Penda Hulu An

download Penda Hulu An

of 13

description

Pneumonia

Transcript of Penda Hulu An

PENDAHULUANInfeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001, influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor enam di Indonesia, nomor sembilan di Brunei, nomor tujuh di Malaysia, nomor tiga di Singapura, nomor enam di Thailand dan nomor tiga di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58% diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6% diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8% kasus infeksi dan 14,6% diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8% kasus infeksi dan 28,6% diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komunitas dengan angka kematian antara 20 35%. Pneumonia komunitas atau community acquired pneumonia (CAP) menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) menduduki peringkat kedua sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat dan mempengaruhi peningkatan angka kesakitan, kematian dan biaya perawatan di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi 5 10 kasus per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 6 20 kali pada pasien yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia nosokomial 20 50%. Angka kematian ini meningkat pada pneumonia yang disebabkan P. aeruginosa atau yang mengalami bakteremia sekunder. Angka kematian pasien pada pneumonia yang dirawat di istalansi perawatan intensif (IPI) meningkat 3 10 kali dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2 3 kali dibandingkan pasien tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa lama perawatan bertambah rata-rata 7 9 hari (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003b). Angka kejadian pneumonia nosokomial di Jepang adalah 5 10 per 1000 kasus yang dirawat. Lebih kurang 10% pasien yang dirawat di IPI akan berkembang menjadi pneumonia dan angka kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang menggunakan alat bantu napas meningkat sebesar 20 30%. Angka kejadian dan angka kematian pada umumnya lebih tinggi di rumah sakit yang besar dibandingkan dengan rumah sakit yang kecil. Angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial di Indonesia tidak diketahui disebabkan antara lain data nasional tidak ada dan data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi. Data dari RS Persahabatan dan RS Dr. Soetomo (lihat Lampiran I) hanya menunjukkan pola kuman yang ditemukan di ruang rawat intensif. Data ini belum dapat dikatakan sebagai infeksi nosokomial karena waktu diagnosis dibuat tidak dilakukan foto toraks pada saat pasien masuk ruang rawat intensif (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003b).

DEFINISISecara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).

ETIOLOGIPneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan, pneumonia komunitas yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komunitas adalah bakteri Gram negatif (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komunitas. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance (MDR) misalnya S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA), Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003b).

PATOGENESISDalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan, yaitu inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol dan kolonisasi di permukaan mukosa. Dari keempat cara tersebut di atas yang terbanyak adalah secara kolonisasi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).Pada pneumonia, mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).

PATOLOGIBasil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik yaitu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a):1. Zona luar: alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.2. Zona permulaan konsolidasi: terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah.3. Zona konsolidasi yang luas: daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak.4. Zona resolusi: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.

KLASIFIKASIPneumonia dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).1. Berdasarkan klinis dan epideologis :a. Pneumonia komunitas (community-acquired pneumonia)b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/nosocomial pneumonia)c. Pneumonia aspirasid. Pneumonia pada penderita immunocompromisedPembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.2. Berdasarkan bakteri penyebaba. Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydiac. Pneumonia virusd. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).3. Berdasarkan predileksi infeksia. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya: pada aspirasi benda asing atau proses keganasan.b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkusc. Pneumonia interstisial

DIAGNOSIS1. Gambaran klinisa. AnamnesisGambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40oC, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).b. Pemeriksaan fisikTemuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).2. Pemeriksaan penunjanga. Rontgen thoraksRontgen thoraks dengan posisi posteroanterior dan lateral lebih disukai untuk evaluasi khas pneumonia bakteri. Sebagian besar opasitas muncul dalam waktu 12 jam. Pada pasien imunosupresi, khususnya mereka dengan penyerta neutropenia, diabetes, alkoholisme, atau uremia, penampakan infiltrat juga dapat tertunda (Amanullah, 2013).Pneumonia bakteri biasanya cenderung unilobar dan memiliki lesi kavitas dan efusi. Patogen atipikal dapat menyebabkan keterlibatan multilobar dengan infiltrat nodular atau retikular, lobar atau kolaps segmental, atau adenopati perihilar. Temuan lain yang menunjukkan adanya pneumonia meliputi air bronchograms; tanda siluet; efusi parapneumonik; dan komplikasi dari pneumonia seperti abses paru dan atelektasis (Amanullah, 2013). Pneumonia S pneumoniae S pneumoniae menyebabkan 10-50% dari semua kasus -pneumonia komunitas (CAP). Konsolidasi alveoli dimulai dalam rongga udara perifer, seperti pada gambar di bawah ini. Penyakit ini biasanya menyebabkan pola lobar atau segmental, dan pola bronchopneumonic merata yang melibatkan lobus yang lebih rendah yang terlihat pada orang tua. Karakteristik mencolok infeksi S pneumoniae adalah kecenderungan untuk melibatkan pleura. Efusi parapneumonik umum terjadi pada pneumonia pneumokokus (Amanullah, 2013).

Gambar 1. Rontgen thoraks wanita 49 tahun dengan pneumonia pneumokokus. menggambarkan opasitas lobus bawah kiri dengan efusi pleura (Amanullah, 2013).

Pada pasien dengan pneumokokus bakteremik, 50% memiliki gambaran radiografi yang bersih setelah 9 minggu, dibandingkan dengan 5 minggu pada pneumonia pneumokokus nonbakteremik (Amanullah, 2013).Pada pasien yang lebih tua dari 50 tahun dengan alkoholisme dan COPD, 60% memiliki rontgen dada yang tidak normal setelah 14 minggu. Pada pasien yang lebih muda dari 50 tahun dengan bakteremia dan tidak ada penyakit yang mendasari, 40% memiliki gambar dada yang tidak normal setelah 2 minggu. Untuk kelompok secara keseluruhan, 37% memiliki konsolidasi sisa setelah 4 minggu, dengan resolusi lengkap setelah 18 minggu di hampir semua pasien (Amanullah, 2013).Meskipun terapi diberikan selama fase awal penyakit, 52% pasien bakteremik dibandingkan dengan 26% dari pasien nonbakteremik memiliki radiografi yang menunjukkan kerusakan. Interval yang tepat untuk pemeriksaan radiografi serial adalah 6 minggu, kecuali status klinis pasien memburuk (Amanullah, 2013). Pneumonia H influenzae Pneumonia H. Influenzae biasanya ditemukan pada pasien COPD yang perokok, pasien lansia dan pasien dengan alkoholisme, diabetes, anemia sel sabit atau imunokompromise. Organisme ini dapat ditemukan pada hampir 38% pasien rawat jalan dan 10% pasien rawat inap dengan pneumonia komunitas (Amanullah, 2013).

Gambar 2. Rontgen thoraks pada pasien usia 48 tahun dengan pneumonia Haemophilus influenzae memperlihatkan opasitas bilateral dengan predominan distribusi bilateral (Amanullah, 2013).

Pada sebagian besar pasien, rontgen thoraks menunjukkan pola bronkopneumonik merata, tetapi dapat juga terlihat sebagai konsolidasi lobaris dan segmental. Dengan demikian, pneumonia Haemophillus influenzae tidak dapat dibedakan dari pneumonia pneumokokus. Efusi pleura adalah temuan yang umum. Radiografi biasanya memperlihatkan infiltrat multilobular dan efusi pleura pada 50% kasus. Resolusi biasanya lambat (Amanullah, 2013). Pneumonia Klebsiella pneumoniae Pola radiografik yang terlihat pada Klebsiella pneumonia meliputi bronkopneumonik merata dan konsolidasi lobar padat. Alveolus terisi dengan sejumlah besar cairan dan eksudat supuratif mukoid yang dapat menyebabkan volume paru yang terkena menjadi meningkat dengan bulging fisura interlobar, merupakan gambaran yang jarang. Meskipun temuan-temuan tersebut dipertimbangkan sebagai karakteristik Klebsiella pneumonia, temuan-temuan tersebut juga dapat terlihat pada pneumonia dengan penyebab lain (Amanullah, 2013).Terdapat kemungkinan besar pembentukan abses dan keterlibatan pleura. Kavitas dapat berkembang dengan cepat setelah onset penyakit, dan hal ini dapat terkait dengan gangren paru masif (Amanullah, 2013). Pneumonia Pseudomonas aeruginosa Pneumonia P. aeruginosa memiliki karakteristik predileksi pada lobus bawah. Konsolidasi bronkopneumonik merata atau ekstensif dapat terlihat. Keterlibatan paru dapat unilateral tau pun bilateral dan ekstensif. Nekrosis ekstensif dapat terlihat, dengan pembentukan abses parenkim. Konsolidasi bilateral masif biasanya terkait dengan prognosis yang buruk. Infark nodular dapat terjadi pada parenkim paru (Amanullah, 2013). Pneumonia S. aureus Tipe pneumonia ini dapat terlihat sebagai komplikasi influenza, terutama selama epidemik. Pneumonia S. aureus biasanya mulai di saluran napas perifer daripada asinus. Pada pasien dewasa, bronkopneumonia merata lebih umum dan seringkali bilateral, dipertimbangkan sebagai konsolidasi lobar dapat terlihat. Perkembangan lambat abses cukup umum terjadi. Jika pneumonia Staphylococcus terjadi sebagai komplikasi influenza, biasanya dengan cepat berkembang dengan pneumonia bilateral ekstensif yang menyerupai edema pulmoner (Amanullah, 2013).Pada anak-anak, biasanya terlihat konsolidasi lobar atau multilobar, dengan cepat berkembang dengan perkembangan pneumatokel dan/atau empiema. Adanya pneumoatokel pada anak-anak adalah hampir diagnostik untuk pneumonia staphylococcus. Progresi cepat terlihat dengan konsolidasi lobar dan multilobar. Pneumatokel dapat berkembang dengan cepat. Pneumatokel dapat berkembang dengan cepat dan empiema adalah sering (Amanullah, 2013).Mempersempit diagnosis banding pneumonia menjadi bentuk tipikal dan atipikal dengan dasar tampakan radiografisnya saja adalah tidak dapat dipercaya (Amanullah, 2013).

b. Computed Tomography ScanningComputed tomography (CT) scan digunakan dalam diagnosis pneumonia terbatas pada hal-hal berikut (Amanullah, 2013). Evaluasi opasitas abnormal yang tidak jelas pada rontgen thoraks Penilaian opasitas merata, ground-glass, retikuler atau linear pada rontgen thoraks Konfirmasi efusi pleura Pemeriksaan pasien neutropenia dengan demam yang penyebabnya tidak jelasKoinfeksi dengan organisme multipel tidak jarang terjadi, dan abnormalitas parenkim paru yang mendasari biasanya mempengaruhi pasien untuk mengalami pneumonia. Oleh karena itu, temuan klinis dan radiologis harus dipertimbangkan (Amanullah, 2013).

Gambar 3. CT scan pada pasien berusia 49 tahun dengan pneumonia pneumokokus. CT scan thoraks ini memperlihatkan opasitas lobus superior sinistra yang meluas ke perifer (Amanullah, 2013).

Gambar 4. CT scan pada pasien berusia 50 tahun dengan pneumonia Haemophilus influenzae. CT scan thoraks ini memperlihatkan area konsolidasi bulat padat di sisi pleura di lobus inferior sinistra (Amanullah, 2013).

c. UltrasonografiUltrasonografi dapat membantu dalam diferensiasi konsolidasi dan efusi . Jaringan paru yang terkonsolidasi dapat terlihat sebagai area hipoekoik dengan batas yang tidak jelas. Teksturnya bervariasi tergantung jumlah udara dalam paru, akan terlihat lebih heterogen jika ada udara dan akan terlihat homogen jika merupakan konsolidasi padat. Ultrasonografi juga dapat membantu mendiagnosis empiema dan abses. Selain itu, ultrasonografi juga berperan dalam identifikasi dan kuantifikasi efusi parapneumonik serta penentuan marker untuk torakosentesis diagnostik atau terapeutik (Amanullah, 2013).

d. Pemeriksaan labolatoriumPada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/l kadang-kadang mencapai 30.000/l, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).e. KulturUntuk menentukan bakteri penyebab dilakukan kultur. Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari dahak, darah, cara invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi transtorakal dan biopsi aspirasi transtrakea (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003b).

PENGOBATANPengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa alasan yaitu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a):1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan bakteri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP) Golongan Penisilin TMP-SMZ MakrolidPenisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP) Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan) Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi Marolid baru dosis tinggi Fluorokuinolon respirasiPseudomonas aeruginosa Aminoglikosid Seftazidim, Sefoperason, Sefepim Tikarsilin, Piperasilin Karbapenem : Meropenem, Imipenem Siprofloksasin, LevofloksasinMethicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA) Vankomisin Teikoplanin LinezolidHemophilus influenzae TMP-SMZ Azitromisin Sefalosporin gen. 2 atau 3 Fluorokuinolon respirasiLegionella Makrolid Fluorokuinolon RifampisinMycoplasma pneumoniae Doksisiklin Makrolid FluorokuinolonChlamydia pneumoniae Doksisikin Makrolid Fluorokuinolon

KOMPLIKASIKomplikasi yang dapat terjadi adalah efusi pleura, empiema, abses paru, pneumotoraks, gagal napas dan sepsis (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a).

DAFTAR PUSTAKA

Amanullah, S., 2013. Typical Bacterial Pneumonia Imaging. Medscape. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/360090-overview (Accessed 4.13.14).Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003a. Pneumonia Komuniti: Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru IndonesiaPerhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003b. Pneumonia Nosokomial: Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

13