Penda Hulu An
-
Upload
rahmah-fitri-utami -
Category
Documents
-
view
230 -
download
0
description
Transcript of Penda Hulu An
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdarahan intrakranial pada bayi menjadi perhatian khusus di negara
berkembang termasuk Indonesia, karena menyebabkan mortalitas ataupun
morbiditas yang menetap (1). Indonesia sebagai negara sedang berkembang,
mempunyai angka kematian bayi (AKB) 41,4 per 1.000 kelahiran hidup
(tahun 1997) yang diproyeksikan akan menjadi 18 per 1.000 kelahiran hidup
(tahun 2025), sehingga perlu upaya yang keras dalam mencapai sasaran
tersebut. Salah satu upaya menurunkan AKB adalah dengan mencegah
terjadinya perdarahan intrakranial pada bayi (2).
Perdarahan intrakranial pada anak memiliki insidensi 0,7% dengan
angka mortalitas sebesar 41%. Kebanyakan dari kasus perdarahan intrakranial
terjadi pada bayi usia di bawah 1 tahun, tanpa riwayat trauma berat
sebelumnya (3).
Perdarahan intrakranial pada bayi merupakan jenis perdarahan yang
paling sering dihubungkandengan Hemorhagic Disease of the Newborn
(HDN) onset lambat. Hampir 2/3 bayi dengan HDN onset lambat datang
dengan perdarahan intrakranial akibat defisiensi vitamin K (4). Angka
kejadian HDN berkisar antara 1 tiap 200 sampai 1 tiap 400 kelahiran pada
bayi-bayi yang tidak mendapatkan profilaksis vitamin K (5). Data dari Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM (tahun 1990-2000) menunjukkan
terdapatnya 21 kasus, 17 (81%) di antaranya mengalami komplikasi
perdarahan intrakranial (2). Bangsal anak rumah sakit Margono Soekarjo pada
bulan Mei 2014 terdapat 3 kasus perdarahan intrakranial yang mendapat
meningkatkan AKB. Hal penting untuk menurunkan AKB yang disebabkan
oleh perdarahan intrakranial adalah bagaimana kita melakukan perawatan bayi
pada prenatal, natal, dan post natal dengan maksimal sehingga prognosis
perdarahan intrakranial pada bayi lebih baik.
B. Tujuan
1. Mengetahui jenis-jenis dan mekanisme perdarahan intrakranial pada bayi
1
2. Mengetahui gejala dan tanda awal perdarahan intrakranial pada bayi
3. Mengetahui penatalaksanaan awal perdarahan intrakranial pada bayi
4. Mengetahui pencegahan, komplikasi, dan prognosis perdarahan
intrakranial pada bayi
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Perdarahan intrakranial pada bayi merupakan ekstravasasi darah yang
terjadi pada otak atau dalam jaringan intrakranial dapat terjadi pada parenkim
otak atau ruang meningen (6).
B. Etiologi
Perdarahan intrakranial pada bayi dapat terjadi secara traumatik dan
spontan, yang disebabkan aneurisma arteri, malformasi arteri vena, dan
abnormalitas darah seperti defisiensi vitamin K, hemofilia, purpura
trombositopenia idiopatik, leukimia, dan hipertensi (7).
C. Epidemiologi
Di Indonesia belum ada catatan nasional mengenai morbiditas dan
mortalitas perdarahan intrakranial yang pasti. Penelitian Sari dkk yang
dilakukan pada tahun 2010 – 2012 mengatakan bahwa kelompok umur yang
paling banyak dengan kasus perdarahan intrakranial adalah kelompok umur 1-
6 bulan. Gambaran perdarahan intrakranial pada bayi berdasarkan jenis
kelamin di RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa
bayi jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengalami perdarahan intrakranial,
yaitu sebanyak 11 orang (73,33%); sedangkan untuk bayi perempuan yaitu
sebanyak 4 orang (26,67%). Jika dibandingkan antara laki-laki dan
perempuan, didapatkan perbandingan 11:4 (8).
Negara-negara di Asia Tenggara perdarahan intrakranial salah satu
masalah kesehatan yang serius pada bayi dengan prevalensi tinggi 30-80 per
100.000 kelahiran yang diakibatkan karena acquired prothrombin complex
deficiency karena dapat menyebabkam mortalitas sebanyak 25% dan
kecacatan neurologis permanen sebanyak 50-65%. Kondisi ini sering di alami
pada usia bayi 2-11 bulan (75%). Prevalensi jenis kelamin lebih sering terjadi
pada bayi laki-laki dengan perbandingan 2 : 1 dari perempuan (9).
3
Beberapa penelitian mengungkapkan hal yang sama mengenai jenis
kelamin bayi yang rentan mengalami perdarahan intrakranial. Namun, alasan
untuk insidensi perdarahan intrakranial yang tinggi pada bayi laki-laki di
kawasan Asia masih belum diketahui (10). Demikian pula pada penelitian
yang dilakukan di Netherland, terdapat rasio jenis kelamin laki-laki dan
perempuan sebesar 2,5 : 1 dengan alasan yang masih belum jelas (11).
D. Klasifikasi
Perdarahan intrakranial dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu :
1. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah keadaan dimana terjadi penumpukan
darah di antara duramater dan tabula interna tulang tengkorak. Lokasi yang
sering adalah di bagian temporal atau temporoparietal (70%) dan sisanya
dibagian frontal, oksipital, dan fossa serebri posterior. Sumber perdarahan
yang paling lazim adalah dari cabang arteri meningea media akibat fraktur
yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Perdarahan epidural sering
terjadi pada trauma kepala pada dewasa muda yang berusia antara 10-30
tahun, dan sering terjadi pada pria (12).
Secara klinis, bisa terjadi beberapa macam perjalanan manifestasi
klinis. Pasien dapat saja tetap sadar; atau tidak sadar; atau sadar lalu
menjadi tidak sadar; atau tidak sadar lalu menjadi sadar; atau tidak sadar
lalu sadar beberapa waktu (periode lucid interval) tetapi kemudian tidak
sadar lagi. Lamanya lucid interval ini dapat berlangsung dalam beberapa
jam, namun dapat pula sampai beberapa hari. Semakin singkat interval ini,
maka semakin besar dan cepat perdarahan yang terjadi. Gejala klinis yang
lain dapat berupa sakit kepala, defisit neurologis, serta perubahan dari
tanda-tanda vital yaitu bradikardi yang diikuti dengan peningkatan tekanan
darah (12,13).
Untuk mendiagnosis perdarahan epidural didasarkan pada tanda
klinis dan hasil CT Scan Kepala. Pada pemeriksaan CT Scan kepala akan
tampak gambaran hiperdens berbentuk double convex sign.
4
Penatalaksanan pada perdarahan epidural dilakukan segera kraniotomi
dengan tujuan mengevakuasi perdarahan (12,13).
2. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. Perdarahan subdural disebabkan oleh trauma
otak yang menyebabkan robeknya vena di dalam ruang arakhnoid.
Perdarahan subdural diklasifikasikan menjadi akut, subakut, dan kronik.
Secara umum, gejala dari perdarahan subdural meliputi penurunan
kesadaran, pupil anisokor, dan defisit neurologis terutama gangguan
motorik (12,13).
Perdarahan subdural akut merupakan perdarahan subdural dengan
gejala klinis yang timbul segera atau beberapa jam, atau bahkan sampai 3
hari setelah terjadinya trauma. Pada CT Scan, akan didapatkan gambaran
hiperdens berbentuk konkaf atau menyerupai bulan sabit (crescent sign).
Perdarahan subdural subakut memberikan gejala setelah 4-10 hari setelah
trauma. Pada pemeriksaan CT Scan, gambaran perdarahan yang dijumpai
umumnya lebih tebal dari perdarahan yang akut, dan memberikan
gambaran campuran antara hiperdens, isodens, dan hipodens (12).
Perdarahan subdural kronik di mana gejala klinis baru muncul
setelah lebih dari 10 hari, bahkan sampai beberapa bulan setelah terjadinya
cedera kepala. Pada pemeriksaan CT Scan dapat dijumpai gambaran
perdarahan memberikan gambaran hipodens. Hal ini disebabkan karena
kandungan zat besi dalam darah tersebut difagositosis (12).
Penatalaksanaan pada perdarahan subdural akut ialah operasi dan
evakuasi perdarahan secepatnya. Segera atau tidaknya dilakukan operasi
sangat menentukan kemungkinan selamat atau tidaknya penderita.
Berbeda dengan kasus akut, operasi evakuasi perdarahan pada perdarahan
subdural kronik secara umum memberikan hasil prognosis baik, 90% akan
sembuh. Sedangkan pada kasus dengan perdarahan kecil, diberikan terapi
konservatif dengan observasi yang ketat. Diharapkan akan terjadi lisis dan
penyerapan darah dalam waktu sekitar 10 hari (12).
5
3. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi akibat rupturnya bridging vein
pada ruang subarakhnoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan
jaringan otak. Perdarahannya terletak di antara arakhnoid dan piamater,
mengisi ruang subarakhnoid dan masuk ke dalam sistem cairan
serebrospinalis (12,13).
Adanya darah dalam ruang subarakhnoid akan mengakibatkan
arteri mengalami spasme. Sebagai akibatnya darah ke otak akan sangat
berkurang yang menyebabkan terganggunya mikrosirkulasi dalam otak
dan sebagai dampaknya akan terjadi edema otak. Sedangkan darah yang
masuk ke dalam sistem cairan serebrospinal akan menyebabkan terjadinya
iritasi meningeal. Sebagai dampak dari adanya perdarahan ini, pasien akan
mengeluhkan adanya gejala meningeal, berupa nyeri kepala, demam kaku
tengkuk, iritabilitas, dan fotophobia (12).
Kepastian diagnosa akan diperoleh dengan didapatkannya cairan
serebrospinal yang bercampur darah pada punksi lumbal. Pada
pemeriksaan CT Scan akan tampak lesi hiperdens yang mengikuti pola
sulkus pada permukaan otak (12).
4. PerdarahanIntraserebral
Perdarahan intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak.Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang
ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah
lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi
benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countre-coup) (12).
Lesi dapat berupa fokus perdarahan kecil-kecil, namun dapat pula
perdarahan yang luas. Perdarahan dapat terjadi segera, dapat pula terjadi
beberapa hari atau minggu kemudian. Dapat terjadi periode lucid interval
yang cukup lama yang diikuti dengan munculnya gejala yang progresif.
Gambaran klinis yang terjadi berupa defisit neurologis, koma, hemiplegia,
diIatasi pupil, tanda babinsky positif bilateral, dan pernapasan yang
menjadi ireguler (12).
6
Untuk memastikan diagnosa, modalitas yang digunakan adalah CT
Scan, dimana akan tampak bayangan hiperdens yang homogen dengan
batas tegas, dan terdapat edema perifokal di sekitarnya. Penatalaksanaan
pada perdarahan yang kecil, dilakukan tindakan observasi dan suportif
yang memungkinkan, misalnya menjaga tekanan darah. Pasien dengan
perdarahan yang besar dan mengalami gangguan neurologis serta
perdarahan yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial harus
dilakukan kraniotomi dan aspirasi perdarahan. Sedangkan perdarahan yang
besar namun tidak memungkinkan untuk tidakan operatif ditangani dengan
cara hiperventilasi, manitol, dan steroid, serta pemantauan tekanan
intrakranial secara ketat (12).
5. Perdarahan Intraventrikel
Perdarahan intraventrikuler (IVH) dapat dibentuk dari perdarahan
minimal dari sisi asal sampai perdarahan yang menyebar ke ventrikel
ataupun parenkim otak. IVH sering muncul biasanya pada bayi umur
kurang dari 32 minggu dan/atau kurang dari 1500gram. Pada bayi preterm
90% dari perdarahan timbul dalam 72 jam pertama kelahiran dan 50%
muncul dalam 24 jam pertama(14).
Perdarahan intraventrikel adalah komplikasi yang sering
dihubungkan dengan bayi prematur, insidensi yang telah dilaporkan bahwa
sebanyak 3.5% dari seluruh kelahiran hidup. Perdarahan ini sering
disebabkan karena trauma dan asfiksia pada 50% kasus, pada 25% kasus
mempunyai faktor risiko yang tidak signifikan. Sebagian kecil lainnya
disebabkan oleh perluasan dari perdarahan, lesi vascular, tumor atau
koagulopati (14).
Perubahan maturitas pada otak bayi menyebabkan lokus primer dari
perdarahan pada bayi sering dikaitkan dengan prematur. Lokasi utama
perdarahan pada bayi premature adalah matriks germinal subependim yang
yang merupakan kapiler rapuh (14).
E. Patogenesis
Pada trauma kelahiran, perdarahan terjadi oleh kerusakan/robekan
pembuluh- pembuluh darah intrakranial secara langsung. Pada perdarahan
7
yang bukan karena trauma kelahiran, faktor dasarnya ialah prematuritas. Pada
prematur, pembuluh darah otak masih embrional dengan dinding tipis,
jaringan penunjang sangat kurang dan pada beberapa tempat tertentu jalannya
berkelok-kelok, kadang-kadang membentuk huruf U. Sehingga mudah sekali
terjadi kerusakan bila ada faktor- faktor pencetus (hipoksia/iskemia). Keadaan
ini terutama terjadi pada perdarahan intraventrikuler/periventrikuler.
Perdarahan epidural/ekstradural terjadi oleh robekan arteri atau vena
meningika media antara tulang tengkorak dan duramater. Keadaan ini jarang
ditemukan pada neonatus. Tetapi perdarahan subdural merupakan jenis PIN
yang banyak dijumpai pada bayi cukup bulan. Di sini perdarahan terjadi akibat
pecahnya vena-vena kortikal yang menghubungkan rongga subdural dengan
sinus-sinus pada duramater. Perdarahan subdural lebih sering pada Bayi
Cukup Bulan daripada Bayi Kurang Bulan sebab pada Bayi Kurang Bulan
vena-vena superfisial belum berkembang baik dan mulase tulang tengkorak
sangat jarang terjadi. Perdarahan dapat berlangsung perlahan-lahan dan
membentuk hematoma subdural(14).
Gejala-gejala dapat timbul segera dapat sampai berminggu-minggu,
memberikan gejala - gejala kenaikan tekanan intrakranial. Dengan kemajuan
dalam bidang obstetri, insidensi perdarahan subdural sudah sangat menurun.
Pada perdarahan subaraknoid, perdarahan terjadi di rongga subaraknoid yang
biasanya ditemukan pada persalinan sulit. Adanya perdarahan subaraknoid
dapat dibuktikan dengan fungsi likuor. Perdarahan ini jarang pada neonatus
karena hanya terdapat pada trauma kepala yang sangat hebat (kecelakaan)
Perdarahan intraventrikuler dalam kepustakaan ada yang gabungkan bersama
perdarahan intraserebral yang disebut perdarahan periventrikuler. Dari semua
jenis Perdarahan Intrakranial Neonatus, perdarahan periventrikuler memegang
peranan penting, karena frekuensi dan mortalitasnya tinggi pada bayi
prematur. Sekitar 75-90% perdarahan peri ventrikuler berasal dari jaringan
subependimal germinal matriks/jaringan embrional di sekitar ventrikel lateral.
Pada perdarahan intraventrikuler, yang berperanan penting ialah hipoksia yang
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dan kongesti vena.
8
Bertambahnya aliran darah ini, meninggikan tekanan pembuluh darah otak
yang diteruskan ke daerah anyaman kapiler sehingga mudah ruptur (14).
F. Manifestasi Klinis
Pada bayi dan anak, gejala dan tanda perdarahan intrakranial secara
umum, meliputi pucat, penurunan kesadaran, dan muntah. Muntah yang
timbul bisa sedemikian berat sehingga membutuhkan pemberian cairan
intravena.(15).
1. Perdarahan Epidural
Pediatric Departement of Neurosurgery of Bagdasar-Arseni
Clinical Hospital menyatakan bahwa gejala dari perdarahan epidural tidak
spesifik, namun umumnya didapati gejala berupa iritabilitas (53, 3%),
pallor (100%), dan hematom subgaleal (66,6%) (15).
2. Perdarahan subdural
Manifestasi klinis tersering adalah adanya kejang, perdarahan
retina, dan gangguan kesaadaran. Gejala lainnya, yaitu muntah ataupun
bulging fonatela (16).
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor yaitu beratnya cedera
otak yang terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan
volume perdarahan subdural. Penderita-penderita dengan trauma berat
dapat menderita kerusakan parenkim otak difus yang membuat mereka
tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak.
Penderita-penderita dengan perdarahan subdural yang lebih ringan
akan sadar kembali pada derajat-derajat kesadaran tertentu sesuai dengan
beratnya benturan trauma pada saat terjadi kecelakaan. Keadaan-keadaan
berikutnya akan ditentukan oleh kecepatan pertambahan hematoma dan
penanggulannya. Pada penderita-penderita dengan benturan trauma yang
ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya trauma.
Perdarahan subdural dan lesi massa intrakranial lainnya yang dapat
membesar hendaknya dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran
setelah kejadian trauma.
9
Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan
oleh massa hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah
gejala-gejala klinik yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik
hematoma atau lesi parenkim otak biasanya terletak ipsilateral terhadap
pupil yang melebar dan kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi,
gambaran pupil dan gambaran motorik tidak merupakan indikator yang
mutlak bagi menentukan letak hematoma. Gejala-gejala motorik mungkin
tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap
perdarahan subdural atau karena terjadi kompresi pedunkulus serebaral
yang kontralateral pada tepi bebas tentorium. Trauma langsung pada saraf
okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma menyebabkan
dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diameter pupil
lebih dipercaya sebagai letak perdarahan subdural.
3. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid ditandai dengan adanya aktivitas kejang
(69%), apnea (23%), dan bradikardia. Selain itu, juga didapati tanda iritasi
meningeal, berupa nyeri kepala, demam, kaku tengkuk, iritabilitas, dan
fotofobia (menggaruk –garuk mata pada bayi) (17).
4. Perdarahan intraserebral
Pada bayi baru lahir dengan perdarahan intrakranial yang
berhubungan dengan trauma persalian, mempunyai gejala sebagai berikut:
Apneu, kejang, cephalic cry (menangis nyaring), snake like flicking of the
tongue (gerakan lindah yang menjulur disekitar bibir seperti lidah ular),
tonus otot lemah atau spastis umum.
Perdarahan intrakranial neonatus mempunyai gejala, yaitu dapat
dibedakan menjadi 2 sindrom: salutatory syndrome yaitu gejala klinik
dapat berlangsung berjam-jam/ berhari-hari yang berangsur-angsur
menjadi baik. Dapat sembuh sempurna tetapi biasanya menjadi gejala sisa.
Catatstropic syndrome, yaitu gejala klinis semakin memberat, berlangsung
beberapa menit sampai berjam-jam dan akhirnya meninggal.
Pasien anak dengan perdarahan intraserebral mempunuyai gejala
seperti kejang, gangguan neurologis fokal, dan tanda peningkatan tekanan
10
intrakranial.Selain itu dapat pula ditandai dengan penurnan kesadaran,
fontanella menonjol, dan pucat (17).
5. Perdarahan intraventrikel
Rata-rata 65% dari neonatus dengan IVH dalam 24-48 jam pertama
akan timbul kejang baik fokal maupun umum. Tanda dan gejala terdiri dari
flaksid, refleks pupil menurun, pergerakan ekstra okular menghilang,
gangguan pernapasan, koma, gelisah, iritebel, muntah, tangisan nyaring,
ubun-ubun besar cembung, kelemahan nervus facialis sentral, opistotonus,
demam atau hipotermi, hipo atau hiperglikemi, hipotonus, head lag(14).
G. Diagnosis
1. Perdarahan Epidural
Diagnosis perdarahan epidural dapat dilakukan dengan
menggunakan CT Scan atau MRI. Hal ini dikarakteristikan dengan
hiperdense. CT Scan atau MRI sebaiknya dilakukan dalam 24 jam.
Gambaran pada EDH biasanya hiperdens bikonveks dengan intensitas
homogen, berbatas tegas dan menyatu dengan tabula interna. Indikasi
dilakukan pemeriksaan ini adalah bayi dengan riwayat trauma kepala
disertai dengan atau tanpa kejang dan hipotonia.
Gambar 1. CT Scan Perdarahan Epidural
2. Perdarahan subdural
Diagnosis perdarahan subdural dapat ditegakkan dengan CT scan,
terutama jika disangka terdapat suatu lesi pasca trauma karena prosesnya
cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat
membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial.
Perdarahan subdural akut pada CT Scan Kepala (non kontras) tampak
sebagai suatu massa hiperdens ekstra aksial berbentuk bulan sabit
11
sepanjang bagian dalam tengkorak dan paling banyak terdapat pada
konveksitas otak di daerah parietal.
Perdarahan subdural yang sedikit dapat berbaur dengan gambaran
tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT
window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada
perdarahan subdural yang sedang atau besar volumnya. Bila tidak ada
midline shift harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.
Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan
gambaran falks srebri menebal dan tidak beraturan dan sering
berhubungan dengan child abused.
Gambar 2. CT Scan Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural subakut, gambaran menjadi isodens terhadap
jaringan otak. Pada perdarahan subdural kronik didapatkan lesi CT Scan
menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat dengan CT Scan tanpa
kontras.
3. Perdarahan subarachnoid
Kepastian diagnosis akan diperoleh dengan didapatkannya cairan
serebrospinal yang bercampur darah pada pungsi lumbal. Pada
pemeriksaan CT Scan akan didapatkan lesi hiperdens yang mengikuti pola
sulkus pada permukaan otak (12).
12
Gambar 3. CT Scan Perdarahan Subarachnoid
4. Perdarahan intraserebral
Diagnosis perdarahan intraserebral ditegakan dengan
menggunakan modalitas CT Scan, yang mana tampak bayangan hiperdens
yang homogen dengan batas tegas dan terdapat edema perifokal
disekitarnya. Lesi dapat berupa focus perdarahan kecil-kecil, namun dapat
pula perdarahan yang luas. Perdarahan dapat terjadi segera, dapat pula
terjadi beberapa hari sampai miggu kemudian (18).
Gambar 4.CT Scan Perdarahan Intraserebral
4. Perdarahan intraventrikel
Diagnosis perdarahan intraventrikuler dapat dilakukan dengan
pemeriksaan radiologi, yaitu ultrasonografi kepala atau CT Scan. Pungsi
lumbal sebaiknya dilakukan. Jika mempunyai kejang, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan EEG (14).
Gambar 5. CT Scan Perdarahan Intraventrikel dan Intraserebral.
13
H. Diferensial Diagnosis
Diferensial diagnosis untuk perdarahan subdural diantaranya adalah,
gangguan darah atau pembuluh darah seperti gangguan koagulasi disebabkan
oleh defisiensi vitamin K, penyakit herediter (hemophilia dan penyakit von
Willebrand) ataupun didapat (penyakit hati dan Disseminated intravascular
coagulation), gangguan platelet, gangguan serebral vascular, gangguan
serebral atropi (Alpers disease, Battens disease), child abuse, dan meningeal
neoplasma (15).
Diferensial Diagnosis untuk perdarahan epidural diantaranya adalah
perdarahan subarachnoid dan subdural. Diferensial diagnosis perdarahan
subarachnoid diantaranya adalah aseptic meningitis, ensephalistis, meningitis.
Perdarahan intraserebral mempunyai diferensial diagnosis diantaranya massa
intrasebral (15).
I. Komplikasi
1. Pada perdarahan intraventrikel, hidrosephalus merupakan komplikasi
yang paling sering, yaitu sebanyak 44%, ventrikulomegali dengan atrofi
jatingan otak, dan periventrikulat leukomalacia. Komplikasi ini terjadi
ketika darah di ventrikel menyebabkan obstruksi LCS atau arachnoiditis
menyebabkan dekstruksi vili. Ventrikel membesar dan dekstruksi
substansia alba disebabkan oleh obstruksi venous return disebabkan oleh
tekanan dari akumulasi LCS pada vena pada dasar ventrkel. Edema
periventrikuler menyebabkan kompresi kapiler dan kerusakan iskemik
leukopania. Komplikasi perdarahan intraventrikulel lainnya diantaranya
adalah epilepsy, ganguan bicara, serebral palsy, dan retardasi metal.
2. Herniasi tentorial
3. Kejang pasca trauma
4. Gangguan neurologis lainnya, seperti monoparesis sampai tetraparesis
5. Cerebral Palsy
14
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal perdarahan intrakranial diantaranya, yaitu
penatalaksaan ABC, membersihkan jalan napas, memastikan ventilasi yang
adekuat, dan stabilisasi sirkulasi. Jika perlu dilakukan pemasangan NGT
(Naso Gastric Tube), namun tergantung dari derajat kesadaran. Pemberian
cairan intravena untuk circulation support tidak boleh menggunakan cairan
dekstrose 5% dan jarang sekali menggunakan N/4 (NaCl 0.225%) karena
sering terjadi SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone). Cairan
yang dianjurkan adalah NaCl 0.45% atau cairan ringer laktat diberikan ½-2/3
kebutuhan cairan maintenance normal. Jika terjadi syok dan koma secara
bersamaan sebaiknya digunakan pemasangan ICP (Intravenous Central
Pressure). Manitol digunakan hanya jika ada riwayat gambaran klinis pada lesi
massa yang berkembang (EDH) dengan manifestasi penurunan kesadaran
yang cepat. Tindakan terhadap kenaikan ICP sebaiknya dilakukan dengan
elevasi kepala 30 derajat dengan posisi kepala sesuai dengan garis tengah
tubuli, hiperventilasi seang hingga PaCO2 sekitar 25 mmHg. Jika hal ini belum
memadai untuk mengembalikan ICP, tindakan lebih lanjut tergantung kepada
gambaran CT Scan. Pada anak dengan diffuse swelling lebih baik menghindari
manitol pada 24 jam pertama, sebaiknya diganti dengan hiperventilasi untuk
menurunkan PaCO2 hingga 18-20 mmHg dan kemudian diberikan furosemide
dengan dosis 1 mg/ Kg BB. Jika masih kurang memadai sebaiknya diberikan
pentobarbital. Manitol diberikan jika dengan pentobarbital jika ICP masih
tinggi (19).
Pada CT Scan dengan gambatan midline shifting, manitol dapat
diberikan setelah dilakukan hiperventilasi. Jika pada hari ke 6-10 masih
didapatkan ICP yang tinggi, maka kemungkinan terdapat pelebaran ventrikel
sehingga memerlukan drainase ventrikel (19).
Berikut akan dibahas, penalataksanaan sesuai gambaran CT Scan:
1. Perdarahan epidural
Pengobatan perdarahan epidural pada neonatus dan bayi masih
kontroversial. Pengobatan dapat konservatif, bedah, atau aspirasi jarum.
15
Aspirasi jarum perdarahan epidural dilakukan dengan mengaspirasi cephal
hematom.
Perdarahan epidural mempunyai kecenderungan untuk semisolid,
yang sulit untuk diaspirasi. Oleh sebab itu, sebaiknya dilakukan
kraniotomi. Indikasi bedah lainnya, yaitu ketebalan hematom lebih dari
1cm dan diameter anteroposterior lebih dari 4 cm, fraktur depresi,
hidrocephalus, tanda vital tidak stabil, dan midline shifting.
2. Perdarahan subdural
Penatalaksaan subdural secara umum dibagi menjadi dua, yaitu
konservatif dan operatif. Konservatif dilakukan pada subdural dengan lesi
kecil, sedangkan pada lesi yang besar dilakkukan operatif. Terapi
konservatif dilakukan jika ketebalan hematoma < 1 cm dan midline shift
kurang dari 0.5 cm.
Tindakan operasi ditunjukan untuk mengevakuasi seluruh
perdarahan, merawat sumber perdarahan, reseksi parenkim otak yang
nonviable. Evakuasi perdarahan subdural dilakukan dengan burr holes.
Namun banyak penelitian menyatakan kraniotomi dekompresi luas
mempunyai prognosis yang lebih baik.
3. Perdarahan Intraserebral
Semua penderita dengan perdarahan intraserebral harus mendapat
pengobatan untuk:
a. Pengaturan tekanan darah
Hipertensi dapat dikontrol dengan sebaiknya tidak berlebihan.
Hipertensi terjadi karena cathecholaminergic discharge pada fase
permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari aliran darah otak akan
terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan
intrakranial yang meninggi. Kontrol yang erlebihan terhadap tekanan
darah akan menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal, dan otak.
Tekanan darah sistolik lebih sama dengan 160 mmHg tampak
berhubungan dengan penambahan volume hematoma dibandingakan
dengan sistolik yang lebih rendah. Obat-pbat anti hipertensi yang
16
dianjurkan adalah dari goongan angiotensin converting enzyme
inhibitor, angiotensin receptor bloker, dan calcium chanel bloker.
b. Pengurangan tekanan intrakranial
c. Pengontrolan terhadap edema cerebri
d. Pencegahan kejang
Penderita yang tidak sadar sebaiknya mendapat perawatan
dengan ventilator.
4. Perdarahan intraventrikel
Managemen awal melibatkan stabilisasi dan kontrol aktivitas
kejang. Kejang dapat dikontrol dengan pemberian obat-obatan seperti
valium atau luminal. Dosis valium 0.3-0.5 mg/BB. Setelah diberikan
tunggu 15 menit, kalau belum behenti diulangi dosis yang sama. Namun
jikaberhenti diberikan luminal 10 mg/KgBB (neonates 30 mg). Empat jam
kemudian diberikan luminal per oral 8 mg/KgBByang dibagi dalam 2
dosis selama 2 hari, selanjutnya 4 mg/KgBBdibagi dalam 2 dosis sambil
memperhatikan keadaan umum seterusnya.
Managemen jangka panjang meliputi serial pungsi lumbal untuk
mengurangi kelebihan LCS. Setiap pungsi mengurangi 5-10 ml/kg,
memperhatikan fontanela, perubahan tanda vital, dan monitoring elektrolit.
Ketika metode ini tidak berhasil, maka dilakukan pemasangan shunt.
Shunt dilakukan jika protein kurang dari 200 mg/dl. Beberapa institusi
berhasil dengan menggunakan acetazolamide (Diamox), carbonic
anhydrase inhibitor, untuk menurunkan produksi LCS.
Kortikosteroid berupa deksametason 0.5-1 mg/BB/24 jam yang
mempunyai efek baik terhadap hipoksia dan edema otak. Antibiotic dapat
diberikan untuk mencegah infeksi sekunder terutama bila terdapat
manipulasi yang berlebihan (4).
K. Pencegahan
Pencegahan perdarahan intraventrikular diantaranya pencegahan
prematuritas dan perbaikan manajemen perinatal yang menyangkut perbaikan
transportasi maternal pada wanita hamil preterm, pemberian glukokortikoid
17
antenatal pada wanita preterm. Persalinan sulit atau persalinan lama harus
diminimalkan dengan kompetensi yang dimiliki dokter bagian obsteri. Selain
itu, juga diperlukan perbaikan gangguan koagulasi, resusitasi yang baik dan
tepat pada bayi yang baru lahir.
Pencegahan perdarahan subdural dapat dilakukan dengan mencegah
trauma kepala seperti jatuh dari ketinggian, child abuse, dan assault.
Pemberian vitamin K pada semua bayi baru lahir dengan dosis 1 mg
intramuscular (dosis tunggal) atau secara oral 3 kali 2 mg pada waktu bayi
baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1 sampai 2 tahun dapat mencegah
perdarahan subdural akibat defisiensi vitamin K (20).
L. Prognosis
Perdarahan epidural jika penangananya dilakukan sedini mungkin,
mempunyai prognosis yang baik. Namun pada penelitian didapatkan bahwa
angka mortalitas dapat mencapai 6.6%, sedangkan morbiditas mencapai 3.3%.
Bayi dan anak yang mengalami perdarahan subdural dapat kembali
seperti sebelumnya (62%), disabilitas moderate (19%), disabilitas berat (14%),
dan mortalitas (1%). Faktor premobid dapat memperngaruhi hasil, seperti
genetic, faktor social dan lingkungan, gangguan perkembangan premorbid.
Namun berdasar penelitian yang lain didapatkan bahwa pada perdarahan
subdural akibat trauma, dinyatakan hanya dapat sembuh sempurna sebanyak
40%, setelah dilakukan pungsi aspirasi berulang atau tindakan bedah.
Perdarahan subdural umumnya mempunyai prognosis buruk.
Prognosis perdarahan intraserebral masih buruk. Penelitian dan
percobaan baru menunjukan bahwa setelah melakukan perbaikan terhadap
variable-variabel dasar yang mempengaruhi outcome, prognosis dapat menjadi
lebih baik.
Pada perdarahan intraventrikel, mortalitas tergantung dari derajat
perdarahan. Pada derajat 1-2 (ringan - sedang), angka kematian 10-25%,
sebagian besar sembuh sempurna, sebagian kecil dengan sekuele ringan. Pada
derajat 3-4 (sedang-berat), mortalitas 50-70% dan sekitar 30% sembuh dengan
18
sekuele berat. Sekuele dapat berupa serebral palsy, gangguan bicara, epilepsi,
retardasi metal, dan hidrosephalus (4).
19
III. KESIMPULAN
1. Perdarahan intrakranial pada bayi merupakan ekstravasasi darah yang
terjadi pada otak atau dalam jaringan intrakranial dapat terjadi pada
parenkim otak atau ruang meningen
2. Perdarahan intrakranial pada bayi dapat terjadi secara spontan dan
traumatik
3. Jenis perdarahan intrakranial diantaranya adalah perdarahan epidural,
subdural, subarachnoid, intracerebral, dan intraventrikuler.
4. Pada trauma kelahiran, perdarahan terjadi oleh kerusakan/robekan
pembuluh- pembuluh darah intrakranial secara langsung. Pada perdarahan
yang bukan karena trauma kelahiran,faktor dasarnya ialah prematuritas.
Pada prematur, pembuluh darah otak masih embrional dengan dinding
tipis, jaringan penunjang sangat kurang dan pada beberapa tempat tertentu
jalannya berkelok-kelok, kadang-kadang membentuk huruf U.
5. Perdarahan epidural/ ekstradural terjadi oleh robekan arteri atau vena
meningika media antara tulang tengkorak dan duramater. Keadaan ini
jarang ditemukan pada neonatus.Tetapi perdarahan subdural merupakan
jenis PIN yang banyak dijumpai pada bayi cukup bulan. Di sini perdarahan
terjadi akibat pecahnya vena-vena kortikal yang menghubungkan rongga
subdural dengan sinus-sinus pada duramater
6. Manifestasi klinis perdarahan intrakranial dapat asimptomatik ataupun
simptomatis, yaitu pucat, penurunan kesadaran, dan muntah
7. Diagnosis ditegakan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium,
dan radiologic, berupa CT Scan sebagai penujang diagnosis definitive.
8. Penatalaksanaan awal mencakup airway, breathing, circulation.
Pemberian cairan intravena yang dianjurkan adalah NaCl 0.45% atau
cairan linger laktat.
9. Komplikasi perdarahan intrakranial diantaranya adalah hidrosephalus,
kejang, defisit neurologis seperti monoplegi dan tetraplegia serta serebral
palsy.
10. Pencegahan penting dilakukan untuk mengurangi angka kejadian PIN.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. July J, Wahjoepramono EJ, and Wirjomartani BA. Diagnostic clues in spontaneous intracranial hemorrhage in babies. Paediatrica Indonesiana 2008; 48:230-4.
2. Moeslichan, Surjono A, Kosim S, et. al. Pemberian profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir. Jakarta: HTA Indonesia, 2003
3. Kardana M, Kari K, and Widia M. Characteristics and prognostic factors of intracranial hemorrhage in children. Paediatrica Indonesiana 2003; 43: 14-19.
4. Pooni PA, Singh D, Singh H, et. al. Intracranial hemorrhage in late hemorrhagic disease of the newborn. Indian Pediatr 2003; 40: 243-8.
5. Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, et. al. Buku ajar hematologi–onkologi anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010.
6. Letourne MA and Jaffe DM. Craniocerebral trauma. In: Reisdorf EJ, Robert MR, and Wiegestein JG, editors. Pediatric emergency medicine. Philadelphia: WB Saunders Company; 1993.
7. Duhaime AC and Sutton LN. In: Holbrook PR, editor. Text book of pediatric critical care. Philadelphia: WB Saunders Company; 1995.
8. Sari, RP., Hidayah, N., Wasilah, S. Profil Perdarahan Intrakranial Pada Bayi Di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin Tahun 2010-2012. Berkala Kedokteran Vol. 10, No. 1, Feb 2014: 101-110
9. Sadewo, Wismaji. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Departemen Bedah Saraf. FKUI-RSCM. 2011
10. Danielsson N, Hoa DP, Thang NV, et. al. Intracranial haemorrhage due to late onset vitamin K deficiency bleeding in Hanoi province, Vietnam. Arch Dis Child Fetal Neonatal 2004; 89: 546-50.
11. IJland MM, Pereira RR, and Cornelissen EA. Incidence of late vitamin K deficiency bleeding in newborns in the Netherlands in 2005: evaluation of the current guideline. Eur J Pediar 2008; 167: 165-9.
12. Wahjoepramono, Eka J. Cedera Kepala. Jakarta: PT Deltacitra Grafindo, 2005.
13. Kaye, Andrew H. Essentials Neurosurgery. Massachusetts, USA : Blackwell Publishing Ltd, 2005.
21
14. Fink, Stacy. Intraventricular Hemorraghe in the Term Infant. Neonatal Network. 2000 Vol 19 No 7; 14 – 15
15. Pollanen, M. S. Subdural Hemorrahage in Infancy: Keep an open Mind. Forensic Science Medical Pathology, 2011; 1-3.
16. Lo, W. D., JoEllen, L., Rusin, J., Elizabenth, P., & Roach, S. Intracranial Hemorrhage in Children. American Medical Association, 2008; 1620-1624.
17. Ribaupierre, S. d., Rillet, B., Cotting, J., & Regli, L. A 10-year experience in Pediatric Spontaneous Cerebral Haemorrahage: Which Children with Headache Need More Than A Clinical Examination. Swiss Med Weakly, (2008; 138 (5-6): 59-69.
18. Zidan, I., & Ghanem, A. Intracerebral Hemorrhage in Children. Alexandria Journal of Medicine, 2012; 139-145.
19. Japardi, Iskandar. Cedera Kepala pada Anak di Dalam Cedera Kepala. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2004; 128-131
20. B., RA, M., & Ugrasena, I. Perdarahan yang terjadi akibat defisiensi kompleks Protrombin. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXV 'Hot Topics in Pediatric', 2005; 1-16.
22