di bagian selatan Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahasa
Ciacia tergolong dalam kelas Austronesia, Melayu Polinesia, subrumpun Muna-Buton
(Pusat Bahasa, 2008; SIL, 2006). Penutur bahasa Ciacia terdapat di Pulau Buton
(Kabupaten Buton), Pulau Batu Atas (Kabupaten Buton), Pulau Binongko
(Kabupaten Wakatobi), dan sekelompok kecil di pinggiran Kota Baubau. Bahasa
Ciacia dituturkan oleh masyarakat Ciacia yang secara garis besar terbagi dalam empat
subetnis, yaitu: Laporo, Burangasi, Wabula, dan Lapandewa. Keempat subetnis
tersebut masing-masing memiliki karakteristik tersendiri. Namun, hingga kini kajian
kebahasaan mengenai bahasa Ciacia belum banyak dilakukan oleh para linguis.
Lokasi tutur bahasa Ciacia yang terbagi dalam tiga wilayah administrtif, dua di
antaranya terpisah oleh laut, sangat menarik untuk diteliti.
Setakat ini, etnis Ciacia mulai mendapat banyak perhatian masyarakat dan
namanya mulai terangkat ke luar Indonesia. Berawal dari ”Simposium IX
Pernaskahan Nusantara tahun 2005”, seorang profesor dari Korea, Chun Thai Yun
meyakini adanya kekhasan yang menarik dalam keanekaragaman linguistik di daerah
2
Buton, salah satu di antaranya adalah keanekaragaman yang ditunjukkan oleh bahasa
Ciacia. Penelusuran keistimewaan bahasa Ciacia sebagai bahasa yang unik terus
ditindaklanjuti. Bersama-sama dengan Prof. Hu Yung Lee dan Dr. Lee Konam,
Prof. Chun Tahi Yun melakukan berbagai kunjungan, investigasi, dan akhirnya
membuahkan sebuah afiliasi konstruktif dengan pemerintah Baubau yakni adanya
upaya mentransformasi bahasa Ciacia ke dalam alphabet Hangoul , Korea. Walaupun
demikian, belum ada kejelasan akan hubungan kesejarahan antara bahasa Ciacia dan
Korea, selain memiliki sejumlah kesamaan kualitas bunyi bahasa dan perlambangan
bunyi tersebut (Abdillah, 2009).
Salah satu cara penelusuran silsilah bahasa Ciacia adalah dengan menelusuri
bentuk asal bahasa Ciacia. Penelusuran silsilah suatu bahasa dikenal dengan istilah
genealogi bahasa. Adapun definisi genealogi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah sebagai berikut: (1) Garis keturunan manusia dalam hubungan keluarga
sedarah; (2) garis pertumbuhan binatang, tumbuhan, bahasa, dsb. dari bentuk-bentuk
sebelumnya (KBBI, 2008). Secara khusus, pengertian genealogi dalam bidang bahasa
dipaparkan Crystal (2008) dalam A Dictionary of Linguistics and Phonetics.
In Historical Linguistics, the classification of languages according to a hypothesis of common origin; also called genealogical classification. Languages which are genetically related have common ancestor. The terminology of description derives from that of the family tree of human relationships. Non-genetic links between languages can also be established using comparative linguistic techniques (Crystal, 2008:209).
Dalam ilmu linguistik masalah penelusuran genealogi suatu bahasa dapat
dilakukan dengan kajian bidang linguistik historis komparatif dan dialektologi.
Selama ini kajian-kajian kebahasaan yang dilakukan terhadap bahasa daerah (Ciacia
di antaranya) umumnya masih terbatas pada kajian tata bahasa saja (lihat tinjauan
pustaka). Adapun kajian linguistik terhadap bahasa Ciacia di luar aspek tata bahasa,
3
yang telah dilakukan, seperti kajian hubungan kekerabatan, hanya terbatas pada
hubungan kekerabatan antarbahasa, tetapi kajian yang lebih rinci mengenai hubungan
antardialek belum dilakukan.
Penelitian ini memaparkan bahasa Ciacia dari telaah genealoginya yang
meliputi hubungannya dengan bahasa-bahasa lain di wilayah tuturnya yang termasuk
dalam kelompok bahasa Muna-Buton dan hubungan antardialek bahasa Ciacia. Selain
itu, penelitian ini juga merekonstruksi bentuk asal bahasa Ciacia sehingga dapat
diketahui daerah yang merupakan daerah relik dan inovasi. Dengan demikian, jika
keterangan mengenai dialek-dialek bahasa Ciacia telah diperoleh, hasilnya dapat
digunakan sebagai penunjang penyusunan aksara Ciacia.
Bahasa Ciacia yang dituturkan oleh masyarakat di beberapa wilayah tutur di
Kabupaten Buton dan Kota Baubau dapat ditemukan ciri pembedanya sebagai
berikut.
Tabel (1) Realisasi Perbedaan Fonologi Bahasa Ciacia di Empat Lokasi Tutur
No. Ciacia
Gonda Baru Ciacia
Kumbewaha Ciacia
Kanciina Ciacia
Lapandewa Glos
1 Rea Xea rea rea darah
2 RoO XoO roO roO daun
3 paRae paXae parae parae apa
4 Rua ɗoXua ru+a doru+a dua
5 pigagaRi gagaXi gagari Gagari hitung
6 kaRakaji kaXakaji karakaji karaakaji gergaji
7 paRaPata paXawata parawata Parawata bambu pering
8 ɓaRa ɓaXa ɓara ɓara barat
9 kaRoho kasoXo kasoro kasoro kasur
4
10 buRi buXi buri Buri tulis
11 Pula wula wula wula bulan
12 Pulu wulu wulu wulu bulu
13 PiPi wiwi wiwi wiwi bibir
14 PaGka waGka waGka waGka geraham
15 moPilo wilo wilo wilo buta
16 ɗaPo ɗawo ɗawo ɗawo ipar
17 haPu hawu hawu hawu dapur
18 paGaPa paGawa paGawa paGawa layar
19 baPa bawa bawa Bawa bawang
20 kaPincu kawincu kawincu kawincu bisul
(Data Pusat Bahasa)
Tabel (1) tersebut menunjukkan adanya perbedaan fonologi yang terdapat
pada wilayah pakai bahasa Ciacia di beberapa lokasi di Kota Baubau dan Kabupaten
Buton yang berada di wilayah pesisir dan pedalaman. Perbedaan yang tampak pada
tabel (1) merupakan korespondensi bunyi konsonan di empat lokasi, yaitu adanya
korespondensi [R], [r], dan [X] baik pada posisi utima dan penultima; dan juga
korespondensi [P] dan [w] baik pada posisi ultima dan penultima. Dalam kasus ini,
bunyi [R] pada Ciacia Gonda Baru direalisasikan sebagai [X] pada Ciacia
Kumbewaha. Sementara itu, Ciacia Kanciina dan Ciacia Lapandewa dilafalkan
sebagai [r]. Berdasarkan letak lokasi Ciacia Gonda Baru dan Ciacia Kumbewaha
terletak di daerah pedalaman, sedangkan Ciacia Kanciina dan Ciacia Lapandewa
terletak di pesisir. Dari contoh data yang dikaitkan dengan lokasi tutur keempat
5
bahasa Ciacia tersebut dapatlah ditarik hipotesis awal bahwa dalam melafalkan [r]
Ciacia di wilayah pedalaman cenderung melafalkannya sebagai [R] dan [X].
Demikian pula dari korespondensi [P] dan [w] dapat dikaitkan dengan lokasi
tuturnya. Bunyi [w] pada Ciacia Lapandewa, Kumbewaha, dan Kanciina, dilafalkan
[P] pada Ciacia Gonda Baru. Ciacia Gonda Baru merupakan lokasi tutur yang terletak
di Kota Baubau yang umumnya menggunakan bahasa Wolio. Sebagai hipotesis awal
dapatlah kita katakan dalam kasus ini kemungkinan pelafalan [P] merupakan ciri
bahasa Ciacia yang berada di Kota Baubau, yang kemungkinan besar dipengaruhi
oleh bahasa Wolio. Namun, masih perlu diamati data bahasa Ciacia lainnya yang
berada di Kota Baubau barulah dapat disimpulkan secara pasti.
Walaupun jumlah data yang dikemukakan dalam contoh masih terbatas, hal
ini tetap dapat dijadikan informasi awal sebagai dasar untuk memahami dan
menemukan karakteristik bahasa Ciacia di wilayah pakai lainnya. Data awal secara
tertulis mengenai bahasa Ciacia yang dituturkan di Pulau Batu Atas, Pulau Binongko,
dan wilayah-wilayah lainnya di Kabupaten Buton belum ditemukan. Namun, dari
seorang informan diperoleh gambaran bahwa ada korespondensi bunyi yang teratur
untuk bunyi [R] ≈ [X] ≈ [?]. Hanya saja belum ditemukan data pustaka untuk wilayah
tutur pengguna bunyi [?].
Selain perbedaan fonologi dapat pula ditemukan variasi leksikon, yang juga
dapat dijadikan informasi awal dalam penelitian ini. Hal ini dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
6
Tabel (2) Realisasi Perbedaan Leksikon Bahasa Ciacia di Empat Lokasi Tutur
No
Ciacia Gonda Baru
Ciacia Kumbewaha
Ciacia Kanciina
Ciacia Lapandewa
Glos
1 toaRu moide toaru toaru banyak
2 Pine pembula wine wine benih
3 Pua ɓake wua wua buah
4 hoRa popunda hora hora duduk
5 kaRana rampano karana karana karena
6 moROndo mokii morOndo morOndo malam
7 poRoku sumpu poroku porOou minum
8 Pea wea Gara wea langit-langit
9 Paa lembo waa waa banjir
10 PolaPo wolawo wolawo sibu tikus
11 saPu puku puku pukua pohon
(Data Pusat Bahasa)
Tabel (2) menginformasikan beberapa variasi leksikon di wilayah tutur bahasa
Ciacia. Berdasarkan tabel tersebut diperoleh gambaran bahwa wilayah tutur bahasa
Ciacia di Kumbewaha yang paling sering menggunakan leksikon yang berbeda dari
wilayah tutur lainnya. Namun, hal ini belum dapat disimpulkan karena baru mewakili
beberapa wilayah tutur bahasa Ciacia.
Perbedaan semantis ditemukan pula dalam memaknai kata umEla. Ciacia
Gonda Baru memaknai umEla sebagai ’bagus’, sementara pada wilayah tutur Ciacia
7
lainnya (Kumbewaha, Kanciina, dan Lapandewa) makna ’bagus’ terealisasi dalam
bentuk ɓajiGa. Sebaliknya leksikon umEla sendiri dalam Ciacia Lapandewa mewakili
makna ’manjur’. Sementara makna ’manjur’ dalam wilayah tutur Ciacia lainnya
(Gonda Baru, Kumbewaha, dan Kanciina) terealisasi dalam bentuk nObisa.
1.2 Permasalahan
SIL (2006) mengelompokkan Kumbewaha dan Kaisabu sebagai bahasa
tersendiri, sedangkan Pusat Bahasa (2008) mengelompokkannya Kumbewaha sebagai
salah satu dialek bahasa Ciacia, sedangkan Kaisabu sebagai salah satu dialek bahasa
Wolio.
Untuk memperoleh kejelasan status isolek Kumbewaha tersebut, yang
berkaitan langsung dengan bahasa Ciacia, sebagai tahap awal penelitian ini adalah
menjelaskan status isolek-isolek yang terdapat pada wilayah tutur bahasa Ciacia, baik
secara kuantitaif maupaun kualitatif.
Setelah status isolek-isolek di wilayah tutur bahasa Ciacia dari hasil analisis
kuantitatif diperoleh, dibuatlah suatu pengelompokan dialek dan subdialek bahasa
Ciacia yang didukung oleh evidensi-evidensi kualtitatif berupa penyatu dan pemisah
kelompok. Agar genealogi bahasa Ciacia semakin jelas perlu pula direkonstruksi
bentuk purba (asal) dari bahasa Ciacia. Dengan diketahuinya bentuk purba bahasa
Ciacia akan diketahui pula daerah inovasi dan daerah konservatif bahasa Ciacia.
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana hubungan
antardialek/antarsubdialek dalam bahasa Ciacia tersebut beserta hubungan bahasa
Ciacia dengan bahasa-bahasa lain dalam rumpun Muna-Buton. Dengan demikian,
genealogi bahasa Ciacia dapat teruraikan mulai dari hubungannya dengan bahasa-
8
bahasa lain dalam kelompok Muna-Buton sampai kepada hubungan di antara dialek-
dialeknya. Akhir dari penelitian ini adalah tersusunnya suatu bagan genealogi bahasa
Ciacia mulai dari posisinya dalam subkelompok Muna-Buton sampai ke tataran
dialek, subdialek, beda wicara, dan tidak ada perbedaan.
Secara singkat permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut.
a. Bagaimanakah status isolek-isolek yang terdapat dalam wilayah tutur bahasa
Ciacia?
b. Bagaimanakah rekonstruksi bentuk asal (prabahasa) bahasa Ciacia dan
mengapa hal tersebut dapat menjelaskan genealogi bahasa Ciacia?
c. Bagaimanakah hubungan antardialek dan subdialek bahasa Ciacia serta
hubungan bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain dalam subrumpun Muna-
Buton?
1.3 Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari
penelitian ini pun dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Mendeskripsikan dan menjelaskan status isolek-isolek yang terdapat dalam
wilayah tutur bahasa Ciacia.
b. Mendeskripsikan bentuk prabahasa (asal) bahasa Ciacia dan menjelaskan
kaitannya dengan genealogi bahasa Ciacia.
9
c. Mendeskripsikan dan menjelaskan hubungan kekerabatan antardialek dan
antarsubdialek dalam bahasa Ciacia serta hubungan bahasa Ciacia dengan
bahasa-bahasa lain dalam subrumpun Muna-Buton.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat teoretis dan manfaat
praktis yang dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui silsilah genealogi
bahasa Ciacia, yang secara tidak langsung menambah referensi kajian
dialektologi dan linguistik historis komparatif.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk mempertahankan harmonisasi
hubungan masyarakat yang terpisah oleh wilayah administratif bahkan yang
terpisah oleh lautan. Bukti kekerabatan bahasa merupakan bukti kesamaan
asal-usul yang dapat mempererat rasa persatuan. Hasil dari penelitian ini
adalah dihasilkannya bagan genealogi / diagram pohon silsilah bahasa Ciacia
dan peta bahasa Ciacia. Secara umum, manfaat peta bahasa adalah sebagai
berikut (Lauder, 1993:3—5): (1) dari peta bahasa dapat dibuat peta bunyi
sehingga dapat dilihat kaidah fonotaktik bahasa/dialek yang diteliti, (2) peta
bahasa dapat lebih mempermudah rekonstruksi bahasa sehingga dapat
membantu bidang linguistik historis komparatif, (3) peta bahasa dapat
melokalisasi konsep budaya tertentu sejauh konsep itu tercermin dalam
10
kosakata, (4) peta bahasa sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh dinas kesehatan
untuk membuat ramalan peta penyebaran wabah penyakit karena batas
penyebaran epidemi pada umumnya sejalan dengan batas bahasa/dialek
(epidemi mudah berjangkit pada orang-orang yang melakukan kontak).
Dalam hal ini, WHO pernah memanfaatkan peta bahasa untuk membuat
prediksi peta penyebaran wabah penyakit menular (Lauder, dalam Laksono
2004:5).
Selain itu, sesuai dengan latar belakang yang dikemukakan dalam
penelitian ini, maka hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan dalam
penyusunan aksara untuk bahasa Ciacia.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian bahasa Ciacia yang telah dilakukan umumnya masih terfokus pada
bidang kajian tatabahasa. Ada dua penelitian mengenai bahasa Ciacia yang telah
diterbitkan menjadi sebuah buku, yaitu Abdullah (1991) dengan “Struktur Bahasa
Ciacia” dan Konisi (2001) dengan “Konstruksi Verba Aktif-Pasif Bahasa Ciacia
Dialek Pedalaman”.
Selain itu, ada beberapa hasil penelitian yang belum diterbitkan baik itu
berupa tesis ataupun laporan penelitian yang membahas bahasa Ciacia dalam kajian
struktural. Ada pun judul penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Abidin (2000) mengulas “Frasa Nominal Bahasa Ciacia”. Tulisan ini
merupakan suatu analisis tatabahasa generatif transformasional terhadap
bahasa Ciacia yang berfokus pada bahasa Ciacia di daerah Poogalampa. Hasil
analisis menunjukkan ada delapan pola dalam struktur frasa nominal bahasa
11
Ciacia Poogalampa, frasa nominal bahasa Ciacia Poogalampa menduduki
fungsi subjek, predikat, objek, pelengkap, dan fungsi keterangan, serta makna
yang terdapat dalam struktur frasa nominal bahasa Ciacia Poogalampa.
b. Konisi (2001) mengulas “Analisis Kategori Kata Bahasa Cia Liwungau”.
Penelitian ini mengklasifikasikan kategori kata Bahasa Cia Liwungau
berdasarkan ciri morfemis, sintaksis, dan ciri semantis. Kategori kata yang
dianalisis meliputi kategori verba, nomina, adjektiva, numeralia, dan preposisi
Dalam (Abdullah, 1991:9) dikemukakan sekilas mengenai variasi dialek
bahasa Ciacia berdasarkan data yang diperoleh dari informan, yaitu:
1) Dialek Takimpo dengan wilayah pemakaiannya meliputi Desa Pasarwajo dan
Desa Takimpo.
2) Dialek Wabula dengan wilayah pemakaiannya meliputi Desa Wasuemba, dan
sebagian penuturnya menyebar ke desa-desa lain.
3) Dialek Holimombo dengan wilayah pemakaiannya meliputi Desa Holimombo,
Desa Bagola.
4) Dialek Kondowa dengan wilayah pemakaiannya di Desa Kondowa.
5) Dialek Laporo dengan wilayah pemakaiannya di Desa Laponda dan sebagian
menyebar ke desa lain.
6) Dialek Lapodi dengan wilayah pemakaiannya di Desa Lapodi.
7) Dialek Wakaokili dengan wilayah pemakaiannya di Desa Wakaokili.
8) Dialek Wolowa dengan wilayah pemakaiannya meliputi Desa Wolowa, Desa
Wasaga, dan Desa Kancinaa.
12
9) Dialek Kancinaa dan dialek Wasaga, keduanya sudah hampir punah karena
penuturnya tinggal sedikit. Dialek ini terdesak oleh dialek-dialek lain yang
menyebar ke desa-desa lain.
Dialek-dialek tersebut apabila ditinjau dari penggunaan kosakatanya, tidak
menunjukkan perbedaan yang berarti, kecuali dari segi intonasi sehingga tidak
mengganggu kelancaran berkomunikasi antara penutur masing-masing dialek
(Abdullah, 1991:9)
Pembagian dialek bahasa Ciacia juga terdapat dalam Monografi Daerah
Sulawesi Tenggara yang dikutip oleh Burhanuddin (1979). Dalam monografi itu
disebutkan pembagian bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara, yang salah satunya
adalah pembagian dialek bahasa Ciacia yang meliputi: dialek Wabula, dialek
Sampolawa, dialek Laporo, dialek Takimpo, dialek Kondowa, dialek Holimombo,
dialek Watuata, dan dialek Wali. Sebaliknya, Burhanuddin sendiri membagi bahasa
dialek bahasa Ciacia meliputi dialek Mawasangka (subdialek Mambulu dan subdialek
Laporo) dan dialek Wabula (subdialek Wabula, subdialek Burangasi, subdialek Wali,
subdialek Takimpo, subdialek Kondowa, dan subdialek Holimombo).
Konisi (2001) mengelompokkan bahasa Ciacia ke dalam dua kelompok besar.
Menurut Konisi bahasa Ciacia secara struktur fonologi dibagi menjadi dua wilayah
pemakaian, yaitu wilayah pesisir dan wilayah pedalaman. Oleh karena itu, dialek
bahasa Ciacia terbagi atas dua bagian, dialek pesisir dan dialek pedalaman. Dialek
pesisir mengenal fonem getar alveolar [r] pada kata rato ‘tiba’, sedangkan dialek
pedalaman mengenal fonem uvular [ġ] yang secara ortografi /gh/ seperti pada kata
ghato ‘tiba’. Dewasa ini, bahasa Ciacia dialek pedalaman juga sudah mengenal fonem
13
getar alveolar [r] seperti pada roti [roti] dan radio [radi&O] akibat masuknya kosakata
serapan dan bahasa daerah lain termasuk bahasa Indonesia (Konisi, 2001)
Penelitian lainnya yang berhubungan dengan bahasa Ciacia adalah penelitian
“Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa Daerah di Provinsi Sulawesi Tenggara”
yang dilakukan oleh Tim Pemetaan Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara,
tahun 2006-2008. Penelitian tersebut merumuskan hubungan bahasa Ciacia dengan
bahasa-bahasa lain di sekitarnya dan hubungan antardialek bahasa Ciacia.
Penjelasan hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut. Bahasa Ciacia
tergolong dalam kelas Austronesia Barat, rumpun Muna- Buton. Penutur bahasa
Ciacia umumnya terdapat di Kabupaten Buton. Dialek-dialek bahasa Ciacia meliputi:
dialek Lapandewa, dialek Kancinaa, dialek Masiri, dialek Gonda Baru; dan dialek
Kumbewaha. Selain bahasa Ciacia, pada daerah sebaran tersebut terdapat bahasa
Muna (di Kabupaten Buton), bahasa Lasalimu-Kamaru (di Kabupaten Buton), bahasa
Sasak (di Kabupaten Buton). Hasil analisis dialektometri menunjukkan persentase
perhitungan antardialek tersebut berkisar 36 % sampai 52 %. Sebaliknya hasil analisis
kuantitatif dengan bahasa-bahasa lainnya di Sulawesi Tenggara berkisar 85 % ke atas
(Pusat Bahasa, 2008).
Pengelompokan ini berbeda pengelompokan SIL (dalam Languages of
Indonesia) yang mengelompokkan Kumbewaha sebagai bahasa tersendiri. Hasil
analisis kuantitatif Kumbewaha dengan Lapandewa 58,89 % (Sugono : 2008)
Hasil penelitian kekerabatan dan pemetaan bahasa yang dilakukan oleh
Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan hubungan antara dialek
bahasa Ciacia adalah sebagai berikut.
14
Tabel (3) Hasil Penghitungan Dialektometri Kelompok DP Pemakai Bahasa Ciacia
No.
DAERAH PENGAMATAN YANG
DIPERBANDINGKAN
PERSENTASE PERBEDAAN STATUS ISOLEK
1. Masiri – Gonda Baru 49,00% Perbedaan Subdialek
2. Masiri – Kancinaa 48,66% Perbedaan Subdialek
3. Masiri – Lapandewa 51,83% Perbedaan Dialek
4. Gonda Baru – Kancinaa 49,61% Perbedaan Subdialek
5. Gonda Baru – Lapandewa 50,54% Perbedaan Dialek 6. Kancinaa – Lapandewa 36,26% Perbedaan Subdialek
(Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007)
Alirman (2010) seorang tokoh masyarakat Buton pada Kongres Bahasa-
Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara tahun 2010, memaparkan bahwa secara umum
bahasa Ciacia dapat dibagi menjadi tiga rumpun besar, yaitu:
1. Ciacia Kapara’e
a. Tira, Lande, dan Sampubalo Wapulaka
b. Batuatas, Wapulaka, Burangasi, Pogalampa, Rano
c. Rumpun Lapandewa (Sempa-Sempa, Rongi, Kaindea, Kaongke-
ongke, dan Tambunaloko)
d. Todombulu, Saumolewa, Lapola
e. Rumpun Laporo
f. Wakaokili
g. Wabula, Wolowa, Matanauwe
h. Lasalimu-Ambuau
i. Binongko (Wali, Oihu, Waloyindi, Lagongga, Wakarumende, Haka)
2. Ciacia Mbahae
a. Sampolawa (Mambulu, Katilombu, dan Uwebonto)
15
b. Wawoangi, Wawulaka, Makolona
c. Masiri, Honelalo (Majapahit)
3. Ciacia Taina
Takimpo, Kondowa, Holimompo
Seluruh penelitian tersebut belum ada yang menelusuri silsilah bahasa Ciacia
secara menyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, bukan hanya
sekedar menurut pengakuan penduduk ataupun penelitian secara kuantitatif yang
tidak didukung oleh bukti kualitatif. Penelitian ini diharapkan dapat menelusuri
silsilah bahasa Ciacia (secara kuantitatif dan kualitatif) dan merumuskan bentuk
purba (asal) bahasa bahasa Ciacia, yang kemudian dapat dijadikan bahan penunjang
dalam penyusunan aksara untuk bahasa Ciacia. Walaupun demikian, penelitian-
penelitian tersebut tetap menjadi bahan acuan dalam penelitian ini. Informasi-
informasi pada penelitian tersebut (baik berupa struktur bahasa Ciacia, maupun
pembagian dialeknya) merupakan informasi awal yang sangat berguna bagi penelitian
ini.
Beberapa artikel-artikel yang berhubungan dengan bahasa Ciacia juga
diperlukan sebagai gambaran awal bahasa Ciacia. Artikel-artikel yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
Sehubungan dengan penggunaan aksara Hangoul pada masyarakat Ciacia,
Hanan (2011) dalam Prosiding Seminar Internasional Bahasa Ibu, memberikan uraian
singkat tentang penggunaan aksara Korea di Desa Karya Baru, demikian pula tanggapan
beberapa suku Cia-Cia. Hal ini memberikan informasi yang terkait dengan issu Korea-Ciacia
saat ini yang menjadi sorotan publik.
16
Tulisan lain yang berhubungan dengan bahasa Ciacia dapat dilihat pada
Hanan (2012) dalam Aspek-Aspek Bahasa Daerah di Pulau Sulawesi Bagian Selatan.
Tulisan ini mendeskripsikan secara umum kondisi bahasa Ciacia pada masa lampau,
masa kini, dan perkiraan konsidi bahasa Ciacia pada masa depan. Melalui tulisan ini
diperoleh informasi tentang gambaran bahasa Ciacia pada masa lampau (termasuk
hasil-hasil penelitiannya) yang dapat dijadikan sebagai salah satu tinjauan pustaka.
Selanjutnya Hanan (2013) dalam Fonologi Bahasa Daerah di Pulau Sulawesi
Bagian Selatan mendeskripsikan sistem fonologi dan variasi bunyi dalam bahasa
Ciacia yang dilengkapi dengan inovasi-inovasi fonologis. Informasi ini penting dalam
mengingat kajian pada penelitian ini bertitik tolak pada aspek fonologis dan leksikal.
Tulisan lain yang berhubungan dengan bahasa Ciacia dapat pula dilihat pada
Hanan (2013) dalam Kandai: Jurnal Bahasa dan Sastra, volume 9 no 1 tahun 2013.
Tulisan ini mengulas etimologi kata-kata berpolisemi bahasa Ciacia hingga
ditemukan mana yang bentuk asli dan mana yang merupakan bentuk analogi. Hal ini
juga disertakan dalam pembahasan pada disertasi sebagai realisasi penjelasan relasi
PAN dengan beberapa kata dalam bahasa Ciacia yang dijumpai saat ini.
Selain kajian-kajian yang berhubungan dengan bahasa Ciacia, dalam
penyusunan disertasi ini juga mengacu pada beberapa kajian genealogi bahasa.
Adapun kajian yang berhubungan dengan genealogi bahasa yang menjadi bahan
acuan penyusunan disertasi ini adalah sebagai berikut.
Fernandes, Inyo Yos , Sandra Safitri, dan Yohanes Sanjoko (2012) dalam
”Kekerabatan Bahasa dan Budaya Muna-Buton di Kawasan Lepas Pantai Sulawesi
Tenggara: Kajian Linguistik Historis Komparatif dan Etnolinguistik”. Tulisan ini
merupakan laporan penelitian Hibah Kompetensi yang mengulas hubungan
17
kekerabatan Muna-Buton dari sisi linguistik dan etnolinguistik. Berdasarkan tulisan
ini diperoleh gambaran bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lainnya dalam
subrumpun Muna-Buton.
Yamaguchi (2010), ”Bahasa-Bahasa di Sulawesi Tenggara dalam Kaitannya
dengan Genealogi” dalam Prosiding Kongres Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi
Tenggara. Tulisan ini membahas klasifikasi bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara
menurut beberapa ahli juga disertai dengan perbandingan unsur-unsur linguistiknya.
Artikel ini sangat membantu sebagai gambaran awal mengenai penelitian-penelitian
genealogi bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara yang telah dilakukan oleh beberapa
ahli.
Fernandez (2010) dalam Prosiding Kongres Bahasa-Bahasa Daerah
Sulawesi Tenggara. Tulisan ini membahas relasi kekerabatan subkelompok Muna-
Buton secara kualitatif berdasarkan evidensi refleks PAN pada subkelompok tersebut.
Informasi dalam tulisan ini pun dapat dijadikan sebagai informasi awal kajian
kekerabatan Muna-Buton dari sisi linguistik historis komparatif.
Budhasi (2008) merupakan sebuah disertasi yang mengulas hubungan
kekerabatan bahasa-bahasa di Sumba. Walaupun tulisan ini tidak membahas bahasa
Ciacia, metode analisis data dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan analisis data
dalam menelusuri hubungan bahasa Ciacia dalam subrumpun Muna-Buton,
khususnya dalam melihat evidensi-evidensi penyatu dan pemisah bahasa Ciacia
dalam subkelompok Muna-Buton.
Laksono (2004) sebuah buku yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa yang
merupakan hasil disertasi yang mengulas tentang kajian dialektologis bahasa Jawa di
Jawa Timur bagian utara dan Blambangan. Objek penelitian dalam buku ini juga
18
bukan bahasa Ciacia, tetapi metode analisis data berupa kajian dialektologis (dalam
hal ini dialektometri) sangat berguna dalam menjelaskan status isolek-isolek dalam
wilayah tutur bahasa Ciacia.
Tryon (1995) ”Proto Austronesia and The Major Austronesian Subgroups”
dalam The Austronesians yang disusun oleh Peter Bellwood, James J. Fox, and Darrel
Tryon. Tulisan ini mengulas genealogi sub-subrumpun bahasa yang merupakan
turunan Proto Austronesia dari beberapa ahli. Gambaran genealogi ini diperlukan
untuk mendapatkan gambaran silsilah subkelompok Muna-Buton ke atas. Bagan
berikut ini adalah bagan silsilah subkelompok Muna-Buton ke Proto Austronesia
yang disusun oleh Blust, Ross,dan Reid (dalam Tryon, 1995).
19
Bagan (1) Pohon Keluarga Proto Austronesia
Proto Austronesian
Atayalic Tsouic Other Bilic Amis-Extra Formosa Formosan Language Amis Extra Formosa Malayo-Polinesian Western Central-Eastern Malayo Polinesian Malayo Polinesian Proto Philippines .......... ........ Outer Philippines Central Philippines-Malayo-Javanic ........ ......... Muna-Buton ....... ........ , ect. (Blust, Ross, Reid, dalam Tryon, 1995)
Mahsun (1994) merupakan sebuah disertasi yang mengulas dialek geografis
bahasa Sumbawa. Objek penelitian ini bukan bahasa Ciacia, tetapi metode analisis
20
data berupa kajian dialektologi diakronis sangat berguna dalam merekonstruksi
prabahasa bahasa Ciacia dan menjelaskan kaitannya dengan genealogi bahasa Ciacia.
Chen (1976) dalam Journal of Linguistics volume 12 nomor 2. Tulisan ini
menguraikan metode rekonstruksi dalam linguistik historis komparatif dan
dihubungkan dengan kaidah perubahan bunyi pada kelompok bahasa Indo-Eropa.
Ulasan mengenai kaidah perubahan bunyi pada kelompok bahasa Indo-Eropa menjadi
masukan guna menemukan kaidah perubahan pada bahasa Ciacia.
Dyen (1963) dalam Language volume 39 nomor 4. Tulisan ini menguraikan
perubahan fonologis dalam dua buah dialek dalam satu bahasa yang membentuk
suatu korespondensi bunyi. Ulasan mengenai korespondensi bunyi yang dikemukakan
oleh Dyen ini memberikan gambaran guna menemukan korespondensi bunyi dalam
bahasa Ciacia.
Austin (1957) dalam Linguistic Society of America. Tulisan ini membahas
perubahan bunyi pada beberapa bahasa.
Penelitian ”Genealogi Bahasa Ciacia” ini memiliki perbedaan dengan
penelitian-penelitian terdahulu, baik yang berhubungan dengan bahasa Ciacia
maupun dengan kajian genealogi bahasa. Dalam penelitian ini diuraikan silsilah
bahasa Ciacia mulai dari yang paling bawah (tidak ada perbedaan) hingga pada posisi
bahasa Ciacia dalam subrumpun Muna-Buton.
Penelitian genealogi bahasa umumnya hanya menggunakan satu tinjauan,
yaitu hanya menguraikan hubungan kekerabatan bahasa dengan bahasa lainnya, atau
hanya menguraikan hubungan kekerabatan antardialek/subdialek dalam suatu bahasa.
Namun, dalam penelitian ini digunakan dua tinjauan yaitu linguistik historis
21
komparatif dan dialektologi. Selain itu, khusus untuk bahasa Ciacia belum ada kajian
yang spesifik meninjaunya dari sudut pandang genealogi bahasa.
1.6 Landasan Teori
Bidang kajian linguistik yang berhubungan dengan masalah genealogi bahasa
adalah linguistik komparatif. Berikut ini merupakan beberapa teori yang berkaitan
dengan linguistik komparatif yang menjadi dasar pijakan dalam menjawab
permasalahan dalam penelitian ini.
a. Penelitian Linguistik Komparatif
Penelitian komparatif dua buah bahasa/isolek atau lebih yang bertujuan untuk
melihat relasi di antara bahasa-bahasa/isolek-isolek tersebut dengan cara
membandingkannya dapat dilakukan dengan kajian linguistik historis komparatif dan
kajian dialektologi. Penelitian ini memadukan dua kajian tersebut, baik secara
deskriptif (sinkronis) maupun historis (diakronis). Kajian sinkronis bersangkutan
dengan peristiwa yang terjadi dalam suatu masa yang terbatas dan tidak melibatkan
perkembangan historis. Istilah ini bersinonim dengan deskriptif (Kridalaksana,
2001:198). Adapun kajian diakronis merupakan kajian yang bersifat historis, yakni
berkenaan dengan pendekatan terhadap bahasa dengan melihat perkembangannya
sepanjang waktu (Kridalaksana, 2001:42).
Kajian linguistik historis komparatif berpijak pada upaya mencari
“kesamaan" dari unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di antara bahasa-
bahasa/isolek-isolek yang diperbandingkan. Sementara itu, kajian dialektologi
dilakukan dengan berpijak pada upaya mencari perbedaan (Mahsun, 1995:17)
22
b. Linguistik Historis Komparatif
Kajian Linguistik Historis Komparatif (LHK) dilandasi oleh dua asumsi yang
mendasar, yaitu (1) hipotesis keterhubungan (related hypothesis) dan (2) hipotesis
keteraturan (regularity hypothesis) (Jeffer dan Lehise, 1979:17). Hipotesis
keterhubungan berusaha menjelaskan adanya persamaan yang jelas antara kata-kata
dari berbagai bahasa/dialek yang berbeda karena pada hakikatnya bahasa-bahasa itu
berhubungan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, dapat diasumsikan bahwa
bahasa-bahasa atau dialek-dialek itu berasal dari satu bahasa induk (proto bahasa).
Hipotesis keteraturan memudahkan pengkaji untuk membuat rekonstruksi bahasa
induk tersebut karena diasumsikan bahasa-bahasa atau dialek-dialek itu mengalami
perubahan secara teratur (Bynon, 1978:45-46; Lehmann, 1973:92).
Linguistik Historis Komparatif mengkaji bahasa-bahasa/dialek-dialek dengan
teknik kajian tertentu. Teknik kajian itu meliputi: rekonstruksi internal, rekonstruksi
eksternal, geografi dialek, dan leksikostatistik (Lehmann, 1973:75-109; Bynon,
1977:262-272).
Analisis kuantitatif dengan metode leksikostatistik digunakan untuk
membedakan tingkat kekerabatan antarbahasa atau antardialek dengan cara
membandingkan kosakatanya serta membedakan tingkat kemiripannya (Crowley,
1987:190). Metode leksikostatistik dikembangkan oleh Morris Swadesh pada tahun
1951 dilanjutkan tokoh lainnya seperti Sarah Gudschinsky, Joseph Greenberg, dan
Isodore Dyen. Leksikostatistik sampai saat ini dipergunakan untuk tiga tujuan (Dyen,
1975:75), yakni a) sebagai daftar kosakata dasar yang cepat dapat menentukan
hubungan kekerabatan bahasa atau dialek, b) sebagai alat pengelompokan
bahasa/dialek yang protobahasa atau prabahasanya belum begitu tua/kuno, c) sebagai
23
alat atau metode yang dapat dipakai pada tahap awal untuk menetapkan waktu
perpisahan antara bahasa-bahasa yang berkerabat. Hasil persentase yang dicapai
berdasarkan kalkulasi leksikostatistik dapat digunakan untuk mengamati hubungan
antarbahasa yang disajikan dengan dasar tingkat persentase. Berdasarkan kriteria
tertentu yang telah ditetapkan dapat dijelaskan peringkat hubungan antarbahasa.
Oleh karena leksikostatistik mendasarkan kajiannya terhadap kosakata dasar,
maka leksikostatistik berangkat dari beberapa asumsi, seperti yang dikemukakan oleh
Dyen (1975); Lehmann (1973); Bynon (1979) dan Keraf (1991) , sebagai berikut.
a. Sebagian kosakata suatu bahasa sukar sekali berubah bila dibandingkan
dengan bagian yang lain.
Kata-kata yang sukar sekali berubah ini disebut kosakata dasar. Kosakata
dasar itu merupakan kata-kata yang sangat inti, dan sekaligus merupakan
unsur mati hidupnya suatu bahasa. Oleh karena itu, kata-kata untuk hal-hal
dalam kehidupan bahasa, khususnya dalam bidang kebudayaan, merupakan
unsur yang baru dipinjam akan segera mengalami kelenyapan bersama
lenyapnya unsur kebudayaan itu. Kosakata dasar bersifat universal.
b. Retensi kosakata dasar adalah tetap sepanjang masa.
Pendirian pangkal ini berarti bahwa sejumlah kosakata dasar dari sebuah
bahasa sesudah 1000 tahun akan tetap bertahan dengan persentase tertentu.
Sesudah 1000 tahun berikutnya kata-kata itu tadi akan bertahan lagi dalam
persentase yang sama pula.
c. Perubahan kosakata dasar pada semua bahasa adalah sama.
Pengujian terhadap pendirian pangkal ini telah dilakukan terhadap tiga belas
bahasa yang di antaranya memiliki naskah lama tertulis dengan hasil kosakata
24
dasar bertahan sekitar 86,4 % sampai 74,4 % dalam tiap 1000 tahun, atau
dengan angka rata-rata 80,5 %
d. Jika persentase kosakata sekerabat (seasal) dua bahasa diketahui, dapat
dihitung pula waktu mulai berpisahnya kedua bahasa itu dari bahasa
purbanya.
c. Dialektologi
Istilah dialektologi berasal dari kata dialect dan kata logi. Kata dialect berasal
dari bahasa Yunani dialektos. Kata dialektos digunakan untuk menunjuk pada
keadaan bahasa di Yunani yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam
bahasa yang mereka gunakan. Akan tetapi, perbedaanitu tidak menyebabkan para
penutur tersebut merasa memiliki bahasa yang berbeda (Meillet, dalam Nadra : 2009)
Dialektologi merupakan salah satu cabang Linguistik Historis Komparatif.
Keduanya menelaah masalah kesejarahan ragam-ragam bahasa (Lauder, 1993;
Poedjosoedarmo, tanpa tahun). Secara umum, dialektologi dapat disebut sebagai studi
tentang dialek tertentu atau dialek-dialek suatu bahasa. Selain itu, dalam arti luas
penelitian dialektologi berupaya memerikan perbedaan pola linguistik, baik secara
horisontal (diatopis) yang mencakup variasi geografis, maupun yang vertikal
(sintopis) yang mencakup variasi di suatu tempat. Variasi di suatu tempat yang
bersifat sintopis ini dapat merambah pada kajian dialek sosial yang melibatkan faktor-
faktor sosial (Chambers dan Trudgill, 1980 ; Mahsun, 1995 ; Poedjosoedarmo, tanpa
tahun).
Pada mulanya, pengertian dialek merujuk kepada perbedaan regional yang ada
di antara daerah pengamatan yang menghasilkan pemetaan bahasa/dialek/subdialek.
25
Pengertian ini lama kelamaan juga mencakup dimensi sosial. Dalam dialektologi
penelitian yang mengupas perbedaan-perbedaan yang ada pada beberapa DP disebut
dialek geografis, sedangkan yang terjadi sebagai akibat perbedaan dimensi sosial
disebut dialek sosial (Ayatrohaedi, 1983:14). Dalam dialek geografis, selain kajian
deskriptif sinkronis, perlu juga dicermati dan dijelaskan mengapa terjadi perbedaan-
perbedaan itu atau bagaimana sejarah terjadinya perbedaan-perbedaan itu (kajian
diakronis).
Meilet (1970) mengemukakan bahwa ciri utama dialek adalah perbedaan
dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Selain itu, ia juga mengemukakan dua
ciri lain dari dialek, yaitu seperangkat bentuk ujaran setempat yasng berbeda-beda,
yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya jika
dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama.
Kajian dialektologi tidak hanya terbatas pada kajian sinkronis, yaitu
menjelaskan variasi-variasi dalam suatu bahasa. Kajian dialektologi juga dapat
menjangkau kajian diakronis, seperti yang dipaparkan oleh Mahsun (1995). Mahsun
(1995 : 11 – 16) memaparkan kajian diakronis dalam bidang dialektologi sebagai
berikut. Secara diakronis, pembicaraan tentang dialek adalah pembicaraan tentang
“bagaimana” eksistensi dialek/subdialek itu, yang mencakup:
a. hubungan dialek-dialek/subdialek-subdialek dengan bahasa induk yang
menunrunkannya;
b. hubungan antardialek itu satu sama lain; dan
c. hubungan antardialek/subdialek itu dengan dialek-dialek/subdialek-
subdialek dari bahasa lain yang diteliti.
26
Mahsun (1995) menjelaskan bidang garapan dialektologi diakronis mencakup
dua aspek, yaitu aspek sinkronis (deskriptif) dan aspek diakronis (historis). Dari
aspek sinkronis pengkajiannya didasarkan pada hal-hal berikut ini.
a. Pendeskripsian perbedaan unusr-unsur kebahasaan yang terdapat dalam
bahasa yang diteliti, meliputi perbedaan fonologi, morfologi, sintaksis,
leksikon, dan semantik.
b. Pemetaan unsur-unsur kebahasaan yang berbeda itu.
c. Penentuan isolek sebagai dialek atau subdialek dengan berpijak pada unsur-
unsur kebahasaan yang berbeda.
d. Membuat deskripsi yang berkaitan dengan pengenalan dialek atau subdialek
melalui pendeskripsian ciri-ciri fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikal
yang menandai atau membedakan antara dialek atau subdialek yang satu
dengan lainnya dalam bahasa yang diteliti.
Sementara itu, dari aspek diakronis (historis) pengakjian didasarkan pada hal-
hal sebagai berikut.
a. Membuat rekonstruksi prabahasa bahasa yang diteliti dengan memanfaatkan
evidensi yang terdapat dalam dialek/subdialek yang mendukungnya.
b. Penelusuran pengaruh antardialek/subdialek bahasa yang diteliti serta situasi
persebaran geografisnya.
c. Penelusuran unsur kebahasaan yang merupakan inovasi internal ataupun
eksternal dalam dialek-dialek atau subdialek-subdialek yang diteliti.
d. Penelusuran unsur kebahasaan yang berupa bentuk relik pada dialek atau
subdialek yang diteliti dengan situasi pesebaran geografisnya.
27
e. Penelusuran saling berhubungan antara unsur-unsur kebahasaan yang berbeda
di antara dialek atau subdialek bahasa yang diteliti.
f. Membuat analisis dialek/subdialek ke dalam dialek/subdialek relik (dailek
yang lebih banyak mempertahankan atau memlihara bentuk kuno) dan
dialek/subdialek pembaharu. Dengan kata lain membuat analisis
dialek/subdialek yang konservatif dan inovatis.
d. Perbedaan Unsur-Unsur Kebahasaan
Deskripsi perbedaan unsur-unsur kebahasaan mencakup semua bidang yang
termasuk dalam kajian linguistik, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan
semantik (Mahsun, 1995:23). Dalam penelitian ini deskripsi perbedaan unsur-unsur
kebahasaan lebih difokuskan pada perbedaan fonologi dan leksikon mengingat dua
bentuk perbedaan ini yang paling penting dibahas dalam melihat hubungan
kekerabatan di antara bahasa-bahasa/isolek-isolek yang dibandingkan.
Perbedaan fonologi menyangkut perbedaan fonetik (bunyi-bunyi). Perbedaan
fonologi ini dapat muncul secara teratur, yang disebut korespondensi dan dapat pula
muncul secara sporadis, yang disebut variasi.
Korespondensi bunyi diuraikan Mahsun dalam buku Dialektologi Diakronis
(1995 : 29 – 31) yang intinya adalah sebagai berikut. Korespondensi bunyi
merupakan perubahan bunyi yang muncul secara teratur. Korespondensi bunyi, dapat
dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu:
a) korespondesi sangat sempurna, jika perubahan bunyi itu berlaku disemua data
yang disyarati secara linguistik dan daerah sebaran secara geografisnya sama;
28
b) korespondensi sempurna, jika perubahan itu berlaku pada semua contoh yang
disyarati secara linguistik, tetapi beberapa data memperlihatkan daerah
sebaran geografisnya tidak sama;
c) korespondensi kurang sempurna, jika perubahan itu tidak terjadi pada semua
bentuk yang disyarati secara linguistik, tetapi sekurang-kurangnya terdapat
pada dua data yang memiliki sebaran geografis yang sama.
Berdasarkan uraian di atas ada dua hal yang patut diperhatikan dalam
penentuan status kekorespondensian suatu kaidah, yaitu:
a) mengetahui kaidah-kaidah perubahan bunyi yang terjadi di antara daerah-
daerah pengamatan; dan
b) mengetahui sebaran geografis kaidah-kaidah perubahan bunyi tersebut.
Variasi bunyi dapat berupa bermacam-macam perbedaan bunyi yang muncul
hanya pada satu atau dua kosakata saja. Perbedaan yang berupa variasi dapat
terealisasi dalam wujud metatesis, asimilasi, disimilasi, apokope, sinkope, paragoge,
aferesis, epentensi, dll. (Mahsun, 2006:10; lihat juga Crowley, 1987:25-49 dan
Lehman, 1973:158-182).
Sementara itu, suatu perbedaan disebut sebagai perbedaan dalam bidang
leksikon jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang
sama tidak berasal dari satu makna yang sama. Semua perbedaan leksikon selalu
berupa variasi (Mahsun, 1995:54). Sebagai contoh dalam penelitian ini ditemukan
bentuk yang berbeda dalam merealisaikan kata “ikan”, penutur Ciacia Kanciina,
29
Lapandewa, menyebutnya dengan isa , sedang penutur Ciacia Masiri menyebutnya
dengan kenta.
Perbedaan-perbedaan linguistik tersebut dapat terjadi pada bahasa mana pun
sebab sifat kedinamisan yang dimiliki oleh semua bahasa. Poedjosoedarmo
(2008: 1-2) mengungkapkan bahwa bahasa berubah antara lain karena ada kontak
dengan bahasa lain. Perilaku sosiolinguistik para penutur dalam sebuah masyarakat
dapat menjadi salah satu pemicu berubahnya sebuah bahasa. Masing-masing penutur
ingin menyesuaikan idioleknya dengan idiolek lawan bicaranya untuk kelancaran
komunikasi.
Pemicu lain berubahnya suatu bahasa adalah faktor migrasi. Perpisahan
penutur suatu bahasa dengan jarak yang cukup jauh mengakibatkan semakin besarnya
perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kelompok penutur bahasa tersebut dan
memberikan peluang munculnya bahasa/dialek baru. Walaupun demikian, unsur-
unsur asli bahasa asalnya masih dapat ditelusuri melalui penelusuran hubungan
kekerabatan dan kesejarahan bahasa-bahasa tersebut.
e. Protobahasa atau Bahasa Purba atau Prabahasa
Hubungan antarbahasa sekerabat dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur
warisan dari bahasa asal atau protobahasa sebagaimana diungkapkan Fernandez
(1996:21). Secara teoretis, protobahasa adalah rakitan teoretis yang dirancang bangun
kembali dengan cara merangkaikan sistem bahasa-bahasa yang memiliki hubungan
kesejarahan, melalui kaidah-kaidah yang sederhana secara ekonomis (Bynon, 1979:
71). Protobahasa merupakan rakitan yang teoretis-hipotesis dan merupakan suatu
‘bangunan bahasa’ yang diasumsikan pernah hadir. Rakitan tersebut diterima sebagai
30
prototipe bahasa seasal (Haas, dalam Mbete, 2002:14). Kendati pun hanya diterima
sebagai rakitan, protobahasa merupakan fakta hubungan keseasalan. Melalui
protobahasa pula, perubahan dan penelusuran unsur-unsur dan sistem bahasa yang
hidup pada masa kini dapat ditelusuri dan dijelaskan secara sistematis (Mbete,
2002:14).
Istilah prabahasa (prelanguage) adalah istilah yang terbentuk dari gabungan
dua morfem, yaitu morfem yang berupa afiks {pra-} dan morfem dasar ’bahasa’.
Oleh karena itu, prabahasa merupakan ’bahasa pendahuluan’ dalam artian sebuah
bahasa yang dihipotesiskan digunakan sebagai sarana cikalbakal dari bahasa modern
yang ada sekarang ini dan direkonstruksi berdasarkan evidensi dialektal atau
subdialektal (dalam Mahsun, 1995).
Untuk lebih jelasnya pembedaan terhadap dua istilah prabahasa dan
protobahasa diuraikan oleh Mahsun (1995 : 82) sebagai berikut.
Prabahasa Protobahasa
- rekonstruksi bahasa purba - rekonstruksi bahasa purba
- rekonstruksi internal - rekonstruksi eksternal
- rekonstruksi didasarkan pada evidensi - rekonstruksi didasarkan pada
dialektal atau subdialektal evidensi bahasa
- digunakan dalam disiplin ilmu dialektologi - digunakan dalam disiplin ilmu
linguistik komparatif
31
f. Rekonstruksi Bahasa
Rekonstruksi bahasa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari atas ke
bawah dan dari bawah ke atas. Rekonstruksi dari atas ke bawah adalah rekonstruksi
dengan melihat refleks protobahasa ke bahasa-bahasa modern. Teknik ini diterapkan
oleh Dempwolff (1938) dalam karangannya Austronesisches Worterverzeichmis
(dalam Fernandez, 1994 : 29).
Rekonstruksi dari bawah ke atas pun pertama kali dikembangkan oleh
Dempwolff (dalam Mahsun 1994) untuk menemukan kekerabatan dan merumuskan
protobahasa Austronesia. Dalam Mahsun (1994) diuraikan bahwa rekonstruksi dari
bawah ke atas ini ditempuh melalui prosedur berikut ini.
a. Penentuan prafonem secara serentak.
Berdasarkan perangkat kata yang berkognat yang ditemukan secara langsung
ditentukan prakata. Melalui etimon prabahasa itulah, selanjutnya didaftarkan
prafonem serta perumusan kaidah-kaidah perubahan fonem pada dialek-
dialek/subdialek-subdialek turunan.
b. Penentuan prafonem demi prafonem.
Berdasarkan perangkat kata yang berkognat yang ditemukan, dirumuskan dan
ditentukan kaidah-kaidah perubahan fonem sebelum rekonstruksi etimon
prabahasa dilakukan. Melalui cara ini dimungkinkan untuk diperoleh
prafonem demi prafonem, dan selanjutnya dilakukan rekonstruksi etimon
prabahasa berdasarkan kaidah-kaidah perubahan fonem yang ditemukan.
32
g. Inovasi, Retensi, dan Relik
Hubungan bahasa-bahasa sekerabat harus didukung oleh bukti kualitatif
berupa inovasi bersama secara ekslusif (exclusively shared inovations) yang dimiliki
oleh kelompok bahasa tersebut, baik inovasi fonologis maupun leksikon. Inovasi
merupakan pembaharuan yang memperlihatkan kaidah yang berlaku . Di bidang
fonologi pembaharuan itu bertalian dengan kaidah perubahan yang mendorong
pembentukan kosakata baru sebagai penanda pengelompokan bahasa (Fernandez,
1996:22). Inovasi fonologis tampak dalam berbagai wujud perubahan yang
menyangkut jumlah dan distribusi fonem yang merupakan dasar berbagai tipe
perubahan, seperti complete loss (pelesapan seutuhnya), partial loss (pelesapan
sebagian), complete merger (paduan seutuhnya), partial merger (paduan sebagian),
split (pembelahan), excrescence (penambahan), dan sebagainya (Anttila, 1989:69-70).
Perbedaan mendasar antara inovasi dalam tinjauan dialektologi dengan
tinjauan linguistik historis komparatif terletak dalam tataran isolek itu sendiri (bahasa,
dialek, atau subdialek). Inovasi dalam kajian dialektologi mencakup tataran dialek
dan subdialek, sedangkan inovasi dalam kajian linguistik historis komparatif hanya
mencakup tataran bahasa.
Adapun daerah-daerah yang tidak mengalami inovasi (atau dengan kata lain
masih mempertahankan bentuk proto/prabahasanya) dalam linguistik historis
komparatif dinamakan daerah retensi, sedangkan dalam dialektologi dinamakan
dengan daerah relik. Namun, perbedaan ini hanyalah sekedar perbedaan istilah saja.
Pada prinsipnya peristilahan retensi bila mengacu kepada bentuk protobahasa dan
peristilahan relik bila mengacu kepada bentuk prabahasa.
33
Jika pembaharuan/perubahan yang terdapat dalam suatu bahasa disebut
inovasi, maka unsur-unsur yang tidak mengalami perubahan pada bahasa sekarang
disebut retensi. Dalam perkembangan historis bahasa sekerabat unsur retensi bersama
dapat terjadi secara mandiri tanpa melalui suatu masa perkembangan yang sama.
Akan tetapi inovasi bersama yang dialami bahasa sekerabat secara ekslusif pada
umumnya melalui suatu masa perkembangan bersama (Greenberg, dalam Fernandez,
1996:22).
Pembicaraan unsur inovasi dan retensi berkaitan dengan upaya penelusuran
evidensi pewarisan fonem protobahasa ke dalam bahasa yang diteliti. Evidensi
pewarisan fonem protobahasa ke dalam bahasa yang diteliti merupakan refleks unsur
suatu bahasa proto tersebut. Dengan kata lain, refleks adalah cerminan unsur atau
bentuk yang lebih tua yang diketahui dari rekontruksi. Unsur atau bentuk turunan itu
sedikit banyaknya mengalami perubahan bahasa (Kridalaksana, 2001:186).
Sementara itu, rekonstruksi adalah metode untuk memperoleh moyang bersama dari
suatu kelompok bahasa yang berkerabat dengan membandingkan ciri-ciri bersama
atau dengan menentukan perubahan-perubahan yang dialami suatu bahasa sepanjang
sejarahnya (Kridalaksana, 2001:187)
h. Penentuan Hubungan Kekerabatan dalam Linguistik Historis Komparatif
Dalam linguistik historis komparatif penentuan hubungan kekerabatan
antarbahasa ditinjau dari dua pendekatan, kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif
penentuan hubungan kekerabatan dilakukan dengan metode leksikostatistik.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penerapan leksikostatistik adalah sebagai
berikut.
34
1) Mengumpulkan kosakata dasar isolek yang berkerabat, dalam hal ini kedua
puluh tiga isolek yang terdapat pada kedua puluh tiga wilayah yang menjadi
daerah pengamatan.
2) Menetapkan dan menghitung pasangan-pasangan mana yang merupakan kata
kerabat.
3) Menghubungkan hasil penghitungan yang berupa persentase kekerabatan
dengan kategori kekerabatan.
Hasil persentase yang dicapai berdasarkan kalkulasi leksikostatistik dapat
digunakan untuk mengamati hubungan antarbahasa yang disajikan dengan dasar
tingkat persentase. Berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan dapat
dijelaskan peringkat hubungan antarbahasa. Kriteria itu dapat menggambarkan relasi
antarbahasa yang dibandingkan. Hubungan kekerabatan antarbahasa dapat dihitung
dengan rumus:
Jumlah kata yang berkerabat X 100 % Jumlah glos yang dibandingkan Hasil perhitungan tersebut kemudian dicocokkan dengan klasifikasi dalam
leksikostatistik yang dikemukakan oleh Morris Swadesh (Keraf, 1984: 135), yaitu:
Tabel (4) Hubungan Persentase Kekerabatan dengan Kategori Kekerabatan
Kategori Persentase kekerabatan (%) Bahasa (language) Keluarga (family) Rumpun (stock)
Mikrofilum Mesofilum Makrofilum
100 – 81 81 – 36 36 – 12 12 – 4 4 – 1
1 – krg dr 1
35
Penghitungan dilakukan dengan memperhatikan pedoman berikut ini.
1) Mengeluarkan glos yang tidak diperhitungkan dalam penetapan kata yang
berkerabat. Glos yang tidak diperhitungkan adalah glos yang tidak memiliki
bentuk realisasi (kosong), baik dalam salah satu bahasa maupun dalam semua
bahasa yang diperbandingkan. Selain itu, glos yang realisasinya merupakan
bentuk-bentuk serapan dari bahasa lain juga termasuk dalam glos yang tidak
diperhitungkan.
2) Menetapkan kata kerabat baik yang terealisasi dalam bentuk yang identik
(wujud sama), bentuk yang mirip (berkorespondensi dan bervariasi), dan
bentuk yang berbeda tetapi masih dapat dirunut kekerabatannya.
3) Membuat persentase kata kerabat. Pada tahap ini dilakukan penghitungan
terhadap jumlah kata dasar yang diperbandingkan pada langkah (1) dan
jumlah kata berkerabat yang dijumpai dari hasil penentuan kata kerabat pada
langkah (2). Penghitungan tersebut dilakukan dengan cara jumlah kata
berkerabat dibagi jumlah kata dasar yang diperbandingkan dan dikali seratus
persen sehingga diperoleh persentase jumlah kekerabatan. Hasil persentase
tersebut akan dihubungkan dengan kategori tingkat kekerabatan bahasa.
4) Langkah berikutnya adalah membuat diagram pohon yang menggambarkan
silsilah kekerabatan isolek-isolek yang diperbandingkan tersebut. Bahasa-
bahasa yang pada fase tertentu memiliki sejarah yang sama sebagai satu
keluarga bahasa atau subkeluarga bahasa berada dalam satu simpai (lihat
Mahsun, 2007:213-219).
36
Secara kualitataif, penentuan hubungan kekerabatan dalam linguistik historis
komparatif dilakukan dengan melihat inovasi bersama sebagai bukti pemisah
kelompok yang diperoleh dengan melihat refleks protobahasa pada bahasa-bahasa
yang dibandingkan. Dalam fernandez (1984 : 22) dijelaskan bahwa istilah inovasi
berarti pembaharuan, yaitu perubahan yang memperlihatkan penyimpangan dari
kaidah perubahan yang lazim berlaku, Refleks protobahasa pada bahasa-bahasa yang
diperbandingkan lazimnya dapat diamati dalam korespondensi bunyi berdasarkan
padanan perangkat kognat.
i. Penentuan Status Isolek
Penentuan status isolek dapat ditinjau secara kuantitatif dan kualitatif. Secara
kuantitatif dalam dialektologi dilakukan dengan menerapkan metode berkas isoglos
dan dialektometri.
Metode berkas isoglos adalah salah satu metode yang digunakan untuk
menentukan status isolek dengan menghitung jumlah isoglos yang menyatukan
daerah-daerah pengamatan. Isoglos adalah sebuah garis imajiner yang diterakan pada
sebuah peta bahasa (Lauder, 1990:117). Pada awalnya yang dimaksud garis imajiner
isoglos adalah garis yang menghubungkan tiap daerah pengamatan yang
menghubungkan tiap daerah pengamatan yang menampilkan gejala kebahasaan
serupa (Keraf dalam Mahsun, 1995: 36).
Sementara itu, metode dialektometri merupakan ukuran statistik yang
digunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada
tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul
dari tempat yang diteliti tersebut (Revier dalam Ayatrohaedi, 1983 : 32).
37
Dialektometri ini mulai diperkenalkan oleh Seguy tahun 1973 dalam tulisan yang
berjudul La Dialectrometric dans L’Atlas Linguistique de La Gascognate (Mahsun,
1995 : 39).
Dalam dialektologi, secara kualtitatif digunakan pula cara-cara yang serupa
dengan cara yang diterapkan pada linguistik historis komparatif. Dalam pemilahan
isolek, digunakan pula metode pemahaman timbal balik (mutual inteligilibity) yang
diajukan oleh Voeglin dan Harris (1951). Menurut metode pemahaman timbal balik,
bahwa daerah-daerah pakai isolek itu dikelompokkan dalam dialek sebuah bahasa jika
antarpenutur isolek yang berbeda itu masih terjadi pemahaman timbal balik antara
satu sama lain ketika mereka bertutur dengan menggunakan isoleknya masing-
masing. Hasil perhitungan dialektometri tersebut disepadankan dengan bukti-bukti
kualitatif berupa kesamaan fonologi ataupun leksikal untuk menguatkan
pengelompokan.
j. Metode Kuantitatif dan Kualitatif dalam Penelitian Linguistik Komparatif
Keterkaitan metode kuantitatif dan kualitatif dapat dipahami secara baik
apabila kita memahami dalam konteks bahwa setiap metode memiliki keunggulan dan
kelemahan. Dalam kajian linguistik historis komparatif dan dialektologi, metode
kuantitatif mempunyai kelebihan dapat sekaligus menangani data dalam jumlah yang
banyak, tetapi tidak mampu menjelaskan kekognatan kosakata yang dibandingkan
karena tidak menelusuri kesejarahan kosakata tersebut. Sementara itu, metode
kualitatif mempunyai kelebihan dalam hal kecermatan dan ketajaman di dalam
analisisnya karena sampai kepada penelusuran sejarah kosakata bahasa/isolek yang
diperbandingkan. Adapun kelemahannya, pendekatan ini umumnya hanya dilakukan
terhadap data yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, paduan evidensi kuantitatif
38
dan kualitatif merupakan bukti yang akurat untuk menjelaskan relasi kekerabatan
suatu bahasa/isolek.
k. Daerah Asal Suatu Bahasa
Apabila dari hasil penentuan kekerabatan dan pengelompokan bahasa telah
mampu dideteksi ihwal keterhubungan satu isolek dengan isolek lain dalam satu
kelompok serta keterhubungannya dengan kelompok lain, dan melalui
perekonstruksian bahasa purba mampu diperlihatkan bentuk-bentuk yang menjadi
asal dari bentuk-bentuk dalam bahasa yang telah dikelompokkan itu.
Mahsun (2010:100—109) menjelaskan bahwa dalam kajian linguistik
diakronis dianut pandangan bahwa varian-varian yang muncul dari sebuah bahasa
purba (baik itu protobahasa ataupun prabahasa) menjadi varian yang berdiri sendiri
tidak terjadi secara seketika, melainkan secara bertahap dan melibatkan waktu.
Mungkin perubahan bahasa induk menjadi varian-varian itu mulai membentuk
perbedaan wicara, menjadi perbedaan subdialek, lalu menjadi perbedaan dialek, dan
lama-kelamaan varian itu muncul sebagai bahasa tersendiri yang berbeda dengan
bahasa induknya. Artinya, perubahan dari satu bahasa induk menjadi beberapa varian
yang berstatus beda wicara memerlukan waktu yang tidak terlalu lama dibandingkan
dengan perubahan menjadi varian yang berstatus beda dialek atau bahkan beda
bahasa. Semakin panjang perjalanan waktu yang dialami suatu bahasa, maka akan
semakin tinggi tingkat varian yang dimiliki oleh bahasa itu. Dengan demikian,
dapatlah dikatakan bahwa pada wilayah yang memiliki keragaman bahasa yang tinggi
secara menyeluruh menunjukkan panjangnya waktu perubahan yang dialami oleh
bahasa tersebut dan wilayah itu dapat dihipotesiskan sebagai wilayah asal.
39
l. Subkelompok Bahasa Muna-Buton
Bahasa Ciacia merupakan bahasa yang tergolong dalam subkelompok bahasa
Muna-Buton (Pusat Bahasa, 2008; SIL, 2006). Berbagai keterangan tentang
subkelomnpok bahasa Muna-Buton ini telah diinformasikan oleh para ahli.
Yamaguchi dalam Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara dalam
Kaitannya dengan Genealogi (2010) memaparkan dua hasil penelitian yang mengacu
pada kedudukan subrumpun bahasa Muna-Buton. Penelitian yang dimaksud adalah
penelitian N. Adriani (1865-1926) dan A.C. Kruijt (1869-1949) serta peta bahasa dan
penelitian oleh S.J. Esser (1900-1944).
Bahasa daerah di Sulawesi Selatan dapat digolongkan dalam beberapa
kelompok bahasa. Menurut Esser, di Pulau Sulawesi terdapat sembilan kelompok
bahasa (Esser dalam Yamaguchi , 2010), yaitu:
V Philippijnsche groep
VI Gorontalosche groep
VII Tominische groep
VIII Toradjasche groep
IX Loinangsche groep
IXa Banggaische groep
X Boengkoesch-Lakische groep
XI Zuid-Celebes-Talen
XII Moenasch-Boetongsche groep
Di antara kelompok bahasa tersebut di atas, yang tersebar di Sulawesi
Tenggara adalah X Boengkoesch-Lakische groep dan XII Moenasch-Boetongsche
groep.
40
Kelompok-kelompok bahasa tersebut tergolong dalam keluarga Melayu
Polinesia Barat. Keluarga Melayu Polinesia Barat menurunkan beberapa kelompok,
salah satunya adalah Proto Philipina. Proto Philippines inilah yang menurunkan Outer
Philippines dan Central Philippines-Malayo-Javanic. Subkelompok Muna-Buton
merupakan bagian yang diturunkan dari Outer Philippines (Tryon, 1995).
Bila silisilah ini diteruskan ke atas diperoleh gambaran bahwa keluarga
Melayu Polinesia Barat diturunkan dari Keluarga Melayu Polinesia. Keluarga Melayu
Polinesia merupakan salah satu turunan dari Amis-Extra-Formosa. Amis-Extra-
Formosa inilah yang salah satu turunan dari Proto Austronesia (Tryon, 1995).
m. Pemilihan Teori yang Diterapkan
Teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya merupakan pijakan dalam
penelitian ini. Secara global penelitian ini memadukan kajian dialektologi dengan
kajian linguistik historis komparatif. Namun, penelitian ini berfokus pada kajian
dialektologi, khususnya kajian dialektologi diakronis. Hanya saja, hasil penelitian ini
tidak dipetakan secara deskripstif. Pemetaan variasi-variasi dialektal hanya disajikan
dalam bentuk peta verbal yang memuat variasi dialek/subdialek yang lebih terfokus
pada variasi fonologi dan leksikon. Kajian linguistik historis komparatif dalam
penelitian ini diterapkan ketika mencari hubungan kekerabatan antara bahasa Ciacia
dengan bahasa-bahasa lain yang tergolong dalam subrumpun Muna-Buton.
Permasalahan pertama dalam penelitian ini terjawab dengan menerapkan teori
penentuan status kebahasaan dalam kajian dialektologi dengan metode kuantitatif
berupa analisis dialektometri yang diikuti oleh evidensi-evidensi perbedaan fonologis
dan leksikal isolek-isolek yang diperbandingkan. Metode ini digunakan untuk
41
menentukan status isolek yang berada dalam wilayah pakai bahasa Ciacia yang dalam
penelitian terdahulu dan pengakuan penduduk diasumsikan sebagai bahasa Ciacia.
(salah satu isolek yang oleh penelitian terdahulu dan pengakuan penduduk terdapat
perbedaan pendapat adalah isolek Kumbewaha). Penelitian ini tidak menggunakan
metode berkas isoglos dengan pertimbangan daerah pengamatan dalam penelitian ini
merupakan daerah kepulauan yang menurut sejarah masyarakat Ciacia tersebar di
pulau-pulau tersebut. Oleh karena itu kemungkinan dijumpai kesulitan untuk menarik
satu garis isoglos yang menyatukan daerah pengamatan yang terpisah jauh oleh
perbedaan pulau.
Permasalahan kedua terjawab dengan merapkan teori rekonstruksi prabahasa
bahasa Ciacia yang dilakukan dengan menerapkan teori-teori rekonstruksi bahasa
purba, refleks bahasa purba pada bahasa modern (relik dan inovasi).
Permasalahan ketiga terjawab dengan menerapkan teori penentuan hubungan
kekerabatan dalam linguistik historis komparatif. Dengan demikian penjelasan
genealogi bahasa Ciacia tidak hanya terbatas pada lingkup bahasa Ciacia sendiri,
tetapi sampai kepada hubungannya dengan bahasa-bahasa lain dalam subrumpun
Muna-Buton.
Penjelasan silsilah subkelompok Muna-buton ke Proto Austronesia yang
disusun oleh Blust, Ross, dan Reid (dalam Tryon, 1995) hanyalah merupakan
gambaran informasi genealogi subkelompok Muna-Buton (yang menurunkan bahasa
Ciacia) ke atas. Namun, perlu ditegaskan bahwa penelitian ini hanya membahasa
genealogi bahasa Ciacia mulai posisinya dalam subkelompok Muna-Buton, Prabahasa
Bahasa Ciacia, hingga bahasa Ciacia masa kini (tataran dialek, subdialek, beda
wicara, dan tidak beda)
42
1.7 Metode dan Teknik Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian linguistik dibagi atas tiga tahapan,
yaitu metode penyediaan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil
analisis data (Mahsun, 2007:127 ; Sudaryanto, 1992:57).
1.7.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data
Penyediaan data dilakukan dengan metode cakap dan metode simak (Mahsun,
1995:94-101). Metode cakap dilakukan dengan teknik cakap semuka, yaitu
mendatangi setiap lokasi penelitian dan melakukan percakapan bersumber pada
pancingan yang berupa daftar pertanyaan. Metode simak dilakukan dengan teknik
sadap diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik catat dan rekam. Teknik
sadap berarti peneliti menyadap penggunaan bahasa informan. Selanjutnya dilakukan
teknik catat, yaitu mencatat berian tentang daftar tanyaan, cerita-cerita rakyat, atau
hal-hal yang berhubungan dengan objek yang diteliti. Catatan berian dilakukan
dengan transkripsi fonetis. Dalam hal ini transkripsi fonetis yang digunakan
berpedoman pada The International Phonetic Association (1991:8—10).
Dalam wawancara digunakan bahasa Indonesia untuk menanyakan sejumlah
kosakata dan kalimat yang terdapat dalam daftar tanyaan. Namun, bentuk pertanyaan
tidak selamanya secara lugu dibacakan. Terkadang pertanyaan kosakata dapat
diberikan dalam bentuk penyajian gambar, penyajian gerakan, peniruan bunyi, atau
dalam bentuk pertanyaan seperti untuk memancing tuturan suatu kalimat. Contoh
untuk menanyakan kalimat Tolong ambilkan baju saya dalam bahasa Ciacia
dinyatakan dalam bentuk pancingan pertanyaan seperti, ”Kalau Bapak menyuruh
43
seseorang untuk mengambilkan baju Bapak, apa yang Bapak katakan?” Hal ini
penting untuk menghindari penerjemahan secara harafiah oleh informan karena
struktur bahasa Indonesia tidak sama dengan struktur bahasa Ciacia. Dalam contoh
pertanyaan tersebut kita akan memperoleh jawaban Culungiau alasiau bajuu yang
jika diterjemahkan secara harafiah ke dalam bahasa Indonesia adalah Tolong saya
ambil saya baju. Jadi, untuk memperoleh data kalimat seperti di atas, tidak digunakan
pertanyaan seperti Tolong ambilkan saya baju, jika diterjemahkan ke bahasa Ciacia
bagaimana?
Pada saat wawancara berlangsung digunakan pula jawaban atau pancingan
dari peneliti diharapkan dapat menimbulkan gairah dan semangat para informan,
misalnya, oooo begitu ya Pak/Bu? wah bagus sekali!. Selain itu, digunakan juga
model pertanyaan ulang untuk memperjelas lafal mereka, misalnya, maaf, apa
Pak/Bu? atau maaf, bisa diulangi lagi Pak/Bu?
Wawancara terhadap para informan dalam satu daerah pengamatan (DP)
dilakukan secara serentak di balai desa atau rumah salah satu informan (satu DP
terdiri atas satu informan utama dan dua informan pembanding). Pemilihan salah satu
rumah informan dimaksudkan untuk menciptakan suasana santai bagi informan
sehingga mereka bebas menyatakan pendapat mereka. Adapun cara yang serentak
dimaksudkan untuk memperkuat berian yang ada karena informan pendamping dapat
menyepakati atau mempermasalahkan berian yang diungkapkan oleh informan utama.
Di samping itu, di beberapa DP di lokasi wawancara biasanya wawancara ramai
dihadiri oleh beberapa tetangga yang kebetulan berkunjung ke rumah informan.
44
Selain menggunakan metode penelitian lapangan, penelitian ini juga
menggunakan metode pustaka untuk mendapatkan informasi-informasi yang
berkaitan dengan objek penelitian. Informasi pustaka ini selain diperoleh dari
penelitian-penelitian terdahulu mengenai bahasa Ciacia, juga dari tulisan-tulisan
mengenai wilayah bahasa Ciacia yang dapat diperoleh di kabupaten, kecamatan, atau
pun desa, di Biro Pusat Statistik, sejarah kerajaan Buton, dan lain-lain.
a. Penetapan Daerah Pengamatan
a.1. Populasi Titik Pengamatan
Satuan unit penelitian sebagai satu titik pengamatan di dalam penelitian ini
adalah desa. Di Kota Baubau jumlah desa penutur bahasa Ciacia terdiri atas dua desa.
Di Kabupaten Buton jumlah desa penutur bahasa Ciacia terdiri atas tujuh puluh tujuh
desa. Di Kabupaten Wakatobi jumlah desa penutur bahasa Ciacia terdiri atas tujuh
desa di Pulau Binongko. Dengan demikian populasi titik pengamatan penutur bahasa
Ciacia berjumlah delapan puluh enam desa.
a.2 Percontoh Titik Pengamatan
Mempertimbangkan perbedaan yang terdapat dalam bahasa Ciacia, maka
dalam penelitian ini dipilih dua puluh tiga desa (sekitar 25 % dari keseluruhan
populasi) yang berdasarkan informasi awal tokoh masyarakat Ciacia memiliki
perbedaan antarwilayah bahasa Ciacia.
Penetapan daerah pengamatan dilakukan dengan memilih desa atau dusun
sesuai dengan kriteria daerah pengamatan yang diajukan oleh Mahsun (2007:138),
yaitu: terletak jauh dari kota besar, mobilitas penduduknya rendah, dan berusia
45
minimal 30 tahun. Penelitian ini mengambil tiga lokasi administratif yang berbeda
sebagai daerah sebaran penggunaan bahasa Ciacia, yang menurut informasi awal dari
masyarakat Sulawesi Tenggara penggunaan bahasa Ciacia dapat dijumpai di Kota
Baubau, Kabupaten Buton, dan Pulau Binongko, di Kabupaten Wakatobi. Selain
lokasi tutur bahasa Ciacia, penelitian ini menambahkan enam lokasi tutur yang
masing-masing mewakili bahasa Muna, bahasa Wolio, bahasa Busoa, bahasa
Lasalimu, bahasa Kamaru, dan bahasa Wakatobi. Lokasi tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Desa Gonda Baru, Kecamatan Sorowolio, Kota Baubau, Pulau Buton
2. Desa Karya Baru, Kecamatan Sorowolio, Kota Baubau, Pulau Buton
3. Desa Kaisabu Baru, Kecamatan Sorowolio, Kota Baubau, Pulau Buton
4. Desa Baadia, Kecamatan Baadia, Kota Baubau, Pulau Buton
5. Desa Busoa, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton, Pulau Buton
6. Desa Bola, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton, Pulau Buton
7. Desa Poogalampa, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton, Pulau Buton
8. Desa Masiri, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton, Pulau Buton
9. Desa Jaya Bakti, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton, Pulau Buton
10. Desa Tira, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton, Pulau Buton
11. Desa Sandang Pangan, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton, Pulau
Buton
12. Desa Warinta, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Pulau Buton
13. Desa Takimpo, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Pulau Buton
14. Desa Kancinaa, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Pulau Buton
15. Desa Holimambo Jaya, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton, Pulau Buton
46
16. Desa Wabula, Kecamatan Wolowa, Kabupaten Buton, Pulau Buton
17. Desa Wasampela, Kecamatan Wolowa, Kabupaten Buton, Pulau Buton
18. Desa Lapandewa Makmur, Kecamatan Lapandewa, Kabupaten Buton, Pulau
Buton
19. Desa Burangasi, Kecamatan Lapandewa, Kabupaten Buton, Pulau Buton
20. Desa Wolowa, Kecamatan Wolowa, Kabupaten Buton, Pulau Buton
21. Desa Matanauwe, Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton, Pulau Buton
22. Desa Kumbewaha, Kecamatan Siontapina, Kabupaten Buton, Pulau Buton
23. Desa Ambuau Indah, Kecamatan Lasalimu Selatan, Kabupaten Buton, Pulau
Buton
24. Desa Wacuala, Kecamatan Batu Atas, , Kabupaten Buton, Pulau Batuatas,
Pulau Buton
25. Desa Lasalimu, Kecamatan Lasalimu, Kabupaten Buton, Pulau Buton
26. Desa Kamaru, Kecamatan Lasalimnu, Kabupaten Buton, Pulau Buton
27. Desa Wali, Kecamatan Binongko, Kabupaten Wakatobi, Pulau Binongko
28. Desa Rukuva, Kecamatan Binongko, Kabupaten Wakatobi, Pulau Binongko
29. Desa Lahontohe, Kecamatan Tongkuno, Kabupaten Muna, Pulau Muna
Dengan demikian, wilayah tutur bahasa Ciacia yang digunakan dalam
penelitian ini ada 23 wilayah, 4 wilayah berada di luar wilayah mayoritas penggunaan
bahasa Ciacia dan 19 wilayah yang berada di wilayah mayoritas penggunaan bahasa
Ciacia. Pemilihan wilayah tersebut dengan pertimbangan wilayah-wilayah tersebut
merupakan wilayah tutur bahasa Ciacia yang sudah bertahun-tahun lamanya. Selain
itu, kedua puluh wilayah tersebut sering disebut-sebut masyarakat sebagai wilayah-
47
wilayah pengguna tiga kelompok dialek Ciacia, yaitu: Ciacia Kapara’e, Ciacia
Mbahae, dan Ciacia (Alirman, 2010) . Oleh karena itu, diharapkan dari lokasi-lokasi
tersebut dapat ditemukan karakteristik dialek-dialek bahasa Ciacia, baik yang berada
di lokasi pusat penutur bahasa Ciacia maupun di luar pusat lokasi. Selanjutnya
ditambahkan lagi enam wilayah tutur yang masing-masing mewakili enam bahasa
yang termasuk dalam subkelompok bahasa Muna-Buton sehingga jumlah keseluruhan
daerah pengamatan dalam penelitian ini adalah dua puluh sembilan.
Dari dua puluh tiga wilayah tutur bahasa Ciacia tersebut, berdasarkan hasil
penelitian kekerabatan dan pemetaan bahasa-bahasa di Sulawesi Tenggara oleh Pusat
Bahasa (tahun 2008), diperoleh gambaran bahwa dua wilayah tutur yang tidak
tergolong dalam bahasa Ciacia, yaitu Desa Kaisabu Baru merupakan wilayah pakai
bahasa Wolio. Sebaliknya, dari hasil penelitian SIL (2006) terdapat dua wilayah tutur
yang tidak tergolong dalam bahasa Ciacia, Desa Kaisabu Baru dan Desa Kumbewaha.
Peta lokasi daerah penelitian dapat dilihat pada gambar berikut ini.
48
PETA WILAYAH TUTUR BAHASA CIACIA
U
����
Keterangan Gambar Abjad : A sampai K → kecamatan Angka: 1 sampai 23 → desa A : Sorowolio (Baubau) B : Batauga (Buton) C : Sampolawa (Buton) D : Pasarwajo (Buton) E : Wabula (Buton) F : Lapandewa (Buton) G: Wolowa (Buton) H: Siontapina (Buton) I : Lasalimu Selatan (Buton) J : Pulau Batu Atas (Buton) K : Pulau Binongko (Wakatobi) 1 : Bola 8 : Batuatas 15 : Takimpo 22: Ambuau 2 : Poogalampa 9 : Wali 16 : Holimombo Jaya 23: Kumbewaha 3 : Sampolawa 10: Rongi 17 : Wasampela 4 : Masiri 11: Gonda Baru 18 : Wabula 5 : Tira 12: Karya Baru 19: Kancina 6 : Burangasi 13: Kaisabu Baru 20 : Wolowa 7 : Lapandewa 14: Warinta 21: Matanauwe
49
(b) Penetapan Informan
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penutur bahasa Ciacia yang
tersebar pada wilayah-wilayah penggunaan bahasa Ciacia, baik di Kabupaten Buton,
maupun di Kota Baubau, dan Pulau Binongko. Selain informan bahasa Ciacia, juga
penutur bahasa Wolio, bahasa Lasalimu, dan bahasa Wakatobi yang dituturkan di
wilayah tutur bahasa Ciacia. Adapun kriteria informan yang diperlukan untuk
memperoleh data (sebagai percontoh penelitian) adalah sebagai berikut (Lauder,
1993:49—56 dan Mahsun, 1995:106).
a. Informan lahir dan dibesarkan di lokasi penggunaan bahasa Ciacia yang
mobilitasnya rendah.
b. Informan berumur 25-60 tahun dan mengenal bahasa yang hidup di
daerahnya.
c. Informan memiliki organ artikulatoris yang masih utuh.
d. Informan dapat berbahasa Indonesia sehingga dapat membantu kelancaran
wawancara.
(c) Instrumen Penelitian
Instrumen pada penelitian ini berfokus pada daftar tanyaan berupa 200
kosakata Swadesh yang dimodifikasi oleh Gorys Keraf dan 566 kosakata budaya
dasar (bilangan, ukuran dan bentuk, rasa, sifat, warna dan bau, bagian tubuh, istilah
kekerabatan, sapaan dan kata ganti, pakaian dan perhiasan, pekerjaan/profesi,
kendaraan, binatang, bagian tubuh binatang, tumbuhan (termasuk bagian tumbuhan
dan olahan), musim, aktivitas, rumah dan bagian-bagian rumah, alam, arah, alat, dan
50
penyakit) serta 15 frasa dan 24 kalimat sederhana. Kosakata swadesh digunakan
sebagai piranti dasar untuk mengukur tingkat kekerabatan baik dengan metode
leksikostatistik maupun dialektometri. Di samping itu dalam analisis kuantitatif untuk
metode dialektometri ditambahkan pula 237 kosakata budaya, sehingga jumlah
kosakata untuk analisis dialektomteri adalah 437 kosakata. Hal ini dilakukan karena
fokus kajian dialektologi mencari perbedaan. Oleh karena itu diperlukan penambahan
kosakata budaya dalam analisis ini. Namun, pada penelitian ini tidak seluruh kosakata
budaya dalam instrumen penelitian digunakan dalam analisis dialektometri ini. Hal
tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa bentuk realisasi masih
mencampurkan kosakata asli dengan serapan dari bahasa Indonesia. Salah satu di
antaranya untuk medan makna kendaraan. Sementara itu seluruh kosakata budaya
pada instrumen penelitian digunakan dalam analisis kualitatif untuk menemukan
korespondensi bunyi. Selain daftar kosakata tersebut, sebagai bahan pendukung
digunakan pula data pustaka yang berhubungan dengan objek penelitian, seperti
informasi-informasi mengenai budaya dan cerita-cerita rakyatnya.
1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data dikaitkan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan
landasan teori. Metode yang digunakan dalam menguraikan genealogi bahasa Ciacia
adalah metode komparatif yang bersifat kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian ini diawali dengan menentukan status isolek-isolek yang berada di
wilayah tutur bahasa Ciacia dengan menggunakan metode dialektometri. Adapun
tahapan langkah yang dilakukan dalam penerapan metode dialektometri adalah
sebagai berikut.
51
1) Membuat tabulasi tahap I dan II.
Tabulasi tahap I berisi data yang akan dianalisis yang berupa keseluruhan data
pada daftar tanyaan. Tabulasi tahap I ini merupakan Peta Verbal 1. Adapun
model tabulasi tahap pertama yang dimaksud adalah seperti contoh berikut ini
Tabel (5)
Tabulasi Data Tahap I
Identifikasi Varian dan Daerah Sebarannya
No Kode/Glos Bentuk Realisasi Berdasarkan Daerah Pengamatan
1 2 3 4
I. Kosa Kata Dasar Swadesh
1 abu O:awU O:awu awu awu 2 air i:wOi i:wOi waE i:wOi 3 akar Ohaka Ohaka ur|? Ohaka 4 alir (me) mOsOlO mOsOlO masOlO mOsOlO 5 anak anadalO anadalO an|? anadalO 6 angin Opu+a Opu:+a aGiG Opu:+a 7 anjing Odahu Odahu asu Odahu 8 apa OhapO OhapO aga OhapO 9 api O+api O+api a:Bi O+api
10 apung (me) lulOndO lulOndO mOnaG lulOndo (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007) Contoh tabulasi tahap I tersebut mendeskripsikan bentuk realisasi suatu
makna pada masing-masing daerah pengamatan. Sebagai contoh, makna
’apung’ pada daerah pengamatan 1, 2, dan 4 direalisasikan dengan lulOndO,
sedangkan pada daerah pengamatan 3 direalisasikan dengan mOnaG.
Adapun contoh tabulasi tahap I yang mendeskripsikan bentuk realisasi pada
masing-masing daerah pengamatan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
lampiran.
52
Tabulasi tahap I ini menjadi dasar pembuatan tabulasi tahap II yang berisi
deskripsi perbedaan unsur-unsur bahasa yang mencakup persamaan dan
perbedaan fonologis dan leksikal. Tabulasi tahap II ini merupakan Peta Verbal
II. Pengubahan Peta Verbal I menjadi Peta Verbal II dilakukan melalui
tahapan berikut ini (Pusat Bahasa, 2008).
a. Penentuan kaidah fonologis bentuk-bentuk yang diduga merupakan
refleks dari etimon yang sama.
b. Untuk membuat kaidah yang memperlihatkan lingkungan tempat
berlakunya kaidah, perlu ditentukan secara hipotesis bentuk yang
menjadi asal dari semua bentuk yang diduga berasal dari etimon
tersebut.
c. Bentuk yang lebih kompleks (bukan karena proses morfologis) dapat
menjadi asal dari bentuk-bentuk yang seetimon.
d. Pemilihan bentuk yang lebih kompleks sebagai bentuk asalnya
didasarkan pada pandangan historis bahwa kecenderungan universal
bahasa berkembang dari bentuk yang lebih kompleks ke bentuk yang
lebih sederhana (dari bentuk yang panjang ke bentuk yang lebih
pendek).
e. Penentuan kaidah perubahan bunyi di antara bentuk-bentuk yang
seetimon sehingga diperoleh kaidah perbedaan fonologis.
f. Penentuan pasangan perubahan bunyi dalam pembuatan kaidah
fonologis didasarkan pada pandangan historis bahwa bunyi konsonan
akan berubah atau selalu muncul sebagai konsonan bukan sebagai
53
vokal dan bunyi vokal akan berubah atau selalu muncul sebagai vokal
bukan sebagai konsonan.
g. Pembuatan kaidah perbedaan fonologis dengan mengidentifikasikan
perbedaan pada posisi awal, menyusul posisi tengah, dan posisi akhir.
h. Apabila beberapa bentuk yang seetimon memiliki lebih dari satu
kemungkinan pengaidahan, setiap kemungkinan pengaidahan
ditempatkan dalam alternatif pemetaan yang berbeda.
i. Setiap alternatif pemetaan (secara verbal) itu harus memuat informasi
tentang bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna tersebut serta
sebaran geografisnya.
j. Apabila bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna itu dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa etimon, setiap kelompok yang
memiliki lebih dari satu refleks harus dikaidahkan, kecuali refleks-
refleks itu memiliki sebaran geografis yang sama.
k. Setiap kaidah fonologis untuk setiap etimon ditempatkan dalam
alternatif pemetaan yang berbeda.
l. Apabila hanya dapat dikaidahkan satu kali, kaidah itu akan muncul
berulang-ulang pada alternatif pemetaan yang berbeda.
m. Urutan bunyi dalam pengaidahan dilakukan secara konsisten.
Penerapan Tabulasi Tahap II yang merupakan Peta Verbal II dapat dilihat
pada contoh berikut ini.
54
Tabel (6)
Tabulasi Tahap II
No Gloss Bentuk Realisasi Daerah Pegamatan
1 abu 1 O: O: O: O: ~ ø ø ø ø / # - O:O:O:O:awu(U) 1,2 awu 3,4 2 air 1 i: i: i: i: ~ ø ø ø ø / # - i:wOi 1,2,4 waE 3 2 oi oi oi oi ~ aE E E E / - # i:wOi 1,2,4 waE 3 3 akar 1.a. Ohaka 1,2,4 b. urE 3
4 alir
(me-) 1
mO mO mO mO ~ ma / # -
mOsolo 1,2,4
masolo 3
(Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007)
2) Pemilihan peta hasil tabulasi tahap II.
Sebelum penggunaan metode dialektometri terhadap analisis Peta Verbal II,
hal yang pertama-tama dilakukan adalah memilih salah satu dari sejumlah
kemungkinan pemetaan yang dapat dilakukan dalam setiap glos. Hal ini
disebabkan mungkin saja glos tertentu memiliki alternatif pemetaan lebih dari
satu, padahal untuk menggunakan dialektometri hanya memerlukan satu peta
untuk setiap glosnya. Untuk itu diperlukan suatu pegangan dalam memilih
salah satu dari alternatif pemetaan lebih dari satu. Adapun pegangan yang
dijadikan landasan dalam pemilihan alternatif pemetaan adalah sebagai
berikut ini (Pusat Bahasa, 2008)
55
a. Dari sudut pandang perbedaan fonologis, alternatif peta yang dipilih
adalah alternatif peta yang kaidahnya sama dengan alternatif pemetaan
pada glos lainnya. Pengertian sama di sini tidak hanya sama
kaidahnya, tetapi sama atau relatif sama daerah sebaran yang disatukan
atau dibedakan oleh kaidah tersebut.
b. Setelah dilakukan identifikasi seperti langkah (a) tersebut dan ternyata
tidak ditemukan alternatif peta yang sama kaidahnya dari semua glos
itu, langkah selanjutnya memilih alternatif peta pada glos yang secara
bersama-sama dengan alternatif peta pada glos lainnya mempersatukan
daerah pengamatan yang sama atau relatif sama.
c. Setelah langkah (a) dan (b) dilakukan, glos sisanya yang belum
ditentukan alternatif pemetaan yang akan dipilih, ditentukan dengan
tetap mempertimbangkan adanya dukungan bagi penetapan daerah
pengamatan atau kelompok daerah pengamatan tertentu sebagai daerah
pakai isolek yang berbeda dengan lainnya. Apabila langkah ini tidak
memungkinkan, alternatif peta dipilih secara mana suka.
3) Menghitung tingkat kekerabatan bahasa dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Apabila pada sebuah daerah pengamatan dikenal lebih dari satu bentuk
untuk satu makna dan salah satu di antaranya dikenal di daerah
pengamatan lain yang diperbandingkan, perbedaan itu dianggap tidak
ada; (-)
b. Apabila di antara daerah pengamatan yang dibandingkan itu, salah satu
di antaranya tidak memiliki bentuk sebagai realisasi suatu makna
tertentu, dianggap ada perbedaan; (+)
56
c. Apabila daerah-daerah pengamatan yang dibandingkan itu semua tidak
memiliki bentuk sebagai realisasi dari satu makna tertentu, daerah-
daerah tersebut dianggap sama; (-)
d. Apabila daerah-daerah pengamatan berbeda leksikon, dianggap beda
(+)
Hasil tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan rumus.
n
Sx )100( x 100 %
S : jumlah beda dengan DP lain
n : jumlah peta yang dibandingkan
Hasil yang diperoleh dari perhitungan dialektometri ini berupa persentase jarak
unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan itu yang selanjutnya
akan digunakan untuk menentukan hubungan antar-DP dengan kriteria sebagai
berikut.
81% ke atas : perbedaan bahasa
51% -- 80% : perbedaan dialek
31% -- 50% : perbedaan subdialek
21% -- 30% : perbedaan wicara
di bawah 20% : tidak ada peredaan
(Mahsun, 2010)
Kriteria tersebut berlaku untk perbedaan fonologi dan leksikon yang dihitung
menjadi satu. Tidak dilakukan pembedaan perbedaan persentase untuk
fonologi dan leksikon seperti yang diusulkan Guiter karena pembedaan
57
semacam itu tidak cocok dengan realita perubahan bahasa. Guiter
membedakan persentase untuk perbedaan fonologi dan leksikon sebagai
berikut ini.
Tabel (7) Dialektometri Guiter
Persentase Perbedaan Fonologi
Persentase Pebedaan Leksikal
Status Isolek
17 ke atas 12-16 8-11 4-7 0-3
81 ke atas 51-80 31-50 21-30
20 ke bawah
perbedaan bahasa perbedaan dialek
perbedaan subdialek perbedaan wicara
tidak ada perbedaan
(Guiter dalam Mahsun, 2010 : 50)
Apabila diperhatikan persentase batas krusial antara suatu isolek disebut
bahasa atau dialek, akan ditemukan batas maksimal untuk perbedaan fonologi adalah
16 % dan perbedaan leksikon 80 %. Dari titik krusial persentase perbedaan kedua
tataran linguistikitu diperoleh perbandingan 1:5. Artinya suatu perbedaan fonologi
sama dengan lima perbedaan leksikon. Asumsi Guiter yang menetapkan bahwa
perbandingan antara perbedaan fonologi dengan 1:5 dapat berlaku jika perubahan
dalam bahasa yang memunculkan perbedaan itu berlangsung secara teratur. Dari
penelaahan terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, perubahan yang diasumsikan Guiter
itu tidak terbukti. Artinya, bahwa perubahan yang banyak terjadi dalam isolek-isolek
yang berkerabat itu tidak berlangsung secara teratur. Lebih banyak perubahan yang
bersifat sporadis/tidak teratur daripada perubahan yang bersifat korespondensi
/teratur (Mahsun, 2010 : 50).
Melalui perhitungan dialektometri diperoleh kejelasan status isolek
Kumbewaha serta isolek-isolek lain dalam wilayah tutur bahasa Ciacia apakah
merupakan bahasa yang berbeda dengan bahasa Ciacia atau merupakan dialek atau
58
subdialek bahasa Ciacia. Penghitungan dialektometri ini dilakukan secara permutasi
untuk mendapatkan hasil yang akurat.
Hasil perhitungan dialektometri tersebut disepadankan dengan bukti-bukti
kualitatif berupa kesamaan fonologi ataupun leksikal untuk mendukung
pengelompokan. Jawaban permasalahan pertama berupa interpretasi hasil perhitungan
dialektometri yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil kuantitatif tersebut dijadikan
pijakan untuk pengelompokan isolek-isolek tersebut menjadi dialek, subdialek, beda
wicara, dan tidak ada perbedaan. Analisis kualitatif yang dimaksud adalah
mendeskripsikan perbedaan fonologi dan leksikon antardialek bahasa Ciacia. Bukti-
bukti perbedaan fonologi dan leksikon yang ditemukan diharapkan dapat menjelaskan
hasil analisis dialektometri. Hal ini sangat penting mengingat hasil dialektometri
sering kali terjadi tarik-menarik antara satu isolek dengan isolek lainnya dalam
pengelompokan.
Permasalahan kedua berkaitan dengan aspek historis yang tentu saja sangat
erat kaitannya dengan genealogi suatu bahasa. Langkah dari aspek historis ini berupa
membuat rekonstruksi bentuk prabahasa dari bahasa Ciacia yang mengacu pada hasil
pengelompokan pada bab sebelumnya. Rekonstruksi bentuk prabahasa bahasa Ciacia
ini dilakukan dengan menggunakan metode induktif dengan teknik rekonstruksi dari
bawah ke atas (bottom up), yaitu melihat wujud etimon bahasa purba pada tingkat
yang lebih tinggi (lebih kuno). Dalam praktiknya, rekonstruksi dari bawah ke atas ini
ditempuh melalui prosedur perbandingan sistem fonem yang terdapat dalam dialek-
dialek yang mendukung bahasa yang direkonstruksi bahasa purbanya, kemudian
keberadaan fonem-fonem segmental tersebut sebagai fonem yang dihipotesiskan
sebagai fonem bahasa purbanya akan diperlihatkan dalam bentuk rekonstruksi etimon
59
proto bahasa Ciacia. Dengan demikian, metode rekonstruksi yang akan digunakan
adalah metode padan intralingual dan ekstralingual dengan bertitik tolak pada kaidah
korespondensi bunyi (Mahsun, 1995).
Setelah bentuk purba bahasa Ciacia direkonstruksi secara bottom-up kemudian
dilihat refleks bahasa Ciacia Purba ke dialek-dialek dan subdialek-subdialeknya untuk
menemukan dialek yang mengalami inovasi dan dialek yang tetap mempertahankan
bentuk asalnya.
Agar genealogi bahasa Ciacia semakin jelas dilakukan juga penelusuran PAN
terhadap bentuk asal bahasa Ciacia dan bentuk modern bahasa Ciacia (dialek dan
subdialeknya) melalui refleks PAN pada Prabahasa Bahasa Ciacia (PBC) terhadap
Bahasa Ciacia Modern (BCM). Dengan demikian, gambaran inovasi dan retensi dari
PAN ke Prabahasa Bahasa Ciacia dan ke Bahasa Ciacia Modern dapat terdeskripsikan
dengan jelas.
Bagian akhir dari permasalahan kedua ini adalah penentuan status dialek dan
subdialek sebagai lanjutan dari hipotesis awal akan status tersebut pada permasalahan
pertama. Dengan bukti-bukti kualitatif berupa inovasi-inovasi dan relik-relik yang
ditunjukkan pada refleks Prabahasa Bahasa Ciacia pada bahasa Ciacia modern
semakin memperkuat pengelompokan dialek dan subdialek tersebut.
Permasalahan ketiga diawali dengan penjelasan hubungan antardialek dan
antarsubdialek bahasa Ciacia yang telah diperoleh kejelasan statusnya pada
penyelesaian permasalahan pertama dan kedua. Setelah hubungan kekerabatan
antardialek dan antarsubdialek bahasa Ciacia diperoleh, langkah selanjutnya adalah
menguraikan hubungan bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain dalam subrumpun
60
Muna-Buton. Untuk melihat hubungan bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain
dalam subrumpun Muna-Buton digunakan metode leksikostatistik. Dalam
leksikostatistik dipilih masing-masing satu isolek untuk mewakili satu bahasa.
Sebagai wakil dari bahasa Ciacia dipilih satu isolek untuk mewakili berdasarkan
beberapa pertimbangan (seperti hubungannya dengan isolek lain, kosakata, jumlah
penutur, dan lokasi).
Hasil persentase yang dicapai berdasarkan kalkulasi leksikostatistik dapat
digunakan untuk mengamati hubungan antarbahasa yang disajikan dengan dasar
tingkat persentase. Berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan dapat
dijelaskan peringkat hubungan antarbahasa. Kriteria itu dapat menggambarkan relasi
antarbahasa yang dibandingkan.
Hasil persentase hubungan kekerabatan tersebut kemudian diperkuat dengan
melihat evidensi-evidensi pemisah dan penyatu kelompok yang didasarkan pada
daftar Proto Astronesia (PAN). Adapun daftar fonem PAN yang digunakan dalam
penelitian ini berpedoman pada English Finderlist of Reconstructions yang disusun
oleh Wurm dan Hattori (1975)
Hasil penentuan status isolek-isolek dalam wilayah tutur bahasa Ciacia
merupakan simpulan penetapan pengelompokan genealogi bahasa Ciacia yang
diwujudkan dalam suatu bagan silsilah bahasa Ciacia. Bagan tersebut kemudian
disatukan dengan bagan silsilah bahasa Ciacia dalam subrumpoun Muna-Buton.
Dengan penggabungan kedua bagan silsilah yang diperoleh dari hasil pembahasan
permasalahan pertama dan kedua diperolehlah suatu bagan silsilah bahasa Ciacia
61
mulai dari posisinya dalam subrumpun Muna-Buton sampai kepada isolek-isolek
yang tidak memiliki perbedaan dalam bahasa Ciacia.
1.8 Sistematika Penyajian
Penulisan hasil penelitian ini disusun dengan penyajian sebagai berikut. Bab I
berupa pendahuluan, yang berisi latar belakang, permasalahan, tujuan, manfaat,
tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian. Bab II merupakan gambaran
umum objek dan lokasi penelitian yang gambaran umum etnis Ciacia, gambaran
umum wilayah penelitian meliputi situasi geografis, kilasan sejarah, dan situasi sosial
budaya; situasi kebahasaan daerah pakai bahasa Ciacia. Bab III merupakan
penelusuran status isolek-isolek dalam wilayah tutur bahasa Ciacia baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Bab IV merupakan rekonstruksi prabahasa bahasa
Ciacia , refleks prabahasa bahasa Ciacia pada dialek, subdialek bahasa Ciacia, serta
refleks PAN pada prabahasa bahasa Ciacia. Bab V merupakan penjelasan hubungan
kekerabatan antardialek dan antarsubdialek bahasa Ciacia serta hubungan bahasa
Ciacia dengan bahasa-bahasa lain dalam subrumpun Muna-Buton. Bab VI merupakan
penutup yang berisi simpulan dan saran.