PENCAPAIAN KESEMPURNAAN DENGAN DETERMINASI … · Tidak ada satu pun manusia yang hidup di luar...

10
Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa PENCAPAIAN KESEMPURNAAN DENGAN DETERMINASI WAKTU Indina Asri Andamari Deden Hendan Durahman, M.Sch. Program Studi Sarjana Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Email: [email protected] Kata Kunci : determinasi waktu, diri ideal, instalasi kinetik, kesempurnaa, tahapan hidup Abstrak Persepsi manusia akan waktu mempengaruhi perilakunya dalam menyikapi hidup. Bagi penulis, semakin banyak waktu yang dikonsumsi maka seharusnya semakin banyak pencapaian yang diraih, yaitu pencapaian yang mengacu pada kesempurnaan. Pemahaman ini dipengaruhi oleh konsep diri ideal yang dimiliki seseorang. Usaha secara kontinyu untuk menjadi kongruen dengan adanya determinasi waktu, menekan kondisi psikis penulis. Oleh karena itu penulis mencoba menuangkan persoalan tersebut dalam karya instalasi kinetik berupa lima buah komposisi roda gigi yang berputar secara ritmik. Citraan tubuh yang divisualisasikan dengan teknik drawing, merepresentasikan diri yang tergiling oleh waktu dan tak henti berusaha menjadi sempurna. Melalui proses kreasi, penulis memperoleh kesadaran bahwa mencapai kesempurnaan akan terus menjadi sebuah proses, dan waktu akan tetap menjadi penentu. Abstract Individual perception of time affects his behavior in response to life. According to the writer, the more time is consumed, the more achievements, which refer to perfection, should be achieved. This understanding is influenced by the concept of one's own ideal self. Continuous struggle to be congruent with the determination of time, put the writer’s psyche on pressure. Therefore, the writer tried to embody the issue in the form of kinetic installation artwork consisting of five compositions of gears spinning rhythmically. Body images are visualized by drawing techniques, representing self that is minced by the mechanical time and self that never cease trying to be perfect. Through the creative process, the writer obtained further awareness that the pursuit of perfection will always be a process, and time will remain a determination. 1. Pendahuluan Tidak ada satu pun manusia yang hidup di luar ikatan waktu. Menurut pandangan Newton, waktu ialah salah satu penyusun alam semesta bersama ruang dan materi. Karena manusia ialah bagian dari alam semesta, maka ketika materi (jasad) mulai mengada dalam ruang yang telah tersedia, waktu serta merta akan mulai menghitung eksistensinya. Sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari, setiap orang memiliki persepsi masing-masing dalam menghayati waktu. Persepsi tersebut tak pelak mempengaruhi cara dan sikap hidup manusia dalam kesehariannya, dari hal yang paling sepele hingga yang secara prinsipil membentuk karakternya. Oleh sebab itu, penghayatan manusia akan waktu boleh jadi berdampak positif atau negatif bagi kehidupannya. Pada dasarnya setiap orang berhak untuk mendefinisikan waktu sesuai dengan kesadaran, pengalaman, dan pengetahuannya, serta pengaruh lingkungan yang membentuk dirinya. Menurut penulis, konsep waktu lahir dari keinginan fundamental manusia untuk punya kendali atas hidup, termasuk mengendalikan dirinya sendiri. Berdasarkan kebutuhannya, manusia sendirilah yang menciptakan waktu sistematik dan setuju untuk mengikutinya, tapi kemudian konsepsi ini justru berbalik berada diluar kendali dan memaksa manusia untuk terus melaju bersamanya. Bagi penulis, waktu selalu menuntut untuk tidak disia-siakan. Waktu memaksa penulis untuk terus merasa, berpikir, bergerak, dan untuk selalu berintrospeksi, berapa banyak yang telah penulis capai di dalam eksistensinya. Pencapaian yang dimaksud ialah pencapaian yang terukur pada acuan tertentu, yaitu kesempurnaan. Premisnya, semakin banyak waktu yang dikonsumsi, maka seharusnya semakin dekat manusia pada kesempurnaan. Kontinuitas ini membawa penulis pada satu fase dimana penulis menemukan dan mempertanyakan kemungkinan mengidap ‘atelophobia’, yaitu ketakutan berlebih akan kegagalan mencapai kesempurnaan. Penulis mencentang beberapa gejala psikologis yang dialami, salah satunya ialah sikap kritis berlebih terhadap diri sendiri, berpikir rumit mengenai segala sesuatu demi mencapai kesempurnaan, terus merasa tertekan dan dapat melanjutkan pekerjaan tanpa henti hingga mencapai kesempurnaan, serta sikap depresif saat terjadi ketidaksempurnaan. Situasi ini mendorong penulis untuk menelaah lebih jauh penyebab dari kegelisahan yang dialami. Sebagai sebuah proses, maka ada dua variabel yang menentukan, yaitu goal yang ingin dicapai (dengan parameter kesempurnaan) dan waktu (durasi). Penulis menerjemahkan rasa takut/depresif tersebut sebagai konsekuensi dari determinasi waktu yang membuat penulis secara konstan berusaha dan bekerja keras untuk mencapai kesempurnaan.

Transcript of PENCAPAIAN KESEMPURNAAN DENGAN DETERMINASI … · Tidak ada satu pun manusia yang hidup di luar...

Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa

PENCAPAIAN KESEMPURNAAN DENGAN DETERMINASI WAKTU

Indina Asri Andamari Deden Hendan Durahman, M.Sch.

Program Studi Sarjana Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB

Email: [email protected]

Kata Kunci : determinasi waktu, diri ideal, instalasi kinetik, kesempurnaa, tahapan hidup

Abstrak Persepsi manusia akan waktu mempengaruhi perilakunya dalam menyikapi hidup. Bagi penulis, semakin banyak waktu yang dikonsumsi maka

seharusnya semakin banyak pencapaian yang diraih, yaitu pencapaian yang mengacu pada kesempurnaan. Pemahaman ini dipengaruhi oleh konsep

diri ideal yang dimiliki seseorang. Usaha secara kontinyu untuk menjadi kongruen dengan adanya determinasi waktu, menekan kondisi psikis penulis.

Oleh karena itu penulis mencoba menuangkan persoalan tersebut dalam karya instalasi kinetik berupa lima buah komposisi roda gigi yang berputar

secara ritmik. Citraan tubuh yang divisualisasikan dengan teknik drawing, merepresentasikan diri yang tergiling oleh waktu dan tak henti berusaha

menjadi sempurna. Melalui proses kreasi, penulis memperoleh kesadaran bahwa mencapai kesempurnaan akan terus menjadi sebuah proses, dan

waktu akan tetap menjadi penentu.

Abstract Individual perception of time affects his behavior in response to life. According to the writer, the more time is consumed, the more

achievements, which refer to perfection, should be achieved. This understanding is influenced by the concept of one's own ideal self.

Continuous struggle to be congruent with the determination of time, put the writer’s psyche on pressure. Therefore, the writer tried to

embody the issue in the form of kinetic installation artwork consisting of five compositions of gears spinning rhythmically. Body images are

visualized by drawing techniques, representing self that is minced by the mechanical time and self that never cease trying to be perfect.

Through the creative process, the writer obtained further awareness that the pursuit of perfection will always be a process, and time will

remain a determination.

1. Pendahuluan

Tidak ada satu pun manusia yang hidup di luar ikatan waktu. Menurut pandangan Newton, waktu ialah salah satu

penyusun alam semesta bersama ruang dan materi. Karena manusia ialah bagian dari alam semesta, maka ketika materi

(jasad) mulai mengada dalam ruang yang telah tersedia, waktu serta merta akan mulai menghitung eksistensinya.

Sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari, setiap orang memiliki persepsi masing-masing dalam menghayati waktu.

Persepsi tersebut tak pelak mempengaruhi cara dan sikap hidup manusia dalam kesehariannya, dari hal yang paling

sepele hingga yang secara prinsipil membentuk karakternya. Oleh sebab itu, penghayatan manusia akan waktu boleh

jadi berdampak positif atau negatif bagi kehidupannya.

Pada dasarnya setiap orang berhak untuk mendefinisikan waktu sesuai dengan kesadaran, pengalaman, dan

pengetahuannya, serta pengaruh lingkungan yang membentuk dirinya. Menurut penulis, konsep waktu lahir dari

keinginan fundamental manusia untuk punya kendali atas hidup, termasuk mengendalikan dirinya sendiri. Berdasarkan

kebutuhannya, manusia sendirilah yang menciptakan waktu sistematik dan setuju untuk mengikutinya, tapi kemudian

konsepsi ini justru berbalik berada diluar kendali dan memaksa manusia untuk terus melaju bersamanya. Bagi penulis,

waktu selalu menuntut untuk tidak disia-siakan. Waktu memaksa penulis untuk terus merasa, berpikir, bergerak, dan

untuk selalu berintrospeksi, berapa banyak yang telah penulis capai di dalam eksistensinya. Pencapaian yang dimaksud

ialah pencapaian yang terukur pada acuan tertentu, yaitu kesempurnaan. Premisnya, semakin banyak waktu yang

dikonsumsi, maka seharusnya semakin dekat manusia pada kesempurnaan.

Kontinuitas ini membawa penulis pada satu fase dimana penulis menemukan dan mempertanyakan kemungkinan

mengidap ‘atelophobia’, yaitu ketakutan berlebih akan kegagalan mencapai kesempurnaan. Penulis mencentang

beberapa gejala psikologis yang dialami, salah satunya ialah sikap kritis berlebih terhadap diri sendiri, berpikir rumit

mengenai segala sesuatu demi mencapai kesempurnaan, terus merasa tertekan dan dapat melanjutkan pekerjaan tanpa

henti hingga mencapai kesempurnaan, serta sikap depresif saat terjadi ketidaksempurnaan. Situasi ini mendorong

penulis untuk menelaah lebih jauh penyebab dari kegelisahan yang dialami. Sebagai sebuah proses, maka ada dua

variabel yang menentukan, yaitu goal yang ingin dicapai (dengan parameter kesempurnaan) dan waktu (durasi). Penulis

menerjemahkan rasa takut/depresif tersebut sebagai konsekuensi dari determinasi waktu yang membuat penulis secara

konstan berusaha dan bekerja keras untuk mencapai kesempurnaan.

Indina Asri Andamari

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 2

Berdasarkan kondisi psikologis tersebut, penulis terdorong untuk berkarya dan mencari solusi atas konflik yang terjadi

dalam diri penulis. Dengan demikian, penulis mencoba untuk mengkonstruksi permasalahan mengenai persepsi waktu

yang berkaitan dengan pencapaian kesempurnaan ke dalam karya Tugas Akhir dengan rumusan masalah sebagagai

berikut: Permasalahan psikologis apa yang dapat timbul berdasarkan persepsi individu akan waktu dalam kaitannya

dengan kesempurnaan? Bagaimana mengkonstruksi dan membahasakan permasalahan-permasalahan tersebut menjadi

karya seni?

Demi mempertajam permasalahan dan memfokuskan pengerjaan karya, maka karya Tugas Akhir ini terbatas pada

penelaahan waktu yang mekanis sebagaimana dipahami secara umum dan kesempurnaan sesuai dengan gambaran ideal

yang dimiliki tiap-tiap individu secara subyektif. Konsepsi tersebut dituangkan melalui teknik drawing yang dikemas

menjadi instalasi seni kinetik berupa roda-roda gigi yang berputar secara ritmik dalam lima buah komposisi. Drawing

secara spesifik dihasilkan dengan tarikan-tarikan garis bolpen di atas media akrilik bening berbentuk roda-roda gigi,

sedangkan objeknya dititikberatkan kepada representasi tubuh wanita yang bergestur. Tubuh digambarkan terbalut

motif chakra yang telah terdistorsi sementara warna chakra yang bersangkutan melatari tubuh dan diaplikasikan dengan

media cat kaca.

Karya-karya dibuat secara khusus sebagai pemenuhan mata kuliah Tugas Akhir Seni Grafis SR4099 dan sebagai syarat

kelulusan pendidikan Sarjana Seni, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Berdasarkan rumusan

masalah yang ada, maka karya Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami permasalahan psikologis

yang dapat timbul berdasarkan persepsi individu akan waktu, serta mengonstruksi dan membahasakan permasalahan-

permasalahan tersebut menjadi karya seni. Selain itu karya ini diharapkan dapat memfasilitasi introspeksi dan

menawarkan sudut pandang yang berbeda akan waktu.

2. Proses Studi Kreatif

2.1 Gagasan Berkarya

Seperti yang telah dijabarkan pada Latar Belakang, karya dibuat berdasarkan kegelisahan personal penulis akibat

determinasi waktu secara kontinyu dalam kehidupan sehari-hari. Waktu yang dirasa mengekang, menjadi tolak ukur

yang membuat penulis berpikir ulang dan menarik persoalan lebih jauh. Akhirnya penulis menemukan bahwa waktu

tidak mungkin terasa mengancam apabila tidak diiringi dengan tujuan/capaian yang besar, yang mengacu pada

kesempurnaan. Dapat disimpulkan bahwa hal ini berkaitan dengan persepsi seseorang akan waktu yang berakibat pada

perilaku dan pola pikirnya.

Bicara mengenai pencapaian kesempurnaan, manusia memiliki dorongan dasar untuk mengaktualisasi dirinya. Sebelum

manusia mencapai tingkatan tertinggi dalam eksistensi manusia tersebut, maka manusia belum akan berhenti untuk

mendefinisikan dirinya. Setiap manusia mengkonstruksi konsepsi tentang dirinya, termasuk sosok diri ideal (ideal self)

yang ingin dijadikannya. Ideal self sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat intelektual, pengalaman, juga

pemahaman seseorang akan dirinya di setiap tahapan hidupnya. Oleh karena itu dikatakan bahwa ideal self terus

berubah dan berkembang hingga dirinya teraktualisasi.

Aktualisasi diri ialah saat dimana seseorang dalam keadaan kongruen, artinya ada keselarasan antara ideal self dengan

kondisi dirinya saat ini (self-image). Itu sebabnya, manusia sepanjang hidupnya akan terus berusaha untuk beririsan

sebanyak mungkin dengan gambaran diri ideal yang dimiliki. Persoalan yang muncul kemudian berkembang menjadi

bagaimana cara untuk menjadi kongruen dalam kurun waktu yang telah ditetapkan. Sementara itu, gambaran diri ideal

akan berubah seiring dengan pertambahan usia sesuai dengan tingkat kedewasaan dan fokus persoalan pada setiap

tahapan hidup.

Usaha-usaha manusia yang mengarah pada tujuan tersebut terimplementasi dalam tingkah lakunya. Namun, usaha-

usaha yang terkemas dalam sebuah proses selalu memiliki kemungkinan untuk berhasil atau tidak. Dengan demikian,

tingkah laku penulis pun tidak terlepas dari pengaruh ketakutan akan tidak tercapainya kesempurnaan serta ketakutan

akan gambaran diri di masa datang (possible-selves) yang jauh dari kriteria ideal. Konflik inilah yang ingin coba penulis

tuangkan dalam Tugas Akhir dan menjadi gagasan yang kemudian diterjemahkan dalam visual karya.

2.2 Konstruksi Visual

Dalam proses mencari visual karya, penulis berangkat dari keinginan untuk menghadirkan waktu sebagai variabel

penting dalam karya ini secara konkret. Kemudian penulis menemukan bahwa seni kinetik menjadi opsi yang tepat

Indina Asri Andamari

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 3

karena merupakan karya seni yang mengandung gerak; dan gerak selalu disertai oleh durasi. Seni kinetik yang

diimplementasikan dalam karya menggunakan gerak aktual (actual movement) yaitu gerak yang berada pada ranah fisik.

Lebih jauh mengenai waktu, penulis sampai pada roda gigi (gear) dimana mekanisme jam klasik selalu digerakkan oleh

akurasi perpaduan roda gigi di dalamnya sehingga menghasilkan laju tertentu yang menyatakan jam, menit, dan detik.

Roda gigi sejak lama telah dipakai untuk merepresentasikan sebuah kinerja yang konsisten dan berkesinambungan

sehingga menghasilkan hasil yang berguna dengan maksimal.

Sementara itu, tubuh hadir sebagai representasi diri, baik secara fisik maupun mental, yang terperangkap di dalam

kerangka waktu yang terus berjalan. Tubuh mewujudkan eksistensi manusia di dunia dan menjadi media untuk

bersentuhan dengan realitas. Segala sesuatu dapat dikenali karena tubuh yang mempersepsi, begitu pula dengan waktu.

Jadi tubuh mengalami waktu, tidak hanya sebagai subyek namun juga sebagai obyek. Tubuh tidak berbusana agar tidak

dirujuk pada identitas tertentu. Penulis mencoba menggambarkan tahapan hidup manusia melalui setiap gestur, dengan

pembacaan dari tengah merupakan present, dua set di sebelah kiri merujuk pada past tense dan yang kanan future tense.

Alur gestural ini secara metaforik merujuk pada pergerakan matahari serta memperlihatkan tegangan dan renggangan

yang terjadi pada tubuh. Sekuens ini mewakili konsep diri ideal yang terus berkembang sesuai dengan tuntutan usia.

Pola yang terpetakan pada tubuh serta warna yang muncul merupakan dampak dari intensi penulis untuk memberikan

konten lebih pada tubuh yang diibaratkan sebagai kanvas kosong yang belum diberi atribut. Pola ini merupakan hasil

proyeksi bentuk geometrik chakra, pusat-pusat energi pada tubuh yang berfokus pada masing-masing pokok persoalan

dalam hidup manusia, dengan warna yang melatarbelakangi tubuh. Namun seiring proses pengerjaan, penulis tidak

mengelaborasi chakra lebih jauh, dan menanggalkan muatan filosofisnya. Pola tersebut akhirnya hadir sebagai elemen

grafis yang dimaksudkan untuk lebih mendistorsi tubuh dan menjadi bagian dari proses ‘menjadi’ seiring perputaran

roda gigi.

Gambar 1. Diagram Chakra

(Sumber: http://askyourpendulum.com/Chakras.asp)

Citra tubuh dimunculkan menggunakan bolpen hitam dengan teknik crosshatch di atas akrilik bening. Akrilik bening

dipilih karena memungkinkan eksplorasi komposisi roda gigi, yaitu dapat memunculkan overlapping. Bagian overlap

yang membentuk irisan dianggap dapat mewakili usaha-usaha untuk mencapai kongruensi, yaitu keselarasan antara

ideal self dengan self-image. Dalam kasus ini, bentuk roda gigi agak tersamarkan, untuk menggambarkan waktu yang

berada dalam taraf persepsi. Selain itu, ada keperluan teknis untuk menggunakan bahan yang rata ketebalan dan

permukaannya; tidak melenting bila dibentuk dalam ukuran besar.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, drawing dipilih sebagai teknik untuk mewujudkan visual pada roda-roda

gigi. Selain untuk mencapai kualitas estetik tertentu, penulis dapat ‘memindahkan’ lebih banyak bagian dari dirinya ke

dalam karya. Drawing yang dihasilkan dari akumulasi garis semacam ini dapat menunjukan determinasi, konsistensi,

dan memperlihatkan jejak sebuah proses. Drawing yang dikerjakan secara manual merepresentasikan usaha untuk tetap

‘menjadi manusia’, yang tidak tergerus oleh determinasi waktu. Di samping itu, bolpen digunakan sebagai media untuk

membuat drawing karena bolpen dapat diaplikasikan ke atas permukaan akrilik dan dapat menghasilkan garis-garis

dengan intensitas yang relatif konstan.

Seperti pada karya-karya sebelumnya, tubuh terbagi dalam sejumlah roda-roda gigi dengan ukuran bervariasi. Tubuh

akan mengacak (disordered) dan terfragmentasi seiring dengan bergeraknya roda gigi sebagai wujud diri yang ikut

‘tergiling’ oleh waktu, diri yang ditarik oleh berbagai kepentingan, dan ketidakutuhan yang mendorong diri untuk selalu

berproses. Setelah beberapa waktu, citraan dimaksudkan untuk kembali membentuk tubuh seperti semula (order)

seturut rasio roda gigi, dan laju putaran yang sudah ditetapkan. Namun ketidaksesuaian yang terjadi setelah berbagai

Indina Asri Andamari

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 4

upaya dilakukan menandai kekurangan (lack) yang akan selalu dimiliki manusia yang membuatnya tidak berhenti

mencari pemenuhan.

Merujuk pada prinsip Gestalt, karya ini memiliki ciri-ciri hukum kedekatan (Law of Proximity), hukum kesamaan (Law

of Similarity), dan hukum ketertutupan (Law of Closure). Roda-roda gigi yang berbentuk sama dikomposisikan dekat

satu sama lain sehingga membentuk gugusan-gugusan. Tubuh dapat dikenali sebagai satu obyek utuh meski terbagi ke

dalam beberapa roda gigi dan kehilangan beberapa bagiannya. Dengan kata lain, mata mencerapnya secara keseluruhan

sebagai obyek yang terorganisasi. Tiap roda gigi tidak dapat berdiri sendiri dan dimaknai secara individu.

3. Hasil Studi dan Pembahasan

3.1 Proses Berkarya

Agar citraan dapat kembali ke bentuk semula sesuai dengan rancangan secara lebih terprediksi, rasio atau perbandingan

roda gigi dalam satu gugusan perlu diperhitungkan. Jumlah gigi antar roda harus memiliki nilai KPK. Dalam karya ini,

roda gigi dibagi dalam empat ukuran, yaitu roda berjumlah gigi 15, 30, 45, dan 60. Nilai KPK terdekat ialah 180, karena

dapat habis dibagi dengan 15, 30, 45, dan 60. Hasil bagi tersebut merupakan jumlah perputaran tiap roda gigi yang

terjadi hingga ia kembali ke posisi semula. Jadi, roda-roda gigi dirancang untuk saling bertemu kembali setelah roda

bergigi 60 bergerak tiga kali putaran penuh, roda bergigi 45 bergerak empat kali putaran penuh, dan seterusnya.

Fotografi digunakan sebagai gambar acuan untuk mengerjakan karya drawing. Penulis memutuskan untuk

menggunakan foto ‘hanya’ sebagai bagian dari proses sketsa dengan mempertimbangkan kaitannya dengan waktu. Foto

pada hakikatnya merupakan dokumentasi realitas yang merekam kehadiran fisik suatu objek. Dengan demikian, muatan

dari setiap foto adalah sejarah, peristiwa yang telah terjadi. Batasan fotografi sebagai refleksi dari dunia nyata adalah

bahwa ia selalu akan menjadi momen beku dari masa lalu. Gambar acuan karya diperoleh dengan cara melakukan sesi

pemotretan dengan obyek tubuh penulis sendiri dalam ruang studio foto. Kamera yang digunakan ialah kamera dijital

Canon 5D 21MP Mark II. Untuk pencahayaan belakang menggunakan Bowens Source Lighting GN 60 sedangan

pencahayaan utama menggunakan Bowens Professional GN 200. Alat lain yang diperlukan ialah infocus untuk

memproyeksikan citraan. Setelah itu, foto diseleksi dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu gestur yang

tertangkap, sudut pandang pemotretan, pencahayaan, serta jatuhnya citra proyeksi ke tubuh. Setelah memilih foto acuan

yang cocok, dilakukan penyuntingan secara dijital menggunakan perangkat lunak Adobe Photoshop 5.1.

Gambar 2. Proses penyusuaian komposisi roda gigi dengan citraan tubuh

Dalam pengerjaan karya drawing, pertama-tama penulis membuat garis-garis utama sebagai acuan, lalu menentukan

area-area lindap. Selanjutnya penulis mengerjakan drawing sesuai acuan yang telah dibuat dengan teknik cross hatch.

Lindap dihasilkan dari tumpukan garis yang saling bersilang. Tinta bolpen di atas akrilik akan kering dalam beberapa

menit, oleh karena itu sebelumnya drawing tidak boleh tersentuh tangan. Apabila terjadi kesalahan, tinta dapat dihapus

menggunakan turpentin.

Indina Asri Andamari

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 5

Gambar 3. Proses pengerjaan drawing pada akrilik menggunakan bolpen

Hal penting yang harus diperhatikan ialah koneksi antar roda gigi yang bersinggungan untuk menjaga citraan tetap

terhubung satu sama lain dan membentuk keutuhan. Khususnya untuk bagian-bagian yang beririsan (overlapping),

keselarasan antar drawing di roda gigi muka dan belakang harus diperhitungkan baik arah tarikan garis maupun

kejamakan garis agar tidak terlalu gelap setelah kedua roda gigi ditumpuk. Setelah selesai, cat kaca merk Vitrail

diaplikasikan ke atas akrilik di sisi sebaliknya. Hal ini dilakukan karena cat kaca menggunakan turpentin sebagai

pengencer.

Gambar 4. Proses eksplorasi dan studi menggunakan cat kaca di atas akrilik

Gambar 5. Proses aplikasi cat kaca pada akrilik

Proses instalasi dimulai dengan pembuatan panel dari bahan multiplex. Panel dibuat sebanyak lima buah sesuai dengan

jumlah set karya dengan ukuran 122x244x15 cm. Sebelumnya, setiap set karya telah diposisikan di atas multiplex

dengan posisi terbaring, dan setiap poros sudah ditandai untuk dibor kemudian. Penting pada setiap pengeboran dalam

proses instalasi untuk benar-benar tepat pada porosnya juga tegak lurus terhadap permukaan, karena jika melenceng

atau miring sedikit saja akan mempengaruhi laju roda gigi. Setelah itu panel dikonstruksi dengan ketebalan 15 cm untuk

membuat panel yang cukup kokoh, rapi, dan dapat berdiri vertikal.

Indina Asri Andamari

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 6

Gambar 6. Skema instalasi karya pada panel

Gambar 7. Proses penyesuaian poros roda gigi pada saat pembuatan panel

Tahap berikutnya ialah mempersiapkan pipa kuningan 5 mm dan pipa besi 8 mm. Kedua pipa sangat krusial untuk

kepentingan instalasi karena bekerja sebagai eksekutor. Pipa kuningan digunakan sebagai sumbu roda gigi sementara

pipa besi ditanam ke dalam lubang-lubang panel dan digunakan sebagai selongsong agar poros pipa kuningan dapat

berputar dengan lancar pada tempatnya tanpa bergesekan dengan panel. Mur dan baut digunakan untuk menjepit roda

gigi. Sebelum baut disambung ke pipa kuningan, perlu untuk mengecek perputaran roda gigi, apakah ia berputar tegak

lurus pada sumbu dengan stabil atau tidak. Setelah itu roda-roda gigi dipasang pada panel dengan memperhatikan

jaraknya dari permukaan panel karena setiap set terdiri dari gugusan-gugusan yang tumpang tindih (overlapping).

Gambar 8. Proses pemasangan dan penyesuaian roda gigi pada panel

Untuk menghubungkan gugusan-gugusan roda gigi yang tidak bersinggungan, dibutuhkan pulley sebagai pemersatu

gerak. Setiap gugusan diwakili satu pulley yang dipasang pada sumbu-sumbu tertentu di belakang panel. Diameter

pulley harus disesuaikan dengan rasio roda gigi yang ia wakili. Pulley harus dibuat secara akurat, karena perbedaan

diameter beberapa millimeter saja dapat mempengaruhi laju roda gigi. Roda gigi yang dihubungkan dengan pulley

haruslah roda-roda gigi yang bergerak ke arah putaran yang sama. Kemudian pulley-pulley tersebut dihubungkan

dengan tali.

Indina Asri Andamari

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 7

Gambar 9. Pemasangan pulley dan tali penghubung

Dalam karya ini penulis masih menggunakan motor yang sama yaitu motor DC berkapasitas 24V/35mA dengan

gearbox. Kali ini pulley juga digunakan untuk ‘mengunci’ sumbu motor dan kemudian dihubungkan dengan pulley

yang lain sehingga ia berfungsi sebagai penggerak. Setelah itu, motor dihubungkan ke microcontroller sebagai pengatur

ritme putaran setiap rangkaian roda gigi.

Gambar 10. Motor penggerak, rangkaian penghambat, dan microcontroller

3.2 Deskripsi dan Tinjauan Karya

Karya terdiri dari lima rangkaian roda-roda gigi yang terbuat dari bahan akrilik bening setebal 5 mm. Representasi

tubuh divisualisasikan pada permukaan akrilik dengan teknik drawing menggunakan bolpen dan cat kaca. Tubuh wanita

yang digambarkan tidak berbusana, hanya berbalut garis-garis motif chakra beserta warnanya yang melatarbelakangi.

Komposisi roda gigi disusun sesuai bentuk citraan tubuh yang akan terfragmentasi seiring berputarnya roda-roda gigi.

Komposisi roda gigi terdiri dari empat ukuran yang masing-masing diameternya ditentukan berdasarkan rasio, dengan

jumlah total delapan roda gigi setiap rangkaiannya. Rasio ini dirancang dengan maksud untuk mengembalikan roda-

roda gigi ke posisi semula secara lebih terprediksi, yaitu agar citra tubuh utuh kembali setelah beberapa putaran saja.

Tubuh yang terfragmentasi seiring dengan perputaran roda gigi merepresentasikan ‘diri’ yang terperangkap dalam

sistem mekanis waktu dan terpaksa untuk mengikuti lajunya. Pergerakan ini juga mewakili sebuah proses ‘menjadi’ dan

menuju keutuhan diri, yang merupakan bagian dari pencapaian kesempurnaan dalam hidup, melalui usaha terus-

menerus. Di samping itu, setiap gestur, motif dan warna chakra mencoba menggambarkan setiap tahapan dalam hidup

beserta fokus pencapaian yang berkembang seiring dengan perubahan gambaran diri ideal.

Indina Asri Andamari

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 8

Gambar 11. “Ticking to Tainted Perfection” (detail)

Drawing on acrylic, kinetic installation, variable dimension, 2012

Indina Asri Andamari

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 9

Gambar 12. “Ticking to Tainted Perfection” (series)

Drawing on acrylic, kinetic installation, variable dimension, 2012

Indina Asri Andamari

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 10

4. Penutup / Kesimpulan

Kegelisahan penulis akan determinasi waktu yang dituangkan dalam proses kekaryaan membawa penulis pada

kesadaran yang lebih jauh. Waktu sebagai sistem yang mengontrol kehidupan manusia justru berkontribusi pada setiap

pencapaian yang diraih. Waktu membuat manusia menjadi lebih waspada, lebih memaknai hidup, dan menjadi urgensi

yang memaksa individu untuk memutuskan untuk segera bergerak untuk mencapai tujuannya.

Perilaku manusia dalam menyikapi waktu dikembalikan pada diri masing-masing, tentu dengan segala konsekuensinya.

Penulis menyadari, bahwa waktu hanya menjadi ‘pihak yang dipersalahkan’. Penulis lah yang memposisikan waktu

sebagai oposisi. Kepentingan untuk mencapai hal-hal yang mengacu pada kesempurnaan berakar dari persoalan

eksistensial, yaitu gambaran konsep diri dan diri ideal yang ingin dicapai sehingga mempengaruhi persepsinya.

Setiap usaha yang dilakukan manusia merupakan usaha untuk menjadi sedekat mungkin (kongruen) dengan diri ideal

yang ditentukannya. Berdasarkan temuan ini, kegelisahan yang dirasakan akhirnya diterjemahkan sebagai ketakutan

akan tidak tercapainya diri ideal tersebut, tentunya dengan determinasi waktu. Sementara gambaran diri ideal tersebut

terus berubah seiring waktu sesuai dengan tahapan hidupnya, manusia tidak akan pernah berhenti untuk berusaha

mencapai dirinya yang utuh (whole). Proses menuju keutuhan ini mewakili setiap pencapaian dengan kejaran

kesempurnaan, yang kemudian disadari oleh penulis sebagai sesuatu yang tidak perlu diantisipasi sebagai kegagalan

karena manusia memang tidak akan pernah sampai pada kesempurnaan. Bagaimanapun, pencapaian kesempurnaan

akan selalu menjadi sebuah proses, dan waktu akan tetap menjadi penentu.

Pada karya Tugas Akhir ini, penulis mencoba menuangkan persoalan tersebut ke dalam sebuah karya seni. Namun

dalam prosesnya, penulis mengalami problematika yang sama, yaitu bagaimana cara membuat karya Tugas Akhir yang

sempurna dalam kurun waktu yang sempit. Selain dalam tataran konsep, secara literaris karya ini menuntut tingkat

keakuratan dan kepresisian yang luar biasa pada setiap aspeknya. Karena itu penulis banyak belajar mengenai persoalan

teknis. Dari sana pula lah penulis menyadari bahwa sebenarnya penulis lah yang menantang dirinya sendiri untuk selalu

membuat sesuatu yang tidak biasa, termasuk menguji batasan-batasan diri dan mengambil resiko demi kepuasan pribadi,

meski kerap depresif.

Dengan terwujudnya karya ini, penulis berharap dapat merepresentasikan dirinya melalui sudut pandangnya akan waktu

dan pencapaian kesempurnaan serta mengajak apresiator untuk berintrospeksi diri, menelaah kembali bagaimana ia

mempersepsi waktu, bagaimana ia menyikapinya, dan bagaimana hal tersebut berpengaruh terhadap hidupnya.

Ucapan Terima Kasih

Artikel ini didasarkan kepada catatan proses berkarya/perancangan dalam Tugas Akhir Program Studi Sarjana Seni

Rupa FSRD ITB. Proses pelaksanaan Tugas Akhir ini disupervisi oleh pembimbing Deden Hendan Durahman, M.Sch.

Daftar Pustaka

Merleau-Ponty, Maurice. 1962. Phenomenology of Perception. London: Routledge & K. Paul

Miglietti, Francesca. A. 2003. Extreme Bodies: The Use and Abuse of the Body in Art. Milan: Skira Editore S.p.A

Rogers, Carl. 1951. Client-centered Therapy: Its Current Practice, Implications and Theory. London: Constable

McLeod, S. A. 2007. Carl Rogers. http://www.simplypsychology.org/carl-rogers.html, diakses pada tanggal 4

Desember 2012, pukul 21.43 WIB

http://mujibsite.wordpress.com/2009/04/29/waktu-merupakan-catatan-penunjang-dari-perjalanan-alam-semesta/,

diakses pada tanggal 3 September 2012, pukul 23.19 WIB

http://filsafat.kompasiana.com/2012/08/20/mysteri-materi-ruang-waktu-481003.html, diakses pada tanggal 3 September

2012, pukul 23.18 WIB

http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/03/teori-psikologi-gestalt/, diakses pada tanggal 4 September 2012, pukul

21.48 WIB