Pend. Nasional

50
Pendidikan Antikorupsi March 4, 2007 at 2:52 am (Pendidikan Nasional ) Oleh Mochtar Buchori Pendidik http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0702/21/opini/3316225.htm ===================== Tanggal 8 Februari 2007 lalu saya seharusnya ikut diskusi tentang pendidikan untuk membasmi korupsi. Diskusi ini diselenggarakan oleh Indonesian Corruption Watch. Namun karena hujan dan saya berada dalam “pengungsian”, keinginan itu terpaksa dibatalkan. Ada tiga gagasan yang ingin saya sampaikan. Pertama, korupsi hanya dapat dihapuskan dari kehidupan kita secara berangsur-angsur. Kedua, pendidikan untuk membasmi korupsi sebaiknya berupa persilangan (intersection) antara pendidikan watak dan pendidikan kewarganegaraan. Ketiga, pendidikan untuk mengurangi korupsi harus berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi. Kemajuan bangsa Banyak di antara kita yang habis kesabaran saat menyaksikan berbagai usaha menghapus korupsi tidak menunjukkan kemajuan berarti. Kita seperti lari di tempat; secepat apa pun larinya, kita selalu menemukan diri di tempat yang sama. Perlu disadari, di mana pun di dunia ini korupsi tidak pernah bisa dihapus secara mendadak. Penyusutan, pemudaran, dan pelumpuhan korupsi dari suatu bangsa selalu berangsur-angsur. Dalam kasus Indonesia, mungkin diperlukan 15-20 tahun sebelum kita bisa merasakan, korupsi benar-benar terkendalikan dalam kehidupan kita. Mengapa? Karena korupsi bukan suatu bahaya di luar diri kita. Benih- benih korupsi ada dalam tubuh kita sebagai bangsa. Bangsa adalah keseluruhan, dari lapisan-lapisan generasi yang ada pada suatu waktu. Generasi tua menurun ke generasi dewasa, generasi hampir dewasa, generasi remaja, sampai ke generasi muda. Dengan demikian, mengendalikan atau mengurangi korupsi bagi suatu bangsa adalah keseluruhan upaya untuk melahirkan generasi baru yang mampu mengembangkan sistem nilai yang menolak korupsi secara lebih tegas, lebih definitif daripada yang kita lakukan kini.

Transcript of Pend. Nasional

Page 1: Pend. Nasional

Pendidikan   Antikorupsi March 4, 2007 at 2:52 am (Pendidikan Nasional)

Oleh Mochtar BuchoriPendidikhttp://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0702/21/opini/3316225.htm=====================

Tanggal 8 Februari 2007 lalu saya seharusnya ikut diskusi tentangpendidikan untuk membasmi korupsi. Diskusi ini diselenggarakan olehIndonesian Corruption Watch. Namun karena hujan dan saya beradadalam “pengungsian”, keinginan itu terpaksa dibatalkan.

Ada tiga gagasan yang ingin saya sampaikan. Pertama, korupsi hanyadapat dihapuskan dari kehidupan kita secara berangsur-angsur. Kedua,pendidikan untuk membasmi korupsi sebaiknya berupa persilangan(intersection) antara pendidikan watak dan pendidikankewarganegaraan. Ketiga, pendidikan untuk mengurangi korupsi harusberupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiapgenerasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi.

Kemajuan bangsa

Banyak di antara kita yang habis kesabaran saat menyaksikan berbagaiusaha menghapus korupsi tidak menunjukkan kemajuan berarti. Kitaseperti lari di tempat; secepat apa pun larinya, kita selalumenemukan diri di tempat yang sama.

Perlu disadari, di mana pun di dunia ini korupsi tidak pernah bisadihapus secara mendadak. Penyusutan, pemudaran, dan pelumpuhankorupsi dari suatu bangsa selalu berangsur-angsur. Dalam kasusIndonesia, mungkin diperlukan 15-20 tahun sebelum kita bisamerasakan, korupsi benar-benar terkendalikan dalam kehidupan kita.

Mengapa? Karena korupsi bukan suatu bahaya di luar diri kita. Benih-benih korupsi ada dalam tubuh kita sebagai bangsa. Bangsa adalahkeseluruhan, dari lapisan-lapisan generasi yang ada pada suatu waktu.Generasi tua menurun ke generasi dewasa, generasi hampir dewasa,generasi remaja, sampai ke generasi muda. Dengan demikian,mengendalikan atau mengurangi korupsi bagi suatu bangsa adalahkeseluruhan upaya untuk melahirkan generasi baru yang mampumengembangkan sistem nilai yang menolak korupsi secara lebih tegas,lebih definitif daripada yang kita lakukan kini.

Apa yang dilakukan generasi sekarang terhadap korupsi? Secaralahiriah, mencela dan mengutuk, tetapi dalam hati membiarkan danmemaafkan korupsi. Dengan sikap batin seperti ini, kita tidak akanpernah tegas mampu menolak godaan-godaan untuk berkorupsi.

Dilihat dalam konteks pendidikan, tindakan untuk mengendalikan ataumengurangi korupsi adalah keseluruhan upaya untuk mendorong generasi-generasi mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap

Page 2: Pend. Nasional

bentuk tindak korupsi. Perubahan dari sikap membiarkan dan menerimake sikap tegas menolak korupsi, tidak pernah terjadi jika kita tidaksecara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk memperbaruisistem nilai yang dirwarisi, sesuai dengan tuntutan yang muncul dalamsetiap tahap perjalanan bangsa.

Sistem nilai adalah keseluruhan norma-norma etika yang dijadikanpedoman oleh bangsa untuk mengatur perilakunya. Perubahan dari sikapmembiarkan, memahami, dan memaafkan korupsi ke sikap menolak korupsisecara tegas hanya akan terjadi setelah lahir generasi yang mampumengidentifikasi berbagai kelemahan dalam sistem nilai yang merekawarisi dan mampu memperbarui sistem nilai warisan itu berdasarsituasi-situasi baru.

Pada gilirannya, hal ini baru akan terjadi jika di masyarakat telahlahir generasi-generasi yang benar-benar memahami berbagai hubungansebab-akibat antara perjalanan nasib bangsa selama kurun waktutertentu dengan aneka tindakan yang secara sadar dilakukannyasebelumnya atau selama kurun waktu yang hampir bersamaan.

Pada dasarnya sistem nilai yang lebih baik, yang lebih dewasa, datangdari berbagai pengalaman nyata yang bersifat dramatis atau daritilikan-tilikan yang lahir dari kontemplasi mendalam mengenai maknaaneka peristiwa kehidupan yang dijumpainya selama suatu kurun waktu.Keduanya merupakan hal langka. Berbagai peristiwa dramatis merupakanhal langka, dan pengungkapan makna baru dari aneka peristiwa dalamkehidupan bangsa juga merupakan suatu hal yang jarang terjadi. Dengandemikian, yang akhirnya terjadi ialah perubahan sistem nilai bangsaberlangsung lambat, lebih lambat dari berbagai perubahan nyata dalamkehidupan.

Sikap ragu-ragu yang kini kita perlihatkan merupakan gejala yangmengkhawatirkan! Korupsi yang dibiarkan terus berlangsung menjadipenghambat kemampuan bangsa membangun diri. Korupsi merupakan suatukekuatan destruktif, sedangkan kemajuan bangsa memerlukan kekuatankonstruktif. Jadi, jika kita sebagai bangsa ingin maju, yang harusdilakukan ialah menjaga agar kekuatan konstruktif bangsa selalu lebihbesar daripada kekuatan destruktif.

Dalam konteks pendidikan, “mencabut korupsi sampai ke akar-akarnya”berarti melakukan rangkaian usaha untuk melahirkan generasi yangtidak bersedia menerima dan memaafkan suatu perbuatan korupsi yangtelah terjadi. Harus dilakukan usaha-usaha untuk melahirkan perubahanradikal dalam sikap bangsa terhadap korupsi. Dapatkah dilakukan?Pendidikan seperti apa yang dapat menimbulkan sikap seperti ini padagenerasi mendatang?

Pendidikan watak

Korupsi dapat dipandang sebagai hasil persilangan antara keserakahandan ketidakpedulian sosial. Yang tega melakukan korupsi adalah merekayang tidak dapat mengendalikan keserakahan dan tidak peduli atasdampak dari perbuatannya terhadap bangsa dan negara.

Page 3: Pend. Nasional

Dengan demikian, pendidikan yang akan melahirkan sikap tegas menolakkorupsi mau-tidak-mau harus berupa program yang mengandung unsur-unsur pendidikan watak dan pendidikan kewarganegaraan. Ini kedengaransepele, tetapi jika diletakkan dalam bingkai tradisi pendidikan yangada selama ini, akan segera terlihat, masalah ini merupakan suatupersoalan cukup berat.

Selama ini tradisi pendidikan kita memandang pendidikan watak sebagaisuatu program indoktrinasi, dan pendidikan kewarganegaraan sebagaiprogram untuk “menjinakkan dan menyeragamkan” masyarakat. Masyarakatdengan jiwa pembaruan, masyarakat yang berani dan mampu memperbaruisistem nilai yang ada tidak pernah “jinak” dan “seragam”. Dan jugatidak berpikir secara doktriner.

Jadi, pelaksanaan program pendidikan yang bermaksud mendoronglahirnya generasi yang mampu memperbarui sistem nilai harus berjalanmelawan beberapa arus yang kini ada dalam sistem pendidikan kita.

Pendidikan antikorupsi segera saja menjadi pendidikan nilai.Pendidikan antikorupsi dan pendidikan watak jelas-jelas merupakanpendidikan nilai. Sedangkan pendidikan kewarganegaraan mengandungsegmen pendidikan nilai yang cukup besar.

Dalam konteks pendidikan antikorupsi ini yang penting untukditekankan ialah tujuan pendidikan nilai bukan memupuk kemaniranberetorika tentang nilai-nilai atau tentang suatu ideologi. Yang jauhlebih penting ialah menggunakan pengetahuan tentang dan ketaatanterhadap nilai-nilai untuk memupuk kemampuan membimbing bangsa kepembaruan cara hidup (way of life), sesuai realitas yang ada sertaaspirasi tentang masa depan yang masih hidup dalam diri bangsa.

Pendidikan nilai tidak berhenti pada pengenalan nilai-nilai. Ia masihharus berlanjut ke pemahaman nilai-nilai, ke penghayatan nilai-nilai,dan ke pengamalan nilai-nilai. Hanya dengan siklus yang bulat sepertiini dapat diharapkan, pendidikan nilai akan dapat membawa bangsa kekemampuan memperbarui diri.

Untuk ini, dibutuhkan suatu transforming leadership, suatu jeniskepemimpinan yang dapat mengajak seluruh bangsa memperbarui dirinya.

1 Comment

Perilaku Politik, Budaya Politik, dan   Pendidikan March 4, 2007 at 2:50 am (Pendidikan Nasional)

Oleh Mochtar BuchoriPendidikhttp://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0605/17/opini/2643628.htm————————————

Bulan Mei kita pandang sebagai Bulan Pendidikan. Dalam bulan Mei kitaberpikir dan berenung tentang pendidikan kita. Dirasakan masih banyakhal yang harus diluruskan. Selain itu, ada juga hal-hal yang kita

Page 4: Pend. Nasional

rasakan sebagai keberhasilan dan kecemerlangan.

Jadi dunia pendidikan kita kini dihadapi dengan perasaan campur baur.Ada hal-hal yang menimbulkan rasa bangga, tetapi ada pula yangmenimbulkan rasa sedih dan iba.

Di tengah kesibukan menggagas pendidikan kita dikejutkan anekaperistiwa politik yang menampakkan wajah jelek dunia politik kitakini: kerusuhan dalam rangka pilkada, bupati terpilih yang digugat,kongres partai politik yang dinamakan islah, tetapi penuhpercekcokan, dan pernyataan tokoh-tokoh politik yang tidak jelasmaksud dan tujuannya. Hari ini bilang “A”, beberapa hari kemudianbilang “non-A”. Kita menyaksikan perilaku politik Indonesia dalamformat yang jelek.

Lalu di antara kita ada yang bertanya, “Masih adakah yang dapatdilakukan oleh dunia pendidikan guna menjamin datangnya generasipolitik yang lebih santun dan lebih bertanggung jawab di masa depanyang tidak terlampau jauh?”

Untuk menjawab pertanyaan ini, melahirkan serangkaian diskusi danseminar. Di antara kita ada yang berpandangan optimistis, tetapi adapula yang berpandangan pesimistis, bahkan ada yang berpandangan sinis(cynical).

Sumber perilaku politik

Menurut pendapat saya, sumber perilaku politik pada dasarnya adalahbudaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik tentang apayang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan initidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifattertutup.

Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasanRUU merupakan kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar “uangpelicin” kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukunganpartai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernurmerupakan tindakan yang dianggap sah dalam budaya politik kita kini.

Suatu budaya politik biasanya berlaku selama periode tertentu. Ketikadatang perubahan penting dalam konstelasi politik, datang pula parapelaku baru dalam gelanggang politik, terbukalah kesempatan untukmemperbarui budaya politik.

Di negara kita budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda daribudaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbedadengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zamanreformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudianmelahirkan perilaku politik yang menyusahkan banyak orang. Disementara kalangan budaya politik kita disebut dengan “budaya politikaji mumpung”.

Apa hubungan budaya politik dengan pendidikan?

Page 5: Pend. Nasional

Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apayang akan ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utamabudaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi olehpendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikanbersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara finalmembentuk pelaku politik. Pendidikan memberi dasar-dasar kepada tiapcalon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besarkemungkinan (probabilitasnya) akah lahir pelaku-pelaku politik yangbaik. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelekdan rapuh, kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudianhari adalah pelaku-pelaku politik yang jelek dan rapuh pula.

Berdasarkan generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku parapelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baikberbeda dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakatdengan sistem pendidikan yang kurang memadai. Dalam masyarakat kita,misalnya, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikanpesantren yang baik, berbeda perilakunya dari pelaku politik yangdatang dari pendidikan pesantren yang kurang terpelihara atau darilatar belakang pendidikan yang berbau aristokrasi dan meritokrasifeodal atau militer.

Dulu, di Malaysia, para pelaku politik dengan latar belakangpendidikan British berbeda sepak terjang politiknya dari pelakupolitik dengan latar belakang pendidikan Melayu. Di Inggris parapolitikus dengan latar belakang pendidikan elitis berbeda perilakunyadan budaya politiknya mereka yang datang dari kalangan pendidikanyang kurang beruntung.

Sosok pendidikan

Lalu bagaimana sosok pendidikan (kontur pendidikan) yang dapatmenjadi landasan ideal kehidupan politik? Ini tergantung bagaimanakita men-definisi-kan “kehidupan politik” yang ideal. Namun, secaraumum landasan yang baik adalah pendidikan yang dalam jargon politikdisebut “pendidikan manusia seutuhnya”.

Dalam idiom modern, ini ialah pendidikan yang membimbing anakmenjelajah enam wilayah makna (realms of meaning), yaitu simbolika,empirika, estetika, sinnoetika, etika, dan sinoptis. Pendidikan ini,jika diselenggarakan dengan baik, akan menghasilkan anak-anak mudayang mampu berpikir secara sistematik, mengenal dan memahami anekapersoalan empiris yang ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan,memiliki kepekaan sosial, secara sukarela taat kepada norma-norma,dan mampu berpikir secara reflektif dan integratif. Menurut paraahli, pendidikan seperti ini memerlukan waktu empat belas tahum.Dalam sistem kita itu berarti pendidikan dari tingkat SD hinggasarjana muda atau D-2/D-3.

Dengan landasan pendidikan seperti ini, kiranya akan lahir insan-insan politik yang mampu merintis lahirnya budaya politik baru danperilaku politik yang lebih santun dalam negara kita.

Page 6: Pend. Nasional

Untuk ini mungkin di masa depan kewajiban belajar bagi anak-cucuperlu ditingkatkan dari 9 tahun jadi 15 tahun. Mungkin di masa depanperlu diadakan ketentuan, untuk menjadi anggota DPRD dan DPRdiperlukan paling tidak ijazah D-2 atau D-3. Jadi perjalanan yangharus ditempuh sistem pendidikan kita masih panjang sebelum lahirgenerasi politik yang lebih cakap, lebih santun, dan lebihbertanggung jawab daripada yang ada kini.

Dapatkah ini kita capai? Semoga.

17 Comments

“Character Building” dan Pendidikan   Kita March 4, 2007 at 2:48 am (Pendidikan Nasional)

Oleh Mochtar BuchoriPendidikhttp://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/26/opini/2836169.htm===============================

Ungkapan character building kini sudah klise kosong, nyaris tidakbermakna. Diucapkan para politisi, birokrat pendidikan, pemimpinorganisasi pendidikan, ungkapan ini tidak meninggalkan bekas apa-apa.

Ketika ungkapan ini diucapkan oleh Bung Karno dulu, oleh Mohamad Saiddari Taman Siswa, oleh St Takdir, oleh Soedjatmoko, ungkapan inimeninggalkan bekas yang mendalam di hati saya. Ungkapan inimenghidupkan harapan besar dalam hati saya.

Kini, kalau saya mendengar orang mengucapkan kata-kata ini, iaberlalu begitu saja, tidak mampir di otak atau hati saya. Apakahcharacter building atau pembinaan watak kini sudah bukan masalah lagidi Indonesia?

Ketika Bung Karno mengucapkan kata-kata ini, rasanya diucapkan dalamkonteks politik. Jadi yang dimaksud ialah watak bangsa harusdibangun. Tetapi ketika kata-kata ini diungkapkan oleh para pendidik,dari Ki Hajar Dewantara hingga Mohammad Said, konteksnya adalahpedagogik. Yang dimaksudkan ialah pendidikan watak untuk para siswa,satu demi satu. Bagaimana cara mendidik anak di sekolah agar selainmenjadi pintar juga menjadi manusia berwatak?

Pendidikan watak

Jika diuraikan seperti ini, masalah character building masihmerupakan suatu isu besar, bahkan amat besar. Semua kebobrokan yangkita rasakan kini lahir dari tidak adanya watak yang cukup kokoh padadiri kita bersama. Watak bangsa rapuh dan watak manusia Indonesiamudah goyah. Saya kira jumlah orang yang jujur masih cukup banyak diIndonesia, tetapi mereka tidak berdaya menghadapi kelompok kecilmanusia Indonesia yang korup, yang mempunyai kekuasaan ataumembonceng pada kekuasaan.

Page 7: Pend. Nasional

Jadi apa yang salah dengan pendidikan watak kita? Banyaksekali! “Pendidikan watak” diformulasikan menjadi pelajaran agama,pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran budi pekerti, yang programutamanya ialah pengenalan nilai-nilai secara kognitif semata. Paling-paling mendalam sedikit sampai ke penghayatan nilai secara afektif.

Padahal, pendidikan watak seharusnya membawa anak ke pengenalan nilaisecara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya kepengamalan nilai secara nyata. Dari gnosis sampai ke praksis, istilahpedagogiknya.

Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa batin yang amat pentingyang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan yangsangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebutconatio. Dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad inidisebut langkah konatif.

Jadi dalam pendidikan watak, urut-urutan langkah yang harus terjadiialah langkah pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami danmenghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secarakonatif. Ini trilogi klasik pendidikan. Oleh Ki Hajar diterjemahkandengan kata-kata cipta, rasa, karsa.

Berdasar analisis ini pendidikan watak pada dasarnya adalahmembimbing anak untuk secara sukarela mengikatkan diri pada nilai.Rumusan Profesor Phenix ialah “voluntary personal commitment tovalues”. Dilihat dari sudut ini tidak akan terlalu sukar untukmengetahui kesalahan-kesalahan kita dalam menyelenggarakan pendidikanwatak.

Pelaksanaan

Kini, lihatlah cara kita melaksanakan pendidikan watak, terutama darisegi evaluasi. Mengetahui kemajuan anak dalam aspek kognitif relatifitu mudah. Nilai-nilai apa saja yang dikenal dan dipahami anakmengenai berbagai hal dalam kehidupan? Nilai-nilai tentang pergaulansosial, tentang etos kerja, tentang kejujuran? Apa saja yang telahdiketahui dan dipahami anak tentang berbagai jenis nilai tadi?Bagaimana mengevaluasi keberhasilan anak dalam mengenali dan memahaminilai-nilai ini?

Jelas tidak dengan tes multiple choice (pilihan ganda) semata.Bagaimana menilai kemajuan aspek afektif anak? Observasi dan catatanhasil observasi adalah cara terbaik. Dan menilai kemajuan anak dalamaspek praksis juga harus dilakukan dengan observasi yang sistematis.

Dilihat dari segi ini, kita tidak dapat menghindari kesan, pendidikanwatak di sekolah kita benar-benar amburadul. Saya mendapat kesan,kita tidak sungguh-sungguh berusaha melaksanakan pendidikan watak.Rupanya tidak ada tempat dalam kurikulum sekolah Indonesia untukmelaksanakan pendidikan watak yang sebenarnya. Para guru bertanya,untuk apa menghabiskan waktu dan tenaga untuk pendidikan watak? “Soalwatak kan tidak akan ditanyakan dalam ujian nasional!”

Page 8: Pend. Nasional

Kesan ini diperkuat cara penyelenggaraan ujian nasional. Hanya tigamata pelajaran yang diujikan, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,dan Matematika. Ketiga hal ini memang penting, tetapi siapa beranimengatakan pendidikan watak tidak penting? Kiranya tidak ada! Namun,ketentuan atas ketiga pelajaran menentukan lulus-tidaknya seorangsiswa dari ujian nasional berarti pemerintah memandang pendidikanwatak sama sekali tidak penting. Ujian nasional telah menguburpendidikan watak.

Mungkin ada yang mengatakan, mengevaluasi hasil pendidikan watakdengan baik tidak mungkin dilakukan secara nasional, tetapi harussecara lokal. Saya setuju! Tetapi kenyataannya, penilaian lokal tidakdiperhitungkan sama sekali. Kesimpulan saya, Departemen PendidikanNasional (Depdiknas) menganggap pendidikan watak tidak penting. Ituhanya suatu komoditas politik yang tidak perlu dianggap terlaluserius. Selain itu, Depdiknas menganggap para guru yang tiap harimendampingi anak tidak memiliki informasi yang sah tentangperkembangan murid, termasuk perkembangan wataknya.

Kini kita harus menentukan secara definitif, pendidikan watak disekolah itu penting atau tidak bagi masa depan bangsa dan negara?Kalau penting, mari ditangani bersama dengan baik. Kalau kitamenganggapnya tidak penting lagi, karena sudah ada pelajaran agama,kewarganegaraan, dan budi pekerti, ya sudah! Jangan ngomong lagitentang pendidikan watak. Jangan ngomong tentang nation and characterbuilding.

20 Comments

Pendidikan   Multikultural March 4, 2007 at 2:47 am (Pendidikan Nasional)

Oleh Mochtar BuchoriPendidikhttp://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0701/12/opini/3232252.htm========================

Keinginan menyelenggarakan pendidikan multikultural biasanya munculdalam masyarakat majemuk yang menyadari kemajemukannya. Masyarakatseperti ini menyadari dirinya terdiri dari berbagai golongan yangberbeda secara etnis, sosial-ekonomis, dan kultural. Masyarakat inisering disebut masyarakat pluralistik atau masyarakat heterogen.

Sebaliknya, dalam masyarakat homogen—masyarakat yang memilikiidentitas ras atau etnis yang sama, serta mengikuti gaya hidup denganwatak kultural yang sama—umumnya tidak ada keinginan publik untukmenyelenggarakan pendidikan multikultural. Di Jepang atau Norwegia,tidak terasa adanya kebutuhan pendidikan multikultural. Tetapi diAustralia, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, amat terasa betapaketiadaan pendidikan multikultural menimbulkan berbagai ketegangandalam kehidupan sosial.

Page 9: Pend. Nasional

Mengapa demikian?

Karena dalam setiap masyarakat majemuk selalu ada prasangka yangmemengaruhi interaksi sosial antara berbagai golongan penduduk.Misalnya, setiap golongan penduduk di masyarakat Indonesia menyandangperangkat prasangka, warisan generasi sebelumnya. Golongan pribumi,misalnya, hidup dengan sejumlah prasangka terhadap keturunan China,dan sebaliknya. Golongan penduduk Islam menyimpan sejumlah prasangkaterhadap golongan Kristen, dan sebaliknya.

Berbagai prasangka sosial dalam masyarakat majemuk tidak bersifatlanggeng. Dari waktu ke waktu, berbagai prasangka itu berubah.Perubahan dalam prasangka ini dapat menuju interaksi sosial yanglebih baik atau lebih jelek. Dalam kurun waktu tertentu, golongan-golongan penduduk bisa menjadi lebih saling mencurigai, salingmembenci, tetapi juga bisa menjadi saling memahami dan salingmenghormati. Ini ditentukan oleh cara berbagai golongan pendudukdalam suatu masyarakat majemuk mengelola prasangka-prasangka sosialyang ada dalam diri masing-masing.

Pendidikan multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyarakatmajemuk untuk mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengancara-cara yang baik. Tujuannya, menciptakan hubungan lebih serasi dankreatif di antara berbagai golongan penduduk dalam masyarakat.

Melalui pendidikan multikutural, siswa yang datang dari berbagaigolongan penduduk dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka,adat-istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, sertauntuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untukmenyatakan diri menurut cara masing-masing. Dalam konteks masyarakatIndonesia, misalnya, melalui pendidikan multikultural, para siswadapat dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, dan untukmengamalkan semboyan ini dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Pesantren-madrasah

Rangkaian renungan ini muncul dalam pikiran, saat seorang teman darisuatu fakultas tarbiyah bertanya, “Apakah gagasan pendidikanmultikultural tepat dilaksanakan di lingkungan pesantren-madrasah?Jika dinilai tepat, bagaimana cara melaksanakannya agar tidakmengubah watak dasar pesantren-madrasah?”

Menjawab pertanyaan pertama, saya katakan, ini bergantung pada visipara pengelola pendidikan pesantren-madrasah yang ada kini. Melaluipendidikan pesantren-madrasah, generasi Muslim Indonesia yangbagaimana yang diharapkan lahir di masa depan. Apakah yang diinginkangenerasi Muslin Indonesia yang mampu bertindak sebagai gerbang bagikomunitas Muslim Indonesia yang terbuka untuk pergaulan antargolongansecara jujur dan saling menghormati? Ataukah generasi MuslimIndonesia yang lebih senang bertindak sebagai benteng yang mampumengamankan komunitas Muslim Indonesia dari tantangan dan ancamandari luar?

Page 10: Pend. Nasional

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan sikap kita terhadap tepat-tidaknya pendidikan multikultural diterapkan di pesantren-madrasah.Jika yang diinginkan ialah lahirnya generasi Muslim Indonesia yangbersikap inklusif, tidak ada alasan untuk menolak pendidikanmultikultural. Tetapi jika yang diinginkan lahirnya generasi MuslimIndonesia yang bersikap eksklusif, pendidikan multikultural harusditolak, atau paling tidak “diwaspadai”. Ini merupakan persoalan yangharus dibahas secara mendalam oleh para pengelola pesantren-madrasahsendiri. “Orang luar” seperti saya tidak berhak mencampuri masalahinternal ini.

Apakah memasukkan agenda pendidikan multikultural ke tubuh pesantren-madrasah tidak akan mengubah watak dasar pesantren-madrasah?

Proses integrasi

Saya tidak dapat menjawab pertanyaan itu berdasar pengalaman lapanganyang saya miliki. Tetapi pengalaman yang terjadi di Jerman, sepertidiceritakan Zachary Shore (International Herald Tribune, 29/11/2006)yang cuplikannya saya tuturkan kembali di bawah ini barangkali bisadigunakan sebagai perbandingan.

Ada dua eksperimen menarik yang dilakukan di Jerman, yaitu di Berlindan Negara Bagian Baden-Wurttenberg. Di Berlin, pendidikanmultikultural untuk anak-anak Turki-Jerman dan anak-anak Jerman aslidiselenggarakan di sebuah SD bernama Aziz Nasim Europa ElementarySchool. Sekolah ini bersifat bilingual. Setengah dari kegiatanpembelajaran diselenggarakan dalam bahasa Jerman, setengahnya lagidalam bahasa Turki. Pelajaran agama mencakup pelajaran tentang agamaIslam dan agama Kristen.

Di Negara Bagian Badan-Wurttenberg dilakukan suatu pilot project di12 sekolah negeri yang persentase murid-murid Muslimnya cukup tinggi.Di negara bagian ini jumlah penduduk Muslim ialah 5,7 persen danjumlah ini terus meningkat. Dan pemerintah setempat tidak tahu apayang harus diperbuat dengan anak-anak dari penduduk Muslim ini. Makadiluncurkanlah pilot project di bawah pimpinan Michael Blume, seorangkandidat doktor di bidang comparative religion.

Di kedua sekolah ini anak-anak dibimbing untuk mengembangkan perasaanbahwa mereka merupakan bagian masyarakat Jerman. Mereka dibimbinguntuk mencegah timbulnya perasaan bahwa mereka lebih merupakan bagianmasyarakat paralel di luar masyarakat utama Jerman.

Pertimbangan utama para pendukung eksperimen ini ialah masyarakatJerman tidak dapat terus membiarkan anak-anak Muslim tertutup darimasyarakat utama Jerman, dan membiarkan mereka tersedot arusekstremisme. Sebaliknya, para pemimpin masyarakat Muslim di Jermanmenyadari, mereka tidak dapat terus membiarkan para orangtua Muslimmelarang anak-anak mereka masuk sekolah-sekolah Jerman. Inidilakukan, antara lain, oleh Renee Abul Ella di Berlin, melaluiorganisasinya, Al Dar.

Page 11: Pend. Nasional

Apa yang dapat dipelajari dari berbagai pengalaman di Jerman ini?Melalui pendidikan multikultural, para imigran Muslim di Jerman danEropa umumnya dibimbing mengintegrasikan diri ke masyarakat tuanrumah, tanpa kehilangan identitasnya. Jadi, pendidikan multikulturaldiselenggarakan sebagai sarana melahirkan proses integrasi. Dapatkahhal ini dilakukan di Indonesia? Dapat! Jika dilaksanakan denganbenar, pada waktunya pendidikan mutikultural akan melahirkan prosesintegrasi bangsa yang sehat, dan melahirkan identitas bangsa yangsesuai dengan perkembangan zaman.

Jadi, jika pendidikan multikultural dilaksanakan di pesantren-madrasah, pada saatnya akan lahir generasi Muslim Indonesia yangmemiliki cakrawala politik dan kultural luas tanpa kehilanganidentitas. Jika kita menerima kemajemukan dan memahami apa yangdidambakan tentang diri kita sebagai bangsa, kiranya tidak sulituntuk menemukan cara-cara menyelenggarakan pendidikan multikulturaltanpa mengubah watak dasar kita.

3 Comments

Mandeknya Pemikiran   Pendidikan March 4, 2007 at 2:46 am (Pendidikan Nasional)

Oleh Agus SuwignyoAlumnus Faculteit der Pedagogische Onderwijskundige Wetenschappen,Universitas Amsterdamhttp://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0701/18/opini/3249805.htm=========================

Kemandekan pemikiran pendidikan, meminjam uraian Mochtar Buchori(Taman Siswa dan Pendidikan Kita, Kompas 3/7/2006), mencerminkankekaburan batasan dan hubungan hulu-hilir kebijakan pendidikan kita.

Kebijakan hulu merupakan hasil pemikiran filsafati tentang hakikatdan arah pendidikan serta hubungan pendidikan dengan bidang-bidanglain. Kebijakan hilir adalah praktik implementasi yang mengacu padakebijakan hulu sebagai panduan.

Agaknya, hiruk-pikuk implementasi kebijakan telah menyita seluruhperhatian sehingga pemikiran pendidikan tak beranjak dari berbagaipersoalan kebijakan hilir. Misalnya, pengelolaan pendidikan terlalumenekankan pada manajemen birokrasi (Kompas, 28/10/2006) dan proyek-proyek teknis (Kompas, 26/10/2006). Selain itu, menurut MohammadAbduhzen (Pemikiran Pendidikan, Kompas 28/12/2006), adaintervensi “politik” dan jiwa korupsi.

Page 12: Pend. Nasional

Dalam konteks luas, kemandekan pemikiran pendidikan mengindikasikanada masalah dalam kesadaran identitas kebangsaan kita. Ia menyangkutsuatu perkara mendasar pada cakrawala “ruang hidup” dan “kehidupanbersama” sebagai bangsa. Seberapa jauh multidimensionalitas dalamcakrawala itu disadari, digali, dan diterjemahkan? Kemandekanpemikiran pendidikan tidak berdiri sendiri.

Karena terkekang?

Beberapa pemikiran “besar” dalam sejarah pendidikan kita lahir daripergulatan para pemikir pada situasi politik dan kebudayaan yangmengekang.

Pendidikan yang berpijak pada budaya “pribumi” yang dicetuskanSoewardi Soerjaningrat bersemi di tengah dominannya model pendidikanBelanda yang berorientasi Barat dan diskriminatif. Model robotikpendidikan Orde Baru dengan metode hafalan dan tekanan sikap penurutmelahirkan gagasan bagi YB Mangunwijaya tentang pendidikan yangmengembangkan keingintahuan, eksplorasi, dan kekritisan.

Fakta-fakta itu menegaskan, hegemoni negara (baca: pemerintah) dalamkebijakan dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang mengasahcounter-discourse bagi visi pendidikan penguasa.

Dalam alam reformasi, hegemoni negara relatif cair dan kebebasanberpendapat praktis lebih dijamin. Namun, mengutip seorang respondenpenelitian saya, reformasi bagaikan tanggul jebol menenggelamkankita dalam hiruk-pikuk kebebasan dan ketakberaturan alam pikir.

Berbagai masalah pendidikan kita pada alam reformasi tidakberkurang, mungkin lebih kompleks karena prinsip kesetaraankepentingan. Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan berbagaipersoalan itu terlibas dalam kebisingan “pembaruan”. Akibatnya,pemetaan persoalan-persoalan pendidikan melulu bertolak dari hal-halkasatmata, seperti gedung sekolah hancur, angka nilai, dan kertassertifikasi.

Di sisi lain, wacana-wacana “besar” pendidikan memaku kita padaromantisme. Kita terpancang angan-angan, pemikiran pendidikansekarang harus “besar dan alternatif” tanpa merefleksikan mengapatokoh-tokoh pendidikan mampu melahirkan pemikiran demikian padazamannya.

Jadi, meski akhir-akhir ini perujukan wacana-wacana itu cenderunglatah dan menjenuhkan, keterpakuan romantis menghalangi pencarianvisi baru pendidikan yang kontekstual dan segar. Agaknya, bagikalangan reformis pun, jiwa zaman (zeitgeist) merupakan keniscayaan.

Persoalan hulu

Dalam konteks luas, kemandekan pemikiran pendidikan mengindikasikanbetapa rapuh kesadaran kebangsaan dewasa ini. Pada sejumlah masa dimasa lalu, konsep kebangsaan versi penguasa begitu kuatditerjemahkan dalam kebijakan dan praktik pendidikan.

Page 13: Pend. Nasional

Betapapun tak disukai, posisi pendidikan pada masa-masa itu jelas.Ia fungsional terhadap implementasi konsep kebangsaan penguasa. Disisi lain, resistensi terhadap penindasan penguasa melahirkanpemikiran-pergerakan dahsyat tentang kebangsaan dan pendidikan.

Kini, cukup sulit menemukan konsep kebangsaan, entah versi penguasamaupun bukan penguasa, yang kokoh sebagai sumber inspirasipengembangan pemikiran pendidikan. Dalam batasan “PendidikanNasional” Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, misalnya,makna “nasional” tidak terurai. Nasionalisme kebangsaan dalamPancasila dan UUD 1945, meski formal mengikat, praktis tidakbergaung dalam kesadaran pemikiran hari ini.

Pada praktiknya, makna “nasional” ditemukan sekadar menyangkutstandar “nasional” pendidikan atau ujian “nasional”. Upaya meluaskanbatasan “kecerdasan” dengan memasukkan aspek spiritual yang dianggapsatu kekhasan pendidikan “nasional” cenderung terjebakprimordialisme agama yang justru mengacaukan prinsip inklusivitasdan universalitas pendidikan.

Uraian ini menegaskan, betapa sempit cakrawala kita tentang “bangsa”(nation) dan “menjadi bangsa” sehingga terbata-bata mencari maknapendidikan “nasional” yang mendalam dan inklusif. Kebekuan pemikiranpendidikan adalah pantulan kekacauan pemikiran pada aras kebangsaan.

Jika kita meyakini proses pendidikan pada hakikatnya bertumpu padadinamika masyarakat-bangsa, maka kekaburanidentitas “kemasyarakatan” dan “kebangsaan” harus dibenahi sebelumpemikiran pendidikan dapat dilahirkan kembali. Kebebasan reformasimemungkinkan itu!

1 Comment

Andra, Andragogi, dan Kejernihan   Soal March 4, 2007 at 2:46 am (Pendidikan Nasional)

Oleh Hariadi Saptonohttp://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0701/30/humaniora/3278680.htm==========================

Ini cerita menggelikan tentang Andra, siswa Kelas I Sekolah DasarKanisius Baciro, Yogyakarta. Jam tiga sore. Sehabis tidur siang.Setelah pulang sekolah. Bocah berusia tujuh tahun itu, menyeret-nyeret neneknya, meniti globalisasi yang meresahkan..

Ia membuka buku di meja makan. Ia minta neneknya, Nyonya AloysiaSlamet mengeja kalimat-kalimat di bawah sejumlah gambar.

“Ini bahasa Mandarin, Nek. Bukan gitu ngomongnya,” kata Andra dengannada ringan.

Neneknya, yang selama ini telah sukses “meluluskan” tujuh sampai 12orang anak dan cucu dengan metode “belajar di meja makan”, –sembari

Page 14: Pend. Nasional

si nenek memasak di dapur–kali ini kelabakan, tapi juga sangat gelimenghadapi cucunya.

“Duuh..Nenek nggak tahu, bagaimana mengucapkan kata-kata ini Ndra.Coba kamu ucapkan,” kata si nenek. Mulailah, nenek dan cucu inimengarungi teka-teki pendidikan kita di meja makan.

Cerita seperti dialami Andra ini, sejak beberapa tahun terakhir jamakdialami berbagai keluarga. , Ssuatu yang membuat banyak keluargashocked, terperangah saat mengikuti anak-anak mereka belajar disekolah.

Salah satu soal pilihan ganda mata pelajaran Sosiologi, untuk ulanganumum Kelas I SMA tahun 2005 lalu kami simpan. Sebab pertanyaannyaamat memukau, begini bunyinya: Teori yang menyebut agar masyarakatmempertahankan integritasnya dan kekerabatan sosial di era modern,karena ikatan latar belakang keagamaan dan ikatan etnik tak bisadipertahankan lagi, adalah teori dari 1). Peter Drukker 2). EmileDurheim, 3). Socrates 4). Talcot Parson.

Komentar yang umumnya tajam, segera muncul kalau cerita inidibagikan. Tentu harus segera ditambahkan: suasana pendidikan sebuahsekolah yang curious dan menantang,– pendeknya bagus karenamengembangkan minat dan gairah murid untuk mencari dan terus mencarisendiri pengetahuan–, kami yakin masih bisa ditemukan di negeri ini.

Salah satu faktor kunci dan relatif konstan dampaknya, ialah guru danmetoda pengajarannya. Di atas faktor guru dan metode pengajaran, yangikut menentukan tentulah kurikulum, rencana strategis (Renstra)Departemen Pendidikan Nasional, berbagai agenda teknis, dan tentusaja anggaran pendidikan.

Tetapi alas, landasan dasar dari seluruh kegiatan pendidikan,tentulah visi pendidikan itu sendiri. Inilah yang menjadi catatanpokok, sekaligus kritik keras pakar pendidikan Mochtar Buchori.

“Saya katakan di sini bahwa kritik-kritik saya terhadap kebijakanpembangunan pendidikan, selama ini menyentuh tidak jelasnya visi yangmendasari berbagai pembangunan pendidikan,” kata Mochtar Buchori

Jika kita bertanya apa visi kita tentang pengembangan pendidikanuntuk menuju kepada peningkatan kecerdasan kehidupan bangsa, menurutBuchori, tak ada jawabannya, karena kita tidak punya visi.

Kita langsung menyusun rencana dan melaksanakan langkah-langkah tanpapernah secara eksplisit membicarakan masalah visi ini. Kita memangmelangkah maju tetapi tidak akan menjadi lebih baik, kalau dalammendidik generasi muda, kita berpegang pada retorika iman, takwa, dancerdas. “Retorika ini kita terima sebagai visi kita tentangpendidikan nasional. Memadaikah visi ini? Saya kira tidak, setelahsekian lama kita mengimplementasikan pendidikan yang bertumpu kepadapembinaan iman dan takwa, kehidupan bangsa tidak terasa menjadi lebihcerdas, kita masih menjadi bangsa yang korup dengan berbagai kelasyang lebih berorientasi ke penguasa daripada ke publik, dan dengan

Page 15: Pend. Nasional

sistem hukum yang makin lama makin rusak.”

Apa yang dikemukakan Mochtar Buchori memang termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.Substansi tentang tanggungjawab negara untuk mencerdaskan bangsa,justru ditempatkan pada gagasan paling akhir, dan memang menyiratkanmisleading, tidak jernih menangkap akar persoalan, yaitu visipendidikan. Kutipannya : (Menimbang : b. bahwa UUD Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan danmenyeenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanandan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa serta akhlak mulia dalamrangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Mochtar Buchori bahkan merinci perlunya discourse tentang visiberbagai hal menyangkut bebagai aspek pendidikan. Buchori mislanyamengajukan perlunya visi tentang proses perkembangan pendidikan, visitentang sekolah Indonesia, visi tentang guru Indonesia, visi tentanghubungan antara sekolah dan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikanformal di sekolah.

“Jadi sungguh tidak bijaksana, kalau setiap kritik mengenai visidikesampingkan begitu saja sebagai hal yang mengganggu kinerjabirokrasi, katanya.

Tentang metode pembelajaran hafalan, dan berbagai keruwetan karenaberatnya beban kurikulum SD hingga SMA, Prof Dr Soedijarto menyorotieksesnya.

Akibat sistem pendidikan yang berorientasi pada Ujian Nasionalseluruh sekolah tidak bisa tidak (terpaksa) mengutamakan pelajaranyang mau diujikan. “Padahal pendidikan yang benar-benar pendidikanitu yang memungkinkan anak bisa exploring, learning to knowsomething . Jadi saya katakan mana mungkin anak tertarik membacanovel karena time consuming. Kalau nggak diuji mana mungkin diatertarik mau ke laboratorium, karena nggak ada ujian tentanglaboratorium, mana mungkin dia mencoba mengarang, wong nggak akandiuji mengarang. Jadi saya serius, sejak tahun 1981, saya katakanUjian Nasional itu tidak memungkinkan lahirnya manusia Indonesiadalam arti yang mampu mengeksplorasi tadi,” kata Soedijarto.

Dalam konteks lain, Soedijarto menilai pendekatan yang dilakukanilmuwan Yohanes Surya, untuk mempersiapkan pelajar Indonesia meraihNobel Prize 2020 dengan sistem “diperam”, perlu dipertanyakan.

Sebab hanya dengan “kebebasan, gairah, dan kegembiraan mencari”,Einstein, Isaac Newton, juga Thomas Alva Edison yang tak suka belajaritu justru dibimbing curiousity yang bersumber dari “bermain-main”.

Jadi benarlah kata Utomo Dananjaya, bahwa sebagian besar guru–danini tercermin dalam UN–tidak bisa sebenarnya telah menerapkanandragogi pada pendidikan dasar.

Page 16: Pend. Nasional

Soal-soal UN dengan pilihan ganda, tetapi dengan jawaban hanya satuyang benar, menurut Utomo telah mereduksi kreativitas, dan bias maknaseuatu persoalan. Sebutlah kata ibu, tentu bisa disebut pula mother.

Karena di sekolah diajarkan bahwa “kebersihan adalah bagian dariiman”, maka cucu Utomo Dananjaya pun mengadu kepada eyang kakungnyaitu. “Karena saya kakeknya mengajarkan saya mengajarkan cucu sayamenjawab kebersihan adalah bagian dari kesehatan

Leave a Comment

Pendidikan Budi Pekerti dan Masalah Regenerasi   Bangsa March 4, 2007 at 2:45 am (Pendidikan Nasional)

Pendidikan Budi Pekerti dan Masalah Regenerasi Bangsa

Oleh Mochtar Buchori

Ketika saya masih di SD, saya bersekolah di suatu “Sekolah Pribumi KelasDua” (Tweede Inlandsche School). Di sekolah ini pendidikan budi pekerti(singkatan resminya PBP) disampaikan melalui cerita-cerita atau dongeng.Setiap dongeng selalu ditutup dengan kara-kata “Liding dongeng, ……”Artinya: “Inti ceritera: …………” Di bagian ini lah moral ceriteradirumuskan. Dalam zaman Pendudukan Jepanag, ketika saya menjadi murid suatuSekolah Guru, PBP diberikan dalam bentuk indoktrinasi. Dan dalam zamanreformasi ini, fungsi PBP diambil alih oleh pendidikan agama, dandilaksanakan melalui khotbah atau nasihat. Bagaimana PBP ini sebaikyadilaksanakan dalam situasi serba-krisis yang sedang dihadapi bangsa sekarangini?

Inilah pertanyaan dasar yang terdapat dalam suatu pertemuan tentang PBP.Pertemuan ini dihadiri oleh sekitar 80 guru dari berbagai jenis sekolah, danmereka datang dari berbagai pelosok di Indonesia. Pertemuan ini disebut TemuWarga Sekolah. Saya diminta hadir sebagai narasumber bersama-sama Bp. DaudYusuf.

Pidato pengantar yang disampaikan oleh salah seorang anggota PanityaPenyelenggara menyarankan, agar pendidikan budi pekerti dipikirkan dalamrangka mengatasi krisis bangsa yang sedang kita alami sekarang ini.Diharapkan, agar pembicaraan dalam temu warga sekolah ini membahas cara-caramenyelenggarakan PBP yang pada suatu saat nanti akan melahirkangeneras-generasi baru yang mampu mengelola negara dan bangsa ini dengancara-cara yang lebih baik. Pendekatan ini saya sebut “Pendidikan BudiPekerti dalam Konteks Regenerasi Bangsa.”

Dalam pandangan saya PBP untuk keperluan regenerasi bangsa perludiselengga-rakan dengan cara-cara yang berbeda daripada cara-carakonvensional yang dipergunakan selama ini. Mengapa? Karena PBP konvensionalbertujuan utama melahirkan individu-individu yang salih, bermoral, berbudipekerti luhur, dan sebaginya. Sedangkan PBP untuk renegerasi bangsabertujuan utama melahirkan generasi-generasi yang berwatak dan cakap. Dengankata-kata lain, PBP konvensional mengacu kepada moralitas individual,

Page 17: Pend. Nasional

sedangkan PBP untuk regenerasi bangsa mengacu kepada moralitas kolektif.

Perbedaan ini sangat esensial. Segenap kemelut bangsa yang kita alamisekarang ini dalam pandangan saya lahir dari lemahnya moralitas kolektiftadi dalam masyarakat kita. Menghadapi segenap ketidak-adilan yang terjadidalam masyarakat, kebanyakan dari kita bersikap mengambil jarak: Sayaterkena atau tidak? Untuk apa ribut-ribut, kalau suatu ketidak-adilan tidakmenyentuh diri saya? Sikap ini lahir dari kuatnya tradisi moralitasindividual tadi dan lemahnya moralitas kolektif dalam masyarakat kita.Antara kedua jenis moralitas ini tidak ada keseimbangan dan juga tidak adaketersambungan.

Sejalan dengan perbedaan di atas perlu dikatakan, bahwa PBP konvensionalmengutamakan pembinaan kepribadian perorangan, dan tidak memperhatikanpembinaan kepribadian kelompok. Dan kepribadian bangsa adalah bentukterakhir dari kepribadian kelompok dalam masyarakat kita. Berbagai dampaknegatif dari globalisasi yang mucul dalam masyarakat kita sekarang ini lahirdari tidak adanya kepribadian bangsa dalam mengikuti kehidupan yang sudahterseret oleh arus globalisasi sekarang ini.

Perbedeaan kedua antara PBP konvensional dengan PBP untuk regenerasi bangsaterletak pada cari memaknai kata ‘moral’, ‘moralitas’, dan ‘pendidikanmoral’. Dalam PBP konvensional ‘pendidikan moral’ terbatas pada kegiatanuntuk membimbing para siswa mengenal norma-norma etika, dan tidak menyentuhmasalah pangamalan nilai-nilai tadi. Dalam PBP untuk regenerasi bangsakonsep ‘moralitas’ dan ‘pendidikan moral’ diperdalam, tidak hanya menganaipengenalan nilai-nilai, tetapi diteruskan sampai ke pemahaman, penghayatan,dan pengamalan nilai-nilai. Ada perbedaan dalam asumsi antara kedua jenisPBP ini. Dalam PBP konvensional asumsi yang dipergunakan ialah, bahwamengenal nilai-nilai secara otomatis akan mengantar anak ke pengamalannilai-nilai. Dalam PBP untuk regenerasi bangsa asumsi yang dipergunakanialah bahwa antara mengenal nilai-nilai dan mengamalkan nilai-nilai terletaksuatu jarak mental yang cukup panjang, yang penuh dengan hambatan-hambatan.Mengatasi hambatan-hambatan mental ini hanya akan terjadi kalau adabimbingan dari para pendidik.

Hanya PBP yang secara sadar dan sengaja berusaha membimbimg seluruh siswamenjalani proses mental yang panjang ini akan melahirkan generasi yangmemiliki moralitas kolektif dan kepribadian kelompok. PBP yang hanyamengandalkan khotbah, nasihat, dan indoktrinasi tidak akan mampu melahirkangenerasi yang memiliki moralitas kelompok, watak kelompok, dan watak bangsa.

Di samping itu PBP konvensional juga melupakan kenyataan, bahwa moralitasyang tidak disangga oleh realisme akan menghasilkan moralitas yang naif.Reinhold Niebuhr (1892-1971) memperingatkan, bahwa “Morality without realismis naivite or worse, and realism without morality is cynicism or worse.” Danregenerasi bangsa hanya akan dapat dilaksanakan oleh generasi yang memilikimoralitas yang realistik ini. Moralitas yang tidak naief, tetapi juga tidakberbau sinisme.

Jadi kalau begitu, bagaimana sebaiknya PBP diselenggarakan.agar melahirkangenerasi-generasi degan moralitas yang realistik tadi? Meminjam ungkapan

Page 18: Pend. Nasional

Lawrence Pintak, seorang kolumnis Amerika, dapat dikatakan, bahwa untukmembuat generasi mendatang menerima nilai-nilai pembaharuan “kita harusmelibatkan mereka dalam penyelesaian persoalan, dan tidak menyalahkan merekakarena tidak meneruskan jejak generasi lampau. Kita harus berkomunikasidengan mereka, dan tidak mengkhotbahi mereka. (You must engage them, and notdemonize / You must communicate, and not preach.)

Berdasarkan pinsip-prinsip ini, dapat dikatakan, bahwa PBP untuk keperluanregenerasi bangsa mengharuskan guru-guru untuk berbagi keresahan dan harapan(sharing concerns and hopes) dengan murid-murid, di samping berbagi ketahuandan ke-tidak-tahuan (sharing knowledge and ignorance).

Masih ada dua lagi pertanyaan yang dibahas secara cukup ramai dalamperistiwa temu warga sekolah ini. Kedua pertanyaan ini ialah pertama: Siapayang harus melaksankan PBP? Dan kedua: Haruskah ada mata ajar khusus untukPBP?

Menurut pendapat saya, setiap guru mempunyai kewajiban untuk turutmelaksanakan PBP ini. PBP dapat dilaksanakan melalui pelajaran apa saja:matematika, bahasa dan sastra, sejarah, pendidikan jasmani, dan sebagainya.Dalam setiap mata ajar terdapat seperangkat nilai yang pada umumhya jarangdiungkapkan secara eksplisit. Dengan demikian nilai-nilai tadi tidakdiketahui oleh semua siswa, tidak difahami oleh para siswa dan tidakdamalkan oleh setiap siswa. Kebiasaan untuk tidak mengungkapkan secaraeksplisit nilai-nilai yang terdapat dalam mata ajar ini timbul dari tradisilama yang memisahkan pendidikan untuk memperoleh pengetahuan (education forknowledge) dari penpdidikan untuk mengenal dan memahami nilai-nilai (valueseducation). Dari tradisi ini lalu timbul semboyan “knowledge is power”, dankebiasaan untuk mengutamakan penguasaan pengetahuan faktual (factualknowledge) dalam ujian. Dari praksis pendidikan seperti ini muncullahgenerasi-generasi dengan perkembangan yang tidak seimbang antara ketajamanotak dan kepekaan perasaan. Ini juga merupakan sumber dari munculnyapengelola-pengelola kehidupan bangsa dan negara yang menimbulkan situasiserba ruwet sekarang ini.

Berdasarkan pandangan ini maka menurut saya tidak perlu ada mata ajar khususbudi pekerti. Yang diperlukan ialah bahwa setiap guru melalui mata ajar yangdiampunya menjelaskan secara eksplisit nilai-nilai yang terdapat dalam mataajarnya. Kemudian petugas bimbingan dan penyuluhan membimbing para siswamendiskusikan segenap jenis nilai yang telah disentuh oleh para guru.Melalui diskusi mereka dapat dituntun untuk memahami makna nilai-nilai tadidalam kehidupan nyata. Melalui proses ini para siswa akan menyusun sendirisistem nilai (value system) mereka, baik sistem nilai pribadi, maupun sistemnilai kelompok. Perlu kita ingat, bahwa dalam setiap bangsa yang mampumeperbaharui diri sendiri, setiap generasi menyusun sendiri sistem nilaiyang akan dianutnya selama suatu kurun waktu.

Saya kira PBP yang dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip ini akan berbedasecara radikal dari PBP yang diselenggarakan secara konvensional, mengikutitradisi khotbah, nasihat, dan indoktrinasi.

Page 19: Pend. Nasional

Dapatkah gagasan PBP untuk regenerasi bangsa ini benar-benar dilaksanakan?Bergantung kepada kuat-lemahnya tekad kita untuk memperbaharui diri kita,terutama dalam kehidupan politik dan kehidupan kultural.

Jakarta, 22 Desember, 2006.

8 Comments

Adakah Masa Depan   Indonesia? March 4, 2007 at 1:37 am (Pendidikan Nasional)

Oleh Mochtar BuchoriPendidikhttp://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0604/22/opini/2575703.htm—————————————————-

Sekitar satu tahun lalu, seorang teman nyeletuk, “Apakah RepublikIndonesia ini masih akan ada dua puluh tahun mendatang?” Ini terjadidalam suatu diskusi.

Saya tersentak. Pikir saya: “Teman ini keterlaluan! Dongkol yadongkol, tetapi haruskah dinyatakan dengan gaya sinis seperti itu?”Sinisme teman itu saya tanggapi dengan gaya orang tua.

“Hal ini tergantung kita, terutama generasi muda. Jika rasakebangsaan, rasa ke-Indonesia-an cukup kuat, bentuk negara dapatberubah, tetapi bangsa Indonesia akan tetap ada. Tetapi, jika rasa ke-Indonesia-an terus menipis, tidak mustahil suatu saat di masa depanbangsa dan negara Indonesia akan lenyap dari peta dunia. Lihat apayang terjadi dengan bangsa dan negara Yugoslavia. Negara dan bangsaini hilang dari percaturan dunia, diganti berbagai bangsa dan negara:Bosnia, Kroasia, Serbia, Kosovo, dan Montenegro. Jadi, jika kitakhawatir mengenai kelangsungan eksistensi bangsa dan negara, makayang harus dilakukan ialah mengusahakan agar rasa kebangsaanIndonesia terus hidup di hati generasi muda. Soalnya, apakah sistempendidikan kita kini menjamin kelangsungan semangat ke-Indonesia-anini?”

Suara-suara seperti itu akhir-akhir ini kian sering terdengar dandalam bentuk pernyataan-pernyataan yang lebih sinis dan lebihskeptis. Makin besar kesemrawutan dalam negara dan masyarakat, makinsering terdengar ucapan-ucapan sinis dan skeptis.

Sekitar dua bulan lalu, muncul pertanyaan bernada jengkel, “ApakahPemilu 2009 nanti akan terlaksana?”

Pekan lalu muncul cerita lebih menyedihkan. Seorang teman, anak mudausia sekitar 35 tahun dan bekerja di dunia pelayanan jasa keuangan,berceritera, di setiap perusahaan keuangan internasional yang besarada anak-anak muda Indonesia yang amat cerdas. Kini, seluruhperhatian mereka dicurahkan kepada usaha untuk merangkai kawasan-kawasan seluruh Indonesia melalui sistem jaringan komunikasi dandistribusi, dan membuat Indonesia menjadi suatu mata rantai yang

Page 20: Pend. Nasional

kokoh dalam jaringan dengan dunia usaha di Asia Tenggara.

Bisnis apa yang akhirnya akan mengalir lewat jaringan ini tidakmenjadi soal. Apa yang akan disalurkan, berupa bisnis air, minyak,atau gas, tidak jadi soal. Yang penting jaringan komunikasi dandistribusi ini terbentuk. Dan, kalau bisa, jaringan ini dikuasai olehmodal yang diwakili perusahaan tempat mereka bekerja. Apa perusahaanitu bekerja dengan modal Jepang, China, Singapura, India, Eropa, atauAmerika, juga tidak menjadi soal. Dan, yang lebih menyedihkan lagiialah, orang- orang ini tidak pernah mempersoalkan apakah yang akanterjadi dengan bangsa dan negara Indonesia dalam perebutan penguasaanjaringan ini. Apakah Indonesia akan bangkit dan tertarik ke atasataukah akan menjadi makin terpuruk, bagi mereka juga bukansoal. “They just don’t care,” kata teman saya tadi.

Malapetaka

Kalau cerita ini benar, saya akan benar-benar merasa sedih danterpukul. Dengan pengalaman hidup saya yang panjang dan cukup beragamini tidak bisa saya bayangkan adanya orang-orang muda Indonesia yangtidak peduli dengan Indonesia dan ke-Indonesia-an. “Ini sungguh suatumalapetaka,” begitu pikir saya. Ada kecenderungan dalam hati sayauntuk “mengutuk” para eksekutif muda ini sebagai manusia Indonesiayang tidak cukup nasionalistik.

Sekonyong-konyong saya teringat suatu peristiwa yang terjadi dalamkeluarga saya sendiri. Kira-kira lima tahun yang lalu salah seoranganak saya berkata, “Saya mungkin akan pindah ke luar negeri, Pa! Sayamendapat tawaran kerja di Gottingen, Jerman, untuk tiga tahun.Tetapi, saya juga dapat tawaran kerja di Universitas Columbia di NewYork. Kemungkinan besar saya akan ke Jerman dahulu untuk satu tahunlalu terus ke New York. Dan, saya ingin membawa seluruh keluargasaya, tiga anak dan suami! Boleh, kan, Pa? Tidak apa-apa, ya, Pa?Tentu saya akan nengok Papa dan Mama dari waktu ke waktu. Tetapi,intinya, saya ingin bermigrasi.”

Pada waktu itu tidak sedikit pun terpikir oleh saya bahwa niat anaksaya ini sudah mengandung kecenderungan yang bersifat a-nasionalistik. Apa bedanya sikap anak saya ini dengan sikap paraeksekutif muda tadi? Tidak ada! Saya sadar telah mempergunakanstandar ganda dalam hal ini. Pada akhirnya anak saya tidak jadibermigrasi. “Peristiwa 11 September” di New York dan perkembanganyang terjadi sesudah itu di Amerika Serikat menghilangkan seluruhseleranya untuk tinggal di New York. Dia beberapa kali ke Gottingendan New York, tetapi setiap kali hanya untuk dua atau tiga minggu,paling lama satu bulan. Dia tidak jadi kehilangan nasionalismenya.

Dalam zaman globalisasi ini menjadi sukar untuk menarik batas yangtegas antara kehidupan dalam konteks nasional dan internasional.Kehidupan nasional sering berimpitan dengan kehidupan internasionalsehingga menjadi sukar untuk dalam kasus-kasus tertentu memisahkankehidupan nasional dari kehidupan internasional. Lalu timbul

Page 21: Pend. Nasional

pertanyaan: mana batas antara kehidupan internasional yangnasionalistik dan yang a-nasionalistik?

Hilangnya rasa ke-Indonesia-an

Pertanyaan-pertanyaan ini dengan sengaja saya hidupkan dalam benaksaya untuk mengembangkan sikap yang “adil” terhadap orang-orang mudapelaku bisnis internasional tadi. Tetapi, kegelisahan saya mengenaimasa depan Indonesia tetap tidak dapat saya halau. Saya tetap merasakhawatir akan hilangnya rasa ke-Indonesia-an ini pada generasimendatang. Apa yang sekarang ini masih dapat dilakukan untukmelestarikan rasa ke-Indonesia-an ini pada mereka?

Yang saat ini terpikirkan oleh saya ialah pengembangan suatuparadigma pendidikan yang dapat menimbulkan “suasana berbagi” (thespirit of sharing) di sekolah antara guru dan murid. Kalau guru dapatberbagi dengan murid-muridnya segenap kecemasan yang kita rasakanbersama mengenai kondisi bangsa dan negara saat ini, dan juga berbagiharapan mengenai masa depan Indonesia, barangkali pendidikan akandapat mencegah runtuhnya suatu “imperium” bernama Republik Indonesia.Kita hanya akan dapat mengembangkan suasana seperti ini kalau kitamembiasakan diri melihat kegiatan mendidik sebagai suatu kegiatanberbagi antara guru dan murid. Dengan sikap seperti ini, mengajarakan menjadi kegiatan untuk berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan(sharing knowledge and ignorance), dan bukan sebagai kegiatan untukmentransfer pengetahuan semata-mata.

1 Comment

Taman Siswa dan Pendidikan   Kita March 4, 2007 at 1:21 am (Pendidikan Nasional)

Oleh Mochtar BuchoriPendidikhttp://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/03/opini/2776701.htm============================

Pada HUT ke-84 Perguruan Taman Siswa, selaku aktivis pendidikan dariluar keluarga Perguruan Taman Siswa, saya bertanya, apakah yang dapatdisumbangkan oleh Taman Siswa untuk ikut mengarahkan prosestransformasi pendidikan Indonesia yang kini sedang berlangsung?

Ada dua hal yang mendorong saya mengajukan pertanyaan ini. Pertama,karena Taman Siswa mewarisi kekuatan kultural yang amat besar, yangtelah berhasil melahirkan sistem pendidikan yang benar-benar berwataknasional. Sistem ini ternyata mampu bertahan dalam masyarakatIndonesia yang telah mengalami berbagai perubahan yang bersifatfundamental dan transformatif.

Kedua, karena dewasa ini sistem pendidikan kita, dalam pengamatansaya, sedang mengalami kebingungan. Hiruk-pikuk sekitar ujiannasional (UN) hanya merupakan riak kecil dari kebingungan pendidikan.

Page 22: Pend. Nasional

Gejala kebingungan lebih besar tercermin pada masalah “pendidikanalternatif”. Di satu pihak ada beberapa kelompok di masyarakat yangdengan keterbatasannya berusaha memberikan pendidikan kepada anak-anak yang tidak mampu. Di pihak lain, ada pemerintah yang tampaknyamempersulit kehadiran lembaga-lembaga “pendidikan alternatif” itu.Lalu, bagaimana sikap bangsa kita terhadap masalah anak-anak yangbenar-benar tidak mampu? Kita bingung menghadapi masalah ini.

Visi Ki Hadjar

Jika visi dan keberanian besar yang telah melahirkan Perguruan TamanSiswa masih ada sisanya, tentu ada sesuatu yang besar yang dapatdisumbangkan Taman Siswa untuk mengatasi kebingungan besar yangsedang kita alami dalam mengarahkan pendidikan Indonesia di masadepan. Itu harapan saya.

Dalam berharap ini, beberapa sketsa tentang kebesaran visi sertakeberanian politik Ki Hadjar Dewantara mengemuka. Ketika Ki Hadjarmenyatakan anak-anak Indonesia harus dididik dalam suatu sistempendidikan yang berakar pada kebudayaan sendiri, bukan pendidikanyang berakar pada kebudayaan Belanda, maka pandangan ini sungguhmerupakan suatu ledakan politik yang dahsyat saat itu.

Ketika Pemerintah Hindia Belanda menyatakan di kalangan pendudukIndonesia terlihat adanya kehausan yang amat besar akan kemampuanberbahasa Belanda, dan saat sebagian politisi Indonesia menekankanbetapa pentingnya pengetahuan modern yang harus diperoleh melaluipendidikan Belanda, saat itu Ki Hadjar menekankan pandangansebaliknya.

Modernitas tidak hanya dapat diambil dari Barat dan melaluipendidikan Belanda, tetapi juga dapat diambil dari kebudayaan besarlain, melalui sistem pendidikan yang bisa tumbuh di bumi kulturalsendiri. Pandangan ini didukung Dr Soetomo dari Parindra, yang jugamenganjurkan dilakukannya reorientasi dalam pengembangan sistempendidikan Indonesia, antara lain dengan melihat ke Jepang dan Turki.

Visi besar itu dilanjutkan dengan pendirian Perguruan Taman Siswayang tidak mau menerima subsidi dari Pemerintah Hindia Belanda untukmenopang kehidupannya. Juga sikap Taman Siswa terhadap ijazah,mencerminkan keberanian politik yang besar. Taman Siswa tidakmembutuhkan ijazah negeri yang dikeluarkan Pemerintah Hindia Belanda.Taman Siswa mengeluarkan ijazah sendiri yang berlaku di semualingkungan Taman Siswa dan masyarakat yang memiliki sikap politikyang sama dengan Taman Siswa. Jika ada murid Taman Siswa yang inginmemiliki ijazah negeri, itu merupakan urusan pribadi murid itu.

Di Taman Siswa, murid dibesarkan dengan pandangan, orang Indonesiatidak harus memiliki ijazah negeri untuk dapat hidup di negerinyasendiri. Kita tidak harus menjadi pegawai Pemerintah Kolonial HindiaBelanda untuk dapat hidup secara layak.

Page 23: Pend. Nasional

Saat itu saya murid sebuah sekolah Muhammadiyah yang tidak disubsidi.Suasana yang amat dominan di sekolah ialah bagaimana caranyameningkatkan mutu pendidikan berdasar program pemerintah agar sekolahdipandang layak mendapat subsidi Pemerintah Hindia Belanda. Kemudiandi sekolah saya selalu ditekankan, betapa pentingnya memiliki ijazahnegeri dengan jalan ikut mengikuti ujian negara (staatsexamen)sebagai extranea (peserta ujian dari luar). Hanya dengan ijazahnegeri kami akan diterima di sekolah-sekolah yang menjanjikan masadepan yang baik.

Pikiran Mohammad Said

Sungguh besar perbedaan suasana antara di Taman Siswa dan sekolahsaya. Anehnya, saat itu, saya merasa lebih mentereng sebagai siswaMuhammadiyah tak bersubsidi daripada teman-teman murid Taman Siswa.Dalam kesadaran politik, rasa nasionalisme saya rasanya tidak lebihrendah daripada yang diperlihatkan teman-teman dari Taman Siswa.Dalam penguasaan bahasa Belanda saya merasa lebih baik. Kemampuanbahasa Belanda kebanyakan teman-teman saya dari Taman Siswa plegak-pleguk, tertatih-tatih.

Pandangan dan sikap pribadi saya terhadap Taman Siswa pada dasarnyatidak berubah, sampai mas Koko (Soedjatmoko) memperkenalkan sayakepada Mohammad Said. Di situ saya lihat kebesaran semangat TamanSiswa memancar dari pikiran-pikiran Mohammad Said.

Pertemuan kami bertiga berlangsung berulang-ulang dan selalu di rumahMas Koko. Melalui diskusi-diskusi, saya mulai mengenali pola-polapikir Mohammad Said tentang pendidikan Indonesia. Baru kemudian sayasadar, aneka pertemuan itu rupanya sengaja dirancang Mas Koko untukmempertemukan saya sebagai seorang novice dalam pendidikan denganveteran yang telah bertahun-tahun menggeluti masalah pendidikanIndonesia.

Saya banyak belajar dari Mohammad Said. Misalnya, bagaimanamenghadapi tekanan politik untuk mempertahankan otonomi dalammenyelenggarakan pendidikan; bagaimana menarik garis pemisah antarasikap politik dan sikap kultural; dan bagaimana menerjemahkan sikapini dalam praktik pendidikan. Dan yang amat penting bagi saya,bagaimana menegakkan keanggunan pendidikan (educational dignity)dalam keterbatasan sarana. Berbagai pertemuan saya dengan MohammadSaid terjadi antara tahun 1963-1965, tahun-tahun terakhirpemerintahan Bung Karno.

Ketika Mohammad Said diangkat sebagai Menteri Pendidikan dalampemerintahan Presiden Soeharto—hanya selama tiga bulan—suatu hari didepan kantor Kementerian PPK terjadi demonstrasi pelajar yangmau “mengganyang” Soekarnoisme. Mohammad Said keluar dari kantor,menghadapi para pelajar seorang diri, dan berteriak, “Ya, sayasoekarnoist. Kalian mau apa?” Demonstrasi pun bubar. Bagi saya,episode ini menunjukkan betapa besarnya keberanian politik MohammadSaid sebagai seorang pribadi Taman Siswa.

Page 24: Pend. Nasional

Kebingungan pendidikan kita

Dalam pandangan saya, kebingungan pendidikan kita kini merupakanakibat kebingungan politik. Kedua kebingungan itu lahir darikebingungan kultural. Tiga jenis kebingungan ini letaknya berbeda-beda dalam ruang kehidupan kita. Kebingungan politik merupakanmasalah hilir, masalah yang kini terjadi dan harus segeradiselesaikan. Sumbernya adalah kebingungan kultural merupakan masalahhulu, yang cara penanganannya harus berbeda dari penanganan masalahhilir.

Intinya, kita harus berani memutuskan, kita akan menjadi bangsa yangbagaimana? Kita akan membentuk negara dan masyarakat yang bagaimana?Jika sudah memutuskan, kita mulai melakukan langkah-langkah yangsecara programatik menuju sasaran tadi.

Kita, para penyangga pendidikan, adalah pemain-pemain kehidupan yangbekerja di bagian hulu. Kita masing-masing harus menentukan, inginmenjadi bangsa yang bagaimana dan ingin menegakkan kehidupanbernegara dan bermasyarakat yang bagaimana. Ini harus merupakankeputusan pendidikan yang harus diambil, bukan sesuatu yangdidiktekan oleh para pemain di hilir, yaitu politisi.

Alangkah indahnya jika Taman Siswa sebagai pewaris kekuatan kulturalyang besar dalam pendidikan dapat menunjukkan peta perjalanan(educational road map) yang dapat ditempuh bersama untuk mengantargenerasi muda ke suatu kehidupan yang lebih santun, lebih cerdas, danlebih manusiawi daripada apa yang kita jalani bersama kini.

Semoga kita dapat merasakan sentuhan tangan yang membimbing kita.

4 Comments

Pendidikan Pekerti Tentukan dalam Meraih Masa   Depan March 4, 2007 at 1:19 am (Pendidikan Nasional)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/25/humaniora/2832531.htm==============================

Jakarta, Kompas – Pendidikan budi pekerti yang ditanamkan sedarikecil terbukti amat membantu seseorang meraih masa depannya yangsukses. Pendidikan bukan sekadar menekankan pada kecerdasan yangdiukur dengan nilai.

Hal ini terungkap dalam sarasehan warga Tionghoa bersama HarianKompas di kawasan Glodok dan Pancoran Jakarta, Sabtu (22/7), danmenghadirkan sejumlah sesepuh setempat di kediaman pengusaha Tian LieTong.

“Saat kami bersekolah di Ba Hua (baca Pa Wa) dan Hua Zhung (baca WaCung), pendidikan agama memang tidak diajarkan. Tetapi, kami menerimapelajaran budi pekerti atau etika yang berasal dari nilai-nilaiajaran kebajikan tradisi kuno China,” kata Tian Lie Tong (59) dan Ray

Page 25: Pend. Nasional

Pratadaya (66), alumni SMA Anglo-Chinese Hua Zhung dan Ba HuaJakarta.

Menurut Ray, mutu pendidikan SMA Ba Hua yang didirikan Tiong Hoa HweeKoan (THHK) pada sekitar tahun 1900-an di Jakarta, sangat baik. Salahsatu indikatornya, Belanda yang melihat kemajuan dan keberhasilanmodel pendidikan sekolah-sekolah yang didirikan THHK kemudian membuatsekolah kedokteran STOVIA.

Untung Kartika (73), seorang alumni Ba Hua juga mengatakan, lulusanSMA Ba Hua pada masa itu bahkan diakui dunia internasional sepertiuniversitas di Inggris yang tidak mensyaratkan tes masuk bagi siswa-siswa lulusan sekolah THHK.

“Waktu itu, banyak sekali guru kami yang berasal dari luar negeri.Dari Singapura, dari Amerika, dan dari China. Jadi pendidikan sangatterbuka ketika itu,” kata Lie Tong, alumni tahun 1960-an,menambahkan.

Sejumlah alumni Ba Hua dan Hua Zhung di Jakarta itu, ada yang bekerjadi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), menjadi ilmuwan di luar negeri,termasuk di NASA, dan melahirkan sejumlah pengusaha sukses diIndonesia.

Pendidikan budi pekerti yang ditanamkan mencakup nilai-nilaikebajikan untuk senantiasa menghormati orang tua, hidup sederhana,jujur, disiplin, dan ikhlas.

Diakui Lie Tong, prinsip hidup yang bijak itu telah ditekankan pihaksekolah Anglo-Chinese masa itu kepada siswa tahun pertama, bahkanmereka disuruh menghafalkan prinsip hidup tersebut.

“Sebagai murid, dan kemudian sebagai guru, saya mengerti betul bahwapendidikan karakter itu amat sangat penting. Tapi kalau pendidikankarakter jadi, itu bekal murid yang sangat tinggi,” kata Bastaman.

Meski pendidikan budi pekerti itu berasal dari tradisi masyarakatTionghoa, namun kepada warga Tionghoa Indonesia pada masa itu telahditanamkan rasa nasionalisme dan cinta negara. “Rasa kebangsaan dannasionalisme sebagai bangsa Indonesia, turut kami terima di sekolahtersebut. Tidak ada pengarahan dari guru untuk berkiblat mencintainegeri China. Yang perlu kami cintai adalah negeri tempat kamidilahirkan dan dibesarkan,” kata Lie Tong tentang pesan dari paragurunya ketika itu.

Menurut Untung, selain pendidikan budi pekerti yang diberikansekolah, peran orangtua pada keluarga Tionghoa juga ikut mengantarkankesuksesan anak-anak Tionghoa dalam meraih masa depannya.

Page 26: Pend. Nasional

Kendati orang tua keluarga Tionghoa, tidak paham bahasa Inggris yangmenjadi bahasa pengantar di kedua sekolah itu, mereka dengan tekunmengawasi jam dan cara belajar anak-anak mereka. “Prinsip hidup yangkami terima dari pendidikan budi pekerti itu juga diterapkan orangtuakami. Kami senantiasa diajarkan untuk hidup prihatin, rendah hati,kerja keras, menghargai uang,” kata Lie Tong.

SMA Ba Hua ditutup pada 1958 saat gaung nasionalisasi digulirkanpemerintahan Soekarno. Sementara SMA Hua Zhung ditutup pada1966. “Satu usaha pelajaran bisa maju, lantaran ketekunan dankerajinan. Seumur hidup, kalau kamu berbuat baik tidak cukup, tetapisekali kau berbuat jahat, sekali itu hidupmu habis,” kata Lie Tongmengutip puisi yang diajarkan gurunya.(KOM/INE/ONG)

BAB IPENDIDIKAN BARAT

A.   Zaman Kedatangan Bangsa BaratSeorang sejarahwan berbangsa Inggris Furnivall dalam bukunya “ Educational progress in south east asia “ menuliskan keadaan pendidikan di Asia pada umumya dan Indonesia pada khususnya sebelum bangsa barat menjajakan kakinya dinegara itu, bahwa “ waktu orang Eropa yang mula-mula sampai ditimur jauh, didaerah khatulistiwa mereka dapati sejumlah sekolah dan orang yang pandai tulis-baca lebih banyak daripada yang ada di Eropa ketika itu”.Orang portugis merupakan salah satu bangsa barat yang pertama kali datang ke nusantara ini pada permulaan abad 16 dan pada akhir abad itu muncul pula bangsa Inggris dan belanda. Orang portugis pada mulanya datang ke Indonesia di dorong oleh semanagat hendak mengembangkan agama khatolik di samping mencari untung dengan jalan berdagang. Mereka didorong oleh rasa permusuhan dengan orang Islam dengan maksud untuk melemahkan kalau tidak menghancurkan perniagaan Islam dengan jalan mengembangkan agama khatolik. Agama dijadikan dasar utama untuk mendapat pengaruh dibidang ekonomi dan politik.

Syarat utama untuk memperluas pengaruh agama khatolik ialah mendirikan sekolah-sekolah. Karena itu sekolah guru yang pertama kali dibentuk di wilayah Indonesia kita dapati di daerah ternate yang didirikan oleh kaum pendeta portugis. Bukan hanya itu dipulau-pulau lain disekitar ternate didirikan sekolah-sekolah yang dibina oleh kaum gerejawan khatolik. Dengan jalan mengembangkan pendidikan berdasarkan agama khatolik itu bangsa portugis berusaha untuk dapat berpengaruh dibidang ekonomi dan politik.namun semua itu mengaami kegagalan karena kecerobohan dan keserakahan para penguasa mereka sendiri. Pada tahun 1574 mereka diusir dari ternate dan datanglah bangsa belanda yang uncoba melakukan apa yang elah dilakukan oleh bangsa portugis.

Jalan yang diambil oleh Belanda untuk manyebarkan pengaruhnya di muka bumi hampir sama yaitu dengan medirikan sekolah-sekolah pula. Sekolah-sekolah kompeni yang pertama kali kita dapati didaerah-daerah kepulauan rempah-rempah seperti ambon, Ternate, Bacan dan kemudian ke Batavia, pusat kekuatan ekonomi dan politik mereka. Jadi Belanda pun menenempengaruhnya di bidang ekonomi dan politik dengan mendirikan sekolah-sekolah.Cara mengajar di sekolah sekolah itu tidak banyak berbeda dengan cara yang dilakukan di langgar-langgar pada waktu di indonesia. Hanya isi pelajaran yang berbeda hnya isi pelajaran yang berbeda. Dasar sekolah-sekolah kompeni itu ialah ajaran agama Kristen protestan.

Page 27: Pend. Nasional

Revolusi prancis berpengaruh pula di Indonesia dibidang pendidikan. Deandels (1808-1811) membawa semangat revolusi itu ke Indonesia pendidikan yang berdasarkan agama Kristen di tinggalkan oleh Deandels. Dalam tahun 1808 ditugaskannya kepada par bupati di jawa untuk mendirikan sekolah-sekolah, yang memberikan pendidikan berdasarkan adat istiadat, undang-undang dan agama islam.

B. PENDIDIKAN PADA ZAMAN BELANDA ABAD KE-19

Tugas utama VOC hanyalah dalam usaha dagang, masalah pendidikan daerah luar pulau Jawa kurang mendapat perhatian mereka. Tercatat pada tahun 1779 murid-murid VOC di pantai barat pulau Sumatera hanya sebanyak 37 orang saja.1). Tiga puluh tujuh orang murid yang terdapat pada tahun 1779 di pantai Barat Sumatera menunjukkan kurangnya perhatian mereka terhadap bidang pendidikan, karena jauh sebelumnya mereka juga berkuasa di daerah ini. Selama satu abad berkuasa di daerah itu hanya mempunyai murid sebanyak 37 orang, merupakan suatu pekerjaan yang sebetulnya dihadapi tidak dengan sungguh-sungguh dan memang pokok perhatian VOC pada waktu itu hanya kepada perdagangan.

Perusahaan dagang Belanda yang bernama Verenigde Oosf lndische Compagnie (VOC), pada tanggal 1 Januari 1800 terpaksa dibubarkan oleh Pemerintah Belanda. Semenjak itu seluruh daerah Indonesia menjadi tanah jajahan Kerajaan Belanda yang diurus oleh suatu badan yang bernama Aziatische Road. Seluruh kekayaan perusahaan VOC dan seluruh hutang piutangnya jatuh ketangan Kerajaan Belanda yang pada saat itu masih berstatus sebagai Bataafsche Republik yang tunduk kepada Perancis 2). Pemerintahan Kerajaan Belanda mengirim Mr. Herman Daendels ke Indonesia sebagai Gubemur Jendral yang baru pada tahun 1808.

Daendels yang terkenal cakap, berusaha mengatur pertahanan Indonesia dengan tangan besi. Tetapi bagaimanapun dia berusaha tidak dapat menahan serbuan Inggris yang pada saat itu merupakan suatu negara yang kuat di dunia. Pertahanan yang telah diatur Daendels dengan sudah dapat dipatahkan oleh Inggris, sehingga Inggris mulai tahun 1811 berkuasa selama lima tahun. Indonesia beralih menjadi jajahan Inggris, di bawah pengawasan Lord Minto, yaituGubernur Jendral Inggris untuk jajahannya di Asia Selatan-Tenggara yang berkedudukan di Kalkuta. Raffles sebagai Wakil Gubernur Jendral Inggris dengan pangkat Letnan Jenderal yang berkedudukan di Batavia menjadi penguasa di Indonesia sampai tahun 1816.

Tetapi karena perkembangan politik di Eropa yang masih belum stabil, maka tanggal 12 Maret 1816 Indonesia diserahkan kembali kepada Belanda oleh John Fendall yang menggantikan Raffles.

Belanda berpendapat untuk memajukan pemerintahan, tenaga bumiputera yang diangkat menjadi kepala pemerintahan berdasarkan keturunan dan kharismasi seperti “Regent”, tidak dapat lagi dipertahankan dan harus segera diganti dengan tenaga yang cakap dan dididik khusus untuk itu. Oleh karena itu, Belanda merasa perlu untuk mendirikan lembaga pendidikan di Indonesia.

Tujuan mendirikan lembaga pendidikan oleh Belanda terutama bukan untuk kepentingan orang Indonesia, tetapi sesungguhnya adalah untuk kepentingan mereka, yaitu untuk mengisi jabatan rendah dalam pemerintahan dan untuk mengisi tenaga pada perusahaan swasta Belanda. Belanda mengeluarkan peraturan bahwa yang akan diangkat menjadi pegawai pemerintah maupun kepala daerah setempat harus memenuhi syarat pendidikan menurut ukuran Barat.Untuk perusahaan yang bergerak di bidang pertanian (onderneming), pertambangan, dan pabrik diperlukan tenaga terdidik yang cakap tetapi murah. Dengan demikian lembaga pendidikan yang pertama-tama didirikan untuk orang Indonesia adalah lembaga pendidikan rendah.

Hal tersebut sesuai dengan landasan idial pendidikan pada zaman Hindia Belanda yang dapat disimpulkan sebagai berikut:1. Pemerintah berusaha untuk tidak memihak kepada salah satu agama tertentu.

Page 28: Pend. Nasional

2. Pendidikan tidak diusahakan untuk dapat hidup selaras dengan lingkungan, tetapi supaya anak didik di kelak kemudian hari dapat mencari penghidupan atau pekerjaan demi untuk kepentingan pemerintah.3. Sistem persekolahan disusun menurut perbedaan lapisan sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia, khususnya di pulau Jawa.4. Pada umumnya pendidikan diarahkan untuk membentuk suatu golongan elite sosial agar dapat dipakai sebagai alat bagi kepentingan atau keperluan supremasi politik dan ekonomi Belanda di Indonesia.

Berdasarkan tujuan itu mereka mendirikan lembaga pendidikan, yang dapat diterima di sekolah adalah anak golongan tertentu saja, misalnya pemimpin masyarakai atau tokoh terkenal yang disenangi Belanda. Yang dapat diterima di sekolah Belanda adalah anak dari orang yang diharapkan Belanda mau bekerja sama untuk kepentingan Belanda. Keadaan itu mendorong timbulnya sekolah swasta yang didirikan orang yang kurang menyukai Belanda itu, seperti golongan Islam. Mereka membuka sekolah swasta sebagai reaksi terhadap tindakan Belanda di bidang persekolahan.

Selama sebelas tahun dari pembukaannya bahasa Belanda belum diajarkan, karena murid yang diterima pada mulanya anak yang belum kenal bahasa Belanda. Pada tahun 1865, bahasa Belanda mulai diajarkan, murid sekolah tersebut bertambah bangga, karena mereka sudah pandai mempergunakan bahasa asing. Derajat mereka di tengah masyarakat bertambah tinggi. Pada tahun 1871, bahasa Belanda sudah merupakan bahasa wajib yang harus dipelajari oleh semua murid dan harus lulus dengan baik, tamatan Sekolah-sekolah harus pandai berbahasa Belanda dengan lancar. Semenjak itu ukuran kepandaian murid adalah kecakapan mereka dalam mempergunakan bahasa Belanda sehari-hari. Selanjutnya empat belas tahun kemudian bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar di Sekolah.

Sewaktu bahasa Belanda sudah merupakan bahasa Wajib di Sekolah, sekolah lain yang lebih rendah tingkatannya sudah banyak didirikan oleh Belanda seperti sekolah : Valksschool, Vervolgschool, Sekolah Kelas Satu, dan beberapa sekolah kejuruan Indonesia.

Akibat sampingan dari dibukanya sekolah oleh Belanda adalah munculnya golongan terpelajar dengan hati dan mata yang telah terbuka melihat kepincangan yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda selama ini di Indonesia. Mereka dapat melihat kemelaratan masyarakat pada umumnya dan menumbuhkan cara berfikir yang kritis. Timbul daya kritik yang tajam terhadap pemerintah Belanda mengenai adanya kemiskinan dan kesengsaraan hidup masyarakat yang oleh Belanda selama ini didiamkan saja. Daya kritis itu mereka lontarkan pada bangsa asing yang sedang berkuasa.

Dari mereka yang berfikiran maju itu lahir pejuang kemerdekaan Indonesia yang rela berkorban untuk kepentingan kemerdekaan. Mereka inilah yang akan menjadi pelopor mendobrak kekuasaan Belanda dari Indonesia. Pada waktu itu mereka hanya dapat berdiam diri saja, karena jumlah mereka belum banyak dan tidak semua tamatan Sekolah yang berfikiran maju demikian. Banyak juga di antaranya yang betul-betul bekerja dengan Belanda dan tidak mau ikut dengan perjuangan bangsanya.

Tujuan Belanda pada mulanya mendirikan sekolah hanyalah untuk memantapkan administrasi pemerintahan yang memerlukan tenaga terdidik. Namun, semakin cerdasnya bangsa indonesia kita menjadis adar bahwa bangsa kita hanya dimanfaatkan hanya untuk menguatkan pengaruh bangsa belanda di indonesia. Pada saat itu mereka terpaksa diam saja, karena mereka belum merupakan golongan yang kuat yang dapat meruntuhkan kekuasaan Belanda yang telah tertanam kuat. Pada lahirnya mereka merupakan petugas pemerintah Belanda, tetapi pada batinnya mereka merupakan embrio kekuatan baru yang pada saatnya muncul menjadi pelopor dalam perjuangan. Pada akhir abad ke-19 sudah terlihat munculnya embrio pelopor kemerdekaan yang berasal dari anak asuhan.BAB IIPENDIDIKAN ABAD KE-20

Page 29: Pend. Nasional

A.      PENDIDIKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDAPolitik pendidikan etisSemenjak permulaan abad kedua puluh di seluruh permukaan bumi terdapat perkembangan dan pembaharuan,khususnya di bidang politik,ekonomi,dan idiil,demikian pula di indonesia.dengan demikan mereka membutuhkan pekerja-pekerja yang terdidik dan ahli.selain itu penduduk bumiputera itu sendiri mulai bangkit dan menyadarinya namun, secara menyeluruh bagi rakyat pada umumnya tidak dapat dirasakan adanya perbaikan-perbaikan sosial.

Dikalangan orang belanda timbul aliran untuk memberi kepada penduduk asli bagian dari keuntungan yang diperoleh orang eropa ( belanda), selama mereka menguasai indonesia aliran ini mempunyai pendapat bahwa kepada orang-orang bumiputera harus diperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan barat yang telah belanda bangsa yang besar aliran atau paham ini dikenal dengan politik etis ( Etische politiek ). gagasan itu dicetuskan oleh Van deventer pada tahun 1899. politik etis ini diarahkan untuk kepentingan penduduk bumi putera dengan cara memajukan penduduk asli secepat-cepatnya melalui pendidikan secara barat.

Berkaitan dengan arah etis yang menjadi landasan dari langkah-langkah dalam pendidikan hindia belanda maka pemerintah mendasarkan kebijaksanaannya pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

1.      pendidikan dan pengetahuan barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk bumi putera.

2.      pemberian pendidikan rendah bagi golonan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Atas dasar itu maka corak dan system pendidikan di hindia belanda pad abad 20 ditempuh melalui dua jalur disatu pihak diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan akan unsure-unsur dari lapisan atas serta tenaga terdidik bermutu tinggi bagi kebutuhan ekonomi dan industri dan dilain pihak terpenuhi tenaga menegah dan rendah yang berpendidikan.

A. PENDIDIKAN PERGERAKAN NASIONAL

1. Motivasi

a. Motivasi Nasional

Pendirian sekolah menimbulkan golongan baru di dalam masyarakat, yaitu “Golongan Intelektual Barat”, yang merupakan orang cerdik pandai. Kebanyakan mereka bekerja pada pemerintahan Belanda dan mendapat beberapa fasilitas. Pada dasarnya mereka tidak memperoleh perlakuan yang wajar dari pemerintah Hindia Belanda. Mereka adalah aparat bagi Belanda dalam memantapkan pemerintahan dan memperkuat kedudukannya. Di antara golongan Intelektual Barat itu ada yang sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan Belanda dan hidup menurut cara orang Belanda.

Sementara itu ada golongan yang tidak bersedia bekerja sama dengan Belanda dan menentang kekuasaan Belanda dan orang Barat. Tetapi sebaliknya mereka mengangungkan adat kebiasaan dan kebudayaan Timur. Dari golongan inilah muncul tokoh pergerakan nasional Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan. Mereka tidak puas melihat sistem pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Belanda, walaupun telah diselenggarakan pendidikan untuk rakyat. Mereka mengharapkan pendidikan yang lebih sesuai dengan keadaan dan kebutuhan rakyat. Pendidikan Barat belum tentu sesuai bagi rakyat Indonesia. Apa yang datang dari Barat itu tidak selamanya selaras dengan kehidupan rakyat. Sebaiknya pendidikan yang diberikan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Pendidikan yang mereka dambakan itu lebih terasa lagi kebutuhannya setelah melihat usaha yang dilakukan beberapa pemimpin di Jawa yang mendirikan sekolah swasta sebagai reaksi terhadap ketidak cocokan unsur pendidikan Barat yang dilaksanakan di Indonesia. Keinginan itu tidak mungkin tercapai kalau sekiranya bangsa Belanda masih berkuasa karena itu, cara memperoleh pendidikan yang baik

Page 30: Pend. Nasional

harus menyingkirkan bangsa Belanda dari Indonesia. Karena pada waktu itu kekuasaan Belanda masih kuat. maka usaha pertama mereka adalah menyusun kekuatan dari orang yang sehaluan dengan tujuan terakhir kemerdekaan Indonesia. Sementara itu mereka juga berusaha agar rakyat mendapat pendidikan dengan sebanyak-banyaknya.

Keinginan yang demikian melahirkan pendidikan Nasional yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan bangsa Indonesia. Golongan ini memperjuangkan nasib untuk mendapat kehidupan yang layak seperti bangsa lain.

b. Motivasi Keagamaan

Semenjak Tuanku Imam Bonjol ditangkap dan dibuang ke luar Sumatera Barat oleh pemerintah Belanda, maka rakyat kehilangan seorang pemimpin yang mereka hormati dan cintai, lebih-lebih sebagai pemimpin agama. Namun demikian menjelang akhir abad ke-19 orang Sumatera Barat telah diizinkan menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Pada wktu itu di Mekah ada seorang Sumatera Barat yang telah lama bermukim di sana dan menjadi salah seorang guru besar di bidang agama Islam, yang bernama Syekh Akhmad Khatib. Beliau selalu memberi petunjuk kepada orang Sumatera Barat yang menunaikan Rukun Islam Kelima itu ke Mekah tentang peraturan agama Islam dan pendidikan Islam. Banyak pemuda Sumatera Barat yang naik Haji pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang menjadi murid Syekh Akhmad Khatib di Mekah. Di samping menunaikan rukun Haji mereka juga bermukim di sana selama beberapa tahun sambil menuntut ilmu pengetahuan tentang Islam secara lebih mendalam. Setelah mereka pulang ke Sumatera Barat, mereka melihat pendidikan Islam berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Syekh Akhmad Khatib. Pendidikan Islam dengan sistem halaqah tidak akan mendatangkan kemajuan kepada umat Islam Sumatera Barat. Oleh karena itu, timbul niat mereka untuk mengadakan perbaikan dan pembaharuan di bidang pendidikan Islam Sumatera Barat.

Di antara mereka yang pulang dari Mekah yang menonjol antara lain adalah Syekh Haji Abdullah Ahmad, Syekh H. Abdul Karim Amarullah, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh lbrahim Musa Parabek, dan Syekh Daud Rasyidi. Mereka merupakan pembaharuan dalam Pendidikan Islam di Sumatera Barat. Walaupun cara mereka ada yang berbeda, tetapi tujuannya sama, yaitu mengenai pembaharuan pendidikan dari sistem halaqah atau sistem surau ke sistem sekolah dengan tetap berdasarkan pada agama Islam sebagai pokok pendidikan. Dari pembaharuan yang dimulai pada awal abad ke-20 itu lahir pendidikan Islam yang bercorak nasional, seperti Sumatera Thawalib, Sekolah Diniah, Sekolah Adabiah, dan sekolah yang dibina oleh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Perti dan Permi.

Page 31: Pend. Nasional

Pada zaman itu orang nusantara yang sebahagian besar menganut agama Islam masih menjalankan praktek yang sebetulnya dilarang oleh agama Islam. Apabila keadaan yang demikian tetap dibiarkan, maka umat Islam tetap tertinggal dari perkembangan zaman. Bagi para pembaharuan perkembangan Agama Islam dengan pergerakan kemerdekaan, merupakan perpaduan yang menimbulkan semangat melaksanakan pembaharuan di bidang pendidikan Islam. Mereka melihat hasil pendidikan Barat yang diberikan pemerintah Hindia Belanda tidak begitu mendatangkan manfaat, hasil pendidikan itu telah menghilangkan moral ke-Timuran. Keadaan itu jika dibiarkan berlangsung terus akan membahayakan kehidupan orang yang menganut agama Islam. Oleh karena itu, mereka berusaha mengimbangi dengan mengadakan pembaharuan pendidikan Islam. Pendidikan Islam tersedia untuk semua orang, baik mereka yang tergolong berpangkat, pegawai Belanda, maupun berasal dari orang kebanyakan. Supaya dapat dengan segera memberikan pendidikan menurut cara Barat, mereka memberikan kemudahan dalam memasuki sekolah Islam tersebut seperti yang dilakukan oleh Muhammadiah. Dengan demikian sekolah yang bercorak Islam dengan cepat dapat berkembang ke seluruh daerah sampai ke daerah yang terpencil sekalipun. ltulah sebabnya perkumpulan politik Islam yang mengasuh sekolah mendapat sambutan dari rakyat.

Usaha dari tokoh pembaharu pendidikan Islam itu mendapat dukungan dan sambutan dari masyarakat, karena sudah lama mereka nantikan.

Pada mulanya pemerintah Belanda tidak menaruh kecurigaan kepada usaha ini, karena kelihatannya hanya bergerak di bidang pendidikan. Kemudian setelah mereka mengikuti kegiatan politiknya, barulah langkah mereka itu dihalang-halangi oleh pemerintah Belanda.

Pendidikan Pergerakan nasional dimulai dengan lembaga pendidikan Islam yang dipelopori oleh Syekh-Syekh Islam, yaitu ulama Islam yang telah membawa faham baru dari Mekah dan Mesir. Sedangkan lembaga pendidikan pergerakan nasional yang bukan bercorak Islam kemudian bermunculan.

2. Kelembagaan

a. Sekolah Adabiah

Pendidikan Islam sebelum tahun 1909 dilaksanakan dengan sistem surau tanpa diadakan pembahagian kelas yang terpisah serta belum mempergunakan meja, kursi, papan tulis, kapur, dan lain-lain seperti yang dipergunakan dalam semester sekolah. Murid duduk bersila di sekitar atau di hadapan guru, semua murid terdiri dari laki-laki saja dan belum ada murid perempuan.

Mulai tahun 1909 keadaan tersebut mengalami perubahan dengan didirikannya Sekolah Adabiah (Adabiah School) Sekolah Adabiah betul-betul telah mengganti sistem pendidikan Islam yang bukan lagi diartikan berusaha mengetahui segala ajaran agama Islam dengan sedalam-dalamnya tanpa memperhatikan tingkat kecerdasan, umur, dan lingkungan muridnya. Pendidikan itu sudah diartikan sebagai pendidikan umum terhadap murid untuk melatih cara berpikir logis dan kritis guna menghadapi keadaan sekitarnya atau lingkungan penghidupannya.

Untuk mencapai tujuan itu Sekolah Adabiah juga memberikan pengetahuan umum seperti menulis, membaca, berhitung, ilmu bumi, dan bahasa, di samping pengetahun tentang agama Islam. Tujuan pelajaran bukan lagi untuk memompakan pengetahuan Islam sebanyak-banyaknya, melainkan diarahkan untuk melatih kecerdasan murid. Murid yang diterima juga dipilih dari anak umur sekolah dasar antara 7 – 8 tahun, dan orang dewasa tidak lagi diterima seperti pada pendidikan surau.

Materi pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan tingkat kecerdasan murid, dimulai dengan pelajaran yang mudah terus dilanjutkan secara berangsur sampai selesai tingkat pengetahuan dasar. Cara penyajian juga sudah disusun sedemikian sehingga mudah dipahami oleh anak-anak.

Page 32: Pend. Nasional

Murid dikelompokkan menurut kelas masing-masing dengan usia anak yang hampir sama. Pada Sekolah Adabiah sudah terdapat pembahagian kelas, seperti kelas I, II, III, dan seterusnya. Murid yang baru diterima ditempatkan pada kelas satu dan tahun berikutnya apabila sudah dapat memahami pelajaran dinaikkan ke kelas dua dan begitu seterusnya sampai kelas terakhir.

Pengaturan duduk murid dalam kelas juga berbeda dengan cara duduk sistem surau di mana murid menduduki bangku (kursi dan meja) yang sudah diatur menghadap kesatu arah. Di hadapan murid terdapat meja dan kursi guru serta papan tulis sebagai alat bantu pengajaran. Murid dalam satu kelas langsung dapat mendengarkan pelajaran yang diberikan guru, sedangkan murid disuruh menyimak. Tidak lagi seperti sistem surau di mana murid diberi pelajaran satu persatu, kelas tidak lagi ribut, karena murid-murid tidak diperkenankan berbicara selama pelajaran berlangsung.

Pelajaran juga telah diatur dalam suatu jadwal tertentu dan teratur. Satu hari hanya belajar kira-kira 5 jam yang diselingi oleh beberapa kali waktu istirahat. Di dalam waktu yang 5 jam itu dibagi lagi dalam tiga bahagian dan masing-masing bahagian diselingi oleh waktu istirahat secukupnya. Ke dalam bahagian itu dimasukkan 3 atau 4 mata pelajaran yang akan diberikan untuk satu hari. Jadwal pelajaran disusun perminggu, artinya dalam satu minggu semua jenis materi pelajaran harus diberikan dan minggu depan kembali lagi seperti minggu sebelumnya dengan materi pelajaran lanjutan minggu sebelumnya. Materi pelajaran tidak boleh menyimpang dari bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.

Untuk menentukan seorang murid naik atau tinggal kelas diadakan ujian atau ulangan terhadap materi pelajaran yang telah diberikan. Prestasi seorang murid dinyatakan dalam bentuk angka 0 sampai 10. Nilai 10 menyatakan prestasi murid terbaik, sebaliknya nilai 0 menyatakan prestasi yang paling buruk yang dicapai oleh seorang murid.

Dalam menentukan kemampuan seorang murid berbeda dengan sistem surau, pada madrasah kemampuan murid diukur hanya penguasaan bahan pelajaran selama satu tahun saja sedangkan pada tahun terakhir dari pendidikannya diadakan ujian umum. Pengukuran kemampuan murid dilakukan secara bertahap tidak sekaligus seperti pada sistem surau. Penyelengaraan Sekolah Adabiah betul-betul sudah merupakan perkembangan baru dalam pendidikan, khususnya dalam pendidikan Islam.

Jika diperhatikan situasi dan kondisi politik pemerintah Belanda di Indonesia pada waktu itu, khususnya dalam politik persekolahan, maka pendirian Sekolah Adabiah tidak bertentangan dengan politik pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Mulai pertengahan abad ke-19 sampai abad ke-20 pemerintah Hindia Belanda banyak melakukan perubahan atau perbaikan terhadap politik sebelumnya dalam bidang pemerintahan dan pendidikan. Khusus di bidang pendidikan banyak lembaga pendidikan didirikan seperti Sekolah Desa, Sekolah Kelas Dua, Sekolah Kelas Satu, Volkschool, Vervoigschool, HIS, MULO, AMS, HBS, Stovia, THS, RHS, dan lain-lain. Di Sumatera Barat hanya didirikan sekolah sampai tingkat AMS dan HBS saja, yaitu sampai tingkat sekolah menengah atas, yang paling banyak adalah Sekolah Kelas Dua.

Walaupun jumlah sekolah makin bertambah, rakyat hampir tidak mempunyai arti untuk masuk sekolah itu sulit bagi rakyat biasa. Sekolah itu bertujuan untuk mendapatkan tenaga terlatih yang murah untuk mengerjakan kepentingan Belanda. Murid yang dapat diterima pada sekolah tersebut terbatas jumlahnya.

b. Madras School

Berbeda dengan Sekolah Adabiah, Madras School hanya membuka satu kelas saja yaitu kelas yang telah tinggi tingkatannya untuk membaca dan mempelajari kitab-kitab yang besar/tebal saja seperti tingkat tinggi pada Pengajian Kitab pada masa peralihan sebelumnya, tetapi dengan memakai sistem madrasah.

Page 33: Pend. Nasional

Murid yang satu kelas pada Madras School diajak berdiskusi tentang mata pelajaran yang diajarkan. Kitab-kitab besar yang dimaksud adalah buku-buku yang tebal yang belum dipelajari pada tingkatan sebelumnya. Selama satu tahun itu mereka disuruh berdebat tentang isi buku tersebut sampai mereka mengerti dan memahaminya dengan baik. Kepada mereka tidak dipompakan lagi pengetahuan tentang Islam, tetapi mereka sendiri yang mencarinya dengan berdiskusi di bawah bimbingan guru. Tamatan Madras School menjadi ulama yang luas pandangannya tentang Islam dan kehidupan manusia.

Calon murid Madras School diterima dari tamatan pendidikan surau atau dari ulama yang ingin memperdalam ilmunya. Semua murid sudah merupakan orang yang berpengalaman di lapangan, baik sebagai guru maupun sebagai mubalig. Mereka masuk Madras School hanya untuk memperkuat ilmu yang telah mereka miliki. Walaupun hanya satu tahun lama pendidikannya, tetapi hasilnya mereka peroleh sangat banyak.

c. Madrasah Diniah

Pada tahun 1915 Zainuddin Labai AI-Yunusi mendirikan Madrasah Diniah di Padang Panjang dengan nama pada waktu itu “Diniah School” 3)

Menurut HMD Datuk Palimo Kayo alasan pendirian Madrasah Diniah adalah sebagai berikut:

“Dengan hasil pemikiran yang mendalam, pada tanggal 15 Oktober 1915, tuan Zainuddin Labai EI-Yunusi meresmikan pendirian sebuah sekolah Islam yang bani dengan metode yang baru bersama Diniah School atau Madrasatuddiniyah. Selain dari mengajarkan pelajaran agama sebagaimana biasa, juga mengajarkan pelajaran yang biasa disebut vak umum, seperti menulis, membaca, berhitung, Ilmu Falak, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Ilmu Kesehatan, Ilmu Tumbuh-tumbuhan dan Ilmu Pendidikan. Sesungguhnya hebat dan mengagumkan. Itulah perguruan Islam yang termodern dewasa itu, dengan bangku, meja, dan kelas-kelas yang teratur, walaupun dengan cara yang sederhana.4)

Sekolah Diniah merupakan sekolah Islam yang memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya seperti yang dilakukan pada sekolah Belanda. Namun antara Sekolah Adabiah dengan Sekolah Diniah terdapat perbedaan. Sekolah Adabiah merupakan pelopor pembaharuan pendidikan Islam dengan sistem sekolah, sedangkan Sekolah Diniah melakukan pembaharuan pendidikan agama dengan menambahkan mata pelajaran umum kepada mata pelajaran agama yang telah ada. Dengan demikian mata pelajaran pada Sekolah Diniah lebih banyak dari Sekolah Adabiah dan dari sekolah agama lain maupun dari sekolah pemerintah Hindia Belanda.

Pada umumnya Sekolah Diniah terdiri dari 7 kelas, yaitu kelas satu sampai dengan kelas tujuh. Tetapi di desa-desa yang tidak mempunyai guru yang cukup, maka kelas Sekolah Diniah hanya sampai kelas empat atau kelas lima saja, sedangkan untuk melanjutkan mereka harus pergi ke Sekolah Diniah yang mempunyai kelas yang cukup sampai kelas tujuh.

d. Arabiah School

Pada tahun 1918 Syekh Abbas Ladang Lawas Bukittinggi mendirikan pula sebuah madrasah dengan nama “Arabiah School” di Ladang Lawas, Bukittinggi. Ruang pendidikannya sudah mempunyai kelas yang terdiri dari tiga lokal berdinding bambu atap rumbia, tetapi sudah mempunyai bangku, meja, papan tulis, dan kapur.5)

Arabiah School adalah gagasan dari Syekh Abbas Ladang Lawas yang kemudian menjadi pendorong berdirinya Persatuan Tarbiah Islamiah (PERTI) yang mengusahakan beberapa sekolah.

Kurikulum atau mata pelajaran yang diberikan pada setiap sekolah Islam, walaupun namanya sama, tetapi pelajarannya berbeda. Materi pelajaran agama Islam Sekolah Arabiah tidak sama dengan materi pelajaran Sekolah Diniah walaupun tingkat dan kelasnya sama, apalagi dengan Madras School. Antara sekolah Diniah sendiripun tidak ada yang sama materi pelajarannya, misalnya mata pelajaran Sekolah

Page 34: Pend. Nasional

Diniah di Padang Panjang tidak sama mata pelajarannya dengan Sekolah Diniah yang di Bukittinggi. Penetapan mata pelajaran atau kurikulum yang akan dipakai pada masing-masing sekolah itu sangat tergantung pada sesepuh yang mendirikan sekolah itu. Keadaan itu sangat jauh berbeda dengan sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda yang sama mata pelajaran yang diberikan untuk tingkat yang sama di manapun sekolah itu terdapat.

Di samping itu Sekolah Arabiah sudah memberikan mata pelajaran umum dalam porsi yang lebih banyak, walaupun pendidikan agama Islam merupakan mata pelajaran utama, tetapi Madras School dan Sekolah Diniah seluruh mata pelajarannya masih berpangkal dari agama Islam yang ditambahkan denganmata pelajaran umum.

E. Muhammadiyah

salah satu tujuan Muhammadiyah adalah untuk memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam, seperti tercantum dalam Anggaran Dasarnya pasal I, ayat 1 6), maka mereka giat bergerak di bidang pendidikan Islam. Seluruh sekolah Muhammadiyah sudah berbentuk madrasah, bahkan ada yang sama dengan sekolah pemerintah Hindia Belanda. Dalam mempergiat dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam, Muhammadiyah memajukan dan memperbaharui pendidikan, pengajaran dan kebudayaan serta memperluas ilmu pengetahuan menurut tuntutan agama Islam.

Melalui Majelis Tablig Muhammadiyah berusaha menyadarkan rakyat akan pentingnya pendidikan untuk memperbaiki nasib dan kehidupan manusia sekarang dan di hari depan. Masalah pendidikan bukanlah perorangan, melainkan merupakan masalah bersama umat manusia. Muhammadiyah siap memberikan pembinaan bimbingan dan pengarahan yang dibutuhkan.

Sekolah Muhammadiyah, yang didirikan sampai pecah Perang Dunia II sebagai berikut:

1) Sekolah Agama IslamJenis sekolah ini terdiri dari dua macam, yaitu lbtidaiyah dan Tsanawiyah, titik berat pelajaran adalah tentang agama Islam, mata pelajaran umum hanya sebagai tambahan. Namun demikian sudah hampir seluruh sekolah lbtidaiyah dan Tsanawiyah memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya. lbtidaiyah hampir terdapat di semua nagari di Sumatera Barat karena pada waktu itu jumlah lbtidaiyah seluruhnya adalah 300 buah.

2) Sekolah UmumSekolah umum yang didirikan Muhammadiyah terdiri dari Sekolah Desa, Sekolah Sambungan, Sekolah Schakel, dan HIS Muhammadiyah. Perbedaan sekolah umum Muhammadiyah dengan sekolah umum yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Barat adalah bahwa pada sekolah Muhammadiyah diberikan 20 % pelajaran agama Islam sedangkan pada sekolah Belanda mata pelajaran agama hanya merupakan sebuah mata pelajaran saja. Di samping itu sekolah Muhammadiyah berstatus swasta.

Pada umumnya pembukaan sekolah umum Muhammadiyah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada rakyat untuk mendapatkan pendidikan umum sebagai reaksi terhadap sistem persekolahan Belanda yang sangat membatasi penerimaan murid. Untuk masuk sekolah pemerintah Hindia Belanda bagi rakyat biasa sukar sekali, akibatnya banyak anak desa yang tidak bersekolah. Hal itulah yang ditembus oleh Muhammadiyah dengan mendirikan sekolah, karena banyak anak tinggal di desa, maka sekolah Muhammadiyah lebih banyak didirikan di desa dengan nama Sekolah Desa dan Sekolah Sambungan. Murid yang dapat diterima dari segala lapisan. Kenyataannya yang masuk sekolah tersebut adalah anak petani, saudagar, dan anak rakyat biasa yang beragama Islam. Anak pegawai pemerintah Hindia Belanda, anak orang yang bekerja dengan Belanda lebih suka masuk ke sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. HIS Muhammadiyah juga dimasuki oleh anak rakyat biasa, sekolah

Page 35: Pend. Nasional

tersebut juga dinamakan “HIS met de Quran”, yaitu HIS yang mempergunakan AI-Quran yang menunjukkan perbedaan dengan HIS pemerintah. Sebelum Jepang masuk ke Sumatera Barat HIS Muhammadiyah.

3) Sekolah Guru

Karena pesatnya perkembangan sekolah yang diasuh Muhammadiyah akhirnya mereka kekurangan tenaga guru. Pada Mulanya masalah ini tidak merupakan persoalan bagi Muhammadiyah, karena pengurus ranting dan cabang setempat dapat menjadi guru. Tetapi kemudian sesudah sekolah bertambah banyak, maka tenaga guru makin berkurang.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru Muhammadiyah mendirikan sekolah guru, untuk guru Sekolah Desa dan Sekolah Menengah. Sekolah guru itu terdiri dari bermacam-macam pula, yaitu:

a)     Sekolah Guru Muhammadiyah (SGM).SGM didirikan pada tahun 1953 di Padang dengan lama pendidikannya 4 tahun. Pada mulanya SGM bernama Normaal School Muhammadiyah tetapi karena ada larangan dari pemerintah Belanda bahwa sekolah swasta tidak boleh memakai nama sekolah pemerintah, akhirnya nama Normaal School Muhammadiyah ditukar dengan nama Sekolah Guru Muhammadiyah (SGM). Murid SGM berasal dari Sekolah Skakel dan HIS Muhammadiyah. Sampai tahun 1942 SGM telah dapat menghasilkan tenaga guru, sebanyak 105 orang. 7) Dengan hasil tersebut secara berangsur-angsur dapat diisi kekurangan tenaga guru pada sekolah yang berada di bawah asuhan Muhammadiyah

b)    Kulliatul MuballiginTujuan sekolah ini untuk mencetak mubalig Islam yang akan disebar ke daerah. Tetapi pada tahun berikutnya Sekolah Tablig mengalami hambatan, karena Hamka ditugaskan Muhammadiyah ke Sulawesi Selatan. Tetapi karena desakan dari para tamatan Sekolah Thawalib, Diniah, dan lain-lain maka akhirnya Sekolah Tablig disempurnakan kembali dengan. tujuan menghasilkan mubalig dan guru serta kader pimpinan Muhammadiyah untuk daerah dan menjadi wadah yang menampung tamatan sekolah Thawalib, Diniah, dan lain-lain yang makin lama jumlahnya makin bertambah banyak.

Sebelumnya pengurus ranting atau cabang Muhammadiyah diambil dari pemuka agama setempat yang ditugaskan di sekolah Muhammadiyah. Setelah banyak tamatan Kulliatul Muballigin yang bertugas sebagai guru, kepada mereka diminta untuk memimpin ranting atau cabang Muhammadiyah setempat. Hasil pendidikan Islam makin lama makin meningkat, hasil pendidikan Muhammadiyah, secara tak langsung juga dapat dinikmati oleh rakyat umum, karena .Muhammadiyah bergerak di bidang sosial.

Tujuan pendirian Kulliatul Muballigin antara lain adalah membentuk mubalig yang sanggup melaksanakan dakwah dan menjadi khatib Jumat, menghasilkan guru sekolah menengah tingkat Tsanawiyah dan membentuk kader pemimpin Muhammadiyah dan pemimpin masyarakat pada umumnya.

Melihat pada tujuan tersebut Muhammadiyah telah mempersiapkan tenaga yang selalu berdiri di garis depan, seperti guru atau pimpinan sekolah, imam, dan pemimpin masyarakat. Untuk menjadi guru mereka praktek pada sekolah lbtidaiyah Muhammadiyah, untuk menjadi imam mereka praktek di Surau Muhammadiyah, untuk menjadi pimpinan masyarakat mereka praktek pada gerakan pemuda Muhammadiyah yang bernama Hisbul Wathan (Kepanduan Muhammadiyah). Setiap murid Kulliatul Muballigin harus melalui latihan atau praktek tersebut. Untuk latihan atau praktek dipergunakan waktu sore hari untuk kepanduan, malam hari untuk tablig, pagi hari untuk praktek di sekolah.

c)     Kweek School lstri (KSI)Putri-putri tamatan Tasnawiyah Putri, Diniyah Putri, Sekolah Desa, Sekolah Sambungan, HIS Muhammadiyah, dan lain-lain bahagian putri tidak mau ketinggalan dari Putra. Mereka mendatangi pimpinan Muhaminadiyah untuk minta didirikan sebuah sekolah guru putri tingkat menengah untuk

Page 36: Pend. Nasional

menampung mereka melanjutkan sekolah.

Bagi Muhammadiyah permintaan banyak datang dari ranting dan cabang untuk membuka sekolah menengah khusus untuk putri dan meminta tenaga guru putri, baik untuk mata pelajaran agama maupun mata pelajaran umum. Muhammadiyah tidak sanggup memenuhi seluruh permintaan tersebut.

Aisyiah sebagai salah satu anak organisasi Muhammadiyah, bagian putri menanggapi permintaan tersebut secara positif. Berkat ketekunan para pengasuh Aisyiah dan melalui berbagai halangan, akhirnya tahun 1937 dapat didirikan Kweeksschool.

Berdasarkan permintaan yang masuk, maka dibuka dua bahagian, yaitu:

Kweek school A khusus mendidik guru mata pelajaran agama Islam, lama belajar 3 tahun. Murid yang diterima adalah tamatan Tsanawiyah putri, Diniyah Putri, dan Sekolah Thawalib. Sedangkan Kweekschool B khusus mendidik guru mata pelajaran umum. Murid yang di terima adalah tamatan Sekolah Desa, Sekolah Sambungan dan HIS Muhammadiyah. Di samping itu dapat juga diterima murid yang berasal dari sekolah Gubernemen Belanda. Semua anak yang telah memenuhi Syarat tanpa melihat asal usul dapat diterima. Hanya saja yang didahulukan adalah sekolah yang langsung diasuh Muhammadiyah sendiri.

d)    Taman Siswa

Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta dengan nama “National Onderwijs Institut Taman Siswa”8) Tingkat pendidikan yang pertama didirikan adalah Taman Indrya (Taman Kanak-kanaknya Taman Siswa)9).

Taman Siswa lahir sebagai perlawanan (reaksi) terhadap Pendidikan Kolonial Belanda10) yang dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda waktu itu di Indonesia.

Taman Siswa menamai cita-cita pendidikannya dengan Pancadharma atau Lima Kewajiban, yaitu Dasar Kodrat Alam, Dasar Kemerdekaan, Dasar Kebudayaan, Dasar Kebangsaan, dan Dasar Kemanusiaan 11)

Ketika Pemerintah Hindia Belanda mulai menjalankan Ordonansi Sekolah Liar pada tahun 1932, Taman Siswa mendapat dukungan partai politik dalam menentang Ordonansi tersebut, sehingga perhatian rakyat terhadap Taman Siswa bertambah besar. Mulai semenjak itu sayap Taman Siswa mulai menjalar ke daerah-daerah. Permintaan untuk mendirikan Taman Siswa makin bertambah banyak.

Perkembangan Taman Siswa sampai tahun 1980 sebagai berikut:

Jumlah murid : 2642 orang, Jumlah Pamong : 38 orang tenaga tetap 94 orang tenaga tidak tetap, Jumlah lokal : 48 buah Jenis Sekolah : sebuah Taman Muda (SD) sebuah Taman Dewasa (SMP) sebuah Taman Madya (SMA) sebuah Taman Karya Madya (STM)

e)     Training College

Tujuan pendidikan Training College antara lain adalah untuk membentuk kader pemimpin masyarakat yang berpengetahuan tingkat tinggi guna segera diterjunkan ke tengah masyarakat sehubungan dengan makin meningkatnya Pergerakan Kemerdekaan Indonesia.

Para pendiri Training College melihat bahwa kebanyakan anggota masyarakat tidak mengetahui situasi dan kondisi masyarakat Indonesia pada waktu itu. Apabila keadaan ini dibiarkan terus tidak menunjang perjuangan Indonesia mencapai kemerdekaan. Oleh karena itu rakyat harus dibimbing ke arah yang benar dan disadarkan akan adanya penjajahan Belanda. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dipersiapkan pemimpin yang cakap dan Training College merupakan wadah yang tepat untuk menggodok calon pemimpin masyarakat tersebut.

Page 37: Pend. Nasional

Dengan tujuan yang demikian Training College bukan saja memberikan ilmu pengetahuan yang tinggi kepada muridnya, tetapi juga mendidik para pejuang kemerdekaan yang akan memimpin masyarakat sekitarnya menghadapi penjajahan Belanda. Pendirian Training College ini mendapat sokongan dari masyarakat dan tokoh politik pada waktu itu.

DAFTAR FOOTNOTE:

1. Sumarsono Mestoko dkk., Pendidikan di Indonesia dari Zaman ke Zaman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Jakarta, hal. 43.2. Prof. Dr. R. Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat, Jilid I, Percetakan Jembatan, Jakarta, 1954, ha. 39-40.3. Mahmud Yunus, op. cit., hal. 58.4. MHD Datuk Palimo Kayo, Pidato peringatan Ulang Tahun ke-55 Thawalib Padang Panjang tanggal 11-9-1966, hal. 8 (ketikan).5. Madrasah Rakyat, No. I, Tahun I, Badan Penerbit Madrasah Jakarta, Jakarta, 5 Juli 1957, hal. 10.6. A.R. Sutan Mansyur, Pokok Pergerakan Muhammadiyah, Central Depot Padang Panjang, 1940, hal. 72.7. Putusan Kongres Muhammadiyah Sumatera Barat tanggal 3 – 6 Nopember 1946 di Padang Panjang8. majelis Luhur Taman Siswa, Pendidikan dan Pembangunan, 50 Tahun Taman Siswa, Yogyakarta. 1976, hal. 249.9. Prof. Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan datam Alam Indonesia Merdeka. Gunung Agung, Jakarta, MCMLXX, 1970. hal. 217.10. Djaka Cs., Rangkuman ilmu Pendidikan 9, Sejarah Pendidilcan (II), Penerbit Mutiara, Jakarta, 1965, hal. 124.11. Ibid., hal. 124-125.

DAFTAR PUTAKA1. Mestoko,Sumarsono.1985. Pendidikan di Indonesia dari jaman ke jaman. Jakarta: balai pustaka2. Makmur,Djohan Dkk. 1993. sejarah pendidikan di Indonesia zaman penjajahan. Jakarta; Manggala Bhakti3. Said, Muh dan Junimar Affan. 1987. mendidik dari zaman ke zaman. Bandung: jenmars