“PENCANTUMAN ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM KOLOM...
Transcript of “PENCANTUMAN ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM KOLOM...
“PENCANTUMAN ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM KOLOM KTP PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH ”
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H.)
Oleh :
Angga Praja Firdaus Hasan 11140450000035
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H / 2018 M
iv
ABSTRAK
ANGGA PRAJA FIRDAUS HASAN, NIM 11140450000035, Judul Skripsi:
“Pencantuman Aliran Kepercayaan dalam Kolom KTP Perspektif Fiqih Siyasah”.
Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun terbit 2018 yang terdiri dari 84 halaman
dan 10 lampiran .
Tujuan Penelitian ini yaitu untuk mengetahui bahwa setiap warga negara
mempunyai hak yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain dan diberlakukan sama
tanpa adanya diskriminasi, Putusan MK Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016 tentang
pencantuman Aliran Kepercayaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan titik
terang bagi para Penghayat Kepercayaan untuk lebih diakui dan dilindungi oleh negara.
Hak Asasi Manusia (HAM) memang sangatlah perlu, namun Pemerintah juga dalam
membuat sebuah kebijakan dan peraturan harus melihat berbagai aspek, agar kebijakan dan
peraturan tersebut bisa diterima oleh masyarakat dan bisa melindungi warga negara.
Sehingga dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan benegara penuh dengan rasa
nyaman.
Metode yang digunakan yaitu metode Penelitian hukum empiris sosiologis, dengan
melihat putusan MK Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016 tentang pencantuman Aliran
Kepercayaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) , apakah benar apa yang sudah diajukan
sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi ditengah-tengah masyarakat khsususnya Aliran
Kepercayaan dan penelitian ini juga dilakukan dengan pendekatan normatif melihat hukum
yang ada di Indonesia.
Tentang hak kewarganegaraan, Islam juga mengatur hal tersebut, sebagaimana
Islam mengatur dan melindungi hak warga negara non-Islam dengan dasar-dasar kesatuan
Umat Manusia, Al-Adalah (keadilan), Al-Musawah (persamaan), Karomah insaniyah
(kehormatan manusia) dan lain sebagainya, Putusan MK tersebut lalu dikaitkan dengan
Perspektif Fiqih Siyasah apakah sesuai dengan nilai-nilai dalam Islam.
Pembimbing : Masyrofah, S.Ag. M.Si
Kata Kunci : Pencantuman Aliran Kepercayaan
v
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang
telah membawa agama Islam, yang telah memberikah contoh Suritauladan yang
baik dengan Akhlaknya kepada Umat manusia. Penyusunan skripsi ini
dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana
Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terselesaikan tanpa
dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disetai rasa hormat dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.,Ph.D, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Hj. Maskufa, MA., dan Sri Hidayati, M.Ag., Selaku Ketua dan Sekretaris
Jurusan Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Masyrofah, S.Ag. M.Si., Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia
membimbing dan mengarahkan penulis selama menyusun skripsi dan
memberikan ilmu serta solusi pada setiap permasalahan atas kesulitan dalam
Penulisan Skripsi ini.
4. Ummu Hanah Yusuf Saumin, M.A., Sebagai Penasehat Akademik yang telah
membimbing selama masa perkuliahan.
5. Dr. H. Rumadi, M,Ag dan Mufida, SH.I.,MH Penguji yang telah membantu
dan mengarahkan dalam menyelesaikan Skripsi Penulis.
6. Seluruh Bapak/Ibu dosen Jurusan Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas
Syaraiah dan Hukum yang telah memberikan pengetahuan yang sangat
bermanfaat selama masa perkuliahan.
vi
7. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag., Dosen Hukum Tata Negara (Siyasah) yang
telah membantu penulis dalam menemukan Judul Skripsi yang sesuai dengan
permasalahan yang ingin penulis angkat.
8. MUI Pusat Terutama Bapak Rofiqul Umam, S.H.,M.H., Wasekjen Bidang
Hukum MUI Pusat yang telah bersedia untuk membantu dan memberikan
Informasi terkait data yang diperlukan oleh Penulis.
9. MUI Tangerang Selatan Terutama Bapak Hasan Mustofi, M.H., Ketua Komisi
VI (Penetapan Hukum, Fatwa dan Perundang-undangan) yang telah Bersedia
untuk membantu dan memberikan Informasi terkait data yang diperlukan oleh
Penulis.
10. Kedua Orang Tuaku Tercinta, Bapak Hasan dan Ibu Rosidah, dua malaikat
yang penulis miliki di dunia ini, yang selalu berusaha memberikan sebuah
nasihat dan dukungan untuk mampu menjalankan kehidupan terutama untuk
dapat menyelesaikan Skripsi ini, berkat doa mereka pula Penulis dalam
Pembuatan Skripsi ini selalu dimudahkan oleh Allah SWT, salam cintaku
untuk kalian.
11. Keluarga Besar IRMAFA (Ikatan Remaja Masjid Fathullah) yang telah
menemani, mendukung dan keluarga kedua setelah dirumah, yang banyak
memberikan pengetahuan dan pengalaman dalam organisasi menjalankan
kehidupan ditengah-tengah masyarakat.
12. Segenap keluarga dan teman yang telah menyemangati dan mendoakan
selesainya skripsi ini.
13. Teman-teman KKN FIGHT yang telah mendukung, membantu, mendoakan
untuk penyelesaian Skripsi ini, dan yang paling utama ialah yang telah
memberikan banyak pengalaman.
14. Zasmine, Riri, dan Anam, sahabat yang selalu membantu dan memberikan
dukungan kepada Penulis.
15. Seluruh teman-teman Hukum Tata Negara angakatan 2014 yang menemani dan
membuat perjalanan dalam masa perkuliahan terasa menyenangkan.
vii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan semua pihak khususnya penulis dan para pembaca semua. Amin
Jakarta, Mei 2018
Penulis,
Angga Praja Fidaus Hasan
NIM: 11140450000035
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................... 10
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 11
E. Metode dan Teknik Penelitian ............................................... 12
F. Studi Terdahulu ...................................................................... 15
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 17
BAB II : ALIRAN KEPERCAYAAN DI INDONESIA
A. Sejarah dan Perkembangan Aliran Kepercayaan di
Indonesia ................................................................................. 18
B. Hak dan Kewajiban Penganut Aliran Kepercayaan di Indonesia
................................................................................................ 23
C. Kebijakan Politik Indonesia Terhadap Aliran Kepercayaan .. 31
ix
BAB III : PUTUSAN MK TERKAIT PENCANTUMAN ALIRAN
KEPERCAYAAN DALAM KOLOM KTP
A. Duduk Masalah ........................................................................ 37
B. Alasan Pemohon ...................................................................... 39
C. Argumentasi Putusan MK ....................................................... 44
BAB IV : ANALISIS HAK KEWARGANEGARAAN ALIRAN
KEPERCAYAAN DI INDONESIA DAN HAK
KEWARGANEGARAAN DALAM FIQIH SIYASAH
A. Hak Warga Negara Menurut Fikih Siyasah ............................ 51
B. Putusan MK terkait Aliran Kepercayaan Perspektif Fiqih
Siyasah .................................................................................... 61
C. Respon dan Implikasi ............................................................. 68
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 78
B. Saran-Saran .............................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat plural (plural
sociality), Pluralisme tersebut terlihat dalam keanekaragaman suku bangsa,
bahasa, budaya, dan agama. Para founding fathers telah merangkum
pluralitas masyarakat Indonesia dalam semboyan bhineka tunggal ika (unity
in diversity). Berbagai ragam agama dan keyakinan tumbuh di Indonesia,
sejak awal perkembangannya hingga saat ini. Dari segi agama dan
kepercayaan, Bangsa Indonesia memperlihatkan sosok kemajemukan yang
sangat kaya dan variatif. Agama-agama besar seperti Islam (dipeluk oleh
mayoritas Bangsa Indonesia), Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu dan
Budha, sebelum ada enam agama besar tersebut sudah lama eksis di Tanah
Air Indonesia dan mempunyai komunitas penganut masing-masing.1
Selain agama-agama besar (Islam, Kristen, Katolik Hindu,Budha
dan Khonghucu) yang sudah membentuk komunitas penganut masing-
masing, ada pula kepercayaan-kepercayaan lokal yang banyak jumlahnya di
Indonesia. keberadaan kepercayaan-kepercayaan lokal yang banyak dipeluk
oleh suku-suku di Indonesia semakin menambah Panorama Pluralitas,
Keberagaman dan Kemajemukan Bangsa Indonesia. Dapat diduga bahwa
kepercayaan-kepercayaan lokal ini sudah tetap bertahan pada saat agama
Hindu, Budha, Islam dan Kristen datang ke nusantara dan terus dianut
secara turun menurun oleh suku-suku di daerah Indonesia sampai sekarang
ini. Dengan demikian, kepercayaan-kepercayaan lokal itu tidak mengalami
kepunahan dan terus tetap eksis sampai sekarang ini dalam kehidupan
spiritual para penganutnya.
1Ahmad Syafi’I Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di
Indonesia, (Jakarta: Puslitbang dan Diklat, 2012), h. xiii
2
Istilah agama lokal, dalam hal ini bisa disamakan dengan
penggunaan istilah agama asli atau agama pribumi, yang dimaksud dengan
agama asli adalah sebuah agama yang bukan datang dari luar suku
penganutnya. Karenanya, agama asli kerap juga disebut agama suku atau
kelompok masyarakat. Agama ini lahir dan hidup bersama sukunya dan
mewarnai setiap aspek kehidupan suku penganutnya.2 Term kepercayaan
merupakan konsep religiusitas tertua yang ada di Indonesia, dalam beberapa
literatur disebutkan bahwa keberadaan penganut kepercayaan ada sejak
sebelum Agama Hindu datang dari India.3
Perwakilan dari beberapa Aliran Kepercayaan di Indonesia
mengajukan Permohonan ke MK terkait dengan perlakuan diskriminasi
yang dialami para Penganut Aliran Kepercayaan ditengah-tengah
masyarakat dan sulitnya mendapatkan Pelayanan Publik, kemudian
Permohonan tersebut dikabulkan oleh MK, dengan Putusan Nomor
97/PUU-XIV/2016 Tentang Pencantuman Penghayat Kepercayaan dalam
Kolam KTP-el dan KK. MK mengabulkan Permohonan atas pasal 61
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 dan pasal 64 Undang-Undang No. 24
Tahun 2013 tentang Administrasi kependudukan yang mewajibkkan
mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini membuat
para penganut kepercayaan di Indonesia bisa mencantumkan Aliran
Kepercayaan di kolom agama saat membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Pasal 64 UU No. 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-
Undang No. 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Pendudukan :
Ayat (1)
“KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan
peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat element data
penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan,
agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan,
2 Kiki Muhammad Hakiki, “Aliran Kebatinan di Indonesia”, Al-Adyan, VI, 2 (Juli-
Desember, 2011), h. 65-66 3 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapa dan Yayasan
Cipta LokaCaraka,1981), h. 237.
3
kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan
KTP-el, dan tanda tangan pemilik KTP-el.”
Ayat (5)
“Element data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat
kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam data base
kependudukan.”4
Menurut para Penganut Aliran Kepercayaan di Indonesia tidak
diisinya kolom agama sebagai elemen data kependudukan di dalam KK atau
KTP elektronik, telah menyebabkan terlanggar hak-hak dasar karena
kosongnya Kolom agama dalam KTP elektronik mengakibatkan para Aliran
Kepercayaan sebagai warga negara mendapatkan sikap diskriminasi, sulit
untuk mengakses dan mendapatkan hak-hak dasar warga negara seperti,
hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas jaminan-jaminan sosial,
beserta dengan seluruh layanannya.
Putusan MK tersebut merupakan titik terang untuk para Penganut
Aliran Kepercayaan di Indonesia, yang harus dilindungi dan diberikan hak
yang sama sebagai Warga Negara Indonesia, Kolom agama di KTP telah
menjadi bagian persoalan dalam pengelolaan agama sejak tahun 1978,
setelah negara melalui TAP MPR No. IV/1978 dan beberapa aturan
perundang-undangan menetapkan bahwa kepercayaan adalah budaya,
bukan agama, dan agama hanya enam agama yang di akui: Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Kelompok Penganut agama leluhur
sendiri sudah dipersoalkan dan di diskriminasi sejak awal kemerdekaan
Republik Indonesia, tepatnya setelah Dapertement Agama dibentuk pada
awal tahun 1946. Tetapi sebelum 1978, agama belum dimasukkan sebagai
salah satu kolom di KTP. Penetapan kolom agama di KTP sejak 1978
menjustifikasi diskriminasi negara terhadap kelompok penganut agama
leluhur. Semua warga negara, termasuk penganut agama leluhur,
mewajiban mencantumkan salah satu agama dunia yang diakui negara.
4 Redaksi Sinar Grafika, UU Administrasi Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), h. 30
4
Namun, sejak reformasi dimana wacana HAM khususnya kebebasan
beragama menguat, suara dan aspirasi kelompok warganegara yang
agamanya tidak diakui, seperti agama leluhur juga menjadi bagian wacana
publik dan kebijakan.5
Pada zaman perjuangan kemerdekaan hingga periode awal orde
lama, masyarakat penganut kepercayaan berkembang dengan baik dan turut
berkontribusi dalam proses perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan,
serta mengisi kemerdekaan. Namun ketika DI/TII berkembang tahun 1950-
an, banyak dari masyarakat penghayat kepercayaan yang menjadi korban
karena dituduh tidak beragama atau kafir.
Menginjak di zaman orde baru pada awalnya banyak dari
masyarakat penghayat yang jadi korban karena tuduhan PKI. Kemudian
mulai tahun 1973 memperoleh perbaikan pelayanan dari negara di mana
eksistensi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diakui negara dan
disejajarkan dengan agama walau tidak diakui sebagai agama sehingga
terakomodasi dalam GBHN dan dalam setiap peraturan perundang-
undangan selalu tercantum kepercayaan di belakang frasa agama. Pada
masa itu, boleh dicantumkan frasa kepercayaan pada kolom agama di KTP
dan masyarakat penghayat boleh melangsungkan perkawinan tanpa harus
melalui salah satu dari lima agama ketika itu. Dapat menjadi PNS dan
disediakan juga ucapan sumpah jabatan bagi penghayat.
Namun kemerdekaan ini tidak berlangsung lama karena mulai tahun
1978, hak-hak tersebut mulai dipreteli atau diamputasi. Mulai dari identitas
di KTP, pencabutan hak-hak perkawinan secara kepercayaan, dan lain-lain
sehingga para penghayat kepercayaan harus mencatumkan salah satu agama
dari lima agama yang tidak diyakini kalau tidak ingin didiskriminasi atau
dikucilkan.
5 Samsul Maarif, Kebebasan, Toleransi dan Terorisme Riset dan Kebijakan Agama
di Indonesia, (Jakarta Selatan: Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina,
2017), h. 14
5
Pada era reformasi sekarang ini, perlakuan diskriminasi dan ketidak
adilan yang dialami para penghayat kepercayaan belum mengalami
perubahan yang signifikan. Walaupun sudah mulai ada perbaikan, namun
ada beberapa hal kemunduran di mana dalam peraturan perundang-
undangan pada era reformasi ini banyak ditemui pasal-pasal yang
menghilangkan frasa kepercayaan di belakang frasa agama sehingga
berdampak hilangnya hak-hak para penghayat atau adanya kekosongan
hukum bagi penghayat sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kemudian, Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ini juga frasa kepercayaan
hilang. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2014 mengakui eksistensi penghayat kepercayaan dan diperbolehkan
melangsungkan perkawinan tanpa melalui perkawinan salah satu dari 6
agama. Namun, para penghayat tidak boleh mencantumkan keyakinannya
karena identitas dalam kolom agama harus dikosongkan yang dalam
praktiknya tertera tanda setrip kecil.
Perlunya jaminan negara atas kebebasan warga masyarakat untuk
memeluk agama dan menjalankan ibadat menurut agama yang diyakininya
tersebut. Pengakuan tersebut secara tegas dieksplisitkan dalam konstitusi
dan peraturan perundang-undangan, seperti yang tertuang dalam pasal 29
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berbunyi, “Negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan
kepercayaanya itu”.
Jaminan tersebut secara sosiologis tergambarkan secara baik dalam
penjelasan pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS//1965 Tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang dinyatakan
sebagai Undang-Undang karena adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1969 Tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
6
Presiden Sebagai Undang-Undang. Pasal tersebut digambarkan bahwa ada
6 (enam) agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, yaitu Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Namun ditegaskan, bahwa
hal tersebut tidak berarti agama-agama dan kepercayaan lain dilarang di
Indonesia. Agama dan kepercayaan selain dari 6 (enam) di atas juga boleh
hidup di Indonesia dan mendapatkan jaminan sebagaimana diatur dalam
pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Konvenan Internasional mengenai hak-hak Sipil dan Politik
(diadopsi PBB Tahun 1966) yang telah diratifikasi oleh Indonesia Menjadi
UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Konvenan Internasional
Tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Pasal 18 Ayat (3) berbunyi sebagai
berikut :
“Kebebabasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya
seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan
untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat
atau hak kebebasan mendasar orang lain”
Negara memberikan kebebasan pada masyarakat untuk menganut
agama dan kepercayaan masing-masing, namun pada mulanya tidak semua
agama dan Aliran Kepercayaan di akui secara resmi dan boleh dicantumkan
dikolom Kartu Tanda Penduduk (KTP). Aturan mengenai kolom agama di
Kartu Tanda Penduduk (KTP) mulai berlakunya sejak adanya Undang-
Undang Dasar No. 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).
Putusan MK tentang pencantuman Aliran Kepercayaan di Kartu
Tanda Penduduk (KTP) ternyata memuat beragam opini baik yang pro
maupun kontra dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh agama, pemerintah,
pengamat, hingga lembaga terkait. Pemerintah sampai kini belum
memutuskan teknis penulisan untuk aliran kepercayaan di kolom kartu
tanda penduduk. Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo,
pemerintah masih ingin mendengar pendapat berbagai pihak terkait
putusan Mahkamah Konstitusi soal Aliran Kepercayaan bisa dimasukkan
7
dalam kolom agama di KTP. Oleh karena itu perlu adanya sebuah
penelitian dan analisa tentang hal tersebut.
Majlis Ulama Indonesia (MUI) sebagai Lembaga yang mewadahi
para Ulama, zu’ama, dan Cendikiawan Islam di Indonesia turut berkomentar
atas putusan MK tentang pencantuman Aliran Kepecayaan dalam Kolom
KTP, terbukti dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III MUI yang
berlangsung dari 28-30 November 2017 di Bogor Jawa Barat, menghasilkan
beberapa keputusan/rekomendasi. Salah satunya tentang masalah terkait
dengan putusan MK Nomor Perkara 97/PUU-XIV/2016 tentang
pencantuman Aliran Kepercayaan dalam kartu tanda penduduk (KTP) yang
sudah bersifat final dan mengikat.
Islam adalah agama yang mementingkan kemaslahatan dan
kebahagiaan manusia, baik didunia maupun diakhirat. Ajarannya tetap
aktual bagi manusia disegala zaman dan tempat. Islam tidak hanya
merupakan rahmat bagi manusia, tetapi juga bagi alam semesta. Islam
memperlakukan manusia secara adil tanpa membeda-bedakan kebangsaan,
warna kulit, dan agamanya. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, maka Islam
membuat berbagai ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia, baik
sesama Muslim sendiri maupun non-muslim.6
Dalam Islam perbedaan penduduk bisa dilihat dari agama yang
dianutnya maupun wilayah tempat ia berdomisili. Akibat dari suatu
pembedaan ini, berbeda pula hak maupun kewajiban yang akan diterima.
Fiqih Siyasah salah satu bidang ke Islaman yang mana berkaitan dengan
mengatur dan mengurus manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara
dengan membimbing mereka dengan kemaslahatan dan menjauhkan
mereka dari kemudharatan. Corak Siyasah ada beberapa macam diantaranya
Siyasah wadh’iyat dan Siyasah Syar’iyah. Siyasah Wadh’iyat yaitu Siyasah
yang berdasarkan kepada pengalaman sejarah dan adat masyarakat serta
hasil oleh pemikiran manusia dalam mengatur hidup bermasyarakat dan
6 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 269
8
bernegara dan selama ia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran
dan ruh Islam. Siyasah Syar’iyah yaitu Siyasah yang dihasilkan oleh
pemikiran manusia yang berlandaskan etika agama dan moral dengan
memperhatikan prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur manusia
hidup bermasyarakat dan bernegara7.
Abdur Rahman Taj menyatakan: “Siyasah Syar’iyah adalah hukum-
hukum yang mengatur kepentingan negara dan mengorganisir urusan umat
yang sejalan dengan jiwa syariat dan sesuai dengan dasar-dasarnya yang
Universal (kulli) untuk merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat
kemasyarakatan, sekalipun hal itu tidak ditunjukkan oleh nash-nash tafshili
yang juz’i dalam Al-Qur’an dan Sunnah.”8 Sedangkan Ibnu Abidin
membuat definisi yang lebih luas, Siyasah Syar’iyah Menurutnya adalah
“kemaslahatan untuk manusia dengan membimbing mereka kejalan yang
menyelamatkan didunia dan akhirat, dan siyasah itu dari para nabi secara
khusus dan umum baik zahir maupun batin, dan dari para pemegang
kekuasaan, para Sultan dan raja secara zahir serta para ulama ahli waris para
nabi secara khusus pada batinnya”.9
Definisi-definisi tersebut menegaskan bahwa wewenang membuat
segala bentuk hukum, peraturan dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan
pengaturan kepentingan negara dan urusan umat guna mewujudkan
kemaslahatan umum terletak pada pemegang kekuasaan (pemerintah, ulil
amri atau wulatul amr)10. Oleh karena itu setiap kebjakan hukum yang
dibuat bersifat mengikat dan harus dilaksanakan, menghormati hukum dan
tradisi agama lain merupakan salah satu etika dasar Islam.11 Dalam Islam
7 J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.
24-25 8 Abdur Rahman Taj, Al-Siyasat al-Syar’iat wa al-Fiqh al-Islami, (Dar al-Talif:
Mishr 1953), h. 10-11 dalam J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, h. 24-25 9 Bahantsi Ahmad Fathi, Al-Siyasat al-Jinayat fi al-Syari’at, (Maktabat Dar al-
Urubat: Mishr, 1965), h. 61 dalam J. Suyuti Pulungan, h. 24-25 10 J. Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah, h, 26 11 Muhammad Hasan Qadrdan Qaramaliki, Al-qur’an dan Pluralisme Agama,
(Jakarta: Sadra, 2011), h. 92
9
juga tidak ada hak-hak kewarganegaraan yang terbatas bagi orang-orang
yang dilahirkan di suatu negara tertentu. Seorang Muslim ipso facto
merupakan suatu negara Islam segera setelah ia menginjakkan kakinya di
wilayah itu dengan maksud untuk hidup di sana dan dengan demikian ia
menikmati hak-hak yang sama sebagaimana orang-orang yang memperoleh
kewarganegaraan secara kelahiran.
Islam pun meletakkan hak-hak tertentu pada non-Muslim yang
kebetulan hidup di dalam lingkungan perbatasan suatu negara Islam dan
hak-hak ini dipandang sebagai bagian dari konstitusi negara. Dalam
terminology Islam, orang-orang non-Muslim tersebut disebut dhimmis
(yang dilindungi dengan perjanjian), yang secara tersirat menyatakan bahwa
negara Islam telah membuat suatu perjanjian dengan mereka dan menjamin
perlindungan mereka. Hidup, harta benda dan kehormatan seorang dhimmis
harus dihormati dan dilindung secara pasti dengan cara yang sama seperti
milik seorang warga negara Muslim. Juga tidak ada perbedaan antara
seorang warga negara Muslim dan non-Muslim dalam hubungannya dengan
hukum perdata dan hukum pidana.12
Hak kewarganegaraan dalam Dunia Islam, sebagaimana Islam
mengatur dan melindungi hak warga negara non-Islam dengan dasar-dasar
kesatuan Umat Manusia, Al-Adalah (keadilan), Al-Musawah (persamaan),
Karomah insaniyah (kehormatan manusia) dan lain sebagainya13, dan
prinsip-prinsip Islam seperti : Prinsip kehidupan manusia di bumi, prinsip
kekuasaan sebagai amanah, perinsip penegakan keadilan, prinsip
musyawarah, prinsip kepatuhan kepada pemimpin, prinsip persaudaraan
dan persatuan, prinsip perdamain, prinsip amar ma’ruf nahy munkar,
prinsip profesionalisme dan akuntabilitas public dalam pengisian jabatan
pemerintahan, dan prinsip penegakan HAM.14
12 Maulana Abdul A’la Mawardudi, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam,
(Jakarta: Bumi aksara, 1995), h.6 13 H.A. Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-
Rambu Syariah, (Jakarta: Kencana, 2013), h.122-126 14 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, h. 237-240
10
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas,
perlu adanya sebuah penelitian tentang hak kewarganegaraan di Indonesia
terutama terkait putusan MK yang membolehkan Aliran Kepercayaan
dicantumkan dalam kolom KTP, banyaknya perdebatan dikalangan
masyarakat dan kalangan pemerintah dalam putusan MK tersebut, maka
perlu adanya sebuah analisis. Dalam penelitian ini juga dikaitkan dengan
perspektif Fiqih Siyasah. maka penelitian ini berjudul
““PENCANTUMAN ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM KOLOM
KTP PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH ”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, beberapa
masalah dapat diidentifikasikan sebagai berikut
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat Plural, yang
terdiri dari berbagai macam suku, budaya, bahasa dan agama. Bahkan bukan
hanya agama-agama resmi (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Khonghucu) yang ada di Indonesia melainkan ada pula Aliran Kepercayaan
yang merupakan sebuah kepercayaan dari nenek moyang, yang tinggal dan
sudah ada sebelum agama-agama resmi datang ke Indonesia .
Sebagian Aliran Kepercayaan yang ada di Indonesia merasakan
perlakuan yang tidak adil atau Diskriminasi ditengah-tengah masyarakat
terutama ketika mendapatkan Pelayanan Publik, dikarenakan kosongnya
Kolom agama dalam KTP, sehingga perwakilan dari beberapa Aliran
Kepercayaan mengajukan Permohonan ke MK.
Permohonan yang di ajukan oleh beberapa permohon mempunyai
titik terang karena MK Mengabulkan Permohonan tersebut, yang intinya
bahwa Aliran Kepercayaan dituliskan dalam Kolom KTP, namun Putusan
MK tersebut mengundang banyak opini baik yang pro maupun yang kontra
dikalangan masyrakat, Terutama MUI sebagai Lembaga yang mewadahi
11
para Ulama, zu’ama, dan Cendikiawan Islam di Indonesia turut berkomentar
atas putusan MK.
Putusan MK yang membolehkan Aliran Kepercayaan di cantumkan
dalam Kolom KTP bagaimana dilihat dari Perspektif Fiqih Siyasah dan
bagaimana respon para warga negara Indonesia dan bagaimana
Implikasinya.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan dalam kebijakan
pemerintah Indonesia terkait tentang Aliran Kepercayaan, maka penulis
perlu membatasi pembahasan tersebut. Dalam pembahasan yang ingin
penulis jelaskan tentang pencantuman Aliran Kepercayaan dalam kolom
Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Indonesia, baik perspektif peraturan yang
ada di Indonesia maupun dalam Perspektif Fiqih Siyasah .
Adapun Rumusan Masalah yang akan dibahas dalam proposal
Skripsi ini adalah :
1. Bagaimana kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap aliran-aliran
kepercayaan ?
2. Bagaimana Implikasi Putusan MK tentang pencantuman Aliran
Kepercayaan dalam Kolom KTP ?
3. Bagaimana Putusan MK tentang pencantuman Aliran Kepercayaan
dilihat dari Perspektif Fiqih Siyasah ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, ada beberapa tujuan yang hendak
dicapai oleh penulis, dan tujuan yang di maksud adalah :
a. Mengetahui dan mengkaji kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap
aliran-aliran kepercayaan.
12
b. Mengetahui dan mengkaji Implikasi Putusan MK tentang
pencantuman Aliran Kepercayaan dalam Kolom KTP.
c. Menganalisis Putusan MK tentang pencantuman Aliran
Kepercayaan dilihat dari Perspektif Fiqih Siyasah.
2. Manfaat Penelitan
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah:
a. Peneliti/penulis
1) Mengembangkan kemampuan penalaran hukum dalam
menganalisis permasalahan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat, terutama masalah Aliran Kepercayaan.
2) Merupakan sebuah pelatihan dalam mengkaji sebuah
permasalahan yang sangat penting tentang pencantuman Aliran
Kepercayaan dalam kolom Kartu Tanda Pennduduk (KTP)
dalam Perspektif Fiqih Siyasah dan Implikasinya.
b. Perguruan Tinggi
1) Hasil penelitian ini bisa menjadi sebuah landasan dalam
melaksanakan penelitian selanjutnya.
2) Hasil penelitian diharapakan dapat memberikan kontribusi
Ilmiah.
c. Pemerintah/Negara
Sebagai penyumbang Informasi dalam menentukan
kebijakan terkait masalah pencantuman Aliran Kepercayaan di
Indonesia dalam Kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP).
E. Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan karya Ilmiah ini maka penulis akan
menjelaskan metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pedoman utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan Kualitatif. Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang
13
datanya dikumpulkan dinyatakan dalam bentuk nilai relatif pada
umumnya dilakukan pada penelitian sosial, hasilnya bersifat obyektif,
berlaku sesaat dan setempat15.
Perwakilan dari beberapa penganut Aliran Kepercayaan yang ada di
Indonesia mengajukan permohonan ke MK, karena mereka merasakan
perlakuan diskriminasi ditengah-tengah masyarakat dan pelayanan
publik, Undang-Undang terkait Administrasi kependudukan yang
mewajibkan mengisi kolom agama di KTP dan KK, menurut para
penganut Aliran Kepercayaan Undang-Undang bertentangan dengan
UU. Pada akhirnya MK mengabulkan permohonan tersebut dan putusan
tersebut dianalisa dengan berbagai macam sudut padang salah satunya
dengan perspektif Fiqih Siyasah. Pendekatan ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa kajian ini lebih sinkron dengan pendekatan
tersebut sebab: (1) menyelesaikan metode kualitatif lebih mudah untuk
dihadapkan pada permasalahan ini, dan (2) metode kualitatif lebih peka
dan lebih dapat menyelesaikan diri dengan panajaman-penajaman yang
diperlukan oleh peneliti.
2. Sumber dan Metode Pengumpulan Data
Dalam Penelitian ini ada dua sumber data yaitu Data Primer dan
Data Sekunder, Data Primer yaitu data yang lansungsung dikumpulkan
sendiri oleh peneliti, penelitian ini dalam mengumpulkan data
membutuhkan waktu tenaga dan biaya yang tinggi, dan tingkat
keakuratan datanya dapat dipercaya. Data Sekunder adalah data yang
diambil atau informasi yang dikumpulkan oleh pihak lain.baik dilihat
dari sudut pandang Normatif, Historis ataupun yang lainnya.
a. Data Primer, yaitu data yang langsung berkaitan dengan obyek
penelitian, tidak soal mendukung atau melemahkannya. Data-data
tersebut dapat dikumpulkan dengan angket, kuesioner, wawancara,
observasi, dokumentasi, dan sebagainya. Diantaranya penulis
15 Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2012), h. 113
14
langsung datang ke salah satu Aliran Kepercayaan yang ada di
Indonesia Khususnya daerah Banten Lebak Suku Baduy yang
menganut Kepercayaan Sunda Wiwitan dengan cara memawancarai
warga dan pejabat setempat terkait perlakuan diskriminasi yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat dan dipersulitnya dalam
mendapatkan Pelayanan Publik, mengetahui respon MUI Pusat dan
MUI Tangerang Selatan Terkait Putusan MK yang membolehkan
Aliran Kepercayaan dicantumkan dalam Kolom KTP dengan cara
wawancara, Mewawancarai Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
pakar Fiqih Siyah yaitu Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag dan para
pakar lainnya, dan mencari data tentang Putusan MK terkait
pencantuman Aliran Kepercayaan dalam Kolom KTP di Indonesia
di web Mahkamah Konstitus
b. Data Sekunder, yaitu data yang mendukung proyek penelitian,
yang mendukung data primer, yang melengkapi data primer, atau
ada pula yang menyebutkan sama dengan data derivatif.16 Data
tersebut dapat dari Jurnal, Skripsi yang masih terkait dengan
pembahasan yang penulis teliti.
Dalam menyusun dan mengumpulkan data-data dalam penelitian ini
dengan cara memanfaatkan pasilitas perputakaan yang ada di
lingkunagn UIN Syarif Hidayatullah maupun Perpustakaan yang
lainnya, dengan mendapatkan data yang terkait dengan penelitian.
3. Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian
diklasifikasi. Setelah itu penulis menganalisis dengan menggunakan
metode kualitatif. yaitu menggunakan penafsiran hukum dan sejarah
sehingga menjadikan argumentasi yang rasional. Kemudian data
tersebut penulis paparkan dalam bentuk narasi sehingga menjadi
kalimat yang jelas dan dapat dipahami.
16 Andi Prastowo, Memahami Metode-Metode Penelitian, (Jogjakarta: AR-RUZZ
MEDIA, 2016), h. 31-32
15
4. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Studi Terdahulu
Penulis Rafika Dwi Mala dari Fakultas Adab dan Humaniora yang
berjudul “Analisis Wacana Berita Pengosongan Kolom Agama KTP Bagi
Penganut Aliran Kepercayaan pada Kompas. Com”, dalam skripsinya
memfokuskan kepada pembahasan wacana teks berita pengosongan kolom
Agama Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi penganut Aliran Kepercayaan
pada Kompas.com, kognisi Sosial Kompas.com, dan konteks sosialnya. Jika
dibaca dan dianalisa Skripsi Rafika Dwi Mala lebih membahas pemberitaan
untuk dunia Sosial.
Jelas berbeda dengan penelitian yang penulis buat, dalam penelitian
ini penulis memfokuskan kepada kebijakan Pemerintah Tentang
Pencantuman Aliran Kepercayaan dalam Kolom Kartu Tanda Penduduk
(KTP), dampak dan pengaruhnya terhadap dunia sosial, dan dikaitkan
dengan Perspektif Fiqih Siyasah.
Agama Sebagai Indeks Kewarganegaraan (Studi atas Penghayat
Kerokhanian Sapta Darma di Sanggar Candi Sapta Rengga), sebuah Tesis
yang di Tulis oleh Hanung Sito Rohmawati dari UIN Sunan Kalijaga,
Program Studi Agama dan Filsafat, Konsentrasi Studi Agama dan Resulusi
Konflik, dalam Tesis ini menjelaskan tentang kebijakan-kebijakan negara
yang terkait tentang Hak-hak sipil terutama pada penghayat kerokhanian.
Pengakuan oleh Negara Indonesia atas tercantumnya Aliran Kepercayaan
dalam Kolom KTP ataupun dan KK merupakan hal yang sangat penting
untuk membantu menjalankan kehidupan sosial terutama dalam masalah
dakwah, perkawinan, kematian dan lain sebagainya, namun berbeda dengan
halnya penghayat kepercayaan Kerokhanian Sapta Darma walaupun dalam
16
kolom Agama di KTP dituliskan Kosong tidak menjadi sebuah persoalan
ataupun kendala masalah administrasi dan Hak Sipil.
Berbeda dengan penelitian yang penulis buat, jika dalam tesis yang
di tulis oleh Hanung Sito Rohmawati memfokuskan kepada Hak-hak sepil
penghayat kepercayaan Kerokhanian Sapta Darma, maka dalam penelitian
ini membahas tentang Seluruh Hak-hak kewarganegaraan Aliran
Kepercayaan yang ada di Indonesia, Terutama dalam Pencantuman Aliran
Kepercayaan dalam Kolom KTP atas dasar Putusan MK dan dikaitkan
dengan Hak-hak Kewarganegaraan Perspektif Fiqih Siyasah.
Praktik-praktik Diskriminasi Terhadap Penghayat Kepercayaan
Tuhan yang Maha Esa (Studi Kasus Sunat Pada Kepercayaan Madrais),
sebuah Skripsi yang di Tulis oleh Umi Aqiqoh dari UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, dalam Skripsi
ini menjelaskan tentang Diskriminasi yang dialami oleh para penganut
Aliran Kepercayaan dalam dunia sosial, terutama pada aliran Kepercayaan
Madrais yang terletak di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat masalah praktik
sunat. Pada dasarnya pemerintah Menjamin hak setiap warga negara dan
tidak ada Diskriminasi, namun pada praktiknya terjadinya Terjadi
Diskriminasi yang di alami Kepercayaan Madrais dalam masalah Sunat.
Berbeda dengan penelitian yang penulis buat, jika dalam Skripsi
yang di tulis oleh Umi Aqiqoh memfokuskan pada Dikriminasi Sunat dalam
kepercayaan Madrais atas dasar HAM, maka dalam penelitian ini
membahas tentang HAM dalam Pencantuman Aliran Kepercayaan di dalam
Kolom KTP agar tidak terjadinya Diskriminasi.
17
G. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk
memberikan gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan, penulis
menyusun skripsi ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai
berikut.
BAB I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metode dan teknik penelitian, Studi terdahulu, dan
sistematika penulisan.
BAB II menjelaskan tentang perkembangan, hak dan kewajiban dan
kebijakan politik terhadap Aliran Kepercayaan di Indonesia.
BAB III menjelaskan tentang duduk masalah, alasan permohon,
argumentasi Putusan MK terkait pencantuman Aliran Kepercayaan dalam
Kolom KTP.
BAB IV adalah pembahasan inti, yaitu menganalisa Hak
Kewarganegaraan Aliran Kepercayaan di Indonesia Perspektif Undang-
Undang dan Perspektif Fiqih Siyasah.
BAB V merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan yang
menjawab rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan di
masa kini dan masa yang akan datang.
18
BAB II
ALIRAN KEPERCAYAAN DI INDONESIA
A. Sejarah dan Perkembangan Aliran Kepercayaan di Indonesia
Aliran kepercayaan di Indonesia dalam kamus bahasa Indonesia
berarti sebuah paham yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, tetapi
tidak termasuk atau tidak berdasarkan ajaran salah satu dari enam agama
yang ada resmi di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Protestan, Hindu dan
Buddha), Aliran Kepercayaan yang ada di Indonesia merupakan
peninggalan kepercayaan yang turun menurun dari generasi kegenerasi
yang berasal dari nenek moyang, bahkan dalam sejarah mencatat bahwa
Aliran Kepercayaan di Indonesia ada sebelum agama Hindu Budha masuk
ke Nusantara, para leluhur yang ada di Indonesia ketika itu sudah
mempunyai sebuah Sistem Kepercayaan dan Keyakinan yang cukup baik.1
Kepercayaan sudah melekat dianut masyarakat Nusantara.
Meskipun secara definisi berbeda-beda namun yang dimaksud adalah sama.
Kepercayaan adalah sistem keyakinan individu atau kelompok dengan
sesuatu (dzat) yang melebihi dirinya (lazimnya disebut Tuhan Yang Maha
Esa). Sementara penganut kepercayaan merujuk pada subjek yang meyakini
itu. Namun, seiring penataan pemerintahan melalui peraturan perundang-
undangan, kepercayaan kerap didefiniskan dengan suatu sistem keyakinan
diluar agama-agama yang diakui di Indonesia.
Aliran Kepercayaan di Indonesia cukup banyak dan terus
berkembang bahkan Justus M. van der Kroef seorang Professor of Sociologi
di University of Bridgeport (Conneccticut) menyatakan bahwa salah satu
fenomena paling signifikan di Indonesia setelah kemerdekaan adalah
menjamurnya sekte keagamaan di Jawa Barat pada tahun 1952, ada 29 sekte
baru yang dilaporkan termasuk Agama Djawa Sunda (ADS). Pada tahun
1956, Biro Agama di Yogyakarta mendaftar 63 sekte keagamaan yang
terdaftar di seluruh Jawa yang pada tahun 1959 telah meningkat menjadi
1 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, h. 237.
19
hampir 100. Namun, seperti yang ditulis oleh van der Kroef, sulit untuk
memiliki figur yang lebih tepat karena sekte-sekte ini biasanya tidak stabil,
dinamis, dan beberapa masih mengikuti agama 'ibu' mereka, seperti Islam
atau Kristen. 2
Untuk Kartodirdjo, munculnya sekte-sekte keagamaan dari awal
abad kesembilan belas yang telah meningkat pesat setelah kemerdekaan,
terutama pada tahun 1950-an, dapat dipahami 'dalam kerangka perubahan
sosial, disorganisasi dan demoralisasi seiring dengan pendalaman
westernisation'. Gerakan sektarian berlimpah dalam situasi sosio-ekonomi
yang ditimbulkan oleh ketidakamanan ekonomi, gejolak sosial dan
kerusuhan politik, dan memang ekspresi religius ketidak puasan dan
pemberontakan terhadap norma-norma sosial yang ada yang dipandang
sebagai korup dan tidak adil.
Bila kita bandingkan dengan kondisi di Indonesia, maka para
penganut agama lokal, hanya sekitar 1% saja dari total penduduk Indonesia.
Kebanyakan dari mereka tinggal di Papua, Sumba, Pedalaman Sumatra,
pedalaman Kalimantan, Pedalaman Sulawesi, dan beberapa daerah pulau
Jawa.3 Bahkan Aliran kebatinan di jawa telah ada sejak zaman dahulu kala,
dilihat dari sejak zaman Panembahan Senapati yang disebut-sebut sebagai
seseorang yang melahirkan ajaran kejawen di tanah Jawa. Aliran Kebatinan
ini bermula dari upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa.
Dalam kamus Al-Munjid Fi Al-Lughati wa Al-A’lam, dikatakan bahwa
Tuhan adalah sesuatu yang disembah. Dengan kata lain, setiap yang
disembah dan dijadikan sesembahan, maka dia adalah Tuhan.4
Jika kita amati prilaku beragama pada masyarakat Indonesia, maka
sebenarnya secara kuantitas pastilah para penganut agama lokal akan jauh
2 Zezen Zaenal Mutaqin, “Penghayat, Orthodoxy and the Legal Politik of the State”
Routledge, (07 Januari 2014), h.13 3 Kiki Muhammad Hakiki, “Aliran Kebatinan di Indonesia”, h. 65-66 4 Andriawan Bagus Hantoro dan Abraham Nurcahyo. “Studi Perkembangan Aliran
Kebatinan Kerohanian Sapta Darma di Kabupaten Magetan tahun 1956-2011”, Agastya,
Vl, 04, No, 2 (Juli, 2014), h. 57
20
lebih banyak melampaui. Faktanya, keyakinan dan praktek agama lokal ini
masih dianut dan diyakini serta dijalankan oleh mereka yang walaupun
secara statistik telah tercatat sebagai penganut agama resmi dunia. Para
pelaku agama resmi terkadang juga secara bersamaan meyakini
kepercayaan lokal tanpa ia sadari atau melakukan sinkretisme agama-
agama. Hal ini terjadi tidak hanya bagi para penganut agama Islam saja,
akan tetapi juga para penganut agama di luar Islam yang ada di Indonesia.
Untuk menemukan prilaku umat beragama yang melakukan
singkretisme agama tidak-lah sulit. Lihat saja di antara sekeliling kita masih
banyak yang mengunjungi tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat
keramat yang bernilai sakral. Masih banyak juga di antara masyarakat kita
yang masih meminta pertolongan kepada para dukun-dukun. Bahkan kalau
kita tanya ternyata dukun itu pun juga penganut salah satu agama resmi
dunia. Bahkan kalau kita lihat di media-media (elektronik maupun cetak)
banyak sekali di tawar-tawarkan beraneka ragam jimat yang katanya
mempunyai kesaktian. Bahkan juga kalau kita perhatikan di masyarakat,
masih banyak ritual-ritual yang berkaitan dengan siklus hidup, ataupun
ritual lainnya yang berkaitan dengan penanggulangan kesulitan hidup.
Terkadang pengaruh atau hadirnya elemen-elemen agama asli dalam ritual-
ritual tersebut masih sangat kental. Tentu banyak di antaranya telah
terbungkus sedemikian rupa oleh lapisan luar agama dunia dan para
penganutnya tidak lagi menyadari adanya percampuran dua atau lebih
agama.
Globalisasi dan modernisasi sebenarnya adalah sebuah era di mana
dunia ini seakan tak bersekat, batas-batas teritorial seakan tak berarti. Dalam
era globalisasi interaksi antar budaya, peradaban dan negara semakin mudah
dilakukan. Adanya proses saling mempengaruhi satu sama lain tak bisa
dinafikan, baik bersifat positif maupun negatif. Dan pada akhirnya
globalisasi menjadi alat untuk saling mempengaruhi antara budaya,
peradaban, idiologi, bahkan masuk pada agama. Pada akhirnya agama,
21
budaya, idiologi, dan peradaban telah terkontaminasi dari pengaruh unsur-
unsur lain.
Di era globalisasi ini, proses saling mempengaruhi satu sama lain
tak bisa ditawar-tawar. Peranan media sebagai alat “penular” telah
menembus sekat-sekat itu. Dan konsekuensinya sebuah idiologi atau
budaya bisa memasuki idiologi dan budaya lainnya. Dengan kondisi ini,
maka kegoncangan bisa terjadi jika penularan virus globalisasi itu tidak
sesuai dengan karakteristik kultur dan sosialnya. Para aliran kepercayaan
mulai menelusuri nilai-nilai asli dahulu yang kini sudah terdesak dengan
arus modernisasi dan globalisasi.5
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memberikan data
jumlah organisasi penganut kepercayaan. Dari data yang diberikan, tercatat
ada 187 organisasi penghayat kepercayaan di Indonesia.6 Diantaranya :
N0 PROVINSI JALIRAN KEPERCAYAAN
1 Sumatera Utara 12 Kelompok
2 Riau 1 Kelompok
3 Lampung 5 Kelompok
4 Banten 1 Kelompok
5 DKI Jakarta 14 Kelompok
6 Jawa Barat 7 Kelompok
7 Jawa Tengah 53 Kelompok
8 Jogjakarta 25 Kelompok
9 Jawa Timur 50 Kelompok
10 Bali 8 Kelompok
11 Nusa Tenggara Barat 2 Kelompok
12 Nusa Tenggara Timur 5 Kelompok
5 Kiki Muhammad Hakiki, “Aliran Kebatinan di Indonesia”, h. 69 6 Format pengisian Kolom Kepercayaan di Kolom KTP Terus di Kaji: kemendagri.
go. id/news/2017/11/10/ format-pengisian-aliran-kepercayaan-di-kolom-ktp-terus-dikaji
(diakses Jumat, 10 November 2017) Jam. 21:20:03 WIB
22
13 Sulawesi Utara 4 Kelompok
Aliran Kepercayaan di Indonesia sangatlah banyak, data yang diatas
merupakan daftar kepercayaan yang tercatat dalam Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, salah satunya ialah Kepercayaan Sunda
wiwitan, yang merupakan Aliran Kepercayaan orang-orang sunda
terdahulu, yang beranggapan bahwa aliran tersebut merupakan agama asli
masyarakat Sunda. Kepercayaan Sunda wiwitan ini juga di anut oleh suku
adat Baduy yang terdapat di desa kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Banten. Suku adat ini juga termasuk suku adat yang
terasing dan bahkan bisa dikatakan mengasingkan diri dari dunia luar dan
sekitarnya (Banten).
Suku Baduy ini bermukim di pulau Jawa, merupakan pusat
pembangunan di Indonesia saat ini. Namun di dalamnya, masih terdapat
suku adat yang masih memegang nilai luhur budayanya, sehingga tidak
terkikis dengan adanya perubahan zaman yang sangat pesat. Anggota
masyarakat Baduy mempunyai identitas sosial yang berkeyakinan pada
sebuah ajaran agama tertentu.
Selain itu, anggota masyarakat Baduy atau Kanekes memiliki agama
kepercayaan yang disebut Sunda Wiwitan, tetapi juga ada beberapa anggota
masyarakat Baduy yang sudah memeluk agama Islam atau Budha.
Keberagaman dalam memeluk agama pada anggota masyarakat Baduy,
merupakan bentuk ketaatan yang dilakukan terhadap nilai-nilai dan
pandangan hidup yang diturunkan oleh nenek moyang mereka. Agama
apapun yang menjadi kepercayaan masyarakat Baduy mengajarkan bahwa,
semua hal yang berkaitan dengan pola kehidupan mereka tidak boleh atau
pantang untuk diubah.7
7 Moch. Masykur Fuadz A., “Eksistensi Sunda Wiwitan pada Anggota Suku Baduy
di Jakarta.” (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Air Langga
Surabaya, 2014), h. 1
23
Bagi masyarakat Sunda mereka meyakini bahwa pendiri agama/
kepercayaan Sunda Wiwitan adalah Madrais yang nama lengkapnya
Madrais Sadewa Alibasa Kusumah Wijaya Ningrat hidup sekitar tahun
1832-1939. Madrais sebenarnya nama pesantren yang dia dirikan di
Cigugur yang sekarang menjelma menjadi paseban, ayahnya yaitu pangeran
Alibasa, cucu dari pangeran Sutajaya Upas, menantu pangeran kesepuhan
keturunan 8 dari Sunan Gunung Jati. Madrais menjelma menjadi pribadi
yang memiliki kepekaan rasa, kehalusan budi, kepedulian sosial, memiliki
rasa cinta yang tinggi terhadap budaya dan menjunjung tinggi kedaulatan
bangsa. Beliau mengajarkan Islam kepada rakyat dan mengajarkan
pentingnya hidup sebagai orang yang mandiri dan mencintai sesama.8
Secara singkat ajaran ini berisi tentang pendidikan yang memberi
aturan dan tuntunan moral kepada penganutnya. Lalu, tentang bagaimana
mereka dapat tumbuh menjadi resi (bijaksana atau suci) dengan
menempatkan wujud yang bersemayam dalam Buana Nyungcung. Yang
mereka sebut dengan istilah Sang Hyang (yang maha kuasa) atau Nu
Ngersakeun (yang maha menghendaki), Batara Jagad (Penguasa Alam) dan
Batara Seda Niskala (yang maha gaib). Dan bagaimana mereka
melaksanakan hidup secara simetri dengan sesama manusia.
B. Hak dan Kewajiban Penganut Aliran Kepercayaan di Indonesia
Indonesia adalah negara yang berpenduduk terbesar ke-empat di
dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Negara yang
memiliki keanekaragaman suku, bahasa dan agama. Indonesia merupakan
negara hukum yang mana dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara harus adanya sebuah Tatanan (Suatu sistem aturan), dan setiap
warganya memiliki hak dan kewajiban yang sama baik dalam kehidupan
8Mengungkap Asalusul sunda wiwitan, http://m.voa-islam.com/news/citizens-
jurnalism/2014/10/17/33436/ mengungkap-asalusul-sunda-wiwitan (di akses pada tanggal
05 oktober 2016 ) jam. 15:10 WIB
24
sosial maupun dihadapan hukum, yang sudah diatur sedemikian rupa dalam
sebuah peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri
manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah dari
Tuhan Yang maha Esa. HAM menurut John Locke adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Maha Pencipta sebagai hak kodrati. Namun
HAM yang Istilahnya the human right berbeda dengan hak warga negara
(the citizen right) yang bukan hak kodrati pemberian dari Tuhan Yang Maha
Esa.9
Dalam konteks pergaulan bangsa-bangsa, warga negara, dalam
kedudukannya sebagai manusia, dilindungi oleh konvensi HAM.
Berdasarkan konvensi internasioal, atas alasan politik dan kemanusiaan,
setiap warga negara mempunyai kewajiban hukum dan moral untuk
memberikan perlindungan atas keselamatan dirinya dari ancaman
kekuasaan, artinya perlindungan terhadap kasus politik dan/atau
kemanusiaan (suaka atau asilum oleh negara yang memberi perlindungan-
perlindungan). 10
Bicara tentang hak dan warga negara, maka istilah hak mengandung
makna yang berbeda-beda, dikarenakan penggunaan bahasa yang
menimbulkan perbedaan antara hak menyangkut perbuatan sendiri dari
seseorang dan hak atas perbuatan orang lain seperti halnya kita mengatakan
“Saya berhak menuntut seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu,
dan Saya mempunyai suatu hak untuk menuntut agar seseorang yang lain
berbuat atau menahan dari dari berbuat sesuatu” 11, dan bisa dikatakan
bahwa hak adalah sesuatu yang melekat pada diri seseorang atau orang lain
sejak lahir bahkan sebelum lahir.
9 Abu Tamrin dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Ciputat: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 168 10 Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, (Bandung:
Fokusmedia, Cetakan Pertama, 2007), h. 167 11 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung: Nusa Media,
Cetakan IV, 2009), h. 1O9
25
Warga negara adalah seluruh penduduk negara, yang oleh
kehadirannya, keberadaan negara menjadi mungkin. Adalah wajar bila
warganegara, dalam negara demokrasi, memiliki hak untuk ikut
menentukan nasib dan masa depan negara (hak politik). 12 Aliran
kepercayaan yang ada di Indonesia merupakan warga negara Indonesia yang
menetap dan tinggal, oleh karenanya mereka mempunyai hak dan kewajiban
yang sama sebagai warga negara, termasuk dalam pengakuan
kewarganegaraan. Sebagai Warga Negara Indonesia harus berperilaku baik
dan taat terhadap peraturan yang ada, dikarenakan Indonesia terkenal
dengan Keanekaragamannya, oleh karenanya kita harus menjalankan hak
dan kewajiban sebagai warga negara agar dapat menjalankan sebuah
kehidupan yang nyaman dan tentram untuk menuju kesejahteraan.
Beberapa hak warga negara Indoesia diantaranya:
1. Setiap warga Negara berhak memeluk dan menjalankan agama
yang mereka percayai
Sebagai sebuah negara yang berpedoman pada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, seluruh warga Indonesia di jamin oleh
Konstitusi untuk menganut agama dan keyakinan. Tak ada satu
orang pun dan kelompok manapun yang dapat melarang,
meniadakan atau memaksakan agama dan keyakinan pada setiap
warga negara sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28E, Ayat (1)
dan (2) UUD 1945 ;
Pasal 28 E:
1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
diwilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.
2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
meyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 28I Ayat (1), (2) dan (3) juga menyatakan:
12 Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, (Bandung:
Fokusmedia, Cetakan Pertama, 2007), h. 166
26
1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berak surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.
2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
dengan perkembangan zaman dan perdaban.
Pasal-pasal konstitusi tersebut secara tegas memberi
jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bagian dari
hak dasar warga negara. Bahkan Pasal 28I, Ayat (4) lebih di
tegaskan:
“Perlindungan, Pemajuan Penegakan, dan Pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah”.
Namun demikian, pasal tersebut diikat dengan Pasal 28J, Ayat (2)
yang berbunyi:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntunan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokrasi”.
Pasal ini seringkali digunakan sebagai pembenar adanya
pembatasan beragama dan berkeyakinan, bukan saja pada tingkat
ekspresi, tetapi dalam substansi ajaran agama dan keyakinan itu
sendiri. Singkatnya, dengan pasal ini, keyakinan keagamaan bisa
dipersalahkan jika ada kelompok lain yang merasa terganggu hak
asasinya dalam beragama dan berkeyakinan dengan adanya agama
dan keyakinan itu. Dengan demikian, dalam pandangan konstitusi
Indonesia, beragama/berkeyakinan tidak bersifat mutlak, tetapi
27
membuka peluang adanya pembatasan melalui Undang-Undang.
Pembatasan itu tidak semata-mata pada tingkat ekpresi dan
implementasi beragama, tapi pada keyakinan itu sendiri. Dari
sinilah peluang adanya kriminalisasi atas keyakinan agama mulai
dibangun. Dalam perkembangannya, kriminalisasi keyakinan
keagamaan memang dikenal dalam sistem hukum di Indonesia.13
2. Setiap warga negara berhak untuk menerima pendidikan
Setiap orang atau setiap warga negara Indonesia berhak
untuk menerima pendidikan secara baik, berhak untuk
mengembangkan ilmu dan mendapatkan pengajaran demi
mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi semua masyarakat Indonesia
berhak untuk menerima pendidikan dengan layak, karena
pendidikan adalah salah satu aspek yang bisa membuat suatu negara
menjadi negara yang maju. Hal ini sudah tertera jelas pada UUD
1945 pasal 31 ayat 1 dan ayat 2 berbunyi:
“setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Bisa dilihat juga UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru
Dosen.
3. Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kesejahteraan
sosial
Setiap warga negara Indonesia berhak untuk mendapatkan
kesejahteraan sosial secara merata dan adil, yang di atur dalam
Undang-Undang Dasar 1945, pasal 33, ayat:
a. “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas
kekeluargaan”.
13 Novi Irwansyah, “Studi Evaluasi Penyelenggaraan Kebijakan Pemerintah dan
Peranturan Perundang-undangan di Indonesia Tentang Pluralistik dan Multi Religi:
Permasalahan dan Pemikiran Kedepan”, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia, Volume 4, No. 2 (2013), h. 63-64
28
b. “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.
c. “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakat”.
d. “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”.
e. “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini di atur
dalam Undang-Undang
4. Setiap warga negara berhak memberikan pendapat atau
menyuarakan pendapatnya
Sebagai Warga Negara Indonesia yang baik, tentu saja kita
harus mengetahui secara pasti mengenai hak dan kewajiban warga
negara dalam UUD 1945. Di dalam UUD 1945, Pasal 28, berbunyi:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
Undang-undang”
Artinya sebagai Warga Negara Indonesia kita bebas untuk
menyuarakan isi hati kita, kepada pemerintah atau mungkin
kebijakan asal sesuai dengan Undang-Undang.14
5. Setiap warga negara berhak mempunyai kedudukan yang sama
di hadapan hukum
Dalam negara demokrasi warganegara memiliki hak yang
sama didepan hukum, tidak boleh ada perbedaan perlakuan baik
yang di sebabkan oleh suku, agama, ras, ataupun golongan. Pada
UUD 1945, Pasal 28D, Ayat 1, berbunyi:
14 Sukarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaran, (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2013), h. 112
29
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum”
Artinya Setiap orang atau warga negara Indonesia memiliki
hak yang sama dengan orang lain, dan setiap orang berhak atas
pengakuan dalam arti di akui oleh negara, jaminan, dan
perlindungan dari negara itu sendiri perlakuan yang sama dihadapan
hukum. Dimana hukum tak akan membeda-bedakan siapa kita, apa
jabatan kita, dan akan memperlakukan warganya dengan adil dan
rata.
6. Setiap warga negara berhak mendapatkan kehidpan yang layak
Setiap orang yang memiliki kewarganegaraan Indonesia
memiliki berbagai hak, salah satunya adalah warga negara berhak
untuk mendapatkan penghidupan yang layak seperti yang tertuang
di dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2.
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
Pasal tersebut dimana dikatakan jika warga negara berhak
untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan hidup secara layak
di Indonesia, selain itu warga negara juga bebas untuk melakukan
usaha untuk terwujudnya tujuan itu. Dalam arti lain, kita sebagai
Warga Negara Indonesia pantas untuk hidup layak dan juga bebas
untuk melakukan usaha supaya kelayakan dalam hidup tercapai asal
caranya tidak menyalahi hukum dan aturan yang sudah dibuat.
Kewajiban warga negara terhadap Negara Indonesia, antara lain:
1. Kewajiban untuk menaati hukum dan pemerintahan
Setiap negara tentu saja memeliki hukum, yang mana hukum
adalah sebuah peraturan yang dibuat oleh negara yang bertujuan
untuk mencapai sebuah ke adilan dan mampu mentertibkan,
memajukan, memakmurkan rakyat. Oleh karenanya kita harus
menaati aturan tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-
Undang Dasar 1945, Pasal 27, Ayat 1, berbunyi :
30
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
2. Kewajiban membela dan upaya pertahanan negara
Sebagai warga negara tentu saja kita wajib membela negara,
baik ancaman yang datang dari luar maupun ancaman dari dalam,
sebagai warga negara juga harus mencintai produk-produk dalam
negeri dan menjaga ke utuhan NKRI, sebagaimana yang sudah di
juangkan oleh para pendahulu-pendahulu kita. sebagaimana yang
tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27, Ayat 3,
berbunyi:
“Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan Negara”
Undang-Undang Dasar 1945, pasal 30, Ayat 1, berbunyi:
“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib Ikut serta dalam
Usaha pertahanan dan keamanan negara”.
3. Kewajiban belajar
Setiap warga negara berkewajiban untuk belajar, belajar
bukan hanya sebagai sebuah hak namun juga sebagai kewajiban
warga negara, karenanya sebuan pendidikan adalah sesuatu yang
sangat penting dalam pembelajaran, untuk mencerdaskan para
generasi-generasi bangsa, sebagaimana yang tertuang dalam
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 30, Ayat 2, berbunyi:
“Setiap warga negara wajb mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayayinya”
Prinsip Hukum tak lain adalah untuk melindungi Hak Asasi
Manusia (HAM). Indonesia sebagai negara hukum sudah banyak
mengalami pekembangan dan kemajuan dalam bidang hak asasi manusia
setelah reformasi, yaitu amandement UUD 1945, lahirnya beberapa
peraturan perundang-undangan, termasuk melalui ratifikasi Internasional
yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia. di antaranya Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang retifikasi kovenan Internasional
Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
31
2005 tentang retifikasi Kovenan Internasional hak-hak Sipil dan Politik,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
Hak dan Kewajiban diatas merupakan sebagian contoh hak dan
kewajiban warga negara Indonesia yang tertuang dalam sebuah peraturan
yang tertulis. Walaupun di Negara Indonesia mempunyai HAM yang
mengatur tentang hak dan kebebasan manusia, namun hak dan kebebasan
hal tersebut juga memiliki batasan, yang manah diatur dalam Undang-
Undang Dasar 1945, Pasal 28J, Ayat 2, bahwa warga negara memiliki
kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan hak kebebasan. sebagai warga
negara Indonesia sudah sepatutnya untuk mematuhi dan mentaati peraturan
yang ada, Aliran Kepercayaan yang merupakan warga negara Indonesia,
sudah sepatutnya mendapatkan perlakuan yang sama oleh pemerintah,
dalam menjamin hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia.
C. Kebijakan Politik Indonesia Terhadap Aliran Kepercayaan
Kebijakan secara etimologi, istilah kebijakan berasal dari kata
“bijak” yang berarti “selalu menggunakan akal budidaya, pandai, mahir”.15
Selanjutnya dengan memberi imbuhan ke- dan –an, maka kata kebijakan
berarti “rangkaian konsep dan asas yang mejadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan”.
Dari pengertian diatas setidaknya ada dua poin penting yang dapat
dipahami, yaitu: pertama, pengambilan keputusan mesti didasarkan kepada
pertimbangan-pertimbangan logis, sehingga dapat diterima oleh semua
pihak yang menjadi sasaran keputusan tersebut. Kedua pengambilan
keputusan yang pada gilirannya melahirkan satu atau lebih keputusan dapat
dijadikan sebagai garis-garis besar untuk melakukan suatu pekerjaan,
profesi atau kepemimpinan.16
15 Dapertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), Ed. III, cet.Ke-2, h. 149 16 Agus Salim, “Kebijakan dan Pengambilan Keputusan; Kepemimpinan dalam
Manajemen Pendidikan”, Jurnal Kementerian Sekretariat Negara RI, No. 32, (2004), h. 98
32
Kebijakan Politik Indonesia terhadap Aliran Kepercayaan
merupakan sebuah kebijakan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia
terhadap aliran-aliran kepercayaan yang ada di Indoesia, yang harus
dilindungi dan diberikan hak yang sama sebagai Warga Negara Indonesia,
dalam berbagai aspek, seperti aspek pendidikan, kesehatan, pembangunan,
kebudayaan dan lain sebagainya.
Pada tahun 1959, menyusul kontroversi yang berkaitan dengan
permintaan ini, Menteri Agama K.H. Wahib Wahab diminta oleh Dewan
Perwakilan Rakyat untuk definisi resmi dari istilah 'agama'. Definisi yang
diberikan adalah bahwa kelompok atau gerakan akan dianggap sebagai
agama jika persyaratan berikut dipenuhi: keberadaan wahyu (wahyu) dari
Tuhan, keberadaan seorang utusan (s) atau nabi (s), kitab suci, dan memiliki
panduan dan sistem hukum untuk para pengikutnya, definisi ini dapat dilihat
sebagai menggagalkan gerakan kebatinan dari mewujudkan pencapaian
pengakuan resminya. Definisi ini ditegaskan kembali untuk kedua kalinya
pada tahun 1961 meskipun tidak diadopsi sebagai peraturan resmi .
Beberapa organisasi dilarang sebagai bid’ah dan menyimpang dari
jalan yang benar'. Misalnya, pada tahun 1959, ketika Indonesia masih
diperintah di bawah demokrasi parlementer, Perdana Menteri Ir. Djuanda
mengeluarkan Peraturan No. 122 / PROMOSI / 1959 tentang pelarangan
Organisasi Agama Eyang (Organisasi Agama Eyang) di Ciamis, Jawa Barat.
Pada tahun 1962, Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 264
tentang larangan Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Club Society, dan
Vrijmetsclaren Loge.
Dengan dikeluarkannya Peraturan No. 1 PNPS 1965, kelompok
kebatinan menemukan diri mereka di luar definisi negara formal agama
sebagaimana Pasal 1 menyatakan bahwa agama resmi Indonesia adalah
Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konfusianisme. Namun,
perjuangan untuk pengakuan hukum terus berlanjut dan keberuntungan
politik para pemimpin kebatinan berubah pada tahun 1970 ketika mereka
diminta untuk bergabung. Golongan Karya, partai penguasa Orde Baru.
33
Sejalan dengan situasi politik yang berubah ini, Wongsonegoro, untuk
kedua kalinya, menyelenggarakan simposium nasional tentang kepercayaan
(keyakinan) di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Sejak itu, nama
BKKI telah digantikan oleh SKK (Sekretariat Eksekutif Kepercayaan,
Sekretariat Koordinasi Gerakan Keyakinan).
Istilah kepercayaan secara sengaja dipilih sebagai strategi untuk
mendapatkan pengakuan negara karena kata ini dinyatakan dengan jelas
dalam UUD 1945, Pasal 29, bagian 1 (Negara harus didasarkan pada
keyakinan pada Satu dan Hanya Tuhan) dan bagian 2 (The Negara
menjamin kebebasan beragama bagi semua orang, masing-masing menurut
agama atau keyakinannya sendiri). Jadi, istilah agama dan kepercayaan
(agama dan keyakinan) menunjukkan dua entitas: enam agama resmi dan
agama dalam gerakan kepercayaan atau kebatinan.
Pada era Orde Baru peraturan perundang - undangan memayungi &
mengakui resmi keberadaan kepercayaan terhadap Tuhan YME dan
mendapat tempat yang setara, setiap pasal yang mengatur tentang agama,
selalu diikuti dengan prasa kepercayaan mengikuti bunyi dalam konstitusi,
misalnya: TAP-MPR, GBHN, Repelita, UU Perkawinan, UU Keormasan
dan Peraturan lainnya seperti KEPPRES, INPRES dsb., Dalam
pelaksanaannya sering tidak konsisten dan ada pelemahan-pelemahan
dalam implementasinya.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Pada 28 Juni
2007, No. 37 tentang Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Pemerintahan warga negara. Peraturan ini akhirnya mengakui
perkawinan penghayat. Hukum ini merupakan pencapaian mendasar bagi
agama Penghayat. Selama hampir tiga dekade mereka didiskriminasikan
oleh peraturan negara. Dalam tidak memiliki pernikahan mereka diakui
penganut sekte Penghayat berada dalam rawa birokrasi karena mereka tidak
akan memiliki akses ke kartu identitas pribadi (KTP, kartu tanda penduduk).
Di Indonesia, pernikahan adalah awal dari semua langkah untuk
mendapatkan identitas hukum dari pemerintah, dan perkawinan yang tidak
34
terdaftar merupakan masalah serius. Tanpa surat nikah, hampir tidak
mungkin memperoleh akte kelahiran untuk anak-anak pasangan itu. Tanpa
akte kelahiran, anak-anak adalah warga negara tanpa identitas dan ini
mempengaruhi seluruh hidup mereka.17
Hak Aliran Kepercayaan terkait dengan Pendidikan juga telah di
atur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 27 Tahun
2016 tentang layanan pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa pada satuan pendidikan, dalam peraturan ini menjelaskan bahwa para
Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Mahasa Esa berhak
mendapatkan Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan hak-hak peserta didik dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia.
Negara memberikan kebebasan pada masyarakat untuk menganut
agama dan kepercayaan masing-masing, namun pada mulanya tidak semua
agama dan Aliran Kepercayaan di akui secara resmi dan boleh dicantumkan
dikolom Kartu Tanda Penduduk (KTP). Aturan mengenai kolom agama di
Kartu Tanda Penduduk (KTP) mulai berlakunya sejak adanya Undang-
Undang Dasar No. 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).
Pasal 64 UU No. 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-
Undang No. 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan :
Ayat (1)
“KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan
peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat element data
penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan,
agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan,
kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan
KTP-el, dan tanda tangan pemilik KTP-el.”
Ayat (5)
“Element data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat
17 Zezen Zaenal Mutaqin, “Penghayat, Orthodoxy and the Legal Politik of the
State” Routledge, hlm.18
35
kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam data base
kependudukan.”18
Kebijakan politik terkait hak-hak sipil Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, masalah administrasi kependudukan
pencantuman Aliran Kepercayaan dalam Kolom KTP mempunyai titik
terang, setelah dikabulkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi), dalam perkara
pengujiam Undang-Undang 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana yang telah di ubah dengan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang di ajukan Oleh
pemohon diantaranya:
1. Nggay Mehang Tana, warga negara Republik Indonesia
Penganut Kepercayaan dari Komunitas Marapu di Sumba
Timur, Pulau Sumba.
2. Pagar Demanra Sirait, warga negara Republik Indonesia
Penganut Kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara.
3. Arnol Purba, warga negara Republik Indonesia Penganut
Kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Medan, Sumatera Utara.
4. Carlim, warga negara Republik Indonesia Penganut
Kepercayaan Sapto Darmo. Salah satu penghayat atau dalam
bahasa pemerintah di sebut sebagai “Aliran Kepercayaan” yang
penganutnya pernah mencapai ratusan ribu di Indonesia,
terutama di Jawa.
Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 Tentang Pencantuman
Penghayat Kepercayaan dalam Kolam KTP-el dan KK. MK mengabulkan
gugatan atas pasal 61 Undang-undang No. 23 Tahun 2006 dan pasal 64
Undang-undang No. 24 Tahun 2013 tentang Administrasi kependudukan
yang mewajibkan mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
18 Redaksi Sinar Grafika, UU Administrasi Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), h. 30
36
Hal ini membuat para penganut kepercayaan di Indonesia bisa
mencantumkan Aliran Kepercayaan di kolom agama saat membuat Kartu
Tanda Penduduk (KTP).
37
BAB III
PUTUSAN MK TERKAIT PENCANTUMAN ALIRAN KEPERCAYAAN
DALAM KOLOM KTP
A. Duduk Masalah
Mahkamah Konstitusi (MK) Merupakan lembaga tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang
kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia juga merupakan badan
Independent dan bisa dikatakan sebagai badan yudisial yang bertugas
memberikan hak asasi manusia sebagai konstitusional, dan hukum kepada
setiap warga negara.
Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan ke
MK bertanggal 28 September 2016 yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah)
pada tanggal 28 September 2016 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas
Permohonan Nomor 195/PAN.MK/2016 dan telah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 20 Oktober 2016 dengan Nomor
97/PUU-XIV/2016, yang telah diperbaiki dan diterima Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 22 November 2016.
Lingkup Pasal yang di Permasalahkan oleh Permohon diantaranya:
Pasal 61 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
ayat (1)
“KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama
lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat,
tempat lahir, tanggal Iahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen
imigrasi, nama orang tua.”
ayat (2):
“Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi Penduduk yang agamanyabelum diakui sebagai agama berdasarkan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagipenghayat kepercayaan
tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”
38
Pasal 64 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
ayat (1):
“KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan
peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data
penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan,
agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan,
kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan
KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el.”
ayat (5):
“Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat
kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
kependudukan.”
Menurut para Penganut Aliran Kepercayaan di Indonesia tidak
diisinya kolom agama sebagai elemen data kependudukan di dalam KK atau
KTP elektronik, telah menyebabkan terlanggar hak-hak dasar karena
kosongnya Kolom agama dalam KTP elektronik mengakibatkan para Aliran
Kepercayaan sebagai warga negara mendapatkan sikap diskriminasi, sulit
untuk mengakses dan mendapatkan hak-hak dasar warga negara seperti,
hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas jaminan jaminan sosial,
beserta dengan seluruh layanannya. Hal ini merupakan pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM). Padahal hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan,
hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial, beserta dengan seluruh
layanannya diatur dan dijamin dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang- Undang Nomor 11
Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya.
39
B. Alasan Permohon
Ada beberapa alasan dari empat permohon sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon I, warga negara Republik Indonesia penganut
kepercayaan dari Komunitas Marapu di Sumba Timur, Pulau Sumba.
Pemohon I merupakan salah satu dari 21.000 orang penganut
kepercayaan Komunitas Marapu di Sumba Timur dan sebanyak 40 ribu
orang di Pulau Sumba yang terlanggar hak atas layanan
kependudukannya.
Beberapa alasan dalam mengajukan Permohonan Pertama,
kebutuhan penganut Marapu akan kepemilikan agama resmi. Hal ini
berkaitan dengan kepentingan dalam urusan kependudukan dan
kebutuhan mengakses bantuan sosial dan layanan publik. Kedua,
pewartaan yang sangat kencang dan sistematis dari agama-agama
modern. Dengan segala kedigdayaannya, seperti pengorganisasian,
kapasitas manusia, pendanaan agama-agama modern melakukan
pewartaan secara sistematis dan masif, sehingga kepercayaan Marapu
kian terdesak dan tertekan. Perpindahan agama di antara penganut
agama-agama modern sangat kecil, kebanyakan karena alasan
perkawinan. Pertambahan pemeluk paling besar diperoleh agama-
agama modern dari penganut kepercayaan Marapu. Ketiga,
perpindahan penganut Marapu ke agama-agama modern tidak sulit dan
nyaris tidak menimbulkan tekanan sosial yang besar, jika dibandingkan
bila hal itu terjadi di antara agama-agama modern.
Peristiwa yang dialami Pemohon I merupakan buah dari keberadaan
pasal- pasal UU Adminstrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa
agama yang kolom agama di KK maupun KTP elektronik bagi
penganut kepercayaan tidak diisi. Dengan tidak diisinya kolom agama
bagi penganut kepercayaan di KTP elektronik dan di KK, Pemohon I
bersama komunitas Marapu lainnya dicap kolot, kafir dan sesat, dan
berimbas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak
40
konstitusional, serta pelanggaran dalam pelayanan administrasi
kependudukan.
2. Pemohon II merupakan penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera
Utara. Pusat Parmalim sendiri terletak di Kabupaten Toba Samosir,
namun penganutnya menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Kota
Medan dan Deli Serdang. Berdasarkan penelusuran Tim Aliansi Sumut
Bersatu pada Maret- April 2015, penganut Parmalim di Kabupaten Deli
Serdang terdapat di kecamatan Sunggal Desa Mulia Rejo (92 Jiwa), dan
di Kota Medan mereka tersebar di kecamatan Medan Denai, Medan
Amplas, Medan Kota dan Medan Sunggal (total 373 Jiwa).
Penganut kepercayaan Parmalim mengalami berbagai permasalahan
dan eksklusi dari aspek pemenuhan hak-hak dasar dan kebijakan publik,
yakni banyaknya ketidak cocokan antara identitas agama yang
dituliskan di Kartu Keluarga dan KTP elektronik. Selain itu, pihak
kepala lingkungan yang bertugas mengurus KK dan KTP elektronik
sering memaksa kelompok Parmalim untuk memilih agama yang
‘diakui’ agar proses pembuatan KTP elektronik dikatakan lebih
“mudah”.
Kerugian konstitusional yang dialami para penganut Parmalim,
yakni ada yang disyaratkan berpindah agama terlebih dahulu jika mau
diterima pada pekerjaan yang dilamarnya. Temuan lain dari Aliansi
Sumut Bersatu juga yakni, seorang guru (Bharlin School) penganut
Parmalim terpaksa harus mengundurkan diri karena pihak sekolah tidak
mengizinkan dirinya untuk mengikuti ibadah di hari Sabtu.
Bahwa keberadaan Pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU
Administrasi Kependudukan yang mengosongkan kolom agama bagi
penghayat kepercayaan, telah merugikan Pemohon II dan para
penghayat kepercayaan Parmalim. Karena dengan tidak diisinya
kepercayaan di kolom agama KTP elektronik, berimbas pada
pelanggaran dalam pemenuhan hak-hak kependudukan yang
seharusnya bisa dinikmati Pemohon II, Bahkan. dengan tidak
41
dicantumkannya agama kepercayaan di dalam KTP elektronik
Pemohon II, telah terjadi diskriminasi yang dialami oleh pemohon
dalam berbagai bentuk, seperti: kesulitan mengakses pekerjaan, tidak
dapat mengakses hak atas jaminan sosial, kesulitan mengakses
dokumen kependudukan seperti KTP elektronik, KK, Akte Nikah, dan
akte lahir.
3. Pemohon III merupakan penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak
di Medan, Sumatera Utara. Jumlah penganut Ugamo Bangsa Batak di
Kota Medan tersebar di Kecamatan Medan Helvetia, Medan Denai,
Medan Belawan dengan total 40 Jiwa. Dengan adanya Pasal 61 ayat (1)
juncto ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan yang menyatakan bahwa kolom agama di KK dan KTP
elektronik untuk kepercayaan dikosongkan, Pemohon III secara tidak
langsung telah mengalami diskriminasi.
Bahwa anak dari Pemohon III yang juga merupakan penganut
Ugamo Bangso Batak di Medan Sumatera Utara, bernama Dessy Purba,
telah terlanggar haknya untuk bekerja. Hal ini berawal ketika Dessy
ditolak melamar pekerjaan, meskipun nilai dan prestasinya bagus.
Penolakan tersebut karena kolom agama di KTP elektroniknya bertanda
strip. Calon pemberi kerja menganggap bahwa strip identik dengan
ateis atau kafir. Walaupun memenuhi semua kriteria yang dibutuhkan
dan memiliki nilai bagus di ijazahnya, Dessy tidak diterima sebagai
pekerja. Dessy juga kesulitan ketika hendak menerima upah dari
perusahaan tempat ia bekerja, karena pihak perusahaan dan pihak bank
mempersoalkan kolom agama yang dikosongkan dan meminta
klarifikasi kepada Pemerintah setempat dan Pengurus Kepercayaan
Ugamo Bangso Batak.
Bahwa selain itu, Pemohon III juga ternyata tidak bisa mengakses
modal usaha dari lembaga keuangan. Tanda strip pada KTPelektronik
Pemohon III menyebabkan mereka tidak bisa mengakses modal usaha
dari lembaga keuangan, seperti bank ataupun koperasi. Pada akhirnya,
42
untuk menyelamatkan kehidupan anak-anaknya di masa mendatang,
Pemohon III pun terpaksa merubah kolom agama di KTP elektronik dan
Kartu Keluarganya dengan agama Kristen.
4. Bahwa Pemohon IV merupakan penganut kepercayaan Sapto Darmo.
Salah satu kelompok penghayat atau dalam bahasa pemerintah disebut
sebagai “Aliran Kepercayaan” yang penganutnya pernah mencapai
ratusan ribu di Indonesia, terutama di Jawa. Namun sejak 1965, karena
tekanan politik penganut kepercayaan ini merosot cepat dan hanya
dipraktikkan secara diam- diam.
Kebanyakan penghayat Sapto Darmo berasal dari kelas menengah
ke bawah, bahkan sebagian miskin dan proses pemiskinan terus
berlangsung karena kebanyakan mereka hanya bersekolah sampai
tingkat menengah. Selain faktor ekonomi, salah satu alasan mereka
enggan meneruskan sekolah adalah adanya tuntutan, secara halus
maupun kasar, agar mereka mengikuti pelajaran agama yang diakui
pemerintah.
Kebanyakan penghayat Sapto Darmo berasal dari kelas menengah
ke bawah, bahkan sebagian miskin dan proses pemiskinan terus
berlangsung karena kebanyakan mereka hanya bersekolah sampai
tingkat menengah. Selain faktor ekonomi, salah satu alasan mereka
enggan meneruskan sekolah adalah adanya tuntutan, secara halus
maupun kasar, agar mereka mengikuti pelajaran agama yang diakui
pemerintah.
Bagi Pemohon IV, keberadaan Pasal 61 ayat (1) juncto ayat (2) dan
Pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU Administrasi Kependudukan telah
memberikan dampak bagi Pemohon IV. Sebagai penghayat
kepercayaan, karena di kolom elektronik kolom agamanya kosong
(bukti P-8), Pemohon IV dan penganut Sapto Darmo lainnya mendapat
stigma sesat dari masyarakat umum. Akibat kolom agama yang kosong
pula pemakaman keluarga dari Pemohon IV ditolak di pemakaman
43
umum manapun di Kabupaten Brebes. Hal ini telah dialami keluarga
Pemohon IV, dan jelas berpotensi juga terjadi kepada Pemohon IV.
Selanjutnya, dampak lanjutan dari kekosongan kolom Agama di
KTP elektronik yakni anak dari Pemohon IV juga kesulitan untuk
mengakses pendidikan dan masuk sekolah tingkat dasar, karena
diketahui menganut Kepercayaan Sapto Darmo dan ketika telah sekolah
anak dari Pemohon IV dipaksa harus mengikuti mata pelajaran dan
ajaran pendidikan Agama Islam yang mana hal itu bertentangan dengan
keyakinan dan kepercayaannya sebagai Penghayat Kepercayaan Sapto
Darmo.
Menurut para pemohon bahwa keberadaan Pasal 61 ayat (1) juncto
ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan yang memerintahkan agar penganut kepercayaan atau bagi
penganut agama yang belum diakui untuk mengosongkan kolom agama di
Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk elektronik merupakan bentuk
keengganan negara mengakui keberadaan para penganut kepercayaan serta
penganut agama lain yang bukan mayoritas di Indonesia. Ketidakmauan
negara untuk mengakui ini merupakan tindakan diskriminasi secara
langsung, yang dalam kasus ini setidaknya dialami oleh Pemohon I,
Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV.
Meskipun Aparatur Pemerintahan melayani dengan memberikan
KK dan KTP elektronik dengan kolom agama kosong atau di strip bagi
penghayat kepercayaan dan Pemohon, tetapi juga menimbulkan masalah
jika penghayat kepercayaan dan Pemohon membutuhkan KTP elektronik
dan KK dalam kebutuhan sehari-hari, seperti tidak diterima di tempat
pekerjaan karena kolom agamanya kosong atau tanda strip/-, dan masalah
lainnya. Hal ini dialami Pemohon II, dengan tidak dicantumkannya agama
kepercayaan di dalam KTP elektronik Pemohon II, telah terjadi diskriminasi
yang dialami oleh Pemohon II dalam berbagai bentuk, seperti: kesulitan
mengakses pekerjaan, tidak dapat mengakses hak atas jaminan sosial,
44
kesulitan mengakses dokumen kependudukan seperti KTPelektronik, KK,
Akta Nikah, dan akta kelahiran.
C. Argumentasi Putusan MK
Mahkamah Konstitusi mempunyai beberapa wewenang yang diatur
dalam Perundang-undangan diantaranya Pasal 24 ayat (2) perubahan ketiga
UUD 145 menyatakan:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah badan Konstitusi”.
Pasal 24C ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan teraktir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangannya di
berikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Mahkamah Konstitusi
mempunyai hak atau wewenang melakukan atau kewenangan untuk
melakukan pengujian Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang
Dasar yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
MK) yang menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji Undang-
undang (UU) terhadap UUD RI tahun 1945.
Berdasarkan Peraturan diatas, bahwasanya Mahkamah Konstitusi
berhak untuk menguji Peraturan Undang-Undang yang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar, Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016
Tentang Pencantuman Penghayat Kepercayaan dalam Kolam KTP-el dan
KK. MK mengabulkan gugatan atas pasal 61 Undang-Undang No. 23
Tahun 2006 dan pasal 64 Undang-undang No. 24 Tahun 2013 tentang
45
Administrasi kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di
Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini membuat para penganut kepercayaan
di Indonesia bisa mencantumkan Aliran Kepercayaan di kolom agama saat
membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan Amar Putusan sebagai
berikut:
1. Mengabulkan Permohonan para pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan kata “agama” dalam pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat
(1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
kependudukan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan
Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 5475)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk
“Kepercayaan”.
3. Menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan pasal 64 ayat (5) Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2006 Administrasi kependudukan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Menurut MK bahwa hak untuk menganut agama atau kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional
(constitutional rights) warga negara, bukan pemberian negara. Dalam
gagasan negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum
yang demokratis, yang juga dianut oleh UUD 1945, negara hadir atau
dibentuk justru untuk melindungi (yang di dalamnya juga berarti
46
menghormati dan menjamin pemenuhan) hak-hak tersebut. Dalam hal ini,
Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan;
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia..., maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.
Pernyataan mendasar/elementer yang secara eksplisit tertuang di
dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 bukan hanya sekadar
menjelaskan bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang dibentuk dengan
UUD 1945 adalah kelanjutan dari Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia,
yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, melainkan sekaligus
memuat amanat atau perintah bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang
dibentuk salah satu tugasnya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia.
Tugas “melindugi segenap bangsa Indonesia” ini bukan hanya berarti
melindungi raga dan jiwa warga negara Indonesia, termasuk tatkala berada
di luar yurisdiksi Indonesia, tetapi juga melindungi hak-hak warga negara
itu, lebih-lebih hak yang merupakan hak asasinya. Amanat ini kemudian
dituangkan secara lebih tegas dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang
menyatakan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Hak dasar untuk menganut agama, yang di dalamnya mencakup hak
untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, adalah
bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik.
Artinya, hak untuk menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa merupakan salah satu hak dalam kelompok hak-hak sipil dan
politik yang diturunkan dari atau bersumber pada konsepsi hak-hak alamiah
(natural rights). Sebagai hak asasi yang bersumber pada hak alamiah, hak
ini melekat pada setiap orang karena ia adalah manusia, bukan pemberian
negara. Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini, bukan lagi sekadar
sesuatu yang bernilai doktriner melainkan telah menjadi norma dalam
hukum dasar (konstitusi) dan oleh karena itu mengikat seluruh cabang
kekuasaan negara dan warga negara, sebab hal itu dituangkan secara
47
normatif dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 29 ayat (2) UUD
1945.
Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan,
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”.
Selanjutnya dalam Pasal 28E ayat ditegaskan pula,
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Adapun Pasal
29 ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Bahwa apabila norma-norma hukum dasar (konstitusi) di atas
dihubungkan secara sistematis, terdapat dua poin penting yang dapat
dipahami. Pertama, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 merupakan
bagian dari Bab XA yang terkait dengan Hak Asasi Manusia, sedangkan
Pasal 29 merupakan isi dari Bab XI terkait dengan Agama. Dengan
demikian, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 berisi pengakuan
terhadap hak setiap manusia untuk memeluk agama dan hak untuk meyakini
kepercayaan. Pengakuan tersebut membawa implikasi bahwa memeluk
agama dan meyakini kepercayaan merupakan hak yang melekat pada setiap
orang. Sebagai konsekuensinya, Pasal 29 UUD 1945 muncul dengan
rumusan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya dan untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya itu. Artinya, ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945 merupakan pengakuan konstitusi (negara) terhadap hak atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi siapapun, sedangkan Pasal 29
UUD 1945 merupakan penegasan atas peran yang harus dilakukan oleh
negara untuk menjamin tiap-tiap penduduk agar merdeka dalam memeluk
agama dan keyakinan yang dianutnya. Terlepas dari fakta Pasal 28E ayat
(1) dan ayat (2) UUD 1945 dirumuskan lebih kemudian bila dibandingkan
48
Pasal 29 UUD 1945, namun hubungan sistematisnya dapat dipahami
demikian. Bahkan, karena dirumuskan kemudian, Pasal 28E ayat (1) dan
ayat (2) UUD 1945 mempertegas ihwal pengakuan atas hak kebebasan
beragama setiap orang yang juga telah ada sebelumnya di dalam UUD 1945.
Berdasarkan uraian di atas, menjadi tepat ketika Pasal 28I ayat (1)
UUD 1945 menegaskan bahwa hak ini adalah termasuk dalam kelompok
hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Lebih jauh, oleh
karena hak beragama dan menganut kepercayaan sebagai bagian dari hak
asasi manusia sekaligus sebagai hak konstitusional maka timbul kewajiban
atau tanggung jawab bagi negara terutama pemerintah untuk menghormati
(to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak tersebut
[vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945].
Administrasi kependudukan merupakan bagian atau salah satu
bentuk dari pemenuhan kebutuhan pelayanan publik sebagai hak yang
melekat bagi setiap warga negara, sehingga menjadi kewajiban bagi negara
untuk menjamin dan memenuhinya. Terkait hal ini, dalam konsiderans
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU
Pelayanan Publik) dinyatakan bahwa negara berkewajiban melayani setiap
warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya
dalam rangka pelayanan publik. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU
Pelayanan Publik, penyelenggaraan pelayanan publik harus berpijak, di
antaranya, pada asas kesamaan hak dan persamaan perlakuan/tidak
diskriminatif. Kesamaan hak dimaksudkan bahwa dalam memberikan
pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, serta
status sosial. Selanjutnya berkenaan dengan persamaan perlakuan/tidak
diskriminatif, Penjelasan Pasal 4 UU Pelayanan Publik menggariskan
bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.
Bahwa terkait dengan diskriminasi sesungguhnya telah diberi
batasan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
024/PUU-III/2005 bertanggal 29 Maret 2006 yang di antaranya menyatakan
bahwa diskriminasi dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap pembatasan,
49
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan
pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya [vide
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia].
Ketentuan mengenai larangan diskriminasi di atas juga diatur dalam
International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Article 2 International
Covenant on Civil and Political Rights menyatakan, “Setiap Negara Pihak
pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang
diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam
wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun
seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau
status lainnya “ (Each State Party to the present Covenant undertakes to
respect and ensure to all individuals within its territory and subject to its
jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without
distinction of any kind, such as race, color, sex, language, religion, political
or other opinion, national or social origin, property, birth or other status).
Mahkamah dalam putusan tersebut menegaskan bahwa benar dalam
pengertian diskriminasi terdapat unsur perbedaan perlakuan tetapi tidak
setiap perbedaan perlakuan serta-merta merupakan diskriminasi.
Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
070/PUU- II/2004 bertanggal 12 April 2005, Mahkamah menyatakan
bahwa diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakuan yang
berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna
membuat perbedaan itu. Justru jika terhadap hal-hal yang sebenarnya
50
berbeda diperlakukan secara seragam akan menimbulkan ketidakadilan.
Dalam putusan lainnya yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU-V/2007, bertanggal 22 Februari 2008, Mahkamah menyatakan
bahwa diskriminasi adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal
yang sama. Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara
berbeda terhadap hal yang memang berbeda.
51
BAB IV
ANALISIS HAK KEWARGANEGARAAN ALIRAN KEPERCAYAAN DI
INDONESIA DAN HAK KEWARGANEGARAAN DALAM FIQIH
SIYASAH
A. Hak Warga Negara Menurut Fiqih Siyasah
Islam adalah agama yang mementingkan kemaslahatan dan
kebahagiaan manusia, baik didunia maupun di akhirat. Ajarannya tetap
aktual bagi manusia di segala zaman dan tempat. Islam tidak hanya
merupakan rahmat bagi manusia, tetapi juga bagi alam semesta. Islam
memperlakukan manusia secara adil tanpa membeda-bedakan kebangsaan,
warna kulit dan agamanya. Berdasarkan prinsip ini maka Islam membuat
berbagai ketentuan yang mengatur hubungan antar sesama manusia, baik
muslim sendiri maupun non-muslim.1
Islam mengatur kebebasan beragama dan berkeyakinan, melindungi
hak warga negara sekalipun ia non-Islam dengan sebuah dasar-dasar
kesatuan umat manusia, bahwa Islam mempunyai Prinsip Al-Adalah
(keadilan), Al-Musawah (persamaan), Karomah insaniyah (kehormatan
manusia) dan lain sebagainya. Kebebasan beragama dan berkeyakinan,
dalam bentuk historisnya yang terkini adalah suatu hak asasi manusia yang
dapat berlaku secara universal yang terkodifikasi dalam instrument-
instrument hak asasi manusia Internasional. Dalam tataran normatif, telah
jelas sejak pemulaan era hak asasi manusia modern bahwa kebebasan
beragama atau berkeyakinan adalah hak fundamental, dan sesungguhnya
satu dari hak-hak fundamental yang paling penting.2
1 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001), h. 231 2 Tore Lindholm, W. Cole Durham Jr, Bahia G. Tahzib Lie, Facilitating Fredoom
of Religion or Belief: A Deskbook. Penerjemah Rafael Edy Bosko dan M. Rifa’i Abdul.
Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?. Yogyakarta: Kanisius, 2014,
h.19
52
Syari’at Islam berbeda dengan yang lainnya dalam menetapkan
persamaan hak secara mutlak yang tidak di putuskan kecuali sesuai dengan
keadilan. Maka tidak ada ke ikatan dan tidak ada pengecualian. Persamaan
hak adalah persamaan yang sepurna antara individu dengan rakyat.
Rasulullah saw, bersabda: Darah-darah orang mukmin seluruhnya
sama, dan mereka berkuasa atas orang-orang selain mereka dan harus
membantu dengan adanya jaminan mereka itu akan orang yang lemah dari
mereka. Ketahuilah, seorang Muslim tidak diqishash dengan sebab
membunuh seorang kafir, dan tidak boleh dibunuh orang kafir yang
mempunyai perjanjian selama dalam masa perjanjian itu.
Rasulullah saw, memutuskan bahwa darah-darah kaum muslimin itu
sama, artinya, setara dan tidak berbeda. Ini adalah persamaan yang
sempurna antara semua kelompok dan persamaan sempurna antara semua
umat dan jenis, juga persamaan sempurna antara penguasa dan rakyat biasa,
persamaan antara non-Muslim dan Muslim dalam Negara Islam pada hak
dan kewajiban, dan mereka masing-masing mempunyai agama dan jalan
sendiri-sendiri. Juga persamaan dalam hak dan kewajiban antara laki-laki
dan perempuan, kecuali apa yang di kecualikan dengan nash yang jelas yang
di tuntut oleh perbedaan-perbedaan alami antara keduanya; dan bukan
karena kurangnya kemampuan prempuan.3
Lebih dari itu, para tokoh Islam dunia juga telah berhasil
merumuskan kesesuaian Islam dengan HAM lewat Deklarasi Kairo (Cairo
Declaration atau Watsiqoh Huquq al-Insan fi al-Islam) yang di umumkan
pada tahun 1990. Dalam Deklarasi tersebut dijelaskan bahwa Al-Qur’an dan
Hadits mengakui hak-hak dasar manusia sebagai berikut:
1. Hak persamaan (QS. al-Isra [17]: 70, an-Nisa [4]: 58, 105, 107,
135 dan al-Mumtahanah [60]: 8). Al-Qur’an memuliakan
martabat manusia diatas makhluk lainnya, karena manusia
adalah puncak ciptaan Allah (QS. At-Tin [95]: 4 dan QS. al-Isra
3 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 231-232
53
[17]:70). Sebab itu, dalam QS. an-Nisa [4]: 58, 105, 107 dan 135
ditegaskan persamaan manusia didepan hukum, dimana para
hakim di pengadilan harus menempatkan orang yang berperkara
secara sama dengan menetapkan hukuman kepada orang yang
terbukti bersalah atau menetapkan pihak yang kalah atau
menang berdasarkan bukti-bukti kuat. Bahkan, QS. al-
Mumtahanah [60]: 8 menekankan keharusan ditegagkannya ke
adilan, persamaan, berbuat baik kepada non-Muslim sekalipun,
selama mereka tidak memerangi. Walaupun harus dibedakan,
maka perbedaan itu hanya berdasarkan meritokrasi semata (QS.
at-Tur [52]: 21). Sejalan dengan ayat-ayat ini, maka hadits
riwayat Muslim mengecam tindakan penerapan hukum yang
pilih kasih (tebang pilih), dimana hukum hanya dikenakan
kepada mereka yang lemah,
2. Hak mendapatkan pendidikan (QS. at-Taubah [9]: 112 dan QS.
al-Alaq [96]: 1-5). Ayat pertama merupakan pengakuan Al-
Qur’an terhadap hak untuk belajar agama guna menjaga
moralitas manusia. sementara ayat yang disebut kemudian
menjelaskan tiga jenis pengetahuan dalam Islam: ilmu burhani
(ilmu yang didapat dengan akal pikiran); tajribi (ilmu yang
diperoleh lewat penelitian empirik/positivistik), dan ilmu irfani
(ilmu yang diperoleh dari limpahan ilmu Tuhan secara
iluminatif/wahyu). Semua jenis Ilmu terus di transfer dan
diajarkan sebagai hak manusia. hal ini karena tanpa penguasaan
ketiganya, manusia tidak bisa hidup paripurna, mengingat
kemuliaan manusia bergantung pada penguasaan ketiganya (QS.
al-Mujadilah [58]: 11). Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dari
sanad (rantai transmisi) Anas bin Malik, sabda Nabi: “Mencari
ilmu merupakan kewajiban setiap Muslim).
3. Hak memperoleh pekerjaan (QS. at-Taubah [9]: 105, al-
Baqarah [2]: 286 dan al-Mulk [67]: 15). QS. at-Taubah [9]: 105
54
merupakan pengakuan Islam atas hak bekerja bagi manusia,
karena berdasarkan QS. al-Baqarah [2]: 286, seseorang hanya
akan memperoleh pahala (rewad) atau siksa (punishment)
karena pekerjaan atau usahanya semata. Sejalan dengan kedua
ayat ini, QS. al-Mulk [67]: 15 dan juga QS. al-Jumu’ah [62]: 10
memerintahkan agar manusia bertebaran di muka bumi untuk
mencari rezeki dan karunia Allah. Dalam hadits riwayat Ahmad,
nabi juga memuji pekerjaan profesional apapun selama halal
seperti pertanian dan memuji profesi sebagai pedagang. Bahkan
dengan merujuk pada QS. al-Asr (103) dan al-Bayyinah (98): 7,
Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Islam menganut prinsip:
“saya bekerja saya ada”.
4. Hak Perlindungan diri (QS. al-Balad [90]: 12-17 dan at-
Taubah [9]: 6). Dalam ayat yang disebut pertama, al-Qur’an
menusia dari perbuatan perbudakan dan kemiskinan
(kelaparan), dan juga menjelaskan pengakuan terhadap
perlindungan nasihat dan kasih sayang. Adapun dalam ayat
kedua, al-Qur’an menganjurkan kaum Muslimin untuk
menjamin keamanan (perlindungan) bagi non-Muslim dan
mengantarkan mereka ketempat aman.
5. Hak kebebasan beragama (QS. al-Kafirun [109]: 1-6, al-
Baqarah [2]: 256, dan al-Kahfi [18]: 29. Dalam QS. al-
Baqarah [2]: 256, secara harfiyah al-Qur’an menyebut
bahwa tidak ada paksaan dalam menganut agama, dan
dalam QS. al-Kafirun [109]: 1-6 juga dijelaskan mengenai
pengakuan Islam atas kebebasan menjalankan ajaran agama
bagi masing-masing penganut. Bahkan, berdasarkan al-
Kahfi [18]: 29 (Barang siapa yang mau beriman
berimanlah, dan barang siapa yang mau kufur [ingkar atau
55
ateis], kufurlah), meski ayat ini mengajak pada kebenaran
wahyu, tetapi pada prinsipnya beriman atau tidak adalah
persoalan kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia
sesuai pilihan dan risikonya.
6. Hak hidup (QS. al-Maidah [5]: 45 dan QS. al-Isra [17]: 33).
Dalam dua ayat ini, al-Qur’an melarang tindakan pembunuhan.
Untuk menjamin hak hidup inilah, syari’ah tradisional dalam
hukum Islam yang di konstruksi para ulama klasik berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadits pada abad ke-7 hingga abada ke-17),
berdasarkan QS. al-Araf [7]: 179, memberlakukan hukuman
mati bagi pelaku pembunuhan yang disengaja. Tujuan untuk
memberlakukan hukuman mati ini agar menjerahkan pelaku.
Meski begitu harus juga dikatakan, hampir sesuai dengan ide
menghormati hak hidup bagi pelaku pembunuhan dalam
diskursus HAM modern, hukuman mati bagi pelaku
pembunuhan ini dalam syari’ah tradisional bersifat opsional bagi
pihak keluarga yang terbunuh. Hakim dalam hal ini boleh
menetapkan hukuman bukan dengan hukuman mati, jika
keluarga terbunuh membolehkan tidak dihukum mati.4
Islam juga memberikan hak-hak asasi manusia yang sebagian besar
dijadikannya sebagai kewajiban atau keharusan. Manusia boleh melepaskan
haknya, berbeda dengan kewajiban yang secara mengikat harus dilakukan;
manusia tidak bisa melepaskannya begitu saja. Islam juga mengenal
berbagai hak-hak yang harus dipenuhi seperti apa yang di paparkan diatas,
hak persamaan, hak mendapatkan pendidikan, hak memperoleh pekerjaan,
hak perlindungan diri, hak kebebesan beragama, hak untuk hidup, dan lain
sebagainya.
4 Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta: Kencana Prenada
Group, 2013), h. 167-173
56
Islam juga membedakan antara suatu hak dengan hak lainnya. Ada
yang di katagorikan ke dalam hak yang bersifat materi atau akal-rasio,
individu atau golongan, serta hak yang harus dipenuhi disaat ini atau di masa
yang akan datang. Setiap orang diberikan wewenang sebagai penjaga,
penuntut, atau pembela, bagi hak-haknya masing-masing serta
diperkenankan untuk bekerja sama dengan pihak lain agar hak-haknya
terpenuhi. Jika ia hidup disebuah kawasan dan disana tidak dapat
memperoleh hak-haknya, juga tidak memiliki kawan maupun penolong,
maka ia dibolehkan meninggalkan kawasan tersebut.5
Kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah di buktikan dalam
sejarah Islam diantaranya terbentuknya Piagam Madinah, tidak lama
sesudah hijrah ke Madinah, Muhammad saw. Membuat suatu Piagam
Politik untuk mengatur kehidupan bersama, di Madinah yang di huni oleh
beberapa macam golongan. Ia memandang perlu meletakkan aturan pokok
tata kehidupan bersama di Madinah, agar berbentuk kesatuan hidup di
antara seluruh penghuninya. Kesatuan hidup yang baru di bentuk itu di
pimpin oleh Muhammad saw sendiri, dan menjadi negara yag berdaulat
dengan demikian, di Madinah Nabi Muhammad bukan lagi hanya
mempunyai sifat Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat Kepala Negara.6
Piagam Madinah adalah sebutan bagi shahifat (berarti lembaran
tertulis) dan kitab yang dibuat oleh Nabi. Kata “Piagam” menunjuk kepada
naskah, sedangkan kata Madinah menunjuk kepada tempat dibuatnya
naskah. Kata Piagam berarti surat resmi, yang berisikan tentang pernyataan
pemberian hak, atau berisi pernyataan dan pengukuhan mengenai sesuatu.
Sumber lain menyebutkan bahwa “Piagam” (Charter) adalah dokumen
tertulis yang dibuat oleh penguasa atau badan pembuat Undang-undang
5 Yusuf Al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama & Politik, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008), h. 210 6 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1985) cet. Ke-5, jilid I, h, 92 dalam Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan
Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: UI-press, 1995), h.1-2
57
yang mengakui hak-hak rakyat, baik hak-hak kelompok sosial maupun hak-
hak individu.7
Piagam Madinah mengatur tentang hak-hak seseorang yang tinggal
di Madinah maupun yang hanya menetap. Peta sosiologis penduduk
Madinah sewaktu Nabi Muhammad Saw baru tiba Madinah, dilihat dari
aspek agama, menunjukkan adanya berbagai macam golongan-golongan,
diantaranya Kaum Muslmin, Kaum Musyrikin (penganut paganisme), kaum
Yahudi. Pada mulanya, perselisihan antar suku sering terjadi di Madinah,
tetapi kemudian agama Islam meredam perselisihan mereka dan membawa
mereka kesuasana damai dan kerukunan.8
Ditetapkannya Piagam Madinah tersebut merupakan salah satu
siasat Rasul sesudah hijrah ke Madinah, yang dimaksudkan untuk membina
kesatuan hidup berbagai golongan warga Madinah. Dalam Piagam itu
dirumuskan kebebesan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban
mempertahankan kesatuan hidup, dan lain sebagainya. Berdasarkan isi
Piagam Madinah itulah warga Madinah yang majemuk, secara politis, di
bina dibawah pimpinan Muhammad saw.9
Pembuatan Piagam Madinah Tersebut, merupakan sebuah bentuk
peraturan yang di buat oleh Muhammad saw beserta para tokoh-tokoh
sekitar, demi melindungi warga yang tinggal di wilayah Madinah yang
penuh dengan keanekaragaman dari perbuatan yang dzalim, baik yang
muncul dari kalangan Internal maupun dari kalangan ekternal yang bisa
merugikan. Secara tidak langsung kewarganeraan saat itu sudah ada, di
buatnya Piagam Madinah demi menyatukan keanekaragaman dan
perbedaan-perbedaan di tengah masyarakat Madinah, baik agama, kabilah,
suku dan lain sebagainya, demi menghujudkan suana yang tentram, nyaman
dan tegagnya keadilan di Madinah.
7 Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintah dalam Piagam Madinah Ditinjau
dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), h. 15 8 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, h. 98 9 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, h. 3
58
Bahkan Jika di lihat dalam Piagam Madinah dalam pasal 25 yang
berbunyi :
“Kaum Yahudi dari Bani Awf adalah satu umat dengan mukminin.
Bagi kaum yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka.
Juga [kebebasan ini berlaku] bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri,
kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan
keluarganya”.
Dalam Piagam Madinah pasal 25 tersebut merupakan satu umat
bersama kaum muslimin. Mereka bebas memeluk agama mereka
sebagaimana halnya dengan Kaum Muslimin. Kebebasan agama ini
termasuk hak dasar (Hak Asasi Manusia) yang secara eksplisit disebut
dalam Piagam Madinah, di samping hak asasi lainnya, seperti hak hidup
secara aman juga ada di dalam Piagam Madinah dalam (Pasal 15, 40, 45,
47).
Di dalam Piagam Madinah disebutkan berbagai golongan, baik
golongan besar maupun kelompok-kelompok kecil (bani-bani), mereka
disebut ahl hazimi al-shahifah (pasal 37, 39, 42 dan 46). Jika di lihat
Peraturan di Indonesia tentang kewarganegaraan, Rakyat Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli, dan orang-
orang bangsa lain melalui proses pewarganegaraan menjadi warga
Indonesia (pasal 26 UUD 1945).
Penduduk dalam pemerintahan Islam yang terdiri dari Muslim dan
Non-Muslim, penduduk non-Muslim terdiri dari ahl al-zimmi, musta’min’
dan harbiyun. Ahl al-zimmi adalah non-Muslim, baligh, berakal, bukan
budak, laki-laki, tinggal di dar al-Islam dan mampu membayar jizyah
kepada pemerintah Islam. Diantara hak mereka adalah perlindungan dari
segala bentuk pelanggaran, baik dari luar maupun dalam negeri, terhadap
jiwa, harta, benda, keluarga, dan kehormatannya. Selain itu mereka ahl al-
zimmi berhak pula memperoleh kebebasan menjalankan agamanya, bekerja
dan berusaha serta memperoleh jabatan tertentu dalam pemerintahan tanpa
sikap diskriminasi terhadap mereka. Musta’min menurut pengertian ahli
fiqih adalah orang yang memasuki wilayah lain dengan mendapat jaminan
keamanan dari pemerintahan setempat, baik ia muslim maupun harbiyun.
59
Menurut al-Dasuki mereka adalah orang non-Muslim yang memasuki
wilayah dar al-Islam dengan memperoleh jaminan keamanan dari
pemerintah Islam untuk tujuan tertentu, kemudian ia kembali ke wilayah
dar al-harb.10 Kata harbiyun digunakan untuk pengertian warga negara dar
al-harb tersebut tidak terdapat hubungan diplomatik. Orang-orang harbiyun
tidak terjamin keamanannya bila memasuki dar al-Islam, karena
terwujudnya rasa aman bagi mereka adalah berdasarkan salah satu dari dua
hal, yaitu beriman memeluk agama Islam, atau melalui perjanjian damai.
Walaupun belum ada Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Madinah tapi
identitas mereka sebagai warga negara Madinah Jelas dan diakui di
Konstitusi Madinah, di Madinah sendiri ada Kaum Muslimin Muhajirun
(Para Imigran Mekkah ke Madinah), Kaum Anshar (Penduduk atau Kaum
asli Madinah yang menerima hijrahnya nabi dari Mekkah ke Madinah)
karena ketulusan mereka Nabi Muhammad bisa diterima sebagai pemimpin
agama dan negara. Selain Muslim ada juga yang non-Muslim di Madinah
yang belum bersedia memeluk Agama Islam, tetapi tetap dihargai sebagai
bagian dari warga negara Madinah. Jadi maksudnya secara Legal Formal
mereka tidak punya KTP, tapi secara Substantif Eksistensi mereka sebagai
warga negara di akui, seperti penyebutan beberapa kalangan Yahudi dalam
Konstitusi Madinah yang menandakan hal tersebut merupakan pengakuan
Negara Madinah terhadap warga negaranya yang heterogen dari kalangan
Muslim dan non-Muslim.11
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Islam sudah ada yang
namanya hak asasi manusia sebelum orang barat mencentuskan HAM.
Dalam Al-Qur’an dan Hadits Sudah dijabarkan tentang hak persamaan, hak
mendapatkan pendidikan, hak memperoleh pekerjaan, hak perlindungan
diri, hak kebebasan beragama, dan hak untuk hidup. Semua itu ada dalam
10 Syams al-Din Muhammad ibn Irfah al-Daasuki, Hasyiyah al-Dasuki ala Syarh
al-Kabir,(Mesir: al-Azhariyah, 1345 H), 201 dalam Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah
Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 33 11 Interview dengan Mujar Ibnu Syarif, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Syariah dan Hukum, Kantor FSH Ciputat, 5 April 2018.
60
ajaran Islam, karena Islam sangatlah memperhatikan hubungan antar
sesama manusia ataupun manusia dengan makhluk lainnya dan hubungan
dengan Pencipta Alam.
Aliran Kepercayaan yang ada di Indonesia merupakan warga negara
asli Indonesia yang menetap dan tinggal di setiap daerah-daerah yang ada
di Tanah Air Tercinta (Indonesia), bahkan mereka ada sebelum agama
Hindu Budha masuk ke Nusantara, para leluhur yang ada di Indonesia ketika
itu sudah mempunyai sebuah Sistem Kepercayaan dan Keyakinan yang
cukup baik.12 Aliran Kepercayaan merupakan peninggalan kepercayaan
yang turun menurun dari generasi kegenerasi yang berasal dari nenek
moyang dan sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia melindungi mereka
sebagai warga negara, memberikan hak-hak mereka, baik hak pendidikan,
kesehatan, perlindungan, pekerjaan, maupun hak-hak yang lainnya sebagai
warga negara.
Aliran Kepercayaan yang ada di Indonesia khusunya di era modern
saat ini, jika dikaitkan dengan Kependudukan dan Kewarganegaraan dalam
Pemerintahan Islam Menurut Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag beliau
merupakan salah satu dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Komisi V Pengembangan Kerukunan Umat
Beragama MUI Kota Tangsel, Menurut beliau Aliran Kepercayaan tidak
bisa disamakan dengan ahl al-zimmi, musta’min’ dan harbiyun, karena
dalam pemerintahan Islam mereka adalah warga negara kelas dua, dalam
urusan politik mereka tidak bisa menjadi seorang pemimpin pemerintahan
walaupun mereka mempunyai hak yang sama, dan Aliran Kepercayaan
yang ada di Indonesia sebutan untuk mereka tetap sebagai warga negara
yang tinggal di Indonesia, yang mempunyai hak yang sama dalam hal
apapun tanpa terkecuali.13
12 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, h. 65-66 13 Interview dengan Mujar Ibnu Syarif, Ciputat, 5 April 2018.
61
B. Putusan MK terkait Aliran Kepercayaan Perspektif Fiqih Siyasah
Fiqih Siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik
membahas tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada
umumnya dan negara pada khususnya berupa penetapan hukum, peraturan,
dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan
dengan ajaran Islam, guna mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan
menghindarkannya dari berbagai kemudharatan yang mungkin timbul
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
dijalaninya.
Siyasah berkaitan dengan mengatur dan mengurus manusia dalam
hidup bermasyarakat dan bernegara dengan membimbing mereka kepada
kemaslahatan dan menjauhkannya dari kemudharatan, dalam
Ketatanegaraan Islam atau Fiqih Siyasah yang terkait dengan peraturan
perundang-undangan iyalah Siyasah Dusturiyyah (Politik Perundangan)
yang meliputi pengkajian tentang penetapan hukum (tasri’iyyah) oleh
lembaga Legislatif, peradilan (qadha’iyyah) oleh lembaga Yudikatif, dan
administrasi pemerintah (idariyyah) oleh birokrasi atau Eksekutif.
Salah satu ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, membagi
beberapa ruang lingkup ketatangeraan Islam atau fiqih siyasah menjadi
delapan bidang diantaranya14 :
1. Siyasah Dusturiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang
peraturan Perundang-undangan)
2. Siyasah Tasyriiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang
penetapan hukum)
3. Siyasah Qadhaiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan)
4. Siyasah Maliyyah syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan
moneter)
5. Siyasah Idariyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi
negara)
14 14 H.A. Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam
Rambu-Rambu Syariah, h.30
62
6. Siyasah Dauliyyah/Siyasah Kharijiyyah Syar’iyyah
(kebijaksanaan hubungan luar negeri atau Internasional)
7. Siyasah Tanfidziyyah Syar’iyyah (politik pelaksanaan Undang-
Undang)
8. Siyasah Harbiyyah Syar’iyyah (politik peperangan)
Sedangkan menurut Al-Mawardi dalam ketatanegaraan Islam
mencakup :
1. Kebijaksanaan Pemerintah tentang peraturan perundang-
undangan (Siyasah dusturiyyah)
2. Ekonomi dan Moneter (Siyasah Maliyyah)
3. Peradilan (Siyasah Qadha’iyyah)
4. Hukum perang (Siyasah Harbiyyah)
5. Administrasi negara (Siyasah Idariyyah)
Berdasarkan perbedaan pendapat diatas, pembagian Ketatanegaraan
Islam atau Fiqih Siyasah dapat disederhanakan menjadi tiga bagian pokok
diantaranya :
1. Politik Perundangan (Siyasah Dusturiyyah) yang meliputi
pengkajian tentang penetapan hukum (tasri’iyyah) oleh lembaga
legislatif, peradilan (qadha’iyyah) oleh lembaga Yudikatif, dan
administrasi pemerintah (idariyyah) oleh birokrasi atau
eksekutif.
2. Politik luar negeri (Siyasah Dauliyah/siyasah kharijiyyah),
dalam bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warga
negara yang muslim dengan warga negara non-Muslim yang
berbeda kebangsaan atau disebut juga hukum perdata
Internasional dan hubungan diplomatik antara negara Muslim
dengan negara yang non-Muslim, bisa disebut hubungan
Internasional.
3. Politik keuangan dan moneter (Siyasah Harbiyyah), dalam
bagian ini membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos
63
pengeluaran dan belanja negara, perdagangan Internasional,
kepentingan hak-hak publik, pajak dan perbankan.15
Fiqih Siyasah Dusturiyah adalah siyasah yang berhubungan dengan
peraturan dasar tentang bentuk pemerintahan dan batasan kekuasaan , cara
pemilihan (kepala negara), batasan kekuasaan yang lazim bagi pelaksanaan
urusan umat, dan ketetapan hak-hak yang wajib bagi individu dan
masyarakat, serta hubungan antara penguasa dan rakyat. Kedua bidang
Fiqih Siyasah Dauliyah/kharijiyah yaitu siyasah yang berhubungan dengan
peraturan pergaulan antara negara-negara Islam dan negara-negara bukan
Islam, tata cara pengaturan pergaulan warga negara muslim dengan warga
non-Muslim yang ada dinegara Islam, hukum dan peraturan yang
membatasi hubungan negara Islam dengan negara lain dalam situasi damai
dan perang. Ketiga bidang Fiqih Siyasah Harbiyah yaitu siyasah yang
mengatur tentang peperangan dan aspek-aspek yang berhubungan
dengannya, seperti perdamain, dan keempat bidang Fiqih Siyasah Maliyah
adalah siyasah yang mengatur hak-hak orang miskin, mengatur sumber-
sumber mata air (irigasi) dan perbankan. Yaitu hukum dan peraturan yang
mengatur hubungan diantara orang-orang kaya dan miskin, antara negara
dan perorangan, sumber-sumber keuangan negara, baitul mal dan
sebagainya yang berkaitan dengan harta dan kekayaan negara. 16
Jika dilihat ruang lingkup ketatanegaraan Islam atau fiqih siyasah
maka dalam hal ini akan memfokuskan masalah siyasah dusturiyyah,
siyasah dusturiyah adalah bagian fiqih siyasah yang membahas masalah
perundang-undangan negara. Dalam bagian ini antara lain konsep-konsep
Konsitusi (Undang-Undang Dasar negara dan sejarah lahirnya perundang-
undangan dalam suatu negara), Legislasi (bagaimana cara perumusan
perundang-undang), Lembaga demokrasi dan syura yang merupakan pilar
15 Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah, h. 15 16 Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2002), h.40
64
penting dalam perundang-undangan tersebut sesuai apa yang sudah
dijelaskan diatas.17
Dalam kajian fiqih siyasah, legislasi atau kekuasaan legislatif
disebut juga dengan al-sultha al-tasyriiyah, yaitu kekuasaan pemerintah
Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Dalam wacara fiqh siyasah,
istilah al-sultha al-tasyriiyah digunakan untuk menunjukkan salah satu
kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah
kenegaraan, di samping kekuasaan eksekutif (al-sultha al-tanfidziyah), dan
kekuasaaan yudikatif (al-sultha al-qadhaiiyah), dalam pembahasan ini,
kekuasaan lesgislatif (al-sultha al-tasyriiyah) berarti kekuasaan atau
kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan
diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan ketentuan
yang telah diturunkan Allah SWT dalam syariat Islam.
Perundang-undangan atau hukum yang benar adalah faktor penentu
keselamatan umat manusia di planet bumi ini. Menurut Islam, hukum yang
benar itu adalah yang dapat menyelamatkan umat manusia di dunia sampai
di akhirat. Hukum yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan hadits, tidak
bertentangan dengan keduanya, dengan aturan-aturan tersebut mampu
membawa umat manusia menuju kemaslahatan. Dalam hadits yang
dikemukakan oleh Rasulullah saw dalam “Khotbah Haji Perpisahan”
(Hajjatul Wada) yang berbunyi :
ام م ك ي ف ت ك ر ت د ق م ب ه ت م سك ت م ل ت ن ل اإ ن ت ي نس و ه اللب ات ك أ ب داي د ع اب و ض
Artinya : Aku tinggalkan bagi kamu dua perkara, yang kamu tidak
akan tersesat selama kamu berpegang pada dua perkara itu, yaitu: Al-
Qur’an dan Sunnahku.
Dalam menerapkan nilai-nilai dan norma-norma Al-Qur’an dan
hadits di dalam kehidupan bernegara, berdasarkan pola dan contoh yang
pernah di praktekkan Rasulullah saw, nilai-nilai itu dituangkan di dalam
17 Taufik Abdullah, Islam dan MasyarakaT: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta:
1987) dalam Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani,
(Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2002), h.3
65
konstitusi dasar, yang dalam sejarahnya disebut dengan “Konstitusi
Madinah” atau “Konstitusi Negara Islam pertama”.18
Peranan konstitusi negara Islam pertama yang dilakukan oleh
Rasulullah saw baru dapat disadari dan diakui oleh para ahli pikir modern
sekarang ini, karena konstitusi atau Undang-Undang dasar itu tidak hanya
merupakan suatu dokument yang mencerminkan pembagian kekuasaan
diantara lembaga-lembaga kenegaraan (seperti eksekutif, legislatif dan
yudikatif). Tetapi juga membahas tentang menentukan dan membatasi
kekuasaan pemerintah, Undang-Undang Dasar dianggap sebagai
pengwujudan hukum tertingi yang melindungi hak-hak asasi setiap warga
negara.
Badan legislatif (Majelis Syura) berhak untuk membuat konstitusi
dan Undang-Undang dengan senantiasa berorientasi kepada ketentuan-
ketentuan syariat yang diatur di dalam Al-qur’an dan sunnah Nabi saw
(hadis). Terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang diatur secara pasti oleh
syari’at, Majelis berhak untuk melakukan interpretasi dan rinciannya.
Sedangkan terhadap masalah yang tidak secara langsung diatur oleh
syari’at, majelis berhak untuk membuat ketentuan-ketentuannya secara
ijtihad, dengan syarat tidak bertentangan dengan syari’at baik semangatnya
maupun formulasinya.19
Dalam literature Fiqih Siyasah sesunguhnya dikenal dua jenis
Siyasah. Pertama Siyasah Syar’iyyah yaitu siyasah yang dalam proses
penyusunannya memperhatikan norma dan etika agama. Kedua, Siyasah
Wadh’iyyah yaitu Siyasah yang dihasilkan oleh produk pemikiran manusia
semata yang dalam proses penyusunannya tidak memperhatikan norma dan
etika agama.
18 Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1995), h. 191-192 19 Abdul A’la Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1984), h. 74
dalam Abdul Qadir Djaelani, h. 191-192
66
Dasar pokok Siyasah Syar’iyyah adalah wahyu atau agama. Nilai
dan norma transendental merupakan dasar bagi pembentukan peraturan
yang dibuat oleh institusi-institusi kenegaraan yang berwenang. Syariat
adalah sumber pokok bagi kebijakan pemerintah dalam mengatur berbagai
macam urusan umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Sumber lainnya manusia sendiri dan lingkungannya. Peraturan-
peraturan yang bersumber pada lingkungan manusia sendiri, seperti
pandangan para ahli, hukum adat, pengalaman manusia, dan warisan
budaya, perlu dikaitkan atau dinilai dan norma transendental agar tidak ada
yang bertentangan dengan kehendak dan kebijakan Tuhan seperti ditetapkan
dalam syari’at-Nya. Jadi, sumber dari Siyasah Syar’iyyah ada dua macam
yaitu sumber dari atas yakni wahyu (agama) dan sumber dari bawah yaitu
manusia sendiri serta lingkungan.20
Penting dicatat, dikalangan teoritisi politik Islam, ilmu Fiqih siyasah
itu sering disinonimkan dengan ilmu Siyasah Syar’iyyah yang oleh abdul
wahab khalaf didefinisikan sebagai berikut,
“Ilmu siyasah syar’iyyah (ilmu fiqih siyasah) adalah ilmu yang
membahas tentang tata cara pengaturan masalah ketataneragaraan Islam
semisal (bagaimana mengadakan) perundang-undangan dan berbagai
peraturan (lainnya) yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, kendatipun
mengenai penataan semua persoalan itu tidak ada dalil.21
Berbeda dengan siyash syar’iyyah, siyasah wadh’iyyah hanya
memiliki satu sumber saja, yaitu sumber dari bawah atau sumber yang
berasal dari manusia sendiri dan lingkungannya, seperti ara’ ahl bashar
(pandangan para ahli atau pakar), al-urf (uruf), al-adah (adat), al-tajarib
(pengalaman-pengalaman), al-awda’ al-maurutsah (aturan-aturan dulu
yang diwariskan). Sumber-sumber hukum yang berasal dari manusia dan
lingkungannya itu berbeda-beda dan bersifat dinamis, karena adat istiadat,
20 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008),
h. 11-12 21 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah, h. 10
67
pengalaman, budaya, dan pandangan manusia itu pasti berbeda-beda dan
terus menerus bekembang sejalan dengan perbedaan waktu, situasi, dan
kondisi yang mengitarinya.
Namun tidak semua siyasah wadha’iyyah ditolak selama ia tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran dan ruh Islam22
Peraturan di Indonesia bisa masuk kedalam Siyasah Syar’iyyah dan
Siyasah wadh’iyyah, jika tidak bertentangan dengan alquran dan sunnah itu
Siyasah Syar’iyyah, jika peraturan yang dibuat bertentangan dengan syariat
maka itu adalah Siyasah Wadh’iyyah batilah, seperti peraturan yang yang
membolehkan kawin sesama jenis maka hal tersebut bisa dikatakan siyasah
Siyasah Wadh’iyyah yang tidak Islami atau batil, dan ada Juga Siyasah
Wadh’iyyah Islami yang memang dalam pembuatan peraturan tersebut
tidak Islami atau tidak berlandaskan kepada Alqur’an dan Hadits, namun
bisa jadi ketika di uji jiwanya Islami. Menurut Dr. H. Mujar Ibnu Syarif,
M.Ag ada beberapa keriteria Siyasah wadh’iyyah Islami diantaranya:
1. Muthobaqoh sesuai dengan ajaran islam.
2. Peraturan itu meletakkan persamaan kedudukan manusia
didepan hukum dan Pemerintahan.
3. Undang-undang dibuat Untuk menegakkan keadilan.
4. Tidak memberatkan masyarakat
5. Dapat menghujudkan kemaslahatan dan mampu menjauhkan
kemudaratan.
6. Prosedur pengambilan putusannya berdasarkan musyawarah. 23
Siyasah Syar’iyyah dan Siyasah Wadh’iyyah juga dapat dibedakan
dari tujuan yang hendak digapainya. Siyasah Syar’iyyah bertujuan
mengantarkan rakyat menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sementara
22 Abdur Rahman Taj, Al-Siyasat al-Syar’iyat wa al-Fiqh al-Islami, Dar al-Ta’lif,
Mishr, 1953, h. 10-11 dalam Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), h. 24 23 Interview Pribadi dengan dengan Mujar Ibnu Syarif, Ciputat, 5 April 2018.
68
Siyasah Wadh’iyyah hanya bertujuan mengantarkan rakyat untuk
menggapai kebahagiaan duniawi saja.
Dari keriteria diatas jika dikaitkan dengan Putusan MK yang
membolehkan Aliran Kepercayaan dicantumkan dalam kolom KTP, maka
Putusan Tersebut jika suatu saat dijadikan sebuah peraturan, hal tersebut
masuk kedalam katagori Siyasah Wadh’iyah Islami karena dalam putusan
tersebut memuat prinsip keadilan ditengah-tengah masyarakat tanpa adanya
diskriminasi dan kesamaan hak di hadapan hukum seperti halnya warga
negera pada umumnya, dan sama halnya seperti yang ada dalam ajaran
Islam.
Pada umumnya seluruh masyarakat yang ada di Indonesia bahkan di
dunia juga mengharapkan yang namanya keadilan dan perlakuan yang sama
dihadapan hukum tanpa adanya sebuah diskriminasi. Namun dalam kasus
atau dalam hal yang bersifat sensitif seperti halnya agama atau Aliran
Kepercayaan, pemerintah seharusnya mampu menjelaskan kepada
masyarakat awam agar tidak terjadi kesalah pahaman dan pemerintah harus
tegas dalam membuat sebuah peraturan terkait hal tersebut, terutama
definisi dari Agama dan Aliran Kepercayaan harus ditegaskan.
C. Respon dan Implikasi
Permohonan yang di ajukan oleh empat permohon diantaranya oleh
Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, Carlim, mereka
pemohon yang mewakilkan kepercayaanya masing-masing yang mereka
anut dan bisa dikatakan juga sebagai perwakilan kepercayaan-kepercayaan
yang ada di Indonesia supaya bisa mendapatkan hak-hak yang sama sebagai
warganegara. Permasalahan yang mereka ajukan terkait denga pasal 61
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 dan pasal 64 Undang-Undang No. 24
Tahun 2013 tentang Administrasi kependudukan yang mewajibkkan
mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
69
Pasal 61 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan :
Ayat (1)
“KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama
lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, Jenis Kelamin, alamat
tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen
imigasi, nama orang tua.”
Ayat (2)
“Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan
ketentuan peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan
tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”
Pasal 64 UU No. 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-
Undang No. 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Pendudukan :
Ayat (1)
“KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan
peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat element data
penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan,
agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan,
kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan
KTP-el, dan tanda tangan pemilik KTP-el.”
Ayat (5)
“Element data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat
kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam data base
kependudukan.”24
Dalam peraturan diatas menurut para pemohon terjadinya
diskriminasi, kata-kata “Bagi penduduk yang agamanya belum diakui
sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan Perundang-undangan
atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan
dicatat dalam database kependudukan”. Kenyataan dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari, kebijakan negara terhadap Aliran Kepercayaan
sebagai warga negara Indonesia tidak sesuai dengan isi peraturan tersebut,
24 Redaksi Sinar Grafika, UU Administrasi Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), h. 30
70
Aliran Kepercayaan banyak mengalami diskriminasi dalam mendapatkan
layanan Publik, baik kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Padahal dalam
pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan Publik
menyebutkan penyelenggaraan pelayanan Publik berasakan:
a. Kepentingan umum;
b. Kepastian hukum;
c. Kesamaan hak;
d. Kesamaan hak dan kewajiban;
e. Keprofesionalan;
f. Partisipatif;
g. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. Keterbukaan ;
i. Akuntabilias;
j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. Ketepatan waktu; dan
l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkaun;
Dari peraturan diatas ada beberapa point yang tidak rasakan oleh
penganut Aliran Kepercayaan di Indonesia yaitu Kepastian hukum,
kesamaan hak, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif. Setiap warga
negara harus di lindungi oleh negaranya dengan adanya sebuah aturan
(kepastian hukum).25 Setiap warga negara juga berhak mendapatkan hak-
haknya sebagai warga negara tanpa adanya diskriminasi ditengah-tengah
masyarakat dalam pelayanan publik, seperti halnya mendapatkan hak atas
pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas agama yang mereka jalani, hak atas
kesejahteraan sosial, hak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum,
25 Pernyataan Muhammad Hafiz, SHI, MSI (Direktur Eksekutif Human Rights
Working Group) dalam sebuah seminar yaang bertemakan “Kolom Agama Bagi Penghayat
Kepercayaan Kepercayaan Pasca Keputusan Mk Urgensinya dan Implementasinya” yang
diadakan Fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah, Ruang Theatre lt. 2 Fakultas
Syariah dan Hukum, Selasa, 24 April 2018
71
beserta dengan seluruh layanannya yang diatur dan dijamin dalam UUD
1945.
Terkait dengan Putusan MK tersebut, tentang pencantuman Aliran
Kepercayaan di Kartu Tanda Penduduk (KTP) ternyata memuat beragam
opini baik yang pro maupun kontra dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh
agama, pemerintah, pengamat, hingga lembaga yang terkait. Majlis Ulama
Indonesia (MUI) sebagai Lembaga yang mewadahi para Ulama, zu’ama,
dan Cendikiawan Islam di Indonesia turut berkomentar atas putusan MK
tentang pencantuman Aliran Kepecayaan dalam Kolom KTP, terbukti
dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III MUI yang berlangsung dari 28-
30 November 2017 , Rakernas tersebut diikuti 200 peserta dari 34 utusan
MUI provinsi seluruh Indonesia. Dibuka dan ditutup oleh Ketua
Umum MUI Pusat Prof Dr KH Ma'ruf Amin.
Adapun enam keputusan MUI sebagai berikut:
1. MUI sangat menyesalkan putusan Mahkamah
Konstitusi nomor perkara 97/puu-XIV/2016. Putusan
tersebut kami nilai kurang cermat dan melukai perasaan
umat beragama khususnya umat Islam Indonesia karena
putusan tersebut berarti telah menjajarkan kedudukan agama
dengan Aliran Kepercayaan.
2. MUI berpandangan bahwa putusan MK tersebut
menimbulkan konsekuensi hukum dan berdampak pada
tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan serta merusak
terhadap kesepakatan kenegaraan yang selama ini sudah
berjalan dengan baik.
3. MUI berpendapat seharusnya MK dalam mengambil
keputusan yang memiliki dampak strategis, sensitif, dan
menyangkut hajat hidup orang banyak, membangun
komunikasi dan menyerap aspirasi yang seluas-luasnya
kepada masyarakat dan pemangku kepentingan sehingga
72
dapat mengambil keputusan secara obyektif, arif, bijak, dan
lebih aspiratif.
4. MUI menghormati perbedaan agama, keyakinan dan
kepercayaan setiap warga negara karena hal tersebut
merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang
dilindungi oleh negara sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
5. MUI sepakat bahwa pelaksanaan pelayanan hak-hak sipil
warga negara di dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh
ada perbedaan dan diskriminasi sepanjang hal tersebut sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. MUI mengusulkan langkah-langkah solusi terhadap warga
negara yang membutuhkan pelayanan terkait putusan MK
tentang identitas pribadinya agar dicantumkan pada Kartu
Keluarga (KK) atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) seperti
penganut penghayat kepercayaan, Pemerintah wajib
melayani dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemerintah dapat melakukan pencantuman
identitas penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa pada Kartu Keluarga.(KK)
b. Pemerintah dapat mencetak Kartu Tanda Penduduk (KTP)
yang hanya mencantumkan kolom Aliran Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan jumlah
kebutuhan warga penghayat kepercayaan.
c. Adapun urusan yang terkait dengan hak-hak sipil sebagai
warga negara, warga penghayat kepercayaan tetap berada di
73
bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sebagaimana yang selama ini telah berjalan dengan baik.26
MUI Sangat menyesalkan dan memperihatinkan dengan Putusan
tersebut, karena Putusan tersebut tidak mengikuti kesepakatan Nasional
yang telah dicapai dengan susah payah pada saat masa Orde Baru yang telah
dituangkan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) Nomor:
IV/MPR/1978. Dalam GBHN tersebut dalam Bidang Agama dan
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial-Budaya, Agama dan
Aliran Kepercayaan merupakan dua hal yang berbeda tidak dapat
disamakan maupun disatukan, yang kemudian Agama dibina oleh
Kementrian Agama dan Aliran Kepercayaan dibina oleh Kementerian
Kebudayaan, karena agama produk Tuhan, sedangkan Aliran Kepercayaan
merupakan produk manusia. Kesepakatan Nasional ini yang tidak diikuti
oleh MK, terbukti dalam Amar Putusannya, kata agama tidak berlaku
apabila tidak termasuk kepercayaan, kata-kata termasuk berarti Aliran
Kepercayaan merupakan bagian dari Agama, hal tersebut yang disesalkan
oleh MUI terhadap Putusan MK, dulu pada Orde Baru hal tersebut
sangatlah sensitif , inilah yang di langgar oleh Mahkamah Konstitusi yang
hanya mengacu pada HAM dalam UUD tidak melakukan persfektif yang
lebih luas.27
Sikap MUI terhadap Putusan MK tersebut pada awalnya menolak,
kemudian mencari solusi, lalu setuju dituliskan kolom Aliran Kepercayaan
jika hanya dalam KK dan pada akhirnya setuju dituliskan dalam KTP
dengan format yang di usulkan oleh MUI, yaitu membiarkan KTP yang
sudah ada untuk tidak diubah dan KTP untuk Aliran Kepercayaan dibuat
Khusus, dalam format tersebut bukan tertulis Agama melainkan Ketuhanan
26Rakemas MUI Putusan MK Soal Penghayat Melukai Umat Islam:
jpnn.com/news/2017/11/30/rakernas-mui-putusan-mk-soal-penghayat-melukai-umat-
islam
27 Interview dengan Rofikul Umam (Wasekjen Bidang Hukum MUI Pusat)
Perwakilan MUI Pusat, Jl. Proklamasi No. 51 Menteng Jakarta Pusat, 16 Mei 2018
74
Yang Maha Esa atau Aliran Kepercayaan. Oleh karena itu MUI
mengundang tiga Kementerian yaitu Kementerian Agama Drs. H Lukman
Hakim Sifuddin (Menteri) , Kementerian dalam Negeri yang di wakilkan
oleh Prof Dr .Zudan Arif Fakrullah, S.H.,M.H. (Direktur Jenderal
Kependudukan dan Pencatatan Sipil) dan Kementerian Pendidikan dan
kebudayaan yang diwakilkan Didik Suhardi, Ph.D. (Sekretaris Jenderal).
Karena tiga Kementerian tersebut yang kira-kira yang terkait, Kementerian
Agama karena terkait dengan Pembinaan agama-agama, Kemendagri
karena mereka yang menyetak KTP-nya, Kemendikbud karena terkait
pembinaan Aliran Kepercayaan, dan usulan penulisan format dalam KTP
tersebut sangat diterima baik oleh tiga Kementerian tersebut.28
Alasan Penolakan Putusan MK tersebut terkait Pencantuman Aliran
Kepercayaan dalam kolom KTP, Menurut MUI juga ternyata mempunyai
dampak dalam tatanan kehidupan sosial diantaranya:
a. Terpublikasinya Aliran Kepercayaan yang awalnya tidak banyak
didengar dan sekarang mulai terdengar.
b. Menjadikan isu yang gaduh ditengah-tengah masyarakat terutama
Umat Muslim, banyak Umat Muslim yang awam yang tidak
mengerti dan mengakibatkan kesalah pahaman, kegaduan itu
tercermin dengan penolakan sikap MUI tentang Kolom agama,
c. Menyamaratakan Agama dan Aliran Kepercayaan, kepercayaan
bagian dari agama, MUI menyatakan bahwa hal tersebut tidak
dengan kesepakatan awal.
d. Aliran kepercayaan akan tampil percaya diri mereka akan
menampilkan dirinya, Jumlah mereka akan terus bertambah dan
banyak agama-agama yang masuk ke Percayaan mereka,
terutama Umat Muslim yang khawatirkan MUI selaku lembaga
keagamaan.
28 Interview dengan Rofikul Umam (Wasekjen Bidang Hukum MUI Pusat)
Perwakilan MUI Pusat, 16 Mei 2018
75
MUI Kota Tangeselpun Turut merespon tentang pencantuman
Aliran Kepercayaan, dalam memahami putusan MK, menurut MUI Kota
Tangsel, MK sudah menjalankan tugasnya cukup baik dalam memeriksa
dan memutuskan permohonan yang diajukan oleh perwakilan warga negara
Aliran Kepercayaan, masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
terkait diskriminasi tentang hak asasi manusia yang di alami oleh sebagian
warga negara Indonesia Khususnya Aliran Kepercayaan, Peraturan yang
dibuat seharusnya memberikan perlindungan kepada seluruh warga negera
tanpa melihat agama, ras, suku, jabatan, dan lain sebagainya dan peraturan
yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut MUI Kota Tangsel, Ketika ketua umum MUI K.H Mar’uf
Amin berkomentar tentang pencantuman Aliran Kepercayaan dicantumkan
dalam kolom KTP, hal tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang
yang berkaitan dengan aliran sesat, karena Aliran Kepercayaan merupakan
aliran sesat, jika dikaitkan dengan hal tersebut maka sama-sama benar,
intinya adalah arah dari putusan MK itu mengarah kepada penyesuain
terhadap regulasi peraturan perundang-undangan dengan jelas, yang
semuanya tidak ada peraturan dan perundang-undangan baik pasal maupun
ayat yang bersifat diskriminasi terhadap hak warga negera, jadi sebenarnya
jika dipisahkan tidak akan ketemu. Netralitas MK tidak boleh berpengaruh
oleh pihak manapun, maka kasusnya mengarah bagaimana pihak
administrasi kependudukan di Indonesia yang dibawah naungan
Dapertement Dalam Negeri itu membuat aturan yang jelas terhadap Aliran
Kepercayaan dan memperbaiki atau menjelaskan definisi agama berkaitan
dengan administrasi kependudukan bukan kepada pengamalan. 29
Solusi yang terkait dengan pencantuman Aliran Kepercayaan
menurut MUI Kota Tangsel diantaranya:
1. Membatasi arah pemahaman dari masyarakat terkait substansi
amar putusan tentang Pencantuman Aliran Kepercayaan.
29 Interview dengan Hasan Mustofi Ketua Komisi VI Penetapan Hukum, Fatwa &
Perundang-undangan MUI Kota Tansel, Kantor MUI Tangsel, 4 April 2018.
76
2. Pemerintah melakukan perbaikan terhadap administrasi
kependudukan terkait perundang-undangan yang tidak ada
satupun kesan terjadi diskriminasi terhadap hak warganegara.
Kepercayaan Sunda wiwitan, yang merupakan Aliran Kepercayaan
orang-orang sunda terdahulu, yang beranggapan bahwa aliran tersebut
merupakan agama asli masyarakat Sunda. Kepercayaan Sunda wiwitan ini
juga dianut oleh suku adat Baduy yang terdapat di desa kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Suku adat ini juga termasuk suku
adat yang terasing dan bahkan bisa dikatakan mengasingkan diri dari dunia
luar dan sekitarnya (Banten), jumlah penduduk kanekes pada tahun 2017
sebanyak 11.699 (sebelas ribu enam ratus sembilan puluh sembilan) Jiwa,
yang terdiri dari 5.911 (lima ribu sembilan ratus sebelas) laki-laki dan 5.788
(lima ribu tujuh ratus delapan-delapan) Prempuan.30
Anggota masyarakat Baduy atau Kanekes memiliki kepercayaan
yang disebut Sunda Wiwitan, tetapi juga ada beberapa anggota masyarakat
Baduy yang sudah memeluk agama Islam atau Budha, khususnya di warga
Cicakal Girang yang mayoritas beragana Islam. Keberagaman dalam
memeluk agama pada anggota masyarakat Baduy merupakan bentuk
ketaatan yang dilakukan terhadap nilai-nilai dan pandangan hidup yang
diturunkan oleh nenek moyang mereka. Apapun yang menjadi kepercayaan
masyarakat Baduy mengajarkan bahwa semua hal yang berkaitan dengan
pola kehidupan mereka tidak boleh atau pantang untuk diubah.31
Dalam kehidupan sosial memang tidak banyak masyarakat baduy
yang mengurus Pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya yang
dikarenakan mereka masih memegang teguh adat dan budayanya, namun
tidak sedikit masyarakat baduy yang bekerja diluar yang mendapatkan
30 Interview dengan Agus Sekretaris Desa Kanekes, Kantor Desa Kanekes, 18 Mei
2018. 31 Moch. Masykur Fuadz A., “Eksistensi Sunda Wiwitan pada Anggota Suku
Baduy di Jakarta.” (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Air Langga
Surabaya, 2014), h. 1
77
perlakuan diskriminasi, diskriminasi tersebut berupa banyaknya
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika melamar kerja sehingga
banyak yang tidak diterima, dalam melakukan pemilihan pemilu,
dipersulitnya laporan kehilangan ke aparat yang berwajib dikarenakan
kosongnya kolom agama ucap Nista, salah satu warga desa Kanekes,
Kampung Kadu Ketung III.32 Bahkan ketika masyarakat baduy keluar desa
khususnya Jakarta ketika mereka menunjukkan KTP dianggap palsu, karena
kosongnya kolom agama tersebut, dan diskriminasi selain Kosongnya
kolom agama di KTP, tanda tangan dalam KTP pun di permasalahkan ketika
melakukan Jual beli Tanah, dalam pembuatan rekening Bank dan simpan
pinjam, dikarenakan kurangnya pendidikan di masyarakat baduy sehingga
dalam pembuatan tanda tanganpun banyak yang tidak mengerti, sehingga
mereka tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya.33
Dicantumkan Aliran Kepercayaan dalam kolom KTP merupakan
titik terang bagi para penganut Kepercayaan yang ada di Indonesia,
sehingga mempunyai payung hukum bagi mereka dan merupakan bentuk
pengakuan negara terhadap Aliran Kepercayaan. Arwan salah satu warga
desa Kanekes, Kampung Kadu Ketung III merasa sangat senang dengan
Putusan MK. 34 Pemerintahan Desa Kanekes sangat mendukung luar biasa
atas Putusan MK tersebut, selain merasa di akui sebagai warga negara
Indonesia, hal tersebut juga sangat di sambut positif dan warga sangatlah
menanti-nantikan hal tersebut. Pada dasarnya pemerintah berkewajiban
untuk melindungi dan memberikan hak kepada warga negaranya tanpa
memandang agama, ras, suku, warna kulit ataupun yang bersifat
diskriminatif.
32 Interview dengan Nista, Warga Desa Kanekes, Kampung Kadu Ketung III, 18
Mei 2018. 33 Interview dengan Agus, Sekretaris Desa Kanekes, Kantor Desa Kanekes, 18 Mei
2018. 34 Interview dengan Arwan, Warga Desa Kanekes, Kampung Kadu Ketung III, 18
Mei 2018.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan sebuah Penelitian mengenai Pencantuman
Aliran Kepercayaan dalam Kolom KTP Perspektif Fiqih Siyasah, maka
dalam hal ini Peneliti dapat membuat beberapa Kesimpulan, yaitu sebagai
berikut:
1. Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Aliran Kepercayaan dari
zaman perjuangan kemerdekaan hingga periode awal orde lama, sering
mendapatkan diskriminasi dan banyak dari masyarakat penghayat
kepercayaan yang menjadi korban karena dituduh tidak beragama atau
kafir dan mendapatkan perlakuan diskriminsi, Permohonan yang
diajukan Oleh Empat Permohon Nggay Penganut Kepercayaan dari
Komunitas Marapu di Sumba Timur, Pagar Demanra Sirait Penganut
Kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara, Arnol Purba Penganut
Kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Medan, Carlim Penganut
Kepercayaan Sapto Darmo di Jawa. Empat permohon tersebut
merupakan perwakilan dari semua Penghayat Kepercayaan yang
merasa haknya tidak dipenuhi dan mendapatkan perlakuan yang tidak
adil dalam tatanan kehidupan sosial atau diskriminasi, Putusan MK
tersebut merupakan titik terang untuk para penganut kepercayaan yang
ada di Indonesia.
2. Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 Tentang Pencantuman Aliran
Kepercayaan banyak memuat respos Masyarakat diberbagai kalangan,
baik yang Pro maupun yang Kontra. Terutama Majlis Ulama Indonesia
(MUI) sebagai Lembaga yang mewadahi para Ulama, zu’ama, dan
Cendikiawan Islam di Indonesia turut berkomentar atas putusan
tersebut, karena menurut MUI Putusan tersebut tidak mengikuti
kesepakatan Nasional yang telah dicapai dengan susah payah pada saat
masa Orde Baru yang telah dituangkan dalam GBHN (Garis-garis Besar
79
Haluan Negara) Nomor: IV/MPR/1978, terbukti dalam Amar
Putusannya, kata agama tidak berlaku apabila tidak termasuk
kepercayaan, kata-kata termasuk berarti Aliran Kepercayaan
merupakan bagian dari Agama, hal tersebut yang disesalkan oleh MUI
terhadap Putusan MK, padahal dalam GBHN tersebut dalam Bidang
Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial-
Budaya, Agama dan Aliran Kepercayaan merupakan dua hal yang
berbeda tidak dapat disamakan maupun disatukan, Namun dengan
kewibawaan K.H Mar’uf Amin Selaku ketua umum MUI beliau
menerima Putusan tersebut dan memberikan usulan tentang format
KTP untuk para Aliran Kepercayaan, bahwa Aliran Kepercayaan boleh
dicantumkan dalam kolom KTP namun tidak menggunakan kata agama
melainkan Aliran Kepercayaan atau Penghayat Kepercayaan.
Walaupun terjadinya Pro dan Kontra terkait Putusan MK tersebut,
Putusan MK tersebut merupakan titik terang bagi para Penghayat
Kepercayaan yang ada di Indonesia agar lebih di akui oleh Negara dan
dilindungi hak-haknya tidak dibeda-bedakan dengan yang lainnya,
mendapatkan layanan Publik yang sama dalam masalah Pendidikan,
Pekerjaan, Kesehatan, ataupun hal yang lainnya.
3. Dalam Ketatanegaraan Islam, Islam mengatur kebebasan beragama dan
berkeyakinan, melindungi hak warganegara sekalipun ia non-Islam
dengan sebuah dasar-dasar kesatuan umat manusia, bahwa Islam
mempunyai Prinsip Al-Adalah (keadilan), Al-Musawah (persamaan),
Karomah insaniyah (kehormatan manusia) dan lain sebagainya.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah di buktikan dalam
sejarah Islam diantaranya terbentuknya Piagam Madinah. berbagai
macam golongan-golongan, diantaranya Kaum Muslmin, Kaum
Musyrikin (penganut paganisme), kaum Yahudi. Pada mulanya,
perselisihan antar suku sering terjadi di Madinah, tetapi kemudian
80
agama Islam meredam perselisihan mereka dan membawa mereka
kesuasana damai dan kerukunan
Dalam literature Fiqih Siyasah sesunguhnya dikenal dua jenis Siyasah.
Pertama Siyasah Syar’iyyah yaitu siyasah yang dalam proses
penyusunannya memperhatikan norma dan etika agama. Kedua,
Siyasah Wadh’iyyah yaitu Siyasah yang dihasilkan oleh produk
pemikiran manusia semata yang dalam proses penyusunannya tidak
memperhatikan norma dan etika agama. Putusan MK yang
membolehkan Aliran Kepercayaan dicantumkan dalam kolom KTP,
maka Putusan Tersebut jika suatu saat dijadikan sebuah peraturan, hal
tersebut masuk kedalam katagori Siyasah Wadh’iyah Islami karena
dalam putusan tersebut memuat prinsip keadilan ditengah-tengah
masyarakat tanpa adanya diskriminasi dan kesamaan hak di hadapan
hukum seperti halnya wargangera pada umumnya, dan sama halnya
seperti yang ada dalam ajaran Islam.
B. Saran-Saran
Berkaitan dengan Putusan MK terkait dengan Pencantuman Aliran
Kepercayaan dalam Kolom KTP yang terjadi di Indonesia yang memuat
beragam opini baik yang pro maupun kontra dari berbagai kalangan, mulai
dari tokoh agama, pemerintah, pengamat, hingga lembaga yang terkait.
Penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Bahwa Negara Indonesia adalah negara yang terkenal dengan
banyaknya suku dan agama yang beragam, yang mayoritas
penduduknya adalah beragama Muslim, bahkan di Indonesia ada enam
agama yang diakui oleh negara diantaranya Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Khonghucu. Bukan hanya enam agama besar saja
yang disebutkan diatas yang ada di Indonesia melainkan juga ada Aliran
Kepercayaan atau Kepercayaan Tradisonal yang sudah ada sebelum
datangnya enam agama tersebut. Dengan adanya keanekaragaman
tersebut masyarakat Indonesia harus saling menghargai dan
81
menghormati satu sama lain, sesuai dengan apa yang sudah diatur
dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2, bahwa Negara
menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaanya.
2. Negara Indonesia adalah negara hukum, negara yang menjamin hak
setiap warganegaranya tanpa adanya pelakuan Diskriminasi ditengah-
tengah masyrakat. Pemerintah harus memastikan bahwa peraturan yang
tertera dalam UUD tentang hak warga negara sesuai dengan apa yang
ada ditengah-tengah masyarakat seperti halnya hak untuk memeluk dan
menjalankan agama yang mereka alami, menerima pendidikan,
pekerjaan, kesejahteraan, mempunyai kedudukan yang sama dihadapan
hukum dan lain sebagainya,
3. Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 Tentang Pencantuman
Penghayat Kepercayaan dalam Kolam KTP-el dan KK. Memuat
memuat beragam opini baik yang pro maupun kontra dari berbagai
kalangan, mulai dari tokoh agama, pengamat, hingga lembaga yang
terkait. Pemerintah harus melakukan perbaikan terhadap administrasi
kependudukan terkait perundang-undangan yang tidak ada satupun
kesan terjadi diskriminasi terhadap hak warganegara dan dalam
pembuatan peraturan tersebut jangan sampai melukai umat beragama
yang berada di Indonesia.
82
DAFTAR PUSTAKA
Abdul A’la Mawardudi, Maulana, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Islam,
Jakarta: Bumi aksara, 1995
Al-Qaradhawi, Yusuf, Meluruskan Dikotomi Agama & Politik, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2008
Dapertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Ed. III, cet.Ke-2
Djazuli, H.A., Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam
Rambu-Rambu Syariah, Jakarta: Kencana, 2013
Djaelani, Abdul Qadir, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya:
Bina Ilmu, 1995
Fuadz A Moch. Masykur, Eksistensi Sunda Wiwitan pada Anggota Suku
Baduy di Jakarta.” (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Air Langga Surabaya, 2014
Hakiki, Kiki Muhammad, Aliran Kebatinan di Indonesia”, Al-Adyan, VI,
2, Juli-Desember, 2011
Hantoro, Andriawan Bagus dan Abraham Nurcahyo. Studi Perkembangan
Aliran Kebatinan Kerohanian Sapta Darma di Kabupaten Magetan
tahun 1956-2011, Agastya, Vl, 04, No, 2 (Juli, 2014)
Ibnu Syarif , Mujar dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah, Jakarta: Erlangga,
2008
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah, Jakarta: Prenadamedia Group, 2014
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001
Irwansyah, Novi Studi Evaluasi Penyelenggaraan Kebijakan Pemerintah
dan Peranturan Perundang-Undangan di Indonesia Tentang
Pluralistik dan Multi Religi: Permasalahan dan Pemikiran
Kedepan, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, Volume 4, No. 2 (2013)
Kamil, Sukron, Pemikiran Politik Islam Tematik, Jakarta: Kencana
Prenada Group, 2013
Khaliq, Farid Abdul, Fikih Politik Islam, Jakarta: Amzah, 2005
83
Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nusa
Media, Cetakan IV, 2009
Maarif, Samsul, Kebebasan, Toleransi dan Terorisme Riset dan Kebijakan
Agama di Indonesia, Jakarta Selatan: Pusat Studi Agama dan
Demokrasi Yayasan Paramadina, 2017
Mufid, Ahmad Syafi’I, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan
Lokal Di Indonesia, Jakarta: Puslitbang dan Diklat, 2012
Novi Irwansyah, Studi Evaluasi Penyelenggaraan Kebijakan Pemerintah
dan Peranturan Perundang-Undangan di Indonesia Tentang
Pluralistik dan Multi Religi: Permasalahan dan Pemikiran
Kedepan, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, Volume 4, No. 2 (2013)
Prastowo, Andi, Memahami Metode-Metode Penelitian, Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2016
Pulungan, J. Suyuti, Fiqh Siyasah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995
Pulungan, Suyuthi, Prinsip-prinsip Pemerintah dalam Piagam Madinah
Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994
Qadrdan Qaramaliki, Muhammad Hasan, Al-qur’an Dan Pluralisme
Agama, Jakarta: Sadra, 2011
Ranadireksa, Hendarmin, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung:
Fokusmedia, Cetakan Pertama, 2007
Rais, Dhiauddin, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Redaksi Sinar Grafika, UU Administrasi Kependudukan, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007
Sumarno, Isu Pluralisme Dalam Perspektif Media, Jakarta: The Habibie
Center Mandiri, 2009
Sukanda,rumidi, Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2012
Subagya, Rachmat, Agama Asli Indonesia, Jakarta: Sinar Harapa dan
Yayasan Cipta Loka Caraka, 1981
Sukarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaran, Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2013
84
Salim, Agus, Kebijakan dan Pengambilan Keputusan; Kepemimpinan
dalam Manajemen Pendidikan, Jurnal Kementerian Sekretariat
Negara RI, No. 32, (2004)
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945,
Jakarta: UI-press, 1995
Syamsuddin, Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani,
Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2002
Tamrin, Abu dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, Ciputat: UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Tore Lindholm, W. Cole Durham Jr, Bahia G. Tahzib Lie, Facilitating
Fredoom of Religion or Belief: A Deskbook. Penerjemah Rafael
Edy Bosko dan M. Rifa’i Abdul. Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan: Seberapa Jauh?. Yogyakarta: Kanisius, 2014
Zaenal Mutaqin, Zezen, Penghayat, Orthodoxy and the Legal Politik of the
State, Routledge, (07 Januari 2014)
Lampiran-lampiran
Foto bersama MUI Pusat Terutama Bapak Rofiqul Umam, S.H.,M.H., Wasekjen
Bidang Hukum MUI Pusat
Foto bersama Bapak Nista Warga Desa Kanekes Kampung Kedu Ketung III Aliran
Sunda Wiwitan
Foto bersama Bapak Arwan Warga Desa Kanekes Kampung Kedu Ketung III
Aliran Sunda Wiwitan
Foto bersama Bapak Agus Sekretaris Desa Kanekes
Foto bersama MUI Kota Tangerang Selatan Bapak Bapak Hasan Mustofi, M.H.,
Ketua Komisi VI (Penetapan Hukum, Fatwa dan Perundang-undangan)
Foto KTP Aliran Kepercayaan kolom Agama di kosongkan
seminar yaang bertemakan “Kolom Agama Bagi Penghayat Kepercayaan
Kepercayaan Pasca Keputusan Mk Urgensinya dan Implementasinya” yang
diadakan Fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah, Ruang Theatre lt. 2
Fakultas Syariah dan Hukum, Selasa, 24 April 2018
Pertanyaan MUI Pusat
Pada Tanggal 16 Mei 2018
Kantor MUI Pusat Jl. Proklamasi No. 51 Menteng, Jakarta Pusat
1. Bagaimana Respon MUI terhadap Putusan MK ?
Sangat terkejut dengan jatuhnya Putusan MK, MUI menyesalkan
dan memperihatinkan dengan Putusan tersebut, karena Putusan tersebut
tidak mengikuti persepakatan Nasional yang telah dicapai dengan susah
payah pada saat masa orde baru yang telah dituangkan dalam GBHN tahun
1978, dalam GBHN tersebut dalam bidang atau bagian kepercayaan
terhadap ketuhanan yang Maha Esa adalah dua hal yang berbeda tidak dapat
disamakan maupun disatukan, kemudian agama dibina oleh kementrian
agama dan Aliran Kepercayaan dibina oleh Kementerian kebudayaan,
karena agama Produk Allah, sedangkan Aliran Kepercayaan merupakan
produk Manusia, kesepakatan Nasional ini yang tidak diikuti oleh MK
terbukti dalam Amar Putusannya, menyatakan bahwa kata agama tidak
berlaku kalau tidak dimaknai termasuk kepercayaan, kata-kata termasuk
kepercyaan artinya bahwa kepercayaan adalah bagian dari agama, padahal
sudah jelas berbeda, kata-kata termasuk berarti bagian dari tersebut,
disesalkan oleh MUI kenapa MK tidak sensitif terhadap putusan tersebut,
dulu pada Orde Baru sangat sensitif disebut kebatinan, inilah yang di
langgar oleh Mahkakah Konstitusi yang hanya mengacu hak asasi manusia
dalam UUD tidak luas persfektifnya. MUI memang tidak terlibat masalah
untuk membela pasal-pasal yang tergugat.
MUI merespon dengan penyataan singkat, awal-awal menolak,
perkembangannya respon yang kesetika, perkembangannya karena kita
hidup dinegara hukum, harus taat terhadap hukum dalam pasal 1 ayat 3
UUD 45, kemudian dalam Rakernas MUI di bogor, sudah diputuskan.
2. Dalam amar putusan apa benar mencidrai MUI
Analisis MUI kepercayaan dari amar tersebut maka kepercayaan
merupakan bagian dari agama, karena mereka menyatakan bahwa agama,
kata agama tidak berlaku apabila tidak termasuk kepercayaan, seandainya
kata-kata amar itu kata agama hanya berlaku apabila dimaknai sebagai
agama dan kepercayaan, nah itu bagus.
3. Apakah Format MUI tentang KTP disetujui oleh Kemendagri?
MUI mengundang tiga kementerian, kementerian Agama,
kementerian dalam Negeri, Kementerian pendidikan dan kebudayaan
karena tiga kementerian tersebut yang kira-kira yang terkait, kemendagri
karena mereka yang menyetak KTP nya, kementerian agama karena ia
membina agama-agama, yang ketika kemendikbud karena mereka membina
aliran kepercayaan-kepercayaan tersebut, setelah dirumuskan oleh
dirumuskan oleh tim MUI dibahwah pimpinan KH Maaruf Amin, bahwa
bagi umat beragama yang sudah mempunyai KTP tidak usah di ganti KTP
tersebut, kecuali iya merubah status perkawinan dari yang belum menikah
menjadi menikah, adapun bagi penghayat kepercayaan mempunyai KTP
yang khsusus.
4. Apakah Pemerintah Pernah mengundang MUI unntuk membahas
permasalahan KTP untuk Aliran Kepercayaan?
Dalam pertemuan pertama seluruh agama dan kaum penghayat, dari
Komnas HAM, Komnas prempuan dan kementerian yang terkait datang di
kantor Dikjen Admiduk dipasar minggu, awalnya belum memberikan
usulan dan MUI masih menolak dan akhirnya memberikan usul. Ketika
konsul dengan pimpinan lalu muncullah solusi tentang format KTP tersebut,
sehingga di undanglah tiga Kementerian, menteri agama datang ketua,
Kemendagri Digjen, Kemendikbut hadir Sekjen, dan seluruh ormas Islam.
Putusan pertaama menolak, kedua menolak mencari solusinya, dalam
memasukkan identitas dalam KK saja, baru dipersilahkan memasukkan
dalam kolom KTP. Formatnya sepakat dan keluarnya setelah PILKADA,
5. Dampak dicantumkannya Aliran Kepercayaan
a. Terpublikasinya Aliran Kepercayaan yang awalnya tidak banyak
didengar dan sekarang mulai terdengar.
b. Menjadikan isu yang gaduh ditengah-tengah masyarakat terutama Umat
Muslim, banyak umat islam yang awam yang tidak mengerti, kegaduan
itu tercermin dengan penolakan sikap MUI tentang Kolom agama,
c. Biasnya menyamaratakan Agama dan Aliran Kepercayaan, kepercayaan
bagian dari agama, MUI menyatakan bahwa hal tersebut tidak dengan
kesepakatan awal.
d. Aliran kepercayaan akan tampil percaya diri mereka akan menampilkan
dirinya,
e. Jumlah Penghayat akan bertambah, agama agama yang lain akan pindah
ke Aliran Kepercayaan.
f. Mengubah tatanan sosial dan mengubah layanan publik .
Pertanyaan MUI Tangsel
Pada Tanggal 4 April 2018
Kantor MUI Tangsel
1. Bagaimana respon MUI tentang Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016
Tentang Pencantuman Penghayat Kepercayaan dalam Kolam KTP-el dan
KK ?
Jawab
Subtansinya memahami putusan MK, hanya pada hal-hal yang
administrasi hukum, yang diajukan ke MK adalah bagaimana masyarakat
minta penjelasan terhadap permasalahan yang terjadi oleh Aliran
Kepercayaan, orang-orang ini terkena dampak hak yang buruk
dimasyarakat. Kosongnya karena tidak ada kejelasan hak hukum, pelayanan
utuk nikah jika kosong maka dalam administrasi dalam KTP memberikan
hak-hak jaminan. Ketika ketua MUI maaruf amin berkomentar tentang
pencantuman Aliran Kepercayaan dalam kolam KTP itu juga bertentangan
dengan Undang-undang berkaitan dengan aliran sesat, karena aliran
kepercayaan merupakan aliran sesat, jika dikaitkan dengan hal tersebut
maka sama-sama benar, intinya adalah arah dari putusan MK itu mengarah
kepada penyesesuain terhadap regulasi peraturan perundang-undangan
dengan jelas yang semuanya tidak ada peraturan dan perundang-undangan
baik pasal maupu ayat itu yang bersifat diskriminasi terhadap hak hukum,
jadi sebenarnya kalau dipisahkan tidak akan ketemu. Netralitas MK tidak
boleh berpengaruh oleh pihak apapun, maka kasusnya arahnya adalah
bagaimana pihak administrasi kependudukan di Indonesia yang dibawah
naungan Dapertement Dalam Negeri itu membuat aturan yang jelas
terhadap aliran kepercayaan,.
2. Apakah benar putusan MK tersebut dinilai kurang cermat dan melukai
perasaan umat beragama khususnya umat Islam Indonesia karena putusan
tersebut berarti telah menyejajarkan kedudukan agama dengan Aliran
Kepercayaan?
Jawab
Jika dikaitkan dengan Islam itu jelas, karena Aliran Kepercayaan
dulu pernah meminta legitimasi terhdap lembaga-lembaga ke Islaman
terutama PTIQ, sesuai dengan putusan, aliran kepercayaan tidak masuk
termasuk agama, ini kajiannya bukan masalah keagamaanya,. Pemerintah
harus bisa menterjemahkan apa yang ada di dalam UUD terkait dengan
aliran kepercayaan. MK berbicara tentang administrasi Undang-undang
bukan efek Undang-undang, MK merekomendasikan memperbaiki atau
menjelaskan definisi agama berkaitan dengan administrasi kependudukan
bukan kepada pengamalan.
3. Apakah dengan diputuskan putusan tersebut dapat menimbulkan
konsekuensi hukum dan berdampak pada tatanan kehidupan sosial
kemasyarakatan ?
Jawab
Pasti berdapak secara sosial agama, dampaknya yang paling
dijadikan indikator kebijakan pemerintah yang tidak cermat terhadap
pengaturan Administrasi Kependudukan dalam hal pembedaan agama,
maka dulu isu dikosongkan saja kolom agama, itu isu terhadap masyarakat
malah tidak jelas, jadi yang jelas ketua MUI itu sudah mengatakan bahwa
itu bertentangan dengan mana aliran kepercayaan. Semua Aliran
Kepercayaan yang ada di Indonesia sesat, selain yang 6 agama maka sesat
sesat secara peraturan undang dan sesat menurut agama.
4. Bagaimana solusi menurut MUI untuk masalah pencantuman aliran
kepercayaan dalam KTP ?
Jawab
a. Membatasi arah pemahaman dari masyarakat bahwa tentang subtasi
Amar Putusan yang di ajukan.
b. pemerintah melakukan perbaikan kepada Administrasi perundang-
undangan yang tidak ada satupun kesan terjadi diskriminasi terhdap
hak kepada perundang-undangan, jika tidak dicantumkan maka
tidak jelas, jika dicantumkan maka bertentangan dengan undang-
undang lain. Bertentangan dengan hak-hak lain pemerintah dalam
hal upaya melakukan legilasi yang berkaitan dengan administrasi
kependudukan. Defacto dan dejure disinkronisasi, Tidak
menyinggung keagamaan dan tidak menghilangkkan hak-hak
individu