Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

32
PENATALAKSANAAN KONSERVATIF PADA BPH( BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA) Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian / SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala BPK RSU dr. Zainoel Abidin – Banda Aceh Oleh : IRWANTO 0407101010024 Pembimbing Dr. Jufriady Ismy, Sp. U Bagian / SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala BPK – RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh 2010 KATA PENGANTAR

description

artikel

Transcript of Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

Page 1: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

PENATALAKSANAAN KONSERVATIF PADA BPH( BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas

Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian / SMF Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

BPK RSU dr. Zainoel Abidin – Banda Aceh

Oleh :IRWANTO

0407101010024

Pembimbing

Dr. Jufriady Ismy, Sp. U

Bagian / SMF Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

BPK – RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

2010

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Puji dan Syukur kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya, Salawat dan Salam penulis panjatkan pada junjungan Nabi Muhammad

SAW yang telah membawa kita menuju masa yang penuh ilmu pengetahuan, sehingga penulis

dapat menyelesaikan tugas tinjauan kepustakaan yang berjudul “Penatalaksanaan Konservatif

Pada BPH ” yang akan diajukan penulis untuk melengkapi salah satu persyaratan dalam

Page 2: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

menjalani Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian / SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

UniversitasSyiah Kuala BPK RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr.

Jufriady Ismy, Sp. U atas sumbangsihnya yang tak terhingga dalam penyelesaian referat ini.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari

kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk

perbaikan di masa yang akan datang.

Akhir kata penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

     Banda Aceh, Desember 2010

                                                                                                Penulis

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

            Benign Prostate Hypertrophy (BPH), lebih tepatnya hyperplasia, sebenarnya adalah suatu

keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan

prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.

Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi

pria lanjut usia.. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria

diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian

menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun mengalami hiperplasia

prostat. Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk

mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari tindakan yang paling

ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi.

Saat ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan teknologi dibidang

urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk penderita muda, kegiatan seksual

aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk operasi dan pada penderita yang menolak operasi.

Page 3: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

 

BAB II

PENATALAKSANAAN KONSERVATIF PADA BPH( BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA)

2.1 Definisi BPH(Benign Prostatic Hyperplasia)

Ada beberapa pendapat tentang pengertian BPH ini natra lain:

1. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh    penuaan. Price&Wilson

(2005)

2. Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000)

3. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam

kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan

Bare, 2002)

4.  Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria >

50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius.

(Doenges, 1999)

5. Menurut Doenges (1999) dan Engram (1998) untuk mengatasi BPH, tindakan infasif medikal

yang sering digunakan oleh Rumah Sakit adalah prostatektomy, yaitu tindakan pembedahan

bagian prostat (sebagian/seluruh) yang memotong uretra bertujuan untuk memperbaiki aliran

urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.

Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan

oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran (kelenjar periuretral prostat

mengalami hiperplasia) memanjang keatas  ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin

dengan cara menutupi orifisium uretra.

 

2.2 Etiologi

Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat

hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya

dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis

yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :

  Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut;

Page 4: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

  Sifat jaringan  berasal dari sinus urogenital yang berpotensi proliferasi

  Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar

prostat;

  Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati;

  Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan

produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.

  Interaksisel stroma dan sel epitel prostat

2.3  Patofisiologi

Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan

keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi

tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan

bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-

sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan

enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam

sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.

            Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan

pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan

pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus

trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor

dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem

simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang

bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi

keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat

detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut

trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan

mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan

detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut

maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk

berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala

Page 5: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup

lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus,

menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi

karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung

kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai

hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency,

disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi

menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi

sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan

refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal

ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan

penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen

yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan

membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin

dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat

menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

2.4  Manifestasi Klinis

Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan

iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat

sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau

miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus

(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen

karena overflow.

Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat

akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau

dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi

(frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang

mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)

Page 6: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :

a)      Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.

b)      Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai

habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi

nocturia.

c)      Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

d)     Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over

flow inkontinen).

 

Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :

Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin

berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat

berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine

akut.

Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :

a.       Rectal Gradding

Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :

-       Grade 0 : Penonjolan prosrat 0-1 cm ke dalam rectum.

-       Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.

-       Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.

-       Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.

-       Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.

b.      Clinical Gradding

Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu

kemudian dipasang kateter.

-          Normal : Tidak ada sisa

Page 7: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

-          Grade I : sisa 0-50 cc

-          Grade II : sisa 50-150 cc

-          Grade III : sisa > 150 cc

-          Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

2.5  Pemeriksaan Diagnostik Untuk Benigna Prostat Hiperplasia

Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:

1.      Pemeriksaan fisik

Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting

pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari

kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan

adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu

tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung underestimate

daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa

ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur,

ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas

pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%. Perlu dinilai keadaan

neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi neuromusluler ekstremitas bawah.

Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang

dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral.

2.      LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin

3.      RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto

polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk,

ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal

Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula

menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel,

tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).

4.      Prostatektomi Retro Pubis. Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak

dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior

kapsula prostat.

5.      Prostatektomi Parineal Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum.

2.6  Pemeriksaan Penunjang Untuk Benigna Prostat Hiperplasia

Page 8: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

Adapun menurut Mansjoer Arief, (2000) pemeriksaan penunjang pada penyakit BPH,

meliputi :

1. Pemeriksaan laboratorium

o    Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopik urine penting untuk melihat adanya sel leukosit,

bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan

pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih.

o    Elektrolit, kadar ureum, dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan

status metabolik.

o    Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi

atau sebagai deteksi dini keganasan.

2. Pemeriksaan radiologis yang biasanya dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi

intravena, USG dan sistoskopi, tujuannya adalah untuk memperkirakan volume BPH.

3. Pemeriksaan fungsi ginjal

Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah

ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan

rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%)

lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam

kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem

pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9%  jika terdapat kelainan

kadar kreatinin serum10. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk

perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.

4. Catatan Harian Miksi (Voiding Diaries)

Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian

bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat berguna

pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan

dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang

dikemihkan dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor

akibat obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya

pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik2,10, namun

Page 9: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

Brown et al (2002) mendapatkan bahwa pencatatan selama 3-4 hari sudah cukup untuk menilai

overaktivitas detrusor.

5. Pemeriksaan residual urine

Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di

dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL

dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual urine

kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL.

Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melaku-kan

pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non

invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui

kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak meng-enakkan bagi pasien,

dapat menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi

bakteriemia. Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai variasi

individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual urinenya pada waktu

yang berlainan pada hari yang sama maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan perbedaan

volume residual urine yang cukup bermakna.

Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine yang cukup

banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120 ml) hasil

pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama. Dahulu para ahli urologi beranggapan bahwa

volume residual urine yang meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu dilakukan

pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak selalu menunjukkan

beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan

Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume residual urine tidak dapat menerangkan adanya

obstruksi saluran kemih. Namun, bagaimanapun adanya residu uirne menunjukkan telah terjadi

gangguan miksi. Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang cukup

banyak, demikian pula pada volume residual urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi

pada buli-buli sehingga terapi medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang

memuaskan. Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai

bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena

Page 10: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

variasi intraindividual yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan

sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG transabdominal.

6. Pencitraan Traktus Urinarius

Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap traktus urinarius

bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH

dikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi untuk mengungkapkan adanya:

a)      kelainan pada saluran kemih bagian atas

b)      divertikel atau selule pada buli-buli,

c)      batu pada buli-buli,

d)     perkiraan volume residual urine, dan

e)      perkiraan besarnya prostat.

Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau USG, ternyata

bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas; sedangkan

yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan

berbeda dari yang lain. Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak

direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal

diketemukan adanya:

a)      hematuria,

b)      infeksi saluran kemih,

c)      insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG),

d)     riwayat urolitiasis, dan

e)      riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia.

Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan besarnya

prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak direkomendasikan. Namun

pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya striktura uretra. Pemeriksaan USG prostat

bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya karsinoma

prostat. Pemeriksaan ultrasonografi prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin,

kecuali hendak menjalani terapi:

a. inhibitor 5-α reduktase,

b. termoterapi,

Page 11: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

c. pemasangan stent,

d. TUIP atau

e. prostatektomi terbuka.

Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan

transabdominal (TAUS) ataupun transrektal (TRUS). Jika terdapat peningkatan kadar PSA,

pemeriksaan USG melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan

adanya karsinoma prostat.

7. Uretrosistoskopi

Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan buli-buli.

Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu buli-buli,

trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan

sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak

mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan

retensi urine sehingga tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH.

Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk

menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada

kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat

membantu dalam mencari lesi pada buli-buli.

8. Pemeriksaan urodinamika

Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai pancaran

urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan urodinamika (pressure

flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi leher

buli-buli dan uretra atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk pasien

yang hendak menjalani pembedahan. Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan

disebabkan oleh BPO melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi otot detrusor sehingga

pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan bermanfaat. Pemeriksaan urodinamika

merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi pasien BPH bergejala. Meskipun merupakan

pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam

menentukan derajat obstruksi prostat (BPO), dan mampu meramalkan keberhasilan suatu

Page 12: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

tindakan pem-bedahan. Menurut Javle et al (1998)30, pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas

87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan uro-dinamika

pada BPH adalah berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual

urine>300 mL, Qmax>10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis,

setelah gagal dengan terapi invasif, atau kecurigaan adanya buli-buli neurogenik.

2.7 Diagnosa

            Diagnose ditegakakan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik ditambah

pemeriksaan penunjang.

2.8  Diagnosis Banding

Kelemahan otot destrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih

neurologik), misalnya pada lesi medula spinalis, neuropati diabetes, bedah radikal yang

mengorbankan persarafan didaerah pelvis, dan penggunaan obat-obatan (penenang, penghambat

reseptor ganglion dan parasimpatik).

Kekakuan leher buli-buli dapat disebabkan oleh proses fibrosis. Resistensi uretra dapat

disebabkan oleh pembesaran prostat (jinak atau ganas), tumor dileher buli-buli, batu uretra dan

striktur uretra.

2.9  Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin

beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat.

Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan

gagal ginjal. (Corwin, 2000)

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan

penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen

yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan

membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin

dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat

menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

Page 13: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

2.10          Penatalaksanaan Medis Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung

pada stadium-stadium dari gambaran klinis

a.       Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan

konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.

Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi

proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk

pemakaian lama.

b.      Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan

reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)

c.       Stadium III

Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah

cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan

terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.

d.      Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total

dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok

melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan

dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor

alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan

produksi LH.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat

dilakukan dengan:

a.       Observasi

Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari

alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.

b.      Medikamentosa

Page 14: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

1.      Mengharnbat adrenoreseptor α

2.      Obat anti androgen

3.      Penghambat enzim α -2 reduktase

4.      Fisioterapi

c.       Terapi Bedah

Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi

saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis.

  

2.10.1 Terapi Konservatif Non Operatif

Sampai dengan tahun 1980-an kasus-kasus BPH selalu diatasi dengan operasi. Didorong

oleh faktor biaya dan morbiditas post operatif yang tidak nyaman maka terus dicari pendekatan

yang lebih aman, nyaman dan bahkan lebih ekonomis. Di dalam penatalaksanaan terapi

hiperplasia prostat ini terdapat istilah terapi konservatif yang merupakan terapi non operatif.

Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan operasi

dapat diusahakan pengobatan konservatif.

1. Watchful Waiting

Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan. Tindakan yang

dilakukan adalah observasi saja tanpa pengobatan.

•         Sebagian besar tanpa keluhan

•         Tanpa penyulit / gejala

•         Kualitas hidup tetap baik

Indikasi:

•         BPH dengan IPSS ringan < 8

•         Baseline data normal

•         Residual urine < 50 cc

•         Flowmetri : non obstruktif

•         Q max > 15 cc/ sec

•         Prostate volume < 20 cc

Follow-Up

•         Tiap 3-6 bulan

Page 15: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

•         Ulangi :

•         IPSS

•         Flow (6 bulan)

•         PSA (6-12 bulan)

b. Terapi Medikamentosa

1.      Golongan Supressor Androgen (Hormonal)

Pada tingkat supra hypofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist yaitu obat yang

menjadi kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang lebih besar dengan reseptor bagi LH-RH,

sehingga obat ini akan “menghabiskan” reseptor dengan membentuk LH-RH super agonist

reseptor kompleks. Sehingga mula-mula oleh karena banyaknya LH-RH super agonist yang

menangkap reseptor, pada permulaan justru akan terjadi kenaikan produksi LH oleh hypofisis.

Tetapi setelah reseptor “habis”maka LH-RH tidak dapat lagi mencari reseptor , maka LH akan

menurun. Contoh obat adalah Buserelin, dengan dosis minggu I 3dd 500 mg s.c. (7 hari) dan

minggu II intra nasal spray 200 mg, 3 kali sehari.

Pemberian obat-obat anti androgen yang dapat mulai pada tingkat hipofisis misalnya

dengan pemberian Gn-RH analogue sehingga menekan produksi LH, yang menyebabkan

produksi testosteron oleh sel leydig berkurang. Cara ini tentu saja menyebabkan penurunan

libido oleh karena penurunan kadar testosteron darah.

Pada tingkat infra hipofisis pemberian estrogen dapat memberikan umpan balik dengan

menekan produksi FSH dan LH, sehingga produksi testosteron juga menurun. Contoh

preparatnya ialah Diaethyl Stilbestrol (DES) dosis satu kali 1-5 mg sehari.

Pada tingkat testikular, orchiectomi untuk pengobatan pembesaran prostat jinak hanya

dikenal pada sejarah, sekarang cara pengobatan ini untuk hiperplasia prostat telah ditinggalkan.

Untuk karsinoma prostat tentu saja orchiectomi masih dikerjakan oleh karena pertimbangan

kemungkinan penyebaran ca prostat dan juga biasanya penderita telah tua.

5-alfa reduktase inhibitor mekanisme kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi

DHT dengan cara menghambat 5 alpha reduktase, suatu enzim yang diperlukan untuk mengubah

testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen yang mempengaruhi

pertumbuhan kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT berkurang tetapi jumlah testosteron tidak

berkurang, sehingga libido juga tidak menurun. Penurunan kadar zat aktif dehidrotestosteron ini

Page 16: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

menyebabkan mengecilnya ukuran prostat. Contoh obat tersebut ialah Finesteride, Proscar

dengan dosis 5 mg/hari dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan, Finasteride mengurangi volume

prostat sampai 30%. Penelitian lain di Kanada menyatakan bahwa Finasteride mengurangi

volume prostat pada 613 pria dengan angka rata-rata 21%, mengurangi gejala dan memperbaiki

laju pancaran urin sampai 12%. Obat ini mempunyai toleransi baik dan mempunyai efek

samping  meliputi penurunan keinginan berhubungan sex, masalah mendapatkan ereksi, dan

masalah dengan ejakulasi yang bermakna.

Obat anti androgen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat yang

mempunyai mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT sehingga DHT

tidak dapat membentuk kompleks DHT-Reseptor. Contoh obatnya ialah : Cyproterone acetate

100 mg 2 kali/hari, Flutamide, medrogestone 15 mg2 kali/hari dan Anandron. Obat ini juga tidak

menurunkan kadar testosteron pada darah, sehingga libido tidak menurun. Golongan gestagen

dan ketokonazole, obat-obat ini mempunyai khasiat : mengurangi enzim dehidrogenase dan

isomerase yang berguna untuk metabolisme steroid, menekan LH dan FSH, menjadi saingan

testosteron untuk 5 alpha reduktase sehingga DHT tidak terbentuk. Contoh obatnya adalah

Megestrol acetat 160 mg empat kali sehari dan MPA 300-500 mg/hari. Kesulitan pengobatan

konservatif ini adalah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping dari obat.

2.      Golongan  α bloker adrenergik

Seperti kita ketahui persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan kapsul

prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama mengandung reseptor alpha, jadi

dengan pemberian obat golongan alpha adrenergik bloker, terutama alpha 1 adrenergik bloker

maka tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat akan berkurang, sehingga sehingga

menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan memperbaiki gejala miksi. Bila serangan

prostatismus memuncak menjurus kepada retensio urin ini adalah pertanda bahwa tonus otot

polos prostat meningkat atau berkontraksi sehingga pemberian obat ini adalah sangat rasional.

Episode serangan biasanya cepat teratasi.

Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2x10 mg/hari. Sekarang

telah tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1 adrenergik bloker yaitu Prazosine, dosisnya

adalah 1-5 mg/hari, obat lain selain itu adalah Terazosin dosis 1 mg/hari, Tamzulosin dan

Doxazosin. Pengobatan dengan penghambat alpha ini pertama kali dilakukan oleh Caine dan

kawan-kawan yang dilaporkan pada tahun 1976. Dengan pengobatan secara ini ditemukan

Page 17: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

perbaikan sekitar 30-70% pada symptom skore dan kira-kira 50% pada flow rate. Tetapi

kelompok obat ini tidak dapat digunakan berkepanjangan karena efek samping obat ini berupa

hipotensi ortostatik, palpitasi, astenia vertigo dan lain-lain yang sangat mengganggu kualitas

hidup kecuali bagi penderita hipertensi.

Penelitian terakhir di Amerika Serikat menyebutkan bahwa Doxazosin terbukti efektif

dalam pengobatan hiperplasia prostat jangka panjang pada pasien hipertensi dan normotensi.

Prazosine diketahui lebih selektif sebagai alpha 1 adrenergik bloker, sedang phenoxy

benzanmine meskipun lebih kuat tetapi tidak selektif untuk reseptor alpha 1 dan alpha 2, dan

sekarang ditakutkan phenoxy benzanmine bersifat karsinogenik. Jadi kelompok obat penghambat

adrenoreseptor alpha ini hanya dapat digunakan untuk jangka pendek dan akan lebih fungsional

pada terapi tahap awal, obat ini mempunyai efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak

mempengaruhi proses hiperplasia prostat sedikitpun. Bila respon dari pengobatan ini baik maka

ini merupakan indikator untuk masuk kedalam tahap perawatan “Watch and wait”.

Alfa bloker merelaksasi otot polos prostat, dan leher kelenjar, yang membantu untuk

menghilangkan penyumbatan yang disebabkan oleh pembesaran prostat pada BPH. Efek

samping dapat berupa sakit kepala, kelelahan, atau sakit kepala ringan. Alfa bloker yang sering

digunakan adalah tamsulosin (Flomax), alfuzosin (Uroxatral), dan obat lama seperti terazosin

(Hytrin) atau doxazosin (Cardura). Obat-obat ini umumnya akan menyebabkan perbaikan gejala

dalam beberapa minggu dan tidak mempunyai efek pada ukuran prostat

c.   Fitoterapi

Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi farmakokinetik dan

farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal. Kelompok obat ini juga disebut

dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit dapat diobati secara tuntas dengan kemoterapi ini.

Banyak penyakit kronis, degeneratif, gangguan metabolisme, dan penuaan yang belum ada

obatnya seperti: kanker, hepatitis, HIV, demensia, dll. Banyak pula yang belum bisa dituntaskan

pengobatannya. Termasuk ini adalah: BPH, DM, hipertensi, rematik, dll. Sehingga diperlukan

terapi komplementer atau alternatif. Kelompok terapi ini disebut Fitoterapi. Disebut demikian

karena berasal dari tumbuhan. Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan

penelitian yang panjang.

Page 18: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui. Diantara sekian

banyak fitoterapi yang sudah masuk pasaran, diantaranya yang terkenal adalah Serenoa repens

atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds yang digunakan untuk pengobatan BPH. Keduanya,

terutama Serenoa repens semakin diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prosatisme

BPH dalam kontek “watchfull waiting strategy”. Di Jerman 90% kasus BPH di terapi dengan

Serenoa repens tunggal atau kombinasi, dan di negara-negara Eropa dan Amerika pemakaiannya

terus meningkat dengan cepat.

a.       Saw Palmetto Berry (SPB)

Yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu obat tradisional Indian. Catatan empiriknya

tentang manfaat tumbuhan ini untuk gangguan urologis sudah ada sejak tahun 1900. Isu back to

nature memberikan iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.

Bukti-bukti empirik lapangan dan empirik uji klinik semakin banyak mencatat efektifitas dan

keamanannya. Dalam Current Medical Diagnosis and Treatment (2001) dinyatakan bahwa Saw

Palmetto Berry (SPB) ini didalam 18 RCT (Randomized Clinical Trial) dengan 2939 subyek

adalah superior terhadap placebo dan efektifitasnya sama dengan finasteride. Efek samping obat

berupa disfungsi ereksi = 1,1% sedangkan finasteride = 4,9%. Dalam Life Extension Update

dimuat, dari sebanyak 32 publikasi studi terdapat catatan bahwa extract dari SPB ini secara

signifikan menunjukan perbaikan klinis dalam hal :

a) Frekuensi nokturia ® berkurang

b) Aliran kencing ® bertambah lancar

c) Volume residu dikandung kencing ® berkurang

d) Gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir ® berkurang

Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia :

a)      Menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor androgen

b)      Bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat aktifitas enzim cycloxygenase

dan 5 lipoxygenase.

b.      Pumpkin seeds (Cucurbitae peponis semen)

Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman dan Austria sejak abad

16 untuk gangguan “urinoir” dan belakangan ini ekstraknya dipakai untuk mengatasi gejala yang

Page 19: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

berhubungan dengan BPH didalam konteks farmakoterapi maupun uji klinis kombinasi dengan

ekstraks serenoa repens.

Penelitian di Jerman melakukan studi terhadap preparat yang mengandung komponen

utama beta-sitosterol dengan sedikit campuran campesterot dan stigmasterol untuk mengobati

hiperplasia prostat. Hasilnya, terjadi perbaikan seperti halnya terapi menggunakan penghambat

reseptor alpha dan 5-alpha reduktase, tetapi dengan efek samping yang lebih minimal. Walaupun

mekanisme kerja dari preparat campuran fitosterol ini belum dapat dibuktikan, penelitian terus

dikembangkan untuk keperluan di masa depan.

c.       Saw palmetto berry

d.      South African star grass

e.       African plum tree

f.       Stinging nettle

g.      Rye pollen

h.      Cactus flower

i.        Pine flower

j.        Spruce

Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan

kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan

bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus).

Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah

yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat

gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral,

menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan

gejala klinik ditujukan untuk :

1.    Menghilangkan atau mengurangi volume prostat

2.    Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3.    Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor

 

BAB

III

Page 20: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Benign Prostate Hypertrofia sebenarnya merupakan suatu hiperplasia kelenjar periuretral.

Hiperplasia prostat mempunyai angka kejadian yang bermakna pada populasi pria lanjut usia.

Etiologi dari hiperplasia prostat hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, beberapa

teori menyebutkan hal ini berkaitan dengan meningkatnya kadar DHT dan karena proses aging

(menjadi tua). Hiperplasia prostat menyebabkan gejala obstruksi dan iritasi saluran kemih.

Terapi bisa dilakukan secara konservatif (nonoperatif) berupa observasi dan

medikamentosa seperti Golongan Supressor Androgen antara lain: Inhibitor 5 reduktase

(Finasteride dan Dutasteride), Anti androgen dan Analog LHRH. Dan juga Golongan Bloker

Adrenergik seperti prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin, tamsulosin, Phenoxy benzanmine

(Dibenyline). Selain itu juga disertai pengobatan Phytoterapi Saw palmetto berry, South African

star grass, African plum tree, Stinging nettle, Rye pollen ,Pumpkin seed, Cactus flower, Pine

flower serta Spruce. Terapi nonkonservatif (operatif) bisa dilakukan jika memang hiperplasia

prostat sudah lebih dari 90% meskipun akhir-akhir ini dikembangkan beberapa terapi non-bedah

yang kurang invasif.

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W. A. N. 2007. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Terjemahan H. Hartanto, et.al. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton, A. C., J. E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Terjemahan Irawati, et.al.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Nasution, I. 2007. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Semarang:

Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.

Priyanto, J.E. 2007. Benigna Prostat Hiperplasi. Semarang: Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP.

Rahardjo, D. 2007. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan. Jakarta:

Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo.

Page 21: Penatalaksanaan Konservatif Pada BPH

Soebadi, D.M. 2006. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH. Surabaya: SMF/Lab. Urologi RSUD Dr.

Soetomo-FK Universitas Airlangga.

Sjamsuhidajat, R., de Jong W. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Tenggara, T. 2000. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat. Dalam: Majalah

Kedokteran Indonesia. Volume 48. Jakarta: IDI.

Tortora, G. J., N. P. Anagnostaskos. 2007. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi 11. New York:

Harper&Row, Publishers

Sjamsuhidajat R, de Jong W. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC,.

Tenggara T. 1998. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah Kedokteran

Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI

Reksoprodjo S. 1995. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama, Jakarta :

Binarupa Aksara

Sabiston, David C. 1994. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC.

Katzung, Bertram G. 1997.Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC.

Rahardja K, Tan Hoan Tjay. 2002.Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek – Efek

Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia.

Rahardjo D. 1993.Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan, Jakarta :

Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo,

Priyanto J.E. 2002. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK UNDIP.

Soebadi D.M. 2002. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi RSUD Dr.

Soetomo-FK Universitas Airlangga.

Purnomo B.P. 2000. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto.

Anonim. 1997.Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina.

Hugh. A.F. Dudley. 1992.Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th edition, Gadjah Mada University

Press.

Mansjuoer Akan, Suprohaita, Wardhani W.I, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran, 3rd

edition,Jakarta : Media Aesculapius FK-UI, 2000

Kee, Joyce Lefever. 2005. Laboratory and Diagnostic Tests with Nursing Implications. New Jersey:

Pearson Education Inc.