Penda Hulu An

34
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdarahan intrakranial pada bayi menjadi perhatian khusus di negara berkembang termasuk Indonesia, karena menyebabkan mortalitas ataupun morbiditas yang menetap (1). Indonesia sebagai negara sedang berkembang, mempunyai angka kematian bayi (AKB) 41,4 per 1.000 kelahiran hidup (tahun 1997) yang diproyeksikan akan menjadi 18 per 1.000 kelahiran hidup (tahun 2025), sehingga perlu upaya yang keras dalam mencapai sasaran tersebut. Salah satu upaya menurunkan AKB adalah dengan mencegah terjadinya perdarahan intrakranial pada bayi (2). Perdarahan intrakranial pada anak memiliki insidensi 0,7% dengan angka mortalitas sebesar 41%. Kebanyakan dari kasus perdarahan intrakranial terjadi pada bayi usia di bawah 1 tahun, tanpa riwayat trauma berat sebelumnya (3). Perdarahan intrakranial pada bayi merupakan jenis perdarahan yang paling sering dihubungkandengan Hemorhagic Disease of the Newborn (HDN) onset lambat. Hampir 2/3 bayi dengan HDN onset lambat datang dengan perdarahan intrakranial akibat defisiensi vitamin K (4). Angka kejadian HDN berkisar antara 1 tiap 200 sampai 1 tiap 400 kelahiran pada bayi-bayi yang tidak mendapatkan 1

description

referrat

Transcript of Penda Hulu An

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perdarahan intrakranial pada bayi menjadi perhatian khusus di negara

berkembang termasuk Indonesia, karena menyebabkan mortalitas ataupun

morbiditas yang menetap (1). Indonesia sebagai negara sedang berkembang,

mempunyai angka kematian bayi (AKB) 41,4 per 1.000 kelahiran hidup

(tahun 1997) yang diproyeksikan akan menjadi 18 per 1.000 kelahiran hidup

(tahun 2025), sehingga perlu upaya yang keras dalam mencapai sasaran

tersebut. Salah satu upaya menurunkan AKB adalah dengan mencegah

terjadinya perdarahan intrakranial pada bayi (2).

Perdarahan intrakranial pada anak memiliki insidensi 0,7% dengan

angka mortalitas sebesar 41%. Kebanyakan dari kasus perdarahan intrakranial

terjadi pada bayi usia di bawah 1 tahun, tanpa riwayat trauma berat

sebelumnya (3).

Perdarahan intrakranial pada bayi merupakan jenis perdarahan yang

paling sering dihubungkandengan Hemorhagic Disease of the Newborn

(HDN) onset lambat. Hampir 2/3 bayi dengan HDN onset lambat datang

dengan perdarahan intrakranial akibat defisiensi vitamin K (4). Angka

kejadian HDN berkisar antara 1 tiap 200 sampai 1 tiap 400 kelahiran pada

bayi-bayi yang tidak mendapatkan profilaksis vitamin K (5). Data dari Bagian

Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM (tahun 1990-2000) menunjukkan

terdapatnya 21 kasus, 17 (81%) di antaranya mengalami komplikasi

perdarahan intrakranial (2). Bangsal anak rumah sakit Margono Soekarjo pada

bulan Mei 2014 terdapat 3 kasus perdarahan intrakranial yang mendapat

meningkatkan AKB. Hal penting untuk menurunkan AKB yang disebabkan

oleh perdarahan intrakranial adalah bagaimana kita melakukan perawatan bayi

pada prenatal, natal, dan post natal dengan maksimal sehingga prognosis

perdarahan intrakranial pada bayi lebih baik.

B. Tujuan

1. Mengetahui jenis-jenis dan mekanisme perdarahan intrakranial pada bayi

1

2. Mengetahui gejala dan tanda awal perdarahan intrakranial pada bayi

3. Mengetahui penatalaksanaan awal perdarahan intrakranial pada bayi

4. Mengetahui pencegahan, komplikasi, dan prognosis perdarahan

intrakranial pada bayi

2

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Perdarahan intrakranial pada bayi merupakan ekstravasasi darah yang

terjadi pada otak atau dalam jaringan intrakranial dapat terjadi pada parenkim

otak atau ruang meningen (6).

B. Etiologi

Perdarahan intrakranial pada bayi dapat terjadi secara traumatik dan

spontan, yang disebabkan aneurisma arteri, malformasi arteri vena, dan

abnormalitas darah seperti defisiensi vitamin K, hemofilia, purpura

trombositopenia idiopatik, leukimia, dan hipertensi (7).

C. Epidemiologi

Di Indonesia belum ada catatan nasional mengenai morbiditas dan

mortalitas perdarahan intrakranial yang pasti. Penelitian Sari dkk yang

dilakukan pada tahun 2010 – 2012 mengatakan bahwa kelompok umur yang

paling banyak dengan kasus perdarahan intrakranial adalah kelompok umur 1-

6 bulan. Gambaran perdarahan intrakranial pada bayi berdasarkan jenis

kelamin di RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa

bayi jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengalami perdarahan intrakranial,

yaitu sebanyak 11 orang (73,33%); sedangkan untuk bayi perempuan yaitu

sebanyak 4 orang (26,67%). Jika dibandingkan antara laki-laki dan

perempuan, didapatkan perbandingan 11:4 (8).

Negara-negara di Asia Tenggara perdarahan intrakranial salah satu

masalah kesehatan yang serius pada bayi dengan prevalensi tinggi 30-80 per

100.000 kelahiran yang diakibatkan karena acquired prothrombin complex

deficiency karena dapat menyebabkam mortalitas sebanyak 25% dan

kecacatan neurologis permanen sebanyak 50-65%. Kondisi ini sering di alami

pada usia bayi 2-11 bulan (75%). Prevalensi jenis kelamin lebih sering terjadi

pada bayi laki-laki dengan perbandingan 2 : 1 dari perempuan (9).

3

Beberapa penelitian mengungkapkan hal yang sama mengenai jenis

kelamin bayi yang rentan mengalami perdarahan intrakranial. Namun, alasan

untuk insidensi perdarahan intrakranial yang tinggi pada bayi laki-laki di

kawasan Asia masih belum diketahui (10). Demikian pula pada penelitian

yang dilakukan di Netherland, terdapat rasio jenis kelamin laki-laki dan

perempuan sebesar 2,5 : 1 dengan alasan yang masih belum jelas (11).

D. Klasifikasi

Perdarahan intrakranial dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu :

1. Perdarahan Epidural

Perdarahan epidural adalah keadaan dimana terjadi penumpukan

darah di antara duramater dan tabula interna tulang tengkorak. Lokasi yang

sering adalah di bagian temporal atau temporoparietal (70%) dan sisanya

dibagian frontal, oksipital, dan fossa serebri posterior. Sumber perdarahan

yang paling lazim adalah dari cabang arteri meningea media akibat fraktur

yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Perdarahan epidural sering

terjadi pada trauma kepala pada dewasa muda yang berusia antara 10-30

tahun, dan sering terjadi pada pria (12).

Secara klinis, bisa terjadi beberapa macam perjalanan manifestasi

klinis. Pasien dapat saja tetap sadar; atau tidak sadar; atau sadar lalu

menjadi tidak sadar; atau tidak sadar lalu menjadi sadar; atau tidak sadar

lalu sadar beberapa waktu (periode lucid interval) tetapi kemudian tidak

sadar lagi. Lamanya lucid interval ini dapat berlangsung dalam beberapa

jam, namun dapat pula sampai beberapa hari. Semakin singkat interval ini,

maka semakin besar dan cepat perdarahan yang terjadi. Gejala klinis yang

lain dapat berupa sakit kepala, defisit neurologis, serta perubahan dari

tanda-tanda vital yaitu bradikardi yang diikuti dengan peningkatan tekanan

darah (12,13).

Untuk mendiagnosis perdarahan epidural didasarkan pada tanda

klinis dan hasil CT Scan Kepala. Pada pemeriksaan CT Scan kepala akan

tampak gambaran hiperdens berbentuk double convex sign.

4

Penatalaksanan pada perdarahan epidural dilakukan segera kraniotomi

dengan tujuan mengevakuasi perdarahan (12,13).

2. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi di antara

duramater dan arakhnoid. Perdarahan subdural disebabkan oleh trauma

otak yang menyebabkan robeknya vena di dalam ruang arakhnoid.

Perdarahan subdural diklasifikasikan menjadi akut, subakut, dan kronik.

Secara umum, gejala dari perdarahan subdural meliputi penurunan

kesadaran, pupil anisokor, dan defisit neurologis terutama gangguan

motorik (12,13).

Perdarahan subdural akut merupakan perdarahan subdural dengan

gejala klinis yang timbul segera atau beberapa jam, atau bahkan sampai 3

hari setelah terjadinya trauma. Pada CT Scan, akan didapatkan gambaran

hiperdens berbentuk konkaf atau menyerupai bulan sabit (crescent sign).

Perdarahan subdural subakut memberikan gejala setelah 4-10 hari setelah

trauma. Pada pemeriksaan CT Scan, gambaran perdarahan yang dijumpai

umumnya lebih tebal dari perdarahan yang akut, dan memberikan

gambaran campuran antara hiperdens, isodens, dan hipodens (12).

Perdarahan subdural kronik di mana gejala klinis baru muncul

setelah lebih dari 10 hari, bahkan sampai beberapa bulan setelah terjadinya

cedera kepala. Pada pemeriksaan CT Scan dapat dijumpai gambaran

perdarahan memberikan gambaran hipodens. Hal ini disebabkan karena

kandungan zat besi dalam darah tersebut difagositosis (12).

Penatalaksanaan pada perdarahan subdural akut ialah operasi dan

evakuasi perdarahan secepatnya. Segera atau tidaknya dilakukan operasi

sangat menentukan kemungkinan selamat atau tidaknya penderita.

Berbeda dengan kasus akut, operasi evakuasi perdarahan pada perdarahan

subdural kronik secara umum memberikan hasil prognosis baik, 90% akan

sembuh. Sedangkan pada kasus dengan perdarahan kecil, diberikan terapi

konservatif dengan observasi yang ketat. Diharapkan akan terjadi lisis dan

penyerapan darah dalam waktu sekitar 10 hari (12).

5

3. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subarakhnoid terjadi akibat rupturnya bridging vein

pada ruang subarakhnoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan

jaringan otak. Perdarahannya terletak di antara arakhnoid dan piamater,

mengisi ruang subarakhnoid dan masuk ke dalam sistem cairan

serebrospinalis (12,13).

Adanya darah dalam ruang subarakhnoid akan mengakibatkan

arteri mengalami spasme. Sebagai akibatnya darah ke otak akan sangat

berkurang yang menyebabkan terganggunya mikrosirkulasi dalam otak

dan sebagai dampaknya akan terjadi edema otak. Sedangkan darah yang

masuk ke dalam sistem cairan serebrospinal akan menyebabkan terjadinya

iritasi meningeal. Sebagai dampak dari adanya perdarahan ini, pasien akan

mengeluhkan adanya gejala meningeal, berupa nyeri kepala, demam kaku

tengkuk, iritabilitas, dan fotophobia (12).

Kepastian diagnosa akan diperoleh dengan didapatkannya cairan

serebrospinal yang bercampur darah pada punksi lumbal. Pada

pemeriksaan CT Scan akan tampak lesi hiperdens yang mengikuti pola

sulkus pada permukaan otak (12).

4. PerdarahanIntraserebral

Perdarahan intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam

jaringan (parenkim) otak.Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau

kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang

ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah

lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi

benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countre-coup) (12).

Lesi dapat berupa fokus perdarahan kecil-kecil, namun dapat pula

perdarahan yang luas. Perdarahan dapat terjadi segera, dapat pula terjadi

beberapa hari atau minggu kemudian. Dapat terjadi periode lucid interval

yang cukup lama yang diikuti dengan munculnya gejala yang progresif.

Gambaran klinis yang terjadi berupa defisit neurologis, koma, hemiplegia,

diIatasi pupil, tanda babinsky positif bilateral, dan pernapasan yang

menjadi ireguler (12).

6

Untuk memastikan diagnosa, modalitas yang digunakan adalah CT

Scan, dimana akan tampak bayangan hiperdens yang homogen dengan

batas tegas, dan terdapat edema perifokal di sekitarnya. Penatalaksanaan

pada perdarahan yang kecil, dilakukan tindakan observasi dan suportif

yang memungkinkan, misalnya menjaga tekanan darah. Pasien dengan

perdarahan yang besar dan mengalami gangguan neurologis serta

perdarahan yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial harus

dilakukan kraniotomi dan aspirasi perdarahan. Sedangkan perdarahan yang

besar namun tidak memungkinkan untuk tidakan operatif ditangani dengan

cara hiperventilasi, manitol, dan steroid, serta pemantauan tekanan

intrakranial secara ketat (12).

5. Perdarahan Intraventrikel

Perdarahan intraventrikuler (IVH) dapat dibentuk dari perdarahan

minimal dari sisi asal sampai perdarahan yang menyebar ke ventrikel

ataupun parenkim otak. IVH sering muncul biasanya pada bayi umur

kurang dari 32 minggu dan/atau kurang dari 1500gram. Pada bayi preterm

90% dari perdarahan timbul dalam 72 jam pertama kelahiran dan 50%

muncul dalam 24 jam pertama(14).

Perdarahan intraventrikel adalah komplikasi yang sering

dihubungkan dengan bayi prematur, insidensi yang telah dilaporkan bahwa

sebanyak 3.5% dari seluruh kelahiran hidup. Perdarahan ini sering

disebabkan karena trauma dan asfiksia pada 50% kasus, pada 25% kasus

mempunyai faktor risiko yang tidak signifikan. Sebagian kecil lainnya

disebabkan oleh perluasan dari perdarahan, lesi vascular, tumor atau

koagulopati (14).

Perubahan maturitas pada otak bayi menyebabkan lokus primer dari

perdarahan pada bayi sering dikaitkan dengan prematur. Lokasi utama

perdarahan pada bayi premature adalah matriks germinal subependim yang

yang merupakan kapiler rapuh (14).

E. Patogenesis

Pada trauma kelahiran, perdarahan terjadi oleh kerusakan/robekan

pembuluh- pembuluh darah intrakranial secara langsung. Pada perdarahan

7

yang bukan karena trauma kelahiran, faktor dasarnya ialah prematuritas. Pada

prematur, pembuluh darah otak masih embrional dengan dinding tipis,

jaringan penunjang sangat kurang dan pada beberapa tempat tertentu jalannya

berkelok-kelok, kadang-kadang membentuk huruf U. Sehingga mudah sekali

terjadi kerusakan bila ada faktor- faktor pencetus (hipoksia/iskemia). Keadaan

ini terutama terjadi pada perdarahan intraventrikuler/periventrikuler.

Perdarahan epidural/ekstradural terjadi oleh robekan arteri atau vena

meningika media antara tulang tengkorak dan duramater. Keadaan ini jarang

ditemukan pada neonatus. Tetapi perdarahan subdural merupakan jenis PIN

yang banyak dijumpai pada bayi cukup bulan. Di sini perdarahan terjadi akibat

pecahnya vena-vena kortikal yang menghubungkan rongga subdural dengan

sinus-sinus pada duramater. Perdarahan subdural lebih sering pada Bayi

Cukup Bulan daripada Bayi Kurang Bulan sebab pada Bayi Kurang Bulan

vena-vena superfisial belum berkembang baik dan mulase tulang tengkorak

sangat jarang terjadi. Perdarahan dapat berlangsung perlahan-lahan dan

membentuk hematoma subdural(14).

Gejala-gejala dapat timbul segera dapat sampai berminggu-minggu,

memberikan gejala - gejala kenaikan tekanan intrakranial. Dengan kemajuan

dalam bidang obstetri, insidensi perdarahan subdural sudah sangat menurun.

Pada perdarahan subaraknoid, perdarahan terjadi di rongga subaraknoid yang

biasanya ditemukan pada persalinan sulit. Adanya perdarahan subaraknoid

dapat dibuktikan dengan fungsi likuor. Perdarahan ini jarang pada neonatus

karena hanya terdapat pada trauma kepala yang sangat hebat (kecelakaan)

Perdarahan intraventrikuler dalam kepustakaan ada yang gabungkan bersama

perdarahan intraserebral yang disebut perdarahan periventrikuler. Dari semua

jenis Perdarahan Intrakranial Neonatus, perdarahan periventrikuler memegang

peranan penting, karena frekuensi dan mortalitasnya tinggi pada bayi

prematur. Sekitar 75-90% perdarahan peri ventrikuler berasal dari jaringan

subependimal germinal matriks/jaringan embrional di sekitar ventrikel lateral.

Pada perdarahan intraventrikuler, yang berperanan penting ialah hipoksia yang

menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dan kongesti vena.

8

Bertambahnya aliran darah ini, meninggikan tekanan pembuluh darah otak

yang diteruskan ke daerah anyaman kapiler sehingga mudah ruptur (14).

F. Manifestasi Klinis

Pada bayi dan anak, gejala dan tanda perdarahan intrakranial secara

umum, meliputi pucat, penurunan kesadaran, dan muntah. Muntah yang

timbul bisa sedemikian berat sehingga membutuhkan pemberian cairan

intravena.(15).

1. Perdarahan Epidural

Pediatric Departement of Neurosurgery of Bagdasar-Arseni

Clinical Hospital menyatakan bahwa gejala dari perdarahan epidural tidak

spesifik, namun umumnya didapati gejala berupa iritabilitas (53, 3%),

pallor (100%), dan hematom subgaleal (66,6%) (15).

2. Perdarahan subdural

Manifestasi klinis tersering adalah adanya kejang, perdarahan

retina, dan gangguan kesaadaran. Gejala lainnya, yaitu muntah ataupun

bulging fonatela (16).

Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor yaitu beratnya cedera

otak yang terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan

volume perdarahan subdural. Penderita-penderita dengan trauma berat

dapat menderita kerusakan parenkim otak difus yang membuat mereka

tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak.

Penderita-penderita dengan perdarahan subdural yang lebih ringan

akan sadar kembali pada derajat-derajat kesadaran tertentu sesuai dengan

beratnya benturan trauma pada saat terjadi kecelakaan. Keadaan-keadaan

berikutnya akan ditentukan oleh kecepatan pertambahan hematoma dan

penanggulannya. Pada penderita-penderita dengan benturan trauma yang

ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya trauma.

Perdarahan subdural dan lesi massa intrakranial lainnya yang dapat

membesar hendaknya dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran

setelah kejadian trauma.

9

Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan

oleh massa hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah

gejala-gejala klinik yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik

hematoma atau lesi parenkim otak biasanya terletak ipsilateral terhadap

pupil yang melebar dan kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi,

gambaran pupil dan gambaran motorik tidak merupakan indikator yang

mutlak bagi menentukan letak hematoma. Gejala-gejala motorik mungkin

tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap

perdarahan subdural atau karena terjadi kompresi pedunkulus serebaral

yang kontralateral pada tepi bebas tentorium. Trauma langsung pada saraf

okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma menyebabkan

dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diameter pupil

lebih dipercaya sebagai letak perdarahan subdural.

3. Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subarachnoid ditandai dengan adanya aktivitas kejang

(69%), apnea (23%), dan bradikardia. Selain itu, juga didapati tanda iritasi

meningeal, berupa nyeri kepala, demam, kaku tengkuk, iritabilitas, dan

fotofobia (menggaruk –garuk mata pada bayi) (17).

4. Perdarahan intraserebral

Pada bayi baru lahir dengan perdarahan intrakranial yang

berhubungan dengan trauma persalian, mempunyai gejala sebagai berikut:

Apneu, kejang, cephalic cry (menangis nyaring), snake like flicking of the

tongue (gerakan lindah yang menjulur disekitar bibir seperti lidah ular),

tonus otot lemah atau spastis umum.

Perdarahan intrakranial neonatus mempunyai gejala, yaitu dapat

dibedakan menjadi 2 sindrom: salutatory syndrome yaitu gejala klinik

dapat berlangsung berjam-jam/ berhari-hari yang berangsur-angsur

menjadi baik. Dapat sembuh sempurna tetapi biasanya menjadi gejala sisa.

Catatstropic syndrome, yaitu gejala klinis semakin memberat, berlangsung

beberapa menit sampai berjam-jam dan akhirnya meninggal.

Pasien anak dengan perdarahan intraserebral mempunuyai gejala

seperti kejang, gangguan neurologis fokal, dan tanda peningkatan tekanan

10

intrakranial.Selain itu dapat pula ditandai dengan penurnan kesadaran,

fontanella menonjol, dan pucat (17).

5. Perdarahan intraventrikel

Rata-rata 65% dari neonatus dengan IVH dalam 24-48 jam pertama

akan timbul kejang baik fokal maupun umum. Tanda dan gejala terdiri dari

flaksid, refleks pupil menurun, pergerakan ekstra okular menghilang,

gangguan pernapasan, koma, gelisah, iritebel, muntah, tangisan nyaring,

ubun-ubun besar cembung, kelemahan nervus facialis sentral, opistotonus,

demam atau hipotermi, hipo atau hiperglikemi, hipotonus, head lag(14).

G. Diagnosis

1. Perdarahan Epidural

Diagnosis perdarahan epidural dapat dilakukan dengan

menggunakan CT Scan atau MRI. Hal ini dikarakteristikan dengan

hiperdense. CT Scan atau MRI sebaiknya dilakukan dalam 24 jam.

Gambaran pada EDH biasanya hiperdens bikonveks dengan intensitas

homogen, berbatas tegas dan menyatu dengan tabula interna. Indikasi

dilakukan pemeriksaan ini adalah bayi dengan riwayat trauma kepala

disertai dengan atau tanpa kejang dan hipotonia.

Gambar 1. CT Scan Perdarahan Epidural

2. Perdarahan subdural

Diagnosis perdarahan subdural dapat ditegakkan dengan CT scan,

terutama jika disangka terdapat suatu lesi pasca trauma karena prosesnya

cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat

membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial.

Perdarahan subdural akut pada CT Scan Kepala (non kontras) tampak

sebagai suatu massa hiperdens ekstra aksial berbentuk bulan sabit

11

sepanjang bagian dalam tengkorak dan paling banyak terdapat pada

konveksitas otak di daerah parietal.

Perdarahan subdural yang sedikit dapat berbaur dengan gambaran

tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT

window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada

perdarahan subdural yang sedang atau besar volumnya. Bila tidak ada

midline shift harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.

Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan

gambaran falks srebri menebal dan tidak beraturan dan sering

berhubungan dengan child abused.

Gambar 2. CT Scan Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural subakut, gambaran menjadi isodens terhadap

jaringan otak. Pada perdarahan subdural kronik didapatkan lesi CT Scan

menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat dengan CT Scan tanpa

kontras.

3. Perdarahan subarachnoid

Kepastian diagnosis akan diperoleh dengan didapatkannya cairan

serebrospinal yang bercampur darah pada pungsi lumbal. Pada

pemeriksaan CT Scan akan didapatkan lesi hiperdens yang mengikuti pola

sulkus pada permukaan otak (12).

12

Gambar 3. CT Scan Perdarahan Subarachnoid

4. Perdarahan intraserebral

Diagnosis perdarahan intraserebral ditegakan dengan

menggunakan modalitas CT Scan, yang mana tampak bayangan hiperdens

yang homogen dengan batas tegas dan terdapat edema perifokal

disekitarnya. Lesi dapat berupa focus perdarahan kecil-kecil, namun dapat

pula perdarahan yang luas. Perdarahan dapat terjadi segera, dapat pula

terjadi beberapa hari sampai miggu kemudian (18).

Gambar 4.CT Scan Perdarahan Intraserebral

4. Perdarahan intraventrikel

Diagnosis perdarahan intraventrikuler dapat dilakukan dengan

pemeriksaan radiologi, yaitu ultrasonografi kepala atau CT Scan. Pungsi

lumbal sebaiknya dilakukan. Jika mempunyai kejang, sebaiknya dilakukan

pemeriksaan EEG (14).

Gambar 5. CT Scan Perdarahan Intraventrikel dan Intraserebral.

13

H. Diferensial Diagnosis

Diferensial diagnosis untuk perdarahan subdural diantaranya adalah,

gangguan darah atau pembuluh darah seperti gangguan koagulasi disebabkan

oleh defisiensi vitamin K, penyakit herediter (hemophilia dan penyakit von

Willebrand) ataupun didapat (penyakit hati dan Disseminated intravascular

coagulation), gangguan platelet, gangguan serebral vascular, gangguan

serebral atropi (Alpers disease, Battens disease), child abuse, dan meningeal

neoplasma (15).

Diferensial Diagnosis untuk perdarahan epidural diantaranya adalah

perdarahan subarachnoid dan subdural. Diferensial diagnosis perdarahan

subarachnoid diantaranya adalah aseptic meningitis, ensephalistis, meningitis.

Perdarahan intraserebral mempunyai diferensial diagnosis diantaranya massa

intrasebral (15).

I. Komplikasi

1. Pada perdarahan intraventrikel, hidrosephalus merupakan komplikasi

yang paling sering, yaitu sebanyak 44%, ventrikulomegali dengan atrofi

jatingan otak, dan periventrikulat leukomalacia. Komplikasi ini terjadi

ketika darah di ventrikel menyebabkan obstruksi LCS atau arachnoiditis

menyebabkan dekstruksi vili. Ventrikel membesar dan dekstruksi

substansia alba disebabkan oleh obstruksi venous return disebabkan oleh

tekanan dari akumulasi LCS pada vena pada dasar ventrkel. Edema

periventrikuler menyebabkan kompresi kapiler dan kerusakan iskemik

leukopania. Komplikasi perdarahan intraventrikulel lainnya diantaranya

adalah epilepsy, ganguan bicara, serebral palsy, dan retardasi metal.

2. Herniasi tentorial

3. Kejang pasca trauma

4. Gangguan neurologis lainnya, seperti monoparesis sampai tetraparesis

5. Cerebral Palsy

14

J. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal perdarahan intrakranial diantaranya, yaitu

penatalaksaan ABC, membersihkan jalan napas, memastikan ventilasi yang

adekuat, dan stabilisasi sirkulasi. Jika perlu dilakukan pemasangan NGT

(Naso Gastric Tube), namun tergantung dari derajat kesadaran. Pemberian

cairan intravena untuk circulation support tidak boleh menggunakan cairan

dekstrose 5% dan jarang sekali menggunakan N/4 (NaCl 0.225%) karena

sering terjadi SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone). Cairan

yang dianjurkan adalah NaCl 0.45% atau cairan ringer laktat diberikan ½-2/3

kebutuhan cairan maintenance normal. Jika terjadi syok dan koma secara

bersamaan sebaiknya digunakan pemasangan ICP (Intravenous Central

Pressure). Manitol digunakan hanya jika ada riwayat gambaran klinis pada lesi

massa yang berkembang (EDH) dengan manifestasi penurunan kesadaran

yang cepat. Tindakan terhadap kenaikan ICP sebaiknya dilakukan dengan

elevasi kepala 30 derajat dengan posisi kepala sesuai dengan garis tengah

tubuli, hiperventilasi seang hingga PaCO2 sekitar 25 mmHg. Jika hal ini belum

memadai untuk mengembalikan ICP, tindakan lebih lanjut tergantung kepada

gambaran CT Scan. Pada anak dengan diffuse swelling lebih baik menghindari

manitol pada 24 jam pertama, sebaiknya diganti dengan hiperventilasi untuk

menurunkan PaCO2 hingga 18-20 mmHg dan kemudian diberikan furosemide

dengan dosis 1 mg/ Kg BB. Jika masih kurang memadai sebaiknya diberikan

pentobarbital. Manitol diberikan jika dengan pentobarbital jika ICP masih

tinggi (19).

Pada CT Scan dengan gambatan midline shifting, manitol dapat

diberikan setelah dilakukan hiperventilasi. Jika pada hari ke 6-10 masih

didapatkan ICP yang tinggi, maka kemungkinan terdapat pelebaran ventrikel

sehingga memerlukan drainase ventrikel (19).

Berikut akan dibahas, penalataksanaan sesuai gambaran CT Scan:

1. Perdarahan epidural

Pengobatan perdarahan epidural pada neonatus dan bayi masih

kontroversial. Pengobatan dapat konservatif, bedah, atau aspirasi jarum.

15

Aspirasi jarum perdarahan epidural dilakukan dengan mengaspirasi cephal

hematom.

Perdarahan epidural mempunyai kecenderungan untuk semisolid,

yang sulit untuk diaspirasi. Oleh sebab itu, sebaiknya dilakukan

kraniotomi. Indikasi bedah lainnya, yaitu ketebalan hematom lebih dari

1cm dan diameter anteroposterior lebih dari 4 cm, fraktur depresi,

hidrocephalus, tanda vital tidak stabil, dan midline shifting.

2. Perdarahan subdural

Penatalaksaan subdural secara umum dibagi menjadi dua, yaitu

konservatif dan operatif. Konservatif dilakukan pada subdural dengan lesi

kecil, sedangkan pada lesi yang besar dilakkukan operatif. Terapi

konservatif dilakukan jika ketebalan hematoma < 1 cm dan midline shift

kurang dari 0.5 cm.

Tindakan operasi ditunjukan untuk mengevakuasi seluruh

perdarahan, merawat sumber perdarahan, reseksi parenkim otak yang

nonviable. Evakuasi perdarahan subdural dilakukan dengan burr holes.

Namun banyak penelitian menyatakan kraniotomi dekompresi luas

mempunyai prognosis yang lebih baik.

3. Perdarahan Intraserebral

Semua penderita dengan perdarahan intraserebral harus mendapat

pengobatan untuk:

a. Pengaturan tekanan darah

Hipertensi dapat dikontrol dengan sebaiknya tidak berlebihan.

Hipertensi terjadi karena cathecholaminergic discharge pada fase

permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari aliran darah otak akan

terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan

intrakranial yang meninggi. Kontrol yang erlebihan terhadap tekanan

darah akan menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal, dan otak.

Tekanan darah sistolik lebih sama dengan 160 mmHg tampak

berhubungan dengan penambahan volume hematoma dibandingakan

dengan sistolik yang lebih rendah. Obat-pbat anti hipertensi yang

16

dianjurkan adalah dari goongan angiotensin converting enzyme

inhibitor, angiotensin receptor bloker, dan calcium chanel bloker.

b. Pengurangan tekanan intrakranial

c. Pengontrolan terhadap edema cerebri

d. Pencegahan kejang

Penderita yang tidak sadar sebaiknya mendapat perawatan

dengan ventilator.

4. Perdarahan intraventrikel

Managemen awal melibatkan stabilisasi dan kontrol aktivitas

kejang. Kejang dapat dikontrol dengan pemberian obat-obatan seperti

valium atau luminal. Dosis valium 0.3-0.5 mg/BB. Setelah diberikan

tunggu 15 menit, kalau belum behenti diulangi dosis yang sama. Namun

jikaberhenti diberikan luminal 10 mg/KgBB (neonates 30 mg). Empat jam

kemudian diberikan luminal per oral 8 mg/KgBByang dibagi dalam 2

dosis selama 2 hari, selanjutnya 4 mg/KgBBdibagi dalam 2 dosis sambil

memperhatikan keadaan umum seterusnya.

Managemen jangka panjang meliputi serial pungsi lumbal untuk

mengurangi kelebihan LCS. Setiap pungsi mengurangi 5-10 ml/kg,

memperhatikan fontanela, perubahan tanda vital, dan monitoring elektrolit.

Ketika metode ini tidak berhasil, maka dilakukan pemasangan shunt.

Shunt dilakukan jika protein kurang dari 200 mg/dl. Beberapa institusi

berhasil dengan menggunakan acetazolamide (Diamox), carbonic

anhydrase inhibitor, untuk menurunkan produksi LCS.

Kortikosteroid berupa deksametason 0.5-1 mg/BB/24 jam yang

mempunyai efek baik terhadap hipoksia dan edema otak. Antibiotic dapat

diberikan untuk mencegah infeksi sekunder terutama bila terdapat

manipulasi yang berlebihan (4).

K. Pencegahan

Pencegahan perdarahan intraventrikular diantaranya pencegahan

prematuritas dan perbaikan manajemen perinatal yang menyangkut perbaikan

transportasi maternal pada wanita hamil preterm, pemberian glukokortikoid

17

antenatal pada wanita preterm. Persalinan sulit atau persalinan lama harus

diminimalkan dengan kompetensi yang dimiliki dokter bagian obsteri. Selain

itu, juga diperlukan perbaikan gangguan koagulasi, resusitasi yang baik dan

tepat pada bayi yang baru lahir.

Pencegahan perdarahan subdural dapat dilakukan dengan mencegah

trauma kepala seperti jatuh dari ketinggian, child abuse, dan assault.

Pemberian vitamin K pada semua bayi baru lahir dengan dosis 1 mg

intramuscular (dosis tunggal) atau secara oral 3 kali 2 mg pada waktu bayi

baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1 sampai 2 tahun dapat mencegah

perdarahan subdural akibat defisiensi vitamin K (20).

L. Prognosis

Perdarahan epidural jika penangananya dilakukan sedini mungkin,

mempunyai prognosis yang baik. Namun pada penelitian didapatkan bahwa

angka mortalitas dapat mencapai 6.6%, sedangkan morbiditas mencapai 3.3%.

Bayi dan anak yang mengalami perdarahan subdural dapat kembali

seperti sebelumnya (62%), disabilitas moderate (19%), disabilitas berat (14%),

dan mortalitas (1%). Faktor premobid dapat memperngaruhi hasil, seperti

genetic, faktor social dan lingkungan, gangguan perkembangan premorbid.

Namun berdasar penelitian yang lain didapatkan bahwa pada perdarahan

subdural akibat trauma, dinyatakan hanya dapat sembuh sempurna sebanyak

40%, setelah dilakukan pungsi aspirasi berulang atau tindakan bedah.

Perdarahan subdural umumnya mempunyai prognosis buruk.

Prognosis perdarahan intraserebral masih buruk. Penelitian dan

percobaan baru menunjukan bahwa setelah melakukan perbaikan terhadap

variable-variabel dasar yang mempengaruhi outcome, prognosis dapat menjadi

lebih baik.

Pada perdarahan intraventrikel, mortalitas tergantung dari derajat

perdarahan. Pada derajat 1-2 (ringan - sedang), angka kematian 10-25%,

sebagian besar sembuh sempurna, sebagian kecil dengan sekuele ringan. Pada

derajat 3-4 (sedang-berat), mortalitas 50-70% dan sekitar 30% sembuh dengan

18

sekuele berat. Sekuele dapat berupa serebral palsy, gangguan bicara, epilepsi,

retardasi metal, dan hidrosephalus (4).

19

III. KESIMPULAN

1. Perdarahan intrakranial pada bayi merupakan ekstravasasi darah yang

terjadi pada otak atau dalam jaringan intrakranial dapat terjadi pada

parenkim otak atau ruang meningen

2. Perdarahan intrakranial pada bayi dapat terjadi secara spontan dan

traumatik

3. Jenis perdarahan intrakranial diantaranya adalah perdarahan epidural,

subdural, subarachnoid, intracerebral, dan intraventrikuler.

4. Pada trauma kelahiran, perdarahan terjadi oleh kerusakan/robekan

pembuluh- pembuluh darah intrakranial secara langsung. Pada perdarahan

yang bukan karena trauma kelahiran,faktor dasarnya ialah prematuritas.

Pada prematur, pembuluh darah otak masih embrional dengan dinding

tipis, jaringan penunjang sangat kurang dan pada beberapa tempat tertentu

jalannya berkelok-kelok, kadang-kadang membentuk huruf U.

5. Perdarahan epidural/ ekstradural terjadi oleh robekan arteri atau vena

meningika media antara tulang tengkorak dan duramater. Keadaan ini

jarang ditemukan pada neonatus.Tetapi perdarahan subdural merupakan

jenis PIN yang banyak dijumpai pada bayi cukup bulan. Di sini perdarahan

terjadi akibat pecahnya vena-vena kortikal yang menghubungkan rongga

subdural dengan sinus-sinus pada duramater

6. Manifestasi klinis perdarahan intrakranial dapat asimptomatik ataupun

simptomatis, yaitu pucat, penurunan kesadaran, dan muntah

7. Diagnosis ditegakan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium,

dan radiologic, berupa CT Scan sebagai penujang diagnosis definitive.

8. Penatalaksanaan awal mencakup airway, breathing, circulation.

Pemberian cairan intravena yang dianjurkan adalah NaCl 0.45% atau

cairan linger laktat.

9. Komplikasi perdarahan intrakranial diantaranya adalah hidrosephalus,

kejang, defisit neurologis seperti monoplegi dan tetraplegia serta serebral

palsy.

10. Pencegahan penting dilakukan untuk mengurangi angka kejadian PIN.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. July J, Wahjoepramono EJ, and Wirjomartani BA. Diagnostic clues in spontaneous intracranial hemorrhage in babies. Paediatrica Indonesiana 2008; 48:230-4.

2. Moeslichan, Surjono A, Kosim S, et. al. Pemberian profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir. Jakarta: HTA Indonesia, 2003

3. Kardana M, Kari K, and Widia M. Characteristics and prognostic factors of intracranial hemorrhage in children. Paediatrica Indonesiana 2003; 43: 14-19.

4. Pooni PA, Singh D, Singh H, et. al. Intracranial hemorrhage in late hemorrhagic disease of the newborn. Indian Pediatr 2003; 40: 243-8.

5. Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, et. al. Buku ajar hematologi–onkologi anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010.

6. Letourne MA and Jaffe DM. Craniocerebral trauma. In: Reisdorf EJ, Robert MR, and Wiegestein JG, editors. Pediatric emergency medicine. Philadelphia: WB Saunders Company; 1993.

7. Duhaime AC and Sutton LN. In: Holbrook PR, editor. Text book of pediatric critical care. Philadelphia: WB Saunders Company; 1995.

8. Sari, RP., Hidayah, N., Wasilah, S. Profil Perdarahan Intrakranial Pada Bayi Di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin Tahun 2010-2012. Berkala Kedokteran Vol. 10, No. 1, Feb 2014: 101-110

9. Sadewo, Wismaji. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Departemen Bedah Saraf. FKUI-RSCM. 2011

10. Danielsson N, Hoa DP, Thang NV, et. al. Intracranial haemorrhage due to late onset vitamin K deficiency bleeding in Hanoi province, Vietnam. Arch Dis Child Fetal Neonatal 2004; 89: 546-50.

11. IJland MM, Pereira RR, and Cornelissen EA. Incidence of late vitamin K deficiency bleeding in newborns in the Netherlands in 2005: evaluation of the current guideline. Eur J Pediar 2008; 167: 165-9.

12. Wahjoepramono, Eka J. Cedera Kepala. Jakarta: PT Deltacitra Grafindo, 2005.

13. Kaye, Andrew H. Essentials Neurosurgery. Massachusetts, USA : Blackwell Publishing Ltd, 2005.

21

14. Fink, Stacy. Intraventricular Hemorraghe in the Term Infant. Neonatal Network. 2000 Vol 19 No 7; 14 – 15

15. Pollanen, M. S. Subdural Hemorrahage in Infancy: Keep an open Mind. Forensic Science Medical Pathology, 2011; 1-3.

16. Lo, W. D., JoEllen, L., Rusin, J., Elizabenth, P., & Roach, S. Intracranial Hemorrhage in Children. American Medical Association, 2008; 1620-1624.

17. Ribaupierre, S. d., Rillet, B., Cotting, J., & Regli, L. A 10-year experience in Pediatric Spontaneous Cerebral Haemorrahage: Which Children with Headache Need More Than A Clinical Examination. Swiss Med Weakly, (2008; 138 (5-6): 59-69.

18. Zidan, I., & Ghanem, A. Intracerebral Hemorrhage in Children. Alexandria Journal of Medicine, 2012; 139-145.

19. Japardi, Iskandar. Cedera Kepala pada Anak di Dalam Cedera Kepala. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2004; 128-131

20. B., RA, M., & Ugrasena, I. Perdarahan yang terjadi akibat defisiensi kompleks Protrombin. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXV 'Hot Topics in Pediatric', 2005; 1-16.

22